Pertumbuhan Bakteri Aerob dan Anaerob Penghasil Gas Hidrogen pada Medium Limbah Organik, Ditinjau dari Parameter pH dan Cahaya Nama : Nur Hidayah Nrp : 1508100707 Jurusan : Biologi Dosen Pembimbing : Dr.rer.nat.Ir. Maya Shovitri, M.Si Abstrak Pertumbuhan Bakteri Aerob dan Anaerob Penghasil Gas Hidrogen pada Medium Limbah Organik yang ditinjau dari parameter pH dan cahaya telah diteliti. Pertumbuhan bakteri aerob dan anaerob diukur berdasarkan optical density (OD600nm). Pengukuran OD dilakukan setiap 2 hari sekali selama 30 hari masa inkubasi, sedangkan pengukuran pH dilakukan setiap 5 hari selama 30 hari masa inkubasi. Hasilnya menunjukkan bahwa selama 30 hari masa inkubasi tidak menunjukkan adanya perubahan pH pada semua perlakuan, akan tetapi terlihat adanya perubahan konsistensi substrat kasar menjadi halus. Cahaya tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan isolat bakteri aerob maupun anaerob. Isolat bakteri anaerob memiliki pertumbuhan yang lebih lambat dibanding isolat bakteri aerob. Isolat bakteri aerob tidak terjadi adanya fase lag, log dan stasioner, tetapi cenderung terjadi penurunan pertumbuhan secara terus menerus (fase kematian) selama 30 hari masa inkubasi. Berbeda dengan isolat aerob, isolat anaerob memiliki pertumbuhan yang lebih lambat, dimana terjadi fase lag pada hari ke-0 hingga hari ke-2, fase log pada hari ke-2 hingga ke-18 dan fase stasioner pada hari ke-18 hingga hari ke-30 dan belum mengalami penurunan pertumbuhan. Kata kunci: Pertumbuhan, pH, cahaya, isolat bakteri aerob dan anaerob penghasil gas hydrogen keuntungan dibanding bahan bakar yang lain, yaitu hidrogen adalah bahan bakar rendah polusi dan memiliki efisiensi yang tinggi (Kirtay, 2011). Selain itu, tidak menimbulkan efek rumah kaca, penipisan lapisan ozon atau hujan asam karena pembakarannya hanya menyisakan uap air dan energi panas di udara (Bolton et al., 1996). Hidrogen dapat dihasilkan dari metabolisme bakteri (Kirtay, 2011). Produksi hidrogen oleh bakteri biasanya dilakukan dengan cara fermentasi. Bakteri fermentasi mampu menghidrolisis polimer menjadi oligomer dan monomer-monomer dengan bantuan aktifitas enzim ekstraseluler (Angelidaki et al., 2002). Produksi hidrogen melalui proses fermentasi dapat dilakukan dengan fermentasi terang (light fermentation) dan fermentasi gelap (dark fermentation). Produksi hidrogen melalui proses fermentasi terang (light fermentation) dapat memproduksi hidrogen dengan efisiensi sekitar 80% yang menghasilkan 12 molekul H2 dari 1 molekul glukosa dan 12 molekul air. Hasil ini diperoleh berdasarkan persamaan (1) berikut ini. C6H12O6 + 12H2O + chy 12H2 + 6CO2 (1)(Kirtay, 2011).
I. Latar Belakang Ketergantungan terhadap bahan bakar fosil sebagai sumber energi membawa kita pada krisis energi dan masalah lingkungan. Penggunaan bahan bakar fosil termasuk salah satu penyumbang masalah lingkungan terbesar seperti global warming dan hujan asam, akibat emisi gas yang dibuang ke lingkungan (Sheth et al., 2010). Bahan bakar fosil merupakan bahan bakar yang sifatnya terbatas dan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat diperbaharui. Penggunaan bahan bakar fosil secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya krisis bahan bakar. Sekarang ini di Indonesia telah dikembangkan berbagai sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) dalam upaya menyelesaikan masalah krisis energi yang terjadi. Salah satu energi alternatif yang ramah lingkungan adalah gas hidrogen. Hafez et al., (2009) menyatakan bahwa pembakaran gas hidrogen dapat menghasilkan energi yang lebih tinggi yaitu sekitar 142 kj/g atau 3 kali lebih baik jika dibandingkan hidrokarbon atau minyak bumi. Gas hidrogen memiliki berbagai 51
52
Sedangkan produksi hidrogen melalui fermentasi gelap tergantung dari hasil akhir yang dihasilkan dari fermentasi. Produksi hidrogen tertinggi dapat dihasilkan melalui fermentasi gelap dengan hasil akhir berupa asam asetat, yaitu dihasilkan 4 molekul hidrogen sebagai hasil sampingnya. Hidrogen juga dapat diproduksi dari hasil samping dalam fermentasi asam butirat yaitu dihasilkan 2 molekul hidrogen. Hasil ini dapat dilihat dari persamaan (2) dan (3) berikut ini. C6H12O6 +2H2O +2CO2 (2) C6H12O6 +2H2O 2CO2 (3)
2CH3COOH
+
4H2
CH2CH2CH2COOH + 2H2 +
(Kirtay, 2011). Fermentasi untuk menghasilkan gas hidrogen memanfaatkan limbah organik sebagai sumber karbon dan sumber energi. Limbah organik yang banyak mengandung karbohidrat, protein, lipid, lignin dan lemak dapat digunakan sebagai substrat oleh bakteri untuk menghasilkan produk akhir berupa H2 dan CO2 (Hawkes, 2002). Selain penggunaan limbah organik yang kaya akan karbon, proses fermentasi dapat dioptimalkan dengan pengaturan kondisi fisik seperti pH, suhu, agitasi, konsentrasi asam organik, dan komponen anorganik (Liu, 2008). Bakteri penghasil hidrogen mampu tumbuh dalam kisaran temperatur mesofil, thermofil hingga hypertermofil (Levin,et al. 2004). Namun hampir semua penelitian menggunakan suhu mesofil (Liu, et al.2008). Keasaman medium juga berpengaruh terhadap produksi hidrogen. Kondisi yang semakin asam akan menyebabkan penurunan hasil hidrogen dua kali lipat dari kondisi netral. Karena pH yang rendah atau asam dapat menghambat aktifitas enzim hidrogenase yang memegang peran penting dalam fermentasi hidrogen (Khanal et al., 2003). Keberadaan bahan anorganik seperti besi (Fe) juga dapat meningkatkan produksi hidrogen. Senyawa besi (Fe) berperan sebagai aktivator enzim yang penting dalam proses produksi hidrogen. Keberadaan senyawa besi (Fe) dapat menginduksi perubahan metabolik dan memicu ekspresi protein Fe-S dan non Fe-S pada enzim hidrogenase. Sehingga penambahan
besi (Fe) memicu pertumbuhan mikroorganisme dan meningkatkan produksi hidrogen (Liu, et al.2008). Selain itu, penambahan besi dapat mereduksi hasil akhir fermentasi seperti laktat, ethanol, dan buthanol yang harus dihindari dalam produksi H2 (Hawkes et al., 2002). Mikroorganisme yang dapat menghasilkan hidrogen meliputi Cyanobakteria, bakteri fotosintetik dan bakteri anaerob (Liang, 2003; Nandi and Sengupta, 1998). Bakteri anaerob yang dapat menghasilkan hidrogen berupa bakteri anaerob fakultatif dan anaerob obligat. Bakteri fakultatif anaerob akan memproduksi ATP melalui respirasi aerob ketika oksigen masih tersedia dan mampu bertahan dalam kondisi tidak ada oksigen dengan melakukan fermentasi secara anaerob. Dalam keadaan anaerob akan mengaktifkan enzim hidrogenase dan nitrogenase untuk menghasilkan hidrogen (Chong et al., 2009). Contoh bakteri anaerob fakultatif adalah Escherichia coli, Enterobacter sp., Citrobacter sp., dan Bacillus sp. Sedangkan contoh bakteri anaerob obligat seperti purple non-sulphur bacteria, green and purple sulphur bacteria (Warthmann et al., 1993), Clostridia sp., methylotroph, bakteri rumen, dan archaea (Liu, 2008). Saat ini, Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Jurusan Biologi ITS telah memiliki 7 isolat bakteri anaerob dan 38 isolat bakteri aerob yang mampu menghasilkan biogas dari limbah organik. Ada kemungkinan salah satu gas yang dihasilkan adalah gas hidrogen. Namun produksi gas hidrogen tidak terdeteksi, karena ada beberapa faktor yang belum diperhatikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan isolat bakteri tersebut dengan memperhatikan kondisi fisik seperti pH medium dan cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri aerob dan anaerob selama masa inkubasi dalam medium limbah organik. II. 2.1
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2012 – Juni 2012 di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi, Jurusan Biologi ITS.
53
2.2 Alat, Bahan, dan Prosedur Kerja 2.2.1 Pembuatan Medium Limbah Organik Cair (LOC) Lokasi pengambilan sampel limbah organik adalah Pasar Genteng, Jalan Genteng Besar, Surabaya. Sampel limbah organik padat yang memiliki kandungan protein dan lemak, seperti organ buangan ikan, ayam, dan sapi serta limbah organik cair yang berupa sisa perendaman ikan. Limbah padat diambil dan dimasukkan ke dalam kotak sampel, sedangkan limbah cair dimasukkan ke dalam botol sampel steril. Kemudian, sampel dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Jurusan Biologi ITS untuk diolah. Sampel limbah padat kemudian dipisahkan antara limbah organik dan anorganik dan ditimbang sebanyak 1500 gr, sedangkan untuk sampel limbah cair disaring agar terbebas dari padatan. Kemudian, limbah padat organik sebanyak 30 gr dicampur dengan 3000 ml limbah cair. Selanjutnya, campuran ini diblender hingga homogen dan didapatkan filtrat. Filtrat tersebut disaring dengan menggunakan saringan dan didapatkan 3000 ml ekstrak limbah organik. Medium limbah organik cair adalah cairan ekstrak limbah organik yang telah ditambahkan dengan 3 gr pupuk NPK (0,1 % dari total volume limbah organik) dan 3 gr pupuk Urea (0,1 % dari total volume limbah organik). Setelah penambahan pupuk NPK dan urea, medium juga ditambahkan dengan 2,4 gram FeCl2 (Lee et al., 2001). Setelah itu pH medium diatur hingga didapat pH netral (pH=7), dengan menambahkan NaOH 2M atau HCl 2M tetes demi tetes menggunakan pipet Pasteur. Selanjutnya, medium limbah organik cair dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang digunakan sebagai reaktor masing-masing sebanyak 13.5 ml. Kemudian, tabung reaksi ditutup dengan sumbat kapas dan diautoklaf selama 15 menit pada suhu 121oC dengan tekanan 1,5 atm (Wirda, 2009). Medium ini disiapkan untuk biakan bakteri aerob. Skema kerja pembuatan medium dapat dilihat pada Lampiran 1. Sedangkan pembuatan medium untuk isolat bakteri anaerob dilakukan dengan cara yang sama namun ada sedikit perbedaan. Medium limbah organik cair untuk isolat bakteri anaerob selain ditambahkan 3 gr pupuk NPK, 3 gr pupuk Urea, dan 2,4 gram FeCl2 , juga ditambahkan dengan Na2S sebanyak 1,26 gram
sebagai reducing agent. Setelah itu pH medium diatur hingga didapat pH netral (pH=7), dengan menambahkan NaOH 2M atau HCl 2M tetes demi tetes menggunakan pipet Pasteur. Selanjutnya, medium limbah organik cair dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang digunakan sebagai reaktor masing-masing sebanyak 13.5 ml. Kemudian, tabung reaksi ditutup dengan sumbat kapas dan diautoklaf selama 15 menit pada suhu 121oC dengan tekanan 1,5 atm (Wirda, 2009). Skema kerja pembuatan medium untuk isolat anaerob dapat dilihat pada Lampiran 2. 2.2.2 Inokulasi Mikroorganisme pada Medium Limbah Organik Cair 2.2.2.1 Inokulasi Isolat Aerob pada Medium Limbah Organik Cair Isolat aerob yang digunakan adalah isolat koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi, Jurusan Biologi ITS Surabaya sebanyak 5 isolat dengan kode isolat A6, A24, A25, A27, dan A31 yang cenderung masuk ke genus Bacillus sp. berdasarkan karakter biokimia. Isolat kerja adalah isolat yang telah diadaptasikan pada medium limbah organik cair. Adaptasi dilakukan dengan cara menginokulasikan isolat bakteri aerob dari medium limbah organik padat ke medium limbah organik cair. Satu ose biakan bakteri aerob dari limbah organik padat diinokulasikan ke dalam 10 ml medium limbah organik cair secara aseptis. Setelah itu diinkubasi selama 24 jam dengan agitasi kemudian diremajakan kembali ke medium baru yang sama. Peremajaan dilakukan dengan cara mengambil inokulum dari biakan usia 24 jam sebanyak 100µl dan diinokulasikan ke dalam medium limbah organik cair sebanyak 10ml. Setelah itu diinkubasi kembali dengan agitasi. Peremajaan isolat dilakukan sebanyak 3 kali hingga isolat siap digunakan sebagai isolat kerja. Skema kerja adaptasi isolat aerob dapat dilihat pada Lampiran 3. Isolat kerja kemudian diinokulasikan ke dalam bioreaktor. Inokulum diambil dari masing-masing isolat sebanyak 10% (v/v) dari volume medium limbah organik, yaitu 1.5 ml (Wirda, 2009) dan diinokulasikan ke dalam reaktor, sehingga disebut dengan bioreaktor. Bagian mulut bioreaktor ditutup dengan rubber stopper hingga rapat dan dilapisi dengan plastik wrap. Bioreaktor ditutup dengan kertas karbon dan dilapisi alumunium foil untuk bioreaktor
54
gelap, sedangkan bioreaktor terang tidak ditutup dengan kertas karbon ataupun alumunium foil. Bioreaktor kemudian diinkubasi selama 30 hari dalam suhu ruang dengan agitasi. Bioreaktor dibedakan menjadi dua yaitu bioreaktor X untuk perlakuan pengukuran pH dan OD, dan bioreaktor untuk pengukuran dan pengatura pH netral serta OD yang disebut bioreaktor Y. Untuk perlakuan gelap, bioreaktor X diulang 3 pengulangan dengan kode AXx-1g, AXx-2g, dan AXx-3g. Sedangkan, bioreaktor terang dikode dengan AXx-1t, AXx-2t, dan AXx-3t. Perlakuan gelap untuk bioreaktor Y juga diulang 3 pengulangan dengan kode AYx-1g, AYx-2g, dan AYx-3g. Sedangkan, bioreaktor terang dikode dengan AYx-1t, AYx-2t, dan AYx-3t. Bioreaktor kontrol juga dibuat dua tipe bioreaktor X dan Y. Bioreaktor kontrol positif adalah reaktor yang diinokulasikan dengan bakteri E.coli dengan volume inokulum 10% (v/v) dan diperlakukan gelap dengan ditutup kertas karbon dan dilapisi alumunium foil yang dikode dengan KX+1g, KX+2g, dan KX+3g untuk bioreaktor X. Untuk bioreaktor Y dikode dengan KY+1g, KY+2g, dan KY+3g. Sedangkan bioreaktor X terang tanpa ditutup dengan alumunium foil dikode dengan KX+1t, KX+2t, dan KX+3t, dan bioreaktor Y dengan kode KY+1t, KY+2t, dan KY+3t. Bioreaktor kontrol negatif merupakan bioreaktor tanpa pemberian inokulum dan diperlakukan gelap yang dikode dengan KX_1g, KX_2g, dan KX_3g untuk bioreaktor tipe X,dan untuk bioreaktor tipe Y dikode dengan KY_1g, KY_2g, dan KY_3g .Sedangkan bioreaktor X untuk perlakuan terang dikode dengan KX_1t, KX_2t, dan KX_3t, dan untuk bioreaktor tipe Y dikode dengan KY_1t, KY_2t, dan KY_3t. Bioreaktor kontol positif dan kontrol negatif juga diinkubasi selama 30 hari dengan perlakuan agitasi. Skema kerja inokulasi isolat aerob dapat dilihat pada Lampiran 5. 2.2.2.2 Inokulasi Isolat Anaerob pada Medium Limbah Organik Cair Isolat anaerob yang digunakan adalah isolat koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi, Jurusan Biologi ITS Surabaya sebanyak 5 isolat dengan kode BT2, BT3, BG2, BG3, dan BG4. Isolat kerja yang diinokulasikan ke bioreaktor adalah isolat yang telah diadaptasikan pada medium limbah organik cair. Adaptasi dilakukan dengan cara menginokulasikan isolat bakteri anaerob dari
medium Thioglicolate semi padat ke medium limbah organik cair. Koloni biakan bakteri anaerob dari medium Thioglicolate semi padat diambil dengan menggunakan pipet tetes yang disedot menggunakan selang, kemudian diinokulasikan ke dalam 15 ml medium limbah organik cair pada tabung reaksi. Untuk memberikan kondisi anaerob, digunakan metode Hungate, dimana bagian head space masingmasing bioreaktor dilakukan penggantian oksigen dengan gas nitrogen selama 3 menit (Chung et al., 1997). Bagian mulut bioreaktor kemudian ditutup dengan rubber stopper hingga rapat dan dilapisi dengan plastik wrap. Inokulasi dilakukan secara aseptis. Setelah itu diinkubasi selama 24 jam dengan agitasi dan diremajakan kembali ke medium baru yang sama. Peremajaan dilakukan dengan cara mengambil inokulum dari biakan usia 24 jam sebanyak 1,5 ml dan diinokulasikan ke dalam 15 ml limbah organik cair, dan dilakukan penggantian gas oksigen dengan gas nitrogen selama 3 menit. Setelah itu diinkubasi kembali dengan agitasi. Peremajaan isolat dilakukan sebanyak 3 kali hingga isolat siap digunakan sebagai isolat kerja. Skema kerja adaptasi isolat anaerob dapat dilihat pada Lampiran 4. Isolat kerja kemudian diinokulasikan ke dalam bioreaktor. Inokulum diambil dari masing-masing isolat kerja sebanyak 10% (v/v) dari volume medium limbah organik, yaitu 1.5 ml (Wirda, 2009) dan diinokulasikan ke dalam reaktor, sehingga disebut dengan bioreaktor. Untuk memberikan kondisi anaerob, digunakan metode Hungate, dimana bagian head space masing-masing bioreaktor dilakukan penggantian oksigen dengan gas nitrogen selama 3 menit (Chung et al., 1997). Bagian mulut bioreaktor kemudian ditutup dengan rubber stopper hingga rapat dan dilapisi dengan plastik wrap. Bioreaktor ditutup dengan kertas karbon dan dilapisi alumunium foil untuk bioreaktor gelap, sedangkan bioreaktor terang tidak ditutup dengan kertas karbon ataupun alumunium foil. Bioreaktor kemudian diinkubasi selama 30 hari dalam suhu ruang dengan agitasi. Bioreaktor dibedakan menjadi dua yaitu bioreaktor X untuk perlakuan pengukuran pH dan OD, dan bioreaktor untuk pengukuran dan pengatura pH netral serta OD yang disebut bioreaktor Y. Untuk perlakuan gelap, bioreaktor X diulang 3 pengulangan dengan kode BXx-1g, BXx-2g, dan BXx-3g. Sedangkan, bioreaktor terang dikode dengan BXx-1t, BXx-2t, dan BXx-3t. Perlakuan
55
gelap untuk bioreaktor Y juga diulang 3 pengulangan dengan kode BYx-1g, BYx-2g, dan BYx-3g. Sedangkan, bioreaktor terang dikode dengan BYx-1t, BYx-2t, dan BYx-3t. Bioreaktor kontrol juga dibuat dua tipe bioreaktor X dan Y. Bioreaktor kontrol positif adalah reaktor yang diinokulasikan dengan bakteri E.coli dengan volume inokulum 10% (v/v) dan diperlakukan gelap dengan ditutup kertas karbon dan dilapisi alumunium foil yang dikode dengan KXan+1g, KXan+2g, dan KXan+3g untuk bioreaktor X. Untuk bioreaktor Y dikode dengan KYan+1g, KYan+2g, dan KYan+3g. sedangkan bioreaktor X terang tanpa ditutup dengan kertas karbon ataupun alumunium foil dikode dengan KXan+1t, KXan+2t, dan KXan+3t, dan bioreaktor Y dengan kode KYan+1t, KYan+2t, dan KYan+3t. Bioreaktor kontrol negatif merupakan reaktor tanpa pemberian inokulum dan diperlakukan gelap yang dikode dengan KXan_1g, KXan_2g, dan KXan_3g untuk bioreaktor tipe X,dan untuk bioreaktor tipe Y dikode dengan KYan_1g, KYan_2g, dan KYan_3g .Sedangkan bioreaktor X untuk perlakuan terang dikode dengan KXan_1t, KXan_2t, dan KXan_3t, dan untuk bioreaktor tipe Y dikode dengan KYan_1t, KYan_2t, dan KYan_3t. Bioreaktor kontol positif dan kontrol negatif juga diinkubasi selama 30 hari dengan perlakuan agitasi. Skema kerja inokulasi isolat anaerob dapat dilihat pada Lampiran 6. 2.2.3 Pertumbuhan Isolat Aerob dan Anaerob pada Medium Limbah Organik Selama masa inkubasi pertumbuhan isolat bakteri diukur berdasarkan optical density pada panjang gelombang 600nm setiap 2 hari sekali selama 30 hari masa inkubasi. Sampel biakan bakteri aerob diambil dari bioreaktor dengan menggunakan pipet mikro sebanyak 100µl kemudian diencerkan kedalam aquades hingga 2 ml, sehingga didapat pengenceran 20 kali. Sampel yang telah diencerkan dimasukkan dalam kuvet 2 ml dan dideteksi absorbansisi warnanya dengan menggunakan spektrofotometer yang telah dikalibrasi terlebih dahulu. Larutan blanko yang digunakan untuk kalibrasi spektrofotometer adalah 100µl medium kosong yang diencerkan dengan aquades hingga 2 ml. Skema kerja pengukuran OD isolat aerob dapat dilihat pada Lampiran 7. Sedangkan sampel biakan anaerob diambil dengan menggunakan syiringe steril ukuran 1 ml. Sebelum syiringe digunakan
dilakukan penggantian gas oksigen pada tabung syiringe dengan gas nitrogen hingga jenuh. Tabung bioreaktor dimiringkan secara perlahan hingga suspensi biakan bakteri menekan gas yang berada di bagian headspace bioreaktor dan menyentuh rubber stopper. Jarum syiringe diinjeksikan pada bagian rubber stopper yang bersinggungan dengan suspensi biakan bakteri. Suspensi biakan diambil sebanyak 100 µl dan diencerkan dengan aquades hingga 2 ml, sehingga didapat pengenceran 20 kali. Sampel yang telah diencerkan dimasukkan dalam kuvet 2 ml dan dideteksi absorbansi warnanya dengan menggunakan spektrofotometer yang telah dikalibrasi. OD yang diperoleh selanjutnya dikalikan dengan besarnya pengenceran yaitu dikali 20. Hasil ini selanjutnya digunakan untuk membuat kurva pertumbuhan bakteri. Skema kerja pengukuran OD isolat anaerob dapat dilihat pada Lampiran 8. 2.2.4
Pengukuran pH dan Perlakuan Mempertahankan pH Netral Dua set bioreaktor disiapkan untuk perlakuan parameter pH. Bioreaktor pertama atau bioreaktor X adalah bioreaktor yang disiapkan untuk perlakuan pengukuran pH tanpa pengaturan pH netral, dan bioreaktor yang kedua atau bioreaktor Y adalah bioreaktor yang disiapkan untuk pengukuran dan pengaturan pH sehingga tetap netral (pH=7). Pada set bioreaktor X, pengukuran pH dilakukan setiap 5 hari sekali selama 30 hari masa inkubasi. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus. Sampel biakan aerob diambil dengan menggunakan pipet Pasteur kemudian diteteskan pada kertas lakmus sehingga diketahui pHnya. Skema kerja pengukuran pH isolat aerob dapat dilihat pada Lampiran 9. Sedangkan sampel biakan anaerob diambil dengan menggunakan syiringe 1 ml. Sebelum syiringe digunakan dilakukan penggantian gas oksigen pada tabung syiringe dengan gas nitrogen hingga jenuh. Pengambilan sampel dilakukan dengan memiringkan tabung bioreaktor hingga suspensi biakan bakteri menekan gas yang berada di bagian headspace dan menyentuh rubber stopper. Jarum syiringe diinjeksikan pada rubber stoper yang bersinggungan dengan suspensi biakan bakteri. Sampel diambil dengan menarik ujung syiringe hingga suspensi masuk ke dalam syiringe. Sampel yang telah diambil di teteskan pada
56
kertas lakmus untuk diketahui bersarnya pH. Skema kerja pengukuran pH bioreaktor anaerob dapat dilihat pada Lampiran 10. Pada set bioreaktor Y dilakukan pengukuran dan pengaturan pH netral setiap 5 hari sekali selama 30 hari masa inkubasi. Pengukuran pH dilakukan dengan cara yang sama seperti pada bioreaktor set X. Apabila terjadi perubahan pH maka dilakukan pengaturan pH hingga menjadi netral (pH=7) dengan menambahkan NaOH 2 M atau HCl 2M. Pada bioreaktor aerob pengaturan pH dilakukan dengan menambahkan NaOH 2 M atau HCl 2M tetes demi tetes dengan menggunakan pipet pasteur. Setelah itu bioreaktor digoyang secara perlahan dan dilakukan pengukuran pH kembali. Hal ini dilakukan hingga diperoleh pH netral (pH=7). Skema kerja pengaturan pH bioreaktor aerob dapat dilihat pada Lampiran 11. Sedangkan untuk bioreaktor anaerob pengaturan pH dilakukan dengan menggunakan syiringe 1 ml. Sebelum syiringe digunakan dilakukan penggantian gas oksigen pada tabung syiringe dengan gas nitrogen hingga jenuh. Pengaturan pH dilakukan dengan memiringkan tabung bioreaktor hingga suspensi biakan bakteri menekan gas yang berada di bagian headspace dan menyentuh rubber stopper. Jarum syiringe diinjeksikan pada rubber stoper yang bersinggungan dengan suspensi biakan bakteri. Larutan NaOH 2 M atau HCl 2M ditambahkan secara perlahan ke dalam bioreaktor. Setelah itu tabung bioreaktor digoyang secara perlahan dan dilakukan pengukuran pH kembali. Hal ini dilakukan hingga diperoleh pH netral (pH=7). Skema kerja pengaturan pH bioreaktor anaerob dapat dilihat pada Lampiran 12. III.
Hasil dan Pembahasan
3.1 Adaptasi Isolat Bakteri Aerob dan Anaerob Adaptasi merupakan suatu proses menyesuaikan diri suatu isolat bakteri ke dalam suatu medium baru agar isolat bakteri tersebut mampu bertahan hidup. Ii (2010) menyebutkan bahwa perubahan lingkungan dapat mengakibatkan perubahan sifat morfologi dan fisiologi mikroba sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan viabilitas mikroba dalam medium baru. Dalam penelitian ini medium yang digunakan adalah medium limbah organik cair.
Perbedaan tipe medium dari medium padat ke medium cair juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan viabilitas bakteri, meskipun medium yang digunakan adalah sama. Pada medium padat, pertumbuhan bakteri berupa pertumbuhan yang melekat pada permukaan medium (attached growth), sedangkan pada medium cair tipe pertumbuhannya akan menyerupai suspensi larut (suspended growth). Bakteri dalam keadaan tersuspensi akan tumbuh merata di semua bagian medium, baik yang di permukaan, di kolom medium, bahkan di dasar. Bakteri akan mendapatkan oksigen untuk respirasi apabila berada di daerah permukaan yang terpapar langsung dengan udara. Sedangkan bakteri yang tumbuh di daerah kolom medium dan di dasar akan mendapatkan oksigen berupa oksigen terlarut dalam medium. Adanya agitasi dapat menyebabkan pemerataan pertumbuhan dan suplai oksigen bagi bakteri. Perbedaan inilah yang menyebabkan bakteri perlu melakukan adaptasi dengan kondisi medium yang baru, yang memiliki karakteristik berbeda dengan medium awal. Bakteri yang akan diadaptasikan berasal dari medium limbah organik padat untuk isolat aerob, dan untuk isolat anaerob berasal dari medium Thioglycollate semi padat. Medium Thioglycollate merupakan medium pengaya yang mensuplai semua kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh bakteri anaerob sehingga bakteri mampu tumbuh optimum. Sedangkan medium yang akan digunakan adalah medium cair yang diolah dari limbah organik. Perpindahan dari medium pengaya ke medium limbah organik cair tanpa pengadaptasian akan menyebabkan stress pada bakteri. Oleh karena itu perlu adanya pengadaptasian untuk penyesuaian dengan lingkungan yang baru. Adaptasi dilakukan dengan tiga kali transfer adaptasi. Transfer adaptasi I merupakan perpindahan isolat dari medium awal ke medium limbah organik cair. Transfer II dilakukan dengan memindahkan inokulum dari transfer I yang berusia 24 jam ke medium limbah organik cair yang baru. Transfer III yaitu inokulum dari transfer kedua yang berusia 24 jam dipindahkan kembali ke medium limbah organik cair yang baru. Pada jam ke-24, 48, dan 72 setiap transfer diukur pertumbuhan bakterinya. Transfer dilakukan setiap 24 jam karena sebelum penelitian ini dilakukan, belum diketahui siklus pertumbuhan masing-masing isolat. Secara
57
umum bakteri telah melewati fase lag, log, stasioner dan kematian dalam waktu 24 jam. Gambar 10 menunjukkan kondisi pertumbuhan masing-masing isolat tersebut.
Sedangkan untuk isolat anaerob (BT3, BG2 dan BG4) terlihat bahwa walaupun dilakukan transfer tetapi pertumbuhannya masih cenderung lambat, kecuali untuk isolat BT3. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 11, pada transfer I angka absorbansi kekeruhan sel masih dibawah 0, atau belum terjadi adanya pertumbuhan. Oleh karena itu masa inkubasi diperpanjang hingga 48 jam.
Gambar 10. Adaptasi isolat bakteri aerob A6, A27, A31 dan K+ Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa isolat bakteri aerob A6, A27, dan A31 mengalami kenaikan pertumbuhan setelah mengalami tiga kali transfer adaptasi. Isolat bakteri A31 menunjukkan proses adaptasi yang signifikan mulai dari transfer I hingga transfer III. Berdasarkan Gambar 10, maka inokulum yang digunakan sebagai starter adalah inokulum yang berasal dari transfer III. Pada kontrol positif (Escherichia coli) juga terjadi pertumbuhan tinggi ketika sudah melewati proses transfer III. Hasil ini menunjukkan bahwa E. coli memang bakteri heterotroph universal yang mampu beradaptasi dan hidup pada segala jenis medium .
Gambar 11. Adaptasi bakteri anaerob isolat BT3, BG2, BG4 dan kontrol positif Isolat BT3 setelah melewati proses transfer II dan III, menunjukkan adanya pertumbuhan. Hasil ini menunjukkan bahwa hanya isolat bakteri BT3 mampu beradaptasi pada medium limbah organik cair setelah dipindahkan dari medium Thioglycollate. Sehingga isolat bakteri anaerob BT3 inilah yang selanjutnya digunakan sebagai isolat uji pertumbuhannya. Sebagai kontrol positif untuk
58
bakteri anaerob juga digunakan E.coli yang merupakan bakteri heterotroph yang bersifat fakultatif anaerob. Berdasarkan Gambar 11 menunjukkan bahwa setelah transfer III E.coli mampu beradaptasi dan mengalami pertumbuhan yang signifikan. Adanya pertumbuhan bakteri aerob (Gambar 10) dan anaerob (Gambar 11) pada medium limbah organik cair menunjukkan bahwa bakteri mampu memanfaatkan nutrisi yang ada pada medium tersebut. Menurut Afriani dan Lukman (2011), kebutuhan bakteri berupa: 1. Sumber energi yang dapat berasal dari cahaya (fototrof) dan karbon organik (kemoorganotrof) 2. Sumber karbon berupa karbon anorganik (karbon dioksida) dan karbon organik (seperti karbohidrat). 3. Sumber nitrogen dalam bentuk garam nitrogen anorganik (seperti kalium nitrat) dan nitrogen organik (berupa protein dan asam amino). 4. Unsur non logam seperti sulfur dan fosfor 5. Unsur logam (seperti kalium, natrium, magnesium, besi, tembaga). 6. Air untuk fungsi – fungsi metabolik dan pertumbuhan. Bakteri dapat tumbuh dalam medium yang mengandung satu atau lebih persyaratan nutrisi tersebut. Medium limbah organik cair yang digunakan dalam penelitian ini tidak dilakukan analisa komposisi penyusunnya, akan tetapi medium limbah organik cair ini diasumsikan mengandung nutrisi yang lengkap bagi bakteri, karena berasal dari limbah pasar yang mengandung air ikan, udang, cumi, juga potongan potongan ayam, dan insang ikan yang kaya akan karbohidrat, protein dan lemak. Selain itu, dalam medium limbah organik cair ini juga ditambahkan unsur Fe dari FeCl27H2O, NPK, dan urea, sehingga membantu bakteri dalam proses adaptasinya. Penambahan unsur Fe ini digunakan sebagai aktivator enzim hidrogenase dari bakteri sehingga bakteri mampu menghasilkan gas Hidrogen. Sedangkan khusus untuk medium anaerob, limbah organik cair juga ditambahkan Na2S yang berfungsi sebagai agen pereduksi yang mampu mereduksi oksigen yang terlarut dalam medium. 3.2 Pengaruh pH dan Cahaya terhadap Pertumbuhan Bakteri Aerob
Cahaya dan pH dapat mempengaruhi pola pertumbuhan bakteri. Pertumbuhan dapat berupa pertambahan volume dan ukuran sel dan juga sebagai pertambahan jumlah sel. Pada penelitian ini dilakukan uji pengaruh pH dan cahaya terhadap pertumbuhan bakteri. Bioreaktor yang digunakan adalah tabung reaksi yang berisi 10 ml medium dan inokulum sebanyak 10% dari total medium. Gambar 12 menunjukkan pertumbuhan isolat bakteri pada perlakuan I (perlakuan tanpa pengaturan pH) dan perlakuan II (perlakuan dengan pengaturan pH).
Gambar 12. Grafik pertumbuhan isolat bakteri aerob dalam tabung reaksi pada perlakuan I (tanpa pengaturan pH) dan perlakuan II (dengan pengaturan pH). Pada kedua grafik diatas (Gambar 12), terlihat bahwa telah terjadi kematian isolat bakteri pada hari ke-4, sehingga pada perlakuan II belum dilakukan pengaturan pH. Meskipun demikian, hasil pengukuran menunjukkan bahwa pH pada hari ke-4 masih tetap netral seperti hari ke-0. Penyebab kematian isolat bakteri
59
kemungkinan besar adalah terbatasnya jumlah medium yang digunakan sebagai sumber nutrisi. Medium limbah organik cair sebanyak 10 ml dalam tabung reaksi hanya cukup untuk memenuhi nutrisi bakteri 2 hari saja. Oleh karena itu perlu penambahan volume medium limbah organik cair yang mampu menyediakan nutrisi bagi bakteri hingga 30 hari masa inkubasi. Penambahan volume medium ini mengubah ukuran bioreaktor. Bioreaktor tabung reaksi diganti dengan gelas erlenmeyer 250ml. Bioreaktor yang baru berisi medium sebanyak 240 ml dan inokulum yang ditambahkan sebesar 10 ml. Jumlah medium dan inokolum adalah 250 ml, hal ini disengaja agar headspace bioreaktor tidak terlalu luas (Gambar 13). Sehingga diharapkan selama 30 hari masa inkubasi kondisi anaerob cepat terjadi. Kondisi anaerob akan mempercepat proses fermentasi untuk menghasilkan gas hidrogen.
Headspace
Gambar 13. Bioreaktor erlenmeyer 250 ml. Inokulum yang digunakan sebagai inokulum kerja selanjutnya adalah inokulum yang berasal dari bioreaktor tabung reaksi sebelumnya (Gambar 12). Pemilihan isolat kerja ini berdasarkan pertumbuhannya. Isolat yang memiliki pertumbuhan tinggi pada hari ke-2 (tanda lingkaran) itulah yang digunakan, yaitu isolat A6, A 27, dan A31. Pertumbuhan isolat bakteri aerob A6, A27 dan A31 pada bioreaktor Erlenmeyer 250 ml untuk perlakuan I dan perlakuan II selama 30 hari masa inkubasi dapat dilihat pada Gambar 14 sampai Gambar 18.
Gambar 14. Pertumbuhan isolat aerob dalam erlenmeyer 250 ml pada perlakuan I dan perlakuan II selama 30 hari masa inkubasi 51
tersedia dan mampu bertahan dalam kondisi tidak ada oksigen dengan melakukan fermentasi secara anaerob (Chong et al., 2009). Proses aerob biasanya menghasilkan biomassa dalam jumlah besar (66%) dan menghasilkan air, gas, asam organik (34%) (Sutapa, 1999). Berikut adalah reaksi yang terjadi pada proses aerob.
Berdasarkan Gambar 14 hingga Gambar 18 dapat dilihat bahwa pertumbuhan isolat bakteri aerob dari hari ke-2 sampai dengan hari ke-30 pada kedua perlakuan (perlakuan I dan II), telah memasuki fase kematian, kecuali pada isolat A6 yang cenderung stasioner. Pada penelitian ini tidak bisa menunjukkan semua fase pertumbuhan bakteri yang meliputi fase lag, fase log, fase stasioner, dan fase kematian. Fasefase tersebut hanya dapat diketahui apabila pertumbuhan bakteri diukur per jam selama 24 jam dan ditumbuhkan pada medium pengaya. Medium pengaya menyediakan nutrisi yang mudah untuk diabsorb dan dimanfaatkan oleh bakteri untuk memenuhi proses metabolismenya. Pada penelitian ini pengukuran dilakukan dalam rentang harian, untuk mengetahui pola pertumbuhan bakteri aerob penghasil gas hidrogen apabila diinkubasi selama 30 hari. Selain itu medium yang digunakan adalah medium limbah organik cair yang tidak diketahui komposisinya. Akan tetapi dalam medium limbah organik ini, diasumsikan mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan oleh bakteri, namun masih tersedia dalam bentuk kompleks, sehingga masih dibutuhkan adanya proses degradasi. Hasil ini (Gambar 14 - 18) menunjukkan bahwa semakin berkurang jumlah nutrisi, maka semakin menurun pula populasi bakteri. Pertumbuhan bakteri aerob pada kondisi gelap dan terang tidak menunjukkan perbedaan, kecuali isolat A6 perlakuan I (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa cahaya tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan isolat bakteri aerob. Isolat bakteri aerob dengan kode A6, A27 dan A31 merupakan bakteri yang termasuk dalam genus Bacillus Sp. berdasarkan karakteristik biokimia. Bakteri genus Bacillus merupakan organisme heterotroph (kemoorganotrof), yang menggunakan karbon organik sebagai sumber karbon dan elektron donor reaksi redoks dalam sistem transport elektron. Glukosa merupakan senyawa organik yang secara luas digunakan sebagai sumber karbon sekaligus sebagai sumber energi (Madigan et al., 2009). Pada isolat A6 perlakuan I, pemberian kondisi gelap menunjukkan grafik pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding perlakuan terang. Bakteri genus Bacillus merupakan bakteri yang bersifat fakultatif anaerob. Bakteri fakultatif anaerob akan memproduksi ATP melalui respirasi aerob ketika oksigen masih
Proses oksidasi dan sintesis: CHONS + O2 + Nutrien Bakteri CO2 + NH3 + C5H7NO2 (15) Proses respirasi endogenous: C5H7NO2 + 5 O2 5CO2 + 2H2O +NH3 + Energi (16) (Nurita, 2000). Berdasarkan hasil pengukuran pH, ternyata selama 30 hari inkubasi pH relatif stabil netral (Gambar 14-18). Sehingga untuk perlakuan II tidak pernah dilakukan pengaturan pH. Perlakuan I dan II seakan menjadi ulangan penelitian. Derajat keasaman (pH) tergantung pada banyak sedikitnya H+ dalam suatu medium yang menyebabkan medium menjadi asam. Keasaman terjadi karena adanya akumulasi asam-asam organik yang dihasilkan selama proses fermentasi. Proses fermentasi dapat terjadi dalam kondisi anaerobik atau dengan kondisi tanpa kehadiran oksigen. Hal ini karena dalam proses fermentasi tidak menggunakan oksigen sebagai akseptor elektron terakhir, akan tetapi menggunakan asam organik (Madigan et al., 2009). Produksi hidrogen oleh bakteri terjadi melalui proses fermentasi dengan menghasilkan asam asetat. Asam asetat (CH3COOH) termasuk dalam kategori asam lemah. Asam lemah dalam suatu medium akan sulit untuk menyebabkan perubahan pH medium dan cenderung mempertahankan pH, kecuali tersedia dalam jumlah yang melimpah (Svehla, 1979). Pada penelitian ini mungkin jumlah asam asetat yang dihasilkan melalui proses fermentasi dalam menghasilkan hidrogen mungkin dalam jumlah yang sedikit sehingga tidak mampu merubah pH medium dan cenderung mempertahankan pH awal (pH=7). Selain itu kestabilan pH ini dapat pula disebabkan karena adanya penambahan FeCl2 pada medium sebagai aktivator enzim hidrogenase. Gugus Fe dalam medium dapat mereduksi hasil akhir fermentasi H2 yang berupa asam asam organik seperti asam asetat, asam laktat, ethanol dan butanol untuk meningkatkan produksi hidrogen (Hawkes et al., 2002). Dengan demikian tidak adanya asam asam 51
52
organik hasil fermentasi, menyebabkan tidak terjadi perubahan pH medium selama 30 hari masa inkubasi (pH=7).
(b) (a) Gambar 19. Perbedaan warna dan ukuran substrat yang didegradasi bakteri E. coli (kontrol positif) (a) dan kontrol negatif (b) Perubahan warna medium dari kuning kecoklatan menjadi hitam juga mengindikasikan adanya reaksi biokimia yang terjadi pada medium. Reaksi biokimia yang terjadi karena adanya metabolisme yang dilakukan oleh bakteri untuk mendegradasi substrat dalam medium. Perubahan warna medium ini disebabkan karena adanya penambahan Fe2+ pada medium. Fe2+ ketika bertemu dengan O2 akan berubah menjadi FeO(OH) yang berwarna hitam, kemudian FeO(OH) selanjutnya diubah menjadi Fe2O3 dan H2O. Fe2O3 (ferric oxide) juga memiliki warna merah sampai coklat kehitaman (Greenwood, N. N.dan Earnshaw, A., 1997). 4 Fe + 3 O2 + 2 H2O → 4 FeO(OH) (17) 2 FeO(OH) → Fe2O3 + H2O (18) Ketersedian oksigen dalam bioreaktor aerob menyebabkan adanya ikatan antara O2 dan Fe2+ sehingga terjadi perubahan warna medium menjadi hitam. Adanya degradasi substrat ditunjukkan dengan perbedaan antara kontrol positif dan kontrol negatif seperti yang terlihat pada Gambar 19. Medium yang berisi bakteri mengalami perubahan konsistensi substrat menjadi halus, bening, dan berwarna hitam. Sedangkan medium kontrol negatif tetap memiliki konsistensi substrat yang kasar dan berbentuk gumpalan-gumpalan dengan warna kuning kecoklatan. 3.3 Pengaruh pH dan Cahaya terhadap Pertumbuhan Bakteri Anaerob Bakteri anaerob merupakan bakteri yang tidak menggunakan oksigen (O2) sebagai aseptor
elektron terakhir pada proses respirasinya (Madigan et al., 2009). Kehadiran oksigen dalam lingkungan bakteri anaerob obligat dapat menimbulkan toksik bagi bakteri. Ketika oksigen direduksi, maka dihasilkan beberapa produk yang bersifat toksik seperti hidrogen peroksida (H2O2), superoksida (O2-) dan hidroksil radikal (OH-) (Nelson et al., 2004). Ketidakmampuan toleransi terhadap oksigen oleh bakteri anaerob obligat karena bakteri tersebut tidak mampu mendetoksifikasi beberapa hasil metabolisme oksigen. Pada penelitian ini dilakukan penggantian oksigen di bagian headspace bioreaktor sehingga kondisi anaerob dapat terpenuhi. Selain itu menurut Nurfiningsih (2009), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan proses fermentasi bakteri anaerob diantaranya adalah keasaman (pH) dan cahaya. Berdasarkan proses adaptasi yang telah dilakukan sebelumnya, dari ketiga isolat bakteri anaerob obligat hanya satu isolat bakteri yang mampu tumbuh dan beradaptasi pada medium limbah organik cair. Bakteri tersebut adalah isolat dengan kode BT3. Selanjutnya isolat bakteri anaerob BT3 inilah yang diamati pertumbuhannya selama 30 hari masa inkubasi. Pertumbuhan isolat bakteri anaerob BT3, kontrol positif dan kontrol negatif dapat dilihat pada Gambar 20 sampai Gambar 22.
53
Gambar 16. Pertumbuhan isolat anaerob dalam erlenmeyer 250 ml pada perlakuan I dan perlakuan II.
Berdasarkan Gambar 16 dapat dilihat bahwa selama 30 hari masa inkubasi tidak terjadi perubahan pH, sehingga perlakuan II tidak perlu dilakukan pengaturan pH. Tidak adanya perubahan pH ini menyebabkan Perlakuan I dan II seolah tidak ada perbedaan perlakuan, melainkan dianggap sebagai ulangan penelitian. Kestabilan pH selama masa inkubasi, sama dengan isolat bakteri aerob pada pembahasan sebelumnya. Pertumbuhan isolat bakteri anaerob (BT3) dari hari ke-2 sampai dengan hari ke-30 pada kedua perlakuan (perlakuan I dan II), menunjukkan adanya fase lag, log dan stasioner. Pada kontrol positif memiliki pertumbuhan yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan isolat BT3, akan tetapi
pertumbuhan isolat BT3 selama 30 hari masa inkubasi, lebih tinggi dibanding kontrol positif. Meskipun sebelumnya sudah diadaptasikan dengan 3 kali transfer, isolat BT3 terdeteksi masih membutuhkan waktu adaptasi untuk tumbuh di medium limbah organik cair. Hal ini terlihat pada Gambar 16, dimana dari hari ke-0 sampai hari ke-2 masih memiliki pertumbuhan yang lambat (fase lag). Akan tetapi pada hari ke-4 sudah mulai terjadi peningkatan pertumbuhan hingga mencapai pertumbuhan optimum pada hari ke-18 (fase log). Fase stasioner terjadi setelah hari ke-18 hingga hari ke-30. Pada kontrol positif pada hari ke-2 sudah menunjukkan pertumbuhan yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan isolat BT3 dan hari ke-4 sudah memiliki pertumbuhan optimum dan
52
selanjutnya stasioner (Gambar 16). Hasil ini juga menunjukkan bahwa semakin berkurang jumlah nutrisi, maka semakin menurun pula populasi bakteri. Sedangkan untuk kontrol negatif, tidak terlihat adanya pertumbuhan. Pertumbuhan bakteri anaerob pada kondisi gelap dan terang tidak menunjukkan perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa cahaya tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan isolat bakteri anaerob. Bakteri anaerob yang digunakan belum diidentifikasi, sehingga belum dapat diketahui metabolisme yang digunakan dalam memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan penelitian ini, cahaya tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan isolat bakteri anaerob. Sehingga kemungkinan isolat bakteri BT3 merupakan mikroorganisme heterotroph (kemoorganotrof), yang menggunakan karbon organik sebagai sumber karbon dan elektron donor reaksi redoks dalam sistem transport elektron. Medium limbah organik cair dapat menyediakan sumber nutrisi yang lengkap bagi pertumbuhan bakteri anaerob. Bakteri anaerob obligat mampu mencerna bahan organik yang terkandung dalam medium limbah organik cair secara anaerobik. Pencernaan anaerobik merupakan proses untuk stabilisasi bahan organik, yang hadir dalam limbah biologis melalui kondisi anaerob. Degradasi bahan organik kompleks melibatkan kerusakan hampir semua jenis biomassa (limbah) menjadi senyawa terlarut (Kalia, 2007). Bakteri akan menggunakan bahan-bahan organik yang terkandung dalam limbah organik cair sebagai sumber nutrisinya, selain itu juga ada beberapa unsur kimia penting seperti N, P, K, Fe dan unsur lainnya yang digunakan sebagai nutrisi untuk pertumbuhan bakteri sehingga bakteri dapat tumbuh optimal. Perubahan warna medium pada medium yang berisi isolat bakteri BT3 terjadi lebih cepat dibandingkan dengan kontrol positif, pada hari ke-2 sudah menunjukkan perubahan medium dari kuning kecoklatan menjadi hitam (Gambar 17). Perubahan warna ini selain menunjukkan adanya proses metabolisme, juga diduga karena adanya reaksi yang terjadi antara FeCl2 dan Na2S yang ditambahkan pada medium. Reaksi 19 menunjukkan reaksi antara kedua senyawa tersebut menghasilkan garam dan FeS sehingga menyebabkan warna hitam (Svehla, 1979). FeCl2 + Na2S→ FeS + 2NaCl (19) (Svehla, 1979).
(a)
(b)
Gambar 17. Perubahan warna medium limbah organik cair setelah 2 hari masa inkubasi. (a) medium berisi isolat bakteri BT3, (b) medium kontrol negatif Adanya metabolisme secara anaerob yang dilakukan oleh bakteri, juga dibuktikan dengan adanya perubahan konsistensi substrat medium limbah organik cair. Medium yang berisi bakteri mengalami perubahan konsistensi substrat menjadi halus dan berwarna hitam hingga hari ke-30 masa inkubasi (hari terakhir inkubasi). Sedangkan medium kontrol negatif tetap memiliki konsistensi substrat yang kasar dan berbentuk gumpalan-gumpalan dengan warna kuning kecoklatan. IV.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Selama 30 hari masa inkubasi tidak menunjukkan adanya perubahan pH, akan tetapi terlihat perubahan konsistensi substrat kasar menjadi halus. 2. Cahaya tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan isolat bakteri aerob maupun anaerob. 3. Isolat bakteri anaerob memiliki pertumbuhan yang lebih lambat dibanding isolat aerob. Isolat bakteri aerob tidak terjadi adanya fase lag dan log, tetapi cenderung terjadi penurunan pertumbuhan secara terus menerus (fase kematian) selama 30 hari masa inkubasi. Isolat bakteri anaerob memiliki pertumbuhan yang lebih lambat, dimana terlihat fase lag pada hari ke-0 hingga hari ke-2, fase log pada hari ke-2 hingga ke-18 dan fase stasioner pada hari ke-18 hingga hari ke-30 masa inkubasi.
53
DAFTAR PUSTAKA Adams, Stiefel EI (1998), Biological H2 : Not So Elementary. Science. 282 :18421843. Afriani, Suryono dan H. Lukman. 2011. Karakteristik dadih susu sapi hasil fermentasi beberapa starter bakteri asam laktat yang diisolasi dari dadih asal kabupaten kerinci, Agrinak, Vol. 01. 3642 Agrawal, P., R. Hema, dan S. Mahesh kumar. 2007. Experimental Investigation on Biological Hydrogen Producing Using Different Biomass. Jurnal Teknologi Keluaran Khas. 47 : 13-24. Balat, Mustafa., Balat, Mamet. 2009. Political, Economic, and Environmental Impact of Biomass-Based Hydrogen. Int J Hydrogen Energy 34 : 3589-3603. Bolton JR. 1996. Solar photoproduction of H2. Sol Energy. 57 :37-50 Cairns D. 2009. Intisari Kimia Farmasi Edisi Kedua. Kedokteran EGC. Jakarta. Cai, Guiqin., Saint, Chris., Monis, Paul. Metabolic Flux Analysis of Hydrogen Production Network By Clostridium butyricum W5: Effect of pH and Glucose Concentrations. International Journal of Hydrogen Energy 35: 66816690.
Microbiology and Biotechnology 57(12):56-64. Chen W, Chen S, Kumar Khanal S, Sung S. 2006. Kinetic Study of Biological Hydrogen Product Ion by Anaerobic Fermentation. Int J Hydrogen Energy;31(15):2170-2178. Chong M, Rahim RA, Shirai Y, Hassan MA. 2009. Biohydrogen production by Clostridium butyricum EB6 from palm oil mill effluent. Int J Hydrogen Energy;34(2):764-771. Chong, Mei Ling., Sabaratnam, Vikyneswary., Shirai, Yoshihito., Hassan, Mohd Ali. 2009. Biohydrogen Production From Biomass And Industrial Wastes By Dark Fermentation. Int J of Hydrogen Energy 34: 3277-3287. Chung, K. T. dan M. P. Bryant. 1997. Robert E. Hungate : Pioneer of Anaerobic Microbial Ecology. Department of Microbiology and Molecular Cell Sciences, The University of Memphis, Memphis, TN 38152 Department of Animal Sciences, University of Illinois, Urbana, IL 61, U.S.A. Anaerob (3): 213217. Das, Debabrata., Veziroglu, T. Nejat. 2008. Advances In Biological Hydrogen Production Processes. Hydrogen Energy 33: 6046-6057.
ChangJ-S,Lee K-S, Lin P-J. 2002, Biohydogen Production With Fixed-Bed Bioreactor. Int J Hydrogen Energy 27 : 167-174.
Fascetti E, Todini O. 1995. Rhodobacter sphaeroides RV Cultivation and H 2 Production in a One-And Two-Stage Chemostat. Appl Microbiol Biotechnol 22:300-305.
Chen, G. dan L. Zhao. 2001. Preliminary Investigation on Hydrogen-Rich Gas Production by co Steam Reforming of Biomass and Crude Glycerin. International Journal of Hydrogen Energy: 1–9.
Gallert, C dan J. Winter. 2005. Bacterial Metabolism in Wastewater Treatment Systems. Environmental Biotechnology. Concepts and Applications.
Chen CC, Lin CY, Chang JS. 2005. Kinetics of Hydrogen Production With Continuous Anaerobic Cultures Utilizing Sucrose as The Limiting Substrate. Applied
Ghiradi ML, Zhang L, Lee JW, Flynn T, Seibert M,Greenbaum E, Melis A. 2000. Microalgae: a Green Source of Renewable Hydrogen. Trends Biotechnology;18:506-511.
54
Greenwood, N. N.; Earnshaw, A. 1997. Chemistry of the Element (2nd ed.). Oxford: Butterworth-Heinemann. Guo, Xin Mei., Trably, Eric., Latrille, Eric., Carrere,Helene., Steyer, Jean Philiph., 2010. Hydrogen Production From Agricultural Waste By Dark Fermentation: Review. International Journal Of Hydrogen Energy. 35:1066010673. Hafez. Hisham., George. 2009. Comparative Assessment of Decoupling of Biomass and Hydraulic Retention Time In Hydrogen Production Bioreactor. Int J of hydrogen energy. 34:7603-7611. Hallenbeck, Patrick., Hashesh, Mona Abo., Ghosh, Dipankar. 2012. Strategies for Improving Biological Hydrogen Production. Bioresource technology: 19. Han
SK, Shin HS. 2004. Biohydrogen Production by Anaerobic Fermentation of Food Waste. International Journal of Hydrogen Energy 29(6):569-577.
Hawkes FR, Dinsdale R, Hawkes DL, Hussy I. 2002. Sustainable Fermentative Hydrogen Production: Challenges For Process Optimisation. Int J Hydrogen Energy;27(11-12): 1339-1347. Hussy I., Hawkes F. R., Dinsdale R., dan Hawkes D. L. 2003. Continuous Fermentative Hydrogen Production From A Wheat Starch Co-Product by Mixed Microflora. Biotechnology and Bioengineering. 84 (6) : 619-626. Kalia, V.C. 2007. Applied Microbiology : Microbial Treatment of Domestic and Industrial Wastes for Bioenergy Production. Microbial Biotechnology and Genomics, Institute of Genomics and Integrative Biology. http://nsdl.niscair.res.in/bitstream/12345 6789/650/1/DomesticWaste.pdf diakses pada tanggal 06 juli 2012 pukul 15.46 wib.
Karlsson A, Valli n L, Ejler tsson J. 2008. Effects of Temperature, Hydraulic Retention Time and Hydrogen Extraction Rate on Hydrogen Production From The Fermentation of Food Industry Residues And Manure. Int J Hydrogen Energy; 33(3):953-962. Khanal, Samir Kumar., Chen, Wen-Hsing., Li, Ling., Sung, Shihwu. 2004. Biological Hydrogen Production: Effect of pH and Intermediet Products. Hydrogen energy 29: 1123-1131. Kirtay,
Elif. 2011. Recent Advances In Production of Hydrogen From Biomass. Energy Conversion And Management 52:1778-1789.
Kusdriana, D. 2011. Penawaran Daftar Peraturan Limbah B3 Di Indonesia. http://mediadata.co.id/REGIND2011/Daftar-Peraturan-Limbah-B3-diIndonesia-2011.pdf diakses pada tanggal 04 Desember 2011 pukul 05.39 wib. Kusnoputranto, H. 1985. Kesehatan Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Jakarta. Lara, C., E. Latrille, T. Conte, N. Bernet, P. Buffiere, dan J. Steyer. 2011. Optimization of Hydrogen Production in Anaerobic Digestion Processes. Prancis. Lay JJ, Fan KS, Chang J, Ku CH. 2003. Influence of Chemical Nature of Organic Wastes on Their Conversion to Hydrogen by Heat-Shock Digested Sludge. International Journal of Hydrogen Energy 28(12):1361-1367. Lay JJ, Li YY, Noike T. 1997. Influences of Ph And Moisture Content on The Methane Production In High-Solids Sludge Digestion. Water Research 31(6):15181524. Lee, Y. J., Miyahara T., dan Noike T. 2001. Effect of Iron Concentration on Hydrogen Fermentation. Bioresource Technology. 80 (3) : 227-231.
55
Teknologi Bioindustri BPPT. http://www.analitik.chem.its.ac.id/attach ments/-01_03-%20Mahyudin.pdf diakses pada tanggal 21 Desember 2011 pukul 11.15 WIB.
Lee YJ, Miyahara T, Noike T. 2010. Effect Of Iron Concentration on Hydrogen Fermentation. Bioresource Technology 80(3):227-231. Levin DB, Pitt L, Love M. 2004. Biohydrogen Production: Prospects And Limitations to Practical Application. Int J Hydrogen Energy;2 (9):173 e 85.
Miyake, J., T. Matsunaga, dan A. San Pietro. 1982. Biohydrogen II. Elsevier Science Ltd. Oxford.
Li C, Fang HHP. 2007. Fermentative Hydrogen Production from Waste Water and Solid Wastes by Mixed Cultures. Cr it Rev Environ SciTechn ol;37(1):1 e 39.
Nandi
Liang T-M. 2003. Application of Membrane Separation on Anaerobic Hydrogen Producing Process. Phd Thesis Department of environmental engineering, national Cheng Kung University.
Nath A, Dixi t M, Bandiya A, Chavda S, Desai AJ. 2008. Enhanced PHB Production and Scale up Studies Using Cheese Whey in Fed Batch Culture of Methylobacterium sp. ZP24. Biores Technol;99:574 9–55.
Liu, G. dan J. Shen. 2004. Effects of Culture and Medium Conditions on Hydrogen Production from Starch Using Anaerobic Bacteria. Journal Of Bioscience And Bioengineering. 98 (4) : 251 – 256.
Nath, Kaushik., Das, Debobrata. 2009. Effect of Light Intensity and Initial pH During Hydrogen Production by an Integrated Dark and Photofermentation Process. Int J Of Hydrogen Energy 34: 7497-7501
Liu, Dawei. 2008. Bio-Hydrogen Production by Dark Fermentation from Organic Waste and Residues. Department of Environmental Engineering Technical University of Denmark. ISBN : 978-8791855-52-8. Liu D, Zeng RJ, Angelidaki I. 2008. Effects of pH and Hydraulic Retention Time on Hydrogen Production Versus Methanogenesis During Anaerobic Fermentation of Organic Household Solid Waste Under ExtremeThermophilic Temperature (70°C). Biotechnology and Bioengineering. Accepted. Madigan, M. T dan J. M. Martinko. 2009. Brock; Biology Of Microorganism. 8th edition. Pearson Prentice Hall, USA Mahyudin, A. R dan Koesnandar. 2006. Biohydrogen Production: Prospects and Limitations to Practical Application. Pusat Pengkajian dan Penerapan
R, Sengupta S. 1998. Microbial production of hydrogen: an overview. Critical Reviews in Microbiology 24(1):61-84.
Nelson, D. L. dan Michael M. C. 2004. Lehninger: Principles Of Biochemistry. 4th edition. Worth Publishers. Inc, New York Nurfiningsih. 2009. Pembuatan Nata de Corn dengan Acetobacter Xylinum. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/1477/1/Copy_o f_makalah_nurfiningsih.pdf diakses pada tanggal 1 Juli 2012 pukul 00.47 wib Nurita, S. 2010. Pengolahan Limbah Cair dengan Menggunakan Lumpur Aktif dan Mikroorganisme. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/1477/1/Copy_o f_skripsi_nurita_sukma.pdf diakses pada tanggal 1 Juli 2012 pukul 00.47 wib Noike T, Mizuno O. Hydrogen fermentation of organic municipal wastes. Water Sci Technol 2000;42(12):155-162.
56
Rachman, M A. 1997. Peningkatan Produksi Gas Hidrogen pada Fermentasi Glukosa oleh Enterobacter aerogenes. Bioteknologi Biomasa BPPT. Jakarta.
Svehla G., 1979. Vogel’s:textbook of macro and semimicro qualitative inorganic analysis. Fifth edition, Longman inc. New York.
Reith J, Wijffels R, Barteb H. 2003. Biomethane & Bio-hydrogen: Status and perspectives of biological methane and hydrogen production http://gasunie.eldoc.ub.rug.nl/root/2003/ 3339875/ . Diakses pada tanggal 5 Desember 2011 pukul 13.08 WIB.
Tamagnini, P., Axelsson R., Lindberg P., Oxelfelt F., Wunschiers R., dan Lindblad P. 2002. Hydrogenases and Hydrogen Metabolism of Cyanobacteria. Microbiology and Molecular Biology Reviews. 66 (1) :1-9.
Ren, N, Wang, Aijie A., Cao, G., Xu, J., Gao, L. 2009. Bioconversion of Lignocellulosic Biomass to Hydrogen: Potential and Challenges. Biotechnology Advances 27: 1051-1060. Sheth, Pratik., Babu, B.V., 2010. Production of Hydrogen Energy Through Biomass (Waste Wood) Gasification. Int J Of Hydrogen Energy. 35:10803-10810. Sukawati, T. A. 2008. Penurunan Konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) Pada Air Limbah Laundry Dengan menggunakan Reaktro Biosand Filter Diikuti Dengan Reaktor Activated Carbon. TugasAkhir Universitas Islam Indonesia TA/TL/2008/0279. Sung,
S., Raskin, L., Duangmanes, T., Padmasiri, S., Simmons, J.J. 2002. Hydrogen Production by Anaerobic Microbial Communities Exposed to Repeated Heat Treatments. Hydrogen. NREL/CP-610-32405.
Tanisho S, Kuromoto M, Kadokura N. 1998. Effect of CO2 Removal on Hydrogen Production by Fermentation. International Journal of Hydrogen Energy 23(7):559-563. Temudo MF, Kleerebezem R, van Loosdrecht M. 2007. Influence of the pH on (open) mixed culture fermentation of glucose: A chemostat study. Biotechnology and Bioengineering 98(1):69-79. Underwood A. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga. Visvanathan,C.2005. Mechanical Biological Pre-Treatment of Solid Waste Prior to Landfill. International Conference on Integrated Solid Waste management in Southest Asian Cities : Thailand. SIDA. Wang J, Wan W. 2009. Factors influencing fermentative hydrogen production: a review. Int J Hydrogen Energy;3 4(2): 799 - 811.
Sung, Shihwu. 2004. Hydrogen Production From Renewable Organic Wastes. Final Technical Report. DOE award no: DEFC36-00G010530.
Warthmann, R., Pfennig, N. dan Cypionka, H. 1993. The Quantum Requirement for HE Production by Anoxygenic Phototrophic Bacteria. Appl. MicrobioL Biotechnol. 39 : 358-362.
Suprihatin, A. 1999. Panduan Pengelolaan Sampah. PPPGT/VEDC Malang dan Swisscontact, Malang.
Widdel, F. 2007. Theory and measurement of bacterial growth. Universitas Bremen. Jerman.
Sutapa, DAI. 1999. Lumpur Aktif : Alternatif Pengolah Limbah Cair. Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakatan & Lingkungan; No.3; 25-38, Peneliti Puslitbang Limnologi-LIPI, Cibinong.
Wirda,
F. R dan Handajani, M. 2009. Degradation of Organic Compound in Liquid Phase of Biowaste With Wash Water Variation at Ratio 1:2 In Reaktor Batch. Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan
57
Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. www.ftsl.itb.ac.id/kk/air.../PISW6-Feby-Riyani-Wirda-15305090.pdf diakses pada tanggal 13 Februari 2011 pukul 12.22 wib. Zhang ML, Fan Y, Xing Y, Pan C, Zhang G, Lay J. 2009. Enhanced Biohydrogen Production from Cornstalk Wastes with Acidification Pretreatment by Mixed Anaerobic Cultures. Int J Hydroge n Energy;31(4):250-254.