PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (Crude Palm Oil) INDONESIA
Oleh : RAMIAJI KUSUMAWARDHANA A 14104073
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
RINGKASAN
RAMIAJI KUSUMAWARDHANA. Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor terhadap Perdagangan Minyak Kelapa Sawit Kasar (Crude Palm Oil) Indonesia. Bimbingan NUNUNG KUSNADI.
Komoditi kelapa sawit merupakan salah satu andalan komoditi pertanian yang pertumbuhannya sangat cepat dan mempunyai peranan yang strategis dalam perekonomian nasional. Sebagai sumber lapangan kerja, sektor kelapa sawit ini pun menyerap tenaga kerja dari sektor hulu hingga hilir. Berdasarkan kepemilikannya perkebunan kelapa sawit terdiri dari Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Milik Swasta (PBS) dan Perkebunan Besar Milik Pemerintah (PTPN). Kelapa sawit (CPO) sebagai bahan baku minyak goreng yang kedudukannya semakin penting dan sebagai perolehan devisa menyebabkan pemerintah dihadapkan pada pilihan. Pilihan pemerintah antara kepentingan untuk menjaga harga minyak goreng sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok atau kepentingan meningkatkan perolehan devisa. Pemerintah merasa perlu berperan dalam mengatur sistem tata niaga kelapa sawit beserta produk-produknya terutama CPO. Wujud campur tangan pemerintah berupa pengaturan alokasi CPO, pengaturan alokasi ini dengan menentukan aturan-aturan alokasi CPO pada tempat tertentu. Kebijakan yang lain adalah pembentukan sistem pengawasan secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik dan pembatasan dan pelarangan ekspor CPO. Tujuan utama dari penetapan kebijakan-kebijakan tersebut adalah untuk menjamin agar pasokan CPO dalam negeri tetap stabil, sehingga harga minyak goreng di dalam negeri pun stabil pada tingkat yang rendah Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan Pajak Ekspor (PE) CPO terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia, menganalisis sejauhmana penawaran ekspor mempengaruhi penawaran domestik dan harga domestik. Penelitian ini pun untuk mengidentifikasikan apakah penerapan kebijakan Pajak Ekspor menjamin suplai CPO ke pasar domestik yang diukur dengan turunnya harga minyak goreng di pasar domestik sesuai dengan tujuan diberlakukan kebijakan tersebut. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Jenis data sekunder bersumber dari beberapa instansi yang terkait dengan objek penelitian seperti Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, BPS Jakarta, LIPI Jakarta, LIPI Bogor, LPRI Bogor, Perpustakaan IPB, Internet serta berbagai penelitian terdahulu yang terkait dalam penelitian ini. Data tersebut berupa angka-angka, grafik, dan gambar. Sumber-sumber lainnya berupa majalah, koran, jurnal hasil penelitian dan buku-bukun literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian, produksi CPO Indonesia, harga ekspor CPO dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar memiliki hubungan yang positif dengan penawaran ekspor CPO Indonesia. Jika produksi CPO Indonesia meningkat maka penawaran ekspor CPO Indonesia akan meningkat. Apabila harga ekspor CPO Indonesia meningkat, maka penawaran ekspor CPO akan meningkat.
Meningkatnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan meningkatnya penawaran ekspor CPO Indonesia. Pemberlakuan pajak ekspor seharusnya mengurangi penawaran ekspor CPO Indonesia. Sayangnya secara statistik dampak pemberlakuan pajak ekspor ini tidak signifikan. Berarti tidak ada perubahan yang berarti pada periode sebelum dan sesudah di berlakukan kebijakan pajak ekspor. Produsen tetap memilih mengekspor CPO ke pasar intenasional daripada pasar domestik, karena harga di pasar dunia lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar domestik. Penawaran ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi penawaran CPO domestik. Penawaran ekspor dan penawaran domestik memiliki arah yang berlawanan. Ketika penawaran ekspor CPO Indonesia berkurang artinya penawaran CPO dalam negeri akan meningkat. Produksi CPO Indonesia memiliki hubungan yang positif terhadap penawaran CPO domestik Indonesia. Dengan produksi Indonesia yang meningkat artinya pasokan CPO di pasar terutama pasar domestik akan meningkat. Impor CPO ke pasar domesti Indonesia memliki hubungan yang positif terhadap penawaran CPO domestik. Artinya, dengan meningkatnya jumlah impor CPO ke pasar domestik maka penawaran CPO di pasar domestik akan semakin banyak. Penawaran domestik CPO Indonesia memiliki hubungan yang negatif dengan harga CPO domestik. Dengan peningkatan penawaran domestik maka harga domestik akan menurun. Harga pasar domestik akan turun akibat terdapat banyak pasokan CPO di pasar. Produksi CPO Indonesia memiliki hubungan yang negatif terhadap harga domestik CPO Indonesia. Apabila produksi CPO Indonesia meningkat, maka penawaran CPO di pasar domestik akan meningkat. Harga CPO Indonesia periode sebelumnya mempunyai hubungan yang positif dengan harga domestik CPO Indonesia. Harga minyak kelapa mempunyai tidak memiliki hubungan dengan harga domestik CPO Indonesia. Hal ini menunjukkan minyak kelapa tidak mempengaruhi harga CPO domestik. Minyak kelapa dan CPO memiliki segmen pasar yang berbeda. Kebijakan Pajak Ekspor mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia. Penawaran ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi penawaran domestik CPO Indonesia. Penawaran domestik CPO Indonesia akan mempengaruhi harga domestik CPO Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pajak ekspor tidak efisien dilakukan. Karena kebijakan ini tidak mampu memncapai tujuannya, yaitu untuk menurunkan harga CPO domestik. Dari sisi lain akan merugikan negara dengan menurunkan penawaran ekspor CPO Indonesia, yang merupakan salah satu sumber devisa negara terbesar. Pajak ekspor dengan tujuan mendatangkan devisa bagi pemerintah harus dapat berjalan dengan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dengan kombinasi kebijakan pajak ekspor. Pajak ekspor tidak boleh melanggar ketentuan yang telah disepakati Indonesia dalam perjanjian bilateral, regional maupun internasional. Perlu adanya kebijakan yang terintegrasi antara pemerintah daerah dan pusat serta peran pusat yang mengkoordinasikan seluruh wilayah serta menetapkan kebijakan dasar. Diperlukan diregulasi yang bersifat insentif yang efektif, serta upaya mengurangi intervensi pemerintah, sehingga tercipta iklim investasi yang menarik.
PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (Crude Palm Oil) INDONESIA
Oleh : RAMIAJI KUSUMAWARDHANA A 14104073
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
JUDUL NAMA NRP
: Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor terhadap Perdagangan Minyak Kelapa Sawit (Crude Palm Oil) Indonesia : Ramiaji Kusumawardhana : A14104073
Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 131 430 801
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (Crude Palm Oil) INDONESIA” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH
PIHAK
LAIN
KECUALI
SEBAGAI
RUJUKAN
YANG
DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, September 2008
Ramiaji Kusumawardhana A 14104073
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 28 Januari 1986 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan DR.Dr.H. Hendro Darmawan, MSc.SpJP dan DR.Ir.Hj.Delima Hasri Azahari Darmawan, MS. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Polisi IV Bogor pada tahun 1998, lalu menyelesaikan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Bogor pada tahun 2001, kemudian menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Bogor pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Manajemen Agribisnis, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi Duta Muda ASEANIndonesia tahun 2007-2008, Ketua Yayasan Delima Harapan Bangsa (DHB) tahun 2008-sekarang, Public Relation (PR) dari South East ASIA Youth Environment Networking (SEAYEN) tahun 2007-2008, UNICEF Voluntary Board tahun 20062007, Anggota Departemen Pendidikan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian tahun 2006-2007, Staf Bendahara Umum MISETA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian) tahun 2005-2006, serta Bendahara Umum Himipunan Kesatuan Mahasiswa Agribisnis tahun 2004-2005.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbil’alamiin, penulis limpahkan rasa syukur kehadirat Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang mengambil judul “Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor terhadap Perdagangan Minyak Kelapa Sawit Kasar (Crude Palm Oil) Indonesia” sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Pertanian jurusan Manajemen Agrisbisnis Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap dengan adanya penelitian ini, banyak pihak yang dapat mengambil manfaat dan hasil dari penelitian ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan sehingga diperlukan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing atas saran dan kritiknya serta pihak-pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini.
Bogor, September 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyadari sepenuh hati bahwa skripsi ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dari lubuk hati yang teramat dalam, perkenankanlah Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1.
Dr. Ir. Nunung Kusnadi,MS sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan kemudahan, nasehat, dan bimbingan serta kesabaran dalam penyelesaian skripsi ini. Tidak ada kata lain selain terima kasih atas bimbingan bapak.
2.
Dr.Ir. Ratna Winandi, MS sebagai dosen penguji utama yang telah berkenan meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.
3.
Faroby Falatehan, SP. ME sebagai dosen penguji dari wakil komisi pendidikan Program Studi Manajemen Agribisnis atas segala kritik dan saran yang telah diberikan.
4.
Ayahanda tercinta, Dr.dr.H. Hendro Darmawan, MSc.SpJP dan Ibunda tercinta, Dr.Ir.Hj.Delima Hasri Azahari Darmawan, MS yang telah menjadi teladan dan inspirator dalam kehidupan penulis. Rasa sayang dan rasa hormat yang tak terhingga untuk kalian, sebagai seseorang yang sangat penulis cintai. Terima kasih untuk semuanya.
5.
Sekretariat Program Studi Manajemen Agribisnis (Mbak Dian, Mbak Dewi, dan Mas Hamid) serta seluruh staf pengajar dan karyawan/wati Departemen Agribisnis, Faperta IPB yang telah banyak membantu penulis.
6.
Om Sony, serta semua pihak dalam Pusat Sosial Ekonomi (PSE) atas kerjasama, bimbingan, serta bantuannya selama penulis melakukan penelitian.
7.
Kakakku tercinta Ranitya Kusumadewi, SE. ST dan adikku Rahmadia Kusumamardhika sebagai saudara, sahabat, dan teman berbagi. Terima kasih karena dengan kehadiran kalian membuat kehidupan penulis menjadi lebih bermakna.
8.
Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL …......………………………………………….………... xiii DAFTAR GAMBAR .....……………...…...…………………………………. xv DAFTAR LAMPIRAN .…….………….……...……...…………………….. xvi
I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .....………….......……………….…………………… 1 1.2 Perumusan Masalah ......…….………………….……………………. 8 1.3 Tujuan Penelitian ....…………...…………………………………… 10 1.4 Manfaat Penelitian ...………………...…...……..………………….. 11 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .................................... 11
II.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Posisi Sawit di Indonesia ….……………………..…………….…... 12 2.2 Luas Areal Perkebunan Sawit di Indonesia .......................................14 2.3 Kebijakan Tarif dan Harga dalam Industri Kelapa Sawit ................. 16 2.4 Perdagangan CPO Indonesia ............................................................ 24 2.5 Prospek dan Tantangan Industri Kelapa sawit di Indonesia .............. 27
III.
KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Permintaan dan Penawaran Kelapa Sawit ........................................ 32 3.2 Perdagangan Internasional ……........................................................ 37 3.3 Ekspor Kelapa Sawit Indonesia ......................................................... 39 3.4 Pajak Ekspor Kelapa Sawit Indonesia .............................................. 41 3.5 Kerangka Pemikiran Teori ............................................................... 43
IV.
METODE PENELITIAN 4.1 Jenis dan Sumber Data ……………...……………………….…… 47 4.2 Metode Pengumpulan Data …...…...………..…………………… 47 4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data ….……….......…………... 48 4.4 Spesifikasi Model Simultan …………………….………………….. 49
4.5.1 Penawaran Ekspor CPO Indonesia ………………....…….51 4.5.2 Penawaran Domestik CPO Indonesia …………………….52 4.5.3 Model Harga CPO Domestik Indonesia ………....……… 53 4.5 Identifikasi Model……………………………………………………55 4.6 Definisi Operasional ......……..……………..…………..……….… 58 4.7 Pengujian Terhadap Hipotesis .......................................................... 60
V.
GAMBARAN UMUM KELAPA SAWIT INDONESIA 5.1 Perkembangan Industri Kelapa Sawit Indonesia …..……..….……. 64 5.2 Perkembangan Harga Ekspor CPO Indonesia ………….……..…... 69 5.3 Pengaturan Tataniaga CPO Indonesia oleh Pemerintah ………...… 73 5.4 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika………77 5.5 Perkembangan Harga Ekspor Minya Kelapa Indonesia …..…….... 78
VI.
PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN CPO 6.1 Hasil Pendugaan Model Perdagangan CPO Indonesia……………... 81 6.2 Penawaran Ekspor CPO Indonesia …………………….………….. 82 6.3 Penawaran Domestik CPO Indonesia ………....…………...……… 86 6.4 Harga Domestik CPO Indonesia ……………………......…....…….. 89
VII.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ..........................…….……………………………...… 93 Saran ………………………………………………..……………… 94
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..… 96 LAMPIRAN …………..……………………………………………………….. 99
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
Areal Kelapa Sawit Indonesia 2000-2007................................................. 2
2.
Perbandingan Total Ekspor dan Impor Terhadap GDP Indonesia Tahun 1996....................…………..……………………………................ 8
3.
Produksi Minyak Sawit Dunia 1969, 1980, 2001 dan 2004..................... 13
4.
Perkembangan Penetapan Tarif Pajak ekspor Kelapa Sawit, CPO dan Produk Turunannya, 1999-2001....................................................... 19
5.
Harga Patokan Ekspor (HPE) Kelapa Sawit, Minyak Kelapa Sawit dan Produk Turunannya........................................................................... 20
6.
Tren Harga CPO, 1997-2004.................................................................... 21
7.
8.
Produksi dan Penggunaan Dalam Negeri CPO Indonesia (1994-2004) ........................................................................................... 26 . Order Condition Identification dari Model .......................................... 56
9.
Ekspor CPO Indonesia Periode 1979-2007 ………………….……....
10.
Produksi CPO Indonesia Periode 1979-2007 ...................................... 67
11.
Penawaran CPO Domestik Periode 1979-2007 ...................................
69
12.
Harga Ekspor CPO IndonesiaPeriode 1979-2007 …….......................
71
13.
Perkembangan Harga CPO Domestik Periode 1979-2007 ………….
73
14.
Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar (Rupiah) 1979-2007 …….... 78
15.
Harga Ekspor Minyak Kelapa Indonesia Periode 1979-2007 …..…….. 80
16.
Peubah-peubah yang Diduga Mempengaruhi Penawaran Ekspor CPO Indonesia ………………………..……………………………... 83
17.
Peubah-peubah yang Diduga Mempengaruhi Penawaran Domestik …. 88
18.
Peubah-peubah yang Diduga Mempengaruhi Harga Domestik …….... 90
65
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1.
Ekspor CPO Berdasarkan Negara Tujuan Periode Tahun 2001-2006 ................................................................................................. 4
2.
Siklus Bisnis dan Musiman Harga CPO Periode Tahun 1982-2006................................................................................................... 6
3.
Pergerakan Harga TBS, CPO dan Minyak Goreng Curah....................... 17
4.
Siklus Bisnis Harga CPO Periode 1970 – 2007....................................... 28
5.
Pergerakan Harga Musiman CPO............................................................ 29
6.
Kurva Proses Terjadinya Perdagangan Internasional…….......………... 38
7.
Bagan Kerangka Teoritis Pengaruh Kebijakan Pajak Terhadap Perdagangan Minyak Kelapa Sawit Kasar (CPO) Indonesia ……...….. 46
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1
Hasil Perhitungan Pendugaan dengan STATA …..……….…...…….. 100
2.
Perkembangan Produksi, ekspor dan impor Minyak Kelapa dan Minyak Kelapa Sawit ………………………………………………... 103
3.
Perkembangan Harga Penjualan CPO di Pasar Lokal dan Ekspor………………………………………………………………… 105
4.
Struktur Produksi dan Distribusi Kelapa Sawit ………………….……106
5.
Matriks Kebijakan Pemerintah untuk CPO …………………….……..107
6.
Tabel Distribusi F ..................................................................................110
7.
Statistik Durbin Watson ........................................................................ 111
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam perekonomian Indonesia karena selain merupakan sektor yang menyediakan pangan bagi rakyat Indonesia, juga merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Sektor Pertanian menyumbang sekitar 18 persen terhadap Gross Domestic Product (GDP) dan menyerap 45 persen dari angkatan kerja di Indonesia (Laporan Akhir Tahun Departemen Pertanian, 2007). Sektor pertanian juga merupakan penyumbang devisa negara dan menyediakan bahan baku bagi pengembangan industri dalam negeri. Kontribusi sektor pertanian terhadap penyediaan devisa terutama merupakan ekspor komoditi perkebunan dimana salah satunya dan yang terbesar adalah kelapa sawit. Laju pertumbuhan sektor Pertanian pada tahun 2006 adalah 2,56 persen per tahun. Pada periode ini laju pertumbuhan sub sektor perkebunan juga naik menjadi 5,14 persen/tahun, laju pertumbuhan rata-rata pada periode tahun 1994– 1996 hanya 4,65 persen/tahun. Pertumbuhan sektor pertanian pada periode tahun 2002 sampai 2006 menunjukkan laju penurunan pertumbuhan yaitu sebesar 2,55 per tahun dan sub sektor perkebunan hanya bertumbuh dengan 2,23 persen, artinya sektor pertanian khususnya sub-sektor tanaman pangan, perkebunan dan peternakan pada tahun 2006 jauh lebih baik dibandingkan pertumbuhan sektor
ekonomi lainnya setelah Indonesia dihantam krisis multidimensi tahun 1998 sampai tahun 2000 (Laporan Akhir Tahun Departemen Pertanian, 2006). Luas areal tanaman kelapa sawit meningkat secara substansial dari 728 ribu hektar pada tahun 1986 menjadi 6,3 juta hektar tahun 2006 bahkan pada tahun 2008 areal perkebunan sawit mendekati 7.0 juta hektar. Komposisi penguasaan areal tanaman sawit berdasarkan data tahun 2006 adalah 2,52 juta hektar atau 42 persen Perkebunan Rakyat (PR), 2,96 juta hektar atau 47 persen Perkebunan Besar Milik Swasta Nasional (PBSN) dan 0,693 juta hektar atau 11 persen milik Perkebunan Besar Milik Pemerintah (PTPN). Tabel 1 Areal Kelapa Sawit Indonesia 2000-2007 Tahun Perkebunan Rakyat (PR) 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
572.544 658.536 738.887 813.175 890.506 1.038.289 1.166.758 1.561.031 1.808.424 1.854.394 2.120.339 2.356.895 2.548.452 2.852.344
Area (Ha) Perkebunan Perkebunan Pemerintah Besar Swasta (PTPN) (PBSN) 386.309 845.296 404.732 961.718 426.804 1.083.823 448.735 1.254.169 489.143 1.409.134 516.447 1.617.427 588.125 2.403.194 609.943 2.542.457 631.566 2.627.068 662.803 2.766.360 664.776 2.781.520 677.792 2.915.662 679.235 3.022.773 698.312 3.324.865
Total
1.804.149 2.024.986 2.249.514 2.516.079 2.788.783 3.172.163 4.158.077 2.713.431 5.067.058 5.283.557 5.556.635 5.950.349 6.250.460 6.875.521
Sumber: Indonesian Palm Oil Statistic, 2007
Perluasan areal tanaman kelapa sawit di Indonesia, seringkali dikaitkan dengan isu pembangunan yang berkelanjutan terkait dengan kerusakan lingkungan dan perusakan biodiversity. Isu lingkungan akhir-akhir ini digunakan kompetitor yaitu produsen minyak nabati dengan bahan baku lainnya, antara lain jagung, kedele, kanola, sebagai untuk menyudutkan produksi kelapa sawit Indonesia di
pasar dunia dengan melakukan kampanye citra negatif minyak sawit yang berasal dari Indonesia. Terdapat banyak permasalahan yang terkait dengan isu lingkungan antara lain pengrusakan hutan (deforestation dan biodiversity, seperti yang disampaikan oleh NGO Green Peace dalam laporan yang berjudul Burning Borneo) dan oleh WWF tentang perusakan hutan yang terjadi di Riau. walaupun demikian Indonesia mempunyai komitmen untuk membangun perkebunan kelapa sawit dengan melibatkan lebih banyak tenaga kerja. (Green Peace, 2006 dan WWF 2006) Rata-rata pertumbuhan produksi kelapa sawit Indonesia adalah 10-15 persen per tahun, data terakhir dari Oil World menunjukkan bahwa produksi minyak sawit Indonesia tahun 2006 mencapai 15,9 juta ton, sedikit lebih tinggi dari produksi minyak sawit Malaysia yang mencapai 15,88 juta ton pada tahun yang sama. Data Oil World menunjukkan bahwa produksi minyak sawit Indonesia tahun 2006 telah mencapai 16,5 juta ton yang berasal dari perkebunan rakyat, Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) dan PT. Perkebunan Negara. Pada tahun 2007 produksi CPO Indonesia mencapai 17,5 juta ton dan tahun 2008 diperkirakan mencapai lebih dari 18 juta ton, jauh melebihi produksi minyak sawit Malaysia. Walaupun demikian Malaysia adalah tetap negara pengekspor minyak sawit terbesar di dunia, karena penggunaan minyak sawit domestik yang lebih kecil dibandingkan Indonesia. Pemerintah Indonesia akan menambah areal perkebunan sawit sebanyak 1,35 juta hektar, selain itu pemerintah akan melakukan penanaman kembali sebesar 125 ribu hektar melalui Program Revitalisasi Perkebunan. Melalui program ini produksi minyak sawit Indonesia paling tidak meningkat sebanyak
1,5 juta ton per tahun sampai tahun 2010. Diharapkan dengan adanya peningkatan produksi CPO Indonesia akan menaikkan pangsa pasar CPO Indonesia. Pada tahun 2006, kontribusi ekspor produk kelapa sawit adalah 5,833 miliar USD meningkat sebesar 1,133 miliar USD dari 4,7 miliar USD tahun 2005. Ekspor kelapa sawit Indonesia masih didominasi oleh Crude Palm Oil (CPO) sebesar 37 persen. Adapun negara tujuan ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia adalah India, Belanda, Singapura, Malaysia dan Cina. Sedangkan negara tujuan ekspor produk CPO lainnya yang terbesar adalah Cina, India, Belanda, Pakistan dan Bangladesh.
Gambar 1 Ekspor CPO Berdasarkan Negara Tujuan Periode 2001-2006 Sumber: BPS, 2001-2006, diolah
Permintaan pasar akan CPO baik untuk keperluan industri dalam negeri maupun untuk memenuhi permintaan ekspor akan terus meningkat terutama karena adanya permintaan untuk edible oil oleh China dan India dan permintaan untuk bahan baku pengembangan industri biodiesel oleh Uni Eropa. Adapun penggunaan CPO domestik adalah 4,5 sampai 5 juta ton untuk industri minyak
goreng dan kurang dari 1 juta ton untuk
pengembangan industri biodiesel
(Statistik Minyak Sawit Indonesia, 2006). Produk-produk yang dapat dihasilkan dari minyak sawit sangat luas dan mempunyai prospek pasar yang sangat besar di pasar dunia. Pada saat ini produk minyak sawit Indonesia yang diekspor barulah berupa produk primer (CPO) dan produk intermediet seperti RBD palm oil dan stearin. Produk-produk yang bernilai tambah tinggi seperti oleokimia dan vitamin produksinya masih sedikit. Harga CPO setiap tahun sangat berfluktuasi, terlebih sejak bulan November
2006
harga
CPO
cenderung
meningkat
dimulai
dengan
diberlakukannya International Maritime Organization (IMO), kesepakatan yang memberlakukan pengangkutan CPO harus menggunakan angkutan kapal khusus untuk edible oil. Ketentuan ini mengakibatkan kenaikan harga minyak nabati termasuk CPO, minyak kedele, minyak matahari, dan minyak kanola. Permintaan dunia akan minyak nabati juga meningkat tajam akibat permintaan untuk pengembangan industri biofuel terutama di Uni Eropa dan peningkatan permintaan dari Cina dan India untuk keperluan konsumsi. Situasi ini diperburuk dengan kenaikan harga minyak bumi yang terus meningkat sampai diatas 120 USD per barrel. Pada akhir Desember 2006, harga CPO berfluktuasi dari 590 sampai 830 USD per ton cif Rotterdam. Fluktuasi harga ini dipicu dengan kenaikan harga minyak bumi, yang mengakibatkan kenaikan biaya transportasi dan kenaikan harga input terutama pupuk. Harga CPO yang tinggi di pasar dunia menunjukkan adanya kelangkaan pasokan CPO di pasar internasional. Pada kondisi harga yang tinggi, negara pengekspor terutama Indonesia tidak dapat cepat merespon
permintaan dunia karena adanya tengat waktu (time lag) dalam memproduksi CPO. Sementara negara pengimpor seperti India, merespon kenaikan harga ini dengan menurunkan Tarif Bea Masuk (TBM) untuk impor CPO untuk memperbesar supply. Namun, walaupun harga CPO dunia terus meningkat sampai dengan akhir Juli 2008 mencapai 1100 USD/ton, namun produksi dan ekspor Indonesia tidak dapat dengan cepat merespon harga tersebut. Harga CPO yang tinggi justru menimbulkan reaksi kenaikan harga minyak goreng di pasar dalam negeri, karena besarnya permintaan ekspor di pasar dunia. Untuk tetap menjamin pasokan CPO untuk bahan baku industri minyak goreng dalam negeri, pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) secara voluntary untuk menjamin pasokan CPO ke pasar domestik dengan harapan dapat menekan harga minyak goreng yang juga berarti menekan laju inflasi. Namun kebijakan ini ternyata tidak efektif dalam menekan harga minyak goreng di pasar dalam negeri, seperti yang diperlihatkan pada gambar dibawah ini.
Gambar 2 Perkembangan harga CPO, musiman Periode 1982-2006 Sumber: Oil World, 2006
Pada tanggal 15 juni 2007, Pemerintah memberlakukan Kebijakan Pajak Ekspor (PE) yang baru untuk produk kelapa sawit termasuk 4 produk yang sebelumnya tidak termasuk dalam kebijakan Pajak Ekspor antara lain Crude Palm Kernel Oil (PKO), Refined bleached deodorized (RBD), crude stearin dan RBD stearin. Walaupun sudah diterapkannya kebijakan pajak ekspor, permintaan CPO dan produknya cenderung terus meningkat baik untuk permintaan pangan maupun non-pangan terutama untuk biodiesel baik di pasar internasional maupun di dalam negeri. Semakin pentingnya kedudukan kelapa sawit (CPO) sebagai bahan baku minyak goreng dan perolehan menyebabkan pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit. Pilihan pemerintah antara kepentingan untuk menjaga harga minyak goreng sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok atau kepentingan meningkatkan perolehan devisa. Pemerintah merasa perlu berperan dalam mengatur sistem tata niaga kelapa sawit beserta produk-produknya terutama CPO. Bentuk intervensi pemerintah ini ada tiga, yaitu: 1. Pengaturan alokasi CPO, pengaturan alokasi ini dengan menentukan aturan-aturan alokasi CPO pada tempat tertentu. 2. Pembentukan sistem pengawasan secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik 3. Pembatasan dan pelarangan ekspor CPO Tujuan utama dari penetapan kebijakan-kebijakan tersebut adalah untuk menjamin pasokan CPO dalam negeri, sehingga harga minyak goreng di dalam negeri stabil pada tingkat yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa Pengaruh kebijakan Pajak Ekspor pada CPO terhadap penawaran ekspor CPO
Indonesia, penawaran CPO untuk pasar domestik dan harga CPO domestik. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk saran perbaikan dalam implementasi kebijakan Pajak Ekspor dalam mendukung posisi Indonesia sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia.
1.2. Perumusan Masalah Salah satu faktor yang dapat mendorong pertumbuhan pendapatan nasional adalah surplus ekspor terhadap impor. Apabila ekspor lebih besar dari impor, posisi neraca perdagangan luar negeri akan surplus. Sehingga income akan naik dan berarti pula GNP akan naik. Surplus neraca perdagangan merupakan indicator keterbukaan ekonomi suatu Negara. Semakin besar surplus ekspor, maka semakin besar pula pengaruh ekonomi internasional terhadap ekonomi nasional suatu negara. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian negara tersebut semakin terbuka (Open Economy). Suatu negara dapat dikatakan menganut perekonomian terbuka apabila total ekspornya lebih besar dari 10 persen dari GDP-nya (Hadi, 2006). Mengacu pada pendapat ini, Indonesia dapat dikategorikan sebagai
salah satu negara
dengan perekonomian terbuka berdasarkan data berikut. Tabel 2 Perbandingan Total Ekspor dan Impor CPO Terhadap GDP Indonesia Tahun 2007 Harga Berlaku (Milyar Rupiah) 1. Total Ekspor 116.968,90 2. Total Impor 104.549,15 3. GDP 414.418,90 Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2007
Prosentase 28,22 % 25,23 % 100,00 %
Sebagai konsekuensi dari keterbukaan ekonomi Indonesia, perubahan dan dinamika pasar internasional segera berimbas pada pasar domestik. Demikian pula yang terjadi pada pasar CPO. Pada saat ini, harga CPO di pasar internasional lebih
tinggi dibandingkan dengan harga CPO di pasar domestik. Sebagai respon dari fenomena ini ditambah dengan perilaku homoeconomicus, yaitu mahluk ekonomi yang berusaha mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya yang paling murah, produsen CPO Indonesia memilih untuk mengekspor CPO ke pasar internasional. Kecenderungan ini menyebabkan kekhawatiran akan terganggunya pasokan CPO untuk memenuhi kebutuhan industri dan konsumsi dalam negeri. Untuk mencegah kekurangan pasokan dalam negeri, maka jumlah ekspor dikendalikan melalui penerapan kebijakan Pajak Ekspor. Penerapan Pajak Ekspor (PE) merupakan instrumen perdagangan yang tidak menyalahi ketentuan perjanjian perdagangan WTO. Penerapan Pajak Ekspor yang efektif dapat menekan laju ekspor CPO Indonesia di pasar dunia yang kemudian akan menjamin pasokan CPO dalam negeri. Penerapan pajak ekspor ini haruslah tetap menjaga komitmen ekspor Indonesia untuk merespon permintaan CPO di pasar dunia. Penerapan Pajak Ekspor (PE) juga dipandang sebagai kebijakan yang dapat memberikan pendapatan kepada pemerintah dari penerimaan PE yang dapat digunakan antara lain untuk membiayai fasilitas, subsidi harga minyak goreng untuk golongan ekonomi lemah dan membiayai Program Revitalisasi Perkebunan. Di lain pihak, kebijakan Pajak Ekspor juga dapat menekan harga CPO dalam negeri terutama Harga Patokan Ekspor (HPE) yang pada umumnya akan berdampak menekan harga Tandan Buah Segar (TBS) yang dihasilkan petani. Harga TBS yang lebih rendah akan mempengaruhi kesejahteraan petani kelapa sawit.
Pajak Ekspor yang terlalu tinggi seringkali menjadikan pelaku usaha melakukan langkah tidak terpuji yaitu melakukan ekspor secara ilegal yang pada gilirannya merugikan pemerintah pada umumnya, pengusaha kecil dan menengah serta petani khususnya. Berdasarkan uraian singkat mengenai situasi terkini pasar Crude Palm Oil (CPO), terkait dengan harga CPO di pasar internasional yang tinggi dan permintaan akan CPO yang cenderung meningkat, maka masalah-masalah yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaruh kebijakan pajak ekspor Crude Palm Oil (CPO) terhadap penawaran ekspor CPO? 2. Sejauhmana penawaran ekspor mempengaruhi penawaran domestik dan harga domestik? 3. Apakah kebijakan pajak ekspor efektif dalam menjamin suply CPO ke pasar domestik yang diukur dengan turunnya harga minyak goreng di pasar domestik sesuai dengan tujuan awal diberlakukan kebijakan tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis pengaruh penetapan kebijakan Pajak Ekspor (PE) CPO terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia. 2. Menganalisis pengaruh penawaran ekspor terhadap penawaran domestik dan harga domestik.
3. Mengidentifikasi penerapan kebijakan Pajak Ekspor menjamin suplai CPO ke pasar domestik yang diukur dengan turunnya harga minyak goreng di pasar domestik sesuai dengan tujuan diberlakukan kebijakan tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dengan menambah pengetahuan akan kebijakan pajak ekspor dapat dijadikan sumber informasi untuk menentukan harga di masing-masing tahapan pasar dengan tepat. Informasi yang cepat dan tepat diperlukan agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat perbedaan harga yang signifikan. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis kebijakan Pajak Ekspor pada komoditas CPO terhadap perdagangan CPO Indonesia dengan menggunakan model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan recursive yang diduga dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS). Keterbatasan penelitian ini antara lain adalah data time series yang digunakan yaitu sejak tahun 1979-2007. Sebab tujuan penelitian ini melihat pengaruh kebijakan Pajak Ekspor sebelum dan setelah ditetapkan. Periode 1979-2007 menunjukkan bagaimana kinerja penetapan pajak ekspor. Selain itu, keterbatasan penelitian ini adalah tidak meneliti minyakminyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak lobak yang merupakan komoditi yang dipertimbangkan sebagai barang lain minyak sawit.
II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas mengenai konsep dari penelitian ini dan juga penelitian-penelitian yang berkaitan dengan topik skripsi ini. Oleh karenanya, bab ini dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama mengenai posisi sawit Indonesia di dunia, bagian kedua yang menyajikan luas areal kelapa sawit di Indonesia, bagian ketiga menyajikan kebijakan tarif dan harga dalam industri kelapa sawit bagian keempat membahas perdagangan CPO dan bagian kelima prospek dan tantangan industri kelapa sawit Indonesia.
2.1
Posisi Sawit Indonesia di Dunia Kebutuhan dunia akan minyak dan lemak (oils and fats) dipenuhi oleh 17
jenis sumber yaitu minyak kedelai, minyak kelapa sawit, minyak bunga matahari, minyak kanola (rape seed oil), minyak biji kapas, minyak kacang tanah, minyak inti sawit, minyak biji sesame (sesame seed oil), minyak kelapa, lin seed, minyak biji jarak (castor seed oil), minyak jagung, minyak zaitun (olive oil), minyak ikan, ditambah tiga jenis lemak hewan (butter, lard, tallow, greases oil). Dari jenisjenis sumber minyak dan lemak tersebut, yang memegang peranan utama adalah minyak kedelai dan minyak kelapa sawit (Bangun, 2005). Pada akhir 1970-an kontribusi minyak kedelai terhadap kebutuhan dunia sebesar 21 persen, sedangkan minyak kelapa sawit hanya sebesar 7 persen. Pada akhir tahun 1990-an proporsinya berubah menjadi minyak kedelai sebesar 22 persen, minyak kelapa sawit sebesar 17 persen, Oil World memprediksikan bahwa
periode tahun 2016-2020 minyak kelapa sawit akan meningkat menjadi 23 persen sedangkan minyak kedelai menjadi 21 persen. Peningkatan
peranan
minyak
kelapa
sawit
didasarkan
pada
produktivitasnya per ha yang lebih tinggi, dibandingkan semua jenis minyak dan biaya produksinya yang lebih rendah. Peranan minyak kelapa sawit Indonesia dalam produksi dunia pada tahun 1969 masih sangat kecil, meningkat pesat pada awal 1980 mencapai tingkat yang sangat berpengaruh saat ini. Dengan meningkatnya kontribusi produksi CPO
Indonesia, maka CPO dapat
dikategorikan sebagai komoditi yang strategis bagi Indonesia. Produksi minyak kelapa sawit Indonesia pada tahun 2005 mencapai sekitar 13,6 juta ton, mendekati produksi Malaysia sebesar 14,6 juta ton. Dengan perluasan areal tanaman yang terus berlangsung, diprediksikan Indonesia akan menjadi produsen CPO nomer satu pada 2010. Perlu dicatat bahwa sebagai negara pengekspor CPO dengan pangsa pasar terbesar di dunia Malaysia juga meningkatkan produktivitasnya dengan memperbaiki jenis bibit. Produksi negara penghasil minyak sawit dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Produksi Minyak Sawit Dunia 1969, 1980, 2001 dan 2004 Negara
1969 Produk si (ton)
Malaysia Indonesia Nigeria Colombia Thailand Kongo Lain-lain Total
370 190 50 30 NA 230 260 1.130
Pers entas e (%) 32,74 16,82 4,42 2,66 20,35 23,01 100,0
1980 Produksi (ton) 2.558 640 670 70 NA NA 1.100 5.060
Pers entas e (%) 50,99 12,65 13,24 1,38 21,74 100,0
2001 Produksi (ton) 11.660 8.300 750 560 530 96 2.263 24.159
Pers entas e (%) 48,26 34,36 3,10 2,32 2,19 0,40 9,37 100,0
2004 Produksi (ton) 13.974 12.220 790 632 670 NA 2.487 30.753
Pers entas e (%) 45,44 39,67 2,57 2,06 2,18 8,08 100
Sumber: Oil World, 2004
Jika dipandang dari aspek produksi, Indonesia sudah dapat menyamai Malaysia. Namun, dari aspek kualitas yang dihasilkan Indonesia masih
memerlukan penyempurnaan. Prakasa (1995), melihat bahwa perlu adanya penyeimbangan antara peningkatan mutu dan processing CPO. Produksi CPO akan terus meningkat, bahkan peningkatannya akan lebih cepat daripada kenaikan konsumsi dan ekspor. Mengingat masih kurangnya produksi CPO Indonesia yang dapat memenuhi standar yang ditetapkan. Selain itu penetapan harga-harga di dalam negeri yang sangat rendah dibandingkan dengan harga ekspor, mengurangi ketertarikan pengusaha CPO untuk memasarkan produknya di dalam negeri. Posisi CPO Indonesia di pasar dunia saat ini memegang peranan penting. Saat ini Indonesia merupakan negara pemegang pangsa pasar kedua terbesar di dunia. Kebijakan pemerintah akan posisi kelapa sawit Indonesia haruslah memegang bersifat one side fits all, sehingga posisi kelapa sawit Indonesia bisa tetap memegang peranan penting.
2.2
Luas Areal Perkebunan CPO di Indonesia Sentra perkebunan kelapa sawit tersebar di 18 provinsi, yaitu provinsi
NAD, Sumatra Utara, Riau, Jambi, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Lampung, Bengkulu, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalomantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, dan Papua. Daerah dengan produksi terbanya adalah daerah Sumatra. Luas areal kelapa sawit nasional mengalami kenaikan secara berkala, jika pada tahun 1985 mencapai 597 ribu ha, maka pada tahun 2004 mencapai 5,29 juta ha atau mengalami kenaikan lebih dari 8 kali lipat. Komposisi kepemilikan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2003 terdiri dari Perkebunan Rakyat (PR) 29,7 persen, PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) 13,2 persen dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) 57,1 persen. Tingkat produktivitas dari perkebunan rakyat
mencapai 2,7 ton per ha, PTPN 4,5 ton per ha, dan PBSN 2,8 ton per ha. Berbagai permasalahan masih dihadapi dalam pengembangan kelapa sawit yang dapat dikemukakan sebagai berikut: a.
Rata-rata produktivitas tanaman yang masih rendah (berkisar 10 ton TBS/ha/tahun) yang antara lain akibat tingginya harga dan kelangkaan pupuk pada beberapa tahun terakhir. Kondisi ini berada dibawah produktivitas yang dicapai Malaysia.
b.
Pengawasan mutu benih belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 40% areal tanaman kelapa sawit dengan bibit palsu.
c.
Berdasarkan data yang dihimpun Ditjen Bina Produksi Perkebunan, pada saat ini kebun kelapa sawit yang harus diremajakan mencapai areal 400 ribu ha.
d.
Belum terintegrasinya pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya dengan Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
e.
Tidak tersedia lagi dana murah (kredit program) untuk pengembangan kebun kelapa sawit yang mengakibatkan upaya peremajaan dan pengembangan tanaman khususnya perkebunan rakyat menjadi terlambat. Luas areal kelapa sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan. Kelapa
sawit merupakan komoditi yang sangat penting. Dengan melihat keistimewaan kelapa sawit, di Indonesia luas areal semakin besar seiring dengan bertambahnya konsumsi dari minyak kelapa sawit. Perluasan areal kelapa sawit di Indonesia tetap berada di bawah Undang-Undang, sehingga perluasannya dilakukan di bawah pengawasan. Perluasan areal kelapa sawit kemudian memperbesar
produksi CPO Indonesia. Dengan produksi Indonesia yang terus meningkat akan meningkatkan pangsa pasar dari CPO Indonesia.
2.3
Kebijakan Tarif dan Harga dalam Industri Kelapa Sawit Industri kelapa sawit di Indonesia yang dimulai dari buah kelapa sawit
sebagai produk perkebunan sampai berbagai produk turunannya begitu penting. Industri kelapa sawit sebagai penghasil devisa negara, pembuka kesempatan lapangan kerja, dan pemenuhan kebutuhan konsumsi domestik. Karena bekaitan dengan hajat hidup orang banyak, pemerintah dituntut perannya dalam pengaturan dan kebijakan industri kelapa sawit di Indonesia (Permadi, 2005). Dalam suatu pasar yang sederhana, harga dan kuantitas dari produklah yang akan menentukan tercapainya suatu keseimbangan. Namun, dalam pasar yang semakin global dan kompleks, penentuan harga dan kuantitas juga akan semakin sulit untuk dilakukan. Selain mempertimbangkan permintaan dan penawaran domestik, hal lain yang harus mempertimbangkan adalah permintaan dan penawaran luar negeri yang juga berkaitan dengan perbedaan dan fluktuasi mata uang antar negara. Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana kebijakan perdagangan di masing-masing negara terhadap produk yang diperdagangkan melalui aktivitas ekspor dan impor. Melalui aktivitas ekspor dan impor terdapat tantangan dalam menghadapi berbagai kebijakan tarif dan non-tarif. Kebijakan tarif atau di Indonesia disebut dengan kebijakan Pajak Ekspor (PE), dimana kebijakan ini akan meningkatkan harga ekspor CPO Indonesia di pasar dunia. Tujuan dari kebijakan tarif ini adalah menjamin adanya pasokan CPO di pasar domestik. Namun, kebijakan ini pun dapat menurunkan pangsa pasar
CPO Indonesia di pasar dunia. Apabila harga ekspor CPO Indonesia terus meningkat maka pasar akan memilih CPO dari negara lain. Kebijakan Pajak ekspor cenderung menjadi barrier dalam perdagangan internasional. Perkembangan harga CPO dan minyak goreng cenderung naik secara konsisten.
Sebagai informasi tambahan, kenaikan harga tersebut juga diikuti
dengan kenaikan harga TBS. Harga-harga tersebut bergerak searah satu sama lain. Gambar 3 menunjukkan Pergerakan Harga TBS, CPO dan Minyak Goreng Curah (Januari 2005– Juni 2007). Minyak Goreng
8500 7500
CPO
6500 5500 4500
p R3500 2500 1500
TBS
500 5 -0n aJ
eb P
ra M
rp A
ie M
n Ju
lu J
gs A
tp e S
tk O
op N
5 002 se D
6 002 na J'
eb P
ra M
rp A
ie M
n Ju
lu J
gs A
tp e S
tk O
op N
es D
7 002 na J'
eb P
ra M
rp A
ie M
n Ju
lu J
Gambar 3 Pergerakan Harga TBS,CPO dan Minyak Goreng Curah Sumber : BPS, 2007
Melihat pergerakan harga TBS, CPO dan Minyak goreng curah yang terus meningkat, maka Indonesia mengenakan pajak ekspor terhadap kelapa sawit dan tingkatnya berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu. Pajak ekspor yang tinggi dikenakan ketika harga kelapa sawit dunia tinggi. Hal ini dilakukan untuk menjamin supply yang cukup dalam penyediaan minyak untuk konsumsi pasar domestik. Misalnya, pada tahun 1979 dimana ekspor dikenakan pajak yang sangat tinggi atau dengan pelarangan ekspor. Demikian halnya pada tahun 1984, pemerintah mengenakan pajak ekspor tinggi sebesar 37,18 persen pada CPO
karena harga CPO dunia tinggi pada juni 1986 dan menjadi nol persen ketika harga dunia rendah. Pemerintah menderegulasi perdagangan kelapa sawit dan kopra pada tahun 1991. Pengusaha bebas mengimpor CPO dan kopra dengan pajak impor 5 persen, sedangkan untuk minyak makan yang berasal dari kelapa sawit dan kelapa dikenakan pajak 10 persen. Pada september 1994, pemerintah kembali mengenakan pajak ekspor CPO dan produk turunannya pada tingkat 40 persen hingga 75 persen. Alasan dibalik pengenaan pajak tinggi ini adalah karena harga dunia mulai meningkat dan mencapai harga tinggi pada agustus 1994. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah Indonesia bertujuan untuk menjaga stabilitas kesediaan minyak kelapa sawit di Indonesia. Pada November 1996, stardar harga ekspor diturunkan untuk CPO sebesar 2,6 persen, RBD kelapa sawit sebesar 2,7 persen, crude olein sebesar 2,9 persen, dan RBDP olein sebesar 2,7 persen. Pada Juli tahun berikutnya, pemerintah kembali menaikkan pajak ekspor untuk mendorong pengembangan industri hilir dengan meningkatkan nilai value added industri kelapa sawit. Deregulasi perdagangan kelapa sawit terus berlanjut hingga pada tahun 1997. Deregulasi bertujuan untuk meningkatkan kekuatan Indonesia menghadapi globalisasi. Perubahan Pajak Ekspor terus terjadi hingga tahun 2008. Pada tahun 2008, pemerintah mengenakan pajak ekspor yang lebih rendah dalam bentuk harga dasar ekspor kelapa sawit dan turunannya. Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor yang dapat meningkatkan penerimaan devisa, pada tahun 2001 pemerintah memandang perlu meninjau kembali besarnya tarif pajak ekspor kelapa sawit, CPO dan produk turunannya. Tabel 4 berikut menggambarkan
perkembangan penetapan tarif pajak ekspor. Khusus komoditi kelapa sawit pada tahun 1999 tarif yang dikenakan adalah 40 persen, namun pada tahun 2001 tarif yang dikenakan adalah sebesar 5 persen. Pemerintah akan menaikan tarif pajak ekspor ketika harga internasional tinggi, karena hal ini akan merangsang produsen untuk memilih mengekspor ke pasar internasional. Tabel 4 Perkembangan Penetapan Tarif Pajak Ekspor Kelapa Sawit, CPO dan Produk Turunannya, 1999-2007 No. 1
Jenis Komoditi Kelapa Sawit (Tandan Buah Segar) dan Biji Kelapa Sawit 2 Crude Palm Oil (CPO) 3 Refined Belached Deodorized Palm Oil (RBD PO) 4 Crude Palm Olein (CRD Olein) 5 Refined Bleached Deodorized Palm Olein (RBD Olein) Sumber: Departemen Pertanian, 2007
Kode HS 1207.10.000
1999 40%
2000 3%
2001 5%
2007 10%
1511.10.000 1511.90.000
40% 32%
5% 1%
3% 2%
6.5% 2%
1511.90.000 1511.90.000
41% 32%
2% 2%
1% 1%
2% 2%
Penentuan untuk pajak ekspor dalam industri kelapa sawit di Indonesia yang digunakan oleh Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Daerah adalah diberlakukan Harga Patokan Ekspor (HPE) yang dikeluarkan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri. Tabel 6 merinci HPE untuk kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya yang berlaku. Kelapa sawit dan biji kelapa sawit dengan harga HPE sebesar US$ 35, sedangkan untuk Crude Palm Oil (CPO) sebesar US$ 160. Hal ini menunjukkan bahwa harga HPE untuk CPO cukup tinggi, dimana harga CPO yang tinggi akan merangsang produsen untuk mengekspor ke pasar dunia. Jika produsen memilih mengekspor maka akan terjadi kekurangan pasokan di dalam negeri. Tabel 5 menjelaskan Harga Patokan Ekspor (HPE) kelapa sawit, minyak kelapa sawit dan produk turunannya.
Tabel 5 Harga Patokan Ekspor (HPE) Kelapa Sawit, Minyak Kelapa Sawit dan Produk Turunannya No. 1
Kode HS 1207.10.000
Nama Komoditi Kelapa Sawit dan Biji Kelapa Sawit 2 1511.10.000 Crude Palm Oil (CPO) 3 1511.90.000 Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBD Olein) 4 1511.90.000 Crude Palm Olein (CRD Olein) 5 1511.90.000 Refined Bleached Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein) Sumber : Departemen Perdagangan, 2007
Harga US$/Ton 35 160 175 165 190
CPO yang berasal dari kelapa sawit pada awalnya dijual berdasarkan Tandan Buah Segar (TBS). Harga TBS di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dalam periode 1997-2004 walaupun terjadi penurunan harga cukup drastis pada tahun 1999 setelah terjadi peningkatan pada tahun 1998. Pemasaran dan perdagangan CPO lewat Kantor Perkebunan Bersama (KPB) sejak tahun 2000 juga menunjukkan tren peningkatan. Harga ekspor dan harga impor CPO berfluktuasi seiring dengan perubahan kekuatan permintaan dan penawaran. Apabila permintaan tinggi umumnya harga akan meningkat dan penawaran di pasaran akan naik. Harga ekspor CPO tertinggi mencapai US$ 546,34/ton pada tahun 1998 dan harga terendah mencapai US$ 219,78/ton pada tahun 2001. Harga impor CPO tertinggi yang dicapai yaitu US$ 622,36/ton pada tahun 2003 dan US$ 165/ton pada tahun 2000. Kondisi harga ekspor dan impor ini tidak terlepas dari harga pasar CPO dunia, seperti di pasar Eropa. Pasar Eropa merupakan tujuan ekspor yang paling banyak sehingga harga yang berada di pasar besar pun menentukan harga pasar dunia. Walaupun Indonesia sebagai negara besar dalam pasar, tetapi harga ditentukan oleh pasar dan negara besar produsen lainnya. Dalam pasar dunia, harga di tentukan oleh negara besar dan negara dengan pasar terbesar. Tabel 6 menjelaskan tren harga CPO tahun 1997 hingga 2007.
Tabel 6 Tren Harga CPO, 1997-2004 Tahun
Harga Produsen Pedesaan TBS Rp.Juta/ Ton 1997 0.19 1998 0.45 1999 0.34 2000 0.35 2001 0.30 2002 0.39 2003 0.47 2004 n.a 2005 0.49 2006 0.53 2007 0.62 Sumber: BPS, 2007
Harga Perdagangan Besar CPO Rp.Juta/Ton 1.61 4.18 3.78 3.22 3.24 4.21 4.23 n.a 4.34 4.52 4.65
Harga Tender KPB CPO Rp.Juta/ Ton n.a n.a n.a 2.28 2.5 3.52 3.78 n.a 3.98 4.02 4.14
Harga Ekspor CPO
Harga Impor CPO
US$/Ton
US$/Ton
Harga Pasar CPO Eropa US$/Ton
482.65 546.34 311.97 262.12 219.78 318.03 267.28 n.a 620 645 860
531.44 n.a 512.82 165 n.a 276.02 622.36 n.a 540 610 790
546.00 671.00 436.00 310.00 286.00 390.00 443.00 471.00 658 895 980
Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada industri kelapa sawit tidak hanya dari sisi peningkatan produksi namun lebih kompleks pada sisi pengaturan tataniaga minyak sawit. Pengaturan tataniaga minyak sawit telah dilakukan sejak tahun 1978. Berbagai instrument kebijakan telah diaplikasikan untuk mencapai beberapa tujuan yaitu pengendalian laju inflasi, mencegah penurunan pendapatan riil masyarakat dan pengendalian pasokan minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor untuk menjaga kestabilan harga minyak goreng (Amang, 1996). Beberapa instrument kebijakan pemerintah yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah penerapan pajak ekspor, penerapan alokasi kebutuhan dalam negeri berupa pembatasan ekspor, pemupukan cadangan penyangga minyak sawit kasar dan pelarangan ekspor. Instrumen kebijakan yang sangat popular dan banyak menimbulkan kontroversi antar pihak-pihak yang berkepentingan adalah pungutan ekspor (levy export) dan pelarangan ekspor (export ban).
Komoditi Minyak sawit telah banyak menjadi bahan penelitian bagi para peneliti sebelumnya, baik mengenai budidaya, produksi, harga, penjualan dan pertumbuhan permintaan CPO itu sendiri. Hal ini menggambarkan bahwa komoditi ini telah menjadi bahan yang penting dan menarik untuk dijadikan bahan penelitian. Tidak itu saja, tapi pengelolaan CPO telah menjadi sebuah industri yang perlu perencanaan dan analisis pengembangan yang matang. Drajat (1998) melihat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fluktuasi harga minyak goreng dan menganalisis dampak kebijakan pajak ekspor CPO terhadap tingkat stabilitas harga minyak goreng. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekspor CPO dipengaruhi oleh produksi, harga ekspor, nilai tukar dan harga patokan pasar. Harga CPO domestik terdistorsi oleh kebijakan harga murah, sehingga pasar domestik tidak menarik. Karena kebijakan harga murah ini maka produsen memilih untuk mengekspor CPO ke pasar dunia. Pajak ekspor juga tidak berpengaruh untuk terciptanya stabilitas harga CPO dalam negeri. Rifin (2005) menganalisis dampak dari pajak ekspor terhadap ekspor CPO dan daya saing ekspor CPO Indonesia dibandingkan dengan Malaysia. Penelitian tersebut menggunakan model ekonometrik persamaan simultan dari fungsi permintaan ekspor dan fungsi harga. Hasilnya menunjukkan bahwa pajak ekspor memiliki dampak yang lebih besar terhadap ekspor CPO Indonesia jika dibandingkan dengan variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap ekspor CPO Indonesia, selain itu kebijakan pajak ekspor memiliki dampak yang negatif terhadap daya saing CPO Indonesia dibandingkan dengan Malaysia.
Susilowati (1989) dengan menggunakan data tahun 1969 hingga 1998 dan menggunakan alat analisis pendugaan Two Stage Least Square (2SLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa elastisitas CPO domestic terhadap tingkat pendapatan
bersifat
elastis,
akibat
kebijaksanaan
pemerintah
untuk
mengalokasikan sebagian besar produksi CPO guna menjamin kebutuhan bahan baku minyak goring dalam negeri, sedangkan harga CPO dalam negeri dan harga kopra tidak berpengaruh nyata. Berdasarkan beberapa penelitian penerapan pajak eskpor pada komoditas CPO akan mengakibatkan harga CPO domestik terdistorsi oleh kebijakan harga murah, sehingga pasar domestik tidak menarik. Karena kebijakan harga murah ini maka produsen memilih untuk mengekspor CPO ke pasar dunia. Jika produsen memilih mengekspor, maka harga minyak goreng dalam negeri akan meningkat akibat kelangkaan CPO di pasar dalam negeri. Harga domestik yang meningkat tidak sejalan dengan tujuan diberlakukan pajak ekspor. Tujuan pajak ekspor adalah terjaminnya pasokan dalam negeri sehingga dapat terjadinya stabilitas harga minyak goreng dalam negeri. Selain itu kebijakan pajak ekspor memiliki dampak yang negatif terhadap daya saing CPO Indonesia dibandingkan dengan Malaysia. Pajak eskpor yang diterapkan oleh pemerintah akan mengakibatkan harga ekspor CPO Indonesia meningkat. Pajak ekspor yang mengakibatkan harga ekspor CPO Indonesia meningkat di pasar dunia mengakibatkan adanya pilihan bagi pasar dunia untuk memilih CPO dari negara lain yang harganya lebih rendah dibandingkan dengan harga CPO Indonesia. Pajak ekspor memberikan dampak yang negatif terhadap daya saing perdagangan CPO Indonesia. Harga CPO Indonesia yang tinggi seharusnya dapat membuat produsen CPO beralih ke pasar
domestik. Harga CPO dunia yang tinggi tetap membuat produsen CPO Indonesia memilih mengekspor ke pasar dunia. Pasar domestik tetap mengalami kekurangan pasokan, akibatnya harga minyak kelapa sawit domestik tetap tinggi. Sehingga kebijakan Pajak ekspor ini tidak efektif.
2.4 Perdagangan CPO Indonesia Perdagangan CPO Indonesia meliputi ekspor CPO ke pasar dunia, konsumsi dalam negeri, dan impor CPO. Ekspor minyak sawit mengalami peningkatan, baik salam volume maupun nilai ekspornya. Jika pada awal tahun 1980, volume ekspor CPO baru mencapai 350 ribu ton dengan nilai sebesar US$ 204 juta meningkat tajam menjadi 9,6 juta ton dengan nilai US$ 3,9 miliar pada tahun 2004. Data ekspor pada tahun 2004 menunjukkan peningkatan yang cukup besar dibandingkan dengan tahun 2003 sebesar 26 persen, sedangkan nilai ekspor meningkat hampir satu setengah kali lipat dari tahun sebelumnya. Lima negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia adalah India, Cina, Belanda, Malaysia, dan Singapura. Malaysia masih menjadi negara pengimpor kelapa sawit Indonesia karena Malaysia berupaya untuk meningkatkan ekspor luar negeri, sehingga malaysia melakukan re-ekpsor kelapa sawit Indonesia. Maka, ekspor malaysia masih menempati posisi nomer satu sebagai pengekspor terbesar di dunia. Nilai ekspor CPO pada semester I tahun 2004 meningkat cukup tinggi sebesar 69 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2003. Pada pangsa ekspor minyak sawit dunia, indonesia menempati posisi kedua setelah malaysia dengan pangsa sebesar 27,63 persen. Meski diproyeksikan bahwa permintaan terhadap minyak sawit di tingkat dunia akan
terus meningkat dibandingkan minyak nabati lainnya, ekspor minyak sawit Indonesia masih memperoleh hambatan lain, seperti: a. Tarif: Diferensiasi tarif bea masuk oleh importir terbesar, India, antara minyak sawit dengan minyak kedelai. b. Teknis: Ketentuan Pemerintah India tentang kandungan betacarotene pada minyak sawit. c. Legislasi tentang ketentuan penerapan food safety oleh Uni Eropa. d. Isu
lingkungan:
Kampanye
negatif
LSM
yang
mengkaitkan
pengembangan perkebunan kelapa sawit nasional dengan kerusakan lingkungan. Pada awalnya konsumsi minyak sawit dalam negeri adalah untuk mengisi bahan baku minyak goreng yang tidak dapat dipenuhi oleh minyak kelapa. Dengan pesatnya perkembangan produksi minyak sawit nasional, maka terjadi pergeseran dimana minyak sawit menjadi sumber utama untuk mensuplai kebutuhan bahan baku minyak goreng dalam negeri, sedangkan minyak kelapa lebih banyak untuk diekspor. Pada tahun 2002 total konsumsi minyak sawit dalam negeri mencapai 7,1 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 7 juta ton digunakan sebagai bahan baku minyak goreng dan selebihnya untuk industri atau produkproduk lain. Pada tahun 2003 konsumsi minyak sawit untuk penggunaan dalam negeri meningkat menjadi 8,9 juta ton atau naik sebesar 26,7 persen dari penggunaan tahun 2002. Pada tahun 2007 konsumsi CPO dalam negeri mencapai angka 14.151.983 ton. Konsumsi Indonesia dari tahun ke tahun tidak pernah mengalami penurunan. Tabel 7 menjelaskan produksi dan penggunaan dalam negeri CPO Indonesia tahun 1994-2007.
Tabel 7 Produksi dan Penggunaan Dalam Negeri CPO Indonesia (1994-2007) Tahun Produksi 1994 4.008.062 1995 4.479.670 1996 4.898.658 1997 5.380.447 1998 5.640.154 1999 5.989.183 2000 6.257.425 2001 8.396.472 2002 9.622.345 2003 8.817.214 2004 10.308.075 2005 11.861.615 2006 13.390.807 2007 14.339.986 Sumber: Departemen Perdagangan, 2007
Prahastuti
(2000)
menganalisis
Penggunaan/Konsumsi DN 2.701.659 3.475.262 3.912.295 1.909.879 3.810.481 2.084.526 4.439.761 4.701.136 7.106.136 8.902.915 8.564.872 10.375.792 12.100.921 14.151.983
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi perdagangan minyak sawit (CPO), serta keterkaitan pasar CPO dengan minyak goreng sawit di Indonesia. Luas areal kelapa sawit di Indonesia dipengaruhi oleh harga domestik, harga pupuk, harga ekspor CPO, kurs mata uang, dan tingkat suku bunga. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga CPO domestik, produksi CPO, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Mengenai harga, pembentukan harga ekspor CPO dipengaruhi oleh fluktuasi harga dunia CPO dan produksi CPO Indonesia. Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika cenderung tidak berpengaruh terhadap pembentukan harga ekspor CPO Indonesia. Sedangkan harga CPO di dalam negeri cenderung hanya dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Harga ekspor CPO dan penawaran CPO domestik cenderung tidak berpengaruh terhadap pembentukan harga CPO domestik. Pada tahun 1969 hingga 1979, Indonesia tidak mengimpor minyak sawit (CPO) dari Negara lain. Indonesia mulai melakukan impor CPO terutama impor olein sejak 1980. Akan tetapi, pertumbuhan impor minyak sawit Indonesia selama
tahun 1998-2004 cenderung berfluktuasi. Pada tahun 1998, 1999 dan 2001, Indonesia tidak mengimpor CPO dari luar negeri. Hal ini terkait dengan diberlakukannya pungutan ekspor CPO hingga mencapai 60 persen, sehingga pasokan CPO di pasar domestik cukup besar. Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir kelapa sawit kedua terbesar setelah Malaysia masih mengimpor CPO untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor CPO umumnya dalam bentuk olein dari Malaysia. Impor ini biasanya terjadi pada waktu harga dunia tinggi dimana terjadi rush export dari Indonesia. Impor yang dilakukan oleh Indonesia sangat kecil, impor ini untuk menjamin tersedianya CPO domestik.
2.5 Prospek dan Tantangan Industri Kelapa sawit di Indonesia Prospek masa depan kelapa sawit ditandai oleh meningkatnya permintaan dunia akan minyak dan lemak, terutama di negara-negara yang jumlah penduduknya besar seperti Cina dan India. Pertumbuhan ekonomi yang membawa peningkatan kesejahteraan di negara-negara tersebut, langsung diikuti oleh peningkatan kebutuhan minyak makan. Diperkirakan bahwa tambahan kebutuhan minyak makan di seluruh dunia adalah sekitar 2,5 juta-3 juta ton/tahun. Pertambahan ini dapat dipenuhi secara berarti hanya oleh Brazil dengan produksi minyak kedelai serta Indonesia dan Malaysia dengan pertambahan produksi minyak kelapa sawit. Pertambahan produksi minyak kelapa sawit juga terdapat di Thailand dan Kolumbia, namun dalam jumlah yang kecil.
800 729
691
700
530
USD / TON
628
609
600
584
390
425
545
572 502
500 400
501
445 405
513 436
344
300 200
682
672
650
257
432
394 349
470
530 390
377 339
289
442
477
420
311 283
211
100
1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
0
TAHUN
Gambar 4 Siklus Bisnis Harga CPO Periode 1970 – 2007 Sumber: GAPKI, 2007.
Faktor harga merupakan pendukung yang menyebabkan kelapa sawit mempunyai prospek yang cerah. Harga CPO yang tinggi akan mengakibatkan produsen CPO Indonesia berespon dengan meningkatkan produksi demi mencapai keuntungan yang besar. Perkembangan siklus bisnis harga CPO dan pergerakan harga musiman CPO Indonesia dapat dilihat pada gambar 4 dan Gambar 5. Harga CPO dunia terus berfluktuatif, dimulai tahun 1970-an pada awal perdagangan kelapa sawit mulai menjadi primadona dengan harga kisaran USD 200/ton hingga tahun 2008 dengan kisaran USD 800/ton. Walaupun harga CPO berfluktuatif, industri kelapa sawit memberikan prospek yang cerah. Saat ini harga CPO di pasar dunia mencapai harga US$ 1000/ton. Harga CPO yang tinggi terjadi akibat banyaknya konsumsi CPO dunia untuk bahan baku industri maupun bahan energi alternatif. Kondisi ini terus menjadikan kelapa sawit sebagai salah satu komoditi yang memiliki peluang yang besar. Gambar 5 menunjukkan pergerakan harga musiman CPO.
Gambar 5 Pergerakan Harga Musiman CPO Sumber: Oil World, 2006, diolah
Jelas terlihat dari gambar diatas bahwa harga CPO senantiasa mengalami gerak naik turun atau fluktuasi yang sangat tajam. Secara rata-rata, harga CPO masih berada jauh dari harga pokoknya. Harga rata-rata yang dialami dari tahun 1970 sampai 2000 adalah sekitar US$400 per ton. Tingkat harga ini masih berada jauh diatas biaya produksi, terutama di Indonesia. Faktor tambahan yang mendorong peningkatan permintaan minyak sawit Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) adalah faktor trans fat, yaitu minyak atau lemak yang mengandung trans fatty acid. Dalam industri makanan, tingkat kepadatan suatu jenis minyak atau lemak sangat penting. Minyak kedelai dan minyak kanola sifatnya sangat cair, berbeda dengan minyak kelapa sawit yang kental atau bahkan padat pada suhu kamar. Faktor lain yang mendorong peningkatan permintaan minyak sawit adalah pemakaian sebagai bahan bakar, baik secara langsung maupun sebagai biodiesel. Harga petroleum yang terus mengalami
peningkatan
sampai
dengan
US$
140/barrel,
penggunaan CPO sebagai bahan bakar campuran menjadi layak.
menyebabkan
Selain faktor pendorong di atas, pertumbuhan kelapa sawit Indonesia dihadapkan pada hambatan yang cukup berat. Hambatan ini bersumber pada paradigma global yang mengalami perubahan tentang pembangunan yang berkelanjutan. Melalui paradigma ini masyarakat dunia menginginkan bahwa produksi kelapa sawit juga harus lestari atau sustainable. Lembaga-lembaga konsumen dan LSM internasional sudah gencar menyuarakan minyak sawit lestari. Paradigma baru menggariskan 3P, yaitu Planet yang berarti bumi harus dilestarikan lingkungannya, People yang berarti manusia baik sebagai pekerja maupun sebagai masyarakat sekitar harus lebih diperhatikan, dan Profit yang berarti laba perusahaan harus diperoleh untuk menjamin sifat berkelanjutan (Bangun, 2004). Dengan berkembangnya paradigma baru mengenai pelesatarian lingkungan,
maka
perkembangan
kelapa
sawit
Indonesia
tentu
harus
menyesuaikan dengan pelesatarian lingkungan terutama dalam membuka lahan baru untuk areal perkebunan kelapa sawit.
III KERANGKA PEMIKIRAN
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi pertanian andalan ekspor yang pertumbuhan produksinya sangat cepat. Komoditi kelapa sawit memiliki peranan strategis dalam perekonomian nasional sebagai penyedia lapangan kerja, pengembangan agroindustri dan penghasil devisa. Saat ini Indonesia merupakan negara pengahasil kelapa sawit terbesar di dunia diikuti oleh Malaysia. Perkembangan produksi kelapa sawit Indonesia dan Malaysia yang sangat cepat, dikarenakan adanya peningkatan permintaan produk minyak sawit sebagai bahan baku minyak goreng (edible oil) dan bahan baku industri baik industri oleochemical, industri makanan, industri farmasi maupun industri biodiesel. Perkembangan yang pesat dari sisi penawaran dan permintaan produk yang berasal dari kelapa sawit ditandai dengan meningkatnya permintaan terhadap input produksi seperti benih, pupuk, tenaga kerja terampil di bidang perkebunan dan industri kelapa sawit serta penyediaan infrastruktur untuk produk kelapa sawit. Dinamika penawaran dan permintaan terhadap produk dan sarana produksi terkait merupakan cerminan
perdagangan produk kelapa sawit yang sangat
dinamis. Ditandai dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan minyak sawit dan produk turunannya disisi permintaan (demand) di satu sisi dan meningkatnya permintaan akan penyediaan sumber daya manusia dan sumber daya alam terutama lahan disisi penawaran (suply) serta adanya fluktuasi harga minyak kelapa sawit (CPO). Tersedianya sumber daya lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan tersedianya tenaga trampil di bidang perkebunan dan industri berbahan baku
kelapa sawit merupakan modal dasar dalam menentukan posisi Indonesia, sebagai negara besar yang secara teori seharusnya dapat menentukan harga atau negara kecil yang mengikuti harga yang terbentuk di pasar dunia.
3.1 Permintaan dan Penawaran Permintaan suatu komoditi merupakan jumlah komoditi yang diminta oleh konsumen kepada produsen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Hipotesis ekonomi dasar adalah bahwa harga suatu komoditi dan jumlah yang akan diminta berhubungan secara negatif, dengan semua faktor yang lain tetap sama. Dengan kata lain, semakin rendah harga suatu komoditi, maka jumlah yang akan diminta untuk komoditi itu akan semakin besar dan sebaliknya semakin tinggi harga, maka semakin rendah jumlah yang diminta. Teori supply dan demand menyatakan hukum penawaran bahwa semakin rendah harga suatu komoditi maka jumlah yang akan ditawarkan untuk komoditi itu akan semakin kecil, namun permintaannya semakin tinggi. Adalah sifat manusia sebagai mahluk ekonomi (Homoeconomicus) untuk selalu mencari barang dengan harga yang terendah namun berkualitas tinggi. Lipsey (1995) menyatakan permintaan suatu barang atau komoditi dipengaruhi oleh harga barang atau komoditi itu sendiri, rata-rata penghasilan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan, selera, distribusi pendapatan diantara rumah tangga dan besarnya populasi. Dengan demikian, jumlah permintaan minyak kelapa sawit ditentukan oleh harga minyak kelapa sawit. Apabila terjadi kenaikan harga minyak kelapa sawit, permintaan akan minyak
kelapa sawit akan menurun dan sebaliknya jika harga minyak kelapa sawit menurun permintaannya akan meningkat. Tingkat harga yaitu tinggi rendahnya permintaan akan minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh penghasilan atau tingkat pendapatan rumah tangga. Jika pendapatan rata-rata rumah tangga meningkat atau semakin besar, pada umumnya rumah tangga akan mampu membeli lebih banyak kebutuhan primer seperti bahan makanan termasuk minyak kelapa sawit dan sebaliknya jika terjadi penurunan dalam pendapatan rumahtangga, permintaan akan bahan bahan makanan termasuk permintaan minyak kelapa sawit akan menurun. Secara agregat di tingkat nasional atau suatu daerah atau wilayah, permintaan minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh banyaknya penduduk atau jumlah rumah tangga. Peningkatan jumlah penduduk atau rumah tangga akan memperbesar total permintaan dengan asumsi tidak ada perubahan harga komoditi tersebut. Permintaan barang atau komoditi juga dipengaruhi oleh situasi pasar komoditi atau produk substitusinya. Dalam hal minyak kelapa sawit kasar (CPO), jika minyak kasar kelapa sawit semakin murah secara relatif dibandingkan dengan minyak dengan bahan baku lainnya, untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan konsumen yang sama, maka jumlah permintaan minyak sawit akan meningkat dan sebaliknya permintaan akan komoditi atau produk kompetitor atau substitusinya akan berkurang. Dengan lain perkataan, kenaikan harga barang subtitusi minyak kelapa sawit, akan meningkatkan permintaan minyak kelapa sawit untuk keperluan permintaan yang sama. Sebaliknya, penurunan harga suatu komoditi subtitusi,
akan meningkatkan permintaan akan
komoditi subtitusi yang dan
menurunkan permintaan akan minyak kelapa sawit. Fenomena ini menunjukkan
bahwa daya saing suatu produk akan mempengaruhi permintaan akan produk tersebut. Dalam hal minyak kelapa sawit untuk konsumsi manusia, pada awal pengembangannya mendapat tantangan dari produsen kompetitornya yaitu minyak kedele dan minyak jagung dengan menyatakan bahwa minyak kelapa sawit mengandung asam lemak bebas yang membahayakan kesehatan jantung walaupun hal ini tidak terbukti secara ilmiah. Hal yang sama terjadi dalam pengembangan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku industri biodiesel. Produsen minyak kanola (rape seed oil), menuduh bahwa penggunaan CPO sebagai bahan baku pengembangan industri biodiesel akan merusak lingkungan dan bukan mengurangi
emisi
karbondioksida
tetapi
semakin
menambah
emisi
karbondioksida dan memperburuk perusakan ozon bumi. Kampanye negatif seperti ini tidak lepas dari adanya persaingan secara ekonomi yang harus diwaspadai pemangku kepentingan kelapa sawit Indonesia termasuk pemerintah dan kalangan dunia usaha. Kampanye atau counter-campaign akan produksi minyak sawit Indonesia sangat diperlukan karena cepat atau lambat perubahan selera terhadap komoditi kelapa sawit diperkirakan akan terus meningkatkan permintaan minyak sawit Indonesia terutama dengan diketahuinya manfaat kandungan Betacarotene sebagai inti vitamin B terhadap kesehatan serta kemampuan biodiesel dengan bahan baku CPO dalam mengurangi emisi karbondioksida. Berdasarkan teori, jumlah komoditi yang ditawarkan oleh produsen dipengaruhi oleh harga komoditi itu sendiri, harga-harga input, tujuan perusahaan dan teknologi (Lipsey, 1995). Penawaran suatu komoditi atau barang adalah
jumlah yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Hipotesis ekonomi bahwa penawaran berhubungan positif dengan tingkat harga suatu komoditi atau barang itu sendiri, dengan asumsi semua faktor lain tetap atau ceteris paribus. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat harga suatu komoditi/produk/barang, maka semakin besar jumlah yang akan ditawarkan dan sebaliknya, semakin rendah harga, maka semakin sedikit jumlah yang akan ditawarkan. Penawaran suatu barang atau komoditi ditentukan oleh harga input (faktor produksi) dalam menghasilkan suatu barang atau komoditi. Dengan asumsi faktor lain tetap atau ceteris paribus, semakin tinggi harga input untuk meenghasilkan suatu barang atau komoditi tertentu maka semakin kecil keuntungan yang akan diperoleh, dengan demikian semakin sedikit barang atau komoditi tersebut dihasilkan yang berarti akan mengurangi jumlah penawaran. Pada teori dasar ilmu ekonomi, tujuan perusahaan memaksimumkan laba. Namun dapat saja perusahaan memiliki tujuan subtitusi yang tidak selalu berorientasi memaksimumkan laba. Tujuan memaksimumkan laba seringkali harus dikorbankan dengan beberapa pertimbangan termasuk adanya kebijakan pemerintah dan kewajiban sosial dalam rangka berpartisipasi mewujudkan tujuan atau kepentingan yang lebih besar lagi. Fenomena kebijakan semacam ini terlihat dengan adanya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), yaitu kewajiban suatu perusahaan untuk mengisi pasar domestik dengan mengorbankan peluang untuk menjual produk ke pasar internasional pada tingkat harga yang lebih tinggi. Penawaran suatu produk atau komoditi tidak lepas dari teknologi. Perubahan teknologi cenderung menurunkan biaya produksi dan diharapkan akan
meningkatkan laba (keuntungan) yang dapat dihasilkan pada harga tertentu dari suatu barang atau komoditi tertentu. Selama kenaikan keuntungan ini diikuti oleh kenaikan produksi, perubahan ini menggeser kurva penawaran kearah kanan. Artinya, bahwa semakin besar kesediaan untuk memproduksi komoditi tersebut dan menawarkannya untuk dijual pada tiap tingkat kemungkinan harga. Dalam penawaran komoditi pertanian, seorang produsen menempuh dua tahapan pengambilan keputusan, yaitu luas areal yang akan ditanami dan perolehan hasil per satuan luas tanaman yang diusahakan. Produsen mengalokasikan sumberdaya lahannya yang terbatas untuk ditanami dengan satu atau lebih komoditas tanaman. Berdasarkan teori ekonomi produksi, seorang produsen yang rasional secara ekonomi, mengalokasikan sumberdaya lahannya secara optimal untuk komoditas-komoditas yang akan diusahakan berdasarkan rasio harga output komoditas yang bersangkutan. Dengan demikian jika harga minyak kelapa sawit di pasar domestik dan pasar internasional semakin tinggi seperti yang terjadi pada tahun 2007 dan 2008, maka berdasarkan teori jumlah minyak kelapa sawit yang ditawarkan akan semakin besar. Selain itu, apabila tingkat harga di pasar dunia lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat harga di pasar domestik, maka semakin besar keinginan produsen melakukan ekspor dan berarti penawaran minyak kelapa sawit untuk ekspor akan meningkat. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penawaran minyak kelapa sawit Indonesia di pasar domestik dan di pasar Internasional dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain harga ekspor CPO Indonesia yang berlaku saat ini, nilai tukar, produksi sebelumnya dan kebijakan
pajak ekspor. Masing-masing faktor ini yang kemudian akan mempengaruhi secara langsung terhadap penawaran ekspor CPO.
3.2 Perdagangan Internasional Perdagangan internasional merupakan suatu hubungan dua arah arus kebutuhan barang dan jasa yang melibatkan dua atau lebih negara. Teori perdagangan internasional adalah teori yang menganalisis dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang diperoleh oleh perdagangan tersebut (Salvatore, 1997). Perdagangan internasional dapat dijelaskan oleh teori Heckscher-Ohlin yang menjelaskan bahwa perdagangan internasional berlangsung atas dasar keunggulan komparatif yang berbeda dari masing-masing negara. Keunggulan komparatif dipengaruhi secara timbal balik oleh perbedaanperbedaan karunia sumber daya diantara negara-negara atau variasi kelimpahan (abundance) relatif atas faktor-faktor produksi dan teknologi produksi yang mempengaruhi intensitas relatif penggunaan faktor-faktor produksi yang berbeda tersebut dalam menghasilkan berbagai macam barang. Perbedaan permintaan dan penawaran suatu komoditas yang terjadi antar negara menimbulkan bentuk perdagangan internasional yaitu ekspor dan impor. Penawaran ekspor suatu negara adalah selisih dari permintaan dan penawaran domestik (excess supply). Sedangkan kelebihan penawaran dari negara tersebut merupakan permintaan impor bagi negara lain (excess demand). Selain dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor pasaran dunia seperti harga komoditas itu sendiri dan harga barang lain serta hal-hal yang dapat mempengaruhi harga baik secara langsung
maupun tidak langsung. Terjadinya perdagangan internasional secara teoritis dapat dijelaskan pada gambar 6 berikut ini. Px/Py
Px/Py Sx
Px/Py
Sx
S
P2 A2 B1
E1
B*
E*
P* B2
E2
A1 P1
Dx D Dx X
0 Xd1
X1
(i) Negara 1
Xs1
0
X X*
(ii) pasar internasional
0
X Xs2
X2
Xd2
(iii) Negara 2
Gambar 6 Kurva Proses Terjadinya Perdagangan Internasional Sumber: Salvatore, 1997
Keterangan: P1 = harga domestik negara pengekspor (1) tanpa perdangan internasional 0X1 = konsumsi/produksi domestik di negara pengekspor (1) tanpa perdagangan internasional P2 = harga domestik di negara pengimpor (2) tanpa perdangan internasional 0X2 = konsumsi/produksi domestik di negara pengimpor (2) tanpa perdagangan internasional 0Xd1 = konsumsi domestik di negara 1 setelah berlangsungnya perdagangan internasional 0Xs1 = produksi domestik di negara 1 setelah berlangsungnya perdagangan internasional 0Xd2 = konsumsi domestik di negara 2 setelah berlangsungnya perdagangan internasional 0Xs2 = produksi domestik di negara 2 setelah berlangsungnya perdagangan internasional Xd1Xs1 = kelebihan penawaran (excess supply) di negara 1 = jumlah ekspor Xd2Xs2 = kelebihan permintaan (excess demand) di negara 2 = jumlah impor P* = harga setelah berlangsungnya perdagangan internasional 0X* = jumlah ekspor/impor = B*E* = B1E1 = B2E2
Karena Px/Py lebih besar daripada p1 maka negara 1 mengalami kelebihan penawaran komoditas X (i) sehingga kurva penawaran ekspornya atau S (ii) mengalami peningkatan. Di pihak lain, karena Px/Py lebih rendah dari p2 maka negara 2 mengalami kelebihan permintaan komoditas X (iii) dan ini mengakibatkan permintaan impor negara 2 atau D (ii) mengalami kenaikan. Panel (ii) juga menunjukkan bahwa hanya pada tingkat p* maka kuantitas impor komoditas x yang diminta oleh negara 2 akan persis sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh negara 1. dengan demikian p* merupakan Px/Py atau harga
relatif ekuilibrium setelah berlangsungnya perdagangan diantara kedua negara tersebut. Menurut Salvatore (1997) perdagangan bebas seperti diatas akan memaksimumkan output dunia dan keuntungan bagi setiap negara yang terlibat di berbagai bentuk hambatan terhadap berlangsungnya perdagangan internasional secara bebas. Karena hambatan-hambata tersebut berkaitan erat dengan praktek dan kepentingan-kepentingan perdagangan atau komersial dari masing-masing negara maka hambatan-hambatan tersebut lazim disebut sebagai kebijakan perdagangan (trade policy) atau kebijakan komersial (comeercial policy). Adapun bentuk hambatan perdagangan yang umumnya diterapkan negara-negara pengekspor kelapa sawit adalah kebijakan pajak ekspor.
3.3 Ekspor Kelapa Sawit Indonesia Ekspor adalah kegiatan yang menyangkut produksi barang dan jasa yang diproduksi di suatu batas negara tetapi untuk dikonsumsikan oleh konsumen di luar batas negara tersebut. Kegiatan produksi barang dan jasa di negara produsen telah mendorong terbentuknya suatu proses pembentukan pendapatan masyarakat dari anggota-anggota masyarakat yang terlibat di dalamnya. Pengusaha yang memproduksi barang dan jasa yang kemudian menjualnya ke luar batas negaranya akan memperoleh devisa atau pembayaran di dalam bentuk mata uang atau valuta asing atas tagihan-tagihannya. Bila pendapatan yang dihasilkan oleh para eksportir suatu negara itu lebih besar daripada biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran pembelianpembelian atas barang dan jasa yang diimpor suatu periode tertentu, maka
kelebihan tersebut disebut “net ekspor”. Implikasi dari net ekspor tersebut dapat mendorong proses pembentukan pendapatan masyarakat ke arah suatu tingkat yang lebih tinggi. Net ekspor ini juga sering disebut sebagai Net Foreign Investment. Disebut demikian sebab pada dasarnya ia mempunyai dasar pengertian yang sama dengan investasi, yaitu bahwa investasi itu senantiasa mempunyai implikasi kedepan terhadap peningkatan proses produksi dan pembentukan pendapatan masyarakat. Perbedaan dengan Net Domestic Foreign Investment adalah pada ruang lingkupnya. Net Foreign Investment menciptakan tagihan-tagihan kepada pihak pembeli di luar negeri, sehingga pada gilirannya dapat menciptakan capital inflow (arus dana luar negeri) yang dibutuhkan di dalam negeri tetapi masih belum bisa diproduksi dalam negeri. Pengaruh dari faktor-faktor eksternal yang ada dimasing-masing negara partner dagang itu dapat bersifat one-to-one, yaitu kalau pengaruh itu bekerja secara terbatas antara satu negara dengan negara lainnya, atau multiple yaitu kalau pengaruh itu bekerja secara ganda. Dengan demikian, pembahasan atas ekspor mencakup dua dimensi, yaitu permasalahan yang terjadi di dalam negeri dan permasalahan yang terjadi di luar batas negara. Ekspor dapat dilihat sebagai sisa atau residual dari total produksi nasional setelah dikurangi dengan kebutuhan total untuk konsumsi dalam negeri. Ekspor akan lebih tepat disebut sebagai sisa yang dapat diekspor atau exportable surplus. Model ekspor ini hanya berlaku bila Total Produksi Nasional periode saat ini lebih besar dari konsumsi dalam negeri pada periode sekarang. Ketentuan lainnya adalah Total Produksi Nasional tidak sama dengan konsumsi dalam negeri.
Dalam hal kelapa sawit, perbedaan harga yang tinggi antara pasar domestik dan pasar internsional merupakan faktor pendukung adanya ekspor secara besar-besaran ke pasar internsional. Maka adanya ekspor kelapa sawit membentuk perdagangan internasional yang bersifat bilateral yaitu perdagangan dengan melibatkan dua negara atau perdagangan multilateral yang melibatkan banyak negara.
3.4 Pajak Ekspor Kelapa Sawit Indonesia Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk statu komoditas yang diperdagangkan lintas-batas teritorial. Ditinjau dari aspek asal komoditas, terdapat dua macam tarif yaitu tarif impor (import tariff) dan tarif ekspor (export tariff) yang biasa kita sebut dengan pajak ekspor. Tarif impor adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditas yang diimpor dari negara lain. Sedangkan tarif ekspor atau pajak ekspor adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditas yang diekspor. Tujuan dari pajak ekspor ini adalah untuk menstabilkan harga produk tersebut dalam negeri pada tingkat yang rendah (Arisman, 2002). Surplus produsen adalah perbedaan penerimaan kotor produsen (gross margin) dari penjualan suatu barang dan jasa pada harga yang berlaku. Sedangkan surplus konsumen adalah perbedaan jumlah yang telah dipersiapkan oleh konsumen terhadap suatu barang pada harga yang berlaku. Kedua komponen tergabung dalam keseimbangan parsial yang berkaitan dengan konsep perubahan kehilangan kesejahteraan (welfare loss) yang akan terjadi apabila pajak ekspor diterapkan.
Berdasarkan keputusan Mentri Keuangan RI No.387/KMK.017/2000 tanggal 12 September 2000. Perhitungan pajak ekspor ini adalah: Pajak Ekspor = tarif pajak ekspor x harga x harga patokan ekspor (HPE) x jumlah satuan barang x Kurs Berdasarkan keputusan Mentri Keuangan RI bulan September 2007. Perhitungan pajak ekspor ini adalah: Px = PFOB – ( Tx X HPE ) – Charges Dimana: PFOB
= PROTT – US$ 70
HPE
= Sesuai dengan SK MEMPERDAG September 2007
Dengan adanya pajak ekspor ini maka bebannya akan ditanggung oleh produsen. Jika produsen tersebut meningkatkan harganya, maka pajak yang dikenakan akan lebih besar. Sehingga secara teori produsen cenderung akan menurunkan harga ekspor dengan adanya pajak ekspor ini. Pajak ekspor banyak diterapkan di negara berkembang dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan menjamin ketersediaan produk di pasar domestik. Produk yang menjadi subjek untuk pajak ekspor biasanya merupakan produk pertanian seperti gula, kopi, kakao, minyak kelapa sawit, produk perikanan, mineral, produk logam, kulit (Piermartini, 2004). Efek pajak ekspor tergantung pada kekuatan pasar. Pelaksanaan pajak ekspor oleh negera yang memiliki kekuatan pasar akan lebih efektif dibandingkan dengan negara tanpa kekuatan pasar dalam hal mempengaruhi harga internasional, volume perdagangan, dan distribusi pendapatan. Sementara itu, dampak pajak
ekspor pada suatu negera yang tidak memiliki kekuatan pasar akan memperburuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan nasional (Devarajan, 1996).
3.5 Kerangka Pemikiran Teori Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor Pada Komoditas CPO terhadap perdagangan CPO Indonesia Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasikan apakah penerapan kebijakan Pajak Ekspor (PE) menjamin pasokan CPO ke pasar domestik yang diukur dengan turunnya harga minyak goreng di pasar domestik sesuai dengan tujuan diberlakukan kebijakan tersebut. Penggalian informasi dari pihak-pihak yang terkait dengan penelitian merupakan langkah pertama dan menjadi kunci untuk menghasilkan jawaban yang sesuai dengan kondisi sebenarnya. Alur kerangka pemikiran dimulai dengan mengidentifikasi produksi CPO Indonesia. Tujuan Indonesia memproduksi CPO adalah untuk dua tujuan utama, yang pertama adalah untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri akan minyak sawit dan untuk penawaran ekspor CPO ke pasar internasional akibat adanya permintaan internasional yang tinggi akan minyak sawit dan turunannya. Sesuai dengan teori perdagangan internasional, supply dan demand akan memiliki arah yang berlawanan. Apabila produksi CPO yang dihasilkan oleh Indonesia dialokasikan untuk pasar domestik maka jumlah CPO yang akan dialokasikan untuk pasar internasional akan semakin kecil. Kondisi sebaliknya adalah apabila produksi CPO Indonesia untuk alokasi kebutuhan pasar internasional yang lebih banyak daripada alokasi untuk domestik maka akan terjadi kelangkaan CPO di dalam negeri. Secara teoritik supply dan demand, pada kondisi kedua ketika pasokan dalam negeri berkurang untuk alokasi pasar internasional maka pasokan dalam
negeri mengalami penurunan. Salah satu penyebab ekspor yang berlebihan adalah harga CPO internasional yang lebih tinggi daripada harga domestik. Akibat pasokan dalam negeri berkurang adalah harga CPO domestik meningkat. Untuk menekan laju harga minyak goreng yang terus melambung, maka pemerintah menetapkan kebijakan pajak ekspor pada komoditas kelapa sawit. Kebijakan Pajak Ekspor yang ditetapkan akan mempengaruhi laju penawaran ekspor CPO Indonesia. Karena dengan adanya Pajak Ekspor maka tarif yang dikenakan pada produsen yang akan mengekspor CPO akan semakin tinggi, maka terdapat alternatif bagi produsen untuk tetap mengekspor atau dapat dialihkan pada pasar domestik. Terdapat beberapa hal lain yang mempengaruhi laju penawaran ekspor CPO Indonesia, antara lain produksi CPO Indonesia, harga ekspor CPO periode selemunya dan nilai tukar dimana apabila terjadinya nilai tukar yang terdepresi maka ekspor akan semakin tinggi. Kondisi sebaliknya apabila nilai tukar menguat maka ekspor akan semakin rendah. Faktor lain yang mempengaruhi penawaran ekspor adalah harga CPO dunia. Apabila harga CPO dunia lebih tinggi, maka produsen CPO akan memilih untuk mengekspor ke pasar dunia. Penawaran ekspor akan mempengaruhi jumlah penawaran domestik. Penawaran ekspor dan penawaran domestik memiliki arah yang berlawanan. Apabila penawaran ekspor lebih tinggi maka penawaran domestik akan berkurang, begitu pula apabila penawaran domestik lebih besar maka penawaran ekpsor akan semikin kecil. Selain penawaran ekspor, produksi CPO Indonesia dan Impor CPO ke pasar dalam negeri akan mempengaruhi penawaran CPO untuk pasar domestik. Apabila produksi Indonesia meningkat maka penawaran CPO akan meningkat. Kondisi sebaliknya ketika produksi turun akan mengakibatkan
kelangkaan CPO di pasar domestik. Impor CPO ke pasar domesti Indonesia akan mempengaruhi penawaran domestik Cpo Indonesia. Dengan adanya impor CPO ke pasar domestik, penawaran CPO di pasar akan semakin banyak. Pada akhirnya penawaran domestik yang akan mempengaruhi harga CPO di pasar domestik. Ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi harga domestik adalah harga CPO tahun sebelumnya, jumlah produksi CPO Indonesia dan harga barang subtitusi. Apabila jumlah penawaran CPO untuk pasar domestik tinggi, maka harga CPO domestik akan menurun. Harga CPO domestik yang menurun adalah tujuan diberlakukan pajak ekspor.
Produksi Crude Palm Oil (CPO)
Pajak Ekspor
Penawaran Ekspor CPO
Impor
Penawaran CPO Domestik
Harga CPO Domestik Harga Pasar Dunia
Nilai Tukar
Harga CPO tahun sebelumnya
Harga Barang Subtitusi
Gambar 7 Bagan Kerangka Teoritis Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor Pada Komoditas CPO terhadap perdagangan CPO Indonesia
IV METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan bagaimana teknik dan prosedur dalam melakukan penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah:
4.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Jenis data sekunder bersumber dari beberapa instansi yang terkait dengan objek penelitian seperti Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, BPS Jakarta, LIPI Jakarta, LIPI Bogor, LPRI Bogor, Perpustakaan IPB, Internet serta berbagai penelitian terdahulu yang terkait dalam penelitian ini. Daya yang digunakan menggunakan data deret waktu (time series) tahun 1979 hingga 2000. jenis data yang diperlukan adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika pada tahun t, harga ekspor minyak kelapa Indonesia pada tahun t, kebijakan pajak ekspor, produksi CPO Indonesia pada periode sekarang, harga domestik CPO Indonesia pada tahun t, jumlah penawaran ekspor CPO Indonesia pada tahun t, jumlah penawaran domestik CPO Indonesia pada tahun t dan harga ekspor komoditas ke-i pada periode sebelumnya.
4.2 Metode Pengumpulan Data Metoda pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah metoda pengumpulan data yang bersumber dari bukubuku, literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti guna mendalami
dan memperoleh pengetahuan lengkap tentang masalah yang diteliti dan mencari data langsung dari instansi-instansi terkait dengan industri CPO yang berupa laporan-laporan tertulis.
4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode pengolahan dilakukan dengan metode ekonomi, yang merupakan suatu penyederhanaan dari realita ekonomi yang kompleks. Penyederhanaan itu untuk mengendalikan dan memprediksi kenyataan sesungguhnya. Sebuah model ekonomi harus memenuhi beberapa persyaratan seperti realistis, bisa dikelola, dan sesuai dengan teori. Untuk melihat pengaruh kebijakan pajak ekspor, maka dibentuk model yang yang melihat dari sisi penawaran ekpsor, penawaran domestik dan harga domestik. Indonesia yang sejak tahun 1978 menjadi salah satu pengekspor CPO terbesar di dunia, tidak mengimpor CPO dari negara lain. Kalaupun Indonesia mengimpor CPO, hal ini hanya untuk memenuhi kekurangan stok untuk kebutuhan dalam negeri. Adapun permintaan adalah impor dunia, dimana Indonesia sebagai negara besar yang mengekpor CPO dengan demikian terdapat impor dunia atas CPO Indonesia. Data dan informasi yang diperoleh akan dianalisis dengan metode secara kuantitatif. Untuk melihat pengaruh penetapan pajak ekspor CPO terhadap harga dan penawaran CPO Indonesia, dilakukan dengan analisis regresi linear. Setelah dilakukan regresi linear, dilakukan pengujian terhadap model pendugaan dengan uji statistik.
4.4 Spesifikasi Model Simultan Spesifikasi model merupakan langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian yang menggunakan model ekonometrika (koutsoyiannis, 1977). Dimana hubungan antara peubah yang digunakan dirumuskan dalam bentuk model. Spesifikasi model ekonomi pada teori ekonomi dan adanya informasi yang berhubungan dengan fenomena yang diteliti. Suatu model dikatakan baik jika model tersebut memenuhi kriteria-keriteria sebagai berikut: 1. Kriteria Ekonomi Kriteria ini ditentukan oleh dasar-dasar teori ekonomi dan berhubungan dengan tanda dan besar parameter dari hubungan ekonomi. Model yang diperoleh akan dievaluasi berdasarkan teori-teori ekonomi yang ada. 2. Kriteria Statistik Kriteria ini menyangkut uji statistik untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan dari variabel-variabel eksogen terhadap variabel endogen pada masing-masing persamaan, kemampuan variabel eksogen dalam menjelaskan variasi atau keragaman variabel endogen. Uji statistik dibantu dengan software statistik seperti STATA dan SAS. Kemudian hasil dari pengujian diinterpretasikan. 3. Kriteria Ekonometrik Kriteria ekonometrik didasari oleh asumsi-asumsi dari model regresi berganda sebagai berikut: a. E(ei) = 0 untuk setiap i, artinya nilai yang diharapkan bersyarat dari ei tergantung pada Xi tertentu adalah nol
b. Cov (ei,ej) = 0 untuk setiap i ≠ j (asumsi non autokorelasi), artinya gangguan ei dan ej tak berkorelasi c. Var (ei) = δ2 untuk setiap i (asumsi homokedastisitas), artinya varians ei untuk setiap i (yaitu varians bersyarat untuk ei) adalah suatu angka konstan positif yang sama dengan δ2. d. Cov (ei, X2i) = Cov (ei,X3i) = 0, artinya gangguan ei dan varians yang menjelaskan X tidak berkorelasi. Pendekatan ekonometrika dibedakan atas persamaan tunggal dan persamaan simultan. Persamaan tunggal merupakan persamaan dimana variabel terikat (dependent variable), dinyatakan sebagai sebuah fungsi linier dari satu atau lebih variabel bebas (independent variable), sehingga hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas merupakan hubungan satu arah, sedangka persmaan simultan adalah suatu persamaan membentuk sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan diatara berbagai variabel dalam persamaan tersebut, sehingga model ini tidak mungkin menaksir hanya pada satu persamaan dengan mengabaikan informasi yang ada pada persamaan-persamaan lainnya. Persamaan yang digunakan adalah persamaan simultan recursive. Dimana terdapat tiga persamaan model yaitu persamaan penawaran ekspor CPO Indonesia, persamaan penawaran domestik dan harga CPO domestik. Penawaran ekspor CPO akan mempengaruhi penawaran CPO domestik yang kemudian akan mempengaruhi harga CPO domestik Indonesia. Penggunaan model ini dimaksudkan untuk menghitung besarnya pengaruh dari hubungan antara variabel tidak bebas (dependent variable) dengan variabel
bebas (independent variable) yang diamati, yang secara teoritis dianggap mempunyai pengaruh terhadap naik turunnya kegiatan ekspor CPO Indonesia. Maka model persamaan simultan ditulis sebagai berikut:
4.4.1 Penawaran Ekspor CPO Indonesia Peubah-peubah yang diduga mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia antara lain: Produksi CPO pada periode saat ini (a1), harga ekspor CPO (a2), pajak ekspor (a3) dan nilai tukar (a4). Dengan demikian model yang digunakan adalah model persamaan Penawaran Ekspor CPO yaitu: XCPO
= a 0 + a1 YCPO + a2 PCPO + a3 D + a4 ER + a4 PCPO1 ei
Hipotesis : a1, a2, a4 > 0 a3
< 0
Variabel pertama yaitu produksi CPO pada periode saat ini (a1). Variabel ini diharapkan memiliki tanda positif dengan penawaran ekspor CPO Indonesia. Semakin tinggi produksi CPO akan mengakibatkan penawaran di pasar akan semakin tinggi. Variabel kedua yaitu harga ekspor CPO (a2). Variabel ini diharapkan memiliki tanda positif terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia. Apabila harga ekspor CPO Indonesia semakin tinggi, maka barang yang akan ditawarkan akan semakin banyak. Hal ini karena adanya perbedaan harga sehingga dengan tingginya harga pasar, maka semakin tinggi penawaran ekspor. Variabel ketiga yaitu Pajak Ekspor (a3). Variabel ini diharapkan memiliki tanda negatif dengan penawaran ekspor CPO Indonesia. Kondisi harga pasar internasional saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan harga domestik, maka
untuk menekan laju ekspor pemerintah menerapkan kebijakan pajak ekspor. Pajak ekspor ini diharapkan akan mengurangi penawaran ekspor CPO Indonesia dengan tujuan menjamin tersedianya pasokan dalam negeri. Variabel keempat yaitu nilai tukar (a4). Variabel ini diharapkan memiliki tanda positif terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia. Semakin tinggi nilai tukar maka akan harga dipasaran akan semakin tinggi sehingga penawaran di pasar akan semakin tinggi. Variabel kelima adalah harga CPO Indonesia periode sebelumnya (a5). Variabel ini diharapkan memiliki tanda positif terhadap penwaran ekspor CPO Indonesia. Semakin tinggi harga CPO periode sebelumnya maka penwaran ekspor di pasar periode sekarang semakin banyak.
4.4.2 Penawaran Domestik CPO Indonesia Pada
penawaran
CPO
domestik,
peubah-peubah
yang
diduga
mempengaruhi antara lain: penawaran ekspor CPO Indonesia tahun yang sedang dijalankan (b1), produksi CPO Indonesia yang dihasilkan pada periode sekarang (b2) dan impor CPO ke pasar domestik (b3). Variabel ekspor CPO memiliki hubungan yang negatif dengan penawaran domestik sedangkan variabel produksi CPO dan impor CPO ke pasar domestik memiliki hubungan yang positif. Dengan demikian Persamaan Penawaran CPO Domestik yaitu: SCPOD = b0 + b1 XCPO + b2 YCPO + b3 IMCPO + ei Hipotesis: b1
< 0
b2, b3 > 0
Variabel pertama yaitu penawaran ekspor CPO Indonesia (b1). Variabel ini diharapkan memiliki tanda negatif terhadap penawaran CPO domestik. Penawaran ekspor CPO Indonesia terhadap penawaran CPO domestik memiliki hubungan yang negatif. Apabila penawaran ekspor tinggi maka penawaran domestik akan berkurang, begitu pula sebaliknya. Variabel kedua yaitu produksi CPO Indonesia yang dihasilkan pada periode sekarang (b2). Variabel ini diharapkan memiliki tanda positif terhadap penawaran CPO domestik. Dengan produksi CPO Indonesia yang semakin tinggi maka akan mengakibatkan penawaran untuk pasar yang semakin tinggi. Variabel ketiga adalah impor CPO ke pasar domestik Indonesia (b3). Variabel ini diharapkan memiliki tanda positif terhadap penawaran CPO domestik. Dengan adanya impor CPO ke pasar domestik Indonesia maka kuantitas jumlah komoditi di pasar akan semakin banyak.
4.4.3 Harga Domestik CPO Indonesia Peubah-peubah yang diduga mempengaruhi harga CPO domestik antara lain: penawaran domestik CPO Indonesia tahun yang sedang dijalankan (c1), produksi CPO Indonesia yang dihasilkan pada periode sekarang (c2), harga CPO tahun sebelumnya (c3) dan harga barang subtitusi (c4). Variabel penawaran domestik CPO Indonesia dan produksi CPO Indonesia memiliki hubungan yang negatif dengan harga domestik, variabel lainnya memiliki hubungan yang positif. Dengan demikian model Persamaan Harga CPO Domestik yaitu: PDOM = c0 + c1SCPOD + c2 YCPO + c3 PCPO1 + c4 PCCO + ei Hipotesis: c1, c2 < 0 c3, c4 > 0
Variabel pertama yaitu penawaran domestik CPO Indonesia tahun yang sedang dijalankan (c1). Variabel ini diharapkan memiliki hubungan negatif terhadap harga CPO domestik. Semakin banyak penawaran CPO di pasar domestik maka harga pasar akan turun. Variabel kedua adalah produksi CPO Indonesia yang dihasilkan pada periode sekarang (c2). Variabel ini diharapkan memiliki tanda negatif dengan harga ekspor CPO domestik. Produksi yang semakin meningkat mengakibatkan penawaran di pasar akan semakin banyak. Akibat produksi CPO di pasar yang banyak, maka harga yang ada di pasar akan turun. Variabel ketiga yaitu harga CPO tahun sebelumnya (c3). Variabel ini diharapkan memiliki tanda positif dengan harga CPO domestik. Harga tahun sebelumnya menjadi acuan harga yang akan diterapkan saat ini. Apabila harga tahun lalu meningkat maka harga saat ini diperkirakan akan meningkat pula. Variabel keempat yaitu harga barang subtitusi (c4). Variabel ini diharapkan memiliki tanda positif dengan harga CPO domestik. Barang subtitusi untuk CPO adalah minyak kelapa dimana apabila harga CPO naik maka konsumen akan beralih ke barang subtitusi. Ketika barang subtitusi menjadi alternatif maka harga dari barang subtitusi akan naik pula. Keterangan Variabel-variabel pada model: Variabel Eksogen: ER
= Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika pada tahun t
PCCO
= Harga ekspor minyak kelapa Indonesia pada tahun t
D
= Dummy yang menunjukkan perubahan pada kebijakan Pajak Ekspor. Angka 1 mewakili pemberlakuan pajak ekspor dan 0 mewakili tidak adanya pajak ekspor.
YCPO
= Produksi CPO Indonesia pada periode sekarang
IMCPO
= Impor CPO ke pasar domestik Indonesia periode sekarang
Variabel Endogen: PDOM
= Harga domestik CPO Indonesia pada tahun t
XCPO
= Jumlah penawaran ekspor CPO Indonesia pada tahun t
SCPOD
= Jumlah penawaran domestik CPO Indonesia pada tahun t
Lag Variabel: PCPO1
= Harga ekspor komoditas ke-i pada periode sebelumnya.
ei
= error term
4.5 Identifikasi Model Identifikasi adalah apakah taksiran angka dari parameter persamaan struktural dapat diperoleh dari koefisien bentuk tereduksi yang ditaksir (Gujarati, 1978). Jika ini dapat dilakukan maka persamaan tertentu diidentifikasikan (identified). Jika hai ini tidak dapat dilakukan, maka kita mengatakan bahwa persamaan yang sedang dibahas adalah tidak bisa diidentifikasikan (unidentified) atau
kurang
diidentifikasikan
(underidentified).
Suatu
persamaan
yang
diidentifikasikan bisa berupa tepat sepenuhnya diidentifikasikan (exactly atau full atau just identified) atau terlalu diidentifikasikan (overidentified). Dikatakan tepat diidentifikasikan jika nilai angka yang unik dari persamaan struktural dapat diperoleh. Dikatakan terlalu diidentifikasikan jika lebih dari satu nilai angka dapat diperoleh untuk beberapa persamaan struktural. Pembentukan model simultan dikatakan memenuhi syarat sudah baik atau belum maka dilakukan dengan identifikasi persamaan. Suatu persamaan simultan
dikatakan sudah baik jika memenuhi syarat perlu (order condition) dan syarat cukup (rank condition). Jika hal ini sudah dilakukan, maka persamaan tersebut dikatakan dapat diidentifikasi (identified), baik secara tepat (exactly identified) ataupun secara lebih (over identified). Jika hal ini tidak dapat dilakukan, maka persamaan tersebut dikatakan tidak dapat diidentifikasi atau kurang dapat diidentifikadi kriteria rank condition tidak dilakukan, karena berdasarkan pengelaman-pengalaman studi terdahulu, hasil identifikasi tersebut pada umumnya menghasilkan kesimpulan over identified. Order condition adalah merupakan syarat perlu dari identifikasi model (Koutsoyiannis, 1977). Kondisi order digunakan untuk mengetahui apakah persamaan-persamaan yang ada termasuk exactly identified, overidentified atau underidentified. Identifikasi dengan menggunakan order condition adalah bahwa setiap persamaan yang terdapat dalam model simultan harus memenuhi syarat: K-k > m-1 Dimana: K
= jumlah variabel eksogen dalam model
k
= jumlah variabel eksogen dalam persamaan
m
= jumlah variabel endogen dalam persamaan
Tabel 8 Order Condition Identification dari Model Persamaan
K-k
Tanda
m-1
Identifikasi
XCPO
7-5
>
1-1
Overidentified
SCPOD
7-2
>
2-1
Overidentified
PDOM
7-3
>
2-1
Overidentified
Hasil dari pengujian order condition menunjukkan bahwa keempat persamaan structural dalam model adalah overidentified, sehingga parameterparameter pada persamaan simultan diatas dapat distimulasikan dengan Two-
Stage Least Square (2SLS) karena telah memenuhi syarat untuk TSLS. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menduga model persamaan dengan kondisi over identified, yaitu Two-Stage Least Square (2SLS), Three Stage Least Square (3SLS), Limited Information Maximum Likelihood (LIML), dan Full Information Maximum Likelihood (FIML). Metode yang dipilih, karena pertimbangan kemungkinan adanya kesalahan dalam perumusan model. Dengan menggunakan 2SLS, kesalahan spesifikasi satu persamaan tidak tertransfer ke persamaan-persamaan lain, walaupun penduga yang diperoleh kurang efisien jika dibandingkan dengan hasil estimasi 3SLS. Alasan lain memilih metode 2SLS adalah: 1.
Metode ini cocok untuk mengestimasi model persamaan simultan yang berada dalam kondisi over identified.
2.
Metode ini cocok digunakan pada jumlah sampel pengamatan yang tidak terlalu banyak.
3.
Metode ini dapat mengindari estimasi yang bias dan menghasilkan penduga yang konsisten, serta tidak terlalu sensitif terhadap kesalahan spesifikasi. Pilihan terhadap metode 2SLS dibandingkan dengan metode lainnya
disebabkan oleh penerapan sistem persaman simultan dengan metode Ordinary Least Square (OLS) akan menghasilkan koefisien yang bias, karena terjadi korelasi antara error term dengan peubah endogen yang ada disisi kanan persamaan. Dengan metode Instrumental Variables (IV) masalah tersebut dapat diatasi dan menghasilkan koefisien yang tidak bias, tetapi koefisien yang diperoleh tidak efisien karena terdapat lebih dari satu informasi. Jika menggunakan metode 3SLS (Three Stage Least Squares), kesalahan spesifikasi
dari satu persamaan akan merembet ke persamaan lain persamaan lain, sehingga koefisien yang diperoleh dari semua persamaan akan bias. Kelemahan metode 2SLS adalah diantaranya kurang efisien dibandingkan estimator 3SLS. Metode ini bekerja dengan kurang baik jika koefisien determinasi (R2) pada tahap pertama estimasi terlalu kecil (mendekati nol). Dengan menggunakan 2SLS, kesalahan spesifikasi satu persamaan tidak tertransfer ke persamaan-persamaan lain. Metode 2SLS cocok untuk mengestimasi model persamaan simultan yang berada dalam kondisi over identified, pada penelitian ini kondisinya adalah over identified. Metode ini cocok digunakan pada jumlah sampel pengamatan yang tidak terlalu banyak, dalam penelitian kebijakan pajak ekspor pada komoditi kelapa sawit ini memiliki jumlah sampel pengamatan sebanyak 21 tahun sehingga pendugaan TSLS ini sangat cocok digunakan dalam penelitian ini. Metode ini dapat mengindari estimasi yang bias dan menghasilkan penduga yang konsisten, serta tidak terlalu sensitif terhadap kesalahan spesifikasi.
4.6 Definisi Operasional 1. Variabel penawaran ekspor CPO Indonesia pada tahun t yang dimaksud adalah total penawaran komoditas CPO pada tahun yang sedang dijalankan yang dinyatakan dalam satuan ton yang dihasilkan pada tahun sekarang yang dialokasikan untuk ekspor ke pasar dunia. Periode waktu yang digunakan adalah 1979-2007. 2. Variabel harga ekspor CPO Indonesia pada tahun t yang dimaksud adalah harga nominal komoditas CPO Indonesia yang diekspor pada tahun t dalam satuan US$ per ton. Harga ekspor yang dimaksud ini adalah market
price, dimana harga ekspor tersebut adalah harga yang sebenarnya dibayar oleh pihak pengimpor. Jadi diasumsikan bahwa biaya lainnya seperti pajak, biaya transportasi dan sebagainya sudah termasuk di dalamnya. Periode waktu yang digunakan adalah 1979-2007. 3. Variabel harga domestik CPO Indonesia pada tahun t yang dimaksud adalah harga nominal komoditas CPO Indonesia yang ada pada pasar domestik pada tahun t dalam satuan US$ per ton. Periode waktu yang digunakan adalah 1979-2007. 4. Variabel produksi CPO Indonesia adalah total produksi komoditas CPO Indonesia pada tahun t dalam satuan ton. Pada persamaan digunakan produksi tahun lalu karena adanya lag. Periode waktu yang digunakan adalah 1979-2007. 5. Variabel kebijakan pembatasan ekspor diwakili dengan dummy. Angka 1 mewakili pemberlakuan pajak ekspor dan 0 mewakili tidak adanya pajak ekpor. Kebijakan pajak ekspor dijadikan dummy karena kebijakan ini selalu mengalami perubahan, bisa dalam tahunan bahkan bulanan. Besar pajak ekspor ini tidak pasti maka digunakan dummy dalam model. Periode waktu yang digunakan adalah 1979-2007. 6. Variabel nilai tukar yang dimaksud adalah nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika. Angka ini diperoleh dari hasil perkalian nilai tukar nominal dengan perbandingan tingkat harga Indonesia dan tingkat harga Amerika. Periode yang digunakan adalah 1979-2007.
7. Variabel harga ekspor minyak kelapa adalah harga ekspor yang dikenakan pada komoditas minyak kelapa yang diekspor pada tahun t dalam satuan US$/ton. Periode yang digunakan 1979-2007. 8. Variabel penawaran CPO domestik pada tahun t yang dimaksud adalah total penawaran komoditas CPO yang dinyatakan dalam satuan ton yang dihasilkan pada tahun sekarang untuk pasar domestik. Periode waktu yang digunakan adalah 1979-2007. 9. Variabel impor CPO ke pasar domestik Indonesia pada tahun t yang dimaksud adalah total impor CPO yang masuk ke dalam pasar domestik yang berasal dari luar batas negara yang dinyatakan dalam satuan ton. Periode waktu yang digunakan adalah 1979-2007.
4.7 Pengujian Terhadap Hipotesis Terdapat banyak variabel bebas yang mempengaruhi, maka analisis ini dibatasi pada beberapa faktor berdasarkan data time series periode 1979-2007 dengan menggunakan model ekonomi. Sedangkan untuk mengukur kebaikan model dilakukan beberapa pengujian statistik. Beberapa pengujian tersebut berdasarkan Damodar Gujarati adalah:
4.7.1 Uji Kesesuaian Model Model yang dianalisis membutuhkan pengujian terhadap hipotesishipotesis yang dilakukan. Pengujian hipotesis secara statistik bertujuan untuk mengetahui nyata tidaknya pengaruh variabel yang dipilih terhadap variabelvariabel yang diteliti. Koefisien determinasi (R2) adalah suatu angka yang
menerangkan variasi pada variabel eksogen yang dapat diterangkan oleh variasi pada model regresi. Nilai R2 berkisar 0 < R2 < 1, dengan kriteria pengujian adalah R2 yang semakin tinggai (mendekati 1) menunjukkan model yang terbentuk mampu menjelaskan keragaman dari variabel eksogen dan demikian juga sebaliknya. Uji simultan (Uji F) digunakan untuk menguji secara bersama-sama apakah peubah-peubah eksogen dapat menjelaskan variasi peubah endogen. Mekanisme yang digunakan untuk menguji hipotesis tersebut adalah sebagai berikut: Hipotesis: H0
: b0 = b1 = b2 = b3 = ....= bi = 0 (Semua variabel bebas tidak mempengaruhi variabel tak bebas secara bersama-sama)
H1 : Salah satu b ≠ 0 (Semua variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel tak bebas) b
: parameter dugaan
Jika hipotesis nol (Ho) ditolak berarti minimal ada satu peubah penjelas yang digunakan berpengaruh nyata terhadap peubah endogen dan sebaliknya jika hipotesis nol diterima berarti secara bersama peubah penjelas yang digunakan tak bisa menjelaskan variasi dari peubah endogen.
4.7.2 Pengujian Hipotesis Untuk melakukan pengujian secara statistik masing-masing peubah eksogen yang dipilih berpengaruh nyata atau tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen, digunakan uji statistik t. Mekanisme yang digunakan dalam menguji hipotesis masing-masing peubah penjelas adalah sebagai berikut:
Hipotesis: 1. Untuk Koefisien Positif H0 : bi = 0 (variabel eksogen tidak mempunyai pengaruh) H1 : bi > 0 (variabel eksogen mempunyai pengaruh) 2. Untuk Koefisien Negatif H0 : bi = 0 (variabel eksogen tidak mempunyai pengaruh) H1 : bi < 0 (variabel eksogen mempunyai pengaruh) b
: parameter dugaan
Jika hipotesis nol (Ho) diterima, maka peubah penjelas yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen. Namun, jika hipotesis nol (Ho) ditolak, berarti peubah penjelas yang diuji berpengaruh nyata terhadap peubah endogen.
4.7.3 Uji Autokorelasi Autokorelasi
merupakan
gejala
adanya
korelasi
antara
anggota
serangkaian observasi yang diurutkan menurut deret waktu (Gujarati, 1978). Adanya gejala autokorelasi pada suatu persamaan akan menyebabkan persamaan tersebut memiliki selang kepercayaan yang semakin lebar dan pengujian menjadi kurang akurat mengakibatkan hasil dari uji F dan uji t menjadi tidak sah dan penaksiran regresi akan menjadi sensitif terhadap fluktuasi penyampelan. Masalah autokorelasi akan sulit dihindari karena data yang terdapat dalam satu periode bisa saja dipengaruhi oleh data yang terjadi pada periode sebelumnya. Untuk mendeteksi autokorelasi ini dapat digunakan uji d (Durbin
Watson Statistic). Untuk mengetahui adanya autokorelasi oleh Durbin Watson Statistic dilakukan dengan hipotesa: H0 : tidak ada autokorelasi H1 : ada autokorelasi Dengan menetapkan H0 adalah dua ujung, yaitu bahwa tidak ada autokorelasi baik positif maupun negatif, maka jika: D < DL
: H0 ditolak
Du < D < 4- Du
: H0 diterima
DL < D < Du
: pengujian tidak meyakinkan (tidak ada jawaban)
Nilai Du dan D1 ditentukan dari tabel Durbin-Watson dengan n adalah jumlah data, dan k adalah jumlah variabel independen.
V GAMBARAN UMUM KEPALA SAWIT
5.1 Perkembangan industri Kelapa Sawit Indonesia Pada awal perkembangan kelapa sawit, sebagian besar produksi kelapa sawit diekspor. Pada periode ini, kebutuhan domestik untuk minyak goreng berasal dari kopra dimana minyak kelapa mentah dihasilkan. Pada tahun 1971, sebesar 93 persen total pengeluaran pada minyak nabati mentah digunakan untuk minyak kelapa. Namun, produksi minyak kelapa hanya meningkat sebesar 1,2 persen selama periode 1974-1994. sedangkan perkembangan minyak kelapa sawit dari tahun 1974 sampai dengan 1994 sangat cepat. Pada tahun 1979, produksi kelapa sawit sebesar 0,6 juta ton dan pada tahun 1994 angka produksi ini telah mencapai 4,1 juta ton. Komoditi kelapa sawit ini, terutama CPO, telah menjadi sumber minyak goreng yang sangat penting di Indonesia sejak akhir tahun 1970. Ekspor kelapa sawit beberapa tahun ini mengalami fluktuasi karena adanya berbagai kebijakan pemerintah. Sebelum tahun 1978, pemerintah Indonesia tidak melakukan kebijakan-kebijakan perdagangan pada ekspor kelapa sawit. Pada periode ini, ekspor kelapa sawit yang didominasi oleh CPO sangat besar, yang berkisar 73 persen sampai 94 persen dari total produksi. Namun situasi ini berubah pada tahun 1978, setelah pemerintah menetapkan berbagai peraturan perdagangan kelapa sawit. Salah satu tujuan penetapan kebijakankebijakan tersebut adalah tidak lain untuk menjamin agar pasokan CPO dalam negeri tetap stabil, sehingga harga minyak goreng dalam negeri pun stabil. Perkembangan ekspor CPO Indonesia setelah tahun1978 dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 9 Ekspor CPO Indonesia Periode 1979-2007 (ton) Tahun
XCPO (ton) 351280 502902 196861 197821 345777 127938 125344 566885 567445 557831 546278 815580 1167689 1030272 1632012 1714352 1265024 1671957 2967589 3188477 3319100 4015623 4903218 6333708 6386409 8661647 10375792 12100921 14151983
1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Pertumbuhan (%) 43.16 -60.85 0.49 74.79 -63.00 -2.03 352.26 0.10 -1.69 -2.07 49.30 43.17 -11.77 58.41 5.05 -26.21 32.17 77.49 7.44 4.10 20.99 22.10354 29.17451 0.832072 35.62625 19.79006 16.62648 16.94964
Sumber: Departemen Pertanian Indonesia, 2007
Tabel 9 menunjukkan bahwa secara umum ekspor CPO Indonesia mengalami
peningkatan
setiap
tahunnya
sebesar
28,63
persen
dengan
pertumbuhan tertinggi pada tahun 1986 yang mencapai angka 352,26 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada tahun 1980-an, pemerintah mulai menggalakan ekspor non-migas sejalan dengan menurunnya peran minyak dan gas bumi dalam perekonomian Indonesia. Minyak kelapa sawit sebagai salah satu produk ekspor andalan perkebunan, pada periode ini dilakukan pengembangan ekspornya. Pada tahun 1986, ekspor CPO telah menampakkan hasil yang positif,
setelah sebelumnya telah mengalami beberapa kali penurunan. Sedangkan penurunan terbesar terjadi pada tahun 1984 yaitu sebesar 63 persen. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1984, kebutuhan minyak goreng Indonesia yang berasal dari minyak kelapa sawit telah melebihi minyak goreng yang berasal dari minyak kelapa. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri ini, maka ekspor kelapa sawit menurun secara signifikan. Pada tahun 1995, setelah pajak ekspor diberlakukan, ekspor CPO Indonesia mengalami penurunan sebesar 26,21 persen. Memasuki masa krisis moneter, pada tahun 1997, pemerintah menurunkan pajak ekspor. Sehingga pada tahun 1997, ekspor CPO Indonesia kembali meningkat sebesar 77,49 persen dari tahun sebelumnya. Dengan adanya krisis moneter pada tahun 1997-1998, mata uang rupiah mengalai depresiasi tinggi. Akibatnya pada tahun tersebut terjadi peningkatan ekspor CPO. Harga CPO Indonesia terkesan lebih murah akibat rupiah yang terdepresiasi. Terlebih karena sector pertanian adalah salah satu sektor penyelamat perekonomian Indonesia. pada saat krisis moneter pemerintah menurunkan pajak ekspor. Penurunan Pajak Ekspor saat krisis moneter adalah mengembalikan iklim perdagangan CPO Indonesia. Perkembangan industri kelapa sawit ini tidak hanya dilihat dari ekspornya saja, tetapi juga dari produksi atau output yang dihasilkannya. CPO yang merupakan komoditi utama dari kelapa sawit, dalam perkembangan produksinya relatif lebih stabil daripada perkembangan ekspornya. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan CPO yang relatif stabil baik pada konsumen dalam negeri maupun konsumen luar negeri. Sehingga perkembangan produksi tiap tahunnya tidak akan terlalu berbeda jauh dari perkembangan produksi tahun sebelumnya.
Pada tabel 10 berikut memberikan gambaran mengenai produksi CPO Indonesia selama periode 1979-2007. Dimana dari tahun 1979-2007 produksi kelapa sawit Indonesia terus mengalami peningkatan secara bertahap. Tabel 10 Produksi CPO Indonesia Periode 1979-2007 Tahun 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
YCPO (ton) 501280 641240 721170 800070 887000 983000 1147000 1243000 1351000 1506000 1690000 1965000 2413000 2658000 2910000 3400000 3958000 4301000 4739000 5191000 5689000 6250000 8396472 9622345 10440834 10830389 11861615 13390807 14339986
Pertumbuhan (%) 15.17 8.83 17.95 10.82 16.68 8.37 8.69 11.47 12.22 16.27 22.80 10.15 9.48 16.84 16.41 8.67 10.18 9.54 9.59 9.86 2.74 30.7658 14.59986 8.506128 3.731072 9.521597 12.89194 7.088288
Sumber: Departemen Pertanian Indonesia, 2007
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa produksi CPO Indonesia selalu mengalami peningkatan selama periode 1979-2000. Hal ini membuktikan bahwa komoditas CPO ini sangat stabil mengingat pentingnya komoditas ini bagi kebutuhan masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia. Rata-rata perkembangan produksi CPO Indonesia pada periode ini adalah 12,04 persen. Pertumbuhan
tertinggi terjadi pada tahun 1990, yaitu sebesar 22,8 persen. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut persediaan bahan baku CPO bagi industri minyak goreng dalam negeri telah tercukupi dengan baik dan pemerintah membebaskan untuk melakukan ekspor. Sehingga adanya kebebasan ini, maka produsen meningkatkan produksinya. Penyediaan domestik (domestic alocation) merupakan selisih antara produksi total dengan net ekspor. Dengan demikian, penyediaan domestik secara tidak langsung juga merupakan total kebutuhan domestik. Produksi CPO Indonesia terus naik setiap tahunnya, artinya konsumsi dalam negeri pun terus meningkat. Pada tabel 11 berikut memberikan gambaran mengenai penawaran domestik CPO Indonesia selama periode 1979-2000. Dimana dari tahun 19792000 penawaran kelapa sawit Indonesia terus mengalami peningkatan secara bertahap. Menyimak perkembangan selama kurun waktu tersebut tampak bahwa penawaran domestik terus meningkat. Pada tahun-tahun tertentu pertumbuhannya berkurang yang ditandai dengan pertumbuhan yang negatif, seperti pada tahun 1985, 1993, 1994, 1997 dan 2000 saat itulah terjadi kekurangan pasokan untuk kebutuhan dalam negeri maka pemerintah memutuskan untuk mengimpor CPO dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun jumlah impor yang dilakukan pada periode itu sangat kecil, hanya untuk memenuhi kekurangan kebutuhan CPO pada pasar domestik. Impor CPO ke pasar domestik Indonesia berasal dari Malaysia. Jumlah CPO yang diimpor Indonesia sedikit bila dibandingkan dengan jumlah produksi CPO Indonesia.
Tabel 11 Penawaran CPO Domestik Periode 1979-2007 Tahun 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
SCPOD (ton) 189968 218276 603676 627385 637294 1064657 664836 750800 1033619 1163175 1460068 1465662 1527807 2544707 1944887 1883648 3035976 3067043 2223411 2500523 2930900 2405377 3493254 3288637 4054425 2168742 1485823 1289886 188003
Pertumbuhan (%) 14.90146 176.5654 3.927438 1.579413 67.059 -37.554 12.93011 37.66902 12.53421 25.52436 0.383133 4.240064 66.55945 -23.5713 -3.14872 61.17534 1.023295 -27.5064 12.46337 17.21148 -17.9304 45.22688 -5.85749 23.28588 -46.5093 -31.4892 -13.1871 -85.4248
Sumber: Departemen Pertanian Indonesia, 2007
5.2 Perkembangan Harga Ekspor dan harga domestik CPO Indonesia Secara umum harga minyak goreng semakin meningkat, dengan peningkatan nominal yang bervariasi. Peningkatan harga ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kenaikan biaya produksi yang menyebabkan naiknya harga pokok, penyesuaian harga dengan tingkat inflasi tahun itu, penerapan kebijakan pemerintah dengan menetapkan pajak ekspor.
Harga ekspor merupakan harga yang harus dibayar konsumen atau harga yang diterima eksportir dalam transaksi jual beli suatu komoditi di pasar internasional (market price). Sesuai dengan hukum penawaran, harga akan mempengaruhi penawaran ekspor. Jika harga ekspor naik, maka penawaran ekspor juga akan naik. Hal ini yang akan menentukan pula kebijakan pemerintah untuk menetapkan pajak ekspor untuk komoditi CPO. Perkembangan harga ekspor CPO Indonesia berfluktuasi. Hal ini dikarenakan harga ekspor CPO banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal, termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah. Harga ekspor CPO Indonesia yang akan menentukan posisi CPO Indonesia di pasar dunia. Berikut ini adalah tabel yang menyajikan perkembangan harga ekspor CPO Indonesia selama periode 1979-2007. Dari tabel 12 menunjukkan bahwa harga ekspor CPO Indonesia rata-rata mengalami kenaikan. Besarnya rata-rata kenaikan harga ekspor CPO Indonesia ini tiap tahunnya adalah 1,62 persen. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 1990, yaitu sebesar 38,8 persen. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut, harga CPO dunia yang merupakan salah satu acuan dalam menentukan harga ekspor CPO Indonesia, mengalami kenaikan akibat kebutuhan CPO yang meningkat di dunia. Sedangkan penurunan tertinggi terjadi pada tahun 1981, yaitu sebesar 28,38 persen dari tahun sebelumnya. Harga tertinggi ditunjukkan pada akhir tahun 2007 dimana harga CPO meningkat sebesar 84 persen. Harga CPO yang tinggi ini dipicu akibat harga dunia yang terus meningkat. Hal lain yang menyebabkan harga CPO tahun 2007 sangat tinggi karena konsumsi akan minya kelapa sawit pun meningkat
Tebel 12 Harga Ekspor CPO Indonesia Periode 1979-2007 Tahun 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Pxcpo (US$/ton) 507 518 371 322 343 290 269 273 279 263 250 347 351 357 410 420 408 487 514 482 569 590 318.03 388.89 448.58 444.8 420.5 473.58 873
Pertumbuhan (%) 2.17 -28.38 -13.21 6.52 -15.45 -7.24 1.49 2.20 -5.73 -4.94 38.8 1.15 1.71 14.85 2.44 -2.86 19.36 5.54 -6.23 18.05 3.69 -46.0966 22.28092 15.34881 -0.84266 -5.46313 12.62307 84.34055
Sumber: Oil World, berbagai edisi, 2007
Kebijakan pemerintah berupa pajak ekpsor pada komoditi CPO ini juga turut berpengaruh terhadap perkembangan harga ekspor CPO Indonesia. Hal ini dikarenakan pajak yang dikenakan pada ekspor, akan secara langsung mempengaruhi besarnya harga ekspor tersebut. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 1995 setelah dikenakan pajak ekspor, harga ekspor CPO Indonesia menurun sebesar 2,86 persen. Jika pajak ekspor dinaikkan, seperti pada tahun 1998, pajak ekspor dinaikkan menjadi 40 persen dan 30 persen, harga ekspor meningkat sebesar 18,05 persen. Hal yang sama terjadi pada tahun 1997,
ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi sehingga pajak eskpor diturunkan untuk merangsang kembali ekpsor CPO Indonesia. Harga ekspor kembali naik sebesar 5,54 persen, dengan itu akan kembali memberi semangat para eksportir untuk meningkatkan produksi untuk mencapai target ekspor ke pasar dunia. Harga domestik adalah harga yang diterima konsumen dalam negeri. Harga yang terjadi dalam negeri terus meningkat. Hal ini terjadi akibat harga domestik dengan harga pada pasar internsional berbeda cukup jauh. Pada kondisi ini para produsen memilih mengekspor CPO Indonesia ke pasar internasional. Harga domestik ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti produksi CPO Indonesia, dimana apabila produksi CPO terus meningkat dan penawarannya menjadi banyak akan menyebabkan harga di pasar domestik menurun. Maka dengan melihat fenomena yang terjadi, pemerintah memberlakukan kebijakan untuk menekan laju ekspor agar stabilitas harga dalam negeri dapat tercapai. Kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk, seperti alokasi CPO, pelarangan ekspor dan pemberlakuan pakak ekspor pada komoditas CPO. Dari tabel 13 dapat dilihat bahwa harga domestik mengalami fluktuasi. Harga sangat rendah ketika banyak penawaran CPO di pasar. Harga pun bisa sangat tinggi ketika pasokan di pasar domestik sangat langka sedangkan kebutuhan akan CPO terus meningkat. Ketika harga pada pasar domestik kian meningkat, pemerintah mengeluargkan kebijakan. Kebijakan ini bisa dituangkan dalam berbagai bentuk seperti pengaturan alokasi CPO, pengaturan alokasi ini dengan
menentukan
aturan-aturan
alokasi
CPO
pada
tempat
tertentu.
Pembentukan sistem pengawasan secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik, pembatasan dan pelarangan ekspor CPO dan juga kebijakan pajak
ekspor dimana apabila produsen akan mengekspor akan dikenakan tarif. Kebijakan pemerintah dilakukan dengantujuan agar terjadinya stabilitas harga minyak goreng dalam negeri. Kebijakan pemerintah yang efektif akan menurunkan harga minyak goreng domestik. Tabel 13 Perkembangan Harga CPO Domestik Periode 1979-2007 Tahun 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
PDOM (US$/ton) 329 351 379 356 282 395 374 258 256 288 305 275 286 350 328 414 441 492 535 358 419 263 231 250 330 350 405 421 655
Pertumbuhan (%) 6.68693 7.977208 -6.0686 -20.7865 40.07092 -5.31646 -31.016 -0.77519 12.5 5.902778 -9.83607 4 22.37762 -6.28571 26.21951 6.521739 11.56463 8.739837 -33.0841 17.03911 -37.2315 -12.1673 8.225108 32 6.060606 15.71429 3.950617 55.58195
Sumber: Departemen Pertanian Indonesia, 2007
5.3 Pengaturan Tata Niaga CPO Indonesia oleh Pemerintah Kelapa sawit merupakan komoditi penting bagi Indonesia, maka pemerintah merasa perlu untuk turut mengatur sistem tata niaga kelapa sawit
beserta produk-produknya terutama CPO. Wujud campur tangan pemerintah ini ada tiga, yaitu pengaturan alokasi CPO, pembentukan sistem pengawasan secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik dan pembatasan dan pelarangan ekspor CPO. Kebijakan mengenai tata niaga minyak kelapa sawit khususnya CPO dan PKO (Palm Kernel Oil) pertama kali dikeluarkan pemerintah pada tahun 1978 dan terus diperbaharui hingga sekarang. Tujuan utama penetapan kebijakan-kebijakan tersebut adalah tidak lain untuk menjamin agar pasokan CPO dalam negeri tetap stabil, sehingga harga minyak goreng dalam negeri di dalam negeri tetap stabil. Tata niaga CPO dan PKO pada mulanya diatur pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri perdagangan dan Koperasi pada tahun 1978 untuk tujuan ekspor. Selanjutnya masih ada pada tahun yang sama, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Pertanian, dan Menteri Perindustrian yang berisi tentang pengaturan sistem tata niaga minyak sawit baik di dalam negeri maupun untuk ekspor. Selanjutnya, dalam teknis pelaksanaan sistem tataniaga minyak sawit untuk perdagangan dalam negeri, surat keputusan bersama tersebut diperkuat dengan kebijaksanaan pedoman dan pelaksanaan teknis yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri yang dikeluarkan pada tahun 1979 dan 1983. Surat keputusan ini, mengatur tentang syarat-syarat penyerahan, pengangkutan, teknis pelaksanaan dan sebagainya. Setelah penyediaan bahan baku CPO bagi industri minyak goreng di dalam negeri cukup, maka sejak tanggal 3 juni 1991 sistem tata niaga kelapa dan kelapa sawit dibebaskan. Seandainya terjadi kekurangan bahan baku minyak goreng,
maka produsen bebas mengimpor CPO dengan bea masuk 5 persen. Akibat kebebasan ekspor tersebut serta didukung oleh baiknya harga CPO di pasar internasional, maka terjadilah kelangkaan CPO di dalam negeri. Pada bulan Juli tahun 1992 melalui paket diregulasi, pemerintah menetapkan bahwa minyak goreng kelapa sawit termasuk dalam daftar negatif investasi (tertutup) bagi semua investor, baik untuk PMA, PMDN, maupun non PMA/PMDN. Investasi diizinkan bila dilakukan secara terpadu dengan pengembangan perkebunan kelapa sawitnya atau dengan penyediaan bahan baku sekurang-kurangnya 65 persen dari hasil produksinya yang diekspor. Sementara itu tarif bea tambahan yang semula 20 persen dihapuskan agar produsen dalam negeri dapat bersaing denga produk-produk luar negeri. Memasuki masa krisis moneter, pada bulan Juli 1997 pemerintah menurunkan PE CPO dan produk turunannya dari sekitar 10 persen sampai 12 persen menjadi 2 persen sampai 5 persen. Sistem perpajakan ini menekankan struktur tarif PE ekspor bahan baku dan beban lebih ringan pada ekpsor barang jadi. Pada bulan Desember 1997, melalui SK Menteri Keuangan pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai Pajak Ekspor Tambahan (PET) yang diberlakukan mulai tanggal 17 Desember 1997. Kemudian untuk mengamankan persediaan minyak goreng di dalam negeri terutama menjelang hari-hari raya, maka pemerintah melalui SK Memperindag mengatur alokasi pasokan dalam negeri yang diberlakukan mulai tanggal 19 Desember 1997. Selain itu pemerintah telah menunjuk 17 kelompok perusahaan kelapa sawit untuk memberikan kuota 80 persen produksinya untuk industri minyak dalam negeri. Bagi perusahaan yang melanggar kuota tersebut, pemerintah menaikkan PE tambahan sesuai dengan SK
Meteri Keuangan tersebut yaitu berkisar antara 28-30 persen. Beberapa hari kemudian tepatnya tanggal 24 Desember 1997 pemerintah menetapkan larangan ekspor CPO melalui SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri sebagai tindak lanjut kebijakan pembatasan ekspor sebelumnya. Selanjutnya dalam rangka mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri pemerintah melalui Surat Menteri Kehutanan dan Perkebunan tanggal 22 April 1998. Mengatur beberapa hal, yaitu melalui penyaluran CPO PTPN kepada perusahaan pengolah CPO yang telah ditunjuk, pendistribusian minyak disalurkan oleh BULOG, pembatalan kontrak (outstanding contract), serta pengaturan pembayaran minyak goreng secara cash flow. Pada pertengahan tahun 1998, tingginya harga CPO di pasar internasional serta rendahnya nilai kurs Rupiah terhadap US$ kembali mendorong lajunya ekspor CPO. Hal ini tentu saja kembali mengakibatkan langkanya pasokan CPO dalam negeri. Oleh karena itu pada bulan Juli 1998 pemerintah manaikkan PE CPO yang semula 40 persen menjadi 60 persen. Setelah dianggap pasokan CPO telah mencukupi sehingga harga minyak goreng kembali turun, maka pada awal tahun 1999 pemerintah kembali menurunkan PE CPO yang semula 60 persen menjadi 40 persen. Namun pemerintah melarang ekspor CPO produksi PTPN. Beberapa saat yang kemudian tepatnya tanggal 3 juni 1999, pemerintah kembali menurunkan PE CPO sebesar 10 persen, yaitu yang semula 40 persen turun menjadi 30 persen. Menurut Deperindag, tujuan penurunan PE CPO ini adalah sebagai latihan untuk mengamankan harga minyak dalam negeri. Selanjutnya penurunan akan dilakukan secara bertahap setelah mengkaji kondisi pasar dalam negeri dan pasar
internasional. Pada tahun 2000, Pajak ekspor kembali ditutunkan menjadi 5 persen.
5.4 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Indonesia telah beberapa kali melaksanakan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki nilai tukar Rupiah terhadap mata uang kuat lainnya. Berbagai kebijakan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Devaluasi sebesar 28 persen pada 30 Maret 1983 2. Devaluasi sebesar 31 persen pada September 1986 dan kemudian diikuti dengan depresiasi serial terhadap merosotnya uang US Dollar. 3. Diberlakukannya sistem mengambang pada Februari 1997, ini dilakukan karena Rupiah mengalami depresiasi yang sangat besar. Dalam pengembangannya, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika menunjukkan kecenderungan untuk meningkat. Kurs ini menunjukkan lonjakan yang cukup tinggi pada tahun 1983, yaitu setelah diberlakukan kebijakan devaluasi oleh pemerintah Indonesia. Selanjutnya peningkatan ini kembali berlangsung secara proporsional sampai dengan tahun 1986, yaitu pada saat pemerintah kembali menetapkan devaluasi sebesar 31 persen. Perkembangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Peningkatan tertinggi pada nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar terjadi pada tahun 1997, yaitu sebesar 83,62 persen. Hal ini disebabkan oleh pemberlakuan sistem nilai tukar mengambang menyusul terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Bank Indonesia melepas intervensi dimana nilai tukar ditentukan
sepenuhnya oleh mekanisme pasar. Dengan dilepaskannya batas intervensi tersebut, mengakibatkan nilai tukar rata-rata mengalami penurunan (depresiasi). Tabel 14 Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar (Rupiah) Tahun 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
ER (Rp) 1157 1103 1100 1104 1434 1075 1130 1649 1655 1737 1805 1905 1997 2074 2118 2205 2305 2385 5700 8100 7161 9385 10250 11030 9340 8900 9100 9500 9350
Pertumbuhan (%) -4.65 -0.27 0.41 29.89 -25.03 5.11 45.9 0.36 4.95 3.91 5.54 4.82 3.85 2.12 4.1 4.53 3.47 138.9 42.1 -11.59 31.05 9.216835 7.609756 -15.3218 -4.71092 2.247191 4.395604 -1.57895
Sumber: International Financial Statistic, IMF, berbagai edisi, diolah
5.5 Perkembangan Harga Ekspor Minyak Kelapa Indonesia Komoditi minyak kelapa sawit tidak terlepas dari kompetisi sesama produk minyak nabati lainnya. Salah satu komoditi utama minyak nabati selain minyak kelapa sawit adalah minyak kelapa. Sama halnya dengan harga ekspor CPO, harga ekspor minyak kelapa merupakan market price selama periode 19792000, secara umum harga ekspor minyak kelapa mengalami peningkatan sebesar
3,82 persen. Namun perkembangan harga ekspor minyak kelapa ini berfluktuasi. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 1994. yaitu sebesar 161,99 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan penurunan terbesar terjadi pada tahun 1981. Minyak kelapa dan minyak kelapa sawit merupakan bahan baku bahan sehari-hari. Komoditi minyak kelapa memiliki pangsa pasar yang lebih kecil dibandingkan dengan komoditi kelapa sawit. Komoditi kelapa umumnya hanya dialokasikan untuk bahan produk sehari-hari. Seperti mentega, kosmetik, minyak goreng, dll. Sejak tahun 1970-an harga minyak kelapa dan minyak kelapa sawit terus berfluktuasi. Perkembangan harga ekspor minyak kelapa dapat dilihat dari tabel berikut ini. Minyak kelapa dan minyak kelapa sawit pada dasarnya memiliki segmen pasar yang berbeda. Minyak kelapa memiliki pangsa pasar yang lebih kecil dibandingkan minyak sawit, umumnya minyak kelapa digunakan sebagai bahan industri atau oleochemical dan edible oil. Sedangkan untuk minyak kelapa sawit, selain sebagai bahan industri atau oleochemical dan edible oil, minyak kelapa sawit digunakan sebagai bahan energi alternatif dimana pangsa pasarnya jauh lebih besar dibandingkan dengan minyak kelapa. Harga minyak kelapa lebih tinggi dibandingkan dengan harga minyak kelapa sawit. Setiap tahunnya harga minyak kelapa mengalami kenaikan. Kenaikan harga minyak kelapa ini akibat konsumsi minyak kelapa yang tinggi. Harga minyak kelapa yang tertinggi ditunjukkan pada tahun 2005 yaitu sebesar US$ 2881 /ton. Perkembangan minyak kelapa periode 1979-2007 dapat dilihat pada tabel 15 dibawah ini.
Tabel 15 Harga Ekspor Minyak Kelapa Indonesia Periode 1979-2007 Tahun 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Sumber: Departemen Pertaian, 2007
PCCO (US$/ton) 2790 2749 1643 1505 1771 1920 1968 2745 1871 1840 1382 894 978 879 984 2578 2634 1624 1979 1875 1890 1920 1645 1479 2355 2043 2881 2229 1620
Pertumbuhan (%) -1.47 -40.23 -8.4 17.67 8.41 2.5 39.48 -31.84 -1.66 -24.89 -35.31 9.4 -10.12 11.95 161.99 2.17 -38.34 21.86 -5.26 0.8 1.59 -14.3229 -10.0912 59.22921 -13.2484 41.01811 -22.631 -27.3217
VI PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN CPO
Dalam bab ini akan dilakukan analisis terhadap hasil estimasi modelmodel yang ada. Pada bagian ini juga akan dibahas mengenai respon dari variabel tidak bebas sebagai akibat perubahan dari variabel bebasnya. Analisis ekonomi yang dilakukan akan menjelaskan arti dari parameter-parameter yang diperoleh dari hasil regresi yang meliputi kesesuaian arah parameter yang diteliti dengan hipotesis-hipotesis yang telah ditetapkan berdasarkan teori-teori ekonomi, arti dari nilai koefisien itu sendiri dan juga melihat berapa besar pengaruh perubahan variabel bebas terhadap variabel tak bebasnya. Sedangkan pada analisis statistika akan diperlihatkan sejauh mana validitas model yang digunakan dalam penelitian melalui pengujian secara statistik terhadap model yang bersangkutan. Pengujian masalah-masalah regresi linear ditujukan untuk menghasilkan model regresi dan hasil estimasi yang akurat dan tidak bertentangan dengan asumsi regresi klasik. Pembahasan dimulai dengan penjelasan secara umum terhadap hasil analisis beripa koefisien determinasi (R2), nilai F-hitung, dan t-hitung dan uji korelasi serial. Metode pendugaan perameter menggunakan metode pangkat dua terkecil dua tahap 2SLS (two-stage least squares method)
6.1 Hasil Pendugaan Model Perdagangan CPO Indonesia Hasil pendugaan parameter secara umum menunjukkan hasil yang cukup baik. Nilai koefisien determinasi (R2) diantara tiga persamaan menunjukkan hasil yang cukup baik. Persamaan penawaran ekspor CPO Indonesia memiliki R2 diatas 90 persen, persamaan penawaran domestik CPO Indonesia pun memiliki R2 diatas
70 persen, sedangkan persamaan harga CPO domestik memiliki R2 diatas 40 persen. Dengan demikian secara umum perubah-peubah parameter dugaan yang dimasukkan dalam persamaan dapat menjelaskan dengan baik keragaman setiap peubah endogennya. Nilai F-test pada umumnya relatif tinggi, yaitu berkisar antara 5,32 hingga 202,29. Dengan demikian, secara keseluruhan setiap peubah eksogen dalam setiap persamaan dapat menerangkan dengan baik terhadap peubah endogennya. Pada nilai t-hitung menunjukkan bahwa eksogen secara individu ada yang berpengaruh nyata pada peubah endogennya pada tingkat 10 persen, sehingga dapat diartikan bahwa peubah eksogen dalam setiap persamaan mampu memberikan pengaruh terhadap peubah endogennya masing-masing. Melihat nilai statistik Durbin-Watson yang ada dari ketiga model, nilai statistik tersebut relatif kecil. Artinya, ada kecenderungan model memiliki autokorelasi positif (D
6.2 Penawaran Ekspor CPO Indonesia Peubah-peubah yang diduga mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia adalah produksi CPO pada periode saat ini, variabel ini memiliki tanda sesuai dengan harapan yaitu positif terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia. Semakin tinggi produksi CPO akan mengakibatkan penawaran di pasar akan semakin tinggi.
Peubah harga ekspor CPO memiliki tanda sesuai dengan harapan yaitu positif terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia. Apabila harga ekspor CPO Indonesia semakin tinggi, maka penawaran CPO untuk pasar akan semakin banyak. Hal ini dipicu dengan adanya peningkatan harga CPO, produsen CPO akan cepat merespon dengan meningkatkan penawaran CPO di pasar untuk mendapatkan keuntungan. Peubah lainnya adalah pajak ekspor. Variabel ini memiliki tanda yang sesuai dengan harapan yaitu negatif terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia. Harga pasar internasional saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan harga domestik, maka untuk menekan laju ekspor pemerintah menerapkan kebijakan pajak ekspor. Pajak ekspor ini diharapkan akan mengurangi penawaran ekspor CPO Indonesia dengan tujuan menjamin tersedianya pasokan dalam negeri. Nilai tukar, variabel ini memiliki tanda sesuai dengan yang diharapkan yaitu positif terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia. Semakin tinggi nilai tukar maka akan harga dipasaran akan semakin tinggi sehingga penawaran di pasar akan semakin tinggi. Harga CPO periode sebelumnya memiliki tanda sesuai dengan harapan yaitu tanda positif. Hal ini menunjukkan apabila harga CPO periode sebelumnya naik, maka penawaran ekspor pada periode saat ini akan naik. Tabel 16 Peubah-peubah yang Diduga Mempengaruhi Penawaran Ekspor CPO Indonesia xcpo
Coef.
Std. Err.
t
P>|t|
ycpo d er pcpo pcpo1 _cons
1.392168 -400999 144.8171 1503.122 196135.3 3.88e+08
.1003057 329996.5 81.67708 1138.459 44441.66 8.82e+07
13.88 -1.22 1.77 1.32 4.41 4.39
0.000 0.237 0.089 0.100 0.000 0.000
Pada persamaan penawaran ekspor CPO Indonesia, Besarnya koefisien determinasi dari persamaan penawaran ekspor CPO Indonesia adalah R2 = 97,78 persen. Artinya 97.78 persen variasi dari Harga Ekspor CPO Indonesia dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang ada dalam persamaan dan sisanya sebesar 2,22 persen ditentukan oleh variabel-variabel yang tidak dimasukkan dalam persamaan (error terms). Nilai Fhitung pada persamaan penawaran ekspor CPO Indonesia adalah 202,29. Nilai Ftabel untuk persamaan penawaran eskspor CPO Indonesia adalah 3,63. Artinya, nilai Fhitung lebih besar dari pada Ftabel (202,29>2,49). Hal ini menunjukkan bahwa peubah eksogen dalam setiap persamaan mampu memberikan pengaruh terhadap peubah endogennya pada tingkat signifikan 90 persen. Berdasarkan uji Durbin-Watson diperoleh nilai sebesar 1,213074. Nilai DW tabel untuk persamaan penawaran ekspor CPO Indonesia adalah DL sebesar 0,96 dan DU sebesar 1,73. Artinya, ada kecenderungan model memiliki autokorelasi positif (D
Produksi CPO Indonesia pada tahun yang sedang berjalan memiliki hubungan yang positif dengan penawaran ekspor CPO Indonesia periode sekarang. Arah koefisien ini sesuai dengan yang diharapkan. Jika produksi CPO Indonesia pada periode yang sedang berjalan meningkat maka penawaran ekspor CPO Indonesia akan meningkat. Pengaruh dari produksi CPO Indonesia periode sekarang ini signifikan. Ditandai oleh tingkat signifikansi pada uji-t yang dibawah 5 persen. Sehingga produksi CPO Indonesia akan mempengaruhi jumlah penawaran ekspor CPO Indonesia. Harga ekspor CPO Indonesia periode sekarang mempunyai hubungan yang positif dengan penawaran ekspor CPO Indonesia periode sekarang. Tanda koefisien sesuai dengan yang diharapkan. Apabila harga ekspor CPO Indonesia meningkat, maka penawaran ekspor CPO Indonesia periode sekarang akan meningkat.
Para
eksportir
terus
meningkatkan
keuntungannya
dengan
meningkatkan penawaran ekspor periode sekarang akibat harga ekpsor yang naik. Pengaruh dari harga ekspor CPO Indonesia periode sekarang ini signifikan. Ditandai oleh tingkat signifikansi pada uji-t yang dibawah 5 persen. Sehingga harga ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi jumlah penawaran ekspor CPO Indonesia. Pemberlakuan pajak ekspor yang diwakili dengan variabel dummy memiliki hubungan yang negatif dengan penawaran ekspor CPO Indonesia. Artinya dengan adanya pemberlakuan pajak ekspor akan mengurangi penawaran ekspor CPO Indonesia. Secara statistik dampak pemberlakuan pajak ekspor ini tidak signifikan, berada pada tingkat diatas 10 persen. Berarti tidak ada perubahan yang berarti pada periode sebelum dan sesudah di berlakukan kebijakan pajak
ekspor. Produsen tetap memilih mengekspor CPO ke pasar intenasional daripada pasar domestik, karena harga di pasar dunia lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar domestik. Penawaran ekspor CPO Indonesia seharusnya sangat responsif terhadap perubahan kebijakan pajak ekspor pemerintah. Namun produsen akan selalu mencari keuntungan, maka hal ini yang akan tetap menyebabkan laju ekpsor yang kontinyu. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar mempunyai hubungan yang positif dengan penawaran ekpor CPO Indonesia. Arah koefisien sesuai yang diharapkan. Artinya
dengan
meningkatnya
nilai
tukar
rupiah
akan
menyebabkan
meningkatnya penawaran ekspor CPO Indonesia. Pengaruh nilai tukar terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia sangat besar dengan tingkat signifikan dibawah 5 persen. Harga CPO periode sebelumnya memiliki hubungan yang positif terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia. Arah koefisien Harga CPO periode sebelumnya sesuai dengan harapan. Apabila harga CPO periode sebelumnya naik maka penawaran periode sekarang akan lebih banyak. Pengaruh variabel ini signifikan dibawah 5 persen, artinya variabel harga CPO periode sebelumnya mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia secara langsung.
6.3 Penawaran Domestik CPO Indonesia Penawaran ekspor CPO Indonesia tahun yang sedang dijalankan memiliki tanda sesuai dengan harapan yaitu negatif terhadap penawaran CPO domestik. Apabila penawaran ekspor CPO Indonesia tinggi maka penawaran CPO domestik
akan berkurang. Begitu pula sebaliknya, ketika penawaran CPO dometik tinggi maka penawaran ekspor CPO Indonesia akan turun. Variabel produksi CPO Indonesia yang dihasilkan pada periode sekarang memiliki tanda positif terhadap penawaran domestik CPO. Dengan produksi CPO Indonesia yang semakin tinggi maka akan penawaran CPO untuk pasar domestik akan semakin tinggi. Variabel impor CPO ke pasar domestik Indonesia menunjukkan tanda positif terhadap penawaran CPO domestik. Adanya impor akan mengakibatkan jumlah CPO yang diawarkan pada pasar domestik akan semakin banyak. Pada persamaan penawaran CPO domestik, besarnya koefisien determinasi dari persamaan penawaran ekspor CPO Indonesia, R2 = 72,89 persen. Artinya 72,89 persen variasi dari penawaran ekspor CPO Indonesia dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang ada dalam persamaan dan sisanya sebesar 27,11 persen ditentukan oleh variabel-variabel yang tidak dimasukkan dalam persamaan (error terms). Pada tabel 17 dijelaskan variabel-variabel yang diduga mempengaruhi penawaran domestik. Nilai Fhitung pada persamaan penawaran domestik CPO Indonesia adalah 22,40. Nilai Ftabel untuk persamaan penawaran eskspor CPO Indonesia adalah 2,99. Nilai Fhitung lebih besar dari pada Ftabel (22,40>2,99). Hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel eksogen secara bersama-sama menjelaskan variabel endogen pada tingkat signifikan 90 persen. Berdasarkan uji Durbin-Watson diperoleh nilai sebesar 1,325319. Nilai DW tabel untuk persamaan penawaran domestik CPO Indonesia adalah DL sebesar 1,03 dan DU sebesar 1,63. Artinya, ada kecenderungan model memiliki autokorelasi positif (D
statistik tersebut masih lebih besar. Hal ini menunjukkan model tidak mengalami autokorelasi positif. Tabel 17 Peubah-peubah yang Diduga Mempengaruhi Penawaran Domestik scpod xcpo ycpo imcpo _cons
Coef. -1.004552 .9873939 .4551426 -16409.37
Std. Err. .1461288 .1341737 .2287276 246706.6
t -6.87 7.36 1.99 -0.07
P>|t| 0.000 0.000 0.058 0.474
Untuk melihat apakah kecenderungan model secara empiris telah memenuhi kaidah-kaidah dalam teori ekonomi maka dilakukan analisis ekonomi. Estimasi parameter dalam persamaan penawaran domestik CPO Indonesia menjelaskan: Penawaran ekspor CPO Indonesia memiliki hubungan yang negatif dengan penawaran CPO domestik. Hal ini sesuai dengan harapan, ketika penawaran ekspor CPO Indonesia berkurang artinya penawaran CPO dalam negeri akan meningkat. Pengaruh dari penawaran ekspor CPO Indonesia periode sekarang ini sangat signifikan. Ditandai oleh tingkat signifikansi pada uji-t yang dibawah 5 persen. Sehingga pengaruh penawaran ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi jumlah penawaran domestik CPO Indonesia. Produksi CPO Indonesia tahun sekarang memiliki hubungan yang positif terhadap penawaran CPO domestik Indonesia. Dengan produksi Indonesia yang meningkat artinya pasokan CPO di pasar terutama pasar domestik akan meningkat. Produksi CPO Domestik yang terus bertambah atau meningkat akan memberikan output barang atau komoditi di pasar yang meningkat kemudian jumlah komoditi yang ada di pasar akan mempengaruhi harga. Pengaruh dari produksi CPO Indonesia periode sekarang ini sangat signifikan. Ditandai oleh
tingkat signifikansi pada uji-t yang dibawah 5 persen. Sehingga produksi CPO Indonesia akan mempengaruhi jumlah penawaran domestik CPO Indonesia. Impor CPO ke pasar domestik periode sekarang memiliki hubungan positif terhadap penawaran domestik CPO Indonesia. Arah koefisien ini sesuai dengan yang diharapkan. Indonesia sebagai negara pengekspor CPO terbesar kedua di dunia tetap mengimpor CPO walau dalam jumlah yang sedikit. Dengan adanya laju impor CPO ke pasar domestik Indonesia maka penawaran di pasar akan semakin banyak. Indonesia mengimpor CPO pada periode tertentu. Hal ini dilakukan untuk menjamin tersedianya pasokan CPO di pasar sehingga harga minyak goreng stabil.
6.4 Harga Domestik CPO Indonesia Pada persamaan harga domestik CPO Indonesia, penawaran domestik CPO Indonesia tahun yang sedang dijalankan memiliki hubungan yang sesuai dengan harapan yaitu negatif terhadap harga CPO domestik. Semakin banyak penawaran CPO di pasar domestik maka harga pasar akan turun. Harga CPO tahun sebelumnya memiliki tanda yang sesuai dengan harapan yaitu positif dengan harga CPO domestik. Harga tahun sebelumnya menjadi acuan harga yang akan diterapkan saat ini. Apabila harga tahun lalu meningkat maka harga saat ini diperkirakan akan meningkat pula. Harga minyak kelapa memiliki tanda yang sesuai dengan harapan yaitu positif dengan harga CPO domestik. Barang subtitusi untuk CPO adalah minyak kelapa dimana apabila harga CPO naik maka konsumen akan beralih ke barang subtitusi. Ketika barang subtitusi menjadi alternatif maka harga dari barang
subtitusi akan naik pula. Tabel 18 menjelaskan peubah-peubah yang diduga mempengaruhi harga domestik. Tabel 18 Peubah-peubah yang Diduga Mempengaruhi Harga Domestik xcpo scpod ycpo pcpo1 pcco _cons
Coef. -.0001341 -.000039 31.73196 .039207 -62538.95
Std. Err. .0000354 .0000171 10.26635 .0268368 20346.91
t -3.79 -2.29 3.09 1.46 -3.07
P>|t| 0.001 0.031 0.005 0.157 0.005
Pada persamaan harga domestik besarnya koefisien determinasi dari persamaan harga CPO domestik, R2 = 47,01 persen. Artinya 47,01 persen variasi dari Penawaran Ekspor CPO Indonesia dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang ada dalam persamaan dan sisanya sebesar 52,99 persen ditentukan oleh variabel-variabel yang tidak dimasukkan dalam persamaan (error terms). Nilai Fhitung pada persamaan penawaran ekspor CPO Indonesia adalah 5,32. Nilai Ftabel untuk persamaan harga domestik CPO Indonesia adalah 2,6. Artinya, nilai Fhitung lebih besar dari pada Ftabel (5,32>2,6). Hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel eksogen secara bersama-sama menjelaskan variabel endogen pada tingkat signifikan 90 persen. Pada persamaan harga CPO Indonesia, diperoleh nilai statistik Durbin-Watson sebesar 1,367487. Nilai DW tabel untuk persamaan penawaran domestik CPO Indonesia adalah DL sebesar 0,96 dan DU sebesar 1,73. Artinya, ada kecenderungan model memiliki autokorelasi positif (D
bebas pada persamaan harga domestik signifikan, sayangnya setelah diuji terdapat satu variabel yang tidak signifikan karena besarnya melebihi tingkat signifikansi tersebut. Variabel yang tidak signifikan adalah harga minyak kelapa pada harga CPO
domestik.
Analisis
ekonomi
diperlukan
untuk
melihat
apakah
kecenderungan model secara empiris telah memenuhi kaidah-kaidah dalam teori ekonomi. Estimasi parameter dalam persamaan harga domestik CPO Indonesia menjelaskan hal-hal berikut: Penawaran domestik CPO Indonesia memiliki hubungan yang negatif dengan harga CPO domestik. Arah koefisien ini sesuai dengan yang diharapkan. Karena dengan peningkatan penawaran domestik maka harga domestik pada periode sekarang akan menurun. Harga pasar domestik akan turun akibat terdapat banyak pasokan CPO di pasar. Penawaran CPO domestik ini signifikan terhadap harga domestik CPO Indonesia sebesar 1,5 persen. Artinya jumlah penawaran domestik periode sekarang mempengaruhi harga domestik CPO Indonesia sebagai acuan harga. Produksi CPO Indonesia tahun sekarang memiliki hubungan yang negatif terhadap harga domestik CPO Indonesia. Arah koefisien ini sesuai dengan yang diharapkan. Apabila produksi CPO Indonesia meningkat, maka penawaran CPO di pasar domestik akan meningkat. Jika penawaran CPO di pasar melebihi permintaan pasar maka harga akan turun. Pengaruh dari produksi CPO Indonesia periode sekarang ini sangat signifikan. Ditandai oleh tingkat signifikansi pada ujit yang dibawah 5 persen. Sehingga pengaruh produksi CPO Indonesia akan mempengaruhi harga domestik CPO Indonesia.
Harga CPO Indonesia periode sebelumnya mempunyai hubungan yang positif dengan harga domestik CPO Indonesia periode sekarang. Arah koefisien sesuai dengan yang diharapkan. Adanya peningkatan harga CPO Indonesia pada periode sebelumnya, maka harga domestik CPO Indonesia periode sekarang meningkat. Pengaruh dari harga CPO Indonesia periode sebelumnya ini sangat signifikan. Yang Ditandai oleh tingkat signifikansi pada uji-t yang dibawah 5 persen. Sehingga pengaruh harga CPO Indonesia akan mempengaruhi harga domestik CPO Indonesia. Harga minyak kelapa mempunyai hubungan yang positif dengan harga domestik CPO Indonesia. Arah koefisien ini sesuai dengan yang diharapkan. Namun secara statistik harga minyak kelapa tidak signifikan terhadap harga CPO Indonesia. Ditunjukkan dengan tingkat signifikansi yang diatas 10 persen. Harga minyak kelapa tidak memiliki hubungan sama sekali dengan harga CPO domestik, karena antara minyak kelapa dan CPO memiliki segmen pasar yang berbeda. Umumnya pangsa pasar minyak kelapa hanya untuk kebutuhan bahan baku industri dan edible oil. CPO memiliki pangsa pasar yang lebih besar sebagai bahan kebutuhan produk sehari-hari juga sebagai bahan industri seperti biodiesel dan oleochemical. Sehingga, antara harga minyak kelapa dan harga CPO domestik tidak memiliki pengaruh.
VII KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dari bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
7.1 Kesimpulan Pemberlakuan pajak ekspor akan mengurangi penawaran ekspor CPO Indonesia. Sayangnya secara statistik dampak pemberlakuan pajak ekspor ini tidak signifikan. Berarti tidak ada perubahan yang berarti pada periode sebelum dan sesudah di berlakukan kebijakan pajak ekspor. Produsen tetap memilih mengekspor CPO ke pasar intenasional daripada pasar domestik, karena harga di pasar dunia lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar domestik. Penawaran ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi penawaran CPO domestik. Penawaran ekspor dan penawaran domestik memiliki arah yang berlawanan. Ketika penawaran ekspor CPO Indonesia berkurang artinya penawaran CPO dalam negeri akan meningkat. Produksi CPO Indonesia memiliki hubungan yang positif terhadap penawaran CPO domestik Indonesia. Dengan produksi Indonesia yang meningkat artinya pasokan CPO di pasar terutama pasar domestik akan meningkat. Penawaran domestik CPO Indonesia memiliki hubungan yang negatif dengan harga CPO domestik. Dengan peningkatan penawaran domestik maka harga domestik pada periode sekarang akan menurun. Harga pasar domestik akan turun akibat terdapat banyak pasokan CPO di pasar. Produksi CPO Indonesia memiliki hubungan yang negatif terhadap harga domestik CPO Indonesia.
Apabila produksi CPO Indonesia meningkat, maka penawaran CPO di pasar domestik akan meningkat. Jika penawaran CPO di pasar melebihi permintaan pasar maka harga akan turun. Kebijakan Pajak Ekspor CPO Indonesia seharusnya dapat mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia yang kemudian mempengaruhi penawaran domestik CPO Indonesia. Penawaran domestik CPO Indonesia kemudian mempengaruhi harga domestik CPO Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kebijakan pajak ekspor tidak efisien dilakukan. Kebijakan ini tidak mampu memncapai tujuannya, yaitu untuk menurunkan harga CPO domestik. Dari sisi lain akan merugikan negara dengan menurunnya penawaran ekspor CPO Indonesia akibat harga ekspor Indonesia yang tinggi sehingga daya saing CPO Indonesia di pasar dunia menurun , yang merupakan salah satu sumber devisa negara terbesar.
7.2 Saran Dari aspek diregulasi, pemerintah sebagai regulator dan fasilitator bagi pengembangan bisnis perlu merumuskan regulasi yang tidak a one-side-fits-all approach. Dalam upaya pengembangan industri kelapa sawit, pemerintah kiranya dapat merumuskan regulasi yang bersifat differentiated treatment bagi perusahaan-perusahaan yang sesuai dengan skala bisnisnya. Kebijakan yang terintegrasi antara pemerintah daerah dan pusat serta peran pusat yang mengkoordinasikan seluruh wilayah serta menetapkan kebijakan dasar, sehingga antarwilayah tidak bersaing namun saling komplementer. Diperlukan diregulasi
yang bersifat insentif yang efektif, serta upaya mengurangi intervensi pemerintah, sehingga tercipta iklim investasi yang menarik. Pajak ekspor dengan tujuan mendatangkan devisa bagi pemerintah harus dapat berjalan dengan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dengan kombinasi kebijakan (combination policy) pajak ekspor. Pajak ekspor tidak boleh melanggar ketentuan yang telah disepakati Indonesia dalam perjanjian bilateral, regional maupun internasional. Untuk dalam negeri, sistem tataniaga pertanian perlu dikaji lebih lanjut agar pajak ekspor tidak menyebabkan kondisi yang disinsentif bagi petani. Pajak ekspor harus dikembalikan pada tujuan awal.
DAFTAR PUSTAKA
Amang, B. 1996. Ekonomi Minyak Goreng di Indonesia. Jakarta : IPB Press. Arisman. 2002. Analisis Kebijakan Daya Saing CPO Indonesia. Jakarta : Jurnal Universitas Paramadina. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit. Jakarta : Departemen Pertanian. Badan Pusat Statistik. 1979-2000. Statistik Ekspor Indonesia. Jakarta : Badan Pusat Statistik. ______. 1979-2000. Indeks Harga Konsumen Indonesia. Jakarta : Badan Pusat Statistik. ______. 1979-2000. Indeks Harga Ekspor CPO Indonesia. Jakarta : Badan Pusat Statistik. Bank Indonesia. 1979-2000. Laporan Mingguan Bank Indonesia. Jakarta : Bank Indonesia. ______. 1979-2000. Laporan Tahunan Bank Indonesia dan Kurs Valuta Asing Tahun 1979-2000. Jakarta : Bank Indonesia Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2006. Statistik Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1979-2000. Dixon, R. 2002. Simultaneous (and Recursives) equation systems. Melbourne : University of Melbourne. Drajat, B. 1998. Analisis Simulasi Kebijakan Pajak Ekspor CPO Dalam Rangka Stabilitasi Harga Minyak Goreng. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Drajat, et al. 1995. Pengkajian Pengembangan Agribisnis Perkebunan. Bogor : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Djaenudin, D. 2000. Analisis Pasar Minyak Goreng Domestik : Dampak Kebijakan Pemerintah dan Kemungkinan Pemberlakuan Liberalisasi Perdagangan. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Kebijakan Perdagangan. http : // www.dprin.com.
Departemen Perdagangan. 2004. Pungutan Ekspor CPO. Jakarta : Departemen Perdagangan. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta : Bumi Aksara. Gujarati, D dan Sumarna Z. 1978. Ekonometrika Dasar. Jakarta : Erlangga. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics : An Introductory Exposition of Econometrics. New York : Harper and Row Publishers Inc. Lipsey, R. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jakarta : Penerbit Binarupa Aksara. Mangoensoekardjo, S dan H. Semangun. 2003. Manajemen Agrisbisnis Kelapa Sawit. Jakarta : Gadjah Mada University Press. Manurung, J. 1993. Model Ekonometrika Industri Komoditi Kelapa Sawit Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Maulana, TB. 1995. Analisis Perdagangan Minyak Sawit Indonesia di Pasar Domestik dan Pasar Masyarakat Eropa. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Prahastuti, I. 2000. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perdagangan Minyak Sawit (CPO) Serta Keterkaitan Antara Pasar CPO dan Minyak Goreng Sawit di Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Pikiran Rakyat. Pemerintah India Menaikkan Bea Tarif Masuk CPO. http : // www.kapanlagi.com (15 Mei 2008). Purwanto. 2002. Dampak Kebijakan Domestik dan Faktor Eksternal Terhadap Perdagangan Dunia Minyak Nabati. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Suryana. 1983. Perdagangan Minyak Nabati Indonesia dan Prospeknya. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Agroekonomi. Susilowati, S.H. 1989. Pasar Minyak Sawit Dunia dan Kaitannya dengan Ekspor Minyak Sawit Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sumidiningrat. 1995. Pengantar Ekonometrika. Yogyakarta : BPFE Salvatore, D. 1997. Erlangga
Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Jilid I. Jakarta :
Yulismi. 2006. Dinamika Ekspor Minyak Sawit ke Negara-Negara Importir Utama ; Analisis Cointegration dan Error Correction Model. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Zulkifli. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Keragaan Industri Kelapa Sawit Indonesia dan Perdagangan Minyak Sawit Dunia. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Perhitungan Pendugaan dengan STATA 1. Peubah-peubah yang Diduga Mempengaruhi Penawaran Ekspor CPO Indonesia xcpo
Coef.
Std. Err.
t
P>|t|
ycpo d er pcpo pcpo1 _cons
1.392168 -400999 144.8171 1503.122 196135.3 3.88e+08
.1003057 329996.5 81.67708 1138.459 44441.66 8.82e+07
13.88 -1.22 1.77 1.32 4.41 4.39
0.000 0.237 0.089 0.100 0.000 0.000
R2 = 97,78 F-stat = 202,29 DW = 1,213074 2. Peubah-peubah yang Diduga Mempengaruhi Penawaran Domestik scpod xcpo ycpo imcpo _cons
Coef. -1.004552 .9873939 .4551426 -16409.37
Std. Err. .1461288 .1341737 .2287276 246706.6
t -6.87 7.36 1.99 -0.07
P>|t| 0.000 0.000 0.058 0.474
R2 = 72,89 F-stat = 22,40 DW = 1,325319
3. Peubah-peubah yang Diduga Mempengaruhi Harga Domestik xcpo scpod ycpo pcpo1 pcco _cons
R2 = 47,01 F-stat = 5,32 DW = 1,3674
Coef. -.0001341 -.000039 31.73196 .039207 -62538.95
Std. Err. .0000354 .0000171 10.26635 .0268368 20346.91
t -3.79 -2.29 3.09 1.46 -3.07
P>|t| 0.001 0.031 0.005 0.157 0.005
Lampiran 2. Perkembangan Produksi, ekspor dan impor Minyak Kelapa dan Minyak Kelapa Sawit a. Minyak Kelapa (ribu ton): Tahun Produksi 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
326 353 416 483 437 429 503 667 570 568 538 669 546 595 519 602 647 646 647 675 652 760 766 605 614 644
Impor
Ekspor
0 0.0005 0.0036 0.0167 0.268 0.387 0.374 1.491 0.6959 2.472 27.411 0.354 0.675 0.880 0.2 0 0 0 0 0 0.049 0 6.826 11.107 33.507 46.024
4.1 5.5 0.8 34.2 16.5 0 26.7 13.3 0 0 0 40.6 3.5 0 8.1 35.3 192.1 5.5 118.4 206.7 191.6 194 197.6 351.5 287 388
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (diolah)
Penyediaan Domestik 322 348 315 449 421 429 477 655 581 660 565 629 543 596 511 567 455 647 529 468 370 566 575 265 361 302
b. Minyak Sawit (ton):
Tahun 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Stok Awal 25.17 9.9 21.6 23.1 20.7 17.4 38.7 16 22.8 18.2 32.1 24.5 18.5 38.1 59.7 18.4 25.2 34.9 36 42.6 40.1 87.7 67.4 45.5 59.2 59.5
Produksi
Impor
Ekspor
188801 216827 249957 269464 289677 347676 397253 431006 457501 284607 541240 721172 800060 886820 982987 1147190 1243430 1350729 1506055 1713335 1964954 2412612 2659600 3266250 3241449 4094483
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 63 43 60134 38181 8820 165991 302680 412453 26713 37874 308743 155450 139620
179113 156626 208971 236451 262681 281221 386187 405647 404638 412153 351280 502902 196364 259476 345777 142765 616756 608748 638420 852483 917291 973683 1167689 1030272 1632012 1971707
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan
Stok Akhir 9.9 21.6 23.1 20.7 17.4 38.7 16 22.8 18.2 32.1 4.5 18.5 38.1 59.7 18.4 25.2 34.9 36 42.6 40.1 87.7 67.4 45.5 59.2 59.5 60
Penyediaan Domestik 9703 60189 40985 33015 26999 66434 11089 25352 52974 89117 189968 218276 603676 627385 637294 1064657 664836 750800 1033619 1163175 1460068 1465662 1527807 2544707 1944887 2262396
Lampiran 3. Perkembangan Harga Penjualan CPO di Pasar Lokal dan
Ekspor (US$/ton)
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Harga Penjualan Dalam Negeri 277.88 329.4 351.95 379.97 356.84 282.81 395.54 374.81 258.76 256.6 288.86 305.68 275.75 286.77 350.7 328.47 414.43 441.69
Harga Penjualan Ekspor 532.9 584.7 490 438.9 358.7 318 532.5 363.6 184 256.9 372.4 302.9 237.8 294.2 340.5 332.3 432.2 582
Perbedaan Harga 255.3 138.05 58.93 1.86 35.19 136.96 -11.21 -74.76 0.3 83.54 -2.78 -37.95 7.43 -10.2 3.83 17.77 140.31
Lampiran 4. Struktur Produksi dan Distribusi Kelapa Sawit
Petani Plasma Kelompok
Produsen Lain
Badan kerjasama Antar Kelompok
Produsen Lain
Lembaga Pengolahan
Ekspor
Kantor Pemasaran Bersama
International Buying
Buying Agent
Refinery Produsen
Refinery umum
Asosiasi Bersama Pekebunan
Ekspor
Indoham
International Dealer
Buying Agent
Lampiran 5. Kebijakan Pemerintah Pada Industri Kelapa Sawit Indonesia Tanggal 11 Des’78
Surat Keputusan SK Meteri Perdagangan dan Koperasi NO.268/KP/XII/78
16 Des’78
SK Bersama tiga menteri Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan Koperasi: No.764/Kpts/UM/12/1978 No.252/M/SK/12/1978 No.275/KPB/XII/78 SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No.001/Dagri/Kp/79
11 Jan’79
23 Jan’83
SK 17/Dagri/Kp/I/83 SK 22/Dagri/Kp/I/83
1984
SK Menteri Perdagangan No. 47/KMK/001/84
1986
SK Menteri Perdagangan No.549/KMK/001/86 Paket Kebijakan Deregulasi
3 Juni’91
1992
31 Agst’94
Paket Deregulasi
SK Menteri Keuangan No. 439/KMK.017/1994
Hal Pengaturan tataniaga minyak sawit untuk tujuan ekspor Pengaturan tataniaga minyak sawit untuk kebutuhan dalam negeri dan juga untuk tujuan ekspor.
Pengaturan alokasi atau jatah untuk kebutuhan dalam negeri beserta harganya. Pemberlakuan lisensi dari Departemen Perdagangan untuk ekspor. Pajak ekspor minyak sawit dan produk sejenis sebersar 37.18 persen Pembebasan Pajak ekspor minyak sawit. Pembebasan sistem tataniaga kelapa sawit dan pajak ekspor CPO. Jika dibutuhkan impor dibolehkan dengan bea masuk 5 persen. Penetapan minyak goreng sawit ke dalam daftar negatif investasi, baik untuk PMA, PMDN, dan non PMA/PMDN. Investasi diizinkan jika terpadu dengan pengembangan perkebunan sawit (pengediaan bahan baku 65 persen). Tarif bea tambahan 20 persen dihapuskan. Penetapan pajak ekspor CPO bervariasi 40 persen sampai 50 persen.
4 juli’97
SK Menteri Keuangan No. 300/KMK.01/1997
17 Des’97
SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.456/MPP/Kep/12/1997
19 Des’97
SK Menteri Keuangan No.622/KMK.01/1997
24 Des’97
SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No.420/DJPDN/XI/1997 SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan
22 April’98
7 juli’98
SK Menteri Keuangan No.30/KMK.01/1998
29 Juli/99
SK Menteri Keuangan No.30/KMK.01/1999
3 Juni’99
SK Menteri Keuangan No.189/KMK.017/1999
21 Juli’99
SK Menteri Keuangan No.360/KMK.017/1999
12 Sept’00
SK. Menteri Keauangan No.130/KMK.010/2005 SK Menteri Keuangan No.387/KMK.071/2001 SK Menteri Keuangan No.130/KMK.010/2005 Peraturan Pemerintah No.35
2001 2005 10 Sept’05
Penurunan pajak ekspor CPO dan produk turunannya dari sekitar 10 persen sampai 12 persen menjadi 2 persen sampai 5 persen secara ad-valorem. Penetapan Pajak ekspor tambahan (PET) untuk RBD-PO dan Olein 30 persen dan RBD Olein 28 persen. Penetapan alokasi/kuota 80% dari produksi untuk pasokan dalam negeri. Pelarangan ekspor.
Pengaturan pengolahan CPO. Pembatalan outstanding contract, pengaturan minyak goreng secara cash flow. Kenaikan PE (CPO: 40 persen menjadi 60 persen dan RBD Olein 35 persen menjadi 55 persen). Pelarangan ekspor sawit produksi PTPN. Penurunan PE CPO dari 60 persen menjadi 40 persen. Penurunan PE CPO dari 40 persen menjadi 30 persen Penurunan PE CPO dari 30 persen menjadi 10 persen. Pajak Ekspor CPO menjadi 5 persen. Penurunan PE CPO menjadi 3 persen. Pajak ekspor CPO 1,5 persen. Penentuan Harga Patokan Ekspor (HPE) mengacu pada harga minyak sawit dunia.
29 Mar’06
8 Mei’06
SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.17/M-Dag/Per/3/2006
SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.21/M-Dag/Per/5/2006 Sumber : http://www.dprin.com
HPE ditetapkan setiap bulan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri. HPE berlaku satu bulan mulai 10 mei – 9 Juni 2006, yaitu US$358/MT.