PENGARUH FREKUENSI DAN CARA APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Beauveria Bassiana TERHADAP TINGKAT SERANGAN HAMA BOLENG PADA UBI JALAR Tantawizal, Marida Santi YIB dan Yusmani Prayogo*) Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jln. Raya Kendalpayak Km 8, Kotak Pos 66. Malang, Indonesia *) E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Cylas formicarius merupakan hama utama yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas umbi ubi jalar. Beauveria bassiana merupakan cendawan entomopatogen yang efektif mengendalikan hama dari ordo Coleoptera. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan frekuensi dan cara aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana yang efektif. Penelitian dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) pada bulan Januari sampai September 2012. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok, diulang tiga kali. Perlakuan adalah aplikasi satu kali, dua kali, tiga kali, lima kali dan enam kali, pengendalian menggunakan insektisida, dan tanpa pengendalian (kontrol). Hasil penelitian menunjukkan semakin sering aplikasi cendawan semakin rendah kerusakan umbi, populasi telur, larva, dan imago. Perlakuan pratanam (aplikasi seminggu sebelum tanam dan stek dicelupkan pada suspensi cendawan sebelum tanam tidak berpengaruh terhadap tingkat kerusakan umbi, populasi telur, larva, dan imago. Oleh karena itu, untuk menekan kerusakan umbi akibat serangan C. formicarius dapat dilakukan dengan aplikasi cendawan B. bassiana dengan frekuensi paling kurang empat kali. Kata kunci: Cylas formicarius, Beauveria bassiana, ubi jalar, frekuensi aplikasi, cara aplikasi.
ABSTRACT Frequency and application method effect of B. bassiana which effective to control sweet potato weevil. Sweet potato weevil, Cylas formicarius is major pest which reduce sweet potato tuber quality and quantity. The use of entomopathogenic fungi become one integrated control component to control C. formicarius. Beauveria bassiana is known effective to control pest from ordo Coleoptera. This research objective is to examine the frequency and application method of B. bassiana which effective to control C. formicarius. The research was laid on Completely Randomized Design, three time application on Balitkabi screen house from Januari to September 2012. As treatments are B. bassiana application frequency; one, two, three, four, and six times, insecticide application, and without control action. The result showed that the more the entomopatogen application, the lower the tuber damage, larva population, larva and imago number. However pre planting treatment given no effect on level of tuber and population of eggs, larva and imago. In conclusion to suppress the tuber damage caused by C. formicarius can be done by the application of B. bassiana at least four times. Keywords: Cylas formicarius, Beauveria bassiana, sweetpotato, frequency, application methods.
PENDAHULUAN Ubi jalar merupakan salah satu tanaman pangan penghasil karbohidrat peringkat keempat setelah padi, jagung dan ubi kayu (Zuraida 2003). Data FAO (2004) menunjukkan
662
Tantawizal et al.: Aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana dan serangan hama boleng
bahwa sebagai negara penghasil ubi jalar, Indonesia menduduki peringkat keempat di bawah Cina, Uganda, dan Nigeria. Salah satu kendala dalam mempertahankan produktivitas dan kualitas ubi jalar adalah serangan hama Cylas formicarius (Coleoptera: Curculionidae). Hama ini dikenal sebagai hama boleng atau lanas. Hampir di semua negara penghasil ubi jalar, hama boleng merupakan hama utama baik saat budidaya maupun di gudang penyimpanan (Capinera 2003). Hama boleng C. formicarius merupakan salah satu serangga penggerek umbi ubijalar yang sangat penting dan tersebar di seluruh dunia (Capinera 1998). Kerusakan awal terjadi ketika imago meletakkan telur pada permukaan kulit umbi dengan membentuk lubang gerekan. Setelah telur menetas menjadi larva, larva akan menyerang umbi sehingga umbi akan mempunyai bau yang tidak enak dan rasa umbi menjadi pahit akibat senyawa furanoterpen, coumarin, dan polifenol (Waluyo dan Imam 1993). Pada serangan berat biasanya umbi menjadi busuk dan tidak layak dikonsumsi lagi (Amalin dan Vasques 1993). Pengendalian dengan insektisida kimia kurang efektif karena hama ini makan dan berkembang di dalam umbi (Nonci 2005). Penggunaan insektisida kimia yang berlebihan dan kurang bijaksana akan menimbulkan masalah lingkungan terutama meningkatnya resistensi hama sasaran, ledakan populasi hama bukan sasaran yang berbahaya, terbunuhnya musuh alami dan serangga berguna lainnya, tercemarnya tanah dan air, menurunnya biodiversitas, dan bahaya keracunan pada manusia yang melakukan kontak langsung dengan insektisida kimia (Soetopo dan Indrayani 2007). Selain itu pengendalian menggunakan insektisida kimia dinilai kurang efektif karena perilaku imago C. formicarius yang masuk ke dalam tanah untuk meletakkan telur pada umbi. Dengan demikian, struktur populasi di lapangan yang selalu tumpang tindih ada telur, larva maupun imago karena insektisida kimia tidak dapat bersifat ovisidal. Oleh karena itu, pengendalian menggunakan cendawan entomopatogen yang mampu menginfeksi semua stadia serangga sangat dianjurkan (Jansson 1991). Oleh karena itu, perlu dicari alternatif teknologi pengendalian hama yang lain untuk menekan penggunaan insektisida kimia, Salah satu alternatif pengendalian hama adalah memanfaatkan peran agens hayati seperti cendawan entomopatogen (Soetopo dan Indrayani 2007). Salah satu cendawan entomopatogen yang sangat potensial dalam pengendalian hama di lapangan adalah Beauveria bassiana. B. bassiana adalah cendawan entomopatogen yang memiliki kisaran inang yang luas (Lord 2001), memiliki strain (isolat) yang beragam, mampu menginfeksi hama pada berbagai umur dan stadia perkembangan serta menimbulkan epizootic alami (Meyling dan Eilenberg 2007). Cendawan entomopatogen yang efektif untuk mengendalikan C. formicarius adalah B. bassiana (Gayathri et al. 2010). Pada tahun 2010, hasil seleksi terhadap 15 isolat cendawan entomopatogen B. bassiana telah diperoleh tiga isolat yang efektif untuk mengendalikan hama boleng C. formicarius dengan kerapatan konidia 108/ml (Prayogo 2011). Menurut Simazhu (2004), Tarafdar & Sarkar (2005) dan Melying et al. (2006), efikasi cendawan B. bassiana dalam mengendalikan berbagai jenis hama dipengaruhi oleh cara dan frekuensi aplikasi di lapangan karena setiap jenis hama memiliki perilaku yang berbeda-beda. Lebih lanjut dilaporkan bahwa aplikasi B. bassiana melalui daerah perakaran tanaman mampu menekan kerusakan tanaman akibat C. formicarius. Namun populasi C. formicarius di lapangan masih banyak dijumpai pada waktu panen karena
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
663
imago C. formicarius meletakkan telurnya juga pada tungkai daun. Oleh karena itu, aplikasi yang tepat untuk menekan populasi C. formicarius sangat dianjurkan karena cendawan B. bassiana dapat menekan populasi telur (fekunditas) serangga dan jumlah telur yang menetas (Ondioka et al. 2008). Mengingat seekor imago C. formicarius mampu memproduksi telur hingga mencapai 200 butir (Capinera 1998), maka frekwensi dan cara aplikasi yang tepat dapat meningkatkan efikasi pengendalian. Frekwensi dan cara aplikasi yang tepat untuk mengendalikan C. formicarius belum dilaporkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan frekuensi dan cara aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana yang efektif.
BAHAN DAN METODE Kegiatan Laboratorium Pembiakan C. formicarius. Pembiakan C. formicarius dilakukan di laboratorium Entomologi, Balitkabi Malang mulai Bulan Januari sampai dengan Juli 2012 . Larva dan imago yang diperoleh dari umbi ubijalar yang diperoleh dari lapang (Kebun Percobaan Kendalpayak), larva dan atau imago dipelihara di toples yang ditutup kain kasa, pakan berupa umbi ubijalar diberikan 2 – 3 minggu sekali tergantung kondisi. Imago yang lahir dari larva dipindahkan ketoples yang baru untuk memperoleh keseragaman umur. Perbanyakan cendawan entomopatogen B. Bassiana. Isolat cendawan B. bassiana yang memiliki virulensi tertinggi hasil penelitian pada tahun 2011 dikulturkan pada media potato dextrose agar (PDA). Pada umur 21 hari setelah inokulasi (HIS), konidia yang terbentuk dikerok menggunakan kuas halus yang dicelupkan ke dalam air kemudian konidia dihitung menggunakan haemocytometer hingga memperoleh kerapatan konidia 108/ml. sebelum suspense konidiaB. bassiana diaplikasikan ditambahkan Tween 80 sebanyak 2 ml/1000 ml dan dikocok menggunakan shaker selama 30 menit. Kegiatan Lapang. Penelitian dilakukan di rumah kaca, Balitkabi Malang pada bulan Mei sampai dengan September 2012. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok, diulang tiga kali. Perlakuan adalah sebagai berikut: 1. Aplikasi (penyemprotan) suspensi konidia B. bassiana 108/ml satu minggu sebelum tanam 2. Stek ubi jalar dicelupkan suspense konidia B. bassiana selama 30 menit 3. Perlakuan 1 + perlakuan 2 4. Perlakuan 1 + perlakuan 2 + aplikasi 10 ml suspensi per pot ke tanah pada umur 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 minggu setelah tanam (MST) 5. Perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 MST 6. Perlakuan 1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada umur 4, 6, 8, 10, dan 12 MST 7. Perlakuan 1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada umur 4, 8, 12 MST 8. Perlakuan 1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada umur 4 dan 8 MST 9. Perlakuan 1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada umur 4 MST 10. Perlakuan 1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada umur 8 MST 11. Proteksi penuh dengan insektisida (bahan aktif karbofuran) 12. Kontrol (tanpa pengendalian). Stek ubijalar varietas Sari ditanam pada polybag berisi 5 kg tanah, pemupukan pengairan dan penyiangan dilakukan sesuai rekomendasi agronomi. Aplikasi dilakukan sesuai dengan jadwal, umur tanaman dan perlakuan masing-masing yaitu aplikasi suspensi 664
Tantawizal et al.: Aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana dan serangan hama boleng
konidia ke dalam tanah diberikan satu minggu sebelum tanam stek ubijalar. Dosis aplikasi 10 ml per pot yang diberikan ke dalam lubang calon stek dibenamkan, sedangkan perlakuan pencelupan stek dilakukan dengan cara seluruh permukaan stek direndam di dalam suspensi konidia B. bassiana selama 30 menit sebelum tanam. Infestasi imago betina C. formicarius 10 ekor ke pangkal batang ubi jalar pada umur 60 hari setelah tanam (HST) kemudian tanaman disungkup dengan kain kasa. Serangga uji yang digunakan untuk infestasi pada tanaman ubijalar adalah generasi F2 hasil pembiakan di laboratorium, yaitu imago yang berumur 10 hari baru terbentuk dari stadia pupa. Variabel yang diamati adalah : 1. Jumlah umbi total tiap tanaman, 2. Ukuran, dan berat umbi tiap tanaman 3. Tingkat kerusakan umbi (%) 4. Populasi telur C. formicarius 5. Populasi larvaC. formicarius 6. Populasi imago C. formicarius Kerusakan umbi akibat hama boleng dinilai dari Intensitas serangan hama C. formicarius. Skor serangan C. formicarius. dibagi dalam 5 tingkatan sebagai berikut: 0 = tanaman tidak terserang C. formicarius. dan tanpa gejala gerekan pada umbi 1 = tanaman terserang C. formicarius. ditandai dengan gejala adanya lubang bekas gerekan C. formicarius. dengan intensitas >0–25% 2 = tanaman terserang C. formicarius. ditandai dengan gejala adanya lubang bekas gerekan C. formicarius. dengan intensitas > 25 – 50% 3 = tanaman terserang C. formicarius. ditandai dengan gejala adanya lubang bekas gerekan C. formicarius. dengan intensitas >50 – 75%. 4 = tanaman terserang C. formicarius. ditandai dengan gejala adanya lubang bekas gerekan C. formicarius. dengan intensitas ≥76%. Dan umbi (abnormal) Intensitas serangan C. formicarius pada tanaman dihitung menggunakan rumus: (ni x vi) I=∑ x 100% ZN Keterangan : I = Intensitas serangan (%) ni = banyaknya umbi yang menunjukkan skor ke-i vi = skor umbi ke-i (i = 0 – 4 ) Z = skor tertinggi (4) N = banyaknya umbi yang diamati
HASIL DAN PEMBAHASAN Frekuensi dan cara aplikasi cendawan B. bassiana untuk mengendalikan C. formicarius pada ubijalar tidak berpengaruh terhadap jumlah umbi, ukuran umbi, dan berat umbi tiap tanaman, karena investasi C. fomicarius dilakukan pada saat umbi sudah terbentuk,tetapi berpengaruh pada tingkat kerusakan umbi (%), populasi telur, larva dan imago C. formicarius.Sedangkan mortalitas imago C. formicarius yang diinvestasikan pada semua perlakuan tidak ditemukan adanya imago yang mati atau bangkai imago yang terinfeksi
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
665
cendawan dipermukaan tanah, diduga imago berhasil masuk ke dalam batang, tanah, atau umbi sebelum mati sehingga bangakainya tidak ditemukan. Tabel 1.
Pengaruh cara dan frekuensi aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana untuk mengendalikan hama boleng C. formicarius terhadap jumlah, panjang, diameter, dan berat umbi.
Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah umbi (buah) 8 abc 5c 12 a 11 ab 8 abc 5c 7 bc 8 abc 7 bc 6c 8 abc 8 abc
Panjang umbi (cm) 44,25 ab 40,50 ab 31,08 b 29,13 b 45,72 ab 54,45 a 44,35 ab 39,73 ab 33,12 b 42,98 ab 42,32 ab 38,13 ab
Diameter umbi (cm) 8,07 bc 13,23 a 7,86 bc 7,50 bc 7,02 c 9,33 bc 10,44 abc 9,09 bc 6,96 c 11,25 ab 9,64 abc 9,13 bc
Berat umbi (g) 197,47 bc 406,10 a 148,78 bc 133,33 c 192,03 bc 341,85 ab 299,57 abc 239,84 abc 137,30 c 339,25 ab 260,50 abc 294,80 abc
Angka sekolom yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda berdasarkan BNT 5% Keterangan perlakuan selengkapnya ada pada bahan dan metode.
Tabel 2. Persentase kerusakan umbi, populasi telur, larva dan imago C. Formicarius. Perlakuan
% kerusakan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
42,33 b 37,50 b 26,75 bc 5,33 g 9,17 fg 11,50defg 10,17efg 17,67 cdef 21,67cd 20,83 cde 20,83 cde 73,75 a
Populasi C. Formicarius (ekor/rumpun) Telur Larva Imago 0,67 a 18,33 bc 4,00 ab 2,00 a 18,50 b 1,50 bc 2,00 a 8,50 bcdef 1,75 bc 0,83 a 2,17f 0,00 c 4,75 a 9,83cdef 0,25 c 2,00 a 10,50bcde 0,00 c 1,83 a 4,67ef 0,00 c 3,33 a 8,92 bcdef 0,50 bc 3,50 a 15,17 bcd 1,33 bc 2,33 a 6,00ef 3,00 abc 4,67 a 7,17 def 1,83 bc 5,50 a 40,25 a 7,50 a
Angka sekolom yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda berdasarkan BNT 5% Keterangan perlakuan selengkapnya ada pada bahan dan metode.
Tingkat Kerusakan Umbi Berdasarkan hasil analisis menunjukkan cara dan frekwensi aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana berpengaruh terhadap tingkat kerusakan umbi, semakin banyak frekwensi aplikasi tingkat kerusakan umbi semakin rendah hal ini disebabkan tingginya frekwensi aplikasi mampu mempertahankan efektivitas B. bassiana dan untuk 666
Tantawizal et al.: Aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana dan serangan hama boleng
meningkatkan hasil pengendalian di lapang (Prayogo 2006), sehingga peluang imago untuk terinfeksi cendawan semakin tinggi dan menyebabkan populasi telur, larva dan pupa rendah yang menyebabkan kerusakan umbi yang ditimbulkan juga rendah. Sedangkan perlakuan pra tanam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kerusakan umbi hal ini disebabkan karena konidia yang diaplikasikan rusak atau mati akibat kondisi lingkungan sebelum menginfeksi serangga yang diinfestasikan pada umur 50 HST, pada perlakuan pestisida tingkat kerusakan umbi tidak berbeda dengan aplikasi cendawan satu kali, dan lebih rendah dari kontrol dan aplikasi pratanam (Tabel 2). Populasi telur C. formicarius Menurut Waluyo dan Prasadja (1993). telur berwarna putih jernih, berbentuk oval tak beraturan, berukuran panjang 0,65 mm dan lebar 0,46 mm. Populasi telur pada semua perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Hal ini disebabkan karena sebagian telur sudah menetas pada saat panen atau pengamatan. Populasi telur yang belum menetas tertinggi ditemukan pada perlakuan kontrol dan pengendalian menggunakan insektisida (Tabel 2). Populasi larva C. formicarius Larva yang baru terbentuk langsung menggerek batang, biasanya arah gerekan menuju umbi (Nonci 2005). Larva C. formicarius instar akhir berukuran panjang 7,50−8,00 mm dan lebar 1,80−2,00 mm, berwarna putih kekuningan. Populasi larva C. formicarius pada perlakuan cara aplikasi pra tanam lebih tinggi dibandingkan aplikasi cendawan atau setelah tanam, sedangkan aplikasi cendawan tidak berpengaruh nyata pada populasi larva. Hal ini disebabkan posisi larva yang berada di dalam umbi menyebabkan sulit terjadinya kontak dengan konidia cendawan yang diaplikasikan di tanah (Tabel 2). Selaras dengan pendapat Widodo et al. (1994) larva yang baru lahir akan mulai membentuk terowongan maka pengendalian hama boleng kemungkinan tidak efektif lagi. Populasi Imago C. formicarius Imago muda atau yang baru terbentuk berwarna putih krem, imago dewasa berukuran 5−7 mm, ramping, punggung keras, bentuk kepala memanjang ke depan dan tumpul. Kepala, sayap depan dan perut biru metalik. Kaki, thoraks, antena, dan tungkai cokelat kemerahan(Indiati dan Saleh 2010). Cara dan frekuensi aplikasi cendawan berpengaruh terhadap populasi imago. Aplikasi cendawan dengan frekuensi lebih dari dua kali mampu menekan populasi imago dibandingkan aplikasi pra tanam dan frekwensi aplikasi satu kali, hal ini disebabkan imago aktif bergerak sehingga peluang terjadinya kontak dengan konidia dan terinfeksi cendawan lebih besar. Semakin tinggi frekuensi aplikasi maka ketersediaan konidia di tanah semakin banyak yang memungkinkan peluang serangga terinfeksi lebih besar (Tabel 2). Karena dengan terjadinya kontak serangga dan konidia cendawan maka konidia cendawan akan menempel pada permukaan badan serangga selanjutnya akan terjadi penetrasi. Penetrasi cendawan ke dalam tubuh serangga bisa melalui proses mekanis dan kimia. Hal tersebut terjadi karena cendawan menghasilkan enzim tertentu, seperti enzim kitinase, glukanase, dan protease yang dapat meluruhkan kulit luar serangga. Setelah konidia tumbuh, miselium akan mengeluarkan senyawa aktif yang bersifat antibiosis yang dapat bersifat racun atau menghambat proses metabolisme di dalam serangga (Suwahyono 2009).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
667
KESIMPULAN 1. Aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana dengan cara menyemprotkan ke permukaan tanah dan bagian tanaman lebih efektif mengurangi kerusakan umbi dan populasi hama C. formicarius dibandingkan dengan cara aplikasi pra tanam. 2. Semakin tinggi frekuensi aplikasi cendawan B. bassiana tingkat kerusakan umbi dan populasi hama C. formicarius semakin rendah. 3. Pengendalian C. formicarius menggunakan cendawan B. bassiana dianjurkan diaplikasikan minimal lima kali untuk mendapatkan hasil yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA Amalin D. M, dan Vasquesz E.A. 1993. A Handbook on Philippine Sweet Potato Arthropod Pest and Their Natural Enemies. Internat Potato Centre (CIP), Los Banos, Philippines. Capinera, J. L. 2003. Sweet Potato Weevil, Cylas formicarius (Fabricius). Institute of Food and Agric Sci. University of Florida. 7 pp. Jansson, R. K., 1991.Biological control of Cylas spp. page: 169–201. In Jansson R. K., K. V. Raman (editors). Sweet Potato Pest Management: A Global Perspective. Westview press. Boulder, Colorado. Lord JC. 2001. Desiccant dusts synergize the effect of Beauveria bassiana (Hyphomycetes: Moniliales) on stored-grain beetles. J Econ Entomol 94: 367–372. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2004. FAO Statistic Year Production. http://www. fao.org diakses tanggal 15Desember 2012. Meyling, Nicolai V., and Eilenberg. 2007. Ecology of the entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae in temperate agroecosystems: Potential for conservation biological control. Biological control 43: 144–155. Nonci N. 2005. Bioekologi dan Pengendalian Kumbang Cylas formicarius Fabricus (Coleoptera: Curculionidae). J Litbang Pert 24: 63–69. Noya, S.H. 2009. Pathogenicity of Beauveria bassiana Isolates (Bals) Vuill on Cylas formicarius F. (Coleoptera: Curculionidae). Jurnal Budidaya Pertanian 5: 81–83. Ondioka, S., N. Maniania, G. Nyamasya, and J.N. deritu. 2008. Virulence of the entomopathogenic fungus Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae to sweet potato weevil C. formicarius and effects on fecundity and egg viability. Ann of Appl Biol 153: 41–48. Prayogo, Y. 2011. Efikasi beberapa isolat cendawan entomopatogen Beauveria bassiana yang diperoleh dari berbagai lokasi di Indonesia terhadap hama penggerek umbi Cylas formicarius (Coleoptera: Culculionidae) pada ubijalar. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2011. [belum diterbitkan]. Shimazu, M., 2004. A novel technique to inoculate conidia of entomopathogenic fungi and its aplication for investigation of susceptibility of the Japanese pine sawyer, Monochamus alternatus, to Beauveria bassiana. Appl Entomol Zoo 39:490–495. Soetopo, Deciyanto dan I, Indrayani. 2007. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan yang Ramah Lingkungan. Perspektif 6 (1): 29– 46. Tarafdar, J. And M.A. Sarkar. 2005. Managing sweet potato weevil Cylas formicarius Fabricius in West Bengal, India, by some chemicals bioproducts and sex pheromone trap. Congres Proc of The 2nd Internat. Symp on sweet potato and cassava: (innovative technologies for commercialization) (Kuala Lumpur, Malaysia. June 14–17, 2005). pp: 189–196. Waluyo dan Imam Prasidja. 1993. Pengaendalian Hama Lanas pada Ubi Jalar. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Balittan Bogor. Hlm. 1258–1259. Zuraida N. 2003. Ubi Jalar sebagai Suplemen Pangan Selama Masa Paceklik. J Litbang Pert 22: 150–155.
668
Tantawizal et al.: Aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana dan serangan hama boleng