UPAYA PENGENDALIAN HAYATI Helopeltis sp., HAMA PENTING TANAMAN Acacia crassicarpa DENGAN CENDAWAN Beauveria bassiana DAN Lecanicillium lecanii
SRI HASTUTI ANGGARAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Upaya Pengendalian Hayati Helopeltis sp., Hama Penting Tanaman Acacia crassicarpa dengan Cendawan Beauveria bassiana dan Lecanicillium lecanii adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2014
Sri Hastuti Anggarawati NIM A351100011
RINGKASAN SRI HASTUTI ANGGARAWATI. Upaya Pengendalian Hayati Helopeltis sp., Hama Penting Tanaman Acacia crassicarpa dengan Cendawan Beauveria bassiana dan Lecanicillium lecanii. Dibimbing oleh TEGUH SANTOSO dan RULY ANWAR Helopeltis sp. merupakan salah satu hama penting pada tanaman teh, kakao, dan jambu mete. Saat ini, Helopeltis sp. dilaporkan menyerang sebagian tegakan Acacia crassicarpa di Sumatra and Kalimantan. Untuk lahan tanaman yang luas, rendahnya biaya pengendalian seperti penggunaan cendawan entomopatogen dipilih karena mudah dalam perbanyakan dalam skala besar. Informasi mengenai biologi Helopeltis sp. pada berbagai komoditas pertanian khususnya tanaman teh sudah cukup banyak, tetapi sangat sedikit pada tanaman kehutanan. Penelitian ini akan berkontribusi tentang data biologi Helopeltis sp. pada akasia. Tujuan dari penelitian ini juga untuk mengukur keefektifan cendawan Beauveria bassiana dan Lecanicillium lecanii terhadap hama Helopeltis sp. Cendawan yang digunakan dalam penelitian berasal dari Laboratorium Patologi Serangga IPB. Serangga uji, Helopeltis sp. diperoleh dari perkebunan teh Gunung Mas dan perkebunan kakao Sukamantri IPB.Serangga dipelihara dan diperbanyak di laboratorium. Limabelas pasang imago Helopeltis sp. ditempatkan dalam limabelas sungkup plastik (Ф 20 cm, t 35 cm) yang berisi tanaman akasia. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk mengetahui lama periode praoviposisi, oviposisi, dan lama masing-masing stadia serangga sampai serangga mati. Tiga jenis inang Helopeltis sp. yaitu pucuk teh, pucuk akasia, dan buah kakao, ditempatkan dalam wadah plastik (Ф 35 cm, t 25 cm). Preferensi serangga terhadap pemilihan inang diamati selama 5 jam setelah nimfa dimasukkan. Persentase pemilihan inang dihitung berdasarkan jumlah kehadiran Helopeltis sp. pada tanaman inang. Preferensi peletakan telur diamati selama tiga hari setelah sepasang imago Helopeltis sp. dimasukkan. Empat tingkat kerapatan konidia, 109, 108, 107, 106 konidia/ mL diaplikasikan pada imago Helopeltis sp. (B. bassiana) dan nimfa instar ke-3 (L. lecanii). Kematian harian diamati sampai hari ke-7 setelah perlakuan. Imago ♀ Helopeltis sp.mampu meletakkan 13-23 telur sekali perkawinan. Stadia telur berlangsung selama 7-11 hari, nimfa instar ke-1 sampai dengan instar ke-5 masing-masing selama 2, 3, 4, 3, 3 hari, stadia imago selama 12-18 hari. Helopeltis sp. lebih memilih mendatangi pucuk teh (20%) daripada buah kakao (14%) dan pucuk akasia (10.33%). Helopeltis sp.lebih memilih meletakkan telur pada buah kakao (133 telur), daripada pucuk teh (91 telur) dan pucuk akasia (30 telur). B. bassiana pada kerapatan 106 konidia/ mL menyebabkan kematian imago Helopeltis sp. sebesar 81.25%, sementara pada kerapatan 108 konidia/ mL, menyebabkan 100% kematian Helopeltis sp. pada hari ke-5 HSP. Nilai LC50 dari B. bassiana sebesar 3.2 x 104 konidia/ mL pada hari ke-4 HSP. Nilai LT50 berkisar 4.2 hari pada kerapatan 106 konidia/ mL. L. lecanii pada kerapatan 106 konidia/ mL menyebabkan kematian nimfa instar ke-3 Helopeltis sp. sebesar 96.25% pada pengamatan hari ke-6 HSP dengan nilai LC50 pada hari ke-2 HSP sebesar 1.03 x 106 konidia/ mL, LT50 berkisar 1.2 hari dan LT95 berkisar 5.3 hari pada kerapatan
106 konidia/mL. Kedua jenis cendawan yang digunakan dalam pengujian ini efektif mengendalikan Helopeltis sp. Kata kunci: Beauveria bassiana, biologi, Helopeltis sp., kerapatan, konidia, Lecanicillium lecanii, mortalitas, preferensi.
SUMMARY SRI HASTUTI ANGGARAWATI. Biological Control of Helopeltis sp., the Major Pest of Acacia crassicarpa Tree Plantation with Entomopathogenic Fungi Beauveria bassiana and Lecanicillium lecanii. Supervised by TEGUH SANTOSO and RULY ANWAR Helopeltis sp. have been known as one of major pests on tea, cacao and cashew plantation. Recently, Helopeltis sp. have been also reported attack Acacia crassicarpa plantation in Sumatra and Kalimantan. For such extensive plantation, low cost biocontrol agents such as entomopathogenic fungi are choosen because of the simplicity for mass production. The information about biology of Helopeltis sp. in agricultural commodities especially tea plantation is quite common. However, it is very few reported in forest plantation. The research will contribute the data on biology of Helopeltis sp. in acacia plantation. The objective of this study was also to measure the effectiveness of Beauveria bassiana and Lecanicillium lecanii as biocontrol agent against Helopeltis sp. Both fungi that were used in this study were obtained from IPB Insect Pathology Laboratory. The tested insect, Helopeltis sp. was collected from Gunung Mas tea plantation and kakao plantation, University Farm IPB Sukamantri. The insects were reared in laboratory. Fifteen pairs of adult Helopeltis sp. were placed in fifteen plastic cages (Ф 20 cm, h 35 cm) with young acacia plant. Praoviposition, oviposition, and each stadia period were observed every day until the insect died. Three hosts of Helopeltis sp.; tea shoot, acacia shoot, and cacao pod,were placed in plastic container (Ф 35 cm, h 25 cm). Preference host test was observed during 5 hours after introduction of the nymph into container. Insect preference for egg laying was observed during 3 days after one pair of adult Helopeltis sp. have been entered. Four levels of conidial density, 109, 108, 107, 106 conidia/ mL were applied to adult Helopeltis sp. (B. bassiana) and 3rd instar nymph (L. lecanii). Daily mortality was observed until seven days post treatment. The result showed that female Helopeltis sp. produced 13-23 eggs after mating, egg stadia was 9 days, 1st – 5th instar nymph were 2, 3, 4, 3, 3 days.The adult stadia was approximately 15 days. Helopeltis sp. prefered to attend tea shoot (20%) greater than cacao pod (14%) and acacia shoot (10.33%). Helopeltis sp. prefered to lay eggs in cacao pod (133 eggs), rather than tea shoot (91 eggs) and acacia shoot (30 eggs). B. bassiana at 106 conidia/ mL density caused 81.25% mortality of adult Helopeltis sp., while 100% mortality at five days observation could be attained by using 108 conidia/ mL. The LC50 of B. bassiana was 3.2 x 104 conidia/ mL, at four days observation and LT50 was 4.214 days at 106 conidia/ mL. On the other hand, L. lecanii at 106 conidia/ mL caused 96.25% mortality of 3rd instar nymph of Helopeltis sp. at six days observation with the LC50 value at two days observation was 1.03 x 106 conidia/ mL, LT50 was 1.198 days and LT95 was 5.25 days. The results of these study showed that two fungi were effective against Helopeltis sp. in this bio assay. Keywords: Beauveria bassiana, biology, conidia,density,Helopeltis sp., Lecanicillium lecanii, mortality,preference.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
UPAYA PENGENDALIAN HAYATI Helopeltis sp., HAMA PENTING TANAMAN Acacia crassicarpa DENGAN CENDAWAN Beauveria bassiana DAN Lecanicillium lecanii
SRI HASTUTI ANGGARAWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Ir I Wayan Winasa, MS
Judul Tesis
Nama NIM
: Upaya Pengendalian Hayati Helopeltis sp., Hama Penting Tanaman Acacia crassicarpa dengan Cendawan Beauveria bassiana dan Lecanicillium lecanii. : Sri Hastuti Anggarawati : A351100011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Teguh Santoso, DEA Ketua
Dr Ir Ruly Anwar, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Entomologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Pudjianto, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 7 Februari 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 – Oktober 2013 ini ialah pengendalian hayati, dengan judul Upaya Pengendalian Hayati Helopeltis sp., Hama Penting Tanaman Acacia crassicarpa dengan Cendawan Beauveria bassiana dan Lecanicillium lecanii. Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA dan Dr. Ir. Ruly Anwar, MSi selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan perbaikan selama proses penyusunan tesis. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MS yang telah banyak memberikan saran dan motivasi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada keluarga besar Laboratorium Patologi Serangga Fakultas Pertanian IPB dan keluarga besar Laboratorium Hama Hutan Fakultas Kehutanan IPB atas bantuan dan kerjasama yang diberikan selama penelitian ini berlangsung. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta Budi Saputro, SP. atas cinta, kasih sayang, pengorbanan dan motivasinya, putra tersayang Faris Althaf Annaufal, bapak Sohiran dan ibu Ngatiyem tersayang atas cinta, kasih sayang dan pengorbanannya, serta kakak dan adik atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2014 Sri Hastuti Anggarawati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian Perumusan MasalahPenelitian
1 1 2 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Helopeltis sp. Preferensi Serangga Cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin Lecanicillium lecanii (Zimmermann) Viegas Pengendalian Hayati Hama Helopeltis sp.
5 5 7 8 9 10 10
3 METODE Waktu dan Tempat Serangga dan Cendawan Uji Perbanyakan Serangga Uji Cendawan Uji Penyiapan Suspensi Cendawan Entomopatogen untuk Pengujian Metode Penelitian Biologi Hama Helopeltis sp. pada Tanaman Akasia Preferensi pemilihan Helopeltis sp. pada tiga jenis inang Preferensi peneluran Helopeltis sp. pada tiga jenis inang Keefektifan Cendawan B. bassiana dan L. lecanii Analisis Data
11 11 11 11 11 12 12 12 13 14 14 14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus Hidup Helopeltis sp. pada Tanaman Acacia crassicarpa Preferensi Kedatangan Helopeltis sp. Preferensi Peneluran Helopeltis sp. Keefektifan B. bassiana terhadap Serangga Hama Helopeltis sp. Keefektifan L. lecanii terhadap Serangga Hama Helopeltis sp.
15 15 17 19 21 23
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
27 27 27
DAFTAR PUSTAKA
28
RIWAYAT HIDUP
31
DAFTAR TABEL 1 Siklus hidup Helopeltis sp. pada tanaman Acacia crassicarpa 2 Persentase kedatangan Helopeltis sp. pada inang selama 5 jam dalam 20 kali pengamatan 3 Preferensi peneluran serangga Helopeltis sp. pada inang 4 Persentase mortalitas kumulatif harian nimfa Helopeltis sp. yang terinfeksi cendawan B. bassiana pada berbagai kerapatan konidia 5 Persentase mortalitas kumulatif harian imago Helopeltis sp. yang terinfeksi cendawan L. lecanii pada berbagai kerapatan konidia 6 Nilai LC50, LT50, dan LT95 cendawan B. bassiana dan L. lecanii terhadap Helopeltis sp.
15 18 19 21 23 25
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Skema perumusan masalah penelitian Model kurungan plastik untuk pengamatan biologi Helopeltis sp. Perlakuan preferensi serangga Tanda serangan Helopeltis sp. pada pucuk A. crassicarpa berupa bercak coklat pada daun dan pucuk menjadi layu Bercak nekrotik yang disebabkan oleh Helopeltis sp. Telur Helopeltis sp. di dalam jaringan Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas Helopeltis sp. yang terinfeksi cendawan B. bassina pada hari kedua pengamatan Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas Helopeltis sp. yang terinfeksi cendawan L. lecanii pada hari keempat pengamatan Konidia cendawan B. bassiana dan L. lecanii
4 13 13 16 18 20 22 24 25
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar tegakannya merupakan jenis pohon komersial yang cepat tumbuh. Pada umumnya, pengembangan jenis pohon yang cepat tumbuh diusahakan oleh perusahan hutan tanaman industri (HTI) dalam bentuk tegakan-tegakan monokultur. Acacia crassicapa (A.Cunn ex Benth) merupakan spesies pohon yang menjanjikan untuk dikembangkan di daerah tropis, dan merupakan jenis pohon yang paling cepat tumbuh dibandingkan spesies akasia lainnya (A. mangium, A. auriculiformis, A. aulacocapa) (Eldoma dan Awang 1999). Adanya tegakan monokultur tersebut, berpotensi mendatangkan masalah hama. Pada tahun 1988 terdapat laporan adanya serangan hama Helopeltis sp. pada tanaman kehutanan yaitu Eucalyptus (Husaeni et al. 1988), tegakan akasia di Malaysia (Hamid 1987 dalam Nair dan Sumardi 2000), dan di Filipina (Luego 1990 dalam Nair dan Sumardi 2000). Serangan tersebut menyebabkan kerusakan tanaman akasia umur 6–18 bulan di Sumatra bagian utara dan bagian tengah (Wylie et al. 1998 dalam Nair dan Sumardi 2000) dan saat ini dilaporkan bahwa serangga ini telah menyerang sebagian tegakan A. crassicarpa di Kalimantan. Serangan Helopeltis sp. pada pucuk akasia akan menyebabkan kualitas kayu yang rendah sehingga produksi kayu menurun. Helopeltis sp. merupakan salah satu hama penting pada berbagai jenis tanaman tropis, khususnya teh, kakao, kina, jambu mete dan lada, tetapi digolongkan sebagai hama minor di tanaman kehutanan. Kerusakannya kadangkadang ditemukan pada tanaman mahoni, ketapang, kayu manis, dan melia.Laporan lain menyebutkan bahwa kerusakan berat oleh Helopeltis sp. ini terjadi pada Eucalyptus muda dan tegakan akasia di Indonesia (Wylie et al. 1998 dalam Speight dan Wylie 2001). Tingkat kerusakan pada tanaman teh dapat mencapai 50% dan pada suatu saat akan meningkat mencapai 100% (Sukasman 1996). Serangan Helopeltis sp. pada pucuk akasia menyebabkan bercak nekrotik pada daun dan kematian tunas muda. Kematian tunas muda tersebut disebabkan oleh cairan saliva yang bersifat toksik atau oleh patogen dalam proses serangannya (Kalshoven 1981). Luas serangan yang ditimbulkan pada tanaman akasia muda di Kalimantan Timur, dapat mencapai 100% (Santoso 2013 Oktober, komunikasi pribadi), dengan intensitas serangan bervariasi namun dapat mencapai 50%. Penggunaan insektisida seperti deltametrin telah digunakan oleh beberapa perusahaan hutan tanaman industri (HTI) untuk mengendalikan Helopeltis sp. di lapangan (Nair dan Sumardi 2000). Informasi mengenai biologi hamaHelopeltis sp. pada berbagai komoditas pertanian khususnya tanaman teh sudah cukup banyak, tetapi sangat sedikit pada tanaman kehutanan; penelitian ini akan berkontribusi tentang data biologi hama Helopeltis sp. pada akasia. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa penggunaan pestisida kimia di lapangan telah mencemari lingkungan secara umum. Air, tanah, dan udara mengandung residu pestisida yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Tekanan untuk mengurangi penggunaan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit semakin kuat bukan hanya karena meninggalkan residu pestisida yang
2 bersifat racun, tetapi juga karena timbulnya resistensi dari banyak jenis hama terhadap pestisida (Sembel 2010). Di HTI, penggunaan pestisida dalam mengendalikan hama dan penyakit tidak hanya mencemari lingkungan dan menimbulkan resistensi hama, tetapi juga relatif mahal apabila diterapkan pada skala besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pengendalian yang lebih murah dan bersifat ramah lingkungan, yaitu dengan menggunakan agens hayati berupa patogen hama, parasitoid atau predator. Diantara agens hayati tersebut, cendawan entomopatogen mempunyai prospek penting karena selain efektif juga lebih murah dan sederhana cara perbanyakannya. Pemanfaatan cendawan entomopatogen, merupakan salah satu alternatif pengendalian hama yang dapat menekan penggunaan insektisida kimia. Untuk lahan yang luas, penggunaan insektisida kimia akan memakan biaya yang sangat tinggi dan berakibat pada kerugian (Santoso et al. 2008). Entomopatogen mempunyai peran penting yang dapat menyebabkan tingginya kematian populasi serangga dan aman bagi serangga non target (Subramaniam et al. 2010). Beberapa jenis cendawan entomopatogen yang telah dimanfaatkan untuk mengendalikan hama antara lain Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana, dan Lecanicillium spp. (=Verticillium spp.). Entomopatogen B. bassiana dan L. lecanii merupakan cendawan yang sudah diketahui keefektifannya dalam mengendalikan sejumlah serangga hama. Cendawan B. bassiana mampu mengendalikan 80–100% hama tungau (Deciyanto dan Indrayani 2009), 100% larva dan 73.75% imago Brontispa longissima (Hosang et al. 2004). Suspensi konidia B. bassiana 1.1 x 108 konidia/ mL air yang diaplikasikan langsung pada serangga Helopeltis sp. di laboratorium, menyebabkan kematian serangga sebesar 94–98%, sedangkan yang diaplikasikan pada pakan dapat menyebabkan kematian sebesar 86–92% (Suriati 2008). Cendawan L. lecanii merupakan salah satu agen pengendali hayati yang potensial untuk digunakan pada hama-hama pertanian, seperti kutudaun, kutuputih, thrips, dan kutu kebul (Ferron 1985). Cendawan L. lecanii mampu mengendalikan Scirtothrips bispinosus (Subramaniam et al. 2010), Aphis gossypii (Gurulingappa et al. 2010), dan Riptortus linearis (Prayogo 2009). Khusus terhadap Helopeltis sp., Solikhah (2013) telah menunjukkan kemampuan cendawan L. lecanii dalam menghambat penetasan telur, namun penelitian terkait potensi cendawan tersebut untuk pengendalian nimfa dan imago Helopeltis sp. belum dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur potensi cendawan B. bassiana dan L. lecanii dalam mengendalikan serangga hama Helopeltis sp.
Tujuan Penelitian Mempelajari keefektifan cendawan entomopatogen B. bassiana dan L. lecanii terhadap serangga hama Helopeltis sp. serta mengetahui biologi dan preferensi hama Helopeltis sp. pada tanaman akasia.
3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keefektifan cendawan entomopatogen B. bassiana dan L. lecanii dalam mengendalikan serangan Helopeltis sp. pada tanaman akasia dan menyumbangkan data biologi Helopeltis sp. pada tanaman akasia.
Hipotesis Penelitian Aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana dan L. lecanii efektif mengendalikan serangga Helopeltis sp. pada tanaman akasia.
Perumusan Masalah Penelitian Adanya serangan Helopeltis sp. pada tanaman akasia yang ditanam secara monokultur pada hutan tanaman industri (HTI) tentunya akan menghambat produksi kayu industri. Pengendalian yang tepat terhadap hama Helopeltis sp. perlu dilakukan agar kebutuhan akan kayu industri tercukupi. Pemanfaatan cendawan entomopatogen, merupakan salah satu alternatif pengendalian hama yang dapat menekan penggunaan insektisida kimia. Penggunaan insektisida kimia yang berlebihan dan kurang bijaksana akan memberikan pengaruh negatif yang tidak diinginkan seperti resistensi hama sasaran, resurjensi, terbunuhnya musuh alami dan serangga berguna lainnya, serta pencemaran lingkungan. Di HTI penggunaan pestisida kimia dalam mengendalikan hama dan penyakit tidak hanya memberikan dampak sebagaimana disebutkan di atas, tetapi juga akan menelan biaya yang mahal karena luasnya areal penanaman. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pengendalian yang lebih murah dan ramah terhadap lingkungan, yaitu dengan memanfaatkan agens hayati yang sesuai. Contoh agens pengendali hayati yang murah dan ramah lingkungan adalah cendawan entomopatogen B. bassiana dan L. lecanii, dua jenis cendawan ini belum pernah dicobakan di HTI. Apabila kedua cendawan entomopatogen ini diaplikasikan pada serangga Helopeltis sp., maka akan timbul pertanyaan, apakah kedua cendawan entomopatogen tersebut efektif dalam mengendalikan serangan Helopeltis sp., dan bagaimana preferensi hama Helopeltis sp. pada tanaman akasia dibanding tanaman lain seperti tanaman kakao dan teh? Kedua tanaman terakhir tersebut merupakan hama yang sudah diketahui lama berasosiasi dengan hama Helopeltis di Indonesia. Untuk mengetahui hal itu maka dilakukan penelitian terhadap biologi dan preferensi hama Helopeltis sp. serta pengaruh aplikasi cendawan B. bassiana dan L. lecanii terhadap hama Helopeltis sp. (Gambar 1).
4
Kebutuhan akan kayu industri
Pengendalian hayati dengan Cendawan entomopatogen B. bassiana & L. lecanii
Dikembangkan jenis tanaman cepat tumbuh: Sengon, Jabon, Akasia, dll.
Muncul masalah hama Helopeltis sp. pada Akasia
Pengamatan biologi Helopeltis sp. pada akasia Pengamatan preferensi Helopeltis sp. pada tanaman akasia, kakao dan teh
Aplikasi terhadap serangga inang Helopeltis sp. Cendawan entomopatogen B. bassiana dan L. lecanii efektif mengendalikan serangga Helopeltis sp.
Gambar 1 Skema perumusan masalah penelitian
5
2
TINJAUAN PUSTAKA Helopeltis sp.
Helopeltis sp. (Hemiptera: Miridae) merupakan serangga pemakan tanaman. Jenis Helopeltis sp. yang umum dikenal diantaranya adalah Helopeltis antonii Sign. yang terdapat pada tanaman kakao, tanaman teh, kina, alpokat, jambu mete, jambu biji. H. theivora Waterh. dijumpai menyerang tanaman teh dan kakao. Jenis H. schoutedeni Reuter dilaporkan menyerang tanaman kapas (dikenal dengan nama H. bergrothi Reuter) (Wheeler 2000). Helopeltis antonii hanya ditemukan di kina, Cinnamomum, jambu bol, Melia, Acacia decurens, jambu mete, Melastoma, cabe rawit dan tanaman dari jenis rumput-rumputan (Kalshoven 1981). Helopeltis sp. termasuk hama yang paling berperan dalam menimbulkan kerusakan, baik pada tanaman muda maupun pada tanaman yang telah menghasilkan (Wiratno et al. 1996). Beberapa spesies tanaman yang menjadi inang Helopeltis adalah teh, kina, Bixa, Gardenia dan sedikit kerusakan ditemukan pada pohon-pohon seperti Albizia, Erythrina, dan Tephrosia. Helopeltis sp. umumnya digolongkan sebagai serangga minor di tanaman kehutanan. Kadang-kadang kerusakan ditemukan pada tanaman mahoni, ketapang, kayu manis, dan melia, akan tetapi laporan terkini menyebutkan bahwa kerusakan berat oleh Helopeltis sp. ini terjadi pada Eucalyptus muda dan tegakan akasia di Indonesia (Wylie et al. 1998 dalam Speight dan Wylie 2001). Daerah penyebaran Helopeltis sp. dimulai dari India, Srilanka, Sumatera, Jawa, dan Irian Jaya (Entwistle 1972 dalam Wiratno et al. 1996). Hama ini dapat hidup dengan baik di dataran rendah (200 m) maupun di tempat yang ketinggiannya tidak melebihi 1400 mdpl (Kalshoven 1981). Telur berbentuk kapsul berukuran panjang 1.0 mm dan lebar 0.4 mm, diletakkan secara berkelompok dengan jumlah 2–3 butir setiap kelompoknya. Pada saat diletakkan, telur berwarna putih namun saat akan menetas berwarna kuning. Telur diletakkan dalam jaringan tanaman yang masih muda yaitu pada tulang-tulang daun muda, tangkai bunga dan tunas-tunas tanaman. Telur dapat dicirikan dengan adanya dua helai benang berwarna putih, terlihat di atas permukaan bagian tanaman tempat telur diletakkan. Stadia telur rata-rata berlangsung selama 7 hari. Perkembangan nimfa terdiri atas 5 instar dan mengalami 5 kali pergantian kulit. Lama stadia instar ke- 1 sampai dengan instar ke-5 berturut-turut adalah 4, 2, 2, 2, dan 4 hari. Nimfa tidak bersayap dan tubuhnya berwarna coklat, memiliki antena yang terdiri atas 4 ruas yang panjangnya hampir 2 kali panjang tubuhnya (Wiratno et al. 1996). Menurut Speight dan Wylie (2001), telur menetas setelah 6–11 hari melewati 5 stadia perkembangan nimfa, yaitu nimfa 1 selama 9 hari dan sampai pada akhir stadia nimfa instar kelima yang berlangsung selama 54 hari, tergantung pada jenis spesies dan kondisi iklimnya. Kalshoven (1981) menyatakan bahwa perkembangan dari telur sampai imago membutuhkan waktu 3–5 minggu, tergantung pada ketinggian tempat. Oviposisi sangat bergantung pada kondisi yang menguntungkan, seperti kelembaban udara dan adanya jaringan tanaman muda.
6 Spesies Helopeltis dapat dibedakan dari adanya tonjolan seperti jarum yang berada di skutelum nimfa atau imago. Bentuk imago sama seperti nimfa, akan tetapi pada stadia imago serangga sudah memiliki sayap. H. antonii memiliki tonjolan skutelum yang lurus, berwarna hitam terkadang berwarna merah dan abdomen berwarna hitam dan putih. H. theivora dicirikan dengan tonjolan skutelum yang mengarah ke belakang, memiliki warna hijau atau kuning kehitaman (Kalshoven 1981). Seekor imago betina dapat meletakkan telur 1–10 butir per hari, rata-rata selama hidupnya mampu bertelur 93 butir (Wiratno et al. 1996). Menurut Kalshoven (1981), serangga ini dapat bertelur sebanyak 1–18 butir per hari dengan rata-rata jumlah telur selama hidupnya adalah 80 butir dan akan menetas setelah 5–7 hari. Nimfa dan imago memakan daun, tunas atau pucuk baru. Kerusakan pertama terlihat adanya area nekrotik disekitar titik tempat stilet dimasukkan kedalam jaringan tanaman sehingga tunas atau pucuk tanaman menjadi layu. Nimfa instar terakhir H. theivora dapat membuat 80 luka tusukan selama waktu 24 jam. Kerusakan ringan pada anakan Eucalyptus di Sumatra, disebabkan oleh H. fasciaticollis. Pada A. mangium di Sumatra yang diserang H. theivora, terjadi penyimpangan pertumbuhan pucuk atau tunasdan penghambatan pertumbuhan tanaman. Kerusakan daun dapat mencapai 95%, dilaporkan sebagai kematian anakan terberat di persemaian hutan (Wylie et al. 1998 dalam Speight dan Wylie 2001). Musuh alami Helopeltis sp. diantaranya adalah parasitoid Scelionidae dan Mymaridae yang merupakan parasitoid telur, Braconidae yang merupakan parasitoid nimfa dan predator Reduviidae dan semut. Musuh alami tidak dapat mempertahankan populasi hama dibawah ambang ekonomi dalam keadaan alami tanpa campur tangan manusia (Speight dan Wylie 2001). Adanya ledakan populasi Helopeltis sp. sehingga menimbulkan kerusakan dipengaruhi oleh iklim dan kondisi makanannya. Suhu panas dan udara yang lembab mendukung peningkatan populasi, tetapi saat hujan atau kondisi kering merupakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi serangga ini. Pertanaman teh di Jawa Timur mengalami kerusakan oleh Helopeltis sp., terjadi outbreak pada bulan Februari kemudian akan menurun serangannya pada bulan Juli. Peningkatan populasi terjadi kembali pada bulan berikutnya, akan tetapi pada bulan Oktober atau November ketika hujan lebat, populasi akan menurun dan kembali meningkat pada akhir Desember dan Januari. Pada pertanaman kakao di Jawa Tengah, Helopeltis sp. hanya ditemukan di akhir musim penghujan dan awal musim kemarau (Kalshoven 1981). Di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, populasi Helopeltis sp. sangat ditentukan oleh keberadaan pucuk, dan munculnya pucuk tanaman setiap tahun bergantung pada kelembaban dan curah hujan. Pada akhir musim hujan, yaitu pada bulan Mei, pucuk mulai bermunculan. Sejalan dengan bertambahnya jumlah pucuk, populasi nimfa dan imago pun meningkat dan mencapai puncaknya pada bulan Juli, kemudian menurun kembali setelah bulan Juli. Faktor yang berperan dalam menurunkan populasi Helopeltis sp. adalah predator Coccinella, semut hitam, dan semut rangrang (Karmawati etal. 1999b dalam Karmawati 2010).
7 Preferensi Serangga Pertengahan abad yang lalu W. Kirby dan W. Spence mendiskripsikan dalam tulisannya, kupu-kupu dalam aktivitas terbangnya mencari tanaman yang sesuai untuk meletakkan telur. Menurutnya, kupu-kupu betina mencari beberapa tanaman, kemudian meletakkan telur berdasarkan insting yang selalu tepat daripada menggunakan mata untuk mengenali tanamannya. Serangga tidak dapat bertahan hidup tanpa kehadiran tanaman, yang memberikan sumber energi utama untuk organisme heterotrof (Schoonhoven et al. 2005). Kurang dari 10% spesies herbivora memakan tanaman lebih dari 3 tanaman dengan famili berbeda. Beberapa serangga oligofag atau bahkan serangga polifag dianggap sebagai monofag ketika pemilihan inang mereka berdasarkan pada tipe senyawa kimia tanaman yang spesifik. Kisaran inang serangga yang luas dibatasi oleh faktor morfologi, fisiologi dan ekologi. Selain itu adanya hubungan antara kisaran makanan serangga dan ukuran tubuhnya. Kisaran inang tersebut biasanya menunjukkan preferensi serangga, seperti larva serangga terhadap pertumbuhan daun muda, padahal secara keseluruhan, larva serangga polifag lebih menyukai daun masak di beberapa tanaman inang (Schoonhoven et al. 2005). Serangga sangat selektif dalam memilih makanan dan sangat teliti memilih tanaman untuk meletakkan telurnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam preferensi oviposisi serangga, apakah betina dalam memilihkan inang untuk meletakkan telur sesuai untuk perkembangan keturunannya, kelangsungan hidup keturunannya, dan sesuai untuk reproduksinya. Umumnya terlihat adanya hubungan yang baik: betina lebih menyukai oviposit pada tanaman dimana keturunannya memperlihatkan hasil yang terbaik. Secara keseluruhan, keturunan serangga menunjukkan rataan kelangsungan hidup yang tinggi pada tanaman yang telah dipilih oleh induknya (Schoonhoven et al. 2005). Serangga melakukan aktivitas makan untuk bisa tumbuh, berkembang dan menyelesaikan siklus hidupnya. Serangga memanfaatkan nutrisi yang terdapat pada tanaman melalui aktivitas makannya. Terdapat tiga kategori serangga dalam memanfaatkan nutrisi tanaman inang, pertama dengan meningkatkan konsumsi makan untuk memperoleh nutrisi yang lebih seperti nitrogen, kedua dengan menyeleksi makanan yang berbeda untuk melengkapi nutrisi yang terbatas jumlahnya, dan ketiga dengan meningkatkan efisiensi pencernaan untuk menghasilkan nutrisi yang terbaik untuk serangga (Chown dan Nicolson 2004). Beberapa kategori dalam perilaku pemilihan inang tanaman diantaranya: (1) Pencarian (Searching), yaitu melihat dengan hati-hati pada suatu tempat dalam upayanya untuk menemukan sesuatu (dalam hal ini menemukan inang yang tepat). Hasil akhir dari proses pencarian adalah Finding yaitu menemukan inang yang tepat. (2) Seleksi (Selection), yaitu memilih dari beberapa alternatif inang yang ada. (3) Acceptance, yaitu proses penerimaan tanaman sebagai inang. Terlihat dari adanya aktivitas makan dan oviposisi pada inang terpilih. (4) Preferensi, yaitu ketika serangga dihadapkan pada dua pilihan inang atau lebih, maka serangga secara konsisten makan atau oviposisi lebih sering pada satu dari tanaman inang yang menjadi alternatif pilihan. (4) Recognition, yaitu proses pencocokan atau mengenali kembali inang yang sudah terekam dalam sistem syaraf pusat serangga,
8 sehingga serangga akan memilih inang tanaman yang sesuai untuk kelangsungan hidupnya (Schoonhoven et al. 2005). Karena pentingnya pemilihan tanaman inang, senyawa kimia yang dihasilkan oleh tanaman dikelompokkan menurut pengaruhnya terhadap perilaku serangga. Menurut Dethier, Barton Browne dan Smith (1960), senyawa tersebut didefinisikan sebagai berikut: (1) Attractant, yaitu senyawa kimia tanaman yang menyebabkan serangga mendekati sumber makanan. (2) Repellent, yaitu senyawa kimia tanaman yang menyebabkan serangga menjauhi sumber makanan. (3) Rangsangan makan atau oviposisi, yaitu senyawa kimia tanaman yang memicu aktivitas makan atau oviposisi serangga. (4) Deterrent, yaitu respon kimia tanaman yang menghambat atau menghalangi aktivitas makan atau oviposisi serangga. (5) Arrestant, yaitu respon kimia tanaman yang dapat memperlambat pergerakan serangga dengan memperlambat lokomosi (alat gerak) serangga (Bernays dan Chapman 1994).
Cendawan Entomopatogen Pada umumnya cendawan entomopatogen termasuk dalam kelas Hyphomycetes famili Moniliaceae. Diantara cendawan Hyphomycetes yang banyak digunakan untuk pengendalian hama adalah Beauveria bassiana, Metharizium anisopliae, dan Lecanicillium lecanii (Inglis et al. 2001). Cendawan entomopatogen dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang, dan dapat tumbuh ke bagian internal inang (hemocoel) dan mengonsumsinya sehingga nutrisi dalam hemolimfa habis oleh pertumbuhan cendawan yang begitu cepat (Flint dan Dreistadt 1998). Di samping itu, cendawan dapat menghancurkan jaringan lainnya atau melepaskan toksin yang mengganggu perkembangan inang secara normal. Kematian serangga bisa jadi karena adanya kombinasi penyerangan fungi, seperti terjadinya penyerapan nutrisi, invasi organ serangga dan mengeluarkan toksin (Inglis et al. 2001). Cendawan entomopatogen juga memiliki kemampuan untuk reproduksi, menyebar, bertahan, dan beradaptasi terhadap lingkungan yang baru (Goettel et al. 2001). Falcon (1969) menyatakan bahwa selain menyebabkan kematian, patogen bisa mengganggu perkembangan serangga, merubah sistem reproduksi, menurunkan resistensi serangga yang diserang dan mempengaruhi kerentanan serangga yang dikendalikan dengan insektisida kimia atau buatan. Mekanisme cendawan entomopatogen dalam menyebabkan kematian inang diawali dengan penempelan dan perkecambahan. Penempelan konidia biasanya terjadi secara pasif dengan bantuan angin atau air sehingga terjadi kontak antara konidia dengan permukaan integumen serangga dalam waktu yang cukup lama untuk bisa berkecambah dan menginfeksi. Perkecambahan konidia tergantung kelembaban, suhu, cahaya dan nutrisi. Konidia yang telah berkecambah membentuk tabung kecambah selanjutnya menembus integumen serangga untuk terus masuk ke dalam hemocoel. Proses penetrasi integumen oleh hifa merupakan proses mekanis dan kimiawi dengan mengeluarkan enzim seperti protease, lipase, kitinase, esterase, yang membantu menghancurkan kutikula serangga. Setelah masuk ke dalam hemocoel, cendawan membentuk tubuh hifa yang kemudian ikut beredar dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder
9 untuk menyerang jaringan lain seperti jaringan lemak, trakea dan saluran pencernaan (Carlile et al. 2001). Namun, sebelum cendawan membentuk hifa dalam hemocoel, serangga sendiri mengembangkan sistem pertahanan diri, misalnya dengan mekanisme fagositosis (biasanya dilakukan oleh plasmatosit) atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma (Tanada dan Kaya 1993). Adanya perubahan biokimia dalam hemolimfa terutama kandungan protein, defisiensi nutrisi, adanya toksin yang dikeluarkan oleh cendawan, dan terjadinya kerusakan jaringan dalam tubuh serangga akan menyebabkan paralisis dan kematian pada serangga. Pada kondisi yang sesuai cendawan tumbuh terus dan akhirnya miselia cendawan kembali menembus kutikula kearah luar tubuh serangga untuk kemudian membentuk konidia (Federici 1999). Santoso et al. (2008) menyatakan bahwa apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung dalam jasad serangga tanpa keluar menembus integumen. Cendawan B. bassiana, Paecilomyces sp., dan L. lecanii mampu menginfeksi beberapa serangga yang berbeda-beda. Serangga yang terinfeksi oleh cendawan menjadi tidak aktif, berhenti makan, dan cenderung akan bergerak menuju atas atau bagian tepi tanaman. Jika serangga sudah mati, tubuhnya menjadi elastis, dipenuhi oleh massa cendawan, atau terlihat bengkak (Flint dan Drestadt 1998). Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin Beauveria bassiana termasuk dalam Filum Deuteromycotina, kelas Hyphomycetes dan ordo Moniliales (Boucias dan Pendland 1998), mempunyai hifa yang bersekat-sekat, dan percabangan konidiofor berbentuk zig-zag. Cendawan ini berkembang secara aseksual dan seksual yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu, cahaya dan nutrisi. Beberapa serangga yang merupakan inang B. bassiana adalah serangga dari ordo Lepidoptera, Coleoptera dan Hemiptera, tetapi ada juga yang menyerang Diptera dan Hymenoptera. B. bassiana adalah salah satu jenis patogen serangga yang telah banyak digunakan untuk pengendalian hama, terutama hama pemakan daun yang tergolong ordo Lepidoptera (Tanada dan Kaya 1993). Secara morfologi, cendawan B. bassiana berwarna putih sehingga dikenal dengan sebutan white muscardine. Cendawan ini mempunyai konidia yang bersel satu dan bentuknya oval agak bulat, tidak berwarna (hyaline). Pada substrat yang sesuai spora akan tumbuh dan berkecambah membentuk tabung kecambah, kemudian tabung kecambah ini membentuk hifa berupa filamen yang panjang dan bercabang. Selanjutnya cendawan akan membentuk suatu massa hifa yang disebut miselium. Konidiofornya fertil, bercabang-cabang dan berbentuk zig-zag sebagai ciri khas B. bassiana, sedang miselium dibawahnya menggelembung. Konidia akan tumbuh dan berkembang setelah 3–7 hari dalam media. Cendawan ini dapat tumbuh pada pH 3.3–8.5 sedangkan pH optimumnya adalah 6.7. Beberapa toksin yang diproduksi oleh B. bassiana yaitu beauvericin, bassionolide, cyclodepsipeptide (Tanada dan Kaya 1993) dan oosporein (Inglis et al. 2001)
10 Lecanicillium lecanii (Zimmermann) Viegas Lecanicillium lecanii (Zimm.) Viegas termasuk dalam Filum Deuteromycotina, kelas Hyphomycetes dan ordo Moniliales (Boucias dan Pendland 1998). L. lecanii merupakan patogen untuk serangga-serangga di lingkungan tropis dan subtropis. L. lecanii dikenal dengan sebutan white-halo karena munculnya miselium putih mengelilingi pinggiran objek yang terinfeksi (Tanada dan Kaya 1993). Koloni yang berumur 10 hari pada media beras, media oatmeal atau PDA berwarna putih atau krem, menyerupai kapas tipis seperti tak berwarna, pucat atau kuning tua (deep yellow). L. lecanii mempunyai konidiofor yang berbentuk fialid (whorls) seperti huruf V yang merupakan ciri khasnya, fialid lembut, ukuran bervariasi tergantung pada strain dan umur biakan. Secara mikroskopis, konidia L. lecanii mempunyai ciri-ciri; konidia yang berbentuk lonjong, seragam, terlihat memisah, berpasangan atau melingkar sepanjang hifa atau berkumpul pada ujung hifa, dan konidia terbungkus di dalam kantong lendir (Humber 1997). Infeksi oleh L. lecanii pada serangga Macrosiphoniella sanborni, spora menyebar selama 4–6 hari periode infeksi. Sporulasi terlihat pada bagian tungkai, antena, atau kadang-kadang pada bagian kornikel serangga atau biasanya pada thoraks atau abdomen sampai serangga tersebut mati (Tanada dan Kaya 1993). L. lecanii menghasilkan toksin diantaranya: cyclodepsipeptide, bassianolidae, yang juga dihasilkan oleh B. bassiana (Kanaoka et al. 1978 dalam Tanada dan Kaya 1993). L. lecanii juga membentuk toksin insektisida, seperti dipicolinic acid dan senyawa C25 (Claydon dan Grove 1982 dalam Tanada dan Kaya 1993). Cendawan L. lecanii sudah banyak digunakan untuk mengendalikan hama di rumah kaca di Eropa (Flint dan Dreistadt 1998). Di Indonesia, penelitian tentang cendawan ini masih sangat sedikit. L. lecanii memiliki kemampuan efikasi yang bagus untuk beberapa spesies kutu daun. L. lecanii juga memiliki kemampuan mengendalikan kutu putih dan thrips di pertanaman rumah kaca (Inglis et al. 2001).
Pengendalian Hayati hama Helopeltis sp. Di Indonesia, penelitian tentang penggunaan agens hayati untuk mengendalikan Helopeltis sp. belum banyak dilakukan. Penelitian tentang penggunaan agens hayati untuk mengendalikan Helopeltis sp. yang telah dilakukan oleh Widayat et al. (1996), menyebutkan bahwa penggunaan jamur Paecilomyces fumoso roseus (PFR) efektif terhadap H. antonii pada tanaman teh. Suriati (2008) juga melaporkan bahwa penggunaan cendawan B. bassiana mampu menyebabkan mortalitas Helopeltis sp. sebesar 94–98%. Pengendalian Helopeltis sp. juga pernah dilakukan oleh Sukasman (1996) dengan menggunakan pohon pelindung lamtoro hantu yang merupakan suatu cara pengendalian terpadu antara perbaikan lingkungan, pengendalian secara kimia, pengendalian secara hayati menggunakan predator, parasit, dan entomopatogen sebagai biopestisida yang tujuannya adalah mencapai keseimbangan biologi. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Solikhah (2013), menyebutkan bahwa penggunaan cendawan entomopatogen L. lecanii efektif menekan perkembangan telur Helopeltis sp. di laboratorium.
11
3 METODE Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Penelitian berlangsung mulai bulan Januari – Oktober 2013.
Serangga dan Cendawan Uji Perbanyakan Serangga Uji Serangga uji yang digunakan dalam penelitian adalah serangga Helopeltis sp. yang diperoleh dari perkebunan teh Gunung Mas dan perkebunan kakao Kebun Percobaan Sukamantri IPB. Serangga yang diperoleh dari lapangan dipelihara dan diperbanyak sesuai metode perbanyakan Helopeltis sp. oleh Kilin dan Atmaja (1999) yaitu dengan menggunakan buah mentimun. Buah mentimun dimasukkan ke dalam wadah plastik berdiameter 16 cm dan tinggi 17 cm. Posisi mentimun berdiri dengan cara disandarkan pada dinding wadah bagian dalam. Sepasang imago dimasukkan ke dalam wadah tersebut dan ditutup dengan kain kasa. Mentimun diganti setiap hari dengan mentimun yang baru. Mentimun yang berisi telur, setelah dihitung jumlah telurnya dimasukkan ke dalam wadah lain dan ditutup dengan kain kasa. Nimfa instar ke-1 yang telah muncul dimasukkan ke dalam wadah baru yang berisi mentimun segar. Pakan tersebut diganti setiap hari sampai diperoleh jumlah dan stadia serangga yang diperlukan. Cendawan Uji Cendawan B. bassiana dan L. lecanii yang digunakan dalam penelitian, merupakan koleksi Laboratorium Patologi Serangga. B. bassiana berasal dari serangga Leptocorisa oratorius (Hemiptera: Alydidae) sedangkan L. lecanii diisolasi dari Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae). Untuk menguji tingkat virulensinya, kedua cendawan tersebut diinokulasikan pada imago Tenebrio molitor (Coleoptera: Tenebrionidae). Miselia yang keluar dari serangga tersebutdiisolasi ke media PDA, kemudian dipindahkan ke media beras. Beras dicuci bersih kemudian dikukus setengah matang dengan api kecil selama 15–20 menit. Beras dikeringanginkan untuk menghilangkan uap panas, kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik tahan panas sebanyak 50 g dan disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121ºC dan tekanan 2atm selama 15 menit. Proses pemindahan inokulum cendawan ke media beras dilakukan di Laminar Air Flow dengan memasukkan potongan media PDA yang ditumbuhi cendawan ke dalam media beras, kemudian plastik ditutup rapat. Media beras disimpan di dalam ruangan yang gelap pada suhu kamar selama 21 hari.
12 Penyiapan Suspensi Cendawan Entomopatogen untuk Pengujian Biakan B. bassiana dan L. lecanii pada media beras yang telah berumur 21 hari disiapkan sebanyak 100g (2 kantong plastik). Media beras tersebut digerus dengan menggunakan mortar sampai halus. Biakan cendawan yang sudah dihaluskan ditambahkan 100 mL air steril yang telah dicampur dengan Tween 20 (konsentrasi akhir 0.05%). Penyaringan dilakukan untuk memisahkan media beras dengan suspensi konidia. Suspensi konidia yang telah disaring kemudian dikocok dengan menggunakan vortex selama 30 detik. Suspensi yang telah dikocok kemudian dihitung jumlah konidianya dengan menggunakan haemocytometer Neubauer-improved. Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan air steril hingga diperoleh kerapatan konidia 109/mL. Demikian seterusnya dibuat pengenceran bertingkat untuk mendapatkan kerapatan konidia 108/mL, 107/mL, dan 106/mL, yang dibutuhkan untuk perlakuan.
Metode Penelitian Biologi Hama Helopeltis sp. pada Tanaman Akasia Sebanyak 15 pasang imago jantan dan betina Helopeltis sp. ditempatkan dalam 15 kurungan plastik yang berisi tanaman akasia. Tanaman muda akasia yang digunakan adalah tanaman akasia dengan umur 8 bulan yang ditanam pada polybag. Kurungan plastik berdiameter 20 cm dan tinggi 35 cm disungkupkan sepanjang pucuk tanaman akasia tegak lurus dengan tanaman, digantung pada ajir bambu (Gambar 2a). Pengamatan dilakukan setiap hari untuk mengetahui lama masing-masing stadia, lama periode praoviposisi, yaitu saat setelah imago Helopeltis sp. kawin sampai meletakkan telurnya yang pertama dan lama periode oviposisi. Pucuk daun yang telah diteluri dapat diketahui dari adanya benang telur yang menonjol keluar dari jaringan daun tempat telur diletakkan. Lama periode telur dapat diketahui dari menetasnya telur yang ditandai dengan merenggangnya dua helai benang dari telur yang sebelumnya telah ditandai untuk diamati. Setelah telur menetas, masing-masing nimfa instar ke-1 dipindahkan ke tanaman baru dengan 2–3 nimfa ditempatkan pada satu helai daun muda tanaman akasia dan ditutup dengan plastik ukuran 0.5 kg yang diberi lubang setiap sisinya (Gambar 2b), untuk mengetahui siklus hidup Helopeltis sp. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai serangga tersebut menjadi imago dan akhirnya mati.
13
a
b
Gambar 2 Model kurungan plastik untuk pengamatan biologi Helopeltis sp.: (a) kurungan plastik berdiameter 20 cm dan tinggi 35 cm, (b) kurungan plastik berukuran 0.5 kg Preferensi Pemilihan Helopeltis sp. pada Tiga Jenis Inang Tiga jenis inang Helopeltis sp. (potongan pucuk teh, buah kakao, dan potongan pucuk akasia) ditempatkan dalam satu wadah plastik berdiameter 35 cm dan tinggi 25 cm (Gambar 3). Untuk menjaga kesegaran inang, tangkai potongan pucuk teh dan potongan pucuk akasia dibalut dengan tisu yang sudah dibasahi.
a
b
Gambar 3 Perlakuan preferensi serangga: (a) potongan pucuk teh, buah kakao, dan potongan pucuk akasia sebagai inang dalam wadah plastik (b) deretan wadah plastik percobaan. Kedalam wadah plastik tersebut dimasukkan 1 ekor nimfa Helopeltis sp. instar ke-5. Setiap perlakuan diulang sebanyak 15 kali. Pengamatan terhadap pemilihan Helopeltis sp. pada tiga jenis inang dilakukan setiap 15 menit selama 5 jam setelah nimfa dimasukkan pada masing-masing perlakuan, untuk mengetahui
14 persentase pemilihan Helopeltis sp. terhadap tiga jenis inang yang diujikan. Preferensi pemilihan ditandai dengan hadirnya Helopeltis sp. pada inang tersebut. Preferensi Peneluran Helopeltis sp. pada Tiga Jenis Inang Tiga jenis inang Helopeltis sp. (potongan pucuk teh, buah kakao, dan potongan pucuk akasia) ditempatkan dalam satu wadah plastik berdiameter 35 cm dan tinggi 25 cm (Gambar 3). Untuk menjaga kesegaran inang, tangkai potongan pucuk teh dan potongan pucuk akasia dibalut dengan tisu yang sudah dibasahi. Kedalam wadah plastik tersebut dimasukkan sepasang imago Helopeltis sp. Setiap perlakuan diulang sebanyak 15 kali. Pengamatan terhadap aktivitas peneluran Helopeltis sp. pada tiga jenis inang dilakukan selama 3 hari, untuk mengetahui tingkat pemilihan Helopeltis sp. terhadap tiga jenis inang yang diujikan. Preferensi pemilihan ditandai dengan adanya telur-telur Helopeltis sp. yang diletakkan pada inang-inang tersebut. Keefektifan Cendawan B. bassiana dan L. lecanii Empat perlakuan kerapatan konidia 106, 107, 108, dan 109 konidia/ mL dari suspensi B. bassiana dan kontrol, disemprotkan ke tubuh imago Helopeltis sp. Dengan perlakuan kerapatan konidia yang sama, 106, 107, 108, dan 109 konidia/ mL dari suspensi L. lecanii dan kontrol, disemprotkan ke tubuh nimfa instar ke-3 Helopeltis sp. Perlakuan diulang sebanyak empat kali dengan jumlah serangga 20 ekor/ulangan. Aplikasi penyemprotan menggunakan sprayer tangan dengan volume semprot ± 2 mL suspensi per ulangan, sedangkan untuk kontrol serangga disemprot dengan air steril yang dicampur Tween 20. Serangga uji yang telah disemprot dimasukkan ke dalam wadah plastik yang telah diberi pakan pucuk akasia. Pucuk tersebut diganti setiap hari untuk menjaga kesegaran pakan Helopeltis sp. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai hari ke-7 setelah aplikasi. Pengamatan dilakukan terhadap mortalitas, waktu terjadinya mortalitas, dan perkembangan pertumbuhan cendawan patogen.
Analisis Data Data pengamatan biologi dianalisis secara deskriptif menggunakan program Microsoft office excel 2007. Data preferensi serangga dianalisis dengan program SPSS 13.0 for windows dan diuji dengan uji selang berganda Duncan (α = 0,05).Perbedaan mortalitas antar tingkat kerapatan konidia dan kontrol dianalisis dengan program SPSS 13.0 for Windows dan diuji dengan uji selang berganda Duncan (α = 0,05). Konsentrasi kematian (LC50) dan waktu kematian (LT50 dan LT95) dianalisis dengan analisis probit menggunakan program Polo Plus Probit and Logit Analysis 1.0 LeOra Software.
15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus Hidup Helopeltis sp. pada Tanaman Acacia crassicarpa Serangga yang digunakan dalam pengamatan biologi ini adalah serangga Helopeltis sp. yang diambil dari tanaman kakao. Meskipun Helopeltis sp. ini berasal dari tanaman kakao, ternyata setelah dilakukan pengamatan dapat diketahui bahwa serangga Helopeltis sp. ini mampu menyelesaikan siklus hidupnya pada tanaman akasia. Data hasil pengamatan biologi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Siklus hidup serangga Helopeltis sp. pada tanaman akasia Stadia serangga Telur
N 132
Lama stadia (hari) 9.3 ± 1.8
Nimfa instar 1
132
2.1 ± 0.3
Nimfa instar 2
132
3.1 ± 0.3
Nimfa instar 3
132
3.9 ± 0.5
Nimfa instar 4
132
2.5 ± 0.6
Nimfa instar 5
132
2.3 ± 0.5
Imago
132
Pra Oviposisi Oviposisi
15 15
15.3 ± 2.8
2.0 ± 0.0 3.3 ± 0.5
Morfologi Telur berwarna putih, pada saat akan menetas berwarna kuning Warna tubuh coklat bening, berubah menjadi kecoklatan mendekati ganti kulit Warna tubuh coklat muda, antena coklat tua, tonjolan pada toraks mulai terlihat Warna tubuh coklat muda, antena coklat tua, tonjolan pada toraks terlihat jelas, bakal sayap mulai terlihat Warna tubuh coklat muda, antena coklat tua, tonjolan pada toraks terlihat jelas, bakal sayap mulai terlihat Warna tubuh coklat muda, antena coklat tua, tonjolan pada toraks terlihat jelas, bakal sayap mulai terlihat Jantan: toraks berwarna merah kehitaman, abdomen pipih dan ujung abdomen lebih tumpul Betina: toraks berwarna merah cerah, abdomen lebih besar dan ujung abdomen runcing -
16 Pada setiap ulangan, ditemukan telur-telur yang telah diletakkan oleh imago Helopeltis sp.di tunas-tunas muda, pucuk, dan ketiak daun akasia. Baik nimfa maupun imago, dapat hidup dengan baik pada tanaman akasia. Betina Helopeltis sp. mampu meletakkan telur sebanyak 13–23 telur setelah perkawinan. Selama hidupnya seekor Helopeltis sp. betina mampu melakukan 3–4 kali perkawinan, sehingga dapat diperkirakan total telur yang dihasilkan mencapai 69– 92 telur. Menurut Wiratno et al. (1996), seekor imago betina dapat meletakkan telur 1–10 butir per hari, dan selama hidupnya mampu bertelur rata-rata 93 butir, sedangkan menurut Kalshoven (1981), serangga ini dapat bertelur sebanyak 1–18 butir per hari dengan rata-rata jumlah telur selama hidupnya adalah 80 butir dan akan menetas setelah 5–7 hari. Stadia telur berlangsung selama 7–11 hari, lama instar ke-1 sampai dengan instar ke-5 berturut-turut adalah 2, 3, 4, 3, 3 hari, sedangkan imago berkisar antara 12–18 hari, sehingga siklus hidup Helopeltis sp. pada tanaman akasia berkisar antara 24-30 hari. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan siklus hidup Helopeltis sp. pada tanaman jambu mete, yaitu 23 hari, stadia telur berlangsung selama 7 hari, nimfa 14 hari dengan 5 kali pergantian kulit dan lama hidup imago sekitar 24 hari (Wiratno et al. 1996). Imago yang baru muncul tidak langsung melakukan aktivitas kawin. Imago akan melakukan aktivitas kawin paling cepat 2 hari setelah pergantian kulit dari instar kelima. Lama periode praoviposisi Helopeltis sp. adalah 2 hari, sementara lama periode oviposisi Helopeltis sp. adalah 3–4 hari. Menurut Kalshoven (1981), oviposisi sangat bergantung pada kondisi yang menguntungkan, seperti kelembaban udara dan adanya jaringan tanaman muda. Setelah telur menetas, nimfa instar 1 berkumpul pada ujung daun muda tanaman akasia dan mulai menghisap bagian tersebut, dan akhirnya meninggalkan bekas serangan berupa bercak coklat memanjang. Selain pada ujung daun muda tanaman akasia, instar ke-1 Helopeltis sp. dan instar-instar selanjutnya juga memakan bagian pucuk dan tunas muda tanaman akasia. Pucuk dan tunas muda tanaman akasia yang terserang menjadi layu dan lama-kelamaan menjadi kering dan mati (Gambar 4). Apabila pucuk dan daun muda tanaman sudah kering, maka Helopeltis sp. akan mencari pucuk dan daun muda yang baru sebagai sumber makanannya.
Gambar 4 Tanda serangan Helopeltis sp. pada pucuk A. crassicarpa berupa bercak coklat pada daun dan pucuk menjadi layu (tanda panah)
17 Hal ini sesuai dengan penelitian Wiratno et al. (1996) yang mengamati siklus hidup Helopeltis sp. pada tanaman jambu mete. Sebelum menyerang pucuk, nimfa instar ke-1 dan instar ke-2 akan menyerang daun muda terlebih dahulu. Gejala serangan dapat dikenali dengan adanya bercak-bercak transparan berbentuk elips terutama sepanjang tepi tulang daun utama dan berbentuk segi empat pada helaian daun. Bercak-bercak tersebut pada hari berikutnya berubah warna menjadi coklat. Pada stadia nimfa, keberadaan serangga ini di lapangan perlu diperhatikan, karena kerusakan yang ditimbulkannya sudah membawa dampak yang cukup serius. Serangan Helopeltis sp. pada pucuk tanaman akasia akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, karena pucuk akan layu dan pada akhirnya mati. Kalaupun tidak sampai mati, pada bagian ketiak daun akan keluar tunas-tunas baru sehingga pertumbuhan tanaman kurang baik, karena percabangan tanaman sangat banyak, sehingga kecenderungan tanaman akan berkembang ke samping. Pada tanaman hutan, nimfa dan imago Helopeltis sp. menghisap daun dan tunas atau pucuk tanaman yang baru. Kerusakan pertama terlihat adanya area nekrotik disekitar titik tempat stilet dimasukkan kedalam jaringan tanaman, sehingga tunas atau pucuk tanaman menjadi layu dan mengalami dieback. Nimfa instar terakhir H. theivora dapat membuat 80 luka tusukan selama waktu 24 jam. Kerusakan ringan pada anakan Eucalyptus di Sumatra, disebabkan oleh H. bradyi dan H. fasciaticollis, terlihat tanamanan menjadi kerdil. Pada A. mangium di Sumatra, serangan H. theivora menyebabkan terjadinya penyimpangan pertumbuhan pucuk atau tunas dan penghambatan pertumbuhan tanaman. Kerusakan daun dapat mencapai 95%, dilaporkan sebagai kematian anakan terberat di persemaian hutan (Wylie et al. 1998 dalam Speight dan Wylie 2001).
Preferensi Kedatangan Helopeltis sp. Helopeltis sp. selalu hadir pada ketiga jenis inang yang diujikan. Selama 20 kali pengamatan yang dilakukan setiap 15 menit sekali untuk 15 ulangan, hasilnya menunjukkan bahwa serangga Helopeltis sp. cenderung lebih sering mendatangi potongan pucuk teh, dibandingkan pada tanaman akasia dan kakao.Pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa serangga Helopeltis sp. lebih menyukai tanaman teh dengan rataan 20% sebagai makanannya dibandingkan akasia maupun kakao dengan kisaran nilai masing-masing 10.33% dan 14%. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa rata-rata Helopeltis sp. hadir dan memakan tanaman teh sebanyak 4 kali dari 20 kali pengamatan setiap ulangan, pada akasia sebanyak 2.1 kali dari 20 kali pengamatan setiap ulangan dan pada buah kakao sebanyak 2.8 kali dari 20 kali pengamatan setiap ulangan. Selebihnya sebanyak 55.67% Helopeltis sp. tidak mendatangi ketiga jenis inang yang diujikan. Artinya, dari 20 pengamatan yang dilakukan setiap 15 menit, sebanyak 11.1 kali pengamatan Helopeltis sp. tidak mendatangi ketiga jenis inang yang diujikan.
18 Tabel 2 Persentase kedatangan Helopeltis sp. pada inang selama 5 jam, dalam 20 kali pengamatan. Persentase kedatangan Helopeltis sp. pada inang (%) Ulangan Pucuk teh Pucuk akasia Kakao Tidak mendatangi P1 45 0 0 55 P2 60 5 5 30 P3 0 5 30 65 P4 25 0 0 75 P5 0 70 0 30 P6 0 0 5 95 P7 30 0 5 65 P8 45 0 0 55 P9 0 0 25 75 P10 0 5 30 65 P11 5 5 15 75 P12 45 20 0 35 P13 15 10 45 30 P14 0 10 50 40 P15 30 25 0 45 Rataan 20.00a 10.33a 14.00a 55.67b 1 Angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Uji selang berganda Duncan). Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa nilai p-value nya (0.383) > 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa antara tiga tanaman yang dijadikan inang untuk makan, tidak berpengaruh pada tingkat kesukaan serangga Helopeltis sp. dalam memilih makanannya. Berdasarkan analisis statistika diketahui bahwa perbedaan antara teh dengan akasia dan kakao tidak nyata. Kedatangan serangga dilakukan untuk aktivitas makan. Hal ini terlihat dari adanya luka bekas tusukan pada potongan pucuk teh, potongan pucuk akasia dan buah kakao (Gambar 5).
a
b
c
Gambar 5 Bercak nekrotik yang disebabkan oleh Helopeltis sp.: (a) potongan pucuk teh, (b) potongan pucuk akasia, dan (c) buah kakao. Helopeltis sp. adalah hama yang bersifat polifag, mempunyai beberapa jenis tanaman inang antara lain kakao, jambu mete dan teh serta berbagai inang alternatif, sehingga memungkinkan serangga tersebut selalu hadir dipertanaman.
19 Disamping itu perkembangannya sangat cepat dan populasinya tinggi dalam waktu yang relatif singkat (Djatnika et al. 1998). Pada pengujian preferensi makan Helopeltis sp. pada tiga inang yang berbeda, menunjukkan bahwa nilai p-value nya (0.383) > 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa antara tiga tanaman yang dijadikan inang untuk makan, tidak berpengaruh pada tingkat kesukaan serangga Helopeltis sp. dalam memilih makanannya. Hal ini terkait dengan sifatnya yang polifag sehingga Helopeltis sp. dapat hadir pada tanaman-tanaman tersebut. Selama jumlah makanan di lapangan tercukupi, maka Helopeltis sp. dapat berkembang sangat cepat dan berpotensi menimbulkan kerusakan.
Preferensi Peneluran Helopeltis sp. Pada Tabel 3 terlihat bahwa Helopeltis sp. dalam meletakkan telur cenderung tersebar merata antara buah kakao, akasia dan teh. Total telur Helopeltis sp. yang diletakkan selama 3 hari untuk 15 ulangan, pada buah kakao mencapai 133 butir telur. Total telur Helopeltis sp. pada potongan pucuk akasia sebanyak 30 butir telur dan total telur Helopeltis sp. pada potongan pucuk teh sebanyak 91 butir telur. Tabel 3 Preferensi peneluran serangga Helopeltis sp. pada inang. Jumlah telur Helopeltis sp. yang diletakkan (butir telur) Ulangan Pucuk teh Pucuk akasia Kakao P1 13 0 8 P2 0 0 5 P3 6 7 15 P4 12 0 13 P5 24 0 1 P6 0 0 6 P7 4 0 8 P8 0 0 16 P9 0 4 17 P10 16 7 9 P11 1 11 6 P12 0 0 7 P13 11 0 4 P14 1 0 11 P15 3 1 7 Total 91 30 133 Rataan1 6.1b 2.0a 8.9b Simpangan baku 7.4 3.5 4.6 1 Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Uji selang berganda Duncan). Adanya telur-telur yang diletakkan pada masing-masing inang, dicirikan dengan adanya helaian bening yang menyerupai benang pada tunas muda potongan pucuk teh, tunas muda potongan pucuk akasia dan buah kakao (Gambar 6).
20
a
b
Gambar 6 Telur Helopeltis sp. di dalam jaringan: (a) tunas muda akasia, (b) tunas muda teh. Hasil analisis statistika untuk preferensi peneluran, menunjukkan bahwa nilai p-value nya (0.005) < 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa tanaman berpengaruh terhadap peneluran Helopeltis sp. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa serangga Helopeltis sp. lebih menyukai tanaman kakao dan teh untuk meletakkan telur dengan kisaran nilai masing-masing 8.9 dan 6.1, berbeda nyata dengan tanaman akasia dengan kisaran nilai 2.0. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa Helopeltis sp. meletakkan telur sebanyak 9 butir telur pada buah kakao, sebanyak 6 butir telur pada potongan pucuk teh dan sebanyak 2 butir telur pada potongan pucuk akasia untuk sekali ulangan. Jenis tanaman berpengaruh terhadap peneluran oleh Helopeltis sp. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa Helopeltis sp. lebih menyukai buah kakao dan tanaman teh dibanding tanaman akasia untuk meletakkan telurnya. Tanaman akasia, tanaman teh dan buah kakao, berpeluang menjadi inang Helopeltis sp. melihat sebaran telur yang sudah diletakkan pada ketiga inang tersebut merata. Djatnika et al. (1998) menyatakan bahwa fluktuasi populasi Helopeltis sp. berkaitan erat dengan cuaca dan musim, terutama jumlah hari hujan per bulan serta ketersediaan makanan. Pada musim kemarau kadar air pada makanan (buah dan pucuk) lebih sedikit dibanding pada musim hujan. Kondisi ini sangat kritis bagi perkembangan nimfa Helopeltis sp. Semakin rendah kadar air makanan, semakin tinggi mortalitas nimfa (Giesberger 1983 dalam Djatnika et al. 1998). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemilihan Helopeltis sp. dalam meletakkan telur pada buah kakao dikarenakan tingkat kadar air yang dimiliki buah kakao lebih tinggi dibandingkan pada pucuk teh dan pucuk akasia. Helopeltis sp. mampu menimbulkan kerusakan berat meskipun kepadatan populasinya relatif rendah (Khoo 1987 dalam Djatnika et al. 1998). Apabila serangan terjadi pada titik tumbuh dengan jumlah tusukan satu atau lebih, dapat menyebabkan kematian pucuk. Bila serangan terjadi berulang-ulang pada satu tanaman, maka tanaman akan kehabisan energi dan akhirnya tidak berproduksi (Djatnika et al. 1998). Untuk mengatasi serangan hama tersebut, perlu dilakukan langkah pengendalian yang efektif, murah dan aman bagi lingkungan.
21 Keefektifan B. bassiana terhadap Serangga Hama Helopeltis sp. Serangga Helopeltis sp. berhasil terinfeksi lebih dari 90% untuk kerapatan konidia 108 dan 109 /mL pada hari keempat setelah aplikasi (Tabel 4). Tabel 4 Persentase mortalitas kumulatif imago Helopeltis sp. yang terinfeksi cendawan B. Bassiana pada berbagai kerapatan konidia Mortalitas (%) Hari Setelah Perlakuan (HSP) 1 2 3 4 5 6 7 9 10 7.5a 16.2ab 41.2bc 98.7b 100.0a 100.0a 100.0a 8 10 3.7a 16.2b 45.0c 97.5b 100.0a 100.0a 100.0a 7 10 3.7a 8.7ab 21.2ab 75.0b 87.5b 87.5a 97.5a 6 10 3.7a 13.7ab 20.0a 51.2b 65.0b 68.7b 81.2a kontrol 0.0a 0.0a 0.0a 0.0a 0.0a 0.0a 0.0a 1 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Uji selang berganda Duncan). Kerapatan konidia (/mL)
Pada kerapatan konidia 107 dan 106 /mL, mortalitas serangga Helopeltis sp. mencapai lebih dari 50% pada hari yang sama. Pada pengamatan hari ketujuh, mortalitas serangga sebesar 81.25% terjadi pada kerapatan konidia 106 /mL, sedangkan pada kerapatan konidia 107 /mL mortalitas serangga mencapai 97.50%. Pada kerapatan konidia 108 dan 109 /mL, mortalitas Helopeltis sp. sebesar 100% (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa dalam percobaan ini aplikasi B. bassiana efektif mematikan serangga Helopeltis sp. Uji statistika menunjukkan bahwa pada perlakuan kontrol tidak ada penambahan mortalitas Helopeltis sp. pada setiap hari pengamatan, berbeda nyata dengan perlakuan kerapatan konidia 106, 107, 108, dan 109 /mL pada hari kedua HSP. Pada kerapatan 109 dan 108 konidia /mL, mortalitas Helopeltis sp. terus meningkat setiap harinya sampai pada hari kelima HSP, dengan mortalitas mencapai 100%. Perlakuan dengan kerapatan konidia 107 /mL mortalitas Helopeltis sp. terus meningkat setiap harinya sampai pada hari ketujuh HSP sebesar 97.50%. Sementara pada kerapatan konidia 106 /mL, mortalitas Helopeltis sp. terus meningkat sampai hari ketujuh HSP sebesar 81.25%. Pada hari keenam dan hari ketujuh pengamatan, baik pada kontrol dan perlakuan konidia tidak berbeda nyata, yaitu tidak ada lagi penambahan mortalitas Helopeltis sp. kecuali pada hari keenam pada konsentrasi 106. Hubungan antara mortalitas Helopeltis sp. dengan kerapatan konidia ditunjukkan dengan persamaan regresi y = 16.5x + 39.37. Artinya, jika kerapatan konidia B. bassiana naik sebesar satu unit satuan, maka mortalitas akan ikut naik sebesar 16.5% (Gambar 7). Dengan menggunakan empat kerapatan konidia 106, 107, 108, 109 konidia/mL, garis regresi yang diperoleh menunjukkan hubungan linear dengan nilai R2 = 0.902. Karena tidak ada mortalitas serangga kontrol, data percobaan ini dianggap tidak menunjukkan heterogenitas data yang tinggi.
22 120
% Mortalitas
100
y = 16,5x + 39,375 R² = 0,9028
80 60 40 20 0 6
7 8 9 Log kerapatan konidia (konidia/mL)
Gambar 7 Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas Helopeltis sp. yang terinfeksi cendawan B. bassiana pada hari keempat pengamatan Mortalitas imago Helopeltis sp. oleh B. bassiana sangat tinggi, yaitu sebesar 100 % pada kerapatan konidia 109 /mL. Pada kerapatan 108 konidia/mL, kematian yang diakibatkan mencapai 97.5%. Hasil ini sesuai dengan yang diperoleh Suriati (2008) yang menyatakan bahwa suspensi konidia B. bassiana dengan konsentrasi 1.1 x 108 konidia/mL air yang diaplikasikan langsung pada serangga Helopeltis sp. di laboratorium, menyebabkan kematian serangga sebesar 94 – 98%, sedangkan yang diaplikasikan pada pakan pengganti (buah mentimun) menyebabkan kematian sebesar 86 – 92%. Konidia cendawan B. bassiana mulai berkecambah pada hari kedua setelah perlakuan. Hal tersebut dapat diketahui dari adanya miselia yang tumbuh pada ruas-ruas tungkai, antena dan toraks serangga inang. Miselia tersebut kemudian tumbuh dan berkembang, sehingga seluruh tubuh serangga inang dipenuhi oleh miselia cendawan B. bassiana. Setelah dilakukan pengamatan konidia dibawah mikroskop, terlihat bahwa cendawan tersebut mempunyai deskripsi yang sesuai dengan B. Bassiana yang diaplikasikan (Gambar 9a), yaitu memiliki ciri konidia yang berbentuk bulat dengan percabangan konidiofor yang berbentuk zig-zag, konidiofor biasanya bergerombol atau melingkar atau sendirisendiri, dan tidak berwarna. Pada serangga yang terinfeksi terlihat adanya miselia cendawan berwarna putih, yang menutupi seluruh tubuhnya (Humber 1997). Menurut Ferron (1985), cendawan entomopatogen akan melewati dua siklus yaitu siklus parasit dan siklus saprofit. Siklus parasit dimulai dari penempelan konidia ke tubuh serangga (dalam hal ini aplikasi penyemprotan) sampai dengan serangga mati. Kematian serangga inang diakibatkan oleh kolonisasi cendawan di dalam tubuh inang disertai dengan toksikasi oleh racun yang diproduksi oleh cendawan. Cendawan B. bassiana mengeluarkan toksin beauvericin, yang menyebabkan perubahan nukleus dan mempengaruhi migrasi sel dalam saluran sel serangga (Tanada dan Kaya 1993). Dalam percobaan ini, kematian serangga dapat berlangsung dalam 1 hari sesudah perlakuan. Siklus saprofit dimulai sejak kematian serangga sampai kemunculan cendawan di
23 permukaan tubuh inang. Dalam percobaan ini siklus saprofit dapat teramati mulai hari kedua.
Keefektifan L. lecanii terhadap Serangga Hama Helopeltis sp. Persentase mortalitas nimfa Helopeltis sp. yang terinfeksi L. lecanii tercantum pada Tabel 5. Cendawan L. lecanii mampu mematikan Helopeltis sp. lebih dari 50% pada pengamatan hari pertama untuk kerapatan 107, 108, dan 109 konidia/mL. Pada hari ketiga setelah perlakuan terlihat bahwa kerapatan 109/mL, L. lecanii mampu mematikan 100% Helopeltis sp. (Tabel 5). Pada kerapatan konidia 108, 107, 106 /mL sampai pada akhir pengamatan (hari ketujuh), mortalitas serangga Helopeltis sp. mencapai lebih dari 95% tetapi tidak sampai 100%. Tabel 5
Persentase mortalitas kumulatif harian nimfa Helopeltis sp. yang terinfeksi cendawan L. lecanii pada berbagai kerapatan konidia
Mortalitas (%)1 Hari Setelah Perlakuan (HSP) 1 2 3 4 5 6 7 9 10 78.7c 96.2bc 100.0ab 100.0a 100.0a 100.0a 100.0a 8 10 77.5c 91.2b 96.2ab 98.7ab 98.7a 98.7a 98.7a 7 10 65.0c 6.2bc 96.2b 97.5a 97.5a 97.5a 97.5a 6 10 42.5b 71.2c 83.7b 91.2a 95.0b 96.2a 96.2a Kontrol 0.0a 0.0a 0.0a 0.0a 0.0a 0.0a 0.0a 1 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Uji selang berganda Duncan). Kerapatan konidia (/mL)
Hasil uji statistika menunjukkan bahwa pada perlakuan kontrol tidak ada penambahan mortalitas Helopeltis sp. pada setiap hari pengamatan, berbeda nyata dengan perlakuan kerapatan konidia 106, 107, 108, dan 109 /mL sampai dengan pengamatan hari ketiga. Pada hari keempat sampai dengan hari ketujuh pengamatan, baik pada kontrol dan perlakuan konidia tidak berbeda nyata, yaitu tidak ada lagi penambahan mortalitas Helopeltis sp. kecuali pada hari keempat pada konsentrasi 108. Pada kerapatan konidia 109 /mL, mortalitas Helopeltis sp. terus meningkat setiap harinya sampai pada hari ketiga setelah perlakuan, dengan mortalitas mencapai 100%. Perlakuan dengan kerapatan konidia 108 dan 107 /mL mengakibatkan mortalitas Helopeltis sp. yang terus meningkat setiap harinya sampai pada hari keempat HSP sebesar 98.75% dan 97.5%. Sementara pada kerapatan 106 /mL, mortalitas Helopeltis sp. terus meningkat sampai hari keenam HSP sebesar 96.25%. Mortalitas ini meningkat seiring meningkatnya kerapatan konidia yaitu 97.5% untuk kerapatan konidia 107 /mL, sebanyak 98.75% untuk kerapatan konidia 108/mL, dan 100% untuk kerapatan konidia 109 /mL. Hal ini menunjukkan bahwa dalam percobaan ini aplikasi L. lecanii efektif mematikan Helopeltis sp.
% Mortalitas
24 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
y = 8x + 66,25 R² = 0,9143
6
7 8 Log kerapatan konidia (/mL)
9
Gambar 8 Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas Helopeltis sp. yang terinfeksi cendawan L. lecanii pada hari kedua pengamatan Hubungan antara mortalitas Helopeltis sp. dengan kerapatan konidia ditunjukkan dengan persamaan regresi y = 8x + 66.25. Artinya, jika kerapatan konidia L. lecanii naik sebesar satu unit satuan, maka mortalitas akan ikut naik sebesar 8% (Gambar 8). Dengan menggunakan empat kerapatan konidia 106, 107, 108, 109 konidia /mL, garis regresi yang diperoleh menunjukkan hubungan linear dengan nilai R2 = 0.914. Karena tidak ada mortalitas serangga kontrol, data percobaan ini dianggap tidak menunjukkan heterogenitas data yang tinggi. L. lecanii mampu menginfeksi nimfa Helopeltis sp. mencapai 100% untuk kerapatan konidia 109/mL dan pada kerapatan konidia terendah yaitu 106/mL juga mampu mematikan lebih dari 90% serangga uji. Serangga uji yang telah mati memperlihatkan adanya miselia yang keluar pada ruas-ruas tungkainya. Pada hari ke-3 setelah kematian, miselia L. lecanii mulai tumbuh dan semakin lama semakin menutupi bagian tubuh serangga uji. Setelah dilakukan pengamatan konidia dibawah mikroskop, terlihat bahwa cendawan tersebut mempunyai deskripsi yang sesuai dengan L. lecanii yang diaplikasikan (Gambar 9b), yaitu konidia yang berbentuk lonjong, seragam, terlihat memisah, berpasangan atau melingkar sepanjang hifa atau berkumpul pada ujung hifa, dan konidia terbungkus di dalam kantong lendir (Humber 1997). Tingginya tingkat mortalitas nimfa oleh L. lecanii bisa disebabkan oleh integumen nimfa yang lunak dan tipis sehingga L. lecanii lebih mudah menginfeksi serangga uji. Infeksi L. lecanii pada tubuh nimfa Helopeltis sp., mampu mempengaruhi serangga uji ini dalam melakukan proses ganti kulit, hal ini terlihat dari adanya serangga uji yang mengalami kegagalan dalam proses ganti kulit. Hasil analisis probit cendawan B. bassiana yang dilakukan pada hari keempat HSP, diperoleh LC50 sebesar 3.2 x 104 konidia/mL, sedangkan untuk LT50 dan LT95 pada konsentrasi 106 konidia/mL masing-masing adalah 4.2 (4 hari) dan 13.1 (13 hari). Dengan kata lain, kerapatan konidia yang dibutuhkan untuk mengendalikan 50% populasi adalah 3.2 x 104 konidia/ mL, dan dengan kerapatan
25 ini, 50% populasi serangga Helopeltis sp. dikendalikan dalam waktu 4 hari (Tabel 6). Zulyusri (2005) memperoleh nilai LC50 cendawan B. bassiana terhadap larva Crocidolomia pavonana (Lepidopera: Pyralidae) sebesar 2.01 x 109 konidia/mL. Ratissa (2011) memperoleh nilai LC50 B. bassiana untuk Cylas formicarius sebesar 1.1 x 109 konidia/mL. Jika dibandingkan nilai LC50 antar beberapa serangga tersebut, terlihat bahwa Helopeltis sp. sangat rentan terhadap infeksi oleh B. bassiana. Tabel 6 Nilai LC50, LT50, dan LT95 cendawan B. bassiana dan L. lecanii terhadap Helopeltis sp. Analisis probit B. bassiana L. lecanii LC50
3.2 x 104 konidia/mL
1.03 x 106 konidia/mL
LT50
4.2 hari
1.2 hari
LT95
13.1 hari
5.3 hari
Berdasarkan hasil analisis probit cendawan L. lecanii yang dilakukan pada hari kedua HSP, diperoleh LC50 sebesar 1.03 x 106 konidia/ mL, sedangkan untuk nilai LT50 dan LT95 pada konsentrasi 106 konidia/mL masing-masing adalah 1.2 (1 hari) dan 5.3 (5 hari). Dengan kata lain, kerapatan konidia yang dibutuhkan untuk mengendalikan 50% populasi adalah 1.03 x 106 konidia/ mL, dan dengan kerapatan ini, 50% populasi serangga Helopeltis sp. dikendalikan dalam waktu 1 hari (Tabel 6). Sebagai perbandingan, dengan menggunakan isolat cendawan yang sama, Agustin (2014) mendapatkan nilai LC50 untuk hama penggerek batang jagung Ostrinia furnacalis sebesar 1.62 x 106 konidia/mL. Solikhah (2013) memperoleh nilai LC50 L. lecanii untuk telur Helopeltis sp. sebesar 3.3 x 107 konidia/ mL. Hasil ini juga mengindikasikan bahwa serangga hama Helopeltis sp. sangat rentan terhadap infeksi oleh L. lecanii. Hal ini menunjukkan bahwa apabila dibandingkan dengan telur, nimfa instar ketiga Helopeltis sp. yang diteliti cenderung lebih rentan terhadap L. lecanii. Kerentanan yang tinggi ini karena serangga uji yang digunakan adalah nimfa instar ke-3 dan diduga pada stadia ini integumen serangga masih mudah ditembus oleh cendawan.
a
b
Gambar 9 Konidia cendawan: (a) B. bassiana dan (b) L. lecanii
26 Cendawan entomopatogen B. bassiana dan L. lecanii merupakan salah satu alternatif pengendalian hayati yang murah dan cocok apabila diaplikasikan di areal yang sangat luas seperti HTI. Kedua cendawan ini sangat mudah untuk diproduksi secara masal dengan menggunakan media beras tanpa suplemen bahan kimia lain. Berdasarkan perhitungan sederhana, diketahui bahwa dengan menggunakan 400 l volume semprot untuk areal seluas 1 ha, hanya memerlukan sekitar 40 kg beras. Dari media beras sebanyak 40 kg akan dapat dihasilkan 4 x 1011 konidia, jumlah yang cukup untuk sekali aplikasi per hektar. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan kedua jenis cendawan ini cukup murah, efektif dan efisien untuk pengendalian di lapangan.
27
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Imago Helopeltis sp. betina mampu meletakkan telur sebanyak 13–23 telur setelah sekali perkawinan, stadia telur berlangsung selama 7–11 hari, lama instar ke-1 sampai dengan instar ke-5 berturut-turut adalah 2, 3, 4, 3, 3 hari, sedangkan imago 12–18 hari. Helopeltis sp. tidak menunjukkan perbedaan preferensi yang nyata terhadap pucuk teh, buah kakao, dan pucuk akasia. Helopeltis sp. lebih memilih buah kakao untuk meletakkan telur dibandingkan pucuk teh dan pucuk akasia. Cendawan entomopatogen L. lecanii menyebabkan mortalitas nimfa instar ketiga Helopeltis sp. sebesar 100% pada hari ketiga setelah perlakuan pada kerapatan konidia 109/mL. Nilai LC50 sebesar 1.03 x 106 konidia/ mL. Nilai LT50 dan LT95 pada kerapatan 106 konidia/mL masing-masing adalah 1.2 (1 hari) dan 5.3 (5 hari). Cendawan entomopatogen B. bassiana berhasil menyebabkan mortalitas imago Helopeltis sp. sebesar 100% pada hari kelima setelah perlakuan pada kerapatan konidia 108 dan 109/ mL di laboratorium. Nilai LC50 sebesar 3.2 x 104 konidia/ mL. Nilai LT50 dan LT95 pada kerapatan 106 konidia/ mL masing-masing adalah 4.214 (4 – 5 hari) dan 13.050 (13 hari). Dalam percobaan ini aplikasi B. Bassiana dan L. lecanii, telah ditunjukkan efektif mengendalikan serangga Helopeltis sp.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang keefektifan cendawan B. bassiana dan L. lecanii pada stadia Helopeltis sp. yang lain.
28
DAFTAR PUSTAKA Agustin D. 2014. Uji keefektifan cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin dan Lecanicillium lecanii (Zimm.) Zare & Gams terhadap telur dan larva penggerek batang jagung asia Ostrinia furnacalis (Lepidoptera: Crambidae) [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bernays EA dan Chapman RF. 1994. Host-Plant Selection by Phytophagous Insect. New York (US): Chapman & Hall Publisher. Boucias DG dan Pendland JC. 1998. Principles of Insect Pathology. Massachusetts (US): Kluwer Academic Publishers. Carlile MJ, Watkinson SC, Gooday GW. 2001. The Fungi. Edisi ke-2. London (UK): Academic Press. Chown SL dan Nicolson SW. 2004. Insect Physiological ecology Mechanisms and Patterns. New York (US): Oxford University Press. Deciyanto S dan Indrayani IGAA. 2009. Jamur entomopatogen Beauveria bassiana: potensi dan prospeknya dalam pengendalian hama tungau. Perspektif (Ind). 8(2): 65-73. Djatnika K, Laba IW, Atmadja WR. 1998. Laju pertumbuhan intrinsik Helopeltis antonii Sign. pada buah mentimun sebagai pakan alternatif. J Littri. 4(4): 115-118. Eldoma A dan Awang K. 1999. Site Adaptability of Acacia mangium, Acacia auriculiformis, Acacia crassicarpa and Acacia aulacocarpa. Selangor (MLY): Apafri Publication Series. Falcon LA. 1969. Microbial Control as a Tool in Integrated Control Programs. Di dalam: Huffaker CB, editor. Biological Control. Proceeding of an AAAS Symposium on Biological Control: 1969 Des 30-31: Boston Massachusetts (US). hlm 346-364. Federici BA. 1999. A prespective on pathogen as biological control agents for insect pests. Di dalam: Bellows TS dan Fisher TW, editor. Handbook of Biological Control Principle and Applications of Biological Control. California (US): Academic Press. Ferron P. 1985. Fungal control. Di dalam: Kerkut GA, Gilbert LI, editor. Comprehensive Insect Physiology Biochemistry and Pharmacology; Volume 12. Oxford (EG): Pergamon Press. hlm 313-346. Flint ML dan Dreistadt SH. 1998. Natural Enemies Handbook: The Illustrated Guide to Biological Pest Control. London (UK): University of California Press. Goettel MS, Hajek AE, Siegel JP, Evans HC. 2001. Safety of fungal biocontrol agents. Di dalam: Butt TM, Jackson C, dan Magan N, editor. Fungi as Biocontrol Agents: Progress, Problems and Potential. London (UK): CABI Publishing. hlm 347-375. Gurulingappa P, Peter Allan McGee, Sword G. 2010. Endophytic Lecanicillium lecanii and Beauveria bassiana reduce the survival and fecundity of Aphis gossypii following contact with conidia and secondary metabolites. J CroPro. 30 (2011): 349-353. doi:10.1016/j.cropro.2010.11.017
29 Hosang MLA, Tumewan F, Alouw JC. 2004. Efektivitas cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae var. anisopliae dan Beauveria bassiana terhadap hama Brontispa longissima. Prosiding simposium IV hasil penelitian tanaman perkebunan: 2004 Sept 28-30: Bogor. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm 561-568. Humber RA. 1997. Fungi: Identification. Di dalam: Lacey L, editor. Manual of Techniques in Insect Patology. California (US): Academic Press. hlm 153185. Husaeni EA, Kasno, Suratmo FG. 1988. Penelitian Hama Ekaliptus (Eucalyptus spp.) di Hutan Tanaman Industri PT. Inti Indo Rayon Utama Sumatera Utara. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Inglis GD, Goettel MS, Butt TM, Strasser H. 2001. Use of Hyphomycetous fungi for managing insect pests. Di dalam: Butt TM, Jackson C, dan Magan N, editor. Fungi as Biocontrol Agents: Progress, Problems and Potential. London (UK): CABI Publishing. hlm 23-69. Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia.Laan PA van der, penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru- van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Karmawati E. 2010. Pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete berdasarkan ekologi: strategi dan implementasi. J Peng Inov Pert [internet]. 3(2): 102 – 119. Tersedia pada: http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/ ip032102.pdf (21 Februari 2013). Kilin D dan Atmaja WR. 1999. Perbanyakan serangga Helopeltis antonii Sign. pada buah mentimun dan pucuk jambu mente. J Litrri. 5(4): 119-122. Nair KSS dan Sumardi. 2000. Insect pests and diseases of major plantation species. Di dalam: Nair KSS, editor. Insect Pests and Diseases in Indonesian Forests. Bogor (ID): Cifor. hlm 15. Prayogo Y. 2009. Kajian cendawan entomopatogen Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams untuk menekan perkembangan telur hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae) [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ratissa DA. 2011. Keefektifan cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill terhadap Cylas formicarius (F.) (Coleoptera: Brentidae) dan pengaruhnya pada keperidian [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Santoso T, Marwoto, Prayogo Y. 2008. Pengembangan Teknologi Pengendalian Hama Pengisap Polong Kedelai Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae) dengan menggunakan Cendawan Entomopatogen Verticillium lecanii [Laporan Hasil Penelitian]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Schoonhoven LM, Van Loon JJA, Dicke M. 2005. Insect-Plant Biology. New York (US): Oxford University Press. Sembel DT. 2010. Pengendalian Hayati Hama-hama Serangga Tropis dan Gulma. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi. Solikhah DR. 2013. Infektivitas cendawan Lecanicillium lecanii terhadap telur Helopeltis sp. (Hemiptera: Miridae) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian Institut pertanian Bogor. Speight MR dan Wylie FR. 2001. Insect Pests of Tropical Forestry. New York (US): CABI Publishing.
30 Subramaniam MSR, Babu A, Pradeepa N. 2010. A new report of entomopathogen, Lecanicillium lecanii infecting larvae of the tea thrips, Scirtothrips bispinosus (Bagnall). J Biosci. 1(3): 146-148. Sukasman. 1996. Entomopatogen sebagai insektisida. Di dalam: Martosupono et. al. Alternatif Pengendalian Hama Teh secara Hayati. Prosiding Seminar Sehari: 1996 Des 5: Gambung. Bandung (ID): Pusat Penelitian Teh dan Kina. hlm 31-40. Suriati S. 2008. Beauveria bassiana dan Metarrhizium anisopliae bio insektisida ramah lingkungan. Warta Penelitian & Pengembangan Tanaman Industri. 14(2): 30-31. Tanada Y dan Kaya HK. 1993. Insect Patology. London (EN): Academic Press. Wheeler AG. 2000. Plant bugs (Miridae) as plant pests. Di dalam: Schaefer CW dan Panizzi AR, editor. Heteroptera of Economic Importance. New York (US): CRC Press. hlm 37-44. Widayat W, Rayati DJ, Martosupono M. 1996. Penggunaan jamur Paecilomyces fumoso roseus (PFR) sebagai teknologi alternatif pengenalian hama nonkimiawi pada tanaman teh. Di dalam: Martosupono et. al. Alternatif Pengendalian Hama Teh secara Hayati. Prosiding Seminar Sehari: 1996 Des 5: Gambung. Bandung (ID): Pusat Penelitian Teh dan Kina. hlm 1-13. Wiratno, Wikardi EA, Trisawa IM, Siswanto. 1996. Biologi Helopeltis antonii (Heteroptera; Miridae) pada tanaman jambu mente. J Littri.2(1): 36 – 42. Zulyusri. 2005. Interaksi antara cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. (Deuteromycotina: Hyphomycetes), parasitoid Eriborus argenteopilosus Cammeron (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan hama kubis Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae) [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
31
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 2 September 1986 sebagai anak bungsu dari pasangan Sohiran dan Ngatiyem. Pendidikan sarjana ditempuh di Program studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2010 penulis diterima di Program Studi Entomologi, Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis pernah bekerja sebagai asisten dosen di Laboratorium Hama Hutan Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2009. Saat ini penulis dipercaya sebagai tenaga laboran di Laboratorium Hama Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana IPB. Makalah yang berjudul “Penggunaan Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin dan Lecanicillium lecanii (Zimm) Zare & Gams Untuk mengendalikan Helopeltis antonii Sign (Hemiptera: Miridae)” telah penulis masukkan ke Jurnal Entomologi Indonesia (JEI) dan masih dalam proses review oleh mitra bestari. Makalah tersebut merupakan bagian dari tesis S-2 penulis.