Jurnal Keperawatan Madiun Vol. 3 No. 1 Maret 2016: 14-20
PENGARUH FISIOTERAPI DADA TERHADAP EKSPEKTORASI SPUTUM DAN PENINGKATAN SATURASI OKSIGEN PENDERITA PPOK DI RSP DUNGUS MADIUN
(The Effect of Chest Physiotherapy toward Expectorated Sputum and the Increase in Oxygen Saturation of COPD Patient at RSP Dungus Madiun) Priadi 1), Nanang Ilham Setyaji 2), Angelin Kusuma Pertiwi 3) 1, 2, 3 Program Studi DIII Keperawatan Akademi Keperawatan dr. Soedono Madiun email:
[email protected]
Abstrak Pendahuluan: Obstruksi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) salah satunya terjadi karena inflamasi. Proses inflamasi menyebabkan hipersekresi mukus. Mukus menyebabkan ventilasi menjadi tidak paten. Ketidakpatenan menurunkan jumlah oksigen yang masuk ke paruparu, absorpsi oksigen oleh darah berkurang, sehingga saturasi oksigen penderita PPOK dibawah normal. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh fisioterapi dada terhadap ekspektorasi sputum dan peningkatan saturasi oksigen penderita PPOK. Metode: Penelitian bersifat kuantitatif dengan desain quasi experimental. Populasi adalah pasien PPOK yang berobat ke Poliklinik Rehabilitasi Medik RSP Dungus. Dengan teknik purposive sampling didapatkan 31 orang sampel yang dibagi menjadi 15 orang kelompok kontrol dan 16 orang kelompok eksperimen. Analisis statistik menggunakan Uji Wilcoxon pada taraf signifikansi 0.05. Hasil dan Analisis: Untuk ekspektorasi sputum, pada kelompok kontrol didapatkan angka signifikansi 0.008 dengan rerata pre-test 0,2 cc dan post-test 0,87 cc. Pada kelompok eksperimen angka signifikansi 0.000 dengan rerata pre-test 0,75 cc dan post-test 3,94 cc. Untuk saturasi oksigen, pada kelompok kontrol didapatkan angka signifikansi 0.476 dengan rerata pre-test 95,53% dan rerata post-test 96,07%. Pada kelompok eksperimen angka signifikansi 0.003 pada post-test 1 dan 0.046 pada post-test 2 dengan rerata pre-test 95,31%, post-test 1 93,56% dan post-test 2 96,69%. Diskusi: Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh fisioterapi dada terhadap ekspektorasi sputum dan peningkatan saturasi oksigen penderita PPOK. Kata kunci: fisioterapi dada, ekspektorasi sputum, saturasi oksigen, PPOK Abstract Introduction: Obstruction in Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) can happen because of inflammation. Inflammation process causes mucus hypersecretion. Mucus causes ventilation becomes impatent. Impatency decrease amount of oxygen entering the lungs, absorption of oxygen by the blood is reduced, thus oxygen saturation of patients with COPD below normal. This study aims to determine the effect of chest physiotherapy to sputum expectoration and increase of oxygen saturation of patients with COPD. Method: The research is quantitative with quasi experimental design. The population was COPD patients treated at the Medical Rehabilitation Clinic RSP Dungus. With purposive sampling technique obtained 31 samples divided into 15 in control group and 16 in experiment group. Statistical analysis using Wilcoxon test with significancy level 0.05. Result and Analysis: For sputum expectoration, in the control group gained significancy 0.008 with the average of pre-test 0.2 cc and post-test 0.87 cc. In the experiment group the significancy is 0.000 with the average of pre-test 0.75 cc and post-test 3.94 cc. For oxygen saturation, in the control group gained significancy 0.476 with the average of pre-test 95.53% and post-test 96.07%. In the experiment group the significancy is 0.003 at post-test 1 and 0.046 at post-test 2 with the average of pre-test 95.31%, post-test 1 93.56%, and posttest 2 96.69%. Discussion: It can be concluded that there are influences of chest physiotherapy to sputum expectoration and increase of oxygen saturation of patients with COPD. Keywords: chest physiotherapy, sputum expectoration, oxygen saturation, COPD
14
Pengaruh Fisioterapi Dada terhadap Ekspektorasi Sputum dan Peningkatan Saturasi Oksigen Penderita PPOK di RSP Dungus Madiun (Priadi)
dengan PPOK kadang-kadang mengalami gagal pernafasan. Kelebihan karbon dioksida dalam darah dapat menyebabkan sakit kepala, mengantuk atau kedutan (asterixis). Salah satu komplikasi dari PPOK parah adalah cor pulmonale. Diagnosis klinis untuk PPOK harus dicurigai jika pasien mengalami kesulitan bernafas, batuk kronis atau terbentuknya sputum dan riwayat terkena faktor risiko penyakit ini (Putra & Artika, 2013). Secara umum penatalaksanaan PPOK yaitu dengan (1) pemberian obat-obatan: bronkodilator, anti inflamasi, antibiotik, mukolitik, dan antitusif; (2) pengobatan penunjang: rehabilitasi (edukasi, berhenti merokok, latihan fisik dan respirasi, nutrisi), terapi oksigen, ventilasi mekanik, operasi paru, dan vaksinasi influenza (Kemenkes RI, 2008). Penderita PPOK dapat diberikan rehabilitasi seperti latihan fisik dan latihan pernapasan. Fisioterapi dada merupakan teknik yang berguna bagi penderita penyakit respirasi baik yang bersifat akut maupun kronis. Teknik ini walaupun caranya kelihatan tidak istimewa tetapi efektif dalam mengeluarkan sekret dan memperbaiki ventilasi pada pasien dengan gangguan fungsi paru. Tujuan fisioterapi yaitu mengembalikan dan memelihara fungsi otot-otot pernafasan, membantu membersihkan sekret dari bronkus, mencegah penumpukan sekret, serta memperbaiki pergerakan dan aliran sekret. Fisioterapi dada dapat digunakan untuk pengobatan dan pencegahan pada penyakit paru obstruktif menahun, penyakit pernafasan restriktif termasuk kelainan neuromuskuler dan penyakit paru restriktif karena kelainan parenkim paru seperti fibrosis dan
Pendahuluan PPOK merupakan penyakit paru-paru yang ditandai dengan obstruksi kronis aliran udara di paruparu yang mengganggu pernapasan normal dan tidak sepenuhnya reversibel (WHO, 2015). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, sekitar 3,7% penduduk Indonesia berusia 30 tahun keatas menunjukkan gejala menderita PPOK. Jawa Timur mendekati prevalensi nasional dengan 3,6% penduduk (Balitbangkes Kemenkes RI, 2013). PPOK dapat disebabkan oleh beberapa jenis lesi anatomis, termasuk hilangnya elastisitas paru, fibrosis paru dan penyempitan saluran udara kecil. Peradangan, edema, dan sekresi juga berkontribusi terhadap keterbatasan aliran udara. Merokok dan asap lain dapat menyebabkan PPOK melalui mekanisme induksi respon inflamasi. Asap juga dapat menghambat perbaikan jaringan yang menjadi ciri khas emfisema, sedangkan perbaikan yang abnormal dapat menyebabkan fibrosis peribronkiolar yang menyebabkan keterbatasan aliran udara di bronkiolus. Radang saluran pernapasan bagian bawah yang dihasilkan dari asma atau gangguan kronis lainnya juga dapat berkontribusi terhadap perkembangan obstruksi jalan napas (Spurzem & Rennard, 2005). Beberapa gejala PPOK yaitu sesak nafas (dyspnea), batuk kronis, terbentuknya sputum kronis, dan eksaserbasi. Selama bertahun-tahun, dyspnea cenderung bertambah parah secara bertahap sehingga dapat terjadi pada aktivitas yang ringan. Pada tahap lanjut, dyspnea dapat menjadi buruk yang terjadi selama istirahat dan selalu muncul. Orang
15
Jurnal Keperawatan Madiun Vol. 3 No. 1 Maret 2016: 14-20
pasien yang mendapat ventilasi mekanik. Fisioterapi dada ini meliputi rangkaian postural drainage, perkusi, vibrasi dan batuk efektif (PDPI, 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fisioterapi dada terhadap ekspektorasi sputum dan peningkatan saturasi oksigen penderita PPOK. Sedangkan hipotesis penelitian ini adalah tindakan fisioterapi dada berpengaruh dalam pengeluaran sputum dan meningkatkan saturasi oksigen penderita PPOK.
efektif, kemudian dilakukan posttest. Karena berdasarkan uji ShapiroWilk sebaran data yang diperoleh tidak normal, maka analisis data menggunakan uji Wilcoxon SignedRank. Hasil 1. Pengaruh Fisioterapi Dada terhadap Ekspektorasi Sputum Dari uji Wilcoxon, pada kelompok kontrol diperoleh nilai signifikansi 0.008 (p < 0.05), yang berarti terdapat perbedaan ekspektorasi sputum yang bermakna antara sebelum perlakuan dengan sesudah perlakuan. Sedangkan pada kelompok eksperimen diperoleh nilai signifikansi 0.000 (p < 0.05), yang berarti terdapat perbedaan ekspektorasi sputum yang bermakna antara sebelum perlakuan dengan sesudah perlakuan pada kelompok eksperimen.
Bahan dan Metode Penelitian bersifat kuantitatif eksperimen dengan desain quasi experimental yaitu penelitian menggunakan dua kelompok sampel terdiri dari satu kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol, dengan sebelum dan setelah perlakuan dilakukan observasi. Penelitian dilakukan di RS Paru Dungus Madiun pada bulan September-Desember 2015. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien PPOK yang menjalani rawat jalan di RS Paru Dungus Madiun. Setelah penggunaan teknik purposive sampling, didapatkan sampel berjumlah 31 orang, yang dibagi menjadi 15 orang untuk kelompok kontrol dan 16 orang untuk kelompok eksperimen. Perlakuan diberikan sebanyak satu kali dengan setiap sebelum dan setelah perlakuan sputum dibatukkan. Setiap sebelum dan setelah perlakuan saturasi oksigen responden diukur menggunakan oksimetri. Pengukuran saturasi dilakukan segera setelah responden ekspektorasi dan 5 menit kemudian. Kelompok kontrol diberikan penyuluhan tentang PPOK selama ± 10 menit lalu dilatih batuk
4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Pre test
Post test
Kelompok Kontrol
0.2
0.87
Kelompok Eksperimen
0.75
3.94
Grafik 1 Berdasarkan grafik 1, dapat disimpulkan bahwa rerata ekspektorasi sputum pre-test untuk kelompok kontrol adalah 0,2 cc, sedangkan untuk kelompok eksperimen 0,75 cc. Setelah dilakukan batuk efektif pada 10 menit setelah pre-test, didapatkan rerata ekspektorasi sputum pada kelompok kontrol 0,87 cc, atau mengalami peningkatan sebesar 0,67 cc. Sedangkan setelah dilakukan
16
Pengaruh Fisioterapi Dada terhadap Ekspektorasi Sputum dan Peningkatan Saturasi Oksigen Penderita PPOK di RSP Dungus Madiun (Priadi)
fisioterapi dada selama 5-10 menit kemudian batuk efektif, didapatkan rerata ekspektorasi sputum pada kelompok eksperimen sebesar 3,94 cc, atau mengalami peningkatan sebesar 3,19 cc. Dapat disimpulkan bahwa pada kelompok yang diberikan fisioterapi dada didapatkan ekspektorasi sputum yang lebih baik dan terdapat perkembangan ekspektorasi sputum yang lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan fisioterapi dada. 2. Pengaruh Fisioterapi Dada terhadap Saturasi Oksigen Dari uji Wilcoxon, pada kelompok kontrol diperoleh nilai signifikansi 0.476 (p > 0.05), yang berarti tidak terdapat perbedaan saturasi oksigen yang bermakna antara sebelum perlakuan dengan sesudah perlakuan. Sedangkan pada kelompok eksperimen diperoleh nilai signifikansi 0.003 dan 0.046 (p < 0.05), yang berarti terdapat perbedaan saturasi oksigen yang bermakna antara sebelum perlakuan dengan sesudah perlakuan pada kelompok eksperimen. 97 96.5 96 95.5 95 94.5 94 93.5 93 92.5 92 91.5
Pre test
Post test 1
Kelompok Kontrol
95.53
96.07
Kelompok Eksperimen
95.31
93.56
10 menit setelah pre-test, didapatkan rerata saturasi oksigen pada kelompok kontrol 96,07%, atau mengalami peningkatan sebesar 0,54%. Sedangkan setelah dilakukan fisioterapi dada selama 5-10 menit kemudian batuk efektif, didapatkan rerata saturasi oksigen pada kelompok eksperimen sebesar 93,56%, atau mengalami penurunan sebesar 1,75%. Tetapi setelah ditunggu selama 5 menit, rerata saturasi oksigen pada kelompok eksperimen berubah menjadi 96,69%, atau mengalami peningkatan sebesar 1,38% dari pre-test. Dapat disimpulkan bahwa pada kelompok yang diberikan fisioterapi dada didapatkan saturasi oksigen yang awalnya terdapat penurunan saturasi oksigen namun berubah menjadi kenaikan yang lebih besar setelah 5 menit jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan fisioterapi dada. Pembahasan 1. Pengaruh Fisioterapi Dada terhadap Ekspektorasi Sputum Terdapat perbedaan rerata ekspektorasi sputum antara kelompok yang tidak diberikan fisioterapi dada maupun kelompok yang diberikan fisioterapi dada, dimana ekspektorasi sputum yang lebih baik didapatkan oleh kelompok yang diberikan fisioterapi dada. Artinya, tindakan fisioterapi dada dapat meningkatkan ekspektorasi sputum lebih baik daripada hanya batuk efektif. Mukus dihasilkan dalam saluran napas, digiring ke faring dengan mekanisme pembersihan silia epitel saluran pernapasan. Produksi mukus yang berlebihan menyebabkan proses pembersihan tidak berjalan secara normal
Post test 2
96.69
Grafik 2 Berdasarkan grafik 2, dapat disimpulkan bahwa rerata saturasi oksigen pre-test untuk kelompok kontrol adalah 95,53%, sedangkan untuk kelompok eksperimen 95,31%. Setelah dilakukan batuk efektif pada 17
Jurnal Keperawatan Madiun Vol. 3 No. 1 Maret 2016: 14-20
sehingga mukus banyak tertimbun. Membran mukosa akan terangsang dan mukus akan dikeluarkan dengan tekanan intra thorakal dan intra abdominal yang tinggi, udara dibatukkan keluar dengan akselerasi yang cepat membawa sekret mukus yang tertimbun tadi. Mukus tersebut akan keluar sebagai sputum/dahak (Price & Wilson, 2011). Pada penderita PPOK, proses inflamasi merusak jaringan paru yang menyebabkan hipersekresi mukus. Penderita menjadi sesak napas, dapat disertai batuk atau berdahak (PDPI, 2003 dan Depkes RI, 2008) yang terbukti pada tanda dan gejala yang dialami oleh para subjek penelitian yaitu batuk berdahak disertai suara ronchi. Fisioterapi dada yang dilakukan pada penelitian ini terbukti membantu membersihkan jalan napas dari mukus/sekresi yang berlebihan, terdiri dari postural drainase, clapping, vibrasi, dan batuk efektif. Pengkajian dilakukan untuk menentukan lokasi tumpukan sekret kemudian memberikan posisi postural drainase yang dapat mengalirkan mukus ke jalan napas besar. Selama posisi tersebut, subjek dilakukan clapping atau perkusi dada diselingi dengan vibrasi, yang dapat melepaskan sekret yang melekat pada dinding bronkus. Tindakan diakhiri dengan batuk efektif yang dapat mengeluarkan sputum secara maksimal dengan penggunaan energi yang efisien. Peningkatan juga terjadi pada kelompok yang tidak dilakukan fisioterapi dada namun tidak sebanyak pada kelompok yang dilakukan fisioterapi dada karena subjek hanya melakukan batuk efektif saja.
2. Pengaruh Fisioterapi Dada terhadap Saturasi Oksigen Terdapat perbedaan rerata saturasi oksigen antara kelompok yang tidak diberikan fisioterapi dada maupun kelompok yang diberikan fisioterapi dada, dimana saturasi oksigen yang lebih baik didapatkan oleh kelompok yang diberikan fisioterapi dada setelah 5 menit. Artinya, tindakan fisioterapi dada dapat meningkatkan saturasi oksigen lebih baik daripada hanya batuk efektif. Saturasi oksigen adalah rasio antara jumlah oksigen aktual yang terikat oleh hemoglobin terhadap kemampuan total hemoglobin (Hb) darah mengikat oksigen disebut (Djojodibroto, 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi saturasi oksigen adalah: jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru (ventilasi), kecepatan difusi, dan kapasitas hemoglobin dalam membawa oksigen (Potter & Perry, 2006). Sedangkan kepatenan ventilasi tergantung pada faktor: (1) Kebersihan jalan nafas; (2) Adekuatnya sistem saraf pusat dan pusat pernafasan; (3) Adekuatnya pengembangan dan pengempisan paru-paru; (4) Kemampuan otot-otot pernafasan seperti diafragma, eksternal interkosa, internal interkosa, otot abdominal (Guyton & Hall, 2005). Pada penderita PPOK, proses inflamasi merusak jaringan paru yang menyebabkan hipersekresi mukus (PDPI, 2003). Hipersekresi mukus ini menjadi sumbatan atau obstruksi jalan napas yang menghalangi masuk dan keluarnya udara dari dan ke paru-paru, yang berakibat ventilasi menjadi tidak paten. Ketidakpatenan ini menurunkan jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru, yang menyebabkan absorpsi oksigen oleh
18
Pengaruh Fisioterapi Dada terhadap Ekspektorasi Sputum dan Peningkatan Saturasi Oksigen Penderita PPOK di RSP Dungus Madiun (Priadi)
darah berkurang, sehingga saturasi oksigen penderita PPOK dibawah normal. Hal ini terjadi pada 15 orang (48,39%) subjek, yang saat pre-test memiliki saturasi oksigen ≤ 95%. Secara statistik, fisioterapi dada yang dilakukan pada penelitian ini terbukti membantu membersihkan jalan napas dari mukus/sekresi yang berlebihan. Dalam prosesnya, kelompok eksperimen diberikan tindakan yang terdiri dari kombinasi postural drainase, clapping, vibrasi, dan batuk efektif. Ketidaknyamanan akibat posisi yang tidak ergonomis selama 5-10 menit, tepukan dan getaran berulang, batuk saat berbaring, serta batuk yang kuat meningkatkan penggunaan oksigen, sehingga dapat menurunkan kadar saturasi oksigen subjek. Hal ini menjelaskan kadar saturasi oksigen segera setelah perlakuan yang menurun. Namun setelah saluran napas lebih bersih, subjek dapat bernapas dengan lebih lega, jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru bertambah, serta absorpsi oksigen membaik. Maka didapatkan bahwa pada 5 menit setelah perlakuan, saturasi oksigen kelompok eksperimen meningkat. Temuan dalam penelitian ini dapat mengarah pada kesimpulan bahwa pemberian fisioterapi dada dapat meningkatkan saturasi oksigen penderita PPOK. Namun sebaiknya hanya diberikan kepada pasien PPOK ringan sampai sedang, karena saturasi oksigen yang menurun segera setelah perlakuan jika terjadi pada pasien PPOK berat atau gagal napas kronik dikhawatirkan dapat mengancam nyawa.
peningkatan saturasi oksigen penderita PPOK. b. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi ekspektorasi sputum dan saturasi oksigen pada penderita PPOK, penggunaan desain penelitian true experimental dan perlakuan berulang, penelitian di instansi pelayanan kesehatan lain, serta pengaruh fisioterapi dada terhadap fungsi paru penderita PPOK. c. Fisioterapi dada dapat dijadikan alternatif dalam penatalaksanaan PPOK derajat ringan dan sedang, terutama untuk tujuan meningkatkan ekspektorasi sputum dan saturasi oksigen, agar pasien dapat mengeluarkan dahak dan membersihkan jalan napas, yang pada akhirnya memperbaiki oksigenasi jaringan tanpa menggunakan obat-obatan. Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Djojodibroto, R. Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC Guyton, A.C. & Hall, J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1022 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Simpulan dan Saran a. Fisioterapi dada berpengaruh terhadap ekspektorasi sputum dan
19
Jurnal Keperawatan Madiun Vol. 3 No. 1 Maret 2016: 14-20
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK): Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat PDPI Potter, P.A. & Perry, A.G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Ed. 6. Jakarta: EGC Price, S.A. & Wilson, L.M. 2011. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Vol. 1. Jakarta: EGC Putra, IGN Paramartha Wijaya & Artika, I Dewa Made. 2013. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Spurzem, John R. & Rennard, Stephen I. 2005. Pathogenesis of COPD. https://www.thiemeconnect.com/DOI/DOI?10.10 55/s-2005-869535. Diakses 13 Februari 2015 pukul 22.10 WIB World Health Organization. 2015. COPD: Definition. http://www.who.int/respirator y/copd/definition/en/. Diakses 13 Februari 2015 pukul 18.40 WIB
20