PENGARUH DIMENSI BILAH PERSEGI PANJANG TERHADAP KEKUATAN LENTUR BALOK
LAMINASI BAMBU PETUNG
Oleh: Mujiman*)
Abstrak
Kuat tarik tanpa nodia setengah tebal dinding bambu (Ori, Petung, Hitam, dan Tutul) pada bagian luar (kulit) masing-masing sebesar (417, 285, 237, dan 286) MPa, lebih besar dibanding dengan kuat tarik pada bagian dalam masing-masing sebesar (164, 97, 96, dan 146) MPa (Morisco, 2006 : 41). Adapun nilai modulus elastisitas lentur bilah pada bagian (0,1 ; 0,3 ; 0,5 ; 0,7 ; dan 0,9) dari bagian luar (kulit) masing-masing sebesar (16,1 ; 10,2 ; 6,8 ; 4,8 ; dan 3,5) GPa (Jian dkk, 2008 : 235). Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut, dilakukan penelitian pengaruh tebal bilah terhadap kekuatan geser balok laminasi bambu Petung. Dalam penelitian ini digunakan bilah bentuk persegi panjang tebal bilah (7 dan 9) mm lebar 20 mm, direkat menggunakan perekat Urea Formaldehyde jenis UF-104 dengan tekanan kempa 2,5 MPa sistem kempa dingin. Dimensi balok uji 70/100 mm, panjang 2900 mm. Pengujian dilakukan dengan menempatan dua beban titik pada posisi 1/3 panjang bentang dari tumpuan dengan kecepatan pembebanan 5 mm / menit. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semua balok uji sejak mulai dibebani sampai mencapai runtuh mempunyai perilaku linier, terjadi runtuh geser pada garis perekat horisontal, dan keruntuhan bersifat getas. Beban dan lendutan maksimum dicapai balok uji LBP7-1 (14940 N ;
136,81 mm), LBP7-2 (15020 N ; 140,58 mm), LBP7-3 (13520 N ; 97,94 mm), LBP9-1 (17000 N ; 142,07 mm), GBP9-2 (12500 N ; 116,20 mm), dan LBP9-3 (12170 N ; 205,93 mm). Kata kunci: tebal bilah, persegi panjang, bambu Petung, runtuh lentur, perilaku lentur.
- 1 -
Pendahuluan
Kayu adalah salah satu bahan bangunan yang telah lama digunakan sejak jaman
dahulu. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan semakin meningkat. Hal tersebut memicu aktivitas penebangan kayu secara besar-besaran, dengan realita tanpa diikuti aktivitas penanaman kembali. Akibatnya, banyak hutan gundul dan rusak yang kemudian secara menyeluruh berdampak terhadap kerusakan bumi. Untuk menghentikan dan memperbaiki kerusakan hutan, yang berarti juga menyelamatkan bumi, aktivitas penebangan kayu harus dihentikan. Oleh karena itu, bahan bangunan sebagai bahan pengganti kayu sangat diperlukan. Bambu merupakan salah satu hasil alam yang potensial untuk dijadikan bahan bangunan pengganti kayu karena memiliki banyak keunggulan. Menurut Siopongco dan Munandar
(1987), dalam Morisco (1999) bambu adalah salah satu anggota rumput rumputan yang pertumbuhannya sangat cepat. Bambu dengan kualitas yang baik dapat diperoleh dalam kurun waktu yang relatif singkat pada umur 3~5 tahun. Bambu mudah ditanam dan tidak memerlukan perawatan khusus. Bambu memiliki kekuatan tarik sejajar serat yang tinggi dan dapat mencapai dua kali lipat dari kuat tarik baja tulangan (Morisco, 1999). Pemakaian bambu sebagai bahan bangunan menemui berbagai kendala baik teknis maupun non teknis. Kendala teknis antara lain adalah teknik penyambungan bambu dan keterbatasan dimensi bambu untuk struktur-struktur yang memerlukan bentang panjang dan dimensi lebih besar. Teknik penyambungan bambu susah dilakukan karena bentuk bambu berlubang seperti pipa bersekat, diameter ujung dan pangkal tidak sama, tebal dinding ujung lebih tipis dibandingkan dengan pangkal, panjang internodia tidak sepanjang batang, dan terdapat nodia sepanjang batang. Diameter bambu berkisar antara (75~175) mm panjang efektif berkisar antara (7500~2500) mm merupakan keterbatasan dimensi bambu. Kendala non teknis adalah rendahnya tingkat apresiasi masyarakat terhadap bambu karena adanya stigma masyarakat pengguna bambu sebagai masyarakat miskin. Kesulitan dalam penyambungan batang bambu tersebut dapat diatasi dengan mengolah batang bambu menjadi bentuk balok bambu laminasi. Dengan membuat balok bambu laminasi dapat dibuat dimensi penampang melintang dan panjang balok sesuai dengan kebutuhan. Dimensi panjang dapat diperoleh dengan melakukan penyambungan bilah secara selang-seling arah memanjang balok, adapun dimensi penampang melintang dapat diperoleh dengan menambah susunan bilah arah tinggi dan lebar penampang melintang balok. Balok bambu laminasi memiliki sifat mekanika lebih baik dibandingkan dengan sifat mekanika batang bambu karena pada proses pembuatan bilah dapat disusun selang-seling ujung-pangkal dan nodia-internodia. Bentuk dan tekstur penampang balok bambu laminasi lebih indah dibandingkan dengan bentuk dan tekstur batang bambu dapat mengubah rendahnya apresiasi dan stigma masyrakat terhadap pengguna
- 2 -
bambu berbeda dengan bentuk batang bambu. Untuk itu dilakukan penelitian pengaruh tebal bilah terhadap kekuatan lentur balok laminasi bambu Petung.
Tujuan Penelitian
Maksud penelitian ini adalah mengembangkan berbagai penelitian tentang
balok bambu laminasi terdahulu agar pemakaian bambu sebagai bahan bangunan pengganti
kayu dapat lebih effisien. Adapun tujuan penelitian: 1. Mengetahui kekuatan dan perilaku lentur balok laminasi bambu Petung menggunakan bilah persegi panjang dengan lem 2. Mengetahui pola retak dan pola runtuh balok bambu laminasi bambu Petung menggunakan
bilah persegi panjang dengan lem 3. Mengetahui pengaruh tebal bilah terhadap kekuatan dan perilaku balok laminasi bambu Petung menggunakan bilah persegipanjang dengan lem
Tinjauan Pustaka Anatomi Serat Bambu Anatomi pengembangan serat bambu Phyllostachys edulis telah diteliti oleh Gan Xiaohong, dkk (2005 : 16~22). Kriteria bambu muda panjang batang rebung (60, 80, 120, dan 170) cm dan bambu tua berumur berkisar antara (1~16) tahun. Hasil penelitian menunjukkan variasi pengerasan dinding serat selama proses pengembangan serat, puncak pengerasan dinding serat dicapai pada umur 4 tahun selanjutnya tingkat pengerasan berangsur-angsur berkurang sampai umur 6 tahun. Penampang serat bambu berumur (1, 2, dan 4) tahun ditunjukkan di dalam Gambar 1 berikut.
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Penampang serat bambu, skala panjang 5 µm (a) Umur 1 th, (b) Umur 2 th, (c) Umur 4 th (Gan Xiaohong dkk, 2005 : 19)
Volume serat bambu berkisar antara (60~70)% dari total volume batang bambu, dimensi serat setiap jenis bambu berbeda. Diameter, tebal dinding, dan diameter lumen
- 3 -
masing-masing berkisar antara (11~19 ; 4~6 ; dan 2~4) mikron. Katagori serat pendek
berkisar antara (1,3~1,5) mm, dan katagori serat panjang berkisar antara (3,2~4,3) mm (Liese, dkk 1992 : 2). Ilustrasi skematik bentuk serat bambu ditunjukkan di dalam Gambar
2 berikut.
(a)
(b)
Gambar 2. Ilustrasi skematik struktur serat bambu (a) Serat bambu, (b) Detail serat bambu (Wai dkk, dalam Li dkk, 1995 : 126 dan 129)
Sifat Fisika dan Mekanika Bambu Bambu bagian dalam mengandung zat tepung lebih banyak dibandingkan dengan bagian kulit. Akibat serangan kumbang bubuk, kerusakan paling parah selalu di bagian dalam (Bhat K.V., dkk, 2005 : 1~9). Semakin banyak zat tepung dan parenchyma, semakin sedikit jumlah bundel serat. Jumlah kandungan zat tepung, parenchyma, dan bundel serat bambu disajikan di dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1. Kandungan zat tepung, Parenchyma, dan bundel serat bambu Posisi Ujung Tengah Pangka l
Zat tepung (%) Kulit Dalam 1,5 5,2 4,8 6,6 4,8
8,2
Parenchyma (%) Kulit Dalam 56,0 73,0 53,4 67,6
Bundel serat Kulit Dalam 44,0 27,0 46,5 32,4
46,9
53,0
65,6
34,4
(Bhat K.V., dkk, 2005 : 3)
Serat bagian ujung lebih padat dibandingkan dengan serat bagian pangkal, dinding bagian pangkal ke ujung semakin tipis, dimensi internodia semakin panjang dari pangkal
Volume serat
ke tengah, dan semakin pendek dari tengah ke ujung (Khosrow Ghavami, 2004 : 639~640).
Arah radial Gambar 3. Kurva volume serat vs posisi arah radial (Khosrow Ghavami, 2004 : 639)
- 4 -
Kekuatan tarik sejajar serat tanpa nodia setengah tebal dinding bambu bagian luar
dan bagian dalam jenis bambu Ori, Petung, Hitam, dan Tutul telah diteliti oleh Morisco (2006). Hasil penelitian disajikan di dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Kuat tarik sejajar serat bambu tanpa nodia kering oven Jenis bambu
Ori Petung Hitam Tutul
Kuat tarik sejajar serat (MPa) Bagian dalam (D) Bagian luar (L) 164 417 97 285 96 237 146 286
Rasio (%) (L)/(D) 254 294 247 196 (Morisco, 2006 : 41)
Gambar 4. Penampang melintang serat bambu (Jian dkk, 2008 : 234)
Teknologi Laminasi Glued-Laminated suatu bahan kayu tipis terpilih dari kwalitas berbeda atau sama direkatkan satu dengan lainnya, baik dalam bentuk lurus atau lengkung. Menurut Russell C. Moody, et al (1997 : 7 ~ 13) dalam Glued-Laminated Timber, beberapa keunggulan kayu laminasi dibanding dengan kayu solid yaitu: a. Ukuran, kayu laminasi dimungkinkan dibuat jauh lebih besar dibandingkan dengan batang kayu gergajaian biasa (solid). b. Keindahan arsitektural, kayu laminasi sebagian besar digunakan untuk suatu struktur yang diekspose sebagai dekorasi. c. Kayu kering oven, sehingga terhindar dari retak, lamina mengelupas, dan pembengkokan. d. Potongan melintang bervariasi, penampang melintang maupun memanjang batang kayu laminasi dapat dibuat dengan berbagai variasi.
- 5 -
e. Efisiensi penggunaan bahan, dapat digunakan kayu lamina berbeda kwalitas dimana
lamina jelek ditaruh di daerah beban kecil dan kayu lamina baik ditaruh di daerah
beban lebih besar. f. Ramah lingkungan, kayu merupakan bahan yang mudah diperbaharui, mudah dikerjakan, mampu menyerap karbon, dan mudah busuk
Jumlah Perekat Terlabur
Jumlah perekat yang dilaburkan menggambarkan banyaknya perekat terlabur agar
dicapai garis perekat pejal, kuat, dan kaku. Satuan luas permukaan rekat ditentukan
menggunakan satuan Inggris yaitu seribu kaki persegi (1000 square feet) disebut dengan MSGL (Multilayer Single Glue Line) dinyatakan dalam satuan pound (Lbs). Bila kedua bidang permukaan dilabur maka disebut MDGL (Multilayer Double Glue Line) atau
pelaburan dua sisi (Prayitno, 1996 : 12-16). Dalam praktik di Laboratorium satuan perekat dikonversikan menjadi satuan berat dalam (gram) dan luas salam (inci2) disebut GPU (Gram Pick Up). Apabila luas bidang rekat dihitung menggunakan satuan sentimeter persegi (cm2), maka untuk menghitung jumlah kebutuhan perekat digunakan persamaan sebagai berikut GPU
S∗A 1 2048,3
dimana: GPU = Gram Pick Up (gram) S
= jumlah perekat yang dilaburkan dalam pound / MDGL
A = luas bidang yang direkat (cm2)
Metodologi Penelitian Tahap penelitian meliputi studi literatur, survei bahan dan alat, penentuan variabel penelitian, perencanaan benda uji, pembuatan benda uji, sett-up benda uji dan pengujian. Dimensi benda uji ditentukan berdasarkan dimensi lebar bilah dan kapasitas beban dan
100 mm
dimensi alat yang digunakan untuk pengujian.
70 mm T. Samping
2900 mm Tampak Depan
Gambar 5. Balok uji
- 6 -
Jumlah dan kode benda uji
Tabel 3. Jumlah dan kode benda uji
Kode benda uji LBP7-1 LBP7-2 LBP7-3 LBP9-1 LBP9-2 LBP9-2 Jumlah
Jumlah 1 balok 1 balok 1 balok 1 balok 1 balok 1 balok 6 balok
Pembuatan Benda Uji a. Pemotongan dan pembelahan batang bambu b. Pengawetan dengan cara direbus menggunakan cairan boraks-boriks konsentrasi 5%
c. Pengeringan secara alami dan dilanjutkan dioven d. Pembentukan bilah asli menjadi bilah persegi panjang dimensi 7/20mm dan 9/20 mm e. Pengeleman dan pengempaan f. Pengetaman balok hingga diperoleh ukuran penampang 70/100 mm g. Pemotongan dan penghalusan Setting up benda uji Baja pejal diamter 35 mm
Load cell
Batang pendistribusi beban
LVDT-KN
LVDT-KR LVDT-TH 900 mm
900 mm 100 mm
100 mm
900 mm
2700 mm
Gambar 6. Setting up balok uji
Hasil Pengujian dan Pembahasan Gambar hasil pengujian
(a)
(b)
(c)
Gambar 7. Hasil pengujian (a) Balok siap dibebani, (b) Balok melendut, (c) Balok mengalami runtuh
- 7 -
Beban dan lendutan maksimum yang dihasilkan dari pengujian disajikan di dalam
Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Beban dan lendutan maksimum
Kode benda uji LBP7-1 LBP7-2 LBP7-3 LBP9-1 LBP9-2 LBP9-2
Beban maksimum (N) 14940 15020 13520 17000 12500 12170
Lendutan maksimum (mm) 136,81 140,58 97,94 142,07 116,20 105,93
Hasil pengujian dua balok uji sejak dimulai pembebanan sampai mencapai beban maksimum hingga terjadi runtuh disajikan dalam bentuk kurva hubungan beban dan
lendutan sebagai berikut.
136.81, 14.94
14 12 Beban (kN)
Kurva hubungan beban vs lendutan Balok uji lentur LBP9-1
145.73, 14.54
72.54, 9.03
10
Beban (kN)
16
Kurva hubungan beban vs lendutan Balok uji lentur LBP7-1
8 76.67, 8.16
6 4 2
142.07, 17.00
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
162.74, 15.64 53.17, 6.59
0
0 0
50
100 Lendutan (mm)
150
50
100
150
200
Lendutan (mm)
200
Gambar 7. Contoh hasil pengujian dalam bentuk kurva beban vs lendutan balok uji LBP7-1 dan BP9-1
Dari hasil pengujian beban dan lendutan maksimum dapat diperoleh kekuan setiap balok uji sebagai berikut Tabel 5. Kekakuan balok uji Kode benda uji LBP7-1 LBP7-2 LBP7-3 LBP9-1 LBP9-2 LBP9-2
Beban maksimum (N) 14940 15020 13520 17000 12500 12170
Lendutan maksimum (mm) 136,81 140,58 97,94 142,07 116,20 105,93
Kekakuan (N/mm) 109.203 106.843 138.044 119.659 107.573 114.887
- 8 -
Dari hasil pengujian beban dan lendutan sejak dimulai pembebanan hingga runtuh
dapat diketahui sifat runtuh setiap balok uji sebagai berikut.
Kurva hubungan beban vs lendutan Benda uji LBP7-(1,2,3) dan LBP9-(1,2,3)
18
16 LBP7-1 14
12 Beban (kN)
LBP7-2 LBP9-1
10
LBP9-2
8
LBP9-3
6
LBP7-3
4
2 0 0
50
100
150
200
250
Lendutan (mm)
Dari bentuk kurva beban vs lendutan menunjukkan bahwa semua balok uji lentur sejak dibebani sampai mencapai beban berkisar antara 3,75 kN dengan lendutan berkisar antara 45 mm mengalami perilaku sama dalam bentuk linier. Beban maksimum 16,72 kN diperoleh pada balok uji LBP9-1 dengan lendutan 139,28 mm.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Balok laminasi bambu Petung menggunakan bilah tipis lebih kaku dan kuat dibandingkan dengan balok laminasi menggunakan bilah tebal. Balok laminasi bambu Petung menggunakan bilah tipis memiliki perilaku lebih duktil dibandingkan dengan balok laminasi menggunakan bilah tebal.
Saran Untuk memperoleh hasil yang lebih bervariatif dan akurat, harus dilakukan penelitian lanjutan dengan variabel bentuk dan dimensi bilah Harus dilakukan pengujian lanjutan dengan bilah disusun lap-lip arah lebar-bilah, dan arah panjang balok lap-lip ujung-pangkal dan lap-lip nodia-internodia.
- 9 -
Daftar Pustaka
Gan Xiaohong, and Din Yulong, Bamboo Science and Culture, The Journal of the American Bamboo Society 19 (1) 2005 : 16-22
Jian-feng Ma, Wu-yi Chen, Ling Zhao, and Da-hai Zhao, Elastic Buckling of Bionic
Cylindrical Shells Based on Bamboo, Journal of Bionic Engeering 5 (2008 : 231-238)
Kazuya Okubo, Toru Fujii, and Yuzo Yamamoto, Development of Bamboo-Based Their
Mechanical Properties, Compsites Part A 35 Applied Science and Manufacturing, 2004 : 377-383 Kazuya Okubo, Toru Fujii, Yuzo Yamamoto, Development of bamboo-based polymer composites and their mechanical properties, Composites : Part A 35, 2004 : 377~383
Khosrow Ghavami, Bamboo as reinforcement in structural concrete elements, Cement & Concrete Composites 27 (2005) 637–649 Morisco, Teknologi Bambu, Program Studi S2 Teknik Sipil UNiversitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2006 Nasriadi, dkk, Pengaruh Susunan Lamina Bambu Petung Terhadap Kuat Geser dan Lentur Balok Lamiansi Galar Bambu Petung, Bunga Rampai Abstrak Penelitian Bambu 2012 : B16-B17. Purnawan Gunawan dkk (2007), Pengaruh Jenis Perekat Terhadap Keruntuhan Lentur dan Geser Balok Laminasi Galar serta Bilah Vertikal Bambu Petung, Thesis, FTSL Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2007. (Tidak dipublikasikan). Rubin Shmulsky, Effect of Lamina Thickness on Parallel-to-Grain Strength in Small Douglas-Fir Samples, Journal of Bridge Engeering ASCE 2004 : 308-309 Russell C. Moody and Roland Hernandez, Glued-Laminated Timber, Engineered wood products-A guide for specifiers, Chapter 1, 1997. Seema Jain, Rakesh Kumar, Mechanical Behaviour of Bamboo and Bamboo Composite, Journal of Material Science 27 (1992 : 4598-4604) Shigeyasu A, et all., Fracture Properties of Bamboo, Composites Engineering, Part B 32 (2001) 451 - 459.
- 10 -
S.H. Li, Q.Y. Zeng, Y.L. Xiao, S.Y. Fu, and B.L. Zhou, Biomimicry of Bamboo Bast Fiber
with Engineering Composite Materials, Materials Science and Engineering C3 (1995 :
125-130) Theodorus Paling dkk, Pengaruh Umur Bambu Terhadap Perilaku Kekuatan Geser Balok Laminasi Bilah Bambu Petung, Thesis, FTSL Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
2010. (Tidak dipublikasikan).
Tommy Y. Lo, et. al, Strength Analysis of Bamboo by Microscopic Investigation of
Bamboo Fibre, Construction and Building Material 22 (2004 : 1532-1535)
Tommy Y. Lo, et. al, The Effect of Fiber Density on Strength Capacity of Bamboo,
Construction and Building Material 58, 2004 : 2595-2598
- 11 -