PENGARUH KEBIJAKAN HARGA ENERGI (BBM DAN TDL) TERHADAP AKTIVITAS EKONOMI DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Editor : Maxensius Tri Sambodo
PUSAT PENELITIAN EKONOMI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 2009 LIPI
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd i
i
6/22/2010 6:21:22 PM
©2009 Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI)
KATALOG DALAM TERBITAN PUSAT DOKUMENTASI DAN INFORMASI ILMIAH LIPI
Pengaruh kebijakan bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL) terhadap kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat : studi kasus sektor industri/editor Maxensius Tri Sambodo, Esta Lestari. - [Jakarta] : Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2009.
i-xiv + 214 hlm: 15 cm x 21 cm
338 ISBN : 978-602-8659-09-3
Penerbit:
LIPI
LIPI Press, anggota Ikapi Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Widya Graha Lt. 4 - 5 Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710 Telp: 021-5207120 Fax: 021-5262139
ii
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd ii
6/22/2010 6:21:25 PM
KATA PENGANTAR Di awal bulan Oktober 2005, pemerintah akhirnya berani untuk mengambil keputusan tidak populer untuk menaikkan harga BBM. Kenaikan harga minyak dunia dan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap impor minyak membuat beban subsidi yang ditanggung APBN menjadi semakin besar. Hal ini tentu saja berdampak pada keberlanjutan fiskal dimasa depan dan juga pilihan sulit untuk menunda program-progam pembangunan karena ketiadaan dana. Naiknya harga BBM tentu akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat baik secara langsung dan tidak lansung. Namun demikian pada sisi lain, langkah penyesuaian yang dilakukan pemerintah diharapkan akan mengurangi beban masyarakat terutama mereka yang berada di kelompok menengah kebawah. Kajian ini merupakan studi tematik yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ekonomi – LIPI dan dilakukan selama tiga tahun mulai dari tahun 2007 hingga 2009. Tentu saja, kajian ini menjadi sangat menarik dibandingkan dengan kajian serupa dengan dua alasan. Pertama, belum banyak studi akan dampak kenaikan harga BBM dengan basis temuan data empiris dari level mikro. Studi yang ada lebih banyak berdasar pada angka-angka makro ataupun data survei yang dilakukan dengan basis data sebelum terjadi kenaikan BBM. Kedua, kenaikan harga BBM ataupun energi secara umum, akan terus terjadi ditengah kondisi permintaan energi yang tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan produksi. Dalam kondisi demikian, pemerintah perlu mendapat masukan akan langkah-langkah kebijakan yang harus diambil untuk meminimalkan dampak negatif atas kenaikan harga BBM. Terlepas dari upaya kami meminimalkan kekurangan studi ini melalui proses diskusi, seminar, dan penerbitan di jurnal, kami sangat terbuka atas kritik dan saran bagi perbaikan penelitian kami di waktu
i
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd Sec1:i
6/22/2010 6:21:25 PM
mendatang. Studi ini juga, telah kami sampaikan dalam bentuk jumpa pers dengan wartawan, sehingga kami berharap akan lebih banyak pihak yang mendapat manfaat dari studi ini. Akhirnya, tim peneliti mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para pihak yang telah memberikan informasi dan data yang berguna bagi penelitian ini.
Jakarta,
Desember 2009
Tim Peneliti
ii
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd Sec1:ii
6/22/2010 6:21:25 PM
ABSTRAK Penelitian yang mengambil tema besar dampak kenaikan harga energi (BBM dan TDL) bagi kesejahteraan masyarakat telah berjalan selama tiga tahun. Setiap tahun memiliki penekanan kajian yang berbeda. Di tahun pertama, arah penelitian di fokuskan pada sektor rumah tangga, nelayan, angkutan umum dan industri rumah tangga. Tahun kedua, penelitian ini fokus pada sektor transportasi publik dan tahun terakhir, sektor industri khususnya tekstil dan produk tekstil mendapat porsi kajian lebih besar. Secara umum, kenaikan harga energi merupakan hal sulit untuk dihindari. Paling tidak ada dua peristiwa besar yang membuat hal ini terjadi. Pertama, kenaikan harga energi dunia seperti minyak, batubara, dan gas. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari kenaikan permintaan energi dunia terutama sebagai dampak dari turunnya produksi energi di China. Kedua, Indonesia telah berada dalam posisi net energi importir, hal ini membuat kebijakan subsidi energi menjadi semakin mahal seiring dengan naiknya harga energi dunia. Temuan studi secara umum menggambarkan bahwa kenaikan harga energi belum diimbangin oleh kerangka kebijakan yang komprehensif. Hal ini tampak jelas dari temuan di tahun pertama, dimana turunya kesejahteraan masyarakat belum dapat di-offset oleh kebijakan pendukung seperti penyediaan cool storage bagi nelayan untuk menjaga stabilitas harga ikan, relatif mahanya biaya untuk pengurusan KIR, terbatasnya akses teknologi hemat energi bagi industri, masih besarnya pungutan tak resmi di jalan, kurangnya pengendalian jumlah kendaraan, terbatasnya infrastruktur bagi pengisian bahan bakar gas, rendahnya kualitas transportasi publik, pelayanan listrik yang belum optimal, serta tumpang tindihnya kewenangan antar intasi iii
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd Sec1:iii
6/22/2010 6:21:25 PM
seperti dalam hal pengawasan penggunaan batu bara yang mengarah pada ketidakpastian. Sebetulnya jika permasalahan tersebut dapat diletakkan dalam satu kerangkan kebijakan energi maka dampak negatif atas kenaikan harga energi dapat lebih diminimalkan.
iv
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd Sec1:iv
6/22/2010 6:21:25 PM
ABSTRACT This study aims to analyzes the impact of rising energy prices on people welfare. The study conducted for three years, started in 2007. In the first year, the study focused on households and small enterprises. In the second year, the study analyzed public transportation sector, while in the third years the study focused on large firms especially textile industry. In general, the study found that an increase in energy prices is unavoidable for two reasons. First, in the global level, China has become oil importer and this causes an increase on world oil prices for the long terms. Thus government needs to be more flexible to set energy prices. Second, Indonesia has become net energy importer, thus energy subsidy will be difficult to sustain because it will very costly. The study concluded that, reducing energy subsidy that same as increasing energy prices reduced people welfare because, the policy is partial and it just considered one sector without consider the other factors or the interaction effects. Some critical points need to solve by government to improve people welfare such as to improve value added on fisheries sector, to improve access and infrastructure on alternative energies such as gas, to provide energy saving technology for small enterprises, to reduce illegal fee on the road, to improve quality of electricity sector, to improve quality of public transport, and to increase coordination toward energy use such as coal. Finally, if this kinds of issues can be handle properly, the impact of increasing energy prices will not so much burden the people welfare. The detail explanation can be read in each report.
v
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd Sec1:v
6/22/2010 6:21:25 PM
vi
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd Sec1:vi
6/22/2010 6:21:25 PM
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................ i ABSTRAK ..................................................................................... iii ABSTRACT ..................................................................................... v DAFTAR ISI ..................................................................................... vii DAFTAR TABEL .............................................................................. x DAFTAR GAMBAR ......................................................................... xiv BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................. 1 Oleh : Tim Peneliti 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah..................................................................... 4 1.3. Tujuan ............................................................................................... 4 1.4. Kerangka Analitik.......................................................................... 5 1.5 Hipotesis .......................................................................................... 11 1.6. Road Map Penelitian dan Alur Pikir Penelitian ................... 12 1.7 Metodologi ..................................................................................... 14 BAB 2 PENETAPAN KLASIFIKASI SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR Oleh : Purwanto 2.1 Pendahuluan .................................................................................. 2.2 Kebutuhan Energi Sektor Industri ......................................... 2.3 Kriteria Pemilihan Sektor Industri: Orientasi Pasar .......... 2.4 Kriteria Pemilihan Sektor Industri: Serapan Tenaga Kerja dan Konsumsi Energi ........................................ 2.5 Kriteria Pemilihan Sektor Industri: Konsumsi Energi ....... 2.6 Kesimpulan ..................................................................................... Daftar Pustaka................................................................................
19 19 21 26 32 36 39 41
vii
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd Sec1:vii
6/22/2010 6:21:25 PM
BAB 3 KEBIJAKAN SEKTOR KELISTRIKAN .................................... Oleh : Maxensius Tri Sambodo 3.1 Latar Belakang ............................................................................... 3.2 Analisis Sisi Permintaan .............................................................. 3.3 Analisis Sisi Penawaran ............................................................... 3.4 Pengalaman Malaysia ................................................................. 3.5 Kebijakan Harga Listrik ............................................................... 3.6 Regulasi Kelistrikan: Upaya Menambah Pasokan Listrik ....................................................... 3.7 Potret Ketenagalistrikan Propinsi Jawa Barat ..................... 3.8 Kesimpulan ....................................................................................
43 43 45 53 58 63 68 75 81
BAB 4 ANALISIS KEBIJAKAN BBM DI SEKTOR INDUSTRI ............ 85 Oleh : Latif Adam 4.1 Latar Belakang ............................................................................... 85 4.2 Analisis Kebijakan BBM ............................................................... 86 4.3 Pengalaman Beberapa Negara Tetangga ............................ 95 4.4 Memetik Pelajaran dari Pengalaman Malaysia dan China ........................................................................... 100 4.5 Kesimpulan ..................................................................................... 106 Daftar Pustaka ........................................................................................ 109 BAB 5 ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI INDUSTRI TPT DAN PENGARUH KONSUMSI ENERGI TERHADAP KINERJA SEKTOR INDUSTRI .............................................................. 111 Oleh : Purwanto 5.1 Pendahuluan .................................................................................. 111 5.2 Kebutuhan Energi Sektor Industri Tekstil dan Produk Tekstil .......................................................... 112 5.3 Analisis Kebutuhan Energi Sektor Industri .......................... 121 5.4 Analisis Statistik Deskriptif ........................................................ 125
viii
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd Sec1:viii
6/22/2010 6:21:25 PM
5.5 Kesimpulan ..................................................................................... Daftar Pustaka ........................................................................................ Lampiran 1 ............................................................................................... Lampiran 2 ............................................................................................... Lampiran 3 ...............................................................................................
131 134 135 136 137
BAB 6 BATUBARA DAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT): PELAJARAN DARI PROVINSI JAWA BARAT.. 139 Oleh : Tuti Ermawati 6.1 Latar Belakang ............................................................................... 139 6.2 Literatur Studi ............................................................................... 141 6.3 Sudi Komparatif:Jepang dan Amerika Serikat ................... 153 6.4 Batubara di Industri TPT ............................................................. 157 6.5 Arah Pengembangan Batu Bara .............................................. 168 6.6 Kesimpulan ..................................................................................... 169 Daftar Pustaka ........................................................................................ 171 BAB 7 DAMPAK PENYESUAIAN HARGA BBM DAN TDL DI INDUSTRI TPT (ITPT) .......................................................... 173 Oleh : Esta Lestari 7.1 Pendahuluan .................................................................................. 173 7.2 Sekilas Perkembangan ITPT Di Jawa Barat .......................... 175 7.3 Karakteristik Reponden .............................................................. 180 7.4 Pengaruh Fluktuasi Harga Energi ........................................... 181 7.5 Pola Penyesuaian ......................................................................... 205 7.6 Kesimpulan .................................................................................... 208 Daftar Pustaka ........................................................................................ 210 Lampiran 1 ............................................................................................... 212
ix
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd Sec1:ix
6/22/2010 6:21:25 PM
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Kriteria Penerima Subsidi BBM .................................................... Tabel 1.2 Perkembangan Produksi, Impor dan Ekspor Minyak Bumi dan BBM (Ribu SBM) ............................................................ Tabel 1.3 Potensi Energi Nasional 2004 ...................................................... Tabel 1.4 Konsumsi Energi Final Berbasis BBM (Ribu SBM).................. Tabel 1.5 Konsumsi Energi Final Berbasis Energi Listrik (Ribu SBM) . Tabel 1.6 Data Perusahaan Tekstil di Propinsi Jawa Barat..................... Tabel 2.1 Data Produk Domestik Bruto Tahun 2006 – 2008 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 (Triliun Rupiah) . Tabel 2.2 Konsumsi Energi di Sektor Industri 2000 – 2007 (%)........... Tabel 2.3 Konsumsi Energi menurut Sektor Tahun 2000 – 2007 (juta BOE) ............................................................................................ Tabel 2.4 Sasaran Penjualan Listrik PT PLN (Persero) ............................. Tabel 2.5 Porsi Produksi yang Diekspor (dalam persentase) ............... Tabel 2.6 Sektor Industri yang Tetap Memiliki Keunggulan Komparatif .......................................................................................... Tabel 2.7 Jumlah, Pertumbuhan, dan Kontribusi Tenaga Kerja pada Industri Manufaktur 1998 dan 2005............................... Tabel 2.8 Penyerapan Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Sektor Industri Pengolahan ........................................................................ Tabel 2.9 Konsumsi Listrik dari PLN, Solar, BBM dan Oli Sektor Industri tahun 2005 ......................................................................... Tabel 2.10 Konsumsi BBM dan Listrik pada Sektor Industri Pengolahan ........................................................................................ Tabel 3.1 Kategori Pelanggan PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) ......................................................................................
6 8 9 10 10 17 22 24 25 25 27 31 33 35 36 39 46
x
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd Sec1:x
6/22/2010 6:21:25 PM
Tabel 3.2 Penjualan Listrik Menurut Sektor Pengguna (GWh) ............ Tabel 3.3 Penjualan Listrik PT. PLN ............................................................... Tabel 3.4 Pendapatan PT. PLN Menurut Kategori Pengguna Listrik .................................................................................................... Tabel 3.5 Produksi Listrik (GWh) .................................................................... Tabel 3.6 Kapasitas Terpasang Pembangkit Listrik PLN (MW) ............ Tabel 3.7 Konsumsi Bahan Bakar untuk Pembangkit PLN ................... Tabel 3.8 Proporsi Konsumsi Bahan Bakar Pembangkit PLN (%) ....... Tabel 3.9 Indikasi Biaya Variabel (Variable Cost) untuk Berbagai Jenis Pembangkit Listrik di Jawa Tahun 2008 ........................ Tabel 3.10 Kinerja Listrik PLN ............................................................................ Tabel 3.11 Total Penjualan Energi Listrik di Malaysia Menurut Sektor Pengguna (GWh) ................................................................ Tabel 3.12 Bauran Energi Pembangkit Milik Pemerintah Malaysia (GWh).................................................................................. Tabel 3.13 Jumlah dan Jenis Keluhan yang Diterima oleh Komisi Energi Malaysia di tahun 2003-2006 ......................................... Tabel 3.14 Alokasi Subsidi 2007 berdasarkan Golongan Tarif / Pelanggan............................................................................... Tabel 3.15 PSO Listrik 2007: Kajian berdasarkan Wilayah ....................... Tabel 3.16 Perkembangan Subsidi Listrik ..................................................... Tabel 3.17 Tarif Listrik di Beberapa Negara (Sen/kWh) Tahun 2006 .... Tabel 3.18 Perbandingan Kebijakan Tarif Listrik Indonesia dan Malaysia ............................................................................................... Tabel 3.19 Pembangkit Swasta yang Beroperasi ...................................... Tabel 3.20 Penjualan Listrik per Kelompok Usaha (Juli s/d Desember 2008) ............................................................... Tabel 3.21 Penjualan Tenaga Listrik Bulan Januari 2009 Distribusi Jawa Barat dan Banten Menurut Cabang ................................
48 50 51 54 55 56 56 57 58 60 61 62 64 65 66 67 68 74 75 76
xi
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd Sec1:xi
6/22/2010 6:21:26 PM
Tabel 3.22 Penjualan Tenaga Listrik Bulan Desember 2008 Distribusi Jawa Barat dan Banten Menurut Golongan Tarif ................................................................................... 78 Tabel 4.1 Pasar BBM di Indonesia, 1995-2007 .......................................... 87 Tabel 4.2 Pertumbuhan dan Distribusi Konsumsi BBM Menurut Sektor di Indonesia, 1995-2007 (%) .......................................... 89 Tabel 4.3 Pertumbuhan Nilai Output, Penggunaan BBM, dan Rasio Penggunaan BBM terhadap Output di Sektor Industri Indonesia, 1997-2005 ..................................................... 92 Tabel 4.4 Struktur Konsumsi Energi di Indonesia .................................... 104 Tabel 5.1 Karakter Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia... 113 Tabel 5.2 Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia, 2003 - 2007 .............................................................. 115 Tabel 5.3 Neraca Perdagangan Tekstil dan Pakaian Jadi Indonesia 2003 – 2008 ........................................................................................ 116 Tabel 5.4 Komposisi Kebutuhan Energi pada setiap Industri Tekstil dan Produk Tekstil .............................................................. 117 Tabel 5.5 Struktur Biaya pada Industri Tekstil dan Produk Tekstil (dalam %)............................................................................... 118 Tabel 5.6 Hasil Estimasi Nilai Produksi Sektor Industri .......................... 126 Tabel 5.7 Hasil Estimasi Nilai Tambah .......................................................... 129 Tabel 6.1 Kualitas Rata-rata Beberapa Endapan Batubara Eosen di Indonesia ........................................................................... 143 Tabel 6.2 Kualitas Rata-rata Beberapa Endapan Batubara Miosen di Indonesia ........................................................................ 144 Tabel 6.3 Konsumsi Batubara Dalam Negeri Berdasarkan Jenis Industri (dalam ton)......................................................................... 147 Tabel 6.4 Emisi Metana 10 Produsen Utama Batubara (juta ton) ...... 149 Tabel 6.5 Perkembangan Konsumsi Batubara Menurut Propinsi di Jawa Barat ..................................................................... 109 xii
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd Sec1:xii
6/22/2010 6:21:26 PM
Tabel 7.1 Profil ITPT di Indonesia Tahun 2007........................................... 177 Tabel 7.2 Konsumsi dan Prosentase Pengeluaran BBM Terhadap Biaya Total ............................................................. 182 Tabel 7.3 Elastisitas Kenaikan Harga BBM terhadap Konsumsi dan Biaya Total BBM Tahun 2006-2008..................................... 185 Tabel 7.4 Konsumsi Listrik Pada Perusahaan TPT Tahun 2005-2008 ........................................................................................... 188 Tabel 7.5 Elastisitas Konsumsi Listrik Tahun 2006-2008 ........................ 190 Tabel 7.6 Pola Penyesuaian ITPT dalam Menghadapi Kenaikan Biaya Energi ........................................................................................ 205
xiii
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd Sec1:xiii
6/22/2010 6:21:26 PM
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Road Map Penelitian Energi 2007-209 ............................... 12 Gambar 1.2 Alur Penelitian Energi 2009 .................................................... 14 Gambar 3.1 Produksi, Konsumsi dan Defisit Listrik di Indonesia (dalam GWh per tahun) ........................................................... 43 Gambar 5.1 Perkembangan dan Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Tekstil 2005 – 2010 ........................... 119 Gambar 5.2 Cadangan, Kapasitas dan Terminal Batubara di Indonesia ................................................................................. 120 Gambar 6.1 Peta Lokasi Potensi Batubara di Indonesia ....................... 142 Gambar 6.2 Proyeksi Produksi dan Penjualan Batubara di Indonesia tahun 2005 – 2025 (dalam Milyar Ton) ..... 146 Gambar 7.1 Perkembangan Harga Minyak Diesel dan Minyak Bakar Domestik untuk Industri Tahun 2005-2008 ..................................................................................... 184 Gambar 7.2 Konsumsi Batubara Tahun 2008 ........................................... 195
xiv
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd Sec1:xiv
6/22/2010 6:21:26 PM
Pendahuluan
BAB 1 PENDAHULUAN Tim Peneliti
1.1 Latar Belakang Energi merupakan bagian yang sangat vital di dalam menggerakan roda perekonomian. Kajian yang dilakukan oleh International Energy Agency (IEA) dalam buku World Energy Outlook 2004 memperkirakan kebutuhan energi dunia akan terus meningkat dan di tahun 2030, peningkatan tersebut akan mencapai 60% (Sambodo, 2005). Demikian juga dengan negara-negara berkembang yang akan menyerap 67% dari total peningkatan tersebut (Sambodo, 2005). Buku tersebut juga menyatakan bahwa permintaan energi dunia akan tetap didominasi oleh minyak. Dorongan kenaikan permintaan minyak terutama dari negara seperti dari Cina dan India, telah mendorong kenaikan harga minyak dunia1. Jika diperhatikan sejak tahun 2002 hingga medio 2005 harga minyak dunia sudah meningkat sebesar 180% (Sambodo, 2005). Hal ini tentu saja secara signifikan mengimbas perekonomian banyak negara, khususnya negara-negara yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap impor minyak ataupun negara-negara yang menerapkan kebijakan subsidi minyak pada perekonomiannya. Sekalipun Indonesia, masuk dalam kategori medium vulnerable countries atas gejolak harga minyak dunia sebagaimana disebutkan dalam report UNDP (2007), namun demikian sebagai salah satu negara yang juga menerapkan kebijakan subsidi BBM, Indonesia mendapat pukulan telak dari kenaikan harga minyak dunia dengan tiga alasan. Pertama, sejak tahun 2002, Indonesia sudah melakukan impor minyak mentah seperti dari Aljazair dan Nigeria. Hal ini terkait dengan 1 Chu, Fesharaki, dan Wu, 2005 posisi Cina yang berada dalam urutan kedua setelah Amerika Serikat dalam hal pengguna energi menyebabkan pertumbuhan kebutuhan energi Cina dan meningkatnya impor energi dari negara tersebut telah memberikan dampak yang luar biasa tidak hanya dalam konteks pasar Asia tetapi juga global.
1
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 1
6/22/2010 6:21:26 PM
tingkat produksi minyak dalam negeri yang mengalami penurunan. Kedua, hingga saat ini pemerintah masih memberikan subsidi BBM. Ketiga, harga minyak dunia diprediksi akan meningkat. Sebagai solusi untuk mengurangi dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap perekonomian, UNDP (2007), menawarkan empat opsi kebijakan yaitu: (1) manajeman resiko harga minyak melalui pengetatan subsidi dan pemberian bantuan langsung, (2) meningkatkan pasokan minyak, (3) pengendalian sisi permintaan, (4) melakukan diversifikasi energi, (5) menyiapkan skenario darurat jika harga energi melonjak cepat. Sebagaimana tertuang dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025, secara tentatif pemerintah masih memberikan subsidi bagi beberapa jenis BBM yaitu minyak tanah, premium, dan solar antara tahun 2006 dan 2007. Adapun kelompok yang berhak memperoleh subsidi untuk minyak tanah yaitu rumah tangga miskin dan usaha kecil. Subsidi premium diberikan pada angkutan pribadi, angkutan umum, angkutan khusus, TNI/Polri. Subsidi untuk minyak solar untuk sektor transportasi diberikan kepada angkutan pribadi, angkutan umum, angkutan laut, angkutan khusus, dan nelayan tradisional. Sedangkan untuk sektor industri diberikan kepada industri kecil. Namun demikian, setelah tahun 2007 diharapkan sudah tidak ada lagi subsidi BBM, walaupun hal ini nampaknya akan sulit terjadi. Namun demikian waktu penghentian subsidi belumlah pasti. Hal ini menandakan bahwa pemerintah masih mempelajari dan menimbangnimbang dampak kenaikan harga energi terutama terhadap kelompok masyarakat yang akan merasakan dampak kenaikan harga energi secara langsung. Dengan demikian kenaikan harga energi tidak hanya mempertimbangkan dimensi efisiensi harga tetapi juga pengaruhnya terhadap aktivitas perekonomian secara keseluruhan terutama terkait dengan sisi keadilan. Kian bertambanhya jumlah penduduk miskin dari 35,1 juta di
2
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 2
6/22/2010 6:21:26 PM
Pendahuluan
bulan Februari 2005 menjadi 39,1 juta di bulan Maret 2006 tentu tidak terlepas kenaikan harga BBM awal Oktober 2005, yang secara rata-rata mencapai 126%. Sebagaimana dikemukakan oleh Basri dan Patunru (2006), walaupun kenaikan harga beras yang rata-rata mencapai 33% antara Februari 2005 dan Maret 2006, menjadi penyebab utama kenaikan jumlah penduduk miskin namun mereka juga tidak menapik kemungkinan meningkatnya harga beras juga dipengaruhi oleh kenaikan harga BBM. Hingga saat ini masih sangat jelas terlihat bahwa diambilnya kebijakan di sektor energi masih sangat responsif. Bahkan terdapat suatu kecenderungan di masyarakat yang menilai bahwa pemerintah tidak transparan di dalam melakukan kalkukasi biaya ekonomi atas harga energi. Demikian juga, banyak kalangan akademisi yang menilai kenaikan harga BBM sudah keterlaluan, bahkan sebenarnya Indonesia masih mendapat keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia. Pemahaman seperti ini sangat mengesankan bahwa kebijakan kenaikan harga energi masih belum berpihak pada kesejahteraan rakyat. Studi ini merupakan studi lanjutan tahap ke 3 (dua) yang juga merupakan studi tahap terakhir. Studi di tahun pertama telah memberikan kajian komprehensif atas kebijakan harga energi pada sektor rumah tangga dan usaha kecil berikut rekomendasi kebijakan. Selanjutnya studi tahun kedua fokus pada sektor transportasi. Studi tahun ketiga akan difokuskan pada sektor industri menengah dan besar yang tergolong sebagai padat energi. Penelitian ini akan mengkaji bagaimana pengaruh kebijakan harga energi (BBM dan TDL) terhadap dunia usaha, khususnya dikaitkan dengan daya saing harga (price competitiveness) dan sensitifitas harga (price sensitivity). Hasil kajian ini akan memberikan rekomendasi kebijakan akan cara-cara penyesuaian harga energi guna memberikan dampak yang minimal terhadap kegiatan ekonomi dan kesejahteraan.
3
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 3
6/22/2010 6:21:26 PM
1.2 Perumusan Masalah Penyesuaian harga energi menuju harga keekonomiannya akan memberikan dua pengaruh pada kegiatan sektor industri yang memiliki komponen belanja yang relatif besar untuk belanja energi. Pada satu sisi hal ini akan berdampak pada kenaikan biaya produksi (price effect). Pada sisi lainnya hal ini akan mendorong perusahaan untuk semakin efisien di dalam pemakaian dan pemanfaatan energi (efficiency effect) ataupun di dalam merubah alokasi input produksi (allocation effect). Dengan demikian pertanyaan yang patut dijawab dari penelitian ini yaitu: 1.
Bagaimana penerapan kebijakan harga keekonomian BBM dan TDL di sektor industri?
2.
Bagaimana peta konsumsi energi menurut jenis industri nasional?
3.
Bagaimana respon perusahaan atas kenaikan harga BBM dan TDL?
4.
Sejauhmana dampak atas penerapan harga keekonomian BBM dan TDL terhadap kinerja sektor industri?
5.
Bagaimana strategi kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan dunia usaha guna guna meminimalkan dampak kenaikan BBM dan TDL terhadap kinerja sektor industri?
1.3 Tujuan Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini yaitu: 1.
Diketahuinya perkembangan kebijakan secara komprehensif di sektor energi baik atas BBM dan TDL.
4
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 4
6/22/2010 6:21:26 PM
Pendahuluan
2.
Terpetakannya konsumsi energi menurut sektor industri
3.
Diketahuinya cara-cara penyesuaian yang dilakukan oleh perusahaan sebagai respon dari kenaikan harga energi
4.
Diketahuinya dampak penyesuaian tersebut terhadap kinerja dan daya saing industri tersebut?
5.
Merumuskan rekomendasi kebijakan akan hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meminimalkan dampak kenaikan harga energi bagi kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat terutama dikaitkan dengan upaya meningkatkan daya saing industri nasional.
1.4 Kerangka Analitik Kebijakan sektor energi menjadi aspek yang paling strategis. Kebijakan energi tidak hanya menyangkut ketahanan energi tetapi juga sisi daya saing industri. Hingga saat ini pemerintah masih menerapkan dua kebijakan yang berbeda terkait dengan harga energi yaitu harga subsidi dan harga jual non subsidi atau harga yang telah mencerminkan harga keekonomian. Menurut Peraturan Presiden No 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri, pemerintah telah menetapkan harga subsidi untuk beberapa produk BBM yaitu minyak tanah, solar, dan premium yang berlaku mulai 1 Oktober 2005. Harga subsidi diberikan pada empat kelompok pengguna dengan rician sebagaimana tertera dalam Tabel 1.1. Dengan demikian kelompok pengguna BBM diluar keempat jenis pengguna sebagaimana tertera dalam Tabel 1.1, harus membeli BBM sesuai dengan harga keekonomian BBM.
5
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 5
6/22/2010 6:21:26 PM
Tabel 1.1 Kriteria Penerima Subsidi BBM No 1
Konsumen Pengguna Rumah Tangga
2
Usaha Kecil
3
Transportasi
Uraian Konsumen yang menggunakan minyak tanah (Kerosene) untuk memasak dan penerangan dalam lingkup Rumah Tangga Konsumen yang menggunakan Minyak Tanah (Kerosene), Bensin Premium dan Minyak Solar (Gas Oil) terdiri dari : a. Usaha kecil setelah diverifikasi instansi berwenang dapat diberikan kebutuhan BBM paling banyak 8 kiloliter/bulan/Unit Usaha Kecil; atau b. Nelayan yang mengkonsumsi Minyak Solar (Gas Oil) dengan menggunakan kapal maksimum 30 GT yang mengkonsumsi Minyak Solar (Gas Oil) paling banyak 25 (dua puluh lima) kiloliter/bulan. Konsumen yang menggunakan Bensin Premium dan Minyak Solar (Gas Oil) terdiri dari : a.
Segala bentuk sarana transportasi darat (kendaraan bermotor, kereta api) yang digunakan untuk angkutan umum dan angkutan sungai, danau, dan penyeberangan (ASDP);
b.
Kapal berbendera nasional dengan trayek dalam negeri;
c.
4
Pelayanan Umum
Kendaraan bermotor milik TNI/Polri, Instansi Pemerintah/Swasta, Kapal milik Pemerintah/ TNI/Polri; atau d. Kendaraan bermotor milik pribadi. Konsumen yang menggunakan Bensin Premium dan Minyak Solar (Gas Oil) terdiri dari : Rumah Sakit, Sarana Pendidikan/ Sekolah/Pesantren, Tempat Ibadah, Krematorium, Sarana Sosial, dan Kantor Pemerintahan.
Sumber: Peraturan Presiden No 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri
6
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 6
6/22/2010 6:21:26 PM
Pendahuluan
Harga energi yang tidak mengandung subsidi berarti, faktor permintaan dan penawaran menentukan harga energi. Namun demikian sebagaimana disebutkan dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025, pemerintah akan menerapkan batas atas (cap) dan batas bawah (floor) baik untuk tarif dasar listrik dan harga BBM. Hal ini sekaligus menandakan bahwa harga energi tidak akan sepenuhnya mengikuti harga pasar. Lebih lanjut harga batas atas dan bawah belum ditentukan oleh pemerintah. Dalam skenario harga minyak dunia diketahui semakin tinggi harga minyak maka semakin besar subsidi BBM yang harus diberikan oleh pemerintah. Sebagaimana terlihat dari Tabel 1.2, perkembangan lebih dari satu dekade terakhir ini memperlihatkan bahwa Indonesia telah melalui masa transisi energi yang ditunjukkan dengan semakin berkurangnya produksi minyak bumi dan dalam waktu yang bersamaan impor terus menunjukkan peningkatan sedangkan ekspor menunjukkan penurunan. Terkait dengan impor dan ekspor BBM sangat jelas terlihat impor BBM semakin meningkat. Masih dilakukannya impor BBM tentu tidak terlepas dari kemampuan penyulingan minyak dalam negeri yang masih terbatas disamping rendahnya kegiatan eksporasi dan pencarian ladang-ladang minyak baru2.
2 Perbedaan antara minyak bumi (crude oil) dan BBM terletak pada jenis ataupun spesifikasi produk. Minyak bumi menunjukkan campuran berbagai hidrokarbon dalam fase cair sedangkan BBM sudah merupakan produk final minyak bumi yang telah melalui fase penyulingan.
7
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 7
6/22/2010 6:21:26 PM
Tabel 1.2 Perkembangan Produksi, Impor dan Ekspor Minyak Bumi dan BBM (Ribu SBM) Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Produksi 533,562 581,233 550,668 557,661 588,363 586,264 582,660 576,963 568,782 545,579 517,489 489,306 456,026 418,593 400,554 387,653 336,628
Impor (I) 46,225 55,361 56,521 54,435 64,209 69,287 69,037 71,163 72,476 84,692 78,615 117,168 124,148 137,127 148,490 118,302 85,927
Ekspor (E) 288,317 330,495 293,069 283,280 323,976 301,810 283,740 289,093 280,365 285,400 223,500 241,612 218,115 189,095 178,869 159,453 92,654
Konsumsi (K) 291,470 306,099 314,120 328,816 328,596 353,741 367,957 359,033 360,893 344,871 372,604 364,862 362,059 366,625 370,175 346,502 329,901
-2,8
4
-6,8
0,8
Pertumbuhan 1990-2006
K:P 0.55 0.53 0.57 0.59 0.56 0.60 0.63 0.62 0.63 0.63 0.72 0.75 0.79 0.88 0.92 0.89 0.98
I:K 0.16 0.18 0.18 0.17 0.20 0.20 0.19 0.20 0.20 0.25 0.21 0.32 0.34 0.37 0.40 0.34 0.26
Catatan: Konsumsi (K) = Produksi (P) + Import – Ekspor; Rasio ketergantungan impor (import depedency ratio) yaitu rasio impor terhadap konsumsi (Field, 2001), tulisan miring menunjukkan angka sementara Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Semakin berkurangnya tingkat produksi minyak dalam negeri tentu tidak terlepas dari terbatasnya kegiatan eksplorasi minyak. Bahkan menurut perkiraan yang dikeluarkan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan minyak bumi hanya mencukupi sampai dengan 18 tahun ke depan jika tidak dilakukan eksplorasi baru. Langkah diversifikasi energi perlu segera dilakukan guna mengurangi ketergantungan terhadap minyak yang hingga saat ini pangsa konsumsi BBMnya sudah mencapai 63% dari konsumsi energi final (ESDM, 2005). Langkah yang telah ditempuh pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak yaitu dengan mengembangkan
8
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 8
6/22/2010 6:21:27 PM
Pendahuluan
penggunaan gas bumi, batubara dan sumber energi baru dan terbarukan lainnya. Sehingga diharapkan dalam tahun 2025 peranan minyak bumi dalam bauran energi primer tinggal menjadi 26.2% yang pada tahun 2003 masih sekitar 54,4%. Tabel 1.3 Potensi Energi Nasional 2004
JENIS ENERGI FOSIL Minyak Gas Batubara
ENERGI NON FOSIL
(Proven + Possible)
PRODUKSI (per Tahun)
RASIO CAD/PROD (tanpa eksplorasi) Tahun
86,9 miliar barel
9 miliar barel
500 juta barel
18
384,7 TSCF
182 TSCF
3,0 TSCF
61
57 miliar ton
19,3 miliar ton
130 juta ton
147
SUMBER DAYA
CADANGAN
SUMBER DAYA
SETARA
PEMANFAATAN
KAPASITAS TERPASANG
Tenaga Air
845,00 juta BOE
75,67 GW
6.851,00 GWh
4.200,00 MW
Panas Bumi
219,00 juta BOE
27,00 GW
2.593,50 GWh
800,00 MW
458,75 MW
458,75 MW
84,00 MW
49,81 GW
302,40 MW
Mini/Micro hydro Biomass Tenaga Surya
4,80 kWh/m2/hari
8,00 MW
Tenaga Angin
9,29 GW
0,50 MW
Uranium (Nuklir)
24.112 Ton* e.q. 3 GW utk 11 tahun
* Hanya di Daerah Kalan - Kalbar
Sumber: Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (2005-2025)
Sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.4 dibawah ini, bahwa transisi pemakian energi juga terlihat dalam hal konsumsi energi berbasis BBM terutama pada tiga pengguna energi terbesar yaitu sektor industri, transportasi dan rumah tangga. Dengan membandingkan kodisi di tahun 1990 dan 2004 dapat disimpulkan pertumbuhan energi final berbasis BBM yaitu sebesar 5,2%. Sektor transportasi mendominasi konsumsi BBM dan disusul oleh sektor industri dan rumah tangga. Dalam hal pertumbuhan konsumsi per tahun, sektor industri mengalami pertumbuhan paling tinggi yaitu sebesar 25,3%. Antara tahun 1990 dan 2004 kontribusi sektor industri dan transportasi menunjukkan peningkatan dan sebaliknya dengan sektor rumah tangga.
9
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 9
6/22/2010 6:21:27 PM
Tabel 1.4 Konsumsi Energi Final Berbasis BBM (Ribu SBM) Pengguna Industri Transportasi Rumah Tangga Komersial Sektor lain-lain Total
1990 (%) 37.840 21.9 76.170 44.0 39.490 22.8 2.394 1.4 17.242 10.0 173.136 100.0
2004 (%) Pertumbuhan (%) 88.651 25.0 25,3 169.659 47.9 24,8 60.856 17.2 21,6 6.511 1.8 7,4 28.597 8.1 3,7 354.274 100.0 5,2
Catatan: Pertumbuhan mencerminkan pertumbuhan per tahun Sumber: Buku Pegangan Statistik Ekonomi-Energi Indonesia (2005)
Tabel 1.5 memberikan informasi yang cukup berharga dalam hal konsumsi energi final berbasis energi listrik. Antara tahun 1990 dan 2004, konsumsi energi final berbasis energi listrik tumbuh sekitar 8,8% pertahun. Sektor industri mendominasi pemakian energi listrik dengan tingkat pertumbuhan per tahun sekitar 6,3%. Sektor rumah tangga dan komersial mengalami pertumbuhan di atas dua digit dan peranan kedua sektor tersebut semakin penting dalam hal konsumsi energi listrik. Tabel 1.5 Konsumsi Energi Final Berbasis Energi Listrik (Ribu SBM) Pengguna Industri Transportasi Rumah Tangga Komersial Sektor lainlain Total
1990 10.475 10
% 55.8 0.1
2004 24.719 34
% 40.3 0.1
5.519 2.784
29.4 14.8
23.614 12.986
38.5 21.2
0 18.788
0.0 100.0
0 61.353
0.0 100.0
Pertumbuhan (%) 6,3 9,1 10,9 11,6 8,8
Catatan: Pertumbuhan mencerminkan pertumbuhan per tahun Sumber: Buku Pegangan Statistik Ekonomi-Energi Indonesia (2005)
Meningkatkan konsumsi energi ternyata belum diimbangi dengan peningkatan efisiensi energi. Sebagaimana disebutkan dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (2005-2025), Indonesia termasuk negara yang paling boros dalam hal konsumsi energi. Nilai intensitas energi 10
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 10
6/22/2010 6:21:27 PM
Pendahuluan
(rasio konsumsi energi untuk setiap satuan PDB) Indonesia lebih tinggi dibandingkan Malaysia, Thailand, dan negara-negara maju lainnya. Namun disisi lain konsumsi energi per kapita Indonesia paling rendah di antara negara-negara tersebut. Dengan demikian sebagian masyarakat belum memiliki akses terhadap energi sedangkan kelompok masyarakat lainnya telah mengkonsumsi energi secara berlebihan. Dengan memperhatikan serangkian informasi tersebut diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan penting. Pertama, hingga saat ini harga energi di Indonesia belum mencerminkan harga keekonomian terutama pada beberapa sektor pengguna yang diatur dalam Peraturan Presiden No 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri. Kedua, sektor pengguna lainnya yang tidak mendapatkan subsidi akan menerima harga energi sesuai dengan harga batas atas dan bawah. Namun sayangnya kisaran harga kedua batas tersebut dan waktu pelaksanaannya masih belum ditetapkan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah tetap mempertahankan kebijakan harga energi yang terkendali guna meminimalkan gejolak terhadap perekonomian. Ketiga, berkurannya peranan minyak dalam struktur energi primer didorong oleh upaya pemerintah untuk membangun diversifikasi energi. Dengan demikian jika terjadi gejolak harga minyak dunia, maka pengaruh ini dapat diredam dengan substitusi energi. Keempat, sektor industri yang juga merupakan konsumsi terbesar dalam hal konsumsi energi berbasis listrik dan sektor transportasi yang merupakan konsumsi terbesar BBM akan menghadapi pengaruh terbesar jika terjadi gejolak pada harga energi. Hal ini lebih lanjut akan berimplikasi pada daya saing perusahaan.
1.5 Hipotesis Kebijakan kenaikan harga BBM dan TDL industri telah menambah biaya produksi perusahaan. Kondisi ini menyebabkan perusahaan harus melakukan langkah penghematan energi hingga pemotongan komponen biaya lainnya seperti bahan baku, modal, dll. Pilihan ini diambil sebagai upaya untuk mempertahankan daya saing produk. 11
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 11
6/22/2010 6:21:27 PM
Kondisi ini dalam jangka pendek akan berdampak pada lambatnya peningkatan kapasitas industri nasional khususnya yang cukup intensif menggunakan BBM dan listrik.
1.6 Road Map Penelitian dan Alur Pikir Penelitian Penelitian ini direncanakan selama tiga tahun dengan pertimbangan bahwa dampak kenaikan harga BBM di tahun 2005 mempengaruhi perekonomian secara umum, sehingga perlu kajian yang lebih mendalam untuk masing-masing sektor. Sebagaimana dapat dilihat dari kerangka penelitian, kenaikan harga BBM di tahun 2005, dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat melalui dua jalur. Pertama, sisi pengeluaran. Sebagaimana diketahui bahwa kenaikan harga BBM akan mempengaruhi pengeluaran energi baik di level rumah tangga dan industri. Kedua, kenaikan harga BBM dapat dipastikan akan menurunkan tingkat kepuasan masyarakat sebagaimana dapat diukur dari volume konsumsi, dan tingkat substitusi terhadap alternatif lain seperti dalam hal penggunaan energi alternatif dan pengalihan moda transportasi. Kenaikan Harga BBM Tahun 2005 Kesejahteraan Masyarakat
(1) Sisi pengeluaran; (2) Tingkat kepuasan; (3) Struktur biaya input produksi
Tahun 2007 Dampak di sektor rumah tangga, nelayan, angkutan umum dan industri rumah tangga
Tahun 2008 Dampak di sektor transportasi publik
Tahun 2009 Dampak di sektor industri menengah dan besar khususnya teksl dan produk teksl
Analisis Respon dan Pola Penyesuaian
Rumusan Kebijakan Minimalisasi Dampak
Gambar 1.1 Road Map Penelitian Energi 2007-2009
12
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 12
6/22/2010 6:21:27 PM
Pendahuluan
Kajian ini melihat sejauh mana respon dan tingkat adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat dan industri sebagai dampak dari kenaikan harga BBM. Apakah telah terjadi perubahan pada ketiga aspek yang mewakili kesejahteraan masyarakat. Studi ini menawarkan rekomendasi kebijakan yang perlu dijalankan oleh pemerintah untuk meminimalkan dapak negatif atas kenaikan harga BBM. Berdasarkan road map tersebut, maka ditahun ketiga ini kajian akan difokuskan pada sektor industry, dimana yang dipiliha adalah industry TPT. Pemilihan industry TPT didasarkan pada kenyataan bahwa sektor ini adalah sektor strategis bagi perekonomian Indonesia dipandang dari penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah industry nasional. Lebih lanjut, dalam proses produksinya industry ini tergolong BBM-intensif dan listri-intensif sehingga kebijakan pada sisi harga akan sangat mempengaruhi kinerjanya. Argumentasi dan analisis pemilihan sampel industry dibahas pada Bab II. Secara umum, alur penelitian dapat diringkas dalam gambar dibawah ini. Dari sekian banyak industry besar dan menengah yang ada, dibangun criteria sampel yaitu konsumsi energi, penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah. Berdasarkan criteria tersebut, dipilihlan industry TPT. Sejalan dengan fluktuasi harga energi yang menjadi shock harga bagi industry TPT, akan membawa pengaruh bagi kinerja perusahaan. Analisis yang akan digunakan adalah analisis empiris serta analisis kebijakan. Analisis empiris didasarkan pada survey dengan sampel perusahaan TPT dan dinamikanya terkait dengan perubahan harga energi. Dinamika yang dianalisis meliputi peta kebutuhan energi, penggunaan energy alternative yang dalam hal ini adalah batubara serta pengaruh shock harga energi bagi perusahaan dan pola penyesuaiannya. Sedangkan analisis kebijakan adalah kebijakan BBM, TDL dan batubara. Dari kedua analisis tersebut didapatkan rekomendasi kebijakan energi untuk mendorong daya saing Industri TPT.
13
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 13
6/22/2010 6:21:28 PM
INDUSTRI
Konsumsi Energi
Penyerapan Tenaga Kerja
Perubahan Kebijakan Harga BBM dan TDL Analisis Empiris
• Peta Kebutuhan Energi • Konsumsi Energi Alternatif • Pengaruh Perubahan harga BBM dan TDL Terhadap Struktur Biaya Produksi • Pola Penyesuaian
Nilai Tambah
Tekstil dan Produk Tekstil
Analisis Kebijakan
• Kebijakan BBM • Kebijakan TDL
Kebijakan Energi untuk Mendorong DAYA SAING INDUSTRI
Gambar 1.2 Alur Penelitian Energi 2009
1.7 Metodologi 1.7.1 Pendekatan Studi Studi ini lebih banyak menekankan pada pendekatan ekonomi khususnya kebijakan publik. Pendekatan ekonomi difokuskan untuk mengevaluasi tiga elemen penting dari studi ini yaitu: 1.
Analisis pengaruh harga (price effect) yang meliputi efek efisiensi (effeciency effect) dan efek alokasi (allocation effect)
2.
Analisis daya saing harga (price competitiveness)
3.
Analisis sensitivitas harga (price sensitivity)
Jika diperhatikan ketiga elemen tersebut di atas mencerminkan dimensi mikro ekonomi atau analisis sisi perusahaan. Pendekatan kebijakan publik difokuskan pada, bagaimana pergulatan kepentingan seputar keputusan kenaikan BBM dan TDL. 14
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 14
6/22/2010 6:21:28 PM
Pendahuluan
1.7.2 Unit Analisis Unit analisis dalam studi ini yaitu kelompok industri yang masuk dalam kelompok energy intensive. Pemilihan industri didasarkan atas data statistik industri menengah dan besar tahun 2007. Hasil analisis menunjukkan bahwa industri tekstil masuk dalam kategori BBM intesif yang tinggi, serta dalam konteks konsumsi listrik masuk ke dalam kategori moderat. Kelemahan dalam pemilihan industri dengan metodo ini yaitu banyaknya perusahaan yang masuk dalam kelompok industri tekstil, sehingga dalam hal agregasi konsumsi energi akan lebih tinggi dibandingkan dengan industri lainnya. Kondisi ini menyebabkan, perusahaan yang masuk dalam kategori padat energi seperti semen, baja, dan keramik, tidak masuk dalam kategori industri yang akan diteliti.
1.7.3 Lokasi Penelitian Penelitian ini akan difokuskan pada sektor industri manufaktur di propinsi Jawa Barat. Dipilihnya propinsi tersebut dengan pertimbangan bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra industri manufaktur terbesar di Indonesia.
1.7.4 Kebutuhan, Sumber dan Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat terbagai dua yaitu data primer dan sekunder. Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini berasal dari dua sumber. Pertama, survei melalui cara pengiriman kuesioner kepada perusahaan tekstil. Dalam hal ini target responden sebanyak 200 perusahaan yang tersebar di Propinsi Jawa Barat. Mempertimbangkan rantai produksi industri tekstil dari hulu ke hilir, maka dalam setiap mata rantai produksi akan dipilih keterwakilan di masing-masing kelompok industri. Secara teknis, struktur industri TPT nasional terbagi menjadi tiga subsektor, yaitu (Djafri, 2003)3: 3
Dalam konteks ruang lingkup industri TPT dapat dibagai dalam 6 bagian yaitu (Djafri, 2003): (1) serat buatan (man-made fiber); (2) pembuatan benang/industri pemintalan (spinning); (3) pembuatan tekstil lembaran (TL)/ pertenunan dan perajutan (weaving dan knitting); (4) penyempurnaan TL/finishing dan printing;(5) pakian jadi (PJ) (clothing) dan (6) produk lain (other), karpet, draperies, bet-table, bath linen, dan lainnya.
15
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 15
6/22/2010 6:21:28 PM
1.
Sektor hulu (upstream)
Industri hulu adalah industri pembuat serat (fiber) dan pemintalan (spinning), seperti serat kapas, serat sintetik, serat selulosa, dan bahan baku serat sintetik. Umumnya industri hulu bersifat padat modal, fullautomatic, berskala besar, jumlah tenaga kerja yang sedikit dengan rasio output per tenaga kerja yang tinggi. 2.
Sektor menengah (midstream)
Sektor menengah meliputi industri yang bergerak pada bidang pemintalan (spinning), pertenunan (weaving), dan pencelupan/ penyempurnaan (dyeing/finishing). Sifat industri sektor menengah adalah semi padat modal dan teknologi yang dipakai telah berkembang dengan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar dari sektor hulu. 3.
Sektor Hilir (downstream)
Industri pada sektor hilir adalah pakaian jadi (garment). Sektor ini paling banyak menyerap tenaga kerja sehingga sifat industrinya padat karya. Selanjutnya kuesioner akan disebar pada masing-masing perusahaan yang terdapat dalam kelompok industri berikut:
16
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 16
6/22/2010 6:21:28 PM
Pendahuluan
Tabel 1.6 Data Perusahaan Tekstil di Propinsi Jawa Barat Jenis Industri Persiapan serat tekstil Pemintalan benang Pemintalan benang jahit Pertenunan Penyempurnaan benang Penyempurnaan kain Pencetakan kain Batik Barang jadi tekstil kecuali untuk pakaian Barang jadi tekstil untuk keperluan kesehatan Tekstil jadi untuk keperluan kosmetika Karung goni Bogor dan karung lainnya Permadani Tali Barang dari tali Kain pita Kain keperluan industri Bordir/sulam Non woven Tekstil yang tidak diklasifikasikan ke tempat lain Kain rajut Pakiaan jadi rajut Rajutan kaos kaki Barang jadi rajutan
Jumlah Perusahaan 33 39 7 201 23 108 60 4 63 4 2 0 2 11 0 9 12 5 18 7 5 67 83 9 5
Sumber: BPS - Statistik Industri Menengah dan Besar (2006) Kedua, melalui wawancara mendalam yang akan dilakukan dengan mengunjungi para pemangku kepentingan di industri tekstil, termasuk dalam hal ini beberapa perusahaan tekstil yang berada di propinsi Jawa Barat.
1.7.5 Pengolahan dan analisis data Data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan dua pendekatan yaitu kualitatif dan kuantitatif. Selanjutnya, data akan dianalisis dengan menggunakan program SPSS. Model-model analisis yang akan digunakan yaitu analisis struktur biaya perusahaan dan analisis sensitifitas kebutuhan energi terhadap harga dan output.
17
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 17
6/22/2010 6:21:28 PM
No 1
Fokus Penelitian Analisis kebijakan penerapan harga keekonomian BBM dan TDL di sektor industri Peta konsumsi energi menurut jenis industri nasional
Indikator APBN, Harga minyak dunia, penghematan subsidi dari sektor industri, harga BBM dan TDL industri, harga listrik,
Alat Pembuktian Data sekunder yang relavan
1. Konsumsi BBM 2. Konsumsi Listrik 3. Konsumsi Energi Non BBM 4. Total biaya operasional perusahaan (Pada analisis bagian ini industri akan dikategorikannya menurut penggunaan energi yaitu energi intenstif mulai dari yang tinggi, menengah, medium dan rendah)
Data sekunder
3
Respon perusahaan atas kenaikan harga BBM dan TDL
Kuesioner – in depth interview – survei kecil
4
Dampak atas penerapan harga keekonomian BBM dan TDL terhadap performance industri Respon Kebijakan, guna meminimalkan dampak kenaikan BBM dan TDL
Analisis struktur biaya input sebelum dan setelah ada kenaikan harga BBM dan TDL (awal analisis dimulai sejak tahun tahun 2005) Cara-cara penyesuaian yang dilakukan akan dikaji dari sisi: 1. Substitusi input (TK, Modal, dll) 2. Merubah teknologi (up grade, dll) 3. Kapasitas produksi 4. Pengembangan / penggunaan energi baru dan terbarukan 5. Strategi produksi dan pemasaran (kualitas, kuantitas, harga) 6. Efisiensi (energi saving) 7. lain-lain Kapasitas produksi, penyerapan tenaga kerja, struktur biaya produksi (BBM, TDL), keuntungan, daya saing harga,
Fiskal, non fiskal, dan lainnya
Indepth - interview
2
5
Statistik industri menengah dan besar Tabel input - output
18
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 18
6/22/2010 6:21:28 PM
Penetapan Klasifikasi Sektor Industri Manufaktur
BAB 2 PENETAPAN KLASIFIKASI SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR Purwanto
2.1 Pendahuluan Sektor industri selama ini diketahui sebagai salah satu penggerak utama perekonomian Indonesia sehingga di masa yang akan datang akan terus didorong perannya agar lebih mampu memberi kontribusi yang berarti terhadap pembangunan ekonomi nasional. Akan tetapi sektor industri masih dihadapkan pada banyak tantangan yang salah satunya adalah keterbatasan pasokan energi dan listrik yang merupakan komponen input penting dalam aktivitas produksi. Pada tahun 2008, sektor industri pengolahan masih mengalami pertumbuhan positif yaitu sebesar 3,7 persen dengan menyumbangkan sebesar 27,9 persen terhadap total PDB nasional (BPS, 2009). Pertumbuhan positif ini masih layak mendapatkan apresiasi karena pada akhir tahun 2008 kondisi perekonomian dunia sedang mengalami trend pelemahan akibat adanya krisis keuangan global yang melanda sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat. Krisis global tersebut menyebabkan adanya penurunan permintaan dunia terhadap produk-produk industri. Oleh karena itu, pertumbuhan yang lambat dari sektor industri pada tahun 2008 harus dapat dimaklumi sebagai dampak fenomena krisis global. Kecenderungan penurunan permintaan masih terjadi hingga awal tahun 2009 yang dapat dilihat salah satunya dari indikator penurunan ekspor yang cukup drastis pada bulan Januari 2009 yaitu sebesar 17,70 persen jika dibandingkan dengan bulan Desember 2008 (Republika Online, 02/03/2009). Hal ini menunjukkan adanya pelemahan kinerja sektor industri yang terkena imbas dari pelemahan permintaan dunia sebagai akibat krisis ekonomi.
19
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 19
6/22/2010 6:21:28 PM
Purwanto
Terlepas dari kondisi perekonomian dunia yang masih dalam tahap pemulihan, peran strategis sektor industri khususnya industri manufaktur yang signifikan belum dibarengi dengan adanya upaya penyediaan kebutuhan energi yang memadai dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Sektor industri memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap pasokan energi (bahan bakar minyak). Pada tahun 2005, pemakaian bahan bakar (minyak) dan pelumas pada industri besar dan menengah mencapai Rp 51 triliun. Sementara itu, biaya input untuk bahan bakar, tenaga listrik dan gas mencapai Rp 100,38 triliun atau sebesar 7,7 persen dari total biaya input dan merupakan komponen input terbesar kedua setelah biaya bahan baku dan bahan penolong. Besarnya komponen biaya BBM ini tentunya akan mempengaruhi kinerja sektor-sektor ekonomi produktif seperti sektor industri pengolahan yang akan selalu dipengaruhi oleh dinamika pasokan energi. Kondisi yang kurang menguntungkan akan selalu terjadi pada saat pasokan energi mengalami kendala dari segi distribusi maupun harga energi yang cenderung bersifat fluktuatif. Hal ini kemudian mendorong sektor industri untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dari sisi input faktor produksi, proses produksi, hingga output produksi yang dihasilkan. Penyesuaian-penyesuaian tersebut misalnya dengan melakukan diversifikasi energi, modifikasi teknologi permesinan, inovasi produk, dan harga jual produk. Permasalahannya selanjutnya adalah, adanya indikasi yang cukup kuat bahwa harga BBM di pasar dunia cenderung akan selalu berfluktuasi pada tingkat harga yang kadang-kadang sulit diprediksi. Hal ini dikarenakan fluktuasi harga minyak dunia tidak dapat begitu saja diukur melalui proyeksi-proyeksi data kuantitatif semata. Gejolak non-ekonomi seperti potensi konflik di Timur Tengah yang melibatkan sebagian besar wilayah produsen minyak juga dapat menyebabkan harga minyak menjadi sangat tinggi. Dampak krisis ekonomi global memang diyakini cukup mempengaruhi penurunan harga minyak dunia seiring dengan adanya penurunan permintaan minyak dunia dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Akan tetapi dalam 20
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 20
6/22/2010 6:21:28 PM
Penetapan Klasifikasi Sektor Industri Manufaktur
jangka panjang, potensi kenaikan harga minyak sangat mungkin terjadi apabila faktor-faktor yang mempengaruhi harga minyak dunia kembali memberikan kontribusi yang signifikan. Bagi sektor industri yang masih sangat tergantung pada BBM, terjadinya kenaikan harga minyak yang sangat drastis tentu saja akan secara signifikan mempengaruhi kinerjanya. Oleh karena itu pemetaan kebutuhan energi sektor industri menjadi sangat penting dalam upaya memberikan gambaran dan informasi tentang kondisi kebutuhan energi sektor industri sehingga dapat ditetapkan strategi dan kebijakan yang dapat mendukung akselerasi pertumbuhan sektor industri nasional. Dalam bab ini, bagian awal akan menggambarkan kondisi kebutuhan sektor industri secara nasional. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai alur pemilihan sektor industri yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Perlu dipahami bahwa penetapan fokus kajian pada industri terpilih sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengabaikan sektor industri lain tetapi lebih pada upaya pendalaman kajian dan analisis. Bagian terakhir merupakan kesimpulan dari hasil pemilihan sektor industri terpilih yang dimaksudkan untuk mengambil pelajaran dari industri terpilih dalam kaitannya dengan kebijakan energi nasional di sektor industri.
2.2 Kebutuhan Energi Sektor Industri Sektor industri memiliki peranan yang signifikan dalam perekonomian Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari kontribusi sektor industri pengolahan dalam pembentukan PDB dan juga penyerapan kerja yang dihasilkannnya. Sektor Industri sendiri memiliki banyak sekali cabang atau subsektor industri yang dikategorikan dalam 2 subsektor industri pengolahan yaitu industri pengolahan minyak dan gas serta industri pengolahan non minyak dan gas. Secara nasional, berdasarkan pembentukan GDP tahun 2008, sektor industri pengolahan memberikan kontribuisi sebesar 27 persen terhadap total GDP. Industri pengolahan non migas memberikan kontribusi sebesar 24 persen terhadap total GDP yang juga merupakan subsektor ekonomi atau lapangan usaha terbesar
21
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 21
6/22/2010 6:21:29 PM
Purwanto
dalam pembentukan GDP tahun 2008. Industri pengolahan dalam struktur perekonomian nasional memberikan kontribusi dalam aktivitas ekonomi di sektor riil dalam berbagai skala dan jenis usahanya. Pada tahun 2005, sektor industri pengolahan skala besar dan menengah mampu menyerap sekitar 7,9 juta tenaga kerja dengan jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan skala menengah mencapai 4,2 juta dan skala besar mencapai 3,7 juta pekerja. Kemampuan penyerapan tenaga kerja di sektor industri akan menjadi semakin besar apabila ditambahkan kontribusi dari skala usaha kecil dan mikro yang mencapai 77,6 juta (data penyerapan tenaga kerja UMKM di semua sektor ekonomi) pada tahun 2005. Tabel 2.1 Data Produk Domestik Bruto Tahun 2006 – 2008 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 (Triliun Rupiah)
* Angka Sementara Sumber: BPS, 2009.
** Angka Sangat Sementara
22
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 22
6/22/2010 6:21:29 PM
Penetapan Klasifikasi Sektor Industri Manufaktur
Tingginya kontribusi sektor industri dalam perekonomian menggambarkan dinamika aktivitas sektor industri yang cukup besar. Kontribusi sektor industri mencapai Rp 510 triliun atau sebesar 24 persen dari total PDB pada tahun 2008 yang mencapai Rp 2.082 triliun. Industri peralatan transportasi, permesinan dan apparatus menjadi industri utama di sektor manufaktur dengan nilai produksi mencapai Rp 177,18 triliun dan tercatat sebagai industri dengan pertumbuhan tertinggi yaitu 9,79 persen pada kurun waktu 2007 – 2008 dibandingkan dengan industri manufaktur lainnya. Sementara itu, industri tekstil, produk kulit dan alas kaki mengalami tren pertumbuhan yang menurun dari Rp 54,94 triliun menjadi Rp 50,99 triliun pada tahun 2006 – 2008. Namun demikian, industri tekstil, produk kulit dan alas kaki masih memiliki peran strategis dalam struktur industri nasional dengan menjadi kontributor terbesar keempat dalam rumpun industri manufaktur dan menyumbang 0,02 persen terhadap total PDB Indonesia pada tahun 2008. Aktivitas sektor industri tentunya membutuhkan adanya faktorfaktor pendukung seperti yang tercakup dalam upaya penciptaan iklim usaha yang kondusif maupun peningkatan daya saing perekonomian nasional. Salah satu kebutuhan sektor industri yang cukup vital adalah ketersediaan dan keterjangkauan sumber-sumber energi yang dibutuhkan dalam aktivitas sektor industri seperti misalnya bahan bakar minyak, gas, batubara, dan kelistrikan. Kebutuhan ini tidak hanya dituntut oleh industri skala besar tetapi juga menyeluruh pada aktivitas sektor industri nasional.
23
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 23
6/22/2010 6:21:29 PM
Purwanto
Tabel 2.2 Konsumsi Energi di Sektor Industri 2000 – 2007 (%)
Sumber: Handbook of Energy&Economics Statistic of Indonesia, 2008.
Konsumsi energi di sektor industri utamanya menggunakan batubara sebagai sumber energinya dengan konsumsi sebesar 42.98 persen dari total konsumsi energi di sektor industri tahun 2007. Konsumsi energi yang terbesar selanjutnya adalah berturut-turut dengan menggunakan gas, minyak, listrik, LPG, dan briket. Konsumsi batubara ini mengalami peningkatan yang signifikan apabila dilihat dari tahun 2000 hingga tahun 2007. Pada tahun 2000 konsumsi batubara baru sekitar 16.40 persen dengan konsumsi terbesar pada gas dan minyak. Dalam perkembangannya, konsumsi energi dari batubara menjadi yang terbesar sejak tahun 2006 dengan konsumsi mencapai 34.59 persen. Konsumsi energi batubara yang meningkat dapat dilihat dari indikasi peningkatan pemanfaatan batubara pada industri TPT yang menjadi obyek pada penelitian ini. Pemanfaatan batubara di sektor industri umumnya digunakan untuk pembangkit listrik mandiri bagi pemenuhan kebutuhan proses produksi. Konsumsi energi yang cenderung semakin besar di sektor industri memang membuka wacana bagi upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan energi. Efisiensi pemakaian energi di sektor industri diharapkan dapat mendorong pemakaian teknologi permesinan yang sekaligus dapat meningkatkan kemampuan produksi.
24
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 24
6/22/2010 6:21:29 PM
Penetapan Klasifikasi Sektor Industri Manufaktur
Tabel 2.3 Konsumsi Energi menurut Sektor Tahun 2000 – 2007 (juta BOE)
Keterangan: *) Angka proyeksi trend. Sumber: Handbook of Energy&Economics Statistic of Indonesia, 2008.
Selain permasalahan energi BBM di sektor industri, kebutuhan BBM juga menjadi isu penting dalam penyediaan listrik di sektor industri. Hal ini dikarenakan masih banyak pembangkit listrik dari PLN yang mengunakan BBM sebagai sumber energi pembangkitan listriknya. Sementara itu, sektor industri juga merupakan salah satu konsumen dari PLN. Tabel 2.4 Sasaran Penjualan Listrik PT PLN (Persero)
Keterangan: TWh = Tetra watt hours Sumber: Rencana umum ketenagalistrikan nasional 2008 s.d. 2027, DESDM, 2008
25
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 25
6/22/2010 6:21:29 PM
Purwanto
Berdasarkan data tabel diatas, diketahui bahwa kebutuhan listrik nasional akan terus mengalami peningkatan hingga 20 tahun ke depan. Sasaran penjualan listrik masih berfokus di wilayah Jawa – Madura – Bali sebesar 85 persen dari total sasaran konsumen listrik nasional dan sisanya sebanyak 15 persen tersebar di luar wilayah Jawa – Madura – Bali. Hal ini menunjukkan bahwa dalam persepsi PLN, aktivitas ekonomi produktif yang membutuhkan konsumsi listrik tinggi masih akan tetap berada di wilayah Jawa – Madura – Bali bahkan hingga tahun 2027 dan menjadikan wilayah lain relatif tetap berada pada kondisi yang sama dengan saat ini. Tentunya, sangat diharapkan bahwa dalam jangka panjang aktivitas perekonomian di Indonesia lebih tersebar dan merata sehingga aktivitas ekonomi tidak lagi terpusat di Jawa. Kebutuhan listrik yang sangat besar tentunya membutuhkan sumber-sumber pembangkit baru dengan kapasitas yang semakin besar. Hal ini harus dapat dipenuhi dengan membangun pembangkit listrik baru dengan berbagai sumber energi.
2.3 Kriteria Pemilihan Sektor Industri: Orientasi Pasar Pemilihan sektor industri didasarkan pada kemampuan atau kapasitas sektor industri dalam melakukan penetrasi pasar. Kemampuan dalam penetrasi pasar domestik akan memberikan gambaran kekuatan industri dalam bersaing dengan produk-produk impor dan memperkuat pasar domestik bagi industri lokal. Sementara industri yang memiliki orientasi ekspor akan menggambarkan kemampuan industri untuk bersaing dalam pasar internasional dan memberikan kontribusi bagi peningkatan devisa. Data yang digunakan adalah dari hasil statistik industri besar dan menengah di Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik. Selain itu, indeks RCA juga akan digunakan sebagai bahan referensi dari orientasi pasar pada sektor industri. Pemilihan tahun 2005 sebagai periode analisis dengan pertimbangan ketersediaan data. Selain itu, pada tahun 2005 diasumsikan bahwa perekonomian Indonesia sudah mulai tumbuh kembali dan berada pada kondisi 26
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 26
6/22/2010 6:21:29 PM
Penetapan Klasifikasi Sektor Industri Manufaktur
yang sudah melampaui masa krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 sehingga diperkirakan data yang tersedia sudah cukup stabil dari pengaruh krisis ekonomi. Kriteria orientasi pasar ekspor dan domestik dianalisis dengan mengasumsikan industri-industri dengan rasio ekspor terhadap produksi lebih dari 50 persen akan dianggap sebagai sektor industri berorientasi ekspor. Secara lengkap porsi ekspor terhadap produksi di masing-masing kelompok industri disajikan pada tabel di bawah ini. Tabel 2.5 Porsi Produksi yang Diekspor (dalam persentase)
27
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 27
6/22/2010 6:21:29 PM
Purwanto
28
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 28
6/22/2010 6:21:30 PM
Penetapan Klasifikasi Sektor Industri Manufaktur
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah, dalam Sambodo (2007)
Secara total dapat disimpulkan bahwa terjadi sedikit peningkatan porsi ekspor terhadap produksi di sektor industri nasional dalam kurun waktu analisis. Orientasi pasar domestik dan pasar ekspor di sektor industri nasional hampir berimbang dengan sedikit lebih banyak sektor industri yang berorientasi ekspor. Sektor industri berorientasi ekspor misalnya Pakaian Jadi (ISIC 181), Kulit dan barang dari kulit (ISIC 191), alas kaki (ISIC 192), Karet dan barang dari karet (ISIC 251), komponen elektronik ( ISIC 321), dan alat komunikasi (ISIC 322). Sedangkan sektor industri berorientasi domestik misalnya industri makanan dan minuman (ISIC 154 dan 155), bahan kimia industri dan kimia lainnya (ISIC 241 dan 242), dan barang-barang logam (ISIC 281 dan 289). Namun demikian perlu dicatat bahwa masih cukup banyak sektor industri manufaktur yang tidak tersedia informasi orientasi ekspornya sehingga hasil tabulasi pada tabel diatas belum mencerminkan kondisi sesungguhnya untuk beberapa industri (tidak tersedia data). Satu catatan khusus adalah rasio 29
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 29
6/22/2010 6:21:30 PM
Purwanto
ekspor terhadap produksi terbesar terdapat pada alat komunikasi (ISIC 322) yaitu mencapai 100 persen produk yang dihasilkan untuk tujuan ekspor sedangkan industri alat angkut (ISIC 359) lainnya di tahun 2004 hanya mengekspor 1,3 persen dari total produksinya. Setelah diketahui orientasi pasar pada masing-masing sektor industri manufaktur, selanjutnya dapat dilihat kondisi kemampuan daya saing dari sektor industri tersebut yang dapat dilihat melalui analisis Revealed Comparative Advantage (RCA). Indeks RCA dirumuskan sebagai berikut Cai dan Leung (2005, dalam Sambodo, 2007): Eij / Ei Sij = RCAij = (1) Ej / E Si Eij menunjukkan ekspor negara i untuk produk j, Sij menunjukkan porsi ekspor negara i untuk produk j, Si mewakili porsi ekspor komoditas j di tingkat dunia. Terdapat tiga ekspresi untuk menggambarkan nilai RCAij >1. Pertama, daya saing negara i untuk produk j berada di atas rata-rata daya saing dunia. Kedua, spesialisasi negara i untuk ekspor komoditas j lebih besar dibandingkan dengan rata-rata spesialisasi ekspor dunia. Ketiga, negara i memiliki keunggulan komparatif yang kuat untuk komoditas j. Hasil analisis RCA yang digunakan adalah hasil kajian dari Sambodo (2007) yang menyebutkan bahwa sebanyak 27 sektor industri manufaktur menunjukkan keunggulan komparatif dalam periode pengamatan tahun 1993 dan 2005. Walaupun cukup banyak sector industri pengolahan yang memperlihatkan keunggulan komparatif namun, beberapa komoditas menunjukkan penurunan RCA. Sebagai contoh untuk minyak dan produk minyak, gas, pengolahan kayu, dan alas kaki. Jika diamati besaran absolut indeks selama ini kurang banyak diperhatikan. Hal ini disebabkan oleh basis analisis RCA yang lebih melihat besaran indeks di atas ataupun di bawah 1. Namun demikian jika diperhatikan secara lebih mendalam ternyata besaran absolut indeks memiliki arti yang juga cukup besar (tetapi dengan nilai RCA tetap di atas 1 atau masih bisa dikatakan berdaya saing).
30
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 30
6/22/2010 6:21:31 PM
Penetapan Klasifikasi Sektor Industri Manufaktur
Tabel 2.6 Sektor Industri yang Tetap Memiliki Keunggulan Komparatif
Sumber: Comtrade, 2007, diolah, dalam Sambodo (2007)
31
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 31
6/22/2010 6:21:31 PM
Purwanto
Kekuatan daya saing yang diindikasikan dengan RCA lebih dari 1 menunjukkan bahwa komoditas tersebut menunjukkan kekuatannya di pasar dunia dengan relative tingginya tingkat permintaan dunia atas produk tersebut. Jika diperhatikan dari table diatas komoditas pulp and kertas bekas (SITC 25) mengalami peningkatan daya saing tertinggi sedangkan untuk komoditas TPT masih menunjukkan daya saing yang baik (SITC 26, 65, dan 84).
2.4 Kriteria Pemilihan Sektor Industri: Serapan Tenaga Kerja dan Konsumsi Energi Tingkat pertumbuhan kesempatan kerja di tiap industri relatif terhadap serapan industri secara keseluruhan. Dalam hal ini dipilih industri yang memiliki tingkat serapan yang cenderung meningkat ataupun relatif tinggi dilihat dari proporsinya terhadap total serapan tenaga kerja total di sektor industri manufaktur tahun 1998 dan 2005. Dengan membandingkan perubahan serapan tenaga kerja antara kedua tahun tersebut maka dapat diketahui industri-industri yang mengalami peningkatan dan penurunan serapan tenaga kerja. Tabel 2.7 Jumlah, Pertumbuhan, dan Kontribusi Tenaga Kerja pada Industri Manufaktur 1998 dan 2005
32
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 32
6/22/2010 6:21:31 PM
Penetapan Klasifikasi Sektor Industri Manufaktur
33
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 33
6/22/2010 6:21:31 PM
Purwanto
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah, dalam Sambodo (2007, untuk data tahun 1998)
Dapat dilihat dari tabel diatas, antara tahun 1998 hingga 2005 jumlah tenaga kerja total rata-rata pertahun hanya mengalami peningkatan sebesar 2,66 persen. Peningkatan jumlah tenaga kerja ini dapat dikatakan sangat kecil mengingat rentang waktu yang cukup panjang dari tahun 1998 ke tahun 2005. Namun kondisi ini juga dapat dimaklumi apabila mengingat terjadinya krisis ekonomi yang cukup berpengaruh pada kemampuan penyerapan tenaga kerja di sektor industri manufaktur ini. Pada sisi lain juga dapat dikatakan antara tahun 1998 hingga 2005 atau selama kurang lebih 7 tahun serapan tenaga kerja sektor industri hanya mengalami peningkatan sebesar 109.750 orang. Penurunan kesempatan kerja terbesar terjadi pada industri pengolahan bahan nuklir sebesar -90,61 persen (ISIC 233). Sementara untuk industri TPT juga mengalami penurunan serapan tenaga kerja yang cukup signifikan yaitu pada industri barang jadi tekstil dan permadani (ISIC 172), perajutan (ISIC 173), dan serat buatan (ISIC 243) dengan rata-rata mengalami penurunan serapan tenaga kerja sebesar 45,78 persen dengan hanya terjadi kenaikan serapan tenaga kerja pada 34
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 34
6/22/2010 6:21:32 PM
Penetapan Klasifikasi Sektor Industri Manufaktur
industri pemintalan, pertenunan dan pengolahan akhir tekstil (ISIC 171). Kenaikan serapan tenaga kerja yang sangat drastis terjadi pada industri mesin, peralatan kantor dan industri peralatan listrik (ISIC 300 dan 319) yang mencapai 5 kali lipat pada tahun 1998 dan 2005. Tabel 2.8 Penyerapan Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Sektor Industri Pengolahan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007.
Berdasarkan data tabel diatas diketahui bahwa kemampuan penyerapan tenaga kerja pada sektor industri Makanan dan Minuman (ISIC 15), tekstil dan pakaian jadi (ISIC 17,18) merupakan industri dengan tingkat penyerapan tenaga kerja tinggi. Nilai tambah produk yang dihasilkan oleh indutri makanan dan minuman serta kendaraan bermotor (ISIC 34) merupakan yang tertinggi. Industri tekstil juga menempatkan industrinya sebagai kategori industri moderat dalam kemampuan menghasilkan nilai tambah. Hal ini menggambarkan bahwa meskipun kemampuan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di sektor industri TPT mengalami penurunan tetapi masih tetap termasuk dalam golongan industri pengolahan yang penting karena mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang terbesar diantara sektor industri lainnya. Penurunan kemampuan penyerapan tenaga kerja yang dialami banyak sektor industri manufaktur yang berbasis padat tenaga kerja seperti industri TPT tentu suatu hal yang cukup mengkhawatirkan. Hal ini terutama dikaitkan dengan tingkat pengangguran yang masih cukup tinggi di Indonesia. Kian menurunnya angka penciptaan lapangan pekerjaan pada di sektor industri yang memiliki daya saing cukup baik
35
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 35
6/22/2010 6:21:32 PM
Purwanto
seperti industri TPT ini menandakan adanya kecenderungan penurunan kapasitas produksi pada industri berbasis padat karya. Penurunan kapasitas produksi bisa disebabkan adanya penurunan permintaan karena melemahnya pasar maupun ketidakmampuan bersaing di pasar. Selain itu bisa juga disebabkan karena adanya permasalahan dalam kemampuan pengadaan faktor produksi karena adanya peningkatan biaya produksi pada jenis bahan baku atau faktor produksi lainnya. Hal inilah yang menarik untuk didalami dan dianalisis lebih lanjut sebagai upaya mengidentifikasi permasalahan dan juga mencari upaya untuk memperbaiki kinerja sektor industri tersebut.
2.5 Kriteria Pemilihan Sektor Industri: Konsumsi Energi Langkah lanjutan yang dilakukan setelah diketahuinya orientasi pasar, tingkat daya adalah dengan mengetahui besaran konsumsi energi pada masing-masing industri sebagaimana dapat terlihat pada tabel dibawah ini. Tabel 2.9 Konsumsi Listrik dari PLN, Solar, BBM dan Oli Sektor Industri tahun 2005
36
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 36
6/22/2010 6:21:32 PM
Penetapan Klasifikasi Sektor Industri Manufaktur
37
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 37
6/22/2010 6:21:33 PM
Purwanto
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007, diolah.
Data tabel diatas menunjukkan besarnya serapan energi yang dilakukan oleh setiap sektor industri yang diindikasikan dari serapan listrik yang dibeli dari PLN, konsumsi minyak bakar (solar), dan total BBM dan minyak oli yang dikonsumsi oleh sektor industri pengolahan. Hasil perhitungan proporsi pengeluaran atau konsumsi energi di sektor industri pengolahan menunjukkan bahwa industri pemintalan, pertenunan, pengolahan akhir tekstil (ISIC 171) merupakan satu-satunya industri yang mengonsumsi masing-masing jenis energi tersebut sebesar lebih dari 10 persen dari total konsumsi di sektor industri. Industri logam dasar dan besi baja (ISIC 271) merupakan salah satu konsumen listrik terbesar dengan proporsi mencapai 12,57 persen dari total konsumsi listrik dari PLN untuk sektor industri pengolahan. Industri pengolahan bahan makanan (ISIC 151) merupakan konsumen bahan bakar solar terbesar kedua dengan proporsi mencapai 11,93 persen dan industri kertas, dan barang dari kertas (ISIC 210) merupakan konsumen BBM dan olie terbesar kedua dengan proporsi konsumsi mencapai 11,55 persen dari total konsumsi industri manufaktur nasional.
38
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 38
6/22/2010 6:21:33 PM
Penetapan Klasifikasi Sektor Industri Manufaktur
Tabel 2.10 Konsumsi BBM dan Listrik pada Sektor Industri Pengolahan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007.
Berdasarkan data ISIC industri pengolahan 2 digit untuk konsumsi BBM dan listrik juga menunjukkan kecenderungan yang sama dengan kode industri 3 digit. Dari tabel di atas diketahui bahwa industri tekstil (ISIC 17) termasuk dalam golongan industri dengan konsumsi BBM tinggi dan konsumsi listrik dalam golongan moderat. Tidak ada sektor industri pengolahan lainnya yang memiliki besaran konsumsi BBM dan listrik yang lebih tinggi dari industri tekstil tersebut. Oleh karenanya kriteria terakhir yaitu kemampuan ataupun ketergantungan yang tinggi terhadap kebutuhan energi menjadi kriteria utama terkait dengan fokus kajian dari penelitian ini yang menganalisis kebijakan energi nasional.
2.6 Kesimpulan Kriteria yang menjadi basis dalam pemilihan industri yaitu pada industri dengan orientasi ekspor yang dominan, berdaya saing tetapi mengalami penurunan kemampuan penyerapan kesempatan kerja dan mengkonsumsi energi dalam proporsi yang besar. Kriteria ini didasarkan atas pertimbangan bahwa masih pentingnya peranan industri yang berorientasi ekspor, berdaya saing tinggi, menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar untuk menjaga keseimbangan neraca perdagangan luar negeri Indonesia dan kemampuan penyerapan tenaga kerja.
39
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 39
6/22/2010 6:21:33 PM
Purwanto
Dari hasil analisis ini telah dapat diambil suatu pertimbangan akhir tentang penetapan industri TPT sebagai fokus kajian yang akan didalami dalam penelitian ini. Penetapan fokus kajian pada industri TPT ini tentunya tidaklah mudah terutama untuk menghindari kemungkinan terjadi pembiasan dari tujuan penelitian yang ingin mendapatkan gambaran yang lebih luas dari kebijakan energi terhadap sektor industri. Akan tetapi sebagai ihktiar, tentunya hasil kajian dari penelitian ini bukanlah dimaksudkan sebagai strategi picking the winner and leaving the looser, tetapi lebih didasarkan atas pertimbangan untuk mengarahkan studi ini agar lebih fokus ditengah keterbatasan sumber daya yang ada. Tiga kriteria telah digunakan dalam memilih kelompok industri yaitu serapan energi, serapan tenaga kerja dan daya saing serta orientasi pasar industri. Kemampuan ataupun tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap kebutuhan energi menjadi kriteria utama terkait dengan fokus kajian dari penelitian ini yang menganalisis kebijakan energi nasional sehingga kemudian menetapkan industri TPT sebagai pilihan industri yang dikaji dalam penelitian ini.
40
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 40
6/22/2010 6:21:33 PM
Penetapan Klasifikasi Sektor Industri Manufaktur
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik, 2009. Statistik Indonesia, BPS, Jakarta Badan Pusat Statistik, 2007. Statistik Industri Besar dan Sedang 2005, Volume 1, BPS, Jakarta. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2008. Handbook of Energy & Economics Statistic of Indonesia, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2008. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2008 s.d. 2027, DESDM, Jakarta. Sambodo, M.T., (ed.), 2007. Mengurai Benang Kusut Daya Saing Perekonomian Indonesia, Pusat Penelitian Ekonomi, LIPI, Jakarta.
41
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 41
6/22/2010 6:21:33 PM
Purwanto
42
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 42
6/22/2010 6:21:33 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
BAB 3 KEBIJAKAN SEKTOR KELISTRIKAN Maxensius Tri Sambodo
3.1 Latar Belakang Energi listrik merupakan salah satu pilar dalam pembangunan ekonomi. Ketersediaan infrastruktur listrik merupakan salah satu determinan kunci di dalam membangun daya saing ekonomi nasional. Namun demikian, saat ini Indonesia tengah mengalami defisit listrik. Pertumbuhan permintaan energi listrik yang cepat dan tidak diimbangi oleh peningkatan pasokan listrik menyebabkan Indonesia saat ini tengah menghadapi masalah defisit listrik. Surplus listrik yang telah dicapai kian berkurang, bahkan di tahun 2008, Indonesia sudah mengalami defisit listrik yang mencapai 16 ribu GWh (lihat Gambar 3.1). 150,000 100,000 50,000 0 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 -50,000 Produksi
Konsumsi
Defisit
Gambar 3.1 Produksi, Konsumsi dan Defisit Listrik di Indonesia (dalam GWh per tahun) Sumber: http://dtwh2.esdm.go.id/dw2007/index.php?mode=7 [Access 25 Maret 2009]
43
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 43
6/22/2010 6:21:33 PM
Maxensius Tri Sambodo
Dalam upaya mengatasi defisit listrik pemerintah telah menempuh dua sisi kebijakan, yaitu demand side management dan supply side policy. Dari sisi pengelolaan permintaan) (demand side management pemerintah telah berupaya untuk menekan konsumsi listrik, terutama pada saat beban puncak antara pukul 17.00 hingga 22.00 malam. Paling tidak ada tiga hal yang telah dilakukan oleh pemerintah. Pertama, dalam rentang waktu tersebut, PLN menerapkan tariff daya maksimum yang besarnya dua kali lebih mahal dibandingkan dengan tarif normal. Bagi sektor industri manufaktur, kebijakan ini tentu menambah sisi biaya produksi. Pada sisi lain kebijakan ini juga membuat dunia usaha melakukan penghematan pada waktu tersebut. Kedua, kebijakan lain yang juga telah dijalankan pemerintah dengan keluarnya SKB 5 Menteri. Kebijakan ini bertujuan untuk mengalihkan waktu kerja sektor industri ke hari Sabtu dan Minggu, sehingga dapat dilakukan pengalihan beban listrik sepanjang hari Senin hingga Jumat. Ketiga, untuk sektor bisnis dan komersial, pada saat beban puncak dianjurkan menggunakan genset selama dua hari dalam seminggu. Sementara itu dari sisi pasokan (supply side), upaya meningkatan pasokan listrik menjadi agenda utama yang perlu segera diselesaikan. Saat ini pemerintah tengah menjalankan proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 megawatt (MW) tahap I yang telah dimulai sejak 2006 sesuai dengan amanat Peraturan Presiden No 71 Tahun 2006 tentang Penugasan Kepada PLN (Persero) untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik yang Menggunakan Batubara. Proyek percepatan akan segera dilanjutkan dengan tahap II dengan kapasitas yang sama.
44
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 44
6/22/2010 6:21:34 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
Mengingat pentingya upaya membangun ketahanan energi nasional, khususnya dari sisi pasokan energi listrik dan korelasi yang kuat antara pasokan listrik dengan peningkatan daya saing industri nasional, maka kebijakan sektor kelistrikan dan dampaknya terhadap sektor industri mendesak untuk dikaji. Sistematika penulisan dalam bab ini akan dibagi dalam delapan bagian, yaitu: (i) latar belakang; (ii) analisis kondisi permintaan; (iii) analisis kondisi pasokan;; (iv) analisis komparatif sisi permintaan dan penawaran sektor kelistrikan di Malaysia. Dipilihnya negara Malaysia dengan pertimbangan yaitu data yang tersedia relatif mudah untuk diakses; (v) analisis kebijakan harga sektor kelistrikan; (vi) analisis kebijakan sektor ketenagalistrikan yang saat ini berjalan, yang terutama dikaitan dengan upaya pemenuhan pasokan listrik nasional yang tengah menghadapi ancaman defisit, (vii) potret ketenagalistrikan dengan mengambil pengalaman dari propinsi Jawa Barat serta (viii) kesimpulan dan rekomendasi kebijakan.
3.2 Analisis Sisi Permintaan Secara umum kategori pengguna listrik PT. PLN dibagi dalam delapan kategori (lihat Tabel 3.1). Pengkatagorian konsumen PLN didasarkan atas tujuan penggunaan dan dalam hal penggunaan dibagi kembali sesuai dengan tingkat kebutuhan daya listrik yang dibutuhkan. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa kategori tarif multiguna memberikan pelayanan khusus berupa pasokan listrik yang tidak boleh terputus. Demikian pula pola curah transaksi pembelian listrik dapat terjadi antara konsumen akhir dengan pihak ketiga tanpa harus melalui PT. PLN.
45
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 45
6/22/2010 6:21:34 PM
Maxensius Tri Sambodo
Tabel 3.1 Kategori Pelanggan PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN)
46
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 46
6/22/2010 6:21:34 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
Sumber: http://www.pln.co.id/BUKU_PLN/IND/menu.htm# [Akses 29 April 2009]
Konsumsi listrik di Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan yang tinggi. Rata-rata laju pertumbuhan tahunan mencapai sekitar 6,3% antara tahun 2000-2007 (lihat Tabel 3.2). Hal yang cukup mengejutkan dalam rentang waktu tersebut adalah bahwa penjualan listrik yang berarti juga konsumsi listrik di sektor industri menunjukkan pertumbuhan yang paling kecil dibandingkan dengan sektor lainnya. Bahkan pada 2006, konsumsi listrik di sektor rumah tangga sudah lebih besar dibandingkan dengan sektor industri. Hal ini untuk pertama kali terjadi selama enam tahun terakhir. Perlambatan konsumsi listrik sektor industri dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu: terjadinya perlambatan pertumbuhan output dan ekspor sektor industri manufaktur, adanya pengalihan pada sumber energi lain selain energi listrik PT. PLN seperti penggunaan batubara, adanya peningkatan efisiensi ataupun upgrading mesin, dan penurunan penggunaan utilititas (lampu, peralatan, dll). Pada sisi lain pelemahan ekonomi dunia sebagai dampak dari krisis keuangan global juga akan memperlambat pertumbuhan output sektor industri yang akan berdampak pada turunnya konsumsi energi. Pada sisi lain, naiknya konsumsi listrik sektor rumah tangga dapat dipahami karena berbagai faktor. Pertama, bertambahnya pemukiman baru yang menuntut pasokan listrik, masih terjadinya pemborosan dalam hal konsumsi listrik, konsumsi listrik di sektor rumah tangga juga dipergunkan untuk mendukung usaha rumah tangga/industri 47
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 47
6/22/2010 6:21:34 PM
Maxensius Tri Sambodo
rumahan, dan masih rendahnya rasio elektrifikasi yang pada 2008 baru mencapai sekitar 66%. Hal ini berarti bahwa sekitar 34% rumah tangga di Indonesia belum dapat menikmati aliran listrik, sehingga mendorong PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk memacu pasokan listrik bagi rumah tangga (ESDM, 2008). Demikian juga pemerintah telah menargetkan pada hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-75 yaitu pada 2020, rasio elektrifikasi akan mencapai 100%. Hal ini sekaligus menandakan bahwa konsumsi listrik sektor rumah tangga akan terus meningkat untuk waktu mendatang. Tabel 3.2 Penjualan Listrik Menurut Sektor Pengguna (GWh)
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia 2007
Hal penting untuk diperhatikan adalah bagaimana gambaran lebih rinci akan konsumsi energi listrik menurut kategori PLN (lihat Tabel 3.3). Dalam kelompok rumah tangga konsumsi listrik lebih banyak
48
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 48
6/22/2010 6:21:34 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
didominasi oleh rumah tangga dengan daya 450 watt hingga 900 watt, yang umumnya merupakan rumah tangga kelompok berpendapatan menengah ke bawah. Selanjutnya untuk kelompok industri lebih banyak dikonsumsi untuk golongan I.3 dan I.4. Kategori bisnis terserap lebih banyak untuk kategori daya 2.200 watt ke atas dan sektor bisnis mengalami pertumbuhan paling tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya antara tahun 2006-07. Dengan demikian ketiga kategori tersebut menyumbangkan sektitar 75,5% atas keseluruhan penjualan PT. PLN atau dalam konteks yang lebih spesifik, sekitar 35% penjualan listrik PLN berasal dari jenis industri dengan daya listrik diatas 200 kVA (I.3 + I.4). Sementara itu, terkait dengan penjuangan listrik dengan kategori multiguna, jumlahnya relatif kecil, yaitu di bawah 1% dan laju pertumbuhannya juga relatif paling lambat. Membandingkan tingkat penjualan listrik dengan pendapatan PT. PLN menurut kategori pengguna dapat disimpulkan bahwa sektor industri manufaktur menjadi penyumbang terbesar pendapatan PT. PLN, disusul oleh sektor bisnis dan rumah tangga dengan daya 900 VA. Ketiga kategori tersebut menyumbangkan sekitar 65% dari total pendapatan PT. PLN. Dengan memperhatikan besarnya pendapatan dari sektor industri manufaktur dan dengan penjualan untuk sektor rumah tangga menempati urutan tertinggi, dapat disimpulkan bahwa PT. PLN menerapkan kebijakan tarif penggunaan yang tidak sama. PT. PLN juga berkepentingan untuk menjaga agar konsumsi listrik di sektor industri manufaktur tidak mengalami penurunan. Dari Tabel 2.3 dan 2.4 diketahui bahwa porsi penjualan listrik ke sektor industri manufaktur menunjukkan trend menurun, dan juga dengan porsi pendapatan dari sektor tersebut. Kedua hal ini mengindikasikan ada perlambatan pertumbuhan konsumsi listrik di sektor industri manufaktur.
49
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 49
6/22/2010 6:21:35 PM
Maxensius Tri Sambodo
Tabel 3.3 Penjualan Listrik PT. PLN
Sumber: http://www.pln.co.id/Home/PSO2006/tabid/356/Default.aspx dan http://www.pln.co.id/Home/PSO2007/tabid/355/Default.aspx [Akses 29 April 2009]
50
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 50
6/22/2010 6:21:35 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
Tabel 3.4 Pendapatan PT. PLN Menurut Kategori Pengguna Listrik
Sumber: http://www.pln.co.id/Home/PSO2006/tabid/356/Default.aspx dan http://www.pln.co.id/Home/PSO2007/tabid/355/Default.aspx [Akses 29 April 2009]
Data PT. PLN menunjukkan bahwa sekitar 80% listrik nasional terjual di wilayah Jawa – Bali dan sisanya di luar Jawa - Bali. Demikian pula, lebih dari 50% total penjualan listrik PT. PLN berasal dari daerah distribusi Jawa Barat, DKI Jaya dan Tanggerang. Tingginya penjualan listrik di wilayah Jawa-Bali mengindikasikan aktivitas ekonomi masih berpusat di pulau Jawa dan Bali. Di samping itu, rasio elektrifikasi di
51
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 51
6/22/2010 6:21:35 PM
Maxensius Tri Sambodo
wilayah Jawa – Bali mencapai 66% di tahun 2007, sedangkan wilayah lain berada jauh di bawah Jawa – Bali, termasuk Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah Indonesia timur lainnya masing-masing 56,8%, 54,5%, 53,6% dan 30,6%. Akses sumber listrik yang timpang antar wilayah tentu saja perlu segera diatasi sebab keberadaan infrastruktur listrik akan sangat menentukan kemajuan suatu daerah. Pengelolaan sisi permintaan (demand side management) akan selalu menjadi instrument paling efektif untuk mengatasi krisis listrik dalam jangka pendek. Keluarnya peraturan bersama pada tanggal 14 Juli 2008, dari Menteri Perindustian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri dan Meneri Negara Badan Usaha Milik Negara tentang pengoptimalan beban listrik melalui pengalihan waktu kerja pada sektor industri manufaktur di Jawa Bali dipilih untuk menghindari terjadinya pemadaman yang tidak terjadwal pada hari Senin hingga Jumat. Melalui surat keputusan bersama dari lima menteri ini, maka setiap perusahaan industri setiap bulannya wajib mengalihkan satu sampai dua hari waktu kerja pada hari Senin hingga Jumat ke hari Sabtu dan Minggu. Namun demikian, kebijakan tersebut tidak berlaku bagi perusahaan industri yang beroperasi penuh selama 24 jam selama tujuh hari dalam satu minggu. Bagi perusahaan yang tidak melakukan ketentuan ini, pihak PLN berhak untuk melakukan pemutusan aliran listrik sementara. Adam (2008) mengemukakan bahwa dari kaca mata pengusaha, SKB 5 Menteri yang mencoba mengalihkan beban kerja ke hari Sabtu dan Minggu sebagai suatu strategi untuk mensiasati kekurangan pasokan listrik dan juga merupakan keputusan hukum yang tidak logis dengan tiga alasan. Pertama, pengusaha harus mengatur/mengkompromikan kembali waktu bekerja dengan karyawan yang sebelumnya telah diatur dalam perjanjian kerja. Kedua, pengusaha harus merencanakan kembali tingkat produksi untuk menghindari terjadinya penundaan pengiriman barang (time delivery). Ketiga, perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan baik untuk membeli BBM dan batubara. 52
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 52
6/22/2010 6:21:35 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
3.3 Analisis Sisi Penawaran Merujuk pada UU No 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dan PP No 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, maka tataran kebijakan makro dan regulasi dipegang oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Dalam hal kuasa usaha ketenagalistrikan (PKUK) diselenggarakan oleh BUMN, yaitu PLN yang memegang kuasa dalam hal pembangkitan, transmisi dan distribusi. Sebagaimana diketahui PLN dengan skema IPP (independent power producer), dapat bekerja sama dengan pihak swasta untuk melakukan pembangkitan dan jaringan transmisi ke seluruh Indonesia. Keterlibatan swasta dalam hal ini telah dimulai sejak tahun 1994 dengan disepakatinya power purchase agreement antara lain untuk PLTP Salak, PLTU Paiton, PLTGU Cikarang, dll (http://www.pln.co.id/ippweb/ akses 17 April 2009) Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.5, total produksi listrik Indonesia terbagi dalam dua komponen, yaitu produksi PT. PLN dan captive power, yaitu daya listrik yang dibangun oleh sektor swasta, umumnya industri untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka sendiri dan IPP. Produksi captive power dan IPP menunjukkan pertumbuhan yang pesat dibandingkan dengan produksi PLN. Hal ini secara nyata terlihat dari porsi captive power dan IPP terhadap total produksi listrik yang terus meningkat dari 10% pada 2000 menjadi sekitar 22% pada ahir 2007. Melihat pada laju pertumbuhan produksi listrik dan konsumsi listrik dapat disimpulkan bahwa antara tahun 2000-07, laju pertumbuhan penjualan hampir sama dengan laju pertumbuhan produksi. Demikian juga dalam jumlah GWh yang di hasilkan dan dijual terlihat, masih jauh lebih tinggi jumlah yang dihasilkan (belum memperhitungkan efek susut jaringan).
53
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 53
6/22/2010 6:21:35 PM
Maxensius Tri Sambodo
Tabel 3.5 Produksi Listrik (GWh)
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistic Indonesia 2007
Jika diperhatikan lebih dari 60% kapasitas terpasang pembangkit listrik PLN merupakan pembangkit tenaga uap dan kombinasi gas & uap. Pembangkitan energi listrik dari kedua sumber tersebut membutuhkan bahan bakar baik minyak, batubara dan gas sebagai sumber energi primer (lihat Tabel 2.6). Pertumbuhan pembangkit listrik tenaga gas menunjukkan angka tertinggi, yaitu hampir mencapai 13%. Peranan pembangkit energi listrik dari sumber energi baru dan terbarukan, yaitu air dan panas bumi relatif tidak banyak berubah dalam rentang waktu 2000 – 2007. Hal yang perlu menjadi titik perhatian yaitu pertumbuhan kapasitas terpasang pembangkit PLN yang relatif rendah, yaitu baru sekitar 2,8% per tahun. Kondisi ini tentu akan menjadi masalah besar ditengah pertumbuhan konsumsi listrik yang semakin meningkat. Lambatnya pertumbuhan kapasitas terpasang pembangkit akan menyebabkan ancaman defisit listrik yang semakin besar di kemudian hari.
54
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 54
6/22/2010 6:21:35 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
Tabel 3.6 Kapasitas Terpasang Pembangkit Listrik PLN (MW)
Catatan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2007
Hal yang penting dicermati adalah terjadinya pergeseran dalam konsumsi bahan bakar untuk konsumsi PLN (Tabel 2.7). Dalam hal konsumsi bahan bakar minyak (BBM), tampak sekali terjadi substitusi pengurangan IDO dan peningkatan FO dan HSD. Bahkan konsumsi HSD menunjukkan peningkatan yang paling tinggi. Demikian pula, konsumsi batubara menunjukkan peningkatan yang sangat berarti, sedangkan konsumsi gas alam justru menunjukkan penurunan. Namun demikian, porsi IDO terhadap konsumsi bahan bakar pembangkit PLN sebetulnya relatif kecil (lihat Tabel 3.8). Dengan demikian, penurunan konsumsi IDO yang besar sebetulnya tidak akan memberikan dampak yang signifikan bagi pembangkitan listrik PLN. Dari informasi ini dapat disimpulkan bahwa peningkatan kapasitas pembangkit PLN lebih banyak ditopang oleh peningkatan konsumsi FO, HSD dan batubara, sedangkakan peranan HSD dan gas alam justru menurun.
55
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 55
6/22/2010 6:21:36 PM
Maxensius Tri Sambodo
Tabel 3.7 Konsumsi Bahan Bakar untuk Pembangkit PLN
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2007 Catatan: IDO = Industrial Diesel Oil (IDO/Minyak Diesel) FO = Fuel Oil (Minyak yang dibuat dari hasil penyulingan residu) HSD = high – speed distillate (diesel fuel)
Tabel 3.8 Proporsi Konsumsi Bahan Bakar Pembangkit PLN (%)
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia 2007
Masing-masing pembangkit memiliki kebutuhan energi primer (bahan bakar) yang berbeda. Sebagaimana dapat dilihat dari tabel 3.9, karakteristik bahan bakar yang digunakan akan menentukan 56
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 56
6/22/2010 6:21:36 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
biaya variabel. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pembangkit dengan menggunakan bahan bakar batubara memiliki biaya variabel yang paling rendah dibandingkan dengan jenis bahan bakar lainnya. Pembangkit turbin gas dengan bahan bakar HSD memiliki biaya variabel yang paling tinggi. Melihat kenyataan bahwa PLN memiliki paling tidak tujuh jenis pembangkit dengan biaya variabel yang berbeda, maka kenaikan harga salah satu input bahan bakar akan berdampak pada total biaya per unit dari energi listrik yang dihasilkan. Proporsi konsumsi batubara yang semakin besar dalam hal sumber energi pembangkit PLN memberikan indikasi bahwa PLN berusaha untuk menekan biaya produksi listrik. Pada sisi lain dengan melihat turunnya proporsi gas alam dan naiknya proposi HSD dalam hal konsumsi bahan bakar, sebetulnya dengan melihat biaya variabel yang jauh lebih murah untuk jenis pembangkit gas, seharusnya peranan gas semakin besar dalam struktur pembangkitan PLN dibandingkan dengan penggunaan HSD. Tabel 3.9 Indikasi Biaya Variabel (Variable Cost) untuk Berbagai Jenis Pembangkit Listrik di Jawa Tahun 2008
Catatan: a kWh = kilowatt hours b MFO = marine fuel oil c HSD = high – speed distillate (diesel fuel) Sumber: PLN (2008)
Sebagai perusahaan listrik negara yang memegang hak monopoli di bidang usaha kelistrikan, kinerja PLN selalu mendapat sorotan. Inefisiesi yang terjadi di tubuh PLN akan berdampak besar tidak hanya 57
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 57
6/22/2010 6:21:36 PM
Maxensius Tri Sambodo
terhadap keuangan negara, namun juga terhadap proses pembentukan daya saing ekonomi nasional. Sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 3.10, paling tidak ada lima indikator yang mencerminkan kinerja PLN. Dalam hal rata-rata efisiensi pemanasan terjadi trend penurunan. Hal ini merupakan indikasi yang baik. Demikian juga telah terjadi kenaikan dalam hal faktor kapasitas dan turunnya faktor beban. Dari sisi beban puncak nampaknya kenaikan hal ini menandakan semakin tingginya permintaan listrik di saat beban puncak. Kondisi ini juga tidak terlepas dari tingginya permintaan listrik dari sektor rumah tangga. Dalam hal susut transmisi dan distribusi juga menunjukkan trend yang terus menurun. Kelima indikator kinerja PLN secara garis besar memperlihatkan adanya perbaikan kinerja PLN. Namun demikian apakah perbaikan kinerja ini sudah sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat atau apakah kinerja PLN telah mampu menyamai kinerja perusahaan sejenis lainnya di negara lain seperti Malaysia? Kedua pertanyaan tersebut akan dijawab pada bagian selanjutnya. Tabel 3.10 Kinerja Listrik PLN
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia 2007
3.4 Pengalaman Malaysia Sisi Permintaan Kajian pada bagian ini dimasudkan untuk memahami kondisi ketenagalistrikan di Malaysia. Pengalaman dari Malaysia akan menjadi studi komparatif yang berharga bagi sektor kelistrikan Indonesia. Secara
58
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 58
6/22/2010 6:21:36 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
umum sektor kelistrikan Malaysia terbagi dalam empat wilayah, yaitu: (1) Tenaga Nasional Berhad (TNB) di Peninsular Malaysia; (2) Sabah Electricity Sdn Bhd (SESB) di negara bagian Sabah; Syarikat SESCO Berhad (SESCO) di Serawak; dan (4) Mini-Utility Nur Distribution Sdn Bhd di Kulim Hi-Tech park, Kedah. Dengan membandingkan sisi permintaan energi listrik antara Indonesia dan Malaysia maka dapat ditarik perbedaan dan persamaan. Dalam hal perbedaan, secara nyata terlihat bahwa dalam kasus Indonesia, konsumsi listrik tertinggi berada di sektor rumah tangga, namun dengan selisih yang relatif kecil dibandingkan dengan sektor industri. Pada sisi lain, di Malaysia sektor industri manufaktur masih menjadi konsumen terbesar disusul oleh sektor komersial dan rumah tangga (lihat Tabel 3.11). Hal ini mengindikasikan bahwa taraf pembangunan ekonomi yang berbeda antara Indonesia dan Malaysia. Dalam hal ini peranan sektor industri dan komersial dalam perekonomian Malaysia jauh lebih besar dibandingkan dengan di Indonesia. Di samping itu, dalam penjualan energi terlihat bahwa untuk penjualan pada 2006 posisi Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia, yaitu masing-masing 121.246,83 GWh dan 84.576,97 atau dalam hal penjualan posisi Indonesia 33% jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan dalam hal jumlah pelanggan dan cakupan wilayah Indonesia yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Malaysia. Dalam hal persamaan, ada lima hal dapat disimpulkan. Pertama, telah terjadi penurunan dalam hal kontribusi sektor industri dalam hal mengkonsumsi listrik. Kedua, konsumsi listrik di sektor rumah tangga relatif konstan. Ketiga, kedua negara sama-sama memperlihatkan laju pertumbuhan konsumsi listrik yang relatif sama. Keempat, telah terjadi kenaikan yang cepat dalam hal konsumsi listrik di sektor komersial dan terakhir sektor industri mengalami pertumbuhan yang paling kecil.
59
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 59
6/22/2010 6:21:36 PM
Maxensius Tri Sambodo
Tabel 3.11 Total Penjualan Energi Listrik di Malaysia Menurut Sektor Pengguna (GWh)
Catatan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap total Sumber: Statistic of Interim on the Performance of the Electricity Supply in Malaysia (For the first half of 2007)
Sisi Penawaran Analisis sisi penawaran ketenagalistrikan Malaysia dimulai dengan melihat bauran energi primer yang dibutuhkan untuk pembangkitan. Sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3.12, dalam rentang waktu 2000 – 2006, telah terjadi suatu transisi yang cepat dalam hal baruan energi primer tenaga listrik. Paling tidak ada empat catatan penting yang dapat disimpulkan. Pertama, telah terjadi penurunan peranan minyak sebagai sumber energi pembangkit listrik. Kedua, meningkatkanya pembangkit tenaga gas. Di tahun 2006, peranan gas sudah mencapai 77% terhadap total bauran energi primer. Ketiga, telah terjadi peningkatan peranan batubara terutama antara 2000 dan 2005, namun sejak 2005, pembangkit pemerintah sudah tidak menggunakan batubara karena TNB Janamanjung dan KEV berubah status menjadi IPP. Data juga menunjukkan bahwa peranan pemerintah (TNB, SESB, dan SESCO) dalam hal produksi energi listrik kian menunjukkan penurunan, yaitu dari sebesar 37.823 GWh pada 2000 menjadi 30.723 pada tahun 2006. 60
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 60
6/22/2010 6:21:36 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
Pada sisi lain total tenaga listrik yang dapat dibangkitkan di tahun 2006 mencapai 103.994 GWh. Hal ini bearti peranan IPP semakin besar dalam hal produksi tenaga listrik di Malaysia dibandingkan dengan peran pemerintah (BUMN) itu sendiri. Tabel 3.12 Bauran Energi Pembangkit Milik Pemerintah Malaysia (GWh)
Sumber: Statistic of Interim on the Performance of the Electricity Supply in Malaysia (2006)
Efisiensi termal Atas dasar informasi yang disampaikan oleh Suruhanjaya Tenaga (Komisi Energi Malaysia) (2006) diketahui efisiensi pemanasan rata-rata untuk IPP (Independent Power Producer) tahun 2006, yaitu 26,6% untuk open cycle dan 46,3% untuk combined cycle. Sedangkan untuk Tenaga Nasional Berhad (TNB) rata-rata efisiensi pemanasan adalah 30,9% untuk pembangkit listrik yang menggunakan BBM dan 34,8% untuk pembangkit listrik menggunkan batubara. Laporan Suruhanjaya Tenaga juga menyebutkan bahwa efisiensi pemanasan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu teknologi pembangkitan, operasi dan kondisi/ letak pembangkit, jenis dan kualitas bahan bakar, serta degradasi. Kualitas Listrik Salah satu cara untuk melihat sejauh mana tingkat kepuasan konsumen atas jasa layanan listrik, yaitu dengan memperhatikan perkembangan delik pengaduan. Komisi energi Malaysia melaporkan
61
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 61
6/22/2010 6:21:37 PM
Maxensius Tri Sambodo
keluhan konsumen dan menyampaikannya secara transparan dan dapat diakses secara terbuka. Sayang, hal yang sama belum dilakukan secara baik di Indonesia. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.13, terdapat kecenderungan jumlah keluhan masyarakat dan keluhan yang paling banyak diterima terkait dengan tagihan listrik, tarif, dan penerangan jalan. Terkait dengan kualitas pasokan, permasalahan yang banyak dikeluhkan, yaitu tegangan berlebih dan dari sisi kualitas daya relatif tidak banyak keluhan. Tabel 3.13 Jumlah dan Jenis Keluhan yang Diterima oleh Komisi Energi Malaysia di tahun 2003-2006
Sumber: Statistic of Interim on the Performance of the Electricity Supply in Malaysia (2006)
62
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 62
6/22/2010 6:21:37 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
3.5 Kebijakan Harga Listrik Kebijakan tarif listrik PLN atau biasa juga disebut sebagai Tarif Dasar Listrik (TDL) yang berlaku saat ini ditetapkan oleh Keputusan Presiden No 89 Tahun 2002 yang ditetapkan pada tanggal 31 Desember 2002 dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2003. Sehingga TDL yang berlaku saat ini disebut juga sebagai TDL 2003. Dengan demikian, sudah lebih dari lima tahun tarif TDL ini tidak mengalami perubahan. Selanjutnya dalam hal biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik PLN ditentukan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui peraturan menteri. Saat ini BPP mengikuti Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 269-12/26/600.3/2008 yang ditetapkan pada tanggal 9 Juni 2008. KOTAK 1 HARGA LISTRIK Harga listrik ditentukan oleh beberapa komponen. Berikut ini adalah rumusan yang digunakan: Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik + Margin (%) = Pendapatan Penjualan Listrik + PSO Dalam hal BPP Listrik adalah biaya pengusahaan listrik, yang termasuk didalamnya komponen : • Biaya Bahan Bakar • Biaya Pembelian Listrik (IPP) • Biaya Kepegawaian dan Administrasi • Biaya Material & Jasa Pemeliharaan fasilitas kelistrikan • Biaya Penyusutan • Biaya Bunga/Beban Pinjaman Pembayaran Public Service Obligation / PSO: PLN mendapat kompensasi atas kerugian yang terjadi karena menyediakan listrik kepada pelanggan pada suatu golongan tarif di mana pendapatan pada golongan tarif itu lebih rendah daripada Biaya Pokok Penyediaan (BPP). PSO digunakan oleh PLN untuk menutupi kekurangan pendapatan penjualan listrik dengan besarnya biaya pengusahaan produksi listrik. Penghitungan proyeksi PSO terbagi atas: (i) Asumsi Makro Ekonomi (Harga Minyak Mentah, Nilai Tukar, Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi dan Suku bunga) (ii) Asumsi Teknis (elastisitas, rasio elektrifikasi dan pertumbuhan listrik) dan (iii) Asumsi Korporat (margin, susut jaringan, dan harga jual rata-rata).
63
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 63
6/22/2010 6:21:37 PM
Maxensius Tri Sambodo
Atas dasar informasi PSO tahun 2007 diketahui bahwa pendapatan rata-rata PLN Rp.623,95/kWh, sedangkan BPP rata-rata Rp.933,61/kWh. Dengan demikian diperlukan subsidi rata-rata sebesar Rp.310,97/kWh atau mewakili sepertiga BPP. Terkait dengan BPP rata-rata berkisar dari Rp.793,84 (tegangan tinggi / TT) s/d Rp.1.015,79 (tegangan rendah / TR) per kWh. Dengan melihat pada alokasi subsidi / PSO yang diberikan oleh pemerintah dapat diketahui bahwa seluruh golongan tarif mendapatkan subsidi yang besarnya bervariasi. Dalam hal ini sektor rumah tangga memperoleh subsidi yang paling besar baik dalam hal subsidi per kWh maupun dalam hal proporsi terhadap total penerima subsidi. Untuk sektor industri diketahui bahwa sektor ini mendapat subsidi yang relatif besar, yaitu dalam hal proporsi terhadap total subsidi sekitar 28% dinikmati oleh sektor industri atau relatif berimbang dengan rumah tangga golongan R1 yang sebesar 28,7%. Tabel 3.14 Alokasi Subsidi 2007 berdasarkan Golongan Tarif / Pelanggan
Sumber: http://www.pln.co.id/Home/PSO2007/tabid/355/Default.aspx [Akses 29 April 2009]
Dalam kaitannya dengan distribusi subsidi menurut wilayah diketahui bahwa wilayah luar Jawa mendapatkan porsi subsidi yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah Jawa. Hal ini disebabkan oleh biaya rata-rata dalam hal pembangkitan, transmisi dan distribusi
64
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 64
6/22/2010 6:21:37 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
wilayah luar Jawa yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Jawa. Data PLN menunjukkan untuk tahun 2007, rata-rata biaya tersebut untuk wilayah luar Jawa mencapai Rp 1.397,00/kWh dan wilayah Jawa sebesar Rp 815,39/kWh. Dalam hal ini juga diketahui bahwa ada lima wilayah yang menyerap subsidi listrik mencapai 60% yaitu Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Distribusi Jaya & Tanggerang. Tabel 3.15 PSO Listrik 2007: Kajian berdasarkan Wilayah
Sumber: http://www.pln.co.id/Home/PSO2007/tabid/355/Default.aspx [Akses 29 April 2009]
Dengan mempertimbangkan biaya pokok penyediaan listrik yang terus meningkat dan harapan margin keuntungan yang juga bertambah, maka dapat dipastikan beban subsidi listrik akan semakin meningkat. Tabel 3.15 memperlihatkan bahwa pada 2002 subsidi listrik baru sebesar Rp 4,1 triliun rupiah, namun di tahun 2006 sudah mencapai sekitar Rp 30 triliun rupiah. Jumlah ini akan berlipat ganda jika harga minyak dunia menembus angka USD 95/ barel. 65
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 65
6/22/2010 6:21:37 PM
Maxensius Tri Sambodo
Tabel 3.16 Perkembangan Subsidi Listrik
Sumber: http://www.pln.co.id/Home/PSO2007/tabid/355/Default.aspx [Akses 29 April 2009]
Melihat pada tingkat tarif listrik di beberapa negara, diketahui bahwa secara total harga listrik di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan dengan negara lainnya (lihat Tabel 3.14). Jika diperhatikan juga bahwa negara-negara lain menerapkan tarif yang berbeda untuk masing-masing sektor. Secara umum dapat disimpulkan bahwa tingkat tarif untuk sektor rumah tangga selalu lebih tinggi dibandingkan dengan sektor industri dan tarif listrik sektor komersial lebih tinggi dibandingkan dengan sektor industri. Pola yang hampir sama dengan Indonesia terdapat di SESB Malaysia dan Tepco Jepang. Hal yang perlu dicatat adalah tingkat tarif yang relatif rendah bukan hal yang paling penting, karena dalam hal ini perlu memperhatikan kebijakan yang mengikutinya seperti kebijakan beban puncak pada jam-jam tertentu, pajak-pajak yang mengikuti seperti pajak penerangan jalan, kompleksitas penghitungan tingkat tariff dan tingkat/kualitas pelayanan.
66
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 66
6/22/2010 6:21:38 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
Tabel 3.17. Tarif Listrik di Beberapa Negara (Sen/kWh) Tahun 2006
Sumber: Statistic of Interim on the Performance of the Electricity Supply in Malaysia (2006)
67
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 67
6/22/2010 6:21:38 PM
Maxensius Tri Sambodo
Tabel 3.18 Perbandingan Kebijakan Tarif Listrik Indonesia dan Malaysia
3.6 Regulasi Kelistrikan: Upaya Menambah Pasokan Listrik Sebagaimana diketahui bahwa saat ini Indonesia masih menggunakan UU No 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, setelah UU 68
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 68
6/22/2010 6:21:38 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
No 20 Tahun 2002 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 14 Desember 2004. Hal yang melatarbelakangi pembatalan UU tersebut adalah (unbundling) dalam hal penyediaan fungsi ketenagalistrikan, yaitu pembangkitan, transmisi dan distribusi, yang dalam hal ini bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 33 (Ibrahim, 2009). Pemisahan ketiga fungsi tersebut mencerminkan adanya liberalisasi dan kompetisi dalam hal penyediaan jasa kelistrikan, sedangkan sektor kelistrikan merupakan bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga perlu dikuasai oleh negara. Terkait dengan UU No 15 Tahun 1985, maka ada dua peraturan pemerintah yang mengikutinya, yaitu PP No 10 Tahun 1989 yang memuat rencana umum ketenagalistrikan nasional serta rencana umum penyediaan tenaga listrik. PP tersebut diturunkan dalam bentuk Keputusan Presiden No 133 Tahun 2000 tentang Tim Restrukturisasi dan Rehabilitasi PT PLN (Persero) dan Keppres No 37 Tahun 1992 Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Swasta. Kemudian dilakukan perubahan atas PP No 10 tahun 1989 dengan keluarnya PP No 3 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, yang prinsipnya memasukan ketentuan dalam UU No 20 Tahun 2002, kecuali dalam hal kompetisi dan unbundling dalam penyediaan ketenagalistrikan (Ibrahim, 2009)1. Ibrahim (2009) menekankan bahwa apapun yang terjadi dengan pembatalan UU ketenagalistrikan yang baru, jangan sampai mengganggu upaya membangun ketahanan ataupun keamanan pasokan listrik nasional. Model pengelolaan ketenagalistrikan, terutama yang terkait dengan tiga dimensi utama, yaitu bentuk bisnis, pelaku bisnis dan tarif perlu dikaji secara cermat. Kegagalan dalam menciptakan iklim bisnis kelistrikan yang baik akan menghambat kegiatan investasi yang berkesinambungan pada sektor tersebut karena tidak adanya jaminan kepastian pendanaan ataupun tingkat keuntungan yang memadai. 1 PP No 5 Tahun 2005 selanjutnya melahirkan keluarnya tiga peraturan menteri (Permen) yaitu: (1) Permen No 001/2006 tentang Prosedur pembelian Tenaga Listrik dan/atau sewa menyewa jaringan dalam usaha penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum; Permen No 002/2006 tentang Pengusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Terbarukan Skala Menengah; dan Permen No 0010/2005 tentang Tata cara perijinan usaha Ketenagalistrikan untuk lintas provinsi atau yang terhubung dengan jaringan transmisi nasional
69
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 69
6/22/2010 6:21:38 PM
Maxensius Tri Sambodo
Upaya penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik sebagaimana telah diatur dalam PP No 3 Tahun 2005, disebutkan bahwa pemerintah memberikan peran yang luas kepada koperasi, BUMN, BUMD, swasta, swadaya masyarakat, dan perorangan dalam penyediaan tenaga listrik. Dalam pasal 6 PP tersebut dinyatakan:
”Sepanjang tidak merugikan kepentingan negara, izin usaha ketenagalistrikan diberikan kepada koperasi dan badan usaha lain untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum atau usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri”. Ijin usaha penyediaan tenaga listrik dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Izin usaha ketanagalistrikan untuk kepentingan sendiri diberikan jika Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PLN) belum mampu menyediakan tenaga listrik dengan mutu dan keandalan yang baik atau belum dapat dijangkau seluruh daerah usahanya, ataupun jika mampu menyediakan listrik secara lebih ekonomis. Selanjutnya dalam pasal 11 PP No 3 Tahun 2005 disebutkan:
”Pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan dan pemegang ijin usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum yang memiliki 70
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 70
6/22/2010 6:21:38 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
daerah usaha, dalam melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dapat melakukan pembelian tenaga listrik dan atau sewa jaringan dari koperasi, BUMD, swasta, swadaya masyarakat, dan perorangan setelah mendapat persetujuan menteri, gubernur, bupati/walikota, sesuai kewenangannya”. Pembelian dan / atau sewa jaringan dapat dilakukan melalui sistem pelelangan umum atau penunjukkan langsung. Dalam hal penunjukkan langsung maka ada tiga kriteria yang harus dipenuhi, yaitu pembelian listrik bersumber dari energi terbarukan, gas marjinal dan batubara di mulut tambang, pembelian kelebihan tenaga listrik dan dalam kondisi krisis penyediaan tenaga listrik. Setelah mengalami perubahan pertama PP No 10 tahun 1989 oleh PP No 3 Tahun 2005, selanjutnya perubahan kedua kembali dilakukan dengan keluarnya PP No 26 Tahun 2006 yang masih bertemakan tentang aspek penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik. Pertimbangan dikeluarkannya PP tersebut adalah untuk mempercepat diversifikasi energi ke pembangkit non – BBM, serta dalam upaya meningkatkan minat investasi swasta dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Hal yang cukup penting adalah pasal 11 yang berbunyi:
”Pemegang Kuasa usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum yang memiliki jaringan transmisi tenaga listrik wajib membuka pemanfaatan bersama jaringan transmisi”. Dalam urusan kelistrikan, selain masih rendahnya rasio elektrifikasi, masalah serius lain yang dihadapi Indonesia saat ini adalah defisit listrik PLN yang semakin parah. Untuk mengatasi masalah ini, salah satu fokus PLN adalah mensukseskan pembangunan proyek percepatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 10.000 MW berbahan bakar batubara kalori rendah. Dasar hukum bagi pelaksanaan proyek ini adalah PP No 26 Tahun 2006, selanjutnya melahirkan dua regulasi lanjutan yaitu: (1) Peraturan Presiden No 72 Tahun 2006 Tentang Tim Koordinasi 71
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 71
6/22/2010 6:21:39 PM
Maxensius Tri Sambodo
Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik; (2) Peraturan Presiden No 71 Tahun 2006 tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara. Keseriusan pemerintah guna menjamin keberhasilan program percepatan kelistrikan ini dipertajam dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 91 tahun 2007 yang memberikan jaminan pembiayaan bagi keberlangsungan proyek ini. Proyek percepatan PLTU ini terdiri dari 10 PLTU di Jawa dan 25 PLTU di Luar Jawa -Bali. Adapun tingkat konsumsi batubara diperkirakan sebesar 18,7 juta ton per tahun untuk PLTU percepatan di Jawa dan 10 juta ton pertahun untuk PLTU percepatan di luar Jawa. Untuk memastikan jaminan pasokan batubara bagi proyek ini, PT. PLN telah menandatangani kontrak dengan durasi 20 tahun dengan empat perusahaan pemenang tender pemasok batubara yaitu PT Titan Mining Energy, PT Baramutiara Prima, Konsursium PT Arutmin Indonesia dan PT Darma Henwa, serta Konsorsium PT Kasih Industri Indonesia dan PT Senamas Energindo Mulia. Keempat perusahaan tersebut akan memasok 14 juta ton batubara utk menutupi kebutuhan batubara yg masih kurang 30 juta ton dalam proyek 10.000 MW. Pembangkit 10.000MW milik PLN di sistem Jawa Bali pada 2009 membutuhkan 8.1 juta ton. Pada 2010 kebutuhan meningkat menjadi 18,3 juta ton dan pada 2011 sampai 2013 meningkat lagi menjadi 21.6 juta ton. Sedangkan pembangkit di luar Jawa Bali pada 2009 membutuhkan 3,5 juta ton batubara tahun berikutnya sebanyak 27,4 juta ton pada 2011 sampai 2013 masing-masing sebanyak 31.9 juta ton. Dalam aspek teknis pembangunan proyek dan pembiayaan, dengan bermodalkan dua perpres di atas, kelihatannya PT. PLN tidak akan mengalami hambatan berarti. Berdasarkan hasil rapat DPR dengan pemerintah, pada 2007 pembangunan EPC (engineering, procurement and construction) untuk PLTU Jawa sudah mencapai 60 %. Masalah kemungkinan besar akan timbul dalam hal pasokan batubara. Salah 72
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 72
6/22/2010 6:21:39 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
satu pemasok batubara untuk proyek ini, yaitu PT. Baramutiara Prima, hingga saat ini ternyata belum beroperasi secara optimal. Penyebabnya adalah adanya sengketa lahan antara PT. Baramutiara Prima dengan PT. Inti Hindoli dan petani plasma di lokasi yang diklaim oleh PT. Baramutiara Prima sebagai lokasi pertambangannya sesuai Keputusan Menteri ESDM No. 416.K/40.00/DJG/2005 tanggal 26 Oktober 2005. Berdasarkan kontrak, PT. Baramutiara Prima akan memasok sekitar 2,3 juta ton per tahun untuk tiga PLTU yaitu PLTU Suralaya dengan volume 900.000 ton (50 % dari kebutuhan total), PLTU Labuan dengan volume 570.000 (30 % dari kebutuhan total) dan PLTU Pelabuhan Ratu 858.000 per tahun. Sebagaimana telah disinggung pada bagian awal, peranan sektor swasta dalam pembangkitan listrik semakin meningkat. Beberapa perusahaan yang memiliki kapasitas di atas 1000 MW adalah PT. PEC (Paiton Energy Company), PT.Jawa Power, PT. Tanjung Jati Power Company, dan PT. HI. Power Tubanan. Masing-masing perusahaan tersebut menggunakan batubara sebagai sumber pembangkit. Masa kontrak IPP dengan PLN berlangsung dalam jangka panjang, yaitu ratarata di atas 20 tahun. Dari sisi harga jual berada dalam rentang antara USD 4 sen/kWh - USD 5 sen/kWh. Dengan demikian jika diasumsikan kurs rupiah sebesar Rp 10.000/USD, maka pembelian listrik IPP berada dalam kisaran Rp 400/kWh – Rp 500/kWh. Namun demikian harga IPP ini akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan tingkat harga input primer (batubara, gas, dan lainnya) serta tingkat kurs. Dalam banyak hal diakui bahwa mencari kesepakatan harga antara IPP dan PLN bukanlah hal yang mudah.
73
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 73
6/22/2010 6:21:39 PM
Maxensius Tri Sambodo
Tabel 3.19 Pembangkit Swasta yang Beroperasi
Sumber: Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral - Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi
74
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 74
6/22/2010 6:21:39 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
3.7 Potret Ketenagalistrikan Propinsi Jawa Barat Propinsi Jawa Barat merupakan sentra industri nasional. Dalam hal penjulan listrik PLN, posisi distribusi Jawa Barat menempati urutan tertinggi dalam lingkup nasional. Dengan demikian dalam lingkup pendapatan, biaya dan subsidi propinsi Jawa Barat berada dalam posisi paling besar dibanding dengan propinsi-propinsi lainnya. Menurut informasi yang diberikan oleh Kantor Distribusi PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten dapat diketahui rekapitulasi penjualan listrik menurut kelompok usaha (Tabel 3.20). Merujuk pada posisi di bulan Juli s/d Desember 2008 diketahui bahwa usaha tekstil, pakaian jadi dan kulit menjadi konsumen terbesar dengan porsi 24% dari total penjualan PLN Jawa Barat dan Banten. Dengan demikian dapat dipahami jika terjadi penurunan kinerja sektor industri tekstil dan produk tekstil / TPT baik yang disebabkan oleh pelemahan permintaan dunia ataupun domestik, ataupun turunnya konsumsi listrik PLN karena industri TPT lebih banyak menggunakan batubara, maka omset PLN secara signifikan juga terpengaruh. Kenyataan ini menunjukkan adanya kaitan yang kuat antara kinerja industri TPT dan omzet PLN di Propinsi Jawa Barat. Industi lainnya yang tergolong sebagai padat energi (energy-intensive) adalah industri kimia, minyak, batubara, karet dan plastik serta galian non-logam. Tabel 3.20 Penjualan Listrik per Kelompok Usaha (Juli s/d Desember 2008)
Sumber: Kantor Distribusi PL PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten (diolah)
75
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 75
6/22/2010 6:21:39 PM
Maxensius Tri Sambodo
Tabel 3.21 Penjualan Tenaga Listrik Bulan Januari 2009 Distribusi Jawa Barat dan Banten Menurut Cabang
Catatan: Rata-rata (Rp/kWh) dihitung dengan formula sebagai berikut: (biaya beban + biaya pemakaian) : pemakaian kWh Sumber: Kantor Distribusi PL PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten (diolah)
Tabel 3.21 memperlihatkan bahwa jumlah PLN per Januari 2009 sebanyak 8,1 juta dan lebih dari 50% penjualan listrik distribusi Jawa Barat dan Banten terkonsentrasi di empat cabang, yaitu Bandung, Banten Utara, Bekasi dan Bogor. Tingginya jumlah pemakaian listrik tidak sepenuhnya ditentukan oleh jumlah pelanggan. Misalnya, Cirebon dan Tasikmalaya mempunyai jumlah pelanggan yang besar, namun penjualan listrik di kedua cabang tersebut relatif kecil dibandingkan dengan cabang lainnya, seperti Bandung. Hal ini disebabkan karena jumlah pelanggan rumah tangga jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah pelanggan industri dan komersial yang membutuhkan sumber listrik lebih besar dibandingkan dengan sektor rumah tangga. Hal yang perlu dilakukan adalah membandingkan WBP dan LWBP di masing-masing cabang. Rasio ini menunjukkan proporsi pemakaian 76
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 76
6/22/2010 6:21:39 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
listrik pada saat beban puncak terhadap kondisi di luar beban puncak. Semakin tinggi rasio WBP terhadap LWBP, sebetulnya merupakan hal yang kurang menguntungkan sebab hal ini berarti semakin besarnya biaya listrik yang harus dibayarkan oleh industri atau sektor komersial2. Paling tidak ada tiga informasi berharga dapat dipetik dari rasio ini. Pertama, pemakaian listrik dalam waktu beban puncak merupakan hal yang sulit dihindari. Paling tidak ada lima cabang yang memiliki rasio diatas 10%, yaitu Banten Utara, Sumedang, Karawang, Majalaya, dan Cimahi. Hal ini mengindikasikan besarnya jumlah sektor industri dan komersial di wilayah tersebut. Kedua, hal yang cukup menarik adalah membandingkan penjualan listrik di wilayah Banten Utara dan Selatan yang jauh berbeda. Dari informasi ini dapat disimpulkan bahwa wilayah Banten Selatan jauh tertinggal dibandingkan dengan Banten Utara karena jumlah industri di Banten Utara jauh lebih banyak dibandingkan dengan Banten Selatan. Ketiga, Tabel 3.22 juga menunjukkan bahwa rata-rata biaya penjualan di masing-masing cabang jauh berbeda dan untuk ratarata wilyah distribusi Jawa Barat dan Banten sebesar Rp 627,58/kWh. Cabang Bandung mempunyai tingkat biaya penjualan yang paling tinggi, sedangkan yang terendah adalah cabang Garut. Hal yang penting untuk dicermati adalah penjualan listrik menurut kelompok pengguna. Sebagaimana dapat dilihat dari tabel 3.22, sektor dengan jumlah pelanggan terbesar adalah rumah tangga disusul oleh bisnis. Walaupun jumlah pelanggan industri tidak sebesar jumlah pelanggan rumah tangga dan bisnis, daya yang dibutuhkan di sektor industri adalah kedua tertinggi setelah rumah tangga. Dari sisi harga dapat diketahui tarif multiguna adalah paling tinggi dan terendah adalah sektor sosial. Biaya listrik di sektor industri adalah Rp 605/kWh, jauh lebih rendah dibandingkan dengan sektor bisnis dan publik. Dari sisi rasio WBP terhadap LWBP sektor industri adalah paling tinggi. Hal ini menunjukan bahwa sektor industri relatif sulit untuk menghindari
.
2 Sebagai catatan untuk sector social dengan golongan daya diatas 201 kVA juga dikenakan tarif beban puncak
77
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 77
6/22/2010 6:21:39 PM
Maxensius Tri Sambodo
tarif beban puncak atau dalam hal konsumsi listrik, sektor industri relatif lebih inelastik dibandingan dengan sektor lainnya. Sementara itu sektor rumah tangga dan multiguna tidak dikenakan tarif beban puncak. Tabel 3.22 Penjualan Tenaga Listrik Bulan Desember 2008 Distribusi Jawa Barat dan Banten Menurut Golongan Tarif
Catatan: Rata-rata (Rp/kWh) dihitung dengan formula sebagai berikut: (biaya beban + biaya pemakaian) : pemakaian kWh Sumber: Kantor Distribusi PL PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten (diolah)
Hal yang cukup menarik adalah bahwa di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten telah dikembangkan produk layanan listrik pra bayar. Melalui produk ini konsumen melakukan pembelian voucher listrik sesuai dengan jumlah yang mereka butuhkan. Hingga Januari 2009, jumlah pelanggan listrik pra bayar mencapai 10.377 yang terdiri atas rumah tangga, bisnis dan sosial. Listrik pra bayar memiliki beberapa keunggulan, yaitu melatih sikap untuk berhemat listrik karena konsumen lebih mengetahui kapasitas yang dimiliki dan studi yang dilakukan menunjukkan bahwa listrik pra bayar dapat bertahan lebih dari satu bulan. Listrik pra bayar dapat mencegah terjadinya penunggakkan tagihan listrik. Saat ini sudah terdapat lebih dari 4.700 titik penjualan voucer listrik di seluruh layanan jaringan seJawa Barat dan Banten dan harga voucher dijual pada rentang harga Rp 20.000 s/d 1.000.000. Hambatan utama dalam hal pengembangan listrik pra bayar adalah harga meteran yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan meteran pasca bayar 78
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 78
6/22/2010 6:21:40 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
Ketersediaan listrik di propinsi Jawa Barat bukan berarti tanpa masalah. Dua hal yang menjadi masalah besar bagi sektor industri yaitu sisi ketersediaan layanan listrik dan kebijakan tarif. Hingga penelitian ini dilakukan, pemadaman listrik masih kerap kali terjadi di propinsi Jawa Barat. Bahkan pemadaman kerap kali terjadi tanpa adanya pemberitahuan dari PLN dan kondisi ini sangat merugikan dunia usaha karena akan menambah biaya, turunnya kualitas dan pengiriman barang tidak dapat dilakukan secara tepat waktu. Dari sisi
79
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 79
6/22/2010 6:21:40 PM
Maxensius Tri Sambodo
PLN sebagaimana disampaikan oleh narasumber, pemadaman secara mendadak dapat terjadi karena berbagai faktor, namun penyebab utama adalah terjadinya kekurangan pasokan listrik. Paling tidak ada dua upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kepada konsumen, yaitu dengan melakukan penambahan kapasitas / mutasi trafo dan menambah sisipan trafo. Dari kedua opsi tersebut, maka penambahan kapasitas trafo merupakan hal yang paling sering dilakukan karena menambah sisipan trafo berarti membangun gardu dan menambah jaringan baru untuk melakukan koneksi ke jaringan yang telah ada dan hal ini memerlukan biaya investasi yang besar. Dari sisi kebijakan harga, maka keluhan utama yang banyak disampaikan oleh para pelaku usaha adalah terlalu rumitnya penghitungan tarif listrik. Demikian juga adanya kebijakan jam nyala minimum sebesar 350 jam/bulan membuat upaya penghematan juga sulit dilakukan, karena jika pemakaian di bawah 350 jam/bulan, maka perusahaan juga akan dikenakan denda yang nilainya lebih tinggi jika perusahaan kelebihan menggunakan listrik . Dari perspektif pengusaha kelebihan penggunaan listrik kena denda dan kurang juga kena denda. Berikut adalah petikan hasil wawacara dengan staf di salah satu perusahaan: Kita merasa dengan sistem perhitungan PLN saat ini merasa seperti dibohongi. Kemaren waktu lebaran kita juga kena denda pemakaian minimum karena libur panjang. Kajian lebih mendalam atas temuan mikro di level industri TPT disampaikan dalam bab selanjutnya.
80
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 80
6/22/2010 6:21:40 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
3.8 Kesimpulan Listrik merupakan prasyarat dasar bagi terjadinya pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. Pertumbuhan konsumsi listrik yang lebih cepat daripada pertumbuhan produksi mengakibatkan bahwa Indonesia memasuki fase krisis listrik pada 2008. Hal ini diprediksi masih akan berlanjut hingga beberapa tahun ke depan. Langkah pengendalian sisi permintaan listrik yang berjalan saat ini lebih banyak menjadi tambahan beban bagi sektor industri. Kunci untuk mengatasi krisis listrik perlu dilakukan dengan lebih fokus pada sisi pasokan. Kajian ini menunjukkan terdapat suatu fenomena tidak lazim dalam hal transformasi sektor kelistrikan, yaitu antara 2000-2007 penjualan listrik yang berarti juga konsumsi listrik di sektor industri menunjukkan pertumbuhan yang paling rendah dibandingkan dengan sektor lainnya. Bahkan pada 2006, konsumsi listrik di sektor rumah tangga sudah lebih besar dibandingkan dengan sektor industri dan hal ini untuk pertama kalinya hal ini terjadi setelah enam tahun terakhir. Kondisi ini tentu saja perlu dicermati secara serius karena pengalaman dari negara lain, seperti Malaysia, menunjukkan bahwa sektor industri justru mendominasi konsumsi energi listrik nasional. Lambantya pertumbuhan konsumsi energi listrik oleh sektor industri dibandingkan dengan sektor lainnya mengindikasikan bahwa sektor ini tengah menghadapi masalah. Berbagai langkah kebijakan perlu ditempuh pemerintah untuk mempertahankan akselerasi pertumbuhan sektor industri. Melambatnya pertumbuhan konsumsi listrik sektor industri sebetulnya merupakan berita buruk bagi PLN karena hingga saat ini sektor industri menjadi penyumbang terbesar bagi pendapatan PT. PLN disusul oleh sektor bisnis dan rumah tangga dengan daya 900 VA. Gambaran dari sisi permintaan juga memperlihatkan bahwa sekitar 80% listrik nasional terjual di wilayah Jawa – Bali dengan sisanya di luar Jawa – Bali. Kondisi ini menunjukkan posisi yang sangat timpang dalam hal infrastruktur kelistrikan antara wilayah Jawa dan Luar Jawa.
81
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 81
6/22/2010 6:21:40 PM
Maxensius Tri Sambodo
Analisis dari sisi penawaran memperlihatkan bahwa Produksi ‘captive power’ dan IPP menunjukkan pertumbuhan yang pesat dibandingkan dengan produksi PLN. Hal ini mengindikasikan semakin besarnya pertisipasi swasta di sektor pembangkitan. Titik kritis dari sisi pasokan adalah relatif rendahnya pertumbuhan kapasitas terpasang pembangkit PLN. Kondisi ini tentu akan menjadi masalah besar di tengah pertumbuhan konsumsi listrik yang semakin meningkat. Lambatnya pertumbuhan kapasitas terpasang pembangkit akan menyebabkan ancaman defisit listrik yang semakin besar di kemudian hari. Demikian juga upaya diversifikasi energi primer nampaknya belum dilakukan secara optimal karena peningkatan kapasitas pembangkit PLN lebih banyak ditopang oleh peningkatan konsumsi FO, HSD dan batubara, sedangkakan peranan HSD dan gas alam justru menurun, yang berarti bahwa peranan sumber energi terbarukan belum menunjukkan pertumbuhan berarti. Salah satu pertimbangan utama dari hal ini adalah bahwa pembangkit yang menggunakan bahan bakar batubara memiliki biaya variabel yang paling rendah dibandingkan dengan jenis bahan bakar lainnya. Kebijakan harga listrik merupakan hal yang sangat penting tidak hanya bagi keberlanjutan PLN, tetapi juga bagi pengembangan daya saing industri. Kebijakan TDL yang tidak naik sejak tahun 2003 dan bertambahnya biaya pokok penyediaan menyebabkan semakin bertambahnya subsidi listrik. Jika diperhatikan semua konsumen PLN mendapatkan subsidi listrik, namun sektor rumah tangga memperoleh subsidi yang paling besar baik dalam hal subsidi per kWh maupun dalam hal proporsi terhadap total penerima subsidi. Kebijakan subsidi dan penggunaan input batubara sebagai sumber utama pembangkit listrik menjadi penyebab mengapa tingkat tarif listrik di Indonesia paling murah dibandingkan dengan negara lainnya. Namun demikian, tingkat tarif yang relatif rendah bukan hal yang paling penting, karena dalam hal ini perlu diperhatikan kebijakan yang mengikutinya, seperti kebijakan beban puncak pada jam-jam tertentu, pajak-pajak yang mengikuti seperti pajak penerangan jalan, kompleksitas penghitungan tingkat 82
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 82
6/22/2010 6:21:40 PM
Kebijakan Sektor Kelistrikan
tarif dan tingkat/kualitas pelayanan. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut maka tingkat tarif listrik di Indonesia dapat menjadi kompetitif lagi. Dalam upaya menggenjot produksi listrik sebetulnya kerangka regulasi yang ada sudah memadai, namun permasalahan utama terletak pada tingkat harga jual IPP ke PLN dan bagi PLN sendiri kemungkinan hambatan atas terletak pada sisi pasokan input primer khususunya batubara dan gas. Memamahi potret sektor kelistrikan di Jawa Barat dapat disimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, dalam lingkup pendapatan, biaya dan subsidi listrik propinsi Jawa Barat, dalam lingkup nasional berada dalam posisi paling besar. Kedua, usaha tekstil, pakaian jadi dan kulit menjadi konsumen terbesar. Ketiga, sektor industri relatif sulit untuk menghindari tariff beban puncak atau dalam hal konsumsi listrik sektor industri relatif lebih inelastis dibandingkan dengan sektor lainnya. Keempat, dua hal yang menjadi masalah besar bagi sektor industri adalah ketersediaan layanan listrik dan kebijakan tarif
83
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 83
6/22/2010 6:21:40 PM
Maxensius Tri Sambodo
84
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 84
6/22/2010 6:21:40 PM
Analisis Kebijakan BBM di Sektor Industri
BAB 4 ANALISIS KEBIJAKAN BBM DI SEKTOR INDUSTRI Latif Adam
4.1 Latar Belakang Fluktuasi harga bahan bakar minyak (BBM) di pasar dunia pada beberapa tahun terakhir ini menempatkan Indonesia pada posisi yang sangat dilematis. Di satu sisi, fluktuasi harga BBM memberikan tekanan yang tidak menguntungkan terhadap sustainability APBN. Ini terjadi karena BBM merupakan salah satu komoditi yang mendapatkan subsidi dari pemerintah. Karena itu, ketika harga BBM mengalami peningkatan, maka beban subsidi yang harus dipikul oleh pemerintah secara otomatis juga mengalami peningkatan. Di sisi lain, upaya pemerintah untuk merespon fluktuasi harga BBM dengan menaikan harga komoditas ini, sebagaimana disimpulkan oleh beberapa studi (e.g. Lestari et al., 2007; Purwanto et al., 2008), mendorong naiknya tingkat inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Pada gilirannya, naiknya inflasi dan menurunnya daya beli masyarakat ini berpotensi tidak saja menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memicu naiknya jumlah pengangguran dan kemiskinan. Sejarah kemudian mencatat bahwa pemerintah mengambil kebijakan yang cenderung pragmatis untuk mengatasi dilema ini. Artinya, subsidi tetap dipertahankan, tetapi dengan proporsi yang diupayakan semakin menurun terhadap APBN. Selain itu, beberapa sektor, seperti sektor industri, tidak lagi mendapatkan subsidi dari pemerintah. Dengan demikian, sejak tahun 2007, sektor industri harus membeli BBM pada tingkat keekonomiannya sesuai dengan harga yang berlaku di pasar internasional. 85
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 85
6/22/2010 6:21:40 PM
Latif Adam
Tulisan pada Bab ini akan menganalisis dan mengevalusi kebijakan BBM di sektor industri. Struktur organisasi penulisan Bab ini adalah; Sub-Bab 2 menganalisis kebijakan BBM di sektor industri, mengkaji alasan mengapa kebijakan BBM itu diberlakukan, dan menganalisis dampak positif ataupun negatif dari pemberlakuan kebijakan itu. SubBab 3 melakukan study comparative mengenai kebijakan BBM di sektor industri di dua negara tetangga, yaitu Malaysia dan China. Sub-Bab 4 menarik pelajaran dari pengalaman Malaysia dan China sebagai bahan masukan apabila Indonesia memiliki keinginan untuk bisa menyusun kebijakan BBM yang lebih comprehensive dan bisa mengartikulasi kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi sektor industri nasional. Sub-Bab 5 menarik kesimpulan dan saran berdasarkan analisis dari subbab sebelumnya.
4.2 Analisis Kebijakan BBM Sebelum tahun 2007, pemerintah menerapkan kebijakan yang mengijinkan sektor industri untuk mengkonsumsi BBM bersubsidi. Ada beberapa pertimbangan yang kemungkinan besar melandasi munculnya kebijakan itu. Pertama, sampai dengan tahun 2004, Indonesia masih berstatus sebagai negara pengeskpor minyak. Ini terjadi karena supply BBM di dalam negeri lebih besar dibandingkan dengan demandnya (Tabel 3.1). Dalam kaitan ini, investasi yang bergairah di sektor perminyakan dan produktivitas yang cukup tinggi dari ladang-ladang minyak yang dimiliki Indonesia pada saat itu (Thee dan Lindbland, 2007) membuat negeri ini memiliki supply BBM yang cukup bahkan berlebih untuk memenuhi permintaan BBM di dalam negeri.
86
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 86
6/22/2010 6:21:40 PM
Analisis Kebijakan BBM di Sektor Industri
Tabel 4.1 Pasar BBM di Indonesia, 1995-2007
Sumber: Departemen ESDM, Neraca Industri, berbagai penerbitan
Kedua, sistem subsidi BBM yang diadopsi pemerintah di masa lalu adalah sistem subsidi total. Artinya, tidak ada kriteria siapa, sektor apa, dan seberapa besar suatu sektor bisa mengkonsumsi BBM yang disubsidi pemerintah. Karena itu, siapa saja bisa mengakses BBM bersubsidi. Penggunaan sistem subsidi total ini diduga menjadi penyebab tidak efisiennya penggunaan BBM. Baik masyarakat ataupun kalangan industri cenderung boros didalam mengkonsumsi BBM karena harga komiditas ini setelah disubsidi menjadi relatif lebih murah. Lebih dari itu, maraknya penyelundupan BBM ke luar negeri mengindikasikan bahwa sistem subsidi total memberikan banyak kerugian terhadap pemerintah. Ketiga, pemberian ijin terhadap sektor industri untuk mengkonsumsi BBM bersubsidi diharapkan bisa menekan biaya produksi. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk melindungi industri nasional. Melalui kebijakan yang mengijinkan sektor industri mengakses BBM bersubsidi, pemerintah berharap bahwa pengusaha akan mampu memanfaatkan subsidi sebagai kompensasi dari belum
87
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 87
6/22/2010 6:21:40 PM
Latif Adam
kondusifnya iklim berusaha yang menyebabkan pengusaha harus menghadapi problema ekonomi biaya tinggi. Dengan menyediakan subsidi, industri nasional diharapkan akan mampu mempertahankan dan meningkatkan posisi daya saing mereka di pasar domestik dan pasar internasional. Namun demikian, di satu sisi, harga BBM memiliki kecenderungan untuk terus mengalami kenaikan (Tabel 4.1). Di sisi lain, status Indonesia juga berubah dari negara net-eksportir menjadi net-importir minyak sejak tahun 2004. Karena itu, perdebatan perlu tidaknya sektor industri terus mendapatkan subsidi menjadi topik yang alot dibicarakan. Apalagi beberapa studi (e.g. Soesastro, 2005; Yusgiantoro, 2007) menunjukkan bahwa pemberian subsidi BBM terhadap sektor industri tidak diikuti secara signifikan dengan terjadinya peningkatan produktivitas. Tidak paralelnya hubungan diantara pemberian subsidi BBM dan peningkatan produktivitas mereflesikan bahwa subsidi bukan merupakan tools yang tepat untuk mendorong produktivitas dan daya saing industri nasional. Alih-alih bermanfaat, penyediaan subsidi justru membuat sektor industri terlena untuk melakukan langkah-langkah inovatif dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan posisi daya saing mereka baik di pasar domestik ataupun pasar internasional. Misalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa sektor industri nasional, seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT), jauh tertinggal dari sektor industri di beberapa negara tetangga didalam melakukan restrukturisasi permesinan (Chongbo, 2005; Soesastro dan Basri, 2005). Akibatnya, banyak jenis industri di Indonesia masih menggunakan mesin produksi yang berusia tua dengan produktivitas rendah dan boros BBM. Dalam kaitan dengan penggunaan BBM, secara rata-rata, mesin yang digunakan industri nasional 17% lebih boros dari mesin yang digunakan industri China (Kompas, 2007). Sangat mungkin, kurangnya motivasi industri nasional melakukan restrukturisasi permesinan karena privilege bisa menggunakan BBM
88
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 88
6/22/2010 6:21:41 PM
Analisis Kebijakan BBM di Sektor Industri
dengan harga relatif murah. Sebagaimana dikemukakan salah satu perusahaan yang diwawancari, walaupun boros, tetapi kalkulasi perusahaan menunjukkan bahwa mempertahankan mesin yang tua dengan konsumsi BBM boros, tetap lebih menguntungkan dibandingkan dengan melakukan restrukturisasi permesinan. Tabel 4.2 Pertumbuhan dan Distribusi Konsumsi BBM Menurut Sektor di Indonesia, 1995-2007 (%)
Sumber: Dihitung dari Departemen ESDM, Neraca Industri, berbagai penerbitan
Borosnya sektor industri didalam mengkonsumsi BBM membuat sektor ini menjadi konsumen BBM kedua terbesar di Indonesia, setelah sektor transportasi. Sebagaimana bisa di lihat di Tabel 3.2, sampai dengan tahun 2001, konsumsi BBM sektor industri terus mengalami peningkatan. Secara rata-rata, konsumsi BBM sektor industri meningkat dari 3,5% per tahun pada perode 1995-1998 menjadi 8,6% per tahun pada periode 1998-2001. Akibatnya, proporsi konsumsi sektor industri terhadap total konsumsi BBM terus mengalami peningkatan. Namun demikian, Tabel 4.2 juga memperlihatkan bahwa konsumsi BBM sektor industri mengalami pertumbuhan negatif sejak tahun 2001. Sebagaimana bisa di lihat di Tabel 4.2, pada peride 20012004 dan periode 2004-2007, konsumsi BBM sektor industri mengalami kontraksi masing-masing sebesar 0,4% dan 15,3% per tahun. Karena itu, 89
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 89
6/22/2010 6:21:41 PM
Latif Adam
meskipun tetap sebagai konsumen BBM kedua terbesar, tetapi secara relatif, proporsi konsumsi BBM sektor industri terhadap total konsumsi BBM cenderung menurun. Untuk produk TPT, beberapa pengusaha di lokasi penelitian mengungkapkan bahwa penurunan konsumsi BBM di sektor industri TPT merupakan akibat dari interaksi dua faktor sebagai berikut. Pertama, kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM yang kemudian membuat harga komoditi ini bertambah mahal. Misalnya, pada tahun 2001, keputusan pemerintah mengurangi subsidi BBM untuk sektor industri membuat harga BBM untuk sektor ini menjadi 50% dari harga internasional, dan pada tahun 2002 naik menjadi 75% dari harga internasional (Clements et al., 2007). Keputusan pemerintah yang secara bertahap mengurangi subsidi BBM ini memaksa setiap jenis industri, seperti TPT, mendiversifikasi sumber energi mereka. Informasi yang diperoleh selama penelitian memang mengungkapkan bahwa banyak industri yang mengalihkan konsumsi energi dari BBM menjadi batubara. Selain batubara, biofuel dan gas menjadi alternatif yang semakin diminati sektor industri. Kedua, permintaan pasar terhadap produk indutri TPT dalam negeri, khususnya dalam satu tahun terakhir ini, mengalami penurunan. Keadaan ini memaksa sektor industri TPT mengurangi kapasitas produksi. Selain menurunkan konsumsi BBM, keputusan perusahaan untuk mengurangi kapasitas produksi juga diikuti dengan rasionalisasi tenaga kerja yang kemudian berdampak negatif terhadap penurunan daya beli masyarakat. Pada gilirannya, terjadinya penurunan daya beli masyarakat ini membuat permintaan masyarakat terhadap produk sektor industri TPT semakin menurun. Jadi, ada hubungan postif antara penurunan permintaan produk TPT dan penurunan konsumsi BBM. Terlepas dari permasalahan di atas, beberapa literatur (e.g Hill, 1990; Lall dan Rao, 1995, Adam dan sambodo, 2008) mengemukakan bahwa salah satu indikator yang bisa digunakan untuk menunjukkan
90
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 90
6/22/2010 6:21:41 PM
Analisis Kebijakan BBM di Sektor Industri
boros-tidaknya atau efisien-tidaknya suatu sektor didalam mengkonsumsi satu input adalah dengan membandingkan tingkat pertumbuhan penggunaan suatu input dengan tingkat pertumbuhan output yang dihasilkan. Apabila pertumbuhan penggunaan suatu input disuatu sektor lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan output yang dihasilkannya, maka sektor itu cenderung tidak efisien didalam menggunakan input tersebut. Hasil perhitungan yang dilakukan menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan penggunaan BBM di sektor industri jauh lebih cepat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan output yang bisa dihasilkan sektor itu. Misalnya, pada periode 2001-2005, ketika konsumsi BBM tumbuh dengan rata-rata 22,3% per tahun, output sektor industri hanya tumbuh dengan rata-rata 10,8% per tahun. Lebih cepatnya pertumbuhan konsumsi BBM dibandingkan dengan output yang dihasilkan mengindikasikan bahwa sektor industri membutuhkan BBM yang lebih banyak untuk menghasilkan satu unit output. Indikasi bahwa sektor industri membutuhkan BBM yang cenderung meningkat untuk menghasilkan output bisa dilihat dari rasio penggunaan BBM terhadap output yang dihasilkan (tingkat efisiensi penggunaan BBM). Sebagaimana bisa dilihat di Tabel 4.3, rasio penggunaan BBM terhadap output yang bisa dihasilkan semakin lama semakin meningkat. Misalnya, untuk menghasilkan 100 unit output, kalau pada tahun 1997 hanya dibutuhkan 1 unit input BBM, maka pada tahun 2005 meningkat menjadi 1,7 unit. Namun demikian, penting untuk dikemukakan bahwa hasil perhitungan mengenai rasio penggunaan BBM terhadap output yang dihasilkan perlu diterjemahkan secara hati-hati. Ini terjadi karena tingkat penggunaan BBM diukur dalam satuan rupiah. Karena itu, harga BBM yang terus meningkat menjadi faktor pendorong naiknya biaya penggunaan BBM. Dengan demikian, meningkatnya rasio penggunaan BBM terhadap output yang dihasilkan, tidak harus hanya diterjemahkan
91
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 91
6/22/2010 6:21:41 PM
Latif Adam
bahwa sektor industri semakin tidak efisien didalam menggunakan BBM. Lebih dari itu, hal ini bisa juga mengindikasikan bahwa kenaikan harga BBM membuat sektor industri mengeluarkan biaya BBM yang semakin mahal untuk bisa menghasilkan suatu jumlah output tertentu. Permasalahan-permasalahan seperti telah dijelaskan di atas kemungkinan besar mendorong pemerintah mengambil keputusan untuk membatasi atau melarang sama sekali sektor industri mengkonsumsi BBM bersubsidi. Melalui keputusan ini, maka sektor industri didorong untuk mengkonsumsi dan membayar harga BBM pada tingkat keekonomiannya. Artinya, sektor industri didorong untuk mengkonsumsi BBM sesuai dengan harga internasional yang ditentukan MOPS (Mid Oil Platts Singapore) ditambah dengan biaya distribusi (pengiriman), pajak, dan margin keuntungan perusahaan (PT Pertamina). Tabel 4.3 Pertumbuhan Nilai Output, Penggunaan BBM, dan Rasio Penggunaan BBM terhadap Output di Sektor Industri Indonesia, 1997-2005
Sumber: Dihitung dari BPS, Statistik Industri Besar dan Sedang, berbagai penerbitan Catatan: *) Tingkat pertumbuhan pada periode 1997-2001 **) Tingkat pertumbuhan pada periode 2001-2005
Pada tahun 2008, margin keuntungan atau yang lebih dikenal dengan faktor alpha ditetapkan sebesar 9,5% untuk setiap jenis BBM (premium, solar, minyak tanah). Secara tidak langsung faktor alpha ini menunjukkan tinggi-rendahnya efisiensi. Kenyataan bahwa beberapa perusahaan, seperti Petronas1, bisa menawarkan faktor alpha yang lebih 1 BUMN-nya Malaysia yang bergerak dibidang perminyakan
92
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 92
6/22/2010 6:21:41 PM
Analisis Kebijakan BBM di Sektor Industri
rendah mengindikasikan bahwa tingkat efisiensi PT Pertamina tidak sebaik seperti Petronas. Karena itu, beberapa perusahaan industri yang diwawancarai menuntut agar PT Pertamina terus berupaya meningkatkan efisiensi agar bisa menetapkan faktor alpha yang lebih rendah. Berdasarkan paparan di atas, dari sisi efisiensi, keputusan melarang sektor industri mengkonsumsi BBM bersubsidi mempunyai rasionalisasi ekonomi yang bisa dipertanggung jawabkan. Keputusan ini diharapkan mampu menghemat anggaran subsidi yang, seiring dengan naiknya harga komoditi ini, semakin membebani keungan negara. Penghematan anggaran subsidi BBM memberi ruang kepada pemerintah untuk merealokasi anggaran untuk membiayai bidangbidang yang lebih produktif dan memberi dampak positif yang lebih baik terhadap perekonomian. Lebih dari itu, pelarangan sektor industri untuk mengakses BBM bersubsidi diharapkan akan menstimulasi sektor ini untuk lebih hemat dan efisien didalam menggunakan BBM yang, secara relatif harganya semakin mahal dan persediannya semakin terbatas. Mau atau tidak, sektor industri harus merespon tertutupnya akses terhadap BBM bersubsidi dengan melakukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi mereka. Memang, sebagaimana dikemukakan Soesastro (2005) dan Yusgiantoro (2007) upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi ini merupakan langkah strategis yang harus dilakukan sektor industri untuk meng-offset tambahan biaya mengkonsumsi BBM sebagai akibat tertutupnya akses sektor industri terhadap BBM bersubsidi. Namun demikian, menuntut sektor industri meningkatkan produktivitas dan efisiensi, tanpa ada upaya dari pemerintah untuk memaksa beberapa BUMN penyedia faktor produksi meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya bukanlah kebijakan yang bijaksana. Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa BUMN yang punya peran penting sebagai penyedia faktor produksi bagi sektor industri, seperti PT PLN, PT Pertamina, ataupun PT Aneka Tambang, beroperasi
93
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 93
6/22/2010 6:21:41 PM
Latif Adam
secara tidak efisien. Mereka mentransfer ketidakefisiennya itu kepada sektor industri dengan mengenakan harga jual (BBM, listrik, ataupun hasil tambang) yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan beberapa perusahaan sejenis di beberapa negara tetangga. Sektor industri terpaksa menerima harga jual yang mahal dari BBM, listrik, dan hasil tambang karena tidak punya pilihan. Ini terjadi karena pasar beberapa faktor produksi bersifat oligopolistik dan kebanyakan dikuasi oleh beberapa BUMN. Pada gilirannya, mahalnya harga BBM, listrik, dan hasil tambang yang diterima sektor industri nasional menurunkan daya saing karena mereka terpaksa menjual produk dengan harga yang relatif lebih mahal. Upaya mendorong peningkatan efisiensi dan produktivitas beberapa BUMN, salah satunya bisa dilakukan dengan membuka pasar bagi masuknya para pemain baru yang bergerak di sektor-sektor penyedia faktor produksi. Kasus BBM menunjukkan contoh keberhasilan bahwa pembukaan pasar bagi masuknya para pemain baru sektor minyak berkorelasi terhadap kinerja PT Pertamina. Masuknya pemain baru, seperti Petronas, Shell, Total, memang membuat Pertamina terdorong meningkatan efisiensi, produktivitas, dan pelayanan mereka. Selain peningkatan efisiensi dan produktivitas BUMN penyedia faktor produksi, pemerintah idealnya juga bertindak dengan menggunakan pendekatan holistik untuk mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi sektor industri. Kebijakan dan pembenahan BBM hanyalah merupakan salah satu elemen yang mungkin hanya akan berdampak secara parsial terhadap peningkatan produktivitas dan efisiensi industri nasional. Memang, sebagaimana beberapa studi mengungkapkan (World Bank, 2004; Wallace, 2008) ada beberapa elemen lain, seperti infrastruktur, birokrasi, legal aspek, dan kualitas SDM, yang perlu pembenahan dari pemerintah karena elemen-elemen itu terbukti menghambat peningkatan produktivitas dan efisiensi industri nasional
94
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 94
6/22/2010 6:21:41 PM
Analisis Kebijakan BBM di Sektor Industri
4.3 Pengalaman Beberapa Negara Tetangga Subsidi BBM tidak hanya diberlakukan di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara tetangga, seperti Malaysia dan China. Apakah sektor industri di kedua negara tetangga itu bisa mengkonsumsi BBM bersubsidi? Bagaimana langkah-langkah yang ditempuh Pemerintah Malaysia dan China untuk mengurangi ketergantungan sektor industri terhadap BBM? Tulisan pada bagian ini akan mencoba melakukan comparative analysis mengenai kebijakan BBM di sektor industri di kedua negara tetangga itu. Diharapkan, hasil comparative analysis ini akan memberikan palajaran kepada Indonesia mengenai kelemahan dan keunggulan kebijakan BBM di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan sektor industri. 4.3.1 Malaysia Sama seperti Indonesia, Malaysia merupakan salah satu negara tetangga yang juga memberikan subsidi BBM. Pada awalnya, hampir semua sektor ekonomi di negara itu bisa mengkonsumsi BBM bersubsidi. Namun demikian, seiring dengan pergerakan yang semakin liar dari harga minyak bumi (BBM) di pasar internasional, secara bertahap Pemerintah Malaysia mulai membatasi pemberian BBM bersubsidi. Misalnya, pada tanggal 10 Juni 2008, Pemerintah Malaysia menaikan harga premium dan solar, masing-masing sebesar 41% dan 63% (The Australian, 2008). Seiring dengan kebijakan untuk mengurangi beban subsidi BBM, Pemerintah Malaysia terpaksa harus menentukan skala prioritas, mana sektor yang bisa dan tidak bisa dengan bebas mengkonsumsi BBM bersubsidi. Sektor transportasi, termasuk didalamnya pemilik kendaraan pribadi, dan sektor perikanan (nelayan) adalah dua sektor yang masih bisa menikmati subsidi BBM, walaupun dengan proporsi yang semakin menurun. Sementara sektor industri, adalah salah satu sektor yang tidak bisa lagi dengan bebas mengkonsumsi BBM bersubsidi. Keputusan
95
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 95
6/22/2010 6:21:41 PM
Latif Adam
Pemerintah Malaysia pada tanggal 10 Juni 2008 untuk mencabut subsidi solar dan minyak bakar menjadi titik tolak berlakunya era baru dimana sektor industri di negara jiran itu tidak bisa lagi dengan bebas mengkonsumsi BBM bersubsidi. Namun demikian, dampak dari pembatasan akses sektor industri terhadap BBM bersubsidi di Malaysia kemungkinan tidak separah seperti yang dirasakan oleh sektor industri di Indonesia. Paling tidak ada dua faktor yang bisa menjelaskan kenapa hal ini terjadi. Pertama, perusahaan supplier BBM di Malaysia, khususnya Petronas, sudah beroperasi pada tingkat efesiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan supplier BBM di Indonesia, seperti Pertamina. Karena itu, biaya distribusi ataupun faktor alpha yang dikenakan Petronas jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dikenakan Pertamina. Implikasinya, Petronas bisa menjual BBM ke sektor industri dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan Pertamina. Kenyataan bahwa harga BBM di Malaysia relatif lebih murah dibandingkan dengan di Indonesia membuat sektor industri di negara tetangga itu tetap memiliki keuntungan competitive untuk bersaing dengan sektor industri dari negara lain, termasuk Indonesia. Kedua, Pemerintah Malaysia sudah sejak tahun 1971 mendorong pengembangan energi alternatif. Secara bertahap semua sektor, termasuk sektor industri, didorong untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap BBM. Berbagai macam insentif di bidang fiskal dan non-fiskal disediakan untuk menstimulasi produsen dan konsumen energi alternatif, termasuk sektor industri. Program diversifikasi energi alternatif di Malaysia tampaknya membuahkan hasil yang cukup penting untuk mengurangi ketergantungan negeri ini terhadap BBM. Secara bertahap, konsumsi BBM mengalami penurunan yang signifikan, digantikan oleh beberapa sumber energi alternatif lainnya. Pada tahun 1990 dan 2003, konsumsi BBM menurun dari 53,1% menjadi hampir 10%. Sebaliknya, dalam kurun
96
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 96
6/22/2010 6:21:41 PM
Analisis Kebijakan BBM di Sektor Industri
waktu yang sama, konsumsi gas bumi meningkat dari 37,1% menjadi 71%, batubara dari 4,4% menjadi 10%, dan PLTA dari 10% menjadi 11,9% (Rahman, 2005; Yuliarto, 2009). Dalam lima tahun terakhir ini Malaysia juga secara agresif mendorong pengembangan biofuel. Misalnya, pada tahun 2002 Pemerintah Malaysia mencanangkan program SREP (Small Renewable Energy Power) dan membentuk SCORE (Special Commite on Renewable Energy) untuk mendorong akselerasi pengembangan biofuel. SCORE juga memiliki tanggung jawab menjalankan langkahlangkah implementatif untuk menekan konsumsi energi fosil yang berlebiahan. Tidak mengherankan bila porfolio energi di Malaysia lebih beragam dibandingkan dengan di Indonesia. Keragaman sumber energi ini membuat Malaysia memiliki ketahanan energi yang relatif kuat dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Tersedianya energi alternatif dengan variasi dan dalam jumlah yang mencukupi merupakan modal dasar yang sangat penting untuk mempertahankan dan mendorong peningkatan daya saing sektor industri. Tersedianya energi alternatif membuat sektor industri di Malaysia tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika mereka harus beradaptasi dengan keputusan pemerintah untuk membatasi akses sektor itu terhadap BBM bersubsidi. Tidak mengherankan bila daya saing sektor industri Malaysia relatif lebih baik dibandingkan dengan daya saing sektor industri dari beberapa negara, termasuk Indonesia (Hadisoesastro dan Basri, 2004). Portofolio dan ketahanan energi di Indonesia berada dalam kondisi yang jauh berbeda dibandingkan dengan di Malaysia. Karena arah kebijakan dan penguatan kelembagaan ekonomi penunjang pengembangan energi alternatif masih belum tersistematis, portofolio energi di Indonesia masih sangat terbatas. Keadaan ini membuat ketahanan energi di Indonesia tidak sekuat seperti di Malaysia. Karena itu, cukup beralasan jika beberapa perusahaan yang diwawancarai
97
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 97
6/22/2010 6:21:41 PM
Latif Adam
di lokasi penelitian menyebutkan bahwa lemahnya portofolio dan ketahanan energi nasional mengurangi kemampuan mereka untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing mereka. 4.3.2 China Berbeda dengan Indonesia ataupun Malaysia, China merupakan suatu negara yang mati-matian mempertahankan subsidi BBM untuk sektor industri. Walaupun fluktuasi harga minyak bergerak sangat liar, Pemerintah China bersikukuh menawarkan subsidi kepada sektor industri. Kondisi keuangan Pemerintah China yang sangat kuat kemungkinan mempermudah langkah negara itu menyediakan fasilitas subsidi terhadap sektor industrinya. Negara-negara Barat, dengan motor Amerika dan Eropa memprotes kebijakan subsidi yang diberikan secara masif oleh Pemerintah China. Dengan adanya subsidi, maka industri China akan lebih mudah mempertahankan dan meningkatkan daya saingnya di pasaran internasional. Keteguhan Pemerintah China menyediakan BBM bersubsidi bagi sektor industri mengindikasikan bahwa China mempunyai kepentingan untuk tetap menjaga pertumbuhan sektor industri. Argumentasinya boleh jadi karena sektor industri selama ini menjadi lokomotif dari pembangunan ekonomi China. Artinya, sektor industri berperan tidak hanya dalam menciptakan output dan mendorong ekspor, tetapi juga dalam menyediakan kesempatan kerja. Peran industri yang demikian penting membuat sektor ini menjadi andalam untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi secara berkelanjutan. China memang mempunyai kepentingan untuk tetap bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi tinggi. Sampai saat ini terdapat kurang lebih 90 juta orang di China yang masuk kedalam kategori pengangguran (Clark, 2008). Seandainya pertumbuhan ekonomi China mengalami penurunan, maka diperkirakan bahwa negara itu tidak akan mampu menyelesaikan agenda pengurangan pengangguran. Dalam kontek pertumbuhan ekonomi tinggi, maka 98
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 98
6/22/2010 6:21:42 PM
Analisis Kebijakan BBM di Sektor Industri
sektor industri memiliki peran sangat penting. Karena itu, Pemerintah China berupaya tetap menyediakan subsidi BBM agar sektor industrinya tetap mengalami pertumbuhan. Namun demikian, penting untuk dikemukakan bahwa tidak semua jenis industri di China bisa mengakses BBM bersubsidi. Ini terjadi karena Pemerintah China mengadopsi kebijakan subsidi selektif. Artinya, bisatidaknya suatu jenis industri mendapatkan akses terhadap BBM bersubsidi tergatung dari bisa-tidaknya jenis industri itu mencapai target (sistem target) seperti sebelumnya telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian, ada kriteria dan persyaratan tertentu yang perlu dipenuhi satu jenis industri untuk bisa menikmati BBM bersubsidi. Secara umum, beberapa jenis industri yang bisa menikmati BBM bersubsidi adalah (Choy, 2007): •
Industri dasar yang memproduksi barang-barang intermediary goods sebagai input bagi industri hilir China
•
Industri yang memiliki kemampuan menjual produknya di pasaran ekspor dalam proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan produknya yang di jual di pasaran domestik
•
Industri yang mampu menyediakan kesempatan kerja secara signifikan dan mampu melakukan inovasi untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya
Selain itu, untuk mengurangi ketergantungan sektor industri terhadap BBM, Pemerintah China juga secara aktif mengembangkan energi alternatif. Sama seperti yang dilakukan Pemerintah Malaysia, Pemerintah China menyediakan beragam insentif fiskal (pengurangan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai) dan non-fiskal (infrastruktur, subsidi bunga perbankan) untuk mendorong produsen dan konsumen energi alternatif. Tidak mengherankan bila konsumsi BBM sektor industri mengalami penurunan, sedangkan konsumsi nonBBM (batubara dan gas) mengalami peningkatan yang cukup pesat. 99
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 99
6/22/2010 6:21:42 PM
Latif Adam
4.4 Memetik Pelajaran dari Pengalaman Malaysia dan China Pengalaman Malaysia dan China memberi pelajaran yang cukup penting mengenai manajemen pengelolaan BBM untuk sektor industri. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ada persamaan dan perbedaan yang dilakukan kedua pemerintah negara tetangga itu didalam menerapkan kebijakan BBM terhadap sektor industri. Misalnya, dalam kaitan dengan perbedaan, kalau Pemerintah Malaysia menutup sama sekali akses sektor industri terhadap BBM bersubsidi, Pemerintah China justru membiarkan sektor industrinya tetap menikmati BBM bersubsidi. Hanya saja, berbeda dengan pemberian subsidi yang dilakukan Pemerintah Indonesia di masa lalu, pemberian subsidi terhadap sektor industri di China dikaitkan dengan target-target tertentu yang sebelumnya ditetapkan pemerintah. Sistem target yang diberlakukan Pemerintah China ini merupakan kontrol yang membatasi bisa tidaknya suatu jenis industri mengakses BBM bersubsidi. Memang, tidak semua jenis industri di China bisa mengakses BBM bersubsidi. Tetapi, hanya industri-industri tertentu yang punya peran sangat penting bagi perekonomian yang bisa menikmati BBM bersubsidi. Dalam kaitan dengan persamaan, kedua negara secara aktif dan progresif mengembangkan energi alternatif sejak beberapa dekade yang lalu. Berbagai macam insentif, di bidang fiskal dan non-fiskal, disediakan Pemerintah Malaysia dan China terhadap produsen dan konsumen energi non-BBM untuk mendorong perkembangan energi alternatif. Tidak mengherankan apabila kedua negara tetangga itu memiliki portofolio energi yang relatif beragam dibandingkan dengan Indonesia. Relatif beragamnya portofolio energi yang dimiliki Malaysia dan China mempermudah sektor industri di kedua negara itu melakukan adaptasi terhadap fluktuasi harga BBM di pasar internasional. Ketika harga BBM di pasar mengalami peningkatan, sektor industri di kedua negara itu bisa tetap menjaga performanya karena mereka sudah terbiasa dan bisa dengan mudah mendapatkan energi alternatif. Karena 100
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 100
6/22/2010 6:21:42 PM
Analisis Kebijakan BBM di Sektor Industri
itu, tersedianya energi alternatif merupakan modal sangat penting bagi sektor industri di kedua negara itu untuk bisa mempertahankan dan meningkatkan posisi daya saingnya di pasar domestik dan internasional. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Indonesia mengambil langkah yang mirip dengan yang dilakukan Malaysia. Beberapa media masa Malaysia (e.g. The Star, 2008; Utusan Malaysia, 2008; Metro, 2008; Kosmo, 2008) bahkan melaporkan bahwa ide Pemerintah Malaysia untuk membatasi akses sektor industri di negara itu terhadap BBM bersubsidi terinspirasi dari kebijakan yang sebelumnya dilakukan Pemerintah Indonesia. Kalau pertimbangannya waktu, memang Indonesia memberlakukan pembatasan akses sektor industri terhadap BBM bersubsidi lebih awal daripada Malaysia. Sayangnya, ada kesan bahwa keputusan Pemerintah Indonesia untuk membatasi akses sektor industri terhadap BBM bersubsidi diambil tanpa melalui perencanaan yang matang. Hal ini salah satunya terindikasi dari tidak adanya persiapan yang jelas untuk mengantisipasi perubahan konsumsi sektor industri dari BBM ke jenis energi lain. Padahal, idealnya antisipasi mengenai perubahan konsumsi sektor industri dari BBM ke jenis energi lain harus dilakukan jauh hari sebelum keputusan pembatasan akses sektor industri terhadap BBM itu diambil. Paling tidak, ada tiga argumen mengapa perubahan konsumsi sektor industri ke jenis energi lain perlu mendapat prioritas dari pemerintah. Pertama, fluktuasi harga BBM sudah terjadi sejak beberapa dekade yang lalu2. Intensitasnya semakin meningkat memasuki era tahun 2000an. Terlepas dari dugaan bahwa fluktuasi harga BBM saat ini didorong oleh motif spekulasi, tetapi data yang tersedia juga mengungkapkan bahwa fluktuasi harga BBM terjadi karena permintaan terhadap BBM di pasaran internasional tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan 2 Fluktuasi (kenaikan) harga minyak pertama kali terjadi pada tahun 1973 pada saat negara-negara OPEC menahan produksi minyaknya hingga ke kisaran 19,8 juta BPH (Booth, 1995). Pada tahun itu, harga minyak meningkat kurang lebih 300% dari USD 2,9 menjadi USD 11,65 per barel
101
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 101
6/22/2010 6:21:42 PM
Latif Adam
penawarannya (Purwanto et al., 2008). Terjadinya fluktuasi harga BBM dengan intensitas yang cenderung meningkat seharusnya mendorong pemerintah untuk lebih serius mengembangkan energi alternatif yang berbasis sumber daya lokal. Kedua, gap diantara produksi dan konsumsi BBM di dalam negeri semakin lama semakin melebar. Di satu sisi, produksi BBM, sebagaimana terindikasi dari tingkat lifting semakin lama semakin menurun. Di sisi lain, konsumsi BBM didalam negeri cenderung mengalami peningkatan. Kesenjangan yang semakin melebar diantara produksi dan konsumsi membuat Indonesia masuk kedalam kategori negara yang belum/tidak mandiri BBM. Kondisi seperti ini membuat Indonesia berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap fluktuasi harga BBM di pasaran internasional. Karena itu, dalam konteks ketahanan energi, Indonesia idealnya perlu mengambil langkah-langkah antisipatif untuk memperkuat portofolio energi yang lebih beragam dengan cara mengembangkan energi alternatif. Ketiga, pemerintah idealnya mampu memprediksi perilaku dunia usaha sebelum keputusan untuk membatasi sektor industri terhadap BBM bersubsidi diambil. Dengan membatasi akses sektor industri terhadap BBM bersubsidi, maka biaya yang dikeluarkan pelaku usaha untuk mendapatkan BBM akan meningkat secara signifikan. Sebagai respon terhadap situasi ini, secara alamiah, pelaku usaha akan berupaya mencari energi alternatif sebagai input substitusi BBM yang harganya secara relatif menjadi lebih mahal. Di lokasi penelitian (Jawa Barat) keinginan para pelaku usaha untuk merubah konsumsi BBM terhadap jenis energi lain, seperti batubara, panas bumi atau gas, terlihat sangat jelas. Sayangnya, sebagaimana dikemukakan beberapa pengusaha, minimnya infrastruktur dan terbatasnya supply jenis energi alternatif di pasaran, membuat mereka masih belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan terhadap BBM.
102
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 102
6/22/2010 6:21:42 PM
Analisis Kebijakan BBM di Sektor Industri
Pada tataran konsep, didalam kebijakan energi nasional3, sejak tahun 1981 Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah memasukan program pengembangan energi alternatif sebagai salah satu program utamanya. Melalui program pengembangan energi alternatif, pemerintah berharap bahwa Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi. Lebih dari itu, didalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025, pemerintah menargetkan bahwa pada tahun 2025 konsumsi BBM harus menurun menjadi 26,2%, sedangkan sisa konsumsi sebesar 73,9% harus berasal dari energi alternatif (dengan rincial gas bumi 30,6%; batubara 32,7%; PLTA 2,4%; panas bumi 3,8%; dan biofuel, tenaga surya, serta tenaga angin 4,4%). Sayangnya, langkah apa yang akan dilakukan pemerintah untuk mencapai target seperti tercatat didalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 belum terjabarkan dengan baik. Demikian halnya, program-program implementatif untuk mempercepat perubahan struktur konsumsi energi yang menjauh dari BBM masih belum terstruktur dengan baik. Karenanya, bisa-tidaknya pemerintah merealisasikan target yang telah ditetapkannya masih dalam tanda tanya besar. Namun demikian, mengacu kepada informasi statistik (Tabel 3.5) yang menunjukan bahwa konsumsi energi masih sangat didominasi oleh BBM, ada indikasi bahwa pemerintah akan mengalami kesulitan merealisasikan targetnya. Sebagaimana bisa dilihat di Tabel 3.5, dalam kurun waktu 1995-2007, proporsi konsumsi BBM hanya mengalami penurunan dalam proporsi yang sangat kecil, yaitu dari 43,1% menjadi 38,7%. Penurunan yang sangat kecil itu mengindikasikan bahwa Indonesia masih sangat tergantung pada BBM sebagai sumber energi yang utama.
3 Pada tahun 1981 Kebijakan Energi Nasional (KEN) disebut dengan Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE), baru pada tahun 2003 KUBE berganti nama menjadi KEN
103
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 103
6/22/2010 6:21:42 PM
Latif Adam
Tabel 4.4 Struktur Konsumsi Energi di Indonesia
Sumber: Dihitung dari Departemen ESDM, Neraca Industri, berbagai penerbitan
Beberapa permasalahan berkontribusi terhadap munculnya kesulitan untuk mengembangkan energi alternatif. Pertama, payung hukum yang melandasi pengembangan energi alternatif masih belum menjadi acuan pada tataran implementasi. Hal ini kemungkinan muncul karena Indonesia termasuk terlambat memiliki UU Energi. Memang, negeri ini baru memiliki UU Energi pada tahun 2008. Akibatnya, pengembangan energi alternatif masih bersifat parsial dan memiliki kecenderungan untuk tetap mengacu kepada UU mengenai jenisjenis energi tertentu, seperti UU Panas Bumi, UU Kelistrikan, ataupun UU Migas. Karena masih bersifat parsial, tidak jarang pengembangan energi alternatif yang satu bertabrakan dengan pengembangan energi alternatif lainnya. Misalnya, di lokasi penelitian (Jawa Barat), ada indikasi bahwa pengembangan batubara dan panas bumi dilakukan secara sendiri-sendiri. Tidak mengherankan bila pengembangan kedua jenis energi alternatif itu bersifat saling mematikan daripada secara harmonis berjalan beriringan. Kedua, UU Energi belum diturunkan kedalam instrumen-instrumen yang jelas dan logis sehingga mempermudah pelaksanaan dan koordinasi diantara pemerintah pusat dan daerah. Hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa narasumber menunjukkan terdapat kesan bahwa pemerintah pusat dan daerah bersifat saling menunggu. Artinya, pemerintah daerah menunggu instruksi apa yang harus mereka lakukan 104
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 104
6/22/2010 6:21:42 PM
Analisis Kebijakan BBM di Sektor Industri
dari pemerintah pusat, sedangkan pemerintah pusat menunggu masukan dari pemerintah daerah. Seandainya UU Energi sudah dijabarkan kedalam program pelaksanaan yang implementatif, sifat saling menunggu ini mungkin tidak akan muncul ke permukaan. Lebih dari itu, penjabaran UU Energi kedalam program-program yang implementatif menjamin berkembangnya energi alternatif dengan arah yang jelas sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing daerah. Ketiga, ego sektoral dari masing-masing departemen yang tidak terkoordinasi masih lekat mewarnai pengembangan energi alternatif di Indonesia. Hal ini boleh jadi merupakan akibat dari tidak adanya coordinating institution yang bertanggung jawab melakukan koordinasi baik antar departemen di pemerintah pusat ataupun diantara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Mengacu kepada pengalaman Malaysia (yang memiliki lembaga SCORE), ada baiknya pemerintah mengambil inisiatif membentuk lembaga atau memfungsikan lembaga yang telah ada dengan tanggung jawab melakukan koordinasi dan menyusun program implementatif untuk mempercepat upaya pengembangan energi alternatif. Keempat, political will dari pemerintah mengenai pengembangan energi alternatif masih belum jelas. Hal ini salah satunya terindikasi dari kebijakan insentif. Berbeda dengan yang dilakukan Pemerintah Malaysia dan China yang secara aktif dan progresif menawarkan beragam insentif, Pemerintah Indonesia hanya menawarkan insentif yang masih minimalis. Akibat minimalnya insentif yang disediakan, maka hal itu belum mampu merangsang secara optimal perkembangan energi alternatif. Berkaca dari pengalaman Malaysia dan China, ada beberapa jenis insentif yang penting diberikan kepada konsumen dan produsen energi alternatif, seperti insentif perpajakan (pengurangan dan penghapusan pajak pertambahan nilai, pembebasan pajak bea masuk, pemberian penghargaan kepada perusahaan pengguna energi alternatif, penghapusan pajak barang mewah terhadap barang-barang yang menggunakan energi alternatif) dan insentif moneter (pembebasan/pengurangan bunga pinjaman 105
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 105
6/22/2010 6:21:42 PM
Latif Adam
terhadap investor yang mengembangkan energi alternatif). Pemerintah juga perlu medukung pengembangan alternatif dengan menyediakan infrastruktur yang efisien. Kelima, penelitian mengenai energi alternatif di Indonesia tidak seintensif seperti yang dilakukan di Malaysia atau China. Alokasi dana penelitian di bidang ini yang relatif masih kecil menjadi kendalanya. Mengacu kepada pengalaman Malaysia dan China, pemerintah tampaknya perlu mengalokasikan dana penelitian yang lebih besar dari yang saat ini ada. Dalam kaitan ini, bisa saja pemerintah menambah dana penelitian dari anggaran yang yang bisa dihemat dari pengurangan subsidi BBM
4.5 Kesimpulan Tulisan pada bab ini telah menganalisis kebijakan BBM di sektor industri. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya, dalam beberapa tahun terakhir ini ada perubahan yang cukup fundamental didalam kebijakan BBM. Misalnya, pada tahun 2007 beberapa sektor, seperti sektor industri, tidak lagi mendapatkan subsidi dari pemerintah. Karena itu, sejak tahun 2007, sektor industri harus membeli BBM pada tingkat keekonomiannya sesuai dengan harga yang berlaku di pasar internasional. Ada berbagai pertimbangan yang melandasi keputusan pemerintah menutup akses sektor industri terhadap BBM bersubsidi. Beberapa diantaranya adalah semakin melebarnya gap diantara produksi dan konsumsi BBM didalam negeri, kecenderungan sektor industri yang semakin boros mengkonsumsi BBM, dan tidak paralelnya hubungan diantara pemberian subsidi dan peningkatan produktivitas. Karena itu, dari perspektif ekonomi, selain diharapkan mampu mendorong sektor industri agar lebih hemat menggunakan BBM, penutupan akses sektor industri terhadap BBM bersubsidi juga diharapkan mampu memaksa sektor ini melakukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. 106
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 106
6/22/2010 6:21:42 PM
Analisis Kebijakan BBM di Sektor Industri
Namun demikian, memaksa sektor industri meningkatkan produktivitas dan efisiensi, tanpa ada upaya dari pemerintah untuk me-ngatasi penyebab munculnya ekonomi biaya tinggi bukanlah kebijakan yang bijaksana. Ini berarti bahwa penutupan akses sektor industri terhadap BBM bersubsidi idealnya diikuti dengan kebijakan yang bisa mendorong beberapa BUMN penyedia input bagi sektor industri (seperti Pertamina, PLN, dan PT Aneka Tambang) untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas mereka. Selain itu, pemerintah juga perlu bebenah untuk mengatasi munculnya fenomena ekonomi biaya tinggi yang disebabkan oleh infrastruktur, birokrasi, legal aspek, dan kualitas SDM. Lebih dari itu, dibandingkan dengan Malaysia dan China, terdapat kesan bahwa keputusan menutup akses sektor industri terhadap BBM bersubsidi cenderung bersifat reaktif dan tanpa melalui perencanaan yang matang. Hal ini terindikasi dari tidak adanya persiapan yang jelas untuk mengantisipasi perubahan konsumsi sektor industri dari BBM ke jenis energi lain. Pada tataran konsep, pemerintah sebenarnya sudah mencanangkan pengembangan energi alternatif sejak tahun 1981. Sayangnya, pencanangkan itu tidak diikuti dengan langkah-langkah implementatif. Akibatnya, sebagian besar sektor industri masih sangat tergantung kepada BBM. Ketika pemerintah menutup akses sektor industri terhadap BBM bersubsidi, sebagian besar perusahaan dilokasi penelitian mengaku bahwa hal itu membawa dampak negatif terhadap kinerja perusahaan. Mengingat pengembangan energi alternatif merupakan bagian penting dari keputusan untuk menutup akses sektor industri terhadap BBM bersubsidi, maka upaya yang serius dan konsisten harus menjadi agenda pemerintah. Berdasarkan analisis pada bagian sebelumnya, beberapa upaya perlu diproritaskan: •
Menjadikan UU Energi sebagai payung hukum yang harus melandasi setiap langkah implementatif pengembangan energi alternatif
107
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 107
6/22/2010 6:21:42 PM
Latif Adam
•
UU Energi perlu segera diturunkan kedalam instrumen-instrumen yang jelas dan logis sehingga mempermudah pelaksanaan dan koordinasi
•
Membentuk lembaga yang bisa mengkoordinasikan setiap langkah untuk mempercepat pengembangan energi alternatif
•
Pemerintah perlu memiliki political will yang serius dengan menyediakan beragan insentif di bidang fiskal (pengurangan dan penghapusan pajak pertambahan nilai, pembebasan pajak bea masuk, pemberian penghargaan kepada perusahaan pengguna energi alternatif, penghapusan pajak barang mewah terhadap barang-barang yang menggunakan energi alternatif ), moneter (pembebasan/pengurangan bunga pinjaman terhadap investor yang mengembangkan energi alternatif ), dan bidang-bidang lainnya (pembangunan infrastruktur dan institusi pendukung)
•
Mengintensifkan penelitian yang bisa menyokong akselerasi pengembangan energi alternatif.
108
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 108
6/22/2010 6:21:43 PM
Analisis Kebijakan BBM di Sektor Industri
DAFTAR PUSTAKA Adam, L. dan Sambodo, M.T., 2008, ”Analisis Kinerja Beberapa Industri”, dalam Sambodo et al., (eds) Mengurai Benang Kusut Daya Saing Indonesia, LIPI Press, pp. 127-145 Clements, B., Jung, H., dan Gupta, S., 2007, “Real and Distributive Effect of Petroleum Price Liberalization: the Case of Indonesia”, Developing Economies, Vol. 45 No. 2, hal 220-237. Chongbo, W., 2005, “Indonesian Textile and Garment Industry: Challenges and Prospects”, Indonesian Quarterly, Vol. 33 No. 3, pp. 208-215. Hill, H., 1990, “Indonesia: Export Promotion after the Oil Boom”, In Milner, C. (ed.), Export Promotion Strategies Theory and Evidence from Developing Countries , Loughborough University Press, Harvester, hal 185-212. Lall, S. and Rao, K., 1995, “Indonesia: Sustaining Manufactured Export Growth, Main Report, Revisited Draft, Jakarta, Agustus. Lestari, E., Adam, L., Sambodo, M.T., Purwanto, dan Ermawati, T., 2007, Pengaruh Kebijakan Harga Energi terhadap Kegiatan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat: Dampak Kenaikan Harga BBM, Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI. Purwanto, Jusmaliani, Adam, L., Lestari, E., Ermawati, T., dan Sambodo, M.S., 2008, Pengaruh Kebijakan Harga Energi terhadap Kegiatan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Studi Kasus Sektor Transportasi, Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI.
109
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 109
6/22/2010 6:21:43 PM
Latif Adam
Soesastro, H., 2005, “Ekonomi Politik Penghimpunan Modal di Indonesia”, dalam Soesastro, H., Budiman, A., Triaswati, N., Alisjahbana, A., dan Adingsih, S. (eds), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, Kanisius, hal 145-160. Soesastro, H. dan Basri, M.C., 2005, “The Political Economy of Trade Policy in Indonesia” ASEAN Economic Bulletin, Vol. 22 No. 1, pp. 3-18. The Australian, 2008, Asia Faces Push to End Oil Subsidies, 10 Juni. Thee, K.W. dan Lindbland, J.T., 2007, ”Survey of Recent Development, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 43 No. 1, hal. 5-31. Yuliarto, B. 2009, Gagalnya Kebijakan Energi, http://www.jatam.org/ index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=354, diakses 26 Mei 2008. Yusgiantoro, P., 2007, Fokus Kebijakan Energi pada Sisi Permintaan, http:// www.sarwono.net/berita.php?id=271, diakses 26 Mei 2008. Wallace, W., 2008, From Indonesia 2008 to Indonesia 2012 and beyond Where Things Stand and the Challenges Ahead, Washington DC World Bank, 2004, Raising Investment in Indonesia a Second Generation of Reforms, Washingthon DC
110
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 110
6/22/2010 6:21:43 PM
Analisis Kebutuhan Energi Industri TPT dan Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Kinerja Sektor Industri
BAB 5 ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI INDUSTRI TPT DAN PENGARUH KONSUMSI ENERGI TERHADAP KINERJA SEKTOR INDUSTRI Purwanto 5.1 Pendahuluan Sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) cukup lama dikenal sebagai salah satu sub sektor utama dalam industri pengolahan di Indonesia. Industri ini juga cukup signifikan memberikan kontribusi bagi perekonomian Indonesia yaitu dalam pembentukan PDB nasional dan penyerapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan. Namun demikian, perkembangan industri TPT cukup mengalami pasang surut dan bahkan sempat dikategorikan sebagai sunset industri atau industri yang sedang mengalami penurunan oleh sebagian kalangan pengamat industri. Tantangan terbesar yang dihadapi oleh industri TPT adalah kondisi persaingan industri TPT dunia yang sangat ketat terutama dari pesaing negara China dan India. Kemampuan dalam melakukan proses produksi yang efisien dan kemampuan dalam investasi alih teknologi pada proses produksi dapat mempengaruhi kemampuan daya saing produk yang dipasarkan. Namun demikian, secara umum, industri TPT masih tetap memiliki peran yang besar dan tentunya membutuhkan perhatian besar dari pemerintah agar aktivitas industri TPT tetap dapat berdaya saing di pasar. Hasil studi yang dilakukan oleh Maxensius Tri Sambodo dan kawan-kawan (2007) menyebutkan bahwa daya saing industri TPT yang diindikasikan dari indeks RCA masih cukup tinggi (angka indeks lebih dari 1 yang berarti masih memiliki daya saing yang baik) walaupun kecenderungannya mengalami penurunan. Salah satu permasalahan
111
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 111
6/22/2010 6:21:43 PM
Purwanto
yang dihadapi sektor industri adalah keterbatasan pasokan energi dan listrik yang merupakan komponen input penting dalam aktivitas produksi. Kondisi ini juga dihadapi oleh industri tekstil dan produk tekstil. Upaya penguatan sektor industri yang dicanangkan oleh pemerintah layak mendapatkan dukungan di tengah kondisi perekonomian dunia yang mengalami pelemahan akibat adanya krisis keuangan global pada periode tahun 2008 – 2009 ini. Dampak fenomena krisis global juga dialami oleh industri TPT karena Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang terdampak cukup parah dari adanya krisis tersebut merupakan pasar terbesar dari TPT dengan kontribusi sekitar 40 persen dari total ekspor TPT Indonesia. Berdasarkan kondisi tersebut diatas, sektor industri jelas terlihat adanya ketergantu ngan pada BBM dan listrik. Terjadinya kenaikan harga minyak yang sangat drastis tentu saja akan secara signifikan mempengaruhi kinerja sektor industri. Oleh karena itu pemetaan kebutuhan energi sektor industri menjadi sangat penting dalam upaya memberikan gambaran dan informasi tentang kondisi kebutuhan energi sektor industri sehingga dapat ditetapkan strategi dan kebijakan yang dapat mendukung akselerasi pertumbuhan sektor industri nasional. Dalam bab ini, bagian awal akan menjabarkan tentang kondisi kebutuhan energi secara khusus dengan melakukan analisis pada industri tekstil dan produk tekstil. Bagian berikutnya akan mencoba melakukan analisis tentang peta kebutuhan energi dan analisis ekonometrik untuk mengetahui besarnya pengaruh konsumsi energi dalam perubahan nilai produksi dan nilai tambah industri. Bagian terakhir merupakan kesimpulan dan rekomendasi terkait kebutuhan energi sektor industri.
5.2 Kebutuhan Energi Sektor Industri Tekstil dan Produk Tekstil Industri tekstil merupakan salah satu industri yang masih mampu memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap perekonomian nasional. Kontribusi sebesar 2 persen terhadap total PDB bukanlah suatu 112
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 112
6/22/2010 6:21:43 PM
Analisis Kebutuhan Energi Industri TPT dan Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Kinerja Sektor Industri
nilai yang kecil karena setara dengan Rp 50,99 trilliun dan menempati peringkat keempat sebagai kontributor utama dari sektor industri pengolahan. Selain itu, industri tekstil memiliki cukup banyak cabang industri mulai dari industri pembuatan serat/fiber-making hingga ke garmen maupun produk-produk dari industri turunan tekstil dan produk tekstil dari skala besar hingga skala rumah tangga. Karakteristik industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia dapat dilihat dari gambar dibawah ini Tabel 5.1 Karakter Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia
Sumber: API, 2009.
113
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 113
6/22/2010 6:21:43 PM
Purwanto
Industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia dapat dikategorikan dalam 3 kelompok industri yaitu industri hulu (upstream) yang terdiri dari industri serat alami dan serat sintetis, hilir (downstream) terdiri dari industri garmen atau pakaian jadi dan produk tekstil lainnya dalam skala kecil, dan industri antara (midstream) yang terdiri dari spinning, weaving, knitting dan dying. Industri upstream umumnya merupakan industri padat modal karena sebagian besar aktivitas produksi menggunakan mesin full automatic sehingga hanya membutuhkan tenaga kerja yang relaif sedikit tetapi mampu menghasilkan produk serat alam, serat sintetis, dan serat rayon dalam jumlah besar. Industri midstream merupakan industri semi padat modal karena menggunakan teknologi permesinan yang cukup modern tetapi masih membutuhkan tenaga kerja yang lebi besar dari industri upstream dengan kemampuan produksi benang, dan kain lembaran (woven dan knitted). Sedangkan industri downstream umumnya adalah industri pada tenaga kerja karena membutuhkan tenaga operator yang cukup banyak dan sebagian besar merupakan tenaga kerja perempuan. Teknologi yang digunakan juga telah berkembang dengan pesat namun masih terkombinasi antara teknologi yang padat modal dengan yang padat tenaga kerja untuk memenuhi dinamika permintaan konsumen yang sangat pesat sesuai dengan trend yang ada di masyarakat untuk produk pakaian jadi, karpet, bed linen, curtain, dan lain-lainnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa semakin ke hilir industri tekstil dan produk tekstil semakin labor intensive dan membutuhkan perputaran modal kerja yang cepat sedangkan Semakin ke hulu semakin capital intensive dan dengan tingkat konsumsi energi yang semakin besar.
114
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 114
6/22/2010 6:21:43 PM
Analisis Kebutuhan Energi Industri TPT dan Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Kinerja Sektor Industri
Tabel 5.2 Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia, 2003 - 2007
Sumber: API, 2009.
Berdasarkan data tersebut diatas, dapat diketahui bahwa perkembangan industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia relatif menunjukkan kondisi yang cukup baik. Hal ini dapar terlihat dari peningkatan jumlah perusahaan hingga mencapai 2.704 perusahaan, investasi yang meningkat hingga Rp 137,8 trilliun, penyerapan tenaga kerja relatif stabil pada sekitar 1,1 – 1,2 juta pekerja, dan nilai ekspor yang masih lebih tinggi dari besarnya impor dengan surplus perdagangan mencapai US$ 7,8 milyar yang dihasilkan pada tahun 2007. Surplus perdagangan komoditi TPT lebih banyak dihasilkan oleh komoditi pakaian jadi, sedangkan komoditi tekstil justru mengalami defisit sebesar US$ 817 juta pada tahun 2008. Neraca perdagangan tekstil dan produk tekstil Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
115
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 115
6/22/2010 6:21:43 PM
Purwanto
Tabel 5.3 Neraca Perdagangan Tekstil dan Pakaian Jadi Indonesia 2003 – 2008
Sumber: Data tahun 2003 hingga 2006 berdasarkan data dari DEPDAG, data tahun 2007 dan 2008 dari data Bank Indonesia (berdasarkan SITC 3 digit : 26, 65 & 84), API, 2009.
Berdasarkan data tabel diatas dapat diketahui bahwa untuk industri tekstil di sektor upstream dan midstream mengalami defisit perdagangan yang cukup besar. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin besar komponen impor yang dibutuhkan pada industri ini. Kondisi ini mulai terjadi sejak tahun 2007 ketika surplus perdagangan industri tekstil (tidak termasuk garmen) mengalami penurunan surplus dari US$ 2,3 milyar menjadi hanya US$ 81 juta. Kondisi tersebut terus berlanjut pada tahun 2008 ketika untuk pertama kalinya dalam kurun waktu 2003 – 2008, Indonesia mengalami defisit perdagangan hingga US$ 817 juta. Sementara itu, jika dilihat dari kebutuhan energi yang ada pada industri tekstil dan produk tekstil justru banyak diserap oleh industri upstream dan mid stream yang mencapai 95 persen dari total energi yang dikonsumsi pada industri ini. Komposisi kebutuhan energi pada industri tekstil selengkapnya dapat digambarkan pada tabel dibawah ini. 116
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 116
6/22/2010 6:21:43 PM
Analisis Kebutuhan Energi Industri TPT dan Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Kinerja Sektor Industri
Tabel 5.4 Komposisi Kebutuhan Energi pada setiap Industri Tekstil dan Produk Tekstil
Sumber : API, 2009.
Dalam proses produksi tekstil di sektor upstream dan midstream kebutuhan thermal energy ada pada wet processing of textiles yang digunakan dalam proses evaporasi dari berbagai tahapan produksi dan juga proses pemanasan secara kimiawi. Kebutuhan energi yang besar ini dipenuhi dengan menggunakan steam yang dihasilkan dari boiler dengan sumber energi yang dibangkitkan dengan menggunakan sumber energi batubara. Proses produksi dari industri upstream dan midstream ini hanya menggunakan sekitar 15 persen dari total energi listrik yang bersumber dari PLN. Akan tetapi kebutuhan energi listrik ini sering mengalami kendala dalam hal pasokan energi listrik terutama adanya gangguan mati listrik yang sangat merugikan bagi para pelaku industri. Selain menghentikan proses produksi, adanya gangguan pasokan listrik juga dapat menyebabkan kerusakan pada mesin dan juga biaya produksi yang menjadi besar karena adanya kerusakan pada proses produksi dan meningkatkan porsi produk gagal. Konsumsi energi listrik pada industri tekstil dan produk tekstil ini setara dengan kebutuhan energi air yang banyak dibutuhkan pada aktivitas industri antara (mid-stream) yaitu dari spinning hingga embroidery.
117
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 117
6/22/2010 6:21:44 PM
Purwanto
Tabel 5.5 Struktur Biaya pada Industri Tekstil dan Produk Tekstil (dalam %)
Sumber: API, 2009.
Struktur pembiayaan terbesar untuk energi dialami oleh industri TPT pada bagian upstream yaitu pada produk serat alam dan serat sintetis yang mencapai 25 persen dari total struktur biaya produksinya. Biaya energi yang cukup besar juga dialami oleh industri spinning dan weaving masing-masing sebesar 18,5 persen dan 14,4 persen. Sedangkan untuk industri garmen cukup mengalokasikan sebesar 1,3 persen dari total ongkos produksinya untuk memenuhi kebutuhan energi. Dalam aktivitas industri tekstil selain garmen, proporsi biaya untuk kebutuhan energi merupakan komponen biaya terbesar kedua setelah biaya bahan baku. Tingginya biaya energi pada industri upstream dan midstream seringkali membuat para pengusaha berusaha memenuhi dan memastikan bahwa pasokan energinya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dan tepat waktu dan terjaga ketersediaanya. Oleh karena itu pada perusahaan-perusahaan besar banyak dijumpai upaya untuk memenuhi kebutuhan listriknya sendiri dengan membangun power plant yang berasal dari energi alternatif seperti energi batubara serta berusaha memenuhi kebutuhan boiler mesinnya dengan menggunakan pemanasan dari batubara.
118
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 118
6/22/2010 6:21:44 PM
Analisis Kebutuhan Energi Industri TPT dan Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Kinerja Sektor Industri
Gambar 5.1 Perkembangan dan Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Tekstil 2005 – 2010 Sumber: API, 2009.
Berdasarkan data tersebut diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2005 sumber energi khususnya listrik masih dipasok oleh PLN sebagai sumber energi listrik utama pada industri tekstil dan produk tekstil. Perkembangan selama kurun waktu tahun 2006 – 2007 menunjukkan adanya pergeseran pemanfaatan sumber energi listrik yang cukup signifikan. Pasokan energi listrik dari PLN mengalami penurunan hingga menjadi 75 persen dari total kebutuhan listrik industri TPT ini. Pengalihan sumber energi listrik dari PLN banyak dilakukan
119
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 119
6/22/2010 6:21:44 PM
Purwanto
dengan memanfaatkan gas dan batubara sebagai sumber energi bagi pembangkit listrik di perusahaan-perusahaan TPT khususnya pada perusahaan skala besar hingga pemanfaatan energi gas dan batubara mencapai 19 persen dari total kebutuhan energi. Diperkirakan hingga tahun 2010 kondisi ini masih akan terus berlanjut hingga pemanfaatan energi alternatif seperti gas dan batubara dapat mencapai 65 persen dari total kebutuhan energi dan mengurangi ketergantungan pasokan listrik PLN hingga hanya sebesar 30 persen. Sementara itu, pemanfaatan energi minyak sebagai energi pembangkit listrik relatif tetap pada kisaran 5 – 6 persen dari total kebutuhan listrik industri TPT.
Gambar 5.2. Cadangan, Kapasitas dan Terminal Batubara di Indonesia Sumber: Blueprint pengelolaan energi nasional 2005 – 2025, 2005
120
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 120
6/22/2010 6:21:44 PM
Analisis Kebutuhan Energi Industri TPT dan Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Kinerja Sektor Industri
Pemanfaatan batubara sebagai energi alternatif pada sektor industri diperkirakan akan terus mengalami peningkatan. Gambaran ini setidaknya bisa terlihat pada pemanfaatan batubara pada industri tekstil dan produk tekstil. Batubara dalam pandangan pengusaha TPT cukup bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan energi dan pembangkit listrik. Selain itu, pertimbangan dari segi ketersediaan pasokan batubara dianggap tidak terlalu mengkhawatirkan mengingat cadangan batubara di Indonesia tersedia secara berlimpah di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Ketersediaan batubara saat ini diharapkan dapat menjadi sumber energi alternatif dalam jangka menengah. Salah satu kekhawatiran dari sebagian besar pengusaha adalah adanya pengkategorian limbah batubara sebagai salah satu limbah B3 yang memerlukan penanganan khusus dan seringkali menimbulkan masalah dalam pengelolaan limbah batubara antara pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.
5.3 Analisis Kebutuhan Energi Sektor Industri Pertumbuhan konsumsi energi di sektor industri secara umum mengalami peningkatan paling tinggi jika dibandingkan dengan konsumsi energi di sektor lain seperti rumah tangga, komersial, dan transportasi. Pertumbuhan rata-rata konsumsi energi sektor industri mencapai 9,70 persen selama tahun 2004 – 2007 (perhitungan data tabel 4.3). Angka ini jauh melebihi pertumbuhan konsumsi energi sektor rumah tangga (1,03 persen), komersial (7,70 persen) dan transportasi (4,95 persen). Konsumsi energi sektor industri sedikit dibawah konsumsi energi rumah tangga pada tahun 2007 dan dengan asumsi tren linear diperkirakan konsumsi energi sektor industri akan jauh melampaui konsumsi sektor lainnya pada tahun 2010. Konsumsi energi di sektor industri pada saat ini lebih banyak berupa konsumsi energi alternatif batubara untuk membangkitkan listrik mandiri serta kebutuhan lain
121
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 121
6/22/2010 6:21:44 PM
Purwanto
dalam proses produksi. Peningkatan konsumsi energi batubara telah menjadikan batubara sebagai jenis energi terbesar yang dimanfaatkan oleh sektor industri sejak tahun 2006 dan melebihi konsumsi energi minyak, gas, dan listrik. Tingginya pertumbuhan permintaan energi batubara di sektor industri menunjukkan adanya aktivitas industri yang masih baik dan juga adanya pemanfaatan teknologi dalam pemanfaatan energi batubara bagi sektor industri. Hal ini misalnya dapat terlihat jelas pada industri TPT yang sudah banyak memanfaatkan batubara bagi industrinya. Kebijakan pemerintah yang mendorong pemanfaatan energi alternatif, pasokan energi alternatif batubara yang cukup stabil, dan tersedianya teknologi telah memacu peningkatan permintaan batubara di sektor industri. Kondisi ini juga dipicu oleh tingginya biaya energi minyak yang sempat berfluktuasi pada tingkat harga yang sangat tinggi, ketidakstabilan pasokan energi listrik PLN, dan penerapan tarif multiguna bagi pelanggan listrik sektor industri. Dampak yang tidak menguntungkan bagi sektor industri telah mendorong pelaku usaha untuk mencari alternatif pemenuhan kebutuhan energi yang kemudian sampai pada pilihan energi batubara. Di sisi lain, adanya kebijakan pemerintah untuk memberi subsidi energi khususnya BBM pada sektor transportasi ternyata tidak berlaku di sektor industri. Hal ini dikarenakan sektor industri selalu dianggap sebagai industri mature (industri yang sudah mapan) sehingga tidak membutuhkan bantuan dalam bentuk subsidi. Padahal jika dilihat secara lebih dalam, tidak semua industri memiliki kemampuan yang sama. Akibatnya komponen biaya BBM, yang merupakan komponen biaya terbesar kedua setelah biaya bahan baku, sangat membebani pengusaha. Perlakuan yang tidak sama dalam hal subsidi ini sering
122
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 122
6/22/2010 6:21:44 PM
Analisis Kebutuhan Energi Industri TPT dan Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Kinerja Sektor Industri
menjadi bahan perdebatan di banyak kalangan pengusaha dan pemerintah. Banyak pihak yang mengatakan bahwa subsidi BBM yang diberikan kepada sektor transportasi sebagian besar salah sasaran karena lebih banyak dinikmati oleh orang yang sebenarnya tidak layak mendapatkan subsidi, seperti pemilik kendaraan pribadi, sementara sektor industri yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional justru diabaikan. Ketiadaan subsidi BBM bagi sektor industri tentunya bukan suatu hal yang membuat sektor industri mengalami penurunan aktivitas usaha. Justru perlakuan ini membuat sektor industri semakin kreatif dalam menyiasati kondisi yang ada dengan cara memanfaatkan sumber energi alternatif seperti batubara dan juga gas bagi peningkatan produksinya. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan intensitas produksi akan membutuhkan energi yang lebih besar. Apabila biaya konsumsi energi dapat diminimalkan, maka biaya produksi juga akan dapat ditekan pada tingkat yang terendah sehingga akan menghasilkan produk dengan biaya rendah dan dapat dijual pada tingkat harga yang kompetitif. Keadaan ini bisa membuat pelaku usaha menambah alokasi biaya investasi untuk memperoleh energi alternatif. Pilihan energi alternatif yang paling efisien selanjutnya dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas pembangkitan energi alternatif dan dimanfaatkan bagi peningkatan aktivitas produksi. Secara implisit dapat dikatakan bahwa semakin besar konsumsi energi yang dibutuhkan dalam proses produksi akan berdampak secara positif terhadap output produksi dengan asumsi faktor produksi bekerja secara efisien. Untuk menguji hipotesis ini, regresi berganda akan dipergunakan sebagai alat analisis utama. Diharapkan, penggunaan regresi berganda ini akan mampu mengukur seberapa besar kenaikan konsumsi energi berpengaruh terhadap tingkat produksi dan nilai tambah di sektor industri.
123
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 123
6/22/2010 6:21:44 PM
Purwanto
Secara sederhana, model regresi berganda bisa diformulasikan sebagai berikut (Gujarati, 2005): Yi = β1 + β2Xi + ui
(1)
dimana, Yi adalah variabel dependen yang akan mengukur tingkat produksi dan produktivitas i, Xi adalah variabel-variabel independen yang akan diobservasi (X1, X2, ...., Xn), β adalah parameter Xi yang belum diketahui, dan ui adalah error term. Untuk kebutuhan analisis, model (1) dapat ditransformasikan dalam model logaritma sebagai berikut: ln Yi = ln β1 + β2 ln Xi + ui
(2)
Selanjutnya, variabel dependen yang akan digunakan sebagai proxy dari aktivitas sektor industri adalah nilai produksi dan nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor industri. Nilai produksi dan nilai tambah di sektor industri tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya bahan baku, tenaga kerja, teknologi, dan asupan energi. Sehingga, fungsi Yprod dan Yvad dapat diformulasikan sebagai berikut: Yprod = f(X1, X2, X3)
(3)
dimana, Yprod adalah nilai produksi yang dihasilkan oleh sektor industri adalah total nilai konsumsi minyak, listrik dan gas X1 adalah pengeluaran/biaya bahan baku X3 adalah pengeluaran/biaya tenaga kerja X4
124
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 124
6/22/2010 6:21:45 PM
Analisis Kebutuhan Energi Industri TPT dan Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Kinerja Sektor Industri
Yvad = f(X1, X2, X3)
(4)
dimana, Yvad adalah nilai tambah produk yang dihasilkan sektor industri X1 X2 X3
adalah total nilai konsumsi minyak, listrik dan gas adalah konsumsi listrik dari PLN adalah pengeluaran/biaya tenaga kerja
Hubungan yang diharapkan diantara variabel dependen dengan masing-masing variabel independen dari persamaan (3) dan (4) adalah positif. Karena itu persamaan (3) dan (4) berturut-turut bisa ditulis ulang dalam bentuk persamaan logaritmik menjadi: Yprod = ± ln β1 + β2 ln X1 + β3 ln X2 + β4 ln X3
(5)
Yvad = ± ln β1 + β2 ln X1 + β3 ln X2 + β4 ln X3
(6)
5.4 Analisis Statistik Deskriptif 5.4.1 Nilai Produksi Sektor Industri Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder yang didapatkan dari data statistik industri dengan kode ISIC 3 digit sebanyak 63 subsektor industri yang diambil dari data statistik industri besar dan sedang Indonesia 2005 (BPS, 2007). Hasil estimasi dari fungsi produksi dan nilai tambah sektor industri menunjukkan bahwa tanda koefisien dari seluruh variabel independen sesuai dengan spesifikasi model seperti telah diduga sebelumnya yaitu mempunyai hubungan yang positif dengan nilai produksi dan juga nilai tambah di sektor industri. Selain itu, nilai R2 pada masing-masing persamaan yang diestimasi juga cukup meyakinkan secara statistik untuk menjelaskan pengaruh dari variabelvariabel independen secara bersama-sama terhadap perubahan variabel dependen dalam fungsi regresi dengan basis cross-section data ini. 125
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 125
6/22/2010 6:21:45 PM
Purwanto
Tabel 5.6 Hasil Estimasi Nilai Produksi Sektor Industri
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: Angka didalam kurung adalah t-rasio, *) Signifikan secara statistik pada level kepercayaan 95%, **) Signifikan secara statistik pada level kepercayaan 99%.
Hasil estimasi sebagaimana terlihat pada tabel diatas juga menunjukkan bahwa variabel konsumsi minyak, gas dan konsumsi listrik memiliki pengaruh yang positif dan signifikan secara statistik dalam mempengaruhi nilai produksi. Ada beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan hasil regresi tersebut yaitu pertama, konsumsi minyak dan listrik banyak dilakukan pada proses produksi yang banyak menggunakan mesin dalam aktivitas proses produksinya sehingga konsumsi minyak dan listrik tidak secara langsung dan signifikan mempengaruhi nilai produksi. Kedua, nilai produksi biasanya berupa total nilai produk yang dihasilkan dengan melihat kualitas produk dan juga harga jual yang dipengaruhi oleh kemampuan kontrol kualitas dan juga asupan energinya. Ketiga, konsumsi minyak dan listrik secara signifikan mempengaruhi nilai produksi karena peningkatan konsumsi minyak dan listrik dapat dikarenakan adanya kenaikan harga minyak dan listrik yang mendorong perusahaan untuk semakin efisien dalam
126
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 126
6/22/2010 6:21:45 PM
Analisis Kebutuhan Energi Industri TPT dan Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Kinerja Sektor Industri
peningkatan kapasitas produksi. Namun demikian perlu diketahui bahwa model estimasi regresi ini tidak menggunakan informasi tentang industri dalam variabel dummy, seperti apakah industrinya termasuk padat modal atau padat tenaga kerja, usia mesin yang masih baru atau sudah lama. Terlepas dari kemungkinan adanya keterbatasan informasi dari model yang dibangun dalam menganalisis pengaruh serapan energi terhadap perubahan produksi di sektor industri manufaktur ini, setidaknya dapat diketahui bahwa adanya asupan energi dapat memberikan dampak positif dan signifikan bagi adanya peningkatan nilai produksi. Adanya signifikansi dari variabel konsumsi listrik, gas dan minyak dalam mempengaruhi hasil produksi menjelaskan pentingnya peranan konsumsi energi dalam proses produksi dan juga output produksi. Setiap terjadi kenaikan konsumsi listrik, gas dan minyak sebesar 1 persen maka akan menaikkan produksi yang dihasilkan sebesar 0,048 persen, ceteris paribus. Sedangkan perubahan bahan baku dalam mempengaruhi nilai produksi menjelaskan bahwa nilai produksi yang dihasilkan akan tergantung pada besar kecilnya bahan baku yang digunakan dalam proses produksi. Apabila bahan baku dikurangi, maka proses produksi yang dilakukan baik dengan tenaga manual maupun mesin belum dapat menghasilkan nilai produksi yang lebih tinggi dari jumlah bahan baku yang seharusnya. Sementara itu, apabila terjadi peningkatan biaya bahan baku sebesar 1 persen maka secara signifikan akan meningkatkan 0,057 persen nilai produksi yang dihasilkan. Hal ini menggambarkan bahwa tambahan nilai output yang dihasilkan masih lebih kecil dari tambahan input yang digunakan dalam proses produksi. Kesulitan dalam melakukan adopsi teknologi dalam proses produksi mungkin menjadi faktor masih belum seimbangnya tambahan biaya bahan baku dengan nilai output yang dihasilkan. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada perubahan biaya tenaga kerja sebesar 1 persen yang akan dapat meningkatkan produksi hingga 0,064 persen. Peningkatan biaya tenaga kerja bisa terjadi karena ada perubahan tingkat upah dan juga adanya penambahan tenaga kerja baru di suatu industri yang dapat 127
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 127
6/22/2010 6:21:45 PM
Purwanto
mempengaruhi kinerja dari tenaga kerja dan berpengaruh positif bagi produksi. Secara umum hasil estimasi regresi ini cukup meyakinkan secara statistik yang diindikasikan dengan nilai durbin watson statistic 1,777 dan nilai R2 yang cukup tinggi yaitu 0,976 yang berarti model yang dibangun secara serempak mampu menjelaskan variasi dari variabel dependen sebesar 97 persen.
5.4.2 Nilai Tambah Sektor Industri Salah satu output penting yang dihasilkan oleh sektor industri adalah adanya nilai tambah yang dihasilkan dari setiap unit input yang digunakan dalam proses produksi. Nilai tambah memiliki pengertian yang berbeda dengan nilai produksi. Nilai produksi merupakan nilai absolut dari nilai produk yang dihasilkan dalam suatu proses produksi, sedangkan nilai tambah merupakan nilai relatif yang merupakan selisih nilai output dengan nilai input pada suatu produk. Peningkatan nilai produksi tidak serta merta menunjukkan adanya peningkatan nilai tambah, akan tetapi adanya peningkatan nilai tambah akan dapat berkontribusi pada peningatan nilai produksi dan juga tambahan margin pendapatan bagi pelaku usahanya. Sebagaimana bisa dilihat pada tabel di bawah, hasil estimasi yang telah dilakukan menunjukkan tanda yang sesuai dengan dugaan awal. Demikian halnya, secara statistik, dua variabel independen, yaitu biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja, sangat signifikan mempengaruhi nilai tambah sektor industri. Namun untuk variabel konsumsi minyak, gas dan listrik secara statistik tidak signifikan dalam mempengaruhi nilai tambah sektor industri.
128
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 128
6/22/2010 6:21:45 PM
Analisis Kebutuhan Energi Industri TPT dan Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Kinerja Sektor Industri
Tabel 5.7 Hasil Estimasi Nilai Tambah
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: Angka didalam kurung adalah t-rasio, *) Signifikan secara statistik pada level kepercayaan 95%.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa, ceteris paribus, setiap kali terjadi kenaikan konsumsi listrik, gas dan minyak sebesar 1 persen, maka hal itu akan mendorong naiknya nilai tambah sebesar 0,021 persen, namun estimasi ini tidak signifikan secara statistik. Sementara itu, apabila terjadi kenaikan biaya bahan baku sebesar 1 persen, maka akan meningkatkan nilai tambah di sektor industri sebesar 0,444 persen, ceteris paribus. Demikian juga dengan kenaikan biaya tenaga kerja sebesar 1 persen akan dapat meningkatkan nilai tambah sebesar 0,617 persen. Biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja memiliki penjelasan yang hampir sama dalam mempengaruhi nilai tambah di sektor industri. Peningkatan biaya bahan baku akan mendorong sektor industri bekerja lebih efisien agar dapat menghasilkan selisih output yang lebih besar dan menghasilkan produk yang kompetitif. Tambahan biaya tenaga kerja akan dapat meningkatkan produktifitas pekerja dalam menghasilkan output yang berkualitas baik dan kuantitas yang sesuai dengan kapasitas produksinya. 129
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 129
6/22/2010 6:21:45 PM
Purwanto
Aktivitas proses produksi yang intensif membutuhkan tambahan konsumsi listrik sebagai salah satu sumber energi utama yang dibutuhkan oleh sektor industri sehingga tambahan konsumsi listrik akan berpengaruh positif dalam peningkatan nilai produknya saja dan tidak secara signifikan berpengaruh langsung terhadap nilai tambahnya. Variabel konsumsi minyak, gas dan listrik tidak secara signifikan berpengaruh pada peningkatan nilai tambah. Hal ini dapat disebabkan karena tambahan konsumsi minyak, listrik dan gas tidak secara signifikan mempengaruhi kualitas output yang dihasilkan, tetapi lebih pada pemenuhan kebutuhan alat produksi yang mungkin tidak efisien dari segi kebutuhan bahan bakarnya. Secara umum hasil estimasi regresi ini cukup meyakinkan secara statistik yang diindikasikan dengan nilai durbin watson statistic 1,758 dan nilai R2 yang cukup tinggi yaitu 0,923 yang berarti model yang dibangun secara serempak mampu menjelaskan variasi dari variabel dependen sebesar 92 persen. Implikasi kebijakan yang dapat diperoleh dari hasil dua model persamaan regresi yang dilakukan adalah masih tingginya tingkat ketergantungan sektor industri terhadap kebutuhan bahan baku dan juga tenaga kerja. Oleh karenanya, pemerintah perlu memberikan dukungan dan bantuan dari sisi kepastian dan kesinambungan dari pasokan bahan baku di sektor industri dan menciptakan sumberdaya manusia yang kompetitif di sektor industri. Dukungan dan bantuan tersebut dapat dilakukan melalui berbagai macam instrumen kebijakan misalnya pembebasan bea masuk impor pada bahan baku tertentu, penetapan aturan pasar domestik pada jenis bahan baku tertentu atau membuka jalur distribusi yang lebih baik antara wilayah pemasok bahan baku dengan pemakai bahan baku tertentu, dan menyiapkan tenaga kerja yang siap pakai dan sesuai dengan kebutuhan sektor industri. Dalam kaitan dengan konsumsi energi (listrik, gas dan minyak) dari perspektif kebijakan, upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi konsumsi energi BBM yang dilakukan oleh sektor industri adalah dengan semakin meningkatkan pemanfaatan energi 130
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 130
6/22/2010 6:21:45 PM
Analisis Kebutuhan Energi Industri TPT dan Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Kinerja Sektor Industri
alternatif bagi pembangkit listrik swadaya. Energi alternatif seperti batubara yang semakin banyak dimanfaatkan oleh sektor industri harus lebih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri sehingga dapat secara maksimal memberikan manfaat bagi perekonomian domestik. Hal ini akan memberikan manfaat tidak saja karena bisa menghemat dan mengefisienkan konsumsi BBM dan listrik, tetapi juga mendorong terciptanya industri yang tangguh dan mandiri. Kepastian dan kestabilan pasokan listrik merupakan kebutuhan utama bagi kelancaran proses produksi sebagaimana dialami oleh industri TPT. Terjadinya penurunan pasokan listrik maupun seringnya terjadi pemadaman listrik karena keterbatasan pasokan listrik PLN akan sangat merugikan perusahaan-perusahaan yang mengandalkan listrik sebagai penggerak mesin produksi. Oleh karena itu pemerintah selayaknya menerapkan sistem insentif pada perusahaan yang mampu memenuhi kebutuhan energinya dan juga membuka kesempatan pada perusahaan untuk menjual listriknya pada tingkat harga keekonomian yang wajar. Pemerintah juga perlu untuk membantu mengurangi praktik ekonomi biaya tinggi sehingga bisa menekan struktur ongkos produksi nonbahan baku sehingga perusahaan menjadi semakin kompetitif dalam menghasilkan output produksi yang efisien.
5.5 Kesimpulan Sektor industri masih dihadapkan pada banyak tantangan yang salah satunya adalah keterbatasan pasokan energi dan listrik yang merupakan komponen input penting dalam aktivitas produksi. Peran strategis sektor industri khususnya industri manufaktur yang signifikan belum dibarengi dengan adanya upaya penyediaan kebutuhan energi yang memadai dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Hal ini kemudian mendorong sektor industri untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dari sisi input faktor produksi, proses produksi, hingga output produksi yang dihasilkan. Penyesuaian-penyesuaian tersebut misalnya dengan melakukan diversifikasi energi, modifikasi teknologi permesinan,
131
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 131
6/22/2010 6:21:45 PM
Purwanto
inovasi produk, dan harga jual produk. Selain itu, harga BBM di pasar dunia cenderung akan selalu berfluktuasi pada tingkat harga yang kadang-kadang sulit diprediksi. Hal ini kemudian mendorong upaya pemanfaatan energi alternatif seperti batubara yang pasokannya cukup memadai di pasar domestik. Pemanfaatan energi alternatif selain sebagai sumber energi dalam proses produksi juga dapat dimanfaatkan bagi pembangkit listrik yang juga sangat dibutuhkan oleh sektor industri. Kecenderungan pemanfaatan energi alternatif batubara semakin banyak dijumpai misalnya pada industri TPT yang memang diarahkan pada upaya substitusi energi minyak ke energi alternatif batubara di masa depan. Analisis regresi pada bab ini telah menunjukkan bahwa nilai produksi dan nilai tambah sebagai proxy dari kinerja sektor industri dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja. Ada hubungan yang positif diantara perubahan biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja dengan perubahan nilai produksi dan nilai tambah di sektor industri. Artinya, semakin tinggi biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja yang dikeluarkan oleh sektor industri, semakin tinggi pula nilai produksi dan nilai tambah yang dihasilkan. Ini berarti bahwa upaya untuk meningkatkan nilai produksi dan nilai tambah di sektor industri dapat dilakukan dengan menjaga kesinambungan pasokan bahan baku dan tenaga kerja. Konsumsi minyak dan konsumsi listrik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan nilai produksi, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi pada model perubahan nilai tambah sektor industri. Dengan basis hasil analisis regresi yang telah dilakukan, terdapat beberapa kebijakan yang bisa diambil pemerintah untuk meningkatkan kinerja ataupun aktivitas sektor industri. Pertama, menjaga kesinambungan pasokan bahan baku dan tenaga kerja di sektor industri. Kedua, membuat kebijakan, yang mampu mendorong percepatan pemanfaatan energi alternatif non-BBM bagi sektor industri. Ketiga, menciptakan iklim usaha yang
132
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 132
6/22/2010 6:21:45 PM
Analisis Kebutuhan Energi Industri TPT dan Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Kinerja Sektor Industri
kondusif bagi aktivitas sektor industri yang efisien dan kompetitif. Keberhasilan dan atau efektivitas dari beberapa alternatif kebijakan tersebut sebagai salah satu upaya menggairahkan aktivitas sektor industri pada akhirnya akan tetap ditentukan oleh tingkat komitmen pemerintah untuk membangun dan mengembangkan sektor industri nasional.
133
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 133
6/22/2010 6:21:46 PM
Purwanto
DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Pertekstilan Indonesia, 2009. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2005. Blueprint pengelolaan energi nasional 2005 – 2025, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2009. Table Statistik: Produk Domestik Bruto, tersedia online di http://www.bps.go.id/tab_sub/view. php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=11¬ab=2, diakses tanggal 28 September 2009. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2008. Handbook of Energy & Economics Statistic of Indonesia, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2008. Rencana umum ketenagalistrikan Nasional 2008 s.d. 2027, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta. Gujarati, D.M., 2005. Basic Econometrics, Fouth Edition, McGrawHill, New York. Sambodo, M.T. (ed), 2007. Mengurai Benang Kusut Daya Saing Indonesia, Pusat Penelitian Ekonomi, LIPI, Jakarta. Republika Online, 02/03/2009. Ekspor Turun Lebih Dari 30 Persen, tersedia online di http://epaper.republika.co.id/berita/34867/Ekspor_ Turun_Lebih_Dari_30_Persen, diakses tanggal 28 September 2009.
134
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 134
6/22/2010 6:21:46 PM
Analisis Kebutuhan Energi Industri TPT dan Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Kinerja Sektor Industri
LAMPIRAN 1. Regression Output dari Model Nilai Produksi
135
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 135
6/22/2010 6:21:46 PM
Purwanto
LAMPIRAN 2. Regression Output dari Model Nilai Tambah
136
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 136
6/22/2010 6:21:46 PM
LAMPIRAN 3. Data Mentah dan Natural Logaritma dari Model Nilai Produksi dan Nilai Tambah
Analisis Kebutuhan Energi Industri TPT dan Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Kinerja Sektor Industri
137
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 137
6/22/2010 6:21:46 PM
Purwanto
138
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 138
6/22/2010 6:21:46 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
BAB 6 BATUBARA DAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT): PELAJARAN DARI PROVINSI JAWA BARAT Tuti Ermawati 6.1 Latar Belakang Dalam lima tahun terakhir, batubara memiliki peranan yang cukup penting dalam perekonomian Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor batubara terhadap penerimaan negara yang jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya. Menurut Miranti (2008) penerimaan negara dari sektor batubara ini dari sebesar Rp 2,57 triliun pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp 8,7 triliun pada tahun 2007, dan diperkirakan mencapai Rp 10,2 triliun pada 2008 dan lebih dari Rp 20 triliun pada 2009. Selain itu, pertumbuhan konsumsi batubara di Indonesia juga mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dari 13,2 juta ton pada 1997 menjadi 45,3 juta ton pada 2007, atau meningkat lebih dari 3 kali lipat (243 %), dimana saat ini sekitar 71,1% dari konsumsi batubara domestik diserap oleh pembangkit listrik, 17% untuk industri semen dan 10,1% untuk industri tekstil dan kertas. Perubahan harga listrik dan BBM yang begitu cepat dalam lima tahun terakhir sangat berdampak terhadap para pelaku kegiatan ekonomi terutama industri tekstil di Jawa Barat dimana kenaikan harga BBM tersebut mengakibatkan tingginya biaya produksi karena industri ini sangat tergantung pada bahan bakar solar atau residu untuk kegiatan produksinya. Kondisi ini menjadi salah satu pemicu industri tekstil untuk menggunakan batubara sebagai sumber energi alternatifnya. Alasan pemilihan pengunaan batubara selain karena dapat menekan biaya produksi, juga karena cara mendapatkan dan menggunakan 139
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 139
6/22/2010 6:21:46 PM
Tuti Ermawati
batubara lebih mudah dibandingkan dengan energi alternatif lainnya terutama apabila dibandingkan dengan gas yang penyediaannya oleh pemerintah Jawa Barat masih dianggap belum optimal karena Jawa Barat belum memiliki distribution channel gas dan juga belum ada pemasangan jalur pipa gas menuju Bandung (banyak terdapat industri TPT), hanya sampai di Cikampek. Batubara sebenarnya bukan sumber energi baru di Indonesia, energi ini sudah lama ada di Indonesia dan biasanya digunakan untuk industri semen dan pembangkit listrik. Di Industri tekstil sendiri, batubara digunakan dalam dua hal, yaitu untuk boiller atau pemasak air pada proses pencelupan dan untuk pembangkit listrik, dimana listrik tersebut dihasilkan dan dialirkan melalui turbin, tujuannya juga sebagai boiller. Di Jawa Barat menurut sumber di Asosiasi Pengusaha Indonesia (API), khususnya di kabupaten dan kota Bandung tercatat 50 dari 300 perusahaan tekstil sudah memanfaatkan batubara sebagai sumber energinya dan hampir 80 persen perusahaan tekstil yang memiliki proses pencelupan menggunakan batubara. Dengan semakin banyaknya pengguna batubara maka tidak mengherankan apabila pertumbuhan jumlah perusahaan pertambangan batubara di Indonesia pun tumbuh pesat khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Sampai dengan 2003 misalnya tercatat 251 perusahaan penambangan batubara di Indonesia. Meskipun kontribusi sektor batubara cukup besar dan mengalami pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat, namum pengunaan batubara sebagai salah satu alternatif sumber energi masih menimbulkan pro dan kontra mengingat Departemen Lingkungan Hidup mengkatogorikan limbah batubara dalam kategori bahan berbahaya dan beracun (B3). Berdasarkan uraian tersebut maka bab ini mencoba untuk mengulas penggunaan batubara di Industri teksil khususnya di Jawa Barat berserta permasalahan yang ditimbulkannya serta kebijakan apa yang perlu diambil mengingat batubara merupakan salah satu sumber energi yang saat ini sangat dibutuhkan khususnya oleh industri TPT.
140
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 140
6/22/2010 6:21:46 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
6.2 Literatur Studi 6.2.1 Perkembangan Batubara di Indonesia Batubara merupakan batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan dengan unsur utama karbon, hydrogen dan oksigen. Sementara menurut Raharjo dalam Fitriani,2007 mengatakan bahwa batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun sehingga batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Pembentukan batubara memerlukan waktu yang sangat lama sekitar 340 tahun dengan syarat adanya kondisi tertentu yang dikontrol oleh tekanan dan panas. Berdasarkan tingkat proses pembentukannya, dikelompokkan dalam beberapa jenis yaitu (wikipedia):
batubara
1.
Antrasit yaitu kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86- 98 persen unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8 persen
2.
Bituminus yaitu batubara yang mengandung 68 – 86 persen unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10 persen dari beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.
3.
Sub-bituminus merupakan batubara yang mengandung sedikit karbon dan banyak air sehingga menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.
4.
Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75 persen dari beratnya.
5.
Gambut merupakan batubara berpori dan memiliki kadar air di atas 75 persen serta nilai kalori yang paling rendah. 141
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 141
6/22/2010 6:21:46 PM
Tuti Ermawati
Di Indonesia, batubara yang bernilai ekonomis tersebar di cekungan tersier, yang terletak di bagian barat Paparan (termasuk Kalimantan dan Sumatera), pada umumnya endapan batubara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batubara berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut skala waktu geologi (Wikipedia). Menurut Pusat Sumber Daya Geologi diperkirakan bahwa jumlah sumber daya batubara Indonesia diperkirakan sekitar 90.45 miliar ton dengan cadangan sebesar 18,71 miliar ton dimana sumber daya terbesar berada di pulau Sumatera 59,51 persen dan Kalimantan sebesar 40,05 persen (lihat Gambar 6.1).
Gambar 6.1 Peta Lokasi Potensi Batubara di Indonesia Sumber: Pusat Sumber Daya Geologi dalam Kolokium Pertambangan,2007
Batubara miosen yang ada di Indonesia menurut Indonesian Coal Mining Association, 1998 dalam wikipedia merupakan lapisan batubara yang berkadar abu dan sulfur rendah dan menebal secara lokal dan umumnya tergolong dalam jenis batubara sub-bituminus atau lignit sehingga kurang ekonomis kecuali jika sangat tebal (seperti
142
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 142
6/22/2010 6:21:46 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
yang digarap PT Adaro) atau lokasi geografisnya menguntungkan, meskipun begitu ada batubara miosen di beberapa lokasi di Indonesia tergolong kelas yang tinggi seperti pada Cebakan Pinang dan Prima (PT KPC), endapan batubara di sekitar hilir Sungai Mahakam, Kalimantan Timur dan beberapa lokasi di dekat Tanjungenim, Cekungan Sumatera bagian selatan, sementara endapan batubara Eosen umumnya lebih tipis, berkadar abu dan sulfur tinggi. Kedua umur endapan batubara ini terbentuk pada lingkungan lakustrin, dataran pantai atau delta, mirip dengan daerah pembentukan gambut yang terjadi saat ini di daerah timur Sumatera dan sebagian besar Kalimantan. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 6.1 dan 6.2 Tabel 6.1 Kualitas Rata-rata Beberapa Endapan Batubara Eosen di Indonesia
Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998 dalam wikipedia
143
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 143
6/22/2010 6:21:47 PM
Tuti Ermawati
Tabel 6.2 Kualitas Rata-rata Beberapa Endapan Batubara Miosen di Indonesia
Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998 dalam wikipedia
Dengan kondisi potensi sumberdaya batubara di Indonesia yang begitu besar sebenarnya tidaklah mengherankan jika pemerintah dalam kebijakan bauran energi nasional 2025 mengharapkan adanya peningkatan pemakaian batubara menjadi 33 persen dari 14 persen pada tahun 2005. Kondisi ini menuntut adanya kenaikan produksi batubara nasional yang cukup signifikan. Produksi batubara sendiri dari tahun 1992 sampai tahun 2005 terus mengalami kenaikkan yaitu sebesar 15,68 persen pertahun (data Puslitbang teknologi mineral dan batubara), dan dengan adanya rencana
144
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 144
6/22/2010 6:21:47 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
pengembangan batubara melalui teknogi UBC (Upgrated Brown Coal)1 dan teknologi gasifikasi2 maka diproyeksikan produksi dapat batubara dapat naik secara signifikan dan pada tahun 2025 diharapkan mencapai 628 milyar ton. Namun apabila dilihat dari komposisi penjualannya untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ekspor maka penjualan luar negeri lebih tinggi daripada dalam negeri, menurut data Indonesia Mineral and Coal Statistics, pada tahun 2003 penjualan ke luar negeri mencapai 85,7 juta ton sementara di dalam negeri hanya 30,6 juta ton, ini berarti sebagian besar batubara di Indonesia yaitu sekitar 73,6 persen dijual ke luar negeri dan hanya sebagian kecil atau sekitar 26,3 persen batubara yang dipakai dalam negeri, begitupun pada tahun 2007 menurut data Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia, pada tahun 2007 dari 217,4 juta ton batubara yang diproduksi 73,8 persennya di ekspor dan hanya 26,2 persen yang dijual didalam negeri. Tingginya ekspor batubara membuat pasokan domestik semakin sulit sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri pemerintah melakukan impor batubara, dan dari tahun ke tahun impor tersebut semakin besar dimana pada tahun 2003, jumlah batubara yang diimpor sebesar 38.228 ton menjadi 67.534 ton pada tahun 2007. Kondisi ini 1
Teknologi UBC sendiri merupakan proses peningkatan nilai kalori batubara peringkat rendah menyerupai batubara peringkat tinggi (bituminus) melalui penurunan kadar air bawaan. Proses ini dilakukan dengan mencampurkan batubara, minyak residu dan minyak tanah yang kemudian dipanaskan pada suhu 150-160 derajat celsius dan tekanan 250-350 kPa.Produk UBC berupa serbuk dan briket yang tidak menyerap air kembali setelah mencapai kondisi stabil. Jepang merupakan salah satu Negara yang berhasil dalam melaksanakan teknologi UBC sehingga Indonesia membuat Mou dengan Kobe Steel Ltd, Jepang untuk malakukan komersialisasi UBC di Indonesia. Pabriknya diharapkan mulai beroperasi pada tahun 2010 dengan kapasitas awal 5000/ton/hari atau 1,7 juta ton/tahun (Tekmira, 2005)
2 Gasifikasi merupakan teknologi pengubahan batubara padat menjadi gas. Saat ini telah dilakukan kerjasama dengan perusahaan Ishikawajima, Jepang untuk mengembangkan gasifikasi batubara peringkat rendah yang menghasilkan gas sintetis dengan teknologi “Tigar” (Twin IHI Gasfier) yang memiliki keunggulan antara lain tekanan dan suhu operasi rendah, residu berupa abu kering serta adanya efisiensi yang tinggi (Tekmira, 2005).
145
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 145
6/22/2010 6:21:47 PM
Tuti Ermawati
tidak terlepas dari disparitas harga yang tinggi antara ekpor dengan dalam negeri sehingga membuat para pengusaha batubara lebih memilih ekspor dibandingkan dengan memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Kondisi seperti ini sebenarnya tidak diharapkan karena tidak sesuai dengan rencana pengembangan batubara Indonesia, sehingga diperlukan sebuah kebijakan pengendalian produksi melalui pembatasan penjualan ke luar negeri dan jaminan pasokan untuk kebutuhan dalam negeri yang tercantum dalam kontrak harus dilaksanakan.
Gambar 6.2 Proyeksi Produksi dan Penjualan Batubara di Indonesia Tahun 2005-2025 (dalam milyar ton) Sumber: Puslitbang teknologi mineral dan batubara, 2007
Dari sisi konsumsi, permintaan batubara di dalam negeri pada tahun 1998 sampai tahun 2002 lebih banyak dipergunakan oleh PLTU, industri semen, kertas, metaulargi briket dan lain-lain dan baru pada tahun 2003 industri tekstil mulai menggunakan batubara sebagai salah satu sumber energinya sebesar 274.160 ton dan meningkat pada tahun 2005 menjadi sebesar 1.307.610 ton. Hal ini tidak lepas dari mulai tingginya harga minyak dunia yang berimpilikasi pada meningkatnya harga bahan bakar minyak dalam negeri (BBM) yang membuat banyak industri TPT yang intensif energi mau tidak mau mencari sumber energi lain agar industrinya tetap dapat beroperasi. Adapun partumbuhan ratarata konsumsi batubara dalam negeri adalah 12,67 persen pertahun. (lihat tabel 6.3)
146
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 146
6/22/2010 6:21:47 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
Tabel 6.3 Konsumsi Batubara Dalam Negeri Berdasarkan Jenis Industri (dalam ton)
6.2.2 Batubara dan Lingkungan Disatu sisi kebijakan energi 2025 menetapkan bahwa batubara merupakan salah satu sumber energi alternatif yang penggunaannya diharapkan terus meningkat. Tetapi disisi yang lain banyak yang mengkhawatirkan tentang dampak lingkungan dari penggunaan batubara itu sendiri yang pencemarannya dapat berasal dari perusahaan penambangan batubara serta industri yang menggunakan batubara. Pemanasan global atau efek rumah kaca merupakan isu lingkungan yang marak diperbincangkan. Efek rumah kaca dihasilkan dalam gas-gas atmosfir bumi (rumah kaca) yaitu CO2 (50 persen), CH4 (metana sebesar 20 persen), O3 (5 persen), N2O (10 persen) dan CFC (15 persen), peningkatan dari jumlah gas-gas tersebut akan mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Batubara sebagai salah satu sumber energi fosil yang mengandung CO2, metana dan N2O dapat menjadi salah satu sumber dari peningkatan efek rumah kaca.
147
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 147
6/22/2010 6:21:47 PM
Tuti Ermawati
Batubara pada umumnya ditambang dengan dua metode yaitu penambangan terbuka (strip minning atau open cast minning) dan penambangan tertutup (Suyartono, 2004). Pada penambangan terbuka yang meliputi kegiatan memindahkan tanah penutup dan mengambil batubaranya dari endapan batubara yang dalam dengan mengandung metana yang besar sehingga gas berbentuk metana yang dilepaskan ke udara pada saat penambangan tertutup jumlahnya lebih besar dibandingkan pada penambangan terbuka. Metana dilepaskan pada saat pemotongan lapisan batubara dalam permukaan kerja sehingga agar aman perlu diencerkan dengan udara ventilasi sampai pada ambang batas yang aman kemudian dilepaskan ke udara bebas. Untuk beberapa lapisan batubara dengan kandungan gas yang tinggi diperlukan proses pengeboran lapisan batubara sebelum proses penambangan dimana proses tersebut disebut dengan degasifikasi lapisdan batubara (coal steam degasification). Sementara pada penambangan terbuka, pengambilan batubara dilakukan pada endapan yang tidak terlalu dalam dengan kandungan metana yang tidak terlalu besar sehingga gas yang metana yang keluar ketika penambangan tidak terlalu besar (Suyartono, 2004). Selain itu, pada penambangan terbuka, sebagian batubaranya berperingkat rendah seperti lignit, sub bitumius, dan bitumius peringkat rendah yang tidak banyak mengandung gas metana. Metana selain dilepaskan pada saat proses penambangan, juga terdapat pada daerah-daerah bekas penambangan dan pada batubara dari tambang bawah tanah yang akan dilepaskan pada saat dipindahkan. Pada saat ini sebagian besar penambangan di Indonesia menggunakan sistem penambangan terbuka dan hanya tiga penambangan yang menggunakan sistem tertutup dan melakukan penambangan yang dalam, yaitu PT Tambang Batubara Bukit Asam unit produksi Ombilin, Sumatera Barat, PT Kitadin dan PT Fajar Bumi Sakti di Kalimnatan Barat (tekmira,2005).
148
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 148
6/22/2010 6:21:47 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
Emisi total metana dari penambangan, preparasi, pengangkutan dan penyimpanan dari jumlah produksi 4.704 miliar ton di seluruh dunia pada tahun 1990 diperkirakan mencapai 25 juta ton dimana 10 negara produsen utama penghasil batubara menyumbang emisi metana sebesar 90 persen, Indonesia sendiri dengan tingkat produksi pada tahun 1999 sebesar 71 juta ton, dan jika dibandingkan dengan total emisi dunia, maka kontribusi emisi dari batubara sebesar 0,003 persen (Suyartono, 2004). Adapun ke sepuluh negara penyumbang emisi metana dari penambangan batubara dapat dilihat di tabel 6.5. Tabel 6.4 Emisi Metana 10 Produsen Utama Batubara (juta ton)
Sumber: Suyartono, 2004
Sebenarnya gas metana tidak selalu merugikan lingkungan. Beberapa negara telah mencoba memanfaatkannya dengan cara mengubah gas metana menjadi bahan bakar bakar alternatif (coaled methane recovery) atau sebagai bahan baku kimia, dimana gas metana dalam lapisan batubara diambil dengan menggunakan teknologi khusus. Pemanfaatan gas metana tersebut masih relatif kecil, hal tersebut dapat dilihat di tabel 6.5 dimana rata-rata hanya 12,94 persen gas metana yang dimanfaatkan per negara. Hal ini dapat dimaklumi karena pemanfaatan tersebut membutuhkan teknologi khusus dan hanya akan menguntungkan untuk lapisan batubara dengan kedalaman lebih dari 300 meter (Suyartono, 2004). 149
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 149
6/22/2010 6:21:48 PM
Tuti Ermawati
Selain pencemaran lingkungan yang berasal dari penambangan batubara, yang juga dikhawatirkan dapat mencemari lingkungan adalah dari industri pengguna batubara. Pencemaran dari penggunaan batubara ini dapat terjadi dalam proses merubah batubara menjadi bahan bakar yaitu pada saat pembakaran batubara terutama ketika pembakaran yang dilakukan tidak sempurna. Pembakaran batubara seperti pada bahan bakar fosil lainnya, selalu diikuti oleh emisi polutan CO2, SOx dan NOx, diperkirakan sampai saat ini emisi total CO2 dari pembakaran fosil di dunia mencapai 25 milyar ton pertahun dimana sekitar 40 persen berasal dari pembakaran batubara (Suyartono, 2004). Selain itu, kandungan nitrogen dalam batubara (sekitar 1 persen) pada kondisi normal dengan pembakaran sempurna akan teroksidasi membentuk NO2, sedangkan pada kondisi pembakaran tidak sempurna dengan suhu yang tinggi nitrogen akan membentuk N2O yang merupakan salah satu dari gas rumah kaca. Pembentukan N2O di industri pengguna batubara sebenarnya dapat dihindari dengan penyempurnaan kinerja boiler batubara untuk mencegah terjadinya pembakaran tidak sempurna (Tekmira, 2005). Di Indonesia, limbah dari pembakaran batubara ini menghasilkan fly ash dan bottom ash yang batas maksimum partikel 150 miligram/ m3, sulfur dioksida (SO2) 750 miligram/m3, nitrogen oksida (NO2) 850 miligram/m3 dan opasitas 20 persen (Tekmira, 2005). Pemerintah lewat PP Nomor 18 Tahun 1999 mengaktogerikannya limbah dari batubara tersebut sebagai limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang memiliki definisi sebagai sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya. Dengan pengkategorian sebagai limbah B3 maka dalam penanganan limbahnya perlu perlakuan khusus dan tidak boleh langsung
150
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 150
6/22/2010 6:21:48 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
dibuang kedalam media lingkungan hidup. Pengolahan limbah menurut B3 menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 pasal 1 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan limbah B3. Dalam rangkaian pengolahan tersebut disebutkan bahwa yang melakukan adalah badan usaha. Mengingat bahwa pemanfaatan batubara sebagai sumber energi akan meningkatnya emisi dari pertikel SOx, NOx, COx dan abu terbang yang akan menjadi masalah lingkungan apabila tidak ditindak lanjuti secara benar maka perlu dilakukan pemanfaatan batubara dengan teknologi yang ramah lingkungan agar pemanfaatannya efisien dan tidak merusak lingkungan. Untuk tujuan tersebut, beberapa negara maju sedang dilaksanakan percobaaan pemanfaatan Teknologi UCG (Underground Coal Gasification). Teknologi ini berasal dari Uni Soviet (sekarang Federasi Rusia) dan ditemukan pada tahun 1933 dan mulai dipergunakan secara komersial di Donez Basin pada tahun 1954 dan di Kuznetz Basin pada tahun 1962 oleh perusahaan Podzemgaz (sekarang bernama Promgaz (Fitriani, 2007). Teknologi UCG telah memperlihatkan hasil yang secara teknis dan komersial dapat dipertanggungjawabkan dan sangat menguntungkan (Fitriani, 2007). Lisensi pemanfaatkanTeknologi UCG diberikan kepada perusahaan Amerika pada tahun 1974 dan mereka sedang mengembangkan teknologi bersama negara-negara Barat lainnya (Australia, Spanyol dan Belgia, disamping Jepang dan Cina (tekmira,2005). Di Federasi Rusia jumlah batubara yang telah dimanfaatkan melalui proses gasifikasi di bawah tanah (underground gasification) mencapai 15 juta ton yang menghasilkan 50 milyar m3 gas. Sementara di Amerika Serikat telah dilakukan gasifikasi sebanyak 50.000 ton (Tekmira, 2005) Di Indonesia sendiri, dengan adanya kebijakan yang menuntut penggunaan energi batubara yang lebih tinggi disatu sisi dan adanya dampak negatif yang ditimbulkan disisi lain, penerapan teknologi
151
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 151
6/22/2010 6:21:48 PM
Tuti Ermawati
bersih batubara (TBB)3 atau clean coal technology merupakan suatu keharusan. Dengan adanya berbagai TBB yang dikembangkan oleh negara maju memberikan pilihan bagi Indonesia untuk meningkatkan penggunaan batubara dengan dampak lingkungan yang kecil. Pengurangan dampak negatif atau pengurangan emisi bahan polusi dari penggunaan batubara dapat dilakukan dalam berbagai tahap: (Suyartono, 2004), yaitu: 1.
Sebelum pembakaran, ini dapat dilakukan dengan cara pencucian batubara atau mengkonvensikan batubara menjadi bahan bakar gas atau sintetis.
2.
Selama pembakaran, dapat dilakukan dalam proses pembakaran misalnya dengan menggunakan fluidized Bed Combustion (FBC)
3.
Sesudah pembakaran, yaitu dengan menangkap gas-gas SOx (Flue Gas Desulfurization) dan NOx serta penangkapan debu dengan menggunakan Electrostatic Precipitator dan Filter Bag House.
Pemanfaatan TBB di berbagai industri pengguna batubara masih perlu digalakan. Misalnya masih ada sebuah PLTU (Salak, Ombilin) yang menggunakan sistem traveling gate tanpa pengurangan emisis gas dan hanya dua PLTU yang menggunakan pulverized coal yang dilengkapi dengan Electrostatic Precipitator dan filter Bag Housse. Proses yang sekarang sedang dikembangkan adalah penggunaan coal water Mixture yang dapat mengurangi emisi bahan polusi serta akan lebih ekonomis dibandingkan dengan pemakaian PLTU yang didesain untuk minyak (Tekmira, 2005). Namun penggunaan TBB tersebut akan berakibat pada meningkatnya biaya investasi (10-25 persen) dan akan berimpilikasi pada mahalnya harga output energi yang dihasilkan PLTU sehingga penerapan TBB tersebut perlu dilakukan secara bertahap, sementara penerapan TBB pada industri masih terbatas pada peningkatan nilai kalori dengan Carbonatec Drying Technology, belum sampai pada proses pembakaran. (Tekmira, 2005). 3 TBB adalah teknologi pemanfaatan batubara yang menghasilkan energi yang efisien dengan dampak lingkungan yang kecil.
152
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 152
6/22/2010 6:21:48 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
6.3 Sudi Komparatif:Jepang dan Amerika Serikat 6.3.1 Perkembangan Teknologi Batubara Bersih di Jepang Jepang merupakan salah satu negara maju yang menjadi pengimpor batubara terbesar di dunia yaitu sekitar 110 juta ton per tahun. Hal ini bisa dimaklumi mengingat Jepang sebagi negara maju dalam menggerakkan roda perekonomiannya khususnya untuk industri membutuhkan jumlah energi yang besar sementara produksi batubara dalam negeri masih relatif kecil disebabakan kondisi tambang di Jepang yang kecil dan sangat dalam seperti di Taiheyo, Hokkaido, serta adanya batubara yang mengandung belerang seperti di Miike dan Kyushu sehingga dalam pemanfaatannya membutuhkan biaya produksi yang lebih tinggi (Suyartono, 2004), Dengan kondisi diatas maka tidak mengherankan jika Jepang lebih memilih mengimpor batubara yang harganya relatif lebih murah sekitar dua setengah kali dibandingkan harga batubara produksi dalam negeri (Tekmira, 2005). Sebagian besar batubara impor tersebut didatangkan dari Australia, China, Amerika Serikat, Afrika Selatan dan Indonesia dimana sepertiganya digunakan pemerintah Jepang untuk PLTU dan untuk kokas industri baja. Dalam pemanfaatan energi khususnya batubara, pemerintah Jepang menerapkan kebijakan peningkatan penggunaan batubara tanpa merusak lingkungan dengan penggunaan Teknologi Batubara Bersih (TBB). Hal ini dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk mengatasi permasalahan pemanasan global, hujan asam serta mengantisispasi kesadaran masyarakat terhadap masalah lingkungan global. Teknologi pemanfaatan batubara tersebut dikembangkan oleh perusahaanperusahaan swasta yaitu Central for Coal Utulization Japan (CCUJ) untuk proyek-proyek jangka pendek dan oleh New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) untuk proyek-proyek jangka panjang (Tekmira, 2005).
153
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 153
6/22/2010 6:21:48 PM
Tuti Ermawati
Adapun teknologi pemanfaatan batubara utama di Jepang dapat dikelompokkan dikelompokkan dalam lima kelompok besar sebagai berikut: (Suyartono, 2004) 1.
Pengontrol polusi (Pollution Control), yang terdiri dari: a. Flue Gas Desulfurization (FGD) b. Combustion Modification (CM) c. Selective Catalytic Reduction (SCR) d. In Furnace Nox Reduction (IFR)
2.
Penanganan (Handling), yang terdiri dari: a. Coal Oil Mixture (COM) b. Coal Water Mixture (CWM) c. Coal Cartridge System (CCS)
3.
Efisiensi yang ditingkatkan (Improved Efficiency) a. Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC) b. Pressurized Fluidized Bed Combustion (PFBC)
4.
Produksi (Improved Production) a. Hidrogen b. Semen c. Baja d. Likuifikasi
Dalam upaya menjadikan batubara sebagai sumber energi, diperlukan proses pembakaran dimana masing-masing jenis pembakaran memiliki implikasi yang berbeda dalam menghasilkan bottom ash dan fly ash yang keduanya di Indonesia dikategorikan sebagai B3. Ada beberapa macam jenis pembakaran yang biasanya di gunakan di Jepang, yaitu: (Suyartono, 2004)
154
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 154
6/22/2010 6:21:48 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
1. 2. 3. 4.
Pulverized cola (dry steam) combustion Stoker combustion Pulverized coal wet system (slag type system atau cyclone system) combustion Fluidized bed combustion
Di Jepang sebagain besar yaitu 44 (97,7 persen) buah PLTU menggunakan pembakaran batubara terpulverisasi dan hanya 1 (2,3 persen) PLTU yang menggunakan pembakaran terfluidakan. Sebaliknya untuk industri umum yang jumlahnya sekitar 93 unit, sekitar 24,5 persen nya menggunakan pembakaran batubara stoker, 56,1 persen menggunakan cara terpulverisasi, dan hanya 19,4 persen yang menggunakan terfluida (Tekmira, 2005). Dengan system terpulverisasi yang mendominasi system pembakaran batubara di Jepang tersebut telah menghasilkan limbah sekitar 10-20 persen yang berbentuk bottom ash dan sekitar 80-90 persen yang berbentuk fly ash dari total abu yang dihasilkan (Tekmira, 2005). Dengan sistem pembakaran terfluida yang mendominasi, pada tahun 2000 diperkirakan jumlah abu yang perlu ditangani oleh Jepang mencapai 10 juta ton dimana 8 juta berasal dari PLTU dan sisanya 2 juta berasal dari industri (Suyartono, 2004). Untuk menangani jumlah abu yang terus meningkat tersebut, pemerintah Jepang telah melakukan penelitian dan pengembangan bagi pemanfaatan abu, dan rasio pemanfaatannya sekarang 43-46 persen digunakan untuk keperluan teknik sipil yaitu untuk semen/beton seperti : (Suyartono, 2004) 1.
fly ash cement, dimana teknologinya dimiliki oleh Cement Industry, Works Research Institute, Central Research Institute of Electric Power Industry Co.Ltd, Electric Power Industry, Japan dan Fly Ash Association.
2.
adonana beton ready mixed, dimana teknologinya dikuasai oleh industri konstruksi, PLTU antara lain The Electric Power Development Co, Central Research Institute of Electric Power Industri Co.Ltd, dan Public Work Research Institute. 155
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 155
6/22/2010 6:21:48 PM
Tuti Ermawati
3.
Beton khusus (hardened) yang sekarang sedang dikembangkan oleh CCUJ, The Coal Mining Research Centre, Japan dan Electric Power Development Co.
4.
bahan baku semen yang dikembangakan oleh industri-industri semen dan sekarang sedang berkembang Teknologi New Compound Cement yang merupakan teknologi terbaru dalam menjadikan abu sebagai bahan baku semen yang diteliti oleh Hokkaido Electric Power Co, Kansai Electric Power Co dan Electric Power Development Co.
Selain itu, di Jepang abu dari hasil pembakaran batubara tersebut digunakan untuk konstruksi jalan, pengisi agregat artifisial, bahan konstruksi, bahan tanggul serta untuk back filling yang terus menurun seiring dengan merosotnya produksi dari tambang bawah tanah.
6.3.2 Perkembangan Perkembangan Teknologi Batubara Bersih Amerika Serikat Dibalik banyak perbedaan negara Amerika serikat dengan Indonesia, ada salah satu kesamaan, diantarnya adalah memiliki cadangan batubara yang begitu besar sekitar 20 persen dari cadangan batubara dunia yaitu sebesar 256 miliar ton ( Statistical Review of Energy, 2004). Dengan produksi per tahun sekitar 1 miliar ton sehingga tidaklah mengherankan jika Amerika giat menggalakan pemakaian batubara dalam negerinya dengan program pemakaian batubara 10 kilogram per orang per hari. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi pemakaian bahan bakar minyak (BBM) yang mulai menipis cadangannya dan perlu diimpor. TBB sudah lama dikembangkan di Amerika Serikat dan mendapat dukungan penuh dari pemerintah, hal ini dapat dilihat dari adanya kerjasama dalam memasarkan produk-produk TBB yang dimulai sejak tahun 1986 antara industri dengan US Departement of Energy (DOE), tujuannya adalah untuk menerapkan teknologi batubara yang inovatif
156
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 156
6/22/2010 6:21:48 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
serta ramah lingkungan. Dalam 45 proyek TBB di negara bagian tersebut, pemerintah Amerika memang tidak main-main dalam menanamkan modalnya yaitu sebesar US$ 2,5 miliar dan negara bagian sebesar US$ 4 miliar (Suyartono, 2004). Besarnya dana yang dikucurkan pemerintah sebanding dengan keuntungan yang didapat, yang antara lain adalah adanya dampak yang lebih kecil terhadap lingkungan dalam penggunaan batubara dan menjadikan batubara sebagai sumber energi yang handal, adanya tambahan lapangan kerja produktif baru serta peningkatan kompetisis dan pemanfaatan pasar dunia untuk TBB. Selain kerjasama, pemerintah Amerika tidak terlalu campur tangan dan memberi kebebasan penuh dalam perkembangan lembaga penelitian ”Energy and Enviromental Research Center” yang mengkhususkan diri dalam penelitian low rank coal sehingga lembaga penelitian tersebut dapat mandiri dalam menghasilkan karya-karya inovatif yang berkaitan dengan pengembangan batubara (Suyartono, 2004). Dengan keseriusan TBB yang dikembangkan, PLTU di Hawaii telah menggunakan teknologi Circulating Fluidized Bed (dengan penambahan batu kapur untuk menangkap belerang dan amonia sehingga dapat menekan nitrogen (Suyartono, 2004). Selain itu telah digunakan teknologi mild gasification/liquid from coal dengan produk yang berupa char dan cairan yang mampu mengolah batubara peringkat rendah dan berkadar air tinggi menjadi batubara yang berkualitas. Sama seperti di Jepang, limbah abu yang dihasilkan dari pembakaran batubara dimanfaatkan dan diolah untuk dijadikan sebagai pencampur tanah, gypsum dan sebagainya.
6.4 Batubara di Industri TPT Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan salah satu industri yang diprioritaskan untuk dikembangkan karena menurut departemen perindustrian, 2006 perannya terhadap perolehan devisa
157
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 157
6/22/2010 6:21:48 PM
Tuti Ermawati
dari ekspor pada tahun 2005 mencapai US$ 8,33 miliar dan mampu menciptakan kesempatan kerja kurang lebih 2,4 juta orang atau 33,96% dari total tenaga kerja di industri manufaktur. Namun lima tahun terakhir industri TPT, menurut beberapa pemgusaha tekstil di Jawa Barat, mengalami penurunan daya saing salah satunya disebabkan tingginya harga energi BBM, mengingat selama ini sebagian besar bahan bakar yang digunakan untuk boiler industri tekstil adalah bahan bakar minyak (solar atau residu), sehingga banyak pengusaha yang bergerak di industri TPT mencari sumber energi alternatif lain khususnya batubara karena harga batubara yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga listrik per Kwh yang dibebankan pada industri. Di Jawa Barat khususnya wilayah Bandung terdapat lebih dari 300 perusahaan tekstil yang tersebar di tiga wilayah, yaitu di kabupaten Bandung, kota Bandung dan kota Cimahi. Di kabupaten Bandung industri tekstil terkonsentrasi di tiga wilayah, yaitu wilayah timur (sepanjang Jalan Cileunyi–Cicalengka),wilayah tengah (sepanjang Jalan Mohammad Toha–Dayeuhkolot–Majalaya), dan wilayah barat (sekitar Nanjung dan Padalarang), sementara di kota Cimahi, lokasi industri tekstil terkonsentrasi di sekitar Leuwigajah. Untuk wilayah kota Bandung penyebaran lokasi industri tekstilnya cendrung tidak terkonsentrasi dalam sentra-sentra dan lebih mnyebar, berbeda dengan kabupaten Bandung maupun kota Cimahi yang lokasi industri tekstilnya terkonsentrasi dalam sentra-sentra. Menurut data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dearah (BPLHD) di kabupaten Bandung ini pada tahun 2007, dari sekitar 131 industri yang menggunakan batubara sekitar 90,08 persen merupakan industri TPT.
158
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 158
6/22/2010 6:21:48 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
Tabel 6.5 Perkembangan Konsumsi Batubara Menurut Propinsi di Jawa Barat
159
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 159
6/22/2010 6:21:48 PM
Tuti Ermawati
Pada tahun 2003, berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bandung, di wilayah Bandung tercatat ada sebanyak 18 perusahaan yang telah menggunakan batubara dengan kebutuhan sebesar 274.163 ton per tahun. Hingga tahun 2004, bertambah sebanyak 20 perusahaan tekstil yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar untuk boilernya. Pemakaian batubara hingga bulan Juni tahun 2004 tercatat sebesar 245.364 ton dan menjadi 3.07 juta ton pada tahun 2006. Tercatat 7 perusahaan yang paling banyak menggunakan batubara yaitu PT. Kahatex, PT. Panasia Filamen Inti, PT. Ayoe Taihotex, PT. Bintang Agung, PT. Central Georgete Nusantara, Dewasuteratex dan PT. Trisulatex. Dengan banyaknya jumlah industri TPT di Jawa Barat khususnya di wilayah bandung, maka tidak mengherankan jika konsumsi batubara di industri tekstil di Jawa Barat (lihat tabel 6.6) lebih tinggi yaitu sebesar 851.040 ton pada tahun 2005 dibandingkan dengan Banten yang hanya sebesar 317.500 ton sebesar dan Jawa Tengah sebesar 139.00 ton. Tingginya angka penggunaan batubara sebagai sumber energi alternatif di Industri TPT Jawa Barat tidak lepas dari penghematan penggunaan energi yang bisa dilakukan. Berdasarkan wawancara di lapangan terhadap beberapa industri TPT, ternyata dengan menggunakan batubara bisa melakukan penghematan biaya energi sebesar 50-60 persen dibandingkan apabila menggunakan BBM atau pun listrik bahkan ada sebuah industri TPT yang menyatakan bahwa terjadi penghematan biaya energi sebesar 6 Milyar ketika menggunakan batubara. Pada sisi lain, harga batubara dalam negeri juga mengalami kenaikkan seiring dengan kenaikkan harga BBM dari sekitar Rp. 400-500 per kilogram menjadi Rp 1.175 per kilogram untuk kalori yang sering digunakan oleh industri TPT yaitu kalori 6.000. Batubara yang digunakan oleh industri TPT di Jawa Barat, menurut dinas sumber daya mineral kota Bandung, pada umumnya berasal dari Kalimantan sebagian ditampung di tempat penyimpanan di sekitar
160
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 160
6/22/2010 6:21:48 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
pelabuhan Cirebon dan di seklitar jalan raya Losari dengan kapasitas penyimpanan yang bervariasi antara 3.000–5.000 ton. Pemilihan Cirebon sebagai lokasi penampungan oleh pemerintah karena jaraknya yang berdekatan dengan gerbang tol Kanci sehingga mempermudah pengiriman batubara ke luar daerah. Pada saat ini, pasokan batubara ke pelabuhan Cirebon tercatat sebesar 150.000 ton per bulan. Sebagian perusahaan TPT besar di Jawa Barat untuk membeli batubara biasanya langsung pesan ke perusahaan-perusahaan tambang besar dengan kontrak jangka panjang. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas dan juga keberlangsungan pasokan batubara karena biasanya perusahaan-perusahaan besar memiliki komitmen yang dalam hal melakukan service kepada pelanggannya dengan menjamin kualitas batubara dan juga memiliki stock batubara yang lebih besar dibandingkan agen-agen atau perusahaan batubara yang kecil. Menurut beberapa perusahaan TPT besar, pemesanan batubara tidak dilakukan kepada perusahaan kecil ataupun broker karena ada beberapa kasus ketika perusahaan memesan kepada mereka, spesifikasi batubara yang diterima kadang tidak sesuai dengan yang dipesan terutama kadar kalorinya yang lebih rendah (batubara dicampur dengan pasir, tanah, limbah batubara atau yang lainnya) sehingga tidak bisa digunakan sebagai pemanas boiler kalaupun bisa, pemabakaran yang dihasilkan tidak sempurna sehingga menghasilkan banyak abu baik bottom ash maupun fly ash. Harga batubara bervariasi tergantung pada tingkat kalori yang berkisar antara Rp.300.000– Rp.400.000 per ton sampai di tempat tujuan. Batubara itu sendiri sebagian besar di produksi oleh PT. Arutmin, PT. Adaro dan Koperasi Unit Desa, di Kalimantan Selatan dengan kualitas yang diterima di lokasi pemakai berkisar antara 5400-6600 kkal/kg. Sebenarnya untuk wilayah Jawa Barat, ada Peraturan Gubenur yang mengatur kualitas batubara yang diperbolehkan masuk ke Cirebon, yaitu batubara yang memiliki kandungan sulfur 1 persen
161
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 161
6/22/2010 6:21:48 PM
Tuti Ermawati
serta kadungan abunya maksimal 10 persen. Namun pada prakteknya sangat sulit dilapangan untuk melakukan pengawasan terhadap kualitas batubara yang masuk ke Cirebon sehingga menurut sumber di ESDM Jabar, masih banyak batubara yang kandungan abunya lebih dari 10 persen bahkan adanya yang tanah sehingga sulit untuk dibakar. Hal ini bisa saja terjadi, dimana di asalnya batubara tersebut memiliki kandungan kalori yang bagus, tetapi ditengah perjalanan pengiriminan dibelokkan ke daerah lain yang menawar dengan harga yang lebih tinggi. Permasalahnya untuk mendapatkan pasokan batubara dari perusahaan tambang resmi tidaklah mudah karena membeli batubara dari penambangan besar resmi memerlukan dana investasi yang sangat besar terutama untuk menyediakan alat pengangkut seperti truk maupun kapal tongkang. Kondisi ini membuat perusahaan TPT yang memiliki dana terbatas lebih memilih membeli batubara dari para broker (pedagang) karena pada umumnya para broker tersebut bersedia mengantar batubara hingga ke pabrik-pabrik dengan harga jual yang tidak terlalu jauh dari harga perusahaan pertambangan. Menurut Sekjen API, hal tersebut diatas terjadi akibat perusahaan pertambangan lebih banyak memilih ekspor ketimbang memasok batubara ke industri dalam negeri karena mereka mempunyai kontrak dengan perusahaan-perusahaan di luar negeri akibat adanya disparitas yang cukup tinggi antara harga batubara di dalam negeri dan diluar negeri sehingga banyak perusahaan tambang batubara yang lebih memilih ekspor. Sementara industri domestik justru kekurangan pasokan, seperti yang terjadi pada industri TPT di Jawa Barat pada awal tahun 2008. Kondisi ini sebenarnya dapat dihindari apabila pemerintah tegas dalam hal tata niaga sehingga program wajib pasok ke dalam negeri (domestic market obligation/DMO) yang dicanangkan oleh pemerintah dapat segera diberlaklukan dimana setidaknya perusahaan
162
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 162
6/22/2010 6:21:49 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
pertambangan wajib memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga kebutuhan industri terutama tekstil tercukupi. Selain itu, pemerintah juga harus mengatur para broker karena jika tidak diatur akan makin menyuburkan praktek pertambangan liar karena selama ini para broker umumnya membeli batubara dari para penambang liar. Dalam menjaga keberlangsungan produksi tekstilnya, perusahaan biasanya melakukan penyediaan stok batubara terutama pada musim penghujan sementara untuk musim panas tidak ada masalah (pasokan aman). Hal ini dilakukan mengingat pada musim penghujan biasanya terjadi keterlambatan pengiriman yang diakibatkan terhambatnya produksi batubara, baik dalam operasi penggalian maupun pengangkutannya di daerah tambang serta sering terjadi gangguan pada jalur pengangkutan akibat padatnya jalur lalu lintas CirebonBandung. Untuk perusahaan yang cukup besar penyediaan stok antara 40-500 ton untuk 2-12 hari jika musim penghujan tiba dan ini tidak masalah, sedangkan untuk perusahaan yang tidak terlalu besar, stock penyediaan batubara lebih terbatas karena kondisi keuangan yang terbatas juga. Padatnya lalulintas Cirebon-Bandung yang berakibat pada terlambatnya pengiriman batubara sehingga akan berpengaruh terhadap keberangsungan produksi terkstil itu sendiri sehingga dalam Suseno, Sujarwo dan Jafril (2007) ada beberapa jalur yang bisa dilalui dengan berbagai kelebihan dan kelemahan dari masing-masing jalur tersebut, adapun jalur alternatif yang bisa dilalui antara lain: 1)
Jalur Cirebon-Sumedang-Jalan Cagak-Bandung Panjang jalur ini 156 Km melalui daerah pegunungan sehingga jalan yang dilalui berkelok-kelok, penuh tanjakan dan turunan. Meskipun demikian, jalur dari Cirebon sampai Jalan Cagak dapat dilalui oleh truk tronton pengangkut batubara dengan mudah. Masalah terbesar adalah jalur Jalan Cagak sampai Bandung, karena jalur ini harus melalui tanjakan Emen, yaitu tanjakan terpanjang 163
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 163
6/22/2010 6:21:49 PM
Tuti Ermawati
dan tertinggi yang membentang dari Ciater sampai simpang tiga ke arah Tangkuban Perahu. Truk tronton dengan muatan penuh 25 ton batubara tidak akan mampu melalui tanjakan ini. Oleh karena itu, jalur alternatif ini tidak dapat dipilih untuk menggantikan jalur yang telah ada. 2)
Jalur Cirebon-Indramayu-Pamanukan-Subang-Bandung Panjang jalur ini 207 Km, jauh lebih panjang dari jalur alternatif sebelumya. Jalur dari Cirebon–Indramayu–Pamanukan merupakan bagian dari jalur pantura, sehingga jalannya relatif datar dan luas. Demikian pula jalur dari Pamanukan–Subang relatif datar sehingga tronton dengan mudah melaluinya. Namun karena jalur yang tersisa yaitu Subang–Bandung harus melalui tanjakan Emen, maka tronton bermuatan penuh batubara tidak akan mampu melewatinya. Dengan demikian, jalur alternatif ini tidak layak untuk dipilih untuk menggantikan jalur yang telah ada.
3)
Jalur Cirebon-Cikampek-Bandung Jalur ini jauh lebih panjang dari jalur yang telah ada, yaitu 231 Km. Pada jalur ini pengangkutan batubara tidak menggunakan truk tronton, namun menggunakan kereta api. Alternatif ini dimunculkan, karena selama ini telah tersedia jaringan rel kereta api antara Cirebon–Cikampek–Bandung. Bila jalur ini dapat digunakan, maka pengangkutan batubara akan menjadi lebih mudah. Pengangkutan batubara dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : batubara dari tongkang dibongkar ke atas truk, selanjutnya truk bergerak menuju stasiun kereta api di pelabuhan. Batubara dari atas truk dipindahkan ke atas gerbong, selanjutnya diangkut ke Bandung melalui Cikampek. Stasiun batubara yang dipilih di Bandung adalah stasiun Gedebage. Biaya pengiriman batubara dengan menggunakan kereta api melalui Cikampek sebesar Rp. 55.000,00 per ton.
164
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 164
6/22/2010 6:21:49 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
4)
Jalur Cirebon-Cikajang-Kawali-Ciamis-Malangbong Jalur ini merupakan jalur transportasi terpanjang dengan menggunakan truk, yaitu 230 Km melalui jalur selatan. Jalur yang dilalui adalah dari Cirebon menuju Cikijing (Kab. Kuningan), terus ke arah Kawali (Kab. Ciamis) dan menuju ke Kota Ciamis sehingga menembus jalur selatan Jawa. Selanjutnya mengikuti jalur selatan ini menuju ke Bandung. Selain panjang, jalur ini juga melewati daerah pebukitan dengan banyak kelokan dan tanjakan, terutama di daerah Panawangan (Kab. Ciamis), Malangbong (Kab. Garut), dan Nagreg (Kab. Bandung). Oleh karena itu waktu yang diperlukan menjadi lebih besar dari jalur Cirebon-Sumedang-Bandung yang panjangnya sekitar 128 Km dengan waktu tempuh 6 jam. Tranportasi lewat jalur selatan akan memerlukan waktu tempuh antara 10–12 jam, sehingga konsekuensi penggunaan jalur ini adalah meningkatnya waktu tempuh antara 4-6 jam dan biaya transportasi. Harga batubara melalui jalur Selatan ini menjadi berkisar antara Rp. 300.000 - Rp 450.000 per ton, namun demikian harga ini masih tetap lebih ekonomis daripada harga BBM untuk operasi boiler tekstil.
5)
Jalur Cirebon-Cimalaka-Sumedang-Bandung Analisis pada jalur ini didasarkan pada asumsi bahwa rencana pembangunan jalan tol Cileunyi–Cimalaka dapat segera diwujudkan. Oleh karena itu dengan melalui jalur ini, truk pengangkut batubara dapat memperkecil jarak angkut dari 128 Km menjadi 113 Km. Selain menghemat waktu dan jarak angkut, jalur ini tidak melewati dua titik rawan longsor di Sumedang, yaitu Cadas Pangeran dan Nyalindung. Di samping itu, juga tidak dijumpai tanjakan-tanjakan yang panjang dan tinggi, seperti Malangbong dan Emen, sehingga biaya transportasi batubara lewat jalur ini menjadi sekitar Rp 40.000,-/ton.
165
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 165
6/22/2010 6:21:49 PM
Tuti Ermawati
Dari ke lima jalur alternatif tersebut, ternyata hanya ada 3 jalur yang layak sebagai jalur transportasi pengiriman batubara, yaitu Jalur Cirebon-Cikampek-Bandung, jalur Cirebon-Cikajang-kawali-CiamisMalangbong dan jalur Cirebon-Cimalaka-Sumedang-Bandung. Selain masalah pasokan, hal yang dikhawatirkan oleh industri TPT pengguna batubara adalah masalah lingkungan. Pada umumnya limbah industri menurut PP No 18 tahun 1999 oleh pemerintah dikategorikan sebagai limbah B3 yaitu limbah yang mengandung yaitu bahan berbahaya dan beracun. Begitupun dengan limbah batubara yang oleh pemerintah dikategoikan sebagai limbah B3 sehingga proses pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan dan pengolahan limbanya memerlukan perlakuan khusus. Limbah batubara dapat dibedakan dalam 2 bentuk yaitu bottom ash dan fly ash. Berkaitan dengan abu dasar (bottom ash) dari hasil pembakaran batubara. Perusahaan TPT khususnya di Jawa Barat mengalami kesulitan untuk membuang abu batubara tersebut mengingat tidak tersedianya lokasi-lokasi tempat pembuangan sehingga membutuhkan penyelesaian secara bersama antara pemerintah dan dunia usaha, yaitu dalam pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3) batubara yaitu bottom ash dan fly ash, mengingat volume limbah yang semakin meningkat. Dalam upaya untuk menanggulangi permasalahan limbah B3 pada tahun 2006 dilakukan kesepakatan antara Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menteri Perindustrian serta industri pengguna batubara untuk malakukan upaya pemanfaatan sebagai bahan bakar dan sebagai filler pada industri semen serta untuk bahan baku lainnya. Dalam kesepakatan tersebut ijin tempat penyimpanan sementara (TPS) diberikan kepada 15 industri TPT sedangkan ijin pemanfaatan limbah batubara (bottom ash) diberikan kepada PT Holcim, untuk melengkapi ijin pemanfaatan fly ash yang telah diterbitkan sebelumnya. Dalam kesempatan itu juga ditandatangani nota kesepakatan pemanfaatan
166
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 166
6/22/2010 6:21:49 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
limbah batubara antara beberapa industri TPT dengan industri semen (PT Indocement dan PT Holcim), di samping itu, ada MoU antara pihak pengelola (pengumpul, pengolah dan pemanfaat) Limbah B3 yaitu PT. Teknotama Lingkungan Indonesia dengan beberapa industri dalam penanganan limbah batubara. Pada saat ini di Jawa Barat terdapat 69 industri TPT yang memanfaatkan batubara dengan jumlah kebutuhan batubara sebesar 125.000 ton/bulan dan limbah yang dihasilkan mencapai 10.000 ton/bulan. Dengan limbah batubara yang begitu besar pada tahun 2006, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, serta asosiasi pengusaha tekstil (API) berencana membuat tempat pengelolaan limbah senilai Rp 8 miliar (harga alatnya sekitar Rp 2 miliar, biaya tanah dan pembangunannya Rp 6 miliar) untuk mengurangi efek polusi dari industri tekstil berbahan baku batubara karena sebagian besar industri tekstil di Jabar menggunakan bahan baku batubara, rencananya tempat pengelolaan limbah akhir bagi 60 pabrik tekstil di Jabar tersebut dibangun di Majalaya, kabupaten Bandung dengan luas tanah 1,5 hektar dan bangunan 2.000 m2. Dengan sistem pengelolaan itu limbah udara dan darat dari pembakaran batubara dapat dipadatkan sehingga hasil pemadatan limbah dapat diubah menjadi barang yang bernilai tambah, seperti batako, paving block, atau genteng. Namun sampai saat ini, proyek tersebut belum dapat beroperasi padahal pabriknya sudah berdiri. Terganjalnya proyek tersebut, menurut sumber di API, pada awalnya disebabkan karena peruntukkan tanah yang dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah B3 bukan untuk industri tetapi untuk perikanan, namun ketika peruntukan tanah telah direvisi oleh pemerintah daerah, muncul masalah lain yaitu Amdal (analisis dampak lingkungan). Lamanya waktu perijinan akhirnya membuat proyek pengelolaan limbah ersebut belum dapat beroperasi dan terbengkalai sampai sekarang padahal proyek tersebut sangat penting artinya terutama bagi industri TPT pengguna batubara.
167
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 167
6/22/2010 6:21:49 PM
Tuti Ermawati
Mengingat begitu sulit dan menjadi masalahnya penggunaan batubara terutama dalam pembuangan limbah, beberapa peruahaan yang berhasil diwawancarai membuang limbah batubara menggunakan jasa perusahaan swasta yang telah memiliki ijin tempat pembuangan sementara (TPS) dengan membayar Rp 150.000 per ton, rata-rata perusahaan TPT yang sedang menghasilkan limbah sekitar 40 ton per bulan, jadi pengeluaran untuk limbah abu batubara sekitar Rp 6.000.000 per bulan, belum termasuk limbah cair dari pencelupan sekitar Rp 1.950.000 per ton. Tingginya biaya pembuangan limbah batubara tersebut membuat sebagian perusahaan mengeringkan limbah tersebut dan kemudian digunakan sebagai bahan campuran pembakaran batubara.
6.5 Arah Pengembangan Batu Bara Dari temuan dilapangan, ternyata batubara disatu sisi memang dapat meningkatkan efisiensi dan penghematan energi di industri TPT di Jawa Barat dibandingkan dengan penggunaan BBM dan listrik yang harganya jauh lebih mahal. Namun disisi yang lain penggunaan batubara menimbulkan kekhawatiran dari industri TPT terutama dalam hal pasokan dan juga dampak limbah batubara terhadap lingkungan karena pemerintah mengkategorikannya sebagai limbah B3. Mengenai keberlangsungan stok dari batubara, sebenarnya Indonesia memiliki cadangan yang sangat besar, tinggal bagaimana mengalokasikannya agar kebutuhan batubara dalam negeri bisa selalu tercukupi. Disini perlu ketegasan dari pemerintah dalam hal tata niaga batubara terutama dalam mengatur DMO. Sementara yang terkait dengan isu lingkungan, yang menjadi pertanyaan mengapa pemerintah mengkategorikannya sebagai limbah B3 padahal di negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat, limbah batubara tidak dikategorikan sebagai B3. Menurut sumber di BPLHD Bandung, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan 168
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 168
6/22/2010 6:21:49 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
menunjukkan bahwa limbah batubara mengandung lycid 0.000999, ini berarti bukan termasuk katogori B3. Selain itu, beberapa perusahaan TPT di Jabar juga sedang membuktikan bahwa ketika batubara yang dipakai berkalori tinggi maka akan terjadi proses pembakaran sempurna yang hanya menyisakan sedikit bottom ash maupun fly ash. Dengan adanya beberapa penelitian yang membuktikan bahwa limbah batubara bukan termasuk B3, BPLHD memandang bahwa pengkategorian tersebut merupakan sikap over protective pemerintah terhadap lingkungan, namun untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 yang mengakategorikan limbah batu bara sebagai limbah B3 tersebut membutuhkan waktu dan biaya yang besar karena butuh beberapa pengujian yang tidak semuanya ada di Indonesia. Terlepas dari limbah batubara termasuk B3 atau bukan, sebenarnya kita bisa belajar dari Jepang dan Amerika Serikat, kedua negara tersebut sadar bahwa limbah batubara dapat mencemari lingkungan tanpa mengkategorikannya sebagai B3, mereka mengatasinya dengan mengembangkan dan menerapkan teknologi batubara bersih (TBB) yang dapat mengubah batubara kualitas rendah menjadi kualitas tinggi sehingga limbah abu batubara yang lebih sedikit karena proses pembakarannya sempurna. Selain itu, dengan tidak mengkategorikan batubara sebagai B3, mereka dapat memperjualbelikan limbah batubara antar negara bagian atau pun antar negara untuk dijadikan sebagai bahan baku semen, paving block, dan lain-lain. Berbeda apabila dikategorikan sebagai B3, maka transfer limbah abu merupakan hal yang tidak boleh dilakukan dan harga mati karena merupakan convention dimana tidak diperbolehkan terjadinya pertukaran B3 antar negara.
6.6 Kesimpulan Batubara ternyata telah menjadi salah satu faktor produksi dalam proses produksi industri TPT seiring dengan kenaikkan harga BBM dan TDL. Namun dalam proses penyediaan dan pemanfaatan batubara 169
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 169
6/22/2010 6:21:49 PM
Tuti Ermawati
untuk boiler dalam industri tekstil di Propinsi Jawa Barat, tidaklah sederhana karena adanya beberapa permasalah yang timbul dan perlu kerjasama antara pelaku industri TPT dengan pemerintah, antara lain adalah: 1.
Kualitas batubara yang kadang masih dibawah standar sehingga perlu memilih/membeli batubara sesuai spesifikasi. Pemakaian batubara yang dibawah standar akan berpengaruh terhadap turunnya daya tahan (life time) peralatan (boiler) yang digunakan serta membuat proses pembakaran menjadi tidak sempurna yang menyebabkan tingginya tingkat pencemaran udara (gas, debu dan abu). Konsekuensinya limbah yang dihasilkan melampaui kadar abu yang diijinkan. Disini penanganannya dengan melakukan pengawasan yang ketat terhadap kegiatan industri tekstil oleh badan yang berwenang serta terhadap batubara yang masuk ke Cirebon.
2.
Terbatasnya pasokan batubara, ini dapat terjadi karena dua hal yaitu terbatasnya pasokan batubara dalam negeri atau karena sedang musim hujan dimana terjadi keterbatasan produksi. Ini bisa diatasi dengan pengaturan yang tegas dari pemerintah mengenai DMO serta didirikannya sentra-sentra penyediaan batubara yang berdekatan dengan lokasi penyebaran industri tekstil sehingga industri dapat melakukan stok yang cukup pada musim penghujan.
3.
Terbatasnya jalur transportasi pengiriman batubara dari Cirebon menuju industri TPT sehingga menyebabkan kemacetan/ tingkat kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi. Penanganannya adalah dengan menyediakan jalur-jalur alternatif yang dapat memperlancar pengiriman batubara. Konsekuensi yang dihadapi adalah bertambahnya biaya pengangkutan.
170
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 170
6/22/2010 6:21:49 PM
Batubara dan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): Pelajaran Dari Provinsi Jawa Barat
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2007, Peranan Teknologi dan Kebijakan Pertambngan Mineral dan Batubara yang Berwawasan Lingkungan Untuk Mendukung Pembangaunan Nasional, Prosiding Kolokium Pertambangan 2007:Bandung. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2008, Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia, dari http://www. esdm.go.id/publikasi/statistik.html Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara, 2003, Indonesia Mineral and Coal Statistic,Jakarta. Fitriani, Dian, 2007, Teknologi UCG (Underground Coal Gasification) Sebagai Pengelolaan Batubara Ramah Lingkungan, dari http://anafio.multiply.com/reviews/item/2 Lida, Kenji,2007, Coal Policy in Japan, APEC Coal Seminar Feb 6-7 Feb 2007, diambil dari http://www.egcfe.ewg.apec.org/ publications/proceedings/CFE/Hanoi_2007/2-4_Iida.pdf Miranti, Ermina, Desember 2008, Prospek Industri Batubara di Indonesia, Economic Review No. 214, dari http://www.bni.co.id/ Portals/0/Document/Batubara.pdf Suseno T, Sujarwo dan Jafril, 2004, Booming Batubara dalam Industri Tekstil di Wilayah Bandung dan Masalah Tranportasinya, dari http://www.tekmira.esdm.go.id/dwnload/TriswanSuseno/ TranportasiBatubara.docm.go.id Suyartonno, 2004, Hidup Dengan Batubara: Dari Kebijakan Hingga pemanfaatan, Yayasan Media Bakti Tambang: Jakarta. 171
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 171
6/22/2010 6:21:49 PM
Tuti Ermawati
Puslitbang Tekmira, 2005, Buku Tahunan 2005: Batubara Sebagai Bahan Bakar Pengganti BBM, Bandung. Puslitbang Tekmira, 2007, Buku Tahunan 2007: Mendukung Upaya Pengurangan Dampak Lingkungan Melalui Litbang Tekmira, Bandung. Puslitbang Tekmira, 2007, Hasil survey tim Kajian Batubara Nasional 2007. Tim Kajian Batubara Nasional Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara, 2006 ,Batubara di Indonesia, dari www.tekmira. esdm.go.id/data/files/Batubara%20Indonesia.pdf ......................, Batubara, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_ Batubara ...................,1999, Himpunan Peraturan Tentang Pengendalian Dampak Lingkungan, BP Panca Usaha:Bandung.
172
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 172
6/22/2010 6:21:49 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
BAB 7 DAMPAK PENYESUAIAN HARGA BBM DAN TDL DI INDUSTRI TPT (ITPT) Esta Lestari 7.1 Pendahuluan Dari sekian banyak permasalahan di industri tekstil dan produk tekstil (ITPT) seperti permasalahan iklim usaha yang disebabkan ekonomi biaya tinggi, rendahnya investasi permesinan yang sudah tua, inefisiensi, kondisi pelabuhan yang rendah, permasalahan energi merupakan salah satunya yang signifikan. Energi dianggap bagian dari faktor yang mempengaruhi iklim usaha ITPT mengingat perubahannya baik dalam ketersedian dan harga akan mempengaruhi sisi supply melalui perubahan biaya produksi dan sisi demand melalui perubahan permintaan akibat perubahan daya beli. Energi merupakan faktor pendukung produksi yang signifikan bagi ITPT yang mencapai 38% dari total biaya produksi. Kebutuhan energi I TPT bervariasi berdasarkan subsector ITPT antara 1-25% dari total biaya. Kebutuhan energi umumnya paling besar pada industri hulu yaitu mencapai 25% . Pada subsektor midstream, rata-rata penggunaan energi untuk spinning dan weaving adalah 16,5%. Dimana untuk tahap spinning mencapai 18,5% dan weaving mencapai 14,4%. Sebaliknya, untuk garmen hanya mencapai 1,3% dari total biaya. Struktur biaya ini semakin besar bagi industri yang terintegrasi, dimana perusahaan yang bergerak pada subsektor hulu hingga midstream diperkirakan akan menyerap 38% biaya energi dari total biaya, dimana 34% digunakan untuk spinning dan 23% untuk weaving (API, 2008) .
173
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 173
6/22/2010 6:21:49 PM
Esta Lestari
Permasalahan biaya energi yang tinggi dalam jangka panjang akan mempengaruhi kinerja ITPT dan daya saing industri sebagai salah satu industri unggulan yang memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian. Hal ini ditandai dengan semakin menurunnya tingkat produktivitas disektor ini. Maka tidak heran jika sebagian besar kalangan menganggap bahwa sektor ini telah memasuki tahap inefisiensi (Sambodo, 2008). Dengan permasalahan yang dihadapi TPT termasuk tingginya biaya energi dan persaingan impor, menyebabkan industri ini rentan terhadap penurunan daya saing dan tidak sedikit yang tidak dapat bertahan. Menyadari hal tersebut, pengusaha TPT telah mengantisipasi dan meresponnya dengan mengalihkan sumber energi utamanya dari BBM dan listrik ke batubara. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya perusahaan yang menggunakan mesin steam berbasis batubara sebagai sumber energi panas guna menekan biaya produksi. Artinya, upaya pengalihan energi dengan menggunakan energi alternatif batubara telah dilakukan bersamaan dengan kebijakan perusahaan dalam meningkatkan produktivitas melalui restrukturisasi permesinan terus dilakukan. Hal ini juga diikuti dengan kebijakan pemerintah dalam memberikan skemaskema finansial yang terkait dengan restrukturisasi permesinan melalui subsidi bunga. Akan tetapi, masih terlihat jelas bahwa beberapa kebijakan pemerintah tidak sinergis dalam berbagai aspek. Hal ini terlihat jelas dalam kebijakan energi pemerintah, khususnya bagi ITPT. Upaya dalam merespon kenaikan harga energi khususnya BBM bervariasi bagi setiap subsektor ITPT termasuk juga karena perbedaan skala produksi yang mengakibatkan perbedaan penyesuaian dalam mengalihkan pada energi ke energi alternatif. Akan tetapi, dinamika dalam upaya ini tidak selalu mulus karena banyaknya kontradiksi dalam upaya diversifikasi energi. Kontradiksi ini datang dari kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang tidak sinkron sehingga menyulitkan industri untuk mengembangkan penggunaan energi alternatifnya,
174
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 174
6/22/2010 6:21:49 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
misalnya dalam hal penyediaan batubara yang mengalami hambatan dari penyediaan batubara berkualitas hingga kebijakan yang terkait dengan aspek lingkungan hidup. Kontradiksi ini menjadi semakin besar setelah kebutuhan listrik bagi industri tidak secara memadai dapat terpenuhi. Dinamika dalam merespon perubahan harga energi meliputi BBM dan listrik serta pemanfaatan energi altenatif dalam rangka mempertahankan daya saing ITPT menjadi fokus dalam bab ini. ITPT yang menjadi perhatian khususnya adalah ITPT Jawa Barat mengingat jumlah perusahaan TPT di Jawa Barat mencapai 57% dari total ITPT di Indonesia.
7.2 Sekilas Perkembangan ITPT Di Jawa Barat ITPT yang ada di Indonesia mencakup seluruh lini struktur industri dari hulu hingga hilir. Di tingkat hulu, industri serat di Indonesia mencakup industri serat alam, buatan dan benang filamen dan pemintalan (spinning). Keterbatasan bahan baku menyebabkan jumlah industri hulu tidak banyak di Indonesia. Tercatat sebanyak 28 perusahaan industri serat ditahun 2007 dengan total kapasitas terpasang 1.150 ribu ton. Sebagian besar produksi serat digunakan untuk pasar domestik (70%) dan hanya sisanya ditujukan untuk ekspor (API, 2008). Saat ini Indonesia merupakan produsen serat buatan ketujuh terbesar dunia yang memasok 10% kebutuhan serat rayon dunia (Miranti, 2008). Industri pemintalan juga tidak terlalu banyak di Indonesia, hanya sekitar 205 perusahaan dengan kapasitas terpasang 2,5 juta ton dan jumlah mesin 7.964.00 unit pada 2007. Jumlah mesin ini tidak mengalami perkembangan berarti sejak tahun 2002 (API, 2008). Antara tahun 2003-2006, sebanyak 64% diantaranya telah berusia diatas 20 tahun (Miranti, 2008). Ini menyebabkan industri ini tidak mampu memenuhi permintaan pasar dalam negeri maupun luar negeri secara optimal. Konsentrasi jumlah perusahaan di ITPT berada pada sektor hilir seperti weaving dan finishing (mencakup pertenunan, perajutan,
175
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 175
6/22/2010 6:21:49 PM
Esta Lestari
pencelupan) yang mencapai 1,044 perusahaan dengan total kapasitas produksi 1,8 juta ton pada 2007 (API, 2008). Persoalan yang serupa dengan industri spinning adalah rendahnya tingkat investasi di permesinan yang ditandai dengan usia mesin yang lebih dari 20 tahun (sekitar 66% dari jumlah mesin sebesar 248.957 unit ditahun 2006. Kondisi mesin rajut dan mesin finishing jauh lebih memprihatinkan. Jumlah mesin rajut yang berusia diatas 20 tahun mencapai 84% dari jumlah mesin 41.312 unit (2006). Sementara pada mesin finishing, jumlah mesin yang berusia diatas 20 tahun jumlahnya mencapai 93% dari 349 unit mesin yang ada. Itulah sebabnya, karena kemampuan mesin finishingnya yang rendah, sehingga ekspor di sub sektor ini didominasi oleh kain mentah (Miranti, 2008). Secara kuantitas industri hilir yang mencakup garmen dan produk tekstil lainnya mencapai lebih dari 1.000 perusahaan dengan total kapasitas terpasang 880.000 ton. Nilai produksi disektor hilir juga paling besar dibandingkan subsektor lainnya, karena ditunjang oleh kuantitas perusahaan yang sangat banyak. Artinya, produktivitas tenaga kerja juga tidak terlalu besar, yaitu sebesar 1,5 ton pertenaga kerja pertahun. Besarnya jumlah perusahaan ini terutama disebabkan karena industri di hilir tidak membutuhkan investasi besar dibandingkan industri midstream. Lebih lanjut, komponen produksi relatif lebih sedikit termasuk kebutuhan energi yang terutama ditunjang oleh listrik. Sekitar 88% dari hasil industri garmen diekspor ke luar negeri dan 12 persen untuk pasar domestik (Miranti, 2008).
176
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 176
6/22/2010 6:21:49 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
Tabel 7.1 Profil ITPT di Indonesia Tahun 2007
Sumber: API, 2008
Permasalahan rendahnya investasi barang modal menyebabkan tingkat produktivitas industri rendah dengan biaya yang tinggi. Permasalahan ini yang dianggap menjadi penyebab utama inefisiensi energi di ITPT. Selain rendahnya ingkat efisiensi mesin, tingginya biaya energi menjadi permasalahan yang menurunkan daya saing industri. Dari tahun 2005-2009, biaya tarif dasar listrik terbilang kompetitif, yaitu USD 0,04 (4 cent)/kwh, namun karena belum memadai maka industri dapat menggunakan applied rate listrik dengan harga yang jauh lebih mahal, yaitu 8 cent/kwh karena pengenaan tarif multiguna dan dayamaks. Tarif ini paling tinggi dibandingkan Cina sebesar 7,6 cent/ kwh, 7 cent/kwh di Vietnam, 6,6 cent/kwh di Pakistan, dan 3 cent/kwh di Bangladesh dan Mesir, meskipun sedikit lebih tinggi dari India (8,4 cent) akan tetapi tarif yang dikenakan flat dan tidak terdiferensiasi sehingga perhitungan tidak rumit (API, 2008; Miranti, 2007). Padahal, penyediaan listrik di Indonesia terbilang masih belum optimal. Hal ini dibuktikan dari ketidakmampuan PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik secara kontinue terutama bagi industri yang continous processing seperti ITPT. Karena penyediaannya yang dimonopoli oleh PLN, industri tidak 177
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 177
6/22/2010 6:21:49 PM
Esta Lestari
memiliki fleksibilitas untuk mengalihkan pada penyedia lain sehingga kerugian harus ditanggung industri. Berbagai upaya diklaim telah dilakukan pemerintah melalui Departemen Perindustrian untuk mendorong bangkitnya ITPT. Salah satunya, upaya restrukturisasi permesainan untuk meningkatkan efisiensi produksi. Pemerintah mengagendakan program restrukturisasi permesinan untuk ITPT selama 5 tahun sejak tahun 2007-2011, dimana telah dikucurkan dana Rp 225 milyar (2007), Rp 400 milyar (2008) dan direncanakan Rp 240 milyar (2009). Dua skema bantuan ditawarkan yaitu subsidi pembelian mesin tekstil baru untuk menggantikan mesin yang lama dan subsidi bunga kredit bank sebesar 5%. Akan tetapi sangat disayangkan nilai bantuan investasi ini masih jauh dibawah prediksi investasi API yang mencapai Rp 44,07 trilyun (Miranti, 2008). Lebih lanjut, upaya ini juga masih belum berhasil dilakukan karena tingkat penyerapannya yang terbilang rendah. ITPT merupakan salah satu industri yang dianggap beresiko tingggi oleh pihak perbankan, sehingga pengenaan bunga perbankan masih tetap tinggi. Terlebih dengan adanya berbagai aturan dan prosedur kredit perbankan misalnya stabilitas profit yang menyebabkan industri enggan untuk menindaklanjutinya skema pengajuan kredit ini. Permasalahan kemudahan kredit peremajaan mesin juga kerap berbenturan dengan sulit dan kekakuan birokrasi. Salah seorang managemen dari perusahaan yang disurvey mengemukakan bahwa rigitas birokrasi kerap tidak rasional. Misalnya, ketika perusahaan berhasil mendapatkan mesin buatan Cina dengan kualitas setara dengan mesin buatan Eropa atau Amerika dengan harga yang jauh lebih murah dan potongan harga hingga 10%. Namun ketika mengajukan skema kredit ke Departemen Perindustrian justru mendapatkan tanda tanya mengenai harga yang justu lebih murah ini sehingga perusahaan harus melalui berbagai prosedur lain yang cukup panjang1. Hal ini dipandang dunia usaha sebagai inefisiensi. 1 Berdasarkan wawancara dengan Managemen PT. Sipatex Putri Lestari.
178
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 178
6/22/2010 6:21:50 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
Khusus di Jawa Barat, ITPT meliputi 57% dari total industri di Indonesia. Dengan jumlah perusahaan mencapai 700 perusahaan, atau 1.600 perusahaan jika mencakup industri kecil dan non formal. Jawa Barat dapat dikatakan sebagai sentra ITPT yang paling berkembang. Klaster ITPT yang saat ini telah mapan adalah Cikarang dan Jababeka, disusul dengan Majalaya. Dukungan ketersediaan SDM, infrastruktur baik jalan maupun pelabuhan serta ketersediaan air dan listrik yang memadai menjadi pendorong berkembangnya industri di Jawa Barat. Secara khusus, konsentrasi ITPT Jawa Barat di Bandung dan sekitarnya terutama berada di Kabupaten Bandung dan kota Bandung, meliputi tiga wilayah yaitu kota Bandung, kota Cimahi, kecamatan Majalaya, dan kecamatan Rancaekek (Lihat Peta). Sebanyak lebih dari 70% pabrik tekstil di Jawa Barat berada di Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung. Tingkat penyerapan tenaga kerja ITPT Jawa Barat dikatakan mencapai 700.000 pekerja, sehingga dapat dikatakan merupakan industri utama di Jawa Barat. Produk TPT yang dihasilkan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor. Untuk ekspor, produk TPT dari Jawa Barat diperkirakan mencapai USD 4,7 miliar ditahun 2007. Sayangnya, kinerja dan ketahanan ITPT Jawa Barat, khususnya yang berada di Bandung Selatan semakin menurun sejalan dengan kompleksitas permasalahan yang timbul dari semakin menurunnya daya dukung lingkungan, sulitnya pasokan air bersih, pemcemaran lingkungan, infrastruktur yang parah (banjir dan genangan), kemacetan dan sebagainya menyebabkan meningkatnya biaya produksi (PPTSP Kabupaten Majalengka, 2009). Hal ini tentu sangat disayangkan. Sebagai leading sector nasional, ITPT di Jawa Barat justru terus menunjukkan daya saing yang menurun. Sebagai provinsi yang paling padat penduduk, permasalahan industri di Jawa Barat terbilang lebih kompleks dibandingkan didaerah lain. Layaknya kendala yang dihadapi kebanyak ITPT seperti tingginya biaya operasional akibat kualitas permesinan yang tua dan inefisien, biaya energi yang tinggi, biaya transportasi pelabuhan yang besar, perpajakan, impor ilegal, hingga tingginya biaya keamanan hal yang cukup 179
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 179
6/22/2010 6:21:50 PM
Esta Lestari
mempengaruhi pengusaha tekstil di Jawa Barat adalah permasalahan daya dukung atau kapasitas wilayah yang semakin menurun. Hal ini mengakibatkan kondisi infrastruktur, seperti jalan sangat buruk dan sering terjadi kemacetan sehingga meningkatkan biaya dan waktu transportasi (delivery cost). Permasalahan banjir dan genangan menjadi salah satu agenda rutin bagi pengusaha. Hal ini sejalan dengan hasil studi CIEL SMB-ITB, yang menyebutkan bahwa daya saing Jawa Barat sangat rendah, bahkan lebih rendah dari daya saing nasional. Hal ini terutama disebabkan oleh birokrasi yang tidak efisien dan korup serta minimnya infrastruktur. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja keras pemerintah daerah dalam memperbaiki iklim investasi yang terlalu tinggi ini. Seperti yang dikutip dari wawancara beberapa pengusaha, jika kondisi tidak membaik, maka cepat atau lambat investor akan merekolasi industrinya.
7.3 Karakteristik Reponden Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey yang dikombinasikan dengan desk research, sehingga data-data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah data kualitatif yang berasal dari interview pada 6 perusahaan (termasuk API Jawa Barat) dan kuesioner dari 8 perusahaan (Lihat Lampiran 1), sehingga didapatkan total sampel 13 perusahaan2. Seluruh sampel tersebut merupakan ITPT yang berlokasi dikawasan Jawa Barat, terutama kota Bandung. Data yang didapatkan dari kuesioner lebih bervariasi dimana responden berasal dari hasil interview. Namun data hasil wawancara lebih banyak memberikan data kualitatif tentang deskripsi ITPT dan perkembangannya. Secara umum, perusahaan yang dijadikan sampel merupakan 4 perusahaan terintegrasi yang disurvey ( PT. Kukuh Tangguh Sandang, 2 Tidak semua data perusahaan dapat ditampilkan dalam Tabel yang terintegrasi terutama disebabkan data yang hilang khususnya pada perusahaan yang berhasil disurvey (non-kuesioner).
180
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 180
6/22/2010 6:21:50 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
PT. Grand Textille, PT. Inan Sandang, dan PT. Panasia Indosyntex), 3 buah perusahaan tekstil (PT. Bintang Agung, PT. Sipatex Putri Lestari, PT. Vastex Prima Industri) dan 3 perusahaan garmen dan produk tekstil (PT. Inan Sandang, PT. Bintang Agung, PT. Bandung Indah Gemilang). Perusaahaan yang terintegrasi adalah perusahaan yang bergerak pada lebih dari satu subsektor. Pada beberapa perusahaan garmen, terlihat bahwa perusahaan juga memproduksi dari kain hingga baju jadi. Akibat dari bervariasinya proses produksi dan jenis produknya, memberikan variasi yang berbeda terhadap penggunaan energi. Pada industri yang terintegrasi, seluruh jenis energi digunakan dari BBM, listrik dan batubara dengan pengkombinasian yang berbeda. Sedangkan pada perusahaan yang bergerak pada tekstil lebih menggunakan listrik dan batubara, dengan proporsi penggunaan BBM yang minim. Dari data hasil kuesioner yang telah didapatkan, terlihat bahwa hampir seluruhnya merupakan perusahaan yang telah mapan dalam industri, dengan usia diatas 13 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa sangat mungkin permesinan yang digunakan adalah mesin-mesin tua dengan umur diatas 20 tahun. Selain itu, terlihat bahwa variasi pengsa pasar baik dalam maupun luar negeri tidak tergantung dari jenis produk yang dihasilkan.
7.4 Pengaruh Fluktuasi Harga Energi 7.4.1 Pengaruh Fluktuasi Harga BBM Solar merupakan jenis BBM yang umumnya digunakan oleh industri selain minyak bakar (IDO) yang yang dikenakan harga industri. Penggunaan BBM bagi ITPT relatif minim, hanya pada ITPT yang terintegrasi atau subsektor finishing yang meliputi proses dyeing yang menggunakan boiler atau steam (berbasis uap). Tabel 7.4. menunjukkan bahwa dari sampel perusahaan terlihat bahwa konsumsi BBM berkisar antara 0,09%-22,24%. Variasi proporsi pengeluaran BBM terhadap biaya total produksi sangat tergantung dari konsumsinya yang menunjukkan perbedaan karakteristik perusahaan baik dari sisi subsector maupun 181
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 181
6/22/2010 6:21:50 PM
Esta Lestari
skalanya. Pengeluran terendah terutama oleh PT Kukuh Tangguh Sandang yang bergerak disubsektor spinning dan tertinggi adalah PT Insan Sandang Internusa yang bergerak di subsector yang terintegrasi. Berdasarkan survey, terlihat bahwa penggunaan komponen BBM ditiap perusahaan tekstil berbeda dalam jenis dan volumenya (Tabel 7.3). Dari hasil survey, hanya terdapat 4 perusahaan yang menjawab secara detail penggunaan BBM-nya. Seluruh perusahaan menggunakan BBM jenis solar, sedangkan beberapa perusahaan yang terintegrasi juga menggunakan minyak residu (IDO) sebagai bahan bakar mesin steam (uap). BBM jenis solar terutama digunakan untuk proses weaving, sedangkan (IDO) untuk proses dyeing. Secara umum menurut data primer yang didapatkan, penggunaan BBM untuk proses dyeing sangat tinggi, mencapai 20% dari total pengeluaran energi, sedangkan untuk proses weaving terbilang rendah antara 2-12%. Tabel 7.2 Konsumsi dan Prosentase Pengeluaran BBM Terhadap Biaya Total
Sumber: Data Primer, 2009. Catatan: Data yang ditampilkan hanya beberapa perusahaan yang menjawab pertanyaan tentan pengeluaran BBM.
Perkembangan konsumsi BBM menunjukkan angka yang menurun. Penurunan ini diyakini karena konsumsi harga BBM yang 182
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 182
6/22/2010 6:21:50 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
terus meningkat dan pengalihannya pada sumber energi lain terutama batubara. Antara tahun 2005 dan 2008, rata-rata penurunan konsumsi BBM sebesar 42,7% baik untuk solar maupun IDO. Penurunan konsumi paling tajam antara tahun 2005 dan 2006, yang mencapai 71,5% (konsumsi solar oleh PT. Grand Textille), dan terendah 36,5% (PT Bintang Agung). Lebih lanjut, terlihat pula bahwa penurunan konsumsi paling besar adalah pada perusahaan tekstil yang terintegrasi seperti Kukuh Tangguh Sandang, Grand Textille, dan Insan Sandang. Penurunan konsumsi BBM terutama untuk jenis solar dibandingkan penggunaan IDO atau minyak bakar karena harganya yang lebih murah. Namun dalam prakteknya, kombinasi penggunaan solar dan IDO dapat berbeda, tergantung pada harga dan kombinasi yang paling murah. Penurunan paling tajam umumnya terjadi antara tahun 2005 dan 2006, setelah shock harga minyak yang cukup besar, dimana terjadi kenaikan harga hingga dua kali pada tahun 2005. Penurunan konsumsi BBM berkisar antara 30-60%. Pada kenyataannya, harga BBM jenis minyak solar industry (diesel) dan minyak bakar telah mengikuti harga pasar sejak tahun 2006. Sejak tahun 2005 hingga 2008, harga miyak diesel dan minyak bakar terus menunjukkan tren meningkat. Gambar 7.1 menunjukkan bahwa harga minyak diesel antara tahun 2005 dan 2008 telah meningkat sebesar 177% dan harga minyak bakar meningkat sebesar 124% pada periode yang sama. Harga kedua jenis BBM tersebut mencapai puncaknya pada periode Juli 2008, ketika harag minyak internasional meroket hingga diaatas USD140 per barrel. Harga dalam negeri untuk kedua jenis tersebut mencapai Rp 11.300 pada 15 Juli 2008 untuk minyak diesel dan Rp 7.600 untuk minyak bakar pada 1 Agustus 2008.
183
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 183
6/22/2010 6:21:50 PM
Esta Lestari
Gambar 7.1 Perkembangan Harga Minyak Diesel dan Minyak Bakar Domestik untuk Industri Tahun 2005-2008 Sumber: DESDM 2005-2008.
Fluktuasi harga BBM terjadi secara continue. Peningkatan harga minyak diesel paling tinggi antara tahun 2005/2006 sebesar 6,5%, 2006/2007 (21,7%) dan 2007/2008 (30,5%). Sedangkan untuk minyak bakar sebesar 1,4%; 46,6%; dan 28,1% pada periode yang sama. Pengaruh kenaikan harga BBM terhadap konsumsi BBM dapat dihitung dari elastisitas harga BBM. Demikian pula dengan dampak kenaikan harga BBM terhadap perubahan proporsi biaya BBM terhadap total biaya dapat dilihat dari elastisitas biaya. Kenaikan harga minyak diesel dan minyak bakar tertinggi tiap tahun sejak tahun 2005-2008 akan dijadikan benchmark atas shock harga BBM untuk menghitung kedua elastisitas tersebut. Tabel 7.3 menunjukkan elastisitas harga dan elastisitas biaya dari kenaikan harga BBM. Terlihat bahwa pengaruh kenaikan harga BBM terhadap volume konsumsi BBM adalah negatif,
184
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 184
6/22/2010 6:21:50 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
yang menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM akan iikuti oleh penurunan konsumsi BBM berkisar antara 0,02-1,47. Artinya,sejalan dengan kenaikan harga BBM sebesar 1% akan menurunkan konsumsi BBM antara 0,022-1,47%. Pengaruh kenaikan harga BBM paling besar dialami oleh PT Grandtex ditahun 2007 akibat kenaikan harga tahun 2006, dan pengaruh paling kecil dari kenaikan harga BBM juga dialami oleh perusahaan yang sama akibat kenaikan harga tahun 2005. Tabel 7.3 Elastisitas Kenaikan Harga BBM terhadap Konsumsi dan Biaya Total BBM Tahun 2006-2008
Perusahaan KTS GT ISI Elastisitas Harga Solar Solar IDO Solar IDO 2006 -0.11 -0.09 -0.02 -0.10 2007 -1.12 -0.43 -1.47 -0.26 2008 -0.42 -0.64 0.61 -1.22 Elastisitas Biaya 2006 -0.21 2007 3.41 -4.76 2008 -0.46 0.76
-0.09 -0.37 -0.51 -0.29 -1.73 1.04
Sumber: Data Primer 2008, Diolah. Catatan: KTS: Kukuh Tangguh Sandang, Gt: Grandtex. ISI: Insan Sandang Internusa
Lebih lanjut, Tabel 7.2 menunjukkan bahwa meskipun secara kuantitas volume konsumsi BBM menurun tajam, akan tetapi secara proporsional terjadi peningkatan proporsi pengeluaran BBM dibandingkan total biaya. Hal ini terutama disebabkan oleh dua hal 1) kenaikan harga BBM dan 2) struktur biaya produksi yang lebih murah setelah pengalihan ke batubara. Pada perusahaan yang tidak memiliki fleksibiltas dalam mendiversifikasikan energinya dengan batubara, hal ini membawa pengaruh yang sangat besar. Sebaliknya, pada perusahaan 185
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 185
6/22/2010 6:21:50 PM
Esta Lestari
yang lebih fleksibel untuk menggunakan batubara, peningkatan harga BBM tidak membawa pengaruh besar karena penggunaan batubara justru membawa penghematan atau efisiensi biaya produksi hingga 60%3. Akibatnya total biaya produksi akan menurun dan kenaikan harga BBM mengakibatkan proporsi biayanya meningkat. Elastisitas biaya menunjukkan pengaruh kenaikan harga BBM terhadap proporsi pengeluaran BBM terhadap total biaya. Terlihat bahwa nilai elastisitas bervariasi dari ketiga sampel perusahaan tersebut dari -4,76 – 3,41. Artinya, pengaruh kenaikan harga BBM dapat meningkatkan atau menurunkan proporsi biaya BBM terhadap biaya total. Sebagian besar menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM akan menurunkan proporsi biaya BBM terutama ditahun 2006-2007 (kecuali PT. Kukuh Tangguh Sandang namun di tahun 2008 terlihat bahwa kenaikan harga BBM justru meningkatkan biaya. Kenaikan harga BBM sebesar 1% akan membawa penurunan proporsi biaya BBM maksimum 4,76% seperti yang dialami oleh PT Grandtex Sedangkan kenaikan harga BBM 1% juga akan meningkatkan proporsi biaya BBM maksimum 3,41%.
7.4.2 Pengaruh Fluktuasi Harga TDL Berbeda dengan BBM yang relatif tidak dominan penggunaannya dalam ITPT, penggunaan listrik adalah sumber energi utama dalam industri ini. Hal ini terkait dengan karakteristik ITPT upstream dan midstream yang terbilang energy-intensive dan water-intensive karena penggunaan proses kimiawi yang membutuhkan energi panas sangat besar. Energi panas yang digunakan terutama digunakan melalui pemanasan air dan pengeringan. Sedangkan penggunaan energi listrik terutama untuk menjalankan permesinan. Dengan kata lain, penggunaan listrik dan air dalam proses produksi tekstil berbanding lurus (API, 2008). Penggunaan air dalam volume yang besar terutama pada subsektor dyeing untuk proses pencelupan (pewarnaan) serta finishing (pengeringan). Komponen penggunaan listik atau energi panas dibutuhkan oleh setiap subsektor dalam ITPT meski dengan 3 Berdasarkan wawancara pada API dan pengusaha PT Panasia.
186
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 186
6/22/2010 6:21:51 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
komposisi yang berbeda. Pada industri yang terintegrasi, penggunaan listrik sangat dominan yang diikuti dengan penggunaan energi panas berbasis batubara. Variasi konsumsi listrik dan batubara di ITPT dapat diilustrasikan dalam Tabel 7.4 terhadap beberapa sampel perusahaan TPT.
187
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 187
6/22/2010 6:21:51 PM
Esta Lestari
188
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 188
6/22/2010 6:21:51 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
Dalam hal penggunaan listrik, terlihat bahwa seluruh perusahaan yang diteliti mengalami penurunan sejak tahun 2005 hingga 2008 (kecuali PT. Grand Textille antara tahun 2007 dan 2008). Sekali lagi, penurunan ini banyak dipengaruhi oleh konsumsi batubara sebagai sumber utama energi pengganti listrik PLN dan BBM sejalan dengan kurangnya pasokan listrik PLN dan harga satuannya yang terus menanjak. Konsumsi listrik menurun antara 13-55%, dimana penurunan paling tajam atas konsumsi listrik dialami oleh PT Vastex. Sebaliknya, PT Insan Sandang justru mengalami kenaikan konsumsi listrik, yang diduga disebabkan oleh semakin meningkatnya kapasitas produksi. Serupa dengan penurunan konsumsi BBM, penurunan konsumsi listrik umumnya terjadi pada periode yang sama yaitu antara tahun 2005 dan 2006. Meskipun penggunaan listrik mengalami penurunan, proporsi biaya listrik terhadap biaya total terbilang stabil dengan fluktuasi yang tidak terlalu besar. Terlihat dari Tabel 7.4 bahwa proporsi biaya listrik terhadap total biaya poduksi sekitar 17-20%, ISI antara 23%-28%, BA antara 18%-21%, sedangkan pengeluaran listrik di VPI terbilang paling fluktuatif yaitu antara antara 9%-15%. Besarnya biaya pengeluaran listrik terhadap total biaya menunjukkan bahwa terjadi kenaikan biaya pengeluaran listrik setiap tahunnya. Elastisitas konsumsi listrik terhadap total biaya terlihat dari Tabel 7.5. Elastisitas konsumsi listrik menunjukkan pengaruh perubahan knsumsi listrik terhadap biaya listrik yang dikeluarkan perusahaan. Terlihat bahwa elastisitas konsumsi listrik berkisar antara 0,32 – 11,72. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan konsumsi listrik dapat membawa pengaruh positif atau negatif, dimana penurunan konsumsi listrik dapat menurunkan atau meningkatn biaya listrik yang harus dibayar. Terlihat bahwa pada tahun 2006, elastisitas tertinggi dialami oleh VPI, dimana kenaikan konsumsi listrik 1% membawa pada peningkatan pengeluarannya sampai 11,72%. Hal ini menunjukkan bahwa biaya listrik terbilang sangat mahal. Selain itu, sekitar tahun 2006 upaya pengalihan pada batubara masih belum banyak diaplikasikan perusahaan dan pada saat 189
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 189
6/22/2010 6:21:51 PM
Esta Lestari
itu TDL baru mengalami peningkatan ditahun 2005 sehingga meningkatkan biaya listrik secara signifikan. Namun, sejalan dengan penurunan konsumsi listrik dan pengalihannya pada batubara, elastisitas konsumsi listrik semakin menurun, menunjukkan bahwa biaya listrik juga semakin menurun. Tabel 7.5 Elastisitas Konsumsi Listrik Tahun 2006-2008] Perusahaan
KTS
PIT
VPI
ISI
BA
Elastisitas Konsumsi Listrik 2006
1.21
2.47
11.72
0.91
0.75
2007
0.97
0.95
-1.30
0.32
1.15
2008
0.82
1.40
5.02
0.59
1.41
Sumber: Data Primer 2008, Diolah Catatan: KTS: Kukuh Tangguh Sandang, PIT: Pintex, VPI: Vastex, ISI: Insan Sandang, BA: Bintang Agung
Permasalahan listrik termasuk permasalahan utama yang dihadapi ITPT. Selama ini, terdapat tiga masalah kelistrikan mendasar yang dirasakan oleh ITPT secara umum, termasuk pengusaha di Jawa Barat. Permasalahan tersebut terdiri dari ketersediaan, harga dan kontinuitas listrik. Ketersediaan listrik bagi ITPT khususnya di Jawa Barat terbilang masih lebih baik, dibandingkan ketersediannya di daerah lain di pulau Jawa, misalnya di Jawa Tengah. Sejauh ini, PLN regional Jawa Barat mampu memberikan pelayanan listrik mencapai 67,4% (tingkat elektrifikasi) (BPS, 2008). Meskipun pelayanan listrik di Jawa Barat relatif lebih baik dibandingkan daerah lain, akan tetapi ketersediaannya masih belum 100% mendukung ITPT. Hal ini terkait dengan shortage PLN dalam memenuhi semua kebutuhan listrik industri, sehingga PLN mengenakan mekanisme tertentu dalam distribusinya, meliputi pemadaman, pengalihan beban pada waktu-waktu puncak (peak), serta pengenaan 190
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 190
6/22/2010 6:21:51 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
harga yang lebih tinggi dari tarif dasar listrik (TDL) atau dikenal dengan tarif multiguna. Tarif yang dibebankan pada industri terdiri atas TDL untuk golongan industri I-1 – I-4 adalah TDL berdasarkan pada pembedaan penggunaan berdasarkan batas daya dan waktunya antara Waktu Beban Puncak (WBP) dan Luar Waktu Beban Puncak (LWBP). Lebih lanjut, industri juga dihadapkan pada pilihan peggunaan listrik dengan tarif multiguna, yaitu pengenaan tarif yang lebih tinggi dari TDL dengan pasokan yang lebih stabil. Artinya, terjadi differensiasi harga yang dihadapi oleh industri. Bagi industri yang memilih menggunakan TDL, maka pada penggunaan dalam WBP industri (pelanggan) dikenakan penalti sebesar faktor K, yaitu 4 kali dari harga TDL. Dengan penggunaan TDL, maka industri akan diperlakukan sama dengan pelanggan rumah tangga beserta seluruh konsekwensinya misalnya kedip, atau pemadaman bergilir. Disisi lain, industri juga diberikan alternatif tarif multiguna, dengan priviledge tertentu dimana kontinuitas penyediaan terjaga dengan tarif yang lebih mahal sebesar Rp 1.380 per kVA. Penerapan kebijakan dayamaks diberlakukan sejak Agustus tahun 2005, berdasarkan Keputusan Presiden No. 105 tahun 2004 menetapkan bahwa konsumen industri dan pelanggan besar yang tidak dapat mengurangi penggunaan listrik sebanyak 50% pada waktu beban puncak (WBP) yaitu 18.00-22.00 akan dikenakan tarif yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak PLN, kebijakan tarif ini ditujukan untuk menyelamatkan kesinambungan pasokan listrik dengan mengajak pelanggan besar dan industri agar menghemat pemakaian listrik pada saat beban puncak. Akan tetapi, mekanisme yang digunakan ini dianggap merugikan bagi industri. Kebijakan dayamaks membawa konsekwensi pengenaan tarif 150% lebih tinggi dari TDL, dengan formulasi pengenaan penalti sebesar TDLxkVAx1,5. TDL yang berlaku saat ini adalah Rp 435 dan 1,5 adalah angka pengali yang sedikit
191
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 191
6/22/2010 6:21:51 PM
Esta Lestari
menurun dari sebelumnya sebesar 2. Lebih dari pada itu, perusahaan dihadapkan pada posisi yang lebih sulit lagi karena pengenaan penalti tidak saja diberlakukan jika pelanggan mengunakan listrik diatas rata-rata, namum juga jika penggunaannya dibawah batas minimum. Kebijakan dayamins ini menetapkan batas penggunaan listrik minimum 350 jam dengan angka pengali yang justru lebih tinggi dari kebijakan dayamaks, dengan formulasi TDLxKwhx1,5x2. Hal ini mengakibatkan perusahaan berada dalam posisi dilematis yang dikatakan salah satu pengusaha bahwa perusahaan seperti “maju kena mundur kena”. Hal ini jelas merugikan bagi industri karena proses produksi yang continous (terus menerus) menyebabkan sulitnya penurunan daya listrik dan disisi lain kapasitas produksi juga tidak selalu berada pada kondisi fullcapacity terutama pada waktu-waktu tertentu misalnya pada hari raya yang mengakibatkan kapasitas produksi hanya berjalan 70%. Mekanisme yang ada dalam rangka menjaga ketersediaan listrik yang memadai bagi masyarakat oleh PLN dipandang kalangan industri masih kurang mendukung berkembangnya industri. Selama ini mekanisme pemadaman dan pengalihan listrik dirasakan membawa kerugian bagi industri, hal ini terkait dengan karakteristik ITPT khususnya di tekstil yang merupakan continous-processing. Pemadaman listrik walaupun hanya sekedip akan merusak proses produksi dan produk akhir. Misalnya, pemadaman pada saat proses dyeing (pencelupan) akan mempengaruhi warna, ataupun pemadaman pada proses weaving akan mempengaruhi mekanisme mesin karena start-up mesin membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Hal ini menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi industri karena inefisiensi waktu produksi yang mengakibatkan hilangnya jam kerja karyawan karena menganggur serta meningkatnya waste atau produk gagal yang harus ditanggung industri4. Mekanisme lain yang umumnya digunakan oleh PLN adalah pengalihan beban pada waktu beban puncak (WBP). Surat kesepakatan 4
Seperti yang dikemukakan managemen PT. Sipatex.
192
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 192
6/22/2010 6:21:51 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
bersama antara pengusaha, PLN dan pemerintah mewajibkan perusahaan untuk menghentikan produksi satu sampai dua hari dalam seminggu untuk kemudian dialihkan pada waktu-waktu akhir pekan. Hal ini dianggap merugikan bagi pengusaha karena hilangnya jam kerja karyawan atau pengaturan jam kerja dan memberikan upah yang lebih tinggi karena termasuk dalam overtime. Selain pengalihan penggunaan, alternatif yang digunakan PLN untuk dapat tetap mendistribusikan listrik secara merata dengan kualitas yang lebih baik adalah dengan mengenakan tarif yang lebih tinggi bagi pelanggan besar maupun industri yaitu tarif multiguna. Ditinjau dari harga listrik, beberapa pengusaha yang berhasil disurvey mengatakan bahwa harga listrik per satuan (kwh) di Indonesia terbilang mahal, walaupun tarif subsidi yang ada saat ini adalah tarif yang disubsidi. Harga listrik yang mahal ini terkait dengan pengenaan tarif multiguna bagi industri. Saat ini, tarif multiguna di wilayah Jawa-Bali sebesar Rp 995 sedikit menurun dari sebelumnya Rp 1.380 (telah berlaku sejak tahun 2003) sejalan dengan penurunan harga BBM. Seorang manager dari sebuah perusahaan tekstil India (PMA) mengatakan bahwa harga satuan listrik di Indonesia masih lebih mahal dibandingkan dengan India5. Dengan pengalamannya di beberapa negara seperti Thailand, Filipina, dan Cina didapatkan informasi bahwa harga listrik di Cina jauh lebih murah mencapai USD 0,07 karena pasarnya yang dibuka secara bebas. Pembukaan pasar ini mengakibatkan banyak perusahaan yang berkompetisi menyediakan listrik murah dengan berbagai sumberdaya yang dimiliki, terutama pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Microhydro (PLTMH). Terkait dengan posisi PLN sebagai monopoli konsekwensinya dari kebijakan monopolis ini adalah penetapan harga yang rigit. Kasus lain menunjukkan misalnya ketika API membantu kasus sebuah investor tekstil yang batal beroperasi di Jawa Barat karena tarif dasar listrik yang dikenakan jauh lebih tinggi dari TDL yang berlaku. Perusahaan tersebut telah menyelesaikan kontraknya dengan seluruh pihak, termasuk PLN yang bersepakat memberikan harga listrik 5
Seperti dikatakan salah seorang manger PT. Sipatex, ekspatriat asal India.
193
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 193
6/22/2010 6:21:51 PM
Esta Lestari
sebesar Rp 439. Akan tetapi, ketika seluruh sarana dan prasarana siap beroperasi, PLN mengenakan harga listrik sebesar Rp 995 sebagai TDL diluar pengenaan tarif dayamaks yang berlaku pada saat itu. Artinya, perusahaan harus menanggung biaya TDL dua kali lipat dari harga TDL yang berlaku. Hal ini mengakibatkan pabrik batal beroperasi karena peningkatan biaya produksi diluar dari yang diestimasi. Diluar kompleksitas permasalahan listrik yang ada di Jawa Barat, ketersediaan dan distribusinya semakin membaiknya sejalan dengan menurunnya harga BBM, ketersediaan listrik semakin membaik dan PLN Jawa Barat telah menghentikan pemadaman per 1 Maret 2009, meskipun belum terdistribusi secara merata karena beberapa perusahaan disekitar wilayah jalan Sukarno-Hatta kota Bandung masih mengalami pemadaman. Akan tetapi, permasalahan tarif listrik masih menjadi salah satu masalah utama yang masih terjadi saat ini. Sebagai dampak dari besarnya biaya listrik dan ketersediaannya yang terlalu berfluktuasi, banyak perusahaan yang kemudian mengalihkan penggunaan energi listriknya pada energi alternatif yaitu batubara dengan mengganti mesin berbasis BBM ke batubara. Selain terkait dengan faktor harga listrik yang semakin tidak terjangkau untuk penggunaan kapasitas besar bagi industri, faktor kontinuitas menjadi pertimbangan mengingat konsumsi batubara lebih fleksibel untuk diatur. API Jawa Barat menyebutkan bahwa sejak tahun 2003 hingga saat ini, hampir 90% dari industri besar telah menggunakan batubara sebagai sumber lain dalam mendiversifikasikan energinya.
7.4.3 Pengaruh Fluktuasi Harga Batubara Penggunaan batubara di ITPT terutama pada subsektor yang wetprocessing seperti tekstil dan pewarnaan yang umumnya menggunakan boiler. Pada proses weaving dan spinning, penggunaan listrik sangat
194
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 194
6/22/2010 6:21:51 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
dominan karena didasarkan pada penggunaan mesin-mesin yang sarat energi seperti loom. Boiler terutama menggunakan batubara untuk pembakaran sehingga mampu menghasilkan energi uap yang dibutuhkan dalam wet-processing. Prosentase penggunaan batubara bervariasi ditiap perusahaan, tergantung pada subsektor ITPT yang dijalankan.
Gambar 7.2 Konsumsi Batubara Tahun 2008 Sumber: Data Primer 2008, Diolah
Gambar 7.2 menunjukkan bahwa konsumsi batubara tiap perusahaan berbeda tergantung pada skala usaha dan jenis produksinya. Dari sampel yang disurvey, terlihat bahwa PT Grandtex mengkonsumsi batubara paling besar, yaitu 15.135 ton per bulan. perbedaan skala usaha menyebabkan perbedaan konsumsinya. PT 195
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 195
6/22/2010 6:21:51 PM
Esta Lestari
Panasia yang menggunakan batubara sebagai pembangkit listrik akan membutuhkan batubatra yang lebih besar. Sedangkan perusahaan lain yang hanya menggunakan batubara untuk boiler mengkonsumsi ratarata 1000-2000 ton per bulan. Khusus di Jawa Barat, batubara telah digunakan oleh hampir seluruh industri besar. Saat ini tercatat lebih dari 69 perusahaan TPT yang telah menggunakan batubara di Jawa Barat dengan total kebutuhan 125.000 ton per bulan, dengan produksi limbah hingga 10.000 ton per bulan (Departemen Perindustrian, 2006). Berdasarkan hasil wawancara, konsumsi batubara umumnya digunakan untuk proses pemanasan, dan baru sedikit yang digunakan sebagai pengganti energi listrik melalui pembangkit listrik sendiri dimana salah satunya adalah PT. Panasia Indosytex (LIhat Boks 1). Konsumsi batubara untuk perusahaan dengan pembangkit sendiri terbilang sangat besar, karena mencukupi kebutuhan proses produksi, bahkan kerap berlebih. Namun, pada perusahaan tekstil lain yang hanya menggunakan batubara untuk proses pemanasan, konsumsi berkisar dibawah 5000 ton perbulan. Menurut managemen, konsumsi batubara merupakan proses yang berkelanjutan, artinya terus dibutuhkan, namun dengan turnover yang tinggi. Artinya, pabrik tidak dapat menyimpan stock yang terlalu besar karena dianggap beresiko, mengingat karakter batubara dimana kondisinya harus kering untuk menjaga kualitas pembakaran. Lebih lanjut, penyimpanan batubara terlalu lama dianggap mengancam lingkungan, karena proses penyimpan yang terlalu lama menyebaban penyerapan karbon batubara kedalam tanah yang kemudian membahayakan kondisi tanah dan air. Oleh karena itu, dibutuhkan kualifikasi penyimpanan (gudang) yang didesain khusus dan dilengkapi dengan perijinan yang terbilang rumit, sehingga umumnya dihindari pengusaha. Penggunaan batubara mulai marak di ITPT sejak tahun 2003. Estimasi perusahaan atau biaya produksi mengakibatkan perusahaan
196
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 196
6/22/2010 6:21:52 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
merasa perlu mengalihkan energinya dari listrik ke batubara. Perusahaan-perusahaan besar telah melakukan proyeksi dini tentang shortage listrik dan bahkan membangun pembangkit berbasis batubara untuk memenuhi kebutuhan listriknya. PT Panasia adalah salah satu responden yang disurvey yang telah membangun pembangkit sejak tahun 2005. Sebagai perusahaan tekstil yang terintegrasi, konsumsi listrik sangat besar yang mengakibatkan pengeluaran listrik mencapai Rp 11 milyar per bulan. Pengeluaran ini jelas sangat besar dan memaksa perusahaan untuk mengambil langkah penting dengan berinvestasi pada pembangkit. Hal ini juga didorong oleh rendahnya investasi pemerintah pada infrastruktur pembangkit sejak krisis moneter melanda. Dengan kondisi harga BBM sebesar USD 40 dan harga batubara sebesar Rp 240 (2005), penggunaan batubara mampu menghemat pengeluaran produksi antara 40-60%. Sebagai contoh, PT. Panasia menyatakan bahwa penghematan akibat pemanfaatan batubara mencapai 60%, dimana konsumsi listrik hanya Rp 1 milyar (2008), PT Sipatex mampu menghemat Rp 6 milyar per bulan (dari sebelumnya 10 milyar), demikian pula dengan PT Panca warna yang mampu menghemat hingga 60% dari total biaya produksi. Sejalan dengan peningkatan konsumsi batubara, timbul permasalahan yang terkait dengan penyediaan dan permintaan batubara. Secara umum terdapat 3 permasalahan utama yaitu ketersediaan batubara dengan kualitas yang baik, harga yang tinggi, dan aspek lingkungan. Dari berbagai wawancara pada 6 perusahaan dapat disimpulkan permasalahan khusus yang terkait dengan batubara, yaitu: 1.
Rendahnya kualitas batubara karena campuran batu dan tanah yang tinggi
2.
Batubara berkalori tinggi sulit didapatkan atau dengan harga mahal
3.
Spesifikasi batubara tidak sesuai, antara sertifikat dengan aktual batubara yang dikirim 197
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 197
6/22/2010 6:21:52 PM
Esta Lestari
4.
Limbah batubara yang menurut Pereturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 termasuk dalam kategori B3
5.
Tingginya harga batubara
Sejauh ini, perusahaan melakukan kontrak dengan supplier batubara. Kualitas batubara sangat ditentukan oleh kredibilitas supplier dalam menyediakan batubara. Sejauh ini, terdapat beberapa supplier yang memasok batubara dari Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Banten.Bagi suplier besar seperti Adaro yang menyuplai terutama perusahaan besar dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan supplier lain, kualitas batubara terbilang cukup terjamin. Namun tidak sedikit supplier nakal yang menyalahi perjanjian dengan mencampur batubara dengan tanah dan kerikil sehingga akan berakibat buruk bagi mesin (boiler) karena pembakaran yang tidak sempurna dan limbah flyash dan bottom-ash yang banyak. Pada gilirannya, limbah ini menjadi permasalahan tersendiri bagi perusahaan. Menurut PP No. 18/1999, limbah batubara termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) karena proses penyimpanan dapat merusak tanah dan fly-ash dan bottom-ash yang dihasilkan dapat merusak lingkungan. Namun sejalan dengan perkembangan teknologi, mesin berteknologi tinggi mampu meminimalisir produksi limbah. Selain itu, teknologi lain yang mampu menghambat penyebaran limbah, khususnya fly-ash juga telah dipopulerkan. Maka tidak mengherankan jika negara-negara barat tidak mengkategorikan batubara sebagai bahan beracun. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan batubara yang semena-mena akan berakibat buruk bagi lingkungan. Salah satu aspek yang menjadi perhatian Depatemen Lingkungan Hidup dan Badan Pengawas Lingkungan adalah proses penyimpanan (storage) batubara yang harus memenuhi standar agar tidak menyebabkan perembesan kandungan beracun kedalam tanah. Permasalahan kualitas batubara juga tidak saja berasal dari kalori batubara yang rendah, kandungan campuran tanah dan kerikil yang 198
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 198
6/22/2010 6:21:52 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
tinggi tapi juga yang dipengaruhi oleh cuaca. Faktor eksternal seperti cuaca turut mempengaruhi kualitas dna kuantitas batubara yang beredar dipasaran. Pada musim-musin penghujan dimana terdapat kecenderungan laut pasang, distribusi batubara yang masuk ke Jawa terutama dari Sumatera dan Kalimantan agak terhambat. Selain itu, pengusaha memilih menggunakan batubara dari kedua daerah tersebut karena kandungan kalorinya yang tinggi (batubara tua), berbeda dengan batubara dari Jawa khususnya Banten misalnya dari Suralaya yang kandungan kalorinya lebih rendah. Musim penghujan juga mempengaruhi kualitas batubara karena beberapa industri tekstil harus menerima batubara basah akibat terkena hujan, yang sulit untuk terbakar. Maka tidak mengherankan jika pengusaha kemudian menyiasati berbagai kendala tersebut antara lain dengan: 1) claim batubara sesuai kesepakatan, 2) memotong harga batubara sesuai dengan kualitas, 3) mencampur dengan bensin untuk memudahkan pembakaran dan sebagainya. Permasalahan pembuangan limbah menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh hampir seluruh perusahaan yang menggunakan batubara. Dengan adanya kerangka hukum yang mengklafisikasikan batubara sebagai B3, maka konsekwensi logis dari hal tersebut adalah aturan yang etat atas penggunaan dan pembuangan limbah batubara. Perusahaan dituntut untuk memiliki berbagai ijin yang terkait dengan penyimpanan, pembuangan, dan pengolahannya. Perijinan ini harus terus direview setiap tahun. Para pengusaha memandang hal ini sebagai faktor yang disinsentif karena menyebabkan tambahan biaya-biaya yang tidak sedikit. Hanya sedikit sekali dari perusahaan (umumnya perusahaan besar) yang memiliki perijinan yang lengkap dari penyimpanan hingga pengolahan, sehingga umumnya perusahaan menggunakan pihak ketiga yang berijin lengkap untuk mengambil limbah batubara baik fly maupun bottom-ash. Perusahaan harus membayar antara Rp 175-200/kg dari limbah batubara padat, atau sekitar Rp 200.000 per ton, sedangkan untuk limbah cair bisa mencapai
199
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 199
6/22/2010 6:21:52 PM
Esta Lestari
Rp 1.950.000 per ton6. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membuang limbah ini dirasakan cukup memberatkan bagi perusahaan. Sebagai contoh, PT Panca Warna memproduksi limbah padat hingga 40 ton per bulan, dan jika harus dijual pada pengumpul bisa mencapai Rp 6 juta rupiah, diluar biaya pengolahan limbah cair. Padahal perusahaan ini hanya menggunakan batubara untuk boiler. Padahal, limbah batubara dapat didaur ulang untuk produk-produk tertentu misalnya industri semen dan batako. Untuk perusahaan besar yang memiliki networking yang cukup baik dengan industri semen atau batako seperti Panasia, terjadi kerjasama yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Upaya untuk mengatasi permasalahan limbah industri sebenarnya telah diinisisasikan oleh kalangan pengusaha sendiri. Menyadari bahwa penggunaan produk tertentu dapat merusak lingkungan, 6
.
Menurut wawancara dengan PT Panca Warna, dan PT Sipatex
200
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 200
6/22/2010 6:21:52 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
khususnya batubara beberapa perusahaan melakukan kerjasama untuk membangun perusahaan yang bergerak dalam bidang pengolahan limbah. Upaya mengimplementasikan rencana tersebut telah telah dimulai, dimana pembangunannya telah hampir selasai ditahun 2008 yang berlokasi di Majalaya. Akan tetapi dalam perjalanannya, hal ini belum dapat terealisasi dengan adanya berbagai hambatan. Dari wawancara dapat diketahui bahwa proses yang telah berjalan telah menghasilkan beberapa kemajuan seperti pabrik yang hampir siap berdiri, beberapa perijinan yang telah diselesaikan. Namun, informasi yang didapatkan dari pihak API yang juga ditunjang informasi dari perusahaan yang terlibat sendiri menyebutkan beberapa kendala realisasi, yaitu: 1.
Permasalahan ijin AMDAL yang belum selesai
2.
Benturan dengan RT/RW
Pengusaha menyatakan bahwa dengan hampir selesainya pembangunan pabrik pengolahan limbah, ternyata baru diketahui bahwa pabrik tersebut belum memiliki ijin AMDAL dari KLH. Padahal, persetujuan perijinan AMDAL membutuhkan waktu yang relatif panjang karena harus melalui berbagai uji laboraturium. Selain itu, pembangunan pabrik juga dianggap menyalahi RTRW karena wilayah tersebut (Majalaya) tidak dirancang untuk keperluan tersebut. Padahal, perencanaan RTRW merupakan perencanaan jangka panjang yang tidak bisa serta-merta dirubah karena menyangkut RPJMD yang dibuat setiap 5 tahun. Hal ini mencerminkan inkonsitensi dan tidak sinkronnya kebijakan pusat dan daerah serta para stakeholders yang terkait. Permasalahan terkiat lainnya adalah semakin meningkatnya harga batubara. Selama ini pengusaha beralih pada batubara karena harganya yang lebih ekonomis dibandingkan dengan BBM atau listrik. Akan tetapi harga batubara kemudian merangkak naik. Dibandingkan dengan tahun 2005, harga batubara telah meningkat hingga lebih dari 6 kali lipat, dari Rp 240 menjadi Rp 1.750 untuk batubara berkalori 6000. 201
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 201
6/22/2010 6:21:52 PM
Esta Lestari
Perbandingan harga batubara dengan BBM saat ini semakin jauh dari ekonomis, dimana pada tahun 2005 mencapai 1:4, sedangkan tahun 2009 semakin menurun menjadi 1:2,57. Kenaikan harga ini tidak saja dipengaruhi oleh kenaikan permintaan dunia, tapi juga disebabkan langkanya batubara berkualitas baik di dalam negeri. Oleh karena itu, sejalan dengan meningkatnya harga BBM, batubara sebagai sumber energi substitusi juga memiliki kecenderungan yang sama. Hal ini mengakibatkan proporsi pengeluaran untuk batubara juga semakin meningkat dan sangat mungkin pada satu titik akan sejajar dengan proporsi pengeluaran BBM. Hal yang paling disayangkan oleh pengusaha adalah kebijakan pemerintah yang lebih mendorong ekspor batubara dibandingkan penggunaannya untuk konsumsi domestik, khusunya industry. Hal ini dianggap hanya memberikan keuntungan bagi negara lain dan secara tidak langsung justru mendorong berkembangnya industri di luar negeri dibandingkan industry domestik. Lebih lanjut, batubara yang beredar di dalam negeri terbilang berkualitas lebih buruk sehingga pada gilirannya industry kembali dihadapkan dengan problema lingkungan hidup karena barubara dengan kualitas rendah akan menghasilkan limbah yang lebih besar.
7.4.4 Dampak Gabungan Fluktuasi Harga Energi Kenaikan harga BBM dan TDL secara langsung akan berpengaruh struktur biaya produksi perusahaan. Akan tetapi, mengingat pemakaian BBM di ITPT tidak terlalu besar dibandingkan penggunaan listrik maka kenaikan harga BBM tidak terlalu berpengaruh. Kenaikan harga BBM yang paling mempengaruhi perushaan adalah kenaikan pada tahun 2005 Hal ini diakui oleh API dan beberapa perusahaan yang berhasil disurvey serta dapat ilihat dari banyaknya perusahaan yang mengalihkan sumber energinya ke batubara untuk mendorong efisiensi.
7
Seperti dikatakan narasumber dari API Jawa Barat.
202
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 202
6/22/2010 6:21:52 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
Pengusaha memandang bahwa shock kenaikan harga BBM memiliki potensi shock jangka panjang dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi karena fluktuasinya menyulitkan bisnis dalam meperhitungkan biaya produksi. Berbeda dengan shock jangka pendek, misalnya penurunan permintaan sebagai faktor musiman, dimana pengusaha akan menyikapinya dengan memotong biaya variabel tetap, terutama tenaga kerja. Efisiensi yang paling umum terjadi ketika pasar melemah atau harga meningkat adalah melalui pengurangan tenaga kerja dimana hal ini diamini oleh seluruh perusahaan yang disurvey. Kenaikan harga BBM pada ITPT tidak mempengaruhi subsektor spinning hingga finishing karena lebih banyak menggunakan listrik. Meskipun terdapat mesin-mesin produksi benang hingga tekstil yang menggunakan BBM, namun masih bisa di alihkan pada listrik atau batubara. Tabel 6.3 juga menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran BBM sangat kecil, kurang dari 5% dengan kecenderungan konsumsi yang semakin menurun. Sebaliknya, kenaikan harga BBM lebih memukul subsector garmen. Meskipun subsektor ini umumnya menggunakan mesin berbasis listrik (terutama mesin jahit), namun kenaikan harga BBM dirasakan membawa pengaruh yang lebih signifikan dibandingkan kenaikan harga listrik. Pada perusahaan garmen, komposisi biaya lebih besar ke tenaga kerja yang bisa mencapai 20-25% dari total biaya, maka tidak mengherankan jika industri garmen lebih sensitive terhadap isuisu tenaga kerja seperti upah dibandingkan shock kenaikan harga listrik. Salah satu perusahaan garmen yang berhasil disurvey menyatakan bahwa kenaikan harga listrik cukup mempengaruhi, akan tetapi dengan fleksibiltas proses produksi (tidak continous) maka dapat dilakukan efisiensi terutama dari jam kerja peada waktu-waktu tertentu diluar waktu yang dikenakan tarif multiguna. Lebih lanjut, produski industri garmen sangat tergantung pada order sehingga proses dan output produksinya tidak selalu sama.
203
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 203
6/22/2010 6:21:52 PM
Esta Lestari
Akan tetapi tidak demikian halnya dengan kenaikan harga BBM yang membawa dampak besar bagi industri garmen. Dampak kenaikan harga BBM pada industri garmen merupakan dampak tidak langsung akibat inflationary effect yang ditimbulkan oleh kenaikan harga BBM melalui penurunan permintaan. Pada perusahaan yang pangsa pasarnya terutama dalam negeri, kenaikan harga BBM akan menyebabkan penurunan daya beli dimana permintaan barang non-necessity akan menurun tajam. Manager PT Bandung Indah Gemilang (BIG) menyatakan bahwa kenaikan harga BBM yang paling berpengaruh adalah kenaikan pada tahun 2005 yang menyebabkan order menurun tajam. Pengenaan tarif multiguna atau dayamaks juga mendapatkan kritik industri karena dianggap terlalu tinggi, ditambah dengan kurangnya pelayanan yang diberikan (misalnya kedip atau pemadaman). Meskipun harga TDL tidak mengalami kenaikan, akan tetapi pengenaanya dirasakan membawa dampak signifikan. Pengenaan TDL sangat membatasi terutama dengan adanya penalti sebesar faktor K. disisi lain, pengenaan tarif multiguna dirasakan terlalu mahal karena pengenaannya progressive dengan pengali sebesar K (4x) sehingga meningkatkan biaya energi. Sejalan dengan penurunan harga BBM dari Rp 6.000 menjadi Rp 5.500 (yang kemudian diturunkan kembali hingga mencapai Rp 4.500) pada Januari 2009, pemerintah secara resmi mengumumkan penurunan Tarif dayamaks untuk golongan industri I-3 dan I-4. Penurunan ini diprediksikan mampu menghemat pengeluaran listrik industri rata-rata sebesar 8% (Sekretariat Negara, 2009). Untuk jenis industri yang padat energi atau continous process termasuk TPT, penurunannya mencapai 12-15%. Sayangnya, penurunan tarif baik dayamaks maupun multiguna tidak terlalu dirasakan pengusaha. Mengingat listrik merupakan komponen sangat penting dan dan penyediaannya dimonopoli oleh PLN (bagi industri yang belum memiliki subsititusinya), maka perubahan harga tarif listrik harus ditanggung pengusaha harus dibayar pengusaha.
204
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 204
6/22/2010 6:21:52 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
7.5 Pola Penyesuaian Upaya untuk menekan biaya akan kenaikan listrik dilakukan dengan berbagai langkah oleh pengusaha. Langkah yang paling umum dilakukan adalah efisiensi dari komponen tenaga kerja. Akan tetapi berbagai langkah lain dilakukan untuk mencapai kombinasi paling tepat dalam menekan biaya. Tabel 7.6 Pola Penyesuaian ITPT dalam Menghadapi enaikan Biaya Energi
Sumber: Data Primer, 2009
Secara umum, langkah yang dilakukan perusahaan terlihat pada Tabel 6.6 diatas ini. Terdapat lima langkah utama dalam merespon kenaikan harga energi. Kenaikan harga energi paling besar direspon dengan melakukan efisiensi BBM dan TDL. Efisinesi ini dilakukan tidak saja dengan menurunkan volume konsumsi tapi juga dengan mengganti energi atau menggunakan energi dengan kualitas yang lebih baik dan hemat serta penyesuaian penggunaan waktu penggunaan listrik dari WBP ke LWBP. Efisiensi produksi dengan penggunaan energi lain khusunya batubara dapat menghemat 12-60%. Strategi produksi dan pemasaran juga merupakan respon paling banyak dilakukan. streategi produksi dan pemasaran dilakuak dengan menyesuaikan kuantitas dan kualitas produk untuk menyesuaikan dengan toatal biaya. Respon ini dapat dilakukan denan menurunkan kuantitas produksi 205
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 205
6/22/2010 6:21:52 PM
Esta Lestari
atau memproduksi pada kuantitas yang sama dengan harga akhir yang lebih tinggi. Selain itu, kualitas produk bisa disesuaikan untuk menjaga harga pada biaya produksi yang sama. Penurunan produksi bisa mencapai 30%. Selain itu, perubahan manajemen produksi dan strategi pasar dianggap penting melalui pencarian ceruk/pangsa pasar baru yang potensial dan sesuai dengan kapasitas produksi seperti yang dilakukan PT Kukuh Tangguh Sandang Mills. Penggantian atau modifikasi mesin yang hemat energi menjadi alternatif lain untuk mencapai efisiensi. Pengalihan pada mesin steam batubara mampu menghemat listrik hingga 60%. Selain itu, penggantian mesin yang lebih canggih dan hemat listrik menjadi pilihan yang juga penting. Saat ini, ITPT memandang pentingnya investasi pada mesin-mesin terbaru dengan umur dibawah 10 tahun. Selain itu, penggunaan alat hemat listrik yang banyak dijual terutama inverter juga dilakukan. Perubahan komposisi produksi dilakukan dengan mengubah faktor tenaga kerja dan input produksi. Efisinesi input produksi atau bahan baku mencapai 5%. Pemangkasan jam kerja dapat menghemat sekitar 5-16%, sedangkan jarang ada perusahaan yang melakukan perubahan dengan mengganti energi pada energi alternatif. Hal ini terutama disebabkan ketersediaannya yang masih terbatas. Bahkan penggunaan gas masih sulit untuk diimplementasikan karena investasi infrastruktur perpipaan yang mahal dan sustainabilitas supply yang tidak terjamin. Demikian pula dengan penurunan harga listrik yang mulai efektif pada 12 Januari 2009. Sejauh ini penurunan harga listrik masih dinilai belum seefisien penggunaan batubara. Pada dasarnya, penggunaan listrik dan BBM lebih diminati dibandingkan batubara karena lebih bersih. Akan tetapi, jika penurunan harga listrik dan BBM tidak lebih murah dari batubara yang mencapai penghematan 60%, maka akan sulit bagi industri untuk tetap menggunakan listrik meskipun harganya turun.
206
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 206
6/22/2010 6:21:52 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
Disamping pengaruh harga energi baik batubara maupun harga minyak, saat ini dampak krisis lebih dirasakan oleh ITPT. Sejak krisis global yang mencapai puncaknya pada tahuhn 2008, ITPT terutama garmen sangat terpukul (LIhat Boks 2). Untuk ITPT subsektor hulu dan midstream, pengaruh harga energi seperti listrik dan batubara berdampak signifikan, namun untuk perubahan permintaan yang paling menderita adalah industri garmen. Perubahan permintaan terjadi terutama ketika harga BBM naik atau krisis keuangan yang menurunkan daya beli masyarakat. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh salah satu responden (PT. Bandung Indah Gemilang) yang bergerak diindustri garmen menyatakan bahwa sebagian besar industri garmen mengalami penurunan produksi hingga 40% ketika terjadi kenaikan harga BBM tahun 2005, demikian pula dengan pukulan krisis tahun 2008. Hal ini beimplikasi pada pengurangan biaya operasional melalui pengurangan pegawai. Selain itu, dampak krisis global 2008 yang mempengaruhi permintaan pada gilirannya akan menurunkan jumlah input produksi, misalnya penurunan penggunaan batubara disebagian esar industri selain disebabkan oleh kenaikan harganya, terkait dengan kondisi 2008 juga disebabkan oleh menurunnya permintaan sehingga menurunkan jumlah produski. Lebih lanjut, dampak krisis juga tergantung pada pangsa pasar industri bersangkutan, jika diluar Amerika dan Eropa, maka dampaknya tidak terlalu signifikan. Hal ini terjadi pada PT Panasia, dimana tujuan utama ekspornya adalah Timur Tengah dengan pangsa pasar yang sangat spesifik (niche market) sehingga tingkat loyalitas konsumen terbilang tinggi dan dapat dikatakan tidak terlalu menurunkan permintaan.
207
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 207
6/22/2010 6:21:52 PM
Esta Lestari
7.6 Kesimpulan Problematika energi di ITPT di Indonesia memiliki keterkaitan yang kompleks dengan aspek lainnya. Pada kenyatannya, kebutuhan energi di ITPT yang tidak terpenuhi disebabkan oleh begitu banyak permasalahan, sedangkan disisi lain upaya industri untuk mencari tingkat kekonomisan tertinggi menghadapi berbagai benturan kebijakan. Penyediaan listrik yang memadai bagi ITPT, sebagai industri yang dicirikan oleh kebutuhan energi dan air yang tinggi, tidak dapat dipenuhi oleh PLN. PLN sebagai perusahaan negara sangat tergantung pada subsidi pemerintah agar dapet memberikan tarif yang dijangkau masyarakat, melalui tarif dasar listrik. Subsidi ini dilakukan mengingat tingginya biaya keekonomian listrik yang diakibatkan oleh tingginya biaya BBM. Akibatnya, adalah ketersediaan listrik yang tidak berkelanjutan. Disisi lain, PLN sebagai perusahaan mengantisipasi hal tersebut dengan mengenakan tarif multiguna bagi industri yang harganya jauh lebih mahal. 208
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 208
6/22/2010 6:21:53 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
Dari sudut pandang industri, ketidakmampuan PLN dalam menyediakan listrik murah dengan mengkompensasikannya melalui tarif multiguna menyebabkan biaya produksi yang sangat besar. Posisi strategis PLN sebagai monopoli dalam menyediakan energi menyebabkan industri kurang memiliki fleksibilitas dalam mengakses dan memproduksi listrik sendiri. Salah satu upaya untuk menghasilkan energi sendiri dikalangan industri, terutama dilakukan dnegan menggunakan batubara. Sayangnya, penggunaan batubara kemudian menimbulkan permasalahan baru. Pemanfaatan batubara yang diatur dalam PP 18/1999, mengkategorikan batubara sebagai produk yang menghasilkan limbah beracun (B3). Hal ini membawa konsekwensi yang luas, dalam memnafaatkan batubara, terutama dalam hal kompleksitas penyimpanan hingga pembuangannya, yang berdampak pada tingginya biaya perijinan, pembuangan dan penampungan batubara. Artinya, dari sisi pengusaha harus menghadapi tambahan biaya yang cukup tinggi. Disisi lain, kepastian batubara domestik dnegan harga yang berkualitas masih terbatas karena kebijakan pertambangan termasuk batubara lebih diorientasikan untuk ekspor. Permasalahan diatas menunjukkan ketidaksinergian kebijakan energi nasional. Disatu sisis terjadi shortage listrik akibat tingginya harga BBM, namun disisi lain upaya untuk diversifikasi energi tidak mendapatkan peluangnya karena tupangtindihnya kebijakan energi nasional. Benturan kebijakan terjadi tidak saja pada ketersediaannya, tapi juga pada harga hingga aturan-aturan lingkungan hidup yang pada akhirnya tidak memberikan manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan pada industri pada khususnya. Padahal disisi lain, ITPT nasional terus didorong dianggap sebagai industri nasional yang memiliki peran penting namun terhambat gerak ekspansinya. Hal ini pada akhirnya justru akan menurunkan daya saing perekonomian nasional.
209
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 209
6/22/2010 6:21:53 PM
Esta Lestari
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), 2009, Indonesian Textille & Textille Product, Bahan Presentasi Focus Group Discussion P2E-LIPI, Unpublished. Badan Pusat Statistik, 2008, Statistik Industri 2007, BPS, Jakarta. Departemen Perindustrian, 2006, Sosialisasi Program Terpadu Penanganan Dan Pemanfaatan Limbah Batu Bara Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Industri Tekstil, 24 Februari, Http:// Disperindagbali.Go.Id/Includes/Lengkap2.Php?%20id=9. Departemen Perindustrian, 2007, Program Peningkatan Teknologi ITPT bantuan Pembelian Mesin/Peralatan ITPT (Skim I, Potongan Harga Pembelian Mesin/Peralatan), Press Release, 20 April, Http://www.Depperin.Go.Id/Ind/Publikasi/Siaran_ Pers/2007/2007014.HTM Ekspor TPT 2009 Diperkirakan Capai US$ 11,07 Miliar, Media Industri, No. 4 2008 Gunaryo, 2008, Persoalan Usaha Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia, http://indonesiatextile.com/index.php?option=com_content& task=view&id=67&Itemid=9, 17 Juni 2008. Implikasi Kebijakan Penurunan Harga BBM 15 Januari 2009, 2009, Siaran Pers Sekretariat Negara, Kamis 15 Januari. Isu Strategis Pembangunan Regional Jawa Barat, 2009, PPTSP Kabupaten Majalengka, http://pptspmajalengka. com/?naon=investasi&sub=isu_jabar Jaweng, Robert E,. 2008, Memotret Iklim Investasi Provinsi, Bisnis Indonesia, 11 Desember. Menyelamatkan Industri dari Dampak Krisis, Media Industri, No. 4 2008.
210
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 210
6/22/2010 6:21:53 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
Menyelamatkan Industri Tekstil Indonesia, BEI News Edisi 22 Tahun V, September-Oktober 2004) Miranti, Ermina. 2007. Mencermati Kinerja Tekstil Indonesia: Antara Potensi dan Peluang, Economic Review No. 209, September. Sambodo, MT, 2007, Mengurai Benang Kusut Daya Saing Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Sambodo, MT, 2008, Model Dan Strategi Peningkatan Daya Saing Industry Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Sudrajat, Ade, 2008, Perkembangan Daya Saing ITPT Nasional Khususnya di Jawa Barat, Makalah disampaikan pada Wisuda Mahasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung Tahun Ajaran 2006/2007, 19 Januari, Http://Textilejabar. Wordpress.Com/2008/01/19/Perkembangan-Daya-Saing-ItptNasional-Khususnya-Di-Jawa-Barat/
211
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 211
6/22/2010 6:21:53 PM
Esta Lestari
LAMPIRAN 1.
212
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 212
6/22/2010 6:21:53 PM
Dampak Penyesuaian Harga BBM dan TDL di Industri TPT (ITPT)
Sumber: Kompilasi dari data API, 2008 dan Data Primer, 2009 Catt. * merupakan sampel perusahaan yang didapatkan dari hasil wawancara.
213
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 213
6/22/2010 6:21:53 PM
Esta Lestari
214
LAP AKHIR TIM ENERGI ESTA.indd 214
6/22/2010 6:21:53 PM