BAKTERI PENGHASIL BIOSURFAKTAN DARI LINGKUNGAN TERCEMAR LIMBAH MINYAK DAN POTENSINYA DALAM MENDEGRADASI HIDROKARBON AROMATIK POLISIKLIK (HAP)
TRI HANDAYANI KURNIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Lingkungan Tercemar Limbah Minyak dan Potensinya dalam Mendegradasi Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016
Tri Handayani Kurniati NIM G361110061
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
RINGKASAN TRI HANDAYANI KURNIATI. Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Lingkungan Tercemar Limbah Minyak dan Potensinya dalam Mendegradasi Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP). Dibimbing oleh IMAN RUSMANA, ANI SURYANI, dan NISA RACHMANIA MUBARIK. Biosurfaktan merupakan senyawa aktif permukaan yang disintesis oleh mikrob. Senyawa ini terdiri dari gugus hidrofilik dan hidrofobik dan memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan suatu cairan dan tegangan antar muka antara dua fase yang berbeda serta meningkatkan stabilitas emulsi. Biosurfaktan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan surfaktan sintetik antara lain, tingkat toksisitas rendah, tidak menimbulkan alergi, kemampuan biodegradasi lebih tinggi, serta memiliki aktivitas yang tinggi pada suhu, pH dan salinitas yang ekstrim. Selain itu biosurfaktan dapat disintesis dari bahan baku terbarukan. Aplikasi biosurfaktan mencakup banyak bidang termasuk bioremediasi lingkungan yang tercemar minyak, pengeboran minyak mentah, enhanced oil recovery (EOR), produk perawatan kesehatan maupun industri makanan. Peran utama biosurfaktan dalam bioremediasi adalah sebagai pemicu bioavailabilitas polutan sehingga dapat digunakan oleh mikrob yang terlibat dalam proses biodegradasi. Pencemaran minyak di lingkungan telah menjadi ancaman bagi ekosistem dan manusia melalui masuknya bahan organik beracun termasuk hidrokarbon aromatik polisiklik (HAP) ke lingkungan. HAP adalah molekul organik yang terdiri dari dua atau lebih cincin aromatik yang menyatu dalam berbagai konfigurasi struktural. Kontaminasi HAP di lingkungan menjadi perhatian lebih karena senyawa ini merupakan kontaminan yang dapat tersebar luas dan bersifat sangat beracun, mutagenik dan karsinogenik. Banyak bakteri dapat menghasilkan biosurfaktan yang memungkinkan mereka untuk mendegradasi atau mengubah senyawa organik yang tidak larut seperti halnya produk minyak bumi. Oleh karena itu, daerah yang tercemar minyak bumi dan limbah industri berpotensi sebagai sumber bakteri penghasil biosurfaktan dan pendegradasi hidrokarbon. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat bakteri indigenous penghasil biosurfaktan dan pendegradasi hidrokarbon dari lingkungan tercemar limbah minyak di teluk Jakarta. Selain itu penelitian ini juga bertujuan mendeteksi gen dioksigenase yang bertanggungjawab dalam proses degradasi serta mengkaji aktifitas biosurfaktan yang dihasilkan melalui pengukuran tegangan permukaan dan kemampuan emulsifikasi. Penapisan isolat bakteri penghasil biosurfaktan dilakukan melalui uji aktivitas hemolitik, drop collapse assay dan oil spreading test. Di antara 113 isolat, 46 isolat menunjukkan hasil positif dalam dua atau tiga uji. Sebanyak 10 isolat mampu tumbuh dalam medium yang mengandung crude oil dan HAP dan berhasil diidentifikasi. Identifikasi isolat dilakukan melalui analisis 16S rRNA. Isolat yang diperoleh teridentifikasi sebagai Micrococcus endophyticus (CRN3), Pseudomonas stutzeri (CRN 13), Stenotrophomonas acidaminiphila (CHN 24), Bacillus pumilus (CHN 27), Ochrobactrum intermedium (AMA 9), Pseudomonas
stutzeri (CRA 7), Ochrobactrum tritici (CHA 60), Gordonia cholesterolivorans (AMP 10), Bacillus subtilis (RIP 43), dan Micrococcus yunnanensis (CHP 29). Hasil uji pertumbuhan dan degradasi HAP menunjukkan tiga isolat bakteri yaitu Bacillus pumilus (CHN 27), Ochrobactrum intermedium (AMA 9), dan Gordonia cholesterolivorans (AMP 10) berturut-turut memiliki kemampuan mendegradasi naftalena, antrasena dan pirena. Penelitian ini melaporkan pemanfaatan pirena oleh bakteri G. cholesterolivorans untuk pertama kalinya. Analisis parameter pertumbuhan menunjukkan bahwa G. cholesterolivorans AMP 10 memiliki pertumbuhan terbaik pada konsentrasi pirena 50 mg/L dengan persentase degradasi 96,6% dalam waktu tujuh hari. Hasil analisis nested PCR mengungkapkan bahwa isolat ini memiliki gen nahAc yang mengkode enzim dioksigenase untuk degradasi awal HAP. Hasil pengamatan terhadap tegangan permukaan dan indeks emulsifikasi menunjukkan biosurfaktan yang dihasilkan oleh AMP 10 ketika ditumbuhkan pada substrat glukosa dapat menurunkan tegangan permukaan medium dari 71,3 mN / m menjadi 24,7 mN / m dan mampu membentuk emulsi yang stabil dalam minyak pelumas bekas dengan nilai indeks emulsifikasi sebesar 74%. Berdasarkan hasil penelitian dapat diusulkan bahwa bakteri G. cholesterolivorans AMP10 merupakan kandidat yang baik untuk bioremediasi lingkungan yang terkontaminasi HAP. Kata kunci: bakteri, biosurfaktan, degradasi HAP, dioksigenase, Gordonia cholesterolivorans AMP10
SUMMARY TRI HANDAYANI KURNIATI. Biosurfactant Producing Bacteria from Oil Contaminated Environment and Its Potential in Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) Degradation. Supervised by IMAN RUSMANA, ANI SURYANI, dan NISA RACHMANIA MUBARIK. Biosurfactants are surface active compound made up of a hydrophilic and a hydrophobic moiety synthesized by microorganisms. These compounds have ability to reduce surface and interfacial tension of liquids between two different phases and also to increase emulsion stability. Biosurfactants have several advantages compare with chemically synthesized surfactant such as less toxic, higher biodegradability, high activity at extreme temperature, pH and salinity and the ability to be synthesized from renewable feedstock. Application of biosurfactants covers many environmental sectors including bioremediation of oil polluted environment, crude oil drilling, enhanced oil recovery (EOR), lubricant, health personal care and food processing. In bioremediation applications biosurfactants play main role in promoting the bioavailability of the pollutants to the microorganisms involved in biodegradation process. Oil spillage and oil pollution in the environment have been a threat to the ecosystem and human being through the transfer of toxic organic materials including polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH). PAH are organic molecules composed of two or more aromatic (benzene) rings which are fused together in various structural configurations. PAHs contamination is a severe environmental concern since this compounds are the ubiquitous persistent contaminant that highly toxic, mutagenic and carcinogenic. Many bacterial type can produce biosurfactants which allow them to degrade or transform the insoluble organic compounds such as petroleum products. Therefore, petroleum hydrocarbon and industrial oils contaminated area was a potential source to obtain biosurfactant-producing and hydrocarbon degrading bacteria. The objectives of this research were to obtain indigenous biosurfactantproducing and PAH-degrading bacteria from oil contaminated soil in Jakarta bay. In addition, this study also aimed at detecting dioxygenase genes responsible for the degradation process and review the activities of biosurfactant produced by measuring the surface tension and emulsification ability. The isolates were screened for biosurfactant production using hemolytic activity, drop collapse test and oil spreading assay. Among 113 isolates, 46 isolates showed positive result in two or more test. Only ten isolates were able to grow in medium supplemented with crude oil and polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH). Identification of isolates were done by using 16S rRNA analysis. The isolates were identified as Micrococcus endophyticus (CRN3), Pseudomonas stutzeri (CRN 13), Stenotrophomonas acidaminiphila (CHN 24), Bacillus pumilus (CHN 27), Ochrobactrum intermedium (AMA 9), Pseudomonas stutzeri (CRA 7), Ochrobactrum tritici (CHA 60), Gordonia cholesterolivorans (AMP 10), Bacillus subtilis (RIP 43), and Micrococcus yunnanensis (CHP 29).
The results of growth and PAH degradation demonstrate that three isolates of bacteria such as B. pumilus (CHN 27), O. intermedium (AMA 9), and G. cholesterolivorans (AMP 10) have the ability to degrade naphthalene, anthracene and pyrene, respectively. This study reported the utilisation of pyrene by G. cholesterolivorans for the first time. Analysis of microbial growth parameters showed that the novel strain of G. cholesterolivorans AMP 10 grew best at 50 µg mL−1 pyrene concentration, leading to 96.6 % degradation of pyrene within 7 days. The result of nested PCR analysis revealed that this isolate possessed the nahAc gene which encodes dioxygenase enzyme for initial degradation of PAH. Observation of both surface tension and emulsifying activities indicated that biosurfactants which produced by AMP 10 when grown on glucose could reduce the surface tension of medium from 71.3 mN/m to 24.7 mN/m and formed a stable emulsion in used lubricant with an emulsifying index (E24) of 74%. According to the results, it is suggested that the bacterial isolates G. cholesterolivorans AMP10 was a good candidate for bioremediation of PAHcontaminated environment. Keywords: bacteria, biosurfactant, PAH degradation, dioxygenase, Gordonia cholesterolivorans AMP10
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
BAKTERI PENGHASIL BIOSURFAKTAN DARI LINGKUNGAN TERCEMAR LIMBAH MINYAK DAN POTENSINYA DALAM MENDEGRADASI HIDROKARBON AROMATIK POLISIKLIK (HAP)
TRI HANDAYANI KURNIATI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Djumali Mangunwidjaja, DEA Dr. Wibowo Mangunwardoyo, MSc.
Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi: Prof. Dr. Djumali Mangunwidjaja, DEA Dr. Wibowo Mangunwardoyo, MSc.
Judul Disertasi
: Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Lingkungan Tercemar Limbah Minyak dan Potensinya dalam Mendegradasi Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP)
Nama
: Tri Handayani Kurniati
NIM
: G361110061
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Iman Rusmana, MSi Ketua
Prof Dr Ir Ani Suryani, DEA
Dr Nisa Rachmania Mubarik, MSi
Anggota
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Mikrobiologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr rer nat Anja Meryandini, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian Tertutup : 26 Juli 2016
Tanggal Lulus:
Tanggal Sidang Promosi: 30 Agustus 2016
PRAKATA Alhamdulillahhirobbil’alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Lingkungan Tercemar Limbah Minyak dan Potensinya dalam Mendegradasi Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian penulis sejak pertengahan tahun 2013 hingga pertengahan tahun 2015 dengan harapan dapat memberikan kontribusi di bidang lingkungan khususnya pemanfaatan bakteri dalam pengelolaan limbah minyak. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Iman Rusmana, MSi. selaku Ketua Komisi Pembimbing beserta Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA, dan Dr. Nisa Rachmania Mubarik, MSi. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran semenjak penyusunan proposal hingga terselesaikannya disertasi ini. Terima kasih pula kepada Prof. Dr. Djumali Mangunwidjaya, DEA dan Dr. Wibowo Mangunwardoyo, MSc. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan sidang promosi yang telah memberikan banyak masukan dan saran untuk perbaikan penulisan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Negeri Jakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menempuh pendidikan S3, kepada Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa program S3 serta kepada Fakultas MIPA UNJ yang telah memberikan dana penelitian BLU 2013 dan 2015. Terima kasih pula kepada Ketua Program Studi Biologi dan Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Negeri Jakarta yang telah memberikan ijin penggunaan Laboratorium Mikrobiologi dan Ekologi. Terima kasih penulis sampaikan untuk teman-teman MIK 2011, Susan Soka, Marini Wijayanti, Ifah Munifah dan Roni Ridwan, atas persahabatan, bantuan dan dukungan selama studi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dra. Muzajjanah MKes, Dra.Yoswita Rustam, MSi, Dr. Dalia Sukmawati, MSi, Irfan Suwondo, Nurlaila Khairunnisa, Neni Inayah dan tim peneliti di laboratorium Mikrobiologi, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan kerjasama yang diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Mieke Miarsyah, MSi, Dr. Reni Indrayanti, MSi, dan M. Isnin Noer SSi, MSi atas semua bantuan dan dukungan yang diberikan serta kepada laboran Biologi, ibu Deselina yang selalu siap membantu kegiatan penelitian. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis tujukan kepada suami tercinta Edy Yanto dan kedua putri kami Nisrina Rizka Auliani dan Fakhira Rahmadiani atas doa, cinta, pengertian dan dukungannya sehingga penulis dapat menjalani masa-masa sulit selama studi. Doa dan terima kasih tiada terhingga penulis sampaikan kepada almarhumah ibunda Hj Suwarti dan almarhum ayahanda S. Oemari yang telah membesarkan, membimbing dan meletakkan dasar pemahaman akan pentingnya pendidikan sehingga penulis sampai ke tahap saat ini. Penulis mengharapkan semoga hasil penelitian dan disertasi ini dapat memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan dan bermanfaat baik bagi penulis maupun masyarakat pada umumnya. Bogor, September 2016 Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Hipotesis Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kebaruan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Biosurfaktan Bakteri Penghasil Biosurfaktan Hidrokarbon aromatik polisiklik (HAP) Bakteri Pendegradasi HAP Biosurfaktan dan Biodegradasi HAP METODE Pengambilan Sampel Kultur Pengayaan dan Isolasi Bakteri Penapisan Bakteri Penghasil Biosurfaktan Uji Kemampuan Tumbuh Bakteri pada Medium Hidrokarbon Pengukuran Aktivitas Emulsifikasi Pengamatan Morfologi Sel dan Tipe Gram Isolasi DNA dan Analisis Gen 16S rRNA Pertumbuhan Bakteri dan Degradasi HAP Deteksi Gen Pengkode Enzim Dioksigenase Pengukuran Tegangan Permukaan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
xi xii xiii 1 1 2 3 3 3 4 4 6 7 8 9 11 12 12 13 13 14 14 14 15 15 16 17 29 45 45 46 54 63
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Primer spesifik yang digunakan untuk mendeteksi gen penyandi enzim dioksigenase Jumlah isolat bakteri yang diperoleh dari setiap lokasi pengambilan sampel Hasil pengukuran aktivitas hemolitik, drop collapse test dan oil spreading assay Karakteristik degradasi minyak mentah oleh isolat bakteri penghasil biosurfaktan asal teluk Jakarta Hasil uji verifikasi pertumbuhan bakteri dalam MSM+HAP Hasil identifikasi bakteri penghasil biosurfaktan berdasarkan sekuen 16 rRNA Nilai indeks stabilitas emulsi (E24) yang dihasilkan oleh isolat bakteri penghasil biosurfaktan Laju pertumbuhan spesifik () dan waktu generasi (g) ketiga jenis bakteri Kecepatan degradasi HAP oleh isolat bakteri penghasil biosurfaktan dan pendegradasi hidrokarbon Hasil analisis sekuen gen penyandi enzim dioksigenase dari bakteri pendegradasi HAP Nilai tegangan permukaan dan indeks emulsifikasi (E24) yang dihasilkan isolat bakteri pada tiga sumber karbon yang berbeda Reaksi mineralisasi setengah sel HAP pada suhu 25oC, pH 7 Nilai energi bebas (Go) dari HAP Naftalena, Antrasena dan Pirena
15 17 18 20 21 22 24 27 27 28 29 39 39
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15
16 17 18
Struktur umum beberapa biosurfaktan glikolipid Struktur fisik dan kimia beberapa jenis senyawa HAP Diagram alir penelitian Peta lokasi pengambilan sampel di kawasan Teluk Jakarta Hasil uji penapisan bakteri penghasil biosurfaktan Visualisasi produk PCR gen 16S rRNA dari 7 isolat bakteri Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan sekuen 16 S rRNA dari 10 isolat bakteri menggunakan analisis Neighbor-Joining dengan metode Maximum-Likelihood dan analisis Bootstrap 1000x replikasi. Pertumbuhan bakteri Bacillus pumilus CHN27 pada MSM cair dengan konsentrasi naftalena 50 dan 100 mg/L Persentase degradasi naftalena oleh Bacillus pumilus CHN27 pada konsentrasi 50 dan 100 mg/L Pertumbuhan bakteri Ochrobactrum intermedium AMA 9 pada MSM cair dengan konsentrasi antrasena 50 dan 100 mg/L Persentase degradasi antrasena oleh Ochrobactrum intermedium AMA 9 pada konsentrasi 50 dan 100 mg/L Pertumbuhan bakteri Gordonia cholesterolivorans AMP 10 pada MSM cair dengan konsentrasi naftalena 50 dan 100 mg/L Pertumbuhan bakteri Gordonia cholesterolivorans AMP 10 pada MSM cair dengan konsentrasi naftalena 50 dan 100 mg/L Hasil elektroforesis produk PCR gen dioksigenase Efek ramnolipid yang dihasilkan oleh bakteri Pseudomonas spp terhadap pembentukan misel dan pengambilan senyawa hidrokarbon pada minyak Lintasan utama degradasi aerobik naftalena oleh bakteri Jalur degradasi antrasena oleh bakteri Mycobacterium sp PYR-1 Jalur degradasi pirena oleh bakteri Mycobacterium sp. AP1
4 7 11 12 19 22 23 25 25 26 26 26 27 28 32
35 36 38
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5
Hasil pengujian degradasi HAP terhadap isolat bakteri penghasil biosurfaktan Kromatogram GC-MS dari isolat CHN 27 menunjukkan penurunan peak area naftalena setelah 5 hari inkubasi. Kromatogram GC-MS dari isolat AMA 9 menunjukkan penurunan peak area antrasena setelah 7 hari inkubasi Kromatogram GC-MS dari isolat Gordonia cholesterolvorans AMP 10 menunjukkan penurunan peak area pirena setelah 7 hari inkubasi Kromatogram GC-MS dari isolat Gordonia cholesterolvorans AMP 10 menunjukkan penurunan peak area pirena setelah 7 hari inkubasi
53 55 56 58 60
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu masalah lingkungan yang utama saat ini adalah kontaminasi hidrokarbon yang dapat berasal dari proses alami dan antropogenik. Meskipun proses alami dapat berkontribusi dalam masuknya hidrokarbon ke lingkungan, aktivitas manusia seperti dalam industri minyak dan produk minyak bumi merupakan penyebab utama pencemaran air dan tanah. Minyak bumi merupakan campuran cairan yang terdiri hidrokarbon kompleks (Das dan Chandran 2011; Jahangeer dan Kumar 2013). Tumpahan dan pencemaran minyak di lingkungan telah menjadi ancaman bagi ekosistem dan manusia melalui paparan bahan organik beracun termasuk hidrokarbon aromatik polisiklik (HAP). HAP adalah molekul organik yang terdiri atas dua atau lebih cincin aromatik (benzene) yang menyatu bersama-sama dalam berbagai konfigurasi struktural. Kontaminasi HAP merupakan masalah lingkungan yang serius karena senyawa ini bersifat sangat beracun, mutagenik dan karsinogenik. Masuknya senyawa HAP dari berbagai sumber seperti kebakaran hutan, gunung meletus, tumpahan minyak, lalu lintas kapal, pembakaran bahan bakar fosil, limpasan gas dan tar batubara, pengolahan kayu, bahan bakar kendaraan, serta limbah industri telah menyebabkan akumulasi signifikan dari HAP di lingkungan (Luan et al. 2006; FernandezLuqueno et al. 2011). Teluk Jakarta yang terletak di sebelah utara kota Jakarta, merupakan perairan dangkal dengan luas sekitar 514 km2. Di teluk ini bermuara 13 sungai yang melintasi kota Jakarta. Perkembangan kota Jakarta yang pesat menyebabkan teluk Jakarta tercemar berat sebagai akibat dari aktivitas manusia. Menurut data dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, dalam 10 tahun terakhir Teluk Jakarta telah mengalami pencemaran yang melebihi ambang batas. Setidaknya 83% dari 13 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta telah masuk dalam kategori tercemar berat. Sungai-sungai tersebut membawa berbagai macam jenis limbah yang bersifat toksik ke perairan teluk Jakarta, diantaranya adalah senyawa organik HAP (Ahmad 2012). Degradasi secara biologis telah diterima secara luas sebagai mekanisme utama untuk menghilangkan polutan organik di lingkungan, namun aktivitas mikrob pendegradasi bergantung pada banyak faktor, termasuk serapan kontaminan dan bioavailabilitas, konsentrasi, toksisitas, mobilitas, akses ke nutrisi lainnya, dan enzim yang dimilikinya. Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap polusi lingkungan telah mempengaruhi pencarian dan pengembangan teknologi untuk membersihkan kontaminan organik dan anorganik di lingkungan seperti hidrokarbon dan logam. Metode alternatif dan ramah lingkungan yang saat ini banyak dikembangkan dalam teknologi remediasi lingkungan yang tercemar polutan adalah penggunaan biosurfaktan dan mikrob penghasil biosurfaktan (Pacwa-Płociniczak et al. 2011). Peningkatan minat ini disebabkan oleh fakta bahwa surfaktan dapat meningkatkan kelarutan polutan dari tanah yang terkontaminasi yang pada akhirnya meningkatkan bioavailabilitasnya (Cameotra dan Makkar 2010)
2
Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikrob telah menjadi produk bioteknologi penting yang diaplikasikan secara luas di bidang industri dan medis. Senyawa ini digunakan sebagai agen pengemulsi dan agen pembasah dalam industri logam, kertas, tekstil maupun industri pertanian. Biosurfaktan juga berperan sebagai agen pengemulsi dan bahan tambahan dalam industri pangan. Selain itu biosurfaktan diaplikasikan sebagai detergen untuk industri minyak bumi, agen antimikrob untuk industri farmasi dan kesehatan serta sebagai agen pengemulsi yang dapat mempercepat proses degradasi dalam proses bioremediasi senyawa toksik di lingkungan (Singh 2012). Biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri laut B. circulans merupakan contoh bakteri yang memiliki aktivitas anti mikrob terhadap bakteri pathogen Gram + dan Gram – (Rahman dan Gakpe 2008). Sejumlah besar mikrob telah dilaporkan dapat menggunakan HAP dengan dua dan tiga cincin seperti naftalena dan antrasena sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi (Kumar et al. 2006). Genus Pseudomonas, Mycobacterium, Corynebacterium, Aeromonas, Rhodococcus, dan Bacillus diketahui mampu mendegradasi naftalena yang memiliki dua cincin aromatik, sementara hidrokarbon antrasena dengan tiga cincin dikemukakan dapat didegradasi oleh genus bakteri Pseudomonas, Sphingomonas, Nocardia, Beijerinckia, Rhodococcus dan Mycobacterium (Mrozik et al. 2003). Penggunaan biosurfaktan untuk meningkatkan kecepatan degradasi HAP telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Rhamnolipid yang dihasilkan oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa W3 dapat meningkatkan kelarutan antrasena sehingga mempercepat proses degradasi oleh dua galur bakteri, Sphingomonas sp. 12A dan Pseudomonas sp. 12B. Antrasena merupakan jenis HAP yang tidak mudah di degradasi, selain itu mekanisme degradasi antrasena masih belum diketahui dengan jelas. Biosurfaktan trehalolipid dari bakteri Rhodococcus erythropolis diketahui mampu meningkatkan laju degradasi fenantrena oleh isolat bakteri P5-2, sedangkan biosurfaktan yang dihasilkan Bacillus cereus 28BN mampu meningkatkan kecepatan degradasi naftalena oleh bakteri itu sendiri (Cameotra dan Makkar 2010) Produksi biosurfaktan secara langsung di lingkungan oleh bakteri pendegradasi hidrokarbon dimungkinkan lebih bermanfaat, lebih menjanjikan dan lebih praktis dibandingkan dengan menambahkan biosurfaktan murni untuk aplikasi bioremediasi berdasarkan bioaugmentasi. Bakteri pendegradasi hidrokarbon yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan biosurfaktan ekstraseluler dapat mempercepat proses biodegradasi dengan memfasilitasi kontak antara minyak dengan mikrob (Kumar et al. 2006). Upaya eksplorasi isolat bakteri indigenous dari teluk Jakarta yang mampu menghasilkan biosurfaktan dan juga berperan dalam degradasi hidrokarbon oleh karenanya akan memberikan kontribusi terhadap penanganan pencemaran khususnya yang disebabkan oleh senyawa HAP.
Hipotesis Hidrokarbon aromatik polisiklik (HAP) merupakan senyawa organik yang berasal dari pembakaran tak sempurna terutama pada produk buangan industri. Senyawa ini merupakan salah satu komponen yang terkandung dalam minyak bumi dan produk turunannya dan apabila terakumulasi di lingkungan dapat membahayakan organisme termasuk manusia karena bersifat toksik, mutagenik dan karsinogenik.
3
Bakteri tertentu mampu mendegradasi dan menggunakan senyawa HAP sebagai sumber karbon dan energi, akan tetapi tingkat kelarutan minyak yang rendah menjadi kendala dalam proses degradasi. Produksi biosurfaktan oleh bakteri merupakan upaya bakteri untuk meningkatkan kelarutan dan ketersediaan sumber karbon dari substrat hidrofobik seperti halnya minyak bumi. Bakteri penghasil biosurfaktan yang memiliki kemampuan mendegradasi senyawa HAP oleh karenanya dapat diperoleh dari lingkungan yang tercemar limbah minyak.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat bakteri indigenous yang mampu menghasilkan biosurfaktan dan mendegradasi senyawa HAP (naftalena, antrasena dan pirena). Tujuan lain penelitian ini adalah mendeteksi gen penyandi enzim yang berperan dalam degradasi HAP serta mengkaji aktivitas biosurfaktan yang dihasilkan melalui pengukuran tegangan permukaan dan kemampuan emulsifikasi.
Manfaat Penelitian Penggunaan bakteri dengan kemampuan menghasilkan biosurfaktan dan mendegradasi hidrokarbon diharapkan dapat lebih mempercepat proses degradasi dan penghilangan polutan hidrokarbon. Isolat bakteri yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam proses bioremediasi khususnya sebagai pendegradasi senyawa HAP sebagai upaya mengatasi pencemaran di lingkungan. Selain itu hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya informasi tentang keragaman bakteri indigenous yang diperoleh dari kawasan teluk Jakarta.
Kebaruan Penelitian Penelitian mengenai bakteri penghasil biosurfaktan dan pendegradasi HAP dari area tercemar minyak di pulau Rambut, hutan mangrove dan pelabuhan kapal nelayan Cilincing di Teluk Jakarta menghasilkan isolat bakteri yang diperoleh dari kawasan ini. Informasi yang dapat diungkapkan melalui penelitian ini meliputi kemampuan isolat dalam mendegradasi HAP naftalena, antrasena dan pirena. Selain itu diperoleh pula informasi mengenai aktivitas biosurfaktan yang dihasilkan dalam menurunkan tegangan permukaan dan mengemulsifikasi substrat. Kemampuan ini merupakan hal penting yang perlu dimiliki oleh isolat untuk diaplikasikan sebagai agen bioremediasi.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Biosurfaktan Biosurfaktan merupakan molekul aktif permukaan yang dihasilkan oleh banyak galur mikrob baik dari kelompok bakteri maupun cendawan ketika tumbuh dalam medium yang mengandung substrat tak larut air. Adanya gugus hidrofilik dan hidrofobik menyebabkan molekul ini dapat menurunkan tegangan permukaan suatu cairan, tegangan antarmuka dua cairan, atau antara cairan dan padatan. Biosurfaktan memiliki sifat kimia dan ukuran molekul yang bervariasi. Molekul ini dapat berada pada permukaan sel mikrob ataupun disekresikan dalam medium (Desai dan Banat 1997; Mukherjee et al. 2006; Singh 2012). Biosurfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan air dari 72mN/m hingga berkisar antara 25 dan 38 mN/m. Surfactin, biosurfaktan yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis mampu menurunkan tegangan permukaan air hingga 27mN/m (Desai dan Banat 1997). Pengelompokan biosurfaktan terutama didasarkan pada komposisi kimia dan mikrob penghasilnya. Secara umum, gugus hidrofilik terdiri atas asam amino atau peptida dan gugus hidrofobik mengandung lemak jenuh, tak jenuh atau asam lemak. Kelompok utama biosurfaktan terdiri atas glikolipid, lipopeptida dan lipoprotein, fosfolipid dan asam lemak, surfaktan polimer, dan surfaktan partikulat (Desai dan Banat 1997; Singh 2012). Rhamnolipid, biosurfaktan dari kelompok glikolipid merupakan jenis yang paling banyak dipelajari dan dikarakterisasi (Desai dan Banat 1997; Muthusamy et al. 2008). Glikolipid mengandung karbohidrat seperti soforosa, trehalosa atau rhamnosa yang tergabung ke asam alifatik rantai panjang atau lipopeptida (Ron dan Rosenberg 2001) (Gambar 1).
Gambar 1 Struktur umum beberapa biosurfaktan glikolipid (Desai dan Banat 1997) (A) Rhamnolipid tipe 1 dari Pseudomonas aeruginosa, dua subunit rhamnose berikatan dengan 2 -asam hidroksidekanoat pada rantai samping. (B) Trehalosa dimikolat dari Rhodococcus erythropolis, disakarida trehalosa berikatan dengan asam lemak hidroksi rantai panjang. (C) Sophorolipid dari Torulopsis bombicola, sophorosa dimer berikatan dengan asam lemak hidroksi rantai panjang (C18)
5
Jenis, kualitas dan kuantitas biosurfaktan yang dihasilkan dipengaruhi oleh sifat substrat karbon, konsentrasi nitrogen, fosfor, magnesium, besi, dan ion mangan dalam media dan kondisi kultur, seperti pH, suhu dan agitasi (Guerra-Santos et al. 1986). Arthrobacter paraffineus menghasilkan biosurfaktan ketika ditumbuhkan pada media dengan sumber karbon glukosa, tetapi tidak disintesis ketika digunakan heksadekana sebagai sumber karbon (Reddy et al. 1983). Produksi rhamnolipid dari Pseudomonas aeruginosa PA1 memberikan hasil tertinggi pada substrat gliserol dibandingkan dengan substrat n-heksadekana maupun paraffin (Santa-Anna et al. 2002). Sementara itu, bakteri Aeromonas spp yang diperoleh dari perairan mampu menghasilkan biosurfaktan tertinggi pada media dengan sumber karbon glukosa dan terendah pada media solar asetat. Kedelai diketahui sebagai sumber nitrogen terbaik untuk produksi biosurfaktan (Ilori et al. 2005). Biosurfaktan merupakan salah satu dari berbagai cara adaptasi mikrob untuk memetabolisme hidrokarbon dan secara umum merupakan respon fisiologis terhadap kebutuhan tertentu yang dihadapi oleh sel pada lingkungan tertentu. Beberapa bakteri mampu mengembangkan pseudosolubilization, yaitu suatu strategi untuk mendapatkan akses ke substrat yang sulit larut dan oleh karenanya menghasilkan biosurfaktan dengan berat molekul rendah. Bakteri lain berinteraksi dengan hidrokarbon secara langsung melalui biosurfaktan yang terikat pada dinding sel sehingga menyebabkan permukaan sel menjadi sesuai dengan substrat hidrofobik (Perfumo et al. 2010). Fungsi utama biosurfaktan dalam sel mikrob adalah mengemulsi substrat tidak larut air seperti hidrokarbon dan memfasilitasi transportasi ke dalam sel agar dapat digunakan sebagai sumber karbon untuk memicu pertumbuhan (Singh 2012). Bagi sebagian bakteri yang lain, biosurfaktan juga dapat memiliki aktivitas antimikrob (Ron and Rosenberg 2001). B. subtilis, B. cereus, B. pumilus, B. brevis, dan B. licheniformis dilaporkan mampu menghasilkan senyawa antimikrob (Rodrigues et al. 2006) Biosurfaktan lebih menjanjikan dalam aplikasinya dibandingkan surfaktan yang disintesis secara kimiawi. Hal ini disebabkan biosurfaktan memiliki sifat toksisitas yang lebih rendah, biodegradabilitas yang lebih tinggi, lebih kompatibel terhadap lingkungan, serta lebih stabil terhadap perubahan faktor lingkungan seperti pH, salinitas dan suhu. Biosurfaktan juga diketahui memiliki beberapa sifat yang terkait dengan kepentingan terapi dan biomedis seperti sifat antibakteri, antijamur dan antivirus, mampu menghambat pembentukan gumpalan fibrin, serta memiliki sifat anti pelekatan terhadap beberapa mikrob patogen. Selain itu, molekul ini dapat dihasilkan dari bahan baku berbasis pertanian yang lebih murah ataupun menggunakan limbah (Mukherjee et al. 2006; Araji et al. 2007; Fakruddin 2012). Aplikasi biosurfaktan meliputi berbagai bidang antara lain aplikasi potensial di bidang pertanian, kosmetik, farmasi, deterjen, produk perawatan diri, pengolahan makanan, tekstil, perlengkapan laundry, perawatan dan pengolahan logam, pulp dan pengolahan kertas dan industri cat. Saat ini biosurfaktan terutama digunakan dalam studi tentang teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) untuk meningkatkan perolehan minyak dan bioremediasi hidrokarbon (Williams, 2009; Banat et al. 2010).
6
Bakteri Penghasil Biosurfaktan Pengambilan sampel dan isolasi merupakan dasar untuk seleksi mikrob penghasil biosurfaktan. Lingkungan yang terkontaminasi senyawa organik hidrofobik merupakan lokasi yang paling menjanjikan untuk isolasi mikrob penghasil biosurfaktan (Walter et al. 2010; Jaysree et al. 2011). Mikrob penghasil biosurfaktan telah berhasil diisolasi dari lingkungan yang terkontaminasi minyak (Willumsen dan Karlson 1997; Rahman et al. 2002; Santa-Anna et al. 2005; Nisanthi et al. 2010; Liu et al. 2011), danau buatan yang terkontaminasi limbah minyak (Jaysree et al. 2011) sumur aspal di La Brea, Los Angeles (Belcher et al. 2012), limbah pabrik minyak (Gujar and Hamde 2011), tanah di sekitar bengkel mobil (Shoeb et al. 2012) maupun tangki bahan bakar pesawat (Muriel et al. 1996). Konsorsium bakteri penghasil biosurfaktan juga telah diisolasi dari tanah terkontaminasi hidrokarbon di daerah Cepu, Jawa Tengah, Indonesia (Sumiardi et al. 2012). Meskipun lebih banyak ditemukan di lingkungan terkontaminasi, bakteri penghasil biosurfaktan juga dilaporkan diperoleh dari lingkungan yang tidak terkontaminasi hidrokarbon. Hasil penelitian memperlihatkan galur bakteri dapat diisolasi dari tanah tidak terkontaminasi yang kaya bahan organik (Jennings dan Tanner 2000), dari perairan (Ilori et al. 2005) serta dari limbah pabrik susu (Gudina et al. 2011). Biosurfaktan yang diproduksi oleh berbagai mikrob terutama bakteri, jamur dan ragi, beragam dalam komposisi kimia dan sifatnya. Jumlah yang dihasilkan juga bergantung pada jenis mikrob penghasilnya. Banyak mikrob penghasil biosurfaktan yang digunakan dalam pengolahan limbah industri berasal dari tanah yang terkontaminasi limbah dan sumber air limbah. Dengan demikian, mikrob ini memiliki kemampuan untuk tumbuh pada substrat yang dianggap berpotensi bahaya bagi mikrob yang tidak menghasilkan biosurfaktan (Saharan et al. 2011). B. subtilis dan P. aeruginosa diketahui mampu menggunakan minyak mentah dan hidrokarbon sebagai sumber karbon tunggal untuk menghasilkan biosurfaktan dan dapat digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak di lingkungan (Das dan Mukherjee 2006). Kebanyakan spesies Bacillus mensintesis sejumlah antibiotik lipopeptida siklik selama tahap awal sporulasi, misalnya, B. polymyxa menghasilkan polymixin, suatu dekapeptida dengan 3-10 asam amino yang membentuk struktur cincin dan berikatan dengan asam lemak. B. brevis menghasilkan gramicidin S, suatu dekapeptida siklik yang mengandung cincin dengan dua rantai samping ornitin bermuatan positif di satu sisi dan rantai samping hidrofobik pada di sisi lainnya. B.licheniformis menghasilkan campuran beberapa lipopeptida yang bertindak secara sinergis, dan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara air dan nheksadekana dengan nilai yang sangat rendah yaitu 0,36 mN/m. Lipopeptida siklik dengan aktivitas yang sangat tinggi yaitu surfactin diproduksi oleh B. subtilis. Surfactin memiliki Critical Micelle Concentration (CMC) sebesar 25-50 mg/L dan dapat menurunkan tegangan permukaan air hingga 27 mN/m, sedangkan tegangan antar muka terendah terhadap n-heksadekana adalah 1 mN/m (Franzetti et al. 2010). Trehalolipids merupakan kelompok besar glikolipid yang diproduksi oleh sejumlah mikrob yang berbeda, seperti Mycobacterium, Nocardia dan Corynebacterium. Namun, senyawa yang paling ekstensif dipelajari di kelas ini
7
adalah trehalosa dimikolat yang diproduksi oleh Rhodococcus erythropolis. Trehalolipid yang dihasilkan oleh mikrob berbeda dalam struktur, ukuran dan derajat kejenuhan. Nilai minimal untuk tegangan antar muka air terhadap nheksadekana yang dicapai oleh trehalolipids berkisar antara 1 dan 17 mN/m, sedangkan penurunan tegangan permukaan oleh lipid trehalosa yang dihasilkan oleh R. erythropolis dan Arthrobacter sp. mencapai 25 dan 40 mN/m. Sementara itu, nilai CMC trehalolipids cukup rendah, sekitar 2 mgL-1 (Desai dan Banat 1997; Ron dan Rosenberg 2001). Bakteri dari genus Lactobacillus juga diketahui mampu menghasilkan biosurfaktan meskipun jumlahnya lebih rendah bila dibandingkan dengan mikrob lainnya, seperti Bacillus subtilis ataupun Pseudomonas aeruginosa. Namun demikian, L. paracasei ssp. paracasei A20 yang diisolasi dari pabrik susu, merupakan penghasil biosurfaktan yang menjanjikan (Gudina et al. 2011). Meskipun peran biosurfaktan dalam sel mikrob belum sepenuhnya dipahami, akan tetapi telah diketahui bahwa metabolit sekunder ini dapat meningkatkan transportasi nutrisi melintasi membran, berperan dalam berbagai interaksi mikrob dan inang, serta memberikan perlindungan bakterisidal dan fungisidal terhadap organisme penghasil (Jennings dan Tanner 2000).
Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) Kelompok polutan yang banyak menjadi perhatian para ahli lingkungan adalah HAP. Polutan ini menjadi penting karena terdistribusi secara luas di lingkungan dan menimbulkan efek mengganggu kesehatan (Makkar dan Rockne 2003). HAP merupakan kelompok berbagai senyawa organik yang mengandung dua atau lebih cincin aromatik yang tergabung pada atom karbon dan hidrogen. Senyawa ini kebanyakan sebagai polutan di berbagai lingkungan dan menjadi perhatian lingkungan karena efeknya yang bersifat mutagenik dan atau karsinogenik (Kumar et al. 2006). HAP banyak terdapat di alam dan berasal dari dua sumber utama, yaitu berasal dari proses alami (biogenik dan geokimia) dan aktivitas manusia. Secara alami HAP terdapat dalam bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi, akan tetapi juga dapat terbentuk selama pembakaran yang tidak sempurna dari bahan organik seperti batu bara, diesel, maupun kayu. Proses alam juga dapat menjadi sumber HAP di lingkungan, seperti letusan gunung berapi dan kebakaran hutan. Aktivitas manusia seperti pembakaran bahan organik, tumHAPan minyak dan solar, pencairan batubara, maupun asap tembakau dan pembakaran bahan makanan menjadi sumber utama polusi HAP (Bamforth dan Singleton, 2005; Kumar et al. 2006) HAP merupakan kelompok berbagai senyawa organik yang mengandung dua atau lebih cincin aromatik dengan struktur fisik dan kimia berbeda (Gambar 2). Beberapa jenis HAP yang termasuk dalam daftar senyawa kimia prioritas dari Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat adalah Asenaftena, Asenaftilena, Antrasena, Benzo(g,h,i)perilena, Fluorena, Fenantrena dan Pirena (Environmental Protection Agency 2008).
8
Gambar 2 Struktur fisik dan kimia beberapa jenis senyawa HAP (Bamforth dan Singleton 2005)
Bakteri Pendegradasi HAP Lingkungan yang terkontaminasi minyak pada umumnya mengandung campuran hidrokarbon kompleks, termasuk HAP yang mempunyai berat molekul rendah dan HAP yang mempunyai berat molekul tinggi (Guo et al. 2010). Beberapa dekade terakhir, penelitian lebih banyak diarahkan ke proses degradasi HAP dengan berat molekul tinggi yaitu yang memiliki tiga cincin atau lebih (Kanaly dan Harayama 2000). Bakteri pendegradasi hidrokarbon telah ditemukan di perairan Indonesia, terutama pada lingkungan yang tercemar limbah minyak bumi. Bakteri pendegradasi hidrokarbon yang diperoleh dari laut Dumai diketahui memiliki kesamaan dengan bakteri Providencia vermicola, Burkholderia cepacia, dan Myroides (Nursyirwani dan Amolle 2007). Selain itu, dari rizosfer mangrove yang tumbuh pada tanah terkontaminasi minyak bumi di daerah Sungsang Sumatera Selatan ditemukan 9 isolat bakteri pendegradasi hidrokarbon yang mampu tumbuh pada medium yang mengandung minyak bumi secara in vitro. Dua isolat terbaik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon minyak bumi adalah Pseudomonas alcaligenes dan Alcaligenes facealis (Gofar 2012). Hasil penelitian Riffiani dan Sulistinah (2010), diperoleh 29 isolat yang mampu mendegradasi hidrokarbon dari Perairan Laut Sekitar Pulau Moti-Ternate, sepuluh isolat diantaranya memiliki kemampuan mendegradasi senyawa HAP, yaitu fenantrena, dibenzotiofena dan flourantena. Isolat bakteri dari lingkungan mangrove
9
juga telah diketahui mampu mendegradasi senyawa HAP. Sebagian besar isolat tersebut berasal dari genus Sphingomonas, Mycobacterium, Rhodococcus, Paracoccus dan Pseudomonas. Hasil penelitian juga memperlihatkan Semua galur Mycobacterium yang berhasil diisolasi dapat mendegradasi campuran HAP yang terdiri atas fenantrena, fluorantena, dan pirena dalam waktu 14 hari (Guo et al. 2010). Degradasi HAP sebagian besar dilakukan oleh enzim dioksigenase yang dihasilkan oleh kultur bakteri pendegradasi HAP pada kondisi aerobik. Sejumlah gen penyandi dioxygenase yang berperan dalam degradasi HAP, terutama HAP dengan berat molekul rendah (low molecular weight HAP), telah diketahui. Gen ini tampaknya khas untuk kelompok bakteri dan jenis substrat tertentu, seperti gen nah untuk degradasi naftalena oleh Pseudomonas, gen phn untuk degradasi fenantrena oleh bakteri Burkholderia cepacia RP007, gen nag untuk degradasi naftalen oleh Ralstonia sp. U2 dan Polaromonas naphthalenivorans CJ2, gen bph untuk degradasi naftalena dan fenantrena oleh bakteri Novosphingobium aromaticivoran F199 dan Sphingobium yanoikuyae B1 dan P2, serta gen arh untuk degradasi asenaftena dan asenaftilena oleh Sphingomonas sp. A4. Selain itu, gen nid pada Mycobacterium spp. telah diidentifikasi sebagai penyebab degradasi pirena (Klankeo et al. 2009). Hasil penelitian Guo et al. (2010) menunjukkan bahwa aktivitas enzim dioksigenase terdeteksi pada tiga belas isolat bakteri Gram positif dan dan empat galur bakteri gram negatif pendegradasi HAP. Namun, gen nahAc dan phnAc tidak terdeteksi di semua galur Sphingomonas yang terisolasi. Hal ini dapat dijelaskan karena kedua gen ini diketahui berasal dari genus Pseudomonas dan Burkholderia, bukan Sphingomonas. Gen nahAc ditemukan pada bakteri Pseudomonas putida yang dapat mendegradasi naftalena dan fenantrena. Katabolisme aerobik molekul HAP oleh bakteri diawali oleh oksidasi menjadi dihidrodiol oleh sistem enzim multikomponen. Senyawa antara ini kemudian dapat diproses melalui pemecahan tipe orto atau meta, yang mengarah ke senyawa antara utama seperti protokatekuat dan katekol, yang selanjutnya dikonversi ke siklus asam trikarboksilat (Kanaly dan Harayama 2000). Meskipun mikrob pendegradasi hidrokarbon khususnya HAP telah banyak diketahui, lebih banyak mikrob yang telah dilaporkan dan berhasil diisolasi berasal dari daerah subtropis, yang memiliki suhu dan geografis yang berbeda dengan lingkungan di Indonesia yang beriklim tropis. Literatur mengenai bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon di daerah tropis khususnya Indonesia, masih sangat terbatas (Riffiani dan Sulistinah 2011). Selain itu, jenis HAP yang beragam membutuhkan kondisi degradasi dan jenis bakteri pendegradasi yang beragam pula. Eksplorasi bakteri indigenous dari Indonesia yang mampu mendegradasi hidrokarbon oleh karenanya akan memberikan kontribusi baik dari sisi biodiversitas maupun potensinya sebagai agen bioremediasi.
Biosurfaktan dan Biodegradasi HAP Kelarutan hidrokarbon yang rendah, terutama hidrokarbon aromatik polisiklik (HAP), diyakini membatasi ketersediaannya untuk mikrob, yang merupakan masalah potensial proses bioremediasi pada area yang terkontaminasi
10
(Ron dan Rosenberg 2002). Penambahan biosurfaktan atau produksinya secara in situ oleh mikrob diketahui mampu mempersingkat waktu degradasi dan meningkatkan efisiensi biodegradasi hidrokarbon dalam tanah (Kosaric 2001). Peningkatan efisiensi bioremediasi oleh biosurfaktan ini dapat melalui dua mekanisme, yang pertama meliputi peningkatan bioavailabilitas substrat untuk mikrob, dan kedua melibatkan interaksi dengan permukaan sel yang meningkatkan hidrofobisitas permukaan hidrofobik yang memungkinkan substrat untuk lebih mudah berasosiasi dengan sel bakteri (Pacwa-Płociniczak et al. 2011). Banyak jenis surfaktan telah diteliti utuk mengetahui kemungkinan aplikasinya dalam proses biodegradasi kontaminan organik seperti HAP (Cameotra dan Makkar 2010). Biosurfaktan mikrob menunjukkan kapasitas menghilangkan hidrokarbon yang lebih baik dibandingkan surfaktan sintetis. Sebagai contoh, biosurfaktan rhamnolipids dan surfactin, telah dievaluasi peranannya dalam membersihkan tanah yang terkontaminasi oleh minyak mentah, HAP dan hidrokarbon terklorinasi. Pada beberapa kasus, efisiensi penghilangan sangat tinggi (hingga 80%). Efisiensi ini tergantung pada waktu kontak dan konsentrasi biosurfaktan. Biosurfaktan tampaknya lebih efektif dalam meningkatkan kelarutan HAP hingga lima kali lipat dibandingkan dengan surfaktan kimia (Franzetti et al. 2010). Biosurfaktan juga diketahui dapat memacu pertumbuhan bakteri pendegradasi minyak dan meningkatkan kemampuannya untuk memanfaatkan hidrokarbon (Ron dan Rosenberg 2001). Bakteri Gordonia BS29 diketahui mampu tumbuh pada hidrokarbon alifatik sebagai karbon tunggal dan menghasilkan Bioemulsan yang efektif mendegradasi minyak mentah, HAP dan hidrokarbon rekalsitran lainnya dari tanah yang terkontaminasi (Franzetti et al. 2010). Bakteri Pseudomonas aeruginosa galur NY3 yang diisolasi dari sampel tanah yang terkontaminasi minyak bumi dilaporkan sebagai isolat baru yang mampu menghasilkan biosurfaktan rhamnolipid dan juga mendegradasi senyawa HAP. Bakteri galur NY3 tidak hanya mampu menghasilkan rhamnolipid dengan beragam struktur, akan tetapi juga mampu menurunkan konsentrasi lima jenis substrat HAP yaitu fenantrena, fluorena, antrasena, fluoranthena dan pirena (Nie et al. 2010). Sementara bakteri Pseudomonas sp IR1 dilaporkan mampu menghasilkan biosurfaktan serta mendegradasi campuran senyawa HAP yang terdiri atas naftalena, dibenzotiofena, pirena dan fenantrena (Kumar et al. 2006).
11
METODE Penelitian dilakukan dalam empat tahap yang diawali dengan pengambilan sampel dan isolasi bakteri hingga analisis gen serta pengujian terhadap degradasi senyawa HAP dan aktivitas biosurfaktan yang dihasilkan oleh isolat bakteri (Gambar 3). Sampel tanah Kultur pengayaan dan isolasi
TAHAP I
Isolat bakteri Penapisan bakteri penghasil biosurfaktan: Hemolytic activity Oil spreading assay Drop collapse assay
TAHAP II
Isolat terseleksi 1 Uji kemampuan tumbuh pada medium MSM + hidrokarbon (crude oil, naftalena, antrasena dan pirena) Identifikasi molekuler: 16S rRNA Uji aktivitas emulsifikasi
TAHAP III
Isolat terseleksi 2 Deteksi gen penyandi enzim dioksigenase Pertumbuhan dan degradasi HAP pada medium MSM cair: Perhitungan jumlah bakteri (cfu/mL) Pengukuran konsentrasi HAP: GC-MS Uji aktivitas biosurfaktan pada tiga sumber karbon (glukosa, sukrosa dan crude oil): Pengukuran tegangan permukaan Pengukuran indeks emulsifikasi (E24) Gambar 3 Diagram alir penelitian
TAHAP IV
12
Pengambilan Sampel Sampel diambil dari 4 lokasi yang terletak di kawasan Teluk Jakarta yaitu Pulau Rambut, hutan mangrove Muara Angke, pelabuhan kapal nelayan Cilincing dan muara sungai Cilincing (Gambar 4). Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Agustus 2014 menggunakan teknik purposive sampling pada lokasi yang tercemar limbah minyak. Setiap lokasi terdiri atas 2 titik pengambilan sampel yang berbeda sehingga terdapat 8 titik pengambilan sampel. Penentuan titik pengambilan sampel didasarkan pada kondisi pencemaran minyak pada tanah di setiap lokasi. Sampel berupa tanah permukaan diambil pada kedalaman 10-20 cm menggunakan sekop kecil dan sendok steril kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel steril untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium menggunakan boks pendingin. Penyimpanan sampel sebelum analisis dilakukan pada suhu 4oC. Proses isolasi bakteri dan pengujian dilakukan di laboratorium Mikrobiologi, Fakultas MIPA Universitas Negeri Jakarta.
Gambar 4 Peta lokasi pengambilan sampel di kawasan Teluk Jakarta A. Pulau Rambut (5°58'35.6"S 106°41'28.1"E) B. Kawasan Mangrove, Muara Angke (6°06'15.0"S 106°45'04.9"E) C. Pelabuhan Kapal Nelayan, Cilincing (6°06'12.8"S106°55'15.1"E) D. Sungai Cilincing (6°06'38.5"S 106°56'26.3"E) Kultur Pengayaan dan Isolasi Bakteri Medium pengayaan menggunakan mineral salt medium (MSM) berdasarkan Kumar et al. (2006) dengan kandungan setiap liter : 6,0 g Na2HPO4, 3,0 g KH2PO4, 1,0g NH4Cl, 0,5 g NaCl, 1,0 ml MgSO4 1 M, dan 2,5 ml larutan trace element dengan komposisi per liter: 23 mg MnCl2.2H2O, 30 mg MnCl4.H2O, 31 mg H3BO3, 36 mg CoCl2.6H2O, 10 mg of CuCl2.2H2O, 20 mg of NiCl2.6H2O, 30 mg of Na2MoO4.2H2O, dan 50 mg ZnCl2 dengan pH akhir larutan 7,0. Sebanyak 5
13
g sampel tanah dimasukkan ke dalam botol selai steril berisi 50 mL MSM + 1% minyak mentah. Masing-masing botol selai yang telah berisi sampel dan medium diinkubasikan dalam shaker pada suhu ruang dengan kecepatan 200 rpm selama 14 hari. Setelah inkubasi, sebanyak 1 ml suspensi diambil dan dilakukan seri pengenceran hingga 10-5 selanjutnya diinokulasikan dengan metode cawan tuang (pour plate method) dalam MSM agar yang ditambahkan dengan 1% minyak mentah. Inkubasi dilakukan pada suhu 30oC selama 2-7 hari. Koloni yang tumbuh kemudian dimurnikan menggunakan metode gores pada medium Nutrient Agar (NA). Koloni yang tumbuh terpisah selanjutnya disimpan dalam medium Nutrient Agar pada suhu 4oC sebagai stock culture. Working culture dibuat dengan menggoreskan isolat dari stock culture ke dalam medium NA yang baru. Penyimpanan kultur cair bakteri dilakukan dalam larutan gliserol steril dengan konsentrasi akhir 10%. Seleksi Bakteri Penghasil Biosurfaktan Isolat bakteri yang diperoleh dari proses pengayaan dan isolasi kemudian diseleksi untuk mendapatkan bakteri yang mampu menghasilkan biosurfaktan. Seleksi dilakukan melalui metode sebagai berikut : a) Hemolytic Activity Isolat bakteri digoreskan pada permukaan Blood Agar dan diikubasikan pada suhu 20 oC selama 48 jam. Aktivitas hemolitik ditunjukkan dengan adanya zona bening di sekitar koloni (Carrillo et al. 1996). b) Drop Collapse Test Uji ini dilakukan dengan meneteskan 2 μL minyak mentah ke dalam sumur mikroplate, kemudian dibiarkan selama 24 jam pada suhu ruang. Supernatan dari kultur bakteri uji (24 jam dalam Nutrient Broth) kemudian ditambahkan sebanyak 5 μL ke permukaan tetesan minyak. Bentuk tetesan pada permukaan minyak diamati setelah 1 menit dengan menggunakan kaca pembesar. Hasil dinyatakan positif apabila tetesan berubah menjadi datar, sedangkan tetesan yang tetap berbentuk bulat dinyatakan negatif tidak terdapat biosurfaktan (Jain et al. 1991). c) Oil Spreading Assay Metode ini didasarkan pada Morikawa et al. (1993). Akuades steril dimasukkan ke dalam cawan petri (diameter 15 cm) sebanyak 20 mL diikuti dengan penambahan 15 L minyak mentah sehingga membentuk lapisan tipis pada permukaan akuades. Supernatan dari kultur bakteri kemudian ditambahkan sebanyak 10 μL ke permukaan minyak. Apabila supernatan tersebut mengandung biosurfaktan maka minyak akan terpisah dan membentuk zona jernih. Larutan Tween 20 digunakan sebagai kontrol positif dan akuades digunakan sebagai kontrol negatif.
Uji Kemampuan Tumbuh Bakteri pada Medium Hidrokarbon Medium cair digunakan untuk pengujian pertumbuhan bakteri pada minyak mentah. Sebanyak 10 l kultur cair bakteri berumur 24 jam dalam medium
14
Nutrient Broth dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 5 mL MSM steril dan 100 L minyak mentah kemudian diinkubasikan dalam shaker dengan kecepatan 200 rpm pada suhu ruang selama 5 hari. Medium tanpa inokulum digunakan sebagai kontrol negatif. Pengujian pertumbuhan bakteri pada medium antrasena dan pirena dilakukan dengan menambahkan masing-masing sebanyak 100 μL larutan antrasena dan pirena dalam aseton (50 mg/L) dengan metode sebar (spread plate) ke permukaan MSM agar hingga merata. Kultur cair bakteri berumur 48 jam dalam medium NB diambil sebanyak 0,1 mL dan diinokulasikan dengan metode yang sama. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 3-7 hari. Bakteri yang tumbuh pada medium menunjukkan kemampuan dalam mendegradasi senyawa antrasena. Untuk HAP naftalena, medium yang telah diinokulasi diletakkan terbalik pada tutup cawan petri yang telah diberi kristal naftalena (1 g). Celah pada cawan petri dirapatkan dengan plastic wrap. Seluruh cawan petri diinkubasi pada suhu 30oC. Pertumbuhan bakteri diamati setiap hari selama 1 bulan. Pengukuran Indeks Emulsifikasi (E24) Indeks emulsifikasi setiap isolat diukur dengan memasukkan 2 mL supernatan bakteri dan 2 mL oli bekas dalam tabung reaksi. Campuran ini diaduk menggunakan vortex mixer selama 1 menit kemudian dibiarkan selama 24 jam pada suhu ruang. Setelah 24 jam tinggi lapisan emulsi yang terbentuk diukur. Nilai indeks emulsifikasi (E24) merupakan persentase dari tinggi lapisan emulsi (cm) dibagi dengan tinggi total larutan (Bodour et al. 2004). Pengamatan Morfologi Sel dan Tipe Gram Isolat bakteri ditumbuhkan pada medium NA selama 24 jam. Prosedur pewarnaan Gram dilakukan menurut Benson (2001). Bentuk sel dan tipe Gram dari tiap isolat diamati menggunakan mikroskop pada perbesaran 1000X.
Isolasi DNA dan Analisis Gen 16S rRNA Isolat bakteri ditumbuhkan dalam medium NB selama 48 jam. Proses isolasi DNA dilakukan sesuai prosedur PureLink® Genomic DNA kit (Invitrogen) dengan menggunakan 640 µL kultur cair bakteri. DNA yang diperoleh dari hasil isolasi diamplifikasi dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Primer yang digunakan adalah 63f (5’-CAG GCC TAA CAC ATG CAA GTC-3’) dan 1387r (5’- GGG CGG UGT GTA CAA GGC-3’) mengacu pada Marchesi et al. (1998). Larutan PCR mix 50 µL dibuat dengan komposisi: 45 µL PCR Super Mix, 1 µL primer 63f dengan konsentrasi 10 µM, 1 µL primer 1387r dengan konsentrasi 10 µM, dan 3 µL DNA template. PCR diAmplifikasi DNA sebanyak 30 siklus dengan kondisi 94oC selama 15 detik, 53oC selama 30 detik, dan 72oC selama 1 menit menggunakan TaKaRa PCR Thermal Cycler Dice TP600 (Takara Bio Inc, Japan). Visualisasi produk PCR dilakukan dengan elektroforesis pada gel agarose (1% dalam buffer TBE). Proses alignment terhadap semua sekuen yang diperoleh dilakukan menggunakan BioEdit versi 7.2.5. Analisis homologi sekuen gen penyandi 16S rRNA yang diperoleh dilakukan dengan program Basic Local Alignment Search Tool
15
(BLAST) pada bank gen NCBI. Analisis filogenetik menggunakan software Geneious Basic versi 5.6.5 (Kearse et al. 2012). Pertumbuhan Bakteri dan Degradasi HAP Konsentrasi HAP yang digunakan sebesar 50 dan 100 mg/L. Kultur bakteri terseleksi dengan konsentrasi sel 104 cfu/mL diinokulasikan sebanyak 5% ke dalam tabung Erlenmeyer 250 mL yang berisi 100 mL MSM dan HAP sesuai perlakuan (naftalena, antrasena, pirena). Tabung tersebut diinkubasikan dalam rotary shaker dengan kecepatan 100 rpm pada suhu ruang selama 5 hari untuk naftalena dan 7 hari untuk antrasena dan pirena. Pertumbuhan bakteri diamati dengan mengambil 1 mL kultur bakteri setiap 24 jam, kemudian diinokulasikan ke dalam medium Plate Count Agar dengan metode cawan tuang (Pour Plate Method). Konsentrasi HAP dalam supernatan diukur menggunakan GC-MS (Shimadzu QP2010). Deteksi Gen Pengkode Enzim Dioksigenase Ekstraksi DNA dilakukan menggunakan DNA extraction kit (Geneaid). Keberadaan gen dioksigenase dideteksi berdasarkan amplifikasi PCR menggunakan PCR kit (KAPA Robust 2G, Kapa Biosystem). Tabel 1 Primer spesifik yang digunakan untuk mendeteksi gen penyandi enzim dioksigenase Primer
Sekuen
Ukuran (bp)
Referensi
nested PCR nahAc (first)
nahAc (nested)
Forward
TGCMVNTAYCAYGGYTGG
Reverse
CCCGGTARWANCCDCKRTA
Forward
TGCMVNTAYCAYGGYTGG
Reverse
CRGGTGYCTTCCAGTTG
Forward
TCCRMTGCCCDTACCACGG
Reverse
GAASGAYARRTTSGGGAACA
Forward
TCCRMTGCCCDTACCACGG
Reverse
GCGSCKRKCTTCCAGTTCG
937 Zhou et al. (2006) 317
nidA (first)
nidA (nested)
600
300
Yuliani et al. (2012)
Kondisi PCR tahap pertama meliputi: 94oC selama 3 menit, diikuti dengan 40 siklus yang terdiri atas 94 oC selama 45 detik, 55 oC selama 45 detik dan 72 oC selama 45 detik, dan periode perpanjangan akhir pada 72 oC selama 5 menit. Kondisi PCR untuk tahap kedua serupa dengan tahap pertama hanya siklus yang digunakan sebanyak 30 siklus. Produk PCR di deteksi dengan elektroforesis dan divisualisasikan pada gel agarose 1% dalam bufer TBE.
16
Pengukuran Tegangan Permukaan Tiga jenis sumber karbon digunakan untuk pengujian ini yaitu: glukosa, sukrosa dan minyak mentah. Tabung Erlenmeyer berisi 250 mL MSM dan 1% sumber karbon (w/v) diinokulasi dengan 1 mL kultur bakteri berumur 24 jam dalam medium NB. Inkubasi dilakukan dalam rotary shaker dengan kecepatan 100 rpm pada suhu ruang selama 5 hari. Sampel diambil pada hari ke-lima dan dilakukan sentrifugasi pada 10,000 rpm selama 20 menit. Supernatan diambil untuk pengukuran tegangan permukaan dan indeks emulsifikasi (E24). Tegangan permukaan diukur dengan memasukkan supernatan ke dalam gelas ukur, kemudian pipa kapiler dicelupkan dalam tabung berisi supernatant tersebut. Ketinggian cairan dalam pipa kapiler diukur menggunakan penggaris. Nilai tegangan permukaan diperoleh melalui rumus berikut (Viramontes-Ramos 2010):
= ½ rhg Keterangan: = Tegangan permukaan (mN/m); = Densitas cairan (0.99 g/mL); g = gravitasi (980 cm/s2); r = Radius pipa kapiler (0.09 cm); h = tinggi cairan dalam kolom (cm).
17
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolat Bakteri Pendegradasi Hidrokarbon dari Sampel Tanah Sampel tanah berasal dari 4 lokasi yang tercemar limbah minyak yang diketahui berdasarkan pengamatan secara visual, berupa tanah lengket berminyak, berwarna coklat kehitaman. Setiap lokasi diambil 2 sampel dari titik pengambilan yang berbeda sehingga seluruhnya diperoleh 8 sampel (Tabel 2). Tabel 2 Jumlah isolat bakteri dari sampel tanah yang tercemar limbah minyak di kawasan teluk Jakarta Jumlah Kode No Lokasi Pengambilan Sampel Jumlah isolat sampel Sampel IR1 1 Pulau Rambut 2 11 IR2 17 AM1 2 Hutan Mangrove 2 14 AM2 7 CH1 3 Pelabuhan kapal nelayan Cilincing 2 13 CH2 21 CR1 4 Tepi sungai Cilincing 2 15 CR2 15 Jumlah Total 8 113
Karakteristik Isolat Bakteri Penghasil Biosurfaktan dan Kemampuan Tumbuhnya pada Medium Hidrokarbon Tahapan penapisan isolat bakteri penghasil biosurfaktan dilakukan menggunakan 3 metode yaitu hemolytic activity test, drop collapse assay, dan oil spreading assay. Kriteria hasil positif pada setiap pengujian diperlihatkan pada Gambar 5. Sebanyak 46 dari 113 isolat yang diujikan menunjukkan hasil positif pada lebih dari satu uji, 38 isolat positif pada 1 uji dan 28 isolat memberikan hasil negatif pada semua uji (Tabel 3). Isolat yang memperlihatkan hasil positif pada lebih dari 1 uji direkomendasikan sebagai bakteri penghasil biosurfaktan.
(CR 9, CR 13)
2
2
1**
1
Jumlah
(AM 7)
Isolat
a,b
10**
2
3
3
1
1
Jumlah
*a: hemolytic activity, b: drops collapse method, c: oil spreading assay ** Jumlah isolat dengan hasil uji positif pada 2 atau 3 metode uji
23**
(CH 23, CH 24, CH 25, CH 27, CH 28, CH 30, CH 60, CH 63, CH 64)
9
2
Jumlah isolat
(CH 18, CH 2, CH 22, CH 48)
4
1
Pelabuhan kapal nelayan
(CR 2, CR 5, CR 35, CR 36, CR 38)
(RI 36a, RI 38, RI 43)
Isolat
5
3
Jumlah
a,b,c
1
Sungai Cilincing
2
Hutan Mangrove 1
2
1
Pulau Rambut
Lokasi
(CH 26, CH 61)
(CH 15, CH 49, CH 51)
(CR 4, CR 31, CR 32)
(AM 5)
(RI 31)
Isolat
a,c
12**
2
1
2
(CH 29, CH 55)
(CH 19)
(CR 10, CR 43)
(CR 7, CR 34)
(AM 18)
1
2
AM 9, AM 10
(RI 19, RI 24)
Isolat
2
2
Jumlah
b,c
9
2
2
1
4
Jumlah
Hasil positif pada metode uji*
(CH 54, CH 57)
(CH 16, CH 50)
(CR 6)
RI 32, RI 35, RI 36B, RI 37
Isolat
a
1
1
1
1
3
2
9
Jumlah
(CH 17)
(CR 33)
(AM 14)
(AM 8)
(RI 22, RI 27) (RI 33, RI 34A, RI 34 B)
Isolat
b
20
3
1
5
2
1
6
2
Jumlah
Tabel 3 Jumlah dan kode isolat bakteri asal teluk Jakarta yang memberikan hasil positif pada pengujian hemolytic activity, drops collapse assay, dan oil spreading assay pada tahapan penapisan bakteri penghasil biosurfaktan
(CH 52, CH 58, CH 62)
(CH 20)
(CR 14, CR 39, CR 40, CR 45, CR 46)
(CR 31, CR 37)
(AM 12)
(AM 1a, AM 1b, AM 2a, AM 2b, AM 6, AM 11)
(RI 25, RI 28)
Isolat
c
1
19
C
B
A
a a
b
a
b
+ Gambar 5 Hasil pengujian penapisan bakteri penghasil biosurfaktan. A. Isolat bakteri menunjukkan aktivitas hemolitik positif (b) dan negatif (a). B. Hasil positif pada drop collapse (b) menunjukkan bentuk tetesan yang melebar dibandingkan hasil negatif (a). C. Lapisan minyak mentah yang terpisah dan membentuk zona jernih pada pengujian oil spreading assay (a) mengindikasikan adanya biosurfaktan Pengujian pertumbuhan dalam medium yang mengandung hidrokarbon dilakukan sebagai deteksi awal kemampuan degradasi hidrokarbon dari 46 isolat bakteri penghasil biosurfaktan yang diperoleh pada tahap penapisan. Dua jenis pengujian yang dilakukan yaitu uji degradasi minyak mentah dalam Mineral Salt Medium (MSM) cair dan uji kemampuan tumbuh pada medium dengan tiga jenis HAP berbeda yaitu naftalena, antrasena dan pirena. Uji degradasi minyak mentah menghasilkan 41 isolat yang mampu mendegradasi minyak mentah pada medium mineral (Lampiran 1, Tabel 4). Kemampuan degradasi dari isolat bakteri menghasilkan karakteristik degradasi yang berbeda-beda berdasarkan pecahnya lapisan minyak pada permukaan MSM. Pemecahan lapisan minyak ini dikelompokkan menjadi 4 kelompok (Tabel 4). Pengujian pertumbuhan bakteri pada MSM agar yang mengandung HAP sebagai sumber karbon tunggal ditujukan untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam mendegradasi HAP naftalena, antrasena dan pirena. Sebanyak 16 isolat mampu tumbuh pada pengujian ini dengan rincian 4 isolat pada medium naftalena (CR 3), CR 13, (CR 38 dan CH 27), 6 isolat pada medium antrasena (AM 9, CR 7, CR 32CH 60, CH 63 dan CH 64) dan 4 isolat lainnya (AM 10, RI 43, CR 51, CH 29, CH 30 dan CH 64) tumbuh pada medium pirena. Uji verifikasi pertumbuhan selanjutnya dilakukan terhadap 16 isolat untuk memastikan kemampuan isolat dalam mendegradasi HAP. Hasil uji memperlihatkan hanya 13 dari 16 isolat yang berhasil tumbuh kembali pada uji verifikasi (Tabel 5). Sementara tiga isolat bakteri yaitu CRA 38, CRP 51 dan CHP 30 tidak menunjukkan adanya pertumbuhan. Kecepatan pertumbuhan bakteri dalam medium padat digolongkan menjadi : cepat (< 7 hari), sedang (7-14 hari), dan lambat ( > 14 hari) berdasarkan munculnya koloni pada permukaan medium.
20
Tabel 4 Karakteristik degradasi minyak mentah oleh isolat bakteri penghasil biosurfaktan asal teluk Jakarta No 1
Ilustrasi degradasi
Keterangan
Kode isolat
Lapisan minyak tampak terpisah, menghasilkan zona jernih yang lebar di bagian tengah dan membentuk lingkaran seperti cincin. Sel bakteri membentuk endapan yang cukup banyak di dasar tabung.
AM: 9 RI : 43 CR : 4, 7, 34, 38, 48 CH : 26, 29
Jumlah isolat : 9
2
Lapisan minyak terpecah sebagian, membentuk gumpalan. Terjadi sedikit pemisahan membentuk zona yang kecil di bagian tengah. Endapan sel bakteri berupa lapisan tipis di dasar tabung.
AM : 7, 18 RI : 19 CR : 3, 9, 21, 22, 35, 36, CH : 23, 24,25, 63
Jumlah isolat : 13
3
Lapisan minyak terpecah seluruhnya menghasilkan gumpalan kecil yang terpisah-pisah. Endapan sel bakteri berupa lapisan tipis di dasar tabung.
AM: 10 RI : 31 CR : 10, 15, 32, 43, 49, 50,51 CH : 27, 30, 64
Jumlah isolat : 12
4
Lapisan minyak terpecah sehingga membentuk struktur yang kasar, tetapi tidak terpisah. Endapan sel bakteri berupa lapisan tipis di dasar tabung.
RI : 38 CR : 2, 5, 13, 18, CH : 60, 61
Jumlah isolat : 7
5
Minyak mentah membentuk lapisan tipis di permukaan tabung. Tidak terjadi pemecahan dan tidak terbentuk endapan hingga hari ke-7 inkubasi.
Kontrol
21
Tabel 5 Hasil uji verifikasi pertumbuhan bakteri dalam MSM+HAP No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kode isolat
Tipe Gram *)
+ CRN 3 CRN 13 CHN 24 + CHN 27 AMA 9 CRA 7 + CRA 32 CRA 38 CHA 60 CHA 63 + CHP 64 CRP 51 + AMP 10 + RIP 43 + CHP 29 CHP 30 Jumlah isolat
Jenis HAP terdegradasi naftalena naftalena naftalena naftalena antrasena antrasena antrasena antrasena antrasena antrasena pirena pirena pirena pirena pirena pirena
Uji verifikasi pertumbuhan dalam HAP **) + + + + + + + + + + + + + 13
Kecepatan Pertumbuhan ***) lambat sedang sedang cepat cepat sedang sedang cepat lambat lambat sedang sedang lambat -
*) +: Gram positif -: Gram negatif **) +: ada pertumbuhan -: tidak ada pertumbuhan ***) Cepat : < 7 hari, sedang : 7-14 hari, lambat : > 14 hari
Identifikasi Bakteri Berdasarkan Analisis 16 S rRNA Proses ekstraksi DNA berhasil dilakukan pada 10 isolat dari 13 bakteri hasil verifikasi, sementara DNA dari 3 isolat yaitu CRA 32, CHA 60 dan CHP 64 tidak berhasil diekstraksi. Identifikasi isolat dilakukan melalui analisis 16S rRNA menggunakan primer 63f dan 1387r (Marchesi et al. 1997). Hasil amplifikasi dan deteksi DNA menunjukkan terdapat pita DNA pada daerah 1300 bp (Gambar 8).
22
100 bp ladder a
b
c
d
e
f
g
1500 bp
1300 bp
500 bp
Gambar 6 Visualisasi produk PCR gen 16S rRNA dari 7 isolat bakteri. a: CRA7 e. CHN27
b. AMA9 f. RIP43
c. CHA60 g. AMP10
d.CRN13
Tabel 6 Hasil identifikasi bakteri penghasil biosurfaktan berdasarkan sekuen 16 rRNA No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Isolat CRN3 CRN13 CHN24 CHN27 AMA9 CRA7 CHA60 AMP10 RIP43 CHP29
Spesies Micrococcus endophyticus Pseudomonas stutzeri Stenotrophomonas acidaminiphila Bacillus pumilus Ochrobactrum intermedium Pseudomonas stutzeri Ochrobactrum tritici Gordonia cholesterolivorans Bacillus subtilis Micrococcus yunnanensis
Similaritas (%) 94% 99% 89% 99% 99% 99% 99% 99% 98% 99%
Nomor aksesi NR_044365.1 NR_025104.1 NR_025104.1 NR_074977.1 NR_113812.1 NR_074829.1 NR_114148.1 NR_044445.1 NR_118486.1 NR_044365.1
23
EU005372.1 Micrococcus endophyticus YIM 56238T 85 JQ659309.1 Micrococcus endophyticus L1-101 92
NR 044365.1 Micrococcus endophyticus YIM 56238 CHP29
100
Actinobacteria
CRN3 HM209728.1 Micrococcus yunnanensis GCA712
99
72
NR 116578.1 Micrococcus yunnanensis YIM 65004
89 FJ214355.2 Micrococcus yunnanensis YIM 65004T
AMP10 NR 044445.1 Gordonia cholesterolivorans Chol-3 100 EU244645.1 Gordonia cholesterolivorans Chol-3T 100
JN400330.1 Gordonia cholesterolivorans V93DM 26 CHN27 63 AY876289.1 Bacillus pumilus ATCC 7061 97 NR 074977.1 Bacillus pumilus SAFR-032
Firmicutes
FJ477095.1 Bacillus pumilus 001T RIP43
100 100 66
AB325584.2 Bacillus subtilis subsp. spizizenii NBRC 101239 67 NR 118486.1 Bacillus subtilis subsp. spizizenii ATCC 6633 57 NR 113265.1 Bacillus subtilis JCM 1465
63 AMA9 81
NR 113812.1 Ochrobactrum intermedium NBRC 15820 NR 042447.1 Ochrobactrum intermedium CNS 2-75
84 NR 026039.1 Ochrobactrum intermedium LMG 3301 100
CHA60 NR 114148.1 Ochrobactrum tritici NBRC 102585
Proteobacteria
49
NR 114980.1 Ochrobactrum tritici SCII24 84
AJ242584.2 Ochrobactrum tritici SCII24T CHN24
43 98 100
AF273080.1 Stenotrophomonas acidaminiphila NR 025104.1 Stenotrophomonas acidaminiphila AMX 19
NR 042569.1 Stenotrophomonas terrae R-32768
Proteobacteria
CRA7 67
NR 074829.1 Pseudomonas stutzeri A1501 NR 041715.1 Pseudomonas stutzeri ATCC 17588 100
NR 114751.1 Pseudomonas stutzeri DSM 5190 CRN13 NR 109655.1 Comamonas jiangduensis YW1
Proteobacteria
0.05
Gambar 7. Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan sekuen 16 S rRNA dari 10 isolat bakteri menggunakan analisis Neighbor-Joining dengan metode Maximum-Likelihood dan analisis Bootstrap 1000x replikasi.
24
Aktivitas Emulsifikasi Bakteri Penghasil Biosurfaktan Pengukuran indeks emulsifikasi dilakukan untuk menginvestigasi aktivitas emulsi biosurfaktan yang dihasilkan oleh kesepuluh isolat bakteri. Supernatan yang dihasilkan oleh isolat bakteri menunjukkan nilai indeks emulsifikasi yang berbedabeda (Tabel 7). Nilai tertinggi dihasilkan oleh bakteri G. cholesterolivorans AMP 10 (79,56) dan nilai terendah oleh bakteri B. subtilis RIP 43 (52,22). Tabel 7 Nilai indeks emulsifikasi (E24) yang dihasilkan oleh isolat bakteri penghasil biosurfaktan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Isolat Micrococcus endophyticus CRN 3 Pseudomonas stutzeri CRN 13
Stenotrophomonas acidaminiphila CHN 24 Bacillus pumilus CHN 27 Ochrobactrum intermedium AMA 9 Pseudomonas stutzeri CRA 7 Ochrobactrum tritici CHA 60 Gordonia cholesterolivorans AMP 10 Bacillus subtilis RIP 43 Micrococcus yunnanensis CHP 29
Rerata tinggi emulsi (mm) 2,43 2,27 2,03 2,47 2,30 1,57 2,10 2,47 1,57 1,70
Rerata tinggi larutan (mm) 3,17 3,23 3,03 3,17 3,23 2,97 3,00 3,10 3,00 2,87
E24 (%) 76,85±3,43 70,07±2,12 67,03±0,62 77,89±0,41 71,15±1,26 52,76±1,80 69,98±1,00 79,56±1,95 52,22±1.92 59,29±0,69
Pertumbuhan dan Degradasi HAP oleh Isolat Bakteri Penghasil Biosurfaktan Sepuluh isolat yang berhasil diperoleh dan diidentifikasi merupakan isolat yang telah diketahui memiliki kemampuan menghasilkan biosurfaktan dan juga mampu tumbuh pada medium HAP. Empat isolat mampu tumbuh pada medium naftalena (Micrococcus endophyticus CRN 3, Pseudomonas stutzeri CRN 13, Stenotrophomonas acidaminiphila CHN 24 dan Bacillus pumilus CHN 27), 3 isolat pada medium antrasena (Ochrobactrum intermedium AMA 9, Pseudomonas stutzeri CRA 7 dan Ochrobactrum tritici CHA 60) serta tiga isolat pada medium pirena (Gordonia cholesterolivorans AMP 10, Bacillus subtilis RIP 43 dan Micrococcus yunnanensis CHP 29). Satu isolat potensial selanjutnya dipilih dari setiap jenis HAP yang mampu didegradasi. Pemilihan ini didasarkan pada kecepatan tumbuh dalam medium HAP (Tabel 5) sebagai parameter kemampuan degradasi hidrokarbon dan nilai E24 (Tabel 6) sebagai parameter aktivitas biosurfaktan. Berdasarkan kedua parameter tersebut maka B. pumilus CHN27, O. intermedium AMA 9 dan G. cholesterolivorans terseleksi untuk diuji lebih lanjut. Berdasarkan konsentrasi naftalena yang diberikan, pertumbuhan sel Bacillus pumilus CHN 27 memperlihatkan perbedaan pada jumlah sel tertinggi. Jumlah tertinggi pada konsentrasi 50 mg/L dicapai pada hari ke-3 sementara pada konsentrasi 100 mg/L dicapai pada hari ke-4 (Gambar 8). Sementara itu degradasi naftalena B. pumilus CHN 27 menunjukkan kemampuan yang baik dengan persentase degradasi pada hari ke lima mencapai 76,78% untuk konsentrasi awal naftalena 50mg/L dan 94,04% untuk konsentrasi awal naftalena 100 mg/L (Gambar 9).
25
Gambar 8 Pertumbuhan bakteri Bacillus pumilus CHN27 pada MSM cair pada konsentrasi naftalena 50 dan 100 mg/L
Gambar 9 Persentase degradasi naftalena oleh Bacillus pumilus CHN27 pada konsentrasi 50 dan 100 mg/L Pertumbuhan bakteri Ochrobactrum intermedium AMA 9 pada medium antrasena diamati hingga hari ke 7. Jumlah sel bakteri (log cfu/mL) memperlihatkan peningkatan hingga hari ke-5 dan selanjutnya pertumbuhan tampak mulai menurun (Gambar 10). Kemampuan tumbuh bakteri ini diikuti dengan kemampuan degradasi antrasena yang cukup tinggi. Degradasi pada hari ke-7 sebesar 88,73% pada konsentrasi antrasena 50 mg/L dan 84,79% pada konsentrasi 100 mg/L (Gambar 11). Jumlah sel G. cholesterolivorans AMP 10 mengalami peningkatan sejak hari pertama hingga hari ke 5 dan selanjutnya mulai menurun hingga akhir pengamatan. Jumlah sel tertinggi yang diperoleh yaitu 3.3x109cfu / mL pada konsentrasi pirena 50 mg/L dan 6.4x108 cfu/mL pada konsentrasi 100mg/L (Gambar 12). Isolat G. cholesterolivorans AMP 10 menunjukkan kemampuan degradasi pirena hingga 93,8% pada konsentrasi 50 mg/L dan 86,5% pada konsentrasi 100mg/L setelah 5 hari dan meningkat menjadi 96,6% dan 91,7% setelah 7 hari inkubasi (Gambar 13).
26
Gambar 10 Pertumbuhan bakteri Ochrobactrum intermedium AMA 9 pada MSM cair dengan konsentrasi antrasena 50 dan 100 mg/L
Gambar 11 Persentase degradasi antrasena oleh Ochrobactrum intermedium AMA 9 pada konsentrasi 50 dan 100 mg/L
Gambar 12 Pertumbuhan bakteri Gordonia cholesterolivorans AMP 10 pada MSM cair dengan konsentrasi naftalena 50 mg/L dan 100 mg/L
27
Gambar 13 Pertumbuhan bakteri Gordonia cholesterolivorans AMP 10 pada MSM cair dengan konsentrasi naftalena 50 dan 100 mg/L Perhitungan laju pertumbuhan spesifik () dan waktu generasi (g) dibuat berdasarkan kurva pertumbuhan yang diperoleh dari ketiga jenis bakteri. Hasil perhitungan menunjukkan laju pertumbuhan tercepat dicapai oleh bakteri B. pumilus CHN 27 pada medium naftalena diikuti pertumbuhan O. intermedium pada medium antrasena dan G. cholesterolivorans pada medium pirena (Tabel 8). Laju pertumbuhan O. intermedium dan G. cholesterolivorans menunjukkan nilai yang sama sebesar 0,378 jam-1 pada konsentrasi antrasena dan pirena 50 mg/L. Kemampuan degradasi bakteri diketahui berdasarkan data hasil analisis GCMS terhadap supernatan pada pengamatan yang telah ditentukan (Lampiran 2-4). Tabel 8. Laju pertumbuhan spesifik () dan waktu generasi (G) ketiga jenis bakteri B. pumilus CHN27
naftalena
50 mg/L 100 mg/L
(sel/jam) 0,0596 0,0424
O. intermedium AMA 9
antrasena
50 mg/L 100 mg/L
0,0378 0,0353
18,33 20,69
pirena
50 mg/L 100 mg/L
0,0378 0,0328
18,33 21,13
Isolat/substrat
G. cholesterolivorans AMP10
Substrat
Konsentrasi
G (sel/jam) 11,63 16,34
Tabel 9. Kecepatan degradasi HAP oleh isolat bakteri penghasil biosurfaktan dan pendegradasi hidrokarbon Isolat bakteri
Jenis HAP
Konsentrasi awal (mg/L)
Kecepatan degradasi (mg/jam)
B pumilus CHN 27
Naftalena
50 100
0,336 ± 0,012 0,372 ± 0,069
O. intermedium AMA 9
Antrasena
50 100
0,343 ± 0,005 0,575 ± 0,030
G. cholesterolivorans AMP 10
Pirena
50 100
0,391 ± 0,008 0,721 ± 0,121
28
Deteksi Gen Penyandi Enzim Dioksigenase Gen nahAc mengkode komponen naftalena dioksigenase dan berperan sebagai biomarker potensial karena sifatnya yang sangat lestari (Park dan Crowley, 2006; Yuliani et al. 2012). Keberadaan gen ini pada bakteri O. intermedium AMA 9 dan G cholesterolivorans AMP 10 terdeteksi melalui amplifikasi nested PCR menggunakan dua pasang primer NahAc berdasarkan Zhou et al. (2006). Primer ini mengamplifikasi fragmen DNA berukuran 937 bp (Gambar 14A dan 14C) pada reaksi pertama dan 317 bp pada reaksi kedua. Sementara itu, gen nidA mengamplifikasi fragmen berukuran sekitar 600 bp pada reaksi pertama dan 400 bp pada reaksi kedua (Yuliani et al. 2012). Hasil amplifikasi gen nidA reaksi pertama terdeteksi dalam penelitian ini pada bakteri O. intermedium AMA 9 (Gambar 14B). Gen dioksigenase ini tidak berhasil teramplifikasi pada bakteri B. pumilus CHN 27. 100 bp Ladder
100 bp Ladder
100 bp Ladder
1500 bp
937 bp
1000 bp
1000 bp
937 bp
600 bp
500 bp
500 bp
100 bp
100 bp
100 bp
A
500 bp
B
C
Gambar 14 Hasil elektroforesis produk PCR gen dioksigenase: A. nahAc (937 bp) dari O. intermedium AMA 9 B. nidA (600 bp) dari O. intermedium AMA 9 C. nahAc dari G. cholesterolivorans AMP 10 (937 bp) Tabel 10 Hasil analisis sekuen gen penyandi enzim dioksigenase dari bakteri pendegradasi HAP No
Kode isolat
1
AMA9
2
AMP10
Primer
Similaritas (%)
No aksesi
Ochrobactrum intermedium (LMG3301)
99%
WP 025091007.1
oksidoreduktase
Ochrobactrum intermedium
70%
WP 036565147.1
hypotetical protein
Gordonia cholesterolivorans
99%
WP 006897165.1
Produk
Spesies
nahAc
ABC transporter substrate binding protein
nidA
nahAc
29
Pengaruh Sumber Karbon terhadap Aktivitas Biosurfaktan Selain pengujian terhadap kemampuan degradasi hidrokarbon, dalam penelitian ini aktivitas biosurfaktan yang dihasilkan oleh tiga isolat bakteri terpilih juga dikonfirmasi menggunakan tiga sumber karbon berbeda yaitu glukosa, sukrosa dan minyak mentah. Sumber karbon tersebut diberikan dalam konsentrasi 1%. Pengamatan dilakukan terhadap dua parameter uji yaitu tegangan permukaan dan indeks emulsifikasi (E24). Hasil pengukuran terhadap supernatan menunjukkan bahwa semua sumber karbon dapat digunakan untuk memproduksi biosurfaktan oleh ketiga bakteri yang diujikan (Tabel 11). Tabel 11 Nilai tegangan permukaan dan indeks emulsifikasi (E24) yang dihasilkan isolat bakteri pada tiga sumber karbon yang berbeda Isolat
Sumber Karbon
Tegangan Permukaan (mN/m)
Indeks emulsifikasi (%)
O. intermedium AMA9
Glukosa Sukrosa Minyak mentah
50,9±2,52 64,0±2,52 42,2±2,52
69,90±1,16 66,99±0,57 63,26±0,66
G. cholesterolivorans AMP10
Glukosa Sukrosa Minyak mentah
24,7±0,00 26,2±0,00 36,4±2,52
78,35±0,38 62,91±2,53 68,98±2,06
B. pumilus CHN27
Glukosa Sukrosa Minyak mentah
27,7±2,52 32,0±2,52 34,9±0,00
79,42±3,17 61,84±2,21 68,63±1,70
Pembahasan Isolat Bakteri Penghasil Biosurfaktan dan Pendegradasi Hidrokarbon dari Teluk Jakarta Sampel yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari kawasan Teluk Jakarta. Ahmad (2012) menyatakan berdasarkan pemantauan oleh BPLHD DKI Jakarta, 83% sungai yang bermuara ke teluk Jakarta telah masuk dalam kategori tercemar berat. Sungai-sungai ini membawa berbagai jenis limbah yang berasal dari pembuangan samHAP, industri, maupun rumah tangga yang menyebabkan perairan Teluk Jakarta menerima beban pencemaran yang cukup berat. Sebagian limbah tersebut juga bersifat toksik, diantaranya adalah senyawa organik hidrokarbon aromatik polisiklik (HAP). Kondisi tersebut menjadi dasar pemilihan lokasi pengambilan sampel. Tanah tercemar minyak digunakan dalam penelitian ini untuk memperbesar kemungkinan diperolehnya bakteri penghasil biosurfaktan dan pendegradasi hidrokarbon. Hasil penelitian Bodour dan Miller-Maier (1998) menunjukkan tanah yang tercemar hidrokarbon lebih banyak mengandung mikrob penghasil biosurfaktan
30
dibandingkan tanah yang tidak terkontaminasi. Walter et al. (2010) menyatakan bahwa kebanyakan mikrob penghasil biosurfaktan diisolasi dari sampel tanah atau air yang tercemar senyawa organik hidrofobik. Hal ini dapat dijelaskan karena biosurfaktan dihasilkan sebagai tanggapan fisiologis mikrob termasuk bakteri terhadap adanya substrat tidak larut air seperti minyak bumi. Biosurfaktan berperan untuk meningkatkan kelarutan senyawa hidrofobik tersebut sehingga dapat digunakan sebagai sumber karbon yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Tahapan penapisan untuk mendapatkan isolat bakteri penghasil biosurfaktan dilakukan melalui uji blood hemolysis test, drops collapse assay dan oil spreading method. Blood hemolysis test umumnya digunakan sebagai metode awal untuk mendeteksi adanya biosurfaktan. Carillo et al. (1996) menemukan adanya hubungan antara aktivitas hemolitik dengan produksi biosurfaktan, dan merekomendasikan blood hemolysis test sebagai metode primer untuk mengetahui aktivitas biosurfaktan. Hasil uji blood hemolysis terhadap 113 isolat menunjukkan bahwa 44 isolat memiliki kemampuan hemolitik (Tabel 3). Lisis sel darah merah dalam blood agar oleh biosurfaktan menyebabkan timbulnya zona bening di sekeliling koloni bakteri (Gambar 5A). Lebar zona bening yang ditunjukkan oleh isolat dalam penelitian ini berbeda-beda. Perbedaan lebar zona bening kemungkinan disebabkan oleh perbedaan konsentrasi biosurfaktan yang dihasilkan oleh isolat bakteri. Hasil penelitian Youssef et al. (2004) menggunakan bakteri Bacillus mengungkapkan terdapat hubungan linear antara besar diameter zona bening dan konsentrasi biosurfaktan yang dihasilkan. Munculnya zona bening disebabkan karena biosurfaktan merusak membran sel, sehingga sel darah merah menjadi lisis dan hemoglobin keluar dari sel. Zaragoza et al. (2010) menjelaskan bahwa aktivitas hemolitik biosurfaktan dapat terjadi melalui dua mekanisme berbeda. Hemolisis dapat disebabkan oleh larutnya membran yang secara normal terjadi pada konsentrasi biosurfaktan yang tinggi. Hemolisis dapat juga disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas membran terhadap zat terlarut berukuran kecil, yang terjadi saat konsentrasi biosurfaktan rendah, sehingga menyebabkan lisis osmotik. Thavasi et al. (2011) menyatakan uji ini bukanlah metode yang sensitif karena senyawa lain selain biosurfaktan juga dapat menyebabkan hemolisis. Oleh karena itu, diperlukan metode lain untuk mendeteksi biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri. Metode penapisan kedua yang dilakukan adalah drop collapse (Gambar 5B). Metode ini didasarkan pada kemampuan biosurfaktan untuk mendestabilisasi tetesan cairan. Adanya biosurfaktan diperlihatkan dengan bentuk tetesan minyak yang melebar setelah ditambahkan supernatan kultur bakteri. Apabila tidak terdapat biosurfaktan maka tetesan minyak dalam sumur microplate tetap berbentuk bulat (Walter et al. 2010). Penentuan hasil positif dan negatif dalam penelitian ini mengacu pada Thavasi et al. (2011), yang menyatakan bahwa hasil uji drop collapse dinyatakan positif jika diameter tetesan setidaknya 1 mm lebih besar dari kontrol negatif berupa akuades. Hasil pengujian menunjukkan 45 isolat memberikan hasil positif pada uji ini (Tabel 3). Melebarnya bentuk tetesan disebabkan menurunnya daya tegangan antarmuka antara cairan supernatan dan permukaan hidrofobik dari tetesan minyak (Saravanan dan Vijayakumar, 2012). Metode drop collapse memiliki keuntungan antara lain sensitif, cepat, mudah dilakukan dan membutuhkan jumlah sampel yang kecil (Safary et al. 2010) Isolat yang menunjukkan hasil positif pada oil spreading assay sebanyak 65 isolat. Oil spreading assay merupakan merupakan metode cepat, mudah dan sensitif
31
yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas biosurfaktan. Terpecahnya lapisan minyak (Gambar 5C) mengindikasikan terdapatnya biosurfaktan ekstraseluler dalam supernatan kultur yang diujikan. Hal ini menunjukkan metode ini lebih sensitif dibandingkan uji hemolitik dan drop collapse yang masing-masing memberikan hasil positif sebanyak 44 dan 43 isolat. Hasil penelitian ini sejalan dengan Youssef et al. (2004) yang melaporkan bahwa isolat yang menunjukkan hasil negatif pada uji hemolitik masih memberikan hasil positif pada uji oil spreading, dengan demikian metode ini mampu mendeteksi konsentrasi biosurfaktan yang lebih rendah dibandingkan metode drop collapse. Hamzah et al. (2013) juga melaporkan bahwa lebih banyak isolat yang memberikan hasil positif pada uji oil spreading dibandingkan dengan metode drop collapse. Keberhasilan proses bioremediasi untuk mengatasi polusi tumpahan minyak bergantung pada kemampuan membangun dan memelihara kondisi yang mendukung peningkatan kecepatan biodegradasi minyak di lingkungan yang terkontaminasi. Salah satu syarat penting adalah adanya mikrob dengan kemampuan metabolisme yang tepat (Das and Chandran 2011). Mikrob dominan pendegradasi polutan organik di area yang terkontaminasi adalah kelompok kemoorganotrof aerob yang dapat menggunakan senyawa alami maupun xenobiotik sebagai sumber karbon dan donor elektron untuk memperoleh energi (Fritsche dan Hofrichter 2008). Kemampuan degradasi dan produksi biosurfaktan pada MSM cair yang ditambahkan dengan minyak mentah diperlihatkan dengan pecahnya lapisan minyak mentah pada permukaan medium. Li dan Chen (2009) menjelaskan molekul biosurfaktan dapat terakumulasi di sepanjang permukaan antara udara dan zat cair serta antarmuka antara zat cair dengan zat cair, dan dengan demikian dapat menurunkan tegangan permukaan maupun tegangan antar muka. Selanjutnya apabila konsentrasi surfaktan telah melebihi ambang batas tertentu yang disebut konsentrasi misel kritis (CMC), monomer surfaktan yang terdapat dalam air akan membentuk misel. Pada kondisi ini, senyawa hidrofobik dapat masuk ke dalam inti hidrofobik dari misel, sehingga terjadi pelarutan (Gambar 15). Mekanisme ini diduga yang menyebabkan pecahnya lapisan minyak mentah pada saat pengujian. Hasil pengamatan memperlihatkan terdapat perbedaan kemampuan setiap isolat dalam mendegradasi minyak mentah yang ditunjukkan dengan perbedaan karakteristik pecahnya lapisan minyak (Tabel 4). Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan komposisi biosurfaktan yang dihasilkan oleh masing-masing isolat. Gugus hidrofilik dan hidrofobik yang menyusun molekul biosurfaktan berbeda-beda bergantung pada strain bakteri penyusunnya. Secara umum gugus hidrofilik dapat berupa asam amino, peptida, monosakarida, disakarida atau polisakarida. Gugus hidrofobik dapat terdiri atas asam lemak jenuh atau tak jenuh (Desai dan Banat 1997). Isolat berbeda yang diperoleh dalam penelitian ini dimungkinkan menghasilkan komponen hidrofilik dan hidrofobik yang berbeda yang dapat mempengaruhi aktivitasnya dalam mendegradasi minyak mentah. Youseff et al. (2005) menyatakan aktivitas biosurfaktan bergantung pada struktur komponen struktural, seperti gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimilikinya. Sebagai contoh, kelarutan dan aktivitas permukaan dari Surfactin, suatu lipopeptida yang dihasilkan oleh B. subtilis dipengaruhi oleh penataan residu asam amino untuk pembentukan gugus hidrofobik. Penggantian asam amino dengan residu yang lebih bersifat hidrofobik akan meningkatkan tegangan permukaan dan menurunkan nilai Critical Micelle Concentration (CMC). Hal sebaliknya terjadi pada
32
lipopeptida Lichenysin A yang dihasilkan oleh B. licheniformis, peningkatan persentase residu hodrofobik berupa asam lemak rantai bercabang akan menurunkan nilai tegangan permukaan yang dihasilkan. Menurut Fritsche dan Hofrichter (2008), terdapat dua mekanisme yang terlibat dalam proses pengambilan substrat hidrofobik seperti minyak, yaitu produksi biosurfaktan dan pelekatan sel mikrob pada tetesan minyak. Mekanisme pengambilan substrat ke dalam sel belum diketahui dengan jelas, sementara peran biosurfaktan telah diketahui dengan baik. Biosurfaktan berperan dalam menurunkan tegangan permukaan dan pembentukan misel (Gambar 15).
Minyak Emulsifikasi
Pembentukan misel
Produksi biosurfaktan
Sel bakteri
Membran sel Dinding sel
Gambar 15 Efek ramnolipid yang dihasilkan oleh bakteri Pseudomonas spp terhadap pembentukan misel dan pengambilan senyawa hidrokarbon pada minyak (Fritsche dan Hofrichter 2008) Kemampuan tumbuh bakteri pada medium padat yang mengandung HAP. ditunjukkan dengan munculnya koloni setelah waktu inkubasi yang berbeda (Gambar 6B). Tumbuhnya koloni mengindikasikan bakteri mampu menggunakan hidrokarbon yang diujikan sebagai sumber karbon tunggal. Hasil ini serupa dengan penelitian Ceyhan (2012), bahwa penggunaan pirena oleh bakteri Proteus vulgaris pada medium Carbon Free Mineral Medium (CFMM) ditunjukkan dengan tumbuhnya koloni setelah tiga hari inkubasi. Pencemaran lingkungan oleh minyak bumi dapat menstimulasi pertumbuhan organisme tertentu yang mampu mendegradasi bahan pencemar tersebut sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Kemampuan ini akan memberikan keuntungan karena dapat mengurangi bahan pencemar berbahaya tersebut. Identifikasi bakteri yang berperan dalam degradasi tersebut menjadi penting sebagai dasar pengembangan proses bioremediasi. Identifikasi isolat bakteri yang diperoleh dalam penelitian ini menggunakan teknik molekuler melalui analisis gen penyandi 16S rRNA. Teknik
33
molekuler digunakan untuk membandingkan urutan DNA mikrob dan memungkinkan untuk identifikasi filogenetik. Gen 16S rRNA merupakan penanda yang sangat lestari, dengan tingkat mutasi yang lambat dan konstan sehingga dapat digunakan untuk mengukur jarak taksonomi antara spesies berdasarkan perbedaan urutan DNA (Amann 1995). Deteksi gen 16S rRNA pada penelitian ini menggunakan primer Marchesi et al. (1997), menjelaskan bahwa primer 63f and 1387r mampu dan konsisten mengamplifikasi gen penyandi 16S rRNA yang diperoleh dari berbagai jenis bakteri. Sekuen 16S rRNA yang diperoleh disejajarkan dengan database pada NCBI menggunakan program BLAST. Sekuen dari tujuh isolat yaitu. Pseudomonas stutzeri CRN13, Bacillus pumilus CHN27, Ochrobactrum intermedium AMA9, Pseudomonas stutzeri CRA7, Ochrobactrum tritici CHA60, Gordonia cholesterolivorans AMP10 dan Bacillus subtilis RIP43 memiliki similaritas 99% dengan sekuen yang terdapat pada database NCBI. Tiga isolat lain yaitu Micrococcus endophyticus CRN3, Stenotrophomonas acidaminiphila CHN24, and Micrococcus yunnanensis CHP29) memiliki similaritas kurang dari 99% (Tabel 6). Hasil konstruksi pohon filogenetik memperlihatkan 10 isolat bakteri yang teridentifikasi berasal dari tiga filum yang berbeda yaitu Proteobacteria, yang terdiri atas kelas Proteobacteria (O. intermedium AMA 9, O. tritici CHA 60), dan Proteobacteria (S acidaminiphila CHN 24, P. stutzeri CRA 7, P. stutzeri CRN 13), filum Firmicutes (B. pumilus CHN 27, B. subtilis RIP 43) dan filum Actinomycetes (Micrococcus endophyticus, M. yunnanensis dan Gordonia cholesterolivorans). Tampaknya tidak terdapat hubungan antara filum tertentu dengan lokasi asal isolat bakteri. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya bakteri dari filum yang sama pada lokasi berbeda. Fakta ini menjelaskan bakteri yang ditemukan merupakan bakteri dengan habitat yang tersebar luas. Pseudomonas stutzeri, Bacillus pumilus, Bacillus subtilis dan Ochrobactrum intermedium, telah dilaporkan merupakan bakteri penghasil biosurfaktan (Priya dan Usharani 2009; Oliveira et al. 2013; Kaya et al. 2014; Bezzaa et al. 2015), sementara Ochrobactrum tritici dan Gordonia cholesterolivorans yang didapatkan dalam penelitian ini.belum pernah dilaporkan sebelumnya. Micrococcus merupakan genus bakteri dari famili Micrococcaceae. Micrococcus ditemukan di berbagai lingkungan termasuk debu, air dan tanah. Sel bersifat Gram positif berbentuk bulat, dengan diameter sekitar 0,5 sampai 3 mikrometer dan umumnya bergerombol. Beberapa galur telah dimanfaatkan untuk degradasi hidrokarbon dan lilin. Micrococcus dapat tumbuh di lingkungan dengan sedikit air dan konsentrasi garam yang tinggi. Micrococcus memiliki kemampuan untuk memanfaatkan berbagai substrat yang tidak biasa seperti piridin, herbisida, dan minyak. Bakteri ini diduga juga mampu mendetoksifikasi atau mendegradasi banyak polutan lingkungan lainnya (Santhini et al. 2009). Bacillus dan Pseudomonas merupakan genera bakteri yang sangat dikenal sebagai penghasil biosurfaktan. Bakteri ini banyak ditemukan di lingkungan terkontaminasi hidrokarbon dan banyak strain dari genera ini telah banyak dilaporkan sebagai penghasil biosurfaktan sekaligus pendegradasi hidrokarbon yang efisien. Genus Pseudomonas memiliki sel berbentuk batang dan bersifat Gram-negatif. Bakteri ini diketahui mampu menghasilkan biosurfaktan ramnolipid, suatu jenis biosurfaktan yang paling banyak dipelajari (Desai dan Banat 1997). Berbagai substrat yang berbeda, seperti gliserol, manitol, fruktosa, glukosa, n-parafin dan minyak nabati
34
dapat digunakan bakteri ini untuk menghasilkan ramnolipid (Santa-Anna 2002). Selain menghasilkan biosurfaktan ramnolipid, bakteri P. aeruginosa diketahui mampu mendegradasi HAP seperti naftalena, fenantrena dan pirena (Kumar 2006) Stenotrophomonas merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang, banyak terdapat di lingkungan air dan tanah. Kemampuan bakteri ini untuk menghasilkan biosurfaktan ramnolipid telah cukup banyak dilaporkan. Spesies yang telah diketahui sebagai penghasil biosurfaktan diantaranya S. koreensis dan S. acidaminiphila (Patil et al. 2012). Genus Bacillus telah banyak dilaporkan mampu menghasilkan beberapa jenis biosurfaktan seperti Fengycin, Iturin A dan Surfactin. Lipopeptide siklik surfactin, yang dihasilkan oleh B. subtilis ATCC 21332, adalah salah satu biosurfaktan yang paling kuat. Biosurfaktan ini mampu menurunkan tegangan permukaan hingga 27,9 mN/m pada konsentrasi 0,005% (Desai dan Banat 1997). Genus Gordonia, merupakan anggota kelompok Actinomycetes dari subordo Corynebacterineae. Gordonia diketahui berperan penting dalam proses bioremediasi karena kemampuannya untuk mendegradasi hidrokarbon dan senyawa alami yang tidak mudah terurai. Sebagian besar spesies dari genus ini telah dikenal dapat mendegradasi polutan, senyawa xenobiotik, ataupun polimer alami yang lambat didegradasi (Arenskotter 2004). Gordonia sp. BS29 memiliki kemampuan untuk tumbuh pada hidrokarbon alifatik dan menghasilkan dua jenis senyawa aktif permukaan yaitu bioemulsans ekstraseluler dan biosurfaktan terikat sel (Franzetti et al. 2009). G. cholesterolivorans bersifat aerobik, Gram positif, non-motil dan tidak membentuk spora (Drzyzga et al. 2009). Kemampuan emulsifikasi dari biosurfaktan yang dihasilkan oleh kesepuluh isolat bakteri ditentukan berdasarkan pengukuran indeks emulsifikasi (E24). Hasil penelitian memperlihatkan seluruh isolat menghasilkan nilai indeks emulsifikasi di atas 50% (Tabel 7). Willumsen and Karlson (1997), menyatakan nilai E24 mengindikasikan stabilitas dari emulsi dan galur yang menghasilkan nilai di atas 50% dinyatakan sebagai penghasil biosurfaktan yang baik. Nilai E24 tertinggi dihasilkan oleh isolat Gordonia cholesterolivorans AMP 10 (79,56%), sehingga dapat dikatakan biosurfaktan yang dihasilkan oleh isolat ini memiliki sifat emulsifikasi yang sangat tinggi. Nilai E24 yang diperoleh tersebut di atas digunakan sebagai salah satu dasar penentuan pemilihan isolat untuk pengujian pada tahap penelitian selanjutnya. Indeks emulsifikasi merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengetahui bakteri penghasil biosurfaktan yang potensial. Kemampuan emulsifikasi berperan dalam bioremediasi untuk menginduksi dispersi senyawa tak larut air ke seluruh cairan sehingga memfasilitasi penyerapannya (Satpute et al. 2008). Lopes et al. (2014) menjelaskan bahwa sifat emulsifikasi sangat penting dalam aplikasi biosurfaktan termasuk penggunaannya di lapang. Kemampuan emulsifikasi disebabkan oleh struktur dan komponen yang dimiliki oleh biosurfaktan. Pada umumnya biosurfaktan tersusun atas komponen gula, asam amino, asam lemak dan kelompok fungsional seperti asam karboksilat. Sebagai contoh, glikolipid (rhamnolipid, sophorolipid dan trehalolipid) terdiri atas gula yang berbeda yang terkait dengan asam lemak -hidroksi, sementara lipopeptida (surfactin, iturin dan fengycin) terdiri atas sikloheptapeptida dengan asam amino yang terikat pada asam lemak dari rantai yang berbeda. Struktur ini menyebabkan biosurfaktan bersifat amfifilik dan mampu bercampur baik pada pelarut polar maupun non polar.
35
Struktur amfifilik ini pula yang memungkinkan biosurfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka antar dua fasa yang berbeda (udaracair, cair-cair, dan cair-padat) serta mampu membentuk emulsi. Kemampuan emulsifikasi ini penting untuk memudahkan akses dan pengambilan substrat hidrofobik oleh sel.
Pertumbuhan dan Degradasi Hidrokarbon Aromatik Polisiklik oleh Isolat Bakteri asal Teluk Jakarta B. pumilus CHN 27 yang diperoleh pada penelitian ini memperlihatkan kemampuan untuk tumbuh dan mendegradasi naftalena yang ditambahkan ke dalam medium sebagai sumber karbon tunggal. Hasil analisis GC-MS pada tahapan penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa pada hari ke 7 naftalena tidak terdeteksi dalam medium. Berdasarkan hal tersebut maka pengamatan pertumbuhan dan degradasi dilakukan selama 5 hari dengan waktu pengamatan setiap 24 jam. Jumlah sel awal yang diinokulasikan sebesar 104 cfu/mL. Jumlah ini meningkat hingga hari ke-3 pada konsentrasi awal naftalena 50 mg/L dan hari ke-4 pada konsentrasi awal 100 mg/L. Selanjutnya terjadi penurunan jumlah sel (Gambar 8). Sementara itu degradasi naftalena B. pumilus CHN 27 menunjukkan kemampuan yang baik dengan persentase degradasi pada hari ke lima mencapai 76,78% untuk konsentrasi awal naftalena 50mg/L dan 94,04% untuk konsentrasi awal naftalena 100 mg/L (Gambar 9). Bacillus pumilus telah dilaporkan oleh beberapa peneliti mampu mendegradasi HAP. Delapan galur Bacillus pumilus yang diisolasi dari sampel tanah tercemar minyak diketahui dapat tumbuh dan menggunakan naftalena, fenantrena, fluorantena atau pirena sebagai sumber karbon tunggal (Toledo et al., 2006). Bacillus pumilus ATAI17 mampu mendegradasi 60% antrasena pada konsentrasi awal 50mg/L selama 6 hari (Amini et al. 2015). Sementara Bacillus pumilus C15 memiliki kemampuan mendegradasi HAP fenantrena dan pirena (Yuliani et al. 2012). Namun demikian, degradasi naftalena oleh B. pumilus masih sedikit dilaporkan. Lintasan katabolik utama naftalena diawali dengan proses oksidasi yang dikatalisis oleh enzim naftalena dioksigenase (Gambar 16). Naftalena dioksigenase pada bakteri Pseudomonas sp. NCIB 9816 dan Pseudomonas putida diketahui merupakan sistem enzim multikomponen yang bertanggungjawab terhadap pembentukan cis-dihidriol naftalena. Tahap berikutnya adalah pembentukan 1,2dihidroksinaftalena yang dikatalisis oleh naftalena dehidrogenase dan membutuhkan NAD+ sebagai aseptor elektron. Selanjutnya terjadi pemecahan 1,2 dihidroksinaftalena menjadi asam cis-hidroksibenzalpiruvat yang akan diubah menjadi piruvat dan salisilat (Mrozik 2003). Asam salisilat selanjutnya akan dimetabolisir melalui pembentukan katekol atau asam gentisat. Senyawa katekol dapat mengalami degradasi melalui dua jalur yaitu orto atau meta. Degradasi melalui jalur meta akan menghasilkan asam piruvat, selanjutnya menjadi asetaldehid dan menghasilkan asetil Co-A. Degradasi melalui jalur orto akan menghasilkan produk berupa asam mukonat yang akan terdegradasi lanjut menjadi asam ketoadipat dan asetil Co-A sebagai produk akhir. Sementara itu, Asam gentisat akan terdegradasi membentuk asam maleipiruvat yang pada akhirnya akan menjadi produk akhir berupa asam piruvat dan asam fumarat. Produk ini akan
36
memasuki siklus asam trikarboksilat untuk menghasilkan energy (Habe dan Omori 2003).
Gambar 16 Lintasan utama degradasi aerobik naftalena oleh bakteri (Bamforth dan Singleton 2005) Analisis GC-MS yang dilakukan untuk mengetahui konsentrasi naftalena pada medium memperlihatkan naftalena terdeteksi pada waktu retensi 7,1 menit. Kromatogram menunjukkan tidak ditemukan puncak yang menunjukkan adanya senyawa antara hasil degradasi naftalena oleh isolat bakteri B. pumilus CHN 27 (Lampiran 2). Hal ini dimungkinkan naftalena tersebut telah mengalami degradasi menjadi produk akhir CO2 dan H2O sehingga tidak terdeteksi dengan metode analisis tersebut. Selain naftalena, senyawa antrasena juga menjadi perhatian karena bersifat karsinogenik. Beberapa jenis bakteri yang diisolasi dari alam memiliki kemampuan untuk mendegradasi antrasena sebagai sumber karbon dan sumber energi. Degradasi antrasena dapat terjadi pada dua kondisi baik aerobik maupun anaerobik. Secara aerobik bakteri menggunakan reaksi enzimatis bertingkat dengan bantuan oksigen dalam reaksinya untuk memecah antrasena menjadi senyawa dalam bentuk lebih sederhana (Moody et al. 2001). Hasil penelitian menunjukkan isolat bakteri yang mampu mendegradasi antrasena teridentifikasi sebagai Ochrobactrum intermedium. Bakteri Ochrobactrum merupakan kelompok bakteri aerobik, Gram negatif, berbentuk batang dan bersifat nonfermentatif (Alnor et al. 1993). Beberapa spesies dari genus ini diketahui mampu mendegradasi HAP antrasena, fenantrena dan fluorena. O. tritici 5bvl1 yang
37
ditemukan pada lingkungan tercemar kromium diketahui resisten terhadap logam tersebut (Arulazaghan et al. 2010). Pertumbuhan O. intermedium AMA 9 pada medium MSM dengan antrasena 50 dan 100 mg/L sebagai sumber karbon tunggal menunjukkan pola yang serupa. Jumlah sel tertinggi baik pada konsentrasi antrasena 50 maupun 100 mg/L dicapai pada hari ke 4 (Gambar 10). Pertumbuhan meningkat hingga hari ke-4 dan selanjutnya terjadi penurunan jumlah sel. Kemampuan degradasi O. intermedium AMA 9 pada konsentrasi 50 mg/L dan 100 mg/l antrasena berturut-turut sebesar 84.79 dan 88.73% setelah 7 hari inkubasi (Gambar 11). Hasil ini lebih tinggi dibandingkan yang dicapai oleh Brachybacterium paraconglomeratum BMIT637C yaitu sebesar 67.11% pada hari ke-8 (Lily et al. 2010). Perbedaan kemampuan kemungkinan disebabkan perbedaan aktivitas enzim yang berperan dalam proses degradasi dari kedua bakteri tersebut. Tay et al. (2015), menyatakan bakteri dari genus Ochrobactrum memiliki kemampuan dan potensi yang menjanjikan sebagai pendegradasi HAP di samping genus Ralstonia, Burkholderia dan Corynebacterium. Selain itu, bakteri O. intermedium dalam penelitian ini telah diketahui mampu menghasilkan biosurfaktan yang dapat meningkatkan degradasi hidrokarbon. Proses degradasi antrasena melalui beberapa tahap bertingkat yaitu proses oksidasi sehingga menghasilkan 1,2-dihidroantrasena yang akan diubah menjadi 1,2dihidroksiantrasena dengan bantuan enzimdihidrodiol dehydrogenase (Gambar 17). Senyawa tersebut selanjutnya diubah menjadi asam 2-hidroksi-3-naptoik, salisilat, dan katekol. Senyawa katekol terdegradasi menjadi senyawa alifatik sederhana melalui jalur yang sama dengan degradasi naftalena (Moody et al. 2001). Antrasena terdeteksi pada penelitian ini melalui analisis GC-MS berupa puncak yang muncul pada waktu retensi 16,8 menit. Senyawa lain yang muncul pada Kromatogram GC-MS (Lampiran 4) bukan merupakan senyawa yang dihasilkan dalam jalur metabolisme bakteri pendegradasi antrasena. Selain puncak yang menunjukkan senyawa antrasena, pada hari ke 0 telah terdeteksi senyawa benzofenona dan pentaeritritol triaksilat. Setelah hari ke-5 area puncak benzofenona tampak menurun kemudian tampak senyawa metil heptadiena. Selanjutnya pada hari ke 7 kedua senyawa ini tidak terdeteksi kembali dan muncul senyawa baru yaitu asam propenoat- oksiranilmetilester. Menurut Nugroho (2006) senyawa lain dapat muncul karena hasil degradasi yang dilakukan oleh bakteri pendegradasi antrasena dapat mengalami oksidasi sehingga menimbulkan senyawa baru. Hal ini dapat menjelaskan terdeteksinya senyawa 2- asam propanoat, oksiranilmetil ester dan pentaeritritol triasilat yang tidak ada dalam jalur degradasi antrasena.
38
Gambar 17 Jalur degradasi antrasena oleh bakteri Mycobacterium sp PYR-1 (Mrozik 2003) Isolat ketiga yang diuji pertumbuhan dan kemampuan degradasinya dalam medium PAH adalah G. cholesterolivorans AMP 10. Peningkatana jumlah sel pada pada medium pirena (Gambar 12) menunjukkan bahwa isolat ini mampu menggunakan pirena sebagai satu satunya sumber karbon dan energi yang tersedia dalam medium. G. cholesterolivorans AMP 10 juga memperlihatkan kemampuan degradasi pirena yang sangat tinggi mencapai 96,6% dan 91,7% setelah 7 hari inkubasi (Gambar 13). Hasil ini lebih tinggi dari yang telah dicapai oleh bakteri Mycobacterium seperti yang dilaporkan oleh Guo et al. (2010), bahwa lebih dari 80% pirena pada konsentrasi awal 10 mg/L dapat didegradasi oleh Mycobacterium setelah 7 hari. Hasil penelitian serupa oleh Kafilzadeh et al. (2012) yang mengungkapkan pirena dapat terdegradasi oleh bakteri Mycobacterium sp. dan Corynebacterium sp. Masingmasing sebesar 89,1% dan 79,4%. Sejauh ini degradasi pirena oleh G. cholesterolivorans belum pernah dilaporkan. Kemampuan degradasi yang tinggi dari isolat ini dimungkinkan karena adanya biosurfaktan yang dihasilkan. Data sebelumnya memperlihatkan aktivitas emulsifikasi tertinggi dibandingkan bakteri lain yang ditemukan yaitu sebesar 79,56%. Aktivitas emulsifikasi yang tinggi ini mempermudah akses sel bakteri ke substrat hidrofobik, dengan demikian akan mempercepat proses degradasi.
39
Gambar 18 Jalur degradasi pirena oleh bakteri Mycobacterium sp. AP1 (Mrozik 2003) Degradasi pirena oleh bakteri Mycobacterium PYR I diajukan sebagai model metabolisme pirena. Degradasi diawali dengan proses dioksigenasi menghasilkan pirenadihidrodiol. Reaksi ini diikuti dengan pemutusan cincin aromatik menghasilkan 4,5-fenantrena asam dicarboksilat. Reaksi dioksigenase kedua akan menghasilkan asam karboksilat fenantrena dihidriol. Proses pemutusan cincin aromatik berikutnya akan menghasilkan 3,4-dihidroksifenantrena yang akan terdegradasi kembali menjadi asam ftalat (Habe dan Omori 2003). Kromatogram hasil analisis GC-MS mendeteksi pirena pada waktu retensi 20,7 (Lampiran 4). Secara keseluruhan Kromatogram memperlihatkan munculnya banyak senyawa pada hari ke-5 dan hilangnya senyawa tersebut pada hari ke 7. Luas area pirena pada hari ke-0 (7.880.611) tampak menurun dengan drastis pada hari ke-5 (1.010.284) diikui dengan terbentuknya senyawa lain. Hal ini menunjukkan terjadinya proses degradasi yang cepat oleh G. cholesterolivorans AMP 10. Pada hari ke-7 senyawa yang terbentuk pada hari ke-5 tidak terdeteksi kembali dan muncul senyawa dimetil pentenil akrilat. Seperti halnya pada degradasi antrasena oleh O. intermedium AMA 9, senyawa dimetil pentenil akrilat ini bukan merupakan senyawa antara pada proses degradasi pirena, sehingga diduga merupakan hasil oksidasi dari senyawa antara yang terbentuk sebelumnya. Profil pertumbuhan bakteri pada medium yang mengandung HAP sebagai sumber karbon tunggal digambarkan melalui nilai laju pertumbuhan. Laju
40
pertumbuhan spesifik () dari ketiga jenis bakteri (Tabel 8) memperlihatkan nilai yang tertinggi terdapat pada substrat naftalena, diikuti oleh antrasena dan pirena. Hal ini dapat dijelaskan karena naftalena dan antrasena merupakan hidrokarbon aromatik polisiklik dengan berat molekul rendah (Low Molecular Weight/LMW) dan relatif lebih mudah larut dalam air dibandingkan pirena yang termasuk dalam kelompok High Molecular Weight (HMW) HAP sehingga lebih mudah digunakan oleh bakteri untuk menghasilkan energi bagi pertumbuhannya. Cerniglia (1992) menyatakan bahwa HAP dengan berat molekul tinggi lebih sulit didegradasi oleh mikroba sehingga lebih bersifat persisten di lingkungan. Penggunaan HAP oleh ketiga bakteri ditunjukkan pula dengan meningkatnya persentase degradasi hingga hari ke 5 untuk naftalena dan hari ke 7 untuk antrasena dan pirena. Nilai laju pertumbuhan spesifik (µ) dari ketiga bakteri (Tabel 8) menunjukkan nilai yang sangat rendah yaitu pada kisaran 0,03-0,06 jam-1 dengan waktu generasi (g) tercepat sebesar 11.63 jam oleh bakteri B. pumilus pada substrat naftalena 50 mg/L. G. cholesterolivorans memiliki waktu generasi terlama (20,69 jam) pada 100 mg/L pirena. Laju pertumbuhan bakteri ini dipengaruhi oleh jumlah energi yang dihasilkan dari proses degradasi. Laju degradasi bergantung pada apakah senyawa ini dapat digunakan oleh mikrob sebagai sumber energi dan nutrisi. Mikrob yang berada di lingkungan mendapatkan energi untuk kebutuhan metabolismenya melalui proses penghasilan energi (reaksi eksergonik) dan tidak dapat bertahan hidup apabila lingkungan lebih mendukung terjadinya reaksi yang membutuhkan energi (reaksi endergonik). Selain itu, energi yang dihasilkan harus cukup untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan selnya. (McFarland dan Sims 1991). Prinsip dasar ini dapat digunakan untuk mengetahui kondisi spesifik yang paling sesuai untuk terjadinya proses degradasi yang optimal. Menurut Heitkamp dan Cerniglia (1988), laju degradasi senyawa HAP berbanding terbalik dengan jumlah cincin yang dimiliki. Semakin banyak jumlah cincin yang terkandung, maka laju degradasi akan semakin lambat. Perhitungan jumlah energi bebas digunakan untuk memprediksi energi yang dihasilkan oleh reaksi suatu senyawa dalam hal ini senyawa HAP. Jumlah energi bebas yang dihasilkan oleh HAP naftalena, antrasena dan pirena pada kondisi aerob dijelaskan oleh McFarland dan Sims (1991) dengan menggabungkan nilai energi bebas yang dihasilkan oleh reaksi mineralisasi setengah sel (Tabel 12) dan energi bebas dari reaksi reduksi oksigen. Tabel 12 Reaksi mineralisasi setengah sel HAP pada suhu 25oC, pH 7 (McFarland dan Sims 1991) No
HAP
Go
Reaksi
1
Naftalena
(10/48)CO2 + H+ + e-
-6.75
2
Antrasena (1/66)C14H10+(28/66)H2O
(14/66)CO2 + H+ + e-
-6.70
3
Pirena
(1/74)C16H10+(32/74)H2O
(16/74)CO2 + H+ + e-
-6.49
(1/48)C10H8+(20/48)H2O
Reduksi oksigen terjadi melalui reaksi berikut : ¼ O2 + H+ + e½ H2O
Go = -18.675
41
Tabel 13 Nilai energi bebas (Go) dari HAP Naftalena, Antrasena dan Pirena (McFarland dan Sims 1991) No
HAP
Go
1
Naftalena
-25,43
2
Antrasena
-25,28
3
Pirena
-25,17
Nilai energi bebas tertinggi diperoleh pada hidrokarbon naftalena, diikuti oleh antrasena dan pirena (Tabel 13). Urutan ini sesuai dengan nilai laju pertumbuhan bakteri pada ketiga senyawa yang digunakan sebagai sumber karbon tersebut. Berdasarkan nilai energi bebas yang diperoleh dari masing-masing jenis HAP maka dimungkinkan energi bebas yang tersedia pada setiap jenis HAP yang menyebabkan perbedaan pada laju pertumbuhan spesifik dan waktu generasi setiap isolat bakteri. Pertumbuhan dan degradasi HAP pada ketiga isolat menunjukkan pola yang serupa yaitu lebih tinggi pada konsentrasi 50 mg/L dibandingkan pada 100 mg/L. Hasil ini menjelaskan bahwa kemampuan degradasi bakteri dipengaruhi oleh konsentrasi HAP yang diberikan. Semakin tinggi konsentrasi substrat, semakin banyak energi yang diperlukan untuk mendegradasi substrat tersebut. Hal ini menyebabkan pertumbuhan dan kemampuan degradasi menurun. Menurut Bennet et al. (2012), toleransi mikrob terhadap kontaminan merupakan penentu untuk efisiensi proses biodegradasi. Selain itu seperti dijelaskan oleh Mezguida et al. (2015), faktor toksisitas dan jenis senyawa turut berkontribusi terhadap kemampuan degradasi. Faktor tersebut terkait dengan aktivitas enzimatik yang memediasi proses metabolisme. Yessica et al. (2013) melaporkan hasil pada bakteri Rhizobium tropici yang menunjukkan penurunan pola pertumbuhan sejalan dengan meningkatnya konsentrasi HAP fenantrena dan benzo[a]pirena. Hal serupa diungkapkan oleh hasil studi degradasi HAP yang dikemukakan Arulazaghan (2010) bahwa persentase degradasi fenantrena oleh konsorsium bakteri halotoleran menurun dari 89% menjadi 74 % sejalan dengan meningkatnya konsentrasi fenantrena dari 50 mg/L menjadi 100 mg/L. Hasil perhitungan kecepatan degradasi menunjukkan hidrokarbon lebih cepat didegradasi pada konsentrasi 100 mg/L dibandingkan 50 mg/L (Tabel 9). Tingkat degradasi yang tinggi oleh ketiga isolat bakteri (B. pumilus CHN 27, O. intermedium AMA 9 dan G. cholesterolivorans AMP 10) diduga karena adanya biosurfaktan yang dihasilkan. Menurut Singh (2012) fungsi utama dari biosurfaktan dalam sel mikrob yaitu mengemulsifikasi substrat yang tidak larut air seperti hidrokarbon dan memfasilitasi transportasinya ke dalam sel untuk memacu pertumbuhan. Selain itu Varadavenkatesan dan Murty (2013) menjelaskan bahwa biosurfaktan meningkatkan area kontak bakteri dengan antarmuka hidrokarbon dan air. Degradasi HAP sebagian besar dilakukan oleh enzim dioksigenase yang dihasilkan oleh bakteri pendegradasi HAP dalam kondisi aerobik. Enzim dioksigenase awal yang bertanggung jawab untuk memutuskan struktur cincin aromatik HAP merupakan enzim kunci dalam aktivitas degradasi HAP. Beberapa jenis primer dirancang berdasarkan gen penyandi dioksigenase diantaranya nahAc, phnAc dan
42
nidA. Penggunaan primer ini telah berhasil mendeteksi gen dioksigenase bakteri dari sampel lingkungan, meskipun demikian pada beberapa spesies gen dioksigenase belum dapat dideteksi menggunakan primer ini (Zhou et al. 2006). Menurut Yuliani et al. (2012), gen nahAc dan nidA lazim terdapat pada bakteri pendegradasi HAP. Gen ini berguna untuk menentukan keberadaan gen penyandi enzim dioksigenase. Produk PCR dari gen nah Ac dan nidA diperoleh pada isolat AMA 9 dan AMP 10 pada reaksi pertama, akan tetapi tidak ada produk PCR yang teramplifikasi pada reaksi PCR kedua. Hal ini kemungkinan disebabkan pasangan primer kedua tidak dapat mengenali sekuen yang dihasilkan dari pasangan primer pertama. Hasil serupa juga dikemukakan oleh Zhou et al. (2006), primer nahAc yang digunakan pada bakteri Sphingomonas HL1 dan FCIB hanya menghasilkan produk PCR pada reaksi pertama. Yuliani et al. (2012) menjelaskan bahwa reaksi kedua pada nested PCR digunakan sebagai langkah konfirmasi untuk memeriksa produk gen dioksigenase pada reaksi pertama. Dengan demikian hasil reaksi pertama tetap mengindikasikan adanya gen dioksigenase. Gen NahAc merupakan gen yang bersifat sangat lestari yang terdapat pada berbagai bakteri Gram negatif (Park dan Crowley 2006). Gen ini telah diketahui terdapat pada bakteri Pseudomonas dan beberapa spesies Burkholderia (Guo et al. 2010). Penelitian ini memberikan hasil yang berbeda bahwa gen ini dapat diperoleh dari G. cholesterolivorans yang merupakan bakteri Gram positif. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya proses transfer gen. Park dan Crowley (2006) mengungkapkan bahwa transfer gen horizontal alami dapat terjadi antara spesies yang berbeda yang membawa gen ini. Selain itu, gen NahAc terbukti ditemukan tidak hanya pada bakteri pendegradasi naftalena tetapi juga pada bakteri yang dapat mendegradasi HAP dengan berat molekul yang lebih tinggi termasuk fenantrena, antrasena, fluoranthena, dan pirena. Hal ini dapat menjelaskan tentang keberadaan gen naftalena dioksigenase pada bakteri G. cholesterolivorans. Hasil analisis sekuen terhadap produk gen nahAc dan nidA yang diperoleh menunjukkan tidak ada satupun yang merujuk langsung kepada gen dioksigenase (Tabel 11). Hal ini dimungkinkan karena primer yang digunakan didesain berdasarkan sekuen dari bakteri lain. Primer untuk mengamplifikasi gen dioksigenase nahAc dalam penelitian ini didesain berdasarkan gen nahAc (Pseudomonas putida G7 M83949), phnAc (Alcaligenes faecalis AFK2 AB024945), nahAc (Ralstonia sp. AF036940), phnAc (Burkholderia sp. RP007) dan phnA1 (Cycloclasticus sp. A5 AB102786). Primer untuk mendeteksi gen nidA dibuat berdasarkan sekuen gen nidA dari bakteri Mycobacterium vanbaalenii PYR-1 (Zhou et al. 2006). Aktivitas Biosurfaktan pada Sumber Karbon yang Berbeda Pengujian aktivitas biosurfaktan yang dihasilkan oleh ketiga isolat bakteri terpilih dilakukan pada tiga jenis karbon yang berbeda. Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui produksi biosurfaktan dari ketiga isolat dan mendapatkan informasi substrat manakah yang memberikan aktivitas terbaik dari biosurfaktan yang dihasilkan. Hal ini diperlukan terkait dengan potensi aplikasi isolat di lingkungan tercemar. Produksi biosurfaktan dapat diketahui melalui pengukuran penurunan tegangan permukan dan peningkatan indeks emulsifikasi. Gugus hidrofobik dan hidrofilik pada biosurfaktan menyebabkan senyawa ini dapat terakumulasi di antara fase cairan, sehingga mengurangi tegangan permukaan dan tegangan antar muka
43
(Kapadia dan Yagnik 2012). Aktivitas emulsifikasi adalah kemampuan surfaktan untuk membentuk emulsi pada kondisi tertentu (Cheng et al. 2008). Penurunan tegangan permukaan, sifat emulsifikasi dan kapasitas menstabilkan menjadi kriteria penting bagi biosurfaktan untuk dapat diaplikasikan lingkungan dan industri (Banat et al. 2000; Ferhat 2011). Menurut Cooper dan Zajic (1980) kriteria utama yang digunakan untuk memilih biosurfaktan mikroba adalah kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan hingga 40 mN/m atau lebih rendah. Dengan demikian, bakteri G. cholesterolivorans AMP 10 dan B. pumilus CHN 27 memiliki kapasitas menurunkan tegangan permukaan yang baik sesuai kriteria tersebut. G. cholesterolivorans AMP 10 memberikan hasil terbaik dengan nilai tegangan permukaan 24,7-36,64 mN/m dan kapasitas emulsifikasi 62,91-78,35%. Kemampuan emulsifikasi dan aktivitas permukaan suatu kultur bakteri memberikan indikasi kuat produksi biosurfaktan (Walter et al. 2010). Biosurfaktan umumnya dihasilkan oleh mikroorganisme aerob yang menggunakan karbohidrat, hidrokarbon, dan minyak nabati atau hewani sebagai sumber karbon. Beberapa bakteri pendegradasi minyak diketahui mampu menghasilkan biosurfaktan ekstraseluler. Jenis biosurfaktan yang dihasilkan dapat sangat bervariasi, bergantung pada komposisi media pertumbuhan yang digunakan (Bouchez et al. 1999). Hasil pengujian terhadap sumber karbon (Tabel 7) memperlihatkan bakteri G. cholesterolivorans memberikan nilai tegangan permukaan terendah sebesar 24.7 mN/m pada substrat glukosa. Mineral Salt Medium yang digunakan sebagai kontrol memiliki tegangan permukaan sebesar 71.3 mN/m. Demikian pula pada bakteri B. pumilus CHN 27 nilai tegangan permukaan terendah diperoleh pada substrat glukosa. Berbeda halnya dengan bakteri O. intermedium AMA 9, nilai tegangan permukaan terendah pada bakteri ini diperoleh pada substrat crude oil. Perbedaan kemampuan penggunaan substrat sebagai sumber karbon ini disebabkan perbedaan jalur metabolisme yang dimiliki oleh setiap bakteri untuk sintesis biosurfaktan. Mayoritas biosurfaktan diketahui dihasilkan pada substrat tidak larut air, akan tetapi banyak penelitian yang juga melaporkan produksi biosurfaktan oleh mikrob pada substrat larut air seperti glukosa, gliserol dan etanol. Strain yang berbeda dari bakteri Pseudomonas aeruginosa dilaporkan mampu menghasilkan biosurfaktan pada substrat larut air, sementara strain lain menggunakan substrat tidak larut air untuk produksi biosurfaktan. Hal ini menunjukkan bahwa preferensi sumber karbon untuk produksi rhamnolipid tampaknya bergantung pada jenis strain dan bukan pada substrat. Das et al. (2008) menyatakan faktor penting dalam sintesis biosurfaktan oleh mikrob adalah profil genetik dari mikrob penghasilnya. Studi tentang genetika molekuler dan biokimia pada beberapa mikrob penghasil biosurfaktan mengungkapkan bahwa operon, enzim dan jalur sintesis tertentu dibutuhkan untuk produksi biosurfaktan ekstraseluler. Hal ini menjelaskan bahwa bakteri berbeda dapat memerlukan substrat yang berbeda untuk sintesis biosurfaktan. Seperti halnya pada setiap organisme, pasokan nutrisi juga merupakan hal yang sangat penting bagi bakteri. Campuran sumber karbon berbeda yang berpotensi untuk digunakan sering terdapat di habitat alami mereka. Mekanisme penyerapan nutrisi oleh karenanya telah berevolusi dalam banyak bakteri yang memungkinkan penyerapan selektif dan metabolisme sumber karbon yang memberikan pertumbuhan tercepat dan memberikan hasil terbaik untuk berkompetisi dengan bakteri lain atau mikrob lain (Singh et al. 2008).
44
Hasil ini penelitian ini sejalan dengan penelitian produksi biosurfaktan oleh Bacillus clausii 5B (Aparna et al. 2012), glukosa sebagai sumber karbon menunjukkan nilai tegangan permukaan terendah (30,23 mN / m) dibandingkan dengan sukrosa, molase dan gliserol. Demikian pula, glukosa sebagai sumber karbon P.aeruginosa MM1011 mampu menurunkan tegangan permukaan hingga 20 mN/ m (Rashedi, 2005). Hasil yang diperoleh ini menunjukkan bahwa G. cholesterolivorans AMP 10 merupakan pendegradasi pirena yang potensial dan juga penghasil biosurfaktan yang baik yang dapat berperan penting dalam proses bioremediasi HAP. Minyak pelumas bekas digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur kapasitas emulsifikasi supernatan. Pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih sesuai dengan kondisi di lingkungan. Willumsen dan Karlson (1997) menyatakan suatu kultur merupakan penghasil biosurfaktan potensial jika memiliki kapasitas emulsifikasi yang tinggi, setidaknya 50% setelah 24 jam. Data yang diperoleh (Tabel 11) memperlihatkan B. pumilus CHN 27 memiliki kapasitas emulsifikasi terbaik (79,4%) di antara semua isolat, yang diperoleh pada substrat glukosa. Hal ini menunjukkan produksi biosurfaktan terbaik dihasilkan pada substrat tersebut.
45
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sepuluh isolat bakteri penghasil biosurfaktan dan pendegradasi hidrokarbon telah berhasil diisolasi dari tanah yang terkontaminasi minyak di Teluk Jakarta. Seluruh isolat memiliki indeks emulsifikasi di atas 50% dan dianggap sebagai produser biosurfaktan potensial. Identifikasi berdasarkan analisis 16SrRNA menunjukkan isolat tersebut berasal genus Micrococcus (2 isolat), Pseudomonas (2 isolat), Bacillus (2 isolat), Ochrobactrum (2 isolat) serta Stenotrophomonas dan Gordonia masing-masing satu isolat. G. cholesterolivorans sejauh ini belum pernah dilaporkan sebagai bakteri penghasil biosurfaktan dan pendegradasi hidrokarbon. Tiga isolat diantaranya memiliki kemampuan tumbuh, degradasi Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) dan aktivitas biosurfaktan yang tinggi yaitu Bacillus pumilus CHN 27, Ochrobactrum intermedium AMA 9 dan Gordonia cholesterolivorans AMP 10. B. pumilus CHN 27 mampu tumbuh dan mendegradasi HAP naftalena, sementara O. intermedium AMA 9 dan G. cholesterolivorans AMP pada HAP antrasena dan pirena. Konsentrasi HAP berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kemampuan degradasi masing-masing isolat bakteri. Konsentrasi HAP 100 mg/L memberikan pertumbuhan dan degradasi yang lebih lambat dibandingkan konsentrasi 50 mg/L. Aktivitas biosurfaktan yang dihasilkan oleh ketiga isolat ditentukan berdasarkan nilai tegangan permukaan dan indeks emulsifikasi (E24) dari supernatan. Sumber karbon dalam medium diketahui berpengaruh terhadap kedua nilai tersebut. Glukosa merupakan sumber karbon terbaik dengan nilai tegangan permukaan terendah oleh G. cholesterolivorans dan indeks emulsifikasi tertinggi oleh isolat B. pumilus CHN 27. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan dan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan isolat bakteri yang berasal dari teluk Jakarta berpotensi untuk diaplikasikan di lingkungan tercemar hidrokarbon termasuk HAP. Saran Pengembangan potensi ketiga isolat bakteri penghasil biosurfaktan dan pendegradasi hidrokarbon yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan akan menjadi salah satu upaya terarah dalam mengatasi pencemaran lingkungan oleh HAP. Masih diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui jenis biosurfaktan yang dihasilkan serta faktor-faktor yang mempengaruhi produksinya. Selain itu untuk memastikan gen dioksigenase yang dimiliki oleh ketiga bakteri perlu digunakan primer yang lebih spesifik sehingga dapat memberikan informasi tentang keragaman gen dioksigenase pada isolat lokal Indonesia.
46
DAFTAR PUSTAKA Ahmad F. 2012. Kandungan senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) di teluk Jakarta. Ilm Kel. 17(4): 199-208. Alnor D, Frimodt-Meller N, Espersen F, Frederiksen W. 1993. Infections with the unusual human pathogens Agrobacterium species and Ochrobactrum anthropi. Clin Infect Dis. 18(6):914-920. Amini I, Tahmourespour A, Abdollahi A, Bayat. 2015. In vitro degradation of polycyclic aromatic hydrocarbons by Sphingobium xenophagum, Bacillus pumilus and Pseudomonas plecoglossicida. J Biodivers Environ Sci. 6(4):246259. Amann RI, Ludwig W, Schleifer KH. 1995. Phylogenetic identification and in situ detection of individual microbial cells without cultivation. Microbiol Rev. 59(1):143-169. Araji AL, Zaliha RN, Rahman RA. Basri M, Salleh AB. 2007. Microbial surfactant. As Pac J Mol Biol Biotechnol. 15(3):99-105. Aparna A, Srinikethan G, Hegde S. 2012. Isolation, screening and production of biosurfactant by Bacillus clausii 5B. Res Biotech. 3:49-56. Arenskötter M, Bröker D, Steinbüchel A. 2004. Biology of the metabolically diverse genus Gordonia. Appl Environ Microbiol. 70(6):3195-3204. Arulazhagan P, Vasudevan N, Yeom IT. 2010. Biodegradation of polycyclic aromatic hydrocarbon by a halotolerant bacterial consortium isolated from marine environment. Int J Environ Sci Technol. 7(4): 639-652. Bamforth SM, Singleton I. 2005. Bioremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons: current knowledge and future directions. J Chem Technol Biotechnol. 80:723–736. doi:10.1002/jctb.1276. Banat IM, Franzetti A, Gandolfi I, Bestetti G, Martinotti MG, Fracchia L, Smyth TJ, Marchant R. 2010. Microbial biosurfactants production, applications and future potential. Appl Microbiol Biotechnol. 87:427–444. Bennet RM, Dagamac NHA, Fernandez EVM, Uba MO, Ching MW. 2012. In vitro degradation of anthracene by Mycobacterum sp GIPAH-01 isolated from Guimaras Island. Philiphinnes. Asian J Exp Biol Sci. 3(4):682-687. Bodour AA, Miller-Maier R. 1998. Application of a modified drop-collapse technique for surfactant quantitation and screening of biosurfactant-producing microorganisms. J Microbiol Methods. 32(3):273-280. Bodour AA, Guerrero-Barajas C, Jiorle BV, Malcomson ME, Paull AK, Somogyi A,Trinh LN, Bates RB, Maier RM. 2004. Structure and characterization of flavolipids, a novel class of biosurfactants produced by Flavobacterium sp. strain MTN11. Appl Environ Microbiol. 70(1):114-120. Bouchez-Naitali M, Rakatozafy H, Marchal R, Leveau JY, Vandecasteele JP. 1999. Diversity of bacterial strains degrading hexadecane in relation to the mode of substrate uptake. J Appl Microbiol. 86:421-428.doi:10.1046/j.13652672.1999.00678.x. Belcher RW, Huynh KV, Hoang TV, Crowley DE. 2012. Isolation of biosurfactantproducing bacteria from the Rancho La Brea Tar Pits. World Microbiol Biotechnol. 28: 3261–3267.
47
Benson HJ. 2001. Microbiological Applications Laboratory Manual. Edisi ke-8. New York (US): McGraw-Hill. Bezza FA, Beukes M, Chirwa EMN. 2015. Application of biosurfactant produced by Ochrobactrum intermedium CN3 for enhancing petroleum sludge bioremediation. Proc Biochem. 50(11):1911-1922. Cameotra SS, Makkar RS. 2010. Biosurfactant-enhanced bioremediation of hydrophobic pollutants. Pure Appl Chem. 82(1): 97-116. Carrillo PG, Mardaraz C, Pitta-Alvarez SI, Giulietti AM. 1996. Isolation and selection of biosurfactant-producing bacteria. World J Microbiol Biotechnol. 12(1):8284. Ceyhan N. 2012. Biodegradation of pyrene by a newly isolated Proteus vulgaris. Sci Res Essays. 7(1):66-77. Cheng KB, Jian Z, Wang Z. 2008. Emulsification properties of bacterial biosurfactants native to the Yellow River delta on hexadecane and diesel oil. Biotechnology. 7: 360-370. Cooper DG, Zajic E. 1980. Surface-active compounds from microorganisms. Adv Appl Microbiol. 26:229-253. Das K, Mukherjee AK. 2006. Crude petroleum-oil biodegradation efficiency of Bacillus subtilis and Pseudomonas aeruginosa strains isolated from a petroleum-oil contaminated soil from North-East India. Biores Technol. 98: 1339-1345. Das N, Chandran P. 2011. Microbial degradation of petroleum hydrocarbon contaminants: an overview. Biotechnol Res Int. 2011:1-13. Das P, Mukherjee S, Sen R. 2008. Genetic regulations of the biosynthesis of microbial surfactants: an overview. Biotechnol Genet Eng Rev. 25(1): 165-186. Desai JD, Banat IM. 1997. Microbial production of surfactants and their commercial potential. Microbiol Mol Biol Rev. 61(1):47-64. Drzyzga O, Llorens JMN, de las Heras LF, Fernández EG, Perera J. 2009. Gordonia cholesterolivorans sp. nov., a cholesterol-degrading actinomycete isolated from sewage sludge. Int J Syst Evol Microbiol. 59(5):1011-1015. [EPA] Environmental Protection Agency. 2008. United States Office of Solid Waste Washington. Washington DC (US):EPA. Fakruddin M. 2012. Biosurfactant : production and application. J Pet Environ Biotechnol. 3(4):1-5 Franzetti A, Gandolfi I, Bestetti G, Banat IM. 2010. (Bio)surfactant and bioremediation, successes and failures. Trends Bioremed Phytoremed. 145156. Ferhat S, Mnif S, Badis A, Eddouaouda K, Alouaoui R, Boucherit, Mhiri N, MoulayMostefa N. Sayadi, S. 2011. Screening and preliminary characterization of biosurfactants produced by Ochrobactrum sp. 1C and Brevibacterium sp. 7G isolated from hydrocarbon-contaminated soils. Int Biodeter Biodegr, 65(8): 1182-1188. Fernández-Luqueño F, Valenzuela-Encinas C, Marsch R, Martínez-Suárez C, Vázquez-Núñez E, Dendooven L. (2011). Microbial communities to mitigate contamination of PAHs in soil—possibilities and challenges: a review. Environ Sci Pollution Res. 18(1):12-30.doi: 10.1007/s11356-010-0371-6
48
Fritsche W, Hofrichter M. 2008. 6 Aerobic degradation by microorganisms. Di dalam: Klein J., editor. Biotechnology: A Multi-Volume Comprehensive Treatise. Edisi ke-2. Environmental Processes II. Volume 11B. New York (US). Publisher Inc. hlm 144-167 Gofar N. 2012. Aplikasi isolat bakteri hidrokarbonoklastik asal rizosfer mangrove pada tanah tercemar minyak bumi. J Lahan Sub Opt . 1(2):123-129. Gujar RS, Hamde VS. 2011. Screening and optimization of biosurfactant producing bacteria from oil mill area MIDC, Parbhani (M.S.). J Ecobiotechnol. 3(11):1214. Gudiña EJ, Rocha V, Teixeira JA, Rodrigues LR. 2010. Antimicrobial and antiadhesive properties of a biosurfactant isolated from Lactobacillus paracasei ssp. paracasei A20. Lett Appl Microbiol. 50(4):41-424. Guerra-Santos L, Kappeli O, Fiechter A. 1984. Pseudomonas aeruginosa biosurfactant production in continuous culture with glucose as carbon source. Appl Environ Microbiol. 48(2):301–305. Guo C, Dang Z, Wong Y, Tamb NF. 2010. Biodegradation ability and dioxygenase genes of PAH-degrading Sphingomonas and Mycobacterium strains isolated from mangrove sediments. Int Biodeter Biodegr. 64:419-426. Habe H, Omori T. 2003. Genetics of polycyclic aromatic hydrocarbon metabolism in diverse aerobic bacteria. Biosci Biotechnol Biochem. 67(2): 225-243. Hamzah A, Sabturani N, Radiman S. 2013. Screening and optimization of biosurfactant production by the hydrocarbon-degrading bacteria. Sains Malays, 42(5):615-623. Ilori MO, Amobi CJ, Odocha AC. 2005. Factors affecting biosurfactant production by oil degrading Aeromonas spp. isolated from a tropical environment. Chemosphere. 61(7):985-992. Jahangeer, Kumar, V. (2013). An overview on microbial degradation of petroleum hydrocarbon contaminants. Int J Eng Tech Res. 1(8):34-37. Jain DK, Collins-Thomson, DL, Lee H, Trevors JT. 1991. A drop-collapsing test for screening surfactant-producing microorganisms. J Microbiol Methods. 13: 271-279. Jaysree RC, Basu S, Singh PP, Ghosal T, Patra PA, Keerthi Y, Rajendran N. 2011. Isolation of biosurfactant producing bacteria from environmental samples. Pharmacology. 3:1427-1433. Jennings EM, Tanner RS. 2000. Biosurfactant-producing bacteria found in contaminated and uncontaminated soils. Proceedings of the 2000 Conference Hazardous Waste Research [Internet]. May 23-25; Denver, Colorado (US). hlm 299-306; [diunduh 2012 Des 8]. Tersedia pada: https://www.engg.ksu.edu/HSRC/00Proceed/. Kafilzadeh F, Hoshyaripour F, Tahery Y, Azad H.N. 2012. Bioremediation of pyrene by isolated bacterial strains from the soil of the landfills in Shiraz (Iran). Ann Biol Res. 3(1):486-494. Kanaly RA, Harayama S. 2000. Biodegradation of high-molecular-weight polycyclic aromatic hydrocarbons by bacteria. J Bacteriol. 182(8):2059-2067 Kaya T, Aslim B, Kariptas E. 2014. Production of biosurfactant by Pseudomonas spp. isolated from industrial waste in Turkey. Turkish J Biol. 38(3):307-317. Kapadia SG, Yagnik BN. 2013. Current trend and potential of microbial biosurfactants. Asian J Exp Biol Sci. 4(1):1-8.
49
Kearse M, Moir R, Wilson A, Stones-Havas S, Cheung M, Sturrock S, Buxton S, Cooper A, Markowitz S, Duran C, Thierer T, Ashton B, Mentjies P, Drummond A. 2012. Geneious Basic: an integrated and extendable desktop software platform for the organization and analysis of sequence data. Bioinformatics. 28: 1647-1649. DOI: 10.1093/bioinformatics/bts199. Khopade A, Ren B, Liu XY, Mahadik K, Zhang L, Kokare C. 2012. Production and characterization of biosurfactant from marine Streptomyces species B3. J. Colloid Interface Sci. 367(1):311-318. Kumar M, Leona V, Materano ADS, Ilzins OA, Castro IG, Fuenmayor SL. 2006. Polycyclic aromatic hydrocarbon degradation by biosurfactant-producing Pseudomonas sp. IR1. Z Naturforsch. 61c:203-212. Klankeo P, Nopcharoenkul W, Pinyakong O. 2009. Two novel pyrene-degrading Diaphorobacter sp. and Pseudoxanthomonas sp. isolated from soil. J Biosci Bioeng. 108(6):488–495. Kosaric N. 2001. Biosurfactants and their application for soil bioremediation, Food Technol Biotechnol. 39(4)295–304. Li JL, Chen BH. 2009. Surfactant-mediated biodegradation of polycyclic aromatic hydrocarbons. Materials. 2(1);76-94. Lily MK, Bahuguna A, Bhatt KK, Dangwal, K. 2013. Degradation of Anthracene by a novel strain Brachybacterium paraconglomeratum BMIT637C (MTCC 9445). Int J Environ Sci. 3(4):1242. Liu T, Hou J, Zuo Y, Bi S, Jing J. 2011. Isolation and characterization of a biosurfactant-producing bacterium from Daqing oil-contaminated sites. Afr J Microbiol Res. 5(21): 3509 Lopes EM, Castellane TCL, Moretto C, de Macedo Lemos EG, de Souza JAM. 2014. Emulsification properties of bioemulsifiers produced by wild-type and mutant Bradyrhizobium elkanii strains. J Bioremed Biodegr. 5(6): 1-6. doi:10.4172/2155-6199.1000245. Luan TG, Yu KSH, Zhong Y, Zhou HW, Lan CY, Tam NFY. 2006. Study of metabolites from the degradation of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) by bacterial consortium enriched from mangrove sediments. Chemosphere. 65:2289-2296. Makkar RS, Rockne KJ. 2003. Comparison of synthetic surfactants and biosurfactants in enhancing biodegradation of polycyclic aromatic hydrocarbon. Environ Toxicol Chem. 22(10):2280-2292. Marchesi JR, Sato T, Weightman AJ, Martin TA, Fry JC, Hiom SJ, Wade WG. (1998). Design and evaluation of useful bacterium-specific PCR primers that amplify genes coding for bacterial 16S rRNA. Appl Environ Microbiol. 64(2):795-799. McFarland MJ, Sims RC. 1991. Thermodynamic framework for evaluating PAH degradation in the subsurface. Ground Water. 29(6): 885-896. Moody JD, James PF, Daniel RD, Cerniglia, CE. 2001. Degradation of Phenathrene and Anthracene by Cell Suspensions of Mycobacterium sp. Strain PYR-1. Appl Environ Microbiol. 64(4): 1476. Morikawa M, Daido H, Takao T, Murata S, Shimonishi Y, Imanaka T. 1993. A new lipopeptide biosurfactant produced by Arthrobacter sp. strain MIS38. J Bacteriol. 175(20):-6466.
50
Mrozik A, Piotrowska-Seget Z, Labuzek S. 2003. Bacterial degradation and bioremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons. Polish J Environ Studies 12:15-25. Mukherjee S, Das P, Sen R. 2006. Towards commercial production of microbial surfactants. Trends Biotechnol. 24(11):509-515. Muriel JM, Bruque JM, Olias JM, Jimenez-Sanchez. 1996. Production of biosurfactants by Cladosporium resinae. Biotechnol Lett. 18(3):235-240. Muthusamy K, Gopalakrishnan S, Ravi TK, Sivachidambaram P. 2008. Biosurfactants :properties, commercial production and application. Curr Sci. 94:736–47. Nie M, Yin X, Ren C, Wang Y, Xu F, Shen Q. 2010. Novel rhamnolipid biosurfactants produced by a polycyclic aromatic hydrocarbon-degrading bacterium Pseudomonas aeruginosa strain NY3. Biotechnol Adv. 28(5):63543/doi:10.1016. Nugroho A. 2006. Biodegradasi sludge minyak bumi dalam skala mikrokosmos: simulasi sederhana sebagai kajian awal bioremediasi land treatment. Makara Teknol. 10(2):82-89. Nursyirwani, Amolle KC. 2007. Isolasi dan karakterisasi bakteri hidrokarbonoklastik dari perairan Dumai dengan sekuen 16S rDNA. Ilm Kelaut. 12 (1):12-17. Oliveira JGD Garcia-Cruz CH. 2013. Properties of a biosurfactant produced by Bacillus pumilus using vinasse and waste frying oil as alternative carbon sources. Braz Arch Biol Technol. 56(1):155-160. Pacwa-Plociniczak M, Plaza GA, Piotrowska-Seget Z, Cameotra SS. 2011. Environmental Applications of Biosurfactants: Recent Advances. Int J Mol Sci. 12:633-654. Patil SN, Aglave BA, Pethkar AV, Gaikwad VB. 2012. Stenotrophomonas koreensis a novel biosurfactant producer for abatement of heavy metals from the environment. Afr J Microbiol Res. 6: 5173-5178. Pawar AN, Ugale SS, More MG, Kokani NF, Khandelwal SR. 2013. Biological Degradation of Naphthalene: A New Era. J Bioremed Biodegr 4: 203. Park JW, Crowley DE. 2006. Dynamic changes in nahAc gene copy numbers during degradation of naphthalene in PAH-contaminated soils. Appl Microbiol Biotechnol. 72(6):1322-1329. Perfumo A, Smyth TJP. Marchant R, Banat IM, Timmis KN. 2010. Production and Roles of Biosurfactants and bioemulsifiers in accessing hydrophobic substrat. Di dalam : Timmis KN, McGenity T, Meer JR, Lorenzo V, editor. Handbook of Hydrocarbon and Lipid Microbiology. Berlin (DE): Springer-Verlag. hlm 15021512. Priya T, Usharani G. 2009. Comparative study for biosurfactant production by using Bacillus subtilis and Pseudomonas aeruginosa. Bot Res Int. 2(4): 284-287. Rahman KSM, Gakpe E. 2008. Production, characterization and application of biosurfactants-review. Biotechnology. 7(2):360-370. Rahman KSM. Rahman TJ, McClean S, Marchant R, Banat IM. 2002. Rhamnolipid biosurfactant production by strains of Pseudomonas aeruginosa using low cost raw materials. Biotechnol Prog. 18 (6):1277-1281. Reddy PG, Singh HD, Roy PK, Baruah JN. 1982. Predominant role of hydrocarbon solubilization in the microbial uptake of hydrocarbons. Biotechnol Bioeng. 24:1241-1269.
51
Riffiani R, Sulistinah N. 2011. Isolasi dan penapisan bakteri pendegradasi dibenzothiophene, phenanthrene dan fluoranthene asal perairan laut sekitar pulau Moti-Ternate. Di dalam : Ibnu Maryanto dan Hari Sutrisno, editor. Ekologi Ternate. Jakarta (ID): LIPI Press. hlm 309-316. Ron E, Rosenberg E. 2001. Natural roles of biosurfactants. Environ Microbiol. 3(4):229-236. Rodrigues L, Banat IM, Teixeira J, Oliveira R. (2006). Biosurfactants: potential applications in medicine. J Antimicrob Chemoth. 57(4):609-618. Safary A, Ardakani, MR, Suraki, AA, Khiavi, MA, Motamedi, H. 2010. Isolation and characterization of biosurfactant producing bacteria from Caspian Sea. Biotechnology. 9 (3): 378-382 Saharan BS, Rahu RK, Sharma D. 2011. A Review on biosurfactants: fermentation, current developments and perspectives. Genet Eng Biotechnol. 97:336–341. Santa-Anna LM, Sebastian GV, Menezes EP, Alves TLM, Santos AS, Perreira Jr N, Freire DMG. 2002. Production of biosurfactants from Pseudomonas aeruginosa PA1 isolated in oil environments. J Brazil Chem Eng. 19(2):159166. Santhini K, Myla J, Sajani S, Usharani G. 2009. Screening of Micrococcus sp from oil contaminated soil with reference to bioremediation. Bot Res Int. 2(4), 248-252. Saravanan V, Vijayakumar S. 2012. Isolation and screening of biosurfactant producing microorganisms from oil contaminated soil. J Acad Indus Res. 1(5):264-268. Satpute SK, Bhawsar BD, Dhakephalkar PK, Chopade BA. 2008. Assessment of different screening methods for selecting biosurfactant producing marine bacteria. Indian J Marine Sci. 37(3):243-250. Shoeb E, Badar U, Akhter J, Ansari FA, Waqar M, Ansari MA. 2012. Screening of surfactant producing bacterial galurs isolated from soil samples of an automobile workshop. Kar Univ J Sci. 40:31-36. Singh V. 2012. Biosurfactant - isolation, production, purification and significance. Int J Sci Res Pub. 2(7):1-4. Sumiardi A, Mangunwardoyo W, Hudiyono S, Susilaningsih D. 2012. Biosurfactant Characterization of Bacterial Consortium from Soil Contaminated Hydrocarbon in Cepu Area, Central Java, Indonesia. Int J Sci Res Pub. 2(7):17. Tay KS, Bakar NKA, Emenike CU, Krishnan S, Hamid FS, Abas MR. 2015. Degradation of polycyclic aromatic hydrocarbons (pyrene and fluoranthene) by bacterial consortium isolated from contaminated road side soil and soil termite fungal comb. Environ Earth Sci, 74(6):5383-5391. Thavasi R, Sharma S, Jayalakshmi S. 2011. Evaluation of screening methods for the isolation of biosurfactant producing marine bacteria. J Petrol Environ Biotechnol 1:1-6. Toledo FL, Calvo C, Rodelas B, Gonzales-Lopez J. 2006. Selection and Identification of Bacteria Isolated from Waste Minyak mentah with Polycyclic Aromatic Hydrocarbons Removal Capacity. Syst Appl Microbiol. 29: 244-252. Varadavenkatesan T, Murty VR. 2013. Production and properties of a lipopeptide biosurfactant by B. subtilis subsp. Inaquosorum. J Microbiol Biotech Res. 2013(4): 63-73
52
Viramontes-Ramos S, Portillo-Ruiz MC, Ballinas-Casarrubias, MDL, Torres-Muñoz, JV, Rivera-Chavira BE, Nevárez-Moorillón GV. 2010. Selection of biosurfactant/bioemulsifier-producing bacteria from hydrocarbon-contaminated soil. Braz J Microbiol. 41:668-675. Walter V, Syldatk C, Hausmann R. 2010. Screening concepts for the isolation of biosurfactant producing microorganism. Di dalam : Sen R, editor. Biosurfactants. New York (US): Landes Bioscience and Springer Science+Business Media. hlm 1-13. Williams K. 2009. Biosurfactants for cosmetic application: Overcoming production challenges. Basic Biotechnol. 5:78-83. Willumsen P, Karlson U. 1997. Screening of bacteria, isolated from PAH-contaminated soils, for production of biosurfactants and bioemulsifiers. Biodegradation.7(5):415-423. Yessica GP, Alejandroa A, Ronalda FC, Almaraz JJ, Esperanza MR, Samuel CSJ, López MR, Ernesto OO. 2013. Tolerance, growth and degradation of phenanthrene and benzo[a]pyrene by Rhizobium tropici CIAT 899 in liquid culture medium. Appl Soil Ecol. 63:105–111. Youssef N, Duncan KE, Savage, KN. 2004. Comparison of methods to detect biosurfactant production by diverse microorganisms. J Microbiol Meth. 56: 339-347. Yuliani HA, Hermansyah HE, Sahlan MU, Wijanarko AN. 2012. Dioxygenase gene of PAHs degrading Bacillus strains isolated from marine Indonesian environment and its biosurfactant production ability. Int J Pharm Bio Sci. 3(4):380-390. Zaragoza A, Aranda FJ, Espuny MJ, Teruel JA, Marques A, Manresa A, Ortiz, A. 2010. Hemolytic activity of a bacterial trehalose lipid biosurfactant produced by Rhodococcus sp.: evidence of colloid-osmotic mechanism. Langmuir. 26 (11): 8567-8572. Zhou HW, Guo CL, Wong YS, Tam NFY. 2006. Genetic diversity of dioxygenase genes in polycyclic aromatic hydrocarbon-degrading bacteria isolated from mangrove sediments. FEMS Microbiol Lett. 262(2):148-157.
LAMPIRAN
54
Lampiran 1 Hasil pengujian degradasi hidrokarbon (minyak mentah dan HAP) terhadap isolat bakteri penghasil biosurfaktan Degradasi Degradasi HAP** No Kode minyak Isolat isolat N A P mentah* 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
AM 5 AM 6 AM 7 AM 9 AM 10 AM 18 RI 19 RI 24 RI 31 RI 36a RI 38 RI 43 CR 2 CR 3 CR 4 CR 5 CR 7 CR 9 CR 10 CR 13 CR 15 CR 18 CR 21 CR 22 CR 32 CR 34 CR 35 CR 36 CR 38 CR 43 CR 48 CR 49 CR 50 CR 51 CH 23 CH 24 CH 25
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + -
+ + + -
+ + + -
55
Lampiran 1 (Lanjutan) No Isolat
Kode isolat
38 39 40 41 42 43 44 45 46
CH 26 CH 27 CH 28 CH 29 CH 30 CH 60 CH 61 CH 63 CH 64
Degradasi minyak mentah* + + + + + + + +
Degradasi HAP** N
A
P
+ -
+ + +
+ + +
Keterangan : N : Naftalena, A: Antrasena, P: Pirena *) + ; terjadi degradasi dan pertumbuhan bakteri ditandai dengan pecahnya lapisan minyak pada permukaan medium dan adanya endapan sel bakteri - ; tidak terjadi degradasi dan pertumbuhan bakteri ***) + ; Degradasi positif ditandai dengan tumbuhnya koloni pada medium MSM agar - ; Degradasi negatif, tidak ada koloni yang tumbuh
56
Lampiran 2. Kromatogram GC-MS larutan standar PAH (Naftalena, Antrasena dan Pirena)
57
Lampiran 3 Kromatogram GC-MS dari isolat CHN 27 menunjukkan penurunan peak area naftalena selama 5 hari inkubasi. a)
b)
58 Lampiran 3 (Lanjutan) c)
Keterangan: a) hari ke-0, b) hari ke-3, c) hari ke-5
59
Lampiran 4 Kromatogram GC-MS dari isolat AMA 9 menunjukkan penurunan peak area antrasena selama 7 hari inkubasi a)
b)
60
Lampiran 4 (Lanjutan) c)
Keterangan: a) hari ke-0, b) hari ke-5, c) hari ke-7
61
Lampiran 5 Kromatogram GC-MS dari isolat Gordonia cholesterolvorans AMP 10 menunjukkan penurunan peak area pirena selama 7 hari inkubasi a)
b)
62
Lampiran 5 (Lanjutan) c)
Keterangan: a) hari ke-0, b) hari ke-5, c) hari ke-7
63
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Maret 1966 dari pasangan alm. S. Oemari dan almh Hj. Suwarti. Pendidikan S1 ditempuh di Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dan lulus pada tahun 1990. Penulis melanjutkan studi S2 di Program Bioteknologi IPB pada tahun 1994 dan lulus pada tahun 1999. Tahun 1994 hingga tahun 2003 penulis bekerja sebagai staf pengajar di jurusan Biologi FMIPA Universitas Brawijaya dan pada tahun 2004 penulis pindah ke Program Studi Biologi Universitas Negeri Jakarta hingga saat ini. Penulis melanjutkan studi S3 di Program Studi Mikrobiologi IPB pada tahun 2011. Pada tahun 1994 penulis menikah dengan Edy Yanto, SE dan telah dikaruniai dua orang putri, Nisrina Rizka Auliani dan Fakhira Rahmadiani. Publikasi ilmiah dengan judul Screening and identification of biosurfactant producing bacteria from oil contaminated soil in Jakarta bay, Indonesia telah diajukan di Malaysian Journal of Microbiology dan saat ini dalam proses revisi. Publikasi kedua dengan judul Degradation Of Polycyclic Aromatic Hydrocarbon Pyrene by Biosurfactant-Producing Bacteria Gordonia cholesterolivorans AMP 10 saat ini dalam proses revisi di jurnal terakreditasi Dikti, Biosaintifika, Universitas Negeri Semarang. Bagian dari hasil penelitian ini juga telah disampaikan pada Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia dengan tema “Biodiversitas bagi Kemandirian Bahan Pangan, Bahan Obat dan Bahan Baku Industri” di Universitas Indonesia, Depok, pada tanggal 20 Desember 2014.