Daur Ulang Limbah Peternakan Unggas dengan Teknologi Membran Faisal R. Mujahid Teknik Kimia, ITB, Jalan Ganesa No. 10, Bandung, Indonesia
[email protected]
Abstrak Peternakan unggas merupakan salah satu sektor yang berkembang dengan baik di Indonesia karena merupakan sumber protein yang mudah didapatkan oleh masyarakat pada umumnya. Limbah merupakan salah satu permasalahan utama yang dihadapi oleh peternakan. Limbah yang berasal dari peternakan mengandung banyak sekali komponen-komponen, yang mayoritas merupakan komponen biologis seperti protein dan lemak. Senyawa-senyawa ini akan meningkatkan nilai Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) yang merupakan penanda bahwa lingkungan tersebut tercemar. Limbah tercemar yang berasal dari industri peternakan unggas dalam proses pendinginan dapat digunakan kembali setelah melewati proses filtrasi dengan teknologi membran ultrafiltrasi. Membran ultrafiltrasi hollow-fiber polysulfone dapat memisahkan larutan limbah dengan protein yang ada dalam limbah. Kinerja membran ultrafiltrasi dalam menyaring limbah cair peternakan unggas sangat dipengaruhi oleh kondisi operasinya, yaitu tekanan transmembran, laju alir, dan pH. Masalah utama dalam pengoperasian membran adalah fouling oleh komponen protein. Kinerja membran yang optimal dalam pengolahan limbah peternakan unggas dapat dicapai jika fouling dapat ditangani dengan baik. Kata kunci: pengolahan limbah, peternakan unggas, ultrafiltrasi, hollow-fiber 1. Pendahuluan Manusia tidak akan lepas dari kebutuhan pangan. Indonesia, sebagai negara yang memiliki penduduk keempat terbanyak di dunia akan membutuhkan bahan pangan yang sangat besar. Sehingga, pertumbuhan industri pangan di Indonesia akan melesat. Industri pangan yang berbasis penghasil protein seperti industri peternakan unggas dan perikanan merupakan salah satu industri yang dapat berkembang dengan cepat karena merupakan sumber protein yang mudah untuk didapatkan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan membandingkan kebutuhan protein secara makro dan global, data yang berasal dari Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), pada tahun 2008 menunjukkan bahwa bahan-bahan pangan yang berasal dari laut menyumbang 16% kebutuhan protein untuk seluruh populasi dunia. Hal ini diperkuat dengan data dari FAO pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa penangkapan ikan dunia sebesar 141,1 juta ton yang terdiri dari 93,3 juta ton berasal dari penangkapan komersial berasal langsung dari alam dan 48,1 juta ton produksi dari tambak ikan. Sedangkan, FAO juga memprediksi bahwa ada sekitar 50 milyar ekor ayam yang diternakkan secara global setiap tahunnya sebagai sumber protein seperti daging dan telur. Menurut data USDA pada tahun 2000, negara Amerika Serikat sendiri sudah dapat memproduksi lebih dari 1,42 x 107 ton ayam dan 2,51 x 106 ton daging kalkun dengan konsumsi daging per kapita sebesar 41,3 kg untuk daging ayam dan 8,2 kg untuk daging kalkun (Fonkwe dkk., 2001). Hal ini mengindikasikan bahwa sejak awal abad ke 21, kebutuhan protein secara global memang sudah tinggi dan menyebabkan pesatnya
pertumbuhan industri pangan di bidang peternakan unggas. Dengan jumlah ternak unggas dan ikan yang besar, industri ini menggunakan air bersih dalam kuantitas yang banyak untuk mengakomodasi kegiatan operasional yang akan dilakukan. Penggunaan air bersih secara umum paling banyak akan digunakan pada proses pembersihan komoditas daging unggas dan ikan yang berasal dari proses pemotongan, packaging produk dan penggunaan dalam pakan peternakan dalam industri peternakan unggas dan perikanan. Industri peternakan unggas akan menghabiskan dalam rata-rata 26,5 L air bersih per 2,3 kg unggas yang dihasilkan (Northcutt dan Jones, 2004). Kuantitas air yang digunakan akan bervariasi dari 18,9 L air hingga 37,8 L air untuk satu ekor unggas yang akan diolah menjadi bahan pangan (Nelson, 2006). Bahkan, untuk mengolah unggas yang memiliki bobot lebih dari 18 kg, penggunaan air bersih dapat mencapai 130 – 150 L air bersih per ekor unggas yang diproses. Hal ini menyebabkan kebutuhan air bersih untuk pengolahan unggas sebesar 163 hingga 330 GL per tahun hanya untuk negara Amerika Serikat (Kiepper, 2003) dan hal ini akan berlanjut di setiap siklus. Angka ini akan bervariasi bergantung kepada jenis unggas yang diproduksi dan penggunaan fasilitas dan peralatan yang berbeda (Vidal, 2000). Penggunaan air bersih dengan jumlah yang besar di industri ini akan mengakibatkan jumlah limbah cair yang sangat besar. Namun, limbah cair yang dihasilkan oleh industri ini banyak mengandung partikel yang harus diproses kembali agar mendapatkan added value.
2
Pada industri peternakan unggas, pada umumnya limbah cair akan mengandung protein, lemak, karbohidrat yang berasal dari potongan daging, darah, dan bulu, partikel mikroorganisme baik yang bersifat patogenik maupun non patogenik, dan kotoran tinja. Limbah cair yang berasal dari peternakan didominasi dengan kandungan protein yaitu sebesar 35% yang terdiri dari protein dengan asam amino leusin, phenilalanin, dan histidin (Zhang dkk., 1997). Protein yang berasal dari potongan-potongan kecil bangkai adalah dan gumpalan lemak merupakan polutan utama pada limbah cair peternakan unggas atau disebut poultry process wastewater (PPW) (Lo dkk., 2005). Protein-protein ini akan menghasilkan nilai Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) yang tinggi akibat aktifitas bakteri yang mendekomposisi protein pada limbah secara aerobik (Zang dkk., 1997). Hasil analisis limbah cair peternakan unggas menyatakan bahwa 80% dari material organik pada limbah berada pada fase materi partikulat yang memiliki ukuran 75 – 100 µm (Merka, 2004). Sedangkan, pada limbah cair yang berasal dari proses pendinginan, kontaminan utama didominasi berasal dari darah unggas, minyak dan lemak, serta mikroorganisme. Besar ukuran suspended solid (SS) yang ada dalam limbah tipe ini berkisar 600 – 800 mg/L. Diperkirakan, 30% dari SS merupakan partikel berukuran besar dan dapat mengambang dalam air. Namun, 55% dari SS yang ada dalam limbah ini merupakan partikel berukuran makro yang merupakan suspensi protein dan mikroorganisme (Picek, 1992). Sehingga, untuk limbah cair peternakan unggas yang berasal dari proses pendinginan, USEPA pada tahun 2004 telah menetapkan bahwa air limbah pendingin dapat direkondisi kembali dengan ketentuan bahwa air rekondisi telah memenuhi standar transmisi cahaya, reduksi mikroorganisme dan penambahan yang standar. Agriculture and Agri-food Canada juga menetapkan bahwa air pendingin yang layak direkondisi memiliki total plate count kurang dari 1000 organisme/mL, total coliform kurang dari 10 organisme/mL, total E.Coli kurang dari 2 organisme/ mL, total karbon organik kurang dari 100 mg/L dan transmitansi cahaya lebih dari 90%. Perlu diperhatikan bahwa air yang telah kontak dengan produk mentah tidak dapat digunakan sebagai bahan pangan siap santap dan air yang akan direkondisi tidak boleh pernah kontak dengan kotoran hewan ataupun manusia (USDA dan FSIS, 1999). Berikut merupakan tabel pedoman USEPA untuk air rekondisi yang berasal dari air pendingin. Protein pada limbah mayoritas akan masuk dalam fase suspended solid dikarenakan sulitnya protein rantai panjang untuk larut dalam pelarut polar seperti air (Fessenden, 1995). Selanjutnya, material yang tersuspensi dalam limbah seperti lemak dan lemak dapat dihilangkan dengan metode dissolved air flotation (DAF) (Ramesh, 2009). Proses ini akan melarutkan udara pada air limbah
pada tekanan tertentu. Hasil dari proses ini adalah air limbah yang sudah lebih bersih dan konsentrat lumpur yang disebut DAF sludge. Sedangkan, untuk mengurangi jumlah partikel padat dalam limbah dapat digunakan rotary screens dan shaker and bar type screens (McMahon, 2006). Tabel 1. Pedoman Proses Rekondisi untuk Air Pendingin Reduksi Mikroorganisme, % 60 70 80 90 98
Transmisi Cahaya, % 60 70 80 80 80
Volume air rekondisi: 1 L air bersih, L 1,75 1,5 1,35 1,25 1,10
Sumber: USEPA, 2004 Pada pengolahan limbah cair industri peternakan unggas konvensional, pengolahan dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu (1) secara stimulasi elektrik (Li dkk., 1994) dan optis, (2) secara kimia dan biokimia, (3) secara fisik yaitu dengan DAF, filtrasi metode diatomaceous earth (DE) (Sheldon dan Carawan, 1988) atau mikro filtrasi (Hart dkk., 1988) dan (4) bantuan mikroorganisme. Cara elektrik dan optis dilakukan untuk menyingkirkan bakteri yang ada dalam limbah dengan radiasi ultraviolet (Sheldon dan Carawan, 1988) atau stimulasi elektrik bakteri (Li dkk., 1994). Namun, metode ini tidak dapat mengklarifikasikan air dan menurunkan kadar karbon organik dengan baik. Cara lain dengan ozonasi dapat menciptakan air yang lebih steril, namun tidak ekonomis (Zhan dkk., 1997). Sedangkan, cara kimia dan biokimia adalah cara yang bertujuan untuk memisahkan material organik dengan koagulasi atau secara sifat kimia yang dimiliki senyawa tersebut (Morgan dkk., 1988). Namun, cara ini juga akan menambah beban biaya proses. Pada pengolahan limbah cair dengan bantuan mikroorganisme seperti bakteri, penurunan nilai BOD dan COD dapat dilakukan dengan respirasi anaerob bakteri spesifik, penurunan kadar senyawa nitrogen dalam limbah dengan proses nitrifikasi bakteri autotrof dan heterotrof, dan proses biologis aerobik yang menggunakan lumpur aktif. Namun, cara dengan bantuan mikroorganisme cenderung akan lebih mahal dibandingkan dengan cara yang lain. Sedangkan, pengolahan limbah peternakan unggas yang dilakukan secara komersial saat ini memiliki kekurangan yaitu (1) banyak nutrisi yang terbuang dari proses fisik (El Boushy dan van der Poel, 1994; Grant, 1976; Shih dan Kozingk, 1980), (2) penggunaan senyawa berbahaya seperti garam besi (Fe) untuk mengendapkan protein dalam bentuk garam namun tidak dapat digunakan kembali untuk penggunaan biologis (Whittemore, 1994), dan (3) konstituen yang memiliki potensial berharga terbuang secara sia-sia dan bahkan menimbulkan masalah baru dalam hal pembuangan limbah (Barik et al., 1991; Rajczyk, 1993).
3
Salah satu cara terbaik untuk memurnikan limbah cair adalah dengan cara teknologi terbarukan yaitu menggunakan teknologi membran. Teknologi membran pertama kali digunakan dalam skala industri pada tahun 1971 di New Zealand untuk proses pengolahan makanan ringan, produk turunan susu, pengolahan minyak dan lemak dan produk pangan seperti buah dan sayur (Singh dan Singh, 1996). Teknologi membran dapat digunakan untuk memisahkan partikel ukuran mikron seperti mikroba yang bersifat patogenik dan material berbahaya seperti ion logam berat. Teknologi membran juga akan lebih sedikit menggunakan bahan aktif kimia karena teknologi membran menggunakan sifat fisik seperti tekanan dalam proses pemisahannya (Vedavyasan, 2007). Teknologi membran dalam pengolahan limbah tidak membutuhkan energi panas karena tidak membutuhkan perubahan fase dalam proses pemisahannya (Graham dkk, 2002). Selain itu, penggunaan teknologi membran dalam pengolahan limbah juga memungkinkan untuk permeat yang dapat digunakan seperti protein yang tersuspensi dalam larutan limbah. Sehingga, teknologi membran memiliki kelebihan dibandingkan teknologi pemisahan konvensional. Pengolahan limbah cair pangan yang berasal dari peternakan unggas dan perikanan akan memiliki sifat yang sama jika teknologi membran digunakan. Limbah cair pangan peternakan unggas dan perikanan sama-sama memiliki komponen penyusun yang relatif sama. Selain itu, komponen protein yang dapat diperoleh oleh teknologi membran dengan mudah karena memiliki kandungan yang tinggi dan ukuran molekul yang relatif besar. 2. Karakteristik Membran Secara umum, teknologi membran dibagi menjadi 5 klasifikasi berdasarkan proses membran tersebut bekerja, yaitu (1) membran dengan beda tekan, (2) perbedaan konsentrasi, (3) secara elektrik, (4) perbedaan temperatur, dan (5) proses hybrid (Wenten, 2010). Teknologi membran dengan basis beda tekan dan proses hybrid yaitu membran bioreaktor akan memiliki keuntungan yang lebih besar dalam mengolah limbah dibandingkan dengan jenis klasifikasi membran lainnya. Hal ini disebabkan pengolahan limbah harus mengeluarkan biaya pengolahan sekecil-kecilnya dan proses yang cukup mudah. Selain itu, perbedaan konsentrasi pada limbah cair hasil peternakan unggas dan perikanan berada dalam skala teknolgi membran berbasis beda tekan. Proses membran yang menggunakan prinsip beda tekan selanjutnya dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan besar pori yang digunakan, yaitu (1) mikrofiltrasi (MF) yang dapat memisahkan molekul dengan ukuran 100 –
10.000 nm seperti bakteri dan sel darah merah dan mikroorganisme lainnya, (2) ultrafiltrasi (UF) yang dapat memisahkan benda yang berukuran 5 – 100 nm seperti protein dan pyrogen, (3) nanofiltrasi (NF) yang dapat memisahkan spesi berukuran 1 - 5 nm seperti senyawa gula dan ion divalen, dan (4) reverse osmosis (RO) yang dapat memisahkan spesi berukuran lebih kecil dari 1 nm seperti garam monovalen. Proses membran dengan teknologi beda tekan menggunakan polimer sebagai bahan dasar modul membran. Modul-modul membran dapat berasal dari bahan yang berasal dari bahan polimer CA, poliamida, keramik, polysulfone (PS), polyethersulfone (PES), polyvinylidene fluoride (PVDF) dan polypropylene (Wenten, 2010). Penggunaan jenis material yang digunakan akan bergantung kepada ukuran pori yang diinginkan dan kesimetrisan membran yang diinginkan. Membran berjenis UF dan NF juga dikarakterisasi dengan basis kemampuan untuk memisahkan zat terlarut yang memiliki berat molekul tertentu. Untuk mengukur kemampuan pemisahan senyawa dengan berat molekul tertentu, nilai molecular-wight-cut-off (MWCO) dalam satuan Dalton diberikan. Nilai MWCO akan proporsional dengan lebar rata-rata pori pada membran. Konfigurasi yang umum digunakan dalam sistem membran adalah plate-and-frame, spiral wound, tubular dan hollow fiber. Perbedaan konfigurasi ini adalah berasal dari perbedaan modul yang digunakan. Modul spiral wound sebagai contoh, merupakan ekstensi dan konfigurasi lanjut dari modil plate-and-frame. Konfigurasi lanjut dalam modul membran akan memberikan densitas membran yang lebih tinggi, sehingga kemampuan membran akan lebih baik dalam kondisi tertentu. Teknologi membran dalam basis beda tekan juga dapat dibedakan dari bagaimana membran ini digunakan, yaitu dead-end filtration (DEF) dan crossflow filtration (CF). DEF merupakan proses di mana likuid yang akan difiltrasi membentuk sudut yang tegak lurus dengan permukaan membran. Sedangkan, CF merupakan proses di mana likuid yang akan di filtrasi tidak tegak lurus dengan permukaan membran dan memiliki kecepatan relatif terhadap permukaan membran. Metode DEF lebih baik digunakan dalam proses yang memiliki konsentrasi yang rendah, sedangkan metode CF lebih baik digunakan dalam larutan terkonsentrasi cukup tinggi. Berikut merupakan skema yang menggambarkan perbedaan operasi membran DEF dengan CF. Berikut merupakan tabel penentuan membran yang digunakan berdasarkan klasifikasi yang telah dijelaskan sebelumnya.
4
Tabel 2. Karakteristik Membran Berdasarkan Klasifikasi dan Kegunaannya Tipe
Bahan Penyusun Polyamide
Spirals
Hollow Fiber
Tubular Sumber:
Polyamide PES PS PS PS PS PVDF PVDF
MWCO RO 99.3% NaCl rejection NF 200 MWCO UF 5,000 MWCO UF 5,000 MWCO UF 10,000 MWCO UF 50,000 MWCO UF 30,000 MWCO UF 100,000 MWCO UF 100,000 MWCO
Aplikasi Whey, milk, lactose concentration, de-ashing whey, lactose clarification Lactose rejection Protein concentration Protein separation Protein separation Protein, vinegar, juice Protein separation Light juice clarification Light juice clarification
http://www.kochmembrane.com/Learning-Center/Industrial-Life-Sciences-Filtration/Characteristics-of-Membrane-Products-for-
Industria.aspx
Shih dan Kozink (1980) telah melakukan studi ultrafiltrasi pada limbah peternakan unggas dan menemukan bahwa 85% total solid (TS) dan 95% COD berhasil disingkirkan dari limbah peternakan tersebut. Lo dkk. pada tahun 2005 juga telah membuktikan bahwa UF dapat menurutkan nilai COD pada limbah sebesar 59%. Nilai reduksi COD yang rendah dapat diakibatkan keberadaan pengotor lain seperti detergen dan disinfektan. Selanjutnya, proses filtrasi dengan membran UF tidak akan menyingkirkan mineral dan garam yang terlarut dalam larutan limbah. Total nitrogen dalam limbah telah tereduksi sebesar 86%, sedangkan total protein yang tereduksi sebesar 94%. Selain itu, membran UF telah digunakan secara masif untuk menjernihkan, memisahkan dan menjenuhkan konsentrat koloid dan senyawa bermasa relatif besar dalam suatu larutan secara simultan (Lo dkk., 1996) Membran UF juga dapat menyingkirkan parikulat, bakteri, pirogen dan memisahkannya dari senyawa-senyawa bernilai tinggi untuk industri pangan, kimia dan farmasi (Cheryan, 1998). Studi dari Shih dan Kozink pada tahun 1980 menunjukkan bahwa kombinasi dari membran UF dan proses dehidrasi dapat menghasilkan by-product yang memiliki kadar 30-35% protein dan 24-45% lemak dari limbah cair yang peternakan unggas. Nilai efektivitas membran jenis UF dapat ditingkatkan dengan melakukan pretreatment pada limbah cair (Zhang dkk., 1997). Dari segi ukuran, membran UF tidak akan membutuhkan ruang yang luas karena sifat membran UF yang tersusun dengan padat. Namun, kekurangan dalam membran UF adalah fenomena fouling pada membran UF yang akan sering ditemukan karena penyumbatan akibat bakteri. Penyumbatan akan mengurangi nilai fluks membran. Membran bio reaktor (MBR) hadir sebagai solusi untuk dalam permasalahan reklamasi air limbah. MBR juga tetap menggunakan membran UF untuk memisahkan padatan tersuspensi dari air, namun mikroorganisme dalam bio reaktor ini akan mudah memutus rangkaian senyawa organik dalam limbah (Wenten, 2014). Hal ini akan memudahkan pemisahan bakteri dan virus berbahaya dari air limbah karena laju bio degradasi dalam reaktor sangat cepat. MBR juga didesain untuk mengolah air limbah dengan karakter DAF. MBR juga dapat
menurunkan nilai BOD dari DAF yang berasal dari limbah, serta menurunkan kandungan padatan dan bakteri dalam air limbah dengan baik (Wenten, 2014). 3. Performa Membran UF dalam Pengolahan Limbah Fluks permeat merupakan indikator dari kinerja suatu membran. Fluks permat adalah laju permeat per satuan unit area per satuan waktu. Laju penurunan fluks permeat pada suatu membran yang dikondisikan secara konstan akan mengindikasikan terjadinya fenomena fouling pada membran tersebut. Fakto-faktor yang dapat memengaruhi laju fluks permeat adalah parameter operasi kerja membran seperti temperatur, kecepatan, tekanan dan konsentrasi. Penggunaan membran UF dikondisikan dalam kondisi operasi awal isotermal 25oC dan pH 7. Hal ini ditujukan agar protein yang dipisahkan tidak mengalami denaturasi (Roux dan Belyea, 1999). Selain itu, proses filtrasi dengan UF hollow-fiber dilakukan dalam bioreaktor. Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa air limbah sebelumnya telah diolah dalam DAF. Pada 20 menit pertama, fluks volumetrik menurut dengan cepat dari 264 hingga 140 L/m2.h sehingga menghasilkan peningkatan konsentrasi protein dari 80 ke 273 mg/L. Perbandingan protein awal dengan akhir bernilai 3,4; hal ini tidak sesuai dengan teori yaitu 5:1.Fenomena fouling pada membran yang digunakan diindikasikan terjadi dan protein dapat lolos dari membran dengan kondisi operasi yang ditetapkan (Lo dkk. 2005). Hal ini dapat disebabkan protein memiliki konformasi yang tidak rigid (Campbell dkk. 1993). Hal ini menyebabkan keseimbangan molekul polimer PS berinteraksi dengan molekul protein sehingga dapat menjadikan struktur tidak stabil. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah proses pretreatment pada limbah agar membran dapat bekerja secara optimal (Zhang dkk. 1997). Kinerja membran merupakan fungsi dari konsentrasi dan temperatur. Temperatur dari limbah cair akan naik karena rezim larutan akan menyebabkan turbulen hidraulik sehingga meningkatkan friksi antara larutan limbah dengan permukaan membran. Ketika pH diasidifikasi menjadi 3, larutan hasil menjadi tidak membentuk koloid. Selain itu, fluks volumetrik meningkat
5
ke nilai 490-570 L/m2.hari jika dibandingkan dengan pada kondisi pH sebesar 6,6 yaitu 330-390 L/m2.hari (Shih dan Kozink, 1980). Sehingga, agar mendapatkan efek pH terhadap fluks permeat, poin isoelektrik (pI) dari PPW harus ditentukan. Nilai pI dari protein berada pada pH 4,6. Nilai optimal yang ditetapkan berada pada kisaran 6,74. Dalam nilai optimal, nilai pH akan mencegah koagulasi dan aglomerasi protein sehingga dapat meningkatkan kinerja membran. Peningkatan laju input volumetrik akan menyebabkan fluks sistem UF meningkat. Namun, dikarenakan ada fenomena rejeksi membran, laju bulk akan membawa larutan dengan waktu retensi yang singkat, sehingga pemindahan air dalam membran menjadi lemah (Chung dkk., 2000). Fluks rata-rata Jave diestimasi dalam persamaan berikut. Jave = 0,33JI + 0,67JR
(1)
di mana Ji adalah fluks awal dan Jr adalah fluks ketika terjadinya foulding. Dengan menjaga kondisi tekanan transmembran sebesar 96,5 kPa, kombinasi optimum dari pH dan laju alir adalah 6,74 dan 683 mL/min. Performa kerja membran berada pada nilai maksimum. Menurunnya nilai pH pada sistem akan menurunkan kinerja membran. Hal yang sama terjadi ketika menurunkan laju alir. Meningkatnya nilai laju alir juga dan pH dapat menurunkan nilai fluks. Selanjutnya, dengan memerhatikan pada nilai tekanan transmembran dan pH pada nilai 6,74 dan menetapkan nilai laju alir pada 690 mL/menit, nilai optimum sulit untuk ditentukan. Nilai fluks akan meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan transmembran. Namun, hal ini sangat dihindari karena akan meningkatkan peningkatan fluks yang terlalu besar (van Boxtel dkk., 1991). Hal ini juga tidak dilakukan karena proses scale up akan menjumpai kesulitan karena membran UF industrial beroperasi pada tekanan maksimum 2760 kPa (Cheryan, 1998). Membran UF dapat berbentuk konfigurasi spiral, hollow-fiber dan tubular. Masing-masing konfigurasi memiliki karakteristik yang berbeda dan harga yang berbeda (Mannapperuma, 1997). Konfigurasi tubular merupakan konfigurasi yang lebih mahal dibandingkan kedua jenis konfigurasi lainnya. Konfigurasi spiral memiliki sifat kurang toleran dengan SS dan lebih mudah mengalami fenomena fouling. Jika dibandingkan dengan membran hollow-fiber, membran konfigurasi spiral memiliki nilai fluks permeat yang lebih rendah pada nilai permeate recovery yang sama. Pada membran hollowfiber, laju fluks permeat meningkat secara drastis seiring dengan meningkatnya tekanan. 4. Fouling Penurunan fluks secara substansial biasanya terjadi pada proses berbasis membran. Penurunan fluks akan
drastis menghambat kinerja membran UF, terutama ketika umpan yang diberikan mengandung bahan protein (Iritani dkk., 1992). Sebagai contoh, dalam memproses BSA, loading protein dalam jumlah besar dilaporkan dalam menggunakan membran UF (Oppenheim dkk., 1996). Fenomena fouling disebabkan interaksi spesifik antara membran dengan zat terlarut dan merupakan karakteristik untuk interaksi physicochemical antara umpan dengan membran yang digunakan. Dalam proses filtrasi dan terjadinya fenomena fouling, membran dapat diregenerasi dengan menghilangkan deposit-deposit pengganggu dalam membran. Membran UF dapat dibersihkan dengan menggunakan larutan 200 ppm sodium hipoklorit. Hasil dari pencucian membran dengan larutan tersebut dapat merestorasi 90% fluks kinerja awal membran. Pencucian dapat dilakukan dalam interval 1 jam dengan interval backflushes setiap 2 menit. Pencucian tidak bisa dilakukan dengan air biasa karena penumpukan protein pada permukaan membran menyebabkan pori yang tersedia tidak dapat dilewati oleh molekuk air (Lo dkk., 2005). Dengan melakukan restorasi fluks membran, proses reduksi fluks dapat terjadi secara reversibel. Hal ini mengindikasikan bahwa selain resistansi yang ada dalam membran, resistansi oleh lapisan gel ter polarisasi dan boundary layers merupakan faktor yang membatasi fluks pada aplikasi membran UF (Cheryan, 1998). Dalam situasi di mana reduksi membran merupakan proses reversibel, reduksi fluks yang jauh dari nilai kapasitas teoretis dapat menyebabkan adsorpsi pada pori bagian dalam atau permukaan bagian luar membran. Sehingga, hal ini dapat menyebabkan induksi konveksi deposit protein pada membran (Saksena dan Zydney, 1994; Boyd dan Zydney, 1998). Ketika memproses larutan dengan konsentrasi protein yang rendah, fenomena fouling paling parah terjadi pada kondisi yang mendekati nilai pI dari protein (Montero dan Gomez-Guillen, 1998). Hal ini mengindikasikan bahwa ketika larutan yang digunakan berkonsentrasi tinggi, ada kemungkinan peningkatan deposit protein pada membran dan dapat dijadikan faktor yang krusial pada aplikasi membran skala industri. 5. Kesimpulan Limbah industri peternakan unggas sangat sarat akan komponen organik dan anorganik. Membran berbasis beda tekan memberikan solusi untuk mengolah limbah cair. Membran UF yang memiliki desain yang padat dapat dijadikan solusi untuk peternakan unggas dalam pengolahan limbah. Dengan menggunakan membran UF, diharapkan dapat menurunkan nilai COD dalam air limbah. Namun, karakterisasi protein dari limbah harus dikontrol agar kinerja membran UF optimum.
6
Daftar Pustaka REFERENCES S. Barik, T. Forgacs, J. Isbister. Bioconversion of chicken wastes to value-added products. Bioresour. Technol. 36 (3) (1991) 229– 234. R.F. Boyd, A.L. Zydney. Analysis of protein fouling during ultrafiltration using a two-layer membrane model. Biotechnol, Bioeng. 59 (4) (1998) 451–460. M. Cheryan. Ultrafiltration and Microfiltration Handbook, Lancaster, PA, Technomic Publishing, 1998. T.S. Chung, J.J. Qin, J. Gu. Effect of shear rate within the spinneret on morphology, separation performance and mechanical properties of ultrafiltration polyethersulfone hollow fiber membranes. Chemical Engineering Sceience 55(6) (2000) 1077−1091. A.R.Y. El Boushy, A.F.B. van der Poel. Poultry Feed From Waste. London, Chapman and Hall, 1994. Y. Li, M.F. Slavik, C.L. Griffis, J.T. Walker, J.W. Kim, R.E. Wolfe. Destruction of Salmonella in poultry chiller water using electrical stimulation, Transactions of the ASAE 37 (1994) 211−215. R.J. Fessenden, J.S. Fessenden, Organic Chemistry, Cleveland, United States, 1995. L.G. Fonkwe, R.K. Singh, J.H. Lee. Utilization of poultry processing wastes, Journal of Food Science Nutrition 6 (2001) 257−262. D.M. Graham, J. Strasser, J.D. Mannapperuma. Applications of ozonation and membrane treatment in poultry processing: Final report. Sacramento, CA, California Energy Commission, 2002. Available: www.energy.ca.gov/reports R.A. Grant. Protein recovery from meat, poultry and fish processing plants, in: Birch, G.G., Parker, K.J., Worgan, J.T. (Eds.), Food from waste, Applied Science, London, 1976. I.G. Wenten, Khoiruddin, P.T.P. Aryanti, A.N. Hakim. “Pengantar Teknologi Membran.” Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2010. I.G. Wenten, A.N. Hakim, P.T.P. Aryanti. “Bioreaktor Membran untuk Pengolahan Limbah Industri.” Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2014. I.G. Wenten, P.T.P. Aryanti, A.N. Hakim. “Teknologi Membran dalam Pengolahan Air.” Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2014. I.G. Wenten, P.T.P. Aryanti, Khoiruddin. “Teknologi Membran dalam Pengolahan Limbah.” Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2014. E. Iritani, K. Ohashi, T. Murase. Analysis of filtration mechanism of dead-end electroultrafiltration for proteinaceous solutions. J. Chem. Eng. Jpn. 25 (4) (1992) 383–388. B. Kiepper. Characterization of poultry processing operations, wastewater generation and wastewater treatment using mail survey and nutrient discharge monitoring methods. M.S. Thesis, University of Georgia, Athens, 2003.
Y. Li, M.F. Slavik, C.L. Griffis, J.T. Walker, J.W. Kim, R.E. Wolfe. Destruction of Salmonella in poultry chiller water using electrical stimulation. Transactions of the ASAE 37 (1994) 211−215. Y.M. Lo, S.T. Yang, D.B. Min. Kinetic and feasibility studies of ultrafiltration of viscous xanthan gum fermentation broth, J. Membr. Sci. 117 (1–2) (1996) 237–249. Y.M. Lo, D. Cao, S. Argin-Soysal, J. Wang, T. Hahm. Recovery of protein from poultry processing wastewater using membrane ultrafiltration. Bioresource Technology 96 (2005) 687−698. J.D. Mannapperuma. Design and performance evaluation of membrane systems. In K. J. Valentas, E. Rotstein, & R. Paul Singh (Eds.), Hand book of food engineering Practice (pp. 167−210), Boca Raton, CRC Book Company, 1997. W.C. Merka. White paper on “Current research at the University of Georgia to characterize poultry processing wastewater”. Athens: University of Georgia Goergia, USA, 2004. J. McMahon. Streamlining wastewater treatment in poultry processing: Michigan Turkey and Lyco team up to provide a showpiece for reducing BOD and TSS levels. Available: http://wrrc.p2pays.org/indsectinfo.asp, diakses 2006. P. Montero, M.C. Gomez-Guillen. Recovery and functionality of wash water protein from krill processing. J. Agric, Food Chem, 46 (8) (1998) 3300– 3304. H.M. Nelson. Performance of polymeric membrane systems in the treatment of poultry processing plant waste effluent. Ph.D thesis, University of Georgia, Athens, Georgia, 2006. J.K. Northcutt, D.R. Jones. A survey of water use and common industry practices in commercial broiler processing facilities. Journal of Applied Poultry Research 13 (2004) 48−54. S.F. Oppenheim, C.B. Phillips, V.G.J. Rodgers. Analysis of initial protein surface coverage on fouled ultrafiltration membranes. J. Colloid Interface Sci. 184 (2) (1996) 639–651. R.C. Picek. Reconditioning and reuse of chilled water for poultry and food processing. U.S.Patent (1992) 5(173), 90. M.J. Rajczyk. Fermentation of food-industry waste-water. Water Res. 27 (7) (1993) 1257–1262. R.Y. Avula, H.M. Nelson, R.K. Singh, Recycling of poultry process wastewater by ultrafiltration, Innovative Food Science and Emerging Technologies 10 (2009) 1–8. L.D.L. Roux, R.L. Belyea. Effects of ultrafiltration membrane concentration and drying temperature on nutritional value of biosolids from a milk processing plant. Bioresource Technology 70(1) (1999) 17−21. S. Saksena, A.L. Zydney. Effect of solution pH and ionicstrength on the separation of albumin from
7
immunoglobulins (IgG) by selective filtration. Biotechnol. Bioeng. 43 (10) (1994) 960– 968. B.W. Sheldon, R.E. Carawan. Reconditioning of broiler overflow prechiler water using a combination of diatomaceous earth pressure leaf filtration and UV irradiation. Proceedings 1988 food processing waste conference, Atlanta, GA., 1988. J. Shih, M.B. Kozink. Ultrafiltration treatment of poultry processing wastewater and recovery of a nutritional byproduct. Poultry Science 59 (1980) 247−252. P.C. Singh, R.K. Singh. Choosing an appropriate bioseparation technique. Trends in Food Science Technology 7 (1996) 49−58. USDA dan FSIS (1999). United States Department of Agriculture—Food safety and inspection service 416.2 (g), 1999. USEPA, Effluent guidelines — Meat and poultry products, 2004. Available: www.epa.gov/waterscience/guide/mpp/ A.J.B. van Boxtel, Z.E.H. Otten, H.J.L.L. van der Linden. Evaluation of process models for fouling control of reverse-osmosis of cheese whey. Journal of Membrane Science 58 (1991) 89−111. C.V. Vedavyasan. Pretreatment trends—an overview. Desalination 203 (2007) 296−299. G. Vidal, A. Carvalho, R. Mendez, J.M. Lema. Influence of the content in fats and proteins on the anaerobic biodegradability of dairy wastewaters. Bioresource Technology 74(3) (2000) 231−239. C.T. Whittemore. Food from animals: Environmental issues and implications. In: Dalzell, J.M. (Ed.), Food industry and the environment, Blackie Academic & Professional, London, pp. 1–14, 1994. S.Q. Zhang, O. Kutowy, A. Jumar, I. Malcolm. A laboratory study of poultry abattoir wastewater treatment by membrane technology. Canadian Agricultural Engineering 39(2) (1997) 99−10. FAO, Chicken Population around the World 2005. Available: http://www.fao.org/docrep/004/ad452e/ad452e30.htm #TopOfPage, diakses 27 Maret 2016 Kochmembrane, Characteristics of Membrane Products for Industrial & Life Sciences, Available: http://www.kochmembrane.com/LearningCenter/Industrial-Life-SciencesFiltration/Characteristics-of-Membrane-Products-forIndustria.aspx, diakses 27 Maret 2016.