PENGARUH EKSPOR PRODUK PERTANIAN DAN INDUSTRI MANUFAKTUR TERHADAP KINERJA MAKROEKONOMI INDONESIA
SAIMUL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan disertasi saya yang berjudul : PENGARUH EKSPOR PRODUK PERTANIAN DAN INDUSTRI MANUFAKTUR TERHADAP KINERJA MAKROEKONOMI INDONESIA Merupakan gagasan saya atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2012
SAIMUL NRP. A.546010061
ii ABSTRACT SAIMUL. Effect of Agricultural Products Exports and Manufacturing Industry on Indonesia’s Macroeconomic Performance. (MANGARA TAMBUNAN as Chairman, RINA OKTAVIANI and MUHAMMAD FIRDAUS as Members of the Advisory Committee). Exports of agricultural products and manufacturing are the prime exports of Indonesia compared with other exports, and is expected to continue increasing its role in the national economy. But in reality, they faced many obstacles, making difficult to improve the role both agricultural exports and manufacturing toward Indonesia's macroeconomic performance. Until now, the development of agricultural export performance is relatively slow, even stagnant, while the development of manufacturing industry export have decreased, although they have a large role to non-oil and gas exports. Therefore, this research was conducted to uncover problems that occur in both of exports. The research done using the quarterly time series data (1990.1 - 2009.4), and the approach of analysis using Vector Error Correction Model (VECM). The result of this research showed that the influence of agricultural products export, non agro industry, and agro industry on Indonesia’s macroeconomic performance are positive, but it’s relatively small for short and long term. Meanwhile, if it is viewed from its ability to explain the variability in the performance of macroeconomic variables, the agricultural export have a relatively greater ability than export of non agro and agro industry. Key words: Agricultural Exports, Manufacturing Exports, Macroeconomic Performance, VECM.
iii
RINGKASAN SAIMUL. Pengaruh Ekspor Produk Pertanian dan Industri Manufaktur terhadap Kinerja Makroekonomi Indonesia. (MANGARA TAMBUNAN sebagai Ketua, RINA OKTAVIANI, dan MUHAMMAD FIRDAUS, sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Sektor pertanian dan industri manufaktur merupakan sektor yang menjadi sumber unggulan ekspor Indonesia dibandingkan dengan sumber ekspor lainnya, dan diharapkan dapat terus meningkatkan peranannya dalam perekonomian nasional. Namun dalam perjalannya masih banyak hambatan yang dihadapi, sehingga yang terjadi sampai saat ini adalah sulitnya meningkatkan peranan kedua sektor terhadap kinerja makroekonomi Indonesia. Perkembangan Kinerja Sektor pertanian hingga kini relatif lambat, bahkan cenderung satgnan, sementara sektor industri manufaktur walaupun berperan besar dalam perekonomian nasional, tapi pertumbuhannya lambat dan cenderung menurun. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan persoalan yang terjadi pada kedua sektor tersebut melalui (1) menganalisis pengaruh ekspor produk pertanian, ekspor agro, dan nonagro industri pada kinerja makroekonomi Indonesia, (2) mendiskripsikan perkembangan ekspor pertanian, ekspor industri manufaktur, dan kinerja makroekonomi Indonesia, dan (3) merumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan kinerja makroekonomi Indonesia. Hasil penelitian ini dapat diketahui sektor mana yang menjadi sumber utama dalam menentukan kinerja makroekonomi Indonesia. Data yang digunakan adalah data runtut waktu triwulan (1990.1 – 2009.4), pendekatan metode analisis yang digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM). Hasil analisis menunjukan bahwa, baik pengaruh ekspor produk pertanian, ekspor agro, dan nonagro industri pada kinerja makroekonomi Indonesia adalah positip, namun pengaruh tersebut masih relatif kecil. Dilihat dari kemampuannya dalam menjelaskan variabilitas variabel kinerja makreoekonomi, maka ekspor produk pertanian memiliki pengaruh yang relatif lebih besar dibandingkan dengan ekspor agro non agro industri. Hal ini dapat dilihat dari kemampuannya dalam menjelaskan setiap variabel kinerja makroekonomi, yakni PDB, net ekpor, inflasi, dan nilai tukar. Hampir semua variabel kinerja makroekonomi dapat dijelaskan dengan baik oleh ekspor produk pertanian, dan secara rata-rata besaran kontribusi ekspor pertanian terhadap kinerja makroekonomi adalah paling besar, kemudian ekspor nonagro, dan ekspor agro industri. Persoalan di sektor produksi industri manufaktur, walaupun mampu menciptakan nilai tambah tapi jika dilihat dari pertumbuhan nilai tambahannya selama kurun waktu analisis cenderung menurun dari rata-rata sebesar 11.16 persen sebelum krisis menjadi rata-rata sebesar 4.5 persen pada saat setelah krisis. Persoalan lain pada sektor industri manufaktur selain bersumber dari lingkungan domestik, juga kandungan impor yang sangat tinggi. Dari berbagai permasalahan tersebut menyebabkan produk Indonesia kurang memiliki daya saing, baik di pasaran dalam maupun di pasaran luar negeri. Sementara shock ekspor agro industri pada kinerja makroekonomi Indonesia, nampaknya sudah menunjukan respon positip terhadap semua variabel makroekonomi Indonesia, namun masih relatif rendah dibandingkan dengan shock
iv yang bersumber dari ekspor pertanian dan ekspor non agro. Sehingga upaya peningkatan perannya dimasa yang akan datang harus dilakukan, karena bahan baku dari agro industri lebih besar bersumber dari produk pertanian dalam negeri. Dilihat dari hasil analisis menunjukan bahwa, baik shock ekspor pertanian maupun shock ekspor manufaktur, terutama ekspor non agro masing-masing memiliki pengaruh positip pada kinerja makroekonomi Indonesia. Perbedaannya adalah bahwa pengaruh guncangan ekspor pertanian cenderung meningkat dengan proporsi yang relative lebih besar dibandingkan dengan nonagro, sedangkan pengaruh ekspor agro industri memiliki kontribusi yang relatif lebih rendah. Oleh karena itu agar kinerja makroekonomi Indonesia dapat ditingkatkan, maka komitmen pemerintah sebaiknya direalisasikan melalui (1) kebijakan pembangunan di sektor pertanian sebagai prioritas utama untuk meningkatkan produksi pertanian, serta menigkatkan pembangunan sektor industri manufaktur, (2) kebijakan perdagangan luar negeri hendaknya mampu melindungi eksistensi sektor pertanian dan sektor industri manufaktur, dan (3) kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing produk adalah melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas produksi.
v
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor
vi
PENGARUH EKSPOR PRODUK PERTANIAN DAN INDUSTRI MANUFAKTUR TERHADAP KINERJA MAKROEKONOMI INDONESIA
SAIMUL
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
vii
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : 1. Dr.Ir. Luckytawati Anggraeni, M.Si Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Prof. Dr.Ir. Noer Azam Achsani, M.Sc Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1. Prof (riset). Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, MS Peneliti Utama pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) 2. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Sc Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
viii Judul Disertasi
: PENGARUH EKSPOR PRODUK PERTANIAN DAN INDUSTRI MANUFAKTUR TERHADAP KINERJA MAKROEKONOMI INDONESIA
Nama Mahasiswa
: Saimul
Nomor Pokok
: A.546010061
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Anggota
Muhammad Firdaus, MSi, Ph.D Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 21 Desember 2011
Tanggal Lulus : 27-02-2012
ix KATA PENGANTAR Ungkapan rasa syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena karunia dan kasih sayangNya, maka saya memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk menyelesaikan disertasi berjudul : Analisis Pengaruh Ekspor Produk Pertanian dan Industri Manufaktur pada Kinerja Makroekonomi Indonesia. Sangat terasa bagi penulis bahwa dibalik usaha keras dan doa yang penulis lakukan selalu terdapat pertolongan Allah, karena berbagai hambatan dalam proses panjang yang dilalui, penyelesaian disertasi terus berlanjut hingga pada akhirnya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang telah mewujudkannya dalam karya tulis disertasi. Disertasi ini menyajikan hasil penelitian yang menganalisis pengaruh ekspor produk pertanian dan industri manufaktur terhadap kinerja makroekonomi Indonesia. Dengan menggunakan alat analisis ekonometrik time series, Ekspor Produk Pertanian dan Ekspor Non Agro Industri Manufaktur telah menunukkan kontribusinya bagi pembanggunan di Indonesia, sementara Ekspor Agro Industri peranannya masih relatif kecil. Tinggal bagamana kemauan dan komitmen bersama untuk terus meningkatkannya dimasa yang akan datang, karena alam yang luas dan potensi sumberdaya telah diberikan Tuhan kepada rakyat Indonesia. Pada kesempatan ini penulis secara tulus menyampaikan terima kasih kepada komisi pembimbing atas dorongan, arahan, masukan dan perhatian besar yang diberikan sehingga memperlancar proses penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih ini ditujukan kepada :
x 1.
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc selaku ketua komisi pembimbing yang telah mengarahkan dan memberikan pemahaman kepada penulis tentang ruang lingkup dan arah penelitian ini. Juga bimbingan dalam fokus teori yang sesuai dengan topik masalah, serta memberikan berbagai aspek penting untuk dibahas hingga penyajian hasil penelitian. Ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan atas segala perhatian dan nasehat yang sangat berharga bagi penulis.
2.
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS selaku anggota komisi pembimbing yang dengan keikhlasan telah membantu penulis dalam hal perumusan masalah, cara penulisan yang benar, dan prosedur-prosedur untuk mengatasi berbagai kesulitan dalam analisis data, serta hal-hal yang berkaitan dengan dorongan semangat untuk penyelesaian disertasi ini. Ucapan terimakasih atas semua arahan yang telah menyadarkan penulis ingin menyelesaikan disertasi ini dengan baik.
3.
Muhammad Firdaus, Msi, Phd. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan dalam hal substansi masalah dan tujuan penelitian, hasil-hasil pengolahan data, dan pengukuran variabel yang lebih mendalam. Sehingga temuan-temuan dari hasil penelitian yang lebih baik dapat terungkap. Ucapan terimakasih atas semua masukan yang telah mendorong penulis untuk lebih giat lagi belajar dan menggali secara lebih dalam dan menyajikannya didalam disertasi ini.
4.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua program studi ilmu ekonomi pertanian, yang tidak pernah berhenti memberikan berbagai nasehat, dorongan dan semangat untuk menyelesaikan studi dengan baik
xi dan tepat waktu. Satu hal yang sangat penulis cermati, walaupun penulis sendiri belum mampu untuk mengikutinya dengan baik, yakni “jangan menunda-nunda pekerjaan” kerjakan semaksimal mungkin, lalu pasrah kepada Tuhan. Nasehat dan dorongan semangat yang sungguh mendidik penulis untuk membangun diri dan bersikap sebagai seorang pendidik dan harus ada prioritas. Berkat berbagai dorongan tersebut telah memberikan semangat penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. 5.
Seluruh dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang telah membekali ilmu kepada penulis selama kuliah S3. Pada kesempatan ini juga penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana,
Ketua
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor beserta staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan pengetahuan di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 2.
Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Lampung, Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan beserta staf yang telah memberikan kesempatan penulis mengikuti studi program doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
3.
Teman saya Dr. Adolf Bastian Heatubun, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian disertasi, Ibu Poerwaningsih dan rekan-rekan angkatan 2001 yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas dorongan dan perhatiannya untuk menyelesaikan studi.
xii 4.
Karyawan sekretariat program studi EPN, ibu Suryani Falatehan, ibu Ruby, dan lainnya, yang telah banyak membantu kelancaran studi saya, dengan sabar dan tulus, mereka ini telah berbuat baik kepada setiap mahasiswa dan dosen program studi ilmu ekonomi pertanian.
5.
Tak lupa ucapan terima kasih dan dengan rasa hormat sebesar-besarnya kepada kedua Orang Tua (Alm), semua saudara dan keluarga besarku yang lama menanti penyelesaian studi ini. Terima kasih atas kasih sayang dan doa yang senantiasa diberikan kepadaku.
6.
Kepada keluargaku yang tercinta, dengan tulus penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada istriku Rosmala Dewi dan kedua anakku Almira Ardelia dan Alline Fidelia yang telah sabar dan setia menanti penyelesaian studi ini. Terima kasih atas kasih sayang, perhatian, pengorbanan, harapan, dan doa yang telah diberikan kepadaku.
7.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa akan membalas semua kebaikan dari berbagai pihak di atas di dunia dan di akhirat, amiin.
Bogor,
Februari 2012
Saimul
xiii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mesir Bahuga, Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung pada tanggal 18 September 1960 sebagai anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Abdul Razak (alm.) dan Ibu Mas Natun (alm.). Penulis menikah dengan Rosmala Dewi pada tahun 1989 dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Almira Ardelia dan Alline Fidelia. Pendidikan Tingkat atas penulis selesaikan di SMA Negeri II Tanjung Karang, Bandar Lampung pada tahun 1980. Penulis melanjutkan ke Pendidikan Sarjana (S1) pada jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung di Bandar Lampung dan lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1990, penulis memperoleh bantuan dana pendidikan Beasiswa dari Bank Dunia (UNDP) untuk melanjutkan pendidikan (S2) pada Program Kajian Kependudukan, Universitas Indonesia Jakarta dan lulus tahun 1993. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan Program Doktor (S3)
pada Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan bantuan dana pendidikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Pada tahun 1987 penulis diterima menjadi dosen pada jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung. Berdasarkan perjanjian kerjasama UNILA dengan USAHID, penulis pernah menjadi dosen S1 dan S2, dan juga dipercaya sebagai Ketua Jurusan EP, PD II, PD I, dan Dekan pada Fakultas Ekonomi Universitas Sahid Jakarta, serta Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat USAHID Jakarta, dan juga pernah mengajar di STIE Kusuma Negara di Jakarta.
xiv
Walaupun hidup ini sebentar, tapi kita harus bermakna bagi sesama. Untuk bermakna, kita harus berjuang keras dan berdoa, maka Tuhan akan bersama kita, amiin Kupersembahkan untuk yang tercinta Istriku Rosmala Dewi, anakku Almira Ardelia dan Alline Fidelia
xv DAFTAR ISI DAFTAR TABEL....................................................................................... xix DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xxi DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xxiii I.
PENDAHULUAN........................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2. Perumusan Permasalahan...................................................................
10
1.3. Tujuan Penelitian ...............................................................................
24
1.4. Ruang Lingkup Penelitian................................................................... 24 1.5. Keterbatasan Penelitian....................................................................... 25 II.
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 27 2.1. Peran Penting Perdagangan Luar Negeri ............................................ 27 2.2. Teori Keuntungan Perdagangan Luar Negeri ..................................... 28 2.3. Perdagangan Luar Negeri dan Pertumbuhan Ekonomi....................... 31 2.3.1. Efek Pertumbuhan Ekonomi terhadap Perdagangan................. 32 2.3.2. Memburuknya Term of Trade dan Pertumbuhan Immiserizing. 35 2.4. Export-Led Growth ............................................................................. 40
III.
2.5. Peranan Teknologi dalam Perdagangan .............................................
41
2.6. Pengaruh Perdagangan Luar Negeri terhadap Makroekonomi ..........
43
2.7. Review Studi-Studi Terdahulu...........................................................
44
KERANGKA PEMIKIRAN .......................................................................
63
3.1. Kerangka Teori. ..................................................................................
63
3.1.1. Perdagangan Luar Negeri sebagai Pendorong Pertumbuhan Ekonomi ...................................................................................
63
3.1.2. Keterkaitan Sektor Pertanian dengan Sektor Industri Manufaktur...............................................................................
69
3.1.3. Fungsi produksi Agregat ..........................................................
72
3.2. Kerangka Model. ................................................................................
77
3.2.1. Teori Vector Autoregression ...................................................
77
3.2.1.1. Pengertian Stasioner ...................................................
83
xvi 3.2.1.2. Pengujian Stasioneritas................................................
83
3.2.1.3. Uji Kointegrasi ............................................................
86
3.2.1.4. Impulse Response dan Variance Decomposition ........
86
3.2.2. Mekanisme Keterkaitan antar Variabel Penelitian ..................
88
3.2.3. Model Umum VECM ..............................................................
89
IV. METODE PENELITIAN...............................................................................
91
4.1.Sumber Data dan Variabel........................................................................ 91 4.2. Identifikasi dan Pilihan Variabel Penelitian ............................................ 92 4.2.1. Identifikasi Variabel ...................................................................... 92 4.2.2. Pilihan Variabel Penelitian ............................................................ 95 4.3. Model Analisis VAR............................................................................... 98 4.4.Spesifikasi Model VECM......................................................................... 99 4.5. The Impulse Response Function ............................................................. 106 4.6. The Forecast Error Variance Decomposition.......................................... 107 4.7. Proses Pengujian dan Estimasi Model .................................................... 107 4.7.1. Uji Stasioner Data.......................................................................... 107 4.7.2. Uji Lag Optimal Vector Autoregression ....................................... 108 4.7.3. Uji Kointegrasi dan Error Correction Model................................. 110 4.7.4. Impulse Response Function........................................................... 112 4.7.5. Forecast Error Variance Decomposition ....................................... 113 V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA ............................ 115 5.1. Pertumbuhan Ekonomi ............................................................................ 115 5.2. Perkembangan Makroekonomi Struktural............................................... 116 5.3. Perkembangan Kesempatan Kerja........................................................... 120 5.4. Daya Saing Produk .................................................................................. 123 5.5. Perkembangan Perdagangan Luar Negeri ............................................... 124 5.5.1. Perkembangan Ekspor Indonesia................................................... 125 5.5.2. Perkembangan Impor Indonesia ................................................... 129 VI.
PERKEMBANGAN INDUSTRI MANUFAKTUR DAN PERTANIAN.... 133 6.1. Kinerja Sektor Industri Manufaktur ........................................................ 133 6.1.1. Perkembangan Industri Manufaktur............................................. 134
xvii 6.1.2. Kontribusi Sektor Industri Manufaktur........................................ 134 6.1.3. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja dan Nilai Tambah...... 138 6.1.4. Perkembangan Ekspor Manufaktur Indonesia ............................. 140 6.1.5. Perkembangan Investasi di Sektor Industri Manufaktur ............ 145 6.1.6. Permasalahan yang Terkait dengan Ekspor Manufaktur ............. 146 6.2. Kinerja Sektor Pertanian ........................................................................ 155 6.2.1. Pentingnya Pertanian ................................................................... 155 6.2.2. Perkembangan Sektor Pertanian .................................................. 156 6.2.3. Kontribusi Sektor Pertanian......................................................... 157 6.2.4. Perkembangan Investasi di Sektor Pertanian............................... 159 6.2.5. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Pertanian .... 162 6.2.6. Kontribusi Pertanian terhadap Penerimaan Devisa...................... 163 6.2.7. Keragaman Ekspor Komoditas Pertanian .................................... 165 6.2.8. Permasalahan Perdagangan Luar Negeri Pertanian ..................... 169 6.2.9. Keterkaitan Pertanian dengan Industri Manufaktur ..................... 177 VII.
PENGARUH EKSPOR PRODUK PERTANIAN DAN INDUSTRI MANUFAKTUR TERHADAP KINERJA MAKROEKONOMI.................. 183 7.1. Hasil Pengolahan dan Estimasi Sistem Persamaan................................ 183 7.1.1. Hasil Uji Stasioner ...................................................................... 183 7.1.2. Hasil Uji Ordo VAR ................................................................... 185 7.1.3. Hasil Uji Kausalitas Granger ..................................................... 186 7.1.4. Hasil Uji Koentegrasi dan VECM .............................................. 186 7.1.5. Penggunaan Teknik IRF dan Teknik FEVD .............................. 188 7.2. Hubungan Ekspor dengan Kinerja Makroekonomi .............................. 189 7.3. Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi Indonesia terhadap Guncangan Ekspor Produk Pertanian dan Manufaktur ......... 193 7.3.1. Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi atas Guncangan Ekspor Non Agro Industri...................................... 193 7.3.2. Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi terhadap Guncangan Ekspor Produk Pertanian ...................................... 197 7.3.3. Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi terhadap Guncangan Ekspor Agroindustri .............................................. 202 7.3.4. Ringkasan Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi atas Guncangan Ekspor Produk Pertanian dan Manufaktur ........... 205
xviii
7.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Makroekonomi Indonesia ................................................................................................ 208 7.4.1. Pengaruh Guncangan Ekspor Pertanian dan Manufaktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia........... 209 7.4.2. Pengaruh Guncangan pada Variabel Ekspor Produk Pertanian dan Industri Manufaktur terhadap Net Ekspo ............ 211 7.4.3. Pengaruh Guncangan pada Variabel Ekspor Produk Pertanian dan Industri Manufaktur terhadap Inflasi di Indonesia. ............. 213 7.4.4. Pengaruh Guncangan Variabel Ekspor Produk Pertanian dan Manufaktur pada Nilai Tukar Rp terhadap Dolar Amerika ....... 214 7.4.5. Ringkasan Efektivitas Pengaruh Guncangan Ekspor Produk Pertanian dan Industri Manufaktur terhadap Kinerja Makroekonomi Indonesia........................................................... 216 VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, SARAN ................................. 219 8.1. Kesimpulan ............................................................................................ 219 8.2. Implikasi Kebijakan ............................................................................... 225 8.3. Saran Penelitian Lebih Lanjut ................................................................. 228 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 229 LAMPIRAN ................................................................................................... 235
xix DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Distribusi Persentase PDB atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Penggunaannya Tahun 1993 – 2009 ..................................................................
8
2. Ratio Perdagangan Luar Negeri (Ekspor + Impor) terhadap PDB riil Indonesia Tahun 1995-2009 ............................................................................................... 11 3. Nilai Impor Indonesia Menurut Golongan Barang Ekonomi Tahun 1996 – 2009......................................................................................... 17 4. Distribusi Persentase PDB Atas Dasar Harga Konstan 1993 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 1993 – 2009 ................................................. 20 5. Ringkasan Studi terdahulu tentang Ekspor-Led growth ................................... 58 6. Variabel, Ukuran, Simbol, dan Sumber Data..................................................... 92 7. Distribusi Persentase PDB atas Dasar Hargan Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 1993 – 2009 .................................................. 116 8. Struktur Ekspor Non Migas Indonesia Menurut Sektor Tahun 1993-2009 ....... 127 9. Komposisi dan Perkembangan Ekspor Menurut Negara dan Wilayah Tujuan, Tahun 2000 - 2009 ................................................................ 128 10. Perkembangan Komposisi Impor Menurut Negara Asal dan Wilayah, Tahun 2000 - 2009 .................................................................................................. 130 11. Penggolongan Industri Menurut ISIC Dua Digit ..................................................... 133 12. Pertumbuhan Kesempatan Kerja, Nilai tambah Industri Manufaktur, dan Ekspor Industri Manufaktur, Tahun 1993-2009............................................... 138 13. Ekspor Hasil-Hasil Industri Manufaktur Non Migas ............................................... 142 14. Peringkat Daya Saing Industri Non MIgas Dunia Tahun 2000-2009 ..................... 149 15. Struktur Biaya Produksi Produk Manufaktur........................................................... 152 16. Peranan Masing-Masing Kredit Investasi Perbankan dalam Rupiah dari Investasi Total Menurut Sektor Ekonomi Tahun 1995-2009 .......................... 161 17. Nilai Ekspor Pertanian Indonesia Tahun 1993-2009 .............................................. 167 18. Hasil Uji Stasioner Variabel Penelitian ................................................................... 184 19. Hasil Estimasi Hubungan Jangka Pendek antara PDB dan BOT dengan Ekspor Pertanian, Ekspor Non Agro, Ekspor Agro ................................................. 192 20. Ringkasan Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi atas Guncangan Perdagangan Luar Negeri Pertanian dan Industri Manufaktur dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang ......................................................................... 206 21. Pengaruh Guncangan pada Variabel Ekspor Produk Pertanian dan Industri Manufaktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia .......................... 209
xx 22. Pengaruh Guncangan pada Variabel Ekspor Produk Pertanian dan Industri Manufaktur terhadap Perkembangan Net Ekspor Indonesia .................... 212 23. Pengaruh Guncangan Variabel Ekspor Produk Pertanian dan Industri Manufaktur terhadap Perkembangan Net Ekspor Indonesia .................... 213 24. Pengaruh Guncangan Variabel Ekspor Produk Pertanian dan Industri Manufaktur pada Nilai Tukar Rupiah per Dolar Amerika ........................ 216 25. Ringkasan Pengaruh Ekspor Pertanian dan Ekspor Manufaktur pada Kinerja Makroekonomi Indonesia dalam Jangka Panjang.................................................... 216
xxi DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Pertumbuhan Netral di Negara Kecil ...............................................................
33
2. Efek Permintaan pada Volume Perdagangan ketika Pertumbuhan Netral dan Term of Trade tetap ...................................................................................
34
3. Kasus Pertumbuhan Immiserizing dengan Term of Trade Menurun ...............
36
4. Pertumbuhan Immiserizing Negara A..............................................................
37
5. Pertumbuhan Ekonomi Bias ke Kain dan ke Gandum.....................................
43
6. Analisis Pengaruh Positip Ekspor terhadap Pertumbuhan Output ..................
66
7. Kerangka Pemikiran Teoritis Keterkaitan dan Efek antara Pertumbuhan Ekonomi, Perdagangan Luar Negeri Sektor Pertanian dan Sektor Industri ......................................................................................................
76
8. Pertumbuhan Ekonomi Riil Indonesia, Tahun 1993 – 2009............................ 115 9. Perkembangan Distribusi Konsumsi, Ekspor, dan Impor terhadap PDB atas Dasar Harga Konstan 1993, Tahun 1993 - 2009 ............................. 118 10. Pola Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Kesempatan Kerja, Tahun 1993 – 2009................................................................................ 122 11. Pertumbuhan Industri Manufaktur, Sektor Pertanian, dan Pertumbuhan Ekonomi Riil, Tahun 1993-2009...................................................................... 136 12. Kontribusi Nilai Ekspor Pertanian, Industri Manufaktur, dan Pertambangan terhadap Total Ekspor Non Migas, Tahun 1993-2009 .................................... 143 13. Perkembangan Kredit Investasi di Sektor Pertanian dan Sektor Industri, Tahun 1995-2009 ............................................................................................. 145 14. Distribusi Relatif Pertanian, Industri Manufaktur, dan Pertambangan terhadap PDB atas Dasar Harga Konstan 1993, Tahun 1993 –2009 ............... 158 15. Perkembangan Kredit Investasi Perbankan ke Sektor Pertanian dalam Rupiah dan Valuta Asing, Tahun 1993 – 2009 .............................................. 160 16. Kontribusi Kesempatan Kerja Sektor Pertanian dan Sektor Industri Manufaktur terhadap Total Kesempatan Kerja .............................................. 163 17. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Pertanian selama dari, Tahun 1993-2009 ............................................................................................ 164 18. Pengaruh Ekspor Industri Manufaktur nonagro terhadap Variabel variabel Ekonomi Makro Indonesia ............................................................... 196
xxii 19. Pengaruh Ekspor Pertanian terhadap Variabel-variabel Ekonomi Makro Indonesia ............................................................................................. 198 20. Pengaruh Ekspor Agroindustri terhadap Variabel-variabel Ekonomi
Makro Indonesia ............................................................................................. 204
xxiii DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Data Penelitian ............................................................................................
237
2. Uji Stasioner................................................................................................
239
3. Uji Lag Optimal VAR.................................................................................
243
4. Uji Stabiliisasi ............................................................................................
243
5. Uji Granger Causality .................................................................................
244
6. Uji Kointegrasi-Johansen ............................................................................
245
7. Estimasi Persamaan VECM ........................................................................
246
8. Impulse Response Function ........................................................................
248
9. Forecast Error Variance Decomposition.....................................................
251
I.
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pada awal setiap tahun anggaran, pemerintah Indonesia selalu menetapkan indikator makroekonomi yang menjadi target untuk dicapai tahun berjalan. Indikator makroekonomi yang menjadi sasaran utama untuk dicapai adalah pertumbuhan ekonomi, karena dianggap pertumbuhan ekonomi menjadi titik sentral bagi perkembangan kegiatan perekonomian secara menyeluruh. Bila tercipta pertumbuhan ekonomi, mengindikasikan bahwa berbagai sisi kegiatan ekonomi mengalami peningkatan sehingga dicapai tingkat produksi dan aktivitas yang lebih tinggi. Keadaan ini sekaligus mengatasi masalah utama pembangunan yaitu pengangguran. Djojohadikusumo (1994) menyatakan jika terjadi pertumbuhan ekonomi yang optimal, berarti aktivitas perekonomian akan meningkat yang ditandai dengan kenaikan pemanfaatan sumber daya dan dana yang tersedia. Salah satu ciri optimalisasi pada proses pertumbuhan adalah terkait dengan fungsi kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi optimal merupakan salah satu indikator kemajuan dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Jika suatu negara mengalami pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun berarti negara tersebut berhasil dan berprestasi dalam pembangunan karena dapat mengendalikan kegiatan ekonomi dalam jangka pendek, dan dapat mengembangkan ekonominya dalam jangka panjang (Sukirno, 2000).
2 Indonesia pernah mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada akhir tahun 1980-an hingga tahun 1996. Namun menjelang akhir tahun 1997 hingga awal tahun 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi dan keuangan. Kondisi tersebut membuat proses pembangunan ekonomi terasa terhenti, bahkan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif pada tahun 1998 (Tambunan, 2002). Semenjak krisis tersebut dirasakan sangat sulit untuk mengembalikan kondisi perekonomian seperti pada masa sebelum krisis yang ditandai dengan tingkat pertumbuhan tinggi diberbagai sektor ekonomi, tingkat pengangguran yang relatif rendah, serta tingkat inflasi yang cukup terkendali, walaupun dilihat dari distribusi pendapatan kurang memuaskan. Krisis ekonomi dan keuangan yang terjadi di Indonesia menunjukkan adanya pengaruh perkembangan global terutama di bidang keuangan, investasi, dan perdagangan. Hal ini juga memperlihatkan adanya ketergantungan kita pada perubahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama mata uang dolar Amerika Serikat yang telah dijadikan sarana transaksi dalam perdagangan antar negara. Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sangat mempengaruhi kegiatan perdagangan luar negeri dan dalam negeri Indonesia. Hal ini karena Indonesia sebagai negara ekonomi terbuka, juga sebagai salah satu negara anggota world trade organization (WTO), yang kegiatannya terkait dengan perdagangan luar negeri. Dalam era perdagangan bebas di mana hubungan perdagangan antar negara menjadi faktor dominan, kebijakan perdagangan terutama perdagangan luar negeri menjadi sangat penting. Kebijakan yang diterapkan harus sejalan dengan ketentuan-ketentuan di bidang perdagangan
3 internasional yang telah disepakati bersama. Di sisi lain kebijakan tersebut harus mendukung pertumbuhan ekonomi di dalam negeri terutama sektor riel, sehingga dapat mempercepat masa recovery dari keterpurukan akibat krisis ekonomi yang telah berlangsung semenjak tahun 1997. Seperti diketahui bahwa walaupun era perdagangan bebas yang diterapkan oleh negara-negara maju melalui kesepakatan APEC pada tahun 2010, kemudian akan diikuti oleh negara-negara berkembang pada tahun 2020. Akan tetapi blok perdagangan regional ASEAN melalui kesepakatan AFTA, perdagangan bebas telah dimulai sejak tahun 2003. Era perdagangan bebas adalah era persaingan, oleh sebab itu Indonesia harus meningkatkan produktivitas dan efisiensi di setiap sektor terutama yang menunjang peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar dunia. Menghadapi hal tersebut pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah mencanangkan kebijakan ekonomi yang strategis dan berpandangan ke depan melalui kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi. Kebijakan ini digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing produk ekspor non migas Indonesia menghadapi globalisasi perdagangan dunia yang semakin cepat dan dinamis. Diversifikasi pasar dan diversifikasi produk dijadikan strategi dasar untuk menghadapi persaingan global. Untuk itu programprogram yang dilakukan pemerintah adalah peningkatan ekspor non migas terutama bagi produk-produk yang berbasis sumber daya lokal, pemberdayaan dunia usaha terutama Usaha Kecil Menengah (UKM) yang berorientasi ekspor serta peningkatan kapasitas produksi yang menjadi program prioritas di bidang perdagangan luar negeri.
4 Kebijakan umum di bidang perdagangan luar negeri pada dasarnya terdiri dari kebijakan perdagangan ekspor dan kebijakan perdagangan impor. Kebijakan tersebut merupakan implementasi dari fungsi pemerintah di sektor perdagangan seperti fungsi trade advocacy, market penetration, dan market acces. Perdagangan bebas merupakan tantangan baru dalam perekonomian internasional dan diperkirakan dengan adanya perdagangan bebas suatu kegiatan perekonomian akan mampu mendorong laju peningkatan pendapatan perkapita masyarakat pada setiap negara yang terlibat. Peningkatan pendapatan per kapita di kawasan Asia Pasifik terutama pada negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, adalah akibat perdagangan bebas di kawasan tersebut. Perdagangan bebas pada kawasan ini telah membuka peluang bisnis lebih besar khususnya bagi bisnis produk komoditi pertanian dan produk industri manufaktur. Komoditi ekspor pertanian, misalnya hasil-hasil perkebunan merupakan salah satu produksi sub-sektor pertanian yang dapat dikembangkan menjadi sektor andalan untuk pendapatan devisa bagi negara dan sekaligus dapat digunakan sebagai upaya untuk pemberdayaan ekonomi rakyat. Optimalisasi sumber daya harus dilakukan dengan efisien agar kuantitas dan harga produk yang dihasilkan mampu bersaing, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar luar negeri. Ekspor produk industri manufaktur Indonesia masih mengandalkan bahan baku dan barang-barang modal impor. Hal ini menyebabkan efisiensi produk industri manufaktur tetap rendah, dan karena itu perlu selalu diperhatikan terutama dalam hal efisiensi produksi. Walaupun pada kenyataannya masih sulit keluar dari ketergantungan pada bahan baku dan barang modal impor, tetapi harus ada upaya untuk mengurangi bahan baku dan barang modal impor tersebut. Jika
5 tidak maka persoalan ini akan terus menghambat kemajuan sektor industri pada umumnya hingga masa datang karena kurang mampu bersaing. Akibatnya bukan saja terjadi peningkatan penggunaan devisa untuk impor produk, tetapi yang lebih utama adalah akan mendesak usaha produksi di Indonesia sehingga menjadi pasar atau konsumen produk negara lain di negeri sendiri. Diperkirakan
bahwa
dengan
diberlakukannya perdagangan
bebas,
perubahan dalam perekonomian akan berlangsung lebih cepat sesuai dengan semakin bebas dan besarnya aktivitas ekonomi. Kondisi ini merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi berbagai sektor pembangunan pada negara-negara yang tergabung dalam kesepakatan perdagangan bebas termasuk Indonesia. Perdagangan yang semakin bebas menuntut banyak hal agar produk yang dihasilkan mampu bersaing baik dari segi kualitas maupun harga produk yang dipasarkan. Pada sisi lain dengan semakin luasnya pilihan konsumen, maka produk yang akan diterima oleh pasar hanya yang berkualitas dan harga bersaing. Oleh karena itu perusahaan dituntut untuk mampu meningkatkan efisiensi produksi dengan mengoptimalkan penggunaan berbagai sumber daya yang ada. Perkembangan liberalisasi ekonomi akhir-akhir ini memberikan gambaran
bahwa
perdagangan
luar
negeri
semakin
penting
bagi
perekonomian suatu negara. Pentingnya perdagangan luar negeri sebenarnya bukan hal yang baru. Karena semenjak teori Klasik dan Neo Klasik telah menganggap bahwa perdagangan luar negeri merupakan pendorong yang positip bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Demikian pula Tambunan, (2001) menyebutkan bahwa bagi banyak negara, termasuk Indonesia,
6 perdagangan internasional mempunyai peranan yang sangat penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional. Pendapat di atas telah banyak dibuktikan oleh para peneliti di berbagai negara, misalnya (Anyamele, 2000) di Nigeria, (Hachicha, 2003) di Tunisia, (Francis, 2003) di Caribean, (Yusop, 2001) di Malaysia. Secara umum hasil-hasil penelitian tersebut berkesimpulan, bahwa peningkatan ekspor dapat secara langsung mendorong ke arah pembangunan ekonomi melalui peningkatan produksi, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun peningkatan produksi barang-barang untuk ekspor. Selanjutnya kenaikan ekspor akan menambah perolehan devisa yang sangat dibutuhkan untuk mengimpor barang-barang modal dan bahan-bahan baku yang digunakan untuk meningkatkan produksi dan ekspor lebih lanjut. Di samping itu, melalui perdagangan luar negeri juga akan menghasilkan transfer pengetahuan yang dapat meningkatkan produktivitas kerja, sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi. Hubungan positip tersebut cukup beralasan, karena antara ekspor, impor, dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang timbal balik. Perubahan impor dapat mempengaruhi perubahan ekspor karena jika impor meningkat, secara tidak langsung ekspor juga dapat meningkat, terutama ekspor komoditas industri manufaktur, dimana sebagian besar bahan baku/penolong dan barangbarang modal masih di impor. Sebaliknya perkembangan ekspor juga dapat mempengaruhi kemampuan impor. Karena jika nilai ekspor meningkat, berarti pendapatan devisa meningkat, sehingga kemampuan impor juga meningkat, dan jika nilai ekspor menurun maka kemampuan impor kemungkinan juga akan menurun. Walaupun demikian baik ekspor maupun impor sangat ditentukan oleh
7 berbagai faktor seperti nilai tukar, tingkat inflasi, dan tingkat pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Dalam teori makroekonomi (Mankiw, 2000) menyebutkan bahwa terdapat beberapa komponen yang terkait dengan pembentukan gross domestic product (GDP) yang dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi suatu negara, seperti investasi, konsumsi, dan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor). Oleh karena itu kebijakan-kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah hendaknya selalu berusaha untuk menciptakan suatu kondisi agar beberapa komponen GDP dapat dijadikan motor penggerak bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Salah satu komponen yang dapat dijadikan motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi adalah bersumber dari perdagangan luar negeri. Menurut pendapat (Tambunan, 2001a) bahwa, bagi banyak negara termasuk Indonesia, perdagangan luar negeri khususnya ekspor, memiliki peranan yang sangat strategis, karena ekspor dapat menjadi motor penggerak bagi perekonomian nasional. Ekspor menghasilkan devisa yang penting untuk membiayai impor, yakni impor bahan-bahan baku dan penolong, serta barangbarang modal. Kegiatan impor tersebut dapat meningkatkan penanaman modal atau investasi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Karena melalui hubungan dagang bisa terjadi, suatu negera eksportir mendirikan perusahaannya di negara importir melalui penanaman modal langsung (foreign direct investment) (Alguacil dan Orts, 2001). Bila investasi meningkat maka kegiatan produksi akan meningkat dan diikuti oleh penciptaan kesempatan kerja di dalam negeri sehingga pendapatan masyarakat meningkat dan pertumbuhan ekonomi terjadi.
8 Berdasarkan laporan dari Bank Indonesia (2006), sebelum terjadi krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1993 - 1996 lebih disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan kontribusi terhadap PDB rata-rata sekitar 60 persen, keadaan ini terjadi baik berdasar harga berlaku maupun menurut harga konstan tahun 1993. Setelah terjadi krisis ekonomi, kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap PDB ternyata terus meningkat dengan pangsa rata-rata lebih dari 62 persen, sedangkan peranan investasi relatif kecil, sekitar 20 persen dari total PDB, sementara di sektor luar negeri peranan ekspor terus meningkat dari rata-rata 27 persen sebelum krisis menjadi rata-rata 37 persen, demikian pula impor juga meningkat dari 25 persen menjadi sekitdar 30 persen dari total PDB (Tabel 1.). Persoalan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didominasi oleh besarnya peranan pengeluaran konsumsi masyarakat sebenarnya manfaatnya lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh peningkatan pengeluaran investasi maupun perdagangan luar negeri. Tabel 1. Distribusi Persentase PDB atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Penggunaannya Tahun 1993 – 2009 (%) Jenis Pengeluaran
1993
1996
1998
1999
2002
2005
2007
2009
Pengel Konsumsi RT
58.52
62.07
69.09
71.72
61.17
60.45
61.66
57.35
9.02
7.64
7.13
7.12
7.63
7.45
7.8
8.99
Pembentukan Modal
26.23
31.06
24.87
20.19
20.73
21.32
22.28
23.42
Perubahan Inventori
3.2
0.82
-2.49
-2.54
0.69
2.41
1.05
-0.04
26.75
27.82
36.59
24.22
37.82
41.01
42.2
42.81
Pengel Pemerintah
Ekspor Impor
-23.72
-29.41
-35.19
-20.71
-28.04
-32.64
-34.99
-32.54
PDB
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1994-20010 (data diolah) Karena jika investasi atau ekspor yang berperan, maka di samping dapat meningkatkan produksi dalam negeri juga dapat menyediakan kesempatan kerja
9 yang luas, sehingga dapat menciptakan kenaikan
pendapatan dan tabungan
masyarakat. Terlebih lagi jika peningkatan pengeluaran konsumsi disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang bersifat inflatoar, misalnya melalui kebijakan fiskal, maka dalam jangka menengah dampak dari kebijakan tersebut justru dapat menurunkan produksi di berbagai sektor. Dengan menggunakan alat analisis computable general equilibrium (CGE), Oktaviani (2001) telah melakukan penelitian dan menemukan bahwa, jika pemerintah melakukan kebijakan fiskal yang bersifat kenaikan harga sumber daya, misalnya kenaikan harga BBM, listrik, telepon, dan PPN, maka dalam jangka pendek akan menjadi sumber inflasi, dan dalam jangka menengah atau panjang akan berdampak negatif terhadap produksi sektor pertanian maupun sektor industri manufaktur. Dengan menurunnya produksi pada sektor-sektor tersebut, jelas mengakibatkan penurunan pertumbuhan kesempatan kerja. Di samping itu juga dapat berdampak terhadap perdagangan luar negeri terutama produk untuk ekspor karena akan menurunkan daya saing produk di luar negeri. Persoalan lain tentang keterkaitan antara perdagangan luar negeri dan pertumbuhan ekonomi. Jika ekspor ingin dijadikan sebagai motor penggerak pertumbuhan
ekonomi, maka harus diupayakan kenaikan kontribusi ekspor
terhadap GDP secara signifikan. Apabila hal tersebut dilihat dari Tabel 1, tampak bahwa kontribusi ekspor cenderung terus meningkat, mulai tahun 2005 hingga tahun 2009, kontribusi ekspor cukup tinggi, yakni di atas 40 persen dari total PDB. Walaupun angka ini cukup besar jika dibandingkan dengan kontribusi investasi dan impor, namun masih lebih rendah jika dibandingkan dengan peranan
10 konsumsi rumah tangga 58 persen, sementara kontribusi investasi mulai tahun 2005 hinggga tahun 2009 juga meningkat, walaupun kenaikannya agak lambat. Dari gambaran latar belakang di atas, perlu untuk dilakukan pengkajian yang lebih mendalam mengenai pentingnya perdagangan luar negeri, terutama terhadap peranan ekspor komoditi pertanian dan ekspor manufaktur dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan neraca perdagangan di Indonesia, maupun kinerja makroekonomi yang lebih luas di Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Sebagai negara yang menganut sistim ekonomi terbuka, perdagangan luar negeri yang terdiri dari ekspor dan impor sangat penting peranannya dalam kegiatan perekonomian Indonesia. Dari ekspor dapat dihasilkan pendapatan devisa yang menjadi salah satu sumber penerimaan untuk pembiayaan impor. Kegiatan impor dilakukan, karena penguasaan teknologi masih sangat terbatas, sehingga untuk meningkatkan proses pertumbuhan, sarana produksi berupa barang-barang modal dan bahan baku sebagian besar masih harus diimpor. Pentingnya peranan ekspor dan impor bagi perekonomian Indonesia merupakan gambaran adanya keterkaitan secara langsung antara perekonomian dalam negeri dengan sektor perdagangan luar negeri. Sehingga jika terjadi perubahan di pasaran internasional, baik harga komoditi maupun permintaan internasional, seperti bahan bakar minyak dan komoditi primer lainnya, maka akan memberikan dampak yang berat terhadap ekspor dan impor, yang juga akan berdampak terhadap produsen terutama yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan komoditi ekspor tersebut, dan akhirnya akan mempengaruhi
11 pertumbuhan ekonomi Indonesia. Fenomena ini menggambarkan besarnya ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap perdagangan luar negeri. Untuk melihat secara empiris peranan perdagangan luar negeri terhadap perekonomian, menurut (Yusop, 2001) dapat dilihat dari rasio ketergantungan antara penjumlahan ekspor dan impor terhadap PDB riil. Untuk kasus Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Kolom terakhir Tabel 1, memberikan gambaran bahwa ketergantungan PDB riil terhadap perdagangan luar negeri secara kuantitatif masih relatif kecil jika dibandingkan dengan kondisi di negara Malaysia. Akan tetapi Indonesia sebagai ekonomi terbuka negara kecil, secara kualitatif pengaruhnya sangat besar terhadap perekonomian dalam negeri. Oleh karena itu yang menjadi masalah adalah sejauh mana sektor perdagangan luar negeri dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Tabel 2. Ratio Perdagangan Luar Negeri (Ekspor+Impor) terhadap PDB Riil Indonesia Tahun 1997-2009 Tahun
1997 1998 1999 2000 2002 2003 2005 2006 2007 2008 2009
PDB Riil1
Ekspor2
Impor2
Rasio Ketergantungan
(Rp Miliar) (a) 383792.00 413798.00 433246.00 376375.00 397666.00 411132.00 444547.00 467664.00 493295.00 554266.00 581980.00
(Rp Miliar) (b) 45418.00 49814.90 53443.60 48847.60 62124.00 56320.90 61058.30 72164.50 85661.10 85797.10 77483.20
(Rp Miliar) (c) 40628.70 42928.50 41679.80 27336.90 33514.80 30962.10 32550.70 46524.50 57703.90 84021.70 71437.40
(%) [(b + c)/a] 0.22 0.22 0.22 0.2 0.24 0.21 0.21 0.25 0.28 0.31 0.26
Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 1998-2010 Keterangan : 1 PDB atas Harga Konstan Tahun 1993 dengan Migas 2 Ekspor dan Impor Barang termasuk Migas.
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa bagi banyak negara termasuk Indonesia, perdagangan luar negeri mempunyai peran yang sangat penting, karena
12 dengan melakukan perdagangan, produksi nasional dapat ditingkatkan. Sedangkan produksi yang hanya dipasarkan di dalam negeri sangat terbatas. Sebagaimana dikemukakan oleh Kindleberger dan Lindert (1983), bahwa dengan dibukanya hubungan dagang dengan luar negeri, akan memberikan pengaruh terhadap perekonomian dalam negeri baik pengaruh terhadap konsumsi, pengaruh terhadap produksi, maupun pengaruh pada distribusi pendapatan masyarakat. Pengaruh terhadap konsumsi berarti bahwa, dengan adanya hubungan perdagangan dengan negara lain, maka masyarakat dapat mengkonsumsi barang lebih banyak daripada sebelum ada perdagangan dengan luar negeri. Perdangan luar negeri memiliki pengaruh terhadap sektor produksi di dalam negeri. Karena dengan perdagangan luar negeri dapat menimbulkan spesialisasi produksi bagi masing-masing negara yang memiliki keunggulan komparatif. Sehinggga dapat meningkatkan volume perdagangan dari masingmasing negara. Sekalipun demikian spesialisasi produksi tidak berarti hanya terpusat pada peningkatan suatu komoditi tertentu saja, tapi setiap negara juga akan menambah jenis produk yang diperdagangkan (diversifikasi produk). Kenaikan produksi karena adanya perdagangan luar negeri dapat menggerakkan kegiatan perekonomian dalam negeri yang lebih luas. Karena dengan meningkatnya produksi dan meningkatnya volume perdagangan akan meningkatkan penggunaan input-input produksi. Misalnya penggunaan input tenaga kerja yang semakin meningkat, investasi meningkat, dan peningkatan penggunaan bahan baku, termasuk peningkatan penggunaan bahan baku penolong dan barang-barang kapital yang berasal dari impor. Peningkatan penggunaan input produksi, berarti akan meningkatkan pendapatan faktor-faktor produksi.
13 Peningkatkan pendapatan riil masyarakat akibat perdagangan luar negeri menjadi salah satu sumber dana untuk investasi. Sehingga dengan meningkatnya investasi dapat meningkatkan produksi dan pertumbuhan ekonomi. Inilah inti dari pengaruh perdagangan luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu melalui proses peningkatan produksi dan investasi. Namun yang menjadi pertanyaan adalah berapa persen kenaikan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh perdagangan luar negeri. Menurut Adam Smith dalam (Sukirno, 2000), perdagangan luar negeri berarti memperluas pasar bagi produk-produk dalam negeri yang semula hanya terbatas dipasarkan di dalam negeri saja. Sehingga dengan adanya perdagangan luar negeri sumber-sumber daya yang potensial (tanah, tenaga kerja, investasi, dan sumberdaya alam) dapat ditingkatkan penggunaannya. Sehingga konsep vent for surplus dapat diartikan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat terdorong melalui perdagangan luar negeri yang lebih luas. Peningkatan produksi memerlukan investasi, oleh karena itu peningkatan penggunaan sumberdaya potensial memerlukan investasi yang besar. Untuk memenuhi investasi yang besar tersebut, selain berusaha meningkatkan investasi yang berasal dari dalam negeri, pemerintah juga mendatangkan investor luar negeri, misalnya melalui penanaman modal asing (PMA). Dengan demikian dapat meningkatkan skala produksi yang lebih besar dan dilakukan dengan cara yang lebih efisien (economic of scale). Agar peningkatan produksi dapat dilakukan secara efisien, berarti akan lebih banyak menggunakan teknologi dalam proses produksi, baik yang dibawa melalui masuknya PMA maupun teknologi yang di impor misalnya mesin-mesin. Proses produksi dengan menggunakan teknologi
14 tersebut, akan meningkatkan produktivitas. Di samping itu peningkatan produktivitas terjadi karena proses produksi dan perdagangan berlangsung terus menerus (learning by doing process), sehingga pada akhirnya perdagangan luar negeri dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yaitu melalui peningkatan produksi dan peningkatan investasi. Namun bagi Indonesia memiliki pengalaman yang berbeda dengan konsep di atas. Karena walaupun investasi PMA yang masuk pada tahun 1990-an cukup banyak, namun kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Karena yang terjadi adalah ketergantungan yang sangat tinggi terhadap impor bahan baku dan barangbarang modal termasuk industri pengolahan yang padat karya. Ketergantungan tersebut akibat dari tidak diciptakannya suplai domestik, peralihan teknologi yang sangat terbatas, proses peningkatan kemampuan perusahaan-perusahaan lokal dalam pengembangan produk, serta membangun jaringan pemasaran sangat lambat. Kemampuan lain yang tidak tercipta di Indonesia adalah tidak memiliki industri berteknologi menengah yang dapat menciptakan produk antara, sehingga dalam melakukan ekspor barang hasil pertanian tertentu, belum mampu menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi, misalnya karet alam, produk ekspornya tidak dapat diterima langsung di negera Jepang, sehingga Indonesia hanya mampu mengekspornya ke Singapura, kemudian Singapura melakukan ekspor ke Jepang. Pada sisi lain perkembangan perdagangan luar negeri, baik ekspor maupun impor sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, misalnya terjadi depresiasi rupiah, maka secara teoritis akan meningkatkan ekspor dan akan menurunkan impor. Dengan demikian
15 perkembangan ekspor dan impor (perdagangan luar negeri) akan mengalami fluktuasi. Seperti dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (2004), bahwa setelah Indonesia mengalami krisis menjelang akhir tahun 1997, total ekspor Indonesia cenderung berfluktuasi hingga tahun 2003. Kondisi tersebut terjadi baik terhadap ekspor non migas mapun terhadap ekspor migas. Penerimaan dari ekspor mengalami penurunan mencapai titik terendah pada tahun 1998 dengan laju pertumbuhan ekspor -8.6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Perkembangan ekspor di atas sangat erat kaitannya dengan perkembangan nilai tukar rupiah terutama terhadap dolar Amerika. Selama tahun 1998 kurs nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika melemah hingga mencapai level Rp 11.592 per dolar yang terjadi pada triwulan kedua tahun 1998. Di samping nilai tukar dollar Amerika serikat, perdagangan luar negeri juga erat kaitannya dengan tingkat inflasi di dalam negeri yang juga dapat menentukan perkembangan perdagangan luar negeri, baik ekspor maupun impor. Apabila di dalam negeri terjadi inflasi yang tinggi, berarti akan menurunkan efisiensi produksi di dalam negeri. Sehingga daya saing produk ekspor Indonesia di luar negeri menurun, akibatnya nilai ekspor juga akan mengalami penurunan, di lain pihak impor akan meningkat, karena harga barang-barang impor tertentu menjadi lebih murah dibandingkan dengan di dalam negeri. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (2004), bahwa pada saat krisis tahun 1998 tingkat inflasi di Indonesia mencapai 77.63 persen, sehingga mengakibatkan harga-harga barang untuk ekspor non migas di dalam negeri meningkat. Dengan meningkatnya harga-harga barang di dalam negeri menyebabkan minat eksportir untuk melakukan penawaran ekspor berkurang.
16 Karena kondisi ini dirasakan lebih menguntungkan menjual produknya di dalam negeri. Di samping itu yang menjadi penyebab lainnya diperkirakan karena menurunnya impor barang-barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat domestik, baik untuk barang-barang konsumsi, bahan baku penolong, maupun barang-barang modal. Akibatnya kapasitas produksi dalam negeri yang menggunakan input-input dari impor juga menurun, sehingga penawaran ekspor juga mengalami penurunan. Kondisi seperti ini tidak sejalan dengan teori, karena biasanya jika inflasi di dalam negeri tinggi maka impor akan cenderung meningkat. Membaiknya kondisi perekonomian Indonesia tahun 2000, ternyata pada tahun 2001 ekspor Indonesia kembali mengalami penurunan hingga mencapai 7.76 persen dibandingkan tahun 2000. Penurunan ini kemungkinan disebabkan oleh naiknya tingkat inflasi hingga mencapai 12.58 persen. Penurunan ekspor ini, terutama ekspor non migas Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi produksi nasional yang cenderung tidak kompetitif di pasaran luar negeri, karena biaya produksi di dalam negeri masih relatif tinggi. Daya saing Indonesia pada tahun 2002 merosot hingga ke peringkat 47 dari urutan sebelumnya ke 39. Indonesia masih sangat tergantung pada bahan-bahan impor dari luar negeri.
Impor
di
Indonesia
dapat
dikelompokkan
atas
dasar
tujuan
penggunaannya, yaitu menjadi tiga golongan komoditas yaitu barang-barang konsumsi, bahan baku penolong, dan barang-barang modal seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 3. Dari Tabel 3, nampaknya pada periode krisis, pembelian terhadap barang-barang impor Indonesia selama periode tahun 1998 sampai 2003 mengalami penurunan menjadi rata-rata sebesar 2.81 persen per
17 tahun dari sebelumnya rata-rata 8.03 persen. Penurunan ini disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama terhadap USD, di samping itu juga disebabkan oleh penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Walaupun demikian jika dilihat dari peranan masing-masing golongan komoditas impor terhadap total impor Indonesia selama periode tahun 1993 sampai tahun 2002, maka Impor bahan baku penolong rata-rata memiliki kontribusi sebesar 74.1 persen per tahun, sedangkan barang modal memiliki kontribusi rata-rata sebesar 19.2 persen per tahun, dan barang-barang konsumsi rata-rata sebesar hanya 6.7 persen per tahun Tingginya pengeluaran untuk permintaan impor untuk bahan baku penolong di Indonesia, menunjukkan bahwa industri dalam negeri sangat tergantung pada bahan baku dari luar negeri. Tabel 3. Nilai Impor Indonesia Menurut Golongan Barang Ekonomi Tahun 1993– 2009 (Juta US $) Tahun 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2003 2005 2007 2008 2009
Barang Konsumsi 2805.9 2166.3 1917.7 2468.3 2718.7 2251.2 2650.2 2862.8 4620.5 2539.1 8303.7 6752.6
Bahan Baku/ Penolong 30469.7 30229.5 19611.8 18475.0 26018.7 23879.4 24227.5 25496.3 44792 56454.7 99492.7 69638.1
Barang Modal 9652.9 9284.0 5807.4 3060.0 4777.4 4831.5 4410.9 4191.5 8288.4 11449.6 21400.9 20438.5
Jumlah 42928.5 41679.8 27336.9 24003.3 33514.8 30962.1 31288.9 32550.7 57700.9 74473.4 129197.3 96829.2
Sumber : Badan Pusat Statistik, Indikator Ekonomi, Tahun 1992-2011. Ratnawati (1996) mengatakan, dominasi impor oleh bahan baku, bahan penolong dan barang modal memperlihatkan bahwa struktur produk dan industri manufaktur masih memiliki kandungan impor yang sangat tinggi dan
18 mencerminkan masih berjalannya kebijakan substitusi impor di Indonesia. Impor bahan baku dan barang modal untuk sektor pertanian adalah pupuk dan pestisida. Kebijakan perdagangan melalui substitusi impor tersebut menurut Krugman dan Obstfeld (2000) tidak akan menyebabkan negara-negara tersebut menjadi maju, bahkan pendapatan perkapita tidak akan meningkat. Sedangkan menurut Gillis, et al. (1992) bahwa kebijakan substitusi impor adalah merupakan substitusi produk dalam negeri dengan produk impor yang merupakan produk industri manufaktur. Kebijakan ini merupakan strategi yang mencakup peningkatan impor untuk komoditi tertentu, terutama yang belum mampu sepenuhnya diproduksi di dalam negeri seperti impor teknologi, manajemen, dan kapital yang digunakan untuk sarana produksi baik oleh industri lokal maupun asing yang melakukan investasi di Indonesia, dan menjalankan kebijakan proteksi dengan mengenakan hambatan tarif dan kuota impor untuk melindungi industri lokal yang diberi kesempatan untuk berkembang pada awal produksi industri tersebut berproduksi. Strategi kebijakan substitusi impor dan sistim proteksi yang diterapkan menyebabkan kegagalan perkembangan perekonomian negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kegagalan tersebut akibat dari pemberian fasilitas dan perlindungan yang berlebihan, dan cenderung padat modal, sehingga kurang menyerap tenaga kerja dan bahkan menghambat perkembangan industri kecil yang justru banyak menyerap tenaga kerja. Menurut Hadi (2001) kebijakan substitusi impor yang merupakan bagian dari kebijakan perdagangan untuk mendorong industri manufaktur dapat menyebabkan industri kecil dan sektor pertanian atau sektor primer pada
19 umumnya menjadi kurang berkembang, akibat kebijakan perdagangan luar negeri terhadap produk industri manufaktur yang cenderung protektif, walaupun jika digabungkan dengan komoditas lain termasuk migas perkembangan neraca perdagangan Indonesia selalu positif. Melihat pengalaman Indonesia yang kurang berhasil dalam menerapkan strategi substitusi impor, maka badan-badan dunia IMF, World Bank telah menyarankan agar Indonesia menerapkan strategi promosi ekspor. Strategi ini justru berusaha untuk menghilangkan berbagai hambatan terhadap perdagangan luar negeri, baik terhadap ekspor maupun impor. Di lain pihak impor akan menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri. Dengan demikian perkembangan ekspor dan impor, baik di sektor pertanian maupun di sektor industri manufaktur, akan ditentukan oleh kebijakan suku bunga di dalam negeri, dan suku bunga sangat berpengaruh terhadap produksi di dalam negeri, yang berarti akan mempengaruhi kinerja makroekonomi Indonesia. Sebenarnya masih banyak faktor yang merupakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi. Menurut Djojohadikusumo (1994) bahwa sumbersumber pertumbuhan ekonomi sebenarnya cukup banyak misalnya: investasi, baik investasi pemerintah, swasta dalam negeri, maupun investasi asing, ekspor dan impor, tabungan, baik tabungan pemerintah maupun swasta, dan produktivitas tenaga kerja. Namun demikian secara teoritis sumber perumbuhan ekonomi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu : Pengeluaran investasi, pengeluaran pemerintah, dan perkembangan ekspor dan impor. Oleh karena itu, jika diperhatikan dari pendapat tersebut tidak termasuk peran pengeluaran konsumsi masyarakat.
20 Dilihat dari pola perkembangan bentuk lain, pertumbuhan ekonomi juga dapat dilihat dari distribusi PDB berdasarkan sektor yang mencerminkan adanya perubahan dalam struktur perekonomian Indonesia, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4. Dari Tabel 4, nampak bahwa setelah tahun 1993 kontribusi sektor pertanian menunjukkan kecenderungan menurun, namun secara absolut terus meningkat dan sektor industri pengolahan cenderung meningkat, sehingga memang telah terjadi transformasi ekonomi dari periode sebelumnya. Jika Tabel 4 dikelompokkan kedalam tiga sektor, yaitu sektor primer, sektor sekunder, dan sektor tersier, maka sektor tersier cenderung meningkat dengan share yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sektor primer dan sektor sekunder. Perkembangan sektor sekunder dan sektor tersier diperkirakan sangat dipengaruhi oleh arus globalisasi sehingga perkembangan kedua sektor tersebut lebih cepat dibandingkan dengan sektor
primer. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya perdagangan mata uang asing, aliran barang yaitu melalui ekspor dan impor, serta aliran modal sehingga mendorong pertumbuhan kedua sektor tersebut lebih cepat. Tabel 4. Distribusi Persentase PDB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 1993 – 2009 (%) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik. Gas. Air Bersih Konstruksi Perdagangan. H dan R Pengangkutan Keuangan dan Real E Jasa-Jasa PDB
1993 17.88 9.55 22.3 1.00 6.83 16.77 7.05 8.5 10.12 100.00
1995 15.42 9.12 24.71 1.18 7.96 16.79 7.18 8.79 8.85 100.00
1998 17.28 9.93 25.22 1.48 5.59 16.04 7.17 7.52 9.77 100.00
2000 17.13 9.72 26.11 1.61 5.81 15.84 7.06 6.92 9.8 100.00
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1994-2010
2007 14.54 9.29 28.1 0.69 5.91 16.38 6.29 9.46 9.34 100.00
2008 14.56 9.59 28.39 0.57 5.86 16.66 5.85 9.41 9.11 100.00
2009 14.53 9.53 28.43 0.54 5.86 16.69 5.86 9.46 9.10 100.00
21 Dari perkembangan berbagai sektor di atas. menurut Siregar (2002) dengan menggunakan model error corection (ECM). dalam jangka panjang share sektor pertanian akan terus menurun dan akan mencapai keseimbangan pada kisaran 11 persen. share sektor industri sekitar 21 persen. dan sektor perdagangan meningkat mencapai 43 persen. serta share sektor lainnya sebesar 25 persen. Meningkatnya pertumbuhan sektor perdagangan yang merupakan bagian dari sektor tersier atau jasa adalah disebabkan oleh perkembangan ekspor dan impor yang terjadi selama kurun waktu tiga puluh tahun terakhir. Sampai awal tahun 1980-an ekspor Indonesia masih didominasi oleh minyak dan gas bumi (migas). baru setelah tahun 1985 peranan ekspor non migas menjadi dominan. hal ini disebabkan oleh adanya deregulasi dan debirokratisasi yang memacu terjadinya kenaikan kredit perbankan termasuk kredit ekspor. dan mulai masuknya arus modal dari luar negeri sehingga di samping ekspor non migas. impor non migas juga terus meningkat seiring dengan peningkatan konsumsi masyarakat. Perdagangan luar negeri yang terkait dengan ekspor dan impor sangat penting peranannya dalam perekonomian Indonesia. Dari ekspor dapat dihasilkan pendapatan devisa. di samping akan menentukan nilai tukar rupiah di dalam negeri. juga menjadi salah satu sumber penerimaan untuk pembiayaan impor. Di samping ekspor. impor juga berperan penting dalam kegiatan pembangunan di Indonesia. Karena sarana produksi sebagian besar masih diimpor. terutama bahan baku/penolong. barang modal. dan teknologi yang belum dapat atau belum cukup diproduksi di Indonesia. Dalam upaya meningkatkan peranan perdagangan luar negeri tersebut. menurut Halwani (2002) pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan
22 dibidang perdagangan luar negeri antara lain sebagai berikut : (1) Kebijakan Inpres No.4 Tahun 1985 tentang penurunan tarif jasa pelabuhan, (2) paket kebijakan 6 Mei 1986 tentang upaya peningkatan daya saing kawasan berikat. dan fasilitas bea masuk, (3) paket kebijakan 15 Januari 1987 tentang penyederhanaan penurunan dan pembebasan tarif impor, (5) paket kebijakan 24 Desember 1987 tentang penyederhanaan dan pemberian fasilitas kepada importir untuk produkproduk ekspor, (6) paket kebijakan 21 Nopember 1988 tentang deregulasi perdagangan, (7) paket kebijakan 28 Mei 1990 tentang penurunan biaya tinggi di Indonesia, (8) paket kebijakan 23 Oktober 1993 tentang paket deregulasi dibidang ekspor, impor, dan tarif impor, (9) paket kebijakan 19 Mei 1994 tentang penghapusan 27 jenis tarif impor, (10) paket kebijakan 23 Mei 1995 tentang penurunan pos tarif bea masuk sebanyak 64.16 persen dari 9398 pos tarif, (11) paket kebijakan 3 Nopember 1997 tentang peningkatan dayasaing produksi di pasaran luar negeri. Berbagai paket kebijakan tersebut di atas bertujuan untuk meningkatkan kontribusi ekspor non migas terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Karena dengan kebijakan tersebut berarti pemerintah mengurangi berbagai hambatan dan mengurangi berbagai biaya pungutan yang sebelumnya merupakan penghambat aliran barang dari dan ke luar negeri. sehingga komoditas ekspor non migas Indonesia tidak mampu bersaing di pasaran luar negeri. Dengan demikian kebijakan deregulasi akan memperlancar arus barang ke luar negeri dan dengan menurunnya biaya ekonomi. baik yang bersumber dari biaya birokrasi maupun akibat dampak inflasi. maka diharapkan dapat meningkatkan daya saing ekspor Indonesia sehingga ekspor non migas meningkat.
23 Berdasarkan penjelasan di atas, keterkaitan antara perdagangan luar negeri baik ekspor maupun impor dengan pertumbuhan ekonomi khususnya, dan kinerja makroekonomi pada umumnya dapat dijelaskan melalui perubahan produksi di dalam negeri, perubahan ekspor, dan perubahan impor. Perubahan produksi di dalam negeri akan meningkatkan penggunaan input tenaga kerja dan kapital, serta input-input lainnya, termasuk peningkatan penggunaan input yang berasal dari impor. Sedangkan perubahan perdagangan luar negeri sangat ditentukan oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serta kebijakan yang terkait dengan perdagangan luar negeri. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa, secara teoritis terdapat beberapa sumber pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk mencari alternatif sumber pertumbuhan ekonomi yang dapat menggerakkan makroekonomi
serta
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
Indonesia.
Perdagangan luar negeri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang dapat diharapkan karena peranannya yang sangat luas dalam meningkatkan kinerja makroekonomi di dalam negeri Indonesia, termasuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesempatan kerja. Jika dilihat dari perkembangan ekspor pertanian dan ekspor manufaktur, telah menunjukkan kecenderungan yang meningkat, walaupun terkadang juga mengalami fluktuasi akibat dari pengaruh perkembangan ekonomi, baik di dalam negeri sendiri maupun dari luar negeri seperti halnya yang terjadi terhadap penurunan ekspor produk manufaktur akibat krisis ekonomi. Sektor perdagangan luar negeri, terutama sektor pertanian dan sektor industri manufaktur merupakan potensi
yang
dapat
mendorong
pertumbuhan
makroekonomi
Indonesia.
24 Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya, yakni tentang keterkaitan antara perdagangan luar negeri dan kinerja makroekonomi di Indonesia, maka yang akan menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pengaruh fluktuasi ekspor produk pertanian, ekspor produk agroindustri dan non agroindustri terhadap kinerja makroekonomi Indonesia, serta sektor mana yang memiliki pengaruh lebih besar. 2. Bagaimana perkembangan ekspor pertanian, ekspor industri manufaktur, dan kinerja makroekonomi Indonesia, dan 3. Kebijakan apakah yang dapat mendorong peningkatan kinerja makroekonomi Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Menganalisis pengaruh ekspor produk pertanian, ekspor produk agroindustri dan non agroindustri terhadap kinerja makroekonomi Indonesia.
2.
Mendeskripsikan perkembangan ekspor pertanian, ekspor industri manufaktur, dan kinerja makroekonomi Indonesia.
3.
Merumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan kinerja makroekonomi Indonesia.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Dari latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan di atas. maka cakupan penelitian ini dibatasi oleh berbagai kriteria sebagai berikut. Konsep pertumbuhan ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lebih ditekankan pada pendekatan agregate supply (AS). yaitu konsep yang diturunkan dari fungsi produksi agregatif Neo Klasik. dimana produksi ditentukan oleh tenaga kerja dan kapital. serta teknologi. Kendatipun demikian dalam
25 pembahasannya sisi aggregate demand (AD) akan digunakan sebagai pelengkap. karena variable-variabel perdagangan luar negeri yaitu ekspor dan impor merupakan bagian dari sisi permintaan agregat. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan perdagangan luar negeri dibatasi pada ekspor komoditas pertanian. ekspor non agroindustri dan ekspor agroindustri. Pemisahan variabel ekspor menjadi tiga variabel tersebut bertujuan untuk melihat kontribusi masing-masing terhadap kinerja makroekonomi Indonesia. Sedangkan pengertian kinerja makroekonomi mencakup variabel produk domestik bruto riil, net ekspor, inflasi, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Data series waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah data nasional series triwulan yang dibatasi dalam kurun waktu mulai dari triwulan 1 Tahun 1990 sampai triwulan 4 Tahun 2009.
1.5. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain : 1.
Tidak memasukkan variabel tenaga kerja dan kapital dalam model yang
digunakan. Pada hal pembentukan model dalam penelitian ini dilandasi oleh konsep fungsi produksi sebagimana halnya yang dilakukan oleh banyak peneliti (Yousif , 1999; Doraisami, 2001; Medina dan Smith, 2001; Awokuse, 2002; Silvester dan Herzer, 2005). Dalam konsep fungsi produksi, berarti terdapat variabel penjelas tenaga kerja dan kapital atau investasi yang merupakan variabel utama sebagai variabel penentu produksi, dalam hal ini GDP. Sehingga hasil analisis induktif menjadi tidak sejalan dengan pembahasan pada analisis deduktif, karena hasil analisis yang diperoleh tidak membeikan informasi pengaruh ekspor terhadap kesempatan kerja dan investasi di dalam negeri. Tidak dimasukkannya kedua variabel tersebut karena ketiadaan data
26 dalam series tiga bulanan, terutama data tenaga kerja yang telah bekerja, data yang disediakan oleh BPS adalah data tahunan, bahkan data tahunan tersebut hanya merupakan data hasil survey. Sedangkan data investasi juga tersedia dalam tahunan. 2.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini sangat bersifat agregatif, sehingga
menyebabkan hasil yang diperoleh menjadi kurang operasional, karena masih bersifat sangat makro, kurang persolan-persoalan
membahas ke bagian sektoral yang lebih menggambarkan
mikro.
Dengan
demikian
hasil
penelitian
pada
tataran
makroekonomi belum tentu searah dengan kebijakan pada kondisi mikro atau perusahaan. 3.
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini tidak membahas masalah aspek
kelembagaan, pada hal aspek kelembagaan dalam penelitian tentang hubungan antara perdagangan luar negeri dengan kinerja makroekonomi sangat penting, karena terdapat beberapa institusi yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam mata rantai perdagangan luar negeri, misalnya mulai dari produksi, tata niaga, supplier, eksportir, pemerintah, hingga ke sistim pembayaran, kesemua lembaga tersebut dapat menggambarkan peranan masing-masing dalam menentukan kinerja makroekonomi Indonesia.
27 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Peran Penting Perdagangan Luar Negeri
Perdagangan luar negeri mempunyai arti sangat penting bagi suatu negara, karena dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan pembangunan. Haberler (1959) dalam Jhingan (1993) berpendapat bahwa, perdagangan internasional telah memberikan sumbangan yang luar biasa bagi pembangunan negara kurang berkembang di abad ke-19 dan 20. Sumbangan tersebut akan terus meningkat di masa datang dan melalui perdagangan bebas dengan sedikit penyesuaian, akan menjadi kebijakan yang baik dilihat dari sudut pembangunan ekonomi. Negara yang mengkhususkan diri pada produksi beberapa barang tertentu sebagai akibat perdagangan luar negeri dan pembagian kerja, akan dapat mengekspor komoditi yang diproduksi lebih murah untuk dipertukarkan dengan barang yang dihasilkan negara lain dengan biaya lebih rendah. Melalui perdagangangan luar negeri, negara memperoleh keuntungan dan pendapatan nasional naik yang pada gilirannya menaikkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Diperolehnya tingkat output yang lebih tinggi menjadi penyelesaian bagi lingkaran setan kemiskinan dan pembangunan ekonomi dapat ditingkatkan (Sukirno, 2000). Negara terbelakang biasanya memiliki pasar domestik kecil yang kecil tidak mampu menyerap output yang ada. Hal ini menyebabkan rendahnya dorongan untuk berinvestasi. Pasar yang kecil juga disebabkan oleh rendahnya pendapatan per kapita dan daya beli masyarakat. Perdagangan internasional memperluas pasaran dan merangsang investasi, pendapatan dan tabungan melalui
28 alokasi sumberdaya yang lebih efisien. Tambahan lagi, beberapa negara terbelakang mengkhususkan diri pada produksi satu atau dua komoditi bahan makanan. Jika dilakukan upaya ekspornya, upaya-upaya itu cenderung meluaskan pasar. Sumber-sumber yang ada digunakan lebih produktif dan alokasi sumbersumber menjadi lebih efisien berdasarkan fungsi-fungsi produksi tertentu. Ini semua adalah keuntungan langsung dari perdagangan luar negeri yang dikemukakan Mill (1959) dalam Jhingan (1993). Perluasan pasar menghasilkan sejumlah keuntungan ekonomi internal dan eksternal dan karenanya dapat mengurangi biaya produksi. Perdagangan luar negeri juga dapat memberikan keuntungan lain seperti pertukaran barang melalui ekspor dan impor, memiliki pengaruh mendidik (learning by doing), dan memberikan akses bagi pemasukan modal dari luar negeri.
2.2.
Teori Keuntungan Perdagangan Luar Negeri
Perbedaan harga relatif atas berbagai komoditi antara dua negara pada dasarnya mencerminkan keunggulan komparatif bagi masing-masing negara dalam hubungan dagang yang saling menguntungkan. Jika suatu komoditi memiliki harga relatif yang lebih rendah, dapat dikatakan terdapat keunggulan komparatif terhadap komoditi tersebut, dan ini dapat dijadikan komoditi andalan untuk ekspor dan dapat mengimpor komoditi yang kurang memiliki keunggulan komparatifnya. Terkait dengan keuntungan perdagangan luar negeri, beberapa ekonom telah mengemukakan teorinya masing-masing. Para ekonom tersebut antara lain Heckscher-Ohlin, Ricardo, Krugman dan Obstfeld, masing-masing mengemukakan teori sebagai berikut.
29 Heckscher-Ohlin (H-O) dalam Kindleberger dan Lindert (1983) telah mempertegas konsepnya bahwa, suatu negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menggunakan faktor produksi yang relatif berlebihan dan murah di negara tersebut. Contohnya, produk-produk pertanian dan produkproduk manufaktur tertentu diantaranya produk alas kaki. Sebaliknya negara tersebut mengimpor komoditi yang produksinya menggunakan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di dalam negeri. Negara yang relatif berlebihan tenaga kerja akan mengekspor komoditi-komoditi yang relatif padat tenaga kerja dan akan mengimpor komoditi-komoditi yang relatif padat modal yang merupakan faktor produksi yang langka dan mahal di negara bersangkutan. Contoh kasus seperti ini terjadi untuk Indonesia yang mengimpor mesin-mesin otomotipn atau barang-barang modal. Kemudian mengekspor komoditi pertanian karena komoditi pertanian adalah produksi padat karya. Fakta bahwa negara Indonesia melimpah tenaga kerja dan murah, dan mengimpor barang yang diproduksi dengan padat modal dan mahal harganya jika diproduksi sendiri di Indonesia. Sebaliknya sebuah negara dapat mengekspor komoditi padat modal karena di negara tersebut dapat memproduksinya dengan biaya yang lebih rendah, sehingga berkelebihan dalam produksi barang-barang modal dan harganya relatif murah dibandingkan dengan negara pengimpor.
Namun sebaliknya negara
tersebut melakukan impor terhadap produk hasil-hasil pertanian yang di dalam negerinya relatif lebih mahal dan langka. Menurut teori H-O yang membedakan harga-harga relatif komoditi dan keunggulan komparatif antar negara adalah karena perbedaan dalam kelimpahan faktor-faktor produksi secara relatif, atau perbedaan kepemilikan faktor produksi
30 antar negara. Oleh karena itu teori H-O sering disebut teori kepemilikan faktor (factor endownment theory). Teori ini menyebutkan bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang banyak menyerap faktor produk di negara tersebut dalam jumlah yang banyak dengan harga relatif murah, serta mengimpor komoditi yang menyerap faktor produksi di negara tersebut yang relatif langka dan harganya mahal. Ricardo dalam Kindleberger dan Lindert (1983) berpendapat bahwa, konsep keuntungan komparatif berbeda dengan teori H-O. Menurut Ricardo dalam konteks perdagangan internasional, jika negara lain dapat menyediakan barang bagi negara kita dengan harga relatif lebih murah dibandingkan memproduksi sendiri, lebih baik membeli barang tersebut dari negara lain dengan membayarnya dari sebagian hasil industri kita, sehingga kita mendapat keuntungan. Teori ini tidak mempertimbangkan alasan bahwa membatasi impor dapat menciptakan lapangan kerja, terutama jika yang diimpor adalah barangbarang modal dan akan menciptakan perusahaan-perusahaan yang padat modal. Indonesia memang melakukan impor terhadap barang-barang yang belum mampu diproduksi sendiri. Kelemahannya adalah dalam jangka panjang indonesia menjadi negara yang sangat tergantung dengan luar negeri, yang dapat menimbulkan resiko terhadap perekonomian domestik. Terlebih lagi jika Ekspor tersebut dikaitkan dengan nilai tukar valuta asing dengan mitra dagang yang juga dapat meningkatkan biaya produksi di dalam negeri. Teori perdagangan internasional Ricardo berdasarkan pada teori keuntungan komparatif yang berarti bahwa, komoditi tertentu yang akan diperdagangkan diukur dengan barang lainnya di negara tersebut lalu
31 dibandingkan dengan negara lain. Teori ini tidak meggunakan konsep biaya produksi yang dinyatakan dalam satuan input, seperti yang telah dijelaskan oleh teori H-O sebelumnya. Krugman
dan
Obstfeld
(2000)
berpendapat
bahwa,
keuntungan
perdagangan internasional akan terwujud jika dalam proses produksi tercapai skala ekonomi (economies of scale). Oleh karena itu untuk mencapai skala ekonomi tersebut suatu negara harus memperluas pasar sehingga efisiensi produksi akan meningkat. Hal ini disebabkan
karena dengan melakukan
perdagangan, maka peluang untuk meningkatkan intensitas penggunaan sumberdaya dapat terus ditingkatkan. Intensitas dalam penggunaan sumberdaya menyebabkan produksi dapat ditingkatkan pada skala yang lebih besar, yang artinya efisiensi akan meningkat. Pengertian economies of scale menurut Lindert (1993) adalah peningkatan produksi pada skala yang lebih besar sehingga biaya per unit output akan semakin rendah. Intinya teori ini menegaskan bahwa, pentingnya melakukan perluasan pasar baik di dalam negeri maupun ekspor ke luar negeri yang merupakan cara untuk dapat meningkatkan efisiensi produksi. Untuk Indonesia, jika dikaitkan dengan konsep tersebut nampaknya lebih mendekati pada ekspor hasil-hasil industri manufaktur, walaupun masih terbatas pada hasil-hasil industri kecil dan menengah, bahkan industri rumah tangga.
2.3.
Perdagangan Luar Negeri dan Pertumbuhan Ekonomi
Keterkaitan kegiatan perdagangan luar negeri sebuah negara dengan pertumbuhan ekonomi yang dicapai, dapat dijelaskan dari dua sisi yaitu pertama, bagaimana pertumbuhan ekonomi yang tercipta mempengaruhi kegiatan perdagangan negara tersebut, dan kedua, bagaimana hasil kegiatan perdagangan
32 memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Pada sub bagian berikut akan menjelaskan teori, bagaimana pertumbuhan ekonomi mempengaruhi kegiatan perdagangan luar negeri, sedangkan pada bagian berikutnya akan menjelaskan teori, bagaimana perdagangan luar negeri dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebuah negara.
2.3.1. Efek Pertumbuhan Ekonomi terhadap Perdagangan
Production
possibility
curve
(PPC)
adalah
sebuah
kurva
yang
menunjukkan kapasitas sebuah negara memproduksikan berbagai kombinasi komoditas dengan sumberdaya atau faktor produksi yang tersedia. Faktor produksi tersedia dikatakan berjumlah tertentu dan pada tingkat teknologi tertentu, di mana kondisi ini memberikan peluang bagi negara unuk memproduksi jumlah output yang dikehendaki. Dunn dan Mutti (2004) menyatakan bahwa dari waktu ke waktu sumberdaya negara mengalami pertumbuhan misalnya angkatan kerja meningkat karena pertumbuhan penduduk, atau kapital stok fisik bertumbuh melalui net investasi maka kurva kemungkinan produksi bergeser ke kanan, yang menunjukkan bahwa kapasitas negara untuk berproduksi sedang naik. Selanjutnya dijelaskan bahwa ketika pertumbuhan terjadi maka tercipta pola pertumbuhan tertentu bergantung pada laju pertumbuhan dari faktor-faktor produksi yang ada dan pada kecepatan perubahan teknologi di berbagai industri. Perubahan yang terjadi disini yakni pertumbuhan karena perubahan pada supply side, sehingga kemudian akan berinteraksi dengan kondisi permintaan dalam negeri dan luar negeri, menentukan efek akhir pada output, jumlah ekspor dan impor, dan term of trade.
33 Dalam kasus pertumbuhan netral, Zhang (2008) juga Dunn dan Mutti (2004) menyatakan semua faktor produksi negara bertumbuh pada tingkat yang sama selama satu interval waktu tertentu. Pada kondisi ini semua industri mengalami constant return to scale dan teknologi tidak mengalami perubahan. Pertumbuhan kapasitas ini menyebabkan kurva kemungkinan produksi bergeser ke kanan dalam proporsi yang sama (Gambar 1).
Sumber : Dunn and Mutti (2004) Gambar 1. Pertumbuhan Netral di Negara Kecil
Pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa kurva baru (F2C2) merupakan pergeseran keluar sebanding dengan kurva F1C1 sesuai dengan pertumbuhan resources yang terjadi. Jika negara A adalah relatif kecil dibanding sisa dunia, term of trade tetap tidak berubah dan negara A akan terus memproduksi kedua komoditi dalam proporsi yang sama seperti sebelumnya, seperti ditunjukkan oleh titik P dan P’ pada vektor OP’. Bagaimana efek pertumbuhan tersebut terhadap konsumsi negara A dan volume perdagangannya, tergantung pada pola permintaan yang ditunjukkan oleh kurva indiferen masyarakatnya. Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa negara A
34 memilih mengkonsumsi makanan dan pakaian dalam proporsi yang sama seperti sebelumnya sehingga baik impor makanan dan ekspor pakaian akan meningkat sebanding dengan kenaikan output atau pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, elastisitas income of demand negara A untuk kedua barang sama dengan satu. Titik konsumsi negara A adalah Q dan Q’ yang akan terletak pada vektor OQ’. Namun, jika permintaan negara A untuk makanan (komoditi yang diimpor) meningkat lebih dari pada proporsi kenaikan income, maka ekspor dan impor negara tersebut juga akan meningkat dengan proporsi yang lebih besar dibanding proporsi kenaikan output. Dalam kasus ini pertumbuhan dikatakan bias kepada perdagangan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada sebuah negara dikatakan tidak memberikan pengaruh yang kuat pada pertumbuhan perdagangan jika elastisitas income untuk makanan (produk yang diimpor) adalah inelastic. Dengan kata lain permintaan makanan meningkat lebih kecil proporsinya terhadap income, maka perdagangan akan meningkat dengan persentase yang lebih kecil dibanding output yang dihasilkan.
Sumber : Dunn and Mutti (2004) Gambar 2. Efek Permintaan pada Volume Perdagangan ketika Pertumbuhan Netral dan Term of Trade Tetap.
35 Dalam kasus seperti ini, pertumbuhan ekonomi yang terjadi dikatakan bias berlawanan dengan perdagangan. Volume perdagangan bahkan dapat menyusut jika permintaan negara A untuk makanan memiliki elastisitas income yang sangat rendah (Gambar 2). Sebelum pertumbuhan, produksi terjadi di titik P dan konsumsi di titik Q, dan perdagangan sebesar segitiga SPQ mewakili ekspor kain, SP, dan impor makanan, SQ. Jika term of trade tetap maka ketika pertumbuhan terjadi (slope P’Q’= slope PQ), produksi kedua komoditas akan meningkat dalam proporsi yang sama dan hasilnya akan tergantung pada kondisi permintaan di negara A. Jika permintaan untuk makanan meningkat lebih besar dibanding proporsi kenaikan income, maka expantion path akan lebih curam dibanding QQ’ dan ekspor akan meningkat dengan proporsi yang lebih besar dibanding output. Dalam kondisi ini, jika term of trade dapat berubah, maka kenaikan ekspor negara A akan cenderung menurunkan harga ekspor sehingga juga menurunkan term of trade negara A. Jika permintaan untuk makanan meningkat kurang dari proporsi kenaikan income, expantion path akan kurang curam dibanding QQ’, dan ekspor akan meningkat dengan proporsi yang lebih kecil dibanding output, atau bahkan mungkin menurun.
2.3.2. Memburuknya Term of Trade dan Pertumbuhan Immiserizing
Dunn dan Mutti (2004) keduanya menjelaskan kasus di mana pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak memberikan keadaan better off bagi negara melainkan keadaan worse off sebagai akibat term of trade negara yang menurun.
Dikatakan
bahwa
jika
pertumbuhan
ekonomi
yang
terjadi
mengakibatkan term of trade negara menurun maka penurunan harga ini memiliki
36 pengaruh berlawanan dengan keuntungan yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi. Bahkan dikatakan kerugian yang timbul akibat penurunan dalam term of trade dapat melebihi keuntungan dari pertumbuhan yakni peningkatan kapasitas yang tercipta, sehingga dapat memberikan hasil yang worse off dibanding keadaan sebelumnya. Kasus yang ekstrim ini disebut "pertumbuhan immiserizing" dan terjadi pada negara-negara berkembang yang mengekspor produk-produk primer dan
mengimpor
produk-produk
manufaktur
dari
negara-negara
industri
(Gambar 3). Gambar 3 menjelaskan bahwa semula negara A berproduksi pada titik P0 dan mengekspor produk-produk primer untuk menukarkan dengan produk manufaktur pada rasio term of trade yang ditunjukkan oleh slope P0C0. Melalui perdagangan, negara A mencapai tingkat welfare pada kurva indiferen i0 dan mengkonsumsi pada titik C0.
Sumber : Dunn and Mutti (2004)
Gambar 3. Kasus Pertumbuhan Immiserizing dengan Term of Trade Menurun
37 Pertumbuhan terjadi pada supply factor dalam produksi produk-produk primer, sehingga kurva kemungkinan produksi bergeser ke kanan (AB ke HK). Akibatnya negara A menawarkan jumlah ekspor yang lebih besar sehingga term of trade-nya menurun seperti ditunjukkan slope garis P1C1 yang lebih datar. Pada rasio pertukaran ini, negara A terus mengekspor produk-produk primer, tetapi hanya dapat mencapai kurva indiferen yang lebih rendah, i1. Sesuai kenyataan ini, pertumbuhan dalam kapasitas telah mengurangi welfare perekonomian. Hasil ini lebih berpeluang lagi terjadi ketika efek produksi yang bias ke ekspor dikombinasikan dengan preferensi yang kuat dari negara A untuk membelanjakan tambahan income-nya pada barang-barang manufaktur. Akibat kedua faktor ini menyebabkan terjadinya penurunan yang substansial pada harga relatif barangbarang primer.
Sumber : Feenstra (2002)
Gambar 4. Pertumbuhan Immiserizing Negara A
38 Feenstra (2002) menjelaskan kasus pertumbuhan immiserizing di atas dengan lebih jelas (Gambar 4) dan menunjukkan bukti matematik. Sesuai gambar di atas barang y1 diekspor dan barang y2 diimpor, pada production possibility frontier (PPF) awal, perekonomian memproduksi di titik B dan mengkonsumsi pada titik C. Akibat adanya pertumbuhan, PPF bergeser keluar dan jika terms of trade tidak berubah, konsumsi akan berubah ke titik C' dan masyarakat mengalami better off. Namun, jika terjadi penurunan harga relatif barang-barang ekspor, maka konsumsi negara dapat terjadi di titik C'' (tetap pada kurva indiferen awal) dan memproduksi pada titik B''. Hal ini menjelaskan bahwa utilitas masyarakat tidak berubah setelah terjadi pertumbuhan ekonomi, dan selanjutnya terjadi penurunan pada terms of trade yang mengakibatkan konsumen representatif mengalami worse off. Secara matematik dapat dijelaskan pertumbuhan immiserizing dengan kondisi utilitas yang konstan di atas. Dianggap bahwa hanya ada dua barang, negara mengimport y2 sebagai numeraire sehingga harganya satu. Misalkan fungsi GDP perekonomian adalah G (p, ) = py1 + y2, dimana
adalah sebuah skalar
yang mewakili parameter pergeseran PPF dan dapat mewakili faktor endowment atau kemajuan teknologi dalam sejumlah industri. Perubahan total pada GDP diukur oleh :
dG
Diasumsikan
G G dy dy dp d y1dp p 1 2 d p d d
……....................... (2.1)
dy1 G dy1 dy 2 p keduanya positif, memiliki arti dengan dan d d d
adanya pertumbuhan dan harga yang konstan, dapat meningkatkan baik GDP maupun barang-barang yang diekspor. Dianggap bahwa barang numeraire secara
39 terpisah ditambahkan dalam konsumsi sehingga utilitas konsumen dapat ditentukan. Total kesejahteraan masyarakat ditunjukkan dengan W [p, G (p, )], berfungsi sebagai fungsi utilitas tidak langsung untuk perekonomian, di mana ∂W/∂p = - c1 sebagai konsumsi (negatif) dari barang 1, juga ∂W/∂G
1. Dengan
demikian welfare masyarakat menjadi konstan ketika ada pertumbuhan ekonomi terjadi jika dan hanya jika : dW
G W G G dp dp d ( y1 c1 )dp d 0 ………….. (2.2) p p
Penurunan harga ekspor yang tetap memelihara welfare konstan, adalah : G ................................................................... (2.3) d (c1 y1 ) Selanjutnya, diselesaikan perubahan keseimbangan dalam harga relatif ekspor dan dp
membandingkannya dengan persamaan (2.3). Ekuilibrium di pasar ekspor berarti bahwa ( y1 c1 ) m1* dimana m1* adalah permintaan impor dari sisa dunia. Dengan deferensial total, diperoleh : y dy 1 c dm 1* d 1 1 dp dp d p dp p
………………………………. (2.4)
Sehingga, perubahan ekuilibrium dalam harga ekspor adalah :
dp
dm * 1 dp
dy1 d d y c 1 1 p p
............................................................. (2.5)
Penyebut persamaan (2.5) adalah negatif sementara pembilangnya positif, sehingga persamaan ini menunjukkan penurunan harga ekspor akibat adanya pertumbuhan ekonomi. Welfare akan menjadi konstan jika persamaan (2.3) = (2.5), dan welfare menurun jika persamaan (2.5) < (2.3). Ini akan terjadi jika dan hanya jika:
40 dy1 ( y1 c1 ) d
G y1 c1 dm1* p p dp
Bagikan persamaan ini dengan
……………………… (2.6)
( y1 c1 ) m 1* dan dengan menggunakan
G dy1 dy 2 p , dapat menunjukkan kondisi necessary dan sufficient untuk d d
pertumbuhan immizerizing sebagai : p
dy1 d
dm1* p …............... (2.7) dy1 dy 2 y1 c1 p p d p p m * dp m * d 1 1
Bagian pertama pada sisi kanan persamaan merupakan elastisitas suplai ekspor yang adalah bernilai positif. Syarat yang perlu untuk pertumbuhan immiserizing terjadi adalah bagian pertama pada sisi kiri persamaan (2.7) harus lebih besar dari jumlah
dm1* p yang mana merupakan elastisitas permintaan luar negeri untuk dp m* 1
impor. Jika elastisitas ini kurang dari satu (permintaan luar negeri inelastis), maka pertumbuhan immiserizing dapat terjadi hanya ketika bagian kiri persamaan (2.7) adalah juga kurang dari satu. Namun, jika permintaan luar negeri untuk impor adalah elastis, maka untuk persamaan (2.7) dipenuhi saat bagian kiri persamaan juga > 1. Bila diperiksa, ini terjadi jika dan hanya jika dy2/d < 0, yaitu ketika pertumbuhan mengurangi output barang 2 (pada harga konstan).
2.4.
Export-Led Growth
Banyak ahli ekonomi pembangunan sepakat bahwa hipotes export led growth merupakan fenomena yang paling masuk akal. Hal ini didasarkan pada bukti empiris yang menunjukan tidak satupun negara di dunia yang tidak melakukan hubungan perdagangan luar negeri (ekspor-impor) dengan negara lainnya.
41 Argumen yang menyertai hipotesis export-led growth telah banyak dikemukakan para penulis, di antaranya Jaime de Melo dan Robinson (1995), Giles dan Williams (2000), Bernard dan Jensen (2001), dan Dimkpah (2002). Pada dasarnya mereka mengemukakan bahwa ekspor merupakan motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi (engine of growth), dan merupakan suatu keharusan dari setiap negara yang ingin maju karena beberapa alasan. Pertama, ekspor dapat menyebabkan penggunaan penuh sumber-sumber domestik sesuai dengan keunggulan komparatif (comparative advantage) dan terjadinya pembagian kerja sehingga mendorong munculnya skala penghematan (economic of scale). Kedua, ekspor dapat memperluas pasar baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ketiga, ekspor merupakan sarana untuk mengadopsi idea atau pengetahuan baru, teknologi baru, dan keahlian baru serta keahlian-keahlian lainnya sehingga memungkinkan penggunaan kapasitas lebih besar dan lebih efisien. Keempat, ekspor dapat mendorong mengalirnya modal dari negara-negara maju ke negara-negara sedang berkembang. Kelima, ekspor merupakan salah satu cara efektif untuk menghilangkan perilaku monopoli, karena produsen dalam negara dituntut untuk lebih efisien sehinggan dapat bersaing dengan produsen lain di luar negeri. Keenam, adanya ekspansi ekspor akan meghasilkan devisa dan karenanya kesempatan untuk mengimpor barang-barang modal dan barang-barang antara semakin besar pula.
2.5.
Peranan Teknologi dalam Perdagangan
Selain perubahan yang terjadi pada tenaga kerja dan kapital, juga terjadi perubahan pada teknologi produksi yang pada akhirnya akan berdampak pada perdagangan internasional. Teknologi adalah faktor produksi yang bersifat unik,
42 yang dapat mempengaruhi hampir semua faktor produksi lainnya sehingga baik kuantitas maupun kualitasnya dapat meningkat. Misalnya kualitas dan kuantitas tenaga kerja, kapital, dan sumberdaya alam dapat meningkat dengan penemuanpenemuan baru. Oleh karena itu tidak dapat dipisahkan hubungan antara faktor teknologi dengan faktor-faktor produksi lainnya. Kemajuan teknologi merupakan faktor penting dalam menentukan pola perdagangan internasional maupun perkembangan negara-negara di dunia. Berbagai penelitian menunjukkan, bahwa sumber utama dari peningkatan GDP bukan dari semakin banyaknya K yang digunakan, tapi lebih disebabkan karena kemajuan teknologi, yaitu kenaikan kualitas faktor-faktor produksi yang ada. Pola keunggulan komparatif setiap negara dapat berubah karena peningkatan teknologi yang berbeda-beda. Bagaimana pengaruh teknologi terhadap keunggulan komparapif suatu negara? Secara grafik kemajuan teknologi terlihat dari pergeseran kurva KKP ke kanan, sehingga dengan pergeseran tersebut dapat merubah keunggulan komparatif negara yang bersangkutan. Perubahan ke arah mana tergantung pada pergeserannya atau tergantung pada kemajuan teknologi tersebut. Krugman dan Obstfeld (2000) menunjukkan pertumbuhan bias tersebut terjadi karena dua hal yakni pertama, disebabkan oleh kemajuan teknologi yang terjadi di satu sektor ekonomi. Kemajuan teknologi akan memperluas kemungkinan-kemungkinan produksi suatu perekonomian, dimana pergeseran ke arah output sektor tersebut lebih besar dibanding pergeseran ke arah output sektor lainnya. Kedua, bias pertumbuhan karena adanya peningkatan penawaran faktor produksi di suatu negara, misalnya peningkatan stok modal karena ada akumulasi
43 tabungan dan investasi. Bias pertumbuhan ini mengarah pada barang yang produksinya
menggunakan
faktor
produksi
spesifik
(digunakan
untuk
menghasilkan barang tertentu) atau ke arah barang-barang yang produksinya lebih banyak menggunakan faktor produksi yang penawarannya meningkat. Secara
Produksi gandum, Qg
Produksi gandum, Qg
grafis pertumbuhan bias ini dapat dilihat pada Gambar 5.
1
TT
2
TT
1
TT
Produksi kain, Qc
2
TT
Produksi kain, Qc
Sumber : Krugman dan Obstfeld (2000) Gambar 5. Pertumbuhan Bias ke Kain dan Bias ke Gandum
2.6.
Pengaruh Perdagangan Luar Negeri terhadap Makroekonomi
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa terdapat dua akibat ekonomis dari perdagangan luar negeri yaitu, (1) adanya manfaat dari perdagangan, (2) cenderung ke arah spesialisasi dalam produksi barang-barang yang memiliki keunggulan komparatif dari perdagangan luar negeri. Pengaruh lain dari perdagangan luar negeri adalah terhadap konsumsi masyarakat, pengaruh terhadap produksi, dan pengaruh terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Perdagangan luar negeri tidak selalu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Seperti China sebelum masuk WTO dengan perekonomian yang relatif tertutup, tapi pertumbuhannya tinggi. Sebaliknya
44 Jepang, Singapura, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan dengan perekonomian terbuka juga dapat mengalami pertumbuhan yang tinggi. Salah satu pengaruh perdagangan luar negeri adalah terhadap produksi di dalam negeri. Pengaruh ini akan terjadi melalui: 1.
Spesialisasi produksi, yaitu berdasarkan keunggulan komparatif, sehingga terdapat komoditi unggulan.
2. Kenaikan Investasi, karena perdagangan dapat meningkatkan pendapatan riil masyarakat, sehingga tabungan meningkat sebagai sumber investasi, yang kemudian dapat meningkatkan GDP. 3. Perluasan pasar akan meningkatkan produksi di dalam negeri (Vent for Surplus). Kenaikan produktivitas, yaitu melalui economies of scale, karena pasar makin luas, dan akan memunculkan teknologi baru dibidang produksi (Krugman dan Obstfeld (2000)).
2.7.
Review Studi-Studi Terdahulu
Pola hubungan antara perdagangan dengan pertumbuhan ekonomi telah dibicarakan selama berabad–abad dan telah menjadi referensi yang luas dalam berbagai penelitian, tetapi kontroversi masih terus berlanjut. Hingga kini belum dapat disimpulkan secara nyata bagaimana arah hubungan antara perdagangan luar negeri dan pertumbuhan ekonomi. Kontroversi tersebut berakar pada perbedaan struktur perekonomian dan kemampuan suatu negera dalam mengatasi persoalan perekonomian. Perbedaan tersebut terjadi baik antar negara maupun antar kelompok negara maju dan kelompok negara berkembang yang melakukan perdagangan (Anoruo dan Ramchander (2002), Medina dan Smith (2001), dan Mohsin dan Anam (2001).
45 Berbagai hasil penelitian mengenai hubungan perdagangan dengan pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa hubungan tersebut menarik untuk diteliti. Banyak penelitian yang telah dilakukan baik dalam satu negara, beberapa kelompok negara berkembang, maupun dalam kelompok negara maju. Berikut ini akan digambarkan beberapa hasil penelitian yang pernah dilakuklan oleh beberapa peneliti. Penelitian-penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh: Henriques and Sadorsky (1996), Ratnawati (1996), Riezman, et al. ( 1996), Ekayanake (1999), Yousif, (1999), Sinsha (1999), Anyamele (2000), Doraisami (2001), Medina dan Smith (2001), Mohsin dan Anan (2001), Oktaviani (2001), Yusof, et al. (2001), Anoruo dan Ramchander (2002), Awokuse (2002), Hachicha (2003), Juswanto dan Mulyanti (2003), Dritsaki et al. (2004), Shirazi dan Manaf (2004), Abou F. Stait (2005), Siliverstors dan Herzer (2005), Taban dan Akbar (2005). Dari berbagai penelitian tersebut, sebagian dari hasil-hasil penelitian terjadi perbedaan hasil yang diperoleh karena faham dari setiap negara adalah berbeda (school of thought). Suatu negara yang menjalankan strategi export–led growth (ELG) telah membuktikan bahwa ekspor merupakan faktor dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga menganggap ekspor sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth). Faham lain menganut anggapan bahwa dengan melakukan ekspor, maka akan tercipta proses yang berkesinambungan, sehingga menempatkan ekspor sebagai sasaran utama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi. Studi tentang perdagangan luar negeri baik ekspor maupun impor yang terkait dengan kinerja perekonomian satu negara atau banyak negara dengan menggunakan berbagai metode analisis disajikan di bawah ini.
46 Mohsin dan Anam (2001) melakukan penelitian pengaruh ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi pada negara-negara Asean, dengan sampel negara Malaysia, Indonesia, Singapura, Philipina, dan Thailand. Penelitian tersebut menggunakan model kointegrasi dan ECM. Model dibangun dari derivasi fungsi produksi agreatif dengan variabel terdiri dari GDP, tenaga kerja, kapital, ekspor, impor, dan pengeluaran pemerintah. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah, (1) semua negara dalam penelitian menunjukkan tingkat pertumbuhan ekspor selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi (1960-61 sampai 1995-96), (2) terdapat kointegrasi di negara Singapura, Indonesia, dan Thailand, sementara di Malaysia dan Philipina tidak terkointegrasi. Ini berarti bahwa ekspor dan GDP beserta variabel lainnya tidak saling berhubungan atau kalaupun ada hubungannya sangat lemah, (3) hasil model VAR menunjukkan bahwa seluruh negara di ASEAN terdapat hubungan dua arah antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi. Anoruo dan Ramchander (2002) dengan menggunakan model VECM, melakukan penelitian pada lima negera Asia yakni, India, Indonesia, Korea, Malaysia, dan Philipina. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekspor mendukung pertumbuhan ekonomi di empat negara, kecuali Indonesia tidak terbukti. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa orientasi pada perdagangan luar negeri (outward orientation) merupakan kebijakan yang efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang. Shirazi dan Manaf (2004) telah melakukan penelitian hubungan ekspor dengan pertumbuhan ekonomi di Pakistan. Model yang digunakan adalah VECM dan variabel-variabelnya adalah GDP, ekspor, dan impor. Hasil temuannya adalah
47 terdapat hubungan jangka panjang antara ketiga variabel tersebut periode tahun 1960 sampai 2003. Khusus untuk impor, memiliki hubungan dua arah dengan pertumbuhan ekonomi, sementara ekspor dan impor memiliki hubungan yang tidak signifikan. Yusop, et al. (2001) melakukan penelitian di Malaysia tentang expor-led growth dengan menggunakan data time series tahun 1960 hingga 2001.dan menggunakan 6 variabel, sehingga model ekonominya adalah sebagai berikut. Y = f(X, M, ER, L, K) ......................................................................... (2.8) keterangan : Y = GDP riil, X = Ekspor riil, M = Impor, ER = Nilai Tukar riil, L = Tenaga Kerja, dan K = Investasi. Analisis menggunakan metode kointegrasi/VECM, hasilnya menunjukkan bukti kuat bahwa terdapat kointegrasi (hubungan dalam jangka pendek dan jangka panjang) diantara variabel-variabel tersebut. Kesimpulan lain yang dihasilkan adalah bahwa metode bivariat kurang tepat untuk digunakan, karena telah menghilangkan beberapa variabel relevan dalam melakukan estimasi model. Oleh karena itu perlu membentuk suatu model pertumbuhan ekonomi dengan menambah sejumlah variabel yang memiliki hubungan. Di samping variabelvariabel di atas, variabel impor juga merupakan bagian dari model. Pentingnya impor masuk kedalam model, karena impor merupakan bagian dari perdagangan luar negeri, dan untuk negera-negara berkembang, termasuk Indonesia, impor bahan baku dan barang modal sangat penting dalam melihat hubungan perdagangan luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi. Riezman, et al. (1996), melakukan penelitian pengaruh ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi di 9 negara Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle East
48 and North Africa, MENA). Menggunakan model VECM dengan empat variabel, yakni GDP, Ekspor, Impor, dan Ekspor Manufaktur. Dalam penelitian ini, selain variabel ekspor sebagai variabel utama, juga variabel impor sangat penting, karena memiliki peranan dalam hubungan ekspor dan pertumbuhan ekonomi. Temuannya adalah, apabila variabel impor dihilangkan dari sistem persamaan, maka akan menurunkan pengaruh ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Temuan lainnya adalah ketika memperhatikan variabel ekspor total, hasilnya menolak hipotesis ELG pada hampir semua negara yang di uji, hal ini dapat disebabkan oleh tidak dimasukkannya variabel-variabel yang terkait, seperti variabel impor, nilai tukar, dan lain-lain. Namun ketika memperhatikan hanya ekspor manufaktur, ditemukan bahwa tidak ada hubungan sebab akibat bagi negara-negara dengan kontribusi manufaktur yang relatif rendah terhadap total ekspor, dan terdapat hubungan sebab akibat bagi negara-negara yang kotribusinya relatif tinggi. Temuan ini menunjukkan bahwa, kebijakan promosi ekspor akan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi hanya jika variabel ekspor manufaktur masuk dalam sistem persamaan. Dari hasil penelitian tersebut tentang ekspor manufaktur, mengindikasikan bahwa di negara-negara maju, ekspor manufaktur yang telah memiliki kontribusi tinggi terhadap total ekspor akan menunjukkan pengaruh positip pada pertumbuhan
ekonomi,
dan
inilah
perbedaannya
dengan
negara-negara
berkembang tentang pengaruh ekspor manufaktur pada pertumbuhan ekonomi. Juswanto dan Mulyanti (2003) meneliti tentang ekspor manufaktur Indonesia. Menurut peneliti, ekspor manufaktur dipercaya sebagai salah satu mesin penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari
49 pertumbuhan ekspor manufaktur yang cepat dan kontribusinya terhadap GDP yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Dengan menggunakan alat analisis constant market share ditemukan bahwa masalah utama ekspor manufaktur Indonesia adalah pada komposisi produknya, karena ekspor mannufaktur Indonesia terkonsentrasi pada produk-produk yang secara relatif
rendah
permintaannya di pasaran dunia. Kondisi ini menunjukkan fakta bahwa, produkproduk golongan SITC 6 dan 8 dimana terdapat lebih dari 50 persen ekspor manufaktur Indonesia permintaannya ebih rendah dibandingkan produk lainnya. Di samping itu juga ditemukan bahwa ekspor manufaktur Indonesia cenderung teronsentrasi pada negara-negara tertentu seperti Jepang, Singapura, Amerika , Taiwan, China dan Hongkong yang menyerap lebih dari 60 persen dari total eksor manufaktur Indonesia. Dengan demikian sangat rentan dampaknya terhadap kinerja ekspor manufaktur Indonesia akibat ketergantungan yang kuat pada beberapa negara tersebut. Ratnawati (1996) dengan menggunakan model computable general equilibrium (CGE), telah melakukan penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan luar negeri terhadap kinerja perekonomian Indonesia
termasuk
dampaknya terhadap sektor pertanian. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan luar negeri melalui peningkatan tarif impor dan pajak ekspor akan memperburuk kinerja perekonomin Indonesia. Dengan kata lain proteksi terhadap industri dalam negeri yang berlebihan malah akan menurunkan daya saing baik dipasaran luar negeri maupun di dalam negeri. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti menyarankan bahwa dalam rangka menghadapi perdagangan bebas,
tarif impor dan pajak ekspor supaya diturunkan secara
50 bertahap, baik terhadap produk-produk industri maupun terhadap produk-produk sektor pertanian. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia termasuk penciptaan kesempatan kerja. Yousif (1999) memberikan informasi hasil penelitiannya tentang hubungan antara ekspor dengan pertumbuhan ekonomi, ia berkesimpulan bahwa sebenarnya hubungan antara ekspor dengan pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilakukan secara sederhana dan langsung, karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi hubungan kedua variabel tersebut. Hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi ternyata tidak terjadi pada hubungan jangka panjang. Anyamele (2000) melakukan penelitian di negara Nigeria tentang ExportLed Growth in Public Sector Dominated Economy : A Macroeconomic Model of Nigeria. Dengan menggunakan model fungsi produksi Neoklasik ditambah dengan variabel ekspor (X)dan variabel pengeluran pemerintah (G), sehingga modelnya adalah sebagai berikut. Q = f (A,K,L,X,G) ............................................................................ (2.9) Dengan menggunakan model ekonometrik metode multiple regression, hasilnya menunjukkan bahwa
variabel eksport sangat signifikan dalam
menentukan pertumbuhan ekonomi yang sama dengan variabel kapital, sedangkan vaiabel pengeluaran pemerintah signifikan pada level 10 persen, namun variabel tenaga kerja tidak signifikan. Besaran koefisien yang dihasilkan untuk kondisi ekonomi Nigeria, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen akan tercapai, jika ekspor naik sebesar 20.2 persen, pengeluaran pemerintah naik 11.1 persen, peningkatan kapital stok sebesar 14.8 persen.
51 Oktaviani (2001) dengan menggunakan model computable general equilibrium (CGE) telah melakukan penelitian tentang dampak kebijakan fiskal terhadap kinerja ekonomi makro dan ekonomi sektoral. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jika pemerintah menetapkan kebijakan fiskal yang bersifat inflatoir (harga BBM, tarif listrik, dan telepon), maka akan membawa dampak buruk terhadap perekonomian secara makro, terutama akan menyebabkan penurunan produksi di sektor pertanian, dan lebih lanjut akan menurunkan kemampuan sektor pertanian dalam memberikan kesempatan kerja. Demikian pula terhadap sektor industri, akan menurunkan daya saing produk industri di pasaran luar negeri. Berkaitan dengan penurunan daya saing terhadap produk industri manufaktur dan produk sektor pertanian akibat kebijakan tersebut, Oktaviani (2000) menyarankan agar pemerintah harus berusaha meningkatkan efisiensi produksi. Sehingga dapat meningkatkan daya saing produk di luar negeri, sekaligus dapat menciptakan kesempatan kerja. Terlebih lagi dalam menghadapi liberalisasi perdagangan (AFTA dan APEC) diperkirakan akan memberikan dampak positip terhadap perekonomian makro Indonesia, termasuk sektor pertanian. Doraisami (2001) juga telah melakukan penelitian tentang hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi di Malaysia dari tahun 1959-2000. Metode yang digunakan adalah model vector autoregression (VAR). Dalam upaya mendapatkan hasil dari hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi tersebut Zulkornain menggunakan 6 (enam) variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi, ekspor, impor barang-barang konsumsi, Investasi, angkatan kerja dan nilai tukar. Model ekonominya dapat diformulasikan sebagai berikut.
52 GDP = f ( X, MC, K, L, ER)
....................................................... (2.10)
dimana : GDP X MC K L ER
= = = = = =
Real Gross Domestic Product Real Ekspor Real impor barang-barang konsumsi Gross fixed capital formation Angkatan Kerja Nilai tukar terhadap USD (RM/US$)
Dari hasil penelitiannya diperoleh informasi, bahwa ekspor berpengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi baik jangka pendek maupun jangka panjang, investasi dan impor memiliki dapak positip terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara tenaga kerja berdampak negatip dalam jangka pendek. Alkadri (2001), meneliti sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama kurun waktu 1969 – 1996. Penelitian ini menggunakan model ECM dengan 12 variabel, dengan model ekonomi seperti persamaan (2.11). Hasil penelitian ini adalah bahwa selama 1969-1996 terdapat delapan variabel, yakni utang luar negeri pemerintah, utang luar negeri swasta, investasi domestik, ekspor barang, tabungan pemerintah, tabungan swasta, pajak, dan angkatan kerja, yang memberikan dampak positif kepada pertumbuhan ekonomi. Ekspor mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, secara statistik signifikan pada derajat kepercayaan 20 persen. Sementara itu, tiga variabel lainnya (investasi
asing,
impor barang,
dan
pengeluaran
pemerintah)
memberikan dampak negatif kepada pertumbuhan ekonomi. PE = (Up, Us, Ia, Id, Ek, Im, Tp, Ts, Pj, Pp, Tk ) ........................... (2.11) Dimana : PE Up Us
= tingkat pertumbuhan ekonomi = aliran neto utang luar negeri pemerintah = aliran neto utang luar negeri swasta
53 Ia Id Ek Im Tp Ts Pj Pp Tk
= = = = = = = = =
investasi swasta asing investasi swasta domestik ekspor barang impor barang tabungan pemerintah tabungan swasta penerimaan pajak pengeluaran pemerintah tingkat pertumbuhan angkatan kerja.
Dritsaki et. al (2004), melakukan penelitian tentang hubungan antara perdagangan internasional (X), Penanaman Modal Asing (FDI), dan pertumbuhan ekonomi di negara Greece (Yunani) dengan model hubungan ekonominya adalah: GDP = f (X, FDI)
....................................................................... (2.12)
Dengan menggunakan data time series tahunan dari tahun 1960 sampai 2002, dan menggunakan metode Vector Autoregressive Model (VAR). Pengujian yang dilakukan terhadap model tersebut meliputi : uji akar unit, uji kointegrasi, uji error correction model (ECM), dan uji Granger causality. Hasil penelitiannya antara lain, dengan menggunakan uji kointegrasi dan ECM, terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antar ketiga variabel tersebut. Tapi peneliti tidak melakukan estimasi dengan metode simultan. Awokuse (2002) telah melakukan penelitian tentang dampak ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi di Kanada. Penelitian ini menguji hipotesis tentang Export-led growth (ELG). Penelitian Awakuse menggunakan alat analisis ekonometrik Vector Autoregressive (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM) yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Toda dan Yanamoto (1995). Penggunaan alat analisis ini dilandasi oleh pemikiran fungsi produksi total (the Aggregatif production function), sehingga model yang dibuat adalah : Y = F[(K,L), X, TT, Y*]
............................................................... (2.13)
54 Dimana : Y K, L X TT Y*
= = = = =
variabel pertumbuhan real GDP kapital dan labor ekspor term of trade output luar negeri.
Dengan menggunakan enam variabel dan data time series, maka hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dengan uji Granger Causality antara variabel ekspor dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan timbal balik dan signifikan. Hasil penelitian tersebut ternyata juga menunjukkan hasil bahwa perdagangan luar negeri lebih ditekankan pada peranan ekspor, di samping variabel exchange rate dan impor barang dari luar negeri. Hachicha (2003) melakukan penelitian tentang pengaruh perdagangan luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi di Tunisia. Perdagangan luar negeri diproksi dengan variabel ekspor. Penelitian menggunakan data time series, dan menggunakan analisis dinamis dengan pendekatan error correction model. Pembentukan model analisis didasarkan pada fungsi produksi Cobb-Douglass, dengan menambahkan variabel ekspor ke dalam model sebagai variabel input bersama-sama dengan variabel kapital dan labor, persamaan tersebut adalah : Y = A Ktb1 Ltb2 Xtb3 exp(Uit)
.............................................................. (2.14)
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif dan signifikan antara ekspor dengan pertumbuhan ekonomi, terutama didorong oleh ekspor barang-barang industri, dibandingkan dengan tourism. Variabel ekspor sebagai proksi perdagangan luar negeri, berperan posisitip (0.37 persen) terhadap pertumbuhan ekonomi. Sinha (1999) melakukan penelitian tentang hubungan antara expor instability, investasi, dan pertumbuhan ekonomi di 9 (sembilan) negera asean.
55 Dengan menggunakan data time series tahun 1950–1997. Metode analisis menggunakan VAR, yang juga mencakup uji stationer, kointegrasi, dan VECM. Jumlah variabel keseluruhan dalam penelitian adalah empat variabel, yaitu GDP, X Instability yang diukur dengan deviasi ekspor dari rata-rata bergerak lima tahunan, Kapital (K), dan variabel jumlah populasi (L), sehingga model hubungan ekonomi adalah: GDP = F(K,L,X) .............................................................................. (2.15) Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa hubungan ekspor dengan pertumbuhan ekonomi memiliki hasil yang berbeda diantara negara-negara tersebut.
Untuk negara India, Jepang, Malaysia, Philipina, dan Sri Langka,
ternyata antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan negatif. Sedangkan untuk negara Korea, Myanmar, Pakistan, dan Thailand hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi adalah positif. Dari hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa tidak selamanya ekspor memiliki hubungan positip dengan pertumbuhan ekonomi, karena juga tergantung pada kondisi suatu negara. Siliverstors dan Herzer (2005), dalam kerangka export-led growth, telah meneliti hubungan antara ekspor produksi industri manufaktur, ekspor produk pertambangan, dengan pertumbuhan ekonomi di Chile. Dengan data time series tahunan dan menggunakan pendekatan dengan model teknik kointegrasi Johansen. Pembentukan model yang digunakan adalah berdasarkan fungsi produksi CobbDouglass, yaitu : Yt = At Kt Lt ….…………………………………………......…… (2.16)
56 Tapi karena peneliti ingin mengetahui pengaruh ekspor industri manufaktur dan ekspor pertambangan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas, maka produktivitas merupakan fungsi dari eksport industri manufaktur (XIMt), ekspor pertambangan (XPt), barang-barang kapital impor (MCt), dan faktor eksogen (Ct) yang diformulasikan sebagai berikut : At = f(XIMt, XPt, MCt, Ct) …………..………..……........……
(2.17)
Dengan mensubstitusikan persamaan (2.17) ke persamaan (2.16), maka diperoleh persamaan : Yt = f (Ct, Kt, Lt, XIMt, XPt, MCt) ..…..…………………..…… (2.18) Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa industri manufaktur dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar melalui peningkatan produktivitas, dibandingkan dengan dampak ekspor produksi tambang. Medina-Smith (2001) melakukan penelitian
di Costarica (1950-1997)
tentang pengaruh ekspor pada pertumbuhan ekonomi dengan mengadopsi teori produksi Neoklasik, yakni fungsi produksi Cobb-Douglass. Dengan dasar fungsi produksi tersebut peneliti memasukkan variabel ekspor sebagai variable input yang ketiga selain tenaga kerja dan kapital. Dimasukkannya variabel ekspor dalam fungsi produksi tersebut sebagai alternative guna menangkap pengaruh pertumbuhan total factor productivity (TFP) terhadap pertumbuhan output, sehingga model fungsi produksi yang digunakan menjadi dalam penelitiannya menjadi Y = f (K, L, X, M), dimana : Y = Real GDP K = Kapital Sto L = Tenaga Kerja X = Ekspor M =Impor
57
Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa export-led growth di Costarica masih valid, walaupun pengaruh ekspor relatif lemah, yang ditandai oleh angka secara kuantitatif relative kecil baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Akan tetapi untuk variabel investasi dan penduduk, secara empiris menunjukkan bahwa investasi dan penduduk memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Stait (2005), melakukan penelitian tentang ekspor led growth di Mesir (Egypt), dengan menggunakan data time series tahun 1977-2003. Variabelvariabel yang digunakan adalah Real GDP, ekspor, impor, net ekspor, dan kapital. Penelitian bertujuan menguji hipotesis apakah variabel-variabel tersebut terintegrasi, dan apakah ekspor berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, serta ingin menguji respon GDP terhadap guncangan variabel-variabel dalam sistem persamaan. Dengan menggunakan metode analisis VAR dan IRF, maka hasil yang diperoleh adalah Ekspor berpengaruh terhadap GDP, tapi tidak sebaliknya, dari analisis IRF diperoleh hasil bahwa GDP memberikan respon positip terhadap perubahan ekspor. Untuk lebih mudah melihat studi-studi di atas, maka akan disajikan tabel yang merupakan ringkasan, terutama yang terkait dengan pembentukan model dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini.
58 Tabel 5. Ringkasan Studi Terdahulu tentang Ekspor-Led Growth dan Metode serta Variabel-Variabel yang Digunakan dalam Penelitian. No
Peneliti, Tahun
Negara sampel Penelitian
Metode, Variabel
Hasil Penelitian
1.
Henriques and Sadorsky. (1996).
Canada
VAR : GDP, Ekspor, TOT.
Pertumbuhan Ekonomi menyebabkan peningkatan ekspor.
2.
Riezman at.al ( 1996)
9 Negara Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle east and North Africa)
VECM : GDP, Ekspor manufaktur, Ekspor, Impor
-Ekspor berpengaruh terhadap GDP, tetapi pengaruhnya akan menurun, jika variabel Impor di drop dari sistem persamaan -Tidak ada hubungan yang kuat antara GDP dan Ekspor Manufaktur,pada negara-negara dengan kontribusi rendah terhadap total Ekspor
3.
Ekayanake (1999)
Asian Developing Countries : India, Indonesia, Korea, Pakistan, Thailand, Philippines, and Sri Lanka.
Real GDP, Real Ekspor, LnRGDP dan LnRE.
Pengaruh Ekspor terhadap GDP dalam jangka pendek di semua negara lemah, tapi GDP berpengaruh terhadap Ekspor dalam jangka pendek, dan cukup kuat.
4.
Yousif, (1999)
Malaysia
VECM: GDP, Ekspor, ER, T.Kerja, Kapital.
Ekspor berpengaruh positip pada GDP dalam jangka pendek dan jangka panjang.
5.
Sinha (1999)
9 Negara ASIA : Jepang, Korea, Malaysia, Philipina, Srilangka, Thailand, Myanmar, Pakistan, dan India.
VECM: GDP, Ekspor Instabi lity, T.Kerja, Kapital.
Untuk Negara India, Jepang, Malaysia, Philipina, dan Srilangka, hubungan Ekspor dan GDP adalah negatip. Korea , Myanmar, Pakistan, dan Thailand hubungan Ekspor dan GDP adalah positip.
59 Tabel 5. Lanjutan
No
Peneliti, Tahun
Negara sampel Penelitian
Metode, Variabel
Hasil Penelitian
6.
Anyamele (2000)
Nigeria
Two-Stage Least Squares (2SLS) : GDP, T. Kerja, kapital, Ekspor, Pengeluaran pemerintah
Ekspor berpengaruh positip dan sangat signifikan terhadap GDP, sama dengan Kapital. Pengel pemerintah signifikan pada 10 persen, T. Kerja tidak signifkan.
7.
Doraisami (2001)
Malaysia
VECM : Real GDP, Real ekspor, Real Impor barangbarang konsumsi, Kapital, T. Kerja, dan ER.
Terdapat Hubungan positip GDP dan Ekspor dalam jangka pendek dan jangka panjang. Lainya berpengaruh negatip dalam jangka pendek.
8.
Medina dan Smith (2001)
Costarica
VECM : GDP, Kapital, T. Kerja, Ekspor, Impor.
9.
Mohsin dan Anam (2001)
Asean, sampel : Malaysia,Indonesia, Singapura, Philipina, dan Thailand.
Kointegrasi, ECM : GDP, T.Kerja,Kapital, Ekspor, Impor, Pengeluaran pemerintah
Hubungan GDP dan Ekspor positip, tapi lemah, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Terdapat Kointegrasi di Negara Singapura, Indonesia, dan Thailand. Ekspor dan GDP memiliki hub. kausalitas diseluruh negara Asean
10.
Yusop, et.al (2001)
Malaysia
VECM : GDP, Investasi, T. Kerja, Ekspor, Impor, dan Nilai Tukar.
Ekspor dan T. Kerja berpengaruh positip, investasi, impor dan nilai tukar berpengaruh negatip.
11
Anoruo dan Ramchander (2002)
5 Negara Asia : India, Indonesia, Korea, Malaysia, dan Philipina.
VECM : GDP, ekspor, Uang beredar (M2), dan Nilai tukar .
Di empat negara, Ekspor terbukti berpengaruh terhadap Pertumbuhan Ekonomi, kecuali di Indonesia tidak terbukti.
12
Awokuse (2002)
Canada
VECM : GDP, T. Kerja, Kapital, Ekspor, Term of trade, Output Luar Negeri.
Terdapat Hubungan timbal balik ekspor dan GDP, Dalam Perdagangan Luar Negeri, peranan Ekspor, nilai tukar, dan impor kapital sangat penting.
60 Tabel 5. Lanjutan
No
Peneliti, Tahun
Negara sampel Penelitian
Metode, Variabel
Hasil Penelitian
13.
Hachicha (2003)
Tunisia
VECM : GDP, T.Kerja,Kapital, Ekspor,Ekspor Manufaktur
Ekspor berpengaruh positip pada GDP, terutama didorong oleh ekspor industri manufaktur.
14.
Dritsaki et.al (2004)
Yunani
VECM : GDP, ekspor, FDI,
Terdapat hubungan kointegrasi dalam jangka panjang antar ketiga variabel.
15.
Shirazi dan Manaf (2004)
Pakistan`
VECM : GDP, Ekspor, Impor.
Terdapat Hubungan jangka Panjang antara ketiga variabel tsb tahun 1960-2003.
16.
Abou-Stait (2005)
Mesir
VAR, IRF : GDP, Ekspor, Impor, Net Ekspor, Kapital
17.
Silvester dan Herzer (2005)
Chile
Kointegrasi : GDP, Kapital, T. Kerja, Ekspor Manu faktur, Pertambangan, impor barang kapital
Ekspor berpengaruh terhadap GDP, tapi tidak sebaliknya. Dari analisis IRF, DGP memberikan respon positipterhadap perubahan ekspor. Ekspor manufaktur berpengaruh lebih besar daripada ekspor pertambangan.
18.
Taban dan Akbar (2005)
Turkey
GDP, Kapital, Labor, Ekspor.
Antara GDP dan Ekspor memiliki hubungan timbal balik dan positip, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Dari gambaran studi di atas, tampak bahwa untuk membentuk model yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi umumnya para peneliti menggunakan pendekatan dengan model fungsi produksi Neoklasik sebagai landasan berpikir. Oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan analisis yang bersifat makroekonomi, berarti fungsi produksinya terdiri dari banyak fungsi produksi yang dijumlahkan,
61 sehingga dinamakan fungsi produksi agragatif (aggregate production function). Demikian pula dalam kaitannya dengan analisis hubungan antara perdagangan luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi, penggunaan fungsi produksi perlu diperluas. Oleh karena itu dari beberapa hasil penelitian di atas dapat memberikan gambaran bahwa selain kapital dan labor yang menentukan pertumbuhan ekonomi sebagai fungsi produksi baku, maka harus ditambahkan variable-variabel lain yang berkaitan langsung dan tidak langsung ke dalam model, seperti variable ekspor, impor, net ekspor, pengeluaran pemerintah, penanaman modal asing, nilai tukar, hutang luar negeri. Dalam penerapan analisis fungsi produksi Neo Klasik pada penggunaan variabel makroekonomi, maka variabel-variabel yang digunakan adalah variabel agregatif seperti GDP sebagai proksi output, kapital stok dan penduduk, masingmasing sebagai proksi investasi dan tenaga kerja. Karena dalam analisis makroekonomi merupakan perluasan dari fungsi produksi agregatif, maka untuk melakukan analisis Export-Led Growth, perlu ditambahka variabel ekspor dala model. Akan tetapi biasanya dalam analisis ekonometrik hubungan bi-variat sering memberikan hasil yang kurang baik, di samping kadang-kadang memberikan gambaran hubungan yang kurang kuat, juga harus diingat bahwa baik variabel GDP maupun ekspor memiliki keterkaitan dengan variabel-variabel makro lainnya. Oleh karena itu perlu juga dipertimbangkan untuk memasukkan variabel-variabel makro lainnya, misalnya yang pernah dilakukan oleh Yusop, et.al (2001), Mohsin dan Anam (2001) Anoruo dan Ramchander (2002). Misalnya hasil penelitian pengaruh ekspor akan meningkat, jika variabel impor dimasukan dalam sistem persamaan (Riezman at.al, 1996).
62
63 III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teori 3.1.1. Perdagangan Luar Negeri sebagai Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Telah disampaikan pada bab sebelumnya, ahli ekonomi Klasik dan Neo Klasik percaya bahwa perdagangan internasional merupakan pendorong positif dan kuat terhadap pembangunan ekonomi. Alasan yang dikemukakan adalah untuk meningkatkan pembangunan perlu dilakukan fokus pada kegiatan ekspor, terutama produk sektor industri yang disebut sebagai export promotion. Peningkatan ekspor membuka peluang bagi perolehan devisa yang sangat dibutuhkan untuk mengimpor barang-barang konsumsi, bahan baku dan penolong serta barang-barang kapital. Strategi ini dikenal dengan strategi kebijakan substitution
import. Berdasarkan
teori
perdagangan,
dengan
melakukan
perdagangan internasional dapat menimbulkan transfer knowledge yang dapat meningkatkan efisiensi dalam penggunaan input, sehingga akan mempercepat pembangunan ekonomi (Hogendorn, 1996; Cyper and Dietz, 1997) dalam Parningotan (2000). Peranan perdagangan luar negeri terhadap pembangunan ekonomi telah dilihat oleh ahli ekonomi pembangunan di mana mereka sepakat bahwa ekspor dapat dijadikan mesin bagi pertumbuhan ekonomi. Alasan yang mendasari adalah: (1) ekspor dapat menyebabkan penggunaan penuh sumber-sumber domestik sesuai dengan keunggulan komparatif (comparative advantage), (2) ekspor dapat memperluas pasar baik di dalam negeri maupun di luar negeri, (3) ekspor merupakan sarana untuk mengadopsi idea atau pengetahuan dan teknologi baru,
64 (4) ekspor mendorong mengalirnya modal dari negara-negara maju ke negaranegara sedang berkembang, (5) ekspor merupakan salah satu cara efektif untuk menghilangkan perilaku monopoli, dan (6) ekspor dapat menghasilkan devisa. Dunn dan Mutti (2004) menjelaskan bahwa, sumberdaya sebuah negara dapat mengalami pertumbuhan misalnya angkatan kerja meningkat karena pertumbuhan penduduk, atau kapital stok fisik bertumbuh melalui net investasi. Pertumbuhan faktor ini menyebabkan kurva kemungkinan produksi bergeser ke kanan yang berarti kapasitas negara untuk berproduksi sedang naik. Pertumbuhan yang terjadi ini kemudian akan berinteraksi dengan kondisi permintaan dalam negeri dan luar negeri menentukan efek akhir pada output, termasuk kegiatan perdagangan yaitu ekspor dan impor, dan term of trade. Bilamana semua faktor produksi negara bertumbuh pada tingkat yang sama dan semua industri mengalami constant return to scale dan teknologi tidak mengalami perubahan, maka pertumbuhan kapasitas ini menyebabkan kurva kemungkinan produksi bergeser ke kanan dalam proporsi yang sama dan disebut sebagai pertumbuhan yang netral. Jika pada kondisi ini, term of trade negara tidak mengalami perubahan dan elastisitas income of demand untuk kedua barang sama dengan satu maka sebuah negara akan terus memproduksi kedua komoditi yang diperdagangkan dalam proporsi yang sama sehingga baik impor makanan dan ekspor pakaian negara tersebut akan meningkat sebanding dengan kenaikan output atau pertumbuhan ekonomi. Namun, jika permintaan negara tersebut untuk makanan (komoditi yang diimpor) meningkat lebih dari pada proporsi kenaikan income, maka ekspor dan impor negara tersebut juga akan meningkat dengan proporsi yang lebih besar dibanding proporsi kenaikan output, yang berarti
65 pertumbuhan bias kepada perdagangan. Sebaliknya jika elastisitas income untuk makanan adalah inelastic maka pertumbuhan ekonomi dikatakan tidak memberikan pengaruh yang kuat pada pertumbuhan perdagangan (Zhang, 2008; Dunn dan Mutti, 2004). Pertumbuhan ekonomi yang tercipta tidak selamanya memberikan dampak menguntungkan bagi sebuah negara. Feenstra (2002) dan juga Dunn dan Mutti (2004) menjelaskan kasus di mana pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak memberikan keadaan better off bagi negara melainkan keadaan worse off. Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan dalam term of trade negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi mendorong adanya peningkatan ekspor yang mana peningkatan ekspor mendorong penurunan dalam term of trade sehingga penurunan harga ini menyebabkan penurunan dalam konsumsi yang menunjukkan bahwa masyarakat mengalami worse off dibanding keadaan sebelumnya. Kondisi ini disebut sebagai "pertumbuhan immiserizing" dan sering terjadi pada negaranegara berkembang yang mengekspor produk-produk primer dan mengimpor produk-produk manufaktur dari negara-negara industri maju. Hubungan positif antara ekspor dan produksi dalam negeri dapat juga dijelaskan dengan kurva permintaan agregat (AD) dan kurva penawaran agregat (AS) seperti yang dijelaskan pada Gambar 6 (Tambunan, 2001b). Gambar 6 menjelaskan bahwa, jika negara tidak melakukan perdagangan luar negeri, maka barang dan jasa yang ditawarkan di dalam negeri seluruhnya merupakan produksi dalam negeri. Dalam kondisi ekuilibrium, permintaan agregat sama dengan penawaran agregat (AD dan AS berpotongan di titik E0, dengan harga P0 dan kuantitas Q0). Apabila produksi dalam negeri meningkat, sehingga penawaran
66 meningkat ke AS1, sementara permintaan tetap pada AD0, maka terjadi kelebihan penawaran Q0 - Q1 yang mengakibatkan harga turun ke P1. Keadaan yang sama akan terjadi, jika penawaran agregat meningkat akibat impor, terutama barangbarang konsumsi. Sebaliknya jika terdapat permintaan luar negeri, maka kelebihan produk di pasar dalam negeri dapat diserap oleh pasar luar negeri. Karena ekspor adalah bagian dari permintaan agregat sehingga kurva AD bergeser ke AD1. Terjadi ekulibrium pada E1, di mana harga tetap tetapi output yang terjual meningkat. Peningklatan output terjual berarti terjadi peningkatan perekonomian di dalam negeri melalui peningkatan pertumbuhan output dari 0Q0 menjadi 0Q2 dibandingkan dengan kondisi output sebebelumnya yang dikenal dengan sebutan vent for surplus.
P (Harga) AD1 AS0
AD0
AS1
E2
P2 E0
P0
E1
P1
0
Q0
Q1
Q2
Q (Output)
Sumber : Tambunan (2001b) Gambar 6. Analisis Pengaruh Positif Ekspor terhadap Pertumbuhan Output
Berbagai bukti empiris dijelaskan para peneliti tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perdagangan internasional. Parningotan (2000)
67 menjelaskan, bahwa dengan berbagai metode yang digunakan oleh para peneliti di setiap negara untuk menguji hubungan antara perdagangan internasional dengan pertumbuhan ekonomi, hasilnya dapat saja berbeda, yakni hasil analisis dapat saja positif dan juga negatif. Teknik untuk mengidentifikasi peranan penting dari pedagangan internasional adalah dengan memperhatikan keefektipan promosi ekspor (outward – looking strategy) dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Strategi ini dilakukan dengan cara meningkatkan ekspor produk-produk manufaktur, dan tetap mempertahankan ekspor komoditi primer. Bilamana jenis dan jumlah komoditi ekspor dapat ditingkatkan berarti penurunan ekspor dalam produk primer akan dapat diantisipasi. Hal ini menunjukkan adanya keuntungan dinamis yang dapat dicapai di mana keuntungan tersebut akan mendorong terciptanya inovasi yang dapat meningkatkan skala ekonomi (economies of scale) yang akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan dan kinerja makroekonomi. Sinha (1999) telah melakukan studi tentang trade balance (ekspor-impor) untuk menggambarkan Export-Led Growth (ELG). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa promosi
ekspor memberikan kontribusi yang penting
terhadap pertumbuhan ekonomi. Balassa (1989) menemukan bahwa, dampak perdagangan internasional khususnya yang didukung oleh strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor, akan mendorong penggunaan sumberdaya menjadi semakin efisien, sedangkan untuk negara-negara yang
menerapkan strategi
industrialisasi yang berorientasi ke dalam, memiliki keterbatasan dalam meningkatkan pertumbuhan ekspor (Tambunan, 2001). Perluasan ekspor merupakan faktor kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Secara teoritis, berbagai argumentasi telah
68 dikemukakan untuk menjustifikasi hipotesis Export Led-Growth. Pada sisi permintaan dapat dikatakan bahwa pencapaian pertumbuhan permintaan tidak cukup dilakukan dalam pasar domestik saja yang sangat terbatas. Tetapi harus dilakukan juga permintaan di pasar luar negeri atau ekspor, karena melalui pasar ekspor, berarti penjualan komoditi hampir tidak terbatas, sehingga tidak menimbulkan restriksi pada pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan. Dengan demikian ekspor dapat menjadi penyangga pertumbuhan pendapatan sebagai komponen dari permintaan agregatif (Agosin, et. al, 2010). Dari perspektif penawaran, perluasan ekspor dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui kenaikan dalam total factor produktivity (TFP), karena perluasan ekspor dapat meningkatkan spesialisasi sektor-sektor yang memiliki keunggulan komparatif, dan menyebabkan realokasi sumberdaya dari sektor tertentu ke sektor ekspor yang lebih produktif dan menjadi efisien. Pertumbuhan ekspor dapat meningkatkan produktivitas melalui skala ekonomi yang lebih besar (Helpman and Krugman, 1985). Pertumbuhan ekspor dapat mempengaruhi TFP melalui efek yang dinamis terhadap kemakmuran ekonomi. Pertumbuhan ekspor secara tidak langsung dapat mempengaruhi jumlah devisa yang tersedia, yang dapat dipergunakan untuk peningkatan impor barang-barang kapital (Riezman, et. al, 1996). Peningkatan impor barang-barang kapital selanjutnya akan mendorong pertumbuhan output dan ekspor melalui peningkatan produktivitas, dan kemudian pertumbuhan ekonomi, dimana pengetahuan dan teknologi telah terkandung (embodied) dalam alat-alat dan mesin (Chen dan Kee, 2005).
69 3.1.2. Keterkaitan Sektor Pertanian dengan Sektor Industri Manufaktur Sektor pertanian merupakan sektor yang dapat menggerakkan atau mendorong sektor industri. Negara Indonesia dengan sumberdaya utamanya berasal dari sektor pertanian, baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, kebutuhan industri, maupun untuk ekspor. Namun karena masih besarnya sumberdaya impor, seperti bahan baku dan bahan penolong, sehingga manfaat sumberdaya domestik menjadi tidak optimal, pada hal sudah tersedia di sektor pertanian. Gillis, et.al (1992) berpendapat, pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Indonesia melalui substitusi impor sejak 1970, ternyata telah gagal memperkuat perekonomian domestik. Fasilitas subsidi dan proteksi, ternyata justru menciptakan kesenjangan antara level industri di berbagai sektor. Persoalan lain yang terjadi adalah lemahnya keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri. Hal ini disebabkan oleh industri yang dibangun lebih banyak ke arah penggunaaan komponen impor sehingga keterkaitan kedua sektor menjadi sangat lemah. Penerapan strategi substitusi impor maupun promosi ekspor di Indonesia menurut Gillis, et.al (1992) memang telah memperlihatkan hasil pada pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan yang tercipta lebih ke arah ukuran kuantitatif semata, tapi secara kualitatif kurang berhasil. Hal ini disebabkan oleh strategi substitusi impor cenderung padat modal, sehingga proses industri yang terjadi tidak terintegrasi dengan sektor-sektor lain, terutama dengan sektor pertanian. Akibatnya terjadilah kesenjangan dalam banyak hal, seperti antara ekspor dan impor, penggunaan input kapital dan tenaga kerja, pertumbuhan
70 industri dan pertanian, bahkan kesenjangan distribusi pendapatan (Vogel, 1994, Krugman dan Obstfeld, 2000). Dari pandangan tersebut dengan segala kekurangannya, maka muncul strategi lain yang dikenal dengan strategi promosi ekspor yang berorientasi pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh kekuatan ekspor (expor-led growth). Strategi ini telah diadopsi oleh berbagai negara berkembang dan secara empiris juga dapat menunjukkan hasil, misalnya terjadinya pertumbuhan ekonomi, pengembangan industrialisasi, dan penyerapan tenaga kerja. Walaupun demikian strategi ini mengandung permasalahan, karena pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai harus dibarengi dengan hutang luar negeri, peningkatan impor yang relatif cepat (Krugman dan Obstfeld, 2000). Terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing-masing strategi di atas, yang jelas dari berbagai kekurangannya, meunculkan pemikiran baru untuk sebagai strategi pembangunan dibidang ekonomi, yakni strategi pertumbuhan seimbang antara sektor pertanian dan sektor industri (Singer, 1979). Tujuannya adalah untuk mengembangkan sektor pertanian yang didukung oleh sektor industri yang
menyediakan sarana dan prasarana pada sektor pertanian agar
produktivitas pertanian meningkat, dan pendapatan di sektor pertanian akan meningkat
yag
pada
gilirannya
pendapatan
masyarakat
tersebut
akan
meningkatkan konsumsi produk industri. Dengan demikian terjadi saling sinergi diantara kedua sektor tersebut (Vogel, 1994). Keberadaan strategi yang diajukan oleh Singer (1979) di atas, menurut Adelman (1984) cenderung padat modal dan kurang menyerap tenaga kerja di kedua sektor tersebut. Oleh karena itu proses pembangunan hendaknya
71 dilaksanakan dengan menerapkan teknologi padat karya dengan sektor pertanian sebagai fokus utama pembangunan, terutama pembangunan pada skala kecil dan menengah, sebab kalau di fokuskan pada skala besar, yang terjadi adalah padat kapital dan relatif kurang penggunaan tenaga kerja. Strategi ini tidak menimbulkan konflik, karena proses pembangunan akan meningkatkan secara bersamaan antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesempatan kerja secara bersamaan, serta dapat memperbaiki distribusi pendapatan. Dengan demikian akan tercipta distribusi pendapatan yang lebih baik dengan jumlah pekerja yang cukup besar baik pada sektor pertanian maupun pada sektor industri manufaktur. Peningkatan pendapatan yang terjadi akan meningkatkan konsumsi dan investasi di kedua sektor tersebut. Di lain pihak keterkaitan pembangunan sektor pertanian dan sektor industri akan terwujud apabila pembangunan industri dapat memanfaatkan sumberdaya lokal terutama bahan baku yang disediakan oleh sektor pertanian. Sehingga sektor pertanian dapat mendorong peningkatan pada sektor industri manufaktur. Sebaliknya penigkatan pembangunan pada industri manufaktur juga dapat menyediakan input teknologi dan peralatan yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian. Dari uraian di atas dapat tergambar bahwa, secara teoritis antara sektor pertanain dan sektor industri manufaktur memiliki keterkaitan yang sangat erat. Namun demikian setiap strategi pembangunan ekonomi yang muncul akan memiliki kekurangan akibat dari orientasi ke arah yang lebih maju di bidang tertentu sehingga kontroversi selalu saja akan muncul dipermukaan.
72 3.1.3. Fungsi Produksi Agregat Seperti telah disampaikan oleh ahli ekonomi Neo-Klasik diantaranya Solow, bahwa pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada peningkatan penggunaan faktor-faktor produksi dan kemajuan teknologi. Dari teori pertumbuhan Neo-Klasik dapat diketahui bahwa dalam mempelajari pertumbuhan ekonomi yang lebih penting adalah menekankan pada penyelidikan empiris untuk menentukan berapa besar peranan dari faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tersebut, dan bukan mementingkan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pengukuran pada sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dilakukan oleh Neo-Klasik dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi agregatif yaitu (Romer, 1996) : Y = f (K, L, ....)
.............................................................................. (3.1)
Fungsi ini menunjukkan bahwa produksi nasional (Y) ditentukan oleh kapital (K), tenaga kerja (L), dan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhinya. Bentuk fungsi produksi yang lain adalah fungsi produksi Cobb-Douglass, adalah sebagai berikut.
Yt = At Kt Lt
……………….…............................................... (3.2)
Pengukuran tingkat pertumbuhan dilakukan dengan menggunakan logaritma dan dideferensialkan terhadap waktu (t), memberikan hasil : d log Yt d log At d log Kt d log Lt dt dt dt dt
.................................... (3.3)
Jika pertumbuhan ditulis dengan rate (r), maka persamaan (3.3 dapat ditunjukkan sebagai : r (Yt) = r (At) + r (Kt) + r (Lt) …........................................ (3.4)
73 Persamaan ini menggambarkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai oleh suatu negara pada periode tertentu, tergantung pada tingkat perkembangan teknologi, peranan kapital dalam menciptakan pendapatan nasional dikalikan dengan pertumbuhan stok kapital ( r (Kt)) dan peranan tenaga kerja dalam menciptakan pendapatan nasional dikalikan dengan tingkat pertumbuhan tenaga kerja (
r (Lt)). Variabel r (At) menunjukkan kemajuan teknologi,
merupakan faktor yang mewakili semua faktor di luar faktor tenaga kerja dan stok kapital dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi sehingga r (At) sering juga disebut faktor residu. Gambaran di atas menunjukkan bahwa teori pertumbuhan Neo-Klasik menganggap seluruh faktor-faktor lain yang ikut menentukan pertumbuhan ekonomi telah tercakup dalam faktor residu. Namun demikian perlu disadari bahwa pertumbuhan adalah bersifat dinamis karena adanya perubahan faktorfaktor produksi, sehingga dengan mengelompokkan pengaruh lain di luar tenaga kerja dan kapital ke dalam faktor residu nampaknya kurang menggambarkan pengaruh dari faktor-faktor lain yang justru memiliki kontribusi lebih besar. Oleh karena itu perlu mempertimbangkan masuknya faktor lain
ke dalam fungsi
produksi selain tenaga kerja dan kapital. Berdasarkan teori produksi di atas, dalam kaitan dengan perdagangan luar negeri dan bagaimana perdagangan turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, perlu ditambahkan variabel perdagangan luar negeri seperti ekspor dan impor ke dalam fungsi produksi agregatif. Moshin dan Anam (2001) memperluas fungsi produksi agregat dengan memasukkan faktor ekspor sebagai berikut : Y = A*f (K, L, X, M)
............................................................................
(3.5)
74 Estimasi terhadap persamaan (3.5) akan memberikan peranan masing-masing variabel terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini dilakukan dengan menggunakan diferensial total, sehingga fungsi tersebut menjadi : dY=
Y Y Y Y dK dL dA …................................. K L X M
(3.6)
Berdasarkan persamaan (3.6) laju pertumbuhan dapat diperoleh sebagai berikut :
Y
Y K Y L Y X Y M A K L X M A ...... (3.7) K Y L Y X Y M Y Y
Dengan asumsi pasar persaingan sempurna, maka r = MPK dan w = MPL, x = MPX dan m = MPm (produk marginal ekspor dan impor) sehingga persamaan tersebut dapat diformulasi kembali menjadi :
rK wL xX mM K L X Y Y Y Y
Y
M a
.......................... (3.8)
keterangan : r
= Sewa rill,
w = Upah riil, dan m = Nilai tukar riil. Persamaan (3.8) dapat disederhanakan menjadi :
Y K K L L X X M M a
..................................… (3.9)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa total pertumbuhan ekonomi bersumber dari kontribusi pertumbuhan kapital plus kontribusi pertumbuhan tenaga kerja plus kontribusi pertumbuhan perdagangan luar negeri plus output teknologi atau residual. Modifikasi fungsi produksi agregatif dengan cara menambahkan variabel-variabel tertentu, juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Yousif (1999), memodifikasi model fungsi produksi agregatif dengan cara menambahkan dua variabel, yaitu ekspor riil dan nilai tukar riil, sehingga menjadi
75 lima variabel, yakni Y = f (X, ER, L, K). Sinha (1999), melakukan penelitian dengan menambahkan variabel instabilitas ekspor yang diukur dengan deviasi ekspor rata-rata lima tahun, yakni Y = f (K, L, Xi). Anyamele (2000) menambahkan variabel ekspor dan pengeluaran pemerintah, sehingga menjadi lima variabel, yaitu Q = f (A, K, L, X, G). Yusof et.al (2001) juga menggunakan dasar fungsi produksi, sehingga jumlah variabel menjadi enam variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi, ekspor, impor barang-barang konsumsi, investasi, angkatan kerja dan nilai tukar, sehingga model ekonominya GDP = f ( X, MC, K, L, ER). Siliverstors dan Herzer (2005), dengan menambahkan variabel eksport industri manufaktur (XIMt), ekspor pertambangan (XPt), impor barangbarang kapital (MCt), dan faktor eksogen (Ct) yang diformulasikan menjadi Yt = f (Ct, Kt, Lt , XIMt, XPt, MCt). Dari beberapa penelitian di atas dapat memberikan gambaran bahwa selain kapital dan labor yang menentukan pertumbuhan ekonomi, juga ditambahkan variabel-variabel lain yang berkaitan langsung dan tidak langsung ke dalam model, yaitu variabel ekspor, impor, pengeluaran pemerintah, penanaman modal asing, nilai tukar, hutang luar negeri, dan tabungan masyarakat. Berdasarkan beberapa penelitian di atas, tampak bahwa dalam menganalisis keterkaitan antara perdagangan luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi, jika hubungan tersebut hanya berbentuk bivariat dapat menghasilkan kesimpulan yang kurang tepat. Hasil penelitian seperti ini telah dilakukan oleh Yousif (1999) di mana hasilnya hanya dapat menunjukkan hubungan jangka pendek. Sedangkan menurut Anyamele (2000) modifikasi fungsi produksi perlu dilakukan untuk menganalisis fenemona yang bersifat makro.
76 Berdasarkan landasan teoritis yang dikemukakan di atas, maka perlu dilihat sejauhmana peranan ekspor terhadap kinerja makroekonomi Indonesia. Kegiatan ekspor Indonesia mencakup bidang atau sektor-sektor antara lain sektor pertanian, pertambangan, dan industri. Penelitian ini lebih fokus melihat peranan ekspor sektor pertanian dan industri terhadap kinerja makroekonomi. Oleh karena itu analisis lebih diutamakan pada kedua sektor bersangkutan, dan kemudian dilanjutkan dengan melihat lebih spesifik peranan sektor industri berbasis pertanian dan industri non-pertanian terhadap kinerja makroekonomi. Variabel kinerja makroekonomi Indonesia dalam penelitian ini mencakup PDB, neraca perdagangan, inflasi dan nilai tukar. Pertumbuhan ekspor pertanian primer, ekspor agroindustri, dan ekspor non-agroindustri memiliki hubungan yang kuat mendorong
pertumbuhan
variabel-variabel
kinerja
makroekonomi.
Selanjutnya
pertumbuhan kinerja makroekonomi yang terjadi akan berdampak balik mendorong pertumbuhan ekspor. Hubungan saling keterkaitan ini digambarkan dalam kerangka pikir pada Gambar 7.
Pertumbuhan Ekonomi
Perdagangan Luar Negeri
Sektor Pertanian
Sektor Industri Manufaktur
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Teoritis Keterkaitan dan Efek antara Pertumbuhan Ekonomi, Perdagangan Luar Negeri dan Sektor Pertanian dan Industri
77 3.2. Kerangka Model 3.2.1. Teori Vector Autoregression Ahli ekonometrik pertama yang mengenalkan vector autoregression (VAR) pertama kali adalah Sims (1980) sebagai metode alternatif yang dipercaya lebih baik dibandingkan dengan model ekonometrik tradisional yang tergantung pada ratusan variabel dalam sebuah model. Metode VAR dapat memberikan cara estimasi untuk menjelaskan hubungan antar variabel ekonomi tanpa harus terlalu banyak restriksi. Munculnya metode VAR ini adalah sebagai jalan keluar atas permasalahan kesulitan justifikasi untuk variabel endogen dan teori ekonomi melalui pendekatan non-struktural. Penggunaan pendekatan struktural atas persamaan pemodelan simultan,
biasanya
menerapkan
teori
ekonomi
dalam
upaya
untuk
mendeskripsikan hubungan antar variabel yang ingin di uji. Akan tetapi sering ditemukan bahwa dalam teori makroekonomi khususnya, sulit untuk menentukan variabel–varianbel yang posisinya sebagai endogen dan variabel eksogen atau menentukan variabel dependen dan independen dalam suatu persamaan. Jalan keluar untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan metode VAR. Vector
autoregression
adalah
suatu
sistem
persamaan
yang
memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag variabel itu sendiri, serta nilai lag dari variabel-variabel lain yang masuk dalam sistem persamaan. Jadi variabel penjelas dalam VAR meliputi nilai lag seluruh variabel dependen dalam sistem persamaan dan dalam VAR tidak membedakan antara variabel endogen dan eksogen. Model VAR memberikan cara menjelaskan hubungan antar variabel-variabel ekonomi tanpa harus terlalu banyak restriksi.
78 Penentuan variabel dalam persamaan struktural VAR dapat dilakukan jika memang diperlukan dan memang berdasarkan pada teori ekonomi yang relevan, yaitu dengan melakukan impose restriksi. Semenjak dikenalkannya metode VAR pada tahun 1980, metode ini telah banyak diaplikasikan pada penelitian makroekonomi. Metode ini memungknkan para peneliti untuk menganalisis hubungan kausalitas yang dinamis antar variabel dalam suatu sistem, di antaranya penerapan infulse response function (IRF) dan forecast error variance decomposition (FEVD). Secara garis besar paling tidak terdapat empat hal yang ingin diperoleh dari pembentukan sebuah sistem persamaan yaitu deskripsi data, peramalan, inferensi struktural, dan analisis kebijakan. Metode VAR menyediakan alat analisis untuk keempat hal tersebut melalui empat macam penggunaannya yaitu, (1) untuk mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel, dapat menggunakan alat analisis Granger Causality Test, (2) untuk memperkirakan nilai saat ini dan masa depan berdasarkan informasi masa lalu (forecasting), (3) untuk melacak respons saat ini dan masa depan setiap variabel akibat dari perubahan atau shock suatu variabel tertentu, dengan menggunakan alat uji IRF, dan (4), untuk melakukan prediksi terhadap kontribusi relatif varian setiap variabel terhadap perubahan atau variabilitas suatu variabel tertentu, dapat menggunakan alat uji FEDV. Sebagai gambaran persamaan dalam metode VAR, dimisalkan pada kasus bivariat variabel, adalah y periode sekarang (yt) yang dipengaruhi oleh waktu sekarang dan waktu lampau oleh variabel xt dan realisasi waktu lampau yt , demikian pula terhadap variabel xt.
Persamaan simultan pada kasus kedua
variabel tersebut menurut Enders (1995) adalah sebagai berikut.
79 yt = b10 - b12 xt + c11yt-1 + c12 xt-1 +
yt
xt = b20 - b21 yt + c21yt-1 + c22 xt-1 +
xt
........................................................
(3.10)
......................................................... (3.11)
Dari kedua persamaan tersebut, diasumsikan bahwa (1) kedua variabel adalah stasioner; (2)
yt
deviasi masing-masing
dan y
xt
dan
bersifat white noise disturbances dengan standard x;
(c)
yt
dan
xt
tidak saling berhubungan. Kedua
persamaan di atas memiliki panjang lag satu dan saling mempengaruhi, misalnya xt mempengaruhi yt dapat dilihat dari koefisien - b12. Jika b12 tidak nol maka
xt
memiliki pengaruh tidak langsung pada yt, demikian juga sebaliknya terhadap koefisien - b21. Jika b21 tidak sama dengan nol, maka
yt
memiliki pengaruh tidak
langsung terhadap xt. Persamaan (3.10) dan (3.11) dapat ditulis dalam bentuk singkat (compact) sebagai berikut : BZt =
0
+
1Zt-1
+
t
.…………………………..…………….....… (3.12)
keterangan :
c 1 b12 y b c B , Z t t , 0 10 , 1 11 12 , t yt ....... (3.13) b21 1 xt b20 c 21 c 22 xt Jika sisi kanan persamaan (3.12) dibagi B (matrik), maka persamaan dapat juga ditulis dengan : Zt = A0 + A1Zt-1 + et, ..…………..……………………………........ (3.14) keterangan : A0 = B-1
0;
A1 = B-1
1;
dan et = B-1
t
Apabila simbol koefisien pada persamaan (3.10) dan (3.11) diganti dengan a, maka persamaan tersebut dapat ditulis kembali :
80 yt = a10 + a11yt-1 + a12 xt-1 + e1t ..................................................................... (3.15) xt = a20 + a21yt-1 + a22 xt-1 + e2t ...................................................................... (3.16) Diketahui e1t = B-1 t, maka selanjutnya e1t dan e2t dapat dihitung sebagai berikut :
Karena
e1t = (
yt
– b12
xt )
/ (1 – b12b21) .………………………………....…. (3.17)
e2t = (
xt
– b21
yt )
/ (1 – b12b21) ………………………………...…... (3.18)
xt
dan
yt
adalah proses white noice, sehingga
xt
dan
yt
mengikuti e1t dan
e2t yang memiliki nilai rata-rata nol, variannya konstan, dan tidak saling berhubungan. Covariance dari e1t dan e2t adalah sebagai berikut: Ee1t e2t = E[(
yt
– b12
xt )
(
xt
– b21
yt )]
/ (1 - b12b21)2 ......…….....…. (3.19)
Pada umumnya persamaan (3.19) tidak akan nol, dan kedua shocks tersebut akan berkorelasi. Jika variance/covariance dinyatakan dalam bentuk matrik, maka dapat dinyatakan sebagai berikut: 2 12 ∑= 1 ...…………………….....…….……..…………. 2 21 2
(3.20)
ketarangan : Var(e1t) = 1 2 dan 12 21 = Cov(e1t, e2t) Dari contoh kasus di atas dapat dikembangkan lebih lanjut ke kasus lebih dari dua variabel, sehingga pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan vektor matriks. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam analisis VAR adalah tentang identifikasi dan penentuan panjang lag optimal. Dalam hubungannya dengan identifikasi, metode VAR adalah sistem persamaan under-identified, karena jumlah koefisien yang diestimasi menjadi lebih banyak karena lag variabel dibandingkan dengan jumlah persamaan dalam sistem. Ada dua cara untuk mengatasi persoalan tersebut. Pertama, dengan cara
81 mengubah persamaan struktural ke dalam persamaan reduce form dan menemukan parameternya. Cara ini banyak dilakukan oleh peneliti, karena untuk menjelaskan hubungan antar variabel ekonomi tidak harus tergantung pada asumsi-asumsi atau restriksi. Kedua adalah dengan cara mengimpose restriksi untuk meng-cover kembali koofisien-koefisien dalam bentuk struktural dari hasil estimasi yang dibuat dalam reduce form, dan model tersebut dinamakan struktural VAR. Struktural VAR (S-VAR) merupakan hubungan secara teoritis, juga merupakan bentuk VAR yang terestriksi, dimana restriksinya adalah berdasarkan hubungan teoritis yang kuat dari variabel-variabel yang digunakan dalam sistem, dan S-VAR sering disebut VAR teoritis. Pengembangan struktural VAR adalah tetap menggunakan basis model VAR biasa. Untuk membangun model VAR, yang juga perlu diperhatikan adalah penentuan jumlah atau panjang lag. Model VAR sering dikritisi karena demikian mudahnya menambah parameter yang berasal dari panjangnya lag variabel itu sendiri. Peningkatan jumlah parameter n menyebabkan berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom) oleh karena itu sifat parsimony dalam menentukan panjangnya lag variabel merupakan kriteria penting daam membangun model VAR. Kendatipun menentukan panjang lag penting untuk hasil yang memuaskan, namun secara teoritis tidak ada ketentuan dalam memilih panjang lag dalam VAR. Walaupun demikian metode yang diusulkan oleh Sims (1980) banyak menjadi pedoman dalam membangun model VAR, yaitu dengan uji Likelihood Ratio (LR) yang dapat dinyatakan sebagai berikut: LR = ( T – C) (log 0 - log 1 ) …..…………………….……… (3.21)
82 Dimana 0 dan 1 masing-masing adalah restriksi (dengan lag p0) dan unrestricted (dengan lag p1 atau > p0) matrik covariance yang didapat dari estimasi dengan OLS reduce form VAR. Variabel T adalah jumlah observasi dan C adalah pembenaran bias sampel yang sama dengan jumlah variabel pada masing-masing
persamaan
unrestricted
dalam
sistem.
Secara
asimtut
didistribusikan secara X2 dengan degree of freedom sama dengan jumlah restriksi dalam sistem persamaan. Penggunaan uji statistik LR ini dimaksudkan untuk mendapatkan ordo VAR optimal yang dimulai dari nilai X2 (nilai-p) terbesar hinga diperoleh nilai yang signifikan. Dengan kata lain ordo VAR optimal yang dipilih adalah pada saat sebelum nilai-p pertama kali tidak signifikan pada level of signifikan
= 0.05.
Cara lain untuk mendapatkan panjang lag adalah dengan menggunakan seleksi kriteria seperti Akaike Information Criterion (AIC), Schwartz Bayesian Criterion (SBC), yang dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut : AIC = T log
+ 2M ..................................................................... (3.22)
SBC = T log
+ M log T …………………………….…….….… (3.23)
Dimana M adalah jumlah parameter dalam sistem persamaan VAR. Dari hasil yang diperoleh dengan membandingkan nilai AIC dan SBC untuk masing-masing lag, lalu memilih panjang lag pada nilai yang paling rendah pada adjusted Likeliihood Ratio. Untuk mengetahui penggunaan metode VAR, maka di bawah ini akan dijelaskan prosedur atau tahapan yang harus dilakukan hingga diperoleh suatu manfaat analisis mulai dari uji stasionaritas data hingga peramalan.
83 3.2.1.1. Pengertian Stasioner Pengertian stasioner terkait erat dengan konsistensi pergerakan data time series. Suatu data disebut stasioner jika nilai rata-rata dan variansnya konstan sepanjang waktu, yang diikuti dengan covarians antar dua periode waktu yang hanya tergantung pada jarak atau selang di antara keduanya (Gujarati, 2003). Secara sederhana data akan bergerak stabil dan konvergen di sekitar nilai rataratanya dengan kisaran tertentu (deviasi yang kecil) tanpa pergerakan trend positif atau negatif. Pemanfaatan data yang tidak stasioner ke dalam suatu persamaan regresi dapat menghasilkan hasil regresi yang bias (spurious regression), dengan perangkat nilai statistik seperti t-statistik, F-statistik, dan R2 menjadi tidak valid.
3.2.1.2.
Pengujian Stasioneritas Uji stasioner diperlukan karena variabel makroekonomi pada umumnya
merupakan data time series yang bersifat non-stasioner. Data series biasanya fluktuatif dan cenderung membentuk suatu trend dalam jangka panjang. Pengujian stasioner ini dimaksudkan untuk memenuhi asumsi data runtun waktu agar terdistribusi secara normal dan independen (normally and indepently distributed), dimana secara rata-rata mempunyai varian yang tetap dan kovariannya adalah nol. Tujuannya adalah agar dapat diperoleh hasil yang lebih baik atau dapat meminimalisir kesalahan-kesalahan ekonometrik. Dengan kata lain uji stasioner dilakukan agar mean-nya stabil dan random error-nya sama dengan nol, sehingga model regresi yang dihasilkan memiliki kemampuan prediksi yang handal dan tidak menjadi bias. Menurut Gujarati (2003) keadaan stasioner tersebut dapat dirumuskan secara matematis seperti berikut :
84 Mean
= E (Yt) =
Variance
= var (Yt) = E (Yt- )2 = 2
Covariance
= E[(Yt - ) ( Yt+1 - )]
Beberapa literatur seperti Thomas (1997), Gujarati (2003), Verbeck (2000), secara umum menyebutkan bahwa uji stasioner dapat dilakukan dengan beberapa metode, misalnya dengan metode grafik, correlogram, dan akar unit. Uji akar unit dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF), dan metode Phillips-Perron (PP). Uji stasioner dengan metode grafik, memberikan gambaran bagaimana pergerakkan data time series. Uji grafik ini lebih mengandalkan pengamatan tentang grafik yang disajikan. Oleh karena itu dapat diduga bahwa melalui pengamatan suatu data stasioner atau tidak sehingga mean, variance, maupun autocovariances-nya tidak terlihat (Enders,1995). Uji stasioner correlogram, dapat dilihat dari grafik yang dihasilkan dari suatu perhitungan data lag variabel tertentu. Berdasarkan analisis correlogram dapat diketahui data dari variabel tertentu stasioner atau tidak. Sebagaimana disarankan oleh Gujarati (2003) maksimum panjang lag dalam pengujian correlogram adalah sepertiga dari jumlah observasi. Uji akar unit (unit root test) dengan menggunakan metode ADF dan metode Phillips Perron (PP) menggunakan rumus sebagai berikut : Yt = Yt-1 + t. Persamaan ini menunjukkan bahwa t adalah error term yang memiliki mean sama dengan nol, variansnya konstan (2) dan tidak berkorelasi dalam beda waktu. Tapi jika Yt-1 bernilai satu, maka dapat dinyatakan bahwa Yt memilki akar
85 unit yang dalam ekonometrik disebut random walk yang dapat ditulis dalam persamaan seperti berikut, Yt = Yt-1 + t, dimana = 1. Untuk melakukan pengujian dengan ADF dapat menerapkan regresi dalam bentuk-bentuk : Yt = Yt-1 + t Yt = 1 + Yt-1 + t Yt = 1 + 1t + Yt-1 + t. Dimana t adalah variabel waktu atau trend. Untuk setiap kasus hipotesis nol = 0, maka variabel tersebut mengandung unit root. Pengujian dengan Phillips Perron menggunakan metode non parametrik. Pengujian regresi adalah merupakan proses autoregresive atau AR (1) yang dapat dinyatakan dengan rumus: yt = + yt-1 + t Untuk keperluan pengujian hipotesis terhadap ADF maupun PP, menggunakan hipotesis nol yaitu H0 : =1, dan hipotesis alternatif adalah Ha : < 1. Masalah yang muncul dalam pengujian ADF dan PP adalah penentuan lag yang akan dimasukkan dalam model. Panjang lag sulit diperkirakan, sehingga panjang lag menjadi jebakan (pitfall). Jika lag terlalu panjang akan mengurangi kemampuan untuk menolak hipotesis nol. Hal ini karena lag yang semakin panjang akan mengakibatkan bertambahnya parameter estimasi, dan akan berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom). Sebaliknya jika lag-nya terlalu pendek menjadi tidak mampu untuk mengungkap proses kesalahan aktual (the actual error process), akibatnya standard error tidak dapat diestimasi. Oleh karena itu untuk menentukan panjang lag, Enders (1995) menyarankan dengan melihat t-test dan atau F-test dari ADF maupun PP yang dimulai dari lag yang panjang kemudian terus menurun sampai diperoleh lag yang berbeda dengan nol.
86 3.2.1.3. Uji Kointegrasi Uji
kointegrasi
dilakukan
untuk
mengetahui
bagaimana
kondisi
keterkaitan antara dua variabel atau lebih dalam suatu sistem persamaan. Dengan kata lain uji kointegrasi dilakukan untuk mendeteksi stabilitas hubungan jangka panjang baik pada kasus univariate maupun pada kasus multivarariate (Thomas, 1997). Sedangkan menurut Enders (1995) yang dimaksud dengan kointegrasi adalah hubungan antar variabel bersifat kombinasi linier pada variabel non stasioner, dan terjadi integrasi pada ordo yang sama. Untuk menguji suatu persamaan kointegrasi dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain : 1.
Uji kointegrasi dengan model Engle-Granger (EG). Uji ini dilakukan dengan melakukan regresi terhadap persamaan, kemudian residualnya di uji dengan ADF. Jika uji akar unit terhadap residual signifikan, berarti variabel-variabel dalam persamaan regresi telah terkointegrasi, yang berarti antara variabel bebas dan variabel tak bebas memiliki hubungan jangka panjang.
2.
Uji kointegrasi dengan cointegrating regression Durbin-Watson (CRDW).
3.
Uji kointegrasi Johansen (Johansen cointegrating test).
3.2.1.4. Impulse Response dan Variance Decomposition Sebagaimana telah disebutkan di atas, pendekatan VAR menyediakan tools yang bermanfaat untuk menguji hubungan kausalitas yang dinamis antar variabel di dalam sistem. Salah satu alat tersebut adalah analisis Impulse Response Function (IRF). IRF menggambarkan arah dan ukuran pengaruh dari suatu guncangan struktural pada masing-masing sistem variabel melalui jangka waktu. Sebagai ilustrasi dapat dinyatakan dalam perumusan berikut : Xt = Co Et + C1 Et-1+ C2 Et-2 + C3 Et-3 + C4 Et-4 + ........................ (3.24)
87 Kelompok variabel endogen merupakan elemen dari Ck yang akan dipengaruhi oleh guncangan struktural pada variabel tertentu. Jadi dengan demikian menggambarkan respon dari variabel-variabel struktural terhadap guncangan variabel endogen lainnya dalam sistem persamaan. Cara lain untuk menyelidiki hubungan timbal balik yang dinamis di antara variabel struktural adalah dengan dekomposisi atau pemisahan ragam kesalahan peramalan (forecast error variance decomposition). FEVD memberikan gambaran tentang proporsi pergerakkan dalam suatu variabel sistem yang berkaitan dengan masing-masing guncangan struktural. Sebagai gambaran rata-rata bergerak untuk satu periode di masa datang sebagai berikut : Xt+1 = Co Et+1 + C1 Et + C2 Et-1 + C3 Et-2 + C4 Et-3 + ..................... (3.25) Ekspektasi dari Xt+1 yang bersyarat dan Et Xt+1 sebagai pengurang dari Xt+1, kesalahan ramalan satu tahap ke depan dapat dihitung sebagai berikut: Xt+1- EtXt+1 = Co Et+1
............................................................... (3.26)
Dengan cara yang sama, kesalahan ramalan untuk dua tahap dan tiga tahap ke depan dapat dihitung, seperti di bawah ini. Xt+2 - EtXt+2 = Co Et+2 + C1 Et+1 ............................................. (3.27) Xt+3 - Etxt+3= Co Et+3 + C1 Et+2 + C2 Et+1 ................................ (3.28) Secara umum kesalahan ramalan tahap ke-n ke depan dapat ditulis sebagai : Xt+n - EtXt+n = Co Et+n + C1 Et+n-1 + C2 Et+n-2 + ...+ Cn-1 Et+1 ...... (3.29)
Secara sederhana misalnya Xt= [ X1t, X2t]' dan Et= [ E1t, E2t]. Kemudian, kesalahan ramalan tahap ke-n X1t dapat ditulis sebagai berikut:
88 X1t+N- EtX1t+n = Co (1,1) E1t+n-1 + C1 (1,1) Elt+n -1 + C2 (1,1) E1t+n-2 + ..... + Cn-1 (1,1) E1t+1 + Co (1,2)E1t+n + C1 (1,2) E2t+n-2 + ....+ Cn-1(1,2) E2t+1 …………………………………..................... (3.30) Di mana Ck (i, j) menandakan unsur Ck. Kemudian, kesalahan ramalan pada tahap ke-n ke depan dari variabel X1, 2 1n
1n
2
, dapat dinyatakan sebagai berikut:
= [ Co(1,1)2 + C1(1,1)2 + C2(1,1)2 + ...+ Cn-1(1,1)2] + [ Co(1,2)2 + C1(1,2)2 + C2(1,2)2 + ... + Cn-1(1,2)2] …....... (3.31)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa ragam (variance) kesalahan peramalan X1 dapat dikomposisi / pemisahan ke dalam ragam yang disebabkan oleh (E1t) dan (E2t). Secara relatif
2 1n
dalam kaitan dengan suatu goncangan (E1t) dan (E2t)
dapat diuraikan sebagai berikut: Co(1,1)2 + C1(1,1)2+ C2(1,1)2+ …+ Cn-1 (1,1) 2] /
1n
[Co(1,2)2 + C1(1,2)2 + C2(1,2)2 +…+ Cn-1 ( 1, 2) 2] /
2
dan
2 1n .
............. (3.32)
3.2.2. Mekanisme Keterkaitan antar Variabel Penelitian Secara operasional, analisis pengaruh ekspor pertanian dan ekspor industri manufaktur terhadap kinerja makroekonomi dapat dilakukan dengan mengacu kepada kerangka teori di atas dan kondisi riil perekonomian Indonesia yang ada sekarang. Kinerja makroekonomi Indonesia dalam penelitian ini diukur melalui variabel-variabel Produk Domestik Bruto, neraca perdagangan, inflasi, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Sedangkan variabel perdagangan luar negeri yang dalam hal ini ekspor, mencakup ekspor pertanian dan ekspor industri yang dibedakan atas ekspor non agroindustri dan ekspor agroindustri.
89 3.2.3. Model Umum VECM Keterkaitan antara variabel ekspor dengan variabel kinerja makroekonomi akan disesuaikan dengan tujuan penelitian, sehingga dibangun model ekonometrik yang dispesifikasikan dengan model VECM. Spesifikasi model VECM secara umum bentuk persamaannya menurut Sinha (1999) adalah sebagai berikut: p 1
Z t
i Z t i Z t 1 0 1 t t
…………........... (3.33)
i 1
keterangan :
= ’ yaitu matrik parameter
= Matrik koefisien ECM
’
= Transpose vektor kointegrasi
p-1
= Ordo VECM yang berasal dari lag optimal VAR
Zt = Vektor first difference ( Zt – Z t-1)
o
= Vektor intersep
1
= Vektor koefisien regresi
Zt
= Variabel penelitian (PDB, BOT, IHK, ER, XPT, XAI, XNAI)
i
= Matrik koefisien regresi
t
= Vektor error term
t
= Waktu.
90
91 IV. METODE PENELITIAN
4.1. Sumber Data dan Variabel Analisis dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Sumber data diperoleh dari berbagai institusi seperti Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, dan sumber-sumber lain yang terkait dengan penelitian ini. Data yang digunakan untuk keperluan aplikasi model adalah data runtut waktu tiga bulanan mulai dari triwulan 1 tahun 1990 sampai dengan triwulan 4 tahun 2009. Penelitian ini dilakukan dengan observasi pada kurun waktu tersebut, karena pada kondisi tersebut perekonomian Indonesia sudah sangat peka terhadap gejolak perekonomian internasional, terutama yang bersumber dari negara mitra dagang Indonesia, sehingga perekonomian Indonesia baik secara nasional maupun sektoral telah terintegrasi dengan perekonomian dunia. Gambaran tersebut juga diperkuat dengan munculnya berbagai kelompok-kelompok perdagangan yang bersifat liberalisasi, sehingga kondisi tersebut memperlihatkan bahwa semakin pentingnya ekspor bagi suatu negara. Penggunaan data tiga bulanan dimaksudkan untuk kepentingan teknis statistik agar persoalan degree of freedom dapat teratasi jika dibandingkan dengan penggunanaan data tahunan, di samping itu variabel penelitian yang digunakan dalam model juga sudah tersedia dalam tiga bulanan, sementara variabel makro tertentu lainnya yang tidak dimasukkan dalam model persamaan, karena data tersebut tidak tersedia dalam bentuk triwulan, tapi dalam tahunan, misalnya data investasi dan kesempatan kerja.
92 Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel agregatif yaitu variabel makroekonomi yang diperoleh dari berbagai sumber. Secara rinci variabel yang digunakan dalam penelitian, disajikan pada Tabel 6.
A. No.
Tabel 6. Variabel, Ukuran, Simbol, dan Sumber Data Nama Variabel
Ukuran
Simbol
Sumber Data
1
PDB Nasional Riil
Rp Milyar
PDB
BPS
2
Balance of Trade
Juta US$
BOT
BPS, IMF
3
Inflasi
Persen
INF
BPS, BI
4
Nilai Tukar Rupiah thdp US $
Rp/US$
ER
Bank Indonesia
5
Ekspor Produk Pertanian
Juta US$
XPT
BPS, Deperta.
6
Ekspor Non Agro Industri
Juta US$
XNAI
BPS, Depperin
7
Ekspor Agro Industri
Juta US$
XAI
BPS, Depperin
Data dari setiap variabel yang digunakan di transformasi ke dalam bentuk logaritma natural, kecuali data inflasi. Transformasi log dilakukan untuk menurunkan masalah heteroskedastisitas, karena dapat memperkecil skala ukuran data variabel hingga 10 kali lipat dari perbedaan antara dua bilangan seri (Gujarati, 2003).
4.2. Identifikasi dan Pilihan Variabel Penelitian 4.2.1. Identifikasi Variabel Variabel-variabel makroekonomi yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan variabel endogen yang pada umumnya adalah non stasioner. Melalui tahapan analisis yang akan dilakukan, hingga diperoleh hasil analisis yang diharapkan, maka dapat dijadikan instrumen kebijakan dalam perekonomian. Sebelum melakukan analisis, perlu diketahui terlebih dahulu identitas variabelvariabel yang akan digunakan dalam penelitian yaitu : variabel produk domestik bruto (PDB), Net ekspor atau balance of trade (BOT), inflasi (INF), nilai tukar
93 rupiah terhadap dolar Amerika atau exchange rate (ER), ekspor produk pertanian (XPT), ekspor nonagro industri (XNAI), dan ekspor agro industri (XAI). Masingmasing akan dijelaskan sebagai berikut. 1. PDB. Dalam teori makroekonomi, terdapat istilah pendapatan nasional harga berlaku dan harga konstan atau pendapatan nasional nominal dan riil. Dalam penelitian ini yang akan digunakan adalah variabel pendapatan nasional atas dasar harga konstan atau PDB riil. Penggunaan nilai riil tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya pengaruh harga. Nilai ukuran yang digunakan adalah dalam milyar rupiah. 2. BOT atau Net ekspor. Neraca perdagangan adalah merupakan selisih antara total ekspor dan total impor, baik antara dua negara maupun satu negara dengan banyak negara. Di Indonesia terdapat ekspor migas dan non migas. Dalam penelitian ini yang akan digunakan adalah net ekspor non migas. Sedangkan satuan ukuran nilai yang digunakan adalah dalam jutaan dolar Amerika (US $ juta). 3. INF atau inflasi. Inflasi dihitung berdasarkan indeks harga konsumen (IHK), yakni perubahan IHK dari periode sebelumnya ke periode berikutnya dengan menggunakan tahun dasar tertentu. Sebenarnya tingkat inflasi juga dapat dihitung dengan angka deflator, namun inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah inflasi dari perubahan IHK, dan inflasi yang digunakan pada tingkat nasional. Ukuran nilai yang digunakan adalah persen. 4. ER atau exchange rate. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika merupakan mata uang yang secara luas digunakan untuk transaksi internasional. Nilai
94 tukar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai nominal atau kurs mata uang dolar Amerika terhadap rupiah. 5. XPT atau ekspor produk pertaian. Ekspor pertanian Indonesia telah dilakukan ke banyak negara di dunia, seperti hasil-hasil dari pertaian, kehutanan, perkebunan, perikanan, dan holtikultura. Ekspor pertanian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah total nilai hasil ekspor produk pertanian, seperti ekspor getah karet, kopi, udang, teh, rempah-rempah, tembakau, biji coklat, biji-bijian, mutiara, damar, sayur-sayuran, buah-buahan, dll. Satuan ukuran yang digunakan dalam penelitian adalah juta dolar Amerika (US $ juta). 6. XNAI atau ekspor nonagro Industri. Komoditi ekspor nonagro industri merupakan hasil industri pengolahan dengan bahan baku non pertanian. Berdasarkan sumber data dari Indikator Ekonomi, komoditi ekspor non agro industri yang di ekspor misalnya, hasil industri otomotip, barang-barang industri dari logam, pakaian jadi dan tekstil, alat-alat listrik, semen, pupuk, bahan dari kimia, dan lainnya.
Satuan ukuran yang digunakan dalam
penelitian adalah juta dolar Amerika (US $ juta). 7. XAI atau ekspor agro industri. Agroindustri merupakan bagian dari industri manufaktur yang berbasis pada pengolahan bahan baku hasil-hasil produk primer. Komoditi ekspor agro industri terdiri dari hasil olahan baik berupa produk antara maupun produk jadi. Contoh ekspor hasil-hasil agro industri adalah : kayu olahan, termasuk kayu lapis, karet olahan, makanan ternak, minyak atsiri, minyak kelapa sawit, asam berlemak, makanan olahan, barangbarang anyaman, kulit dan barang terbuat dari kulit, kertas dan barang yang terbuat dari kertas, (Indikator Ekonomi).
95 4.2.2. Pilihan Variabel Penelitian Sebagaimana telah dijlaskan sebelumnya, bahwa penelitian tentang hubungan antara Ekspor dan pertumbuhan ekonomi atau Export-Led Growth (ELG), tidak hanya terdiri dari variabel GDP dan Ekspor saja, tapi juga disertai dengan variabel-variabel makroeonomi lainnya. Dalam penelitian tentang ELG, biasanya model yang dibangun diturunkan dari fungsi produksi. Awal pembentukan model adalah fungsi produksi Neo Klasik yang biasanya dilakukan dalam penelitian mikroekonomi yang diaplikasikan pada perusahaan. Akan tetapi, karena yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pada level makroeonomi, maka variabel-variabel yang digunakan adalah variabel makro yang bersifat agregatif. Dengan demikian fungsi produksi yang digunakan harus melalui modifikasi, baik terhadap jenis maupun jumlah variabel dalam sistem persamaan (sub. bab. 2.7). Dalam penelitian ini akan menggunakan 7 (tujuh) variabel makroekonomi yakni, GDP, net ekspor (BOT), inflasi (INF), nilai tukar rupiah per dolar Amerika (ER), ekspor produk pertanian (XPT), ekspor nonagro industri (XNAI), dan ekspor agro industri (XAI). Alasan menggunakan variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut. 1. Alasan menggunakan variabel ekspor dalam penelitian ini adalah, karena ekspor merupakan bagian dari input variabel dalam fungsi produksi negara yang meng impor (Hachicha, 2003). Sebenarnya secara teoritis, variabel ekspor dan juga impor merupakan bagian dari variabel yang menentukan besaran GDP di samping konsusmsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu, variabel ekspor adalah merupakan bagian dari variabel penelitian.
96 2. Alasan memasukkan variabel net ekspor. Variabel net ekspor, masuknya variabel net ekspor dalam sistem persamaan karena impor juga merupakan input variabel, sehingga selisih ekspor dan impor juga merupakan bagian dari variabel penelitian. Dalam hal ini juga dilakukan oleh Abow F. Stait (2005). 3. Alasan memasukkan variabel nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Selain ekspor dan net ekspor, juga dimasukkan variabel exchange rate, seperti yang dilakukan oleh Doraisami (2001), Yusop, et.al (2001), dan Anoruo bersama Ramchander (2002), kesemuanya menyertakan variabel nilai tukar ke dalam penelitian masing-masing. Perubahan nilai tukar sangat terkait dengan perubahan ekspor dan impor atau net ekspor. Jika perubahan ekspor lebih besar dibandingkan dengan impor, maka akan meningkatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan akan terjadi sebaliknya jika perubahan ekspor lebih kecil dibandingkan dengan impor, oleh karena itu variabel exchange rate merupakan salah satu variabel penting dalam penelitian ini. 4. Alasan memasukkan variabel inflasi. Selain variabel nilai tukar yang terkait dengan perubahan ekspor, juga terdapat kaitannya dengan perubahan tingkat inflasi domestik. Apabila terjadinya peningkatan ekspor lebih besar dibandingkan impor , maka net ekspor akan positip, sehingga dapat meningkatkan jumlah uang beredar, dan dapat berpotensi meningkatkan kontribusinya terhadap inflasi, demikian sebaliknya tingkat inflasi juga dapat mempengaruhi ekspor melalui perubahan biaya produksi, baik yang bersumber dari luar maupun dari dalam negeri. 5. Variabel ekspor produk pertanian, ekspor nonagro dan agro. Sebagaimana diketahui bahwa ekspor Indonesia terdiri dari ekspor pertanian, ekspor
97 industri, dan pertambangan. Dalam penelitian ini, variabel ekspor yang dimasukkan dalam sistem persamaan adalah variabel ekspor pertanian dan manufaktur. Dipilihnya kedua variabel tersebut karena keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat baik ke depan dan ke belakang. Misalnya industri agro memerlukan bahan baku dari produksi sektor pertanian. Sementara ekspor industri manufaktur juga dibagi dalam nonagro industri dan agro. Pemilahan keduanya perlu dilakukan karena keberadaan industri nonagro sangat berperan dalam mendukung peningkatan produksi baik pertanian primer maupun produksi industri agro. Oleh sebab itu penelitian ini akan menggunakan 7 (tujuh) variabel makroekonomi yang saling terkait satu dengan lainnya. Hal ini telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Untuk melakukan penelitian dengan menggunakan variabel-variabel makroekonomi yang saling terkait, akan lebih sesuai jika menggunakan metode analisis Vector Autoregresif (Riezman at.al
( 1996), Doraisami (2001), Anoruo dan
Ramchander (2002), Hachicha (2003)). 6. Pemecahan variabel ekspor menjadi tiga variabel, bertujuan untuk melihat variabel mana diantara ketiganya yang lebih dominan dalam menentukan kinerja makroekonomi Indonesia. 7. Penggunaan tujuh variabel dalam penelitian. Walaupun model yang digunakan diturunkan dari fungsi produksi, namun karena keberadaan data untuk varabel investasi dan tenaga kerja dalam triwulanan tidak tersedia, yang tersedia hanya data tahunan, sehingga variabel kapital dan tenaga kerja di drop dari sistem persamaan yang digunakan, sedangkan tujuh variabel lainnya data triwulannya tersedia dengan lengkap.
98 4.3. Model Analisis VAR Penelitian ini akan menggunakan data time series dengan pendekatan alat analisis Vector Autoregression. Pendekatan model VAR dianggap lebih sesuai untuk mendeteksi hubungan timbal balik atau kausalitas dua arah yang dinamis antar variabel dalam sistem persamaan. Seperti dilakukan oleh Sims (1980) bahwa metode VAR telah banyak digunakan untuk penelitian makroekonomi, yang memungkinkan peneliti dapat menganalisis hubungan timbal balik yang dinamis antar variabel dalam sistem persamaan dengan menggunakan Impulse Response Function dan Forecast Error Variance Decomposition. Alasan lain penggunaan metode VAR dalam penelitian ini adalah karena metode VAR tidak tergantung atau tidak harus mengikuti asumsi struktur ekonomi seperti dalam konsep teori, sehingga memungkinkan semua variabel di dalam sistem merupakan variabel endogen. Selain itu karena data time series memiliki rata-rata dan varian yang selalu berubah sepanjang waktu (dalam fungsi waktu) sehingga data variabelnya non stasioner, maka pengunaan metode klasik seperti OLS akan memberikan hasil yang meragukan (spurious). Pada model VAR penentuan variabel bebas dan variabel terikat tidak dapat dibedakan begitu saja, karena seluruh variabel yang digunakan dalam sistem dapat menjadi variabel endogeneous dan juga dapat menjadi variabel exogeneous dengan lag waktu. Vector Autoregressive merupakan suatu sistem persamaan yang menunjukkan bahwa setiap variabel merupakan fungsi linear dari konstanta dan nilai lag variabel itu sendiri, serta nilai lag variabel lain yang ada dalam sistem persamaan. Thomas (1997) merumuskan persamaan VAR secara umum seperti berikut :
99 k
Zt = t + Ai Zt – 1 + et ................................................................
(4.1)
i1
keterangan : Zt
= Vektor variabel endogen dalam model yang berdimensi (n x 1)
At = Matrik parameter yang berdimensi (n x n) k
= Ordo dari model VAR
t = Matrik varibel eksogen, seperti intersep, trend, termasuk dummy et
= Matrik residual.
Metode analisis VAR
hanya mampu mendiskripsikan hubungan
keseimbangan jangka pendek, sementara itu penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan keseimbangan baik dalam jangka pendek maupun keseimbangan dalam jangka panjang. Oleh karena itu agar dapat digunakan untuk analisis jangka panjang, maka model VAR harus digabungkan dengan matriks kointegrasi, kombinasi keduanya akan menghasilkan model VAR yang terkointegrasi (cointegrating VAR), kombinasi dari kedua persamaan ini dikenal dengan Vector Error Correction Model (VECM) (Siregar dan Ward, 2002).
4.4. Spesifikasi Model VECM Metode VAR adalah merupakan bagian dari alat analisis ekonometrik. Pengggunaan alat analisis VAR, memiliki beberapa alasan, antara lain : 1. Dilihat dari data yang digunakan yakni data time series. Terdapat beberapa metode yang telah digunakan untuk analisis data time series. Untuk data multivariate, ada empat pendekatan yaitu Cowles Commision (CC), the London School of Economics (LSE), Vector Autoregression (VAR), dan GMMCalibration (Siregar, 2002). Dari keempat metode tersebut, metode VAR adalah metode yang sering digunakan dalam mengatasi data makroekonomi yang bersifat
100 fluktuatif. Model VAR dan struktural VAR (SVAR) adalah merupakan model yang telah banyak dikembangkan, karena dianggap mampu untuk mengatasi kritik Lucas
(Lucas
Critique)
yakni
masalah
model
ekonomi
makro
tradisionalmenganggap bahwa, model yang diestimasi pada periode tertentu dapat digunakan untuk peramalan pada rezim yang berbeda. Ini menunjukkan pengggunaan parameter yang diestimasi tidak berubah dan digunakan pada kondisi yang berbeda, sehingga dapat menghasilakan kesimpulan yang tidak valid dan bias. Dalam VAR hanya terdapat variabel endogen, yang berarti pembuat kebijakan dapat menggunakan keputusan berdasarkan pengalaman sebelumnya, dan keputusan yang diambil akan berbeda untuk setiap rezim. Metode VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah merupakan fungsi linear dari konstanta dan nilai lag dari peubah itu sendiri dan nilai lag dari peubah lainnya yang masuk dalam sistem. Jadi variabel penjelas mencakup nilai lag dari seluruh variabel tak bebas dalam sistem. 2. Pada umumnya sifat data makroekonomi adalah time series dan non stasioner (nilai rata-rata dan varian selalu berubah sepanjang waktu), sehingga untuk mengatasi hal tersebut dalam VAR dilakukan uji akar unit baik untuk variabel level maupun variabel differens, sehingga dapat dilihat variabel tersebut stasioner atau tidak, sementara pada ekonometrik konvensional berasumsi bahwa nilai ratarata dan varian adalah konstan dan indipenden terhadap waktu. 3. Untuk menganalisis hubungan keterkaitan jangka panjang antar variabel makroekonomi yang bersifat dinamis dan fluktuatif, maka model VECM dianggap dapat mengakomodasi tujuan tersebut.
101 Seperti telah disinggung sebelumnya, kointegrasi adalah merupakan kombinasi linier antara variabel non stasioner yang terkointegrasi pada ordo yang sama. Pada data time series, seringkali ditemukan data level dari varibel tertentu tidak stasioner, dan akan menjadi stasioner setelah dilakukan perbedaan pertama atau I(1). Penggunaan data I(1) dalam model analisis VAR hanya dapat mengakomodasi analisis dalam jangka pendek, berarti kehilangan informasi jangka panjang karena tidak menggunakan data level. Oleh karena itu, agar infomasi jangka panjang dan jangka pendek dapat terakomodasi dalam satu model analisis, maka digunakanlah VECM. Dalam penelitian ini jumlah variabel yang akan digunakan sebanyak 7 (tujuh) variabel, yakni variabel ekspor pertanian dan ekspor industri manufaktur yang dibedakan antara ekspor nonagro industri dan ekspor agro industri, serta variabel yang dianggap mewakili kinerja makroekonomi Indonesia, yaitu produk domestik bruto atas dasar harga konstan tahun 1993, net ekspor, inflasi, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Keterkaitan antara variabel ekspor dengan variabel kinerja makroekonomi akan disesuaikan dengan tujuan penelitian, sehingga dibangun model ekonometrik yang dispesifikasikan dengan model VECM. Spesifikasi model VECM secara umum dalam bentuk persamaan menurut Sinha (1999) adalah :
Z t
p 1
Z i 1
i
t i
Z t 1 0 1 t t
keterangan :
= ’ yaitu matrik parameter
= Matrik koefisien ECM
’
= Transpose vektor kointegrasi
..……..……...........
(4.2)
102 p-1
= Ordo VECM yang berasal dari lag optimal VAR
Zt = Vektor first difference ( Zt – Z t-1)
o
= Vektor intersep
1
= Vektor koefisien regresi
Zt
= Variabel penelitian (PDB, BOT, INF, ER, XPT, XNAI, XAI)
i
= Matrik koefisien regresi
t
= Vektor error term
t
= Waktu.
Vektor
atau (’) adalah merupakan parameter keseimbangan yang
mengisyaratkan adanya hubungan jangka panjang dari sistem kointegrasi dalam bentuk matrik r x m, dimana r merupakan rank kointegrasi. Sedangkan i, adalah parameter matriks dari efek dinamik jangka pendek. Vektor kointegrasi
’ yang terdapat dalam model VECM adalah
merupakan parameter variabel level. Sebagai contoh, misalnya rank kointegrasi yang dipilih berdasarkan kriteria adalah tiga (r = 3) secara matriks transpose dapat dilihat sebagai berikut.
1 ' 0 0
0 1 0
0 0 1
14 24 34
15 25 35
16 26 36
17 27 37
................ (4.3)
Vektor kointegrasi di atas menunjukkan jumlah persamaan yang akan digunakan pada kondisi exactly identified. Agar dapat diinterpretasikan secara ekonomi atau sesuai dengan teori ekonomi yang diharapkan, maka perlu dilakukan impose over identified. Untuk mendapatkan persamaan struktural VECM over identified, maka perlu dilakukan restriksi terhadap matriks parameter kointegrasi, sehingga dapat mengakomodasi tujuan penelitian. Dengan demikian
103 akan diperoleh persamaan akhir yang akan digunakan untuk peramalan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Sebagai gambaran dari persamaan matriks kointegrasi yang telah teristriksi sebagai berikut.
1 21 31 '
0
0
14
15
16
22
0
1
0
26
32
33
0
0
1
17 27 …………….… (4.4) 37
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa, matrik kointegrasi di atas adalah merupakan bagian dari persamaan VECM yang dapat mencakup gambaran analisis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Sebagai contoh, untuk keterkaitan antar variabel ekspor dengan kinerja makroekonomi, secara lengkap dapat disajikan dalam bentuk matrik, dan dari bentuk matrik tersebut dapat diuraikan kedalam sistem persamaan. Baik dalam bentuk matrik maupun dalam bentuk persamaan, masing-masing variabel merupakan variabel endogen.
a0 a LBOTt 0 a0 INFt LERt = a0 a0 LXPTt LXNAIt a0 LXAIt a0 LPDBt
a(p1)PDB a (p1)BOT a (p 1) INF a (p1)ER a(p1)XPT a(p1)XNAI ketarangan a(p1) : XAI
a1PDB a 1 BOT BOT a INF 1INF a ER + 1ER a1 XPT XPT a1XNAI XNAI a XAI 1XAI PDB
a2 LBOTt a2 a2 INFt LERt +a2 a LXPTt 2 LXNAIt a2 LXAIt a2 LPDBt
a Ecm1 LPDB (p 1) a LBOT (p 1) Ecm2 a LINF(p 1) Ecm3 + a LER Ecm4 (p 1) a LXPT (p 1) Ecm5 a LXNAI Ecm6 (p 1) a Ecm7 LXAI (p 1)
BOT INF ER XPT XNAI XAI PDB
LPDB(t 1) LBOT(t 1) LINF(t 1) LER (t 1) LXPT(t 1) LXNAI(t 1) LXAI(t 1)
ai a LBOTt i ai INFt LERt + ai a LXPTt i LXNAIt ai LXAIt ai LPDBt
+
t2 t3 t4 t5 t6 t7
BOT INF ER XPT XNAI XAI PDB
LBOTt INFt LERt LXPTt LXNAIt LXAIt LPDBt
t1
..................... (4.5)
104 p-1 = ordo VECM i
= 1, 2, 3 .......n
t
= waktu.
Sedangkan panjang lag variabel yang digunakan adalah berdasarkan ordo VAR (p-1) dan jumlah sistem persamaan yang digunakan untuk analisis adalah berdasarkan jumlah rank kointegrasi yang diperoleh dari hasil estimasi. Berikut ini akan disajikan persamaan VECM just identified baik dalam bentuk matrik maupun dalam bentuk persamaan. p 1
LPDB t a 0pdb a 11 LPDB i1
p 1
p 1
i1
a 12 LBOT
p 1
i 1
15
a 13 INF t i
p 1
p 1
a i 1
14
LER
t i
LXNAIt i a16 LXPTt i a17 LXAI t i i 1
a Ecm1 ( 1 LPDBt 1 5
t i
p 1
a i 1
t i
LXNAI t 1
6
2
LBOTt 1
LXPTt 1
7
i 1
3
INFt 1
LXAI t 1 )
4
LERt -1
..................... (4.6)
t1
p 1
p 1
p 1
p 1
i 1 p 1
i 1 p 1
i 1 p 1
i 1
LBOT t a0bot a 21 LPDB t i a 22 LBOT t i a 23 INF t i a 24 LER t i
a i 1
25
LXNAI t i a 26 LXPT t i a 27 LXAI t i
a Ecm2 ( 1 LPDB t 1 5
LXNAI t 1
6
i 1
2 LBOT t 1
LXPT t 1
7
i 1
3 INF t 1
LXAI t 1 )
4
LER t -1
.................... (4.7)
t2
p 1
p 1
p 1
p 1
i 1 p 1
i 1 p 1
i 1 p 1
i 1
INF t a 0inf a 31 LPDB t i a 32 LBOT t i a 33 INF t i a 44 LER t i
a i 1
35
LXNAI t i a 36 LXPT t i a 37 LXAI t i
a Ecm3 ( 1 LPDB t 1 5
LXNAI
t 1
6
i 1
2 LBOT t 1
LXPT t 1
7
i 1
3 INF t 1
LXAI t 1 )
t3
4
LER t -1
...................... (4.8)
105 p 1
LER t a 0ler a 41 LPDB i 1 p 1
a i 1
45
p 1
p 1
p 1
i 1 p 1
i 1 p 1
i 1
a 42 LBOT t i a 43 INF t i a 44 LER t i
t i
LXNAI t i a 46 LXPT t i a 47 LXAI t i i 1
a Ecm4 ( 1 LPDB t 1
6
a 0xnai a 51 LPDB
t i
5
LXNAI
LXNAI
t 1
p 1
t
i 1 p 1
a i 1
55
a Ecm5 ( 5
LXPT t 1
t 1
LXAI t 1 )
a 52 LBOT i 1 p 1
t i
4
LER t -1
..................... (4.9)
t4
p 1
p 1
i 1 p 1
i 1
a 53 INF t i a 54 LER
ti
a 56 LXPT t i a 57 LXAI t i
t i
i 1
LPDB t 1
LXNAI
7
3 INF t 1
p 1
LXNAI 1
i 1
2 LBOT t 1
6
2
i 1
LBOT t 1
LXPT t 1
7
3
INF t 1
LXAI
t 1
)
4
t5
LER t - 1
................... (4.10)
p 1
p 1
p 1
p 1
i 1 p 1
i 1 p 1
i 1 p 1
i 1
LXPT t a0xpt a61 LPDB t i a62 LBOT t i a63 INF t i a64 LER t i
a
65
i 1
LXNAI t i a66 LXPT t i a67 LXAI t i i 1
a Ecm6 ( 1 LPDB t 1 5
LXNAI t 1
p 1
LXAI t a 0inf a71 LPDB i 1 p 1
a i 1
75
t i
6
LBOT t 1
LXPT t 1
7
i 1
3
INF t 1
LXAI t 1 )
4
LER t -1
................... (4.11)
t6
p 1
p 1
p 1
i 1 p 1
i 1 p 1
i 1
a72 LBOT t i a73 INF t i a74 LER t i
LXNAI t i a76 LXPT t i a77 LXAI t i i 1
a Ecm7 ( 1 LPDB t 1 5
2
LXNAI
t 1
6
2 LBOT t 1
LXPT t 1
7
i 1
3 INF t 1
LXAI t 1 )
t7
4
LER t -1
.................... (4.12)
Persamaan matriks di atas menunjukkan keterkaian antar variabel makroekonomi dalam suatu sistem kointegrasi. Dengan demikian berdasarkan matriks di atas dapat dibentuk sistem persamaan yang dapat digunakan untuk melakukan estimasi hubungan jangka pendek dan jangka panjang antar variabelvariabel yang masuk dalam sistem persamaan. Sebagai ilustrasi dalam model persamaan VECM dapat dilihat pada persamaan 4.6 hingga 4.12.
106 Berdasarkan residual pada estimasi persamaan VECM, dilakukan analisis impulse response function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD), yang digunakan untuk estimasi kondisi variabel makroekonomi tertentu di masa akan datang, jika terjadi guncangan pada variabel-varibel dalam sistem.
4.5. The Impulse Response Function Tujuan dari penggunaan metode IRF adalah untuk mengetahui dampak guncangan satu standar deviasi pada salah satu variabel tertentu (endogen) terhadap variabel endogen lainnya. Dengan kata lain, metode IRF dapat menelusuri respon dinamis dari setiap variabel endogen akibat guncangan (shock) satu standard deviasi dari variabel endogen tertentu dalam sistem persamaan yang diamati. Oleh karena itu dengan metode ini dapat melihat pengaruh shock variabel endogen tertentu yang secara langsung akan berpengaruh terhadap variabel itu sendiri dan seterusnya terhadap variabel endogen lainnya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini metode analisis IRF akan digunakan untuk melihat respon dinamis kinerja makroekonomi terhadap guncangan dari ekspor dengan horizon waktu 50 triwulan kedepan. Kejutankejutan (shock) yang akan dilakukan pada penelitian ini difokuskan pada variabel-variabel ekspor pertanian, ekspor industri manufaktur, yakni shock ekspor agro industri, dan shock ekspor non agro industri manufaktur. Dari masing-masing shock tersebut dapat dihasilkan respon dinamis jangka pajang pada kinerja makroekonomi yang meliputi variabel-variabel pertumbuhan ekonomi, investasi, penyerapan tenaga kerja, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, dan neraca perdagaangan.
107 4.6. The Forecast Error Variance Decomposition Metode lain untuk meramalkan kondisi yang akan datang adalah dengan menggunakan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Metode ini dapat menelusuri respon terhadap variabel endogen tertentu akibat dari guncangan pada setiap variabel endogen yang terdapat dalam sistem persamaan. Metode ini sangat penting untuk memberikan informasi mengenai kontribusi relatif varians dari setiap variabel dalam sistem persamaan kointegrasi akibat dilakukannya berbagai shock untuk menjelaskan variabilitas pada variabel tertentu. Dengan kata lain FEVD dalam kaitannya dengan penelitian ini digunakan untuk melihat kontribusi relatif dari variabel-variabel dalam sistem yang menjadi sumber guncangan terhadap variabel makroekonomi lainnya. Untuk melakukan proses pengujian dan pengolahan data agar dapat dilakukan analisis ekonomi, dalam penelitian ini menggunakan perangkat lunak Eviews 4.1.
4.7.Proses Pengujian dan Estimasi Model 4.7.1. Uji Stasioner Data Pengujian stasioneritas data dimaksudkan untuk melihat kondisi data, baik pada tingkat level maupun pada tingkat differensial. Uji ini dilakukan agar dapat memenuhi kriteria penggunaan alat analisis VAR yang mensyaratkan data harus dalam keadaan stasioner. Terlebih lagi data dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah data series agregatif, yakni data series makroekonomi yang cenderung bersifat fluktuatif dan tidak stasioner. Seperti telah dijelaskan pada subbab II, bahwa uji stasioner dapat dilakukan dengan berbagai metode, seperti metode grafik, , metode correlogram, dan metode ADF dan PP. Dalam penelitian
108 ini uji stasioner data akan dilakukan dengan metode Dickey-Fuller (DF) dan Augmented Dickey-Fuller (ADF). Untuk keperluan pengujian hipotesis ADF yakni dengan menggunakan hipotesis nol yaitu Ho : = 1, dan hipotesis alternatif adalah Ha : < 1. Sehingga jika Ho yang diterima atau = 1, maka dapat dinyatakan bahwa variabel Yt stochastic memiliki akar unit, tapi jika Ha yang diterima berarti variabel yang diuji bebas dari akar unit. Dengan kata lain data dari variabel tersebut telah stasioner pada derajat tertentu. Kriteria bahwa suatu data variabel telah stasioner apabila nilai statistik ADF lebih besar secara absolut terhadap nilai statistik t-tabel pada tingkat kepercayaan 0.05. Sedangkan untuk panjang lag yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan maksimum lag-nya adalah 5, pilihan ini mengikuti panjang lag yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. 4.7.2. Uji Lag Optimal Vector Autoregression Sebelum
membentuk
sistem
persamaan
dalam
metode
vector
autoregression (VAR), terlebih dahulu harus melalui tahapan secara berurutan, yaitu : Uji stasioner data, lalu penentuan panjang lag optimal (optimal lag length). Setelah melalui uji statistik, dan data dinyatakan telah stasioner, maka langkah selanjutnya menentukan panjang lag optimal dalam model VAR. Penetuan panjang lag ini perlu dilakukan, karena di samping akan menambah jumlah parameter juga akan menyebabkan berkurangnya derajat kebebasan (loss degrees of freedom). Sehingga penentuan panjang lag menjadi kriteria penting dalam membentuk model VAR. Cara untuk menentukan panjang lag optimal VAR dapat dilakukan dengan beberapa metode, misalnya berdasarkan kriteria Akaike Information Criteriom (AIC),
Schwarz Information Criterion
109 (SC), Hannan-Quinn Informatin Criteriom (HQ), dan Likelihood Rasio (LR) test. Lag optimal yang dipilih dalam model VAR adalah berdasarkan kriteria nilai AIC atau SC yang terkecil dari beberapa hasil estimasi awal model VAR. Penggunaan panjang lag dari VAR ini sebenarnya beberapa penelitian sebelumnya telah menggunakan panjang lag yang beragam, misalnya Siregar (2004) menggunakan panjang lag 12 untuk data bulanan, Ansari dan Gang (1999) menggunakan panjang lag 24 dengan data mingguan. Dalam penelitian ini, penentuan lag optimal yang digunakan mengikuti metode yang dilakukan oleh Sims (1980), yaitu metode uji Likelihood Rasio (LR) dan SC. Kriteria lag optimal yang menjadi pilihan adalah apabila diperoleh nilai probability statistik yang lebih besar dari 0.05 (p-vale>0.05). Terkait dengan tujuan penelitian, maka untuk melakukan analisis pengaruh shock variabel ekspor terhadap variabel kinerja makroekonomi Indonesia akan mengggunakan metode impulse response function dan metode peramalan dekomposisi ragam kesalahan. Agar kedua metode analisis tersebut dapat menghasilkan peramalan yang valid, perlu dilakukan uji stabilisasi terhadap persamaan VAR yang telah terbentuk, yakni dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial (roots of characteristic polinomial). Apabila semua akar dari uji stabilisasi tersebut menghasilkan nilai-nilai absolut < 1, maka model analisis VAR dianggap stabil. Dengan demikian penerapan metode IRF dan FEVD dapat memberikan hasil yang valid (Windarti, 2004).
4.7.3. Uji Kointegrasi dan Error Correction Model Error Correction Model (ECM) adalah suatu model yang digunakan untuk menyeimbangkan perilaku ekonomi yang sering menunjukkan kondisi ketidak
110 seimbangan, sehingga perlu suatu model yang memasukkan variabel penyesuaian untuk melakukan koreksi bagi ketidak seimbangan tersebut. Penggunaan model ECM terkait dengan data time series yang sering tidak stasioner pada tingkat level, tapi stasioner pada tingkat first difference. Stasioner data pada first difference ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan jangka panjang antar variabel yang diteliti. Namun dalam jangka pendek sering terjadi ketidak seimbangan, dalam arti nilai perkiraan belum tentu sama dengan nilai aktualnya. Oleh karena adanya perbedaan tersebut, maka perlu membentuk model yang memasukkan variabel penyesuaian untuk mengoreksi ketidak seimbangan tersebut, faktor pengoreksi tersebut dinamakan error correction mechanism. Granger dan Engle (1991) telah mengembangkan model koreksi kesalahan yang digunakan untuk mengoreksi persamaan regresi antar variabel-variabel yang secara individual tidak stasioner agar kembali ke nilai ekuilibriumnya pada jangka panjang, dengan syarat utama terdapat hubungan kointegrasi di antara variabel-variabel dalam suatu persamaan. Model kointegrasi dapat diartikan sebagai kombinasi linier antar variabel atau dapat diartikan sebagai suatu model yang menggambarkan hubungan jangka panjang (long term relationship equilibrium) antar variabel-variabel yang tidak stasioner dan akan menghasilkan variabel-variabel yang stasioner. Regresi dengan data time series yang tidak stasioner dapat menghasilkan regresi yang spurious, biasanya ditandai dengan hasil koefisien determinasi yang cukup tinggi, akan tetapi hubungan antara variabel bebas dengan variabel tak bebas tidak signifikan. Hal ini berarti, bahwa
tingginya nilai koefisien determinasi tersebut
hanya
111 menunjukkan trend saja, dan
bukan karena hubungan antar variabel dalam
persamaan. Untuk menentukan bahwa variabel-variabel dalam suatu persamaan terjadi kointegrasi atau tidak, maka dapat dilakukan pengujian terhadap residualnya (et), yaitu dengan uji ADF. Apabila hipotesis r = 0, berarti tidak ada kointegrasi, sedangkan jika hipotesis r > 0, berarti terdapat kointegrasi antar variabel dalam persamaan tersebut. Kriteria penerimaan atau penolakan terhadap hipotesis nol merupakan perbandingan antara nilai statistik likelihood ratio dengan nilai kritis pada tingkat keyakinan 95 persen, jika nilai statistik likelihood ratio lebih besar dari nilai kritis, berarti hipoetesis alternatif yang diterima atau terjadi kointegrasi diantara variabel-variabel dalam persamaan, dan sebaliknya yang terjadi jika hipotesis nol yang diterima. Karena dalam penelitian ini menganalisis keterkaitan lebih dari dua variabel, sehingga jumlah parameter yang diperoleh dari setiap
persamaan
menjadi sebuah vektor matrik. Oleh karena itu perlu menentukan jumlah rank kointegrasi yang merupakan sistem persamaan. Kendatipun uji kointegrasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti telah dijelaskan pada sub bab II, namun dalam penelitian ini akan menggunakan cara yang ketiga, yaitu menggunakan uji kointegrasi Johansen dengan model matematis seperti berikut : p
Yt o Yt 1 iYt 1 t ..................................................
(4.13)
i 1
Untuk menentukan jumlah rank kointegrasi (r), dalam hal ini menggunakan kriteria trace test dan maximum eigenvalue test. Jika nilai trace test lebih besar dibandingkan dengan nilai kritis 95 persen, maka hipotesis nol ditolak (tidak terkointegrasi), atau menerima hipotesis alternatif (terkointegrasi), dan
112 persamaan tersebut berarti terkointegrasi. pada saat kondisi inilah nilai rank kointegrasi (r) memenuhi kriteria. Sehingga penentuan rank kointergrasi dapat dipilih dari kombinasi pengujian atau kriteria yang digunakan. Dalam menentukan rank kointegrasi, terkait dengan penentuan jumlah sistem persamaan yang akan digunakan untuk estimasi atau peramalan yang akan datang. Dengan demikian setelah jumlah persamaan kointegrasi diperoleh, maka dengan sistem persamaan tersebut dapat digunakan untuk mendeteksi stabilitas hubungan antar variabel yang dianalisis, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Enders, 1995). Namun demikian jumlah persamaan dalam vektor kointegrasi yang diperoleh adalah exactly identified. Oleh karena itu untuk memperoleh persamaan kointegrasi yang over identified, perlu dilakukan restriksi
terhadap matrik
parameter jangka panjang dari persamaan sistem kointegrasi, agar sesuai dengan tujuan penelitian maupun yang berdasarkan pada teori ekonomi. Setelah dilakukan pengujian dan terjadi kointegrasi, maka dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu analisis dengan model error correction. Jika dalam persamaan kointegrasi memiliki jumlah variabel lebih dari dua (multivariate), maka kombinasi antara ECM dengan model VAR kointegrasi dapat dilakukan. Kombinasi tersebut dinamakan
vector error correction model
(Thomas, 1997).
4.7.4. Impulse Response Function Metode analisis impulse response function adalah merupakan alat yang digunakan untuk mendeteksi hubungan dinamis diantara variabel-variabel dalam sistem persamaaan. Dengan kata lain suatu shock terhadap suatu variabel tertentu akan berpengaruh langsung pada variable itu sendiri, kemudian pengaruh tersebut
113 akan tersebar ke semua variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur lag VAR (Pindyck dan Rubinfeld, 1998). Oleh karena itu alat analisis ini dapat digunakan untuk melakukan simulasi dinamis untuk peramalan masa yang akan datang. Teknik inovasi yang digunakan adalah teknik impulse response function dan forecast error variance decomposition. Dengan menggunakan metode IRF akan dilakukan guncangan (shocks)
terhadap variabel-variabel
ekspor, misalnya terhadap ekspor non agro industri manufaktur (XNAI), ekspor produk pertanian (XPT), dan ekspor agro industri manufaktur (XAI). Dengan melakukan shock terhadap setiap variabel ekspor, maka dapat diketahui pengaruhnya pada masing-masing variabel dalam sistem termasuk terhadap variabel yang bersangkutan baik periode jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan kata lain metode IRF dapat menelusuri pengaruh dinamis dari suatu guncangan standard deviasi terhadap suatu inovasi pada saat ini dan nilai dimasa mendatang atas variabel endogen lainnya.
4.7.5. Forecast Error Variance Decomposition Untuk mengetahui respon suatu variabel tertentu yang diukur dengan perubahan variasi kesalahan (error variance) pada variabel tersebut yang disebabkan oleh guncangan variabel-variabel lainnya dalam sistem persamaaan VAR, maka akan digunakan metode analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Variance decomposition dapat memberikan informasi variabilitas kontribusi dari masing-masing inovasi secara random terhadap variabel-variabel dalam sistem VAR (Enders, 1995). Metode analisis ini memberikan gambaran dinamika dari variabel-variabel dalam sistem persamaan VAR. Karena dari analisis ini dapat memberikan
114 informasi kemampuan setiap variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya, atau dengan kata lain, untuk melihat kekuatan suatu variabel apakah sebagai variabel eksogen atau variabel endogen dalam horizon waktu tertentu, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Metode dekomposisi varian dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui besaran inovasi atau variabilitas secara relatif pada variabel makroekonomi akibat dari dampak guncangan variabel-variabel lainnnya termasuk guncangan yang disebabkan oleh variabel yang bersangkutan.
115 V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA
5.1.
Pertumbuhan Ekonomi
Petumbuhan ekonomi pada dasarnya merupakan proses perubahan PDB dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan output total dalam jangka panjang (Wijono, 2005). Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode tahun 1993 hingga 2005 dapat dijelaskan pada Gambar 8.
Pada periode tahun 1993–1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia
cukup tinggi, dengan rata-rata pertumbuhan 7.5 persen per tahun. Pada periode tersebut ekonomi Indonesia belum mengalami krisis. Namun semenjak tahun 1997 hingga 2000 dalam masa krisis, petumbuhan ekonomi mengalami penurunan dengan rata-rata negatif 0.9 persen, bahkan pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi negatif 12.9 persen. Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup berat pada tahun itu tetapi pada periode 2001-2009 masa pemulihan ekonomi, pertumbuhan ekonomi mulai membaik dengan pertumbuhan rata-rata 4.6 persen.
Pertum buhan (% )
10.0 5.0 0.0 -5.0 -10.0 -15.0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Grow th 7.5
8.2
8.0
4.6 -13.2 0.8
4.9
3.5
3.7
4.1
5.1
5.6
5.5
6.3
6.0
4.5
Tahun
Sumber : BPS, Pendapatan Nasional, Tahun 1990-2010 (data diolah).
Gambar 8. Pertumbuhan Ekonomi Riil Indonesia, Tahun 1993 – 2009
116 5.2.
Perkembangan Makroekonomi Struktural
Untuk melihat struktur perekonomian di Indonesia, dapat diketahui dari kontribusi sektor-sektor produksi terhadap PDB atau dilihat dari sisi suplai. Sektor produksi terdiri dari 9 sektor yakni, sektor
pertanian; pertambangan dan
penggalian; industri pengolahan; listrik, gas, dan air bersih; konstruksi; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan; keuangan, dan jasa-jasa. Namun demikian adakalanya sektor-sektor tersebut dibagi menjadi 3 sektor yakni, sektor primer (pertanian), sekunder (industry pengolahan), dan tersier (sektor lainnya) Untuk mengetahui kontribusi masing-masing sektor terhadap PDB dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Distribusi Persentase PDB atas Dasar Hargan Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha, Tahun 1993 – 2009 (%) Lapangan Usaha
1993
1998
2002
2004
2006
2007
2008
2009
Pertanian Industri Pengolahan
17.88
17.28
15.39
14.98
14.80
14.67
14.61
14.57
22.3
25.22
27.86
28.36
28.29
28.35
28.37
28.40
Sektor Lainnya
59.82
57.5
56.75
56.66
56.99
56.99
57.02
57.03
100
100
100
100
100
100
100
100
PDB
Sumber: BPS, Pendapatan Nasional Indonesia, Tahun 1990-2010
Industri pengolahan atau manufaktur merupakan sektor yang memberikan peranan terbersar terhadap PDB, dan menunjukkan kecenderungan meningkat selama periode 1993-2009, dengan kontribusi tahun 2009 sebesar 28.40 persen, kemudian diikuti oleh pertanian, dengan kontribusi 14.57 persen. Sedangkan kontribusi sektor lainnya, terbesar adalah dari sektor perdagangan, hotel dan restoran, sementara lainnya rata-rata di bawah 10 persen seperti sektor jasa, pertambangan, keuangan, pengangkutan, konstruksi, listrik, gas, dan air bersih.
117 Besarnya kontribusi industri manufaktur pada PDB, disebabkan oleh besarnya kontribusi dari beberapa produk seperti : textile, chemicals and rubber, leather products and footwear, food, beverage, and tobacco, and fertilizers. Peranan dari hasil-hasil industri tersebut mencapai sekitar 80 persen dari total nilai tambah sektor industri manufaktur, dan sebagian besar industri tersebut padat modal dan teknologi tinggi (Wijono, 2005). Seperti telah disinggung sebelumnya, pertumbuhan ekonomi setelah masa krisis cenderung meningkat, terutama setelah tahun 2000. Namun dilihat dari pertumbuhan secara sektoral, menurut Wijono (2005), laju pertumbuhan rata-rata tertinggi selama periode 2000-2005 adalah dari sektor transportasi dan komunikasi sebesar 10.19 persen, sementara sektor industri pengolahan hanya tumbuh rata-rata 5.03 persen, sedangkan sektor pertanian lebih kecil lagi yakni 3.93 persen, padahal sektor pertanian bersifat padat karya yang dapat menampung sekitar 40 persen tenaga kerja, bahkan di masa krisis kecenderungan jumlah pekerja di sektor pertanian cenderung meningkat. Dengan demikian jika diperhatikan perubahan struktur perekonomian di Indonesia dari pertanian ke industri atau meningkatnya peranan industri dan jasa di Indonesia tidak diikuti oleh lapangan kerja yang tersedia, bahkan Azis (1991) telah memprediksi kondisi tersebut semenjak tahun 1991, bahwa transformasi ekonomi tidak secara otomatis terhadap penyerapan tenaga kerja, karena pengembangan industri di Indonesia lebih bersifat kapital intensif. Di samping dilihat dari sektor produksi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
PDB juga dapat dilihat dari segi penggunaannya yang meliputi
konsumsi rumah tangga (C), investasi swasta (I), konsumsi pemerintah (G),
118 ekspor (X) dan impor barang-barang dan jasa (M). Cara ini dikenal juga dengan sebutan pendekatan sisi permintaan. Untuk mengetahui perkembangan kontribusi konsumsi, ekspor, dan impor terhdap PDB berdasarkan, dapat dilihat pada Gambar .
Kontribusi pada PDB
80 60 40 20 0
1993
1996
1998
1999
2002
2005
2007
2009
C
58.52
62.07
69.09
71.72
61.17
60.45
61.66
57.35
X
26.75
27.82
36.59
24.22
37.82
41.01
42.2
42.81
M
23.72
29.41
35.19
20.71
28.04
32.64
34.99
32.54
Tahun
Sumber : BPS, Pendapatan Nasional, Tahun 1990-2010 (data diolah) Gambar 9. Perkembangan Distribusi Konsumsi, Ekspor, impor terhadap PDB atas Dasar Harga Konstan 1993, Tahun 1993 - 2009
Kalau diperhatikan dari Gambar 9, tampaknya dari tahun 1993-2009, pengeluaran konsumsi rumah tangga masih memberikan peranan yang terbesar terhadap PDB Indonesia. Dengan peranan rata-rata di atas 60 persen setiap tahun, kondisi tersebut menunjukkan bahwa, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini relatif
lebih
banyak
didorong
oleh
tumbuhnya
konsumsi
masyarakat,
dibandingkan dengan dorongan dari pertumbuhan investasi (pembentukan modal domestik). Kondisi ini akan membawa konsekuensi terhadap kurangnya penyerapan tenaga kerja (pengangguran meningkat), karena konsumsi masyarakat sebagian juga disuplai dari produk-produk akhir dari impor, yang akhirnya dalam jangka panjang akan mempengaruhi perkembangan perekonomian makro secara
119 keseluruhan. Akan berbeda hasilnya, apabila pertumbuhan ekonomi lebih banyak didorong oleh pembentukan modal (investasi). Kontribusi konsumsi rumah tangga menunjukkan trend meningkat hingga tahun
1999,
setelah
itu
menurun,
sementara
perkembangan
ekspor
kecenderungannya meningkat, termasuk pada saat konsusmsi menurun pada tahun 1999 ke tahun 2002. Jika dicermati peranan ekspor cenderung meningkat dari tahun 2002 hingga tahun 2009, walaupun demikian impor juga meningkat, namun peningkatannya masih lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan ekspor. Di sisi lain kontribusi konsumsi rumahh tangga masih relatif tinggi, namun sesungguhnya kemampuan untuk menyediakan lapangan kerja terbatas jika dibandingkan dengan investasi. Kendatipun demikian dari data BPS telah menunjukkan bahwa sejak pemulihan ekonomi hingga tahun 2005 pengeluaran konsumsi, khususnya konsumsi rumah tangga masih merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika tahun 1993 pengeluaran konsumsi rumah tangga berperan sebesar 58.52 persen dan tahun 1999 peranan konsumsi tersebut meningkat menjadi 71.72 persen, hingga tahun 2005 peranan konsumsi rumah tangga masih tetap dominan yaitu sebesar 61.66 persen, dan pada tahun 20062009 peranan konsumsi masih tinggi, yakni di atas 56 persen. Sebenarnya peranan konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek tidak menjadi persoalan. Namun jika hal tersebut terjadi dalam jangka panjang, maka dapat menimbulkan dampak terhadap meningkatnya impor dan jumlah pengangguran apabila produksi domestik tidak dinaikkan. Peningkatan produksi berarti perlu adanya kenaikan investasi. Apabila hingga jangka panjang kapasitas produksi nasional tidak meningkat, tapi justru
120 dipenuhi dengan produk impor, maka persoalan–persoalan baru akan muncul seperti gejolak nilai tukar rupiah, sehingga akan memiliki dampak berantai pada berbagai sektor, dan akhirnya berpengaruh pada PDB. Oleh sebab itu peningkatan produksi melalui peningkatan investasi yang akan datang harus terus diupayakan, baik investasi bersumber dari masyarakat domestik, asing, maupun pemerintah.
5.3. Perkembangan Kesempatan Kerja Masalah angkatan kerja di Indonesia meliputi masalah kualitas dan kuantitas. Pertumbuhan angkatan kerja yang cepat akan membawa beban tersendiri bagi perekonomian dalam menciptakan lapangan kerja. Apabila tidak dapat menampung kecepatan pertumbuhan angkatan kerja yang baru, maka bagi angkatan kerja yang tidak tertampung akan menambah jumlah pengangguran. Oleh karena itu penciptaan lapangan kerja baru merupakan salah satu tujuan pembangunan dalam perekonomian. Namun demikian pembangunan ekonomi belum dapat menampung kenaikan angkatan kerja yang terjadi, baik dari pendatang baru maupun dari lulusan sekolah yang masuk dalam angkatan kerja. Masalah angkatan kerja di Indonesia, bukan saja masalah kuantitas, tapi juga masalah kualitas pekerja atau sumberdaya manusia. Masalah kualitas ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang diselesaikan dan tingkat produktivitas kerja masih relatif rendah. Akibatnya tingkat partisipasi angkatan kerja Indonesia juga masih relatif rendah. Sejak terjadinya krisis di Indonesia pada tahun 1998 jumlah pengangguran meningkat cepat. Hal ini terjadi karena dampak krisis tersebut menyebabkan terjadinya kelesuan ekonomi hampir diseluruh sektor. Setelah terjadinya kelesuan tersebut, perusahaan-perusahaan banyak yang melakukan pemutusan hubungan
121 kerja (PHK), akibatnya terjadi depresi ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi hingga sekitar minus 13 persen, sehingga jumlah pengangguran meningkat dengan cepat. Walaupun demikian pembangunan ekonomi terus digalakkan, karena salah satu tujuannya adalah menciptakan lapangan kerja yang cukup untuk menyerap pertambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja, yang lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan lapangan kerja baru. Untuk mengukur kemampuan penyerapan angkatan kerja tersebut biasanya digunakan konsep elastisitas kesempatan kerja, yaitu mengukur kemampuan kualitas pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan angkatan kerja. Menurut perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS), akibat pertumbuhan ekonomi yang negatip menyebabkan industri yang ada tidak mampu menyediakan lapangan kerja baru untuk menampung tambahan angkatan kerja. Kondisi tersebut terjadi karena pada saat yang sama terjadi kenaikan suku bunga pinjaman yang cukup tinggi. Sehingga perusahaan-perusahaan tidak melakukan perluasan maupun melakukan investasi baru. Kemudian akibat krisis ekonomi yang terjadi, memicu terjadinya ketidak stabilan politik dan keamanan, serta tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan kepercayaan investor terus menurun, bahkan terjadi aliran modal keluar negeri yang juga mengakibatkan terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah. Walaupun secara teoritis menurunnnya nilai tukar rupiah dapat meningkatkan ekspor, tapi peningkatan ekspor yang terjadi tidak terlalu besar, karena tingkat inflasi dalam negeri yang tinggi juga menyebabkan tingkat efisiensi menurun. Sebagai gambaran tentang perkembangan penyerapan angkatan kerja yang dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, baik sebelum krisis, masa krisis, maupun setelah krisis dapat dilihat melalui Gambar 10.
122 Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa terdapat pola hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi
dengan penyerapan
kesempatan kerja,
walaupun
pertumbuhan kesempatan kerja relatif lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu untuk dapat menampung angkatan kerja yang belum bekerja, harus diupayakan dapat menciptakan lapangan kerja baru. 10
5
Persen
0
-5
-10
-15 Eco Gr
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 7.5
Emp Gr 3.58
8.2
7.8
2.55 1.87
4.9
3.4
3.7
1.71 -0.99 1.99 4.68
4.7
-13.2
0.8
3.10
4.00 5.19
4.3
5.6
5.50 6.35
6.01 4.55
4.92 5.00
5.2
5.54 4.69
2.62 2.26
Tahun
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, tahun 1992-2010 BPS, Keadaan Angkatan Kerja Indonesia, tahun 1992-2010. Gambar 10.
Pola Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Kesempatan Kerja, Tahun 1993 – 2009.
Salah satu cara untuk menciptakan lapangan kerja baru adalah dengan mempercepat peningkatan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Jika tidak demikian pengangguran tetap saja akan meningkat. Gambar 10, menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang fluktuatif dan lambat, terutama semenjak krisis hingga tahun 2003. Sejak tahun 2005 pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5 persen, namun pada tahun 2009 kembali menurun. Di lain pihak pertumbuhan employment lebih lambat, walaupun dari tahun 2003 hingga 2006 pertumbuhan employment cukup tinggi, namun setelah itu kembali menurun hingga tahun 2009.
123 Sebenarnya agar tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, maka iklim investasi harus diperbaiki. Sejalan dengan peningkatan investasi tersebut agar dapat terus tumbuh, daya saing juga harus ditingkatkan sehingga produksi domestik dan ekspor juga akan terus meningkat. Peningkatan investasi dan produksi dengan daya saing tinggi akan meningkatkan aktivitas perekonomian di dalam negeri sehingga penciptaan lapangan kerja baru dapat menurunkan jumlah pengangguran. Namun di samping itu, proses pembangunan akan berjalan baik, apabila diikuti berbagai kebijakan yang mendukung di setiap tahapan, misalnya kebijakan penetapan suku bunga pinjaman yang rendah, infrastruktur yang memadai, pelayanan yang cepat dan tidak korup. Peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi akan memberikan dampak lebih tinggi dalam penyediaan lapangan kerja dibandingkan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang sumber utamanya dari pengeluaran konsumsi seperti yang terjadi selama ini. 5.4. Daya Saing Produk Tingkat daya saing ekspor Indonesia, di samping karena persoalan efisiensi produksi yang masih rendah, juga terdapat persoalan--persoalan lain yang terkait dengan perkembangan investasi, seperti biaya birokrasi yang tidak berhubungan secara langsung dengan biaya dalam proses produksi. Keterkaitan dengan biaya birokrasi tersebut, di samping jumlah biaya yang harus dikeluarkan cukup besar, juga lamanya waktu yang diperlukan untuk mengurus suatu usaha bisnis, mulai dari pendirian hingga beroperasinya suatu perusahaan (ekonomi biaya tinggi). Peringkat daya saing Indonesia dapat dilihat pada laporan world economic forum (WEF) melalui the global competitiveness report berbagai publikasi
124 tahunan. Misalnya pada tahun 1996 dan tahun 1999 daya saing global Indonesia masing--masing berada pada peringkat 30, dan 37. Kemudian pada tahun 2000 berada peringkat 44, kemudian menurun lagi ke peringkat 47 pada tahun 2005. dan pada tahun 2008 mengalami kenaikan menjadi peringkat 44, namun tahun 2009 kembali menurun ke peringkat 46. Jika diperhatikan dari tahun ke tahun daya saing Indonesia mengalami naik turun, sementara di beberapa negara--negara di lingkungan ASEAN, hanya Vietnam yang berada di bawah peringkat Indonesia, yakni peringkat 48 pada tahun 2009. Oleh karena itu harus ada upaya maksimal dari segenap masyarakat yang terlibat, agar daya saing Indonesia dapat meningkat. Jika tidak ada upaya yang lebih maksimal untuk meningkatkan daya saing produk domestik, baik di pasaran dalam negeri maupun luar negri, maka akan sulit bagi Indonesia untuk menjadikan komoditas ekspor sebagai sumber utama dalam pertumbuhan ekonomi. 5.5.
Perkembangan Perdagangan Luar Negeri
Salah satu aspek penting dalam perekonomian suatu bangsa adalah perdagangan luar negeri. Pada jaman modern sekarang ini setiap negara telah melakukan hubungan perdagangan dengan negara lain, demikian halnya dengan bangsa Indonesia. Perdagangan luar negeri bagi bangsa Indonesia terasa semakin penting, bukan semata-mata dilihat dari perolehan devisa dari ekspor, akan tetapi juga terkait dengan kebutuhan impor barang-barang modal dan bahan baku dalam rangka memacu produksi baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk meningkatkan ekspor.
125 5.5.1. Perkembangan Ekspor Indonesia Setelah masa kejayaan penerimaan dari minyak dan gas (migas) berlalu, fokus ekspor Indonesia beralih ke ekspor non migas. Sehingga kinerja ekspor Indonesia tidak lagi ditentukan oleh ekspor migas, tapi lebih ditentukan oleh ekspor non migas. Dalam upaya meningkatkan ekspor non migas ini tampak perkembangannya masih relatif lambat. Kedaan ini disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terutama disebabkan oleh masalah inefisiensi, sementara fator eksternal dapat bersumber dari negara-negara kompetitor, dan juga kondisi ekonomi negara-negara tujuan ekspor, di samping itu, juga disebabkan oleh keadaan perekonomian dunia, khususnya yang berasal dari negara-negara maju sebagai tujuan ekspor. Ekspor non migas Indonesia terdiri dari berbagai macam barang dengan tujuan banyak negara, namun komposisinya sangat tidak berimbang. Komoditas ekspor Indonesia sebagian besar didominasi oleh beberapa jenis barang tertentu, demikian pula tujuan ekspor Indonesia terkonsentrasi pada beberapa negara tertentu saja. Sehingga penerimaan total ekspor Indonesia sangat tergantung pada ekspor barang-barang tertentu dan negara tujuan ekspor tertentu. Kondisi seperti ini sangat rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi karena sifat ketergantungan tersebut. Misalnya jika terjadi penurunan harga dan permintaan baik terhadap komoditi utama maupun terhadap negara tujuan utama. Masalah ini akan memiliki resiko pada defisit neraca perdagangan dan berlanjut pada tekanan terhadap neraca pembayaran internasional. Apabila produksi di dalam negeri tidak tersalurkan
ke
pasaran
internasional,
berarti
dampak
negatip
terhadap
perekonomian dalam negeri akan terjadi. Dampak negatip berupa kemerosotan
126 ekspor dimasa lalu memang masih dapat diatasi dengan kebijakan devaluasi, namun pada regim valuta asing, seperti yang di anut oleh bank Indonesia sekarang ini, yakni kurs mengambang (floating exchange rate) maka kebijakan devaluasi tidak lagi akan efektip untuk diberlakukan. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah ketergantungan tersebut, bangsa Indonesia telah melakukan upaya perluasan negara tujuan ekspor, serta meningkatkan diversifikasi
komoditas
ekspor. Karena jika tidak demikian, maka mudah sekali terkena dampak negatip akibat perubahan baik di negara tujuan ekspor maupun perubahan terhadap permintaan komoditi ekspor, sehingga penerimaan ekspor akan menurun. Kinerja ekspor suatu negara tidak hanya dilihat dari besaran nilai atau volumenya saja, tapi juga harus dilihat dari diversifikasinya, baik jenis komoditasnya, dalam arti ragam produknya, atau intensitas penggunaan teknologi terhadap suatu produk, maupun negara-negara tujuan ekspor (Francis, 2003; Tambunan, 2001; Cuaresma dan Worz, 2000). Walaupun demikian kenaikan atau pertumbuhan
ekspor
juga
merupakan
bagian
dari
keberhasilan
dalam
mengembangkan pasar produk-produk dalam negeri. (Tambunan, 2001; Dumairy, 1996). Sebagai gambaran keberhasilan dalam perkembangan ekspor Indonesia dapat dilihat melalui Tabel 8. Nilai ekspor non migas Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Tahun 1993 nilai ekspor non migas Indonesia adalah sebesar 27077.1 juta dolar Amerika, pada tahun 2000 telah meningkat menjadi 47757.4 juta dolar Amerika, berarti telah hampir 2 kali lipat, dan tahun 2005 nilai ekspor non migas telah menjadi 66428.5 juta dolar Amerika, kemudian nilai ekspor non migas terus meningkat hingga tahun 2008 menjadi 107894.1 juta dolar Amerika, kemudian tahun 2009 mengalami penurunan. Penurunan ekspor pada
127 tahun 2009 bersumber dari ekspor pertanian dan hasil industri, sedangkan ekspor pertambangan meningkat. Tabel 8, juga menunjukkan bahwa ekspor terbesar adalah berasal dari industri manufaktur, yakni rata-rata 84 persen, kemudian diikuti oleh ekspor komoditas pertanian dengan rata-rata 7 persen dan cenderung menurun, serta ekspor komoditas pertambangan
rata-rata sebesar 7 persen,
walaupun kecendrungannya meningkat, tapi sangat lambat.
Tabel 8. Struktur Ekspor Non Migas Indonesia Menurut Sektor Ekonomi, Tahun 1993-2009 Ekspor Non Migas (Juta US$) 1993 27077.1 1994 30359.7 1996 38092.9 1997 41821.1 1998 40975.3 1999 38873.2 2000 47757.4 2005 66428.5 2006 79589.1 2007 92012.3 2008 107894.1 2009 97491.7 Tahun 1993-1996 Tahun 1997-1999 Tahun 2000-2009 Tahun
Kontribusi Sektoral Ekspor (Persen) Pertanian 9.77 9.28 7.65 7.49 8.92 7.46 5.67 4.34 4.23 3.98 4.25 4.46 8.74 7.96 4.80
Industri 84.73 84.66 84.33 83.65 84.42 85.75 87.95 83.69 81.70 83.10 81.93 75.33 84.41 84.61 83.91
Pertambang 5.41 5.93 7.93 7.43 6.6 6.76 6.37 11.96 14.06 12.92 13.82 20.20 6.74 6.93 11.27
Lainnya 0.09 0.13 0.09 1.43 0.06 0.03 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.11 0.51 0.01
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1992-2010 (data diolah) Jika dilihat dari negara-negara tujuan ekspor non migas Indonesia tidak tersebar secara baik, karena terkonsentrasi pada beberapa negara tertentu yang menjadi tujuan ekspor tersebut (Tabel 9). Tabel tersebut memperlihatkan bahwa, lebih dari 40 persen dari total ekspor non migas Indonesia hanya diserap oleh tiga negara, yakni Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura, sementara negara-negara tujuan ekspor lainnya rata-rata hanya menyerap sekitar 2 hingga 3 persen saja.
128 Sejak tahun 2007, negara China telah menjadi negara tujuan ekspor Indonesia yang cukup signifikan. Peranan China dalam menyerap komoditi ekpsor Indonesia semenjak tahun 2007 hingga tahun 2009 telah mencapai rata-rata di atas 8 persen. Sehingga dominasi tujuan ekspor Indonesia sudah bertambah karena sudah termasuk negara China. Demikian juga jika dilihat per wilayah tujuan ekspor, maka ekspor non migas lebih terkonsentrasi pada wilayah Asean, dari tahun 2000 hingga 2009 rata-rata 18.7 persen. Sementara tujuan ekspor Indonesia ke wilayah Australia dan Afrika daya serapnya masih sangat rendah, yakni di bawah 4 persen.
Tabel 9. Komposisi dan Perkembangan Ekspor Menurut Negara dan Wilayah Tujuan, Tahun 2000 – 2009 (%) Negara/Wilayah1
Tahun 2000
2002
2003
2005
2007
2008
Jepang
23.2
21.25
22.28
21.07
20.71
20.25
15.94
Amerika Serikat
13.64
13.22
12.08
11.52
9.18
9.51
9.31
Singapura
10.56
9.36
8.84
9.15
9.20
9.39
8.81
Hongkong/China
2.5
2.17
1.94
1.74
8.48
8.49
9.87
Belanda
2.96
2.83
2.3
2.61
1.41
2.87
1.50
Inggris
2.43
2.19
1.86
1.51
1.27
1.13
1.25
Jerman
2.32
2.22
2.32
2.08
1.03
1.80
1.00
ASEAN
17.52
17.38
17.57
18.47
19.54
19.83
21.13
AMERIKA
16.02
15.61
14.12
13.62
11.74
12.75
11.80
UNI EROPA
13.95
13.82
13.03
11.95
11.51
11.28
11.65
AUSTRALIA
2.73
3.77
3.34
3.02
2.98
2.00
2.80
AFRIKA
1.77
2.16
2.05
1.95
0.45
0.21
2.36
Keterangan :
2009
1
Beberapa negara tujuan ekspor tidak dimasukkan karena ekspornya masih relatif kecil. Ekspor Ke Negara China semenjak Tahun 2004.
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1999-2011 (data diolah)
Negara-negara yang berada di wilayah Afrika dan Australia sebenarnya merupakan potensi tujuan ekspor Indonesia yang akan datang, hanya saja langkah kearah tersebut masih perlu dioptimalkan. Di samping itu komoditas ekspor non
129 migas Indonesia diversifikasinya juga masih kurang. Pada hal keragaman komoditas
ekspor
non
migas
Indonesia,
akan
semakin
meningkatkan
kontribusinya terhadap nilai total ekspor Indonesia. Jika diversifikasi ekspor semakin bervariasi, berarti peranan ekspor non migas akan semakin penting dalam perekonomian nasional. Terlebih lagi penerimaan yang berasal dari migas tidak lagi menjadi andalan utama, karena kontribusinya sudah sulit untuk dinaikkan.
5.5.2. Perkembangan Impor Indonesia Sejalan
dengan
meningkatnya
aktivitas
perekonomian
nasional,
pengeluaran untuk impor juga terus meningkat. Pada tahun 2000 impor Indonesia bernilai 33514.8 juta dolar Amerika. Walaupun impor sempat menurun karena nilai rupiah terdepresiasi namun pada tahun 2004 hingga tahun 2005 impor melonjak cukup tinggi, bahkan pada tahun 2005, nilai impor telah menjadi 57700.9 juta dolar Amerika. Kenaikan impor tersebut tidak terlepas dari berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tarif bea masuk, serta kemudahan dalam memperoleh ijin impor bagi banyak perusahaan. Kebijakan impor ini terkait dengan upaya pengembangan industri dalam negeri, peningkatan investasi, dan pengembangan ekspor. Dilihat dari negara asal impor, komposisi asal impor Indonesia mirip dengan komposisi ekspor menurut negara tujuan, karena impor utama berasal dari negara Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat, serta China. Jika dilihat dari Tabel 10, nampaknya lebih dari 40 persen impor Indonesia berasal dari keempat negara tersebut. Sedangkan jika ditinjau dari wilayah regional, impor Indonesia terbesar adalah berasal dari Asean, kemudian Amerika Serikat, sedangkan wilayah
130 Uni Eropa dan Australia, impor Indonesia relatif lebih rendah, bahkan impor dari Afrika masih sangat kecil. Permasalahan yang muncul memang tidak seberat seperti ketergantungan terhadap ekspor, karena untuk impor dapat dilakukan dengan negara-negara lain seperti negara-negara di Eropa maupun Asia, sementara mencari mitra dagang untuk ekspor komoditas Indonesia relatif lebih sulit dibandingkan dengan impor. Komposisi dan struktur impor dapat juga dianalisis dari penggolongan barang impor berdasarkan tujuan penggunaannya. Dalam konteks ini badan pusat statistik (BPS) mengelompokkan barang-barang impor kedalam tiga kelompok barang, yaitu barang konsumsi, barang modal, dan bahan baku.
Tabel 10. Perkembangan Komposisi Impor Menurut Negara Asal dan Wilayah, Tahun 2000 - 2009 (Persen terhadap Total Impor) (%) Tahun 2000 2002 2003 2005 2007 2008 2009 Jepang 16.1 14.09 12.99 11.97 8.76 11.71 10.17 Singapura 11.3 13.1 12.77 16.41 13.21 16.87 16.06 Amerika Serikat 10.12 8.44 8.28 6.72 6.43 6.1 7.32 Hongkong/China 6.03 7.76 9.09 10.13 11.49 11.8 14.46 Hongkong/China Jerman 3.71 3.59 3.63 3.09 2.66 2.38 2.45 Malaysia 3.37 3.32 3.5 3.72 8.61 6.91 5.87 Thailand 3.31 3.81 5.23 5.97 5.76 4.9 4.76 ASEAN 19.35 21.63 23.75 29.53 31.95 31.71 28.63 AMERIKA 13.8 11.44 11.01 9.94 11.4 8.75 9.64 UNI EROPA 5.84 5.71 5.66 4.95 8.31 8.17 8.96 AUSTRALIA 5.84 5.71 5.66 4.95 4.03 3.09 3.55 AFRIKA 2.46 5.32 4.89 2.78 3.11 1.74 2.11 Keterangan : 1Beberapa Negara asal impor tidak dimasukkan karena impornya masih relatif kecil. Negara/Wilayah1
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1998-2011 (data diolah)
Bahan baku dalam struktur impor Indonesia sangat dominan, rata-rata impor bahan baku lebih dari 70 persen setiap tahun. Kondisi ini mengindikasikan
131 bahwa industri dalam negeri sangat ketergantungan terhadap bahan baku impor. Besarnya ketergantungan ini sangat potensial menimbulkan berbagai persoalan industri di dalam negeri, terutama gangguan proses produksi industri akan tersendat. Gangguan impor tersebut dapat bersumber dari gejolak kondisi bahan baku yang bersumber dari negara asal impor. Demikan pula gejolak dapat muncul dari terdepresiasinya nlai tukar rupiah, sehingga menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi dan dapat memicu inflasi domestik, akibatnya daya saing harga produk akan menurun baik di pasaran dalam negeri maupun di luar negeri atau gejolak kondisi bahan baku yang bersumber dari negara asal impor. Impor barang-barang konsumsi yang paling banyak berdasarkan data BPS adalah jenis makanan dan minuman, kemudian impor kendaraan pribadi yang lebih kecil, karena tarif yang dkenakan sangat tinggi. Sedangkan impor bahan baku penolong seperti makanan dan minuman, bahan baku industri, bahan bakar dan pelumas, serta suku cadang. Adapun impor barang modal antara lain terdiri atas alat angkutan untuk industri, kendaraan penumpang, dan barang modal selain alat angkut yang jumlahnya paling banyak (Badan Pusat Statistik, 2008).
132
133 VI.
6.1.
PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR DAN SEKTOR PERTANIAN
Kinerja Sektor Industri Manufaktur
Sektor industri dalam sub bab ini akan menjelaskan perkembangan industri manufaktur atau pengolahan (manufacturing) yang merupakan salah satu sektor produksi atau lapangan usaha dalam perhitungan pendapatan nasional pendekatan produksi (supply side). Industri manufaktur dapat digolongkan berdasarkan beberapa sudut pandang. Di Indonesia, terdapat pengelompokan industri berdasarkan komoditas, berdasarkan skala usaha (Kuncoro, 1996). Penggolongan yang paling universal adalah menurut kelompok komoditas, yang disebut International Standard of Industrial Classification (ISIC). Secara garis besar, ISIC terdiri dari 9 kelompok komoditas seperti pada Tabel 11.
Tabel 11.
Penggolongan Industri Menurut ISIC Dua Digit
Kode
Kelompok Industri
31 32 33 34
36
Industri Makanan, Minuman, dan Tembakau Industri Tekstil, Pakaian Jadi, dan Kulit Industri Kayu, dan Barang- Barang dari Kayu, juga perabot Rumah Tangga Industri Kertas, dan Barang- Barang dari Kertas, Percetakan, dan Penerbitan. Industri Kimia dan Brg-Brg dari bahan Kimia, Minyak Bumi, Batu Bara, dan Plastik Industri Barang Galian Bukan Logam, kecuali Minyak bumi, dan Batu-bara
37 38 39
Industrti Logam Dasar Industri Barang dan Logam, Mesin, dan Peralatan lainnya Industri Pengolahan lainnya.
35
Sumber : Kuncoro, 1996.
Dari Tabel 11, tampak penggolongan industri pengolahan yang terdiri dari industri pengolahan yang tergolong agro industri seperti kode 31,32,33, dan 34.
134 Sedangkan industri pengolahan yang tergolong industri non agro dengan kode 35 hingga kode 39. Penjelasan lainnya adalah tentang kinerja industri manufaktur yang mencakup uraian mengenai perkembangan PDB manufaktur, kesempatan kerja, dan investasi di sektor industri manufaktur. Kemudian pada bagian berikutnya akan memaparkan kinerja perdagangan luar negeri yang
akan menyajikan
perkembangan ekspor dan impor, daya saing industri manufaktur, serta masalahmasalah yang terkait dengan perkembangan sektor industri manufaktur sebagai engine of growth, baik yang terkait dengan sektor produksi maupun pemasaran produk manufaktur.
6.1.1. Perkembangan Industri Manufaktur Sektor industri manufaktur sangat penting bagi perekonomian, karena di samping dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, juga dapat menciptakan lapangan kerja yang dapat menampung dan mengurangi jumlah pengangguran. Walaupun tidak semua industri manufaktur padat karya, tapi sebagian dari industri manufaktur juga bersifat padat karya sebagaimana halnya sektor pertanian. Di samping itu industri manufaktur juga merupakan sumber nilai tambah, sehingga bahan-bahan mentah yang banyak tersedia di alam Indonesia dapat diolah menjadi barang yang bernilai tambah lebih tinggi bagi perekonomian dengan inovasi dan penerapan teknologi.
6.1.2. Kontribusi Sektor Industri Manufaktur Perkembangan industri manufaktur dari waktu ke waktu dapat dilihat dari perubahan nilai produk yang dihasilkan sekaligus merupakan wujut dari
135 kontribusinya terhadap pendapatan domestik bruto. Kontribusi sektor industri manufaktur, dan sektor-sektor lainnya terhadap PDB Indonesia secara relatif dari tahun 1993 hinggga tahun 2009 dapat dilihat pada sub bab.I, Tabel 4. Kontribusi Industri manufaktur terhadap PDB riil dari tahun 1993 hingga tahun 2005 cenderung meningkat. Pada tahuin 1993 kontribusinya 22.30 persen, meningkat menjadi 25.22 persen pada tahun 1998, kemudian pada tahun 2007 meningkat menjadi 28.10 persen, kemudian kontribusinya terus meningkat hingga tahun 2009 menjadi 28.43 persen. Jika dibandingkan dengan kontribusi sektorsektor lainnya, sektor industri manufaktur merupakan sektor yang paling dominan memberikan kontribusinya dalam pembentukan PDB riil setelah pertanian, di samping itu perkembangannya secara relatif juga cenderung meningkat. Sedangkan sektor lainnya, misalnya sektor pertanian, pertambangan, dan listrik, konstruksi, dan pengangkutan memberikan kontribusi hingga tahun 2009 secara relatif cenderung menurun, sementara sektor perdagangan, keuangan, dan jasajasa perkembangannya relatif stabil. Di samping dilihat dari kontribusinya terhadap PDB Indonesia, peranan penting sektor industri manufaktur juga dapat dilihat dari kemampuan pertumbuhannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk mengetahui pola hubungan sektor industri manufaktur dengan PDB dilihat dari pertumbuhan masing-masing sektor yang dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 menggambarkan bahwa, industri manufaktur setelah krisis ekonomi tahun 1998 menunjukkan kinerja yang belum memadai dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, karena sektor industri manufaktur belum menyamai pertumbuhannya pada saat sebelum krisis. Sebelum krisis pertumbuhan
136 industri manufaktur selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. 15.00 10.00
Persen
5.00 0.00 -5.00 -10.00 -15.00
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gr Econ
7.50
8.20
7.80
4.70
-13.20
0.80
4.90
3.40
3.70
4.30
5.20
5.60
5.50
6.35
6.01
4.55
Gr IM
12.36
10.87
11.59
5.25
-11.44
3.92
5.98
4.10
2.46
3.50
6.38
4.63
4.59
4.67
3.66
2.11
Gr PT
0.56
4.38
3.14
1.00
-1.33
2.72
1.33
1.68
2.01
2.48
3.29
2.49
3.36
3.47
4.83
4.13
Tahun
Keterangan :
Gr Econ = Pertumbuhan Ekonomi; Gr IM=Pertumbuhan Industri Manufaktur; Gr PT = Pertumbuhan Pertanian.
Sumber
BPS, Indikator Ekononomi, Tahun 1993-2011 (data diolah)
:
Gambar 11. Pertumbuhan Sektor Industri Manufaktur, Sektor Pertanian, dan Pertumbuhan Ekonomi Riil Tahun 1993-2009
Pertumbuhan ekonomi sebelum masa krisis hingga tahun 1996, rata-rata mencapai sekitar 7.5 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan manufaktur
sebelum
krisis
rata-rata
mencapai
11.5
persen,
industri sementara
pertumbuhan sektor pertanian relatif sangat rendah dibandingkan industri manufaktur. Tingginya pertumbuhan industri manufaktur pada saat sebelum krisis, membuat petumbuhan ekonomi mampu terus berada di atas 7 persen. Besarnya peranan industri manufaktur tersebut menunjukkan, bahwa sektor industri manufaktur sangat penting bagi perekonomian nasional, karena di samping dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, sektor ini juga mampu menciptakan lapangan kerja, yang berarti dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.
137 Setelah Indonesia mengalami krisis pada tahun 1998, pertumbuhan industri manufaktur mengalami kelesuan, sehingga pertumbuhannya menurun semenjak menjelang krisis menjadi 5.25 persen pada tahun 1997, bahkan pertumbuhannya menjadi negatip 11.4 persen pada tahun 1998. Industri manufaktur kembali mengalami pertumbuhan positip setelah masa krisis, namun pertumbuhan tersebut masih mengalami fluktuatif dengan angka yang masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan sebelum krisis, hanya tahun 2004 industri manufaktur mampu tumbuh di atas 6 persen, tetapi setelah itu pertumbuhannya kembali menurun. Kondisi pertumbuhan industri manufaktur yang melambat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi global, misalnya nilai tukar rupiah yang tidak stabil akan membuat harga-harga input dari impor menjadi sangat tinggi dibandingkan dengan pra krisis. Sehingga jika tetap dipaksakan akan meningkatkan beban biaya produksi, dan daya saing juga akan menurun, yang akan berdampak pada penurunan permintaan oleh negara tujuan ekspor. Dengan demikian dari gambaran di atas menunjukkan bahwa, kinerja industri manufaktur secara
keseluruhan
sedang
mengalami
transisi,
hal
ini
terbukti
dari
pertumbuhannya yang terus mengalami penurunan hingga menjadi 3.66 persen pada tahun 2008 dan terus menurun menjadi 2.11 persen pada tahun 2009. Sedangkan
pertumbuhan
sektor pertanian
walaupun
relatif lebih
kecil
dibandingkan industri, namun menujukkan trend meningkat, hingga tahun 2008 mampu tumbuh 4.83 persen dan sedikit menurun tahun 2009 dengan pertumbuhan 4.13 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa kinerja sektor pertanian dalam hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi relatif lebih baik dibandingkan dengan industri manufaktur.
138 6.1.3. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, perkembangan industri manufaktur sangat menentukan perkembangan perekonomian nasional, yang dicerminkan oleh peranan industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan ekspor nasional. Di samping itu industri manufaktur juga berperan dalam menyediakan lapangan kerja, menciptakan nilai tambah produksi, dan kontribusinya terhadap ekspor. Secara relatif kontribusi industri manufaktur tersebut dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Pertumbuhan Kesempatan Kerja, Nilai tambah Industri Manufaktur, dan Ekspor Industri Manufaktur, Tahun 1993-2009 (%) Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Th. 1993-1996 Th. 1997-1999 Th. 2000-2005 Th.2006-2009 Th. 1993-2009
Kesempatan Kerja di Sektor Industri 23.40 -0.22 -0.40 4.10 -11.42 15.93 1.23 3.68 0.20 -5.07 -3.70 5.26 2.04 4.02 1.46 2.31 7.59 -2.87 0.26 2.46 2.68
Nilai Tambah Industri Manufaktur 12.36 10.87 11.59 5.25 -11.44 3.92 5.98 4.10 2.46 3.50 6.38 4.63 3.96 1.01 3.50 3.86 11.61 -0.75 4.51 3.08 4.50
Ekspor Industri Manufaktur 12.03 14.11 9.54 8.90 -1.12 -3.64 26.01 -10.31 2.81 5.55 19.07 14.21 16.96 17.59 15.61 -16.92 11.89 1.38 9.56 8.31 8.15
Sumber : BPS, Angkatan Kerja di Indonesia, Deprin, Tahun 1993-2010 (data diolah)
Kemampuan industri manufaktur dalam menyerap angkatan kerja dari tahun 1993 hingga tahun 2005 mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. penurunan terbesar pada tahun 1998 (-11.42 persen). karena adanya krisis yang
139 sangat berat. Namun pada tahun 1999 kembali meningkat cukup tajam (15.93 persen). kemudian kembali menurun pada tahun 2003 dan 2004. masing-masing sebesar (-5.07 persen) dan (-3.7 persen). Namun tahun 2005 kembali meningkat menjadi (5.26 persen). Meskipun demikian. jika dilihat rata-rata pertumbuhan penyerapan angkatan kerja di sektor industri manufaktur selalu positif. Tahun 1993-1996, sebelum krisis. rata-rata pertumbuhan penyerapan angkatan kerja cukup tinggi (7.5 persen), pada tahun 1997-1999 masa krisis, ratarata pertumbuhan penyerapan angkatan kerja mengalami penurunan drastis (2.87 persen), kemudian tahun 2000-2005 pasca krisis, pertumbuhannya menurun lagi menjadi hanya rata-rata tumbuh (0.26 persen). kemudian pada periode 2006-2009 pertumbuhannya kembali meningkat (2.46 persen), namun jika dilihat dari tahun 1993 hingga 2009 industri manufaktur mampu menyerap angkatan kerja rata-rata sebesar (2.68 persen). Dilain pihak kontribusi industri manufaktur dalam menciptakan nilai tambah memiliki pola yang sejalan dengan penyerapan angkatan kerja. Sebelum krisis, nilai tambah yang diciptakan oleh industri manufaktur mampu tumbuh dengan rata-rata sebesar 11.61 persen, namun pada saat krisis mengalami pertumbuhan negatip (0.75 persen). tapi setelah krisis sektor ini kembali tumbuh dengan rata-rata (4.51 persen). namun tahun 2006-2009 secara rata-rata kembali menurun dengan tumbuh 3.08 persen. dan secara rata-rata dari tahun 1993-2009 industri manufaktur masih tumbuh dengan rata-rata (4.50 persen). Sedangkan pertumbuhan ekspor manufaktur agak berbeda karena pertumbuhan ekspor komoditi manufaktur pertumbuhannya cukup tinggi. Pada periode sebelum krisis ekspor manufaktur mampu tumbuh sebesar (11.89 persen). dan pada saat terjadi
140 krisis pertumbuhan masih positip (1.38 persen), dan pasca krisis ekspor manufaktur kembali tumbuh dengan angka yang cukup tinggi (9.56 persen). Sedangkan dalam masa 16 tahun (tahun 1993-2009) ekspor manufaktur meningkat rata-rata (8.15 persen). Namun pertumbuhan ekspor pada tahun 2009 mengalami kemerosotan yang cukup besar yakni (-16.92 persen).
6.1.4. Perkembangan Ekspor Manufaktur Indonesia Ekspor industri manufaktur memiliki peranan yang besar terhadap penerimaan devisa melalui kontribusinya pada total ekspor Indonesia, khususnya ekspor non migas. Menurut Gillis, et.al (1992), pertumbuhan manufaktur Indonesia dilatar belakangi oleh pengembangan industri-industri substitusi impor, terutama barang-barang konsumtif yang sebelumnya di impor dari luar negeri. Periode industri substitusi impor berlangsung cukup lama, yang dimulai tahun 1970 hingga pertengahan tahun 1980an. Selama berlangsungnya substitusi impor, kebijakan industri dan perdagangan sangat protektif, dengan cara menerapkan tarif impor yang sangat tinggi terutama terhadap barang-barang konsumsi, di samping itu juga dikenakan pajak penjualan barang-barang impor, tetapi untuk barang-barang modal dan bahan baku tarifnya sangat rendah. Tingginya tarif bea masuk serta dikenakannya pajak penjualan terhadap barang impor tersebut menyebabkan ekspor kurang berkembang, karena perusahaan-perusahaan lebih tertarik pada pasar dalam negeri yang pada saat itu harganya mampu bersaing dengan barang-barang impor. Di samping itu fasilitas subsidi dan proteksi banyak diberikan kepada industri. Karena ekspor kurang berkembang,
maka
cadangan
devisa
mengalami
keguncangan.
Setelah
pertengahan tahun 1980-an, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan yang
141 berorientasi pada ekspor (export promotion). Semenjak itulah ekspor non migas Indonesia mulai berkembang, terutama yang bersumber dari ekspor manufaktur (Parningotan, 2000). Ekspor non migas terus mengalami perkembangan, baik dari jenis produk yang di ekspor, maupun dari negara tujuan ekspor. Komoditas ekspor produkproduk industri Indonesia terdiri dari banyak jenis. Dari beberapa jenis produk ekspor manufaktur tersebut, terdapat beberapa jenis produk unggulan seperti, kayu lapis, kayu olahan, tekstil, pakaian jadi, karet olahan, minyak sawit, alat-alat listrik, makanan olahan, bahan kimia, dan kertas. Secara lengkap perkembangan ekspor manufaktur Indonesia dapat dilihat pada Tabel 13. Perkembangan ekspor manufaktur secara periodik terus mengalami kemajuan. Hal tersebut terlihat dari jumlah komoditasnya yang unggul terus bertambah. Jika diperhatikan pada periode tahun 1993-1996, komoditi utama ekspor manufaktur yang dapat memberikan kontribusi besar terhadap total ekspor non migas manufaktur, baru berjumlah 5 jenis produk, secara rata-rata kontribusi masing-masing produk adalah.
kayu lapis (9.06 persen), pakaian jadi (13.02
persen), tekstil (10.45 persen), karet olahan (6.36 persen) dan peralatan listrik (4.52 persen). Pada periode tahun 1997-1999, jumlah komoditi unggulan berkembang menjadi 7 jenis produk, secara rata-rata kontribusi masing-masing produk adalah, kayu lapis (5.34 persen), pakaian (11.47 persen),
karet
olahan
(5.14 persen),
jadi (7.43 persen), tekstil minyak
sawit (3.21 persen),
peralatan listrik (4.43 persen), dan kertas dan barang dari kertas (4.67 persen), sedangkan pada periode tahun 2000-2005, jumlah komoditi unggulan berkembang
142 Tabel 13. Ekspor Hasil-Hasil Industri Manufaktur Non Migas, Tahun 1993-2009 (%) Tahun 1 1993 1994 1995 1996 RataRata 1997 1998 1999 RataRata 2000 2001 2002 2003 2004 2005 RataRata 2006 2007 2008 2009 RataRata
Kayu Lapis
Kayu Olah Lain
Brg dari Logam
Pakaian jadi
Tekstil lainnya
Karel olahan
Makanan ternak
Minyak Atsiri
Minyak Kelapa Sawit
Asam Berlemak
2 18.55 16.44 0.40 0.85
3 5.44 3.76 3.66 3.77
4 2.22 2.60 3.40 3.25
5 15.28 12.58 11.55 12.69
6 11.65 10.01 9.60 10.56
7 4.63 5.42 7.47 7.90
8 0.73 0.61 0.48 0.73
9 0.28 0.30 0.27 0.28
10 2.06 2.79 2.55 2.93
11 0.62 0.95 1.12 0.74
9.06 0.79 0.79 0.84
4.16 4.80 7.20 4.01
2.87 2.42 2.14 2.16
13.02 9.14 0.85 12.29
10.45 10.46 13.70 10.25
6.36 6.32 5.11 3.98
0.64 0.40 0.32 0.26
0.28 0.28 0.40 0.34
2.58 4.13 2.15 3.34
0.86 0.28 1.37 0.57
0.81 0.60 0.62 0.50 0.55 0.61 1.11
5.34 3.11 3.15 3.07 3.04 2.89 2.62
2.24 2.27 2.02 1.54 2.11 3.77 4.43
7.43 11.78 12.52 10.56 10.32 9.24 9.10
11.47 8.65 8.49 7.94 7.50 6.89 6.66
5.14 3.31 3.38 4.24 5.34 6.27 6.50
0.33 0.22 0.22 0.28 0.29 0.31 0.26
0.34 0.29 0.37 0.39 0.40 0.40 0.38
3.21 2.59 2.87 5.40 6.00 7.07 6.76
0.74 0.40 0.34 0.40 0.38 0.63 0.58
0.66 2.32 1.99 1.73 1.62
2.98 2.80 2.03 1.46 1.48
2.69 4.70 5.57 4.85 3.24
10.59 8.62 7.47 6.89 7.81
7.69 6.01 5.46 4.67 4.91
4.84 8.41 8.08 8.57 6.63
0.26 0.26 0.42 0.49 0.34
0.37 0.33 0.37 0.42 0.46
5.12 7.41 10.29 14.00 14.12
0.45 0.55 0.65 0.83 0.74
1.91
1.94
4.59
7.70
5.26
7.92
0.38
0.39
11.45
0.69
Bahan Kimia
Kertas & Brg Kertas
Tabel 13. Lanjutan
Tahun 12 1993 1994 1995 1996 RataRata 1997 1998 1999 RataRata 2000 2001 2002 2003 2004 2005 RataRata 2006 2007 2008 2009 RataRata
Alatalat Listrik
Makanan Olahan
Semen
Barang Anyam
Pupuk
Kulit & Brg dari Kulit
Lainnya
Jumlah
13 7.14 2.79 3.14 5.01
14 1.90 3.17 2.79 3.41
15 0.28 0.12 0.03 0.07
16 0.23 0.21 0.23 0.23
17 1.15 1.36 1.77 1.96
18 0.67 0.47 0.95 0.96
19 0.32 0.27 0.22 0.23
20 2.18 2.62 3.45 3.39
21 24.80 33.35 33.96 41.03
22 100.00 100.00 100.00 100.00
4.52 3.92 4.31 5.08
2.82 2.65 2.49 3.09
0.12 0.11 0.24 0.41
0.22 0.14 0.05 0.19
1.56 2.06 2.92 2.96
0.76 0.99 0.56 0.60
0.26 0.30 0.50 0.27
2.91 2.98 4.71 6.33
33.29 40.54 40.58 38.35
100.00 100.00 100.00 100.00
4.43 7.53 6.92 6.97 7.63 7.16 7.85
2.74 2.39 2.91 3.22 3.17 3.23 3.31
0.26 0.34 0.43 0.29 0.22 0.21 0.21
0.13 0.18 0.22 0.21 0.18 0.15 0.12
2.65 3.06 3.29 3.29 3.76 4.00 3.74
0.72 0.53 0.36 0.37 0.48 0.19 0.31
0.36 0.27 0.27 0.21 0.22 0.22 0.23
4.67 5.74 5.69 5.70 5.13 4.73 4.26
39.82 43.20 42.36 41.85 40.22 39.66 40.20
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
7.34 6.84 6.32 5.94 6.24
3.04 3.02 2.96 3.39 4.03
0.28 0.34 0.26 0.18 0.21
0.18 0.11 0.09 0.06 0.06
3.52 4.15 4.45 3.12 2.94
0.37 0.03 0.29 0.18 0.30
0.23 0.27 0.30 0.26 0.24
5.21 4.40 4.41 4.30 4.64
41.25 39.45 38.58 38.66 40.01
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
6.34
3.35
0.24
0.08
3.66
0.20
0.27
4.44
39.17
100.00
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1994-2010 (data diolah)
143 menjadi 9 jenis produk, secara rata-rata kontribusi masing-masing produk adalah, kayu lapis (2.98 persen), pakaian jadi (10.59 persen), tekstil (7.69 persen), karet olahan (4.84 persen), minyak sawit (5.12 persen), peralatan listrik (7.34 persen), makanan olahan (3.04 persen), bahan kimia (3.52 persen), serta kertas dan barang dari kertas (5.21 persen), sementara komoditi lainnya rata-rata masih di bawah 3 persen. Sedangkan pada periode 2006-2009, jumlah komoditi unggulan tidak bertambah, tetap 9 jenis. Kinerja ekspor manufaktur juga dapat dilihat dari kontribusinya terhadap total ekspor, terutama ekspor non migas. Ekspor non migas dapat dikelompokkan menjadi empat jenis kelompok produk ekspor yakni, kelompok produk ekspor manufaktur, ekspor pertanian, ekspor pertambangan, dan ekspor lainnya. Perkembangan kelompok produk ekspor tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.
100 90
Kontribusi (% )
80 70 60 50 40 30 20 10 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 P
I
T
Tahun
Keterangan : P = Pertanian, I = Industri Manufaktur T = Pertambangan Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1990-2010, dan Tabel 8. Gambar 12. Kontribusi Nilai Ekspor Pertanian, Industri Manufaktur, dan Pertambangan terhadap Total Ekspor Non Migas
144 Gambar 12 menunjukkan bahwa, kontribusi ekspor industri manufaktur merupakan kontributor utama, namun sejak tahun 2004 cenderung menurun, sementara kontribusi ekspor pertanian pada periode yang sama relatif stabil, dan kontribusi ekspor tambang cenderung meningkat. Secara kuantitatif kontribusi tersebut dapat dilihat pada Tabel 12 pada sub bab 5. Kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspor non migas sangat besar. Setiap tahun kontribusinya di atas 80 persen. bahkan mencapai hampir 90 persen pada tahun 2000. Demikian juga jika dilihat secara rata-rata kontribusinya pada periode tahun 1993-1996 sebesar 84.41 persen, kemudian menjadi 84.61 persen pada tahun 1997-1999, dan pada periode tahun 2000-2009 rata-rata kontribusi ekspor manufaktur mengalami penurunan menjadi 83.91 persen. Sementara kontribusi ekspor pertanian terhadap total ekspor non migas kecenderungannya menurun dari rata-rata 8.74 persen pada tahun 1993-1996 menjadi 7.96 persen pada tahun 1997-1999, kemudian menurun menjadi 4.80 persen pada tahun 2000-2009. Sedangkan kontribusi ekspor pertambangan cenderung naik dari rata-rata 6.74 persen menjadi 6.93 persen pada periode 19971999, kemudian pada periode tahun 2000-2009 mengalami lonjakan yang cukup tinggi dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 11.27 persen. Besarnya kontribusi ekspor manufaktur tersebut menunjukkan bahwa perkembangan ekspor Indonesia sangat tergantung komoditas ekspor manufaktur. Walaupun demikian struktur ekspor manufaktur Indonesia masih memiliki kandungan teknologi yang rendah, sehingga peningkatannya tidak terlalu tinggi, demikian juga tingkat efisiensinya relatif masih rendah, karena sebagian komoditas ekspor manufaktur memuat kandungan impor yang masih tinggi.
145 6.1.5. Perkembangan Investasi di Sektor Industri Manufaktur Kinerja sektor industri manufaktur, di samping telah memberikan kontribusi terbesar pada PDB dan ekspor non migas, sektor industri manufaktur juga berperan dalam menciptakan langan kerja, walaupun demikian, jika dibandingkan dengan kemampuan sektor pertanian, dan sektor perdagangan, masih tertinggal. Berdasarkan laporan BPS, 1994, Sektor industri manufaktur hanya mampu menyerap angkatan kerja sebesar 11 persen, sementara sektor pertanian mampu menyerap angkatan kerja 51 persen, dan perdagangan telah mampu menyerap angkatan kerja 15 persen. Oleh sebab itu secara agregatif sektor industri manufaktur masih bersifat padat modal, walaupun diantaranya padat karya seperti, tekstil dan produk tekstil, kerajinan dari kayu. Di bidang investasi, di sektor industri manufaktur berkembang cukup pesat. Sebagai gambaran, posisi kredit investasi perbankan dalam rupiah menurut sektor ekonomi dapat dilihat pada Gambar 13. 40000 35000
Miliar Rp
30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
IvPT 9841 11010 12426 13443 10678 8684 9682 10016 10354 10984 12668 15622 17982 23894 35009 IvIM 15324 15102 17572 24819 9193 7324 10784 15194 15142 17440 20992 23382 24629 31006 37992
Tahun
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1996-20010 (data diolah)
Gambar 13. Perkembangan Kredit Investasi di Sektor Pertanian dan Sektor Industri Manufaktur, Tahun 1995-2009
146 Sebelum krisis, investasi di sektor industri paling tinggi, bahkan hingga tahun 1998 kredit investasi industri meningkat cukup besar, namun pada tahun 1999 hingga tahun 2000 investasi industri mengalami penurunan, bahkan di bawah peningkatan investasi pertanian. Tapi mulai tahun 2001 investasi industri kembali mengalami kenaikan hingga tahun 2009 di atas pertumbuhan investasi di sektor pertanian. Jika diperhatikan keterkaitan antara pertumbuhan investasi dan penyerapan tenaga kerja di sektor industri manufaktur, hubungannya sangat lemah. Karena besarnya investasi di sektor industri manufaktur, tidak diikuti oleh peningkatan yang signifikan pada pertumbuhan kesempatan kerja di sektor tersebut. Sementara di sektor pertanian walaupun tingkat investasinya tidak terlalu besar, tapi dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Dari kondisi tersebut jelas bahwa, industri manufaktur termasuk padat modal, sementara sektor pertanian adalah padat karya. Walaupun demikian di sektor industri manufaktur juga terdapat beberapa industri yang padat karya, misalnya industri makanan dan minuman, kerajinan kayu, produk tekstil. Tenaga kerja dikedua sektor tersebut memiliki perbebedaan, di sektor industri manufaktur tenaga kerjanya memiliki kelebihan pada ketrampilan dan keahlian. Sementara di sektor pertanian sebagian besar tenaga kerja yang terserap kurang memiliki ketrampilan dan keahlian di bidangnya masing-masing, sehingga produktivitas tenaga kerjanya juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan sektor industri manufaktur.
6.1.6. Beberapa Permasalahan yang Terkait dengan Ekspor Manufaktur Dari gambaran di atas, sektor industri manufaktur menunjukkan peran
147 yang sangat besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan penerimaan devisa. Namun demikian dibalik keberhasilan sektor industri manufaktur, juga masih terdapat beberapa persoalan yang dihadapi, baik dari proses produksi, konsentrasi pasar, terlebih lagi daya saing produk industri manufaktur, baik di pasaran dalam negeri maupun di pasaran luar negeri, sehingga menyebabkan perkembangan industri manufaktur dari tahun ke tahun
masih
relatif lambat. Di antara permasalahan yang dihadapi industri manufaktur adalah sebagai berikut.
1. Diversifikasi Pasar Ekspor Manufaktur
Sebagaimana persoalan yang terjadi pada ekspor Indonesia pada umumnya, pasar ekspor komoditi utama hanya tertuju pada beberapa negara saja, dalam arti memiliki ketergantungan yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena tujuan ekspor manufaktur kurang bervariasi. Negra-negara utama tujuan ekspor Indonesia adalah Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Sementara komoditas utama yang termasuk dalam kategori tersebut, adalah tekstil dan produk tekstil, alat-alat listrik, dan hasil-hasil perkebunan seperti kopi, minyak kelapa sawit, dan karet. Komoditi-komoditi tersebut sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Demikian pula menurut Juswanto dan Mulyanti (2003), masalah utama ekspor manufaktur Indonesia adalah terkonsentrasinya pasar dan komoditi utama. Ekspor manufaktur Indonesia terkonsentrasi pada negara-negara Jepang dan NIEs (Singapura, Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong), serta Amerika serikat. Sementara komoditinya terkonsentrasi pada ekspor manufaktur jenis SITC 6 dan SITC 8 (hasil-hasil industri dari bahan baku, dan hasil industri lainnya). Negara-
148 negara tujuan utama ekspor manufaktur tersebut dapat menyerap lebih dari 60 persen adalah dari total ekspor manufaktur Indonesia.
2. Daya Saing Produk Industri Manufaktur
Kinerja sektor industri manufaktur hingga tahun 2005, merupakan sektor yang dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia (engines of economic growth). Kondisi ini telah diperlihatkan melalui kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi baik secara absolute maupun secara relatif. Demikian pula peranannya terhadap ekspor manufaktur yang tumbuh dengan cepat dari tahun ke tahun. Namun semenjak krisis tahun 1998 pertumbuhan atau kontribusi sektor manufaktur agak melambat. Dilihat dari pertumbuhannya, industri manufaktur dapat menjadi landasan untuk mendorong peningkatan produksi, dan peningkatan produksi akan mendorong kegiatan pasar, baik input maupun output, di pasaran dalam negeri maupun di pasaran luar negri. Pasar input akan meningkatkan permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja, investasi, maupun bahan-bahan baku, termasuk impor input dari luar negeri. Sedangkan di pasar output, dapat meningkatkan pemasaran produk-produk di dalam negeri dan pasar ekspor. Perusahaanperusahaan yang terkait dengan orientasi ekspor, selalu berusaha untuk mengembangkan teknik produksi dengan berbagai inovasi dan penggunaan teknologi agar produktivitas dan efisiensi dapat meningkat. Dengan demikian daya saing produk manufaktur akan meningkat, baik di pasaran dalam negeri maupun di pasaran luar negeri Jika dilihat dari kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspor non migas, ekspor manufaktur adalah merupakan kontributor terbesar (Tabel 8).
149 Namun
walaupun
ekspor
manufaktur
terus
meningkat,
akan
tetapi
pertumbuhannya dari tahun ke tahun bersifat fluktuatif, dan secara relatif pertumbuhannya cenderung melambat, terutama pasca krisis 1998. Salah satu penyebab melambatnya pertumbuhan ekspor manufaktur adalah,
faktor daya
saing yang kian merosot. Karena dari sisi penawaran, kinerja ekspor akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan daya saing. Daya saing tersebut erat kaitannya dengan biaya produksi. Biaya produksi berkaitan dengan berbagai persoalan domestik, di samping terkait dengan fluktuasi nilai tukar rupiah. Persoalan kemampuan daya saing, dapat disebabkan oleh kurang kondusifnya lingkungan usaha di dalam negeri. Menurut catatan World Economic Forum (WEF) tahun 2006, posisi daya saing ekonomi Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 104 negara yang diteliti. Secara lengkap perkembangan posisi daya saing Indonesia selama tahun 2000 hingga tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Peringkat Daya Saing Industri Non Migas Dunia, Tahun 2000-2009 NEGARA Argentina Brazil Hongkong India Indonesia Korea Malaysia Philippines Singapore Thailand
2000 42 38 9 41 43 29 26 35 2 31
2001 45 40 4 42 46 29 28 39 3 34
2002 48 37 13 41 47 29 24 40 8 31
2003 58 52 10 50 57 37 21 49 4 30
2004 59 53 6 34 58 25 16 52 2 29
2005 58 51 2 39 57 29 28 49 3 27
2006 2007 58 55 52 52 4 2 36 29 54 59 32 38 19 23 48 49 3 3 28 32
2008 56 54 2 36 46 32 21 50 3 28
2009 56 51 3 30 49 28 21 46 2 26
Sumber : Deprin (2000-2005, WEF (2006-2009) Dari Tabel 14 tampak bahwa dari tahun 2000 hingga 2006, peringkat daya saing Indonesia menunjukkan arah yang terus menurun. Jika pada tahun 2000 daya saing Indonesia berada pada peringkat 43, India, Malaysia, dan Thailand
150 pada tahun yang sama masing-masing berada pada urutan ke 41, 26, dan 31. Posisi daya saing industri Indonesia berturut-turut terus menurun, dari urutan ke 43 tahun 2000, menjadi urutan ke 46 (2001), terus menurun menjadi urutan ke 57 (2003), dan urutan ke-59 (2006), pada tahun yang sama masih di bawah Argentina (55), Brazil (52), dan Philippines (49). Kemudian dari tahun 2006 ke 2007 hingga 2008 daya saing Indonesia mengalami kenaikan, namun tahun 2009 kembali turun dari peringkat 46 ke 49. Sementara di tingkat negara-negara ASEAN, Indonesia memiliki urutan daya saing yang terendah setiap tahun. Negara lainnya yang hampir menyamai rekor Indonesia antara lain, Argentina, Brazilia, dan Philippines. Sedangkan negara India, Malaysia, dan Thailand daya saingnya terus mengalami peningkatan. Rendahnya daya saing produk-produk industri manufaktur Indonesia antara lain disebabkan oleh ekonomi biaya tinggi, terbatasnya infrastruktur, dan rendahnya produktivitas. Indikator ekonomi biaya tinggi tercermin pada tingginya biaya produksi, dibandingkan denganbeberapa negara di kawasan Asia lainnya. Misalnya dari hasil penelitian Bank Indonesia (2006), bahwa kontribusi biaya pajak dan pungutan tidak resmi di Indonesia terhadap struktur biaya produksi 1/3 dari total biaya produksi (33.37 persen). Kondisi ini sangat tidak kondusif bagi investor di Indonesia. Laporan hasil survei tersebut menyebutkan bahwa, terdapat 10 kendala atau hambatan untuk melakukan investasi di Indonesia yaitu, korupsi/pungutan tidak resmi, birokrasi lamban, penegakan hukum, kebijakan perburuhan, ketidakpastiankebijakan, keamanan, dukungan pemerintah pada dunia usaha, pemahaman pemerintah terhadfap dunia usaha, kebijakan OTODA, dan koordinasi antara kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter.
151 Menurut World Economic Forum (WEF, 2006), merosotnya daya saing Indonesia, karena 5 faktor penting yang menonjol terjadi di Indonesia. Pada tataran makro terdapat 3 faktor yaitu, (1) kondisi ekonomi makro yang tidak kondusif, (2) buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan, dan (3) lemahnya kebijakan pengembangan
tenologi
dalam
memfasilitasi
kebutuhan
peningkatan
produktivitas. Sementara pada tataran mikro atau bisnis terdapat dua faktor yang menonjol yakni, rendahnya efisiensi produksi karena pengembangan dan penerapan iptek masih sangat rendah, dan lemahnya iklim persaingan usaha. Sedangkan menurut laporan International Institute for Management Development (IIMD) tahun 2006, rendahnya daya saing Indonesia disebabkan oleh 4 hal pokok yakni, (1) buruknya perekonomian nasional, yang tercermin pada kinerja perdagangan internasional, investasi, ketenaga kerjaan, dan stabilisasi harga, (2) buruknya efisiensi kelembagaan pemerintah dalam mengembangkan dan mengelola kebijakan fiskal, kebijakan perundang-undangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi kerangka institusi publik yang tumpang tindih, (3) lemahnya efisiensi dalam produksi dan inovasi, karena produktivitas yang rendah, tenaga kerja yang belum optimal, termasuk kualitas tenaga kerja dalam arti ketrampilan dan keahlian yang kurang, dan (4) keterbatasan infrastruktur, baik fisik, teknologi, maupun infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan tenaga kerja untuk pendidikan dan kesehatan. Uraian di atas memberikan gambaran bahwa, daya saing produk-produk industri manufaktur Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Kondisi tersebut juga dapat dilihat dari beberapa produk manufaktur di pasaran
152 dalam negeri yang tidak mampu bersaing dengan produk-produk sejenis dari impor. Sementara di pasaran luar negeri, produk-produk manufaktur seperti tekstil dan produk tekstil, serta produk dari kayu olahan juga kurang mampu bersaing dengan produk-produk dari negara Cina dan negara-neghara Asean lainnya. Menurunnya daya saing produk-produk manufaktur Indonesia juga disebabkan oleh tingginya biaya overhead produksi. Sebagai gambaran dari hasil identifikasi oleh perusahaan Jepang menyebutkan bahwa struktur biaya produksi manufaktur Indonesia yang disebabkan oleh biaya overhead mencapai 33.37 persen, sedangkan biaya matrial 58.26 persen dari total biaya produksi. Jika dibandingkan dengan Cina, biaya overhead 17.1 persen dan biaya matrial hanya 39.9 persen (Tabel 15). Tabel 15. Struktur Biaya Produksi Produk Manufaktur (%)
Negara Cost Index Expenses. Tax Depretiation Personnal Matrial
Indonesia 100.00 33.37 2.92 5.45 58.26
Thailand 89.09 19.25 3.03 6.74 54.07
Malaysia 79.64 12.96 2.70 5.84 58.12
Phillippine 76.67 11.35 3.16 4.71 57.45
China 61.17 17.06 1.36 2.86 39.89
Sumber : Kementerian Perindustrian, Tahun 2004
Dari dua komponen biaya produksi tersebut menunjukkan, bahwa pelayanan publik di Indonesia belum baik. Dari hasil kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah atau KPOD (2004) diperoleh informasi bahwa, pengeluaran untuk berbagai pungutan dan buruknya layanan umum menambah biaya overhead sebesar 8.7 persen hingga 11.2 persen. Sementara biaya uang (cost of money) yang relatif tinggi adalah bersumber dari suku bunga pinjaman yang tinggi, sehingga pengusaha atau produsen yang mengandalkan modal dari
153 perbankan dalam negeri akan kalah bersaing dengan perusahaan yang modal kerjanya bersumber dari luar negeri dengan biaya bunga yang relatif lebih rendah, yakni antara 4-6 persen. Di samping itu administrasi pajak yang belum optimal, terutama dikaitkan dengan restitusi pajak ekspor manufaktur yang akan menurunkan daya saing karena dibebankan ke harga jual. Masalah lain dalam kaitan dengan daya saing adalah, kandungan impor dari produk-produk manufaktur yang sangat tinggi. Menurut laporan deprin (2002), nilai impor bahan baku, bahan baku antara, dan komponen untuk seluruh industri kecenderungannya meningkat, dari rata-rata 28 persen pada tahun 1993, menjadi rata-rata 30 persen pada tahun 2003, khusus untuk produk industri tekstil, kimia, dan logam dasar mencapai 4 persen, bahkan untuk industri mesin, elektronik, dan barang-barang dari logam mencapai 60 persen. Tingginya kandungan impior tersebut mengakibatkan rentan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah, terlebih lagi regim valuta asing yang bersifat floating, akan menyebabkan ketidak pastian dalam usaha tersebut. Akibat kandungan impor yang sangat tinggi pada produk-produk manufaktur tertentu, akan menyebabkan nilai tambah suatu produk yang mengalir pada perekonomian domestik menjadi kecil. Rendahnya nilai tambah industri manufaktur, juga disebabkan oleh penguasaan dan penerapan teknologi masih sangat lemah. Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa, walaupun disatu sisi industri manufaktur berperan besar dalam mendorong kinerja perekonomian Indonesia, yang tercermin dari kontribusinya terhadap PDB dan ekspor, serta penciptaan lapangan kerja dan investasi, namun banyak persoalan yang masih menjadi hambatan berkembangnya sektor industri manufaktur agar benar-benar menjadi penggerak perekonomian nasional. Hambatan-hambatan
154 tersebut dapat bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dari dalam negeri seperti yang telah dijelaskan di atas seperti layanan umu, bunga bank, administrasi pajak, kualitas tenaga kerja, penguasaan teknologi, iklim persaingan yang kurang sehat, dan peranan industri kecil dan menengah terhadap penciptaan nilai tambah masih relatif rendah, walaupun dilihat dari daya serap tenaga kerja cukup tinggi. Yang tidak kalah pentingnya adalah
masih tingginya
ketergantungan terhadap komponen impor, baik bahan baku, bahan baku penlong, maupun barang-barang modal. Sifat ketergantungan tersebut akan membawa konsekuensi lemahnya daya saing, jika terjadi kemerosotan nilai tukar rupiah. Ketergantungan terhadap komponen impor tersebut, tidak terlepas dari lemahnya terhadap penciptaan teknologi produksi dan penerapannya. Walaupun produk ekspor manufatur Indonesia telah merambah pada produk ekspor dengan muatan teknologi menengah dan tinggi, namun baru pada level dominasi perakitan. Sementara kehadiran investasi asing, berupa penanaman modal langsung (foreign direct investment, FDI) yang memiliki potensi sebagai basis transfer teknologi, namun hingga saat ini belum dapat memberikan manfaat bagi perkembangan industri berbasis teknologi sendiri. Pada hal hubungan antara FDI dengan pertumbuhan ekonomi adalah positif, artinya jika penanaman modal asing meningkat, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, seperti beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh (Krisharianto dan Hartono, 2006;
Dritsaki, et. al, 2004; dan Alguacil dan Orts, 2001).
155 6.2. Kinerja Sektor Pertanian 6.2.1. Pentingnya Pertanian Peranan sektor pertanian di Indonesia sangat penting, karena sektor pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Walaupun demikian, jika dilihat dari kontribusi nilai tambah secara relatif terhadap PDB dalam jangka panjang semakin menurun dibandingkan dengan sektor industri manufaktur, namun secara absolut produksinya tetap meningkat. Sehingga peranan sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja juga sangat penting, yang juga merupakan katub pengaman dari sektor lainnya, terutama dimasa krisis. Sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab 5.1, bahwa transformasi struktural perekonomian yang terjadi di Indonesia dari dominasi agraris menuju industrialisasi tidak serta merta dapat mengalihkan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Sehingga sektor pertanian masih merupakan penyerap tenaga kerja yang paing besar. Hal ini dapat dilihat dari proporsi penduduk yang tinggal di pedesaan jauh melebihi populasi penduduk di perkotaan, dan jumlah penduduk yang besar tersebut, umumnya bekerja sebagai petani. Di samping sebagai penyedia lapangan kerja, peranan sektor pertanian lainnya adalah menyediakan kebtuhan pangan bagi penduduk Indonesia, juga menghasilkan komoditas untuk ekspor pertanian yang dapat menghasilkan devisa, serta merupakan pemasok bahan baku bagi sektor industri manufaktur. Sektor pertanian dalam kaitannya dengan konsep pendapatan nasional, memiliki lima subsektor (Dumairy, 1996).
156 1.
Subsektor tanaman pangan, mencakup produksi padi, jagung, buah-buahan, sayursayuran, dan lainnya.
2.
Subsektor perkebunan, mencakup produksi teh, kopi, coklat, karet, rempahrempah, kelapa sawit dan lainnya.
3.
Subsektor kehutanan, mencakup produksi kayu buklat, rotan, damar, perburuan, dan lainnya.
4.
Subsektor peternakan, mencakup produksi sapi, kambing, kerbau, dan lainnya.
5.
Subsektor perikanan, mencakup produksi ikan, udang, hasil-hasil perikanan baik melalai tambak di darat maupun di laut, dan hasil laut lainnya.
6.2.2. Perkembangan Sektor Pertanian. Sebelum tahun 1990, Indonesia masih memprioritaskan pembangunan pada sektor pertanian, sehingga memberikan kontribusi terbesar pada PDB. Pembangunan sarana dan prasarana sektor pertanian sangat giat dilakukan, sehingga pada tahun 1984 Indonesia dapat mencapai swasembada beras, yang sebelum melakukan kegiatan pembangunan sektor pertanian, kebutuhan pangan lebih banyak diperoleh dari impor (Dumairy, 1996). Namun setelah tahun 1990, prioritas pembangunan lebih dominan ke arah industrialisasi, pembangunan berlangsung demikian cepatnya, sehingga sejak tahun 1990-an telah terjadi transformasi struktural perekonomian Indonesia menjadi negara industri baru, yang ditandai dengan kontribusinya pada PDB paling besar. Namun demikian pembangunan di sektor pertanian terus dilakukan, hanya saja intensitasnya lebih lambat dibandingkan dengan pembangunan industri manufaktur yang dimulai dengan program substitusi impor dan proteksi terhadap industri manufaktur.
157 Akibatnya produktivitas pertanian menjadi lebih rendah dibandingkan dengan industri manufaktur. Akan tetapi transformasi yang terjadi di Indonesia tidak diikuti oleh penyerapan tenaga kerja di sektor industri manufaktur, karena sektor pertanian masih merupakan penyerap tenaga kerja terbesar, yakni 53.69 persen pada tahun 1992, sementara kontribsi sektor pertanian pada PDB menurut harga berlaku sebesar 19.52 persen, yang berarti setiap 1persen tenaga kerja pertanian di Indonesia hanya menyumbang sekitar 0.36 persen PDB. Sebagai perbandingan dengan negara maju yang tergabung dalam kelompok G-7, sektor pertaniannya hanya menyerap tenaga kerja 2 persen, akan tetapi dapat menyumbang sebesar 1.5 persen PDB. Berarti produktivitas tenaga kerja di negara-negara maju adalah sekitar 5 kali lipat di negara Indonesia pada saat itu (Badan Pusat Statistik, 2004).
6.2.3. Kontribusi Sektor Pertanian Akibat perubahan struktur perekonomian yang terjadi di Indonesia menyebabkan menurunnya kontribusi relatif sektor pertanian terhadap PDB. Namun demikian yang terjadi sejak awal tahun 1990-an hingga tahun 2000-an perubahan tersebut tidak diikuti oleh transformasi tenaga kerja, akibatnya produktivitas sektor pertanian tertinggal oleh sektor industri manufaktur. Demikian pula halnya dengan pendapatan perkapita antara kedua sektor menjadi sangat timpang. Ketimpangan yang terjadi tersebut dapat mengakibatkan keberhasilan di sektor industri terhambat. Hal ini telah dijelaskan oleh Hircman (1958), bahwa keterkaitan antara pertanian dan industri bukan hanya pada keterkaitan produk saja, tetapi juga keterkaitan pada konsumsi dan investasi. Seperti yang pernah dilakukan Adelman tahun 1990, jika hanya melihat keterkaitan dari produk kedua sektor tersebut, maka pembangunan yang terlalu
158 fokus pada sektor industri, akan menyebabkan terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antara sektor pertanian dan sektor industri. Untuk melihat dinamika kontribusi kedua sektor tersebut terhadap PDB dapat dilihat melalui Gambar 14.
Kontribusi pada PDB (%)
30 25 20 15 10 5 0
1993
1995
1998
2000
2003
2005
2007
2008
2009
PT
17.88
15.42
17.28
17.13
15.39
14.98
14.54
14.56
14.53
Tamb
9.55
9.12
9.93
9.72
11.29
9.66
9.29
9.59
9.53
IM
22.3
24.71
25.22
26.11
27.86
28.36
28.1
28.39
28.43
Tahun
Keterangan : PT=Sektor Pertanian; Tamb=Sektor Pertambangan; IM=Sektor Industri
Sumber
: Pendapatan Nasional Indonesia, BPS, Tahun 1990-2010 (data diolah) Gambar 14. Distribusi Relatif Pertanian, Industri Manufaktur, dan Pertambangan terhadap PDB, Tahun 1993 - 2009
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sebelum krisis menurun dari 17.88 persen pada tahun 1993 menjadi 15.42 persen pada tahun 1996. Namun pada saat terjadinya krisis kontribusinya malah meningkat menjadi 17.28 persen pada tahun 1998, kemudian kembali menurun dan stabil hingga tahun 2009 menjadi 14.53 persen. Jika dilihat dari kecenderungannya dalam jangka panjang, maka kontribusi sektor pertanian cenderung menurun, demikian juga halnya terhadap kontribusi sektor pertambangan, sedangkan kontribusi sektor industri manufaktur cenderung meningkat. Menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB secara relatif dan meningkatnya kontribusi sektor industri
159 mengindikasikan bahwa prioritas pembangunan lebih difokuskan kearah industrialisasi, kendatipun demikian secara absolut sebenarnya kontribusi sektor pertanian terus meningkat, sedangkan kontribusi sektor industri, walaupun besar jumlahnya, namun secara relatif perubahannya juga lambat (lihat Gambar 11).
6.2.4. Perkembangan Investasi di Sektor Pertanian Kinerja sektor pertanian, selain dilihat dari kontribusinya terhadap PDB, juga dapat dilihat dari perkembangan investasinya. Perkembangan investasi di sektor pertanian salah satunya dipengaruhi oleh laju pertumbuhan outputnya, karena dengan meningkatnya output pertanian, maka akan terjadi akumulasi modal untuk investasi berikutnya. Namun selain itu, juga dipengaruhi oleh daya saing komoditas pertanian di pasaran internasional. Jika komoditas pertanian memiliki kemampuan daya saing, akan menarik investor untuk menanamkan modalnya di berbagai subsektor pertanian. Penanaman modal tidak hanya bersumber dari dalam negeri (PMDN), tapi juga bersumber dari pemodal asing (PMA), serta dari dana pinjaman kredit investasi perbankan. Sebagai gambaran perkembangan investasi di sektor pertanian dapat dilihat pada Gambar 15. Sebenarnya investasi di sektor pertanian, tidak hanya untuk langsung penanaman modal di sektor produksi misalnya membeli peralatan dan input-input lainnya, tapi juga terdapat investasi yang tidak langsung, yakni untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, baik dibidang proses produksi, penggunaan input, maupun
untuk
pengembangan
sumberdaya
manusia.
Jika
dilihat
dari
perkembangan secara keseluruhan baik kredit dalam rupiah, maupun dalam valuta asing, hingga terjadi krisis tahun 1998, kredit investasi di sektor pertanian masih menunjukkan peningkatan, walaupun dari tahun 1998 ke tahun 2000 mengalami
160 penurunan, namun semenjak tahun 2001 hingga tahun 2005, kredit investasi sektor pertanian dalam rupiah cenderung meningkat hingga tahun 2009. Sementara investasi pertanian dalam valas perkembangannya agak lambat dan dari tahun 2007 ke 2008 menurun kemudian menurun lagi hingga tahun 2009.
Miliar/Billion Rupiahs
25000
20000
15000
10000
5000
0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Dalam Rp 7836 8956 9841 11010 12426 13443 10678 8684 9682 10016 10354 10984 12668 15622 17982 21894 23009 Dalam VA 673 698 723 727 2203 3807 937 2126 2433 1980 2250 2504 2995 3577 6000 5733 4733
Tahun
Sumber
: BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1992-2011(data diolah) Gambar 15. Perkembangan Kredit Investasi Perbankan ke Sektor Pertanian dalam Rupiah dan Valuta Asing, Tahuin 1993 - 2009
Akan tetapi walaupun trend kredit investasi dalam rupiah tampaknya meningkat, namun investasi dalam valas menunjukkan trend menurun. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh daya tarik investor. Secara umum investor maupun bank biasanya lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di sektor non pertanian, misalnya di sektor industri manufaktur, alasannya
karena resiko di sektor
pertanian lebih besar, terutama karena faktor alam dan penyakit. Di samping itu investasi di sektor industri manufaktur dapat memberikan keuntungan
(rate of return on investment, ROI) yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan melakukan investasi di sektor pertanian yang ROI-nya lebih
161 rendah (Tambunan, 2001). Sebagai gambaran tentang perbandingan besaran investasi dari kredit perbankan dapat dilihat Tabel 16. Pada Tabel 16, tampak bahwa perbankan ternyata lebih tertarik untuk memberikan pinjamannya kredit investasi ke sektor industri dan jasa, dibandingkan dengan sektor pertanian, dan kecenderungannya investasi di sektor pertanian yang bersumber dari kredit perbankan secara relatif dari investasi total juga menurun dibandingkan dengan sektor jasa dan perdagangan, sementara investasi di sektor pertambangan tampaknya kurang diminati. Tabel 16.
Peranan Masing-Masing Kredit Investasi Perbankan dalam Rupiah dari Investasi Total Menurut Sektor Ekonomi, Tahun 1995-2005 (%) Tahun Pertanian Pertambg. Industri Perdag Jasa Total 1995 22.81 0.36 35.52 11.54 29.77 100.00 1996 21.66 0.61 29.71 14 34.01 100.00 1997 21.63 0.74 30.59 12.78 34.26 100.00 1998 17.95 0.54 33.15 9.98 38.37 100.00 1999 34.25 0.52 29.48 9.73 26.02 100.00 2000 30.05 6.44 25.35 12.08 26.08 100.00 2001 25.44 7.99 28.34 12.39 25.83 100.00 2002 20.05 3.28 30.42 13.7 32.55 100.00 2003 17.31 1.00 25.31 17.13 39.26 100.00 2004 14.60 0.84 23.19 20.42 40.94 100.00 2005 13.81 0.93 22.89 20.19 42.18 100.00 2006 14.93 0.93 22.35 19.93 41.86 100.00 2007 14.58 0.89 19.97 20.12 44.45 100.00 2008 13.71 0.90 17.79 17.63 49.96 100.00 2009 15.18 1.52 16.48 16.93 49.89 100.00 Rata-Rata 19.86 1.83 26.04 15.24 37.03 100.00
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1996-2010 (data diolah)
Selama kurun waktu tahun 1995 hingga tahun 2009, penggunaan kredit investasi perbankan dalam rupiah untuk sektor pertanian secara rata-rata 19.86 persen per tahun, lebih rendah jika dibandingkan dengan sektor industri dan jasa,
162 dengan rata-rata penggunaan kredit investasi masing-masing 26.04 persen dan 37.03 persen.
6.2.5. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Di Indonesia sebagian besar penduduk tinggal di wilayah pedesaan, sehingga sebagian besar angkatan kerja di pedesaan bekerja pada sektor pertanian. Menurut laporan dari BPS bahwa pada tahun 2000 daya serap sektor pertanian terhadap angkatan kerja lebih dari 40 juta, yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan daya serap sektor industri manufaktur. Kondisi ini berarti bahwa, sektor pertanian adalah merupakan sektor yang dapat menyerap tenaga kerja tertinggi dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Untuk melihat pola perubahan kesempatan kerja di sektor pertanian dan sektor industri manufaktur dapat dilihat pada Gambar 16. Pada Gambar 16 tampak jelas bahwa, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian jauh melebihi sektor industri manufaktur. Walaupun peranan sektor pertanian terhadap PDB secara relatif lebih rendah dibandingkan dengan sektor industri manufaktur, akan tetapi dalam penyerapan tenaga kerja sektor pertanian masih sangat besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Secara relatif penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian cenderung menurun, namun penurunannya cenderung lambat. Sementara industri manufaktur cenderung meningkat dari tahun ke tahun, akan tetapi peningkatannya juga sangat lambat, dan kurang diimbangi oleh kecepatan sektor lain dalam menyerap angkatan kerja. lambatnya industri manufaktur dalam menyerap tenaga kerja, menyebabkan jumlah pekerja di sektor pertanian masih sangat besar.
163
Pe rs e n d a ri T o ta l K K
60 50 40 30 20 10 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 LPT 50.60 50.41 49.90 48.71 45.63 48.98 48.21 48.83 49.87 48.57 49.18 46.27 44.97 42.05 41.24 41.10 40.68 LIM 14.04 16.73 16.28 15.91 15.72 13.22 15.34 15.06 14.37 14.23 10.08 13.85 13.18 12.46 12.38 12.24 12.24
Tahun
Keterangan : LPT = Tenaga Kerja di Sektor Pertanian; LIM=Tenaga Kerja di Industri Manufaktur
Sumber
: BPS, Angkatan Kerja Indonesia, Th 1990-2010. Gambar 16. Kontribusi Kesempatan Kerja Sektor Pertanian dan Sektor Industri Manufaktur terhadap Total Kesempatan Kerja
Walaupun peranan sektor pertanian dalam menyerap angkatan kerja sangat besar, akan tetapi dilihat dari produktivitasnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan industri manufaktur.
6.2.6. Kontribusi Pertanian terhadap Penerimaan Devisa Salah satu sumber devisa adalah hasil penerimaan ekspor komoditas pertanian. Sektor pertanian Indonesia merupakan salah satu sektor ekonomi yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Kondisi ini dapat diketahui antara lain
dari sumbangannya terhadap pendapatan nasional dan
penerimaan devisa dari ekspor. Khusus peranannya terhadap perolehan devisa, dapat dilihat dari besaran nilai ekspor komoditas pertanian. Dengan melakukan kegiatan ekspor komoditas pertanian ini, akan mendorong peningkatan kontribusinya terhadap perekonomian nasional, misalnya mendorong aktivitas
164 peningkatan produksi, peningkatan produksi akan meningkatkan investasi dan kesempatan kerja baik di sektor pertanian sendiri maupun di sektor yang terkait. Perkembangan nilai ekspor produk pertanian dapat dilihat pada Gambar 17. Peranan ekspor pertanian dalam pendapatan devisa dari tahun 1993 hingga tahun 2009 cenderung meningkat . Walaupun pada tahun 1997 perolehan devisa dari ekspor pertanian mengalami penurunan, namun pada tahun 1998 mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Tingginya ekspor pada tahun 1998 diperkirakan oleh pengaruh dari penurunan nilai nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Tapi kembali menurun, dan tahun 2001 yang merupakan ekspor pertanian terendah setelah masa krisis.
N ilai E k sp o r (J u ta U S $ )
5000 4000 3000 2000 1000 0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
XPT 2646 2818 2888 2913 2133 3676 3002 2709 2439 2568 2526 2496 2880 3365 3658 4585 4353
Tahun
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1994-2010 Gambar 17. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Pertanian selama, Tahun 1993-2009 Kemudian meningkat terus hingga tahun 2008 mencapai
puncaknya
dengan nilai US$ 4585 juta, kemudian tahun 2009 kembali menurun menjadi US $ 4353 juta. Pada Gambar 17, jika dilihat secara rata-rata per tahun pada masa
165 sebelum krisis (1993-1996), rata-rata nilai ekspor produk pertanian adalah sebesar US $ 2816.1 juta per tahun. Kemudian pada masa krisis (1997-1999) nilai ekspor komoditi pertanian secara rata-rata mengalami kenaikan dibandingkan dengan sebelum krisis yaitu menjadi sebesar US $ 2936.9 juta per tahun. Setelah melalui masa krisis, yaitu (2000-2005) ekspor komoditi pertanian megalami kemerosotan, dengan nilai ekspor rata-rata menjadi sebesar US $ 2603.1 juta per tahun. Tapi pada kurun waktu tahun (2006-2009) ekspor pertanian secara rata-rata kembali meningkat menjadi US $ 3990.1 juta per tahun. Apabila dilihat dari kontribusi secara relatif (lihat Tabel 8), ternyata pada masa krisis (1997-1999) kontribusi nilai ekspor pertanian terhadap total nilai ekspor non migas adalah 7.96 persen, secara rata-rata lebih rendah jika dibandingkan dengan kontribusi sebelum krisis, yakni 8.74 persen Walaupun nilai ekspor pertanian kondisinya terus membaik, terutama sejak tahun 2002 hingga tahun 2005, akan tetapi secara rata-rata nilai ekspor pertanian adalah menurun menjadi sebesar US $ 2603.1 lebih rendah jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Demikian juga secara relatif menurun menjadi rata-rata 5.21 persen per tahun.
6.2.7. Keragaman Ekspor Komoditas Pertanian Ekspor hasil-hasil pertanian Indonesia terdiri dari berbagai jenis komoditas. Baik dari jenis komoditas maupun volume atau nilainya terus mengalami peningkatan. Beberapa jenis komoditas ekspor diantaranya adalah : kopi, teh, biji coklat, rempah-rempah, ikan, udang, buah-buahan, sayur-sayuran, tanaman obat, serta bahan-bahan nabati lainnya. Untuk mengetahui jenis-jenis komoditas ekspor pertanian Indonesia dapat dilihat melaui Tabel 17.
166 Keragaman jenis komoditas ekspor seperti yang telah disebutkan di atas, adalah berdasarkan kelompok sektor produksi. Selain pembagian menurut kelompok sektor produksi, jenis-jenis komoditi ekspor dan impor dapat juga dikelompokkan berdasarkan Standard of International Trade Classification, SITC (Badan Pusat Statistik, 2006). Dengan klasifikasi ini, barang-barang ekspor dan impor dikelompokkan menjadi 10 golongan besar dengan kode 0 hingga 9. Masing-masing golongan tersebut dapat dirinci hingga enam digit. Sehingga dengan rincian tersebut memungkinkan untuk membuat neraca perdagangan setiap komoditas. Namun dalam studi ini tidak melakukan rincian berdasarkan SITC, karena dalam studi ini lebih bersifat agregatip. Meskipun dilihat dari jenis komoditas maupun ekspor pertanian terus meningkat sebagai penghasil devisa, akan tetapi dilihat dari komposisi ekspor pertanian masih terkonsentrasi pada beberapa jenis komoditas tertentu saja. Pada Tabel 17, ekspor pertanian lebih didominasi oleh sekitar 5 jenis komoditas utama yang memiliki nilai perolehan devisa terbesar dari seluruh jenis komoditas ekspor pertanian, yakni kopi, biji coklat, rempah-rempah, udang dan ikan. Dari kelima jenis komoditas utama tersebut, pada saat sebelum krisis (1993-1996) yang menjadi penyumbang devisa terbesar adalah komoditas udang, bahkan pada masa krisis maupun setelah krisis, ekspor komoditas udang kembali tetap mendominasi perolehan devisa mulai tahun 1997-2005 masing-masing sebesar 34.7 persen dan 34.08 persen, kemudian pada periode 2006-2009 mengalami penurunan, secara rata-rata kontribusinya 23.46 persen per tahun.
167 Tabel 17. Nilai Ekspor Hasil-Hasil Pertanian Indonesia, Tahun 1993-2009 (%) Tahun 1 1993 1994 1995 1996 RataRata 1997 1998 1999 RataRata 2000 2001 2002 2003 2004 2005 RataRata 2006 2007 2008 2009 RataRata
Getah karet 2 1.57 1.50 1.46 1.58
3 21.46 24.72 20.63 20.21
4 34.45 35.67 35.73 34.87
5 3.32 3.17 2.96 3.75
Rempahrempah 6 4.75 4.88 7.42 5.41
1.53 1.49 0.52 0.36
21.76 23.61 15.75 15.28
35.18 47.26 27.40 29.57
3.30 3.97 2.95 3.07
0.79 0.29 0.31 0.26 0.49 0.59 0.22
18.21 11.51 7.48 8.52 9.94 11.28 17.28
34.74 37.03 38.55 32.72 33.75 33.01 29.40
0.36 0.42 0.34 0.36 0.29
11.00 17.33 17.32 21.57 18.89
0.35
18.78
Kopi
1.74 1.64 1.71 2.58
Biji coklat 8 7.97 7.58 7.77 9.03
5.62 11.00 7.55 12.45
1.92 4.26 3.61 2.63
8.09 13.84 10.41 9.85
12.01 17.88 9.72 13.43
3.33 4.00 3.88 3.82 3.63 2.60 1.67
10.33 11.61 7.14 7.25 7.37 6.16 4.79
3.50 2.34 3.31 2.59 1.76 1.83 2.18
11.37 8.70 11.34 20.30 16.25 14.83 16.26
13.68 13.26 14.71 14.70 16.79 18.86 16.68
34.08 29.13 25.17 21.37 18.17
3.27 1.52 2.00 2.73 3.32
7.39 5.60 7.07 6.19 5.50
2.34 1.70 1.55 1.61 2.15
14.61 18.43 17.03 18.68 25.00
15.83 14.26 15.80 15.35 14.61
23.46
2.39
6.09
1.75
19.79
15.01
Lainnya
Jumlah
15 8.24 4.41 5.13 4.73 5.63 17.57 19.14 8.23 14.98 6.04 8.76 5.07 4.59 5.36 5.67 5.91 4.95 7.18 6.83 6.03 6.25
16 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Udang
Teh
Tembakau 7
Ikan 9 10.61 11.69 12.87 12.89
Tabel 17. Lanjutan Tahun 1 1993 1994 1995 1996 Rata-Rata 1997 1998 1999 Rata-Rata 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-Rata 2006 2007 2008 2009 Rata-Rata
Bijibijian 10 0.30 0.31 0.40 0.27 0.32 0.38 0.30 0.21 0.30 0.28 0.21 0.38 0.47 0.93 1.08 0.56 1.11 0.98 0.59 0.60 0.82
Mutiara 11 0.66 0.73 0.40 0.42 0.55 0.71 0.62 0.68 0.67 0.94 1.03 0.44 0.68 0.24 0.38 0.62 0.40 0.36 0.31 0.51 0.40
Damar 12 0.80 0.97 1.01 1.28 1.02 1.57 0.45 0.73 0.92 0.92 0.73 0.88 0.82 0.67 0.58 0.77 0.98 1.02 0.70 0.97 0.92
Sayursayuran 13 1.77 1.69 1.50 1.33 1.57 1.12 0.44 0.92 0.83 1.02 1.23 1.29 1.31 1.20 1.25 1.22 1.27 1.10 0.99 1.56 1.23
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1994-2010 (data diolah)
Buahan 14 2.36 1.04 1.00 1.64 1.51 2.22 1.14 2.59 1.98 2.08 1.30 1.78 2.14 2.46 2.56 2.05 2.88 3.09 2.73 2.39 2.77
168 Perkembangan ekspor udang yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan memiliki nilai ekspor terbesar menjadikan komoditas udang sebagai primadona ekspor hasil pertanian. Sementara kontribusi ekspor biji kopi pada tahun 2000 hingga 2001 menurun, dan kembali meningkat sejak tahun 2002 hingga 2005, walaupun belum pulih seperti periode sebelumnya, namun pada periode 2006-2009 kembali meningkat rata-rata 18.78 peren. Komoditas lainnya yang sangat potensial menghasilkan devisa adalah komoditas ikan. Ekspor ikan memiliki ranking ketiga setelah udang dan kopi. Perkembangan ekspor ikan semenjak tahun 1994 cukup stabil hingga 2002. Sejak tahun 2003 penerimaan devisa ekspor ikan menunjukkan trend meningkat, bahkan semenjak 2001 ekspor ikan telah mengungguli komoditas kopi dan biji coklat, dimana pada periode 2006-2009 ekspor ikan telah meningkat rata-rata 15.01 persen pertahun. Ekspor biji coklat cukup stabil, walaupun mengalami naik turun, tetapi dalam variasi yang relatif kecil, bahkan pada tahun 2002 ekspor biji coklat meningkat cukup tajam, mengungguli komoditas ekspor pertanian lainnya, kecuali udang. Dan dari periode 2000-2005 ke 2006-2009, ekspor biji coklat telah meningkat secara rata-rata dari 14.61 persen menjadi 19.79 persen. Di samping biji coklat, ekspor komoditas rempah-rempah juga berperan dalam penerimaan devisa, dan perkembangannya dari tahun ke tahun tidak terlalu fluktuatif. Namun nilainya relatif di bawah komoditas ekspor utama lainnya. Dari gambaran komoditas ekspor pertanian di atas, sangat jelas komoditas unggulan dari sektor pertanian hanya terdiri dari lima jenis komoditas, bahkan yang benar-benar unggul hanya empat, yakni udang, kopi, ikan, dan biji coklat, sementara komoditas lainnya belum berkembang dengan baik. Kondisi ini
169 menunjukkan bahwa, masih besarnya potensi sejumlah komoditas ekspor pertanian yang harus ditingkatkan, baik terhadap komoditas unggulan maupun ragam komoditinya, serta perluasan jumlah negara tujuan ekspornya.
6.2.8. Permasalahan Perdagangan Luar Negeri Komoditas Pertanian Sektor pertanian memang memiliki peranan yang cukup penting dalam perolehan devisa, namun dari aktivitas ekspor komoditas pertanian masih terdapat beberapa permasalahan yang muncul di Indonesia sehubungan dengan aktivitas ekspor tersebut, diantara permasalahan yang dihadapi adalah, masalah yang terkait dengan kondisi internal, masalah yang terkait dengan kondisi eksternal, dan masalah yang terkait dengan perdagangan global.
1.
Masalah yang Terkait dengan Kondisi Internal
Dalam upaya peningkatan ekspor komoditi pertanian sering terjadi trade off antara upaya peningkatan ekspor dengan kepentingan kebutuhan dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terkadang harus mengorbankan ekspor atau sebaliknya dengan meningkatkan ekspor yang lebih besar karena harga di luar negeri lebih tinggi, sehingga di dalam negeri komoditi tertentu menjadi langka, akibatnya harga di dalam negeri menjadi naik, bahkan jika di dalam negeri terjadi kekurangan, maka harus ditutupi dengan impor, yang berarti akan mengurangi devisa. Dengan kata lain upaya peningkatan peranan sektor pertanian dalam penerimaan devisa dari ekspor, dapat terjadi kontradiksi antara kepentingan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, baik untuk kebutuhan pangan maupun kebutuhan untuk bahan baku industri pengolahan dengan kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan devisa dari ekspor komoditi pertanian. Sehingga jika
170 kenaikan ekspor tanpa memperhatikan kebutuhan di dalam negeri, maka akan terjadi kelangkaan, akibatnya harga komoditas di pasaran dalam negeri akan meningkat. Sebaliknya jika yang dilakukan lebih memperhatikan kebutuhan di dalam negeri, berarti akan menghambat pertumbuhan ekspor pertanian. Jadi dalam hal ini yang menjadi inti persoalannya adalah masih kecilnya skala usaha produksi pertanian yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan untuk ekspor. Untuk mengatasi masalah tersebut, terutama pada komoditi yang terkait langsung dengan kebutuhan dalam negeri dan ekspor, maka kapasitas produksi komoditas tersebut harus ditingkatkan. Dengan demikian baik kebutuhan dalam negeri di satu pihak, maupun kebutuhan ekspor di lain pihak dapat terpenuhi, sehingga gejolak harga di dalam negeri dapat diatasi. Masalah lain yang terkait dengan ekspor komoditi pertanian adalah kemampuan daya saing yang masih rendah. Secara praktis terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya saing produk ekspor Indonesia misalnya, (1) kurs efektip rupiah terhadap dolar Amerika yang tidak menguntungkan, karena jika terjadi apresiasi nilai rupiah, ada kecenderungan menurunnya daya saing, sebaliknya jika terjadi depresiasi rupiah yang cukup besar, memang akan meningkatkan daya saing, akan tetapi dapat juga meningkatkan inflasi di dalam negeri yang cukup tinggi dibandingkan dengan inflasi di negara-negara pesaing, sehingga akan mengurangi keuntungan yang diperoleh, (2) kenaikan harga faktorfaktor produksi, misalnya kenaikan upah tenaga kerja yang melebihi produktivitasnya, kenaikan suku bunga bank, maupun kenaikan harga kapital, (3) ekonomi biaya tinggi, terutama biaya yang harus dikeluarkan untuk berbagai pengurusan persyaratan administrasi birokrasi. Berdasarkan estimasi dari LPEM
171 Universitas Indonesia (2004), ekonomi biaya tinggi di Indonesia mencapai 9 persen hingga 11 persen dari biaya produksi. Pengaruh inefisiensi akibat dari berbagai pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kepentingan birokrasi, ditambah lagi biaya-biaya lain seperti pengadaan sarana produksi, budidaya, pengolahan pasca panen, dan biaya transportasi dapat menurunkan daya saing harga di pasaran luar negeri. Selain faktor-faktor di atas, sebenarnya masih terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan daya saing, seperti penurunan investasi asing yang dapat berperan dalam mengembangkan produksi dengan menggunakan teknologi dan peralatan mesin yang mereka gunakan. Di samping itu, peranan infrastruktur dibidang transportasi, misalnya jalan, jembatan, dan pelabuhan sangat penting, terutama dalam memperlancar arus barang baik antar pulau di dalam negeri maupun antar negara.
2.
Masalah yang Terkait dengan Kondisi Eksternal
Masalah keragaman ekspor komoditi pertanian adalah merupakan salah satu
masalah eksternal terhadap ekspor hasil-hasil pertanian
Indonesia. Sesuai dengan konsep perhitungan pendapatan nasional, jenis-jenis komoditi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam sub sektor pertanian yakni, sub sektor tanaman pangan, sub sektor perkebunan, sub sektor kehutanan, sub sektor peternakan, dan sub sektor perikanan. Dari berbagai sub sektor tersebut, ekspor komoditi pertanian Indonesia hanya di dominasi oleh beberapa jenis komoditi saja, seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Sedangkan ekspor jenis komoditi
172 lainnya belum menunjukkan kontribusi yang cukup signifikan terhadap ekspor non migas. Ketergantungan terhadap beberapa komoditi perkebunan tersebut dapat menimbulkan persoalan terhadap penerimaan devisa dari ekapor pertanian, padahal kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga cukup besar untuk komoditi tersebut. Demikian pula
faktor
persaingan dengan negara- negara penghasil komoditi yang sama juga harus menjadi pertimbangan untuk melakukan keragaman ekspor serta meningkatkan produktivitas komoditas tersebut. Masalah konsentrasi pasar terhadap negara tujuan ekspor, dimana negaranegara yang menjadi tujuan utama ekspor Indonesia termasuk ekspor komoditas pertanian adalah Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat. Sesungguhnya masalah ini adalah merupakan masalah umum untuk keseluruhan ekspor non migas Indonesia. Masalah ketergantungan ekspor terhadap negera-negara tersebut dapat menjadi potensi penurunan ekspor komoditas pertanian. Karena jika terjadi gangguan pada negera-negera tujuan ekspor tersebut, maka akan memiliki dampak yang besar terhadap kinerja ekspor Indonesia, termasuk ekspor pertanian.
3.
Masalah Kelompok Perdagangan Global
Masalah ini terkait dengan kesepakatan World Trade Organization (WTO) dibidang pertanian (Agreement on Agriculture, AoA). Pembentukan organisasi perdagangan dunia atau dikenal dengan sebutan WTO memiliki tujuan utamanya adalah untuk memperlancar akses pasar antar negara anggota. Organisasi ini merupakan rangkaian dari General Agreement on Tarrif and Trade (GATT) yang
173 telah ada sebelumnya. Keberadaan GATT tampaknya belum mampu untuk mengatasi hambatan yang sering terjadi yakni hambatan tarif dan nontarif (nontarrif barrier). Sehingga negara-negara di dunia berupaya untuk menghapuskan berbagai bentuk hambatan dengan cara mendirikan organisasi WTO. Negaranegara yang menjadi anggota WTO mengenakan tarif impor dengan kesepakatan bersama, kemudian secara bertahap akan menghilangkan hambatan tarif, sehingga akan tercipta kawasan-kawasan perdagangan bebas (free trade area). Sebagai bagian dari kesepakatan WTO, juga telah disepakati perjanjian yang khusus untuk mengatur perdagangan komoditi pertanian yang disebut Agreement on Agriculture (AoA). Beberapa kesepakatan yang harus dipatuhi bersama, antara lain meningkatkan akses pasar, pengurangan subsidi ekspor, dan pengurangan subsidi terhadap petani (domestic support) agar produksi petani menjadi lebih efisien. Setelah Indonesia secara resmi menjadi anggota WTO maupun AoAWTO, maka seluruh kesepakatan yang tertera di dalamnya telah mengikat sebagai hak dan kewajiban. Oleh karena itu kegiatan ekspor non migas pada umumnya yang telah menjadi program untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja dituntut untuk lebih siap, agar dapat memperoleh manfaat yang maksimal. Karena, walaupun semua negara anggota dapat memanfaatkan kesepakatan ini secara bersama, namun konsekuensi yang akan dihadapi adalah munculnya persaingan yang semakin ketat diantara negara-negara anggota. Dilihat dari kesiapan suatu negara, bagi negara-negara yang telah siap dengan perdagangan global, maka kesepakatan AoA-WTO akan menjadi peluang
174 besar untuk meningkatkan perdagangan luar negerinya. Akan tetapi bagi negara yang belum siap, yaitu sebagian besar negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia akan menghadapi persoalan yang cukup berat. Menurut Malian (2003), persoalan utama yang dihadapi adalah ketidakseimbangan dalam hal kesiapan menghadapi perdagangan bebas. Bagi negara-negara maju seperti Amerika serikat dan negara-negara Uni Erofa, sebelum kesepakatan AoA dimulai, mereka telah lebih dahulu memiliki posisi awal yang kuat misalnya, (1) tarif (initial tariff rate) yang diterapkan oleh negara maju jauh lebih tinggi, sehingga mempersulit akses pasar bagi negara-negara berkembang, (2) dengan kekuatan kapital yang dimiliki, negara-negara maju telah memberikan subsidi ekspor dan subsidi domestik yang tinggi, seperti di negara-negara maju misalnya Amerika Serikat, tahun 2002 nilai subsidinya adalah US$ 180 milyar yang digunakan untuk menambah subsidi sektor pertanian hingga 10 tahun kedepan. Padahal berdasarkan data pada akhir putaran uruguay (1997) untuk subsidi ekspor Amerika Serikat sebesar US $ 594 juta, Uni Eropa US $ 8496 juta, Austria menyisakan US$790 juta, Polandia US $ 493, dan Kanada US $ 363 juta. Hal ini dilakukan untuk mendorong ekspor dari surplus produksi komoditas pertanian yang dimiliki (Saragih, 2003), dan (3) dalam konteks AoA-WTO tidak terdapat fleksibelitas yang cukup bagi negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian tarif perdagangan komoditi pertanian, bahkan terkesan negara-negara maju
cenderung untuk meliberalisasi tarif di negara-negara berkembang,
sehingga komoditi pertanian yang berasal dari negara-negara maju memiliki akses pasar yang kuat dan luas.
175 Masalah hambatan impor produk pertanian yang dilakukan oleh negaranegara maju, ternyata juga dikaitkan dengan persoalan lingkungan hidup dan pencemaran produk (Susila, 2003). Oleh karena itu dalam mengimpor produkproduk
pertanian,
negara-negara
maju
bermaksud
untuk
melindungi
masyarakatnya dari epidemi, sehingga menurut negara maju hal tersebut bukanlah merupakan hambatan impor. Contoh lain yang dilakukan oleh Uni Eropa yang mengkaitkan impor dengan penebangan liar (illegal logging), dan menerapkan impornya dengan eco labeling, artinya produk yang dibuat dari kayu/hasil hutan harus ada label, bahwa kayu yang diproses bukan berasal dari penebangan liar (Madelin, 2002). Masalah lain yang dihadapi oleh negara-negara anggota adalah komitmen untuk mematuhi perjanjian yang telah dituangkan dalam kesepakatan dari berbagai pertemuan konferensi tingkat menteri (KTM) yang merupakan forum pengambilan kebijakan tertinggi dalam WTO. Pertemuan-pertemuan resmi KTM yang telah dilakukan antara lain dari pertemuan pertama di Singapura tahun 1996, kedua di Jenewa tahun 1998, ketiga di Seatle tahun 1999, keempat di Doha tahun 2001, kelima di Cancun tahun 2003, dan keenam di Hongkong tahun 2005. Dalam setiap pertemuan menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam deklarasi bersama (Pangestu, 2005). Namun walaupun demikian, belum tentu dipatuhi oleh semua negara anggota, seperti halnya yang disepakati pada pertemuan Doha, Qatar pada tahun 2001. Pertemuan atau KTM yang paling berbeda adalah pertemuan kelima yang berlangsung di Cancun Meksiko tahun 2003. Dari pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan secara bersama, terutama mengenai perdagangan
176 komoditi pertanian. Dalam pertemuan tersebut telah terjadi perbedaan dalam tujuan antara kelompok negara berkembang (G-20 dan G-30) dengan kelompok negara maju (AS-UE). Kelompok negara maju menghendaki adanya penurunan tarif yang signifikan di negara-negara berkembang, di samping itu, mereka juga tidak mau melakukan penurunan terhadap subsidi dan tarif. Sebaliknya kelompok negara berkembang dari group 20 menginginkan adanya penurunan subsidi domestik dan penghapusan subsidi ekspor, sebagaimana yang diamanatkan dalam deklarasi Doha tahun 2001. Sementara kelompok negara berkembang yang tergabung dalam
group 33 yang dimotori oleh Indonesia dan Philipina
mengusulkan adanya pengecualian tarif dan subsidi untuk produk pertanian tertentu (AKP, vol.2 No.2, Juni 2004). Dari gambaran di atas, nampaknya persoalan yang dihadapi lebih banyak bersifat umum, dalam arti persoalan yang dihadapi oleh kelompok negara-negara berkembang dengan kelompok negara-negara maju. Sehingga walaupun telah dibentuk kelompok-kelompok perdagangan, namun permasalahan tersebut akan selalu muncul dalam implementasi hubungan perdagangan baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk hingga sekarang persoalan perdagangan komoditi pertanian. Sebagai contoh kasus-kasus yang bersifat lebih spesifik yang terjadi terhadap perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat, Jepang, dan China. Sementara untuk negara-negara ASEAN yang tergabung dalam kelompok perdagangan Asean Free Trade Area (AFTA), bagi Indonesia tidak terlalu menjadi masalah. Berdasarkan hasil studi Oktaviani (2003) negara tujuan ekspor Indonesia sebagian besar ke negara-negara luar ASEAN, yaitu ke Amerika Serikat dan
177 Jepang, sedangkan ke negara Singapura hanya sekitar lima persen saja. Demikian pula impornya lebih tergantung pada kedua negara tersebut, kecuali impor beras dari Thailand. Dilihat dari komoditas yang diperdagangkan, baik keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif perbedaannya tidak signifikan. Untuk produk pertanian negara-negara dalam kelompok AFTA adalah relatif homogen, sehingga tidak terjadi persaingan dalam lingkup perdagangan ASEAN. Kondisi ini sangat terkait dengan karakteristik produk negara-negara dilingkungan ASEAN yang cenderung bersifat homogen, sehingga volume perdagangan antar negarapun menjadi relatif kecil (Hadi, et.al (2003).
6.2.9. Keterkaitan Pertanian dengan Industri Manufaktur Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa, salah satu peranan sektor pertanian adalah sebagai pemasok bahan baku terhadap sektor industri manufaktur, terutama industri agro yang berbasis pada komoditi pertanian. Tujuannya agar sektor pertanian dapat menyalurkan produksinya dan di olah oleh industri manufaktur. Dengan meningkatnya produksi industri manufaktur, maka akan memiliki dampak positip terhadap sektor pertanian. Sehingga pembangunan di kedua sektor akan berjalan secara seimbang. Seperti dikatakan oleh Lewis dalam Arsyad (1992) bahwa, pembangunan yang seimbang adalah pembangunan yang saling ketergantungan antara sektor pertanian dan industri manufaktur secara efisien. Menurutnya jika pembangunan tidak berjalan seimbang, misalnya pembangunan hanya di fokuskan pada sektor industri manufaktur saja, maka akan menimbulkan
gangguan
terhadap
kelancaran
atau
pembangunan pada sektor industri manufaktur itu sendiri.
akan
menghambat
178 Sebenarnya jika pembangunan di sektor pertanian juga digalakkan sejalan dengan pembangunan industri manufaktur, maka kesenjangan dapat diminimalisir, termasuk pendapatan dan kesempatan kerja di masing-masing sektor
dapat
mendorong lebih lanjut pembangunan di kedua sektor tersebut. Adelman (1984) telah memberikan konsep tentang strategi pembangunan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri manufaktur. Dengan menerapkan strategi ini, maka produktivitas sektor pertanian dapat ditingkatkan melalui peningkatan investasi dan inovasi teknologi, sehingga pendapatan rumah tangga di sektor pertanian dapat meningkat. Peningkatan produktivitas pertanian melalui keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang akan mendorong permintaan terhadap input-input yang dibutuhkan oleh sektor pertanian seperti pupuk, pestisida, benih unggul, alat-alat produksi (mesin pertanian, transportasi, infra struktur, dan irigasi), serta meningkatkan lapangan kerja. Sedangkan keterkaitan ke depan (forward linkage) akan mendorong pengembangan investasi di sektor industri manufaktur yang menggunakan bahan baku dari sektor pertanian. Sehingga sinergi antara kedua sektor tersebut akan menciptakan kemajuan yang seimbang dan dinamis. Apabila terjadi peningkatan investasi dan kesempatan kerja di kedua sektor, maka akan meningkatkan produksi di masing-masing sektor, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan bagi pekerjanya. Dengan meningkatnya pendapatan, maka akan mendorong peningkatan konsumsi baik terhadap produk pertanian, maupun terhadap produk industri manufaktur. Oleh karena itu menurut Adelman, kunci keberhasilan pembangunan di kedua sektor tersebut adalah harus memiliki keterkaitan yang kuat dalam pembangunan masing-masing sektor.
179 Dengan demikian untuk melakukan ekspansi dikedua sektor tersebut dapat terjadi, karena saling membutuhkan. Terlebih lagi dengan adanya perluasan pasar ke luar negeri melalui ekspor, maka baik di pasaran dalam negeri maupun di pasaran luar negeri akan ikut menstimulir pembangunan di kedua sektor tersebut. Jika melihat keterkaitan pembangunan sektor pertanian dengan industri manufaktur di Indonesia, tampaknya belum menerapkan pembangunan sinergi di antara keduanya. Indikasi tersebut dapat dilihat pada uraian berikut. Perkembangan investasi di sektor pertanian dan sektor industri manufaktur di Indonesia, jika dilihat dari peranan masing-masing dalam investasi total, besaran investasi di sektor pertanian sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan investasi di sektor industri manufaktur. Dari Tabel 16
dapat dilihat bahwa,
investasi di sektor pertanian pada tahun 1995-2009 rata-rata 19,86 persen per tahun dari investasi total. Sementara kontribusi investasi di industri manufaktur terhadap investasi total pada periode yang sama rata-rata 26,64 persen per tahun. Dari perkembangan investasi ini tentu akan berdampak pada kontribusi output terhadap PDB nasional. Dilihat dari Gambar 13, kontribusi sektor pertanian di bawah kontribusi industri manufaktur. Demikian pula dampaknya terhadap nilai ekspor pertanian jauh juga jauh di bawah nilai ekspor industri manufaktur terhadap nilai total ekspor non migas (Tabel 8). Akan tetapi ironisnya, kemajuan yang pesat pada sektor industri manufaktur tidak diimbangi oleh peningkatan penyerapan tenaga kerja, sehingga penyerapan tenaga kerja masih menjadi beban sektor pertanian (lihat Gambar 16). Sektor industri belum mampu menyerap kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian, padahal di sektor pertanian banyak pekerja yang menjadi penganggur tersembunyi (disguise unemployment), atau
180 banyak juga yang pergi ke kota untuk bekerja di sektor informal. Oleh karena itu sekalipun sektor pertanian memiliki peran lebih rendah di bandingkan sektor industri, terutama dilihat dari kontribusinya pada PDB dan ekspor non migas, namun di bagian lain sektor pertanian tetap memiliki peran penting, seperti sebagai penyedia pangan dan lapangan kerja, pemasok bahan baku agro industri, dan pasar bagi hasil-hasil industri. Namun demikian peranan pertanian menjadi tidak optimal, karena strategi pembangunan industrialisasi di Indonesia kurang terintegrasi dengan pembangunan sektor pertanian. Pembahasan tentang terjadinya kesenjangan di atas, adalah akibat dari prioritas yang berlebihan pada penekanan pembangunan industrialisasi di Indonesia. Ketidak seimbangan tersebut dalam jangka panjang akan menjadi hambatan pembangunan secara keseluruhan. Kondisi ini terbukti pada saat terjadinya krisis tahun 1998. Karena kesenjangan distribusi pendapatan dikedua sektor tersebut sangat besar, maka pasar dalam negeri tidak banyak membantu untuk
penyelamatan
industri
manufaktur,
sementara
komoditas
industri
manufaktur banyak menggunakan input dari impor. Dalam kondisi krisis tersebut sektor pertanian mengalami pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan sektor industri manufaktur mengalami pertumbuhan negatip cukup besar. Demikian pula dalam penyerapan tenaga kerja. Tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian meningkat, sementara di sektor industri manufaktur terus mengalami penurunan, karena banyaknya perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja, di samping banyaknya perusahaan yang menutup usahanya atau memindahkan usahanya ke negara lain. Padahal dalam kerangka teori klasik dan hasil-hasil empiris oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa, keberhasilan industrialisasi selalu
181 seiring dengan pertumbuhan yang berkelanjutan dan perbaikan produktivitas di sektor pertanian (Dumairy, 1996). Sehingga jika produktivitas di sektor pertanian tidak mengalami perbaikan, maka pembangunan industrialisasi menjadi tidak berhasil. Karena tanpa dukungan sektor pertanian yang kuat sebagai penyangga, kemajuan sektor industri akan mudah terkendala. Sebenarnya menurut Tambunan (2001), sektor pertanian yang kuat sangat penting dalam proses industrialisasi, termasuk di Indonesia karena, (1) dapat memperkuat ketahanan pangan, sehingga tidak terjadi kelaparan, dan akan terciptanya kestabilan dibidang sosial politik, (2) dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga yang akan menjadi sumber permintaan terhadap produk-produk industri manufaktur, (3) merupakan sumber input bagi industri manufaktur, seperti industri makanan dan minuman, industri tekstil, dan industri kulit, dan lainnya, (4) menjadi sumber investasi di kedua sektor, jika keduanya memiliki keterkaitan yang kuat. Hingga saat ini keterkaitan antar kedua sektor tersebut di Indonesia, terutama di dominasi oleh efek keterkaitan pendapatan dan produksi, sementara keterkaitan dalam investasi tidak terlalu kuat (Adelman, 1984). Sebagai tolok ukur, bahwa perkembangan sektor pertanian di beberapa negara menurut Dumairy (1996) biasanya ditempuh melalui tiga kemungkinan pola yakni, (1) jalur kapitalistik, mengembangkan usaha tani berskala besar tapi juga melibatkan satuan-satuan usaha kecil, contoh negara yang menerapkan pola ini seperti di Amerika Utara dan Eropa Barat, (2) jalur sosialistik, yaitu dengan membentuk usaha kolektif berskala besar yang diprakarsai oleh negara, seperti yang diterakan oleh negara-negara Eropa Timur, dan (3) jalur koperasi semi kapitalistik, yakni dengan melakukan pembinaan usaha-usaha kecil padat modal yang dibantu oleh
182 koperasi nasional di bawah pengelolaan negara, pola ini telah diterapkan di Jepang dan Taiwan, walaupun polanya berbeda, tapi kesemuanya selalu disertai dengan reformasi agraris, serta penataan penguasaan tanah (land reform). Dari pola-pola tersebut, nampaknya Indonesia belum pernah mencoba untuk melakukannya. Kendatipun demikian, Indonesia pernah melakukan beberapa kebijakan di bidang pengelolaan pertanian, bahkan pernah mencapai swasembada beras, pernah menerapkan kebijakan revolusi hijau, dan intensifikasi serta ekstensifikasi. Namun keberhasilan yang pernah dicapai baru bersifat temporer, belum bersifat berkelanjutan (sustainable).
183 VII. PENGARUH EKSPOR PRODUK PERTANIAN DAN INDUSTRI MANUFAKTUR TERHADAP KINERJA MAKROEKONOMI INDONESIA 7.1. Hasil Pengolahan dan Estimasi Sistem Persamaan Pengolahan data yang dilakukan disesuaikan dengan model ekonometrik yang akan dimanfaatkan untuk analisis ekonomi. Model-model ekonometrik tersebut mencakup uji stasioner data, uji ordo optimal VAR, dan uji rank kointegrasi, sehingga dapat menghasilkan persamaan kointegrasi VECM, serta alat peramalan IRF dan FEVD. Sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab metode penelitian tentang prosedur ekonometrik, sebelum dilakukan pengolahan data lebih lanjut, terlebih dahulu data dari setiap variabel ditransformasikan kedalam bentuk log, kemudian dilakukan pengolahan secara bertahap dengan melakukan pengujian pada masingmasing tahapan yang dimulai dari uji stasioner data dari setiap variabel, uji lag optimal VAR, dan uji kointegrasi. Hasil-hasil pengolahan data yang dilakukan akan dijelaskan pada bagian berikut.
7.1.1. Hasil Uji Stasioner Penggunaan data runtun waktu, sangat rentan terhadap kondisi tidak stasioner (nonstationary). Oleh karena itu untuk menghindari masalah-masalah ekonometrik, perlu dilakukan pengujian terhadap kondisi data. Karena data yang digunakan dalam analisis harus bersifat stasioner terlebih dahulu (Gujarati, 2003). Tujuannya agar rata-ratanya stabil dan random errornya menjadi nol. Sehingga diharapkan model estimasi yang dipergunakan dalam analisis ini memiliki nilai prediksi yang dapat dipercaya. Sebenarnya terdapat beberapa metode untuk
184 melakukan uji stasioner data variabel seperti yang telah dijelaskan pada bab II, namun dalam penelitian ini alat uji stasioner yang digunakan adalah Augmented Dickey Fuller (ADF). Pengujian stasioner data pada setiap variabel dilakukan dengan uji unit root Augmented Dickey Fuller. Hasil Uji ADF pada tingkat level dan pada tingkat first difference I(1) secara ringkas disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Hasil Uji Stasioner Variabel Penelitian Nilai ADF Variabel Level LN_Produk Domestik Bruto (PDB) LN_Ballance Of Trade (BOT) Tingkat Inflasi Nasional (INF) LN_Nilai Tukar Rp / US $ (LER) LN_Ekspor Pertanian (XPT) LN_Ekspor Non Agro Industri (LXNAI)
LN_Ekspor Agro Industri (LXAI)
-1.79703 -1.27511 -4.76721 -1.09981 -2.40402 1.02432 0.42290
First Difference -4.10914 -8.28210 -7.52491 -12.36538 -6.22029 -8.90972 -9.63359
Nilai Kritis MacKinnon 0.05 First Level Difference -2.89912 -2.89862 -2.89912 -2.89912 -2.89912 -2.89912 -2.89912
-2.89912 -2.89912 -2.89912 -2.89912 -2.89912 -2.89912 -2.89912
Sumber : Lampiran 2. Dari Tabel 18 memperlihatkan bahwa, pada tingkat level hampir semua variabel memiliki data yang belum stasioner atau masih mengandung akar unit, kecuali variabel inflasi yang stasioner pada tingkat level. Oleh karena itu pengujian dilanjutkan pada tingkat turunan pertama (first difference). Dari hasil pengujian dengan lag maksimum 11, menunjukkan bahwa semua data dari setiap variabel yang digunakan dalam model menjadi stasioner pada derajat kepercayaan 95 persen. Kriteria stasioner tersebut ditandai dengan hasil perhitungan nilai absolut ADF dari setiap variabel lebih besar dibandingkan dengan nilai kritis ADF pada nilai kritis MacKinnon 5 persen. Hasil ini dilakukan berdasarkan persamaan dengan intersep tanpa trend, dan uji hipotesis satu arah (one-sided p-values).
185 Karena semua variabel penelitian telah stasioner pada ordo yang sama atau sering ditulis I (1), maka akan dilanjutkan dengan pengujian dalam menentukan jumlah lag optimal dari VAR. Biasanya dengan stasionernya data pada ordo yang sama dari setiap variabel yang digunakan dalam penelitian, menunjukkan bahwa terdapat peluang adanya kointegrasi yaitu hubungan jangka panjang antar variabel. Oleh karena itu perlu juga dilakukan uji kointegrasi. Tahapan pengujian dilakukan sebagai berikut.
7.1.2. Hasil Uji Ordo Optimal VAR Setelah dilakukan uji stasioner, maka langkah selanjutnya adalah membuat estimasi persamaan VAR. Estimasi persamaan VAR dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis dan hanya untuk menentukan jumlah lag atau ordo optimal VAR. Penentuan jumlah lag optimal dapat ditentukan berdasarkan Akaike information criterion (AIC), Schwarz information criterion (SC) maupun HannanQuinn information criterion (HQ). Dalam penelitian ini kriteria lag optimal yang dipilih adalah berdasarkan kriteria SC. Dari hasil uji VAR kinerja makroekonomi Indonesia diperoleh lag optimal VAR (2). Dengan menggunakan lag optimal tersebut diharapkan tidak ditemukan lagi masalah autokorelasi. Hasil uji ordo optimal VAR secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3. Selain uji lag optimal juga dilakukan uji stabilisasi VAR. Dalam persamaan sistem VAR dikatakan stabil apabila seluruh nilai roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu (Gujarati, 2003). Dari hasil uji stabilisasi diperoleh nilai-nilai absolutnya lebih kecil dari satu, dan secara lengkap lihat Lampiran 4. Dari hasil uji tersebut menunjukkan bahwa model VAR telah dianggap stabil, sehingga analisis impuls
186 respon (IRF) dan analisis peramalan dekomposisi ragam kesalahan (FEVD) dapat digunakan dan hasilnya dianggap valid (Windarti, 2004).
7.1.3. Hasil Uji Kausalitas Granger Uji kausalitas Granger (Granger Causality Test) dilakukan untuk melihat apakah dua variabel memiliki hubungan timbal balik atau tidak. Dengan kata lain apakah satu variabel memiliki hubungan sebab akibat dengan variabel lainnya secara signifikan, karena setiap variabel dalam penelitian mempunyai kesempatan untuk menjadi variabel endogen maupun eksogen. Karena penelitian ini menggunakan metode VAR berarti penelitian tersebut didasari oleh konsep Granger Causality, yakni penelitian yang dilakukan dengan mengidentifikasi hubungan keterkaitan antar variabel tanpa restriksi. Untuk mengetahui hasil uji hubungan kausalitas antar variabel dalam hal ini menggunakan lag 2 (berdasarkan ordo optimal VAR), dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil uji tersebut menghasilkan beberapa variabel dalam penelitian yang sesuai dengan tujuan dan memiliki hubungan signifikan, namun sebagian variabel menunjukkan hubungan yang tidak signifikan.
7.1.4. Uji Kointegrasi dan VECM Apabila data telah terintegrasi pada ordo yang sama I (1), maka langkah selanjutnya melakukan uji kointegrasi antar variabel dalam suatu persamaan kointegrasi. Seperti telah dijelaskan pada sub sebelumnya, paling tidak terdapat dua metode yang dapat digunakan untuk menguji kointegrasi antar variabel, yakni uji Engle-Granger (uji dua tahap) dan uji Johansen. Dalam penelitian ini uji kointegrasi terutama dilakukan dengan pendekatan Johansen (Johansen’s
187 Cointegration test), namun untuk memastikan ada atau tidaknya hubungan kointegrasi juga diilakukan dengan uji dua tahap sebagai pembanding. Sama halnya dengan uji lag optimal VAR, pengujian kointegrasi juga akan menggunakan data level, sesuai dengan pendapat Gujarati (2003) dan Enders (1995). Uji kointegrasi dimaksudkan untuk mengetahui apakah analisis VECM dapat digunakan atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari uji rank kointegrasi yang akan menghasilkan jumlah rank matrik kointegrasi dan merupakan jumlah persamaan
struktural yang akan digunakan sebagai alat estimasi untuk nilai
prediksi yang akan datang. Kriteria jumlah rank kointegrasi yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah berdasarkan perbandingan antara nilai statistik (maximal eigenvalue dan trace value of the stochastic matrix) dengan nilai kritis (critical value) pada tingkat signifikansi sebesar 5 persen. Berdasarkan hasil uji dengan metode Johansen, yakni dengan melihat nilai trace statistic dan max-eigen statistic pada taraf signifikansi 5 persen diperoleh rank kointegrasi atau r = 2, yang berarti dalam hubungan multivariate terdapat dua sistem persamaan dalam jangka panjang yang terkointegrasi secara linier. Secara lengkap hasil uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan jumlah persamaan kointegrasi yang diperoleh belum dapat langsung digunakan sebagai alat estimasi, karena persamaan tersebut masih bersifat exactly identified, sementara
penelitian ini akan disesuaikan dengan
tujuan penelitian dan teori ekonomi. Oleh karena itu dianggap perlu untuk melakukan restriksi. Restriksi ini dilakukan berdasarkan kriteria over identified. Dengan demikian persamaan restriksi yang dihasilkan merupakan persamaan sistem yang akan digunakan sebagai dasar untuk melakukan estimasi hubungan
188 atau keterkaitan antar variabel dalam model. Dari persamaan restriksi kointegrasi yang diperoleh, akan dilakukan analisis dan pembahasan tentang hubungan antara variabel ekspor dengan variabel kinerja makroekonomi Indonesia, terutama yang sesuai dengan tujuan penelitian. Kendatipun persamaan kointegrasi VECM bukan merupakan pokok bahasan, namun
persamaan kointegrasi VECM adalah
merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan rangkaian berikutnya, yaitu untuk melakukan estimasi IRF dan FEVD yang merupakan tools untuk menjawab tujuan penelitian. Hasil estimasi persamaan kointegrasi VECM secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7. Pada persamaan VECM tersebut, di samping merupakan sistem persamaan yang mengintegrasikan persamaan dinamik hubungan jangka pendek dan jangka panjang kedalam satu kesatuan persamaan, juga dapat dilihat secara terpisah antara persamaan jangka pendek VAR dan persamaan jangka panjang kointegrasi yang jumlahnya berdasarkan jumlah rank kointegrasi, yakni dua persamaan regresi kointegrasi.
7.1.5. Penggunaan Teknik IRF dan Teknik FEVD Teknik IRF digunakan untuk mengetahui keseimbangan dinamik yang terjadi pada makroekonomi Indonesia sebagai pengaruh dari shock salah satu variabel penjelas (explanatory variable) terhadap perubahan setiap variabel yang ada dalam sistem persamaan kointegrasi. Dengan kata lain teknik ini dimaksudkan untuk menganalisis respon dinamis setiap variabel makroekonomi dalam penelitian, akibat adanya shock satu standard deviasi pada variabel ekspor non agro industri, ekspor pertanian, dan ekspor agro industri dalam sistem persamaan. Respon dinamis yang terjadi mencakup perubahan baik keseimbangan dalam
189 jangka pendek maupun keseimbangan dalam jangka panjang pada kinerja makroekonomi Indonesia dimasa yang akan datang. Teknik FEVD digunakan untuk mengukur perubahan yang akan terjadi pada kinerja makroekonomi, sebagai pengaruh dari guncangan pada error term setiap variabel pada sistem persamaan kointegrasi. Dalam pembahasan ini walaupun guncangan yang terjadi adalah pada semua variabel yang akan menjelaskan variabilitas dari setiap variabel kinerja makroekonomi, namun fokus utama yang akan dilihat adalah kontribusi dari sumber guncangan eksternal, yaitu variabel ekspor non agro industri, ekspor pertanian, dan ekspor agro industri. Variabel-variabel tersebut diperkirakan juga menjadi sumber guncangan yang dapat mempengaruhi setiap variabel kinerja makroekonomi Indonesia pada waktu yang akan datang.
7.2. Hubungan Ekspor dengan Kinerja Makroekonomi Berdasarkan uji kointegrasi Johansen dihasilkan dua sistem persamaan kointegrasi, yang berarti dalam hubungan ekspor dan kinerja makroekonomi terdapat dua sistem persamaan regresi yang terkointegrasi dalam jangka panjang, persamaan tersebut dapat dilihat pada persamaan (7.1) dan persamaan (7.2). LPDB = -13,11 – 0,08 INF + 0,46 LER + 0,85 LXNAI + 1,86 LXPT + 0,71LXAI................ (7.1) t-stat
(9,64)
(4,12)
(2,73)
(6,23)
(2,66)
LBOT = 16,38 + 0,13 INF + 0,91 LER + 0,36 LXNAI + 2,32 LXPT + 3,84 LXAI ............. (7.2) t-stat
(4,15)
(2,03)
(0,286)
(2,28)
(3,58)
Persamaan regresi kointegrasi (7.1) dan (7.2) adalah bersumber dari bagian persamaaan VECM (Lampiran 7) di bagian atas, dan dari persamaan tersebut dapat menggambarkan elastisitas jangka panjang. Dari persamaan regresi kointegrasi tersebut hampir seluruh koefisien pada variabel penjelas memiliki
190 hubungan yang signifikan secara statistik pada tingkat keyakinan 5 persen. Yang tidak signifikan adalah hubungan variabel ekspor non agro industri (LXNAI) dengan net ekspor (LBOT). Demikian pula jika dilihat dari arti ekonomi yang dicerminkan dari tanda koefisien regresinya, terdapat variabel yang tidak sesuai dengan harapan atau tidak searah dengan teori ekonomi, misalnya pengaruh variabel inflasi terhadap net ekspor adalah positip, dan sangat signifikan. Oleh karena itu untuk melihat hubungan karakteristik dari setiap variabel penjelas dengan variabel endogen akan dibahas pada bagian berikut. Dari dua persamaan di atas dapat diinterpretasikan, bahwa kenaikan 1 persen pada tingkat inflasi akan menurunkankan PDB sebesar 0.08 persen, namun terhadap neraca perdaganggan (BOT) justru menyebabkan kenaikan sebesar 0.13 persen. Dilihat dari hubungannya dengan nilai tukar rupiah per dolar Amerika, kenaikan 1 persen pada nilai tukar rupiah (depresiasi rupiah) akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0.46 persen, sedangkan hubungannya dengan neraca perdagangan (BOT) akan meningkatkan net ekspor sebesar 0.91 persen. Pengaruh ekspor pertanian terhadap PDB dalam jangka panjang adalah positif, karena dengan meningkatnya ekspor pertanian sebesar 1persen akan meningkatkan PDB sebesar 1.86 persen, sedangkan pengaruhnya pada BOT akan meningkat sebesar 2.32 persen.
Hubungan ekspor non agroindustri dengan PDB juga positip.
Dengan meningkatnya ekspor nonagro 1persen akan menaikkan PDB sebesar 0.85 persen, dan pengaruhnya pada BOT juga positip, karena dengan meningkatnya ekspor nonagro 1persen, dapat meningkatkan BOT sebesar 0.36 persen, namun ternyata pengaruh tersebut tidak signifikan. Hubungan ekspor agro industri dengan PDB dan BOT juga positip dan signifikan. Peningkatan 1 persen pada
191 ekspor agro, akan menaikkan PDB sebesar 0.71 persen, dan dapat meningkatkan BOT sebesar sebesar 3.84 persen. Di samping menjelaskan hubungan jangka panjang, dari hasil estimasi VECM juga dapat menjelaskan hubungan jangka pendek antara variabel makroekonomi tertentu dengan beberapa variabel lainnya dalam lag pertama, dalam hal ini lagnya adalah dalam triwulan. Hubungan jangka pendek tersebut lebih dilihat dari tanda koefisiennya, sehingga arah hubungan bisa positip atau negatip yang juga mencerminkan koefisien elastisitas jangka pendek. Untuk analisis jangka pendek dapat dilihat pada Tabel 19. Pada Tabel 19 berikut menunjukkan bahwa, dalam jangka pendek terdapat beberapa variabel yang memiliki hubungan sigfikan dengan PDB, yakni variabel inflasi (INF) signifikan dalam mempengaruhi perubahan PDB dengan besaran koefisien – 0.0011, yang berarti peubah Inflasi memiliki hubungan negatip dengan PDB pada lag pertama. Demikian pula nilai tukar (ER) juga memiliki hubungan negatip dengan PDB pada lag pertama, dan hubungan tersebut sangat signifikan. Sedangkan terhadap variabel ekspor pertanian berhubungan posititip dan sangat signifikan pada lag pertama dengan PDB, dengan koefisien
sebesar 0.0998,
sehingga jika ekspor pertanian naik pada periode sebelumnya sebesar 1 persen, maka akan meningkatkan PDB sebesar 0.09 persen. Demikian pula halnya dengan ekspor non agro dan agro, keduanya berhubungan positip dengan PDB pada lag pertama, namun secara statistik keduanya tidak signifikan. Sedangkan pengaruh jangka pendek pada net ekspor (BOT) menunjukkan bahwa, hubungan antara net ekspor dengan tingkat inflasi adalah negatip pada lag pertama dengan koefisien 0.0035,
hal ini dapat diartikan bahwa, jika terjadi kenaikan inflasi pada lag
192 pertama sebesar satu persen, maka akan memiliki dampak negatip terhadap net ekspor atau menurunkan net ekspor sebesar 0.0035 persen, walaupun pengaruhnya sangat kecil, namun pengaruh tersebut ternyata tidak signifikan. Tabel 19. Hasil Estimasi Hubungan Jangka Pendek antara PDB dan BOT dengan Ekspor Pertanian, Ekspor Non Agro, Ekspor Agro HUBUNGAN JANGKA PENDEK D(LPDB) Variabel
D(LBOT)
D(LPDB(-1))
Koefisien 0.14479
T-Statistik [1.23873]
D(LBOT(-1))
0.00291
[ 0.29017]
D(LIHK(-1))
-0.0011
[-2.01570]1
-0.10122
2
D(LER(-1))
[-4.56135]
Variabel D(LPDB(-1))
Koefisien 0.21597
T-Statistik [ 0.14959]
D(LBOT(-1))
-0.02294
[-0.18520]
D(LIHK(-1))
-0.00349
[-0.62311]
D(LER(-1))
0.00089
[ 0.00325] [ 1.39400]
D(LNXAI(-1))
0.02813
[ 0.65260]
D(LNXAI(-1))
0.74206
D(LXPT(-1))
0.09918
[ 4.03085]2
D(LXPT(-1))
0.19775
[ 0.65070]
D(LXAI(-1)) Keterangan : 2 t 1% = 2,167 1 t 5% = 1,980
0.02907
[ 0.58348]
D(LXAI(-1))
0.48045
[ 0.78073]
Sumber : Lampiran 7.
Untuk hubungan net ekspor dengan variabel lainnya secara keseluruhan tidak signifikan, dan seluruh koefisien memiliki tanda positip, kecuali koefisien net ekspor pada lag pertama bertanda negatip. Jika diperhatikan lebih jauh, tidak terdapat perbedaan arah hubungan yang berarti antara jangka pendek dan jangka panjang, yang berbeda adalah tingkat signifikansinya. Hampir semua variabel ekspor baik ekspor non agro, ekspor pertanian, maupun ekspor agro industri dalam jangka pendek memiliki pengaruh yang positip, akan tetapi tidak signifikan, keculai eskpor pertanian lag pertama terhadap PDB. Namun dalam jangka panjang semua variabel ekspor memiliki pengaruh yang positip, walaupun tidak semuanya signifikan terhadap PDB dan BOT, yakni hubungan ekspor non agro dengan BOT. Jadi walaupun dalam jangka pendek hubungan antara variabel
193 ekspor dengan PDB dan BOT belum signifikan, namun dalam jangka panjang hubungan tersebut mennjadi signifikan dan berpengaruh positip.
Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi Indonesia terhadap Guncangan Ekspor Produk Pertanian dan Manufaktur Dengan menggunakan teknik peramalan IRF, maka akan dilakukan penelusuran pengaruh shock pada variabel ekspor produk pertanian dan manufaktur terhadap kinerja makroekonomi Indonesia. Kinerja makroekonomi Indonesia mencakup variabel poduk domestik bruto (PDB), neraca perdagangan (BOT), Inflasi (INF), dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (ER), sementara guncangan dari ekspor mencakup ekspor non agroindustri manufaktur (XNAI), ekspor produk pertanian (XPT), dan ekspor agro industri (XAI). Untuk mengetahui pengaruh dinamik dari shock ekspor non agro, ekspor pertanian, dan ekspor agro terhadap kinerja makroekonomi Indonesia, disajikan dalam bentuk grafik yang dapat dilihat pada Gambar 18 sampai Gambar 20 dan secara numerik dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 8.
7.3.1. Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi Indonesia terhadap Guncangan Ekspor Non Agro Industri. Untuk menghasilkan komoditi industri manufaktur, khususnya non agroindustri di Indonesia sebagian komponennya masih berasal dari impor seperti impor barang-barang modal, bahan baku dan bahan penolong. Oleh karena itu guncangan terhadap ekspor komoditi industri manufaktur nonagro, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap variabel-variabel makroekonomi Indonesia. Misalnya pengaruh positip guncangan yang dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi,
194 tapi di lain pihak menyebabkan berpengaruh negatip berupa kenaikan harga-harga barang hasil industri di dalam negeri atau kenaikan inflasi, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, karena besarnya pengeluaran untuk impor bahanbahan input untuk produk industri. Untuk melakukan analisis dan pembahasan pada sub bab ini, dapat dilihat melalui Lampiran 8.1 dan Gambar 18. Dari Lampiran 8.1 menunjukkan bahwa pengaruh shock satu standard deviasi pada ekspor manufaktur nonagro pada periode awal kebijakan dapat meningkatkan ekspor produk manufaktur nonagro itu sendiri sebesar 5.73 persen. Peningkatan tersebut
pada triwulan ke dua
berpengaruh positip terhadap kinerja makroekonomi Indonesia, yang dicerminkan pada kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.80 persen, net ekspor mengalami penurunan sebesar 5.36 persen, terhadap tingkat inflasi terjadi kenaikan sebesar 2.52 persen, demikian pula nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, pada periode yang sama juga mengalami depresiasi sebesar 6.77 persen. Kondisi tersebut berlanjut hingga triwulan keempat. Dampak guncangan ekspor manufaktur nonagro masih dapat meningkatkan seluruh variabel makroekonomi, walaupun sebagian variabel peningkatannya sedikit menurun. Produk domestik bruto dapat meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan periode kedua, yakni tumbuh sebesar 1.32 persen, demikian pula net ekspor peningkatannya menjadi sebesar 6.17 persen, namun terhadap tingkat inflasi merespon shock ekspor non agro dengan peningkatan sebesar 2.31 persen sedikit lebih rendah dibandingkan dengan periode kedua. Sedangkan terhadap nilai tukar pada periode keempat terjadi depresiasi 5.25 persen, juga sedikit lebih rendah dibandingkan dengan periode kedua.
Selama periode jangka pendek hingga
195 triwulan ke 6, shock ekspor nonagro dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi 1.41 persen persen, net ekspor meningkat menjadi sebesar 6.58 persen, dan tingkat inflasi naik menjadi 1.17 persen, serta nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 4.37 persen. Pada periode jangka panjang, guncangan positip terhadap ekspor nonagro industri, tetap memberikan respon positip terhadap kinerja makroekonomi Indonesia. Hal ini tercermin dari peningkatan produk domestik bruto dan net ekspor, sedangkan tingkat inflasi terus mengalami peningkatan yang mengecil hingga periode ke 16 peningkatannya menjadi 0.16 persen dan terus menurun hingga mencapai kestabilan (konvergen) pada periode ke 20 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 0.13 persen per triwulan. Dengan kata lain guncangan yang bersumber dari ekspor nonagro industry tidak lagi direspon oleh tingkat inflasi. Sementara terhadap nilai tukar rupiah mengalami fluktuasi dan cenderung menurun hingga mencapai stabil pada periode ke 19 dengan peningkatan rata-rata 3.5 persen per triwulan hingga periode ke 50. Dalam arti bahwa, guncangan yang bersumber dari ekspor nonagro industri, mulai periode 19, tidak menyebabkan nilai tukar rupiah befluktuas lagi. Sedangkan terhadap PDB dan BOT, akibat shock ekspor non agroindustri, pertumbuhan ekonomi sejak periode ke 4 hingga periode ke 16 sedikit berfluktuatif, namun pada periode ke 18, guncangan ekspor non agro tidak lagi direspon oleh pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi telah mencapai konvergen atau partumbuhan yang stabil semenjak periode ke 18, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 1.46 persen per triwulan hinggga periode 50. Sedangkan respon net ekspor terhadap guncangan ekspor non agro terus meningkat hingga mencapai pertumbuhan tertinggi 6.80 persen pada
196 periode ke 17, dan mencapai konvergen pada periode ke 19, dengan pertumbuhan rata-rata 6.80 persen per triwulan hingga periode ke 50. Hasil analisis di atas menunjukan bahwa, guncangan pada ekspor nonagro industri dalam jangka panjang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor, sedangkan terhadap inflasi cenderung menurun dan stabil pada tingkat yang cukup rendah. Response to Cholesky One S.D. Innovations of XNAI
.07
.016 Respon terhadap BOT
Respon terhadap PDB
.06 .012
.008
.05 .04 .03 .02
.004 .01 .00
.000 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
50
10
15
20
25
30
35
40
45 50 Triwulan
Triwulan
3.0
.06
Respon terhadap Inflasi (INF)
Respon terhadap Nilai Tukar (ER)
.07
.05 .04 .03 .02 .01 .00 5
Gambar 18.
10
15
20
25
30
35
40
45 50 Triwulan
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 5
10
15
20
25
30
35
40
45 50 Triwulan
Pengaruh Ekspor Non agro Industri terhadap Kinerja Makroekonomi Idonesian
Gambaran di atas menunjukkan bahwa, guncangan pada ekspor nonagro industri dalam jangka panjang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor, sedangkan terhadap inflasi cenderung menurun dan stabil pada tingkat yang cukup rendah. Demikian pula terhadap nilai tukar rupiah, dalam jangka
197 panjang cenderung stabil. Kondisi tersebut lebih lanjut dalam jangka panjang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan net ekspor. Jika dilihat dari dampak shock ekspor non agro terhadap inflasi, walaupun pada periode jangka pendek terjadi kenaikan inflasi yang cukup tinggi, akan tetapi kenaikan tersebut terus menurun dan stabil, sedangkan nilai turkar rupiah dalam jangka pendek mengalami fluktuasi, namun dalam jangka panjang menjadi stabil dengan pertumbuhan yang relatif kecil.
7.3.2. Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi terhadap Guncangan Ekspor Produk Pertanian Gambar 19 menunjukkan respon dinamik variabel-variabel makroekonomi Indonesia atas shock ekspor pertanian (XPT) yang diestimasi dan di analisis dengan fungsi impulse respons secara simultan sampai 50 triwulan ke depan, dan secara numeriknya disajikan pada Lampiran 8.2. Pada Lampiran 8.2 dan Gambar 19, tampak bahwa pengaruh shock satu standar deviasi dari ekspor produk pertanian pada periode awal kebijakan dapat meningkatkan ekspor pertanian itu sendiri sebesar 9.36 persen, kemudian pada triwulan kedua guncangan ekspor pertanian memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 2.04 persen, net ekspor naik 2.69 persen persen, inflasi naik sebesar 0.49 persen, dan nilai tukar rupiah per dolar terdepresiasi cukup tinggi sebesar 10.34 persen. Pada periode awal shock ekspor pertanian menyebabkan peningkatan pada semua variabel kinerja makroekonomi. Pada periode ke 4, output nasional mengalami peningkatan pertumbuhan dari 2.04 persen menjadi 3.36 persen, net ekspor juga meningkat dari 2.69 persen meningkat menjadi 6.15 persen, sedangkan pengaruh guncangan ekspor pertanian terhadap tingkat inflasi juga
198 meningkat cukup tinggi, yakni 5.27 persen, dan terhadap nilai tukar rupiah mengalami depresiasi 8.53 persen, lebih rendah dibandingkan periode ke 2. Response to Cholesky One S.D. Innovations of XPT
.08
.04
Respon terhadap BOT
Respon terhadap PDB
.07 .03
.02
.01
.06 .05 .04 .03 .02 .01 .00
.00 5
10
15
20
25
30
35
40
45 50 Triwulan
10
15
20
25
30
35
40
5
10
15
20
25
30
35
40
45 50 Triwulan
6
.10
Respon terhadap Inflasi (INF)
Respon terhadap Nilai Tukar (ER)
.12
5
.08 .06 .04 .02 .00 5
10
15
20
25
30
35
40
45 50 Triwulan
5 4 3 2 1 0 -1 45
50
Triwulan
Gambar 19. Pengaruh Ekspor Pertanian terhadap Kinerja Makroekonomi Indonesia
Setelah periode ke 4, guncangan pada ekspor pertanian menyebabkan pertumbuhan ekonomi sedikit berfluktuasi antara 3.03 persen sampai 3.59 persen dan cenderung naik hingga periode ke 22, setelah itu mengalami pertumbuhan yang stabil pada periode ke 25 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 3. 58 persen. Dalam arti bahwa, shock terhadap ekspor pertanian tidak lagi direspon oleh produk domestik produk. Guncangan ekspor pertanian, selain meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga berhubungan positip dengan meningkatnya net ekspor, dari periode ke 4 terus meningkat menjadi sebesar 7.54 persen hingga periode ke 15, setelah itu pertumbuhan net ekspor mengalami konvergen pada periode ke 16 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 7.57 persen per triwulan dan
199 tampaknya kestabilan pertumbuhan net ekspor lebih cepat tercapai dibandingkan dengan PDB. Hubungannya dengan tingkat inflasi, guncangan ekspor pertanian ternyata menyebabkan tingkat inflasi dalam jangka panjang cenderung menurun hingga bertumbuh menjadi 0.05 persen, dan setelah itu pertumbuhannya menjadi negatip 0.07 persen, kemudian meningkat lagi dan mencapai stabil pada periode ke 22 dengan pertumbuhan rata-rata minus 0.11 persen. Hal ini menunjukkan bahwa, guncangan ekspor pertanian menyebabkan kenaikan tingkat inflasi yang cukup tinggi hanya terjadi selama periode jangka pendek, namun dalam jangka panjang cenderung menurun. Kondisi ini dapat saja terjadi apabila di dalam negeri sendiri terjadi kelangkaan produk pertanian, khususnya tanaman perkebunan yang lebih banyak di ekspor dalam bentuk komoditi primer, sehingga menyebabkan kelangkaan bahan baku di dalam negeri, walaupun demikian kelangkaan bahan baku tersebut dapat diatasi oleh pemerintah dengan cara membatasi atau mengurangi ekspor pada produk primer, sehingga dalam jangka panjang dampak guncangan ekspor pertanian terhadap tingkat inflasi domestik cenderung menurun dan stabil pada periode ke 22. Hal lain yang menarik untuk diperhatikan adalah dampak shock ekspor pertanian terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Kenaikan ekspor pertanian menyebabkan nilai tukar rupiah malah terdepresiasi dalam jangka pendek. Namun dalam depresiasi tersebut berfluktuatif. Terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika mengindikasikan bahwa kenaikan ekspor pertanian belum berpengaruh cukup kuat untuk meningkatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Selain itu bisa juga disebabkan oleh kemungkinan bahwa devisa hasil ekspor oleh para eksportir masih disimpan di luar negeri, sehingga
200 belum masuk ke pasar valuta asing di dalam negeri yang dapat meningkatkan nilai tukar rupiah, atau bisa juga disebabkan oleh permintaan lebih besar dibandingkan dengan penawaran mata uang dolar Amerika di pasar valuta asing di dalam negeri. Kemudian dalam jangka panjang, nilai tukar rupiah cenderung menguat atau apresiasi, hal ini sesuai dengan harapan teori ekonomi. Kestabilan pertumbuhan nilai tukar rupiah terjadi pada
periode ke 24 dengan tumbuh rata-rata sebesar
5.03 persen. Penurunan nilai tukar (apresiasi rupiah) tersebut terjadi karena pendapatan ekspor naik, yang berarti lebih banyak dolar Amerika masuk dan sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran mata uang dolar Amerika di pasar valuta asing, khususnya dolar Amerika dalam kondisi normal akan menyebabkan apresiasi rupiah terhadap dolar Amerika. Jika diperhatikan pengaruh guncangan ekspor pertanian dalam jangka pendek telah menciptakan peningkatan kinerja makroekonomi yang positip, hal ini tampak dari peningkatan relatif yang diciptakannya pada PDB dan net ekspor. Demikian pula pengaruh shock pertanian
dalam jangka panjang, kendatipun
pengaruh tersebut bersifat fluktuatif dalam jangka pendek terutama terhadap nilai tukar dan PDB, namun perkembangannya dalam jangka panjang menunjukkan bahwa guncangan positip atas ekspor pertanian memberikan respon yang relatif baik terhadap produk domestik bruto, net ekspor, Inflasi, dan nilai tukar. Dari perkembangan di atas ternyata pengaruh shock ekspor pertanian, walaupun dapat meningkat dalam jangka panjang, namun peningkatan tersebut telah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan jangka pendek. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya ekspor terutama ekspor pertanian memiliki peranan dalam peningkatan perekonomian. Kondisi seperti ini
201 nampaknya perlu mendapat perhatian secara khusus, bagaimana agar suatu kebijakan perdagangan luar negeri, terutama untuk produk-produk sektor pertanian dapat meningkat terus hingga dalam jangka panjang, tidak hanya berlangsung dalam jangka pendek saja. Hal ini perlu dilakukan agar pengaruhnya dapat berkesinambungan dan positip, bukan saja terjadi peningkatan terhadap ekspor pertanian itu sendiri, tapi juga memiliki pengaruh terhadap perkembangan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Oleh sebab itu berbagai kebijakan yang saling bersinergi antara kebijakan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan peningkatan ekspor pertanian, perlu dilakukan secara koordinatif dan dapat berlangsung secara berkesinambungan. Dengan kata lain kontribusi ekspor produk pertanian nampaknya masih merupakan komoditi ekspor utama Indonesia Seperti diketahui, bahwa perilaku ekspor Indonesia, termasuk masalah ekspor komoditi pertanian lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran karena kualitas ekspor sebagian hasil-hasil pertanian Indonesia kurang memenuhi standard konsumen luar negeri.
Hal ini berarti daya saing komoditi ekspor pertanian
Indonesia dibandingkan dengan ekspor dari negara lain masih relatif rendah. Di samping itu komoditi ekspor pertanian Indonesia masih didominasi oleh komoditi primer yang memiliki nilai jual yang relatif rendah, misalnya ekspor biji coklat, getah karet, dan komoditi perkebunan lainnya, termasuk ekspor dari hasil-hasil perikanan dan kelautan. Kendatipun kebijakan diarahkan untuk meningkatkan ekspor pertanian, namun dominasi komoditi primer perlu terus dikurangi dengan meningkatkan peran teknologi dalam pengolahan komoditi pertanian sehingga menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dengan demikian komoditi
202 pertanian dapat memiliki nilai tambah dan daya saing yang lebih tinggi, serta peranan ekspor agro industri juga dapat ditingkatkan. Kondisi lainnya dilihat dari aspek liberalisasi perdagangan, kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia terkait langsung dengan era pasar bebas, seperti Asean Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), dan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN–Cina (ACFTA) dan AFTA. Dengan demikian hambatan tarif dan non tarif untuk melindungi produksi komoditi pertanian dalam negeri pada saatnya tidak dapat diberlakukan lagi. Oleh karena itu, walaupun tujuan dari liberalisasi perdagangan ini positip, yakni untuk meningkatkan daya saing dan transaksi perdagangan luar negeri, namun kenyataannya produk ekspor pertanian Indonesia masih menemukan banyak persoalan, baik internal, eksternal, maupun di pasaran global. Sehingga ekspor pertanian belum dapat menunjukkan perkembangan yang berarti, namun demikian kontribusinya terhadap perekonomian nasional adalah positip, walaupun masih relatif kecil. 7.3.3. Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi Indonesia terhadap Guncangan Ekspor Agro Industri Untuk mengetahui respon kinerja makroekonomi atas guncangan ekspor agro industri dapat dilihat dari Gambar 20. Untuk mengetahui secara numerik dapat dilihat melalui Lampiran 8.3. Gambaran tersebut merupakan hasil estimasi dengan IRF sepanjang 50 triwulan ke depan. Pada Lampiran 8.3 dapat dilihat, bahwa pengaruh shock satu standard deviasi pada variabel ekspor agro Industri (XAI) pada periode awal kebijakan dapat meningkatkan variabel itu sendiri sebesar 5.32 persen. Pada periode kedua, guncangan ekspor agro industri memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kinerja
203 makroekonomi.
Pada pertumbuhan ekonomi dapat meningkat sebesar 0.26
persen, sedangkan pengaruhnya terhadap net ekspor juga positip yang meningkat sebesar 2.26 persen, demikian pula halnya inflasi meningkat sebesar 1.5 persen dan nilai tukar adalah negatip, yakni sebesar 0.33 persen. Masih dalam jangka pendek, pada periode ke 4, PDB dapat tumbuh dengan pertumbuhan yang lebih rendah yakni sebesar 0.06 persen, net ekspor meningkat sebesar 2.16 persen, tingkat inflasi menurun dari 1.5 persen pada periode sebelumnya menjadi 0.96 persen, sedangkan nilai tukar terdepresiasi 0.03 persen. Pada periode jangka panjang, pengaruh guncangan atas ekspor agro industri terhadap variabel-variabel kinerja makroekonomi adalah positip. Terhadap PDB mengalami kenaikan, walaupun kenaikan tersebut relatif kecil yakni 0.04 persen hingga mencapai konvergen pada periode ke 20 dengan pertumbuhan rata-rata 0.05 persen per triwulan hingga periode 50. Terhadap net ekspor, dalam jangka panjang dapat tumbuh sebesar 2.11 persen dan mencapai konvergen pada periode ke 16, dengan pertumbuhan rata-rata 2.11 persen. Sedangkan terhadap tingkat inflasi terjadi konvergen pada periode ke 18 dengan pertumbuhan rata-rata 1.10 persen, dan nilai tukar rupiah mencapai konvergen pada periode ke 20 dengan pertumbuhan rata-rata 0.04 persen per triwulan. Dari pencapaian konvergen atau keseimbangan jangka panjang, nampaknya variabel net ekspor adalah yang paling cepat tercapai, dalam arti guncangan ekspor agro industri tidak lagi memiliki pengaruh terhadap perubahan net ekspor, dan tercapai pada periode yang lebih cepat, yakni selama 16 triwulan atau sekitar empat tahun. Jika dicermati lebih jauh, tampaknya guncangan ekspor agro industri baik jangka pendek maupun dalam jangka panjang dapat memberikan pengaruh yang
204 positip terhadap kinerja makroekonomi, karena guncangan positip atas ekspor agro industri ternyata direspon positip oleh variabel-variabel makroekonomi indonesia, keculai nilai tukar. Khusus pengaruhnya pada nilai tukar, dalam jangka pendek terjadi apresiasi rupiah terhadap dolar Amerika, kemudian periode berikutnya terjadi apresiasi rupiah, lalu berfluktuasi, dan dalam jangka panjang pengaruh tersebut positip, namun dengan pertumbuhan yang relatif kecil. Response to Cholesky One S.D. Innovations of XAI .0030
.024 .020 Respon terhadap BOT
Respon terhadap PDB
.0025 .0020 .0015 .0010 .0005
.012 .008 .004
.0000 5
10
15
20
25
30
35
40
.000
45 50 Triwulan
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Triwulan 2.0 Respon terhadap Inflasi (INF)
.002 Respon terhadap Nilai Tukar (ER)
.016
.001 .000 -.001 -.002 -.003
1.5
1.0
0.5
0.0
-.004 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Triwulan
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Triwulan
Gambar 20. Pengaruh Ekspor Agro Industri terhadap Kinerja Makroekonomi Indonesia
Jika dibandingkan
dengan guncangan yang bersumber dari ekspor
pertanian maupun ekspor non agro industri, sebenarnya ekspor komoditi agro industri memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan karena komoditi yang dihasilkan berbasis pada hasil-hasil pertanian primer di dalam negeri. Memang
205 kondisi perkembangan ekspor agro industri hingga saat ini dari waktu ke waktu secara nominal memiliki kontribusi pendapatan ekspor non migas yang lebih besar daripada pendapatan dari ekspor pertanian, namun pertumbuhannya secara relatif masih kecil, sehingga belum dapat menjadi komoditi ekspor andalan, oleh karena itu, baik dari segi kuantitas, kualitas, maupun daya saing perlu terus ditingkatkan sehingga dapat menjadi salah satu andalan ekspor nasional pada masa yang akan datang.
7.3.4. Ringkasan Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi atas Guncangan Ekspor Produk Pertanian dan Industri Manufaktur Dari hasil pembahasan di atas, dapat dilihat kembali dalam ringkasan pada Tabel 20. Respon kinerja makroekonomi atas guncangan perdagangan luar negeri dengan proksi ekspor produk pertanian dan ekspor industri manufaktur yang terdiri dari ekspor nonagroindustri dan ekspor agroindustri dalam waktu rata-rata sekitar 20 triwulan ke depan akan mencapai keseimbangan. Pencapaian keseimbangan tersebut nampaknya cukup realistis yakni selama sekitar 5 tahun. Oleh karena itu perlu di dukung oleh kondisi perekonomian yang lebih kondusip, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Di dalam negeri harus tercipta upaya peningkatan produksi yang berkualitas dengan efisiensi yang tinggi. Di samping itu perlu diupayakan perbaikan di bidang infrastruktur, baik yang terkait dengan investasi untuk menciptakan sarana produksi sehingga produksi dapat ditingkatkan, maupun yang terkait dengan kelancaran arus barang. Sedangkan untuk kondisi pasar ekspor di luar negeri, harus meningkatkan kualitas dan daya saing produk terutama terhadap negara-negara mitra dagang Indonesia, dan juga negara-negara besar (large open economies) seperti Amerika, Jepang,
206 dan negara-negara Eropa. Dengan kata lain pencapaian konvergen tersebut dapat tercapai apabila hal-hal tersebut dapat diwujutkan. Sehingga kondisi pertumbuhan ekonomi dan net ekspor tidak lagi bersifat fluktuatif dan akan mencapai stabil, sementara terhadap inflasi dapat terkendali, dan nilai tukar rupiah tidak lagi mengalami fluktuatif, tapi akan menjadi normal. Tabel 20. Ringkasan Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi atas Guncangan Ekspor Produk Pertanian dan Produk Manufaktur dalam Periode Jangka Pendek dan Jangka Panjang Hingga 50 Triwulan ke Depan Guncangan Perdagangan Luar Negeri
XNAI
XPT
XAI
Keterangan :
Respon Kinerja Makroekonomi PDB BOT INF ER PDB BOT INF ER PDB BOT INF ER
Jangka Pendek1 0.80 5.36 2.52 6.77 2.04 2.69 0.49 10.34 0.26 2.26 1.46 0.03
Jangka Kecende- Rata-Rata Konvergen3 Panjang2 rungan Konvergen 1.46 6.80 0.13 3.48 3.58 7.56 (0.11) 5.03 0.04 2.11 1.10 0.04
18 19 20 21 25 16 22 24 20 16 18 20
Naik Naik Turun Turun Naik Naik Turun Turun Turun Turun Turun Naik
19.5
21.75
18.5
1
Jangka Pendek (hingga triwulan ke-4) Jangka Panjang (hingga triwulan ke-50) 3 Konvergen (Keseimbangan Jangka Panjang) ( ) negatif. 2
Sumber : Lampiran 8.1, 8.2, dan 8.3.
Dilihat dari pengaruh guncangan ekspor produk pertanian dan industri manufaktur pada kinerja makroekonomi Indonesia, tidak semua variabel ekspor tersebut berpengaruh positip pada variabel-variabel kinerja makroekonomi Indonesia. Misalnya pengaruh guncangan variabel ekspor agroindustri terhadap kinerja makroekonomi Indonesia, walaupun secara keseluruhan telah memiliki peran yang positip terhadap kinerja makroekonomi, namun peranan tersebut
207 belum memperlihatkan respon yang kuat, terutama terhadap PDB dan BOT. Sedangkan terhadap inflasi dan nilai tukar rupiah dalam jangka panjang telah menunjukkan peran yang positip, karena inflasi cenderung menurun, sedangkan nilai tukar walaupunmengalami depresiasi, tapi relatif kecil. Demikian pula jika dilihat dari pencapaian stabilisasi keseimbangan (konvergen) yang terjadi, secara rata-rata tercapai pada periode yang lebih cepat dibandingkan dengan yang dicapai oleh peranan guncangan dari ekspor non agro dan ekspor pertanian. Berbeda kondisinya dengan shock yang bersumber dari ekspor pertanian, yang dapat meningkatkan kinerja makroekonomi baik dalam jangka pendek maupun kecenderungannya dalam jangka panjang. Misalnya terhadap PDB dan net ekspor dalam jangka pendek dapat tumbuh, dan cenderung meningkat dalam jangka panjang. Hanya saja pengaruh kenaikan ekspor pertanian, ternyata dalam jangka pendek dapat meningkatkan inflasi dan nilai tukar terdepresiasi, walaupun peningkatannya relatif kecil, namun dapat menghambat perkembangan ekspor pertanian tersebut di dalam negeri, akan tetapi dalam jangka panjang pengaruh guncangan ekspor pertanian terhadap inflasi menurun
dan nilai tukar rupiah
mengalami apresiasi. Secara keseluruhan pengaruh guncangan ekspor pertanian tersebut mencapai keseimbangan rata-rata selama 21.75 triwulan atau sekitar enam tahun. Pengaruh shock ekspor nonagro industri terhadap kinerja makroekonomi menunjukkan pola hubungan yang tidak jauh berbeda dengan pengaruh shock ekspor pertanian, bedanya adalah respon dari setiap variabel makroekonomi secara relatif lebih rendah dibandingkan dengan respon makroekonomi terhadap shock ekspor pertanian, demikian pula pengaruhnya pada tingkat inflasi
208 cenderung meningkat dan nilai tukar rupiah cenderung terdepresiasi dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang tingkat inflasi cenderung menurun, sedangkan nilai tukar rupiah cenderung mengalami apresiasi. Kestabilan pertumbuhan (konvergensi) secara rata-rata tercapai pada periode 19.50 atau sekitar 5 tahun. Sementara pengaruh shock ekspor agro industri terhadap kinerja makroekonomi menunjukkan hasil yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan penaruh yang bersumber dari shock ekspor nonagro industri dan pertanian.
7.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Makroekonomi Indonesia Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja makroekonomi dalam penelitian ini akan menggunakan teknik analisis forecast error variance decomposition (FEVD). Teknik ini akan menjelaskan kontribusi setiap variabel penelitian termasuk variabel yang bersangkutan terhadap variabel tertentu. Dalam penelitian ini akan melihat sumber-sumber guncangan yang memberikan kontribusi terhadap variabilitas setiap variabel makroekonomi Indonesia, yakni produk domestik bruto (PDB), Net Ekspor (BOT), Inflasi (INF), exchange rate (ER), dan sumber-sumber guncangan yang berasal dari ekspor, baik ekspor nonagro(XNAI), ekspor pertanian (XPT), dan ekspor agro (XAI). Dengan menggunakan dekomposisi ragam kesalahan peramalan, maka dapat diketahui faktor mana yang paling dominan dalam menentukan kinerja makroekonomi. Hal ini dapat diketahui dari besaran kontribusi setiap guncangan pada perdagangan luar negeri terhadap variabilitas setiap variabel dari kinerja makroekonomi baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Secara rinci gambaran tersebut dapat dilihat pada Tabel 21 hinggaTabel 24.
209 7.4.1. Pengaruh Guncangan Ekspor Pertanian dan Manufaktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing faktor perdagangan luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat melalui Tabel 21. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada triwulan pertama, variabilitas produk domestik bruto secara keseluruhannya hanya dapat dijelaskan oleh guncangannya sendiri (100 persen). Sementara variabel makroekonomi lainnya, termasuk variabel produk ekspor pertanian dan manufaktur belum memiliki kontribusi dalam menjelaskan variabilitas PDB. Namun pada periode ke-2, seluruh variabel telah memberikan kontribusi dalam menjelaskan perubahan variabilitas PDB, termasuk ekspor nonagro, ekspor pertanian, dan ekspor agro masing-masing dapat menjelaskan variabilitas PDB sebesar 4.29 persen, 28.37 persen, dan 0.05 persen. Selama periode jangka pendek maupun dalam jangka panjang, ternyata variabilitas PDB, selain dipengaruhi oleh shocknya sendiri, juga sangat dipengarui oleh guncangan yang bersumber dari ekspor pertanian. Tabel 21. Pengaruh Guncangan pada Variabel Ekspor Pertanian dan Industri Manufaktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
LPDB
Variabel Endogen
Sumber Guncangan
Tri wulan 1
S.E. 0.0221
LPDB 100.0000
LBOT 0.0000
INF 0.0000
LER 0.0000
LXNAI 0.0000
LXPT 0.0000
LXAI 0.0000
2 4 8 12 16 24 36 48 50
0.0386 0.0734 0.1254 0.1652 0.1977 0.2506 0.3136 0.3320 0.3740
59.9035 42.5212 38.8928 37.4419 36.8049 36.2234 35.8709 35.8038 35.6860
1.0766 1.2020 1.0888 1.0572 1.0424 1.0296 1.0221 1.0207 1.0182
1.5534 2.2164 1.7698 1.6663 1.6162 1.5710 1.5441 1.5390 1.5300
4.7518 10.2771 10.9670 11.2796 11.4062 11.5176 11.5845 11.5972 11.6195
4.2928 5.7463 6.5111 6.7739 6.8981 7.0119 7.0807 7.0938 7.1168
28.3703 37.9080 40.5944 41.5908 42.0364 42.4452 42.6931 42.7403 42.8233
0.0517 0.1290 0.1761 0.1903 0.1960 0.2014 0.2046 0.2052 0.2063
Sumber : Lampiran 9.1
210 Dengan kata lain perubahan yang terjadi lebih banyak ditentukan oleh ekspektasi terhadap PDB itu sendiri, dimana dalam jangka panjang kontribusi atas guncangan PDB itu sendiri masih cukup besar hingga periode ke-50 dengan kontribusi sebesar 35.69 persen. Hingga jangka panjang, PDB juga sangat dipengaruhi oleh guncangan ekspor pertanian. Kontribusi ekspor tertinggi dalam jangka panjang terjadi pada ekspor pertanian, yakni sebesar 42.82 persen. Hal ini berarti bahwa variabilitas PDB
sangat ditentukan oleh ekspor pertanian. Selain itu kontribusi ekspor
nonagro hingga jangka panjang terhadap variabilitas PDB adalah sebesar 7.12 persen. Sedangkan kontribusi ekspor agro industri hingga jangka panjang hanya memberikan kontribusi sebesar 0.21 persen. Sementara pengaruh lainnya yang cukup besar adalah bersumber dari shock variabel nilai tukar rupiah, yakni sebesar 11.62 persen, sedangkan variabel makroekonomi lainnya yakni net ekspor dan inflasi masing-masing hanya dapat menjelaskan di bawah 2 persen. Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 21. Apabila dilihat dari peranan ekspor sebagai sumber guncangan, nampaknya pengaruh variabel ekspor pertanian cukup efektip dalam menjelaskan variabilitas PDB. Sementara variabel ekspor non agro dan agro industri belum efektip dalam menjelaskan variabilitas PDB karena masih relatif kecil, terlebih lagi peranan ekspor agro, walaupun kecenderungannya meningkat dari periode ke periode berikutnya, namun kontribusinya hingga jangka panjang masih bergerak sangat kecil di bawah 1 persen. Oleh karena itu dapat jika dilihat dari besaran peranan masing-masing variabel ekspor dalam menjelaskan variabilitas PDB, maka shock yang bersumber dari ekspor pertanian adalah variabel yang paling
211 efektip, karena dapat memberikan kontribusi terbesar diantara ketiga variabel ekspor tersebut terhadap variabilitas PDB hingga jangka panjang, dan kemudian diikuti oleh ekspor nonagro, dan ekspor agro. Gambaran di atas menunjukkan bahwa variabilitas PDB dapat dijelaskan oleh ekspor produk pertanian dan industri manufaktur, dan yang paling efektip mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah guncangan yang bersumber dari ekspor pertanian, dalam arti bahwa perubahan yang terjadi pada variabel PDB sangat
dipengaruhi atau sangat peka terhadap perubahan ekspor pertanian
dibandingkan dengan pengaruh dari ekspor nonagro dan ekspor agro.
7.4.2. Pengaruh Guncangan pada Variabel Ekspor Produk Pertanian dan Industri Manufaktur terhadap Net Ekspor. Selain variabel PDB yang telah dijeleskan sebelumnya, kinerja makroekonomi juga dapat dilihat dari perkembangan nilai neraca perdagangan atau net ekspor, yakni selisih antara nilai ekspor dan nilai impor. Dari Tabel 22 menunjukkan bahwa, pada periode awal variabilitas net ekspor seluruhnya dijelaskan oleh guncangan variabel itu sendiri, sedangkan variabel ekspor baru dapat menjelaskan
variabilitas net ekspor pada periode ke-2, namun peran
tersebut masih relatif kecil, ekspor nonagro industri (1.88 persen), ekspor pertanian (0.47 persen), dan dari ekspor agro Industri (0.33 persen). Dalam jangka panjang hingga triwulan ke-50, variabilitas net ekspor lebih dominan dijelaskan oleh variabel itu sendiri yakni 83.70 persen, sedangkan pengaruh guncangan dari variabel-variabel lainnya relatif kecil. Guncangan yang bersumber dari perdagangan luar negeri mengalami kenaikan, namun kenaikan tersebut relatif kecil. Peranan ekspor nonagro dalam menjelaskan variabilitas net ekspor hingga
212 jangka panjang meningkat menjadi 5.06 persen, ekspor pertanian menjadi 6.11 persen, dan ekspor agro menjadi 0.50 persen. Secara lengkap lihat pada Tabel 22. Tabel 22. Pengaruh Guncangan pada Variabel Ekspor Produk Pertanian dan Manufaktur pada Perkembangan Net Ekspor di Indonesia
LBOT
Variabel Endogen
Tri wulan 1 2 4 8 12 16 24 36 48 50
S.E. 0.2733 0.3916 0.5639 0.8161 1.0091 1.1710 1.4414 1.7713 1.8683 2.0913
LPDB 0.0000 0.1851 0.9879 1.7632 2.0833 2.2500 2.4161 2.5254 2.5471 2.5860
LBOT 100.0000 96.8119 92.3250 88.0467 86.3481 85.4715 84.5969 84.0217 83.9075 83.7028
Sumber Guncangan INF LER 0.0000 0.0000 0.0165 0.3073 0.0750 0.7999 0.1277 1.3269 0.1454 1.5381 0.1542 1.6474 0.1629 1.7570 0.1686 1.8291 0.1697 1.8434 0.1717 1.8691
LXNAI 0.0000 1.8737 3.1091 4.1050 4.4812 4.6728 4.8631 4.9882 5.0131 5.0576
LXPT 0.0000 0.4719 2.2466 4.1461 4.9121 5.3095 5.7066 5.9679 6.0197 6.1127
LXAI 0.0000 0.3337 0.4565 0.4845 0.4917 0.4947 0.4974 0.4991 0.4995 0.5001
Sumber : Lampiran 9.2. Tabel 22 di atas menunjukan bahwa guncangan yang bersumber dari variabel ekspor dapat memberikan pengaruh terhadap variabilitas net ekspor. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh masing-masing variabel ekspor, yakni ekspor pertanian, non agroindustri, dan agroindustri. Masing-masing variabel ekspor tersebut memiliki pola yang sama, yakni kontribusi pengaruhnya dari jangka pendek hingga jangka panjang terus meningkat. Namun dalam jangka panjang ekspor pertanian adalah merupakan variabel yang paling dominan dalam menentukan variabilitas net ekspor (BOT), kemudian diikuti oleh peranan ekspor non agroindustri dan ekspor agroindustri. Secara makro pengaruh guncangan variabel ekspor tersebut belum efektif dalam menentukan variabilitas net ekspor, karena ternyata lebih ditentukan oleh perspektif variabel itu sendiri. Namun jika dibandingkan dengan variabel-variabel makro lainnya seperti PDB, inflasi dan nilai tukar yang memiliki kontribusi lebih kecil dalam menentukan variabilitas net
213 ekspor, maka variabel ekspor pertanian dan non agroindustri adalah merupakan variabel yang relatif lebih baik dalam menjelaskan variabilitas net ekspor.
7.4.3. Pengaruh Guncangan pada Variabel Ekspor Produk Pertanian dan Industri Manufaktur terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia Kinerja makroekonomi juga dapat dilihat dari perkembangan tingkat inflasi (INF) yang merupakan perubahan dari angka indeks harga konsumen dari periode sebelumnya ke periode berikutnya. Dari Tabel 23 dapat dilihat bahwa, variabilitas inflasi yang terjadi di Indonesia pada triwulan pertama hanya dapat dijelaskan oleh guncangan variabel itu sendiri, sementara variabel ekspor baru dapat menjelaskan variabilitas inflasi mulai periode ke-2, yakni pengaruh dari yang paling besar XNAI (9.32 persen), XPT (0.35 peren), dan XAI (3.14 peren). Tabel 23. Pengaruh Guncangan Variabel Ekspor Produk Pertanian dan Manufaktur terhadap Perkembangan Inflasi di Indonesia
INF
Variabel Endogen
Sumber Guncangan
Tri wulan
S.E.
LPDB
LBOT
INF
LER
LXNAI
LXPT
LXAI
1
5.8199
0.0000
0.0000
100.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
2
8.2385
11.4359
0.4303
75.3279
0.0045
9.3173
0.3469
3.1372
4
12.8092
10.9067
3.4848
31.7525
12.9520
9.5777
27.2904
4.0360
8
15.2514
11.3979
6.7761
22.9678
12.7588
9.4297
32.2248
4.4450
12
16.0783
10.4438
11.5711
20.7121
11.5593
8.7079
29.2779
7.7280
16
16.8002
9.5888
15.3813
19.0026
10.6374
8.0253
26.8459
10.5187
24
17.8279
8.5421
20.0203
16.9165
9.5179
7.1884
23.8877
13.9270
36
18.1575
8.2434
21.3440
16.3212
9.1985
6.9495
23.0437
14.8996
48
18.7994
7.7062
23.7248
15.2505
8.6241
6.5199
21.5256
16.6489
50
18.9565
7.5830
24.2709
15.0049
8.4923
6.4214
21.1774
17.0501
Sumber : Lampiran 9.3. Dalam periode jangka panjang, kemampuan ekspor pertanian dan ekspor agro dalam menjelaskan variabilitas inflasi ternyata terus meningkat hingga triwulan ke 50, namun pengaruh ekspor non agro industri menurun. Kemampuan ekspor pertanian dalam menjelaskan variabilitas inflasi meningkat menjadi 21.18 persen, sedangkan variabel ekspor agro industri peranannya meningkat menjadi
214 17.05 persen, sedangkan peranan ekspor nonagro menurun menjadi 6.42 persen. Jika diperhatikan dalam jangka panjang peranan ekspor industri manufaktur, baik yang bersumber dari ekspor nonagro maupun agro masih relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan peranan ekspor pertanian menjelaskan variabilitas tingkat inflasi di Indonesia. Namun jika dilihat dari kontribusi variabel makro lainnya ternyata memiliki kontribusi relatif lebih besar dalam menjelaskan variabilitas inflasi, PDB (7.58 persen), BOT (24.27 persen), dan nilai tukar (8.49 persen). Besarnya peranan ekspor pertanian dalam menjelaskan variabilitas inflasi di Indonesia menunjukkan bahwa komoditi primer merupakan komoditi ekspor utama yang dikaitkan dengan perubahan inflasi. Dengan kata lain, produk-produk primer di dalam negeri belum banyak diolah, baik menjadi barang jadi maupun setengah jadi, hal ini mengindikasikan bahwa agroindustri di Indonesia perkembangannya belum signifikan, sehingga besarnya ekspor produk primer menyebabkan terjadinya kelangkaan bahan baku agro di dalam negeri. Kondisi ini bisa terjadi akibat dari perbedaan harga komoditi primer di dalam dan luar negeri. Jika harga di luar negeri lebih tinggi dibandingkan harga di dalam negeri, maka ekspor produk primer akan meningkat, bahkan menyebabkan kebutuhan di dalam negeri menjadi tidak terpenuhi, akibatnya harga produk primer yang dimanfaatkan untuk bahan baku agro industri menjadi tinggi.
7.4.4. Pengaruh Guncangan Variabel Ekspor Produk Pertanian dan Manufaktur pada Nilai Tukar Rp terhadap Dolar Amerika Berdasarkan hasil analisis dekomposisi ragam kesalahan peramalan, kemampuan variabel ekspor menjadi sumber guncangan yang dapat menentukan variabilitas nilai tukar, baru terjadi mulai periode ke-2 dan peranannya cukup
215 besar, yakni masing-masing ekspor nonagro (13.89 persen), ekspor pertanian (32.44 persen) dan ekspor agro (0.03 persen). Sementara pada periode pertama variabilitas nilai tukar lebih utama
dijelaskan oleh variabel net ekspor dan
variabel itu sendiri. Pada periode berikutnya kemampuan variabel ekspor dalam menjelaskan variabilitas nilai tukar tampaknya terus mengalami peningkatan hingga jangka panjang, walaupun peningkatannya agak sedikit menurun. Dalam jangka panjang guncangan yang bersumber dari ekspor pertanian dalam menjelaskan variabilitas nilai tukar rupiah cenderung menurun dari triwulan ke 4 hingga triwulan ke 50 turun dari 32.43 persen menjadi 27.21persen, ekspor nonagro industri dari 13.89 persen turun menjadi 12.48 persen. dan ekspor agro dari 0.034 persen turun menjadi 0.005 persen. Sementara pengaruh yang bersumber dari variabel makro lainnnya hingga jangka panjang kurang berperan, karena besaran kontribusinya relatif lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan ekspor pertanian dan ekspor non agro industri, yakni berkkisar antara 2 persen hingga 6 persen. Jika diperhatikan dari Tabel 24, shock yang bersumber dari variabel perdagangan luar negeri, ternyata memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan variabilitas nilai tukar rupiah, terutama yang bersumber dari guncangan ekspor pertanian dan ekspor non agro industri. Dilihat dari besaran kontribusi
ekspor dalam menjelaskan variabilitas nilai tukar hingga jangka
panjang sebenarnya relatif lebih besar, terutama peranan guncangan yang bersumber dari ekspor pertanian dan ekspor non agro industri. Kontribusi yang bersumber dari variabel makro lainnya justru relatif lebih kecil, yakni masingmasing PDB (6.10 persen), BOT(2.65 persen), dan inflasi (3.60 persen).
216 Tabel 24. Pengaruh Guncangan Variabel Ekspor Produk Pertanian dan Manufaktur pada Nilai Tukar Rp terhadap dolar Amerika
LER
Variabel Endogen
Tri wulan 1 2 4 8 12 16 24 36 48 50
S.E. 0.0821 0.1816 0.2600 0.3420 0.3973 0.4439 0.5241 0.6253 0.6556 0.7258
LPDB 0.0000 0.8082 4.8471 5.9697 6.0952 6.1102 6.1091 6.1046 6.1036 6.1016
LBOT 0.0000 2.5075 2.0248 2.0804 2.2287 2.3406 2.4780 2.5834 2.6059 2.6476
Sumber Guncangan INF LER 0.0000 100.0000 3.3560 46.9711 3.1757 44.5329 3.2879 44.9870 3.3776 45.8136 3.4402 46.4000 3.5138 47.0976 3.5699 47.6253 3.5819 47.7377 3.6040 47.9461
LXNAI 0.0000 13.8879 12.7548 12.5800 12.5392 12.5194 12.5012 12.4886 12.4859 12.4810
LXPT 0.0000 32.4354 32.6356 31.0762 29.9315 29.1778 28.2916 27.6216 27.4790 27.2143
LXAI 0.0000 0.0339 0.0291 0.0188 0.0143 0.0117 0.0088 0.0066 0.0061 0.0052
Sumber : Lampiran 9.4. Hal tersebut menunjukan bahwa variabilitas nilai tukar rupiah sangat erat hubungannya dengan perubahan ekspor pertanian dan ekspor non agro. Namun jika dilihat dari kemampuan masing-masing variabel ekspor, maka shock ekspor pertanian relatif lebih besar pengaruhnya dalam menentukan variabilitas nilai tukar dibandingkan dengan shock ekspor nonagro maupun ekspor agroindustri.
7.4.5. Ringkasan Efektivitas Pengaruh Guncangan Ekspor Pertanian dan Industri Manufaktur terhadap Kinerja Makroekonomi Indonesia Hasil pembahasan efektivitas pengaruh ekspor pertanian dan manufaktur terhadap kinerja makroekonomi di atas, diringkas pada Tabel 25. Tabel 25. Ringkasan Pengaruh Ekspor Pertanian dan Ekspor Manufaktur pada Kinerja Makroekonomi Indonesia dalam Jangka Panjang Variabilitas Kinerja Makroekonomi LPDB LBOT INF LER Ranking
LXNAI
LXPT
LXAI
7.1168 5.0576 6.4214 12.4810
42.8233 6.1127 21.1774 27.2143
0.2063 0.5001 17.0501 0.0052
2
1
3
Sumber : Lampiran 9a s/d 9d.
Efektivitas Guncangan LXPT LXPT LXPT LXPT
217 Tabel 25 menggambarkan kemampuan masing-masing variabel ekspor sebagai sumber guncangan yang dapat menjelaskan variabilitas dari setiap variabel makroekonomi dalam jangka panjang. Beberapa hal yang dapat dijelaskan dari Tabel 25 adalah sebagai berikut : 1.
Dilihat dari peranan masing-masing shock variabel ekspor terhadap kinerja makroekonomi, dapat diklasifikasikan dalam tingkatan sebagai berikut, (1) variabel ekspor produk pertanian (XPT), dilihat dari besaran angka yang dihasilkan, pengaruh guncangan yang bersumber dari ekspor produk pertanian terhadap kinerja makroekonomi adalah positip dan cukup besar, dan semua variabel kinerja makroekonomi dapat dijelaskan dengan baik oleh ekspor pertanian. Variabel-variabel yang dapat dijelaskan dengan baik oleh guncangan ekspor pertanian tersebut secara runtut adalah produk domestik bruto (PDB), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (ER), inflasi (INF), dan balance of trade (BOT), (2) variabel ekspor non-agroindustri (XNAI). Dilihat dari peranannya dalam menjelaskan kinerja makroekonomi relatif cukup besar, secara runtut terhadap variabel
nilai tukar (ER) pengaruh
variabel ekspor non agroindustri cukup kuat, kemudian diikuti PDB, lalu inflasi dan BOT, dan (3) variabel ekspor agroindustri (XAI). Jika dilihat secara menyeleluruh dari setiap variabel pada kinerja makroekonomi, maka pengaruh ekspor agro industri, adalah yang paling rendah kemampuannya dalam menjelaskan peranannya terhadap variabilitas setiap variabel makroekonomi. Kondisi tersebut dapat dilihat dari besaran angka relatif yang dihasilkan untuk setiap variabel makroekonomi, kecuali pada variabel inflasi, tampaknya lebih tinggi dibandingkan dengan pengaruh yang bersumber dari
218 ekspor non agro. Sedangkan terhadap variabel makroekonomi lainnya, yakni terhadaap , BOT, dan nilai tukar menghasilkan besaran angka dibawah satu persen. Jadi kemampuan ekspor agro industri dalam menjelaskan variabilitas kinerja makroekonomi, secara relatif masih rendah. 2.
Apabila dilihat dari kemampuan ekspor pertanian dan industri manufaktur dalam menjelaskan kinerja setiap variabel makroekonomi Indonesia, maka pengaruh guncangan yang bersumber dari ekspor pertanian adalah relatif paling besar dan dominan dibandingkan dengan pengaruh yang bersumber dari ekspor nonagro industri dan ekspor agro industri. Hal ini berarti bahwa ekspor produk pertanian merupakan sumber guncangan yang paling efektip dalam mempengaruhi kinerja makroekonomi Indonesia dibandingkan dengan ekspor industri manufaktur. Sedangkan jika dilihat antara kemampuan ekspor agro industri dan nonagro industri dalam menjelaskan variabilitas dari setiap variabel kinerja makroekonomi dalam, masing-masing jangka panjang memiliki kemampuan yang berbeda. Ekspor nonagro industri memiliki kemampuan lebih besar dalam menjelaskan variabilitas PDB, BOT dan ER. Sedangkan ekspor agroindustri nampaknya memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menjelaskan variabilitas Inflasi (INF). Kondisi ini dapat diartikan bahwa, perubahan yang terjadi pada ekspor agroindustri lebih berpengaruh pada variabilitas inflasi, tapi kurang mampu menjelaskan variabilitas PDB, net ekspor, dan nilai tukar dibandingkan dengan ekspor nonagroindustri.
219 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
8.1. Kesimpulan 8.1.1. Berdasarkan pengujian, diperoleh hasil bahwa guncangan ekspor nonagro berpengaruh positip pada kinerja makroekonomi Indonesia, dalam arti dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Sedangkan terhadap inflasi, walaupun dalam jangka pendek mengalami kenaikan, namun dalam jangka panjang cenderung menurun dan stabil. Demikian pula terjadi pada nilai tukar rupiah, walaupun dalam jangka pendek mengalami depresiasi, namun dalam jangka panjang nilai tukar rupiah cenderung meningkat atau mengalami
apresiasi.
Guncangan
ekspor
nonagro
industri
dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor dari masing-masing 0.80 persen dan 5.36 persen pada periode jangka pendek menjadi masingmasing 1.46 persen dan 6.80 persen pada periode jangka panjang, dan mencapai keseimbangan rata-rata pada periode ke 18 dan 19. Dampak positip terhadap PDB dan Net ekspor tersebut didukung oleh penurunan pada tingkat inflasi dan nilai tukar dari masing-masing 2.52 persen dan 6.77 persen dalam jangka pendek, turun menjadi 0.13 persen dan 3.48 persen dalam jangka panjang, dan mencapai keseimbangan masing-masing pada periode ke 20 dan 21.
Kenaikan inflasi dalam jangka pendek
diperkirakan berhubungan positip dengan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, sehingga menyebabkan peningkatan biaya produksi yang bersumber dari impor. Hal ini juga terjadi dalam jangka panjang, kecenderungan penurunan tingkat inflasi diikuti pula oleh
220 apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, sehingga biaya produksi yang bersumber dari impor juga mengalami penurunan. Dengan kondisi tersebut dalam jangka panjang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor. Respon kinerja makroekonomi atas guncangan ekspor nonagro industri rata-rata akan stabil pada periode ke 19.5 atau sekitar 5 tahun.
8.1.2. Respon kinerja makroekonomi Indonesia atas guncangan ekspor pertanian memiliki pola hubungan yang sama dengan pengaruh guncangan ekspor nonagro industri. Dalam jangka pendek dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, net ekspor, inflasi, dan nilai tukar, dan dalam jangka panjang terhadap PDB dan BOT cenderung meningkat, sementara terhadap Inflasi (INF) dan nilai tukar (ER) cenderung menurun. Guncangan ekspor pertanian dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor dari masing-masing 2.04 persen dan 2.69 persen pada periode jangka pendek menjadi masing-masing 3.58 persen dan 7.56 persen pada periode jangka panjang. dan mencapai keseimbangan masing-masing pada periode ke 25 dan 16. Dampak positip terhadap PDB dan Net ekspor tersebut, diperkirakan dipengaruhi oleh penurunan pada tingkat inflasi dan nilai tukar dari masing-masing 0.49 persen dan 10.34 persen dalam jangka pendek, turun menjadi minus 0.11 persen dan 5.03 persen dalam jangka panjang. dan mencapai keseimbangan masing-masing pada periode ke 22 dan 24.
Sementara kenaikan inflasi akibat dari pengaruh guncangan
ekspor pertanian dalam jangka pendek dapat disebabkan oleh terjadinya kelangkaan bahan baku primer di dalam negeri akibat dari kenaikan ekspor
221 produk pertanian. Hal ini terjadi karena harga di luar negeri lebih tinggi. Sementara nilai tukar yang masih terdepresiasi dalam jangka pendek, disebabkan oleh kemampuan kenaikan ekspor pertanian belum cukup kuat untuk meningkatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Selain itu bisa juga disebabkan oleh devisa hasil ekspor para eksportir masih disimpan di luar negeri, bahkan bisa juga disebabkan oleh kekuatan permintaan melebihi penawaran terhadap mata uang dolar Amerika. Respon kinerja makroekonomi atas guncangan ekspor pertanian rata-rata akan stabil ada periode ke 19.5 atau sekitar 5 tahun.
8.1.3. Pengaruh guncangan ekspor agro industri manufaktur baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang adalah positip. Hanya saja dalam perkembangannya mengalami penurunan. Terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB) dan net ekspor (BOT) guncangan pada ekspor agro industri menyebabkan penurunan PDB dan BOT masing-masing dari 0.26 persen dan dan 2.26 persen menurun menjadi 0.04 persen dan 2.11 persen, dan mencapai keseimbangan pada periode 20 dan 16. Sedangkan terhadap inflasi dan nilai tukar masing-masing dari 1.46 persen dan 0.03 persen pada periode jangka pendek menjadi 1.10 persen dan 0.04 persen dalam jangka panjang. dan mencapai keseimbangan masing-masing pada periode ke 18 dan 20. Peningkatan inflasi dalam jangka pendek, dapat disebabkan oleh tingginya harga bahan baku yang digunakan untuk produk ekspor agro, hal ini dapat terjadi akibat kelangkaan bahan baku primer yang juga di ekspor. Demikian pula meningkatnya ekspor agro dalam jangka pendek, mengakibatkan peningkatan pada PDB dan BOT. Peningkatan net ekpsor
222 tersebut dapat berhubungan positip dengan peningkatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (depresiasi rupiah). Hubungan tersebut tampaknya juga terjadi dalam jangka pannjang, di saat terjadi appresiasi rupiah, maka baik BOT maupun PDB juga mengalami penurunan dalam jangka panjang. Karena dalam jangka panjang guncangan ekspor agro industri justru menurunkan pertumbuhan ekonomi, net ekspor, inflasi, sedangkan terhadap
nilai tukar rupiah terjadi apresiasi. Respon kinerja
makroekonomi atas guncangan ekspor agro industri rata-rata akan mencapai keseimbangan pada periode ke 18.5 atau sekitar hampir 5 tahun.
8.1.4. Berdasarkan hasil yang terdapat pada Tabel 25, variabilitas kinerja makroekonomi Indonesia dalam jangka panjang, dapat dijelaskan oleh setiap variabel perdagangan luar negeri dengan besaran angka berbeda. Dari besaran angka masing-masing variabel dapat diklasifikasikan berdasarkan angka relatif terbesar tersbesar yang mencerminkan faktor yang paling efektip mempengaruhi variabilitas kinerja makroekonomi.
1.
Guncangan pedagangan luar negeri dalam mempengaruhi variabilitas PDB, secara runtut adalah bersumber dari ekspor pertanian (42.82 persen). kemudian diikuti oleh pengaruh guncangan dari ekspor nonagro (7.12 persen), dan ekspor agro industri (0.21 persen). Sehingga yang paling efektip mempengaruhi variabilitas PDB adalah ekspor pertanian.
2.
Guncangan pedagangan luar negeri dalam mempengaruhi variabilitas net ekspor (BOT), secara runtut adalah bersumber dari ekspor pertanian (6.11 persen). sedangkan pengaruh guncangan dari ekspor nonagro (5.06 persen), dan ekspor
223 agro industri hanya (0.50 persen). Sehingga yang paling efektip mempengaruhi variabilitas BOT adalah ekspor pertanian.
3. Guncangan pedagangan luar negeri dalam mempengaruhi variabilitas tingkat inflasi, secara runtut adalah bersumber dari ekspor pertanian (21.18 persen), kemudian diikuti oleh pengaruh guncangan dari ekspor agro (17.05 persen), dan ekspor nonagro (6.42 persen). Sehingga yang paling efektip mempengaruhi variabilitas inflasi adalah ekspor pertanian.
4. Guncangan pedagangan luar negeri dalam mempengaruhi variabilitas nilai tukar rupiah, secara runtut adalah bersumber dari ekspor pertanian (27.21 persen), kemudian pengaruh guncangan dari ekspor nonagro (12.48 persen), dan ekspor agro hanya (0.01 persen).
5. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa guncangan variabel perdagangan luar negeri yang paling efektip dalam menjelaskan variabilitas kinerja makroekonomi Indonesia adalah guncangan yang bersumber dari ekspor pertanian, kemudian yang kedua adalah ekspor non agro, dan yang ketiga adalah ekspor agro. Efektivitas pengaruh guncangan ekspor pertanian tersebut, dapat dilihat dari kemampuannya dalam menjelaskan setiap variabel kinerja makroekonomi, yakni PDB, net ekspor, inflasi, dan nilai tukar. Semua variabel kinerja makroekonomi dapat dijelaskan dengan baik oleh ekspor pertanian. Secara rata-rata besaran kontribusi ekspor pertanian terhadap kinerja makroekonomi adalah sebesar 24.33 persen, kemudian kontribusi ekspor nonagro rata-rata 7.77
224 persen, dan ekspor agro industri hanya dapat menjelaskan variabilitas kinerja makroekonomi rata-rata 4.44 persen.
8.1.5. Dari beberapa kesimpulan di atas, secara umum hasil penelitian yang dilakukan
dalam
rentang
waktu
tahun
1990-2009
ini
dapat
menggambarkan bahwa variabel ekspor adalah merupakan salah satu variabel penentu kinerja makroekonomi Indonesia yang sangat penting, dan yang paling besar peranannya adalah ekspor pertanian, kemudian ekspor nonagro dan ekspor agro. Dengan kata lain fluktuasi dan dinamika kinerja makroekonomi dapat dijelaskan oleh ekspor pertanian dan ekspor nonagro industri manufaktur, kecuali ekspor agro kemampuannya dalam menjelaskan kinerja makroekonomi masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis impulse response function dan variance decomposition.
8.1.6. Dari analisis deskriptif dapat disimpulkan bahwa, ekspor pertanian dan industri manufaktur merupakan unggulan ekspor Indonesia dibandingkan dengan ekspor lainnya. Keunggulan tersebut dapat dilihat dari berbagai kontribusinya dalam perekonomian nasional, diantaranya pada PDB, neraca perdagangan, penyerapan tenaga kerja, dan pendapatan devisa. Hambatan yang dihadapi, secara umum adalah penguasaan teknologi dan biaya tinggi, sehingga daya saingnya rendah. Kinerja sektor pertanian hingga kini relatif lambat, bahkan cenderung stagnan, sementara sektor industri manufaktur walaupun berperan lebih besar dalam perekonomian nasional, tapi pertumbuhannya relatif lambat dan cenderung menurun.
225 Kedua sektor tersebut belum memiliki keterkaitan yang kuat untuk meningkatkan kinerja masing-masing sektor. Sehingga yang terjadi sampai saat ini adalah sulitnya meningkatkan peranan kedua sektor terhadap kinerja makroekonomi Indonesia.
8.2.
Implikasi Kebijakan
8.2.1. Untuk meningkatkan kontribusi ekspor terhadap makroekonomi Indonesia, khususnya ekspor pertanian dan ekspor industri manufaktur, diperlukan kebijakan yang dapat mendorong peningkatan ekspor pertanian dan ekspor industri manufaktur. Misalnya kebijakan yang terkait dengan peningkatan kualitas produk yang sesuai dengan standard negara tujuan ekspor, dengan demikian produk ekspor pertanian dan ekspor industri manufaktur mampu bersaing dengan komoditi serupa di pasaran luar negeri. Hal lain yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah membangun keselarasan mata rantai komoditi ekspor secara efisien, mulai dari produsen, supplier, sampai ke eksportir, sehingga masing-masing pihak dapat menikmati keuntungan yang wajar. Kemudian membuat aturan yang dapat meningkatkan efisiensi biaya birokrasi, dan membangun kerjasama dengan berbagai negera konsumen potensial, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan
negara-negara
yang
bersangkutan
dalam
melakukan
hubungan dagang guna melakukan kegiatan yang terkait dengan ekspor produk pertanian dan ekspor industri manufaktur. 8.2.2. Sehubungan dengan liberalisasi perdagangan yang telah disepakati, maka untuk menghadapi liberalisasi perdagangan dan pembebasan tarif hingga
226 nol persen, hendaknya pemerintah membuat kesepakatan dengan mitra dagang agar pelaksanaannya dilaksanakan secara bertahap dan selektif, mengingat daya saing produk pertanian dan produk industri manufaktur Indonesia masih relatif rendah, baik di pasaran dalam negeri maupun di pasaran internasional.
8.2.3. Terkait dengan upaya penguatan dan peningkatan produksi industri manufaktur, terutama industri nonagro yang memiliki muatan impor faktor cukup besar (barang-barang modal, bahan baku, dan bahan penolong), dan masih mendominasi kegiatan produksi, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk ekspor. Untuk meningkatkan daya saing, kebijakan impor faktor perlu dikaji ulang, sehingga impor faktor dapat dilakukan dengan efektip, dan dapat memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan kinerja makroekonomi Indonesia, bahkan secara bertahap perlu dilakukan pengurangan, dan lebih kreatif meningkatkan penggunaan sumberdaya lokal. Jika tidak melakukan perubahan orientasi dalam penggunaan sumberdaya untuk kegiatan produksi, maka ketergantungan terhadap sumberdaya impor akan tetap menjadi kendala peningkatan kinerja makroekonomi Indonesia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
8.2.4. Peningkatan kontribusi ekspor pertanian terhadap PDB dalam jangka panjang, mengindikasikan bahwa juga terjadi peningkatan kegiatan produksi di sektor pertanian. Kendatipun peningkatan produksi dan ekspor
227 komoditi primer perlu dilakukan, namun sebaiknya yang dilakukan oleh pemerintah adalah mempersiapkan sektor-sektor lain yang dapat meningkatkan nilai ekspor dari produk primer tersebut, misalnya meningkatkan peranan industri agro dalam penciptaan nilai tambah terhadap produk-produk primer pertanian lokal. Kebijakan untuk mendorong pelaku usaha mengubah komoditas primer, yang sebagian besar merupakan komoditas ekspor pertanian, menjadi produk antara atau produk jadi (agroindustri) akan meningkatkan permintaan komoditas primer, sehingga produksi pertanian akan meningkat untuk memasok input industri manufaktur. Kebijakan ini akan lebih baik daripada melindungi komoditas primer dengan cara menaikkan tarif ekspor, yang akan menjadi beban bagi produsen dan eksportir.
8.2.5. Untuk meningkatkan peranan ekspor produk pertanian dan produk agro pada kinerja makroekonomi Indonesia dimasa yang akan datang, harus ada kebijakan pemerintah yang dapat mendukung perbaikan di bidang ekspor tersebut, misalnya kebijakan stabilisasi harga produksi, penelitian dan pengembangan teknologi yang dapat meningkatkan produksi, baik untuk produksi tanaman unggulan untuk ekspor maupun pasokan kebutuhan untuk industri agro. Di samping itu perbaikan dan peningkatan efisiensi birokrasi, serta infrastruktur yang terkait dengan kepentingan pertanian dan pelaku usaha ekspor impor, sehingga dapat meningkatkan daya tarik investor pada sektor pertanian. Hal lain yang terkait dengan upaya peningkatan produksi pertanian adalah, bahwa pengelolaan pertanian di sektor tertentu secara modern, terutama komoditi pertanian harus mulai menjadi pertimbangan dalam meningkatkan produktivitas dan skala usaha produksi pertanian. Hal ini dapat dilakukan dengan kombinasi penciptaan
228 teknologi dibidang pertanian dan impor barang-barang modal untuk kebutuhan peningkatan produksi pertanian.
8.2.6. Untuk meningkatkan daya saing komoditas ekspor manufaktur, di samping meningkatkan penggunan sumberdaya lokal, maka tingkat inflasi harus dikendalikan, di samping itu komitmen pemerintah untuk meningkatkan efisiensi birokrasi, perbaikan infrastruktur baik fisik maupun teknologi, serta meningkatkan iklim persaingan usaha yang sehat. Dengan demikian usaha-usaha di sektor industri manufaktur dapat terus meningkat.
8.3.
Saran untuk Penelitian Lebih Lanjut
8.3.1. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data yang sangat agregatip, sehingga hasil penelitian yang diperoleh masih bersifat sangat makro, yang belum tentu sejalan dengan kondisi pada bagian-bagian yang lebih mikro. Untuk penelitian lebih lanjut diharapkan dapat melakukan penelitian dengan menggunakan data yang lebih mikro dengan ruang lingkup yang lebih spesifik.
8.3.2.
Penelitian ini tidak terkait dengan aspek kelembagaan. Padahal aspek kelembagaan dalam penelitian hubungan antara perdagangan luar negeri dengan kinerja makroekonomi sangat penting, karena terdapat beberapa institusi yang terkait dalam mata rantai perdagangan tersebut. Untuk penelitian lebih lanjut perlu dilakukan penelitian dari aspek kelembagaan. Sehingga
keterkaitan antara perdagangan luar negeri dengan kinerja
makroekonomi akan lebih lengkap.
229 DAFTAR PUSTAKA Adelman, I. 1984. Beyond Export-Led Growth. World Development Journal, 12(9) : 937- 949. Alguacil, M.T. and V. Orts. 2001. Time Series Analysis of Inward Foreign Direct Investment and Import in Spain, International Economic Journal, 17(2) : 19-38. Alkadri. 2001. Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 19691996. Jurnal Studi Indonesia, 9 (2) : 1-13. Anoruo, E. and S. Ramchander. 2002. Export and Economic Growth: An Error Correction Model. Department of Management Science and Economics. Coppin State College, North Avenue Baltimore. Ansari, M. and I. Gang. 1999. Structural Change and Economic Growth : An Econometric Study of the Service Sector Growth in Indonesia and Malaysia. Asian Economics Journal, 27(4) : 33 – 55. Anyamele, D.O. 2000. Export-Led Growth in a Public Sector Dominated Economy : A Macroeconomic Model of Nigeria. Economic Working Paper. University of Maryland, Maryland. Awokuse, T. O. 2002. Is the Export-Led Growth Hypothetis Valid for Canada? Canadian Journal of Economics, 36(1):126-136. Badan Pusat Statistik. 1992-2011. Indikator Ekonomi, Buletin Bulanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________. 1998-2010. Pendapatan Nasional, Buletin Tahuan Badan Pusat Statistik, Jakarta. Balassa, B. 1989. Export and Economic Growth : Further Evidence. Journal of Development Economics, 5(2) : 181-189. Bank Indonesia. 2006. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Bernard, A.B. and J.B. Jensen. 2001. Exporting and Productivity : The Importance of Reallocation. Journal of Economic Literature, 39(3) : 589-614. Dimkpah. Y.O. 2002. The Stage of Economic Development, Export, and Economic Growth : An Empirical Investigation. The African Economic and Business Review, 3 (1) : 56-69. Djojohadikusumo, S. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Cetakan Kedua. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta.
230 Doraisami, A. 1996. Export Growth and Economic Growth: A Reexamination of Some Time Series Evidence of Malaysian Experience. Journal of Developing Areas, 30 (1) : 25-37. Dritsaki, C. and A. Adamopoulos. 2004. A Causal Relationship Between Trade, Foreign Direct Investment, and Economic Growth for Greece. American Journal of Applied Sciences, 3(1) : 230-239. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Dunn, R.M. and J.H. Mutti. 2004. International Economics. Sixth Edition. Routledge, New York. Ekanayake, E.M. 1999. Exports and Economic Growth in Asian Developing Countries: Cointegration and Error-Correction Models. Journal of Economic Development. 24(2) : 114-127.
Enders, W. 1995. Applied Econometric Time Series. Iowa State University. John Wiley & Sons, New York. Feenstra. R.C. 2002. Advanced International Trade : Theory and Evidence. National Bureau of Economic Research, California.
Francis, B.M. 2003. Trade and Economic Growth in the Caribean. Dissertation to the Graduate School of the University, Florida. Giles, J.A. and C.L. Williams. 2000. Export-led Growth : A Survey of the Empirical Literature and Some Noncausality Results. Part 1. Journal of International Trade and Economic Development, 9(3) : 261-337. Gillis, M., D.H. Perkins, M. Roemer, and D.R. Snodgrass. 1992. Economics of Development. Third Edition. W.W. Norton & Company, New York.
Granger, C.W.J. and R. F. Engle. 1991. Long-Run Economic Relationships, Reading in Cointegration, Advanced Texts in Econometrics. Oxpord University Press, New York. Gujarati, D. N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. McGraw-Hill Companies, Inc., New York. Hachicha, N. 2003. Exports, Export Composition and Growth : A Simultaneous Error-Correction Model for Tunisia. International Economic Journal, 17(1) : 101-120. Hadi, S. 2001. Studi Dampak Kebijaksanaan Pembangunan terhadap Disparitas Ekonomi Antar Wilayah. Disertasi Doktor. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Halwani, H. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Ghalilia Indonesia, Jakarta.
231 Harry, B.H.S., dan P. Tjiptoherijanto. 2009. Prediksi Ketenagakerjaan dan Sektor Pertanian di Indonesia Tahun 2009 serta Antisipasi terhadap Ancaman Krisis Global. Jurnal Kependudukkan Indonesia, 4 (2) : 1-13. Helpman, E. and P. Krugman. 1985. Increasing Returns, Monopolistic Competition, and International Trade. Journal of International Economics, 9(3) : 469-479. Henriques, I. and P. Sadorsky. 1996. Export-led growth or growth-driven export? Canadian Journal of Economics, 29(3) : 540-555. Jaime de Melo and S. Robinson. 1995. Productivity and Externalities. Model of Export-Led-Growth. Journal of Economic Literature, 33(1) : 92-132. Jhingan, M. L. 1993. The Economics of Development and Planning. Terjemahan. Cetakan Keempat. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Juswanto, W. and P. Mulyanti. 2003. Indonesia’s Manufactured Exports : A Constant Market Shares Analysis. Jurnal Keuangan dan Moneter, 6(2) : 97-106. Kindleberger, C. P. and P. H. Lindert. 1983. International Economics. Terjemahan. Edisi Ketujuh. Penerbit Erlangga, Jakarta. Krugman, P. and M. Obstfeld. 2000. International Economics: Theory and Policy. Fifth Edition. Addison-Wesley, New York. Malian, H.A. 2003. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Produk Pertanian dan Produk Industri Pertanian Indonesia : Pendekatan Macroeconometric Model dengan Path Analysis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Jurnal Agro Ekonomi, 21(2): 97-121. Mankiw, N.G. 2000. Macro Economics. Fourth Edition. Harvard University. Worth Publisher, New York. Medina. E.J. and Smith. 2001. Is The Export-Led Growth Hypothesis Valid for Developing Countries? A Case Study of Costa Rica. Policy Issues in International Trade and Commodities Study Series No. 7, New York. Mohsin, M. and M. Anam. 2001. Export and Economic Growth : Evidence from The Asean Countries. Economic Working Paper No.1. York University, Canada. Oktaviani, R. 2000. The Impact of APEC Trade Liberalisation on Indonesian Economiy and Its Agricultural Sector. Ph.D Dissertation. University of Sydney, Sydney. __________. 2001. Dampak Perubahan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral. Bisnis & Ekonomi Politik, 4 (4): 33-45.
232 Parningotan, F. S. 2000. International Trade as An Engine of Economic Growth. STIE Perbanas. Working Paper Series. http://www.stieperbanas.ac.id Pindyck, R. S. and D.L. Rubinfeld. 1998. Econometric Models and Economic Forecasts. Mc Graw-Hill Companies, New York. Ratnawati, A. 1996. Dampak Kebijakan Tarif Impor dan Pajak Ekspor Terhadap Kinerja Perekonomian, Sektor Pertanian dan Distribusi Pendapatan di Indonesia : Suatu Pendekatan Model Keseimbangan Umum. Disertasi Doktor. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Reizman, R.G., P.M. Summers, and C.H. Whiteman. 1996. The Engine of Growth or its Handmaiden? A Time Series Assessment of Export-Led-Growth. Empirical Economics Journal, 21(1) : 77-133. Shirazi, N.S. and A. Manaf. 2004. Exports and Economic Growth Nexus : The Case Pakistan. Pakistan Development Review, 43(4) : 563-583. Siliverstors. B. and D. Herzer. 2005. Manufacturing Exports, Mining Exports and Growth : Cointegration and Causality Analysis for Chile (1960-2001). Applied Economics Journal, 39(2) : 153-167. Sims, C.A. 1980. Macroeconomics and Reality. Econometrica, 48 (1): 1–48. Singer, H. 1979. Policy Implications of the Lima Target. Industry and Development, 3(1) : 17-23. Sinha. D. 1999. Export Instability, Investment and Economic Growth in Asian Countries : A Time Series Analysis. Economic Growth Centre Yale University, Center Discussion Papers Series. http://www.apu.ac.jp/ dsinha. Siregar, H. and B.D. Ward. 2002. Were Aggregate Demand Shocks Important in Explaining Indonesian Macroeconomic Fluctuations? Journal of the Asia Pacific Economy, 7(1) : 35-60. Stait, A. F. 2005. Are Exports the Engine of Economic Growth? An Application of Cointegration and Causality Analysis for Egypt, 1977-2003. Economic Research Working Paper No. 76. Helwan University, Cairo. Sukirno, S. 2000. Makroekonomi Modern, Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Taban, S. and I. Aktar, 2005. An Empirical Examination of the Export-Led Growth Hypotehesis in Turkey. Journal of Yasar University, 3 (11) : 1535-1551.
233 Tambunan, M. 2002. Strategi Industrialisasi Berbasis Usaha Kecil dan Menengah: Sebuah Rekonstruksi pada Masa Pemulihan dan Pasca Krisis Ekonomi. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tambunan, T 2001a. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran : Teori dan Temuan Empiris. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. __________. .2001b. Perekonomian Indonesia : Teori dan Temuan Empiris. Ghalilia Indonesia, Jakarta. Thomas, R. L. 1997. Modern Econometrics : An Introduction. Department of Economics, Manchester Metropolitan University, Manchester. Toda, H.Y. and T. Yamamoto. 1995. Statistical inferences in vector autoregressions with Possibly Integrated Processes. Journal of Econometrics, 66(1-2) 225-250. Verbeek, M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. John Wiley & Sons Ltd, West Sussex. Vogel, S.J. 1994. Structural Change in Agriculture : Production Linkage and Agricultural Demand-Led Industrialization. Oxford Economic Papers, 36(1): 136-156. Wijono, W.W. 2005. Mengungkap Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dalam Lima Tahun Terakhir. Jurnal Manajemen dan Fiskal, 5(2) : 1-17. Windarti, R.P. 2004. Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Terhadap Perubahan Tingkat Harga: Analisis SVAR Pasca Penerapan Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas di Indonesia. Tesis Magister. Universitas Indonesia, Jakarta. Yousif, K. 1999. On the Role of Exports in the Economic Growth of Malaysia: A Multivariate Analysis. International Economic Journal, 13(3) : 67-75. Yusop, Z. et.al. 2003. Export-Led Growth Hypothesis in Malaysia : An Aplication of Two-Stage Least Square Technique. Applied Economics Journal, 8(2) : 231-254. Zhang, W.B. 2008. International Trade Theory : Capital, Knowledge, Economic
Structure, Money, and Prices Over Time. Springer, Verlag Berlin.
234
235
LAMPIRAN
236
237 Lampiran 1. Data Penelitian PERIODE 1990 Q1 Q2 Q3 Q4 1991 Q1 Q2 Q3 Q4 1992 Ql Q2 Q3 Q4 1993 Ql Q2 Q3 Q4 1994 Ql Q2 Q3 Q4 1995 Ql Q2 Q3 Q4 1996 Ql Q2 Q3 Q4 1997 Ql Q2 Q3 Q4 1998 Ql Q2 Q3 Q4 1999 Ql Q2 Q3 Q4 2000 Ql Q2 Q3 Q4 2001 Ql Q2 Q3 Q4
PDB 4995840.00 5168160.00 5486460.00 5436160.00 5893720.00 6119950.00 6506700.00 6476490.00 6664100.00 6876460.00 7347290.00 7351640.00 7758160.00 8043070.00 8552370.00 8623980.00 8797900.00 9298840.00 9980970.00 10144250.00 10654320.00 11166810.00 11712000.00 11918280.00 12252950.00 12884550.00 13693980.00 14425320.00 14580090.00 14940570.00 16323670.00 16925210.00 21157490.00 22280900.00 26426340.00 25710610.00 27522650.00 27159550.00 27755800.00 27535160.00 29341608.00 30583217.00 32708815.00 33858236.00 35400316.00 36054234.00 37221185.00 38089748.00
BOT 3375.32 3210.39 3078.93 2913.18 2692.24 2567.36 2442.08 2293.51 2106.35 1999.11 1895.90 1777.44 1628.44 1536.75 1439.74 1323.06 1193.80 1081.69 983.83 877.10 755.02 656.57 548.10 426.54 300.42 193.21 99.12 67.15 180.49 530.94 1208.27 2145.70 3110.49 3955.44 4526.41 4699.96 4565.79 4543.91 4630.86 4810.44 4923.15 5134.39 5188.05 5016.52 4669.98 4511.81 4472.69 4539.83
INF 1.50 3.30 3.30 1.40 1.10 3.60 7.50 9.50 1.40 1.70 0.60 6.44 6.44 6.97 8.24 9.77 3.71 4.59 7.38 9.24 3.04 2.34 1.41 1.85 3.26 0.77 0.91 1.53 1.96 2.54 5.37 11.05 25.13 46.55 75.47 77.63 4.08 2.73 0.02 2.01 1.10 2.10 6.80 9.40 10.60 12.11 13.01 12.55
ER 1715.00 1740.00 1704.00 1715.00 1754.00 1779.00 1802.00 1812.00 1831.00 1858.00 1921.00 1959.00 1900.00 1903.00 1914.00 1918.00 1970.00 2018.00 2003.00 1993.00 2042.00 2032.00 2048.00 2096.00 2103.00 2192.00 2225.00 2217.00 2285.00 2329.00 2377.00 3399.00 10582.00 5499.00 7855.00 6323.00 6047.00 6581.00 6554.00 6833.00 7458.00 7901.00 8568.00 8719.00 8677.00 10901.00 8641.00 9195.00
XPT 63434.00 63875.00 64988.00 65371.00 64296.00 65339.00 66379.00 66695.00 65549.00 66586.00 67641.00 67974.00 66817.00 67870.00 68914.00 69191.00 68696.00 68941.00 69948.00 70248.00 69149.00 70576.00 72340.00 73587.00 73226.00 75095.00 76608.00 77111.00 76335.00 79136.00 83626.00 88393.00 91634.00 93647.00 92965.00 87643.00 79007.00 73586.00 70393.00 69195.00 68004.00 69147.00 69040.00 66679.00 62431.00 60825.00 60646.00 61448.00
XAI 146040.00 148390.00 150650.00 151120.00 152215.00 155270.00 157950.00 167930.00 161910.00 158430.00 166500.00 205670.00 179010.00 226700.00 220450.00 221660.00 212820.00 225800.00 238710.00 261100.00 241890.00 259720.00 265710.00 276490.00 276750.00 278230.00 280772.00 282170.00 246831.00 279030.00 260550.00 249110.00 212770.00 240990.00 263940.00 255670.00 236430.00 255080.00 263800.00 248780.00 242770.00 253130.00 265290.00 255200.00 203560.00 214540.00 257660.00 238650.00
XNAI 422116.00 430267.00 444513.00 453811.00 448692.00 461257.00 474352.00 473374.00 474210.00 493707.00 502175.00 472570.00 493629.00 462230.00 484441.00 491184.00 500159.00 495646.00 500420.00 488781.00 502078.00 501957.00 512075.00 507648.00 496990.00 513307.00 533314.00 550167.00 587028.00 583368.00 628062.00 650321.00 678183.00 638545.00 598100.00 570573.00 545535.00 534879.00 576392.00 670304.00 741581.00 807849.00 826666.00 805855.00 779510.00 725118.00 662570.00 684012.00
238 Lampiran 1. Lanjutan PERIODE 2002 Ql Q2 Q3 Q4 2003 Ql Q2 Q3 Q4 2004 Ql Q2 Q3 Q4 2005 Ql Q2 Q3 Q4 2006 Ql Q2 Q3 Q4 2007 Ql Q2 Q3 Q4 2008 Ql Q2 Q3 Q4 2009 Ql Q2 Q3 Q4
PDB 38179529.00 39591292.00 41088672.00 42197001.00 42378028.00 43966408.00 45592315.00 46732342.00 46805263.00 48400602.00 50007049.00 51068778.00 51556529.00 52609687.00 54291338.00 55436737.00 55363169.00 57126876.00 58926705.00 60090140.00 59882531.00 61612963.00 63325201.00 64298794.00 65272387.00 66245980.00 67219573.00 68193166.00 69166759.00 70140352.00 71113945.00 72087538.00
BOT 4669.26 4911.57 5230.02 5472.16 5529.80 5676.69 5701.69 5558.81 5269.48 5204.61 5257.42 5415.29 5608.27 6139.32 6840.82 7596.79 8302.99 9058.17 9820.41 10304.93 10301.52 10316.03 9923.60 8930.56 3621.30 2379.50 1794.30 1454.80 3779.60 5152.20 3999.10 6712.30
INF 14.08 11.48 10.10 10.00 7.10 6.60 6.20 5.10 5.10 6.80 6.30 6.40 8.80 7.80 9.10 17.10 17.90 15.50 9.10 6.60 6.50 5.80 7.00 6.60 8.17 11.03 12.14 11.06 7.92 3.65 2.83 2.78
ER 9799.00 8944.00 8997.00 9050.00 8896.00 8413.00 8476.00 8499.00 8492.00 9095.00 9402.00 9133.00 9302.00 9593.00 10123.00 9985.00 9233.00 9098.00 9135.00 9098.00 9123.00 8903.00 9244.00 9299.00 9354.00 9409.00 9464.00 9519.00 9574.00 9629.00 9684.00 9739.00
XPT 62465.00 64225.00 66032.00 66177.00 64188.00 63942.00 63540.00 62589.00 60732.00 61601.00 63437.00 65570.00 66882.00 70767.00 74873.00 78158.00 80408.00 83296.00 86889.00 89257.00 89235.00 91720.00 93748.00 94198.00 94648.00 95098.00 95548.00 95998.00 96448.00 96898.00 97348.00 97798.00
XAI 220570.00 273250.00 298700.00 281700.00 282100.00 290090.00 277740.00 301950.00 293960.00 339760.00 397500.00 389670.00 357040.00 376110.00 376960.00 428230.00 411780.00 479440.00 511740.00 533760.00 504240.00 582190.00 558690.00 773050.00 987410.00 1201770.00 1416130.00 1630490.00 1844850.00 2059210.00 2273570.00 2487930.00
XNAI 713398.00 686158.00 687652.00 709452.00 690208.00 704204.00 757394.00 782654.00 825167.00 851135.00 859117.00 909701.00 950542.00 983290.00 1041530.00 1042998.00 1102505.00 1099334.00 1154441.00 1206031.00 1270694.00 1286255.00 1404791.00 1263040.00 1523327.00 1641863.00 1760399.00 1878935.00 1997471.00 2116007.00 2234543.00 2353079.00
239 Lampiran 2. Uji Stasioner dengan Augmented Dickey-Fuller Test Dengan Memasukkan Konstanta tanpa Trend A. Pengujian pada variabel level 1. Variabel LPDB Null Hypothesis: LPDB has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) t-Statistic -1.79703
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values:
1% level 5% level 10% level
Prob.* 0.3794
-3.51785 -2.89962 -2.58713
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
2. Variabel LBOT Null Hypothesis: LBOT has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values:
1% level 5% level 10% level
t-Statistic -1.27511 -3.51554 -2.89862 -2.58661
Prob.* 0.6375
t-Statistic -4.76721
Prob.* 0.0002
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
3. Variabel INF Null Hypothesis: INF has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values:
1% level 5% level 10% level
-3.51668 -2.89912 -2.58687
4. Variabel LER Null Hypothesis: LER has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values:
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
1% level 5% level 10% level
t-Statistic -1.09981 -3.51668 -2.89912 -2.58687
Prob.* 0.7123
240 Lampiran 2. Lanjutan 5. Variabel LXNAI Null Hypothesis: LXNAI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values:
1% level 5% level 10% level
t-Statistic 1.024318 -3.51554 -2.89862 -2.58661
Prob.* 0.9965
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
6. Variabel LXPT Null Hypothesis: LXPT has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values:
1% level 5% level 10% level
t-Statistic -2.40402 -3.51554 -2.89862 -2.58661
Prob.* 0.1439
t-Statistic 0.422896 -3.51554 -2.89862 -2.58661
Prob.* 0.9828
t-Statistic -4.10914
Prob.* 0.0017
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
7. Variabel LXAI Null Hypothesis: LXAI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values:
1% level 5% level 10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
B. Pengujian pada variabel 1st-difference 1. Variabel D(LPDB) Null Hypothesis: D(LPDB) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values:
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
1% level 5% level 10% level
-3.51785 -2.89962 -2.58713
241 Lampiran 2. Lanjutan 2. Variabel D(LBOT) Null Hypothesis: D(LBOT) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values:
1% level 5% level 10% level
t-Statistic -8.2821 -3.51668 -2.89912 -2.58687
Prob.* 0.0000
t-Statistic -7.52491 -3.51668 -2.89912 -2.58687
Prob.* 0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
3. Variabel D(INF) Null Hypothesis: D(INF) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values:
1% level 5% level 10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
4. Variabel D(LER) Null Hypothesis: D(LER) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values:
1% level 5% level 10% level
t-Statistic -12.3654 -3.51668 -2.89912 -2.58687
Prob.* 0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
5. Variabel D(LXNAI) Null Hypothesis: D(LXNAI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) t-Statistic -8.90972
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values:
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
1% level 5% level 10% level
-3.51668 -2.89912 -2.58687
Prob.* 0.0000
242 Lampiran 2. Lanjutan 6. Variabel D(LXPT) Null Hypothesis: D(LXPT) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values:
1% level 5% level 10% level
t-Statistic -6.22029 -3.52158 -2.90122 -2.58798
Prob.* 0.0000
t-Statistic -9.63359 -3.51668 -2.89912 -2.58687
Prob.* 0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
7. Variabel D(LXAI) Null Hypothesis: D(LXAI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values:
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
1% level 5% level 10% level
243 Lampiran 3. Uji Lag Optimal VAR VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: INF LBOT LER LPDB LXAI LXNAI LXPT Exogenous variables: C Date: 12/09/11 Time: 16:37 Sample: 1990:1 2009:4 Included observations: 74 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 -305.4006 NA 1.10E-05 8.443259 8.661211 8.530203 1 259.0633 1006.882 9.81E-12 -5.488198 -3.744581 -4.792648 2 368.0562 173.7995 2.01E-12 -7.109628 -3.840346* -5.805471 3 418.5894 71.01964 2.11E-12 -7.151066 -2.356120 -5.238303 4 551.0730 161.1286* 2.64E-13* -9.407377 -3.086766 -6.886008* 5 599.8589 50.10445 3.66E-13 -9.401591 -1.555315 -6.271615 6 667.7931 56.91786 3.73E-13 -9.913327* -0.541387 -6.174745 * indicates lag order selected by the criterion LR : sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE : Final prediction error AIC : Akaike information criterion SC : Schwarz information criterion HQ : Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 4. Uji Stabilisasi Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: INF LBOT LER LPDB LXAI LXNAI LXPT Exogenous variables: C Lag specification: 1 2 Date: 12/10/11 Time: 10:57 Root Modulus 0.986540 - 0.001706i 0.986541971044 0.986540 + 0.001706i 0.986541971044 0.858157 - 0.268666i 0.899229925225 0.858157 + 0.268666i 0.899229925225 0.897426 0.897425883943 0.711450 - 0.254298i 0.755532342195 0.711450 + 0.254298i 0.755532342195 0.332851 + 0.499255i 0.600037609684 0.332851 - 0.499255i 0.600037609684 -0.544631 0.544630620124 -0.273266 - 0.085548i 0.286344078378 -0.273266 + 0.085548i 0.286344078378 0.268034 0.268034115840 -0.193172 0.193171532231 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
244 Lampiran 5. Uji Granger Causality Pairwise Granger Causality Tests Sample: 1990:1 2009:4 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LBOT does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause LBOT
78
0.59596 0.20124
0.55369 0.81817
LER does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause LER
78
2.15128 0.38806
0.12365 0.67976
LPDB does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause LPDB
78
16.7774 0.35790
1.0E-06 0.70036
LXAI does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause LXAI
78
2.89603 3.37235
0.04126 0.03973
LXNAI does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause LXNAI
78
8.80217 13.7891
0.00038 8.3E-06
LXPT does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause LXPT
78
11.2670 11.1460
5.4E-05 6.0E-05
LER does not Granger Cause LBOT LBOT does not Granger Cause LER
78
3.32585 1.32080
0.04146 0.27322
LPDB does not Granger Cause LBOT LBOT does not Granger Cause LPDB
78
2.82845 1.89570
0.06560 0.15753
LXAI does not Granger Cause LBOT LBOT does not Granger Cause LXAI
78
1.04901 0.06951
0.35550 0.93291
LXNAI does not Granger Cause LBOT LBOT does not Granger Cause LXNAI
78
2.21110 0.53573
0.01687 0.58753
LXPT does not Granger Cause LBOT LBOT does not Granger Cause LXPT
78
1.18365 0.37195
0.03119 0.09069
LPDB does not Granger Cause LER LER does not Granger Cause LPDB
78
1.65553 0.11197
0.19808 0.89422
LXAI does not Granger Cause LER LER does not Granger Cause LXAI
78
2.36817 0.38021
0.09328 0.68506
LXNAI does not Granger Cause LER LER does not Granger Cause LXNAI
78
7.90684 0.57862
0.00078 0.56322
LXPT does not Granger Cause LER LER does not Granger Cause LXPT
78
20.8356 1.21406
6.9E-08 0.30291
LXAI does not Granger Cause LPDB LPDB does not Granger Cause LXAI
78
0.10588 0.73851
0.89967 0.48136
LXNAI does not Granger Cause LPDB LPDB does not Granger Cause LXNAI
78
2.39011 0.66513
0.09876 0.51729
LXPT does not Granger Cause LPDB LPDB does not Granger Cause LXPT
78
16.3690 8.35001
1.3E-06 0.00054
LXNAI does not Granger Cause LXAI LXAI does not Granger Cause LXNAI
78
2.62531 4.00668
0.07925 0.02233
LXPT does not Granger Cause LXAI LXAI does not Granger Cause LXPT
78
2.58363 1.94020
0.08239 0.15101
LXPT does not Granger Cause LXNAI LXNAI does not Granger Cause LXPT
78
2.89175 9.00238
0.06186 0.00032
245 Lampiran 6. Uji Kointegrasi – Johansen Sample(adjusted): 1990:3 2009:4 Included observations: 78 after adjusting endpoints Trend assumption: Linear deterministic trend Series: INF LBOT LER LPDB LXAI LXNAI LXPT Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. Of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
5 Percent Critical Value
None ** 0.7023 220.2957 124.2400 At most 1 ** 0.5960 125.7897 94.1500 At most 2 0.2918 55.0985 68.5200 At most 3 0.1534 28.1844 47.2100 At most 4 0.0982 15.1972 29.6800 At most 5 0.0728 7.1387 15.4100 At most 6 0.0158 1.2409 3.7600 *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 2 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels
Hypothesized No. Of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value 133.5700 103.1800 76.0700 54.4600 35.6500 20.0400 6.6500
1 Percent Critical Value 51.5700 45.1000 38.7700 32.2400 25.5200 18.6300 6.6500
None ** 0.7023 94.5060 45.2800 At most 1 ** 0.5960 70.6912 39.3700 At most 2 0.2918 26.9141 33.4600 At most 3 0.1534 12.9872 27.0700 At most 4 0.0982 8.0585 20.9700 At most 5 0.0728 5.8978 14.0700 At most 6 0.0158 1.2409 3.7600 *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels
246 Lampiran 7. Estimasi Persamaan VECM Vector Error Correction Estimates Date: 12/08/11 Time: 20:19 Sample(adjusted): 1990:3 2009:4 Included observations: 78 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating CointEq1 CointEq2 Eq: LPDB(-1)
1.000000
0.000000
LBOT(-1)
0.000000
1.000000
INF(-1)
0.077063 -0.134830 (0.00814) (0.03251) [ 9.46443] [-4.14771]
LER(-1)
-0.456784 -0.902984 (0.11168) (0.44585) [-4.11999] [-2.02530]
LXNAI(-1)
-0.851207 -0.356469 (0.31189) (1.24516) [ -2.72919] [-0.28628]
LXPT(-1)
-1.858074 -2.323575 (0.29805) (1.019891) [-6.23410] [-2.278258]
LXAI(-1)
-0.713899 -3.836399 (0.26837) (1.07141) [-2.66013] [ -3.58069]
C
13.10930
-16.37799 D(LBOT) D(INF) D(LER) D(LXNAI) D(LXPT) D(LXAI) -0.048627 -0.014611 -9.068285 -0.041411 -0.050794 0.045286 0.026071 (0.00739) (0.09128) (1.94356) (0.02741) (0.02088) (0.04453) (0.01917) [-6.58043] [-0.16008] [-4.66582] [-1.51075] [-2.43278] [ 1.01689] [ 1.35993]
Error Correction: D(LPDB) CointEq1
CointEq2
-0.012313 -0.026857 0.040085 -0.022394 0.010853 0.041385 0.006101 (0.00169) (0.02084) (0.44374) (0.00626) (0.00477) (0.01017) (0.00438) [-7.29806] [-1.28873] [ 0.09033] [-3.57835] [ 2.27670] [ 4.07021] [ 1.39399]
D(LPDB(-1))
-0.144792 0.215969 120.2951 0.704322 0.231666 2.973925 -0.316725 (0.11689) (1.44378) (30.7428) (0.43358) (0.33026) (0.70442) (0.30324) [-1.23873] [ 0.14959] [ 3.91295] [ 1.62445] [ 0.70146] [ 4.22178] [-1.04447]
D(LBOT(-1))
0.002910 -0.022942 0.423015 0.017628 -0.030462 -0.012362 0.010005 (0.01003) (0.12387) (2.63762) (0.03720) (0.02834) (0.06044) (0.02602) [ 0.29017] [-0.18520] [ 0.16038] [ 0.47387] [-1.07506] [-0.20455] [ 0.38455]
D(INF(-1))
-0.000913 -0.003488 0.357850 -0.013129 -0.001216 -0.000279 -0.000609 (0.00045) (0.00560) (0.11918) (0.00168) (0.00128) (0.00273) (0.00118) [-2.01570] [-0.62311] [ 3.00264] [-7.81099] [-0.94986] [-0.10235] [-0.51770]
D(LER(-1))
-0.101223 0.000890 -19.09834 -0.666254 -0.096469 -0.175926 0.114041 (0.02219) (0.27411) (5.83662) (0.08232) (0.06270) (0.13374) (0.05757) [-4.56135] [ 0.00325] [-3.27216] [-8.09389] [-1.53856] [-1.31546] [ 1.98088]
247 Lampiran 7. Lanjutan Error Correction: D(LXNAI(-1))
D(LPDB) D(LBOT) D(INF) D(LER) D(LXNAI) D(LXPT) D(LXAI) 0.028125 0.742064 48.07404 0.454788 -0.425454 0.701531 0.177259 (0.04310) (0.53233) (11.3350) (0.15986) (0.12177) (0.25972) (0.11181) [ 0.65260] [ 1.39400] [ 4.24122] [ 2.84491] [-3.49397] [ 2.70108] [ 1.58543]
D(LXPT(-1))
0.099175 0.197753 -11.57347 0.975877 0.124821 0.111863 -0.005277 (0.02460) (0.30391) (6.47113) (0.09126) (0.06952) (0.14828) (0.06383) [ 4.03085] [ 0.65070] [-1.78848] [ 10.6929] [ 1.79554] [ 0.75443] [-0.08268]
D(LXAI(-1))
0.029069 0.480448 20.28165 -0.163761 -0.017656 0.145400 -0.085875 (0.04982) (0.61539) (13.1036) (0.18480) (0.14077) (0.30025) (0.12925) [ 0.58348] [ 0.78073] [ 1.54779] [-0.88613] [-0.12542] [ 0.48427] [-0.66440]
C
0.039146 -0.024929 -5.086979 0.001342 0.024916 -0.110684 0.027208 (0.00445) (0.05501) (1.17144) (0.01652) (0.01258) (0.02684) (0.01155) [ 8.78912] [-0.45314] [-4.34249] [ 0.08122] [ 1.97988] [-4.12359] [ 2.35471] R-squared 0.656116 0.075034 0.689713 0.791219 0.385202 0.492915 0.170765 Adj. R-squared 0.610602 -0.047388 0.648645 0.763586 0.303832 0.425801 0.061013 Sum sq. resids 0.033295 5.079895 2303.241 0.458123 0.265807 1.209261 0.224090 S.E. equation 0.022128 0.273321 5.819896 0.082080 0.062521 0.133354 0.057406 F-statistic 14.41567 0.612912 16.79464 28.63331 4.733941 7.344418 1.555920 Log likelihood 191.9255 -4.151888 -242.7064 89.67855 110.9088 51.82407 117.5670 Akaike AIC -4.664755 0.362869 6.479651 -2.043040 -2.587406 -1.072412 -2.758128 Schwarz SC -4.362613 0.665011 6.781793 -1.740897 -2.285264 -0.770270 -2.455986 Mean dependent 0.033718 0.009487 -0.006667 0.022051 0.021795 0.005513 0.020897 S.D. dependent 0.035460 0.267066 9.818437 0.168811 0.074933 0.175984 0.059242 Determinant Residual 5.29E-13 Covariance Log Likelihood 365.1393 Log Likelihood (d.f. adjusted) 327.6834 Akaike Information Criteria -6.248292 Schwarz Criteria -3.710298
248 Lampiran 8. Impulse Response Function 1. Effect of Cholesky (d.f. adjusted) One S.D. LXNAI Innovation (Pengaruh shock LXNAI terhadadap Kinerja Makroekonomi Indonesia) Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
LPDB 0.00000 0.00802 0.00844 0.01320 0.01184 0.01405 0.01301 0.01444 0.01389 0.01466 0.01424 0.01465 0.01440 0.01466 0.01451 0.01465 0.01466 0.01464 0.01458 0.01463 0.01460 0.01462 0.01460 0.01462 0.01461 0.01462 0.01461 0.01462 0.01461 0.01462 0.01461 0.01462 0.01461 0.01462 0.01461 0.01462 0.01461 0.01462 0.01462 0.01462 0.01462 0.01462 0.01462 0.01462 0.01462 0.01462 0.01462 0.01462 0.01462 0.01462
LBOT 0.00000 0.05360 0.05664 0.06169 0.06484 0.06576 0.06670 0.06691 0.06739 0.06753 0.06777 0.06779 0.06788 0.06788 0.06794 0.06794 0.06797 0.06796 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798 0.06798
INF 0.00000 2.51475 2.01845 2.30577 2.01093 1.16579 0.78701 0.44378 0.45829 0.34210 0.31561 0.20558 0.19170 0.15321 0.16412 0.14411 0.14600 0.13194 0.13475 0.12907 0.13191 0.12840 0.12967 0.12757 0.12857 0.12755 0.12819 0.12755 0.12790 0.12753 0.12777 0.12757 0.12771 0.12759 0.12767 0.12760 0.12765 0.12761 0.12764 0.12761 0.12763 0.12761 0.12763 0.12762 0.12762 0.12762 0.12762 0.12762 0.12762 0.12762
LER 0.00000 0.06768 0.03586 0.05250 0.03677 0.04373 0.03549 0.03960 0.03473 0.03720 0.03445 0.03604 0.03450 0.03546 0.03455 0.03513 0.03461 0.03497 0.03467 0.03485 0.03480 0.03483 0.03475 0.03480 0.03475 0.03478 0.03475 0.03477 0.03475 0.03477 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476 0.03476
LXNAI 0.05732 0.03781 0.03673 0.03288 0.02501 0.02192 0.01832 0.01794 0.01651 0.01623 0.01523 0.01511 0.01469 0.01475 0.01454 0.01456 0.01443 0.01446 0.01440 0.01442 0.01439 0.01440 0.01438 0.01439 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438 0.01438
LXPT 0.03908 0.07798 0.05874 0.04796 0.03952 0.02022 0.01384 0.00452 0.00395 0.00004 0.00038 0.00298 0.00306 0.00422 0.00398 0.00458 0.00446 0.00482 0.00472 0.00490 0.00482 0.00492 0.00488 0.00493 0.00490 0.00494 0.00492 0.00493 0.00492 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493 0.00493
LXAI 0.00000 0.00865 0.00493 0.00021 0.00092 0.00381 0.00399 0.00533 0.00537 0.00614 0.00611 0.00649 0.00642 0.00661 0.00656 0.00667 0.00664 0.00670 0.00667 0.00670 0.00669 0.00671 0.00670 0.00671 0.00670 0.00671 0.00670 0.00671 0.00670 0.00671 0.00670 0.00671 0.00670 0.00671 0.00670 0.00671 0.00670 0.00671 0.00670 0.00671 0.00670 0.00671 0.00671 0.00671 0.00671 0.00671 0.00671 0.00671 0.00671 0.00671
249 Lampiran 8. Lanjutan 2. Effect of Cholesky (d.f. adjusted) One S.D. LXPT Innovation (Pengaruh shock LXPT terhadadap Kinerja Makroekonomi Indonesia) Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
LPDB 0.00000 0.02042 0.02224 0.03359 0.03025 0.03424 0.03214 0.03528 0.03438 0.03597 0.03507 0.03586 0.03538 0.03591 0.03563 0.03591 0.03572 0.03588 0.03577 0.03587 0.03581 0.03586 0.03582 0.03585 0.03583 0.03584 0.03583 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584 0.03584
LBOT 0.00000 0.02690 0.05149 0.06139 0.06904 0.07116 0.07274 0.07313 0.07423 0.07467 0.07521 0.07523 0.07541 0.07541 0.07554 0.07556 0.07562 0.07560 0.07563 0.07562 0.07564 0.07564 0.07565 0.07564 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565 0.07565
INF 0.00000 0.48523 4.08543 5.27740 4.86939 2.28433 1.04575 0.39542 0.62064 0.46090 0.34782 0.05023 -0.00185 -0.06475 -0.02703 -0.06688 -0.07100 -0.10496 -0.09966 -0.10929 -0.10263 -0.11016 -0.10838 -0.11294 -0.11083 -0.11273 -0.11142 -0.11278 -0.11213 -0.11288 -0.11239 -0.11278 -0.11251 -0.11276 -0.11260 -0.11274 -0.11264 -0.11272 -0.11266 -0.11271 -0.11268 -0.11271 -0.11268 -0.11270 -0.11269 -0.11270 -0.11269 -0.11270 -0.11269 -0.11270
LER 0.00000 0.10344 0.06397 0.08528 0.05543 0.06896 0.05259 0.06076 0.05058 0.05533 0.04971 0.05293 0.04981 0.05172 0.04987 0.05102 0.04997 0.05068 0.05007 0.05049 0.05013 0.05039 0.05018 0.05033 0.05026 0.05030 0.05023 0.05028 0.05025 0.05027 0.05025 0.05026 0.05025 0.05026 0.05025 0.05026 0.05025 0.05025 0.05025 0.05025 0.05025 0.05025 0.05025 0.05025 0.05025 0.05025 0.05025 0.05025 0.05025 0.05025
LXNAI 0.00000 0.01816 0.01106 0.00512 0.01561 0.02505 0.03237 0.03230 0.03484 0.03577 0.03823 0.03865 0.03944 0.03925 0.03968 0.03968 0.03998 0.03994 0.04005 0.04000 0.04007 0.04005 0.04009 0.04007 0.04009 0.04008 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009 0.04009
LXPT 0.09362 0.08721 0.11462 0.09074 0.07732 0.02737 0.00804 0.01126 0.01078 0.01817 0.01963 0.02584 0.02638 0.02865 0.02803 0.02926 0.02911 0.02992 0.02973 0.03007 0.02990 0.03011 0.03003 0.03016 0.03009 0.03016 0.03012 0.03016 0.03013 0.03016 0.03014 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015 0.03015
LXAI 0.00000 0.00636 0.00561 0.01813 0.02163 0.02764 0.02797 0.03061 0.03083 0.03255 0.03259 0.03336 0.03321 0.03361 0.03353 0.03377 0.03370 0.03382 0.03376 0.03383 0.03380 0.03384 0.03382 0.03384 0.03383 0.03384 0.03383 0.03384 0.03383 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384 0.03384
250 Lampiran 8. Lanjutan 3. Effect of Cholesky (d.f. adjusted) One S.D. LXAI Innovation (Pengaruh shock LXAI terhadadap Kinerja Makroekonomi Indonesia) Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
LPDB 0.00000 0.00257 0.00067 0.00057 0.00001 0.00059 0.00048 0.00065 0.00040 0.00048 0.00039 0.00049 0.00044 0.00047 0.00043 0.00046 0.00044 0.00046 0.00044 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045 0.00045
LBOT 0.00000 0.02262 0.02179 0.02157 0.02114 0.02093 0.02106 0.02113 0.02117 0.02110 0.02107 0.02105 0.02107 0.02107 0.02108 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107 0.02107
INF 0.00000 1.45923 1.88903 0.96142 0.66189 0.80050 1.10799 1.18772 1.14662 1.06548 1.06404 1.08353 1.11048 1.10809 1.10377 1.09676 1.09970 1.10103 1.10344 1.10220 1.10215 1.10146 1.10208 1.10201 1.10229 1.10204 1.10213 1.10203 1.10214 1.10209 1.10214 1.10209 1.10212 1.10210 1.10212 1.10210 1.10211 1.10211 1.10211 1.10211 1.10211 1.10211 1.10211 1.10211 1.10211 1.10211 1.10211 1.10211 1.10211 1.10211
LER 0.00000 -0.00334 -0.00290 0.00031 -0.00080 0.00108 -0.00034 0.00058 -0.00012 0.00056 0.00017 0.00051 0.00023 0.00043 0.00029 0.00042 0.00033 0.00040 0.00034 0.00038 0.00035 0.00038 0.00036 0.00037 0.00036 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037 0.00037
LXNAI 0.00033 0.00453 0.00020 0.00161 0.00095 0.00088 0.00135 0.00128 0.00082 0.00085 0.00093 0.00111 0.00109 0.00108 0.00103 0.00106 0.00106 0.00108 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107 0.00107
LXPT 0.00771 0.02141 0.03388 0.02353 0.02154 0.02247 0.02659 0.02741 0.02746 0.02642 0.02658 0.02667 0.02710 0.02702 0.02705 0.02693 0.02700 0.02699 0.02704 0.02701 0.02703 0.02701 0.02702 0.02702 0.02703 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702 0.02702
LXAI 0.05324 0.04834 0.04875 0.04882 0.04958 0.04969 0.04984 0.04965 0.04973 0.04970 0.04980 0.04978 0.04980 0.04977 0.04979 0.04978 0.04980 0.04979 0.04980 0.04979 0.04980 0.04979 0.04980 0.04979 0.04980 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979 0.04979
251 Lampiran 9. Forecast Error Variance Decomposition 1. Variance Decomposition of LPDB (Ln Produk Domestik Bruto) Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
S.E. 0.0221 0.0386 0.0547 0.0734 0.0879 0.1018 0.1137 0.1254 0.1362 0.1465 0.1561 0.1652 0.1738 0.1822 0.1901 0.1977 0.2050 0.2122 0.2190 0.2257 0.2322 0.2385 0.2446 0.2506 0.2564 0.2621 0.2677 0.2732 0.2786 0.2839 0.2890 0.2941 0.2991 0.3040 0.3089 0.3136 0.3183 0.3229 0.3275 0.3320 0.3364 0.3408 0.3451 0.3494 0.3536 0.3578 0.3619 0.3660 0.3700 0.3740
LPDB 100.0000 59.9035 52.8487 42.5212 41.9289 40.0421 39.9223 38.8928 38.5450 37.9611 37.7518 37.4419 37.2857 37.0761 36.9485 36.8049 36.7079 36.6051 36.5276 36.4490 36.3860 36.3246 36.2729 36.2234 36.1803 36.1394 36.1030 36.0687 36.0376 36.0084 35.9815 35.9563 35.9329 35.9108 35.8903 35.8709 35.8527 35.8354 35.8192 35.8038 35.7893 35.7754 35.7623 35.7498 35.7379 35.7266 35.7157 35.7054 35.6954 35.6860
LBOT 0.0000 1.0766 0.9465 1.2020 1.1154 1.1347 1.0851 1.0888 1.0695 1.0705 1.0594 1.0572 1.0503 1.0483 1.0442 1.0424 1.0395 1.0379 1.0358 1.0345 1.0329 1.0318 1.0306 1.0296 1.0286 1.0278 1.0270 1.0263 1.0256 1.0250 1.0245 1.0239 1.0234 1.0230 1.0225 1.0221 1.0217 1.0214 1.0210 1.0207 1.0204 1.0201 1.0198 1.0196 1.0193 1.0191 1.0188 1.0186 1.0184 1.0182
INF 0.0000 1.5534 1.9903 2.2164 2.0241 1.9056 1.8036 1.7698 1.7344 1.7128 1.6850 1.6663 1.6486 1.6368 1.6252 1.6162 1.6074 1.6004 1.5938 1.5883 1.5832 1.5788 1.5747 1.5710 1.5676 1.5646 1.5618 1.5592 1.5568 1.5546 1.5525 1.5506 1.5488 1.5472 1.5456 1.5441 1.5427 1.5414 1.5402 1.5390 1.5379 1.5368 1.5358 1.5349 1.5340 1.5331 1.5323 1.5315 1.5307 1.5300
LER 0.0000 4.7518 9.0088 10.2771 10.7303 10.7304 10.8582 10.9670 11.1059 11.1793 11.2423 11.2796 11.3211 11.3525 11.3834 11.4062 11.4274 11.4445 11.4608 11.4746 11.4873 11.4984 11.5086 11.5176 11.5260 11.5336 11.5406 11.5470 11.5529 11.5584 11.5635 11.5683 11.5727 11.5769 11.5808 11.5845 11.5879 11.5912 11.5942 11.5972 11.5999 11.6025 11.6050 11.6074 11.6096 11.6118 11.6138 11.6158 11.6177 11.6195
LXNAI 0.0000 4.2928 4.5151 5.7463 5.8232 6.2463 6.3171 6.5111 6.5659 6.6696 6.7117 6.7739 6.8059 6.8460 6.8704 6.8981 6.9172 6.9373 6.9526 6.9678 6.9801 6.9921 7.0022 7.0119 7.0203 7.0283 7.0354 7.0421 7.0481 7.0539 7.0591 7.0640 7.0686 7.0729 7.0769 7.0807 7.0843 7.0876 7.0908 7.0938 7.0966 7.0993 7.1019 7.1044 7.1067 7.1089 7.1110 7.1130 7.1150 7.1168
LXPT 0.0000 28.3703 30.6198 37.9080 38.2087 39.7670 39.8382 40.5944 40.7982 41.2218 41.3614 41.5908 41.6963 41.8469 41.9335 42.0364 42.1035 42.1769 42.2308 42.2865 42.3305 42.3740 42.4102 42.4452 42.4754 42.5042 42.5298 42.5539 42.5758 42.5964 42.6153 42.6331 42.6495 42.6650 42.6795 42.6931 42.7060 42.7181 42.7295 42.7403 42.7506 42.7603 42.7695 42.7783 42.7867 42.7947 42.8023 42.8096 42.8166 42.8233
LXAI 0.0000 0.0517 0.0708 0.1290 0.1694 0.1740 0.1755 0.1761 0.1811 0.1850 0.1884 0.1903 0.1920 0.1934 0.1949 0.1960 0.1970 0.1978 0.1986 0.1993 0.1999 0.2004 0.2009 0.2014 0.2018 0.2021 0.2025 0.2028 0.2031 0.2033 0.2036 0.2038 0.2040 0.2042 0.2044 0.2046 0.2048 0.2049 0.2051 0.2052 0.2053 0.2055 0.2056 0.2057 0.2058 0.2059 0.2060 0.2061 0.2062 0.2063
252 Lampiran 9. Lanjutan 2. Variance Decomposition of LBOT (Ln Net Ekspor) Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
S.E. 0.2733 0.3916 0.4837 0.5639 0.6358 0.7008 0.7606 0.8161 0.8682 0.9175 0.9644 1.0091 1.0519 1.0930 1.1327 1.1710 1.2081 1.2441 1.2791 1.3132 1.3464 1.3788 1.4104 1.4414 1.4717 1.5014 1.5306 1.5591 1.5872 1.6148 1.6419 1.6686 1.6948 1.7207 1.7462 1.7713 1.7960 1.8204 1.8445 1.8683 1.8918 1.9150 1.9379 1.9606 1.9830 2.0051 2.0270 2.0487 2.0701 2.0913
LPDB 0.0000 0.1851 0.6567 0.9879 1.2495 1.4644 1.6302 1.7632 1.8666 1.9523 2.0229 2.0833 2.1344 2.1785 2.2165 2.2500 2.2793 2.3055 2.3289 2.3499 2.3688 2.3861 2.4017 2.4161 2.4293 2.4415 2.4527 2.4631 2.4728 2.4819 2.4903 2.4982 2.5057 2.5126 2.5192 2.5254 2.5313 2.5369 2.5421 2.5471 2.5519 2.5564 2.5607 2.5648 2.5688 2.5725 2.5761 2.5795 2.5828 2.5860
LBOT 100.0000 96.8119 94.2840 92.3250 90.7528 89.6008 88.7217 88.0467 87.4954 87.0437 86.6644 86.3481 86.0787 85.8481 85.6472 85.4715 85.3163 85.1788 85.0558 84.9454 84.8456 84.7550 84.6724 84.5969 84.5275 84.4635 84.4043 84.3494 84.2984 84.2508 84.2064 84.1648 84.1257 84.0889 84.0543 84.0217 83.9908 83.9615 83.9338 83.9075 83.8825 83.8587 83.8360 83.8144 83.7937 83.7739 83.7550 83.7369 83.7195 83.7028
INF 0.0000 0.0165 0.0470 0.0750 0.0984 0.1122 0.1213 0.1277 0.1334 0.1382 0.1422 0.1454 0.1481 0.1504 0.1524 0.1542 0.1557 0.1571 0.1583 0.1594 0.1604 0.1613 0.1621 0.1629 0.1636 0.1642 0.1648 0.1653 0.1658 0.1663 0.1667 0.1672 0.1675 0.1679 0.1682 0.1686 0.1689 0.1692 0.1694 0.1697 0.1700 0.1702 0.1704 0.1706 0.1708 0.1710 0.1712 0.1714 0.1716 0.1717
LER 0.0000 0.3073 0.5494 0.7999 0.9988 1.1419 1.2459 1.3269 1.3943 1.4511 1.4985 1.5381 1.5715 1.6003 1.6254 1.6474 1.6669 1.6841 1.6995 1.7133 1.7258 1.7372 1.7475 1.7570 1.7657 1.7737 1.7811 1.7880 1.7944 1.8004 1.8060 1.8112 1.8161 1.8207 1.8250 1.8291 1.8330 1.8366 1.8401 1.8434 1.8466 1.8495 1.8524 1.8551 1.8577 1.8602 1.8625 1.8648 1.8670 1.8691
LXNAI 0.0000 1.8737 2.5988 3.1091 3.4851 3.7491 3.9518 4.1050 4.2290 4.3286 4.4120 4.4812 4.5403 4.5907 4.6346 4.6728 4.7066 4.7365 4.7633 4.7873 4.8091 4.8288 4.8467 4.8631 4.8782 4.8922 4.9050 4.9170 4.9281 4.9384 4.9481 4.9571 4.9656 4.9736 4.9811 4.9882 4.9949 5.0013 5.0073 5.0131 5.0185 5.0237 5.0286 5.0333 5.0378 5.0421 5.0462 5.0502 5.0539 5.0576
LXPT 0.0000 0.4719 1.4425 2.2466 2.9459 3.4558 3.8485 4.1461 4.3938 4.5968 4.7692 4.9121 5.0344 5.1386 5.2298 5.3095 5.3800 5.4424 5.4983 5.5484 5.5937 5.6348 5.6723 5.7066 5.7382 5.7672 5.7941 5.8190 5.8422 5.8638 5.8840 5.9029 5.9206 5.9373 5.9531 5.9679 5.9819 5.9952 6.0078 6.0197 6.0311 6.0419 6.0522 6.0621 6.0714 6.0804 6.0890 6.0972 6.1051 6.1127
LXAI 0.0000 0.3337 0.4216 0.4565 0.4696 0.4757 0.4805 0.4845 0.4874 0.4894 0.4907 0.4917 0.4927 0.4934 0.4941 0.4947 0.4952 0.4956 0.4960 0.4963 0.4966 0.4969 0.4971 0.4974 0.4976 0.4978 0.4980 0.4981 0.4983 0.4984 0.4986 0.4987 0.4988 0.4989 0.4990 0.4991 0.4992 0.4993 0.4994 0.4995 0.4995 0.4996 0.4997 0.4997 0.4998 0.4999 0.4999 0.5000 0.5000 0.5001
253 Lampiran 9. Lanjutan 3. Variance Decomposition of INF (Inflasi) Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
S.E. 5.8199 8.2385 10.3016 12.8092 14.4238 14.9057 15.1197 15.2514 15.3838 15.4983 15.6052 15.7017 15.7981 15.8921 15.9860 16.0783 16.1705 16.2619 16.3530 16.4434 16.5334 16.6228 16.7118 16.8002 16.8883 16.9758 17.0630 17.1496 17.2359 17.3217 17.4071 17.4921 17.5766 17.6608 17.7445 17.8279 17.9109 17.9935 18.0757 18.1575 18.2390 18.3201 18.4009 18.4813 18.5613 18.6410 18.7204 18.7994 18.8782 18.9565
LPDB 0.0000 11.4359 12.5270 10.9067 10.6296 11.2695 11.4111 11.3979 11.2658 11.1550 11.0346 10.9227 10.7999 10.6800 10.5597 10.4438 10.3289 10.2168 10.1063 9.9985 9.8926 9.7893 9.6879 9.5888 9.4915 9.3964 9.3031 9.2118 9.1222 9.0344 8.9484 8.8640 8.7812 8.7000 8.6203 8.5421 8.4654 8.3900 8.3161 8.2434 8.1721 8.1020 8.0331 7.9655 7.8990 7.8336 7.7694 7.7062 7.6441 7.5830
LBOT 0.0000 0.4303 1.7077 3.4848 4.7543 5.5374 6.1969 6.7761 7.4648 8.1335 8.7920 9.3757 9.9453 10.4918 11.0413 11.5711 12.0905 12.5909 13.0826 13.5617 14.0325 14.4917 14.9417 15.3813 15.8124 16.2341 16.6477 17.0526 17.4495 17.8385 18.2200 18.5940 18.9609 19.3207 19.6738 20.0203 20.3604 20.6943 21.0221 21.3440 21.6602 21.9708 22.2759 22.5758 22.8704 23.1601 23.4449 23.7248 24.0001 24.2709
INF 100.0000 75.3279 48.7583 31.7525 25.0558 23.7110 23.2820 22.9678 22.5766 22.2462 21.9476 21.6932 21.4385 21.1922 20.9475 20.7121 20.4808 20.2563 20.0355 19.8201 19.6088 19.4025 19.2003 19.0026 18.8088 18.6191 18.4332 18.2511 18.0726 17.8977 17.7262 17.5580 17.3930 17.2311 17.0723 16.9165 16.7636 16.6134 16.4660 16.3212 16.1790 16.0394 15.9021 15.7673 15.6348 15.5045 15.3764 15.2505 15.1267 15.0049
LER 0.0000 0.0045 5.8901 12.9520 13.7497 13.3370 12.9756 12.7588 12.5765 12.4184 12.2521 12.1036 11.9610 11.8242 11.6889 11.5593 11.4334 11.3120 11.1930 11.0769 10.9632 10.8522 10.7436 10.6374 10.5334 10.4316 10.3318 10.2341 10.1383 10.0444 9.9524 9.8621 9.7736 9.6868 9.6015 9.5179 9.4359 9.3553 9.2762 9.1985 9.1222 9.0473 8.9737 8.9013 8.8302 8.7603 8.6916 8.6241 8.5576 8.4923
LXNAI 0.0000 9.3173 9.7982 9.5777 9.4972 9.5048 9.5085 9.4297 9.3568 9.2678 9.1821 9.0867 8.9910 8.8943 8.8006 8.7079 8.6170 8.5270 8.4390 8.3527 8.2684 8.1856 8.1047 8.0253 7.9477 7.8715 7.7970 7.7239 7.6523 7.5821 7.5133 7.4458 7.3796 7.3147 7.2509 7.1884 7.1270 7.0668 7.0076 6.9495 6.8925 6.8364 6.7814 6.7273 6.6741 6.6218 6.5704 6.5199 6.4702 6.4214
LXPT 0.0000 0.3469 15.9497 27.2904 32.9198 33.1742 32.7201 32.2248 31.8351 31.4547 31.0749 30.6952 30.3218 29.9660 29.6153 29.2779 28.9468 28.6267 28.3122 28.0063 27.7060 27.4133 27.1263 26.8459 26.5709 26.3020 26.0383 25.7801 25.5270 25.2790 25.0357 24.7972 24.5633 24.3338 24.1087 23.8877 23.6709 23.4580 23.2490 23.0437 22.8421 22.6441 22.4495 22.2583 22.0704 21.8857 21.7042 21.5256 21.3501 21.1774
LXAI 0.0000 3.1372 5.3691 4.0360 3.3936 3.4661 3.9057 4.4450 4.9244 5.3245 5.7167 6.1228 6.5425 6.9515 7.3468 7.7280 8.1026 8.4702 8.8314 9.1839 9.5286 9.8654 10.1955 10.5187 10.8353 11.1453 11.4489 11.7464 12.0381 12.3239 12.6042 12.8790 13.1485 13.4129 13.6724 13.9270 14.1769 14.4222 14.6630 14.8996 15.1319 15.3601 15.5843 15.8046 16.0211 16.2340 16.4432 16.6489 16.8512 17.0501
254 Lampiran 9. Lanjutan 4. Variance Decomposition of LER (Ln Exchange Rate) Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
S.E. 0.0821 0.1816 0.2209 0.2600 0.2830 0.3066 0.3241 0.3420 0.3566 0.3713 0.3842 0.3973 0.4093 0.4213 0.4327 0.4439 0.4546 0.4653 0.4755 0.4857 0.4955 0.5053 0.5147 0.5241 0.5333 0.5423 0.5511 0.5599 0.5685 0.5769 0.5853 0.5935 0.6016 0.6096 0.6175 0.6253 0.6330 0.6407 0.6482 0.6556 0.6630 0.6702 0.6774 0.6846 0.6916 0.6986 0.7055 0.7123 0.7191 0.7258
LPDB 0.0000 0.8082 4.9473 4.8471 5.8702 5.7586 6.0465 5.9697 6.0975 6.0625 6.1195 6.0952 6.1197 6.1056 6.1181 6.1102 6.1161 6.1111 6.1138 6.1108 6.1119 6.1100 6.1104 6.1091 6.1091 6.1082 6.1080 6.1074 6.1071 6.1066 6.1063 6.1059 6.1056 6.1052 6.1049 6.1046 6.1043 6.1041 6.1038 6.1036 6.1033 6.1031 6.1029 6.1027 6.1025 6.1023 6.1021 6.1020 6.1018 6.1016
LBOT 0.0000 2.5075 1.8406 2.0248 1.8943 2.0082 1.9952 2.0804 2.0974 2.1580 2.1831 2.2287 2.2546 2.2896 2.3131 2.3406 2.3614 2.3836 2.4017 2.4201 2.4357 2.4512 2.4648 2.4780 2.4899 2.5013 2.5118 2.5218 2.5310 2.5399 2.5481 2.5560 2.5634 2.5704 2.5771 2.5834 2.5894 2.5952 2.6006 2.6059 2.6109 2.6157 2.6202 2.6246 2.6289 2.6329 2.6368 2.6405 2.6441 2.6476
INF 0.0000 3.3560 3.1202 3.1757 3.1180 3.2004 3.2283 3.2879 3.3052 3.3363 3.3525 3.3776 3.3938 3.4126 3.4258 3.4402 3.4516 3.4634 3.4733 3.4830 3.4914 3.4995 3.5068 3.5138 3.5202 3.5262 3.5318 3.5371 3.5421 3.5468 3.5511 3.5553 3.5593 3.5630 3.5665 3.5699 3.5731 3.5762 3.5791 3.5819 3.5845 3.5871 3.5895 3.5918 3.5941 3.5962 3.5983 3.6003 3.6022 3.6040
LER 100.0000 46.9711 47.7134 44.5329 45.2384 44.5751 45.1116 44.9870 45.3656 45.4243 45.7065 45.8136 46.0229 46.1346 46.2951 46.4000 46.5269 46.6206 46.7233 46.8056 46.8906 46.9627 47.0345 47.0976 47.1591 47.2146 47.2681 47.3171 47.3641 47.4077 47.4493 47.4882 47.5254 47.5604 47.5937 47.6253 47.6555 47.6842 47.7116 47.7377 47.7627 47.7866 47.8095 47.8314 47.8525 47.8727 47.8921 47.9108 47.9288 47.9461
LXNAI 0.0000 13.8879 12.0247 12.7548 12.4589 12.6430 12.5133 12.5800 12.5201 12.5546 12.5244 12.5392 12.5212 12.5274 12.5170 12.5194 12.5130 12.5133 12.5090 12.5084 12.5054 12.5045 12.5022 12.5012 12.4994 12.4983 12.4969 12.4959 12.4947 12.4937 12.4927 12.4918 12.4909 12.4901 12.4893 12.4886 12.4879 12.4872 12.4865 12.4859 12.4853 12.4848 12.4842 12.4837 12.4832 12.4827 12.4823 12.4818 12.4814 12.4810
LXPT 0.0000 32.4354 30.3136 32.6356 31.3949 31.7918 31.0844 31.0762 30.5970 30.4482 30.0990 29.9315 29.6743 29.5174 29.3186 29.1778 29.0198 28.8971 28.7686 28.6622 28.5553 28.4628 28.3722 28.2916 28.2138 28.1430 28.0753 28.0129 27.9534 27.8979 27.8452 27.7957 27.7486 27.7041 27.6618 27.6216 27.5833 27.5469 27.5122 27.4790 27.4472 27.4169 27.3878 27.3600 27.3332 27.3076 27.2829 27.2592 27.2363 27.2143
LXAI 0.0000 0.0339 0.0401 0.0291 0.0254 0.0229 0.0206 0.0188 0.0173 0.0162 0.0151 0.0143 0.0135 0.0128 0.0122 0.0117 0.0112 0.0108 0.0104 0.0100 0.0097 0.0093 0.0091 0.0088 0.0085 0.0083 0.0081 0.0079 0.0077 0.0075 0.0073 0.0072 0.0070 0.0069 0.0067 0.0066 0.0065 0.0063 0.0062 0.0061 0.0060 0.0059 0.0058 0.0057 0.0056 0.0056 0.0055 0.0054 0.0053 0.0052