UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH ANALGESIA ELEKTROAKUPUNKTUR PADA PROSEDUR RIGID CYSTOSCOPY TERHADAP PASIEN LAKI-LAKI YANG DIBERI ANESTETIK LOKAL XYLOCAINE JELLY 2%
TESIS
EDI SUHAIMI 1206236874
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI AKUPUNKTUR MEDIK JAKARTA MARET 2013
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH ANALGESIA ELEKTROAKUPUNKTUR PADA PROSEDUR RIGID CYSTOSCOPY TERHADAP PASIEN LAKI-LAKI YANG DIBERI ANESTETIK LOKAL XYLOCAINE JELLY 2%
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Akupunktur Medik
EDI SUHAIMI 1206236874
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI AKUPUNKTUR MEDIK JAKARTA MARET 2013
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
ii Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya kami dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan penelitian ini merupakan Karya Ilmiah Akhir yang dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Dokter Spesialis Akupunktur Medik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan penelitian ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikannya, oleh karena itu saya megucapkan terima kasih kepada: (1) dr. Adiningsih Srilestari, M.Epid, M.Kes, SpAk, selaku Kepala Departemen Medik Akupunktur RSCM, dan pembimbing penulis pada bidang metodologi dan statistik dalam penelitian ini. (2) dr. Kemas Abdurrohim, MARS, M.Kes, SpAk; Dr. dr. Nur Rasyid, SpU; dan dr. Pryambodho, SpAn; selaku dosen pembimbing utama yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkankan saya dalam menyusun penelitian ini. (3) dr. Christina Simadibrata, M.Kes, SpAk; dr. Shinta Sukandar, MM, SpAk; dr. Hasan Mihardja, M.Kes, SpAk; dr. C. Pramono, M.Kes, SpAk; dr. Dharma K. Widya, M.Kes, SpAk; dr. Kiswojo, M.Kes, SpAk; alm. dr. Haryanto Budi, SpAk; dr. Yvonne Siboe, SpAk; dan dr. Ratnawati Latief, SpAk; sebagai staf pengajar Akupunktur Medik FKUI/RSCM, yang telah mendidik dan mengarahkan saya selama menjalani pendidikan dokter spesialis akupunktur medik. (4) Direktur Pengembangan dan Pemasaran RSCM yang telah mengizinkan dilakukannya penelitian ini di lingkungan RSCM. (5) Seluruh rekan-rekan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Akupunktur Medik FKUI/RSCM atas pertemanan, inspirasi dan dorongannya kepada saya.
iv Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
(6) Seluruh paramedis dan karyawan Departemen Medik Akupunktur RSCM dan Departemen Urologi RSCM yang turut
membantu dalam kelancaran
pelaksanaan penelitian ini. (7) Seluruh peserta penelitian yang dengan sukarela telah ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. (8) Orang tua dan keluarga saya yang turut memberi dorongan dan doa sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Akhir kata saya menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga Karya Ilmiah Akhir ini dapat menjadi sumbangan pengetahuan ilmiah bagi perkembangan Ilmu Akupunktur Medik.
Jakarta, 27 Maret 2013
Penulis
v Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
vi Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
ABSTRAK
Nama : Edi Suhaimi Program Studi : Akupunktur Medik Judul : Pengaruh Analgesia Elektroakupunktur Pada Prosedur Rigid Cystoscopy Terhadap Pasien Laki-laki yang Diberi Anestetik Lokal Xylocaine Jelly 2%. Latar Belakang dan Tujuan Rigid Cystoscopy merupakan pemeriksaan menggunakan cystoscope yang rigid untuk mengetahui kelainan pada kandung kemih. Kelainan yang dapat dinilai dari pemeriksaan ini adalah tumor, batu, hematuria dan inflamasi kandung kemih. Dapat juga digunakan untuk pemasangan kateter ureter dan pengangkatan double J. Dengan hanya menggunakan anestetik lokal xylocaine jelly 2% saja pada prosedur ini sebagian penderita masih belum dapat mentoleransi nyeri. Sementara elektroakupunktur (EA) telah terbukti dapat mengurangi nyeri pada beberapa tindakan/operasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek EA dikombinasi dengan xylocaine jelly 2% terhadap nyeri pada prosedur rigid cystoscopy pasien laki-laki. Metode Uji klinis dilakukan sebelum dan setelah intervensi. Tujuh belas pasien laki-laki yang akan menjalani prosedur rigid cystoscopy dan memenuhi kriteria insklusi dilibatkan dalam studi ini. Perlakuan menggunakan EA tubuh dan telinga selama 20 menit, kemudian ditambahkan xylocaine jelly 2% 10 ml selama 10 menit sebelum prosedur dimulai. Penilaian dilakukan dengan NAS terutama pada sebelum, selama dan setelah prosedur selesai. Hasil Rerata NAS sebelum prosedur 1,06±1,09; selama prosedur 2,0±1,17; dan setelah prosedur 0,76±1,20. Terdapat perbedaan bermakna antara NAS sebelum vs selama prosedur dan NAS selama vs setelah prosedur, p<0,01; tidak ada perbedaan bermakna antara NAS sebelum vs setelah prosedur, p>0,05. Tidak didapatkan kriteria buruk (gagal) atau nilai NAS >4, serta efek samping pada sebelum, selama dan setelah prosedur. Kesimpulan EA tubuh dan telinga kombinasi dengan xylocaine jelly 2% mempunyai efek mengurangi nyeri yang dapat ditoleransi penderita pada prosedur rigid cystoscopy laki-laki. Kata Kunci : rigid cystoscopy, EA, xylocaine jelly 2%, nyeri.
vii
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name : Edi Suhaimi Study Program : Medical Acupuncture Title : Effect of Electroacupuncture Analgesia on Rigid Cystoscopy Procedure in Men Patients who Given Local Anesthetic Xylocaine Jelly 2%. Background and Objective Rigid cystoscopy is an examination using a rigid cystoscope to determine bladder abnormalities. Abnormalities which can be it from this examination were tumor, stones, hematuria and bladder inflamation. It can also be used for the installation and removal of the ureteral double J catheter. Some patients still can not tolerate the pain if this procedure only used local anesthetic xylocaine jelly 2%. While electroacupuncture (EA) has been proven to reduce pain in some action/operations. This study aim to determine effect of EA combination with xylocaine jelly 2% on pain in rigid cystoscopy procedure in men patients. Methods Clinical trial performed before and after intervention. Seventeen male patients that will undergo rigid cystoscopy procedure and fulfill inclusion criteria were included in this study. The treatment using body and ears EA for 20 minutes, then added xylocaine jelly 2% 10 ml for 10 minutes before procedure begin. Assesment carried with NAS espesially before, during and after procedure. Results The means NAS before procedure was 1,06±1,09; during procedure 2,0±1,17; and after procedure 0,76±1,20. There are significant differences between NAS before vs during procedure and during vs after procedure, p<0,01; there is no significant difference between NAS before vs after procedure, p>0,05. Not bad criterion (fail) or the value of NAS >4 and side effect before, during and after the procedure. Conclusions Body and ears EA combination with xylocaine jelly 2% have effect reducing pain that can be tolerated by the patients on the rigid cystoscopy procedur in men. Keywords: rigid cystoscopy, EA, xylocaine jelly 2%, pain.
viii
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. KATA PENGANTAR ......................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................... ABSTRAK ...................................................................................................... .... DAFTAR ISI ........................................................................................................ DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... DAFTAR TABEL DAN GRAFIK ...................................................................... DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................
i ii iii iv vi vii ix xi xii xiii xiv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ......................................................................................... 1.2. Rumusan masalah ................................................................................... 1.3. Hipotesis ................................................................................................. 1.4. Tujuan penelitian .................................................................................... 1.5. Manfaat penelitian ..................................................................................
1 5 5 5 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nyeri ....................................................................................................... 2.1.1. Definisi ............................................................................................ 2.1.2. Reseptor nyeri perifer ....................................................................... 2.1.3. Serabut saraf aferen primer .............................................................. 2.1.4. Medula spinalis ................................................................................ 2.1.5. Jalur nyeri naik ................................................................................. 2.1.6. Supraspinal ....................................................................................... 2.1.7. Klasifikasi nyeri .............................................................................. 2.1.8. Nyeri nosiseptif ............................................................................... 2.1.9. Peptida opioid endogen dan neurotransmiter .................................. 2.1.10. Modulasi nyeri ................................................................................. 2.2. Cystoscopy ............................................................................................. 2.2.1. Definisi ........................................................................................... 2.2.2. Tingkat akurasi diagnosis ............................................................... 2.2.3. Tujuan cystoscopy ........................................................................... 2.2.4. Efek samping .................................................................................. 2.2.5. Inervasi urethra dan kandung kemih .............................................. 2.2.6. Nyeri pada prosedur rigid cystoscopy ............................................
7 7 7 7 8 8 8 9 10 11 14 14 14 14 15 15 15 16
ix
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
2.3. Penanganan nyeri pada prosedur rigid cystoscopy ................................. 2.3.1. Penilaian dan persiapan pasien pra-anestesia ................................. 2.3.2. Anestesia umum .............................................................................. 2.3.3. Analgesia spinal .............................................................................. 2.3.4. Anestetik lokal ................................................................................ 2.4. Analgesia akupunktur ............................................................................ 2.4.1. Teknik rangsang akupunktur .......................................................... 2.4.2. Elektroakupunktur .......................................................................... 2.4.3. mekanisme kerja EA ........................................................................ 2.5. Penelitian anestetik lokal xylocain jelly 2% pada rigid cystoscopy ...... 2.6. Penelitian analgesia akupunktur ............................................................ 2.7. Kerangka teori ........................................................................................ 2.8. Kerangka konsep ....................................................................................
16 16 17 17 17 18 18 18 19 22 23 25 26
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Desain penelitian ................................................................................... 3.2. Tempat dan waktu .................................................................................. 3.3. Populasi ................................................................................................. 3.3.1. Kriteria penerimaan ........................................................................ 3.3.2. Kriteria penolakan .......................................................................... 3.3.3. Kriteria gugur .................................................................................. 3.4. Besar sampel .......................................................................................... 3.5. Kerangka alur penelitian ....................................................................... 3.6. Definisi operasional ............................................................................... 3.7. Cara kerja .............................................................................................. 3.7.1. Alat yang disediakan ...................................................................... 3.7.2. Persiapan pasien ............................................................................. 3.7.3. Tindakan/pengobatan ..................................................................... 3.8. Titik akupunktur .................................................................................... 3.9. Efek samping ......................................................................................... 3.10. Pengumpulan data ................................................................................. 3.11. Penilaian ................................................................................................ 3.12. Pengolahan dan analisis data ................................................................. 3.13. Penyajian data ....................................................................................... 3.14. Kajian etik .............................................................................................
27 27 27 27 27 28 28 29 29 31 31 31 31 32 37 37 37 38 38 38
BAB 4 HASIL PENELITIAN ........................................................................... BAB 5 PEMBAHASAN ..................................................................................... BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
39 46 51
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... LAMPIRAN – LAMPIRAN ...............................................................................
52 55
x
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Skema elektroakupunktur dalam menginduksi opioid ....................... 20 Gambar 2.2. Jalur saraf yang memediasi efek analgesia oleh elektroakupunktur ... 21 Gambar 3.1. Titik akupunktur LI 4 Hegu .............................................................. 32 Gambar 3.2. Titik akupunktur LR 3 Taichong ....................................................... 33 Gambar 3.3. Titik Akupunktur SP 6 Sanyinjiao ..................................................... 33 Gambar 3.4. Titik akupunktur GB 37 Yanglingquan ............................................. 34 Gambar 3.5. Titik akupunktur ST 36 Zusanli ......................................................... 34 Gambar 3.6. Titik akupunktur CV 3 Zhongji ......................................................... 35 Gambar 3.7. Titik akupunktur CV 4 Guanyuan ..................................................... 35 Gambar 3.8. Titik akupunktur GV 20 Baihui ......................................................... 36 Gambar 3.9. Titik akupunktur telinga MA-TF1 Shenmen ..................................... 36
xi
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK
Tabel 4.1. Karakteristik subyek menurut umur, pendidikan dan pekerjaan ............ 39 Tabel 4.2. Status fisik subyek menurut The American Society of Anaesthesiologist (ASA) ............................................................................................... 40 Tabel 4.3. Tujuan subyek menjalani rigid cystoscopy ............................................. 40 Tabel 4.4. Nilai rerata NAS penusukan jarum akupunktur ...................................... 40 Tabel 4.5. Nilai rerata intensitas EA yang digunakan pada masing-masing titik akupunktur .............................................................................................. 41 Tabel 4.6. Rerata lamanya prosedur rigid cystoscopy .............................................. 41 Tabel 4.7. Nilai rerata NAS EA dan xylocaine jelly 2% pada prosedur rigid cystoscopy ............................................................................................... 41 Tabel 4.8. Perbandingan nilai rerata NAS EA dan xylocaine jelly 2% sebelum, selama dan setelah prosedur rigid cystoscopy ....................................... 43 Tabel 4.9. Derajat keberhasilan EA dan xylocaine jelly 2% terhadap nilai NAS sebelum, selama dan setelah prosedur rigid cystoscopy ......................... 44 Tabel 4.10. Efek samping EA pada prosedur rigid cystoscopy .............................. 44 Tabel 4.11. Efek samping xylocane jelly 2% pada prosedur rigid cystoscopy ....... 45 Grafik 4.1. Sebaran nilai NAS EA dan xylocaine jelly 2% sebelum prosedur rigid cystoscopy .................................................................................... 42 Grafik 4.2. Sebaran nilai NAS EA dan xylocaine jelly 2% selama prosedur rigid cystoscopy .................................................................................... 42 Grafik 4.3. Sebaran nilai NAS EA dan xylocaine jelly 2% setelah prosedur rigid cystoscopy .................................................................................... 43
xii
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
ACTH
: Adrenocorticotropic Hormone
ASA
: The American Society of Anaesthesiologists
EA
: Elektroakupunktur
ESWL
: Extracorporal Shock Wave Lithotripsy
DD
: Dense Disperse
fMRI
: functional Magnetic Resonance Imaging
GABA
: Gamma Amino Butyric Acid
KDMS
: Kornu Dorsalis Medula Spinalis
Maks.
: Maksimum
mA
: Milliampere
Min.
: Minimum
NAS
: Numeric Analog Scale
NA
: Noradrenalin
Nc.Arc. : Nukleus Arkuata NRPG
: Nukleus Retikular Paragigantoselular
NPB
: Nukleus Parabrakial
NRM
: Nukleus Rafe Magnus
PAG
: Periaquaductal Grey
PPE
: Preproenkefalin
RC
: Rigid cystoscopy
RCT
: Randomized Controlled Trial
RVM
: Rostral Ventro-medial Medula Oblongata
SC
: Stock Cell
SD
: Standar Deviasi
SG
: Substansia Gelatinosa
XJ
: Xylocaine Jelly 2%
xiii
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Penjelasan mengenai penelitian ......................................................... 55 Lampiran 2. Surat persetujuan tindakan medis ...................................................... 57 Lampiran 3. Status penelitian ................................................................................. 58 Lampiran 4. Surat keterangan lolos kaji etik dari FKUI ........................................ 60 Lampiran 5. Surat izin penelitian dan pengambilan data dari RSCM Jakarta ........ 61 Lampiran 6. Tabel induk penelitian........................................................................ 62 Lampiran 7. Hasil analisis statistik ........................................................................ 64 Lampiran 8. Ringkasan penelitian ......................................................................... 69
xiv
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Cystoscopy merupakan pemeriksaan menggunakan cystoscope (rigid atau fleksible) untuk mengetahui kelainan pada kandung kemih. Kelainan yang dapat dinilai dari pemeriksaan ini adalah tumor, batu, hematuria dan inflamasi kandung kemih.1 bisa juga digunakan untuk pemasangan kateter ureter pada operasi percutaneus nefrolitotomi (PCNL), serta pemasangan dan pengangkatan double J. Visual cystoscopy berlangsung 5-10 menit, dapat lebih lama jika dilakukan prosedur lain seperti biopsi kandung kemih yaitu 15-20 menit.2,3 Seperti pada endoscope dan colonoscope, cystoscope terdiri dari selang yang pada ujungnya dilengkapi kamera, yang dapat melihat secara langsung ke dalam kandung kemih atau melalui monitor televisi. Data terbaru Urologi RSCM tahun 2011 menunjukkan jumlah pasien laki-laki yang menjalani cystoscopy sebanyak 185 orang, hampir separuhnya atau 48,6% (90 orang) dari jumlah tersebut adalah bertujuan untuk pengangkatan double J (aff dj stent). Sedangkan wanita yang menjalani cystoscopy sebanyak 128 orang, 46,9% (60 orang) diantaranya adalah cystoscopy untuk aff dj stent. Tingkat akurasi diagnosis menggunakan cystoscopy sangat baik. Beberapa penelitian melaporkan sensitivitas pemeriksaaan cystoscopy dalam mendeteksi tumor buli-buli mencapai 96,2%,4 deteksi lesi patologis kandung kemih seperti polip, batu, tumor dan divertikel sebesar 94,4%.5 Meskipun
cystoscopy
memiliki
peran
yang
sangat
penting
dalam
mendiagnosis dan mengevaluasi tindak lanjut dari penderita neoplasma kandung kemih, namun kelemahan dari prosedur ini adalah karena tindakan invasif, tidak nyaman bagi penderita, tidak mampu mendeteksi kelainan ekstravesika, resiko infeksi saluran kemih 7,5%, dan keluhan saluran kemih bagian bawah lainnya sebesar 30% pasca tindakan.4 Stav K, dkk. dalam penelitiannya melaporkan beberapa komplikasi akibat cystoscopy yaitu terjadi penurunan libido 55,6% dalam 2 minggu pertama; disuria 11%, urethroragia 7% dan bakteriuria 2% dalam 2 hari pasca tindakan.6
1
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
2
Secara anatomi kandung kemih dan urethra dipersarafi oleh saraf otonom simpatis (T11-L2) n.hipogastrikus yang bertanggung jawab terhadap aferen sensorik, parasimpatis (S2-S4) n.pelvicus sebagai eferen motorik, dan somatik (S2-S4) n.pudendus yang juga sensorik dari bladder neck.7,8 Nyeri pada prosedur cystoscopy digolongkan nyeri viseral. Nosiseptor pada jaringan/organ dalam sangat peka terhadap regangan, ketika cystoscope dimasukkan ke dalam urethra terjadi regangan yang menstimulasi nosiseptor di ujung-ujung saraf simpatis, nyeri akan bertambah pada saat alat mencapai spinkter urethra eksterna karena daerah tersebut juga dipersarafi oleh somatik aferen n.pudendus. Untuk mengurangi nyeri pada penderita yang menjalani rigid cystoscopy dapat digunakan anestetik lokal, analgesia spinal atau anestesia umum. Bhomi KK, dkk. (2011) melakukan randomized controlled trial (RCT) 60 laki-laki rigid cystoscopy dengan lignocaine HCl jelly 2% 15 ml yang disimpan pada suhu kamar 4ºC dan 20ºC selama 10 menit, didapatkan rerata visual analog scale (VAS) 4,33±1,70 dan 5,28±1,99, p=0,191.9 Alvares M, dkk. (2009) RCT terhadap 65 lakilaki rigid cystoscopy dengan lidokain jelly 10% yang diencerkan dengan larutan Natrium Bicarbonat (NaHCO3), sebanyak 20 ml yang disimpan pada suhu 4ºC, dibandingkan kontrol lubrikan non-anestetik, hasilnya VAS saat insersi lidokain dan lubrikan non-anestetik adalah 0,57±0,08 dan 1,20±0,27; selama berlangsung rigid cystoscopy 2,88±0,12 dan 7,40±0,31; pasca prosedur 2,50 dan 7,5.10 Penelitian lain oleh Park HK, dkk. (2004) meneliti pemeriksaan rigid cystoscopy ukuran 17F (F: French) pada laki-laki dengan lidokain jelly 2% 10 ml dalam 10-15 menit, didapatkan rerata VAS 3,31±1,88.11 Goldfischer ER, dkk. (1997) meneliti 189 laki-laki rigid cystoscopy 17-21F dengan lidokain jelly 2% 30 ml selama 20 menit, didapatkan rerata NAS 3,00±0,21, variasi distribusi nilai NAS=4 14%, NAS=5 16 % dan NAS ≥6 4,8%.12 Holmes dkk. mengungkapkan penggunaan lidokain jelly 2% sebanyak 20 ml efek analgesianya lebih baik dibanding 10 ml, sedangkan Mc Farlen dkk. tidak menemukan perbedaan diantara keduanya. Chong dkk. menegaskan efek analgesia lidokain jelly 2% dalam 15 menit lebih baik dibanding 5 menit.13 Penelitian pada wanita oleh Gee JR, dkk (2009) RCT terhadap 36 wanita flexible dan rigid cystoscopy dengan lidokain jelly 2%, didapatkan nilai
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
3
median VAS masing-masing: pra-prosedur 5,9 dan 2,9, p=0,39; selama prosedur 1,4 dan 1,8, p=1,0; pasca prosedur 4,2 dan 3,0, p=0,37.14 Di Bagian Urologi RSCM, prosedur standar rigid cystoscopy pada laki-laki dilakukan dengan anestesia umum atau analgesia spinal karena variasi nilai VAS yang terjadi selama prosedur ini. Sedangkan pada wanita dapat dilakukan dengan anestetik lokal saja. Penggunaan anestesia umum atau analgesia spinal diperlukan persiapan yang lebih teliti, biasanya penderita dirawat inap dan tentunya dengan biaya yang lebih besar. Untuk mengidentifikasi perkiraan risiko anestesia diperlukan penilaian kebugaran fisik menurut The American Society of Anaesthesiologists (ASA) yang dikelompokkan ke dalam 5 kelas, yaitu: ASA I (sehat), ASA II (penyakit ringan-sedang), ASA III (penyakit sistemik berat terkontrol), ASA IV (penyakit sistemik berat tidak terkontrol) dan ASA V (penyakit sangat berat).15,16 Analgesia akupunktur merupakan metode untuk mengurangi nyeri dan regulasi fungsi fisiologis tubuh melalui penusukan titik-titik akupunktur. Selain efektif menghilangkan atau mengurangi nyeri saat operasi, akupunktur juga aman karena memiliki efek samping yang minimal. Pada pasien yang alergi terhadap obat anestetik maka analgesia akupunktur dapat dipertimbangkan sebagai pengganti yang efektif.17,18 Analgesia akupunktur adalah manifestasi dari proses integrasi di tingkat susunan saraf pusat (SSP) antara impuls aferen daerah nyeri dengan impuls titik akupunktur. Mekanisme segmental di medula spinalis karena rangsangan titik akupunktur yang memodulasi nyeri.19 Pomeranz (1987) mengungkapkan akupunktur akan merangsang serabut saraf aferen Aδ dan C di kulit dan otot, ditransmisikan ke medula spinalis yang menyebabkan sekresi enkefalin dan dinorfin, sinyal ini kemudian dilanjutkan ke batang otak yang memicu peningkatan mediator inhibisi berupa neurotransmiter serotonin, dopamin dan norefinefrin yang menghambat dan menekan transmisi nyeri tingkat segmental, ketika sinyal ini mencapai hipotalamushipofisis akan memicu sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH) dan endorfin yang berefek analgesia.20 Kitade dan Hyodo menemukan bahwa penusukan pada titik akupunktur tubuh dan telinga dapat meningkatkan ambang nyeri somatik yang bervariasi secara individu. Ishimaru dkk. melaporkan penggunaan elektroakupunktur (EA) frekuensi
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
4
rendah selama 30 menit dapat meningkatkan β-endorfin plasma.21 Penelitian eksperimental pada tikus dengan EA di titik LI 4 Hegu frekuensi 2 Hz akan melepaskan enkefalin dan β-endorfin, sementara frekuensi 100 Hz melepaskan dinorfin pada medula spinalis. Bukti lain dengan functional magnetic resonance imaging (fMRI), EA di titik LI 4 frekuensi rendah menyebabkan peningkatan sinyal di otak lebih banyak dan lebih luas dibandingkan akupunktur manual.22,23 Penelitian lain dengan fMRI memperlihatkan peningkatan sinyal di otak dan batang otak secara spesifik. Akupunktur di titik ST 36 Zusanli mengaktivasi hipokampus; GB 34 Yanglingquan mengaktivasi hipotalamus, insula, korteks motorik dan sensorik; LI 4 efektif untuk analgesia, karena titik ini terutama mengaktivasi hipotalamus dan pusat modulasi nyeri di periaquaductal grey (PAG) dan nukleus rafe magnus (NRM).24 Leung A, dkk. (2008) meneliti durasi mulainya efek akupunktur terhadap timbulnya analgesia. Dilakukan EA frekuensi 5 Hz di titik SP 1 Yinbai dan LR 1 Dadun selama 30 menit pada 16 subyek sehat, didapatkan waktu yang oftimal dimulainya efek analgesia setelah 15 menit.25 Penelitian RCT oleh Setiawardhani L, dkk. (2011), EA frekuensi rendah di titik LI 4 selama 30 menit pada 36 subyek sehat, hasilnya terjadi peningkatan signifikan β-endorfin plasma pada kelompok EA dibandingkan kontrol, p<0,05.26 Irzan, dkk. (2011) melakukan penelitian pada prosedur extracorporal shock wave lithotripsy (ESWL) terhadap 60 penderita batu ginjal. EA dilakukan di titik: BL 21 Weishu, BL 23 Shenshu, BL 52 Zhishi, LI 4, SP 6 Sanyinjiao, dan LR 3 Taichong, dengan gelombang dense disperse (DD). Hasilnya rerata NAS kelompok akupunktur signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol (ketoprofen 200 mg supositoria) pada menit ke-30 dan 60, p<0,05.27 Penelitian lain oleh Permatasari D, dkk. (2009), RCT pada 50 orang terhadap nyeri persalinan ibu primipara, digunakan EA dengan gelombang DD di titik: ekstra Nei Ma – Wai Ma, BL 31 Shang Liao, BL 32 Ciliao dan GV 20 Baihui selama 20 menit, hasilnya terjadi penurunan signifikan nyeri persalinan pada kelompok kasus dibandingkan kontrol, p<0.05.28 Taguchi A, dkk. (2002) RCT pada 10 pasien sehat, dilakukan akupunktur di titik MA-TF1 Shenmen, MA-AT1 Thalamus (subcorteks), Transqualiser dan Master Cerebral, terjadi penurunan signifikan kebutuhan desfluran sebesar 8,5% dibanding
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
5
kontrol, (p=0,003).29 Wang et al, mengungkapkan kadar β-endorfin, epinefrin, norepinefrin, dan dopamin plasma tidak berbeda bermakna antara pasien yang di EA di titik ST 36, ST 37 Shang Juxu, dan MA-TF1 dengan pasien yang menerima meperidin pada prosedur colonoscopy, namun efek samping EA seperti pusing lebih sedikit dibandingkan meperidin.30 Rubiana H, Budi H (1982) melakukan penelitian terhadap 100 orang wanita yang menjalani tindakan minilaparotomi pada sterilisasi. Titik akupunktur yang digunakan adalah BL 32 Ciliao, GV 2 Yaoshu, GV 4 Mingmen, Zhaguan, ST 36, SP 6, MA-TF1, MA-IC1 paru, dilakukan EA frekuensi dan intensitas rendah, kemudian ditingkatkan sampai mencapai frekuensi 200 Hz, selama 20 menit sebelum tindakan dimulai, didapatkan Angka keberhasilan 93% dan gagal 7%.31 Atas dasar manfaat analgesia akupunktur pada beberapa tindakan/operasi, peneliti mencoba melakukan studi pendahuluan mengenai efektivitas EA terhadap nyeri pada prosedur rigid cystoscopy pasien laki-laki.
1.2. Rumusan Masalah Uraian ringkas latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa: prosedur rigid cystoscopy terhadap pasien laki-laki dengan anestetik lokal lidokain jelly belum memuaskan dalam mengatasi nyeri karena terdapat variasi nilai VAS dari ringan sampai berat, EA dapat mengurangi nyeri pada beberapa tindakan/operasi, sementara penggunaan analgesia spinal atau anestesia umum memerlukan persiapan yang lebih teliti, biaya dan resiko lebih besar, hal ini memberikan dasar bagi peneliti untuk mencari alternatif dalam mengurangi nyeri pada prosedur ini, dan merumuskan pertanyaan: apakah EA pada titik akupunktur tubuh dan telinga dapat mengurangi nyeri pada prosedur rigid cystoscopy terhadap pasien laki-laki yang diberi anestetik lokal xylocaine jelly 2% ?
1.3. Hipotesis EA pada titik akupunktur tubuh dan telinga efektif mengurangi nyeri pada prosedur rigid cystoscopy terhadap pasien laki-laki yang diberi xylocaine jelly 2%.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
6
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum : Untuk mengetahui efek EA pada titik akupunktur tubuh dan telinga terhadap nyeri pada prosedur rigid cystoscopy pasien laki-laki yang diberi xylocaine jelly 2%. 1.4.2. Tujuan khusus : 1. Untuk mengetahui rerata Numeric Analog Scale (NAS) dari EA di titik akupunktur tubuh dan telinga pada prosedur rigid cystoscopy terhadap pasien laki-laki yang diberi xylocaine jelly 2%. 2. Untuk mengetahui perbandingan rerata NAS dari EA di titik akupunktur tubuh dan telinga sebelum, selama dan setelah prosedur rigid cystoscopy terhadap pasien laki-laki yang diberi xylocaine jelly 2%. 3. Untuk mengetahui angka keberhasilan EA di titik akupunktur tubuh dan telinga terhadap nyeri pada prosedur rigid cystoscopy terhadap pasien laki-laki yang diberi xylocaine jelly 2%. 4. Untuk mengetahui efek samping EA di titik akupunktur tubuh dan telinga serta xylocaine jelly 2% pada prosedur rigid cystoscopy pasien laki-laki.
1.5. Manfaat Penelitian
Pelayanan : Penelitian ini diharapkan dapat membantu mengurangi nyeri pada prosedur rigid cystoscopy terhadap pasien laki-laki menggunakan EA di titik akupunktur tubuh dan telinga yang dikombinasi dengan xylocaine jelly 2%.
Pendidikan : Mengembangkan manfaat analgesia EA.
Penelitian : Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penelitian selanjutnya.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nyeri 2.1.1. Difinisi Nyeri seperti yang didefinisikan oleh Internasional Association for Study of Pain (IASP), adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.32
2.1.2. Reseptor nyeri perifer Stimulasi noksius yang bersifat merusak jaringan mengaktifkan reseptor spesifik nyeri (nosiseptor) di perifer yang kemudian mengubahnya menjadi sinyal listrik yang dihantarkan ke saraf pusat. Reseptor spesifik nyeri tersebut merupakan ujung-ujung saraf bebas tidak bermyelin maupun bermyelin tipis, digolongkan ke dalam 2 kelompok yaitu high threshold mechanoreceptor (HTM) yang merespon rangsang mekanik, dan polymodal nosiceptor (PMN) yang merespon berbagai macam rangsang noksius termasuk rangsang kimia, ion H, bradikinin, histamin, prostaglandin, leukotrien, serotonin dan sitokin.33 Rangsang noksius, termasuk rangsang yang ditimbulkan oleh jarum akupunktur akan mengiritasi atau merusak sel-sel yang mengeluarkan sejumlah zat kimia antara lain bradikinin, substan P dan prostaglandin. Zat-zat kimia tersebut mengaktivasi potensial membran sel. Bila pembentukan potensial ini cukup besar, merangsang terjadinya potensial aksi yang kemudian dihantarkan menuju medula spinalis, selanjutnya menuju otak melalui akson-akson saraf.33
2.1.3. Serabut saraf aferen primer Serabut saraf aferen primer merupakan bagian dari sistem saraf perifer. Ada 3 kelompok serabut saraf aferen primer yaitu: Aβ berdiameter besar, bermyelin, menghantarkan sensasi rabaan, tekanan dari getaran rambut. Serabut Aδ bermyelin tipis menghantarkan sensasi nyeri. Aktivasi serabut Aδ manghantarkan rangsangan dengan kecepatan 5-20 m/detik, menimbukan sensasi tajam, kuat, tingling. Serabut C tak bermyelin menghantarkan sensasi nyeri. Serabut C berdiameter 0,3-3,0 μm
7
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
8
menghantarkan rangsangan dengan kecepatan kurang dari 2 m/detik. Lebih dari 75% serabut aferen primer adalah serabut C. Serabut C diperkirakan berhubungan dengan sensasi seperti terbakar yang berlangsung lama.33
2.1.4. Medula spinalis Serabut saraf aferen primer menuju medula spinalis melalui radiks dorsalis dengan badan sel di ganglion radiks dorsalis. Serabut aferen primer nosiseptor berakhir di kornu posterior medula spinalis pada sisi yang sama. Traktus Lissauer adalah pintu masuk radiks dorsalis ke medula spinalis. Ke arah sentral diteruskan sebagai substansia grisea. Kornu posterior secara anatomi tertata dalam bentuk lapisanlapisan yang disebut lamina Rexed. Lamina II (substansia gelatinosa) merupakan akhir dari serabut C, sedangkan serabut Aδ berakhir di lamina I da IV. Serabut Aβ yang merespon rangsang innocuous (rangsang bukan nyeri, berupa getaran dan sentuhan) berakhir di lamina III, IV dan V, dan mengadakan sinaps langsung dengan akhir serabut C di lamina II. lamina II dan V menerima input aferen dari serabut saraf berdiameter besar dan kecil merupakan tempat penting dalam modulasi nyeri.33
2.1.5. Jalur nyeri naik Serabut sekunder pos-sinap ke supraspinal terutama melalui traktus spinotalamikus, traktus spinoretikularis dan traktus spinomesensefalikus.33
2.1.6. Supraspinal Struktur supraspinal yang terlibat dalam proses nosisepsi adalah batang otak, diensefalon dan korteks serebri. Dikenal 2 sesi input yang masuk ke supraspinal yaitu: seri pertama naik ke bagian anterolateral berakhir di nuklei batang otak dan mesensefalon. Yang menuju ke batang otak mempengaruhi fungsi kardiovaskular dan respirasi, sementara yang menuju ke mesensefalon membawa input ke lokasi yang memicu modulasi.33 Seri kedua dari input nosisepsi ke batang otak adalah serabut aferen sekuder yang naik melalui kolumna dorsalis medula spinalis, ia naik melintasi garis tengah dan membentuk lemniskus medialis kontralateral. Serabut-serabut tersebut kemudian naik melalui batang otak dan mesensefalon, bergabung dengan serabut dari nervus
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
9
trigeminus menuju ke diensefalon, hipotalamus dan talamus, masing-masing berakhir di nukleus ventral posterolateral (VPL) talami untuk input dari tubuh dan nukleus ventral posteromedial (VPM) talami untuk input dari wajah.33 2.1.7. Klasifikasi nyeri,32 a.
Berdasarkan anatomi Masing-masing sindrom nyeri digolongkan berdasarkan lokasi nyeri seperti nyeri punggung bawah, nyeri pelvis, nyeri kepala, yang kesemuanya ini merujuk pada keluhan lokal.
b.
Berdasarkan lamanya diderita Nyeri berdasarkan batasan lamanya diderita dibagi atas nyeri akut dan nyeri kronik. Dari sekian banyak pendapat diambil satu kesepakatan bersama yakni nyeri akut jika kurang dari 3 bulan dan sesudahnya adalah nyeri kronik.
c.
Berdasarkan identitas Pembagian nyeri menurut identitas bisa bervariasi yaitu: berdasarkan 1). lamanya nyeri berlangsung (transient, intermittent atau persistent), 2). intensitas (ringan, sedang dan berat), 3). kualitas (tajam, tumpul dan terbakar), 4). penjalarannya (superfisial, dalam, lokal atau difus).
d.
Berdasarkan patofisiologi Secara patofisiologi nyeri dikelompokkan atas: 1). nyeri adaptif atau nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi atau nyeri akut, 2). Nyeri maladaptif seperti nyeri neuropatik (nyeri kronik) dan 3). Nyeri psikogenik atau nyeri idiopatik.
e.
Berdasarkan mekanisme nyeri Mekanisme munculnya rasa nyeri bisa beragam berupa sensitisasi nosiseptor, sensitisasi perifer, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, akibat permasalahan reorganisasi saat regenerasi jaringan saraf berupa sprouting. Sensitisasi nosiseptor bisa dinilai sebagai nyeri jika transmisi mencapai otak di area kortek sensorik. Sensitisasi nosiseptor adalah satu-satunya penyebab nyeri nosiseptif yang mengalami proses transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi. Transduksi dalam bentuk aktivitas elektrik merupakan konversi dari noksius termal atau mekanik dan stimulus khemikalein terhadap nosiseptor. Sedangkan transmisi adalah penyampaian sensasi dari saraf perifer ke sentral yang diterjemahkan
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
10
sebagai nyeri. Modulasi merupakan reaksi kortek sensorik secara desenden untuk menjamin keseimbangan transmisi ke otak melalui neurotransmiter yang akan berikatan dengan beragam reseptor di kornu dorsalis medula spinalis.
2.1.8. Nyeri nosiseptif Nyeri nosiseptif disebut juga nyeri tipe akut yang secara patologik terjadi akibat kerusakan jaringan atau cedera jaringan, bisa diakibatkan oleh mekanik, kimia dan termis yang berperan sebagai stimulus terhadap sekresi mediator inflamasi yang sifatnya self-limiting. Mediator inflamasi ini selanjutnya akan menstimulasi ujung jaringan saraf sehingga menyebabkan nyeri.32 Klasifikasi nyeri nosiseptif ini dibagi atas 3 tipe berdasarkan lokasi dan dari mana asalnya seperti:32 a.
Nyeri somatik superfisial atau nyeri kutaneus yang pada umumnya terjadi akibat kerusakan atau lesi pada jaringan kulit, dimana ujung nosiseptor ditemukan dibawah kulit. Nyeri yang terjadi bersifat tajam, terlokalisir jelas dan pada umumnya tidak berlangsung lama.
b.
Nyeri somatik yang dalam berasal dari kerusakan jaringan tulang, tendon, fasia, ligamentum dan pembuluh darah. Nyeri tipe ini berupa nyeri tumpul, lokasinya kurang jelas, berlangsung lama dibandingkan nyeri kutaneus.
c.
Nyeri viseral yang berasal dari organ visera. Nosiseptor di organ ini ditemukan di organ dalam. Nyeri biasanya sangat hebat, berlangsung lebih lama dibanding nyeri somatik dan sangat sulit untuk dilokalisir. Nyeri tipe nosiseptif berlokasi disekitar kerusakan jaringan dan mempunyai
efek psikologis sangat minimal dibandingkan nyeri kronik. Untuk merasakan nyeri maka secara neurofisiologi dibutuhkan 4 tahapan: 1). Proses transduksi, yaitu konversi dari stimulus noksius menjadi suatu aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf sensoris, 2). Jaras transmisi adalah proses perambatan suatu impuls nyeri melalui serabut Aß, Aδ dan C menyusul proses transduksi, 3). Persepsi, merupakan interpretasi impuls yang berasal dari perifer menjadi rasa nyeri, 4). Modulasi merupakan interaksi antara sistem analgesia endogen seperti opioid, noradrenergik dan serotonin dengan input nyeri yang masuk ke kornu dorsalis jadi merupakan interaksi antara serabut eksitasi dan inhibisi.32
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
11
Nyeri yang berasal dari organ dalam biasanya difus dan sulit untuk dilokalisir. Serat otonomik aferen mempunyai persamaan dengan serat somatik aferen dengan neuronnya terletak dalam ganglion spinalis dan serat ini menggunakan jaras dari radik posterior untuk memasuki medula spinalis. Serat otonom dari organ dalam dan serat somatik aferen dari miotom dan dermatom yang bersangkutan kemudian keluar pada kornu posteriornya, dan membentuk kumpulan yang lazim. Dari kornu posterior, 2 jenis impuls dikirim ke sentral oleh serat yang sama dalam traktus spinotalamikus lateral. Pada titik tersebut, nyeri yang berasal dari organ dalam diproyeksikan ke dermatom atau miotom yang bersangkutan dan dirasakan sebagai nyeri rujukan.34 Sinyal sensorik mempengaruhi fungsi saraf otonom dan motorik dalam berbagai cara melalui refleks dan berbagai hubungan yang komplek. Beberapa sinyal mula-mula mencapai kortek sensorik primer melalui talamus dan di tempat ini sinyal menjadi disadari. Sinyal yang diterima lalu dianalisis, diinterpretasi, dievaluasi (perkembangan emosi), dan pada kondisi tertentu disimpan (memori) oleh area kortek sensorik sekunder.35 Serabut aferen dari organ dan permukaan kulit saling terjalin di bagian medula spinalis, yang berarti saraf aferen berkumpul di neuron yang sama di medula spinalis. Selanjutnya perangsangan nosiseptor pada suatu organ akan memicu sensasi nyeri pada daerah kulit yang serabut aferennya berhubungan pada medula spinalis yang sama.35
2.1.9. Peptida opioid endogen dan neurotransmiter Peptida opioid endogen dan beberapa neurotransmiter tersebar luas pada sistem saraf pusat dan perifer, berperan penting dalam regulasi fungsi tubuh secara normal maupun dalam keadaan patologis, regulasi otonom, hormonal dan modulasi nyeri. Adapun opioid endogen dan neurotransmiter tersebut adalah sebagai berikut: a.
Endorfin Endorfin adalah suatu bahan dari kelompok neuropeptida yang disekresikan oleh kelenjar hipofise anterior, berfungsi menghambat persepsi rangsangan nyeri. Endorfin bekerja langsung sebagai neurotransmiter pada jaras nyeri di susunan saraf pusat dan medula spinalis.36
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
12
Ada 3 tipe utama endorfin yaitu: β-endorfin, hampir semuanya ditemukan di sekitar kelenjar hipofise, serta enkefalin dan dinorfin yang keduanya terdistribusi di sepanjang sistem saraf (otak dan medula spinalis). Para ahli menduga bahwa analgesia opiat seperti morfin dan heroin bekerja efektif melawan nyeri karena tubuh memiliki reseptor yang diaktivasi oleh senyawa kimia tersebut.36 Beta-endorfin dihasilkan di hipotalamus dan kelenjar hipofise selama adanya rangsang nyeri, exercise, stres dan orgasme. Neurohormon ini bekerja sebagai anti nyeri alami tubuh, juga dapat berperan dalam mencegah obesitas, diabetes melitus dan ansietas. Pada atlet peran β-endorfin dapat meningkatkan kekuatan dan ketahanan tubuh.37 b.
Enkefalin Enkefalin terdiri dari pentapeptida yang terlibat dalam regulasi nosisepsi tubuh. Sejak tahun 1975 telah diidentifikasi 2 bentuk enkefalin yaitu leu-enkefalin dan met-enkefalin, keduanya diroses dari pre-enkepalin. Met-enkefalin dan leuenkefalin merupakan petida opioid alami yang ditemukan di otak beberapa hewan dan manusia. Met-enkefalin juga terdapat di kelenjar medula adrenal, striatum, kortek serebri, hipokampus, septum, talamus, PAG dan kornu dorsalis medula spinalis, khususnya di beberapa serabut saraf aferen primer yang menginervasi viseral pelvis. Afinitas enkefalin terhadap reseptor δ lebih besar dibanding reseptor μ.37
c.
Dinorfin Dinorfin dihasilkan dari protein prekursor pre-dinorfin. Prekursor ini dipecah menjadi dinorfin A dan B yang kaya akan asam amino lisin dan arginin. Dinorfin diproduksi di beberapa tempat di otak, termasuk
hipotalamus,
hipokampus, midbrain, medula oblongata, pons dan kornu dorsalis medula spinalis.37 d.
Gamma aminobutyric acid (GABA) GABA adalah transmiter asam amino utama yang dijumpai pada susunan saraf pusat mamalia dan terdapat sekitar 40% dari semua neuron. Mekanisme kerja GABA melalui suatu ‘negative feedback system’ memblok transmisi sinyal dari satu sel saraf ke sel saraf lainnya, hal ini penting untuk keseimbangan
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
13
eksitasi di dalam otak. GABA paling banyak terkonsentrasi di substantia nigra dan nukleus globus palidus dari ganglia basalis, diikuti hipotalamus, PAG dan hipokampus. Konsentrasi GABA di otak adalah 200-1000 kali lebih besar daripada mono amin atau asetilkolin.36 Terdapat 3 resptor GABA yaitu GABAA, GABAB dan GABAC. Yang berperan dalam modulasi nyeri adalah reseptor GABAA dan GABAB, yang terdapat di supraspinal dan medula spinalis.38 e.
Serotonin Serotonin adalah neurotransmiter monoamine, berasal dari triptofan, merupakan messenger kimia yang memodulasi ansietas, mood, tidur, nafsu makan dan seksual. Neuron neurotransmiter terletak di dalam nukleus rafe. Nukleus kaudal berproyeksi sebagian besar ke batang otak dan medula spinalis untuk mengatur persepsi nyeri. Proyeksi inti rostral secara ekstensif untuk struktur limbik dan kortek serebri. Pada sistem limbik proyeksinya berdekatan dengan reseptor norepinefrin yang tampaknya bekerjasama dalam regulasi kewaspadaan.36 Terdapat reseptor serotonin di medula spinalis yang terlibat dalam analgesia, yaitu: reseptor 5HT1A, 5HT1B, yang terletak diujung akson nukleus rafe magnus dan 5HT3 yang terletak di ujung akson serabut saraf sensorik primer yang berakhir di substansia gelatinosa.40
f.
Norepinefrin Norepinefrin
mempengaruhi
tidur
dan
kesadaran,
dan
diyakini
berhubungan dengan respon terhadap stress ‘fight and flight’. Norepinefrin disintesis dari dopamin dengan menggunakan enzim dopamin β-hidroksilase (DBH), dengan oksigen, tembaga dan vitamin c sebagai ko-faktor. Nukleus noradrenergik yang paling menonjol adalah lokus seruleus di pons, terdiri dari 40% neuron noradrenergik di otak tikus.36 Dari beberapa penelitian menyebutkan keterlibatan noradrenergik terhadap antinosiseptif pada medula spinalis melalui jalur periaquaductal grey (PAG) – lokus seruleus (midbrain), sel A5 dan A7 (kornu dorsalis medula spinalis) melalui pengikatan reseptor α2.40
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
14
2.1.10. Modulasi nyeri Modulasi rangsang noksius pada tingkat spinal dijelaskan dengan teori pengaturan gerbang (gate control theory) Melzack dan Wall. Teori ini menyebutkan input yang dibawa Aβ menghambat rangsang nosiseptif yang dibawa serabut C, melalui pelepasan neurotransmiter di medula spinalis.34 Sejumlah input yang berasal dari berbagai lokasi di batang otak menuju ke kornu posterior medula spinalis juga memodulasi rangsang noksius yang datang dari perifer. Serabut desenden tersebut berasal dari: a. Periaquaductal grey bersifat endorfinergik b. Nukleus rafe magnus (NRM) bersifat serotonergik c. Nukleus retikularis paragigantoselularis (NRPG) bersifat noradrenergik d. Lokus seruleus bersifat noradrenergik Semuanya mengaktivasi interneuron melalui pelepasan enkefalin di lamina II-IV yang memodulasi rangsang nyeri yang dihantarkan oleh serabut saraf C.33
2.2. Cystoscopy 2.2.1. Definisi Cystoscopy merupakan pemeriksaan menggunakan cystoscope (rigid atau flexible) untuk mengetahui kelainan pada kandung kemih. Kelainan yang dapat dinilai dari pemeriksaan ini adalah tumor, batu, hematuria dan inflamasi kandung kemih.1 bisa juga digunakan untuk pemasangan kateter ureter pada operasi percutaneus nefrolitotomi (PCNL), serta pemasangan dan pengangkatan double J. Visual cystoscopy berlangsung 5-10 menit, dapat lebih lama jika dilakukan prosedur lain seperti biopsi kandung kemih yaitu 15-20 menit.2,3 Seperti pada endoscope dan colonoscope, cystoscope terdiri dari selang yang pada ujungnya dilengkapi kamera, yang dapat melihat secara langsung ke dalam kandung kemih atau melalui monitor televisi.
2.2.2. Tingkat akurasi diagnosis Tingkat akurasi diagnosis menggunakan cystoscopy sangat baik. Beberapa penelitian melaporkan sensitivitas pemeriksaaan cystoscopy dalam mendeteksi tumor buli-buli
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
15
mencapai 96,2%,4 deteksi lesi patologis kandung kemih seperti polyp, batu, tumor dan divertikel sebesar 94,4%.5 2.2.3. Tujuan cystoscopy,1-3 Umumnya tujuan cystoscopy adalah sebagai berikut: a. Untuk diagnosis, misalnya melihat adanya kelainan di kandung kemih berupa: tumor, divertikel, polip dan hematuria. Dapat juga dilakukan biopsi jika dicurigai adanya keganasan. b. Untuk pemasangan kateter ureter, pada tindakan atau operasi yang sesudahnya berisiko untuk terjadinya perlengketan lumen ureter dilakukan pemasangan dj stent supaya urin tidak mengalami stagnasi, kasus ini misalnya pada: operasi batu ginjal, prosedur extracorporal shock lithotripsy (ESWL), operasi percutaneus nefrolitotomi (PCNL), dll. c. Untuk pengangkatan kateter ureter (aff dj stent), dalam waktu 2 minggu s/d. 1 bulan setelah insersi dj stent sebaiknya dilakukan pengangkatan untuk mencegah infeksi atau perlengketan dengan mukosa lumen ureter.
2.2.4. Efek samping Meskipun
cystoscopy
memiliki
peran
yang
sangat
penting
dalam
mendiagnosis dan evaluasi tindak lanjut dari penderita neoplasma kandung kemih, namun kelemahan dari prosedur ini adalah karena tindakan invasif, tidak nyaman bagi penderita, tidak mampu mendeteksi kelainan ekstravesika, resiko infeksi saluran kemih 7,5%, dan keluhan saluran kemih bagian bawah lainnya sebesar 30% pasca tindakan.4 Stav K, dkk. dalam penelitiannya melaporkan beberapa komplikasi akibat cystoscopy yaitu terjadi penurunan libido 55,6% dalam 2 minggu pertama, disuria 11%, urethroragia 7% dan bakteriuria 2% dalam 2 hari pasca tindakan.6
2.2.5. Inervasi urethra dan kandung kemih Secara anatomi kandung kemih dan urethra dipersarafi oleh saraf otonom simpatis (T11-L2) n.hipogastrikus yang bertanggung jawab terhadap aferen sensorik, parasimpatis (S2-S4) n.pelvicus sebagai eferen motorik, dan somatik (S2-S4) n.pudendus yang juga sensorik dari bladder neck.7,8
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
16
2.2.6. Nyeri pada prosedur rigid cystoscopy Nyeri pada prosedur rigid cystoscopy digolongkan nyeri viseral. Nosiseptor pada jaringan/organ dalam sangat peka terhadap regangan, ketika cystoscope dimasukkan ke dalam urethra terjadi regangan yang menstimulasi nosiseptor di ujung-ujung saraf simpatis, nyeri akan bertambah pada saat alat mencapai spinkter urethra eksterna karena daerah tersebut juga dipersarafi oleh somatik aferen n. Pudendus.
2.3. Penanganan nyeri pada prosedur rigid cytoscopy 2.3.1. Penilaian dan persiapan pasien pra-anestesia,15 Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor risiko terjadinya kecelakaan anestesia. Tujuan utama kunjungan pra-anestesia adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Perlu dilakukan penilaian kebugaran fisik untuk anestesia,
biasanya
diklasifikasikan
menurut
The
American
Society
of
Anaesthesiologists (ASA), yaitu: Kelas I
: pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II
: pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III
: pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV
: pasien dengan penyakit sistemik berat, tidak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupan setiap saat.
Kelas V
: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada bedah cito atau emergensi biasanya dicantumkan dengan huruf E.
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg bebapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opiat misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
17
2.3.2. Anestesia umum Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya pembedahan. Induksi anestesia dapat dikerjakan dengan cara intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal. Setelah pasien tidur karena induksi anestesia, langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.15
2.3.3. Analgesia spinal Analgesia spinal (intratekal, intradural, subdural, subaraknoid) adalah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Teknik ini sederhana cukup efektif dan mudah dikerjakan. Komplikasi analgesia spinal diantaranya: hipotensi berat akibat blok simpatis, bradikardi, hipoventilasi akibat paralisis n.frenikus, trauma pembuluh darah, trauma saraf, mual-muntah dan gangguan pendengaran. Adapun komplikasi pasca tindakan: nyeri tempat suntikan, nyeri punggung, nyeri kepala karena kebocoran likuor, retensi urin dan meningitis.15
2.3.4. Anestetik lokal Anestetik lokal adalah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade kanal natrium pada membran saraf untuk sementara waktu terhadap rangsangan transmisi sepanjang saraf jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa kerusakan struktur jaringan saraf.15 Anestetik lokal dibagi menjadi 2 golongan yaitu: golongan ester (kokain, benzokain, prokain, tetrakain, kloroprokain) dan golangan amida (lidokain seperti xylocaine dan lignocaine, mepivakain, bupivakain, dll.15 Mekanisme anestetik lokal bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium channel), mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga tidak terjadi depolarisasi pada membran saraf dan hasilnya tidak terjadi konduksi saraf. Potensinya dipengaruhi kelarutan dalam lipid, makin larut makin poten. Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja dan konstanta disosiasi (pKa) menentukan awal kerja, selain itu awal kerja ditentukan juga oleh konsentrasi obat anestetik lokal. Lama kerja dipengaruhi
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
18
oleh kecepatan absorbsi dan kepadatan pembuluh darah perifer ke daerah yang dituju. Metabolisme obat anestetik lokal golongan ester oleh enzim pseudo-kolinesterase plasma, hidrolisis ester sangat cepat dan kemudian ekskresi metabolit melalui urin. Sedangkan metabolisme golongan amida oleh enzim mikrosomal di hati, metabolismenya lebih lambat dari ester dan ekskresinya lewat urin.15 Beberapa efek samping dari xylocaine jelly 2% adalah iritasi mukosa, pruritus, pusing, mual-muntah, hipotensi, reaksi alergi dan bradikardia.41,42
2.4. Analgesia akupunktur 2.4.1. Teknik rangsang akupunktur Jenis serabut saraf aferen yang diaktivasi oleh akupunktur tergantung pada metode manipulasi dan perbedaan sensitivitas individu. Akupunktur manual akan mengaktivasi semua jenis serabut saraf yaitu: Aβ, Aδ dan C, sedangkan elektroakupunktur cukup kuat dalam merangsang serabut saraf Aβ (grup II) dan Aδ (grup III) yang dapat menimbulkan analgesia.19
2.4.2. Elektroakupunktur Penggunaan EA untuk analgesia lebih efektif hasilnya dibanding akupunktur manual, hal ini didapatkan dari beberapa penelitian mengenai EA dibanding manual. Yang perlu diperhatikan mengenai EA adalah jenis gelombang, frekuensi, durasi rangsang dan intensitas rangsang. Ada beberapa jenis gelombang diantaranya: kontinu (amplitudo durasi dan frekuensi konstan), dense-disperse (terdiri dari 2 frekuensi biasanya frekuensi rendah dan tinggi) dan intermittent (terputus-putus). Frekuensi dapat digolongkan menjadi: frekuensi rendah <10 Hz, sedang 10-50 Hz dan tinggi 50-200 Hz. Durasi EA yang oftimal untuk analgesia selama 20-40 menit. Sedangkan mengenai intensitas yang diberikan terutama akan mempengaruhi otonom (intensitas kuat mengaktivasi simpatis, intensitas lemah merangsang parasimpatis).43 EA dalam perkembangannya digunakan untuk kasus nyeri akut dan kronis. Nyeri akut pada berbagai macam kasus operasi dan pos-operasi cukup efektif menggunakan EA karena menyebabkan analgesia tetapi tidak anestesia. Beberapa studi menemukan EA meningkatkan ambang nyeri pada target area tertentu, terutama pada daerah lokal menggunakan frekuensi tinggi. Beberapa penelitian melaporkan:
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
19
aktivasi saraf parasimpatis atau penekanan simpatis karena penggunaan EA intensitas lemah berhubungan dengan berkurangnya nyeri.43 Penggunaan EA berulang-ulang pada satu frekuensi saja dapat menyebabkan toleransi tubuh sehingga hasil yang akan dicapai tidak efektif. Umumnya toleransi lebih cepat pada pemakaian frekuensi tinggi-intensitas rendah dibanding frekuensi rendah-intensitas tinggi. Toleransi ini terjadi karena mekanisme sentral dan perifer yaitu terjadi penurunan sekresi enkefalin atau peningkatan noradrenergik (NA) dan cholecystokinine (CCK).43
2.4.3. Mekanisme kerja EA Secara umum akupunktur bekerja melalui tiga mekanisme yaitu lokal, segmental dan sentral. a.
Mekanisme lokal Penusukan titik akupunktur merupakan mikro trauma yang menyebabkan pelepasan substance P, CGRP dan β-endorfin. Mediator ini akan merangsang serabut saraf somatik aferen (cutaneous Aδ and C-fibers) untuk disampaikan ke pusat yang lebih tinggi.44
b.
Mekanisme segmental Impuls aferen pada kornu dorsalis medula spinalis akan mengaktivasi stalk cells untuk melepaskan enkefalin dalam menghambat transmisi nyeri pada substansia gelatinosa (SG). Pada tingkatan ini juga terjadi sinaps internouron antara somatik sensorik dengan otonom viseral yang dikenal dengan refleks viserokutaneus, kutaneoviseral, kutaneomuskular dan viseromuskular, sehingga akupunktur dapat mempengaruhi organ-organ dalam.44
c.
Mekanisme sentral Impuls stimulasi akupunktur terhadap neuron ke-2 disampaikan kepada talamus, lalu diproyeksikan ke kortek serebri. Pada midbrain terdapat cabang kolateral ke periaquaductal grey (PAG). PAG memproyeksikan ke bawah ke nukleus rafe magnus dan nukleus rafe dorsalis di medula oblongata yang akan merangsang serabut serotonergik dan noradrenergik ke stalk cells, yang selanjutnya akan menginhibisi SG. Rangsang penusukan juga akan mengaktivasi hypothalamus-pituitary sehingga melepaskan β-endorfin ke dalam darah dan
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
20
cairan serebrospinalis, sehingga meningkatkan analgesia fisiologis dan homeostasis dari berbagai sistem seperti sistem imun, kardiovaskular, pernapasan dan penyembuhan jaringan. Disekresikan juga ACTH untuk merangsang kelenjar adrenal dalam mengahasilkan kortisol untuk memodifikasi sensasi nyeri dan reaksi imun, dan berbagai hormon.44
Telah lama diketahui bahwa efek EA tehadap analgesia lebih kuat dibandingkan akupunktur manual, hal ini dikarenakan modulasi nyeri pada tingkat spinal maupun supraspinal EA lebih kuat dibanding akupunktur manual. Mikrotrauma karena penjaruman akupunktur merangsang pelepasan mediator inflamasi, sementara EA lebih memperkuat efek tersebut yang selanjutnya menstimulasi nosiseptor sehingga terjadi depolarisasi dan aksi potensial pada membran serabut saraf aferen. Dengan frekuensi dan intensitas tertentu EA akan lebih cepat membangkitkan aksi potensial, dikarenakan EA secara langsung mempengaruhi polaritas listrik membran sel saraf. EA dengan intensitas rendah akan mengeksitasi serabut saraf grup II dan III (Aβ dan Aδ), sementara intensitas tinggi akan mengeksitasi serabut saraf grup IV (serabut C). Sinyal listrik/aksi potensial ini selanjutnya diteruskan ke medula spinalis dan supraspinal untuk merangsang dikeluarkannya neurotransmiter inhibisi (seperti: endorfin, serotonin, noradrenergik dan GABA). Neurotranmiter tersebut berperan dalam inhibisi impuls nyeri patologis baik pada tingkat segmental (gate control theory) maupun supraspinal (otak dan batang otak) terutama di PAG.43 Han, dkk. (2003) mengungkapkan penggunaan EA 2 Hz menginduksi analgesia melalui pengikatan reseptor opioid μ dan δ, 100 Hz mengikat reseptor opioid k, dan 2/15 Hz mengikat ke-3 reseptor tersebut di medula spinalis tikus. Penelitian lain juga menyebutkan EA 30 Hz menginduksi ketiga reseptor tersebut. Penelitian EA pada tikus oleh Da dkk (1997) menemukan peningkatan ekspresi mRNA preproenkefalin (PPE) di nukleus arkuatus hipotalamus, PAG dan rostral ventro-medial medula oblongata (RVM). Cao dkk. menyebutkan selama akupunktur analgesia terjadi hambatan aktivitas simpatis yang berhubungan dengan stimulasi nosiseptif, hal ini dapat menjelaskan mekanisme akupunktur dalam mengurangi nyeri viseral.45
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
21
Gambar 2.1. Skema elektroakupunktur menginduksi opioid menyebabkan analgesia. Keterangan: EM: endo-morfin; ENK: enkefalin; βEP: β-endorfin; DYN: dinorfin.46 Penelitian Chen XH, dkk. mengungkapkan efek maksimal analgesia didapat dari penggunaan EA gelombang DD frekuensi 2/100 Hz dibanding penggunaan EA frekuensi tunggal 2 Hz atau 100 Hz saja. Penelitian Hamzah, dkk. melaporkan EA gelombang DD frekusensi 2/100 Hz menyebabkan berkurangnya kebutuhan morfin pasca operasi sebanyak 53%, sedangkan dengan EA frekuensi tunggal 2 Hz atau 100 Hz kebutuhan morfin berkurang masing-masing 32% dan 35%.46 Guo HF, dkk. menemukan penggunaan EA 2 Hz mengaktivasi nukleus arkuatus hipotalamus dan genikulatum medial talamus, sedangkan EA 100 Hz mengaktivasi nukleus parabrakial pons dan rostral ventromedial medula. Hans JS. mengungkapkan EA 2 Hz akan mengaktivasi nukleus arkuatus hipotalamus, kemudian mengirimkan sinyal melalui aksonnya ke PAG, lalu diteruskan ke serabut saraf desenden ke kornu dorsalis medula spinalis untuk mengaktivasi pelepasan enkefalin sehingga timbul analgesia.46 Penggunaan EA frekuensi 2 Hz meningkatkan sekresi β-endorfin di otak dan enkefalin di semua susunan saraf pusat, sementara EA 100 Hz meningkatkan pelepasan dinorfin di medula spinalis. Neurotransmiter serotonin, katekolamin dan noradrenergik di susunan saraf pusat berperan sebagai antagonis terhadap analgesia, sedangkan di medula spinalis bersifat potensiasi terhadap analgesia. Kombinasi penggunaan akupunktur dan obat analgesik atau anestetik akan mencapai efek analgesia yang lebih baik, bahkan dapat menekan dosis obat sampai 50%, sehingga efek samping karena obat-obatan dapat berkurang signifikan.46
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
22
Gambar 2.2. Jalur saraf yang memediasi efek analgesia oleh elektroakupunktur frekuensi 2 Hz atau 100 Hz. Keterangan: β-end: β-endorfin; PAG: Periaquaductal grey; Enk: enkefalin; Dyn: dinorfin; DHN: dorsal horn neuron of the spinal cord.46 PAG adalah daerah yang paling kuat dalam menghasilkan analgesia pada tikus dan kucing, sedangkan pada monyet talamus merupakan tempat yang paling ampuh dalam menghasilkan analgesia (Oleson, dkk. 1978). Temuan pada manusia serupa dengan hewan coba, dengan menggunakan PET stimulasi nosiseptif nyeri mengaktivasi daerah otak di PAG, talamus, hipotalamus, kortek somatosensorik dan kortek prefrontal (Hseih, dkk. 1995). Dari beberapa penelitian pada manusia dan hewan coba ditemukan bahwa akupunktur tubuh atau telinga meningkatkan kadar endorfin dan enkefalin plasma darah dan cerebrospinal fluid (CSF), hal ini diperkuat oleh penelitian oleh Pomeranz (2001) yang menyimpulkan keterlibatan endorfin dalam analgesia akupunktur.47
2.5. Penelitian anestetik lokal xylocain jelly 2% pada rigid cystoscopy a.
Bhomi KK, dkk. (2011), melakukan penelitian RCT terhadap 60 laki-laki yang menjalani rigid cystoscopy. Dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan, yaitu kelompok I menggunakan lignocaine HCl jelly 2% sebanyak 15 ml, selama 10 menit, yang disimpan pada suhu kamar 4ºC dan kelompok II jelly tersebut disimpan pada suhu 20ºC. Hasilnya masing-masing didapatkan rerata visual analog scale (VAS) 4,33±1,70 dan 5,28±1,99, keduanya tidak berbeda bermakna, p=0,191.9
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
23
b.
Alvarez M, dkk. (2009) melakukan penelitian RCT terhadap 65 laki-laki yang menjalani rigid cystoscopy ukuran 17F (F: French) lensa 30º, dengan lidokain jelly 10% dibandingkan dengan kontrol lubrikan tanpa anestetik, masing-masing sebanyak 20 ml dalam 15 menit. Hasilnya didapatkan rerata VAS kelompok perlakuan 2,88±0,12 dan kontrol 7,4±0,31, p<0,0001.10
c.
Park HK, dkk. (2004) melakukan penelitian mengenai rigid cystoscopy ukuran 17F pada laki-laki menggunakan lidokain jelly 2% sebanyak 10 ml dalam 10-15 menit, didapatkan rerata VAS 3,31 ± 1,88.11
d.
Goldfischer ER, dkk. (1997) melakukan penelitian RCT terhadap 189 laki-laki yang menjalani rigid cystoscopy ukuran 17-21F, menggunakan lidokain jelly 2% dibandingkan lubrikan tanpa lidokain, sebanyak 30 ml selama 20 menit. Hasilnya didapatkan rerata NAS 3,00±0,21 (distribusi nilai NAS=4 14%, NAS=5 16 %, dan NAS ≥6 4,8%) pada kelompok lidokain, sedangkan rerata NAS pada kelompok kontrol 4,36±0,37, p=0,002.12
e.
Aaronson DS, dkk. (2008) melakukan meta-analisis terhadap 14 studi menggunakan lidokain jelly 2% dibandingkan dengan lubrikan sebagai kontrol tanpa anestetik pada prosedur flexible cystoscopy, menyimpulkan bahwa efek analgesia lidokain jelly 2% lebih baik dibanding kontrol. Holmes dkk. mengungkapkan penggunaan lidokain jelly 2% sebanyak 20 ml efek analgesianya lebih baik dibandingkan dengan 10 ml, sedangkan Mc Farlen dkk. tidak menemukan perbedaan diantara keduanya. Chong dkk. menegaskan efek analgesia lidokain jelly 2% dalam 15 menit lebih baik dibandingkan 5 menit.13
f.
Gee JR, dkk. (2009) melakukan penelitian RCT terhadap 18 wanita menggunakan flexible cystoscopy dan 18 wanita rigid cystoscopy menggunakan lidokain jelly 2%. Hasilnya didapatkan rerata VAS masing-masing 0,6 dan 0,84 selama prosedur cystoscopy, tidak terdapat perbedaan bermakna diantara keduanya, p=0,39.14
2.6. Penelitian analgesia akupunktur a.
Leung A, dkk. (2008) melakukan penelitian mengenai durasi efek akupunktur terhadap timbulnya peningkatan ambang rangsang nyeri pada ektremitas bawah. Dilakukan EA frekuensi 5 Hz di titik SP 1 Yinbai dan LR 1 Dadun selama 30
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
24
menit terhadap 16 subyek sehat. Didapatkan waktu yang oftimal dimulainya efek analgesia setelah 15 menit.25 b.
Setiawardhani L, dkk. (2011) melakukan penelitian RCT mengenai EA frekuensi rendah di titik LI 4 Hegu selama 30 menit terhadap 36 subyek sehat, hasilnya terjadi peningkatan signifikan β-endorfin plasma pada kelompok EA dibanding kontrol, p<0,05.26
c.
Irzan, dkk. (2011) melakukan penelitian pada prosedur Extracorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) terhadap 60 pasien batu ginjal. EA dilakukan di titik: BL 21 Weishu, BL 23 Shenshu, BL 52 Zhishi, LI 4 Hegu, SP 6 Sanyinjiao, dan LR 3 Taichong, menggunakan gelombang dense disperse (DD), frekuensi skala 4. Hasilnya rerata NAS kelompok akupunktur signifikan lebih rendah dibanding kontrol (ketoprofen 200 mg supositoria) pada menit ke-30 dan 60, p<0,05.27
d. Permatasari D, dkk. (2009) melakukan penelitian RCT pada 50 orang ibu primipara yang mau melahirkan mengenai nyeri persalinan. Digunakan EA gelombang DD, intensitas sesuai toleransi pasien, di titik: ekstra Nei Ma – Wai Ma, BL 31 Shang Liao, BL 32 Ciliao dan GV 20 Baihui selama 20 menit. Hasilnya terjadi penurunan signifikan nyeri persalinan pada kelompok kasus dibandingkan kontrol, p<0.05.28 e.
Taguchi A, dkk. (2002) melakukan penelitian RCT pada 10 pasien sehat. Dilakukan akupunktur pada titik MA-TF1 Shenmen, MA-AT1 Thalamus (subcorteks), Transqualiser dan Master Cerebral. Hasilnya, terjadi penurunan signifikan kebutuhan desfluran sebesar 8,5% dibandingkan kontrol, (p=0,003).29
f.
Penelitian lain oleh Wang et al, mengungkapkan kadar β-endorfin, epinefrin, norepinefrin, dan dopamin plasma tidak berbeda jauh antara pasien yang di EA di titik ST 36 Zusanli, ST 37 Shang Juxu, dan MA-TF1 Shenmen dengan pasien yang menerima meperidin pada prosedur colonoscopy, namun efek samping EA seperti pusing lebih sedikit dibandingkan meperidin.30
g.
Rubiana H, Budi H (1982) melakukan penelitian terhadap 100 orang wanita yang menjalani tindakan minilaparotomi pada sterilisasi. Titik akupunktur yang digunakan adalah BL 32 Ciliao, GV 2 Yaoshu, GV 4 Mingmen, Zhaguan, ST 36 Zusanli, SP 6 Sanyinjiao, MA-TF1 Shenmen, MA-IC1 paru. Dilakukan EA frekuensi dan intensitas rendah, kemudian ditingkatkan sampai mencapai
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
25
frekuensi 200 Hz, selama 20 menit sebelum tindakan dimulai, didapatkan angka keberhasilan 93% dan gagal 7%.31
2.7. Kerangka teori
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
26
2.8. Kerangka konsep
Keterangan : : Stimulasi, : Menghambat, EA: Elektroakupunktur, Hz: Herzt, M: Mekanisme, Nc. Arc: Nukleus Arkuata, NPB: Nukleus Parabrakial, PAG: Periaquaductal Grey, NRM: Nukleus Rafe Magnus, NRPG: Nukleus Retikular Paragigantoselular, KDMS: Kornu Dorsalis Medula Spinalis, SC: Stalk Cell, GABA: Gamma Amino Butyric Acid, XJ 2%: Xylocaine jelly 2%.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian Desain penelitian yang dipilih pada penelitian ini adalah uji klinis sebelum dan sesudah terapi (before and after study).
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di ruang operasi Urologi RSCM Jakarta. Pengumpulan data/sampel dikerjakan pada 18 April s/d. 31 Juli 2012.
3.3. Populasi Populasi penelitian ini adalah semua pasien Urologi laki-laki yang akan menjalani prosedur rigid cystoscopy. Populasi terjangkau adalah populasi penelitian yang menjalani prosedur rigid cystoscopy di ruang operasi Urologi RSCM Jakarta. Subyek penelitian meliputi seluruh pasien pada populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penerimaan. 3.3.1. Kriteria Penerimaan
Pasien Urologi laki-laki yang dijadwalkan akan menjalani prosedur rigid cystoscopy.
Pasien berusia 18-72 tahun.
Status pasien menurut The American Society Anaesthesiology (ASA) 1-3
Bersedia menandatangani persetujuan tindakan medis (informed consent).
3.3.2. Kriteria Penolakan
Pasien mengkonsumsi obat penghilang rasa nyeri sejak 1 hari sebelumnya (misalnya: analgetik dan antipiretik).
Minum alkohol 2 hari sebelum prosedur rigid cystoscopy.
Pasien yang sedang mendapatkan terapi antidepresan (misalnya: amitriptilin, dll.).
Status pasien ASA 4-5.
27
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
28
Pasien alergi dengan xylocaine jelly 2%.
Terdapat kontraindikasi terhadap tindakan akupunktur dan EA seperti kasus gawat darurat, keganasan, kelainan pembekuan darah, pemasangan pacemaker, kelainan kulit yang luas termasuk kulit telinga, dan demam.
3.3.3. Kriteria Gugur (drop out) :
Pasien tidak memberikan informasi tentang nyeri sesuai skala NAS.
Prosedur cystoscopy berlangsung lebih dari 15 menit.
Pasien yang hipersensitif terhadap nyeri.
3.4. Besar Sampel Untuk mengetahui besar sampel, pada penelitian ini digunakan rumus: 48
n=
( Zα )2 . P . Q ( d )2
Keterangan : n
= jumlah sampel
Zα = tingkat kemaknaan α, [α=0,05 adalah 1,645]. P
= Proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari, pada penelitian ini nilai P belum diketahui. Kisaran nilai P adalah 0,1
5. Karena PxQ mempunyai nilai paling tinggi bila P = 0,5, maka peneliti menetapkan [P= 0,5].48
Q = nilai Q adalah (1-P) d
= tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki, [20% = 0,20].
n=
(1,645)2 . (0,5) . (1-0,5) (0,20)2
n = 17
Jadi jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 17 orang.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas indonesia
29
3.5. Kerangka Alur Penelitian
Pasien yang akan dilakukan prosedur rigid cystoscopy Memenuhi kriteria penerimaan
Informed consent EA selama 20 menit Insersi xylocaine jelly 2% dan penilaian NAS 1 Setelah 10 menit insersi xylocaine jelly 2%, dinilai NAS 2
Prosedur rigid cystoscopy
Insersi rigid cystoscope
Selama rigid cystoscopy
setelah rigid cystoscopy
Dinilai NAS 3
Dinilai NAS 4
Dinilai NAS 5
Analisis data
3.6. Definisi Operasional a. Subyek penelitian adalah pasien laki-laki yang menjalani prosedur rigid cystoscopy di Departemen Urologi RSCM Jakarta dan memenuhi kriteria penerimaan.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas indonesia
30
b. Rigid Cystoscopy adalah pemeriksaan menggunakan rigid cystoscope dengan lensa 30-70º yang dimasukkan ke dalam urethra sampai kandung kemih untuk mengetahui kelainan pada kandung kemih dan urethra. c. The American Society Anaesthesiology (ASA) adalah klasifikasi keadaan pasien baik secara fisik maupun sistemik untuk kelayakan dan resiko dalam mengahadapi tindakan/operasi. ASA 1-3 dianggap aman untuk prosedur rigid cystoscopy pada penelitian ini. d. Xylocaine jelly 2% adalah obat anestetik lokal yang dapat menghilangkan rasa nyeri. e. Akupunktur pada penelitian ini adalah penusukan jarum akupunktur pada titik akupunktur tubuh yaitu: LI 4 Hegu, LR 3 Taichong, SP 6 Sanyinjiao, GB 34 Yanglingquan, ST 36 Zusanli, CV 3 Zhongji, CV 4 Guanyuan, GV 20 Baihui dan titik akupunktur telinga: MA-TF 1 Shenmen. f. Elektroakupunktur (EA) adalah metode rangsang dengan menggunakan elektrostimulator yang dihubungkan dengan elektroda positif dan negatif pada titik akupunktur. g. Sensasi penjaruman adalah rasa pegal, ngilu atau kebas di titik akupunktur setelah jarum ditusukkan sampai kedalaman tertentu. h. Numeric Analog Scale (NAS) adalah skala penilaian intensitas nyeri dengan skala 0–10, skor 0 berarti tidak ada nyeri dan 10 merupakan nyeri terberat. i. Hipersensitif terhadap nyeri adalah pasien yang merasa sangat nyeri atau nilai NAS >4 pada saat penusukan jarum akupunktur. j. Angka keberhasilan adalah proporsi daya analgetik EA dan xylocaine jelly 2% pada setiap pasien yang dinilai sebelum, selama dan setelah prosedur rigid cystsocopy. Angka keberhasilan dibedakan menjadi 2 kategori yaitu: berhasil (jika derajat nyeri sangat baik maupun baik atau nilai NAS= 0-4), dan tidak berhasil/gagal (jika derajat nyeri buruk atau NAS >4).
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas indonesia
31
3.7. Cara Kerja 3.7.1. Alat yang disediakan : a. Akupunktur Jarum akupunktur sekali pakai dengan ukuran 0,25 mm x 40 mm, 0,25 x 25 mm dan 0,20 x 13 mm, merek Bai Yi Mei. Kapas alkohol 70% Elektro-stimulator merek Hwato SDZ-V b. Urologi
Handscoon
Kasa steril dan betadin
Cairan steril atau NaCl 0,9% untuk irigasi
Blood set
Xylocaine jelly 2% sebanyak 10 ml
Rigid cystoscope ukuran 19,5 F lensa 30-70º
4.7.2. Persiapan pasien a. Menentukan pasien yang masuk dalam kriteria penerimaan. b. Mengisi lembaran persetujuan penelitian dan status pasien. 4.7.3. Tindakan/Pengobatan a. Pasien dalam posisi tidur terlentang di ruang tunggu operasi. b. Sebelum penusukan, dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada titik akupunktur yang akan ditusuk. c. Penusukan dilakukan secara tegak lurus pada semua titik sampai terjadi sensasi penjaruman. d. Penusukan pada titik akupunkur LI 4 Hegu, LR 3 Taichong, SP 6 Sanyinjiao, GB 34 Yanglingquan dan MA-TF1 Shenmen dilakukan bilateral, kemudian kabel elektrostimulator dipasang pada kedua titik kanan dan kiri. e. Pada titik CV 3 Zhongji dan CV 4 Guanyuan, kabel elektrostimulator dihubungkan pada kedua titik tersebut. f. Pada titik ST 36 Zusanli dan GV 20 Baihui tidak dilakukan EA.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas indonesia
32
g. Setelah semua jarum akupunktur terhubung dengan kabel elektrostimulator, rangsangan diberikan pada frekuensi 3/15 Hz, gelombang dense disperse (DD), dengan intensitas dapat ditoleransi penderita. h. Dua puluh menit setelah diEA, pasien masuk ke ruangan operasi, lalu diangkat ke meja operasi dan dalam posisi litotomi, kemudian sebanyak 10 ml xylocaine jelly 2% dimasukkan ke dalam urethra, 10 menit kemudian prosedur rigid cystoscopy dapat dimulai, EA tetap berlangsung sampai prosedur tersebut selesai. i. Selama prosedur rigid cystoscopy, dilakukan dilatasi kandung kemih dengan cairan steril atau NaCl 0,9% sebanyak 200-300 ml untuk irigasi. j. NAS dinilai sebanyak 5 kali yaitu: saat insersi xylocaine jelly 2% dan 10 menit setelahnya, saat insersi cystoscope, selama berlangsung rigid cystoscopy, dan setelah prosedur selesai. k. Jika pasien merasa nyeri hebat atau nilai NAS >4 selama tahapan-tahapan prosedur rigid cystoscopy, maka proses ini dihentikan dan selanjutnya dapat digunakan prosedur standar di Bagian Urologi RSCM.
3.8. Titik Akupunktur a. LI 4 Hegu
Anatomi: pada dorsum manus antara os metakarpal ke-1 dan ke-2, sisi radial pertengahan os metakarpal ke-2.49
Vaskularisasi: a.v.radialis dorsalis manus.50
Inervasi: ramus superfisialis n.radialis.50
Hegu
Gambar 3.1. Titik akupunktur LI 4 Hegu.49
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas indonesia
33
b. LR 3 Taichong
Anatomi: Pada kaki bagian dorsal, di antara os metatarsal ke-1 dan ke2, distal dari pertemuan kedua tulang tersebut.49
Vaskularisasi: lapisan superfisial terdapat v.dorsalis pedis, lapisan profunda terdapat a.v.metatarsal dorsalis ke-1.50
Inervasi: lapisan superfisial terdapat n.kateneus pedis dorsalis medial, lapisan profunda terdapat n.peroneus profunda.50
Taichong
Gambar 3.2. Titik akupunktur LR 3 Taichong.49
c. SP 6 Sanyinjiao
Anatomi: pada sisi medial tungkai bawah, 3 inci di atas puncak maleolus medial, sisi medial tibia posterior.49
Vaskularisasi: v.safena magna, a.v.tibialis posterior.50
Inervasi: superfisial terdapat cabang kutanei nn.safeni kruris medialis, pada lapisan profunda terdapat cabang saraf n.tibialis.50
Sanyinjiao
Gambar 3.3. Titik akupunktur SP 6 Sanyinjiao.49
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas indonesia
34
d. GB 34 Yanglingquan
Anatomi: pada sisi fibula tungkai bawah, di bawah anterior dan distal dari kaput fibula.49
Vaskularisasi: a.v.tibialis rekuren anterior merupakan cabang dari a.v.genikularis inferior lateral.50
Inervasi: lapisan superfisial oleh n.sural kutaneus lateral, pada lapisan profunda oleh n.peroneus.50
Yanglingquan
Gambar 3.4. Titik akupunktur GB 34 Yanglingquan.49
e. ST 36 Zusanli
Anatomi: pada sisi anterolateral tungkai bawah, 3 inci di bawah ST 35 Dubi (ST 35 Dubi: sendi lutut dalam keadaan fleksi, tepat di lekukan lateral ligamentum patela), satu jari lateral dari krista tibia anterior.49
Vaskularisasi: a.v.tibialis anterior.50
Inervasi: ramus kutaneus n.safenus dan n.peroneal profunda.50
Zusanli
Gambar 3.5. Titik akupunktur ST 36 Zusanli.49
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas indonesia
35
f. CV 3 Zhongji
Anatomi: pada garis tengah anterior abdomen bawah, 4 inci di bawah umbilikus.49
Vaskularisasi: cabang dari a.v.epigastrikus superfisial.50
Inervasi: cabang dari n.iliohipogastrikus.50
Zhongji
Gambar 3.6. Titik akupunktur CV 3 Zhongji.49
g. CV 4 Guanyuan
Anatomi: pada garis tengah anterior abdomen bawah, 3 inci di bawah umbilikus.49
Vaskularisasi: cabang dari a.v.epigastrikus superfisial.50
Inervasi: cabang anterior dari n.torakalis ke-12.50
Guanyuan
Gambar 3.7. Titik akupunktur CV 4 Guanyuan.49
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas indonesia
36
h. GV 20 Baihui
Anatomi: di kepala, 5 inci ke superior dari garis batas rambut depan, pada garis tengah kepala.49
Vaskularisasi: a.v.temporal superfisial dan a.v.oksipital.50
Inervasi: cabang n.oksipitalis magnus dan n.frontalis.50
Baihui
Gambar 3.8. Titik akupunktur GV 20 Baihui.49
i. MA-TF 1 Shenmen
Anatomi: pada fossa triangularis, 1/3 belakang atas fossa triangularis.51
Vaskularisasi : a.v.aurikularis posterior.50
Inervasi: n.trigeminus, n.aurikularis magnus rami aurikularis anterior.50
Shenmen
Gambar 3.9. Titik akupunktur telinga MA-TF1 Shenmen.52
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas indonesia
37
3.9. Efek Samping Efek samping tindakan akupunktur biasanya ringan diantaranya rasa nyeri, hematom dan kemerahan di daerah tusukan, pusing, palpitasi, mual-muntah, hipotensi dan inflamasi tulang rawan telinga.53 Sedangkan efek samping dari xylocaine jelly 2% adalah iritasi mukosa, pruritus, pusing, mual-muntah, hipotensi, reaksi alergi dan bradikardia.41,42
3.10. Pengumpulan Data Data diperoleh dengan menggunakan formulir/status pasien (terlampir). Pencatatan skor NAS dilakukan 5 kali yaitu :
NAS 1 dinilai pada saat insersi xylocaine jelly 2% ke dalam urethra.
NAS 2 dinilai 10 menit setelah insersi xylocaine jelly 2% ke dalam urethra.
NAS 3 dinilai pada saat insersi rigid cystoscope ke dalam urethra.
NAS 4 dinilai selama berlangsungnya rigid cystoscopy.
NAS 5 dinilai setelah prosedur rigid cystoscopy selesai.
3.11. Penilaian Penilaian nyeri menggunakan Numeric Analogue Scale (NAS). 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
I-------I--------I-------I-------I-------I-------I-------I-------I-------I-------I Tidak ada nyeri
Nyeri paling berat
Derajat keberhasilan ditetapkan sebagai berikut :54
Sangat baik
: jika nilai NAS 0-2
Baik
: jika nilai NAS 3-4
Buruk (gagal)
: jika nilai NAS 5-10.
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa pasien yang tidak menginginkan pemberian obat analgetik pada saat operasi dan setelah operasi berada pada median NAS 3, sedangkan ketika median NAS 5 secara signifikan mereka menginginkan pemberian obat analgetik. Kesimpulannya: ambang nyeri yang dapat ditoleransi pasien tanpa penggunaan obat analgetik adalah NAS 0-4.54
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas indonesia
38
Selain penilaian nyeri, juga dilakukan pencatatan efek samping dari tindakan EA dan xylocaine jelly 2%.
3.12. Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dengan program SPSS 19, menggunakan uji statistik Repeated Anova, jika tidak memenuhi syarat dipakai uji Friedman. Jika nilai p>α diartikan tidak ada perbedaan bermakna antara variabel yang dibandingkan, sedangkan jika nilai p<α berarti ada perbedaan bermakna dari variabel yang dibandingkan (nilai α=0,05).
3.13. Penyajian Data Data akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
3.14. Kajian Etik Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan
FKUI
pada
tanggal
17
April
2012
dengan
nomor:
150/PT02.FK/ETIK/2012. Subyek yang mengikuti penelitian ini telah setuju berpartisipasi dengan menandatangani informed consent yang dijamin kerahasiaannya dan bersifat sukarela tanpa paksaan.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas indonesia
BAB 4 HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan terhadap 17 pasien laki-laki yang menjalani prosedur rigid cystoscopy dan memenuhi kriteria penerimaan. Sebelum dilakukan elektroakupunktur terlebih dahulu diberikan penjelasan mengenai prosedur penelitian ini, termasuk diantaranya mengenai sensasi penjaruman. Selama penelitian tidak terdapat subyek yang drop out.
4.1. Karakteristik subyek penelitian Tabel 4.1. Karakteristik subyek menurut umur, pendidikan dan pekerjaan Karakteristik responden
n
%
<30
0
0
30-44
6
35,3
45-59
9
52,9
>59
2
11,8
SD
3
17,6
SMP, SMA, STM
6
35,3
D2, D3, S1
8
47,1
Karyawan
4
23,5
PNS, Pensiunan PNS
7
41,2
Pedagang, bengkel, sopir
6
35,3
17
100
Umur (tahun)
Pendidikan
Pekerjaan
Total
Tabel 4.1 menunjukkan tingkatan umur responden yang paling banyak berada pada 45-59 tahun yaitu 52,9%, diikuti 30-44 tahun 35,3%. Sedangkan tingkat pendidikan terbanyak adalah D2, D3, S1 47,1%, kemudian SMP, SMA, STM 35,3%. Sementara mayoritas pekerjaan responden ialah PNS dan pensiunan PNS 41,2%, serta wiraswasta 35,3%.
39
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
40
Tabel 4.2. Status fisik subyek menurut The American Society of Anaesthesiologist (ASA) Status fisik
n
%
ASA I
15
88,2
ASA II
0
0
ASA III
2
11,8
Total
17
100
Tabel 4.3. Tujuan subyek menjalani prosedur rigid cystoscopy Tujuan rigid cystoscopy
n
%
Aff dj stent
16
94,1
insersi dj stent
1
5,9
untuk diagnosis
0
0
Total
17
100
Tabel 4.2 dan 4.3 memperlihatkan status fisik subyek terbanyak ASA I 88,2%, sedangkan tujuan dilakukan prosedur rigid cystoscopy mayoritas aff dj stent 94,1%.
4.2. Nilai rerata NAS penusukan jarum akupunktur, intensitas EA dan lamanya prosedur rigid cystoscopy Tabel 4.4. Nilai rerata NAS penusukan jarum akupunktur
NAS saat penusukan
n
Rerata ± SD
17
1,76 ± 0,75
Median (minimum-maksimum) 2,0 (1,0-3,0)
jarum akupunktur
Tabel 4.4 menunjukkan nilai rerata NAS pada saat penusukan jarum akupunktur sebelum dimulainya prosedur rigid cystoscopy adalah 1,76±0,75.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
41
Tabel 4.5. Nilai rerata intensitas EA yang digunakan pada masing-masing titik akupunktur Titik akupunktur
n
Intensitas EA menit ke-30 (mA) Rerata ± SD
Median (min-maks)
LR 3 Taichong
17
3,00 ± 1,41
3,0 (1,0-7,0)
SP 6 Sanyinjiao
17
4,0 (2,0-9,0)
GB 34 Yanglingquan
17
3,94 ± 1,60 2,0 ± 0,87
CV 3-4 Guanyuan-Zhongji
17
4,0 (2,0-8,0)
LI 4 Hegu
17
4,30 ±1,53 1,71 ± 0,59
MA-TF1 Shenmen
17
2,12 ± 0,49
2,0 (1,0-3,0)
2,0 (1,0-4,0) 2,0 (1,0-3,0)
Tabel 4.5 memperlihatkan nilai rerata intensitas EA menit ke-30 pada prosedur rigid cystoscopy adalah tertinggi di titik CV 3-4 Guanyuan-Zhongji 4,30±1,53 mA, dan terendah di titik LI 4 Hegu 1,71±0,59 mA.
Tabel 4.6. Rerata lamanya prosedur rigid cystoscopy Waktu (menit)
n
Rerata ± SD
Lamanya waktu yang diperlukan pada prosedur rigid cystoscopy
17
6,06 ± 2,55
Median (minimum-maksimum)
5,0 (5,0-15,0)
Tabel 4.6 memperlihatkan rerata lamanya waktu yang diperlukan untuk prosedur rigid cystoscopy adalah 6,06±2,55 menit.
4.3. Nilai NAS EA dan xylocaine jelly 2% pada prosedur rigid cystoscopy Tabel 4.7. Nilai rerata NAS EA dan xylocaine jelly 2% pada prosedur rigid cystoscopy NAS prosedur rigid cystoscopy
n
Rerata±SD
Median (min-Maks)
NAS 1 (saat insersi xylocaine jelly 2%)
17
NAS 2 (10 menit setelah insersi anestetik) NAS 3 (saat insersi rigid cystoscope) NAS 4 (selama berlangsung rigid cystoscopy) NAS 5 (setelah rigid cystoscopy selesai)
2,0 (0-6,0)
17
2,35 ± 1,53 1,06 ± 1,09
17
2,12 ± 1,22
2,0 (1,0-5,0)
17
2,0 ± 1,17
2,0 (0-4,0)
17
0,76 ± 1,20
0 (0-4,0)
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
1,0 (0-3,0)
Universitas Indonesia
42
Tabel 4.7 memperlihatkan masing-masing nilai rerata NAS: sebelum prosedur rigid cystoscopy 1,06±1,09; selama prosedur 2,0±1,17; dan setelah prosedur 0,76±1,20.
Jumlah subyek
8
7
6 4
4
4 2
Jumlah subyek (orang)
2 0
0
1.0
2.0
3.0
Nilai NAS sebelum prosedur rigid cystoscopy (NAS 2)
Grafik 4.1. Sebaran nilai NAS EA dan xylocaine jelly 2% sebelum prosedur rigid cystoscopy Grafik 4.1 menunjukkan sebaran nilai NAS sebelum prosedur rigid cystoscopy: nilai NAS=0 41,2%; NAS=1 23,5%; NAS =2 23,5% dan NAS=3 11,8%.
Jumlah subyek
8
7
6
5
4 2
3 1
Jumlah subyek (orang)
1
0 0
1.0
2.0
3.0
4.0
Nilai NAS selama berlangsung prosedur rigid cystoscopy (NAS 4)
Grafik 4.2. Sebaran nilai NAS EA dan xylocaine jelly 2% selama berlangsung prosedur rigid cystoscopy Grafik 4.2 menunjukkan sebaran nilai NAS selama berlangsungnya prosedur rigid cystoscopy: nilai NAS=0 5,9%; NAS=1 29,4%; NAS=2 41,2%; NAS=3 5,9%; dan NAS=4 17,6%.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
43
Jumlah subyek
12
10
10 8 6
4
4 1
1
1
2.0
3.0
4.0
2
Jumlah subyek (orang)
0 0
1.0
Nilai NAS setelah prosedur rigid cystoscopy (NAS 5)
Grafik 4.3. Sebaran nilai NAS EA dan xylocaine jelly 2% setelah prosedur rigid cystoscopy Grafik 4.3 menunjukkan sebaran nilai NAS setelah prosedur rigid cystoscopy: nilai NAS=0 58,8%; NAS=1 23,5%; NAS=2 5,9%; NAS=3 5,9% dan NAS=4 5,9%.
4.4. Perbandingan nilai rerata NAS EA dan xylocaine jelly 2% pada prosedur rigid cystoscopy Tabel 4.8. Perbandingan nilai rerata NAS EA dan xylocaine jelly 2% sebelum, selama dan setelah prosedur rigid cystoscopy NAS
n
Rerata ± SD
NAS EA dan xylocaine jelly 2%
17
1,06 ± 1,09
1,0 (0-3,0)
<0,01a
sebelum prosedur (NAS 2) NAS EA dan xylocaine jelly 2%
17
2,0 ± 1,17
2,0 (0-4,0)
>0,05b
selama prosedur (NAS 4) NAS EA dan xylocaine jelly 2%
17
0,76 ± 1,20
0 (0-4,0)
<0,01c
Median
p
(minimum-maksimum)
setelah prosedur (NAS 5) Uji Friedman. Uji post-hoc Wilcoxon: a NAS sebelum vs selama prosedur p<0,01; b NAS sebelum vs setelah prosedur p>0,05; c NAS selama vs setelah prosedur rigid cystoscopy p<0,01.
Tabel 4.8 merupakan rangkaian uji Friedman, kemudian dilanjutkan dengan uji posthoc Wilcoxon yang memperlihatkan bahwa: terdapat perbedaan bermakna antara nilai rerata NAS sebelum vs selama, dan antara nilai rerata NAS selama vs setelah prosedur rigid cystoscopy, p<0,01. Sementara tidak ditemukan perbedaan signifikan antara nilai rerata NAS sebelum vs setelah prosedur rigid cystoscopy, p>0,05.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
44
4.5. Angka keberhasilan EA dan xylocaine jelly 2% pada prosedur rigid cystoscopy Tabel 4.9. Derajat keberhasilan EA dan xylocaine jelly 2% terhadap nilai NAS sebelum, selama dan setelah prosedur rigid cystoscopy Derajat keberhasilan NAS EA dan xylocaine jelly 2% sebelum prosedur rigid cystoscopy (NAS 2) NAS EA dan xylocaine jelly 2% selama prosedur rigid cystoscopy (NAS 4) NAS EA dan xylocaine jelly 2% setelah prosedur rigid cystoscopy (NAS 5)
n
%
Sangat baik (0-2)
15
88,2
Baik (3-4)
2
11,8
Buruk/gagal (>4)
0
0
Sangat baik (0-2)
13
76,5
Baik (3-4)
4
23,5
Buruk/gagal (>4)
0
0
Sangat baik (0-2)
15
88,2
Baik (3-4)
2
11,8
Buruk/gagal (>4)
0
0
Tabel 4.9 memperlihatkan derajat potensi analgetik EA dan xylocaine jelly 2% terhadap nilai NAS pada prosedur rigid cystoscopy. Dapat disimpulkan bahwa angka keberhasilan sebelum, selama dan setelah prosedur rigid cystoscopy adalah 100% karena semua nilai NAS pada kisaran 0-4.
Tabel 4.10. Eek samping EA pada prosedur rigid cystoscopy Efek samping EA Pusing Mual-mual Hipotensi Hematom
n
%
Ada
0
0
tidak ada
17
100
Ada
0
0
tidak ada
17
100
Ada
0
0
tidak ada
17
100
Ada
0
0
tidak ada
17
100
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
45
Tabel 4.11. Efek samping xylocaine jelly 2% pada prosedur rigid cystoscopy Efek samping xylocaine jelly 2%
n
%
Pusing
ada
0
0
tidak ada
17
100
ada
0
0
tidak ada
17
100
ada
0
0
tidak ada
17
100
ada
0
0
tidak ada
17
100
Mual-mual Hipotensi Pruritus
Tabel 4.10 dan 4.11 menunjukkan bahwa tidak terdapat efek samping dari EA dan xylocaine jelly 2% sebelum, selama dan setelah prosedur rigid cystoscopy.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 5 PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan studi pendahuluan yang dilakukan pada 17 pasien laki-laki yang menjalani prosedur rigid cystoscopy di ruang operasi Departemen Urologi RSCM Jakarta. Dilakukan beberapa penilaian, dimulai dari NAS penusukan jarum akupunktur; NAS saat insersi xylocaine jelly 2%; NAS sebelum, selama dan setelah prosedur; angka keberhasilan EA dan xylocaine jelly 2%; serta efek samping yang ditimbulkan oleh EA dan obat anestetik. Obat anestetik lokal yang digunakan adalah xylocaine jelly 2%, banyaknya 10 ml dan waktu yang diperlukan selama 10 menit sebelum prosedur dimulai. Alasan penggunaan komposisi obat anestetik tersebut karena dari penelitian Mc. Farlen, dkk. mengungkapkan bahwa lidokain jelly 2% antara volume 10 ml dan 20 ml efeknya tidak berbeda signifikan, mengenai durasi penggunaannya seperti yang diungkapkan Chang, dkk. bahwa 15 menit lebih baik dibanding 5 menit.13 Penelitian ini tidak dilakukan pada subyek perempuan karena nyeri akibat prosedur rigid cystoscopy tidak terlalu mengganggu penderita, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gee JR, dkk. yang mendapatkan nilai median VAS sebelum prosedur 2,9; selama prosedur berlangsung 1,8; dan setelah prosedur selesai 3,0.14 Nyeri yang dapat ditolerasi penderita tanpa perlu menggunakan obat analgetik atau opiat rerata nilai VAS-nya maksimal 4 seperti yang diungkapkan oleh Gerbershagen HJ, dkk.54 Untuk mencapai hasil akupunktur analgesia yang oftimal diperlukan beberapa persiapan akupunktur sebelum hari pelaksanaan prosedur yaitu: penerangan mengenai akupunktur, uji penjaruman, pemilihan titik akupunktur, latihan pernafasan dan premedikasi.31 Diperlukan kerja sama yang baik dengan pasien karena selama prosedur berlangsung pasien dalam keadaan sadar penuh, harus dijaga supaya pasien dalam keadaan tenang atau terhindar dari ansietas. Pada penelitian ini penerangan terhadap pasien kurang memadai dan tidak dilakukan uji penjaruman akupunktur karena 16 subyek datang dengan rawat jalan, sementara pemilihan titik akupunktur digantikan dengan penelitian mini terhadap 5 orang pasien sebelum studi ini dimulai,
46
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
47
dan tentunya hal ini dapat mencegah bias hasil karena titik-titik akupunktur yang digunakan sama pada semua subyek penelitian. Titik-titik akupunktur yang digunakan pada studi ini berdasarkan empiris dan eviden based. Manipulasi manual di LI 4 Hegu meningkatkan ambang nyeri, puncaknya terjadi pada 20-40 menit setelah penjaruman akupunktur dan bertahan lebih dari 30 menit,19 EA atau stimulasi manual di LI 4 pada orang sehat dapat mengaktivasi Periaquaductal Grey (PAG) dan Nucleus Rafe Magnus (NRM) yang tidak terjadi pada bukan titik akupunktur, oleh karena itu LI 4 banyak digunakan untuk analgesia,20,24 penelitian oleh Cheng RSS dan Pomerans B menyebutkan EA frekuensi 4 Hz merangsang pelepasan endorfin sedangkan frekuensi 200 Hz menghasilkan serotonin,22 penelitian Setiawardhani L, dkk. EA frekuensi rendah di LI 4 pada orang sehat terjadi peningkatan signifikan β–endorfin plasma,26 Stimulasi akupunktur di LI 4 pada hewan percobaan meningkatkan ekskresi peptida opioid dari sistem limbik seperti pada hipokampus dan PAG.45 Penelitian Navadow V, dkk. dengan pencitraan di otak, stimulasi manual ST 36 mengaktivasi area insula anterior dan posterior, talamus medial, lobus parietal inferior dan kortek somatosensorik sekunder. Khususnya insula anterior merupakan area penting yang terlibat dalam nyeri viseral.23 EA di SP 6 Sanyinjiao mengaktivasi area PAG, NRM dan hipotalamus yang terlibat dalam modulasi nyeri.24 Wu, dkk. melaporkan EA di GB 34 Yanglingquan mengaktivasi area hipotalamus, kortek somatomotorik dan somatosensorik primer, insula anterior dan posterior.20,24 secara empiris GB 34 digunakan untuk relaksasi otot polos traktus urinarius dan relaksasi spinkter urethra.55 CV 3-4 ZhongjiGuanyuan secara segmental dipersarafi dermatom T11-L1, merupakan segmen yang sama dengan persarafan sensorik otonom urethra dan kandung kemih, oleh karena itu kedua titik ini dipilih untuk modulasi nyeri tingkat segmental. CV 3-4 bersamaan dengan LR 3 Taichong secara empiris dipakai untuk kelainan traktus urinarius dan pembedahan di daerah urethra dan kandung kemih.56,57 Sedangkan MA-TF1 Shenmen dan GV 20 Baihui secara empiris digunakan untuk menenangkan penderita dan analgesia.19,56 Mekanisme akupunktur tubuh pada penelitian ini diduga secara segmental dan sentral, sedangkan akupunktur telinga melalui sentral. Mekanisme akupunktur
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
48
lokal tidak berperan besar karena studi ini tidak menggunakan titik lokal. Xylocaine jelly 2% terutama bekerja secara lokal dengan menghambat depolarisasi pada nosiseptor di urethra dan kandung kemih sehingga impuls nyeri berkurang dan tidak diteruskan ke pusat yang lebih tinggi. Telah lama diketahui bahwa penggunaan EA lebih baik dibandingkan manual akupunktur, hal ini dikarenakan modulasi terhadap nyeri pada batang otak dan kortek serebri EA lebih kuat dibanding manual.21-23 Mekanisme EA lebih mudah dijelaskan melalui jalur persarafan yaitu: EA dengan frekuensi dan intensitas tertentu akan membangkitkan depolarisasi dan potensial aksi yang diteruskan persarafan ke kornu dorsalis medula spinalis dan supraspinal. Stimulasi EA ini akan merangsang sekresi neurotransmiter dan horman (serotonin, endorfin, dll.) yang berperan dalam inhibisi impuls nyeri patologis.33 Penelitian mengenai EA diantaranya: Han, dkk. (2003) mengungkapkan penggunaan EA 2 Hz menginduksi analgesia melalui pengikatan reseptor opioid μ dan δ, 100 Hz mengikat reseptor opioid k, dan 2/15 Hz mengikat ke-3 reseptor tersebut di medula spinalis tikus. Penelitian EA pada tikus oleh Da, dkk. (1997) menemukan peningkatan ekspresi mRNA preproenkefalin (PPE) di nukleus arkuatus hipotalamus, PAG dan rostral ventro-medial medula oblongata (RVM). Cao dkk. menyebutkan selama akupunktur analgesia terjadi hambatan aktivitas simpatis yang berhubungan dengan stimulasi nosiseptif, hal ini dapat menjelaskan mekanisme akupunktur dalam mengurangi nyeri viseral.45 EA frekuensi 2 Hz meningkatkan pelepasan β-endorin di otak dan enkefalin di semua susunan saraf pusat, sementara EA 100 Hz meningkatkan pelepasan dinorfin di medula spinalis. Neurotransmiter lain seperti serotonin, katekolamin dan noradrenergik di susunan saraf pusat berperan sebagai antagonis terhadap analgesia, sedangkan di medula spinalis bersifat potensiasi terhadap analgesia. Kombinasi penggunaan akupunktur dan obat analgetik atau anestetik akan mencapai efek analgesia yang lebih baik, bahkan dapat menurunkan dosis obat sampai 50%, sehingga efek samping karena obat-obatan dapat berkurang.46 Penelitian Chen XH, dkk. mengungkapkan efek maksimal analgesia didapat dari penggunaan EA gelombang Dense Disperse (DD) frekuensi 2/100 Hz dibanding penggunaan EA frekuensi tunggal 2 Hz atau 100 Hz saja. Penelitian Hamzah, dkk. melaporkan EA gelombang DD frekusensi 2/100 Hz menyebabkan berkurangnya
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
49
kebutuhan morfin pasca operasi sebanyak 53%, sedangkan dengan EA frekuensi tunggal 2 Hz atau 100 Hz kebutuhan morfin berkurang masing-masing 32% dan 35%.46 Dapat disimpulkan bahwa: penggunaan EA gelombang DD lebih baik dan lebih cepat dalam menimbulkan analgesia, jika dikombinasi dengan obat anestetik akan mencapai efek yang oftimal. Dari beberapa penelitian menegaskan EA frekuensi tunggal baik tinggi maupun rendah, efek analgesia oftimal sejak menit ke30, sedangkan frekuensi kombinasi tinggi-rendah sudah oftimal sejak menit ke-20, dan puncaknya pada menit ke-30 s/d. 60. Setelah 1 jam EA efek analgesia mulai menurun karena meningkatnya sekresi kolesistokinin (CCK8) yang merupakan zat anti analgesia, atau mungkin karena masa refrakter relatif syaraf yang mulai kurang sensitif untuk dibangkitkan oleh EA sehingga berkurangnya depolarisasi. Rerata intensitas EA di titik-titik akupunktur pada penelitian ini tertinggi di CV 3-4 yaitu 4,30±1,53, terendah di LI 4 1,71±0,59. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas EA yang digunakan selama prosedur rigid cystoscopy digolongkan ringan. Penggunaan EA dengan intensitas tinggi akan menstimulasi persarafan simpatis, terjadi peningkatan neurotransmiter NE dan dopamin di susunan saraf pusat, hal ini akan menghambat analgesia EA karena sifat kedua neurotransmiter tersebut di otak mengeksitasi.43 Adapun nilai rerata NAS yang didapatkan pada studi ini adalah: NAS saat insersi xylocaine jelly 2% 2,35±1,53; NAS sebelum prosedur rigid cystoscopy 1,06±1,09; NAS saat insersi cystoscope 2,12±1,22; NAS selama prosedur 2,0±1,17; dan NAS setelah prosedur selesai 0,76±1,20. Analisis statistik menggunakan uji Friedman, dilanjutkan uji post-hoc Wilcoxon memperlihatkan terdapat perbedaan bermakna yang membandingkan antara nilai rerata NAS sebelum vs selama, dan antara nilai rerata NAS selama vs setelah prosedur rigid cystoscopy (p<0,01), sedangkan antara nilai rerata NAS sebelum vs setelah prosedur tidak ditemukan hubungan bermakna (p>0,05). Meskipun demikian NAS yang didapatkan pada ketiga pengukuran tersebut <5, artinya nyeri yang dirasakan oleh subyek pada penelitian ini dapat ditoleransi atau digolongkan ringan.54 Nilai rerata NAS selama prosedur rigid cystoscopy pada penelitian ini lebih rendah dibanding penelitian yang dilakukan oleh Bhomi KK, dkk. (2011) yaitu: 2,0±1,17 vs 5,28±1,99. Pada studi ini menggunakan xylocaine jelly 2% sebanyak 10
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
50
ml dan selama 10 menit, dari jumlah volume obat anestetik yang digunakan penelitian Bhomi KK, dkk. lebih banyak yaitu 15 ml. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa NAS penelitian ini lebih rendah mungkin karena pengaruh analgesia EA. Dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Alvares M, dkk. (2009), nilai rerata NAS saat insersi anestetik lokal lebih tinggi yaitu: 2,35±1,53 vs 0,57±0,08, hal ini mungkin karena obat anestetik yang digunakan pada studi tersebut lebih encer yaitu lidokain jelly 10% yang diencerkan dalam larutan Bikarbonat (NaHCO3). Sedangkan rerata NAS selama berlangsung dan setelah prosedur rigid cystoscopy penelitian ini lebih rendah yaitu: 2,0±1,17 vs 2,88±0,12 dan 0,76±1,20 vs 2,5, meskipun konsentrasi obat anestetik studi tersebut 10x lebih banyak dan dibantu larutan NaHCO3 yang berfungsi mempercepat absorbsi obat dan efek. Hal ini memperkuat dugaan adanya pengaruh analgesia EA. Terakhir, jika dibandingkan dengan penelitian Park HK, dkk (2004) dan Golfischer ER, dkk (1997), masing-masing menggunakan lidokain jelly 2%, 10 ml, selama 10-15 menit; dan lidokain jelly 2%, 30 ml, selama 20 menit, rerata nilai NAS selama prosedur rigid cystoscopy penelitian ini masih sedikit lebih rendah yaitu: 2,0±1,17 vs 3,31±1,88; dan 2,0±1,17 vs 3,0±0,21. Sedangkan sebaran nilai NAS pada studi Golfischer masih ada nilai NAS >4 sebesar 20,8%, dan volume obat anestetik yang digunakan lebih besar yaitu 30 ml selama 20 menit dibanding penelitian ini. Keadaan tersebut semakin menambah kepercayaan akan adanya pengaruh analgesia EA. Angka keberhasilan pada studi ini sebesar 100% karena semua subyek penelitian pada sebelum, selama dan setelah prosedur rigid cystoscopy didapati nilai NAS <5. Sedangkan penggunaan EA dan xylocaine jelly 2% pada semua penderita tidak ditemukan efek samping. Penelitian ini tanpa menggunakan kontrol karena prosedur standar rigid cystoscopy di Bagian Urologi RSCM menggunakan anestesia umum atau analgesia spinal. Hasil yang didapat dari penelitian ini cukup baik dan bermanfaat bagi pasien, oleh karena itu metode ini dapat digunakan sebagai pilihan analgesia pada prosedur rigid cystoscopy. Tentunya diperlukan penelitian lebih lanjut dengan besar sampel yang cukup untuk meningkatkan validitas mengenai metode ini.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan 1.
Elektroakupunktur pada titik akupunktur tubuh dan telinga cukup efektif dalam mengurangi nyeri pada prosedur rigid cystoscopy laki-laki yang diberi xylocaine jelly 2% dibandingkan penelitian yang hanya menggunakan anestetik lokal saja.
2.
Nilai rerata NAS EA dan xylocaine jelly 2% pada prosedur rigid cystoscopy adalah: NAS sebelum prosedur 1,06±1,09; selama prosedur 2,0±1,17; dan NAS setelah prosedur 0,76±1,20.
3.
Perbandingan nilai rerata NAS EA dan xylocaine jelly 2% pada prosedur rigid cystoscopy adalah: terdapat perbedaan bermakna antara nilai rerata NAS sebelum vs selama dan nilai rerata NAS selama vs setelah prosedur, p<0,01; tidak ada perbedaan bermakna antara nilai rerata NAS sebelum vs setelah prosedur, p>0,05.
4.
Angka keberhasilan EA dan xylocaine jelly 2% pada penelitian ini adalah sebesar 100%.
5.
Tidak ditemukan efek samping dari EA dan xylocaine jelly 2% pada prosedur rigid cystoscopy.
6.2. Saran 1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pilihan analgesia pada rigid cystoscopy yang selama ini prosedur standarnya menggunakan anestesia umum atau analgesia spinal. 2.
Dapat membuka penelitian lebih lanjut menggunakan anestetik xylocaine jelly 2% dengan atau tanpa kombinasi EA pada prosedur rigid cystoscopy.
3.
Perlu penelitian lebih lanjut menggunakan titik akupunktur telinga (Shenmen, Paru, simpatis dan ginjal), serta paravertebra setinggi segmen sensorik medula spinalis yang mempersarafi urethra dan kandung kemih.
4.
Perlu adanya persiapan pra-prosedur rigid cystoscopy yaitu: edukasi dan uji sensasi penjaruman akupunktur terhadap pasien sebelum hari pelaksanaan prosedur.
51
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. 2. 3. 4.
5.
6. 7.
8.
9.
10. 11.
12.
13.
14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Chancellor MB, Steers WD. Cystoscopy and ureteroscopy. NIH Publication; 2009. Cystoscopy. Disitasi dari: http://www.patient.co.uk/health/Cystoscopy.htm Chapple C, et al. The management of lower urinary trac symptoms in men. London: The National Clinical Guideline Centre at The Royal College of Physicians; 2010. Tsili AC, Giannakis D, Sofikitis N, Tsampoulas K. Adventages of multidetector ct cystoscopy in the detection of bladder tumors. Current Medical Imaging. 2008; 4(4): 213-21. Arslan H, Ceylan K, Harman M, Yilmaz Y, Temizoz O, Can S. Virtual computed tomography cystoscopy in bladder pathologies. Intenational Braz J Urol. 2006; 32(2): 147-54. Stav K, Leibovici D, Goren E et al. Adverse effects of cystoscopy and its impact on patient’s quality of life and sexual performance. IMAJ. 2004; 6: 474-8. Marsolais EB, Boninger ML, McCormick PC et al. Bladder management for adults with spinal cord injury: a clinical practice guideline for health-care providers. The Journal of Spinal Cord Medicine. 2006; 29: 527-73. Brooks JD. Anatomy of the lower urinary tract and male genitalia. In: Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peter CA, Editors. Campbell-walsh urology, 9th ed. Philadelphia: Sauders Elsevier; 2007. Bhomi KK, Rizal S, Pradhan M, Rijal A, bhattachan CL. Pain during rigid cystoscopy: a prospective randomized controlled study comparing the benefit of cooled and room temperature lignocaine gel. Nepall Med Coll. 2011; 13(1): 55-7. Alvarez M, Hipolito J, Terrazas S, et al. Effectiveness of intraurethral lubricant in pain reduction during rigid cystoscopy in men. Rev Mex Urol. 2009; 69(3): 88-93. Park HK, Paick SH, June Oh S, Kim HH. Ureteroscopic lithotripsy under local anesthesia: analysis of the effectiveness and patient tolerability. European Urology. 2004; 45: 670-3. Goldfischer ER, Cromie WJ, Karrison TG, Naszkiewicz L, Gerber GS. Effects on pain perception of lidocaine jelly versus plain lubricant during outpatient rigid cystoscopy. The Journal of Urology. 1997; 157: 90-4. Aaronson DS, Walsh TJ, Smith JF, Davies BJ, Hsieh MH, Konety BR. Metaanalysis: dose lidocaine gel before flexible cystoscopy provide pain relief?. BJU International. 2009; 104: 506-10. Gee JR, Waterman BJ, Jarrard DF, et al. Flexible and rigid cystoscopy in women. JSLS. 2009; 13: 135-8. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis: anestesiologi, edisi ke-2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002. ASA physical status classification system. Disitasi dari: http://www.dhed.net O’Connor J, Bensky D. Acupuncture a comprehensive text. Chicago: Eastland Press; 1981. p.562-6. Xinnong C. Chinese acupuncture and moxibustion. Beijing: Foreign Language Press; 1987. p.513-23. Zhao ZQ. Neural mechanism underlaying acupuncture. Progress in Neurobiology. 2008; 85: 355-75. Wang SM, Kain ZN, White P. Acupuncture analgesia: I. the scientific basis. International Anesthesia Research Society. 2008; 106(2): 602-10.
52
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
53
21. Taguchi R. Acupuncture anaesthesia and analgesia for clinical acute pain in Japan. eCAM. 2008; 5(2): 153-8. 22. Cheng RSS, Pomeranz B. Electroacupuncture analgesia could be mediated by at least two pain-relieving mechanisms: endorphin and non-endorphin systems. Life Scienc. 1979; 25:1957-62. 23. Napadow V, Makris N, Liu J, Kettner NW, kwong KK, Hui KKS. Effects of electroacupuncture versus manual acupuncture on the human brain as measured by fMRI. Human Brain Mapping. 2005; 24: 193-205. 24. Chiu JH, Chung MS, Cheng HC, et al. Different central manifestations in response to electroacupuncture at analgesic and non analgesic acupoints in rats: a manganese-enhanced functional magnetic resonance imaging study. The Canadian Journal o Veterinary Research. 2003; 67: 94-101. 25. Leung AY, Kim SJ, Schulteis G, Yaksh T. The effect of acupuncture duration on analgesia and peripheral sensory thresholds. BMC Complementary and Alternative Medicine. 2008. doi:10.1186/1472-6882-8-18. 26. Setiawardhani L, Simadibrata C, Srilestari A. Efek elektro-akupunktur titik LI 4 Hegu terhadap kadar beta-endorfin plasma pada subyek sehat. [tesis]. Jakarta: Departemen Medik Akupunktur RSCM; 2011. 27. Irzan, Widya DK, Srilestari A, Rasyid N. Perbandingan efek analgesia akupunktur dengan ketoprofen suppositoria pada prosedur extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL). [tesis]. Jakarta: Departemen Medik Akupunktur RSCM; 2011. 28. Permatasari D, Simadibrata C, Srilestari A. Efek akupunktur terhadap nyeri persalinan ibu primipara. [tesis]. Jakarta: Departemen Medik Akupunktur RSCM; 2009. 29. Taguchi A, Sharma N, Ali SZ, Dave B, Sessler DI, Kurz A. The effect of auricular acupuncture on anaesthesia with desflurane. Anaesthesia. 2002; 57: 1159-63. 30. Wang SM, Kain ZN, White P. Acupuncture analgesia: II. clinical considerations. International Anesthesia Risearch Society. 2008; 106(2): 611-21. 31. Rubiana H, Budi H. Akupunktur analgesi pada minilaparotomi. [tesis]. Jakarta: Departemen Medik Akupunktur RSCM; 1982. 32. Purba JS. Patofisiologi dan penatalaksanaan nyeri suatu tinjauan seluler dan molekuler biologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. 33. Sudirman S. Mekanisme analgesia akupunktur. [Disertasi]. Dipresentasikan di depan Kolegium Akupunktur Indonesia. Jakarta; 2009. 34. Duus P. Diagnosis topik neurologi, anatomi, fisiologi, tanda, gejala, edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1996. 35. Silbernagl S, Lang F. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. 36. Amir D. Neurotransmiter: faktor penentu kekuatan dan kelemahan seseorang. Padang: Bandung Sains dan Teknologi; 2012. 37. Koneru A, Satyanarayana S, Rizwan S. Endogenous opioid: their physiological role and receptors. Global Journal of Pharmacology. 2009; 3(3): 149-53. 38. Jung-Hyun P, Jae-Bok H, Sun-Kwang K, et al. Spinal GABA reseptors mediate the suppresive effect of electroacupuncture on cold allodynia in rats. Brain research. 2010; 1322:24-9. 39. Paul D, Yao D, Zhu P, et al. 5-hydroxytryptamine3 (5-HT3) receptors mediate spinal 5-HT antinociception: an antisense approach. The Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutic. 2001; 298(2): 674-8.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
54
40. Cui M, Feng Y, McAdoo DJ, Willis WD. Periaqueductal gray stimulation-induced inhibition of nociceptive dorsal horn neurons in rats is associated with the release of norepinephrine, serotonin, and amino acids. The Journal of Pharmacology and Experimental therapeutics. 1999; 289(2): 868-76. 41. Mims annual full prescribing information. CMPMedica Drug References Worldwide; 2006/2007. 42. Xylocaine® jelly. AstraZeneca Pty Ltd; 2008. Disitasi dari: http://www.racgp.org.au 43. Mayor DF. Electoacupuncture a practical manual and resource. Churchill Livingstone Elsevier; 2007. 44. Kiswojo, Widya DK, Srilestari A. Akupunktur medik dan perkembangannya. Jakarta: Kolegium Akupunktur Indonesia; 2009. 45. Xia Y, Cao X, Wu G, Cheng J. Acupuncture therapy for neurological disease: a neurobiological review. Tsinghua University Press; 2010. 46. Ji-Sheng H. The neurochemical basis of pain relief by acupuncture. Peking University Medical Press; 2007. 47. Oleson T. Auriculotherapy manual: chines and western systems of ear acupuncture, third edition. Elsevier Science Limited; 2008. 48. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-4. Jakarta: Sagung Seto; 2011. 49. Xuetai W, Longxiang H, Katai S, Shinohara S, Sung-keel K, Yong-suk K. WHO standar acupuncture point locations in western pasific region. World Health Organization; 2009. 50. The world federation of acupuncture-moxibustion societies. Acupuncture Points, 2008. Cited from: http://www.opentcm.com 51. Wang D. A Brief explanation of international standard nomenclature of acupuncture & moxibustion points. Beijing: Higher Education Press; 1992. 52. Practical ear-needling therapy. Hongkong: Medicine & Health Publishing Co; 1977. 53. Aung SKU, Bossy J, Helms JM, et al. Guidelines on basic training and safety in acupuncture. WHO; 1996. 54. Gerbershagen HJ, Rothaug J, Kalkma CJ, Meissner W. Determination of moderate to severe postoperative pain on the numeric rating scale: a cut-off point analysis applying four different methods. BJA. 2011; 107(4): 619-26. 55. Qicai W, Sumei Y, Hongshi L. Updated aplication of yanglingquan (GB 34) in acute visceral analgesia. International Journal of Clinical Acupuncture. 2002; 13(4): 309-12. 56. Yin G, Liu Z. Advanced modern chines acupuncture therapy. First edition. New World Press; 2000. 57. Chai-hsi EL. Geting to know acupuncture anaesthesia. Philadelphia: Dorrance and Company; 1976.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
55 Lampiran 1.
PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN PENGARUH ANALGESIA ELEKTROAKUPUNKTUR PADA PROSEDUR RIGID CYSTOSCOPY TERHADAP PASIEN LAKI-LAKI YANG DIBERI ANESTETIK LOKAL XYLOCAINE JELLY 2%
Pendahuluan Peneliti dari Departemen Medik Akupunktur RSCM Jakarta, merencanakan melakukan penelitian mengenai pengaruh akupunktur rangsang listrik dalam mengurangi nyeri pada prosedur pemeriksaan untuk mengevaluasi kandung kemih menggunakan serat oftik kaku pada pasien laki-laki yang diberi obat bius lokal xylocaine jelly 2%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh akupunktur rangsang listrik terhadap nyeri pada prosedur pemeriksaan untuk mengevaluasi kandung kemih menggunakan serat oftik kaku pada pasien laki-laki yang diberi obat bius lokal xylocaine jelly 2% dan untuk mengetahui efek samping akupunktur maupun xylocaine jelly 2% dari prosedur tersebut. Partisipasi Anda bersifat sukarela. Sebelum menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, Anda dapat membaca informasi berikut ini dan apabila ada hal-hal yang belum jelas atau tidak dimengerti, Anda dapat menanyakan langsung kepada peneliti.
Ringkasan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka keberhasilan akupunktur rangsang listrik dan obat bius lokal xylocaine jelly 2% dalam mengatasi nyeri selama prosedur pemeriksaan untuk mengevaluasi kandung kemih menggunakan serat oftik. Pada awalnya Anda ditawarkan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Apabila Anda setuju, maka Anda diseleksi dan diberi penjelasan lengkap mengenai penelitian ini termasuk surat persetujuan yang perlu Anda tanda tangani. Peserta penelitian hanya satu kelompok yaitu perlakuan akupunktur rangsang listrik dikombinasi dengan obat bius lokal xylocaine jelly 2%. Peneliti akan menilai keberhasilan tindakan
tersebut dengan menghitung perbandingan skor nyeri NAS
sebelum, selama dan sesudah prosedur ini berlangsung.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
56 Perlakuan akupunktur rangsang listrik dengan menusukkan jarum akupunktur pada titik-titik akupunktur yang telah ditentukan, kemudian dirangsang dengan perangsangan listrik ringan pada titik akupunktur tersebut. Anda mungkin mengalami rasa atau sensasi penjaruman seperti ngilu atau pegal. Efek samping yang terjadi sangat rendah seperti rasa nyeri sesaat dan kadang-kadang dapat timbul kebiruan (perdarahan di bawah kulit), hal ini tidak berbahaya dan dapat hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari. Adapun tahapan-tahapan penelitian ini adalah pertama-tama akupunktur rangsang listrik dilakukan selama 20 menit, kemudian diberikan xylocaine jelly 2% melalui urethra dalam 10 menit, lalu pemeriksaan untuk mengevaluasi kandung kemih menggunakan serat oftik kaku dapat dimulai sampai dengan selesai (lamanya waktu pemeriksaan 5-15 menit). Peneliti menggunakan jarum akupunktur steril, sekali pakai untuk menjaga sterilitas tindakan ini. Jadi dapat dikatakan bahwa tindakan akupunktur ini sangat aman.
Kerahasiaan Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan dan tidak akan muncul dalam publikasi apapun serta tidak diberikan pada siapapun tanpa persetujuan dari Anda.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada Anda, yaitu menghilangkan atau mengurangi keluhan nyeri selama prosedur pemeriksaan kandung kemih menggunakan alat serat oftik kaku.
Kompensasi Pada penelitian dengan perlakuan akupunktur rangsang listrik ini Anda tidak perlu mengeluarkan biaya. Peneliti akan menanggung biaya tersebut.
Informasi Lain Bila Anda tidak mentaati petunjuk yang diberikan oleh peneliti, Anda dapat dikeluarkan dari penelitian ini. Bila terjadi efek samping atau membutuhkan penjelasan, maka Anda dapat menghubungi peneliti: dr. Edi Suhaimi, di nomor Hp: 0812 78272393. Dengan ikut sertanya Anda pada penelitian ini berarti Anda telah menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Peneliti mengucapkan terima kasih banyak atas partisipasinya.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
57 Lampiran 2.
SURAT PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: ................................................................................
Umur
: ...................... tahun
Pekerjaan
: ………………………….........................................
Alamat
: ................................................................................
No. Telepon
: ................................................................................
Setelah mendapat penjelasan mengenai tujuan tindakan akupunktur rangsang listrik dan pemberian obat bius lokal xylocaine jelly 2%, serta menyadari manfaat dan risiko dari tindakan-tindakan tersebut, dengan ini menyatakan setuju bila pada diri saya dilakukan tindakan akupunktur rangsang listrik dan pemberian obat tersebut sesuai dengan prosedur rangkaian
tindakan
dalam
rangka
penelitian
mengenai:
“Pengaruh
Analgesia
Elektroakupunktur Pada Prosedur Rigid Cystoscopy Terhadap Pasien Laki-laki yang diberi Anestetik Lokal Xylocaine jelly 2%”, dengan catatan apabila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun berhak membatalkan keikutsertaan dalam penelitian ini.
Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, .................................... Peneliti,
Peserta Penelitian
( dr. Edi Suhaimi )
(........................................)
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
58 Lampiran 3.
STATUS PENELITIAN
No. Urut Penelitian : ..............
Rekam Medik : ..………………..
Kelompok
Tanggal
: ..................………........
: ............................
Identitas Pasien : Nama
: ..............................................................................
Umur
: ..............................................................................
Pendidikan terakhir
: …………………………......................................
Pekerjaan
: ..............................................................................
Alamat
: ..............................................................................
No. Telepon
: ..............................................................................
1.
Anamnesis a. Keluhan utama
: ................................................................................
b. Keluhan tambahan
: ................................................................................
c. R/. penyakit dahulu
: ...............................................................................
d. Diagnosis
: ................................................................................
e. Tujuan rigid cystoscopy : .............................................................................
2.
Keadaan Umum a. Kesadaran
: ..............................
b. Tekanan darah
: .................. mmHg
c. Frekuensi nadi
: .................. x / menit
d. Suhu tubuh
: …………... derajat Celcius
d. Frekuensi nafas
: .................. x / menit
3. Pemeriksaan Laboratorium Darah rutin
: Hb Leukosit
: ………… gr/dl : ………… /ul
Trombosit : ………… /ul
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
59 4.
Penusukan jarum akupunktur, Numeric Analog scale (NAS) : .............
5.
Penilaian selama prosedur rigid cystoscopy, NAS : .........
Waktu Penilaian
Skor
NAS 1
Pada saat insersi xylocaine jelly 2% ke dalam urethra
NAS 2
10 menit setelah insersi xylocaine jelly 2% ke dalam urethra
NAS 3
Pada saat insersi cystoscope ke dalam urethra
NAS 4
Selama berlangsungnya prosedur rigid cystoscopy
NAS 5
Setelah prosedur rigid cystoscopy selesai
Derajat nilai NAS: nyeri ringan 0-2; nyeri sedang 3-4; nyeri berat 5-10.
6.
Intensitas EA yang digunakan pada menit ke-30 (mA): .......
LR 3
SP 6
GB 34
CV 3, CV4
LI 4
MA-TF1
7. Efek Samping EA dan xylocaine jelly 2%
No. EA
8.
Efek samping
Xylocaine jelly 2%
Efek samping
1.
Pusing
Ya / tidak
Pusing
Ya / tidak
2.
Mual-mual
Ya / tidak
Mual-mual
Ya / tidak
3.
Hipotensi
Ya / tidak
Hipotensi
Ya / tidak
4.
Hematom
Ya / tidak
Pruritus
Ya / tidak
5.
.........................
...........................
Lama Prosedur rigid cystoscopy : ............ menit
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
60 Lampiran 4.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
61 Lampiran 5.
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
62
Lampiran 6
Tabel data induk penelitian No.
Nama
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
(tahun)
Status
Tujuan
NAS penusukan
Intensitas EA (mA)
fisik
rigid cystoscopy
akupunktur
LR 3
SP 6
GB 34
CV 3-4
LI 4
MA-TF1
1
LOI
38
S1
PNS
ASA I
Aff dj stent
2
2
2
1
2
1
1
2
H
46
SD
Pedagang
ASA I
Aff dj stent
1
5
3
1
5
3
2
3
M
47
SMA
Karyawan
ASA I
Aff dj stent
1
2
3
2
4
2
2
4
K
45
SMA
pedagang
ASA I
Aff dj stent
1
2
2
2
3
1
2
5
Im
34
SMA
Karyawan
ASA I
Aff dj stent
1
1
4
1
3
1
2
6
G
40
S1
PNS
ASA I
Aff dj stent
3
2
3
2
5
1
3
7
DS
59
D3
Pensiun PNS
ASA I
Aff dj stent
1
2
4
4
5
1
2
8
G
46
S1
PNS
ASA I
Aff dj stent
3
3
4
2
4
2
2
9
R
42
SMA
pedagang
ASA III
Insersi dj stent
2
3
3
1
2
2
2
10
Ih
63
SD
Pedagang
ASA I
Aff dj stent
3
7
5
4
4
2
3
11
A
40
STM
Karyawan
ASA I
Aff dj stent
2
2
3
2
3
2
3
12
KS
51
SMP
Sopir angkot
ASA I
Aff dj stent
2
3
4
2
6
2
2
13
S
39
SD
Karyawan
ASA I
Aff dj stent
1
4
4
2
8
2
2
14
Dj
61
D2
Pensiun PNS
ASA I
Aff dj stent
1
3
5
2
4
1
2
15
S
51
S1
PNS
ASA III
Aff dj stent
2
3
4
2
5
2
2
16
Sy
50
D3
PNS
ASA I
Aff dj stent
2
4
9
2
6
2
2
17
KN
52
D3
Bengkel
ASA I
Aff dj stent
2
3
5
2
4
2
2
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
63
No.
Lamanya pro-
NAS prosedur rigid cystoscopy
Efek samping xylocaine jelly 2%
Efek samping EA
sedur RC (mnt)
1
2
3
4
5
Pusing
Mual
Hipotensi
Hematom
Pusing
Mual
Hipotensi
Pruritus
1
5
3
1
2
2
0
-
-
-
-
-
-
-
-
2
5
2
1
1
1
0
-
-
-
-
-
-
-
-
3
5
1
1
1
1
0
-
-
-
-
-
-
-
-
4
5
1
0
1
1
0
-
-
-
-
-
-
-
-
5
5
1
0
1
1
0
-
-
-
-
-
-
-
-
6
7
3
2
2
2
1
-
-
-
-
-
-
-
-
7
6
0
0
1
1
0
-
-
-
-
-
-
-
-
8
7
4
1
1
4
1
-
-
-
-
-
-
-
-
9
15
2
0
1
2
0
-
-
-
-
-
-
-
-
10
5
3
3
4
4
4
-
-
-
-
-
-
-
-
11
5
0
0
2
0
0
-
-
-
-
-
-
-
-
12
5
2
2
3
2
1
-
-
-
-
-
-
-
-
13
5
2
2
5
3
1
-
-
-
-
-
-
-
-
14
6
4
3
3
2
3
-
-
-
-
-
-
-
-
15
5
6
0
3
2
0
-
-
-
-
-
-
-
-
16
7
3
0
2
2
0
-
-
-
-
-
-
-
-
17
5
3
2
3
4
2
-
-
-
-
-
-
-
-
Keterangan : RC : Rigid cystoscopy NAS 1 : NAS pada saat insersi xylocaine jelly 2% ke dalam urethra NAS 2 : NAS 10 menit setelah insersi xylocaine jelly 2% ke dalam urethra NAS 3 : NAS pada saat insersi cystoscope ke dalam urethra NAS 4 : NAS saat berlangsungnya prosedur rigid cystoscopy NAS 5 : NAS setelah prosedur rigid cystoscopy selesai. - : tidak ada
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
64
Lampiran 7. 1.
Karakteristik umur subyek penelitian Klasifikasi umur subyek Frequency Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
30-44 tahun
6
35.3
35.3
35.3
45-59 tahun
9
52.9
52.9
88.2 100.0
>59 tahun Total
2.
Percent
2
11.8
11.8
17
100.0
100.0
Karakteristik pendidikan subyek penelitian Pendidikan subyek Frequency Valid
Percent
Valid Percent
SD
3
17.6
17.6
SMP, SMA, STM
6
35.3
35.3
47.1
D2, D3, S1
8
47.1
47.1
100.0
17
100.0
100.0
Total
3.
Cumulative Percent 64.7
Karakteristik pekerjaan subyek penelitian Pekerjaan subyek Frequency Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
Karyawan
4
23.5
23.5
23.5
PNS, Pensiun PNS
7
41.2
41.2
64.7 100.0
Pedagang, Bengkel, Sopir Total
4.
Percent
6
35.3
35.3
17
100.0
100.0
Status fisik subyek menurut The American Society of Anaesthesiologist (ASA) Status fisik subyek Frequency Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
ASA I
15
88.2
88.2
88.2
ASA III
2
11.8
11.8
100.0
17
100.0
100.0
Total
5.
Percent
Tujuan subyek penelitian menjalani prosedur rigid cystoscopy Tujuan rigid cystoscopy Frequency Valid
Aff dj stent Insersi dj stent Total
Percent
Valid Percent
16
94.1
94.1
94.1
1
5.9
5.9
100.0
17
100.0
100.0
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Cumulative Percent
65
6.
Nilai rerata NAS penusukan jarum akupunktur Descriptives NAS penusukan jarum akupunktur
Statistic 1.7647 1.3778
Mean 95% Confidence Interval Lower Bound for Mean Upper Bound
2.1516
5% Trimmed Mean
1.7386
Median
2.0000
Variance
.566
Std. Deviation
.75245
Minimum
1.00
Maximum
3.00
Range
2.00
Interquartile Range
1.00
Skewness Kurtosis
7.
Std. Error .18250
.435 -.986
.550 1.063
Nialai rerata intensitas EA yang digunakan pada masing-masing titik akupunktur Statistics Intensitas
Intensitas
Intensitas
Intensitas
Intensitas
EA di GB
EA di CV
Intensitas
EA di MA-
EA di LR 3
EA di SP 6
34
3-4
EA di LI 4
TF1
17
17
17
17
17
17
0
0
0
0
0
0
Mean
3.0000
3.9412
2.0000
4.2941
1.7059
2.1176
Median
3.0000
4.0000
2.0000
4.0000
2.0000
2.0000
a
4.00
2.00
4.00
2.00
2.00
1.41421
1.59963
.86603
1.53153
.58787
.48507
Variance
2.000
2.559
.750
2.346
.346
.235
Skewness
1.503
1.977
1.309
.620
.109
.399
.550
.550
.550
.550
.550
.550
Kurtosis
3.082
5.954
2.171
.819
-.325
1.905
Std. Error of Kurtosis
1.063
1.063
1.063
1.063
1.063
1.063
Range
6.00
7.00
3.00
6.00
2.00
2.00
Minimum
1.00
2.00
1.00
2.00
1.00
1.00
Maximum
7.00
9.00
4.00
8.00
3.00
3.00
N
Valid Missing
Mode Std. Deviation
Std. Error of Skewness
2.00
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
66
8.
Rerata lamanya prosedur rigid cystoscopy Descriptives Lamanya prosedur Mean rigid cystoscopy 95% Confidence Interval Lower Bound for Mean Upper Bound
Statistic 6.0588 4.8064 7.3113
5% Trimmed Mean
5.6209
Median
5.0000
Variance
5.934
Std. Deviation
2.43594
Minimum
5.00
Maximum
15.00
Range
10.00
Interquartile Range
1.50
Skewness Kurtosis
9.
Std. Error .59080
3.451 12.915
.550 1.063
Nilai rerata NAS EA dan xylocaine jelly 2% pada prosedur rigid cystoscopy Statistics NAS saat insersi xylocaine jelly 2% N
Valid
Missing Mean Median Mode Std. Deviation Variance Skewness Std. Error of Skewness Kurtosis Std. Error of Kurtosis Range Minimum Maximum
NAS 10 menit setelah insersi xylocaine jelly 2% (sebelum prosedur)
NAS saat insersi cystoscope
NAS selama NAS setelah berlangsung prosedur rigid nya rigid cystoscopy cystoscopy selesai
17
17
17
17
17
0 2.3529 2.0000 3.00 1.53872 2.368 .489 .550 .631 1.063 6.00 .00 6.00
0 1.0588 1.0000 .00 1.08804 1.184 .531 .550 -1.036 1.063 3.00 .00 3.00
0 2.1176 2.0000 1.00 1.21873 1.485 .923 .550 .261 1.063 4.00 1.00 5.00
0 2.0000 2.0000 2.00 1.17260 1.375 .527 .550 -.285 1.063 4.00 .00 4.00
0 .7647 .0000 .00 1.20049 1.441 1.740 .550 2.494 1.063 4.00 .00 4.00
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
67
10. Uji statistik Friedman dilanjutkan uji post-hoc Wilcoxon Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic
df
Sig.
Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
NAS 10 menit setelah insersi xylocaine jelly 2% (sebelum prosedur)
.247
17
.007
.835
17
.006
NAS selama berlangsungnya rigid cystoscopy
.265
17
.003
.876
17
.028
NAS setelah prosedur rigid cystoscopy selesai
.326
17
.000
.698
17
.000
a. Lilliefors Significance Correction
a
Test Statistics N
17
Chi-Square
17.560
df
2
Asymp. Sig.
.000
a. Friedman Test c
Test Statistics NAS 10 menit setelah insersi xylocaine jelly 2% (sebelum prosedur) - NAS selama berlangsungnya rigid cystoscopy
NAS 10 menit setelah insersi xylocaine jelly 2% (sebelum prosedur) - NAS setelah prosedur rigid cystoscopy selesai
a
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
NAS selama berlangsungnya rigid cystoscopy - NAS setelah prosedur rigid cystoscopy selesai
b
-2.818 .005
b
-1.890 .059
-3.231 .001
a. Based on positive ranks. b. Based on negative ranks. c. Wilcoxon Signed Ranks Test
11. Derajat keberhasilan EA dan xylocaine jelly 2% terhadap NAS sebelum, selama dan setelah prosedur rigid cystoscopy Derajat keberhasilan EA dan xylocaine jelly 2% sebelum prosedur rigid cystoscopy (NAS 2) Frequency Valid
0-2 sangat baik 3-4 baik Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
15
88.2
88.2
88.2
2
11.8
11.8
100.0
17
100.0
100.0
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
68 Derjat keberhasilan EA dan xylocaine jelly 2% selama prosedur rigid cystoscopy (NAS 4) Frequency Valid
0-2 sangat baik 3-4 baik Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
13
76.5
76.5
76.5
4
23.5
23.5
100.0
17
100.0
100.0
Derajat keberhasilan EA dan xylocaine jelly 2% setelah prosedur rigid cystoscopy selesai (NAS 5) Frequency Valid
0-2 sangat baik 3-4 baik Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
15
88.2
88.2
88.2
2
11.8
11.8
100.0
17
100.0
100.0
12. Angka keberhasilan EA dan xylocaine jelly 2% terhadap NAS sebelum, selama dan setelah prosedur rigid cystoscopy Angka keberhasilan EA dan Xylocaine jelly 2% sebelum prosedur rigid cystoscopy (NAS 2) Frequency Valid
<5 berhasil
17
Percent 100.0
Valid Percent 100.0
Cumulative Percent 100.0
Angka keberhasilan EA dan Xylocaine jelly 2% selama prosedur rigid cystoscopy (NAS 4) Frequency Valid
<5 berhasil
17
Percent 100.0
Valid Percent 100.0
Cumulative Percent 100.0
Angka keberhasilan EA dan Xylocaine jelly 2% setelah prosedur rigid cystoscopy selesai (NAS 5) Frequency Valid
<5 berhasil
17
Percent 100.0
Valid Percent 100.0
Pengaruh analgesia.., Edi Suhaimi, FK UI, 2013
Cumulative Percent 100.0