1
PENGARUH JENIS MEDIA DAN KONSENTRASI NAA (Naphthalene Acetic Acid) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN BIJI Dendrobium capra J.J SMITH SECARA IN VITRO Puput Perdana Widiyatmanto1), Tutik Nurhidayati2), dan Siti Nurfadilah3) 1,2) Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 3) Lembaga Ilmu Pengeahuan Indonesia (LIPI), Purwodadi E-mail:
[email protected] Abstrak Dendrobium capra J.J. Smith merupakan anggrek epifit yang pertumbuhannya relatif lambat dan termasuk ke dalam CITES Appendix II. Media dan zat pengatur tumbuh memiliki peranan penting dalam kultur biji anggrek secara in vitro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis media dan konsentrasi NAA terhadap pertumbuhan dan perkembangan biji Dendrobium capra secara in vitro. Penelitian dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor pertama yaitu jenis media yang terdiri dari Murashige dan Skoog (MS), Knudson C (KC), dan Vacin dan Went (VW). Faktor kedua yaitu konsentrasi NAA yang terdiri dari 0 mg/l; 0,1 mg/l; 0,3 mg/l; dan 0,5 mg/l. Pengamatan dilakukan setelah 12 MSI (Minggu Setelah Inokulasi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa total persentase pertumbuhan dan perkembangan biji D. capra berkisar antara 2,35 % 88,51%. Jenis media, konsentrasi NAA serta interaksi antara kedua faktor tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan biji D.capra. Jenis media yang terbaik yaitu KC, sedangkan konsentrasi NAA yang memberikan respon terbaik yaitu 0,5 mg/l. Perlakuan yang dapat menginduksi pertumbuhan dan perkembangan biji sampai ke fase planlet (fase 4 dan fase 5) yaitu A1B3(MS+0,5 mg/l NAA), A2B0(KC+0 mg/l NAA), A2B1(KC+0,1 mg/l NAA), A2B3 (KC+0.5 mg/l NAA), A3B2 (VW+0,3 mg/l NAA), dan A3B3(VW+0,5 mg/l NAA). Perlakuan yang memberikan respon pertumbuhan planlet terbaik yaitu A1B3 (Media MS+0,5 mg/l NAA) dan A3B3 (Media VW+0,5 mg/l NAA). Kata kunci : Dendrobium capra, jenis media, konsentrasi NAA, pertumbuhan, perkembangan ABSTRACT Dendrobium capra J.J Smith is an epiphytic orchid which has a relatively slowly growth and is listed in CITES Appendix II. This research was aimed to know the effect of media type and NAA concentration on growth and development of D.capra seeds in in vitro culture. This research was designed with Completely Randomized Factorial Design. First factor was media type that consisted of Murashige and Skoog (MS), Knudson C (KC), and Vacin and Went (VW). Second factor was NAA concentration that consisted of 0 mg/l; 0,1 mg/l; 0,3 mg/l; dan 0,5 mg/l. Observation conducted after12 WAI (Weeks After Inoculation). Result showed that total percentage of growth and development of seeds of D. capra between 2,35 % - 88,51%. Media type, NAA concentration, and interaction between the two factors had an effect on growth and development of D.capra seeds. The best media type was KC , while NAA concentration that gave the best response was 0,5 mg/l NAA. Treatment that could
2 induce growth and development to stage plantlet (stage 4 and stage 5) were MS+0,5 mg/l NAA, KC+0 mg/l NAA, KC+0,1 mg/l NAA, A2B3 KC+0.5 mg/l NAA, VW+0,3 mg/l NAA, and VW+0,5 mg/l NAA. Treatments that support the best performance of planlets MS media +0,5 mg/l NAA and VW +0,5 mg/l NAA. Keywords : Dendrobium capra, media types, NAA concentration, growth, development I. PENDAHULUAN Dendrobium capra J.J. Smith atau Dendrobium capra J.J. Smith atau anggrek larat hijau merupakan anggrek epifit dataran rendah yang pertumbuhannya relatif lambat. Dendrobium capra merupakan jenis anggrek alam asli Indonesia yang keberadaannya di alam teancam punah. Comber (1990) pernah melaporkan keberadaan anggrek ini di Jawa Timur yaitu di hutan jati di kaki gunung Penanggungan, Pandaan, dan di gunung Lamongan-Kraksaan, Probolinggo. Dendrobium capra termasuk dalam daftar jenis anggrek langka dan mendapatkan prioritas konservasi berdasarkan tingkat keterancamannya di alam (Risna et al., 2010). Selain itu, Dendrobium capra juga termasuk ke dalam CITES Appendix II yang berarti hanya boleh diperdagangkan apabila berasal dari perbanyakan dan dilarang untuk diperdagangkan apabila anggrek tersebut diambil langsung dari alam (Yulia dan Ruseani, 2008). Anggrek di alam menjadi langka dan terancam punah karena efek langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia termasuk pengkoleksian, perusakan habitat, hilangnya pollinator dan mikoriza (Maridass et al., 2010). Metode perbanyakan secara in vitro sangat penting untuk konservasi tumbuhan yang langka dan terancam punah (Maridass et al., 2010). Salah satu perbanyakan anggrek secara in vitro dilakukan melalui kultur biji. Biji anggrek merupakan biji yang paling kecil di antara tanaman lainnya. Biji anggrek ringan, berbentuk fusiform, dan berjumlah ratusan sampai jutaan dalam tiap kapsul buah (Dutta et al., 2011). Biji anggrek tidak mempunyai cadangan makanan. Di alam, perkecambahan biji anggrek hanya terjadi
jika diinfeksi oleh mikoriza yang merupakan pensuplai nutrisi bagi biji anggrek. Gunawan (2002) dalam Bey dkk. (2006) menyatakan bahwa perkecambahan biji anggrek dalam kondisi in vivo menunjukkan daya kecambah yang rendah yaitu kurang dari 1%. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan persentase daya kecambah biji anggrek tersebut secara in vitro menggunakan media tumbuh. Media tumbuh merupakan salah satu faktor utama penentu keberhasilan dalam kultur biji anggrek secara in vitro. Berbagai komposisi media tumbuh telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikulturkan (Yusnita, 2003). Media tumbuh yang biasa digunakan untuk perkecambahan biji anggrek adalah media Vacin and Went (VW) (Gunawan, 2002; Bey et al., 2006), Knudson C (KC), dan Murashige dan Skoog (MS) yang garamgaram mineralnya dikurangi menjadi setengahnya atau penuh (Marveldani, 2009). Menurut Nurfadilah (2011), terdapat beberapa fase pertumbuhan dan perkembangan biji anggrek yakni fase 0 (biji tidak berkecambah), fase 1 (protokorm), fase 2 (protokorm dengan primordia daun), fase 3 (protokorm dengan daun dan rhizoid), fase 4 (protokorm dengan beberapa daun dan rhizoids), dan fase 5 (plantlets). Pertumbuhan dan perkembangan biji sampai menjadi plantlet ini berlangsung kurang lebih 3 bulan (Hendaryono,1998). Kultur biji secara in vitro merupakan metode yang efektif untuk menghasilkan plantlet anggrek dalam jumlah banyak. Anggrek menghasilkan biji yang berlimpah dalam tiap kapsul buahnya. Pada beberapa studi dilaporkan bahwa satu kapsul buah dapat
3 menghasilkan 4 juta biji (Pierik, 1997). Biji anggrek dalam jumlah banyak akan berkecambah pada kondisi in vitro jika dikulturkan pada media. Berdasarkan metode ini, perbanyakan biji anggrek akan menghasilkan jumlah tanaman yang banyak. Respon setiap jenis anggrek terhadap setiap jenis media tumbuh dapat berbeda. Beberapa peneliti melaporkan jenis media yang tepat untuk perbanyakan spesies tertentu, misalnya Geodorum densiflorum tumbuh baik pada media MS yang ditambahkan dengan variasi zat pengatur tumbuh (Bhadra dan Hossain, 2003), Epidendrum ibaguense tumbuh baik pada media MS modifikasi dan KC (Hossain, 2008), Rhynchostylis gigantean (Lindl.) Ridl. menggunakan media ½ MS yang ditambahkan dengan zat pengatur tumbuh (Li dan Xu, 2009). Selain jenis media, zat pengatur tumbuh seperti NAA (Naphtalene Acetic Acid) juga mempengaruhi efektivitas pertumbuhan biji anggrek secara in vitro. NAA merupakan zat pengatur tumbuh yang termasuk dalam golongan auksin (Zulkarnain, 2009). Peran auksin yang pertama dalam kultur tanaman adalah merangsang pembelahan dan pembesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman dan menyebabkan pertumbuhan pucuk-pucuk baru. Kong et al. (2007) menambahkan bahwa protocorm dapat tumbuh baik pada media ½ MS yang disuplementasi dengan 0,2 mg/L NAA. Sedangkan Kumar et al. (2006) dalam penelitiannya terhadap pertumbuhan biji D. chrysanthum mendapatkan hasil media Knudson C yang ditambahkan dengan 0,1 mg/L NAA dan 150 ml/L air kelapa merupakan komposisi media yang paling efektif. Sedangkan pada konsentrasi 0,5 mg/L tidak terjadi inisiasi pembentukan protokorm dan tunas. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sharma et al. (2006) mendapatkan komposisi media VW yang ditambahkan dengan 0,1 mg/L NAA dan 150 ml/L air kelapa memberikan respon yang baik terhadap pertumbuhan biji D.fimbriatum. Berdasarkan pada hasil penelitian tersebut, maka pada penelitian ini digunakan
konsentrasi NAA yakni sebesar 0 mg/L, 0,1 mg/L, 0,3 mg/L, dan 0,5 mg/L serta jenis media MS, KC, dan VW. Secara alami, beberapa eksplan dapat memproduksi auksin dalam jumlah yang cukup, tetapi kebanyakan membutuhkan tambahan (Wetherell,1976; Agriani, 2010). Namun penggunaan auksin dalam konsentrasi yang tinggi akan memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan tanaman (Noogle dan Fritz, 1983; Agriani, 2010). Berdasarkan uraian tersebut di atas dilakukan penelitian tentang pengaruh jenis media dan konsentrasi NAA terhadap pertumbuhan dan perkembangan biji Dendrobium capra secara in vitro. II.METODE PENELITIAN A. Pembuatan Stok Zat Pengatur Tumbuh NAA Pembuatan larutan stok NAA 50 mg/L dilakukan dengan penimbangan bahan sebanyak 5 mg padatan NAA dilarutkan dengan KOH 1 N sambil diaduk sampai larut lalu ditambahkan 50 ml aquades steril ke dalam erlenmeyer 100 ml (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Setelah larutan homogen, larutan ditambahkan aquades kembali hingga volumenya mencapai 100 ml (Zulkarnain, 2009). B. Pembuatan Media Media MS, VW, dan KC dibuat berdasarkan komposisi dari masing-masing media. Pembuatan media diawali dengan pembuatan larutan stok terlebih dahulu (Lampiran 2). Larutan stok dibuat untuk mempermudah penimbangan karena bahan-bahan kimia yang hanya diperlukan dalam jumlah kecil. Larutan hara makro, stok mikro, stok zat pengatur tumbuh (NAA), Fe-EDTA, vitamin dan myoinositol (khusus media MS) dan air kelapa 150 ml/L dimasukkan ke dalam gelas Beaker. Gula sebanyak 20 gram ditambahkan ke dalam larutan. Akuades ditambahkan sampai volume larutan mencapai 1000 ml sambil diaduk dengan batang pengaduk. pH media diatur 5,6 – 5,8 dengan penambahan HCl atau KOH,
4 kemudian dipanaskan sampai hampir mendidih sambil ditambahkan agar sebanyak 12 gram. Larutan dimasukkan ke dalam botol laboratorium. Media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC tekanan 1,5 atm selama 30 menit. Media dituang ke dalam cawan petri sebanyak ± 25 ml (Zulkarnain, 2009). Penuangan media dilakukan di dalam LAFC. Setelah media dingin maka siap digunakan untuk inokulasi eksplan. C. Sterilisasi Alat Alat-alat inokulasi, alat gelas dan logam disterilisasi dalam autoklaf dengan suhu 121oC selama 30 menit (Nugroho, 2004; Fatmawati, 2010). Alat-alat inokulasi seperti pinset, gunting, dan jarum ose juga disterilisasi dengan dimasukkan dalam alkohol 96% dan dibakar tepat sebelum digunakan (Dutta et al., 2011). D. Sterilisasi Ruang Inokulasi Laminair Air Flow Cabinet (LAFC) disemprot dengan alkohol 70% dan alatalat yang dimasukkan ke dalam LAFC juga harus disemprot dengan alkohol 70%. LAFC disterilisasi dengan sinar UV selama 1 jam sebelum digunakan. Ketika LAFC digunakan maka sinar UV harus dimatikan dan blower dihidupkan (Fitrianti, 2006).
E. Sterilisasi Ruang Inokulasi Biji Dendrobium capra dari buah yang telah matang disterilisasi dengan menggunakan Clorox yang mengandung 10% NaOCl. Pertama-tama, biji anggrek dimasukkan ke dalam kertas saring dan dilipat kemudian distapler. Selanjutnya dimasukkan ke dalam Clorox 10% selama 30 menit dan dibilas dengan akuades steril tiga kali. Lipatan kertas saring dibuka dan biji anggrek diinokulasi pada media dengan menggunakan bacterial inoculating loop (ose). Kemudian media disegel dengan parafilm (Dutra et al., 2008). F. Pengamatan Pengamatan terhadap persentase tiap fase pertumbuhan biji dilakukan pada 12 MSI (Minggu Setelah Inokulasi). Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo perbesaran 20 kali. Jika dalam batas waktu 12 MSI sudah terbentuk plantlet maka dilakukan juga pengukuran tinggi plantlet (cm), jumlah daun, panjang daun (cm), lebar daun (cm), jumlah akar dan panjang akar (cm). Persentase fase pertumbuhan biji dihitung dengan rumus: Jumlah biji pada suatu fase dibagi jumlah biji pada cawan petri, dikali 100%.
III. HASIL DAN DISKUSI Pertumbuhan dan perkembangan biji D.capra memiliki pola yang hampir sama dengan anggrek lain pada umumnya, yaitu fase 1, fase 2, fase 3, fase 4, dan fase 5 (Gambar 4). Fase 0 biji tidak berkecambah, fase 1 biji membentuk protokorm, fase 2 protokorm dengan primordial daun, fase 3 protokorm dengan daun dan rhizoid, fase 4 protokorm dengan beberapa daun dan rhizods, dan fase 5 yaitu planlet (Nurfadilah, 2011). Gunawan (1995) dalam Bey et al. (2006) menyatakan bahwa tanda-tanda biji anggrek berkecambah ialah biji kelihatan berwarna kuning hijau dan membentuk
bulatan-bulatan seperti gelembung yang disebut dengan Protocorm like bodies (plb). Protokorm adalah bentukan bulat yang siap membentuk pucuk dan akar sebagai awal perkecambahan pada biji yang tidak mempunyai endosperm. Pertumbuhan dan perkembangan biji anggrek dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah jenis media dan konsentrasi NAA (Arditti, 2008 dalam Yamamoto et al., 2012). Pada penelitian ini, biji D.capra ditumbuhkan pada jenis media yang berbeda yaitu MS, KC, dan VW dengan beberapa konsentrasi NAA (0 mg/l; 0,1 mg/l; 0,3 mg/l; dan 0,5 mg/l).
5
Gambar 4. Fase pertumbuhan dan perkembangan biji Dendrobium capra. Keterangan a. Fase 0 (biji tidak berkecambah) b. Fase 1 (protokorm) c. Fase 2 (protokorm dengan primordia daun) d. Fase 3 (protokorm dengan daun dan rhizoid) e. Fase 4 (protokorm dengan beberapa daun dan rhizoids) f. Fase 5 (plantlets) (Dokumentasi Pribadi, 2012). Tabel 2. Persentase pertumbuhan dan perkembangan biji D. capra 12 MSI Media (A)
NAA (B)
Fase 0
Persentase Pertumbuhan dan Perkembangan Biji (%) Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4 Fase 5
Total (Fase 1-5) MS (A1) 0 (B0) 76,17ab 23,83ab 0.00a 0a 0b 0b 23,83cd 0,1 (B1) 71,16abc 28,84a 0.00a 0a 0b 0b 28,84bcd 0,3 (B2) 97,65a 2,35ab 0.00a 0a 0b 0b 2,35d 0,5 (B3) 74,13ab 19,66ab 0.00a 0a 0b 6,21b 25.87cd KC (A2) 0 (B0) 11,49d 2,10ab 8.90a 20,72a 43,45ab 13.33ab 88,51a 0,1 (B1) 54,87abcd 0b 0.00a 0a 18,63ab 26.50ab 45,13abcd 0,3 (B2) 44,44abcd 10ab 0.00a 5,13a 40,43ab 0.00b 55,56abcd 0,5 (B3) 18,77cd 4,55ab 2.21a 9,53a 64,02a 0.93b 81,23ab VW(A3) 0 (B0) 90,85a 7,18ab 1.97a 0a 0b 0.00b 9,15d 0,1 (B1) 60,51abcd 13,78ab 0.44a 0a 25,27ab 0.00b 39,49abcd 0,3 (B2) 74,60ab 15,56ab 1.59a 0a 7,30b 0.95b 25,4cd 0,5 (B3) 34,29bcd 3,23ab 1,28a 2,15a 17,01b 42,05a 65,71abc Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji ANOVA yang dilanjutkan dengan Uji Tukey (α = 0,05). Fase 0: fase biji tidak berkecambah. Persentase pertumbuhan dan perkembangan biji merupakan total fase 1 (terbentuknya protocorm yang merupakan awal pertumbuhan biji) s.d fase 5.
Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa media, konsentrasi NAA serta interaksi antara jenis media dan konsentrasi NAA berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan biji D.capra (p=<0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa total persentase
pertumbuhan & perkembangan biji D. capra berkisar 2,35%-88,51%. Total persentase pertumbuhan dan perkembangan biji tertinggi pada perlakuan A2B0 sebesar 88,51%, sedangkan yang terendah pada perlakuan A0B2 sebesar 2,35% (Tabel 2). Pada semua
6 perlakuan biji D.capra dapat berkecambah, meskipun dengan total persentase pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda. Jenis media berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan D. capra. Jenis media yang terbaik adalah KC yang memberikan nilai total persentase pertumbuhan dan perkembangan biji tertinggi (45,13%-88,51%), diikuti oleh media VW dengan total persentase pertumbuhan dan perkembangan biji berkisar antara 9,15%-65,71%. Persentase pertumbuhan dan perkembangan biji terendah pada media MS (2,35%-28,84%). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa media KC merupakan jenis media yang terbaik berdasarkan total persentase pertumbuhan dan perkembangan yang
tertinggi. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Long (2010) dimana didapatkan total persentase pertumbuhan dan perkembangan biji pada media KC yakni sebesar 59%, lebih tinggi apabila dibandingkan dengan media MS dan VW. Hal ini dimungkinkan karena kandungan kalsium pada media KC relatif lebih tinggi (4,23 mM) apabila dibandingkan dengan media VW (1,94 mM) dan MS (3 mM). Ketersediaan kalsium akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Kalsium berfungsi sebagai substansi perekat, mengatur permeabilitas dalam sel, dan sangat esensial pada cairan sel. Kalsium juga mempengaruhi ketersediaan nutrient lain dalam jaringan tanaman, karena kalsium berpengaruh dalam pembentukan ujung bulu-bulu akar (Hendaryono, 1998).
Persentase Pertumbuhan dan Perkembangan Biji D.capra 100.00 90.00
Persentase (%)
80.00 70.00 60.00
Fase 0
50.00
Fase 1
40.00
Fase 2 Fase 3
30.00
Fase 4
20.00
Fase 5
10.00 0.00 A1B0 A1B1 A1B2 A1B3 A2B0 A2B1 A2B2 A2B3 A3B0 A3B1 A3B2 A3B3 Jenis Media dan Konsentrasi NAA
Gambar 5. Persentase pertumbuhan dan perkembangan biji D. capra 12 MSI
Konsentrasi NAA berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan biji D. capra, dimana konsentrasi NAA yang paling tinggi yakni 0,5 mg/l NAA pada semua jenis media mampu menginduksi biji sampai ke fase terbentuknya planlet (fase 4 dan fase 5)
(Gambar 5). Persentase fase terbentuknya planlet pada perlakuan konsentrasi NAA 0,5 mg/l pada semua jenis media lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah (0,3 mg/l; 0,1 mg/l, dan 0 mg/l). Hal ini membuktikan bahwa terdapat pengaruh konsentrasi NAA
7 terhadap pertumbuhan dan perkembangan biji D.capra. Konsentrasi NAA sebesar 0,5 mg/l yang dapat menginduksi pertumbuhan dan perkembangan sampai pada fase 4 dan 5 (planlet). Hasil ini sesuai dengan Manrique (2006) dimana pada konsentrasi 0,5 mg/l NAA didapatkan total persentase pertumbuhan dan perkembangan biji lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi NAA yang lebih rendah. Roy (2011) juga menyebutkan bahwa pada kultur biji Vanda coerulea dengan penambahan NAA sebesar 0,5 mg/l dapat menginduksi biji sampai ke fase planlet. Akan tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi lagi yakni 1 mg/l NAA mulai terjadi penurunan pertumbuhan. Berdasarkan uji ANOVA didapatkan bahwa interaksi antara jenis
media dan konsentrasi NAA berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan biji D.capra (p=<0,05). Pada semua perlakuan hanya enam perlakuan saja yang mampu mendukung biji D.capra untuk tumbuh dan berkembang sampai ke fase 5 yakni A1B3(MS+0,5 mg/l NAA), A2B0(KC+0 mg/l NAA), A2B1(KC+0,1 mg/l NAA), A2B3 (KC+0.5 mg/l NAA), A3B2 (VW+0,3 mg/l NAA), dan A3B3(VW+0,5 mg/l NAA). Persentase fase 5 tertinggi didapatkan pada perlakuan A3B3(VW+0,5 mg/l NAA) yaitu 42,05%, sedangkan terendah didapatkan pada perlakuan A2B3(KC+0,5 mg/l NAA) yaitu 0,93%. Pertumbuhan planlet pada umur 12 MSI (Minggu Setelah Inokulasi) disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata pertumbuhan planlet 12 MSI Media
NAA
(A)
(B)
MS (A1)
KC (A2)
VW(A3)
Pertumbuhan Planlet tinggi (cm)
jumlah
panjang
lebar
jumlah
panjang
daun
daun (cm)
daun (cm)
akar
akar (cm)
0 (B0)
0c
0b
0b
0c
0c
0b
0,1 (B1)
0c
0b
0b
0c
0c
0b
0,3 (B2)
0c
0b
0b
0c
0c
0b
0,5 (B3)
1,55abc
3,5a
0,67a
0,19a
2,00a
0,19ab
0 (B0)
0,28bc
1,20ab
0,29ab
0,043bc
0,33bc
0,06b
0,1 (B1)
0,62abc
2,67ab
0,27ab
0,12abc
0,87abc
0,17ab
0,3 (B2)
0c
0b
0b
0c
0c
0b
0,5 (B3)
0,33bc
1,33ab
0,15ab
0,05abc
0,67abc
0,05b
0 (B0)
0c
0b
0b
0c
0c
0b
0,1 (B1)
0c
0b
0b
0bc
0bc
0b
0,3 (B2)
0,56abc
1,00ab
0,11ab
0,040c
0,33c
0,05b
0,5 (B3)
1,69a
3,40ab
0,71a
0,16ab
1,5ab
0,25a
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji ANOVA yang dilanjutkan dengan Uji Tukey (α = 0,05).
Total persentase pertumbuhan dan perkembangan biji tertinggi didapatkan pada media KC (Tabel 2). Akan tetapi perbandingan antara pertumbuhan planlet yang tumbuh pada media KC, MS, dan VW (pada konsentrasi NAA 0,5 mg/l)
menunjukkan adanya perbedaan. Pertumbuhan planlet pada media MS dan media VW lebih baik apabila dibandingkan dengan planlet yang tumbuh pada media KC. Planlet pada media KC rata-rata tinggi planlet, jumlah daun,
8 panjang daun, lebar daun, jumlah akar, dan panjang akar adalah 0,33 cm, 1,33 helai, 0,15 cm, 0,05 cm, 0,67 akar, dan 0,05 cm. Rata-rata tinggi planlet pada media MS, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, jumlah akar, dan panjang akar, berturutturut adalah 1,55 cm, 3,5 helai, 0,67 cm, 0,19 cm, 2 akar, dan 0,19 cm. Pada media VW rata-rata tinggi planlet, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, jumlah akar, dan panjang akar adalah 1,69 cm, 3,4 helai, 0,71 cm, 0.16 cm, 1,5 akar, dan 0,25 cm (Tabel 3). Pertumbuhan planlet yang lebih baik pada media VW dan media MS dimungkinkan karena media VW mengandung unsur fosfor yang tinggi. Fosfor banyak dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan vegetatif. Unsur ini berpengaruh dalam pembentukan akarakar. Jumlah akar yang banyak menyebabkan tanaman dapat menyerap air beserta unsur hara dengan lebih banyak (Hendaryono, 1998). Sementara media MS mengandung banyak mikronutrien dan vitamin yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.
Ditambahkan pula oleh Arditti (1979) dalam Kalimuthu et al.(2007) bahwa auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang pertama kali ditambahkan pada kultur biji, kebanyakan auksin (NAA, IAA, dan IBA) dapat meningkatkan perkecambahan dan pertumbuhan planlet. Auksin berperan dalam berbagai proses perkembangan tumbuhan, seperti pembelahan dan pemanjangan sel (Davies, 1995 dalam Utami et.al, 2007). Pemanjangan batang terjadi karena adanya proses pembelahan, pemanjangan, dan pembesaran sel-sel baru yang terjadi pada meristem ujung batang yang mengakibatkan tanaman bertambah tinggi (Gardner et al., 1985 dalam Widiastoety dan Kartikaningrum, 2003). Pertambahan panjang akar disebabkan terjadinya proses pembelahan sel pada meristem ujung akar, selanjutnya diikuti oleh pemanjangan dan pembesaran sel (Gardner et al., 1991). Mekanisme pemanjangan sel sebagai respon terhadap auksin disajikan dalam gambar 6.
Gambar 6. Pemanjangan sel sebagai respon terhadap auksin (Campbell et al., 2003)
Menurut hipotesis pertumbuhan asam, pompa proton yang terletak di dalam membran plasma memainkan peranan dalam respons pertumbuhan dari sel-sel terhadap auksin. Pada daerah pemanjangan
suatu tunas, auksin merangsang pompa proton yaitu satu tindakan yang menurunkan pH pada dinding sel. Pengasaman dinding ini akan mengaktifkan enzim-enzim yang
9 memecahkan ikatan silang (ikatan hidrogen) yang terdapat di antara mikrofibril-mikrofibril selulosa, sehingga melonggarkan serat-serat dinding sel. Karena dindingnya sekarang lebih plastis, sel bebas mengambil tambahan air melalui osmosis dan bertambah panjang. Namun, agar bisa tumbuh terus setelah perubahan awal ini, sel-sel harus membuat lebih banyak sitoplasma dan bahan dinding (Campbell et al., 2003). IV. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis media, konsentrasi NAA serta interaksi antara kedua faktor tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan biji D.capra. Jenis media yang terbaik yaitu KC, sedangkan konsentrasi NAA yang memberikan respon terbaik yaitu 0,5 mg/l. Perlakuan yang dapat menginduksi pertumbuhan dan perkembangan biji sampai ke fase planlet (fase 4 dan fase 5) yaitu A1B3(MS+0,5 mg/l NAA), A2B0(KC+0 mg/l NAA), A2B1(KC+0,1 mg/l NAA), A2B3 (KC+0.5 mg/l NAA), A3B2 (VW+0,3 mg/l NAA), dan A3B3(VW+0,5 mg/l NAA). Perlakuan yang memberikan respon pertumbuhan planlet terbaik yaitu A1B3 (Media MS+0,5 mg/l NAA) dan A3B3 (Media VW+0,5 mg/l NAA). DAFTAR PUSTAKA Agriani, S. M. 2010. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Ubi Jalar dan Emulsi Ikan terhadap Pertumbuhan PLB Anggrek Persilangan Phalaenopsis Pinlong Cinderella x Vanda tricolor pada Media Knudson C. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta Bey, Y., W. Syafii, dan Sutrisna. 2006. Pengaruh Pemberian Giberelin (GA3) dan Air Kelapa terhadap Perkecambahan Bahan Biji Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis BL) secara In Vitro. Jurnal Biogenesis. 2 (2): 41-46
Bhadra, S.K. dan M. M. Hossain. 2003. In vitro Germination and Micropropagation of Geodorum densiflorum (Lam.) Schltr., An Endangered Orchid Species. Plant Tissue Cult. 13 (2): 165-171 Campbell, Neil A., Jane B. Reece, dan Lawrence G. Mitchell. 2003. Biologi. Erlangga, Jakarta Clavijo, C. Michelangeli. 2010. Sexual Micropropagation of Critically Endangered Christmas Orchid Masdevallia tovarensis, Aragua, Venezuela. Conservation Evidence. 7: 87-90 Comber, J. B. 1990. Orchid of Java. Royal Botanic Gardens, New England Dutta, S., A. Chowdurry, B. Bhattacharjee, P. K. Nath, dan B. K. Dutta. 2011. In vitro Multiplication and Protocorm Development of Dendrobium aphyllum (Roxb.) CEC Fisher. Biological and Environmental Science. 7 (1): 57-62 Dutra, Daniela., T. R. Jhonson, P. J. Kauth, S. L. Stewart, M. E. Kane, dan L. Richardson. 2008. Asymbiotic Seed Germination, In Vitro Seedling Development, and Greenhouse Acclimatization of The Threatened Terrestrial Orchid Bletia purpurea. Plant Cell Tissue Organ Culture. 94: 11-21 Fatmawati, T.A., T. Nurhidayati, dan N. Jadid. 2010. Pengaruh Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh IAA dan BAP terhadap Morfogenesis pada Kultur In Vitro Tanaman Tembakau (Nicotiana Tabacum L. Var. Prancak-95). Skripsi. Biologi FMIPA ITS, Surabaya Fitrianti, A. 2006. Efektivitas Asam 2,4Diklorofenoksiasetat (2,4-D) dan Kinetin pada Medium MS dalam Induksi Kalus Sambiloto dengan Eksplan Potongan Daun. Skripsi. Jurusan Biologi FMIPA UNS, Semarang Hendaryono, D. P.S., dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius, Yogyakarta
10 Hendaryono, D. P. S. 1998. Budidaya Anggrek dengan Bibit dalam Botol. Kanisius, Yogyakarta Hossain, M. M. 2008. Asymbiotic Seed Germination and In Vitro Seedling Development of Epidendrum ibaguense Kunth. (Orchidaceae). Afr. J. Biotechnol. 7(20): 3614-3619 Kalimuthu, K., R. Senthilkumar, dan S. Vijayakumar. In Vitro Micropropagation of Orchid, Oncidium sp. (Dancing Dolls). African Journal of Biotechnology. 6 (10): 1171-1174 Kong, Q., Yuan S. Y., dan Vegvari Gy. 2007. Micropropagation of An Orchid Dendrobium strongylanthum Rchb.f. International Journal of Horticultural Science. 13 (1): 61-64 Kumar, K. D., S. Majumdar, R. Sharma, dan B. Sharma. 2006. Green Pod Culture and Rapid Micropropagation of Dendrobium chrysanthum Wall.A Horticultural and Medicinal Orchid. Folia Horticulturae. 18 (1): 81-90 Li, Z. Y. dan L. Xu. 2009. In Vitro Propagation of White–Flower Mutant of Rhynchostylis gigantean (Lindl.) Ridl. Through Immature Seed-Derived Protocorm-Like Bodies. J. Horti and Forestry. 16: 093-097 Manrique, J. P. dan Y. M. Guiterrez. 2006. Asymbiotic Germination of Odontoglossum gloriosum RCHB. F. (Orchidaceae) Under In Vitro Conditions. In Vitro Cell. Dev. 42:543-547 Maridass, M., R. Mahesh, G. Raju, A. Benniamin, dan K. Muthucellian. 2010. In vitro Propagation of Dendrobium nanum Through Rhizome Bud Culture. International Journal of Biotechnology. 1 (2): 5054 Marveldani. 2009. Pengaruh Formulasi Medium Kultur terhadap Pertumbuhan Protocorm Anggrek Dendrobium Secara In Vitro. Jurnal
Penelitian Pertanian Terapan. 9 (2): 67-72 Nurfadilah, Siti. 2011. The Effect of Light on The Germination and The Growth of The Seeds of Dendrobium spectabile Bl. (Orchidaceae) In Vitro. Prosiding Makalah Seminar Kebun Raya Cibodas. LIPI, Bogor Pierik, L.R.M. 1997. In Vitro Culture of Higher Plant. Martmus NiJ’hoff Publisher, Dordrecht Netherlands Risna, R. A., Yayan W. C. K., R. Hendrian, D. O. Pribadi. 2010. Spesies Prioritas untuk Konservasi Tumbuhan Indonesia. LIPI Press, Bogor Roy, A. R., R. S. Patel., V. V. Patel, S. Sajeev, dan Bidyut C. Deka. 2011. Asymbiotic Seed Germination, Mass Propagation and Seedling Development of Vanda coerulea griff ex.Lindl (Blue Vanda): An In Vitro Protocol for An Endangered Orchid. Scienticia Horticultura. 128: 325-331 Sharma, R., K. K. De, B. Sharma, dan S. Majumdar. 2005. Micropropagation of Dendrobium fimbriatum Hook. By Green Pod Culture. Journal of Plant Biology. 48 (2): 253-257 Utami, E. S. Wida., I. S. Sumardi, Taryono, dan E. Semiarti. 2007. Pengaruh α-Naphtaleneacetic Acid (NAA) terhadap Embriogenesis Somatik Anggrek Bulan Phalaenopsis Amabilis (L.) Bl. Biodiv. 8 (4): 295-299 Widiastoety, S. Kartikaningrum, dan Purbadi. 2005. Pengaruh pH Media terhadap Pertumbuhan Plantlet Anggrek Dendrobium. J.Hort. 15 (1): 18-21 Yamamoto, M., K. Miyoshi, S. Ichihashi, dan M. Mii. 2012. Ionic compositions play an important role on in vitro propagation of PLBs of spring-flowering Calanthe. Plant Biotechnology. 29 : 71-76 Yulia, Nina D. dan N. S. Ruseani. 2008. Studi Habitat dan Inventarisasi Dendrobium capra J.J. Smith di
11 Kabupaten Madiun dan Bojonegoro. Biodiv. 9: 190-193 Yusnita. 2003. Kultur Jaringan. Agromedia Pustaka, Jakarta Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman: Solusi Perbanyakan Tanaman Budidaya. Bumi Aksara, Jakarta