PENGARUH AUKSIN (2,4-D) DAN SITOKININ (BAP) DALAM KULTUR IN VITRO BUAH MAKASAR (Brucea javanica [L.] Merr.)
LISBETH YUNI SANTI MANURUNG
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN Lisbeth Yuni Santi Manurung. E34102001. Pengaruh Auksin (2,4-D) dan Sitokinin (BAP) dalam Kultur In Vitro Buah Makasar (Brucea javanica [L.] Merr.). Dibawah bimbingan Ir. Edhi Sandra, M.Si (Pembimbing Pertama) dan Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F (Pembimbing Kedua). Buah makasar merupakan salah satu potensi tumbuhan obat yang hidup di hutan tropis Indonesia. Tumbuhan ini dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit antara lain kanker, disentri, dan malaria. Para ahli banyak meneliti tumbuhan ini yang terkait dengan bahan bioaktif yang terkandung di dalamnya untuk meningkatkan manfaatnya mengobati berbagai penyakit. Hanya saja tumbuhan ini sudah susah dijumpai di Indonesia. Sedangkan perbanyakan secara bioteknologi belum dilakukan dimana selama ini buah makasar diperbanyak secara konvensional dengan biji. Hal ini lama kelamaan dapat mengancam kelestarian buah makasar. Oleh karena itu, berdasarkan permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian perbanyakan buah maksar melalui kultur in vitro dengan menggunakan media tumbuh MS ditambah zat pengatur tumbuh (ZPT) auksin dan sitokinin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan ZPT berupa sitokinin (BAP) dan auksin (2,4-D) dalam pertumbuhan buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) secara kultur in vitro. Penelitian dilaksanakan di Unit Kultur Jaringan Laboratorium Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data primer dilaksanakan selama 2 bulan dari bulan September sampai dengan November 2006. Bahan tanaman yang digunakan (eksplan) adalah biji buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) dari tanaman koleksi Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si di Bogor yang berumur kurang lebih 6 bulan. Tanaman induk sebagai sumber eksplan pada waktu pengambilan sedang berbuah lebat dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Eksplan ditanam pada media MS yang diberi perlakuan hormon auksin 2,4-D yang terdiri dari 4 taraf konsentrasi, yaitu: 0 mg/l, 0.5 mg/l, 1 mg/l, 2 mg/l dan sitokinin BAP yang terdiri dari 7 taraf konsentrasi, yaitu: 0,5 mg/l, 1 mg/l, 1,5 mg/l, 2 mg/l, 4 mg/l, 6 mg/l dan 8 mg/l. Perlakuan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan 7 ulangan, setiap unit contoh terdiri dari 1 eksplan sehingga terdapat 84 satuan unit contoh. Pengamatan dilakukan setiap minggu terhadap parameter persentase kontaminasi, persentase pembentukan kalus, persentase pembentukan tunas dan pembentukan plantlet (jumlah akar dan daun). Untuk mengetahui pengaruh yang diberikan pada percobaan tersebut maka dilakukan uji F, selanjutnya uji Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan dengan menggunakan perangkat lunak Stastical Product and Service Solution (SPSS) 12. Hasil dari penelitian ini adalah Eksplan pada 2 minggu setelah tanam (MST) sudah mengalami kontaminasi. Kontaminasi tertinggi disebabkan oleh cendawan yaitu 20,24% sedangkan yang disebabkan oleh bakteri hanya 2,38%. Pemberian sitokinin BAP dan auksin 2,4-D pada beberapa taraf konsentrasi telah memberikan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan eksplan biji buah makasar. Secara visual pengaruh yang ditimbulkan oleh BAP dan 2,4-D yaitu eksplan membentuk kalus, tunas dan plantlet. Kalus tumbuh pada semua media
perlakuan ZPT kecuali media kontrol (MSo). Eksplan pada media MS yang mengandung ZPT 2,4-D, terinduksi seluruhnya menjadi kalus sedangkan pada media dengan penambahan BAP, kalus terbentuk di bagian pangkal batang. Dalam hal ini eksplan telah mengalami pertumbuhan membentuk batang, daun dan calon akar (radicula). Semakin tinggi konsentrasi ZPT yang diberikan maka semakin tinggi pula persentase pembentukan kalus yang dihasilkan setiap minggunya sampai 8 minggu pengamatan. Eksplan pada semua perlakuan berhasil membentuk tunas kecuali pada media MSo karena pada media Mso eksplan langsung terdeferensiasi membentuk akar (radicula), daun, dan batang. Eksplan yang dikulturkan pada media yang mengandung BAP menghasilkan tunas dalam jumlah banyak jika dibandingkan dengan eksplan yang ditumbuhkan pada media yang mengandung 2,4-D yang maksimal hanya menghasilkan 2 tunas sampai 8 minggu pengamatan. Semakin tinggi konsentrasi BAP yang diberikan maka semakin tinggi pula persentase pembentukan tunas yang dihasilkan setiap minggunya sampai 8 minggu pengamatan. Dari semua media perlakuan hanya media Mso yang berhasil membentuk plantlet sampai pada 8 MST. Pada perlakuan BAP 0,5-2 mg/l, eksplan berhasil membentuk batang dengan beberapa jumlah daun tetapi tidak terbentuk akar. Jumlah daun terbanyak dihasilkan pada media yang mengandung BAP 1,5 mg/l dan paling sedikit pada media BAP 8 mg/l. Keadaan ini menunjukan semakin tinggi konsentrasi BAP maka semakin sedikit pula jumlah daun yang dihasilkan. BAP dengan konsentrasi yang tinggi akan mendorong sel untuk membentuk tunas dalam jumlah banyak. BAP 1,5 mg/l merupakan konsentrasi optimum untuk menghasilkan jumlah daun yang banyak. Daun yang dihasilkan akan membentuk calon plantlet. Oleh karena itu, BAP 1,5 mg/l juga merupakan konsentrasi yang optimum dalam pertumbuhan biji buah makasar untuk tujuan perbanyakan.
PENGARUH AUKSIN (2,4-D) DAN SITOKININ (BAP) DALAM KULTUR IN VITRO BUAH MAKASAR (Brucea Javanica [L.] Merr.)
LISBETH YUNI SANTI MANURUNG
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Penelitian
: Pengaruh Auksin (2,4-D) dan Sitokinin (BAP) dalam Kultur In vitro Buah Makasar (Brucea javanica [L] Merr.)
Nama Peneliti
: Lisbeth Yuni Santi Manurung
NIM
: E34102001
Departemen
: Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Disetujui, Komisi Pembimbing
Ir. Edhi Sandra, M.Si Ketua
Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F Anggota
Diketahui, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131430799
Tanggal Lulus : 12 Januari 2007
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Asahan, Sumatera Utara, 27 Juni 1984 merupakan anak dari pasangan Bapak Manar Manurung dan Ibu Nurhaida Sitorus. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Jenjang pendidikan formal dimulai tahun 1990 di SD INPRES BP. Mandoge selama 6 tahun. Kemudian penulis melanjutkan ke SLTPN 3 Pematang Siantar dan lulus tahun 1999. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMUN 3 Pematang Siantar dan lulus tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Fakultas Kehutanan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis pernah melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Hutan di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Kamojang, Praktek Pengelolaan Hutan di KPH Tasikmalaya serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Ujung Kulon. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Kehutanan IPB, maka penulis menyusun skripsi dengan judul “Pengaruh Auksin (2,4-D) dan Sitokinin (BAP) dalam Kultur In Vitro Buah Makasar (Brucea javanica [L.] Merr.)” dibawah bimbingan Ir. Edhi Sandra, M.Si dan Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur atas berkat dan karunia Allah yang maha kuasa sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB dengan judul “Pengaruh Auksin (2,4-D) dan Sitokinin (BAP) dalam Kultur In Vitro Buah Makasar (Brucea javanica [L.] Merr.)”. Buah makasar merupakan salah satu potensi tumbuhan obat yang hidup di hutan tropis Indonesia. Tumbuahan ini dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit antara lain kanker, disentri, dan malaria. Para ahli banyak meneliti tumbuhan ini yang terkait dengan bahan bioaktif yang terkandung di dalamnya untuk meningkatkan manfaatnya mengobati berbagai penyakit. Hanya saja tumbuhan ini sudah susah dijumpai di Indonesia. Sedangkan perbanyakan secara bioteknologi belum dilakukan dimana selama ini buah makasar diperbanyak secara konvensional dengan biji. Oleh karena itu, berdasarkan permasalah tersebut penulis mencoba melakukan perbanyakan buah maksar melalui kultur in vitro yang nantinya diharapkan dapat menjaga kelestarian buah makasar dan dapat memenuhi bahan baku obat dari tumbuhan tersebut. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Namun demikian, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Akhirnya penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ir. Edhi Sandra, M.Si dan Dr.Ir. Agus Hikmat, MSc.F yang telah membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini.
Bogor, Januari 2007
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................v PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................................1 Tujuan Penelitian ...............................................................................................2 Manfaat Penelitian .............................................................................................2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Tanaman Buah Makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) Taksonomi dan Morfologi ...........................................................................3 Habitat dan Penyebaran................................................................................4 Kandungan kimia .........................................................................................4 Kegunaan .....................................................................................................4 Perbanyakan .................................................................................................5 Kultur Jaringan Teknik Kultur Jaringan ................................................................................5 Manfaat Kultur Jaringan ..............................................................................6 Media Kultur ................................................................................................7 Zat Pengatur Tumbuh ...................................................................................7 BAP (Benzylaminopurin) .............................................................................9 2,4-D (Diclrophenoxy Acetic Acid) ..............................................................9 Lingkungan Kultur .......................................................................................9 Penelitian Buah Makasar ...........................................................................11 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ...........................................................................12 Bahan dan Alat Penelitian ................................................................................12 Metode Penelitian ............................................................................................13 HASIL DAN PEMBAHASAN Presentase Kontaminasi ...................................................................................17 Pengaruh BAP dan 2,4-D Pembentukan Kalus....................................................................................19 Pembentukan Tunas ...................................................................................24 Pembentukan Plantlet (Jumlah Daun dan Jumlah Akar)............................27
VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ......................................................................................................31 Saran .................................................................................................................32 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................33 LAMPIRAN ..........................................................................................................36
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Zat pengatur tumbuh yang digunakan secara komersial dalam mikropropagasi tanaman ............................................................ . .... . .........8
2.
Penelitian buah makasar ............................................................. . .... . .......11
3.
Jumlah kultur yang kontaminan pada tiap perlakuan pada 8 MST .. . .......18
4.
Uji lanjut faktor perlakuan konsentrasi 2,4-D dan BAP terhadap persentase pembentukan kalus ........................................................... .......22
5.
Uji lanjut faktor perlakuan konsentrasi 2,4-D dan BAP terhadap persentase pembentukan tunas ........................................................... .......27
6.
Uji lanjut faktor perlakuan terhadap pertambahan jumlah daun ........ .......29
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) .................................... ...4
2.
Kontaminasi kultur: (a) kontaminasi oleh cendawan, (b) kontaminasi oleh bakteri, (c) kontaminasi oleh cendawan yang telah menyebar menutupi media .............................................................................. .....19
3.
Tahap pertumbuhan kalus pada media dengan penambahan ZPT 2,4-D ................................................................................... .... ...20
4.
Tahap pertumbuhan kalus pada media MS dengan penambahan ZPT BAP ..................................................................................... .... ...21
5.
Grafik pembentukan kalus untuk media perlakuan pada berbagai konsentrasi dari 1-8 MST pengamatan .......................... .....................22
6.
Tahap pertumbuhan eksplan pada media MSo ........................... .... ...24
7.
Tunas pada media yang mengandung BAP .................................. ......25
8.
Grafik pembentukan tunas untuk media perlakuan pada berbagai konsentrasi dari 1-8 MST pengamatan .................. ......26
9.
Grafik rata-rata pertambahan jumlah daun untuk media perlakuan pada berbagai konsentrasi dari 1-8 MST pengamatan . ......28
10.
Eksplan yang telah mengalami pertumbuhan pada media BAP 1,5 mg/l................................................................................. ......30
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Kontaminasi kultur ..................................................................... . .... . .......36
2.
Persentase pembentukan kalus, tunas dan jumlah daun kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) ............................................... .......37
3.
Hasil sidik ragam persentase pembentukan kalus, tunas dan jumlah daun kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) ................... .......39
4.
Komposisi media MS ......................................................................... .......40
5.
Prosedur pembuatan media MS ......................................................... .......41
6.
Gambar eksplan pada media yang mengandung 2,4-D, BAP dan MSo pada minggu ke-8 pengamatan........................................................... .......42
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis mengandung berbagai keanekaragaman hayati yang secara bersamaan membentuk mata rantai kehidupan yang bermanfaat bagi manusia. Keanekaragaman hayati ini memiliki kegunaan tertentu baik yang telah diketahui atau dimanfaatkan maupun yang belum. Salah satu yang dimanfaatkan adalah berbagai jenis tumbuhan obat. Indonesia termasuk negara yang memilki hutan alam tropika yang kaya akan keanekaragaman spesies tumbuhan obat. Diperkirakan mencapai kurang lebih 1300 spesies tumbuhan yang telah diketahui secara pasti berkhasiat obat dan terdapat di hutan tropika Indonesia, dimana sebagian besar spesies tersebut tidak dimilki oleh negara lain di dunia (Zuhud et al., 1994). Buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) merupakan salah satu jenis tumbuhan obat tropika yang dimiliki Indonesia. Tumbuahn ini dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit antara lain kanker, disentri, dan malaria. Buah makasar dulu tersedia melimpah di hutan kawasan Bogor, Jawa Barat. Sekarang, tanaman tersebut sudah sangat susah dijumpai di Indonesia. Ironisnya, di luar negeri, buah makasar sedang gencar dipromosikan sebagai obat kanker paru-paru dan penyakit yang disertai perdarahan. Industri farmasi Jepang pun dengan gesit menyambar peluang dengan mengekspor obat yang diekstrak dari buah makasar (Mardiyah et al., 2002). Kandungan kimia penting berupa alkaloid (brucamarine, yatanine), glikosida (brucealin, yatanoside A dan B, kosamine), dan phenol (brucenol, bruceolic acid) yang terkandung dalam buah makasar mendorong para ahli untuk melakukan penelitian terkait dengan bahan bioaktif buah makasar tersebut. Tetapi sebagian besar penelitian yang dilakukan lebih kepada peningkatan manfaat buah makasar untuk mengobati berbagai penyakit sedangkan perbanyakan tanaman secara bioteknologi belum dilakukan. Dengan meningkatnya harga obat menyebabkan penggunaan tanaman obat tak terkecuali buah makasar sebagai herb
therapy semakin meningkat sehingga kebutuhan akan bahan baku juga semakin banyak. Hal ini lama kelamaan dapat mengancam kelestarian buah makasar. Perbanyakan secara in vitro merupakan cara yang tepat saat ini untuk melakukan upaya konservasi buah makasar sehingga dapat memenuhi kebutuhan bahan baku buah makasar tanpa mengancam kelestariannya di alam karena akan dihasilkan bibit dalam jumlah banyak dan dalam waktu singkat. Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh yang ada di dalam tanaman (Gunawan, 1992). Dalam kultur in vitro, komposisi media dasar dan zat pengatur tumbuh yang tepat dan seimbang serta kondisi internal (dalam botol kultur) yang steril dan eksternal (lingkungan laboratorium) yang stabil dapat membantu dan menjaga pertumbuhan dan perkembangan eksplan tanaman yang dikulturkan. Di Indonesia sendiri, teknik kultur in vitro sudah banyak dilakukan untuk perbanyakan tanaman pertanian dan hias. Tetapi untuk jenis tanaman obat terutama untuk tanaman obat hutan masih jarang dilakukan. Dengan semakin banyaknya penelitian tentang perbanyakan tanaman secara bioteknologi diharapkan tanaman obat tetap lestari terutama untuk jenis langka dan tingkat eksploitasinya tinggi. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan ZPT berupa sitokinin (BAP) dan auksin (2,4-D) dalam pertumbuhan buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) secara kultur in vitro. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh komposisi ZPT yang terbaik yang memacu pertumbuhan buah makasar secara kultur in vitro, dan diperoleh bibit buah makasar yang berkualitas yang pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan bahan baku obat dari tumbuhan tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Tanaman Buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) Taksonomi dan Morfologi Menurut Heyne (1987), tumbuhan buah makasar memilki taksonomi sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dycotyledoneae
Ordo
: Archichlamydeae
Famili
: Simarubaceae
Genus
: Brucea
Spesies
: Brucea javanica [L.] Merr.
Brucea javanica [L.] Merr. memiliki sinonim, diantaranya B. amarissima Desv., B. gracilis DC., B. sumatrana Roxb., Gonus amarissima Lour., Lussa amarissima O. Ktze., Rhus javanica L. Di Indonesia, jenis ini lebih dikenal dengan nama dadih-dadih, tambar sipago, t. sipogu, t. bui, malur, sikalur, belur (Sumatera), kendung peucang, ki padesa, kuwalot, trawalot, walot (Sunda), kwalot (Jawa), tambara marica (Makasar) dan nagas (Ambon) (Dalimartha, 2000). Buah makasar merupakan perdu tegak, menahun, tinggi 1-2,5 m, berambut halus warna kuning. Daunnya berupa daun majemuk menyirip ganjil, jumlah anak daun 5-13, bertangkai, letak berhadapan. Helaian anak daun berbentuk lanset memanjang, ujung meruncing, pangkal berbentuk baji, tepi bergerigi kasar, permukaan atas berwarna hijau, permukaan bawah berwarna hijau muda, panjang 5-10 cm, lebar 2-4 cm. Bunga majemuk berkumpul dalam rangkaian berupa malai padat yang keluar dari ketiak daun, warna ungu kehijauan. Buahnya buah batu berbentuk bulat telur, panjang sekitar 8 mm, jika sudah masak berwarna hitam. Bijinya bulat, berwarna putih. Di Indonesia, buahnya disebut biji makasar (Dalimartha, 2000).
-
Gambar 1. Buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.)
Habitat dan Penyebaran Buah makasar tumbuh liar di hutan, kadang-kadang ditanam sebagai tanaman pagar. Di Indonesia banyak tumbuh di Jawa dan Madura, yaitu di tepi sungai, hutan jati dan hutan sekunder muda. Buah makasar tumbuh pada ketinggian 1-500 m dpl (Dalimartha, 2000). Kandungan Kimia Buah makasar mengandung alkaloid (brucamarine, yatanine), glikosida (brucealin, yatanoside A dan B, kosamine), dan phenol (brucenol, bruceolic acid). Bijinya mengandung brusatol dan bruceine A, B, C, E, F, G, H. Daging buahnya mengandung minyak lemak, asam oleat, asam, linoleat, asam stearat, dan asam palmitoleat. Buah dan daunnya mengandung tanin (Dalimartha, 2000). Kegunaan Hampir semua bagian dari tanaman buah makasar dapat digunakan untuk mengobati berbagai penyakit. Buah digunakan untuk pengobatan: malaria; disentri amuba; diare kronis akibat terinfeksi Trichomonas sp.; keputihan; wasir (hemoroid); cacingan (nematoda, taenia); papiloma di
pangkal
tenggorokan
(laring), pita suara, liang telinga luar, dan gusi; kanker pada kerongkongan (esofagus), lambung, rektum, paru-paru, leher rahim (serviks), dan kulit. Akar
digunakan untuk pengobatan malaria, demam dan keracunan makanan. Dan daun digunakan untuk mengobati sakit pinggang (Dalimartha, 2000). Buahnya di toko obat Jakarta dikenal dengan nama ko som ci, tetapi lebih dikenal dengan biji makasar (Heyne, 1987). Perbanyakan Buah makasar dapat diperbanyak dengan biji. Perbanyakan tanaman ini secara bioteknologi belum dilakukan. Kultur Jaringan Teknik Kultur Jaringan Kultur jaringan (tissue culture) adalah suatu teknik mengisolasi bagianbagian tanaman
(sel, protoplasma, tepung sari, ovari dan sebagainya),
ditumbuhkan secara tersendiri, dipacu untuk memperbanyak diri, akhirnya diregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap dalam suatu lingkungan yang aseptik. Teknik ini juga disebut kultur in vitro (in vitro culture) yang artinya kultur di dalam wadah gelas (Wattimena et al., 1992). Prinsip dasar dari kultur jaringan adalah teori totipotensi yang menyatakan bahwa di dalam masing-masing sel tumbuhan mengandung informasi genetik dan atau sarana fisiologis tertentu yang mampu membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai (Wetherell, 1982). Kultur jaringan terdiri atas beberapa tahap kegiatan. Profesor Murashige dari Universitas California membagi kultur in vitro dalam tiga tahap, yaitu tahap I meliputi persiapan eksplan untuk ditumbuhkan pada media kondisi yang aseptik. Tahap II adalah penggandaan propagul dengan cara meningkatkan jumlah cabang aksiler ataupun pembentukan tunas-tunas baru. Tahap III adalah pendewasaan lebih lanjut calon tanaman dengan merangsang pembentukan akar dan pertumbuhan (aklimatisasi) (Wetherell, 1982). Tahapan-tahapan ini kemudian disempurnakan oleh Deberg dan Maena (1981) dalam Wattimena et al.(1992) menjadi 5 tahap, yaitu: 1) Seleksi tanaman induk, 2) Pemantapan kultur aseptik, 3) Produksi propagul, 4) Persiapan plantet sebelum diaklimatisasi, dan 5) Aklimatisasi plantet.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis tanaman dalam kultur jaringan dapat digolongkan menjadi 4 golongan utama, yaitu: 1. Genotipe dari sumber bahan tanaman yang digunakan 2. Media, mencakup tentang komponen penyusun media dan juga zat pengatur tumbuh tanaman yang digunakan 3. Lingkungan tumbuh tanaman yaitu keadaan fisik tempat kultur ditumbuhkan 4. Fisiologi jaringan tanaman sebagai eksplan. Kempat faktor tersebut dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya (Wattimena et al., 1992). Manfaat Kultur Jaringan Menurut Rahardja dan Wiryanta (2003), beberapa manfaat yang didapat dari pembudidayaan tanaman secara kultur jaringan adalah: 1. Melestarikan sifat unggul tanaman induk 2. Menghasilkan tanaman yang memilki sifat seragam 3. Menghasilkan tanaman baru dalam jumlah besar 4. Menghasilkan tanaman yang bebas virus yang dilakukan dengan cara mengambil jaringan muda yang bebas virus 5. Bisa dijadikan media untuk melestarikan plasma nutfah yang mulai langka dan sulit dikembangkan dengan cara-cara konvensional 6. Menghasilkan tanaman dengan tingkat produksi tinggi. 7. Bisa menghasilkan tanaman diploid homozigot melalui kultur kepala sari. Tanaman yang dihasilkan adalah haploid. Tanaman haploid ini diberi zat kimia tertentu seperti colchicine yang menyebabkan terjadinya duplikasi kromosom, sehingga tanaman haploid hasil kultur jaringan bermutasi menjadi diploid homozigot 8. Untuk menciptakan varietas baru melalui rekayasa genetika. Sel yang telah direkayasa dikembangkan mealui kultur sel sehingga menjadi tanaman baru secara lengkap.
Selain kelebihan, teknik perbanyakan melalui kultur jaringan ini juga memilki beberapa kekurangan, yaitu: 1. Dibutuhkan biaya awal yang relatif tinggi untuk laboratorium dan bahan kimia 2. Dibutuhkan keahlian yang khusus untuk melaksanakannya 3. Tanaman yang dihasilkan berukuran kecil, aseptic, dan terbiasa hidup di tempat yang berkelembaban tinggi sehingga memerlukan aklimatisasi ke lingkungan eksternal. Aklimatisasi merupakan salah satu tahapan kritis yang sering menjadi kendala dalam produksi bibit secara massal (Ariana, 2005). Media Kultur Keberhasilan dalam teknologi serta penggunaan metode in vitro terutama disebabkan pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang dikulturkan. Hara terdiri dari komponen yang utama dan komponen tambahan. Komponen utama meliputi garam mineral, sumber karbon (gula), vitamin dan pengatur tumbuh. Komponen lain, seperti senyawa nitrogen organik, berbagai asam organik, metabolit dan ekstrak tambahan tidak mutlak, tetapi dapat menguntungkan ketahanan sel dan perbanyakannya (Wetter & Constabel, 1982). Media hara ini dapat berbentuk padat, semi padat dan cair (Wattimena et al., 1992). Banyak formulasi media yang ada, masing-masing berbeda dalam hal kuantitas maupun kualitas komponennya. Dari sekian banyak formulasi yang ada, beberapa buahnya telah sering dipakai. Antara lain seperti yang telah dikemukakan oleh Toshio Murashige dan dipublikasikan oleh Murashige dan Skoog pada tahun 1962 (Wetherell, 1982). Zat Pengatur Tumbuh Ada 2 jenis hormon tanaman yang sekarang banyak dipakai dalam propagasi in vitro yaitu auksin dan sitokinin (Wetherell, 1982). Auksin merupakan salah satu golongan fitihormon, baik yang alamiah maupun yang sintetik, menginduksi pemanjangan sel dan juga dalam kasus tertentu pembelahan sel. Golongan persenyawaan ini juga mempengaruhi
dominansi apikal, penghambatan pucuk aksilar dan adventif, serta inisiasi pengakaran (Wattimena et al., 1992). Auksin sintetis yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah: Indole-3-Acetic Acid (IAA); 2,4-Dichlorophenoxy Acetic Acid (2,4-D); Nephtaleine Acetic Acid (NAA); Indole Butyric Acid (IBA); Naphtoxy Acetic acid (4-CPA); 2,4,5-Trichloro Acetic Acid (2,4,5-T); 3,6-Dichloro Anisic Acid (Dicamba); $-Amino-3,5,6-Trichloro Picolinic Acid (Picloram) dan IAA conjugate (IAA-L-alanine dan IAA-Glycine) (Gunawan, 1987). Sitokinin merupakan turunan adenin, berperan dalam mendorong pembelahan sel atau jaringan yang dipergunakan sebagai eksplan dan merangsang perbanyakan pucuk-pucuk tunas. Sitokinin yang digunakan secara komersial dalam propagasi in vitro adalah: Bensiladenin (6-bensilaminopurin); Kinetin; Isopentiladeni (dimetil aminopurin); Adenin sulfat (Wetherell, 1982). Tetapi Bensiladenin (6-bensilaminopurin) atau disingkat BAP lebih sering digunakan, karena sifatnya yang stabil, tidak mahal, mudah diperoleh dan lebih efektif dibangdingkan Kinetin (Zaer dan Mapes, 1982 dalam Muchtar, 1996). Tabel 1. Zat pengatur tumbuh yang digunakan mikropropagasi tanaman Zat pengatur tumbuh Singkatan I. Kelompok Auksin IAA • Asam Indo-3-Asetat IBA • Asam Indo-3-Butirat NAA • Asam Alfa Naftalen Asetat • Asam 2,4-D Diklorofenoksi Asetat 2,4-D II. Kelompok Sitokinin BA • Bensil adenin • Kinetin BAP • Binsil Aminopurin • Thidiazuron • Zeatin III. Kelompok Giberalin • Asam Giberelat
Sumber: Wetherell (1982)
GA3
secara komersial dalam Keterangan Auksin alami tidak stabil Stabil Stabil kuat
Dapat merangsang pertumbuhan, kadangkadang menghalangi pertumbuhan tunas
BAP (Benzylaminopurin) BAP (Benzylaminopurin) adalah zat pengatur tumbuh (ZPT) yang tergolong ke dalam sitokinin sintetik, yang dalam penggunaannya dipengaruhi oleh ZPT lainnya. Sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologi di dalam tanaman. Aktivitas yang utama dari sitokinin adalah sitokenesis atau pembelahan sel. Aktivitas ini yang menjadi kriteria utama untuk menggolongkan suatu zat pengatur tumbuh ke dalam sitokinin (Wattimena, 1988). Salah satu jenis hormon dari kelompok sitokinin yang paling banyak digunakan adalah BAP. Hal ini karena BAP dinilai lebih stabil, tidak mahal dan lebih efektif dibandingkan kinetin. BAP biasanya digunakan untuk induksi kalus tapi yang terpenting adalah BAP dapat menginduksi formasi tunas, pucuk atau kecambah (Bonga & Durzan, 1982 dalam Ariana, 2005). 2,4-D (Dichlorophenoxy Acetic Acid) 2,4-D merupakan jenis auksin sintetis yang sering digunakan dalam kultur jaringan. Hal yang menarik dari senyawa 2,4-D dilihat dari segi aktivitasnya yaitu jika dibandingkan dengan IAA menunjukan aktivitas yang lebih (Wattimena, 1992). Rantai yang mempunyai gugus karboksil dipisahkan oleh karbon atau karbon dan oksigen akan memberikan aktivitas yang optimal (Abidin, 1985). Lingkungan Fisik Kultur Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan kultur jaringan antara lain pH, kelembaban, cahaya dan temperatur. Faktor lingkugan tersebut berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan (Ariana, 2005). Bentuk fisik medium kultur jaringan berupa medium padat, semi padat dan cair. Kondisi fisik medium dapat berpengaruh pada pertumbuhan kultur dan laju pembentukan tunas (Wattimena et al., 1992). Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya unsur hara makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosfir melalui proses fotosintesis. Hasil yang lebih baik akan dapat kita peroleh bila ke
dalam media tersebut ditambahkan vitamin-vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh (ZPT). Pengaturan pH media selain memperhatikan kepentingan fisiologi sel, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor: 1) Kelarutan dari garam-garam penyusun media, 2) Pengambilan dari zat pengatur tumbuh dan garam-garam lain, dan 3) Efisiensi pembekuan agar (Gunawan, 1987). Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai pH optimum spesifik setiap tanaman. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan bagian tanaman, tumbuh dengan baik pada media yang mengandung buffer lemah pada pH antara 5-6 (Wetherell, 1982). Ada tiga hal dalam pemberian cahaya yang mempengaruhi pertumbuhan dan kultur secara in vitro, yaitu: panjang gelombang cahaya, intensitas cahaya, dan photoperiodisme. Pertumbuhan organ tanaman secara in vitro yang optimal seringkali memerlukan adanya cahaya. Namun, pada awal proses pembelahan sel dari eksplan yang dikulturkan dan pertumbuhan kalus kadang-kadang dihambat oleh adanya cahaya. Suhu juga memegang peranan penting dalam mempengaruhi laju dan perbanyakan jaringan. Pada banyak tanaman, jaringannya tumbuh baik pada 170C sampai 320C. Kebanyakan suhu ruang inkubasi dalam kultur in vitro diatur sama, baik siang maupun malam. Namun, ada juga yang menggunakan suhu ruang inkubasi yang disesuaikan dengan suhu alami tempat tumbuh tanaman tersebut secara in vitro, pada siang hari diberikan suhu lebih tinggi dari rata-rata, dan pada malam hari lebih rendah 60C sampai 80C (Wattimena et al., 1992). Kelembaban udara penting untuk mencegah kultur mengalami kekeringan. Jika kelembaban ruangan rendah maka penguapan air dari media kultur akan terlalu besar. Dan sebaliknya, jika kelembaban ruangan tinggi akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan mikroba di luar wadah kultur atau alat-lat sehingga akan menaikkan derajat kontaminasi. Kelembaban relatif ruang tumbuh kultur jaringan kurang lebih 70%, di dalam botol menghendaki kelembaban yang lebih tinggi (Wetherell, 1982).
Penelitian buah makasar Penelitian tentang buah makasar di Indonesia masih sangat jarang dilakukan. Beberapa penelitian buah makasar yang pernah dilakukan adalah: Tabel 2. Penelitian buah makasar Judul penelitian Peneliti Kandungan Senyawa Bioaktif Rahmi Lestari Helmi dalam Kultur Kalus Brucea javanica [L.] Merr. Pengaruh Eliminasi Amonium Risa Darmayanti dan Nitrat dari Medium Murashige dan Skoog (1962) terhadap Pertambahan Biomassa dan Kandungan Metabolit Sekunder Kultur Sel Brucea javanica [L.] Merr.
Lembaga Departemen Biologi ITB
Tahun 1993
Departemen Biologi ITB
1995
Penelitian Helmi (1993) tentang kandungan senyawa bioaktif buah makasar dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin terhadap pertumbuhan dan biosintesis
senyawa
bioaktif dalam kalus. Kalus dibentuk dengan menggunakan eksplan daun buah makasar. Pertumbuhan kalus terbaik didapatkan pada media MS + 5.10-6 M 2,4-D + 7,5.10-6 M Kinetin dan 1,5.10-6 M 2,4-D + 10-5 M BAP. Sedangkan Darmayanti (1995) yang menguji pengaruh eliminasi amonium dan nitrat dari medium Murashige dan Skoog (1962) terhadap pertambuhan biomassa dan kandungan metabolit sekunder kultur sel buah makasar memperoleh hasil bahwa penambahan nitrogen dalam bentuk nitrat dapat meningkatkan pertumbuhan sel dan brusein A sedangkan penambahan nitrogen dalam bentuk amonium dapat meningkatkan kandungan brusein A tetapi menghambat pertumbuhan biomassa sel. Penelitian buah makasar yang pernah dilakukan tersebut di atas hanya sebatas kepada pengujian senyawa bioaktif yang terkandung di dalamnya yang dilakukan secara kultur in vitro. Tetapi untuk tujuan perbanyakan belum dilakukan. Mengingat pada saat ini buah makasar sudah sangat jarang dijumpai, keadaan ini bisa dipandang serius. Karena itu, perlu dilakukan usaha budidaya yang tepat sehingga keberadaan buah makasar di alam tetap lestari dan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku obat.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Unit Kultur Jaringan Laboratorium Konservasi Tumbuhan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data primer dilakukan selama 2 bulan dari bulan September sampai dengan November 2006. Bahan dan Alat Penelitian Bahan a. Bahan Media Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media MS (Murashige & Skoog) yang telah dimodifikasi dengan penambahan vitamin, asam amino dan sukrosa. Selain itu, ke dalam media ditambahkan zat pengatur tumbuh (BAP dan 2,4-D ) dengan konsentrasi yang sesuai dengan perlakuan. b. Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah biji buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) dari tanaman koleksi Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si, Bogor yang berumur kurang lebih 6 bulan. Tanaman induk sebagai sumber eksplan pada waktu pengambilan sedang berbuah lebat dengan tinggi sekitar 2,5 meter. c. Bahan Sterilisasi Sterilisasi dilakukan terhadap bahan dan alat-alat yang digunakan. Bahan sterilisasi yang digunakan adalah Detergen, Alkohol 70 %, larutan Baycline (Natrium hipoklorit ) 5% dan Aquades steril. Alat-alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi botol kultur, petridish, pembakar spiritus, pisau, scalpel, pinset, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, pipet, pH meter, autoklaf, neraca analitik, pengaduk magnetik, laminar air flow cabinet, oven, plastik obat, karet serta ruang kultur.
Metode Penelitian Sterilisasi a. Sterilisasi lingkungan kerja Kebersihan lingkungan kerja dapat dijaga dengan membatasi orang yang masuk ruangan serta membersihkannya dengan disenfektan. Sebelum, selama dan setelah digunakan, permukaan tempat kerja dibersihkan dengan kapas yang telah dicelupkan dalam alkohol 70 %. Blower atau peniup udara pada laminar air flow cabinet dinyalakan sebelum dan selama pemakaian untuk menghindari kontaminan. b. Sterilisasi Alat-alat dan Media Kultur Alat-alat yang digunakan dalam penelitian harus selalu dalam keadaan steril. Gelas (petridish, botol-botol kosong, pipet, dan lain-lain), alat-alat logam (pinset, gunting, gagang scalpel, dan lain-lain) dan kertas saring dibungkus rapi dengan kertas tebal. Semuanya itu disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121°C (250°F) pada tekanan 17,5 psi selama 1 jam. Penghitungan waktu sterilisasi dimulai setelah tekanan yang diinginkan tercapai. Alat-alat tanam seperti pinset, gunting, dan mata pisau scalpel disterilkan dengan pembakaran di atas api bunsen, setelah sebelumnya dicelupkan dalam alkohol 70%. Media tanam dan aquades juga disterilkan dengan autoklaf. Aquades disterilkan dengan waktu, suhu, dan tekanan yang sama untuk sterilisasi alat-alat sedangkan media disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121°C (250°F) pada tekanan antara 15-17,5 psi selama 20-25 menit. c. Sterilisasi bahan tanaman Bahan tanaman (eksplan) yang akan ditanam, sebelumnya diberi perlakuan sterilisasi. Tahapan sterilisasi untuk biji Buah makasar dilakukan dengan metode sebagai berikut: 1. Buah makasar dicuci bersih dengan air mengalir kemudian direndam dengan deterjen cair selama 7 menit sambil dikocok-kocok. Tujuan dari perendaman ini adalah untuk memecahkan dormansi biji. Setelah direndam dalam deterjen cair buah dibilas sampai bersih.
2. Di dalam laminar air flow cabinet biji dibilas dengan air steril. Kemudian direndam dengan alkohol 70% selama 10 menit kemudian dibilas. Setelah direndam di dalam larutan alkohol 70%, selanjutnya buah direndam di dalam larutan Baycline (Natrium hipoklorit ) 5% selama 10 menit sambil dikocokkocok. 3. Setelah itu buah dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali 4. Masih di dalam laminar air flow cabinet, buah dikupas sehingga hanya menyisakan biji bagian dalamnya saja atau yang sering disebut dengan inti biji. Dalam pengupasan ini digunakan cawan petri sebagai alas dan pinset serta pisau untuk mengupas. Sebelum digunakan, pisau dan pinset tersebut dibakar di atas api bunsen agar alat-alat tersebut bebas dari mikroorganisme. Dalam pengupasan ini harus hati-hati jangan sampai melukai bagian dalam biji. 5. Bahan eksplan berupa biji yang telah dikupas yaitu berupa inti biji ditanaman dalam media perlakuan. Pembuatan Media Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media MS (Murashige & Skoog) dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D (0,5; 1; 1,5 dan 2 mg/l) dan BAP (0; 0,5; 1; 1,5; 2; 4; 6 dan 8 mg/l) sesuai rancangan berikut: 1. MSo (Kontrol)
7. MS + BAP 1 mg/l
2. MS + 2,4-D 0,5 mg/l
8. MS + BAP 1,5 mg/l
3. MS + 2,4-D 1 mg/l
9. MS + BAP 2 mg/l
4. MS + 2,4-D1,5 mg/l
10. MS + BAP 4 mg/l
5. MS + 2,4-D 2 mg/l
11. MS + BAP 6 mg/l
6. MS + BAP 0,5 mg/l
12. MS + BAP 8 mg/l
Langkah awal adalah pembuatan larutan induk (stok) yang terdiri dari larutan induk makro, larutan induk mikro, larutan vitamin dan larutan induk FeEDTA. Pembuatan larutan induk bertujuan untuk menghemat pekerjaan menimbang bahan yang berulang-ulang setiap kali membuat media. untuk membuat satu liter media kultur dengan konsentrasi yang sesuai dengan perlakuan, maka dilakukan pengenceran larutan induk dengan air mineral hingga mencapai volume akhir.
Pada media perlakuan ditambahkan zat pengatur tumbuh sesuai dengan perlakuan pH dalam media berkisar 5,6-5,8, apabila media bersifat asam (pH<5,6) maka ditambahkan KOH sedangkan bila bersifat basah (pH>5,8) ditambahkan HCL. Ke dalam larutan media tersebut ditambahkan agar-agar 7 g/l dan ditambahkan gula pasir 30 g, kemudian dipanaskan sampai mendidih. selanjutnya media MS tersebut ditambahkan zat pengatur tumbuh sesuai perlakuan. Media perlakuan yang sudah jadi dituang ke dalam botol kultur dan diberi label sesuai dengan perlakuan kemudian ditutup dengan tutup plastik. Botol-botol tersebut kemudian disterilkan dengan autoklaf pada tekanan antara 15-17,5 psi dan suhu 1210C selama 30 menit. Penanaman Bahan eksplan berupa biji yang telah dikupas dan disterilisasi ditanam dalam media perlakuan. Setiap botol kultur ditanam satu biji. Proses pemindahan dan penanaman dilakukan di laminar air flow cabinet dalam kondisi steril. Pengamatan Pengamatan dilakukan pada seluruh eksplan yang ditanam dalam setiap satuan perlakuan meliputi visual kalus dan tunas yang dihasilkan. Persentase pembentukan kalus dan tunas, pembentukan plantlet yang terkait dengan jumlah daun dan jumlah akar. Selain itu, juga dilakukan pengamatan secara visual terhadap kontaminasi kultur. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 2 bulan. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL). Percobaan terdiri dari 12 perlakuan dan tujuh ulangan sehingga terdapat 84 unit contoh pengamatan. Faktor atau perlakuan yang digunakan adalah konsentrasi auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) yang ditambahkan dalam media tanam MS.
Model umum rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij = μ + αi + Σij Keterangan: Yij
= hasil pengamatan terhadap eksplan buah makasar pada pengaruh zat pengatur tumbuh BAP ke-i dan ulangan ke-j atau 2,4-D ke-i dan ulangan ke-j
μ
= nilai rata-rata umum
αi
= pengaruh zat pengatur tumbuh BAP ke-i atau 2,4-D ke-i
Σij
= pengaruh galat percobaan pada eksplan buah makasar yang memperoleh perlakuan konsentrasi BAP ke-i atau 2,4-D ke-i Untuk mengetahui pengaruh yang diberikan pada percobaan tersebut maka
dilakukan uji F. Apabila hasil sidik ragam memberikan hasil berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjutan wilayah Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Stastical Product and Service Solution (SPSS) 12.
HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Kontaminasi Salah satu faktor pembatas dalam kultur in vitro adalah kontaminasi. Kontaminasi dapat terjadi pada media dan atau pada eksplan. Tingkat kontaminasi dipengaruhi oleh sterilisasi yang dilakukan. Kontaminasi dapat disebebkan oleh cendawan dan atau bakteri. Penanaman eksplan dari alam berupa biji yaitu bagian inti biji pada 2 minggu setelah tanam (MST) sudah mengalami kontaminasi. Tingkat kontaminsi terus meningkat setiap minggunya dengan jumlah paling tinggi 5,95% yaitu pada 6 MST (Lampiran 1 dan Tabel 1). Dari Tabel 1 terlihat bahwa kontaminasi tertinggi disebabkan oleh cendawan yaitu 20,24%. Kontaminasi oleh cendawan ini mulai terlihat pada 3 MST. Kontaminasi cendawan pada umumnya diawali dengan adanya bintik putih di sekitar eksplan dan terus menyebar menutupi permukaan media (Gambar 2). Kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri lebih sedikit dibandingkan oleh cendawan yaitu sebesar 2,38%. Kontaminasi yang disebakan oleh bakteri sudah terlihat pada 2 MST yaitu pada media MS + BAP 0,5 mg/l dan media MS + BAP 1,5 mg/l. Gejala yang ditimbulkan oleh bakteri ditandai dengan munculnya lendir di sekitar eksplan, lendir ini terus bertambah dan warnanya berubah dari bening menjadi kemerahan dan menyebabkab kematian pada eksplan (Gambar 2). Kontaminasi pada eksplan disebabkan karena eksplan berasal dari alam, sehingga diduga sudah terinfeksi sebelum disterilasasi. Eksplan yang berasal dari alam mempunyai tingkat kontaminasi permukaan yang berbeda, tergantung dari: jenis tanaman, bagian tanaman yang dipergunakan, morfologi permukaan (misalnya: berbulu atau tidak), lingkungan tumbuhnya (green house atau lapangan), musim waktu mengambil (musim hujan/kemarau), umur tanaman (seedling atau tanaman dewasa) dan kondisi tanmannya (sakit atau dalam keadaan sakit) (Gunawan, 1987). Hal ini akan menjadi pertimbangan dalam melakukan kegiatan sterilisasi terutama yang menyangkut teknik dan bahan sterilisasi yang digunakan. Faktor lain yang juga dapat menyebabkan kontaminasi adalah lingkungan kerja yang kurang aseptik.
Tabel 3. Jumlah kultur yang kontaminan pada tiap perlakuan pada 8 MST Taraf Jumlah Kultur Terkontaminasi Jumlah Konsentrasi Awal Akhir Cendawan Bakteri Kontorl 7 2 0 5 2,4-D 0,5 mg/l 7 2 0 6 2,4-D 1 mg/l 7 1 0 6 2,4-D 1,5 mg/l 7 1 0 6 2,4-D 2 mg/l 7 1 0 5 BAP 0,5 mg/l 7 1 1 5 BAP 1 mg/l 7 2 0 5 BAP 1,5 mg/l 7 1 1 6 BAP 2 mg/l 7 1 0 5 BAP 4 mg/l 7 1 0 6 BAP 6 mg/l 7 2 0 5 BAP 8 mg/l 7 2 0 5 84 17 (20,24%) 2 (2,38%) 65 (77,38%) Dari tabel di atas dapat dilihat jumlah akhir eksplan yang hidup atau bebas dari kontaminasi sampai pada 8 MST yaitu sebesar 77,38%. Nilai ini menunjukan bahwa bahan dan teknik steriliasi yang digunakan sudah efektif. Hal ini juga disebabkan karena eksplan yang digunakan adalah bagian dalam biji (inti biji) jadi resiko kontaminasi dari alam sangat kecil. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi kontaminasi adalah pemilihan bahan tanaman yang sehat dan mencegah masuknya organisme atau spora yang masuk ke dalam botol kultur. Cara yang dapat dilakukan adalah menjaga ruang kultur tetap steril, penutupan botol kultur yang baik dan pelaksanaan prosedur kerja yang tepat dan hati-hati. Kultur yang sudah terlihat gejala timbulnya kontaminasi pada media tetapi belum menyerang eksplan masih dapat diselamatkan dengan memindahkan eksplan ke media yang baru. Hal ini sering dilakukan pada kultur yang terkontaminasi oleh cendawan. Kontaminasi bakteri dapat dicegah dengan penambahan anti mikroba seperti antibiotik (rifampicin, kanamycin, streptomycin dan cerbenicillin). Selang konsentrasi yang digunakan membutuhkan pengujian tetapi mulai 200-400 mg/l. Senyawa ini mengurangi tekanan tumbuh kultur tetapi efeknya hanya sesaat dan akan segera kembali lagi (Collin & Edwards, 1998 dalam Indarjo, 2003).
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. Kontaminasi kultur: (a) kontaminasi oleh cendawan, (b) kontaminasi oleh bakteri, (c) kontaminasi oleh cendawan yang telah menyebar menutupi media
Pengaruh BAP dan 2,4-D Pemberian sitokinin BAP dan auksin 2,4-D pada beberapa taraf konsentrasi telah memberikan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan eksplan biji buah makasar. Dengan kata lain, BAP dan 2,4-D telah mempengaruhi pertumbuhan biji buah makasar. Secara visual pengaruh yang ditimbulkan oleh BAP dan 2,4-D yaitu eksplan membentuk kalus, tunas dan plantlet. Respon sel, jaringan dan organ yang dikulturkan secara in vitro dipengaruhi oleh kondisi kultur, genotip tanaman dan tipe eksplan (Gunawan, 1992). Pembentukan Kalus Kalus adalah suatu kumpulan sel yang tidak beraturan yang terjadi dari sel-sel yang membelah diri secara terus menerus. Dalam keadaan in vivo, kalus pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikroorganisme. Sel-sel penyusun kalus adalah sel-sel parenkim yang mempunyai ikatan yang renggang dengan sel-sel lain. Dalam kultur in vitro, kalus dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril dalam media yang mengandung auksin dan kadang-kadang sitokinin. Bila eksplan yang digunakan
mengandung kambium, maka kalus dapat terbentuk tanpa perlakukan zat pengatur tumbuh. Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ yang berbeda menunjukan perbedaan kecepatan pembelahan sel yang membentuk eksplan tersebut. Bagian tanaman seperti : embrio muda, hipokotil, kotiledon dan batang muda, merupakan bagian yang muda untuk dideferensiasi dan menghasilkan kalus (Gunawan, 1987). Dalam proses pembentukan kalus terdapat 4 lapisan sel yang berbeda. Lapisan-lapisan sel yang berbeda terlihat jelas tiga hari setelah kultur terdiri dari : 1. Lapisan luar dengan sel-sel yang pecah 2. Lapisan kedua terdiri dari dua lapisan sel dorman 3. Lapisan dengan sel yang aktif membelah 4. Lapisan tengah (core) yang selnya tidak membelah (Gunawan, 1987). Dari hasil pengamatan, kalus tumbuh pada semua media perlakuan ZPT kecuali media kontrol (MSo). Eksplan pada media MS yang mengandung ZPT 2,4-D, terinduksi seluruhnya menjadi kalus (Gambar 3). Tetapi tidak demikian halnya dengan media MS yang mengandung ZPT BAP. Pada media dengan penambahan BAP, kalus terbentuk di bagian pangkal batang. Dalam hal ini eksplan telah mengalami pertumbuhan membentuk batang, daun dan calon akar (radicula) (Gambar 4).
1
2
3 kalus
kotiledon
tunas 5
4
Gambar 3. Tahap pertumbuhan kalus pada media MS dengan penambahan ZPT 2,4-D
Dari gambar 3 tersebut dapat dilihat bahwa pembentukan kalus pada media yang mengandung 2,4-D diawalai dengan pecahnya kotiledon. Dari dalam pecahan kotiledon tersebut atau dari sumbu embrio, kalus mulai terbentuk dan pada akhirnya seluruh bagian eksplan terinduksi menjadi kalus. Kotiledon adalah daun yang merupkan bagian dari embrio biji, yang melekat pada sumbu embrio dengan hipokotil. Kotiledon merupakan daun pertama suatu tumbuhan (Tjitrosoepomo, 1988).
1
2
3 kotiledon
4
kalus
Gambar 4. Tahap pertumbuhan kalus pada media MS dengan penambahan ZPT BAP
Pada gambar di atas terlihat bahwa pembentukan kalus pada media yang mengandung BAP diawali dengan pecahnya kotiledon. Kemudian pertumbuhan dilanjutkan dengan munculnya calon akar (radicula) dan batang (cauliculus). Calon akar mengalami pembesaran dan akhirnya terinduksi menjadi kalus. Pembentukan kalus pada media 2,4-D (0.5-2 mg/l) mulai terlihat pada 3 MST. Persentase pembentukan kalus cenderung meningkat dengan semakin tingginya tingkat konsentarsi 2,4-D. Demikian halnya dengan penambahan BAP, kalus mulai terbentuk pada 3 MST.
Persentase pembentukan kalus setiap
minggunya juga cenderung meningkat dengan semakin tingginya tingkat konsentrasi BAP (Lampiran 2 dan Tabel 1). Persentase pembentukan kalus yang cenderung meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi 2,4-D atau BAP, hal ini kemungkinan disebabkan karena konsentrasi 2,4-D atau BAP yang tinggi telah mempengaruhi kerja sel-sel atau jaringan penyusun eksplan, sehingga sel akan terus menerus membelah dan menghambat pertumbuhan organ.
Tabel 4. Uji lanjut faktor perlakuan konsentrasi 2,4-D persentase pembentukan kalus Perlakuan Subset 1 2 3 BAP0.5 mg/l 0.595 BAP 1 mg/l 1.785 2.4-D 0.5 mg/l 3.967 BAP 1.5 mg/l 4.363 4.363 2.4-D 1.5 mg/l 4.598 4.958 BAP 2 mg/l 5.355 5.355 BAP 4 mg/l 5.355 5.355 2.4-D 1 mg/l 5.95 BAP 6 mg/l 2.4-D 2 mg/l BAP 8 mg/l Sig. 0.142 0.127 0.081
dan BAP terhadap
4
5
5.95 7.14 7.537 0.065
7.14 7.537 7.735 0.488
Keterangan: Kelompok perlakuan yang terdapat pada kolom (subset) yang sama menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam persentase pembentukan kalus
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tabel uji lanjut Duncan terhadap persentase pembentukan kalus menunjukan bahwa perlakuan BAP 0,5 mg/l berbeda sangat nyata dengan BAP 8 mg/l demikian juga dengan perlakuan 2,4-D 0,5 berbeda sangat nyata dengan 2,4-D 2 mg/l. dan nilai persentase pembentukan kalus tertinggi adalah 2,4-D 2 m/l dilanjutkan dengan BAP 8 mg/l. Hal ini jelas terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ZPT yang diberikan maka semakin tinggi pula persentase pembentukan kalus yang dihasilkan setiap minggunya
Rata-rata pemebentukan kalus
sampai 8 minggu pengamatan. MS (kontrol) 2,4-D 0,5
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2,4-D 1 2,4-D 1,5 2,4-D 2 BAP 0,5 BAP 1 BAP 1,5
1
2
3
4
5
Minggu
6
7
8
BAP 2 BAP 4 BAP 6 BAP 8
Gambar 5. Grafik pembentukan kalus untuk media perlakuan pada berbagai konsentrasi dari 1-8 MST pengamatan
Penambahan 2,4-D yang menginduksi semua bagian eksplan menjadi kalus sedangkan pada BAP hanya pada bagian calon akar. Hal ini sesuai dengan pendapat Gardner et al. (1985) yang menyatakan bahwa auksin adalah senyawa yang merupakan hormon dan dapat menyebabkan pembesaran sel dalam jaringan serta sering digunakan dalam kultur aseptik untuk menginduksi jaringan kalus. Gati dan Mariska (1992) dalam Kurniawati (2004) menyatakan bahwa 2,4-D merupakan ZPT yang paling sering digunakan pada kultur kalus karena aktivitasnya yang kuat untuk memacu proses dediferensiasi sel, menekan oragonogenesis serta menjaga pertumbuhan kalus. Dan jika dibandingkan dengan auksin lainnya seperti IAA, 2,4-D menunjukan aktivitas yang lebih kuat (Wattimena, 1992). Aktivitas 2-4-D yang kuat dan optimal ini disebabkan karena gugus karboksil yang dipisahkan oleh karbon atau karbon dan oksigen (Abidin,1985). Mengingat buah makasar merupakan salah satu tanaman yang memilki senyawa aktif yang berkhasiat obat dan banyaknya kalus yang terbentuk pada eksplan, maka dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan senyawa metabolit (aktif) yang berfungsi sebagai obat. Jadi untuk mendapatkan senyawa metabolit yang dikandung oleh tanaman buah makasar tidak perlu melalui pembentukan tanaman utuh dan menunggu sampai dewasa. Pemanfaatan teknik kultur jaringan tanaman dengan kultur kalus adalah salah satu cara untuk menghasilkan senyawa metabolisme sekunder (George & Sherrington, 1984). Beberapa keuntungan pemanfaatan teknik kultur jaringan dalam produksi senyawa metabolit sekunder dibandingkan dengan cara konvensional adalah (1) menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang lebih konsisten dan dalam waktu singkat (2) faktor lingkungan dapat diatur dan dikendalikan sehingga tidak dipengaruhi iklim, hama dan penyakit, musim dan faktor lainnya (3) biasanya mutu dari senyawa metabolit sekunder yang diproduksi lebih baik dan sistem produksi dapat diatur (Ernawati, 1992 dalam Harahap, 2005). Pada media dengan penambahan BAP beberapa eksplan berhasil membentuk plantlet tanpa akar karena calon akar terinduksi menjadi kalus. Dalam hal ini, plantlet dapat disubkultur pada media dengan penambahan hormon yang
dapat memacu pembentukan akar sedangkan kalus diambil untuk menghasilkan senyawa metabolit yang dapat digunakan sebagai bahan obat. Hal ini sangat menguntungkan secara ekonomis karena dari satu eksplan biji dapat dihasilkan lebih dari satu tanaman dan senyawa metabolit tanpa menunggu atau merusak tanaman inang. Tentu saja jika kalus akan digunakan sebagai sumber untuk mendapatkan senyawa metabolit maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan mempertimbangkan faktor ekonomi lainnya. Pembentukan Tunas Eksplan pada semua perlakuan berhasil membentuk tunas kecuali pada media MSo karena pada media MSo eksplan langsung terdeferensiasi membentuk akar (radicula), daun, dan batang (Gambar 6). Tunas dalam hal ini adalah tunas yang tumbuh dari kalus. Eksplan yang dikulturkan pada media yang mengandung BAP menghasilkan tunas dalam jumlah banyak jika dibandingkan dengan eksplan yang ditumbuhkan pada media yang mengandung 2,4-D yang hanya menghasilkan 1-2 tunas sampai pada 8 MST. Tunas pada BAP muncul secara bergerombol dan dalam jumlah banyak sehingga sulit untuk dilakukan penghitungan jumlah tunas pada setiap eksplannya (Gambar 7).
akar Gambar 6. Tahap pertumbuhan eksplan pada media MSo
Tunas mulai tumbuh pada 4 MST baik itu pada BAP ataupun 2,4-D (Lampiran 2 dan Tabel 2). Eksplan yang ditumbuhkan pada media yang mengandung BAP menghasilkan banyak tunas dibandingkan eksplan yang ditumbuhkan pada media yang mengandung 2,4-D. Hal ini sesuai dengan pendapat Davies (1987) dalam Husni et al. (1994) yang menyatakan bahwa aktivasi BAP lebih kuat dibandingkan 2,4-D karena BAP mengandung gugus benzyl sehingga lebih dapat merangsang inisiasi dan pertumbuhan tunas baru melalui peningktan pembelahan sel dibandingkan 2,4-D. Selain itu, penambahan sitokinin BAP ke dalam media kultur dapat menstimulasi sintesis protein di dalam jaringan tanaman, sehingga mampu mendorong organogenesis kultur tunas in vitro (Salisbury & Ross, 1995). George dan Sherrington (1984) juga menyatakan bahwa BAP merupakan sitokinin yang banyak berperan dalam pembentukan dan pengggandaan tunas dan pengaruhnya lebih kuat dibandingkan sitokinin lainnya seperti kinetin ataupun 2-iP.
Gambar 7. Tunas pada media yang mengandung BAP
Rata-rata pembentukan tunas
MS (kontrol)
10
2,4-D 0,5 2,4-D 1
8
2,4-D 1,5
6
2,4-D 2
4
BAP 0,5 BAP 1
2
BAP 1,5 BAP 2
0 1
2
3
4
5
6
7
Minggu
8
BAP 4 BAP 6 BAP 8
Gambar 8. Grafik pembentukan tunas untuk media perlakuan pada berbagai konsentrasi dari 1-8 MST pengamatan
Persentase pembentukan tunas semakin meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi BAP. Bhojwani dan Razdan (1983) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi sitokinin maka jumlah tunas yang tumbuh semakin banyak tetapi pertumbuhan masing-masing tunas terhambat (Lampiran 2 dan Tabel 2). Dalam hal ini BAP 8 mg/l memilki persentase pembentukan tunas yang paling tinggi. Untuk media yang mengandung 2,4-D pada konsentrasi 0,5-1 mg/l, persentase pembentukan tunas cenderung meninglkat tetapi dari konsentrasi 1,5-2 mg/l, persentase pembentukan tunas cenderung menurun. Dalam hal ini 2,4-D 1,5 mg/l merupakan konsentrasi optimum untuk pembentukan tunas bagi perlakuan 2,4-D. Berdasarkan pengamatan visual pada media yang mengandung BAP, jumlah tunas semakin banyak dengan meningkatnya konsentrasi BAP yaitu pada konsentrasi BAP 0,5- 1,5 mg/l. Pada perlakuan 0,5 mg/l, jumlah tunas lebih sedikit diandingkan 1 mg/l dan jumlah tunas semakin banyak pada perlakuan 1,5 mg/l. Sedangkan pada BAP 2-8 mg/l, jumlah tunas yang dihasilkan banyak dan sulit dibedakan antar perlakuan (Lampiran 6 dan Gambar 3).
Tabel 5. Uji lanjut faktor perlakuan konsentrasi 2,4-D persentase pembentukan tunas Perlakuan Subset 1 2 3 BAP 0.5 mg/l 0.476 2.4-D 0.5 mg/l 0.952 2.4-D 2 mg/l 1.904 1.904 BAP 1 mg/l 2.618 2.618 2.4-D 1.5 mg/l 3.332 3.332 2.4-D 1 mg/l 4.046 4.046 BAP 1.5 mg/l 4.046 4.046 BAP 2 mg/l 4.046 4.046 BAP 4 mg/l 4.998 BAP 6 mg/l BAP 8 mg/l Sig. 0.055 0.065 0.145
dan BAP terhadap
4
4.998 6.664 0.103
5
6.664 7.854 0.240
Keterangan: Kelompok perlakuan yang terdapat pada kolom (subset) yang sama menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam persentase pembentukan tunas
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tabel uji lanjut Duncan terhadap persentase pembentukan tunas menunjukan bahwa perlakuan BAP 0,5 mg/l berbeda sangat nyata dengan BAP 8 mg/l dan nilai persentase pembentukan tunas tertinggi adalah BAP 8 mg/l. Hal ini jelas terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi sitokinin yaitu BAP yang diberikan maka semakin tinggi pula persentase pembentukan tunas yang dihasilkan setiap minggunya sampai 8 minggu pengamatan. Pembentukan Plantlet (Jumlah Daun dan Jumlah Akar) Plantlet adalah tanaman lengkap (artinya memilki akar, batang dan daun) hasil regenerasi dalam kultur jaringan atau disebut juga tanaman mini (Soerianegara, 1994). Dari semua media perlakuan hanya media MSo sajalah yang berhasil membentuk plantlet sampai pada 8 MST. Pada perlakuan BAP 0,5-2 mg/l, eksplan berhasil membentuk batang dengan beberapa jumlah daun tetapi tidak terbentuk akar. Media MSo berhasil membentuk plantlet adalah karena dalam biji dimana yang dijadikan eksplan pada penelitian ini adaah inti biji yang terdiri dari lembaga (embryo) dan putih lembaga (albumen). Lembaga adalah calon tumbuhan baru, yang nantinya akan tumbuh menjadi tumbuhan baru, setelah biji memperoleh
syarat yang diperlukan. Lembaga di dalam biji telah memperlihatkan bagian utama tumbuhan yaitu akar lembaga atau calon akar (radicula), daun lembaga (cotyledon), dan batang lembaga (cauliculus) (Tjitrosoepomo, 1988). Biji yang ditanam pada media MSo telah mendapatkan apa yang diperlukannya untuk tumbuh sehingga eksplan tersebut dapat tumbuh menjadi plantlet. Sedangkan pada media yang mengandung BAP eksplan tidak berhasil membentuk plantlet adalah karena penambahan hormon sitokinin tersebut telah menghambat kerja sel untuk membentuk organ. Salisbury dan Ross (1995) melaporkan bahwa sitokinin hanya berperan dalam sitokinesis tetapi tidak dapat meningktakan pertumbuhan organ. Perlakuan BAP dapat meningkatkan jumlah tunas dan daun serta mempunyai kecenderungan menurunkan jumlah akar dan tinggi tunas (Tjandra, 2000 dalam Kurniawati, 2004). Menurut Pierik (1987) peningkatan konsentrasi BAP cenderung menekan pertumbuhan akar karena BAP termasuk jenis sitokinin yang dapat menghambat inisiasi akar dan pertumbuhan akar, terutama bila diberikan dalam konsentrasi yang tinggi. Pada media MSo daun mulai terbentuk pada 3 MST sedangkan pada media dengan penambahan BAP daun sudah mulai terbentuk pada 2 MST yaitu pada media BAP 0,5-1,5 mg/l (Lampiran 2 dan Tabel 3). Dalam hal ini BAP telah memacu pertumbuhan daun. Tjandra (2000) dalam Kurniawati (2004) menyatakan bahwa BAP dapat meningkatkan jumlah tunas dan daun serta mempunyai kecenderungan menurunkan jumlah akar dan tinggi tunas. MS (kontrol)
Rata-rata jumlah daun
7
2,4-D 0,5
6
2,4-D 1
5
2,4-D 1,5
4
2,4-D 2
3
BAP 0,5
2
BAP 1 BAP 1,5
1
BAP 2
0 1
2
3
4 Minggu
5
6
7
8
BAP 4 BAP 6 BAP 8
Gambar 9. Grafik rata-rata pertambahan jumlah daun untuk media perlakuan pada berbagai konsentrasi dari 1-8 MST pengamatan
Dari grafik di atas terlihat bahwa jumlah daun terbanyak dihasilkan pada media yang mengandung BAP 1,5 mg/l dan paling sedikt pada media BAP 8 mg/l. Keadaan ini menunjukan semakin tinggi konsentrasi BAP maka semakin sedikt pula jumlah daun yang dihasilkan. BAP dengan konsentrasi yang tinggi akan mendorong sel untuk membentuk tunas dalam jumlah banyak. Tabel 6. Uji lanjut faktor perlakuan terhadap pertambahan jumlah daun Perlakuan Subset 1 2 3 4 BAP 8 mg/l 0.539 BAP 6 mg/l 0.725 0.725 BAP 4 mg/l 1.076 1.076 BAP 2 mg/l 1.099 1.099 MS mg/l 1.869 1.869 1.869 BAP 0.5 mg/l 2.047 2.047 BAP 1 mg/l 2.764 BAP 1,5 mg/l 4.124 Sig. 0.068 0.069 0.193 1 Keterangan: Kelompok perlakuan yang terdapat pada kolom (subset) yang sama menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam jumlah daun
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tabel uji lanjut Duncan terhadap pertambahan jumlah daun menunjukan bahwa perlakuan BAP 8 mg/l berbeda sangat nyata dengan BAP 1.5 mg/l dan jumlah daun terbanyak adalah BAP 1,5 mg/l. Hal ini jelas terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi sitokinin yaitu BAP yang diberikan maka semakin sedikit pula jumlah daun yang dihasilkan setiap minggunya sampai 8 minggu pengamatan. Pada BAP 0,5-1,5 mg/l, jumlah daun mengalami peningkatkan tetapi pada konsentrasi BAP 2-8 mg/l jumlah daun semakin menurun dan paling sedikit pada konsentrasi BAP tertinggi yaitu 8 mg/l. Menurut Husni et al. (1994) makin tinggi konsentrasi sitokinin maka semakin sedikit jumlah daun yang terbentuk. Dalam hal ini BAP 1,5 mg/l merupakan konsentrasi yang optimum untuk menghasilkan jumlah daun yang banyak. Daun yang dihasilkan dari tunas ini akan membentuk calon plantlet (Gambar 10).
Gambar 10. Eksplan yang telah mengalami pertumbuhan pada media BAP 1,5 mg/l
BAP 1,5 mg/l berhasil membentuk beberapa calon plantlet dari tunas yang dihasilkan. Eksplan yang pada awalnya hanya 1 biji sudah dihasilkan lebih dari satu calon tanaman baru. BAP 1,5 mg/l merupakan konsentrasi yang optimum untuk pertumbuhan biji buah makasar secara in vitro untuk tujuan perbanyakan. Hal ini didukung oleh banyaknya jumlah daun yang dihasilkan dari tunas yang terbentuk dan terbentuknya beberapa calon plantlet dari eksplan yang berupa 1 biji buah makasar.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pemberian sitokinin BAP dan auksin 2,4-D dengan berbagai taraf konsentrasi telah memberikan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan eksplan biji buah makasar. 2. Kalus terbentuk pada semua media perlakuan kecuali media MSo. Eksplan pada media yang mengandung 2,4-D terinduksi seluruhnya menjadi kalus sedangkan pada media yang mengandung BAP, kalus terbentuk pada calon akar (radicula). Semakin tinggi konsentrasi BAP ataupun 2,4-D maka semakin tinggi pula persentase pembentukan kalus. 3. Tunas terbentuk pada semua media perlakuan kecuali media MSo yaitu tunas yang tumbuh dari kalus. Media dengan perlakuan BAP menghasilkan banyak tunas sedangkan pada 2,4-D hanya menghasilkan 12 tunas. Semakin tinggi konsentrasi BAP maka semakin tinggi pula persentase pembentukan tunas. 4. Dari semua media perlakuan hanya media MSo yang berhasil membentuk plantlet (memiliki daun, batang dan akar). 5. Daun terbentuk pada media yang mengandung BAP dan MSo. Jumlah daun terbanyak diperoleh pada media BAP 0,5-1,5 mg/l dan tertinggi pada BAP 1,5 mg/l. Pada konsentrasi BAP 2- 8 mg/l, jumlah daun semakin menurun dan paling sedikit pada konsentrasi BAP 8 mg/l. BAP 1,5 mg/l merupakan konsentrasi optimum untuk menghasilkan daun dalam jumlah banyak. Semakin tinggi konsentrasi BAP maka semakin sedikit pula jumlah daun yang dihasilkan. 6. BAP 1,5 mg/l merupakan konsentrasi yang optimum dalam pertumbuhan biji buah makasar secara in vitro untuk tujuan perbanyakan.
Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan: 1. Menggunakan kombinasi penambahan zat pengatur tumbuh lainnya 2. Menggunakan konsentrasi BAP dan 2,4-D pada interval yang lebih sempit 3. Menggunakan eksplan buah makasar lainnya (pucuk, daun)
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 1985. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa. Bandung. Ariana, E. 2005. Pengaruh Konsentrasi BAP (Benzylaminopurin) terhadap Pertumbuhan Mimba (Azadirachta indica A. Juss) secara Kultur In Vitro. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bhojwani, S.S. dan M.K. Rajdan. 1983. Plant Tissue Culture, Theory and Practise. Elsevier Scientific Pub Amsterdam. Dalimartha, S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid Dua. Trubus Agriwidya. Jakarta. Gardner, F.P., R. Brent, P., Roger, L.M. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (Terjemahan). UI-Press. Jakarta. George, E.F. dan Sherrington, P.D. 1984. Plant Propagation By Tissue Culture. Eastern Press. London. Gunawan, L.W. 1987. Pengenalan Teknik In vitro. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas Bioteknologi-IPB. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas Bioteknologi-IPB. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor. Harahap, R.A. 2005. Studi Kultur Kalus Tanaman Pegagan (Centella asiatica L.) untuk Menghasilkan Senyawa Asiatikosida. Sekolah Pascasaejana. IPB. Bogor. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Volume III. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Husni, A., Ragapadmi, P., Deden, S. 1994. Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh (BAP, Kinetin dan NAA) terhadap Pertumbuhan Kapolaga secara In vitro. Medkom Litbangtri.
Indarjo, I. 2003. Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh NAA dan 2,4-D terhadap Pembentukan Kalus pada Kultur In vitro Polen Anggrek Dendrobium Jakarta Molek. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kurniawati, M. 2004. Pengaruh 2,4-D, BAP, dan Kinetin untuk Induksi Kalus Tunas Mentha arvensis Var. Tempaku. Skripsi. Departemen Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mardiyah, T. Lebang dan Febrianti. 2002. Daun-daun Kehidupan yang Hilang. http://www.tempo.co.id/majalah/min/kes-1.html. [24 Mei 2006]. Rahardja, P.C dan W. Wiryanta. 2003. Aneka Cara Memperbanyak Tanaman. PT Agromedia Pustaka. Jakarta. Salisburry, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1-3 (Terjemahan). Institut Teknologi Bandung. Bandung. Soerianegara, I. 1994. Teknologi Kultur Jaringan. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Jakarta. Tjitrosoepomo, G. 1988. Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wattimena, G.A., L.W. Gunawan, N.A. Mattjik, E. Syamsudin, N.M.A. Wiendi dan A. Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan, Pusat Antar Universitas Bioteknologi-IPB. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor. Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi-IPB bekerja sama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB. Bogor. Wetherell, D.F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro. IKIP Semarang Press. Semarang. Wetter, L.R. dan F. Constabel. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Edisi Kedua. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Yahya, A.F. 2001. Pertumbuhan, Biomassa dan Kandungan Alakaloid Akar Pule Pandak (Rauwolfia serpentina Benth) Hasil Kultur In Vitro . Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zuhud, E.A.M., Ekarelawan dan Soedarsono, R. 1994. Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Hutan Tropika Indonesia sebagai Sumber keanekaragaman Plasma Nutfah Tumbuhan Obat. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN). Bogor.
Lampiran 1. Kontaminasi kultur Tabel 1. Jumlah kultur yang kontaminan pada tiap perlakuan pada minggu hingga ke-8 pengamatan Perlakuan/MST Minggu ke1 2 3 4 5 6 7 MS (Kontrol) 2 2,4-D 0,5 1 1 2,4-D 1 1 2,4-D 1,5 1 2,4-D 2 1 BAP 0,5 1* 1 BAP 1 1 1 BAP 1,5 1* 1 BAP 2 1 BAP 4 1 1 BAP 6 1 BAP 8 Σ 0 2 1 2 3 5 4 * Keterangan: = Kontaminasi oleh bakteri
ke-1 8
2 2
Σ 2 2 1 1 1 2 2 2 1 2 1 2 19
Lampiran 2. Persentase pembentukan kalus, tunas dan jumlah daun kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) Tabel 1. Pembentukan kalus kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] pada pengamatan minggu ke-1 hingga ke-8 pengamatan Perlakuan Minggu ke1 2 3 4 5 6 MS (Kontrol) 0 0 0 0 0 0 2,4-D 0,5 mg/l 0 0 2.38 3.57 3.57 4.76 2,4-D 1 mg/l 0 0 2.38 4.76 7.14 7.14 2,4-D 1,5 mg/l 0 0 3.57 3.57 4.76 4.76 2,4-D 2 mg/l 0 0 5.95 7.14 7.14 8.33 BAP 0,5 mg/l 0 0 0 0 0 0 BAP 1 mg/l 0 0 0 1.19 1.19 2.38 BAP 1,5 mg/l 0 0 0 2.38 5.95 5.95 BAP 2 mg/l 0 0 3.57 4.76 4.76 4.76 BAP 4 mg/l 0 0 3.57 4.76 4.76 5.95 BAP 6 mg/l 0 0 7.14 7.14 7.14 7.14 BAP 8 mg/l 0 0 7.14 7.14 7.14 8.33
Merr.)
Tabel 2. Pembentukan tunas kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] pada pengamatan minggu ke-1 hingga ke-8 pengamatan Perlakuan Minggu ke1 2 3 4 5 6 MS (Kontrol) 0 0 0 0 0 0 2,4-D 0,5 mg/l 0 0 0 0 1.19 1.19 2,4-D 1 mg/l 0 0 0 1.19 4.76 4.76 2,4-D 1,5 mg/l 0 0 0 2.38 3.57 3.57 2,4-D 2 mg/l 0 0 0 0 2.38 2.38 BAP 0,5 mg/l 0 0 0 0 0 0 BAP 1 mg/l 0 0 0 0 1.19 2.38 BAP 1,5 mg/l 0 0 0 0 2.38 5.95 BAP 2 mg/l 0 0 0 0 3.57 4.76 BAP 4 mg/l 0 0 0 3.57 3.57 3.57 BAP 6 mg/l 0 0 0 5.95 5.95 7.14 BAP 8 mg/l 0 0 0 7.14 7.14 8.33
Merr.)
7 0 4.76 7.14 5.95 8.33 1.19 2.38 5.95 7.14 5.95 7.14 8.33
7 0 1.19 4.76 3.57 2.38 1.19 4.76 5.95 5.95 7.14 7.14 8.33
8 0 4.76 7.14 7.14 8.33 2.38 3.57 5.95 7.14 7.14 7.14 8.33
8 0 1.19 4.76 3.57 2.38 1.19 4.76 5.95 5.95 7.14 7.14 8.33
Tabel 3. Pertumbuhan jumlah daun kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) pada pengamatan minggu ke-1 hingga ke-8 pengamatan Perlakuan Minggu ke1 2 3 4 5 6 7 MS (Kontrol) 0 0 0.857 1.714 1.714 2.400 3.200 2,4-D 0,5 mg/l 0 0 0 0 0 0 0 2,4-D 1 mg/l 0 0 0 0 0 0 0 2,4-D 1,5 mg/l 0 0 0 0 0 0 0 2,4-D 2 mg/l 0 0 0 0 0 0 0 BAP 0,5 mg/l 0 0.833 0.833 2.000 2.333 2.333 2.800 BAP 1 mg/l 0 0.571 1.143 2.833 3.000 3.000 4.000 BAP 1,5 mg/l 0 0.666 2.000 4.000 4.800 5.000 6.000 BAP 2 mg/l 0 0 0.429 0.571 0.857 1.667 1.667 BAP 4 mg/l 0 0 0 0.666 0.666 1.200 2.200 BAP 6 mg/l 0 0 0.286 0.286 0.333 0.833 1.667 BAP 8 mg/l 0 0 0.286 0.286 0.286 0.857 0.857
8 3.200 0 0 0 0 3.200 4.800 6.400 2.500 2.800 1.667 1.200
Lampiran 3. Hasil sidik ragam persentase pembentukan kalus, tunas dan jumlah daun kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) Tabel 1. Hasil sidik ragam pembentukan kalus kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) sampai minggu ke-8 pengamatan Sumber keragaman perlakuan Galat Total
JK 305.148 105.263 2044.848
db 10 55 66
KT 30.515 1.914
Nilai F 15.944
P-value 0.000*
* = Berbeda nyata pada α = 0.05
Tabel 2. Hasil sidik ragam pembentukan tunas kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) sampai minggu ke-8 pengamatan Sumber keragaman perlakuan Galat Total
JK 252.79 109.89 1124.38
db 10 44 55
KT 25.28 2.50
Nilai F 10.12
P-value 0.000*
* = Berbeda nyata pada α = 0.05
Tabel 8. Hasil sidik ragam pertumbuhan jumlah kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) sampai minggu ke-8 pengamatan Sumber keragaman perlakuan Galat Total
JK 71.081 68.511 317.071
* = Berbeda nyata pada α = 0.05
db 7 48 56
KT 10.154 1.427
Nilai F 7.114
P-value 0.000*
Lampiran 4. Komposisi media MS (Murashige dan Skoog) Larutan Larutan A Larutan B Larutan C Larutan D Larutan E Larutan F Vitamin Myo - Inositol Gula/sukrosa Agar
Nama Bahan Kimia NH4NO3 KNO3 KH2PO4 H3BO3 Na2MoO4 COCl2. 6H2O KI CaCl2. 2H2O MgSO4. 7H2O MgSO4. 4H2O ZnSO4.7H20 CuSO4. 5H2O Na Edta Fe SO4. 7H2O Thiamin HCl Asam Nicotin Prydoksin HCl
Konsentrasi (gr/ l) 82,5 95,0 34,0 1,24 0,05 0,005 0,66 88,0 74,0 4,4 1,72 0,005 7,45 5,57 0,02 0,1 0,1 10 30 7
Konsentrasi penggunaan (ml/ l) 20 20 5 5 5 5 5 10 -
Lampiran 5. Prosedur pembuatan media MS
Gelas ukur 1L, Ditambahkan aquades hingga volume yang diinginkan
S
Masukkan ZPT (BAP) Sesuai dengan perlakuan
Cukupkan larutan menjadi 1L dengan penambahan aquades dan atur pH hingga 5,6-5,8
Didihkan pada Hot-plate tambahkan agar-agar 7gr dan didihkan kembali
Tuang dan bagikan ke dalam botol kultur
Tutup dengan plastik dan disterilkan menggunakan Autoklaf selama 20 menit dengan tekanan 17.5 Psi 121°C
Inkubasi selama 1 minggu sebelum melakukan inisiasi
Larutan A, Larutan B, Larutan C, Larutan D Larutan E, Larutan F Vitamin, Myo- inositol sesuai konsentrasi penggunaan
Sumber Karbon (Gula/ sukrosa) 30 gr
Lampiran 6. Gambar eksplan pada media yang mengandung 2,4-D, BAP dan MS (Kontrol) pada minggu ke-8 pengamatan
2,4-D 0,5 mg/l
2,4-D 1 mg/l
2,4-D 1,5 mg/l
2,4-D 2 mg/l Gambar 1. Eksplan pada media yang mengandung 2,4-D pada minggu ke-8
MS (Kontrol) Gambar 2. Eksplan pada media MS (Kontrol) pada minggu ke-8
BAP 0,5 mg/l
BAP 1 mg/l
BAP 1,5 mg/l
BAP 2 mg/l
BAP 4 mg/l
BAP 6 mg/l
BAP 8 mg/l Gambar 3. Eksplan pada media yang mengandung BAP pada minggu ke-8