KRITERIA KEMATANGAN PASCAPANEN PISANG MAS KIRANA (Musa sp. AA Group) BERBASIS SATUAN PANAS
EKA YULYANA
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Mas Kirana (Musa sp. AA grup) Berbasis Satuan Panas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Eka Yulyana NIM A24110038
ABSTRAK EKA YULYANA. Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Mas Kirana (Musa sp. AA grup) Berbasis Satuan Panas. Dibimbing oleh WINARSO DRAJAD WIDODO dan KETTY SUKETI. Percobaan bertujuan mempelajari kriteria kematangan pascapanen pisang Mas Kirana dan menentukan waktu panen terbaik berdasarkan satuan panas untuk penanganan pascapanen dalam memperpanjang masa simpan buah. Percobaan dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai Februari 2015 di Kebun Cibungur PTPN VIII Sukabumi dan Laboratorium Pascapanen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan yang digunakan adalah pisang Mas Kirana dengan umur panen yang berbeda. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor dengan 5 umur panen 35, 40, 45, 50 dan 55 hari setelah antesis (HSA) dan 4 ulangan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa umur panen terbaik dengan umur simpan terpanjang 9 hari setelah panen (HSP) ialah pada pemanenan 40-50 HSA dengan satuan panas mencapai 576.5725.5 oC hari. Perlakuan umur panen tidak mempengaruhi laju emisi CO2 selama penyimpanan, kandungan vitamin C dan padatan terlarut total (PTT). Perlakuan umur panen memberikan pengaruh terhadap kekerasan kulit dan daging buah, susut bobot, bagian buah dapat dimakan, asam tertitrasi total (ATT) dan rasio PTT/ATT. Buah yang dipanen muda memiliki kandungan ATT lebih tinggi. Pada umur panen 35 HSA diperoleh nilai ATT sebesar 39.8 mmol/100 g bahan. Rasio PTT/ATT tertinggi diperoleh pada umur panen 50 HSA yakni mencapai 1.12, dengan susut bobot terendah 10.6% dan bagian buah dapat dimakan 82.2%. Kata kunci: klimakterik, laju emisi CO2, pascapanen, pemasakan
ABSTRACT EKA YULYANA. Postharvest Maturity Indices of Banana’s Mas Kirana (Musa sp. AA group) Based on Heat Unit. Supervised by WINARSO DRAJAD WIDODO and KETTY SUKETI. The objective of this experiment was to study postharvest maturity on banana’s Mas Kirana and determine best harvesting date based on heat unit for postharvest handling in order to prolong the fruit's shelf life. The experiment was conducted on December 2014 until February 2015 at PT Perkebunan Nusantara VIII Estate, Cibungur, Sukabumi and Postharvest Laboratory, Departement of Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. Banana’s Mas Kirana with different harvesting date was used. The research was conducted in a complete randomized design using single factor with 5 harvest dates 35, 40, 45, 50 and 55 day after anthesis (DAA) and 4 replication. The result shows best harvesting date with longest shelf life on 9 days after harvesting (DAH) is 4050 DAA with heat unit 576.5-725.5 oC days. Harvesting date not affect emision CO2 rate during storage, vitamin C and total soluble solid (TSS). Harvesting date
affect of firmness flesh skin, weight loss, edible part, total titritable acidity (TTA) and ratio of TSS / TTA. Fruits that are harvested unripe have high TTA content. Harvesting date affects TTA on 35 DAA with acidity 39.8 mmol/100 g of material. The highest ratio of TSS/TTA was obtained on harvesting time at 50 DAA on 1.12 with the lowest weight loss 10.6% and edible part 82.2%. Keywords: climacteric, emision CO2 rate, postharvest, ripening
KRITERIA KEMATANGAN PASCAPANEN PISANG MAS KIRANA (Musa sp. AA Grup) BERBASIS SATUAN PANAS
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR EKA2015 YULYANA
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Desember 2014 hingga Februari 2015 ini ialah Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang, dengan judul penelitian Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Mas Kirana (Musa sp. AA Grup) Berbasis Satuan Panas. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ir Winarso D Widodo, MS, PhD dan Dr Ir Ketty Suketi, MSi sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta perbaikan-perbaikan selama kegiatan penelitian hingga penulisan skripsi ini selesai, kepada Prof Dr Ir Didy Sopandie, MScAgr selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama masa perkuliahan, dan Dr Ani Kurniawati, SP, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan perbaikan dalam penulisan skripsi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Danu Rianto, Bapak Agus, Bapak Nana Sumana dari PTPN VIII Industri Hilir Terpadu, Bapak Iwan, Bapak Nanang beserta staf di Kebun Cibungur PTPN VIII yang telah banyak membantu selama kegiatan di lapangan, juga keluarga Dandelion 48, IKAMASI 48, Pondok Dandelion, serta teman-teman yang selalu memberi semangat dan dukungan selama penyusunan skripsi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, September 2015 Eka Yulyana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Botani Pisang
2
Ekologi dan Fisiologi Pisang
3
Panen dan Penanganan Pascapanen Pisang
4
Satuan Panas Pisang
5
METODE PENELITIAN
6
Tempat dan Waktu
6
Bahan dan Alat
6
Rancangan Percobaan
7
Prosedur Percobaan
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
12
Satuan Panas, Umur Simpan dan Laju Emisi CO2
12
Karakteristik Mutu Fisik
17
Karakteristik Mutu Kimia
18
KESIMPULAN DAN SARAN
20
Kesimpulan
20
Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
21
LAMPIRAN
25
RIWAYAT HIDUP
35
DAFTAR TABEL 1 Satuan panas, umur simpan dan laju emisi CO2 pisang Mas Kirana pada beberapa umur panen 2 Kualitas fisik pisang Mas Kirana pada skala warna 6 3 Kualitas kimia pisang Mas Kirana pada skala warna 6
12 17 19
DAFTAR GAMBAR 1 Proses persiapan buah 2 Indeks skala warna kematangan pisang Cavendish 3 Indeks skala warna pisang Mas Kirana pada beberapa tingkat kematangan 4 Kondisi suhu udara di lingkungan selama masa generatif 5 Laju emisi CO2 pisang Mas Kirana pada beberapa umur simpan 6 Keragaman dalam proses pemasakan pisang Mas Kirana 7 Tingkat kematangan pada beberapa umur panen 8 Penyakit pascapanen
8 8 12 13 14 15 16 18
DAFTAR LAMPIRAN 1 Analisis sidik ragam kriteria kematangan pisang Mas Kirana pada beberapa umur panen 2 Proses inkubasi pisang Mas Kirana 3 Proses pemanenan dan pembersihan di lapangan 4 Deskripsi varietas pisang Mas Kirana 5 Standar kualitas pisang berdasarkan SNI 7422:2009
25 26 26 27 29
PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang merupakan buah yang sangat potensial untuk pemenuhan gizi masyarakat karena buahnya memiliki nilai gizi yang tinggi, tidak bermusim, mudah dibudidayakan dan harga yang terjangkau. Produksi pisang di Indonesia tahun 2012 sebesar 6 270 813 ton dan meningkat menjadi 6 380 471 ton pada tahun 2013 (Ditjen Horti 2014). Perkembangan produktivitas pisang di Indonesia tahun 2012 mencapai 60.00 ton/Ha dan pada tahun 2013 meningkat hingga 60.70 ton/Ha. Produksi pisang di Indonesia terbesar berasal dari Jawa Timur 1 223 442 ton, Jawa Barat 1 045 368 ton, Jawa Tengah 552 963 ton, Lampung 678 492 ton dan Sumatera Utara 342 298 ton (BPS 2014). Permintaan terhadap buah pisang terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, peningkatan taraf pendapatan, kesadaran masyarakat akan kebutuhan gizi dan selera konsumen terhadap buah pisang yang berkualitas. Berdasarkan data PUSDATIN (2014) total konsumsi pisang per kapita relatif stabil setiap tahun, namun cenderung menurun dalam lima tahun terakhir dengan rata-rata penurunan sebesar 1.80 % per tahun. Tahun 2012 total konsumsi pisang sebesar 5.788 kg/kapita/tahun dan pada tahun 2013 terjadi penurunan hingga mencapai 5.631 kg/kapita/tahun. Tuntutan konsumen terhadap kualitas pisang yang baik membuat agribisnis pisang terus berkembang tidak hanya memperhitungkan kuantitas produksi yang dihasilkan tetapi juga kualitas pisang yang sangat berperan dalam penentuan harga. Hal tersebut memberikan peluang bagi Indonesia untuk melakukan ekspor pisang ke beberapa negara seperti China, Saudi Arabia, Kuwait, dan Malaysia. Berdasarkan data BPS (2014) pada tahun 2013 ekspor pisang Indonesia mencapai 5 680 364 ton meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 1 489 370 ton. Buah pisang yang baik tidak hanya bergantung pada rasa daging buah yang lezat namun keragaan visual yang menarik juga akan menjadi nilai tambah bagi buah pisang tersebut. Menurut Kitinoja dan Kader (2002) manajemen yang efektif selama periode pascapanen sangat diperlukan untuk menjaga mutu (keragaan, tekstur, citarasa dan nilai nutrisi), melindungi keamanan pangannya, dan mengurangi susut saat panen sampai produk tersebut dikonsumsi. Permasalahan penting budidaya pisang salah satunya adalah penentuan waktu panen yang tepat sesuai dengan tujuan pemasaran. Pemanenan pisang yang terlalu cepat menyebabkan mutu pisang rendah walaupun daya simpannya lebih lama (Satuhu dan Supriyadi 1999). Tingkat ketuaan buah mempengaruhi kualitas serta kandungan kimia dan gizinya. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan umur dan karakter fisik. Umur panen dapat ditentukan mulai dari saat bunga mekar hingga buah siap dipanen. Umur panen pisang berkisar 100-120 hari setelah bunga mekar, tergantung varietas (Satuhu 1995). Penentuan waktu panen yang biasa dilakukan petani adalah dengan menghitung jumlah hari setelah bunga antesis hingga panen, bergantung pada jenis pisang yang ditanam. Namun pemanenan dengan metode tersebut banyak menimbulkan keragaman dalam pemasakannya. Hal ini menjadikan metode
2
pemanenan tersebut tidak efektif terutama untuk perkebunan besar yang harus menghasilkan buah yang seragam dengan kualitas baik. Hal tersebut mendorong pengembangan metode pemanenan dengan mempertimbangkan energi panas yang dibutuhkan tanaman untuk reaksi fisiologi selama pertumbuhan dan perkembangan mulai dari antesis hingga panen. Metode pemanenan tersebut dikenal dengan metode satuan panas (heat unit / thermal unit). Metode pemanenan ini dianggap lebih akurat dibanding dengan metode penghitungan hari setelah bunga antesis karena konsep dari metode ini menghitung suhu rata-rata aktual yang diperoleh tanaman selama di lahan hingga tanaman tersebut mencapai kematangan optimal untuk dipanen. Berbeda halnya dengan perhitungan hari setelah antesis, suhu ratarata yang diperoleh tanaman selama pembudidayaan tidak diperhitungkan. Penelitian mengenai kriteria kematangan pascapanen telah dilakukan oleh Mulyana (2011) mengenai penyimpanan pascapanen pisang Raja Bulu dengan menggunakan 30 g bahan oksidan etilen (27.75 g tanah liat + 2.25 g KMnO4) dapat meningkatkan daya simpan buah 5 hari lebih lama dibandingkan kontrol. Hasil penelitian Sutowijoyo dan Widodo (2013) pada pisang Raja Bulu dan pisang Kepok, menunjukkan bahwa umur petik terbaik untuk penanganan pascapanen dalam rangka memperpanjang umur simpan pada pisang Raja Bulu adalah 95 HSA, dan 110 HSA pada pisang Kepok. Hasil lain ditunjukkan oleh Rahayu et al. (2014) bahwa pisang Raja Bulu yang dipetik pada 85 HSA (satuan panas 1 305°C hari) dapat disimpan selama 10 hari. Penelitian dilanjutkan dengan jenis pisang Mas Kirana dengan tujuan mempelajari kriteria kematangan pascapanen pisang Mas Kirana dari beberapa umur panen dan menentukan saat panen terbaik berdasarkan satuan panas yang diperoleh selama pembudidayaan di lahan untuk penanganan pascapanen dalam rangka memperpanjang masa simpan buah.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari kriteria kematangan pascapanen pisang Mas Kirana dari beberapa umur panen dan menentukan saat panen terbaik berdasarkan satuan panas yang diperoleh untuk penanganan pascapanen dalam rangka memperpanjang masa simpan buah.
TINJAUAN PUSTAKA Botani Pisang Pisang termasuk famili Musaceae dari ordo Zingiberales dan terdiri dari 2 genus Musa dan Ensete. Genus Musa terbagi dalam 4 golongan, yaitu Australimusa, Callimusa, Rhodochalamys dan Eumusa. Golongan Australimusa dan Eumusa merupakan jenis buah yang dapat dikonsumsi. Golongan Australimusa antara lain Musa textilis dan Musa maclayi. Golongan Eumusa terdiri atas Musa basjoo, Musa acuminata dan Musa balbisiana (Perrier dan du Montcel 1990). Buah pisang yang
3
dapat dimakan sebagian besar berasal dari golongan Musa acuminata dan Musa balbisiana. Beberapa pisang Musa accuminata antara lain pisang tanpa biji diploid (AA) dan triploid (AAA) yang merupakan bentuk pisang segar seperti ‘Sucrier’ serupa dengan pisang Mas dan ‘Grand Nain’. Demikian pula, Musa balbisiana diterapkan pada pisang murni tanpa biji diploid (BB) dan triploid (ABB) yang merupakan jenis pisang olahan seperti ‘Abuhon’ dan ‘Saba’ atau pisang Kepok di Indonesia (Robinson 1999). Terdapat 2 jenis pisang yang dapat dimakan dan dikelompokkan berdasarkan pemanfaatannya yaitu pisang meja (banana) yang biasa disajikan sebagai buah segar dan pisang olahan (plantain). Sebagian besar jenis pisang meja (banana) merupakan triploid seperti AAA yang membawa 3 set kromosom turunan dari Musa acuminata. Secara umum pisang olahan (plantain) merupakan triploid misalnya AAB dan ABB (Samson 1980). Pisang yang dimakan sebagai buah segar antara lain: pisang Ambon, Susu, Raja, Cavendish, Barangan, dan Mas. Pisang yang disajikan sebagai olahan antara lain: pisang Nangka, Tanduk, dan Kepok. Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa, adapula yang dimanfaatkan daunnya, seperti pisang Batu dan Klutuk. Pisang yang diambil seratnya yaitu pisang Manila (Kemenristek 2014). Kultivar pisang yang memiliki peluang pasar menjanjikan untuk komoditas ekspor antara lain Raja Bulu dan Kepok kuning. Pada tingkat lokal, petani lebih memilih pisang Ambon Lumut, Ambon Kuning, Barangan, Nangka, Tanduk, dan Raja Sereh karena permintaan lokal yang cukup tinggi. Pisang komersial merupakan hasil keturunan mutasi dari spesies Musa liar yang menghasilkan buah tidak berbiji dan enak dimakan. Spesies liar itu adalah Musa acuminata dan Musa balbisiana (Sastrahidayat dan Soemarno 1991). Pisang merupakan tanaman herba tahunan dengan sistem perakaran serabut, akar tersebut tumbuh pada umbi batang di dalam permukaan tanah. Batangnya berupa umbi batang (bonggol) yang berada didalam tanah, sedangkan bagian yang berdiri tegak menyerupai batang adalah batang semu yang terdiri atas pelepahpelepah daun. Daun berbentuk lanset memanjang dengan lapisan lilin di permukaan bawahnya. Daun pisang tidak memiliki tulang daun sehingga daun mudah sobek bila terhempas angin (Cahyono 2009).
Ekologi dan Fisiologi Pisang Pisang dapat tumbuh di daerah tropis baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan iklim tropis basah, lembab dan panas yang mendukung pertumbuhan pisang. Curah hujan optimal adalah 1 520 – 3 800 mm/tahun dengan 2 bulan kering atau 2 000 - 2 500 mm/tahun dengan paling tidak 100 mm/bulan. Variasi curah hujan harus diimbangi dengan ketinggian air tanah agar tanah tidak tergenang. Suhu udara berkisar antara 15-35°C dengan suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 27°C dan suhu maksimum 38°C. Tanah liat yang mengandung kapur atau tanah alluvial dengan pH tanah antara 4.5-7.5 adalah baik untuk pertanaman pisang. Tanaman ini toleran akan ketinggian dan kekeringan. Ketinggian tempat tidak lebih dari 1 600 mdpl. Di Indonesia umumnya pisang juga dapat tumbuh pada dataran rendah sampai pegunungan setinggi 2.000 mdpl (B2P2TP 2008).
4
Pisang menunjukkan pola respirasi klimakterik yang diawali dengan rendahnya laju produksi CO2 atau pengambilan O2 (praklimakterik), diikuti dengan peningkatan yang signifikan (peningkatan klimakterik), puncak klimakterik dan akhirnya menurun (pascaklimakterik) (Hassan et al. 1990). Pertumbuhan sangat terbatas di bawah 13°C dan klorofil rusak di bawah 6°C (Newley et al. 2008). Pertumbuhan tunas terbaik antara 26-28°C dan buah 29-30°C. Gejala chilling injury pada suhu 16°C meliputi kegagalan tangkai berbunga, perubahan warna buah menjadi kuning atau hijau keabu-abuan kusam, bentuk buah terdistorsi, dan peningkatan jumlah buah busuk (Crane et al. 2005). Terdapat hubungan antara suhu dan proses pertumbuhan tanaman pisang. Pada suhu dibawah 12°C terjadi chilling injury yaitu kerusakan akibat suhu dibawah optimal. Pertumbuhan dimulai pada suhu 18°C dan mencapai optimum pada suhu 27°C kemudian turun dan mulai berhenti pada suhu 38°C (Samson 1980). Sebagian besar kultivar pisang di negara-negara ASEAN memiliki kisaran suhu terjadinya kerusakan akibat chilling injury sekitar 12-13°C (Hassan et al. 1990). Gejala chilling injury pada pisang antara lain bagian dalam buah berongga, kelainan pada warna kulit buah, pemasakan abnormal, pengerasan plasenta tengah, ketidaksempurnaan rasa dan sangat rentan terhadap kerusakan mekanis (Nguyen dan Saicho 2009). Pada suhu <12°C terjadi perubahan warna menjadi coklat kehitaman, penyebaran pembuluh getah pada kulit buah. Chilling injury juga mengakibatkan pematangan fisiologi oleh penundaan puncak klimakterik dan beberapa diantaranya menghasilkan puncak respirasi (Murata 1969).
Panen dan Penanganan Pascapanen Pisang Waktu yang dibutuhkan dari berbunga sampai panen bervariasi tergantung kultivar pisang, kondisi iklim dan terkadang manajemen produksi juga ikut memengaruhi waktu panen. Umumnya umur berbunga hingga panen berkisar 3 sampai 5 bulan (Tushemerehe et al. 2001). Masalah utama dalam penanganan pascapanen yakni kerusakan akibat pengangkutan, banyak petani di Indonesia belum begitu peduli akan pentingnya manajemen pascapanen yang utamanya merupakan hal penting dalam menetukan kualitas buah yang dihasilkan. Tujuan pemanenan dalam upaya mengembangkan secara penuh karakteristik aroma, rasa dan warna selama penyimpanan maka pemanenan dilakukan pada stadia matang optimal. Sebaliknya, pemanenan pada matang stadia lanjut tidak baik untuk pemasaran ekspor karena umur simpan lebih pendek. Buah pisang yang telah matang sangat mudah dikenali melalui perubahan warna kulitnya, oleh karena itu indeks warna kulit menjadi penting dan digunakan sebagai penanda tingkat kematangan buah pisang (Prabawati et al. 2011). Perkembangan pisang pada buah yang masih hijau yakni akumulasi pati yang diikuti oleh fase pematangan cepat. Pertumbuhan sebelum pematangan sebagai interval antara berbunga hingga muncul buah pertama yang menguning. Proses ini didefinisikan dalam akumulasi derajat suhu, yang didasarkan pada konsep satuan panas (heat unit) (Ganry dan Chillet 2008). Salah satu kriteria yang sangat berguna untuk panen adalah usia saat muncul buah semu (pertama buah terlihat). Pada umur tertentu, kematangan setiap sisir pisang bervariasi. Sisir di ujung proksimal batang menjadi lebih matang daripada yang di ujung distal. Perkiraan jatuh tempo seluruh
5
batang kemudian dinilai dengan menggunakan sisir kedua dari ujung proksimal (Robinson 1999). Penurunan kandungan pati setelah mencapai titik tertinggi menandakan proses pematangan mulai terjadi. Sebagian pati akan dihidrolisis menjadi gula sehingga kandungan pati menurun. Indeks untuk menentukan derajat ketuaan pisang masih tergantung kepada petani dan daerahnya. Kriteria panen pisang di India antara lain perbandingan antara daging buah dan kulit buah, hilangnya sudut pinggiran jari buah, mengeringnya daun, mudah patahnya ujung bunga (Sabari et al. 1989) dan jumlah hari dari munculnya bunga (jantung). Hari dari munculnya bunga hingga panen dapat bervariasi antara 7-24 minggu tergantung kultivar, musim, pengelolaan tanaman dan lingkungan (Nakasone dan Paull 1999). Pisang Mas dapat dipanen 7-9 minggu (Hassan et al. 1990) atau 60 hari (Abidin 1990) dari munculnya bunga. Terjadi perubahan selama pematangan pisang diantaranya perubahan warna kulit buah, perubahan tekstur, perkembangan rasa yang berkontribusi pada peningkatan gula sederhana untuk kemanisan buah, penurunan asam organik dan phenolik untuk meminimumkan penyusutan dan peningkatan senyawa tertentu untuk memberikan rasa khas buah (Lizada et al. 1990).
Satuan Panas Pisang Konsep yang umum digunakan untuk menjelaskan pengaruh suhu terhadap perkembangan tanaman (fenologi) adalah thermal unit yang sering pula disebut day degrees atau heat unit. Perlu diperhatikan bahwa konsep ini hanya untuk tanaman netral yaitu yang tidak responsif terhadap panjang hari. Dalam konsep ini, dengan menganggap faktor lainnya seperti panjang hari tidak berpengaruh, laju perkembangan tanaman berbanding lurus dengan suhu (T) di atas suhu dasar (T0) (Handoko 1994). Penggunaan praktis heat unit adalah untuk menentukan kebutuhan panas reaksi-reaksi fisiologis dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman mulai dari tanam sampai panen. Perhitungan heat unit yang cermat dapat menentukan saat tercapai suatu tahap perkembangan tanaman tertentu, misalnya pembungaan, masak fisiologis atau panen yang lebih akurat. Jumlah satuan panas (heat unit) dalam satu hari diperoleh dari pengurangan suhu aktual dengan suhu dasar pada hari itu. Nilainilai dinyatakan dalam day degree atau degrees day (ºCd) atau heat unit atau thermal unit. Kegunaan sistem heat unit yaitu : mengemukakan adanya perbedaan lamanya masa pertumbuhan bagi setiap varietas, menentukan panen (Hawker dan Jenner 1993), dan menentukan fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Syakur 2012). Konsep ini telah banyak digunakan untuk waktu panen yang tepat atau waktu keluarnya bunga untuk maksud pemuliaan tanaman. Penerapannya di lapangan tidak sulit karena pelaksanaannya mudah dan murah. Oleh sebab itu metode penentuan umur dengan satuan waktu (hari) mulai ditinggalkan karena sering kurang tepat akibat adanya keragaman suhu rata-rata harian setiap musim tanam. Keragaman tersebut menyebabkan jumlah hari untuk dapat dipanen atau mencapai perkembangan tertentu tidak selalu sama bahkan jauh berbeda. Menurut Wang (1960) akumulasi satuan panas ini didasari pemikiran bahwa suhu dipandang sebagai faktor yang mewakili tersedianya energi guna pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
6
Berdasarkan hasil penelitian Tixier et al. (2009) pada pink banana (Musa spp., AAA group) menunjukkan ambang temperatur pink banana 19.8 °C dan menunjukkan bahwa green-life menurun secara linear dengan usia fisiologis buah dan memperlihatkan hubungan antara akumulasi satuan panas selama pertumbuhan buah dan green-life. Untuk pisang Martinique, optimal saat berbunga hingga panen ditemukan 548°C hari. Hasil percobaan Rahayu et al. (2014) pada pisang Raja Bulu menunjukkan jumlah satuan panas mulai dari bunga antesis hingga panen sebesar 1 305.5°C hari. Jullien et al. (2008) menyatakan bahwa metode empiris berdasarkan waktu panen ataupun ukuran buah dapat menyebabkan pematangan selama transportasi, sementara metode berdasarkan akumulasi satuan panas dapat memperhitungkan kebutuhan panas untuk reaksi-reaksi fisiologis yang lebih tepat dan meminimalkan resiko pematangan selama transportasi. Menurut Estiningtyas dan Irianto (1994) metode akumulasi satuan panas bersifat spesifik lokasi dengan nilai akumulasi satuan panas di dataran rendah lebih besar dibandingkan dengan di dataran tinggi. Akumulasi satuan panas kedelai dari saat tanam hingga panen mencapai 1 423.9-1 784.9 °C hari.
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Cibungur PT Perkebunan Nusantara VIII Kabupaten Sukabumi. Penandaan bunga pisang dilakukan pada bulan Desember 2014. Analisis pascapanen dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2015 di Laboratorium Pascapanen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan utama dalam percobaan ini adalah pisang Mas Kirana (Musa sp. AA Group) umur 8 bulan setelah tanam, sistem tanam intercropping dengan karet umur 3 tahun dan jarak tanam 3 m x 2.5 m dengan umur panen 35, 40, 45, 50 dan 55 hari setelah antesis (HSA). Penentuan umur panen tersebut mengacu pada SOP panen PTPN VIII Sukabumi yang menetapkan pemanenan pada 45 HSA dan minimal 35 HSA, dan berdasarkan BPTP Jatim (2011) yang menyatakan bahwa pisang Mas Kirana dari munculnya bunga (ontong) sampai petik panen memerlukan waktu 3642 hari tergantung ketinggian tempat dan kesuburan tanah. Pemilihan tanaman contoh ditentukan dengan proses tagging dengan memperhatikan kondisi fisik pisang dan saat antesis ditentukan pada bunga yang telah membuka satu daun seludang. Bahan lain dalam analisis pascapanen antara lain kertas saring, larutan amilum, larutan phenolftalein, Natrium Hipoklorit, aquades, larutan Iodine 0.01 N dan NaOH 0.1 N. Alat-alat yang digunakan terdiri dari termometer, penetrometer, hand refractometer, kosmotektor, timbangan analitik dan alat-alat titrasi.
7
Rancangan Percobaan Percobaan dilaksanakan dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 umur panen. Pisang Mas yang digunakan adalah buah matang hijau yang dipanen pada 35, 40, 45, 50 dan 55 HSA. Setiap umur panen diterapkan terhadap 4 tandan buah sebagai ulangan, sehingga terdapat 20 satuan percobaan. Buah pisang diambil dari bagian tengah sebanyak 2 sisir dari setiap tandan sebagai bahan uji. Model statistika yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij = μ + τi + εij Keterangan : Yij = Pengamatan pada umur panen ke-i dan ulangan ke-j μ = Nilai tengah populasi τi = Pengaruh umur panen ke-i (i=1, 2, 3, 4, 5) εij = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan umur panen ke-i dan ulangan ke-j Data dianalisis dengan menggunakan uji F pada aplikasi SAS (Statistical Analysis System) versi 9.1 dan diuji lanjut dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
Prosedur Percobaan Penandaan (tagging) Bunga Penandaan bunga dilakukan pada bulan Desember 2014 di Kebun Cibungur PT Perkebunan Nusantara VIII Kabupaten Sukabumi. Penandaan bunga dilakukan pada saat antesis untuk mendapatkan buah pisang dengan umur panen yang diinginkan. Setiap periode tagging terdiri atas umur panen 35, 40, 45, 50 dan 55 HSA. Penentuan umur panen tersebut didasarkan pada SOP panen PTPN VIII Sukabumi dan ketentuan BPTP Jatim. Selama masa generatif dilakukan pencatatan suhu maksimum dan minimum harian untuk mengetahui satuan panas (°C hari) pada pisang sampai umur panen 55 HSA. Suhu harian rata-rata merupakan total selisih antara suhu rata-rata (suhu maksimum dan suhu minimum) dengan suhu dasar yang ditetapkan sebesar 10°C. Persiapan Buah Buah pisang Mas Kirana yang telah dipanen (Gambar 1), terlebih dahulu dicuci dengan air mengalir kemudian dibersihkan dengan larutan desinfektan Natrium Hipoklorit dengan konsentrasi 10% untuk mengendalikan cendawan yang terdapat pada kulit buah, lalu dikering-anginkan. Buah yang telah dikeringkan diletakkan di atas koran atau kardus di dalam ruangan dengan suhu 25-30 °C dengan kelembaban 70 sampai 80%.
8
. Gambar 1 Proses persiapan buah; A: pencucian buah menggunakan Natrium Hipoklorit 10%, B: penyimpanan pisang pada suhu ruang Pengamatan Pengamatan satuan panas dilaksanakan sebelum pemanenan yakni selama masa pembudidayaan mulai dari bunga antesis hingga panen sesuai perlakuan. Pengamatan kriteria kematangan pascapanen dilakukan pada saat kulit buah mencapai skala warna 6. Laju emisi CO2 diukur setiap hari selama penyimpanan. Daya simpan ditentukan pada saat kulit buah mencapai skala warna 6. Kriteria kematangan pascapanen ditentukan dengan pengamatan 9 peubah yaitu: (1) umur simpan, (2) susut bobot, (3) bagian buah dapat dimakan (edible part), (4) kekerasan kulit buah, (5) kelunakan daging buah, (6) padatan terlarut total (PTT), (7) asam tertitrasi total (ATT), (8) laju emisi CO2 dan (9) kandungan vitamin C yang diamati pada skala warna 6. Pengamatan kriteria kematangan pascapanen tersebut mengacu pada penelitian yang telah dilaksanakan oleh Mulyana (2011), Arista (2013), Sugistiawati (2013), Sutowijoyo dan Widodo (2013), Rahayu et al. (2014) dan bersumber dari Wills et al. (1989). Indeks skala warna kulit buah Skala warna kulit buah didasarkan pada penyebaran warna hijau dan kuning dari pisang Cavendish. Menurut Kader (2008) derajat kekuningan kulit buah dinilai dengan skala 1 sampai 7. Nilai derajat kekuningan kulit buah pisang Cavendish:
Gambar 2 Indeks skala warna kematangan pisang Cavendish (Sumber: Kader 2008)
9
1: Hijau 2: Hijau dengan sedikit kuning 3: Hijau kekuningan 4: Kuning lebih banyak dari hijau
5: Kuning dengan ujung hijau 6: Kuning penuh 7: Kuning dengan bintik coklat
Satuan panas Satuan panas diukur dengan menghitung suhu rata-rata harian mulai dari antesis hingga panen dengan menggunakan termometer maksimum minimum yang dipasang di lahan. Pengamatan suhu dilaksanakan setiap hari pada jam 10.00 WIB. Berdasarkan Dufault et al. (1989) rumus yang digunakan :
SP = ∑
T max + T min -b 2
Keterangan : SP = Satuan panas (°C hari) T max = Suhu rata-rata maksimum (°C) T min = Suhu rata-rata minimum (°C) b = Suhu dasar 10 °C Umur simpan Umur simpan digunakan untuk mengetahui lamanya penyimpanan buah pada setiap umur panen sampai kulit buah mencapai skala warna 6. Kriteria yang digunakan dalam mengukur umur simpan yaitu perubahan indeks skala warna kulit buah. Pengamatan umur simpan dilakukan hingga kulit buah mencapai skala warna 6. Susut bobot Pengukuran susut bobot dilakukan dengan menggunakan timbangan analitik. Pengukuran susut bobot buah dilakukan dengan membandingkan bobot awal setelah dipanen dan bobot akhir saat kulit buah mencapai skala warna 6. Rumus yang digunakan: Susut bobot =
bobot awal - bobot akhir x 100% bobot awal
Bagian buah dapat dimakan (edible part) Pengukuran bagian buah dapat dimakan dilakukan menggunakan timbangan analitik. Pengukuran bagian buah dapat dimakan diukur dengan menimbang bobot buah pisang sebelum dikupas dan setelah dikupas. Bagian buah dapat dimakan dihitung dengan menggunakan rumus: % Edible part =
bobot daging buah x 100% bobot buah
10
Kekerasan kulit buah Kekerasan kulit buah diukur dengan alat penetrometer. Pengukuran dilakukan pada buah yang belum dikupas kulitnya, kemudian diletakkan sedemikian rupa hingga posisi stabil. Jarum penetrometer ditusukkan pada tiga tempat, yaitu: ujung, tengah dan pangkal buah. Kekerasan daging buah Kekerasan daging buah diukur dengan alat penetrometer. Pengukuran hampir sama seperti pada pengukuran kekerasan kulit buah namun kekerasan daging buah dilakukan pada buah yang sudah dikupas kulitnya. Padatan terlarut total Pengukuran PTT dilakukan untuk mengetahui kadar kemanisan buah dengan menggunakan hand refractometer. Kandungan PTT diukur dengan menghancurkan daging buah pisang, kemudian diambil sarinya dengan menggunakan kertas saring. Sari buah yang telah diperoleh diteteskan pada lensa hand refractometer. Kadar PTT dapat dilihat pada alat dalam satuan °Brix. Asam tertitrasi total Nilai ATT digunakan sebagai parameter dalam mengukur kandungan asam yang terdapat di dalam buah. ATT diukur berdasarkan netralisasi ekstrak buah oleh basa kuat NaOH. Berdasarkan Sutowijoyo dan Widodo (2013) kandungan ATT diukur dengan menghancurkan daging buah sebanyak 25 g, kemudian hancuran buah disaring dengan menambahkan aquades dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Larutan diambil sebanyak 25 ml dan ditambahkan indikator phenolftalein 3 tetes, kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N hingga larutan berubah warna menjadi merah muda. Kandungan ATT dihitung dengan menggunakan rumus : ATT (mmol/100 g bahan) =
ml NaOH x fp x 100 bobot contoh (g)
Fp : faktor pengenceran (100 ml/25 ml) Kandungan vitamin C Kandungan vitamin C diukur dengan titrasi menggunakan Iodine dan menggunakan 3 tetes indikator larutan amilum dengan konsentrasi 1 g/100 ml sesuai dengan metode pengukuran dari Sutowijoyo dan Widodo (2013) dan Arista (2014). Pembuatan larutan amilum: aquades 100 ml sebanyak 80 ml dididihkan kemudian dicampur dengan 20 ml aquades tersisa dengan tepung kanji sebanyak 1 g. Kemudian, pengukuran kandungan vitamin C dilakukan dengan menghancurkan bahan 25 g daging buah, bahan hancuran tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan aquades sampai tera lalu disaring. Setelah disaring, larutan diambil sebanyak 25 ml diberi 3 tetes indikator larutan amilum kemudian dititrasi dengan Iodine. Titrasi dilakukan sampai terbentuk warna biru tua yang stabil. Kandungan vitamin C dapat dihitung dengan rumus : Vitamin C (mg/100 g bahan) =
ml Iodine 0.01 N x 0.88 x fp x 100 bobot contoh (g)
11
Keterangan : 1 mg Iodine 0.01 N = 0.88 mg Asam askorbat Fp : faktor pengenceran (100 ml/25 ml) Laju emisi CO2 Pengukuran laju emisi CO2 dilakukan berdasarkan laju produksi gas CO2 yang dihasilkan oleh buah pisang. Pengamatan laju emisi CO2 dilaksanakan setiap hari sampai buah mencapai skala warna 6 sesuai dengan metode pengukuran dari Arista (2013) dan Rahayu et al. (2014). Alat yang digunakan adalah kosmotektor. Pengukuran laju emisi CO2 dilakukan dengan cara: buah pisang dimasukkan ke dalam wadah tertutup yang dihubungkan dengan 2 pipa plastik sebagai saluran pengeluaran CO2. Pengukuran emisi CO2 dilakukan setelah buah diinkubasi selama 2 jam. Laju emisi CO2 dihitung dengan rumus: L=
VxKx1.76 WxB
Keterangan: L = Laju emisi CO2 (ml/kg /jam CO2) V = Volume udara bebas dalam stoples (ml) K = Kadar CO2 W = Waktu inkubasi (jam) B = Bobot bahan (kg) Nilai 1.76 merupakan konstanta gas
12
HASIL DAN PEMBAHASAN Satuan Panas, Umur Simpan dan Laju Emisi CO2 Umur simpan merupakan faktor yang dapat menentukan kualitas buah hingga sampai kepada konsumen. Kualitas buah tidak dapat diperbaiki, namun dapat diperlambat penurunannya. Penentuan tingkat kematangan yang tepat pada saat pemanenan adalah hal yang dapat dilakukan dalam mempertahankan kualitas, terutama dalam hal memperpanjang umur simpan. Umur simpan diamati mulai dari pisang berwarna hijau tua (skala warna 1) hingga mencapai warna kuning penuh (skala warna 6) (Gambar 3).
Gambar 3 Indeks skala warna pisang Mas Kirana pada beberapa tingkat kematangan Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur panen terpendek diperoleh pada 55 HSA dengan lama umur simpan mencapai 6 HSP dan laju emisi CO2 291.94 ml/kg/jam CO2. Umur panen 40, 45 dan 50 HSA tidak menunjukkan perbedaan umur simpan pada skala warna 6 (Lampiran 1). Buah yang dipanen pada tingkat kematangan minimum dapat menyebabkan mutu fisik dan kimia rendah pada saat buah masak. Menurut Sutowijoyo dan Widodo (2013) dan Rahayu et al. (2014) buah yang dipanen lebih awal memiliki daya simpan lebih panjang dibandingkan dengan buah yang dipanen lebih lama. Tabel 1 Satuan panas, umur simpan dan laju emisi CO2 pisang Mas Kirana pada beberapa umur panen Laju emisi CO2 Satuan Umur simpan (HSP) a (ml/kg/jam CO2) Umur panen panas (°C hari) Skala 6 35 HSA 501.3 329.51 8.0 b 40 HSA 576.5 374.34 8.8 ab 45 HSA 651.8 279.17 9.9 a 50 HSA 725.5 274.67 9.4 ab 55 HSA 800.0 291.94 6.0 c a
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%, HSA= Hari setelah antesis, HSP = Hari setelah panen.
13
Pengukuran laju emisi CO2 melalui proses inkubasi dengan mengukur kadar CO2 yang dihasilkan buah. Proses inkubasi menggunakan stoples inkubasi dengan volume 6.5 L dan durasi inkubasi selama 2 jam (Lampiran 2). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa umur panen tidak mempengaruhi laju emisi CO2 selama penyimpanan (Tabel 1). Umur simpan terlama diperoleh pada umur panen 45 HSA dengan laju emisi CO2 cukup rendah yakni 279.17 ml/kg/jam CO2. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat emisi CO2 buah selama penyimpanan maka daya simpan buah lebih lama. Menurut Matto et al. (1986) laju emisi CO2 yang tinggi biasanya disertai dengan umur simpan yang pendek dan sebaliknya. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan laju emisi CO2 buah diantaranya kerusakan selama transportasi yang menyebakan timbulnya kerusakan mekanis pada kulit buah sehingga memacu peningkatan emisi CO2 dan juga produksi etilen. Menurut Kitinoja dan Kader (2002) kerusakan mekanis selama panen bisa menjadi masalah yang serius, karena kerusakan tersebut menentukan cepatnya produk untuk membusuk, meningkatnya kehilangan cairan dan meningkatnya emisi CO2 serta produksi etilen yang berakibat pada cepatnya kemunduran produk. Pengaruh aktivitas mikroorganisme penyebab penyakit pascapanen juga mempengaruhi aktivitas fisiologi buah. Menurut Kays (1991) secara umum buah muda aktif dalam perkembangan sel dan emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan dengan buah yang selselnya lebih matang. Laju emisi CO2 juga erat kaitannya dengan suhu lingkungan selama pembudidayaan. Suhu lingkungan di lapangan dicatat selama masa generatif dengan mencatat suhu rata-rata harian. Suhu rata-rata tertinggi selama pengamatan mencapai 26.3°C mendekati suhu optimum berkisar 27°C, dan terendah 20.3°C. Suhu dimana pisang masih dapat tumbuh dengan baik berkisar 15-35°C (Sunarjono 1989). Satuan panas diperoleh dari akumulasi suhu rata-rata harian. Kondisi suhu udara di lingkungan budidaya selama 55 hari disajikan pada Gambar 4. T min
T max
T rata-rata
Suhu (°C)
50 40 30
20 10 0 1
10
19
28 Hari
37
46
55
Gambar 4 Kondisi suhu udara di lingkungan selama masa generatif Emisi CO2 merupakan pemecahan oksidatif terhadap bahan kompleks yang terdapat dalam sel seperti tepung, gula dan asam amino menjadi molekul sederhana seperti CO2, air serta energi dan molekul lainnya yang dapat digunakan oleh sel untuk reaksi sintesis selanjutnya (Santoso dan Purwoko 1995). Selama pertumbuhan dan perkembangan, tanaman memerlukan sejumlah panas untuk
14
memperoleh energi bagi proses-proses fisiologinya. Sejumlah panas tersebut dapat dihitung dengan konsep satuan panas (heat unit, thermal unit). Salah satu proses fisiologi tersebut adalah respirasi. Pengukuran satuan panas saat antesis hingga panen memungkinkan adanya hubungan dengan laju respirasi selama pemasakan. Laju emisi CO2 pisang Mas Kirana pada beberapa umur panen selama penyimpanan disajikan pada Gambar 5. Pada grafik terlihat bahwa puncak klimakterik dicapai sebelum mencapai kemasakan optimum (skala warna 6). Puncak klimakterik pada umur panen 40 dan 55 HSA berturut-turut dicapai pada 7 dan 4 HSP, sedangkan pada umur panen 35, 45 dan 50 HSA terdapat beberapa puncak klimakterik. Berdasarkan Samson (1980) puncak klimakterik dicapai pada tingkat emisi CO2 yang lebih tinggi dibandingkan emisi CO2 tertinggi saat fase pra klimakterik, dalam hal ini laju emisi CO2 pada puncak klimakterik kedua menunjukkan puncak emisi CO2 buah. Puncak klimakterik pada umur panen 35, 45 dan 50 HSA berturut-turut dicapai pada hari ke- 6, 6 dan 4 HSP. Menurut Sabari et al. (1989) menyatakan puncak klimakterik pisang Mas diperoleh pada 5 HSP, sedangkan Abdullah et al. (1990) menyatakan pisang Saba atau pisang Kepok mencapai puncak klimakterik pada 6 HSP.
Emisi CO2 (ml/kg/jam)
1000 800 35 HSA
600
40 HSA 400
45 HSA
200
50 HSA
0
55 HSA 1
2
3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 Hari setelah panen (HSP)
Gambar 5 Laju emisi CO2 harian pisang Mas Kirana pada beberapa umur simpan Menurut Simmonds (1965) Produksi CO2 pisang rendah pada tingkat kematangan hijau, kemudian meningkat hingga puncak sebelum tanda awal kemasakan muncul dan kemudian menurun pada tingkat yang lebih tinggi dari tingkat yang sebelumnya ditemukan pada tingkat kematangan hijau. Berdasarkan Nakasone dan Paull (1998) informasi mengenai laju emisi CO2 dan produksi etilen dapat digunakan sebagai sumber acuan dalam menentukan kebutuhan suhu dalam ruang pendingin dan kontainer. Pisang termasuk ke dalam buah dengan emisi CO2 tinggi berkisar 35-70 mg/kg/jam CO2 dan produksi etilen menengah berkisar 0.1µ/kg/jam - 1.0 µ/kg/jam pada suhu 20°C. Buah dengan emisi CO2 tinggi memiliki masa simpan lebih pendek dibandingkan dengan buah dengan laju emisi CO2 rendah, untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan proses reduksi etilen. Berdasarkan Laksmi (1989a) Thailand Department of Agriculture melaporkan bahwa 1 ml KMnO4 dapat menyerap gas etilen yang dihasilkan oleh emisi CO2 satu sisir pisang Mas.
15
Beberapa penelitian mengenai penentuan waktu berdasarkan konsep satuan panas telah banyak dilakukan. Hasil penelitian Tixier et al. (2009) pada pink banana (Musa spp., AAA group) menunjukkan suhu dasar 19.8 °C dan satuan panas untuk pisang Martinique 548°C hari. Menurut Umber et al. 2011 dengan menggunakan model regresi linier dapat memperkirakan satuan panas pada Musa AAA cv FlhorBan 916 (F916) dan FlhorBan 918 (F918) berturut-turut 680°C hari dengan suhu dasar 17°C dan 970°C hari dengan suhu dasar 13.9°C. Estiningtyas dan Irianto (1994) menyatakan akumulasi satuan panas pada kedelai dari saat tanam sampai dengan panen sebesar 1423.9-1784.9°C hari yang dicapai 79-111 HST, sedangkan akumulasi dari saat tanam hingga berbunga sebesar 708.6-750.3°C hari yang dicapai selama 37-55 HST. Syakur (2012) menyatakan bahwa satuan panas tanaman tomat yang ditumbuhkan di dalam rumah tanaman (greenhouse) yaitu 1661°C hari yang dicapai selama 97 HST. Konsep satuan panas memiliki tingkat keakuratan yang lebih baik dibanding dengan penghitungan umur panen dari saat tanam dalam hal pendekatan suhu yang mewakili di lapangan. Banyak faktor agroklimat yang tidak diperhitungkan dalam penentuan satuan panas ini. Beberapa umur panen menunjukkan proses perubahan warna kuning pisang yang tidak seragam dalam satu sisiran buah (Gambar 6). Perubahan warna selama pemasakan terjadi akibat degradasi klorofil sehingga memunculkan pigmen karotenoid. Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1979) perombakan klorofil terjadi segera setelah puncak klimakterik tercapai. Mitra (1997) menyatakan bahwa laju degradasi klorofil pada pisang meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Degradasi klorofil maksimal terjadi pada suhu 22°C (60% per hari dan setelah dua hari warna hijau sedikit), dan degradasi klorofil sangat rendah pada suhu di bawah 15°C dan diatas 40°C.
Gambar 6 Keragaman dalam proses pemasakan pisang Mas Kirana, A: umur panen 40 HSA, B: umur panen 50 HSA Pisang Mas Kirana menunjukkan tingkat kematangan yang tidak berbeda pada keragaan warna buah yang dihasilkan pada setiap perlakuan umur panen (Gambar 7). Menurut Zhou dan Paull (2001) tingkat kematangan yang sama pada buah dengan umur panen yang berbeda dapat disebabkan oleh aktivitas fisiologis yang berbeda akibat pengaruh suhu udara dan kompetisi fotosintat antar buah, sehingga terdapat buah dengan genotipe sama yang memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai kematangan yang sama.
16
Gambar 7 Tingkat kematangan pada beberapa umur panen, A: umur panen 35 HSA, B: umur panen 40 HSA, C: umur panen 45 HSA, D: umur panen 50 HSA Menurut Pantastico (1986) dan Robinson (1999) tingkat kematangan yang sama pada beberapa umur panen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, faktor pra-panen seperti pemupukan, penyemprotan bahan kimia, pengaruh iklim, cara bercocok tanaman, pemberian irigasi, jumlah daun, kesuburan tanah dan tingkat kematangan panen. Menurut Suketi et al. (2010) buah pepaya yang dipanen pada jumlah hari setelah antesis berbeda, ada yang menunjukkan keragaan warna kulit buah yang sama dan diduga mempunyai tingkat kematangan buah yang sama. Penelitian mengenai penanganan pasca panen telah banyak dilakukan antara lain oleh Purwoko dan Magdalena (1999) pengemasan menggunakan plastik efektif dalam menghambat susut bobot, peningkatan padatan terlarut total, rasio PTT/ATT, dan penurunan kandungan asam tetapi memberikan off-flavor. Perlakuan suhu 1819°C efektif menghambat peningkatan kelunakan, peningkatan PTT, dan penurunan kandungan asam buah. Berdasarkan Sugistiawati (2013) aplikasi pembungkus oksidan etilen dengan dosis 30 g memperpanjang umur simpan hingga 15 hari. Menurut Suseno et al. (2013) aplikasi pelapisan chitosan 2% (w/w) dengan deacetylation (DD) 80% tanpa penambahan pengemulsi triethanolamine (TEA), efektif dalam mengurangi susut bobot, vitamin C dan analisis sensoris. Pantastico et al. (1986) menyatakan umur simpan dapat diperpanjang dengan pengendalian penyakit-penyakit pascapanen, pengaturan atmosfer, perlakuan kimia, penyinaran dan pendinginan.
17
Karakteristik Mutu Fisik Perubahan pada fisik buah terjadi selama proses pematangan buah. Kualitas fisik yang diamati antara lain, susut bobot, kekerasan kulit dan daging buah dan bagian buah dapat dimakan (Tabel 2) Tabel 2 Kualitas fisik pisang Mas Kirana pada skala warna 6 Umur panen a 35 HSA 40 HSA 45 HSA 50 HSA 55 HSA a
Kekerasan kulit (mm/g/detik) 10.8 b 12.6 a 9.1 b 8.0 b 7.6 b
Kekerasan daging (mm/g/detik) 25.1 a 17.3 b 24.4 a 13.3 c 22.3 a
Susut bobot (%) 10.6 c 17.8 a 14.7 b 13.6 b 13.9 b
Bagian buah dapat dimakan (%) 82.2 a 81.8 a 81.7 a 76.9 b 81.4 a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Pertambahan tingkat kematangan buah pada umumnya diikuti dengan proses pelunakan kulit dan daging buah. Semakin tinggi angka kekerasan kulit dan daging buah pada penetrometer menunjukkan bahwa buah tersebut semakin lunak. Perlakuan umur panen pada pisang Mas Kirana memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kekerasan kulit dan daging buah. Tingkat kekerasan kulit buah yang lunak diperoleh pada umur panen 40 HSA sebesar 12.6 mm/g/detik dan tingkat kekerasan yang tinggi atau keras diperoleh pada pemanenan 55 HSA sebanyak 7.6 mm/g/detik. Menurut Charles dan Thung (1973) tekstur buah pisang bergantung pada beberapa faktor antara lain jenis varietas yang dibudidayakan, teknik budidaya dan prosedur pematangan. Ketentuan umum standar mutu pisang mengikuti SNI pisang No. 7422:2009 (Lampiran 5) salah satunya adalah ketentuan minimum tekstur buah yang tidak terlalu lunak ataupun keras, serta bentuk yang padat (firm). Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1979) kriteria mutu fisik yang ideal bagi konsumen dapat diperoleh pada pemanenan 45 HSA karena tekstur buah tidak terlalu keras ataupun lunak dan bagian buah dapat dimakan cukup tinggi. Selama proses pematangan terjadi beberapa perubahan diantaranya kekerasan buah. Tingkat kekerasan buah dipengaruhi oleh perubahan tekanan turgor yang disebabkan adanya perubahan komposisi dinding sel. Berdasarkan Palmer (1971); Smith et al. (1989) penurunan kekerasan atau kelunakan selama pemasakan berhubungan dengan dua atau tiga proses yakni 1) pemecahan karbohidrat menjadi gula sederhana, 2) pemecahan dinding sel atau penurunan kohesi pada lamela tengah akibat kelarutan substansi pektin sehingga ikatan kimia pada dinding sel mengalami perubahan, 3) migrasi air dari kulit ke daging buah sebagai hasil dari osmosis. Umur panen memberikan pengaruh terhadap persentase susut bobot buah pada pemanenan 35 dan 40 HSA. Persentase susut bobot tertinggi diperoleh pada umur panen 40 HSA sebesar 17.8% dan terendah sebanyak 10.6% pada umur panen 35 HSA. Susut bobot terjadi salah satunya karena proses respirasi dan transpirasi. Pisang merupakan buah klimakterik yang masih melakukan proses fisiologi setelah dipanen. Menurut Wills et al. (1989) sumber energi yang digunakan buah setelah
18
dipanen bersumber dari cadangan makanan pada buah. Hilangnya substrat dan air tersebut tidak dapat digantikan sehingga kerusakan mulai timbul. Umur panen mempengaruhi persentase bagian buah dapat dimakan pada umur panen 50 HSA. Pada pemanenan 35 HSA diperoleh bagian buah dapat dimakan tertinggi sebesar 82.2% dengan susut bobot terendah sebesar 10.6%. Menurut Simmonds (1966) persentase bobot daging pisang pada awal perkembangan buah sangat rendah, sedangkan persentase bobot kulit sangat tinggi. Semakin matangnya pisang maka bobot daging pisang bertambah disertai sedikit demi sedikit pengurangan bobot kulitnya. Pengurangan ini disebabkan perubahan selulosa dan hemiselulosa dalam kulit menjadi zat pati selama proses pematangan. Penyakit pascapanen yang timbul setelah pisang Mas Kirana melewati skala warna 6 (over ripe) antara lain penyakit antraknosa dan crown rot pada Gambar 8. Menurut Laksmi (1989) penyakit pascapanen pada pisang dapat disebabkan infeksi mikroorganisme selama di lapangan atau lebih dikenal sebagai infeksi laten, pada saat tersebut gejala serangan belum terlihat, gejala terlihat setelah buah masak. Gejala penyakit antraknosa disebabkan oleh Colletotrichum musae yang ditandai dengan munculnya warna coklat muda berbentuk bulatan kecil di permukaan kulit buah dan bercak ini sedikit melekuk ke dalam (cekung), kemudian bulatan tersebut membesar dan membentuk areal serangan yang meluas. Sedangkan penyakit crown rot menyerang bonggol sisir buah yang disebabkan oleh Botryodiplodia theobromae yang menimbulkan luka warna hitam dan seringkali spora nampak terlihat putih mengumpul di bonggol sisir pisang.
Gambar 8 Penyakit pascapanen, A; Antraknosa, B; Crown Rot pada pisang Mas Kirana
Karakteristik Mutu Kimia Komposisi kimia buah sangat erat kaitannya dengan kualitas mutu buah. Rasa dan aroma merupakan salah satu komponen penting dalam penentuan kemasakan buah. Rasa buah yang manis, kandungan vitamin yang tinggi serta aroma pisang yang khas menjadikan salah satu indikator buah tersebut layak dikonsumsi sebagai buah dengan kualitas baik. Hasil analisis mutu kimia pada pisang Mas Kirana disajikan pada Tabel 4.
19
Tabel 4 Kualitas kimia pisang Mas Kirana pada skala warna 6 Vitamin C Asam tertitrasi Umur Padatan terlarut Rasio (mg/100 g total (mmol/100 g panen a total (°Brix) PTT/ATT bahan) bahan) 35 HSA 75.7 26.8 39.8 a 0.67 b 40 HSA 72.2 25.6 26.2 b 0.98 a 45 HSA 50 HSA 55 HSA
65.1 70.4 86.2
24.6 26.3 24.5
28.4 b 23.4 b 25.8 b
0.87 ab 1.12 a 0.94 a
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. HSA = Hari setelah antesis, PTT = Padatan terlarut total, ATT = Asam tertitrasi total.
Perlakuan umur panen mempengaruhi kandungan ATT pada umur panen 35 HSA yang mencapai 39.8 mmol/100 g bahan. Pemanenan yang dilakukan lebih awal, akan menghasilkan buah dengan tingkat keasaman yang lebih tinggi. Bugaud et al. (2013) menyatakan bahwa sitrat dan malat merupakan asam metabolit yang banyak terdapat pada buah pisang. Menurut Jullien et al. (2008) dan Etienne et al. (2013a) akumulasi kedua asam organik tersebut menentukan tingkat keasaman buah pisang saat panen. Etienne et al. (2013b) menyatakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keasaman buah diantaranya pemenuhan kebutuhan air, pemupukan mineral dan suhu lingkungan budidaya dapat mempengaruhi keasaman buah melalui konsentrasi asam organik dalam daging buah diantaranya dihasilkan dari akumulasi air dan bahan kering. Hasil penelitian Etienne et al. (2014) menunjukkan bahwa konsentrasi sitrat dan malat nyata dipengaruhi oleh genotipe dan umur buah, tetapi tidak dipengaruhi teknis budidaya. Peningkatan kandungan vitamin C tidak dipengaruhi umur panen buah. Menurut Pantastico (1986) kandungan vitamin C mengikuti pola yang tidak teratur selama pertumbuhan dan perkembangan buah. Menurut Kays (1991) konsentrasi asam askorbat (Vitamin C) pada kulit buah pisang lebih tinggi dibandingkan dalam daging buah. Hilangnya asam askorbat meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan lama penyimpanan. Umur panen tidak mempengaruhi kandungan PTT dalam daging buah. Pada umur panen 35 HSA kandungan PTT mencapai 26.8 °Brix sedangkan pada umur panen 55 HSA mencapai 24.5 °Brix. Pada pemanenan 35 HSA kandungan padatan terlarut total lebih tinggi dibanding pada pemanenan 55 HSA, hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi iklim selama perkembangan buah. Kondisi iklim pada buah yang dipanen 35 HSA mendapati intensitas curah hujan rendah dan emisi CO2 selama penyimpanan cukup tinggi mencapai 329.51 ml/kg /jam CO2, sehingga proses fisiologi buah dalam hal perombakan pati menjadi gula berjalan optimal dengan aktivitas perombakan pati menjadi gula lewat respirasi tinggi. Berbeda halnya pada pemanenan 55 HSA, selama perkembangan buah curah hujan cukup tinggi dan respirasi lebih rendah dibanding pada pemanenan 35 HSA. Menurut Eskin (1990) selama periode pascapanen pati diubah menjadi sukrosa, glukosa dan fruktosa. Proses perombakan pati menjadi gula dipengaruhi oleh kondisi fisiologis buah selama penyimpanan terutama dalam hal suhu dan lama penyimpanan. Padatan terlarut total menunjukkan kadar glukosa yang terdapat pada buah pisang.
20
Hasil analisis mutu kimia yang diperoleh menunjukkan kandungan ATT, PTT dan vitamin C yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan deskripsi varietas pisang Mas Kirana yang dikeluarkan Kementan (2005) (Lampiran 4). Beberapa hal yang menjadi pertimbangan konsumen dalam mengonsumsi buah adalah mengenai kualitas rasa dan nilai gizi yang baik. Pisang Mas Kirana yang baik harus memiliki rasa yang manis dengan tingkat ATT rendah, pisang dengan kriteria tersebut dapat diperoleh pada pemanen 50 HSA dengan rasio PTT/ATT tertinggi mencapai 1.12.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Buah pisang Mas Kirana dapat dipanen pada 40-50 HSA dengan akumulasi satuan panas mencapai 576.5-725.5 oC hari dan masa simpan mencapai 9 HSP. Pemanenan pada 45 HSA menghasilkan masa simpan terlama hingga mencapai 9.9 HSP dan terpendek pada pemanenan 55 HSA mencapai 6 HSP. Perlakuan umur panen tidak mempengaruhi laju emisi CO2 selama penyimpanan, kandungan vitamin C dan padatan terlarut total, akan tetapi mempengaruhi kekerasan kulit dan daging buah, susut bobot, bagian buah dapat dimakan dan kandungan ATT.
Saran Penghitungan akumulasi satuan panas tidak mempertimbangkan faktor iklim lain, selain suhu rata-rata harian. Sehingga konsep satuan panas ini perlu didukung dengan data-data iklim lain untuk mewakili wilayah-wilayah dengan kondisi geografis dan agroklimat yang berbeda. Pada penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pengukuran curah hujan, kelembaban lingkungan dan intensitas radiasi matahari yang masuk ke lingkungan budidaya. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan di beberapa tempat dengan ketinggian yang berbeda.
21
DAFTAR PUSTAKA [B2P2TP] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Teknologi budidaya pisang [Internet]. [diunduh 2014 Sep 15]. Tersedia pada: http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/syarat-tumbuh-tanaman-pisang. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produktivitas pisang Indonesia [Internet]. [diunduh 2014 Sep 15]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id. [BPTP Jatim] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. 2011. Pembibitan, budidaya, pascapanen pisang Mas Kirana di Kabupaten Dampit, Kabupaten Malang [Internet]. [diunduh 2015 Jan 04]. Tersedia pada: http:// jatim.litbang.pertanian.go.id/index.php/berita.infoaktual/558/pembibitan budidaya-pasca-panen-pisang mas-kirana. Abidin MIZ. 1990. Cultivation of Tropical Fruit. Kuala Lumpur (MY): HI-TECH ENTERPRISE. Arista M. 2014. Penggunaan kalium permanganat sebagai oksidan etilen untuk memperpanjang daya simpan pisang raja bulu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Cahyono B. 2009. Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen Pisang. Yogyakarta (ID): Kanisius. Charles RJ, Tung MA. 1973. Physical, rheological and chemical properties of bananas during ripening. Journal Food Science. 38:456–459. Crane JH, Balerdi CF, Maguire I. 2005. Banana growing in the florida home Landscape [Internet]. [diunduh 2014 Sep 20]. Tersedia pada: http://edis.ifas.ufl.edu or http://fruitscapes.ifas.ufl.edu. [Ditjen Horti] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2014. Produksi nasional buah pisang Indonesia [Internet]. [diunduh 2014 Sep 15]. Tersedia pada: http://hortikultura.deptan.go.id/. Dufault RJ, Decoteau DR, Granberry DM, Perry KB. 1988. Determination of heat unit requirements for collard harvest in the southeastern united states. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 114(6):898- 903. Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Foods. London (UK): Academic Press. hlm 124-133. Estiningtyas W, Irianto G. Akumulasi satuan panas dalam budidaya tanaman kedelai di lombok nusa tenggara barat. Jurnal Agromet. 10(1): 8-14. Etienne A, Génard M, Bancel D, Benoit S, Bugaud C. 2013a. A model approach revealed the relationship between banana pulp acidity and composition during growth and post harvest ripening. Scientia Horticulturae. 162:125–134. Etienne A, Génard M, Lobit P, Mbeguié-A-Mbéguié D, Bugaud C. 2013b. What controls fleshy fruit acidity? A review of malate and citrate accumulation in fruit cells. Journal of Experimental Botany. 64:1451–1469. Etienne A, Génard M, Bancel D, Benoita S, Lemirea G, Bugaud C. 2014. Citrate and malate accumulation in banana fruit (Musa sp. AA) is highly affected by genotype and fruit age, but not by cultural practices. Scientia Horticulturae. 169:99-110. Ganry J, Chillet M. 2008. Methodology to forecast the harvest date of banana bunches. Fruits. 63:371–373.
22
Handoko. 1994. Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. Bogor (ID): Jurusan Geofisika dan Meteorologi, F-MIPA, Institut Pertanian Bogor. Hassan A, Pantastico EB, Acedo AL, Dasuki IM, Kosiyachinda S. 1990. Physiological disorders of banana fruit. Di dalam: Hassan A, Pantastico EB, editor. Banana: Fruit Development, Postharvest Physiology, Handling and Marketing in ASEAN. Kuala Lumpur (MY): ASEAN Food Handling Bureau. hlm 85-103. Hawker JS, Jenner DF. 1993. High temperature affects the activity of enzymes in committed pathways of starch synthesis in developing wheat endosperm. Aust. J. Plant Physiol. 20:197-209. Jullien A, Chillet M, Malézieux E. 2008. Pre-harvest growth and development measured as accumulated degree days determine the post-harvest green–life of banana fruit. J Hort Sci and Bio. 83:506–512. Kader AA. 1999. Fruit maturity ripening and quality relationships. Di dalam: Michalczuk L, editor. Proc. Int. Symp. on Pre- and Post Harvest Factors on Strorage of Fruit. Acta Hort 485 [Internet]; 1997 Agu 3-7; Warsaw, Polandia. Warsaw (PL): ISHS. hlm 203-207; [diunduh 2015 Sep 21]. Tersedia pada: http://ucce.ucdavis.edu/files/datastore/234-167.pdf. Kader AA. 2008. Maturity and quality - banana ripening chart [Internet]. [diunduh 2014 Jan 22]. Tersedia pada: http://postharvest.ucdavis.edu/ Produce/ Produce Facts/Fruit/banana.html. Kays SJ. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Products. New York (US): Van Nostrand Reinhold. [Kemenristek] Kementerian Riset dan Teknologi. 2014. Pisang [Internet]. [diunduh 2014 Sep 18]. Tersedia pada: www.ristek.go.id. Kitinoja L, Kader AA. 2002. Praktik-praktik penanganan pascapanen skala kecil: Manual untuk produk hortikultura Edisi ke-4. Utama IMS, penerjemah. Denpasar (ID): Universitas Udayana. Terjemahan dari: Small scale postharvest handling practices: A manual for horticultural crops (4th edition). Laksmi DS. 1989. Pengepakan untuk ekspor. Di dalam: Sunarjono H, Ismiyati, Kusumo S, Wardah, editor. Produksi Pisang di Indonesia. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Lizada MCC, Pantastico ErB, Shukor ARA, Sabari SD. 1990. Ripening of Banana. Di dalam: Hassan A, Pantastico EB, editor. Banana: Fruit Development, Postharvest Physiology, Handling and Marketing in ASEAN. Kuala Lumpur (MY): ASEAN Food Handling Bureau. hlm 65-66. Matto AK, Murata T, Pantastico ErB, Chachin K, Phan CT. 1986. Perubahanperubahan kimiawi selama pematangan dan penuaan. Didalam: Kamariyani, Tjitrosoepomo G, penerjemah; Pantastico ErB, editor. Fisiologi Pasca Panen dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Terjemahan dari: Postharvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Sub-tropical Fruits and Vegetables. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Mitra SK. 1997. Postharvest Physiology and Storage of Tropical and Subtropical Fruits. London (UK): CAB International.
23
Mulyana E. 2011. Studi pembungkus bahan oksidator etilen dalam penyimpanan pascapanen pisang raja bulu (Musa sp. AAB Group) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Murata T. 1969. Physiological and biochemical studies on chilling injury in bananas. Physiologia Plantarum. 22: 401- 414. Nakasone HY, Paull RE. 1999. Tropical Fruit. Oxon (UK): CAB International. Newley P, Akehurst A, Campbell B. 2008. Banana growing guide: Cavendish bananas. New South Wales (AU): NSW Department of Primary Industries. Nguyen TBT, Saicho K. 2009. Physical and biochemical changes in cool-stored ripening bananas of two different dessert cultivars. J. Sci. Dev. 7(2): 230-238. Palmer JK. 1971. The banana. DI dalam: Hulme AC, editor. The Biochemistry of Fruit and Their Products. London (UK): Academic Press. hlm 65-115. Pantastico ErB. 1986. Faktor-faktor pra panen yang mempengaruhi mutu dan fisiologi pasca panen. Didalam: Kamariyani, Tjitrosoepomo G, penerjemah; Pantastico ErB, editor. Fisiologi Pasca Panen dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Terjemahan dari: Postharvest Physiology, Hnadling and Utilization of Tropical and Sub-tropical Fruits and Vegetables. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Pantastico ErB, Catthopadhyay TK, Subramanyam H. 1986. Penyimpanan dan operasi penyimpanan secara komersial. Didalam: Kamariyani, Tjitrosoepomo G, penerjemah; Pantastico ErB, editor. Fisiologi Pasca Panen dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Terjemahan dari: Postharvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Sub-tropical Fruits and Vegetables. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Perrier X, du Montcel T. 1990. Identification of genetic diversity in the genus Musa. Di dalam: Jarret RL, editor. Proceedings of an international workshop held at Los Banos; 1988 Sep 5-10; Los Banos, Filipina. Montpellier (FC): INIBAP. hlm 211. Prabawati S, Suyanti, Dondy AS. 2011. Teknologi Pascapanen dan Teknik Pengolahan Buah Pisang. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Purwoko BS, Magdalena FS. 1999. Pengaruh perlakuan pasca panen dan suhu simpan terhadap daya simpan dan kualitas buah mangga (Mangifera indica L.) varietas arumanis. Bul. Agron. 27(1):16-24. [PUSDATIN] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014. Outlook komoditi pisang [Internet]. [diunduh 2015 Agu 25]. Tersedia pada: http:// pusdatin. setjen.pertanian.go.id/. Rahayu MD, Widodo WD, Suketi K. 2014. Penentuan waktu panen pisang raja bulu berdasarkan evaluasi buah beberapa umur petik. J. Hort. Indonesia. 5(2): 6572. Robinson JC. 1999. Bananas and Plantains. Wallingford (UK): CAB International. Sabari, Syaifullah, Dasuki IM. 1989. Fisiologi Pascapanen. Di dalam: Sunarjono H, Ismiyati, Kusumo S, Wardah, editor. Produksi Pisang di Indonesia. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Samson JA. 1980. Tropical Fruit. New York (USA): Longman Inc. Santoso B, Purwoko BS. 1995. Fisiologi dan Teknologi Pascapanen Tanaman Hortikultura Indonesia. Indonesia Australia Eastern Universities Project.
24
Sastrahidayat IR, Soemarno. 1991. Budidaya Berbagai Jenis Tanaman Tropika. Surabaya (ID). Universitas Brawijaya Pr. Satuhu S. 1995. Teknik Pemeraman Buah. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Satuhu S, Supriyadi A. 1999. Budidaya Pengolahan dan Prospek Pasar Pisang. Yogyakarta (ID): Penebar Swadaya. Simmonds NW. 1966. Bananas. Ed ke-2. London (UK): Longman. Smith NJS, Tucker GA, Jeger J. 1990. Cell wall changes in bananas and plantains. Acta Hort. 269:283-290. Sugistiawati. 2013. Studi penggunaan oksidan etilen dalam penyimpanan pascapanen pisang raja bulu (Musa sp. AAB Group) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010. Karakter fisik dan kimia buah pepaya pada stadia kematangan berbeda. J. Agron. Indonesia. 38(1): 60-66. Sunarjono H. 1989. Budidaya tanaman pisang. Di dalam: Sunarjono H, Ismiyati, Kusumo S, Wardah, editor. Produksi Pisang di Indonesia. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Suseno N, Savitri E, Sapei L, Karsono, Padmawijaya S. 2013. Improving shelf-life of Cavendish banana using chitosan edible coating. Procedia Chemistry. 9(2014):113-120. Sutowijoyo D, Widodo WD. 2013. Kriteria kematangan pascapanen pisang raja bulu dan pisang kepok. Di dalam: Kartika JG, Suwarno WB, Ardhie SW, Sanura CPE, Fitriana FN, editor. Membangun Sistem Baru Agribisnis Hortikultura Indonesia pada Era Pasar Global. Prosiding Seminar Ilmiah PERHORTI; 2014 Okt 9; Bogor, Indonesia (ID): Perhimpunan Hortikultura Indonesia (PERHORTI). hlm 21-26. Syakur A. 2012. Pendekatan satuan panas (heat unit) untuk penentuan fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman tomat di dalam rumah tanaman (greenhouse). J. Agroland. 19 (2):96 – 101. Tixier P, Salmon F, Bugaud C. 2010 Green-life of pink banana (Musa spp., cv. Figue Rose Raine): determination of the optimum harvesting date. J Hort Sci and Bio. 85(3):167–170. Tushemerehe WK, Kashaija IN, Tinzaara W, Nankinga C, New S. 2001. Banana production manual: A guide to successful banana production in Uganda. Uganda (UG): National Agricultural Research Organization (NARO). Umber M, Paget B, Hubert O, Salas I, Salmon F, Jenny C, Chillet M, Bugaud C. 2011. Application of thermal sums concept to estimate the time to harvest new banana hybrids for export. Scientia Horticulturae. 129(2011):52-57. Wang JH. 1960. A critique of heat unit approach to plant response studies. Ecology. 41:785-790. Wills RHH, Lee TH, Graham D, Mc. Glasson WB, Hall EG. 1989. Postharvest and Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New York (US): Van Nostrand Reinhold. Winarno FG, Wirakartakusumah MA. 1979. Fisiologi Lepas Panen. Jakarta (ID): Sastra Hudaya. Zhou L, Paull RE. 2001. Sucrose metabolism during papaya (Carica papaya) fruit growth and ripening. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 126(3):351-357.
25
Lampiran 1 Analisis sidik ragam kriteria kematangan pisang Mas Kirana pada beberapa umur panen Variabel Susut bobot
Umur simpan
Kekerasan kulit buah Kekerasan daging buah Edible part
PTT
ATT
Vitamin C
Laju Emisi CO2
Sumber keragaman Umur petik Galat Total Umur petik Galat Total Umur petik Galat Total Umur petik Galat Total Umur petik Galat Total Umur petik Galat Total Umur petik Galat Total Umur petik Galat Total Umur petik Galat Total
Derajat bebas 4 15 19 4 15 19 4 15 19 4 15 19 4 12 19 4 15 19 4 15 19 4 15 19 4 15 19
Kuadrat tengah
F-hitung
Pr>f
26.46 1.29
20.41
< 0.0001
9.17 1.11
8.27
0.001
4.98 1.48
3.38
0.0369
81.69 3.69
22.11
<0.0001
18.56 2.67
6.95
0.0023
3.89 1.53
2.55
0.0822
166.05 21.93
7.57
0.0015
247.81 102.43
2.42
0.0942
7045.26 3034.54
2.32
0.1042
26
Lampiran 2 Proses inkubasi pisang Mas Kirana
Lampiran 3 Proses pemanenan dan pembersihan di lapangan
27
Lampiran 4 Deskripsi varietas pisang Mas Kirana LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 516/Kpts/SR.120/12/2005 TANGGAL : 26 Desember 2005 DESKRIPSI PISANG MAS VARIETAS KIRANA Asal
: Desa Kandang Tepus, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Propinsi Jawa Timur Silsilah : seleksi rumpun Golongan varietas : klon Umur tanaman : 17 bulan Umur berbunga (dari bibit anakan) : 8 – 10 bulan setelah tanam Umur panen (dari bibit anakan) : 12 – 14 bulan setelah tanam Tinggi tanaman :5–6m Bentuk batang : gilig (bulat-gilig) Warna batang : coklat kehitaman Warna pangkal batang : coklat kehitaman Kedudukan batang : tegak Lingkar batang : 60 – 70 cm Lebar tajuk :3–4m Jumlah daun : 7 – 10 helai Bentuk daun : panjang pipih Panjang daun : 1.5 – 2.5 m Lebar daun : 60 – 70 cm Sudut daun : 30° Bentuk daun : panjang pipih Warna daun bagian atas : hijau tua mengkilat Warna daun bagian bawah : hijau agak muda Permukaan daun : berlilin Warna ibu tulang daun : hijau Ujung daun : tumpul Tepi daun : rata, tidak berduri dan bergelombang, tepi daun berwarna coklat kehitaman Susunan daun : berselang seling, Penampang melintang tangkai daun ke 3 : simetris bentuk membulat dan tepi ibu tulang daun terbuka Bentuk bunga (jantung) : lonjong : bagian luar merah tua kecoklatan, bagian Warna mahkota bunga dalam merah muda Berat buah per tandan : 11 – 13 kg Jumlah anakan / rumpun : 1 – 3 anakan Jumlah sisir / tandan : 19.14 ± 4.37 Jumlah jari buah / sisir : 22 – 25 buah Penampang irisan buah : bulat (gilig) Bentuk buah : panjang bulat (gilig)
28
Bentuk ujung buah Lingkar tandan Panjang tangkai tandan Lingkar tangkai tandan Panjang buah Diameter buah Bobot per jari buah Panjang tangkai jari buah Tebal kulit buah Warna kulit buah mentah Warna daging buah mentah Warna kulit buah matang Warna daging buah matang optimal Aroma Rasa buah matang optimal
: tumpul : 60 – 70 cm : 30 – 35 cm : 11 – 15 cm : 9.55 ± 3.09 cm : 3.06 ± 1.74 cm : 71.36 ± 8.44 g : 1 – 3 cm : 0.46 ± 6.78 mm : hijau : putih kekuningan : kuning bersih : kuning cerah : tidak beraroma : manis
Analisis kimiawi buah matang optimal - Vitamin C : 3.905 mg / 100 g bahan - Asam : 0.063 % - Gula : 21 % Hasil : 11 – 13 kg/tandan Daya simpan suhu kamar : 5 – 6 hari setelah matang optimal (dari panen sampai matang optimal : 3 – 4 hari) Identitas Pohon Induk : tanaman milik Bapak Subandi Desa Kandang Tepus, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur dengan PIT No. : PI/PS/I/ JTM/79 nomor seri : 11.986 12.119 tahun 2004 dan PIT No: PI/PS/1/JT/81 nomor seri: 12.150 – 12.179 tahun 2004 Keterangan : beradaptasi dengan baik di dataran sedang dengan ketinggian ± 600 m dpl dengan tekstur tanah lempung berpasir dengan regim kelembaban lembab. Pengusul / Peneliti : Paulina Evy Retnaning Prahardini, Yuniarti, F. Kasijadi, Harwanto, Baswarsiati (BPTP Propinsi Jawa Timur); Abdullah (BPSBTPH Propinsi Jawa Timur) dan Eddy Prasetyo Utomo (Dinas Pertanian Kabupaten Lumajang)
29
Lampiran 5 Standar kualitas pisang berdasarkan SNI 7422:2009 PISANG 1 Ruang lingkup Standar ini menetapkan ketentuan tentang mutu, ukuran, toleransi, penampilan, pengemasan, pelabelan, rekomendasi dan higienis pada buah pisang (Musa paradisiaca L.). Standar ini berlaku untuk varietas-varietas komersial dari pisang (Musa paradisiaca L.) famili Musaceae yang dipasarkan untuk konsumsi segar, setelah penanganan dan pengemasan. Pisang untuk kebutuhan industri/olahan tidak termasuk dalam standar ini. 2 Acuan normatif SNI 7313:2008, Batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian. CODEX STAN 1-1985, Adopted 1991, 1999, 2001, 2003, 2005 and 2008, Codex general standard for the labelling of prepackaged food. CODEX STAN 228-2001, General methods of analysis for contaminants. CAC/GL 21-1997, Principles for the establishment and application of microbiological criteria for food. CAC/GL 50-2004, General guidelines on sampling. CAC/RCP 1-1969, Rev.4-2003, Recommended international code of practice general principles of food hygiene. CAC/RCP 44-1995, Amd.1-2004, Recommended international code of practice for packaging and transport of tropical fresh fruit and vegetables. CAC/RCP 53-2003, Code of hygienic practice for fresh friuts and vegetables. OECD, 2005, Guidance on objective tests to determine quality of fruits and vegetables and dry and dried produce. Pedoman pengujian residu pestisida dalam hasil pertanian, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian, 2006. 3 Istilah dan definisi 3.1 Utuh Buah sempurna tidak cacat (kecuali memar) yang mempengaruhi penampilan umum 3.2 Cacat Kerusakan fisik pada buah 3.3 Cacat sangat kecil Kerusakan fisik pada buah yang sangat sedikit sehingga tidak mempengaruhi mutu dan penampilan buah secara umum 3.4 Cacat kecil Sedikit kerusakan fisik pada buah yang sedikit mempengaruhi mutu dan penampilan buah secara umum 3.5 Padat Buah tidak memar akibat benturan 3.6 Tampilan segar Keadaan fisik buah yang tidak menunjukkan perubahan warna selain akibat proses pematangan
30
3.7 Layak konsumsi Buah tidak busuk atau rusak 3.8 Bersih Buah bebas dari kotoran dan benda asing lainnya 3.9 Bebas dari hama dan penyakit Buah tidak terkontaminasi hama dan penyakit dan atau mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh hama dan penyakit 3.10 Bebas dari kerusakan akibat perubahan temperatur yang ekstrim Buah bebas dari kerusakan akibat perubahan temperatur yang mencolok dalam penyimpanan 3.11 Bebas dari kelembaban eksternal yang abnormal Buah bebas dari penyimpanan pada lingkungan yang mengalami perubahan kelembaban yang sangat tinggi yang dapat menyebabkan kerusakan fisik atau kimia buah 3.12 Bebas dari aroma dan rasa asing Buah bebas dari aroma dan rasa selain khas pisang 3.13 Tingkat kematangan Kondisi perkembangan fisiologis buah 3.14 Pistil Sisa bagian bunga betina/bekas putik bunga yang masih melekat pada ujung buah 3.15 Pengkelasan Penggolongan buah berdasarkan mutu dengan mempertimbangkan toleransi yang ditentukan 3.16 Kode ukuran Penggolongan buah berdasarkan panjang jari buah 4 Ketentuan mengenai mutu 4.1 Ketentuan minimum 4.1.1 Untuk semua kelas buah pisang, ketentuan minimum yang harus dipenuhi adalah: - buah utuh (berdasarkan kondisi buah tunggal); - padat (firm); - sesuai dengan ciri varietas atau kultivar dalam hal: - kesegaran; - bentuk; - warna; - rasa; - tekstur; - bintik pada permukaan kulit buah, - bersih, bebas dari benda-benda asing yang tampak; - bebas dari kerusakan fisik akibat goresan atau benturan; - bebas dari hama dan penyakit; - dalam bentuk sisiran, bebas dari cendawan; - pistil sudah lepas; - bebas dari kerusakan akibat perubahan temperatur; - bebas dari kelembaban eksternal yang abnormal, kecuali pengembunan sesaat setelah pemindahan dari tempat penyimpanan dingin;
31
- bebas dari aroma dan rasa asing. 4.1.2 Pisang dalam bentuk sisiran atau tandan harus memenuhi hal berikut: - Batang tandan yang terbawa harus proporsional dan bebas kontaminasi hama dan penyakit. - Bekas potongan bersih dan rapi. 4.1.3 Buah pisang harus dipetik secara hati-hati dan telah mencapai tingkat kematangan sesuai dengan kriteria ciri varietas dan atau jenis komersial dan lingkungan tumbuhnya. Tingkat kematangan panen dapat mendukung penanganan, pengangkutan dan distribusi buah sehingga dapat sampai ditujuan dalam kondisi yang diinginkan. 4.2 Pengkelasan Pisang digolongkan dalam 3 kelas mutu, yaitu: - kelas super; - kelas A; - kelas B. 4.2.1 Kelas super Pisang bermutu paling baik (super) yaitu mencerminkan ciri varietas/tipe komersial, bebas dari kerusakan, kecuali kerusakan sangat kecil. 4.2.2 Kelas A Pisang bermutu baik yaitu mencerminkan ciri varietas/tipe komersial,dengan kerusakan kecil yang diperbolehkan sebagai berikut: - Penyimpangan pada bentuk dan warna buah, asal tidak mempengaruhi penampilan umum dan mutu. - Kerusakan kulit buah seperti lecet dan goresan tidak lebih dari 5 % dari total permukaan. - Seluruh kerusakan dan penyimpangan tidak mempengaruhi daging buah. 4.2.3 Kelas B Pisang bermutu baik yaitu mencerminkan ciri varietas/tipe komersial dengan cacat yang diperbolehkan sebagai berikut: - Penyimpangan pada bentuk dan warna, selama masih mempertahankan sifat-sifat varietasnya, - Kerusakan kulit buah seperti goresan, memar, burik asalkan tidak melebihi 10 % dari total permukaan. - Seluruh kerusakan dan penyimpangan tidak mempengaruhi daging buah. 5 Ketentuan mengenai ukuran Kode ukuran ditentukan berdasarkan rata-rata panjang jari buah pisang yang terletak pada punggung sisir, dengan panjang minimum 5 cm. Kode ukuran berdasarkan panjang jari buah Kode Ukuran 1 2 3 4
Panjang Jari Buah (cm) ≥ 20.0 15.0 – 19.9 10.0 – 14.9 5.0 – 9.9
32
6 Ketentuan mengenai toleransi 6.1 Toleransi mutu 6.1.1 Kelas super Batas toleransi mutu kelas super, yang diperkenankan tidak memenuhi ketentuan mutu, maksimum 5 % dari jumlah atau bobot pisang, tetapi masih termasuk dalam kelas A. 6.1.2 Kelas A Batas toleransi mutu kelas A, yang diperkenankan tidak memenuhi ketentuan mutu, maksimum 10 % dari jumlah atau bobot pisang tetapi masih termasuk dalam kelas B. 6.1.3 Kelas B Batas toleransi mutu kelas B, yang diperkenankan tidak memenuhi ketentuan mutu, maksimum 10 % dari jumlah atau bobot buah pisang tapi masih memenuhi persyaratan minimum. 6.2 Toleransi ukuran Untuk semua kelas, batas toleransi ukuran yang diperbolehkan adalah 10 % di atas atau di bawah kisaran ukuran yang ditentukan. 7 Ketentuan mengenai penampilan 7.1 Keseragaman Isi setiap kemasan pisang harus seragam dan berasal dari kawasan, kelas mutu dan ukuran yang sama. Untuk kelas super, warna dan kematangan harus seragam. Pisang yang tampak dari kemasan atau yang curah harus mencerminkan keseluruhan isi. 7.2 Pengemasan Pisang harus dikemas dengan cara yang dapat melindungi buah dengan baik. Bahan yang digunakan di dalam kemasan harus bersih dan memiliki mutu yang cukup untuk mencegah kerusakan eksternal maupun internal buah. Penggunaan bahan-bahan terutama kertas atau label spesifik buah yang dicetak masih dimungkinkan dengan menggunakan tinta atau lem yang tidak beracun. Pisang dikemas dalam kontainer sesuai dengan rekomendasi internasional untuk pengemasan dan pengangkutan buah dan sayuran segar (CAC/RCP 44- 1995, Amd.1-2004). Kemasan harus memenuhi syarat mutu, higienis, ventilasi, dan ketahanan untuk menjamin kesesuaian penanganan, transportasi dan distribusi agar mutu tetap terjaga. Kemasan harus bebas dari bahan dan aroma asing. 7.3 Penyajian - Pisang dapat disajikan dalam bentuk sisir atau bagian dari sisir. - Apabila disajikan dalam bentuk sisir, buah yang hilang maksimum 2 jari. 8 Penandaan dan pelabelan 8.1 Kemasan konsumen Penandaan dan pelabelan pada kemasan harus sesuai dengan standar kemasan CODEX STAN 1-1985, Adopted 1991, 1999, 2001, 2003, 2005 and 2008. Apabila isi kemasan tidak tampak dari luar, maka kemasan harus ditandai dengan nama buah dan ditulis sebagai nama varietas/tipe komersial.
33
8.2 Kemasan bukan eceran Setiap kemasan dalam kontainer harus menggunakan tulisan pada sisi yang sama, mudah dibaca dan tidak dapat dihapus, serta tampak dari luar atau ditunjukkan pada dokumen yang menyertai pengiriman barang. Untuk buah yang diangkut dalam bentuk curah, label harus ditunjukkan pada dokumen yang menyertai buah. Pelabelan sekurang-kurangnya mencantumkan: - nama dan varietas buah; - nama dan alamat perusahaan eksportir, pengemas dan atau pengumpul; - asal buah; - kelas; - ukuran (kode ukuran atau kisaran bobot dalam gram); - bobot buah. 9 Rekomendasi 9.1 Logam berat Pisang harus memenuhi syarat di bawah batas maksimum cemaran logam berat. 9.2 Residu pestisida Pisang harus memenuhi syarat di bawah batas maksimum residu pestisida sesuai dengan SNI 7313:2008. 10 Higienis - Pisang dianjurkan untuk memenuhi syarat higienis sesuai prinsip dasar higienis makanan (CAC/RCP 1-1969, Rev. 4-2003, CAC/RCP 53-2003) atau ketentuan lain yang relevan. - Pisang harus memenuhi syarat mikrobiologi sesuai dengan ketentuan standar mikrobiologi untuk makanan (CAC/GL 21-1997) atau ketentuan lainnya yang relevan. 11 Metode pengambilan contoh 11.1 Uji organoleptik Pengambilan contoh yang digunakan dalam ketentuan ini harus sesuai CAC/GL 50-2004. 11.2 Uji residu pestisida Pengambilan contoh yang digunakan dalam ketentuan ini harus sesuai pedoman pengujian residu pestisida dalam hasil pertanian. 11.3 Uji cemaran logam berat Pengambilan contoh yang digunakan dalam ketentuan ini harus sesuai CAC/GL 50-2004. 12 Metode pengujian 12.1 Uji organoleptik Pengujian organoleptik dalam ketentuan ini harus sesuai dengan pedoman pengujian organoleptik pada buah (OECD 2005). 12.2 Uji residu pestisida Pengujian residu pestisida dalam ketentuan ini harus sesuai dengan pedoman pengujian residu pestisida dalam hasil pertanian.
34
12.3 Uji cemaran logam berat Pengujian cemaran logam berat dalam ketentuan ini harus sesuai dengan CODEX STAN 228-2001.
Batas maksimum logam berat pada buah
No 1 2 3 4 5
Jenis Logam Arsen (As) Kadmium (Cd) Merkuri (Hg) Timbal (Pb) Timah (Sn)
Batas Maksimum (mg/kg) 0.25 0.2 0.03 0.5 40
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 27 Februari 1994 dan merupakan putri pertama dari bapak Endang dan ibu Aisyah. Tahun 2011 penulis lulus dari SMAN 4 Kota Sukabumi dan pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI). Penulis menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Biologi Dasar tahun ajaran 2014/2015, dan sempat melaksanakan magang kerja di Agribisnis development center (ADC) IPB bekerjasama dengan International cooperation and development fund (ICDF) Taiwan pada Juli 2013 selama satu bulan dan PT Perkebunan Nusantara VIII Kabupaten Sukabumi bidang komoditi pengolahan karet pada Desember 2014 selama satu bulan. Pada tahun 2015 penulis mengikuti program Upaya khusus swasembada padi jagung kedelai (UPSUS PAJALE) yang diselenggarakan selama dua bulan oleh Kementerian Pertanian bekerjasama dengan IPB dengan wilayah kerja di Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi.