PENGARUH AKSES AIR BERSIH TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA: PENGUJIAN DATA RUMAHTANGGA IMPACT OF CLEAN WATER ACCESS TO POVERTY IN INDONESIA: MICRO ANALYSIS AT HOUSEHOLD LEVEL Heru Syah Putra1), Nanang Rianto2) Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur IV, LAN1) Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2)
[email protected]) ,
[email protected])
Abstract This study aims to examine the effect of clean water access on income and poverty in Indonesia. This study uses multiple linear regression on household level data that consists of consumption and poverty status. The source of data is Family Life Survei 5 (IFLS5) that held in 2014 and 2015. The total sample is 13,469 households that spread proportionally at 311 villages in Indonesia. The result indicates that households which do not have access to clean water have lower income by 17.17 percent than those have the access to clean water. The possibility of households being poor is higher by 1.29 persent without clean water access. Therefore, there is a significant need for providing sufficient clean water infrastucture in Indonesia, specially in rural areas. Keywords: Poverty, Consumption, Clean Water, Rural areas,
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh ketersediaan akses air bersih terhadap tingkat pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan regresi linear berganda untuk mengukur besaran pengaruh ketersedian air bersih terhadap tingkat pendapatan dan status kemiskinan rumah tangga (RT). Penelitian ini memanfaatkan hasil survei IFLS5 yang dilakukan pada tahun 2014/2015 dengan menetapkan jumlah sampel sebesar 13.469 rumah tangga yang tersebar di 311 desa di Indonesia. Hasil estimasi menunjukkan bahwa RT yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas air bersih memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah sebesar 17,17 persen dibandingkan RT yang memiliki akses air bersih. Kemungkinan menjadi RT miskin juga lebih tinggi besar 1,29 persen pada RT yang tidak memiliki akses air bersih. Oleh sebab itu penulis menyarankan peningkatan akses air bersih melalui pembangunan sarana dan prasarana air bersih khususnya di pedesaan lebih diprioritaskan. Kata kunci: Kemiskinan, Pengeluaran, Air Bersih, Kawasan perdesaan
Pendahuluan Kemiskinan dan ketersedian air bersih masih menjadi permasalahan umum di dunia. Oleh sebab itu kedua permasalahan ini masuk dalam target pembangunan dunia yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Pada tahun 2015, SDGs ditetapkan sebagai penganti Millennium Development Goals (MDGs) yang masih menekankan pentingnya pengurangan kemiskinan (prioritas 1) dan peningkatan akses terhadap air bersih (prioritas 6) (United Nations, 2016). Berbeda dengan MDGs terkait peningkatan akses terhadap air bersih, SDGs menekankan pengelolaansumber daya air yang harus mampu berkelanjutan. Setiap negara yang tergabung dalam United Nations (UN) diharuskan mengaggendakan kegiatan-kegiatan yang mendukung tujuan SDGs, termasuk Indonesia.
Indonesia masih menghadapi permasalahan ketersedian air bersih, drainase, dan sanitasi. Tingginya pertumbuhan penduduk tidak diikuti dengan pertumbuhan pengadaan infrastruktur sehingga menyebabkan fenomena excess demand untuk sarana dan prasarana ai rbersih dan sanitasi. Akibatnya Indonesia menghadapi tingginya kasus kesehatan terkait sanitasi (Winters, et al., 2014). Walaupun pemerintah telah melakukan sosialisasi pentingnya pembangunan sanitasi di daerah, permasalahan ini tidak dengan mudah terselesaikan. Salah satu kendala peningkatan infrastruktur air bersih dan sanitasi di Indonesia adalah keseriusan pemerintah daerah dalam mengatasi isu tersebut. Tantangan tersebut semakin meningkat di era desentralisasi mengingat semangat penyedian fasilitas air bersih dan sanitasi yang layak dapat berbeda antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (Chong, et al., 2016). Pasca dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Indonesia mendapatan kesempatan sekaligus tantangan yang semakin besar terkait penyediaan akses air bersih di desa. Adanya alokasi dana yang cukup besar setiap tahunnya untuk pemerintah desa dapat dijadikan modal pembangunan fasilitas tersebut secara mandiri tanpa menunggu pemerintah kabupaten/kota maupun provinsi. Namun UU ini juga dapat memberikan tantangan baru mengingat kesadaran dan kemampuan aparatur desa dalam menjalankan tugas ini . Kondisi ketersedian air bersih sangat erat hubungannya dengan kondisi kesehatan masyarakat. Kelangkaan air bersih dan sanitasi yang buruk dapat meningkatkan penyebaran penyakit menular di Kamboja sehingga menyebabkan tingginya kasus penyebaran penyakit menular pada anak (Vyas et al., 2016). Hubungan antara rendahnya kualitas sanitasi dan air bersih terhadap kesehatan juga ditemukan di tiga negara yang masuk dalam kawanan Melanesia (Barrington et al., 2016). Penelitian terkini tentang tantangan hambatan penyedian air bersih di Indonesia menyimpulkan bahwa sistem penganggaran dan teknis pengadaan menjadi permsalahan lambatnya penangan masalaha air bersih dan sanitasi di daerah (Chong et al., 2016). Ketersedian air juga sangat berhubungan dengan tingkat kemiskinan. Akses air merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus mampu disediakan oleh pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketersedian air yang cukup akan mempengaruhi produktifitas, baik pada sektor barang maupun jasa (Tortajada, 2014). Selain itu, pada tingkat rumah tangga, air memiliki peran yang sangat penting karena akan mempengaruhi kondisi ekonomi hingga status sosial RT. Akan tetapi pengaruh langsung ketersedian air bersih terhadap tingkat pendapatan dan kemiskinan masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa akses terhadap air tidak memiliki hubungan langsung dengan tingkat kemiskinan. Bahkan Larson et al, (2007) menyimpulkan bahwa pemanfaatan air bersih merupakan faktor dari karakteristik RT, bukan sebaliknya. Penelitian tentang akses air juga sangat masih kurang di Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengisi kekurangan referensi ilmiah tentang akses air bersih dan kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh ketersedian air bersih terhadap tingkat pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Terdapat dua variabel dependen yang akan diuji yaitu status kemiskinan dan tingkat pendapatan pada level rumah tangga. Dengan menggunakan sampel pada tingkat rumah tangga, penelitian ini diharapkan mampu memberikan temuan yang komprehensif terhadap kondisi akses air bersih di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menilai kualitas sarana dan prasarana air bersih dan distribusi pemanfaatan sumber air di Indonesia. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi ilmiah terhadap pengambil kebijakan tekait akses air bersih dan kemiskinan. Di bagian pembahasan, peneliti juga menggambarkan kondisi terkini tingkat pemanfaatan air oleh RT di Indonesia. Penelitian ini akan memanfaatkan hasil Indonesia Family Life Survei (IFLS5) yang dilakukan pada tahun 2014 dan 2015. Pada Bab pembahasan juga diperkaya dengan perhitungan distribusi akses air bersih RT di Indonesia. Hasil estimasi dan pembahasan temuan penelitian akan menjadi bagian utama dalam penelitian ini. Studi Literatur 1. Hubungan Kemiskinan dan Ketersedian Air Bersih Kemiskinan memiliki arti dan dimensi yang luas, tidak hanya terkait dengan pendapatan atau konsumsi rendah. Kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis; kemiskinan absolut (pendapatan dan konsumsi), kemiskinan relatif (fasilitas publik), dan kemiskinan sosial (Khan, 2016). Kemiskinan absolut, atau lebih dikenal dengan kemiskinan dengan pendekatan pendapatan/penghasilan, kemiskinan yang disebabkan seseorang tidak mampu memenuhi standar minimum pendapatan yang telah ditetapkan. Worl Bank telah menetapkan garis kemiskinan (poverty line) sebesar besar US $ 1 per hari. Setelah itu, World Bank telah mengubah garis kemiskinan dua kali pada tahun 2005 dan 2011 menjadi US $ 1,25 dan
US $ 1,9. Akan tetapi, banyak negara yang menggunakan pendekatan yang berbeda dalam menentukan garis kemiskinan seperti Indonesia yang menggunakan standar konsumsi kalori perhari. Kemiskinan relatif dapat diartikan sebagai kegagalan dalam mempertahankan standar hidup yang layak di dalam sebuah komunitas tertentu. Pendekatan penentuan kemiskinan relatif mempertimbangkan dua hal yaitu pendapatan/income dan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan (USAID, 2005). Kemiskinan relatif juga dapat diartikan ketidakmampuan seseorang untuk menikmati fasilitas barang dan jasa publik yang telah disediakan oleh pemerintah baik yang bersifat gratis maupun yang telah disubsidi. Sedangkan kemiskinan kemampuan (capabilities deprivation) lebih mengarah ketidakmampuan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Definisi ini diperkenalkan oleh Sen (World Bank Institute 2005) yang menyimpulkan bahwa kemampuan diartikan sebagai kemampuan untuk mencapai sesuatu. Terdapat dua kekampuan yang termasuk dalam kemiskinan kemampuan yaitu kemampuan secara politik (political capabilities) dan kemampuan sosial kultural (sociocultural capabilities) (Khan, 2016). Kemiskinan dari sisi political capabilities sangat erat hubungannya dengan hak asasi manusia, hak-hak politik, dan hak-hak dalam pengambilan keputusan di masyarakat. Sedangkan kemiskinan dari sisi sociocultural capabilities berkaitan dengan peran yang dapat dijalankan oleh individu di dalam komunitas baik kegiatan sosial dan budaya. Hubungan ketersedian air terhadap kemiskinan masih terus dikaji. Walaupun masih dalam perdebatan, ketersedian air bersih dapat dikaitkan dengan pengurangan penduduk miskin di suatu daerah atau negara. Larson, et al (2007) melakukan sebuah kajian yang mencari hubungan antara kemiskinan, pendidikan, dan jumlah konsumsi air bersih pada rumah tangga di Madagaskar. Hasil penelitinnya menunjukkan bahwa pendidikan yang tinggi atau rumah tangga yang memiliki rata-rata pendidikan yang tinggi akan cenderung memanfaatkan perusahaan swasta sebagai penyuplai air bersih dibandingkan rumah tangga dengan pendidikan yang lebih rendah. Kajian yang lebih spesifik menghitung hubungan ketersedian air dengan kemiskinan dapat. Selanjutnya, ukuran RT dan waktu yang dibutuhkan ke sumber air juga memiliki pengrauh yang signifikan terhadap jumlah konsumsi air bersih. Keraguan terhadap kemampuan penyedian air bersih dalam mengurangi penduduk miskin masih tetap mengalami banyak tantangan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersedian air bersih tidak mampu secara signifikan mengurangi penduduk miskin. Kemiskinan adalah permasalahan yang sangat kompleks dan tidak bisa dikurangi hanya dengan meningkatkan air bersih tetapi juga harus dilanjutkan dengan peningkatan kesehatan, akses terhadap kredit, dan pendidikan (Kirpich, 2004). Infrastuktur air bersih memang merupakan kebutuhan utama masyarakat akan tetapi tidak akan mampu berdampak signifikan terhadap kemiskinan jika tidak diikuti atau diiringi dengan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan pelindungan lingkungan (Tortajada, 2014; Tortajada & K. Biswas, 2014). 2. Pendekatan Pengelolaan Air dan Tantangannya Pengelolaan air di suatu negara masih dilakukan dengan pendekatan sentralisasi, di mana pemerintah pusat masih menjadi penentu utama terhadap jumlah dan harga air yang akan dikonsumsi masyarakat. Air dianggap menjadi sumber daya publik yang harus dikelola oleh negara demi tercapainya kesejahteraan pada level tertentu di masyarakat. Akan tetapi, sistem pengelolaan air yang sentralistik sangat sering menghadapi kendala yang disebabkan oleh jauhnya mata rantai komunikasi anatar si pengambil kebijakan dengan masyarakat selaku penerima manfaat (Gupta & Mitra, 2004). Pengelolaan sumber daya air sendiri Kegagalan pendekatan sentralistik dalam pengelolaan air di suatu negara mendorong munculnya paradigma baru tentang pentingnya pengelolaan air secara desentralistik (Bjornlund, 2016). Undang Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang digugat oleh banyak pihak ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai cenderung memihak ke swasta dalam pengelolaan sumber daya air telah dibatalkan pada 2015 lalu. Pasca pembatalan tersebut, pengelolaan sumber daya air kembali merujuk pada UU No. 11tahun 1974 tentang Pengairan. Produk UU No. 7 Tahun 1974 seolah menarik mundur paradigma pengelolaan air kembali menjadi sentralistik. Paradigma yang sudah berubah di UU No. 7 Tahun 2004 yang menurut para ahli dianggap lebih partisipatif. Program peningkatan akses air bersih belakangan menjadi fokus para pengambil kebijakan. Salah satunya dengan peluncuran program universal access 100-0-100 yakni 100% akses air bersih, 0% permukiman kumuh dan 100% akses sanitasi layak pada 2019. Sebuah program yang sangat baik dan terkesan ambisius. Capaian akses air bersih saat ini mencapai 67% atau masih ada sekitar 33% masyarakat yang belum memiliki akses (Cipta Karya, 2015). Dengan proporsi sebanyak itu, ada sekitar 95,6 juta orang yang harus diberi akses air minum (Bappenas, 2015). Menilik perjalanan pembangunan di bidang air
minum, dalam rentang 2010 hingga 2014 telah berhasil meningkatkan akses sebesar 19% atau sekitar 4,8% per tahun. Dengan kata lain, jika ingin meningkatkan akses air bersih hingga 100% dibutuhkan peningkatan sekitar 5,34% per tahun. Dana yang dibutuhkan untuk pengentasan akses air bersih pun sangatlah besar. Rencana strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya (2015) menyebut angka pada kisaran 274,8 triliun selama kurun 2015 hingga 2019. Dari jumlah sebanyak itu, Pemerintah Pusat hanya bisa menanggung 33% atau sekitar 90 Triliun. Sisa kekurangan pendanaan diserahkan pada Pemerintah Daerah (Pemda) dan pihak swasta. Sesuatu yang masih perlu ditelisik lebih jauh kemungkinan keberhasilannya mengingat Pemda seperti banyak diketahui memiliki anggaran pendanaan yang terbatas. Pihak lain seperti swasta pun masih dalam posisi yang belum menggembirakan. Tercatat dari 359 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Indonesia, hanya ada 50% yang tercatat memiliki keadaan keuangan yang sehat (Cipta Karya, 2015). Di Indonesia,pemerintah daerah memiliki tugas utama terhadap penyedian air bersih bagi warga di kabupaten/kota. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak tanpa permasalahan. Rendahnya investasi terhadap penyedian dan pemeliharaan air bersih dan sanitasi menyebabkan belum terpenuhinya permintaan air di Indonesia (Chong et al., 2016). Mereke juga menyimpulkan terdapat tiga kelemahan desentralisasi pengelolaan air berish dan sanitasi di Indonesia yaitu penganggaran yang sulit, rendahnya kepemilikan aset, dan kebijakan yang belum mendukung ke kebutuhan rakyat miskin. Metode Penelitian 1. Model Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuatitatif dengan memanfaatkan regresi linier berganda untuk menguji pengaruh akses air bersih terhadap tingkat pendapatan rumah tangga dan kemiskinan di Indonesia. Pemanfaatan model regresi linear telah luas digunakan untuk menguji pengaruh ketersediaan infrastruktur terhadap kemiskinan atau kondisi sosial (Dreibelbis et al., 2013; Lenz et al., 2015). Dengan mengasumsikan bahwa pendapatan dan kemiskinan adalah fungsi dari karakteristik rumah tangga maka model penelitian dapat disusun sebagai berikut: πΌπππ = π½0 + π½1 πΆβπππ + ππ (1) πππ = π½0 + π½1 πΆβπππ + ππ
(2)
πΌπππ adalah variabel pendapatan rumah tangga i. Variabel pendapatan dihitung dengan pendekatan pengeluaran perkapita RT selama satu bulan. Pemanfaatan pendekatan pengeluaran adalah cara terbaik untuk menggambarkan pendapatan RT mengingat pendekatan ini memiliki keunggulan dibandingkan pendekatan penghasilan yang sangat mungkin mengalami bias dalam pengumpulan data. πππ adalah variabel kemiskinan yang dihitung dengan menggunakan standar garis kemiskinan World Bank yaitu US$ 1,25. Rumah tangga yang memiliki pendapatan perkapita harian lebih kecil dari US$ 1,25 maka digolongkan ke dalam RT miskin dan diberi nilai 1, sedangkan yang lain bernilai 0. Penggunakan data biner pada variabel ini mengharuskan pemanfaatan Linear Probability Model (LPM). LPM digunakan secara luas untuk menghitung kemungkinan terjadinya sesuatu akibat adanya perubahan variabel kontrol. Sedangkan variabel πΆβπππ adalah beberapa variabel karakter RT i yang berfungsi sebagai variabel independen, seperti pendidikan dan kepemilikan aset. Adapun karakteristik yang dikontrol dalam penelitian ini dapat diperhatikan pada Tabel 2. 2. Data Penelitian Penelitian ini menggunakan data Indonesia Family Life Survei (IFLS) ke 5 yang dikumpulkan oleh tim RAND. IFLS merupkan survei kondisi ekonomi masyarakat di Indonesia. Hingga tahun 2014/2015, yaitu gelombang ke-5, IFLS telah melakukan penambahan jumlah respoden yaitu sampel rumah tangga sebanyak 16.204 dan sampel individu sebanyak 50.148. Akan tetapi, penelitian ini hanya menggunakan sampel rumah tangga sebanyak 13.469 sampel dengan alasan kelengkapan data. Adapun deskripsi statistik variabel-variabel independen penelitian ini dapat diperhatikan pada Tabel 1.
Variabel unpipewater
Tabel 1. Deskripsi Statistik Variabel Independen Definisi Sampel Rata-rata Std. Dev. Tidak tersedia akses air bersih 13.469 0,103 .3046181
Min 0
Maks 1
rural loweduc per_female per_job per_kids per_old disaster ownhouse ownland ownlivestock ownvehicle
Berlokasi di desa Pendidikan yang rendah Persentase wanita Persentase yang bekerja Persentase anak-anak Persentase lansia Pernah mengalami bencana Memiliki rumah pribadi Memiliki lahan Memiliki ternak Memiliki kendaraan
13.469 13.469 13.469 13.469 13.469 13.469 13.469 13.469 13.469 13.469 13.469
0,416 0,546 51.217 50.853 25.308 7.432 .116 .698 .101 .049 .697
.492961 .4978779 24.63219 29.10287 21.76294 20.37893 .3197551 .4592499 .3015002 .2283651 .4596325
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 100 100 100 100 1 1 1 9 1
Sumber: Hasil pengelolahan penulis dari survei IFLS5, 2016
Variabel unpipewater (ketidaktersedian akses air bersih) adalah variabel yang menjadi perhatian utama dalam penelitian ini mengingat tujuan penelitian ini adalah menghitung pengaruh ketersedian air bersih terhadap pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Di dalam survei IFLS5, terdapat dua informasi terkait akses air bersih yaitu akses air bersih untuk dikonsumsi dan akses air bersih untuk kebutuhan selain konsumsi seperti mandi dan mencuci. Penelitian ini menggunakan data akses air bersih untuk pemanfaatan konsumsi. Deskripsi terkait kondisi infrastruktur air bersih, sanitasi, dan drainase di 311 desa yang menjadi sampel penelitian ini menggunakan pendekatan self-assessment (penilain mandiri). Survei IFLS5 meminta 2 individu disetiap desa yang merupakan perangkat desa atau penduduk desa untuk menilai kondisi terkini sarana dan prasarana air bersih, sanitasi dan drainase. Adapun sebaran desa penelitian dapat diperhatikan pada Tabel 2.
Provinsi
Tabel 2. Sebaran Sampel Desa Jumlah Persentase
Sumatera Utara
26
8,12
Sumatera Barat
14
4,37
Sumatera Selatan
15
4,69
Lampung
11
3,44
Jakarta
40
12,50
Jawa Barat
47
14,69
Jawa Tengah
37
11,56
Yogyakarta
22
6,87
Jawa Timur
40
12,50
Bali
14
4,37
Nusa Tenggara Barat
16
5,00
Kalimantan Selatan
13
4,06
Sulawesi Selatan
16
5,00
311
100,00
Total Sumber : Hasil analisis, 2016
Hasil dan Pembahasan 1. Hasil Penilaian Mandiri terhadap Fasilitas Air Bersih dan Drainase Pembangunan infrastrukttur desa terus dilakukan baik yang bersifat mandiri maupun yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan kementerian pusat/lembaga. Sebelum adanya UU Desa, pembangunan mandiri desa dilakukan dengan skala kecil mengingat sangat terbatasnya anggaran yang tersedia. Selain dana desa, pembangunan infrastruktur saat itu dilakukan dengan pemanfaatan dana PNPM.
Sedangkan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dapat berasal dari APBD, serta pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat bersumber dari APBN. Pembangunan infrastruktur yang terus dilakukan masih dirasakan belum sepenuhnya mampu mensejahterakan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari penilaian mandiri aparatur desa terhadap kualitas sarana dan prasarana di desa masing-masing. Survei IFLS memetakan penilaian mandiri aparatur desa di 311 desa dengan jumlah respoden 2 orang setiap desa. Hasil penilaian mandiri dapat diperhatikan pada Tabel 3.
Kualitas Layak Kurang layak Tidak layak Sangat tidak layak Tidak menjawab Tidak mengetahui Total
Tabel 3. Kondisi Infrastruktur Air Bersih, Drainase, dan Sanitasi Air Bersih Drainase Jumlah 403 109 76 16 17 1 622
Frek. 64,79 17,52 12,22 2,57 2,73 0,16 100,00
Jumlah 312 211 78 20 242 6 622
Frek. 50,16 33,92 12,54 3,22 25,40 0,64 100,00
Sanitasi
Jumlah 184 190 156 36 55 1 622
Frek. 29,58 30,55 25,08 5,79 8,84 0,16 100,00
Sumber: Hasil pengolahan penulis dari survei IFLS5
Secara umum, kondisi ketiga jenis infrastruktur tersebut masih relatif rendah karena masih banyaknya penilaian kurang layak dan tidak layak. Kondisi sanitasi mendapat penilai terburuk karena lebih dari 60 respoden menilai kurang layak bahkan sangat tidak layak(lihat Tabel 3). Peningkatan kualitas sarana dan prasarana air dan sanitasi dari tahun 2007 hingga tahun 2014 relatif tidak seimbangan. Tabel 4 menunjukkan penilaian mandiri terhadap perbandingan kualitas sarana air berish, drainase, dan sanitasi di 311 desa di Indonesia. Pada tahun 2014/2015, masih terdapat penurunan fasilitas air bersih di sekitar 16 desa. Hal ini terbukti dengan terdapat 30 respoden yang menilai kondisi fasilitas air bersih lebih buruk dan 3 respoden menilai sangat buruk.
Kualitas Sangat lebih buruk Lebih buruk sama Lebih baik Sangat lebih baik Tidak menjawab Tidak mengetahui Total
Tabel 4. Perbandingan Kondisi Air Bersih, Drainase, dan Sanitasi Air Bersih Drainase Jumlah 3 30 197 332 43 14 3 622
Frek. 0,48 4,82 31,67 53,38 6,91 2,25 0,48 100,00
Jumlah 5 31 150 241 25 165 5 622
Frek. 0,80 4,98 24,12 38,75 4,02 26,53 0,80 100,00
Sanitasi
Jumlah 9 42 145 319 58 48 1 622
Frek. 1,45 6,75 23,31 51,29 9,32 7,72 0,16 100,00
Sumber: Hasil pengolahan penulis dari survei IFLS5
2. Distribusi Pemanfatan Sumber Air oleh Rumah Tangga di Indonesia Jenis sumber air bersih untuk konsumsi pada rumah tangga di Indonesia masih sangat variatif. Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara maju yang mayoritas sumber air minum adalah piped water atau air mineral seperti Jepang dan Korea Selatan. Di Indonesia, paling sedikit terdapat empat sumber air minum pada level rumah tangga yaitu piped water (PDAM), sumur, air tanah, dan air mineral. Distribusi
pemanfaatan sumber air tersebut juga sangat berbeda-beda pada setiap kepulauan dikarenakan adanya perbedaan kualitas sarana dan prasarana air bersih. Tabel 5. Perbandingan Sumber Air untuk Konsumsi di Indonesia Kepulauan Sumber Nusa Sumatera Jawa Kalimantan Tenggara PDAM 395 1.092 317 291 Sumur dengan mesin 750 2.368 324 147 Sumur tanpa mesin 429 618 174 20 Air tanah 212 491 279 7 Air hujan 19 8 2 0 Air sungai 69 23 27 27 Air minum keliling 24 12 5 11 Air mineral 1.122 2.736 495 175 Lain-lain 32 86 31 3 Total 3.052 7.435 1.654 681 Sumber: Hasil pengolahan penulis dari survei IFLS5
Sulawesi
Total
128 181 55 22 0 1 0 258 2 647
2.223 3.770 1.296 1.011 29 147 52 4.786 154 13.469
Temuan yang cukup menarik pada IFLS5 adalah masih terdapatnya rumah tangga yang masih memanfaatkan air hujan sebagai sumber air minum dengan kasus di pulau Sumatera yang paling tinggi. Pemanfaatan air hujan untuk konsumsi sangat tidak disarankan oleh World Health Organitation (WHO) mengingat proses panampungan air hujan sering meningkatkan resiko pencemaran bakteri seperti bakteri E-Coli (UNICEF & WHO, 2012). Selain itu, pemanfaatan air hujan menunjukan kerentanan RT terhadap ketersedian air. Sirkulasi hujan yang tidak dapat diprediksi dengan tepat akan menimbulkan ketidakpastian akan ketersedian air untuk minum pada rumah tangga. Temuan survei IFLS5 juga menunjukkan bahwa pemanfaatan air pipa yaitu air yang bersumber dari PDAM masih relatif rendah (lihat Tabel 5). Di Sumatera, pemanfaatan air PDAM masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan pemanfaatan air sumur. Hal ini membuktikan adanya resiko kesehatan yang mengancam masyarakat di Sumatera terkait air bersih. Permasalahan yang sama juga ditemukan di pulau Jawa dimana tingkat konsumsi air sumur relatif masih sangat tinggi dibandingkan air PDAM. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa pemanfaatan air mineral telah menunjukkan angka yang menggemberikan walaupun hanya berkisar di bawah 40 persen untuk semua pulau di Indonesia.
3. Hasil Estimasi Pengaruh Akses Air Bersih terhadap Pendapatan dan Kemiskinan Pengujian pengaruh akses air bersih terhadap pendapatan merupakan tujuan pertama penelitian ini. Seperti telah dijelaskan pada bagian metodologi, pengujian dilakukan dengan menggunakan model regresi linear. Untuk memperoleh hasil yang lebih tepat, penulis juga melakukan uji dengan kecamatan fixed effect. Tujuannya adalah untuk memasukan perbedaan karakteristik antar kecamatan dalam penelitian ini. Jumlah kecamatan yang menjadi sumber sampel penelitian adalah 99 kecamatan. Adapun hasil estimasi model I dapat diperhatikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Estimasi Akses Air Bersih terhadap Pendapatan RT di Indonesia Estimasi 2 Estimasi 4 Variabel Estimasi 1 Estimasi 3 FE FE unpipewater -0,177*** -0,164*** -0,130*** -0,119*** rural -0,172*** -0,176*** -0,147*** -0,150*** loweduc -0,575*** -0,569*** -0,517*** -0,511*** per_female 0,000326 0,000359 0,000846*** 0,000858*** per_job 0,00327*** 0,00328*** 0,00308*** 0,00308*** per_kids -0,00697*** -0,00689*** -0,00731*** -0,00725*** per_old -0,00420*** -0,00410*** -0,00310*** -0,00303*** disaster -0,438*** -0,437*** ownhouse -0,0340* -0,0263
ownland ownlivestock ownvehicle Constant
14,95***
Observations 13.469 R-squared 0,159 Kecamatan FE *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
14,97*** 13.469 0,171 Ya
0,232*** 0,0820** 0,255*** 14,75***
0,235*** 0,0925*** 0,251*** 14,78***
13.469 0,199 -
13.469 0,210 Ya
Sumber: Hasil estimasi penulis, 2016
Hasil estimasi menunjukkan bahwa RT yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas air bersih seperti air bersih yang dialirkan melalui pipa yang dikelola pemerintah menunjukkan tingkat pendapatan yang lebih rendah yaitu 17,17 persen dibandingkan RT yang menggunakan fasilitas air bersih (lihat Tabel 6). Besaran koefisien variabel RT yang tidak memiliki akses air bersih berubah setelah dilakukannya pertimbangan fixed effect. Hasil akhir pengujian pengaruh ketidaktersedian fasilitas air bersih terhadap pendapatan RT di Indonesia menunjukkan bahwa RT yang memiliki akses terhadap air bersih mamiliki jumlah penghasilan perkapita yang lebih besar dibandingkan RT yang tidak memiliki akses sebesar 11,9 persen. Hasil estimasi model I juga memberikan gambaran lanjutan tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat pendapatan rumah tangga di Indonesia. Pendidikan masih menjadi faktor yang penting dalam meningkatkan pendapatan RT karena RT yang memiliki kepala RT dengan pendidikan yang rendah memiliki tingkat penghasilan yang lebih rendah sebesar 51,10 persen dibandingkan dengan RT yang memiliki pendidikan yang tinggi. Selain itu, tingkat pendapatan RT di desa juga masih lebih rendah dibandingkan di kota. Rumah tangga yang berlokasi di desa memiliki tingkat pendapatan lebih rendah sebesar 15,0 persen dibandingkan RT yang berdomisili di kota (lihat Tabel 6). Pada pengujian model II, penelitian ini memanfaatkan pendekatan linear probability model (LPM) karena jenis dependen variabel yang biner (1 dan 0). Penduduk dengan penghasilan harian lebih rendah US$1,25 dikategorikan RT miskin. Hasil estimasi menunjukkan bahwa ketidaktersedian air bersih akan meningkatkan kemungkinan sebuah RT menjadi miskin sebesar 1,78 persen dibandingkan jika memiliki akses air bersih (lihat Tabel 7). Pertimbangan fixed effect mengkoreksi besaran pengaruh menjadi 1,29 persen. Tabel 7. Hasil Estimasi Akses Air Bersih terhadap Kemiskinan di Indonesia
unpipewater rural loweduc per_female per_job per_kids per_old disaster ownhouse ownland ownlivestock ownvehicle Constant
0,0178*** 0,0139*** 0,0340*** -8,21e-05 -0,000256*** 0,000300*** 0,000756***
Estimasi 2 FE 0,0167*** 0,0130*** 0,0338*** -8,29e-05 -0,000260*** 0,000282*** 0,000750***
0,0150**
0,00981
Observations R-squared
13.469 0,024
Variabel
Estimasi 1
13.469 0,034
Estimasi 3 0,0137** 0,0132*** 0,0308*** -0,000124* -0,000238*** 0,000362*** 0,000663*** 0,00614 -0,00278 -0,0109** 0,00298 -0,0286*** 0,0399*** 13.469 0,029
Estimasi 4 FE 0,0129** 0,0123*** 0,0304*** -0,000126* -0,000243*** 0,000348*** 0,000653*** 0,00698 -0,00257 -0,0116** 0,00195 -0,0292*** 0,0354*** 13.469 0,039
Kecamatan FE
-
Ya
-
Ya
*** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1 Sumber: Hasil estimasi penulis, 2016
Selain akses air bersih, pada pengujian Tabel 7 juga dilibatkan variabel-variabel karakteristik RT yang dapat memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi status kemiskinan RT di Indonesia. RT yang tinggal di desa akan cenderung miskin sebesar 1,23 persen dibandingkan dengan RT yang tinggal di kota. Sama seperti pada uji sebelumnya, pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemiskian di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga membuktikan bahwa bencana alam mampu menyebabkan RT menjadi miskin. Hasil estimasi menunjukkan bahwa RT yang terdampak bencana alam dalam 5 tahun terakhir memiliki peluang yang lebih besar menjadi miskin sebesar 0.69 persen. 4. Pembahasan Temuan Penelitian Rendahnya akses air bersih di Indonesia disebabkan masih kurangnya upaya pembangunan sarana dan prasarana air bersih khususnya di daerah pedesaaan. Hal ini terlihat dari hasil survei IFLS5 terhadap 13.469 sampel RT di 311 desa yang menunjukkan rendahnya kualitas sarana dan prasarana air bersih di setiap desa. Selain itu, kondisi sanitasi dan drainase juga masih memprihatinkan. Lebih dari 40 persen respoden menilai kualitas air dan sanitasi di desa mereka masih kurang layak, bahkan terdapat jawaban kategori tidak layak. Selain itu, pembangunan dalam lima tahun terakhir juga tidak terlalu signifikan karena 30 persen respoden menilai kondisi air bersih, sanitasi dan drainase masih sama pada tahun 2014 dibandingkan tahun 2008/2009. Kondisi ini sangat terkait dengan penelitian Chong et al (2016) yang mengamati proses perencanaan pembangunan sarana air bersih dan sanitasi di beberapa kota kecil di Indonesia. Mereka menyimpulkan bawa permasalahan pengadaan sanitasi yang layak terhambat oleh tiga permasalahan utama yaitu penentuan dan penetapan anggaran dan jenis kegiatan, rendahnya kepemilikan aset pemerintah daerah, dan adanya ketidaksesuaian antara kebutuhan barang publik dengan yang pembangunan barang publik. Hasil temuan tersebut menunjukkan masalah umum pada era desentralisasi dimana kemampuan pemerintah daerah dalam pengadaan barang dan jasa publik masih dibawah ekspektasi dari syarat efektifnya sistem desentralisasi seperti kemampuan pemerintah daerah dalam menjaring aspirasi rakyat. Rendahnya kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana air bersih akan mempengaruhi tingkat kemiskinan di suatu daerah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap air bersih akan memiliki kencenderungan yang lebih tinggi menjadi keluarga miskin sebesar 1,29 persen dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki akses air bersih. Penelitian yang dilakukan oleh Tortajada (2016) menyimpulkan bahwa pembangunan infrastruktur air akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sehingga mampu mengurangi penduduk miskin di suatu negara. Dia menyarankan pentingnya kolaborasi kebijakan yaitu kebijakan perbaikan institusi, hukum, tatakerja dan tata kelola pemerintah yang terkait dalam setiap pembangunan sarana dan prasarana, termasuk fasilitas air. Ketersedian akses air bersih juga dapat mengurangi penduduk miskin yang masuk dalam kategori kemiskinan relatif. Akses terhadap air bersih merupakan salah satu syarat terbebas dari kemiskinan relatif yaitu penetapan kemiskinan dengan pendekatan kemampuan akses barang dan jasa publik yang diperkenalkan oleh Sen (World Bank Institute, 2005). Akses air bersih juga sangat erat hubungannya dengan kesehatan. Rendahnya akses akan meningkatkan resiko penyebaran penyakit di masyarakat. Buruknya akses air bersih dan rendahnya kualitas sanitasi di Kamboja telah menunjukkan dampak negatif terhadap tumbuh kembang anak (Vyas et al., 2016). Pengaruh ketersedian air bersih terhadap kesehatan anak juga ditemukan di India (Hammer & Spears, 2016) yaitu rendahnya akses air bersih dan sanitasi yang memburuk telah mempengaruhi tumbuh kembang anak-anak. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di Tanzania (GarcΓa-ValiΓ±as & Miquel-Florensa, 2013). Mereka menyimpulkan bahwa akses air bersih sangat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Tanzania. Pemanfaatan air kran/pipa merupakan solusi terbaik dalam penyedian air bersih. Selain itu, mereka juga menemukan bahwa pengelolaa air bersih secara berkelompok merupakan solusi terbaik dalam manajemen air bersih di Tanzania. Penelitian di South Africa (Bookwalter & Dalenberg, 2004) juga menyimpulkan bahwa, rumah tangga sangat rentan menjadi keluarga miskin jika tidak memiliki akses air bersih dan pendidikan dibandingkan tidak memiliki kendaraan dan rumah.
Temuan penelitian ini dan penelitian-penelitian sebelumnya dapat mengarahkan kita kepada sebuah kesimpulan bahwa akses air bersih dapat memengaruhi kemiskinan di Indonesia. Rendahnya akses air bersih menyebabkan peningkatan kemiskinan absolut (pendekatan pendapatan/ pengeluaran) dan kemiskinan relatif (pendekatan akses pelayanan publik). Oleh sebab itu, penulis menekankan pentingnya perbaikan akses air bersih untuk rumah tangga. Pada tatanan kebijakan, perbaikan pada perencanaan dan pengganggaran harus dilakukan sesuai dengan temuan penelitian Chong et al. (2016). Selain itu, pemerataan pembangunan di desa juga harus dilakukan mengingat adanya ketimpangan kualitas sarana air bersih antar desa penelitian. Kesimpulan Akses air bersih masih relatif rendah pada level rumah tangga di Indonesia. Bahkan masih terdapat rumah tangga yang menggunakan air hujan sebagai sumber air minum. Penyebabnya adalah masih relatif rendahnya ketersedian sarana dan prasarana air bersih. Pembangunan dan perbaikan yang telah dilakukan juga belum menunjukkan hasil yang memuaskan berdasarkan penilai mandiri di 311 desa di Indonesia. Akses terhadap air bersih menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Hasil estimasi menunjukkan bahwa RT yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas air bersih memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah sebesar 17,17 persen dibandingkan RT yang memiliki akses air bersih. Selain itu, rumah tangga yang tidak memiliki akses air bersih memiliki kecenderung lebih besar menjadi rumah tangga miskin 1,29 persen. Ketersedian air bersih juga akan mempengaruhi tingkat kemiskinan relatif di Indonesia. Rumah tangga yang tidak mampu mengakses air bersih dapat digolongkan rumah tangga miskin karena air merupakan salah satu kebutuhan dasar yang menjadi standar pembangunan berkelanjutan. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan temuan penelitian di Tanzania dan Afrika Selatan yang menegaskan bahwa ketersedia air bersih sangat mempengaruhi status kemiskinan rumah tangga. Penulis menyarankan adanya upaya peningkatan pengadaaan sarana dan prasarana air bersih di Indonesia khususnya di pedesaan. Perbaikan harus dilakukan pada level perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan teknis. Khusus dalam hal penganggaran, mengingat sektor air bersih strategis dalam pengurangan kemiskinan, maka diperlukan terobosan-terobosan pendanaan dalam mendorong kecukupan anggaran untuk mengeksekusi program-program yang akan dilaksanakan. Pemanfaatan regresi linear dalam melihat pengaruh akses air bersih terhadap pendapatan dan kemiskinan tidak terlepas dari kendala umum regresi linear yaitu bias. Besaran koefisien dapat under estimated mengingat kemungkinan adanya variabel yang penting yang tidak dikontrol dalam model sehingga mengalami omitted variable bias. Oleh sebab itu penulis menyarankan adanya perbaikan model penelitian khususnya penambahan variabel karakteristik desa sehingga ketepatan penghitungan pengaruh dapat lebih tinggi. Ucapan Terima Kasih Penulis ingin mengucapakan terima kasih kepada RAND yang telah menyediakan akses seluasluasnya terhadap hasil survei IFLS5. Tanpa adanya akses tersebut maka penelitian ini tidak akan mungkin dapat diselesaikan. Sebagai penutup, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada RAND Institute yang menyediakan data IFLS secara bebas di situs www.rand.org. Selain itu juga kepada banyak pihak seperti editor dan mitra bestari yang memberi masukan kepada tulisan ini sehingga layak untuk masuk ke dalam jurnal ini.
Daftar Pustaka Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2015). Agenda Nasional Pembangunan Air Minum dan Sanitasi 2015-2019. Jakarta
Barrington, D. J., Sridharan, S., Saunders, S. G., Souter, R. T., Bartram, J., Shields, K. F., β¦ Hughes, R. K. (2016). Improving community health through marketing exchanges: A participatory action research study on water, sanitation, and hygiene in three Melanesian countries. Social Science and Medicine, 171, 84β 93. http://doi.org/10.1016/j.socscimed.2016.11.003 Bjornlund, H. (2016). Is water and land redistribution a driver of economic growth and poverty reduction? Lessons from Zimbabwe, Water International, 34:2, 217-229, DOI: 10.1080/02508060902855599 Bookwalter, J.T. & Dalenberg, D. Social Indicators Research (2004) 65: 333. doi:10.1023/B:SOCI.0000003546.96008.58 Direktorat Jenderal Cipta Karya. (2015). Rencana Strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya tahun 20142019. Jakarta Larson, B., Bart, M., & Ramy R,. (2007) Unravelling the linkages between the millennium development goals for poverty, education, access to water and household water use in developing countries: Evidence from Madagascar, The Journal of Development Studies, 42:1, 22-40, DOI: 10.1080/00220380500356258 Chong, J., Abeysuriya, K., Hidayat, L., Sulistio, H., & Willetts, J. (2016). Strengthening local governance arrangements for sanitationβ―: case studies of small cities in Indonesia. Aquatic Procedia, 6, 64β73. http://doi.org/10.1016/j.aqpro.2016.06.008 Dreibelbis, R., Greene, L. E., Freeman, M. C., Saboori, S., Chase, R. P., & Rheingans, R. (2013). Water, sanitation, and primary school attendance: A multi-level assessment of determinants of householdreported absence in Kenya. International Journal of Educational Development, 33(5), 457β465. http://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2012.07.002 GarcΓa-ValiΓ±as, M. Γ., & Miquel-Florensa, J. (2013). Water service quality in Tanzania: access and management. International Journal of Water Resources Development, 29(3), 451β471.
http://doi.org/10.1080/07900627.2012.721698 Gupta, I. and Mitra, A. 2004. Economic Growth, Health and Poverty: An Exploratory Study for India. Development Policy Review, 22 (2): 193β206. Hammer, J., & Spears, D. (2016). Village sanitation and child healthβ―: Effects and external validity in a randomized field experiment in rural India. Journal of Health Economics, 48, 135β148. http://doi.org/10.1016/j.jhealeco.2016.03.003 Harrington, L., Cook, S. E., Lemoalle, J., Kirby, M., Woolley, J., Harrington, L., β¦ Kirby, M. (2009). Cross-basin comparisons of water use, water scarcity and their impact on livelihoods: present and future, Water International, 34:1, 144-154, DOI: 10.1080/02508060802661584 Kaczan, D., & Ward, J. (2016). Water statistics and poverty statistics in Africa: do they correlate at national scales?, Water International, 36:3, 283-294, DOI: 10.1080/02508060.2011.583102 Khan, S. A. (2013) Decentralization and Poverty Reduction: A Theoretical Framework for Exploring the Linkages, International Review of Public Administration, 18:2, 145-172, DOI: 10.1080/12294659.2013.10805256 Kirpich, P., 2004. Water management: the key role of international agencies. Water International, 29 (2), 243β248. Lenz, L., Munyehirwe, A., Peters, J., & Sievert, M. (2015). Does Large Scale Infrastructure Investment Alleviate Poverty? Impacts of Rwandaβs Electricity Access Roll-Out Program, World Development Vol. 89, pp. 88β110, http://doi.org/10.1016/j.worlddev.2016.08.003
RAND.2015. RAND Indonesia Family Life Survey 5 (IFLS5), http://www.rand.org/labor/FLS/IFLS/ifls5.html Tortajada, C., & Biswas, A. K. (2016). Editorialβ―: Infrastructure and development. International Journal of Water Resources Development. Taylor & Francis. http://doi.org/10.1080/07900627.2014.891927 USAID. (2005). Fighting Poverty Through Fiscal Decentralization. United States Agency for International Development. Vyas, S., Kov, P., Smets, S., & Spears, D. (2016). Economics and Human Biology Disease externalities and net nutritionβ―: Evidence from changes in sanitation and child height in Cambodia , 2005 β 2010. Economics and Human Biology, 23, 235β245. http://doi.org/10.1016/j.ehb.2016.10.002 Winters, M. S., Karim, A. G., & Martawardaya, B. (2014). Public service provision under conditions of insufficient citizen demand: Insights from the urban sanitation sector in indonesia. World Development, 60, 31β42. http://doi.org/10.1016/j.worlddev.2014.03.017 Tortajada, C. (2016). Water infrastructure as an essential element for human development. International Journal of Water Resources Development. Taylor & Francis. http://doi.org/10.1080/07900627.2014.888636 UNICEF & WHO (2012). Progress on drinking water and sanitation: 2012 update. New York and Geneva: Author. United Nations 2001a. Health and Sustainable Development. Report of the Secretary General Prepared by the World Health Organization for the Commission on Sustainable Development. Economic and Social Council, United Nations. World Bank Institute. 2005. Introduction to Poverty Analysis. World Bank, Washington, D.C. http://siteresources.worldbank.org/PGLP/Resources/PovertyManual.pdf