Pengaruh Brand image atau citra merek terhadap keputusan pembelian konsumen Aris Bagus Wiyono (
[email protected] ;
[email protected])
Bilson Simamora (2003: 37) mengungkapkan bahwa merek memiliki image (brand image) dan untuk memudahkan deskripsi image, konsumen melakukan asosiasi merek. Asosiasi merek adalah sesuatu yang berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah merek. Asosiasi ini tidak hanya ada tetapi mempunyai sebuah kekuatan (A.B Susanto & Himawan Wijanarko, 2004: 132). Merek yang kuat dapat menarik konsumen untuk menggunakannya sebagai faktor penentu dalam pemilihan keputusan pembelian, sedangkan syarat yang kuat adalah citra merek (brand image). Citra merek merupakan interprestasi akumulasi berbagai informasi yang diterima konsumen.Yang menginterpretasikan adalah konsumen dan yang diinterpretasikan adalah informasi. Hasil interpresentasi bergantung pada dua hal. Pertama, bagaimana konsumen melakukan interpresentasi dan kedua, informasi apa yang diinterpresentasikan. (Bilson Simamora, 2003:92). Menurut David A.Aker dalam Freddy Rangkuti (2002 : 45) citra merek terdiri dari dua faktor utama yaitu : a. Faktor fisik, merupakan karakteristik fisik dari merek tersebut, seperti desain, kemasan, logo, nama merek, fungsi, dan kegunaan produk dari merek itu. b. Faktor psikologis, dibentuk oleh emosi, kepercayaan, nilai dan kepribadian yang dianggap oleh konsumen dapat menggambarkan produk dari merek tersebut. Citra merek sangat erat kaitannya dengan apa yang orang pikirkan, rasakan terhadap suatu merek tertentu, sehingga dalam citra merek faktor psikologis lebih banyak berperan dibandingkan faktor fisik merek tertentu. Menurut Fandy Tjiptono (2002:22) perilaku konsumen merupakan tindakan yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh, menentukan produk dan jasa, termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan – tindakan tersebut. Dari
pengertian ini dapat diketahui bahwa pemahama terhadap perilaku konsumen bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi cukup sulit dan kompleks, khususnya disebabkan oleh banyaknya variabel yang mempengaruhi dan variabel – variabel tersebut cenderung saling berinteraksi. Tahap – tahap proses keputusan pembelian menurut Philip Kotler (2008:179) adalah sebagai berikut :
1. Pengenalan masalah Proses pembelian dimulai dengan pengenalan masalah atau kebutuhan. Kebutuhan itu dapat digerakkan oleh rangsangan dari dalam atau dari luar pembeli.
2. Pencarian informasi Konsumen dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber, meliputi : a. Sumber pribadi : keluarga, teman, tetangga, kenalan. b. Sumber komersil : iklan, tenaga penjual, penyalur, kemasan, pameran. c. Sumber publik : media massa, organisasi konsumen. d. Sumber eksperensal : pernah menangani, menguji dan menggunaksn produk tersebut.
3. Evaluasi alternatif Dalam tahap ini tidak ada suatu proses evaluasi yang mudah dan tunggal yang dapat dipergunakan untuk semua konsumen atau bahkan oleh seorag konsumen dalam semua situasi pembeliannya.
4. Keputussan pembelian Tahap ini diawali dengan tahap penilaian berbagai alternatif yang dapat dilihat dari atribut – atribut yang melekat pada produk itu. Dengan indikasi itu konsumen membentuk pilihan. Namun ada dua faktor yang mempengaruhi pada saat memilih, yaitu sikap pada orang lain dan kejelekan suatu produk.
5. Perilaku setelah pembelian Setelah membeli suatu produk, konsumen akan mengalami beberapa tingkat kepuasan atau ketidakpuasan. (Jurnal: Dessy Amelia Fristiana)
Beragam faktor dapat mempengaruhi konsumen dalam mempercayakan tempat berbelanja. Citra merek yang baik dapat dijadikan kekuatan oleh perusahaan ritel untuk menarik konsumen. Harga produk yang murah dan terjangkau dengan daya beli konsumen pun akan mempengaruhi keputusan pembelian konsumen tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, untuk meningkatkan keputusan pembelian sebaiknya Ramai Swalayan Peterongan menjaga citra mereknya khususnya dalam kenyamanan dan pelayanan, dan mempertahankan harga yang murah.
Memahami persepsi konsumen merupakan hal yang penting bagi para pemasar dan produsen. Produsen dan pemasar selalu berharap bahwa para konsumen akan menyukai iklan produk yang mereka buat, kemudian menyukai produknya, dan membelinya. Produsen, pemasar, dan agen pembuat iklan tentunya tidak mau dana yang mereka keluarkan untuk promosi iklan terbuang percuma karena konsumen tidak memperhatikan, memahami, atau bahkan mengingat produk dan merek produk yang diiklankannya. Oleh karena itu, penting bagi pihak-pihak tersebut untuk memahami bagaimana konsumen mengolah informasi, supaya mereka dapat merancang proses komunikasi yang efektif bagi konsumen. Engel, et.al. dalam Sumarwan (2002) mengutip pendapat William McGuire yang menyatakan bahwa ada lima tahap pengolahan informasi (the information processing model), yaitu sebagai berikut : 1. pemaparan (exposure) : pemaparan stimulus, yang menyebabkan konsumen menyadari stimulus tersebut melalui pancainderanya.
2. perhatian (attention) : kapasitas pengolahan yang dialokasikan konsumen terhadap stimulus yang masuk. 3. pemahaman (comprehension) : interpretasi terhadap makna stimulus. 4. penerimaan (acceptance) : dampak persuasif stimulus kepada konsumen. 5. retensi (retention) : pengalihan makna stimulus dan persuasi ke ingatan jangka panjang (long-term memory).
Tahap pemaparan, perhatian dan pemahaman oleh Mowen dalam Sumarwan (2002) disebut sebagai persepsi, dan kemudian didefinisikan sebagai perception is the process through which individuals are exposed to information, attend to that information, and comprehend it. Menurut Sciffman dan Kanuk dalam Sumarwan (2002), perception is defined as the process by which an individual selects, organizes, and interprets stimuli into a meaningful and coherent picture of the world. Persepsi dapat dideskripsikan dengan bagaimana kita melihat dunia sekitar kita. Dua orang yang menghadapi objek atau stimuli yang sama, dalam kondisi yang sama pula, akan mengenali, memilih, menyusun, dan menginterpretasikan stimuli tersebut dengan cara berbeda sesuai dengan kebutuhan, nilai dan ekspektasi masing-masing. Identitas merek adalah apa yang disodorkan oleh pemasar, sedangkan citra adalah apa yang dipersepsikan oleh konsumen. Identitas merupakan pendahuluan dari citra. Identitas merek bersama dengan sumber-sumber informasi yang lain dikirimkan kepada konsumen melalui media komunikasi. Informasi ini berfungsi sebagai stimulus yang diserap oleh indera, lalu ditafsirkan oleh konsumen. Proses penafsirannya dilakukan dengan membuat asosiasi berdasarkan pengalaman masa lalu dan kemudian mengartikannya. Proses ini disebut sebagai persepsi. Berdasarkan persepsi konsumen tersebut, citra merek terbentuk (Susanto dan Wijanarko, 2004). Asosiasi merek adalah segala kesan yang muncul di benak seseorang yang terkait dengan ingatannya mengenai suatu merek. Asosiasi merek umumnya menjadi pertimbangan atau pijakan konsumen dalam keputusan pembeliannya. Berbagai asosiasi merek yang saling berhubungan akan menimbulkan suatu rangkaian yang disebut dengan brand image. Brand image yang ada di benak konsumen dapat terbentuk secara langsung melalui pengalaman
konsumen dan kontak konsumen tersebut dengan produk, merek, pasar sasaran atau situasi pemakaian, maupun secara tidak langsung yaitu melalui iklan dan komunikasi gethok tular atau word of mouth. Kesan-kesan yang terkait akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi suatu merek atau dengan semakin seringnya penampakan merek tersebut dalam strategi komunikasinya. Brand image atau brand association merupakan deskripsi tentang asosiasi dan keyakinan konsumen terhadap merek tertentu (Tjiptono, 2005). Semakin banyak asosiasi yang saling berhubungan, semakin kuat brand image yang dimiliki oleh merek tersebut. Menurut Aaker dalam Durianto, dkk (2004) asosiasi-asosiasi yang terkait dengan suatu merek berhubungan dengan hal-hal berikut: 1. Product attributes (atribut produk) Mengasosiasikan merek suatu produk melalui atribut atau karakteristik yang dimiliki oleh suatu produk. Asosiasi ini efektif untuk dikembangkan karena jika atribut tersebut bermakna, asosiasi dapat langsung menjadi dasar pengambilan keputusan pembelian. Pada produk SimCard yang tergolong atribut produk antara lain meliputi semua bentuk produk, fitur dan fasilitas utama yang disediakan oleh operator, seperti SimCard, sinyal, jaringan, fasilitas SMS, MMS, Internet, dsb. 2. Intangibles attribute (atribut tak berwujud) Mengasosiasikan merek melalui atribut tak berwujud dari suatu produk. Pada produk SimCard yang tergolong atribut tak berwujud yaitu layanan customer service, pembayaran tagihan, fitur atau fasilitas tambahan seperti call barring, flexi combo, ring back tone, dsb. 3. Customer’s benefit (manfaat bagi pelanggan) Mengasosiasikan merek melalui manfaat yang diberikan. Manfaat bagi pelanggan terbagi menjadi dua yaitu rational benefit (manfaat rasional) dan psychological benefit (manfaat psikologis). Manfaat rasional berkaitan erat dengan atribut dari produk yang dapat menjadi bagian dari pengambilan keputusan yang rasional. Manfaat psikologis merupakan konsekuensi ekstrem dalam proses pembentukan sikap, berkaitan dengan perasaan yang ditimbulkan ketika membeli atau menggunakan merek tertentu. 4. Relative price (harga relatif)
Evaluasi terhadap suatu merek melalui penentuan posisi merek dalam satu atau dua dari tingkat harga. Pada produk simCard, yang termasuk ke dalam atribut harga relatif adalah harga starterpack, harga vocher isi ulang, tarif percakapan, serta tarif SMS/MMS/Internet. 5. Application (penggunaan) Mengasosiasikan merek tertentu dengan suatu penggunaan atau situasi tertentu. 6. User/customer (pengguna/pelanggan) Mengasosiasikan sebuah merek dengan sebuah tipe pelanggan dari produk tertentu. 7. Celebrity/person (orang terkenal) Mengasosiasikan sebuah merek dengan artis atau orang terkenal dimana artis atau orang terkenal tersebut dianggap dapat mentransfer asosiasi yang kuat ke dalam sebuah merek tertentu. 8. Life style (gaya hidup/kepribadian) Mengasosiasikan sebuah merek dengan suatu gaya hidup. Asosiasi ini didasarkan pada suatu penemuan bahwa para pelanggan merek tertentu memiliki kepribadian dan karakteristik gaya hidup yang hampir sama. 9. Product class (kelas produk) Mengasosiasikan sebuah merek menurut kelas produknya. 10. Competitors (para pesaing) Mengasosiasikan sebuah merek secara sama dengan pesaing atau bahkan lebih unggul dari pesaing. 11. Country/geographic area (Negara/wilayah geografis) Mengasosiasikan suatu merek dengan sebuah Negara. Sebuah negara dapat menjadi simbol yang kuat asalkan memiliki hubungan yang erat dengan produk, bahan, dan kemampuan. Pada pasar yang sangat kompetitif, merek mempunyai peranan yang sangat penting sebagai pembeda. Produk yang ada, mudah sekali untuk ditiru. Namun merek, khususnya brand image (citra merek) yang terekam dalam benak konsumen tidak dapat ditiru. Tanpa citra yang kuat dan spesifik, sangatlah sulit bagi perusahaan untuk menarik pelanggan baru dan mempertahankan yang sudah ada serta meminta pelanggan membayar dengan harga tinggi.
Produk yang akan diluncurkan dipersiapkan dengan matang dan diberi nama yang sesuai agar dapat diterima oleh pasar. Berdasarkan hasil segmentasi, penetapan target, dan penempatan posisi, lalu dilakukan penempatan posisi merek (brand positioning). Merek yang mewakili produk ini diposisikan di benak konsumen. Merek ini diberi identitas (brand identity) yang didukung dengan kepribadian (strategic brand personality) agar mengena di hati konsumen yang menjadi sasarannya. Konsumen akhirnya mengenal merek itu (brand awareness) dan kemudian mempunyai kesan tertentu terhadapnya (brand image). Jika konsumen telah mengenal sebuah merek, maka konsumen tersebut akan mengasosiasikannya dengan serangkaian atribut dan meletakannya dalam ingatan mereka. Agar mempunyai brand image yang kuat, konsistensi dalam mengkomunikasikan kepribadian merek yang sesuai dengan penempatan posisi produk perlu diperhatikan (Susanto dan Wijanarko, 2004). Jefkins dalam Kembaren (2007) menyimpulkan bahwa secara umum citra diartikan sebagai kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamannya. Jefkins juga menyatakan bahwa citra adalah kesan yang diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengertian seseorang tentang fakta atau kenyataan. Menurut Jefkins ada beberapa jenis citra yaitu: 1. The mirror image (citra bayangan), yaitu bagaimana dugaan (citra) manajemen terhadap publik eksternal dalam melihat perusahaan. 2. The current image (citra yang berlaku), yaitu citra yang terdapat pada publik eksternal berdasarkan pengalaman atau menyangkut miskinnya informasi dan pemahaman publik eksternal. Citra ini bisa berbeda atau bahkan bertentangan dengan mirror image. 3. The wish image (citra yang diharapkan), yaitu citra yang diinginkan oleh pihak manajemen, yang juga bisa saja tidak sama dengan citra yang berlaku. Citra ini diterapkan untuk sesuatu yang baru sebelum publik eksternal memperoleh informasi secara lengkap. Biasanya citra yang diharapkan lebih baik atau lebih menyenangkan daripada citra yang ada. Namun secara umum, wish image memang selalu berkonotasi lebih baik. 4. The multiple image (citra yang majemuk),
yaitu sejumlah individu, unit, kantor cabang atau perwakilan perusahaan lainnya dapat membentuk citra tertentu yang belum tentu sesuai dengan keseragaman citra dari seluruh organisasi atau perusahaan. (jurnal: Mida Kusumah Eriquina)