1
HUBUNGAN PEMBERIAN EKSTRAK PATIKAN KEBO (Euphorbia hirta L.) TERHADAP HITUNG SEL MAST PADA MENCIT Balb/C MODEL ASMA ALERGI
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
LINDA SAFITRY PRIHANTINY G 0006110
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat (Tanjung dan Yunihastuti, 2006). Berdasarkan penelitian terhadap epidemiologi asma dan alergi di Jakarta (2006), didapatkan prevalensi asma 13,9%. Angka ini meningkat dibandingkan beberapa studi sebelumnya di Jakarta yang menunjukkan prevalensi asma berkisar antara 7-9% (Helmy dan Munasir, 2007). Alergi disebabkan oleh suatu alergen atau antigen (Baratawidjaja, 2004). Alergen biasanya merupakan zat-zat tidak berbahaya yang dapat menimbulkan reaksi tubuh yang abnormal. Pada orang normal reaksi ini tidak timbul (Imran, 2007). Namun, pada orang tertentu zat-zat ini akan menimbulkan reaksi imun berlebihan yang dapat menimbulkan kerusakan tubuh (Baratawidjaja, 2004). Alergi dapat menyerang setiap organ tubuh terutama kulit, saluran pencernaan, dan saluran pernafasan. Bila menyerang saluran pernafasan dapat menimbulkan asma (Tanjung dan Yunihastuti, 2006). Alergi merupakan salah satu faktor penting penyebab berkembangnya penyakit asma. Terbukti dengan kenyataan bahwa 75-90% anak yang mengidap asma mempunyai riwayat alergi (Siswono, 2004). Respon alergi pada seseorang sangat dipengaruhi oleh sel imun berupa sel mast (Hohlfeld, 2001). Hal tersebut dikarenakan infiltrasi sel mast pada
3
otot polos saluran nafas merupakan ciri khas asma dan bertanggung jawab terhadap kerusakan fungsi saluran nafas (Brightling et al. cit. Jeffery et al., 2006). Sel mast merupakan mediator inflamasi pada reaksi hipersensitivitas dan alergi. Menggunakan mikroskop, sel mast terlihat sebagai sel besar yang terdapat pada jaringan pengikat, khususnya di dermis dan mukosa sistem pernafasan serta pencernaan. Sel mast terdiri atas granul yang mengandung bermacam-macam molekul mediator termasuk histamin. Di permukaannya terdapat high-affinity Fcε reseptors (FcεRI) yang memungkinkannya untuk berikatan dengan Imunoglobulin E (IgE) (Janeway et al., 2004). IgE akan berikatan kuat dengan reseptor di permukaan sel mast atau basofil (PlattsMill, 2001). Adanya cross-linking antara antigen dengan IgE di permukaan sel mast akan menginduksi pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas (Abbas dan Lichtman, 2003). Mediator tersebut diantaranya amine biogenic, mediator lipid dan sitokin (Robbins et al., 2007). Mekanisme efektor sistem imun yang melibatkan sitokin dapat menimbulkan reaksi asma akibat alergi tidak hanya tampak pada organ-organ pernafasan tetapi dapat pula timbul pada organ lain misalnya intestinal dan konjungtiva. Pada reaksi asma alergi, selain di saluran pernafasan sel-sel inflamasi seperti sel eosinofil dan sel mast juga banyak terdapat di saluran pencernaan seperti di intestinal (Baratawidjaja, 1999). Asma merupakan penyakit kronis. Penanganan Asma yang kurang tepat dapat menghambat pertumbuhan anak. Terapi farmakologi pada penderita
4
asma belum dapat menyembuhkan penyakitnya secara total. Obat-obat yang ada saat ini hanya berguna untuk mencegah dan mengontrol gejalanya saja. Obat-obat tersebut umumnya dari golongan beta2-agonist, antihistamin, dan steroid. Namun, beberapa diantaranya dapat menimbulkan efek samping bila digunakan dalam jangka panjang (NIH, 1997). Untuk mencari obat yang lebih baik, baru-baru ini pengobatan herbal sedang digalakkan terutama di negara-negara berkembang, begitu juga di Indonesia. Masih banyak obat-obat tradisional nusantara yang belum dikaji secara ilmiah khasiatnya (Handayani, 2001). Bahkan banyak juga misteri dibalik kandungan dan manfaat tanaman obat yang belum terungkap (Winata, 2003). Oleh karena itu, pembuktian manfaat obat tradisional melalui uji klinik yang didukung dengan penelitian imunologis, baik melalui penilaian kualitatif maupun kuantitatif, perlu digalakkan (Djauzi, 2003). Dari berbagai jenis tanaman obat, salah satu diantaranya yang dianggap bermanfaat bagi penanganan asma adalah Euphorbia hirta L. Selain sebagai anti asma, di Asia tanaman ini juga telah digunakan sebagai anti-helmintik, anti-bakteri, anti-oksidan, dan diuretik (Aquil et al. cit. Bhagwat et al., 2008). Adapun kandungan tanaman ini berupa asam askorbat, beta-amyrin, betasitosterol, cafeic-acid, quercetin, dan flavonoid (Duke, 2009). Dari penelitian ilmiah didapatkan beta-amyrin dan beta-sitosterol berfungsi sebagai antiinflamasi (Duke, 2009). Flavonoid menghambat fosfodiesterase, aldoreduktase, monoamina-oksidase, protein kinase, DNApolimerase, lipoxygenase (Robinson, 1995) serta menghambat influks Ca2+
5
(Sousa et al., 2003). Sedangkan cafeic-acid dan asam askorbat merupakan Caantagonist. Seperti yang telah diketahui bahwa dilepaskannya mediator sel mast terjadi setelah kadar Ca intraseluler meninggi (Kuby, 1997), sehingga bila peningkatan Ca2+ sel dihambat maka degranulasi sel mast pun dapat dicegah. Quercetin sebagai mast cell stabilizer (Duke, 2009) menguatkan efek penghambatan degranulasi sel mast. Dengan dihambatnya degranulasi sel mast, maka sekresi vasoaktif amin seperti histamin, mediator lipid, serta sitokin yang berperan dalam proses inflamasi pada reaksi alergi akan berkurang. Berdasarkan temuan-temuan ilmiah di atas, penulis merasa perlu melakukan penelitian mengenai efek Euphorbia hirta L. terhadap jumlah sel mast pada mencit Balb/C model asma alergi. B. Perumusan Masalah ”Adakah hubungan pemberian ekstrak patikan kebo (Euphorbia hirta L.) terhadap hitung sel mast pada mencit Balb/C model asma alergi?” C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan pemberian ekstrak patikan kebo (Euphorbia hirta L.) terhadap hitung sel mast pada mencit Balb/C model asma alergi. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis : Orientasi penelitian ini adalah memberi masukan dalam ilmu pengetahuan tentang imunopatobiologi molekuler Euphorbia hirta L. dalam
6
terapi alergi khususnya penyakit asma alergi. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi tentang hubungan pemberian ekstrak Euphorbia hirta L. terhadap hitung sel mast pada mencit Balb/C model asma alergi. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk penelitian lebih lanjut dalam upaya memanfaatkan Euphorbia hirta L. sebagai obat anti asma alergi, serta sebagai bahan pertimbangan pemanfaatan Euphorbia hirta L. dalam pelayanan kesehatan formal.
7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Patikan kebo ( Euphorbia hirta L.) a. Sinonim Euphorbia pilulifera L., Euphorbia capita Lamk., Chamaesyce pilulifera (L.) Small, Chamaesyce hirta (L.) Millsp. (Widiasih, 2008). b. Nama lain Di beberapa wilayah sebutan untuk Euphorbia hirta L. berbedabeda. Di Cina disebut fei yang cao, asthma weed (Inggris), gelang susu (Malaysia), gatas-gatas (Filipina), amanpat chaiarisi (India), daun biji kacang (Sumatera), nanangkaan (Sunda), gendong anak (Jakarta), kak sekaan (Madura), sosononga (Halmahera), isu maibi (Ternate), isu giti (Tidore) (IPTEKnet, 2008). c. Klasifikasi Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Subkelas : Rosidae Bangsa : Euphorbiales Suku : Euphorbiaceae Marga : Euphorbia Spesies : Euphorbia hirta L. (Plantamor, 2008) d. Deskripsi
8
Gambar 2.1. Tanaman Patikan Kebo Tanaman Euphorbia hirta L. tegak atau memanjat, tinggi lebih kurang 20 cm, batang berambut, percabangan selalu keluar dari pangkal batang dan tumbuh ke atas, warna merah atau keunguan. Daun berbentuk jonong meruncing sampai tumpul, tepi daun bergerigi. Perbungaan bentuk bola keluar dan ketiak daun bergagang pendek, berwarna dadu atau merah kecokelatan. Bunga mempunyai susunan satu bunga betina dikelilingi oleh lima bunga yang masing-masing terdiri atas empat bunga jantan (Widiasih, 2008). Euphorbia hirta L. mampu bertahan hidup selama 1 tahun dan berkembang biak melalui biji. Biji kecil dan berwarna coklat. Batang lunak, beruas, penampang bulat, berbulu, bergetah putih, hijau kecoklatan. Akar jenis tunggang dan berwarna putih kotor. Banyak tumbuh liar di kebun, ladang, tepi sungai, dan pekarangan rumah (Widiasih, 2008). e. Kandungan Kimia dan Efek Farmakologi Euphorbia hirta L. mempunyai beberapa kandungan kimia seperti beta-amyrin, asam askorbat, quercetin yang berperan sebagai
9
antiasma (Duke, 2009). Secara rinci kandungan kimia dan efek farmakologi tanaman Euphorbia hirta L. dapat dilihat pada tabel 1: Tabel 2.1. Kandungan Kimia dan Efek Farmakologi Euphorbia hirta L. No Nama Efek Farmakologi Kandungan 1 Flavonoid menghasilkan sistem imun yang alamiah (innate) dan sistem imun spesifik (adaptive), antiinflamasi dan antihistamin. 2 Asam askorbat antialergi, antiinflamasi, antihistamin, antioksidan, imunomodulator, imunostimulant, antispasmotic, asthma preventive, dan Ca-antagonist 3 Beta-amyrin Antiinflamasi 4 Beta-sitosterol Antiinflamasi, antioksidan, antiprostaglandin 5 Caffeic-acid Antihistamin, antiinflamasi, antioksidan, antispasmodic, imunostimulant, leukotrieneinhibitor, lipoxygenase-inhibitor, COX-2inhibitor, dan Ca-antagonist 6 Quercetin lipoxygenase-inhibitor, leukotrieneinhibitor, COX-inhibitor, Nuclear Factor кB inhibitor (NF-кB inhibitor), protein-kinaseC-inhibitor, dan phospholipase inhibitor 7 Kaempferol antioksidan, ICAM-inhibitor, antispasmodic 8 Gallic-acid bronkodilator, antiinflamasi, lipoxygenaseinhibitor, dan COX-inhibitor 9
P-coumaricacid
10 11
Taxaxerol Tanin
12 13
Saponin Ferulic acid
14
Linoleic acid
15
Betulin
16
Oleic acid
prostaglandin-synthesis-inhibitor, lipoxygenase inhibitor, antioksidan, antispasmotic Antisecretory imunostimulant, antiinflamasi, antirhinitis, antioksidan meningkatkan sistem imun dan antiinflamasi antialergi, antiinflamasi, antioksidan, antiserotonin, antispasmodic, imunostimulant, dan prostaglandinsynthesis-inhibitor antianaphylactic, antihistamin, antiinflamasi, antileukotriene-D4, dan meningkatkan sistem imun antiinflamasi dan prostaglandin-synthesisinhibitor antiinflamasi dan antileukotriene-D4
10
Lipoxygenase-inhibitor berperan dalam menekan produksi Interleukin-4 (IL-4) oleh sel CD4+ Th2 (Tanaka et al., 2003). Dimana IL-4 berperan dalam merangsang pertumbuhan sel mast (Janeway et al., 2004). f. Hasil Penelitian 1) Triterpene (beta-amyrin, 24-methylencycloartenol, dan betasitosterol) yang diperoleh dari Euphorbia hirta L. diuji efek penghambatannya terhadap inflamasi yang diinduksi 12-OTetradecanoil Phorbol Acetate (TPA). Semua triterpene alkohol tersebut
terbukti
menghambat
inflamasi.
Namun,
efek
penghambatannya menjadi lebih kuat jika diberikan secara kombinasi (Vázquez et al., 1999). 2) Ekstrak seluruh bagian tanaman Euphorbia hirta L. dengan etanol 95%
menunjukkan
efek
antihistamin,
antiinflamasi,
dan
imunosupresif pada berbagai hewan percobaan. Euphorbia hirta L. menghambat degranulasi sel mast peritoneal. Ekstrak tersebut secara signifikan menghambat edema pada tikus yang diinduksi dekstran. Euphorbia hirta L. juga mencegah akumulasi eosinofil dan aktivitas eosinofil peroksidase. Selain itu, rasio CD4/CD8 darah perifer juga ditekan dan mengurangi pengeluaran IL-4 serta meningkatkan Interferon-γ (IFN-γ) pada tikus yang disensitisasi ovalbumin. Hasil penelitian dibandingkan dengan efek ketotifen, cetirizine, dan cyclophosphamide. Hasilnya menunjukkan bahwa
11
Euphorbia hirta L. secara signifikan mencegah reaksi alergi fase cepat dan fase lambat (Singh et al., 2005). 2. Imunologi Asma Alergi Alergi adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh reaksi imunologik spesifik
yang ditimbulkan oleh alergen. Pada umumnya berupa
pertahanan selular dan humoral organisme terhadap benda asing (Zukesti, 2003). Degranulasi sel mast merupakan komponen sentral pada penyakit alergi, sedangkan manifestasi klinis dan patologis bergantung pada letak dan kronisitasnya (Abbas dan Licthman, 2003). Asma alergi diawali dengan inhalasi alergen (Busse dan Lemanske, 2001). Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan didegradasi oleh Antigen Presenting Cells (APCs) menjadi peptida – peptida untuk selanjutnya dipresentasikan pada sel limfosit T CD4+ atau yang lebih dikenal dengan sel Th0. Sel T CD4+ dapat berdiferensiasi menjadi sel CD4+ Th1 dan sel CD4+ Th2 (Baratawidjaja, 2004). Aktivasi sel CD4+ Th2 terlihat berperan utama dalam mengawali dan memelihara terjadinya inflamasi alergi (Temann, 2002; Blease et al., 2000; Laouini et al., 2003). Hal ini terlihat pada penderita asma dimana jumlah sel CD4+ Th2 lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kontrol, sebaliknya jumlah sel CD4+ Th1 tidak berbeda (Laouini et al., 2003). Sel CD4+ Th2 akan memproduksi mediator – mediator inflamasi seperti histamin dan leukotriene yang dapat menarik sel – sel inflamasi (netrofil, monosit, eosinofil, dll); sitokin – sitokin termasuk IL-4, IL-5
12
(Busse dan Lemanske, 2001), IL-10, dan IL-13 (Abbas dan Lichtman, 2003). Histamin meningkatkan sekresi sitokin sel CD4+ Th2 seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13 serta menghambat produksi sitokin sel CD4+ Th1, diantaranya IL-2, IL-12 dan IFN-g. Melalui sitokin yang dihasilkannya, sel CD4+ Th2 juga berperan dalam hipersekresi mukus dan hiperplasi sel mast
(Blease et al., 2000; Temann, 2002; Abbas dan
Lichtman, 2003). Interleukin-4 yang dihasilkan oleh sel CD4+ Th2 akan merangsang perkembangan sel CD4+ Th2 sendiri dari sel Th0 dan merupakan stimulus utama produksi IgE (Baratawidjaja, 2004). IL-4 bersama IL-3 dan IL-10 berperan dalam merangsang pertumbuhan sel mast. IL-5 berfungsi merangsang pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil serta sekresi berbagai sitokin (Li-Weber dan Krammer, 2003). Sedangkan IL-4 dan IL-13 merangsang pertumbuhan, proliferasi, diferensiasi, dan pematangan sel B menjadi sel plasma dan memproduksi IgE (Janeway, 2004; Kuby, 1997). Pembentukan IgE oleh sel B memerlukan enzim Protein-Kinase-C (PKC), Phosphatidilinositol-specific Phospholipase C-γ (PLCγ), dan faktor transkripsi Nuclear Factor кB (NF-кB) (Abbas dan Litchman, 2003). Imunoglobulin E sangat berperan dalam terjadinya reaksi alergi. IgE yang dihasilkan sel plasma tersebut akan berikatan dengan sel mast pada reseptor FceRI. Proses perlekatan IgE pada sel mast disebut sensitisasi (Janeway, 2004; Abbas dan Licthman, 2003).
13
Setelah tersensitisasi, sel mast mempengaruhi reaksi inflamasi. Pada paparan berikutnya dengan alergen yang sama, alergen akan berikatan dengan IgE pada sel mast atau basofil yang tersensitisasi dan terjadi proses degranulasi pada sel tersebut, kemudian mediator akan dilepaskan dari granula sel mast dan berefek pada jaringan sekitar (Kuby, 1997; Abbas dan Licthman, 2003). Dalam peristiwa degranulasi, sel mast melepaskan sejumlah mediator antara lain histamin, enzim Siklooksigenase (COX) dan lipoxygenase (Laprise et al., 2004; Blease et al., 2000), Prostagalandin D2 (PGD2), leukotriene-C4, leukotriene-D4, leukotriene-E4, dan platelet-activating factor (Abbas dan Litchman, 2003). Histamin memainkan peran yang sangat penting pada patogenesis asma atopi melalui pengaturan diferensiasi limfosit sel CD4+ Th0 (Blease et al., 2000; Abbas dan Lichtman, 2003). Histamin menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, kontraksi otot polos,
dan
meningkatkan aktivitas kelenjar respirasi yang merupakan patogenesis asma alergi (Abbas dan Licthman, 2003; Kuby, 1997). Siklooksigenase melalui mediator utamanya PGD2 menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, bronkokontriksi, dan kemotaksis neutrofil. Sedangkan
lipoxygenase
menyebabkan
melalui
bronkokontriksi,
mediator
sekresi
utamanya
mukus
dan
leukotriene peningkatan
permeabilitas pembuluh darah. Selain mediator-mediator di atas, sel mast
14
juga mengeluarkan sitokin berupa TNF-α, IL-4, IL-5, IL-6 (Abbas dan Licthman, 2003; Kuby, 1997).
3. Sel Mast
Gambar 2.2. Sel Mast
Semua sel mast merupakan derivat dari progenitor di sumsum tulang. Awalnya sel mast membelah secara heteroplastik, lalu dilanjutkan secara mitosis homoplastik (Arvy, 1956). Normalnya, sel mast matur tidak terdapat di sirkulasi. Progenitor bermigrasi ke jaringan perifer sebagai sel mast imatur dan berdeferensiasi in situ (Abbas dan Litchman, 2003).
15
Pada mencit terdapat dua tipe sel mast yaitu sel mast mukosa dan sel mast jaringan ikat. Sel mast mukosa mempunyai granul yang banyak mengandung kondroitin sulfat dan sedikit histamin. Sel mast jenis ini predominan terdapat di alveoli paru-paru dan mukosa intestinal. Sedangkan sel mast jaringan ikat memiliki granul yang banyak mengandung heparin dan histamin. Predominan terdapat di submukosa intestinal dan kulit (Abbas dan Litchman, 2003). Di intestinal, sel mast terutama terdapat di vili, sekitar glandula duodenal Lieberkuhn, dan juga tersebar di mukosa usus kecil serta caecum (Sansonow, 1909). Sedangkan pada bronkus, sel mast dapat ditemukan di sekitar glandula submukosa, otot polos bronkus, dan bagian lain dari bronkus (Martin et al., 1991). Salah satu cara untuk melihat sel mast di jaringan yaitu dengan melakukan pewarnaan preparat menggunakan methylene blue. Dengan pewarnaan ini, granula sitoplasma sel mast akan terlihat sebagai gambaran metakromasi (Martin et al., 1991).
Gambar 2.3. Sel Mast dengan Pewarnaan Methylene Blue
16
Sebenarnya, organ normal hanya mengandung sedikit jaringan pengikat dan sel mast. Sebaliknya, sel mast terlihat banyak pada jaringan yang mengalami inflamasi baik pada inflamasi kronik (Prakken dan Woedermann, 1952) maupun inflamasi akut (Bensley, 1950). Pada keadaan tersebut terjadi peningkatan jumlah sel mast secara progresif di sekitar area inflamasi. Selama fase proliferasi sel mast masih terjadi, populasinya akan terus meningkat (Bensley, 1950). Kemudian melalui pemeriksaan secara histologi diketahui bahwa peningkatan destruksi sel mast mengakibatkan reaksi inflamasi yang besar pada jaringan di sekitarnya (Riley, 1959). Pada reaksi inflamasi, aktivasi sel mast didahului dengan masuknya alergen (Utomo dan Sutijanto, 2005) yang dapat menimbulkan respon biologi berupa sekresi isi granul, sintesis dan sekresi mediator lipid, serta sintesis dan sekresi sitokin. Proses sintesis mediator lipid diantaranya yaitu pembentukan prostaglandin dan leukotriene. Proses ini memerlukan enzim cytosolic Phospholipase A2 (PLA2). Sedangkan dalam proses pelepasan granul sel mast dibutuhkan PLC , PKC, dan influks Ca2+ sel (Abbas dan Litchman, 2003). 4. Ovalbumin Komponen utama putih telur adalah ovalbumin, secara struktural adalah serpin (sejenis protein). Ovalbumin adalah fosfoglikoprotein monomer dengan berat molekul 43 hingga 45 kD dan bersifat asam pada titik isoelektrik (Wikipedia, 2009a).
17
Mayoritas model yang sekarang digunakan adalah mencit yang disensitisasi dengan ovalbumin secara intraperitoneal, yang dalam penggunaannya sering bersama-sama dengan adjuvant sel CD4+ Th2, seperti
aluminium
hidroksida.
Sensitisasi
dengan
sendirinya
mempengaruhi produksi IgE spesifik ovalbumin. Ketika dilakukan pemaparan ulang yang kedua sampai dengan pemberian ovalbumin aerosol, maka binatang yang disensitisasi akan mengalami hyperresponsiveness saluran nafas (Kips et al., 2003). Prevalensi ovalbumin dalam menimbulkan alergi antara 9-100% (Besler dan Mine cit. Diding, 2007). Pemaparan Ovalbumin (OVA) akan memicu APCs. OVA oleh APCs akan didegradasi menjadi peptida-peptida untuk selanjutnya dipresentasikan pada sel limfosit CD4+ Th. Sel limfosit CD4+ Th2 sangat berperan dalam perubahan inflamasi yang terjadi pada bronkus. OVA inhalasi akan meningkatkan tingkat inflamasi dan stimulasi sel B untuk memproduksi IgE di serum (Diding, 2007). Imunoglobulin E sangat berperan dalam terjadinya reaksi alergi (Janeway, 2004; Abbas dan Licthman, 2003). 5. Alumunium Hidroksida Alumunium hidroksida (Al(OH)3), merupakan alumunium yang paling stabil dalam kondisi normal. Merupakan senyawa amfoter yang mempunyai molaritas 78,00 mol (Wikipedia, 2009b). Alumunium hidroksida dimasukkan sebagai adjuvant pada beberapa vaksin, karena perannya dalam menginduksi respon Th2. Meskipun
18
demikian, Al(OH)3 juga mempunyai sedikit kemampuan menstimulasi respon Th1 yang penting untuk proteksi dari berbagai patogen (Petrovsky dan Aguilar, 2004).
B. Kerangka Pemikiran 1. Kerangka Berpikir Konseptual Alergen Makrofag
IL-12
Sel Th0 IL-10 IL-4
IL-12
IL-4 IL-13+
Sel CD4+ Th1 Ekstrak Euphorbia hirta L.
Keterangan : à : merangsang --- > : menghambat
IFN-γ NF-кB PLCγ PKC
Ca2+
Sel CD4 SelTh2 B
IgE Sel Mast degranulasi
Sitokin Proinflamasi
19
Gambar 2.4. Skema Kerangka Pemikiran
2. Kerangka Berpikir Teoritis Ovalbumin sebagai alergen masuk ke tubuh dan ditangkap oleh Antigen Presenting Cells (APCs). Kemudian diproses dan dipresentasikan ke sel T CD4+ atau sel Th0. Sel Th0 dapat berdiferensiasi menjadi dua subset, yaitu sel CD4+ Th1 dan sel CD4+ Th2. Kerja dari sel CD4+ Th1 dan sel CD4+ Th2 saling menghambat, dimana sel CD4+ Th2 mensekresi sitokin-sitokin yang mempengaruhi reaksi alergi. Sitokin-sitokin itu adalah IL-4 dan IL-13 yang mempengaruhi sintesis IgE oleh sel B. Pembentukan IgE oleh sel B memerlukan enzim PLCγ, PKC, dan faktor transkripsi NFκB. Selain itu, IL-4 juga berperan dalam merangsang pertumbuhan sel mast. Imunoglobulin E yang terbentuk akan terikat pada membran sel mast. Jika alergen yang sama atau mempunyai struktur mirip masuk dan terjadi cross-linking antara IgE dengan alergen akan menyebabkan aktivasi sel mast. Aktivasi sel mast menimbulkan respon biologi berupa sintesis dan sekresi mediator lipid, sintesis dan sekresi sitokin, serta sekresi isi granul. Proses pelepasan granul sel mast membutuhkan PLCγ , PKC, dan influks Ca2+. Dalam proses pembentukan IgE, Euphorbia hirta L. menekan produksi IL-4 oleh sel CD4+ Th2 melalui efek lipoxygenase-inhibitor serta menghambat kerja faktor transkripsi NF-κB, PLCγ, PKC sehingga IgE
20
yang diproduksi oleh sel B sedikit. Dengan begitu, IgE yang terikat sel mast pun menjadi sedikit. Penghambatan produksi IL-4 juga dapat menekan pertumbuhan sel mast. Dengan begitu, jumlah sel mast pada jaringan yang mengalami inflamasi juga menjadi lebih sedikit. Protein-Kinase-C-inhibitor
dan
phospholipase-inhibitor
dalam
Euphorbia hirta L. akan menghambat enzim PKC dan PLCγ sehingga pelepasan granul sel mast yang berisi histamin dapat ditekan. Hal ini akan menghambat kerja histamin sebagai faktor kemotaktik sel-sel inflamasi. Efek ini diperkuat dengan adanya Ca-antagonist dalam Euphorbia hirta L. yang mencegah influks Ca2+ ke dalam sel sehingga pelepasan granul terhambat. Dengan berkurangnya aktivasi sel mast, maka reaksi alergi dapat diperbaiki. 3. Hipotesis Ada hubungan pemberian ekstrak patikan kebo (Euphorbia hirta L.) terhadap hitung sel mast pada mencit Balb/C model asma alergi.
21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik, dengan post test only control groups design. B. Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. C. Subjek Penelitian Subjek penelitian berupa 30 ekor mencit Balb/C jantan dengan berat badan + 20 gram, dan berumur 6-8 minggu. Mencit Balb/C diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Percobaan Universitas Setia Budi, Surakarta. Bahan makanan mencit digunakan pakan mencit BR 1. D. Teknik Sampling Pengambilan sampel dilakukan secara incidental sampling. Dimana jumlah sampel ditentukan menggunakan rumus Federer, yaitu: (k-1) (n-1) > 15
Keterangan: k : jumlah kelompok n : jumlah sampel dalam tiap kelompok (Purawisastra, 2001)
22
Dalam penelitian ini, subjek dibagi menjadi 5 kelompok sehingga berdasarkan rumus Federer didapatkan jumlah subjek masing-masing kelompok sebagai berikut: (k-1) (n-1) > 15 (5-1) (n-1) > 15 4 (n-1) > 15 (n-1) > 3,75 n > 4,75 ó n > 5 Tiap kelompok dalam penelitian ini terdiri dari 6 ekor mencit Balb/C. E. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas
: ekstrak patikan kebo (Euphorbia hirta L.)
2. Variabel Terikat : hitung sel mast 3. Variabel luar a. Dapat dikendalikan : genetik, berat badan, makanan, umur, jenis kelamin b. Tidak dapat dikendalikan : variasi kepekaan mencit terhadap suatu zat F. Skala Variabel Penelitian 1. Ekstrak Patikan Kebo (Euphorbia hirta L.) : skala nominal 2. Hitung Sel Mast : skala rasio G. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Ekstrak Patikan Kebo Ekstrak patikan kebo diperoleh dari tanaman patikan kebo yang dikeringkan, dihaluskan, dan kemudian diekstraksi dengan cairan ethanol
23
70%. Ekstraksi dilakukan dengan metode perkolasi. Ekstrak ini dibuat di Balai Besar Pengembangan dan Penelitian Tanaman Obat dan Tanaman Tradisional (B2P2TO2T), Tawangmangu. Pemberian ekstrak patikan kebo dilakukan peroral dengan dosis 10 mg/ mencit/ hari dan 20 mg/ mencit/ hari. Dosis patikan kebo yang diberikan pada mencit diperoleh dari: a. Dosis aman patikan kebo adalah (500 – 1000) mg/ Kg BB/ hari. b. Berat badan mencit yang digunakan + 20 gram, maka dosis patikan kebo yang akan diberikan pada mencit yaitu: 500 mg/ Kg BB/ hari – 1000 mg/ Kg BB/ hari = (500/ 1000) mg/ gr BB/ hari – (1000/ 1000) mg/ gr BB/ hari = 0,5 mg/ gr BB/ hari – 1 mg/ gr BB/ hari = 10 mg/ 20 gr BB/ hari – 20 mg/ 20 gr BB/ hari = 10 mg/mencit/hari – 20 mg/mencit/hari Daya muat maksimal lambung mencit adalah 1 cc dan sebagian lambung mencit telah terisi dengan makanan dan minuman, sehingga ekstrak patikan kebo yang diberikan pada mencit secara oral adalah 0,1 cc dan 0,2 cc. Volume aquabides yang digunakan sebagai pelarut ekstrak patikan kebo adalah : (0,1 + 0,2) cc/mencit/hari x 6 mencit x 28 hari = 50,4 cc ó 51 cc Ekstrak patikan kebo yang diperlukan (X) adalah: X 徠mg
10 mg
=
51 cc
0,1 cc
24
X (mg) =
51 cc x 10 mg 0,1 cc
X (mg) = 5100 mg
Jadi, dibuat larutan ekstrak patikan kebo dengan melarutkan 5,1 gram ekstrak patikan kebo dalam 51 cc aquabides. Ekstrak patikan kebo yang diberikan pada mencit kelompok III adalah 0,1 cc/ mencit/ hari. Sehingga ekstrak patikan kebo yang diberikan pada mencit kelompok IV adalah : (20 mg/ 10 mg) x 0,1 cc = 0,2 cc/ mencit/ hari Pemberian ekstrak patikan kebo pada kelompok III dan IV dilakukan pada hari ke-1 sampai hari ke-28. 2. Hitung Sel Mast di Intestinal Setelah mencit dikorbankan, diambil jaringan intestinal, kemudian direndam dalam larutan formalin buffer 10% selama 10 jam, setelah itu dibuat blok parafin. Selanjutnya dilakukan potongan serial terhadap blok parafin tersebut untuk dibuat slide masing-masing 2 buah. Setelah itu dilakukan pewarnaan dengan methylene blue untuk melihat dan menghitung jumlah sel mast, untuk selanjutnya diidentifikasi dengan mikroskop cahaya. Sel mast dengan mikroskop terlihat berbentuk oval atau bulat, ukuran diameter 10-13 µm, sitoplasma berisi granula basofilik. Inti agak kecil terletak di tengah, seringkali tertutup oleh granul (Junqueira dan Carneiro, 2005). Pada pewarnaan methylene blue, granul sel mast akan tampak metakromasi berwarna ungu-merah tersebar di seluruh sitoplasma,
25
sedangkan inti biasanya tidak terlihat (Martin et al., 1991). Kemudian dilakukan penghitungan sel mast secara manual tiap lapang pandang dengan mikroskop cahaya. Setiap preparat masing-masing
diamati
sebanyak 3 lapang pandang. H. Pembuatan Mencit Model Asma Alergi Untuk membuat mencit model asma alergi dilakukan sensitisasi pada mencit intraperitoneal pada hari ke-0 dan ke-14 dengan menimbang 2,5 mg OVA dan dilarutkan dalam 7,75 cc Al(OH)3. Dosis untuk tiap mencit adalah 0,15 cc / mencit / intraperitoneal. Pemaparan OVA aerosol dimana OVA dilarutkan dalam aquabides dengan perbandingan 10:1 (50 mg OVA dalam 5 cc aquabides), dilakukan secara bergantian dengan nebulizer kecepatan 6 L/menit pada masing-masing kelompok selama 20 menit. Hal ini dilakukan pada hari ke-21, 23, 25, dan 28. I. Antihistamin Generasi III Antihistamin generasi III (AH) yang digunakan adalah Telfast® 120 mg yang mengandung fexofenadine. Faktor konversi manusia (dengan berat badan ± 70 kg) ke mencit (dengan berat badan ± 20 gr) adalah 0,0026 (Suhardjono, 1995) sehingga dosis antihistamin yang diberikan pada mencit adalah : 120 mg x 0,0026 = 0,3 mg Daya muat maksimal lambung mencit adalah 1 cc dan sebagian lambung mencit telah terisi dengan makanan dan minuman, sehingga antihistamin yang
26
akan diberikan pada mencit secara oral adalah 0,1 cc/ mencit/ hari, maka pelarut (aquabides) yang dibutuhkan adalah : 120 mg 0,3 mg
=
X=
X cc
0,1 cc
120 x 0,1 40 cc
X = 40 cc
Agar mencit pada kelompok V mendapat antihistamin 0,1 cc/ mencit/ hari, maka 1 tablet Telfast® 120 mg dilarutkan dalam 40 cc aquabides. Pemberian antihistamin pada kelompok V dilakukan pada hari ke-1 sampai hari ke-28. J. Rancangan Penelitian
S
K1
M1
K2
M2
K3
M3
K4
M4
K5
M5
Hitung sel mast semua kelompok dibandingkan dengan Uji Anova atau uji alternatifnya(KruskallWallis) dilanjutkan dengan Post Hoc Test atau Mann-Whitney antar kelompok
Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian Keterangan : S = Jumlah Sampel K1 = Kelompok I (Kontrol) K2 = Kelompok II (OVA) K3 = Kelompok III (OVA + PK 500 mg/ kgBB/ hari) K4 = Kelompok IV (OVA + PK 1000 mg/ kgBB/ hari) K5 = Kelompok V (OVA + AH)
27
PK = Patikan Kebo AH = Antihistamin M1 = M2 = M3 = M4 = M5 =
Jumlah Sel Mast Kelompok I Jumlah Sel Mast Kelompok II Jumlah Sel Mast Kelompok III Jumlah Sel Mast Kelompok IV Jumlah Sel Mast Kelompok V
K. Instrumentasi Penelitian 1. Alat penelitian a. Kandang mencit b. Spuit tuberculin 1 cc dan 3 cc c. Sonde mencit d. Beaker glass 50 cc dan 100 cc e. Mikroskop cahaya Olympus f. Timbangan elektrik Mettler Toledo g. Nebulizer h. Gelas pengaduk i. Gelas objek j. Gelas ukur k. Deck glass l. Hand scoen m. Mortir 2. Bahan penelitian a. Intestinal mencit Balb/C b. Ekstrak patikan kebo (Euphorbia hirta L.) c. Ovalbumin
28
d. Al (OH)3 e. Aquabides f. Antihistamin III (fexofenadine dosis @ 120mg) g. Pakan mencit BR 1 h. Formalin buffer 10% i. Blok parafin j. Methylene Blue L. Cara Kerja 1. Kandang mencit disiapkan. Satu kandang 1 kelompok mencit. 2. Mencit diadaptasikan dengan lingkungan selama 7 hari dan diberi makanan standar BR 1. 3. Pada hari ke-0 dan ke-14, kelompok II, III, IV, dan V disensitisasi OVA intraperitoneal dengan dosis 0,15 cc/mencit/i.p, dimana 2,5 mg OVA dilarutkan pada 7,75 cc Al(OH)3. 4. Pemberian ekstrak patikan kebo (Euphorbia hirta L.) pada kelompok III dan IV serta antihistamin pada kelompok V dilakukan hari ke-1 sampai hari ke-28. 6. Pemaparan OVA aerosol, dimana OVA dilarutkan dalam aquabides dengan perbandingan 10:1, dengan nebulizer kecepatan 6 L/menit selama 20 menit diberikan pada hari ke-21, 23, 25, dan 28. 7. Setelah 24 jam pada akhir pemaparan semua hewan diterminasi dengan cara cervical dislocation. Jaringan intestinal diambil untuk dibuat preparat
29
imunohistokimia dan dicat dengan methylene blue. Kemudian diamati dengan mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000 kali. Secara umum, cara kerja penelitian ini adalah sebagai berikut: 30 Ekor Mencit
Balb/C
Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Kelompok IV
Kelompok V
Sensitisasi OVA
Ekstrak Euphorbia hirta L. 10 mg/ /mencit/hari
Ekstrak Euphorbia hirta L. 20 mg / mencit/ hari
Terminasi hari ke-29, koleksi intestinal
Hitung Sel Mast
Gambar 3.2. Skema Cara Kerja
Antihistami n generasi III 0.3 mg/ mencit/hari
30
M. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Anova dilanjutkan dengan LSD Post Hoc Test untuk membandingkan perbedaan mean antar kelompok. Jika data tidak memenuhi syarat untuk uji Anova, sebaran data tidak normal (p<0,05) dan varians data tidak sama meskipun sudah ditransformasi, digunakan uji alternatifnya yaitu uji KruskalWallis untuk membandingkan perbedaan mean lebih dari dua kelompok. Dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney, untuk membandingkan perbedaan mean antar kelompok menggunakan program SPSS for Windows Release 16.0.
31
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Hitung Sel Mast Preparat intestinal masing-masing kelompok diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan pengecatan methylene blue . Pengamatan sel mast jaringan intestinal dengan perbesaran mikroskop 10 x 100 dan dihitung dalam 3 lapang pandang. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4.1. Hitung Sel Mast (Jumlah Sel/ Lapang Pandang) Masing-masing Kelompok Perlakuan Kelompok Median (min – max) K1 3(0 – 5) K2 6(3 – 7) K3 2(1 – 5) K4 2(0 – 4) K5 3(1 – 5) Keterangan: K1 = Kelompok I (Kontrol) K2 = Kelompok II (OVA) K3 = Kelompok III (OVA + PK 500 mg/ kgBB) K4 = Kelompok IV (OVA + PK 1000 mg/ kgBB) K5 = Kelompok V (OVA + AH)
32
Hasil hitung sel mast masing-masing kelompok disajikan pada gambar berikut ini:
Jumlah Sel Mast/ Lapang Pandang
7 6 5 4 3 2 1 0 K1
K2
K3
K4
K5
Kelompok Perlakuan
Gambar 4.1. Histogram Hitung Sel Mast Intestinal Mencit Masingmasing Kelompok Perlakuan
Pengamatan mikroskopis sel mast pada masing-masing kelompok dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 4.2. Gambaran sel mast kelompok K1 pengecatan methylene blue, perbesaran 1000x. Panah hijau menunjukkan sel mast.
33
Gambar 4.3. Gambaran sel mast kelompok K2 pengecatan methylene blue, perbesaran 1000x. Panah hijau menunjukkan sel mast.
Gambar 4.4. Gambaran sel mast kelompok K3 pengecatan methylene blue, perbesaran 1000x. Panah hijau menunjukkan sel mast.
Gambar 4.5. Gambaran sel mast kelompok K4 pengecatan methylene blue, perbesaran 1000x. Panah hijau menunjukkan sel mast.
34
Gambar 4.6. Gambaran sel mast kelompok K5 pengecatan methylene blue, perbesaran 1000x. Panah hijau menunjukkan sel mast.
B. Analisis Hasil Data tidak memenuhi syarat untuk uji Anova karena meskipun varians data sama tetapi sebaran data tidak normal (p<0,05) meski sudah ditransformasi, sehingga data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan uji alternatifnya, yaitu Kruskal-Wallis untuk membandingkan perbedaan mean lebih dari dua kelompok, dilanjutkan uji Mann-Whitney untuk membandingkan perbedaan mean antar kelompok menggunakan program SPSS for Windows Release 16.0. Hasil uji Kruskal-Wallis diperoleh nilai signifikan 0,000. Jadi minimal terdapat 2 kelompok yang memiliki perbedaan bermakna. Hasil perhitungan uji sebaran data, uji varians, dan uji Kruskall-Wallis selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3 dan 4. Untuk mengetahui perbedaan mean antar kelompok digunakan uji MannWhitney. Data hasil perhitungan dengan uji Mann-Whitney dapat dilihat pada
35
tabel 4.2. Data selengkapnya mengenai perhitungan uji Mann-Whitney dengan program SPSS For Windows Release 16.0 dapat dilihat pada lampiran 4. Tabel 4.2. Hasil perhitungan dengan uji Mann-Whitney Nilai z
p value
(z tabel -1,96)
(α=0,05)
K1 vs K2
-4,849
0,000
Signifikan
K2 vs K3
-4,831
0,000
Signifikan
K2 vs K4
-5,097
0,000
Signifikan
K2 vs K5
-4,819
0,000
Signifikan
K3 vs K4
-0,721
0,471
Tidak Signifikan
K3 vs K5
-0,878
0,380
Tidak Signifikan
K4 vs K5
-1,825
0,068
Tidak Signifikan
Kelompok
Kemaknaan
36
BAB V PEMBAHASAN
Menurut Zukesti (2003), alergi merupakan reaksi imunologik spesifik yang ditimbulkan oleh alergen baik berupa pertahanan selular maupun humoral dari organisme terhadap benda asing. Penelitian ini menggunakan OVA sebagai alergen. Hasil penelitian menunjukkan pemaparan OVA selama 29 hari mampu meningkatkan rata-rata hitung sel mast intestinal mencit Balb/C pada kelompok OVA (tabel 4.1) dengan perbedaan yang bermakna dibandingkan kelompok kontrol (p = 0,000) (tabel 4.2). Hal ini sesuai dengan pernyataan Busse dan Lemanske (2001) bahwa OVA akan mengaktivasi sel mast serta sel CD4+ Th2 sebagai reaksi terhadap alergi. Sel CD4+ Th2 yang teraktivasi akan memproduksi mediator-mediator inflamasi seperti histamin, leukotriene, serta sitokin-sitokin seperti IL-4, IL-5 (Busse dan Lemanske, 2001) , IL-10, dan IL-13 (Abbas dan Lichtman, 2003). Interleukin-4 dan IL-10 dapat merangsang pertumbuhan sel mast (Li-Weber dan Krammer, 2003). Sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel CD4+ Th2
berperan dalam
hiperplasi sel mast (Blease et al., 2000; Temann, 2002; Abbas dan Lichtman, 2003) dan sangat berpengaruh pada respon alergi (Hohlfeld, 2001). Menurut Duke (2009) Euphorbia hirta L. memiliki kandungan kimia yang berperan sebagai antiasma. Salah satu cara kerjanya adalah dengan menghambat degranulasi sel mast sehingga sekresi vasoaktif amin seperti histamin dan sitokinsitokin akan berkurang. Menurut Packard dan Khan (2003) histamin dapat meningkatkan produksi sitokin sel CD4+ Th2, seperti IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13.
37
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Singh et al. (2005) menunjukkan bahwa ekstrak patikan kebo mengurangi pengeluaran IL-4 pada tikus yang disensitisasi OVA sehingga dapat menekan faktor tumbuh sel mast. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Sousa et al. (2005) menunjukkan bahwa Euphorbia hirta L. secara bermakna mencegah reaksi alergi. Hasil penelitian-penelitian ini sesuai dengan penelitian penulis yang memperlihatkan bahwa pemberian ekstrak patikan kebo dosis 500 mg/ kgBB/ hari dapat menurunkan hitung sel mast pada mencit model asma alergi (kelompok OVA) secara bermakna (p = 0,000) (tabel 4.2) . Keadaan ini juga terlihat pada kelompok mencit yang diberi ekstrak patikan kebo dosis 1000 mg/ kgBB/ hari dengan p = 0,000 (tabel 4.2). Pemberian antihistamin generasi III (fexofenadine) pada mencit model asma alergi diharapkan dapat menekan reaksi inflamasi akibat alergi pada kelompok K2 (kelompok OVA) sebagai kontrol positif yang telah disensitisasi dengan OVA. Seperti yang dijelaskan oleh Net Doctor (2008) bahwa antihistamin generasi III (fexofenadine) bekerja dengan mengeblok reseptor H1 pada sel, sehingga obat ini tidak berfungsi mencegah pengeluaran histamin
dari sel mast tetapi hanya
mencegah ikatan histamin dengan reseptornya. Meskipun demikian, ternyata pemberian obat ini mampu memberikan efek positif. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan pemberian antihistamin generasi III menurunkan hitung sel mast kelompok OVA secara bermakna (p = 0,000) (tabel 4.2). Terlihat bahwa mekanisme penghambatan antihistamin generasi III terhadap ikatan antara histamin yang dihasilkan sel CD4+ Th2 dan sel mast dengan reseptornya cukup kuat. Seperti yang telah diketahui, inflamasi pada alergi disebabkan oleh ekspresi
38
sel CD4+ Th2 berlebih (Cohn et al., 2004) yang akan mengakibatkan peningkatan produksi IgE (Baratawidjaja, 2004) serta granulasi sel mast (Kuby, 1997; Abbas dan Licthman, 2003). Sel CD4+ Th2 yang teraktivasi dan degranulasi sel mast selanjutnya akan mengeluarkan histamin sebagai salah satu mediator inflamasi (Busse dan Lemanske, 2001; Abbas dan licthman, 2003). Histamin inilah yang kerjanya akan dihambat oleh antihistamin generasi III tersebut. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pemberian ekstrak patikan kebo dosis 500 mg/ kgBB untuk terapi asma alergi terlihat sebanding dengan antihistamin generasi III (fexofenadine) karena perbedaan hitung sel mast diantara keduanya tidak bermakna (p = 0,380) (tabel 4.2). Ini juga terlihat pada pemberian ekstrak patikan kebo dosis 1000 mg/ kgBB/ hari (p = 0,068) (tabel 4.2). Adanya variasi kepekaan mencit terhadap suatu zat sebagai variabel luar yang tidak dapat dikendalikan juga dapat memegang peranan dalam hal ini. Efektivitas antihistamin dalam melawan reaksi hipersensitivitas juga berbeda-beda tergantung berat gejalanya (Sjamsudin dan Dewoto, 2005). Rendahnya konsentrasi antihistamin dalam plasma juga berpengaruh terhadap efek terapi antihistamin. Pada penelitian ini, digunakan antihistamin generasi III dosis tunggal dengan waktu paruh 14,4 jam. Sesuai pendapat Andra (2006) bahwa pemberian dosis tunggal memungkinkan terjadi efek lintas pertama oleh hati yang menyebabkan konsentrasi dalam plasma relatif rendah. Disamping itu, banyak faktor lain yang berperan dalam patogenesis asma alergi selain histamin. Kandungan zat dalam tanaman Euphorbia hirta L. mampu menekan proses inflamasi melalui berbagai mekanisme penghambatan terhadap faktor-faktor tersebut (Duke, 2009).
39
Mekanisme penghambatannya antara lain sebagai protein-kinase-C-inhibitor dan phospholipase-inhibitor yang akan menghambat enzim PKC dan PLCγ sehingga pelepasan granul sel mast yang berisi histamin dapat ditekan (Duke, 2009) yang akan menghambat kerja histamin sebagai faktor kemotaktik sel-sel inflamasi (Busse dan Lemanske, 2001). Mekanisme penghambatan diperkuat dengan adanya efek Ca-antagonist, mast cell stabilizer, antihistamin, lipoxygenaseinhibitor, dll. (Duke, 2009) sehingga lebih efektif untuk terapi asma alergi pada mencit model asma alergi dibandingkan antihistamin generasi III yang hanya bekerja mengeblok reseptor H1 saja. Ekstrak patikan kebo dosis 500 dan 1000 mg/ kgBB/ hari lebih menurunkan jumlah sel mast dibanding antihistamin generasi III pada mencit Balb/C model asma alergi. Perbedaan yang tidak bermakna antara pengaruh pemberian ekstrak patikan kebo dosis 500 dengan dosis 1000 mg/ kgBB/ hari (p=0,471) (tabel 4.2) kemungkinan dikarenakan dosis patikan kebo 500 mg/ kgBB/ hari telah mencapai konsentrasi dalam darah yang dapat menimbulkan efek terapi maksimal melalui gabungan mekanisme kerja masing-masing zat yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, saat mencit di beri dosis patikan kebo yang lebih tinggi (1000 mg/ kgBB/ hari) efek terapinya tidak jauh berbeda dengan patikan kebo dosis 500 mg/ kgBB/ hari. Terapi asma alergi sebaiknya diberikan ekstrak patikan kebo dosis rendah (500 mg/ kgBB/ hari) dengan efek yang hampir sama dengan dosis yang lebih tinggi (1000 mg/ kgBB/ hari). BAB VI
40
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian ekstrak patikan kebo (Euphorbia hirta L.) dosis 500 dan 1000 mg/ kgBB/ hari secara bermakna mampu menurunkan hitung sel mast pada mencit Balb/C model asma alergi. B. Saran Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan : 1. Penelitian lebih lanjut dalam pengembangan patikan kebo untuk terapi asma alergi dapat menuju dapat dilakukan pemeriksaan jumlah sel mast di jaringan bronkus. 2. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan petanda-petanda asma alergi yang lain. 3. Penelitian lebih lanjut dalam pengembangan patikan kebo menjadi imunofitofarmaka.
41
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K. dan Lichtman, A.H., 2003. Cellular and Molecular Immunology. Elsevier Science, USA, pp :194, 264, 304, 432-450. Andra, 2006. Optimalisasi Terapi Antihistamin. Farmacia. 6:64. Arvy, L. (1956). Histogenese et repartition des labrocytes chez le Rat. C.R. Ass. Anat. XLIII Reunion 165-170. Baratawidjaja, K.G. 1999. Current Issues on Allergy and ETAC (Early treatment of the Atopic Child). Balita-Anda. http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg01533.htcc (7 Februari 2009) Baratawidjaja, K.G. 2004. Imunologi Dasar. Edisi ke-6. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Bensley, S.H. (1950). Histological studies of the reactions of cells and intercellular substances of loose connective tissue to the spreading factor of testicular extracts. Ann. N.Y. Acad. Sci. 52: 983-987. Bhagwat, G.G., Chaulang G. M., Ghodke D.S., Patil K.S., Yeole P.G., Ganjiwale R.O. 2008. Pharmacognostic Study Of Plant Euphorbia hirta L. http://www.phresearchjournal.info/PDF/Research%20article%20number %2006.pdf ( 16 februari 2009) Blease, K., Lukacs, N.W., Hogaboam, C.M., dan Kunkel, S.L. 2000. Chemokines and their role in airway hyper-reactivity. Respir Res. 1(1): 54–61. Busse, W.W. dan Lemanske, R.F. 2001. Asthma. N Engl J Med. 344 : 350362. Cohn, L., Elias, J.A., dan Chupp, G.L.. 2004. Asthma: mechanisms of disease persistence and progression Annu Rev Immunol. 22: 789-815. Diding H.P. 2007. Efek Pemaparan Ovalbumin Aerosol terhadap Eosinofilia Bronkus pada Mencit Balb/C. Nexus Medicus. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pp: 9-13. Djauzi, S. 2003. Perkembangan Obat Imunomodulator. Medicinal Jurnal Kedokteran. Jakarta 4( 2): 13 - 5. Duke, J.A. 2009. List of Chemicals of Euphorbia hirta L. In: Phytochemical and Ethnobotanical Databases. http://sun.arsgrin.gov:8080/npgspub/xsql/duke/pl_act.xsql?taxon=723. (20 Februari 2009)
42
Handayani, L. 2001. Pemanfaatan Obat Tradisional dalam Menangani Masalah Kesehatan. Majalah Kedokteran Indonesia. Jakarta 51(4): 139 44. Helmy dan Munasir. 2007. Kortikosteroid pada Penyakit Alergi Anak. Dexa Media. Jakarta 20 (2): 68. Hohlfeld, J.M. 2001. The Role of Surfactant in Asthma. . http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?tool=pmcentrez&a rtid=64815 ( 16 Februari 2009). Imran. 2007. Alergi dan Penyebabnya. http://www.balitaanda.indoglobal.com/balita_376_ALERGI_DAN_PENYEBABNYA.htc c (29 Januari 2009). IPTEKnet. 2009. Patikan Kerbau (Euphorbia hirta, Linn.). Tanaman Obat Indonesia. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?mnu=2&id=19. (18 Februari 2009). Janeway, C.A., Jr., Travers, P., Walport, M., dan Slomchik, M.J. 2004. Immunobiology. 6th ed. Garland Science Publishing, New York, pp: 51733, 519, 768. Jeffery, P.K. dan Haahtela, T. 2006. Allergic Rhinitis and Asthma: Inflamation in One-airway Condition. http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1698498&to ol=pmcentrez (20 Februari 2009) Junqueira, L.C. dan Carneiro, J. 2005. Basic Histology Text and Atlas. Edisi 11. McGraw Hill Co., Boston, pp: 97. Kips, J.C., Anderson, G.P., Fredberg, J.J., Herz, U., Inman, M.D., Jordana, M. et al. 2003. Murine Models of asthma. Eur Respir J. 22:374-382. Kuby, J. 1997. Immunology. Edisi III. W. H. Freeman and Company, New York, pp : 318-320, 7-326, 415-29. Laouini, D., Alenius, H., Bryce, P., Oettgen, H., Tsitsikov, E., dan Geha, R.S. 2003. IL-10 is critical for Th2 responses in a murine model of allergic dermatitis. J. Clin. Invest. 112:1058–1066. Laprise, C., Sladek, R., Ponton, A., Bernier, M.C., Hudson, T.J., dan Laviolette, M. 2004. Functional classes of bronchial mucosa genes that are differentially expressed in asthma. BMC Genomics. 5: 21. Li-Weber, M. dan Krammer, P.H. 2003. Regulation Of Il4 Gene Expression By T Cells And Therapeutic Perspectives. Nature Reviews Immunology. 3: 534-543. Martin, R., Tam, E. K., Nadel, J. A., dan Caughey, G. H. 1991. Distribution of Chymase-containing Mast Cells in Human Bronchi. J. Of Histochem. and Cytochem. 40(6): 781-786.
43
http://www.google.co.id/search?q=methylene+blue%2C+mast+cell&btn G=Telusuri&hl=id&sa=2 (4 Maret 2009) National Institutes of Health. 1997. Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?book=asthma (11 Februari 2009) Net Doctor. 2008. Telfast 120 mg (fexofenadine). http://www.netdoctor.co.uk/medicines/100002541.htcc 2009)
(11
Februari
Packard K.A. And Khan M.M., 2003. Effects of histamine on Th1/Th2 cytokine balance. Int Immunopharmacol. Jul: 3(7): 909-920. Petrovsky, N. and Aguilar, J.C. 2004. Vaccine adjuvants: current state and future trends. Immunol Cell Biol.82(5):488-96. Plantamor. 2008. Informasi Spesies Patikan Kebo (Euphorbia hirta L.). http:// www.plantamor.com/spcdtail.php?recid (18 Februari 2009). Platts-Mills, T.A.E. 2001. The Role of Immunoglobulin E in Allergy and Asthma. Am. J. Respir. Crit. Care Med. 164(8):S1-5. Prakken, J.R. dan Woerdeman, M.J. (1952). Mast cells in diseases of the skin; their relation to tissue eosinophilia. Dermatologica. 105: 116-123. Purawisastra, S. 2001. Penelitian Pengaruh Isolat Galaktomanan Kelapa terhadap Penurunan Kadar Kolesterol serum Kelinci. http://digilib.ekologi.litbang.depkes.go.id/office.php?m=bookmark&id=j kpkbppk-gdl-grey-2001-suryana-108-galaktomanan (8 Februari 2009) Riley, J. F. 1959. The Mast Cell. http://www.archive.org/stream/mastcells00rile/mastcells00rile_djvu.tx (8 Agustus 2009) Robbins, S.L., Cotran, R.S. dan Kumar, V. 2007. Buku Ajar Patologi I. Edisi VII. EGC, Jakarta, pp : 113-184 Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB, Bandung, pp : 191 - 7. Sansonow, N.M. (1909). Wanderelemente der Darmschleimhaut bei Saugertieren. Folia haematol. 8: 227-228. Singh, G.D., Kaiser, P., Youssouf, M.S., Singh, A., Khajuria, A., Koul, A. et al. 2005. Inhibition of Early and Late Phase Allergic Reactions by Euphorbia hirta L (Abstract).
44
http://www3.interscience.wiley.com/journal/112547715/abstract?CRET RY=1&SRETRY=0 (6 Februari 2009) Siswono. 2004. Alergi Penyebab Utama Asma pada Anak. http://www.gizi.net/cgibin/berita/fullnews.cgi?newsid1076039426,59354, (7 Februari 2009). Sjamsudin U., Dewoto H.R. 2005. Histamin dan Anti Alergi dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Editor: Sulistia G, dkk. Jakarta: Gaya Baru. hal: 256. Sousa, M., Jiraporn O., Roswitha S., Supaporn P., Ana R., Andre S. et al. 2006. An Exctract from Medicinal Plant Phyllantus acidus and Its Isolated Compounds Induce Airway Chloride Secretion: A Potential Treatment for Cystic Fibrosis. Mol Pharmacol.71(1):366-76. Suhardjono, D., 1995. Percobaan Hewan Laboratorium. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, p : 207 Tanaka, T., Higa, S., Hirano, T., Kotani, M., Matsumoto, M., Fujita, A. et al. 2003. Flavonoids as Potential Anti-Allergic Substances. Curr Med Chem –Anti-Inflammatory & Anti- Allergy Agents 2(1): 57-65. Tanjung, A. dan Yunihastuti, E. 2006. Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai penerbit FKUI, Jakarta, pp: 242, 244. Temann, U.A., Ray, P. dan Flavell, R.A. 2002. Pulmonary overexpression of IL-9 induces Th2 cytokine expression, leading to immune pathology. J Clin Invest. 109 (1): 29–39 Utomo, H. dan Sutijanto, D. 2005. Apakah terapi pengendalian plak dapat menurunkan keparahan rinitis alergika pada anak? http://72.14.235.132/search?q=cache:rQ1p2CccglEJ:www.journal.unair. ac.id/filerPDF (7 Februari 2009) Vázquez, M.M., Apan, T.O.R., Lazcano, M.E., dan Bye, R. 1999. AntiInflammatory Active Compounds from The n-Hexane Extract of Euphorbia hirta. Journal of the Mexican Chemical Society 43(3-4): 103105. http://redalyc.uaemex.mx/redalyc/pdf/475/47543410.pdf (16 Februari 2009) Widiasih, K.A. 2008. Patikan Kebo ( Euphorbia hirta). Tanaman Obat Indonesia. http://toiusd.multiply.com/journal/item/60/Euphorbia_hirta_ (9 Februari 2009) Wikipedia. 2009a. Ovalbumin. http://en.wikipedia.org/wiki/ovalbumin (16 Februari 2009) Wikipedia. 2009b. Alumunium Hydroxyde. http://en.wikipedia.org/wiki/ alumuniumhydroxyde (16 Februari 2009) Winata, S.D. 2003. Cara Bijak Menggunakan Obat Herbal. Meditek. Fakultas Kedokteran UKRIDA, Jakarta 11(29): 5 - 9.
45
Zukesti, E. 2003. Peranan Leukosit sebagai Antiinflamasi Alergik dalam tubuh. USU, Sumatera Utara.