PENGARUH DIABETES SELF MANAGEMENT EDUCATION (DSME) TERHADAP RESIKO TERJADINYA ULKUS DIABETIK PADA PASIEN RAWAT JALAN DENGAN DIABETES MELLITUS (DM) TIPE 2 DI RSD dr. SOEBANDI JEMBER
SKRIPSI
Oleh Alvinda Yuanita NIM. 092310101013
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER 2013
PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember” telah diuji dan disahkan oleh Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember pada: hari
: Kamis
tanggal
: 26 September 2013
tempat
: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember
Tim Penguji Ketua,
Ns. Rondhianto, M.Kep NIP. 19830324 200604 1 002 Anggota I,
Anggota II,
Ns. Wantiyah, M.Kep NIP. 19810712 200604 2 001
Ns. Tantut Susanto, M. Kep., Sp.Kep.Kom NIP. 19800105 200604 1 004 Mengesahkan Ketua Program Studi,
dr. Sujono Kardis, Sp.K. NIP. 19490610 198203 1 001
ii
Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember (The Influence of Diabetes Self Management Education (DSME) to The Risk of Diabetic Ulcers on Type 2 Diabetes Mellitus (DM) Outpatients in dr. Soebandi Hospital Jember).
Alvinda Yuanita Nursing Science Study Program, Jember University
ABSTRACT Type 2 Diabetes Mellitus (DM) is a glucose metabolism disorders caused by insulin resistance and impaired of insulin secretion and it can cause any chronic complications, such as diabetic ulcers. Diabetes Self Management Education (DSME) can facilitate patients’s knowledge, skills, and abilities for self-care to prevent diabetic ulcers. This research was intended to analyze the influence of DSME to the risk of diabetic ulcers on Type 2 DM outpatients. The research method was quasi experimental with pre-test and post-test with control group design and used consequtive sampling with 40 Type 2 DM respondents divided into 2 groups. Data were analyzed by using Paired T-test and Independent T-test with 95% of CI. The research results showed that P value of Paired T-test in experimental group is 0,000 and 0,015 in control group, while P value of Independent T-test was 0,001 (p < α ; α = 0,05). The conclusion of this research is there was an influence of DSME to reduce the risk of diabetic ulcers on Type 2 DM outpatients in dr. Soebandi Hospital Jember. It is suggested that nurses can provide DSME to prevent diabetic ulcers on Type 2 DM patients and using DSME as a health promotion program.
Key words: diabetes mellitus, diabetic ulcers, DSME, self care
iii
RINGKASAN Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember: Alvinda Yuanita, 092310101013; 2013; 107 halaman; Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember. Diabetes Mellitus merupakan suatu kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi, salah satunya adalah ulkus diabetik. Salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam penatalaksanaan DM tipe 2 adalah edukasi. Edukasi kepada pasien DM tipe 2 penting dilakukan sebagai langkah awal pengendalian DM tipe 2. Salah satu bentuk edukasi yang umum digunakan dan terbukti efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien DM tipe 2 adalah Diabetes Self Management Education (DSME). DSME merupakan suatu proses memberikan pengetahuan kepada pasien mengenai aplikasi strategi perawatan diri secara mandiri untuk mengoptimalkan kontrol metabolik, mencegah komplikasi, dan memperbaiki kualitas hidup pasien DM. Hasil wawancara yang dilakukan dengan Kepala Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember pada bulan Maret tahun 2013, menunjukkan bahwa perawat tidak pernah memberikan Diabetes Self Management Education (DSME) kepada pasien DM tipe 2 karena keterbatasan waktu, kurangnya SDM, dan banyaknya pasien DM tipe 2 yang kontrol ke Poli Interna. Tujuan umum dalam penelitian ini adalah menganalisis pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan baru dan meningkatkan keterampilan pasien DM dalam melakukan perawatan mandiri sehingga dapat mencegah terjadinya ulkus diabetik, serta memberikan kontribusi atau manfaat bagi institusi pendidikan, instansi pelayanan kesehatan, profesi keperawatan, masyarakat dan responden, serta peneliti lain.
iv
Penelitian ini menggunakan metode penelitian quasi experimental dengan desain penelitian pre-test and post-test with control group design. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik non probability sampling yaitu consequtive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 40 orang yang terbagi menjadi 20 orang pada kelompok intervensi dan 20 orang pada kelompok kontrol. Analisis data menggunakan uji Paired T-test dan Independent T-test. Uji Paired T-test digunakan untuk mengetahui perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum dan sesudah pemberian DSME pada kelompok intervensi dan mengetahui perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik saat observasi awal dan observasi akhir pada kelompok kontrol. Uji Independent T-test digunakan untuk mengetahui perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil analisis data menggunakan uji Paired T-test diperoleh nilai p pada kelompok intervensi sebesar 0,000 dan 0,015 pada kelompok kontrol. Nilai p pada kedua kelompok tersebut < α (α = 0,05) yang berarti ada perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum dan sesudah pemberian DSME pada kelompok intervensi dan ada perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik saat observasi awal dan observasi akhir pada kelompok kontrol. Hasil analisis data menggunakan uji Independent T-test diperoleh nilai p < α (α = 0,05) yaitu sebesar 0,001 yang berarti ada perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol, atau dengan kata lain ada pengaruh DSME terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik. Kesimpulan penelitian ini adalah ada pengaruh DSME terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan DSME dapat dijadikan suatu materi pokok dalam pembelajaran asuhan keperawatan pada pasien DM tipe 2, sumber referensi bagi perawat maupun peneliti lain, suatu program promosi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan perawatan mandiri pasien DM tipe 2, dan dapat diterapkan oleh masyarakat.
v
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ....................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
ii
ABSTRAK ........................................................................................................
iii
RINGKASAN ...................................................................................................
iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii BAB 1. PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................
7
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................
7
1.3.1 Tujuan Umum .....................................................................
7
1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................................
7
1.4 Manfaat Penelitian .....................................................................
8
1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan ....................................................
8
1.4.2 Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan ....................................
8
1.4.3 Bagi Profesi Keperawatan ...................................................
9
1.4.4 Bagi Masyarakat dan Responden ........................................
9
1.4.5 Bagi Peneliti ........................................................................
9
1.5 Keaslian Penelitian ..................................................................... 10 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 12 2.1 Diabetes Mellitus ......................................................................... 12 2.1.1 Definisi ................................................................................ 12 2.1.2 Klasifikasi ............................................................................ 12 2.1.3 Etiologi ................................................................................ 13 2.1.4 Patofisiologi......................................................................... 13
vi
2.1.5 Manifestasi Klinis................................................................ 15 2.1.6 Diagnosis ............................................................................. 16 2.1.7 Pencegahan .......................................................................... 18 2.1.8 Penatalaksanaan................................................................... 22 2.1.9 Komplikasi .......................................................................... 24 2.2 Ulkus Diabetik ............................................................................. 25 2.2.1 Definisi ................................................................................ 25 2.2.2 Etiologi ................................................................................ 26 2.2.3 Faktor Resiko ...................................................................... 26 2.2.4 Patofisiologi......................................................................... 27 2.2.5 Klasifikasi ............................................................................ 28 2.2.6 Penatalaksanaan................................................................... 31 2.2.7 Penilaian Ulkus Diabetik ..................................................... 33 2.3 Diabetes Self Management Education (DSME) ......................... 34 2.3.1 Definisi DSME .................................................................... 34 2.3.2 Tujuan DSME...................................................................... 34 2.3.3 Prinsip DSME...................................................................... 35 2.3.4 Standar DSME ..................................................................... 35 2.3.5 Komponen DSME ............................................................... 38 2.3.6 Tingkat Pembelajaran DSME .............................................. 39 2.3.7 Pelaksanaan DSME ............................................................. 40 2.4 Keterkaitan Diabetes Self Management Education (DSME) dengan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik ................................ 40 2.5 Kerangka Teori ........................................................................... 45 BAB 3. KERANGKA KONSEP...................................................................... 46 3.1 Kerangka Konsep ...................................................................... 46 3.2 Hipotesis ...................................................................................... 46 BAB 4. METODE PENELITIAN ................................................................... 48 4.1 Jenis Penelitian ............................................................................ 48 4.2 Populasi dan Sampel Penelitian................................................. 49 4.2.1 Populasi Penelitian .............................................................. 49
vii
4.2.2 Sampel Penelitian ................................................................ 49 4.2.3 Kriteria Subjek Penelitian ................................................... 50 4.3 Lokasi Penelitian ......................................................................... 51 4.4 Waktu Penelitian......................................................................... 51 4.5 Definisi Operasional ................................................................... 52 4.6 Pengumpulan Data ..................................................................... 52 4.6.1 Sumber Data ........................................................................ 52 4.6.2 Teknik Pengumpulan Data .................................................. 53 4.6.3 Alat Pengumpulan Data....................................................... 57 4.6.4 Uji Validitas dan Reliabilitas .............................................. 59 4.7 Rencana Pengolahan Data ......................................................... 62 4.7.1 Editing ................................................................................. 62 4.7.2 Coding ................................................................................. 63 4.7.3 Processing/entry .................................................................. 63 4.7.4 Cleaning .............................................................................. 63 4.8 Analisis Data ............................................................................... 64 4.9 Etika Penelitian ........................................................................... 66 BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 68 5.1 Hasil Penelitian ........................................................................... 68 5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................... 68 5.1.2 Karakteristik Responden ..................................................... 69 5.1.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik ...................................... 71 5.1.4 Hasil Uji Statistik ................................................................ 73 5.2 Pembahasan ................................................................................. 75 5.2.1 Karakteristik Responden ..................................................... 75 5.2.2 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sebelum Dilakukan DSME pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ............
81
5.2.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sesudah Dilakukan DSME pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ............
82
5.2.4 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik antara Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol .......................................
viii
84
5.3 Keterbatasan Penelitian ............................................................. 95 BAB 6. PENUTUP............................................................................................ 98 6.1 Simpulan ...................................................................................... 98 6.2 Saran ............................................................................................ 99 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 102 LAMPIRAN ...................................................................................................... 108
ix
DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ..................................... 52 Tabel 5.1 Distribusi Responden Menurut Usia, Lama Mengalami DM, Nilai KGD Sewaktu, dan Nilai ABI pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (AgustusSeptember 2013; n : 40) ……………………………………………. 69 Tabel 5.2 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin, Pendidikan, dan Pekerjaan pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40)………………………………………………………… 70 Tabel 5.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20)…… 71 Tabel 5.4 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20)………………………………………………………… 71 Tabel 5.5 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Kontrol pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20) ………… 72 Tabel 5.6 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Kontrol pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20)………………………………………………………… 72 Tabel 5.7 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40) …………………………………. 73 Tabel 5.8 Hasil Analisis Paired t-test Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40)…… 74 Tabel 5.9 Hasil Analisis Independent t-test Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40) ………………………………………………………………………. 75
x
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Skema Patofisiologi DM tipe 2 ....................................................... 14 Gambar 2.2 Langkah-langkah Diagnosis DM Tipe 2 ......................................... 16 Gambar 2.3 Hubungan perilaku, pendidikan kesehatan, dan status kesehatan ... 42 Gambar 2.4 Kerangka teori ................................................................................. 45 Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian ............................................................ 46 Gambar 4.1 Pola penelitian pre-test dan post-test with control group design .... 48 Gambar 5.1 Analisis framework terhadap hasil (outcomes) pemberian DSME . 87
xi
DAFTAR LAMPIRAN A. INFORMED CONSENT ........................................................................... 108 A.1 Lembar Informed ................................................................................ 108 A.2 Lembar Consent .................................................................................. 109 B. INSTRUMEN PENELITIAN ................................................................... 110 B.1 Karakteristik Responden..................................................................... 110 B.2 Lembar Observasi Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik ....................... 111 C. STANDART OPERATIONAL PROCEDURE (SOP) ............................... 116 D. SATUAN ACARA PENDIDIKAN (SAP) ................................................ 118 E. MEDIA (BOOKLET) ................................................................................. 125 F. HASIL PENELITIAN ............................................................................... 141 F.1
Karakteristik Responden Kelompok Intervensi .................................. 141
F.2
Karakteristik Responden Kelompok Kontrol ..................................... 143
F.3
Data Skor Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sebelum dan Sesudah Pemberian DSME pada Kelompok Intervensi.................................... 145
F.4
Data Skor Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Saat Observasi Awal dan Observasi Akhir pada Kelompok Kontrol .......................................... 146
F.5
Hasil Uji Normalitas ........................................................................... 146
F.6
Hasil Uji Homogenitas ....................................................................... 147
F.7
Hasil Uji Paired T-test pada Kelompok Intervensi ............................ 147
F.8
Hasil Uji Paired T-test pada Kelompok Kontrol ................................ 148
F.9
Hasil Uji Independent T-test .............................................................. 148
G. DOKUMENTASI KEGIATAN ................................................................ 149 H. SURAT IJIN ............................................................................................... 150
xii
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang paling banyak dialami oleh penduduk di dunia. Penyakit DM menempati urutan ke-4 penyebab kematian di negara berkembang (Sicree et.al., 2009). Salah satu jenis penyakit DM yang paling banyak dialami oleh penduduk di dunia adalah DM tipe 2 (85-95%), yaitu penyakit DM yang disebabkan oleh terganggunya sekresi insulin dan resistensi insulin (Smeltzer & Bare, 2001; Sicree et.al., 2009). DM tipe 2 di sebagian besar negara telah berkembang akibat perubahan budaya dan sosial yang cepat, populasi penuaan yang semakin meningkat, peningkatan urbanisasi, perubahan pola makan, aktivitas fisik berkurang dan perilaku lain yang menunjukkan pola perilaku dan gaya hidup yang tidak sehat (Sicree et.al., 2009). Peningkatan jumlah kasus DM tipe 2 di dunia tersebut berdampak pada peningkatan komplikasi yang dialami pasien DM tipe 2, yaitu retinopati diabetik, nefropati diabetik, stroke, penyakit arteri koroner, kaki diabetik, dan beberapa komplikasi lainnya (Mansjoer dkk., 2005). Komplikasi tersering yang dialami pasien DM tipe 2 adalah neuropati perifer (10-60%) yang akan menyebabkan ulkus diabetik (Apelqvist et.al., 2008; Staff, 2012). Data yang tercantum dalam IDF Diabetes Atlas, Sicree et.al. (2009) menjelaskan bahwa perkiraan jumlah pasien DM tipe 2 di dunia pada tahun 2010 sebanyak 285 juta jiwa dari total populasi dunia sebanyak 7 miliar jiwa dan meningkat sebanyak 439 juta jiwa pada tahun 2030 dari total populasi dunia
1
2
sebanyak 8,4 miliar jiwa. Kenaikan insidensi pasien DM tipe 2 juga terjadi di Asia Tenggara. Total populasi di Asia Tenggara pada rentang usia 20-79 tahun sebanyak 838 juta jiwa pada tahun 2010. Dari total populasi tersebut, terdapat 58,7 juta jiwa (7,6%) pasien DM tipe 2. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2030, yaitu dari total populasi pada rentang usia 20-79 tahun sebanyak 1,2 miliar, terdapat 101 juta (9,1%) pasien DM tipe 2. Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia pada tahun 2010 setelah India, China, dan USA dengan jumlah pasien DM tipe 2 sebanyak 8,4 juta jiwa dan diperkirakan meningkat pada tahun 2030 sebanyak 21,3 juta jiwa (Wild et.al., 2004). Peningkatan prevalensi DM tipe 2 juga terjadi di Jawa Timur. Jawa Timur memiliki prevalensi DM tipe 2 di atas prevalensi nasional (1,1%) dengan prevalensi 1,3 % (BPS, 2010). Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur menjelaskan bahwa jumlah pasien DM tipe 2 yang dirawat di rumah sakit di Jawa Timur pada tahun 2010 sebanyak 3.622 jiwa dan 161 jiwa di antaranya meninggal dunia. Jumlah ini meningkat pada tahun 2011 yaitu 5.551 jiwa dan 172 jiwa di antaranya meninggal dunia (Seputar Indonesia, 2011). Studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret tahun 2013 oleh peneliti, menunjukkan bahwa jumlah kunjungan pasien DM tipe 2 ke Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember sebanyak 4.300 jiwa pada tahun 2012. Berdasarkan beberapa data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa prevalensi dan insidensi DM tipe 2 tetap meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara maju maupun negara berkembang.
3
Diabetes Mellitus sebagai suatu kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah (Mansjoer dkk., 2005; ADA, 2010). Kenaikan kadar glukosa darah pada DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Insulin merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh sel beta pankreas yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam darah dengan mengatur penyimpanan dan pengeluaran insulin (Smeltzer & Bare, 2001). Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel yang akan mengakibatkan suatu reaksi metabolisme glukosa dalam sel (Guyton & Hall, 2007). Resistensi insulin terjadi jika reseptor tersebut menjadi tidak sensitif terhadap insulin, sehingga insulin tidak dapat berikatan dengan reseptor. Gangguan sekresi insulin terjadi jika sel beta pankreas tidak mampu/terganggu untuk mensekresikan insulin (Price & Wilson, 2005). Kadar glukosa darah yang meningkat dapat mengganggu sirkulasi darah karena dapat mengakibatkan penumpukan glukosa dalam pembuluh darah, sehingga pembuluh darah menjadi kaku dan menyempit (aterosklerosis) (Smeltzer & Bare, 2001). Akibat yang ditimbulkan dari kekakuan pembuluh darah tersebut adalah terganggunya sirkulasi/aliran darah ke jaringan tubuh. Terganggunya sirkulasi darah inilah yang mengakibatkan kematian pada jaringan tubuh dan menimbulkan komplikasi (Tambayong, 2000). Komplikasi yang dapat muncul dari DM tipe 2 digolongkan menjadi dua, yaitu komplikasi jangka pendek (akut) dan jangka panjang (kronis). Komplikasi
4
jangka pendek meliputi hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, dan sindrom HHNK. Komplikasi jangka panjang meliputi penyakit mikrovaskuler (retinopati diabetik, nefropati diabetik), penyakit makrovaskuler (penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskuler, dan penyakit arteri perifer), neuropati diabetik, rentan infeksi, dan kaki diabetik (Mansjoer dkk., 2005). Penyakit
makrovaskuler
merupakan
komplikasi
yang
sering
mengakibatkan kematian. Penyakit makrovaskuler yang muncul pada pasien DM tipe 2 adalah penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskuler, dan penyakit arteri perifer (Smeltzer & Bare, 2001). Penyakit makrovaskuler disebabkan oleh adanya aterosklerosis pada pembuluh darah besar pada pasien DM tipe 2. Aterosklerosis yang terjadi pada pembuluh darah besar ekstermitas bawah merupakan penyebab meningkatnya insiden penyakit arteri perifer pada pasien DM tipe 2. Dampak yang paling umum ditimbulkan oleh penyakit arteri perifer adalah timbul ulkus, gangren, dan penyembuhan luka yang lambat akibat sirkulasi darah yang buruk pada ekstermitas (ADA, 2003; Smeltzer & Bare, 2001). Strategi yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya ulkus dan komplikasi lebih lanjut pada pasien DM tipe 2 meliputi edukasi kepada pasien, penanganan multidisiplin, monitoring ketat, dan pencegahan berupa perawatan kaki (Apelqvist et.al., 2008; Vatankhah et.al., 2009). Menurut PERKENI (2011), ada 4 pilar utama dalam penatalaksanaan DM tipe 2, yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam penatalaksanaan DM tipe 2 adalah edukasi. Edukasi kepada pasien DM tipe 2 penting dilakukan
5
sebagai langkah awal pengendalian DM tipe 2. Edukasi diberikan kepada pasien DM tipe 2 dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pasien sehingga pasien memiliki perilaku preventif dalam gaya hidupnya untuk menghindari komplikasi DM tipe 2 jangka panjang (Smeltzer & Bare, 2001). Salah satu bentuk edukasi yang umum digunakan dan terbukti efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien DM tipe 2 adalah Diabetes Self Management Education (DSME) (McGowan, 2011). Diabetes Self Management Education (DSME) merupakan komponen penting dalam perawatan pasien DM dan sangat diperlukan dalam upaya memperbaiki status kesehatan pasien. DSME adalah suatu proses berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri (Funnell et.al., 2008). Menurut Sidani & Fan (2009), DSME merupakan suatu proses memberikan pengetahuan kepada pasien mengenai aplikasi strategi perawatan diri secara mandiri untuk mengoptimalkan kontrol metabolik, mencegah komplikasi, dan memperbaiki kualitas hidup pasien DM. Tujuan umum DSME adalah mendukung pengambilan keputusan, perilaku perawatan diri, pemecahan masalah dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan untuk memperbaiki hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup (Funnell et.al., 2008). Beberapa penelitian mengenai DSME telah dilakukan dan memberikan hasil yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Rondhianto (2011) mengenai pengaruh Diabetes Self Management Education dalam Discharge Planning terhadap Self Efficacy dan Self Care Behaviour memberikan
6
hasil bahwa penerapan DSME dalam discharge planning memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepercayaan diri dan perilaku pasien. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh McGowan (2011) mengenai The Efficacy of Diabetes Patient Education and Self-Management Education in Type 2 Diabetes. Hasil dari penelitian tersebut adalah terdapat perubahan A1C dan berat badan pada kedua kelompok setelah 6 bulan, namun perubahan perilaku dan hasil biologis hanya terdapat pada kelompok intervensi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa DSME memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku dan hasil klinis pasien DM tipe 2. Penelitian lain mengenai DSME juga dilakukan oleh Wicaksana (2010) yang menunjukkan bahwa DSME memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengelolaan mandiri pasien DM tipe 2 yang meliputi peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan manajemen diri. Berdasarkan meta-analisis yang dilakukan oleh Norris et.al. (2002) terhadap beberapa hasil penelitian mengenai DSME, pemberian DSME lebih banyak dilakukan di klinik daripada di komunitas, sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pemberian DSME di komunitas. Berdasarkan Data Rekam Medik Rawat Jalan RSD dr. Soebandi Jember, jumlah kunjungan pasien DM tipe 2 ke Poli Interna pada bulan Januari tahun 2013 sebanyak 561 orang dan rata-rata kunjungan pasien DM tipe 2 per bulan sebanyak 358 orang. Hasil wawancara yang dilakukan dengan Kepala Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember pada bulan Maret tahun 2013, menunjukkan bahwa perawat tidak pernah memberikan Diabetes Self Management Education (DSME) kepada pasien DM tipe 2 karena keterbatasan waktu, kurangnya SDM, dan banyaknya pasien DM
7
tipe 2 yang kontrol ke Poli Interna. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember.
1.2 Perumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu adakah pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember.
1.3.2 Tujuan Khusus a.
Mengidentifikasi karakteristik pasien DM tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember;
b.
Mengidentifikasi resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum pemberian Diabetes Self Management Education (DSME) pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi;
8
c.
Mengidentifikasi resiko terjadinya ulkus diabetik sesudah pemberian Diabetes Self Management Education (DSME) pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi;
d.
Mengidentifikasi perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik saat observasi awal dan observasi akhir pada kelompok kontrol;
e.
Mengidentifikasi perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum dan sesudah pemberian Diabetes Self Management Education (DSME) pada kelompok intervensi; dan
f.
Menganalisis perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber referensi bagi dosen dan mahasiswa dalam mengembangkan ilmu keperawatan serta dapat digunakan sebagai materi pokok dalam asuhan keperawatan pasien dengan DM tipe 2 pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.
1.4.2 Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi institusi pelayanan kesehatan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien DM tipe 2, yaitu menjadi sumber referensi, sumber acuan, dan sebagai dasar aturan kebijakan
9
(Standart Operational Procedure) dalam penanganan DM tipe 2 yang berfokus pada tindakan preventif khususnya terhadap pencegahan terjadinya ulkus diabetik.
1.4.3 Bagi Profesi Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi, rujukan, dan bahan acuan tambahan dalam mengaplikasikan SOP (Standart Operational Procedure) dan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien DM tipe 2.
1.4.4
Bagi Masyarakat dan Responden Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat khususnya responden yaitu menambah informasi, pengetahuan, dan keterampilan dalam melakukan pengelolaan diabetes secara mandiri. Sehingga harapannya
masyarakat
mampu
mendampingi
dan
membantu
anggota
keluarganya yang mengalami DM tipe 2 untuk melakukan pengelolaan secara mandiri sebagai tindakan pencegahan resiko terjadinya ulkus diabetik.
1.4.5
Bagi Peneliti Penelitian ini dapat menjadi awal dari penelitian-penelitian selanjutnya
yang terkait dengan penanganan DM tipe 2 sehingga harapannya dengan adanya penelitian ini peneliti bisa menemukan berbagai solusi untuk mengatasi permasalahan DM tipe 2.
10
1.5 Keaslian Penelitian Salah satu penelitian terkait yang mendasari dan mendukung penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Hanif (2012) dengan judul penelitian “Perbedaan Tingkat Stres Sebelum dan Sesudah Dilakukan Diabetes Self Management Education (DSME) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Rambipuji Kabupaten Jember”. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat stres pada pasien DM tipe 2 sebelum dan sesudah dilakukan Diabetes Self Management Education (DSME). Metode penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan desain yang digunakan adalah pre-test and post-test with control group design, terdiri dari satu kelompok perlakuan dan satu kelompok kontrol. Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian tersebut adalah consecutive sampling dengan sampel sebanyak 15 responden untuk masing-masing kelompok. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuosioner Diabetes Distress Scale yang berisi 17 pertanyaan mengenai indikator tingkat stres. Analisis data pada penelitian tersebut menggunakan uji paired T-test dan independent T-test. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan ada perbedaan tingkat stres pada pasien DM tipe 2 sebelum dan sesudah dilakukan Diabetes Self Management Education (DSME). Berdasarkan penelitian tersebut, maka peneliti ingin melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember”. Perbedaan penelitian saat ini
11
dengan penelitian sebelumnya terletak pada variabel dependen, tempat penelitian, dan jumlah sampel. Variabel dependen yang ingin diteliti oleh peneliti saat ini adalah resiko terjadinya ulkus diabetik. Tempat penelitian saat ini adalah di rumah masing-masing pasien DM tipe 2 yang menjalani rawat jalan di Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember pada bulan Juli tahun 2013 yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah consequtive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 20 responden untuk masing-masing kelompok. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dengan menggunakan instrumen penelitian berupa Inlow’s 60-second Diabetic Foot Screen Screening Tool. Analisis data menggunakan uji paired T-test dan independent T-test dengan tingkat kepercayaan 95%.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus 2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan adanya kenaikan kadar glukosa darah (hiperglikemia), disertai dengan kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah (Mansjoer dkk., 2005). Smeltzer & Bare (2001) menyebutkan DM sebagai sekelompok kelainan yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Menurut American Diabetes Association (2010), Diabetes Mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang memiliki karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dan disebabkan oleh adanya resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, atau kedua-duanya.
2.1.2 Klasifikasi Berdasarkan etiologinya, DM dapat diklasifikasikan 4 (Mansjoer dkk., 2005; Smeltzer & Bare, 2001), yaitu: a. DM tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga mengakibatkan defisiensi insulin absolut, bersifat autoimun; b. DM tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin;
12
13
c. DM gestasional disebabkan oleh pengaruh hormon kehamilan yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah saat kehamilan; dan d. DM tipe lain disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat menyebabkan kerusakan pada pankreas yaitu defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, tumor/pankreatektomi, pankreatopati fibrokalkulus), endokrinopati, obat/zat kimia, infeksi, penyebab imunologi yang jarang (antibodi antiinsulin), dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
2.1.3 Etiologi Diabetes Mellitus secara umum disebabkan oleh defisiensi insulin akibat adanya kerusakan pada sel beta pankreas dan gangguan hormonal (Mansjoer dkk., 2005). DM tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) disebabkan oleh gangguan resistensi insulin dan sekresi insulin. Resistensi insulin terjadi karena reseptor yang berikatan dengan insulin tidak sensitif sehingga mengakibatkan menurunnya kemampuan insulin dalam merangsang pengambilan glukosa dan menghambat produksi glukosa oleh sel hati. Gangguan sekresi insulin terjadi karena sel beta pankreas tidak mampu mensekresikan insulin sesuai dengan kebutuhan (PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2001).
2.1.4 Patofisiologi Insulin merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh sel beta pankreas yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa darah. Secara fisiologis, insulin
14
akan terikat dengan reseptor khusus pada membran sel sehingga menimbulkan reaksi. Reaksi yang dihasilkan oleh adanya ikatan antara reseptor dengan insulin tersebut adalah uptake glukosa oleh insulin dan terjadinya metabolisme glukosa dalam sel (Guyton & Hall, 2007). Resistensi insulin yang terjadi pada DM tipe 2 disebabkan karena fungsi fisiologis insulin terganggu, yaitu menurunnya kemampuan insulin dalam berikatan dengan reseptor sehingga jumlah glukosa yang dimetabolisme di dalam sel berkurang. Gangguan sekresi insulin yang terjadi pada DM tipe 2 disebabkan oleh menurunnya kemampuan sel beta dalam mensekresikan insulin (Price & Wilson, 2005). Dampak yang diakibatkan dari adanya resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin adalah meningkatnya kadar glukosa darah karena glukosa tidak mengalami metabolisme di dalam sel. Cara untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah adalah harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan (Tambayong, 2000). Jika semakin banyak glukosa yang tidak dapat dimetabolisme dan digunakan oleh jaringan, maka kebutuhan jaringan terhadap glukosa semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya proses pemecahan lemak dan protein atau sering disebut dengan glukoneogenesis (Smeltzer & Bare, 2001). Proses glukoneogenesis menghasilkan produk sampingan lemak dan protein yang berupa asam lemak dan badan keton. Produk sampingan ini akan menumpuk di dalam pembuluh darah sehingga mengakibatkan penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis). Penyempitan pembuluh darah juga diakibatkan oleh kerusakan sel endotel pembuluh darah karena kadar glukosa darah yang
15
meningkat. Penyempitan pembuluh darah tersebut mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke jaringan sehingga jaringan mengalami iskemik dan nekrosis serta memicu terjadinya berbagai komplikasi (Smeltzer & Bare, 2001; Tambayong, 2000). Patofisiologi DM tipe 2 secara skematik dapat dilihat pada bagan di bawah ini: ↓ kemampuan insulin berikatan dengan reseptor
Resistensi insulin
↓ kemampuan sel beta
Gangguan sekresi insulin
Glukosa tidak mengalami metabolisme dalam sel
Menumpuk pada dinding pembuluh darah
Kerusakan sel endotel Komplikasi
↓ suplai darah ke jaringan
Aterosklerosis
Penebalan dinding pembuluh darah
Hiperglikemia
↑ kebutuhan jaringan terhadap glukosa
Glukoneogenesis
↑ produk sampingan lemak dan protein
Menumpuk dalam pembuluh darah
Gambar 2.1. Skema patofisiologi DM tipe 2
2.1.5 Manifestasi Klinis Diagnosis DM tipe 2 awalnya ditunjukkan dengan adanya gejala khas berupa polifagia, poliuria, polidipsia (Tambayong, 2000). Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi pada pria, dan pruritus vulva pada wanita (Mansjoer dkk., 2005). Berdasarkan studi kohort yang dilakukan oleh Sudore et.al. (2012), hampir setengah pasien DM tipe 2 dewasa (total 13.171 responden) melaporkan telah merasakan gejala selain
16
gejala khas DM yang berupa kelelahan, depresi, dyspnea, insomnia, emosi yang tidak stabil, dan nyeri. Pasien berusia lebih dari 60 tahun mengeluh sering merasakan nyeri dan dyspnea (physical symptoms), sedangkan pasien berusia kurang dari 60 tahun mengeluh sering kelelahan, insomnia, dan depresi (psychosocial symptoms).
2.1.6
Diagnosis Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa
darah dan tidak dapat ditegakkan dengan adanya glukosuria (PERKENI, 2011). Diagnosis DM tipe 2 juga dapat ditegakkan jika pasien mengalami keluhan klasik/khas DM seperti poliuria, polidipsia, dan polifagia, dan keluhan lain seperti kelelahan, kesemutan, gatal, dan mata kabur (Mansjoer dkk., 2005). Menurut PERKENI (2011), diagnosis DM tipe 2 dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu: a. jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu lebih dari 200 mg/dl cukup untuk menegakkan diagnosis DM tipe 2; b. pemeriksaan glukosa plasma puasa lebih dari 126 mg/dl dengan adanya keluhan klasik; dan c. tes toleransi glukosa oral (TTGO). Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM tipe 2 dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) yaitu bila setelah pemeriksaan TTGO diperoleh glukosa plasma 2 jam
17
setelah beban antara 140-199 mg/dl. Kelompok glukosa darah puasa terganggu (GDPT) yaitu bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa diperoleh antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dl. Langkahlangkah diagnosis DM tipe 2 secara skematik dapat dilihat pada gambar berikut: (PERKENI, 2011; Mansjoer dkk., 2005):
Sumber: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Indonesia. Jakarta: PB. PERKENI.
Gambar 2.2. Langkah-langkah diagnosis DM tipe 2 Penegakan diagnosis DM tipe 2 juga didukung dengan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menentukan apakah pasien mengalami DM tipe 2, TGT, maupun GDPT, sehingga pasien dapat ditangani
18
secara cepat dan tepat. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa (Mansjoer dkk., 2005; PERKENI, 2011).
2.1.7
Pencegahan Pencegahan DM terdiri dari pencegahan primer, sekunder, dan tersier,
meliputi (PERKENI, 2011): a. Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah suatu upaya pencegahan yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor resiko, yaitu kelompok yang belum mengalami DM namun berpotensi untuk mengalami DM karena memiliki faktor resiko sebagai berikut: 1) faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi: a)
ras dan etnik. African Americans, Mexican Americans, American Indians, Hawaiians dan beberapa Asian Americans memiliki resiko tinggi mengalami DM dan penyakit jantung, dikarenakan tingginya kadar glukosa darah, obesitas, dan jumlah populasi DM dalam etnik tersebut (Shai et.al., 2006);
b) jenis kelamin. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Wexler et.al. (2005), pria lebih beresiko mengalami DM daripada wanita. Wanita yang mengalami menopause akan lebih beresiko mengalami DM daripada wanita yang belum menopause;
19
c)
riwayat keluarga dengan DM. Seseorang yang memiliki riwayat keluarga dengan DM akan lebih beresiko mengalami DM daripada seseorang yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan DM (Arslanian et.al., 2005); dan
d) usia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Meneilly & Elahi (2005), resiko DM lebih tinggi pada usia dewasa daripada lansia. 2) faktor resiko yang bisa dimodifikasi: a)
obesitas. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shai et.al. (2006), seseorang yang obesitas akan mengalami resiko DM lebih tinggi daripada seseorang yang tidak obesitas. Hal tersebut dikarenakan kandungan lemak yang lebih banyak dapat menurunkan sensitivitas insulin;
b) kurangnya aktivitas fisik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Morato et.al. (2007), seseorang yang kurang bergerak atau sedikit melakukan aktivitas fisik akan lebih beresiko mengalami DM. Hal tersebut dikarenakan kurangnya aktivitas fisik dapat menurunkan sensitivitas insulin terhadap reseptor; c)
hipertensi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eyre et.al. (2004), hipertensi menjadi salah satu faktor resiko DM karena hipertensi dapat meningkatkan kejadian aterosklerosis yang berdampak pada penurunan fungsi sel beta pankreas dalam memproduksi insulin;
d) dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL). Dislipidemia menjadi salah satu faktor resiko DM karena dislipidemia
20
merupakan indikator meningkatnya jaringan adiposa yang berdampak pada penurunan sensitivitas insulin (Eyre et.al., 2004); dan e)
diet tidak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan resiko mengalami DM.
3) faktor lain yang terkait dengan resiko diabetes : a)
pasien Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin. PCOS merupakan kelainan endokrinopati pada wanita usia reproduksi. PCOS lebih sering dikaitkan dengan adanya timbunan lemak yang berlebih. Timbunan lemak yang berlebih terutama di rongga perut dapat menyebabkan penurunan sensitivitas insulin sehingga berdampak pada peningkatan kadar glukosa darah;
b) pasien sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya; dan c)
pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases). Pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular akan lebih beresiko mengalami DM karena kondisi pembuluh darah dan hemostasis yang buruk akan menyebabkan ketidakseimbangan endokrin dalam tubuh. Tindakan penyuluhan dan pengelolaan pada kelompok masyarakat yang
mempunyai resiko tinggi merupakan salah satu aspek penting dalam pencegahan primer. Materi penyuluhan yang dapat diberikan meliputi program
21
penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani, dan menghentikan merokok. b. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi pada pasien yang telah mengalami DM. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini sejak awal pengelolaan penyakit DM. Program penyuluhan memegang peranan penting dalam upaya pencegahan sekunder untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan menuju perilaku sehat. c. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut pada pasien DM yang mengalami komplikasi. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan berkembang dan menetap. Penyuluhan pada pasien dan keluarganya memegang peranan penting dalam upaya pencegahan tersier. Penyuluhan dapat dilakukan dengan pemberian materi mengenai upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut. Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan kolaborasi antar tenaga medis. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dan lain sebagainya) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.
22
2.1.8
Penatalaksanaan Penatalaksanaan DM tipe 2 secara umum bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Penatalaksanaan DM tipe 2 terdiri dari penatalaksanaan jangka pendek dan penatalaksanaan jangka panjang. Tujuan penatalaksanaan jangka pendek adalah
menghilangkan tanda dan gejala DM tipe 2,
mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Tujuan penatalaksanaan jangka panjang adalah mencegah dan menghambat progresivitas komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neuropati diabetik. Tujuan akhir dari penatalaksanaan DM tipe 2 adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2001; PERKENI, 2011). Pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid perlu dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku (Mansjoer dkk., 2005). Menurut PERKENI (2011), ada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. a. Edukasi Edukasi memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan DM tipe 2 karena pemberian edukasi kepada pasien dapat merubah perilaku pasien dalam melakukan pengelolaan DM secara mandiri. Pemberian edukasi kepada pasien harus dilakukan dengan melihat latar belakang pasien, ras, etnis, budaya, psikologis, dan kemampuan pasien dalam menerima edukasi. Edukasi mengenai pengelolaan DM secara mandiri harus diberikan secara bertahap
23
yang meliputi konsep dasar DM, pencegahan DM, pengobatan DM, dan selfcare (IDF, 2005; Funnell et.al., 2008). b. Terapi Nutrisi Medis Terapi Nutrisi Medis (TNM) atau diet merupakan bagian dari penatalaksanaan DM tipe 2. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari tenaga kesehatan (dokter, ahli gizi, tenaga kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Prinsip pengaturan nutrisi pada pasien DM tipe 2 yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pengaturan jadwal, jenis, dan jumlah makanan merupakan aspek yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada pasien dengan terapi insulin (PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2001). c. Latihan jasmani Latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance training). Prinsip CRIPE tersebut menjadi dasar dalam pembuatan materi DSME yang memiliki arti latihan jasmani dilakukan secara terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur, gerak cepat dan lambat secara bergantian, berangsur-angsur dari latihan ringan ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu. Latihan jasmani bertujuan untuk menjaga kebugaran tubuh, menurunkan berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
24
disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani. Pasien DM tipe 2 yang relatif sehat dapat meningkatkan intensitas latihan jasmani, sedangkan pasien DM tipe 2 yang mengalami komplikasi dapat mengurangi intensitas latihan jasmani (PERKENI, 2011; Mansjoer dkk., 2005). d. Intervensi farmakologis Intervensi farmakologis meliputi pemberian obat-obatan kepada pasien DM tipe 2. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa obat oral dan bentuk suntikan. Obat dalam bentuk suntikan meliputi pemberian insulin dan agonis GLP-1/incretin mimetic (PERKENI, 2011). Berdasarkan cara kerjanya, obat hiperglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 5 golongan, yaitu pemicu sekresi insulin (misalnya sulfonilurea dan glinid), peningkat sensitivitas terhadap insulin (misalnya metformin dan tiazolidindion), penghambat glukoneogenesis (misalnya metformin), penghambat absorpsi glukosa (misalnya penghambat glukosidase alfa), dan DPP-IV inhibitor (Mansjoer dkk., 2005; PERKENI, 2011).
2.1.9 Komplikasi Komplikasi yang muncul akibat penyakit DM antara lain (Mansjoer dkk., 2005; Smeltzer & Bare, 2001): a. Akut, meliputi koma hipoglikemia, ketoasidosis, dan koma Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik (HHNK). Koma hipoglikemia terjadi akibat terapi insulin secara terus-menerus, ketoasidosis terjadi akibat proses pemecahan lemak secara terus-menerus yang menghasilkan produk sampingan berupa
25
benda keton yang bersifat toksik bagi otak, sedangkan koma HHNK terjadi akibat hiperosmolaritas dan hiperglikemia yang menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit sehingga terjadi perubahan tingkat kesadaran; dan b. Kronik, meliputi makrovaskuler (mengenai pembuluh darah besar seperti pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak), mikrovaskuler (mengenai pembuluh darah kecil : retinopati diabetik, nefropati diabetik), neuropati diabetik, rentan infeksi, dan kaki diabetik. Komplikasi tersering dan paling penting adalah neuropati perifer yang berupa hilangnya sensasi distal dan berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus diabetik dan amputasi (PERKENI, 2011).
2.2 Ulkus Diabetik 2.2.1
Definisi Ulkus diabetik adalah salah satu komplikasi DM yang berupa lesi terbuka
pada permukaan kulit yang disebabkan oleh beberapa faktor dan dapat memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien DM (Kirsner et.al., 2010). Menurut Frykberg (2002), luka diabetik adalah luka atau lesi pada pasien DM yang dapat mengakibatkan ulserasi aktif dan merupakan penyebab utama amputasi kaki. Ulkus diabetik merupakan salah satu komplikasi DM yang paling menimbulkan kecemasan pada pasien DM karena kejadian ulkus diabetik selalu dikaitkan dengan amputasi kaki (Adam, 2005 dalam Arief, 2008).
26
2.2.2
Etiologi Ulkus diabetik disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor tersering penyebab
ulkus diabetik adalah neuropati, trauma, dan deformitas kaki, yang sering disebut dengan Critical Triad of Diabetic Ulcers. Ulkus diabetik merupakan penyebab tersering pasien harus diamputasi, sehingga faktor-faktor tersebut juga merupakan faktor predisposisi terjadinya amputasi (Frykberg, 2002).
2.2.3
Faktor Resiko Menurut Boulton (2004 dalam Arief, 2008) faktor resiko terjadinya ulkus
diabetik adalah neuropati perifer, penyakit vaskuler, mobilitas sendi yang terbatas, deformitas kaki, tekanan kaki abnormal, trauma minor, riwayat ulkus atau amputasi, dan gangguan visual. Faktor resiko yang berasal dari keadaan sistemik pasien adalah hiperglikemia yang tidak terkontrol, lama penyakit DM lebih dari 10 tahun, usia pasien lebih dari 40 tahun, riwayat merokok, dan memiliki penyakit ginjal kronis (Smeltzer & Bare, 2001; Boulton, 2004 dalam Arief, 2008). Menurut Frykberg (2002), faktor resiko terjadinya ulkus diabetik adalah adanya sensasi normal tanpa deformitas, sensasi normal dengan deformitas atau tekanan
plantar
tinggi,
insensitivitas
tanpa
adanya
deformitas,
kombinasi/complicated, kombinasi insensitivitas, iskemia, dan deformitas, dan riwayat adanya tukak (Deformitas Charcot). Indikator resiko terjadinya ulkus diabetik meliputi kondisi kulit, kondisi kuku, ada tidaknya deformitas, kelayakan alas kaki, suhu kaki, rentang gerak kaki, tes sensasi kaki dengan monofilamen, tes
27
sensasi kaki dengan 4 pertanyaan, denyut nadi pada kaki, warna pada kaki, dan ada tidaknya erythema (Canadian Association of Wound Care, 2011).
2.2.4
Patofisiologi Kejadian ulkus diabetik diawali dengan adanya hiperglikemia pada pasien
DM yang dapat menyebabkan kelainan pada pembuluh darah (Frykberg, 2002). Peningkatan glukosa dalam darah akan merangsang reaksi proliferasi sel endotel dan proses glukoneogenesis yang menghasilkan produk sampingan lemak dan protein. Produk sampingan tersebut akan bersirkulasi dalam darah dan menumpuk di dinding bagian dalam pembuluh darah. Proliferasi sel endotel dan penumpukan produk sampingan tersebut akan menyebabkan dinding pembuluh darah semakin menebal dan terbentuk jembatan dengan formasi huruf “A”. Akibat yang ditimbulkan dari penebalan pembuluh darah tersebut adalah penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis) dan peningkatan viskositas darah, sehingga aliran darah ke jaringan semakin berkurang termasuk syaraf. Aliran darah yang terus menerus semakin berkurang ke syaraf dapat menyebabkan syaraf mengalami iskemia dan kehilangan fungsinya atau neuropati diabetik (Rebolledo et.al., 2012; Guyton & Hall, 2007). Neuropati diabetik meliputi gangguan syaraf motorik, sensorik, dan otonom yang masing-masing memegang peranan penting pada kejadian ulkus diabetik. Gangguan syaraf motorik menyebabkan paralisis otot kaki yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan dan bentuk pada sendi kaki (deformitas), perubahan cara berjalan, dan menimbulkan titik tekan baru dan
28
penebalan pada telapak kaki (kalus). Gangguan syaraf sensorik menyebabkan mati rasa setempat dan hilangnya perlindungan terhadap trauma sehingga pasien mengalami cedera tanpa disadari. Gangguan syaraf otonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga kulit menjadi kering dan mudah mengalami luka yang sulit sembuh (Rebolledo et.al., 2012; De Jong, 1997 dalam Arief, 2008). Neuropati diabetik, trauma, dan deformitas merupakan penyebab utama ulkus diabetik. Penyebab lain yang turut menyebabkan ulkus diabetik adalah perubahan struktur anatomis, pengaruh lingkungan, dan penyakit vaskuler perifer. Perubahan struktur anatomis meliputi perubahan struktur plantar metatarsal, plantar fatty pad, dan Charcot foot. Pengaruh lingkungan meliputi penggunaan sepatu yang tidak layak, kalus, adanya benda-benda tajam, dan penggunaan kain yang kasar. Pasien DM yang memiliki beberapa faktor penyebab ulkus diabetik tersebut akan beresiko untuk mengalami ulkus diabetik yang berarti beresiko pula untuk mengalami amputasi (Rebolledo et.al.,2012).
2.2.5
Klasifikasi Ada beberapa macam klasifikasi ulkus diabetik dari klasifikasi sederhana
hingga klasifikasi yang lebih rumit, yaitu klasifikasi sederhana Edmonds dari King’s College Hospital London, klasifikasi Wagner, dan klasifikasi University of Texas (Waspadji, 2006 dalam Arief, 2008). Klasifikasi menurut Edmonds (2005 dalam Arief, 2008) yaitu: a. derajat I : kaki normal; b. derajat II : kaki memiliki resiko tinggi;
29
c. derajat III : kaki mengalami ulkus; d. derajat IV : kaki mengalami nekrosis; dan e. derajat V : kaki yang tidak dapat ditangani. Menurut Wagner (1987 dalam Frykberg, 2002), ulkus diabetik diklasifikasikan berdasarkan kedalaman ulkus dan ada tidaknya osteomyelitis atau gangren, yaitu: a. derajat 0 : kulit utuh, tidak ada luka terbuka, namun ada kelainan pada kaki akibat neuropati. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parisi et.al. (2008), ulkus diabetik derajat 0 lebih mudah mengalami penyembuhan daripada ulkus diabetik derajat lainnya; b. derajat 1 : ulkus diabetik superfisial (sebagian atau seluruh permukaan kulit). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parisi et.al. (2008), ulkus diabetik derajat 1 memiliki kemungkinan untuk sembuh sebesar 70,96%; c. derajat 2 : ulkus meluas hingga ligamen, tendon, kapsul sendi, atau fasia dalam tanpa abses atau osteomyelitis. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parisi et.al. (2008), ulkus diabetik derajat 2 memiliki kemungkinan untuk sembuh sebesar 41,27%; d. derajat 3 : ulkus dalam dengan abses, osteomyelitis, atau sepsis sendi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parisi et.al. (2008), ulkus diabetik derajat 3 memiliki kemungkinan untuk sembuh sebesar 41,27%; e. derajat 4 : gangren terlokalisasi pada bagian jari atau tumit. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oyibo et.al. (2001), ulkus diabetik derajat 4 biasanya muncul akibat kombinasi infeksi dan iskemia. Amputasi pada bagian
30
gangren yang terlokalisasi merupakan hal yang sering dilakukan karena kemungkinan pasien untuk sembuh kecil; dan f. derajat 5 : gangren yang meluas hingga seluruh kaki. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oyibo et.al., (2001), ulkus diabetik derajat 5 memiliki resiko tinggi untuk diamputasi dan kemungkinan untuk sembuh sangat kecil. Klasifikasi ulkus diabetik menurut University of Texas (San Antonio scale) lebih kompleks. Ulkus diabetik diklasifikasikan berdasarkan kedalaman ulkus, ada tidaknya infeksi, dan ada tidaknya tanda dan gejala iskemia. Klasifikasi ulkus diabetik menurut University of Texas dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Armstrong et.al., 1998 dalam Rebolledo et.al., 2012; Oyibo et.al., 2001): Stage A B C D
Grade 0 Pre/post ulkus tanpa kerusakan kulit + infeksi + iskemia + infeksi dan iskemia
1 Ulkus superfisial + infeksi + iskemia + infeksi dan iskemia
2 Ulkus dalam (hingga ke tendon/kapsul) + infeksi + iskemia + infeksi dan iskemia
3 Ulkus meluas hingga ke tulang/sendi + infeksi + iskemia + infeksi dan iskemia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parisi et.al. (2008), ulkus diabetik stage A grade 1 memiliki kemungkinan untuk sembuh sebesar 81,64%, stage A grade 2-3 sebesar 60,80%, stage B grade 1 sebesar 61,87%, stage B grade 2-3 sebesar 36,14%, stage C grade 1 sebesar 68,64%, stage C grade 2-3 sebesar 43,29%, stage D grade 1 sebesar 49,17%, dan stage D grade 2-3 memiliki kemungkinan untuk sembuh sebesar 25,22%.
31
2.2.6
Penatalaksanaan Penatalaksanaan ulkus diabetik harus dilakukan secara menyeluruh
(komprehensif) dan berpedoman pada karakteristik ulkus. Penatalaksanaan pada ulkus diabetik mencakup kontrol berbagai aspek (Waspadji, 2006 dalam Arief, 2008; Frykberg, 2002; Rebolledo et.al., 2012; ADA, 1998 dalam Rolikasari, 2007), yaitu: a. kontrol metabolik Kontrol metabolik dilakukan dengan cara menjaga kadar glukosa darah dalam batas normal. Pasien dapat melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah secara mandiri atau ke fasilitas pelayanan kesehatan. Upaya kontrol metabolik dilakukan untuk mencegah hiperglikemia dan memperbaiki berbagai faktor yang dapat menghambat penyembuhan luka. b. kontrol vaskular Kontrol vaskular dilakukan dengan cara menghindari atau memodifikasi faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan aterosklerosis (berhenti merokok, membatasi makanan berlemak, dan lain sebagainya) dan rekonstruksi pembuluh darah pada pasien iskemia. Rekonstruksi pembuluh darah dapat dilakukan dengan cara neovaskularisasi pada bagian distal agar aliran darah ke kaki meningkat. Tujuan rekonstruksi pembuluh darah adalah untuk membantu mempercepat penyembuhan luka, mengurangi nyeri, dan memperbaiki fungsi tubuh.
32
c. kontrol luka Kontrol luka dapat dilakukan dengan cara perawatan luka yang tepat, penggunaan teknik dressing dan agen topikal yang tepat pada luka, dan debridemen pada jaringan nekrosis. Perawatan luka dilakukan sejak ulkus terbentuk dan dilakukan secara hati-hati dan teliti. Tujuan perawatan luka adalah mencegah dehidrasi dan kematian sel, mempercepat proses angiogenesis, dan memfasilitasi proses epitelisasi. Penggunaan teknik dressing yang tepat dapat membantu menjaga kelembapan area luka. Pemilihan agen topikal harus mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu kemampuan agen dalam mengabsorpsi eksudat, membuang jaringan nekrosis dan kontaminasi bakteri, memberikan rehidrasi pada luka, dan kemampuan agen dalam mencapai dasar luka. Debridemen pada jaringan nekrosis merupakan suatu tindakan membuang jaringan mati, jaringan yang tercemar, dan menyisakan jaringan yang masih sehat. Debridemen dilakukan secara terus menerus selama proses pemulihan luka untuk mendukung drainase dan mempercepat penyembuhan luka. d. kontrol mikrobiologis Kontrol mikrobiologis dilakukan untuk mencegah infeksi pada luka. Ulkus diabetik dapat menjadi tempat berkembang biak bakteri jika tidak dirawat dengan baik. Kultur jaringan harus dilakukan untuk mengetahui jenis bakteri yang ada pada daerah ulkus sehingga dapat membantu dalam penentuan antibiotik yang tepat bagi pasien. Adanya pus atau lebih dari satu tanda inflamasi (bengkak, kemerahan, nyeri, terasa hangat, dan kehilangan fungsi)
33
menjadi tanda berkembang biaknya bakteri pada daerah ulkus dan menyebabkan infeksi pada daerah ulkus. e. kontrol tekanan Kontrol tekanan dilakukan dengan cara pengurangan beban pada kaki (offloading) yaitu dengan menghindari semua tekanan mekanis pada kaki yang terluka maupun pada kaki yang mengalami kalus. Pengurangan beban pada kaki dilakukan untuk mencegah trauma tambahan pada kaki dan mempercepat proses penyembuhan luka. Penggunaan sepatu yang layak, tirah baring, mengurangi aktivitas berat, dan perawatan kaki merupakan cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi beban pada kaki. f. kontrol edukasi Kontrol edukasi dilakukan dengan cara memberikan edukasi mengenai pengelolaan ulkus diabetik dan pengelolaan DM secara mandiri. Pemberian edukasi yang tepat dapat meningkatkan pengetahuan, motivasi, dan keterampilan pasien serta merubah perilaku pasien dalam melakukan perawatan mandiri.
2.2.7
Penilaian Ulkus Diabetik Penilaian ulkus diabetik merupakan salah satu aspek penting dalam
pemilihan terapi yang tepat bagi pasien. Penilaian ulkus diabetik dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang dilakukan meliputi aktivitas sehari-hari pasien, alas kaki yang digunakan, keluhan yang dirasakan pasien, riwayat penyakit, lama mengalami DM, kebiasaan-
34
kebiasaan pasien, dan upaya yang biasa dilakukan oleh pasien. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dilakukan untuk melakukan penilaian terhadap karakteristik ulkus dan penatalaksanaan yang tepat (Wijonarko, 2010). Karakteristik ulkus yang dapat diperoleh dari hasil pemeriksaan yaitu jumlah ulkus, ukuran ulkus, kedalaman ulkus, ada tidaknya eksudat, tepi ulkus, warna ulkus, ada tidaknya maserasi, jenis jaringan dalam ulkus, ada tidaknya edema, ada tidaknya inflamasi, nyeri, dan ada tidaknya infeksi (Rebolledo et.al., 2012).
2.3 Diabetes Self Management Education (DSME) 2.3.1
Definisi DSME Diabetes Self Management Education (DSME) adalah suatu proses
berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri (Funnell et.al., 2008). Menurut Sidani & Fan (2009), DSME merupakan suatu proses pemberian edukasi kepada pasien mengenai aplikasi strategi perawatan diri secara mandiri untuk
mengoptimalkan
kontrol
metabolik,
mencegah
komplikasi,
dan
memperbaiki kualitas hidup pasien DM.
2.3.2
Tujuan DSME Tujuan DSME adalah mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas
hidup pasien dalam upaya mencegah komplikasi akut dan kronis, sekaligus mengurangi penggunaan biaya perawatan klinis (Norris et.al., 2002). Menurut Funnell et.al. (2008) tujuan umum DSME adalah mendukung pengambilan
35
keputusan, perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan untuk meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup.
2.3.3
Prinsip DSME Prinsip utama DSME menurut Funnell et.al. (2008) adalah pendidikan DM
efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien meskipun dalam jangka pendek, DSME telah berkembang dari model pengajaran primer menjadi lebih teoritis yang berdasarkan pada model pemberdayaan pasien, tidak ada program edukasi yang terbaik namun program edukasi yang menggabungkan strategi perilaku dan psikososial terbukti dapat memperbaiki hasil klinis, dukungan yang berkelanjutan merupakan aspek yang sangat penting untuk mempertahankan kemajuan yang diperoleh pasien selama program DSME, dan penetapan tujuan-perilaku adalah strategi efektif mendukung selfcare behaviour.
2.3.4
Standar DSME DSME memiliki 10 standar yang terbagi menjadi 3 domain (Funnell et.al.,
2008; Haas et.al., 2012) yaitu: a. struktur 1) standar 1 (internal structure): DSME merupakan struktur organisasi, misi, dan tujuan yang menjadikan DSME sebagai bagian dari perawatan untuk pasien DM;
36
2) standar 2 (external input): kesatuan DSME harus menunjuk suatu tim untuk mempromosikan kualitas DSME. Tim tersebut harus terdiri dari tenaga kesehatan, pasien DM, komunitas, dan pembuat kebijakan; 3) standar 3 (access): kesatuan DSME akan mengidentifikasi kebutuhan pendidikan kesehatan merupakan upaya untuk mendukung peningkatan kualitas hidup bagi pasien DM. DSME mengidentifikasi kebutuhan pendidikan kesehatan dari populasi target dan mengidentifikasi sumbersumber yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut; dan 4) standar 4 (program coordination): koordinator DSME akan ditunjuk untuk mengawasi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi DSME. Koordinator yang ditunjuk harus memiliki kemampuan akademik dan pengalaman dalam perawatan penyakit kronis dan manajemen program edukasi. b. proses 1) standar 5 (instructional staff): DSME dapat dilakukan oleh satu atau lebih tenaga kesehatan. Edukator DSME harus memiliki kemampuan akademik dan pengalaman dalam memberikan edukasi dan manajemen DM atau harus
memiliki
sertifikat
sebagai
edukator.
Edukator
DSME
mempersiapkan materi yang akan disampaikan secara berkelanjutan.; 2) standar 6 (curriculum): penyusunan kurikulum harus menggambarkan fakta DM, petunjuk praktek, dengan kriteria untuk hasil evaluasi dan akan digunakan sebagai kerangka kerja DSME. Pengkajian kebutuhan pasien DM dan pre-DM akan mengindentifikasi informasi-informasi yang harus diberikan kepada pasien;
37
3) standar 7 (individualization): pengkajian individual dan perencanaan edukasi akan dilakukan oleh kolaborasi antara pasien dan edukator untuk menentukan
pendekatan
pelaksanaan
mendukung
manajemen
pasien.
DSME
Strategi
dan
yang
strategi
dalam
digunakan
adalah
mempertimbangkan aspek budaya dan etnis pasien, usia, pengetahuan, keyakinan dan sikap, kemampuan belajar, keterbatasan fisik, dukungan keluarga, dan status finansial pasien. Pengkajian, perencanaan edukasi, dan intervensi akan didokumentasikan pada dokumen DSME; dan 4) standar 8 (ongoing support): perencanaan follow-up pasien untuk mendukung DSME akan dilakukan dengan kolaborasi antara pasien dan edukator. Hasil follow-up tersebut akan diinformasikan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam DSME. c. hasil 1) standar 9 (patient progress): kesatuan DSME akan mengukur keberhasilan pasien dalam mencapai tujuan dan hasil klinis pasien dengan menggunakan teknik pengukuran yang tepat untuk mengevaluasi efektivitas dari DSME; dan 2) standar 10 (quality improvement): Kesatuan DSME akan mengukur efektivitas proses edukasi dan mengidentifikasi peluang untuk perbaikan DSME dengan menggunakan perencanaan perbaikan kualitas DSME secara
berkelanjutan
yang
menggambarkan
berdasarkan kriteria hasil yang dicapai.
peningkatan
kualitas
38
2.3.5
Komponen DSME Menurut Schumacher dan Jancksonville (2005 dalam Rondhianto, 2011)
komponen dalam DSME yaitu: a. pengetahuan dasar tentang diabetes, meliputi definisi, patofisiologi dasar, alasan pengobatan, dan komplikasi diabetes; b. pengobatan, meliputi definisi, tipe, dosis, dan cara menyimpan. Penggunaan insulin meliputi dosis, jenis insulin, cara penyuntikan, dan lainnya. Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) meliputi dosis, waktu minum, dan lainnya; c. monitoring, meliputi penjelasan monitoring yang perlu dilakukan, pengertian, tujuan, dan hasil dari monitoring, dampak hasil dan strategi lanjutan, peralatan yang digunakan dalam monitoring, frekuensi, dan waktu pemeriksaan; d. nutrisi, meliputi fungsi nutrisi bagi tubuh, pengaturan diet, kebutuhan kalori, jadwal makan, manjemen nutrisi saat sakit, kontrol berat badan, gangguan makan dan lainnya; e. olahraga dan aktivitas, meliputi kebutuhan evaluasi kondisi medis sebelum melakukan olahraga, penggunaan alas kaki dan alat pelindung dalam berolahraga, pemeriksaan kaki dan alas kaki yang digunakan, dan pengaturan kegiatan saat kondisi metabolisme tubuh sedang buruk; f. stres dan psikososial, meliputi identifikasi faktor yang menyebabkan terjadinya distres, dukungan keluarga dan lingkungan dalam kepatuhan pengobatan;
39
g. perawatan kaki, meliputi insidensi gangguan pada kaki, penyebab, tanda dan gejala, cara mencegah, komplikasi, pengobatan, rekomendasi pada pasien jadwal pemeriksaan berkala; dan h. sistem pelayanan kesehatan dan sumber daya, meliputi pemberian informasi tentang tenaga kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan yang ada di lingkungan pasien yang dapat membantu pasien.
2.3.6
Tingkat Pembelajaran DSME Menurut Jones et.al. (2008) tingkat pembelajaran DSME terbagi menjadi
tiga tingkatan, yaitu: a. survival/basic level Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam upaya mencegah, mengidentifikasi dan mengobati komplikasi jangka pendek. b. intermediate level Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam upaya mencapai kontrol metabolik yang direkomendasikan, mengurangi resiko komplikasi jangka panjang dan memfasilitasi penyesuaian hidup pasien. c. advanced level Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam upaya
40
mendukung manajemen DM secara intensif untuk kontrol metabolik yang optimal, dan integrasi penuh ke dalam kegiatan perawatan kehidupan pasien.
2.3.7
Pelaksanaan DSME DSME dapat dilakukan secara individu maupun kelompok, baik di klinik
maupun komunitas (Norris et.al., 2002). Pelaksanaan DSME dapat dilakukan sebanyak 4 sesi dengan durasi waktu antara 1-2 jam untuk tiap sesi (Central Dupage Hospital, 2011), yaitu: a. sesi 1 membahas pengetahuan dasar tentang DM (definisi, etiologi, klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, diagnosis, pencegahan, pengobatan, komplikasi); b. sesi 2 membahas pengaturan nutrisi/diet dan aktivitas/latihan fisik yang dapat dilakukan; c. sesi 3 membahas perawatan kaki dan monitoring yang perlu dilakukan; dan d. sesi 4 membahas manajemen stress dan dukungan psikososial, dan akses pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.
2.4 Keterkaitan Diabetes Self Management Education (DSME) dengan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Salah satu pilar penanganan DM adalah edukasi. Edukasi memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan DM tipe 2 karena pemberian edukasi kepada pasien dapat membantu merubah perilaku pasien dalam melakukan pengelolaan DM secara mandiri. Edukasi dapat diberikan melalui
41
suatu promosi kesehatan. Promosi kesehatan merupakan proses pemberdayaan atau memandirikan masyarakat agar dapat memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Ottawa Charter, 1986 dalam Maulana, 2009). Proses pemberdayaan atau memandirikan masyarakat tidak hanya terbatas pada pemberian informasi (seperti pendidikan kesehatan) tetapi juga upaya untuk merubah perilaku dan sikap seseorang, sehingga promosi kesehatan dapat meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor seseorang (Maulana, 2009). Kesehatan seseorang dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu faktor keturunan, lingkungan,
pelayanan kesehatan, dan perilaku.
Lingkungan
merupakan faktor terbesar, dapat mempengaruhi kesehatan dan perilaku, begitu juga sebaliknya, perilaku dapat mempengaruhi lingkungan dan faktor-faktor lainnya (Maulana, 2009). Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Blum, 1974 dalam Maulana, 2009). Perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi seseorang dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh suatu keseimbangan antara kekuatan pendorong dan kekuatan
penahan.
Perilaku
seseorang
dapat
berubah
jika
terjadi
ketidakseimbangan atau perubahan pada kedua kekuatan tersebut dalam diri seseorang (Maulana, 2009). Berdasarkan beberapa penelitian dan literatur, perilaku masyarakat yang erat kaitannya dengan upaya peningkatan pengetahuan masyarakat terbentuk melalui kegiatan yang disebut pendidikan kesehatan. Menurut Green (1980 dalam
42
Maulana, 2009), pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan faktor perilaku (predisposisi, pendukung, dan pendorong) sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat. Perilaku, pendidikan kesehatan, dan status kesehatan seseorang saling berhubungan, hubungan tersebut dapat dilihat melalui bagan berikut: Keturunan
Pelayanan kesehatan
Status kesehatan
Lingkungan
Keturunan
Proses perubahan
Faktor predisposisi
Faktor pendukung
Komunikasi Penyuluhan
Pemberdayaan masyarakat Pemberdayaan sosial
Faktor pendorong
Pelatihan
Pendidikan kesehatan Gambar 2.3 Hubungan perilaku, pendidikan kesehatan, dan status kesehatan DSME merupakan salah satu bentuk edukasi yang efektif diberikan kepada pasien DM karena DSME memiliki prinsip dan standar dalam pelaksanaannya. Edukasi penting diberikan kepada pasien untuk mendukung pasien dalam melakukan pengelolaan secara mandiri di rumah. Edukasi yang diberikan secara
43
bertahap merupakan salah satu aspek yang dapat dilaksanakan dengan DSME. Pelaksanaan DSME terdiri dari 4 sesi yang meliputi pemberian pengetahuan mengenai konsep dasar penyakit DM, pengobatan DM, monitoring, pengaturan nutrisi, latihan jasmani, manajemen stress, perawatan kaki, dan akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan (Funnell et.al., 2008; Schumacher dan Jancksonville (2005 dalam Rondhianto, 2011)). DSME bertujuan untuk mendukung pengambilan keputusan, perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan, sehingga dapat meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup (Funnell et.al., 2008). Adanya pemberian DSME dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku pasien dalam melakukan perawatan diri. Self care (Perawatan diri) merupakan suatu kontribusi berkelanjutan orang dewasa bagi eksistensinya, kesehatannya, dan kesejahteraannya. Kebutuhan perawatan diri, menurut Orem, meliputi pemeliharaan udara, air/cairan, makanan, proses eliminasi normal, keseimbangan antara aktivitas dan istirahat, keseimbangan antara solitude dan interaksi sosial, pencegahan budaya bagi kehidupan, fungsi, dan kesejahteraan manusia, serta upaya meningkatkan fungsi dan perkembangan individu dalam kelompok sosial sesuai dengan potensi, keterbatasan, dan keinginan untuk normal (Asmadi, 2008). Kemampuan individu untuk melakukan perawatan diri dipengaruhi oleh usia, status perkembangan, pengalaman hidup, orientasi sosial budaya, kesehatan, dan sumber daya yang tersedia. Perawatan diri memiliki beberapa prinsip yaitu perawatan diri dilakukan secara holistik yang mencakup delapan komponen
44
kebutuhan perawatan diri, perawatan diri dilakukan sesuai tahap kembang manusia, dan perawatan diri dilakukan karena adanya masalah kesehatan atau penyakit dengan tujuan mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan (Asmadi, 2008). Adanya kemampuan pasien dalam melakukan perawatan diri inilah yang akan mencegah resiko terjadinya ulkus diabetik.
2.5 Kerangka Teori 4
Faktor resiko DM a. faktor yang tidak dapat dimodifikasi b. faktor yang dapat dimodifikasi c. faktor lain
Resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin1,2,4
Hiperglikemia3,5 ↑ produk sampingan lemak dan protein1,5
Empat pilar penanganan DM4 a. edukasi b. terapi nutrisi medis c. latihan jasmani d. intervensi farmakologis DM tipe 21
Glukoneogenesis
1
Peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku11
Peningkatan kemampuan pasien dalam melakukan pengelolaan DM secara mandiri 11
Menumpuk pada dinding pembuluh darah1,5
Penebalan dinding pembuluh darah1,5
mendukung: 11 a. pengambilan keputusan b. perawatan diri c. pemecahan masalah d. kolaborasi dengan tim kesehatan
Diabetes Self Management Education7 a. konsep dasar DM b. pengobatan DM c. monitoring KGD d. pengaturan nutrisi e. aktivitas dan latihan jasmani f. manajemen stress g. perawatan kaki h. akses fasilitas pelayanan kesehatan
Aterosklerosis1,5
↓ suplai darah ke jaringan6,10
Iskemia syaraf6,10
Faktor resiko ulkus diabetik1,9 a. Perubahan struktur anatomis b. Pengaruh lingkungan c. Penyakit vaskuler perifer d. Lama DM > 10 tahun e. Usia > 40 tahun f. Riwayat merokok
Neuropati diabetik (sensorik, motorik, otonom)6,10
Resiko ulkus diabetik6
Ulkus diabetik6
Critical Triad8 a. Neuropati b. Trauma c. Deformitas
Resiko amputasi6
Gambar 2.4
Kerangka teori penelitian (adaptasi dari 1Smeltzer & Bare, 2001; 2Mansjoer dkk, 2005; 3Price & Wilson, 2005; 4PERKENI, 2011; 5 Tambayong, 2000; 6Rebolledo et.al., 2012; 7Schumacher dan Jancksonville (2005 dalam Rondhianto, 2011); 8Frykberg, 2002; 9 Boulton (2004 dalam Arief, 2008); 10Guyton & Hall, 2007; 11Funnell et.al., 2008)
BAB 3. KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada gambar 3.1. Diabetes Self Management Education (DSME)
Resiko terjadinya ulkus diabetik (sebelum intervensi)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Resiko terjadinya ulkus diabetik (sesudah intervensi)
Faktor resiko Perubahan struktur anatomis Pengaruh lingkungan Penyakit vaskuler perifer Lama DM > 10 tahun Usia > 40 tahun Riwayat merokok
Keterangan: = diteliti = tidak diteliti = diteliti = tidak diteliti Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian
3.2 Hipotesis Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara penelitian yang diajukan oleh peneliti yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut
46
47
(Setiadi, 2007). Hipotesis yang digunakan dalam penelitian adalah Ha, yaitu ada pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember. Tingkat kesalahan (α) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,05. Ha ditolak jika hasil yang diperoleh p value > α dan Ha gagal ditolak jika p value ≤ α.
48
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experimental dengan desain penelitian pre-test and post-test with control group design. Rancangan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember. Responden pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Kelompok kontrol diobservasi tanpa dilakukan intervensi, sedangkan kelompok intervensi diobservasi terlebih dahulu (observasi awal/pre-test) sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi kembali setelah dilakukan intervensi (post-test) (Nursalam, 2008; Setiadi, 2007). Pre-test (O1 dan O3) dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya resiko ulkus diabetik yang dialami pasien DM tipe 2 sebelum Diabetes Self Management Education (DSME) (X). Post-test dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya resiko ulkus diabetik yang dialami pasien DM tipe 2 sesudah Diabetes Self Management Education (DSME). Rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: pre-test kelompok kontrol
O1
kelompok intervensi
O3
intervensi
post-test O2
X
O4
Gambar 4.1 Pola penelitian pre-test dan post-test with control group design (Setiadi, 2007)
48
49
Keterangan : X : intervensi O1 : pre-test O2 : post-test O3 : pre-test O4 : post-test
(Diabetes Self Management Education (DSME)) (resiko terjadinya ulkus diabetik awal pada kelompok kontrol) (resiko terjadinya ulkus diabetik akhir pada kelompok kontrol) (resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum intervensi) (resiko terjadinya ulkus diabetik sesudah intervensi)
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian 4.2.1 Populasi Penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti dan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh peneliti (Nursalam, 2008; Budiarto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien DM tipe 2 yang menjalani rawat jalan di Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember pada tahun 2012, yaitu sebanyak 4300 orang sesuai dengan data sekunder dan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti.
4.2.2 Sampel Penelitian Sampel adalah bagian dari populasi yang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan populasi dan dapat mewakili populasi. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik consequtive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan cara memasukkan setiap pasien yang memenuhi kriteria sampai kurun waktu tertentu hingga jumlah pasien yang diinginkan terpenuhi (Setiadi, 2007). Sugiyono (2012) menyatakan bahwa jumlah sampel pada penelitian eksperimen sederhana berkisar antara 10-20 orang. Jumlah sampel pada penelitian ini sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi adalah 40 responden
50
yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu 20 responden pada kelompok kontrol dan 20 responden pada kelompok intervensi.
4.2.3 Kriteria Subyek Penelitian Kriteria subjek penelitian terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010). Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan anggota populasi yang tidak memenuhi kriteria inklusi karena terdapat penyakit yang mengganggu, keadaan yang mengganggu kemampuan pelaksanaan, hambatan etis dan menolak berpartisipasi (Setiadi, 2007). a. Kriteria inklusi Sampel pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 yang menjalani rawat jalan di Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember dengan kriteria sebagai berikut: 1) didiagnosis DM tipe 2; 2) usia 40-65 tahun; 3) pendidikan minimal SMP; 4) mampu melakukan aktivitas mandiri; 5) memiliki kemampuan membaca yang baik; 6) berdomisili di Jember; dan 7) tinggal dengan keluarga.
51
b. Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi penelitian ini yaitu: 1) pasien DM tipe 2 yang memiliki ulkus diabetik dan gangren; 2) pasien DM tipe 2 yang memiliki keterbatasan fisik, mental, atau kognitif yang dapat mengganggu penelitian (buta, tuli, cacat mental); 3) pasien DM tipe 2 yang memiliki komplikasi yang dapat mengganggu penelitian (gagal ginjal kronik, gagal jantung, gangguan penglihatan, dan lain sebagainya); dan 4) pasien DM tipe 2 yang tidak bersedia menjadi responden penelitian.
4.3 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di rumah masing-masing responden yang menjalani rawat jalan di Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember pada bulan Juli 2013 yang memenuhi kriteria inklusi.
4.4 Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April tahun 2013 sampai dengan bulan Oktober tahun 2013. Waktu penelitian ini dihitung mulai dari penyusunan proposal hingga penyusunan laporan dan publikasi penelitian.
52
4.5 Definisi Operasional Tabel 4.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional No
Variabel
Definisi
Indikator
Alat Ukur
Skala
Hasil
1.
Variabel independen: Diabetes Self Management Education (DSME)
Suatu metode pemberian pendidikan kesehatan mengenai pengelolaan DM secara mandiri yang dilakukan sebanyak 4 sesi dalam waktu 1 bulan dengan durasi 1-2 jam untuk tiap sesinya.
Panduan DSME berupa booklet yang berisi materi pengelolaan DM secara mandiri
SOP dan SAP Diabetes Self Management Education (DSME)
-
1. Tidak dilakukan = 0 2. Dilakukan = 1
2.
Variabel dependen: resiko terjadinya ulkus diabetik
Tanda dan gejala resiko terjadinya ulkus pada pedis (kaki) pasien DM tipe 2 berdasarkan Inlow’s 60-second Diabetic Foot Screen Screening Tool.
a. Kondisi kulit b. Kondisi kuku c. Ada tidaknya deformitas d. Kelayakan alas kaki e. Suhu kaki f. Rentang gerak kaki g. Tes sensasi kaki dengan monofilamen h. Tes sensasi kaki dengan 4 pertanyaan i. Denyut nadi pada kaki j. Ada tidaknya kemerahan sesaat pada kaki k. Ada tidaknya erythema pada kaki
Lembar observasi: Inlow’s 60second Diabetic Foot Screen Screening Tool yang dimodifikasi oleh peneliti
rasio
Lembar observasi berisi 12 indikator dengan skor yang berbeda untuk masing-masing indikator. Hasil skor total tertinggi adalah 25 dan terendah adalah 0.
4.6 Pengumpulan Data 4.6.1 Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder sebagai sumber data. Menurut Setiadi (2007), data primer merupakan data yang diperoleh sendiri
53
oleh peneliti dari hasil pengukuran, pengamatan, survei, dan lain sebagainya. Data primer penelitian ini diperoleh dari hasil observasi. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari bagian Rekam Medik dan Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember, yaitu jumlah pasien DM tipe 2 yang berkunjung ke Poli Interna dan data lengkap kunjungan pasien DM tipe 2 yang berisi nama, usia, jenis kelamin, dan alamat pasien.
4.6.2 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data diperlukan untuk mengetahui persebaran data dan cara memperoleh data tersebut dari subyek penelitian. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan observasi pada responden. Responden akan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Responden pada kedua kelompok akan diobservasi terlebih dahulu untuk mengetahui resiko ulkus diabetik yang dialami responden. Tahap selanjutnya responden pada kelompok intervensi akan diberikan intervensi berupa DSME sebanyak 4 sesi selama 1 bulan dan observasi akan dilakukan kembali pada kedua kelompok. Langkah-langkah pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini diklasifikasi menjadi dua, yaitu: a. langkah administratif 1) mengajukan surat permohonan ijin penelitian kepada Direktur RSD dr. Soebandi Jember;
54
2) mengajukan permohonan ijin pengumpulan data kunjungan pasien DM tipe 2 ke Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember pada bulan Juli tahun 2013; 3) menentukan responden penelitian sesuai kriteria inklusi dan eksklusi; 4) melakukan kunjungan ke rumah masing-masing pasien yang memenuhi kriteria inklusi untuk menjelaskan mekanisme penelitan; 5) mengajukan ijin dan kesepakatan kepada responden untuk menjadi sampel dan menandatangani lembar persetujuan menjadi responden (informed concent) bagi responden yang bersedia untuk menjadi sampel penelitian; dan 6) mendiskusikan waktu pelaksanaan penelitian dengan responden.
b. langkah teknis penelitian 1) membagi sampel penelitian ke dalam dua kelompok; 2) mempersiapkan lembar observasi dan alat yang dibutuhkan saat melakukan intervensi untuk masing-masing responden penelitian; 3) menghubungi
masing-masing
responden
untuk
mengajukan
ijin
melakukan penelitian; 4) melakukan kunjungan ke rumah masing-masing responden sesuai dengan kesepakatan waktu yang telah disetujui oleh masing-masing responden; 5) menjelaskan kepada responden pada kelompok kontrol bahwa penelitian pada responden dilakukan dengan cara mengobservasi tanda dan
55
gejala/indikator resiko terjadinya ulkus diabetik sebanyak 2 kali, saat awal penelitian dan 1 bulan setelah observasi awal; 6) menjelaskan kepada responden pada kelompok intervensi bahwa penelitian pada responden dilakukan dengan cara mengobservasi tanda dan gejala/indikator resiko terjadinya ulkus diabetik di awal penelitian, kemudian dilanjutkan dengan pemberian materi DSME sebanyak 4 sesi dalam waktu 1 bulan dengan pembagian 1 sesi untuk tiap minggunya, dan di akhir sesi 4 dilanjutkan dengan mengobservasi kembali tanda dan gejala/indikator resiko terjadinya ulkus diabetik; 7) melakukan observasi awal tanda dan gejala/indikator resiko terjadinya ulkus diabetik terhadap responden pada kedua kelompok dan memberikan materi DSME pada kelompok intervensi dengan menggunakan media booklet; 8) sesi 1 : memberikan booklet kepada responden, kemudian peneliti menjelaskan materi tentang pengetahuan dasar DM (definisi, etiologi, klasifikasi,
etiologi,
manifestasi
klinis,
patofisiologi,
diagnosis,
pencegahan, pengobatan, komplikasi) dilanjutkan dengan sesi tanya jawab/diskusi dan evaluasi. Evaluasi dilakukan dengan cara menggali perasaan dan pemahaman responden terhadap materi yang telah disampaikan (respon verbal dan non verbal). Responden yang tidak memahami materi yang telah disampaikan akan tetap mengikuti sesi berikutnya karena seluruh responden merupakan kelompok resiko yang harus memperoleh materi secara keseluruhan untuk mendukung kognitif,
56
afektif, dan psikomotor responden. Jika tidak ada lagi pertanyaan dari responden, peneliti membuat kontrak untuk pertemuan sesi 2 yang akan membahas tentang pengaturan nutrisi/diet dan aktivitas/latihan fisik yang dapat dilakukan; 9) sesi 2 : melakukan evaluasi berupa respon verbal dan non verbal responden (menggali perasaan dan pemahaman responden terhadap materi yang telah disampaikan pada sesi 1), kemudian peneliti menjelaskan materi tentang pengaturan nutrisi/diet dan aktivitas/latihan fisik yang dapat dilakukan, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab/diskusi dan evaluasi (respon verbal dan non verbal). Jika tidak ada lagi pertanyaan dari responden, peneliti membuat kontrak untuk pertemuan sesi 3 yang akan membahas tentang perawatan kaki dan monitoring yang perlu dilakukan; 10) sesi 3 : melakukan evaluasi berupa respon verbal dan non verbal responden, kemudian peneliti menjelaskan materi tentang perawatan kaki dan monitoring yang perlu dilakukan yang dilanjutkan dengan sesi tanya jawab/diskusi dan evaluasi (respon verbal dan non verbal). Jika tidak ada lagi pertanyaan dari responden, peneliti membuat kontrak untuk pertemuan sesi 4 yang akan membahas tentang manajemen stress dan dukungan psikososial, dan akses pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan; 11) sesi 4 : melakukan evaluasi berupa respon verbal dan non verbal responden, kemudian peneliti menjelaskan materi tentang manajemen stress dan dukungan psikososial, dan akses pasien terhadap fasilitas
57
pelayanan kesehatan, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab/diskusi dan evaluasi secara keseluruhan terhadap materi DSME; dan 12) melakukan observasi ulang terhadap tanda dan gejala/indikator resiko terjadinya ulkus diabetik pada responden kedua kelompok dan mengucapkan terima kasih kepada responden atas kesediaannya untuk menjadi responden penelitian.
4.6.3 Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data atau instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah lembar observasi berupa Inlow’s 60-second Diabetic Foot Screen Screening Tool yang dimodifikasi oleh peneliti. Instrumen penelitian tersebut merupakan alat untuk melakukan screening pada pasien DM yang belum mengalami ulkus diabetik. Instrumen penelitian tersebut disusun oleh Canadian Association of Wound Care yang diadaptasi dari jurnal Wound Care Canada Volume 2 pada tahun 2004 dengan judul A 60 second foot exam for people with diabetes. Instrumen penelitian tersebut berisi 12 indikator resiko ulkus diabetik pada pasien DM dan instruksi/panduan mengenai cara penggunaan dan interpretasi hasil. Setiap indikator pada instrumen tersebut memiliki skor yang berbeda, yaitu kondisi kulit dengan skor tertinggi 3, kondisi kuku dengan skor tertinggi 2, ada tidaknya deformitas dengan skor tertinggi 4, kelayakan alas kaki dengan skor tertinggi 2, suhu kaki (dingin) dengan skor tertinggi 1, suhu kaki (panas) dengan skor tertinggi 1, rentang gerak kaki dengan skor tertinggi 3, tes sensasi kaki
58
dengan monofilamen dengan skor tertinggi 4, tes sensasi dengan 4 pertanyaan dengan skor tertinggi 2, denyut nadi pada kaki dengan skor tertinggi 1, warna pada kaki dengan skor tertinggi 1, dan ada tidaknya erythema dengan skor tertinggi 1. Skor total tertinggi adalah 25 dan terendah adalah 0. Observasi terhadap indikator kondisi kulit, kondisi kuku, ada tidaknya deformitas, dan kelayakan alas kaki dilakukan dengan teknik inspeksi selama 20 detik. Observasi terhadap indikator suhu kaki (dingin), suhu kaki (panas), dan rentang gerak kaki dilakukan dengan teknik palpasi selama 10 detik. Observasi terhadap indikator tes sensasi kaki dengan monofilamen, tes sensasi kaki dengan 4 pertanyaan, denyut nadi kaki, warna pada kaki, dan ada tidaknya erythema dilakukan dengan teknik pengkajian (access) selama 30 detik. Setiap indikator pada instrumen tersebut diobservasi pada kedua kaki pasien dengan memberikan skor pada masing-masing indikator pada lembar observasi. Hasil observasi yang akan diinterpretasi adalah skor tertinggi dari kedua kaki. (Canadian Association of Wound Care, 2011). Instrumen penelitian ini telah dikembangkan agar dapat digunakan sebagai alat ukur untuk mengkaji resiko ulkus diabetik pada pasien DM. Beberapa alasan yang mendasari pengembangan instrumen penelitian ini yaitu (Woodbury, 2009): a. Discrimination, untuk membedakan karakteristik/dimensi pokok dari individu atau kelompok, misalnya kualitas hidup; b. Prediction, untuk mengkaji atau memprediksi kemungkinan resiko yang akan muncul pada waktu yang akan datang, misalnya timbul ulkus; dan
59
c. Evaluation, untuk mengukur perubahan yang muncul selama masa perawatan penyakit, misalnya penyembuhan luka.
4.6.4 Uji Validitas dan Reliabilitas a. Uji validitas Uji validitas secara umum merupakan suatu alat untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Woodbury, 2009). Suatu alat ukur dikatakan valid jika pernyataan dalam alat ukur tersebut mampu menjelaskan sesuatu yang hendak diukur (Portney & Watskin, 2000). Ada beberapa macam validitas yang dapat digunakan dalam suatu penelitian, yaitu validitas muka (face validity), validitas isi (content validity), validitas kriteria (criterion-related validity/concurrent validity), validitas prediktif (predictive validity), dan validitas konstruk (construct validity) (Woodbury, 2009; Portney & Watskin, 2000). Validitas muka (face validity) merupakan jenis validitas yang paling sederhana. Validitas muka digunakan ketika suatu alat ukur hanya digunakan untuk mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (Woodbury, 2009). Validitas muka dilakukan dengan keputusan subjektif peneliti berdasarkan akal sehat terhadap variabel yang diukur serta didiskusikan dengan pakar terkait (Sastroasmoro dan Ismael, 2007). Validitas muka pada instrumen penelitian ini penting untuk dilakukan pada komponen discrimination, predictive, dan evaluation (Woodbury, 2009). Validitas isi (content validity) merupakan jenis validitas yang yang mengukur sejauhmana alat ukur mencakup aspek spesifik atau keseluruhan aspek
60
dari isi yang ingin diukur (Woodbury, 2009). Validitas isi dilakukan dengan menegakkan telaah dan revisi butir-butir pertanyaan berdasarkan pendapat profesional (professional judgement) (Suryabrata, 2005). Validitas isi pada instrumen penelitian ini penting untuk dilakukan pada komponen discrimination, predictive, dan evaluation (Woodbury, 2009). Validitas
kriteria
(criterion-related
validity/concurrent
validity)
merupakan jenis validitas yang paling kuat (Suryabrata, 2005). Validitas kriteria digunakan untuk mengukur hubungan/korelasi antara hasil dari alat ukur yang akan digunakan dengan alat ukur yang sudah terstandar (gold standart) pada waktu yang sama. Validitas kriteria pada instrumen penelitian ini penting dilakukan pada komponen discrimination (Woodbury, 2009). Validitas prediktif (predictive validity) digunakan untuk mengukur hubungan/korelasi antara hasil dari alat ukur yang akan digunakan dengan alat ukur yang sudah terstandar (gold standart) pada waktu yang akan datang. Validitas prediktif pada instrumen penelitian ini penting dilakukan pada komponen prediction (Woodbury, 2009). Validitas konstruk (construct validity) merupakan jenis validitas yang digunakan untuk mengukur sejauh mana alat ukur berhubungan dengan teori yang ada. Semakin kuat hubungan dengan teori yang ada, maka semakin tinggi validitas konstruknya (Hamid, 2008). Validitas konstruk dapat dilakukan dengan dua cara yaitu multi-trait dan multi method dan analisis faktor. Hal-hal yang secara teori berdekatan harus tinggi korelasinya (convergent validation) dan hal-hal yang secara teori berjauhan harus rendah korelasinya (discrimination validation).
61
Analisis faktor dilakukan dengan memeriksa ulang atau mengkonfirmasi apakah data yang dikumpulkan mengandung faktor-faktor yang diteorikan (analisis faktor konfirmatori), yang dapat dilakukan dengan program SPSS (Suryabrata, 2005). Uji validitas pada instrumen penelitian ini telah dilakukan oleh Murphy et.al. (2012) terhadap 69 pasien DM dengan rincian 26 pasien berasal dari acute care setting (dialysis) dan 43 pasien berasal dari long-term-care (LTC) setting. Hasil yang diperoleh adalah instrumen penelitian ini valid dalam memprediksi resiko yang akan muncul di waktu yang akan datang (predictive validity).
b. Uji reliabilitas Uji reliabilitas secara umum merupakan suatu alat untuk mengukur sejauh mana alat ukur yang digunakan memiliki hasil yang sama dengan melakukan pengukuran yang berulang-ulang terhadap kondisi yang sama. Ada beberapa macam reliabilitas yang dapat digunakan dalam suatu penelitian, yaitu reliabilitas alat ukur, reliabilitas peneliti (intrarater reliability), dan reliabilitas antara 2 peneliti (interrater reliability) (Woodbury, 2009). Uji reliabilitas dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain uji stabilitas (test-retest method/metode uji silang), kesetaraan (equivalence) dan homogenitas (internal consistency) (Hamid, 2008). Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini telah diuji reliabilitasnya dan menunjukkan hasil bahwa instrumen penelitian ini reliabel. Uji intrarater
reliability
dan
interrater
reliability
juga
dilakukan
dengan
menggunakan intraclass correlation coefficient (2.1) dan tingkat kemaknaan 95%.
62
Hasil yang diperoleh dari kedua uji tersebut adalah nilai intrarater reliability terhadap pasien yang berasal dari LTC (Long Term Care) 0.96 pada kaki kanan dan 0.97 pada kaki kiri, sedangkan nilai pada pasien yang berasal dari dialysis 1.00 pada kedua kaki. Nilai interrater reliability terhadap pasien yang berasal dari LTC 0.92 pada kaki kanan dan 0.93 pada kaki kiri, sedangkan nilai pada pasien yang berasal dari dialysis 0.83 pada kedua kaki (Murphy et.al., 2012). Hasil kedua uji tersebut menunjukkan bahwa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini valid dan reliabel, sesuai untuk digunakan dalam mengidentifikasi (skrining) resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien DM tipe 2.
4.7 Pengolahan Data 4.7.1 Editing Editing merupakan pemeriksaan instrumen penelitian sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti (Setiadi, 2007). Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan kelengkapan isi, keterbacaan tulisan, dan relevansi isi. Editing pada penelitian ini meliputi pemeriksaan kelengkapan isi lembar observasi, kesesuaian skor yang dicantumkan oleh peneliti dengan skor masingmasing indikator, dan pemeriksaan jumlah skor total.
4.7.2 Coding Coding merupakan pemberian tanda atau mengklasifikasikan jawabanjawaban dari para responden ke dalam kategori tertentu (Setiadi, 2007).
63
Pemberian coding pada penelitian ini dilakukan dengan memberikan kode 0 untuk tidak dilakukan dan 1 untuk dilakukan pada variabel independen.
4.7.3 Processing/entry Proses memasukkan data ke dalam tabel dilakukan dengan program yang ada di komputer (Setiadi, 2007). Proses memasukkan data pada penelitian ini menggunakan program SPSS 15. Data yang diolah pada SPSS 15 meliputi karakteristik responden, hasil observasi pre-test dan post-test, dan perbedaan hasil observasi pre-test dan post-test pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
4.7.4 Cleaning Cleaning merupakan teknik pembersihan data-data yang tidak sesuai dengan kebutuhan peneliti (Setiadi, 2007). Cleaning pada penelitian ini dilakukan dengan cara memeriksa data yang benar-benar dibutuhkan oleh peneliti (karakteristik responden, hasil observasi pre-test dan post-test) dan menghapus data-data yang tidak dibutuhkan pada setiap variabel. Semua data yang diperoleh peneliti merupakan data yang digunakan dan diolah untuk dianalisa.
4.8 Analisis Data Analisis data memiliki posisi strategis dalam suatu penelitian. Analisis data dengan pendekatan kuantitatif dapat dilakukan melalui tahap analisa deskriptif (univariat), analisis analitik (bivariat), dan analisis multivariat. Tujuan analisis data secara umum adalah untuk memperoleh gambaran masing-masing
64
variabel, membandingkan dan menguji suatu teori dengan fakta yang ada, menemukan adanya teori baru dari data yang dikumpulkan, dan mencari penjelasan apakah teori baru yang diuji berlaku secara umum atau hanya pada kondisi tertentu (Budiarto, 2002). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data univariat dan analisis data bivariat. Analisis data univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik responden dan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Variabel yang berbentuk kategorik (jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan) disajikan dalam bentuk proporsi, sedangkan variabel yang berbentuk numerik (usia, lama mengalami DM, KGD sewaktu, dan nilai ABI) disajikan berupa nilai dalam bentuk mean, median, standar deviasi, dan nilai minimum-maksimum. Analisis data bivariat bertujuan untuk menganalisis dua kelompok data yang terdiri dari variabel independen dan dependen. Kelompok data yang akan dianalisis yaitu variabel DSME sebagai variabel independen dan variabel resiko terjadinya ulkus diabetik sebagai variabel dependen. Skala data pada penelitian ini adalah rasio untuk variabel dependen (resiko terjadinya ulkus diabetik). Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut: a. perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok kontrol dari observasi awal dan observasi akhir digunakan paired T-test dengan Ha diterima jika p < 0,05;
65
b. perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah pemberian DSME digunakan paired T-test dengan Ha diterima jika p < 0,05; c. perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi digunakan Independent T-test dengan Ha diterima jika p < 0,05; Uji paired T-test atau uji beda dua mean dependen digunakan untuk menguji perbedaan mean antara dua kelompok data dependen yang berskala interval/rasio, yaitu membandingkan nilai mean resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum dan sesudah pemberian DSME. Uji Independent T-test atau uji beda dua mean independen digunakan untuk mengetahui perbedaan mean antara dua kelompok data independen yang berskala interval/rasio, yaitu membandingkan nilai mean resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi (Sugiyono, 2012). Uji Kolmogorov Smirnov dan uji Levene’s dilakukan untuk mengetahui normalitas dan homogenitas data sebelum dilakukan uji paired T-test dan uji Independent T-test. Data dikatakan terdistribusi normal jika p > α (α = 0,05) (Hastono, 2007).
4.9 Etika Penelitian Penelitian yang berkaitan dengan manusia sebagai objek penelitian, wajib mempertimbangkan etika penelitian agar tidak menimbulkan masalah etik yang dapat merugikan responden maupun peneliti (Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. 2005). Etika penelitian yang harus dipenuhi oleh peneliti yaitu:
66
a. lembar persetujuan (Informed Consent) Informed consent merupakan pernyataan kesediaan dari subyek penelitian untuk diambil datanya dan ikut serta dalam penelitian. Responden dalam penelitian ini memperoleh lembar informed consent yang berisi penjelasan mengenai gambaran DSME yang akan diberikan, tujuan penelitian, mekanisme penelitian, dan pernyataan kesediaan untuk menjadi responden. Responden yang bersedia mengikuti penelitian harus menandatangani lembar informed consent dan responden yang tidak bersedia mengikuti penelitian diperkenankan untuk tidak menandatangani lembar informed consent tersebut. b. kerahasiaan (Confidentialy) Kerahasiaan adalah suatu pernyataan jaminan dari peneliti bahwa segala informasi yang berkaitan dengan responden tidak akan diberikan kepada orang lain. Kerahasiaan pada penelitian ini dilakukan dengan cara tidak memberikan identitas responden dan data hasil penelitian kepada orang lain. c. tanpa nama (Anonimity) Nama responden tidak perlu dicantumkan pada lembar observasi. Penggunaan anonymity pada penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan kode dan alamat responden pada lembar observasi dan mencantumkan tanda tangan pada lembar persetujuan sebagai responden. d. keadilan (Justice) Prinsip keadilan memenuhi prinsip keterbukaan. Penelitian dilakukan secara jujur, hati–hati, professional, berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktorfaktor ketepatan, kecermatan, psikologis dan perasaan subyek penelitian.
67
Penggunaan prinsip keadilan pada penelitian ini dilakukan dengan cara tidak membedakan jenis kelamin dan usia, dan pemberian booklet mengenai materi DSME kepada responden pada kelompok kontrol sebagai rencana tindak lanjut dari penelitian ini. e. asas kemanfaatan (Beneficiency) Peneliti harus secara jelas mengetahui manfaat dan resiko yang mungkin terjadi pada responden. Penelitian boleh dilakukan apabila manfaat yang diperoleh lebih besar daripada resiko yang akan terjadi. Penelitian tidak boleh menimbulkan penderitaan kepada subjek penelitian. Penggunaan asas kemanfaatan pada penelitian ini dilakukan dengan cara menjelaskan secara detail tujuan, manfaat, dan teknik penelitian kepada responden.
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian RSD dr. Soebandi Jember merupakan rumah sakit milik pemerintah kabupaten Jember dan Badan Layanan Umum Daerah yang terletak di Jalan dr. Soebandi 124 Jember. RSD dr. Soebandi Jember terakreditasi rumah sakit kelas B Pendidikan berdasarkan SK Menkes No. 1097/MENKES/SK/IX/2002. RSD dr. Soebandi Jember memiliki luas lahan 43.722,00 m2, luas bangunan 15.552,08 m2, 355 kapasitas tempat tidur, dan 16 jenis pelayanan. Salah satu jenis pelayanan yang ada di RSD dr. Soebandi Jember adalah pelayanan rawat jalan. Poli Interna sebagai salah satu pelayanan rawat jalan yang ada di RSD dr. Soebandi Jember memiliki jumlah Dokter Spesialis Penyakit Dalam sebanyak 5 orang. Jumlah kunjungan pasien secara umum ke Poli Interna pada tahun 2012 sebanyak 16.930 orang, sedangkan jumlah kunjungan pasien DM tipe 2 ke Poli Interna pada tahun 2012 sebanyak 4.300 orang. Pasien yang menjalani rawat jalan di Poli Interna berasal dari beberapa Kabupaten, di antaranya adalah Kabupaten Jember, Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, dan Lumajang. Lokasi penelitian ini bertempat di masing-masing rumah pasien DM Tipe 2 yang menjalani rawat jalan di Poli Interna pada bulan Juli tahun 2013 dan memenuhi kriteria inklusi, yaitu masih di wilayah Kabupaten Jember yang dapat terjangkau oleh peneliti, di antaranya adalah Perumahan Gunung Batu Permai, Jalan Moh. Seruji, Jalan Mundu, Jalan Anggur, Jalan S.
68
69
Parman, Jalan Letjen Suprapto, Jalan Manyar, Jalan Manggar, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Lumba-lumba, Jalan Slamet Riyadi, dan lain sebagainya.
5.1.2 Karakteristik Responden Karakteristik responden terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, lama mengalami DM, nilai KGD sewaktu, dan nilai ABI. Distribusi responden berdasarkan usia, lama mengalami DM, nilai KGD sewaktu, dan nilai ABI dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.1 Distribusi Responden Menurut Usia, Lama Mengalami DM, Nilai KGD Sewaktu, dan Nilai ABI pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40) Median Variabel Mean Usia (tahun) Kelompok intervensi 57,05 59 Kelompok kontrol 58,75 58 Lama mengalami DM (tahun) Kelompok intervensi 6 5 Kelompok kontrol 6 4,5 Nilai KGD sewaktu (mg/dl) Kelompok intervensi 216,45 210 Kelompok control 236,75 218 Nilai ABI Kelompok intervensi 1,04 1,03 Kelompok control 1,06 1,07 Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013
SD
Min - Maks
5,898 4,375
47 - 65 49 - 65
5,506 5,638
1 - 22 1 - 20
47,698 90,391
123 – 326 127 – 512
0,07511 0,06802
0,94 – 1,15 0,93 – 1,17
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa usia responden pada kelompok intervensi rata-rata berusia 57,05 tahun, dan pada kelompok kontrol rata-rata berusia 58,75 tahun. Rata-rata lama mengalami DM responden pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol sama yaitu 6 tahun. Nilai KGD sewaktu pada kelompok intervensi rata-rata sebesar 216,45 mg/dl, sedangkan nilai KGD sewaktu pada kelompok kontrol rata-rata adalah 236,75 mg/dl. Nilai ABI pada kelompok intervensi rata-rata 1,04 dan nilai ABI pada kelompok kontrol rata-rata adalah 1,06.
70
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan dapat dilihat pada tabel 5.2. Tabel 5.2 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin, Pendidikan, dan Pekerjaan pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40) No. 1.
Variabel
Kelompok intervensi : Laki-laki Perempuan Jumlah Kelompok kontrol : Laki-laki Perempuan Jumlah 2. Pendidikan Kelompok intervensi : SMP sederajat SMA sederajat PT sederajat Jumlah Kelompok kontrol : SMP sederajat SMA sederajat PT sederajat Jumlah 3. Pekerjaan Kelompok intervensi : Tidak bekerja PNS Wiraswasta Pensiunan Jumlah Kelompok kontrol : Tidak bekerja PNS Wiraswasta Pensiunan Jumlah Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013 Jenis Kelamin
Frekuensi 9 11 20 7 13 20 8 6 6 20 8 8 4 20 7 4 4 5 20 8 2 1 9 20
Persentase (%) 45 55 100 35 65 100 40 30 30 100 40 40 20 100 35 20 20 25 100 40 10 5 45 100
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar jenis kelamin responden pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol adalah perempuan, yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 11 orang (55%) dan pada kelompok kontrol berjumlah 13 orang (65%). Distribusi tingkat pendidikan responden pada kelompok intervensi sebagian besar berpendidikan SMP sederajat sebanyak 8 orang (40%), sedangkan pada kelompok kontrol responden yang berpendidikan SMP sederajat dan SMA sederajat sama besar yaitu 8 orang (40%) berpendidikan
71
SMP sederajat dan 8 orang (40%) berpendidikan SMA sederajat. Distribusi pekerjaan responden pada kelompok intervensi sebagian besar adalah tidak bekerja sebanyak 7 orang (35%), sedangkan distribusi pekerjaan pada kelompok kontrol sebagian besar adalah pensiunan sebanyak 9 orang (45%).
5.1.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik a. Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi Tabel 5.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20) Median Variabel Mean Pretest 3,70 3 Posttest 2,45 2 Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013
SD 1,342 0,999
Min - Maks 1–6 1–5
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa rata-rata skor resiko terjadinya ulkus diabetik pada responden kelompok intervensi sebelum dilakukan DSME adalah 3,70, sedangkan rata-rata skor pada kelompok intervensi sesudah intervensi DSME adalah 2,45. Tabel 5.4 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20) Kode Difference Kode Difference Pretest Posttest Pretest Posttest Responden (Δ) Responden (Δ) I.1 3 2 -1 I.11 3 2 -1 I.2 5 3 -2 I.12 5 3 -2 I.3 3 2 -1 I.13 3 3 0 I.4 1 1 0 I.14 2 1 -1 I.5 5 3 -2 I.15 2 2 0 I.6 4 2 -2 I.16 3 2 -1 I.7 5 5 0 I.17 3 3 0 I.8 5 3 -2 I.18 5 2 -3 I.9 3 1 -2 I.19 5 3 -2 I.10 6 4 -2 I.20 3 2 -1 Total 74 49 25 Mean 3,70 2,45 - 1,25 Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013
72
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa terjadi penurunan resiko terjadinya ulkus diabetik rata-rata pada kelompok intervensi sebesar 1,25 poin yaitu dari rata-rata sebelum DSME sebesar 3,70 poin menjadi 2,45 poin setelah DSME. Tanda negatif pada kolom difference menunjukkan bahwa ada penurunan resiko terjadinya ulkus diabetik pada responden. b. Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Kontrol Tabel 5.5 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Kontrol pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20) Median Variabel Mean Pretest 3,75 4 Posttest 3,40 3 Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013
SD 1,372 1,231
Min - Maks 1-6 1-5
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa rata-rata skor resiko terjadinya ulkus diabetik pada responden kelompok kontrol saat observasi awal adalah 3,75, sedangkan rata-rata skor pada kelompok intervensi saat observasi akhir adalah 3,40. Tabel 5.6 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Kontrol pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20) Kode Difference Kode Difference Pretest Posttest Pretest Posttest Responden (Δ) Responden (Δ) K.1 3 3 0 K.11 3 3 0 K.2 4 3 -1 K.12 2 2 0 K.3 5 5 0 K.13 5 5 0 K.4 5 4 -1 K.14 6 5 -1 K.5 3 3 0 K.15 1 1 0 K.6 4 4 0 K.16 5 5 0 K.7 5 3 -2 K.17 2 2 0 K.8 4 4 0 K.18 5 4 -1 K.9 2 2 0 K.19 3 3 0 K.10 3 2 -1 K.20 5 5 0 Total 75 68 7 Mean 3,75 3,40 -0,35 Sumber: Data Primer, Agustus-September 12013
73
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa terjadi penurunan resiko terjadinya ulkus diabetik rata-rata pada kelompok kontrol sebesar 0,35 poin yaitu dari rata-rata saat observasi awal sebesar 3,75 poin menjadi 3,40 poin saat observasi akhir. Tanda negatif pada kolom difference menunjukkan bahwa ada penurunan resiko terjadinya ulkus diabetik pada responden. c. Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Tabel 5.7 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40) Variabel
Mean Pretest Posttest
Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Kelompok Intervensi 3,70 Kelompok Kontrol 3,75 Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013
2,45 3,40
Mean Difference -1,25 -0,35
Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui bahwa penurunan resiko terjadinya ulkus diabetik yang terjadi pada responden kelompok intervensi lebih besar daripada kelompok kontrol, yaitu penurunan rata-rata resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok intervensi sebesar 1,25 poin dan kelompok kontrol sebesar 0,35 poin.
5.1.4 Hasil Uji Statistik Hasil uji normalitas dengan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan data resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol memiliki nilai p > α yang menunjukkan data terdistribusi normal. Data yang terdistribusi normal menjadi syarat untuk dilakukan uji Paired t-test dan
74
Independent t-test. Hasil Levene’s test menunjukkan data resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol memiliki nilai p > α yang menunjukkan data homogen. a. Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sebelum dan Sesudah dilakukan DSME Analisis data Paired t-test digunakan untuk mengetahui perbedaan nilai observasi awal dan akhir pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Berikut adalah tabel perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Tabel 5.8 Hasil Analisis Paired t-test Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40) Resiko Terjadinya Std. Mean Min-Max t Ulkus Diabetik Deviation Intervensi Sebelum - 1,676 – - 1,25 0,910 - 6,140 - 0,824 Sesudah Kontrol Sebelum - 0,625 – - 0,35 0,587 - 2,666 Sesudah - 0,075 Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013 (dengan pengolahan data) Kelompok
P 0,000 0,015
Hasil Paired t-test pada kelompok intervensi diperoleh nilai t hitung - 6,140 dan p 0,000 < 0,05 (α) yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum dan sesudah dilakukan DSME. Hasil Paired t-test pada kelompok kontrol diperoleh nilai t hitung – 2,666 dan p 0,015 < 0,05 (α) yang berarti terdapat perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik antara observasi awal dan observasi akhir. Pada kedua kelompok diperoleh t hitung negatif yang menunjukkan bahwa nilai observasi awal lebih tinggi daripada nilai pengukuran akhir yang berarti terdapat penurunan resiko terjadinya ulkus diabetik.
75
b. Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Analisis data Independent t-test digunakan untuk mengetahui perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Berikut adalah tabel perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Tabel 5.9 Hasil Analisis Independent t-test Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40) Kelompok t p df Mean Difference Min-Max Intervensi 0,40959 – 3,715 0,001 38 0,90 1,39041 Kontrol Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013 (dengan pengolahan data)
Hasil Independent t-test terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dapat diketahui nilai t = 3,715 dengan p 0,001 < 0,05 yang berarti bahwa terdapat perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik yang signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh DSME terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik. Nilai positif pada t menunjukkan bahwa penurunan resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok intervensi lebih besar daripada kelompok kontrol.
5.2 Pembahasan 5.2.1 Karakteristik Responden Responden pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 yang termasuk dalam kelompok usia yang sama, yaitu usia 40 – 65 tahun. Usia mempengaruhi
76
kemampuan seseorang dalam melakukan perawatan mandiri DM. Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin tinggi kemampuan dalam membimbing dan menilai diri sendiri (Potter & Perry, 2005). Berdasarkan American Diabetes Association (2007), kelompok usia 40 tahun ke atas merupakan kelompok usia yang beresiko tinggi mengalami DM dan penyakit jantung. Diet yang buruk, peningkatan berat badan, kebiasaan merokok, dan kurang aktivitas merupakan faktor resiko DM yang banyak terjadi pada kelompok usia tersebut. Resiko DM semakin meningkat seiring peningkatan usia. The Canadian Diabetes Association merekomendasikan skrining kadar gula darah puasa dilakukan saat seseorang berusia 40 tahun dan setiap 3 bulan seiring peningkatan usia (CDA, 2008). Menurut Nugroho (2000 dalam Efendi dan Makhfudli, 2009), kelompok usia 40 – 65 tahun merupakan masa setengah umur (Presenium). Menurut Papalia (2008 dalam Rondhianto, 2011), kemampuan kognitif perseptual dan numerik seseorang mengalami penurunan pada masa setengah umur, sedangkan kemampuan kognitif penalaran induktif, orientasi spasial, kosakata, dan memori verbal mengalami peningkatan. Kemampuan pemecahan masalah dan pemikiran integratif juga cenderung meningkat seiring dengan peningkatan usia karena semakin bertambah usia semakin terjadi peningkatan cristalized intelligence. Cristalized intelligence diperoleh dari pengalaman masa lalu. Cristalized intelligence akan selalu berubah karena setiap informasi baru yang diperoleh akan meningkatkan pengetahuan (Roach, 2011). Karakteristik usia yang sama pada responden ini dapat memudahkan melakukan pendekatan dalam pemberian DSME. Pendekatan yang dapat dilakukan pada kelompok usia Presenium berupa
77
pendekatan yang berpusat pada masalah, pendekatan proyektif, dan pendekatan aktualisasi diri (Mappa dan Basleman, 1994 dalam Suprayogi, 2005). Nilai rata-rata usia pada kedua kelompok menunjukkan bahwa rata-rata pasien termasuk kelompok lansia. Penuaan pada pasien lansia dengan DM lebih cepat terjadi daripada pasien lansia nondiabetes, karena pada pasien lansia dengan DM
terjadi
aterosklerosis,
peningkatan dan
ikatan
katarak.
kolagen,
Peningkatan
penebalan resiko
membrane
terjadinya
basal,
komplikasi
makrovaskuler dan mikrovaskuler juga terjadi pada pasien lansia dengan DM, dan resiko akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan usia, lama mengalami DM, dan nilai hemoglobin terglikosilasi. Pasien lansia dengan DM memiliki kualitas hidup yang buruk dan lebih sering menggunakan perawatan medis. Kontrol gula darah yang baik pada pasien lansia dengan DM dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dan hasil jangka panjang (Morley, 1998; Meneilly & Elahi 2005). Lama mengalami DM/durasi waktu penyakit pada pasien rata-rata adalah 6 tahun. Durasi waktu penyakit memiliki hubungan negatif terhadap kepatuhan. Semakin lama seseorang mengalami penyakit maka semakin kecil kemungkinan seseorang menjadi patuh terhadap pengobatan (World Health Organization, 2003). Kepatuhan pasien DM dalam melakukan perawatan mandiri juga memiliki peranan penting dalam terjadinya ulkus diabetik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh LeMone & Burke (2008), sekitar 60-70 % pasien DM mengalami jenis neuropati dan dapat terjadi kapan saja, namun risiko meningkat pada usia dan lama mengalami DM. Kejadian terbanyak terjadi pada pasien DM
78
minimal selama 25 tahun, gula darah yang tidak terkontrol, hiperlipidemia, hipertensi dan kelebihan berat badan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, peneliti menarik kesimpulan bahwa semakin lama seseorang mengalami DM maka ada kecenderungan untuk menjadi tidak patuh terhadap pelaksanaan perawatan mandiri, namun ada kecenderungan lain pasien memiliki pengalaman perawatan mandiri yang lebih baik daripada pasien yang baru terdiagnosa DM. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulistiari (2013), kepatuhan pasien DM tipe 2 dalam melakukan perawatan kaki cenderung tetap karena setiap individu dapat berespon secara berbeda sekalipun dengan keadaan stimulus dan kondisi kesehatan yang sama. Nilai kadar gula darah sewaktu pada kelompok intervensi rata-rata sebesar 216,45 mg/dl dan 236,75 mg/dl pada kelompok kontrol. Fakta tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pada pemeriksaan gula darah sewaktu, seseorang dapat didiagnosis mengalami DM jika memiliki kadar gula darah di atas 200 mg/dl. Kadar gula darah yang tinggi dapat menjadi pemicu terjadinya ulkus diabetik. Kadar gula darah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pelaksanaan diet, aktivitas sehari-hari, olahraga, gaya hidup seperti merokok, minum obat diabetes dan penggunaan insulin, serta stres yang dialami (Smeltzer & Bare, 2001). Nilai ABI (Ankle-Brachial Index) pada kelompok intervensi rata-rata 1,04 dan nilai ABI pada kelompok kontrol rata-rata adalah 1,06. Nilai tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pasien dalam penelitian ini memiliki tingkat sirkulasi perifer yang normal/baik. Nilai ABI pada pasien DM dapat dipengaruhi
79
oleh kadar gula darah, aktivitas sehari-hari, hingga kadar trigliserida yang berbeda-beda pada masing-masing pasien. Nilai ABI pada pasien DM dapat dipengaruhi oleh salah satu atau lebih dari faktor tersebut. Nilai ABI yang buruk dapat menyebabkan neuropati di kemudian hari karena nilai ABI yang buruk mengindikasikan terjadinya penyempitan pembuluh darah akibat penebalan dinding pembuluh darah dan viskositas darah yang semakin meningkat, sehingga dapat memicu terjadinya ulkus diabetik. Nilai ABI yang normal pada pasien dalam penelitian ini disebabkan pasien telah memperoleh informasi perawatan mandiri meskipun secara singkat, sehingga pasien melakukan perawatan diri sesuai dengan kemauan dan kemampuan pasien (Data Primer, 2013). Berdasarkan tabel 5.2, mayoritas pasien pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol adalah perempuan, yaitu 11 orang (55%) pada kelompok intervensi dan 13 orang (65%) pada kelompok kontrol. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori dan beberapa hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa penyakit DM lebih banyak dialami oleh perempuan daripada laki-laki. Hal tersebut dikarenakan tiga faktor. Faktor pertama, kadar kolesterol HDL, LDL, dan trigliserida lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki. Jumlah lemak pada laki-laki dewasa rata-rata berkisar antara 15 – 20% dan berat badan total, dan pada perempuan sekitar 20 – 25%. Faktor kedua, tingginya kadar kolesterol HDL, LDL, dan trigliserida pada perempuan dapat menyebabkan penurunan sensitivitas insulin. Faktor ketiga, mekanisme protektif pada dinding pembuluh darah perempuan lebih tinggi daripada laki-laki sehingga dapat memperparah
80
penyumbatan pembuluh darah (Juutilainen et.al., 2004; Soeharto, 2003 dalam Nurlaily, 2010). Berdasarkan tabel 5.2, mayoritas tingkat pendidikan pasien adalah SMP sederajat, yaitu 8 orang (40%) pada kelompok intervensi dan 8 orang (40%) pada kelompok kontrol. Menurut Notoatmodjo (2007), tingkat pendidikan juga menentukan kemampuan seseorang memahami pengetahuan yang diperoleh, yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah seseorang tersebut menerima informasi. Menurut Mink Young (2010 dalam Gamara, 2013), tingkat pengetahuan perawatan diabetes melitus dapat dipengaruhi oleh lama penyakit yang diderita, tingkat pendidikan dan faktor ekonomi, sehingga pasien dengan tingkat pendidikan rendah namun memiliki kemampuan manajemen perawatan diri yang baik akan memiliki hasil yang baik pula. Kriteria responden minimal berpendidikan SMP bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan informasi yang diberikan. Seseorang yang telah melalui tingkat pendidikan SMP diharapkan telah mengalami perkembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar sebagai bekal hidup dan dapat digunakan untuk menghadapi kehidupan di masyarakat (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2009). Pasien yang telah melalui tingkat pendidikan SMP menunjukkan bahwa pasien telah mengetahui kemampuan dasar yang diajarkan pada pendidikan SD seperti membaca, berhitung, berlogika, berkomunikasi yang baik, dan menulis. Pasien yang telah melalui tingkat pendidikan SMP juga menunjukkan terjadinya peningkatan cristalized intelligence, sehingga dengan kemampuan tersebut diharapkan pasien mampu memahami materi yang diberikan dalam pemberian DSME. Cristalized
81
intelligence diperoleh dari pengalaman masa lalu. Cristalized intelligence akan selalu berubah karena setiap informasi baru yang diperoleh akan meningkatkan pengetahuan (Roach, 2011). Berdasarkan tabel 5.2, mayoritas pasien pada kelompok intervensi tidak bekerja yaitu sebanyak 7 orang (35%), sedangkan mayoritas pekerjaan pasien pada kelompok kontrol sebagian besar adalah pensiunan sebanyak 9 orang (45%). Jenis pekerjaan pasien mempengaruhi pasien dalam melakukan perawatan mandiri. Jenis pekerjaan pasien dapat secara tidak langsung menggambarkan aktivitas fisik yang sehari-hari dilakukan oleh pasien dan kebutuhan kalori yang dibutuhkan pasien. Seseorang yang melakukan aktivitas berat akan membutuhkan kalori/energi yang banyak. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aerenhouts et.al. (2011) yang menunjukkan bahwa semakin berat aktivitas fisik yang dilakukan oleh seseorang, maka akan semakin meningkat kalori yang dibutuhkan. Perhitungan kalori untuk setiap aktivitas fisik yang dilakukan dapat menggunakan TEE (Total Energy Expenditure). Manfaat latihan fisik untuk penderita DM adalah untuk memperlancar peredaran darah, mengontrol gula darah, memperkuat otot-otot, dan untuk menurunkan tekanan darah.
5.2.2 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sebelum Dilakukan DSME pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Hasil penelitian pada tabel 5.3 dan 5.5 menunjukkan bahwa kelompok intervensi dan kelompok kontrol memiliki skor minimum dan maksimum yang sama untuk beresiko terjadinya ulkus diabetik. Kedua kelompok memiliki nilai
82
rata-rata skor resiko terjadinya ulkus diabetik yang hampir sama, yaitu 3,70 untuk kelompok intervensi dan 3,75 untuk kelompok kontrol. Nilai rata-rata pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol menunjukkan bahwa hanya sedikit indikator dari 12 indikator resiko terjadinya ulkus diabetik yang muncul pada pasien, yaitu pada kondisi kulit, kondisi kuku, kelayakan alas kaki, tes sensasi dengan monofilamen, dan tes sensasi dengan 4 pertanyaan. Nilai tersebut juga menunjukkan bahwa kemungkinan pasien beresiko mengalami ulkus diabetik adalah kecil. Ulkus diabetik disebabkan oleh tiga hal, yaitu neuropati, deformitas, dan trauma (Frykberg, 2002). Indikator resiko terjadinya ulkus diabetik menurut Canadian Association of Wound Care (2011) adalah kondisi kulit, kondisi kuku, ada tidaknya deformitas, kelayakan alas kaki, suhu kaki, rentang gerak kaki, tes sensasi dengan monofilamen, tes sensasi kaki dengan 4 pertanyaan, denyut nadi pada kaki, warna pada kaki, dan ada tidaknya erythema. Skor minimum dan maksimum yang sama dan nilai rata-rata yang hampir sama pada kedua kelompok dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pengetahuan dan pengalaman yang sama mengenai konsep dasar DM dan perawatan mandiri DM. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember, saat menjalani rawat jalan pasien diberikan informasi secara singkat mengenai konsep DM dan perawatan mandiri yang harus dilakukan. Beberapa pasien juga menyatakan bahwa pasien telah melakukan perawatan mandiri sesuai yang diajarkan oleh perawat dan dokter di Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember, namun perawatan
83
mandiri yang dilakukan hanya sebatas kontrol gula darah dan olahraga ringan (Data Primer, 2013).
5.2.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sesudah Dilakukan DSME pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Hasil penelitian pada tabel 5.3 dan 5.5 menunjukkan bahwa skor minimum dan maksimum pada kedua kelompok sama namun terdapat penurunan skor maksimum dari skor maksimum sebelum dilakukan DSME. Nilai rata-rata skor resiko terjadinya ulkus diabetik menurun pada kedua kelompok, yaitu menjadi 2,45 pada kelompok intervensi dan 3,40 pada kelompok kontrol. Berdasarkan tabel 5.4, terdapat penurunan nilai rata-rata skor resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok intervensi sebesar 1,25 poin. Penurunan nilai rata-rata skor resiko terjadinya ulkus diabetik juga terjadi pada kelompok kontrol, yaitu sebesar 0,35 poin (tabel 5.6). Penurunan resiko pada kelompok intervensi lebih besar daripada penurunan resiko pada kelompok control. Menurut Norris et.al. (2002), tujuan DSME adalah mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas hidup pasien dalam upaya mencegah komplikasi akut dan kronis, sekaligus mengurangi penggunaan biaya perawatan klinis. Edukasi yang diberikan melalui DSME dapat memfasilitasi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan pasien DM dalam melakukan perawatan mandiri (Funnell et.al., 2008). Pemberian DSME pada kelompok intervensi dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pasien dalam melakukan perawatan mandiri, sehingga indikator/tanda dan gejala resiko terjadinya ulkus diabetik yang muncul sebelum pemberian DSME berkurang lebih banyak daripada kelompok
84
kontrol. Penurunan yang terjadi pada kelompok kontrol dapat disebabkan oleh pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki pasien. Pasien pada kelompok kontrol telah mengetahui konsep dasar DM tipe 2 secara umum dan perawatan mandiri yang harus dilakukan, namun rata-rata pasien pada kelompok kontrol menyatakan tidak melakukan perawatan mandiri secara rutin dan komprehensif, seperti perawatan kaki, pengaturan nutrisi, dan jenis olahraga yang dianjurkan (Data Primer, 2013). Berdasarkan hasil pernyataan pasien tersebut, peneliti berasumsi penurunan resiko yang terjadi pada kelompok kontrol disebabkan sebagian pasien melakukan perawatan mandiri namun tidak rutin dan tidak komprehensif.
5.2.4 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik antara Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok intervensi dan kelompok kontrol sama-sama mengalami penurunan skor resiko terjadinya ulkus diabetik, namun berdasarkan hasil Paired t-test (tabel 5.8) diperoleh hasil bahwa penurunan skor pada kelompok intervensi lebih besar daripada dengan kelompok kontrol. Hasil ini diperkuat oleh hasil Independent t-test (tabel 5.9) yang menunjukkan terdapat perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik yang signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil ini juga menunjukkan bahwa ada pengaruh DSME terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien DM tipe 2. Menurut Aalaa et.al. (2012), ulkus diabetik dapat beresiko untuk diamputasi, sedangkan 80% amputasi dapat dicegah dengan pemberian
85
informasi/edukasi kepada pasien dan keluarganya. Hal tersebut diperkuat oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2011) yang menyatakan bahwa ada empat pilar penanganan utama pada pasien DM tipe 2, yaitu edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Edukasi memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan DM tipe 2 karena pemberian edukasi kepada pasien dapat merubah perilaku pasien dalam melakukan perawatan mandiri DM. Edukasi dapat diberikan melalui suatu promosi kesehatan. Promosi kesehatan merupakan proses pemberdayaan atau memandirikan masyarakat agar dapat memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Ottawa Charter, 1986 dalam Maulana, 2009). Proses pemberdayaan atau memandirikan masyarakat tidak hanya terbatas pada pemberian informasi (seperti pendidikan kesehatan) tetapi juga upaya untuk merubah perilaku dan sikap seseorang, sehingga promosi kesehatan dapat meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor seseorang (Maulana, 2009). Durasi waktu untuk perubahan perilaku tidak ditentukan secara jelas karena kemampuan setiap individu dalam menerima dan merespon stimulus berbeda. Perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Roger, dalam Notoatmodjo, 2003). Hosland et.al. (1953 dalam Notoatmodjo, 2003) menyatakan bahwa proses perubahan perilaku sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari stimulus (rangsang), proses dan efek tindakan (perilaku). Stimulus yang diberikan dapat diterima atau ditolak. Stimulus yang ditolak akan berhenti dan stimulus yang
86
diterima berarti ada perhatian dari individu terhadap stimulus. Stimulus yang diterima akan diolah sehingga timbul reaksi kesediaan untuk bertindak atau bersikap. Stimulus pada akhirnya akan mempunyai efek tindakan atau perubahan perilaku
dengan
bantuan
dukungan
baik
fasilitas
maupun
lingkungan
(Notoatmodjo, 2003). World Health Organization (dalam Notoatmodjo, 2003) menyatakan bahwa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku terutama dalam perilaku kesehatan dapat menggunakan kekuatan atau dorongan, pemberian informasi dan diskusi serta partisipasi. Perubahan perilaku yang dilakukan dengan kekuatan dan dorongan yaitu perubahan perilaku yang dipaksakan kepada individu sehingga individu mau berperilaku seperti yang diharapkan. Perubahan perilaku dengan pemberian informasi adalah perubahan perilaku yang dihasilkan karena adanya pemberian informasi yang akan meningkatkan cara-cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, dan cara menghindari penyakit. Diskusi dan partisipasi adalah strategi untuk merubah perilaku dengan meningkatkan pemberian informasi. Sasaran tidak lagi pasif tetapi berpartisipasi dalam kegiatan sehingga pengetahuan akan diperoleh lebih dalam dan perilaku yang diperoleh akan lebih bersifat kuat. Setiap individu bisa memiliki respon yang berbeda pada stimulus yang sama (Notoatmodjo, 2003). DSME merupakan salah satu bentuk edukasi yang efektif diberikan kepada pasien DM karena pemberian DSME dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku pasien dalam melakukan perawatan mandiri. DSME bertujuan untuk mendukung pengambilan keputusan, perawatan diri, pemecahan masalah, dan
87
kolaborasi aktif dengan tim kesehatan, sehingga dapat meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup (Funnell et.al., 2008). Pemberian DSME dapat merubah perilaku pasien melalui informasi yang diberikan kepada pasien. Pemberian informasi kepada pasien merupakan suatu stimulus yang dapat meningkatkan pengetahuan, sehingga menimbulkan kesadaran untuk berperilaku sesuai dengan yang diharapkan. Pasien DM tipe 2 memiliki kemampuan dan respon yang berbeda terhadap stimulus yang diberikan, sehingga perilaku dan kemampuan pasien dalam melakukan perawatan mandiri juga berbeda. Pemberian DSME dapat menghasilkan berbagai outcomes, yaitu hasil jangka pendek, hasil jangka menengah, dan hasil jangka panjang (Norris et.al., 2002) yang dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Gambar 5.1 Analisis framework terhadap hasil (outcomes) pemberian DSME Berdasarkan bagan 5.1 di atas, pemberian DSME dapat memberikan banyak manfaat bagi pasien DM. Pemberian DSME dapat memberikan hasil yang positif, baik hasil jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Hasil jangka pendek meliputi kontrol glikemik (hemoglobin terglikosilasi dan
88
gula darah), kontrol fisik (berat badan, kadar lipid, luka pada kaki, tekanan darah, mikroalbuminuria, retinopati), modifikasi gaya hidup (aktivitas fisik, diet, kebiasaan merokok), dan kontrol status mental (depresi dan ansietas). Hasil jangka menengah meliputi peningkatan pengetahuan, keterampilan (memecahkan masalah, kontrol gula darah secara mandiri, dan penggunaan obat-obatan), status psikologis (kepercayaan diri, perilaku, koping), dan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan (rutin kontrol). Hasil jangka panjang meliputi pencegahan komplikasi makrovaskular (penyakit vaskuler perifer, penyakit jantung coroner, penyakit serebrovaskuler), pencegahan komplikasi mikrovaskuler (penurunan penglihatan, neuropati perifer, penyakit ginjal, penyakit gigi dan mulut, ulkus diabetik, dan amputasi), penurunan angka kematian, peningkatan kualitas hidup, dan perbaikan sosial ekonomi (Norris et.al., 2002). Ulkus diabetik merupakan salah satu komplikasi mikrovaskuler yang dapat dialami oleh semua pasien DM di kemudian hari. Pencegahan terjadinya ulkus diabetik sangat penting dilakukan agar tidak terjadi komplikasi lain yang lebih parah (seperti amputasi). Ulkus diabetik biasanya muncul bertahun-tahun setelah pasien didiagnosis mengalami DM, bergantung pada perawatan mandiri yang dilakukan pasien (Rebolledo et.al., 2012). Ulkus diabetik disebabkan oleh tiga hal, yaitu neuropati, deformitas, dan trauma. Seiring dengan lamanya penyakit yang dialami oleh pasien, pasien bisa beresiko untuk mengalami ulkus diabetik. Canadian Association of Wound Care (2011) telah membuat suatu alat untuk skrining pasien terhadap tanda dan gejala yang muncul pada pasien yang beresiko untuk berkembang menjadi ulkus. Alat tersebut berisi 12 indikator yang
89
merupakan tanda dan gejala yang dapat dialami oleh pasien dan beresiko untuk terjadinya ulkus, yaitu kondisi kulit, kondisi kuku, ada tidaknya deformitas, kelayakan alas kaki, suhu kaki, rentang gerak kaki, tes sensasi dengan monofilamen, tes sensasi kaki dengan 4 pertanyaan, denyut nadi pada kaki, warna pada kaki, dan ada tidaknya erythema. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sidani & Fan (2009), pasien DM yang menerima DSME dapat mengalami perbaikan kontrol metabolik, perbaikan kualitas hidup, dan mengurangi komplikasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rondhianto (2011) juga menyatakan bahwa DSME terbukti memiliki pengaruh yang positif terhadap peningkatan kepercayaan diri dan perubahan perilaku perawatan diri pasien DM tipe 2. Sesuai dengan analisis framework terhadap hasil dari pemberian DSME, maka dapat dianalisis bahwa DSME mampu mengurangi tanda dan gejala yang beresiko untuk berkembang menjadi ulkus. Dengan adanya pemberian DSME pada pasien DM dalam penelitian ini, pasien memperoleh informasi terkait perawatan mandiri DM. Pengetahuan, keterampilan, dan status psikologis pasien mengalami peningkatan, sehingga pasien mulai melakukan perawatan mandiri terhadap penyakitnya dan hal tersebut dapat membantu mengurangi resiko untuk terjadinya ulkus diabetik. Komponen DSME yang diajarkan selama pemberian DSME kepada pasien DM dalam penelitian ini adalah pengetahuan dasar tentang DM, pengobatan DM, monitoring yang harus dilakukan, pengaturan nutrisi/diet, olahraga dan aktivitas sehari-hari, manajemen stress dan dukungan psikososial, perawatan kaki, dan akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan. Selama proses pemberian DSME,
90
peneliti mengeksplorasi pengetahuan yang telah dimiliki pasien dan perawatan yang telah dilakukan. Peneliti juga mengeksplorasi perasaan dan keluhan yang dirasakan pasien. Komponen-komponen DSME yang diajarkan kepada pasien dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pasien sekaligus memperbaiki perawatan yang dilakukan pasien yang kurang benar. Pasien diajarkan untuk mengenal apa itu DM, penyebab DM, faktor resiko DM, tanda dan gejala DM, proses perjalanan penyakit DM, penatalaksanaan DM, dan komplikasi DM. Sebelum pemberian DSME, peneliti terlebih dahulu menanyakan kepada pasien tentang apa yang diketahui pasien mengenai penyakit DM karena persepsi pasien terhadap penyakitnya akan mempengaruhi perawatan yang dilakukan pasien. Pasien diajarkan beberapa jenis obat DM yang biasanya diberikan dokter, dalam hal ini peneliti juga menanyakan obat apa saja yang diperoleh pasien dan bagaimana efek yang dirasakan pasien. Rata-rata pasien dalam penelitian ini menyatakan
telah
mengetahui
kegunaan
masing-masing
obat
dan
mengkonsumsinya secara rutin, yaitu metformin, glucodex, decolin, dan neurodex (Data Primer, 2013). Pemberian informasi mengenai pengobatan DM perlu diberikan karena pengobatan merupakan pilar keempat dalam penatalaksanaan DM yang dianjurkan oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2011). Pasien diajarkan monitoring apa yang harus dilakukan, yaitu monitoring KGD, monitoring kolesterol, monitoring tekanan darah, dan monitoring metabolik secara umum. Pasien diajarkan pentingnya pemeriksaan gula darah secara rutin, baik pemeriksaan gula darah secara mandiri maupun dengan pemeriksaan ke
91
laboratorium. Pasien diajarkan bagaimana cara menggunakan alat glucotest dan waktu yang tepat untuk memantau kadar gula darahnya, yaitu saat sebelum makan, 2 jam setelah makan, menjelang waktu tidur, dan saat tidur (PERKENI, 2011). Beberapa pasien telah memiliki alat glucotest namun pasien mengatakan pemeriksaan kadar gula darah yang dilakukan hanya saat sebelum makan dan 2 jam setelah makan (Data Primer, 2013). Peneliti memberikan penguatan kepada pasien untuk rutin memeriksakan gula darahnya terutama jika kondisi finansial mencukupi, peneliti juga memberikan penguatan melalui komunikasi sehari sebelum pemberian DSME pada masing-masing sesi agar peneliti dapat memantau dan mengkaji perubahan kadar gula darah pada pasien. Pada penelitian ini, pasien juga diajarkan cara pengaturan nutrisi/diet yang tepat. Prinsip pengaturan nutrisi pada pasien DM tipe 2 yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pengaturan jadwal, jenis, dan jumlah makanan merupakan aspek yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada pasien dengan terapi insulin (PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2001). Peneliti memberikan penguatan kepada pasien untuk sebaiknya mematuhi pengaturan nutrisi yang tepat agar penyakitnya tidak berkembang semakin parah. Olahraga dan aktivitas fisik merupakan salah satu dari empat pilar penatalaksanaan DM. Olahraga dan aktivitas fisik dapat menjaga kebugaran, menurunkan berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin. Olahraga yang dilakukan sifatnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance training) (PERKENI, 2011). Rata-rata pasien dalam penelitian ini
92
menyatakan bahwa olahraga yang dilakukan pasien adalah olahraga ringan seperti jalan kaki pada pagi hari (Data Primer, 2013). Peneliti memberikan saran kepada pasien agar sebaiknya menghindari kebiasaan hidup sedentary, yaitu kebiasaan hidup bermalas-malasan dan mengkonsumsi makanan siap saji. Peneliti memberikan informasi mengenai jenis olahraga yang bisa dilakukan dan sesuai dengan kemampuan pasien, waktu olahraga, dan hal-hal yang harus dilakukan sebelum olahraga. Pasien diajarkan bagaimana cara manajemen stres dan pengaruh dukungan sosial terhadap kondisi psikologis pasien. Stres yang dialami pasien DM telah terbukti mampu memperburuk kondisi kesehatan pasien DM (Smeltzer & Bare, 2001). Pada keadaan stress terjadi aktivasi pada amygdala pada sistem limbik. Sistem ini akan menstimulasi pelepasan hormon dari hipotalamus yaitu corticotropic releasing hormone (CRH).
Hormon ini secara langsung akan
menghambat sekresi GnRH hipotalamus dari tempat produksinya di nukleus arkuata. Proses ini kemungkinan terjadi melalui penambahan sekresi opioid endogen. Peningkatan CRH akan menstimulasi pelepasan endorfin dan adrenocorticotropic hormone (ACTH) ke dalam darah. Peningkatan kadar ACTH akan menyebabkan peningkatan pada kadar kortisol darah dan penyumbatan pembuluh darah (Guyton & Hall, 1997). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hanif (2012), DSME terbukti mampu menurunkan tingkat stres dan meningkatkan mekanisme koping pasien DM tipe 2. Peneliti mengeksplorasi perasaan pasien, stres yang dialami pasien, harapan-harapan pasien, dan masalah yang mungkin dialami pasien.
93
Pasien diajarkan bagaimana stres dapat mempengaruhi kadar gula darah dan memperparah penyakit. Pasien juga diajarkan pentingnya keterbukaan kepada keluarga terhadap masalah yang dialaminya, sehingga pasien dapat memperoleh dukungan sosial. Manajemen stress yang baik terbukti dapat menurunkan kadar hormon kortisol dalam darah dan memperbaiki kontrol metabolik pasien (Wade & Tavris, 2007). Komponen terakhir yang diajarkan kepada pasien adalah mengenai sistem pelayanan kesehatan dan akses pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan. Sebelum memberikan informasi terkait sistem pelayanan kesehatan ini, peneliti terlebih dahulu mengkaji fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di sekitar pasien. Peneliti memberikan saran kepada pasien untuk kontrol secara rutin ke rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan terdekat, sehingga pasien dapat mengetahui perkembangan penyakitnya dan berkonsultasi dengan dokter. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember, pemeriksaan kadar gula darah pada pasien DM dilakukan 1 bulan sekali, sedangkan pemeriksaan kadar kolesterol dilakukan 3 bulan sekali. Rata-rata pasien dalam penelitian menjalani rawat jalan untuk memeriksakan kadar gula darah ke Poli Interna sebanyak 1 bulan sekali, namun beberapa pasien menjalani rawat jalan 1 bulan 2 kali dan 3 bulan sekali, tergantung pada keluhan yang dirasakan pasien dan ketersediaan obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien (Data Primer, 2013). Komponen-komponen DSME yang telah diajarkan kepada pasien dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawatan mandiri pasien.
94
Kemampuan individu untuk melakukan perawatan diri (self care) dipengaruhi oleh usia, status perkembangan, pengalaman hidup, orientasi sosial budaya, kesehatan, dan sumber daya yang tersedia. Perawatan diri dilakukan karena adanya masalah kesehatan atau penyakit dengan tujuan mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan (Asmadi, 2008). Self care sangat penting dilakukan oleh pasien DM tipe 2 untuk mencegah terjadinya ulkus diabetik dan komplikasi lain yang lebih parah. Self care yang dilakukan oleh pasien erat kaitannya dengan teori Orem dalam keperawatan. Model konseptual keperawatan Orem dikenal sebagai self care deficit theory of nursing (SDCTN) yang terdiri dari tiga teori yang saling berhubungan, yaitu teori perawatan diri yang menggambarkan mengapa dan bagaimana manusia melakukan perawatan terhadap dirinya sendiri, teori defisit perawatan diri yang menggambarkan dan menjelaskan mengapa manusia dapat dibantu melalui keperawatan, dan teori sistem keperawatan yang menggambarkan dan menjelaskan bagaimana asuhan keperawatan dapat diterapkan pada pasien (Tomey dan Alligood, 2006 dalam Rondhianto, 2011). Kebutuhan self care yang harus dipenuhi dalam jangka waktu tertentu disebut dengan therapeutic self care demand. Seorang individu mempunyai kekuatan untuk melaksanakan perawatan diri sendiri, kekuatan tersebut disebut self care agency. Self care agency dapat berubah setiap waktu, dipengaruhi oleh kondisi kesehatan seseorang. Ketika terjadi ketidakseimbangan antara self care agency dengan therapeutic self care demand, maka terjadilah self care deficit (Parker, 2001 dalam Rondhianto, 2011). Kemampuan pasien DM tipe 2 dalam
95
melakukan perawatan mandiri juga mengacu pada teori tersebut. Setiap pasien memiliki kemampuan masing-masing untuk melakukan perawatan diri sendiri dan kebutuhan perawatan diri pada masing-masing pasien berbeda. Perbedaan kemampuan perawatan diri pada pasien inilah yang menyebabkan perbedaan skor resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien. Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang telah dijabarkan di atas, DSME mampu menurunkan resiko terjadinya ulkus diabetik melalui perawatan mandiri yang dilakukan oleh pasien pada kelompok intervensi. Penurunan yang terjadi pada kelompok kontrol dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah pasien pada kelompok kontrol telah mengetahui secara singkat mengenai konsep dasar DM dan perawatan mandiri yang harus dilakukan. Pasien telah mengetahui definisi DM, klasifikasi DM, penyebab DM, faktor resiko DM, tanda dan gejala DM, komplikasi DM, monitoring yang harus dilakukan, namun pasien tidak mengetahui perawatan kaki yang harus dilakukan, pengaturan nutrisi yang tepat, jenis-jenis olahraga yang dianjurkan, dan manajemen stres yang bisa dilakukan (Data Primer, 2013).
5.3
Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam pelaksanaannnya. Keterbatasan
tersebut adalah sebagai berikut: a. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara non probability sampling. Kelemahan teknik sampling ini adalah hasil yang diperoleh kurang mampu mewakili populasi. Untuk mengatasi hal ini, maka peneliti melakukan teknik
96
sampling menggunakan consecutive sampling yang merupakan teknik sampling non probability sampling terbaik yang mendekati teknik random sampling. Teknik pemilihan sampel dilakukan dengan memilih pasien yang bisa dijangkau dan memenuhi kriteria inklusi, dengan harapan sampel yang dipilih oleh peneliti dapat mewakili populasi. b. Pengukuran KGD adalah pengukuran sewaktu, sehingga tidak mampu menggambarkan kondisi pasien secara tepat. Peneliti mengatasi masalah ini dengan mengeksplorasi keluhan yang dirasakan pasien, penanganan yang sudah dilakukan, dan kendala yang dihadapi, dengan harapan gejala subjektif yang dirasakan pasien dapat membantu menggambarkan kondisi pasien yang sebenarnya. c. Monofilamen yang digunakan pada penelitian ini bukan monofilamen Semmes-Weinstein asli karena peneliti kesulitan memperoleh monofilamen tersebut. Peneliti mengatasi masalah tersebut dengan cara menggunakan senar pancing dengan bahan dan diameter yang menyerupai monofilamen SemmesWeinstein dan melakukan uji terhadap monofilamen tersebut. Kelemahan monofilamen tersebut adalah kurang sensitif daripada monofilamen SemmesWeinstein. d. Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teori Sugiyono (2012), sehingga kurang akurat daripada penentuan jumlah sampel dengan menggunakan rumus. Peneliti mengatasi masalah ini dengan cara menggunakan batas maksimal jumlah sampel pada teori Sugiyono (2012)
97
yaitu sebanyak 20 orang pada tiap kelompok, dengan harapan jumlah sampel tersebut dapat mewakili populasi. e. Desain penelitian yang digunakan adalah pretest and posttest with control group design. Desain penelitian tersebut tidak mengukur resiko terjadinya ulkus diabetik setiap pertemuan, sehingga tidak dapat diketahui perkembangan tanda dan gejala yang muncul pada pasien setiap pertemuan.
BAB 6. PENUTUP
6.1
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut: a. karakteristik responden pada distribusi umur responden menunjukkan bahwa rata-rata usia responden adalah 57,05 tahun pada kelompok intervensi dan 58,75 tahun pada kelompok kontrol dengan rata-rata mengalami DM selama 6 tahun, rata-rata nilai KGD sewaktu responden adalah 216,45 mg/dl pada kelompok intervensi dan 236,75 mg/dl pada kelompok kontrol, rata-rata nilai ABI responden adalah 1,04 pada kelompok intervensi dan 1,06 pada kelompok kontrol, mayoritas jenis kelamin responden adalah perempuan, mayoritas tingkat pendidikan responden adalah SMP sederajat, dan mayoritas jenis pekerjaan responden adalah tidak bekerja pada kelompok intervensi dan pensiunan pada kelompok kontrol; b. rata-rata skor resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum dilakukan DSME pada kelompok intervensi adalah 3,70; dan saat observasi awal pada kelompok kontrol sebesar 3,75; c. rata-rata skor resiko terjadinya ulkus diabetik sesudah dilakukan DSME pada kelompok intervensi adalah 2,45; dan saat observasi akhir pada kelompok kontrol adalah 3,40; d. terdapat perbedaan skor resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok kontrol, (p: 0,015; α: 0,05);
98
99
e. terdapat perbedaan yang signifikan terhadap skor resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok intervensi, (p: 0,000; α: 0,05); dan f. terdapat perbedaan yang signifikan skor resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah dilakukan DSME, yang berarti pula bahwa ada pengaruh DSME terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien DM tipe 2, (p: 0,001; α: 0,05).
6.2
Saran Saran yang dapat diberikan terkait dengan hasil penelitian ini antara lain
sebagai berikut. a. Bagi Institusi Pendidikan DSME dapat dijadikan suatu materi pokok dalam pembelajaran asuhan keperawatan pada pasien DM tipe 2 dan sumber referensi bagi dosen dan mahasiswa dalam mengembangkan ilmu keperawatan atau penelitian terkait. b. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan DSME dapat dijadikan sebagai suatu program promosi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan perawatan mandiri pasien DM tipe 2. DSME dapat dijadikan suatu SOP, sumber referensi, atau sumber acuan dalam penanganan pasien DM tipe baik dalam lingkup klinik maupun komunitas. c. Bagi Profesi Keperawatan DSME dapat dijadikan sumber informasi bagi perawat dalam memberikan edukasi kepada pasien DM tipe 2 baik perawat klinik maupun perawat
100
komunitas. Sehingga harapannya perawat ikut membantu pasien dalam upaya mencegah terjadinya ulkus diabetik dan komplikasi DM lainnya. d. Bagi Masyarakat dan Responden Masyarakat dan responden diharapkan dapat menerapkan ilmu yang telah diperoleh melalui perawatan mandiri yang benar dan memberikan ilmu tersebut kepada orang lain yang belum mengetahuinya, sehingga diharapkan masyarakat juga ikut serta membantu mencegah terjadinya ulkus diabetik dan mengurangi komplikasi yang terjadi pada pasien akibat penyakit DM. e. Bagi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti lain yang ingin meneliti tentang pengaruh DSME terhadap aspek lain terkait penyakit DM. Rekomendasi penelitian yang perlu dilakukan oleh peneliti lain di antaranya sebagai berikut: 1) Pengaruh DSME terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik dengan menggunakan teknik probability sampling dan jumlah sampel yang lebih besar, metode penelitian lain yang lebih baik, monofilamen yang digunakan adalah monofilamen Semmes-Weinstein asli, dan menggunakan jenis dan rancangan penelitian yang berbeda; 2) Pengaruh DSME terhadap kualitas hidup pasien DM tipe 2; 3) Pengaruh DSME terhadap profil lipid dan HbA1C pasien DM tipe 2; 4) Pengaruh DSME terhadap tingkat sirkulasi perifer pasien DM tipe 2; 5) Penelitian kualitatif mengenai persepsi pasien DM tipe 2 terhadap pemberian DSME yang dilakukan secara individual maupun kelompok; dan
101
6) Penelitian kuantitatif mengenai efektivitas DSME yang diberikan kepada pasien DM tipe 2 dengan setting kelompok atau FGD (Focus Group Discussion).
DAFTAR PUSTAKA
Aalaa et.al.. 2012. Nurses’s Role in Diabetic Foot Prevention and Care; A Review. Journal of Diabetes & Metabolic Disorders, p. 1-6. Aerenhouts, D., Zinzen, E., Clarys, P.. 2011. Energy expenditure and habitual physical activities in adolescent sprint athletes. Journal of Sports Science and Medicine (10), p. 362-368. American Diabetes Association. 2003. Consensus statement: Peripheral Arterial Disease In People With Diabetes. Diabetes Care (26), p. 3333-3341. American Diabetes Association. 2007. Preventing Type 2 Diabetes and Heart Disease: Surveying Attitudes, Knowledge and Risk. CheckUp America, Research Overview & Executive Summary, p. 1-4. American Diabetes Association. 2010. Position statement: Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care (33). Apelqvist, J., Bakker, K., Houtum, W. H. v., & Schaper, N. C. 2008. Practical Guidelines On The Management and Prevention of The Diabetic Foot. Diabates Metab Res Rev (24):1, p. 181-187. Arief, F. 2008. Profil Penderita Diabetes Mellitus dengan Ulkus Kaki di SMF Penyakit Dalam RSUD dr. Soebandi Jember Periode Januari 2003Desember 2007. [skripsi]. Jember: Fakultas Kedokteran Universitas Jember. Arslanian, S. A., Bacha, F., Saad, R., & Gungor, N. 2005. Family History of Type 2 Diabetes Is Associated With Decreased Insulin Sensitivity and an Impaired Balance Between Insulin Sensitivity and Insulin Secretion in White Youth. Diabetes Care Volume 28 (1) : p. 127-131. Asmadi. 2008. Konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2009. Evaluasi Pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. [serial on line]. http://bappenas.go.id/get-file-server/node/10815/ [diakses tanggal 31 September 2013]. Badan Pusat Statistik. 2010. Sensus Penduduk 2010. [serial on line]. http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/index. [diakses tanggal 9 Oktober 2012].
102
103
Budiarto, E. 2002. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC. Canadian Association of Wound Care. 2011. Inlow’s 60-second Diabetic Foot Screen Screening Tool. [serial on line]. www.cawc.net. [diakses tanggal 30 Maret 2013]. Canadian Diabetes Association. 2008. Prediabetes Prevention. CDA Clinical Practice Guidelines, p. 1-2. Efendi, F. dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakata: Salemba Medika. Eyre, H., Kahn, R., & Robertson, R. M. 2004. Preventing Cancer, Cardiovascular Disease, and Diabetes. Diabetes Care Volume 27 (7) : p. 1812-1824. Frykberg, R. G. 2002. Diabetic Foot Ulcers: Pathogenesis and Management. American Family Physician Journal Volume 66 (9): p. 1655-1622. Funnell, M. M., et.al. 2008. National Standards for Diabetes Self-Management Education. Diabetes Care Volume 31 Supplement 1: p. S87-S94. Gamara, S. E. 2013. Hubungan Antara Pengetahuan Perawatan dengan Kemampuan Manajemen Perawatan Diri pada Pasien Diabetes Mellitus di Rumah Sakit Umum Daerah Kuningan 45 Kuningan 2013. Guyton, A. C. & Hall, J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Terjemahan oleh Irawati Setiawan, dkk. Jakarta: EGC. Haas, L., et.al. 2012. National Standards for Diabetes Self-Management Education and Support. Diabetes Care Volume 35: p. 2393-2401. Hamid. A. Y. 2008. Pengenalan Konsep Komite Keperawatan dan Kedudukkanya di Dalam Rumah Sakit Jiwa: Jurnal Manajemen dan Administrasi Rumah Sakit Indonesia. Hanif, R. A. 2012. Perbedaan Tingkat Stres Sebelum dan Sesudah Dilakukan Diabetes Self Management Education (DSME) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Rambipuji Kabupaten Jember. [skripsi]. Jember: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember. Hastono, S. P. 2007. Analisis Data Kesehatan. Jakarta: FKM UI. International Diabetes Federation. 2005. Panduan Global untuk Diabetes Tipe 2. Terjemahan oleh Dr. Benny Kurniawan. Brussels: International Diabetes Federation.
104
Jones, H., Berard, L. D., & Nichol, H. 2008. Self-management Education. Canadian Journal of Diabetes Volume 32 Supplement 1: p. S25-S28. Juutilainen et.al., 2004. Gender Difference in the Impact of Type 2 Diabetes on Coronary Heart Disease Risk. Diabetes Care (27), p. 2898–2904. Kirsner, R. S. et.al. 2010. The Standard of Care for Evaluation and Treatment of Diabetic Foot Ulcers. Florida: Barry University School of Podiatric Medicine. Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. 2005. Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan. [serial online]. http://www.knepk.litbang.depkes.go.id/knepk/. [diakses tanggal 9 Oktober 2012]. LeMone & Burke. 2008. Medical surgical nursing: Critical thinking in client care, Edisi 4. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Mansjoer, A., dkk. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. Maulana, H. D. J. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC. McGowan, P. 2011. The Efficacy of Diabetes Patient Education and SelfManagement Education in Type 2 Diabetes. Canadian Journal of Diabetes Volume 35 (1): p. 46-53. Meneilly, G. S., & Elahi, D. 2005. Metabolic Alterations in Middle-Aged and Elderly Lean Patient With Type 2 Diabetes. Diabetes Care Volume 28 (6) : p. 1498-1499. Morato, E. H., et.al. 2007. Physical Activity in U.S Adult With Diabetes and At Risk For Developing Diabetes, 2003. Diabetes Care Volume 30 (2) : p. 203-209. Morley, J. E. 1998. The Elderly Type 2 Diabetic Patient: Special Considerations. Diabet. Med. 15 (Suppl. 4), p. S41–S46. Murphy, C. A., et.al. 2012. Reliability and predictive validity of Inlow's 60Second Diabetic Foot Screen Tool. Abstract. [serial on line] http://www.torna.do/s/Reliability-and-predictive-validity-of-Inlow-s-60Second-Diabetic-Foot-Screen-Tool/ [diakses tanggal 19 Maret 2013]. Norris, S. L., et.al. 2002. Increasing Diabetes Self-Management Education in Community Settings. Am J Prev Med Volume 22 (4S): p. 39–66.
105
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Cetakan Pertama. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nurlaily. 2010. Analisis Beberapa Faktor Risiko Terjadinya Diabetes Mellitus pada RSUD dr. Mm. Dunda Limboto Kab.Gorontalo. [serial on line]. http://dc162.4shared.com/doc/lYqjkf5o/preview.html [diakses tanggal 21 September 2013]. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Oyibo, S. O. 2001. A Comparison of Two Diabetic Foot Ulcer Classification Systems: The Wagner and The University of Texas would classification systems. Diabetes Care Volume 24 (1) : p. 84-88. Parisi, M. C. R., et.al. 2008. Comparison of three systems of classification in predicting the outcome of diabetic foot ulcers in Brazilian population. European Journal of Endocrinology 159 : p. 417-422. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB. PERKENI. Portney L. G. & Watkins M.P. 2000. Fundamentals of Clinical Research: Application to Practice, 2nd ed. New Jersey: Prentice Hall Health. Potter, P. A. & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Jakarta: EGC. Price, S. A. & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2, Edisi 6. Terjemahan oleh Brahm U. Pendit, dkk. Jakarta: EGC. Rebolledo, F. A., Soto, J. M. T., & Pena, J. E. d. l. 2012. The Pathogenesis of the Diabetic Foot Ulcer: Prevention and Management. Unknown Publisher. Roach, C. 2011. The Differences Between Fluid and Cristallized Intelligence. [serial on line]. http://voices.yahoo.com/the-differences-between-fluidcrystallized-intelligence-7758930.html [diakses tanggal 30 September 2013].
106
Rolikasari, R. 2007. Profil Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 yang Mengalami Komplikasi Penyerta Foot Diabetic di RSUD dr. Soebandi Jember Periode 1 Agustus 2005 – 31 Juli 2006. [skripsi]. Jember: Fakultas Kedokteran Universitas Jember. Rondhianto. 2011. Pengaruh Diabetes Self Management Education dalam Discharge Planning terhadap Self Efficacy dan Self Care Behaviour Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. [tesis]. Surabaya: Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. Sastroasmoro & Ismael. 2010. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi-3 Jakarta: Bina Rupa Aksara . Seputar Indonesia. 2011. Angka Kematian Diabetes Tinggi. [serial on line]. http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/455166/ [diakses tanggal 9 Oktober 2012]. Setiadi. 2007. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Shai, I., et.al. 2006. Ethnicity, Obesity, and Risk of Type 2 Diabetes in Women. Diabetes Care Volume 29 (7) : p. 1585-1590. Sicree, R.,Shaw, J., & Zimmet P. 2009. The Global Burden. IDF Diabetes Atlas 4th Ed. Sidani, S. & Fan, L. 2009. Effectiveness of Diabetes Self-management Education Intervention Elements: A Meta-analysis. Canadian Journal of Diabetes Volume 33 (1): p. 18-26. Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner dan Suddarth Volume 2, Edisi 8. Terjemahan oleh Agung Waluyo, dkk. Jakarta: EGC. Sugiyono. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sulistiari, D. A. 2013. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Perawatan Kaki terhadap Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dalam Melakukan Perawatan Kaki di Wilayah Kerja Puskesmas Jenggawah Kabupaten Jember. [skripsi]. Jember: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember. Suprayogi, U. 2005. Pendidikan Usia Lanjut. [serial on line]. http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI.PENDIDIKAN_LUAR_SEKOL AH/196005091986031UGI_SUPRAYOGI/Pendidikan_Usia_Lanjut_2.pdf [diakses tanggal 21 September 2013]
107
Suryabrata S. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. Vatankhah, N., et.al. 2009. The effectiveness of foot care education on people with type 2 diabetes in Tehran, Iran. [abstract]. [serial online]. http://www.primary-care-diabetes.com/article/S1751-9918(09)000412/abstract . [diakses tanggal 18 Maret 2013]. Wade, C., & Tavris, C. 2007. Psikologi. Edisi Kesembilan, Jilid 2. Terjemahan oleh Padang Mursalin dan Dinastuti. Jakarta: Erlangga. Wexler, D. J., et.al. 2005. Sex Disparities in Treatment of cardiac Risk Factors in Patient With Type 2 Diabetes. Diabetes Care Volume 28 (3) : p. 514-520. Wicaksana, A. L. 2010. Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap Pengelolaan Diabetes Mandiri pada Penderita DM Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Pacar Keling Surabaya. [abstract]. Surabaya: Universitas Airlangga. Wijonarko. 2010. Tehnik Dressing Pada Ulkus Kaki Diabetikum. [serial on line]. http://www.fik.ui.ac.id/pkko/files/Manajemen%20Ulkus%20Kaki%20Dia betik.rtf. [diakses tanggal 13 April 2013]. Wild, S., et.al. 2004. Global Prevalence of Diabetes: Estimates for The Year 2000 and Projections for 2030. Diabetes Care Volume 27 (5), p. 1047-1053. Woodbury, M. G. 2009. The BWAT Pictorial Guide and the 60-second Diabetic Foot Screen: A Commentary on Developing and Validating Clinical Materials. Wound Care Canada Volume 7 (2): p. 44-46. World Health Organization (WHO). 2003. Adherence To Long-Term TherapiesEvidence for action. [serial online].
[email protected] [diakses tanggal 21 September 2013].