SKRIPSI
PENGARUH KOMPOSISI BAHAN PENGKAPSUL TERHADAP KUALITAS MIKROKAPSUL OLEORESIN LADA HITAM (Piper nigrum L.)
Oleh : Fahmi Nasrullah F 24051949
2010 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENGARUH KOMPOSISI BAHAN PENGKAPSUL TERHADAP KUALITAS MIKROKAPSUL OLEORESIN LADA HITAM (Piper nigrum L.)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : Fahmi Nasrullah F 24051949
2010 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi
: Pengaruh Komposisi Bahan Pengkapsul Terhadap Kualitas Mikrokapsul Oleoresin Lada Hitam (Piper nigrum L.)
Nama
: Fahmi Nasrullah
NIM
: F24051949
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr.Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc)
(Dra. Hernani, M.Sc)
NIP : 19530815.197903.1.002
NIP : 19570518.198603.2.001
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Dr.Ir. Dahrul Syah ) NIP : 19650814.199002.1.001
Tanggal Lulus : 23 Desember 2009
Fahmi Nasrullah. F24051949. Pengaruh Komposisi Bahan Pengkapsul Terhadap Kualitas Mikrokapsul Oleoresin Lada Hitam (Piper nigrum L.). Di bawah bimbingan Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc dan Dra. Hernani, M.Sc. RINGKASAN Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor lada terbesar di dunia. Namun lada yang diperjualbelikan biasanya dalam bentuk utuh yang berisiko mengalami penurunan mutu. Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemasaran lada hitam dapat dilakukan dalam bentuk oleoresin. Meskipun oleoresin lada hitam memiliki banyak kelebihan dibanding lada utuh, oleoresin memiliki beberapa kelemahan seperti penanganan bahan di industri lebih sulit serta rentan terjadi perubahan kimia dan organoleptik selama penyimpanan. Mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam dapat menjadi salah satu solusi untuk menjawab tantangan tersebut. Mikroenkapsulasi adalah proses pengkapsulan bahan aktif dengan bahan pengkapsul tertentu sehingga dapat melindungi bahan aktif dari resiko penurunan mutu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan komposisi bahan pengkapsul yang efisien untuk mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan proses pembuatan mikrokapsul oleoresin lada hitam yang efisien dan ekonomis terutama dari segi pemakaian bahan pengkapsulnya dengan metode spray drying. Penelitian tahap pertama yakni penentuan bahan pengkapsul mengombinasikan maltodekstrin dengan susu skim, tepung kedelai, dan tepung kacang hijau dengan konsentrasi 1%, 2%, dan 3%. Susu skim dinilai sebagai bahan protein terbaik dibandingkan dengan bahan lain dengan rendemen 73,22%, kadar air 4,75%, kadar minyak atsiri 0,82%, dan kadar oleoresin tak terkapsulkan (kadar surface oil) sebesar 0,58% pada pemakaian susu skim 3%. Penelitian tahap kedua yakni penentuan komposisi bahan pengkapsul mengombinasikan maltodekstrin dengan susu skim dan dengan natrium kaseinat sebagai pembanding. Komposisi bahan pengkapsul terbaik adalah perlakuan 2 yakni penggunaan susu skim 10% dari bahan pengkapsul dan konsentrasi bahan pengkapsul sebesar 10% dari total emulsi. Mikrokapsul yang dihasilkan dari perlakuan ini memiliki rendemen 67,22%, kadar minyak atsiri 0,68%, kadar surface oil 0,1420%, pH 6,16, dan kelarutan sebesar 98,20%. Hasil pengamatan dengan scanning electron microscope menunjukkan bahwa mikrokapsul perlakuan 2 memiliki morfologi yang cukup baik dengan diameter partikel antara 2-20 μm.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul ‖Pengaruh Komposisi Bahan Pengkapsul Terhadap Kualitas Mikrokapsul Oleoresin Lada Hitam (Piper nigrum L.)”. Penyusunan skripsi merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1.
Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc. dan Dra. Hernani, M.Sc. selaku pembimbing atas pengarahan dan masukannya kepada penulis hingga penyelesaian skripsi
2.
Dr. Ir. H. Yadi Haryadi atas kesediaan dan masukannya sebagai dosen penguji.
3.
Dra. Sri Yuliani, Apt. atas izinnya mengikuti proyek penelitian ini
4.
Keluargaku: Ayah, Ibu, dan Kakak-kakakku atas kasih sayang, doa, dan segala dukungan yang tidak ternilai harganya baik secara moril maupun materil.
5.
Yang terkasih, Risma Sholeh Hattunisa atas segala perhatian, dukungan, dan kasih sayangnya
6.
Sahabat seperjuangan, Galih Nugroho. Terima kasih atas segala kebersamaan yang telah kita lalui
7.
Sahabat-sahabatku The Golden Generation ITP 42, Twi, Icha, Tiyu, Peye, Kamlit, Harist, Beki, Hesti, Indri, Rino, Hurry, Achid, Ari TP, Aji, Venty serta adik-adikku ITP 43 dan ITP 44.
8.
Sahabat-sahabatku di Café Friends 24 dan Lumpia Van Java : Riza, Dila, Tiwi, Widya, Widi, Tito, Zul, Rina, dan Jali atas semangat tak kenal lelah dalam berwirausaha serta Bi Arti, Dikdik dan Mas Nur atas bantuannya
9.
Sahabat sekosan, Torik, Ragil, Rofik, dan Riki atas segala bantuannya
10. Para laboran yang telah membimbing penulis melakukan penelitian: Pak Triono, Pak Adom. Mbak Dewi, Mbak Melly, Bu Pia (BB Pascapanen), Pak Yahya, dan Pak Wahid (Lab ITP) 11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2010
Fahmi Nasrullah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gresik pada tanggal 8 Februari 1988. Penulis adalah anak terakhir dari lima bersaudara dari pasangan Masyhudi Mahmud dan Sumarlik. Penulis mengawali pendidikan pada tahun 1993 di Modern YIS SunanGiri, kemudian melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 3 Gresik (1999-2002) dan SMA Negeri 1 Gresik (2002-2005). Penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis aktif mengikuti organisasi di antaranya Himpunan Mahasiswa Surabaya dan sekitarnya (Himasurya Plus), Unit kegiatan mahasiswa Forum for Scientific Studies (FORCES IPB) dan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa IPB). Penulis juga bertanggungjawab terhadap berbagai kegiatan antara lain Open House IPB, Seminar dan Training HACCP, Training 2in1 ISO 9001 dan ISO 22000, Kompetisi Inovasi
Agroteknologi,
penyuluhan
keamanan
pangan
untuk
pedagang
makanan/minuman dan lain-lain. Penulis pernah mendapat juara 3 tingkat nasional di ajang National Scientific Paper Competition in Agriculture yang diadakan IAAS LC Universitas Brawijaya pada tahun 2008 dengan judul ―The Importance of Alternative Food Product Based on Sorghum to Face Global Warming Effects in Indonesia‖. Penulis juga dipercaya sebagai koordinator asisten Praktikum Teknologi Pangan dan aktif sebagai pengajar di beberapa bimbingan belajar. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian, dengan judul ―Pengaruh Komposisi Bahan Pengkapsul Terhadap Kualitas Mikrokapsul Oleoresin Lada Hitam (Piper nigrum L.)‖ di bawah bimbingan Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc dan Dra. Hernani, M.Sc.
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN ..............................................................................................
iv
KATA PENGANTAR .................................................................................
v
RIWAYAT HIDUP PENULIS ...................................................................
vii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xii
I. PENDAHULUAN ...................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG .......................................................................
1
B. TUJUAN ...........................................................................................
3
C. MANFAAT .......................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
4
A. LADA HITAM..................................................................................
4
B. OLEORESIN.....................................................................................
7
C. MIKROENKAPSULASI ...................................................................
8
D. BAHAN PENGKAPSUL ..................................................................
14
1. Maltodekstrin ...............................................................................
15
2. Natrium Kaseinat .........................................................................
17
3. Susu Skim ....................................................................................
17
4. Tepung Kacang Kedelai ...............................................................
19
5. Tepung Kacang Hijau...................................................................
21
III. METODOLOGI ..................................................................................
22
A. WAKTU DAN TEMPAT ...................................................................
22
B. BAHAN DAN ALAT PENELITIAN .................................................
22
C. TAHAPAN PENELITIAN .................................................................
22
1. Ekstraksi Oleoresin Lada Hitam ..................................................
22
2. Penelitian Pendahuluan : Penentuan Bahan Pengkapsul ...............
23
3. Penelitian Utama : Penentuan Komposisi Bahan Pengkapsul .......
24
D. PERLAKUAN ...................................................................................
25
E. METODE ANALISIS .........................................................................
27
1. Rendemen Oleoresin .....................................................................
27
2. Rendemen Mikrokapsul ................................................................
27
3. Kadar Air Metode Destilasi Azeotropik ........................................
27
4. Kadar Minyak Atsiri .....................................................................
27
5. Kadar Surface Oil atau Kadar Minyak di Permukaan ....................
28
6. Kelarutan Dalam Air Metode Gravimetri ......................................
29
7. Derajat Keasaman / pH .................................................................
29
8. Analisis dengan Scanning Electrone Microscope ..........................
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................
31
A. EKSTRAKSI OLEORESIN LADA HITAM .....................................
31
B. PENENTUAN BAHAN PENGKAPSUL ..........................................
32
C. PENENTUAN KOMPOSISI BAHAN PENGKAPSUL ....................
39
D. HUBUNGAN ANTARA MIKROSTRUKTUR DAN KUALITAS MIKROKAPSUL ..............................................................................
51
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
54
A. KESIMPULAN .................................................................................
54
B. SARAN .............................................................................................
54
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
55
LAMPIRAN ................................................................................................
61
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Produksi lada dan volume ekspor lada Indonesia .............................
1
Tabel 2. Komposisi kimia lada hitam dan lada putih .....................................
5
Tabel 3. Komposisi kimia lada hitam dalam 100 g lada hitam .......................
6
Tabel 4. Persyaratan mutu oleoresin lada ......................................................
8
Tabel 5. Mikroenkapsulasi beberapa bahan aktif dengan metode spray drying
13
Tabel 6. Jenis bahan pengkapsul yang digunakan untuk mikrokapsul ............
15
Tabel 7. Kandungan protein pada susu skim..................................................
18
Tabel 8. Formulasi perlakuan pada penelitian utama .....................................
26
Tabel 9. Karakterisitik lada hitam oleoresin hasil percobaan .........................
31
Tabel 10. Viskositas emulsi dengan berbagai konsentrasi bahan pengkapsul .
39
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Tanaman lada (Piper nigrum L.) .................................................
4
Gambar 2. Beberapa alkaloid yang terdapat dalam lada hitam ......................
6
Gambar 3. Morfologi dari tipe mikokapsul yang berbeda .............................
9
Gambar 4. Diagram skematik proses spray drying .......................................
11
Gambar 5. Diagram Alir Ekstraksi Oleoresin Lada Hitam ............................
23
Gambar 6. Diagram alir proses mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam.........
25
Gambar 7. Rendemen mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi bahan pengkapsul ..........................................................................
33
Gambar 8. Kadar air mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi bahan pengkapsul .......................................................................... .........
34
Gambar 9. Kadar minyak atsiri mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi bahan pengkapsul .............................................................. ...........
35
Gambar 10.Kadar surface oil mikrokapsul dengan berbagai variasi bahan pengkapsul . ................................................................................
37
Gambar 11.Rendemen mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan Pengkapsul ..................................................................................
40
Gambar 12.Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul .................................................................................
42
Gambar 13.Kesalahan kandungan minyak atsiri ............................................
45
Gambar 14.Kadar surface oil mikrokapsul dengan berbagai komposisi bahan pengkapsul .................................................................................
46
Gambar 15.Kelarutan mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul 48 Gambar 16.Derajat keasaman mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul .................................................................................
49
Gambar 17. Hasil SEM mikrokapsul perlakuan 2 ..........................................
51
Gambar 18. Hasil SEM mikrokapsul perlakuan 4 ..........................................
51
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Perhitungan komposisi bahan mikrokapsul untuk penelitian pendahuluan ..........................................................................
62
Lampiran 2. Hasil Penelitian Pendahuluan ................................................
63
Lampiran 3a. Hasil Penelitian Utama ..........................................................
64
Lampiran 3b. Hasil Penelitian Utama (lanjutan) ..........................................
65
Lampiran 4. Dokumentasi hasil penelitian .................................................
66
A. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor lada terbesar di dunia. Produksi lada Indonesia tahun 2002 lebih dari 90 ribu ton. Sebanyak 70% di antaranya diekspor. Namun produksi lada Indonesia terus menurun menjadi di bawah 80 ribu ton pada tahun 2005 (Ditjenbun, 2008). Volume ekspor lada Indonesia juga turun drastis di tahun yang sama menjadi hanya 44% dari total produksi (BPS, 2005). Tabel 1 menunjukkan produksi lada Indonesia dan ekspornya. Tabel 1. Produksi lada dan volume ekspor lada Indonesia. Tahun
Produksi Lada (Ton)*)
Volume Ekspor Lada (Ton)**)
2000
69.087
65.011
2001
82,078
53.638
2002
90,181
63.214
2003
90,740
51.546
2004
77,008
34.302
2005
78,328
34.556
*) Direktorat Jenderal Perkebunan (2008) **) Badan Pusan Statistik (2005) Penurunan ekspor lada antara lain disebabkan oleh munculnya negara-negara baru pengekspor lada seperti Vietnam serta meningkatnya standar mutu lada di negara-negara konsumen akibat persaingan perdagangan yang semakin ketat. Untuk meningkatkan kembali ekspor lada Indonesia diperlukan peningkatan mutu lada serta diversifikasi produk olahan lada yang memiliki nilai ekonomi yang lebih besar (IPC, 2005). Produk olahan lada yang dihasilkan oleh masyarakat Indonesia berupa lada hitam dan lada putih. Namun lada yang diperjualbelikan biasanya dalam bentuk utuh yang berisiko mengalami penurunan mutu selama pengangkutan. Agar mutu lada dapat dipertahankan, pemasaran lada dapat dilakukan dalam bentuk kering (bubuk) atau oleoresin. Oleoresin, menurut Sudibyo (1989) dan Djubaedah (1986), memiliki beberapa keunggulan dibandingkan bahan segar maupun bubuk yakni : (1) dapat menanggulangi masalah kontaminasi mikroba; (2) mengurangi volume dan berat
sehingga mengurangi biaya transportasi; (3)
menghindari pemalsuan; (4)
memungkinkan standardisasi kekuatan flavour; (5) mengandung antioksidan alami; dan (8) masa simpannya lama pada kondisi ideal. Hasil olahan lada hitam dalam bentuk oleoresin memiliki beberapa kelemahan. Konsistensinya yang lengket dan kental mempersulit penanganan bahan dalam aplikasi di indusri. Perubahan kimia dan organoleptik yang bersifat dekstruktif juga dapat terjadi selama penyimpanan. Transformasi oleoresin menjadi bentuk bubuk merupakan salah satu pendekatan yang sangat menarik untuk memberikan kemudahan dalam penanganan dan pemakaian oleoresin serta menjaga mutu bahan aktifnya. Mikroenkapsulasi pada oleoresin lada hitam dapat menjadi salah satu metode yang dapat menjawab tantangan tersebut. Mikroenkapsulasi adalah suatu proses pengkapsulan suatu bahan inti dengan menggunakan bahan pengkapsul khusus yang membuat bahan inti mempunyai sifat fisika dan kimia seperti yang dikehendaki (Rosenberg et al., 1990). Proses ini dapat melindungi bahan aktif dari pengaruh lingkungan yang merugikan seperti kerusakan akibat oksidasi, hidrolisis, penguapan atau degradasi panas sehingga bahan aktif akan mempunyai masa simpan yang lebih panjang serta mempunyai kestabilan proses yang lebih baik. Selain itu, pelepasan bahan aktif dari dalam kapsul juga dapat dikendalikan sehingga efektifitasnya dapat dirancang sesuai dengan keinginan dan dapat menghasilkan produk dengan kualitas flavour yang distandardisasi (Koswara, 1995). Efektivitas mikroenkapsulasi sangat ditentukan oleh bahan pengkapsulnya. Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang bahan pengkapsul yang dapat menghasilkan produk mikrokapsul yang optimal. Desmawarni (2007) dalam penelitiannya tentang mikroenkapsulasi oleoresin jahe telah mendapatkan kondisi spray drying yang menghasilkan efisiensi mikroenkapsulasi yang tinggi (suhu inlet 170°C dan laju alir umpan 15 ml/menit). Komposisi bahan pengkapsul juga telah diperoleh dengan bahan dasar maltodekstrin dan penambahan natrium kaseinat. Berdasarkan penelitian tersebut disarankan untuk mencobakan jenis protein lain dari sumber protein lokal yang murah dan mudah didapat. Oleh kerena itu, dalam penelitian tentang mikrokapsul oleoresin lada hitam ini akan dikaji penggunaan beberapa jenis protein lokal, murah, dan mudah didapat seperti susu skim, tepung
kedelai dan tepung kacang hijau dengan menggunakan natrium kaseinat sebagai pembanding.
B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan 1. mengetahui
pengaruh
kompisisi
bahan
pengkapsul
terhadap
kualitas
mikrokapsul oleoresin lada hitam (P. nigrum L.) 2. membandingkan pengaruh bahan pengkapsul dari jenis protein lokal dengan natrium kaseinat 3. menentukan jenis dan komposisi bahan pengkapsul yang efektif.
C. MANFAAT Penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan proses pembuatan mikrokapsul oleoresin lada yang efisien dan ekonomis terutama dari segi pemakaian bahan pengkapsulnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi komoditas lada sehingga meningkatkan konsumsi produk diversivikasi lada. Peningkatan konsumsi ini dengan sendirinya meningkatkan kebutuhan bahan baku lada sehingga berdampak pada peluang peningkatan usaha pertanaman lada, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan petani lada.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. LADA HITAM Lada (Piper nigrum L.) termasuk famili Piperaceae, ordo piperales, dan genus piper. Tanaman lada berasal dari pantai barat Ghats, India dan berkembang pesat di Indonesia. Di Indonesia terdapat sekitar 40 spesies lada dan yang paling banyak dibudidayakan adalah jenis lada lampung dan lada bangka (Rismunandar, 2000). Tanaman lada dapat hidup pada daerah yang mempunyai iklim panas dengan curah hujan merata sepanjang tahun, suhu lingkungan yang optimal 23-300C dan ketinggian tempat tidak lebih dari 500 meter di atas permukaan laut. Pemanenan lada dilakukan setelah tanaman lada berumur 2,5 – 3 tahun. Tanaman lada dengan penanaman yang intensif menghasilkan 1 – 1,8 kg lada hijau per tanaman pada tahun ketiga. Nilai produktivitas ini naik menjadi 3,6 – 9,0 kg pada umur 4 hingga 7 tahun, lalu turun menjadi 2 kg per tanaman per tahun pada umur 8 tahun hingga 12 atau 15 tahun (Purseglove et al., 1981). Buah lada umumnya berbentuk bulat atau agak lonjong. Buah normal berwarna hijau dan apabila sudah masak berwarna oranye sampai merah. Buah yang tidak normal berukuran kecil, berwarna hijau tua, dan akan berubah warna menjadi kehitam-hitaman (Nuryani, 1996).
Gambar 1. Tanaman lada (Piper nigrum L.) dan lada hitam Pada dasarnya, ada dua jenis hasil olahan lada yaitu lada hitam dan lada putih. Menurut Ketaren (1985), perbedaan pengolahan lada hitam dan lada putih terletak pada proses fermentasi. Lada putih dibuat merendam buah lada yang matang (tua) dalam air selama 7–10 hari. Lada yang telah direndam dipisahkan dari tangkai
dan kulitnya kemudian dikeringkan. Lada hitam dibuat dengan cara lada ditumpuk dulu selama 2–3 hari agar lada menjadi coklat kehitaman baru kemudian dihilangkan tangkainya dan dikeringkan. Selain ditimbun, pemeraman buah lada dapat dilakukan dengan cara direndam dalam air panas selama sekitar sepuluh menit (blanching). Proses ini dapat mempercepat pencoklatan dan proses pengeringan. Selanjutnya buah dijemur di bawah sinar matahari langsung hingga kering (Purseglove et al., 1981). Dari penjemuran akan dihasilkan buah lada yang berwarna hitam kelam dengan kulit keriput. Setelah kering, seluruh buah yang melekat pada tangkai malai dilepaskan. Lalu lada dibersihkan dari segala kotoran. Rendemen lada hitam kering sebanyak 33-36% (Rismunandar, 2000). Lada yang telah kering akan mengandung air sekitar 11-14% (Mansjur, 1980). Lada hitam memiliki nilai terutama pada aroma rempahnya dan rasa pedasnya yang khas (Premi, 2000). Rasa pedas lada diakibatkan oleh adanya zat piperin, piperanin, dan chavicin yang merupakan senyawa alkaloida (Rismunandar, 2000). Chavicin banyak terdapat dalam daging atau kuli biji lada dan tidak akan hilang walaupun biji yang masih berdaging dijemur hingga menjadi lada hitam. Oleh karena itu, lada hitam lebih pedas bila dibandingkan denga lada putih. Menurut Pangborn (1970), minyak lada merupakan campuran hidrokarbon yang terdiri dari 70-80% monoterpen, 20-30% seskuiterpen, dan kurang dari 4% senyawa beroksigen. Perbandingan komposisi kimia lada hitam dan lada putih dapat dilihat pada Tabel 2. Komposisi kimia lada hitam lebih detil dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Komposisi kimia lada hitam dan lada putih. Kandungan
Lada hitam (%)
Lada putih (%)
8 – 13
9,9 – 15
11
11
Karbohidrat
22 – 24
50 – 65
Minyak atsiri
1–4
<1
Piperin (alkaloid)
5–9
5–9
Air Protein
Sumber : Rismunandar (2000)
Tabel 3. Komposisi kimia lada hitam dalam 100 g lada hitam. Komposisi
Kandungan (mg)
Air
10 500
Protein
11 000
Lemak
3 300
Karbohidrat
64 800
Serat
13 100
Kadar abu
4 300
Kalsium
437
Zat besi
29
Magnesium
194
Fosfor
173
Potasium
1259
Sodium
44
Zinc
1
Sumber : Farrrel (1985) Piperin merupakan alkaloid dengan rumus molekul C17H19NO3. Senyawa ini dapat membentuk kristal dengan titik cair 129-130°C dan merupakan amida, sedikit larut dalam air, akan tetapi mudah larut dalam alkohol (6.1 gram / 100 ml alkohol) (Ketaren, 1985). Beberapa alkaloid yang terdapat dalam lada hitam dapat dilihat pada Gambar 2.
Piperin
Piperidin
Piperetin
Chavicin
Piperanin
Gambar 2. Beberapa alkaloid yang terdapat dalam lada hitam (Epstein, 1993)
B. OLEORESIN Oleoresin adalah campuran resin dan minyak atsiri, berbentuk padat atau semi padat, dan konsisteansinya lengket. Oleoresin dapat diperoleh dari ekstraksi bagian tanaman tertentu dengan mempergunakan pelarut organik. (Rismunandar, 2000). Selain mengandung resin dan minyak atsiri, oleoresin juga mengandung bahan lain seperti senyawa aromatik, zat warna (pigmen), vitamin dan komponen lain dari rempah tersebut (Whitteley et al., 1952). Menurut Pruthi (1980), penggunaan rempah dalam oleoresin memiliki beberapa keuntungan, antara lain : lebih bersifat sebagai anti mikroba, lebih higienis, mengandung anti oksidan alami, bebas dari enzim, memiliki umur simpan yang lebih panjang, penyimpanan lebih hemat, lebih ringan dalam pengangkutan, dan terhindar dari bahaya jamur seperti yang dialami rempah pada umumnya. Pembuatan oleoresin dimulai dengan pencampuran bahan rempah-rempah yang berbentuk bubuk halus dengan pelarut. Larutan dipisahkan dengan penyaringan pelarut kemudian pelarut diuapkan pada suhu dan tekanan rendah. Rendemen ekstraksi oleoresin lada dilaporkan bervariasi antara 5-15% sementara kadar minyak atsiri dan kadar piperinnya antara 15-27% dan 35-55% (Purseglove et al., 1980). Sufni (2001) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa rendemen oleoresin tertinggi dihasilkan dari lada hitam dengan lama ekstraksi 2 jam, yaitu sebesar 17,66%. Syarat mutu oleoresin menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 4. Menurut
Raghavan
(2007),
minyak
atsiri
oleoresin
lada
hitam
bertanggungjawab terhadap aroma pungency, sekitar 80% mengandung monoterpen seperti sabinen, α-pinen, β-pinen, limonen, dan 1,8-sineol sedangkan 20% lainnya ialah sekuiterpen seperti β-kariofilen dan humulen. Menurut Rismunandar (2000), Oleoresin biji lada mengandung zat piperin, piperanin, dan chavicin yang memberi rasa pedas pada biji lada.
Tabel 4. Persyaratan mutu oleoresin lada (SNI 0025-1987-B) Karakteristik
Persyaratan
Warna
Coklat muda, coklat kehijauan, coklat
Bentuk
Pasta cair, pasta kental
Aroma
Khas lada
Kadar piperin % (b/b) min
35,0
Kadar minyak atsiri % (v/v) min
10,0
Indeks bias minyak atsiri (nd 250)
1,4820 – 1,4960
Sisa pelarut dalam oleoresin maks
Tergantung syarat negara pengimpor
C. MIKROENKAPSULASI Mikroenkapsulasi adalah suatu proses pengkapsulan bahan aktif yang berbentuk cair atau padat dengan menggunakan suatu bahan pengkapsul khusus yang membuat partikel-partikel inti mempunyai sifat fisika dan kimia seperti yang dikehendaki. Bahan pengkapsul yang berfungsi sebagai dinding pembungkus bahan inti tersebut dirancang untuk melindungi bahan-bahan terbungkus dari faktor-faktor yang dapat menurunkan kualitas bahan tersebut (Rosenberg et al., 1990). King (1995) menyatakan bahwa apabila ukuran partikel >5000 µm disebut makrokapsul, ukuran partikel antara 0,2 sampai 5000 µm disebut mikrokapsul, dan bila ukurannya kurang dari 0,2 µm disebut nanokapsul. Struktur dan ukuran mikrokapsul yang dihasilkan tergantung dari teknik pengkapsulannya, jenis polimer yang digunakan, dan jenis bahan inti yang dikapsulkan (Jackson and Lee, 1991). Mikroenkapsulasi memiliki beberapa bidang aplikasi, pada umumnya adalah industri makanan. Risch (1995) menyatakan bahwa mikroenkapsulasi banyak digunakan untuk mempertahankan flavour, asam, lipid, enzim, mikroorganisme, pemanis buatan, vitamin, mineral, air, bahan pengembang, pewarna, dan garam. Proses enkapsulasi flavor dapat diterapkan untuk berbagai flavor alami, seperti minyak atsiri dan oleoresin, maupun flavor buatan. Keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dengan proses mikroenkapsulasi ini antara lain adalah flavour terlindungi dari perubahan dekstruktif (penguapan) selama penyimpanan, mudah dalam pengolahan lanjutan, mudah digunakan dalam pencampuran produk, bebas
dari mikroba dan serangga (higienis), berkadar air rendah, dan dapat menghasilkan produk dengan kualitas flavour yang distandardisasi (Koswara, 1995). Bakan (1973) mengemukakan bahwa proses mikroenkapsulasi secara umum melalui tiga tahap yaitu: a. Bentuk tiga fase kimia yang belum saling bercampur, yaitu fase pembawa (air), fase material inti yang akan dilapisi dan fase pengkapsul. b. Penempelan bahan pengkapsul pada permukaan bahan inti. Umumnya tahapan ini terjadi karena bahan pengkapsul diadsorbsikan pada antar permukaan yang terbentuk antara materi inti dan bahan cair. c. Pemadatan pelapis untuk membentuk mikroenkapsul yang biasanya terjadi akibat adanya panas. Menurut Bakan (1973), keberhasilan suatu mikroenkapsulasi dan sifat mikrokapsul yang dihasilkan dipengaruhi oleh parameter penting, yakni : a. Bahan inti yang disalut, yaitu berwujud padat atau cair b. Bahan pengkapsul yang digunakan c. Prinsip proses mikroenkapsulasi yang digunakan (fisika atau kimia) d. Tahapan proses mikroenkapsulasi e. Struktur dinding mikrokapsul Berdasarkan sifat fisik dan kimia bahan inti, komposisi bahan pengkapsul, dan metode mikroenkapsulasi; mikrokapsul yang dihasilkan dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe yakni tipe berinti tunggal (simpel/monocore), tak teratur (irregular), berinti banyak (multi-core), multilapis (multi-wall), dan matrik (Gibbs et al., 1999). Kelima morfologi mikrokapsul tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Morfologi dari tipe mikrokapsul yang berbeda (Gibbs et al., 1999). Beberapa metode proses enkapsulasi yang sudah dikomersilkan untuk penggunaan bahan makanan yaitu (1) metode spray drying, (2) pengkapsulan dengan suspensi udara, (3) ekstruksi dan, (4) spray cooling atau spray chilling.
Proses enkapsulasi dapat pula dilakukan dengan teknik koaservasi, kokristalisasi, dan thin layer drying. Kokristalisasi merupakan metode yang menggunakan sukrosa sebagai bahan pengkapsul merujuk penelitian mikroenkapsulasi oleoresin pala (Chandrayani, 2002). Enkapsulasi pada metode ini terjadi akibat kristalisasi spontan dari sukrosa yang menghasilkan bentuk berkelompok sehingga menyalut bahan inti. Koaservasi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menerangkan fenomena pemisahan fase dalam sistem koloid. Pemisahan fase erat kaitannya dengan pengendapan atau flokulasi zat koloid (Soottitantawat et al., 2005). Metode thin layer drying dilakukan dengan menyalut bahan inti dengan bahan pengkapsul tertentu kemudian dikeringkan menjadi lembaran tipis. Selanjutnya lembaran ini digiling sehingga berbentuk serbuk. Suspensi udara berfungsi sebagai alat mikroenkapsulasi dimana partikel padatan yang akan diselaputi ada pada suatu kolom udara panas dan kemudian disemprot dengan bahan pengkapsul dari atas melalui nozzle yang akan menghasilkan lapisan-lapisan tipis pada permukaan partikel. (Dziezak, 1988). Spray cooling atau spray chilling adalah metode mikroenkapsulasi dengan lemak sebagai bahan pengkapsulnya (Bakan dan Anderson, 1987). Lemak didinginkan pada suhu tertentu sehingga bahan inti yang berbentuk padat seperti vitamin dan mineral terkapsulkan didalamnya (Risch, 1995) Metode spray drying adalah metode yang paling umum digunakan dalam proses mikroenkapsulasi pada industri pangan karena biayanya yang rendah dan peralatannya telah tersedia (Gouin, 2004). Mikroenkapsulasi dengan teknik ini merupakan yang paling tua untuk proses enkapsulasi dan digunakan pertama kali sekitar tahun 1930an untuk membuat perisa dengan gum akasia sebagai bahan pengkapsulnya (Shahidi & Han, 1993). Diagram skematik proses spray drying dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram skematik proses spray drying
Keuntungan penggunaan metode spray drying antara lain adalah peralatan yang digunakan sederhana, biaya proses relatif rendah, pilihan yang luas dalam penggunaan bahan pengkapsul, kemampuan retensi bahan volatil yang baik, dan stabilitas flavour yang dihasilkan juga sangat baik (Reineccius, 1988). Keuntungan lainnya adalah teknologi ini sudah banyak dikuasai sehingga mudah diaplikasikan, mampu memproduksi mikrokapsul dalam jumlah banyak, bahan pengkapsul yang cocok untuk spray drying juga layak sebagai bahan makanan, dan bahan pengkapsul yang digunakan larut dalam air sehingga dapat melepaskan bahan inti tanpa adanya bahan pengkapsul yang mengendap (Thies, 1996). Dibandingkan dengan metode freeze-drying, biaya spray drying 30-50 kali lebih murah (Desobry et al., 1997). Proses yang terdapat dalam spray drying ada tiga tahap : (1) persiapan bahan emulsi, (2) homogenisasi, dan (3) penyemprotan emulsi ke dalam chamber (atomisasi massa pada tempat pengeringan). Tahap pertama adalah pembentukan emulsi yang stabil dari bahan inti dalam larutan pengkapsul. Emulsi yang akan diatomisasi dipreparasi dulu dengan cara mendispersikan bahan inti, yang biasanya hidrofobik, dalam larutan bahan pengkapsul yang immisibel. Dispersi ini harus dihomogenisasi dengan atau tanpa pengemulsi. Pada awal proses spray drying, droplet emulsi berdiameter 1-100 μm (Dziezak, 1988). Emulsi minyak dalam air yang dihasilkan kemudian diatomisasi ke dalam udara panas yang dihembuskan ke drying chamber dan penguapan zat pelarut
(biasanya air) mendorong pembentukan mikrokapsul. Partikel yang disemprotkan diasumsikan sebagai parikel yang berbentuk bola dengan minyak terbungkus didalamnya, dalam fase aquatik (Dziezak, 1988). Proses atomisasi bertujuan agar dapat membentuk semprotan sehalus mungkin, sehingga transfer panas antara udara panas dan suspensi larutan dapat optimal. Proses kontak antara partikel hasil atomisasi dan udara pengering adalah proses pengeringan. Proses ini terjadi pada suhu antara 150-220°C. Proses penguapan air bahan berlangsung sangat cepat sekitar 5 detik (Corrigan, 1995). Waktu eksposisi dan evaporasi air yang cepat menjaga temperatur inti dibawah 40 oC walaupun proses spray drying menggunakan suhu tinggi (Dubernet dan Benoit, 1986). Tabel 5 berikut merupakan beberapa penelitian tentang mikroenkapsulasi metode spay drying beberapa bahan aktif.
Tabel 5. Mikroenkapsulasi beberapa bahan aktif dengan metode spray drying No
Bahan Inti
Suhu Umpan (oC)
Bahan Pengkapsul
Suhu Inlet (oC)
Suhu Outlet (oC)
1
Anhydrous milk fat
Protein whey / laktosa
50
160
80
2
Etil butirat etil kaprilat
Protein whey / laktosa
5
160
80
3
Oregano, citronela dan marjoram
Protein whey / protein susu
TD
185-195
85-95
4
Minyak kedelai
Sodium kaseinat / karbohidrat
TD
180
95
5
Kalsium sitrat, kalsium laktat
Turunan selulosa / asam polimetakrilik
TD
120-170
91-95
6
Likopen
Gelatin / sukrosa
55
190
52
7
Minyak ikan
Turunan pati / sirup glukosa
TD
170
70
8
Minyak esensial kardamom Gum Mesquite
Suhu ruang
195-205
105-115
9
Arakidonil L-askorbat
TD
200
100-110
10
Oleoresin kardamom
TD
160-180
115-125
11
Bixin
Suhu ruang
180
130
12
D-Limonen
TD
200
100-120
13
L-Menthol
TD
180
95-105
14
Oleoresin lada hitam
TD
176-180
105-115
15
Oleoresi kurkumin
Gum arab / pati termodifikasi Gum arab / pati termodifikasi / maltodekstrin
TD
158-162
115-125
16
Minyak ikan
Pektin bit/sirup glukosa
TD
170
70
TD
175-185
85-95
TD
180
90
Maltodekstrin / gum arab / polisakarida kedelai Gum arab / pati termodifikasi / maltodekstrin Gum arab / maltodekstrin / sukrosa Gum arab / pati termodifikasi / maltodekstrin Gum arab / pati termodifikasi
Protein susu / protein whey / maltodekstrin 18 Asam lemak rantai pendek Maltodekstrin/gum arab Keterangan : TD : Tidak dilaporkan 17
Minyak esensial Caraway
Sumber : Gharsallaoui et al. (2007) Mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam metode spray drying telah dilakukan oleh Saikh et al. (2006) dengan menggunakan gum arab dan pati termodifikasi (HiCap). Gum arab dilaporkan memiliki kemampuan proteksi lebih baik daripada pati termodifikasi dilihat dari waktu paruh (t 1/2) perlindungannya. Waktu paruh mikrokapsul dengan gum arab mencapai 71 minngu sementara dengan pati termodifikasi hanya 55 minggu. Menurut (Gharsallaoui et al., 2007), gum arab memiliki kemampuan yang sangat baik sebagai bahan pengkapsul namun mahalnya biaya, minimnya suplai, dan variasi kualitas membatasi pemakaiannnya. Hal ini mendorong para peneliti mencari bahan pengkapsul alternatif.
D. BAHAN PENGKAPSUL Bahan pengkapsul adalah bahan yang berfungsi sebagai penyalut bahan inti (bahan aktif) dalam proses enkapsulasi (Masters, 1979). Menurut Young et al., (1993) bahan pengkapsul yang digunakan dalam spray drying harus memiliki kemampuan kelarutan dan kemampuan mengemulsi yang tinggi, harus dapat membentuk lapisan film, dan menghasilkan larutan yang berkonsentrasi tinggi dengan viskositas rendah. Selain itu, bahan pengkapsul harus mampu antara lain : (1) melindungi bahan aktif dari oksidasi, panas, cahaya, kelembaban, dan lain-lain; (2) mencegah penguapan komponan volatil; (3) membuat bahan aktif menjadi a free flowing powder untuk mengurangi masalah penanganan dan pencampuran makanan kering. Lebih jauh, bahan pengkapsul harus memiliki kriteria sebagai berikut : 1. bersifat melindungi komponen aktif dari kerusakan seperti oksidasi, dan cahaya 2. Harus memiliki sifat kehilangan komponen aktif yang rendah selama proses berlangsung (Quellet et al., 2001) 3. Komponen enkapsulat dapat terdispersi dalam larutan pengkapsul secara merata dengan ukuran yang kecil (Quellet et al., 2001) 4. Untuk enkapsulasi dengan cara spray drying, pengenkapsulasi dengan viskositas rendah akan meningkatkan efisiensi pengeringan (Rosenberg, 1997) 5. Bahan pengkapsul harus memiliki sistem pengendalian pelepasan komponen aktif selama penyimpanan (Quellet et al., 2001) 6. Bahan pengenkapsulasi harus aman (Rosenberg, 1997) 7. Bahan pengenkapsulasi harus memiliki sifat fungsional spesifik seperti sifat emulsi, pemebentukan film, dan dapat membentuk larutan konsentrasi tinggi (Rosenberg, 1997) Beberapa bahan pengkapsul yang umumnya digunakan untuk proses mikroenkapsulasi disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Jenis bahan pengkapsul yang digunakan untuk mikrokapsul Kelas
Jenis
Gum
Gum arab, agar, natrium alginat, karagenan Pati, dekstrin, sukrosa, sirup jagung, CMC, etil selulosa,
Karbohidrat
metil selulosa, nitro selulosa, asetil selulosa, aetat fitat selulosa, asetat butilay fitat selulosa Lilin, parafin, tristearin, asam stearat monogliserida,
Lemak
digliserida, lilin tawon, minyak, lemak, minyak keras
Bahan Anorganik
kalsium fosfat, silikat, tanah liat
Protein
gluten, kasein, gelatin, albumin
Sumber
: Jackson dan Lee (1991)
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan pengkapsul dari jenis protein maupun kombinasi protein dengan polisakarida lebih efektif sebagai bahan pengkapsul. Menurut Zao dan Whistler (1994), pati dapat berinteraksi dengan komponen-kompeonen lain seperti protein membentuk granula (sphere) dalam proses spray drying. Granula ini dapat membawa sejumlah komponen bahan pangan seperti minyak dan flavour untuk mengontrol pelepasannya dari poros granula.
1. Maltodekstrin Maltodektrin [(C6H12O5)nH2O] didefinisikan sebagai produk hidrolisat pati (polisakarida tidak manis) dengan panjang rantai rata-rata 5-10 unit/molekul glukosa. Polisakarida ini secara teori diproduksi dengan hidrolisis terkontrol menggunakan enzim α-amilase atau asam (Kennedy at al., 1995). Maltodextrin terdiri dari unit b-D-glucose yang terhubung secara umum dengan ikatan glikosidik 1:4 dan biasanya diklasifikasikan menurut equivalensi dekstrosanya (DE). DE maltodextrrin menentukan kapasitas mereduksinya dan menginversinya yang berhubungan dengan berat rata-rata molekularnya. DE maltodextrin biasanya kurang dari 20 (Chronakis, 1998). Lebih lanjut, Kenyon dan Anderson (1988), menyebutkan bahwa maltodekstrin adalah senyawa nonhigroskopis, dapat larut dalam air dingin dengan sempurna sehingga dapat melepaskan flavour dengan cepat dalam penggunaannya
pada aplikasi tertentu. Flavour dan rasa manis pada maltodekstrin sendiri sangat rendah sehingga dapat cepat hilang saat digunakan. Maltodekstrin juga mudah diperoleh dan terjangkau dari segi biaya. Senyawa ini biasanya digunakan untuk bahan yang sulit untuk dikeringkan seperti jus buah, perisa, dan pemanis (Reineccius, 1991) dan untuk mengurangi masalah penggumpalan selama penyimpanan, dengan demikian meningkatkan stabilitas produk (Bhandari et al., 1993). Maltodekstrin menunjukkan stabilitas yang baik terhdap oksidasi minyak, namun memiliki kapasitas dan stabilitas emulsifikasi yang buruk serta retensi minyak yang rendah (Kenyon, 1995). Maltodektrin tersusun dari unit glukosa dan tidak efektif untuk menstabilkan minyak atau flavour dalam larutan berviskositas. Untuk itu biasanya maltodekstrin dikombinasikan dengan bahan seperti gum arab atau pati termodifikasi lainnya untuk keperluan stabilitas emulsi (Kenyon dan Anderson, 1988). Menurut Bang dan Reinecius (1985), maltodekstrin atau pati terkombinasi dengan DE yang rendah (kurang dari 20) efektif untuk mikroenkapsulasi flavour. Viskositas yang rendah dari maltodextrin lebih menguntungkan pada proses enkapsulasi dengan spray dryer (Kenyon, 1995). Maltodextrin mampu mengurangi laju reaksi maillard ketika digunakan sebagai mikroenkapsul pada komponen pangan. Permukaan aktifnya dan rendahnya viskositas tidak mampu mengemulsifikasi minyak dan lemak. Maltodextrin sering digunakan sebagai agen koenkapsulasi pada proses spray-drying (McNamee et al., 1998). Telah diuji bahwa penggunaan maltodextrin (DE = 12.6) pada 10 hingga 30% (wt/wt dari emulsi cair)—menggunakan natrium kaseinat sebagai emulsifier— menyumbangkan kestabilan dan membuatnya mampu dikeringkan dengan spraydryer, selama rasio antara maltodextrin dan natrium kaseinat serta fase terdispersinya adalah lebih dari 1.35 (Dollo et al., 2003).
2. Natrium Kaseinat Natrium kaseinat digunakan luas sebagai bahan pengkapsul. Keberadaan natrium kaseinat ialah sebagai emulsifier. Dalam konteks mikroenkapsulasi, kasein dan kaseinat kurang sensitif terhadap panas dan menunjukkan sifat sebagai permukaan aktif. Hal ini membuat kasein digunakan sebagai agen pengemulsi pada berbagai aplikasi termasuk pada proses spray drying (Pedersen et al., 1998). Menurut Singh (1995), natrium kaseinat mempunyai stabilitas panas yang cukup baik (~140 0C), bersifat tidak atau sulit larut dalam air, dan aman untuk digunakan sebagai produk pangan. Ruis (2007) menyatakan bahwa kemampuan fungsional natrium kaseinat mencakup beberapa fungsi seperti emulsifikasi, water-fat binding, agen pengeras, dan agen pengental (gelation). Sebagai penstabil emulsi, natrium kaseinat dapat menurunkan tegangan permukaan antara dua fase disebabkan adanya karakter ampifilik yang kuat dari komponen utama kasein yaitu αS1-kasein dan β-kasein. Kasein tipe αS1 lebih bersifat hidrofilik sehingga dapat mengikat komponan polar, sedangkan tipe β-kasein lebih bersifat hidrofobik sehingga dapat mengikat komponen nonpolar. Banyak penelitian yang telah menelaah penggunaan natrium kaseinat sebagai bahan pengkapsul, misalnya pada penelitian minyal jeruk. Retensi flavor yang diperoleh cukup baik dengan kadar minyak pada permukaan yang rendah (Kim dan Morr, 1996). Hogan et al. (2001) juga menggunakannya sebagai bahan pengkapsul untuk mikroenkapsulasi minyak kedelai.
3. Susu Skim Susu skim adalah produk yang diperoleh dari pemisahan susu dan memiliki kadar lemak sangat rendah. Biasanya susu skim ditemukan dalam bentuk bubuk. Penampakannya harus putih atau krim putih, bersifat free flowing dan bebas gumpalan. Cita rasanya pada kondisi kering harus tidak berbau. Penggunaan susu skim dalam berbagai produk makanan memiliki keuntungan yaitu (1) mudah dicerna dan dapat dicampur dengan makanan padat atau semipadat, (2) mengandung nilai gizi tinggi dan asam amino esensial, dan (3) dapat disimpan lebihlama daripada whole milk karena kandungan lemaknya sangat rendah.
Walaupun susu skim merupakan sumber protein yang baik, susu skim memiliki kekurangan yaitu rendahnya energi yang terkandung didalamnya (Liana, 1987). Susu skim kering dibuat dari susu skim yang telah dipanaskan pada suhu 75-95 0C, kemudian dikonsentrasikan sampai mengandung 35-54% padatan, dan selanjutnya dikeringkan menggunakan spray dryer. Suhu pengeringan yang digunakan adalah 2600C dengan waktu yang relatif singkat setelah susu disemprotkan dengan tekanan tinggi sehingga tebentuk kabut dalam rauang pengering (Warner, 1975). Susu skim hanya mengandung 0,5-2% lemak karena telah dipisahkan dari lemaknya (Varnam dan Sutherlan, 1994). Protein susu merupakan penyusun terbesar pada susu skim. Komponen ini dapat diklasifikasikan menjadi dua grup utama yaitu kasein dan whey. Kasein merupakan fraksi utama protein yang mengendap saat susu segar diasamkan pada pH 4-6 pada suhu 200C. Protein ini terdapat pada susu dalam bentuk partikel koloidal, misel, yang mengandung kalsium, fosfat, sitrat, dan magnesium. Kasein menyusun 76-86% dari total protein susu skim (Thompson et al., 1965). Protein nonkasein yang tertinggal setelah pengendapan kasein disebut protein whey atau serum protein. Whey menyusun 14-24% dari total protein susu skim (Thompson et al., 1965). Protein whey bersifat labil terhadap panas dan terdenaturasi pada suhu 800C. Hal ini berbeda dengan kasein yang stabil pada suhu 1400C. Kandungan protein susu skim dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kandungan protein pada susu skim Protein Kasein
Whey
Jenis αs-kasein
45-55
β-kasein
25-35
Γ-kasein
3-7
Kappa-kasein
8-15
β-lactoglobulin
7-12
α-lactalbumin
2-5
blood serum albumin Sumber : Rimbawan, 1977.
Jumlah (% susu skim)
0,7-1,3
Material pengkapsul selama proses pengeringan harus mampu menahan dan melindungi bahan-bahan volatil dari kehilangan dan kerusakan kimia selama pengolahan, penyimpanan dan penanganan (Kim dan Morr, 1996). Analisis dari distribusi ukuran droplet campuran maltodekstrin dan susu skim pada proses mikroenkapsulasi memunjukkan bahwa ikatan kovalennya membuat emulsifikasi protein semakin kuat pada kondisi asam atau netral. (Akhtar dan Dickinson, 2007). Susu skim tidak pernah digunakan secara langsung sebagai bahan pengkapsul. Biasanya yang digunakan adalah fraksi proteinnya yakni kasein dan whey secara terpisah. Selain kasein, protein whey juga banyak digunakan sebagai bahan pengkapsul. Protein whey telah berhasil digunakan sebagai sistem dinding untuk mengenkapsulasi lemak susu anhidrat dengan spray dryer dan dengan rendemen lebih dari 90%. Efisiensi pengkapsulannya dapat ditingkatkan dengan penggantian 50% whey dengan laktosa. Kombinasi whey dan laktosa sebagai bahan pengkapsul dapat membatasi difusi zat nonpolar melewati dinding (Young et al., 1993). Rosenberg & Sheu (1996) juga telah mempelajari mikroenkapsulasi etil butirat dan etil kaprilat menggunakan campuran isolat whey dan laktosa pada perbandingan 1:1. 4. Tepung Kedelai Kedelai merupakan salah-satu tanaman polong-polongan terpopuler di dunia. Hasil utamanya yakni biji kedelai mengandung 40% protein, 20% lemak, 35% karbohidrat, dan sisanya mineral (abu). Menurut Iwabuchi dan Yamauchi (1987), Komponen utama protein kedelai adalah glycinin (11S) dan β-conglycinin (7S). Kadar protein kedelai yang tinggi menyebabkan hasil olahan biji kedelai seperti tepung kedelai atau isolat protein kedelai (ISP) sering digunakan sebagai bahan pengkapsul. Selain itu, kandungan utama protein kedelai adalah heat-stable storage protein sehingga dapat digunakan dalam proses pengolahan pangan yang membutuhkan suhu tinggi seperti mikroenkapsulasi metode spray dryer. Menurut Wolf (1987), produk kedelai dapat dikelompokkan berdasarkan kadar proteinnya yaitu tepung kedelai, konsentrat protein kedelai, dan isolat protein kedelai. Lebih jauh, beberapa jenis tepung kedelai berdasarkan kandungan dan proses pembuatannya adalah sebagai berikut :
1. Tepung kedelai tanpa lemak (defatted soy flour) dibuat dari ekstraksi flakes dan mengandung kurang dari 1% lemak 2. Tepung kedelai penuh lemak (full-fat soy flour) dibuat tanpa ekstraksi dan pengupasan kulit sehingga mengandung 18% sampai 20% lemak. Karena kadar lemaknya yang tinggi, penggiling khusus seperti Alpine Fine Impact Mill harus digunakan 3. Tepung kedelai rendah lemak (low-fat soy flour) dibuat dengan menambahkan kembali lemak ke tepung kedelai tanpa lemak. Kadar lemak sangat bervariasi tergantung spesifikasi produknya, biasanya antara 4,5% sampai 9% 4. Lecithinated soy flour dibuat dengan menambahkan lesitin kedelai pada ketiga jenis tepung yang lain untuk meningkatkan kelarutan dan sifat emulsifikasinya. Kadar lesitin bervariasi sampa 15%. Penggunaan tepung kedelai secara langsung sebagai bahan pengkapsul sangat jarang. Biasanya yang digunakan adalah produk turunannya yakni isolat protein kedelai atau lesitin kedelai. Soottitantawat et al. (2000) menyatakan bahwa gum
arab,
polisakarida
larut
air
dari
kedelai
(soybean
water-soluble
polysaccharides / SSPS) atau pati termodifikasi dicampur dengan maltodekstrin dapat digunakan sebagai bahan pengkapsul untuk mikroenkapsulasi flavor. Perisa d-Limonene, etil butirat, dan etil propional digunakan sebagai model dalam penelitiannya sedangkan SSPS yang merupakan emulsifier tipe baru diekstraksi dan dimurnikan dari kedelai dan diproduksi oleh Fuji Oil Chemical Co., Ltd dengan merek SOYAFIBE-S. Baptista et al. (2003) menggunakan lesitin kedelai komersial yang mengandung 22% phosphatidylcholine untuk menenkapsulasi pewarna Rhodamine 6G. Penggunaan lesitin kedelai sangat dipengaruhi pH di mana pada kondisi asam, pelarutan mikrokapsul pewarna terjadi sangat cepat dibandingkan pada kondisi basa.
5. Tepung Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata) atau dikenal juga dengan nama mung bean merupakan tanaman polong-polongan dengan biji kecil, bulat, berkulit hijau dan berwarna kuning di bagian dalamnya. Kacang hijau berasal dari India–Myanmar
dan umumnya tumbuh di Asia, Afrika, America Selatan dan Utara, dan Australia. Bijinya dapat dijadikan pasta dengan cara dikupas, dimasak, dan dihancurkan. Rasanya manis seperti pasta kacang merah dengan aroma mendekati aroma buncis. Tepungnya dapat dibuat dengan menghancurkan bijinya tanpa pengupasan kulit. Tepung kacang hijau dapat diolah lebih lanjut menjadi produk turunannya seperti pati kacang hijau yang dibentuk seperti bihun, bahkan es krim. (US Department of Agriculture, 2001). Kandungan kacang hijau setara dengan anggota kacang-kacangan yang lain, dengan protein 24%, lemak 1%, 63% karbohidrat, dan 16% serat pangan (US Department of Agriculture, 2001). Kandungan proteinnya kekurangan asam amino bersulfur dan biji mentahnya mengandung inhibitor tripsin (Khader & Rao, 1996). Tepung kacang hijau berpotensi sebagai bahan pengkapsul karena mengandung kadar protein yang cukup tinggi. Namun selama ini belum ada penelitian yang menggunakan tepung kacang hijau sebagai bahan pengkapsul secara langsung.
III. METODOLOGI
A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai bulan September 2009 di Laboratorium Penelitian dan Bangsal Minyak Atsiri Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, Departemen Pertanian RI, serta Laboratorium L3 dan Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. B. BAHAN DAN ALAT PENELITIAN Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama lada hitam (Piper nigrum L.) yang berasal dari tanaman berumur sekitar 6-7 tahun yang diperoleh dari daerah Lampung dan Banten. Lada hitam ini kemudian diekstrak untuk diambil oleoresinnya. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah maltodekstrin (DE 15-20), natrium kaseinat (New Zealand), dan susu skim, tepung kacang kedelai, dan tepung kacang hijau sebagai bahan pengkapsul. Bahan kimia yang digunakan adalah heksana, toluena, alkohol 96%, akuades, dan bahan-bahan analisis. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain wadah stainles steel, mesin pengaduk, kertas saring, pin disk mill, vacum evaporator, spray dryer (Lab Plant SD-05), rotary vacuum evaporator (Buchi R-114), neraca digital, Scanning Electron Microscope (JEOL JSM-5310LV-20 kV), oven, neraca analitik, alat destilasi (labu clevenger), homogenizer, termometer, hot plate, dan alat-alat gelas untuk kebutuhan analisis.
C. TAHAPAN PENELITIAN 1. Ekstraksi Oleoresin dari Lada Hitam Ekstraksi oleoresin dilakukan dengan metode maserasi. Lada hitam yang telah dikeringkan, dihancurkan dengan pin disk mill, sampai menjadi bubuk lada berukuran 30-40 mesh. Bubuk lada dicampur dengan larutan etanol 96% dalam wadah stainles steel (perbandingan lada:etanol = 1:6) dan diaduk dengan mesin pengaduk selama 2 jam, 250 rpm. Campuran didiamkan selama 24 jam kemudian disaring dengan kain kasa dan kertas saring kasar sehingga diperoleh ampas dan filtrat. Pelarut dalam filtrat diuapkan dengan vacum evaporator pada
suhu 40-50oC dan tekanan ±16 cmHg hingga pelarut menguap dan diperoleh oleoresin lada yang berbentuk kental. Oleoresin ditampung dalam botol kaca berwarna gelap kemudian disimpan dalam lemari es. Diagram alir ekstraksi oleoresin dapat dilihat pada Gambar 5. Lada Hitam Kering
Dihaluskan (30-40 mesh) Etanol 96% (1:6) Ektraksi 2 jam, suhu ruang
Didiamkan selama 24 jam Penyaringan Ampas Filtrat
Penguapan (vacuum evaporator)
Pelarut
Oleoresin Gambar 5. Diagram alir ekstraksi oleoresin lada hitam 2. Penelitian Pendahuluan : Penentuan Bahan Pengkapsul Bahan pengkapsul yang akan digunakan ditentukan berdasarkan studi pustaka dan metode trial and error. Hasil penelitian tahap ini akan digunakan untuk tahap selanjutnya yakni penentuan komposisi bahan pengkapsul. Perlakuan pada tahap ini adalah sebagai berikut: maltodekstrin digunakan sebagai bahan pengkapsul dikombinasikan dengan bahan protein dengan proporsi maltodekstrin : protein di dalam bahan protein sebesar 99:1 (1% basis protein), 98:2 (2% basis protein) dan 97:3 (3% basis protein). Jenis bahan protein yang digunakan yaitu susu skim, tepung kacang kedelai, dan tepung
kacang hijau. Total penggunaan bahan pengkapsul (total maltodekstrin dan protein di dalam bahan protein) sebanyak 10% dari total campuran (emulsi). Oleoresin yang digunakan sebanyak 1% dari total berat emulsi. Emulsi merupakan campuran bahan pengkapsul dan oleoresin yang ditambahkan akuades hingga 100%. Mikrokapsul yang dihasilkan pada tahap ini selanjutnya dianalisis rendemen, kadar air, kadar minyak atsiri, dan surface oil-nya. Berdasarkan parameter tersebut akan ditentukan bahan pengkapsul terpilih untuk penelitian tahap 3. Rincian perhitungan komposisi bahan pengkapsul pada tahap ini diuraikan pada Lampiran 1a.
3. Penelitian Utama : Penentuan Komposisi Bahan Pengkapsul Bahan pengkapsul terpilih berdasarkan penelitian pendahuluan yakni susu skim digunakan dalam penelitian tahap ini. Maltodekstrin dikombinasikan dengan susu skim dan natrium kaseinat sebagai bahan proteinnya. Tepung kedelai dan tepung kacang hijau tidak digunakan karena berdasarkan penelitian pendahuluan, keduanya kurang baik digunakan sebagai bahan pengkapsul. Natrium kaseinat digunakan sebagai bahan protein pembanding karena berdasarkan penelitian Desmawarni (2007) baik digunakan sebagai bahan protein pengkapsul. Setiap kom-binasi bahan pengkapsul memiliki proporsi maltodekstrin : bahan protein pengkapsul serta konsentrasi bahan pengkapsul tertentu. Oleoresin yang digunakan sebanyak 1% dari total berat emulsi seperti pada penelitian pendahuluan. Perlakuan dan perhitungan komposisi bahan pengkapsul dapat dilihat pada bab Perlakuan. Mikrokapsul yang dihasilkan pada tahap ini dianalisis rendemen, kadar air, kadar minyak atsiri, kadar surface oil, derajat keasaman dan kelarutannya. Berdasarkan parameter tersebut, ditentukan komposisi bahan pengkapsul yang efektif. Tahapan proses mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam dengan metode spray drying adalah sebagai berikut:
Maltodekstrin dan bahan protein
Pencampuran kering
Homogenisasi (6000 rpm, 15 menit)
Akuades
Didiamkan selama semalam Suspensi bahan pengkapsul Homogenisasi (6000 rpm, 15 menit)
Oleoresin lada hitam
Emulsi Spray Drying Suhu inlet 170oC, Suhu outlet 90oC100oC, laju alir bahan 15- 17 ml/menit Bubuk mikrokapsul Gambar 6. Diagram alir proses mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam D. PERLAKUAN Perlakuan untuk penelitian pendahuluan adalah sebagai berikut : a. Jenis bahan protein : 1. Susu skim 2. Tepung kedelai 3. Tepung kacang hijau b. Penggunaan bahan protein pengkapsul (maltodekstrin : protein dalam bahan protein) 1. 1% : maltodekstrin : protein dalam bahan protein = 99 : 1 2. 2% : maltodekstrin : protein dalam bahan protein = 98 : 2 3. 3% : maltodekstrin : protein dalam bahan protein = 97 : 3
Perlakuan untuk penelitian utama adalah sebagai berikut. Masing-masing formula bahan pengkapsul memiliki proporsi maltodekstrin : protein dalam bahan protein sebesar 95:5, 90:10, 85:15 dan 80:20 sedangkan konsentrasi bahan pengkapsul (maltodekstrin dan protein) sebanyak 10% dan 12,5% dari total campuran (emulsi). Oleoresin yang digunakan sebanyak 1% dari total berat emulsi. Formulasi perlakuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Perlu diingat bahwa penggunaan bahan protein yang digunakan sebagai bahan pengkapsul dihitung berdasarkan berat proteinnya. Selain itu, perlu diperhatikan bahwa perlakuan pada penelitian utama kali ini menitikberatkan pada jenis bahan protein, proporsi maltodekstrin dengan protein, dan konsentrasi bahan pengkapsul. Persentase maltodekstrin, bahan protein, dan total bahan pengkapsul pada Tabel 8 hanya untuk memperjelas penggunaan bahan-bahan tersebut berdasarkan total berat emulsi. Tabel 8. Formulasi perlakuan pada penelitian utama
Perlakuan
Jenis Bahan Protein
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
susu skim susu skim susu skim susu skim susu skim susu skim susu skim susu skim Na-kaseinat Na-kaseinat Na-kaseinat Na-kaseinat Na-kaseinat Na-kaseinat Na-kaseinat Na-kaseinat
Proporsi maltodekstrin : Konsentrasi protein dalam bahan protein bahan Bahan Total bahan Maltodektrin pengkapsul protein pengkapsul Protein (%) 2) Maltodekstrin (X+Y) (%)3) (%)4) dalam bahan (X) (%)1) protein (Y) 95 5 10 9,5 2,2 11,7 90 10 10 9,0 4,4 13,4 85 15 10 8,5 6,6 15,1 80 20 10 8,0 8,8 16,8 95 5 12,5 11,9 2,7 14,6 90 10 12,5 11,3 5,5 16,7 85 15 12,5 10,6 8,2 18,8 80 20 12,5 10,0 10,9 20,9 95 5 10 9,5 0,5 10,0 90 10 10 9,0 1,1 10,1 85 15 10 8,5 1,6 10,1 80 20 10 8,0 2,2 10,2 95 5 12,5 11,9 0,7 12,6 90 10 12,5 11,3 1,4 12,6 85 15 12,5 10,6 2,1 12,7 80 20 12,5 10,0 2,7 12,7
1) Konsentrasi bahan pengkapsul didapat dari penjumlahan maltodekstrin (X) dan protein (Y). Persentase konsentrasi bahan pengkapsul berdasarkan berat total emulsi. 2) Persentase berdasarkan berat total emulsi. 3) Persentase bahan protein dihitung dengan membagi berat protein yang dibutuhkan dengan kadar protein bahan protein, yakni 22,4% untuk susu skim dan 91,0% untuk Na-kaseinat. Persentase bahan protein berdasarkan berat total emulsi. 4) Total bahan pengkapsul didapat dengan menjumlahkan berat maltodekstrin dan bahan protein. Persentase berdasarkan berat total emulsi.
E. METODE ANALISIS 1. Rendemen Oleoresin Rendemen dihitung berdasarkan bobot oleoresin yang dihasilkan oleh alat evaporator dibandingkan dengan bobot total serbuk lada hitam yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan oleoresin. Rendemen oleoresin ditentukan sebagai berikut Rendemen = 2. Rendemen Mikrokapsul Rendemen dihitung berdasarkan berat mikrokapsul yang dihasilkan oleh alat spray dryer dibandingkan dengan total padatan bahan emulsi (bahan pengkapsul dan oleoresin). Kadarnya ditentukan sebagai berikut Rendemen = 3. Kadar Air Metode Destilasi Azeotropik (AOAC, 1980) Sampel mikrokapsul ditimbang sebanyak sekitar 10 gram (a) dan dimasukkan dalam labu didih kemudian ditambah 60-100 ml toluen. Labu destilasi kemudian dipasang pada alat destilasi khusus dengan penampung air. Destilasi dilakukan sampai semua air menguap dan air dalam wadah tidak bertambah lagi (± 1-1,5 jam). Setelah destilasi, volume air yang tertampung dicatat. Volume air (b) dibaca dan dihitung kadar air sampel dari berat sampel dengan memperhatikan nilai faktor destilasi (FD) setiap kali analisis dilakukan. Kadar air =
x FD x 100% ;
FD =
4. Kadar Minyak Atsiri Mikrokapsul Metode Hidrodestilasi Clevenger (Rennecius, 1988) Sampel mikrokapsul sebanyak 50 gram (a) dicampur dangan air destilata 500 ml dalam sebuah labu 1 liter kemudian ditambahkan batu didih. Sampel didestilasi selama 5 jam dan minyak atsiri yang tertampung dicatat volumenya. Bobot minyak (b) diperoleh dari hasil perkalian volume minyak atsiri dengan bobot jenisnya. Kadar minyak atsiri dinyatakan dalam basis kering setelah dikurangi kadar airnya (%KA). Kadar Minyak Atsiri =
x 100%
5.
Kadar Surface Oil atau Kadar Minyak di Permukaan (Kombinasi Bhandari et al.., 1999 dengan Ketaren, 1986) Surface oil merupakan parameter yang menunjukkan besarnya oleoresin yang tidak dapat terkapsulkan atau yang melekat di permukaan kapsul. Sampel mikrokapsul sebanyak 10 gram (a) dilarutkan (dicuci) dalam 10 ml heksan selama kurang lebih 10 detik. Hasil pencucian selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring dan fitratnya ditampung dalam labu evaporasi yang telah diketahui bobot tetapnya (b). Selanjutnya dilakukan tiga kali pencucian dengan membilas bagian sampel yang ada pada kertas saring dengan heksan masing-masing 10 ml. Semua filtrat yang diperoleh diuapkan dengan rotary vacuum evaporator pada suhu 60ºC. Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven 85ºC selama 30 menit. Bobot labu akhir (c) ditimbang dan dihitung selisihnya. Minyak yang terdapat pada labu dihitung sebagai surface oil. Kadar surface oil =
6.
x 100%
Kelarutan Dalam Air Metode Gravimetri (AOAC, 1984 dengan modifikasi) Bahan ditimbang sebanyak 1 gram (a) dan dilarutkan dalam 20 ml air destilata kemudian disaring dengan memakai pompa vakum dan kertas saring Whatman no. 42. Sebelum digunakan, kertas saring dikeringkan dalam oven 105oC selama 30 menit dan ditimbang (b). Setelah penyaringan, kertas saring dikeringkan kembali dalam oven selama 1 jam pada suhu 105oC. Stelah itu, kertas saring didinginkan didesikator kemudian ditimbang sampai tercapai bobot tetap (c). Kelarutan dalam air =
7. Derajat Keasaman / pH (AOAC, 1984) Sampel bubuk yang homogen ditimbang tepat 1 gram. Kemudian ditambah 10 ml akuabides (konsentrasi sampel = 10%). Campuran dibiarkan selama 1 jam supaya mengendap, sampel kemudian diukur pH-nya dengan pHmeter yang telah dikalibrasi dengan larutan buffer pH 4 dan pH 7.
8. Analisis dengan Scanning Electron Microscope Analisis scanning electron microscope (SEM) dilakukan dengan alat JEOL JSM-5310LV. Beberapa butir mikrokapsul yang ingin diuji diletakkan pada plat tembaga berbentuk silinder. Selanjutnya mikrokapsul disalut (coating) dengan lapisan ion emas murni (Au) setebal 1-2 μm selama 15 menit. Selanjutnya butir mikrokapsul diletakkan di dalam alat SEM. Perbesaran obyek dilakukan 1000 sampai 2000 kali. Prinsip kerja dari SEM adalah pancaran cahaya elektron dengan fokus sangat tajam disapukan pada sampel sehingga elektron sekunder. Elektron yang terpental kembali lalu menyebar dan memancarkan sinar X. Sinyal-sinyal ini dideteksi terus menerus selama pancaran cahaya elektron menyapu permukaan obyek. Sinyal elektron sekunder menghasilkan gambar permukaan elektron yang terpental kembali lalu menyebar menghasilkan distribusi komposisi dan karakter dari sinar X sehingga menghasilkan distribusi elemen yang terdapat pada obyek.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. EKSTRAKSI OLEORESIN LADA HITAM Oleoresin lada hitam yang dihasilkan dalam tahap ini berupa pasta kental yang berwarna hitam kecoklatan. Bila dibandingkan dengan persyaratan mutu dalam SNI, oleoresin lada hitam yang dihasilkan tidak terlalu baik. Hal ini terlihat dari kadar minyak atsiri oleoresin hasil percobaan yang jauh lebih rendah (6,60 %v/b) dibandingkan yang disyaratkan dalam SNI (10,0 %v/b). Rendahnya kadar minyak atsiri ini kemungkinan karena kehilangan komponen volatil selama proses pembuatannya. Kehilangan komponen minyak atsiri sudah dimulai saat persiapan bahan baku yakni pengeringan dan penggilingan, serta saat evaporasi pelarut. Menurut Purseglove et al. (1981) oleoresin yang baik adalah yang mempunyai kandungan minyak atsiri yang tinggi dan kehilangan komponan kimia seminimum mungkin. Rendahnya kadar minyak atsiri juga berkaitan dengan rendahnya rendemen. Rendemen oleoresin yang dihasilkan adalah 12,3%. Nilai ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Sufni (2001) dengan metode yang sama, yakni sebesar 17,66%. Rendemen oleoresin yang dihasilkan tergantung beberapa faktor antara lain metode ekstraksi, jenis pelarut, suhu ekstraksi dan derajat kehalusan partikel. Jumlah pelarut juga mempengaruhi jumlah oleoresin yang dihasilkan. Semakin besar volume pelarut, jumlah oleoresin semakin banyak sehingga hasilnya akan bertambah sampai pada titik kejenuhan (Suryandari, 1981). Karakterisitik oleoresin hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Karakterisitik lada hitam oleoresin hasil percobaan. Parameter
Karakterisik oleoresin lada hitam hasil percobaan Penampakan Kental, berwarna hitam kecoklatan Aroma Khas lada Rendemen 12,3% Kadar minyak atsiri 6,60 %v/b atau 5,93 %b/b BJ minyak atsiri 0,8987 *) SNI 0025-1987-B
Persyaratan mutu oleoresin lada *) Pasta cair/ kental berwarna coklat, coklat kehijauan Khas lada 10,0 % v/b minimal -
B. PENENTUAN BAHAN PENGKAPSUL Langkah yang penting dalam mengembangkan produk mikrokapsul adalah pemilihan bahan pengkapsul yang sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan misalnya kekuatan mekanik, kesesuaian dengan produk pangan, kesesuaian dengan kondisi termal proses dan pelepasan zat terkapsulkan, ukuran partikel, dan lain-lain (Brazel, 1999). Desmawarni (2007) melaporkan bahwa kombinasi maltodekstrin dengan natrium kaseinat sangat baik digunakan dalam mikroenkapsulasi oleoresin jahe dibandingkan dengan gum arab. Penelitian pada tahap ini menguji beberapa bahan protein lain untuk dikombinasikan dengan maltodekstrin sebagai bahan pengkapsul oleoresin lada hitam. Hal ini bertujuan mencari alternatif bahan protein selain natrium kaseinat. Bahan protein yang digunakan yakni tepung kacang kedelai, tepung kacang hijau, dan susu skim bubuk. Perlakuan dan proses pembuatan mikrokapsul pada tahap ini telah dijelaskan dalam bab metodologi. Emulsi yang telah dibuat, dispray drying dengan kondisi suhu inlet 170oC dan laju aliran bahan antara 15-17 ml/menit. Kondisi spray drying ini dinilai baik untuk proses mikroenkapsulasi karena bila emulsi dispray drying pada suhu di bawah 160 oC, mikrokapsul tidak kering sempurna. Sebaliknya jika pengeringan dilakukan pada suhu di atas 170 oC, produk jadi terlalu kering dan suhu outlet bisa diatas 110oC sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerusakan pada produk. Laju alir umpan yang lebih tinggi dari 20 ml/menit menyebabkan produk masih basah dan lengket sedangkan emulsi tidak dapat tersedot pada laju alir umpan di bawah 15 ml/menit. Mikrokapsul yang dihasilkan diukur rendemen, kadar air, kadar minyak atsiri dan surface oil-nya.
1.
Rendemen mikrokapsul Variasi jenis bahan protein pengkapsul mempengaruhi nilai rendemen mikrokapsul yang beragam seperti yang terlihat pada Gambar 7. Secara keseluruhan, mikrokapsul dengan bahan protein pengkapsul susu skim memiliki rendemen yang lebih tinggi dari pada mikrokapsul dengan bahan pengkapsul yang lain. Rendemen mikrokapsul dengan bahan pengkapsul susu skim berkisar diatas 70%. Mikrokapsul dengan bahan protein susu skim 2% memiliki rendemen tertinggi di antara mikrokapsul yang lain yakni 72,33%. Rendemen
yang paling rendah dimiliki oleh mikrokapsul dengan komposisi bahan pengkapsul tepung kacang hijau 3% yakni 55,56%.
Rendemen (%)
Rendemen Mikrokapsul 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Susu Skim Tepung Kedelai Tepung Kacang Hijau
1 2 3 Persentase Bahan Protein (% protein)
Gambar 7. Rendemen mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi bahan pengkapsul Penggunaan susu skim sebanyak 1% – 3% sebagai bahan protein pengkapsul tidak memberi pengaruh terhadap rendemen. Namun rendemen mikrokapsul dengan bahan pengkapsul tepung kedelai dan tepung kacang hijau cenderung
menurun
seiring
peningkatan
persentase
pemakaian
bahan
proteinnya. Penggunaan tepung kedelai dan tepung kacang hijau dapat menurunkan rendemen karena pemakaiannya dapat menaikkan viskositas emulsi seiring dengan peningkatan penggunaan bahan protein pengkapsul sehingga mempersulit kerja spray dryer. Selain itu suspensi bahan pengkapsul dengan menggunakan tepung kedelai dan tepung kacang hijau juga tidak larut sempurna dan menghasilkan endapan yang dapat menghambat proses mikroenkapsulasi. Menurut Young et al. (1993), bahan-bahan pengkapsul yang digunakan dalam spray drying harus memiliki kelarutan yang tinggi dan memiliki kemampuan membentuk emulsi. Selain itu, bahan pengkapsul juga harus dapat membentuk lapisan film dan menghasilkan larutan dalam konsentrasi tinggi dengan viskositas
rendah.
Mikrokapsul
dengan
bahan
pengkapsul
kombinasi
maltodekstrin dan susu skim lebih baik daripada mikrokapsul dengan tepung kedelai dan tepung kacang hijau dari segi rendemen.
2. Kadar Air Kadar air menjadi salah satu parameter utama yang menentukan kualitas produk mikrokapsul yang bersifat kering. Kadar air yang rendah dapat mencegah tumbuhnya mikroba yang dapat merusak produk. Hasil pengukuran kadar air mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi bahan pengkapsul dapat dilihat pada Gambar 8.
Kadar Air
Kadar Air (%)
6.0 5.0
Susu Skim
4.0
Tepung Kedelai
3.0
Tepung Kacang Hijau
2.0 1.0 0.0 1 2 3 Persentase Bahan Protein (% protein)
Gambar 8. Kadar air mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi bahan pengkapsul Gambar 8 menunjukkan bahwa kadar air tertinggi dimiliki oleh mikrokapsul dengan tepung kacang hijau 2% dan 3% sebagai bahan protein pengkapsul, yakni 5,40% dan 5,19%. Kadar air mikrokapsul dengan susu skim 1%, 2%, dan 3% tidak terlalu berbeda satu sama lain yakni di bawah 5%. Kadar air mikrokapsul dengan kacang kedelai juga berada di bawah 5% namun memiliki kecenderungan meningkat bila pemakaian tepung kedelai bertambah. Kadar air yang tinggi pada mikrokapsul dengan tepung kacang hijau berkaitan dengan ukuran partikel bahan pengkapsul dan emulsi saat dikeringkan. Ukuran partikel bahan pengkapsul dengan kacang hijau diperkirakan masih cukup besar, terlihat dengan banyaknya endapan pada suspensi mikrokapsul. Ukuran partikel yang besar menyebabkan ukuran droplet mikrokapsul saat memasuki ruang pengering juga besar. Hal ini menyebabkan pengeringan tidak optimal, partikel hasil pengeringan menjadi berat, dan kontak bahan dengan udara pengering lebih singkat. Pada proses spray drying, diameter droplet emulsi sebaiknya antara 1–100 μm. Sebelum proses spray drying, emulsi harus
stabil selama beberapa saat (Liu et al., 2001). Viskositas yang tinggi berpengaruh pada tahap atomisasi dan mendorong pembentukan droplet yang besar yang berefek pada laju pengeringan (Rosenberg et al., 1990).
3. Kadar Minyak Atsiri Kadar minyak atsiri adalah banyaknya minyak atsiri yang terdapat pada produk mikrokapsul baik yang terenkapsulasi maupun yang berada di permukaan mikrokapsul. Pengukuran kadar minyak atsiri pada produk mikrokapsul oleoresin adalah salah satu pendekatan kuantitatif untuk mengetahui seberapa banyak oleoresin yang terkapsulkan dengan asumsi meningkatnya kadar minyak atsiri berarti meningkat pula kadar oleoresin yang dikandung mikrokapsul. Mikrokapsul dinilai baik bila kadar minyak atsirinya tinggi. Gambar 9 berikut memperlihatkan kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan variasi bahan pengkapsul.
Kadar Miyak Atsiri (%BK)
Kadar Minyak Atsiri 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
Susu Skim Tepung Kedelai Tepung Kacang Hijau
1 2 3 Persentase Bahan Protein (% protein)
Gambar 9. Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan variasi bahan pengkapsul. Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan jenis bahan protein dan komposisi yang berbeda terlihat bervariasi yakni mulai 0,61% sampai 0,82%. Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan susu skim meningkat pada pemakaian susu skim 2% dan konstan nilainya pada pemakaian susu skim 3%. Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan tepung kedelai dan tepung kacang hijau meningkat pada pemakain bahan protein 2% kemudian menurun pada pemakaian bahan protein sebesar 3%.
Kemampuan bahan dalam mengemulsi minyak yang terkandung dalam oleoresin diperkirakan menyebabkan kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan bahan pengkapsul susu skim sedikit lebih tinggi daripada mikrokapsul yang lain. Menurut Reineccius (1988), bahan pengkapsul untuk mikroenkaspulasi dengan spray drying harus memilki sifat emulsifikasi yang baik dan kemampuan membentuk film (film forming). Susu skim mengandung protein whey yang berfungsi
sebagai
pengemulsi
dan
agen
pembentuk
film
(Sheu
&
Rosenberg,1998). Selain kemampuan mengemulsi, ukuran partikel bahan juga mempengaruhi kadar minyak atsiri produk. Tepung kedelai dan kacang hijau secara visual memiliki ukuran partikel yang lebih besar dan kasar dibanding susu skim. Hal ini menyababkan bahan pengkapsul tidak larut sempurna dan komponen protein yang dikandungnya tidak dapat berfungsi maksimal. Bahan pengkapsul tepung kedelai menghasilkan mikrokapsul yang berkadar minyak atsiri lebih tinggi daripada tepung kacang hijau. Kandungan lesitin dalam kedelai menyebabkan proses emulsifikasi berlangsung lebih baik. Madene et al. (2005) melaporkan bahwa lesitin memiliki salah satu karakteristik utama sebagai bahan pengkapsul. Lesitin komersial juga digunakan sebagai bahan pengkapsul pewarna Rhodamin 6G (Baptista et al., 2003).
4. Kadar Surface oil Kadar surface oil merupakan parameter yang menunjukkan banyaknya minyak yang tidak dapat terkapsulkan atau yang melekat di permukaan mikrokapsul. Nilai surface oil sangat penting untuk diketahui karena dapat digunakan untuk melihat seberapa banyak oleoresin dapat terkapsulkan secara sempurna. Mikroenkapsulasi bertujuan melindungi bahan inti dari kerusakan dan penguapan. Dengan kata lain minyak atau oleoresin yang tak terkapsulkan akan lebih mudah mengalami kerusakan, penguapan, dan oksidasi sehingga menurunkan mutu mikrokapsul (Shahidi & Han, 1993). Kadar surface oil mikrokapsul dengan variasi bahan pengkapsul dapat dilihat pada Gambar 10 dan Lampiran 2.
Kadar Surface Oil Kadar Surface Oil (%BK)
3.00
Susu Skim
2.50
Tepung Kedelai
2.00 Tepung Kacang Hijau
1.50 1.00 0.50 0.00
1 2 3 Persentase Bahan Protein (% protein)
Gambar 10. Kadar surface oil mikrokapsul dengan berbagai variasi bahan pengkapsul Kadar surface oil tertinggi diperoleh dari mikrokapsul dengan bahan tepung kedelai 1% yakni 2,74%. Nilai ini kemudian menurun pada pemakaian tepung kedelai 2% dan 3% yakni 1,95% dan 1,05%. Pada penggunaan tepung kacang hijau dan susu skim kecenderungannya sama yakni menurun. Tetapi penurunan kadar surface oil mikrokapsul dengan susu skim lebih tajam dibanding mikrokapsul dengan tepung kacang hijau. Kadar surface oil terendah bahkan diperoleh dari mikrokapsul dengan susu skim 3% yakni 0,58%. Susu skim yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar protein 22,84% sedangkan tepung kedelai dan tepung kacang hijau yang digunakan mengandung protein sebesar 38,25% dan 22,32%. Namun jumlah protein yang terkandung dalam bahan pengkapsul bukanlah penyebab perbedaan kadar surface oil karena pemakaian bahan protein pengkapsul telah diperhitungkan berdasarkan kadar proteinnya, sehingga jumlah protein dianggap sama untuk setiap perlakuan. Perbedaan kadar surface oil ini lebih berkaitan dengan sifat dan jenis protein dalam bahan pengkapsul yang digunakan. Kadar surface oil mikrokapsul dengan susu skim lebih rendah dari pada yang lain. Hal ini karena protein dalam susu lebih bebas keberadaannya daripada protein dalam bahan lain. Protein dalam tepung kedelai dan tepung kacang hijau keberadaannya terikat oleh komponen lain terutama karbohidrat (pati) yang terkandung di dalamnya. Kandungan protein yang bebas pada susu skim menyebabkan protein mudah
larut dalam sistem emulsi sehingga lebih mudah pula berinteraksi dengan minyak dari oleoresin. Susu skim mengandung protein kasein dan whey. Kandungan protein kasein yang tinggi dalam susu skim menurunkan tegangan permukaan antara dua fase sehingga dapat menstabilkan sistem emulsi. Kasein terdapat pada susu dalam bentuk partikel koloidal yakni misel. Kasein menyusun 76-86% dari total protein susu skim (Thompson, et. al, 1965). Protein whey juga dapat menjadi bahan pengkapsul yang baik bila digunakan dalam bentuk konsentrat dan isolat (Young et al., 1993). Meskipun bukan dalam bentuk konsentrat maupun isolat, kandungan whey dalam susu skim setidaknya cukup banyak yakni sekitar 1424% (Roginski et al., 2003) sehingga dapat membantu pengkapsulan oleoresin. Bila dicermati lebih jauh, kadar surface oil dapat pula dihubungkan dengan kadar minyak atsiri pada Lampiran 2. Hampir semua kadar surface oil pada setiap perlakuan lebih tinggi daripada kadar minyak atsirinya. Hanya mikrokapsul dengan susu skim 3% yang kadar surface oil-nya lebih rendah daripada kadar minyak atsirinya. Bahkan kadar surface oil mikrokapsul dengan kedelai 1% mencapai 3,5 kali kadar minyak atsirinya. Hal ini menunjukkan bahwa heksana yang digunakan dalam analisis surface oil tidak hanya mengekstrak minyak atsiri pada produk mikrokapsul tetapi juga turut mengekstrak komponen oleoresin lainnya. Ini menunjukan bahwa pengkapsulan berjalan kurang sempurna sehingga mikrokapsul yang dihasilkan tidak mampu melindungi oleoresin yang ada. Secara keseluruhan, tepung kedelai dan tepung kacang hijau dinilai kurang baik sebagai bahan pengkapsul bila dibandingkan dengan susu skim dari segi rendemen, kadar minyak atsiri, dan kadar surface oilnya. Susu skim dinilai lebih berpotensi sebagai bahan pengkapsul sehingga nantinya akan digunakan sebagai bahan protein pengkapsul pada penelitian utama.
C. PENENTUAN KOMPOSISI BAHAN PENGKAPSUL Penelitian pada tahap ini mengkaji mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam menggunakan bahan pengkapsul susu skim dan natrium kaseinat yang masingmasing akan dikombinasikan dengan maltodekstrin. Perlakuan pada tahap ini telah
dijelaskan pada bab metodologi. Penentuan konsentrasi bahan pengkapsul juga ditentukan dengan metode trial-error. Menurut Reineccius (1988), meningkatnya konsentrasi bahan pengkapsul akan meningkatkan retensi bahan aktif. Namun demikian, ada titik optimum dimana konsentrasi bahan pengkapsul akan menurunkan retensi dan menghambat proses pengeringan. Pemilihan konsentrasi bahan pengkapsul sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan spray dryer. Total penggunaan bahan pengkapsul pada penelitian pendahuluan adalah sebanyak 10% dari total emulsi. Konsentrasi ini coba ditingkatkan hingga 20%. Nilai viskositas emulsi dengan 20% bahan pengkapsul ternyata mencapai 27 cp padahal spray dryer yang digunakan dalam penelitian ini tidak mampu menghisap emulsi yang viskositasnya di atas 20 cp. Oleh karena itu dilakukan uji coba dengan variasi konsentrasi bahan pengkapsul, dengan pemakaian bahan protein terendah (5% basis protein). Hasil uji viskositas emulsi dengan variasi konsentrasi bahan pengkapsul disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Viskositas emulsi dengan berbagai konsentrasi bahan pengkapsul Konsentrasi Bahan Pengkapsul 20 % 18 % 16 % 14 % 12,5%
Viskositas (cp) 27 27 24 22 20
Keterangan Sulit dispray drying Sulit dispray drying Agak sulit dispray drying Agak sulit dispray drying Dapat dispray drying
Berdasarkan percobaan di atas ditetapkan perlakuan untuk konsentrasi bahan pengkapsul adalah 10% dan 12,5% dari total emulsi. Oleoresin yang digunakan sebanyak 10% dari total berat bahan pengkapsul dan proses mikroenkapsulasi sesuai dengan kondisi pada saat penelitian pendahuluan. 1. Rendemen Secara umum, nilai rendemen mikrokapsul tidak terlalu tinggi, yakni tidak lebih dari 80% (Gambar 11). Hal ini karena banyaknya kehilangan produk selama proses pengolahan. Kehilangan produk telah dimulai sejak pembuatan suspensi bahan pengkapsul dan pembuatan emulsi, yakni adanya bahan yang melekat pada alat homogenizer. Namun kehilangan bahan terbanyak terjadi saat proses spray
drying antara lain tertinggalnya endapan di wadah, selang spray dyrer, dan melekatnya produk di tabung pengering. Kehilangan produk juga terjadi karena mampatnya nozzle spray dryer.
Rendemen Mikrokapsul 80.00
Rendemen (%)
70.00
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
1 2 3 4 A1C1
5 6 7 8 9 10 11 12 A1C2 PerlakuanA2C1
13 14 15 16 A2C2
Gambar 11. Rendemen mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul Rendemen mikrokapsul yang dihasilkan bervariasi dengan nilai tertinggi didapat dari penggunaan natrium kaseinat 20% dan konsentrasi bahan pengkapsul 12,5% (Perlakuan 16) yakni 78,93%. Untuk mikrokapsul dengan bahan pengkapsul susu skim, rendemen tertinggi dihasilkan dari pelakuan 1 dengan rendemen sebesar 73.70%. Mikrokapsul dengan bahan susu skim dan konsentrasi bahan pengkapsul 12,5% (Perlakuan 5 – 8) memiliki rendemen yang lebih rendah dibandingkan perlakuan 1 – 4. Rendahnya rendemen mikrokapsul perlakuan 5 – 8 ini kemungkinan besar disebabkan tingginya viskositas emulsi yang mencapai 22 cp sehingga lebih susah di-spray drying pada kondisi proses yang digunakan. Mikrokapsul dengan bahan protein natrium kaseinat memiliki rendemen rata-rata yang relatif lebih tinggi daripada perlakuan dengan susu skim. Hal ini karena penggunaan bahan pengkapsul yang lebih sedikit dibanding perlakuan susu skim. Bahan pengkapsul yang digunakan lebih sedikit karena tingginya protein natrium kaseinat sehingga hanya dibutuhkan natrium kaseinat sekitar 1/5 berat susu skim untuk mendapatkan protein dengan berat yang sama. Dengan penggunaan bahan pengkapsul yang lebih sedikit, total padatan akan lebih rendah, dan viskositas emulsi akan rendah. Tercatat viskositas emulsi perlakuan dengan
natrium kaseinat berkisar antara 14 sampai 17 cp. Selain itu, kemampuan emulsifikasi yang tinggi dari natrium kaseinat membuat oleoresin terdispersi dengan lebih baik sehingga tidak menghalangi proses spray drying. Berdasarkan hasil percobaan di atas, rendemen mikrokapsul mempunyai kecenderungan meningkat seiring meningkatnya konsentrasi protein yang digunakan. Hal ini karena kemampuan emulsi dinding pengkapsul menjadi lebih baik sehingga minyak dapat dienkapsulasi lebih baik, dengan demikian nilai rendemen akan meningkat. Hal ini terlihat dari mikrokapsul perlakuan 16 yang memiliki rendemen tertinggi karena menggunakan natrium kaseinat dengan jumlah terbanyak sebagai bahan pengkapsulnya. 2. Kadar Minyak Atsiri Kadar minyak atsiri yang dihasilkan dari mikrokapsul nilainya bervariasi mulai dari yang terendah yakni perlakuan 8 (0,47%) hingga yang tertinggi yakni perlakuan 11 (1,31%). Kadar minyak atsiri dari variasi komposisi bahan pengkapsul dapat dilihat pada Gambar 12. Kadar minyak atsiri Kadar Miyak Atsiri (%BK)
1.40 1.20 1.00 0.80
0.60 0.40 0.20 0.00
1 2 3 4 16 A1C1
5 6 7 8 9 10 11 12 A1C2 A2C1 Perlakuan
13 14 15 A2C2
Gambar 12. Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul Berdasarkan Gambar 12 jelas terlihat bahwa kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat lebih tinggi daripada mikrokapsul dengan bahan susu skim. Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan bahan susu skim yang tertinggi sebesar 0,68% (Perlakuan 2), sedangkan kadar minyak mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat nilainya diatas 0,70% . Hal ini berkaitan dengan kemampuan natrium kaseinat sebagai penstabil emulsi minyak
dalam air yang baik. Vega et al. (2005) menyebutkan bahwa natrium kaseinat memiliki kemampuan enkapsulasi yang lebih baik dibandingkan dengan kasein miselar. Hasil ini disebabkan oleh faktor konformasi molekular, difusifitas yang tinggi, dan sifat amfifilik dari kasein secara individual yang memungkinkan distribusi yang lebih baik di sekitar permukaan yang dienkapsulasi dibandingkan dengan kasein miselar. Selain itu, natrium kaseinat dapat menurunkan tegangan permukaan antara dua fase disebabkan adanya karakter ampifilik yang kuat dari komponen utama kasein yakni αS1-Kasein (lebih hidrofilik) dan β-kasein (lebih hidrofobik) (Ruis, 2007). Minyak yang terdispersi dalam larutan bahan pengkapsul akan teremulsi dengan lebih baik. Dengan demikian, kehilangan minyak selama proses pengemulsian atau saat pengeringan dapat diminimalkan. Gambar 12 juga menunjukkan mikrokapsul perlakuan 1 sampai perlakuan 4 menunjukkan kecenderungan yang sama dengan mikrokapsul perlakuan 5 sampai perlakuan 8 dari segi kadar minyak atsiri. Kadar minyak atsiri produk naik dari perlakuan 1 ke perlakuan 2 kemudian menurun pada perlakuan 3 dan mencapai titik terendah pada perlakuan 4. Hal ini disebabkan pada perlakuan 2, enkapsulasi telah terjadi secara optimum. Penambahan bahan protein pengkapsul pada perlakuan 3 dan 4 justru menurunkan kadar minyak atsiri karena mikrokapsul lebih banyak mengandung bahan pengkapsul daripada oleoresinnya. Oleh karena itu, saat dianalisis atau diekstrak minyak atsirinya, mikrokapsul perlakuan 2 menghasilkan minyak atsiri lebih banyak dibanding perlakuan 3 dan 4 pada berat mikrokapsul yang sama. Penggunaan natrium kaseinat sebahai bahan pengkapsul memberikan kecenderungan yang mirip dengan penggunaan susu skim dari segi kadar minyak atsirinya. Perbedaannya, kandungan minyak atsiri paling tinggi dicapai pada perlakuan 11 dan 15 (penggunaan 15% bahan protein) kemudian menurun pada perlakuan 12 dan 16 (penggunaan 20% bahan protein). Kecenderungan di atas berkaitan dengan hubungan antara mekanisme emulsi oleh protein dengan ketersediaannya yang dijelaskan oleh Dickinson et al. (1997) sebagai berikut. Konsentrasi kritis tertentu (c*) dari protein pada fase cair biasanya dibutuhkan untuk menyediakan jangkauan menyeluruh dari droplet emulsi. Meskipun demikian, keberadaan kaseinat yang berlebih (c > c*) dapat
menginduksi terjadinya flokulasi droplet emulsi dan mengakibatkan creaming karena kecenderungan yang kuat dari submisel kasein untuk membentuk partikel protein yang kecil. Di lain sisi, ketika protein terbatas dalam emulsi yang mengandung konsentrasi kaseinat dalam jumah sedikit (c < c*), permukaan minyak menjadi tidak dapat terjangkau semuanya oleh protein yang tersedia, sehingga kasein yang diserap harus berbagi dengan dua atau lebih droplet minyak untuk membuat jembatan flokulasi (Dickinson et al., 1989). Dengan demikian, menjadi sangat penting untuk menentukan emulsi paling optimum yang stabil dengan konsentrasi kaseinat yang dapat memberikan jangkauan menyeluruh terhadap permukaan air dan minyak tanpa kelebihan yang signifikan dari protein tersisa (Dickinson, 1999). Kadar minyak atsiri pada perlakuan 1 hampir sama dengan kadar minyak atsiri mikrokapsul 5. Demikian halnya antara perlakuan 2 dengan 6 dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa, untuk mikrokapsul dengan susu skim, perbedaan konsentrasi bahan pengkapsul (10% dan 12,5%) tidak terlalu berpengaruh terhadap kadar minyak atsiri pada penggunaan susu skim dengan jumlah yang sama. Namun pada mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat, perbedaan konsentrasi bahan pengkapsul (10% dan 12,5%) berpengaruh terhadap kadar minyak atsiri. Mikrokapsul dengan kadar bahan pengkapsul 10% (perlakuan 9 sampai 12) memiliki kadar minyak atsiri yang relatif lebih tinggi dari pada mikrokapsul dengan kadar bahan pengkapsul 12,5% (perlakuan 13 sampai 16). Hal ini kemungkinan terjadi karena tingginya viskositas emulsi saat dispray drying. Tingginya viskositas menyebabkan laju aliran lebih lambat dan menyebabkan kontak bahan dengan udara pengering lebih lama sehingga menyebabkan sebagian bahan inti teruapkan. Pada mikrokapsul perlakuan 13 sampai 16, akuades yang digunakan lebih sedikit. Hal ini juga bisa mendorong penguapan bahan inti karena air yang juga berfungsi sebagai medium pendingin (mencegah bahan inti menguap), berkurang. Secara keseluruhan, berdasarkan kadar minyak atsirinya, natrium kaseinat lebih baik dalam mengkapsulkan oleoresin daripada susu skim. Perlakuan 11 menghasilkan mikrokapsul dengan kadar minyak atsiri tertinggi di antara yang
lain. Namun untuk mikrokapsul dengan susu skim, perlakuan 2 dan perlakuan 4 adalah yang terbaik kadar minyak atsirinya. Lebih jauh, kandungan minyak atsiri mikrokapsul berdasarkan hasil analisis dapat dikaitkan dengan kandungan minyak atsiri dari oleoresin yang digunakan. Produk mikrokapsul dinilai baik kualitasnya apabila kandungan minyak atsiri produk mendekati kandungan minyak atsiri dari oleoresin atau nilai harapan kandungan minyak atsiri. Mikrokapsul yang berkadar minyak atsiri tinggi belum tentu memiliki kualitas pengkapsulan yang baik karena bisa jadi bahan inti yang dienkapsulasi lebih banyak jumlahnya dibanding yang lain atau dari awal memang memiliki kadar minyak yang tinggi. Perbandingan kandungan minyak atsiri mikrokapsul dengan kandungan minyak atsiri oleoresinnya juga dapat digunakan untuk mengkonfirmasi ada tidaknya kesalahan analisis kadar minyak atsiri, yaitu penyimpangannya dari nilai harapan. Dalam hal ini, nilai harapan dinyatakan bernilai 100%. Bila nilai kandungan minyak atsiri produk kurang atau lebih dari nilai harapan berarti terjadi kesalahan kandungan minyak atsiri. Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 3a), nilai perbandingan minyak atsiri ada yang kurang dari 100% dan ada yang jauh melebihi 100% sehingga diperkirakan terjadi kesalahan kandungan minyak atsiri. Kesalahan kandungan minyak atsiri dapat dilihat pada Gambar 13.
Nilai temuan minyak atsiri (%)
Kesalahan Kandungan Minyak Atsiri 150.0 140.0 130.0 120.0 110.0 100.0 90.0 80.0
1 2 3 4 70.0 16
5 6 7 8
9 10 11 12
13 14 15
Perlakuan
Gambar 13. Kesalahan kandungan minyak atsiri Untuk mikrokapsul dengan susu skim (perlakuan 1 – 8), nilai Perbandingan minyak atsirinya masih dapat dikatakan normal karena hanya sedikit melebihi angka 100%. Namun untuk mikrokapsul dengan bahan
pengkapsul natrium kaseinat, nilai perbandingan minyak atsirinya sangat jauh di atas 100%, terutama pada mikrokapsul perlakuan 9 – 11 dan perlakuan 15. Kesalahan kandungan minyak atsiri terutama disebabkan oleh dua hal yakni (1) pada saat preparasi emulsi dan (2) saat analisis kadar minyak atsiri. Preparasi emulsi yang tidak homogen menyebakan produk yang dihasilkan juga tidak akan homogen. Hal ini menyebabkan kandungan minyak atsiri hasil analisis bisa lebih besar atau lebih kecil dari pada yang seharusnya. Berdasarkan Gambar 13, mikrokapsul dengan bahan pengkapsul natrium kaseinat memilki kesalahan kandungan minyak atsiri yang tinggi. Tingginya kesalahan kandungan minyak atsiri diperkirakan karena sistem emulsinya yang kurang homogen. Beberapa faktor pada saat analisis kadar minyak atsiri turut menyebebkan kesalahan kandungan minyak atsiri. Faktor-faktor tersebut antara lain kesalahan penimbangan, produk yang kurang homogen, sampling error, dan kesalahan analis saat destilasi minyak atsiri. Faktor yang paling berpengaruh kemungkinan adalah saat destilasi minyak atsiri. Volume minyak atsiri yang terukur dalam alat destilasi berkisar antara 0,3 – 0,6 ml. Jumlah ini dinilai sangat sedikit mengingat skala tabung penampung minyak atsiri cukup kecil. Selain itu, pembacaan volume minyak atsiri terdestilasi dilakukan dengan membaca dua meniskus sehingga meningkatkan resiko kesalahan saat analisis.
3. Surface oil (Kadar minyak di permukaan) Kadar surface oil yang dihasilkan nilainya bervariasi akibat komposisi bahan pengkapsul yang berbeda-beda. Kadar surface oil tertinggi diperoleh dari mikrokapsul perlakuan 1 (0,212%) sedangkan kadar surface oil terendah diperoleh dari perlakuan 8 (0,094%) (Gambar 14).
0.25
Kadar Surface oil
Kadar surface oil (% BK)
0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 1 2 3 4 A1C1
5 6 7 8 9 10 11 12 A1C2 A2C1 Perlakuan
13 14 15 16 A2C2
Gambar 14. Kadar surface oil mikrokapsul dengan berbagai komposisi bahan pengkapsul Berdasarkan grafik di atas, secara keseluruhan dapat diamati bahwa kadar surface oil cenderung menurun seiring penambahan bahan protein pengkapsul. Penyebab terjadinya penurunan kadar surface oil ini adalah semakin banyak bahan protein maka proses emulsifikasi oleoresin dalam fase berair semaik baik. Dengan kata lain, semakin banyak zat aktif yang dapat diperangkap dan minyak yang ada dipermukaan dapat diminimalkan. Kadar surface oil mikrokapsul dengan bahan protein susu skim pada setiap perlakuan terlihat tidak jauh berbeda dengan kadar surface oil mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat. Kadar surface oil mikrokapsul dengan bahan susu skim (perlakuan 1 – 8) berkisar antara 0,212% sampai 0,094% sedangkan kadar surface oil mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat (perlakuan 9 – 16) berkisar antara 0,177% sampai 0,135%. Bahkan dibeberapa perlakuan dengan penggunaan bahan protein yang sama jumlahnya, kadar surface oil mikrokapsul dengan bahan susu skim lebih rendah daripada kadar surface oil mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat. Hal ini menunjukkan bahwa susu skim memiliki potensi memberikan perlindungan terhadap bahan inti. Bila dicermati lebih jauh, mikrokapsul dengan kadar surface oil yang paling baik (terendah) menggunakan bahan protein pengkapsul terbanyak, yakni mikrokapsul perlakuan 8 (0,094%). Rendahnya kadar surface oil ini dapat didekati oleh mikrokapsul perlakuan 2 (0.142%) dan mikrokapsul perlakuan 6 (0.140%). Kedua perlakuan tersebut lebih dipertimbangkan karena menggunakan bahan protein lebih sedikit (10% dari bahan pengkapsul). Dengan penggunaan
bahan protein setengah kali lipat dari pada mikrokapsul perlakuan 8, mikrokapsul perlakuan 2 dan 6 dinilai lebih efisien dalam memberikan perlindungan bahan inti.
4. Kelarutan dalam air Mikrokapsul oleoresin banyak digunakan dalam berbagai jenis makanan, dengan berkembangnya industri makanan siap saji seperti produk-produk dalam bentuk deep fat fried food, pastries, corn chips, tortilla, potato stick serta produkproduk dari daging (Wampler dan Soper, 1998). Flavour yang dienkapsulasi juga digunakan dalam makanan olahan, permen, makanan formula, bumbu-bumbuan, makanan penutup, dan lain-lain (Koswara, 1995). Penggunaan mikrokapsul dalam beberapa aplikasi tersebut membutuhkan suatu kemampuan melepas bahan aktif dengan baik. Oleh karena itu, mikrokapsul yang dihasilkan sebaiknya memiliki kelarutan yang tinggi dalam pelarut yang umum digunakan seperti air. Hasil uji kelarutan mikrokapsul dalam air disajikan dalam Gambar 15 dan Lampiran 3b. Kelarutan dalam air
Kelarutan (% BK)
100 95 90 85 80
1 2 3 4 16 A1C1
5 6 7 8 A1C2
9 10 11 12 A2C1
13 14 15 A2C2
Perlakuan
Gambar 15. Kelarutan mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul Mikrokapsul dengan kelarutan tertinggi adalah mikrokapsul perlakuan 13 (98,62%) sedangkan mikrokapsul yang kelarutannya paling rendah adalah mikrokapsul perlakuan 5 (94,64%) dan 8 (94,65%). Secara keseluruhan, nilai kelarutan mikrokapsul sangat tinggi yakni diatas 90%. Tingginya kelarutan mikrokapsul ini disebabkan adanya maltodekstrin sebagai bahan baku mikrokapsul terbanyak. Maltodekstrin dapat larut dengan sempurna dalam air dingin sehingga dapat melepaskan flavour secara tepat pada aplikasi tertentu (Kenyon dan Anderson, 1988).
Nilai kelarutan mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat terlihat semakin menurun pada penggunaan bahan protein yang lebih banyak. Nilai kelarutan terendah diperoleh dari perlakuan 16 dengan pemakaian natrium kaseinat sebanyak 20% basis protein. Nilai kelarutan yang relatif rendah pada mikrokapsul dengan susu skim juga didapat pada pemakaian susu skim yang paling banyak (perlakuan 4 dan 8). Dengan demikian diketahui bahwa semakin banyak pemakaian bahan protein baik natrium kaseinat ataupun susu skim, semakin rendah pula kelarutannya dalam air. Kelarutan yang paling tinggi dari mikrokapsul dengan susu skim didapat dari perlakuan 2. Nilai kelarutannya mencapai 98,20%. Nilai ini menyamai tingkat kelarutan mikokapsul dengan natrium kaseinat. Pembentukan emulsi yang baik diperkirakan menjadi penyebab tingginya nilai kelarutan mikrokapsul perlakuan 2. Emulsi yang baik menyebabkan partikel mikrokapsul menjadi lebih halus dan mudah larut. Hal ini menyebabkan pelepasan bahan aktif diperkirakan lebih baik. Dengan demikian, dari segi kelarutan, perlakuan 2 dinilai yang paling baik di antara mikrokapsul dengan susu skim. 5. Derajat Keasaman (pH) Secara keseluruhan, nilai pH semua mikrokapsul berada pada kisaran 5,5 sampai 6. Nilai pH yang tertinggi diperoleh dari perlakuan 12 dan 16 (6,16 dan 6,13) sedangkan yang terendah adalah perlakuan 9 (5,46). Berdasarkan nilai pH ini, dapat dikatakan produk mikrokapsul tergolong agak asam. Gambar 16 menunjukkan nilai pH mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul.
pH 6.40 6.20 6.00 pH
5.80 5.60 5.40 5.20 5.00
1 2 3 4 A1C1
5 6 7 8 9 10 11 12 A1C2Perlakuan A2C1
13 14 15 16 A2C2
Gambar 16. Derajat keasaman mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul
Derajat keasaman mikrokapsul kemungkinan lebih dipengaruhi oleh bahan pengkapsul utama yakni maltodektrin. Diketahui bahwa pH maltodekstrin yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 5,74. Maltodekstrin diproduksi dengan hidrolisis terkontrol menggunakan enzim α-amilase atau asam (Kennedy at al., 1995). Proses pembuatan ini menyebebkan maltodekstrin bersifat agak asam. Nilai pH mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat memiliki kecenderungan meningkat dari perlakuan 9 sampai 12 dan dari perlakuan 13 sampai 16. Peningkatan pH ini diperkirakan karena penambahan penggunaan natrium kaseinat. Diketahui bahwa natrium kaseinat cenderung bersifat basa sehingga penggunaannya akan meningkatkan pH produk. Demikian halnya dengan kecenderungan penggunaan susu skim. Uraian pembahasan nilai pH di atas menunjukkan bahwa perbedaan nilai pH lebih disebabkan jumlah bahan pengkapsul, bukan karena banyak tidaknya zat aktif yang dapat terkapsulkan. Oleh karena itu nilai pH produk tidak dapat mewakili kualitas mikrokapsul yang dihasilkan. Berdasarkan keseluruhan hasil analisis mikrokapsul di atas dapat disimpulkan bahwa susu skim memilki potensi sebagai bahan protein pengkapsul. Berdasarkan parameter rendemen dan kadar surface oil, mikrokapsul dengan susu skim sebanding kualitasnya dengan mikrokapsul natrium kaseinat. Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan natrium kaseinat tidak berarti menunjukkan kualitas produk yang baik karena kesalahan kandungan minyak atsirinya cukup tinggi. Tingginya kesalahan kandungan minyak atsiri diperkirakan karena sistem emulsinya yang kurang homogen. Data kadar minyak atsiri menunjukkan bahwa mikrokapsul perlakuan 2 dan 6 dinilai yang terbaik untuk mikrokapsul dengan bahan susu skim. Analisis surface oil menunjukkan mikrokapsul perlakuan 2 dan 6 juga lebih efisien mengkapsulkan oleoresin meskipun tidak lebih baik dari pada mikrokapsul perlakuan 8. Komposisi bahan pengkapsul tidak terlalu berpengaruh nyata terhadap rendemen, namun peningkatan konsentrasi bahan pengkapsul seperti pada perlakuan 5 sampai 8 (konsentrasi bahan pengkapsul 12,5% total emulsi) tidak direkomendasikan karena dapat mempersulit kerja spray dryer. Oleh karena itu, perlakuan 2 dinilai sebagai komposisi bahan pengkapsul terbaik. Hal ini
didukung dengan nilai kelarutan mikrokapsul perlakuan 2 yang sangat tinggi (98,20%). Mikrokapsul dengan perlakuan 2 selanjutnya dilihat penampakannya dengan scanning electron microscope. Mikrokapsul dengan perlakuan 4 juga akan diperlihatkan dengan SEM sebagai pembanding karena mikrokapsul dengan perlakuan 4 diperkirakan akan memiliki morfologi yang baik mengingat kadar surface oil-nya yang rendah.
D. HUBUNGAN
ANTARA
MIKROSTRUKTUR
DAN
KUALITAS
MIKROKAPSUL Pengujian dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan untuk membandingkan kualitas mikrokapsul secara mikrostruktur. Analisis morfologi dengan SEM mampu menunjukkan ukuran, bentuk, dan aspek umum lainnya terhadap mikrokapsul secara lebih detil. Morfologi mikrokapsul mempengaruhi sifat mikrokapsul lainnya seperti laju pelepasan bahan inti, surface oil, kelarutan, dan stabilitas mikrokapsul. Gambar 17 dan Gambar 18 menyajikan foto hasil SEM.
0
5
10 μm
Gambar 17. Hasil SEM mikrokapsul perlakuan 2 (perbesaran 2000 X)
0
5
10 μm
Gambar 18. Hasil SEM mikrokapsul perlakuan 4 (perbesaran 2000 X)
Gambar 17 menunjukkan bahwa mikrokapsul perlakuan 2 memiliki diameter partikel antara 2-20 μm sedangkan perlakuan 4 memiliki diameter partikel 2-35 μm. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi ukuran, meskipun mikrokapsul perlakuan 4 relatif lebih besar, ukuran mikrokapsul perlakuan 2 dan perlakuan 4 tidak jauh berbeda. King (1995) menyatakan bahwa apabila ukuran partikel antara 0,2 sampai 5000 µm disebut mikrokapsul sedangkan Richard dan Benoit (2000) menyebutkan bahwa ukuran mikrokapsul hasil spray drying berkisar antara 1-50 μm. Menurut Finch (1993), mikrokapsul yang baik ialah yang mampu memiliki ketebalan dinding terkecil dengan ukuran partikel terbesar sehingga mampu membawa komponen yang dikapsul paling banyak. Sheu et al. (1998) menyebutkan bahwa terdapat variasi dalam morfologi (ukuran, struktur, dan penampakan) dari butiran bubuk selama proses pengeringan berlangsung. Umumnya pada banyak kasus, butiran ini pada awalnya berbentuk bola, selanjutnya karena terdapat lubang, tekanan, dan faktor eksternal lainnya membuat bentuknya menjadi tidak beraturan dan seperti memiliki banyak lipatan. Mengacu pada Gibbs et al.(1999), tipe mikrokapsul yang dihasilkan adalah mikrokapsul berinti tunggal (simple/monocore). Bentuk mikrokapsul perlakuan 2 dan 4 memiliki kemiripan. Terdapat bentuk bulat utuh dan bola kecil keriput pada penampakan SEM keduanya. Partikel yang berbentuk bulat utuh menandakan bahwa mikrokapsul terbentuk sempurna dan berisi oleoresin. Bentuk bola kecil keriput diperkirakan adalah partikel bahan pengkapsul tanpa oleoresin didalamnya atau mikrokapsul yang berbentuk kurang sempurna. Kedua gambar memperlihatkan bahwa mikrokapsul perlakuan 2 yang keriput ataupun berbentuk kurang sempurna lebih banyak dibanding mikrokapsul perlakuan 4. Hasil SEM ini mendukung kadar surface oil mikrokapsul perlakuan 2 yang sedikit lebih tinggi daripada mikrokapsul perlakuan 4. Keretakan atau bentuk mikrokapsul yang kurang baik dapat memacu tingkat pelepasan bahan aktif sehingga nilai surface oil meningkat. Menurut Sheu et al. (1998) mikrokapsul hasil spray drying dengan dinding pengkapsul yang mengandung polisakarida menunjukkan permukaan yang khas. Hal ini dikarenakan efek dari komposisi dinding pengkapsul, proses atomisasi dan pengeringan, pengeriputan yang tidak seragam pada awal proses pengeringan, dan efek tegangan permukaan larutan. Pengembangan udara atau uap air di dalam partikel yang
dikeringkan dapat tidak berlubang. Efek pengembangan ini biasa disebut efek balon. Efek balon ini berpengaruh terhadap kualitas pengkapsulan. Efek balon ini sangat dipengaruhi oleh kecepatan pengeringan dan sifat viskoelastis dari matriks dinding pengkapsul. Efek balon juga dapat terjadi karena tingginya tekanan pada permukaan, membuat interaksi hidrofobik/hidrofilik terjadi antara pembawa amphiphatik, air, dan zat yang dienkapsulasi sehingga akan membuatnya menjadi misel. Kecilnya droplet misel yang terbentuk (rata-rata berdiameter 100 µm) membuatnya mudah dikeringkan sehingga terbentuklah lapisan keras di sekeliling zat yang terenkapsulasi. Oleh karena bentuk, ukuran dan morfologi kedua mikrokapsul tersebut tidak jauh berbeda, dapat disimpulkan bahwa komposisi bahan pengkapsul perlakuan 2 dapat membentuk mikrokapsul yang memiliki kualitas tidak jauh berbeda dengan mikrokapsul perlakuan 4. Dengan kata lain, komposisi bahan pengkapsul perlakuan 2 lebih efisien daripada perlakuan 4.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Susu skim dinilai sebagai bahan pengkapsul terpilih berdasarkan penelitian pendahuluan. Mikrokapsul dengan bahan protein susu skim sebesar 3% dari bahan pengkapsul merupakan yang terbaik dengan rendemen 73,22%, kadar air 4,75%, kadar minyak atsiri 0,82%, dan kadar minyak permukaan (kadar surface oil) sebesar 0,58%. Berdasarkan penelitian utama komposisi bahan pengkapsul terbaik adalah perlakuan 2 yakni penggunaan susu skim 10% dari bahan pengkapsul dan konsentrasi bahan pengkapsul sebesar 10% dari total emulsi. Mikrokapsul yang dihasilkan dari perlakuan ini memiliki rendemen 67,22%, kadar minyak atsiri 0,68%, kadar surface oil 0,142%, pH 6,16, dan kelarutan sebesar 98,20%. Hasil pengamatan dengan scanning electron microscope menunjukkan bahwa mikrokapsul perlakuan 2 memiliki morfologi yang cukup baik dengan diameter partikel antara 2-20 μm.
B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan menentukan kapasitas penkapsulan oleoresin lada hitam dan optimasi kondisi proses pengeringan metode spray drying. Disarankan juga untuk dilakukan penelitian dengan pengukuran umur simpan mikrokapsul dengan berbagai jenis kemasan.
DAFTAR PUSTAKA Akhtar, M. and E. Dickinson. 2007. Food Hydrocolloids,Volume 21, 607-616. AOAC. 1980. Official Methods of Analysis. AOAC Publisher. Washington D.C. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemistry 1st Edition. AOAC Inc. Arlington Virginia. Badan
Pusan Statistik. 2005.Volume Dan http://www.bps.go.id/. [30 -12-09].
Nilai
Ekspor
Impor
Indonesia.
Bakan, J. A. and Anderson J. L. 1987. Microencapsulation. Didalam L. Lachman, H. A. Lieberman, and J. L. Kanig (Eds). The Theory and Practice of Industrial Pharmachy, 2nd Edition. Philadelphia : Lea and Febiger. 384. Bakan, JA. 1973. Microencapsulation of food related products. Food Technology 27 (11): 34-40 Bang, W.E and G.A Reineccius. 1985. Spray Drying of Food Flavors III. Optimum Infeed Concentration for the Retention of Artificial Flavors. J. Perfumer & Flavorist. 9:27-29. Baptista A. L. F.,. Coutinho P. J. G, Real Oliveira, M. E. C. D, and. Rocha G. J. I. N. 2003. Effect of pH on The Control Release of Microencapsulated Dye In Lecithin Liposomes – Part II. Journal of Liposome Research Vol. 13, No. 2, pp. 111–121, 2003. Bhandari, B. R., Snoussi, A., Dumoulin, E. D., & Lebert, A. 1993. Spray Drying of Concentrated Fruit Juices. Drying Technology, 11(5), 1081–1092. Bhandari, B.R., and T. Howes. 1999. Implications of Glass Transition for The Drying and Stability of Dried Foods. J. Food Eng. 40 : 71-79. Brazel, C. S. 1999. Microencapsulation: Offering solutions for the food industry. Cereal Foods World, 44, 388–393 Chandrayani, E. 2002. Mikroenkapsulasi Oleoresin Biji Pala dengan Menggunakan Sukrosa sebagai Bahan Penyalut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Chronakis, I. S. 1998. On The Molecular Characteristics, Compositional Properties, and Structural-Functional Mechanisms of Maltodextrins: A Review. Crit. Rev. Food Sci. 38:599–637. Corrigan, O. I. 1995. Thermal analysis of spray dried products. Thermochimica Acta. 248. 245–258.
Desmawarni. 2007. Pengaruh Komposisi Bahan Penyalut dan Kondisi Spray Drying Terhadap Karakteristik Mikrokapsul Oleoresin Jahe. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Desobry, S., Netto, F.M. and Labuza, T.P. 1997. Comparison of spray-drying, drumdrying and freeze-drying for b-carotene encapsulation and preservation. Journal of Food Science. 62. 1158–1162. Dickinson, E. 1999. Caseins in emulsions: Interfacial properties and interactions. International Dairy Journal. 9. 305–312. Dickinson, E., Flint, F. O., and Hunt, J. A. 1989. Bridging flocculation in binary protein stabilized emulsions. Food Hydrocolloids. 3. 389–397. Dickinson, E., Golding, M., and Povey, M. J. W. 1997. Creaming and flocculation of oil-in-water emulsions containing sodium caseinate. Journal of Colloidal and Interface Science. 185. 515–529. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2008. Luas Areal Dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan. http://ditjenbun.deptan.go.id/cigraph/index.php/viewstat/komo-ditiutama/7lada. [30 -12-09]. Djubaedah, E. 1986. Ekstraksi Oleoresin dari Jahe (Zingiber officinale, Roscoe). Media Teknologi Pangan. 2(2) : 10-19. Dollo, G., P. Le Corre, A. Guerin, F. Chevanne, J. L. Burgot, and R. Leverge. 2003. Spray-Dried Redisperable O/W Emulsions to Improve Oral Bioavailability of Poorly Soluble Drugs. Eur. J. Pharm. Sci. 19:273–280. Dubernet, C. and Benoit, J. P. 1986. La microencapsulation: Ses techniques et ses applications en biologie. L’actualite ´ chimique. (De ´cembre). 19–28. Dziezak, J. D. 1988. Microencapsulation and Encapsulated Ingredients. Food Technology(April), 136–151. Epstein, W. W., Netz, D. F., and Seidel, J. L. 1993. Isolation of Piperine from Black Pepper. J. Chem. Ed 70, 598-599. Farrrel, K. T. 1985. Spice, Condiments, and Seasoning. The AVI Book Published by Van Nostrand Reinhold Co. New York. Finch, C. A. 1993. Industrial microencapsulation: polymers for encapsule walls. In Encapsulation and Controlled Release, Karsa, D.R. and Stephenson, R.A. (eds.). The Royal Society of Chemistry, Cambridge, pp. 1–17. Gharsallaoui, A., Gaelle R.,Odile C., Andree V., Remi S. 2007. Applications of spraydrying in microencapsulation of food ingredients: An overview. Food Research International. 40. 1107-1121.
Gibbs, B. F., Kermasha, S., Alli, I., and Mulligan, C. N. 1999. Encapsulation in the food industry: A review. International Journal of Food Sciences and Nutrition. 50. 213–224. Gouin, S. 2004. Microencapsulation: Industrial appraisal of existing technologies and trends. Trends in Food Science and Technology. 15. 330–347. Hogan, S. A., McNamee, N. F., O’Riordan, E. D., & O’Sullivan, M. 2001. Emulsification and microencapsulation properties of sodium caseinate/carbohydrate blends. International Dairy Journal, 11, 137–144. International Pepper Community. 2005. Pepper Statistic Year Book 2002. IPC, Jakarta. p. 21−34. Iwabuchi, S. dan A. F. Yamauchi. 1987. Electrophoretic Analysis Of Whey Protein Present On Soybean Globulin Fraction. J. Agric. Food Chem 35 : 205 – 209. Jackson, L. S. and Lee K. 1991. Microencapsulation and The Food Industry. LebensmWis-Technol. 24 : 289-297. Kennedy, J. F., C. J Knil. and D. W. Taylor. 1995. Maltodekstrin. Di dalam M. W. Keasley and S. Z. Dziedzic (Eds). Handbook of Hydrolysis Products and Their Derivates. Blackie Academic and Professional. London. Kenyon, M. M and R. J. Anderson. 1988. Maltodextrin an Low Dextrose Equivalence Corn Syrup Solids. Di dalam Risch S. J. and G. A. Reneccius (Eds). Flavour Encapsulation. American Chemical Society, Washington D. C. 7-10. Kenyon, M. M. 1995. Modified Starch, Maltodextrin, and Corn Syrup Solids as Wall Materials for Food Encapsulation. in Encapsulation and Controlled Release of Food Ingredients. ACS Symposium Series, Vol. 590. S. J. Risch and G. A. Reineccius, ed. American Chemical Society, Washington, DC. 42–50 Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta : Balai Pustaka. Khader, V. and Rao, S. V. 1996. Studies on protein quality of green gram (Phaseolus aureus). Plant Foods for Human Nutrition, 49, 127–132. Kim, YD and C. V. Morr. 1996. Microencapsulation properties of gum Arabic and several food protein: spray dried orange oil emulsion particles. J Agric. Food Chem. 44 : 1314-1320. King, A.H. 1995. Evaluation of The Mechanisms Associated With The Release of Encapsulated Flavor Materials from Maltodextrin Matrices. In: Risch SJ, Reineccius GA, editors. Encapsulation and controlled release of food ingredients. Washington DC: Amer Chem Soc. p 143-160. Koswara. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Liana. 1987. Pembuatan Produk Pasta Berprotein Tinggi : Campuran Susu Skim, Yoghurt, dan Kacang Tanah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Liu, X. D., T. Atarashi, T. Furuta, H. Yoshii, S. Aishima, and M. Ohkawara. 2001. Microencapsulation of emulsified hydrophobic flavours by spray drying. Drying Technology, 19, 1361–1374. Mansjur. 1980. Budidaya Tanaman Lada dan Kopi. Bogor : Unit Penataran IPB. Masters, K. 1979. Spray Drying Hand Book. New York : John Wilegard Sons. McNamee, B. F., E. D. O’Riordan, and M. O’Sullivan. 1998. Emulsification and Microencapsulation properties of gum Arabic. J. Agric. Food Chem. 46:4551– 4555. Nuryani, Y. 1996. Klasifikasi dan Karakteristik Tanaman Lada (Piper nigrum L). Di dalam Monograf Tanaman Lada. Balai Tanaman Rempah dan Obat, Balai Penelitian dan Pengambangan Pertanian. Bogor. Pangborn, R. M. 1970. Preliminary examination of odour pepper. The flavor industry vol.19. Pedersen, G. P., P. Fäldt, B. Bergenståhl, and H. G. Kristensen. 1998. Solid state characterization of a dry emulsion: A potential drug delivery system. Int. J. Pharm. 171:257–270. Premi, B. R. 2000. Essential Oils and Oleoresins in India. Beverage and Food World 27(4), 12-19 Pruthi, J. S.1980. Spice and Condiments Chemistry, Microbiology, Technology. New York : Academic Press. 163-173 Purseglove, J. W., E. G. Brown, C. L. Green, and S. R. J. Robins. 1981. Spices Vol I. New York: Longman Inc. 10-99 Quellet, C., M. Taschi, J. B. Ubink. 2001. Composite Materials. US Patent. Applications No. 20010008635. Raghavan, S. 2007. Handbook of Spices, Seasonings, and Flavorings. CRC Press. Boca Raton.152-157 Reineccius, G. A. 1988. The Spray Drying of Food Flavors. Drying Technology. 22 (6) : 1289-1324. Richard, J. and J.P. Benoit. 2000. Microencapsulation. Techniques de l’ingenieur. J. 2210, 1–20.
Rimbawan, J. W. 1977. A Study of Physico-Chemical Properties of Non Fat Dry Milk as Affected by Process Temperature. Thesis. The Faculty of Agricultural Engineering and Product Technology. Bogor Agricultural University. Bogor. Risch, S. J. 1995. Review of patents for encapsulation and controlled release of food ingredients. di dalam Encapsulation and Controlled Release of Food Ingredients, Risch, S.J. and Reineccius, G.A. (eds.). American Chemical Society. Washington DC. Chapter 18. 197–203 Rismunandar. 2000. Lada, Budidaya dan Tantangannya. Jakarta: Penebar Swadaya. Roginski H., Fuquay, J. W. and Fox, P. F. 2003. Encyclopedia of Dairy Sciences. Academic Press. London. Rosenberg M., Kopelman I. J, Talmon Y. 1990. Factors Affecting Retention in SprayDrying Microencapsulation of Volatile Materials. J Agric Food Chem 38:128894. Rosenberg, M. 1997. Milk Derived Whey Protein Based Miroencapsulating Agent and Method of Use. US Patent 5,610,760. Rosenberg, M., & Sheu, T. Y. 1996. Microencapsulation of Volatiles By Spray-Drying In Whey Protein-Based Wall Systems. International Dairy Journal, 6, 273–284. Ruis, H. G. M. 2007. Structure Rheology Relations in Sodium Caseinate in Containing Systems. Tesis. Wengeningen University. Netherland. Shahidi, F. and Han, X. Q. 1993. Encapsulation of food ingredients. Critical Review in Food Science and Nutrition. 33. 501–547. Shaikh, J., Bhosale, R., & Singhal, R. 2006. Microencapsulation of black pepper oleoresin. Food Chemistry, 94, 105–110. Sheu, T. Y., and Rosenberg, M. 1998, Microstructure of Microcapsules Consisting of Whey Proteins and Carbohydrates. Journal of Food Science. 63.3. 491-494. SNI 01-025-1987-B. Standard Oleoresin Lada Hitam. Dewan Stadardisasi Nasional. Soottitantawat, A., Bigeard, F., Yoshii, H., Furuta, T., Ohkawara, M., & Linko, P. 2005. Influence of emulsion and powder size on the stability of encapsulated Dlimonene by spray drying. Innovative Food Science and Emerging Technologies, 6, 107–114. Soottitantawat, A., H. Yoshiia, X. D. Liua, T. Atarashia, T. Furutaa, S. Aishimab, M. Ohgawarab, P. Linko. 2000. Flavor Release From Spray-Dried Maltodextrin Gum Arabic or Soy Matrices as A Function of Storage Relative Humidity. Innovative Food Science & Emerging Technologies 2 (2001) 55-61. Sudibyo, A. 1989. Prospek Pengembangan Industri Minyak Atsiri dan Rempah. Bul.Ekon.Bapindo XIV.905) : 48-53.
Sufni, T.M. 2001. Kajian Pengaruh Jenis Lada (Piper nigrum L.) dan Lama Ektraksi Terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin yang Dihasilkan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Suryandari, S. 1981. Pengambilan Oleoresin Jahe dengan Cara Solvent Extraction. BBIHP, Bogor. Thies, C. 1996. A Survey of Microencapsulation Process. Di dalam Benita, S. (Ed.) Microencapsulation methods and Industrial Application. Newyork : Marcel Deker, 1-19. Thompson, M. P., N. P. Tarrassuk, R. James, H. A. Lillevik, U. I. Aswurth, and D. Pose. 1965. Nomenclature of Proteins of Cow Milk and Revision. J. Dairy Sci. 48-159. US Department of Agriculture. 2001. Nutrient database for standard reference. Washington, DC: US Department of Agriculture, pp. 14 Varnam, A. H. and J. P. Sutherlan. 1994. Milk and Milk Product Technology, Chemical, and Microbiology. Chapman and Hall. London. Vega, C., Kim, E. H. J., Chen, X. D., and Roos, Y. H. 2005. Solid-state characterization of spray-dried ice cream mixes. Colloids and Surfaces B: Biointerfaces. 45. 66–75. Wampler and Soper. 1998. http://www.patentstorm.us/inventors/Jon_C__Soper2085189.html http://www.patentstorm.us/inventors/Daniel_J__Wampler2625891.html. [4-11-2009]. Warner, J. N. 1975. Principle of Dairy Processing. Willey Easton Ltd., New Delhi. Watanabe, Y., Fang, X., Adachi, S., Fukami, H., & Matsuno, R. 2004. Oxidation of 6O-arachidonoyl -ascorbate microencapsulated with a polysaccharide by spraydrying. Lebensmittel-Wissenschaft und-Technologie, 37, 395–400. Whitteley, M.A., Welch A. J. E., and Owen L. N. 1952. Thorpe’s Dictionary of Applied Chemistry Vol V 4th Edition. Longman, Green and Co. London. Wolf, W. J.1987. Soybean as A Food Source. CRC Press. Boca Raton F L. Young, S. L., X. Sarda, and M. Rosenberg. 1993. Microencapsulation Properties of Whey Proteins. 1. Microencapsulation of Anhydrous Milk Fat. Journal of Dairy Science, 76, 2868–2877. Zhao, J. and Whistler, R. L. 1994. Spherical Aggregates of Starch Granules as Flavor Carriers. Food Technol. 48. 104–105.
Lampiran 1. Perhitungan komposisi bahan mikrokapsul untuk penelitian pendahuluan Bahan Pengkapsul Perlakuan
Susu skim Tepung kedelai Tepung kacang hijau
1% 2% 3% 1% 2% 3% 1% 2% 3%
Akuades Protein (%) Maltodekstrin (%) (%) 0,1 9,9 89 0,2 9,8 89 0,3 9,7 89 0,1 9,9 89 0,2 9,8 89 0,3 9,7 89 0,1 9,9 89 0,2 9,8 89 0,3 9,7 89
Oleoresin (%) 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Keterangan : Perhitungan persentase bahan diatas berdasarkan total emulsi Kadar protein susu skim : 22,84% kadar pati susu skim : 4,88% Kadar protein tepung kedelai : 38,25% kadar pati tepung kedelai : 13,27% Kadar protein tepung kacang hijau : 22,32% kadar pati tepung kacang hijau : 25,08% Kadar protein natrium kaseinat : 91,0%
Lampiran 2. Hasil Penelitian Pendahuluan
Jenis Bahan Protein
Rendemen (%) Konsentrasi Bahan Ulangan RataStd. Rendemen Protein rata deviasi 1%
Susu Skim
2% 3% 1%
Tepung Kedelai
2% 3% 1%
Tepung Kacang Hijau
2% 3%
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
71.92 71.21 73.56 73.30 72.33 72.33 63.56 59.21 58.13 60.38 57.70 57.89 63.26 62.94 58.59 60.45 56.57 54.54
71,57
0,51
73,43
0,18
72,33
0,00
61,38
3,08
59,26
1,59
57,79
0,13
63,10
0,23
59,52
1,32
55,56
1,44
Kadar Air (%) Kadar RataAir rata 4.67 4.50 4.70 4.94 4.73 4.76 3.76 3.75 4.30 4.39 4.77 4.74 4.70 4.72 5.38 5.41 5.06 5.31
Std. deviasi
4,58
0,11
4,82
0,17
4,75
0,02
3,75
0,01
4,35
0,07
4,76
0,02
4,71
0,01
5,40
0,02
5,19
0,18
Kadar Minyak (%) Kadar Minyak 0.73 0.60 0.84 0.80 0.84 0.80 0.83 0.60 0.84 0.80 0.73 0.80 0.42 0.80 0.74 0.80 0.84 0.60
Ratarata 0,67 0,82 0,82 0,72 0,82 0,77 0,61 0,77 0,72
Kadar Surface oil (%) Kadar Std. RataStd. Surface deviasi rata deviasi oil 1.29 0,09 1.29 0,00 1.28 1.02 0,03 1,06 0,05 1.10 0.58 0,03 0,58 0,01 0.58 2.50 0,16 2,47 0,03 2.45 2.02 0,03 1,95 0,09 1.89 1.10 0,05 1,05 0,02 1.01 1.33 0,27 1,33 0,01 1.33 1.32 0,04 1,31 0,01 1.31 0.97 0,17 1,06 0,13 1.15
Lampiran 3a. Hasil Penelitian Utama Data Rendemen
Data Kadar Minyak Perbandingan Minyak Atsiri Kadar Perlakuan Ulangan Rendemen Rata- Std. Rata- Std. Nilai Perbandingan RataMinyak (%) rata deviasi rata deviasi Minyak Atsiri (%) rata (%bk) 1 75.53 0.58 86.4 1 73.70 2.59 0.58 0.00 84.3 2 71.87 0.57 82.2 1 60.15 0.65 90.4 2 67.22 10.01 0.68 0.04 105.0 2 74.30 0.70 119.6 1 69.81 0.67 116.6 3 67.74 2.93 0.62 0.07 105.3 2 65.67 0.57 94.0 1 69.07 0.56 108.8 4 70.61 2.17 0.52 0.07 101.8 2 72.14 0.47 94.7 1 73.17 0.58 83.7 5 68.90 6.03 0.58 0.00 78.8 2 64.64 0.58 73.9 1 65.92 0.67 99.0 6 69.64 5.25 0.67 0.00 104.6 2 73.35 0.67 110.2 1 47.27 0.57 67.7 7 61.46 20.07 0.57 0.00 88.0 2 75.66 0.57 108.3 1 70.71 0.47 92.8 8 70.99 0.39 0.47 0.00 93.2 2 71.26 0.47 93.6 1 75.99 1.11 136.1 9 70.94 7.15 1.11 0.00 127.1 2 65.89 1.11 118.0 1 72.49 1.14 133.1 10 71.39 1.55 1.14 0.00 131.1 2 70.30 1.14 129.1 1 70.31 1.31 148.4 11 72.30 2.81 1.31 0.00 152.6 2 74.28 1.30 156.8 1 72.21 0.89 107.3 12 73.18 1.37 0.90 0.00 108.7 2 74.15 0.90 110.2 1 75.60 0.71 86.5 13 70.91 6.63 0.71 0.00 81.2 2 66.22 0.71 75.8 1 63.82 0.93 96.1 14 67.05 4.57 0.93 0.00 101.0 2 70.28 0.93 105.8 1 69.64 1.12 126.5 15 73.45 5.38 1.12 0.00 133.4 2 77.25 1.12 140.3 1 77.62 0.76 94.2 16 78.93 1.85 0.76 0.00 95.7 2 80.24 0.76 97.3 .
Lampiran 3b. Hasil Penelitian Utama (lanjutan) Data Kadar Surface oil Data Kelarutan Kadar Perlakuan Ulangan Rata- Std. Kelarutan Rata- Std. Surface rata deviasi (%bk) rata deviasi oil (%bk) 1 0.211 93.96 1 0.212 0.001 94.48 0.75 2 0.212 95.01 1 0.143 98.25 2 0.142 0.001 98.20 0.08 2 0.142 98.14 1 0.157 95.70 3 0.138 0.026 95.08 0.87 2 0.120 94.47 1 0.103 95.20 4 0.103 0.001 94.74 0.66 2 0.102 94.27 1 0.161 96.14 5 0.173 0.018 96.23 0.14 2 0.185 96.33 1 0.161 94.44 6 0.140 0.029 94.64 0.29 2 0.120 94.84 1 0.147 96.53 7 0.109 0.054 96.78 0.35 2 0.070 97.03 1 0.088 95.32 8 0.094 0.008 94.65 0.94 2 0.100 93.98 1 0.190 98.17 9 0.169 0.029 98.49 0.46 2 0.149 98.81 1 0.166 98.20 10 0.177 0.015 98.19 0.01 2 0.188 98.19 1 0.143 97.61 11 0.145 0.003 97.95 0.48 2 0.147 98.29 1 0.118 98.01 12 0.097 0.029 97.95 0.09 2 0.077 97.89 1 0.168 98.47 13 0.170 0.002 98.62 0.21 2 0.171 98.76 1 0.201 98.23 14 0.170 0.044 98.42 0.27 2 0.139 98.60 1 0.138 98.27 15 0.146 0.011 98.40 0.19 2 0.154 98.54 1 0.129 96.96 16 0.135 0.008 97.40 0.62 2 0.140 97.84
Data pH pH 6.07 6.09 6.15 6.17 5.88 5.89 6.04 6.06 5.96 5.94 6.00 6.00 6.02 6.04 5.85 5.82 5.43 5.48 5.90 5.84 6.03 6.05 6.14 6.17 5.56 5.55 5.87 5.87 6.06 6.07 6.14 6.12
Rata- Std. rata deviasi 6.08
0.01
6.16
0.01
5.89
0.01
6.05
0.01
5.95
0.01
6.00
0.00
6.03
0.01
5.84
0.02
5.46
0.04
5.87
0.04
6.04
0.01
6.16
0.02
5.56
0.01
5.87
0.00
6.07
0.01
6.13
0.01
Lampiran 4. Dokumentasi hasil penelitian
Oleoresin lada hitam
Mikrokapsul oleoresin lada hitam penelitian pendahuluan
1
2
3
4
5
6
7
8
Bubuk mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan bahan pengkapsul susu skim
9
13
10
14
11
15
12
16
Bubuk mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan bahan pengkapsul na- kaseinat
Mikrokapsul perlakuan 2 di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 (kiri) dan 400 (kanan)
Mikrokapsul perlakuan 4 di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 (kiri) dan 400 (kanan)