PENGARUH DIMENSI MORALITAS PAJAK TERHADAP KEPATUHAN PAJAK (STUDI PADA UMKM BERBASIS BUDAYA BATAK DI KOTA MEDAN) Oleh: Mhd. Fidhel Gazzelly Gultom Dosen Pembimbing: Hendi Subandi, SE., MA., Ak.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menguji bagaimana pengaruh dimensi moralitas pajak, didefinisikan sebagai motivasi dasar individu untuk membayar pajak, terhadap kepatuhan pajak UMKM di Kota Medan. Dimensi moralitas pajak yang diuji adalah faktor demografi, sistem perpajakan, faktor pengelakan pajak, kondisi ekonomi dan tingkat kepercayaan. Penelitian ini juga melihat karakteristik budaya masyarakat yaitu budaya batak untuk mendukung hasil penelitian. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 94 Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki UMKM di Kota Medan. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalan penelitian ini adalah purposive sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pengelakan pajak berpengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak formal. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa faktor demografi, sistem perpajakan, faktor pengelakan pajak, kondisi ekonomi dan tingkat kepercayaan berpengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak material.
Kata Kunci: Moralitas Pajak, Faktor Demografi, Sistem Perpajakan, Faktor Pengelakan Pajak, Kondisi Ekonomi, Tingkat Kepercayaan, Kepatuhan Pajak Formal, Kepatuhan Pajak Material, UMKM, Budaya Batak.
THE IMPACT OF TAX MORALE’S DIMENSION ON TAX COMPLIANCE (THE CASE OF SMEs IN MEDAN) By: Mhd. Fidhel Gazzelly Gultom Supervisor: Hendi Subandi, SE., MA., Ak.
ABSTRACT This study aims to examine the impact of tax morale’s dimension, difined the intrinsic motivation for individuals to pay taxes, on taxpayers’ compliance who owns SMEs. The tax morale’s dimension examined is demographic factors, tax system, deterrence factors, economic variabel, and the level of trust. This study also sees the characteristic of taxpayers’ culture that is Bataknese culture to support the findings. Ninety-four taxpayers of SMEs are sampled. The sample of this study used purposive sampling method. The findings of this study suggest that deterrence factors has a significantly positive effect on the administrative compliance. The findings of this study also suggest that demographic factors, tax system, deterrence factors, economic variable and the level of trust have a significantly positive effect on the technical compliance.
Keywords:
Tax Morale, Demographic Factors, Tax System, Deterrence Factors, Economic Variable, Level of Trust, Administrative Compliance, Technical Compliance, SMEs, Bataknese Culture.
1. PENDAHULUAN Pajak merupakan sumber penerimaan bagi negara yang digunakan untuk membiayai keperluan pemerintah dalam rangka pembangunan nasional. Sebelum tahun 1983, pajak belum terlalu diperhatikan sebagai sumber penerimaan negara yang penting seperti saat ini. Saat itu, kekayaan alam dianggap sebagai komoditas utama dalam penerimaan negara. Seiring berjalannya waktu, pemerintah Indonesia menyadari bahwa kekayaan alam tidak dapat terus dijadikan sebagai sumber penerimaan negara dikarenakan sifatnya yang terbatas dan sewaktu-waktu akan habis. Setelah reformasi perpajakan, tahun 1983, pajak dijadikan sumber pendapatan yang terpenting bagi negara sebagai dana yang yang diperuntukkan sebagai pembiayaan pengeluaran pemerintah. Reformasi perpajakan pada tahun 1983 ditandai dengan berubahnya sistem pemungutan pajak dari sebelumnya Official Assesment System menjadi Self Assesment System. Sistem ini memberikan kewenangan, kepercayaan dan tanggung jawab pemungutan pajak kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya jumlah pajak teutang. Sistem ini juga mensyaratkan bahwa Wajib Pajak harus bisa mempertanggungjawabkan kepatuhan dalam perpajakan dengan cara dilakukankanya pemeriksaan. Kepatuhan pajak menjadi masalah penting dengan memakai sistem pemungutan pajak Self Assesment System ini. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM, tercatat jumlah UMKM mewakili 99% jumlah bisnis yang ada di Indonesia dimana setiap tahunnya mengalami peningkatan. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sangat besar. Data Kementerian Koperasi dan UMKM menunjukkan bahwa kontribusi UMKM pada tahun 2012 adalah sebesar Rp 2.525.120,4 miliar atau sekitar 57,48% dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan Usaha Besar memberikan sumbangsih hanya 42,52% dari total Produk Domestik Produk Indonesia. Besarnya kontribusi UMKM tidak dibarengi dengan kontribusinya terhadap penerimaan negara dari pajak. Menurut Direktur Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Kismantoro Petrus, kontribusi UMKM pada tahun 2012 terhadap pajak sangat kecil hanya sebesar 0,7%. Medan merupakan ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar ketiga setelah Kota Jakarta dan Surabaya. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2013, penduduk Medan berjumlah 2.123.210 jiwa Medan merupakan kota multietnis dengan mayoritas penduduk etnis adalah Jawa, Batak dan Tionghoa. Sebagai kota wilayah budaya Batak, Kota Medan terdiri dari Sub Etnis Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Di Kota Medan, UMKM juga mendominasi bisnis perekonomian akan tetapi sayangnya kepatuhan Wajib Pajak di Kota Medan masih tergolong rendah. Kepatuhan pajak telah mendapat perhatian lebih dari pemerintah dalam beberapa tahun belakangan ini. Kemungkinan karena tidak ada orang yang ingin membayar pajak meskipun mereka tahu bahwa itu penting bagi pemerintah. Alasan yang memungkin kenapa orang membayar pajak adalah karena adanya pemaksaan dari pemerintah kepada Wajib Pajak untuk membayar pajak dengan menerapkan kebijakan pengelakan pajak. Sayangnya, kebijakan pengelakan pajak (deterrence policy) yang dilakukan pemerintah belum berpengaruh positif terhadap penerimaan negara melalui pajak dengan melihat tidak tercapainya penerimaan negara dari pajak. Oleh karena itu, penting untuk
mengetahui unsur intrinsik dari Wajib Pajak mengenai alasan-asalan mereka mau membayar pajak. Penelitian terdahulu menunjukkan jika kepatuhan pajak erat kaitannya dengan motivasi dasar individu untuk membayar pajak. Kepatuhan pajak sebenarnya bisa disamakan dengan menjawab pertanyaan mengapa masyarakat mau membayar pajak. Untuk menjawab ini harus mengetahui motivasi dasar atau keinginan individu untuk membayar pajak. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa moralitas pajak dapat menjelaskan tingkat kepatuhan pajak. Menurut Togler (2003b) moralitas pajak adalah motivasi dasar untuk membayar pajak. Selain itu, moralitas bisa juga diartikan sebagai kewajiban moral untuk membayar pajak atau keyakinan mengenai kontribusi yang bisa dilakukan kepada lingkungan sosial dengan cara membayar pajak (Torgler dan Schneider, 2007b) atau dengan kata lain bagaimana sikap masyarakat terhadap membayar pajak (Alm et al., 2005). Penelitian mengenai kepatuhan pajak dengan faktor yang mempengaruhinya sudah banyak dilakukan tidak terkecuali dengan variabel moralitas pajak. Penelitian mengenai moralitas pajak banyak dilakukan terutama di negara-negara Eropa, Amerika Latin, Amerika Utara, negara-negara transisi (seperti negara-negara pecahan Uni Soviet dan beberapa negara di Eropa tengah dan timur), Australia, beberapa negara di Afrika dan beberapa negara di Asia. Penelitian yang dilakukan di Indonesia mengenai moralitas pajak masih jarang dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Torgler (2003a) mengenai moralitas pajak hanya menganalisa beberapa negara di Asia saja seperti di Asia Timur (Cina, Korea Selatan, Japan, Taiwan), di Asia Selatan (Bangladesh dan India) dan di Asia Tenggara (Filipina). Penelitian di Indonesia di antaranya dilakukan oleh Wardhani (2009), Widodo (2010) dan Subandi (2012). Di dalam penelitian ini juga mempertimbangkan karakteristik budaya masyarakat sebagai pendukung hasil penelitian. Di dalam budaya terdapat nilai dan norma sosial yang menjadikan ciri khas suatu masyarakat dengan masyarakat lain. Tujuan penggunaan budaya dalam penelitian ini adalah agar DJP khususnya Kanwil DJP Sumatera Utara I mempertimbangkan aspek budaya dalam melakukan penyuluhan sosialisasi perpajakan mengenai aturan-aturan perpajakan sehingga penyampaian makna dari sosialisasi itu dapat mengena langsung terhadap diri Wajib Pajak.
2. TINJAUAN TEORITIS 2.1 Moralitas Pajak dan Kepatuhan Pajak Togler (2003b) mendefinisikan moralitas pajak sebagai motivasi dasar untuk membayar pajak atau bisa juga disebut keinginan individu untuk membayar pajak. Moralitas pajak secara umum dipahami sebagai gambaran prinsip-prinsip moral atau nilai individu terhadap membayar pajak. Moralitas pajak juga dipandang sebagai kewajiban moral untuk membayar pajak atau keyakinan mengenai kontribusi yang bisa dilakukan kepada lingkungan sosial dengan cara membayar pajak (Torgler dan Schneider, 2007b) atau dengan kata lain bagaimana sikap masyarakat terhadap membayar pajak (Alm et al., 2005). Faktor-faktor pembentuk moralitas pajak menurut Torgler dan Schaltegger (2005) adalah faktor sosio-demografi dan sosio-ekonomi,
pengaruh kepercayaan terhadap kelembagaan dimana pemerintah bekerja serta kebijakan dan administrasi perpajakan. Oleh karena itu, faktor pembentuk moralitas pajak itu merupakan dimensi dari moralitas pajak itu sendiri. Dalam penelitian ini dimensi moralitas pajak yang akan diuji terhadap kepatuhan pajak adalah faktor demografi, sistem perpajakan, faktor pengelakan pajak, kondisi ekonomi dan tingkat kepercayaan. Penelitian terdahulu menunjukkan jika moralitas pajak dan kepatuhan pajak menghasilkan adanya pengaruh positif diantara keduanya. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui dan mengukur tingkat kepatuhan pajak adalah dengan pendekatan Shadow Economy. Schneider (2005, dalam Torgler dan Schneider 2007a&b) menjelaskan bahwa aktivitas ilegal ekonomi (Shadow Economy) adalah semua aktivitas pasar termasuk aktivitas pasar legal yang memproduksi barang dan jasa yang sengaja disembunyikan dari otoritas publik untuk alasan tertentu, salah satunya adalah menghindari membayar pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan pajak lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Torgler dan Schneider (2007a&b) menunjukkan bahwa moralitas pajak memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap aktivitas ilegal ekonomi (Shadow Economy). Ini bisa diartikan semakin rendah moralitas Wajib Pajak dalam membayar pajak, maka semakin tinggi penghindaran dalam membayar pajak seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan pajak lainnya. Penelitian lain dilakukan untuk mengetahui bagaimana moralitas pajak dapat berpengaruh terhadap kepatuhan pajak dengan memakai pendekatan perilaku yaitu penggelapan pajak (Tax Evasion). Penggelapan pajak dilakukan oleh Wajib Pajak dikarenakan ketidakinginan untuk membayar pajak terutang sesuai dengan seharusnya. Penelitian yang dilakukan oleh Torgler et al. (2008) menunjukkan pengaruh negatif signifikan antara moralitas pajak dan penggelapan pajak (Tax Evasion). Ini mengindikasikan bahwa moralitas pajak memiliki pengaruh positif terhadap kepatuhan pajak. Penelitian yang dilakukan oleh Tusubira dan Nkote (2013) dengan subyek penelitian UMKM di Uganda ingin menguji bagaimana pengaruh norma sosial dan moralitas pajak terhadap kepatuhan pajak. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa moralitas pajak memiliki memiliki pengaruh positif terhadap kepatuhan pajak. Di Indonesia, penelitian mengenai moralitas pajak di antaranya dilakukan oleh Wardhani (2009). Penelitian ini mensurvey dengan cara menyebar kuesioner kepada Wajib Pajak Orang Pribadi di Kota Jakarta untuk menguji pengaruh antara moralitas pajak dan budaya pajak terhadap kepatuhan pajak. Hasil penelitiannya menunjukkan jika moralitas pajak berpengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Widodo (2010) mengenai moralitas pajak terhadap kepatuhan pajak menghasilkan tinggi rendahnya kepatuhan pajak dipengaruhi oleh moralitas pajak. Penelitian ini mensurvey dengan cara menyebar kuesioner kepada Wajib Pajak Orang Pribadi pada beberapa Kanwil DJP di Indonesia, yaitu: Jakarta Pusat, Bengkulu & Lampung, Jawa Barat I, Jawa Barat II, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara. Hasil penelitiannya menunjukkan jika moralitas pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak. Penelitian yang dilakukan oleh Subandi (2012) mengenai moralitas pajak dan kepatuhan pajak berpengaruh positif signifikan dengan menggunakan alpha 10% dimana penelitiannya dilakukan di Kota Malang. Penelitian Subandi (2012) juga memperhatikan karakteristik budaya masyarakat Wajib Pajak yaitu budaya Arek, Mataraman dan Madura sebagai pendukung hasil penelitiannya.
Berdasarkan pengkategorian OECD (1999) dalam Practice Note mengenai Compliance Measurement, kepatuhan pajak terbagi atas 2 kategori, yaitu kepatuhan administrasi (Administrative Compliance) dan kepatuhan teknis (Technical Compliance). Kepatuhan administrasi atau kepatuhan formal adalah kepatuhan berdasarkan aturan administrasi dan ketepatan dalam membayar pajak, atau bisa juga didefinisikan sebagai kepatuhan dalam pelaporan, kepatuhan prosedural dan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan. Kepatuhan teknis atau kepatuhan material adalah kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan seperti menghitung pajak terutang sesuai dengan ketentuan dari hukum perpajakan. Dalam penelitian ini, untuk mengukur kepatuhan pajak formal dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2012 sedangkan untuk mengukur kepatuhan pajak material menggunakan indikator yang dijelaskan oleh Franzoni (1999) yaitu a) kebenaran dalam melaporkan pajak terutang, b) kebenaran dalam membayar pajak terutang, c) tepat waktu dalam melaporkan pajak terutang, dan d) tepat waktu dalam membayar pajak terutang. 2.1.1 Faktor Demografi Salah satu faktor yang membentuk moralitas pajak adalah faktor demografi. Faktor demografi bersentuhan langsung dengan individu sebagai Wajib Pajak. Faktor demografi menunjukkan bagaimana latar belakang atau aspek-aspek subjektif dari setiap individu memiliki pengaruh terhadap kesadarannya dalam membayar pajak. Dalam kaitannya faktor usia sebagai pembentuk faktor demografi, menurut Title (1980, dalam Torgler 2003a) Wajib Pajak yang berusia muda lebih suka mencari resiko dan kurang sensitif terhadap hukum sedangkan Wajib Pajak yang berumur dianggap sudah menjadi panutan baik secara material, status, dan memiliki pengaruh di lingkungan sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Martinez-Vazquez dan Torgler (2005) menunjukkan adanya hubungan antara umur dan moralitas pajak. Pembentuk faktor demografi lainnya yaitu jenis kelamin, penelitian yang dilakukan oleh Feld dan Torgler (2007) menunjukkan bahwa wanita lebih termotivasi untuk membayar pajak daripada pria dalam membayar pajak. Disisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2010) menjelaskan bahwa pria memiliki motivasi untuk membayar pajak dibandingkan wanita. Ditinjau dari status pernikahan sebagai pembentuk faktor demografi, hasil penelitian Halla (2010) menunjukkan bahwa dengan memiliki status menikah dapat memotivasi seseorang untuk membayar pajak daripada status belum menikah. Ini dikarenakan terdapat perlakuan perpajakan antara individu yang sudah menikah dengan belum menikah. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2010) menyatakan Wajib Pajak yang sudah menikah lebih memiliki moralitas pajak daripada Wajib Pajak yang belum menikah. Pembentuk faktor demografi lainnya adalah agama. Di dalam agama terdapat perintah dan larangan terhadap suatu perbuatan. Menurut Torgler (2003b) agama dapat mempengaruhi kebiasaan seseorang dan menjadi batasan berperilaku. Penelitian yang dilakukan oleh Torgler et al. (2007) menunjukkan bagaimana agama berpengaruh dalam memotivasi seseorang untuk tidak berlaku curang termasuk dalam membayar pajak. Pendidikan merupakan salah satu pembentuk faktor demografi. Menurut Lewis (1982, dalam Torgler 2003a), pendidikan erat kaitannya dengan pengetahuan Wajib Pajak tentang hukum perpajakan. Semakin tinggi pendidikan Wajib Pajak dianggap mengetahui lebih tentang hukum perpajakan dan
mereka menyadari adanya manfaat yang disediakan oleh negara kepada masyarakat dari pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak yang memiliki pendidikan yang lebih baik akan lebih patuh dalam pajak daripada pendidikan yang rendah. Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1: Faktor demografi berpengaruh terhadap dimensi kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu (UMKM) berbasis budaya Batak. 2.1.2 Sistem Perpajakan Faktor yang membentuk moralitas pajak lainnya adalah sistem perpajakan. Keberhasilan dalam memungut pajak ditentukan dengan bagaimana pajak itu dipungut. Sistem perpajakan yang sederhana akan memudahkan Wajib Pajak untuk menghitung pajak terutangnya dan pada akhirnya Wajib Pajak akan lebih termotivasi untuk membayar pajak daripada sistem perpajakan yang rumit. Penelitian yang dilakukan Torgler (2003a) di Amerika serikat menghasilkan jika semakin rumit sistem perpajakan, maka akan cenderung mengurangi moralitas pajak seseorang. Sejalan dengan penelitian terdahulu, penelitian Widodo (2010) menghasilkan adanya pengaruh sistem perpajakan terhadap motivasi wajib pajak dalam membayar pajak. Ini mengindikasikan bahwa motivasi Wajib Pajak untuk membayar pajak tergantung dari bagaimana sistem perpajakan itu berlaku. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ingin menguji bagaimana sistem perpajakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki UMKM yaitu PP No. 46 Tahun 2013 dapat memotivasi Wajib Pajak untuk membayar pajak. Ini mengingat adanya keistimewaan dalam PP ini yaitu a) tarif yang hanya 1% dari omzet, b) memberikan kemudahan dalam menghitung pajak terutang, c) mengurangi beban administrasi, dan d) bersifat final. Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2: Sistem perpajakan berpengaruh terhadap dimensi kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu (UMKM) berbasis budaya Batak. 2.1.3 Faktor Pengelakan Pajak Faktor pengelakan pajak merupakan salah satu faktor yang membentuk moralitas pajak seseorang. Menurut Torgler et al. (2007) kebijakan pengelakan pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak kemungkinan dapat meningkatkan motivasi dasar Wajib Pajak untuk membayar pajak. Faktor pengelakan pajak menjadi penting untuk dianalisis untuk mengetahui sejauh mana kebijakan pengelakan pajak yang selama ini dilakukan pemerintah dapat meningkatkan moralitas pajak dan kepatuhan pajak. Indikator pengukuran faktor pengelakan pajak dapat dilihat dari sanksi administrasi, probabilitas pemeriksaan pajak dan kualitas layanan publik. Penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2010) menyatakan bahwa sanksi administrasi dapat memotivasi Wajib Pajak Orang Pribadi untuk membayar pajak seperti dengan penghapusan sanksi administrasi karena adanya kebijakan sunset policy, maka dapat memotivasi seseorang untuk membayar pajak. Penelitian yang dilakukan Torgler (2003b) menunjukkan adanya hubungan positif antara pemeriksaan pajak dengan moralitas pajak. Ini dikarenakan adanya pengawasan yang ketat dari fiskus
dengan melakukan pemeriksaan pajak dapat mendeteksi upaya Wajib Pajak untuk melakukan penggelapan pajak. Dilihat dari indikator kualitas layanan publik, menurut Alm dan Martinez-Vazquez (2001) menunjukkan jika masyarakat merasa pemenuhan barang dan jasa publik dapat terpenuhi, maka akan meningkatkan motivasi dalam membayar pajak dikarenakan adanya kejelasan penggunaan dana fiskal dari pajak yang mereka bayarkan. Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3: Faktor pengelakan pajak berpengaruh terhadap dimensi kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu (UMKM) berbasis budaya Batak. 2.1.4 Kondisi Ekonomi Salah satu faktor yang membentuk moralitas pajak adalah kondisi ekonomi. Penelitian Torgler (2003a) yang dilakukan di negara-negara Eropa, Amerika Latin, Amerika Utara, negara-negara transisi (seperti negara-negara pecahan Uni Soviet dan beberapa negara di Eropa tengah dan timur) dan beberapa negara di Asia menunjukkan bahwa tingkat pendapatan Wajib Pajak berpengaruh terhadap moralitas pajak. Hasil penelitiannya menunjukkan ada kecenderungan Wajib Pajak yang memiliki penghasilan lebih tinggi akan memiliki moralitas pajak yang rendah. Hal ini disebabkan semakin tinggi pendapatan pajak maka pajak terutang yang dibayarkanpun semakin tinggi. Penelitian Devos (2008) menyatakan jika pekerjaan Wajib Pajak memainkan peranan penting terhadap kepatuhan pajak. Penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak di Australia salah satunya dikarenakan jenis pekerjaan yang dimiliki. Sebagai contoh, para pengusaha akan berpikir bahwa membayar pajak itu tidak menarik karena akan membebani usaha mereka tetapi akan lebih baik jika uang tersebut diivestasikan dalam upaya pengembangan bisnisnya. Penelitian yang dilakukan Torgler (2003a) menyatakan jika ketidakpuasan terhadap kondisi keuangan yang Wajib Pajak rasakan akan berpengaruh negatif terhadap moralitas pajak. Ketidakpuasan ini menciptakan rasa tertekan terutama ketika diharuskan membayar pajak disaat kondisi keuangan Wajib Pajak sedang memburuk dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kepatuhan pajaknya. Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H4: Kondisi ekonomi berpengaruh terhadap dimensi kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu (UMKM) berbasis budaya Batak. 2.1.5 Tingkat Kepercayaan Tingkat kepercayaan memainkan peranan penting sebagai faktor pembentuk moralitas pajak. Jika negara dapat dipercaya untuk mengelola pajak dengan baik dan benar, maka keinginan Wajib Pajak untuk patuh dalam pajak akan bertambah. Menurut Torgler (2003b) hubungan antara Wajib Pajak dan negara merupakan hubungan psikologis yang mana melibatkan ikatan emosional dan loyalitas. Penelitian yang dilakukan Torgler (2003a) menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap pemerintah, sistem hukum, lembaga peradilan, dan pejabat pemerintah berpengaruh positif terhadap moralitas pajak. Ini mengindikasikan bahwa keinginan untuk membayar pajak akan
tercipta jika pemerintah dan pejabatnya dapat memberikan rasa kepercayaan terhadap Wajib Pajak untuk mengelola pajak sesuai kebutuhan dan keinginannya begitu juga halnya dengan sistem hukum dan lembaga peradilan. Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H5: Tingkat kepercayaan berpengaruh terhadap dimensi kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian Dalam penelitian ini dimensi kepatuhan pajak merupakan variabel dependen sedangkan variabel independennya adalah faktor demografi, sistem perpajakan, faktor pengelakan pajak, kondisi ekonomi dan tingkat kepercayaan diukur dengan skala likert lima poin di setiap pertanyaan untuk penentuan sikap responden. 3.2 Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah pemilik UMKM di Kota Medan. Berdasarkan data Kanwil DJP Sumatera Utara I, Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pembayaran PP No. 46 Tahun 2013 pada tahun 2014 adalah sebanyak 14.231 Wajib Pajak Orang Pribadi. Dengan penentuan ukuran sampel yang menggunakan rumus Slovin (Umar, 2002), jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah:
99.3 100 Keterangan: n = jumlah sampel N= jumlah populasi e = tingkat kesalahan yang ditetapkan tetapi masih ditolerir yaitu 10% Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode pengambilan sampel bertujuan (purposive sampling) yang merupakan teknik pengambilan sampel secara non probabilitas (nonprobability sampling). Purposive sampling bertujuan untuk mengambil sampel dari populasi yang memberikan informasi atau kriteria tertentu yang dibutuhkan oleh peniliti (Jogiyanto, 2010). Kriteria tertentu yang ditentukan dalam penelitian ini yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi yang 1) memiliki peredaran bruto tertentu yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar (UMKM), 2) menerapkan pajak penghasilan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, dan 3) Wajib Pajak Orang Pribadi berbasis budaya Batak.
3.3 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan survei kuesioner dalam bentuk kuesioner tertutup. Responden diminta menjawab pertanyaan yang diajukan dalam bentuk kuesioner tertutup sesuai dengan pendapat mereka. Menurut Sekaran (2006) kuesioner tertutup dapat membantu responden membuat keputusan cepat untuk memilih setiap alternatif yang diberikan oleh peneliti. Kuesioner dibagikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki UMKM, menerapkan PP No. 46 Tahun 2013 dan berbudaya Batak. Kuesioner dibagikan pada tanggal 12 Desember 2015 - 31 Desember 2015, dengan cara menyebar sebanyak 60 kuesioner dengan mendatangi Wajib Pajak Orang Pribadi ke tempat usahanya dan sisanya sebanyak 40 kuesioner disebar di KPP Pratama Medan Barat (meminta izin untuk melakukan riset terlebih dahulu kepada Kanwil DJP Sumatera Utara I). Untuk mengukur pendapat responden digunakan metode penskalaan berupa skala likert 5 poin yang menunjukkan tingkat persetujuan atau ketidaksetujuan. 3.4 Metode Analisis Data Penelitian ini memakai pendekatan Partial Least Square (PLS) dalam menganalisis data dengan menggunakan software SmartPLS 3.0. PLS adalah analisis persamaan struktural (SEM) yang dapat melakukan pengujian model pengukuran sekaligus pengujian model secara simultan yang berbasis varian (Abdillah dan Jogiyanto, 2015). Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan model regresi, maka dapat dituliskan persamaan regresinya sebagai berikut: Y1
= b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + e
Y2
= b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + e
Keterangan: Y1= kepatuhan pajak formal Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM berbasis budaya batak Y2= kepatuhan pajak material Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM berbasis budaya batak X1=faktor demografi X2=sistem perpajakan
X3=faktor pengelakan pajak X4=kondisi ekonomi X5=tingkat kepercayaan bn =koefisien e =error
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Jumlah total kuesioner yang disebarkan kepada responden sebanyak 100 kuesioner. Dari 100 kuesioner, 60 kuesioner disebar dengan cara mendatangi Wajib Pajak Orang Pribadi ke tempat usahanya dan sisanya sebanyak 40 kuesioner disebar di KPP Pratama Medan Barat. Dari 100 kuesioner yang disebarkan kepada responden, jumlah kuesioner yang kembali dan terisi sebanyak 100 kuesioner, dimana 94 kuesioner dapat diolah karena sesuai dengan tujuan penelitian sedangkan 6 kuesioner sisanya tidak dapat diolah lebih lanjut dikarenakan tidak sesuai dengan tujuan penelitian.
4.1 Uji Validitas Suatu konsep dan model penelitian tidak dapat diuji dalam suatu model prediksi hubungan relasional dan kausal tanpa melalui tahap purifikasi model pengukuran. Model pengukuran digunakan untuk menguji validitas konstruk dan reliabilitas. Validitas konstruk menunjukkan seberapa baik hasil yang diperoleh dari penggunaan suatu pengukuran sesuai teori-teori yang digunakan untuk mendefinisikan suatu konstruk. Uji validitas konstruk terdiri atas validitas konvergen dan validitas diskriminan. Tabel 1 Outer Loadings Convergent Validity
FD1 FD2 FD3 FD4 FD5 FP1 FP2 FP3 KE1 KE2 KE3 KPF1 KPF2 KPF3 KPF4 KPF5 KPF6 KPM1 KPM2 KPM3 KPM4 SP1 SP2 SP3 SP4 TK1 TK2 TK3 TK4
FD 0.983 0.974 0.717 0.980 0.869
FP
KE
KPF
KPM
SP
TK
0.875 0.612 0.858 0.987 0.961 0.971 0.884 0.831 0.656 0.822 0.762 0.743 0.748 0.681 0.904 0.949 0.956 0.975 0.971 0.840 0.877 0.904 0.672 0.902
Menurut Ghozali dan Latan (2015) mengukur validitas konvergen (Convergent Validity) dari model pengukuran dengan indikator reflektif dapat dilihat dari korelasi
antara score item/indikator dengan score konstruknya. Indikator individu dianggap reliable jika memiliki nilai korelasi di atas 0.7 meskipun pada riset tahap pengembangan skala loading 0.5 sampai 0.6 masih dapat diterima. Dalam penelitian ini akan digunakan batas outer loading sebesar 0.6. Berdasarkan outer loadings pada Tabel 1 diatas, semua faktor loading di atas telah memenehui convergent validity karena berada di atas 0.6 sehingga tidak diperlukan adanya indikator yang dikeluarkan dari model untuk dire-estimasi ulang. Tabel 2 Cross Loadings Discriminant Validity
FD1 FD2 FD3 FD4 FD5 FP1 FP2 FP3 KE1 KE2 KE3 KPF1 KPF2 KPF3 KPF4 KPF5 KPF6 KPM1 KPM2 KPM3 KPM4 SP1 SP2 SP3 SP4 TK1 TK2 TK3 TK4
FD 0.983 0.974 0.717 0.980 0.869 -0.416 -0.199 -0.361 0.363 0.430 0.382 -0.529 -0.326 -0.138 -0.423 -0.168 -0.243 -0.282 -0.601 -0.264 -0.275 -0.236 -0.199 -0.216 -0.157 -0.183 -0.180 -0.212 -0.208
FP -0.453 -0.454 -0.205 -0.441 -0.311 0.875 0.612 0.858 -0.384 -0.392 -0.478 0.810 0.594 0.430 0.715 0.494 0.506 0.269 0.370 0.604 0.506 0.462 0.460 0.473 0.353 0.377 0.310 0.472 0.346
KE 0.417 0.364 0.181 0.417 0.387 -0.312 -0.145 -0.514 0.987 0.961 0.971 -0.370 -0.368 -0.209 -0.507 -0.219 -0.223 0.086 -0.456 -0.213 -0.118 -0.272 -0.281 -0.292 -0.205 -0.229 -0.231 -0.173 -0.164
KPF -0.454 -0.459 -0.128 -0.437 -0.298 0.747 0.426 0.625 -0.379 -0.390 -0.455 0.884 0.831 0.656 0.822 0.762 0.743 0.226 0.280 0.588 0.451 0.385 0.367 0.379 0.280 0.287 0.260 0.518 0.347
KPM -0.420 -0.439 -0.187 -0.406 -0.314 0.526 0.157 0.521 -0.175 -0.222 -0.231 0.628 0.333 0.237 0.442 0.223 0.308 0.748 0.681 0.903 0.949 0.741 0.671 0.685 0.521 0.677 0.590 0.425 0.594
SP -0.256 -0.242 -0.039 -0.235 -0.118 0.436 0.131 0.461 -0.264 -0.260 -0.297 0.489 0.202 0.084 0.503 0.093 0.223 0.310 0.441 0.724 0.743 0.956 0.975 0.971 0.840 0.712 0.536 0.452 0.644
TK -0.265 -0.249 -0.073 -0.258 -0.121 0.487 0.099 0.368 -0.210 -0.206 -0.269 0.503 0.327 0.181 0.413 0.168 0.228 0.435 0.455 0.650 0.673 0.704 0.674 0.677 0.565 0.877 0.904 0.672 0.902
Validitas diskriminan berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur konstruk yang berbeda seharusnya tidak berkorelasi tinggi. Discriminant Validity indikator rekflektif dapat dilihat pada cross-loading antara indikator dengan konstruknya. Dari Tabel 2 diatas terlihat bahwa korelasi konstruk faktor demografi (FD)
dengan indikatornya lebih tinggi dibadingkan korelasi indikator faktor demografi dengan konstruk lainnya (FP, KE, KPF, KPM, SP, TK). Hal ini menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi indikator pada blok mereka lebih baik dibandingkan dengan indikator di blok lainnya. Uji lainnya untuk menilai validitas dari kontruk dapat dilihat dari nilai AVE dimana persyaratan model yang baik kalau AVE masing-masing konstruk nilainya lebih besar dari 0,5. Tabel 3 Avarage Variance Extracted (AVE) AVE FD FP KE KPF KPM SP TK
0.829 0.626 0.947 0.618 0.685 0.878 0.713
Hasil output AVE dari tabel 3 diatas menunjukkan bahwa nilai AVE baik untuk konstruk faktor demografi (FD), faktor pengelakan pajak (FP), kondisi ekonomi (KE), kepatuhan pajak formal (KPF), kepatuhan pajak material (KPM), sistem perpajakan (SP) dan tingkat kepercayaan memiliki nilai AVE lebih besar dari 0.5. 4.2 Uji Reabilitas Reliabitas menunjukkan akurasi, konsistensi dan ketepatan suatu alat ukur dalam pengukuran (Hartono, 2008 dalam Abdillah dan Jogiyanto, 2015). PLS menggunakan dua metode untuk menguji reliabilitas yaitu Composite Reliability dan Cronbachs Alpha.
Composite Reliability mengukur nilai sesungguhnya reliabilitas suatu konstruk (Chin, 1995 dalam Abdillah dan Jogiyanto, 2015) sedangkan Cronbachs Alpha mengukur batas bawah nilai realibilitas suatu konstruk (Chin, 1995 dalam Abdillah dan Jogiyanto, 2015). Dari hasil output baik Composite Reliability maupun Cronbachs Alpha semua konstruk memiliki nilai di atas 0.7. Jadi dapat disimpulkan bahwa semua konstruk memiliki realibilitas yang baik.
4.3 Hasil Analisis Deskriptif 4.3.1 Faktor Demografi 1. Usia Tabel 6 Tabel Distribusi Frekuensi Faktor Demografi (Usia) 1 4 10
36-45 tahun 46-55 tahun
2 18 17
3 7 7
4 8 20
5 1 2
Jumlah 38 56
% 23,68 39,28
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa responden yang berumur 46-55 tahun memiliki tingkat motivasi yang paling tinggi (39,28%) dibandingkan dengan responden yang berumur 36-45 tahun (23,68%) dalam membayar pajak. Hal ini dapat diartikan semakin berumur orang Batak maka akan meningkat moralitas pajaknya. Menurut Title (1980 dalam Torgler et al. 2007) hal ini dikarenakan Wajib Pajak yang berusia muda lebih suka mencari resiko dan kurang sensitif terhadap hukum sedangkan Wajib Pajak yang berumur dianggap sudah menjadi panutan baik secara material, status, dan memiliki pengaruh di lingkungan sosial. 2. Jenis Kelamin. Tabel 7 Tabel Distribusi Frekuensi Faktor Demografi (Jenis Kelamin) 1 6 7
Laki-laki Perempuan
2 23 11
3 10 5
4 24 6
5 2 0
Jumlah 65 29
% 40 20,67
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa responden sebagai Wajib Pajak dengan jenis kelamin laki-laki memiliki tingkat motivasi tinggi (40%) dibandingkan perempuan (20,67%) dalam membayar pajak. Didukung dengan prinsip “anakkonhi do hamoraon di ahu”1 yang artinya anakku adalah harta yang paling berharga bagiku menyebabkan orang Batak akan berkerja keras demi bisa membahagiakan keluarganya terutama anaknya Pada umumnya dalam masyarakat budaya di Indonesia dan khususnya masyarakat Batak, laki-laki masih mendominasi dalam kegiatan perekonomian dan keuangan bagi keluarganya. Dominasi laki-laki dalam kegiatan perekonomian dan keuangan turut berperan serta dalam hal pelaksanaan kewajiban membayar pajak, sehingga dalam hal kesadaran untuk membayar pajak didominasi pula oleh laki-laki daripada perempuan. 3. Status Pernikahan Tabel 8 Tabel Distribusi Frekuensi Faktor Demografi (Status Pernikahan) Menikah Lajang 1
1 18 2
2 21 5
3 14 0
4 16 0
5 18 0
Jumlah 87 7
% 39,08 0
Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat Batak Toba yang bernama H. Adil Gultom beralamat Jl. Sipirok, Desa Aek Nabara, Kec. Simangumban, Kab. Tapanuli Utara, Sumatera Utara
Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa responden yang memiliki status sudah menikah memiliki motivasi tinggi daripada yang belum menikah (lajang). Ini karena adanya perbedaan perlakuan pajak antara yang sudah menikah dengan yang belum menikah (lajang) sesuai dengan PMK 122/PMK.010/2015 terdapat tambahan bagi Wajib Pajak yang sudah menikah sebesar Rp 3 juta ditambah dengan tambahan setiap tanggungan (maksimal 3 tanggungan) sebesar Rp 3 juta. 4. Agama Tabel 9 Tabel Distribusi Frekuensi Faktor Demografi (Agama) 1 15
2 34
3 14
4 28
5 3
Jumlah 94
% 32,98
Menurut Torgler (2003b) agama dapat mempengaruhi kebiasaan seseorang dan menjadi batasan berperilaku. Agama dapat berpengaruh dalam memotivasi seseorang untuk tidak berlaku curang termasuk dalam membayar pajak. Torgler (2003b) juga menyebutkan bahwa agama dapat mempengaruhi kebiasaan seseorang dan menjadi batasan berperilaku. Dari hasil tabel 9 diketahui bahwa indikator agama tidak memotivasi responden dalam membayar pajak dikarenakan persentase tidak termotivasi lebih besar (52,13%) daripada termotivasi (32,98%). Hal ini kemungkinan bisa terjadi karena kurangnya sosialisasi pajak dengan menggunakan pendekatan agama. Padahal di dalam agama terdapat perintah dan larangan terhadap suatu perbuatan. Di dalam budaya Batak, terdapat nilai-nilai dan norma-norma sosial agar mematuhi Tuhan. Ini bisa dilihat dalam Umpasa2 yaitu “Eme sitamba tua, Parlinggoman ni si borok, Debata do na martua, Sude do hita diparorot”3 yang maksudnya adalah Tuhan adalah Yang Maha Kuasa dan Dia-lah yang menjaga. Kejujuran dalam melakukan sesuatu, salah satunya membayar pajak terutang sesuai dengan seharusnya, telah diajarkan di dalam agama. Agama apapun yang dianut oleh manusia mengajarkan bahwa perbuatan tercela akan mendapatkan dosa sedangkan perbuatan baik akan mendapat pahala. Oleh karena itu, iini dapat jadi masukan untuk DJP terutama Kanwil DJP Sumatera Utara I dapat menggunakan pendekatan agama dalam sosialisasi perpajakan sehingga moralitas pajak orang Batak dapat meningkat. 5. Pendidikan Tabel 10 Tabel Distribusi Frekuensi Faktor Demografi (Pendidikan) SMA Diploma S1
2
1 11 3 0
2 20 7 0
3 2 4 7
4 6 15 8
5 0 6 5
Jumlah 39 35 20
% 15,38 60 65
Umpasa merupakan karya sastra dalam bentuk syair/puisi yang berisi pernyataan restu, nasehat dan doa bagi orang yang mendengarnya. Umpasa adat Batak Toba diperdengarkan dalam upacara adat dan ditujukan kepada muda-mudi, pasangan pengantin, upacara menyambut tamu atau berbagai macam lainnya serta terkadang umpasa ini juga diperdengarkan dalam kehidupan sehari-hari (https://id.wikipedia.org/wiki/Umpasa, diakses 20 Januari 2016) 3 Ibid 1
Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa responden yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih termotivasi dalam membayar pajak. Menurut Lewis (1982 dalam Torgler 2003a), pendidikan erat kaitannya dengan pengetahuan Wajib Pajak tentang hukum perpajakan. Semakin tinggi pendidikan Wajib Pajak dianggap mengetahui lebih tentang hukum perpajakan dan mereka menyadari adanya manfaat yang disediakan oleh negara kepada masyarakat dari pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak yang memiliki pendidikan yang lebih baik akan lebih patuh dalam pajak daripada pendidikan yang rendah. Didukung dengan Umpasa “Ijuk dipara para hotang diparlabian, Nabisuk nampuna hata naoto tupanggadisan” yang maksudnya adalah orang yang pintar akan mendapatkan tempat yang lebih baik daripada yang tidak maka dengan adanya nilai-nilai dalam budaya Batak itu orang Batak dianjurkan untuk memiliki pendidikan yang tinggi. Dengan adanya nilai-nilai dalam budaya Batak untuk menganjurkan memiliki pendidikan yang tinggi, maka orang Batak yang berpendidikan tinggi yang dianggap mengetahui manfaat dari membayar pajak akan memotivasi orang Batak untuk membayar pajak. 4.3.2 Sistem Perpajakan Tabel 11 Tabel Distribusi Frekuensi Sistem Perpajakan 1 0 0 0 0
Tarif (1%) Kemudahan Mengurangi Beban Administrasi Bersifat Final
2 2 2 2 1
3 36 40 41 44
4 29 31 30 34
5 27 21 21 15
Jumlah 94 94 94 94
% 59,57 55,32 54,25 52,13
Sistem perpajakan yang sederhana akan memudahkan Wajib Pajak untuk menghitung pajak terutangnya dan pada akhirnya Wajib Pajak akan lebih termotivasi untuk membayar pajak daripada sistem perpajakan yang rumit. Dalam penelitian ini ingin menguji bagaimana PP No. 46 Tahun 2013 yang berlaku untuk Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu (UMKM) dapat memotivasi Wajib Pajak terutama orang Batak dalam membayar pajak. Dari Tabel 11, menunjukkan bahwa PP No. 46 Tahun 2013 yang diberlakukan untuk Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto dapat memotivasi dalam membayar pajak. Ini dapat diartikan bahwa semakin rumit sistem perpajakan, maka akan cenderung mengurangi moralitas pajak masyarakat Batak. 4.3.3 Faktor Pengelakan Pajak Tabel 12 Tabel Distribusi Frekuensi Faktor Pengelakan Pajak Sanksi Administrasi Pemeriksaan Pajak Kualitas Layanan Publik
1 0 0 0
2 33 9 42
3 19 50 26
4 39 31 25
5 3 4 1
Jumlah 94 94 94
% 44,68 37,23 27,66
Menurut Torgler et al. (2007) kebijakan pengelakan pajak (deterrence policy) yang dilakukan oleh otoritas pajak kemungkinan dapat meningkatkan motivasi dasar Wajib Pajak untuk membayar pajak. Dari Tabel 12, menunjukkan sanksi administrasi menjadi indikator yang tertinggi diikuti dengan indikator pemeriksaan pajak dan yang terakhir kualitas layanan publik. Indikator kualitas layanan publik menjadi indikator terendah
dikarenakan responden merasa barang dan jasa publik belum terpenuhi oleh pemerintah. Kejelasan penggunaan dana fiskal untuk penyediaan barang dan jasa publik oleh pemerintah sangat mempengaruhi motivasi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Didukung dengan Umpasa yaitu “Bagot na ganjang do ho, Marbulung di dangkana, Na denggan maruhum do ho, Jala na denggan marisara” (yang maksudnya adalah orang Batak harus taat terhadap hukum dengan sebaik-baiknya dan bertindak sesuai dengan peraturan yang berlaku) membuat orang Batak yang dikenakan sanksi administrasi atau diperiksa oleh petugas pajak dikarenakan tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya, maka hal itu merupakan aib bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Sama halnya dengan masyarakat Batak, penelitian yang dilakukan oleh Subandi (2012) menunjukkan jika masyarakat berbudaya Mataraman dan Madura memiliki nilai dan norma untuk taat hukum sehingga jika orang berbudaya Mataraman dan Madura terkena sanksi pajak ataupun kemungkinan diperiksa pajaknya oleh otoritas pajak maka akan membuat aib bagi diri dan keluarganya. 4.3.4 Kondisi Ekonomi Tabel 13 Tabel Distribusi Frekuensi Kondisi Ekonomi Pekerjaan Tingkat pedapatan Kepuasan terhadap kondisi keuangan
1 7 0 7
2 28 33 30
3 17 20 8
4 40 39 46
5 2 2 3
Jumlah % 94 44,68 94 43,62 94 52,13
Wajib Pajak akan mematuhi hukum pajak ketika hal tersebut sejalan dengan kepentinganya untuk dapat memaksimalkan kesejahteraan hidupnya. Pemenuhan terhadap kewajiban perpajakan akan dilakukan apabila hal tersebut lebih menguntungkan dari segi ekonomi. Dari Tabel 13 menunjukkan jika indikator tingkat pendapatan merupakan indikator terendah yang dipilih responden. Ini menyiratkan semakin besar tingkat pendapatan masyarakat Batak maka moralitas pajaknya akan menurun. Sama halnya dengan masyarakat berbudaya Mataraman, penelitian yang dilakukan Subandi (2012) menunjukkan orang berbudaya Mataraman akan memiliki moralitas pajak yang rendah jika pendapatannya semakin tinggi. Hal ini dikarenakan semakin tinggi pendapatan Wajib Pajak maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarnya. 4.3.5 Tingkat Kepercayaan Tabel 14 Tabel Distribusi Frekuensi Tingkat Kepercayaan Pemerintah Sistem hukum Lembaga peradilan Pejabat pemerintah
1 0 0 0 0
2 4 7 20 6
3 30 39 40 35
4 37 39 31 37
5 23 9 3 16
Jumlah 94 94 94 94
% 63,83 51,06 36,17 56,38
Menurut Torgler (2003b) hubungan antara Wajib Pajak dan negara merupakan hubungan psikologis yang mana melibatkan ikatan emosional dan loyalitas. Penelitian yang dilakukan oleh Torgler (2003a) menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap
pemerintah, sistem hukum, lembaga peradilan, dan pejabat pemerintah berpengaruh positif terhadap moralitas pajak. Dari Tabel 14 menunjukkan jika kepercayaan terhadap lembaga peradilan menghasilkan persentase terendah karena masyarakat Batak merasa sistem pengadilan yang di Indonesia dinilai masih lamban dalam menyelesaikan masalah hukum. Peristiwa yang melibatkan penjahat tingkat tinggi yang telah menguras miliaran dana negara hanya mampu menjerat pelakunya dengan hukuman beberapa tahun saja sehingga inilah menjadi faktor mengapa indikator kepercayaan terhadap sistem peradilan memiliki persentase terendah dibandingkan indikator lainnya. Jika pemerintah, sistem hukum, lembaga peradilan, dan pejabat pemerintah dapat dipercaya (layaknya sahabat dekat) dalam mengelola pajak dengan baik dan benar, maka masyarakat Batak akan lebih termotivasi dalam membayar pajak. Jika negara dapat dipercaya dalam mengelola dana pajak maka Wajib Pajak terutama masyarakat Batak akan termotivasi dalam membayar pajak. Hal ini didukung dengan adanya nilai-nilai dan norma-norma sosial yang tercermin dari Umpasa “Manuk di pea langge, Hotek hotek laho marpira, Nasirang marale ale, Lobian matean ina” yang maksudnya adalah jika orang Batak kehilangan sahabat yang dapat dipercayainya maka dia merasa seperti kehilangan ibunya sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Subandi (2012) juga menunjukkan hasil yang sama yaitu moralitas pajak masyarakat berbudaya Arek, Mataraman dan Madura akan meningkat jika negara dapat dipercaya dalam mengelola dana pajak 4.4 Pengujian Hipotesis Setelah dilakukan penggujian validitas konstruk dan pengujian realibilitas, maka peneliti melanjutkan pada penggujian terhadap hipotesis. Dengan menggunakan pengolahan PLS Boostrapping maka didapat hasil sebagai berikut: Tabel 15 Path Cofficients
FD -> KPF FD -> KPM FP -> KPF FP -> KPM KE -> KPF KE -> KPM SP -> KPF SP -> KPM TK -> KPF TK -> KPM
Original Sample Sample (O) Mean (M) -0.079 -0.085 -0.225 -0.219 0.689 0.691 0.196 0.201 -0.083 -0.078 0.141 0.145 -0.068 -0.067 0.391 0.388 0.119 0.116 0.303 0.307
Standard Error T Statistics (STERR) (|O/STERR|) P Values 0.077 1.023 0.306 0.080 2.801 0.005 0.090 7.657 0.000 0.068 2.855 0.004 0.078 1.066 0.287 0.065 2.159 0.031 0.100 0.677 0.498 0.099 3.949 0.000 0.076 1.559 0.119 0.110 2.767 0.006
Ukuran signifikansi hipotesis alternatif terdukung apabila nilai T-statistic lebih besar dari nilai T-table sedangkan hipotesis alternatif tidak didukung apabila nilai Tstatistic lebih kecil dari nilai T-table dimana untuk hipotesis dua ekor (two-tailed) dengan tingkat keyakinan 95% dan alpha 5 persen, T-tablenya adalah 1,96. Berdasarkan Tabel 6 didapati bahwa untuk T-statistic yang lebih besar daripada T-table (1,96) untuk kepatuhan pajak formal hanyalah variabel faktor pengelakan pajak sehingga hipotesis
alternatif faktor pengelakan pajak terhadap kepatuhan pajak formal berpengaruh signifikan. Sedangkan T-statistic yang lebih besar daripada T-table (1,96) untuk kepatuhan pajak material didapati seluruh variabel sehingga seluruh hipotesis alternatif yaitu faktor demografi, sistem perpajakan, faktor pengelakan pajak, kondisi ekonomi dan tingkat kepercayaan terhadap kepatuhan pajak material berpengaruh signifikan. 4.5 Pembahasan Hasil Penelitian 4.5.1 Faktor Demografi Berdasarkan tabel 6, faktor demografi yang terdiri dari indikator seperti usia, jenis kelamin, status pernikahan, agama dan pendidikan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak formal. Hal ini dikarenakan baik muda ataupun tua, laki-laki maupun perempuan, menikah maupun belum menikah, agama apapun yang dianut oleh individu dan seberapa tinggi tingkat pendidikan individu jika telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif maka harus mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak (sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU KUP) dan selanjutnya harus mematuhi proses pelaporan pajak, prosedural dan peraturan perpajakan (kepatuhan pajak formal) sehingga tidak ada kaitan antara faktor demografi terhadap kepatuhan pajak formal. Selain itu, faktor demografi memiliki pengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak material. Nilai koefisien parameter bernilai negatif yang mana tidak memiliki arti karena tidak ada kesesuaian untuk mengartikan bagaimana hubungan negatif (berlawanan) indikator-indikator faktor demografi seperti jenis kelamin terhadap kepatuhan pajak material. Kepatuhan pajak material merupakan kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan hukum perpajakan. Di dalam melaksanakan kewajiban perpajakan seperti membayar pajak terutang, maka orang Batak mempertimbangkan faktor demografi yang dimilikinya. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Torgler (2003a), Martinez-Vazquez dan Torgler (2005), Torgler et al. (2007), Torgler dan Schneider (2007a&b), Devos (2008), Torgler et al. (2008), Wardhani (2009), Halla (2010), Widodo (2010) dan Tusubira dan Nkote (2013) yang menunjukkan bahwa faktor demografi (dimensi moralitas pajak) berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya yaitu membayar pajak terutang (kepatuhan pajak material). Berdasarkan hasil analisis deskriptif menghasilkan: 4.5.2 Sistem Perpajakan Berdasarkan Tabel 6, sistem perpajakan yang diberlakukan pemerintah kepada UMKM yaitu PP No 46 Tahun 2013 tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak formal. Hal ini didasarkan sistem perpajakan yang dibuat pemerintah untuk Wajib Pajak lebih kepada memberikan kesederhanaan dan kemudahan dalam menghitung pajak terutangnya sedangkan kepatuhan pajak formal lebih kepada kepatuhan dalam pelaporan, kepatuhan prosedural dan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan. Hasil lain juga didapatkan jika sistem perpajakan memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak material. Kepatuhan pajak material merupakan kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan hukum perpajakan. Sistem perpajakan yang memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pajak terhutangnya akan memotivasi Wajib Pajak dalam membayar pajak
terutangnya sehingga kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya seperti membayar pajak terutang juga akan meningkat. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Torgler (2003a), Torgler dan Schneider (2007a&b), Wardhani (2009), Widodo (2010) dan Tusubira dan Nkote (2013) yang menunjukkan bahwa sistem perpajakan (dimensi moralitas pajak) berpengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya yaitu membayar pajak terutang (kepatuhan pajak material). 4.5.3 Faktor Pengelakan Pajak Berdasarkan Tabel 6, faktor pengelakan pajak memiliki pengaruh positif signifikan dalam kepatuhan pajak formal. Ini bisa diartikan semakin tegas dan baik kebijakan pengelakan pajak yang diberlakukan pemerintah terhadap Wajib Pajak maka akan meningkatkan kepatuhan pajak formal Wajib Pajak begitu juga sebaliknya. Kepatuhan pajak formal merupakan kepatuhan pajak lebih kepada kepatuhan dalam pelaporan, kepatuhan prosedural dan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan. Kebijakan pengelakan pajak yang selama ini diberlakukan permerintah berpengaruh positif signifikan dalam meningkatkan kepatuhan pajak formal Wajib Pajak. Hal ini dikarenakan Wajib Pajak yang tidak patuh terhadap pelaporan, kepatuhan prosedural dan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan. akan dikenakan sanksi administrasi perpajakan. Hasil lain juga didapatkan jika faktor pengelakan pajak berpengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak material. Hal ini dikarenakan Wajib Pajak yang dinilai tidak patuh dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya maka akan dilakukan pemeriksaan pajak sesuai dengan dasar hukum PMK No.184/PMK.03/2015. Sama halnya dengan indikator kualitas layanan publik, jika barang dan jasa publik belum dapat terpenuhi oleh pemerintah maka akan memotivasi Wajib Pajak dalam membayar pajak. Kejelasan penggunaan dana fiskal untuk penyediaan barang dan jasa publik oleh pemerintah sangat mempengaruhi motivasi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, faktor pengelakan pajak berpengaruh positif signifikan dalam meningkatkan moralitas pajak Wajib Pajak dan pada akhirnya dapat meningkatkan kepatuhan pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya seperti membayar pajak terutang (kepatuhan pajak material). Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Torgler dan Schneider (2007a&b), Wardhani (2009), Widodo (2010) dan Tusubira dan Nkote (2013) yang menunjukkan bahwa faktor pengelakan pajak (dimensi moralitas pajak) berpengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya yaitu membayar pajak terutang (kepatuhan pajak material). 4.5.4 Kondisi Ekonomi Berdasarkan Tabel 6, kondisi ekonomi yang terdiri dari indikator seperti pekerjaan Wajib Pajak, tingkat pendapatan Wajib Pajak dan kepuasan Wajib Pajak terhadap kondisi keuangan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak formal. Hal ini dikarenakan apapun jenis pekerjaan yang dimiliki individu, tinggi rendahnya tingkat pendapatan yang diperoleh individu dan ketidakpuasan atau kepuasan yang dirasakan oleh individu terhadap kondisi keuangan jika telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif maka harus mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak (sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU KUP) dan selanjutnya harus mematuhi proses pelaporan
pajak, prosedural dan peraturan perpajakan sehingga tidak ada kaitan antara kondisi ekonomi dengan kepatuhan pajak formal. Selain itu, kondisi ekonomi memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak material. Hal ini didasarkan masalah perekonomian merupakan suatu hal yang sangat mendasar, dengan meningkatnya kemakmuran kehidupan perekonomian masyarakat maka akan meningkatkan moralitas pajak Wajib Pajak dan pada akhirnya dapat meningkatkan kepatuhan pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya seperti membayar pajak terutang (kepatuhan pajak material). Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Torgler (2003a), Alm dan Torgler (2004), Torgler dan Schneider (2007a&b), Wardhani (2009), Widodo (2010) dan Tusubira dan Nkote (2013) berpengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya yaitu membayar pajak terutang (kepatuhan pajak material). 4.5.5 Tingkat Kepercayaan Berdasarkan Tabel 6, tingkat kepercayaan yang terdiri dari indikator seperti kepercayaan terhadap pemerintah, kepercayaan terhadap sistem hukum, kepercayaan terhadap lembaga peradilan dan kepercayaan terhadap pejabat pemerintah tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak formal. Hal ini dikarenakan tinggi rendahnya tingkat kepercayaan individu baik terhadap pemerintah, sistem hukum, lembaga peradilan dan pejabat pemerintah jika individu itu telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif maka harus mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak (sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU KUP) dan selanjutnya harus mematuhi proses pelaporan pajak, prosedural dan peraturan perpajakan sehingga tidak ada kaitan antara tingkat kepercayaan dengan kepatuhan pajak formal. Hasil lainnya menunjukkan jika tingkat kepercayaan pengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak material. Hal ini dikarenakan Jika negara dapat dipercaya untuk mengelola pajak dengan baik dan benar, maka keinginan Wajib Pajak untuk patuh dalam membayar pajak terutangnya akan bertambah. Adanya kasus seperti korupsi dan penyelewengan dana pajak yang dilakukan oknum pemerintah serta penyelesaian masalah hukum yang “runcing ke bawah tumpul ke atas” dimana sering terjadi saat ini menjadi catatan tersendiri bagi Wajib Pajak dalam menilai tingkat kepercayaannya terhadap pemerintah, sistem hukum, lembaga peradilan dan pejabat pemerintah. Keinginan untuk patuh dalam melaksnakan kewajiban perpajakan seperti membayar pajak terutang (kepatuhan pajak material) akan tercipta jika unsur-unsur dari negara dapat memberikan rasa kepercayaan terhadap Wajib Pajak untuk mengelola pajak sesuai kebutuhan dan keinginannya. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Torgler (2003a), Torgler (2003b), Alm dan Torgler (2004), Torgler dan Schneider (2007a&b), Wardhani (2009), Widodo (2010) dan Tusubira dan Nkote (2013) yang menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan (dimensi moralitas pajak) berpengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya yaitu membayar pajak terutang (kepatuhan pajak material).
5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepatuhan di bidang perpajakan, dimana dalam penelitian ini menguji dimensi moralitas pajak yaitu faktor demografi, sitem perpajakan, faktor pengelakan pajak, kondisi ekonomi, tingkat kepercayaan terhadap dimensi kepatuhan pajak yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Penilitian ini menyimpulkan: 1. Faktor demografi tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak formal. Hal ini dikarenakan bahwa orang Batak yang telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 UU KUP maka harus mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dan selanjutnya harus mematuhi proses pelaporan pajak, prosedural pajak dan peraturan pajak sehingga tidak memiliki kaitan dengan faktor demografi yang dimiliki orang Batak. Selain itu, faktor demografi memiliki pengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak material. Hal ini didasarkan bahwa masyarakat Batak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya memperhitungkan faktor demografi yang ada pada dirinya. Faktor demografi itu mencakup usia, jenis kelamin, status pernikahan, agama dan pendidikan. 2. Sistem perpajakan tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak formal. Hal ini dikarenakan bahwa sistem perpajakan lebih kepada bagaimana sistem perpajakan yang diterapkan pemerintah, dalam hal ini PP No 46 Tahun 2013, dapat memberikan kesederhanaan dan kemudahan dalam menghitung pajak terutang Wajib Pajak sehingga tidak ada keterkaitan sistem perpajakan dengan peningkatan kepatuhan pajak formal. Selain itu, sistem perpajakan memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak material. Hal ini didasarkan bahwa jika orang Batak merasa semakin rumit sistem perpajakan dalam menghitung pajak terutangnya, maka akan berdampak negatif terhadap pemenuhan kewajiban perpajakannya (kepatuhan pajak material). 3. Faktor pengelakan pajak (deterrence factor) berpengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak formal. Hal ini dikarenakan bahwa jika orang Batak yang tidak melaksanakan kepatuhannya dalam hal pelaporan, prosedural dan peraturan perpajakan (kepatuhan pajak formal) maka dia akan diberikan sanksi administrasi dari otoritas pajak sehingga kebijakan pengelakan pajak dapat meningkat kepatuhan pajak formal orang Batak. Selain itu, Faktor pengelakan pajak (deterrence factor) memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak material. Hal ini didasarkan bahwa orang Batak yang dinilai tidak patuh pemenuhan kewajiban perpajakannya maka dia akan dilakukan pemeriksaan pajak oleh otioritas pajak sesuai dengan dasar hukum PMK No.184/PMK.03/2015 sehingga faktor pengelakan pajak (deterrence factor) dapat meningkatkan kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya (kepatuhan pajak material). 4. Kondisi ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak formal. Hal ini dikarenakan apapun jenis pekerjaan yang dimiliki orang Batak, tinggi rendahnya tingkat pendapatan yang diperoleh orang Batak dan ketidakpuasan atau kepuasan yang dirasakan oleh orang Batak terhadap kondisi ekonomi jika dia telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 UU KUP maka harus mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dan selanjutnya harus mematuhi proses pelaporan pajak, prosedural pajak dan peraturan pajak sehingga tidak memiliki kaitan
dengan kondisi ekonomi orang Batak. Selain itu, kondisi ekonomi memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak material. Hal ini didasarkan bahwa semakin baik kondisi ekonomi orang Batak maka akan meningkatkan kepatuhannya dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya (kepatuhan pajak material). 5. Tingkat kepercayaan tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak formal. Hal ini dikarenakan tinggi rendahnya kepercayaan orang Batak baik terhadap pemerintah, sistem hukum, lembaga peradilan dan pejabat pemerintah jika dia telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 UU KUP maka harus mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dan selanjutnya harus mematuhi proses pelaporan pajak, prosedural pajak dan peraturan pajak sehingga tidak ada keterkaitan antara tingkat kepercayaan dengan peningkatan kepatuhan pajak formal. Selain itu, tingkat kepercayaan memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan pajak material. Hal ini didasarkan apabila negara dapat dipercaya dalam mengelola pajak dengan baik dan benar, maka keinginan orang Batak untuk patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakan akan meningkat (kepatuhan pajak material). 5.2 Implikasi dan Keterbatasan Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan terhadap DJP jika sistem perpajakan yang selama ini diberlakukan untuk Wajib Pajak baik Orang Pribadi maupun Badan yang memiliki peredaran bruto tertentu (UMKM) yaitu PP No 46 Tahun 2013 dapat memotivasi Wajib Pajak dalam membayar pajak dan pada akhirnya dapat meningkatkan kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya jika ditinjau dari segi dimensi moralitas pajak yaitu sistem perpajakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Batak lebih merasa termotivasi jika sistem perpajakan lebih sederhana dalam membantu mereka menghitung pajak terutang dan pada akhirnya akan meningkat kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan mereka. Akan tetapi, jika ditinjau dari dimensi kondisi ekonomi, permasalahan dalam PP No. 46 Tahun 2013 adalah tidak terpenuhinya asas Convinience of Payment dimana Wajib Pajak diharuskan tetap membayar pajak terutang mereka ketika usaha Wajib Pajak dalam kondisi rugi. Keharusan membayar pajak terutang disaat Wajib Pajak terutama masyarakat Batak disaat kondisi usahanya memburuk (rugi) maka dapat menciptakan ketidakpuasaan terhadap kondisi ekonomi mereka. Jika ketidakpuasan terhadap kondisi keuangan muncul dalam diri orang Batak, yang mana merupakan indikator tertinggi yang membentuk dimensi moralitas pajak (kondisi ekonomi), maka akan mengurangi motivasi mereka dalam membayar pajak dan pada akhirnya dapat menurukan tingkat kepatuhan pajak mereka. Oleh karena itu, sebaiknya PP No 46 Tahun 2013 dikaji ulang oleh DJP tetapi tidak menghilangkan unsur yang dimiliki PP No 46 Tahun 2013 itu, yaitu tarif yang rendah, memberikan kemudahan dalam menghitung pajak terutang dan dapat mengurangi beban administrasi Wajib Pajak. Hasil penelitian ini juga memberikan masukan kepada DJP khususnya Kanwil DJP Sumatera Utara I untuk mengembangkan dan memfokuskan kebijakannya terkait peningkatan kepatuhan Wajib Pajak terutama Wajib Pajak Orang Pribadi dengan mempertimbangkan aspek karakteristik budaya Wajib Pajak. Tujuan penggunaan budaya dalam penyuluhan sosialisasi terkait aturan-aturan perpajakan lebih kepada agar lebih tersampainya makna dari sosialisasi itu sehingga dapat mengena langsung terhadap diri Wajib Pajak. Peneliti menyadari dalam melakukan penelitian ini memiliki
keterbatasan. Keterbatasan penelitian itu diantaranya subyek penelitian hanya kepada Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki UMKM saja sehingga tidak dapat digeneralisir hasilnya untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki usaha besar, ruang lingkup yang hanya di Kota Medan saja sehingga hasil penelitian ini tidak digeneralisir untuk kota lainnya dan penelitian ini hanya ditinjau dari sudut budaya Batak saja sebagai pendukung hasil pengujian hipotesis sehingga hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisir terhadap budaya-budaya lainnya yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Abdillah, Willy dan Jogiyanto Hartono. 2015. Partial Least Square-Alternatif Structural Equation Modeling (SEM) dalam Penelitian Bisnis. Yogyakarta: Andi. Alm, James dan Benno Torgler. 2004. Culture Differences and Tax Morale in The United States and Europe. Center Of Research in Economics, Management, and the Arts (CREMA). Working Paper No.2004-14. Alm, James dan Jorge Martinez-Vazquez. 2001. Societal Institution and Tax Evasion In Developing and Transitional Countries. International Studies Program. Georgia State University. Alm, James, Jorge Martinez-Vazquez dan Benno Torgler. 2005. Russian Attitudes Toward Paying Taxes-Before, During, and After the Transition. Center Of Research in Economics, Management, and the Arts (CREMA). Working Paper No.2005-27. Devos, Ken. 2008. Tax Evasion Behaviour and Demographic Factors: An Exploratory Study in Australia. Revenue Law Journal. Volume 18. Feld, Lars P. dan Benno Torgler. 2007. Tax Morale After the Reunification of Germany: Results from a Quasi-Natural Experiment. Center Of Research in Economics, Management, and the Arts (CREMA). Working Paper No.2007-03. Franzoni, Luigi Alberto. 1999. Tax Evasion and Tax Compliance. Encyclopedia of Law and Economics. Contents No. 6020: 52-94. Ghozali, Imam dan Hengky Latan. 2015. Konsep, Teknik dan Aplikasi Menggunakan Program SmartPLS 3.0. Semarang: Undip. Halla, Martin. 2010. Tax Morale and Compliance Behavior: First Evidence on a Causal Link. Institute for the Study of Labor (IZA). Discussion Paper No. 4918. Jogiyanto. 2010. Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan PengalamanPengalaman. Yogyakarta: BPFE. Kementerian Koperasi dan UMKM. 2013. Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2012-2013. http://www.depkop.go.id/berita-informasi/data-informasi/data-umkm/ diakses 2 November 2015. Martinez-Vazquez, Jorge dan Benno Torgler. 2005. The Evolution of Tax Morale in Modern Spain. Center Of Research in Economics, Management, and the Arts (CREMA). Working Paper No.2005-33. OECD. 1999. Compliance Measurement-Practice Note. Centre for Tax Policy and Administration (CTPA). General Administrative Principle (GPA)-GPA004.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penetapan Dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari UsahaYang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Sekaran, Uma. 2006. Research Methods for Business. Jakarta: Salemba Empat. Subandi, Hendi. 2012. Pengaruh Moralitas Pajak, Budaya Pajak dan Keadilan Pajak Terhadap Tingkat Kepatuhan Pajak (Studi pada WP OP yang berbasis budaya Arek, Mataraman, dan Madura di Kota Malang). Tesis. Universitas Airlangga. Torgler, B. 2003a. Tax Morale: Theory and Empirical Analysis of Tax Compliance. Dissertation. Basel University. Torgler, B. 2003b. Tax Morale and Institusions. Center Of Research in Economics, Management, and the Arts (CREMA). Working Paper No.2003-09. Torgler, Benno dan Christoph A. Schaltegger. 2005. Tax Morale and Fiscal Policy. Center Of Research in Economics, Management, and the Arts (CREMA). Working Paper No.2005-30. Torgler, Benno dan Friedrich Schneider. 2007a. Shadow Economy, Tax Morale, Governance and Institutional Quality: A Panel Analysis. Center Of Research in Economics, Management, and the Arts (CREMA). Working Paper No.2007-02. Torgler, Benno dan Friedrich Schneider. 2007b. The Impact of Tax Morale and Institutional Quality on the Shadow Economy. Institute for the Study of Labor (IZA). Discussion Paper No. 2541. Torgler, Benno, Friedrich Schneider dan Christoph A. Schaltegger. 2007. With or Against the People? The Impact of a Bottom-Up Approach on Tax Morale and the Shadow Economy. Center Of Research in Economics, Management, and the Arts (CREMA). Working Paper No.2007-04. Torgler, Benno, Ihsan C. Demir, Alison Macintyre dan Markus Schaffner. 2008. Causes and Consequences of Tax Morale: An Empirical Investigation. Economic Analysis & Policy. Volume 38: 313-339. Tusubira, Festo Nyende dan Isaac Nabeta Nkote. 2013. Social Norms, Taxpayers’ Morale and Tax Compliance: The Case of Small Business Enterprises in Uganda. Journal of Accounting, Taxation and Performance Evaluation. Volume 2. Umar, Husein. 2002. Metode Riset Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wardhani, Eka Aryani. 2009. Pengaruh Moralitas dan Budaya Pajak Terhadap Tingkat Kepatuhan Pajak (Survei terhadap WP OP di Jakarta). Tesis. Universitas Indonesia. Widodo, Widi, dkk. 2010. Moralitas, Budaya dan Kepatuhan Pajak. Bandung: Alfabeta.