Pengaruh Cash Flow From Operating Ratio, Corporate Governance dan Ukuran Perusahaan Terhadap Financial Distress
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh cash flow from operating ratio, corporate governance, dan ukuran perusahaan terhadap financial distress. Variabel kontrol yang digunakan adalah leverage. Financial distress pada penelitian ini diukur dengan menggunakan Altman Z-Score. Sampel penelitian adalah perusahaan non keuangan yang terdaftar di BEI, dengan tahun amatan 2007-2015. Sampel yang digunakan sebanyak 33 perusahaan sehingga total sampel keseluruhan adalah 297 amatan. Pengambilan sampel didasarkan pada teknik purposive sampling. Pengolahan data dilakukan menggunakan persamaan regresi linear berganda sebagai model utama pada tingkat signifikansi 5% serta menggunakan regresi logistik sebagai analisis sensitivitas pada tingkat signifikansi 5%. Analisis data menggunakan regresi linear berganda menunjukkan bahwa secara simultan cash flow from operating ratio, corporate governance, ukuran perusahaan, dan leverage memiliki pengaruh signifikan terhadap financial distress. Sedangkan secara parsial cash flow from operating ratio memiliki pengaruh signifikan terhadap financial distress, corporate governance dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap financial distress pada α 5%. Sedangkan leverage sebagai variabel kontrol memiliki pengaruh signifikan terhadap financial distress.
Kata Kunci : Financial Distress, Cash Flow from Operating Ratio, Corporate Governance, Ukuran Perusahaan.
1
1.
PENDAHULUAN Financial distress merupakan suatu kondisi
dimana
perusahaan menghadapi
masalah kesulitan keuangan. Financial distress dapat dimulai dari kesulitan likuiditas (jangka pendek) sebagai indikasi financial distress yang paling ringan, sampai kepernyataan kebangkrutan yang merupakan financial distress yang paling berat. Financial distress merupakan tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi (Platt dan Platt, 2002). Financial distress dapat timbul karena faktor eksternal maupun internal perusahaan. Krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008 yang disebabkan oleh antusiasnya pinjaman untuk kredit rumah (subprime mortgage) membuat kondisi di dunia dilingkupi oleh ketidakpastian. Krisis tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia dan negara- negara emerging market lainnya. Krisis global tahun 2008 membuat banyak perusahaan kesulitan keuangan (Outlook Ekonomi Indonesia, 2009). Krisis keuangan global tersebut berdampak negatif bagi dunia bisnis. Hal tersebut dapat membuat perusahaan menjadi sulit mencapai target laba dan selanjutnya berdampak
akan
pada kondisi financial perusahaan. Kebangkrutan menjadi ancaman yang
membayangi perusahaan-perusahaan besar di dunia. Bahkan, perusahaan mapan dan sudah berusia tua pun tak luput dari ancaman kebangkrutan (Outlook Ekonomi Indonesia, 2009). Kondisi financial distress sangat penting
untuk
diketahui
oleh perusahaan
sehingga perusahaan diharapkan akan dapat mengambil langkah untuk mencegah terjadinya level financial distress lebih parah yaitu kebangkrutan atau delisting dari bursa efek (stock exchange). Delisting dilakukan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menyebabkan sekuritas perusahaan yang di-delisting bursa efek (Witiastuti
dan
tidak dapat lagi diperjualkan di
Suryandari,2016). Krisis keuangan perusahaan yang
beralarut-larut akan mengakibatkan perusahaan tersebut di-delisting dari Bursa Efek dan lebih parahnya lagi perusahaan tersebut dapat mengaami pailit. Setelah krisis tahun 2008 tersebut, Bursa Efek Indonesia melakukan delisting terhadap 8 perusahaan tercatat pada tahun 2009. Menurut Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor KEP308/BEJ/07-2004 Tentang Peraturan Nomor I-I Tentang
Penghapusan
Pencatatan
(delisting) dan Pencatatan Kembali (relisting) Saham di Bursa, salah satu alasan perusahaan tercatat dihapus pencatatannya (delisting) oleh bursa yaitu jika perusahaan 2
tercatat mengalami
kondisi,
atau
peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh
negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat, baik secara finansial atau secara hukum atau terhadap kelangsungan status perusahaan tercatat sebagai Perusahaan Terbuka (PT) dan perusahaan tercatat tersebut
tidak
dapat
menunjukan adanya
indikasi pemulihan yang memadai. Perusahaan yang dapat menghindari financial distress merupakan perusahaan yang menunjukan kinerja finansial yang baik, dimana kinerja perusahaan dapat dilihat melalui rasio keuangan (Kristianti et.al, 2016).
Sejak tahun 1960an, sudah banyak studi
penelitian yang menggunakan rasio keuangan sebagai indikator kegagalan (Altman, 1968; Beaver, 1966, 1968; Blum, 1974; Casey & Bartczak, 1985; Gilbert, Menon, & Schwartz, 1990; Ohlson, 1980). Penelitian Altman (1968) kemudian menghasilkan Altman
Z-Score
model
untuk memprediksi kebangkrutan. Oleh karena itu, rasio
keuangan kemudian menjadi basis dalam merumuskan dan mengembangkan failure prediction models. (Suntraruk, 2009). Menurut Wurck (1990) financial distress adalah suatu keadaan dimana arus kas operasi perusahaan tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya. Kewajiban jangka pendek tersebut dapat berupa utang kepada supplier, utang kepada pegawai, atau utang bunga atas pinjaman yang dilakukan (Wruck, 1990). Analisis terhadap cash from operating perusahaan juga dapat dilakukan untuk memprediksi
kemungkinan terjadinya financial distress pada perusahaan. Menurut
Gombola dan Ketz (1983), cash from operating ratio dapat menyediakan informasi yang tidak dijelaskan oleh accrual ratios lain. Variabel cash flow dapat secara signifikan digunakan sebagai alat ukur untuk memprediksi pada model financial distress (Gilbert, Menon, & Schwartz, 1990). Salah satu cash flow ratio yaitu rasio cash flow from operation-to- assets (CFOTA), rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam mengelola asetnya untuk menghasilkan cash flow bagi perusahaan. Semakin besar rasio cash flow from operation-to-assets (CFOTA), maka kemampuan perusahaan mengelola aset untuk menghasilkan kas semakin besar sehingga akan semakin
kecil
kemungkinan
perusahaan
tersebut
mengalami
financial
distress(Suntraruk,2009). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Almilia (2006) yang mengatakan bahwa rasio cash flow from operation-to-assets (CFOTA) dapat digunakan untuk memprediksi financial distress. Hasil penelitian Almilia (2006), membuktikan bahwa rasio cash flow from operation-to- assets (CFOTA) mempunyai pengaruh signifikan secara negatif terhadap kemungkinan financial distress. 3
Penyebab utama lain dari kegagalan atau masalah keuangan yang dihadapi perusahaan yaitu kesalahan pada strategi atau keputusan manajemen perusahaan. Keputusan yang
diambil manajemen perusahaan dapat memiliki konsekuensi
mementingkan diri sendiri, bukan untuk kepentingan pemegang saham. Pada umumnya, tindakan manajemen dapat dilihat melalui praktik tata kelola yang diterapkan oleh perusahaan tersebut (Suntraruk, 2009). Tujuan dari Good Corporate Governance (GCG) adalah untuk memastikan bahwa manajer perusahaan selalu mengambil tindakan yang benar dan tidak mementingkan kepentingan pribadi, melainkan mengambil tindakan untuk melindungi pemegang saham perusahaan (Al-Haddad et.al.,2011). Isu
mengenai
Corporate
Governance ini mulai mengemuka, khususnya di
Indonesia, setelah Indonesia mengalami masa krisis yang berkepanjangan sejak tahun 1998.
Banyak
pihak
yang mengatakan lamanya proses perbaikan di Indonesia
disebabkan oleh sangat lemahnya corporate governance yang diterapkan dalam perusahaan di Indonesia. Sejak saat itu, baik pemerintah maupun investor mulai memberikan perhatian yang cukup signifikan dalam praktek corporate governance. Struktur corporate governance dalam suatu perusahaan akan sangat menentukan nilai perusahaan dan tingkat kesehatan perusahaan. Penelitian mengenai pengaruh dari dewan komisaris sebagai salah satu mekanisme corporate governance terhadap kemungkinan perusahaan mengalami kebangkrutan telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. (Wardhani, 2006). Menurut Porter (1991) kesuksesan suatu perusahaan banyak ditentukan oleh karakteristik strategis dan manajerial perusahaan tersebut. Strategi tersebut diantaranya dapat juga mencakup strategi penerapan sistem Good Corporate Governance (GCG) dalam perusahaan. Struktur Good Corporate Governance dalam suatu perusahaan bisa jadi dapat menentukan sukses tidaknya suatu perusahaan. Apabila tata kelola perusahaan (corporate governance) memiliki hubungan dengan kemungkinan terjadinya financial distress, maka penyertaan variabel-variabel dalam corporate governance ke dalam sistem peringatan dini atau model prediksi terhadap financial distress
akan
lebih
baik
dibandingkan hanya didasarkan atas variabel
akuntansi saja. Informasi akuntansi seringkali mengalami proses window dressing sebagai bagian dari manajemen pendapatan, sedangkan struktur corporate governance lebih mendekati kondisi yang sebenarnya (Tsun dan Yin, 2004). Penelitian sebelumnya yang membahas mengenai pengaruh corporate governance terhadap financial distress, masih hanya mengambil beberapa bagian dari corporate 4
governance. Dalam penelitian financial distress yang dilakukan oleh Brédar (2014) pada perusahaan di Amerika Serikat, menggunakan board size, independence of the board, board activity, dan CEO duality sebagai indikator corporate governance. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa board size memiliki hubungan signifikan secara negatif terhadap financial distress, sedangkan independence of the board, board activity, dan CEO duality tidak menunjukkan hasil yang signifikan terhadap financial distress. Namun hasil penelitiannya, menunjukkan bahwa memasukkan variabel corporate governance ke dalam model financial distress dapat meningkatkan tingkat keakuratan dalam model prediksi financial distress. Penelitian mengenai financial distress lain yang dilakukan oleh Manzaneque et al (2016) pada perusahaan di Spanyol, menggunakan beberapa indikator mekanisme corporate governance,
yaitu ownership concentration, institutional ownership
concentration, non-institutional ownership
concentration,
board ownership, CEO
duality, independent directors, dan board size sebagai variabel independen dalam memprediksi kemungkinan financial distress. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa board ownership, proportion of independent directors dan board size memiliki pengaruh signifikan secara negatif, sehingga dapat memperkecil kemungkinan financial distress perusahaan. Sedangkan ownership concentration,
institutional
ownership, non-
institutional large shareholders dan CEO duality tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap financial distress. Secara parsial, masih belum dapat dibuktikan bahwa indikator-indikator corporate governance dapat berpengaruh secara signifikan terhadap financial distress. Terdapat beberapa tools (alat) yang dapat digunakan sebagai penilaian mandiri (self assessment) untuk menilai seberapa baik corporate governance pada suatu perusahaan. Salah satu alat untuk melakukan penilaian mandiri tersebut dikembangkan oleh Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2009). Penelitian ini menggunakan skor good corporate
governance
(GCG
Score) sebagai proksi dari corporate governance.
Penilaian GCG Score yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan beberapa komponen dari self assessment yang dikembangkan oleh FCGI (2009) dan Hermawan (2009). Faktor lain yang dapat mempengaruhi kebangkrutan adalah ukuran perusahaan. Salah satu ciri perusahaan yang sedang mengalami krisis keuangan yaitu adanya penurunan total aset atau dengan kata lain penurunan ukuran perusahaan. Perusahaan yang berukuran
besar
cenderung lebih stabil dan dapat menghindari kebangkrutan 5
(Theodossiou et al, 1996). Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat ukuran suatu perusahaan yaitu dari total aset yang dimiliki perusahaan tersebut. Hasil penelitian terdahulu masih menunjukan adanya ketidakkonsistenan mengenai pengaruh ukuran perusahaan terhadap financial distress. Hasil penelitian Tinoco dan Wilson (2013) menunjukan adanya pengaruh secara negatif dari ukuran perusahaan terhadap financial distress, namun hasil penelitian Sastriana dan Fuad (2013) menunjukkan hasil yang berbeda,ukuran perusahaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap probabilitas perusahaan mengalami financial distress. Menurut Parket et al (2011), perusahaan yang memiliki ukuran besar memiliki kesulitan yang lebih tinggi dalam mengelola operasi mereka saat mengalami financial distress. Hasil penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda yaitu Chancharat et al. (2008) dan Parker et al (2011) yang menunjukkan hasil bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifikan secara positif terhadap financial distress.
2. LANDASAN TEORI
Agency Theory Teori keagenan ini merupakan teori yang menjelaskan mengenai adanya pemisahan kepentingan antara pemilik perusahaan (principal) dan pengelola perusahaan (agent) (Bodroastuti, 2009). Teori keagenan fokus kepada dua permasalahan yang muncul dalam agency relationship, yaitu konflik yang muncul antara principal dengan agent dan masalah risk sharing karena principal dan agent memiliki pandangan yang berbeda dalam menghadapi risiko (Eisenhardt, 1989). Menurut Jensen dan Meckling (1976), agency relationship muncul karena terdapat hubungan kontraktual antara satu atau lebih principal dan agent, dimana agent (manajemen perusahaan) harus bekerja sesuai dengan keinginan principal. Namun, agency conflict dapat muncul dalam agency relationship karena pemegang saham (principal) dan manajemen yang mengelola perusahaan (agent) mempunyai kepentingan yang saling bertentangan. Pemegang saham (principal) menyediakan arahan kepada manajemen perusahaan (agent) untuk mengelola perusahaan yang akan menambah kekayaan pemegang saham. Disisi lain, sering manajemen perusahaan (agent) tidak mengelola perusahaan untuk memaksimalkan kekayaan shareholders, melainkan agent bekerja demi memaksimalkan kepentingan mereka sendiri. 6
Untuk mengurangi agency problem, penting bagi pihak internal dan eksternal dalam mekanisme tata kelola perusahaan untuk memastikan bahwa agents bertindak sesuai dengan kepentingan principal (Cremers dan Nair, 2005). Agent juga dituntut untuk bisa selalu transparan dalam kegiatan melalui
laporan
keuangan
agen
dapat
pengelolaan
perusahaan,
menunjukkan
salah
karena itu
satu
bentuk
pertanggungjawaban atas kinerja yang telah dilakukannya terhadap perusahaan. Informasi di dalam laporan keuangan tersebut kemudian dapat dijadikan alat bagi principal untuk menilai kondisi perusahaan. Teori keagenan merupakan teori pokok mengenai hubungan mekanisme good corporate governance dengan kemungkinan perusahaan mengalami financial distress (Witiastuti dan Suryandari, 2016).
Cash Flow from Operating Ratio (CFO Ratio) Arus kas yang berasal dari aktivitas operasi merupakan indikator yang menentukkan apakah dari operasi perusahaan dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk melunasi pinjaman, memelihara kemampuan operasi perusahaan, dan melakukan investasi baru tanpa mengandalkan sumber pendanaan dari luar. Operating activity melibatkan efek kas dari transaksi yang masuk ke dalam net income (Kieso et al.,2011). Arus kas dari aktivitas operasi merupakan arus kas yang diperoleh dari aktivitas penghasilan utama perusahaan. Salah satu contoh analisis dari Cash Flow from Operating
yaitu
dengan
menggunakan Cash Flow from Operating Ratio. Proksi yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini adalah Cash Flow From Operating-to-Total Asset Ratio (CFOTA). Rasio CFOTA ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam mengelola asetnya untuk menghasilkan cash flow bagi perusahaan (Almilia, 2006). Semakin besar rasio CFOTA, maka kemampuan perusahaan mengelola aset untuk menghasilkan kas semakin besar sehingga akan semakin kecil kemungkinan perusahaan tersebut mengalami financial distress (Suntraruk, 2009).
Corporate Governance Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) pada publikasi yang pertamanya tahun 2001 mempergunakan definisi Cadbury Committee, bahwa corporate governance merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang 7
mengatur dan mengendalikan perusahaan. Penelitian ini menggunakan Skor GCG sebagai proksi corporate governance. Semakin tinggi penerapan corporate governance yang diukur skor good corporate governance, maka semakin baik juga mekanisme tata kelola perusahaan dan menghasilkan pengawasan terhadap kinerja perusahaan yang baik sehingga akan memperkecil kemungkinan perusahaan mengalami financial distress (Wardhani, 2006).
Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan (Firm Size) dapat mempengaruhi kebangkrutan (Theodossiou et al, 1996). Ukuran perusahaan menggambarkan besar kecilnya total aktiva yang dimiliki perusahaan. Penelitian Manzaneque et al (2016) menggunakan proksi logaritma natural total aset dalam menentukan ukuran perusahaan. Semakin besar total aset yang dimiliki perusahaan diharapkan semakin mempunyai kemampuan dalam melunasi kewajiban di masa depan,
sehingga
perusahaan
dapat menghindari permasalahan
keuangan
(Theodossiou et al, 1996). Perusahaan yang berukuran besar cenderung lebih stabil, lebih mapan, dan dapat menghindari kebangkrutan. Perusahaan besar pada umumnya memiliki fundamental keuangan yang lebih kuat dibandingkan perusahaan kecil sehingga tidak rentan terhadap guncangan keuangan (Wardhani, 2007). Salah satu ciri perusahaan yang sedang mengalami krisis keuangan yaitu adanya penurunan total aset atau dengan kata lain penurunan ukuran perusahaan (Kahya dan Theodossiou, 1990).
Financial Distress Financial distress merupakan tahap penurunan kondisi keuangan perusahaan sebelum mengalami kebangkrutan atau likuidasi (Platt dan Platt, 2002). Definisi financial distress menurut Brigham (2011)yaitu keadaan ketika perusahaan mengalami keadaan ketidakmampuan untuk menyelesaikan pembayaran kewajibannya secara tepat waktu atau ketika
arus kas perusahaan tidak berjalan dengan lancar. Perusahaan
terindikasi mengalami
financial
distress
jika
dalam dua tahun berturut-turut
mengalami laba bersih (net operating income) negatif dan selama lebih dari satu tidak melakukan pembayaran dividen (Almilia dan Kristijadi, 2003).
Altman Z-Score Model a) Revised Z-Score Model-Manufacturers Company 8
Altman lalu merevisi model Altman Z-Score(1968), revisi dilakukan untuk menyesuaikan agar model prediksi kebangkrutan tidak hanya digunakan untuk perusahaan manufaktur yang go public, namu dapat juga digunakan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan-perusahaan non go public. Perbedaan model revisi ini dengan model sebelumnya terletak pada
variabel
T4.
Variabel
T4 diubah menjadi nilai
buku modal. Formula revised z-score model Altman menjadi sebagai berikut: Z = 0.717T1 + 0.847T2 + 3.107T3 + 0.420T4 + 0.998T5
b) A Further revision - Adapting the Model for Non-Manufacturers Company Modifikasi Z-Score selanjutnya yang dilakukan oleh Altman, yaitu dengan membuat model untuk perusahaan non manufaktur. Dimana perbedaan Z- Score untuk perusahaan manufaktur dan non manufaktur terletak pada variable X5. Pada model untuk perusahaan non manufaktur ini, tidak terdapat X5. Berikut adalah formula Altman Z-Score untuk perusahaan manufaktur: Z = 6.56 T1 + 3.26 T2 + 6.72T3 + 1.05T4
3. PENGEMBANGAN HIPOTESIS H1 : Semakin besar cash flow from operation ratio, semakin kecil kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. H2 : Semakin baik mekanisme corporate governance, semakin kecil kemungkinan perusahaan mengalami financial distress H3 : Semakin besar ukuran perusahaan, semakin kecil kemungkinan perusahaan mengalami financial distress
4. METODE PENELITIAN Objek
penelitian
yang
digunakan sebagai
variabel
independen
dalam
penelitian ini adalah cash flow from from operating ratio perusahaan, skor good corporate governance untuk melihat mekanisme corporate governance perusahaan, dan logaritma natural dari total aset yang dimiliki perusahaan untuk melihat ukuran perusahaan. Penelitian ini juga menggunakan leverage sebagai variabel control. Sedangkan variabel dependennya adalah financial distress dengan menggunakan indikator nilai financial distress Altman Z-Score Model. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan- perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2015. Penentuan sampel dilakukan dengan 9
metode purposive sampling, yang menghasilkan sampel sebanyak 297 dari 33 perusahaan selama sembilan tahun pengamatan (2007-2015).
Tabel 1. Operasionalisasi Variabel Jenis Variabel Dependen
Variabel Financial Distress (Y)
Indikato
Model 1:
Skala
r manufaktur Z-Score untuk perusahaan Z = 0.717T1 + 0.847T2 + 3.107T3 + 0.420T4 + Rasio
0.998T5 Z-Score untuk perusahaan non-manufaktur Z = 6.56 T1 + 3.26 T2 + 6.72T3 + 1.05T4 Model 2: Apabila perusahaan mengalami financial distress akan diberi angka 1 dan jika tidak mengalami
Nominal
financial distress Independen Cash Flow from
akan diberi angka 0. Cash Flow From Operating Activites
Operating Ratio (CFO Ratio) (CFO)
CFOTA =
Total Asset
Rasio
Independen Corporate Governance (CG)
Skor good corporate governance (GCG Score)
Rasio
Logaritma Natural Total Aset
Rasio
Independen Ukuran Perusahaan Kontrol
(SIZE) Leverage (LEV)
DAR =
Total Debt Total Asset
Pengujian yang dilakukan adalah: 1. Uji Chow untuk memilih antara PLS dan FEM 2. Uji Hausman untuk memilih antara FEM dan REM Uji asumsi klasik dilakukan dalam penelitian ini, yang terdiri dari uji normalitas, uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi.
10
Rasio
5. HASIL DAN DISKUSI a. Cash Flow From Operating Ratio Rata-rata CFO perusahaan non keuangan yang terdaftar di BEI tahun 2015 adalah sebesar 0,120 dengan simpangan baku 0,123 dan nilai tertingginya
mencapai 0,521
dimiliki oleh PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) tahun 2007, sedangkan nilai terendah sebesar -0,133 dimiliki oleh PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk (DGIK) tahun 2011. b.
Corporate Governance Rata-rata skor GCG pada perusahaan non keuangan yang terdaftar di BEI tahun
2015 adalah sebesar 0,859 atau 85,9% dengan simpangan baku 0,062 dan persentase tertinggi mencapai 98,6% dimiliki oleh PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) tahun 2011, sedangkan terendah sebesar 69,4% dimiliki oleh PT Limas Indonesia Makmur Tbk (LMAS) tahun 2008 dan 2009. c. Ukuran Perusahaan Rata-rata
ukuran
perusahaan
non keuangan yang terdaftar di BEI tahun
2015 adalah sebesar 29,150 ln atau Rp4.565.938.119.301 dengan nilai simpangan baku 1,432 dan ukuran perusahaan
tertinggi
mencapai
angka 32,744 ln atau
Rp166.173.000.000.000 dimiliki oleh PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) tahun 2015, sedangkan terendah sebesar 26 ln atau Rp196.896.708.423 dimiliki oleh PT Limas Indonesia Makmur Tbk (LMAS) tahun 2008. d. Financial Distress Rata-rata nilai Altman Z-Score pada perusahaan non keuangan yang terdaftar di BEI tahun 2015 adalah sebesar 4,289 dengan simpangan baku 2,585. Hasil tersebut menunjukan bahwa mayoritas dari perusahaan tidak mengalami kesulitan keuangan. Adapun nilai Altman Z-Score paling tinggi mencapai 12,457 dimiliki oleh PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM) tahun 2007, sedangkan nilai terendah mencapai angka 3,106 dimiliki oleh PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) tahun 2015. Untuk mengetahui lebih detail mengenai financial distress perusahaan non keuangan yang terdaftar di BEI dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3. Jumlah Perusahaan Financial Distress dan Tidak Mengalami Financial Distress Financial Distress
Frequency
Percent
Non Distress
269
90,6
Distress
28
9,4
Total
297
100
Sumber: Hasil olah data menggunakan EViews 8 11
Dari tabel di atas, dapat dilihat sebanyak 269 atau 90,6% data perusahaan tidak mengalami kesulitan keuangan, sedangkan sebanyak 28 atau 9,4% sisanya mengalami kesulitan keuangan. e. Leverage Rata-rata leverage pada perusahaan non keuangan yang terdaftar di BEI tahun 2015 adalah sebesar 0,498 dengan simpangan baku 0,177 dan nilai tertinggi mencapai 0,977 dimiliki oleh PT Garuda Indonesia
(Persero) (GIAA) Tbk
tahun 2008,
sedangkan terendah sebesar 0,140 dimiliki oleh PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) tahun 2011.
Analisis Data dan Pengujian Hipotesis Berdasarkan hasil chow test, dapat diputuskan bahwa data panel lebih baik diestimasi menggunakan fixed effect dikarenakan nilai probabilitas yang dihasilkan oleh adalah sebesar 0,000 dan lebih kecil dari 0,05. Dikarenakan model yang terpilih adalah fixed effect, maka selanjutnya dilakukan hausman test untuk menentukan fixed effect dengan random effect. Berdasarkan hasil Hasussman test, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini model data panel lebih baik diestimasi menggunakan random effect, dikarenakan hasil pengujian menunjukan prob. χ2 yang jauh lebih besar dari 0,05. Hasil Pengujian Asumsi Normalitas lebih besar dari 0,05. Hasil tersebut menunjukan bahwa residual dalam model regresi terdistribusi secara normal, sehingga salah satu asumsi pengujian regresi telah terpenuhi. Berdasarkan hasil yang pemgujian, dapat disimpulkan bahwa model regresi terbebas dari multikolinearitas, dikarenakan seluruh variabel bebas memiliki nilai centered VIF kurang dari 10, sehingga salah satu asumsi pengujian regresi telah terpenuhi. Berdasarkan kriteria pengambilan keputusan BPG Test, diketahui model regresi yang akan dibentuk telah terbebas dari heteroskedastisitas dikarenakan nilai prob χ2 yang dihasilkan adalah sebesar 0,315 dan jauh lebih besar dari 0,05, sehingga model telah memenuhi asumsi untuk dilakukan pengujian regresi. Nilai dU diperoleh dari lamipiran tabel durbin watson dengan kesalahan 5% dengan jumlah data observasi 297 dan variabel bebas (k) 4. Berdasarkan hasil pengujian, 12
diketahui nilai dW yang diperoleh berada diantara nilai dU dan 4- dU. Hasil tersebut menunjukan model regresi telah terbebas dari masalah autokorelasi, sehingga model memenuhi salah satu asumsi untuk dilakukan pengujian regresi.
Analisis Regresi Linear Berganda Tabel 4 : Hasil Regresi Linear Berganda
Adapun persamaan regresi yang terbentuk adalah sebagai berikut: DISTRESSED = 8,314 + 4,398 CFO + 1,932 CG – 0,017 SIZE – 11,489 LEV
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa cash flow from operating ratio, penerapan corporate governance, ukuran perusahaan dan leverage sebagai kontrol secara simultan berpengaruh signifikan terhadap financial distress pada α 5%.
Dari hasil analisis regresi
linear
berganda,
diketahui nilai R-squared yang
diperoleh adalah sebesar 0,565. Hasil tersebut menunjukan bahwa cash flow from operating ratio, penerapan corporate governance, ukuran perusahaan dan leverage sebagai kontrol secara simultan memberikan kontribusi pengaruh sebesar 56,5% terhadap financial distress, sedangkan 43,5% sisanya merupakan besar kontribusi pengaruh yang diberikan oleh faktor lainnya yang tidak diteliti.
Analisis Sensitivitas Dalam penelitiani ini, digunakan analisis sensitivitas untuk mengetahui probabilitas financial distress pada perusahaan dengan menggunakan 13
analisis
regresi logistik,
dimana perusahaan yang mengalami financial distress diberikan kode 1 dan untuk perusahaan yang tidak mengalami financial distress diberi kode 0. Tabel 5. Hasil Regresi Logistik (Analisis Sensitivitas)
Sumber: Hasil olah data menggunakan EViews 8 Keterangan: * = α 5%
Pengaruh Cash Flow from Operating Ratio terhadap Financial Distress Hasil pengujian regresi linear berganda menunjukkan bahwa cash flow from operating ratio yang diproksikan dengan cash flow from operating activity to total asset (CFOTA) memiliki pengaruh yang signifikan pada α 5% baik secara simultan dengan corporate governance, ukuran perusahaan, dan leverage, serta secara parsial terhadap financial distress. Koefisien yang bernilai positif menunjukkan bahwa semakin besar cash flow from operating ratio maka akan meningkatkan nilai Altman Z-Score atau dengan kata lain menurunkan kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Hasil penelitian ini searah dengan penelitian yang dilakukan oleh Gombola dan Ketz (1983), Almilia (2006) dan Charitou et al. (2004)
yang
menunjukkan
bahwa
cash flow from operating ratio secara signifikan dapat membantu memprediksi kondisi kesulitan keuangan pada financial distress model. Dengan CFOTA yang besar, berarti bahwa cash flow yang didapat oleh perusahaan dari hasil penggunaan aset perusahaan cukup untuk membayar kewajiban perusahaan, sehingga perusahaan akan terhindar dari masalah keuangan. Sedangkan hasil regresi logistik sebagai analisis sensitivitas menunjukkan hasil yang berbeda bahwa cash flow from operating ratio yang diproksikan dengan cash flow 14
from operating activity to total asset (CFOTA) tidak berpengaruh signifikan terhadap financial distress pada α 5%. Perbedaaan hasil regresi linear berganda dan regresi logistik mungkin dikarenakan data pada regresi logistik data yang mendapatkan angka 1 untuk financial distress hanya 28 data dari total 297 data, sedangkan sisanya merupakan data non financial distress data. Sehingga data yang mendapatkan 1 untuk financial distress dan datayang mendapatkan 0 untuk data yang non financial distress tidak balance jumlah datanya. Walaupun cash flow from operating ratio memiliki pengaruh tidak signifikan, namun tetap searah dengan Gombola dan Ketz (1983), Almilia (2006) dan Charitou et al. (2004)
yang ditunjukkan dengan koefisien negatif dimana semakin besar cash flow
from operating ratio maka akan menurunkan kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gombola et al (1987) bahwa cash flow from operating ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap financial distress, hal tersebut mungkin dikarenakan cash flow from operating hanya dapat memprediksi financial distress dalam jangka waktu yang pendek. Meskipun pada dasarnya arus kas operasi dapat menurunkan kondisi financial distress, namun dengan proporsi jumlah
arus
kas
operasi
tertentu belum dapat menggambarkan bahwa
perusahaan tersebut mampu untuk melunasi total hutangnya kepada kreditor dengan kas bersih dari aktivitas operasi yang dihasilkan perusahaan tanpa harus melikuidasi aset yang dimiliki sehingga tidak dapat menurunkan risiko perusahaan mengalami kondisi financial distress secara signifikan.
Pengaruh Corporate Governance terhadap Financial Distress Hasil pengujian regresi linear berganda (model utama) dan regresi logistik (analisis sensitivitas) menunjukkan hasil bahwa corporate governance yang diporiksikan dengan skor
good
corporate
governance tidak berpengaruh signifikan terhadap financial
distress pada α 5%. Koefisien yang bernilai positif pada hasil regresi linear berganda menunjukkan bahwa semakin besar skor
good
corporate
governance maka akan
meningkatkan nilai Altman Z-Score atau dengan kata lain menurunkan kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Koefisien yang bernilai negatif pada hasil regresi logistik menunjukkan bahwa semakin besar skor good corporate governance maka akan menurunkan peluang perusahaan mengalami financial distress. Walaupun corporate governance memiliki pengaruh yang tidak signifikan, namun tetap searah dengan hasil penelitian Indarti dan Extaliyus (2013) yang menunjukkan hasil bahwa 15
terdapat pengaruh positif corporate governance terhadap kinerja keuangan perusahaan yang jauh lebih efisien sehingga dapat menghasilkan keuntungan bagi perusahaan dan memperkecil kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ellen dan Juniatri (2013), bahwa corporate governance yang diproksikan dengan skor good corporate governance tidak berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Hasil yang tidak signifikan mungkin dikarenakan proksi yang digunakan pada penelitian ini belum komprehensif sehingga skor GCG pada perusahaan yang mengalami financial distress dengan perusahaan yang tidak mengalami financial distress tidak menunjukkan angka yang berbeda. Menurut Ellen dan Juniatri (2013), tidak signifikannya pengaruh GCG score terhadap financial distress ini mungkin dikarenakan GCG dalam suatu perusahaan hanya sebuah formalitas yang tidak ditunjang dengan kinerja yang efisien. Praktek GCG dalam perusahaan memang dilaksanakan akan tetapi implementasinya masih belum diterapkan oleh perusahaan secara penuh. Sehingga GCG Score tidak mampu memprediksi suatu perusahaan mengalami financial distress. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wardhani (2006) yang belum dapat membuktikan adanya pengaruh signifikan corporate governance terhadap financial distress.
Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Financial Distress Hasil pengujian regresi linear berganda (model utama) dan regresi logistik (analisis sensitivitas) menunjukkan hasil bahwa ukuran perusahaan yang diporiksikan dengan logaritma natural total aset tidak berpengaruh signifikan terhadap financial distress pada α 5%. Koefisien yang bernilai negatif pada hasil regresi linear berganda menunjukkan bahwa semakin besar ukuran perusahaan maka akan menurunkan nilai Altman Z-Score atau dengan kata lain meningkatkan kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Koefisien yang bernilai positif pada hasil regresi logistik menunjukkan bahwa semakin besar ukuran perusahaan maka akan meningkatkan kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Arah pada hasil penelitian ini berbeda dengan hipotesis awal yang diajukan dimana ukuran perusahaan yang besar akan menurunkan kemungkinan perusahaan mengalami financial distress, namun hasil penelitian ini sejalan dengan Chancharat (2008) bahwa ukuran perusahaan yang besar akan meningkatkan kemungkinan financial distress. Menurut White (1989) dalam Candrawati (2008), perusahaan yang berukuran besar lebih mudah mendapatkan dana tambahan yang diperlukan dari pihak eksternal karena lazimnya investor akan menginvestasikan dana pada perusahaan yang besar sehingga 16
utang perusahaan akan semakin besar. Semakin besarnya utang perusahaan akan meningkatkan
kemungkinan
perusahaan
mengalami
financial
distress.
Tidak
signifikannya pengaruh ukuran perusahaan mungkin dikarenakan perusahaan yang memiliki ukuran besar memiliki manajemen utang yang baik sehingga besar utang perusahaan tidak menyebabkan gagal bayar. Selain itu, penting juga untuk dipertimbangan apakah aset yang dimiliki sudah digunakan secara efektif untuk mengingkatkan kondisi keuangan perusahaan. Temuan ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Almilia dan Devi (2007).
Pengaruh Leverage Sebagai Variabel Kontrol terhadap Financial Distress Hasil pengujian regresi linear berganda (model utama) dan regresi logistik (analisis sensitivitas) menunjukkan hasil bahwa leverage sebagai variabel kontrol yang diporiksikan dengan debt-to-aset ratio (DAR) memiliki pengaruh signifikan terhadap financial distress pada α 5%. Koefisien yang bernilai negatif pada hasil regresi linear berganda menunjukkan bahwa semakin besar debt-to-aset ratio (DAR) maka akan menurunkan nilai Altman Z-Score atau dengan kata lain meningkatkan kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Koefisien yang bernilai positif pada hasil regresi logistik menunjukkan bahwa semakin besar debt-to-aset ratio (DAR) maka akan meningkatkan kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Semakin tinggi leverage yang diproksikan oleh DAR menunjukan semakin besar hutang yang dimiliki perusahaan dibandingkan dengan aset yang dimiliki sehingga akan meningkatkan risiko tidak mampu membayar kewajiban perusahaan (Ellen dan Juniarti, 2013)
6. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, peneliti memperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1.
Cash flow from operating ratio memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap financial distress pada α 5% atau dengan kata lain semakin tingginya nilai Cash flow from operating ratio maka peluang perusahaan untuk mengalami financial distress akan semakin kecil.
2.
Penerapan corporate governance tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai Z-Score sebagai proksi financial distress pada α 5%.
3.
Ukuran
perusahaan
tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai Z-Score
sebagai proksi financial distress pada α 5%. 17
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, peneliti menyadari masih terdapat keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu peneliti belum menggunakan kuesioner self assessment corporate governance secara lebih lengkap atau corporate governance index sebagai proksi corporate governance. Peneliti juga belum memasukkan variabel yang berasal dari luar perusahaan seperti kondisi makro ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA Abebe, M. A., Angriawan, A., & Ruth, D. 2012. Founder-Ceos, External Board Appointments, and
the
likelihood
of corporate turnaround in Declining
Firms. Journal of Leadership & Organizational Studies 19 (3), 273-283 Ahmad, Gatot Nazir. 2013. Analysis of
Financial
Distress
in Indonesia Stock
Exchange. Review of Integrative Business & Economics Research, Vol 2(2) Al-Haddad, Waseem, Saleh Taher Alzurqan,
&
Fares
Effect of Corporate Governance on the Performance Companies:
Jamil AlSufy. 2011. The of
Jordanian Industrial
An empirical study on Amman Stock Exchange. International
Journal of Humanities and Social ScienceVol. 1 No. 4. Almilia, L.S.. 2006. Prediksi kondisi financial distress perusahaan go
public
dengan menggunakan analisis multinomial logit.Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 12(1), pp.1-26. Almilia, L.S & Devi, V. 2007. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Prediksi Peringkat Obligasi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Proceeding Semnas Universitas Kristen Maranatha Bandung. Almilia, L.S., dan Kristijadi, E. 2003. Analisis Rasio Keuangan untuk Memprediksi Kondisi Financial
Distress Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEJ
(Financial Ratio Analysis to Predict the Condition of Manufacturing Company Financial Distress Listed in JSX).Accounting and Auditing Journal of Indonesia, 7(2), pp.1-27. Altman, E.I., 1968. Financial ratios, discriminant analysis and the prediction of corporate bankruptcy. The journal of finance, 23(4), pp.589-609. Altman, E.I., 2000. Predicting financial distress of companies: revisiting the Z- score and ZETA models. Stern School of Business, New York University, pp.9-12. Altman, E., Hotchkiss, E. (2005). Corporate Financial Distress and Bankruptcy: Predict and Avoid Bankruptcy, Analyze and Invest in Distressed Debt. 3rd Edition. New Jersey: John Wiley & Sons. 18
Bank
Indonesia.
2009.
Outlook Ekonomi
Indonesia
2009-2014: Krisis
Financial Global dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Indonesia. Beaver, W.H., 1966. Financial ratios as predictors of failure. Journal of accounting research, pp.71-111. Beaver, W.H., 1968. The information content of annual earnings announcements. Journal of accounting research, pp.67-92. Bibeault, D. 1982.Corporate Turnaround: How Managers Turn Losers into Winners. New York: McGraw-Hill Book Company. Blum, M., 1974. Failing company discriminant analysis. Journal of accounting research, pp.1-25. Bodroastuti, T., 2009. Pengaruh Struktur
Corporate Governance terhadap Financial
Distress. Jurnal Ilmu Ekonomi ASET, 11(2). Brédart, X., 2014. Financial distress and corporate governance: the
impact
of
board configuration. International Business Research, 7(3), p.72. Brigham,
Eugene
F.,
and
Louis
C. Gapenski. 1996. Intermediate Financial
Management, 5th ed, pp. 891-892. Bursa Efek Jakarta. 2004. Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor 308/BEJ/07-2004
Tentang
Peraturan Nomor
Penghapusan Pencatatan(Delisting)
KEP-
I-I
Tentang
dan Pencatatan Kembali (relisting)
Saham di Bursa. Casey, Cornelius, and Norman Bartczak. 1985. Using operating cash flow data to predict financial distress: Some
extensions.Journal
of
Accounting
Research: 384-401. Candrawati, Anna. 2008. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround pada
Perusahaan yang Mengalami
Financial Distress. Tesis. Universitas
Dipnogoro. Cerita Investor Saham Bakrie, Rain Rp
2,9
Miliar
Gara-Gara BUMI. 2016.
Diakses dari: http://finance.detik.com/bursa-dan-valas/d-2768381/cerita- investorsaham-bakrie-raib- rp-29-miliar-gara-gara-bumi pada 13 Oktober 2016. Chancharat, N. (2008). An empirical analysis of financially distressed Australian companies: the application of survival analysis. University of
Wollongong
Thesis Collection Charitou, A., Neophytou, E., & Charalambous, C. 2004. Predicting corporate failure: Empirical evidence for the UK. European Accounting Review, 13, 465-497. 19
Cremers, K. J. M., & Nair, V. B.2005. Corporate mechanisms and equity prices. The Journal of Finance, 60, 2859-2894 Denis, D.J., Denis, D.K. and Sarin, A., 1999. Agency theory and the influence
of
equity ownership structure on corporate diversification strategies. Strategic Management Journal, pp.1071-1076. Eisenhardt, K.M., 1989. Agency theory: An assessment and review. Academy of management review, 14(1), pp.57-74. Ellen dan Juniarti. 2013. Penerapan Good Corporate Governance, Dampaknya Terhadap Prediksi Financial Distress Pada Sektor Aneka Industri Dan Barang Konsumsi. Business Accounting Review. VOL.1, NO. 2, 2013. Forum Corporate Governance Indonesia. 2001.Tata kelola perusahaan (Corporate Governance): Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam pelaksanaan Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan). Jilid II. Forum Corporate Governance Indonesia. 2001.Tata kelola perusahaan (Corporate Governance): Penilaian Mandiri (Self Assessment) Praktek Good Corporate Governance suatu Perusahaan. Jilid III. Fuad, Sastriana. 2013. Pengaruh Corporate Governance dan Firm Size
terhadap
Perusahaan yang Mengalami Kesulitan Keuangan (Financial Distress). Dipenogoro Journal of Accounting, Vol 2, No3,pp 1-10 Ghozali, Imam. 2016. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. BP Undip, Semarang. Gilbert, L.R., Menon, K. and Schwartz, K.B., 1990. Predicting bankruptcy for firms in financial distress.Journal of Business Finance & Accounting, 17(1), pp.161-171. Gombola, M. J., & Ketz, J. E. 1983. Anote
on
cash
flow
and classification patterns
of financial ratios. The Accounting Review, 58, 105-114 Gombola, M.J., Haskins, M.E., Ketz, J.E. and Williams, D.D. (1987) ‘Cash Flow inBankruptcy Prediction’, Financial Management , pp.55-65 Gujarati, Damodar. 2003. Ekonometri Dasar. Terjemahan: Sumarno Zain. Jakarta: Erlangga. Hermawan,
Ancella
A.
(2009). Pengaruh efektifitas dewan komisaris dan komite
audit, kepemilikan oleh keluarga, dan peran monitoring bank terhadap kandungan informasi laba. Disertasi Universitas Indonesia IICG. 2012. Laporan Corporate Governance
Perception Index: Good Corporate
Governance Dalam Perspektif Resiko. Katalog Dalam Penerbitan (KDT): Desember 2012.
20
Indarti, M.G. and Extaliyus, L. 2013. Pengaruh Corporate Gorvernance Preception Index (Cgpi), Struktur Kepemilikan, Dan Ukuran Perusahaan Terhadap Kinerja Keuangan. Jurnal Bisnis dan Ekonomi,20(2). Jensen, M. C., & Meckling, W. 1976. Theory of the firm, managerial behavior, agency costs, and ownership structure. Journal of Financial Economics, 3, 305-360. Johnson, S., Boone, P.D., Breach, A., & Friedman, E. 2000. Corporate governance in the Asian financial crisis. Journal of Financial Economics, 58, 141-186. Kahya, E. and Theodossiou, P., 1999. Predicting corporate financial distress: A timeseries CUSUM
methodology. Review of Quantitative Finance
and
Accounting,13(4), pp.323-345. Karels, G., Prakash, A. 1987: Multivariate Normality and Forecasting Business Bankruptcy. Journal of Business Finance and Accounting, 14(4), 573-593. Kieso, D. E., Weygandt, J. J., & Warfield, T. D. 2011. Intermediate Accounting Volume 1 IFRS Edition. United States of America : Wiley. Komite Nasional Kebijakan Governance. 2006. Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Kristanti, F.T., Rahayu, S. and Huda, A.N., 2016. The Determinant of Distress
Financial
on Indonesian Family Firm. Procedia-Social and Behavioral Sciences,
219, pp.440-447. Lakshan, A.M.I. dan Wijekoon, W.M.H.N., 2013. The use of financial ratios in predicting corporate failure in Sri Lanka. GSTF
Business
Review (GBR),
2(4), p.37. Lizal, L., 2002. Determinants of financial distress: What drives bankruptcy in a transition economy? The Czech Republic case.William Davidson Working Paper Number 451 Manzaneque, M., Priego, A.M. and Merino, E. 2016. Corporate governance effect on financial distress likelihood: Evidence from Spain.
Revista
de Contabilidad,
19(1), pp.111-121. Myers, S.C. and Majluf, N.S., 1984. Corporate financing and investment decisions when firms have information that investors do not have. Journal of financial economics, 13(2), pp.187-221. Nachrowi, N.D., & Usman, H. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: LP-FEUI
21
Nuswandari, C. 2009. Pengaruh Corporate Governance Perception
Index
Terhadap
Kinerja Perusahaan Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Bisnis dan Ekonomi, 16(2). Ohlson, J.A., 1980. Financial ratios and
the probabilistic prediction of bankruptcy.
Journal of accounting research, pp.109-131. Outecheva, N., 2007. Corporate financial distress: An empirical analysis of distress risk. Doctoral dissertation. University of St. Gallen. Platt, H.D. and Platt, M.B., 2002. Predicting corporate financial distress: reflections on choice-based sample bias. Journal of Economics and Finance, 26(2), pp.184199. Porter, M.E., 1991. Towards a dynamic theory of strategy. Strategic
management
journal, 12(S2), pp.95-117. Sekaran, Uma and Bougie, Roger. 2010. Research Method For Business: a SkillBuilding Approach 5th ed, John-Wiley & Sons, Inc. Shamsudin dan Kamaluddin. 2015. Impending Bankruptcy: Examining Cash Flow Pattern of Distress and Healthy Firms. Procedia Economics and Finance 31 ( 2015 ) 766 – 774. Shyam-Sunder, L. and Myers, S.C., 1999. Testing static tradeoff against pecking order models of capital structure. Journal of financial economics, 51(2), pp.219-244. Sugiyono.2007. Metode Penelitian Pedidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan
R&D. Bandung: ALFABETA. Sugiyono.
2013.
Statistika
Untuk
Penelitian.
Bandung:
Alfabeta
Suharsimi,
Arikunto. 2005. Manajemen Penelitian. Edisi Ketujuh. Jakarta:PT Rhineka Cipta Suntraruk, P., 2009. Predicting financial distress: Evidence from Thailand. In Proceedings of the European Financial Management Association 2009 Annual Meeting. Milan. Italy. June 24-27, 36 Pages. Theodossiou, P., Kahya, E., Saidi, R. and Philippatos, G., 1996. Financial distress and corporate acquisitions: Further empirical evidence. Journal of Business Finance & Accounting, 23(5‐6), pp.699-719. Tinoco, M.H. and Wilson, N., 2013.Financial distress and bankruptcy prediction among listed companies using accounting, market and macroeconomic variables. International Review of Financial Analysis, 30, pp.394-419.
22
Tsun-Siou,
L.
dan
Yin
Hua
Yeh. 2004. Corporate Governance and Financial
Distress; Evidence from Taiwan, Corporate Governance. An International Review, Vol. 12, No 3, pp.378-388. Wardhani, Ratna. 2007. Mekanisme Corporate
Governance Dalam Perusa Haan
Yang Mengalami Permasalahan Keuangan. Jurnal Akuntansi dan
Keuangan
Indonesia, 4(1), pp.95-114. Walsh, J. P., & Seward, J. K. 1990. On the efficiency of internal and
external
corporate control mechanisms. The Academy of Management Review, 15, 421458 White, Michelle J. 1989. The Corporate Bankrupcy Decision. Journal of Economic Perspectives
3, 129-151.
Witiastuti, R.S. and Suryandari, D.,2016. The Influence of Good Corporate Governance Mechanism on the Possibility of Financial Distress.Review of Integrative Business & Economics
Research,
Vol 5(1).
Wruck, K. H. (1990). Financial distress, reorganization, and organizational efficiency. Journal of Financial Economics, 27, 419–444 www.idx.co.id www.iicg.org www.swa.co.id
23