ISSN 1410 - 1939
PENGARUH BAP TERHADAP PERTUMBUHAN JAHE EMPRIT (Zingiber officinale Rosc. var. amarun) DALAM KULTUR IN VITRO [THE EFFECT OF BAP ON GROWTH OF GINGER (Zingiber officinale Rosc. var. amarun) CULTURED IN VITRO] Dodo Rusnanda Sastra1 dan Neliyati2 Abstract Research aiming at investigating the effect of BAP on in vitro growth of ginger has been carried out at the Plant Tissue Culture Laboratory, Agricultural Faculty, University of Agriculture, Bogor, during November 2002 - August 2003. Five BAP levels (0, 1, 2, 3, 4 and 5 ppm) were tested in a Randomised Complete Design with 8 replicates. The results showed that BAP treatments significantly affected the number of leaf and root quality, but the number shoot, shoot length, shoot colour, the number of root, root length, or the percentage of tuber-yielding culture. The concentration of BAP of up to 5 ppm showed a tendency to increase the number of leaf, the number of root, and root quality, inconsistently. The concentration of BAP of 2 ppm resulted in the highest number of leaf at 8 weeks after planting. BAP of 5 ppm resulted in the highest number of root. Meanwhile, BAP of 4 and 5 ppm produced the highest quality of root and percentage of tuber formation. Key words: growth regulator, plant hormone, tissue culture, micropropagation. Kata kunci: zat pengatur tumbuh, hormon tanaman, kultur jaringan, mikropropagasi.
PENDAHULUAN Sejak masa Sebelum Masehi tanaman jahe telah digunakan sebagai obat. Kini di zaman modern tanaman ini dikenal sebagai komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi. Selain digunakan sebagai obat, jahe juga digunakan sebagai bahan minuman penyegar dan bumbu dapur. Di pasaran, rimpang jahe dapat dijumpai dalam bentuk segar maupun olahan seperti jahe kering, jahe asin, campuran sirup, jahe kristal, bubuk jahe, oleoresin dan minyak atsiri (Mulyawibawa, 2002). Data statistik menunjukkan kebutuhan pasar jahe dunia meningkat terus. Rata-rata peluang ekspor yang belum terpenuhi sekitar 13 – 26% tiap tahunnya. Sekalipun posisi Indonesia sebagai produsen ke-empat dunia, namun dalam perdagangan internasional ekspor jahe hanya memberikan kontribusi sebesar 2 – 4%. Hal ini dikarenakan oleh sangat tingginya kebutuhan jahe dalam negeri (Paimin dan Murhananto, 2000). Mulyawibawa (2002) menyatakan bahwa keberhasilan agribisnis jahe akan selalu dihadapkan pada ketidakpastian, bila tidak 1 2
didukung oleh penyediaan bibit berkualitas, teknik budidaya yang efisien serta rancangbangun teknologi terpadu (intergrated technology approach). Kesulitan memperoleh bibit berkualitas merupakan kendala utama dalam budidaya jahe, karena kelangkaan kultivar unggul dan belum ada usaha pengadaan bibit profesional yang dapat menjamin mutunya. Kendala lainnya adalah serangan penyakit tular tanah yang cukup serius seperti layu bakteri, nematoda dan cendawan busuk rimpang. Pada umumnya jahe diperbanyak secara vegetatif menggunakan rimpang, yang kebutuhannya mencapai 1 - 1,5 ton ha-1. Sistem reproduksi demikian dapat menimbulkan terjadinya akumulasi patogen di dalam bibit, terutama virus, yang dapat diwariskan antar generasi. Akumulasi penyakit tersebut dapat mengakibatkan penurunan produktivitas jahe. Oleh karena itu, pembebasan patogen sangat penting dilakukan dalam sistem produksi bibit jahe. Melalui teknik in vitro mampu diproduksi bibit dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat, bebas patogen, identik dengan induknya dan tidak dipengaruhi musim. Di dalam
Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Budidaya Pertanian, BPPT. Jl. M.H. Thamrin No. 8, Gedung II, Lantai XVII, Jakarta. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Jambi. Kampus Piang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361.
81
Jurnal Agronomi 8(2):81-85.
perbanyakan in vitro diperlukan zat pengatur tumbuh, baik auksin ataupun sitokinin guna memacu regenerasi dan propagasi tanaman. Sitokinin berperan dalam regenerasi eksplan, yaitu dalam proses sitokinesis, inisiasi dan prolifirasi tunas, serta pada pembentukan akar (Wattimena, 1988). Salah satu sitokinin yang sering dimanfaatkan di dalam kultur jaringan adalah BAP (6-benzylaminopurine). Menurut Arteca (1996), zat pengatur tumbuh ini bersifat stabil dan relatif lebih murah dibandingkan dengan sitokinin lainnya, tersedia cepat, serta sangat efektif. Tujuan percobaan ini adalah untuk mendapatkan konsentrasi BAP yang efektif untuk memacu perbanyakan planlet tanaman jahe. BAHAN DAN METODA Tempat dan waktu Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, dari bulan November 2002 sampai Agustus 2003. Bahan dan alat Bahan eksplan yang digunakan adalah tunas jahe emprit. Bahan kimia untuk pembuatan medium MS (Murashige dan Skoog, 1962), sukrosa, agar-agar, IAA, BAP dan aquades. Bahan sterilisasi terdiri atas deterjen, bakterisida, fungisida, alkohol 70%, NaClO4 (5, 10, 20%), Betadine dan spiritus. Bahan untuk aklimatisasi yaitu arang sekam dan cocopeat. Peralatan yang dipakai berupa laminar air flow cabinet (LAFC), alat tanam, kertas saring, botol semprot dan gelas plastik. Rancangan percobaan Percobaan disusun dalam pola Rancangan Acak Lengkap dengan 8 ulangan. Perlakuan yang dicobakan adalah tingkat konsentrasi BAP (0, 1, 2, 3, 4 dan 5 ppm). Dengan demikian terdapat 48 satuan percobaan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam, dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf α = 5% terhadap peubah-peubah yang berbeda nyata. Pelaksanaan Sterilisasi. Sterilisasi dilakukan terhadap semua peralatan yang akan digunakan. Botol kultur dan alat tanam disterilisasi dengan otoklaf selama lebih-kurang satu jam. Sedangkan LAFC
82
juga disterilisasi dengan sinar UV selama kira-kira 1 jam. Media MS yang akan dipergunakan juga disterilisasi menggunakan otoklaf selama 30 menit pada suhu 121 oC dan tekanan 17,5 psi. Sementara itu, sterilisasi eksplan tunas jahe diawali dengan pemotongan tunas sepanjang kirakira 1 cm dan pencucian menggunakan deterjen. Selanjutnya tunas tersebut direndam dalam larutan fungisida dan bakterisida selama 12 jam. Eksplan dibilas dengan aquades lalu dimasukkan ke dalam larutan NaClO4 20% selama 20 menit dan dibilas kembali dengan aquades. Selanjutnya, di dalam LAFC, tunas jahe dipotong dan dikupas lagi, lalu rendam di dalam larutan NaClO4 10% selama 15 menit, bilas kembali, dan rendam kembali dalam NaClO4 5% selama 15 menit. Pembilasan dilakukan lagi sebanyak 3 kali, sebelum akhirnya eksplan ditanam di dalam botol kultur berisi media yang telah disiapkan. Pembuatan media. Untuk percobaan ini diperlukan 3 macam media, yaitu media MS0, media perbanyakan dan media perlakuan. Media MS0 dibuat dari larutan stok MS ditambah sukrosa 30 g L-1, aquades 1 L, dan pH nya dibuat menjadi 5,8 - 6. Selanjutnya dicampur agar-agar dan dimasak sampai mendidih. Media perbanyakan dibuat dari larutan stok MS ditambah sukrosa 30 gL-1, BAP 2 ppm, IAA 0,25 ppm, aquades 1 L. Selanjutnya pH dibuat menjadi 5,8 - 6, lalu dicampur agar-agar dan dimasak sampai mendidih. Juga disiapkan media perbanyakan cair bedanya tidak menggunakan agar-agar dan tidak dimasak. Media perlakuan dibuat dengan langkah yang sama seperti pada pembuatan media MS0, tetapi ditambah BAP sesuai dengan konsentrasi yang diuji. Multiplikasi tunas dan pra perlakuan. Kegiatan ini diawali dengan prakondisi eksplan pada media MS0 selama satu minggu. Eksplan yang tidak terkontaminasi dipindahkan ke media perbanyakan padat. Setelah berumur dua bulan tunas tanaman dipisahkan dan dipindahkan ke media perbanyakan cair. Dua bulan kemudian tunas-tunas yang terbentuk dipisahkan lagi dan ditanam pada media perbanyakan cair. Setelah dua bulan pada media cair, dilakukan lagi pemisahan tunas sampai diperoleh jumlah tunas yang cukup. Kemudian tunas-tunas ditanam pada media MS0 sebagai praperlakuan selama 1 bulan. Perlakuan. Tunas tanaman jahe dipindahkan dari media MS0 ke media perlakuan sebanyak satu tunas untuk setiap botol perlakuan. Tunas yang digunakan berukuran tinggi 5 - 6 cm dengan jumlah daun 5 - 8 helai. Sebelum ditanam, tunas
Dodo R. S. dan Neliyati: Kultur In Vitro Jahe.
dipotong terlebih dulu menjadi 2 cm, lalu dibuang daunnya dan dipotong akarnya sampai habis. Pengamatan. Pengamatan dilakukan seminggu sekali terhadap seluruh perlakuan. Peubah yang diukur adalah sebagai berikut: jumlah tunas pada 1 - 8 MST, tinggi tunas pada 8 MST, jumlah daun pada 2 - 8 MST, warna tunas pada 1 - 8 MST, jumlah akar pada 1, 2, 8 MST, kualitas akar pada 8 MST, panjang akar pada 8 MST, dan persentase kultur berimpang pada 4 - 8 MST.
pertambahan jumlah daun. Jika konsentrasi BAP lebih tinggi dari 3 ppm, maka pertambahan jumlah daun menurun nyata. Jumlah daun tertinggi diperoleh pada perlakuan BAP 2 ppm pada 8 MST. Menurut Pierik (1997) zat pengatur tumbuh BAP adalah salah satu jenis sitokinin yang aktif merangsang pembentukan tunas, tetapi menghambat dominansi apikal sehingga pertumbuhan dan perkembangan daun terhambat. Jumlah dan kualitas akar Berdasarkan sidik ragam, pemberian BAP tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah akar. Pada 8 MST eksplan tanaman bawang merah yang diberi perlakuan maupun yang tidak diberi perlakuan BAP menghasilkan akar dalam jumlah yang sedang (1,59 – 2,03) atau berjumlah antara 15 – 29 helai. Demikian juga kualitas akarnya berukuran sedang (1,59 – 2,03) atau berdiameter 0,6 – 1,0 mm. Pengaruh pemberian BAP pada eksplan jahe tidak menghasilkan data yang konsisten antara peningkatan konsentrasi dengan perubahan jumlah dan kualitas akar. Sekalipun skor jumlah akar tertinggi terjadi pada 5 ppm BAP dan skor kualitas akar tertinggi terjadi pada 4 dan 5 ppm BAP. Pierik (1997) menyatakan bahwa BAP adalah salah satu jenis sitokinin yang aktif memacu pertumbuhan tunas, tetapi dapat menekan pertumbuhan akar. Demikian juga Arteca (1996) menyatakan bahwa perkembangan akar lateral dipacu oleh pemberian sitokinin dosis rendah, dan sitokinin dosis tinggi akan menghambat proses pemanjangan akar. Selain itu, sitokinin dapat menghambat inisiasi dan perkembangan akar. Menurut Wattimena (1988), pembentukan akar hanya memerlukan auksin tanpa sitokinin atau memerlukan sitokinin konsentrasi rendah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sidik ragam terhadap data hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan BAP hanya berpengaruh nyata terhadap jumlah daun dan kualitas akar. Sedangkan terhadap peubah jumlah tunas, tinggi tunas, warna tunas, jumlah akar, panjang akar, dan persentase kultur berimpang pemberian BAP tidak berpengaruh nyata. Jumlah daun Pada 2 - 6 MST, peningkatan konsentrasi BAP cenderung tidak menghasilkan peningkatan jumlah daun. Pada 2 - 5 MST jumlah daun tertinggi terjadi pada kontrol atau tanpa BAP, pada 6 MST terjadi pada 1 ppm BAP, pada 7 MST terjadi pada 3 ppm BAP, dan pada 8 MST terjadi pada 2 ppm BAP. Setiap perlakuan konsentrasi BAP menghasilkan jumlah daun tertinggi pada 8 MST. Hal ini menunjukkan bahwa BAP yang diberikan pada kultur in vitro memerlukan waktu untuk bekerja mendorong pertumbuhan daun. BAP perlu waktu untuk berdifusi masuk ke dalam jaringan dan sel tanaman. Pada umur 7 MST terlihat, bahwa peningkatan konsentrasi BAP sampai 3 ppm dapat memacu
Tabel 1. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap rata-rata jumlah daun. Umur (MST)
0
1
2
3
2 3 4 5 6 7 8
0,41 1,41 2,91 5,38 7,94 12,84a 16,13
0,25 1,44 2,47 5,31 8,62 13,19a 15,38
0,19 1,41 2,63 4,34 6,94 13,53a 17,22
0,13 1,16 2,59 4,75 7,13 14,06a 16,63
Konsentrasi BAP (ppm) 4 0,34 1,19 2,13 3,59 5,59 11,09ab 15,59
5 0,28 1,13 2,28 4,09 6,81 9,50b 14,25
Keterangan: angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda, berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5%.
83
Jurnal Agronomi 8(2):81-85.
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah dan kualitas akar pada 8 MST. Konsentrasi BAP (ppm)
Jumlah akar
Kualitas akar
0
1,59
1,75
1
1,91
1,59
2
2,00
1,66
3
1,81
1,84
4
1,78
2,03
5
2,03
2,03
Jumlah akar: 0,5 - 1,4 = sedikit (0 - 14 buah) 1,5 - 2,4 = sedang (15 - 29 buah) 2,5 - 3,4 = banyak (30 – 45 buah)
Kualitas akar: 0,5 - 1,4 = kecil (d = 0,1 - 0,5 mm) 1,5 - 2,4 = sedang (d = 0,6 - 1,0 mm) 2,5 - 3,4 = besar (d = 1,1 - 1,5 mm)
Tabel 3. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap persentase eksplan berimpang. Umur (MST)
Konsentrasi BAP (ppm) 0
1
2
3
4
5
4
12,5
31,3
37,5
25,0
37,5
68,8
5
25,0
46,9
62,5
46,9
62,5
75,0
6
28,1
65,6
65,6
62,5
78,1
87,5
7
31,3
56,3
68,8
65,6
81,3
81,3
8
34,4
56,3
68,8
68,8
84,4
81,3
KESIMPULAN
UCAPAN TERIMAKASIH
Dari hasil percobaan dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, perlakuan BAP berpengaruh nyata terhadap jumlah daun dan kualitas akar. Kedua, perlakuan BAP tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas, tinggi tunas, warna tunas, jumlah akar, panjang akar, dan persentase kultur berimpang. Ketiga, pemberian BAP sampai konsentrasi 5 ppm cenderung tidak menunjukkan peningkatan jumlah daun, jumlah akar dan kualitas akar secara konsisten. Keempat, pemberian BAP 2 ppm dapat menghasilkan jumlah daun tertinggi pada 8 MST. Kelima, pemberian BAP 5 ppm menghasilkan jumlah akar tertinggi sedangkan kualitas akar tertinggi diperoleh pada 4 dan 5 ppm BAP. Keenam, perlakuan BAP 4 dan 5 ppm menghasilkan persentase eksplan berimpang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi lain.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc. selaku Ketua Departemen Budidaya Pertanian; Ir. Dini Dinarty, M.Si. dan Dr. Ir. Sandra Aziz, M.S. selaku staf pengajar pada Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor atas bantuan dan kerjasamanya dalam penelitian jahe in vitro ini.
84
DAFTAR PUSTAKA Arteca, R. N. 1996. Plant Growth Substances: Principles and Applications. Chapman and Hall, New York. Mulyawibawa, K. 2002. Prospek Bisnis Jahe. Makalah pada Seminar Peluang Ekspor Jahe Asal Indonesia melalui Sistim Agribisnis Bagi Hasil yang Aman. IES dan PT Emeralindo Hijau Lestari, Jakarta.
Dodo R. S. dan Neliyati: Kultur In Vitro Jahe.
Murashige, T. dan F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bio assays with tobacco tissue cultures. Physiologia Plantarum 15: 473-497. Paimin, F. B. dan Murhananto. 2000. Budidaya, Pengolahan dan Perdagangan Jahe. P. T. Penebar Swadaya, Jakarta.
Pierik, R. L. M. 1997. In Vitro Culture of Higher Plants. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, The Netherlands. Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor.
85