PENGARUH INDUKSI SUHU DAN METODE APLIKASI ZAT PENGATUR TUMBUH ROOTONE–F TERHADAP INDUKSI AKAR DAN TUNAS STEK DADAP MERAH (Erythrina crystagalli)
Oleh : Citra Candra Ressa Goenawan A34401023
PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
PENGARUH INDUKSI SUHU DAN METODE APLIKASI ZAT PENGATUR TUMBUH ROOTONE–F TERHADAP INDUKSI AKAR DAN TUNAS STEK DADAP MERAH (Erythrina crystagalli)
Skripsi sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakutas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : Citra Candra Ressa Goenawan A34401023
PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN CITRA CANDRA RESSA GOENAWAN. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Induksi Akar dan Tunas Stek Dadap Merah (Erythrina crystagalli) (Di bawah bimbingan Tatiek Kartika). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui induksi suhu yang tepat dan mengetahui metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F yang sesuai dan optimum untuk menginduksi akar dan tunas stek Dadap merah. Penelitian berlangsung mulai Februari 2005 sampai dengan Juni 2005, terdiri dari 2 percobaan yaitu : Percobaan I, Perlakuan Induksi suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Induksi Akar dan Tunas Stek Dadap merah dan Percobaan II, Optimasi Kondisi Percobaan I. Percobaan I, Perlakuan Induksi suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Induksi Akar dan Tunas Stek Dadap merah, dilaksanakan di propagation area kebun percobaan Cibedug. Bahan yang digunakan adalah stek dadap merah berasal dari tanaman induk berumur ± 1–2 tahun. Percobaan ini adalah percobaan faktorial (3x4), dimana digunakan Rancangan Spilt Plot yang disusun secara acak lengkap (RAL). Faktor pertama sebagai petak utama adalah induksi suhu yang terdiri dari 3 taraf yaitu suhu kamar, suhu AC, dan suhu refrigerator dan faktor kedua sebagai anak petak adalah metode aplikasi Rooton –F yang terdiri dari 4 taraf yaitu, tanpa Rootone–F, metode rendam, metode celup cepat, dan metode pasta. Dengan demikian terdapat 12 kombinasi perlakuan dan masing–masing perlakuan diulang 6 kali sehingga seluruhnya terdapat 72 satuan percobaan. Peubah yang diamati meliputi : persentase stek hidup, persentase stek bertunas, jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun diamati pada 2 Minggu Setelah Penyimpanan (MSP), 4 Minggu Setelah Tanam (MST), dan 6 MST sedangkan persentase stek berakar, jumlah akar, dan panjang akar hanya diamati pada 6 MST. Perlakuan induksi suhu berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah kecuali pada persentase stek hidup pada 2 MSP. Secara umum perlakuan induksi suhu kamar memberikan nilai tertinggi untuk semua nilai peubah, sedangkan perlakuan refrigerator memberikan nilai terendah untuk semua nilai peubah. Perlakuan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F berpengaruh sangat nyata terhadap peubah panjang tunas pada 2 MSP dan 4 MST serta jumlah daun pada 4 MST dan 6 MST. Secara umum metode aplikasi pasta memberikan nilai tertinggi untuk semua nilai peubah yang dihasilkan, sedangkan metode aplikasi tanpa Rootone–F memberikan nilai terendah untuk semua nilai peubah yang dihasilkan. Terdapat interaksi antara perlakuan induksi suhu dan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F yang berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah, kecuali pada persentase stek hidup pada 4 dan 6 MST, persentase stek bertunas pada 2 MSP, dan panjang tunas pada 2 MST. Kombinasi perlakuan terbaik secara umum diberikan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu kamar dan metode aplikasi pasta.
Percobaan II, Optimasi Kondisi Percobaan I. Percobaan ini dilaksanakan di Rumah Kaca Kebun Percobaan Cikabayan Percobaan ini dilakukan karena pada percobaan I terdapat pengaruh yang sangat besar dari Propagation area, dimana kondisi suhu yang terlalu panas yang menyebabkan tingkat kematian yang tinggi bagi pertumbuhan stek, sehingga diharapkan setelah memindah lokasi percobaan ke rumah kaca biasa di Cikabayan terdapat respon pertumbuhan yang optimal dari faktor metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F terhadap induksi akar dan tunas stek dadap. Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) 1 faktor, yaitu faktor metode aplikasi Rootone–F, yang terdiri atas 4 taraf yaitu tanpa Rootone–F, metode rendam, celup cepat, dan pasta. Dimana masing – masing perlakuan diulang 6 kali sehingga seluruhnya terdapat 24 satuan percobaan. Peubah yang diamati meliputi : persentase stek hidup, persentase stek bertunas, jumlah tunas, panjang tunas, dan jumlah daun dimana masing–masing peubah diamati setiap minggu dari 2 MST sampai 8 MST. Persentase stek berakar, jumlah akar dan panjang akar dimana masing–masing peubah hanya diamati pada akhir pengamatan yaitu pada 8 MST. Perlakuan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah kecuali pada persentase stek hidup pada 2, 3, 5 sampai 8 MST dan jumlah tunas pada 2 MST. Secara umum metode aplikasi pasta memberikan nilai tertinggi untuk semua nilai peubah yang dihasilkan, sedangkan metode aplikasi tanpa Rootone–F memberikan nilai terendah untuk semua nilai peubah yang dihasilkan. Perlakuan induksi suhu kamar merupakan kondisi induksi suhu terbaik, hal ini ditunjukan dengan nilai semua peubah tertinggi yang dihasilkan dibanding kondisi induksi suhu lainnya. Perlakuan metode aplikasi zat pengatur tumbuh secara pasta merupakan metode aplikasi terbaik dalam menginduksi akar dan tunas stek dadap merah, hal ini ditunjukan dengan nilai peubah persentase stek hidup, persentase stek berakar, persentase stek bertunas, panjang tunas, jumlah tunas, panjang akar, jumlah akar dan jumlah daun tertinggi. Serta terdapat interaksi antara perlakuan induksi suhu dan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone-F yang diberikan.
JUDUL
: PENGARUH INDUKSI SUHU DAN METODE APLIKASI ZAT PENGATUR TUMBUH ROOTONE–F TERHADAP INDUKSI AKAR DAN TUNAS STEK DADAP MERAH (Erythrina crystagalli)
NAMA
: Citra Candra Ressa Goenawan
NRP
: A34401023
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Tatik Kartika S MS. NIP. 131 124 020
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698
Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cimahi, Jawa Barat pada tanggal 28 Februari 1983. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Rullyadi Herdi Gunawan dan Ibu Nunung Rachmawati. Pada tahun 1995 penulis lulus dari SD Halimun VI, Bandung, kemudian pada tahun 1998 penulis menyelesaikan studi di SLTP Negeri 9 Cimahi, Bandung. Selanjutnya penulis lulus dari SMUN 2 Cimahi, Bandung pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis diterima di IPB melalui jalur USMI di Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian pada Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih.
KATA PENGANTAR Bismillahirohmanirrohiim Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, karunia dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Induksi Akar dan Tunas
Stek
Dadap Merah (Erythrina crystagalli) dapat
terselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. Tatiek Kartika S., MS sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan kesabarannya selama penyusunan usulan penelitian sampai pada penyusunan skripsi. 2. Ir. Endah Retno P., MSc selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan perhatiannya. 3. Dr. Ir. Tati Budiarti, MS. dan Dr. Ir. M. R. Suhartanto, MS sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukannya. 4. Ayahanda Rullyadi Herdi G, Ibunda Nunung Rachmawati tak lupa adik – adikku, Nurul dan Bintang yang telah memberikan doa, kasih sayang dan dukungannya. 5. Keluarga Besar Watmo S, atas nasihat, motivasi, perhatian dan dukungannya baik secara moral maupun materiil. 6. Risska Ayu S, atas perhatian, motivasi, dukungan dan kasih sayangnya. 7. Johnex, Wawan, Ayu, Sulis, Nura, dan Gina atas bantuan dan dukungannya selama penelitian. 8. Ario, Matz, Amir, Leo atas persahabatan kalian selama ini. Disaat susah dan senang, dan juga atas kebersamaan dan kenangan yang sangat berharga. Semoga apa yang kalian ingin dan cita-citakan dapat tercapai. 9. Sem, Panji, P-man, Cici, Nandang, Linggar, Murti dan Seluruh Keluarga Besar Pemuliaan Tanaman & Teknologi Benih’38 dan ’39 atas kebersamaan dan keceriannya.
10. Poso, Fajar, Nunu, Windu, Asio, Parto dan Keluarga besar FC. DUPFOC Cimahi atas semangat, motivasi dan kebersamaan selama ini. 11. Bapak Abas, Wawan, P-Man, Thomas, Panji, Indro dan keluarga besar Wisma Alma. 12. Seluruh pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan seluruhnya. Akhirnya, semoga hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi industri benih khususnya dibidang kehutanan.
Bogor, Januari 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN................................................................................................ Latar Belakang................................................................................................ Tujuan ............................................................................................................ Hipotesis ........................................................................................................
1 1 4 4
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 5 Gambaran Umum Dadap Merah .................................................................... 5 Pembiakan Vegetatif ...................................................................................... 6 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Stek ............................. 9 Faktor Dalam (Tanaman) ...................................................................... 9 Faktor Luar............................................................................................10 Zat Pengatur Tumbuh.....................................................................................11 Induksi Suhu...................................................................................................14 Jenis Media Tumbuh Stek ..............................................................................15 BAHAN DAN METODE ....................................................................................18 Waktu dan Tempat ...........................................................................................18 Bahan dan Alat .................................................................................................18 Metode Penelitian.............................................................................................18 Percobaan I. ...........................................................................................18 Percobaan II...........................................................................................19 Pelaksanaan Penelitian .....................................................................................21 Pengamatan ......................................................................................................22 HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................24 Percobaan I Perlakuan Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Induksi Akar dan Tunas Stek Dadap .............................24 Kondisi Umum. .....................................................................................24 Kondisi Stek Setelah Induksi Suhu. ......................................................26 Kondisi Stek di Propagation Area. ........................................................28 Percobaan II Optimasi Kondisi Perlakuan Metode Aplikasi Rootone-F Terhadap Induksi Akar dan Tunas Stek Dadap Merah.....................................................42 KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................................54 Kesimpulan.......................................................................................................54 Saran.................................................................................................................55 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................56 LAMPIRAN .........................................................................................................59
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman Teks
1. Rekapitulasi Sidik Ragam Percobaan Perlakuan Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Induksi Akar dan Tunas Stek Dadap Merah ................................................................25 2. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Rataan Persentase Stek Hidup (%), Persentase Stek Hidup (%), Jumlah Tunas dan Panjang Tunas Pada 2 MSP. ..................27 3. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Rataan Persentase Stek Hidup (%) Pada 4 MST dan 6 MST.......................................................................................................29 4. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Rataan Rataan Persentase Stek Bertunas (%) Pada 4 MST dan 6 MST..................................................................................31 5. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Rataan Rataan Jumlah Tunas Pada 4 MST dan 6 MST.......................................................................................................33 6. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Rataan Rataan Panjang Tunas (cm) Pada 4 MST dan 6 MST.......................................................................................................35 7. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Rataan Rataan Persentase Jumlah Daun Pada 4 MST dan 6 MST ..........................................................................................36 8. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Rataan Rataan Persentase Stek Berakar (%), Jumlah Akar dan Panjang Akar (cm) Pada 6 MST .........................................38 9. Rekapitulasi Sidik Ragam Optimasi Kondisi Percobaan I Merah ...................43 10. Pengaruh Metode Aplikasi Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Stek Bertunas (%), Jumlah Tunas dan Panjang Tunas (cm).........................................................................................45 11. Pengaruh Metode Aplikasi Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Rataan Jumlah Daun...................................................48
12. Pengaruh Metode Aplikasi Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Rataan Persentase Stek Berakar (%), Jumlah akar, dan Panjang Akar (cm) .............................................................51 Lampiran 1. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Persentase Stek Hidupa (%)...............................................................................................59 2. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Persentase Stek Bertunasa (%) ..........................................................................................59 3. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Jumlah Tunasa ..........60 4. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Panjang Tunasa (cm) .......................................................................................60 5. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Jumlah daun............61 6. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Persentase Stek Berakara (%)............................................................................................61 7. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Jumlah Akara ...........62 8. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Panjang Akara (cm)..62 9. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Persentase Stek Hidup (%) ..........................62 10. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Persentase Stek Bertunas (%) ......................63 11. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Jumlah Tunas ...............................................63 12. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Panjang Tunas (cm) .....................................64 13. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Jumlah daun .................................................64
14. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Persentase Stek Berakar (%)........................64 15. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Jumlah Akar.................................................65 16. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F Terhadap Panjang Akar (cm).......................................65
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman Teks
1. Jumlah Daun yang Dihasilkan Oleh Stek Pada Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F : (a) Perlakuan Metode Aplikasi Pasta; (b) Perlakuan Metode Aplikasi Rendam; (c) Perlakuan Metode Aplikasi Celup Cepat; dan (d) Perlakuan Metode Aplikasitanpa Rootone-F.............................................49 2. Panjang Akar yang Dihasilkan Oleh Stek Pada Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F : (a) Perlakuan Metode Aplikasi Pasta; (b) Perlakuan Metode Aplikasi Celup Cepat .........................53
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropis terkenal akan keanekaragaman hayatinya, termasuk pohon hutan hias. Di Indonesia dikenal kurang lebih ada 4000 jenis kayu. Salah satu jenis pohon hutan hias yang tumbuh di daerah tropis adalah dadap merah (Erythrina crystagalli). Jenis ini merupakan jenis kayu cepat tumbuh dan mempunyai nilai ekonomi tingi salah satunya yaitu sebagai tanaman hias. Tanaman hias mulai berkembang sejalan dengan keinginan manusia yang memiliki rasa suka terhadap keindahan alam flora ini. Kebutuhan akan keindahan mendorong orang untuk menciptakan sesuatu yang baru dalam kehidupan seharihari. Tanaman hias merupakan salah satu komoditas yang berprospek cerah dan merupakan komponen yang sangat penting baik sebagai unsur dekorasi maupun digunakan berdasar fungsinya dalam pembuatan taman. Kebutuhan akan tanaman hias baik tanaman hias dalam pot atau tanaman hias potong meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan perubahan pola hidup masyarakat. Kebutuhan akan tanaman hias tersebut akan semakin mendorong
pengembangan
tanaman
hias
dengan
tetap
memperhatikan
peningkatan kualitas dan kuantitas. Peningkatan kualitas tanaman selalu dilakukan terus-menerus oleh pemuliaan tanaman, sedangkan peningkatan kuantitas tanaman mengalami keterbatasan dari kemampuan tanaman itu sendiri. Meningkatkan kebutuhan akan kehadiran tanaman hias, ataupun tanaman peneduh dilingkungan rumah tinggal, perkantoran ataupun dilingkungan tamantaman rekreasi, banyak memberikan pengaruh yang positif terhadap kehidupan manusia (Suryowinoto, 1995). Penataan taman yang rapi dilingkungan rumah tinggal, perkantoran, taman-taman rekreasi ataupun tepi-tepi jalan dengan tanaman-tanaman yang teduh akan menciptakan lingkungan yang bersih, nyaman dan segar. Menurut Fathy (2002) tanaman hias peneduh biasanya berada didaerah pemukiman, perkantoran, taman-taman, tepi-tepi jalan, area parkir dan tempattempat wisata. Fathy (2002) menambahkan tanaman Erythtrina crystagalli berpotensi sebagai tanaman pengaksen, tanaman peneduh dan tanaman penghias
tepi jalan. Potensinya yang paling dominan digunakan sebagai tanaman peneduh dan pengaksen. Permintaan konsumen terhadap tanaman hias saat ini belum cukup terpenuhi dari segi kualitas ataupu kuantitasnya. Oleh karena itu, perlu adanya usaha-usaha perbaikan budidaya dan penelitian menuju kearah peningkatan kualitas dan kuantitas yang diinginkan. Pembangunan kota sejak dahulu sampai sekarang cenderung untuk meminimalkan ruang terbuka hijau dan menghilangkan wajah alam. Lahan-lahan pertumbuhan banyak dialih fungsikan menjadi kawasan perdagangan, kawasan permukiman, kawasan industri, jaringan transportasi (jalan, jembatan, terminal), serta sarana dan prasarana kota lainnya. Diharapkan dengan semakin banyaknya pertanaman tanaman hias peneduh pinggir jalan, selain sebagai peghias jalan juga dapat berfungsi sebegai peneduh penghasil oksigen yang dibutuhkan mahluk hidup. Tanaman dadap merah (Erythtrina crystagalli) mulai banyak digunakan karena selain sebagai tanaman hias juga berfungsi sebagai tanaman peneduh. Seperti halnya kebanyakan tanaman lainnya pengembangbiakan tanaman dadap merah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara generatif dan vegetatif, karena banyaknya permasalahan dalam pengadaan benih dadap merah, maka orang mulai mengalihkan perhatiannya pada perbanyakan vegetatif. Permasalahan dalam pengadaan benih dadap merah antara lain yaitu, sulitnya untuk mendapatkan benih yang bermutu baik dalam jumlah yang memadai dan tepat waktu dikarenakan tanaman ini sulit untuk menghasilkan benih. Van Steenis (2003) menambahkan dadap merah berbuah pada Mei sampai Oktober. Kendala lain yaitu biji atau benih yang dihasilkan perpohon jumlahnya sedikit, sehingga sulit untuk memenuhi permintaan yang besar, benih sulit untuk berkecambah, walaupun termasuk kedalam jenis kayu cepat tumbuh, persentase stek hidup yang rendah dan jumlah induk yang terbatas karena biasanya hanya tumbuh dengan baik pada dataran tinggi. Kebutuhan akan dadap merah sendiri cukup besar karena selain dibutuhkan sebagai tanaman peneduh juga sebagai tanaman hias pinggir jalan, permintaan akan dadap merah khususnya stek dan tanaman dalam pot banyak
diperlukan diantaranya di tempat-tempat wisata, perkantoran, hotel, restoran dan permintaan terbesar sebagai tanaman pinggir jalan tol. Dengan memenuhi segi kualitasnya untuk menunjang adanya pengadaan bibit, adalah langkah awal pengembangan tanaman dadap merah yang umumnya diperoleh dari tegakan atau kebun benih serta teknik penanganan yang tepat. Kualitas genetik dapat dipenuhi antara lain dengan pembangunan kebun benih klonal, yaitu kebun benih yang berasal dari pembiakan vegetatif yang berasal dari pohon induk yang sama merupakan salah satu cara untuk memperoleh bibit unggul yang berkualitas baik secara genetik, fisik dan fisiologis, dan salah satu cara yang mungkin diterapkan adalah stek. Stek merupakan cara perbanyakan tanaman menggunakan bagian vegetatif tanaman baik itu akar, batang ataupun daun yang kemudian berkembang membentuk bagian tanaman yang lain, bila kondisi lingkungannya sesuai. Perbanyakan dadap merah menggunakan stek dilakukan untuk mengatasi tanaman tertentu yang tidak menghasilkan benih, atau menghasilkan benih namun memiliki sifat sulit berkecambah atau dorman, serta untuk tanaman tertentu cara ini lebih ekonomis dibandingkan harus membeli benihnya. Keuntungan cara perbanyakan menggunakan stek ini adalah menghasilkan tanaman sempurna dengan akar, batang, dan daun dalam waktu yang relatif singkat, serupa dengan induknya dan sederhana, tidak membutuhkan teknik khusus seperti halnya grafting ataupun budding, tidak dijumpai masalah ketidakcocokan antara akar dengan batang dan tidak terjadi perubahan genetik pada tanaman induk (Hartmann dan Kester, 1983). Untuk merangsang pertumbuhan awal stek dapat digunakan zat pengatur tumbuh dari kelompok auksin untuk merangsang pertumbuhan akar. Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik selain hara yang dalam jumlah kecil dapat mendukung, menghambat, maupun mengubah proses fisiologis tumbuhan. Menurut Wattimena (1988), zat pengatur tumbuh dari kelompok auksin dapat merangsang pembentukan akar. Auksin sintetik seperti IAA dan IBA banyak digunakan untuk mendorong pertumbuhan stek dari tanaman berkayu dan berbatang lunak. Mekanisme kerja NAA dan IBA yaitu dengan merangsang pembelahan sel. Barang dagang yang didalamnya mengandung campuran IAA
dan IBA adalah Rootone – F yang merupakan zat pengatur tumbuh untuk perakaran stek. Selain penggunaan zat pengatur tumbuh induksi akar dan tunas juga dapat dibantu dengan pemberian induksi suhu yang tepat. Menurut Manaker (1981) suhu berpengaruh terhadap setiap proses fisiologi pada tanaman. Suhu diatas 32350C akan merusak sel tumbuhan dan akan menyebabkan turunnya laju fotosintesis. Menurut Nadiroh (2003), suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan stek pucuk sentang berkisar 27,1 oC – 28,9 oC dengan RH 87,1 – 88,2 %. Dosis Rootone-F optimum untuk pertumbuhan stek pucuk sentang dosis 300mg/stek secara oles yang ditanam pada media pasir. Keberhasilan stek membentuk akar juga dipengaruhi oleh umur tanaman dan perbedaan fase pertumbuhan bagian–bagian lain yang digunakan sebagai stek. Adapun kendala yang dihadapi dalam perbanyakan dadap dengan stek cabang adalah persentase tumbuh stek yang rendah dan waktu yang dibutuhkan dalam pembibitan yang lama. Hal ini ada kaitannya dengan keberhasilan stek membentuk akar dan tunas. Sehingga pemberian zat pengatur tumbuh yang tepat diharapkan akan mematahkan kendala tersebut. Tujuan Penelitian Percobaan pertama dan kedua bertujuan untuk mengetahui induksi suhu yang sesuai dan mengetahui metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F yang tepat dan optimum untuk menginduksi akar dan tunas stek Dadap Merah (Erythrina crystagalli). Hipotesis 1. Induksi suhu yang berbeda akan menghasilkan pengaruh yang berbeda pula dalam induksi akar dan tunas stek dadap merah. 2. Metode aplikasi Rootone–F yang diberikan akan menghasilkan pengaruh yang berbeda pula dalam induksi akar dan tunas stek dadap merah. 3. Terdapat interaksi antara induksi suhu dengan metode aplikasi Rootone–F yang digunakan terhadap induksi akar dan tunas stek dadap merah.
TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Dadap Merah (Erythrina crystagalli) Erythtrina crystagalli termasuk dalam famili Papilionaceae atau bunga kupu-kupu. Tanaman ini telah banyak ditanam dilingkungan pemukiman, perkantoran, taman-taman, tepi-tepi jalan, area parkir dan tempat-tempat wisata sebagai komponen taman atau sebagai tanaman peneduh. Kadang-kadang tumbuh secara liar diantara semak-semak belukar. Di indonesia tanaman ini dikenal dengan nama dadap merah atau sering dikenal sebagai coral tree(Van Steenis, 2003). Dadap merah termasuk pohon yang menggugurkan daun dengan tinggi mencapai 25 meter, dimana batang dan ranting berduri tempel (Van Steenis, 2003). Whitmore (1972) mengemukakan bahwa dadap termasuk kedalam kelas kayu lunak, dengan pertumbuhan yang cepat, dapat tumbuh pada daerah tropis dan sub – tropis, dan dadap tumbuh baik pada ketinggian 760 – 1200 meter diatas permukaan laut. Dadap merah (Erythrina crystagalli) mempunyai ciri – ciri : berbanir, berduri pada batang atau cabang, tidak mempunyai akar tunjang, warna kulit coklat, dan tidak bergetah. Daun majemuk berseling dan tidak bersisik. Mempunyai tiga anak daun (trifoliata), dimana terdapat satu anak daun pada bagian terujung sehingga jumlah anak daun menjadi ganjil, anak daunnya berhadapan dan semua daun bentuknya seragam. Pada umumnya berkelenjar minyak, simetris, tidak terbelah, halus atau rata dan kulit daun berlilin, dan bunganya berwarna merah (Van Steenis, 2003). Lebih lanjut Van Steenis (2003) mengungkapkan bunga dadap merah termasuk dalam tipe bunga majemuk. Bunganya berwarna merah menyala, tumbuh dalam tandan yang panjang (20-40 cm). Bunga yang belum mekar gembung berongga, bentuknya seperti kuku membulat diujung. Tumbuh dalam jumlah banyak, mekar secara bergantian, dari pangkal batang ke arah pucuk. Daun pelindung cepat rontok bunganya berjumlah tiga-tiga pada tonjolan, dengan panjang anak tangkai 0,51 cm. Kelopak akhirnya membelah dalam seperti pelepah. Kelopak bunga berbentuk corong, dengan tangkai putik berwarna merah.
Benang sarinya berbentuk bendera (fexilum), berbentuk lanset, terdapat sayap diluar kelopak dengan panjang 1,5-2,5 cm. Bakal buah berambut rapat, dan bertangkai. Polong buah terletak diatas sisa kelopak dengan panjang 1,5-3 cm, menyempit diantara biji-biji dimana dinding luar dapat lepas dari dinding dalam polong dan membuka tidak beraturan. Jumlah biji dalam polong antara 1-12 buah dengan panjang 2 cm. Umumnya berbuah pada Mei sampai Oktober. Jenis daunnya termasuk dalam daun majemuk yang berformasi tiga helai disetiap tangkainya. Pada musim panas daun-daun gugur seluruhnya. Pohon dadap merah dapat tumbuh dengan baik ditempat-tempat terbuka dan kena sinar matahari langsung, baik didataran rendah maupun dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 1-1200 meter diatas permukaan laut (Suryowinoto, 1995). Erythtrina crystagalli berbunga pada iklim basah, secara serempak dan sepanjang tahun(Fathy, 2002). Berdasarkan analisis arsitektur pohon Erythtrina crystagalli termasuk kedalam model arsitektur koriba, yang dicirikan : batang simpodial, perkembangan cabang simpodial dan plagiotropik serta pembungaan terminal. Dadap merah (Erythrina crystagalli) mempunyai kegunaan sebagai tanaman hias pinggir jalan, banyak terdapat di pinggir jalan tol bebas hambatan, kulit batang sebagai obat penurun demam, dan juga berfungsi sebagai tanaman pemanjat. Dadap dimasa yang akan datang termasuk jenis tanaman yang banyak digunakan dalam “Hutan Kota” (Nazarudin, 1994). Pembiakan Vegetatif Perbanyakan pohon hutan dapat dilakukan dengan cara memilih benih berkualitas baik dari pohon induk terpilih dan ditanam, kemudian dari tanaman yang dihasilkan tersebut dapat diperbanyak melalui pembiakan vegetatif. Kegiatan pokok pemuliaan pohon hutan diantaranya meliputi penyimpanan sifat – sifat genetik tertentu dari kebun biji, sedangkan kegiatan penunjangnya antara lain adalah pengadaan teknik pembiakan vegetatif (Soerianegara dan Djamhuri, 1979). Berbagai masalah timbul dalam rangka penyediaan benih dan pemuliaan pohon sehingga mendorong dilakukannya pembiakan vegetatif. Pembiakan vegetatif
adalah perbanyakan tanaman tanpa melibatkan proses perkawinan sehingga sifat – sifat tanaman yang dikehendaki dapat dipertahankan. Pembiakan tanaman tanpa perkawinan atau tanpa fertilisasi merupakan dasar pembiakan vegetatif suatu tanaman yang mempunyai kesanggupan membentuk kembali jaringan – jaringan dan bagian – bagian tanaman menjadi suatu tanaman baru (Rochiman dan Harjadi, 1973). Menurut Hartmann dan Kester (1983), Pembiakan vegetatif dapat dilakukan dengan cara – cara sebagai berikut : 1. Secara alami, dapat dibedakan menjadi : a. Penggunaan biji apomiktik b. Penggunaan bagian – bagian khusus tanaman 2. Secara buatan, dapat dilakukan dengan : a. Stimulasi akar dan tunas adventif b. Penyambungan tanaman Perbanyakan vegetatif secara buatan dapat dilakukan, antara lain dengan cara : 1) stek, 2) pencangkokan, 3) penempelan dan 4) penyambungan (grafting) (Soerianegara dan Djamhuri, 1979). Rochiman dan Harjadi (1973) mengemukakan sebab – sebab dilakukannya perbanyakan vegetatif adalah : a. Tanaman tidak menghasilkan atau sedikit menghasilkan biji. b. Tanaman menghasilkan biji, tapi sulit untuk berkecambah. c. Tanaman yang berasal dari perbanyakan vegetatif lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit. d. Tanaman akan lebih kuat bila dibiakkan secara sambungan. Keuntungan pembiakan vegetatif, antara lain yaitu secara genetik bibit yang dihasilkan memiliki sifat keturunan yang sama dengan induknya, tidak tergantung musim, dapat diperbanyak dalam jumlah besar, dapat dilakukan berbagai kombinasi. Menurut Danu, Dharmati dan Dody (1996), keuntungan perbanyakan tanaman secara vegetatif adalah : sifat genetik yang diturunkan sama dengan induknya, kemampuan tumbuh relatif seragam, bibit dapat diperoleh dalam jumlah dan waktu yang diinginkan, bahan tanaman yang berasal dari satu klon dapat dipergunakan untuk uji kesesuaian lahan bagi pertumbuhan satu jenis.
Stek adalah salah satu cara pembiakkan vegetatif yang paling umum digunakan. Stek adalah pembiakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif yang dipisahkan dari pohon induknya dimana pada kondisi yang menguntungkan untuk beregenerasi akan berkembang menjadi tanaman yang sempurna (Soerianegara dan Djamhuri, 1979). Penyetekan didefinisikan sebagai suatu perlakuan pemotongan, pemisahan beberapa bagian tanaman seperti batang, akar, daun, dan tunas dengan tujuan agar bagian tersebut membentuk akar dan tumbuh secara normal (Wudianto, 1996). Pembentukan akar terjadi karena adanya pergerakan ke bawah dari auksin, karbohidrat dan rooting cofactor (zat – zat yang berinteraksi dengan auksin yang mengakibatkan perakaran) baik dari tunas ataupun dari daun. Zat – zat ini akan mengumpul dan akan menstimulir pembentukan akar stek tersebut. Akar adventif akan timbul dari dua macam sumber, yaitu : dari jaringan kalus dan dari akar morfologi atau primordia (Rochiman dan Harjadi, 1973). Menurut Hartman dan Kester (1983), ada 3 tahap proses perkembangan akar adventif pada stek, yaitu : a. Inisiasi sel – sel merismatis (akar pendahuluan). b. Diferensiasi kelompok sel tersebut menjadi primordia akar yang dapat dikenali. c. Pemunculan dan perkembangan akar baru. Stek dapat dibagi berdasarkan bagian yang diambil antara lain, batang, daun, tunas, dan akar. Stek batang merupakan yang paling banyak digunakan, bahan stek dapat diperoleh dari berbagai sumber. Tingkat kedewasaan jaringan atau umur dari bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan stek dan umur tanaman induk berpengaruh terhadap kemampuan stek membentuk akar (Kaosard, 1981). Stek yang berasal dari tanaman induk yang sudah tua akan lebih sulit berakar daripada stek yang berasal dari tanaman induk yang lebih muda (Hartman et.al., 1990). Hasil terbaik terbentuknya perakaran stek diperoleh dari pohon yang berumur dua atau tiga tahun. Pada fase ini tanaman berada dalam tahap perkembangan awal. Penggunaan stek dari pohon dewasa (diameter besar) telah mengakibatkan kegagalan dalam penyetekan yang ditandai dengan kematian semua stek dalam waktu dua minggu setelah tanam (Smith dan Yasman, 1986).
Keberhasilan perkembangan stek dipengaruhi oleh faktor dalam (tanaman) dan faktor luar (lingkungan). Faktor dalam adalah ketersediaan air, kandungan cadangan makanan (karbohidrat) dalam jaringan stek, serta hormon endogen dalam jaringan stek. Faktor luar (lingkungan) meliputi media perakaran, kelembaban, suhu, intensitas cahaya, teknik penyiapan stek (Kramer dan Kozlowski, 1960). Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Stek Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan stek, antara lain : Faktor Dalam (Tanaman) Kondisi fisiologis tanaman yang mempengaruhi kemampuan stek membentuk akar meliputi macam bahan stek, kandungan zat tumbuh, adanya tunas atau daun pada stek, serta pembentukan kalus. Menurut Kramer dan Kozlowski (1960), faktor – faktor dalam yang mempengaruhi kemampuan stek membentuk akar adalah : ketersediaan air, kandungan bahan makanan, umur bahan stek, jenis seks tanaman, jenis tanaman, bagian tanaman yang diambil, musim dan waktu pengambilan bahan stek, serta hormon dan zat pengatur tumbuh. Ketersediaan Air Ketika stek dipotong dari induknya maka saat itu pemasukan air dan zat hara mineral akan terganggu, sehingga terjadi kekurangan air pada jaringan tanaman, sementara itu proses penguapan (evapotranspirasi) terus berjalan dengan normal. Ketersediaan air memiliki fungsi untuk memperlancar proses metabolisme bahan stek dan menstabilir ukuran sel. Pada transpirasi yang berlebihan maka persediaan karbohidrat akan dipergunakan terlalu cepat untuk pernafasan dan ukuran sel dapat mengecil. Kandungan Cadangan Makanan dalam Jaringan Stek Kandungan bahan tanaman sering dinyatakan dengan perbandingan antara kandungan karbohidrat dan nitrogen (C/N ratio). Stek yang diambil dari tanaman dengan C/N ratio yang tinggi akan berakar lebih cepat dan banyak daripada tanaman dengan C/N ratio yang rendah karena hanya akan mempercepat
pembentukan tunas saja (Hartman dan Kester, 1983). Besarnya kandungan karbohidrat tergantung pada waktu pengambilan stek dan kesehatan pohon induknya. Hormon Endogen di Dalam Jaringan Stek Hormon tanaman didefinisikan sebagai senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil. Hormon tersebut dapat dibuat tanaman yang disebut fitohormon (disebut juga hormon endogen) atau disintesa yang disebut hormon (disebut hormon eksogen). Umur Tanaman (Pohon Induk) Kemampuan pembelahan sel tanaman yang telah tua mulai menurun, sehingga bahan stek dari jaringan tua akan mengalami kesulitan dalam pembentukan primordia akar. Sehingga bahan stek yang diambil dari tanaman muda akan lebih mudah berakar, umumnya diambil dari tanaman yang berumur 1 – 2 tahun. Jenis Tanaman keberhasilan pembiakan tanaman dengan stek terutama tergantung pada kesanggupan jenis tanaman itu sendiri dalam menghasilkan tunas dan perakaran yang baru. Musim dan Waktu Pengambilan Bahan Stek Untuk daerah tropis seperti di Indonesia, pengambilan stek yang baik biasanya dilakukan pada awal musim hujan atau akhir musim kemarau (sekitar bulan Oktober), dimana akumulasi karbohidrat cukup tinggi. Faktor Luar Media Perakaran Jenis media yang digunakan akan menentukan kemampuan stek untuk berakar. Kegunaan dari media perakaran ini adalah untuk menahan stek pada tempatnya, untuk menjaga dan memasok air, mengatur kelembaban dan untuk mengatur aerasi sekeliling pangkal stek. Lingkungan perakaran atau media tumbuh yang ber pH antara (4.5 – 7), terdiri dari bahan – bahan yang longgar tetapi dapat menahan kelembaban, aerasi dan drainase baik, bebas dari gulma, nematoda, cendawan dan bakteri (Rochiman dan Harjadi, 1973).
Suhu Suhu udara yang tepat untuk merangsang pembentukan primordia akar untuk setiap jenis tanaman berbeda – beda. Kisaran suhu yang baik untuk merangsang pembentukan akar adalah 26o C – 29o C (Hartman dan Kester, 1983). Kelembaban Kelembaban yang tinggi sangat penting bagi pertumbuhan stek untuk menghambat laju transpirasi, mencegah stek dari kekeringan dan kematian sebelum stek mampu membentuk akar (Rochiman dan Harjadi, 1973). Kelembaban stek harus diusahakan konstan diatas 90 % terutama sebelum stek mampu membentuk akar. Intensitas Cahaya Stek memerlukan pengaturan intensitas yang sesuai, karena intensitas cahaya yang diperlukan untuk fotosintesis tidak setinggi pada stek yang memiliki jaringan dan organ yang lengkap. Intensitas cahaya sangat penting bagi pembentukan hormon dan pembelahan sel, dan intensitas cahaya yang rendah akan meningkatkan inisiasi akar pada stek menjadi lebih baik. Menurut Smith dan Yasman (1986), intensitas cahaya matahari yang baik adalah 50 %. Teknik Penyiapan Stek Teknik penyiapan stek yang harus diperhatikan dalam pembiakan dengan stek adalah perlakuan sebelum pengambilan stek, waktu pengambilan stek, pemotongan stek dan pelukaan, penggunaan zat tumbuh, kebersihan dan pemeliharaan (Rochiman dan Harjadi, 1973). Saat pemotongan yang baik adalah pada saat kelembaban udara yang tinggi dan tanaman tidak sedang dalam pertumbuhan, sedangkan pemotongan sebaiknya dilakukan dalam air (Wudianto, 1996). Untuk memperluas darah keluarnya akar, pemotongan sebaiknya dilakukan miring (45o). Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh dapat diartikan sebagai senyawa organik selain zat hara yang dalam jumlah sedikit mendorong (promote), menghambat (inhibit) maupun merubah berbagai proses fisiologis tanaman. Zat pengatur tumbuh adalah salah satu bahan sintetis atau hormon tumbuh yang mempengaruhi proses
pertumbuhan dan perkembangan tanaman melalui pembelahan sel, perbesaran sel dan deferensiasi sel (Hartman dan Kester, 1983). Menurut Wattimena (1988), zat pengatur tumbuh dari kelompok auksin dapat merangsang pembentukan akar. Auksin sintetik seperti IAA dan IBA banyak digunakan untuk mendorong pertumbuhan stek dari tanaman berkayu dan berbatang lunak. Mekanisme kerja NAA dan IBA yaitu dengan merangsang pembelahan sel. Barang dagang yang didalamnya mengandung campuran IAA dan IBA adalah Rootone – F yang merupakan zat pengatur tumbuh untuk perakaran stek. Menurut hasil penelitian Marwanti (1994) pemberian auksin dalam bentuk Rootone – F dapat meningkatkan persentase stek hidup, persentase stek berakar, jumlah akar serta panjang akar. Rootone–F adalah salah satu hormon penumbuh sintetis dengan kandungan bahan aktif terdiri dari : 1 – Naphtalene Acetamida (0.067 %), 2 – Methyl – 1 Naphtalene Acetamida (0.013 %), Indole 3 – Butiric Acid (0.057 %), dan Tetra Methyl Disulfida Thyram (4 %) (Manurung, 1987). Menurut Smith dan Yasman (1986), ada beberapa cara pemberian yang biasa digunakan dalam pemberian hormon pada Dipterocarpaceae. Cara ini antara lain, dioles (berbentuk pasta/bubuk), dicelup (cair/tablet), dan langsung pada media stek. Ada 3 cara aplikasi zat pengatur tumbuh yang sering digunakan yaitu : (1) Commercial powder preparation (pasta); (2) Dilute soaking method (perendaman); (3) Concentrated solution dip method (pencelupan cepat). Pada pencelupan cepat konsentrasi yang digunakan adalah 500–10.000 ppm, pangkal batang dicelupkan dalam larutan zat pengatur tumbuh selama 5 detik. Cara perendaman menggunakan konsentrasi 20-200 ppm, pangkal batang direndam dalam larutan zat pengatur tumbuh selama 24 jam (Weaver, 1972). Bila menggunakan cara serbuk konsentrasi yang digunakan adalah 200-1000 ppm untuk stek batang lunak sedangkan stek batang keras membutuhkan 5 kali lebih tinggi (Weaver, 1972). Menurut Audus (1953), metode perendaman adalah metode aplikasi yang paling awal ditemukan dan sampai saat ini masih dipandang paling efektif. Pada stek yang berkayu lunak jumlah larutan yang diarbsorbsi akan tergantung jumlah
air yang diarbsorbsi. Karena itu metode perendaman sangat sesuai digunakan untuk tanaman Herbaceus guna mencegah terjadinya keracunan pada tanaman. Menurut Audus (1953), metode perendaman dilakukan dengan cara merendam stek selang kira-kira 24 jam dengan kedalaman 1 inchi, dengan konsentrasi 10-100 ppm. Menurut Leopold (1963) biasanya konsentrasi auksin yang digunakan berkisar 25-100 ppm. Sedangkan menurut Hartman dan Kester (1983) pada umumnya konsentrasi auksin yang digunakan berkisar antara 20 ppm untuk spesies yang mudah berakar dan 200 ppm untuk spesies yang sulit berakar Stek akar mimba (Azadirachta indica) sesuai ditumbuhkan pada media campuran pasir dengan arang sekam dengan pemberian zat pengatur tumbuh Rootone-F dengan dosis 100 mg/stek secara oles. Hal ini ditunjukan oleh nilai persentase stek hidup, stek bertunas, jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun dan panjang akar yang lebih tinggi dibandingkan dosis lainnya (Wiriyanti, 2004). Pada penelitian Sidharta (1992) dikemukakan tanaman Asparagus officinalis diperoleh hasil bahwa IAA memberikan pengaruh yang paling baik dalam jumlah tunas yang dihasilkan dengan rata-rata 22,8 buah. NAA berpengaruh baik dalam pembentukan akar, sedangkan IBA memberikan pengaruh cukup baik bagi pembentukan tunas, pertumbuhan tinggi tunas dan pembentukan akar. Peningkatan konsentrasi IBA cenderung meningkatkan panjang akar yang terbentuk. Pemberian zat pengatur tumbuh NAA 250 ppm yang digunakan pada bahan stek manglid mampu meningkatkan persentase keberhasilan stek dan memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan stek (Agung, 2003). Pada penelitian Pebrijanti (1999), Pemberian Rootone-F dengan dosis 50 mg/stek pada bahan stek batang bagian pangkal, yang ditanam pada media sabut kelapa pada tanaman pulai menghasilkan persentase stek bertunas sebesar 93,33 %. Kemampuan zat pengatur tumbuh Rootone-F pada dosis tertentu dapat menginduksi akar adventif cangkokan, tetapi setelah mencapai batas optimal maka pemberian zat pengatur tumbuh yang berlebih akan menghambat proses perbanyakan jumlah akar adventif pada tanaman gaharu (Noviana, 2005).
Induksi Suhu Suhu Menurut Manaker (1981) suhu berpengaruh terhadap setiap proses fisiologi pada tanaman. Suhu diatas 32-350C akan merusak sel tumbuhan dan akan menyebabkan turunnya laju fotosintesis. Tanaman akan kerdil, menguning dan gugur daunnya jika suhu terlalu tinggi. Penggunaan pendingin dan sistem ventilasi yang baik dapat menurunkan suhu ruang akan tetapi jika pendingin dimatikan maka suhu ruangan akan meningkat. Hal ini menyebabkan tanaman mengalami transpirasi yang berlebihan, layu dan mengering. Arifin (2004) menyatakan bahwa
pada
ruangan
berpendingin
akan
terjadi
fluktuasi
suhu
yang
mengakibatkan tunas bunga berguguran. Menurut Briggs dan Calvin (1987) kontrol suhu pada pertumbuhan tanaman hias dalam ruang sangat penting. Arifin (2004) menyatakan bahwa secara alami tanaman akan tumbuh lebih cepat pada tempat yang bersuhu rendah. Menurut Conover (1930) tanaman berdaun yang tumbuh pada suhu 29oC akan menggunakan fotosintat dua kali lebih banyak daripada tanaman yang tumbuh pada suhu 19oC. Tanaman hias mempunyai suhu optimum 18-27oC dalam pertumbuhannya. Penelitian Gantini (2000) menunjukan bahwa suhu ruang tidak berpendingin berkisar antara 26-28oC pada sing hari dan 24-26oC pada malam hari, sedangkan suhu berpendingin berkisar antara 20-25oC merupakan suhu optimum dalam pertumbuhan tanaman hias. Pada sebagian jenis tanaman, suhu udara yang rendah umumnya akan mendorong perakaran, sedangkan pada suhu yang tinggi meningkatkan laju transpirasi dan katabolisme gula yang terakumulasi dalam bentuk zat pati (Rohiman dan Hardjadi, 1973). Karbohidrat sebagai salah satu pendukung, metabolismenya tergantung suhu. Zat pati terakumulasi pada suhu 15 oC, tetapi pada 25 oC tidak ditemukan lagi zat pati yang terakumulasi. Menurut Nadiroh (2003), suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan stek pucuk sentang berkisar 27,1 oC – 28,9 oC dengan RH 87,1 – 88,2 %. Dosis Rootone-F optimum untuk pertumbuhan stek pucuk sentang dosis 300 mg/stek secara oles yang ditanam pada media pasir. Pemberian Rootone-F pada stek Tripochitan
scleroxylon dibawah
pemberian
air secara otomatis
dapat
meningkatkan persentase stek hidup dan berakar pada kondisi suhu propagasi antara 25-30oC. Kelembaban Kelembaban relatif (RH) adalah jumlah uap air yang diikat udara pada suhu tertentu. Menurut Briggs dan Calvin (1987) kelembaban relatif akan menurun pada suhu yang tinggi. RH yang rendah akan menghambat pertumbuhan tanaman untuk memproduksi fotosintat sehingga akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu. Secara umum tanaman akan tumbuh optimum pada RH diatas 50%. Kelembaban media lebih berpengaruh ekstrim terhadap pertumbuhan stek dibanding RH ruangan. Penyiraman akan meningkatkan penguapan air dipermukaan tanah dan akan membantu meningkatkan RH disekitar daun (Briggs dan Calvin, 1987). Udara dalam ruang berpendingin memiliki Kelembaban relatif yang rendah karena dalam ruang tertutup sebagian besar kelembabannya sudah terhisap keluar, termasuk uap air disekitar tanaman (Soeseno, 1993). Menurut Arifin (2004) kelembaban yang kurang sesuai dengan kebutuhan tanaman akan menyebabkan daun mengkerut, pucuk daun mengering dan tunas daun layu secara dini. Penelitian Gantini (2000) menunjukan RH berkisar antara 50-60% pada ruang berpendingin dan 80-90% pada ruang tak berpendingin merupakan kondisi optimum dalam pertumbuhan tanaman. Jenis Media Tumbuh Stek Media berfungsi sebagai tempat berjangkar akar, sumber hara dan air. Media yang digunakan untuk tanaman hias khususnya dalam pot sangat bervariasi dari 100 % bahan organik sampai 50 % bahan organik dan 50 % bahan anorganik. Faktor utama yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media adalah aerasi, kapasitas memegang air (water holding capacity) dan kapasitas tukar kation yang mempengaruhi penyerapan unsur hara. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam memilih media pot adalah konsistensi, ketersediaan, berat dan harga (Conover, 1930). Persyaratan media yang baik bagi pertumbuhan adalah ringan, tidak mahal, mempunyai komposisi yang seragam, memiliki aerasi dan drainase yang baik, mudah tersedia, bebas hama dan penyakit dan mempunyai kapasitas tukar
kation yang tinggi serta mampu menyimpan air. Menurut Hartman dan Kester (1983), kriteria media yang baik adalah : cukup kuat sebagai penunjang pertumbuhan, mampu mempertahankan kelembaban, sistem aerasi dan drainase yang baik, bebas dari penyakit, salinitasnya rendah, dan dapat disterilkan tanpa pengaruh terhadap unsur – unsur penting dalam stek. Pasir Pasir telah digunakan secara luas sebagai media perakaran. Pasir ini relatif murah dan mudah tersedia, serta memiliki daya rekat yang tinggi. Pasir tidak menyimpan kelembaban sehingga membutuhkan frekuensi penyiraman yang lebih. Penggunaan tunggal tanpa campuran dengan media lain membuatnya sangat kasar sehingga akan memberikan hasil yang baik (Hartman et al., 1990). Tanah Merupakan tempat tumbuh tanaman dan penyedia hara, pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh sifat – sifat tanah. Kelemahan media tanah antara lain : bobotnya berat, tanah mudah pecah, sehingga kurang menunjang dalam sistem perakaran. Secara fisik tanah mineral merupakan campuran yang terdiri dari zarah anorganik, bahan organik yang terus-menerus melapuk, udara dan air. Tanah terdiri dari udara (25%), air (25%), mineral (45%) dan bahan organik (5%). Tanah mengandung unsur hara makro (C, H, O, N, P, K, S, Ca dan Mg) dan unsur hara mikro (Fe, Mn, Zn, B, Cu, Mo dan Cl). Sifat fisik tanah yang penting adalah tekstur tanah dan struktur tanah. Kedua sifat itu membantu menentukan daya penyediaan unsur hara dan penyediaan air serta udara yang sangat penting bagi tanaman (Soepardi, 1983). Menurut Courtier (1993) secara umum tanaman tumbuh pada media tanah. Tanah mengandung banyak mineral yang diperlukan oleh tanaman sedangkan media tumbuh buatan tidak. Arang Sekam Karakteristik arang sekam adalah sangat ringan (Berat jenis = 0.2 kg/l), kasar sehingga sirkulasi udara tinggi (banyak pori), kapasitas menahan air tinggi, warna coklat kehitaman sehingga dapat megabsorbsi sinar matahari dengan efektif dan dapat mengurangi pengaruh penyakit khususnya layu bakteri (Douglas, 1985). Menurut Soepardi (1983) sekam bakar mengandung N 0.32%, P 0.15%, K 0.31%,
Ca 0.96%, Fe 180 ppm, Zn 14.10 ppm dan pH 6.8 dan kadar kalium dalam abu sekam kurang lebih 30% K2O. Serbuk Gergaji Serbuk gergaji merupakan limbah yang berasal terutam dari industri penggergajian kayu. Limbah tersebut dapat menimbulkan pengotoran lingkungan apabila tidak dapat diatasi, baik pembuangan ataupun pemanfaatannya (Anggraini, 2000). Lebih lanjut lagi Darusman, 1973 dalam Anggraini, 2000, mengatakan serbuk gergaji kayu mengandung komponen kimia yang sama dengan yang terkandung dalam batang kayu, yakni komponen selulosa, lignin, hemiselulosa dan zat ekstraktif. Disamping itu serbuk gergaji juga mengandung 0.24% N, 0.20% P dan 0.45% K. Debu dari kayu cukup kaya akan zat makanan bagi tumbuh-tumbuhan terutama CaCO3.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 tahap. Percobaan pertama dilakukan di rumah kaca kebun percobaan PT. Biohutanea, Ciawi, sedangkan percobaan kedua dilakukan di rumah kaca percobaan Cikabayan, Bogor. Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan dari Februari 2005 sampai dengan Juni 2005. Bahan dan Alat Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bahan stek batang dadap merah (Erythrina crystagalli), zat pengatur tumbuh (Rootone – F), fungisida (Captane). Bahan sebagai media yang akan digunakan adalah campuran tanah – pasir – sekam dengan perbandingan 1 : 1 : 1, dan serbuk gergaji. Alat – alat yang akan digunakan antara lain : gunting stek, cutter, plastik transparan, pot tray, polybag, sprayer, termohigrometer, kalkulator, kamera foto, refrigerator, ruangan AC, ruangan kamar, alat tulis, penggaris, dan autoclave. Metode Penelitian Percobaan I, Perlakuan Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Induksi Akar dan Tunas Stek Dadap Merah. Percobaan faktorial terdiri dari 2 faktor, yaitu faktor induksi suhu dan faktor metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F. Percobaan ini dilakukan untuk melihat pengaruh masing–masing faktor terhadap induksi akar dan tunas dadap, serta melihat interaksinya terhadap semua peubah percobaan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan Spilt-Plot 2 faktor yang disusun secara acak lengkap (RAL). Faktor pertama sebagai petak utama adalah induksi suhu yang terdiri dari 3 taraf yaitu suhu kamar (A0/270C), suhu AC (A1/160C), dan suhu refrigerator (A2/80C) dan faktor kedua sebagai anak petak adalah metode aplikasi Rootone–F yang terdiri dari 4 taraf yaitu, tanpa Rootone–F (B0/0 ppm), metode rendam (B1/150 ppm), metode celup cepat (B2/7500 ppm), dan metode pasta (B3). Terdapat 12 kombinasi dengan masing –
masing perlakuan terdiri dari 6 ulangan sehingga terdapat 72 satuan percobaan. Dimana masing – masing satuan percobaan terdiri dari 5 bahan stek. Metode Percobaan Rumus umum dari rancangan percobaan yang digunakan adalah : Yijk = µ + Kk + Ai + öik + Bj + AB (ij) + åijk Keterangan : Yijk
: Nilai pengamatan pada kelompok ke – k, perlakuan metode
aplikasi
zat pengatur tumbuh Rootone–F ke – i dan perlakuan induksi suhu ke – j. µ
: Nilai rata - rata umum
Kk
: Pengaruh aditif dari kelompok ke – k (k = 1, 2, 3, ...dst.)
Ai
: Pengaruh aditif perlakuan induksi suhu taraf ke – i (i = 1, 2, dan 3)
Öik
: Pengaruh galat yang muncul pada faktor kondisi taraf ke – i dan kelompok ke – k, sering disebut galat petak utama (galat a)
Bj
: Pengaruh aditif perlakuan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F taraf ke – j (j = 0, 1, 2, dan 3)
AB(ij)
: Pengaruh interaksi antara faktor Ai dan Bj
åijk
: Galat percobaan ke – k yang memperoleh kombinasi perlakuan taraf ke i dari faktor A dan taraf ke – j dari faktor ke B, sering disebut galat anak petak (galat b) Untuk mengetahui pengaruh masing–masing perlakuan, dilakukan sidik
ragam dengan menggunakan Uji F dan apabila menunjukan perbedaan nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %. Percobaan II, Optimasi Kondisi Percobaan I. Percobaan ini terdiri dari 1 faktor, yaitu faktor metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F . Percobaan ini dilakukan karena pada percobaan I terdapat pengaruh yang sangat besar dari Propagation Area, dimana kondisi suhu yang terlalu panas, sehingga diharapkan setelah memindah lokasi percobaan ke rumah kaca biasa di Cikabayan terdapat respon pertumbuhan dari faktor metode
aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F terhadap induksi akar dan tunas stek dadap. Rancangan percobaan yang akan digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 faktor yaitu metode aplikasi Rootone–F , dimana terdapat 4 taraf (metode aplikasi tanpa Rootone–F , metode rendam, celup cepat dan pasta) dengan 6 ulangan sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Masing– masing satuan percobaan terdiri dari 5 bahan stek. Metode Percobaan Rumus umum dari rancangan percobaan yang digunakan adalah : Yijk = µ + Ai + åik Keterangan : Yijk
: Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke – k yang mendapat kombinasi
perlakuan taraf ke – i dari faktor A dan taraf ke – j dari
faktor B. µ
: Nilai rata – rata harapan
Ai
: Pengaruh perlakuan A
åik
: Galat percobaan ke – k yang memperoleh kombinasi perlakuan taraf ke i dari faktor A Untuk mengetahui pengaruh masing – masing perlakuan, dilakukan sidik
ragam dengan menggunakan Uji F dan apabila menunjukan perbedaan nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %.
Pelaksanaan Penelitian Persiapan Media Media tanam stek yang digunakan adalah campuran tanah : pasir : sekam dengan perbandingan 1 : 1 : 1. Media untuk penyimpanan yang digunakan adalah serbuk gergaji, untuk mencegah berkembangnya cendawan patogen dan mikroorganisme lainnya serta gulma, maka serbuk gergaji disterilkan dengan menggunakan autoclave. Sterilisasi serbuk gergaji menggunakan autoclave pada suhu 1210C dengan tekanan 17.5 psi selama 20 – 30 menit. Penyiapan Stek dan Pemotongan Stek Bahan stek diambil dari bibit dadap merah berumur 1 – 2 tahun yang berasal dari pohon induk, Bogor, Jawa Barat. Bagian yang diambil adalah bagian batang. Pemotongan stek dilakukan dengan menggunakan gunting stek yang tajam supaya hasil pemotongannya baik dan tidak pecah. Pemotongan batang dilakukan dengan panjang stek 10 cm dan diameter 1 cm, batang yang digunakan sebagai stek setidaknya mempunyai 3 – 5 mata tunas antara basal dan tengah. Bagian pangkal stek masing – masing dipotong 450, pengambilan stek dilakukan pagi hari agar tidak terjadi penguapan yang berlebihan. Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan adalah Rootone – F, dimana pemberian Rootone–F ini menggunakan 3 metode, yaitu metode rendam (150 ppm) selama 24 jam, lalu metode celup cepat (7500 ppm) selama 5 detik dan metode oles (pasta) 1/3 bagian batangnya, ditambah dengan tanpa Rootone – F. Sebelumnya stek dicelupkan terlebih dahulu pada fungisida Captane dengan konsentrasi 2 gr/l untuk mencegah bakteri dan cendawan patogen. Pengemasan Stek Polybag diisi dengan serbuk gergaji 1/3 bagiannya yang telah disterilisasi diawal percobaan, setelah stek diberi perlakuan zat pengatur tumbuh Rootone – F, stek dimasukan kedalam polybag yang berisi serbuk gergaji kering, dilanjutkan dengan penyimpanan Penginduksian Stek Penginduksian suhu ini dilakukan dengan 3 metode, yaitu : pada suhu kamar (270C), penyimpanan pada ruang AC (160C) dan refrigerator (80C).
Penginduksian ini dilakukan untuk mencari induksi suhu mana yang paling baik dalam membantu induksi akar dan tunas stek dadap sebelum ditanam di Propagation Area. Penginduksian ini dilakukan selama 2 minggu sebelum ditanam pada polybag. Penanaman stek Setelah 2 minggu dalam ruang penyimpanan maka dilakukan penanaman, sebelum penanaman dibuat terlebih dahulu lubang penanaman pada media agar stek tidak rusak dan zat pengatur tumbuh tidak terbuang percuma karena gesekan dengan media atasnya. Stek ditanam segera kedalam lubang tanam yang telah dibuat sedalam 4 cm (1/2 - 1/3 panjang stek) dalam media penanaman yang telah disediakan. Pemeliharaan Pemeliharaan dilakukan untuk memberikan kondisi yang optimum bagi stek dalam proses perakaran. Kegiatan yang dilakukan antara lain : penyiraman, penyiangan gulma, pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi hari dengan menggunakan sprayer saat di rumah kaca Cikabayan, sedangkan sewaktu di Propagation Area diatur karena menggunakan springkle otomatis. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan disesuaikan dengan ada tidaknya serangan. Pengamatan Peubah yang akan diukur dan diamati dalam penelitian ini meliputi : Persentase Stek Hidup (%) Persentase stek hidup adalah banyaknya stek yang hidup dibandingkan dengan jumlah stek yang ditanam, pada percobaan I dilakukan 3 kali pengamatan, masing – masing pada saat : 2 minggu setelah penyimpanan (MSP) atau sebelum ditanam, 4 Minggu setelah tanam (MST) dan 6 MST setelah stek dipindahkan ke rumah kaca. Sedangkan pada percobaan II dilakukan setiap minggu, dimulai dari 2 MST sampai 8 MST. Persentase Stek Bertunas (%) Persentase stek bertunas adalah banyaknya stek
yang bertunas
dibandingkan seluruh stek yang ditanam, pada percobaan I dilakukan 3 kali pengamatan. Masing – masing pada saat : 2 MSP, 4 MST, dan 6 MST setelah stek
dipindahkan ke rumah kaca. Pada percobaan II pengamatan dilakukan setiap minggu, dimulai dari 2 MST sampai 8 MST. Batasan
panjang tunas yang
dihitung ialah • 1 cm. Jumlah Tunas Banyaknya tunas yang tumbuh, pada percobaan I dilakukan 3 kali pengamatan. Masing – masing pada saat : 2 MSP, 4 MST, dan 6 MST setelah stek dipindahkan ke rumah kaca. Pada percobaan II pengamatan dilakukan setiap minggu, dimulai dari 2 MST sampai 8 MST. Batasan panjang tunas yang dihitung ialah • 1 cm. Panjang Tunas (cm) Pengukuran tinggi tunas dilakukan dari titik tumbuh tunas sampai titik tunas baru. Pengukuran dilakukan pada percobaan I dilakukan 3 kali pengamatan. Masing – masing pada saat : 2 MSP, 4 MST, dan 6 MST setelah stek dipindahkan ke rumah kaca. Pada percobaan II pengamatan dilakukan setiap minggu, dimulai dari 2 MST sampai 8 MST. Jumlah Daun Banyaknya daun yang tumbuh, pada percobaan I dilakukan 2 kali pengamatan. Masing – masing pada saat : 4 MST, dan 6 MST setelah stek dipindahkan ke rumah kaca. Pada percobaan II pengamatan dilakukan setiap minggu, dimulai dari 2 MST sampai 8 MST. Persentase Stek Berakar (%) Persentase stek berakar adalah banyaknya stek yang berakar dibandingkan seluruh stek yang ditanam, dilakukan pada akhir pengamatan (6 MST) baik itu percobaan I maupun percobaan II, setelah stek dipindahkan ke rumah kaca. Batasan jumlah panjang akar yang dihitung ialah • 1 cm. Panjang Akar (cm) Pengukuran panjang akar dilakukan dari pangkal batang stek sampai ujung akar. Pengukuran dilakukan pada akhir percobaan, yaitu pada 6 MST baik itu percobaan I maupun percobaan II. Jumlah Akar Jumlah akar primer yang tumbuh pada setiap stek. Pengukuran dilakukan pada akhir percobaan. Batasan panjang akar yang dihitung ialah • 1 cm.
HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan I, Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Induksi Akar dan Tunas Stek Dadap Merah Keadaan umum Keberhasilan penanaman stek ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dari dalam tanaman itu sendiri (cadangan makanan, persediaan air, hormon endogen serta umur dan jenis tanaman) dan faktor luar berupa lingkungan yang mendukungnya seperti kelembaban media, media tumbuh dan teknik pembuatan stek. Selama stek didalam kondisi penginduksian suhu, stek terbagi dalam 3 kondisi, yaitu suhu kamar, suhu AC dan suhu refrigerator. Pada kondisi suhu kamar, pertumbuhan stek relatif seragam, dimana sebagian besar stek telah tumbuh tunas. Pada kondisi AC dan refrigerator pertumbuhan stek tidak sebaik pada kondisi suhu kamar, dimana jumlah tunas yang dihasilkan masih sedikit. Pertumbuhan yang tidak sebaik kondisi kamar ini diduga suhu rendah tidak membantu
dalam penginduksian
tunas
namun
lebih
membantu
dalam
penginduksian akar. Hal ini didukung oleh pernyataan Rohiman dan Hardjadi (1973) pada sebagian jenis tanaman, suhu udara yang rendah umumnya akan mendorong perakaran, sedangkan pada suhu yang tinggi meningkatkan laju transpirasi dan katabolisme gula yang terakumulasi dalam bentuk zat pati, namun selama penginduksian belum ditemukan adanya akar. Setelah pemindahan stek ke dalam propagation area, suhu rata–rata di dalam propagation area berkisar 25oC–40oC. Kisaran suhu ini bukan merupakan kisaran optimum untuk pertumbuhan akar dan tunas stek yang baik, suhu ini cenderung sangat panas dan menjadi penghambat bagi pertumbuhan stek. Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), suhu udara yang optimal untuk pembentukan akar pada kebanyakan jenis tanaman adalah 29oC, karena suhu ini dapat merangsang pembelahan sel dalam meristem perakaran. Suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menyebabkan stek mati. Kebutuhan suhu untuk masing–masing spesies adalah berbeda–beda. Secara umum suhu siang hari kira– kira 21oC–27oC dan suhu malam hari sekitar 15oC adalah cocok untuk perakaran. Suhu yang tinggi pada diawal percobaan ini memang membantu dalam
perkembangan stek, namun karena stek terlalu lama disimpan dalam propagation area sehingga suhu yang terlalu tinggi menyebabkan kematian stek. Berdasarkan hasil sidik ragam pengaruh kombinasi perlakuan induksi suhu dan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone – F secara umum berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah yang diamati. Dari Tabel 1 terlihat kombinasi perlakuan yang diberikan memberikan respon yang baik bagi perkembangan stek. Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Percobaan Perlakuan Induksi suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Induksi Akar dan Tunas Stek Dadap Merah. Peubah
Pengamatan
A
Perlakuan B A*B
Persentase Stek Hidupa
2 MSP 4 MST 6 MST
tn * **
tn tn tn
tn tn **
0,00 1,91 24,95
Persentase Stek Bertunasa
2 MSP 4 MST 6 MST
** ** **
tn tn tn
tn ** **
24,21 11,57 26,16
Jumlah Tunasa
2 MSP 4 MST 6 MST
** ** **
2 MSP 4 MST 6 MST 4 MST 6 MST
** ** ** ** **
tn * ** **
34,69 18,38 18,19
Panjang Tunasa
tn tn tn ** ** tn ** **
Persentase Stek Berakara
6 MST
**
tn
** ** ** ** **
Jumlah Akara
6 MST
**
tn
Jumlah Daun
a
** **
Panjang Akar 6 MST ** tn Keterangan : MSP : Minggu Setelah Penyimpanan MST : Minggu Setelah Tanam A : Suhu Simpan B : Aplikasi Rootone–F A*B : Interaksi Perlakuan induksi suhu dengan Perlakuan Aplikasi Rootone–F KK : Koefisien Korelasi a : Data Ditransformasi menggunakan (• x+0,5)
KK
20,29 9,37 39,85 32,58 24,03 19,16 23,52 39,51
Keberhasilan stek untuk berkembang menjadi tanaman yang utuh diduga tergantung kesanggupan jenis tanaman itu sendiri dalam menghasilkan tunas dan perakaran baru. Pada awal pertumbuhan stek, pertumbuhan tunas terjadi dengan menggunakan cadangan makanan yang tersimpan pada bahan stek. Proses
pertumbuhan tunas selanjutnya ditentukan oleh bahan makanan yang mampu diserap oleh stek dari media yang digunakan melalui akar – akar yang dibentuk selama induksi akar. Pada pertengahan dan menjelang akhir pengamatan di Propagation area banyak ditemukan stek yang mati (diawali peluruhan daun dan tunas), hal ini diduga karena stek mengalami penguapan yang besar. Hal ini ditandai dimana terlihat jaringan stek batang berwarna coklat dan batang menjadi kering. Kondisi Stek Setelah Induksi Suhu Pengamatan terhadap perlakuan induksi suhu terhadap stek dadap dilakukan pada 2 MSP. Berdasarkan hasil sidik ragam pada Tabel 1, perlakuan interaksi antara induksi suhu dengan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F tidak berpengaruh nyata terhadap persentase stek hidup, persentase stek bertunas dan jumlah tunas. Interaksi kedua faktor memberikan pengaruh sangat nyata terhadap panjang tunas (cm) dadap merah. Persentase Stek Hidup, stek mempunyai persentase hidup yang tinggi (100%). Seluruh stek selama masa induksi suhu ini hidup, tidak didapatkan gejala kekeringan ataupun busuk pada seluruh bagian stek. Seluruh stek dalam keaadan segar dan hidup. Perlakuan tunggal induksi suhu pada 2 MSP tidak memberikan pengaruh, dimana nilainya masih seragam (100%). Persentase Stek Bertunas, Perlakuan kombinasi induksi suhu dan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone-F secara interaksi tidek berpengaruh nyata. Pada Tabel 2, terlihat nilai tertinggi diberikan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu kamar dan metode aplikasi pasta (50%), sedangkan nilai terendah diperlihatkan oleh semua kombinasi perlakuan induksi suhu refrigerator dengan semua perlakuan metode aplikasi Rootone-F (0%). Berdasarkan hasil sidik ragam pada Tabel 1, perlakuan tunggal induksi suhu pada 2 MSP tidak memberikan pengaruh terhadap persentase stek bertunas yang dihasilkan, dimana nilainya berkisar antara 0 %-45,8 %, dimana induksi suhu kamar memberikan nilai tertinggi dibanding induksi suhu lainnya. Hal ini diduga suhu pada kondisi kamar merupakan kondisi optimum dalam menginduksi tunas, sedangkan suhu rendah cenderung menekan stek untuk bertunas. Tunas
yang dihasilkan pada suhu kamar cenderung seragam dalam ukurannya dibanding pada kondisi induksi suhu lainnya. Tabel 2. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Rataan Persentase Stek Hidup (%), Persentase Stek Bertunas (%), Jumlah Tunas dan Panjang Tunas (cm) Pada 2 MSP. Suhu Simpan o
(0 C) Kamar AC RFR Kamar AC RFR Kamar AC RFR
Aplikasi Rootone - F Tanpa Rootone - F Rendam Celup cepat ---------- Persentase Stek Hidup (%) ---------100 100 100 100 100 100 100 100 100 ---------- Persentase Stek Bertunas (%)---------40.0 46.7 46.8 16.8 10.0 0.0 0.0 0.1 0.2 ----------Jumlah Tunas---------2.0 2.3 2.2 0.5 0.0 0.8 0.0 0.0 0.0 ----------Panjang Tunas (cm)----------
Kamar AC
Pasta 100 100 100 50.0 0.0 0.3 1.8 0.0 0.0
3.3a
3.9a
4.5a
4.3a
c
d
b
0.0d
0.8
0.0
2.3
RFR 0.0d 0.0d 0.0d 0.0d Keterangan : ♣ Angka rataan yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama pada setiap tolak ukur, tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda pada taraf 5%.
Jumlah Tunas, Pada 2 MSP kombinasi perlakuan induksi suhu dengan metode aplikasi Rootone–F tidak menunjukan pengaruh yang nyata, nilai jumlah tunas tertinggi ditunjukan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu kamar dengan metode aplikasi Rootone–F rendam (2.3 buah) dan nilai terendah diperlihatkan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu refrigerator dengan semua metode aplikasi (0 buah). Berdasarkan Tabel 1, pengaruh perlakuan tunggal induksi suhu berpengaruh terhadap jumlah tunas yang dihasilkan. Induksi suhu kamar memberikan rataan nilai tertinggi untuk jumlah tunas yang dihasilkan, dan induksi suhu refrigerator memberikan rataan nilai terendah terhadap jumlah tunas yang dihasilkan. Jumlah tunas yang dihasilkan pada induksi suhu kamar lebih seragam dibanding induksi suhu lainnya, dimana pada induksi suhu kamar hampir semua stek menghasilkan tunas. Hal ini diduga induksi suhu kamar membentu stek dalam menghasilkan tunas.
Panjang Tunas, panjang tunas tertinggi dihasilkan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu kamar dengan metode aplikasi celup cepat (4.5 cm), Berdasarkan Tabel 1 terlihat perlakuan tunggal induksi suhu berpengaruh sangat nyata terhadap panjang tunas yang dihasilkan, dimana induksi suhu kamar memberikan nilai tertinggi untuk panjang tunas yang dihasilkan, dan suhu refrigerator menunjukan nilai terendah terhadap panjang tunas yang dihasilkan. Pada induksi suhu kamar stek menghasilkan panjang tunas yang lebih cepat, hal ini diduga pada kondisi kamar enzim-enzim yang terlibat dalam dalam proses metabolisme dalam keadaan aktif sehingga stek dapat terus melakukan proses metabolisme, sedangkan pada induksi suhu lainnya, diduga suhu rendah membuat enzim-enzim yang terlibat dalam dalam proses metabolisme dalam keadaan inaktif. Kondisi Stek di Propagation Area Stek yang telah diinduksi selama 2 minggu pada suhu kamar, AC dan refrigerator (2MSP), selanjutnya dipindahkan dan ditanam dalam pot tray ke Propagation Area. Penanaman ini dilakukan selama 6 minggu, dimana dilakukan pengamatan pada 4 MST dan 6 MST. Peubah yang diamati antara lain : persentase stek hidup, persentase stek bertunas, jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun, sedangkan persentase stek berakar, jumlah akar dan panjang akar pengamatan hanya dilakukan pada 6 MST. Persentase Stek Hidup Berdasarkan hasil sidik ragam pada Tabel 1, perlakuan interaksi antara induksi suhu dengan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F tidak berpengaruh nyata terhadap persentase stek hidup dadap merah pada umur 4 MST. Pengaruh interaksi kedua faktor terhadap persentase stek hidup sangat nyata pada umur 6 MST (Tabel 3). Mulai 4 MST persentase stek hidup mengalami penurunan pada kombinasi perlakuan refrigerator dengan metode aplikasi tanpa Rootone–F dan perlakuan refrigerator dengan metode aplikasi rendam, namun sebagian besar perlakuan
masih memiliki nilai persentase yang seragam (100%). Pada 6 MST penurunan persentase stek hidup mulai terlihat signifikan (Tabel 3). Tabel 3. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Rataan Persentase Stek Hidup (%) Pada 4 MST, dan 6 MST. Suhu Simpan (0o C)
Tanpa Rootone - F
Kamar AC RFR
100 100 93.3
Kamar
30.0bc (28.1) 6.7e (30.3) 3.3e (15.9)
AC RFR
Aplikasi Rootone - F Rendam Celup cepat ----------4 MST---------100 100 100 100 96.7 100 ----------6 MST---------43.3b 43.3b (32.4) (32.4) 30.0bcd 26.7bcde (24.7) (24.7) 6.7e 17.1cde (17.1) (22.2)
Pasta 100 100 100 76.7a (41.6) 40.0bc (17.1) 10.0de (18.8)
Keterangan : ♣ Angka rataan yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama pada setiap pengamatan, tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda pada taraf 5%. “ (.....)” : data ditransformasi menggunakan (• x+0,5)
Penurunan persentase stek hidup ini ditenggarai dengan berubahnya warna kambium batang menjadi berwarna coklat yang diikuti oleh batang yang menjadi coklat dan kering. Kekeringan stek diduga karena suhu udara dalam Propagation Area yang terlalu panas (mencapai 50oC) yang menyebabkan stek mengalami penguapan yang besar dan cepat sehingga stek menjadi cepat kering. Suhu udara Propagation area yang tinggi ini dikarenakan ruangan khusus berbentuk seperti rumah kaca ini pada bagian luar dilapisi oleh plastik dengan sirkulasi udara yang sangat rendah sehingga menyebabkan udara dalam ruangan sangat tinggi dan mengganggu pertumbuhan stek. Keadaan ini juga diduga akibat adanya variasi respon tanaman terhadap pemberian zat pengatur tumbuh yang berbeda – beda pada setiap perlakuan, dimana setiap perlakuan yang diberikan akan memberikan pengaruh yang berlainan terhadap persentase stek hidup yang dihasilkan. Weaver (1972) menjelaskan bahwa respon tanaman terhadap penggunaan zat pengatur tumbuh dapat bersifat menguntungkan atau bahkan merugikan, tergantung pada konsentrasi, keadaan lingkungan dan keadaan tanamannya. Pada awal minggu pemindahan stek ke propagation area, keadaan stek masih memiliki nilai keseragaman yang sama (100%) dalam hal persentase stek hidup. Keadaan ini diduga disebabkan oleh kondisi suhu dan kelembaban yang
optimum di minggu-minggu awal. Suhu yang tinggi disertai kelembaban yang tinggi pada awalnya memang meningkatkan pertumbuhan stek, namun panas yang berlebihan dan berkelanjutan akan menjadi masalah bagi stek untuk tumbuh. Pada 4 dan 6 MST persentase stek hidup mengalami penurunan. Selain dikarenakan suhu udara dan kelembaban yang tinggi pada propagation area yang mengakibatkan penguapan yang cepat, juga diduga karena stek mengalami kehabisan cadangan makanan (karbohidrat). Pada akhir pengamatan (6 MST), perlakuan yang diberikan berpengaruh sangat nyata terhadap persentase stek hidup, persentase stek hidup yang nyata lebih tinggi diperlihatkan tanaman (stek) dengan perlakuan kombinasi induksi suhu kamar dengan metode aplikasi zat pengatur tumbuh pasta (76.7%). Dan persentase terendah didapat dari kombinasi perlakuan induksi suhu refrigerator dengan metode aplikasi pasta (15,9%). Hal ini diduga perlakuan induksi suhu kamar telah merespon pertumbuhan stek yang lebih baik. Penginduksian di suhu AC dan refrigerator diduga menghambat pertumbuhan stek karena suhu dingin dan kering yang diberikan. Metode aplikasi Rootone–F secara pasta diduga merupakan kondisi optimum bagi pertumbuhan stek, kondisi ini diduga Rootone – F yang diberikan masih menempel pada stek den belum mengalami pencucian oleh air, dan diduga konsentrasi Rootone – F yang tinggi mampu meningkatkan persentase stek hidup yang lebih baik. Susanti (2003) pemberian zat pengatur tumbuh berpengaruh sangat nyata terhadap persentase stek hidup anyelir. Perlakuan IBA 300 dan 600 ppm menunjukan nilai yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan lain dan kontrol. Berdasarkan hasil sidik ragam pada Tabel 1, perlakuan tunggal induksi suhu berpengaruh nyata pada 4 MST dan 6 MST, dimana suhu kamar memberikan nilai tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya, dan suhu refrigerator memiliki nilai terendah. Secara statistik terlihat bahwa persentase stek hidup menurun sejalan dengan penurunan induksi suhu, semakin rendah induksi suhu semakin kecil nilai yang diberikan bagi persentase stek hidup (suhu kamar>suhu AC>suhu refrigerator). Sehingga penginduksian yang dilakukan dibawah suhu kamar tidak efektif untuk menghasilkan persentase stek hidup dadap merah pada 6 MST.
Pada percobaan ini tidak terjadi serangan hama maupun cendawan, hal ini dikarenakan di dalam Propagation Area ini adanya pengontrolan terhadap serangan cendawan. Ini dilakukan dengan penyemprotan insektisida curacron setiap 2 minggu sekali. Pertumbuhan stek pada 4 MST di propagation area memiliki kesamaan petumbuhan semasa stek dalam penginduksian suhu (2 MSP), dimana stek masih dalam keadaaan segar (100%), yang membedakan hanya pertumbuhan tunasnya saja, dimana pertumbuhan tunas di propagation area lebih cepat dibanding di penginduksian suhu. Lain halnya sewaktu stek memasuki akhir pengamatan yaitu pada 6 MST, stek di kondisi propagation area mulai mengalami kendala suhu yang tinggi, yang menyebabkan stek mengalami kekeringan dan mati Persentase Stek Bertunas Pengamatan terhadap persentase stek bertunas dilakukan pada 4 MST dan 6 MST. Berdasarkan Tabel 1, perlakuan tunggal induksi suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase stek bertunas, hal ini menunjukan respon yang baik dari stek terhadap induksi suhu yang diberikan sebelum stek ditanam. Pada Tabel 4, terlihat secara umum perlakuan induksi suhu kamar dan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F secara pasta memberikan hasil terbaik dalam persentase stek bertunas yang dihasilkan. Pada 4 MST, nilai tertinggi diperlihatkan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu kamar dan metode aplikasi pasta (100%). Kombinasi induksi suhu kamar dan metode aplikasi pasta mampu mendorong stek untuk menghasilkan karbohidrat sendiri yang dihasilkan dari fotosintesis setelah tumbuhnya daun yang nantinya akan meningkatkan kemampuan stek untuk tumbuh dan berkembang. Nilai terendah persetase stek bertunas dihasilkan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu refrigerator dengan metode aplikasi pasta (46.7%), ini diduga induksi suhu yang terlalu rendah menghambat stek untuk bertunas, hal ini diduga karena terjadinya gangguan keseimbangan hormon auksin dimana suhu rendah menyebabkan hormon didalam bahan stek menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Hartman dan Kester, 1983). Diduga metode aplikasi pasta yang memilliki konsentrasi tertinggi merupakan kondisi optimum bagi stek dalam
menginduksi tunas. Pada penelitian Pebrijanti (1999), Pemberian Rootone-F dengan dosis 50 mg/stek (tertinggi) pada bahan stek batang bagian pangkal, yang ditanam pada media sabut kelapa pada tanaman pulai menghasilkan persentase stek bertunas sebesar 93,33 %. Tabel 4. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Rataan Persentase Stek Bertunas (%) Pada 4 MST, dan 6 MST. Suhu Simpan (0o C) Kamar AC RFR Kamar AC RFR
Tanpa Rootone - F 66.7bcd (38.5) 6.7e (30.3) 3.3e (15.9) 13.3cde (21.0) 40.0b (32.3) 10.0de (18.8)
Aplikasi Rootone - F Rendam Celup cepat ----------4 MST---------80ab 96.7a (42.3) (46.2) 30.0bcd 26.7bcde (24.7) (24.7) 6.7e 17.1cde (17.1) (22.2) ----------6 MST---------20.0bcde 30.0bc (24.5) (28.1) 6.7de 26.7bcd (17.1) (25.6) 16.7bcde 6.7de (22.2) (17.1)
Pasta 100a (46.9) 40.0bc (17.1) 10.0de (18.8) 73.3a (40.8) 6.7de (17.1) 3.3e (15.9)
Keterangan : ♣ Angka rataan yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama pada setiap pengamatan, tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda pada taraf 1%. ♣ “ (.....)” : data ditransformasi menggunakan (• x+0,5)
Pada akhir pengamatan yaitu pada 6 MST nilai tertinggi persetase stek bertunas diberikan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu kamar dengan metode aplikasi pasta (73.3%). Nilai terendah persetase stek bertunas diberikan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu refrigerator dengan metode aplikasi pasta (3.3%). Persentase stek bertunas pada waktu pemindahan ke propagatiaon area memiliki perbedaan pertumbuhan dengan masa penginduksian. Sewaktu masa penginduksian stek yang bertunas umumnya stek yang berada pada kondisi induksi suhu kamar. Pada kondisi suhu yang rendah stek mengalami hambatan untuk bertunas. Lain halnya pada propagatiaon area semua kombinasi perlakuan dapat menghasilkan stek, walaupun tetap memiliki kecepatan yang berbeda dalam menghasilkan tunas. Stek mengalami penurunan yang signifikan dalam menghasilkan tunas pada 6 MST dikarenakan suhu yang terlalu tinggi menjadi kendala bagi pertumbuhan tunas.
Jumlah Tunas Pengamatan terhadap jumlah tunas dilakukan pada 4 MST dan 6 MST. Berdasarkan Tabel 1, pada 4 MST dan 6 MST, terdapat interaksi yang sangat nyata antara perlakuan induksi suhu dengan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F terhadap jumlah tunas yang dihasilkan, ini dapat terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Rataan Jumlah Tunas Pada 4 MST, dan 6 MST. Suhu Simpan (0o C) Kamar AC RFR Kamar AC RFR
Tanpa Rootone - F 5.7abc (2.4) 4.8abc (2.3) 3.7cd (2.0)cd 4.5abcd (2.3) 7.3a (2.8) 4.2cd (2.1)
Aplikasi Rootone - F Rendam Celup cepat ----------4 MST---------6.2ab 7.0a (2.6) (2.7) 2.5d 5.8abc (1.7) (2.5) 3.5cd 2.7d (1.9) (1.8)d ----------6 MST---------4.7bcd 7.0ab (2.2) (2.7) 3.5d 7.0abc (1.9) (2.7) 4.3cd 3.0d (2.2) (1.8)
Pasta 7.0a (2.7) 4.2bcd (2.1) 2.5d (1.7) 6.2abc (2.6) 4.7bcd (2.2) 3.0d (1.8)
Keterangan : ♣ Angka rataan yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama pada setiap pengamatan, tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda pada taraf 1%. ♣ “ (.....)” : data ditransformasi menggunakan (• x+0,5)
Pada 4 MST stek mulai menghasilkan tunas dalam jumlah yang cukup banyak, kombinasi perlakuan yang diberikan mulai menunjukan perbedaan yang nyata. Tunas terbanyak dihasilkan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu kamar dengan metode aplikasi pasta dan celup cepat (7.0 buah). Jumlah tunas terendah dihasilkan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu AC dengan metode aplikasi rendam dan kombinasi perlakuan induksi suhu refrigerator dengan metode aplikasi pasta. Pada akhir pengamatan yaitu pada 6 MST jumlah stek mulai menurun karena suhu yang terlalu panas sehingga diduga respirasi yang dilakukan stek besar menyebabkan kematian pada stek. Jumlah tunas tertinggi dihasilkan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu kamar dengan metode aplikasi celup cepat dan AC dengan celup cepat (7.0 buah). Hal ini diduga perbedaan spesies yang digunakan menyebabkan perbedaan jumlah tunas yang dihasilkan, juga
konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan ikut memberikan pengaruh bagi stek untuk menghasilkan tunas. Hal ini sesuai dengan yang diteliti oleh Salim (1996), pembentukan tunas Dracaena cangesta sangat nyata dipengaruhi oleh pemberian NAA, jumlah tunas terbanyak dihasilkan pada konsentrasi NAA terendah. Peningkatan konsentrasi NAA menurunkan jumlah tunas yanng dihasilkan. Berdasarkan Tabel 1, pengaruh perlakuan tunggal
induksi suhu
berpengaruh terhadap jumlah tunas yang dihasilkan. Induksi suhu kamar memberikan rataan nilai tertinggi untuk jumlah tunas yang dihasilkan, dan induksi suhu refrigerator memberikan rataan nilai terendah terhadap jumlah tunas yang dihasilkan. Jumlah tunas yang dihasilkan pada propagation area lebih baik dibanding sewaktu dalam kondisi induksi suhu, dimana jumlah tunas yang dihasilkan lebih banyak dan seragam untuk setiap ulangan. Nilai jumlah tunas yang rendah sewaktu induksi suhu dikarenakan suhu rendah yang menghambat perkembangan stek, sedangkan sewaktu di propagation area stek dapat menghasilkan tunas dengan baik karena suhu yang membantu dalam perkembangan stek. Suhu yang terlalu tinggi mulai menjadi masalah bagi stek pada akhir pengamatan, dimana jumlah stek yang dihasilkan mengalami penurunan yang signifikan (Tabel 5). Panjang Tunas Pengamatan terhadap panjang tunas dilakukan pada 4 MST dan 6 MST. Berdasarkan Tabel 1, terdapat interaksi yang sangat nyata antara perlakuan induksi suhu dengan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F terhadap panjang tunas yang dihasilkan. Pada Tabel 6, terlihat panjang tunas tertinggi pada 4 MST dihasilkan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu kamar dengan metode aplikasi pasta (9.7 cm), nilai ini tidak berbeda nyata dengan panjang tunas yang
dihasilkan oleh
kombinasi perlakuan induksi suhu AC dengan metode aplikasi pasta (8.9 cm). Pada akhir pengamatan, panjang tunas tertinggi dihasilkan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu kamar dengan metode aplikasi pasta (8.6 cm), namun nilainya tidak berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya. Panjang tunas
terendah dihasilkan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu refrigerator dengan metode aplikasi pasta dan celup cepat (0.5 cm). Tabel 6. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Rataan Panjang Tunas (cm) Pada 4 MST dan 6 MST. Suhu Simpan (0o C) Kamar AC RFR Kamar AC RFR
Tanpa Rootone–F 6.1b (2.6) 4.6c (2.0) 3.5c (1.9) 3.3bcd (1.8) 5.7ab (2.8) 1.6cd (1.2)
Aplikasi Rootone–F Rendam Celup cepat ----------4 MST---------5.9b 6.5b (2.5) (2.6) 6.0b 6.6b (1.1) (2.0) 4.5c 7.2b (2.2) (2.8) ----------6 MST---------3.9abc 5.4ab (2.1) (2.4) 1.3d 4.5bc (1.9) (2.7) 4.8abc 0.5d (2.1) (0.9)
Pasta 9.7a (3.2) 8.9a (0.9) 7.2b (2.8) 8.6a (3.0) 0.4d (2.2) 0.5d (0.9)
Keterangan : ♣ Angka rataan yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama pada setiap pengamatan, tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda pada taraf 1%. ♣ “ (.....)” : data ditransformasi menggunakan (• x+0,5)
Pertumbuhan panjang tunas pada 4 MST mengalami penurunan sewaktu pengamatan pada 6 MST, hal ini diakibatkan banyaknya stek yang mati bukan dikarenakan tunas yang menjadi pendek. Suhu yang tinggi menyebabkan stek mengalami transpirasi yang besar. Diduga zat pati yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan stek habis terbuang karena respirasi yang tinggi. Kombinasi perlakuan induksi suhu kamar dengan metode aplikasi pasta masih memberikan nilai tertinggi, diduga auksin yang tinggi masih menempel dan belum tercuci oleh air, sehingga membantu stek dalam menghasilkan tunas. Pada penelitian Handoko (1996) menunjukan pengaruh Rootone–F terhadap panjan tunas stek buluh satu bambu ampel yang dihasilkan hanya terlihat pada 5 MST. Pertumbuhan terbaik ditunjukan pada konsentrasi 3 g/l atau konsentrasi tertinggi yang mencapai 20,25 cm. Berdasarkan Tabel 1 terlihat perlakuan tunggal induksi suhu berpengaruh sangat nyata terhadap panjang tunas yang dihasilkan, dimana induksi suhu kamar memberikan nilai tertinggi untuk panjang tunas yang dihasilkan, dan suhu refrigerator menunjukan nilai terendah terhadap panjang tunas yang dihasilkan.
Perlakuan tunggal metode aplikasi juga menunjukan nilai yang berpengaruh sangat nyata terhadap panjang tunas yang dihasilkan, kecuali pada pada akhir pengamatan. Secara umum metode aplikasi pasta menunjukan nilai panjang tunas tertinggi, sedangkan tanpa Rootone–F menunjukan nilai terendah dalam panjang tunas yang dihasilkan. Diduga konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda yang diberikan menghasilkan panjang tunas yang berbeda pula. Panjang tunas yang dihasilkan setelah induksi relatif lebih kecil nilainya dibandingkan setelah stek dipindahkan ke propagation area. Pada kondisi induksi suhu rendah stek masih sangat rendah dalam menghasilkan nilai panjang tunas yang dihasilkan, hanya pada suhu kamar panjang tunas yang menghasilkan nilai yang tertinggi. Panjang tunas yang dihasilkan sewaktu dalam propagation area relatif tumbuh lebih seragam, hal ini diduga suhu menjadi faktor penentu untuk stek menghasilkan tunas. Jumlah Daun Pengamatan terhadap persentase jumlah daun dilakukan pada 4 MST dan 6 MST. Berdasarkan Tabel 1, terdapat pengaruh interaksi sangat nyata antara kombinasi perlakuan induksi suhu dengan metode aplikasi zat pengatur tumbuh terhadap panjang tunas yang dihasilkan. Tabel 7 mencantumkan rataan jumlah daun yang dihasilkan dari perlakuan induksi suhu dan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F. Tabel 7. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Rataan Jumlah Daun Pada 4 MST dan 6 MST. Suhu Simpan (0o C)
Tanpa Rootone–F
Kamar AC RFR
4.0d 4.5d 3.5d
Aplikasi Rootone–F Rendam Celup cepat ----------4 MST---------5.5d 16.5b d 3.5 12.5c d 3.3 3.0d ----------6 MST---------9.5c 22.5a cd 7.0 18.0b cd 8.5 7.0cd
Pasta 25.5a 5.5d 3.0d
Kamar 8.0cd 25.5a c AC 9.0 9.5c cd RFR 6.5 5.0d Keterangan : ♣ Angka rataan yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama pada setiap pengamatan, tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda pada taraf 1%. ♣ “ (.....)” : data ditransformasi menggunakan (• x+0,5)
Peranan daun sangat penting bagi stek karena keberadaan daun akan mempengaruhi tingkat fotosintesis yang dilakukan, sehingga akan mempengaruhi tingkat karbohidrat yang dihasilkan. Wudianto (1994) menyebutkan, peranan daun pada stek cukup besar, karena daun akan melakukan proses asimilasi dan hasilnya tentu dapat mempercepat pertumbuhan akar, tetapi jumlah daun yang terlalu banyak justru menghambat pertumbuhan akar stek, karena daun akan mengalami proses penguapan yang cukup besar. Dari Tabel 7, pada jumlah daun tertinggi dihasilkan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu kamar dengan metode aplikasi pasta (25.5 buah), nilai ini berbeda nyata dengan semua kombinasi perlakuan lainnya. Nilai terendah dihasilkan oleh kombinasi perlakuan induksi suhu refrigerator dengan metode aplikasi pasta dan celup cepat. Diduga hal ini dipengaruhi oleh konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan, suhu di dalam propagation area dan spesies tanaman itu sendiri. Berdasarkan Tabel 1 terlihat perlakuan tunggal induksi suhu berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun yang dihasilkan. Secara umum induksi suhu kamar memberikan nilai rataan tertinggi untuk jumlah daun yang dihasilkan, dan suhu refrigerator menunjukan nilai terendah terhadap jumlah daun yang dihasilkan. Perlakuan tunggal metode aplikasi menunjukan nilai yang berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun yang dihasilkan, ini terlihat pada Tabel 1 diatas, secara umum metode aplikasi pasta menjukan nilai jumlah daun tertinggi yang dihasilkan, sedangkan tanpa Rootone–F menunjukan nilai terendah dalam jumlah daun yang dihasilkan. Diduga konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda yang diberikan menghasilkan jumlah daun yang berbeda pula, lalu jumlah karbohidrat yang dihasilkan, suhu dalam propagation area, dan kemampuan stek menghasilkan akar akan sangat mempengaruhi jumlah daun yang dimiliki. Menurut Weaver (1972), hormon tumbuh akan mendukung atau menghambat proses pengguguran daun, konsentrasi auksin yang tinggi akan menghambat terjadinya absisi sedangkan konsentrasi auksin yang rendah akan mempercepat terjadinya absisi. Pada penelitian Wiriyanti (2004) Stek akar mimba (Azadirachta indica) sesuai ditumbuhkan pada media campuran pasir dengan arang sekam
dengan pemberian zat pengatur tumbuh Rootone-F dengan dosis 100 mg/stek yang merupakan konsntrasi tertinggi secara pasta. Hal ini ditunjukan oleh nilai persentase stek hidup, stek bertunas, jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun dan panjang akar yang lebih tinggi dibandingkan dosis lainnya. Persentase Stek Berakar Berdasarkan Tabel 1, terdapat interaksi antara perlakuan induksi suhu dengan perlakuan metode aplikasi zat pengatur tumbuh. Pada Tabel 8, terlihat interaksi antara perlakuan induksi suhu dengan aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F terhadap rataan stek berakar, panjang akar dan jumlah akar. Tabel 8. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Rataan Persentase Stek Berakar (%), Jumlah Akar dan Panjang Akar (cm) Pada 6 MST. Suhu Simpan (0o C) Kamar AC RFR Kamar AC RFR Kamar AC RFR
Aplikasi Rootone–F Tanpa Rootone–F Rendam Celup cepat ----------Rataan Persentase Stek Berakar (%)---------20.0bc 20.0bc 26.7bc (24.5) (24.5) (26.9) 23.3bc 13.3cd 30.0 b (24.9) (20.5) (27.3) 6.7d 13.3bcd 3.3d (17.6) (21.0) (15.9) ----------Rataan Jumlah Akar---------1.8bc 1.8bc 2.8ab (1.5)bc (1.5) (1.8) 1.3cd 0.7de 0.7cd (1.3) (1.0) (1.3) 0.3e 0.7de 0.2e (0.9) (1.1) (0.8) ----------Rataan Panjang Akar (cm)---------5.6abc 5.9ab 8.9ab (2.4) (2.5) (2.9) 6.9ab 5.9abcd 10.8ab (2.6) (2.1) (3.2) 1.9cd 4.3bcd 1.1d (1.3) (1.9) (1.0)
Pasta 53.3a (35.5) 3.3d (15.9) 3.3d (15.9) 3.7a (2.0) 0.3e (0.9) 0.2e (0.8) 10.4a (3.3) 1.5d (1.1) 1.3d (1.1)
Keterangan : ♣ Angka rataan yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama pada setiap tolak ukur, tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda pada taraf 1%. : data ditransformasi menggunakan (• x+0,5) ♣ “ (.....)”
Kombinasi perlakuan induksi suhu kamar dengan metode aplikasi pasta menghasilkan persentase stek tertinggi (53.3%), hal ini diduga pada aplikasi pasta auksin (zat pengatur tumbuh) relatif lebih efektif untuk memberikan persentase stek berakar. Hal ini berbeda dengan pernyataan Hartman et al., (1990) metode
aplikasi zat pengatur tumbuh celup cepat memberikan hasil pengakaran yang lebih cepat dan seragam dibanding perlakuan pasta. Perlakuan metode aplikasi yang berbeda memberikan pengaruh induksi perakaran yang berbeda. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa efektifitas zat pengatur tumbuh ditentukan oleh metode aplikasi dan konsentrasi yang diberikan. Umumnya membantu dalam inisiasi akar, mempercepat pembentukan akar, mempertinggi persentase stek berakar, menambah jumlah dan kualitas akar (Hartman et al., 1990). Susanti (2003) pemberian zat pengatur tumbuh tidak berpengaruh nyata terhadap persentase stek berakar anyelir, namun kecenderungan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh IBA 300 ppm mampu menghasilkan persentase stek berakar yang lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. Berdasarkan Tabel 1 terlihat perlakuan tunggal induksi suhu berpengaruh sangat nyata terhadap persentase stek berakar, hal ini diduga karena suhu penyimpanan mendorong kemampuan untuk berakar. Hal ini diduga merupakan kondisi suhu optimum untuk menginisiasi perakaran. Ini dibuktikan oleh Wattimena (1992), bahwa inisiasi akar didorong oleh temperatur tetapi pertumbuhan akar berikutnya sangat tergantung pada ketersediaan karbohidrat dalam tanaman. Suhu awal yang tinggi untuk inisiasi akar sangat baik sedangkan suhu yang rendah membantu dalam pertumbuhan dan perkembangan akar. Perlakuan aplikasi zat pengatur tumbuh secara tunggal tidak berpengaruh nyata, hal ini diduga pemberian zat pengatur tumbuh belum memberikan keefektifan dalam persentase stek berakar dalam waktu 6 minggu. Alasan lain diduga, karena suhu yang tinggi menekan keefektifan zat pengatur tumbuh untuk merangsang pertumbuhan akar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hartman et al., (1990), bahwa temperatur media yang cocok untuk perakaran adalah 18–25oC untuk spesies yang berasal dari daerah temperate dan 7oC lebih tinggi untuk spesies yang berasal dari daerah tropis. Ini tidak sesuai dengan keadaan di propagatiaon area yang memiliki suhu udara yang tinggi mencapai 50oC pada siang hingga sore hari.
Jumlah Akar Pengamatan terhadap jumlah akar dilakukan pada akhir percobaan yaitu pada umur 6 MST. Berdasarkan Berdasarkan Tabel 1 didapat bahwa perlakuan tunggal induksi suhu berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah akar, hal ini diduga karenakan perlakuan suhu dapat merangsang respon tanaman untuk berakar. Wattimena (1992) mengatakan bahwa inisiasi akar didorong oleh temperatur tetapi pertumbuhan akar berikutnya sangat tergantung pada ketersediaan karbohidrat dalam tanaman. Perlakuan tunggal metode aplikasi zat pengatur tumbuh tidak memberikan hasil yang berpengaruh nyata antar perlakuannya. Perlakuan kombinasi
induksi suhu kamar dan metode aplikasi pasta
memberikan nilai tertinggi (3.7 buah), nilai ini berpengaruh nyata terhadap perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan kombinasi induksi suhu refrigerator dengan celup cepat dan pasta memberikan nilai terendah. Perlakuan tunggal induksi suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata, hal ini terlihat pada Tabel 1, sedangkan perlakuan tunggal metode aplikasi zat pengatur tumbuh tidak memberikan pengaruh yang nyata. Pada kondisi induksi suhu kamar terlihat bahwa peningkatan konsentrasi zat pengatur tumbuh meningkatkan jumlah akar yang dihasilkan. Diduga pemberian zat pengatur tumbuh pada umumya bernilai positif terhadap jumlah akar, karena diduga pemberian zat pengatur tumbuh membantu stek untuk memperbanyak jumlah akar yang dihasilkan. Wattimena (1988) menyatakan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh akan mempertinggi perakaran. Berdasarkan hasil penelitian Salim (1996) perlakuan IAA yang diberika dalam konsentrasi yang tinggi memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah akar Dracaena cangesta yang dihasilkan, dimana jumlah akar yang dihasilkan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi IAA yang diberikan. Panjang Akar Pengamatan terhadap persentase panjang akar dilakukan pada akhir pengamatan yaitu pada umur 6 MST. Berdasarkan Tabel 1, perlakuan interaksi
antara perlakuan induksi suhu dengan metode aplikasi zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh yang nyata. Pada Tabel 8, terlihat bahwa perlakuan kombinasi antara metode aplikasi pasta dengan perlakuan induksi suhu kamar memberikan nilai terbaik (3,3 cm) dalam panjang akar yang dihasilkan. Nilai terendah panjang akar yang dihasilkan terlihat pada perlakuan kombinasi refrigerator dengan celup cepat ataupun refrigerator dengan metode aplikasi pasta (1,0 cm). Hal ini menunjukan bahwa induksi suhu refrigerator cenderung menghambat respon stek untuk menginisiasi perakaran ataupun perkembangan sel akar. Perlakuan induksi suhu terhadap panjang akar berdasarkan berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa perlakuan induksi suhu memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang akar yang dihasilkan, dimana induksi suhu kamar memberikan nilai terbaik. Berdasarkan Tabel 1 terlihat perlakuan tunggal metode aplikasi zat pengatur tumbuh tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar. Secara umum terlihat perlakuan tunggal metode aplikasi celup cepat memberikan nilai tertinggi, sedangkan perlakuan metode aplikasi pasta memberikan nilai terendah dalam peubah ini. Diduga hal ini terjadi akibat adanya pengaruh dari media yang digunakan, hal ini dikarenakan tanah yang terlalu padat sehingga akar sulit untuk menembus media. Menurut Hartman dan Kester (1983) tanaman sulit berakar kemungkinan besar dipengaruhi oleh media perakaran, tidak hanya persentase stek berakar tapi juga terhadap tipe perakaran yang terbentuk. Lebih lanjut Hartman dan Kester (1983) menambahkan media merupakan faktor luar yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan perakaran. Diduga karena ketidak seragaman dalam pemberian air membuat komposisi tanah yang berbeda antar perlakuan atau bahkan antar ulangan dalam perlakuan.
Percobaan II, Optimasi Kondisi Perlakuan Metode Aplikasi Rootone–F Terhadap Induksi Akar dan Tunas Stek Dadap Merah. Keadaan umum Optimasi kondisi percobaan I, perlakuan metode aplikasi Rootone–F terhadap induksi akar dan tunas stek dadap merah dilakukan saat menjelang berakhirnya musim hujan sehingga sering terjadi hari–hari dengan panas matahari yang panjang yang mengakibatkan suhu di dalam rumah kaca menjadi tinggi. Peningkatan suhu ini masih wajar dimana suhu di dalam rumah kaca berkisar 20oC–35oC. Kondisi lingkungan ini dapat mempengaruhi proses–proses fisiologis tanaman, yaitu proses transportasi dan transpirasi stek, terutama bila sistem perakaran stek tersebut belum terbentuk. Meningkatnya jumlah air yang dilepas oleh stek melalui proses transpirasi sangat mempengaruhi proses fisiologi tanaman, padahal stek belum mampu menyerap air secara optimal karena belum berakar. Hal ini menyebabkan jumlah persediaan air dalam jaringan tanaman menurun drastis yang akhirnya dapat menimbulkan kekeringan bahkan kematian stek. Pada Tabel 9, terlihat bahwa perlakuan metode aplikasi zat pengatur tumbuh yang diberikan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap semua peubah percobaan. Pada peubah persentase stek hidup, perlakuan metode aplikasi zat pengatur tumbuh yang diberikan hanya berpengaruh nyata pada 4 MST. Hal ini diduga karena terjadinya kehabisan cadangan makanan bagi stek untuk berkembang sedangkan stek belum mampu untuk menghasilkan makanan sendiri. Untuk peubah lainnya perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata kecuali pada panjang tunas pada 2 MST, hal ini karena stek masih memiliki tingkat pertumbuhan yang seragam, artinya perlakuan metode aplikasi Rootone–F yang diberikan belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan stek. Umumnya pada saat stek belum berakar, kelembaban yang tinggi di rumah kaca sangat membantu pertumbuhan dan perkembangan stek dalan menghasilkan akar dan tunas. tingginya kelembaban pada kondisi ini diduga menghambat laju transpirasi pada stek sehingga bisa menghindarkan stek dari kondisi kehilangan
air. Adapun kelembaban optimal yang harus dipertahankan selama proses perakaran yaitu harus diatas 90%. Pada percobaan optimasi kondisi perlakuan zat pengatur tumbuh Rootone-F ini, lebih ditekankan untuk melihat metode aplikasi yang paling optimum bagi pertumbuhan dan perkembangan stek. Tabel 9. Rekapitulasi Sidik Ragam Persentase Stek Hidup, Persentase Stek Bertunas, Jumlah Tunas, Panjang Tunas, Jumlah Daun, Persentase Stek Berakar, Jumlah Akar, dan Panjang Akar Percobaan Optimasi kondisi Perlakuan Metode Aplikasi Rootone–F Terhadap Induksi Akar dan Tunas Stek Dadap Merah. Peubah Persentase Stek Hidup
Persentase Stek Bertunas
Jumlah Tunas
Panjang Tunas
Jumlah Daun
MST 4 5 6 7 8 2 3 4 5 6 7 8 2 3 4 5 6 7 8 2 3 4 5 6 7 8 2 3 4 5 6 7 8 8 8 8
Perlakuan R tn tn tn tn tn tn ** ** ** ** tn tn tn * ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** **
Stek Akar Jumlah Akar Panjang Akar Keterangan : MST : Minggu Setelah Tanam R : Perlakuan Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F KK : Koefisien Korelasi
KK 19.52 29.93 44.41 45.81 45.81 43.91 37.12 23.66 26.52 41.77 44.57 46.30 47.27 39.02 40.52 34.49 25.34 26.29 25.05 29.61 22.61 20.58 11.94 25.39 36.15 31.63 45.37 27.01 57.45 51.72 52.03 43.05 46.53 28.52 34.59 24.95
Pada seluruh peubah terlihat bahwa metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F secara pasta memberikan hasil yang terbaik jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga metode pasta merupakan metode terbaik dalam menginduksi stek dadap dan merupakan konsentrasi yang optimum dibandingkan dengan perlakuan lainnya, selain itu diduga metode zat pengatur tumbuh secara pasta masih menempel pada stek hingga akhir pengamatan dan tidek tercuci oleh air. Persentase Stek Hidup Pengamatan terhadap persentase stek hidup ini dilakukan tiap minggu dimulai dari umur 2 MST sampai dengan pengamatan terakhir 8 MST. Hingga berumur 3 MST stek mempunyai persentase hidup yang seragam (100%). Kisaran persentase hidup hingga akhir pengamatan berkisar antara 50%-100%. Kisaran tertinggi didapat pada awal – awal minggu karena keadaan tanaman masih mampu menghadapi keadaan merugikan sekitar pertanaman seperti suhu yang tinggi. Mulai umur 4 MST persentase stek hidup mulai mengalami penurunan hingga minggu terakhir pengamatan (8 MST), akan tetapi penurunan ini tidak terlalu jauh seperti pada percobaan I. Lingkungan rumah kaca relatif terkontrol dimana suhu udara tidak terlalu tinggi seperti di propagation area relatif rendah antara 20–40oC, namun tetap memiliki kelembaban yang tinggi (80–90%). Pemberian perlakuan aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F memberikan respon yang baik terhadap rataan stek hidup. Aplikasi pasta menunjukan nilai terbaik, walaupun mengalami penurunan akan tetapi tidak secepat perlakuan lainnya. Kekeringan dan kematian stek ini diduga karena stek mengalami kehabisan cadangan makanan, stek menghasilkan tunas terlalu banyak tanpa diikuti pertumbuhan akar sehingga stek yang kehabisan cadangan makanan tidak mampu menghasilkan makanan sendiri dari proses fotosintesis. Karena tidak memiliki akar maka tunas yang telah muncul kemudian mengalami pengguguran, untuk mengurangi penguapan. Akhirnya tanaman tersebut mengalami kematian karena tidak memiliki makanan lagi.
Pemberian zat pengatur tumbuh tidak berpengaruh nyata terhadap persentase stek hidup. Persentase stek hidup di awal percobaan ini menunjukan nilai yang seragam (100%). Seluruh stek pada percobaan ini segar dan hidup. Keadaan ini diduga karena kondisi suhu dan kelembaban yang optimum bagi stek. Perlakuan metode aplikasi memberikan pengaruh yang berbeda terhadap persentase stek hidup yang dihasilkan, namun nilai yang berbeda tersebut tidak berbeda nyata antar perlakuannya. Persentase Stek Bertunas Pengamatan terhadap persentase stek bertunas dilakukan tiap minggu dimulai dari umur 2 MST sampai dengan pengamatan terakhir 8 MST. Dari Tabel 10 terlihat adanya peningkatan dari minggu ke minggu, hal ini memang harus terjadi karena merupakan bagian dari pertumbuhan stek. Kaosard (1981) menyatakan stek yang normal menghasilkan tunas terlebih dahulu kemudian menghasilkan akar. Tabel 10. Pengaruh Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Stek Bertunas (%), Jumlah Tunas, dan Panjang Tunas (cm). Minggu 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST ----------Rataan Stek Bertunas (%)---------Tanpa perlakuan 30.0ab 30.0b 20.0c 36.7b 26.7b 43.3b 43.3b ab ab b b b ab Rendam 33.3 46.8 43.3 36.7 40.0 63.3 60.0ab b b b b b ab Celup cepat 20.0 36.7 36.7 40.0 43.3 70.0 66.7ab Pasta 43.3a 63.3a 80.0a 83.3a 83.3a 90.0a 90.0a ---------- Rataan Jumlah Tunas ---------Tanpa perlakuan 2.3ab 2.0b 2.7b 3.3b 3.3c 5.8c 7.2c Rendam 3.2a 2.5ab 4.2ab 4.8b 6.5b 10.7b 13.7b Celup cepat 1.7b 3.2ab 3.5b 4.7b 6.5b 11.7b 14.2b ab a a a a a Pasta 2.0 3.5 5.5 9.3 15.0 25.0 35.0a ------------Rataan Panjang Tunas (cm)---------Tanpa Rootone–F 1.8c 3.1c 2.3d 2.3c 1.6c 3.1c 2.9c a ab b b b bc Rendam 4.4 5.1 4.8 4.4 4.6 4.2 3.9bc b bc c b b ab Celup cepat 3.0 3.7 3.8 4.0 4.0 5.7 5.8ab Pasta 3.6ab 6.6a 5.8a 8.5a 7.2a 7.1a 8.3a Ket : Angka rataan yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada setiap tolak ukur, tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda pada taraf 1%. Aplikasi Rootone–F
Dari Tabel 10 terlihat perlakuan metode aplikasi Rootone–F berpengaruh nyata terhadap persentase stek bertunas yang dihasilkan, ini menunjukan bahwa perlakuan yang diberikan merespon stek untuk menghasilkan tunas. Perlakuan
pasta memberikan hasil terbaik dalam menghasilkan stek bertunas setiap minggunya. Perlakuan metode pasta ini diduga merupakan konsentrasi optimum bagi pertumbuhan tunas dan diduga Rootone-F yang diberikan masih menempel pada bantang stek dan tidak tercuci oleh air. Kemunculan tunas pada stek dapat berlangsung dengan cepat diduga kandungan auksin akan menurun saat pemotongan bahan stek sehingga merangsang perkembangan stek yang sebelumnya dorman.
Proses
turunnya
kandungan
auksin,
menyebabkan
kandungan auksin dalam stek lebih rendah dibandingkan kandungan sitokinin sehingga pertumbuhan tunas lebih dulu muncul dibandingkan terbentuknya akar. Pada stek yang bertunas selanjutnya menghasilkan akar, sebenarnya pembentukan akarlah yang akan menjamin kelangsungan hidup stek. Semakin cepat dan semakin besar jumlah akar yang terbentuk, maka makin besar kemungkinan diperoleh tanaman yang dapat tumbuh secara sempurna. Salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan stek untuk bertunas adalah faktor suhu yang sesuai dan kandungan cadangan makanan yang terdapat dalam bahan tanaman. Stek dinyatakan mampu untuk tumbuh dan berkembang ditandai dengan gejala terbentuknya tunas dan akar pada stek yang diamati. Gejala awal yang dapat terlihat antara lain keluarnya tunas pada buku dan pucuk batang. Tunas yang baru berkembang ini diharapkan dapat menghasilkan auksin yang akan merangsang pembentukan akar pada stek tersebut. Pada pertumbuhan tunas ini terlihat adanya peningkatan dari minggu ke minggu selanjutnya dari perlakuan yang diberikan. Pada awal minggu pertumbuhan dari perlakuan pasta terlihat begitu berpengaruh terhadap pertumbuhan tunas, namun diakhir antara perlakuan terlihat pertumbuhan tunas yang sudah seragam. Pada penelitian Pebrijanti (1999), Pemberian Rootone-F dengan dosis 50 mg/stek (tertinggi) pada bahan stek batang bagian pangkal, yang ditanam pada media sabut kelapa pada tanaman pulai menghasilkan persentase stek bertunas sebesar 93,33 %. Hal ini sesuai dengan apa yang diamati pada persentase stek bertunas dimana metode aplikasi zat pengatur tumbuh secara pasta dapat meningkatkan persentase stek bertunas hingga 90% hingga akhir pengamatan (8MST). Pada penelitian Sidharta (1992) dikemukakan tanaman Asparagus
officinalis diperoleh hasil bahwa IAA memberikan pengaruh yang paling baik dalam jumlah tunas yang dihasilkan dengan rata-rata 22,8 buah. Jumlah Tunas Pengamatan terhadap persentase stek bertunas dilakukan tiap minggu dimulai dari umur 2 MST sampai dengan pengamatan terakhir 8 MST. Perlakuan metode aplikasi berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas yang dihasilkan, ini menunjukan konsentrasi auksin yang diberikan memberikan respon yang baik bagi stek untuk menghasilkan tunas. Dari Tabel 10, terlihat bahwa secara umum perlakuan metode aplikasi pasta memberikan hasil yang terbaik dalam jumlah tunas yang dihasilkan, sedangkan hasil terendah dihasilkan oleh perlakuan tanpa Rootone – F. Respon ini terjadi diduga karena adanya perbedaan spesies yang digunakan dan konsentrasi auksin yang digunakan mempengaruhi jumlah tunas yang dihasilkan. Selain itu metode pasta yang digunakan diduga merupakan metode aplikasi optimum bagi pertumbuhan stek dalam menghasilkan tunas. Rochiman dan Harjadi (1973), menyatakan konsentrasi yang terlalu tinggi dapat merusak dasar stek, dimana pembelahan sel dan kallus akan berlebihan dan mencegah tumbuhnya tunas dan akar, sedangkan konsentrasi dibawah optimum tidak efektif. Pada penelitian Salim (1996) peningkatan konsentrasi zat pengatur tumbuh IAA yang semakin tinggi akan menurunkan menurunkan jumlah tunas Dracaena congesta yang dihasilkan, namun akan meningkatkan panjang tunas yang dihasilkan. Panjang Tunas Pengamatan terhadap persentase stek bertunas dilakukan tiap minggu dimulai dari umur 2 MST sampai dengan pengamatan terakhir 8 MST. Dari Tabel 10, terlihat bahwa secara umum perlakuan metode aplikasi pasta memberikan hasil yang terbaik dalam panjang tunas yang dihasilkan, sedangkan hasil terendah dihasilkan oleh perlakuan tanpa Rootone–F. Dari Tabel 10 diatas terlihat adanya fluktuasi dalam panjang tunas yang dihasilkan, hal ini terjadi karena stek
mengalami kekeringan, yang diakibatkan karena stek kekurangan cadangan makanan sehingga stek mengalami peluruhan tunas. Hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Handoko (1996), perlakuan Rootone-F berpengaruh sangat nyata terhadap panjang tunas stek babu ampel yang dihasilkan dimana pada konsentrasi tertinggi (3 g/l) menghasilkan panjang tunas terbaik (4,56 cm), akan tetapi panjang tunas yang dihasilkan berfluktuasi tiap minggunya. Hal ini dikarenakan suhu yang tinggi yang diduga menyebabkan respirasi yang dialami oleh stek bambu ampel semakin besar sehingga terjadinya peluruhan tunas. Jumlah Daun Pengamatan terhadap persentase jumlah daun dilakukan tiap minggu dimulai dari umur 2 MST sampai dengan pengamatan terakhir 8 MST. Dari Tabel 11, terlihat bahwa secara umum perlakuan metode aplikasi pasta memberikan hasil yang terbaik dalam jumlah daun yang dihasilkan, sedangkan hasil terendah dihasilkan oleh perlakuan tanpa Rootone–F . Tabel 11. Pengaruh Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Rataan Jumlah Daun. Rataan Jumlah Daun Aplikasi Rootone–F 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST Tanpa Rootone–F 1.5b 1.5c 3.3b 3.2b 3.2b 10.0b 14.0b a ab a a a a Rendam 6.5 7.5 12.5 16.5 20.0 29.0 31.3a b b ab ab a a Celup cepat 2.0 6.0 8.5 11.0 16.2 24.8 37.0a b ab a a a a Pasta 2.5 8.5 12.0 15.0 19.5 26.0 42.3a Keterangan : Angka rataan yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda pada taraf 1%.
Dari Tabel 11, terlihat perbedaan jumlah daun yang dihasilkan tidak berbeda terlalu jauh antar perlakuan yang diberikan, kecuali perlakuan tanpa Rootone – F, dimana menghasilkan jumlah daun terkecil dibanding perlakuan lainnya. Perlakuan metode rendam menghasilkan jumlah daun terbanyak hingga 7 MST, namun pada akhir pengamatan perlakuan metode pasta menghasilkan jumlah daun terbesar dibanding perlakuan lainnya, walaupun nilai yang dihasilkan tidak berbeda nyata secara statistik. Jumlah daun untuk stek dengan perlakuan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F terlihat pada Gambar 1.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1. Jumlah Daun Yang Dihasilkan Oleh Stek Pada Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F : (a) Perlakuan Metode Aplikasi Pasta; (b) Perlakuan Metode Aplikasi Rendam; (c) Perlakuan Metode Aplikasi Celup Cepat; dan (d) Perlakuan Metode Aplikasitanpa Rootone-F. Jumlah daun ini tidak menentukan kemampuan stek untuk terus hidup, karena jumlah daun dapat merugikan atau menguntungkan bagi stek. Daun berfungsi sebagai tempat fotosintesis, sebagai penghasil cadangan makanan. Jumlah daun yang terlalu banyak akan meningkatkan transpirasi pada stek. Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), adanya daun pada stek berfungsi baik bagi terhadap pembentukan akar. Karbohidrat yang dihasilkan oleh daun sebagai
hasil fotosintesis yang berhubungan juga dengan proses transpirasi dapat menstimulir pembentukan akar stek. Wudianto (1994) menambahkan peranan daun pada stek cukup besar, karena daun akan melakukan proses asimilasi dan hasilnya tentu dapat mempercepat pertumbuhan akar. Tapi jumlah daun yang terlau banyak justru menghambat pertumbuhan akar stek, karena daun juga mengalami penguapan yang cukup besar Pada percobaan fluktuasi jumlah daun dikarenakan berbagai faktor baik itu suhu, kelembaban ataupun cadangan makanan yang terdapat pada daun. Perlakuan metode aplikasi yang diberikan diduga juga memberikan pengaruh terhadap jumlah daun yang dihasilkan. Hormon tumbuh akan mendukung atau menghambat proses absisi (pemisahan bagian atau organ tanaman seperti daun atau batang). Konsentrasi auksin yang tinggi akan menghambat terjadnya absisi, sedangkan konsentrasi auksin yang rendah akan mempercepat terjadinya absisi (Weaver, 1972). Stek akar mimba (Azadirachta indica) sesuai ditumbuhkan pada media campuran pasir dengan arang sekam dengan pemberian zat pengatur tumbuh Rootone-F dengan dosis 100 mg/stek secara pasta. Jumlah daun yang dihasilkan dengan dosis 100 mg/stek secara pasta lebih banyak dibandingkan dosis lainnya (Wiriyanti, 2004). Persentase Stek Berakar Pengamatan terhadap persentase stek berakar dilakukan pada akhir pengamatan, yaitu pada 8 MST. Pada Tabel 12 terlihat bahwa metode aplikasi zat pengatur tumbuh yang diberikan mampu merespon pertumbuhan akar, jumlah akar dan panjang akar yang dihasilkan pada 8 MST. Perlakuan pasta memberikan nilai tertinggi (83,3%) dibandingkan perlakuan lainnya, nilai ini sangat berpangaruh nyata terhadap perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan dalam tingkat konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan saja, dimana konsentrasi pasta lebih tinggi jika dibandingkan dengan lainnya. Tingkat konsentrasi yang berbeda memberikan respon yang berbeda pula terhadap persentase stek berakar ini. Leopold (1963) memberikan penjelasan bahwa pengaruh pemberian suatu konsentrasi zat
pengatur tumbuh yang berbeda – beda untuk setiap jenis tanaman, bahkan berbeda pula antar varietas dalam suatu spesies. Diduga metode aplikasi zat pengatur tumbuh secara pasta mampu menahan auksin lebih lama pada stek karena tidak mudah terbawa air. Faktor lainnya dijelaskan oleh Leopold (1963) bahwa keefektifan penggunaan zat pengatur tumbuh sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan selain itu juga dipengaruhi faktor fisiologi tanaman itu sendiri, seperti macam stek, posisi awal stek pada tanaman induk itu dan lain lain. Tabel 12. Pengaruh Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Rataan Persentase Stek Berakar (%), Jumlah Akar dan Panjang Akar (cm) Pada 8 MST. Aplikasi Rootone–F 8 MST (%) ---------- Persentase Stek Berakar (%)---------Tanpa Rootone–F 16.7c Rendam 50.0b Celup cepat 50.0b Pasta 83.3a ---------- Rataan Jumlah Akar---------Tanpa Rootone–F 0.8c Rendam 2.0b Celup cepat 2.3b Pasta 4.0a ---------- Rataan Panjang Akar (cm)---------Tanpa Rootone–F 2.1c Rendam 4.9b Celup cepat 5.3b Pasta 10.5a Keterangan : Angka rataan yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada setiap tolak ukur, tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda pada taraf 1%.
Stek yang tidak mampu menghasilkan akar akan mengalami kehabisan cadangan makanan sehingga kering dan mati, ini ditunjukan data dalam Tabel 12, dimana stek yang mampu berakar sangat rendah, nilai terendah ditunjukan perlakuan metode tanpa Rootone–F (16,7%), hal ini diduga stek yang ditanam membutuhkan tambahan hormon tumbuh. Menurut Widyastoety dan Soebijanto (1988) aplikasi 50 ppm dan 100 ppm IBA pada stek kembang sepatu menghasilkan persentase stek berakar tertinggi.
Jumlah Akar Pengamatan terhadap jumlah akar ini dilakukan pada akhir percobaan yaitu pada 8 MST, didapat bahwa perlakuan tunggal metode aplikasi zat pengatur tumbuh menunjukan perlakuan pasta memberikan hasil terbaik nyata terhadap jumlah stek yang dihasilkan dibanding perlakuan lainnya. Kemampuan menghasilkan jumlah akar yang lebih besar ini diduga karena perlakuan pasta merespon stek terbaik dibanding perlakuan lainnya. Leopold (1963) memberikan penjelasan bahwa pengaruh pemberian konsentrasi suatu konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda – beda untuk setiap jenis tanaman, bahkan berbeda pula antar varietas dalam suatu spesies. Wattimena (1992) menambahkan pemberian auksin akan mendorong pertumbuhan primordia akar, pemberian konsentrasi auksin yang tinggi akan menyebabkan terhambatnya perpanjangan akar tetapi meningkatkan jumlah akar. Ujung batang stek hidup yang tidak berakar, terlihat membentuk benjolan membesar yang disebut primordia akar. Menurut Hartman dan Kester (1978), tahap awal pembentukan akar adalah diferensiasi jaringan meristem menjadi primordia akar. Dari Tabel 12, didapat bahwa perlakuan aplikasi tanpa Rootone–F menghasilkan nilai terendah (0,8 buah) dibandingkan nilai dari perlakuan yang lainnya. Ini diduga hormon yang terdapat dalam stek secara alami belum mampu untuk merespon pembentukan akar, dibutuhkan hormon tambahan yang didapat dari pemberian zat pengatur tumbuh. Berdasarkan hasil penelitian Rasidi (1996) perlakuan IBA berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah akar kentang yang dihasilkan, dimana penambahan konsentrasi IBA akan meningkatkan jumlah akar kentang yang dihasilkan. Salim (1996) menambahkan perlakuan IAA yang diberikan meningkatkan jumlah akar yang dihasilkan seiring dengan peningkatan konsentrasinya. Panjang Akar Pengamatan terhadap panjang akar ini dilakukan pada akhir percobaan yaitu pada 8 MST, pada Tabel 12 terlihat perlakuan metode aplikasi pasta memberikan nilai tertinggi (10.5 cm) terhadap rataan jumlah akar yang dihasilkan,
nilai ini berpengaruh sangat nyata terhadap hasil dari perlakuan lainnya. Sedangkan nilai terendah dihasilkan oleh perlakuan tanpa Rootone–F (2.1 cm). Hal ini diduga dikarenakan konsentrasi yang diberikan memberikan pengaruh terhadap panjang akar yang dihasilkan. Pengaruh auksin sangat berpengaruh terhadap perakaran yang dihasilkan. Wattimena (1988) menyebutkan auksin berperan dalam pembesaran sel dan selang konsentrasi yang mendorong pembesaran sel pada akar sangat rendah. Panjang akar yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan dengan panjang akar yang dihasilkan pada percobaan I. Kemampuan zat pengatur tumbuh Rootone-F pada dosis tertentu dapat menginduksi jumlah akar adventif cangkokan, tetapi setelah mencapai batas optimal maka pemberian zat pengatur tumbuh yang berlebih akan menghambat proses pemanjangan akar adventif pada tanaman gaharu (Noviana, 2005). Panjang akar untuk stek dengan perlakuan metode aplikasi zat pengatur tumbuh Rootone–F terlihat pada Gambar 2.
(a)
(b)
Gambar 2. Panjang Akar Yang Dihasilkan Oleh Stek Pada Perlakuan Tunggal Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F : (a) Perlakuan Metode Aplikasi Pasta; (b) Perlakuan Metode Aplikasi Celup Cepat.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Perlakuan metode aplikasi zat pengatur tumbuh secara pasta yang diberikan berpengaruh sangat nyata terhadap panjang tunas yang dihasilkan pada 2 MSP dan 4 MST dan terhadap jumlah daun yang dihasilkan. Namun tidak berpengaruh nyata terhadap peubah lainnya. Metode aplikasi Rootone–F dalam bentuk pasta yang digunakan pada bahan stek batang dadap merah (Erytrina Chrystagalli) mampu meningkatkan keberhasilan stek dan memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan bahan stek bila dibandingkan dengan bahan stek yang diinduksi perlakuan lainnya. Perlakuan induksi suhu berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah percobaan (persentase stek hidup, persentase stek berakar, persentase stek bertunas, panjang tunas, jumlah tunas, panjang akar, jumlah akar dan jumlah daun). Perlakuan induksi suhu yang diberikan memberikan kecepatan induksi akar dan tunas yang berbeda dimana perlakuan induksi suhu kamar merupakan perlakuan terbaik bagi semua peubah percobaan. Terdapat interaksi antara perlakuan induksi suhu dengan metode aplikasi zat pengatur tumbuh terhadap semua peubah yang diamati, kecuali pada persentase stek hidup pada 4 MST, persentase stek tunas pada 2 MSP dan pada jumlah tunas pada 2 MSP dan 4 MST. Perlakuan tunggal metode aplikasi zat pengatur tumbuh pada percobaan II berpengaruh nyata terhadap semua peubah percobaan, kecuali pada stek hidup pada 2, 3, 5 sampai 8 MST dan pada jumlah tunas pada 2 MST. Metode aplikasi Rootone–F pasta memberikan nilai terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan stek di rumah kaca. Secara keseluruhan pembiakan vegetatif melalui stek pada tanaman dadap (Erytrina Chrystagalli) dapat dijadikan suatu usaha pembibitan, dengan menggunakan kombinasi induksi suhu kamar dengan metode aplikasi Rootone–F secara pasta .
Saran 1. Untuk percobaan selanjutnya sebaiknya jumlah minggu pengamatannya diperpanjang dengan ulangan dan satuan percobaan yang lebih besar. 2. Penggunaan zat pengatur tumbuh yang lain (misal IBA, IAA) pada berbagai tingkatan konsentrasi yang berbeda – beda agar diketahui konsentrasi yang lebih cocok dalam pembiakan vegetatif melalui stek terutama pada stek dadap Merah (Erytrina Chrystagalli).
DAFTAR PUSTAKA Agung, S. K. 2003. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Rootone-F dan NAA Terhadap Keberhasilan Tumbuh Stek Manglid. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. 58 hal. Anggraini, Y. N. 2000. Pengaruh Media Simpan, Ruang Simpan dan Lama Penyimpanan Propagul Terhadap Viabilitas Benih Rhizophora apiculata. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. 65 hal. Arifin, H. S. 2004. Tanaman Hias Tampil Prima. Penebar Swadaya. Jakarta. 167 hal. Audus, L. J. 1953. Plant Groeth Substance. Intersci. Publ., inc., New York. 512p. Briggs, G. B. And C. L. Calvin. 1987. Indoors Plants. John Wiley and Sons. New York. 516 p. Conover, C. A. 1992. Foliege plant. In : R. A. Larson (ed.). Introduction to Floriculture. Second Edition. Acad. Press. USA. p. 571-598. Courtier, J. S. 1993. Growing Indoor Plants. Ward Lock Ltd. Britain. 96p. Danu, Dharmawati, F. J. dan Dody H. A. 1996. Pengaruh bahan stek, media dan zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan Enterolobium cyclocarpum. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor. Hal : 5 – 9. Douglas, J. S. 1985. Advanced Guide to Hydroponics (Soiless Cultivation). Pelham Books Ltd. London. 368p. Fathy, R. 2002. Studi Fenologi Tanaman Hias Peneduh. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. 62 hal. Gantini, M. N. 2000. Studi Penataan dan Pemeliharaan Indoor Garden (Taman Dalam Ruang) Di Kotamadya Bandung. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. 79 hal. Handoko, J. 1996. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Persentase Stek Buluh Satu Bambu Ampel (Bambusa vulgaris) Pada Kultur Air. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. 88 hal. Hartmann, H. T. and D. E. Kester. 1983. Plant Propagation Principle and Practise. Fourth Edition. Pentice Hall, Inc. Englewood, New Jersey. 538p.
Hartmann, H. T. and D. E. Kester and F. T. Davies. 1990. Plant Propagation Principle and Practise. Pentice Hall, Inc. Englewood, New Jersey. Kaosard, A. 1981. Vegetative Propagation of Forrest Trees. McGraw – Hill Book Company, Inc. New York. 356p. Kramer, P. J. and T. T. Kozlowski. 1960. Phsiology of Trees. Mc Graw-Hill Book Co. Inc. New York. 642p. Leopold, A. C. 1963. Auxin and Plant Growth. University California Press. Berkeley. Los Angeles. 343p. Manaker, G. H. 1981. Interior Plantscapes installation; Maintanence and Management. Prentice Hall Inc., Engelwood Cliffs. New Jersey. 283p. Manurung, S. O. 1987. Status potensi zat pengatur tumbuh serta prospek penggunaan rootone–f dalam perbanyakan tanaman. Departemen Kehutanan. Jakarta. Hal 18 – 24. Marwanti, F. 1994. Pengaruh Rhizopan AA, Rhizopan B, Stim-Root dan Rootone-F Terhadap Perakaran dan Pertumbuhan Stek Melati (Jasminum sambac Ait var. “grand Duke of tuscany”). Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. 52 hal. Nadiroh. 2003. Pengaruh Dosis Rootone-F dan Jenis Media Stek Terhadap Pertumbuhan Stek Pucuk sentang (Tripochitan scleroxylon). Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. 66 hal. Nazarudin. 1994. Penghijauan Kota. Penebar Swadaya. Jakarta. 80 hal. Noviana, U. A. 2005. Pengaruh Dosis Rootone-F Terhdap Keberhasilan Cangkokan Gaharu. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas kehutanan. IPB. 58 hal. Pebrijanti, D. E. 1999. Pengaruh Dosis Rootone-F, Jenis Media dan Posisi Bahan Stek Terhadap Pertumbuhan Stek Batang Pulai. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. 52 hal. Rasidi, E. 1996. Pengaruh Taraf IBA dan Nitrogen Terhadap Produksi Bibit Kentang (Solanum Tuberosum) Siap Tanam. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. 52 hal. Rochiman, K. dan S. S. Harjadi. 1973. Pembiakan Vegetatif. Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 72 hal. Salim, S. 1996. Pengaruh Thidiazhuron Dan IAA Terhadap Multiplikasi Eksplan Pucuk Dracaena congesta Dalam Kultur In Vitro. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. 63 hal.
Sidharta, A. A. 1992. Pengaruh Aksin NAA, IBA, IAA dan Sitokinin 2ip Terhadap Pengakaran Asparagus officinalis secara in vitro. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. 40 hal. Smith, W. T. M. dan I. Yasman. 1986. Pedoman Sistem Cabutan Bibit Dipterocarpaceae. Tenaga Ahli Departemen Kehutanan. Agricultural University Wageningen. Penerbit Asosiasi Panel Kayu Indonesia. 12 hal. Soerianegara, I. dan E. Djamhuri. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 125 hal. Soeseno, S. 1993. Pemeliharaan Tanaman Hias Ruangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 51 hal. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. 591 hal. Suryowinoto, S. M. 1995. Flora Eksotika Tanaman Peneduh. Penerbit Kansius. Yogyakata. 220 hal. Susanti, D. 2003. Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh NAA Dan IBA Serta Lama Perendaman Terhadap Perakaran Stek Anyelir (Dianthus caryophyllus). Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. 39 hal. Van Steenis, C. G. G. J. 2003. Flora. PT. Aka. Jakarta. 165 hal. Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 145 hal. -------------------. 1992. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 309 hal. Weaver, J. R. 1972. Plant Growth Substance in Agriculture. University of California, Davies. W. H. Freeman and Co., San Fransisco. 594 p. Whitmore, T. C. 1972. Tree Flora of Malaya. Vol 1. Longman Group Limited. London. 235 p. Wiriyanti, D. 2004. Pertumbuhan Stek Akar Mimba (Azadirachta indica) pada berbagai media dan dosis Rootone-F. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. 28 hal. Widyastoety, D dan Soebijanto. 1988. Perakaran Stek Tanaman Kembang Sepatu (Hibiscus rosasinensis). Buletin Penelitian Hortikultura XVI (1) : 79-88. Wudianto, R. 1996. Membuat Stek, Cangkok dan Okulasi. Penebar Swadaya. Jakarta. 172 hal.
LAMPIRAN Percobaan I (Perlakuan Induksi induksi suhu dan Metode Aplikasi Terhadap Induksi Akar dan Tunas Stek Dadap Merah) Tabel Lampiran1. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan induksi suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Persentase Stek Hidupa (%). Minggu
2 MSP
4 MST
6 MST
Sumber Keragaman Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi
Derajat Bebas 5 2 10 3 6 45 71 5 2 10 3 6 45 71 5 2 10 3 6 45 71
Jumlah Kuadrat 0 0 0 0 0 0 0 2,49 4,99 4,99 3,05 6,11 35,79 55,45 428,89 2764,47 744,39 22,84 1279,69 1840,17 7079,85
Kuadrat Tengah 0 0 0 0 0 0
F. Hitung 0 0 0 0 0
Pr > F 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
KK 0,00
0,49 2,98 2,49 1,02 1,02 0,79
0,63 5 3,14 1,28 1,28
0,6793 0,0313 0,0529 0,2930 0,2861
1,91
85,66 1382,24 74,44 7,61 213,28 40,89
2,09 18,57 1,82 0,19 5,22
0,0836 0,0004 0,0842 0,9053 0,0004
24,95
(Data ditransformasi menggunakan • x + 0,5)
Tabel Lampiran 2. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan induksi suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Persentase Stek Bertunasa (%). Minggu
2 MSP
4 MST
Sumber Keragaman Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi
Derajat Bebas 5 2 10 3 6 45 71 5 2 10 3 6 45 71
Jumlah Kuadrat 105,11 4706,35 386,13 68,66 231,83 1204,99 6703,08 194,26 492,96 248,85 78,16 721,87 978,52 2714,63
Kuadrat Tengah 21,02 2353,17 38,61 22,89 33,64 26,78
F. Hitung 0,79 60,94 1,44 0,85 1,44
Pr > F 0,5659 0,0001 0,1934 0,4715 0,2197
KK 24,21
38,85 246,48 24,89 26,05 123,31 21,74
1,79 9,90 1,14 1,20 5,53
0,1349 0,0042 0,3523 0,3213 0,0002
4,66
Minggu
6 MST
Sumber Keragaman Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi
Derajat Bebas 5 2 10 3 6 45 71
Jumlah Kuadrat 452,12 1242,72 487,89 104,03 2143,68 1655,96 6086,41
Kuadrat Tengah 90,42 621,36 48,79 34,68 357,28 36,79
F. Hitung 2,46 12,74 1,33 0,94 9,71
Pr > F 0,0473 0,0018 0,2463 0,4282 0,0001
KK 6,07
(Data ditransformasi menggunakan • x + 0,5) Tabel Lampiran 3. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan induksi suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Jumlah Tunasa . Minggu
2 MSP
4 MST
6 MST
Sumber Keragaman Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi
Derajat Bebas 5 2 10 3 6 45 71 5 2 10 3 6 45 71 5 2 10 3 6 45 71
Jumlah Kuadrat 0,15 9,18 0,52 0,34 0,58 5,83 16,59 0,83 6,66 1,28 0,57 2,19 7,39 18,93 1,55 3,25 1,22 1,23 3,38 7,68 18,30
Kuadrat Tengah 0,03 4,59 0,05 0,11 0,09 0,13
F. Hitung 0,23 88,32 0,4 0,87 0,75
Pr > F 0,948 0,0001 0,9391 0,4638 0,6128
KK 34,69
0,17 3,33 0,13 0,19 0,37 0,16
1,01 26,06 0,78 1,15 2,23
0,4224 0,0001 0,6490 0,3375 0,0575
18,38
0,31 1,62 0,12 0,41 0,56 0,17
1,81 9,51 0,72 2,40 3,30
0,1294 0,0004 0,7042 0,080 0,0089
18,19
(Data ditransformasi menggunakan • x + 0,5) Tabel Lampiran 4. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan induksi suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Panjang Tunasa (cm). Minggu
2 MSP
Sumber Keragaman Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi
Derajat Bebas 5 2 10 3 6 45 71
Jumlah Kuadrat 0,24 26,37 0,42 1,25 1,91 3,02 33,19
Kuadrat Tengah 0,05 13,18 0,04 0,42 0,32 0,07
F. Hitung 0,71 317,03 0,62 6,2 4,74
Pr > F 0,6173 0,0001 0,7889 0,0013 0,0008
KK 20,29
Minggu
4 MST
6 MST
Sumber Keragaman Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi
Derajat Bebas 5 2 10 3 6 45 71 5 2 10 3 6 45 71
Jumlah Kuadrat 0,18 1,02 0,32 5,59 0,93 2,67 10,71 5,56 14,09 7,92 0,34 18,39 21,04 66,33
Kuadrat Tengah 0,04 5,12 0,03 1,86 0,16 0,06
F. Hitung 0,6 16,2 0,53 31,39 2,61
Pr > F 0,6996 0,0007 0,86 0,0001 0,0293
KK 9,37
0,91 7,05 0,79 0,11 3,06 0,17
1,95 8,9 1,69 0,24 6,55
0,1 0,006 0,11 0,87 0,0001
39,85
(Data ditransformasi menggunakan • x + 0,5) Tabel Lampiran 5. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan induksi suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Jumlah Daun. Minggu
4 MST
6 MST
Sumber Keragaman Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi
Derajat Bebas 5 2 10 3 6 45 71 5 2 10 3 6 45 71
Jumlah Kuadrat 17,78 1159,36 74,81 872,17 1263,08 270,75 3667,94 14,50 1119,24 170,75 819,00 1074,75 333,75 3532,00
Kuadrat Tengah 3,56 579,68 7,48 290,72 210,51 6,02
F. Hitung 0,59 77,49 1,24 48,32 34,99
Pr > F 0,7068 0,0001 0,2908 0,0001 0,0001
KK 32,58
2,90 559,63 17,08 273,00 179,13 7,41
0,39 75,46 2,30 36,81 24,15
0,8524 0,0001 0,0278 0,0001 0,0001
24,03
Tabel Lampiran 6. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan induksi suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Persentase Stek Berakara (%). Minggu
6 MST
Sumber Keragaman Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi
Derajat Bebas 5 2 10 3 6 45 71
Jumlah Kuadrat 366,93 1264,23 339,78 17,71 1038,84 3027,48 3865,63
(Data ditransformasi menggunakan • x + 0,5)
Kuadrat Tengah 73,39 632,11 33,98 5,90 173,14 18,63
F. Hitung 3,94 18,60 1,82 0,32 9,30
Pr > F 0,0048 0,0004 0,0001 0,8313 0,0001
KK 19,16
Tabel Lampiran 7. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan induksi suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Jumlah Akara. Minggu
6 MST
Sumber Keragaman Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi
Derajat Bebas 5 2 10 3 6 45 71
Jumlah Kuadrat 0,66 8,75 0,76 0,07 2,20 3,790 16,220
Kuadrat Tengah 0,13 4,38 0,08 0,02 0,37 0,08
F. Hitung 1,56 57,96 0,9 0,27 4,36
Pr > F 0,1915 0,0001 0,5433 0,8502 0,0015
KK 23,52
(Data ditransformasi menggunakan • x + 0,5) Tabel Lampiran 8. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan induksi suhu dan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Panjang Akara (cm). Minggu
6 MST
Sumber Keragaman Ulangan A Galat (A) B A*B Galat (b) Total Terkoreksi
Derajat Bebas 5 2 10 3 6 45 71
Jumlah Kuadrat 8,02 25,86 10,32 3,22 16,79 31,93 96,16
Kuadrat Tengah 1,60 12,94 1,03 1,07 2,79 0,71
F. Hitung 2,26 12,54 1,45 1,51 3,94
Pr > F 0,0644 0,0019 0,1887 0,2200 0,0030
KK 39,51
(Data ditransformasi menggunakan • x + 0,5) Percobaan II (Perlakuan Tunggal Metode Aplikasi Terhadap Induksi Akar dan Tunas Stek Dadap Merah) Tabel Lampiran 9. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Persentase Stek Hidup (%). MST 2 3 4 5 6
7 8
Sumber Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi
DB 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23
JK 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1783.33 5400.00 7183.33 2000.00 10533.33 125333.33 3516.67 18866.67 22383.33
Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi
3 20 23 3 20 23
3533.33 19600.00 23133.33 3533.33 19600.00 23133.33
KT 0.00 0.00
F.Hit -
Pr > F -
KK 0.00
0.00 0.00
-
-
0.00
594.44 270.00
2.20
0.1195
19.52
666.67 526.67
1.27
0.3130
29.93
1172.22 943.33
1.24
0.3206
44.41
1177.77 980.00
1.20
0.3346
45.81
1177.77 980.00
1.20
0.3346
45.81
Tabel Lampiran 10. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Persentase Stek Bertunas (%). MST 2 3 4 5 6 7 8
Sumber Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi
DB 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23
JK 1666.67 3866.67 5533.33 6533.33 6000.00 12533.33 11533.33 2266.67 13800.00 9383.33 3400.00 12783.33 8133.33 7600.00 1573.33 5000.00 16800.00 21800.00 4933.33 17200.00 22133.33
KT 555.56 193.33
F.Hit 2.87
Pr > F 0.0619
KK 43.91
2177.78 300.00
7.26
0.0018
37.12
3844.44 113.33
33.92
0.0001
23.66
3127.78 170.00
18.40
0.0001
26.52
2711.11 380.00
7.13
0.0019
41.77
1666.67 840.00
1.98
0.1488
44.57
1644.44 860.00
1.91
0.1601
46.30
Tabel Lampiran 11. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Jumlah Tunas. MST 2 3 4 5 6 7 8
Sumber Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi
DB 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23
JK 7.00 24.33 31.33 11.46 25.17 36.63 63.67 61.67 125.33 182.23 81.00 263.33 573.67 85.67 659.33 1284.83 249.00 1533.83 1668.13 329.83 1997.96
KT 2.33 1.21
F.Hit 1.92
Pr > F 0.1592
KK 47.27
3.82 1.26
3.04
0.0531
39.02
21.22 3.08
6.88
0.0023
40.52
60.78 4.05
15.01
0.0001
34.49
191.22 4.28
44.64
0.0001
25.34
428.18 12.45
34.40
0.0001
26.29
556.04 16.49
33.72
0.0001
25.05
Tabel Lampiran 12. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Panjang Tunas (cm).
MST 2 3 4 5 6 7 8
Sumber Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi
DB 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23
JK 29.81 20.24 50.04 25.14 19.60 44.74 36.94 14.83 51.76 76.25 5.73 81.98 88.75 23.94 112.69 51.28 65.20 116.48 100.96 54.59 155.55
KT 9.93 1.01
F.Hit 9.82
Pr > F 0.0003
KK 29.61
8.38 0.98
8.55
0.0007
22.61
12.31 0.74
16.61
0.0001
20.58
25.42 0.29
88.80
0.0001
11.94
29.58 1.19
24.71
0.0001
25.39
17.09 3.26
5.24
0.0078
36.15
33.54 2.72
12.33
0.0001
31.63
Tabel Lampiran 13. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Jumlah daun. MST 2 3 4 5 6 7 8
Sumber Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi Model Galat Total Terkoreksi
DB 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23 3 20 23
JK 99.00 153.00 252.00 229.50 57.00 286.50 409.50 606.33 1015.33 745.50 1032.33 1777.83 1289.67 1737.67 3027.33 1501.00 2018.33 3519.33 3006.67 4642.67 7349.33
KT 33.00 7.65
F.Hit 4.31
Pr > F 0.0168
KK 45.37
76.50 2.85
26.84
0.0001
27.01
136.50 30.32
4.50
0.0143
57.45
248.50 51.61
4.81
0.0111
51.72
429.89 86.88
4.95
0.0099
52.03
500.33 100.91
4.96
0.0098
43.05
1002.22 217.13
4.62
0.0130
46.53
Tabel Lampiran 14. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Persentase Stek Berakar (%). MST 8
Sumber Model Galat Total Terkoreksi
DB 3 20 23
JK 12050.00 3933.33 15983.33
KT 4016.67 196.67
F.Hit 20.42
Pr > F 0.0001
KK 28.52
Tabel Lampiran 15. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Jumlah Akar. MST 8
Sumber Model Galat Total Terkoreksi
DB 3 20 23
JK 38.16 13.50 51.63
KT 12.71 0.67
F.Hit 18.83
Pr > F 0.0001
KK 34.59
Tabel Lampiran 16. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Metode Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Rootone–F Terhadap Panjang Akar (cm) MST 8
Sumber DB JK KT Model 3 244.69 81.57 Galat 20 42.00 2.10 Total Terkoreksi 23 286.69 Keterangan : ”...a...” : Data hasil transformasi menggunakan (• x+0,5) MST : Minggu Setelah Tanam MSP : Minggu Setelah Penyimpanan DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadrat KT : Kuadrat Tengah KK : Koefisien Korelasi
F.Hit 38.84
Pr > F 0.0001
KK 24.95
Gambar Bunga Dadap Merah
Gambar Pohon Dadap Merah