1
Pengaruh Cahaya Terhadap Produksi Gas Hidrogen dari Isolat Bakteri Aerob dan Anaerob Elita Sri Ambarningtyas dan Maya Shovitri Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected]
Abstrak— Hidrogen adalah senyawa yang paling potensial untuk dijadikan sebagai bahan bakar karena tidak berkontribusi dalam polusi atau emisi gas rumah kaca ke atmosfer pada saat pembakaran serta memiliki kandungan energi tertinggi per satuan berat bahan bakar (142kJ/gram). Dengan demikian perlu dilakukan eksplorasi produksi gas hidrogen, salah satunya dengan menggunakan fermentasi dari limbah organik menggunakan isolat bakteri aerob dan anaerob. Sebelum memulai perlakuan, isolat bakteri diadaptasikan terlebih dahulu dengan ditumbuhkan pada medium limbah organik cair dan diukur OD 600 nm pertumbuhannya sebanyak 3 kali pengulangan. Dari hasil adaptasi tersebut, isolat bakteri aerob dan anaerob telah siap digunakan dan diinokulasikan sebanyak 10 ml ke dalam 250 ml medium limbah organik cair di dalam erlenmeyer, yang disebut sebagai bioreaktor. Masing-masing bioreaktor diberi perlakuan terang dan gelap dengan pengulangan sebanyak 2 kali. Bioreaktor diinkubasi selama 30 hari dan dilakukan pengukuran gas hidrogen setiap 10 hari. Dari hasil yang didapatkan, gas hidrogen dapat dihasilkan oleh isolat bakteri aerob dan anaerob dalam kondisi terang maupun gelap. Untuk isolat bakteri aerob, isolat bakteri A27 menghasilkan gas hidrogen tertinggi (13.690 ml) pada kondisi gelap pada hari ke20. Sedangkan pada isolat bakteri anaerob, isolat bakteri BT3 menghasilkan gas hidrogen tertinggi (11.268 ml) pada kondisi terang pada hari ke-20. Kata Kunci— Fermentasi hidrogen, gas chromatography, limbah organik
I. PENDAHULUAN ADA saat ini isu terbesar lingkungan adalah mengenai Ppemanasan global akibat kegiatan manusia yang menggunakan bahan bakar fosil (Setyanto, 2008). Dengan demikian, diperlukan adanya pengembangan yang berkelanjutan untuk menggantikan bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbarui secara berkesinambungan dan ramah lingkungan, seperti gas hidrogen (Carere et al., 2008). Hidrogen adalah senyawa yang paling potensial untuk dijadikan sebagai bahan bakar karena dapat diolah dengan beberapa teknik, memiliki keuntungan bagi lingkungan dan sektor sosial-ekonomi, serta memiliki kandungan energi tertinggi per satuan berat bahan bakar (142kJ/gram) (Infates et al., 2011). Carere et al. (2008) menambahkan bahwa, gas hidrogen (H2) adalah bahan bakar bersih yang memiliki kandungan energi tinggi dan tidak berkontribusi dalam polusi atau emisi gas rumah kaca ke atmosfer pada saat pembakaran.
Mengingat keuntungan dari penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar, maka semakin banyak pula studi lanjut yang dilakukan untuk mengembangkan teknik-teknik untuk eksplorasi gas hidrogen (Infates et al., 2011). Salah satu cara yang digunakan untuk eksplorasi gas hidrogen adalah menggunakan fermentasi dari limbah organik (Benemann, 1996). Kandungan limbah organik seperti karbohidrat, protein, dan lemak nantinya akan diubah menjadi methane, CO2, dan air dalam kondisi anaerob (Batstone et al., 2002). Bakteri fermentasi (bakteri hidrolitik dan fermentasi) akan menghidrolisis polimer menjadi oligomer terlarut dan monomer-monomer melalui enzim ekstraseluler. Kemudian, produk yang dihasilkan akan digunakan oleh bakteri dan difermentasikan membentuk asetat dan rantai pendek asam lemak, alkohol, hidrogen, dan karbon dioksida yang dikeluarkan ke lingkungan (Angelidaki et al., 2002). Selain penggunaan limbah organik, eksplorasi gas hidrogen dapat dilakukan dengan mengatur beberapa kondisi fisik tertentu seperti pH, suhu, masa inkubasi, tekanan parsial hidrogen/CO2, volatile fatty acids, dan kandungan bahan inorganik (Liu, 2008). Salah satu contoh kandungan bahan inorganik yang berperan dalam produksi gas hidrogen adalah besi (Fe). Besi adalah komponen enzim hydrogenase yang membentuk H2 dengan kandungan 12 atom besi per molekulnya (Chen dan Mortenson, 1974). Lee et al. (2001) menyebutkan bahwa ada 2 enzim hydrogenase yaitu, FeFe hydrogenase dan NiFe hydrogenase. Apabila konsentrasi besi rendah, maka akan menurunkan aktivitas hydrogenase (Hawkes et al., 2002). Dengan demikian, Lee et al. (2001) menyatakan bahwa penambahan konsentrasi besi akan meningkatkan produksi hidrogen secara signifikan. Selain itu, manfaat penambahan besi adalah untuk mereduksi hasil akhir fermentasi seperti laktat, ethanol, dan buthanol yang harus dihindari dalam produksi H2 supaya produksi H2 meningkat (Hawkes et al., 2002). Oleh karena itu, pada medium limbah organik yang digunakan dalam penelitian ini ditambahkan senyawa Fe berupa FeCl2. Bakteri yang sering digunakan dalam produksi gas hidrogen adalah bakteri fakultatif anaerob, bakteri anaerob obligat (Liu, 2008), dan mikroorganisme fotosintetik seperti bakteri fotosintetik dan cyanobacteria. Cyanobacteria mampu menghasilkan gas hidrogen melalui penguraian air menjadi hidrogen dan oksigen dengan bantuan energi cahaya. Sedangkan, bakteri fakultatif anaerob yang mampu
2 menghasilkan gas hidrogen adalah Escherichia coli, Enterobacter sp., Bacillus sp., dan Citrobacter sp. (Liu, 2008). Bakteri anaerob obligat yang mampu menghasilkan gas hidrogen misalnya purple non-sulphur bacteria, green and purple sulphur bacteria (Warthmann et al., 1993), Clostridia sp., methylotroph, bakteri rumen, dan archaea (Liu, 2008). Produksi gas hidrogen pada bakteri fakultatif anaerob dan anaerob obligat melalui proses fermentasi (Adams et al., 1980). Namun, pada bakteri fakultatif anaerob produksi gas hidrogen dapat terjadi ketika kandungan O2 di lingkungan habis. Hal ini dikarenakan, aktivitas enzim yang berperan dalam produksi hidrogen melalui proses fermentasi memiliki sifat yang sensitif terhadap O2 (Loubette et al., 2006). Salah satu enzim yang berperan dalam produksi hidrogen melalui proses fermentasi adalah enzim hydrogenase. Umumnya, enzim hydrogenase berperan dalam mengkatalisis reaksi 2H+ + 2e− ↔ H2 (gas) pada mikroalga maupun bakteri. Namun, selain mampu mengkatalisis hidrogen, enzim hydrogenase juga memiliki kemampuan untuk mengoksidasi hidrogen, sehingga enzim ini disebut hydrogenase yang dapat berbalik reaksi (Tamagnini et al, 2002). Dalam proses fermentasi produksi hidrogen menggunakan mikroorganisme, terdapat 2 macam fermentasi yang dapat menghasilkan gas hidrogen, yaitu fermentasi terang (light fermentation) dan fermentasi gelap (dark fermentation) (Hallenbeck, 2009). Fermentasi terang adalah proses fermentasi dimana sumber energi yang digunakan berasal dari cahaya serta menggunakan limbah organik sebagai substrat untuk memproduksi hidrogen (Das et al., 2008). Mikroorganisme yang dapat menghasilkan hidrogen melalui fermentasi terang adalah bakteri fotosintetik (Liu, 2008). Hallenbeck et al., (2009) menambahkan bahwa mikroorganisme ini dapat melakukan fotofermentasi untuk menghasilkan hidrogen tanpa membutuhkan energi tambahan dari asetat, laktat, dll. Reaksi (1) menunjukkan reaksi fermentasi terang dalam menghasilkan gas hidrogen (Das et al., 2008). CH3COOH + 2 H2O + cahaya 4 H2 + 2 CO2 (1) Sedangkan, fermentasi gelap (dark fermentation) adalah fermentasi yang dilakukan oleh mikroorganisme penghasil hidrogen, seperti fakultatif anaerob dan anaerob obligat (Nandi dan Sengupta, 1998). Dalam proses fermentasi ini, hidrogen diproduksi dari proses degradasi bahan organik, dimana hasil degradasi tersebut nantinya digunakan sebagai sumber karbon dan sumber energi (Liu, 2008). Reaksi (2) menunjukkan reaksi fermentasi gelap (dark fermentation) dalam menghasilkan gas hidrogen (Levin et al., 2004). C6H12O6 + 6H2O 4H2 + 2CH3COOH (acetate) + 2CO2 (2) Saat ini, Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Jurusan Biologi ITS telah memiliki 38 isolat bakteri aerob dan 7 isolat bakteri anaerob obligat yang berpotensi menghasilkan biogas menggunakan limbah organik sebagai substrat. Namun, produksi gas hidrogen (H2) dari masing-masing isolat tidak dapat dideteksi dikarenakan beberapa faktor yang belum diperhatikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cahaya terhadap produksi gas hidrogen dari isolat bakteri aerob dan anaerob koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Jurusan Biologi ITS Surabaya.
Mengingat isolat anaerob belum diidentifikasi, maka penelitian ini memfasilitasi 2 kemungkinan fermentasi yang terjadi, yaitu fermentasi terang dan gelap. II. URAIAN PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2012 - Juni 2012 di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi, Jurusan Biologi ITS. Analisa kandungan gas hidrogen dilakukan di Laboratorium Teknologi Biokimia Jurusan Teknik Kimia ITS Surabaya. B. Pembuatan Medium Limbah Organik Cair (LOC) Isolat Bakteri Aerob dan Anaerob Lokasi pengambilan sampel limbah organik adalah Pasar Genteng, Jalan Genteng Besar, Surabaya. Sampel limbah padat organik diambil yang tinggi kandungan protein dan lemaknya, seperti organ buangan ikan, ayam, dan sapi serta limbah organik cair yang berupa sisa perendaman ikan. Limbah padat organik sebanyak 1500 gram dimasukkan ke dalam kotak sampel dan limbah cair dimasukkan ke dalam botol sampel sebanyak 3000 ml. Kemudian sampel dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Jurusan Biologi ITS untuk diolah. Kemudian, limbah padat organik sebanyak 1500 gram dicampur dengan 3000 ml limbah cair yang telah disaring sebelumnya. Selanjutnya, campuran ini diblender hingga homogen dan didapatkan filtrat. Filtrat tersebut disaring dengan menggunakan saringan dan didapatkan 3000 ml ekstrak filtrat jernih. Medium limbah organik cair adalah cairan ekstrak limbah organik yang telah ditambahkan dengan 3 gram pupuk NPK (0,1 % dari total volume limbah organik), 3 gram pupuk Urea (0,1 % dari total volume limbah organik), dan 2,4 gram FeCl2 (Lee et al., 2001). Pada medium untuk isolat bakteri anaerob, medium limbah organik cair tersebut di atas ditambahkan Na2S sebanyak 1,26 gram sebagai agen pereduksi O2. Kemudian dilakukan pengaturan pH sampai pH netral (pH = 7) dengan menambahkan NaOH 1 M atau HCl 1 M pada medium. Selanjutnya, masing-masing medium dimasukkan sebanyak 250 ml ke dalam erlenmeyer yang kemudian disebut sebagai reaktor. Kemudian, erlenmeyer ditutup dengan sumbat kapas dan diautoklaf selama 15 menit pada suhu 121oC dengan tekanan 1,5 atm. C. Inokulasi Mikroorganisme pada Medium Limbah Organik Cair Isolat kerja adalah isolat yang telah diadaptasikan dalam medium limbah organik cair. Untuk isolat bakteri aerob, adaptasi dilakukan dengan cara mengambil inokulum sebanyak 1 ose dari medium limbah organik padat miring dan ditumbuhkan pada medium limbah organik cair sebanyak 10 ml. Kemudian, hasil inokulasi tersebut diagitasi dengan menggunakan rotary shaker selama 24 jam. Setelah 24 jam, inokulum diambil sebanyak 1 ml dan ditumbuhkan kembali pada medium limbah organik cair sebanyak 10 ml serta diagitasi selama 24 jam. Proses adaptasi isolat bakteri aerob
3 pada medium limbah organik cair ini dilakukan sebanyak 3 kali. Sedangkan pada isolat bakteri anaerob, isolat diadaptasikan dengan cara mengambil 1,5 ml isolat menggunakan pipet Pasteur steril yang telah diruncingkan ujungnya dari medium Thioglycollate. Pengambilan isolat ini dilakukan dengan bantuan pipa yang salah satu ujungnya dihubungkan dengan pipet Pasteur dan bagian ujung pipa satunya digunakan untuk menyedot koloni. Setelah inokulum diambil, inokulum diinokulasikan ke dalam medium limbah organik cair untuk bakteri anaerob yang terdapat pada tabung reaksi sebanyak 10 ml. Untuk menjaga supaya tidak adanya O2, bagian head space tabung reaksi dilakukan penggantian O2 dengan gas nitrogen selama 3 menit (Chung et al., 1997). Kemudian, hasil inokulasi tersebut diagitasi dengan menggunakan rotary shaker selama 24 jam. Setelah 24 jam, inokulum diambil sebanyak 1 ml dan ditumbuhkan kembali pada medium limbah organik cair sebanyak 10 ml di dalam tabung reaksi serta diagitasi selama 24 jam. Proses adaptasi isolat bakteri anaerob pada medium limbah organik cair ini dilakukan sebanyak 3 kali. D. Inokulasi Isolat Aerob pada Medium Limbah Organik Cair Isolat aerob yang digunakan adalah isolat koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi, Jurusan Biologi ITS Surabaya sebanyak 3 isolat (A6, A27, dan A31) yang cenderung masuk ke dalam genus Bacillus berdasarkan karakter biokimianya. Inokulum diambil dari masing-masing isolat sebanyak 10 ml dan diinokulasikan ke dalam reaktor yang telah disiapkan. Selanjutnya, biakan dan reaktor ini disebut dengan bioreaktor. Bagian mulut bioreaktor ditutup dengan rubber stopper yang ujungnya telah dilubangi dan diutup dengan plastisin hingga rapat serta dilapisi dengan vaselin dan plastik wrap. Bioreaktor kemudian diinkubasi selama 30 hari dalam suhu ruang dan diagitasi. Bioreaktor ini diinkubasi dalam kondisi terang dan gelap dengan masingmasing pengulangan sebanyak 2 kali. Untuk inkubasi terang, bioreaktor dikode dengan Ax-t1 dan Ax-t2. Sedangkan untuk bioreaktor dengan inkubasi gelap, bioreaktor dibungkus dengan menggunakan kertas karbon dan dilapisi dengan alumunium foil pada keseluruhan bagian dan dikode dengan Ax-g1 dan Ax-g2. Bioreaktor kontrol positif adalah reaktor yang diinokulasikan dengan bakteri E.coli dengan volume inokulum 10 ml. Sedangkan, bioreaktor kontrol negatif merupakan reaktor tanpa pemberian inokulum. Kedua bioreaktor ini diinkubasi dalam kondisi terang dan gelap selama 30 hari dalam suhu ruang dan diagitasi. Masing-masing bioreaktor dilakukan sebanyak 1 kali. Untuk inkubasi terang kontrol positif, bioreaktor dikode dengan K+t1 dan untuk inkubasi gelap dikode dengan K+g1. Sedangkan inkubasi terang kontrol negatif, bioreaktor dikode dengan K_t1 dan untuk inkubasi gelap dikode dengan K_g1. E. Inokulasi Isolat Anaerob pada Medium Limbah Organik Cair Isolat anaerob yang digunakan adalah isolat koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi, Jurusan Biologi
ITS Surabaya sebanyak 3 isolat (BT3, BG2, dan BG3). Inokulum diambil dari masing-masing isolat sebanyak 10 ml dan diinokulasikan ke dalam reaktor yang telah disiapkan. Selanjutnya, biakan dan reaktor ini disebut dengan bioreaktor. Bagian mulut bioreaktor ditutup dengan rubber stopper yang ujungnya telah dilubangi dan diutup dengan plastisin hingga rapat serta dilapisi dengan vaselin dan plastik wrap. Bioreaktor kemudian diinkubasi selama 30 hari dalam suhu ruang dan diagitasi. Bioreaktor ini diinkubasi dalam kondisi terang dan gelap dengan masing-masing pengulangan sebanyak 2 kali. Untuk perlakuan inkubasi terang, bioreaktor dikode dengan B xt1 dan Bx-t2. Sedangkan bioreaktor inkubasi gelap, bioreaktor dibungkus dengan menggunakan kertas karbon dan dilapisi dengan alumunium foil pada keseluruhan bagian dan dikode dengan Bx-g1 dan Bx-g2. Setelah inokulum diinokulasikan ke dalam bioreaktor, bagian head space bioreaktor dilakukan penggantian O2 dengan gas nitrogen selama 1 menit. Bioreaktor kontrol positif adalah reaktor yang diinokulasikan dengan bakteri E.coli dengan volume inokulum 10 ml. Sedangkan, bioreaktor kontrol negatif merupakan reaktor tanpa pemberian inokulum. Kedua bioreaktor ini diinkubasi dalam kondisi terang dan gelap selama 30 hari dalam suhu ruang dan diagitasi. Masing-masing bioreaktor dilakukan sebanyak 1 kali. Untuk inkubasi terang kontrol positif, bioreaktor dikode dengan Kan+t1 dan untuk inkubasi gelap dikode dengan Kan+g1. Sedangkan inkubasi terang kontrol negatif, bioreaktor dikode dengan Kan_t1 dan untuk inkubasi gelap dikode dengan Kan_g1. Setelah bioreaktor siap, bagian head space bioreaktor dilakukan penggantian O2 dengan gas nitrogen selama 1 menit. F. Pengaturan pH netral (pH = 7) Pengaturan pH netral (pH = 7) dilakukan setiap 5 hari selama masa inkubasi. Volume penambahan NaOH 1 M atau HCl 1 M ke dalam medium disesuaikan dengan penelitian lain yang dilakukan secara paralel dengan penelitian ini. Penambahan NaOH 1 M atau HCl 1 M ke dalam medium dilakukan dengan menggunakan syringe steril yang berukuran 1 ml. Setelah diketahui volume NaOH 1 M atau HCl 1 M yang harus ditambahkan, bioreaktor dimiringkan secara perlahan sampai medium bersentuhan dengan rubber stopper. Kemudian, syringe disuntikkan perlahan dan dimasukkan NaOH 1 M atau HCl 1 M sesuai dengan volume yang dibutuhkan. Selanjutnya, bioreaktor ditegakkan kembali dan dikocok secara perlahan supaya NaOH 1 M atau HCl 1 M yang ditambahkan dapat larut secara merata. Bekas injeksi syringe pada rubber stopper kemudian ditutup dengan plastic wrap. Setelah dilakukan pengaturan pH supaya tetap netral (pH = 7), bioreaktor diinkubasi kembali seperti semula. G. Produksi Gas Hidrogen dari Isolat Aerob dan Anaerob Hasil Proses Biodegradasi Medium Limbah Organik Selama masa inkubasi (30 hari), kandungan gas hidrogen (H2) di dalam bioreaktor dianalisis dengan menggunakan gas chromatography setiap 10 hari. Pengukuran gas hidrogen dilakukan dengan cara destruktif. Analisis gas hidrogen dilakukan di Laboratorium Teknologi Biokimia Jurusan Teknik Kimia ITS Surabaya dengan menggunakan GC Shimadzu 2010A detektor TCD.
4 Gas chromatography terlebih dahulu disiapkan, seperti misalnya septum dan glass insert. Selanjutnya, memasang kolom sesuai dengan bahan yang akan dianalisis, dimana analisis gas hidrogen menggunakan kolom porapaque. Kemudian, gas nitrogen (N2) dialirkan sebagai gas pembawa. Selanjutnya, instrumen gas chromatography dihidupkan dan diatur program kerjanya. Setelah siap, gas chromatography ditunggu beberapa saat sampai baseline lurus, yaitu ± 1 jam. Kemudian, dilakukan uji baseline sampai menunjukkan nilai slope test yang disesuaikan dengan kriteria yang digunakan. Setelah alat siap, gas pada bagian head space bioreaktor diambil dengan menggunakan microsyringe sebanyak 1 ml. Kemudian, microsyringe diinjeksikan ke dalam tempat injeksi dan ditunggu beberapa saat sampai detektor mencatat hasil persentase gas hidrogen di kromatogram.
isolat bakteri aerob selama adaptasi dapat dilihat pada Gambar 1. Secara umum, masing-masing isolat bakteri aerob dan kontrol positif memiliki pertumbuhan yang semakin meningkat pada hari pertama masing-masing pengadaptasian. Hasil ini menunjukkan bahwa isolat tersebut telah dapat beradaptasi dan mampu tumbuh pada medium limbah organik cair. Namun, hanya isolat A6 yang memiliki pertumbuhan paling lambat jika dibandingkan dengan isolat A27 dan A31 dilihat dari kekeruhan suspensi media yang terukur pada hari ketiga setelah adaptasi III. Selanjutnya, isolat hasil adaptasi ini digunakan untuk pengujian produksi gas hidrogen.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Adaptasi Isolat Kerja Bakteri Aerob dan Anaerob Isolat bakteri aerob dan anaerob yang akan digunakan terlebih dahulu diadaptasikan sebanyak 3 kali pada medium limbah organik cair yang kemudian disebut sebagai isolat kerja. Adaptasi adalah suatu cara organisme mampu merespon perubahan lingkungannya (Anonim, 2012). Tujuan dari pengadaptasian isolat kerja ini adalah untuk menyiapkan isolat kerja supaya mampu tumbuh selama masa inkubasi. Proses pengadaptasian dilakukan dengan menggunakan tabung reaksi yang berisi 10 ml medium limbah organik cair aerob untuk isolat aerob dan medium limbah organik cair anaerob untuk isolat anaerob. Kedua medium ini telah ditambahkan bahan anorganik berupa FeCl2.7H2O. Penambahan unsur anorganik ini bertujuan untuk meningkatkan produksi gas hidrogen (Lee et al., 2001), dapat mereduksi asam-asam organik hasil fermentasi supaya gas hidrogen yang dihasilkan tetap maksimal (Hawkes et al., 2002) serta sebagai kofaktor enzim hidrogenase dan mikronutrien atau trace element yang berperan dalam pembentukan dan aktivitas enzim hidrogenase dan ferredoksin (Setya dan Surya, 2011). Isolat bakteri aerob yang digunakan adalah isolat bakteri A6, A27, dan A31 yang cenderung masuk ke dalam genus Bacillus berdasarkan uji biokimia serta Escherichia coli sebagai kontrol positif. Sumber inokulum berasal dari subkultur isolat bakteri pada medium limbah organik padat yang berumur 24 jam. Inokulum diambil sebanyak 1 ose dan diinokulasikan pada 10 ml medium limbah organik cair aerob dan diinkubasi selama 24 jam (adaptasi I). Selanjutnya, pengadaptasian dilakukan kembali dengan mengambil 1 ml dari adaptasi I dan dipindahkan pada 9 ml medium limbah organik cair yang baru (adaptasi II) dan kemudian dengan cara yang sama untuk adaptasi III. Setiap 24 jam, masing-masing proses adaptasi diukur pertumbuhannya selama 3 hari. Pengadaptasian dilakukan tiap 24 jam dikarenakan masih belum ada penelitian tentang pertumbuhan bakteri penghasil hidrogen tiap jam, sehingga digunakan waktu secara umum bakteri mampu melakukan 1 kali siklus pertumbuhan, yaitu selama 24 jam. Hasil pengukuran kekeruhan suspensi sel dengan spektrofotometer pada optical density (OD) 600 nm
Gambar 1. Adaptasi pertumbuhan isolat bakteri aerob dengan pengukuran OD600 nm
Pada isolat bakteri anaerob, isolat yang digunakan adalah BT3, BG2, BG4, dan E.coli sebagai kontrol positif. Sumber inokulum yang digunakan berasal dari subkultur isolat pada medium Thioglycollate yang berumur 24 jam. Proses pengadaptasian juga dilakukan sebanyak 3 kali, namun pengukuran pertumbuhan dilakukan setiap 48 jam masingmasing selama 3 hari. Pengadaptasian dilakukan dengan mengambil koloni isolat bakteri anaerob menggunakan pipet
5 Pasteur steril yang telah diruncingkan ujungnya, lalu diencerkan ke dalam akuades steril dan diinokulasikan ke dalam medium limbah organik cair anaerob. Perbedaan medium limbah organik cair anaerob dan aerob adalah adanya penambahan Na2S pada medium anaerob. Penambahan Na2S ini bertujuan sebagai agen pereduksi O2. Setelah diinokulasikan, bagian headspace tabung reaksi dilakukan penggantian O2 dengan gas N2 selama 3 menit. Kemudian, isolat tersebut diinkubasi selama 48 jam dan diukur pertumbuhannya. Hasil pengukuran OD isolat bakteri anaerob selama adaptasi dapat dilihat pada Gambar 2.
B. Produksi Gas Hidrogen oleh Isolat Bakteri Aerob Produksi gas hidrogen diukur setiap 10 hari menggunakan GC Shimadzu 2010A di Laboratorium Teknik Biokimia Jurusan Teknik Kimia ITS. Ternyata dengan menggunakan alat ini selain gas hidrogen yang terdeteksi, gas CO2 juga dapat terdeteksi (Tabel 1). Namun CO2 yang terdeteksi hanya berupa peak dengan retention time spesifik CO2 tanpa peak area. Tidak adanya peak area untuk gas CO2 karena pengaturan data sudah diatur hanya untuk pengukuran gas hidrogen. Tabel 1. Hasil analisa gas CO2 pada bagian headspace bioreaktor isolat bakteri aerob Hari ke-20
Hari ke-30
Hari ke-10 Sample
CO2
Sample
CO2
Sample
CO2
A6-10T1
ADA
A6-20T1
ADA
A6-30T1
ADA
A6-10T2
ADA
A6-20T2
ADA
A6-30T2
ADA
A6-10G1
ADA
A6-20G1
ADA
A6-30G1
ADA
A6-10G2
ADA
A6-20G2
ADA
A6-30G2
ADA
A27-10T1
ADA
A27-20T1
ADA
A27-30T1
ADA
A27-10T2
ADA
A27-20T2
ADA
A27-30T2
ADA
A27-10G1
ADA
A27-20G1
ADA
A27-30G1
ADA
A27-10G2
ADA
A27-20G2
ADA
A27-30G2
ADA
A31-10T1
0
A31-20T1
ADA
A31-30T1
ADA
A31-10T2
ADA
A31-20T2
ADA
A31-30T2
ADA
A31-10G1
ADA
A31-20G1
ADA
A31-30G1
ADA
A31-10G2
ADA
A31-20G2
ADA
A31-30G2
ADA
+
K -10T1 +
K -10T2 +
K -10G1 +
K -10G2 -
ADA ADA ADA ADA
+
K -20T1 +
K -20T2 +
K -20G1 +
K -20G2 -
ADA ADA ADA ADA
+
0
+
0
+
0
K -30T1 K -30T2 K -30G1 +
K -30G2 -
0
K -10T
0
K -20T
0
K -30T
0
K--10G
0
K--20G
0
K--30G
0
Adanya gas CO2 ini menunjukkan bahwa terjadi proses respirasi di dalam bioreaktor seperti pada persamaan reaksi (4) (Campbell et al., 2002). Sedangkan pada kontrol negatif tidak terdeteksi gas CO2 yang membuktikan bahwa kontrol negatif tidak terkontaminasi mikroorganisme. C6H12O6 + 6 O2 6 CO2 + 6 H2O + energi (ATP + panas) (4) Gambar 2. Adaptasi pertumbuhan isolat bakteri anaerob dengan pengukuran OD600 nm
Secara umum, hasil pengukuran OD pada masing-masing isolat mengalami kenaikan pada adaptasi III. Namun, isolat BG2 dan BG4 memiliki OD yang paling rendah walaupun sudah memasuki tahap adaptasi III, dimana serapan kekeruhan pertumbuhannya masih dibawah blanko. Oleh karena itu, isolat bakteri anaerob yang digunakan untuk penelitian produksi gas hidrogen ini hanya isolat BT3. Hal ini karena isolat BT3 memiliki pertumbuhan yang paling tinggi dan diasumsikan telah mampu beradaptasi dengan medium limbah organik cair.
6
Gambar 3. Produksi gas hidrogen pada masing-masing isolat bakteri aerob
Selanjutnya fokus pada produksi gas hidrogen, terlihat bahwa pada kondisi gelap semua isolat bakteri aerob menghasilkan gas hidrogen yang lebih tinggi dibandingkan kondisi terang. Serta terlihat pula bahwa dengan bertambahnya waktu inkubasi, maka jumlah produksi gas hidrogen menurun (Gambar 3). Misal pada kondisi gelap isolat A6 menunjukkan volume gas hidrogen sebanyak 7.792,5 ml, 4.625 ml, dan 7.080 ml secara berurutan pada hari ke-10, 20, dan 30,
sedangkan pada kondisi terang adalah 4.135 ml, 0 ml, dan 5.507,5 ml. Kemudian apabila hasil pengukuran gas hidrogen ini digabung dengan hasil pertumbuhan isolat bakteri dari penelitian lain yang dilakukan secara paralel, produksi gas hidrogen menurun seiring menurunnya jumlah sel atau populasi isolat bakteri. Dari ketiga isolat yang digunakan, isolat A27 adalah isolat yang paling tinggi memproduksi gas hidrogen pada hari ke-20 dalam kondisi gelap sebesar 13.690 ml. Junyapoon et al., (2011) menyatakan bahwa produksi gas hidrogen maksimal dihasilkan pada saat sel mengalami pertumbuhan dan akan memasuki fase stasioner. Berdasarkan data pertumbuhan isolat bakteri A27 dari penelitian yang dilakukan secara paralel, awal fase stasioner dari isolat ini adalah pada hari ke-4 dan memiliki pertumbuhan tertinggi pada hari ke-20. Penelitian yang lain menyebutkan bahwa gas hidrogen diproduksi secara cepat setelah substrat karbon telah dikonsumsi menjadi biomassa (Agrawal et al. (2007). Namun, apabila masa inkubasi isolat bakteri A27 diperpanjang sampai hari ke-30, maka gas hidrogen yang diproduksi semakin turun, yaitu 3557,5 ml pada kondisi gelap. Penurunan produksi gas hidrogen ini mungkin karena keberadaan gas CO2 pada bagian headspace bioreaktor akibat proses respirasi, sehingga ada tekanan CO2 pada atmosfir headspace bioreaktor. Di sisi lain, ketika respirasi meningkat, maka oksigen akan menurun. Untuk tetap bertahan hidup dalam keadaan anoksigenik, bakteri aerob dapat melakukan fermentasi untuk menghasilkan energi. Jenis fermentasi yang digunakan adalah fermentasi hidrogen yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Dalam proses fermentasi tersebut, selain gas hidrogen yang dihasilkan juga menghasilkan gas CO2 (Das et al, 2008). Adanya gas CO2 yang semakin meningkat menyebabkan tekanan CO2 pada headspace juga meningkat, sehingga berpotensi menurunkan produksi gas hidrogen menurun. Konsentrasi CO2 yang tinggi dapat menyebabkan produksi fumarat dan suksinat menjadi lebih banyak yang berkontribusi dalam penggunaan elektron dan akan mengurangi produksi hidrogen (Tanisho et al., 1998). Dengan demikian, produksi gas CO2 selama masa inkubasi dapat menjadi feedback inhibitor secara fisik. Selain itu, penurunan produksi gas hidrogen juga dapat disebabkan adanya hambatan dari substrat. Pada hari ke-20 sampai ke-30, isolat A27 mulai mengalami penurunan pertumbuhan menuju fase kematian, sedangkan substrat hasil degradasi semakin banyak. Menurut Kotay et al., (2011), kenaikan konsentrasi glukosa terlarut sebanyak 1,5% akan menunjukkan pertumbuhan tertinggi dan produksi gas hidrogen meningkat 2%. Namun, ketika konsentrasi glukosa terlarut meningkat menjadi 2,5%, maka produksi hidrogen akan menurun atau disebut dengan hambatan substrat. Sebagai kontrol positif, telah diketahui bahwa spesies E. coli mampu menghasilkan gas hidrogen oleh Maeda et al., (2007), Colunga et al., (2009), dan Junyapoon et al., (2011). E. coli telah banyak digunakan dalam penelitian produksi gas hidrogen karena bakteri ini telah diketahui karakternya dengan baik dan mudah dimanipulasi secara genetik (Maeda et al., 2007). Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat bahwa E. coli mampu memproduksi gas hidrogen yang semakin meningkat
7 dari hari ke-10 sampai hari ke-30 pada kondisi terang maupun gelap. Hasil tersebut menunjukkan bahwa E. coli dapat menggunakan substrat dari medium limbah organik cair dalam memproduksi gas hidrogen. Sedangkan pada kontrol negatif, terdeteksi adanya gas hidrogen. Keberadaan gas hidrogen pada kontrol negatif pada kondisi terang maupun gelap tidak diketahui penyebabnya karena kondisi perilaku untuk kontrol negatif adalah sama, kecuali tanpa penambahan inokulum. Di sisi lain, Gambar 3 hanya menunjukkan produksi gas hidrogen secara kuantitatif saja. Perhitungan peak area belum bisa menunjukkan jumlah gas hidrogen secara kualitatif. Misal semakin luas peak area, belum bisa diartikan semakin banyak pula gas hidrogen yang dihasilkan atau sebaliknya. Pada penelitian lain menyebutkan bahwa produksi gas hidrogen secara kuantitatif dinyatakan dengan satuan mol hidrogen/mol substrat yang terdegradasi (Wang et al., 2008 dan Das dan Veziroglu, 2008). Sedangkan, pada penelitian ini tidak dilakukan analisa substrat sebelum maupun sesudah perlakuan. C. Produksi Gas Hidrogen pada Isolat Bakteri Anaerob Pengukuran gas hidrogen pada isolat bakteri anaerob juga terdeteksi adanya peak gas CO2 tanpa peak area (Tabel 2). Adanya gas CO2 ini menunjukkan ada proses metabolisme yang terjadi di dalam bioreaktor. Sebaliknya, pada kontrol negatif tidak terdeteksi gas CO2 membuktikan bahwa kontrol negatif yang digunakan tidak terkontaminasi mikroorganisme. Selain gas hidrogen, gas CO2 merupakan gas yang dihasilkan dalam fermentasi hidrogen. Apabila tidak terdeteksi adanya gas CO2 pada bagian headspace, maka dapat diasumsikan bahwa pada bioreaktor kontrol negatif tidak terdapat mikroorganisme yang melakukan proses fermentasi. Tabel 2. Hasil analisa gas CO2 pada bagian headspace bioreaktor isolat bakteri anaerob Hari ke-20
Hari ke-30
Hari ke-10 Sample
CO2
Sample
CO2
Sample
CO2
BT3-10T1
0
BT3-20T1
0
BT3-30T1
ADA
BT3-10T2
0
BT3-20T2
ADA
BT3-30T2
ADA
BT3-10G1
0
BT3-20G1
ADA
BT3-30G1
0
BT3-10G2
ADA
BT3-20G2
0
BT3-30G2
ADA
K+-10T1
0
K+-20T1
ADA
K+-30T1
ADA
+
K -10T2 +
K -10G1 +
K -10G2 -
K -10T -
K -10G
ADA ADA ADA 0 0
+
K -20T2 +
K -20G1 +
K -20G2 -
K -20T -
K -20G
0 ADA ADA 0 0
+
ADA
+
ADA
K -30T2 K -30G1 +
K -30G2
ADA
-
0
-
0
K -30T K -30G
Gas hidrogen dapat diproduksi oleh bakteri dalam kondisi anaerob, yaitu melalui proses fermentasi atau dikenal sebagai fermentasi hidrogen. Dalam proses fermentasi hidrogen, terdapat 2 macam fermentasi, yaitu fermentasi terang (light fermentation) dan fermentasi gelap (dark fermentation) (Das, 2001 dalam Hallenbeck, 2009) dimana kedua jenis fermentasi tersebut menghasilkan gas CO2 (Das et al, 2008 dan Levin et
al, 2004). Fermentasi terang adalah proses fermentasi dimana sumber energi yang digunakan berasal dari cahaya (Das et al, 2008), sedangkan fermentasi gelap sumber energi yang digunakan adalah substrat (Liu, 2008).
Gambar 4. Produk gas hidrogen pada masing-masing isolat bakteri anaerob
Secara umum, isolat BT3 mampu menghasilkan gas hidrogen tertinggi pada hari ke-20, baik pada kondisi terang maupun gelap, yaitu 11.268 ml dan 10.603 ml. Adanya gas CO2 dan hidrogen pada bagian headspace bioreaktor, maka isolat bakteri BT3 diasumsikan melakukan proses fermentasi hidrogen (Tabel 2). Menurut Liu et al., 2008, selain menghasilkan gas hidrogen dan CO2 pada fermentasi, juga dihasilkan asam-asam organik. Namun dari penelitian lain yang dilakukan secara paralel, selama 30 hari masa inkubasi tidak terjadi perubahan pH atau pH tetap netral (pH=7). Apabila hasil pengukuran gas hidrogen isolat BT3 ini digabung dengan hasil pertumbuhan isolat bakteri dari penelitian paralel tersebut, produksi gas hidrogen meningkat pada awal memasuki fase stasioner yaitu pada hari ke-18 masa inkubasi. Sedangkan, penurunan gas hidrogen yang dihasilkan pada hari ke-30 (Gambar 4) tidak disertai dengan menurunnya populasi sel pada kondisi gelap dan terang, sehingga penurunan gas hidrogen diasumsikan terjadi karena kompetisi dalam mendapatkan nutrisi selama fase stasioner. Madigan et al., (2009) menyatakan bahwa meskipun tidak adanya pertumbuhan pada fase stasioner, kebanyakan sel masih dapat melakukan metabolisme energi dan proses biosintesis. Dalam kompetisi ini, semakin meningkatnya densitas sel diatas jumlah optimum akan menghambat proses pemecahan karbohidrat serta penggunaan substrat (Agrawal et al., 2007). Sedangkan pada kontrol positif, kemampuan E. coli memproduksi gas hidrogen semakin menurun dari hari ke-10
8 sampai hari ke-30 pada kondisi terang maupun gelap. Hasil ini berbeda ketika E. coli digunakan sebagai kontrol positif dalam kondisi aerob, dimana gas hidrogen yang dihasilkan semakin meningkat. Hal ini mungkin karena E. coli adalah bakteri fakultatif anaerob, dimana bakteri ini dapat tumbuh dalam keadaan sedikit atau tidak ada oksigen, tetapi akan lebih maksimal pertumbuhannya jika terdapat oksigen di lingkungannya. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah : Isolat bakteri aerob dan anaerob dapat memproduksi hidrogen pada kondisi terang maupun gelap. Isolat bakteri aerob A27 menghasilkan gas hidrogen tertinggi (13.690 ml) pada kondisi gelap pada hari ke20. Isolat bakteri anaerob BT3 menghasilkan gas hidrogen tertinggi (11.268 ml) pada kondisi terang pada hari ke20. B. Saran Saran bagi penelitian selanjutnya adalah pengukuran gas hidrogen yang dilakukan disertai dengan pengukuran substrat yang terdegradasi, sehingga didapatkan satuan mol hidrogen/mol substrat terdegradasi seperti pada penelitian yang telah ada. UCAPAN TERIMA KASIH Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.rer.nat.Ir. Maya Shovitri, M.Si selaku Dosen Pembimbing dan Ketua Jurusan Biologi ITS, serta kepada Ibu Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si, Nengah Dwianita Kuswytasari, S.Si, M.Si, dan Tutik Nurhidayati, S.Si, M.Si selaku Dosen Penguji. Selain itu, saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu, dan adikadik yang telah memberikan doa dan semangat, serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Tugas Akhir. DAFTAR PUSTAKA Anonim.
2012. Diakses dari http://www.scienceclarified.com/AAl/Adaptation.html pada tanggal 2 Juli 2012 pukul 18.00 WIB. Agrawal, P., R. Hema, dan S. Mahesh kumar. 2007. Experimental Investigation on Biological Hydrogen Producing Using Different Biomass. Jurnal Teknologi Keluaran Khas. 47 : 13-24. Angelidaki, I., L. Ellegaard, A. H. Sorensen, dan J. E. Schmidt. 2002. Anaerobic Processes. Copenhagen. Batstone D. J., J. Keller, I. Angelidaki, S.V. Kalyuzhnyi, S.G. Pavlostathis, A. Rozzi, W.T.M. Sanders, H. Siegrist, dan V.A. Vavilin. 2002. The IWA Anaerobic Digestion Model No.1 (ADM 1). Water Science and Technology. 45 (10) : 65-73. Benemann, J. 1996. Hydrogen Biotechnology : Progress and Prospects. Nature Biotechnol. 14 : 1101-1103. Carere, C. R., R. Sparling, N. Cicek, dan D. B. Levin. 2008. Third Generation Biofuels via Direct Cellulose Fermentation. Int. J. Mol. Sci. 9 : 1342 – 1360. Colunga, L. M., E. R. Flores, L. G. Ordońez, F. A. Mondragòn, A. D. LeònRodriguez. 2009. Hydrogen Production by Escherichia coli
DhycA DlacI using Cheese Whey as Substrate. International Journal of Hydrogen Energy. 35 : 491-499. Das, Debabrata dan T. Nejat Veziroglu. 2008. Advances in Biological Hydrogen Production Processes. International Journal of Hydrogen Energy. 33 : 6046-6057. Das, Debabrata dan T. Nejat Veziroglu. 2008. Advances in Biological Hydrogen Production Processes. International Journal of Hydrogen Energy. 33 : 6046-6057. Hallenbeck, Patrick C. 2009. Fermentative Hydrogen Production : Principles, Progress, and Prognosis. International Journal of Hydrogen Energy. 34 : 7379-7389. Hawkes, F. R., Dinsdale R., Hawkes D. L., dan Hussy I. 2002. Sustainable Fermentative Hydrogen Production : Challenges for Process Optimisation. International Journal of Hydrogen Energy. 27 (1112) : 1339-1347. Infates, D., A. Gonzales del Campo, J. Villasenor, dan F. J. Fernandez. 2011. Influence of pH, Temperature, and Volatile Fatty Acids on Hydrogen Production by Acidogenic Fermentation. International Journal of Hydrogen Energy. 36 : 15595 – 159601. Junyapoon, S., W. Buala, dan S. Phunpruch. 2011. Hydrogen Production with Escherichia coli Isolated from Municipal Sewage Sludge. Thammasat Int. J. Sc. Tech. 16 (1) : 9-15. Kotay, S.M. dan Das, D. 2008. Biohydrogen as a Renewable Energy Resource : Prospects and Potentials. Int J Hydrogen Energy. 33 : 258–263. Lee, Y. J., Miyahara T., dan Noike T. 2001. Effect of Iron Concentration on Hydrogen Fermentation. Bioresource Technology. 80 (3) : 227231. Levin, D. B., Pitt L., dan Love M. 2004. Biohydrogen Production : Prospects and Limitations to Practical Application. International Journal of Hydrogen Energy. 29 (2) : 173-185. Liu, Dawei. 2008. Bio-Hydrogen Production by Dark Fermentation from Organic Waste and Residues. Department of Environmental Engineering Technical University of Denmark. ISBN : 978-8791855-52-8. Madigan, Michael T., John M. Martinko, Paul V. Dunlap, and david P. Clark. 2009. Brock Biology of Microorganism. Twelfth Edition. Pearson International Edition : San Fransisco. Maeda, T., V. Sanchez-Torres, dan T. K. Wood. 2007. Metabolic Engineering to Enhance Bacterial Hydrogen Production. Journal compilation Society for Applied Microbiology and Blackwell Publishing Ltd. Nandi, R. dan Sengupta S. 1998. Microbial Production of Hydrogen: An Overview. Critical Reviews in Microbiology. 24 (1) : 61-84. Setya R. A. dan S. R. Putra. 2011. Identifikasi Biohidrogen secara Fermentatis dengan Kultur Campuran menggunakan Glukosa sebagai Substrat. Prosiding Skripsi Semester Genap 2010/2011. ITS Surabaya. Setyanto, P. 2008. Mitigasi Gas Metan Pada Lahan Sawah. balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/buku/…/tanah sawah10.pdf. 30 Desember 2009, 15.00 WIB. Tanisho, S., Kuromoto M., dan Kadokura N. 1998. Effect of CO 2 Removal on Hydrogen Production by Fermentation. International Journal of Hydrogen Energy. 23 (7) : 559-563. Wang, B., W. Wan, dan J. Wang. 2008. Inhibitory Effect of Ethanol, Acetic Acid, Propionic Acid and Butyric Acid on Fermentative Hydrogen Production. International Journal of Hydrogen Energy. 33 : 70137019. Warthmann, R., Pfennig, N. dan Cypionka, H. 1993. The Quantum Requirement for HE Production by Anoxygenic Phototrophic Bacteria. Appl. MicrobioL Biotechnol. 39 : 358-362.