PENGARUH BAHAN STEK DAN HORMON IBA (Indole butiric Acid) TERHADAP KEBERHASILAN STEK JABON MERAH (Anthocephalus macrophyllus)
ADE SAEPULOH
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Bahan Stek dan Hormon IBA (Indole butiric acid) terhadap Keberhasilan Stek Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013 Ade Saepuloh NIM E44062584
ABSTRAK ADE SAEPULOH. Pengaruh Bahan Stek dan Hormon IBA (Indole butiric acid) terhadap Keberhasilan Stek Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus). Dibimbing oleh SUPRIYANTO. A. macrophyllus memiliki benih berukuran sangat kecil, bersifat semi rekalsitran, masa berbuah yang pendek serta penyebaran alaminya yang masih terpusat di daerah (Indonesia Timur) maka menyebabkan produksi benih atau bibit yang berkualitas masih terbatas. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendapatkan teknologi penyiapan bahan stek; (2) Menguji pengaruh bahan stek dan hormon IBA terhadap keberhasilan stek jabon merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik pelengkungan batang dapat meningkatkan produksi tunas pada minggu ke-1 hingga minggu ke 10 pada kebun pangkas umur 1 tahun, sedangkan pemberian NPK pada kebun pangkas 4 bulan menurukan produksi tunas pada minggu ke-2 dan ke-4. Bahan stek batang berpengaruh nyata terhadap persentase stek hidup, persentase stek berakar dan jumlah tunas yang dihasilkan. Bahan stek pucuk kurang memuaskan untuk menghasilkan stek karena mudah layu dan mudah busuk. Kata kunci: Anthocephalus macrophyllus, kebun pangkas, stek jabon merah
ABSTRACT ADE SAEPULOH. Effect of Cutting Materials and IBA (indole butyric acid) Hormone on the Success Rate of Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus) Cuttings. Supervised by SUPRIYANTO. A. macrophyllus has very small seeds, semi-recalcitrant seeds, short fruiting period and naturally spread out in the Eastern part of Indonesia that leads to limited production of quality seeds and seedlings. The objectives of this research was (1) to obtain a technology for cutting material preparation, (2) to test the cutting materials and IBA hormonal effect on the success rate of cuttings of jabon merah. The results showed that the technique for cutting material preparation could increase the shoot production in stem bending treatment in the first to tenth weeks after treatment in hedge orchard of 1 year old seedlings. NPK treatments in hedge orchard of 4 month old seedlings decreased the shoot production at the second and fourth weeks after treatments. Stem cutting materials were significantly affect the survival percentage of cuttings, rooted cutting percentage and number of shoots production. Shoot cutting materials was less satisfactory results because it was easy to produce cuttings wilt and roted easily. Keywords: Anthocephalus macrophyllus, hedge orchard, cutting of red jabon (Anthocephalus macrophyllus)
PENGARUH BAHAN STEK DAN HORMON IBA (Indole butiric Acid) TERHADAP KEBERHASILAN STEK JABON MERAH (Anthocephalus macrophyllus)
ADE SAEPULOH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Pengaruh Bahan Stek dan Hormon IBA (Indole butiric acid) terhadap Keberhasilan Stek Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus) : Ade Saepuloh Nama : E44062584 ;-N1M
Disetujui oleh
Dr Ir Supriyanto
Pembimbing
MS
Tanggal Lulus:
28 AUG 2013
Judul Skripsi : Pengaruh Bahan Stek dan Hormon IBA (Indole butiric acid) terhadap Keberhasilan Stek Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus) Nama : Ade Saepuloh NIM : E44062584
Disetujui oleh
Dr Ir Supriyanto Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Penulis panjatkan puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 ini ialah pembiakan vegetatif, dengan judul Pengaruh Bahan Stek dan Hormon IBA (Indole butiric acid) terhadap Keberhasilan Stek Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus). Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Supriyanto selaku pembimbing; Bapak Ir Andi Sukendro, MSi yang telah banyak memberi saran; Direktur SEAMEO BIOTROP; DKM Alhurriyyah (LAZ dan Marboth) IPB Dramaga khususnya ust Drs E Syamsudin; Oktama Forestian SHut, Anis Zamaluddin; Dwi Aprianto; Rahmat Alam; Ery Bunyamin Gufron; Abas; Septina; teman-teman silvikultur angkatan 43; dan 44 khususnya Adrian; Idham Fahmi; Adrian Fadri; Sabar Sampulan Nasution; Eri Sugiarto; Budi; dan temanteman SD sampai SMA atas dukungannya selama penelitian berlangsung. Di samping itu, penulis sampaikan penghargaan kepada guru-guru Agama antara lain ust Aab dan ust Asep; guru-guru SD khususnya Bapak Aceng; guru-guru SMP khususnya Ibu Lilis dan Ibu Ade; guru-guru SMA khususnya Alm Bapak Aef Saefudin; Prof Dr Ir H Ahmad Ansori Mattjik, MSc; Dr Asep Saefudin; Ibu Dr Ir Lailan Syaufina; MSc, Dr Ir Iwan Hilwan, MS, Dadan Mulyana, SHut MSi; Fakultas Kehutanan IPB; Departemen Silvikultur; atas dukungan moril maupun materil selama saya menempuh pendidikan di IPB. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengethuan silvikultur tropika.
Bogor, September 2013 Ade Saepuloh
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Taksonomi Jabon Merah
2
Sifat Kayu Jabon Merah
3
Prospek dan Manfaat Jabon Merah
3
Kebun Pangkas
4
Pembiakan Vegetatif Stek
4
METODE
5
Bahan
5
Alat
5
Prosedur Analisis Data
5
Kebun Pangkas Merah Umur 1 Tahun
5
Rancangan Percobaan Kebun Pangkas Jabon Merah Umur 1 Tahun
6
Kebun Pangkas Jabon Merah Umur 4 Bulan
8
Rancangan Percobaan Kebun Pangkas Jabon Merah Umur 4 Bulan
8
Stek Jabon Merah
9
Rancangan Percobaan Stek Jabon merah HASIL DAN PEMBAHASAN
11 12
Hasil
12
Kebun Pangkas Jabon merah Umur 1 Tahun
12
Kebun Pangkas Merah Umur 4 Bulan
15
Stek Jabon Merah
17
Pembahasan
23
Teknologi Produksi Bahan stek
23
Stek Jabon Merah SIMPULAN DAN SARAN
25 32
Simpulan
32
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
32
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
40
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Perbedaan ciri morfologi jabon merah dengan jabon putih Hasil uji Duncan pengaruh pelengkungan batang terhadap jumlah tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Hasil uji Duncan pengaruh pelengkungan batang terhadap panjang kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Hasil uji Duncan pengaruh pemberian pupuk NPK terhadap jumlah tunas anakan stek jabon merah umur 4 bulan selama 4 minggu Rekapitulasi sidik ragam stek jabon merah Hasil uji Duncan pengaruh bahan stek terhadap persentase hidup stek Jabon merah Hasil uji Duncan pengaruh bahan stek terhadap persentase bertunas stek Jabon merah Hasil uji Duncan pengaruh bahan stek terhadap jumlah tunas stek Jabon merah
3 13 14 15 17 17 20 22
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Tata letak kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Tahapan pembuatan kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Bibit pangkasan sisa stek yang digunakan untuk kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan Tata letak kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan Tahapan persiapan dan pelaksanaan stek jabon merah Tata letak stek jabon merah Respon pertumbuhan tunas pada kebun pangkas yang dilengkungkan secara teoritis (a) dan fakta yang terjadi (b) Jumlah tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Panjang tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Jumlah tunas kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan Jumlah daun kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan Persentase hidup stek jabon merah Stek pucuk jabon merah yang mati akibat pembusukan Persentase berakar stek jabon merah Stek pucuk jabon merah yang berhasil berakar Persentase bertunas stek jabon merah Stek batang jabon merah yang berhasil bertunas Stek batang jabon merah yang berhasil berakar Jumlah akar stek jabon merah Jumlah tunas stek jabon merah
6 7 8 8 10 11 13 14 15 16 16 18 18 19 19 20 21 21 22 23
DAFTAR LAMPIRAN 21 22 23 24 25 26 27 28
Sidik ragam pengaruh pelengkungan terhadap jumlah dan panjang tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Uji Duncan pengaruh pelengkungan terhadap jumlah tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Uji Duncan pengaruh pelengkungan terhadap panjang tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Sidik ragam pengaruh pemberian NPK terhadap jumlah tunas dan jumlah kebun pangkas Jabon merah umur 4 Bulan Uji Duncan pengaruh pengaruh pemberian NPK terhadap jumlah tunas kebun pangkas jabon merah umur 4 Bulan Uji Duncan pengaruh pengaruh pemberian NPK terhadap jumlah daun kebun pangkas jabon merah umur 4 Bulan Daftar sidik ragam stek jabon merah Daftar Uji Duncan stek jabon merah
35 35 35 36 36 36 36 37
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan kayu nasional pada tahun 2011 sekitar 56 juta m3 hanya mampu dipenuhi oleh hutan alam produksi sebesar 5 juta m3 atau 9%, sedangkan sisanya adalah dari hutan tanaman sebesar 20 juta m3 (Aldianoveri 2012). Dengan kondisi tersebut, terjadi defisit kebutuhan kayu sebesar 31 juta m3 per tahun. Hutan rakyat nasional dengan luas 156 841.64 ha dan produksi 39 416 557 m3 (Rifa’i 2011), dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi defisit tersebut. Aldianoveri (2012) menambahkan bahwa telah terjadi peningkatan penggunaan bahan baku dari hutan rakyat pada tahun 2004–2006, persentase ekspor produk kayu olahan yang menggunakan bahan baku dari hutan rakyat berkisar antara 38–40% atau hampir separuh dari volume ekspor produk kehutanan telah menggunakan bahan baku dari sumber-sumber alternatif. Salah satu sumber alterntif tersebut adalah jabon merah. Jabon merah (A. macrophyllus) menjadi salah satu jenis pohon yang banyak diminati untuk tujuan penanaman di hutan rakyat karena pertumbuhannya yang cepat dan sifat fisiknya yang memenuhi standar industri perkayuan, khususnya industri kayu lapis. Jabon merah dengan sifat pertumbuhannya yang relatif cepat dapat dijadikan andalan dalam memenuhi kebutuhan akan pasokan kayu melalui pembangunan hutan rakyat jabon merah. Namun jabon merah dengan ukuran benih yang sangat kecil dan sifatnya semi rekalsitran, masa berbuah yang pendek yaitu Februari sampai April serta penyebaran alaminya yang masih terpusat di daerah Indonesia Timur (Pulau Sulawesi, Maluku dan Papua) menyebabkan ketersediaan bibit jabon merah menjadi terbatas. Untuk itu perlu dicari teknologi pengadaan bibit melalui pembiakan vegetatif antara lain stek, grafting, cangkok dan okulasi. Pengadaan bahan stek harus dimulai dari pembangunan kebun pangkas agar pengadaan bibit dapat dilaksanakan setiap saat, dan dapat menghasilkan bibit berkualitas dalam skala besar. Perbanyakan tanaman secara vegetatif memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan pembiakan generatif, yaitu menghasilkan bibit dalam jumlah besar, pertumbuhan yang lebih seragam, dan menghasilkan keturunan yang sifat dan keragaannya serupa dengan induknya (faktor genetik). Untuk menjaga faktor genetik, beberapa sumber benih telah dipilih khususnya di Maluku Selatan untuk pengembangan hutan rakyat jabon merah (Dephut 2013). Stek merupakan teknik pembiakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif yang dipisahkan dari induknya dan apabila ditanam pada kondisi yang menguntungkan, akan tumbuh tunas dan berkembang menjadi tanaman yang sempurna. Bahan stek tersebut dapat diperoleh melalui teknik induksi tunas dengan mematikan dominasi apikal dan disalurkan ke dominasi lateral. Namun perilaku pertumbuhan tunas lateral untuk setiap jenis tanaman berbeda-beda. Pembuatan stek dikatakan berhasil jika stek tersebut dapat menghasilkan akar dan tumbuh normal. Induksi akar dapat dilakukan dengan menggunakan auksin, antara lain IBA. Sensitivitas bahan stek untuk menghasilkan akar adventif setelah diinduksi dengan hormon IBA tergantung kepada karakter bahan stek.
2 Penambahan hormon IBA (Indole butiric acid) pada stek diharapkan dapat meningkatkan persentase hidup dan persentase berakar stek jabon merah serta untuk menstimulir perakaran apabila hormon endogen tidak tercukupi. Di masyarakat khususnya di Pulau Jawa telah banyak mengembangkan jabon putih (A. cadamba) dengan teknik pembibitan dari biji dan stek. Namun pada saat sekarang masyarakat juga mencoba mengembangkan jabon merah (A. macrophyllus) dengan teknik pembibitan dari biji, sedangkan teknik stek jabon merah belum banyak diketahui. Hal ini disebabkan oleh belum diketahuinya faktorfaktor yang mempengaruhi pembentukan akar adventif pada stek jabon merah. Dalam penelitian ini dilakukan kajian teknologi penyiapan bahan stek dan menguji kemampuan hormon IBA untuk pembuatan bibit dari stek batang dan stek pucuk.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendapatkan teknologi penyiapan bahan stek, (2) Menguji pengaruh bahan stek dan pemberian hormon IBA terhadap keberhasilan stek jabon merah.
Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan masukan dalam pengadaan bibit berkualitas dari stek A.macropyllus.
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Jabon Merah Jabon merah atau yang lebih dikenal dengan nama lokal samama (Maluku), karumama (Sulawesi Utara) memiliki nama latin Anthocephalus macrophyllus Roxb.) Havil, dan termasuk dalam famili Rubiaceae. Secara lengkap klasifikasi jabon merah sebagai berikut: Kindom : Plantae Sub Kindom : Tracheobionta (tumbuhan berpembulu) Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divis : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil) Sub kelas : Asteridae Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Anthocephalus Spesies : Anthocephalus macrophyllus (Roxb. Havil) Sinonim : Bancalus macrophyllus (Roxb.) O. Kuntze, Nauclea Macrophylla Roxb, Neolamarckia macrophylla (Roxb.) Bosser.
3 Penyebaran jabon putih (A. cadamba Miq.) di Indonesia cukup luas meliputi seluruh Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, seluruh Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Papua. Pada penyebaran alami jabon merah (A.macrophyllus) di Indonesia lebih sempit bila dibandingkan dengan jabon putih, yang meliputi Sulawesi, Maluku, dan Papua. Jabon tumbuh pada daerah lembab di pinggir sungai, rawa dan kadang-kadang terendam air (Halawane et al. 2011).
Sifat Kayu Jabon Merah Ada dua jenis jabon yang ditanam di Indonesia, yaitu jabon merah dan jabon putih. Cara paling mudah membedakan jabon merah dengan jabon putih yaitu dengan meraba bagian bawah daunnya. Pada jabon merah terdapat bulu pada daun sedangkan pada jabon putih t idak. Ciri morfologis jabon merah dan jabon putih dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbedaan ciri morfologi jabon merah dengan jabon putih Karakteristik
Jabon merah (A. macrophyllus)
Jabon putih (A. cadamba)
Berwarna merah Runcing Memanjang Hijau Tidak ada Ada Merah Merah kehitaman Kehitaman Buah masak fisiologis berwarna coklat kemerahan
Berwarna coklat muda Rata Melebar Merah Ada Tidak ada Hijau kekuningan Hijau kecoklatan Coklat kelabu Buah masak fisiologis berwarna kuning
0.55 g/cm3 II – III III
0.42 g/cm3 V III – IV
Sifat Botanis Tunas daun muda Pangkal daun Daun Warna daun Tangkai daun Bulu daun Urat daun primer Batang muda Batang pohon dewasa Warna buah
Sifat kayu Berat jenis Kelas awet Kelas kuat
Prospek Dan Manfaat Jabon Merah Pertumbuhan jabon yang cepat, kemampuan untuk tumbuh pada berbagai jenis tanah, tidak terserang penyakit dan hama yang serius, serta karakteristik
4 silvikultur yang ideal, menjadikan jabon begitu prospektif ketika pasokan untuk kayu lapis dari hutan alam terus menurun (Soerianegara dan Lemmens 1993). Kayu jabon juga dapat dipakai untuk bahan pembuatan sampan dan perkakas rumah sederhana jika dikeringkan dengan benar. Kayu jabon juga dapat digunakan untuk lapisan inti atau lapisan permukaan vinir (kayu lapis) dan cocok pula untuk bahan papan partikel, papan semen dan papan blok (Krisnawati et al. 2011).
Kebun Pangkas Kebun pangkas merupakan kebun bibit yang dirancang untuk menghasikan tunas orthotrop sebagai bahan stek. Pada kebun pangkas jenis meranti, bibit untuk kebun pangkas dapat diperoleh dari anakan alam, biji yang disemaikan, dan stek. Pembuatan kebun pangkas dapat dilakukan dengan sistem penanaman langsung pada tanah yang telah digemburkan dan diberi pupuk organik. Kebun pangkas dapat pula dibangun dengan menanam bibit pada polybag ukuran (20 cm x 30 cm) di dalam bedengan. Naungan dengan intensitas 50% diperlukan pada kebun pangkas. Perawatan dan pemupukan secara berkala perlu dilakukan pada kebun pangkas. Kebun pangkas memiliki kelebihan yaitu dapat menghasilkan tunas-tunas yang selalu muda untuk dijadikan bahan stek, selain itu kebun pangkas telah banyak diaplikasikan pada unit produksi skala besar untuk jenis pohon cepat tumbuh seperti akasia dan eucaliptus. Pada kebun pangkas Acacia crasicarpa di PT Indah Kiat, produktivitas kebun pangkas mencapai 25 bahan stek dari setiap pokok tanaman dalam satu bulan. Secara umum penggunaan kebun pangkas untuk jenisjenis cepat tumbuh lebih efektif karena produktivitas tunas setiap pohon induk sangat tinggi (25 tunas). Namun demikian ada beberapa kendala dalam mengelola kebun pangkas khususnya meranti antara lain: (1) Kemampuan bertunas yang kurang produktif (3 sampai 6 tunas per bibit), (2) Pertumbuhan yang lambat (dapat dipangkas ulang minimal setelah 4 bulan), dan (3) Setelah beberapa kali pemangkasan tidak lagi menghasilkan tunas yang baik untuk distek. Selain itu permasalahan lainnya yaitu masih perlunya penggantian pohon induk setelah beberapa kali periode pengambilan bahan stek (Sakai dan Subiakto 2007). Pembiakan Vegetatif Stek Pembiakan vegetatif merupakan pembiakan tumbuhan yang menggunakan salah satu bagian vegetatif tumbuhan itu sendiri misalnya akar, batang, daun, pucuk, jaringan bunga, jaringan meristem dan sel tanpa melibatkan proses perkawinan atau pembuahan (Susilowati 2008). Salah satu cara pembiakan vegetatif adalah dengan cara stek. Penyetekan sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu perlakuan pemisahan, pemotongan beberapa bagian dari tanaman seperti akar, batang, daun, dan tunas dengan maksud agar bagian-bagian tersebut membentuk akar (McMahon et al. 2007). Kelebihan perbanyakan jabon merah dengan cara stek yaitu dapat menghasilkan pertumbuhan bibit yang homogen dengan jumlah dan waktu yang
5 diinginkan, karena stek jabon merah dapat dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Hal tersebut mampu mengatasi kelemahan jabon merah yang sifat benihnya semi rekalsitran serta masa berbuah yang pendek yaitu Februari sampai April. Namun demikian ada kekurangan perbanyakan jabon merah dengan cara stek, yaitu harga bibit relatif lebih mahal jika produktivitas bahan steknya terbatas.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Silvikultur SEAMEO BIOTROP dan Asrama masjid Alhurriyyah IPB Dramaga, Bogor Jawa Barat dilaksanakan pada Juli 2012 sampai dengan Juli 2013.
Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kompos, hormon IBA, Rotoone-f (0.057% IBA), pupuk NPK, fungisida sistemik dan kontak, insektisida, cairan pemutih, dan bibit jabon umur 4 bulan dan umur 1 tahun. Bibit tersebut diperoleh dari pembelian di persemaian masyarakat di Situgede dan SEAMEO BIOTROP.
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: cangkul, gunting stek, penggaris, gembor, tali rapia, sumpit bambu, kamera, alat tulis, timbangan, gelas plastik, ember plastik, pengaduk, suntikan 10 mL, pisau pemotong, bak plastik, gelas plastik, tutup saji plastik, plastik bening, polibag, sprayer, dan spidol permanen.
Prosedur Analisis Data Kebun Pangkas Jabon Merah Umur 1 Tahun Tahap pertama yaitu pembersihan lahan percobaan untuk menghilangkan gulma, selanjutnya tanah diolah supaya gembur untuk mempermudah pertumbuhan akar, dilanjutkan dengan pembuatan lubang tanam dengn ukuran 30 cm x 30 cm dengan jarak tanam 30 cm x 50 cm. Lubang tanam yang telah dibuat diberikan pupuk kompos secukupnya sebagai bekal nutrisi awal bibit yang akan ditanam, barulah setelah itu bibit jabon merah dengan tinggi 1 meter dengan umur 1 tahun ditanam. Bibit yang telah ditanam dibiarkan beradaptasi dengan lingkungan selama 1 minggu, setelah beradaptasi barulah bibit dilengkungkan tetapi bagian pucuk belum dipotong, bibit dibiarkan lagi 1 minggu untuk beradaptasi dengan kondisi batang yang dilengkungkan.
6 Setelah bagian pucuk memperlihatkan respon terhadap pelengkungan yaitu dengan melihat bagian pucuk yang melengkung secara alami menuju arah atas, barulah bibit dipotong bagian apikalnya. Pemeliharaan kebun pangkas meliputi penyiraman pagi dan sore hari, pemupukan NPK dengan dosis 1 sendok makan/ tanaman. Penyemprotan dengan fungisida dan insektisida jika terjadi serangan jamur atau serangga. Parameter yang diamati pada kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun adalah jumlah tunas dan panjang tunas. Pengukuran dan penghitungan tunas yang muncul dilakukan setiap minggu selama 12 minggu. Hasil pengukuran panjang setiap tunas yang tumbuh pada setiap bibit kemudian dirataratakan. Tahapan pembuatan kebun pangkas secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2.
Rancangan Percobaan Kebun Pangkas Jabon Merah Umur 1 Tahun Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK). Setiap perlakuan terdiri dari 5 sampel dengan ulangan 5 kali. Jumlah bibit yang digunakan sebanyak 2 x 5 x 5 = 50 bibit. Tata letak kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun dapat dilihat pada Gambar 1. Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok V I II III IV ***** xxxxx ***** xxxxx ***** xxxxx ***** xxxxx ***** xxxxx Gambar 1 Tata letak kebun pangkas jabon umur 1 tahun Perlakuan yang digunakan adalah: Faktor P: pelengkungan batang. P0 = Batang tidak dilengkungkan (*). P1 = Batang dilengkungkan (X). Model linier yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij = μ + τi + βj+ εij Keterangan: Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan pelengkungan ke-i, kelompok ke-j. μ = Rata-rata umum. τi = Pengaruh perlakuan pelengkungan ke-i. βj = Pengaruh kelompok ke-j. εij = Pengaruh acak pada perlakuan pelengkungan ke-i dan kelompok ke-j
7
a
b
c
d
f
e
Gambar 2 Tahapan pembuatan kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun: (a) pembersihan lahan, (b) pengolahan lahan, (c) pembuatan lubang tanam, (d) pemupukan, (e) penanaman bibit, (f) pelengkungan batang
8 Kebun Pangkas Jabon Merah Umur 4 Bulan Kebun pangkas ini dibuat dari bibit jabon merah umur 4 bulan. Bibit dipotong dan disisakan bagian pangkalnya sepanjang 25 cm. Kemudian bagian ujung bibit pangkasan tersebut dilapisi dengan plastik wrap untuk mengurangi penguapan (Gambar 3). Bibit disusun sesuai dengan tata letak yang telah ditentukan (Gambar 3). Pemeliharaan kebun pangkas ini meliputi penyiraman pagi dan sore hari, penyemprotan fungisida dan insektisida apabila terjadi serangan jamur atau serangga. Pemupukan dilakukan dengan dosis perlakuan 0.00 g, 0.50 g, dan 1.00 g NPK/bibit. Pupuk NPK dicairkan dengan air bersih dan disiram ke setiap bibit sebanyak 10 mL. Pupuk NPK cair tersebut diberikan setiap minggu sekali sesuai dengan dosis yang telah ditentukan. Parameter yang diamati pada kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan meliputi jumlah tunas dan jumlah daun. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 4 minggu.
Gambar 3 Bibit pangkasan sisa stek yang digunakan untuk kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan
Rancangan Percobaan Kebun Pangkas Jabon Merah Umur 4 Bulan Penelitian untuk pembuatan kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dosis pupuk NPK. Setiap perlakuan terdiri dari 10 bibit diulang 3 kali. Sehingga jumlah bibit yang digunakan sebanyak 3 x 10 x 3 = 90 bibit. Tata letak kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan dapat dilihat pada Gambar 4. Kelompok I Kelompok II Kelompok III NPK 1.00 g I NPK 0.50 g I NPK 0.00 g III NPK 1.00 g III NPK 0.00 g I NPK 0.00 g II NPK 0.50 g II NPK 0.50 g III NPK 1.00 g II Gambar 4 Tata letak kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan
9 Perlakuan yang digunakan adalah: N0 = NPK 0.00 g (Kontrol) N1 = NPK 0.50 g N2 = NPK 1.00 g Adapun model linier yang digunakan adalah sebagai berikut Yij = μ + τi + βj+ εij Keterangan Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan pupuk NPK ke-i, kelompok ke-j. μ = Rata-rata umum. τi = Pengaruh perlakuan pupuk NPK ke-i. βj = Pengaruh kelompok ke-j εi = Pengaruh acak pada perlakuan pupuk NPK ke-i dan kelompok ke-j.
Stek Jabon Merah Penyiapan media tanam dan bahan stek Arang sekam dan cocopeat diaduk secara manual hingga merata, kemudian direndam dengan larutan campuran fungisida kontak (Dithane 45 dengan dosis 2 g/L dan cairan pemutih Bayclin dengan dosis 30 mL/2 L (Gambar 5), setelah itu media diaklimatisasi selama 1 minggu dengan cara dimasukan ke dalam karung dan disimpan ditempat yang terlindung dari hujan. Bibit jabon merah dihardening selama 2 minggu dengan cara dijemur tanpa diberi naungan dengan tujuan memperkeras batang bibit dan mengurangi kandungan air bibit. Pelaksanaan dan pemeliharaan Bibit jabon merah dipotong dua kali dengan menggunakan cutter, potongan pertama merupakan gabungan pucuk dan batang, kemudian dipotong lagi sehingga terbentuk stek pucuk dan stek batang (Gambar 5). Panjang stek batang 7–10 cm dan memiliki 2 ruas, sedang panjang stek pucuk 5 cm dan minimal memiliki 2 ruas. Setelah dipotong, stek dimasukan ke dalam ember berisi air, kemudian larutan fungisida sistemik Benomyl dengan dosis 4 g/L. Setelah itu bahan stek diolesi hormon dalam bentuk pasta sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan, kemudian dibiarkan selama 1 menit dengan posisi terbalik agar hormon lebih meresap ke dalam jaringan bahan stek. Media tumbuh stek terdiri dari arang sekam dan cocopeat (1:1, v/v) dimasukan dalam polibag 10 cm x 10 cm. Stek yang telah diolesi hormon kemudian ditanam pada media tumbuh sedalam 2 cm lalu dipadatkan. Setelah stek tertanam semua, polibag ditata dalam bak stek yang terbuat dari tudung saji, kemudian stek disiram kembali dengan air bersih hingga airnya menetes. Setelah itu sungkup dipasang dan ditutup rapat dengan plastik bening. Pemeliharaan stek dilakukan dengan penyemprotan air bersih sebanyak 3 kali sehari pada pagi, siang dan sore hari. Penyemprotan fungisida dilakukan seminggu sekali untuk pencegahan serangan jamur. Tahapan persiapan dan pelaksanaan stek dapat dilihat pada Gambar 5.
10
a
b
d
c
f
e
Gambar 5 Tahapan persiapan dan pelaksanaan stek jabon merah: (a) pengadukkan media stek, (b) sterilisasi media stek, (c) sterilisasi bahan stek, (d) pemotongan bahan stek, (e) pemberian hormon, (f) penanaman bahan stek
11 Parameter yang diamati Parameter stek jabon merah yang diukur yaitu: (1) Persentase stek hidup, (2) Persentase stek berakar, (3) Persentase stek bertunas, (4) Jumlah akar, dan (5) Jumlah tunas. Persentase stek hidup % hidup=Jumlah stek hidup x 100% Jumlah stek yang ditanam Persentase stek berakar % berakar=Jumlah stek berakar x 100% Jumlah stek yang ditanam Persentase bertunas % bertunas=Jumlah stek bertunas x 100% Jumlah stek yang ditanam Jumlah akar Jumlah akar primer dihitung secara manual pada akhir pengamatan. Jumlah tunas Jumlah tunas dihitung secara manual pada akhir pengamatan.
Rancangan Percobaan Stek Jabon Merah Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok pola faktorial 2 x 4 dengan 3 ulangan masing masing ulangan terdiri dari 10 bibit. Jadi secara keseluruhan terdapat 240 stek. Tata letak stek jabon merah dapat dilihat pada Gambar 6. Kelompok Kelompok Kelompok I II III Ulangan Ulangan Ulangan I II III BH0.I PH0.II BH0.III BH1.I PH1.II BH1.III BH2.I PH2.II BH2.III BH3.I PH3.II BH3.III PH0.I BH0.II PH0.III PH1.I BH1.II PH1.III PH2.I BH2.II PH2.III PH3.I BH3.II PH3.III Gambar 6 Tata letak stek jabon merah Dalam penelitian ini terdapat dua faktor perlakuan, yaitu: Faktor 1: Faktor bahan stek P = Stek pucuk B = Stek batang
12 Faktor 2: Faktor konsentrasi hormon IBA H0= 0 ppm (kontrol) H1= 500 ppm Rootone F (0.057 % IBA) H2= 1000 ppm IBA H3= 1500 ppm IBA Model umum rancangan faktorial yang digunakan adalah sebagai berikut: Yijk = μ + Ai + Bj + (AB)ij +ρk + εij Keterangan: Yijk = Nilai pengamatan karena pengaruh bersama dari faktor bahan stek taraf ke-i dan faktor konsentrasi hormon IBA taraf ke-j serta ulangan ke-k. = Nilai rata-rata umum. μ Ai = Pengaruh faktor bahan stek taraf ke-i. Bj = Pengaruh faktor konsentrasi hormon IBA taraf ke-j. (AB)ij = Pengaruh interaksi antara faktor bahan stek taraf ke-i dan faktor konsentrasi hormon IBA taraf ke-j. ρk = Pengaruh pengelompokan. εij = Pengaruh kesalahan percobaan dari faktor bahan stek taraf ke-i dan. faktor konsentrasi hormon IBA taraf ke-j serta ulangan ke-k.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kebun Pangkas Jabon Merah Umur 1 Tahun Kebun pangkas adalah suatu areal yang berisi tanaman sebagai penghasil tunas orthotrop dengan cepat dan dalam jumlah yang banyak dengan cara dipangkas untuk bahan stek. Pada penelitian ini, kebun pangkas jabon merah diberi perlakuan pelengkungan dengan harapan dapat memproduksi tunas lebih banyak. Dengan perlakuan tersebut ternyata menghasilkan pola pertumbuhan tunas yang berbeda dengan kebun pangkas pada umumnya. Pola pertumbuhan tunas kebun pangkas pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7. Ketika batang dilengkungkan, tanaman menganggap hal tersebut sebagai suatu kerusakan. Tanaman mulai terganggu dalam distribusi nutrisinya. Dalam keadaan seperti ini mekanisme reiterasi (pembentukan tunas) merupakan respon dari perlakuan tersebut. Secara teoritis distribusi tunas akan terbentuk seperti pada Gambar 7a, namun fakta dalam percobaan ini pola pertunasan mengikuti pola Gambar 7b. Pola pada Gambar 7a terdapat dominasi tunas dititik tertinggi pelengkungan, namun pada Gambar 7b pola pertunasan didominasi oleh tunas yang terdekat dengan tanah atau terdekat dengan sumber nutrisi. Tunas dominan tersebut akan menekan pertumbuhan tunas-tunas yang lain sehingga perpanjangan tunas yang lain menjadi terhambat. Tunas dominan harus segera dipotong dan dimanfaatkan sebagai bahan stek agar tunas yang lain cepat berkembang.
13
c
c
a
b
Gambar 7 (a) Respon pertumbuhan tunas pada kebun pangkas yang dilengkungkan secara teoritis, (b) fakta yang terjadi, dan (c) tunas dominan Jumlah tunas Jumlah tunas merupakan parameter produksi yang menghitung jumlah tunas yang dapat digunakan sebagai bahan stek yang dihasilkan dari suatu kebun pangkas (Hartono 2004). Hasil pengamatan pengaruh pelengkungan menunjukkan bahwa pelengkungan berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas yang dihasilkan dan mampu meningkatkan jumlah tunas pada minggu ke-1 sampai minggu ke10. Hasil uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil uji Duncan pengaruh pelengkungan batang terhadap jumlah tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Perlakuan
Rata-rata jumlah tunas (buah)
Lengkung minggu ke-1 Kontrol minggu ke-1
3.84 a 2.44 b
Lengkung minggu ke-10 Kontrol minggu ke-10
5.38 a 3.11 b
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa jumlah tunas pada kebun pangkas yang dilengkungkan meningkat 57.37% dibandingkan dengan kontrol pada minggu ke1 sedangkan pada minggu ke-10 meningkat 72.99%. Hasil pengamatan secara visual menunjukkan tunas yang dekat dengan pangkal batang tumbuh lebih subur (batang besar, daun lebih lebar, dan tunas lebih panjang).
14
Panjang tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun (cm)
Perkembangan jumlah tunas kebun pangkas selama 12 minggu menunjukkan bahwa dalam pertumbuhan tunas tersebut terjadi persaingan unsur hara sehingga pada minggu ke-12 jumlah tunas yang tumbuh semakin sedikit dan terjadi kematian tunas (Gambar 8). Sebaliknya pada minggu ke-2 dan ke-3 jumlah tunas lebih banyak (8 buah). Lengkung
Kontrol
9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 1
2
3
4 5 6 7 8 9 Perlakuan minggu ke-
10 11 12
Gambar 8 Jumlah tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Panjang tunas Panjang tunas dapat menggambarkan dominansi suatu tunas terhadap tunas lain dalam hal nutrisi, ruang tumbuh, penyerapan cahaya yang mengakibatkan defisit nutrisi pada tunas lain yang kalah bersaing atau tumbuh belakangan yang dapat berujung pada kematian tunas (Wijaya 2002). Selain itu panjang tunas juga merupakan salah satu kriteria layak tidaknya suatu tunas untuk dijadikan bahan stek. Ukuran bibit (5–35 cm) memiliki potensi yang sama dalam keberhasilan stek pucuk dengan persentase keberhasilan diatas 80% (Qurrataayun 2011). Hasil pengamatan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pelengkungan tidak berpengaruh nyata terhadap panjang tunas yang dihasilkan (Tabel 3). Tabel 3 Hasil uji Duncan pengaruh pelengkungan batang terhadap panjang tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Perlakuan
Rata-rata panjang tunas (cm)
Lengkung minggu ke-1
0.28 a
Kontrol minggu ke-1
0.23 a
Lengkung minggu ke-10 Kontrol minggu ke-10
3.98 a 4.13 a
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Tabel 3 menunjukkan bahwa pelengkungan tidak berpengaruh nyata terhadap panjang tunas yang dihasilkan pada minggu ke-1 sampai minggu ke-10. Panjang tunas kebun pangkas selama 12 minggu dapat dilihat pada Gambar 9.
Panjang tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun (cm)
15
Lengkung
Kontrol
7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 1
2
3
4
5 6 7 8 9 Perlakuan minggu ke-
10 11 12
Gambar 9 Jumlah tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Gambar 9 menunjukkan bahwa secara umum tunas pada kebun pangkas kontrol (tidak dilengkungkan) lebih panjang dibandingkan dengan kebun pangkas yang dilengkungkan, dan keduanya memperlihatkan masih terus meningkat. Hal ini karena jumlah tunasnya yang semakin sedikit.
Kebun Pangkas Jabon Merah Umur 4 Bulan Kebun pangkas ini merupakan bagian batang bawah sisa pemotongan stek yang kemudian dipelihara dengan harapan menghasilkan tunas orthotrop yang dapat digunakan sebagai bahan stek dan bagian atas batang yang terbuka dilapisi dengan plastik wrap untuk mengurangi penguapan. Setelah itu bibit disusun sesuai dengan tata letak yang telah dibuat dan dilakukan pengamatan parameter. Parameter yang diukur dalam percobaan ini terdiri jumlah tunas dan jumlah daun. Jumlah tunas Faktor lingkungan seperti nutrisi anorganik, air, cahaya dan temperatur ikut mempengaruhi pertumbuhan tunas (Hilmann 1990; Wijaya 2002). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian pupuk NPK berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas yang dihasilkan (Tabel 4). Tabel 4 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian pupuk NPK terhadap jumlah tunas anakan stek jabon merah umur 4 bulan selama 4 minggu Minggu ke2
Perlakuan NPK 0.00 g NPK 0.50 g NPK 1.00 g
Rata-rata jumlah tunas (buah) 2.74 a 1.66 b 0.96 b
4
NPK 0.00 g NPK 0.50 g NPK 1.00 g
1.80 a 0.53 b 0.06 b
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
16
Jumlah tunas kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan (buah)
Tabel 4 menunjukkan pemberian pupuk NPK dengan dosis yang semakin meningkat menurunkan jumlah tunas yang dihasilkan pada minggu ke-2 dan ke-4. Secara keseluruhan dosis pupuk 0.50 g/bibit menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak daripada pada dosis 1.00 g/bibit. Beberapa tunas pada minggu ke-4 juga mati. Hal ini diduga dosis 1.00 g/bibit telah berakibat toksis terhadap tanaman. Perkembangan jumlah tunas untuk setiap perlakuan setiap minggunya dapat dilihat pada Gambar 10. NPK 0.00 g
2,50
NPK 0.50 g
NPK 1.00 g
2,74
3,00 2,16
2,00 1,50
1,80
1,67
1,59 1,23
0,97
1,00
1,07 0,95 0,93 0,53
0,50
0,07
1
2
3
4
Perlakuan minggu ke-
Gambar 10 Jumlah tunas kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan Pada Gambar 10 menunjukkan bahwa jumlah tunas yang paling banyak pada kebun pangkas tanpa perlakuan (kontrol) disusul dengan perlakuan NPK 0.50 g dan 1.00 g. Hal ini berarti penambahan pupuk NPK untuk merangsang pertumbuhan tunas pada bibit umur 4 bulan berpengaruh negatif.
Jumlah daun kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan (helai)
Jumlah daun Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian pupuk NPK tidak berpengaruh nyata pada jumlah daun yang dihasilkan pada minggu ke-1 sampai minggu ke-4. Perkembangan jumlah daun untuk setiap perlakuan setiap minggunya dapat dibaca pada Gambar 11. NPK 0.00 g 6,00
NPK 0.50 g
NPK 1.00 g
5,33
5,00
4,20
4,00 3,00 2,00
2,77 2,11 1,46 1,29
1,53
2,84
2,60 1,73
1,00
0,93 0,27
-
1
2 3 Perlakuan minggu ke-
4
Gambar 11 Jumlah daun kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan
17 Gambar 11 menunjukkan bahwa dari minggu ke-1 sampai minggu ke-4 jumlah daun tertinggi pada kebun pagkas yang tidak dipupuk diikuti perlakuan pemberian NPK 0.50 g dan 1.00 g. Hal ini berarti perlu diturunkan dosis pupuk NPK nya.
Stek Jabon Merah Parameter yang diukur pada penelitian ini terdiri dari persentase stek hidup, persentase stek bertunas, persentase stek berakar, jumlah akar dan jumlah tunas. Rekapitulasi sidik ragam stek jabon merah dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Rekapitulasi sidik ragam stek jabon merah Parameter % Hidup % Berakar % Bertunas Jumlah akar Jumlah tunas
Bahan stek (A) * ns * ns *
Sumber keragaman Hormon IBA (B) ns ns ns ns ns
Interaksi A*B ns ns ns ns ns
* berpengaruh nyata pada taraf uji 5%, ns tidak berpengaruh nyata.
Tabel 5 menunjukkan bahwa faktor bahan stek berpengaruh nyata terhadap parameter persentase hidup stek, persentase bertunas dan jumlah tunas, sedangkan faktor hormon dan interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata pada semua parameter yang diamati. Persentase hidup Persentase hidup merupakan perbandingan antara jumlah stek yang hidup hingga akhir masa pengamatan dengan seluruh bahan stek yang ditanam (Prakasa 2011). Salah satau ciri stek yang hidup adalah penampakannya yang masih segar hingga akhir pengamatan, sedangkan stek yang mati dicirikan dengan warna batang hitam, busuk, bakal tunas dan daun yang layu (Budiman 2000). Pengaruh bahan stek berpengaruh nyata terhadap persentase hidup stek, dapat dilihat pada Tabel 6.
Table 6 Hasil uji Duncan pengaruh bahan stek terhadap persentase hidup stek jabon merah Bahan stek Pucuk Batang
Rata-rata persentase hidup (%) 8.33 b 48.33 a
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata persentase hidup stek batang jabon
18 merah lebih tinggi daripada stek pucuk. Persentase hidup stek pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 12. 56,67
Persentase hidup stek jabon merah (%)
50,00 43,33
43,33
BH1
BH2
13,33 10,00 6,67 3,33 PH0
PH1
PH2
PH3
BH0
BH3
Perlakuan
Gambar 12 Persentase hidup stek jabon merah (PH0= pucuk 0 ppm IBA, PH1= pucuk 500 ppm IBA. PH2= pucuk 1000 ppm IBA, PH3= pucuk 1500 ppm IBA, BH0= batang 0 ppm IBA, BH1= batang 500 ppm IBA, BH2= batang 1000 ppm IBA, BH3= batang 1500 ppm IBA) Gambar 12 menunjukkan bahwa persentase hidup stek beragam, persentase hidup terendah pada perlakuan PH0 sebesar 3.33%, dan tertinggi pada perlakuan BH3 sebesar 56.67%. Keragaan stek yang mati karena pembusukan dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Stek pucuk jabon merah yang mati akibat pembusukan Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa stek mengalami pembusukan yang mengakibatkan stek tidak mampu memproduksi tunas dan akar sehingga yang berlanjut pada kematian stek. Pembusukan yang bermula dari ujung maupun pangkal stek kemudian terus menjalar ke semua bagian bahan stek.
Persentase berakar
19 Persentase berakar merupakan kunci penting dalam menilai keberhasilan suatu stek. Diharapkan dengan tumbuhnya akar, proses fisiologis pada stek dapat berjalan dengan baik seperti bibit yang berasal dari biji (Prakasa, 2011). Faktor bahan stek dan pemberian hormon IBA tidak berpengaruh nyata terhadap persentase berakar stek. Persentase stek berakar pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 14. 3,33
3,33
3,33
Persentase berakar stek jabon merah (%)
3,33
-
-
-
PH0
PH1
PH2
PH3
BH0
BH1
BH2
BH3
Perlakuan
Gambar 14 Persentase berakar stek jabon merah (PH0= pucuk 0 ppm IBA, PH1=pucuk 500 ppm IBA. PH2= pucuk 1000 ppm IBA, PH3= pucuk 1500 ppm IBA, BH0= batang 0 ppm IBA, BH1= batang 500 ppm IBA, BH2= batang 1000 ppm IBA, BH3= batang 1500 ppm IBA) Gambar 14 menunjukkan bahwa persentase berakar stek jabon merah tertinggi adalah sebesar 3.33% pada perlakuan PH3, BH0, BH1, dan BH2, selebihnya tidak berhasil berakar. Stek batang lebih mudah berkar daripada stek pucuk. Kondisi stek pucuk yang berhasil berakar dapat dilihat pada Gambar 15. Stek yang tidak mengalami pembusukan mampu berakar dan bertahan hidup
Gambar 15 Stek pucuk jabon merah yang berhasil berakar karena proses fisiologis seperti penyerapan nutrisi dan air sudah dilakukan dengan
20 bantuan akar yang tumbuh. Selain itu adanya daun sebagai tempat fotosintesi membuat stek sudah dapat menghasilkan fotosintat untuk kebutuhannya sendiri. Persentase bertunas Tumbuhnya tunas pada stek juga penting karena salah satu tempat sintesis hormon auksin adalah di tunas muda (Srivastava 2002). Hormon endogen ini diharapkan mampu mempercepat terbentuknya akar adventif pada stek. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengaruh bahan stek berpengaruh nyata terhadap persentase bertunas stek (Tabel 7). Tabel 7 Hasil uji Duncan pengaruh bahan stek terhadap persentase bertunas stek jabon merah Bahan stek Pucuk Batang
Rata-rata persentase bertunas (%) 1.66 b 56.66 a
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata persentase bertunas stek batang sebesar 56.66% lebih tinggi daripada stek pucuk sebesar 1.66%. Persentase bertunas stek pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 16.
Persentase bertunas stek jabon merah (%)
60,00
60,00
63,33
43,33
-
-
PH0
PH1
3,33
3,33
PH2
PH3
BH0
BH1
BH2
BH3
Perlakuan
Gambar 16 Persentase bertunas stek jabon merah (PH0= pucuk 0 ppm IBA, PH1=pucuk 500 ppm IBA. PH2= pucuk 1000 ppm IBA, PH3= pucuk 1500 ppm IBA, BH0= batang 0 ppm IBA, BH1= batang 500 ppm IBA, BH2= batang 1000 ppm IBA, BH3= batang 1500 ppm IBA) Pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa persentase bertunas stek pucuk hanya mencapai 3.33% pada perlakuan PH3, sedangkan pada stek batang dapat mencapai 63.33% pada perlakuan BH3, sedangkan perlakuan PH0 dan PH1 stek pucuk tidak mampu bertunas, dan pada stek batang nilai persentase bertunas terendah adalah 43.33% pada perlakuan BH1. Stek yang berhasil bertunas dapat dilihat pada Gambar 17.
21
Gambar 17 Stek batang jabon merah yang berhasil bertunas Pada Gambar 17 menunjukkan bahwa stek batang yang berhasil bertunas dan membentuk akar, tetapi pertumbuhan tunas ini tidak diiringi dengan pertumbuhan akar yang baik sehingga tunas kemudian layu setelah cadangan makanan di stek batang telah berkurang. Cadangan makanan yang ada hanya cukup untuk mempertahankan hidup dan pertumbuhan tunas. Jumlah akar Jumlah akar merupakan gambaran kemampuan hormon dalam menginduksi dan menggandakan sel-sel meristematik akar untuk tumbuh dan berkembang menjadi akar yang berfungsi untuk menopang pertumbuhan bibit menyerap unsur hara dan air yang terdapat pada media tumbuh (Prakasa 2011). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengaruh bahan stek dan pemberian hormon IBA tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah berakar stek. Stek yang berhasil berakar dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Stek batang jabon merah yang berhasil berakar
22 Stek berhasil berakar dan bertunas namun jumlah tunas yang dihasilkan sangat sedikit, dan bahkan ada yang hanya membentuk kalus namun tidak membentuk akar. Jumlah akar stek pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 19.
3,00
Jumlah akar stek jabon merah (buah)
3,00
1,00
-
-
PH0
PH1
1,00
1,00
PH2
PH3
BH0
BH1
BH2
BH3
Perlakuan
Gambar 19 Jumlah akar stek jabon merah (PH0= pucuk 0 ppm IBA, PH1=pucuk 500 ppm IBA. PH2= pucuk 1000 ppm IBA, PH3= pucuk 1500 ppm IBA, BH0= batang 0 ppm IBA, BH1= batang 500 ppm IBA, BH2= batang 1000 ppm IBA, BH3= batang 1500 ppm IBA) Gambar 19 menunjukkan bahwa jumlah akar stek pucuk terbanyak adalah 3 akar pada perlakuan PH2 dan PH3, sisanya tidak mampu berakar, dan pada stek batang jumlah 1 akar pada perlakuan BH0, BH1, dan BH2, sedangkan BH3 tidak mampu berakar. Jumlah tunas Jumlah tunas yang pada stek dipengaruhi oleh kandungan bahan makanan yang terdapat pada stek. Faktor bahan stek berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas stek (Tabel 8). Tabel 8 Hasil uji Duncan pengaruh bahan stek terhadap jumlah tunas stek jabon merah Bahan stek Pucuk Batang
Rata-rata jumlah tunas (buah) 0.25 b 12.25 a
a
Angka-angka pada kolom yang samayang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Tabel 8 menunjukkan bahwa stek pucuk menghasilkan rata-rata tunas lebih sedikit (0.25) tunas dibanding dengan stek batang (12.25 tunas), perkembangan jumlah tunas selengkapnya lihat Gambar 20. Gambar 20 menunjukkan bahwa jumlah tunas tertinggi sebanyak 2.16 tunas pada perlakuan BH3 pada perlakuan
23 PH0, PH1 stek tidak menghasilkan tunas. Pada umumnya jumlah tunas baru akan mudah terbentuk pada stek batang daripada stek pucuk. Jika stek batang dapat dijadikan bahan stek yang bagus maka peluang pelipatan jumlah tunasnya lebih tinggi daripada stek pucuk
Jumlah tunas stek jabon merah (buah)
2,38 2,00
1,94
PH3
BH0
2,22
2,16
BH2
BH3
1,00
-
-
PH0
PH1
PH2
BH1
Perlakuan
Gambar 20 Jumlah tunas stek jabon merah (PH0= pucuk 0 ppm IBA, PH1=pucuk 500 ppm IBA. PH2= pucuk 1000 ppm IBA, PH3= pucuk 1500 ppm IBA, BH0= batang 0 ppm IBA, BH1= batang 500 ppm IBA, BH2= batang 1000 ppm IBA, BH3= batang 1500 ppm IBA)
Pembahasan Teknologi Produksi Bahan Stek Teknik pelengkungan batang sering digunakan khususnya pada perkebunan apel untuk merangsang pembungaan. Pada penelitian ini, hal yang sama dilakukan namun dengan tujuan yang berbeda, dengan umur jabon yang masih 1 tahun dan belum mencapai fase generatif, maka pelengkungan diharapkan dapat meningkatkan jumlah tunas dan pertumbuhan tunas pada kebun pangkas jabon merah sehingga produksi tunas orthotrop yang akan digunakan sebagai bahan stek semakin meningkat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa faktor pelengkungan batang berpengaruh terhadap jumlah tunas yang dihasilkan. Hal ini diduga akibat dari perubahan pola distribusi makanan dari arah dominasi apikal ke dominansi lateral. Hal ini juga berakibat pada perubahan pola aliran auksin dari arah atas ke bawah kemudian dirubah dari atas ke arah samping (lateral). Selain itu pelengkungan juga berpengaruh pada aliran auksin ke tunas lateral (Sanyal dan Bangerth 1998) bahwa stres mekanik akibat pelengkungan menurunkan transport auksin 2 hingga 2.50 kali. Dengan semakin berkurangnya transport auksin akibat stres mekanik, dominansi apikal menjadi semakin lemah. Hal ini memberikan kesempatan pada tunas-tunas lateral yang semula
24 pertumbuhannya terhambat oleh dominansi apikal untuk tumbuh lebih leluasa. Hal ini senada dengan hasil pengamatan Ito et al. (1999) yang menyebutkan bahwa pelengkungan dapat meningkatkan produksi pembungaan dan mempengaruhi konsentrasi hormon pada tunas lateral pada tanaman pear Jepang. Pada penelitian ini, jumlah tunas meningkat pada minggu ke-1 hingga minggu ke-2, hal ini diduga bahwa efek pemotongan pucuk dan efek pelengkungan mulai bekerja dalam menurunkan dominasi apikal apikal. Namun pada minggu ke-3 terjadi penurunan jumlah tunas hingga minggu ke-12 (Gambar 8). Hal ini disebabkan adanya persaingan antar tunas dalam mendapatkan nutrisi. Pada penelitian ini terdapat tunas yang dominan dan diduga menekan pertumbuhan tunas dalam hal ini panjang tunas. Tabel 3 menunjukkan bahwa faktor pelengkungan batang tidak berpengaruh terhadap panjang tunas yang dihasilkan. Panjang tunas yang dihasilkan kebun pangkas yang dilengkungkan lebih pendek dibandingkan dengan kebun pangkas kontrol. Kim et al. (2004) menyebutkan bahwa pelengkungan dapat mempengaruhi transport air, penurunan tansport air mungkin karena kerusakan pada xylem akibat pelengkungan batang. Penurunan transport air ini berpotensi menurunkan hasil fotosintesis. Hal ini senada dengan Kim dan Lieth (2003) yang menyebutkan bahwa pelengkungan menghambat transport air dan mungkin juga mempengaruhi konsentrasi karbohidrat pada daun dan tunas. Dengan menurunnya hasil fotosintesis maka pertumbuhan tunas pada kebun pangkas yang dilengkungkan menurun. Pertumbuhan panjang tunas salah satunya dipengaruhi oleh hormon auksin, auksin menyebabkan terjadinya pemanjangan sel dengan mempengaruhi plastisitas dinding sel, namun dengan adanya pelengkungan, diduga transport auksin menjadi terganggu (Sanyal dan Bangerth 1998), dan proses pemanjangan sel menjadi terganggu. Selain itu kondisi kebun pangkas yang berada di samping tegakan mengakibatkan intensitas cahaya matahari khususnya pagi hari menjadi berkurang sehingga proses fotosintesis menjadi kurang maksimal. Ketersediaan unsur hara dalam tanah penting bagi pertumbuhan tanaman. Defisiensi unsur hara akan mengganggu pertumbuhan tanaman terganggu. Ketersediaan unsur-unsur hara esensial dalam jumlah berimbang dan dalam bentuk yang dibutuhkan tanaman pada tanah, sangat diperlukan untuk menunnjang pertumbuhan tanaman. Jika setiap unsur-unsur ini kurang tersedia atau tersedia dalam jumlah yang berlebih, maka tanaman tidak akan tumbuh secara normal. Oleh karena itu, pemupukan sangat diperlukan untuk membantu pertumbuhan tanaman, misalnya dengan menggunakan pupuk NPK Pupuk NPK merupakan pupuk majemuk yang tiga unsur sekaligus yang merupakan gabungan dari pupuk tunggal N, P dan K (Lingga 1998). Pupuk NPK yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk NPK Ponska dengan perbandingan 15:15:15. Peran utama nitrogen bagi tanaman ialah untuk merangsang pertumbuhan tanaman secara keseluruhan, khususnya batang, cabang, dan daun. Selain itu nitrogen juga berperan penting dalam hal pembentukan hijau daun yang berguna sekali dalam proses fotosintesis. Tanaman yang kekurangan unsur hara Nitrogen pertumbuhannya akan terhambat, daun tua lebih cepat gugur karena N pada daun tua ditransfer ke daun muda, daun berwarna hijau kekuningan (pucat). Apabila kelebihan unsur Nitrogen yang biasanya terjadi karena pemupukan
25 tidak tersebar secara merata, akar tanaman menjadi rusak, busuk dan mati, jika pupuk N disebar dan percikannya mengenai daun, maka daun akan mengalami bercak dan kadang-kadang ranting ikut mati (Tjahjadi 1989). Unsur fosfor bagi tanaman berguna untuk merangsang pertumbuhan akar/umbi, mendorong pertumbuhan bunga dan buah serta memperkuat tegaknya batang. Kekurangan unsur P mengakibatkan tanaman tumbuh merana, lemah, dan mudah rebah, pembentukkan bunga dan buah terhambat serta umbinya tidak membesar. Kelebihan unsur P akan menghambat pertumbuhan tanaman karena terjadi ikatan N-P yang menyulitkan penyerapan unsur N oleh tanaman (Tjahjadi 1989). Kalium membantu trasnportasi hasil fotosintesis dari daun ke seluruh tubuh tanaman. Kekurangan unsur K mengakibatkan penyerapan hasil fotosintesis berkurang, mudah terserang patogen, dan batang mudah rebah. Apabila terjadi kelebihan unsur K menyebabkan pertumbuhan terhambat karena terjadi ikatan NK sehingga menyulitkan penyerapan N oleh tanaman, daun menjadi kaku dan mudah pecah (Tjahjadi 1989) Hasil pengamatan pada kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa faktor pemupukan NPK berpengaruh nyata pada parameter jumlah tunas pada minggu ke-2 dan ke-4 dan tidak berpengaruh nyata pada parameter jumlah daun. Tabel 4 menunjukkan bahwa pemupukan NPK menurunkan produksi tunas pada minggu ke-2 dan ke-4. Penurunan produksi ini diduga akibat dosis pupuk NPK yang masih terlalu tinggi sehingga bersifat toksis terhadap tanaman. Hal ini terlihat pada pemupukan NPK 1.00 g jumlah tunas yang dihasilkan dari minggu ke-1 sebanyak 1.23 tunas hingga ke-4 sebanyak 0.07 tunas terus menurun, sedangkan pada pemupukan NPK 0.50 g jumlah tunas sempat meningkat dari minggu ke-1 sebanyak 1.59 tunas hingga minggu ke-2 sebanyak 1.67 tunas, walaupun setelah itu terjadi penurunan tunas pada minggu ke-3 dan ke-4. Keracunan NPK mulai terlihat pada dosis 0.50 g. Pemberian pupuk cair dengan alat suntikan diduga menyebabkan pemupukan tidak merata dan terpusat pada suatu titik tertentu, hal tersebut diduga merusak akar, sehingga akar membusuk dan mati (Tjahjadi 1989) Secara teori, pemberian pupuk memberikan hasil yang lebih baik terhadap pertumbuhan bibit dibandingkan dengan yang tidak diberi pupuk. Hasil penelitian menunjukkan bibit yang tidak diberi perlakuan pupuk memberikan hasil yang lebih baik. Ada faktor-faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman selain pupuk anorganik. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh proses fisiologis yang terjadi di dalam tubuh tanaman tersebut, yaitu proses fotosintesis, respirasi, translokasi dan penyerapan air serta mineral (Daniel et al.1987; Handayani 2009).
Stek Jabon Merah Stek merupakan suatu perlakuan pemisahan atau pelepasan dengan cara memotong bagian-bagian tanaman seperti tunas, batang, akar dan daun dengan harapan bagian-baian tersebut dapat membentuk akar, ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan stek. Faktor keberhasilan stek menurut Kramer dan Kozlowski (1960) dibagi menjadi dua yaitu faktor luar (lingkungan) dan faktor
26 dalam (fisiologis bahan stek). 1. Lingkungan Faktor lingkungan yang kondusif sangat mendukung keberhasilan pembentukan akar pada stek. Faktor lingkungn yang dimaksud adalah keadaan lingkungan sebelum hingga stek ditanam dan selama pemeliharaan. Faktor lingkungan tersebut diantaranya: a. Media perakaran Media merupakan salah satu unsur penentu keberhasilan proses pembentukan akar. Pemilihan media stek harus memperhatikan dua karakter utama media yaitu: Sifat fisik Sifat fisik lebih lebih ditekankan pada karakter fisik media yang digunakan seperti kemampuan menahan air dan porositas media. Porositas media dicirikan dengan tingginya unsur udara (aerasi) dalam media yang merupakan unsur penting untuk media stek. Sehingga media ideal stek adalah yang dapat mengikat air dan memiliki aerasi yang cukup (Sakai dan Subiakto 2007). Porositas media stek yang baik akan mempermudah perkembangan akar. Sifat kimia Kandungan kimia yang harus diperhatikan adalah kadar garam, tingkat keasaman, dan tingkat ionisasi media. Kandungan kimia yang ekstrik akan menyebabkan gangguan selama proses pembentukan akar. Gangguan tersebut yaitu terganggunya proses penyerapan air. Media yang baik tentunya adalah yang memiliki kandungan kimia yang minimal, seperti kadar garam rendah, pH netral dan tingkat ionisasi rendah. Kecukupan unsur hara untuk menopang pertumbuhan sangat diperlukan. Media arang sekam sangat baik digunakan untuk proses pembibitan karena media ini mempunyai sifat porus dan tidak mudah lapuk, sifat fisik tanah (porositas, aerasi), pengikat hara/slow release (Hidayah dan Irawan 2012). Sedangkan cocopeat memiliki karakter daya serap dan air tinggi, kapasitas menahan air tinggi, pH netral, kadar garam rendah. Pada penelitian ini digunakan kedua media tersebut dengan perbandingan 1:1 (v:v). Dengan harapan kombinasi keduanya dapat memenuhi kriteria media stek dari segi sifat fisik dan kimia. Persentase hidup stek jabon merah yang rendah diduga akibat dari intensitas penyiraman yang berlebih, media cocopeat dengan kapasitas menahan air yang tinggi serta sifat bahan stek yang bergabus menyebabkan stek busuk yang berlanjut pada kematian. b. Suhu Hartmann dan Kester (1983) mengemukakan bahwa suhu yang optimal untuk pembentukan akar pada kebanyakan jenis tanaman adalah 29 oC, karena suhu tersebut mampu merangsang pembelahan sel. Suhu yang terlalu rendah dan tinggi dapat mengakibatkan kematian pada stek. Kebutuhan suhu untuk masing-masing spesies adalah berbeda-beda, secara umum suhu yang cocok untuk perakaran pada siang hari 21 oC–27 oC dan suhu pada malam hari sekitar 5 oC. Hasil pengamatan suhu menunjukkan suhu rata-rata minimum di dalam sungkup 24 oC
27 dan suhu maximal 29.79 oC. Berdasarkan hasil ini seharusnya stek jabon merah dapat menghasilkan persentase berakar yang tinggi karena suhu maksimum tidak melebihi suhu optimum 29 oC dan suhu minimum masih di atas 21 oC. Diduga ada faktor lain yang menyebabkan rendahnya persentase berakar stek jabon merah. Rendahnya persentase berakar diduga akibat dari pembusukan yang terjadi bahan stek. c. Kelembaban Kelembaban udara yang tinggi penting dalam pembentukan akar pada stek. Dengan kelembaban tinggi diharapkan mampu mencegah transpirasi berlebihan pada bahan stek. Hartmann dan Kester (1983) menyebutkan bahwa kelembaban pada stek harus diusahakan konstan di atas 90%. Pada penelitian ini digunakan plastik transparan yang digunakan untuk menutupi sungkup dan dilakukan penyiraman pada pagi, siang dan sore hari sebagai upaya untuk menjaga kelembaban. Kelembaban udara dalam sungkup dalam penelitian ini sebesar 95%. d. Intesitas cahaya matahari Intensitas cahaya matahari penting dalam pembentukan akar pada stek karena merupakan energi utama yang digunakan dalam proses fotosintesis. Inisiasi akar pada stek lebih baik pada intensitas cahaya yang rendah. Pada penelitian ini, pemasangan tutup saji plastik yang dilapisi plastik meteran diharapkan mampu mengurangi cahaya matahari langsung. Intensitas cahaya yang optimal untuk pertumbuhan akar stek berkisar 10.000-20.000 lux (Sakai dan Subiakto 2007). Peletakan stek di bawah naungan bangunan membuat intensitas cahaya yang diterima bahan stek menjadi sangat kurang sehingga menghambat pembentukan akar dan memicu pembusukan bahan stek. 2. Fisiologis tanaman a. Ketersediaan air Ketika bahan stek dipotong maka terjadi translokasi air, sehingga jaringan tanaman mengalami defisit air dan pada saat bersamaan proses evapotranspirasi terus berjalan normal. Pada penelitian ini defisit air diminimalisir efeknya dengan cara mengatur kondisi lingkungan stek, salah satunya dengan menggunakan sungkup sebagai penutup stek, dan menutup bagian ujung stek pada stek batang dengan plastik wrap. Namun penggunaan sungkup yang terbuat dari tutup saji plastik yang ditutup dengan plastik bening ternyata kurang efektif ketika penutupan tidak dilakukan dengan sempurna sehingga embun yang terbentuk pada lapisan atas plastik mudah hilang akibat penguapan karena suhu tinggi. Ketersediaan air sangat penting untuk memperlancar proses metabolisme bahan stek dengan menjaga kestabilan ukuran sel. Pada transpirasi tinggi, persediaan karbohidrat menjadi cepat menurun karena digunakan untuk proses pernapasan dan cadangan makanan lama-kelamaan menjadi habis. b. Pengaruh bahan stek Ketersediaan karbohidrat dan nitrogen sangat penting dalam proses pembentukan akar pada stek. Karbohidrat merupakan salah satu hasil proses
28 fotosintesis yang berlangsung di daun dan dialirkan ke seluruh bagian tanaman. Cadangan makanan tersebut akan digunakan pada saat tanaman mengalami kondisi tidak meguntungkan atau untuk pembentukan sel atau organ baru. Cadangan makanan lebih dikenal dengan istilah perbandingan antara karbohidrat dan nitrogen C/N ratio. C/N ratio yang tinggi lebih mengarah pada pembentukan tunas, sedangkan C/N ratio yang rendah lebih mengarah pada pembentukkan akar. Hasil sidik ragam pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pertumbuhan stek batang yang lebih baik daripada stek pucuk pada percobaan ini lebih dipengaruhi oleh faktor bahan stek. Bahan stek yang baru dipotong mengalami pemutusan translokasi air dan suplai hasil fotosintesis menjadi terputus. Di saat seperti itu cadangan makanan (C/N ratio) yang terkandung pada bahan stek menjadi sangat penting untuk pembentukan akar pada stek. Stek dengan kandungan karbohidrat yang tinggi dan rendahnya kandungan nitorgen akan memproduksi banyak tunas dan sedikit pembentukan akar. Akar yang dihasilkan tidak kuat, sedangkan stek dengan kandungan nitrogen tinggi akan menghasilkan akar yang banyak dan kuat (Hartmann dan Kester 1983). Stek dapat dikatakan berhasil apabila mampu menghasilkan akar dan tumbuh normal. Hasil uji Duncan Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata persentase hidup stek batang sebesar 48.33% lebih tinggi daripada persentase stek pucuk sebesar 8.33%. Kematian baik pada stek pucuk dan stek batang diawali dengan pembusukan pada pangkal stek yang terus menjalar sampai ke bagian ujung stek hingga menyebabkan kematian pada stek, namun ada juga yang arah gejalanya sebaliknya yaitu dari ujung menuju ke pangkal. Hartmann dan Kester (1983) menyatakan bahwa bahan stek yang hijau dan sukulen menandakan kandungan karbohidrat yang sangat rendah, namun kandungan nitrogen, dan stek yang demikian semua mengalami pembusukan. Selain faktor umur bahan stek, pembusukan juga dimungkinkan karena penutupan luka yang tidak sempurna akibat dari kegagalan hormon dalam merangsang terbentuknya kalus sebagai penutup luka sehingga air yang terserap oleh bahan stek khususnya stek pucuk yang bergabus menjadi berlebihan dan memicu pembusukan yang berlanjut pada kematian stek. Pembusukan pada stek juga dilaporkan (Rinaldo 2007) yang menyebutkan bahwa pembusukan merupakan penyebab utama kematian pada stek, proses ini diawali membusuknya pangkal stek (pada luka bekas pemotongan sebelum stek ditanam), kemudian menyebar ke seluruh bagian tanaman. Faktor bahan stek berpengaruh nyata terhadap persentase bertunas. Hasil uji Duncan pada Tabel 7 menunjukkan persentase bertunas stek batang sebesar 56.66% lebih tinggi dibandingkan dengan persentase bertunas stek pucuk sebesar 1.66%. Selain itu faktor bahan stek juga berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas yang dihasilkan. Uji Duncan pada Tabel 8 menunjukkan jumlah tunas stek batang sebanyak 12.25 tunas lebih tinggi dibandingkan dengan stek pucuk sebanyak 0.25 tunas. Perbedaan hasil ini diduga karena kualitas bahan stek (stek batang dan stek pucuk) yang memiliki kemampuan metabolisme dan pertumbuhan yang berbeda pula (Prihatin 2000). Prihatin (2000) menambahkan bahwa kualitas bahan stek ini tidak hanya ditentukan oleh faktor bobot tanaman yang erat hubungannya dengan kandungan pati yang dapat menggambarkan jumlah substrat metabolisme, melainkan juga diakibatkan oleh adanya perbedaan penyebaran hormon seperti auksin (yang disintesis dalam bagian meristematik batang) dan sitokinin (yang
29 disintesis dalam bagian meristematik akar) pada dalam tiap-tiap bagian dari tanaman. Hal ini diperkuat oleh Agbo dan Obi (2008) yang meyebutkan bahwa walaupun stek pada hardwood memiliki persentase bertunas yang sedikit tetapi jumlah tunas yang dihasilkan lebih banyak dibanding stek pada softwood, hal ini diduga kandungan karbohidrat yang tinggi yang terdapat pada bahan stek hardwood berkontribusi pada pembentukan tunas. Namun tumbuhnya tunas pada stek batang pada penelitian ini tidak diikuti oleh pertumbuhan akar yang baik seperti dapat dilihat pada Gambar 18. Jumlah akar yang terbentuk hanya pada stek pucuk sebanyak tiga akar dan pada stek batang hanya satu akar. Riodevriza (2010) melaporkan bahwa persentase bertunas stek Shorea selanica Bl yang berasal dari pohon induk berumur 10 dan 20 tahun pada minggu ketiga setelah tanam mengalami penurunan, penurunan ini dikarenakan terjadi kematian beberapa tunas yang telah tumbuh namun tidak diikuti dengan tumbuhnya akar pada pangkal stek, sehingga terjadi stress yang menyebabkan matinya tunas yang telah tumbuh. Mekanisme lain dikemukakan oleh Danu et al. (2011) menyatakan bahwa stek yang bertunas namun tidak diikuti tumbuhnya akar diduga karena proses penyembuhan luka pada stek ini relatif lambat, bahan stek sudah tua, dan potongan stek rusak atau retak sehingga terjadi pembusukan sebelum terbentuk akar. Stek yang telah membusuk sulit berakar walaupun stek telah bertunas. Stek yang tidak bertunas dan tidak berakar disebabkan jaringan stek sudah dewasa, secara genetik sulit berakar, dan kandungan nutrisi bahan stek sangat rendah (Hartmann dan Kester 1983). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase berakar dan jumlah akar yang dihasilkan sangat rendah (Gambar 14 dan 18). Danu et al. (2011) menambahkan bahwa semakin dewasa kemampuan perakarannya menurun. Fenomena ini terjadi seiring dengan semakin menurunnya kandungan auksin dan nisbah C/N dalam bahan stek. Nilai nisbah C/N bahan stek sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan akar stek, tetapi tidak dapat diperkirakan secara pasti berapa nilai C/N yang terbaik untuk perakaran stek. Nisbah C/N bahan stek terbaik terhadap perakaran stek Rosa multiflora adalah 12:1 (Hambrick 1991; Danu et al. 2011). Druege et al. (2004) menyatakan bahwa penambahan nitrogen berkorelasi negatif dengan karbohidrat, dan dapat meningkatkan jumlah akar adventif stek tanaman Pelargonium. Bahan stek yang terlalu muda dan sukulen dengan kandungan karbohidrat yang sangat rendah (Hartmann dan Kester 1983) pada stek pucuk diduga menjadi penyebab terhambatnya sel-sel akar untuk membelah, sehingga akar yang dihasilkan sangat sedikit. c. Umur bahan stek. Penelitian mengenai pengaruh umur bahan stek telah dilakukan oleh Danu et al. (2011) dengan hasil bahwa bahan stek nyamplung asal anakan memiliki persen berakar paling tinggi 75% dibandingkan dengan bahan stek asal pancang 25% dan bahan stek asal pohon dewasa (sudah berbuah) 16.11%, perbedaan ini disebabkan kecenderungan kandungan auksin yang tinggi dari bahan stek anakan 96.86 ppm dan C/N ratio yang tinggi pula 63.73. Hasil pengamatan persentase berakar pada penelitian ini sangat rendah hanya berkisar 0% sampai 3.33% untuk stek pucuk dan pada stek batang 3.33%, hal ini berlawanan dengan hasil penelitian Danu et al. (2011) padahal bahan stek yang digunakan pada penelitian
30 ini masih muda. Ketika penyetekan dilakukan maka suplai air menjadi terputus dan bahan stek menjadi mudah layu hingga mencapai titik layu permanen yang mengakibatkan kematian pada stek. d. Pengaruh hormon Hormon auksin berperan sangat penting dalam proses pembentukkan akar, khususnya pada praktek perbanyakan tanaman secara aseksual dengan stek. Namun penggunaan hormon haruslah dengan konsentrasi yang tepat. Penggunaan hormon pada konsentrasi yang sangat rendah (10-7 M sampai 10-13 M) mampu merangsang pembentukan akar, sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi (tapi masih cukup rendah, antara 1 sampai 10µM) pembentukan akar hampir selalu terhambat (Salisbury dan Ross 1995). Salisbury dan Ross (1995) menambahkan bahwa auksin menyebabkan sel penerima mengeluarkan H+ ke dinding sel primer yang mengelilinginya dan bahwa ion H+ ini kemudian menurunkan pH sehingga terjadi pengenduran dinding dan mempercepat pertumbuhan sel, pH rendah ini diduga bekerja dengan mengaktifkan beberapa enzim perusak dinding sel tertentu yang tidak aktif pada pH lebih tinggi. Enzim tersebut diduga memutuskan ikatan pada polisakarida dinding, sehingga memudahkan dinding sel lebih mudah meregang. Hasil sidik ragam pada Tabel 5 menunjukkan bahwa faktor pemberian hormon tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter yang diamati seperti persentase hidup, persentase berakar, persentase bertunas, jumlah tunas dan jumlah akar. Pengaruh dosis hormon terhadap persentase berakar stek pucuk pada konsentrasi hormon 0 ppm, 500 ppm, 1000 ppm, dan 1500 ppm adalah berturut-turut 0.00%, 0.00%, 0.00%, 3.33%. Qurrataayun (2011) bahwa pemberian hormon tidak berpengaruh nyata pada keberhasilan stek pucuk jabon hal ini diduga bahwa bahan stek pucuk jabon memiliki hormon endogen yang cukup untuk pembentukan akar, sehingga tanpa diberi hormon (eksogen), stek tetap dapat bertahan hidup dan proses pembentukan akar berlangsung dengan baik. Pada kondisi tersebut pada dasarnya stek pucuk jabon merah yang berasal dari semai berumur 4 bulan seharusnya menghasilkan perakaran dengan baik tanpa menggunakan hormon eksogen, karena hormon endogen dalam tanaman telah mencukupi untuk pertumbuhan akar primordial. Namun bahan stek yang terlalu muda dan sukulen rentan terhadap pembusukan menyebabkan gugurnya daun muda sebagai sumber auksin endogen (Salisbury dan Ross 1995) dan karbohidrat (Arteca 1996), sehingga stek pucuk tidak mampu berakar dengan baik. Kondisi berbeda terjadi pada stek batang, dimana tunas tumbuh terlebih dahulu. Penyebab tumbuhnya tunas yang lebih cepat dibandingkan akar disebabkan kandungan auksin yang menurun saat pemotongan bahan stek, proses turunnya kandungan auksin dalam stek menyebabkan kandungan auksin dalam stek lebih rendah dibandingkan dengan sitokinin (Riodevriza 2010). Hartmann dan Kester (1983) menyatakan bahwa auksin tinggi dan sitokinin rendah akan cocok untuk untuk pembentukan akar, sedangkan auksin rendah dan sitokinin tinggi akan cocok untuk pembentukan tunas. Dengan tumbuhnya tunas yang tidak diikuti oleh tumbuhnya akar maka karbohidrat yang terkandung dalam stek batang hanya cukup untuk mempertahankan hidupnya (pertumbuhan tunas) dan tidak mencukupi untuk menginisiasi terbentuknya akar, pemberian hormon tidak
31 mampu mempertahankan kemampuan stek untuk bertahan hidup melalui proses inisiasi akar. Hal ini berpengaruh pada persentase hidup stek jabon merah. Faktor pemberian hormon yang tidak berpengaruh nyata terhadap persentase hidup menunjukkan bahwa stek pucuk dan stek batang jabon merah dapat dilakukan tanpa penambahan hormon. Gambar 12 menunjukkan bahwa pemberian hormon dengan konsentrasi 1500 ppm menghasilkan persentase hidup yang paling tinggi 13.33% pada stek pucuk dan 56.67% pada stek batang. Srivastava (2002) menyebutkan bahwa penggenangan air menyebabkan akumulasi etilen yang tidak dapat berdifusi keluar dari sel akar, hal ini disebabkan kandungan etilen yang terkandung di dalam air lebih besar daripada di udara. Peningkatan konsentrasi etilen pada akhirnya menurunkan sensitivitas sel untuk menghasilkan auksin endogen yang menjadi hormon utama di dalam pembentukan akar. Media cocopeat dengan kemampuan menahan air yang tinggi diduga menyebabkan terjadinya penggenangan tersebut. Pengaruh interaksi bahan stek dan konsentrasi hormon Hasil sidik ragam interaksi bahan stek dan konsentrasi hormon menunjukkan tidak berbeda nyata (Tabel 5). Hal ini disebabkan oleh faktor bahan stek yang lebih dominan daripada faktor konsentrasi hormon IBA. Walaupun tidak terdapat interaksi antara kedua faktor, namun bahan stek yang berasal dari stek batang lebih mudah berakar dengan rentang dosis hormon yang lebih lebar (BH0, BH1, BH3) sedangkan bahan stek yang berasar dari pucuk hanya mamu berakar pada dosis yang lebih sempit (PH3) walaupun persentase berakar keduanya masih tergolong sangat rendah yaitu 3.33% (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun pada dosis hormon tertinggi 1500 ppm menunjukkan hasil tertinggi pada persentase hidup dan bertunas, namun dosis tersebut belum mampu merangsang pembentukkan akar yang menjadi indikator utama kesuksesan stek (Gambar 18). Hal ini menandakan bahwa baik stek pucuk maupun stek batang tidak rensponsif terhadap dosis hormon yang diberikan. Dominansi pengaruh bahan stek juga terlihat pada persentase hidup (Gambar 12) dengan persentase hidup tertingi 56.67% pada perlakuan BH3, persentase bertunas (Gambar 16) dengan persentase bertunas tertinggi 63.33% pada perlakuan BH3. Persentase bertunas stek batang yang lebih besar dari stek pucuk yang tidak diiringi dengan persetase berakar yang tinggi juga menandakan bahwa pada awal pertumbuhan stek jabon merah sebagian besar menggunakan hasil fotosintat yang telah ada dalam bahan stek tersebut. Selain itu akumulasi hormon yang berlebih pada pangkal stek, penutupan luka pada pangkal stek yang tidak sempurna memicu pembusukan pada pangkal stek diduga menjadi penyebab kecilnya persentase berakar stek jabon merah. Pembusukan terutama pada bahan stek pucuk mengakibatkan tidak terbentuknya kalus. Kalus tersebut penting dalam proses organogenesis pembentukan akar adventif. Dengan demikian hormon IBA tidak mampu merangsang pembentukan kalus pada stek pucuk. Fakta lain pada stek batang, akar dibentuk melalui proses organogenesis melalui pembentukkan kalus atau paling tidak bagian bawah stek batang membesar.
32
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dalam penyiapan bahan stek, kebun pangkas umur 1 tahun dengan perlakuan pelengkungan dengan jumlah produksi tunas 5.38 tunas/bibit dapat dijadikan sebagai salah satu teknologi untuk menyiapkan bahan stek. Faktor bahan stek berpengaruh pada keberhasilan stek jabon merah pada parameter persentase hidup, persentase bertunas dan jumlah tunas stek, sedangkan faktor pemberian hormon tidak berpengaruh pada keberhasilan stek jabon merah pada semua parameter yang diamati. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa keberhasilan stek batang lebih tinggi daripada stek pucuk. Pemberian hormon IBA tidak berpengaruh pada pertumbuhan stek pucuk dan batang A. macrophyllus.
Saran Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh pelengkungan terhadap pertumbuhan kebun pangkas dengan besar sudut yang berbeda. Perlu adanya pemangkasan teratur pada kebun pangkas umur 1 tahun untuk mengendalikan pertumbuhan tunas dominan. Pemupukan pada kebun pangkas jabon merah umur 4 bulan disarankan pada kisaran dosis dibawah 0.50 g. Umur bahan stek jabon merah disarankan di atas 4 bulan untuk menghindari pembusukan akibat bahan stek yang terlalu muda.
DAFTAR PUSTAKA Agbo CU, Obi IU. 2008. Patterns of vegetatif propagation of stem cuttings of three physiological age of gongronema latifolia Benth over two seasons in Nsukka. JTAFEE [internet]. [diunduh 2013 Agu 24];07:193-198. Tersedia pada: http://www.agrosciencejournal.com/public/agro7o3-4.pdf. Aldianoveri I. 2012. Arahan pengembangan hutan rakyat untuk pemenuhan bahan baku industri primer hasil hutan kayu di Provinsi Jawa Timur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Arteca, Richard N. 1996. Plant Growth Subtances: Principles and Application. New York (US): Chapman and Hall. Budiman A. 2000. Pengaruh hormon IBA terhadap pertumbuhan stek Shorea Belangeran Korth. pada medium air (water rooting system) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Daniel TW, Helms JA, Baker FS. 1987. Prinsip-prinsip Silvikultur. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Danu, Subiakto A, Abidin ZA. 2011. Pengaruh umur pohon induk terhadap perakaran stek nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). J Penelitian Hutan [internet]. [diunduh 2013 Agu 24];08:41-49. Tersedia pada: http://forda-
33 mof.org/files/8.1.2011_pengaruh_umur.pdf [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2013. Lokasi sumber benih jenis tanaman kehutanan sebagai sasaran nasional [internet]. [diunduh 2013 Agu 15]. Tersedia pada: www.dephut.go.id/uploads/files/lokasisumberbenih_0.pdf. Druege U, Zerche S, and Kadner R. 2004. Nitrogen and storage affected carbohydrate partitioning in high-light-adapted pelargonium cuttings in relation to survival and adventitious root formation under low light. Annals of Botany [internet]. [diunduh 2013 Agu 15]; 94:831-842. Tersedia pada: http://aob.oxfordjournals.org/content/94/6/831.full.pdf. Halawane, Hanif, Kinho, 2011. Prospek pengembangan jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil), solusi kebutuhan kayu masa depan. [internet]. [diunduh 2013 Agu 15]. Tersedia pada: http://www.fordamof.org/files/Prospek%20Pengembangan%20Jabon%20Merah.pdf Hambrick CE III, Davies Jr, Pemberton HB. 1991. Seasonal canges in carbohidrate/nitrogen levels during field rooting of Rosa multiflora Brooks 56 hardwood cuttings. Scientia Horticultural [internet]. [diunduh 2013 Agu 15]. Tersedia pada: http://aggie-horticulture.tamu.edu/faculty/abstracts/pdfs/199146-sh.pdf. Handayani M. 2009. Pengaruh dosis pupuk NPK dan kompos terhadap pertumbuhan bibit salam (Eugenia Polyantha. Wight) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hartmann HT, Kester DE. 1983. Plant Propagation Principle and Practise. 4th Ed. New York (US): Prentice Hall International Inc. Hartono A. 2004. Pembangunan dan pemeliharaan kebun pangkas untuk produksi bahan stek pucuk jati (Tectona grandis Linn.f) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hidayah NH, Irawan A. 2012. Kesesuaian media sapih terhadap persentase hidup semai jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil). Manado (ID): Balai Penelitian Kehutanan Manado. Hilmann JR. 1990. Apical dominance in avance plant physiology. Longman (SG). Longman Singapore Publisher Pte. Ltd. Ito A, Yaegaki H, Hayama H, Kusaba S, Yamaguchi I, Yoshioka H. 1999. Bending shoots stimulates flowering and influence hormone level in lateral bud of Japanese pear. Hortscience [internet]. [diunduh 2013 Jul 24];34(7):1224 Tersedia pada: http://hortsci.ashspublications.org/content/34/7/1224.full.pdf. Kim HS, Shackel AK, Lieth HJ. 2004. Bending alter water balance and reduces photosyntesis of rose shoots. JASHS [internet]. [diunduh 2013 Agus 24]; 129(6):896-901. Tersedia pada: http://jurnal.ashpublications.org/content/129/6/ /896.pdf. Kim HS, Lieth HJ. 2003. Effect of shoot-bending on productivity and economic value estimation of cut-flower roses grown in coir and UC Mix. Scientia Horticulturae [internet]. [diunduh 2013 Agustus 24]; 99: 331–343. Tersedia pada: http://lieth.ucdavis.edu/pub/Pub059_SciHort99p331_KimLieth.pdf. Kramer JP, Kozlowski TT. 1960. Physiology of Woody Plants. New York (US): Academic Press. Krisnawati H, Kallio M. Kanninen M. 2011. Anthocephalus cadamba Miq: Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas, Bogor (ID): CIFOR. Lingga P. 1998. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta (ID): Penebar swadaya.
34 McMahon M, Kofranek MA, Rubatzky EV, Hartmann HT. 2007. Hartmann's Plant Science: Growth, Development, and Utilization of Cultivated Plants. New Jersey (US): Pearson Prentice Hall. Prakasa EK. 2011. Pengaruh pemberian ZPT (Rootone-F) terhadap pertumbuhan stek Duabanga moluccana [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Prihatin HSD. 2000. Pertumbuhan stek pucuk dan batang kepuh (Sterculia foetida Linn.) pada berbagai media dan zat pengatur tumbuh Rotoone–f [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Qurrataayun RAR. 2011. Respon pemangkasan dan kemampuan perakaran stek pucuk jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb). Miq) dan longkida (Naucela orientalis (L). L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rifa’i AI. 2011. Respon pelaku usaha hutan rakyat terhadap kebijakan surat keterangan asal usul kayu (studi kasus di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rinaldo. 2007. Studi pembiakan vegetatif pada Agathis loranthifolia R.A Salisbury melalu stek pucuk [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Riodevriza. 2010. Pengaruh umur pohon induk terhadap keberhasilan stek dan sambungan Shorea selanica Bl [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sakai C, Subiakto A. 2007. Pedoman Pembuatan Stek Jenis-jenis Dipterokarpa dengan KOFFCO Sistem. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 4. Lukman D, Sumaryono, penerjemah; Bandung (ID): ITB. Terjemahan dari: Plant Physiology 4th Edition. Sanyal D, Bangerth F. 1998. Stress induced ethylene evolution and its ossible relationship to auxin-transport, cytokinin levels, and flower bud induction in shoots of apple seedlings and bearing apple trees. Plant Growth Regulation [internet]. [diacu 2013 Agus 24]; 24:127–134 Tersedia pada: http://dspace.nehu.ac.in/bitstream/1/1123/1/825.pdf Soerianegara I, Lemmens RHMJ. 1993. Plant Resources of South-East Asia 5(1). Bogor (ID): Prosea. Srivastava ML. 2002. Plant Growth and Development Hormones and Environment. Massachusetts (US): Academic Press. Susilowati. 2008. Teknik perbanyakan dan kekerabatan genetik pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tjahjadi. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius. Wijaya H. 2002. Respon tunas interfascicular Pinus merkusii Jungh et de Vrise terhadap perlakuan pemotongan dan pemberian hormon 6-BAP (6Benzylaminopurine) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
35 Lampiran 1 Sidik ragam pengaruh pelengkungan terhadap jumlah dan panjang tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Parameter Panjang tunas Jumlah tunas Parameter Panjang tunas Jumlah tunas
M1 0.27 ns 0.02 *
M2 0.51 ns 0.01 *
M3 0.67 ns 0.00 *
M7 0.25 ns 0.01 *
M8 0.23 ns 0.01 *
M9 0.14 ns 0.03 *
P-value M4 0.19 ns 0.00 * P-value M10 0.80 ns 0.01 *
M5 0.08 ns 0.01 *
M6 0.15 ns 0.00 *
M11 0.70 ns 0.08 *
M12 0.49 ns 0.02 *
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf 0.05 ns tidak berpengaruh nyata.
Lampiran 2 Uji Duncan pengaruh pelengkungan terhadap jumlah tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Perlakuan Lengkung Kontrol Perlakuan Lengkung Kontrol
M1 3.84 a 2.44 b
M2 8.00 a 4.00 b
M7 5.67 a 3.64 b
M8 5.86 a 3.82 b
Jumlah tunas M3 M4 7.840 a 6.96 a 4.480 b 4.08 b Jumlah tunas M9 M10 5.38 a 5.38 a 4.27 b 3.91 b
M5 6.12 a 3.36 b
M6 6.12 a 3.36 b
M11 4.6 a 3.53 a
M12 4.35 a 3.11 b
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Lampiran 3 Uji Duncan pengaruh pelengkungan terhadap panjang tunas kebun pangkas jabon merah umur 1 tahun Perlakuan Lengkung Kontrol Perlakuan Lengkung Kontrol
M1 0.28 a 0.23 a
M2 0.47 a 0.44 a
M7 3.00 a 2.57 a
M8 3.55 a 2.95 a
Panjang tunas M3 M4 0.81 a 1.46 a 0.76 a 1.11 a Panjang tunas M9 M10 3.60 a 4.13 a 3.10 a 3.98 a
M5 2.34 a 1.66 a
M6 2.47 a 1.98 a
M11 4.67 a 4.34 a
M12 5.95 a 5.27 a
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
36 Lampiran 4 Sidik ragam pengaruh pemberian NPK terhadap jumlah tunas dan jumlah daun kebun pangkas jabon merah umur 4 Bulan Parameter
M1 0.23 ns 0.55 ns
Jumlah tunas Jumlah daun
M2 0.04 * 0.12 ns
P-value M3 0.83 ns 0.87 ns
M4 0.00 * 0.09 ns
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Lampiran 5 Uji Duncan pengaruh pengaruh pemberian NPK terhadap jumlah tunas pangkas jabon merah umur 4 Bulan Perlakuan M1 2.16 a 1.59 a 1.22 a
NPK 0.00 g NPK 0.50 g NPK 1.00 g
Jumlah tunas M2 M3 2.74 a 1.42 a 1.66 a 1.06 a 0.96 b 0.93 a
M4 1.80 a 0.53 b 0.20 b
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Lampiran 6 Uji Duncan pengaruh pengaruh pemberian NPK terhadap jumlah daun kebun pangkas jabon merah umur 4 Bulan Perlakuan M1 2.11 a 1.45 a 1.29 a
NPK 0.00 g NPK 0.50 g NPK 1.00 g
Jumlah daun M2 M3 5.32 a 2.84 a 2.76 a 2.60 a 1.53 a 1.73 a
M4 4.20 a 0.93 a 0.26 a
Lampiran 7 Daftar sidik ragam stek jabon merah. Persentase hidup Source Perlakuan Konsentrasi Perlakuan*Kons Ulangan
DF 1 3 3 2
Type III SS Mean Square 9600.000000 9600.000000 366.666667 122.222222 166.666667 55.555556 633.333333 316.666667
F Value Pr > F 27.06 0.0001 0.34 0.7936 0.16 0.9237 0.89 0.4317
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf 0.05 ns tidak berpengaruh nyata.
37 Persentase berakar Source
DF
Perlakuan 1 Konsentrasi 3 Perlakuan*Kons 3 Ulangan 2
Type III SS 16.66666667 0.00000000 50.00000000 8.33333333
Mean Square F Value 16.66666667 0.00000000 16.66666667 4.16666667
0.90 0.00 0.90 0.23
Pr > F 0.3580 1.0000 0.4643 0.8007
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf 0.05 ns tidak berpengaruh nyata.
Persentase bertunas Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Perlakuan 1 18150.00000 18150.00000 52.30 0.0001 Konsentrasi 3 483.33333 161.11111 0.46 0.7118 Perlakuan*Kons 3 283.33333 94.44444 0.27 0.8445 Ulangan 2 3008.33333 1504.16667 4.33 0.0343 Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf 0.05 ns tidak berpengaruh nyata.
Jumlah akar Source Perlakuan Konsentrasi Perlakuan*Kons Ulangan
DF 1 3 3 2
Type III SS 0.00000000 0.50000000 2.00000000 0.25000000
Mean Square 0.00000000 0.16666667 0.66666667 0.12500000
F Value Pr > F 0.00 1.0000 0.30 0.8241 1.20 0.3444 0.23 0.8007
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf 0.05 ns tidak berpengaruh nyata.
Jumlah tunas Source Perlakuan Konsentrasi Perlakuan*Kons Ulangan
DF Type III SS Mean Square 1 864.0000000 864.0000000 3 15.1666667 5.0555556 3 7.3333333 2.4444444 2 158.2500000 79.1250000
F Value Pr > F 41.75 0.0001 0.24 0.8640 0.12 0.9480 3.82 0.0473
Keterangan: * berpengaruh nyata pada taraf 0.05 ns tidak berpengaruh nyata. Lampiran
8 Daftar Uji Duncan stek jabon merah.
Persentase hidup Duncan Grouping A B
Mean 48.333 8.333
N 12 12
Perlakuan B P
38 Duncan Grouping A A A A
Mean 35.00 26.67 26.67 25.00
N 6 6 6 6
Konsentrasi H0 H1 H2 H3
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Persentase berakar Duncan Grouping A A
Mean 2.500 0.833
N 12 12
Perlakuan B P
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Duncan Grouping A A A A
Mean 1.667 1.667 1.667 1.667
N 6 6 6 6
Konsentrasi H0 H1 H2 H3
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Persentase bertunas Duncan Grouping A B
Mean 56.667 1.667
N 12 12
Perlakuan B P
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Duncan Grouping A A A A
Mean 33.33 31.67 30.00 21.67
N 6 6 6 6
Konsentrasi H0 H1 H2 H3
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Jumlah akar
Duncan Grouping A A
Mean
N
Perlakuan
0.250 0.250
12 12
B P
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
39 Duncan Grouping A A A A
Mean 0.5000 0.1667 0.1667 0.1667
N 6 6 6 6
Konsentrasi H0 H1 H2 H3
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Jumlah tunas Duncan Grouping A B
Mean 12.250 0.250
N 12 12
Perlakuan B P
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Duncan Grouping A A A A
Mean 7.167 6.833 5.833 5.167
N 6 6 6 6
Konsentrasi H0 H1 H2 H3
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
40
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 6 April 1987 sebagai putra keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Iran Suharja dan Ibu Haibah. Tahun 2003 penulis menempuh pendidikan di SMAN 2 Tarogong Kidul Garut dan lulus pada tahun 2006. Di tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui program Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada semester 3 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kehutanan Departemen Silvikultur angkatan 43. Selama kuliah di IPB, penulis aktif di Asrama Masjid Alhurriyyah IPB sebagai Marboth (2007-2013) dan Ketua Divisi fundrising Asrama Masjid Alhurriyyah (2009-2010), Anggota Divisi Humas dan Media LDK Alhurriyyah (2007-2009) dan anggota Himpro Departemen Silvikultur yaitu Tree Grower Community (2004–2013). Selama menempuh pendidikan, penulis pernah mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (2008-2009), Bantuan Belajar Mahasiswa (2009-2010), dan beasiswa Karya Salemba 4 (2010-2012), dan beasiswa Korindo (2011). Pada tahun 2008 penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di Pangandaran-Gunung Sawal Jawa Barat dan Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (2009) serta Praktek Kerja Lapangan di KPH Bandung (Pangalengan-Cililin) pada tahun 2010.