PROSIDING Seminar Nasional Perteta 2010 “Revitalisasi Mekanisasi Pertanian dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Energi”
Purwokerto, 10 Juli 2010
TOPIK D ISBN 978-602-97387-0-4
PENGARUH LAJU AERASI DAN PENAMBAHAN INOKULAN PADA PENGOMPOSAN LIMBAH SAYURAN DENGAN KOMPOSTER MINI* Joko Nugroho, W.K. dan Istiqamah Jurusan Teknik Pertanian, FTP UGM Telp/fax: 0274-563542, email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh laju aerasi dan pemberian inokulan pada proses pengomposan limbah sayuran. Kompos matang dan limbah serutan kayu digunakan sebagai bulking agent. Sebuah komposter kecil memiliki volume 60 liter dengan pengaduk mekanik digunakan pada penelitian ini. Kadar air awal campuran adalah 50-60%, sedangkan laju aerasi yang digunakan yaitu 0,4; 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; dan 1,6 L/min.Kg Berat Kering Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju aerasi yang optimal untuk pengkomposan limbah ini adalah 1,0 L/min. Kg. Berat Kering. Suhu pengomposan mencapai maksimum 62,4oC pada aerasi 1,0 L/min.Kg Berat Kering. Laju aerasi meningkatkan penurunan berat total campuran kompos. Kadar air cenderung meningkat sejalan waktu pengomposan. Penambahan inokulan pada pengkomposan ini menghasilkan suhu maksimum menurunkan jumlah berat total namun adalah 59oC, dan tidak terlalu berpengaruh untuk meningkatkan laju degradasi bahan organik pada untuk 10 hari pertama. Kata kunci: komposter mini, aerasi, inokulan, limbah sayuran
PENDAHULUAN Sampai saat ini penanganan limbah organik masih masih banyak permasalahan. Tempat pembuangan air (TPA) merupakan cara termudah yang dilakukan hingga saat ini. Jumlah limbah organik dari pemukiman ini cukup banyak yaitu untuk wilayah Jakarta, Semarang dan Bogor sekitar 3 26.750; 5.000 dan 2000 m per hari. Meskipun pengkomposan sudah dikenal sejak lama oleh para petani, namun masih banyak permasalahan yang belum bisa diselesaikan pada saat ini. Sifat bahan yang memiliki kadar air tinggi merupakan kendala dalam membuat penanganan jenis limbah ini. Kegagalan dalam proses penanganan akan menyebabkan timbulnya bau yang tidak sedap sehingga mengganggu lingkungan. Sampai saat ini ada tidaknya aerasi pada pengkomposan masih merupakan hasil yang beragam. Penyediaan oksigen untuk respirasi bisa dilakukan dengan aerasi, pembalikan dan pengadukan (Solano, 2001). Aerasi optimum untuk bahan organik adalah berkisar 0,3 – 1,0 L/Min. Kg. Bahan Kering. Namun hasil yang berbeda dinyatakan bahwa pasif aerasi juga bisa menghasilkan suhu pengkomposan sama seperti pada aktif aerasi (Lau, 1992). Meskipun begitu yang terpenting dari pengkomposan ini adalah tersedianya oksigen baik melalui mekanisme aktif ataupun pasif aerasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh laju aerasi terhadap laju pengkomposan pada limbah sayuran dengan bulking agent kompos matang, dan pengaruh inokulan terhadap pengkomposan pada bahan tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN Bahan kompos berupa limbah dari industri rumah tangga antara lain kupasan wortel, sisa sawi, kool, yang memiliki kadar air awal 78-82%. Bahan ini dikumpulkan tiap hari dari sebuah rumah makan, dan digunakan pada hari berikutnya. Bahan pencampur yang digunakan adalah kompos matang dari kotoran sapi, yang juga berfungsi sebagai sumber mikrobia awal.
*
Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Perteta 2010 di Purwokerto, 10 Juli 2010
601
TOPIK D
PROSIDING Seminar Nasional Perteta 2010 “Revitalisasi Mekanisasi Pertanian dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Energi”
Purwokerto, 10 Juli 2010
ISBN 978-602-97387-0-4
Komposter dengan ukuran panjang lebar tinggi ( 40m x 40m x 60m) dari bahan plat besi digunakan dalam penelitian ini. Bahan styrofoam dengan ketebalan 5 mm dilekatkan pada setiap sisi komposter yang berfungsi sebagai penahan panas. Sebuah pengaduk mekanik dipasang secara horisontal, yang digerakkan secara manual dengan engkol di sisi luar komposter. Aerator dengan dari pompa membran dihubungkan dengan pipa fleksibel berdiameter 3 mm dari bawah komposter sebagai penyuplai udara. Jumlah aliran udara diukur dengan menggunakan airlflowmeter. Inokulan dengan merek S, digunakan dalam penelitian ini. Bahan utama sayuran dicacah dengan pisau agar ukuran menjadi kecil, selanjutnya bahan kompos dicampurkan dan serutan kayu ditambahkan. Setiap hari 0,25 kg bahan cacahan sayuran ditambahkan ke dalam bak komposter, kemudian bahan diaduk untuk memperoleh keseragaman. Pengamatan dilakukan selama 240 jam.
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu kompos Perubahan suhu kompos dapat dilihat pada Gambar 1. Suhu maksimum yang diperoleh pada pengomposan tanpa penambahan inokulan pada aerasi 0,4; 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; dan 1,6 L/min.Kg Berat Kering adalah 58,1; 62,1; 62,4; 59,8; 56,8 dan 54,2oC. Sedangkan pada pengomposan dengan penambahan inokulan pada aerasi 0,4; 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; dan 1,6 L/min.Kg Berat Kering adalah 54,6; o 54; 59; 54,1; 54 dan 49,8 C. Kenaikan suhu bahan kompos merupakan hasil dari respirasi bahan organik yang menghasilkan karbon dioksida, air dan energi dalam bentuk panas. Suhu maksimum dapat dianggap sebagai interpretasi proses dekomposisi dari satu bahan tertentu atau dekomposisi gabungan sejumlah bahan (Chang dan Hsu, 2007). Suhu maksimum merupakan indikator dari tingkat aktifitas biologi dalam bahan kompos.
Gambar 1. Suhu bahan selama pengkomposan 240 jam dengan dan tanpa inokulan dengan aerasi 1 L/min. Kg. Berat Kering. Besarnya aliran udara mempengaruhi suhu maksimum bahan. Udara mengandung 21% oksigen yang dibawa sebagai bahan yang dibutuhkan selama respirasi, namun udara juga memiliki kemampuan membawa panas yang dihasilkan. Pada aliran udara tanpa inokulan, kekurangan oksigen akan menyebabkan hasil energi dari respirasi akan sedikit. Sebaliknya apabila berlebihan maka udara tersebut akan menyebabkan suhu menurun. Suhu pengkomposan dengan tambahan inokulan cenderung lebih rendah. Hal ini mungkin diduga bahan inokulan mengandung banyak mikroba mesofilik, sehingga bahan yang mudah terdegradasi akan lebih mudah habis pada tahap awal pengkomposan. Hal ini dibuktikan dengan kadar air yang lebih banyak pada kompos yang dengan inokulan.
602
PROSIDING Seminar Nasional Perteta 2010 “Revitalisasi Mekanisasi Pertanian dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Energi”
Purwokerto, 10 Juli 2010
TOPIK D ISBN 978-602-97387-0-4
Kadar air Perubahan kadar air kompos dapat dilihat pada Gambar 2. Kadar air awal campuran bahan adalah 50-65%. Kadar air tersebut dipilih karena merupakan kondisi yang optimum untuk perkembangan mikrobia. Keseimbangan antara ruang pori dan jumlah air memungkinkan mikrobia berkembang dengan baik dan mengkonsumsi bahan organik. Kadar air meningkat paling banyak pada aerasi 0,4 L/min.Kg Bahan Kering, yaitu 10%. Dengan aerasi yang kecil maka peningkatan kadar air makin besar, hal ini dimungkinkan produksi air sebagai hasil dari respirasi yang tak bisa teruapkan karena aliran udara yang sangat terbatas. Bahan utama dalam pengomposan ini adalah limbah sayuran, yang memiliki kadar air sangat tinggi. Untuk memperoleh kadar air awal yang sesuai untuk mengawali komposting, maka digunakan bahan campuran. Kompos jadi dari kotoran sapi digunakan sebagai nutrien, dan penambah mikroba alami. Serutan kayu digunakan sebagai bulking agent, yang membentuk struktur bahan kompos yang menyediakan ruang cukup untuk air dan udara. Kadar air yang menurun menunjukkan indikator penguapan atau perpindahan massa air ke udara. Selama penelitian ini, kadar air relatif aman untuk pertumbuhan mikroba. Kadar air yang terlalu rendah akan menyebabkan lambatnya pertumbuhan mikroba, sedangkan kadar air yang terlalu tinggi menyebabkan kekurangan ruang udara sehingga kompos bisa berbau dan menunjukkan kondisi anaerobik.
Gambar 2. Perubahan kadar air selama pengomposan tanpa inokulan.
Gambar 3. Perubahan kadar air selama pengomposan dengan inokulan.
603
TOPIK D ISBN 978-602-97387-0-4
PROSIDING Seminar Nasional Perteta 2010 “Revitalisasi Mekanisasi Pertanian dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Energi”
Purwokerto, 10 Juli 2010
Nilai pH Nilai pH merupakan salah satu indikator dari proses komposting. Pada awalnya pH akan turun yang menunjukkan proses degradasi bahan organik menjadi asam organik. Nilai pH ini kemudian akan naik seiring dengan terbentuknya amonia di dalam bahan kompos sebagai hasil dari degradasi protein. Gambar 4 menunjukkan perubahan pH pada bahan kompos. Nilai pH pada bahan kompos non inokulan lebih tinggi pada awal pengkomposan, namun setelah hari ke dua nilai pH kompos dengan inokulan menjadi lebih tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa pada awal pengkomposan produksi asam organik lebih banyak dihasilkan oleh mikroba, sehingga pH bertahan lebih lama. Nilai pH pada kompos dengan inokulan lebih tinggi dibanding tanpa inokulan dari jam ke 72 sampai akhir percobaan. Penurunan pH setelah melalui fase puncak merupakan fenomena pematangan dari bahan kompos. Dalam penelitian ini, waktu pengkomposan hanya dibatasi untuk 240 jam pertama saja. Jadi meskipun kompos belum dikatakan matang, namun periode awal dari pengkomposan sudah terlewati. Dalam penelitian ini, penambahan bahan segar setiap hari jumlahnya relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah pada saat awal pengkomposan. Penambahna bahan organik segar ini menyediakan bahan yang mudah terdegradasi baru yang sehingga suhu bahan bisa dijaga pada kondisi termofilik.
Gambar 4. Perubahan pH bahan kompos inokulan pada aerasi 1 L/min. Kg bahan padat.
Penurunan berat dan degradasi bahan organik Penurunan berat total merupakan indikator kehilangan massa bahan organik sebagai hasil respirasi. Penurunan berat dapat dilihat pada Gambar 5. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa dengan meningkatnya aerasi maka berat bahan akan semakin berkurang, namun dengan aerasi melebihi 1,2 L/min. Kg. Berat Kering maka penurunan berat ini akan berkurang. Persentase penurunan berat untuk masing-masing laju aerasi pada pengomposan tanpa inokulan adalah 29,82%; 34,06%; 35,26%; 42,77%; 41,35%; 33,53% untuk laju aerasi 0,4; 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; dan 1,6 L/min. Kg bahan padat berturut turut. Sedangkan untuk pengomposan dengan inokulan adalah 32,45%; 34,61%; 35,51%; 44,38%; 42,17%; dan 38,25% untuk laju aerasi 0,4; 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; dan 1,6 L/min. Kg bahan padat berturut turut. Kenaikan jumlah aerasi akan meningkatkan jumlah oksigen yang masuk ke dalam bahan, yang mendorong respirasi. Pengurangan berat ini juga disebabkan massa air yang terbawa oleh udara, sehingga kedua faktor ini akan menjadikan total beratnya menjadi turun. Namun karena over cooling maka degradasi bahan organik menjadi berkurang, dan turunnya berat lebih disebabkan oleh terbawanya air dalam bahan oleh udara. Penurunan bahan organik dapat dipercepat dengan penambahan inokulan. Pada gambar 5 tersebut nampak bahwa pada aerasi yang terbatas (kurang dari 0,8 L/min.Kg. Bahan Kering) maka penambahan inokulan tidak menampakan beda dengan bahan yang tanpa inokulan. Degradasi tertinggi terjadi pada aerasi 1 L/min. Kg. Berat Kering baik pada bahan yang menggunakan inokulan 604
PROSIDING Seminar Nasional Perteta 2010 “Revitalisasi Mekanisasi Pertanian dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Energi”
Purwokerto, 10 Juli 2010
TOPIK D ISBN 978-602-97387-0-4
maupun tidak, dan bahan berinokulan 20 % lebih tinggi. Pengaruh pendinginan terhadap degradasi bahan organik terjadi pada aerasi di atas 1 L/min. Kg. Berat Kering dan terus menurun dengan kenaikan laju areasi.
Gambar 5. Nilai koefisien degradibilitas (km) pengomposan dengan dan tanpa inokulan pada berbabagai variasi aerasi.
KESIMPULAN Penambahan aerasi pada pengkomposan limbah sayuran memiliki pengaruh pada kenaikan suhu kompos. Pengomposan dengan campuran limbah sayuran dapat mencapai fase termofilik meskipun tanpa tambahan inokulan. Aerasi mempengaruhi suhu maksimum bahan dan semakin bertambah aerasi suhu maksimum akan semakin tinggi, namun bila aerasi berlebihan, suhu maksimum akan turun karena terjadi cooling effect. Nilai pH pada pengomposan meningkat, hal ini menunjukkan proses pengomposan yang benar karena produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH. Semakin besar laju aerasi yang diberikan maka kadar air bahan akan semakin kecil peningkatannya karena udara membawa keluar air yang ada dalam bahan kompos. Semakin besar laju aerasi yang diberikan, maka penyusutan berat dan nilai koefisien degradabilitas akan semakin besar. Namun, jika laju aerasi yang diberikan terlalu besar, maka penyusutan berat dan nilai koefisien degradabilitas akan semakin menurun.
DAFTAR PUSTAKA Bernal, M. P, dkk. 2009. Composting of Animal Manures and Chemical Criteria for Compost Maturity Assessment, A Review. Bioresource Technology 100, hal 5444-5453. Chang, James I dan Tin-En Hsu. 2008. Effect of Composition on Food Waste Composting. Bioresource Technology 99, hal 8068-8074. Gao, Mengchun, dkk. 2009. The Effect of Aeration Rate on Forced-Aeration Composting of Chiken Manure and Sawdust. Bioresource Technology. Haug, R.T. 1980. Compost Engineering. Principle dan Practice. USA Harold, G.B. 1965. Composting. World Health Organization. Geneva. Illmer, P dan F. Schinner. 1997. Compost Turning- A Central Factor for A Rapid ang High Quality Degradation in Household Composting. Bioresource Technology 59, hal 157-162. Rynk, Robert. 1992. On Farm Composting Handbook. Natural Resources, Agriculture, and Engineering Service (NRAES). Ithaca, New York. Solano, M.L., F., Cirin, P. and Negro, M.J., 2001. Performance Characteristic of three aeration system in the composting of sheep manure and straw. Journal of Agricultural Engineering Research, 79 (3), pp 317-329 Zhu, Nengwu. 2007. Effect of Initial C/N Ratio on Aerobic Composting of Swine Manure with Rice Straw. Bioresource Technology 98, hal 9-13.
605