PENGARUH JUMLAH SATUAN PANAS TERHADAP KEMATANGAN PASCAPANEN DAN VIABILITAS BENIH PEPAYA CALLINA
RANI FARIDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Jumlah Satuan Panas terhadap Kematangan Pascapanen dan Viabilitas Benih Pepaya Callina adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya sampaikan hak cipta dan karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2017
Rani Farida NIM A252130101
RINGKASAN RANI FARIDA. Pengaruh Jumlah Satuan Panas terhadap Kematangan Pascapanen dan Viabilitas Benih Pepaya Callina. Di bawah bimbingan WINARSO DRAJAD WIDODO dan KETTY SUKETI. Penanganan pascapanen yang tepat merupakan faktor yang penting untuk mengurangi tingkat kehilangan dan mempertahankan kualitas buah pepaya. Kualitas buah dan benih pepaya dipengaruhi oleh stadia kematangan. Akumulasi satuan panas merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam menentukan kriteria kematangan buah. Melalui metode ini diharapkan dapat ditentukan tingkat kematangan buah yang tepat baik untuk tujuan konsumsi maupun perbanyakan benih. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kriteria kematangan pascapanen buah dan viabilitas benih pepaya Callina dari umur petik berdasarkan satuan panas yang berbeda setelah dipanen hingga mencapai tingkat kematangan tertentu. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga September 2015 di kebun kelompok tani Mekarsari, Rancabungur Bogor, Laboratorium Pascapanen dan Laboratorium Ilmu Teknologi Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Penelitian menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak faktor tunggal dengan 4 ulangan. Terdapat 5 taraf umur panen berdasarkan akumulasi satuan panas yaitu: 2 100, 2 200, 2 300, 2 400, dan 2 500 oC hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa buah pepaya yang dipanen lebih tua memiliki umur simpan lebih pendek dibandingkan dipanen lebih muda. Umur panen tidak mempengaruhi susut bobot, kelunakan kulit dan daging buah pepaya Callina. Kadar vitamin C dan padatan terlarut total meningkat seiring semakin lamanya umur panen. Padatan terlarut total pada 2 500 oC hari sebesar 12.19 obrix tidak berbeda nyata dengan 2 300, dan 2 400 oC hari. Kandungan vitamin C berkisar antara 37.40 hingga 69.96 mg/100 g bagian dapat dimakan. Vigor dan viabilitas benih mencapai maksimum pada 2 300 oC hari. Buah pepaya untuk tujuan konsumsi sebaiknya dipanen sejak 2 300 o C hari demikian halnya dengan buah untuk tujuan produksi benih yang diikuti pemeraman hingga kuning penuh.
Kata kunci: benih, fisikokimia, perkecambahan, stadia kematangan, umur simpan
SUMMARY RANI FARIDA. Effect of Heat Unit Accumulation on Postharvest Maturity and Seed Viability of Callina Papaya. Supervised by WINARSO DRAJAD WIDODO and KETTY SUKETI. Postharvest handling is an important factor to reduce losses and maintain the quality of papaya. Ripeness stage affects the quality of fruit and seeds papaya. Heat unit accumulation is one method that can be used to determining fruit ripeness criteria. This method is expected to determine the appropriate maturity stage of papaya both for consumption and seed propagation. The aime of this study are determine the post-harvest ripeness criteria of fruit and seed viability of Callina papaya based on different of heat unit accumulation after harvested until it reaching a certain level of maturity. The experiment was conducted from February to September 2015 in the farmers garden in Mekarsari, Rancabungur, Bogor, Postharvest Laboratory, and Seed Science and Technology Laboratory of Department of Agronomy and Horticulture, Bogor Agricultural University. The experiment was conducted in a completely randomized block design with 4 replications. The treatments of heat unit accumulation included: 2 100, 2 200, 2 300, 2 400, and 2 500 oC day. The results showed that the older harvested fruit had a shorter shelf life than the younger harvested ones. Harvesting time was not affected the weight loss, softness of skin and flesh of Callina papaya. The content of vitamin C and total soluble solid increased with the duration of harvesting time. Total soluble solids of 2 500 oC day at 12.19 obrix was not significantly different with 2 300 and 2 400 oC day. Total content of vitamin C between 37.40-69.96 mg/100 g edible portion. Seed vigour and viability were highest at the 2 300 oC day. Papaya fruit for consumption and seed propagation should be harvested at 2 300 o C day followed by ripening to full yellow skin.
Keywords: fruit maturity stages, germination, physicochemical, seed, shelf life
4
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
5
PENGARUH JUMLAH SATUAN PANAS TERHADAP KEMATANGAN PASCAPANEN DAN VIABILITAS BENIH PEPAYA CALLINA
RANI FARIDA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
6
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Slamet Susanto, MSc
7 Judul Nama NIM
: Pengaruh Jumlah Satuan Panas terhadap Kematangan Pascapanen dan Viabilitas Benih Pepaya Callina : Rani Farida : A252130101
Disetujui oleh : Komisi Pembimbing
Ir Winarso Drajad Widodo, MS, PhD Ketua
Dr Ir Ketty Suketi, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Dr Ir Maya Melati, MS MSc
Tanggal Ujian : 08 Februari 2017
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus :
8
9
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul ‘Pengaruh Jumlah Satuan Panas terhadap Kematangan Pascapanen dan Viabilitas Benih Pepaya Callina’. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ir Winarso Drajad Widodo, MS, PhD selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Ketty Suketi, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih juga kepada Prof Dr Ir Slamet Susanto, MSc sebagai dosen penguji luar komisi dan Dr Ir M Rahmad Suhartanto, MSi sebagai perwakilan dari program studi Agronomi dan Hortikultura yang telah memberikan saran untuk perbaikan tesis. Terima kasih kepada BPPDN Dikti yang telah memberikan beasiswa pendidikan selama menempuh S2 pada program studi Agronomi dan Hortikultura IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Kiki selaku ketua kelompok tani Mekarsari Rancabungur yang telah memberikan izin dalam menggunakan kebun pepaya untuk keperluan penelitian. Ucapan terima kasih kepada kedua orang tua yaitu Ibu Opoh Syarifah dan Bapak Enjang Syafei Muchtar (Alm), suami yaitu Hamdan Abdul Aziz, anak yaitu Nafeesa Hadziq Azizah, dan saudara yang telah menjadi inspirasi dan telah memberikan bantuan serta dorongan baik secara moril maupun materiil. Ucapan terima kasih pula untuk teman-teman pascasarjana AGH-IPB 2013. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Mei 2017 Rani Farida
v
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... vi PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 Latar Belakang ............................................................................................... 1 Tujuan ............................................................................................................ 2 Manfaat dan Cakupan Penelitian ................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 2 Deskripsi Pepaya ........................................................................................... 2 Kriteria Kematangan Buah Pepaya ................................................................ 4 Satuan Panas .................................................................................................. 5 METODE ................................................................................................................ 6 Lokasi dan Waktu Percobaan ........................................................................ 6 Bahan dan Alat .............................................................................................. 7 Prosedur Analisis Data .................................................................................. 7 Analisis Data ................................................................................................ 13 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 14 Pertumbuhan Buah....................................................................................... 14 Umur Simpan dan Laju Respirasi ................................................................ 14 Kriteria Kematangan Pascapanen Buah Pepaya Callina ............................. 16 Viabilitas Benih Pepaya Callina .................................................................. 20 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 22 Simpulan ...................................................................................................... 22 Saran ............................................................................................................ 22 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23 27 LAMPIRAN ........................................................................................................ 238 30 RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. 238
vi
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Stadia kematangan buah pepaya cv. Eksotika Bobot buah, laju respirasi, dan umur simpan buah pepaya Callina pada beberapa perlakuan petik berdasarkan satuan panas Karakter fisik buah pepaya Callina pada beberapa perlakuan petik berdasarkan satuan panas Karakter kimia buah pepaya Callina pada beberapa perlakuan umur petik berdasarkan satuan panas Viabilitas dan vigor benih pepaya Callina
5 15 16 19 21
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
Kriteria antesis bunga pada pepaya hermafrodit Perubahan warna kulit buah pepaya Callina Kriteria kecambah benih pepaya Bagan alir prosedur pelaksanaan percobaan Pertumbuhan buah pepaya Callina Laju respirasi buah pepaya setelah panen Skala perubahan warna kulit buah pepaya Callina Keragaan warna kulit dan daging buah pepaya Callina pada perlakuan umur petik
8 9 12 13 14 16 18 18
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Deskripsi pepaya varietas Callina Data curah hujan dan suhu
28 29
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Buah pepaya merupakan salah satu buah yang memiliki kandungan vitamin terutama vitamin A dan C serta mineral yang cukup tinggi. Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan hidup sehat membuat pepaya menjadi salah satu buah yang cukup banyak dikonsumsi. Konsumsi buah pepaya pada tahun 2014 sebesar 2.086 kg/kapita/tahun meningkat 7.48% pada tahun 2015 menjadi 2.242 kg/kapita/tahun (Pusdatin 2015). Peningkatan konsumsi berakibat pada tingginya jumlah permintaan akan buah pepaya. Berkaitan dengan semakin meningkatnya jumlah permintaan tersebut, pada umumnya petani memanen buah pepaya sebelum mencapai tingkat kematangan yang tepat. Pantastico et al. (1986) menyatakan bahwa pemanenan buah yang dilakukan sebelum matang akan memberikan mutu buah yang kurang baik disertai dengan proses pematangan yang tidak sempurna, sedangkan penundaan waktu panen dapat meningkatkan kepekaan buah terhadap pembusukan sehingga mutu dan nilai jualnya rendah. Mutu buah pepaya yang terdiri atas mutu fisik dan kimia yang baik diperoleh apabila pemanenan dilakukan pada tingkat kematangan yang tepat. Paull (1993) menyatakan bahwa secara umum buah pepaya yang dipanen pada tingkat kematangan yang berbeda menunjukkan proses pelunakan buah berbeda sehingga dapat menentukan kualitas buahnya. Wurochekke et al. (2013) dan Chukwuka et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa mutu kimia buah pepaya dipengaruhi oleh stadia kematangannya. Perbanyakan tanaman pepaya umumnya dilakukan secara generatif dengan benih. Salah satu faktor yang mempengaruhi mutu benih yaitu tingkat kematangan buah. Benih pepaya yang berasal dari buah yang matang memiliki vigor dan viabilitas yang tinggi. Nerson (2007) menyatakan bahwa kualitas benih dapat dipengaruhi lingkungan tumbuh dari induk, kematangan benih saat panen, prosedur ekstraksi benih, dan kondisi penyimpanan. Penelitian Sangakkara (1995) menemukan bahwa benih pepaya yang berasal dari buah matang atau lewat matang lebih sesuai digunakan sebagai benih untuk tujuan perbanyakan. Penentuan tingkat kemasakan buah pepaya dapat ditentukan melalui jumlah hari setelah berbunga dan warna kulit buah (MFCL 2003; Bron dan Jacomino 2006; Basulto et al. 2009). Umumnya petani menggunakan keragaan warna kulit buah sebagai indikator dalam menentukan pemanenan buah pepaya. Penggunaan jumlah hari setelah berbunga dapat menghasilkan tingkat kematangan berbeda karena dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan faktor cuaca akibat perbedaan suhu. Pollo (2003) dalam penelitiannya terhadap tanaman jagung menyatakan bahwa semakin tinggi suatu tempat dari permukaan laut maka umur tanaman semakin panjang karena dipengaruhi oleh suhu udara. Suketi et al. (2010) menyatakan bahwa penggunaan kriteria umur panen dengan penghitungan jumlah hari setelah antesis di daerah Bogor menghasilkan perubahan warna kulit buah pepaya yang tidak teratur dan tidak sama pada setiap waktu panen buah sehingga tingkat kematangan fisiologi buah diduga berbeda.
2 Salah satu penentuan kriteria panen dapat dilakukan melalui akumulasi satuan panas (heat units). Konsep satuan panas merupakan suatu konsep yang menghubungkan antara suhu dan perkembangan tanaman. Handoko (1994) menjelaskan bahwa pada pertumbuhan tanaman hampir semua unsur iklim sangat mempengaruhinya, tetapi faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah suhu udara dan panjang hari. Perpindahan dari suatu stadia ke stadia perkembangan yang lain akan terjadi setelah satuan unit panas terpenuhi. Metode satuan unit panas ini digunakan dalam menghitung derajat hari yang dibutuhkan suatu tanaman dalam memenuhi stadia perkembangannya. Hasil penelitian Taris et al. (2015) dan Sugito (2015) menemukan bahwa penggunaan akumulasi satuan panas pada pepaya Callina dari sejak antesis hingga panen diperlukan jumlah satuan panas sekitar 2 100 oC hari. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter kematangan pascapanen buah dan viabilitas benih pepaya Callina dari umur petik berdasarkan satuan panas yang berbeda setelah diperam hingga mencapai tingkat kematangan pascapanen tertentu.
Manfaat dan Cakupan Penelitian Manfaat dari penelitian karakterisasi kematangan pascapanen buah pepaya Callina yaitu mendapatkan umur petik terbaik sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam penanganan pascapanen buah dan produksi benih pepaya Callina.
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Pepaya Pepaya (Carica pepaya L.) termasuk kedalam famili Caricaceae. Habitus genus Carica adalah pohon herba tahunan berbatang tunggal tegak dengan daun di setiap ujungnya (Sankat dan Maharaj 1997). Tanaman pepaya memiliki 3 tipe pembungaan yaitu tanaman pepaya dengan bunga jantan, betina, dan hermafrodit. Tipe pembungaan ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Sankat dan Maharaj 1997). Keragaan jenis bunga akan terlihat ketika tanaman mulai berbunga sekitar 6 bulan setelah perkecambahan. Pohon pepaya jantan jarang memproduksi buah. Pohon pepaya betina hanya memproduksi bunga betina saja, dengan ukuran tangkai bunga 4-6 cm. Pohon pepaya hermafrodit memiliki dua tipe bunga uniseksual yaitu jantan dan betina (Nakasone dan Paull 1998). Bunga hermafrodit terdiri atas empat tipe, yaitu: elongata, pentandria, rudimenter dan antara (intermediate). Bunga hermafrodit elongata akan menghasilkan buah berbentuk panjang lonjong. Bunga hermafrodit pentandria akan menghasilkan buah bulat menyerupai buah dari bunga betina. Bunga hermafrodit
3 rudimenter tidak memiliki bakal buah. Bunga hermafrodit rudimenter menyerupai bunga jantan dengan tabung mahkota bunga yang lebih tebal dibandingkan dengan tabung mahkota bunga jantan (Villegas 1997). Bunga hermafrodit tipe antara akan menghasilkan menghasilkan buah dengan bentuk tidak beraturan (Samson 1980). Buah pepaya mengandung 85-90% air, 10-13% gula, 0.6% protein, juga mengandung vitamin A, B1, B2, dan C. Kulit buah pepaya halus dan tipis dengan warna kulit hijau dan jingga atau kuning pada saat masak (Sankat dan Maharaj 1997). Daging buah berwarna putih pada saat belum matang dan berubah berwarna jingga-kuning atau kemerahan pada saat matang bergantung jenis kultivar (Nakasone dan Paull 1998). Buah pepaya memiliki banyak biji yang terletak menempel pada daging buah bagian dalam. Ukuran biji berdiameter 5 mm, dengan warna hitam atau keabuan, mengkerut, dan dilindungi oleh membran gelatin yang biasa disebut sarkotesta (Purseglove 1979; Sankat dan Maharaj 1997; da Silva et al. 2007). Sarkotesta yang terdapat pada benih dapat menghambat perkecambahan bahkan menyebabkan terjadinya dormansi pada benih pepaya (Salomao dan Mundim 2000; Angeline dan Ouma 2008). Menurut da Silva et al. (2007), benih pepaya berkecambah 3-5 minggu setelah tanam (MST), apabila sarkotesta dihilangkan dapat lebih cepat berkecambah 2-3 MST. Hasil penelitian Wulandari (2009) terhadap pepaya Callina menyatakan bahwa benih pepaya jenis ini termasuk kedalam jenis benih ortodoks yang memiliki viabilitas tinggi pada kondisi kadar air 7.9% dengan daya berkecambah (DB) sebesar 86% serta tahan disimpan pada kondisi suhu dingin. Hong dan Ellis (1996) membuat protokol pengujian sifat benih terkait dengan sifat penyimpanan benih yaitu benih yang tahan terhadap desikasi hingga taraf kadar air 5% selanjutnya diuji dengan penyimpanan pada suhu -20oC selama 3 bulan dan benih masih berkecambah maka benih dikelompokkan pada sifat ortodoks. Penelitian Sari (2005) menemukan bahwa benih pepaya tanpa sarkotesta dengan kadar air rendah (6-7%) masih memiliki daya berkecambah 76% sehingga digolongkan ke dalam benih ortodoks. Letak benih dalam buah mempengaruhi kualitas benih. Letak benih pada buah pepaya umumnya dibagi ke dalam tiga bagian yaitu bagian pangkal, tengah dan ujung. Hasil penelitian Sulistyowati (2004) menunjukkan bahwa benih pepaya yang berasal dari bagian ujung memiliki viabilitas yang baik, sedangkan menurut Dias et al. (2014) benih yang berasal dari bagian tengah memiliki viabilitas, vigor dan kualitas fisiologi perkecambahan yang baik. Surahman et al. (2005) menyatakan bahwa biji pepaya jenis Eksotika (pangkal 56.25%, tengah 66.67%, ujung 56.67%) dan Red King (pangkal 51.61%, tengah 73.68%, ujung 57.35%). Benih yang berasal dari bagian tengah dan ujung menghasilkan persentase tanaman hermafrodit lebih banyak dibandingkan bagian pangkal. Arifeni (2004) menyatakan bahwa sumber benih pepaya bagian tengah dan ujung baik untuk dijadikan sebagai benih perbanyakan karena banyak menghasilkan tanaman hermafrodit. Tanaman pepaya merupakan tanaman tropis yang akan mengalami penghambatan ataupun kematian akibat suhu terlalu dingin (frost). Suhu rendah mengakibatkan buah kekurangan flavor (Purseglove 1979). Tanaman pepaya dapat tumbuh optimum pada suhu 21-33 oC (Nakasone dan Paull 1998). Suhu di bawah 10 oC dapat menghambat proses kematangan dan pemasakan bahkan hingga batas
4 tertentu dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah (Workneh et al. 2012; MoEF&CC 2016).
Kriteria Kematangan Buah Pepaya Kematangan buah terjadi pada saat buah masih terdapat pada pohon sedangkan kemasakan dapat terjadi baik saat masih berada di pohon maupun setelah dilakukan pemanenan. Penentuan kriteria kematangan buah dapat dilakukan melalui metode destruktif maupun non destruktif. Metode non destruktif antara lain jumlah hari setelah berbunga, ukuran buah, dan warna kulit buah (MFCL 2003; Basulto et al. 2009) sedangkan metode destruktif dengan perubahan fisikokimia selama proses kematangan buah dapat diketahui melalui perubahan warna pada daging buah (MFCL 2003), derajat kemasaman (pH), asam tertitrasi total, padatan terlarut total (Addai et al. 2013), dan kelunakan buah. Mutu buah yang baik akan diperoleh apabila pemanenan dilakukan pada stadia kematangan yang tepat. Stadia kematangan buah memegang peranan penting dalam proses penanganan pascapanen buah. Hal ini berkaitan dengan mempertahankan mutu buah sehingga dapat mengurangi tingkat kehilangan. Kehilangan (loss) pada produk hortikultura dapat diartikan sebagai: 1) kehilangan kuantitatif, yaitu berkurangnya jumlah bagian yang dapat dikonsumsi (edible portion), 2) kehilangan kualitatif (menurunnya kualitas produk), 3) kehilangan ekonomi, yaitu menurunnya nilai atau harga bahan yang disebabkan oleh adanya kehilangan kuantitatif dan kualitatif tersebut, dan 4) kehilangan nutrisi, yaitu menurunnya kadar zat gizi atau dengan kata lain menurunnya nilai gizi bahan tersebut (Ditbuah 2010). Kays (1991) mengemukakan bahwa stadia kematangan buah pada saat panen merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi ketahanan buah dari kerusakan-kerusakan setelah panen. Bron dan Jacomino (2006) membagi stadia kematangan buah pepaya berdasarkan persentase perubahan warna pada kulit buah yaitu stadia 0: hijau, stadia 1: 15% kuning, stadia 2: 16-25% kuning, dan stadia 3: 26-50% kuning. Basulto et al. (2009) dalam penelitiannya membagi stadia kematangan buah pepaya varietas Maradol menjadi beberapa stadia yaitu stadia kulit buah berwarna hijau, stadia 1 (kulit buah hijau dengan sedikit semburat kuning) dan dapat digunakan sebagai indikator dari kematangan fisiologi, dan stadia 2 (kulit buah hijau dengan semburat kuning) yang dapat digunakan sebagai indeks pemanenan untuk pasar ekspor, dan stadia 3 (kulit buah hijau dan terlihat semburat jingga) yang dapat digunakan sebagai indeks pemanenan tujuan pasar lokal. Pembagian stadia kematangan buah pepaya berdasarkan keragaan warna pada buah telah banyak dilakukan, seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Addai et al. (2013) pada buah pepaya cv. Eksotika yang membagi stadia kematangan menjadi 5 stadia (Tabel 1). Keragaan warna buah dan jumlah hari setelah antesis dapat digunakan sebagai indikator dalam penentuan kematangan buah. Suketi (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa buah pepaya genotipe IPB 1 dapat dipanen pada stadia kematangan buah 25% (130 hari setelah antesis (HAS)), 50 % (135 HSA) dan 75% (140 HSA) sedangkan genotipe lainnya dapat dipanen pada stadia kematangan buah 25% dan dikonsumsi pada stadia kematangan 75%. Da Silva
5 et al. (2007) saat proses kematangan kulit buah pepaya berubah warna menjadi kuning-jingga, daging buah tebal, berair, dan beraroma. Tabel 1. Stadia kematangan buah pepaya cv. Eksotika Stadia kematangan
Warna kulit buah
Warna daging buah
Warna biji
12 minggu
Hijau
Putih
Putih
14 minggu
Hijau
Putih kekuningan
Coklat
16 minggu
Hijau
Kuning
Sedikit hitam
18 minggu
Kuning
Jingga
Hitam
20 minggu
Kuning tua
Jingga kemerahan
Hitam
Sumber: Addai et al. (2013) Buah pepaya selama proses kematangan mengalami perubahan terhadap kelunakan buah. Penelitian Sancho et al. (2010) menemukan bahwa kelunakan buah berkorelasi positif terhadap aktivitas dua enzim utama yaitu polygalacturonase (PG) dan pectin methyl esterase (PME), yang dapat mendegradasi dinding sel dan menyebabkan buah menjadi lunak serta terjadi peningkatan respirasi dan jumlah etilen selama proses kematangan buah. Produksi etilen mengakibatkan percepatan pada proses pemasakan dan senesen. Selama proses pematangan buah, sukrosa meningkat dan menjadi kandungan gula tertinggi dalam buah dibandingkan glukosa dan fruktosa (Sankat dan Maharaj 1997). Peningkatan jumlah gula dapat memberi rasa manis pada buah. Proses pembentukan gula ini melibatkan proses respirasi. Proses respirasi mendegradasi molekul besar seperti pati dan menghasilkan molekul-molekul kecil seperti gula dan asam organik (Schweiggert et al. 2011).
Satuan Panas Perkembangan maupun pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh suhu lingkungan tumbuhnya namun faktor yang paling berpengaruh terhadap perkembangan tanaman adalah suhu dan panjang hari. Perubahan perkembangan tanaman akan terjadi apabila dalam satu stadia perkembangannya telah memenuhi akumulasi satuan panas. Produksi biomassa termasuk hasil panen ditentukan oleh periode akumulasi biomassa selama pertumbuhan tanaman. Semakin lama umur tanaman maka semakin besar produksi biomassa dan hasil panen yang dihasilkan. Sistem satuan panas mengukur suhu lingkungan tanaman dan biasanya digunakan dalam model fenologi yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme pada kondisi cuaca atau iklim pada suatu daerah tertentu (Handoko 1994; Perry et al. 1997; Brown 2013). Suhu merupakan salah satu faktor iklim yang mempengaruhi perkembangan tanaman. Suhu udara udara merupakan penduga suhu tanaman dan suhu tanah yang mempengaruhi laju proses-proses biokimia (Handoko 1994). Miller et al. (2001) menyatakan bahwa suhu rata-rata tahunan setiap musim tanam dapat berbeda-beda yaitu suhu yang lebih dingin, hangat, dan normal. Suhu yang lebih hangat dapat
6 mengakibatkan tanaman maupun serangga tumbuh lebih cepat sementara suhu yang lebih dingin membuatnya lebih lambat. Akumulasi satuan panas pada suatu fase perkembangan tertentu disebut sebagai thermal unit atau sering disebut pula sebagai degree days (derajat hari) atau heat unit (satuan panas) (Handoko 1994). Melalui konsep ini dapat diketahui jumlah satuan panas yang dibutuhkan tanaman untuk menyelesaikan suatu stadia perkembangan dan berpindah ke stadia perkembangan berikutnya. Konsep derajat hari hanya berlaku untuk tanaman netral yaitu tanaman yang tidak responsif terhadap panjang hari (Handoko 2008; Syakur et al. 2011) sehingga pada konsep ini laju perkembangan tanaman berbanding lurus dengan suhu diatas suhu dasar (Pollo 2013). Handoko (2008) menyatakan pula bahwa panjang hari di Indonesia relatif konstan (11-12 jam) dan tidak bervariasi seperti di daerah temperate, maka konsep heat unit dapat diterapkan untuk tanaman yang sensitif terhadap panjang hari jika ditanam di Indonesia. Pantastico (1986) menyatakan bahwa bagi buahbuahan diperlukan suhu tinggi pada siang hari dan suhu rendah pada malam hari selama pertumbuhan tanaman untuk perkembangan warna yang penuh saat matang. Penelitian Pollo (2003) terhadap tanaman jagung menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara umur dan laju perkembangan tanaman dengan ketinggian tempat dan suhu udara pada semua fase perkembangan tanaman. Handoko (2008) menyatakan bahwa dalam konsep satuan panas, apabila suhu semakin tinggi maka laju perkembangan tanaman semakin cepat sehingga umur tanaman semakin singkat. Penelitian Pollo (2003) terhadap jagung dan Syakur et al. (2011) pada tanaman tomat menyimpulkan bahwa jumlah satuan panas akan semakin besar seiring dengan semakin panjangnya umur tanaman. Penggunaan metode akumulasi satuan panas ini memiliki beberapa kelemahan. Menurut Baharsjah (1991) pada metode akumulasi satuan panas tidak memperhitungkan faktor-faktor lingkungan lain yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman seperti kelembaban tanah, kelembaban relatif, radiasi matahari, dan angin. Selain itu terdapat perbedaan respon tanaman terhadap suhu minimum pada setiap fase perkembangan tanaman. Selanjutnya menurut Miller et al. (2001) walaupun menggunakan konsep akumulasi satuan panas, pada kondisi tanaman yang mengalami stress kekeringan, perkembangan tanaman atau pemanenan akan lebih cepat sedangkan saat curah hujan tinggi atau lingkungan yang basah, perkembangan atau pemanenan akan lebih lambat.
METODE
Lokasi dan Waktu Percobaan Bahan uji berupa buah pepaya Callina diperoleh dari pohon pepaya dengan populasi sebanyak 300 pohon dan berumur 15 bulan setelah tanam (BST). Pohon pepaya berasal dari kebun petani Mekarsari Rancabungur Bogor pada ketinggian ±300 m dpl. Deskripsi varietas disajikan pada Lampiran 1. Pengamatan di kebun dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2015. Pengamatan karakter fisik dan kimia buah dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen Departemen Agronomi
7 dan Hortikultura (AGH) IPB pada bulan Juni hingga Agustus 2015 sedangkan pengamatan viabilitas benih dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Departemen AGH IPB pada bulan Juni hingga September 2015.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan antara lain buah pepaya Callina dengan berbagai umur panen yang berbeda sesuai perlakuan, indikator phenolphthalein, Iodin 0.01 N, akuades, amilum, NaOH 0.1 N, plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) yang terdiri atas: Rhizobium sp., Bacillus polymixa dan Pseudomonas flourescens, sabun pencuci buah dengan bahan aktif 21 % LAS Na (Linier Alkilbenzen Sulfonat), SLES (Sodium Lauril Ether Sulfat), SLS (Sodium Lauryl Sulfat), CAPB (Cocamidodryopyl Betain), dan media tanam pasir. Alat yang digunakan dalam percobaan ini antara lain: termometer maksimum-minimum USB temperature data logger RC-5, jangka sorong, hand refractometer, penetrometer, satu set peralatan titrasi, kosmotektor, meteran, timbangan analitik, kardus, wadah plastik, desikator, oven, dan kotak plastik.
Prosedur Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal. Faktor yang digunakan yaitu perlakuan perbedaan umur panen. Umur panen mengacu pada hasil penelitian Taris et al. (2015) yang dinyatakan bahwa buah pepaya dapat dipanen saat jumlah satuan panas sekitar 2 100 oC hari. Perlakuan perbedaan umur panen berdasarkan satuan panas yang digunakan yaitu: umur panen 1 (2 100 oC hari), umur panen 2 (2 200 oC hari), umur panen 3 (2 300 oC hari), umur panen 4 (2 400 oC hari), dan umur panen 5 (2 500 oC hari). Percobaan dilakukan dengan menggunakan 4 ulangan sehingga terdapat 20 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas 4 buah pepaya sehingga jumlah keseluruhan buah pepaya yang digunakan sebanyak 80 buah. Model linier yang digunakan adalah: Yij = µ + τi + βj + εij Keterangan: i = 1, 2, 3, 4, 5 dan j=1, 2, 3, 4 Yij = nilai pengamatan pada perlakuan umur petik ke-i dan ulangan ke-j = nilai rata-rata umum τi = pengaruh perlakuan umur petik ke-i βj = pengaruh kelompok ke-j εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
8 Penentuan Kriteria Kematangan Buah Pepaya Callina Prosedur Percobaan 1. Penandaan Bunga Penandaan bunga dilakukan pada pagi hari saat bunga antesis. Bunga yang ditandai merupakan bunga dari tanaman hermafrodit (Gambar 1). Bunga yang ditandai sebanyak 150 bunga dari ±100 pohon pepaya Callina untuk mengantisipasi terjadinya gugur bunga atau gugur buah yang akan mengurangi jumlah buah yang digunakan dalam penelitian.
Gambar 1 Kriteria antesis bunga pada pepaya hermafrodit 2. Pemanenan Buah Pemanenan buah pepaya dilakukan sesuai perlakuan umur panen. Buah yang dipanen merupakan buah dengan bentuk silindris. Pemanenan buah dilakukan pada pagi hari yaitu dengan cara memutar buah dengan tangan untuk menghindari terjadinya goresan atau luka pada buah. Buah yang telah dipetik kemudian diangin-anginkan untuk menghilangkan panas lapang selanjutnya dibungkus menggunakan kertas koran selama masa pengangkutan ke laboratorium. 3. Penanganan dan Penyimpanan Buah Buah pepaya dicuci untuk menghilangkan kotoran atau getah yang menempel. Proses pencucian dilakukan dengan sabun pencuci buah dan air mengalir untuk menghindari terjadinya penularan penyakit. Buah yang telah dicuci kemudian dikeringanginkan selanjutnya dibungkus menggunakan koran dan diletakkan ke dalam kardus dan disimpan pada suhu ruang sekitar 25-30 oC. 4. Pengamatan Percobaan Pengamatan pada percobaan ini terdiri atas pengamatan pertumbuhan buah, satuan panas, umur simpan, karakter fisik dan kimia buah. Pengamatan karakter fisik dan kimia dilakukan setelah buah memasuki skala warna kulit 100% kuning (skala 6) dan over ripe (skala 7), penggunaan stadia kematangan berdasarkan pada penelitian Rini (2008) terhadap warna kulit buah pepaya Callina (Gambar 2).
9
1
2
3
5
4
6
7
. Gambar 2 Perubahan warna kulit buah pepaya Callina 4.1 Pertumbuhan buah Pengamatan terhadap pertumbuhan buah dilakukan dengan mengukur panjang dan diameter buah. Pengamatan dilakukan setiap minggu yang dimulai sejak satu minggu setelah antesis (MSA) hingga sesuai perlakuan umur petik. 4.2 Satuan Panas (oC hari) Pengukuran satuan panas dilakukan dengan mengakumulasi jumlah satuan panas dari bunga setelah antesis hingga petik sesuai dengan perlakuan. Suhu rata-rata harian diukur menggunakan termometer maksimum-minimum USB temperature data logger RC-5. Metode perhitungan mengacu pada Handoko et al. (2008) dengan suhu rata-rata harian dan suhu dasar tanaman. Metode perhitungan: T=
Tmaks + Tmin 2
Satuan panas = ∑( T − Tdasar ) Keterangan: T = suhu rata-rata harian (oC) Tmaks = suhu maksimum (oC) Tmin = suhu minimum (oC) Tdasar = suhu dasar tanaman pepaya (10oC) mengacu pada Workneh et al. (2012) 4.3 Umur simpan (hari) Pengamatan terhadap umur simpan dilakukan dengan menghitung jumlah hari pada setiap perlakuan umur petik untuk mencapai skala warna 6. 4.4 Laju Respirasi (mg CO2/kg/jam) Pengukuran laju respirasi dilakukan setiap hari setelah buah dipanen hingga mencapai skala warna 6. Pengukuran laju respirasi berdasarkan laju produksi gas CO2 yang dihasilkan oleh buah pepaya. Gas CO2 hasil respirasi diukur menggunakan kosmotektor. Pengukuran laju respirasi buah dilakukan setelah buah pepaya diinkubasi selama 3 jam dalam wadah tertutup yang selanjutnya dihubungkan dengan alat kosmotektor. Mengacu pada Suparno (2005) pengukuran laju respirasi dihitung dengan rumus: L=
V x K x 1.76 WxB
10 Keterangan: L = Laju respirasi (mg CO2/kg/jam) V = Volume udara bebas dalam wadah plastik (ml) K = Kadar CO2 (%) W = Waktu inkubasi (jam) B = Bobot bahan (kg) Nilai 1.76 merupakan konstanta gas 4.5 Pengamatan Karakter Fisik Pengamatan karakteristik fisik terdiri atas: a. Panjang buah (cm) Pengukuran panjang buah dilakukan setiap minggu hingga umur panen sesuai perlakuan. Pengamatan dilakukan dengan mengukur panjang dari ujung hingga pangkal buah. b. Diameter buah (cm) Diameter buah diukur dengan konversi dari lingkar buah maksimum yang diukur setiap minggu hingga umur panen sesuai perlakuan. c. Bobot buah utuh (g) Pengukuran bobot buah utuh dilakukan dengan menggunakan timbangan analitik pada saat awal panen. d. Kelunakan kulit dan daging buah (mm/g/detik) Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer elektrik berdasarkan daya penetresi jarum terhadap buah. Pengukuran akan dilakukan pada bagian pangkal, tengah dan ujung buah pepaya. Penetrasi jarum selama 5 detik dan angka yang terbaca dinyatakan sebagai tingkat kelunakan buah. Pengukuran akan dilakukan setelah buah mencapai skala warna 6 dan 7. e. Susut bobot (%) Susut bobot diukur menggunakan metode AOAC (1995) yaitu dengan membandingkan bobot buah pepaya setelah penyimpanan dengan bobot awal sebelum penyimpanan. Wo − Wt Susut Bobot (%) = x 100% Wo Keterangan: Wo = bobot buah awal (g) Wt = bobot buah pengamatan ke-t f. Warna buah Pengamatan warna kulit buah dilakukan saat panen dan setelah diperam hingga skala warna kulit 6 sedangkan pengamatan warna daging buah dilakukan saat buah mencapai skala warna 6. 4.6 Pengamatan karakteristik kimia Pengamatan karakteristik kimia antara lain: a. Padatan Terlarut Total (oBrix) Prosedur pengukuran padatan terlarut total (PTT) mengacu pada metode AOAC (1995) dengan menggunakan alat hand refractometer. Pengukuran dilakukan dengan cara menghancurkan daging buah pepaya kemudian sari buah diteteskan pada prisma refraktometer, ditutup dan dilakukan
11 pembacaan pada tempat terang. Pengukuran PTT dilakukan pada akhir pengamatan yaitu saat skala warna 6 dan 7. b. Asam Tertitrasi Total (ATT) Prosedur pengukuran ATT mengacu pada AOAC (1995) yaitu dengan menghitung persen asam tertitrasi. Pengukuran dilakukan pada akhir pengamatan yatu pada skala warna 6 dan 7. Pengukuran kadar asam dilakukan dengan menimbang bobot contoh daging buah pepaya sebanyak 25 g. Daging buah selanjutnya diambil sarinya dan diencerkan pada labu takar 250 ml. Filtrat buah pepaya yang telah diencerkan dipipet sebanyak 25 ml dan dimasukkan pada erlenmeyer 125 ml. Pengukuran dilakukan dengan metode titrasi NaOH 0.1 N dan indikator phenolphthalein (tiga tetes). Titrasi dilakukan hingga filtrat berwarna merah muda. Kandungan asam tertitrasi dihitung menggunakan rumus: ml NaOH x N NaOH x fp x 64 Asam (%) = x 100 % Bobot bahan (mg) Keterangan: ml NaOH = volume NaOH yang terpakai untuk titrasi N NaOH = normalitas NaOH (0.1 N) fp = faktor pengencer (10) bobot bahan = bobot daging buah pepaya yang digunakan (25 000 mg) c. Vitamin C Analisis kandungan vitamin C dilakukan dengan menggunakan metode AOAC (1995) yang diukur pada skala 6 dan 7 dengan melakukan titrasi larutan iodine 0.01 N dengan indikator amilum. Daging buah pepaya sebanyak 25 g dihaluskan dan digunakan sari buahnya. Sari buah ini diencerkan hingga 250 ml dengan akuades. Filtrat buah sebanyak 25 ml dititrasi dengan larutan iodin 0.01 N. Indikator amilum dibuat dengan melarutkan 1 g amilum ke dalam 100 ml akuades yang dididihkan. Filtrat sebelumnya ditambahkan larutan amilum 1 % sebanyak 2 ml. Larutan selanjutnya dititrasi hingga terbentuk warna biru. Kandungan vitamin C dapat dihitung dengan rumus: Vitamin C (mg/100 g bahan) = fp
ml Iodine 0.01 N x 0.88 x fp x 100 bobot contoh (g)
= faktor pengencer (10)
Penentuan Viabilitas Benih Pepaya Callina Prosedur Percobaan 1. Persiapan dan Ekstraksi Benih. Buah pepaya yang telah mencapai skala warna 6 dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pangkal, tengah, dan ujung. Benih yang berasal dari buah pepaya bagian tengah dan ujung yang akan diamati untuk diuji viabilitasnya (Sulistyowati 2004; Surahman et al. 2005; Dias et al. 2014). Benih yang diperoleh kemudian dibersihkan dari sarkotesta dan dikeringkan. Benih dikeringanginkan selama
12 ±3 hari hingga diperoleh kadar air 6-9% (Wulandari 2009). Pengujian viabilitas benih dengan menggunakan 25 butir benih dan diulang sebanyak dua kali (duplo) untuk setiap satuan percobaan. Benih selanjutnya diberi perlakuan praperkecambahan dengan perendaman dalam larutan PGPR selama ±2 jam sebagai upaya untuk mengoptimalkan perkecambahan. Benih selanjutnya ditanam pada kotak plastik berisi media pasir. 2.
Pengamatan Percobaan Hitungan pertama pengamatan kecambah dilakukan pada 14 hari setelah tanam (HST) dan hitungan kedua pada 21 HST (Sari et al. 2007). Kriteria kecambah normal dan abnormal mengacu pada Wulandari (2009) dan Jabbar (2011) seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
a
b
c
d
Gambar 3 Kriteria kecambah benih pepaya; (a) normal, (b) abnormal; benih tumbuh dengan struktur akar saja, (c) abnormal; kecambah tumbuh kerdil, (d) abnormal; benih tumbuh dengan struktur tidak sempurna Pengamatan yang dilakukan terdiri atas: a. Bobot kering benih (g) Pengukuran dilakukan dengan menggunakan 20 butir benih dari setiap satuan percobaan dan ditimbang setelah dioven pada suhu 103±2 oC selama 17±1 jam. b. Daya berkecambah (%) Persentase daya berkecambah dihitung dengan rumus sebagai berikut. DB =
∑ KN 1 + ∑ KN II x 100% ∑BT
Keterangan: DB = Daya berkecambah benih (%) ∑ KN I = Jumlah kecambah normal pada pengamatan pertama ∑ KN II = Jumlah kecambah normal pada pengamatan kedua ∑ BT = Jumlah benih yang disemai c. Kecepatan tumbuh benih (KCT) Pengukuran kecepatan tumbuh (Kct) dilakukan berdasarkan jumlah pertambahan persentase kecambah normal/etmal (1 etmal = 24 jam)
13 berdasarkan Sadjad (1993). Berikut ini merupakan rumus dalam menentukan KCT: t
K CT = ∑ d d
Keterangan: KCT = kecepatan tumbuh benih t = kurun waktu perkecambahan (etmal) = tambahan persentase kecambah normal setiap etmal (1 etmal = 24 jam) d
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam atau Analysis of Variance (ANOVA) pada taraf nyata 5%. Perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%. Penandaan bunga (tagging)
Panen berdasarkan perlakuan: 2 100 ohari 2 200 ohari 2 300 ohari 2 400 ohari 2 500 ohari
Data suhu harian
Satuan panas
Penanganan pascapanen
Penyimpanan hingga skala warna 6 dan 7
Pengamatan karakter fisik
Pengamatan karakter kimia
Penyimpanan hingga skala warna 6
Pengamatan viabilitas benih
Gambar 4 Bagan alir prosedur pelaksanaan percobaan
14
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Buah
Panjang dan Diameter (cm)
Pertumbuhan buah pepaya baik panjang maupun diameter buah menunjukkan pola yang sama yaitu pertumbuhan cepat pada satu hingga 10 minggu setelah antesis (MSA), pertumbuhan melambat dari minggu ke-10 hingga 15 MSA, dan pertumbuhan mencapai maksimum terjadi sejak 16 MSA dengan panjang buah 23.11 cm dan diameter 9.13 cm (Gambar 5). Hal ini sesuai dengan kriteria buah pepaya Callina berdasarkan PKHT (2013) yaitu buah pepaya Callina memiliki panjang sekitar 23-24 cm dengan diameter 9.2-9.5 cm. Buah pepaya dengan satuan panas 2 100 oC hari dipanen pada 115.50 hari setelah antesis (HSA) atau 16 MSA, 2 200 oC hari pada 121.25 HSA, 2 300 oC hari pada 126.50 HSA, 2 400 oC hari pada 132.50 HSA, dan 2 500 oC hari pada 138.25 HSA. Pertumbuhan buah terjadi setelah pembuahan, diawali dengan proses pembelahan sel hingga mencapai ukuran maksimum yang ditandai dengan volume dan bobot yang konstan. 25 20 15 panjang buah
10
diameter buah
5 0 0
5 10 15 Minggu Setelah Antesis (MSA)
20
Gambar 5 Pertumbuhan buah pepaya Callina
Bobot Buah, Umur Simpan dan Laju Respirasi Buah pepaya Callina secara fisik telah mencapai ukuran maksimum yang ditandai dengan ukuran dan bobot yang tidak berbeda secara signifikan antar perlakuan umur petik (Tabel 2). Shattir dan Abu-Goukh (2010) menyatakan bahwa pada buah pepaya Eksotika I, Eksotika II, dan Baladi, baik bobot maupun volume buah meningkat secara progresif hingga mencapai matang fisiologi yang ditandai dengan volume dan bobot konstan. Umur simpan merupakan salah satu parameter yang menentukan mutu dari buah pepaya. Umur simpan buah terlama terdapat pada buah yang dipanen pada
15 2 100 dan 2 300 oC hari tetapi tidak berbeda nyata dengan 2 200 oC hari sedangkan perlakuan 2 400 dan 2 500 oC hari menghasilkan umur simpan terpendek berturutturut sebesar 5 dan 4.75 HSP (Tabel 2). Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan bahwa semakin banyak akumulasi satuan panas yang diperlukan untuk panen maka umur simpan semakin pendek. Hasil penelitian ini sejalan dengan Taris et al. (2015) bahwa buah pepaya yang dipetik tua lebih cepat matang dibandingkan yang dipetik muda. Tabel 2 Bobot buah, laju respirasi, dan umur simpan buah pepaya Callina pada beberapa perlakuan petik berdasarkan satuan panas Satuan panas 2 100ᵒC hari 2 200ᵒC hari 2 300ᵒC hari 2 400ᵒC hari 2 500ᵒC hari
Bobot buah (g) 867.3 847.2 961.1 739.8 905.1
Laju respirasi rata-rata (ml CO2/kg/jam) 19.62 20.10 21.38 21.67 22.56
Umur simpan (HSP) 6.50 a 5.50 ab 6.50 a 5.00 b 4.75 b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan multiple range test (DMRT) taraf 5%
Laju respirasi rata-rata buah pepaya tidak dipengaruhi oleh akumulasi satuan panas (Tabel 2). Buah pepaya termasuk buah klimaterik. Walaupun demikian, laju respirasi rata-rata memiliki kecenderungan semakin cepat seiring dengan semakin besarnya akumulasi satuan panas. Penelitian Sancho et al. (2010) pada pepaya Maradol menunjukkan bahwa laju respirasi terendah pada pepaya hijau (0-25 % kuning) dan meningkat seiring dengan peningkatan warna kuning pada buah. Selanjutnya dikemukakan bahwa produksi etilen pada buah dengan skala warna 025 % kuning sebesar 0.19 μL C2H4/kg/jam, >25-50% kuning sebesar 0.51 μL C2H4/kg/jam, >50-75 % kuning sebesar 0.91 μL C2H4/kg/jam, dan >75-100% kuning sebesar 0.75 μL C2H4/kg/jam. Peningkatan laju respirasi bertepatan dengan produksi etilen yang semakin meningkat seiring dengan tahap kematangan buah. Laju respirasi buah pepaya pada Gambar 6 menunjukkan bahwa buah yang dipanen pada 2 500 oC hari mencapai puncak respirasi lebih awal yaitu pada 2 hari setelah panen (HSP), diikuti dengan 2 400 oC hari pada 3 HSP, 2 300 oC hari pada 4 HSP, 2 200 oC hari dan 2 100 oC hari pada 5 HSP. Semakin besar akumulasi satuan panas maka mencapai puncak respirasi semakin cepat sehingga umur simpan semakin pendek. Dijelaskan oleh Kays (1991) bahwa laju respirasi yang tinggi menyebabkan umur simpan buah menjadi lebih pendek. Sankat dan Maharaj (1997) bahwa etilen dapat menstimulasi atau membentuk aktivitas enzim lain dan ditemukan di exocarp pada stadia tiga-perempat kematangan buah. Selanjutnya dikemukakan bahwa kandungan 1-amino-1-asam karboksilat siklopropana (ACC) awalnya rendah pada jaringan mesokarp buah selama pematangan dan meningkat tiga kali lipat ketika puncak sintesis etilen terjadi.
16
Laju respirasi (ml CO2/kg/jam)
60 50 40
2 100 ᵒC hari 2 200 ᵒC hari
30
2 300 ᵒC hari 20
2 400 ᵒC hari 2 500 ᵒC hari
10 0 0
2
4 6 Hari setelah panen (HSP)
8
Gambar 6 Laju respirasi buah pepaya setelah panen
Kriteria Kematangan Pascapanen Buah Pepaya Callina
Karakter Fisik Buah Karakter fisik dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam penentuan kriteria kematangan buah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jumlah satuan panas saat panen tidak mempengaruhi susut bobot, kelunakan kulit dan daging buah pepaya Callina (Tabel 3). Hal ini sejalan dengan penelitian Sugito (2015) dan Taris et al. (2015) yang menyatakan bahwa umur panen tidak mempengaruhi susut bobot, kelunakan kulit dan daging buah pepaya Callina saat mencapai masak optimum. Tabel 3 Karakter fisik buah pepaya Callina pada beberapa perlakuan petik berdasarkan satuan panas Satuan Panas 2 100 ᵒC hari 2 200 ᵒC hari 2 300 ᵒC hari 2 400 ᵒC hari 2 500 ᵒC hari
Susut bobot (%) Skala 6 Skala 7 9.45 12.85 7.86 11.62 9.06 12.39 6.52 10.32 6.03 9.87
Kelunakan kulit buah (mm/g/detik) Skala 6 Skala 7 0.12 0.15 0.13 0.17 0.13 0.14 0.13 0.17 0.13 0.17
Kelunakan daging buah (mm/g/detik) Skala 6 Skala 7 0.22 0.23 0.23 0.25 0.22 0.25 0.22 0.25 0.24 0.26
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan multiple range test (DMRT) taraf 5%
Secara umum, buah yang dipanen lebih muda cenderung mengalami susut bobot lebih besar dibandingkan dengan buah yang dipanen lebih tua (Tabel 3).
17 Susut bobot terjadi karena kehilangan air melalui proses transpirasi dan respirasi. Hal ini menyebabkan susut bobot semakin tinggi seiring dengan lamanya waktu simpan buah. Di samping itu, terjadinya susut bobot terjadi akibat proses respirasi yaitu terjadinya perombakan terutama karbohidrat kompleks menjadi karbohidrat bentuk sederhana dengan hasil sampingan berupa CO2, uap air, dan panas. Workneh et al. (2012) menyatakan bahwa peningkatan laju respirasi selama proses pematangan dapat mempercepat penuaan, mengurangi mutu makanan bagi konsumen, dan menurunkan bobot buah. Kelunakan kulit buah tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan umur petik yang diuji setelah mencapai tingkat kematangan skala 6 dan skala 7 (Tabel 3). Demikian pula dengan kelunakan daging buah. Buah pepaya selama proses kematangan mengalami perubahan terhadap kelunakan buah. Penelitian Bron dan Jacomino (2006) dan Sancho et al. (2010) menemukan bahwa kelunakan buah berkorelasi positif terhadap aktivitas dua enzim utama yaitu poligalakturonase (PG) dan pektin metil esterase (PME), yang dapat mendegradasi dinding sel dan menyebabkan buah menjadi lunak selama proses kematangan buah. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992) proses pelunakan disebabkan terjadinya proses hidrolisis zat pektin menjadi komponen-komponen yang larut air, sehingga total zat pektin yang mempengaruhi kekerasan buah mengalami penurunan yang menyebabkan buah semakin lunak. Selanjutnya dikemukakan oleh Fabi et al. (2007) bahwa saat terjadi degradasi dinding sel yang disebabkan oleh hidrolisis pektin dan hemiselulosa juga meningkatkan kadar padatan total terlarut dalam buah. Warna kulit buah pepaya dapat berubah dari hijau ke kuning selama proses pematangan (Gambar 7). Keragaan buah yang dipanen pada 2 100 oC hari berwarna hijau (skala warna 1), 2 200 oC hari berwarna hijau dengan sedikit kuning (skala 2), 2 300 dan 2 400 oC hari dengan warna hijau kekuningan (skala 3), dan 2 500 oC hari dengan warna kuning lebih banyak dari hijau (skala 4) seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Menurut Calegario dan Puschmann (1997) ketika pertumbuhan buah terhenti akan terjadi perubahan warna pada kulit buah pepaya yang sangat sulit untuk dibedakan saat berada di lapangan, sedangkan perubahan warna biji lebih cepat dibandingkan kulit buah. Perubahan warna pada buah pepaya disebabkan oleh adanya karotenoid. Sancho et al. (2010) menyatakan bahwa secara umum terjadinya perubahan warna pada buah pepaya disebabkan oleh hilangnya klorofil dan munculnya pigmen lain seperti karotenoid yang membuat warna kuning dan warna merah pada buah. Workneh et al. (2012) menyatakan bahwa kandungan karotenoid dapat meningkat lima hingga sepuluh kali lipat dari buah berwarna hijau hingga matang penuh. Keragaan warna kulit buah pepaya pada pemanenan 2 100 oC hari pada saat matang berwarna kuning penuh namun bagian daging buah menunjukkan warna kuning pucat (Gambar 8) yang menandakan bahwa buah tersebut mengalami proses pematangan yang belum sempurna. Pantastico et al. (1986) menyatakan bahwa pemanenan buah yang dilakukan sebelum matang akan memberikan mutu buah yang kurang baik disertai dengan proses pematangan yang tidak sempurna sedangkan penundaan waktu panen dapat meningkatkan kepekaan buah dan sayuran terhadap pembusukan sehingga mutu dan nilai jualnya rendah. Manenoi et al. (2006) menyatakan bahwa pemanenan buah biasanya dilakukan saat warna kuning kulit buah 25%, jika dilakukan pemetikan sebelum warna tersebut
18 mengakibatkan buah tidak akan masak sempurna karena adanya pengurangan laju respirasi dan penghambatan produksi etilen selama penyimpanan.
1
2
3
5
4
6
7
Gambar 7 Skala perubahan warna kulit buah pepaya Callina ; (1) hijau, (2) hijau dengan sedikit kuning, (3) hijau kekuningan, (4) kuning lebih banyak dari hijau, (5) kuning dengan sedikit ujung hijau, (6) kuning penuh, (7) kuning dengan sedikit bintik coklat
Saat Panen
Matang
Daging buah
a
b
c
d
e
Gambar 8 Keragaan warna kulit dan daging buah pepaya Callina pada perlakuan umur petik ; (a) 2 100 oC hari, (b) 2 200 oC hari, (c) 2 300 oC hari, (d) 2 400 oC hari, (e) 2 500 oC hari
Karakter Kimia Buah Karakter kimia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat penilaian konsumen terhadap buah. Nilai PTT semakin besar seiring dengan semakin besarnya akumulasi satuan panas (Tabel 4). Hal ini sejalan dengan penelitian Suketi et al. (2010), Addai et al. (2013), dan Taris et al. (2015) yang menyatakan bahwa nilai PTT semakin besar seiring dengan semakin bertambahnya umur panen. Menurut Pantastico et al. (1986) menyatakan bahwa untuk tercapainya
19 kandungan padatan terlarut total (PTT) maksimum dalam buah matang setelah pemetikan, buah harus dipanen setelah warna kuning dipermukaan sekurangkurangnya mencapai 30% atau apabila dibiarkan dipohon hingga mencapai tingkat perubahan warna 80%. Peningkatan jumlah gula dapat memberi rasa manis pada buah. Pada tahap awal perkembangan buah, glukosa adalah gula dominan sedangkan pada tahap sebelum matang dan matang kandungan sukrosa meningkat 2-5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan fruktosa dan glukosa (Sankat dan Maharaj 1997; Workneh et al. 2012). Proses pembentukan gula ini melibatkan proses respirasi. Proses respirasi mendegradasi molekul besar seperti pati dan menghasilkan molekul-molekul kecil seperti gula dan asam organik (Schweiggert et al. 2010; Sancho et al. 2010; Abu-Goukh et al. 2010; Suketi 2011 ). Kandungan PTT daging buah bertambah dengan semakin meluasnya warna kuning pada permukaan kulit sampai tingkat 80%, setelah itu menurun dengan meluasnya warna kulit karena hidrolisis gula menjadi asam organik yang digunakan untuk proses respirasi (Suketi 2011). Selain itu Fabi et al. (2007) dan Workneh et al. (2012) menyatakan bahwa aktifitas enzim PG dan B-galaktosidase yang meningkat selama pematangan menyebabkan degradasi dinding sel yang disebabkan oleh hidrolisis pektin dan hemiselulosa sehingga meningkatkan kadar PTT dalam buah. Tabel 4 Karakter kimia buah pepaya Callina pada beberapa perlakuan umur petik berdasarkan satuan panas Satuan Panas
PTT (ᵒbrix)
ATT (%)
Vitamin C (mg/100 g)
Skala 6 Skala 7 Skala 6 Skala 7 Skala 6 Skala 7 2 100 ᵒC hari 8.89 b 8.50 b 0.23 0.21 37.40 b 36.52 c 2 200 ᵒC hari 8.90 b 10.60 a 0.21 0.21 39.45 b 38.87 bc 2 300 ᵒC hari 11.18 a 11.26 a 0.21 0.19 52.65 ab 41.95 bc 2 400 ᵒC hari 11.81 a 11.46 a 0.20 0.18 69.96 a 54.41 ab 2 500 ᵒC hari 12.19 a 11.74 a 0.16 0.16 68.57 a 62.77 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan multiple range test (DMRT) taraf 5%
Akumulasi satuan panas tidak mempengaruhi asam tertitrasi total pada buah pepaya namun memiliki kecenderungan mengalami penurunan dengan samakin besarnya akumulasi satuan panas yang digunakan untuk panen (Tabel 4). Hal ini sejalan dengan penelitian Sancho et al. (2010) yang menyatakan bahwa selama proses pematangan nilai PTT cenderung meningkat sedangkan ATT cenderung menurun. Kandungan vitamin C berkisar antara 37.40 hingga 69.96 mg/100 g bagian dapat dimakan, sedangkan penelitian Suketi (2011) kandungan vitamin C sebesar 79.98 mg/100 g, Taris et al. (2015) kandungan vitamin C dalam pepaya pada semua umur panen berkisar antara 40.68 hingga 55.07 mg/100 g bagian dapat dimakan, Sugito (2015) berkisar antara 40.05 hingga 56.01 mg/100 g. Perbedaan kandungan vitamin C ini diduga akibat perbedaan lokasi, kondisi iklim sebelum panen, waktu panen dan perbedaan umur panen. Lee dan Kader (2000) menyatakan bahwa perbedaan kandungan vitamin C disebabkan oleh faktor budidaya, kondisi iklim sebelum panen dan perbedaan umur petik. Lokasi dan waktu panen pepaya Callina pada penelitian Suketi (2011) dilaksanakan di Tajur, Bogor pada bulan Februari
20 hingga September 2008 sedangkan Taris et al. (2015) dilaksanakan di Tajur pada bulan Maret hingga Agustus 2014, Sugito (2015) dilaksanakan di Leuwisadeng, Kabupaten Bogor pada bulan April hingga September 2014, dan penelitian ini dilaksanakan di Rancabungur Bogor pada bulan Februari hingga September 2015. Perbedaan umur panen dapat pula mempengaruhi kandungan vitamin C dalam buah. Pemanenan pepaya Callina pada penelitian Suketi (2011) dilakukan berdasarkan keragaan warna kulit buah yang dilakukan saat warna kulit buah 25% dan disimpan hingga 100% kuning sedangkan pada penelitian ini, Taris et al. (2015) dan Sugito (2015) pemanenan berdasarkan akumulasi satuan panas, sehingga diduga tingkat kematangan buah pepaya saat panen berbeda. Kondisi iklim sebelum panen seperti curah hujan dan intensitas cahaya juga mempengaruhi kandungan vitamin C pada buah pepaya Callina. Penelitian Taris et al. (2015) dengan curah hujan rata-rata setiap bulan sebesar 356.75 mm per bulan, Sugito (2015) sebesar 417.17 mm per bulan, dan penelitian ini sebesar 190.29 mm per bulan (Lampiran 2). Semakin rendah curah hujan maka kandungan vitamin C semakin tinggi. Lee dan Kader (2000) menyatakan bahwa kandungan vitamin C dapat ditingkatkan dengan mengurangi frekuensi irigasi. Selain itu saat curah hujan tinggi berakibat pada penutupan awan yang dapat mengurangi intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman. Lee dan Kader (2000) menyatakan bahwa semakin tinggi intensitas cahaya selama musim tanam maka semakin besar kandungan vitamin C dalam jaringan tanaman. Kandungan vitamin C cenderung mengalami peningkatan seiring dengan semakin besarnya jumlah satuan panas. Hal ini sejalan dengan penelitian Bron dan Jacomino (2006) dan Abu-Goukh et al. (2010) bahwa selama pemasakan buah, kandungan vitamin C mengalami peningkatan selama pertumbuhan dan perkembangan buah dan mencapai maksimum saat matang. Dikemukakan pula bahwa pola peningkatan vitamin C pada buah pepaya berbeda dengan buah lain pada umumnya seperti manga, jambu biji, dan tomat, sebaliknya akan mengalami penurunan selama proses pemasakan buah. Buah yang dipanen pada umur panen tua menunjukkan konsentrasi vitamin C paling tinggi. Conklin (2001) menyatakan bahwa Mannose dan L-galactose merupakan substrat yang digunakan untuk sintesis asam askorbat pada tanaman. Lebih lanjut dikemukakan oleh Serry (2011) bahwa terjadinya degradasi dinding sel selama proses pematangan dapat memberikan substrat untuk sintesis asam askorbat pada pepaya Solo. Kandungan vitamin C cenderung mengalami penurunan ketika diperam hingga mencapai skala warna 7 (over ripe). Penelitian Bari et al. (2006) pada buah pepaya pada saat kulit buah masih hijau, saat matang (mature), saat masak (ripe) dan saat lewat matang (over ripe) menemukan bahwa kandungan vitamin C buah pepaya akan meningkat pada tingkat kematangan yang lebih lama dan menurun saat buah disimpan hingga mendekati busuk. Viabilitas Benih Pepaya Callina Benih memasuki tahap masak fisiologi ditandai dengan bobot kering maksimum. Bobot kering benih tidak dipengaruhi oleh jumlah satuan panas saat panen (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa benih pepaya telah mencapai bobot
21 maksimum sejak buah dipanen pada 2 100 oC hari. Penelitian Murniati et al. (2008) pada pepaya Arum diperoleh bobot kering terendah (0.21 g) pada buah pepaya semburat 30-40% yang tidak diperam dan meningkat sebesar 0.01 g pada pemeraman 2 hari, dan tidak bertambah lagi pada pemeraman 4 hari. Menurut Pranoto et al. (1990) benih memasuki fase pematangan ditandai dengan bobot kering benih tetap konstan, tetapi mengalami penurunan kadar air yang diikuti oleh perubahan-perubahan warna dalam benih dan buah, antara lain menghilangnya klorofil dan perubahan warna buah. Zhou dan Paull (2001) menyatakan bahwa bobot kering daging buah meningkat hanya setelah bobot kering benih menurun hal ini diduga karena perkembangan benih pepaya harus diselesaikan sebelum fase terakhir dari akumulasi bahan kering daging dimulai. Tabel 5 Viabilitas dan vigor benih pepaya Callina Satuan panas
Bobot kering benih (g)
Daya berkecambah (%)
Kecepatan tumbuh (%/etmal)
2 100 ᵒC hari 2 200 ᵒC hari 2 300 ᵒC hari 2 400 ᵒC hari 2 500 ᵒC hari
0.24 0.26 0.26 0.25 0.25
62.04 c 69.63 bc 80.38 a 75.50 ab 72.00 ab
3.79 b 4.10 b 4.94 a 4.29 b 4.03 b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan multiple range test (DMRT) taraf 5%
Daya berkecambah (DB) benih secara umum tidak dipengaruhi oleh jumlah satuan panas saat panen (Tabel 5). Daya berkecambah benih meningkat saat buah dipanen pada 2 200 oC hari dan mencapai maksimum pada 2 300 oC hari namun tidak berbeda dengan 2 400 dan 2 500 oC hari. Daya berkecambah benih dari buah yang dipanen pada 2 300 oC hari paling tinggi sebesar 80.38% dan paling rendah pada 2 100 oC hari sebesar 62.04%. Hasil penelitian Sangakkara (1995) menunjukkan bahwa perkecambahan benih yang berasal dari buah matang paling rendah dengan jumlah benih abnormal yang paling tinggi dibandingkan buah masak dan lewat masak. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa tidak ada perbedaan perkecambahan benih antara benih yang berasal dari buah masak dan lewat masak. Murniati et al. (2008) menyatakan bahwa pemanenan buah pepaya untuk produksi benih sebaiknya dilakukan setelah buah mencapai warna kulit 80-90% kuning di pohon, bila tidak memungkinkan dilakukan panen pada tingkat kemasakan tersebut maka untuk memperoleh mutu yang sama disarankan agar panen dilakukan pada saat buah semburat kuning 30-40% yang diikuti pemeraman selama 4 hari. Penelitian Dias et al. (2014) pada buah pepaya hibrida Tainung 01 menyatakan bahwa buah pepaya yang dipanen pada 15% kuning dan disimpan hingga 75% dan 100% kuning memiliki kualitas fisiologi benih yang tinggi. Benih dari buah yang dipanen pada 2 100 oC hari memiliki nilai DB dan Kct yang rendah, diduga benih belum mencapai masak fisiologi. Benih yang berasal dari buah yang belum matang memiliki viabilitas dan vigor yang rendah. Sangakkara (1995) menyatakan bahwa tahap perkembangan benih mencapai maksimum saat proses pemasakan buah dan bukan saat buah tersebut matang. Menurut Sutopo (2002) benih yang dipanen sebelum masak fisiologi tercapai
22 mempunyai viabilitas yang rendah karena belum memiliki cadangan makanan yang cukup dan pembentukan embrio yang belum sempurna. Vigor yang ditunjukkan dengan nilai kecepatan tumbuh (Kct) dan viabilitas dengan tolok ukur daya berkecambah (DB) mencapai maksimum pada benih dari buah yang dipanen pada 2 300 oC hari (Tabel 5). Menurut Ilyas (2012) pada saat masak fisiologi benih tercapai, benih memiliki bobot kering, vigor, dan daya berkecambah benih yang maksimum. Kecepatan tumbuh benih cenderung mengalami penurunan pada benih yang buahnya dipanen pada 2 400 dan 2 500 oC hari. Hal ini diduga terjadi akibat benih masih memiliki kandungan senyawa fenolik yang tinggi. Senyawa fenolik diketahui dapat menghambat atau menyebabkan dormansi pada benih. Chow dan Lin (1991) menyatakan bahwa sarkotesta pada benih pepaya mengandung asam absisat (ABA) dan senyawa fenolik khususnya asam p-hydroxybenzonic yang dapat menyebabkan penghambatan perkecambahan. Hal ini dapat menyebabkan kemampuan benih untuk berkecambah menurun. Penelitian Sari (2005) menunjukkan bahwa penghilangan penghambatan perkecambahan yang disebabkan oleh fenol dengan menggunakan senyawa polyvinylpyrrolidone (PVP) 10%.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Umur simpan buah pepaya semakin pendek seiring dengan semakin banyaknya akumulasi satuan panas yang diperlukan untuk panen. Akumulasi satuan panas baik yang pada buah yang diperam hingga skala warna kulit 6 dan 7 tidak mempengaruhi susut bobot, kelunakan kulit, kelunakan daging, dan asam tertitrasi total buah pepaya. Akumulasi satuan panas mempengaruhi kandungan padatan terlarut total dan vitamin C pada skala warna kulit 6 dan 7. Kandungan vitamin C dan padatan terlarut total semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya umur panen. Buah pepaya yang dipanen sejak 2 300 oC hari memiliki kandungan padatan terlarut total dan vitamin C yang tinggi. Benih pepaya memiliki vigor dan viabilitas yang baik saat dipanen pada 2 300 oC hari yang diikuti pemeraman hingga skala warna kulit 6.
Saran Buah pepaya untuk tujuan konsumsi sebaiknya dipanen sejak 2 300 oC hari. Buah untuk tujuan perbanyakan benih sebaiknya dipanen saat 2 300 oC hari diikuti pemeraman hingga kuning penuh karena memiliki viabilitas dan vigor yang baik.
23
DAFTAR PUSTAKA Abu-Goukh ABA, Shattir AE, Mahdi EFM. 2010. Physico-chemical changes during growth and development of papaya fruit IΙ: chemical changes. Agric Biol J N Am. 1(5):871-877. Addai ZR, Abdullah A, Mutalib SA, Musa KH, Douqhan EMA. 2013. Antioxidant activity and physicochemical properties of mature papaya fruit (Carica pepaya L. cv. Eksotika). J Food Sci Technol. 5(7):859-865. [AOAC] Association Official Agriculture Chemist (US). 1995. Official Method of Analysis. Washington DC (US): AOAC. Angeline O, Ouma G. 2008. Effect of washing and media on the germination of papaya seeds. ARPN-JABS. 3(1):8-11. Arifeni F. 2004. Karakterisasi sifat-sifat morfologi dan kimiawi pada dua genotype tanaman pepaya (Carica papaya L.) dengan perbedaan sumber benih dalam buah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Baharsjah JS. 1991. Hubungan cuaca–tanaman. Bey A, editor. Kapita Selekta dalam Agrometeorologi. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bari L, Hassan P, Absar N, Haque ME, Khuda MIIE, Pervin MM, Khatun S, Hossain MI. 2006. Nutritional analysis of two local varieties of papaya (Carica papaya L.) at different maturation stages. Pak J Biol Sci. 9(1):137140. Basulto FS, Duch ES, Gil FE, Plaza RD, Saavedra AL, Santamaria JM. 2009. Postharvest ripening and maturity indices for Maradol papaya. Interciencia. 34(8):583-588. Bron IU, Jacomino AP. 2006. Ripening and quality of ‘Golden’ papaya fruit harvested at different maturity stages. Braz J Plant Physiol. 18(3):389-396. Brown PW. 2013. Heat units [Internet]. [diunduh 2014 Feb 24]. Tersedia pada: http://cals.arizona.edu/pubs/insects/az1602.pdf Calegario FF, Puschmann R. 1997. Relationship between peel color and fruit quality of papaya (Carica papaya L.) harvested at different maturity stages. Proc Fla State Hort Soc. 110:228-231. Chow YJ, Lin CH. 1991. p-Hydroxybenzonic acid as the major phenolic germination inhibitor of papaya seed. Seed Sci and Technol. 19:167-174. Chukwuka KS, Iwuagwu M, Uka UN. 2013. Evaluation of nutritional components of Carica papaya L. at different stages ripening. IOSR-JPBS. 6(4):13-16. da Silva JAT, Rashid Z, Nhut DT, Sivakumar D, Gera A, Souza Jr MT, Tennant PF. 2007. Papaya (Carica papaya L.) biology ang biotechnology. Tree and Forestry Science and Biotechnology. 1(1): 47-73. de Almeida FT, Bernardo S, de Sousa EF, Marin SLD, Grippa S. 2003. Growth and yield of papaya under irrigation. Sci Agricola. 60(3):419-424. Conklin PL. 2001. Recent advance in the role and biosynthesis of ascorbic acid in plants. Plant cell environ. 25:425-438 Dias MA, Dias DCFS, Junior FGG, Cicero SM. 2014. Morphological changes and quality of papaya seeds as correlated to their location within the fruit and ripening stages. IDESIA (Chile). 32(1):27-34.
24 [Ditbuah] Direktorat Budidaya dan Pascapanen Buah. 2010. Pedoman Penanganan Pascapanen Buah Terna dan Merambat. Jakarta (ID): Ditjen HortikulturaKementerian Pertanian. Fabi JP, Cordenunsi BR, Barreto GPDM, Mercadante AZ, Lajolo FL, Nascimento JROD. 2007. Papaya fruit ripening to ethylene and 1-Methylcyclopropene (1MCP). J Agric Food Chem. 55(15):6118-6123. Handoko. 1994. Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. Bogor (ID): Jurusan Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Handoko, Sugiarto Y, Syaukat Y. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah Kebijakan Independen dalam bidang perdagangan dan pembangunan. Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP for Partnership for Governance Reform in Indonesia. Hong TD, Ellis RH. 1996. A Protocol to Determine Seed Storage Behavior. Rome (IT): International Plant Genetic Resources Institute, University of Reading. Ilyas S. 2012. Ilmu dan Teknologi Benih. Bogor (ID): IPB-Press. Jabbar AA. 2011. Evaluasi viabilitas benih pepaya (Carica papaya L.) setelah penyimpanan pada kondisi kelembaban dan suhu kamar [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kays. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plants Product. New York (US): AVI Book. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2010. Deskripsi pepaya Callina [Internet]. [diunduh Januari 2017]. Tersedia pada: http://pkht.ipb.ac.id/wp-content/ uploads/2016/02/pepaya-calina.. Lee SK, Kader AA. 2000. Preharvest and postharvest factors influencing vitamin C content of horticultural crops. Postharv Biol Technol. 20:207-220. Manenoi A, Bayogan ERV, Thumdee S, Paull RE. 2006. Utility of 1ethylcyclopropane as a papaya postharvest treatment. Postharv Biol Tech. 44(1):55-62. [MFCL] Ministry of Fisheries, Crops and Livestock. 2003. Papaya postharvest care and market preparation. Technical Bulletin 5. Guyana (GY): New Guyana Marketing Corporation (NGMC) dan National Agricultural Research Institute (NARI). Miller P, Lanier W, Brandt S. 2001. Using growing degree days to predict plant stages. Montana State University [Internet]. [diunduh 2014 Feb 19]. Tersedia pada: http://msuextension.org/publications/AgandNaturalResources/MT200 03 AG.pdf. [MoEF&CC] Ministry of Environment, Forest and Climate Change. 2016. Biology of Carica papaya (papaya). New Delhi (IN): Ministry of Environment Forest and Climate Change, Government of India. Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor (ID): Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universtas Pangan dan Gizi, IPB. Murniati E, Sari M, Fatimah E. 2008. Pengaruh pemeraman buah dan periode simpan terhadap viabilitas benih pepaya (Carica papaya L.). Bul Agron. 36(2):139-145. Nakasone HY, Paull RE. 1998. Tropical Fruits. New York (US): CABI Publishing.
25 Nerson H. 2007. Seed production and germinability of cucurbit crops. Seed Sci Biotech. 1(1):1-10. Pantastico EB, Subramanyam H, Bhatti MB, Ali N, Akamine EK. 1986. Petunjukpetunjuk untuk pemanenan hasil. Kamariyani, penerjemah; Tjitrosoepomo G, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Postharvest Physiology, Handling, and Utilization of Tropical and Sub Tropical Fruits and Vegetables. Paull RE. 1993. Biochemistry of Fruit Ripening. Seymour L, Taylor, Tucker G, editor. London (UK): Chapman and Hall. Perry KB, Wu Y, Sanders DC, Garrett JT, Decoteau DR, Nagata RT, Dufault RJ, Batal KD, Granberry DM, Mclaurin WJ. 1997. Heat unit to predict tomato harvest in southeast USA. Agri Forest Metheorology. 84:249-254 [PKHT] Pusat Kajian Hortikultura Tropika. 2013. Deskripsi pepaya Callina [Internet]. [diunduh Mei 2016]. Tersedia pada: http://pkht.ipb.ac.id/. Pranoto HS, Mugnisjah WQ, Muniarti E. 1990. Biologi Benih. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor. Pollo R. 2003. Satuan panas dan perkembangan tiga varietas jagung pada tiga ketinggian tempat yang berbeda [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Purseglove JW. 1979. Tropical Crops. London (USA): Longman Group Limited. [Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2015. Statistik konsumsi pangan 2015 [Internet]. [diunduh 2016 Des 24]. Tersedia pada: http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/arsip-perstatistikan/163statistik/statistik-konsumsi/370-statistik-konsumsi-pangan-2015#/86/. Rini P. 2008. Pengaruh sekat dalam kemasan kardus terhadap masa simpan dan mutu pepaya IPB 9 [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sadjad S. 1993. Dari Benih Kepada Benih. Jakarta (ID): Grasindo. Sadjad S. 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. Jakarta (ID): PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Salomao AN, Mundim RC. 2000. Germination of papaya seed in response to desiccation, exposure to subzero temperatures, and giberelic acid. Hort Sci. 35(5):904-906. Samson JA. 1980. Tropical Fruits 2nd Ed. London (UK): Longman Inc. Sanchez VM, Sundstrom FJ, McClure GN, Lang NS. 1993. Fruit maturity, storage, postharvest storage maturation treatment affect bell pepper (Capsicum annum L.) seed quality. Scientia Horticulturae. 54:191-201 Sancho LEGG, Yahia EM, Martinez-Tellez MA, Gonzalez-Aguilar GA. 2010. Effect of maturity stage of papaya maradol on physiological and biochemical parameters. Am J Agri Biol Sci. 5(2):194-203. Sangakkara UR. 1995. Influence of seed ripeness, sarcotesta, drying, and storage on germinability of papaya (Carica papaya L.) seed. Pertanika J Trop Agric Sci. 18(3): 193-199. Sankat CK, Maharaj R. 1997. Postharvest Physiology and Storage of Tropical and Subtropical Fruits. Mitra SK, editor. England (UK): CAB International. Sari M. 2005. Pengaruh sarcotesta dan kadar air benih terhadap viabilitas dan daya simpan benih pepaya (Carica papaya L.) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
26 Sari M, Murniati E, Suhartanto MR. 2007. Pengaruh sarcotesta dan pengeringan benih serta perlakuan pendahuluan terhadap viabilitas dan dormansi benih pepaya (Carica papaya L.). Bul Agron. 33(2):23-30. Schweiggert RM, Steingass CB, Mora E, Esquivel P, Carle R. 2011. Carotenogenesis and physic-chemical characteristic during maturation of red fleshed papaya fruit (Carica papaya L.). Food Research Int. 44:1373-1380. Serry NKH. 2011. Postharvest handling of Solo papaya fruits harvested at different maturity stages. Am-Euras J Agric & Environ Sci. 11(2):205-210. Shattir AE, Goukh ABAA. 2010. Physico-chemical changes during growth and development of papaya fruit. I: physical changes. Agric Biol J N Am. 1(5):866-870. Sugito J. 2015. Kriteria kematangan pascapanen buah pepaya Callina pada umur petik dan umur tanaman berbeda [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010. Karakter fisik dan kimia buah pepaya pada stadia kematangan berbeda. J Agron Indonesia. 38(1):60-66. Suketi K. 2011. Studi morfologi bunga, penyerbukan dan perkembangan buah sebagai dasar pengendalian mutu buah pepaya IPB [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sulistyowati H. 2004. Perbaikan mutu benih pepaya dengan menggunakan mesin pemilah benih [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suparno. 2005. Kajian perlakuan pascapanen buah pepaya (Carica papaya l.) pada berbagai umur petik [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Surahman M, Syukur M, Sujiprihati S, Arifeni F. 2005. Pengaruh letak benih dalam buah pepaya (Carica papaya L.) terhadap persentase tanaman hermaprodit. Peranan Benih Dalam Menunjang Pertanian Sebagai Suatu Sistem Holistik. Seminar Nasional Perbenihan; 2005 Agustus 13-14; Palu, Indonesia (ID): Tadulako University Press hlm 199-204. Sutopo L. 2002. Teknologi Benih. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Syakur A, Koesmaryono Y, Suhardiyanto H, Ghulamahdi M. 2011. Pendekatan satuan panas untuk penentuan fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman tomat yang ditumbuhkan di rumah tanaman. JIA. 4(1): 417-420. Taris ML, Widodo WD, Suketi K. 2015. Kriteria kemasakan buah pepaya (Carica papaya L.) IPB Callina dari beberapa umur panen. J Hort Indonesia. 6(3):172-176. Villegas VN. 1997. Carica papaya L. p. 108-112. In Verheij EWM, Coronel RE (eds.). Edible Fruit and Nuts. Bogor (ID): Plant Resources of South-East Asia. (PROSEA) Foundation. Workneh TS, Azene M, Tesfay SZ. 2012. A review on the integrated agrotechnology of papaya. African J Biotech. 11(85):15098-15110. Wurochekke AU, Eze HT, Declan B. 2013. Comparative study on the nutritional content of Carica papaya at different ripening stages. Int J Pure Appl Sci Technol 14(2):80-83. Wulandari R. 2009. Pengujian benih pepaya (Carica papaya L.) dengan penyimpanan suhu dingin [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zhou L, Paull RE. 2001. Sucrose metabolism during papaya (Carica papaya) fruit growth and ripening. J Amer Soc Hort Sci. 126(3):35.
27
LAMPIRAN
28 Lampiran 1 Deskripsi pepaya varietas Callina Kriteria Asal Silsilah Golongan varietas Bentuk penampang batang Diameter batang Warna batang Bentuk daun Ukuran daun Warna daun Bentuk bunga Warna kelopak bunga Warna mahkota bunga Warna kepala putik Warna benang sari Umur mulai berbunga Umur panen Bentuk buah Ukuran buah Warna kulit buah Permukaan kulit buah Warna daging buah Tekstur daging buah Rasa daging buah Ketebalan daging buah Kekerasan daging buah Kekerasan buah dengan kulit Bentuk biji Warna biji Bobot 1 000 biji Kandungan vitamin C Kadar gula Bobot per buah Jumlah buah per tanaman Bobot buah per tanaman Persentase bagian buah dapat dikonsumsi Daya simpan buah pada suhu 25-28oC Hasil buah Populasi per hektar Keterangan Pengusul
Uraian California seleksi galur penyerbukan sendiri; penyerbukan terbuka (Suketi 2011) bulat 9-10 cm coklat keabuan menjari panjang 48-52 cm, lebar 55-57 cm hijau lonjong hijau muda putih kekuningan putih kekuningan kuning 4 bulan setelah tanam 8-9 bulan setelah tanam silindris panjang 23.0-24.0 cm, diameter 9.2-9.5 cm hijau lumut halus jingga halus manis 1.9-3.4 cm sedang sedang bulat oval abu-abu kehitaman 78.8-79.0 g 72.9-84.3 mg/100 g 10.1-11.2 obrix 1.2-1.3 kg 48-52 buah/empat bulan 57.4-67.6 kg/empat bulan 62.9-85.7% 6-7 hari setelah panen 69.1-78.9 ton/ha/empat bulan 1 200 tanaman beradaptasi dengan baik di dataran rendah sampai medium dengan altitude 100-500 m dpl Pusat Kajian Buah Tropika LPPM-IPB
29 Lampiran 1 (lanjutan) Kriteria Peneliti
Uraian Sriani Sujiprihati, Endang Gunawan, Kusuma Darma, Ahmad Kurniawan, Hidayat (Pusat Kajian Buah Tropika LPPM-IPB), Gunaryo (Fakultas Pertanian IPB)
Sumber : Lampiran Surat Keputusan Menteri Pertanian, No. 2108/Kpts/SR.120/5/2010 (Kementan 2010), Suketi (2011)
Lampiran 2 Data curah hujan dan suhu Tajur 2014 Bulan
Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Rata-rata
Curah hujan (mm) 281 510 296 340
356.75
Suhu (oC)
25.6 23.0 23.0 23.3
23.73
Leuwisadeng 2014
Rancabungur 2015
Curah hujan (mm)
Curah hujan (mm)
510 296 340 453 454 450 417.17
Suhu(oC)
23.0 23.0 23.3 25.8 26.2 26.3 24.60
345.5 374.3 206.1 201.9 90.2 1.6 112.4 190.29
Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (2016)
Suhu (oC) 25.0 25.6 25.8 26.3 26.2 26.1 26.2 25.89
30
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 16 November 1988. Penulis merupakan anak bungsu dari 11 bersaudara dari pasangan Bapak Enjang Syafei Muchtar (Alm) dan Ibu Opoh Syarifah. Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Lembang Bandung. Pada tahun 2007 penulis diterima di program studi Agronomi dan Hortikultra, Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2011. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2013. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) melalui program beasiswa BPPDN Dikti. Penulis menikah pada tahun 2014 dengan Hamdan Abdul Aziz dan dikaruniai seorang putri bernama Nafeesa Hadziq Azizah. Penulis menjadi anggota bidang pengembangan sumber daya manusia dan sosial keagamaan pada Forum Pascasarjana Agronomi dan Hortikultura (FORSCA AGH) periode 2013-2014 selama mengikuti program S-2. Penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisiologi Tanaman dan Tanaman Buah pada tahun 2014. Karya ilmiah berjudul Karakterisasi Kematangan Pascapanen Buah dengan Metode Satuan Panas terhadap Viabilitas Benih Pepaya Callina telah disajikan pada Seminar Nasional Perhimpunan Agronomi Indonesia pada tahun 2016.
31