Vol. III Nomor 1 April 2017
Pengaruh Kepimpinan Negara- Negara di Asia Dalam Refomasi Birokrasi Indonesia Oleh Fitrisia Munir.,M.Phil Abstrak Tulisan ini mengutip sedikit konsep birokrasi lama yang dikembangkan oleh seorang ilmuwan sosial, Max Weber. Max Weber {1864-1920) menjelaskan birokrasi sebagai desain organisasi yang berpengaruh sebagai sistem abstrak untuk pemecahan masalah manajemen negara yang rasional tanpa adanya gesekan yang disebabkan oleh kesalahan dan emosi manusia. Menurut Weber, "organisasi birokrasi adalah sarana yang paling rasional untuk melakukan kontrol imperatif atas manusia". 'Teori birokrasi didasarkan pada sifat hubungan otoritas dalam organisasi. Ini terkait dengan bagaimana organisasi benar-benar beroperasi daripada bagaimana mereka harus berfungsi.Weber memvisualisasikan model birokrasi sebagai penataan kekuatan yang teratur untuk mencapai perilaku manusia yang rasional di bawah hierarki profesional. Dalam hal ini, birokrasi sekarang menjadi tonggak untuk menjalankan Negara yang berdaya saing dan berkembang dari segi pola pikir seorang pemimpin terhadap masyarakatnya menuju pemerintahan yang baik atau good governance. Reformasi Birokrasi Indonesia dimulai pada tahun 1998 sebagai inisiatif kelembagaan yang meningkat ke tingkat nasional di tahun 2008. Reformasi birokrasi diperlukan agar mencapai tata kelola yang baik & bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), meningkatkan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja. Birokrasi harus menghasilkan profesionalisme aparat yang didukung oleh perekrutan personil dan promosi berbasis kompetensi, transparan, dan mampu mendorong mobilitas personil antara daerah, antar pusat, dan antara pusat dan daerah, serta mendapatkan gaji dan bentuk kesejahteraan lainnya. Munculnya reformasi birokrasi di setiap Negara-negara di Asia mengakibatkan ketatnya peluang masing-masing Negara untuk bersaingmenjalankan roda pemerintahan yang berdasarkan pada Otoritas hukum rasional. Setiap pemimpin suatu Negara di tuntut untuk tegas dan bisa menyeimbangkan keadaan dan cara pandang mereka dalam mengatasi persoalan negaranya. Kegagalan birokrasi di lihat dari kepemimpinan yang kurang memiliki figur-figur reformis tetapi malah menjadikan figur panutan yang berharap akan memberikan perubahan. Sebaliknya, Birokrasi itu baru bisa dikatakan berhasil bila dapat meningkatkan kualitas pelayanan di satu sisi, sekaligus menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel di sisi yang lain.
WEDANA Jurnal Pemerintahan, Politik dan Birokrasi
314
Vol. III Nomor 1 April 2017
Kata kunci: refomasi birokrasi, kepemimpinan Negara-negara di Asia, pemerintah daerah dan pusat Abstract This paper cites a bit of the old bureaucratic concept developed by a social scientist, Max Weber. Max Weber {1864-1920) describes bureaucracy as influential organizational design as an abstract system for solving rational state management problems without any friction caused by human error and emotion. According to Weber, "bureaucratic organizations are the most rational means to exercise imperative control over human beings". 'The bureaucratic theory is based on the nature of the relationship of authority within the organization. This is related to how organizations actually operate rather than how they should function. Weber visualized the bureaucratic model as an orderly arrangement of forces to achieve rational human behavior under a professional hierarchy. In this case, bureaucracy is now a milestone for running a competitive State and developing in terms of a leader's mindset towards his community towards good governance. Bureaucracy reform began in 1998 as an institutional initiative that increased to the national level in 2008. Bureaucratic reforms are needed to achieve good & clean governance, free from corruption, collusion and nepotism (KKN), improve the quality of public services, increase capacity and accountability Performance. The bureaucracy should result in professionalism of the apparatus supported by recruitment of personnel and the promotion of competence-based, transparent, and capable of encouraging the mobility of personnel between regions, between centers, and between centers and regions, as well as earning salaries and other forms of welfare. The emergence of bureaucratic reforms in each of the countries in Asia has resulted in a tight chance of individual countries to compete to run the governmental wheels based on rational legal authorities. Every leader of a State is demanding to be firm and able to balance their situation and perspective in overcoming their country's problems. The failure of the bureaucracy is seen from the leadership that lacks the reformist figures but instead makes a role model who hopes to make a difference. Instead, the bureaucracy can only be said to succeed if it can improve the quality of service on the one hand, while creating a clean and accountable government on the other. Keywords: bureaucratic reform, leadership of Asian countries, regional and central government
WEDANA Jurnal Pemerintahan, Politik dan Birokrasi
315
Vol. III Nomor 1 April 2017
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara dan kepemimpinan memang tidak bisa lepas dalam penerapannya, karena suatu negara berkembang ataumundur tergantung oleh model dan pengaruh kepemimpinan yang mempengaruhinya. Pengaruh ini didapatkan dari model dan pola pikir pemimpin yang selalu berhubungan baik terhadap Negara-negara yang saling bekerjasama dan berdekatan, sehingga dalam menentukan kebijakan setiap negara menggunakan pendekatan yang hampir sama dengan tujuan keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Setiap negara-negara memiliki pemimpin yang bekerjasama secara tim atau team working, pemimpin memiliki misi yang jelas dalam menjalankan pemerintahannya. Bagi Negara Indonesia telah merancang refomasi birokrasi hingga tahun 2025 dibawah kekuasaan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi. Perkembangan yang signifikan gelombang reformasi birokrasi ada 2 (dua) iaitu pada tahun 2004-2009 dan tahun 2010-2014. Gelombang pertama Negara fokus terhadap kelembagaan dengan tujuan utama adalah Pemerintahan yang bagus sedangkan area perubahannya adalah 1. Organisasi 2. Budaya Organisasi 3. Proses Bisnis 4. Peraturan-Deregulasi 5. Kebijakan dan praktik Negara. Sedangkan gelombang kedua semakin luas iaitu Nasional dan Kelembagaan dengan tujuan 1. Membersihkan Pemerintah bebas dari Korupsi, Kolusi & Nepotisme 2. WEDANA Jurnal Pemerintahan, Politik dan Birokrasi
Peningkatan pelayanan publik 3. Peningkatan kapasitas dan akuntabilitas sipil. 4. Pengawasan 5. Akuntabilitas 6. Pelayanan Publik 7. Pikiran dan budaya kerja tata pemerintahan yang Baik. Dalam hal ini, reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Perlu usahausaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan.Metode pengukuran kualitas kepemimpinan dalam bentuk dashboard implementasi reformasi birokrasi. Dashboard ini menjadi alat ukur bagi kepemimpinan seseorang dalam proses reformasi birokrasi di sebuah instansi yang merujuk pada aspek: (1) pengendalian pada perencanaan dan pelaksanaan reformasi birokrasi; (2) pengendalian untuk memenuhi tuntutan owner dan customer; (3) pengendalian dalam proses reformasi birokrasi; dan (4) pengendalian internal dan eksternal. Setiap aspek memiliki parameterparameter tersendiri yang berkaitan langsung dengan realitas lapangan.Reformasi birokrasi diharapkan menjadi salah satu unsur atau modal untuk menatap Indonesia yang lebih baik, bermartabat, dan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan negara yaitu masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera (Mustopadidjaja, 2003). Pemimpin Negara-negara di Asia menggunakan implementasi reformasi birokrasi dalam setiap periode, Negara-negara ini menjadi negara industri maju di Asia juga tidak terlepaskan dari keberhasilan reformasi administrasi yang dilakukan sejak tahun 1980 sampai 316
Vol. III Nomor 1 April 2017
sekarang. Penekanan reformasi birokrasi di China misalnya adalah pemerintahan yang efisien melalui restrukturisasi serta depolitisasi birokrasi dan karier administrasi dari kepentingan politik (Prasojo, 2008). Dukungan peraturan, ketatnya implementasi aturan, serta kejelasan reward and punishment yang dijalankan secara konsisten adalah berbagai bentuk terwujudnya reformasi birokrasi di Cina. Dampak reformasi birokrasi China terhadap ekonominya terlihat pada akhir dasawarsa 90-an hingga sekarang, dimana China menjadi salah satu negara yang dapat mengimbangi negara adidaya Amerika Serikat dalam berbagai sektor bahkan lebih. Hal ini juga berarti bahwa reformasi birokrasi yang dijalankan dengan konsisten oleh Cina berbuah manis walaupun tidak dalam waktu singkat, sejak proklamasi Deng 1982 dikumandangkan, China bangkit menjadi China yang modern. 1.2. Identifikasi Masalah Peraturan Presiden RI No. 81 tahun 2010 yang menetapkan tentang Grand Design dan Road Map Reformasi Birokrasi, dalam prakteknya, pelaksanaan reformasi birokrasi tetap belum menunjukkan adanya percepatan dalam implementasi. Efektivitas pemerintah mencakup rasa kualitas layanan publik dan sipil, serta sejauh mana mereka terisolasi dari campur tangan politik. Ini juga terdiri dari kemampuan pemimpin pemerintah untuk mengembangkan kebijakan kualitas, kapasitas mereka untuk menerapkannya dan seberapa besar masing-masing pemerintah menghargai kebijakan tersebut. Kualitas peraturan WEDANA Jurnal Pemerintahan, Politik dan Birokrasi
mempertimbangkan kemampuan pemerintah untuk mengembangkan dan melaksanakan kebijakan dan peraturan yang baik yang memungkinkan dan mendorong pengembangan sektor swasta (WGI, 2012). Reformasi birokrasi merupakan konsep yang luas ruang lingkupnya, mencakup pembenahan struktural dan kultural. Secara lebih rinci meliputi reformasi struktural (kelembagaan), prosedural, kultural, dan etika birokrasi. Secara operasional, sejumlah peraturan ditetapkan sebagai landasan yuridis bagi pembenahan birokrasi, antara lain melalui rancangan peraturan tentang penempatan posisi struktural serta pola pengembangan karir bagi pegawai negeri. Selain itu, juga dilakukan restrukturisasi organisasi, rasionalisasi pegawai, privatisasi beberapa BUMN dan peningkatan gaji pegawai negeri. Reformasi ini bukan hanya pembenahan sistem saja, tetapi juga menyangkut pengembangan nilai-nilai. Permasalahan timbul ketika ternyata upaya pembenahan yang telah dilakukan secara relatif komprehensif belum mampu memberikan hasil seperti yang diharapkan. Beberapa studi yang dilakukan masih mengungkapkan tidak adanya perubahan dalam budaya birokrasi dan perilaku birokrasi atau birokrat dalam pelayanan publik (Agus Dwiyanto, dkk, 2002). .1.3. Perumusan Masalah “Bagaimana pengaruh kepemimpinan Negara-negara di Asia terhadap reformasi birokrasi di Indonesia?”
317
Vol. III Nomor 1 April 2017
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kepemimpinan Negara Asia terhadap Reformasi Birokrasi Swansburg (1995), menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas suatu kelompok yang terorganisasi dalam usahanya mencapai penetapan dan pencapaian tujuan.Menurut George Terry (1986), Kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja dengan suka rela untuk mencapai tujuan kelompok. Kepimpinan merupakan penggunaan keterampilan seseorang dlm mempengaruhi orang lain untuk melaksanakan sesuatu dengan sebaik-baiknya sesuai dg kemampuan (Sullivan & Decker, 1989) Dimensi kepemimpinan Negara-negara di Asia berbeda-beda, ini dapat dilihat bagaimana Negara tesebut setiap periode berganti pemimpin dan memiliki perubahan bagi situasi yang berbeda daripada sebelumnya. Negara-negara di Asia yang telah di kategorikan Negara yang berhasil mampu memberikan perubahan terhadap negaranya secara signifikan dan berkelanjutan. Negara tersebut seperti Singapura, Malaysia, Jepang dan Korea.Pada dasarnya reformasi adalah sebuah proses perubahan yang mungkin sedikit radikal. Tujuannya jelas untuk memperbaiki keadaan sekarang menjadi keadaan tertentu yang dikehendaki dan lebih baik. Betapapun sulit, namun reformasi birokrasi bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan. Malah sebaliknya sangat mungkin. Ada banyak contoh yang menunjukkan bahwa reformasi birokrasi itu bukan WEDANA Jurnal Pemerintahan, Politik dan Birokrasi
sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan. Coba saja kita tengok bagaimana Thailand, Singapura, Malaysia, dan Filipina melakukan pembenahan dari birokrasi di negaranya agar mampu mengimbangi perubahan yang terjadi di masyarakat global. Di Singapura, misalnya. Kemunculan pasar global disikapi pemerintah Singapura dengan melakukan penguatan kompetensi Civil Service. Dengan begitu, mereka akan mampu menghadapi atau menjajawab tantangan zaman, sekaligus lebih kompetitif di dunia internasional. Begitu pula dengan Malaysia. Birokrasi di negeri serumpun itu lebih berorientasikan pada bisnis untuk menggantikan peran aktif birokrasi dalam pembangunan. Mereka juga meredefinisi birokrasi hanya menjadi fasilitator dalam aktivitas sektor swasta. Negara-negara di Asia menggunakan model kepemimpinan yang cukup beragam, namun memiliki visi dan misi yang sama secara keseluruhannya iaitu kesejahteraan rakyatnya. Reformasi birokrasi sangat memerlukan kemampuan seorang pemimpin dan sumber daya aparatur untuk memberikan tanggapan atau responsif terhadap berbagai tantangan secara akurat, bijaksana, adil dan efektif. Pentingnya peran pemimpin, karena reformasi birokrasi di Indonesia sangat tergantung siapa pemimpin yang berkuasa. Sebagus apa pun sistem yang diterapkan sangat bergantung kepada siapa pejabat yang memimpin instansi atau departemen. (Syafi’I 2012). Abimanyu (2010) mengatakan reformasi birokrasi di bawah kepemimpinan yang jujur, tegas, dan visioner merupakan syarat 318
Vol. III Nomor 1 April 2017
penting dalam mengubah cara pikir birokrat. Pagon et al. (2008) menyatakan kepemimpinan membutuhkan kompetensi, yakni individu (personal), kognitif (cognitive), fungsional (fuctional) dan sosial (social). Kompetensi individu merupakan atribut yang melekat kepada diri seseorang pemimpin. Kompetensi individu misalnya pendidikan, memberikan pengaruh yang kuat kepada kompetensi kognitif. Kompetensi kognitif memberikan landasan penguasaan pengetahuan umum, hukum, teori dan konsep. Kompetensi fungsional merupakan penguasaan ketrampilan untuk problem solving dalam kegiatan sehari-hari. Sementara kompetensi sosial merupakan kebutuhan untuk pembinaan hubungan dengan individu atau sosial. Kompetensi tersebut harus dipadukan dengan karakter organisasi antara lain visi, misi, value, dan tujuan. Perpaduan kompetensi kepemimpinan dan karakter organisasi akan menghasilkan keberhasilan dalam perubahan (change management). III.
ANALISIS PENGARUH KEPEMIMPINAN NEGARANEGARA ASIA TERHADAP REFORMASI BIROKRASI INDONESIA.
3.1 Karakteristik kepemimpinan di Malaysia dan Jepang Dalam arena kepemimpinan, karakter memiliki nilai. Misi mulia seorang pemimpin tidak boleh dijadikan alasan untuk menghalalkan segala cara. Oleh karena itu menurut Bennis (2000:23), pemimpin harus memiliki integritas, yaitu: WEDANA Jurnal Pemerintahan, Politik dan Birokrasi
pengenalan diri, ketulusan, dan kedewasaan. Kepemimpinan yang memiliki resonansi menurut Goleman, R. Boyatzis dan Annie McKee (2006) adalah kepemimpinan yang cerdas secara emosi yang mampu menguatkan dan memperpanjang gema nada dan dampak emosi kepemimpinannya masuk dalam seluruh kalbu anggota organisasi. Paradigma baru kepemimpinan dengan demikian, menuntut transformasi yang menyentuh berbagai dimensi kepemimpinan. Dalam kaitan ini, Warren Bennis (dalam Shelton, 2002: 11), menyatakan bahwa para pemimpin hanya mungkin dapat bertahan di era sekarang ini, jika mereka berkembang seiring perubahan waktu. Sekarang ini, menuntut paradigma kepemimpinan baru, yang mengikuti puncak perubahan, bukan terombang-ambing dalam perubahan. Manz dan P. Sims, Jr (dalam Basuki, 2006: 14), menambahkan bahwa kepemimpinan super (Super-leadership) bukanlah tipe mereka yang ”memerintah, karismatis, dan penguat tunggal”, mereka adalah pemimpin yang memModel Kepemimpinan Dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi sendiri. 3.1.1. Kepemimpinan Malaysia
Negara
Perilaku kepemimpinan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perusahaan dan motivasi orang. Namun, sebagian besar pengetahuan kita mengenai karakteristik pemimpin yang efektif didasarkan pada penelitian yang dilakukan di negara-negara Barat. Untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini, Program 319
Vol. III Nomor 1 April 2017
Penelitian Kepemimpinan Global dan Perilaku Organisasi (GLOBE) didirikan pada awal tahun 1990an untuk menyelidiki perilaku kepemimpinan di lebih dari 60 negara di seluruh dunia, termasuk Malaysia. Malaysia termasuk Negara yang maju seiring dengan Negara Singapura, jepang dan korea. Kemajuan ini sangat di pengaruhi oleh model kepemimpinan Negara selama masa pemerintahan yng menggunakan sistem parlementer. Model kepemimpinan Negara Malaysia mempetimbangkan masyarakat yang benar-benar multiras, dengan orang Melayu dan masyarakat adat yang menghasilkan sekitar 60 persen dari populasi 21 juta. Cina terdiri sekitar 31 persen, dan India 8 persen lainnya. Oleh karena itu, menyesatkan bahwa hanya ada satu budaya, atau satu gaya kepemimpinan di Malaysia. Sementara kelompok etnis ini memiliki beberapa kepercayaan dan nilai yang sama (misalnya, menghormati wewenang dan kepentingan "wajah"), mereka memiliki budaya dan Warisan agama (Poon, 1998). Jadi, sementara beberapa materi pemerintahan masih berlaku untuk ketiga kelompok ras tersebut. Warisan kolonial Malaysia, bersama dengan investasi asing yang lebih baru oleh negara-negara Jepang dan barat, telah mengubah pola kepemimpinan dan manajemen bisnis tradisional (Sin, 1991). Meningkatnya jumlah usaha patungan, bersamaan dengan dorongan negara menuju tingkat industrialisasi dan kemakmuran ekonomi yang lebih tinggi telah dikaitkan dengan 'westernisasi' banyak praktik manajemen. Namun, nilai budaya dan agama utama mendukung perilaku dan WEDANA Jurnal Pemerintahan, Politik dan Birokrasi
kepercayaan para pengelola Melayu, dan ini menciptakan perbedaan antara gaya kepemimpinan di Malaysia, dan di wilayah lain di dunia. Agama, bahasa dan tradisi menciptakan kesadaran etnik; Memang, Konstitusi Malaysia menyatakan bahwa "Melayu adalah seseorang yang berbicara bahasa Melayu, mempraktikkan adat Melayu, dan menganut Islam" (Nirenberg, 1979). Islam menekankan pentingnya kemampuan dan integritas dalam kepemimpinan: "Mereka yang berwenang harus dipilih dari antara anggota masyarakat dengan alasan bahwa mereka mampu dan dapat dipercaya" (Quran Sura 4:58). Studi GLOBE menggunakan teori kepemimpinan implisit (Lord & Maher, 1991) sebagai dasar konseptual untuk analisis kepemimpinannya. Pendekatan ini berpendapat bahwa individu membuat asumsi atau mengembangkan kepercayaan (yaitu memegang teori implisit) tentang atribut yang konsisten dengan kepemimpinan yang efektif. Ketika orang lain bertindak dengan cara yang konsisten dengan teori implisit ini, maka individu lebih cenderung menerima mereka sebagai pemimpin. Dengan penerimaan yang lebih besar, pemimpin seperti itu akan bertambah perawakannya lebih besar, dan meningkatkan kemampuan untuk mendapatkan sumber daya organisasi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Penelitian yang cukup banyak mendukung gagasan bahwa teori kepemimpinan implisit membatasi pelaksanaan kepemimpinan, penerimaan pemimpin, dan sejauh mana hal tersebut dipandang efektif. 3.1.2 Kepemimpinan Negara Jepang 320
Vol. III Nomor 1 April 2017
Kepemimpinan Politik yang lemah, bagi banyak negara merupakan masalah domestik. Kepemimpinan di negara jepang merupakan perubahan yang akan menentukan Negara jepang di masa depan. Jepang mengalami 6 kali pergantian kepemimpinan di pemerintahan Jepang memang seringkali terjadi. Pergantian tersebut terjadi rata-rata diakibatkan oleh berbagai skandal, pertikaian antar faksi di LDP dan kegagalan dalam memerintah yang dialami oleh Perdana Menteri (PM) Jepang terdahulu. Namun Pasca pemilu Majelis Tinggi pergantian kepemimpinan di Jepang relatif terjadi dalam kurun waktu yang sangat singkat dibandingkan sebelum pemilu. Shinzo Abe yang merupakan PM Jepang ke 90 yang hanya mampu menjabat selama 1 tahun saja sedangkan Yasuo Fukuda hanya mampu menjabat dalam kurun waktu kurang dari setahun. Hal ini menyebabkan Jepang berada dalam posisi yang dilematis sebab ketika Jepang berusaha bangkit dari krisis kepemimpinan yang dialami selama berkali-kali namun justru Jepang terjebak pada penggunduran dua Perdana Menteri yang dilakukan secara berturut-turut pasca pemilu Mejelis Tinggi 2007. Pembagian kekuasaan itu sangat berpengaruh bagi pergantian kepemimpinan di Jepang sebab jika tidak adanya kerjasama antara kedua majelis dan pemerintah dalam merumuskan suatu RUU maka RUU tersebut tidak dapat disahkan. Perdana Menteri Jepang berusaha untuk membuat kebijakan demi mensejahterakan masyarakatnya akan tetapi jika kebijakan tersebut dihambat oleh DPJ yang menguasai Majelis Tinggi maka Perdana Menteri tidak dapat WEDANA Jurnal Pemerintahan, Politik dan Birokrasi
membuat kebijakan apapun untuk direalisasikan pada masyarakat. Hal ini tentu akan berimplikasi pada Perdana Menteri yang berkuasa di Jepang. Seorang pemimpin Jepang yang tidak mampu membuat kebijakan apapun otomatis akan menurunkan kepercayaan publik terhadap dirinya yang tentu saja berdampak pada terhambatnya pemerintahan yang sedang berkuasa. Akibatnya Perdana Menteri yang berkuasa akan mengundurkan diri. 3.2 Karakteristik kepemimpinan di Indonesia terhadap Refomasi Birokrasi Kepemimpinan merupakan fenomena setiap komunitas organisasi, dimana pemimpin menjadi penentu dari sebuah pencapaian tujuan organisasi. Gagal dan suksesnya organisasi dipengaruhi oleh peran pemimpin didalamnya. Pemimpin sebagai pengambil kebijakan strategis mempunyai peranan penting dalam pengembangan dan pengelolaan organisasi. Pemimpin tidak hanya menjadi pengambil kebijakan, akan tetapi harus menjadi pelaku dari kebijakan yang dilakukan.Hayat (2014). Indonesia merupakan sebuah Negara yang berjalan secara lambat dalam refomasi birokrasi, budaya yang kental terhadap panutan dan juga pengabdian terhadap pemimpin yang kurang kompeten menjadi momok yang tidak bisa di hilangkan. Namun, dalam realitasnya, fenomena kepemimpinan diatas masih belum secara keseluruhan diterapkan dengan baik di dalam instansi/organisasi birokrasi, baik dalam pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Problematika mendasar dalam konsep kepemimpinan birokrasi yang ada saat ini adalah komunikasi pemimpin 321
Vol. III Nomor 1 April 2017
yang lemah terhadap bawahan sebagai pelaksana kebijakan pemimpin serta komitmendan kompetensi kepemimpinan masih jauh dari harapan. Lemahnya kualitas dan kompetensi pimpinan birokrasi berdampak terhadap kinerja pegawai dalam pelayanan publik. Sehingga tujuan reformasi birokrasi sulit dicapai dengan baik. Hal ini juga dipengaruhi oleh individu pemimpin dalam pelaksanaan reformasi birokrasi secara keseluruhan masih belum memenuhi tuntutan masyarakat, karena setiap ganti kepemimpinan, maka kebijakan 4 reformasi birokrasi bermula dari awal.
menurut Cahliana (2008) berdasarkan pengertian World Bank adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab serta sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan 11 korupsi, dan disiplin anggaran. Pengawasan dalam setiap instansi pemerintah menunjang refomasi birokrasi berjalan optimal, karena pemimpin harus mampu menjadi agent of change dalam reformasi birokrasi, dengan melakukan perubahan pada diri individu pemimpin (etika, moral, karakter, dan perilaku).
IV. KESIMPULAN
V. DAFTAR PUSTAKA
Kepemimpinan merupakan pondasi dalam bernegara, pemimpin tidak hanya menjiwai nasionalismenya saja tapi haus meletakkan dasar-dasar pemikiran yang bena dan adil bagi bangsa dan negaranya. Perlunya pengalaman dan juga pelajaran dari Negara-negara maju dan berkembang semakin menyakinkan diri bahwa kita bisa menjalankan pemerintahan tanpa adanya menghilangkan budaya kita sebagai orang timur. Seorang pemimpin Negara Indonesia dan memimpin negaranya merupakan tugas yang tidak mentah dan juga tidak matang, artinya semua kondisi wilayah Indonesia dengan permasalahan rakyatnya harus tegas di perhitungkan tanpa adanya pengecualian. Riana, mengutip dari pendapat Prasojo dan Kurniawan (2008), yang mengatakan bahwa reformasi birokrasi dan good governcance adalah dua konsep utama dalam tatanan pemerintahan yang baik. Makna good governance WEDANA Jurnal Pemerintahan, Politik dan Birokrasi
Pagon, M., E. Banutai and U Bizjak. (2008). Leadership Competencies For Successful Change Management. A Preliminary Study Report. Slovenian Presidency of the EU 2008. Dwiyanto, Agus (ed.). (2006). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. JICAGajah Mada University Press. Syafi’I ( 2012). Model Kepemimpinan Dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Di Kabupaten Jember.DIA, Jurnal Administrasi Publik Desember 2012, Vol. 10, No. 2, Hal. 1 – 15 Bennis, Warren & Michael Mische. (1995). The 21st Century Organization: Reinventing Through Reengeneering. San Diego: Published by Pfieffer & Company. Manz, Charles C. & Henry P. Sims, Jr. (1990). Super-Leadership: 322
Vol. III Nomor 1 April 2017
Leading Others To Lead Themselves. New York: Berkley Books. Poon,.J M.L (1998) The Malay Wedding. Asian Thought and Society, Vol 23, no 69, pp. 221-237. Hayat. (2013). Profesionalitas dan Proporsionalitas; Pegawai Tidak Tetap dalam Kinerja Pelayanan Publik. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, Vol. 7 (2), Hal. 2439 Riana, Nina Rosa. Reformasi Birokrasi Dalam Pelayanan Publik Di K a b u p a t e n J e m b r a n a . https://www.academia.edu/4814 137/. Diakses tanggal 31 Mei 2017.
WEDANA Jurnal Pemerintahan, Politik dan Birokrasi
323