PENGARUH AERASI DAN PENAMBAHAN BAKTERI Bacillus sp. DALAM MEREDUKSI BAHAN PENCEMAR ORGANIK AIR LIMBAH DOMESTIK
WAHYU AMY ISHARTANTO
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Aerasi dan Penambahan Bakteri Bacillus sp. dalam Mereduksi Bahan Pencemar Organik Air Limbah Domestik” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2009
Wahyu Amy Ishartanto C24104081
Wahyu Amy Ishartanto. C24104081. Pengaruh Aerasi dan Penambahan Bakteri Bacillus sp. dalam Mereduksi Bahan Pencemar Organik Air Limbah Domestik (Dibimbing oleh I Nyoman Ngurah Suryadiputra dan Hefni Effendi)
RINGKASAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, pada bulan Juli sampai September 2008. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat reduksi (removal) bahan pencemar organik air limbah domestik dengan adanya perlakuan penambahan bakteri Bacillus sp. dan lama waktu aerasi yang berbeda-beda. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kemampuan bakteri Bacillus sp. sebagai bioremediator dalam menurunkan kandungan bahan pencemar organik (diukur dari nilai BOD dan COD) dalam air limbah ditinjau dari lamanya waktu kontak (retensi) bahan pencemar dengan bakteri. Penelitian ini menggunakan sistem Sequential Bacth Reactor (SBR) dimana dalam wadah pengolahan limbah akan diberikan perlakuan aerasi (dengan lama waktu aerasi 12, 24, 48, dan 72 jam) dan penambahan bakteri Bacillus sp. (1ml/l air limbah) serta perlakuan yang lain dimana air limbah diolah tanpa pemberian aerasi (dengan waktu yang sama) dan tanpa penambahan bakteri Bacillus sp.. Kandungan bahan organik yang terkandung dalam air limbah domestik (pada penelitian ini digunakan sampel air limbah domestik yang diambil dari outlet Perumnas Bantar Kemang, Bogor) tergolong tinggi dilihat dari nilai TSS, BOD, dan COD. Tingginya kandungan bahan organik menggambarkan tingginya tingkat pencemaran air limbah domestik yang akan memberikan dampak peningkatan pencemaran di badan air penerimanya. Kisaran nilai TSS, BOD, dan COD air limbah domestik sebelum pengolahan masing-masing adalah 598 – 816 mg/l, 286 – 323 mg/l, dan 431 – 602 mg/l. Setelah pengolahan didapatkan hasil air limbah olahan dengan kualitas yang lebih baik. Nilai TSS, BOD, dan COD masingmasing tereduksi sekitar 60 %, 96 %, dan 82 % serta telah memenuhi baku mutu yang ditetapkan pemerintah hanya dalam waktu aerasi 12 jam. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian aerasi dan penambahan bakteri Bacillus sp. sangat efektif dan optimal dalam mengolah air limbah domestik. Pengolahan air limbah dengan metode biologi sistem SBR lebih menguntungkan dari segi penyediaan lahan dan biaya. Selain itu, hasil air olahannya tidak menimbulkan peningkatan pencemaran badan air penerima dan dapat menjadi sumber air baku untuk berbagai kegiatan rumah tangga. Kata kunci: aerasi, Bacillus sp., bahan organik, air limbah domestik, SBR
PENGARUH AERASI DAN PENAMBAHAN BAKTERI Bacillus sp. DALAM MEREDUKSI BAHAN PENCEMAR ORGANIK AIR LIMBAH DOMESTIK
WAHYU AMY ISHARTANTO C24104081
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
:
Nama Mahasiswa NIM Program Studi
: : :
Pengaruh Aerasi dan Penambahan Bakteri Bacillus sp. dalam Mereduksi Bahan Pencemar Organik Air Limbah Domestik Wahyu Amy Ishartanto C24104081 Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui, I. Komisi Pembimbing
Ir. I Nyoman Ngurah Suryadiputra NIP. 131 096 974
Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil NIP. 131 841 731
Mengetahui, II. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal Lulus: 22 Desember 2008
KATA PENGANTAR
Kegiatan domestik seperti rumah tangga (pemukiman) menghasilkan buangan berupa air limbah. Air limbah domestik merupakan salah satu sumber pencemar terbesar bagi perairan. Tingginya kandungan bahan organik dalam air limbah domestik meningkatkan pencemaran pada badan air penerima. Peningkatan pencemaran berdampak pada kehidupan organisme perairan dan penurunan kualitas perairan sehingga tidak sesuai dengan peruntukkannya. Pengolahan air limbah domestik dengan metode biologi merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan kualitas air limbah menjadi lebih baik dan sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Penggunaan bakteri sebagai bioremediator merupakan salah satu alternatif pengolahan air limbah dengan metode biologi. Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efektivitas penggunaan aerasi dan bakteri
Bacillus sp. dalam mengolah air
limbah organik. Semoga hasil penelitian ini dapat diterapkan sebagai salah satu cara untuk mengolah air limbah domestik. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, besar harapan penulis terharap karya sederhana ini agar dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.
Bogor, Januari 2009
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengarahkan, membantu serta mendukung kegiatan penelitian yang telah berlangsung di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Ir. I Nyoman Ngurah Suryadiputra dan Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil selaku dosen pembimbing yang telah bersedia memberikan arahan, masukan, bimbingan, dan semangat selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi. 2. Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc. sebagai penguji tamu dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS sebagai wakil dari Departemen MSP yang telah memberikan saran dan masukan bagi penulis. 3. Para dosen FPIK yang telah memberikan pengetahuannya kepada penulis. 4. Staf dan pegawai Tata Usaha MSP atas perhatian dan bantuan kepada penulis selama menempuh pendidikan di MSP serta Staf Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan atas bantuan dan kerja sama kepada penulis. 5. Keluarga terkasih (Ayah, Mama, Mbak Ati, Mbak Ani, Adji, Ardi, Andri, Aisah, serta Ibu) yang telah memberi doa, dukungan, dan semangat pada penulis. 6. Sahabat-sahabat DR (PaCool, Rifi, Spy, Irwan, dan Aris) dan Ar-Rozzaq (Ipin, Habib serta Shelly) atas pelajaran, bantuan, dan kebersamaannya kepada penulis. 7. Saudara-saudara TBF (Dhany, Anggun, Ari, Angga, Wino, Adni, Icdham, Prima, dan Renna) serta Ria dan Oki atas dukungan dan kebersamaanya selama ini dan untuk selanjutnya. 8. Sahabat-sahabat di MSP 41 (Widia, Aay, Mira, Faiz, Aloy, Dewul, Ahmad, Reza, Aryo, Feri dan Bach), teman-teman MSP angkatan yang lain serta semua pihak yang telah membantu.
DAFTAR ISTILAH Absorbsi
Proses penyerapan bahan organik terlarut ke dalam sel bakteri melalui dinding sel atau membran bakteri.
Adsorbsi
Proses penempelan bahan organik partikulat di permukaan dinding sel bakteri.
Aerasi
Proses pemberian udara (oksigen) ke dalam kolom air.
Aerator
Alat pemasok udara (oksigen).
Aerob
Kondisi dimana terdapat oksigen terlarut.
Anabolisme
Proses pembentukan sel-sel baru.
Anaerob/Anoksik Kondisi dimana tidak terdapat oksigen terlarut. Anion
Ion bermuatan negatif, yang menangkap satu atau lebih elektron.
Anorganik
Senyawa kimia yang molekulnya tidak memiliki ikatan karbon-hidrogen.
Autoclave
Alat untuk mensterilkan media dan peralatan analisis mikrobiologi dengan suhu dan tekanan tertentu.
Badan Air
Daerah yang tergenang air, meliputi permukaan, kolom, dan dasar perairan.
Bakteri
Kelompok organisme hidup berukuran mikroskopis dan sebagian besar uniseluler (bersel tunggal) dengan struktur sel yang relatif sederhana.
Baku Mutu
Batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang dapat ditenggang dalam lingkungan tertentu, sesuai untuk peruntukkannya.
Bioaugmentasi
Penambahan satu atau beberapa jenis mikroorganisme baik alami maupun yang non alami dalam proses degradasi pencemar lingkungan.
Biodegradable
Limbah yang dapat/mudah terurai secara biologi.
Bioreaktor
Sistem pengolahan limbah secara biologi.
i
Bioremediasi
Proses degradasi bahan organik menjadi senyawa lain misalnya CO2, CH4, H2O, garam anorganik, biomassa, dan hasil samping yang sedikit lebih sederhana dari senyawa semula secara biologis.
Bioremediator
Makhluk hidup yang digunakan sebagai agen biologi dalam proses reduksi bahan organik.
Blooming
Peningkatan jumlah/kelimpahan individu organisme dengan jumlah yang besar dalam waktu yang singkat.
BOD
Biochemical Oxygen Demand Jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik yang biodegradable.
Bulb
Alat bantu (biasanya berbahan karet) dalam penggunaan pipet untuk menghisap cairan.
Bunsen
Alat berupa wadah minyak/spirtus dengan sumbu untuk nyala api yang digunakan dalam analisis mikrobiologi untuk meminimalisasi kontaminan.
Buret
Alat gelas yang digunakan dalam proses titrasi.
C
Karbon
Cawan Petri
Alat gelas yang biasa digunakan sebagai tempat media dalam pembiakan mikroorganisme.
CH4
Metana
CO2
Karbondioksida
COD
Chemical Oxygen Demand Jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik yang nonbiodegradable.
Debit
Volume air yang mengalir per satuan waktu.
Degradasi
Proses pengurangan/penghilangan jumlah/konsentrasi suatu zat.
Dekomposisi
Proses pengubahan bahan organik menjadi bahan anorganik.
DHL
Daya Hantar Listrik Gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik, dilihat dari banyaknya garam-garam terlarut yang dapat terionisasi.
ii
DO
Dissolved Oxygen Jumlah oksigen terlarut yang terkandung dalam perairan.
Domestik
Segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan manusia, rumah tangga, maupun pemukiman.
Dosis
Rasio volume inokulan dan volume media uji.
Ekologi
Ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya.
Ekualisasi
Proses pencampuran (pengadukan) air limbah dalam suatu wadah sebelum proses aerasi dengan tujuan menghomogenkan karakter air limbah.
Eutrofikasi
Problem lingkungan hidup (pencemaran air) yang disebabkan oleh munculnya nutrien yang berlebihan ke dalam ekosistem air.
Fakultatif
Sifat dari organisme, yaitu dapat hidup pada kondisi aerob dan anaerob.
Flokulasi
Proses perubahan partikel-partikel warna, kekeruhan, dan bakteri yang berukuran sangat kecil menjadi lebih besar (flok).
Fotosintesis
Suatu proses biokimia yang dilakukan tumbuhan, alga, dan beberapa jenis bakteri untuk memproduksi energi terpakai (nutrisi) dengan memanfaatkan energi cahaya. 6H2O + 6CO2 + cahaya → C6H12O6 (glukosa) + 6O2
H2 S
Asam Sulfida
Heterotropik
Organisme yang tidak mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri.
Inokulan
Zat atau organisme dengan konsentrasi atau jumlah tertentu yang menjadi bahan yang digunakan/dimasukkan paling awal ke media uji dalam suatu perlakuan.
IPAL
Instalasi Pengolahan Air Limbah
Isolat
Kultur murni dari suatu organisme.
Jarum Ose
Alat berupa tangkai yang melingkar di salah satu ujungnya dan memiliki pegangan tahan panas di ujung yang lain, digunakan dalam teknik penggoresan analisis mikrobiologi.
iii
Katabolisme
Proses pengurai/pemecahan senyawa kompleks menjadi lebih sederhana.
Kation
Ion bermuatan positif, yang kehilangan satu atau lebih elektron.
Koagulasi
Proses perubahan koloid-koloid bermuatan negatif sehingga bisa saling menempel (menggumpal).
Konsentrasi
Rasio antara massa dan volume.
Kontaminan
Bahan yang bersifat asing bagi lingkungan sehingga menggangu peruntukkan lingkungan tersebut.
Kultivasi
Pembiakkan mikroorganisme dalam media tertentu.
Kultur
Pembudidayaan suatu organisme.
Limbah
Buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis.
Lumpur Aktif
Teknik pengolahan air limbah secara biologi, dimana air limbah dan lumpur biologi (mikroorganisme) diaduk dan diaerasi.
Media Broth
Salah satu media yang digunakan dalam proses kultivasi bakteri.
Merkaptan
Jenis gas yang merupakan turunan dari H2S.
Metabolisme
Proses perubahan suatu bahan atau zat menjadi lebih sederhana atau lebih kompleks yang terjadi dalam tubuh organisme.
Mikroorganisme
Organisme yang berukuran sangat kecil (biasanya kurang dari 1 mm) sehingga untuk mengamatinya diperlukan alat bantuan.
N
Nitrogen
NH3
Amonia
Nonbiodegradable Limbah yang tidak dapat/sangat sulit terurai secara biologi.
iv
Organisme
Kumpulan molekul-molekul yang saling mempengaruhi sedemikian sehingga berfungsi secara stabil dan memiliki sifat hidup.
Organik
Golongan besar senyawa kimia yang molekulnya mengandung karbon, kecuali karbida, karbonat, dan oksida karbon.
Outlet
Salah satu sisi bagian yang merupakan tempat keluar air (hilir/muara) dari suatu badan perairan.
P
Phosphate/Fosfor
Partikulat
Padatan tersuspensi yang tidak larut dalam air.
Pencemaran
Masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan tidak lagi berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
pH
Derajat keasaman. Gambaran konsentrasi ion hidrogen suatu perairan.
Pipet
Alat bantu (biasanya berbahan kaca) dalam mengambil cairan dengan berbagai volume tertentu.
PLN
Perusahaan Listrik Negara BUMN yang mengurusi semua aspek kelistrikan yang ada di Indonesia.
Purifikasi
Kemampuan suatu lingkungan untuk pulih diri dengan mengurangi bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan tersebut.
RAS
Returned Activated Sludge. Sebagian lumpur aktif pada bak pengendapan yang dikembalikan ke bak aerasi.
Reduksi
Penurunan/pengurangan jumlah atau konsentrasi suatu zat atau parameter.
Retensi
Lama waktu tinggal volume air pada suatu badan air.
Salinitas
Jumlah garam (dalam gram) dalam 1 kilogram air laut.
v
Sampel
Suatu bagian dari populasi statistik yang sifat-sifatnya diteliti untuk memperoleh informasi mengenai keseluruhan. Sampel merupakan sebagian dari populasi yang dianggap mewakili populasi.
SBR
Sequential Batch Reactor Sistem pengolahan air limbah dimana proses aerasi dan sedimentasi dilakukan dalam wadah yang sama.
Sedimentasi
Suatu proses pengendapan material yang ditransport oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu cekungan.
Septic Tank
Tangki/wadah yang dibangun di dalam tanah untuk menampung hasil kegiatan kakus.
Supernatan
Bagian (air) dari hasil proses pengendapan.
Transfer
Proses yang dilakukan oleh bakteri dalam mengubah bahan organik karbon di air limbah menjadi karbondioksida, air, amonia, dan energi.
Toksik
Bersifat racun/merusak.
Toksisitas
Daya rusak/racun suatu zat.
TSP
Tri Sodium Phosphate
TSS
Total Suspended Solid Jumlah partikel tersuspensi berukuran lebih dari 1 µm yang tertahan pada kertas saring dengan diameter pori 0,45 µm.
Vacum Pump
Alat bantu dalam proses penyaringan sampel air dengan teknik tekanan udara.
WAS
Wasting Activated Sludge Sebagian lumpur aktif pada bak pengendapan yang dibuang.
vi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISTILAH ..............................................................................
i
DAFTAR ISI .........................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR...............................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xi
I. PENDAHULUAN .............................................................................. A. Latar Belakang .............................................................................. B. Rumusan Masalah ......................................................................... C. Tujuan ........................................................................................... D. Manfaat .........................................................................................
1 1 2 3 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... A. Karakteristik Air Limbah Domestik ............................................... B. Bioremediasi .................................................................................. C. Bakteri Bacillus sp. ........................................................................ D. Bahan Organik .............................................................................. E. Proses Penguraian Bahan Organik oleh Bakteri .............................. F. Sequential Bacth Reactors (SBR) dan Pengolahan Konvensional ...
4 4 6 7 9 10 11
III. METODE PENELITIAN ............................................................... A. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ B. Alat dan Bahan .............................................................................. C. Metode .......................................................................................... 1. Persiapan wadah ...................................................................... 2. Penelitian pendahuluan ............................................................ 3. Persiapan bahan uji .................................................................. 4. Pelaksanaan teknis ................................................................... 5. Analisis parameter kualitas air ................................................. D. Analisis Data ................................................................................. 1. Persen perubahan konsentrasi beberapa parameter kualitas air ............................................................................................ 2. Rancangan Acak Lengkap (RAL) ............................................ 3. Uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) ..................................... 4. Uji nilai tengah (uji-t) ..............................................................
13 13 14 14 15 16 16 17 17 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ A. Hasil Penelitian Pendahuluan .......................................................... B. Kualitas Fisika Kimia Air Limbah Domestik sebelum Pengolahan ..................................................................................... C. Koloni Bakteri ............................................................................... D. Kualitas Fisika Kimia Air Limbah Domestik setelah Pengolahan ....................................................................................
20 20
vii
17 18 19 19
21 22 23
1. Suhu ................................................................................... 2. pH ...................................................................................... 3. Oksigen terlarut/Dissolved Oxygen (DO) ............................ 4. Daya Hantar Listrik (DHL) ................................................. 5. Total Suspended Solid (TSS) ............................................... 6. Biological Oxygen Demand (BOD) ..................................... 7. Chemical Oxygen Demand (COD) ...................................... E. Hubungan antara Air Limbah Domestik, Bakteri, dan Aerasi .... F. Keuntungan Aplikasi Pengolahan Air Limbah Metode Biologi ... G. Potensi Aplikasi IPAL Metode SBR di Perumnas Bantar Kemang
23 24 25 27 28 30 31 32 34 35
V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... A. Kesimpulan ................................................................................... B. Saran .............................................................................................
37 37 37
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
38
LAMPIRAN ..........................................................................................
40
RIWAYAT HIDUP ...............................................................................
67
viii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Karakteristik badan air penerima limbah domestik dan baku mutu kelayakannya menurut berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia ............................................................................................
5
2. Analisis sidik ragam untuk rancangan acak lengkap ..........................
18
3. Kualitas fisika kimia air limbah domestik Perumnas Bantar Kemang sebelum pengolahan ...........................................................................
21
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Skema perumusan kegiatan pengolahan air limbah organik .................
3
2.
Skema pengelompokan zat-zat pada air limbah (Sugiharto, 1987) ......
4
3.
Bakteri Bacillus sp. ............................................................................
5
4.
Mekanisme penghilangan BOD (BOD Removal) ................................
6
5.
Skema kegiatan sistem pengolahan air limbah (metode SBR) dengan lumpur aktif ........................................................................................
7
Skema kegiatan sistem pengolahan air limbah konvensional (Metclaf dan Eddy, 1991) ...................................................................
8
Peta lokasi pengambilan sampel air Perumnas Bantar Kemang (Sumber: Software Map of Jakarta, 2005) ..........................................
13
8.
Debit rata-rata harian saluran outlet Perumnas Bantar Kemang ...........
14
9.
Denah pembagian wadah berdasarkan perlakuan ................................
15
10. Penurunan bahan organik oleh beberapa dosis bakteri Bacillus sp. .....
20
11. Rata-rata koloni bakteri selama penelitian ..........................................
22
12. Rata-rata suhu selama penelitian .........................................................
23
13. Rata-rata pH selama penelitian ...........................................................
24
14. Rata-rata DO selama penelitian ..........................................................
26
15. Rata-rata DHL selama penelitian ........................................................
27
16. Rata-rata TSS selama penelitian .........................................................
29
17. Rata-rata BOD selama penelitian ........................................................
30
18. Rata-rata COD selama penelitian..........................................................
31
6. 7.
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Peralatan, bahan, serta metode yang digunakan selama penelitian ....
41
2.
Data jumlah koloni bakteri Bacillus sp. selama penelitian ...............
42
3.
Data nilai suhu selama penelitian ....................................................
44
4.
Data nilai pH selama penelitian ......................................................
46
5.
Data nilai DO selama penelitian .....................................................
49
6.
Data nilai DHL selama penelitian ...................................................
52
7.
Data nilai TSS selama penelitian ....................................................
54
8.
Data nilai BOD selama penelitian ...................................................
57
9.
Data nilai COD selama penelitian ...................................................
60
10. Sketsa tempat pengambilan sampel air ...........................................
62
11. Foto tempat pengambilan sampel air ..............................................
63
12. Foto air limbah olahan ....................................................................
64
13. Sketsa contoh instalasi pengolahan air limbah domestik .................
65
14. Sketsa IPAL domestik terpadu di Bali (pemprovbali.go.id/IPAL/2008)
66
xi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aktivitas manusia pada umumnya menghasilkan limbah buangan. Peningkatan populasi dan kegiatan manusia berdampak pada semakin bertambahnya jumlah limbah yang dihasilkan.
Limbah adalah buangan yang
dihasilkan dari kegiatan-kegiatan jasa (misalnya laundry, rumah makan, rumah sakit, pencucian mobil, dan sebagainya) serta proses-proses produksi (misalnya industri pertanian, tekstil, kertas, dan sebagainya) maupun berbagai kegiatan rumah tangga/domestik (pemukiman) yang kehadirannya pada suatu tempat tertentu tidak dikehendaki atau mencemari lingkungan.
Di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia air limbah domestik yang mengandung kontaminan organik pada umumnya langsung dibuang ke suatu badan perairan (misalnya sungai) tanpa diolah terlebih dahulu. Pada limbah dengan jenis dan konsentrasi tertentu, keberadaan kontaminan organik ini dapat berdampak negatif terhadap kualitas perairan dan kelangsungan hidup biota yang ada di perairan. Air limbah domestik (domestic sewage) adalah air buangan yang sebelumnya telah dipergunakan untuk berbagai kegiatan rumah tangga atau pemukiman termasuk di dalamnya yang berasal dari kegiatan kamar mandi, tempat cuci, serta tempat masak. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengolah air limbah yang tercemar bahan organik adalah melalui metode biologi. Bioremediasi merupakan salah satu cara untuk menurunkan (mereduksi) kandungan bahan organik dalam air limbah secara biologi. Metode biologi relatif lebih
murah
karena
langsung
memanfaatkan
sumber
daya
(misalnya
mikroorganisme) yang ada di alam dan tidak memerlukan banyak bahan kimia seperti halnya dalam pengolahan air limbah secara kimia melalui metode koagulasi dan flokulasi. Bacillus sp. merupakan salah satu jenis bakteri aerob yang dapat dijumpai di alam dan telah diproduksi secara komersial serta efektif sebagai agen biologi dalam pengolahan limbah organik (Poernomo, 2004 dalam Apriadi, 2008). Beberapa penelitian mengenai pemanfaatan mikroorganisme (bakteri) dalam menurunkan kandungan bahan organik pada air limbah domestik telah dilakukan
2
oleh berbagai pihak, di antaranya Muchtar (2007), Apriadi (2008), Efrilia (2008), serta beberapa peneliti lain. Dari hasil penelitian tersebut telah diketahui bakteri Bacillus sp. merupakan agen biologi yang efektif dalam menurunkan kandungan bahan organik pada air limbah domestik. Berdasarkan hal di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui kemampuan bakteri Bacillus sp. (dengan dosis tertentu) yang ditambahkan ke dalam air limbah organik dalam menurunkan kandungan bahan pencemar organik di dalamnya jika air limbah tersebut diberi perlakuan lama aerasi yang berbeda.
B. Rumusan Masalah Proses dekomposisi bahan organik yang dilakukan oleh mikroorganisme bakteri dapat menyebabkan penurunan kandungan bahan organik pada suatu perairan. Komposisi air limbah domestik secara umum adalah bahan organik dan bahan anorganik. Air limbah domestik umumnya memiliki kandungan bahan organik yang tinggi dan salah satu upaya untuk menurunkan kandungan bahan organik ini dapat dilakukan melalui pengolahan secara biologis misalnya dengan menggunakan jasa mikroorganisme seperti bakteri.
Bahan organik yang
terkandung dalam air limbah domestik dimanfaatkan oleh bakteri sebagai sumber makanan yang kemudian diubah menjadi biomassa bakteri dan senyawa-senyawa anorganik seperti N, P, dan CO2.
Keberhasilan proses bioremediasi (secara
aerobik) sangat tergantung pada besarnya beban pencemar organik, lamanya waktu kontak (retensi) antara bahan pencemar dan bakteri serta keberadaan oksigen terlarut di dalam air limbah. Salah satu upaya untuk memasok oksigen ke dalam air adalah dengan aerasi, sedangkan upaya untuk meningkatkan lamanya waktu kontak (retensi) dapat dilakukan dengan memperbesar volume bak pengolahan (bak aerasi) dan memperkecil debit air limbah yang masuk ke dalam bak aerasi.
Namun hal tersebut akan mempengaruhi biaya operasional
pengolahan. Metode Sequential Batch Reactor (SBR) memiliki konsekuensi yang sama, namun dari sisi pemanfaatan lahan dan konstruksi instalasi pengolahan air limbah, SBR jauh lebih efisien dan sederhana.
Perumusan masalah kegiatan
pengolahan air limbah melalui metode SBR dapat dilihat pada Gambar 1.
3
Tidak Memenuhi Baku Mutu Bak pengolahan berisi air limbah dan diberi berbagai perlakuan
Air Limbah Domestik
Air Limbah Olahan
+ Memenuhi Baku Mutu
Badan Air Penerima
Biomasa bakteri Bacillus sp.
Gambar 1. Skema perumusan kegiatan pengolahan air limbah organik
C. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat reduksi (removal) bahan pencemar organik air limbah domestik dengan adanya perlakuan penambahan bakteri Bacillus sp. dan lama waktu aerasi yang berbeda-beda.
D. Manfaat Manfaat
penelitian
ini
adalah
memberikan
informasi
mengenai
kemampuan bakteri Bacillus sp. sebagai bioremediator dalam menurunkan kandungan bahan pencemar organik (diukur dari nilai BOD dan COD) dalam air limbah ditinjau dari lamanya waktu kontak (retensi) bahan pencemar dengan bakteri. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif/acuan dalam pembangunan instalasi pengolahan air limbah domestik.
II. A.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Air Limbah Domestik Air limbah adalah buangan dari kegiatan rumah tangga dan juga berasal
dari industri, air tanah, air permukaan serta buangan lainnya (Salvato, 1972 dalam Sugiharto, 1987), sedangkan menurut Suryadiputra (1995) air limbah merupakan suatu limbah yang berbentuk cair, dimana di dalamnya mengandung porsi air dalam jumlah yang lebih dominan dibandingkan dengan bahan kontaminan yang terdapat di dalamnya. Berdasarkan asalnya, jenis air limbah dapat digolongkan menjadi empat, yaitu air limbah domestik, air limbah industri, air infiltrasi, dan air hujan yang telah terkontaminasi.
Menurut Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003, air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan pemukiman (real estate), rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama. Sesuai dengan sumber asalnya, air limbah mempunyai komposisi yang sangat bervariasi dari setiap tempat dan setiap saat. Akan tetapi, secara garis besar zat-zat yang terdapat di dalam air limbah dapat dikelompokkan seperti yang digambarkan pada Gambar 2.
Air Limbah Air (99,9%)
Bahan Padat (0,1%) Organik Protein Karbohidrat Lemak
Anorganik Butiran Garam Metal
Gambar 2. Skema pengelompokan zat-zat pada air limbah (Sugiharto, 1987)
5
Air limbah memiliki sifat fisika, kimia, dan biologi yang berbeda-beda. Menurut Sugiharto (1987), secara fisika air limbah dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu yang mengandung padatan mudah mengendap, padatan sulit mengendap, dan padatan terlarut. Secara kimia, air limbah dapat ditinjau dari adanya kandungan bahan organik dan bahan anorganik. Bahan organik terdiri atas protein, lemak, karbohidrat, minyak, dan sebagainya, sedangkan bahan anorganik terdiri atas berbagai mineral, gas-gas terlarut dan logam berat. Dilihat dari sifat peruraiannya, limbah dibagi ke dalam dua jenis, yaitu limbah yang dapat terurai secara biologi (biodegradable) dan limbah yang tidak dapat/sangat sulit terurai secara biologi (nonbiodegradable). Sifat biologi air limbah terkait dengan kandungan mikroorganisme di dalamnya.
Karakteristik badan air penerima
limbah domestik dapat dilihat dari pengukuran beberapa paremeter fisika kimia perairan seperti yang dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter
pH DHL (µS/cm) TSS (mg/l) BOD (mg/l) COD (mg/l) DO (mg/l)
Karesteristik badan air penerima limbah domestik dan baku mutu kelayakannya menurut berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia Inlet IPA Pejompongan (1)
Sungai Cimanuk (2)
Sungai Ciliwung (3)
5,7 – 7,6 758 – 11.070 95 – 3017 -
6,5 – 9, 1 84 – 607 7 – 1306 2 – 44 5 – 176 0,6 – 8,4
6,9 – 7,1 8 – 32 229 – 238 –
Baku Mutu KepMen LH No.112 Tahun 2003 6–9 100 100 3
PPRI No. 82 Tahun 2001 5–9 2.250 400 12 100 3
Perda Jabar No. 39 Tahun 2000 6–9 1.000 6 10 >3
Sumber: (1). Beni (2003), (2). Meidiana (2003), (3). Cordova (2008)
Dari tabel di atas, badan air penerima limbah domestik mengandung oksigen terlarut (DO) yang sangat rendah hingga mencapai kondisi anoksik (0,6 mg/l), pH yang sedikit asam (5,7) hingga basa (9,1), nilai konduktivitas (DHL) yang bervariasi, jumlah partikulat/padatan tersuspensi yang tinggi (dapat mencapai 11.070 mg/l), dan kandungan bahan organik (BOD dan COD) yang tinggi (nilai BOD dapat mencapai 111 mg/l dan COD 3.017 mg/l). Dari semua parameter tersebut, hampir seluruhnya memiliki nilai yang melebihi baku mutu
6
yang ditetapkan pemerintah. Nilai parameter-parameter tersebut menunjukkan tingginya tingkat pencemaran organik pada perairan, namun demikian variasi nilai-nilai di atas juga sangat dipengaruhi oleh aktivitas di sekitar perairan, musim atau tingkat pengenceran air. Tingginya bahan organik (dilihat dari nilai BOD dan COD) dalam tabel di atas menyebabkan banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi aerob, sehingga akhirnya akan mengurangi kandungan oksigen terlarut dalam perairan.
Pada kondisi anaerob/anoksik, akibat sangat
rendahnya oksigen di air, selain berdampak pada terganggunya proses pertumbuhan dan metabolisme. Kondisi ini juga dapat membunuh sebagian besar biota akuatik serta akan menyebabkan air berbau busuk karena terbentuknya H2S, metana atau merkaptan. Pada kisaran pH netral sebagian besar biota akuatik dapat hidup dengan baik, namun nilai pH yang rendah akan meningkatkan toksisitas logam (Effendi, 2003). Rendahnya nilai pH pada tabel di atas, diduga terkait dengan adanya proses dekomposisi bahan organik (BOD/COD) yang akhirnya melepaskan senyawa CO2 yang bersifat asam. Sedangkan tingginya nilai pH diduga oleh adanya bahan-bahan pencemar yang bersifat basa masuk ke dalam badan perairan (seperti deterjen, atau senyawa-senyawa basa dari industri di sekitarnya). Nilai DHL yang rendah pada tabel di atas diduga akibat rendahnya mineral anorganik pada daerah tangkapan badan air penerima atau rendahnya garam-garam (kation/anion) yang masuk ke badan air. Badan air penerima limbah organik umumnya juga memiliki jumlah partikel tersuspensi (TSS) yang tinggi. Kondisi demikian dapat berdampak pada pendangkalan badan perairan tersebut.
B. Bioremediasi Bioremediasi merupakan proses degradasi bahan organik menjadi senyawa lain misalnya CO2, CH4, H2O, garam anorganik, biomassa, dan hasil samping yang sedikit lebih sederhana dari senyawa semula secara biologis.
Proses
bioremediasi bergantung pada kemampuan organisme yang digunakan dan sistem yang dioperasikan pada jangka waktu tertentu.
Proses ini didasari oleh
dekomposisi bahan organik yang dilakukan misalnya oleh bakteri atau jamur heterotropik. Mikroorganisme ini memiliki kemampuan memanfaatkan senyawa
7
organik alami (misalnya hidrokarbon minyak bumi, fenol, aseton, kresol, dan selulosa buangan) sebagai sumber karbon. Proses bioremediasi akan berjalan optimal pada suhu dan pH tertentu serta harus tersedia nutrisi dan oksigen yang cukup bagi organisme yang digunakan (Citroreksoko, 1996). Pengolahan limbah secara biologi yang telah dilakukan umumnya menggunakan teknik bioaugmentasi.
Bioaugmentasi merupakan perlakuan
bioremediasi dengan penambahan kultur
bakteri terhadap
media
yang
terkontaminasi. Bioaugmentasi sering digunakan dalam bioreaktor dan sistem ex situ (kontaminan atau limbah dipindahkan dari lokasi asal dan diperlakukan/diolah melalui suatu bioreaktor sistem terbuka atau sistem tertutup). Proses bioremediasi merupakan salah satu alternatif dalam mengolah limbah yang sudah dikenal masyarakat dan dalam penerapannya memiliki keuntungan dan kerugian. Proses bioremediasi bergantung pada kemampuan organisme yang digunakan dan sistem yang dioperasikan (apakah secara terus-menerus/kontinyu selama 24 jam per hari dan tujuh hari per minggu). Biaya sarana dan operasional bergantung pada kadar (konsentrasi) dan beban kontaminan organik yang akan diolah, kondisi lokasi pengolahan, dan target hasil olahan yang akan dicapai. Biaya utama dari bioremediasi ini terutama digunakan untuk memindahkan bahan yang terkontaminasi (cairan atau tanah) ke bioremediator, penyediaan oksigen dalam sistem aerobik, dan pemberian nutrisi yang dibutuhkan (Cookson, 1995 dalam Citroreksoko, 1996).
C. Bakteri Bacillus sp. Bacillus sp. bersifat aerob dan fakultatif anaerob serta merupakan salah satu bakteri yang bermanfaat dalam proses pengolahan air limbah (Pelczar dan Reid, 1958). Bacillus sp. merupakan bakteri gram positif dengan sel berbentuk batang. Ujung sel persegi, bundar, meruncing, atau lancip seperti ujung cerutu seperti terlihat pada Gambar 3. Ujung sel terpisah dan adakalanya tetap saling melekat dengan yang lainnya (Pelczar dan Chan, 1986).
Bacillus sp. sangat
resisten terhadap kondisi yang kurang baik seperti suhu, pH, dan salinitas sehingga distribusinya di alam sangat luas.
8
Klasifikasi
Bacillus
sp.
menurut
Chon
(1972)
dalam
www.wikipedia.org/wiki/limbah (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Divisi
: Firmicates
Kelas
: Bacilli
Ordo
: Bacillales
Famili
: Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Gambar 3. Bakteri Bacillus sp.
Peran utama bakteri pada lingkungan perairan adalah menguraikan biomassa organik dan mendaur ulang berbagai elemen penting (nitrogen, fosfor, dan sulfur) yang terdapat pada berbagai macam bahan organik yang masuk ke perairan (Sigee, 2005 dalam Apriadi, 2008). Bacillus sp. dapat memproduksi enzim ekstraseluler pengurai selulosa dan hemiselulosa.
9
D. Bahan Organik Bahan organik yang terkandung dalam suatu air limbah umumnya terdiri dari 40 – 60 % protein, 25 – 50 % karbohidrat, serta 10 % lainnya berupa lemak atau minyak (Sugiharto, 1987).
Bahan organik dalam air limbah ada dalam
bentuk terlarut, padatan/partikulat, maupun koloid. Bahan-bahan organik tersebut ada yang mudah terurai (biodegradable)
dan ada yang sulit
terurai
(nonbiodegradable). Oksidasi bahan organik di perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut (Boyd, 1988): 1. Suhu Aktivitas mikroorganisme memerlukan suhu optimum yang berbeda-beda. Kecepatan dekomposisi meningkat pada kisaran suhu
5 – 35 °C. Pada kisaran
ini setiap peningkatan suhu sebesar 10 °C akan meningkatkan proses dekomposisi dan konsumsi oksigen menjadi dua kali lipat. 2. pH Secara umum, bakteri tumbuh dengan baik pada pH netral dan alkalis. Oleh karena itu, proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral dan alkalis. 3. Pasokan Oksigen Proses dekomposisi bahan organik secara aerob memerlukan pasokan oksigen secara terus-menerus dan dalam jumlah yang memadai. 4. Jenis Bahan Organik Gula lebih cepat mengalami dekomposisi daripada selulosa.
Selulosa
lebih cepat mengalami dekomposisi daripada lignin. Namun demikian, semuanya ini akan mengalami proses dekomposisi lebih cepat pada awal proses. 5. Rasio Karbon dan Nitrogen Berdasarkan berat keringnya, bakteri tersusun atas 50 % karbon dan 10 % nitrogen.
Oleh karena itu, sejumlah nitrogen diperlukan bagi pertumbuhan
mikroorganisme.
Dekomposisi tidak dapat berlangsung pada kondisi tanpa
nitrogen. Bahan organik dengan rasio 40 % C dan 0,5 % N akan lebih lambat mengalami dekomposisi daripada bahan organik dengan rasio 40 % C dan 4 % N.
10
E. Proses Penguraian Bahan Organik oleh Bakteri Mekanisme penghilangan bahan organik dalam air limbah berlangsung melalui tiga proses (Gambar 4), yaitu: 1. Transfer Proses ini merupakan suatu usaha bakteri untuk mengubah bahan organik karbon di air limbah menjadi karbondioksida, air, amonia, dan energi (proses katabolisme). Bahan organik terlarut (dari jenis biodegradable) akan langsung terserap ke dalam sel bakteri melalui dinding sel atau membran bakteri (proses absorbsi). Jika bahan organik di perairan dalam bentuk partikulat atau suspensi koloid maka pengambilan bahan organik oleh bakteri berlangsung secara adsorbsi, yaitu lewat proses penempelan bahan organik di permukaan dinding sel bakteri.
Produk sintesis Produk respirasi
Sel baru
H2 O CO2 SEL
Penyimpanan
Bahan organik terserap
Membran sel
Lapisan “lendir” Oksigen
Partikel terabsorbsi
Bahan organik terlarut
Partikel bebas
Air limbah Gambar 4. Mekanisme penghilangan BOD (BOD Removal)
2. Konversi Proses ini merupakan kelanjutan dari proses transfer. Pada proses ini, energi yang dihasilkan oleh bakteri dari proses transfer akan digunakan untuk membentuk sel-sel baru/berkembang biak (proses anabolisme).
11
3. Flokulasi Proses ini menggambarkan bahwa jika bakteri telah kenyang dan aktivitasnya menurun maka mereka akan tenggelam pada kondisi air yang tenang. Dalam instalasi pengolahan air limbah kejadian ini berlangsung dalam bak pengendap. F. Sequential Batch Reactor (SBR) dan Pengolahan Konvensional Sequential Batch Reactor (SBR) merupakan metode pengolahan air limbah dalam satu wadah, yaitu dengan menambahkan lumpur aktif (berisikan mikroorganisme bakteri) ke dalam air limbah lalu diaerasi dalam jangka waktu tertentu. Setelah periode aerasi mencukupi, kemudian aerator dihentikan dan dilanjutkan dengan proses pengendapan lumpur aktif pada wadah yang sama. Selanjutnya air limbah olahan ini (kecuali endapannya), setelah memenuhi baku mutu air olahan yang ditetapkan pemerintah, dibuang ke badan air penerima (Gambar 5).
Gambar 5. Skema kegiatan sistem pengolahan air limbah (metode SBR) dengan lumpur aktif
12
Pada instalasi pengolahan air limbah (IPAL) konvensional, dimana air limbah yang dihasilkan berlangsung secara terus-menerus (24 jam sehari, 7 hari seminggu) proses aerasi dan pengendapan lumpur aktif dilakukan secara serentak dan berlangsung terus-menerus pada wadah-wadah yang berbeda. Pada cara ini sebagian lumpur aktif pada bak pengendap (clarifier) harus dikembalikan ke dalam bak aerasi (sebagai RAS, Returned Activated Sludge) dan sebagian dibuang (sebagai WAS, Wasting Activated Sludge) (Gambar 6).
Influent Tangki Aerasi
Tangki Pengendapan
Effluent
RAS WAS Gambar 6.
Skema kegiatan sistem pengolahan air limbah konvensional (Metclaf dan Eddy, 1991)
Keunggulan sistem SBR dibandingkan sistem konvensional di atas adalah pada sistem SBR tidak perlu ada pemisahan bak aerasi dengan bak pengendap, sehingga tidak perlu melakukan pengembalian lumpur (RAS/Return Activated Sludge) ke dalam bak aerasi, karena proses aerasi dan pengendapan dilakukan pada tempat yang sama.
Selain itu, cara SBR juga akan menghemat biaya
investasi, diantaranya untuk lahan, listrik dan tenaga kerja.
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2008. Pengambilan sampel air limbah dilakukan di saluran outlet Perumnas Bantar Kemang, Bogor (Gambar 7). Perumnas Bantar Kemang memiliki 1.168 rumah sehat sederhana dengan jumlah penduduk mencapai 5.566 orang (Data Kelurahan Baranang Siang, 2008 dalam Cordova, 2008). Saluran drainase Perumnas Bantar Kemang yang dipergunakan untuk menampung air hujan menyatu dengan saluran pembuangan dari hasil kegiatan mandi dan cuci. Sedangkan hasil kegiatan kakus langsung masuk ke septic tank. Limbah hasil kegiatan rumah tangga dari kegiatan mandi dan cuci yang masuk ke saluran drainase langsung mengalir ke badan air penerima yakni Sungai Ciliwung tanpa ada pengolahan terlebih dahulu (Lampiran 10 dan 11).
Gambar 7. Peta lokasi pengambilan sampel air Perumnas Bantar Kemang Sumber: Software Map of Jakarta (2005)
14
Waktu pengambilan sampel air adalah jam 10.00 dimana pada saat itu debit air saluran outlet Perumnas Bantar Kemang mencapai kondisi maksimum (0,0032 m3/detik) seperti terlihat pada Gambar 8.
Volume sampel air yang
diambil sekitar 100 liter, untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan percobaan pengolahan air limbah di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
0.0035
DEBIT (m3/detik)
0.003 0.0025 0.002 0.0015 0.001 0.0005 0 7.00
8.00
9.00
10.00 11.00 12.00
13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00
WAKTU PENGAMATAN (Jam …)
Gambar 8. Debit rata-rata harian saluran outlet Perumnas Bantar Kemang
B. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan selama penelitian meliputi peralatan pengumpul sampel air limbah, peralatan pengolahan air limbah, serta peralatan analisis kualitas air (Lampiran 1). Bahan yang digunakan antara lain sampel air limbah domestik (saluran air bagian outlet Perumnas Bantar Kemang, Bogor), isolat bakteri uji (Bacillus sp.), serta bahan-bahan kimia untuk analisis kualitas air (APHA, 2005) (Lampiran 1).
C. Metode Percobaan ini menggunakan metode Sequential Batch Reactor, yaitu air limbah (dengan konsentrasi bahan pencemar tertentu) dimasukkan ke dalam bak reaktor pengolahan (stoples) yang kemudian masing-masing diaerasi selama 12,
15
24, 48, dan 72 jam. Setelah masing-masing waktu aerasi tercapai, kemudian mesin aerator dimatikan dan air limbah terolah beserta partikel tersuspensi di dalamnya diendapkan selama sekitar 30 menit.
Dalam waktu 30 menit ini
diharapkan hampir seluruh partikel tersuspensi telah mengendap. Selanjutnya supernatan pada masing-masing perlakuan diukur kadar DO, BOD, COD, pH, TSS, DHL serta suhu. Parameter yang sama juga diukur pada seluruh wadah percobaan sebelum dilakukan aerasi. Metode penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu: 1. Persiapan wadah Wadah yang digunakan adalah 32 stoples kaca yang berukuran masingmasing 3 liter. Wadah-wadah tersebut dikelompokkan menjadi dua berdasarkan perlakuan (Aerasi/A dan Kontrol/K) dengan waktu perlakuan masing-masing 12, 24, 48, dan 72 jam serta masing-masing perlakuan dengan empat ulangan (Gambar 9). Kelompok pertama merupakan perlakuan aerasi dimana air limbah (sebanyak 2 liter) dimasukkan ke dalam masing-masing wadah dan diberi penambahan isolat Bacillus sp. dengan dosis 1 ml/l air limbah, serta diberi perlakuan aerasi.
Setiap wadah akan diberi satu buah selang aerasi dengan
kekuatan yang sama untuk setiap wadah yang berfungsi memasok udara dari aerator ke dalam media uji.
12 JAM
24 JAM
48 JAM
72 JAM
A1
K1
A1
K1
A1
K1
A1
K1
A2
K2
A2
K2
A2
K2
A2
K2
A3
K3
A3
K3
A3
K3
A3
K3
A4
K4
A4
K4
A4
K4
A4
K4
A : PERLAKUAN AERASI K : PERLAKUAN KONTROL
Gambar 9. Denah pembagian wadah berdasarkan perlakuan
16
Kelompok ke dua merupakan perlakuan kontrol dimana air limbah dimasukkan ke dalam wadah tanpa penambahan isolat Bacillus sp. dan tanpa perlakuan aerasi.
Wadah-wadah tersebut diletakkan pada tempat dengan
intensitas cahaya yang cukup dan terlindung dari hujan.
2. Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan dosis bakteri (volume bakteri/liter air limbah) sebagai inokulan penambahan pada setiap perlakuan. Dosis bakteri sebesar 0,5 ml/l, 1 ml/l, 2 ml/l, dan 3 ml/l diuji pada air limbah domestik masing-masing sebanyak 2 liter dengan lama waktu aerasi masing-masing 12, 24, 48, dan 72 jam. Dosis bakteri yang paling efektif dalam menurunkan bahan organik air limbah domestik digunakan sebagai dosis pada penelitian utama.
3. Persiapan bahan uji Air limbah domestik berasal dari saluran air outlet Perumnas Bantar Kemang, Bogor. Air limbah yang tersaring ditampung dalam tandon berukuran 250 liter. Penyaringan dilakukan dengan saringan kasar untuk mengeliminasi partikel-partikel besar seperti daun, plastik, cangkang, lembaran kertas, batang kayu, dan lain-lain. Limbah domestik yang telah tersaring tersebut (belum diolah) selanjutnya dianalisis beberapa parameter kualitas airnya (suhu, pH, DHL, TSS, DO, BOD, dan COD). Sebelum diolah, kandungan BOD, N, dan P air limbah yang telah ditampung tersebut dianalisis terlebih dahulu. Jika rasio BOD:N:P mendekati 100:5:1 maka percobaan dapat langsung dilakukan.
Namun, jika
rasionya sangat menyimpang dari 100:5:1 (misal kekurangan N atau P), maka ke dalam air limbah perlu ditambahkan N dalam bentuk urea atau P dalam bentuk TSP. Bakteri yang digunakan adalah isolat Bacillus sp. yang telah diidentifikasi dan diisolasi dari air limbah kantin Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada penelitian sebelumnnya. Isolat bakteri tersebut dikultivasi (dibiakkan) pada media broth (nutrient broth) di tabung reaksi. Volume bakteri yang digunakan adalah dosis yang didapatkan pada penelitian pendahuluan.
17
4. Pelaksanaan teknis Kegiatan penelitian ini merupakan percobaan pengolahan air limbah domestik menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan empat perlakuan lama aerasi dan empat kali ulangan untuk setiap perlakuan. Setelah seluruh komponen media uji siap, ke dalam masing-masing stoples (dengan berbagai perlakuan dan ulangan di atas) kemudian diisi dengan air limbah sebanyak 2 liter dan dimasukkan bakteri Bacillus sp. sebanyak 2 ml (dosis 1 ml/l). Selanjutnya pada masing-masing stoples dilakukan aerasi selama 12, 24, 48, dan 72 jam. Sedangkan pada perlakuan kontrol, wadah yang masing-masing telah berisi 2 liter air limbah didiamkan (tanpa diaerasi) selama waktu perlakuan 12, 24, 48, dan 72 jam.
5. Analisis parameter kualitas air Efektivitas waktu aerasi pada penambahan bakteri Bacillus sp. dalam mengolah limbah domestik kawasan pemukiman Perumnas Bantar Kemang, ditentukan berdasarkan hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air yang menggambarkan kandungan bahan organik air limbah. Pengukuran parameter kualitas air untuk setiap perlakuan dilakukan saat sebelum aerasi (awal perlakuan) dan setelah air limbah diaerasi selama 12, 24, 48, dan 72 jam.
Pengukuran
kualitas air limbah pada perlakuan kontrol bertujuan untuk melihat perbedaan kualitas air limbah yang diolah dan air limbah yang tidak diolah. Pengambilan sampel air hasil olahan (supernatan) untuk dianalisis parameter fisika dan kimianya dilakukan setelah masing-masing air limbah dalam stoples diaerasi sesuai lama perlakuannya dan mesin aerator telah dihentikan selama 30 menit (Lampiran 1).
D. Analisis Data 1. Persen perubahan konsentrasi beberapa parameter kualitas air Perubahan konsentrasi beberapa parameter kualitas air dapat dilihat dengan menghitung persentase perubahan beberapa parameter kualitas air pada awal perlakuan dan akhir perlakuan. Rumus yang digunakan untuk menghitung persentase perubahan parameter kualitas air adalah:
18
% perubahan = (a-b)/a x 100% Keterangan: a: nilai awal kadar/konsentrasi parameter tertentu di air limbah sebelum pengolahan b: nilai akhir kadar/konsentrasi parameter tertentu di air limbah olahan setelah pengolahan 2. Rancangan Acak Lengkap (RAL) Analisis statistika terhadap parameter kualitas air dilakukan untuk menguji efektivitas perlakuan waktu aerasi dalam memberikan pengaruh yang nyata pada peningkatan kualitas air limbah domestik. Analisis statistika tersebut didasarkan pada percobaan yang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan waktu aerasi sebagai perlakuan dengan empat ulangan. Model rancangan acak lengkap (Matjik dan Sumertajaya, 2000) adalah sebagai berikut: Yij = µ + τi + εij Keterangan: τi εij Yij µ
: rataan perlakuan ke-i : galat pada perlakuan ke-i ulangan ke-j : pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j : rataan umum
Hipotesis yang dapat diuji dari rancangan di atas yaitu pengaruh perlakuan waktu aerasi (Tabel 2). Bentuk hipotesis: Pengaruh perlakuan setiap waktu aerasi: H0: τ1 = τ2 = ... = τt atau τi = 0, untuk i = 1,2,3, ..., t H1: minimal ada satu perlakuan waktu aerasi ≠ 0
Tabel 2. Analisis sidik ragam untuk rancangan acak lengkap Sumber Keragaman Perlakuan Sisa Total
Derajat Bebas (DB) t–1 T(r-1) Tr – 1
Jumlah Kuadrat (JK) JKP JKS
Kuadrat Tengah (KT) KTP KTS
Fhitung
Ftabel
KTP/KTS
F (0,05;DBP:DPS)
19
Kesimpulan yang dapat diambil dari hipotesis di atas: 1. Jika nilai Fhitung < Ftabel, maka tolak H0 yang berarti minimal ada satu perlakuan yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. 2. Jika nilai Fhitung > Ftabel, maka gagal tolak H0 yang berarti tidak ada perlakuan yang memberikan perngaruh yang berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Untuk melihat perlakuan yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT).
3. Uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) Uji BNT digunakan untuk menguji perlakuan secara berpasang-pasangan. Jika masing-masing perlakuan memiliki ulangan yang sama, maka untuk semua pasangan perlakuan hanya diperlukan satu nilai BNT.
Kriteria pengambilan
keputusannya adalah jika beda absolut dari dua perlakuan lebih besar dari BNT (|Yi-Yi’| > BNT) maka dapat disimpulkan bahwa kedua perlakuan tersebut berbeda nyata pada taraf α. Persamaan uji BNT adalah (Walpole, 1995):
BNT (t / 2 , dbS ).( 2 Keterangan: tα/2 KTS n
KTS ) n
= nilai t pada selang kepercayaan α/2 (α = 0,05) = kuadrat tengah sisa = jumlah ulangan
4. Uji nilai tengah (uji-t) Uji nilai tengah (uji-t) dilakukan untuk menguji perbedaan antara dua perlakuan dilihat dari nilai tengah perlakuan. Hipotesis:
H0: Perlakuan aerasi = Perlakuan kontrol H1: Perlakuan aerasi ≠ Perlakuan kontrol
t=
s/ n
Kesimpulan: 1. thitung > ttabel, maka tolak H0, berarti terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan aerasi dengan perlakuan kontrol. 2. t hitung < ttabel, maka gagal tolak H0, berarti tidak terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan aerasi dengan perlakuan kontrol.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui dosis bakteri Bacillus sp. yang paling efektif mereduksi bahan organik.
Hasil penelitian
pendahuluan menunjukkan dosis 1 ml/l bakteri Bacillus sp. mampu menurunkan bahan organik (dilihat dari nilai COD) sebesar 83% dengan waktu aerasi 12 jam dan telah memenuhi baku mutu yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 (100 mg/l). Hasil pengolahan air limbah dengan dosis Bacillus sp. sebesar 1 ml/l ternyata lebih baik dari dosis 0,5 ml/l (56%), namun tidak lebih efektif dari dosis 2 ml/l (88%) dan 3 ml/l (90%). Karena dengan dosis Bacillus sp. sebesar 1 ml/l telah memenuhi baku mutu, meskipun dosis 2 ml/l dan 3 ml/l juga menghasilkan reduksi bahan organik yang lebih tinggi, namun dalam penelitian utama akan digunakan dosis 1 ml/l.
700
COD(mg/l)
0,5 ml/l 600
1 ml/l
500
2 ml/l 3 ml/l
400 300 200 BAKU MUTU
100 0 AWAL
12 JAM
24 JAM
48 JAM
72 JAM
WAKTU PERLAKUAN
Gambar 10. Penurunan bahan organik oleh beberapa dosis bakteri Bacillus sp.
Penelitian pendahuluan juga dilakukan untuk mengetahui rasio BOD:N:P air limbah yang digunakan sama dengan atau mendekati rasio 100:5:1. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan rasio BOD:N:P air limbah domestik yang digunakan telah mendekati rasio 100:5:1, dimana rata-rata nilai BOD, total-N, dan total-P yang diperoleh pada penelitian pendahuluan ini masing-masing adalah
21
304,22 mg/l, 16,04 mg/l, dan 3,55 mg/l, sehingga tidak diperlukan penambahan N dalam bentuk urea atau P dalam bentuk TSP ke dalam air limbah. Selain itu juga diperoleh kesimpulan mengenai waktu yang diperlukan untuk mengendapkan partikel tersuspensi setelah mesin aerator dimatikan, yaitu sekitar 30 menit. Dalam waktu 30 menit hampir seluruh partikel tersuspensi telah mengendap dan air olahan terlihat lebih jernih.
B. Kualitas Fisika Kimia Air Limbah Domestik sebelum Pengolahan Air limbah domestik umumnya memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Hasil analisis kualitas fisika kimia air limbah domestik menunjukkan beberapa parameter melebihi baku mutu yang ditetapkan pemerintah (Tabel 3).
Tabel 3. Kualitas fisika kimia air limbah domestik Perumnas Bantar Kemang sebelum diolah Parameter Suhu pH DO DHL TSS BOD COD
Satuan o C mg/l µS/cm mg/l mg/l mg/l
Hasil Analisis 25,3 – 25,9 7,01 – 7,68 3,53 – 3,71 370 – 450 598 – 816 286,31 – 322,79 431,03 – 601,05
Baku Mutu * deviasi 3 6–9 4 400 12 100
*Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
Dari tabel di atas terlihat bahwa air limbah domestik Bantar Kemang yang akan diolah memiliki beberapa nilai parameter (DO, TSS, BOD dan COD) yang menyimpang dari baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Sehingga air limbah ini sebaiknya diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan umum. Nilai TSS, BOD dan COD yang tinggi dari sampel air limbah di atas menggambarkan banyaknya bahan tersuspensi dan organik yang terkandung dalam air limbah serta tercermin dari rendahnya nilai oksigen terlarut (DO). Jika air limbah dengan karakteristik seperti ini langsung dialirkan/dibuang ke badan air penerimanya
maka
pencemaran organik.
akan
menimbulkan
pendangkalan
dan
peningkatan
Sedangkan rendahnya kandungan oksigen terlarut dapat
22
membunuh berbagai organisme perairan di dalamnya. Oleh karena itu, percobaan ini ditujukan untuk menurunkan kadar bahan pencemar organik melalui penambahan bakteri Bacillus sp. serta meningkatkan kandungan oksigen terlarutnya melalui aerasi.
C. Koloni bakteri Pertumbuhan bakteri dilihat dengan adanya peningkatan jumlah koloni bakteri. Keberadaan bakteri dihitung berdasarkan adanya peningkatan jumlah koloni bakteri per unit pada setiap 1 ml (cfu/ml).
Koloni bakteri dihitung
menggunakan metode tuang pada cawan dan dibiakkan pada media agar, sehingga jumlah koloni bakteri yang terhitung bukan hanya dari jenis Bacillus sp.. Dalam penelitian ini tidak dilaksanakan pengamatan jenis maupun jumlah bakteri lain yang terkandung dalam air limbah. Rata-rata jumlah koloni bakteri mengalami peningkatan pada awal perlakuan kemudian mengalami penurunan pada akhir perlakuan (Gambar 11).
1,00E+11 11 KOLONI BAKTERI (cfu/ml)
1x10
1,00E+10 1x1010 1,00E+09 9
1x10
1,00E+08 1x108 1,00E+07 1x107 1,00E+06 1x106
AERASI
5 1,00E+05
KONTROL
1x10
1,00E+04 1x104 1,00E+03 1x103 2
1,00E+02 1x10 1,00E+01 1x101 0
1x10 1,00E+00 AWAL
12 JAM
24 JAM
48 JAM
72 JAM
WAKTU PERLAKUAN
Gambar 11. Rata-rata koloni bakteri selama penelitian
Analisis statistika menggunakan uji nilai tengah (uji-t) terhadap pertumbuhan koloni bakteri pada perlakuan dengan aerasi dan perlakuan tanpa aerasi menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (Lampiran 2).
Hasil ini
menunjukkan pemberian aerasi mempengaruhi pertumbuhan koloni bakteri.
23
Jumlah koloni bakteri baik pada perlakuan dengan aerasi maupun perlakuan tanpa aerasi mengalami peningkatan dari awal hingga pengamatan 24 jam, selanjutnya mengalami pernurunan sampai akhir pengamatan. Peningkatan jumlah koloni bakteri disebabkan terbentuknya sel-sel bakteri baru dari pemanfaatan bahan organik oleh bakteri melalui proses konversi. Pembentukan bakteri baru meningkatkan persaingan antar bakteri dalam memanfaatkan bahan organik.
Penurunan bahan organik akibat proses dekomposisi dan kompetisi
dalam memanfaatkan bahan organik menyebabkan penurunan jumlah koloni bakteri.
D. Kualitas Fisika Kimia Air Limbah Domestik setelah Pengolahan Di bawah ini adalah hasil analisis parameter fisika kimia air limbah domestik pada berbagai perlakuan lama aerasi dan tanpa aerasi. Pengamatan terhadap mutu air olahan dilakukan sebanyak empat kali ulangan untuk setiap perlakuan dengan aerasi dan tanpa aerasi.
1. Suhu Suhu sebelum proses pengolahan berkisar pada 25,3 – 25,9 °C. Selama masa pengamatan nilai suhu mengalami fluktuasi yang relatif tidak terlalu nyata/ signifikan (Gambar 12).
Gambar 12. Rata-rata suhu selama penelitian
24
Pengamatan pada perlakuan dengan aerasi menunjukkan kisaran suhu 24,3 – 26,5 °C dengan perubahan antara -7,67 dan 3,75 % dari nilai suhu sebelum proses pengolahan, sedangkan pada perlakuan tanpa aerasi suhu berada pada kisaran 24,9 – 26,0 °C dengan perubahan antara -1,38 dan 1,66 % dari nilai suhu sebelum proses pengolahan.
Nilai perubahan positif menunjukkan penurunan
nilai parameter, sedangkan nilai perubahan negatif menunjukkan peningkatan nilai parameter. Nilai suhu yang berfluktuatif dengan rentang yang sempit disebabkan oleh suhu tempat pengamatan yang relatif stabil. Analisis statistika (selang kepercayaan 95 %) menunjukkan terdapatnya perbedaan yang nyata pada hasil pengamatan suhu antara perlakuan aerasi, yaitu pada periode aerasi 12 - 24 jam dan 24 – 48 jam. Sedangkan pada hasil pengamatan suhu perlakuan tanpa aerasi tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hasil analisis uji nilai tengah (uji-t) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara hasil pengamatan perlakuan aerasi dan hasil pengamatan perlakuan tanpa aerasi (Lampiran 3).
Secara umum, kisaran suhu selama pengamatan
merupakan kisaran suhu yang optimal untuk pengolahan limbah secara biologi.
2. pH Kondisi pH yang tidak netral pada air limbah akan menyulitkan proses biologis sehingga mengganggu proses penjernihannya (Sugiharto, 1987). Bakteri pada umumnya tumbuh dengan baik pada pH netral dan alkalis. Oleh karena itu, proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral dan alkalis (Boyd, 1988). Pengamatan sebelum proses pengolahan menunjukkan nilai pH antara 7,01 dan 7,68. Nilai ini masih memenuhi kisaran baku mutu yang ditetapkan yaitu 6 – 9. Hasil pengamatan menunjukkan perbedaan nilai pH antara perlakuan aerasi dan perlakuan tanpa aerasi (Gambar 13). Hasil pengamatan menunjukkan peningkatan nilai pH setelah perlakuan aerasi yaitu berada pada kisaran 7,53 – 8,60 dengan perubahan -2,64 sampai 4,22 % dari nilai pH sebelum proses pengolahan. Pada pengamatan perlakuan tanpa aerasi menunjukkan penurunan nilai pH yaitu pada kisaran 6,56 – 6,86 dengan perubahan -3,34 sampai 7,25 % dari nilai pH sebelum proses pengolahan.
25
Nilai perubahan positif menunjukkan penurunan nilai parameter, sedangkan nilai perubahan negatif menunjukkan peningkatan nilai parameter.
0
Gambar 13. Rata-rata pH selama penelitian
Hasil analisis statistika (selang kepercayaan 95 %) menunjukkan terdapatnya nilai pH yang berbeda nyata pada hasil pengamatan setiap perlakuan baik pada perlakuan aerasi (berbeda nyata pada semua periode waktu perlakuan) maupun pada perlakuan tanpa aerasi (berbeda nyata pada periode waktu perlakuan awal – 12 jam dan 12 – 24 jam). Uji nilai tengah (uji-t) menunjukkan adanya perbedaan antara hasil pengamatan perlakuan dengan aerasi dan hasil perlakuan tanpa aerasi (Lampiran 4).
Pemberian aerasi yang semakin lama cenderung
menyebabkan meningkatnya nilai pH (kecuali pada lama aerasi 72 jam). Hal ini diduga karena aerasi menyebabkan terlepasnya gas-gas yang bersifat asam (seperti CO2) ke atmosfer.
3. Oksigen terlarut/Dissolved Oxygen (DO) Dekomposisi bahan organik sangat bergantung pada keberadaan oksigen yang terlarut di perairan. Jumlah oksigen terlarut yang ada di perairan harus mencukupi kebutuhan mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik yang ada di perairan. Semakin banyak kandungan bahan organik di perairan, maka semakin banyak pula jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses
26
dekomposisi. Untuk alasan inilah, maka percobaan ini memberikan pasokan oksigen (melalui aerasi) ke dalam air limbah yang diolah. Pengamatan sebelum proses pengolahan menunjukkan nilai DO yang rendah dan tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan (4 mg/l) yaitu dalam kisaran 3,53 - 3,71 mg/l.
Rendahnya nilai DO ini disebabkan oleh proses
dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik yang terdapat di perairan.
Nilai DO selama pengamatan menunjukkan perbedaan hasil antara
perlakuan dengan aerasi dan perlakuan tanpa aerasi (Gambar 14).
Gambar 14. Rata-rata DO selama penelitian
Peningkatan nilai DO terjadi pada perlakuan aerasi dari nilai DO sebelum perlakuan yaitu dalam kisaran 6,19 – 7,37 mg/l dengan perubahan -78,50 sampai 1,64 %. Peningkatan ini terjadi disebabkan adanya pasokan oksigen selama masa perlakuan melalui aerator yang berguna dalam menyediakan oksigen bagi mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik.
Nilai DO perlakuan
tanpa aerasi menunjukkan penurunan dari nilai DO sebelum perlakuan yaitu dalam kisaran 1,30 – 2,32 mg/l dengan perubahan -20,48 sampai 38,64 %. Penurunan ini disebabkan adanya konsumsi oksigen oleh mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik.
Nilai perubahan positif menunjukkan
peningkatan nilai parameter, sedangkan nilai perubahan negatif menunjukkan penurunan nilai parameter.
27
Analisis statistika (selang kepercayaan 95 %) menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar waktu perlakuan baik pada perlakuan aerasi (berbeda nyata pada periode waktu perlakuan awal – 12 jam, 12 – 24 jam, dan 24 – 48 jam) maupun perlakuan tanpa aerasi (berbeda nyata pada periode waktu perlakuan awal – 12 jam, 12 – 24 jam, dan 48 – 72 jam). Uji nilai tengah (uji-t) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara hasil perlakuan aerasi dan perlakuan tanpa aerasi (Lampiran 5).
Hasil ini menunjukkan pemberian aerasi sangat
mempengaruhi parameter DO. Hasil pengamatan terhadap parameter DO menunjukkan bahwa pemberian aerasi pada penambahan bakteri Bacillus sp. dalam pengolahan air limbah domestik memberikan hasil yang signifikan terhadap peningkatan kandungan oksigen terlarut. Kandungan oksigen terlarut yang mencukupi akan mempercepat dan mengoptimalkan proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme.
4. Daya Hantar Listrik (DHL) Nilai DHL menggambarkan jumlah garam-garam terlarut pada suatu perairan yang dapat terionisasi. Nilai DHL yang diperoleh pada pengamatan sebelum proses pengolahan menunjukkan nilai yang rendah dan memenuhi baku mutu yang ditetapkan yaitu berkisar pada 370 – 450 µS/cm. Hasil pengamatan baik perlakuan aerasi maupun perlakuan tanpa aerasi menunjukkan perubahan yang tidak terlalu signifikan, meskipun pada perlakuan aerasi nilai DHL cenderung mengalami penurunan dari nilai sebelum pengolahan, dan sebaliknya pada perlakuan tanpa aerasi nilai DHL cenderung mengalami peningkatan (Gambar 15). Nilai DHL berdasarkan hasil pengamatan pada perlakuan aerasi menunjukkan sedikit penurunan dari nilai sebelum pengolahan, yaitu pada kisaran 362 – 409 µS/cm dengan perubahan -3,25 sampai 9,00 % dari nilai DHL sebelum proses pengolahan.
Hasil pengamatan perlakuan tanpa aerasi menunjukkan
sedikit peningkatan dari nilai sebelum pengolahan, yaitu berkisar 395 – 464 µS/cm dengan perubahan -6,78 sampai -0,21 % dari nilai DHL sebelum proses pengolahan. Nilai perubahan positif menunjukkan penurunan nilai parameter, sedangkan nilai perubahan negatif menunjukkan peningkatan nilai parameter.
28
Gambar 15. Rata-rata DHL selama penelitian
Analisis statistika (selang kepercayaan 95 %) menunjukkan pada hasil pengamatan antar perlakuan aerasi tidak terdapat perbedaan yang nyata, sedangkan pada hasil pengamatan perlakuan tanpa aerasi terdapat perbedaan yang nyata. Namun, setelah dilakukan uji lanjut BNT menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata hasil perlakuan tanpa aerasi pada setiap periode perlakuan (awal-12 jam, 12 – 24 jam, 24 – 48 jam, dan 48 – 72 jam). Hasil uji nilai tengah (uji-t) terhadap kedua perlakuan memberikan hasil adanya perbedaan yang nyata antara hasil pengamatan perlakuan dengan aerasi dan hasil pengamatan perlakuan tanpa aerasi
(Lampiran 6). Hasil ini menggambarkan bahwa pemberian aerasi
memberikan pengaruh pada parameter DHL.
Tingginya kandungan bahan
organik (misalnya sukrosa dan benzena) yang merupakan penghantar listrik yang buruk menyebabkan nilai DHL air limbah domestik tergolong rendah, ditambah lagi dengan adanya dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme yang salah satu prosesnya adalah absorbsi bahan-bahan organik terlarut.
5. Total Suspended Solid (TSS) Nilai TSS menggambarkan jumlah partikel tersuspensi pada suatu perairan. Nilai TSS pada pengamatan sebelum proses pengolahan menunjukkan kandungan partikel koloid yang tinggi dan tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan, yaitu berkisar pada 598 – 816 mg/l. Tingginya nilai TSS pada suatu
29
perairan dapat menyebabkan peningkatan kekeruhan sehingga menghalangi intensitas cahaya yang masuk dan menghambat proses fotosintesis, selain itu dapat menyebabkan pendangkalan pada perairan. Pengamatan pada perlakuan aerasi dan perlakuan tanpa aerasi menunjukkan adanya penurunan nilai TSS (Gambar 16).
Gambar 16. Rata-rata TSS selama penelitian
Hasil pengamatan perlakuan aerasi menunjukkan penurunan nilai TSS yang signifikan dari nilai sebelum pengolahan. Nilai TSS setelah waktu aerasi 12 jam menurun sekitar 60 % (nilai TSS setelah aerasi 12 jam berkisar pada 225 – 347 mg/l), kemudian terus menurun sampai akhir perlakuan dengan persentase yang lebih kecil. Nilai TSS rata-rata setelah waktu aerasi 12 jam telah memenuhi baku mutu. Penurunan nilai TSS yang signifikan diduga akibat pemberian aerasi dan penambahan bakteri Bacillus sp. yang mempercepat proses dekomposisi bahan organik, lalu diikuti proses flokulasi bakteri yang kemudian mengendap setelah aerator dimatikan selama 30 menit. Pengamatan perlakuan tanpa aerasi menunjukkan nilai TSS menurun sekitar 16 % (nilai TSS setelah pengolahan tanpa aerasi 12 jam berkisar pada 491 – 693 mg/l), kemudian terus menurun dengan persentase penurunan yang relatif sama dengan periode awal – 12 jam. Hasil analisis statistika (selang kepercayaan 95 %) menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata pada hasil pengamatan perlakuan dengan aerasi (berbeda
30
nyata pada waktu perlakuan awal – 12 jam dan 12 – 24 jam) maupun pada hasil pengamatan perlakuan tanpa aerasi (berbeda nyata pada periode waktu perlakuan awal – 12 jam). Uji nilai tengah (uji-t) terhadap kedua perlakuan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara hasil pengamatan perlakuan dengan aerasi dan hasil pengamatan perlakuan tanpa aerasi (Lampiran 7).
Hasil ini
menunjukkan bahwa pemberian aerasi dan penambahan bakteri Bacillus sp. memberikan pengaruh nyata pada penurunan nilai parameter TSS di dalam air limbah olahan. Penurunan yang nyata ini telah terlihat ketika air limbah diolah (diaerasi) selama 12 jam.
6. Biological Oxygen Demand (BOD) Kandungan bahan organik yang mudah didegradasi di suatu perairan digambarkan dengan nilai BOD. Semakin tinggi nilai BOD suatu perairan, maka semakin tinggi pula kandungan bahan organiknya dan mengindikasikan bahwa tingkat pencemaran perairan tersebut semakin tinggi. Nilai BOD yang diperoleh pada pengamatan sebelum proses pengolahan berada pada kisaran 286,31 – 322,79 mg/l. Hasil selama pengamatan perlakuan aerasi dan perlakuan tanpa aerasi menunjukkan adanya penurunan nilai BOD (Gambar 17).
Gambar 17. Rata-rata BOD selama penelitian
31
Penurunan nilai BOD yang signifikan diperoleh pada pengamatan perlakuan aerasi, yaitu setelah aerasi 12 jam. Nilai BOD menurun sekitar 96% (nilai BOD setelah aerasi 12 jam berkisar pada 8,52 – 11,51 mg/l) dari nilai BOD sebelum proses pengolahan. Hasil pengamatan perlakuan dengan aerasi setelah waktu 12 jam diperoleh nilai BOD rata-rata yang telah memenuhi baku mutu yang ditetapkan pemerintah.
Penurunan ini diduga karena pemberian aerasi dan
penambahan bakteri Bacillus sp. telah mempercepat dan mengoptimalkan proses dekomposisi bahan organik. Hasil pengamatan perlakuan tanpa aerasi diperoleh nilai BOD menurun sekitar 6% (267 – 307 mg/l) dari nilai BOD sebelum proses pengolahan. Hasil analisis statistika (selang kepercayaan 95 %) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata baik antar waktu perlakuan pada perlakuan dengan aerasi terutama pada waktu aerasi awal – 12 jam. Hal yang sama juga terjadi pada perlakuan tanpa aerasi. Hasil uji nilai tengah (uji-t) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara hasil pengamatan perlakuan dengan aerasi dan hasil pengamatan perlakuan tanpa aerasi (Lampiran 8). Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian aerasi
dan penambahan
bakteri
Bacillus
sp.
sangat
nyata
mempengaruhi penurunan parameter BOD yang terdapat di dalam air limbah.
7. Chemical Oxygen Demand (COD) Sama halnya dengan BOD, COD juga menggambarkan kandungan bahan organik di suatu perairan. Namun COD dapat menggambarkan kandungan bahan organik yang dapat dioksidasi secara kimiawi, baik yang biodegradable maupun yang nonbiodegradable. Tingginya nilai COD menggambarkan tingginya tingkat pencemaran suatu perairan.
Hasil pengamatan sebelum proses pengolahan
menunjukkan nilai COD air limbah berkisar pada 431,03 – 601,50 mg/l. Hasil yang diperoleh selama pengamatan perlakuan baik dengan aerasi maupun tanpa aerasi menunjukkan pola penurunan nilai COD (Gambar 18). Pada perlakuan aerasi diperoleh penurunan nilai COD yang cukup signifikan selama perlakuan, yaitu setelah aerasi 12 jam nilai COD menurun sekitar 82% (93,19 – 109,01 mg/l) dari nilai COD sebelum proses pengolahan. Sama halnya pada pengamatan parameter TSS dan BOD, nilai COD rata-rata telah
32
memenuhi baku mutu setelah waktu perlakuan aerasi 12 jam. Hasil pengamatan perlakuan tanpa aerasi menunjukkan nilai COD menurun sekitar 9% (383,01 – 553,53 mg/l) dari nilai COD sebelum proses pengolahan. Hingga akhir waktu perlakuan aerasi (72 jam), nilai COD tidak mencapai batas baku mutu yang ditetapkan pemerintah.
Gambar 18. Rata-rata COD selama penelitian
Hasil analisis statistika (selang kepercayaan 95 %) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada hasil pengamatan antar perlakuan dengan aerasi terutama pada waktu aerasi awal - 12 jam, sedangkan pada hasil pengamatan antar perlakuan tanpa aerasi tidak terdapat perbedaan yang nyata. Uji nilai tengah (ujit) terhadap kedua perlakuan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara hasil pengamatan perlakuan dengan aerasi dan hasil pengamatan perlakuan tanpa aerasi (Lampiran 9).
Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian aerasi dan
penambahan bakteri Bacillus sp. dalam pengolahan air limbah domestik memberikan pengaruh besar pada penurunan nilai COD pada air hasil olahan.
E. Hubungan antara Air Limbah Domestik, Bakteri, dan Aerasi Air limbah domestik yang berasal dari kegiatan rumah tangga umumnya memiliki kandungan bahan organik tinggi yang akan meningkatkan pencemaran badan air penerimanya sehingga mengganggu sistem ekologi perairan tersebut.
33
Dampak yang ditimbulkan oleh tingginya kandungan bahan organik air limbah secara langsung dan tidak langsung merugikan perairan. Proses dekomposisi oleh mikroorganisme dapat menurunkan kandungan DO di perairan. Semakin tinggi bahan organik, maka semakin banyak pula oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme sehingga menyebabkan penurunan oksigen terlarut di perairan tersebut bahkan sampai pada kondisi anaerob.
Kondisi anaerob ini akan
menimbulkan gas-gas toksik seperti H2S, NH3, dan CH4 yang berbahaya bagi organisme perairan.
Selain itu, proses dekomposisi bahan organik akan
menghasilkan senyawa nutrien N dan P.
Peningkatan kedua senyawa ini
berdampak pada penyuburan perairan (eutrofikasi) yang menyebabkan terjadinya blooming alga. Suatu perairan secara alamiah memiliki kemampuan pulih diri untuk mengurangi bahan pencemar yang masuk ke dalam perairan tersebut (purifikasi). Pengolahan air limbah secara biologi dilakukan untuk mempercepat dan mengoptimalkan proses purifikasi.
Penambahan bakteri sebagai agen biologi
merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mengolah air limbah yang mengandung bahan organik.
Pemberian aerasi bertujuan untuk memberikan
pasokan oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik. Penelitian pengolahan bahan organik air limbah domestik dengan pemberian aerasi dan penambahan bakteri Bacillus sp. menunjukkan hasil yang sangat baik. Perlakuan dengan aerasi 12 jam ternyata telah berhasil menurunkan bahan organik secara lebih optimal (BOD turun sebesar 96,67 % dan nilai COD turun sebesar 81,65 %) dibandingkan perlakuan waktu aerasi yang lebih lama. Hal demikian menjadi petunjuk (indikator) bahwa telah terjadi pemanfaatan bahan organik oleh bakteri Bacillus sp. (Lampiran 12). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muchtar (2007) tentang pemanfaatan bakteri untuk mengolah limbah domestik (kantin) menunjukkan bakteri Bacillus sp. mampu menurunkan nilai COD sebesar 66,44 % dengan waktu retensi 3 hari.
Penelitian mengenai pemanfaatan tumbuhan air untuk
pengolahan limbah yang dilakukan oleh Mursalin (2007) menunjukkan Lemna sp. mampu menurunkan nilai COD sebesar 89 % dengan waktu retensi 6 hari.
34
Penelitian yang dilakukan oleh Apriadi (2008) tentang pemanfaatan kombinasi tanaman air dan bakteri menunjukkan bahwa kombinasi Lemna-Bacillus mampu menurunkan bahan organik sebesar 86,51 % dengan waktu retensi 6 hari. Ketiga penelitian tersebut tidak melakukan penambahan aerasi. Dibandingkan dengan hasil-hasil yang diperoleh para peneliti di atas, hasil penelitian dengan perlakuan aerasi dan penambahan bakteri Bacillus sp. terhadap air limbah domestik ternyata dapat mempercepat waktu yang dibutuhkan untuk mereduksi bahan organik. Penurunan nilai COD dan BOD dipengaruhi oleh aktivitas bakteri melalui proses transfer, konversi, dan flokulasi. Optimalisasi ketiga proses ini bergantung pada kontinuitas waktu kontak bakteri dengan bahan organik dan keberadaan oksigen di air limbah.
Sifat bakteri yang menyebar
(disperse) di perairan (melalui aerasi) diduga mengoptimalkan kontak bakteri dengan bahan organik. Aerasi yang diberikan, selain berfungsi memasok oksigen, juga berfungsi mengaduk air limbah secara terus-menerus sehingga memperbesar peluang kontak bakteri dengan bahan organik. Hasil yang telah diperoleh dari penggunaan aerasi dan penambahan bakteri Bacillus sp. menunjukkan bahwa sistem ini layak digunakan dalam pengolahan air limbah domestik (perumahan) dengan mempertimbangkan debit air limbah domestik yang fluktuatif namun terus menerus. Efektivitas terhadap hasil air limbah olahan serta optimalitas dari waktu pengolahan menjadi keunggulan sistem ini dalam kegiatan pengolahan air limbah domestik.
F. Keuntungan Aplikasi Pengolahan Air Limbah Metode Biologi Hasil penelitian ini menunjukkan sistem pengolahan air limbah dengan penambahan isolat Bacillus sp. dengan dosis 1 ml/l serta pemberian aerasi memberikan hasil yang efektif dan cepat mengolah air limbah domestik. Oleh karena itu, pengolahan air limbah domestik dengan metode tersebut layak diaplikasikan dalam skala lapangan khususnya di pemukiman masyarakat. Keuntungan dari pengolahan air limbah dengan metode biologi ini adalah air olahan yang dihasilkan memenuhi baku mutu sehingga layak dibuang ke badan air penerima sehingga tidak menimbulkan peningkatan pencemaran. Selain itu, aman digunakan sebagai sumber air baku untuk berbagai kegiatan rumah tangga
35
karena metode ini tidak menggunakan bahan kimia pada tahapan pengolahan. Sisa endapan lumpur biologi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pupuk karena mengandung bahan-bahan anorganik hasil dekomposisi bakteri. Dalam pembangunan instalasi pengolahan air limbah tentunya banyak hal yang menjadi perhatian dan memerlukan pengkajian secara khusus, namun pada penelitian ini hanya dibahas secara umum dan mendasar. Sistem pengolahan air limbah dengan metode Sequential Bacth Reactor (SBR) lebih menguntungkan dibandingkan dengan metode konvensional terutama dari segi kebutuhan lahan. Metode SBR hanya membutuhkan satu buah kolam untuk mengakomodasi proses ekualisasi, aerasi, serta sedimentasi, sehingga lebih cocok untuk pemukiman yang memiliki keterbatasan lahan.
Contoh bentuk instalasi pengolahan air limbah
dengan metode SBR pada sebuah pemukiman dapat dilihat pada Lampiran 13.
G. Potensi Aplikasi IPAL dengan Sistem SBR di Perumnas Bantar Kemang Perumnas Bantar Kemang Bogor yang terdiri atas 1.168 rumah dengan 5.566 jiwa penduduk memiliki saluran outlet air limbah tunggal yang mengalir ke Sungai Ciliwung dengan debit rata-rata 101.088 liter/hari (Cordova, 2008). Jika instalasi pengolahan air limbah akan dibangun di Perumnas Bantar Kemang (dengan data debit air limbah sebesar 100 m3 per hari dan toleransi terhadap adanya peningkatan debit air limbah sekitar 50 % per hari), maka volume bak SBR yang akan dibangun berukuran 150 m3. Berdasarkan ukuran ini, maka luas lahan yang diperlukan adalah 100 m2 dengan kedalaman maksimum bak 1,5 m. Dengan kedalaman bak yang relatif dangkal ini diharapkan proses dekomposisi dapat berlangsung pada seluruh kolom air. Pada penerapannya, instalasi SBR di atas dapat dibangun sebanyak 2 buah (bak SBR I dan bak SBR II) yang letaknya dapat saling berdampingan untuk mengakomodasi air limbah yang dihasilkan secara terus-menerus (Lampiran 13). Masing-masing bak SBR akan beroperasi secara bergantian. Pada mulanya, bak SBR I akan memulai operasi dengan menampung air limbah yang masuk selama 24 jam pertama. Kemudian selama 12 jam pada hari berikutnya, pada bak SBR ini dilakukan proses aerasi (sesuai dengan hasil penelitian), lalu dilanjutkan dengan proses sedimentasi (sekitar 30 menit) dan proses pembuangan air limbah
36
hasil olahan.
Sementara bak SBR I tengah beroperasi (proses aerasi dan
sedimentasi), maka bak SBR II akan menampung air limbah untuk selanjutnya diolah pada hari berikutnya. Dengan cara demikian, bak SBR I dan II akan bergantian menjalankan tugasnya untuk mengolah air limbah. Jika lumpur biologi yang mengandung bakteri Bacillus sp. pada masing-masing bak SBR telah menumpuk banyak, maka lumpur ini bisa dibuang atau digunakan sebagai pupuk tanaman di sekitar taman Perumnas Bantar Kemang. Selain bak SBR I dan II di atas, sebaiknya instalasi ini juga dilengkapi dengan 2 buah bak lain yang terletak sebelum bak SBR, yaitu kolam penyaringan (screening) dan kolam oil trap (Lampiran 13). Kolam penyaringan berfungsi memisahkan benda-benda padat seperti kayu, plastik, maupun benda padat lain yang dapat mengganggu proses pengolahan air limbah. Kolam oil trap berfungsi memisahkan partikel minyak dari air limbah yang akan diolah. Kedua kolam ini dibuat dengan ukuran yang proporsional sehingga dapat menunjang proses pengolahan air limbah. Selain faktor ketersedian lahan, yang perlu dipertimbangkan dalam membangun instalasi pengolahan air limbah di Perumnas Bantar Kemang adalah biaya konstruksi SBR, penyediaan listrik untuk aerator, upah operator, pemeliharaan alat dan instalasi serta kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Dalam
penelitian ini hanya dibahas mengenai kebutuhan biaya untuk penyediaan listrik guna kepentingan operasional aerator berdasarkan data-data yang diperoleh. Berdasarkan hasil penelitian Cordova (2008), Perumnas Bantar Kemang Bogor memiliki debit 101.088 liter/hari.
Aerator yang digunakan dalam penelitian
berdaya 20 Watt untuk mengaerasi 30 liter air limbah.
Jika diasumsikan
kebutuhan daya listrik untuk aerasi berbanding lurus dengan volume air limbah, maka daya listrik yang dibutuhkan untuk mengaerasi air limbah Perumnas Bantar Kemang Bogor (101.088 liter) adalah 67 kWh. Jika rata-rata tarif listrik maksimal untuk kepentingan rumah tangga berdasarkan data PLN (2003) adalah Rp. 500 per kWh, maka biaya penyediaan listrik untuk mengaerasi air limbah Perumnas Bantar Kemang Bogor adalah Rp. 404.352,- per hari. Jika biaya ini dibebankan pada setiap rumah maka setiap rumah di Perumnas Bantar Kemang Bogor membutuhkan sekitar Rp. 350,- per hari untuk aerasi air limbah.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pengolahan air limbah domestik (sebanyak 2 liter) dengan menambahkan 1 ml biakan Bacillus sp. dan diaerasi selama 12, 24, 48 dan 72 jam telah berpengaruh sangat nyata terhadap penurunan nilai berbagai parameter pencemar dalam air limbah hasil olahannya. Penurunan tersebut terutama terjadi pada nilainilai parameter BOD, COD dan TSS. Dari keempat macam perlakuan lama aerasi seperi disebutkan di atas, ternyata perlakuan dengan lama aerasi 12 jam sangat efektif menurunkan bahan pencemar BOD (96%), COD (82%), dan TSS (60%) dalam air limbah hingga berada di bawah baku mutu yang telah ditetapkan pemerintah. Pengolahan air limbah dengan metode biologi sistem SBR lebih menguntungkan dari segi penyediaan lahan dan biaya.
Selain itu, hasil air
olahannya tidak menimbulkan peningkatan pencemaran badan air penerima dan dapat menjadi sumber air baku untuk berbagai kegiatan rumah tangga.
B. Saran Hasil penelitian ini sebaiknya dipertimbangkan untuk dapat diterapkan dalam skala yang lebih besar/luas untuk mengolah air limbah domestik di berbagai pemukiman sebelum dibuang ke perairan umum (seperti sungai, situ, rawa dan sebagainya).
Untuk kasus Perumnas Bantar Kemang Bogor dan
sebagian pemukiman di kota besar, perlu pengkajian mengenai ketersediaan lahan untuk IPAL.
Salah satu alternatif menyiasati kendala lahan adalah dengan
membangun IPAL terpadu yang mengakomodasi pengolahan air limbah dari beberapa daerah pemukiman seperti yang telah dilakukan di Bali mulai tahun 2005 (Lampiran 14).
DAFTAR PUSTAKA APHA. 2005. (American Public Health Association) Standard Method for The Eximination of Water and Wastewater. APHA. Water Pollution Control Federation. Port City, Baltimore. Apriadi, T. 2008. Kombinasi Bakteri dan Tumbuhan Air sebagai Bioremediator dalam Mereduksi Kandungan Bahan Organik Limbah Kantin. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Beni. 2003. Studi Kualitas Air Baku, Air Limbah, dan Badan Air Penerima Limbah di Instalasi Pengolahan Air (IPA) Pejompongan 1 dan 2, Jakarta Periode 2000-2002. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Boyd, C. E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn University Agricultural Experiment Station, Alabama, USA. Citroreksoko, P. 1996. Prosiding. Pelatihan dan Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi-LIPI. Cibinong. Cordova, M. R. 2008. Kajian Air Limbah Domestik di Perumnas Bantar Kemang, Kota Bogor dan Pengaruhnya pada Sungai Ciliwung. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Efrilia, Y. 2008. Penggunaan Bakteri Bacillus sp. dan Cromobacterium sp. untuk Menurunkan Kadar Minyak Nabati dalam Air. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Http ://en.wikipedia.org/wiki/limbah (24 Mei 2008) Http ://www.pln.co.id/PelayananPelanggan/TDL/TDL2003 (18 Agustus 2008) Http ://www.pemprovbali.go.id/IPAL (18 Agustus 2008) Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik dalam Himpunan Peraturan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2002-2004. Penerbit CV. Eko Jaya: Jakarta.
39
Matjik, A. A. dan M. Sumertajaya. 2000. Rancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. Bogor. Metclaf dan Eddy. 1991. Wastewater Engineering Treatment, Disposal, and Reuse. 3rd edition. McGraw-Hill Companies, Inc: New York. Meidiana, D. 2003. Kondisi Kualitas Air Sungai Cimanuk Jawa Barat, selama Periode Tahun 1998-2002. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muchtar, R. Z. M. 2007. Penggunaan Bakteri Kultur Alami (Alcaligines sp., Bacillus sp., dan Cromobacterium sp.) dalam Pengolahan Air Limbah Rumah Makan (Kantin). Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mursalin, 2007. Pemanfaatan Kayu Apu (Pistia stratiotes), Kiambang (Salvinia molesta), dan Gulma Itik (Lemna perpusilla) dalam Memperbaiki Kondisi Air Limbah Kantin. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Perda Jawa Barat No. 39 Tahun 2000 Peruntukan Air dan Baku Mutu Air Sungai Citarum dan Anak-anak Sungainya di Jawa Barat. Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Diterjemahkan oleh: R. S. Hadioetomo, T. Imas, S. S. Tjirosomo, dan S. L. Angka. UI Press. Jakarta. Pelczar, M. J. dan R. D. Reid. 1958. Microbiolgy. MC Grawhill Book Company, Inc. London. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengolahan Air Limbah. UI Press. Jakarta. Suryadiputra, I N. N. 1995. Pengelolaan Air Limbah dengan Metode Biologi. Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika. Alih bahasa: Ir. Bambang Sumantri. Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
LAMPIRAN
41
Lampiran 1. Peralatan dan bahan-bahan yang digunakan selama penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian Kegiatan
Alat yang digunakan
Pengumpulan air limbah
Ember, wadah/tandon air (250 liter)
Peralatan pengolahan air limbah
Stoples (3 liter), aerator, selang aerator, batu aerasi
Analisis kualitas air
Termometer, DHL/conductivity meter, DO meter, pH meter, labu erlenmeyer, gelas piala, pipet, buret, bulb, botol BOD, gelas ukur 1 liter, kertas saring, vacum pump
Analisis koloni bakteri
Cawan petri,
jarum ose,
bunsen,
pipet,
autoclave
Bahan-bahan yang digunakan dalam analisis kualitas air Parameter
Bahan kimia yang digunakan
COD
H2SO4 pekat, Ferroin, K2Cr2O7, larutan FAS, akuades
Analisis parameter kualitas air dan alat/metode yang digunakan (APHA, 2005) Parameter Suhu
Satuan ºC
Alat
Metode
Termometer
-
pH
-
pHmeter
Elektroda
DO
mg/liter
Dometer
Probe Elektroda
DHL
µS/cm
Conductivitymeter Probe Elektroda
TSS
mg/liter
-
Gravimetrik
BOD
mg/liter
Dometer
Probe Elektroda
COD
mg/liter
-
Titrimetrik
Koloni Bakteri
cfu/ml
Cawan tuang
Standart Plate Count (SPC)
42
Lampiran 2. Data jumlah koloni bakteri Bacillus sp. selama penelitian a. Stok awal bakteri Bacillus sp. : 1,07x1012 cfu/ml
b. Jumlah rata-rata koloni bakteri selama penelitian Jumlah koloni bakteri (cfu/ml) pada pengamatan AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM 6,50x107 7,60x109 5,64x1010 6,20x106 2,87x104 9,73x107 8,75x109 7,80x1010 5,50x106 3,75x104 7 9 10 6 8,68x10 8,80x10 8,50x10 5,27x10 2,60x104 8,50x107 8,50x109 9,05x1010 5,75x106 3,80x104 7 9 10 6 8,35x10 8,41x10 7,75x10 5,68x10 3,26x104 7 8 8 7 6,50x10 4,50x10 7,20x10 9,80x10 2,05x107 9,73x107 4,80x108 7,75x108 8,58x107 1,76x107 7 8 8 7 8,68x10 4,25x10 7,70x10 9,50x10 1,80x107 7 8 8 7 8,50x10 4,95x10 7,50x10 9,27x10 1,50x107 8,35x107 4,63x108 7,54x108 9,29x107 1,78x107
Perlakuan AERASI 1 AERASI 2 AERASI 3 AERASI 4 Rataan KONTROL 1 KONTROL 2 KONTROL 3 KONTROL 4 Rataan
c. Tabel anova perlakuan aerasi SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 1,8 x 1022 6,7 x 1020 1,9 x 1022
KT 4,6 x 1021 4,5 x 1019
Fhitung 102,65409
Ftabel 3,055568
BNT 1,0 x 1010
Hipotesis : H0 : Aerasi (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Aerasi (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung > Ftabel berarti tolak H0.
Minimal ada satu perlakuan aerasi yang
memberikan perbedaan yang nyata terhadap koloni bakteri pada selang kepercayaan 95%. Uji lanjut BNT perlakuan aerasi AWAL AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
12 JAM
24 JAM
48 JAM
7,7 x 1010 7,7 x 1010
5,6 x 106
72 JAM
9
-8,3 x 10 10 -7,7 x 10 7,8 x 107 8,3 x 107
10
-6,9 x 10 8,4 x 109 8,4 x 109
Uji lanjut BNT perlakuan aerasi terhadap koloni bakteri menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada waktu perlakuan 12 – 24 jam dan 24 – 48 jam.
43
Lampiran 2. (lanjutan) d. Tabel anova perlakuan tanpa aerasi (kontrol) SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 18 1,6 x 10 15 5,4 x 10 1,6 x 1018
KT 17 4,0 x 10 14 3,6 x 10
Fhitung 1104,10954
Ftabel 3,055568
BNT 7 2,87 x 10
Hipotesis : H0 : Kontrol (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Kontrol (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung > Ftabel berarti tolak H0. Minimal ada satu perlakuan tanpa aerasi yang memberikan perbedaan yang nyata terhadap koloni bakteri pada selang kepercayaan 95%. Uji lanjut BNT perlakuan tanpa aerasi AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
AWAL
12 JAM
24 JAM
48 JAM
-3,8 x 108 -6,7 x 108 -9,4 x 106 6,6 x 107
-2,9 x 108 3,7 x 108 4,4 x 108
6,6 x 108 7,4 x 108
7,5 x 107
72 JAM
Uji lanjut BNT perlakuan tanpa aerasi terhadap koloni bakteri menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada semua waktu perlakuan.
e. Uji Nilai Tengah (uji-t) Uji Nilai Tengah (uji-t) dilakukan untuk melihat perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan aerasi dan perlakuan tanpa aerasi (kontrol) terhadap jumlah koloni bakteri. Hipotesis :
H0 : perlakuan aerasi = perlakuan kontrol H1 : perlakuan aerasi ≠ perlakuan kontrol
Hasil : thitung ttabel
= 2,488966 = 2,13145
thitung > ttabel, berarti tolak H0, maka dapat disimpulkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan aerasi dan perlakuan kontrol terhadap jumlah koloni bakteri pada selang kepercayaan 95%.
44
Lampiran 3. Data nilai suhu selama penelitian a. Data mentah nilai suhu selama penelitian Perlakuan
AWAL 25,9 25,2 25,5 25,8 25,6 25,9 25,2 25,5 25,8 25,6
AERASI 1 AERASI 2 AERASI 3 AERASI 4 Rataan KONTROL 1 KONTROL 2 KONTROL 3 KONTROL 4 Rataan
Nilai suhu (oC) pada pengamatan 12 JAM 24 JAM 48 JAM 24,5 24,8 24,4 24,4 25,5 24,5 24,9 25,6 24,5 25,6 25,6 24,3 24,9 25,4 24,4 25,4 24,8 25,3 25,1 25,2 25,8 24,9 25,5 25,8 25,3 25,5 25,0 25,2 25,3 25,5
72 JAM 26,0 26,3 26,4 26,5 26,3 26,1 25,9 25,7 25,6 25,8
b. Tabel persen perubahan suhu perlakuan aerasi selama penelitian
AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
MIN 25,3 24,3 25,0 24,3 26,1
MAX 25,9 25,4 25,8 24,5 26,5
AERASI RATAAN 25,6 24,8 25,4 24,4 26,3
%PERUBAHAN 2,94 -2,12 3,74 -7,67
c. Tabel persen perubahan suhu perlakuan tanpa aerasi (kontrol) selama penelitian
AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
MIN 25,3 25,0 24,9 25,1 25,6
MAX 25,9 25,4 25,6 25,9 26,0
KONTROL RATAAN 25,6 25,2 25,2 25,5 25,8
%PERUBAHAN 1,66 -0,29 -0,89 -1,38
d. Tabel anova perlakuan dengan aerasi SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 8,253 1,805 10,058
KT 2,06325 0,120333
Fhitung 17,14612
Ftabel 3,055568
BNT 0,52282
Hipotesis : H0 : Aerasi (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Aerasi (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung > Ftabel berarti tolak H0.
Minimal ada satu perlakuan aerasi yang
memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai suhu pada selang kepercayaan 95%.
45
Lampiran 3. (lanjutan)
Uji lanjut BNT perlakuan aerasi AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
AWAL
12 JAM
24 JAM
48 JAM
0,75 0,23 1,17 -0,70
-0,53 0,42 -1,45
0,95 -0,93
-1,87
72 JAM
Uji lanjut BNT perlakuan tanpa aerasi terhadap nilai suhu menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada semua waktu perlakuan.
e. Tabel anova perlakuan tanpa aerasi (kontrol) SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 1,113 1,3925 2,5055
KT 0,27825 0,092833
Fhitung 2,997307
Ftabel 3,055568
Hipotesis : H0 : Kontrol (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Kontrol (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung < Ftabel berarti gagal tolak H0.
Perlakuan kontrol tidak memberikan
perbedaan yang nyata terhadap nilai suhu pada selang kepercayaan 95%.
f. Uji Nilai Tengah (uji-t) Uji Nilai Tengah (uji-t) dilakukan untuk melihat perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan aerasi dan perlakuan tanpa aerasi (kontrol) terhadap nilai suhu. Hipotesis :
H0 : perlakuan aerasi = perlakuan kontrol H1 : perlakuan aerasi ≠ perlakuan kontrol
Hasil : thitung ttabel
= -1,1305 = 2,13145
thitung < ttabel, berarti gagal tolak H0, maka dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan aerasi dan perlakuan kontrol terhadap nilai suhu.
46
Lampiran 4. Data nilai pH selama penelitian
a. Data mentah pH selama penelitian Perlakuan
AWAL 7,68 7,18 7,01 7,04 7,23 7,68 7,18 7,01 7,04 7,23
AERASI 1 AERASI 2 AERASI 3 AERASI 4 Rataan KONTROL 1 KONTROL 2 KONTROL 3 KONTROL 4 Rataan
Nilai pH pada pengamatan 12 JAM 24 JAM 48 JAM 7,93 8,41 8,37 7,60 8,29 8,35 8,30 8,16 8,55 7,60 8,15 8,61 7,86 8,25 8,47 6,58 6,96 7,02 6,71 6,84 6,96 6,90 6,97 6,82 6,61 6,92 7,06 6,70 6,92 6,97
72 JAM 8,24 8,14 8,07 8,00 8,11 6,95 6,88 6,82 6,82 6,87
b. Tabel persen perubahan pH perlakuan aerasi selama penelitian
AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
MIN 6,93 7,54 8,13 8,34 8,01
MAX 7,53 8,18 8,37 8,60 8,21
AERASI RATAAN 7,22 7,85 8,25 8,47 8,11
% PERUBAHAN -8,72 -5,09 -2,64 4,22
c. Tabel persen perubahan pH perlakuan tanpa aerasi (kontrol) selama penelitian
AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
MIN 6,93 6,56 6,86 6,86 6,81
MAX 6,93 6,56 6,86 6,86 6,81
KONTROL RATAAN 7,22 6,70 6,92 6,96 6,87
% PERUBAHAN 7,25 -3,34 -0,61 1,39
d. Tabel anova perlakuan dengan aerasi SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 3,65238 0,7503 4,40268
KT 0,913095 0,05002
Fhitung 18,2546
Ftabel 3,055568
BNT 0,158146
Hipotesis : H0 : Aerasi (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Aerasi (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung > Ftabel berarti tolak H0.
Minimal ada satu perlakuan aerasi yang
memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai pH pada selang kepercayaan 95%.
47
Lampiran 4. (lanjutan) Uji lanjut BNT perlakuan aerasi AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
AWAL
12 JAM
24 JAM
48 JAM
-0,63 -1,03 -1,25 -0,89
-0,40 -0,62 -0,26
-0,22 0,14
0,36
72 JAM
Uji lanjut BNT perlakuan aerasi terhadap nilai pH menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada waktu perlakuan Awal – 12 jam, 12- 24 jam, dan 48 – 72 jam.
e. Tabel anova perlakuan tanpa aerasi (kontrol) SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 0,58553 0,407125 0,992655
KT 0,146383 0,027142
Fhitung 5,393276
Ftabel 3,055568
BNT 0,116494
Hipotesis : H0 : Kontrol (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Kontrol (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung > Ftabel berarti tolak H0.
Minimal ada satu perlakuan kontrol yang
memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai pH pada selang kepercayaan 95%. Uji lanjut BNT perlakuan tanpa aerasi AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
AWAL
12 JAM
24 JAM
48 JAM
0,52 0,30 0,26 0,36
-0,22 -0,27 -0,17
-0,04 0,06
0,10
72 JAM
Uji lanjut BNT perlakuan tanpa aerasi terhadap nilai pH menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada waktu perlakuan Awal – 12 jam dan 12- 24 jam.
48
Lampiran 4. (lanjutan) g. Uji Nilai Tengah (uji-t) Uji Nilai Tengah (uji-t) dilakukan untuk melihat perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan aerasi dan perlakuan tanpa aerasi (kontrol) terhadap nilai pH. Hipotesis :
H0 : perlakuan aerasi = perlakuan kontrol H1 : perlakuan aerasi ≠ perlakuan kontrol
Hasil : thitung ttabel
= 25,88946 = 2,13145
thitung > ttabel, berarti tolak H0, maka dapat disimpulkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan aerasi dan perlakuan kontrol terhadap nilai pH.
49
Lampiran 5. Data nilai DO selama penelitian a. Data mentah DO selama penelitian Perlakuan
AWAL 3,52 3,71 3,68 3,57 3,62 3,52 3,71 3,68 3,57 3,62
AERASI 1 AERASI 2 AERASI 3 AERASI 4 Rataan KONTROL 1 KONTROL 2 KONTROL 3 KONTROL 4 Rataan
Nilai DO (mg/l) pada pengamatan 12 JAM 24 JAM 48 JAM 6,71 6,91 7,37 6,06 6,88 7,35 6,57 6,72 7,30 6,52 6,89 7,34 6,47 6,85 7,34 2,15 1,86 1,67 2,19 1,77 1,28 2,18 1,62 1,37 2,37 1,61 1,56 2,22 1,72 1,47
72 JAM 7,27 7,14 7,27 7,20 7,22 1,40 1,81 1,80 2,11 1,78
b. Tabel persen perubahan DO perlakuan aerasi
AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
MIN 3,53 6,19 6,76 7,31 7,16
MAX 3,71 6,75 6,94 7,37 7,28
AERASI RATAAN 3,62 6,46 6,85 7,34 7,22
% PERUBAHAN -78,50 -6,03 -7,16 1,64
c. Tabel persen perubahan DO perlakuan tanpa aerasi (kontrol)
AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
MIN 3,53 2,13 1,60 1,30 1,49
MAX 3,71 2,32 1,83 1,65 2,08
KONTROL RATAAN 3,62 2,22 1,71 1,46 1,76
% PERUBAHAN 38,64 22,92 14,59 -20,48
d. Tabel anova perlakuan aerasi SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 37,76048 0,2997 38,06018
KT 9,44012 0,01998
Fhitung 472,4785
Ftabel 3,055568
BNT 0,213038354
Hipotesis : H0 : Aerasi (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Aerasi (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung > Ftabel berarti tolak H0.
Minimal ada satu perlakuan aerasi yang
memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai DO pada selang kepercayaan 95%.
50
Lampiran 5. (lanjutan) Uji lanjut BNT perlakuan aerasi AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
AWAL
12 JAM
24 JAM
48 JAM
-2,84 -3,23 -3,72 -3,60
-0,39 -0,88 -0,76
-0,49 -0,37
0,12
72 JAM
Uji lanjut BNT perlakuan aerasi terhadap nilai DO menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada waktu perlakuan Awal – 12 jam, 12- 24 jam, dan 24 – 48 jam. e. Tabel anova perlakuan tanpa aerasi (kontrol) SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 11,81608 0,446975 12,26306
KT 2,95402 0,029798
Fhitung 99,13373
Ftabel 3,055568
BNT 0,260169297
Hipotesis : H0 : Kontrol (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Kontrol (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung > Ftabel berarti tolak H0.
Minimal ada satu perlakuan kontrol yang
memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai DO pada selang kepercayaan 95%. Uji lanjut BNT perlakuan tanpa aerasi AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
AWAL
12 JAM
24 JAM
48 JAM
1,40 1,91 2,16 1,86
0,51 0,76 0,46
0,25 -0,05
-0,30
72 JAM
Uji lanjut BNT perlakuan tanpa aerasi terhadap nilai DO menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada waktu perlakuan Awal – 12 jam, 12- 24 jam, dan 48 – 72 jam.
51
Lampiran 5. (lanjutan)
f. Uji Nilai Tengah (uji-t) Uji Nilai Tengah (uji-t) dilakukan untuk melihat perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan aerasi dan perlakuan tanpa aerasi (kontrol) terhadap nilai DO. Hipotesis :
H0 : perlakuan aerasi = perlakuan kontrol H1 : perlakuan aerasi ≠ perlakuan kontrol
Hasil : thitung ttabel
= 31,47699 = 2,13145
thitung > ttabel, berarti tolak H0, maka dapat disimpulkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan aerasi dan perlakuan kontrol terhadap nilai DO.
52
Lampiran 6. Data nilai DHL selama penelitian a. Data mentah DHL selama penelitian Perlakuan
AWAL 0,45 0,37 0,41 0,40 0,41 0,45 0,37 0,41 0,40 0,41
AERASI 1 AERASI 2 AERASI 3 AERASI 4 Rataan KONTROL 1 KONTROL 2 KONTROL 3 KONTROL 4 Rataan
Nilai DHL (mS/cm) pada pengamatan 12 JAM 24 JAM 48 JAM 0,36 0,39 0,39 0,37 0,37 0,41 0,38 0,39 0,37 0,37 0,37 0,40 0,37 0,38 0,39 0,41 0,43 0,43 0,42 0,44 0,42 0,41 0,43 0,47 0,39 0,44 0,45 0,41 0,44 0,44
72 JAM 0,40 0,39 0,39 0,41 0,40 0,45 0,45 0,43 0,46 0,45
b. Tabel persen perubahan perlakuan aerasi MIN 376 362 369 376 388
AWAL 12 JAM 24 JAM 48JAM 72 JAM
MAX 440 378 391 409 407
AERASI RATAAN 407 370 380 392 397
% PERUBAHAN 9,00 -2,69 -3,25 -1,32
c. Tabel persen perubahan perlakuan tanpa aerasi (kontrol) MIN 376 395 429 421 435
AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
MAX 440 420 441 464 460
KONTROL RATAAN 407 407 435 442 447
% PERUBAHAN -0,21 -6,78 -1,64 -1,19
d. Tabel anova perlakuan dengan aerasi SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 3470 5025 8495
KT 867,5 335
Fhitung 2,589552
Ftabel 3,055568
Hipotesis : H0 : Aerasi (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Aerasi (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung < Ftabel berarti gagal tolak H0.
Perlakuan aerasi tidak memberikan
perbedaan yang nyata terhadap nilai DHL pada selang kepercayaan 95%.
53
Lampiran 6. (lanjutan) e. Tabel anova perlakuan tanpa aerasi (kontrol) SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 5920 5800 11720
KT 1480 386,6667
Fhitung 3,827586
Ftabel 3,055568
BNT 29,63660311
Hipotesis : H0 : Kontrol (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Kontrol (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung > Ftabel berarti tolak H0.
Minimal ada satu perlakuan kontrol yang
memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai pH pada selang kepercayaan 95%. Uji lanjut BNT perlakuan tanpa aerasi AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
AWAL
12 JAM
24 JAM
48 JAM
-0,85 -28,47 -35,58 -40,86
-27,62 -34,73 -40,01
-7,12 -12,39
-5,28
72 JAM
Uji lanjut BNT perlakuan tanpa aerasi terhadap nilai DHL menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada beberapa hasil pengukuran, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata antar waktu perlakuan
f. Uji Nilai Tengah (uji-t) Uji Nilai Tengah (uji-t) dilakukan untuk melihat perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan aerasi dan perlakuan tanpa aerasi (kontrol) terhadap nilai DHL. Hipotesis :
H0 : perlakuan aerasi = perlakuan kontrol H1 : perlakuan aerasi ≠ perlakuan kontrol
Hasil : thitung ttabel
= -9,14681 = 2,13145
thitung > ttabel, berarti tolak H0, maka dapat disimpulkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan aerasi dan perlakuan kontrol terhadap nilai DHL.
54
Lampiran 7. Data nilai TSS selama penelitian a. Data mentah nilai TSS selama penelitian Perlakuan
Nilai TSS (mg/l) pada pengamatan 12 JAM 24 JAM 48 JAM 290 130 80 280 120 70 210 120 60 360 150 100 285 130 78 640 620 550 550 530 540 470 560 500 700 630 620 590 585 553
AWAL 780 620 600 820 705 780 620 600 820 705
AERASI 1 AERASI 2 AERASI 3 AERASI 4 Rataan KONTROL 1 KONTROL 2 KONTROL 3 KONTROL 4 Rataan
72 JAM 30 30 30 40 33 540 480 530 580 533
b. Tabel persen perubahan perlakuan aerasi
AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
MIN 598,03 225,30 116,77 61,58 28,00
MAX 815,65 347,76 143,51 94,13 37,12
AERASI RATAAN 698,41 279,91 129,45 76,14 32,24
% PERUBAHAN 59,92 53,75 41,19 57,66
c. Tabel persen perubahan perlakuan tanpa aerasi (kontrol)
AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
MIN 598,03 491,38 538,11 504,84 492,17
MAX 815,65 692,55 632,75 601,05 573,52
KONTROL RATAAN 698,41 583,36 583,51 550,85 531,29
% PERUBAHAN 16,47 -0,03 5,60 3,55
d. Tabel anova perlakuan aerasi SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 1198530 49950 1248480
KT 299632,5 3330
Fhitung 89,97973
Ftabel 3,055568
BNT 86,97254
Hipotesis : H0 : Aerasi (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Aerasi (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung > Ftabel berarti tolak H0.
Minimal ada satu perlakuan aerasi yang
memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai TSS pada selang kepercayaan 95%.
55
Lampiran 7. (lanjutan) Uji lanjut BNT perlakuan aerasi AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
AWAL
12 JAM
24 JAM
48 JAM
418,50 568,96 622,28 666,18
150,46 203,78 247,67
53,31 97,21
43,90
72 JAM
Uji lanjut BNT perlakuan aerasi terhadap nilai TSS menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada hasil perlakuan waktu Awal – 12 jam dan 12 – 24 jam.
e. Tabel anova perlakuan tanpa aerasi (kontrol) SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 71670 87150 158820
KT 17917,5 5810
Fhitung 3,083907
Ftabel 3,055568
BNT 114,881
Hipotesis : H0 : Kontrol (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Kontrol (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung > Ftabel berarti tolak H0.
Minimal ada satu perlakuan kontrol yang
memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai TSS pada selang kepercayaan 95%.
Uji lanjut BNT perlakuan tanpa aerasi AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
AWAL
12 JAM
24 JAM
48 JAM
115,06 114,90 147,57 167,12
-0,15 32,51 52,06
32,67 52,22
19,55
72 JAM
Uji lanjut BNT menunjukkan perlakuan tanpa aerasi terhadap nilai TSS menunjukkan perbedaan yang nyata pada hasil perlakuan waktu Awal – 12 jam.
56
Lampiran 7. (lanjutan) f. Uji Nilai Tengah (uji-t) Uji Nilai Tengah (uji-t) dilakukan untuk melihat perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan aerasi dan perlakuan tanpa aerasi (kontrol) terhadap nilai TSS. Hipotesis :
H0 : perlakuan aerasi = perlakuan kontrol H1 : perlakuan aerasi ≠ perlakuan kontrol
Hasil : thitung ttabel
= -20,2077 = 2,13145
thitung > ttabel, berarti tolak H0, maka dapat disimpulkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan aerasi dan perlakuan kontrol terhadap nilai TSS.
57
Lampiran 8. Data nilai BOD selama penelitian a. Data mentah nilai BOD selama penelitian Perlakuan
Nilai BOD (mg/l) pada pengamatan 12 JAM 24 JAM 48 JAM 12,44 8,87 6,39 9,54 7,82 5,79 8,34 8,02 5,79 10,24 9,27 6,69 10,14 8,50 6,17 300,02 288,56 251,82 262,02 252,06 241,82 278,52 258,06 250,82 305,67 297,06 268,82 286,56 273,94 253,32
AWAL 307,30 279,80 306,30 324,30 304,43 307,30 279,80 306,30 324,30 304,43
AERASI 1 AERASI 2 AERASI 3 AERASI 4 Rataan KONTROL 1 KONTROL 2 KONTROL 3 KONTROL 4 Rataan
72 JAM 4,18 3,63 3,38 5,18 4,09 250,59 238,59 249,59 263,59 250,59
b. Tabel persen perubahan perlakuan dengan aerasi
AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
MIN 286,31 8,52 7,83 5,73 3,36
AERASI RATAAN 304,00 10,03 8,47 6,15 4,04
MAX 322,79 11,81 9,17 6,61 4,85
% PERUBAHAN 96,70 15,54 27,39 34,38
c. Tabel persen perubahan perlakuan tanpa aerasi (kontrol)
AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
MIN 286,31 266,82 252,38 242,44 240,63
KONTROL RATAAN 304,00 286,02 273,26 253,13 250,43
MAX 322,79 306,60 295,87 264,30 260,64
% PERUBAHAN 5,91 4,46 7,36 1,07
d. Tabel anova perlakuan dengan aerasi SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 282736,8 1026,029 283762,9
KT 70684,21 68,40196
Fhitung 1033,365
Ftabel 3,055568
BNT 12,46505861
Hipotesis : H0 : Aerasi (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Aerasi (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung > Ftabel berarti tolak H0.
Minimal ada satu perlakuan aerasi yang
memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai BOD pada selang kepercayaan 95%.
58
Lampiran 8. (lanjutan) Uji lanjut BNT perlakuan aerasi AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
AWAL
12 JAM
24 JAM
48 JAM
293,97 295,53 297,85 299,96
1,56 3,88 6,00
2,32 4,44
2,12
72 JAM
Uji lanjut BNT perlakuan aerasi terhadap nilai BOD menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada hasil perlakuan waktu Awal – 12 jam. e. Tabel anova perlakuan tanpa aerasi (kontrol) SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 8235,165 4400,592 12635,76
KT 2058,791 293,3728
Fhitung 7,017662
Ftabel 3,055568
BNT 25,81487186
Hipotesis : H0 : Kontrol (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Kontrol (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung > Ftabel berarti tolak H0.
Minimal ada satu perlakuan kontrol yang
memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai BOD pada selang kepercayaan 95%.
Uji lanjut BNT perlakuan tanpa aerasi AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
AWAL
12 JAM
24 JAM
48 JAM
17,98 30,74 50,87 53,57
12,76 32,89 35,59
20,13 22,83
2,70
72 JAM
Uji lanjut BNT perlakuan tanpa aerasi terhadap nilai BOD menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada beberapa hasil pengukuran, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata antar waktu perlakuan.
59
Lampiran 8. (lanjutan) f. Uji Nilai Tengah (uji-t) Uji Nilai Tengah (uji-t) dilakukan untuk melihat perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan aerasi dan perlakuan tanpa aerasi (kontrol) terhadap nilai BOD. Hipotesis :
H0 : perlakuan aerasi = perlakuan kontrol H1 : perlakuan aerasi ≠ perlakuan kontrol
Hasil : thitung ttabel
= -53,1891 = 2,13145
thitung > ttabel, berarti tolak H0, maka dapat disimpulkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan aerasi dan perlakuan kontrol terhadap nilai BOD.
60
Lampiran 9. Data nilai COD selama penelitian a. Data mentah nilai COD selama penelitian Perlakuan
AWAL 589,96 439,46 439,46 589,96 514,71 589,96 439,46 439,46 589,96 514,71
AERASI 1 AERASI 2 AERASI 3 AERASI 4 Rataan KONTROL 1 KONTROL 2 KONTROL 3 KONTROL 4 Rataan
Nilai COD (mg/l) pada pengamatan 12 JAM 24 JAM 48 JAM 105,35 75,25 69,23 75,25 60,20 39,13 90,30 75,25 54,18 105,35 75,25 69,23 94,06 71,49 57,94 541,80 511,70 535,78 391,30 361,20 385,28 391,30 361,20 385,28 541,80 511,70 385,28 466,55 436,45 422,91
72 JAM 36,12 21,07 21,07 36,12 28,60 517,72 367,22 367,22 367,22 404,85
b. Tabel persen perubahan perlakuan dengan aerasi
AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
MIN 431,03 93,19 63,80 43,32 20,34
AERASI RATAAN 509,18 93,19 71,17 56,46 27,59
MAX 601,50 109,01 79,39 73,59 37,42
% PERUBAHAN 81,70 23,63 20,67 51,14
c. Tabel persen perubahan perlakuan tanpa aerasi (kontrol)
AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
MIN 431,03 383,01 353,02 355,96 338,16
KONTROL RATAAN 509,18 460,44 429,91 418,39 400,15
MAX 601,50 553,53 523,56 491,76 473,49
% PERUBAHAN 9,57 6,63 2,68 4,36
d. Tabel anova perlakuan dengan aerasi SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 661855,7 24292,39 686148,1
KT 165463,9 1619,493
Fhitung 102,1702
Ftabel 3,055568
BNT 60,65262167
Hipotesis : H0 : Aerasi (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Aerasi (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung > Ftabel berarti tolak Ho.
Minimal ada satu perlakuan aerasi yang
memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai COD pada selang kepercayaan 95%.
61
Lampiran 9. (lanjutan) Uji lanjut BNT perlakuan aerasi AWAL 12 JAM 24 JAM 48 JAM 72 JAM
AWAL
12 JAM
24 JAM
48 JAM
415,99 438,01 452,72 481,59
22,02 36,73 65,60
14,71 43,58
28,87
72 JAM
Uji lanjut BNT perlakuan aerasi terhadap nilai COD menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada hasil perlakuan waktu Awal – 12 jam. e. Tabel anova perlakuan tanpa aerasi (kontrol) SK Perlakuan Sisa Total
DB 4 15 19
JK 29655,52 101926,1
KT 7413,88 6795,075
Fhitung 1,091067
Ftabel 3,055568
Hipotesis : H0 : Kontrol (Awal-12jam) = (12-24jam) = (24-48jam) = (48-72jam) H1 : Kontrol (Awal-12jam) ≠ (12-24jam) ≠ (24-48jam) ≠ (48-72jam) Fhitung < Ftabel berarti gagal tolak H0. Perlakuan tanpa aerasi tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai COD pada selang kepercayaan 95%.
f. Uji Nilai Tengah (uji-t) Uji Nilai Tengah (uji-t) dilakukan untuk melihat perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan aerasi dan perlakuan tanpa aerasi (kontrol) terhadap nilai COD. Hipotesis :
H0 : perlakuan aerasi = perlakuan kontrol H1 : perlakuan aerasi ≠ perlakuan kontrol
Hasil : thitung ttabel
= -22,1984 = 2,13145
thitung > ttabel, berarti tolak H0, maka dapat disimpulkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan aerasi dan perlakuan kontrol terhadap nilai COD.
62
Lampiran 10. Sketsa tempat pengambilan sampel air
63
Lampiran 11. Foto tempat pengambilah sampel air
Saluran outlet Perumnas Bantar Kemang
Sungai Ciliwung (muara outlet Perumnas Bantar Kemang)
64
Lampiran 12. Foto air limbah olahan
Dari kanan ke kiri : Air limbah awal, setelah 12, 24, 48, dan 72 jam
Sebelum Pengolahan (Tampak Atas)
Setelah Pengolahan (12 jam) (Tampak Atas)
Sebelum Pengolahan (Tampak Samping)
Setelah Pengolahan (12 jam) (Tampak Samping)
65
Lampiran 13. Sketsa contoh instalasi pengolahan air limbah domestik
66
Lampiran 14. Sketsa IPAL domestik terpadu di Bali (pemprovbali.go.id/IPAL/2008)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 1986, putra ke tiga dari pasangan Ibu Isni Haryani dan Ayah Mudjiman. Pendidikan formal penulis ditempuh di SD Mahabarata (1992-1994), SD Barunawati II (1994-1996), SD Jatiasih I (1996-1998), SMPN 9 Bekasi (1998-2001), SMUN 6 Bekasi (2001-2004). Penulis diterima di IPB tahun 2004 melalui jalur SPMB pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Selama berkuliah di IPB, penulis dipercaya menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Dasar-Dasar Limnologi 2007-2008, Metode Pengambilan Contoh 2008, serta Pencemaran Perairan dan Pengolahan Air Limbah 2008. Selain itu, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER). Penulis juga pernah berkesempatan melaksanakan kerja magang selama 6 bulan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan IPB.
Untuk menyelesaikan studi di Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulisan melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Aerasi dan Penambahan Bakteri Bacillus sp. dalam Mereduksi Bahan Pencemar Organik Air Limbah Domestik”. dinyatakan lulus sidang ujian skripsi pada tanggal 22 Desember 2008.
Penulis