Prosiding Skripsi Semester Ganjil 2011/2012
SK - 091304
PENGARUH KATALIS ZINC ACETATE DIHYDRATE PADA DAUR ULANG LIMBAH POLIETILEN TEREFTALAT (PET) Febe Mega S.K*, Lukman Atmaja, Ph.D Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK Kristal putih bis(hidroksietil) tereftalat berhasil didapatkan melalui proses depolimerisasi dari limbah plastik polietilen tereftalat. Proses depolimerisasi limbah plastik PET berlangsung dengan metode glikolisis dengan menggunakan etilen glikol dan katalis seng asetat dihidrat. Reaksi glikolisis berlangsung selama 10 jam pada temperatur 196 °C. Katalis seng asetat dihidrat divariasi menjadi beberapa variasi perbandingan molar PET:katalis. Perbandingan molar PET:katalis yang digunakan adalah sebesar 3021:1, 1146:1, 989:1, 383:1, 191:1, 99:1, 95:1, 48:1 dan 24:1. Hasil yang paling maksimal didapatkan ketika perbandingan molar PET:katalis sebesar 48:1 digunakan yaitu sebesar 63,36%. BHET yang didapatkan dari perbandingan molar 48:1 yaitu 26,48%. BHET yang dihasilkan akan dianalisa dengan menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR), Thermal Gravimetry Analyzis (TGA) dan Differential Scanning Calorimetry (DSC).
Kata kunci: Depolimerisasi, Glikolisis, PET, Seng Asetat Dihidrat, BHET.
I. Pendahuluan Plastik merupakan aplikasi yang sangat umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Banyaknya penggunaan plastik inilah yang kemudian tanpa disadari menimbulkan limbah-limbah dan mengganggu lingkungan. Dampak negatif dari penggunaan plastik ini membuat sebuah tantangan dalam mengatur keseimbangan lingkungan. Efisiensi daur ulang dari limbah campuran diidentifikasikan sebagai tantangan utama selanjutnya dalam hal daur ulang plastik dan masih membutuhkan pengembangan proses-proses yang baru (Sánchez, 2011). Plastik menjadi persoalan lingkungan yang penting walaupun plastik tidak memberikan dampak kimia secara langsung pada lingkungan (Scheirs, 1998). Dampak lingkungan timbul ketika plastik banyak menggunakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan plastik tahan terhadap degradasi secara biologi (Sánchez, 2011). Sebagai contohya, pada beberapa wilayah perairan, puing– puing yang paling banyak ditemukan adalah plastik, yaitu sekitar 90-95%. Puing-puing plastik ini meliputi plastik yang didapatkan dari limbah jala dan benang pancing dari aktifitas memancing yang mengandung poliamida. Disisi lain, jumlah limbah plastik secara keseluruhan mencapai 20% dari total limbah keseluruhan di seluruh daratan (Moore, 2008). Jumlah ini tentu saja sangat tidak seharusnya jika ditinjau dari lama waktu degradasi plastik dan rendahnya rasio berat/volume. *Corresponding author Phone: +6285731721913, email:
[email protected] 1 Alamat sekarang: Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. e-mail:
[email protected] 2 Alamat sekarang: Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Beruntungnya, daur ulang (depolimerisasi) infrastruktur sedang berkembang dan banyak dipelajari untuk beberapa plastik seperti polietilen tereftalat (PET) (Awaja, 2005; Karayannidis, 2003). Jumlah ini tentu saja sangat tidak seharusnya jika ditinjau dari lama waktu degradasi plastik dan rendahnya rasio berat/volume. Beruntungnya, daur ulang infrastruktur sedang berkembang untuk beberapa plastik seperti polietilen tereftalat (PET) yang daur ulangnya banyak dipelajari (Awaja, 2005; Karayannidis, 2003). Polietilen tereftalat (PET) merupakan poliester linier yang bersifat termoplastik yang disintesis melalui proses esterifikasi asam tereftalat (TPA) dan etilen glikol (EG) atau melalui proses transesterifikasi dimetil tereftalat (DMT) dan etilen glikol. PET banyak diaplikasikan penggunaannya sebagai bahan tekstil, botol minuman ringan dan film fotografi. Oleh karena fungsi yang bervariasi tersebut, PET mengalami peningkatan produksi yang luar biasa. Pada tahun 2000 sampai 2010, kebutuhan dunia akan PET meningkat dari 27.6 juta ton hingga 56,0 juta ton (Imran, 2010). Terdapat empat cara yang selama ini diketahui dalam depolimerisasi PET, yaitu (1) depolimerisasi in-plant dari potongan-potongan material yang telah diketahui penggunaannya sebelumnya, (2) secara mekanik, (3) secara kimiawi dan (4) dengan teknik recovery energi melalui pengabuan (Awaja, 2005). Metode depolimerisasi secara biologi tidak berlaku bagi PET karena PET merupakan plastik yang tidak dapat terdegradasi pada kondisi normal akibat tidak ada organisme yang diketahui dapat mengkonsumsi molekul PET yang relatif besar. Sehingga oleh karena tingkat kerumitan dan biaya prosedur yang mahal inilah yang membuat
Prosiding Skripsi Semester Ganjil 2011/2012 metode depolimerisasi PET secara biologi tidak diminati (Awaja, 2005). Dari teknik-teknik di atas, hanya satu teknik yang dapat diterima jika mengacu pada pengembangan prinsip-prinsip yang aman dan sesuai. Teknik tersebut adalah depolimerisasi secara kimiawi. Dekomposisi PET secara kimiawi dan pengonversian PET menjadi produk yang dapat dipakai kembali memberi nilai tambah pada pentingnya strategi depolimerisasi material ini. Depolimerisasi kimiawi dilakukan untuk membentuk kembali bahan aslinya yaitu monomer (Foncesa, 2010). Beberapa proses depolimerisasi secara kimiawi yang dikenal adalah dengan metode solvolisis seperti hidrolisis, alkoholisis, glikolisis, aminolisis dan amonolisis Metode-metode solvolisis tersebut bergantung pada agen pendepolimerisasi dan kondisi reaksi (Imran, 2010). Hidrolisis PET pada suasana asam atau basa menghasilkan asam tereftalat, namun masih menimbulkan masalah baru yaitu berupa korosi dan polusi. Proses alkoholisis yang umumnya menggunaan metanol dalam bentuk gas atau liquid akan menghasilkan dimetil tereftalat (DMT). Proses glikolisis melibatkan penyisipan diol dalam rantai PET sehingga menghasilkan bis(hidroksietil) tereftalat (BHET). Dari ketiga proses di atas, glikolisislah yang paling menguntungkan. Proses ini yang memiliki keuntungan kerena prosesnya lebih sederhana dan dapat dilakukan secara konvensional (Ghaemy, 2005). Selain itu, monomer yang dihasilkan yaitu BHET dapat digunakan sebagai bahan awal dalam proses sintesis PET yang berbasis DMT dan TPA yang dihasilkan dalam proses alkoholisis dan hidrolisis sedangkan DMT dan TPA tidak dapat digunakan sebaliknya. Keuntungan yang lain adalah pemisahan glikol dari pelarut dalam proses depolimerisasi tidak diperlukan (Imran, 2010) dan BHET hasil depolimerisasi dapat dicampur dengan BHET yang baru sehingga dapat menghemat biaya produksi PET (Fonseca, 2011). Walaupun demikian proses ini memiliki kelemahan utama yaitu produk reaksi bukan merupakan bahan kimia yang mudah untuk dipisahkan melainkan. BHET merupakan oligomer tingkat tinggi yang sulit untuk dimurnikan dengan metode sedehana (Ghaemy, 2005). Glikolisis dari limbah PET dengan etilen glikol (EG) dapat menghasilkan produk yang berupa monomer BHET. Monomer BHET banyak digunakan dalam sintesis material polimer, mulai dari resin poliester rantai jenuh dan polietilen tereftalat (PET) sebagai sistem biocompatible yang baru. BHET juga digunakan sebagai plasticiser pada resin poliester rantai jenuh dan poliuretan baik kaku maupun yang fleksibel (lentur) (Alvarez, 1994; Alvarez, 1995; Gutierrez, 1997). Proses glikolisis memerlukan katalis dalam proses glikolisis. Katalis yang secara luas dipakai dalam proses glikolisis adalah empat logam asetat yaitu kobalt asetat, timah asetat, seng asetat, dan
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
SK - 091304
mangan asetat. Katalis-katalis tersebut dikenal sebagai katalis yang efektif pada reaksi transesterifikasi (Ghaemy, 2005). Reaksi transesterifikasi adalah suatu reaksi dimana dua ester milik monomer PET bereaksi satu sama lain sehingga menghasilkan ester yang baru (dimer). Dari empat katalis yang telah disebutkan di atas, seng asetat lah yang dikenal paling efektif sebagai katalis (Baliga, 1989; Kao, 1997). Penelitian yang dilakukan ini melibatkan limbah PET yang didapat dari botol minuman bekas sebagai material dasar yang akan didaur ulang. Metode depolimerisasi yang digunakan adalah depolimerisasi secara kimiawi dengan proses glikolisis yang menggunakan pelarut etilen glikol untuk mendapatkan BHET. Katalis yang digunakan adalah seng asetat sebagai garam logamnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Fonseca dkk, penggunaan konsentrasi yang berbeda akan menghasilkan hasil BHET yang berbeda pula. BHET yang didapatkan dari perbandingan molar PET:seng asetat dihidrat sebesar 3300:1 adalah sebanyak 44% sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi yaitu di atas 380:1 menghasilkan BHET yang lebih banyak yaitu hampir mendekati 70% (Fonseca dkk, 2010). Oleh karena itu, katalis seng asetat dihidrat divariasi konsentrasinya untuk mengetahui pengaruhnya terhadap hasil depolimerisasi. II. Metodologi Penelitian 2.1 Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pengaduk magnetik, stirrer, freezer, seperangkat alat refluks, termometer, Fourier Transform Infrared (FTIR), Differential Scanning Calorimetry (DSC) dan Thermal Gravimetry Analysis (TGA) 2.2 Bahan Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain limbah PET yang diperoleh dari botol air mineral bekas merek Club, etilen glikol merek dagang Merck dengan kemurnian 99,5%, aquades dan zinc acetate dihydrate yang digunakan diproduksi oleh Laboratorium Bio Analitika Surabaya. 2.3 Prosedur Kerja 2.3.1 Persiapan Sampel Limbah PET Limbah PET yang didapat dari limbah botol minuman Club pertama- pertama dicuci terlebih dahulu dengan sabun yang kemudian dibilas dengan aquades untuk menghilangkan pengotor-pengotor polar maupun nonpolar yang terdapat dipermukaan plastik. Setelah tahap pencucian selesai, tahap selanjutnya adalah plastik dikeringkan dalam oven pada 60 °C. Plastik PET yang telah bersih dan kering dibuat berukuran antara 2x2 mm2 sampai 4x4 mm2. 2.3.2
Reaksi Glikolisis Reaksi glikolisis dilakukan dalam labu bundar berukuran 250 mL yang dilengkapi dengan leher tiga, termometer, dan kondensor refluks yang dilakukan
Prosiding Skripsi Semester Ganjil 2011/2012 pada atmosfer nitrogen. Pengaduk magnetik juga digunakan untuk memastikan bahwa proses pencampuran dan pengadukan berlangsung dengan sempurna sehingga diperoleh hasil yang baik. Reaksi glikolisis sendiri berlangsung selama 10 jam pada 196 °C. Pada semua proses, massa PET yang digunakan dalam tiap-tiap percobaan adalah sebanyak sekitar 5 gram (sesuai dengan perhitungan masing-masing perbandingan molar PET:seng asetat dihidrat yang terdapat pada lampiran B). Setelah itu, massa plastik yang sudah diambil sesuai perhitungan akan dimasukkan ke dalam reaktor. Kemudian reaktor yang berisi campuran reaktan etilen glikol (EG) dan seng asetat dihidrat sebagai katalis. Etilen glikol yang digunakan adalah sejumlah 14 mL.. Kemudian rasio molar PET:katalis (seng asetat dihidrat) yang digunakan adalah 3021:1, 1146:1, 989:1, 383:1, 191:1, 99:1, 95:1, 48:1 dan 24:1. Setelah waktu yang digunakan untuk bereaksi pada temperatur tertentu telah selesai, reaktor dipindahkan dari mantel pemanas dan dengan cepat didinginkan dalam penangas es. Kemudian vessel reaktor dibuka dan produk dipisahkan. Hal ini merupakan poin penting bahwa selama tahap awal dari reaksi campuran yang didapat merupakan campuran yang heterogen sejak dua fasa dapat dengan jelas dibedakan dimana fasa padat adalah milik PET sedangkan fasa liquid adalah milik etilen glikol dan katalis. Akan tetapi, setelah interval waktu yang telah ditentukan, fasa padat tidak lagi teramati dan reaksi berlangsung dalam fasa tunggal saja. Kemudian, air destilasi panas sebanyak 67 mL ditambahkan ke dalam campuran reaksi (BHET yang dikenal cukup larut dalam air mendidih). Air panas juga melarutkan katalis dan mungkin beberapa oligomer dengan tingkat yang lebih tinggi, seperti dimer dan trimer. Lalu, ketika masih panas, suspensi dengan cepat difiltrasi. Pemisahan produk dilakukan dengan menggunakan vakum. PET yang belum terkonversi diperoleh sebagai residu setelah tahap filtrasi. Sedangkan filtrat yang didapat mengandung etilen glikol (EG), BHET, dan sebagian kecil jumlah oligomer yang terlarut dalam air. Filtrat ini kemudian dipanaskan sampai campuran di dalam filtrat menjadi tidak berwarna. Setelah itu campuran difiltrasi kembali dengan vakum. Filtrat kedua ini akan dikumpulkan dan disimpan dalam lemari pendingin pada 5 °C selama 16 jam untuk mengakibatkan pengendapan kristalin putih BHET. Setelah fitrasi, BHET dikeringkan dalam oven pada temperatur 60 °C selama 30 jam dan ditimbang dengan timbangan analitis untuk memperkirakan molar BHET yang dihasilkan melalui persamaan dibawah ini. 𝑊𝐵𝐻𝐸𝑇,𝑓 �𝑀𝑊 𝐵𝐻𝐸𝑇 𝑌 (%) =
𝑊𝑃𝐸𝑇,0 �𝑀𝑊 𝑃𝐸𝑇
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
× 100
SK - 091304
Dimana W PET,0 dan W BHET,f merupakan berat awal dari PET dan berat BHET pada waktu reaksi yang spesifik. Kemudian MW BHET dan MW PET masingmasing adalah berat molekul dari BHET (254 g mol-1) dan PET (192 g mol-1). 2.3.3 Karakterisasi 2.3.3.1Fourier Transform Infrared (FTIR) Infrared atau yang biasa disebut inframerah digunakan untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat di dalam suatu senyawa. FTIR dilakukan dengan mode transmisi untuk mendapatkan spektra dari hasil degradasi PET dalam KBr pada rentang bilangan gelombang 4500-500 cm-1. 2.3.3.2 Differential Scanning Calorimetry (DSC) Analisa DSC dilakukan dengan aliran gas nitrogen sebesar 15 cm3 menit-1 dan laju pemanasan sebesar 10 °C menit-1 pada rentang suhu 25-350 °C. Sampel yang digunakan sekitar 3 mg. 2.3.3.3 Thermal Gravimetry Analysis (TGA) Analisa Thermal Gravimetry Analysis (TGA) dilakukan bersamaan ketika analisa DSC dilakukan. Sampel yang digunakan untuk analisis sekitar 3,79 g. Rentang suhu yang dpakai adalah 20-340 °C. III. Hasil dan Pembahasan 3.1 Preparasi Plastik Polietilen Tereftalat (PET) Glikolisis limbah polietilen tereftalat (PET) berhasil dilakukan sebagai metode daur ulang plastik polietilen tereftalat (PET). Reaksi glikolisis menghasilkan monomer penyusun polietilen tereftalat (PET), yaitu bis(hidroksietil) tereftalat (BHET). Botol plastik Club kemasan botol dipilih karena botol plastik Club terbuat dari bahan PET. Kandungan PET dalam botol Club kemasan botol terlihat dari adanya kode nomor 1 di bawah botol. Kode 1 plastik menyatakan bahwa plastik tersebut terbuat dari PET. Langkah-langkah reaksi glikolisis sebagai metode daur ulang plastik polietilen tereftalat (PET) ini yang pertama-tama adalah limbah PET yang didapat dari limbah botol minuman dicuci terlebih dahulu dengan sabun yang kemudian dibilas dengan aquades untuk menghilangkan pengotor-pengotor polar maupun nonpolar yang terdapat dipermukaan plastik. Setelah tahap pencucian selesai, tahap selanjutnya adalah pengeringan plastik dalam oven pada suhu 60 °C. Plastik dikeringkan pada suhu 60 °C karena bila suhu dinaikkan maka dikhawatirkan bila plastik PET akan rusak, walaupun plastik PET memiliki titik leleh sekitar 250-260 °C. Plastik PET yang telah bersih dan kering dibuat berukuran antara 2x2 mm2 sampai 4x4 mm2. Plastik dipotong kecilkecil untuk memperluas bidang reaksi sehingga reaksi dapat berlangsung lebih cepat (lihat Gambar 3.1).
Prosiding Skripsi Semester Ganjil 2011/2012
Gambar 3.1 Potongan Plastik PET Yang Telah Dipreparasi 3.2 Reaksi Glikolisis Plastik Polietilen Tereftalat (PET) Reaksi glikolisis dilakukan dalam labu bundar berleher tiga yang berukuran 250 mL. Labu bundar leher tiga ini dilengkapi dengan termometer, penyumbat karet dan kondensor refluks yang dilakukan pada atmosfer nitrogen. Gas nitrogen diberikan dengan cara dialirkan selama beberapa waktu kemudian diberhentikan dan ditutup dengan penyumbat karet sesegera mungkin. Penyumbat karet harus dipastikan terpasang dengan rapat sehingga tidak ada udara luar yang masuk ke dalam seperangkat alat refluks. Reaksi glikolisis dilakukan pada atmosfer nitrogen untuk menghilangkan adanya udara bebas yang nanti dikhawatirkan dapat mempengaruhi hasil. Pengaduk magnetik juga digunakan untuk memastikan bahwa proses pencampuran dan pengadukan berlangsung dengan sempurna selama reaksi berlangsung sehingga diperoleh hasil yang baik. Reaksi glikolisis sendiri berlangsung selama 10 jam pada 196 °C. Selama reaksi berlangsung, aliran air diberikan terus menerus untuk mendinginkan uap panas yang terbentuk. Uap panas yang didinginkan akan menjadi cair kembali. Mantel pasir digunakan untuk menstabilkan panas. Pasir dipilih sebagai mantel panas karena pasir tahan terhadap suhu tinggi selama reaksi, yaitu pada 196 °C.
Gambar 3.2 Peralatan Refluks
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
SK - 091304
Pada semua proses, massa PET yang digunakan dalam tiap-tiap percobaan adalah sebanyak 5 gram. Plastik PET sebanyak 5 gram ini yang kemudian akan dimasukkan ke dalam seperangkat alat refluks. Seperangkat alat refluks dapat dilihat pada Gambar 3.2. Seperangkat alat refluks kemudian diberi campuran reaktan etilen glikol (EG) dan katalis seng asetat dihidrat. Etilen glikol berfungsi sebagai pelarut sedangkan katalis seng asetat dihidrat berfungsi sebagai katalis. Etilen glikol dipilih sebagai pelarut karena reaksi yang digunakan adalah reaksi glikolisis sehingga agen pendepolimerisasi yang digunakan berupa glikol. Reaksi glikolisis nantinya akan melibatkan insersi diol pada rantai PET dan monomer yang dihasilkan nanti berupa BHET. Etilen glikol yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 14 mL. Kemudian perbandingan molar PET:katalis (katalis seng asetat dihidrat) yang digunakan divariasi mengikuti Tabel 3.1 sebagai berikut : Tabel 3.1 Perbandingan Molar PET: Seng Asetat Dihidrat Perbandingan molar Seng asetat dihidrat yang PET: seng asetat digunakan (g) dihidrat 3021:1
0,0019
0,0021
1146:1
0,0050
0,0051
989:1
0,0058
0,0057
383:1
0,0150
0,0149
191:1
0,0300
0,0315
99:1
0,0577
0,0581
95:1
0,0600
0,0582
48:1
0,1184
0,1206
24:1
0,2439
0,2395
Setelah waktu yang digunakan untuk bereaksi pada temperatur 196 °C telah selesai (selama 10 jam), labu bundar leher tiga dipindahkan dari mantel pemanas. Produk proses reaksi yang terdapat di dalam labu bundar leher tiga dipindahkan ke dalam beaker glass. Setelah hasil dipindahkan ke dalam beaker glass, hasil dengan cepat didinginkan dalam penangas es. Produk reaksi yang awalnya berbentuk cair dan tidak berwarna akan membeku dan berbentuk seperti lempengan putih ketika didinginkan selama beberapa waktu di dalam penangas es. Perubahan fasa dari awal sampai akhir reaksi merupakan suatu hal yang penting. Pada tahapan awal reaksi, campuran yang didapat merupakan campuran yang heterogen. Campuran ini dapat dengan jelas
Prosiding Skripsi Semester Ganjil 2011/2012 dibedakan dimana fasa padat adalah milik plastik PET sedangkan fasa liquid adalah milik etilen glikol dan seng asetat dihidrat. Akan tetapi, setelah interval waktu yang telah ditentukan, yaitu selama 10 jam, fasa padat tidak lagi teramati dan reaksi berlangsung dalam fasa tunggal saja. Hal ini dapat dikatakan bahwa plastik PET mulai terlarut dalam pelarut etilen glikol dan katalis seng asetat dihidrat. PET yang terlarut ini mengindikasikan bahwa PET mulai terkonversi menjadi oligomer atau bahkan monomer. Kemudian, air destilasi panas sebanyak 67 mL ditambahkan ke dalam produk reaksi yang telah ditempatkan dan membeku di dalam penangas es. Campuran reaksi yang mengandung bis(hidroksietil) tereftalat (BHET) dikenal cukup larut dalam air mendidih. Oleh karena itu, air panas berlebih digunakan untuk melarutkan kembali BHET yang telah membeku. Air panas juga dapat melarutkan seng asetat dihidrat dan mungkin beberapa oligomer seperti dimer dan trimer. Lalu, ketika masih panas, suspensi dengan cepat difiltrasi supaya BHET ataupun oligomer yang terlarut dalam air panas tidak mengendap kembali sehingga dapat mempengaruhi penimbangan hasil ekstraksi. Produk dipisahkan menjadi dua fasa, yaitu fasa padat sebagai residu dan fasa berair sebagai filtrat dengan menggunakan filtrasi vakum. Filtrat mengandung etilen glikol (EG), BHET, dan sebagian kecil jumlah oligomer yang terlarut dalam air. Sedangkan residu yang didapat merupakan PET yang belum terkonversi. Setelah produk reaksi difiltrasi vakum dan terbentuk residu dan filtrat, filtrat ini kemudian dipanaskan sampai campuran di dalam filtrat menjadi homogen kembali dan tidak berwarna. Saat air destilasi yang ditambahkan tidak lagi panas, BHET atau oligomer menggumpal kembali sehingga jika filtrat tidak dipanaskan maka akan mempengaruhi hasil penimbangan ekstraksi glikolisis. Setelah filtrat sudah menjadi homogen kembali, filtrat difiltrasi kembali dengan filtrasi vakum. Filtrat kedua ini akan dikumpulkan dan disimpan dalam lemari pendingin pada 5 °C selama 16 jam untuk menimbulkan pengendapan kristalin putih BHET. Suhu 5 °C dipilih karena kristal putih BHET terbentuk pada temperatur rendah, yaitu sekitar 5 °C. Pembentukan kristal dibiarkan selama 16 jam supaya kristal BHET dapat terbentuk sempurna.
Gambar 3.3 Kristal Putih BHET
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
SK - 091304
Setelah 16 jam telah dilalui, filtrat dan kristal putih BHET difitrasi kembali. Filtrasi harus dengan cepat dilakukan untuk mencegah kristal BHET terlarut kembali dalam air yang perlahan-lahan menyesuaikan temperatur ruang. Selanjutnya kristal BHET dikeringkan dalam oven pada temperatur 60 °C selama 30 jam dan ditimbang dengan timbangan analitis untuk memperkirakan molar BHET yang dihasilkan. Temperatur dipertahankan pada suhu 60 °C untuk menghilangkan pelarut yang dapat mempengaruhi massa hasil ekstraksi ketika penimbangan. Suhu dipilih sebesar 60 °C supaya BHET tidak meleleh karena BHET memiliki titik leleh yang mendekati titik uap air, yaitu 110 °C seperti pada Gambar 4.8 (Fonseca dkk, 2010). Kristal BHET yang dihasilkan melalui proses depolimerisasi dapat dilihat pada Gambar 4.3. Penimbangan BHET dengan neraca analitis yang digunakan untuk memperkirakan persen hasil ekstraksi glikolisis yang dihasilkan menghasilkan suatu hasil sebagaimana Tabel 3.2. Tabel 3.2 Persen Hasil Ekstraksi Glikolisis % Hasil Ekstraksi Glikolisis Perbandingan Molar Glikolisis Glikolisis RataPET:katalis 1 2 Rata 3021:1 54,96 55,02 54,99 1146:1
55,52
55,47
55,50
989:1
55,71
55,66
55,69
383:1
56,32
56,35
56,34
191:1
56,42
56,44
56,43
99:1
56,62
56,66
56,64
95:1
59,75
59,82
59,79
48:1
63,22
63,49
63,36
24:1
62,64
62,66
62,65
Data Tabel 3.2 dapat diketahui bahwa katalis seng asetat dihidrat berfungsi untuk meningkatkan keefektifitasan reaksi sehingga dapat meningkatkan hasil depolimerisasi PET. Semakin besar perbandingan molar PET: seng asetat dihidrat, maka semakin meningkat pula hasil ekstraksi glikolisis yang didapat. Namun jika katalis seng asetat dihidrat diberikan dalam jumlah yang lebih banyak, yaitu pada perbandingan molar 24:1, hasil ekstraksi glikolisis yang terbentuk akan menurun. Penurunan hasil ekstraksi glikolisis ini terjadi karena keefektifitas perbandingan molar 24:1 hampir sama dengan perbandingan molar 48:1. Hasil ekstraksi glikolisis akan selalu tidak lebih besar dari hasil perbandingan molar 48:1 jika proses glikolisis dengan perbandingan molar yang lebih besar dilakukan. Hal ini ditunjukkan juga pada penelitian
Prosiding Skripsi Semester Ganjil 2011/2012 yang dilakukan Fonseca dkk pada tahun 2010. Penambahan konsentrasi katalis seng asetat dihidrat yang lebih besar tidak membuat hasil yang didapatkan akan lebih banyak dengan tren terus naik.
O
O
C
C
SK - 091304
CH2
O
CH2
+ Zn2+
O
n PET
O
O
C
C
Zn CH2
O
CH2
O
Persen Hasil
n HOCH2CH2OH O
O
C
C
Zn CH2
O
CH2
O
n OCH2 CH2 OH
+ Zn2+ O
O
C
C
Zn OCH2 CH2 O
m
Rasio Molar PET:Katalis Oligomer (2<m
Gambar 3.4 Grafik Rasio Molar PET:Katalis VS Persen Hasil
HOCH2CH2OH
(Fonseca dkk, 2010)
O
O
C
C
Zn OCH2 CH2 O
m OCH2 CH2 OH
Berdasarkan data pada Tabel 3.2 dan data penelitian Fonseca pada tahun 2010 yang terdapat pada grafik Gambar 3.4 maka dapat dikatakan bahwa hasil ekstraksi glikolisis dengan perbandingan molar 48:1 merupakan hasil yang paling maksimal dengan nilai sebesar 63,36%. Hasil dikatakan maksimal karena massa yang diperoleh dari penimbangan merupakan massa yang paling banyak dan menghasilkan % hasil ekstraksi yang paling banyak. Selain itu, perbedaan % hasil ekstraksi glikolisis antara perbandingan molar 48:1 dengan 24:1 tidak jauh berbeda, yaitu sebesar 1,12% walaupun katalis seng asetat dihidrat yang digunakan bernilai dua kali lipatnya. Reaksi daur ulang atau depolimerisasi plastik PET terjadi oleh karena serangan nukleofilik yaitu gugus hidroksil yang dimiliki etilen glikol terhadap gugus karbonil milik ester yang terdapat pada polimer. Gugus fungsi karbonil ini pada awalnya teraktifasi terlebih dahulu oleh Zn yang bersifat sebagai kation. Reaksi intermediet ini ditandai dengan terbentuknya kompleks dengan koordinasi antara gugus karboksilat milik ester dan spesi logam, yakni Zn. Koordinasi yang terbentuk menurunkan densitas elektron pada atom karbonil dan adanya serangan nukleofilik oleh gugus hidroksil menyebabkan karbon terpolarisasi positif sehingga terjadi pemutusan rantai polimer dan terbentuklah monomer. Mekanisme Reaksi ditunjukkan oleh Gambar 3.5. Sedangkan reaksi yang terjadi secara umum adalah sebagai berikut : PET + EG BHET Zn(Ac) 2 ·2H2 O Katalis
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
COOCH2CH 2OOC
HOCH2CH2OOC
Dimer BHET
HO
H2C
H 2C
O
COOCH2CH 2OH
+ Zn2+
O
O
C
C
Zn2+ O
CH2
CH 2
HOCH2CH2OH
HO
H2C
H 2C
O
O
O
C
C
Zn2+ CH2
O
CH 2
OCH2CH2OH
HO
H2C
H 2C
O
O
O
C
C
BHET
O
CH2
CH 2
OH
+ Zn2+
Gambar 3.5 Mekanisme Reaksi Depolimerisasi PET Seng asetat dihidrat dikatakan sebagai katalis yang efektif jika ion logam dapat dengan mudah membentuk kompleks intermediet dengan molekul
Prosiding Skripsi Semester Ganjil 2011/2012
SK - 091304
yang direaksikan. Oleh karena itu kekuatan ikatan logam dengan oksigen pada kasus ini merupakan suatu kunci keberhasilan suatu katalis seng asetat dihidrat. Aktifitas seng asetat dihidrat yang tinggi terjadi karena terbentuknya ikatan yang kuat antara Zn dengan oksigen pada karbonil.
Spektra yang didapat di atas mirip dengan spektra BHET hasil penelitian Pingale dan Shukla pada tahun 2008. Kemiripan ini mengindikasikan bahwa kristal yang dihasilkan merupakan BHET. Berikut ini Tabel 3.4 yang menjelaskan adanya kemiripan puncak penting pada spektra IR BHET :
3.3 Karakterisasi 3.3.1 Analisa Fourier Transform Infrared (FTIR) Sampel yang dianalisa dengan menggunakan instrumen Fourier Transform Infrared (FTIR) merupakan sampel kristal putih BHET hasil depolimerisasi plastik PET kemasan air mineral merek dagang Club. Tujuan pengkarakterisasian dengan menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR) dalam daur ulang polimer (depolimerisasi) adalah untuk mengidentifikasi gugus-gugus fungsi spesifik milik BHET hasil depolimerisasi. Spektra Gambar 4.6 menunjukkan spektra IR dari BHET dengan perbandingan molar PET:katalis sebesar 48:1.
Tabel 3.4 Puncak-Puncak Penting Spektra IR BHET Bilangan Gelombang Gugus Fungsi No (cm-1)
1.
3456,44
-OH
2.
2962,66
C-H sp3
3.
1712,79
C=O
4.
1280,73
C-O
5.
725,23
C-H oop
3450,41
-OH
2.
2964,39
C-H sp3
3.
1714,60
C=O
4.
1284,50
C-O
5.
727,11
C-H oop
Spektra IR yang dimiliki BHET adalah sebagai berikut ini :
Transmitan
Tabel 3.3 Puncak-Puncak Penting Spektra IR BHET Perbandingan Molar PET:Katalis Sebesar 48:1 Bilangan Gelombang (cmGugus Fungsi No 1 )
1.
2
Dari spektra yang didapat, puncak-puncak penting dapat diketahui. Beberapa puncak penting yang terdapat dalam spektra IR adalah pada Gambar 3.6 sebagai berikut :
3
4
5
1 Bilangan Gelombang Gambar 3.7 Spektra IR BHET
Transmitan
(Pingale dan Shukla, 2008)
1
2
3
4
5
Bilangan Gelombang Gambar 3.6 Spektra IR BHET Perbandingan Molar 48:1
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Jika diamati lebih lanjut, terdapat perbedaan pada Gambar 3.5 dan 3.6. Perbedaan terdapat pada nilai transmitan keduanya. Gambar 3.5 memiliki nilai transmitan yang terlalu kecil. Kecilnya nilai transmitan ini diakibatkan karena pada sampel BHET hasil depolimerisasi yang digunakan terlalu pekat konsentrasinya. Semakin pekat konsentrasi maka semakin semakin besar absorbansi dan semakin kecil transmitan. Hubungan tersebut sesuai dengan hukum Lambert-Beer sebagai berikut : 𝐴 = Ɛ𝑏𝐶 ....................................... (1)
dimana A adalah absorbansi,Ɛ adalah absorptivitas molar, b adalah tebal sampel dan C adalah konsentrasi sampel yang digunakan. Sedangkan hubungan nilai A dengan nilai T adalah seperti persamaan berikut ini :
Prosiding Skripsi Semester Ganjil 2011/2012
𝑃𝑇
𝑃0
𝐴 = − log 𝑇 = −𝑙𝑜𝑔 𝑃 = 𝑙𝑜𝑔 𝑃 ......... (2) 0
𝑇
depolimerisasi dengan metode glikolisis dengan perbandingan molar PET:seng asetat dihidrat sebesar 48:1 adalah 92 °C (lihat Gambar 3.12). Perbedaan temperatur yang terjadi antara BHET hasil depolimerisasi dengan metode glikolisis dengan BHET komersial dapat terjadi karena adanya kandungan aditif yang terdapat dalam hasil ekstraksi glikolisis dimana aditif tersebut memiliki sifat menurunkan ketahanan termal sehingga menurunkan titik lelehnya.
Endotermis
dimana P T merupakan nilai transmitan yang didapat ketika dilewatkan sampel dan P 0 merupakan nilai transmitan yang didapat ketika dilewatkan blangko (Harvey, 2000). Pekatnya konsentrasi BHET hasil depolimerisasi saat analisa yang mengakibatkan kecilnya nilai transmitan seharusnya diencerkan terlebih dahulu dengan menambahkan KBr sehingga nilai transmitan dapat mendekati nilai transmitan pada spektra IR BHET komersial dan pembandingan dapat dilakukan dengan lebih mudah.
SK - 091304
Temperatur (°C)
Gambar 4.8 Spektra-Spektra IR Gabungan Beberapa sampel BHET dikarakterisasi dengan menggunakan FTIR sehingga menghasilkan spektra. Spektra yang dihasilkan dari beberapa sampel tidak memberikan perbedaan yang berarti pada perbandingan-perbandingan molar yang digunakan. Puncak-puncak yang sama seperti pada spektra BHET hasil depolimerisasi dengan perbandingan molar PET:seng asetat dihidrat sebesar 48:1 dan BHET komersial juga muncul pada spektra IR BHET hasil depolimerisasi dengan semua perbandingan molar PET:seng asetat dihidrat yang divariasi. Puncakpuncak ini mengindikasikan bahwa dengan semua variasi perbandingan molar PET:seng asetat dihidrat berapapun yang digunakan dapat menghasilkan BHET. Spektra-spektra IR yang dimaksud dapat dilihat pada Gambar 4.7. 3.3.2 Analisa Differential Scanning Calorimetry (DSC) Analisa Differential Scanning Calorimetry (DSC) dalam depolimerisasi polimer ini adalah untuk mengetahui kemurnian kandungan BHET yang didapatkan berdasarkan stabilitas termalnya. Data yang diberikan pada analisa DSC adalah data titik lelehnya. BHET komersial memiliki titik leleh sebesar 110 °C seperti yang terlihat pada Gambar 3.9 (Fonseca dkk, 2010). Sedangkan titik leleh BHET yang dihasilkan melalui proses
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Gambar 3.9 Profil DCS BHET (a) Murni, (b) Hasil Glikolisis (Fonseca dkk, 2010) Adanya kandungan aditif yang berpengaruh pada sifat ketahanan termal ini analog dengan sifat mekanik. Jika diberikan suatu aditif atau molekul tertentu yang berukuran besar pada suatu polimer maka tensile strength suatu polimer akan menurun (Harper, 2002). Hal ini terjadi karena molekul aditif dapat melemahkan ikatan polimer sehingga tensile strength dari polimer pun dapat menurun saat diberikan tekanan. Jika ikatannya sudah melemah maka ikatan dapat lebih mudah putus sehingga dapat menurunkan titik lelehnya. Oleh karena itu maka pemilihan plastik yang digunakan dalam daur ulang (depolimerisasi) akan sangat menentukan hasil analisa (puncak DSC). Akan tetapi pengaruh aditif tidak dapat dikaji terlalu mendetail karena aditif terdiri dari jenis-jenis yang sangat bervariasi dan umumnya jenis aditif yang digunakan suatu perusahaan untuk memproduksi plastik ini bersifat sangat rahasia.
Prosiding Skripsi Semester Ganjil 2011/2012
SK - 091304
Gambar 3.10 Profil DSC Hasil Depolimerisasi (48:1)
% Berat
3.3.3 Analisa Thermal Gravimetry Analyzis (TGA) Analisa Thermal Gravimetry Analyzis (TGA) dalam depolimerisasi polimer ini digunakan untuk mengetahui kandungan dari suatu senyawa dari sifat termalnya. Plot kurva TGA menghasilkan penurunan massa akibat pemanasan pada sampel. Berat yang hilang mengindikasikan adanya spesi yang terdekomposisi. Data yang dapat diambil dari Gambar 3.12 adalah sampel hasil ekstraksi glikolisis yang dianalisa mulai terdekomposisi pada suhu 130 °C. Kemudian puncak yang paling terlihat adalah pada suhu 210 °C yang merupakan suhu dimana sampel terdekomposisi paling drastis. Setelah itu berat sampel didapatkan konstan ketika diberi suhu sebesar 340 °C.
% Berat
bahwa BHET terdekomposisi pada suhu sekitar 200220 °C. Dimer terdekomposisi pada suhu sekitar 250270 °C dan oligomer terdekomposisi pada suhu sekitar 320-330 °C. Sedangkan PET memiliki suhu yang lebih tinggi untuk terdekomposisi, yaitu sekitar 400-420 °C. Suhu dekomposisi ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Meng pada tahun 2001. Kurva TGA hasil penelitian Meng nampak pada Gambar 3.11.
Temperatur °C Gambar 3.12 Kurva TGA PET, PTAD dan PETPTAD (Meng, 2001) Pada Gambar 3.12, penurunan berat terjadi sebanyak 26,28%. Massa yang hilang ini diidentifikasikan sebagai BHET yang terdapat di dalam sampel yang terdekomposisi. Sehingga, sampel BHET hasil depolimerisasi dengan perbandingan PET:seng asetat dihidrat sebesar 48:1 yang menghasilkan 63,36% hasil ekstraksi hanya mengandung BHET sebanyak 26,28% Hasil ini tidak lebih baik jika dibandingan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fonseca dkk pada tahun 2010. Fonseca dkk melakukan glikolisis terhadap PET dengan katalis seng asetat dihidrat sehingga didapatkan hasil konversi menjadi BHET sebesar 64%.
Temperatur (°C) Gambar 3.11 Kurva TGA (a) BHET, (b) Dimer, (c) Oligomer (Wang, 2009) Suhu 210 °C merupakan suhu dekomposis dari BHET. Data-data tersebut mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Wang pada tahun 2009 yang terlihat pada Gambar 3.10. Wang mendapatkan hasil
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Gambar 3.13 Kurva TGA Hasil Depolimerisasi (48:1)
Prosiding Skripsi Semester Ganjil 2011/2012 IV. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan Proses depolimerisasi plastik bekas pakai merek dagang air mineral Club yang berbahan dasar polietilen tereftalat (PET) dengan metode glikolisis berhasil mendapatkan produk berupa monomernya yaitu bis(hidroksietil) tereftalat (BHET). Proses glikolisis terjadi pada temperatur 196 °C selama 10 jam. Reaksi depolimerisasi ini dibantu dengan katalis seng asetat dihidrat. Hasil yang paling maksimal didapatkan jika seng asetat dihidrat yang dipakai memiliki perbandingan molar PET:seng asetat dihidrat sebesar 48:1, yaitu sebanyak 63,36%. %BHET yang didapatkan dari 48:1 adalah sebesar 26,48%. 4.2 Saran Berdasarkan pada penelitian ini, keefektifitasan dari katalis seng asetat dihidrat untuk mendepolimerisasi PET menjadi monomer BHET sangat baik. Namun, katalis seng asetat dihidrat ini harus dicarikan alternatif katalis yang memiliki efektifitas yang sama namun lebih ramah lingkungan. Hal ini terkait dengan kandungan logam Zn yang terkandung di dalam katalis yang dikhawatirkan memiliki pengaruh yang buruk terhadap keseimbangan lingkungan jika digunakan dalam skala besar. UCAPAN TERIMA KASIH 1. Lukman Atmaja, Ph.D selaku dosen pembimbing yang memberi banyak pengetahuan dan masukan serta bimbingan. 2. Hamzah Fansuri, Ph.D selaku dosen yang wali yang telah memberikan kritik dan saran serta motivasi selama proses perkuliahan. 3. Dra. Yulfi Zetra, M.S selaku koordinator Tugas Akhir yang telah membantu secara administrasi dalam penyusunan naskah ini. 4. Keluarga besar yang selalu memberikan dukungan dan doa. 5. Teman–teman C26 dan C25 yang mendukung dalam segala hal. Daftar Pustaka
Awaja, F., Pavel, D., (2005), “Recycling of PET”, European Polymer Journal, 41(7), 1453-1477 Alvarez, A., Castano., VM., (1994), “Semiinterpenetrating polymer networks produced with polyethylene terephthalate oligomer and unsaturated polyester resin”, Polymer Bulletin, 32, 447-453 Alvarez, A., Castano., VM., (1995), “Modification of polyester resins by an
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
SK - 091304
oligomeric additive”, Polymer Bulletin, 35, 187-189 Baliga,
S., Wong, WT., (1989), “Depolymerization of Poly(ethylene terephthalate) Recycled from PostConsumer Soft-Drink Bottles”, Journal of Polymer Science Part A: Polymer Chemistry, 27, 2071-2082
Fonseca, R. López., Ingunza, I. Duque., de Rivas, B., Arnaiz, S., Ortiz, J.I. Gutiérrez., (2010), “Chemical Recycling of Post-Consumer PET Wastes by Glycolysis in The Presence Of Metal Salts”, Polymer Degradation and Stability, 95, 1022-1028 Ghaemy, M., Mossaddegh K., (2005), “Depolymerisation of Poly(Ethylene Terephthalate) Fibre Wastes Using Ethylene Glycol”. Polymer Degradation and Stability, 90, 570-576 Gutierrez C. B.Sc., (1997), “Thesis in Chemical Engineering”, Instituto Tecnologico de Zacatepec, Mexico Kao, C.Y, Cheng, W.H., Wan, B.Z., (1997), “Investigation Of Catalytic Glycolysis of Polyethylene Terephthalate by Differential Scanning Calorimetry”, Thermochim Acta, 292, 95-104 Karayannidis, G.P., Achilias, DS., (2007), “Chemical Recycling of Poly(Ethylene Terephthalate)”. Macromolecular Materials and Engineering, 292 (2), 128146 Harper, C.A., (2002), “Handbook of Plastic, Elastomers and Composite”, Mc Graw Hill, New York Harvey. David., (2000), “Modern Analitical Chemistry”, Mc Graw Hill. USA Imran, M., Kim, Bo-Kyung., Han, Myungwan., Cho, Bong Gyoo., Kim, Do Hyun., (2010), “Suband Supercritical Glycolysis of Polyethylene Terephthalate (PET) Into The Monomer Bis(2Hydroxyethyl) Terephthalate (BHET)”, Polymer Degradation and Stability, 95, 1686-1693
Prosiding Skripsi Semester Ganjil 2011/2012 Moore, C.J., (2008), “Synthetic Polymers In The Marine Environment: A Rapidly Increasing, Long-Term Threat”, Environmental Research, 108, 131–139 Pingale, N.D., Shukla, S.R., (2008), “Microwave Assisted Ecofriendly Recycling of Poly(ethylene terephthalate) Bottle Waste”, European Polymer Journal, 44, 4151-4156 Sánchez, A.C., Collinson, S.R., (2011), “The Selective Recycling of Mixed Plastic Waste of Polylactic Acid and Polyethylene Terephthalate by Control of Process Conditions”. European Polymer Journal, 47(10), 1970-1976 Scheirs J., (1998), “Recycling of PET, Polymer Recycling: Science, Technology and Applications”. Wiley series in polymer science, John Wiley and Sons, Chichester, UK, 119–82 Wang, H., Liu, Y., Li, Z., Zhang, X., Zhang, S., Zhang. Y., (2009), “Glycolysis of Poly(ethylene terephthalate) Catalyzed by Ionic Liquids”, European Polymer, 45, 1535-1544
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
SK - 091304