perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGARUH EKSTRAK ETANOL PROPOLIS TERHADAP DERAJAT INFLAMASI BRONKUS TIKUS PUTIH MODEL ASMA ALERGI
SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
DESSY SUCI RACHMAWATI G.0008009
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 9 Januari 2012
Dessy Suci Rachmawati NIM. G0008009
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Dessy Suci Rachmawati, G0008009, 2012. Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Derajat Inflamasi Bronkus Tikus Putih Model Asma Alergi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta Tujuan Penelitian : Mengetahui pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap derajat inflamasi bronkus pada tikus putih model asma alergi. Metode Penelitian : Eksperimental laboratorik dengan post test only control group design menggunakan 35 ekor tikus putih (Rattus norvegicus L) jantan, dibagi dalam 5 kelompok (kelompok kontrol, asma alergi, antihistamin 2 mg/tikus, ekstrak propolis 100 mg/kg BB, ekstrak propolis 200 mg/kg BB) masing-masing kelompok 7 ekor tikus. Sensitisasi hewan coba hari ke-1 dan 14 secara intraperitonial, dilanjutkan hari ke-21, 23, 25, dan 27 secara aerosol selama 20 menit. Hari ke-28 mencit dikorbankan dan diambil bronkusnya, dibuat preparat dengan pewarnaan Haematoxyllin-Eosin. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan Kruskall-Wallis dilanjutkan Mann-Whitney menggunakan program SPSS for Windows Release 16.0. Pada analisis data digunakan batas kemaknaan p < 0,05. Hasil Penelitian : Derajat inflamasi kelompok kontrol adalah grade 0 (40%) dan grade 1 (60%). Kelompok asma alergi adalah grade 3 (80%) dan grade 4 (20%). Kelompok antihistamin 2 mg/tikus adalah grade 1 (80%) dan grade 2 (20%). Kelompok ekstrak propolis 100 mg/kg BB adalah grade 2 (60%), grade 3 (20%), dan grade 4 (20%). Kelompok ekstrak propolis 200 mg/kg BB adalah grade 1 (40%) dan grade 2 (60%). Tidak terdapat perbedaan bermakna derajat inflamasi kelompok asma alergi dengan ekstrak propolis 100 mg/kg BB (p = 0,174). Terdapat perbedaan bermakna derajat inflamasi kelompok asma alergi dengan ekstrak propolis 200 mg/kg BB (p = 0,006). Derajat inflamasi kelompok ekstrak propolis 100 mg/kg BB dengan ekstrak propolis 200 mg/kg BB perbedaannya tidak bermakna secara statistik (p = 0,059). Simpulan Penelitian : Ekstrak etanol propolis menurunkan derajat inflamasi bronkus tikus putih model asma alergi. Kata kunci : propolis, derajat inflamasi, bronkus, asma alergi
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Dessy Suci Rachmawati, G0008009, 2012. The Effect of Ethanol Extract of Propolis with Bronchial Inflammation Grade in White Mouse Asthma Allergic Model, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta Objective : To understand the effect of ethanol extract of propolis with bronchial inflammation grade in white mouse asthma allergic model. Methods : Experimental laboratory with post test only control group design use 35 male white mouse, divided into five groups (control group, asthma allergic, anti-histamine 2 mg/mouse, propolis extract 100 mg/kg BW, propolis extract 200 mg/kg BW) each group consist of seven mouse. Sample was sensitized on day-1 and day-14 intraperitoneally, continued in day-21, 23, 25, and 27 aerosolly in 20 minutes. In day-28, sample was sacrificed and the bronchus was collected. The bronchial inflammation grade was observed with Haematoxylin-Eosin staining. The obtain data was analyzed statistically with Kruskall-Wallis continued with Mann-Whitney using program SPSS for Windows Release 16.0. The data was analyzed with margin of significance p < 0.05. Result : The inflammation grade of control group was grade 0 (40%) and grade 1 (60%). Asthma allergic group was grade 3 (80%) and grade 4 (20%). Antihistamine 2 mg/mouse was grade 1 (80%) and grade 2 (20%). Propolis extract 100 mg/kg BW was grade 2 (60%), grade 3 (20%), and grade 4 (20%). Propolis extract 200 mg/kg BW was grade 1 (40%) and grade 2 (60%). There is no significant difference between asthma allergic group and propolis extract 100 mg/kg BW in bronchial inflammation grade (p = 0,174). There is significant difference between asthma allergic model and propolis extract 200 mg/kg BW (p = 0,006). There is no significant difference between propolis extract 100 mg/kg BW and propolis extract 100 mg/kg BW (p = 0,059). Conclusion: Ethanol extract of propolis decrease bronchial inflammation grade in white mouse asthma allergic model. Keyword : propolis, inflammation grade, bronchus, asthma allergic
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PRAKATA Syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat yang dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Derajat Inflamasi Bronkus Tikus Putih Model Asma Alergi” Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat berbagai bimbingan dan bantuan, penulis dapat menyelesaikannya. Untuk itu perkenankanlah dengan setulus hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., SpPD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 3. Diding Heri Prasetyo, dr., M. Si. selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan waktu, bimbingan, saran, koreksi dan nasihat kepada penulis. 4. Sarsono, Drs., M. Si. selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan banyak bimbingan, pengarahan, dan masukan kepada penulis. 5. R. Prihandjojo Andri P., dr., M.Si selaku Penguji Utama yang telah berkenan menguji sekaligus memberikan banyak saran dan koreksi bagi penulisan skripsi ini. 6. Sri Hartati H., Dra., Apt., S.U. selaku Penguji Pendamping yang telah berkenan menguji dan memberikan saran yang berarti bagi penulisan skripsi ini. 7. Segenap Staf Laboratorium Biokimia FK UNS, Laboratorium Histologi FK UNS atas bantuannya selama penelitian dan penyusunan skripsi. 8. Ayah, Ibu, Kakak, serta keluarga penulis yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi. 9. Teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu proses penelitian dan pengerjaan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu kedokteran pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Surakarta, 9 Januari 2012
Penulis commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman COVER………………………………………………………………......... i PENGESAHAN SKRIPSI........................................................................... ii PERNYATAAN........................................................................................... iii ABSTRAK................................................................................................... iv ABSTRACT................................................................................................. v PRAKATA................................................................................................... vi DAFTAR ISI................................................................................................ vii DAFTAR GAMBAR................................................................................... ix DAFTAR TABEL........................................................................................ x DAFTAR GRAFIK...................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xii BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1 B. Perumusan Masalah..................................................................... 3 C. Tujuan Penelitian......................................................................... 3 D. Manfaat Penelitian....................................................................... 4 BAB II. LANDASAN TEORI.................................................................... 5 A. Tinjauan Pustaka........................................................................ 5 1. Propolis................................................................................ 5 a. Pengertian umum............................................................ 5 b. Komposisi kimia propolis.............................................. c. Flavonoid………………………………...…................ 2. Asma alergi…….................................................................. 3. Bronkus............................................................................... 4. Derajat inflamasi bronkus................................................... 5. Sensitisasi hewan coba model asma alergi…..................... B. Kerangka Pikiran……...……..................................................... 1. Kerangka pikiran konseptual............................................... 2. Kerangka pikiran teoritis..................................................... C. Hipotesis.................................................................................... BAB III. METODE PENELITIAN............................................................ A. Jenis Penelitian........................................................................ B. Lokasi Penelitian..................................................................... C. Subjek Penelitian..................................................................... D. Teknik Sampling...................................................................... E. Identifikasi Variabel Penelitian................................................ F. Skala Variabel.......................................................................... commit to user G. Definisi Operasional................................................................
vii
7 8 15 20 22 26 31 31 32 33 34 34 34 34 34 35 36 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
H. Penentuan Dosis Perlakuan………......................................... I. Rancangan Penelitian.............................................................. J. Alat dan Bahan Penelitian....................................................... K. Jalannya Penelitian…............................................................. L. Teknik Analisis Data............................................................... BAB IV. HASIL PENELITIAN................................................................... A. Hasil Penelitian....................................................................... B. Analisis Data........................................................................... BAB V. PEMBAHASAN............................................................................ BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN.......................................................... A. Simpulan.................................................................................. B. Saran........................................................................................ DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
commit to user
viii
38 39 40 41 43 45 45 52 54 58 58 58 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Struktur Molekul CAPE........................................................ 10 Gambar 2.2. Struktur Molekul Chrysin..................................................... 11 Gambar 2.3. Struktur Molekul Galangin................................................... 12 Gambar 2.4. Struktur Molekul Kuersetin…............................................... 13 Gambar 2.5. Histologi Bronkus…………………..................................... 21 Gambar 2.6. Neutrofil Segmen………….................................................. 22 Gambar 2.7. Eosinofil………………….................................................... 23 Gambar 2.8. Limfosit……………………................................................. 24 Gambar 2.9. Basofil……………………................................................... 25 Gambar 2.10. Makrofag…………………................................................. 26 Gambar 2.11. Skema Kerangka Pikiran Konseptual…………………….. 31 Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian……………………………… 39 Gamabr 3.2. Skema Alur Penelitian……………………………………... 43 Gambar 4.1. Gambaran Histologis Bronkus Grade 0 pada Kelompok K1…………………………………………………………. 45 Gambar 4.2. Gambaran Histologis Bronkus Grade 1 pada Kelompok K1......................................................................................... 46 Gambar 4.3. Gambaran Histologis Bronkus Grade 3 pada Kelompok K2………………………………………………................. 46 Gambar 4.4. Gambaran Histologis Bronkus Grade 4 pada Kelompok K2………………………………………………................. 47 Gambar 4.5. Gambaran Histologis Bronkus Grade 1 pada Kelompok K3………………………………………………................. 47 Gambar 4.6. Gambaran Histologis Bronkus Grade 2 pada Kelompok K3………………………………………………................. 48 Gambar 4.7. Gambaran Histologis Bronkus Grade 3 pada Kelompok K4………………………………………………................. 48 Gambar 4.8. Gambaran Histologis Bronkus Grade 4 pada Kelompok K4………………………………………………................. 49 Gambar 4.9. Gambaran Histologis Bronkus Grade 1 pada Kelompok K5………………………………………………................. 49 Gambar 4.10. Gambaran Histologis Bronkus Grade 2 pada Kelompok K5………………………………………………................. 50
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1. Komposisi Kimia Propolis......................................................... 7 Tabel 2.2. Jenis Flavonoid dan Aktivitas Biologisnya............................... 9 Tabel 4.1. Hasij Uji Statistik Mann-Whitney Antarkelompok................. 53
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GRAFIK
Halaman Grafik 4.1. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Kontrol (K1)... Grafik 4.2. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi (K2) ………………………………………………………….. Grafik 4.3. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi + Antihistamin (K3) ……………..………………...................... Grafik 4.3. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi + Propolis Dosis 100 mg/kg BB (K4) …..……..…..................... Grafik 4.3. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi + Propolis Dosis 200 mg/kg BB (K5) …………….....................
commit to user
xi
50 51 51 51 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Pembuatan Ekstrak Etanol Propolis Lampiran 2. Jadwal Penelitian Lampiran 3. Tabel Jumlah dan Prosentase Derajat Inflamasi Bronkus pada Masing- Masing Kelompok Perlakuan Lampiran 4. Tabel Hasil Uji Kruskall-Wallis Lampiran 5. Tabel Hasil Uji Mann-Whitney Lampiran 6. Tabel Konversi Dosis Manusia dan Hewan Lampiran 7. Tabel Daftar Volume Maksimal Larutan Sediaan Uji yang Dapat Diberikan pada Berbagai Hewan Lampiran 8. Foto Alat dan Bahan Lampiran 9. Foto Kegiatan Penelitian
commit to user
xii
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyakit alergi sering dijumpai di masyarakat, yang bisa menimbulkan kerusakan jaringan pada hampir semua organ tubuh, termasuk kulit, saluran napas dan saluran pencernaan (Tanjung & Yunihastuti, 2006). Alergi terjadi akibat respon imun berlebihan bila ada kontak terhadap alergen (Baratawidjaja, 2006). Apabila reaksi alergen terjadi di dalam bronkiolus paru maka akan menyebabkan asma (Guyton & Hall, 2007). Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya. Menurut data organisasi kesehatan dunia (WHO), penyandang asma di dunia mencapai 100-150 juta orang. Jumlah ini diduga terus bertambah sekitar 180 ribu orang per tahun (Arief, 2009). Proses alergi dimulai dengan pajanan alergen-alergen yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC) (Baratawidjaja, 2006). Hasil olahan alergen oleh APC selanjutnya akan dipresentasikan ke sel Cluster of Differentiation 4+ (CD4+) T-helper 2 (Th2) (Nairn & Helbert, 2002). Sel CD4+ Th2 akan menghasilkan interleukin (IL) 4 dan IL-13 yang memacu sel B (sel-sel plasma) untuk menghasilkan imunoglobulin (Ig) E (Abbas & Lichtman, 2003). Interleukin 5 juga dihasilkan oleh sel CD4+ Th2 yang akan menarik eosinofil ke tempat inflamasi (Sell, 2001). Imunoglobulin E yang commit to user
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terbentuk akan berikatan dengan sel mast dan menyebabkan degranulasi sel mast. Sel mast yang terdegranulasi akan melepaskan mediator-mediator inflamasi yang dapat menyebabkan spasme bronkus, edema, peningkatan sekresi mukus, dan konstriksi otot polos bronkus seperti histamin, leukotrien, dan prostaglandin. Faktor kemotaktis seperti IL-5 dan Tumour Necrosis Factor (TNF) α juga dilepaskan oleh sel mast (David et al., 2006). Faktor kemotaktis ini akan memacu infiltrasi sel-sel radang seperti eosinofil, limfosit, makrofag, neutrofil, dan basofil ke dalam jaringan bronkus (Abbas & Lichtman, 2003). Infiltrasi sel-sel radang menunjukan terjadinya inflamasi pada bronkus (Sundaru & Sukamto, 2006). Kortikosteroid, teofilin, agonis β2-adrenergik, leukotrien modifier, anti IgE sering digunakan dalam pengobatan asma.
Namun, obat-obat ini
memiliki efek samping menghambat pertumbuhan atau meningkatkan resiko eksaserbasi asma berat (Nelson et al., 2006). Salah satu pengobatan asma yang saat ini sedang dikembangkan adalah dengan menggunakan obat herbal (Handayani, 2001). Oleh karena itu, pembuktian manfaat obat tradisional melalui uji klinik yang didukung dengan penelitian imunologis perlu digalakkan (Djauzi, 2003). Propolis merupakan herbal yang bisa dimanfaatkan dalam terapi asma alergi. Senyawa terpenting dalam propolis adalah flavonoid. Salah satu flavonoid yang terkandung dalam propolis adalah caffeic-acid dan kuersetin (Kosalec et al., 2004). Caffeic-acid merupakan Ca-antagonis, sehingga mampu mencegah degranulasi sel mast yang akan melepaskan mediatorcommit to user
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mediator inflamasi setelah sel mast terjadi Ca influks (Kuby, 1997). Sedangkan kuersetin sebagai mast cell stabilizer (Duke, 2009) akan menguatkan efek penghambatan degranulasi sel mast. Dengan dihambatnya degranulasi sel mast, maka sekresi vasoaktif amin seperti histamin, mediator lipid, serta sitokin yang berperan dalam proses inflamasi pada reaksi alergi akan berkurang. Dengan sejumlah aktivitas biologis yang ditunjukkan oleh propolis tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh
propolis terhadap derajat inflamasi bronkus tikus model asma
alergi dan apakah propolis memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi terapi adjuvant dalam penatalaksanaan asma alergi.
B. Rumusan Masalah Adakah pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap derajat inflamasi bronkus pada tikus putih model asma alergi?
C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap derajat inflamasi bronkus pada tikus putih model asma alergi.
commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh propolis terhadap penatalaksanaan asma alergi khususnya derajat inflamasi bronkus. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan menjadi langkah awal untuk penelitian lebih lanjut dalam pemanfaatan propolis sebagai obat anti asma alergi, serta sebagai bahan pertimbangan dalam pelayanan kesehatan.
commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Propolis a. Pengertian Umum Lebah menghasilkan beberapa produk seperti madu, royal jeli, polen dan propolis. Propolis sebagai kompleks resin yang dikumpulkan lebah madu dari berbagai sumber tanaman untuk kemudian dicampur dengan air liurnya, sehingga menghasilkan produk lebah yang bermanfaat (Marcucci et al., 2001; Salatino et al., 2005). Secara penampakan fisik (warna), aroma, dan komposisi kimiawi propolis terlihat bervariasi tergantung dari berbagai faktor. Warnanya mungkin putih kekuningan (krem), kuning, hijau, coklat terang atau gelap. Beberapa sampel memiliki tekstur rapuh keras, sedangkan sampel lainnya mungkin elastis dan kenyal. Propolis berasal dari bahasa Yunani, pro yang berarti pertahanan dan polis berarti kota. Dengan demikian menyiratkan bahwa propolis sebagai produk yang terlibat dalam pembelaan terhadap masyarakat lebah (Salatino et al., 2005), yang digunakan oleh lebah dalam pembuatan, pemeliharaan, perlindungan dan mensterilkan sarang lebah (Marcucci et al., 2001). Faktor-faktor biologik, zona geografis dan lingkungan dapat mempengaruhi jumlah dan kualitas produksi propolis (Pereira et al., commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2009). Beberapa penelitian melaporkan bahwa komposisi propolis dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti sumber bunga (jenis tanaman) untuk madu, musim dan faktor-faktor lingkungan (seperti jenis tanah, iklim, faktor genetik, dan metode pengolahan). Dengan kata lain, kemungkinan efek-efek yang berhubungan dengan kesehatan sangat tergantung asal-usulnya (Baltrusaityte et al., 2007). Komposisi propolis sangat kompleks. Unsur utamanya adalah lilin lebah, resin dan senyawa volatil. Lebah mensekresikan lilin lebah, sedangkan resin dan senyawa volatil berasal dari tanaman. Aktivitas biologis propolis ditentukan oleh zat tanaman ini berasal. Oleh karena itu, meskipun propolis jelas merupakan produk binatang, proporsi yang cukup besar dari komponen-komponennya yang berperan dalam menentukan aktivitas biologis berasal dari tanaman. Resin merupakan kandungan yang kebanyakan ditemukan dalam ekstrak alkohol dikonsumsi oleh orang dari berbagai negara sebagai makanan pelengkap atau obat alternatif (Salatino et al., 2005). Beberapa senyawa telah diidentifikasi dalam propolis, terutama resin (50%), lilin (30%), minyak esensial (10%), serbuk sari (5%), dan senyawa organik lainnya (5%) (Sivasubramaniam & Seshadri, 2005; G’omez-Caravaca et al., 2006; Viuda-Martos et al., 2008).
commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Komposisi Kimia Propolis Komposisi kimia propolis disajikan pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Komposisi Kimia Propolis Kelas komponen Resin
Jumlah 45-55%
Group Komponen Flavonoid, asam fenolat dan esternya
Lilin dan asam lemak
25-53%
Sebagian besar dari lilin lebah dan beberapa dari tanaman Senyawa volatile
Minyak essensial
10%
Protein
5%
Senyawa organik lain dan mineral
5%
Protein kemungkinan berasal dari polen dan amino bebas
14 macam mineral yang paling terkenal adalah Fe dan Zn, sisanya seperti Au, Ag, Cs, Hg, La, dan Sb. Senyawa lain seperti keton, laktan, kuinon, asam benzoate dan esternya, gula, vitamin B3. (Sivasubramaniam & Seshadri, 2005). Senyawa yang terkandung dalam propolis, secara garis besar
dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu (i) flavonoid (flavonol, flavon, flavanon, dan hidroflavonol), (ii) turunan cinnamic acid, dan (iii) terpenoid. Flavonol (kaempferide, kaempferol, galangin, isorhamnetin, rhamnetin, myricetin, fisetin dan rutin), flavon (apigenin, acacetin, baicalein, chrysin, luteolin dan tectochrysin), flavanon (pinocembrin, sakuranetin dan isosakura-netin), turunan cinnamic acid (ferulic acid, p-coumaric acid dan caffeic acid) dan terpenoids (tt-farnesol, β-caryophyllene, terpineol dan syringaldehyde) (Sivasubramaniam & Seshadri, 2005; Lotfy, 2006). Senyawa-senyawa tersebut memiliki peran penting
dalam
commit to user aktivitas biologik propolis,
antara
lain
sebagai
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
imunomodulator, antimikrobial, antioksidan, antiinflamasi, antifungal, antiprotozoa, antiparasit dan antiproliferatif (Banskota et al., 2001; Koo et al., 2002; Ahn et al., 2004; Lotfy, 2006; El-Bussuony & Abouzid, 2010). Sehingga banyak digunakan sebagai ”obat” secara umum pada sistem kardiovaskuler dan darah (anemia), alat pernapasan (untuk berbagai infeksi), perawatan gigi, dermatologi (regenerasi jaringan, ulkus, eksim, penyembuhan luka-terutama luka bakar, mikosis, infeksi selaput lendir dan lesi ), pengobatan kanker, perbaikan dan penunjang sistem imunitas, saluran pencernaan (ulkus dan infeksi), hepatoprotektor dan lain sebagainya (Sivasubramaniam & Seshadri, 2005).
c. Flavonoid Flavonoid banyak terkandung dalam buah, sayuran, minuman yang berasal dari tanaman, dan dalam sejumlah makanan suplemen maupun obat-obatan herbal (Moon et al., 2006). Flavanoid juga dikenal sebagai bioflavanoid memiliki kelas beragam, secara alami disusun dari polifenol tanaman yang memiliki berbagai aktivitas biologis penting dalam terapi. Secara kimiawi dikenal ada 12 kelas flavonoid yaitu flavon, isoflavon, flavan,
flavanon,
flavanol
flavanolol,
anthosianidin,
katekhin,
leuko-anthrosianidin, khalkon, dihidrokhalkon, dan auron. Jenis-jenis flavanoid dan aktivitas biologisnya disajikan pada tabel 2.2.
commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 2.2. Jenis Flavonoid dan Aktivitas Biologisnya Jenis flavanoid
Aktivitas biologis
Anthosianidin
Efek menguntungkan pada sirkulasi dan penglihatan, dan antibakteri.
Hesperidin
Mencegah kerapuhan kapiler.
Myrecetin
Anti-oksidan, mencegah kerusakan selsel syaraf dari radikal bebas.
Nobitelin
Anti-inflamasi detoksifikasi.
dan
membantu
Proanthosianidin (juga dikenal Efek antioksidan, 20 kali lebih besar Sebagai pycnogenols) dibandingkan vitamin E. Kuersetin
Mencegah pembentukan katarak. Membantu permasalahan yang berhubungan dengan alergi, seperti hay fever, asma dan eczema. Kuersetin struksturnya seperti obat anti-alergi yaitu disodium chromoglycate.
Rutin
Membantu dalam pengobatan hipertensi, memar dan perdarahan bawah kulit, termasuk kemerahan akibat radiasi.
(Lazarides, 2010) Flavanoid banyak digunakan sebagai makanan suplemen untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit, karena sangat aman dan toksisitasnya rendah (Moon et al., 2006). Beberapa ribuan flavanoid tanaman telah diidentifikasi dan kadar kemaknaan biologis dari bioflavanoid dalam manusia ditunjukkan pada konsumsi 1 gram/hari. Secara umum dianggap bersifat non-toksik (Heo et al., 2001). Flavonoid dilaporkan memperlihatkan aktivitas biologik yang luas, termasuk antibakteri,
antiviral, commit antiinflamasi, to user antialergik
dan
vasodilatasi.
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
Flavonoid juga menunjukkan antioksidan, agregasi trombosit, fragilitas dan permeabilitas kapiler, dan menghambat aktivitas sistem enzim termasuk siklooksigenase dan lipoksigenase (Viuda-Martos et al., 2008). Selain itu flavonoid berpotensi untuk pencegahan atau pengobatan arthritis, kardiovaskuler, dan beberapa kanker, termasuk kanker payudara (Murray et al., 2006). 1) Caffeic acid phenethyl ester. Caffeic acid phenethyl ester (CAPE) merupakan antioksidan fenolik, yang memperlihatkan sejumlah efek farmakologik dan biologik termasuk aktivitas antiinflamasi (Jung et al., 2008), antiviral dan antitumor (Orsolic et al., 2005). CAPE merupakan penghambat yang poten dan spesifik terhadap aktivasi Nuclear Factor (NF)-κB (Fitzpatrick et al., 2001). Peningkatan reactive oxygen species (ROS) maupun aktivitas NF-κB pada pemberian ovalbumin (OVA) inhalasi, maupun diminimalkan dengan pemberian CAPE. Hal ini mengindikasikan stres oksidatif memiliki fungsi penting dalam patogenesis asma bronkial dan CAPE dapat digunakan sebagai terapi pembantu dalam penatalaksanaan asma bronkial (Jung et al., 2008).
user dari Scapagnini et al., 2002) Gambar 2.1. Struktur Molekulcommit CAPE to (diambil
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Chrysin Chrysin (5,7-dihydroxyflavone) adalah senyawa flavon alami yang ditemukan pada tanaman. Beberapa penelitian terkini menunjukkan chrysin memiliki banyak aktivitas biologis, seperti antiinflamasi, antikanker, dan antioksidan (Cho et al., 2004; Harris et al., 2006; Fu et al., 2007). Aktivitas antiinflamasi chrysin melalui mekanisme penekanan aktivitas promoter enzim-enzim proinflamasi, cyclooxygenase-2 (COX-2) dan iNOS (Cho et al., 2004). Chrysin berpotesi untuk menghambat angiogenesis dan tumorigenesis, melalui penghambatan hypoxiainducible
factor-1
(HIF-1)
yang
merupakan
faktor
transkripsi
heterodimer. HIF-1 diekspresikan secara berlebih pada sejumlah kanker pada manusia dan kadarnya akan meningkat pada angiogenesis dan tumorigenesis (Fu et al., 2007).
B 7
A 5
C
2
4΄ 3΄
3
4
Gambar 2.2. Struktur Molekul Chrysin (diambil dari Harris et al., 2006)
commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Galangin Galangin (3,5,7-trihydroxyflavone) termasuk salah satu kelas flavonoid yang dikenal sebagai flavonol. Galangin adalah komponen utama propolis lebah madu yang memiliki aktivitas antiinflamasi (Borrelli et al., 2002). Aktivitas biologis galangin yang lain adalah menghalangi induksi mRNA iNOS selama respon inflamasi (Blonska et al., 2004), menurunkan transkripsi COX-2 (O’Leary et al., 2004), menghambat replikasi virus secara in vitro (Amoros et al., 1992), menekan pertumbuhan sel bakteri (Bosio et al., 2000) dan menghambat proliferasi sel kanker payudara melalui penurunan regulasi siklin D3, E, dan A. Galangin menghambat aktivitas aryl hydrocarbon receptor (AhR), suatu faktor transkripsi yang terlibat dalam memprakarsai dan pertumbuhan tumor payudara (Murray et al., 2006).
Gambar 2.3. Struktur Molekul Galangin (diambil dari http://common.wikimedia.org/wiki/Category:Flanonols) 4) Kuersetin Kuersetin (3,3’,4’,5,7-pentahydroxyflavone), merupakan flavonoid yang banyak ditemukan pada tanaman ataupun buah-buahan termasuk commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bawang, brokoli, apel, teh, coklat, dan anggur merah. Kuersetin adalah flavonoid utama yang banyak ditemukan pada makanan yang dikonsumsi manusia., di USA diperkirakan asupan kuersetin berkisar 25 mg/hari (Nanua et al., 2006). Oleh karena itu, kuersetin memiliki aktivitas biologis yang beragam. Aktivitas biologis yang ditunjukkan antara lain adalah efek pro-apopotosis dan antiproliferatif untuk sejumlah sel kanker ataupun pre-neoplastik, antiinflamasi, proteksi terhadap stres oksidatif.
Gambar 2.4. Struktur Molekul Kuersetin (diambil dari Santos et al., 2008)
Pemanfaatan kuersetin untuk kesehatan, antara lain : a) Manfaat kuersetin pada penyakit saluran nafas. Manfaat potensi kuersetin dalam pengobatan penyakit saluran nafas,
karena
beberapa
penelitian
telah
menunjukkan
efek
penghambatan pada produksi sitokin atau kemokin dalam kultur sel. Kuersetin dapat mengurangi produksi nitric oxide (NO) yang diinduksi lipopolisakarida, eksprsi iNOS, dan pelepasan TNF-α dan IL-6. commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kuersetin sangat mengurangi aktivasi mitogen-activated protein kinases (MAPK) dan NF-κB, suatu kompleks faktor transkripsi yang sangat berperan dalam ekspresi gen-gen proinflamasi (Cho et al., 2003). Kuersetin juga memiliki efek penghambatan terhadap aktivasi sel mast dan pelepasan histamin, TNF-α, IL-6, dan IL-8 (Kimata et al., 2005).
Kuersetin
menghambat
induksi
IL-8
dan
monocyte
chemotractant protein (MCP)-1 oleh TNF-α pada kultur sel synovial manusia. EM-X, suatu campuran mengandung kuersetin berasal dari fermentasi beras yang tidak dipoles, papaya, dan rumput laut, memperlihatkan penghambatan ekspresi IL-8 yang diinduksi TNF-α pada kultur sel epitel alveolar manusia (Deiana et al., 2002). Hasilhasil
penelitian
tersebut
konsisten
paa
suatu
gagasan
yang
memperlihatkan bahwa kuersetin dapat mengurangi inflamasi saluran nafas pada paisen asma. b) Manfaat kuersetin pada sistem kardiovaskuler. Flavonoid dapat memperbaiki fungsi endotel dan akhirnya menyebabkan efek kardiovaskuler yang menguntungkan. Kuersetin dapat meningkatkan status NO dan mengurangi konsentrasi endotelin1 dan dengan demikian dapat memperbaiki fungsi endotel (Loke et al., 2008). Konsumsi makanan yang kaya akan kuersetin akan menurunkan risiko thrombosis dan penyakit kardiovaskuler (Hubbard et al., 2006).
commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Manfaat kuersetin sebagai antioksidan. Sehubungan
dengan
aktivitas
antioksidan,
antitumor
dan
antiinflamasi, kuersetin banyak diteliti pada sejumlah model kanker sebagai agen kemoprotektif. Kuersetin memperlihatkan penghambatan berbagai macam kanker, seperti kanker prostat, cervix, paru, payudara dan kolon. Penelitian terbaru telah mengungkapkan bahwa kuersetin menghambat proliferasi sel dengan menyebabkan apoptosis dan/atau menahan siklus sel (Lee et al., 2006). Kuersetin merupakan antioksidan yang kuat, sebab kuersetin dapat mengikat logam-logam, menangkap radikal bebas, dan menghambat xanthine oxidase dan lipid peroxidation secara in vitro (Vulcain et al., 2005).
2. Asma Alergi Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi yang berbahaya pada pajanan berikutnya (Dorland, 2002). Alergi juga merupakan suatu kondisi inflamasi yang disebabkan adanya alergen dan dapat menimbulkan reaksi imun yang merugikan. Sensitisasi alergen dapat memicu timbulnya inflamasi. Paparan berulang dari alergen dapat lebih mengaktifkan proses inflamasi (Lockey & Bukanzt, 1999). Alergi bersifat spesifik pada tiap individu, tidak menular, dan dapat muncul bila terpapar oleh antigen (Chavis, 2001). commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Asma
alergi
termasuk
reaksi
hipersensitivitas
tipe
1,
yaitu
hipersensitivitas cepat (Sacher & Mc Pherson, 2000). Reaksi alergi diperantarai oleh IgE, tetapi sel B dan sel T memerankan peranan yang penting dalam perkembangan antibodi (Anand, 2007). Apabila reaksi alergi terlokalisasi di bronkiolus maka akan timbul asma (Sherwood, 2001). Asma adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas segera maupun fase lambat secara berulang yang mengakibatkan trias klinikopatologis obtruksi jalan napas intermiten dan reversibel, inflamasi bronkus kronis dengan eosinofil, serta hipertrofi otot polos bronkus dan hipereaktifitas terhadap bronkokonstriktor (Abbas & Lichtman, 2003). Terjadinya alergi dimulai dengan pajanan awal terhadap alergen tertentu (Robbins, 2007). Ketika alergen masuk tubuh secara inhalasi dan ditangkap oleh APC, diproses lalu dipresentasikan ke sel T CD4+. Sel T CD4+ dapat berdiferensiasi menjadi dua sel efektor, yaitu sel CD4+ Th1 dan sel CD4+ Th2. Ketidakseimbangan antara sel CD4+ Th1 dan sel CD4+ Th2 merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit imunologi, termasuk penyakit alergi, dimana pada kasus alergi sel T CD4+ akan berdiferensiasi menjadi sel CD4+ Th2 (Anand, 2004; Baratawidjaja, 2006). Sel CD4+ Th2 berperan dalam menimbulkan inflamasi yang menjadi dasar dari penyakit asma. Sel–sel ini mensekresikan IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 dan IL-13 (Herrick & Bottomly, 2003). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
Interleukin 4, IL-5, IL-6 dan IL-13 merangsang pertumbuhan, proliferasi, diferensiasi, dan pematangan sel B menjadi sel plasma dan memproduksi IgE. IL-5 berfungsi merangsang pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil serta sekresi berbagai sitokin. Sedangkan IL-4 bersama IL-10 dan IL-13 berperan dalam merangsang pertumbuhan sel mast (Li-Weber & Krammer, 2003 ; Janeway, 2004 ; Kresna, 2001). Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Proses perlekatan IgE pada sel mast disebut sensitisasi. Setelah tersensitisasi, sel mast mempengaruhi reaksi inflamasi (Abbas & Licthman, 2003). Proses inflamasi pada asma alergi meliputi inflamasi akut dan inflamasi kronik a. Inflamasi akut 1) Reaksi fase awal (early phase reaction) Apabila terjadi paparan ulang oleh alergen maka produksi IgE spesifik akan meningkat dan terbentuk ikatan antara alergen dengan dua atau lebih IgE pada sel mast yang disebut sebagai croos-linking (Abbas & Litchman, 2003). Ikatan IgE tersebut menyebabkan peningkatan influks ion kalsium yang memudahkan sel mast dan basofil untuk melepaskan berbagai performed mediators. Diantaranya adalah histamin, yang menyebabkan kontraksi bronkus, vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular (Mangatas dkk., 2006). Terikatnya histamin pada endotel menyebabkan konstriksi sel yang menimbulkan kebocoran plasma ke dalam jaringan (Abbas & commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lichtman, 2003). Bocornya protein akan merangsang penebalan dinding saluran napas dan pembentukan sumbatan dalam bentuk eksudat yang terdiri dari campuran protein plasma dengan mukus, selsel radang, dan berbagai komponen inflamasi. Eksudasi plasma merusak integritas epitel saluran napas dan berakibat pengelupasan epitel saluran napas (Mangatas dkk., 2006). Pada sistem imun, histamin meningkatkan sekresi sitokin CD4+ Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13 serta menghambat produksi sitokin CD4+ Th1 yaitu IL-2, IL-12, dan interferon (IFN)γ (Guntur, 2004). 2) Reaksi fase lambat (late phase reaction) Fase ini timbul setelah 6-9 jam paparan alergen dan meliputi pengerahan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, neutrofil, dan makrofag. Sel-sel tersebut diaktivasi oleh sitokin-sitokin yang diproduksi pada inflamasi sebelumnya. Interleukin 3, IL-5, dan Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor (GM-CSF) akan memacu produksi dan aktivasu eosinofil; sedangkan TNF α akan meningkatkan ekspresi molekul adesi endotel terhadap leukosit seperti E-Selection
dan Intracellular
Adhesion
Molecule-1
(ICAM-1)
(Mangatas dkk., 2006; Janeway et al., 2005). Reaksi fase lambat ditandai oleh retensi selektif sel T pada saluran nafas, ekspresi molekul adhesi, serta pelepasan newly generated mediators yaitu derivat asam arakhidonat. Fosfolipid sel mast, eosinofil, makrofag, trombosit, dan endotel vaskular merupakan commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sumber asam arakhidonat yang sintesisnya memerlukan bantuan enzim fosfolipase. Termasuk dalam newly generated mediators di antaranya adalah prostaglandin (PG), tromboksan (TX), leukotrien (LT), dan platelet activating factors (PAF) (Mangatas dkk., 2006). LTC4, LTD4, dan TXA2 bersifat sebagai bronkokontriktor poten, sedangkan PGA2α, PGD2, dan PAF menyebabkan bronkokonstriksi, meningkatkan permebilitas vaskular dan sekresi mukus. Dalam konsentrasi tinggi, PAF juga menyebabkan agregasi trombosit dan pembentukan mikrotrombus. Hal ini terus menerus terjadi sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat (Mangatas dkk., 2006). b. Inflamasi kronik Survival sel inflamasi pada saluran nafas lebih tinggi lagi oleh adanya peningkatan molekul adhesi seperti ICAM dan VCAM (Vascular Cell Adhesion Molecule) yang melekatkan sel-sel radang pada saluran nafas (Mangatas dkk., 2006). Karakteristik inflamasi kronik asma alergi adalah sebagai berikut: 1) Pengelupasan epitel saluran nafas (airway epithelial shedding). Akibat reaksi inflamasi, terjadi pembengkakan, vakuolisasi, hilangnya silia epitel,
penambahan jumlah
sel goblet, serta
pengelupasan sebagian epitel saluran nafas. Penyebab pengelupasan epitel diperkirakan adalah eksudasi plasma, berbagai mediator toksik seperti radikal bebasoksigen, TNF-α, hasil degranulasi sel mast, protein proteolitik eosinofil, serta mataloprotease dari epitel maupun commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari sel mast. Penyebab lainnya adalah gangguan adhesi antar sel (Mangatas dkk., 2006). Akibat pengelupasan epitel, terjadi hiperresponsivitas bronkus, peningkatan permeabilitas mukosa saluran nafas, dan penurunan jumlah enzim endoprotease netral, seperti substansi P, yang berfungsi mendegradasi sitokin proinflamasi (Mangatas dkk., 2006). 2) Aktivasi sel epitel Sel epitel saluran nafas turut berperan dalam reaksi inflamasi asma alergi. Reaksi inflamasi ini bertujuan memperbaiki kerusakan jaringan epitel akibat asma. Sel epitel yang teraktivasi melepaskan berbagai mediator, antara lain 15-hydroxyeicotetraenoic acid (15HETE), PGE2, fibronektin, eotaksin. Selain itu,terjadi peningkatan ekspresi berbagai pertanda inflamasi seperti molekul adhesi, nitrit oxide synthetase (NOS) dan endotelin (Mangatas dkk., 2006).
3. Bronkus Bronkus terdiri atas bronkus primer atau ekstrapulmonal dan bronkus sekunder atau intrapulmonal. Bronkus intrapulmonal merupakan hasil percabangan dari bronkus ekstrapulmonal sehingga ukurannya lebih kecil. Bronkus tersusun oleh beberapa lapisan, yaitu :
commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Lamina mukosa Lapisan ini terdiri atas epitel bertingkat semu silindris silia. b. Lamina propria Merupakan lapisan tipis di bawah lamina mukosa. Terdiri atas jaringan ikat halus dengan banyak serat elastin. c. Lamina muskularis Lapisan ini berupa selapis tipis otot polos yang melapisi lamina propria. d. Lamina submukosa Pada lapisan ini terdapat banyak kelenjar serosa, mukosa, dan mukoserosa. e. Lamina adventitia Lapisan terluar dari bronkus ini dipisahkan dengan lamina submukosa oleh lempeng-lempeng tulang rawan. Pada celah antartulang rawan tersebut,jaringan
ikat
submukosa
menyatu
dengan
adventitia
(Eroschenko, 2002).
4
1 2
3
Keterangan : 1 : Lamina Mukosa 2 : Lamina Propria 3 : Lamina Muskularis 4 : Lamina Submukosa menyatu dengan Lamina Adventitia
commit to user Gambar 2.5. Histologi Bronkus (Gregory, 2009)
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Derajat Inflamasi Bronkus Inflamasi atau peradangan bronkus merupakan faktor patofisiologi yang penting pada asma alergi. Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap sel yang tepat belum pasti. Rahmawati dkk. (2003) menyebutkan sel inflamasi yang terlibat dalam patogenesis asma meliputi sel mast, makrofag, neutrofil, eosinofil, limfosit T, basofil, dan platelet. a. Neutrofil Merupakan granulosit polimorfonuklear karena bergranula dan mempunyai inti berlobus. Sitoplasma neutrofil mengandung granula halus berwarna ungu atau merah muda yang sukar dilihat dengan mikroskop cahaya biasa. Akibatnya, sitoplasma neutrofil tampak bening. Inti neutrofil terdiri atas beberapa lobus yang dihubungkan oleh benang kromatin halus (Eroschenko, 2002).
Gambar 2.6. Neutrofil Segmen (Nivaldo, 2009)
commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Eosinofil Eosinofil diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-5, dan GM-CSF (Rahmawati dkk., 2003). Sel ini biasanya mudah dikenali pada apusan darah karena sitoplasmanya dipenuhi granula eosinofilik (merah muda terang) besar (Jancquira & Carneiro, 2005). Granul interselular ini merupakan sumber
protein
proinflamasi seperti major basic protein (MBP), eosinophil derived neurotoxin, peroksidase dan protein kationik (Mangatas dkk., 2006). Inti eosinofil khas bipolar namun kadang-kadang ada lobus ketiga yang kecil (Jancquira & Carneiro, 2005).
Gambar 2.7. Eosinofil (Nivaldo, 2009)
c. Limfosit Limfosit merupakan leukosit granuler. Limfosit tidak atau hampir tidak memiliki granula sitoplasma, dengan inti bulat sampai berbentuk
commit to user tapal kuda. Besarnya bervariasi, pada limfosit kecil intinya yang terpulas
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gelap mengisi hampir seluruh sitoplasma dan sitoplasma itu tampak sebagai daerah basofilik sempit di sekitar inti. Sitoplasma agranuler, tetapi dapat mengandung sedikit granula azurofilik. Pada limfosit besar, sitoplasma basofiliknya lebih banyak di sekitar inti, dan intinya lebih besar dan lebih pucat serta mengandung satu atau dua nukleoli (Baldy, 2006).
Gambar 2.8. Limfosit (Nivaldo, 2009)
d. Basofil Granula pada basofil tidak sebanyak pada eosinofil, tetapi ukuran granulanya lebih bervariasi, tidak begitu berhimpitan dan terpulas biru tua atau coklat. Meskipun intinya tidak berlobi banyak dan terpulas basofilik pucat, umumnya basofil terhalangi oleh kepadatan granula (Eroschenko, 2002; Jancquira & Carneiro, 2005).
commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2.9. Basofil (Nivaldo, 2009)
e. Makrofag Makrofag
memiliki
ciri
morfologis
dengan
spektrum
luas
berdasarkan keadaan aktivitas fungsional dan jaringan yang dihuni. Makrofag bergerak dengan mempergunakan gerakan amuboid. Dengan mikroskop elektron terlihat permukaan makrofag tidak teratur, kaki palsu yang terjulur ke segala arah. Membran plasma berlipat-lipat dan mengandung tonjolan dan lekukan. Nukleus mengandung kromatin padat, berbentuk bulat besar, nukleoli tidak mencolok, sitoplasma terpulas gelap dan sedikit mengandung vakuol kecil yang terpulas secara supravital dengan merah netral. Makrofag dapat ditemukan pada mukosa, submukosa, dan alveoli yang diaktivasi oleh mekanisme IgE-dependent sehingga berperan dalam proses inflamasi (Efendi, 2003).
commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2.10. Makrofag (Caceci, 2009)
5. Sensitisasi Hewan Coba Model Asma Alergi Terdapat beberapa spesies binatang yang digunakan sebagai binatang model asma, diantaranya adalah mencit, tikus, marmut, musang, anjing, kambing, monyet, dan kuda (Shin et al., 2009). Ovalbumin (OVA) digunakan sebagai sensitisasi, OVA
komponen
utamanya adalah putih telur, secara struktural adalah serpin (sejenis protein). Ovalbumin merupakan fosfoglikoprotein monomer dengan berat molekul 43 hingga 45 kD dan bersifat asam pada titik isoelektrik (Huntington & Stein, 2001). Ovalbumin memiliki peran dalam peningkatan Ig E secara spesifik. Mayoritas model yang sekarang digunakan adalah mencit yang disensitisasi dengan OVA secara intraperitoneal (i.p), yang dalam penggunaannya sering bersama-sama dengan adjuvant sel Th2, seperti alumunium hidroksida (Kips et al., 2003; Diding dkk., 2007). Alumunium hidroksida(Al(OH)3), merupakan alumunium yang paling
commit to user stabil dalam kondisi normal. Al(OH) 3 dimasukkan sebagai adjuvant pada
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
beberapa vaksin karena perannya dalam menginduksi respon Th2 (Petrovsky & Aguilar, 2004). Dalam penelitian untuk mensensitisasi hewan coba menggunakan mencit C57BI/6J diimunisasi dengan suntikan OVA 8µg i.p. yang diencerkan dengan jel Al(OH)3 (1 mg) dalam 0,5 ml Phosphat Buffer Saline (PBS), dan diulangi pada hari ke-14. Sedangkan pemaparan BALB/C dengan 10 µg OVA memberikan kadar tertinggi IgE dan IgG1 (Walter, 2002). Penelitian lain untuk membuat asma alergi, maka mencit disensitisasi dengan menginjeksikan secara i.p. 10 µg OVA yang dilarutkan ke dalam 2.25 mg Al(OH)3 dalam 100 µl saline pada hari ke-0 dan 14. Pada hari ke35, 39, dan 42, mencit dipapar dengan inhalasi OVA aerosol selama 20 menit. Aerosol menggunakan nebulizer cairan OVA (10 mg/ml) dalam saline menggunakan Pari LC Star nebulizer (Pari Respiratory Equipment, Richmond, VA) yang digerakan kompresor udara dengan flow rate 6L/min. Untuk protokol penelitian pemaparan antigen akut (kurang lebih 1 bulan) maupun kronik (lebih dari 2 bulan), mencit diimunisasi secara subcutan (s.c.) pada hari ke-0, 7, 14, dan 21 dengan 25 µg OVA (grade V; SigmaAldrich, St. Louis, MO) yang dilarutkan pada 1 mg alumunium hidroksida (Sigma-Aldrich) dalam 200 µl PBS. a. Mencit model asma alergi akut Sifat dari model inflamasi akut dipengaruhi oleh pilihan strain, alergen, dan protokol sensitisasi dan paparan. Alergen yang umumnya dipakai adalah OVA, yang merupakan derivat dari telur ayam. OVA commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
relatif tidak mahal, tidak berbahaya, dapat dimurnikan, dan memiliki epitop yang mendominasi respon imun. (Shin et al., 2009). Protokol
sensitisasi
pada
model
inflamasi
akut
biasanya
membutuhkan pemberian alergen secara sistemik yang multiple dengan penambahan adjuvant (Nials & Uddin, 2008). Adjuvant seperti alumunium hydroksida [Al(OH)3] diketahui menginduksi perkembangan fenotip Th2 oleh sistem imun ketika dipapar antigen (Nials & Uddin, 2008; Shin et al., 2009; Brewer et al., 1999). Protokol tanpa adjuvant juga dapat dilakukan, tetapi membutuhkan alergen dalam jumlah yang lebih banyak. Setelah sensitisasi (14-21 hari), jalan napas mencit dipapar dengan alergen, biasanya selama beberapa hari. Alergen dapat diinhalasi menggunakan formulasi nebulizer (aerosol), atau dengan intratrakeal (i.t) atau intranasal (i.n) (Nials & Uddin, 2008). Paparan pada model inflamasi akut ini disebut dengan paparan alergen primer (Shin et al., 2009). Protokol untuk yang akut adalah pemaparan OVA secara intranasal (i.n) (20 µg dalam 50 µl PBS) diberikan pada hari ke-26, 28, 30, dan 35, dan mencit dikorbankan pada hari ke-36 (Hopfenspriger et al., 2002). Paparan primer pada model inflamasi akut memperlihatkan perubahan seperti asma di klinik seperti peningkatan kadar IgE, inflamasi jalan napas, hiperplasia sel goblet, hipertrofi epitel, AHR yang spesifik stimulus, dan pada beberapa model bronkokonstriksi fase cepat dan fase lambat. Namun, karena paparan ini bersifat paparan singkat, commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
maka tidak dijumpai beberapa lesi yang ada pada asma kronik pada manusia, seperti inflamasi kronik pada dinding jalan napas dan remodelling jalan napas. Terlebih lagi, beberapa proses berjalan singkat, dan pada beberapa model, inflamasi jalan napas dan AHR berkurang setelah beberapa minggu dari paparan alergen terakhir. Oleh karena itu, model paparan akut lebih cocok digunakan untuk meneliti proses yang mendasari inflamasi jalan napas akut dan AHR (Nials & Uddin, 2008). b. Mencit model asma alergi kronik Tujuan
pembuatan
model
inflamasi
kronik
adalah
untuk
memperlihatkan perubahan yang terjadi seperti pada asma di klinik, seperti AHR yang persisten dan remodelling jalan napas, dan juga memungkinkan evaluasi obat baru sebagai rancangan terapi daripada sebagai rancangan profilaksis (Nials & Uddin, 2008). Selain itu, keuntungan dari protokol ini adalah kemampuannya untuk memonitor perubahan parameter inflamasi (Shin et al., 2009). Paparan kronik alergen dilakukan dengan memaparkan secara berulang jalan napas dengan alergen kadar rendah sampai selama 12 minggu (Nials & Uddin, 2008). Sedangkan Shin et al. (2009) menuliskan paparan untuk model asma kronik (paparan sekunder) diberikan 2-6 minggu setelah paparan primer ketika eosinofilia jalan napas dan AHR menurun sampai baseline level. Pemaparan kronik alergen memperlihatkan perubahan-perubahan seperti asma pada manusia, termasuk alergen dependent sensitisasi, Th2 dependent inflamasi alergi dengan karakteristik influks eosinofil pada commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mukosa jalan napas, AHR, remodelling jalan napas seperti hiperplasia sel goblet, hipertrofi epitel, dan fibrosis subepitelial atau peribronkiolar (Nials & Uddin, 2008). Sedangkan protokol untuk yang kronik, mencit yang telah mendapatkan pemaparan OVA i.n pada hari ke-26, 28, 30 seperti pada protokol akut dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian pemaparan OVA i.n dua minggu sekali. Untuk melakukan pemberian i.n, mencit diberikan anestesi dengan isoflurane (Isosol TM; Abbott Laboratories, North Chicago, IL) (Ikeda, 2003). Sedangkan pada penelitian Cho et al., 2004, mencit diimunisasi i.p. pada hari ke-0 dan 12 dengan 50 µg OVA (grade V; Sigma-Aldrich, St. Louis, Missouri, USA) dilarutkan pada 1 mg alum (Sigma-Aldrich) dalam 200 µl normal saline. Pemaparan OVA i.n (20 µg/ 50 µl dalam PBS) diberikan pada hari ke-26, 29, dan 31 di bawah, anestesi dengan isoflurane (Vedco lnc., St. Joseph, Missouri, USA) dan kemudian diulangi dua minggu sekali selama 3 bulan. Mencit dikorbankan 24 jam setelah akhir pemaparan OVA terakhir (Cho et al., 2004).
commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pikiran 1. Kerangka Pikiran Konseptual Ovalbumin
Antigen Presenting Cell NF-κB Th0 IL-4
IL-4
IL-12
IFNIL-10
CD4+ Th2
CD4+ Th1
IL-5
Propolis Sel B IL-2 IL-12
IgE Sel Mast
Histamin
Prostaglandin
degranulasi
Leukotrien
Rekruitmen dan aktivasi sel-sel inflamasi (sel mast, makrofag, neutrofil, eosinofil, limfosit T, basofil)
Seluler
Stres Oksidatif
Inflamasi Saluran nafas Asma Alergi Gambar 2.11. Skema Kerangka Pikiran Konseptual Keterangan: : memacu : menghambat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
2.
32 digilib.uns.ac.id
Kerangka Pikiran Teoritis Ovalbumin sebagai alergen masuk ke tubuh, ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC). Kemudian diproses dan dipresentasikan ke sel T CD4+ atau sel Th0. Sel Th0 akan berdiferensiasi menjadi sel CD4+ Th1 dan sel CD4+ Th2. Kerja dua sel tersebut bersinergi, dimana sel CD4+ Th2 berperan sebagai respon imun humoral yang akan mensekresikan antibodi (IgE). Sedangkan sel CD4+ Th1 berperan dalam respon imun seluler, yang akan menghasilkan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1β, IL-2, IL-6, dan TNF-α. TNF-α bersifat proteolitik, sehingga akan melisiskan sejumlah sel-sel termasuk sel saluran nafas. Debris lisis sel ini akan menimbulkan stres oksidatif / Reactive Oxygen Species (ROS), yang akan menambah beratnya reaksi asma alergi. Ovalbumin melalui sel CD4+ Th2 memicu produksi sel mast. Apabila ada paparan ulang oleh alergen, maka akan terjadi cross-linking antara IgE dengan alergen pada permukaan sel mast. Cross-linking ini akan memacu reaksi alergi di mana terjadi degranulasi sel mast yang melepaskan mediatormediator proinflamasi seperti histamin, leukotrien, dan prostaglandin. Dihasilkannya mediator-mediator proinflamasi ini akan memicu reaksi inflamasi pada bronkus di mana terjadi aktivasi dan perekrutan eosinofil. Propolis mengandung CAPE yang mampu menghambat aktivasi NF-κB pada proses inflamasi. Selain itu, CAPE memiliki aktivitas biologis sebagai Ca-antagonis. Ca-antagonis ini akan menghambat Ca influks sehingga mampu mencegah degranulasi sel mast. CAPE juga menunjukkan aktivitas commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagai antioksidan, kandungan ini dapat menghambat stress oksidatif yang akan mengurangi terjadinya reaksi inflamasi pada asma alergi. Kuersetin yang terkandung dalam propolis memiliki aktivitas biologis yang akan memperkuat membran sel mast sehingga membran sel mast tidak mudah terdegranulasi dan menghambat pelepasan histamin, TNF-α dan IL-6. Dengan demikian, pemberian ekstrak etanol propolis dapat menurunkan progresivitas alergi saluran nafas yang ditunjukkan dengan penurunan derajat inflamasi bronkus.
C. Hipotesis Ekstrak etanol propolis menurunkan derajat inflamasi bronkus tikus putih model asma alergi.
commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik, post test only control group design.
B. Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Pada bulan Mei sampai dengan September 2011.
C. Subjek Penelitian Subjek penelitian berupa
tikus putih (Rattus norvegicus L) jantan
dengan berat badan ± 200 gram, dan berumur 4 - 6 minggu. Tikus putih diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Coba Universitas Setia Budi Surakarta.
D. Teknik Sampling Pengambilan sampel dilakukan secara incidental sampling. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan rumus Federer (Federer, 1959) yaitu:
commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
( k-1 ) ( n-1 ) ≥15 Keterangan: k: jumlah kelompok n: jumlah sampel dalam tiap kelompok
Dalam penelitian ini, subjek dibagi menjadi 5 kelompok. Berdasarkan rumus Federer di atas, didapatkan jumlah subjek masing-masing kelompok sebagai berikut: ( k-1) (n-1) ≥ 15 (5-1) (n-1) ≥ 15 4
(n-1) 4n n
≥ 15 ≥ 19 ≥ 4,75 ≈ 5
Jadi tiap kelompok minimal terdiri dari 5 ekor tikus putih. Pada penelitian kali ini kami menggunakan 7 ekor tikus putih per kelompok.
E. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Ekstrak etanol propolis 2. Variabel terikat : Derajat inflamasi bronkus 3. Variabel perancu a. Dapat dikendalikan : gizi, makanan dan minuman, galur, umur, dan jenis kelamin hewan coba. b. Tidak dapat dikendalikan : kondisi psikologis, sistem kekebalan tubuh hewan coba, genetik, dan keadaan awal tikus. commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Skala Variabel 1. Ekstrak etanol propolis : skala nominal 2. Derajat inflamasi bronkus : skala ordinal
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1.
Ekstrak etanol propolis Propolis lebah pada penelitian ini diperoleh dari peternak lebah di daerah Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah. Ekstraksi dilakukan dengan metode perkolasi. Propolis dimasukkan dalam alat perkolator, kemudian ditambah dengan Etanol 80%, lalu didiamkan. Setelah itu ditambahkan tetes demi tetes Etanol 80% sampai filtrat yang didapatkan jernih. Setelah didapatkan filtrat, kemudian diuapkan dengan vacuum rotary evaporator pemanas water bath suhu 70oC. Dari proses tersebut didapatkan ekstrak kental. Kemudian untuk mendapatkan ekstrak propolis, ekstrak kental tersebut dituang dalam cawan porselin dan dipanaskan dengan water bath sambil terus diaduk. Ekstrak etanol propolis (EEP) menunjukkan aktivias antiinflamasi baik akut ataupun kronik. EEP dosis 50 mg/kg BB/hari/oral dan 100 mg/kg BB/hari/oral menunjukkan aktivitas antiinflamasi kronik, sedangkan dosis 200 mg/kg BB/hari/oral menunjukkan aktivitas antiinflamasi akut pada hewan coba model. commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Derajat inflamasi bronkus Bronkus tikus yang akan dibuat preparat diperoleh pada hari ke-28 atau pada akhir percobaan, dengan mengorbankan tikus, diambil jaringan bronkus utama di dekat percabangan (bifurcation) sepanjang 1,5 cm kemudian direndam dalam larutan formalin buffer 10% selama 10 jam, setelah itu dibuat blok parafin. Selanjutnya dibuat potongan serial terhadap blok parafin tersebut untuk dibuat slide. Setelah itu dilakukan pewarnaan
Haematoxyllin-Eosin
(HE)
untuk
melihat
derajat
inflamasinya. Preparat bronkus diamati dengan mikroskop cahaya perbesaran 100 kali dalam satu lapang pandang. Derajat inflamasi pada bronkus yang didapatkan dari modifikasi oleh Myou et al. (2003) dibagi menjadi 4 derajat yaitu: 0 = Tidak ada infiltrasi sel radang 1 = Infiltrasi sel radang sedikit 2 = Infiltrasi sel radang ke-1 lapisan dinding bronkus 3 = Infiltrasi sel radang hingga 2-4 lapisan dinding bronkus 4 = Infiltrasi sel radang hingga >4 lapisan dinding bronkus
3. Sensitisasi tikus model asma alergi Tikus diadaptasikan selama satu minggu. Kemudian dilakukan penimbangan untuk menentukan dosis dan dilakukan perlakuan. Untuk membuat model tikus asma alergi maka tikus disensitisasi pada hari ke-1 dengan 1 ml OVA/tikus/i.p dari 2,5 mg OVA yang dilarutkan pada 7,75 commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ml Al(OH)3. Hari ke-14 disensitisasi ulang menggunakan 1 ml OVA/tikus/i.p dari 2,5 mg OVA yang dilarutkan pada 10 ml aquabides. Pemaparan OVA aerosol dalam aquabides (10:1) selama 20 menit dengan nebulizer kecepatan 6 L/menit diberikan pada hari ke-21, 23, 25 dan 27. Hari ke-28 tikus dikorbankan, jaringan bronkus dan serum dikoleksi.
H. Penentuan Dosis Perlakuan 1. Pemberian anti histamin generasi III Antihistamin generasi III yang digunakan dalam penelitian ini adalah Telfast
®
120 mg yang mengandung Fexofenadine. Faktor konversi
manusia (dengan berat badan ±70 kg) ke tikus (dengan berat badan ± 200 gr) adalah 0,018 (Suhardjono, 1995). Sehingga dosis yang diberikan kepada tikus 120 x 0,018 = 2,16 mg ≈ 2 mg Dalam penelitian ini dosis anti histamin yang diberikan ialah 1 ml/tikus/hari.
2. Pemberian propolis Dosis propolis yang diberikan pada tikus adalah 100 mg/kg BB/hari/oral. Oleh karena tikus yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai berat badan ± 200 gram, maka didapatkan perhitungan sebagai berikut :
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
200 gr 挐 100 mg 1000 gr
20 mg/tikus/hari/oral
Untuk mengetahui berapa banyak dosis per oral yang diberikan untuk tiap tikus, maka dapat dihitung sebagai berikut : V1 M1
1000 mg 25 ml v
V2 M2
20 mg v
20 mg 挐 25 ml 1000 mg
v = 0,5 ml
Sehingga untuk dosis 100 mg/kg BB/hari setiap tikus mendapatkan dosis per oral 0,5 ml. Sedangkan untuk dosis 200 mg/kg BB/hari setiap tikus mendapatkan dosis per oral 1 ml.
I.
Rancangan Penelitian
S
K1
E1
K2
E2
K3
E3
Uji Krusskal-Wallis dilanjutkan dengan Mann-Whitney
K4
E4
K5
E5
Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian
commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan : S
: Jumlah tikus yang digunakan
K1
: Kelompok kontrol
K2
: Kelompok asma alergi
K3
: Kelompok asma alergi + antihistamin 2 mg/tikus/hari/oral
K4
: Kelompok asma alergi + ekstrak propolis dengan dosis 100mg/kg BB/tikus/oral
K5 : Kelompok asma alergi + ekstrak propolis dengan dosis 200mg/kg BB/tikus/oral
J.
E1
: Derajat inflamasi bronkus K1
E2
: Derajat inflamasi bronkus K2
E3
: Derajat inflamasi bronkus K3
E4
: Derajat inflamasi bronkus K4
E5
: Derajat inflamasi bronkus K5
Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat penelitian a. Kandang hewan percobaan (20 cm x 30 cm x 15 cm) b. Timbangan c. Spuit injeksi 5 ml d. Sonde tikus 5 ml e. Labu ukur 25 ml f. Beaker glass 200 ml
commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
g. Minor set h. Deck glass i. Nebulizer j. Mikroskop cahaya 2. Bahan penelitian a. Ekstrak propolis b. Aquabides c. Pakan tikus BR I d. OVA e. Antihistamin generasi III f. Formalin buffer 10% g. Al(OH)3 h. Blok paraffin i. Pewarna HE
K. Jalannya Penelitian 1. Sebelum perlakuan a. Hewan uji diadaptasi dengan kondisi laboratorium tempat penelitian selama kurang lebih 1 minggu. b. Hewan uji dikelompokkan secara acak menjadi 5 kelompok. Masingmasing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus.
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Pemberian Perlakuan a. Sejak hari ke-1 sampai hari ke-7 kelompok K1, K2, K3, K4 dan K5 diberi diet standar. Masing-masing diberi perlakuan yang berbeda. b. Antihistamin untuk kelompok 3 dan ekstrak propolis untuk kelompok 4 dan 5 diberikan setiap hari. c. Sensitisasi 1 ml OVA/tikus/i.p dari 2,5 mg OVA yang dilarutkan pada 7,75 ml Al(OH)3 dilakukan pada hari ke-1. Dan pada hari ke-14 disensitisasi ulang menggunakan 1 ml OVA/tikus/i.p dari 2,5 mg OVA yang dilarutkan pada 10 ml aquabides. d. Hari ke-21, 23, 25, dan 27 tikus dipapar dengan ovalbumin aerosol dari 50 mg ovalbumin dalam 5 ml aquabides dengan alat nebulizer kecepatan 6 l / menit selama 20 menit.
3. Setelah perlakuan Dua puluh empat jam setelah paparan terakhir, semua tikus dikorbankan menggunakan teknik cervical dislocation. Bronkus tikus diambil dan dibuat preparat dengan pengecatan HE. Preparat diamati menggunakan mikroskop cahaya untuk menentukan derajat inflamasinya.
commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Alur Penelitian Tikus Putih ( 35 ekor ) Sensitisasi OVA ( 28 ekor )
OVA ( 7 ekor )
Antihistamin 2 mg/tikus/hari ( 7 ekor )
Kontrol ( 7 ekor )
Propolis 100 mg/kgBB/hari ( 7 ekor )
Propolis 200 mg/kgBB/hari ( 7 ekor )
Tikus dikorbankan dengan teknik cervical dislocation Bronkus tikus diambil dan dibuat preparat dengan pengecatan HE
Analisis Statistik
Gambar 3.2. Skema Alur Penelitian
L. Teknik Analisis Data Data hasil penelitian berupa grade histologis saluran napas, dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Kruskall-Wallis dan dilanjutkan commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan Post Hoc Test yaitu Mann-Whitney menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16.0 for Windows. Kruskall-Wallis adalah uji non parametrik untuk membandingkan perbedaan mean lebih dari dua kelompok dengan syarat kedua variabel adalah skala kategorikal, sedangkan Mann-Whitney digunakan untuk membandingkan perbedaan mean antar kelompok.
commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Derajat Inflamasi Bronkus Pada akhir penelitian ini, semua tikus dikorbankan menggunakan teknik cervical dislocation. Bronkus masing-masing tikus diambil dan dibuat preparat dengan pengecatan HE. Preparat diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000 kali untuk menentukan derajat inflamasinya. Penilaian derajat inflamasi pada bronkus menggunakanan sistem grading Myou et al. (2003). Hasil pengamatan mikroskopis derajat inflamasi bronkus dengan perbesaran 1000 kali pada masing-masing kelompok disajikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.1. Gambaran Histologis Bronkus Grade 0 pada Kelompok K1 Keterangan : Tidak ditemukan sel radang
commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.2. Gambaran Histologis Bronkus Grade 1 pada Kelompok K1 Keterangan : Sel radang sedikit dan hanya mencapai lamina mukosa. Sel radang ditunjuk oleh arah panah
Gambar 4.3. Gambaran Histologis Bronkus Grade 3 pada Kelompok K2 Keterangan : Sel radang mencapai lamina propria hingga lamina submukosa. Sel radang ditunjuk oleh arah panah
commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4. 4. Gambaran Histologis Bronkus Grade 4 pada Kelompok K2 Keterangan : Sel radang mencapai lamina adventitia (lebih dari empat lapisan). Sel radang ditunjuk oleh arah panah
Gambar 4.5. Gambaran Histologis Bronkus Grade 1 pada Kelompok K3 Keterangan : Sel radang sedikit dan hanya mencapai lamina mukosa. Sel radang ditunjuk oleh arah panah
commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4. 6. Gambaran Histologis Bronkus Grade 2 pada Kelompok K3 Keterangan : Sel radang banyak ditemukan pada lamina mukosa. Sel radang ditunjuk oleh arah panah
Gambar 4.7. Gambaran Histologis Bronkus Grade 3 pada Kelompok K4 Keterangan : Sel radang mencapai lamina propria hingga lamina submukosa. Sel radang ditunjuk oleh arah panah
commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4. 8. Gambaran Histologis Bronkus Grade 4 pada Kelompok K4 Keterangan : Sel radang mencapai lamina adventitia (lebih dari empat lapisan). Sel radang ditunjuk oleh arah panah
Gambar 4.9. Gambaran Histologis Bronkus Grade 1 pada Kelompok K5 Keterangan : Sel radang sedikit dan hanya mencapai lamina mukosa. Sel radang ditunjuk oleh arah panah
commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.10. Gambaran Histologis Bronkus Grade 2 pada Kelompok K5 Keterangan : Sel radang banyak ditemukan pada lamina mukosa. Sel radang ditunjuk oleh arah panah
Berdasarkan data yang diperoleh dapat dibuat histogram grading inflamasi bronkus tikus pada tiap-tiap kelompok perlakuan.
100% 80% 60%
60% 40%
40% 20%
0%
0%
0%
2
3
4
0% 0
1
Derajat Inflamasi Grafik 4.1. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Kontrol (K1)
commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
100%
80%
80% 60% 40%
20%
20%
0%
0%
0%
0
1
2
0% 3
4
Derajat Inflamasi Grafik 4.2. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi (K2)
100%
80%
80% 60% 40% 20%
20% 0%
0%
0%
3
4
0% 0
1
2
Derajat Inflamasi Grafik 4.3. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi + Antihistamin (K3)
100% 80%
60%
60% 40% 20%
0%
0%
0
1
20%
20%
3
4
0% 2
Derajat Inflamasi Grafik 4.4. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi + Ekstrak Propolis Dosis 100 mg/kg BB (K4)
commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
100% 80%
60%
60%
40%
40% 20%
0%
0%
0%
3
4
0% 0
1
2
Derajat Inflamasi Grafik 4.5. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi + Ekstrak Propolis Dosis 200 mg/kg BB (K5)
B. Analisis Data Data yang diperoleh dalam tabel 4.1 selanjutnya dianalisis secara statistik menggunakan uji Kruskall-Wallis untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rerata lebih dari dua kelompok. Hasil uji Kruskall-Wallis yang didapat (p = 0,001) menunjukan adanya perbedaan yang bermakna (p < 0,05) pada sedikitnya dua kelompok perlakuan. Untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki perbedaan, maka harus dilanjutkan dengan Post Hoc Test yaitu uji Mann-Whitney. Dari hasil uji Mann-Whitney (α = 0,05), didapatkan perbedaan yang bermakna (signifikan) antara kelompok K1 dengan K2, K1 dengan K4, K1 dengan K5, K2 dengan K3, K2 dengan K5, dan K3 dengan K4. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai p < 0,05. Sementara itu antara K1 dengan K3, K2 dengan K4, K3 dengan K5, dan K4 dengan K5 tidak didapatkan perbedaan yang bermakna (tabel 4.1).
commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4.1. Hasij Uji Statistik Mann-Whitney Antarkelompok Kelompok Perlakuan Nilai p K1 dengan K2 0.006 K1 dengan K3 0.093 K1 dengan K4 0.007 K1 dengan K5 0.031 K2 dengan K3 0.005 K2 dengan K4 0.174 K2 dengan K5 0.006 K3 dengan K4 0.014 K3 dengan K5 0.221 K4 dengan K5 0.059 (Sumber : Data primer, 2011)
commit to user
Kemaknaan Signifikan Tidak signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Tidak signifikan Signifikan Signifikan Tidak signifikan Tidak signifikan
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V PEMBAHASAN
Menurut Abbas & Litchman (2003) asma alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe 1. Reaksi ini timbul akibat adanya pajanan suatu alergen. Lockey & Bukanzt (1999) mengemukakan bahwa paparan berulang dari alergen dapat lebih mengaktifkan proses inflamasi. Reaksi alergi diperantarai oleh IgE. Menurut David et al. (2006) imunoglobulin E yang terbentuk dari proses sensitisasi, akan berikatan dengan sel mast dan menyebabkan degranulasi sel mast. Sel mast yang terdegranulasi akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan faktor kemotaktis. Mediator-mediator inflamasi tersebut dapat menyebabkan spasme bronkus, edema, peningkatan sekresi mukus, dan konstriksi otot polos bronkus. Sedangkan faktor kemotaktis ini akan memacu infiltrasi sel-sel radang seperti eosinofil, limfosit, makrofag, neutrofil, dan basofil ke dalam jaringan bronkus. Menurut Sundaru& Sukamto (2006), infiltrasi sel-sel radang menunjukan terjadinya inflamasi pada bronkus. Sedangkan menurut Huntington & Stein (2001) salah satu alergen yang dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah ovalbumin (OVA), dimana komponen utamanya adalah putih telur, secara struktural adalah serpin (sejenis protein). Kips et al. (2003) menyatakan bahwa ovalbumin memiliki peran dalam peningkatan Ig E secara spesifik. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Ig E mampu menimbulkan reaksi inflamasi, maka pada penelitian ini digunakan OVA sebagai sensitisasi untuk memicu peningkatan Ig E. Sensitisasi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
dilakukan selama 27 hari untuk membuat tikus model asma alergi akut, dengan cara injeksi intraperitoneal dan inhalasi menggunakan formulasi nebulizer. Hasil pengamatan infiltrasi sel radang menunjukkan adanya peningkatan derajat inflamasi pada kelompok asma alergi (K2) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (K1). Derajat inflamasi pada kelompok asma menunjukkan grade 3 (80%) dan grade 4 (20%); sedangkan pada kelompok kontrol menunjukkan grade 0 (40%) dan grade 1 (60%). Kedua kelompok ini memperlihatkan perbedaan yang bermakna (p = 0,006). Hal ini sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh David et al. (2006) dan Kips et al. (2003) bahwa OVA mampu meningkatkan Ig E, dimana Ig E dapat menimbulkan reaksi inflamasi. Kelompok perlakuan asma alergi yang mendapat antihistamin (K3) menunjukkan penurunan derajat inflamasi yaitu masing-masing grade 1 (80%), dan grade 2 (20%). Telfast (Fexofenadine) adalah antihistamin generasi tiga dimana cara kerjanya dengan mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast atau membrane basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Menurut Sjabana (2005) obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotrien dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor. Uji Mann-Whitney antara K3 dan K2 menunjukkan hasil p = 0,005. Hal ini berarti ada penurunan derajat inflamasi yang bermakna pada K3 bila dibandingkan K2. Efek ekstrak propolis dalam pengobatan asma alergi pada penelitian ini belum ditunjukkan pada kelompok perlakuan asma alergi yang diberi ektrak propolis dosis 100 mg/kg BB (K4) yaitu grade 2 (60%), grade 3 (20%), dan grade commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
4 (20%). Pada Uji Mann-Whitney didapatkan perbedaan yang tidak bermakna (p = 0,174) antara K4 dengan K2. Namun bila dilihat pada grafik yang disajikan di atas, K4 memiliki derajat inflamasi lebih rendah bila dibandingkan dengan K2. Hal ini bisa dikarenakan dosis yang diberikan belum mencapai dosis optimal yang dibutuhkan dalam pengobatan asma alergi. Sedangkan pada kelompok perlakuan asma alergi yang diberi ekstrak propolis dosis 200 mg/kg BB (K5) dapat memberikan efek yang lebih baik dalam penurunan derajat inflamasi yaitu grade 1 (40%), dan grade 2 (60%). Hal ini pun menunjukkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan K4. Namun perbedaan yang didapatkan tidak bermakna (p = 0,059) antara kedua kelompok tersebut. Dapat diartikan bahwa perbedaan dosis tidak terlalu berpengaruh terhadap pengobatan asma alergi. Jika dibandingkan, K5 menunjukkan hasil yang lebih baik daripada K2. Hal ini ditunjukkan pada tabel 4.1, dimana pada kedua kelompok tersebut didapatkan perbedaan yang bermakna (p = 0,006). Bahkan keefektifan K5 hampir menyamai dengan K3, hal ini ditunjukkan dengan perbedaan yang tidak bermakna di antara kedua kelompok tersebut (p = 0,221). Hasil penelitian yang menunjukkan penurunan derajat inflamasi bronkus pada penelitian kali ini kemungkinan terjadi akibat senyawa yang terkandung dalam propolis yaitu flavonoid. Flavonoid yang paling berpengaruh dalam penurunan derajat inflamasi pada penelitian ini yaitu cafeic-acid phenthyl ester (CAPE) dan kuersetin. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kuby (1997) sebelumnya yang menyatakan bahwa CAPE berfungsi sebagai Caantagonis yang mampu mencegah degranulasi sel mast dan menurut Jung et al. commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(2008) CAPE juga berfungsi sebagai antioksidan untuk menghambat stress oksidatif yang akan mengurangi terjadinya reaksi inflamasi pada asma alergi. Selain itu, Kimata et al. (2000) menyatakan bahwa kuersetin sebagai mast cell stabilizer akan menguatkan efek penghambatan degranulasi sel mast. Penelitian ini tidak terlepas dari adanya kelemahan penelitian. Kelemahan penlitian ini antara lain sistem kekebalan tubuh yang berbeda pada masing-masing tikus. Hal ini menyebabkan respon imunitas yang berbeda terhadap alergen dan pengobatan yang diberikan. Selain itu, kelemahan pada penelitian ini adalah tanaman asal yang digunakan lebah untuk menyusun propolis yang tidak diketahui. Meskipun telah dipastikan beberapa senyawa kimia yang terkandung dalam propolis, namun menurut Baltrusaityte et al. (2007) aktivitas biologis propolis ditentukan oleh zat tanaman berasal.
commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Ekstrak etanol propolis menurunkan derajat inflamasi bronkus tikus putih model asma alergi. B. Saran Dengan mempertimbangkan hasil penelitian ini, penulis memberi saran sebagai berikut : 1. Dapat dikembangkan penelitian yang telah dilakukan ini dengan melakukan pemeriksaan sistem kekebalan hewan coba terlebih dahulu. 2. Dapat dilakukan penelitian terhadap komposisi senyawa propolis terlebih dahulu sebelum dilakukan penelitian pemanfaatan propolis.
commit to user