Kakamban Habang
Pengantar Penulis Assalamu’alaikum wr wb. Seggala puji syukur sudah sepatutnya kita haturkan kepada Allah Azza wa Jalla tuhan semesta alam yang telah dan senantiasa memberikan nikmat kepada hambanya, terkhusus nikmat Iman, Islam dan Ihsan. Shalawat dan salam marilah senantiasa kita kirimkan kepada kekasih Allah swt. yakni junjungan kita nabi besar Muhamad Saw. yang merupakan panutan, tauladan dan sumber umat islam dalam mencari referensi untuk menjalani kehidupan hakiki. Sewaktu kecil, penulis sering sekali mendengarkan petuah urang tuha bahari (orang tua jaman dulu) yang belakangan (setelah penulis dewasa) menjadi perhatian mendalam bagi penulis. Kadang petuah terdengar menipu (bahasa banjar: mangaramput). Namun, memang begitulah adat budaya orang banjar dalam menyampaikan nasihat dan petuah yang sering sekali diungkapkan tidak dengan kalimat langsung, melainkan dengan ungkapan berseni (bamantik) atau dalam istilah kekinian adalah kalimat bersayap. Semisal, “daham katuju baduduk dimuhara lawang, kaina mun hudah babini/balaki kada akur wan mintuha”, yang artinya kurang i
Hafiez Sofyani
lebih demikian: “jangan suka duduk di depan pintu, nanti kalau sudah menikah akan sering cekcok dengan mertua”. Ungkapan di atas bukan bermakna bahwa masyarakat banjar dipenuhi dengan takhayul dan khurafat. Sekali lagi itu adalah mantik, seni berbicara, yang sejatinya adalah buah dari adat budaya yang patut kiranya untuk dilestarikan. Berbicara secara kiasan seperti di atas hampir serupa dengan budaya orang Yogya yang senantiasa menjaga keharmonisan agar orang yang ditegur tidak merasa tersinggung. Bagi penulis, ini adalah bentuk kehalusan budi dari adat budaya suku-suku yang ada di Indonesia. Mungkin sebagian orang merasa bahwa adat bertutur demikian terkesan bertele-tele. Kenapa tidak dikatakan saja secara langsung “jangan duduk di depan pintu karena membuat orang yang mau keluar masuk akan merasa terganggu” ?. ini sama saja dengan kenapa ada orang suka baju warna kuning, ada yang suka warna putih, ada yang suka hitam, dan seterusnya. Pada kesukaan itu, patutkah seseorang memaksakan yang lain untuk menyukai hal yang serupa?, tentu tidak. Ini masalah selera dan identitas budaya yang sekali
ii
Kakamban Habang
lagi patut dijaga. Melalui tulisan ini lah upaya pelestarian itu muncul. Ketika penulis bertemu dengan banyak generasi Banjar di tanah jawa, baik saat kuliah dan ketika sudah menjadi pemberi kuliah, banyak sekali anak-anak muda Banjar yang tidak tahu istilah-istilah Banjar lama yang bermakna petuah. Sehingga, ketika anak muda ini berbuat kekeliruan dan ditegur dengan petuah lama, anak muda itupun tak merasa kalau sedang ditegur. Situasi ini tidak jarang berlanjut kepada konflik yang lebih keras. Melihat fenomena di atas, terpikirkan oleh penulis bahwa ketidakfahaman generasi muda dengan petuah-petuah lama ini bukan murni kesalahan mereka. Ada banyak faktor yang memicu hal tersebut, diantaranya adalah gaya bicara masyarakat banjar yang kini lebih banyak ke bahasa Indonesia, khususnya penduduk Banjarmasin, Banjarbaru dan Martapura. Namun, faktor yang sepertinya paling dominan adalah, jarangnya petuah-petuah ini disampaikan kepada kepada generasi muda Banjar, entah itu oleh orang tua, guru, maupun tatuha (orang yang dituakan) yang ada di lingkungan tempat tinggal kita. Selain itu, tidak diprasastikannya secara baik dan iii
Hafiez Sofyani
menarik petuah-petuah ini, khususnya dalam bentuk tulisan dan bacaan, juga bisa jadi menjadi faktor utama rendahnya pengetahuan dan pemahaman petuah lama dari generasi muda. Padahal petuah lama ini tidak lain adalah nilai adat dan budaya yang sejatinya dianut oleh orang Banjar lama yang memiliki nilai positif dan seringkali syarat dengan nilai ajaran luhur Islam. Novel adalah salah satu sarana agar petuah bahari ini menjadi “abadi”. Seorang yang bijak pernah mengungkapkan bahwa “yang disampaikan bisa terlupakan... tetapi yang ditulis akan abadi..”. selain abadi, dengan bentuk novel atau hikayat, petuah ini dapat disampaikan secara menarik hati pembacanya. Penulis merasa penyampaian petuah secara konvensional sama halnya dengan belajar sejarah dengan cara membaca buku. Bagi anak muda, itu adalah hal yang membosankan. Selain tujuan di atas, novel ini juga bertujuan untuk meluruskan penyimpanganpenyimpangan pehaman dari adat budaya yang ada di masyarakat Banjar. Penyimpangan pemahaman ini akan memicu distorsi nilai budaya dan menurunkan derajat masyarakat Banjar itu sendiri. Sebagai contoh, seseorang yang hamil biasanya disuruh untuk mengenakan gelang kaki iv
Kakamban Habang
berwarna hitam yang dibuat dari benang hitam. Dari diskusi dengan orang tua asli Banjar, tujuan dari kegiatan itu adalah agar ibu yang hamil selalu menjaga kesehatan kakinya. Hal itu karena ibu hamil biasanya rawan mengalami pembengkakan kaki yang disebabkan oleh kelebihan protein, terkilir, tidak sengaja menendang benda-benda keras, dan pembengkakan itu biasanya lambat sembuhnya. Dikhawatirkan hal itu akan mengganggu saat sang ibu melahirkan putranya. Oleh karenanya, dengan gelang hitam sang ibu akan pinandu (mawas) untuk menjaga kakinya. Namun, di kalangan tertentu kegiatan memberikan penanda pada kaki dengan gelang hitam ini diiringi dengan keyakinan yang mengadangada, dan tentunya disebarkan oleh masyarakat yang masih percaya dengan takhayul. Misalnya, gelang hitam agar tidak diganggu jin, agar anaknya tidak cacat, dan lain sebagainya. Inilah bentuk distorsi nilai budaya yang tadinya bermakna positif, namun ketika verifikasi kebenaran esensi nilai budaya itu tidak tersampaikan, yang muncul adalah penafsiran mangaradau (tidak berdasar) dan bahkan bisa jadi berujung kepada kesyirikan, na’udzubillah.
v
Hafiez Sofyani
Melalui tulisan ini, penulis berharap akan muncul penulis-penulis baru dari bubuhan Banjar yang memiliki ide dan gagasan serupa, yakni untuk mem-prasasti-kan nilai luhur sekaligus meluruskannya dari keyakinan-keyakinan yang merusak tauhid orang Banjar yang mayoritas muslim. Akhirnya, tentu segala yang kita rangkai memiliki kekurangan. Penulis sangat berterima kasih jika dari kakawalan barataan (teman-teman dan kerabat semua) memiliki masukan dan saran yang membangun. Kontak kepada penulis dapat dilakukan lewat e_mail (lihat bagian akhir tentang penulis). Semoga kisah ini menghibur dan tentunya bermanfaat serta menjadi inspirasi bagi para pembaca budiman. Akhirul kalam, salah dan khilaf atas segala yang ada pada novel ini penulis mohon maaf dan minta halal serta ridho yang seikhlas-ikhlasnya dari pembaca sekalian. Wallahu’alam bisshawab. Wassalamu’alaikum wr wb Yogyakarta, 3 Ramadhan 1436 H
vi
Kakamban Habang
Bagian 1 Puteri Tuan Tanah Gadis langkar1 bak buah delima ranum di masamasa emasnya itu bernama Siti Fatimah. Ia adalah puteri dari juragan tanah kaya dikampung ini, Haji Jamran. Patut saja lah kiranya Haji Jamran diberi gelar sebagai juragan tanah kaya. Itu tidak lepas dari fakta bahwa sebagian besar tanah di kampung ini adalah miliknya yang ia peroleh dari warisan orang tuanya yang dulu adalah saudagar intan kaya raya. Setiap orang kampung Muara Durian, tempat ia tinggal, sangat segan kepada Haji Jamran. Bukan semata karena kekayaannya, tetapi juga karena lelaki separuh baya itu memiliki banyak jasa kepada warga kampung. Hampir lebih dua puluh keluarga di kampung ini bergantung hidup kepada kemurahan hati sang tuan tanah. Mereka yang bergantung nasib pada Haji Jamran adalah keluarga-keluarga miskin yang tak memiliki tanah, kemudian dipinjami oleh Haji Jamran sebidang tanah untuk dikelola dan dinikmati hasilnya, tanpa Haji Jamran meminta sepeserpun dari hasil itu. Dari kedermawanannya
1
Cantik (Banjarmasin)
1
Hafiez Sofyani
itulah warga di sini menjadi segan dan hormat kepadanya. Ditambah lagi, Haji Jamran juga seorang bapak yang memiliki anak-anak yang kuliah di luar Kalimantan. Bagi kebanyakan orang Kalimantan, khususnya kampung ini, kuliah keluar dari Kalimantan memiliki arti tersendiri. Jika tidak karena kaya, sehingga mampu menyekolahkan anak-anaknya ke luar pulau dengan biaya yang mahal, maka pasti karena anak-anak dari orang tua tersebut adalah anak yang pandai, sehingga mampu memperoleh beasiswa kuliah untuk bersaing dengan banyak orang pintar di tanah Jawa. Setidaknya itulah stigma yang selama ini menjadi justifikasi dan buah bibir warga tentang anak Haji Jamran yang baru pulang tempo lusa dari pendidikannya di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Namun, puteri Haji Jamran itu bukan berada pada klasifikasi pertama maupun kedua. Maksudnya, bukan karena puteri Haji Jamran keturunan orang kaya saja atau karena pandai semata hingga bisa kuliah ke luar Kalimantan. Tetapi dia berada pada klasifikasi pertama sekaligus yang kedua. Ya, anak kedua bapak dua orang anak itu tidak hanya dari keturunan berada, tetapi memang memiliki 2
Kakamban Habang
kepandaian yang lebih dibandingkan muda-mudi sebayanya di sekolahnya dulu, terlebih di kampung Muara Durian ini. Bukti dari kebrilianannya itu adalah, ketika masih duduk di bangku Madrasah Aliyah, setingkat SMA, Fatimah bersama dua rekannya pernah mewakili sekolahnya dalam kejuaraan tingkat nasional di Jakarta dan berhasil menyabet juara pertama. Tak hanya pandai. Puteri Haji Jamran itu juga terkenal sebagai kembang desa berparas langkar2 dan berakhlakul karimah islami. Hampir semua orang kampung senang memuji keanggunan rupa dan akhlak dari puteri semata wayang Haji Jamran itu. Wajar saja jika kemudian banyak pemuda dari berbagai kalangan menghendakinya menjadi permaisuri sang pemuja. Baru dua minggu dari kehadirannya di kampung semenjak pergi merantau ke tanah Jawa saja, terhitung sudah lebih tiga keluarga yang datang ke rumah Haji Jamran untuk meminang puteri semata wayangnya itu. Dua diantaranya adalah teman Fatimah sesama mahasiswa asal tanah Banjar selama kuliah di Yogyakarta. Namun, dari
2
Cantik (Banjarmasin)
3
Hafiez Sofyani
berita burung yang beredar, sayang, tak satupun yang diterima oleh Haji Jamran. Memang tidak mudah mutiara bisa didapat dan menempatkannya dalam genggaman. Seseorang yang mencari mutiara harus berusaha keras menyelam ke kedalaman lautan, dan berenang menyisiri setiap trumbu karang. Tidak menutup kemungkinan sang penyelam akan tenggelam, terluka karena karang atau bahkan berhadapan dengan ikan buas demi mendapatkan sebuah mutiara yang memiliki kilau terbaik. Begitulah kiranya gambaran yang setara atas keadaan putri Haji Jamaran itu. Bahkan, saat Fatimah masih bersekolah di Yogyakarta, tak sedikit pemuda yang bertamu ke rumah Haji Jamran dengan niat mempersunting puteri kesayangannya itu. Mereka datang dari berbagai kalangan status maupun strata sosial. Mulai dari putra pejabat, pengusaha, sampai putra tuan guru (Kyai) sekalipun. Maklum, kalangan pergaulan Haji Jamran ya demikian pula, pejabat, pengusaha, dan tuan guru (Kyai). Jadi sepantasnya lamaran itu dari kalangan yang setara. Tapi sayang, hasilnya sama saja. Tak satupun jua yang mampu membuat Haji Jamran mengiyakan 4
Kakamban Habang
pinangan itu. Setiap ada pinangan, pandai saja haji Jamran berkelit. Meski sering ia mendengar kepercayaan orang jaman dahulu di tanah Banjar, yakni; “bila sudah empat puluh orang yang meminang dan semua ditolak, maka pinangan ke empat puluh satu tidak boleh ditolak. Jika ditolak pula, maka anak akan membujang hingga tua”. Namun haji Jamran tak gentar dengan kepercayaan yang ia anggap sebagai takhayul itu. Ia tetap pada keputusan-keputusannya. Sejatinya, yang menjadi alasan utamanya adalah, jujuran3 yang diinginkan haji Jamran memang agak berlebihan. Haji Jamran adalah salah satu orang yang memiliki faham bahwa anak perempuan yang cantik, pandai dan baik budi, seperti puterinya, Fatimah, sudah sepatutnya memiliki nilai jujuran yang tinggi. Setiap ia menolak lamaran-lamaran itu, ia selalu berkelit kalau Fatimah adalah puteri semata wayangnya yang tidak hanya cantik, tetapi juga baik, salehah, serta seorang sarjana strata dua dari perguruan tinggi yang bonafit. Maka sudah sepantasnya ia sebagai orang tua memintai jujuran tinggi. Haji Jamran menganggap, untuk mempersunting puterinya yang baik dan berpendidikan itu menjadi 3
Seserahan saat melakukan pinangan (Banjarmasin)
5
Hafiez Sofyani
seorang istri, tidak mudah dan tidak murah. Jika ada orang menginginkan puterinya, maka sang pemuda harus mengganti dengan jujuran yang sepadan dengan biaya untuk membesarkan puterinya. Pemikiran Haji Jamran itu memang sangat nyeleneh dan sudah menjadi buah bibir sejak lama di kampung ini. Tapi sayang, karena begitu diseganinya juragan tanah yang juga sekaligus pengusaha kain sasirangan itu, tak satupun ada yang berani menentang dan menyanggah kesalahan faham Haji Jamran. Semua orang membiarkan saja pemikiran Haji Jamran sekelirukelirunya. Bagi warga, toh bukan mereka juga yang meminang puteri Haji Jamran. Maka buat apa bersusah-susah memahamkan Haji Jamran bahwa makna jujuran tidak begitu semestinya. Bagi warga kampung, jangankan berkeinginan meminang, berkhayal untuk berkeluarga dengan Haji Jamran saja tak satupun ada yang terbesit memikirkannya. Orang di kampung faham betul posisi diri dan posisi haji Jamran selaku tokoh terkaya di kampungnya. Tak mudah untuk meluluhkan hati haji Jamran, pun hati sang anak. Meskipun haji Jamran mengiyakan, tapi kalau
6
Kakamban Habang
anaknya Fatimah itu menolak, ya tetap saja perjanjian tak kan terjadi. Di sisi lain, kadang ketidakberanian warga untuk meluruskan faham haji Jamran juga terkait kepentingan pribadi. Takut haji Jamran tersinggung, lalu menarik hak kelola lahan yang menjadi mata pencaharian. Atau sungkan kalau nanti haji Jamran tidak lagi memberi ini atau itu. Jadilah haji Jamran sekeliru-kelirunya atas pemikirannya itu. Tapi, jika membicarakan puterinya, Fatimah, maka sudahlah setuju jika orang sini menilai bahwa gadis berkulit kuning langsat yang sering terlihat menutup rambutnya dengan kakamban habang4 kesenangannya itu, tak dapat dipungkiri, memang begitu memesona. Kadang, iapun merasa bahwa sikap abah Fatimah yang begitu menginginkan jujuran dan mahar yang mewah itu masuk akal adanya. Itu karena sekilas saja ia menatap Fatimah, hatinya merasakan desiran yang tidak biasa terjadinya. Ia merasakan kecemasan, kegugupan, sekaligus kesenangan yang mengulakalik. Bibirnya tersenyum entah karena alasan apa jika megngingat-ingat saat pertemuannya dengan puteri haji Jamran itu. Ia tak tahu apakah itu yang 4
Kakamban habang=kerudung merah (Banjarmasin)
7
Hafiez Sofyani
dimaksud perasaan cinta atau apa. Yang jelas, ia merasa ada kebahagiaan yang datang tanpa ia fahami. Ia merasa senang begitu saja. Sekali lagi, bahagia itu datang begitu saja… Namun, ia juga tak mengira, gadis sebaik itu adalah puteri dari seorang haji Jamran. Maksudnya, bagaimana bisa gadis sebaik ia berorang tuakan sosok seperti haji Jamran. Orang kampung juga sagat faham ini. Haji Jamran dan Fatimah bagaikan langit dan bumi, siang dan malam, panas dan dingin, meskipun keduanya adalah abah dan anak. Fatimah setiap harinya terlihat sangat sederhana. Bahkan, pakaiannya tak berbeda jauh dengan yang digunakan orang kampung kebanyakan. Sikapnya ramah, tegur sapa dengan orang kampung adalah hal yang biasa ia lakukan. Selain itu gadis itu sangat pemurah kepada para tetangganya yang memiliki kekurangan. Kesehariannya ramai dihiasi senyum manis yang keluar dari bibir dara dua puluh lima tahun itu. Sedangkan haji Jamran, meski ia membiarkan tanahnya digarap oleh warga kampung dan tak meminta bagi hasil, namun ada beberapa sikap tuan haji itu yang tak disukai warga kampung. Abah dari Fatimah itu memiliki watak arogan dan 8
Kakamban Habang
keras. Hal itu sangat nampak dari tulang rahangnya yang kaku menyimpan keangkuhan. Matanya tajam dan intolerer terhadap setiap hal yang tak ia senangi. Para pemuda yang bersalaman dengannya tapi tidak mencium tangannya, jangan harap mendapatkan perlakuan ramah. Bahkan pernah ada undangan perkawinan yang tak ia sambangi hanya karena di undangan tidak tertera gelar “Haji atau biasa ditulis H.” sebelum nama haji Jamran. “Jika saja Fatimah bukan puteri kesayangan seorang Haji Jamran, tentu akan berbeda ceritanya...” gumamnya berkhayal. Pikirannya jauh melalang buana memikirkan gadis yang tak sepatutnya ia pikirkan. Kenapa tidak patut?. Itu karena ia hanya baru kali ini bertemu dengan sang gadis. Apalagi, ia tak ada hubungan apapun dengan puteri haji Jamran itu. Bukan teman, bukan keluarga, apalagi kekasih. Namun, angin cinta rupanya telah menerbangkan khayal pemuda itu hingga ia tak sadar jikalau sudah hampir lebih dua jam lamanya ia melamun di atas dipan pelataran rumahnya. Tak terasa mentari mulai turun diufuk barat sambil menarik gelap yang datang mengganti cahaya. Malam mulai
9
Hafiez Sofyani
bertamu. Maghrib tiba dengan kumandang adzan yang bersahutan. ***
Baginya, baru kali ini ia bertemu orang yang berbudi demikian. Hampir setiap orang yang menolong dirinya lantas menerima pemberian berupa “uang capek” si penolong. Baginya itu memang satu hal yang sudah lumrah di tanah mana saja. Apalagi di zaman susah seringkali apresiasi dikaitkan dengan uang semata. Uang menjadi orientasi setiap aktifitas dan tak jarang uang menjadi tuhan dan magnet yang sangat kuat untuk memotivasi seseorang berbuat sesuatu. Di berita-berita media masa, hanya karena uang, yang tidak seberapa banyak pula jumlahnya, orang berani mempertaruhkan nyawanya. Karena uang orang sering buta dan acuh dengan keadaan orang lain. Bahkan karena uang, orang berani menyakiti, menzalimi, bahkan membinasakan makhluk lain atau bahkan sesama manusia. Tapi, pemuda yang sepertinya terlihat lebih muda dari dirinya itu berbeda. Pemuda itu malah tak mau menerima uang capek yang ia berikan dengan keikhlasan. Apalagi ia tahu betul bagaimana 10
Kakamban Habang
kehidupan anak muda yang ia lupa siapa namanya itu, yang dulu pernah bekerja kepada abahnya. Ia tak menyangka seorang pemuda yang hanya tinggal bersama emmak tua di sebuah gubuk renta kecil, di ujung ilir aliran sungai Muara Durian itu menolak pemberiannya. “Apa benar masih ada orang yang tak mau menerima materi demi kelangsungan hidup? Apa benar masih ada orang yang tulus ikhlas memberi tanpa harus menerima?” Gumamnya dalam hati menanya. Di tengah bingung, juga ada kesal menyertainya. Kesal karena sikap orang itu yang menolak pemberiannya. Ia jadi malu dan merasa terendahkan. Ia merasa pemberiannya tidak dihargai meski pemuda yang selalu mengenakan topi butut itu menolaknya dengan ramah. Fatimah menghela nafas panjangnya. Pikirannya payah memikirkan sebab sikap sang pemuda. Sesekali ia mementikkan jari telunjuknya ke bibir, eksperi ia tengah berpikir. Ia menatapkan jauh pandangannya ke arah luasnya hamparan tanah dan ladang padi milik abahnya yang di naungi sinar terang sang mentari senja. Rasanya semua itu kini tak ada artinya ketika ia teringat dengan penolakan sang pemuda. Sebesit ingatan tak sengaja menghinggapi pikirannya. Ia teringat
11
Hafiez Sofyani
ucapan penolakan sejumlah uang dari pemuda itu dengan sebuah pertanyaan; “apakah uang itu milik anda atau milik orang tua anda?”. Ia sangat bingung dengan pertanyaan yang diutarakan pemuda kurus yang memiliki kerut wajah yang terukir lebih cepat dari usianya itu. “Iya... ini uangku yang diberikan oleh orang tuaku untuk jajan... lalu kenapa? Ada yang salah kah?” Jawabnya sekenanya dengan perasaan masih memendam kebingungan diserta tanya. Namun, kalimat terakhir pemuda itu yang membuatnya bingung. Tinggi-tinggi ia kuliah sampai strata dua (S2), ia tak mampu menganalisis maksud pemuda itu saat ia mengatakan, “Kalau begitu itu uang orang tua Anda. Saya tidak bisa menerima uang itu...” Entah mengapa Fatimah terus memikirkannya, dan tanpa ia ingingkan buah percakapan itu malah menjadi beban pikiran. Ia khawatir jikalau pemuda itu menolak pemberiannya karena pemuda itu merasa uang itu bersumber dari hasil yang tidak halal. 12
Kakamban Habang
“Apa memang benar demikian?” pikirnya menduga-duga. “Nau’dzubillah” bisiknya. Sudah beberapa hari ini ia terus saja terpikirkan masalah itu. Iapun menyerah. Fatimah tak tahu apa maksud dari pertanyaan dan pernyataan dari pemuda yang tempo lalu menolong dirinya itu. Tapi, perasaan halusnya mengatakan kalau pernyataan itu bukanlah pernyataan sembarangan atau sepele. Di tanah Banjar, kerap ditemukan masyarakat yang berbicara dengan kiasan, mantik, dan kalimat bersayap lainnya yang biasanya memiliki makna yang dalam. Fatimahpun akhirnya beranjak menuju orang tuanya yang ia yakin memiliki pandangan. Fatimah segera menceritakan peristiwa itu tatkala ia mendapati ibunya di ruang keluarga kediamannya. Ia berharap memperoleh jawaban dari pertanyaan yang ada dibenaknya. Ibu Fatimah yang notabene orang Hulu Sungai5 dan memiliki wawasan tentang papadah urang bahari6, ia rasa cukup memiliki pengetahuan untuk menjawab apa maksud dibalik sikap seseorang yang berucap
Hulu Sungai adalah salah satu karesidenan yang terletak di privinsi Kalimantan Selatan. Juga kerap disebut sebagai wilayah Banua Lima. 6 Nasihat bijak dari orang-rang terdahulu 5
13
Hafiez Sofyani
seperti yang diceritakannya. Sebab, urang bahari7 ia rasa tidak sembarang mengucapkan sesuatu. Orang Banjar bahari memiliki prinsip “banganga dahulu hanyar baucap” yang artinya “sebelum berucap dipikirkan dulu matang-matang apa konsekuensi dari ucapan yang nantinya terlontar”, atau dengan istilah lain, hati-hati dalam berbicara. Apalagi, jika dilihat dari gelagatnya, pemuda yang menolongnya tempo hari itu bukan orang yang sembarangan bersikap dan berucap. Dimatanya, setiap gerak pemuda itu seakan penuh arti. Fatimah duduk di samping ibunya yang tengah sibuk menjahit salah satu pakaian yang sempat sobek. Meski dari istri orang yang kaya, namun istri haji Jamran juga memiliki sikap dan gaya hidup yang sederhana. Tidak seperti kebanyakan orang kaya, segala sesuatu yang rusak segera dibuang. Bagi istri haji Jamran, jika masih bisa diperbaiki, maka barang rusak itu diusahakan untuk diperbaiki. Kesederhanaan ibunya inilah yang menurun kepada Fatimah. Dengan manja, Fatimah mengajak ibunya untuk bercerita. Lebih tepatnya Fatimah menceritakan apa yang beberapa hari silam ia alami. Ibunya 7
Orang terdahulu
14
Kakamban Habang
mendengarkan dengan seksama. Seusai cerita Fatimah, ibunya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, kagum, mendengar cerita yang barusan diutarakan Fatimah. “Subhanallah, masih ada rupanya orang yang seperti itu ya, Nak..?!!” ucap Ibunya masih sibuk dengan benang dan jarum di tangannya. Ucapan itu rupanya semakin membingungkan Fatimah. Dahi Fatimah nampak berkerut. Gadis berwajah cukup polos itu semakin dibuat tak sabar dengan maksud ucapan Ibunya. “Jadi?” Fatimah tak sabar menunggu kelanjutan penjelasan dari Ibunya. “Begini Puteri Ibu yang cantik.... Ucapan ibunya terhenti sesaat sembari ia menyelesaikan rajutan terakhir ditanganya, lalu berlanjut setelah ia menarik nafas panjang. “Orang dulu itu, termasuk Ibu, ketika kecil saat dididik oleh almarhum kakekmu, selalu diajarkan untuk menolak pemberian orang yang mana pemberian itu bukanlah milik si pemberi.” “Bukan milik si pemberi???” ucap Fatimah lirih dengan nada penasaran bercampur bingung. Kembali ia mengernyitkan dahinya. Benak Fatimah 15
Hafiez Sofyani
memunculkan tanda tanya besar. Pernyataan Ibunya barusan benar-benar membingungkan Fatimah. Ia semakin tidak faham. “Maksudnya gimana itu, Bu?. Bukankah Fatimah memberikan uang milik Fatimah sendiri, bukan milik orang lain. Lalu kenapa orang itu menolaknya?. Apa orang itu tahu uang yang Fatimah berikan itu tidak halal?. Bukankah uang itu pemberian Abah untuk jajan Fatimah dari hasil dagang, dari usaha yang halal. Jadi tidak mungkin kan karena alasan itu?.” sanggah Fatimah antusias. Ibunya tersenyum tipis. Fatimah, meski sudah sarjana tingkat strata dua, dimatanya masih begitu polos. Rupanya Fatimah tetap saja Fatimah kecil yang jika penasaran dengan sesuatu selalu dengan antusias dan segera mendiskusikannya kepada ibunya. Dari sini Ibunya memahami, ternyata memang tidak semua hal bisa diketahui oleh orang, meskipun orang berpendidikan tinggi sekalipun. Khususnya tentang adat orang zaman dulu, gumamnya dalam hati. Setelah tersenyum, Ibunya melanjutkan menjelaskan.
16
Kakamban Habang
“Anakku… Ia menolak bukan karena uang itu bersumber dari yang tidak halal. Tetapi ia menolak karena ia menganggap bahwa uang itu bukan milikmu. Tapi milik Abah dan Ibumu... uang itu adalah hasil kerja orang tuamu yang sementara dititipkan kepadamu untuk keperluan jajanmu...” “Tapi kan diberikan ke Fatimah. Jadi sekarang milik Fatimah dong...” Sanggah Fatimah dengan sedikit kerut lagi di dahinya. “Ya... Tapi uang itu abah dan ibu berikan untuk keperluan jajanmu kan, bukan untuk kamu sedekahkan kepada orang lain. Betul tidak?.” Balas Ibunya. “Maksudnya?” Fatimah masih tak faham dengan maksud ibunya. Ibunya kembali tersenyum. “Maksud Ibu, pemuda itu ingin tetap uang itu dibelanjakan sesuai dengan amanah si pemberi bahwa uang itu adalah uang yang diamanahkan untuk belanja jajanmu, bukan untuk disedekahkan. Meskipun sedekah adalah sunnah yang dianjurkan, tetapi kalau uang itu disedekahkan padahal uang itu abah dan ibu berikan untuk uang jajanmu, maka sedekahmu tidak akan berbuah pahala. Karena 17
Hafiez Sofyani
kamu telah melanggar hal yang lebih penting, yaitu amanah kemana uang itu harusnya kamu gunakan.” “Tapi uang itu kan milik Fatimah. Jadi terserah Fatimah dong mau merubah yang tadinya untuk jajan kemudian Fatimah ganti niat untuk di sedekahkan?” “Itukan menurut Fatimah. Bukan menurut pemuda itu. Pemuda itu tentu pemuda yang memahami benar makna sebuah kewajiban amanah dan kesunnahan sadaqah.” Balas Ibunya yang kemudian tersenyum sambil membelai wajah putri kesayangannya itu. “Subhanallah….” Entah mengapa hati Fatimah terasa berdesir. Baru kali ini ia bertemu dengan seorang pemuda yang begitu teliti dan hawas dengan hal sekecil itu. Bahkan dirinya sendiri tidak pernah belajar dan terbesit untuk berpikir demikian. Sebenarnya Fatimah tidak begitu memahami secara mendalam apa yang didiskusikan oleh ibunya. Akan tetapi ia mulai mau menerima alasan yang mungkin menjadi hujjah pemuda itu kala memilih untuk menolak pemberiannya. Ya, ini 18
Kakamban Habang
bukan tentang benar dan salah, pula bukan tentang baik dan buruk. Ini tentang bagaimana ia harus menerima perbedaan pandangan seseorang yang menjadikan seseorang itu akan berbeda sikap dari yang kita harapkan dengan sikap orang lain itu dalam kenyataan. Ini sesuai dengan konsep psikologi, ilmu yang ia geluti saat ini. Dalam konsep berpikir manusia, dikenal istilah keterbatasan rasional yang memaknai bahwa setiap manusia memiliki pola dan cara berpikir yang berbeda sehingga akan menimbulkan sikap dan perilaku yang berbeda pula, dan kondisi ini terjadi dalam banyak hal, entah itu dalam berbicara, berbudaya, dan bahkan beragama. Perbedaan ini dipengaruhi oleh lingkungan, pengalaman belajar, khususnya tentang apa yang dipelajari dan bagaimana mempelajari. Sehingga, jika dikaitkan dalam konteks beragamapun, ketika seorang ulama menfatwakan suatu perkara hukum dan berbeda dengan ulama lain, maka itu suatu kewajaran yang menjadi keniscayaan yang tak dapat terelakkan. Hanya, manusia yang bijak diharapkan mampu untuk menciptakan harmonisasi di tengah perbedaan pandangan, pendirian, dan sikap itu. Barangkali itulah yang bagi Fatimah bisa ia petik
19
Hafiez Sofyani
dari sikap pemuda itu atas pemberiannya, fikir Fatimah panjang lebar. Sekali lagi baginya ini bukan masalah benar-salah ataupun baik-buruk. Melainkan ini masalah pendirian yang diyakini benar oleh pemuda itu, dan ia sebagai manusia, makhluk berbudaya, sudah sepatutnya menerima pendirian orang lain itu tanpa harus menghukumi bahwa pemikiran orang lain itu salah karena berbeda dengan faham yang ia yakini. “Atau bisa jadi dia adalah orang yang selalu menjaga dirinya untuk tidak pernah menjadi orang tangan yang di bawah. Ibu yakin, pemuda itu adalah pemuda yang amanah dan memegang teguh akidahnya.” Sela Ibunya membuyarkan lamunan panjang Fatimah. Fatimah masih tanpa suara. Ia menatap jauh ke arah ladang padi yang mulai menguning, berkilau di bawah naungan sinar mentari yang mulai menggiring senja. Angin sepoi yang menawan menjadikan padi itu melambai-lambai seolah tersenyum kepada dirinya. Entah mengapa kini perasaan jengkel karena merasa direndahkan oleh pemuda yang menolongnya pagi tempo hari itu berubah menjadi rasa kagum dan bangga. Kagum karena ternyata di zaman seperti sekarang 20
Kakamban Habang
ini masih ada orang seperti pemuda itu, dan bangga karena ia pernah bertemu dengan pemuda saleh seperti dia. “Pemuda yang cocok untuk menjadi imam…” bisik Ibunya sambil tengah menatap dirinya dengan senyum penuh tanya. Sebuah kalimat singkat yang membuat dirinya tertegun untuk beberapa lama, dan tersadar bahwa kini ia telah dewasa dan sudah saatnya untuk berpikir hidup berumah tangga. Mungkin itu maksud Ibunya menyindir dirinya demikian. Ia tersadar, memang sudah saatnya ia memikirkan hal itu. Apalagi ia yakin abah dan ibunya sudah sangat ingin menimang cucu darinya. “Kalau Ibu boleh tahu, siapa nama pemuda itu?” tanya ibunya sambil membelai lembut kepala Fatimah yang jatuh dibahu sang Ibu, manja. Fatimah terdiam, tak dapat menjawab. Alisnya yang cukup tebal dan hitam itupun mengernyit untuk kesekian kalinya. Ia baru ingat kalau ia juga belum tahu nama pemuda itu. Atau lebih tepatnya ia lupa nama pemuda itu.
21
Hafiez Sofyani
Fatimah menggelengkan kepalanya. “Yang Fatimah tahu pemuda itu tinggal di ujung ilir aliran sungai Muara Durian, dan pernah bekerja untuk abah” bisiknya, tatapannya masih terpaku pada lambaian ladang padi nan luas di luar sana. “Ooo, Ibu tahu…” sahut ibunya. Raut wajah Fatimah berubah menjadi berbinar, seakan menunggu sebuah kabar gembira datang kepada dirinya. Fatimah bangkit seketika dari kemanjaan di pundak ibunya. “Tapi ibu juga lupa nama pemuda itu. Yang pasti, ibu tahu lah siapa ia. Ia yang sering bantu ngangkut-ngankut padi abah ke penggilingan padi haji Rahmat, kan?” sambung ibunya. “Huuuu.....” balas Fatimah yang kembali menjatuhkan kepalanya dibahu ibunya manja disertai nafas panjang. “Mungkin....” sahutnya. Fatimah tertediam sesaat. “tak tahu lah...” lanjut Fatimah lesu, kecewa karena informasi yang ia peroleh masih setengah. “Lalu, siapa nama pemuda itu?” bisiknya dalam hati. ***
22
Kakamban Habang
Bagian 2 Masa Lalu Bulan ini adalah masa-masa indahnya dua kampung ini, Kampung Muara Durian dan Handil Durian. Di musim katam8 seperti sekarang, dua kampung bersebelahan itu menampilkan suasana paling memesona diantara waktu-waktu lainnya. Dari sepanjang jalanan handil yang membelah langsung kawasan ladang sawah setiap orang dapat menikmati indahnya hamparan padi yang nampak segar, beraroma khas, berkilauan dengan warna kuning khas padi yang siap di panen. Bergiringan dengan musim katam ini, biasanya bertepatan pula dengan musim beranak pinak unggas-unggas ternak, burung-burung, dan binatang ternak lainnya. Itu karena pada musim ini makanan bagi semua berlimpah ruah. Musim katam juga biasanya diiringi dengan musim buah mangga, kasturi, jambu, dan buah-buahan khas lainnya. Jadilah musim katam menjadi musim berkah bagi sekalian orang di kampung sini. Di musim katam seperti ini, Fatimah biasanya sangat senang memperhatikan suasana yang 8 Musim
panen padi
23
Hafiez Sofyani
terjadi di kampungnya. Nyaris setiap sehabis salat subuh, ia mengajak ibunya untuk berjalan-jalan mengelilingi kampung melihat warga-warga yang setiap habis salat subuh segera beranjak ke sawah untuk memanen padi yang sudah matang. Adapula yang ma-irik9, mempersiapkan padi untuk dilabang10. Pada pukul tujuh, jalanan kampung biasanya akan dipenuhi iringan anak-anak kecil berseragam putih coklat yang beranjak menuju utara kampung, tepatnya menuju sekolah Madrasah Ibtidaiyah(setingkat Sekolah Dasar). Baginya, melihat generasi muda itu bersemangat untuk menuntut ilmu adalah sebuah motivasi yang mampu membangkitkan spirit juangnya dalam berkarya. Fatimah sangat memperhatikan pendidikan bagi anak-anak kecil dikampungnya. Ia selalu mendorong warga untuk sadar pendidikan. Jangan ada lagi pemikiran “buat apa sekolah tinggi-tinggi toh ujung-ujungnya jadi petani jua” sebagaimana stigma yang menjadi pemikiran masyarakat di kampungnya. Fatimah ingin setiap warga di kampungnya dapat bersekolah. Jika jadi petani, jadilah petani yang canggih. Ia selalu menjelaskan kepada warga bahwa pendidikan Melepaskan padi dari tangkainya dengan cara menginjak-injak padi hasil panenan. 10 Labang artinya jemur. Malabang=menjemur, dilabang=dijemur. 9
24
Kakamban Habang
akan membawa kebaikan dan mampu merubah nasib hidup. Memang kadang masyarakat lebih memilih melihat orang-orang gagal yang bergelar sarjana, tapi tetap saja menganggur. Kalaupun kerja ya ujungujungnya jadi petani, tukang ojek, atau tukang bangunan. Menanggapi hal itu Fatimah menjelaskan bahwa itu terjadi bukan karena sekolahnya yang salah, tapi mungkin cara orang yang bersangkutan saat sekolah yang keliru. Ya, memang kita bisa melihat apa yang distigmakan kebanyakan masyarakat kampung ada benarnya juga. Banyak sarjana yang menganggur, susah cari pekerjaan, bahkan ada yang nekad berjualan barang haram atau bahkan jadi maling. Jika mau kritis, bukan sekolah tinggi yang keliru. Tetapi motivasi orang yang bersangkutan saat sekolah lah yang menyebabkan ia mengalami kesulitan setelah lulus. Prinsipnya, jika orang sungguh-sungguh sekolah, misalnya sekolah di perguruan tinggi untuk meraih sarjana, maka insya-Allah ia akan berhasil. Mereka yang sarjana dan sungguh-sungguh pasti berhasil. Yang gagal itu mereka yang “memiliki gelar sarjana”, ungkap Fatimah setiap kali menjelaskan kepada warga kampungnya. 25
Hafiez Sofyani
Fatimah bersyukur, dengan pendekatan dan penjelasan yang demikian, banyak warganya yang mulai membuka mata dengan pendidikan. Jika warganya berkeluh karena biaya pendidikan mahal, maka Fatimah akan berupaya untuk mencarikan jalan keluar. Kegiatan yang ia lakukan ini tidak lain karena ia yang kini merupakan dosen di salah satu perguruan tinggi di Banjarmasin merasa bahwa permasalahan ini menjadi tanggungjawabnya jua sebagai akademisi. Seorang dosen, di matanya, tidak terbatas sebagai seorang guru yang mengajar di perguruan tinggi, tetapi juga harus memberikan andil dan manfaat secara langsung di lingkungan dimana tempat ia tinggal dengan bermodal keilmuan yang dimilikinya. Tak terasa hari semakin siang. Mentari sudah mulai naik ke ufuk timur. Kampung Muara Durian dan Handil Durian kian sibuk dengan aktivitasnya. Selain pemandangannya memesona, musim katam juga menyuguhkan suasana kekeluargaan nan hangat yang tumbuh dari kearifan lokal budaya masyarakat setempat. Hampir setiap musim katam ini, pangarun11 berdatangan ke dua desa ini dan desa-desa tetangga. Tujuannya tidak lain adalah untuk menjadi buruh tani memanen padi yang 11
Buruh panen
26
Kakamban Habang
sudah matang. Para pangarun ini adalah mereka yang biasanya bertempat tinggal jauh dari kampung ini. Ada yang dari Anjir, Kandangan, Barabai, Amuntai, dan dari daerah-daerah lain yang biasanya musim panennya sudah lebih dahulu berakhir. Sehingga, untuk menambah penghasilan, para pangarun yang sudah tidak ada garapan lagi di kampungnya memilih untuk menjadi buruh tani di kampung lain. Secara ekonomi, kedatangan para pangarun ini mampu membangkitkan perekonomian warga kampung, dan menjadi sarana dalam distribusi pendapatan di kampung-kampung yang mereka datangi. Sebagai ilustrasi, ketika pangarun berdatangan, biasanya warung-warung subuh yang berjualan setiap sehabis subuh sampai tengah hari akan memperpanjang jam berjualan mereka hingga jam sepuluh malam. Itu karena para pangarun yang bekerja berat memerlukan waktu istirahat yang banyak. Biasanya ketika istirahat para pangarun akan mampir ke warung setiap sehabis dzuhur, ashar dan isya untuk membeli makanan dan minuman. Sebelum berangkat ke sawahpun, yakni sehabis subuh, mereka juga sering singgah ke warung. Hal itu tentu menambah penghasilan pedagang warung subuh. Selain itu, tidak jarang juga banyak 27
Hafiez Sofyani
warung-warung dadakan buka yang menjadi peluang bagi warga yang lain untuk mencari tambahan rejeki. Bahkan, ada juga kadang kala warga yang berjualan asongan di tengah sawah. Maksudnya adalah mendatangi konsumennya secara langsung, yakni para pangarun. Di tengah indahnya kenikmatan suasana kampungnya itu, entah mengapa Gadis yang sering sekali terlihat mengenakan kerudung merah itu teringat percakapannya dengan ibunya tadi malam, khususnya mengenai sindiran ibunya tentang dirinya yang sudah waktunya untuk hidup berumah tangga. Tanpa ia tuani, ingatan itu menggiring angannya kepada memori beberapa tahun silam tentang pemuda yang sempat mengisi relung hatinya, Abdul Salam. Salam adalah seorang pemuda yang ia kenal di acara halal bihalal mahasiswa Kalimantan Selatan sewaktu masih menempuh kuliah di kota Yogya. Ia adalah mahasiswa jurusan teknik di salah satu perguruan tinggi di Yogya yang kala itu menjadi ketua perhimpunan mahasiswa Amuntai, karena Salam memang asli orang Hulu Sungai Utara (Kabupaten). Ingatan ini membawa Fatimah secara otomatis kepada sebuah foto yang ia simpan secara rahasia 28
Kakamban Habang
di sebuah lembar halaman buku kuliahnya dulu. Tanpa sadar, kini foto itu telah ada di tangannya. Sebuah foto bergambarkan sekelompok pemudapemudi yang berdiri berrjajar di depan sebuah gedung bertuliskan “Asrama Mahasiswa Kalimantan Selatan Pangeran Antasari Yogyakarta”. Foto itu adalah foto kala ia masih mahasiswa yang diambil di depan asrama Pantas (singkatan dari Asrama Mahasiswa Kalimantan Selatan Pangeran Antasari Yogyakarta) sewaktu acara rapat pertanggungjawaban Persatuan Mahasiswa Kalimantan Selatan (PMKS) Yogyakarta. Mata Fatimah terhenti pada satu sosok pemuda yang berdiri tegap, tegas, lugas, penuh percaya diri, diiringi senyum hangat yang menandakan kecerahan masa depannya. Pemuda yang ia perhatikan itu tepat berdiri di belakang pemudi yang beridiri setengah malu berhiaskan senyum manis yang sangat memesona, pemudi yang tak lain adalah dirinya. Foto itu diambil saat ia belum begitu mengenal sosok pemuda yang beridiri di belakangnya, yan tidak lain adalah Salam. Ingatannya berjalan terus menerawang masa silamnya. Mata Fatimah terpejam. Ia menarik nafas panjang disertai senyum tipis dari bibirnya. 29
Hafiez Sofyani
Ia teringat kala Salam yang saat itu begitu gamblang mendekati dirinya, tanpa basa-basi. Ia teringat momen ketika Salam menyuruh Anggar, kawan Salam mahasiswa dari Bengkulu untuk menyerahkan sebuah surat yang sebenarnya lebih tepat disebut secarik kertas kumal kepada dirinya. Sebuah surat yang berisikan pesan singkat penuh percaya diri Assalamu’alaikum Fatimah, Aku ingin kenal lebih dekat dengan dirimu... Dari Salam, Mahasiswa Amuntai
Merespon surat yang ia anggap tidak benar-benar serius itu ia sempat acuh. Hingga akhirnya setiap hari ia menerima surat yang lebih serius dari Salam yang dititipkan pemuda itu melalui teman se-kost Fatimah, Rahmah. Hingga akhirnya, Fatimah menjadi merasa galau ketika tak ada surat yang datang hari itu dari Salam. Saat itu ia tak sadar bahwa ia terjebak oleh cintanya Salam.
30
Kakamban Habang
Cinta yang muncul karena terbiasa tanpa ia niatkan. Memori masa lalunya semakin panjang menceritakan saat-saat bahagia itu. Saat dimana ia mulai mengenal yang namanya cinta dan merasakannya secara langsung. Saat dimana ketika ingin makan, ia teringat pemuda itu. Ketika belajar, ia teringat pemuda itu. ketika ingin tidur, ia teringat lagi pemuda itu. Dan saat berangkat kuliah, ia berharap melihat pemuda itu atau kalau bisa bertemu dan berangkat kuliah bersama pemuda itu. Meski tak ada ungkapan cinta yang dikatakan, ia merasakan bahwa hatinya dan hati Salam menumbuhkan satu kepekaan yang terhubung. Hingga ia teringat pada momen perpisahan itu. tanpa ia sadari setetes bulir bening keluar dari bilik matanya. Tidak tahu sedih atau apa yang menyebabkan air mata itu memancar. Yang jelas, ia merasakan keharuan kala ia harus merelakan bahwa Salam telah dijodohkan oleh keluarganya dengan gadis lain di Banjarmasin. Harunya semakin menjadi. Memorinya seakan menampakkan lembaran sedih itu di hadapan matanya dalam skim dimana saat Salam mendatangi dirinya di kost, lalu 31
Hafiez Sofyani
menceritakan yang sesungguhnya terjadi. Pemuda yang ia kenal tegas, lugas, dan penuh kepercayaan diri itu rupanya kikuk di bawah perintah orang tuanya. Fatimah berupaya tegar kala itu. Fatimah memaklumkan kebaktian Salam kepada kedua orang tuanya, dan itu memang sudah yang sepatutunya. Fatimah mencoba memosisikan bahwa Salam hanya menceritakan ia akan dinikahkan, bukan menceritakan bahwa itu adalah momen sedih karena mereka harus berpisah. Toh, tidak ada ungkapan cinta secara langsung yang pernah diungkapkan Salam kepada dirinya. Itu artinya hingga saat inipun mereka bukan siapasiapa. Hanya sebatas muda-mudi yang menjalin kekerabatan dan selanjutnya harus berpisah karena salah seorangnya akan menikah. Hanya itu... bisik Fatimah dalam hati mencoba menenangkan hatinya, kala itu. Namun, tak bisa disangkali, mulut bisa berkata lain, bibir bisa tersenyum, tapi mata dan hati tak mampu menutup kesedihan itu. Hingga, waktupun terus bergulir meninggalkan masa lalu, memosisikan cerita lama menjadi kenangan yang hanya untuk diingat dan bukan untuk dikejar kembali.
32
Kakamban Habang
Apapun yang terjadi di masa lalu, Fatimah benarbenar menyadari bahwa kehidupan itu adalah hari ini, saat ini, dan detik ini. Fatimah menghapus aliran bening air matanya yang membekas di pipinya. Ia mengembalikan foto itu ke dalam buku dan meletakkannya kembali ke tempatnya. Ia membuka jendela kamarnya lebarlebar, melepaskan semua masa lalu itu buyar bersama terpaan angin musim kemarau yang melintasi dirinya yang berdiri di depan jendela. Fatimah merentangkan tangannya sambil memejam. Angin yang terus bertiup seolah sangat memahami perasaan gadis yang ingin membiarkan masa lalunya itu pergi sejauh-jauhnya. ***
33
Hafiez Sofyani
Bagian 3 Sungai Biru Hari ini adalah hari kedua Fatimah melihat pemuda kurus tapi berbadan cukup tegap itu, namun tidak untuk saling menatap. Fatimah hanya melihat sosok itu dari balik tirai pintu rumah. Dari teriakan abahnya kala memanggil pemuda itu, kini ia ingat pemuda itu bernama Japri. Iapun sebenarnya tak sengaja mendapati kalau pemuda yang dimintai tolong abahnya untuk menggiling padi di gudang Haji Amad itu ternyata adalah pemuda yang menolongnya tempo lalu. Dengan tingkah pura-pura ada keperluan, Fatimah sepandang melintas di hadapan Japri yang sibuk mengatur beberapa karung padi yang sudah digiling menjadi beras itu masuk ke kindai12 yang berada di samping rumah Haji Jamran. Kehadiran Fatimah rupanya tersadari oleh Japri. Sebesit perasaan gugup menyitir di hati Japri. Pemuda asli Barabai itu melirikkan matanya diamdiam ke arah Fatimah yang sudah terlanjur jauh berlalu. Sayang, ia hanya memeroleh kibasan kakamban habang gadis ranum itu, yang di tiup 12
Gudang padi
34
Kakamban Habang
angin sepoi, sedang wajahnya tertutup dibalik kakambannya. Meski tak melihat wajahnya, Japri cukup bahagia bisa mendapati si kembang desa itu siang ini. Ditambah lagi aroma wangi minyak harum dari Fatimah yang tertinggal dihidungnya terasa merasuk hingga ke relung jiwanya. Baginya, rasanya ingin sekali Japri memanggil Fatimah meski hanya berbisik, karena jika dengan suara lantang, ia takut ketahuan abah sang gadis. Tapi sayang, ia bahkan tak tahu nama puteri Haji Jamran itu. Pikirannya sempat tertegun hingga ia tak tahu harus memanggil dengan panggilan apa. Fatimah masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamarnya. Dari dalam bilik rahasianya itu, entah kenapa ia merasa ada yang spesial hari ini. Senyum di bibirnya cukup lama menghias wajah cantiknya. Rasanya ia benar-benar bahagia. Tapi karena alasan apa, ia tak tahu. Dan ditengah sihir cinta yang kini mendatangi dua insan itu, tiga buah mobil berhenti tepat di halaman rumah Haji Jamran. Dari balik pintu, keluar beberapa orang dengan pakaian rapi dan harum. Diantara mereka ada yang nampak seperti tuan guru (Kyai). Dengan wajah yang sumringah, 35
Hafiez Sofyani
Haji Jamran menyambut rombongan dan mempersilakan semuanya untuk masuk ke dalam rumah. Hati Japri sempat bertanya siapa mereka. Tetapi setelah tak sengaja mendengar sedikit percakapan dari balik kindai padi yang tak jauh dari ruang tamu rumah Haji Jamran, barulah ia mengerti bahwa pembicaraan itu adalah sebuah pinangan. Pinangan untuk siapa?. Sudah pasti itu pinangan yang ditujukan kepada Fatimah. Ia yakin itu karena anak Haji Jamran yang tinggal serumah hanya tinggal Fatimah. Memahami maksud kedatangan keluarga yang nampak kaya itu, terduduk lesu lah Japri di atas salah satu karung padi yang masih berada di luar kindai. Ia melepas topi butut miliknya yang sedikit sobek di bagian kanannya. Ada sebesit rasa kecewa di hatinya. Sang bunga desa yang baru saja melintas dihadapan, kini akan diambil orang. Japri memandang ke langit yang nampak sangat terik. Ia menghela nafas dan mencoba untuk membesarkan hatinya. Lama tertegun. Di tengah diam itu hatinya seolah berbisik, berusaha untuk bercermin mengenai dirinya dan keluarga Fatimah. Dan perasaan kecewa itupun berlalu dengan cepat. Baginya, untuk apa juga ia harus menyesalkan 36
Kakamban Habang
Fatimah. Lagipula ia tidak memiliki hubungan istimewa dan hal yang harus ia sesalkan dari Fatimah. Bahkan Fatimah saja tidak mengenal siapa dirinya. Tiba-tiba saja Japri tertawa sendiri. Ia merasa geli sendiri dengan dirinya dan perasaan hatinya barusan. Ia kembali berpikir. Seandainya pun ia menikahi Fatimah, ia pasti tak kan bahagia. Itu karena Haji Jamran pasti menuntut ini dan itu darinya. “Orang kaya kadang gengsinya tinggi. Jadi susah untuk dituruti kemauannya. Maunya pakaian ber-merk, kendaraan yang bagus, ini yang bagus, itu yang mahal, dan seterusnya dan seterusnya…” gerutu Japri dalam hati. Lebih baik ia hidup sederhana. Yang penting bisa menyambung hidup. Itu saja sudah cukup, tak perlu berlebihan, baginya. Setelah beberapa menit berlalu, pekerjaan Japri pun selesai. Semua karung nampak sudah tersusun rapi di dalam kindai. Tapi para tamu masih juga belum beranjak dari kediaman Haji Jamran. Japri menunggu Haji Jamran selesai dengan tamunya sambil duduk melepas lelah di kursi kayu depan kindai. Japri menunggu haknya untuk dipenuhi dari Haji Jamran. 37
Hafiez Sofyani
Tapi, tiba-tiba saja hatinya ditimpali rasa penasaran yang begitu besar. Japri bangkit. Ia mencoba memberanikan diri untuk mendekat keujung teras rumah agar bisa mendengarkan isi pembicaraan secara lebih jelas. Dan ketika ia hampir sampai ke ujung teras, seluruh tamu itu berjalan keluar dari balik pintu rumah. Wajah Japri setengah kaget. Seketika ia memakai topinya agar wajahnya tak terlihat. Ia merasa kucil jika harus berhadapan dengan rombongan kaum berada. Japri menunduk. Salah satu dari mereka nampak menanyakan tentang dirinya kepada Haji Jamran. “Ooo.. ini Japri. Tukang angkut padi di kampung ini. Barusan habis dari penggilingan padi untuk menggilingkan padi milik saya beberapa karung...” Jawab Haji Jamran sambil memperkenalkan Japri kepada seluruh tamunya. Ucapan Haji Jamran itu semakin mengucilkan dirinya. Tapi ia tak perlu marah atau kesal. Karena memang yang dikatakan Haji Jamran itu benar adanya, ia adalah buruh tukang angkut padi. Japri tak menghiraukan ucapan haji Jamran tentang dirinya. Dibenaknya, pasti Haji Jamran dan keluarga kaya tamunya itu sudah sepakat 38
Kakamban Habang
untuk mengawinkan puterinya dengan putera keluarga kaya itu. Hal itu terlihat jelas dari raut wajah mereka yang sama-sama berbinar. Dan sejak hari itu, beredarlah di seantero kampung bahwa Fatimah, puteri Haji Jamran, akan segera menikah dengan seorang pemuda kaya beserta jujuran dan mahar berupa uang tunai satu milyar rupiah, di tambah emas putih 50 gram, rumah beserta isinya, dan mobil mewah. Saat Japri mendengar kabar itu dari pembicaraan para warga di hampir semua warung subuh, hal yang pertama menarik hatinya bukanlah jumlah jujuran dan mahar yang akan diberikan kepada bakal pengantian wanita. Melainkan, yang menjadi perhatiannya adalah kini ia tahu nama puteri Haji Jamran itu, “Fatimah”. Sebelumnya ia tak pernah menanyakan nama gadis itu kepada siapapun di kampung ini. Pemuda kurus berkulit sawo matang yang kini lebih terlihat agak hitam itu memang berperangai sangat pemalu. Ia selalu menjaga tindak tanduknya agar tidak berperilaku memalukan. Pun supaya dirinya juga tidak mudah untuk dipermalukan. Ia adalah pemuda yang senantiasa menjaga sikap dan pembicaraan. “Banganga sabalum baucap” atau “berpikir sebelum bicara”. 39
Hafiez Sofyani
Tidak hanya kampung Muara Durian. Rupanya kabar itu juga sudah menyebar hingga ke penjuru kecamatan dan beberapa kampung tetangga. Memang, baru kali ini para warga mendengar ada jujuran semahal itu. Bagi orang kampung sini, jujuran dengan nilai sepuluh juta saja sudah kemahalan. Apalagi dengan rupa-rupa begitu. Maklumlah. Itu karena yang meminang memang dari keluarga pengusaha intan yang kaya raya di tanah Banjar. Sayang, meriahnya pemberitaan yang saat ini menyelimuti kampung mengenai kabar tentang rencana pernikahan Fatimah dengan pemuda bernama Riduan, putera kesayangan saudagar intan itu tidak menjadikan sang pemilik diri bahagia. Sejak Fatimah tahu bahwa abahnya sudah menerima pinangan keluarga Riduan, ia malah bermurung murai. Itu karena hatinya tak bisa mendusta bahwa ia tak mencintai pemuda yang meminangnya itu. Menurutnya, abahnya menerima pinangan itu secara sepihak. Ditambah lagi, Fatimah merasa bahwa abahnya tidak adil dan memperlakukannya semena-mena. Meski Haji Jamran adalah abah kandungnya, tapi sikap abahnya yang seolah menjual dirinya dengan 40
Kakamban Habang
mematok harga itu menjadikan Fatimah tidak bahagia. Ia seperti dijadikan barang mewah yang disimpan untuk dijual kepada orang lain yang mampu membelinya. Ia merasa abahnya tidak memperhatikan perasaan dirinya yang sebenarnya tidak bahagia itu. Apalah arti baginya semua harta melimpah jikalau hati tak bahagia. Apa nasib meski berdipan emas dan bercadar intan tapi tidur hanya berbantal lengan?. Ia tak merasakan sedikitpun kebahagian dari semua harta melimpah itu. Yang ia rasa hanya gengsi, keangkuhan dan rasa ingin dipandang sebagai orang yang berharta, padahal ia tak menikmati sedikitpun kekayaannya itu. *** Hari itu, Fatimah meneteskan air matanya sambil terduduk di depan sebuah aliran sungai seorang diri. Sungai biru, sebuah tempat yang menghantarkannya kepada kenangan masa kecilnya bersama abangnya, Hadri. Sungai Biru. Tempat ini memang tempat favorit Fatimah. Kala kecil dulu, ia sering bermain-main di sini bersama abangnya, Hadri. Tempat yang indah. Dari sini, ia bisa melihat begitu menawannya pemandangan sawah yang dibelah 41
Hafiez Sofyani
menjadi dua oleh sebuah sungai kecil yang sangat jernih. Sungai yang juga berfungsi sebagai irigasi itu ia beri nama sungai biru. Itu karena saking jernihnya air sungai itu hingga nampak berwarna biru muda. Pinggir sungai itu nampak di tumbuhi berbagai macam tanaman “tak bernama”, namun memiliki bunga nan indah, berwarna-warni dan memesona. Di tengah sungai juga nampak teratai yang berbunga tiga bulan sekali. Di sini banyak sekali jenis ikan kecil yang bisa dipelihara sebagai ikan hias di rumah, kelatau, biawan, darah manginang, dan ikan lainnya yang unik. Di galangan sawah juga terdapat banyak jenis burung yang numpang tempat untuk bersarang, kawanan itik yang senang sekali berenang, juga ikan-ikan yang boleh dipancing seperti ikan Haruan, Sapat dan Papuyu. Tempat kecil ini seolah surga bagi berbagai macam makhluk hidup. Pesona sungai biru ditutup oleh pemandangan Gunung Pelaihari yang dari sini nampak kebiruan di lapisi mega cerah, anggun yang menawan. Di sekeliling awan itu beterbangan kawanan elang yang mencari makan. Fatimah mencoba menenangkan dirinya di tempat favoritnya ini yang berjarak tak jauh dari rumahnya. Fatimah sendirian. Hanya berteman 42
Kakamban Habang
angin sendu dan kesedihan. Matanya basah. Pandangannya tertuju pada kawanan itik yang hidup bersama dengan bahagia, meski dengan kehidupan yang seadanya. Dan tiba-tiba, khayalnya melayang ke masa silam saat abangnya, Hadri, meninggalkan rumah karena tidak tahan dengan cacian dan penghinaan yang dilontarkan oleh abahnya sendiri, Haji Jamran. Persitiwa itu berawal ketika Hadri tak mau menerima perjodohan dengan karib Abahnya yang juga seorang pengusaha kain di Banjarmasin. Hadri yang memiliki pendirian keras, akhirnya pergi dengan kekasih pujaannya, Hafsah. Sejatinya saat itu ia memihak abangnya, karena ia merasa bahwa abangnya, Hadri, memiliki hak untuk memilih, apalagi ia seorang laki-laki. Tapi bagaimanapun juga, Haji Jamran adalah abah kandungnya. Tak mungkin ia berseberangan pendapat dengan abah kandungnya. Akhirnya Fatimah hanya bisa diam. Beberapa hari kemudian setelah kepergian Hadri, ada satu surat yang Fatimah temukan di atas tempat tidurnya yang mengatakan bahwa Hadri tetap memilih jalan hidupnya dan pergi bersama gadis pilihan hatinya. Hari itu tak ada satu barangpun milik Hadri yang hilang dari rumah. 43
Hafiez Sofyani
Semua bajunya ada di lemari. Bahkan sepeda motor miliknya tetap ada di dalam garasi. Itu artinya, abangnya meninggalkan rumah tanpa pamit juga tanpa harta. Hadri hanya membawa baju di badan. Sungguh merana. Peristiwa itu benar-benar memecah-belah kerukunan keluarganya. Tapi sayang, tak sedikitpun sifat abahnya itu berubah semenjak peristiwa itu. Haji Jamran malah menyalahkan Hadri terus-menerus, bahkan sampai hari ini. Mengingat kenangan pahit itu rasanya hati Fatimah benar-benar semakin remuk. Ia merasa keluarga itik yang berenang dengan bahagia itu memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari dirinya dan keluarganya. Selayang berlalu. Air matanya semakin deras membasahi pipi. Ia terduduk di atas batang sambil membiarkan kakinya berendam ke dalam sungai yang membelai lembut dengan arusnya yang tenang. Tarikan nafasnya terisak sesenggukan. Saking sedihnya, sampai-sampai ia tak sadar kalau seseorang sudah berdiri beberapa menit di belakangnya dan memerhatikan tindak-tanduknya sejak tadi.
44
Kakamban Habang
Tak lama, Fatimah tersadar. Kini ia melihat bayangan seseorang yang berdiri dibelakangnya itu. Ketika ia menoleh, wajah seseorang itu begitu mantap ia kenal, Japri. Ia tak tahu kenapa Japri ada di sini. Tapi, dari kehadiran pemuda itu, tak dipungkiri ada sebesit rasa senang yang muncul, khususnya ketika dapat melihat wajah tulus pemuda kurus itu. Sejenak, Fatimah mengeluarkan seiris senyum tipis tanpa sadar menyambut kedatangan Japri. Namun, tak lama pula, seketika Fatimah membuang wajahnya dan cepat-cepat menghapus air matanya. Japri merespon sikap Fatimah itu dengan raut wajah heran. Tapi, ia menyadari kalau Fatimah baru saja selesai menangis. Hatinya bingung apakah ia harus bertanya apa diam saja tentang Fatimah yang baru saja ia dapati dalam kesedihan itu. Dan rasa penasarannya itupun akhirnya membuat pemuda pemalu itu memberanikan dirinya untuk berkata. “Anda habis menangis ya?” ucap Japri dengan halus, diringi dahinya yang berkerut ragu. Fatimah yang membelakangi Japri masih dengan wajahnya yang membuang jauh dari Japri ke arah 45
Hafiez Sofyani
bukit karamaian di ujung sana. Ia seolah mengisyaratkan kalau saat ini tak ingin diganggu. Lagipula tak ada urusan antara dirinya dengan pemuda yang belakangan sering membantu abahnya menggiling padi itu. Melihat sikap Fatimah yang dingin, Japri mulai takut. Ia merasa telah bersalah karena beraniberaninya bertanya tentang hal yang tak seharusnya ia pertanyakan. Apalagi jika sadar dengan siapa saat ini ia berbicara, maka Japri benar-benar menjadi kecil hati. Japripun memutuskan melangkah mundur dengan teratur. Ia sudah merasa bersalah telah mengajak puteri Haji Jamran yang tak lama lagi bakal menjadi istri orang itu untuk berbicara. Tak lama, Fatimah menoleh ke arah Japri yang sudah berjalan beberapa langkah. Matanya masih sayu. Entah kenapa rasanya hari ini ia ingin sekali bicara dengan pemuda yang ia kenal sebagai Japri si tukang gerobak di kampung Muara Durian itu. Ia tahu Japri adalah orang yang hidup seadanya. Tapi ia ingin tahu apakah Japri bahagia?. Atau mungkin Japri memiliki keinginan menjadi kaya dan hidup mewah supaya menjadi bahagia sebagimana yang diinginkan kebanyakan orang?.
46
Kakamban Habang
“Kamu dari mana?” Fatimah membuka wacana. Japri menghentikan langkahnya sambil menoleh ke belakang, ke arah Fatimah. Ia setengah tak percaya puteri sang juragan itu mengajak dirinya untuk bicara. Raut wajah setengah bingung. “Ayo duduk di sini, Japri.... Namamu Japri kan?” Lanjut Fatimah sambil menunjuk satu tempat di samping tempat ia duduk. Japri masih dengan wajah herannya. “Ayooo…” ajak Fatimah mengulangi. “I..iya, i..ya…” balas Japri terbata. Japri mengambil duduk kira-kira tiga meter dari Fatimah. Hatinya masih ragu untuk duduk bersama Fatimah karena mereka hanya berduaan di tempat ini. Japri menolah-noleh ke kiri dan ke kanan karena was-was. Ia takut jikalau ada yang melihat, tentu akan menjadi petaka besar bagi dirinya, disamping memang menurut agama tidak baik. “Kenapa jauh sekali?. Ayo mendekatlah...” ucap Fatimah yang sambil mengirim senyum kepada dirinya.
47
Hafiez Sofyani
Japri tidak bersuara. Ia hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia tak tahu harus berucap apa. “Ya sudah, tak apa…” Balas Fatimah yang semakin lebar melemparkan senyum karena melihat tingkah laku Japri. Fatimah tak kuat menahan tawanya, melihat kepolosan Japri. Bahkan hingga terdengar suara tawanya yang sedikit lepas namun tetap enak di lihat.. Dengan hati heran, Japri berusaha ikut tersenyum dan tertawa bersama Fatimah. Dimatanya, mata gadis yang tengah basah itu begitu anggun dan memesona. Bibir Fatimah yang ranum, tatapannya yang sejenak saja teramati olehnya tapi menyejukkan, dan suaranya yang halus dan lembut menambahkan kesan betapa cantik puteri Haji Jamran itu. tidak semata rupa, tetapai pula bagaimana cara gadis itu berperangai. Dan tiba-tiba, Fatimah berhenti tertawa secara mendadak. Sontak, Japri langsung bingung dan ikut menghentikan tawanya. Hatinya berbalik ciut. Ia kembali merasa takut. Benaknya bertanya apa Fatimah akan memarahinya karena sudah mengganggu dirinya yang ingin menenangkan diri di tempat ini?. Japri menunduk sambil menolehkan matanya ke tempat lain. 48
Kakamban Habang
Di tengah ketertundukan Japri, Fatimah kembali tersenyum sambil memandangi Japri lekat-lekat. Ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Pemuda yang saat ini ada didekatnya itu benar-benar unik baginya. Rasanya setiap ia melihat wajah Japri, ada keteduhan yang menyerta. Ia jadi teringat ucapan gurunya saat masih sekolah di bangku Madrasah Tsanawiyah dulu. “Ketika kamu melihat wajah orang saleh, maka kamu akan segera merasa ketentraman jiwa dan segera ingat pula akan Tuhanmu yang Maha baik...”. Entah dari riwayat siapa kata-kata itu, dan apa pula benar pernyataan itu. Tapi, utuk saat ini, ia merasa seakan-akan kalimat itu benar adanya. Entah mengapa wajah yang tak begitu rupawan itu benar-benar membawa keteduhan bagi dirinya. Padahal wajah itu tak tersenyum, tak pula bersuara. Hanya diam. Ya, cukup dengan hanya diam ia sudah bisa merasakan keteduhan itu. Dan percakapan itupun dimulai. Tak tahu karena alasan apa, Fatimah merasa begitu nyaman menceritakan semua perasaannya kepada Japri. Tapi semua itu ia kunci dengan satu syarat. Jika Japri menceritakan semua yang ia ceritakan, maka Japri akan di sambar petir dan meninggal. Dan Japripun, entah karena sihir apa dan darimana, 49
Hafiez Sofyani
mau-mau saja menerima persyaratan yang kurang masuk akal itu dari Fatimah. Japri hanya duduk dan berdiam sambil mendengarkan semua celotehan Fatimah. Fatimah bercerita sambil tanpa sadar tangannya mencabutcabut rumput kecil yang ada di sekitarnya duduk. Sedang Japri, hanya kerap bertanya dan ingin perincian mendalam dari cerita Fatimah. Ia tak pernah berucap hal yang seakan menasihati dan memberi pendapat bijak apapun dan memang itu tak patut baginya karena ia menyadari pendidikan Fatimah yang jauh lebih tinggi darinya. Karena itulah Fatimah jadi merasa semakin sangat nyaman untuk bercerita banyak hal. Hanya dengan sikap dingin dan pendiam itu, Fatimah seakan merasakan kebahagian yang melepaskan beban pikirannya. Fatimah merasa Japri benar-benar seakan malaikat penolongnya. Dan semenjak itu, Japri dan Fatimah sering bertemu di sungai Biru, karena rupanya, memang tanpa disengaja, Sungai Biru adalah jalan pintas yang sering di lalui Japri untuk pulang. Sampai satu masa, Fatimah mulai ingin tahu tentang kehidupan pemuda misterius dan pemalu itu. Tapi, sore itu Japri tidak datang di sungai Biru 50
Kakamban Habang
dan tak melewati jalan pintas yang biasa ia lalui pulang. Tak tahu alasannya. Fatimah jua tak memiliki sumber untuk ditanyai kemana Japri pergi sehingga tak berkunjung sore ini ke sungai Biru. Ia juga tak mungkin menanyakan kepada warga kampung dimana rumah Japri dan lalu menyambanginya. Itu karena ia sangat sadar bahwa seluruh warga mengetahui bahwa Fatimah puteri Haji Jamran sudah di lamar orang dan sebentar lagi akan menikah. Maka tak pantas rasanya untuk bertamu ke rumah orang lain, apalagi ke rumah seorang pemuda. Hari itu, Fatimah hanya bisa terdiam seorang diri di tepian sungai biru. Kali ini ia sudah tak memiliki teman bicara lagi. Tanpa ia ketahui, rupanya Japri ketahuan Haji Jamran telah bertemu dengan Fatimah di sungai Biru, berdua saja. Itu adalah hal yang tak seharusnya mereka lakukan. Tapi karena sama-sama memiliki ketertarikan rasa, akhirnya keduanya tak mampu lagi untuk menahan gejolak rasa itu, hingga akal sehatpun kadang terabaikan. Setelah mendapat teguran itu, Japripun sadar kalau yang ia lakukan itu memang keliru. Iapun tak berani lagi menemui Fatimah. Apalagi jika 51
Hafiez Sofyani
teringat cacian dan makian yang keluar dari mulut Haji Jamran. Rasanya tak terbesit lagi secuilpun niat untuk menemui siapapun orang dari anggota keluarga Haji Jamran. Ia sudah tak peduli lagi dengan Fatimah. Apalagi Japri merasa ia jua tak ada hubungan keluarga ataupun utang piutang dengan keluarga itu. Jadi lebih baik ia menjauh dan tak ingin lagi berurusan dengan kelurga Haji Jamran. Japri memang pemuda yang sedikit takut mengambil risiko dan berupaya untuk menjauhi risiko itu sejauh-jauhnya. Meski tanpa ia ketahui, seorang gadis tengah duduk manis di tepi sungai biru dan tengah lama menunggu kehadiran dirinya. ****
52
Kakamban Habang
Bagian 4 Muhammad Japri Pemuda yang tempo lalu menolong Fatimah itu bernama lengkap Muhammad Japri. Namun warga kampung sini lebih sering memanggilnya Iconk, panggilan masa kecilnya dulu. Jika pembaca pernah membaca novel Bulan Sabit di Langit Burniau (Novel terdahulu penulis), tentu akan kenal dengan tokoh Novel itu yang bernama Rasyid. Japri, pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu adalah tetangga jauh yang masih terhitung satu kampung dengan Rasyid. Mereka sama-sama alumni Madrasah Ibtidaiyah Negeri Darul Huda (Setingkat Sekola Dasar) di desa Kayu Bawang. Jika Rasyid kuliah ke Malang, maka Japri saat ini tercatat sebagai mahasiswa akhir yang hanya tinggal menyelesaikan skripsi untuk meraih sarjana. Ia kuliah di salah satu perguruan tinggi islam di Banjarmasin. Namun, saat ini ia fakum kuliah karena harus bating tulang demi menghidupi ibunya yang sudah sangat renta di rumah. Ia satu-satu tulang punggung dari keluarga kecil, ia dan ibunya.
53
Hafiez Sofyani
Abahnya meninggal ketika ia masih Madrasah Ibtidaiyah karena penyakit jantung. Untuk menghidupi keluarga, ia bekerja sebagai buruh tani dan penarik gerobak. Sesungguhnya ia adalah anak yang pandai. Namun, karena masalah ekonomi dan permasalahan hidup lainnya, sekolahnya kerap terbengkalai. Salah satu prestasinya dulu adalah juara lomba pidato bahasa arab sekabupaten Banjar. Dulu ia pernah akan dikirim untuk kuliah ke Timur Tengah. Namun karena tak ada orang yang akan menemani dan menghidupi ibunya sendiri di rumah, iapun mengurungkan niatnya untuk mengambil kesempatan itu. Di kampung ini hampir tak ada yang tak kenal dengan Japri. Selain karena warga sering meminta bantuannya untuk menggiling padi, Japri juga terkenal agamis dan hampir selalu hadir saat salat berjamaah di masjid. Selain itu, ia juga sangat pandai melantunkan ayat suci al-quran sehingga ia diminta para warga untuk menjadi guru ngaji anak-anak desa muara durian di Taman Pendidikan Alquran (TPA) Al-Muhajirin. Pemuda kurus itu sebenarnya bukan anak kandung dari emmak yang tinggal bersamanya. Emmak adalah pasangan suami istri bersama 54
Kakamban Habang
almarhum abahnya yang tidak dikaruniai seorang anak. Karena sudah lebih dua puluh tahun menikah namun tidak berketurunan, akhirnya emmak dan abahnya mengangkat ia sebagai anak. Sampai saat ini Japri tak tahu dimana dan siapa orang tua kandungnya. Yang ia tahu hanyalah bahwa ia sebenarnya adalah anak angkat. Ketika abahnya meninggal, Japri dan emmak tidak serta merta mendapat warisan sang abah. Yang mendapat harta hanya emmak dan itupun hanya sedikit. Itu karena mereka memang bukan orang berada. Sisa warisan lainnya diambil oleh keluarga almarhum abahnya yang datang tak lama setelah abahnya meninggal. Selain dari itu, tak ada yang lebih dari Japri. Penampilannya, perawakannya, dan wajahnya sangat biasa-biasa saja. Namun semenjak kabar burung yang beredar mengenai dimarahinya Japri oleh haji Jamran karena ada yang melaporkan bahwa dua muda-mudi itu berduaan di sungai biru, kini orang kampung banyak yang membicarakan nama Japri. Sebagaimana masyarakat kebanyakan, entah kenapa urusan hidup orang lain itu begitu menarik untuk dijadikan konsumsi publik dan bahan berbincangan. Begitu pula yang terjadi di kampung 55
Hafiez Sofyani
Muara Durian. Ada yang menyimpulkan Japri tak tahu diri dan tidak mengaca dengan kehidupannya dan Fatimah. Ada pula yang tetap berprasangka baik bahwa semua itu hanya salah paham. Bagaimanapun isu itu beredar, yang jelas, sejatinya yang tahu duduk persoalan adalah Japri dan Fatimah. Kita memang suka menyimpulkan tanpa kecukupan bukti yang memadai. Begitulah kita kini. Sebenarnya ada perih di hati Japri mendengar perbincangan orang kampungnya yang menyebut bahwa ia mencoba mendekati Fatimah yang sudah di lamar orang. Meski tak terima, Ia tak tahu harus berbuat apa. Yang kini ia lakukan hanyalah diam dan menjauh dari kehidupan keluarga haji Jamran. Ia ingin membuktikan bahwa apa yang diomongkan orang adalah keliru. Ia adalah orang yang mawas diri untuk beraniberani mencintai putri haji Jamran. Ia bukan pungguk yang merindukan bulan, tegasnya dalam hati. Dalam beberapa kesempatan dimana momen ia harus bertemu Fatimah, Japri memilih untuk diam dan mengambil jalan yang berbeda. Ada sebesit kekecewaan di dalam hati Fatimah. Tapi ia takut jua jika harus menyapa lebih dulu dan meminta 56
Kakamban Habang
perlakuan yang ramah dari Japri. Kala mereka hampir bertemu di Masjid, Japri memilih menunduk dan berlalu dengan cepat. Fatimah, hanya dapat memantau sosok Japri dari balik tirai yang memisahkan jamaah laki-laki dan perempuan di masjid saat mereka berdua samasama salat maghrib berjamaah di masjid kampungnya. Bagi Fatimah, perlakuan dari Japri yang demikian kian membuat hubungan mereka semakin berjarak. Muda-mudi itu seolah dua orang yang tak saling kenal dan tak pernah bertemu. Pertemuan mereka di sungai biru yang pernah akrab dalam serangkaian cerita curahan hati, seolah kejadian di alam lain yang tidak benarbenar terjadi. Japri benar-benar bersikap sebagaimana seharusnya meski Fatimah memiliki keinginan sekedar bertegur sapa dengannya. ***
57
Hafiez Sofyani
Bagian 5 Fakta sebelum pernikahan Sore itu tak sengaja ia melihat Fatimah berlari dari balik pintu taksi yang mengantarkannya hingga ke depan rumah. Meski hanya sekilas, ia yakin Fatimah sedang berada di puncak amarah. Tak lama berselang, sebuah mobil Fortuner hitam datang menyambangi rumah Fatimah. Rupanya mobil itu sudah mengikuti taksi yang Fatimah tumpangi dari tadi. Dari balik pintu mobil hitam itu keluar seorang pemuda tinggi, berbadan cukup tegap, dan berwajah rupawan. Gerai bajunya yang parlente menegaskan bahwa pemuda itu dari kalangan berada. Lelaki itu berjalan agak cepat dan segera masuk ke dalam rumah Fatimah dengan gelagat tak sabar. Karena penasaran sekaligus khawatir sesuatu akan terjadi, Japri menghentikan langkah kakinya yang tengah menarik gerobak. Sesaat lamanya, pemuda yang mengikuti langkah Fatimah itu keluar dengan wajah kecewanya. Saat itu Fatimah sudah berdiri di depan pintu dan siap mengusir pemuda itu dengan sebilah sapu lidi di tangan kanannya. Melihat sosok Fatimah, Japri segera
58
Kakamban Habang
membenarkan letak topinya dan menunduk sambil mengambil langkah cepat untuk berlalu. Tak sengaja Fatimah mendapati Japri. Gadis itu segera diselimuti perasaan malu karena Japri telah melihat kejelakan yang ada di dirinya. Tapi emosinya memang sudah tak dapat di kontrol lagi. Bagaimana tidak. Lelaki yang satu bulan lalu datang ke rumahnya bersama rombongan keluarga terhormatnya itu ia dapati tengah makan siang dengan perempuan lain di sebuah rumah makan yang tak sengaja ia sambangi di kota Banjarmasin. Awalnya ia mengira Riduan adalah lelaki kurang ajar yang mempermainkan perasaan perempuan. Tetapi setelah ia mendengar penjelasan Riduan, berbaliklah rasa kecewa itu tertuju pada abahnya sendiri. Pasalnya, gadis yang saat itu bersama Riduan memang istri dari pemuda itu. Dan pinangan Riduan untuk Fatimah itu memang pinangan sebagai istri kedua bagi Riduan. Sebagai seorang muslimah, ia tidak mengharamkan ada laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu. Tapi sebagai seorang perempuan, ia tidak bisa menerima jika ternyata calon suaminya itu sudah beristri. Ia kecewa karena abahnya tidak menceritakan hal itu sebelumnya. Hatinya terasayat. Ia sangat kecewa. Ia bukan 59
Hafiez Sofyani
seorang perempuan berhati baja yang mampu menerima kenyataan dengan ikhlas dan tulus seperti para nabi dan rasul. Ia merasa bahwa dirinya hanyalah gadis biasa yang memiliki perasaan sangat halus. Fatimah segera menemui abahnya. Ia mencoba membicarakan duduk permasalahan yang dihadapi secara baik-baik. Dari pengungkapan abahnya, rupanya Haji Jamran juga tidak mengetahui perihal bahwa Riduan sudah beristri itu. Namun, keputusan yang lebih pahit harus diterima Fatimah. Karena merasa malu kalau anaknya batal menikah sedang kabar meriahnya pesta perkawinan sudah terlanjur tersebar ke sepenjuru kampung dan kecamatan, mahalnya jujuran dan mahar juga sudah diketahui semua orang, undangan pula sudah disebar, Haji Jamran mencoba mencari pembenaran diri. “Memangnya apa salahnya kalau Riduan sudah beristri?. Bukankah agama kita juga membolehkan seorang lelaki beristri lebih dari satu, bahkan empat? Tak ada yang salah Fatimah.” Ucap abahnya. Mendengar ucapan abahnya itu Fatimah tak kuasa menahan tangisnya. Kakinya terasa lunglai. Ia benar-benar mengerti sekarang bahwa abahnya 60
Kakamban Habang
memang tak pernah memedulikan perasaan anakanaknya. Pantas saja abangnya pergi dan tak kembali. Mungkin abangnya Hadri itu sudah bahagia dengan perempuan yang kini menjadi istrinya, walaupun hidup dengan rezeki yang seadanya, pikirnya. Wajah Fatimah mulai basah. Air matanya tak kuasa ia bendung. Ia lari ke dalam kamar. Dari belakang ibunya mengkuti langkahnya. Sebelum masuk kamar tadi pekikan tangisnya sempat pecah walau terdengar samar. Fatimah membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Ibunya mencoba untuk memberikan pengertian kepada Fatimah kalau tidak ada yang salah dan harus di anggap malu jika menjadi istri kedua. Apalagi orang-orang kampung juga tidak bakal tahu kalau dirinya akan menjadi istri kedua Riduan. Orang kampung tak ada yang tahu siapa Riduan. Dan setelah menikah, Fatimah juga tak akan lagi terlihat di kampung Muara Durian. Ia akan dibawa ke kediaman keluarga Riduan. Jadi semuanya akan baik-baik saja, ucap ibunya mencoba memberi penjelasan meski sejatinya ibunya juga tak sependapat dengan keinginan suaminya, Haji Jamran. Tapi sebagai seorang istri, ia tak berani menentang kehendak suaminya. 61
Hafiez Sofyani
“Ibu tak mengerti perasaan Fatimah…” lirih Fatimah, wajahnya masih berkucuran air mata. “Ibu tak tahu bagaimana sakitnya menjadi manusia yang diperlakukan seperti barang investasi, yangmana setiap rupiah yang dikeluarkan abah harus diganti dengan jujuran bagi siapa yang ingin menikahi Fatimah. “ “Harta kekayaan tak kan mampu membahagiakan Fatimah, Ibu... Lihatlah Bang Hadri, harusnya abah sudah belajar dari kesalahannya di tempo lalu. Abah harusnya mengerti bahwa cinta tak dapat dibeli dengan emas setumpuk gunung. Kebahagian tidak dapat ditukar dengan istana sebesar pulau. “Fatimah juga heran, kenapa abah mematok jujuran yang begitu mahal bagi siapa yang ingin mempersunting puterinya?. Apakah jujuran menurut urang bahari13 itu seperti yang ada dalam pikiran abah?, Fatimah tidak begitu faham tentang itu, tapi Fatimah yakin hakikat jujuran tidak seperti itu ibu.” “Pantaslah jika kawan-kawan Fatimah di Jogja dulu selalu mempertanyakan kepada 13
Orang zaman dulu
62
Kakamban Habang
Fatimah “apa benar di Banjarmasin itu anak perempuannya dihargai dengan harga tertentu jika ingin dilamar?” “Fatimah tidak faham tentang pertanyaan itu. Tapi apa yang Fatimah alami sekarang barulah Fatimah mengerti makna pertanyaan itu. Anak perempuan memang dinilai dengan harga mahal jika ia sekolah tinggi dan berbudi baik.” “Fatimah tidak mau menikah dengan Riduan Ibu….” Tegas Fatimah. Kalimat terakhirnya itu bernada sedikit keras beriring suara parau payat. Sejatinya ia adalah gadis yang sangat halus dan selalu berbicara lebih pelan dari orang yang lebih tua. Tapi kali ini amarahnya sudah menguasai dirinya. Ia tak mampu lagi untuk mengontrol emosinya. Ibunya nampak begitu terharu. Ibunya hanya bisa diam. Ia bisa mengerti bagaimana perasaan Fatimah. Itu karena dulu ia juga pernah menghadapi saat-saat ibu kandungnya sendiri, nenek Fatimah dimadu oleh abahnya. Ia begitu jelas melihat kesedihan dan ketidak kuasaan ibunya kala itu menahan sakit hatinya yang mendalam. Ia hanya bisa terdiam. Bersama dengan Haji Jamran, suaminya, ia hanya bisa berkata 63
Hafiez Sofyani
“iya”. Di kampung ini, Haji Jamran terkenal dengan orang yang tak mau kalah. Padahal, ketika dulu ia bertemu dengan Jamran muda, perangai Jamran kala itu sangat baik. Sifatnya lembut. Hampir setiap salat Fardhu ia menjadi muadzin di masjid Muara Durian. Dan perubahan itu datang ketika ia mendapatkan warisan dan kesuksesan bisnis. Perilakunya menjadi berubah drastis. Bahkan hari ini, Jamran bukanlah sebagaimana Jamran yang ia kenal dulu. Ia tak tahu rupanya harta dan kekayaan yang melimpah telah menjadikan Jamran berhati batu dan buta mana yang baik dan buruk. Tiba-tiba, Haji Jamran ikut masuk ke dalam kamar Fatimah. Barusan ia mendengar ucapan Fatimah yang mengatakan kalau dirinya tidak mau menikah dengan Riduan. Wajah Haji Jamran geram. “Fatimah, apa maksudmu berkata demikian? Apa maksudmu berkata tidak ingin menikah dengan Riduan?” Wajah Haji Jamran geram. Ibunya Fatimah semakin tak kuasa menahan air matanya. Ia memegangi pundak Fatimah yang dari tadi terkulai tak berdaya di atas tempat tidur sambil memeluk bantal. 64
Kakamban Habang
“Hari pernikahan tinggal satu minggu. Kau akan mempermalukan keluarga ini jika membatalkan pernikahan dengan Riduan. Apalagi orang kampung sudah menerima undangan dan mengetahui kemeriahan dan kemewahan pernikahanmu kelak. “Abah tidak akan mengizinkanmu membatalkan menikah dengan Riduan. Meskipun kau lari seperti Hadri, kau tidak akan bisa lari dari tali pernikahan. Karena kau adalah perempuan. Jadi meski kau tak mau, abah berhak menikahkanmu dengan siapapun.” Tegas Haji Jamran. Fatimah semakin menangis. Hati gadis itu rasanya bagai ditusuk oleh jarum beracun. Ia tak menduga abahnya akan bersikap demikian. Mungkin amarah haji Jamran pecah akibat tumpukan amarah, yakni pertemuannya dengan Japri di sungai biru yang belum terlampiaskan kemudian ditambah tingkah Fatimah yang berani menentangnya. Fatimah jadi teringat, dulu, ketika ia berangkat untuk menempuh kuliah di Jogja, abahnya tidak pernah bersikap demikian. Ia heran kenapa setelah tujuh tahun ia sekolah di Jogja, abahnya tiba-tiba berubah sangat jauh berbeda. 65
Hafiez Sofyani
Fatimah semakin tertekan. Ibunya hanya bisa membelai pundak Fatimah dengan lembut, berusaha membesarkan hati puterinya. Ia juga sudah tak tahu harus berucap apa. Ia berada dalam keadaan bak buah simalakama. Kepala Fatimah terasa pusing. Perutnya menjadi mual seketika. Pandangannya kabur dan tak karuan. Seketika Fatimah lunglai dan tak sadarkan diri. Gadis itu benar-benar menahan tekanan yang begitu dahsyat atas kehendak dari orang tua kandungnya sendiri. ***
66
Kakamban Habang
Bagian 6 Sepucuk Surat Pagi itu seorang perempuan, mungkin berusia lebih tua darinya, datang ke rumahnya. Wajah perempuan itu memang terasa tak asing baginya, tapi ia tak tahu nama perempuan itu. Yang ia tahu hanyalah bahwa perempuan itu orang yang sering ia lihat bantu-bantu di warung pagi Julak Sulai. Kalau kedatangan perempuan itu untuk menagih hutang kepadanya, maka ia merasa kalau dirinya tak punya hutang di warung Julak Sulai, ucap isi hatinya menyambut kedatangan perempuan yang hanya mengenakan dastar dan kerudung coklat lusuhnya itu. Lalu, apa gerangan hal yang membawa perempuan itu datang ke kediamannya yang terpencil ini? Gumamnya menanya. Tanpa mengucap salam sebagaimana kebiasaan orang sini ketika bertamu, perempuan itupun menyerahkan sepucuk surat kepadanya. Wajah perempuan itu begitu dingin serta memperlihatkan raut khawatir. Japri terbingung-bingung. Tak seperti biasanya ia menerima surat.
67
Hafiez Sofyani
“Surat dari siapa?” tanyanya kepada perempuan itu. Perempuan itu menolah-noleh ke kanan dan ke kiri. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke arah Japri, sambil berbisik pelan “ surat itu dari Fatimah...”. “Fatimah???” gumam Japri. Ia menghela nafasnya. Wajah bingungnya berubah menjadi wajah penasaran yang teramat sangat. Namun, setengah rasa khawatir menelisik masuk ke dalam hatinya. Ia takut kalau harus berurusan macammacam lagi dengan Haji Jamran. Memorinya tergugah. Ia teringat kejadian sore seminggu yang lalu. “Apa Fatimah marah karena aku melihat dirinya tengah bersama calon suaminya itu?” Tanya japri dalam hati. Setelah Japri mengucapkan terima kasih kepadanya, perempuan itu cepat-cepat menjauh dari kediaman Japri dengan setengah baerlari sambil menyingsing dastar merah kusam yang dikenakannya. Setelah menutup pintu, Japri cepat-cepat membuka dan membaca isi surat itu.
68
Kakamban Habang
Assalamu’alaikum Japri, Aku yakin kau pasti terkejut menerima surat ini dariku… Japri,... aku tak tahu kenapa kau tak lagi muncul di sungai biru. Aku tak tahu apa kau benci kepadaku atau kepada keluargaku. Aku juga tak mengerti kenapa kau begitu dingin bersikap denganku. Seolah kita tak pernah sekalipun jumpa. Aku memang tak memiliki hak untuk memaksamu beramah-ramah kepadaku. Tapi, karena ketidak munculanmu itu, dan karena dinginnya sikapmu padaku, aku tak lagi memiliki teman untuk diajak berbicara dan bersenda gurau. Japri,... aku ingin mengatakan kalau entah mengapa setiap aku bersamamu aku merasa senang dan tenang. Satu hal yang tak pernah kualami dengan siapapun bahkan dengan orang tuaku sendiri... Aku merasa terhibur jika ada kamu.. Aku merasa ceria kembali jika melihat dirimu yang apa adanya itu. Aku suka dengan kepribadian yang kamu miliki... 69
Hafiez Sofyani
Japri, sesungguhnya aku ingin menceritakan apa yang terjadi tempo hari saat kau mendapatiku tengah dikuasai amarah atas lelaki itu. Tak perlu ku jelaskan, aku yakin kau pun sudah mengetahui perihal rencana pernikahanku minggu depan. Undangan sudah di sebar dan kabar juga sudah tersiar tentang mewahnya pernikahan itu. Meski dengan cara seperti itu, aku merasa semua itu bukanlah hal yang membahagiakan. Apalagi belakangan aku tahu kalau ternyata calon suamiku itu sudah beristri. Pinangan kepadaku adalah untuk menjadikanku sebagai istri kedua. Yang lebih memilukan lagi, ternyata abah juga tak tahu kalau pinangan kepadaku itu adalah untuk menjadikanku sebagai istri yang kedua. Tapi abah sudah terlanjur setuju dengan pernikahan ini. Ia gengsi dan malu jika harus membatalkan pernikahan mewah yang disertai jujuran dan mahar mahal itu. Aku tak tahu apa yang ada di dalam benak abah sehingga ia tetap memaksaku untuk menikah minggu depan. Japri,.... saat kau membaca surat ini, aku sudah tak lagi tidur di rumah. Aku kabur ke rumah temanku di kayu Tangi. Jika kau bersedia, aku 70
Kakamban Habang
ingin bertemu denganmu. Aku ingin menyampaikan satu hal penting kepada dirimu. Mudah-mudahan kamu bersedia menerima permintaanku ini. Kutunggu kau jum’at sore di sungai Biru... Tertanda, Siti Fatimah *** Dan sebagaimana permintaan Fatimah, Japri memenuhi untuk datang menemui Fatimah hari ini di Sungai Biru. Sebelumnya, pemuda itu mengalami pergolakan batin apakah memenuhi permintaan pertemuan ini atau tidak. Namun, ia tak memungkiri hati kecilnya yang seakan berkata iya pada permintaan puteri Haji Jamran itu. bisikan tulus yang akhirnya tak kuasa untuk menolak gerak langkah kakinya berjalan menuju sungai biru. Pemuda itu berjalan dengan mengendap-endap. Hatinya masih setengah yakin. Ia takut hal ini ketahuan Haji Jamran. Ia merasa bahwa ini adalah hal aneh baginya. Ia merasa tak ada urusan dengan anggota keluarga Haji Jamran terkait masalah pernikahan Fatimah. Tapi entah kenapa 71
Hafiez Sofyani
setiap permintaan gadis anggun bernama Fatimah itu, ia selalu tak kuasa untuk menolaknya. Dan seorang gadis mengenakan kakamban habang sudah duduk menanti dirinya di ujung batang sambil membiarkan kakinya masuk ke dalam sungai biru. Japri datang dari belakang. Kedatangan japri rupanya sudah diketahui oleh Fatimah. Seketika gadis itu menoleh ke arah Japri. Japri hanya diam dengan memasang wajah heran kenapa ia diminta untuk menemui Fatimah di tempat ini. Gelagat Japri mengisyaratkan kalau ia tak ingin berlamalama. Tanpa basa-basi dan tanpa kalimat pembuka, Fatimah langsung melontarkan sebuah permintaan. “Japri, maukah kau menikah denganku???” tandas Fatimah, matanya berbinar. Mendengar permintaan Fatimah barusan seketika Japri memperlihatkan wajah keterkejutannya. Wajahnya melongo. Alisnya mengangkat sebelah. Jari telunjuk kanannya menempel ke dadanya sendiri.
72
Kakamban Habang
“A..apa? kau mau menikah denganku?” balas Japri terbata-bata. “Ya Japri…” mata Fatimah semakin berkacakaca. “Ya, aku ingin kau menikahiku, Japri…” lanjut Fatimah sambil mencoba tersenyum. Ucapan Fatimah barusan itupun semakin menguatkan kebingungan Japri. Setelah lama terdiam, Japri membuka suara. “Ti.. tidak Fatimah… ja.. jangan.. aku tak pernah berpikir menikah denganmu… apa yang kau pikirkan Fatimah?. Kau sudah di pinang orang dan keluargamu menerimanya. Sebentar lagi kau akan menikah dengan orang lain dan tak ada lagi yang berhak meminangmu secara agama.” Balas Japri. Baginya, baru kali ini Fatimah mendengar pemuda itu berbicara tegas. Fatimah membuang pandangannya dari wajah Japri. Ia kecewa dengan jawaban Japri. Ia kira Japri adalah salah seorang pemuda yang diam-diam menyimpan rasa kepada dirinya seperti kebanyakan pemuda kampung ini. Tapi rupanya firasat Fatimah itu salah. Fatimah mulai merasa bahwa Japri memang bukan seperti
73
Hafiez Sofyani
pemuda kebanyakan. Ia rasa Japri memang tidak mencintai dirinya. “Tapi aku tidak mencintainya Japri… aku tak mau menikah dengannya…” Fatimah tertunduk. Japri hanya diam. Ia tak berani menatap ke arah Fatimah. Ada hening yang panjang. Mereka berdua terdiam membiarkan angin musim kemarau itu terus berhembus mengibarkan halungan kakamban habang yang Fatimah kenakan seadanya. Tak sengaja kakamban Fatimah jatuh menghalung ke lehernya. Kini rambutnya sudah tak tertutup apa-apa lagi. Fatimah hanya diam membiarkan. Tak sengaja Japri melirik ke wajah Fatimah yang sudah ditinggal pergi kerudungnya. Bekas air matanya yang setengah kering nampak cukup jelas di mata Japri. Tak ia pungkiri, gadis di hadapannya itu memang begitu memesona bahkan saat kerudung gadis itu terlepas dari tempat seharusnya. Fatimah beberapa kali menghapus air matanya dengan tangannya sendiri. Japri menjauhkan pandangannya. Ia khawatir ada perasaan lain yang datang.
74
Kakamban Habang
“Lalu, apa kau mencintaiku?” lirih Japri sekenanya. Lirih yang masih terdengar oleh telinga Fatimah itu menghentikan isak tangis yang dari tadi menghiasi wajah ranum Fatimah. Fatimah hanya diam. Dalam hatinya iya menjawab, “Mungkin… mungkin aku jatuh hati padamu Japri.”. Tapi sayang, Japri bukan manusia kasyaf yang mendengar isi hati seseorang. Ia tak tahu kalau Fatimah memiliki perasaan yang berbeda kepada dirinya. Di tengah pembicaraan antara Japri dan Fatimah itu, rupanya seseorang telah membuntuti mereka. Dan tak lama kemudian, beberapa warga kampung datang menghampiri mereka lengkap di sertai kedatangan Haji Jamran. Japri dan Fatimah sama-sama terkejut. Fatimah tak menduga kalau pertemuannya dengan Japri di Sungai Biru akan diketahui oleh orang lain. Sedangkan Japri, berpikir apa yang ia takutkan akhirnya terjadi juga, yakni pertemuannya dengan Fatimah diketahui oleh Haji Jamran. Padahal, ia sudah berjanji dengan Haji Jamran dan diri sendiri untuk tidak menemui Fatimah lagi.
75
Hafiez Sofyani
Haji Jamran, abah Fatimah nampak memperlihatkan raut kemarahannya. Ia segera menyuruh orang kampung menangkap Fatimah dan membawanya pulang ke rumah. Kini tatapan Haji Jamran hanya tertuju kepada satu wajah, yaitu Japri. “Ooo.. jadi kau rupanya yang menjadi penyebab Fatimah lari dari rumah, ya!!!!???.” Ungkap Haji Jamran. Japri bingung. Ia tak mengerti maksud ucapan Haji Jamran. Ia mengira bukankah Fatimah lari dari rumah karena tak tahan dengan sikap Haji Jamran selaku abah kandungnya sendiri?. “Japri… bukankah sudah aku peringatkan kau untuk tidak menemui Fatimah lagi di tempat ini.... berduaan pula?. Bukankah itu tidak boleh menurut agama kita ada laki-laki dan perempuan berduaan di tempat sepi, Japri?.” Bentak Haji Jamran, tangannya mengepal geram. Japri tertunduk. Ia tak bisa berkata apapun. Itu karena ia merasa dirinya memang bersalah. Pertama, karena ia berduaan dengan bukan muhrim di tempat sepi. Dan yang kedua, karena ia telah menemui Fatimah padahal ia telah berjanji
76
Kakamban Habang
kepada Haji Jamran untuk tidak menemui Fatimah lagi. “Dulu aku begitu memercaimu Japri. Dulu aku menyukaimu sebagai pemuda kampung sini yang saleh dan taat. Tetapi sekarang, semua itu telah sirna. Tuhan telah memperlihatkanku betapa busuknya dirimu, Japri…” Ucap Haji Jamran. Sekali lagi Japri tak berkutik. Perasaannya campur aduk. Ia benar-benar menyesal telah memenuhi permintaan Fatimah tanpa memikirkan risiko yang akan ia terima. Sayang, itu semua telah terlambat. “Kali ini kau kembali ku maafkan Japri. Tapi kalau suatu saat kau berulah lagi, aku tidak akan mengampunimu… ” ancam Haji Jamran. “Dan satu hal. Ini adalah sesuatu yang sebenarnya tak ingin aku ucapkan. Tapi hari ini aku harus mengatakannya, wahai Japri.” Ucap Haji Jamran dengan senyum sinis menatap Japri yang tengah tertunduk dengan penyesalan perbuatannya. “Japri... jika kau mencintai Fatimah, maka bercerminlah siapa dirimu dan siapa Fatimah. Bukankah kau sudah tahu Fatimah akan segera
77
Hafiez Sofyani
menikah dan kau juga tahu berapa jujuran serta maharnya nanti?” Lanjut Haji Jamran mengejek. Japri hanya tertunduk sambil membenarkan letak topi butunya. Rasanya keberaniannya tak bersisa secuilpun di hadapan Haji Jamran. Tatap mata warga kampung yang yang hadir saat itu semakin menenggelamkan Japri dalam kesalahannya sendiri. Pikirannya semakin campur aduk. Kalimat terakhir yang diucapkan Haji Jamran benar-benar menginjak-injak harga dirinya, meskipun apa yang dikatakan Haji Jamran itu benar. Dan ketika itu pula, keberanian hati dari pemuda kurus itupun muncul. Dengan lantang, iapun berkata, “Pak Haji Jamran yang terhormat..!!??!!...” Haji Jamran yang tadinya sudah berbalik dan akan meninggalkan Japri bersama warga kampungpun tersentak dan kembali berbalik. “Saya katakan satu hal kepada Anda di sini dengan saksi semua yang hadir di tempat ini.... Saya Japri, seorang penarik gerobak di kampung ini memang benar adalah pemuda dari keluarga 78
Kakamban Habang
miskin yang hina di mata orang kaya seperti Anda... Tetapi saya..... tidak pernah bermimpi apalagi berniat.... untuk mencintai puteri Anda, Fatimah. Apalagi bermaksud menikahinya. Ingat baik-baik itu Pak Haji Jamran….” Balas Japri yang sudah terlanjur berada di puncak amarah kepada Haji Jamran, sebelum akhirnya ia berbalik dan meninggalkan Haji Jamran di tempat itu. Haji Jamran membalas ucapan Japri dengan tersenyum sinis. Sepanjang jalan ia mengumpat Japri dan membicarakan kejelekan Japri kepada warga kampung. Ia berjanji, dalam pesta perkawinan puterinya nanti semua warga kampung akan ia undang, kecuali Japri dan ibunya. Japri masih dengan amarahnya. Penyesalan, kekecewaan, dan kemarahan bergumul di dalam benaknya menjadi satu. Air matanya menetes seketika. Bibir dan hatinya berulang kali mengucapkan istighfar... dalam keterpojokannya dengan perasaan, setengah sadar bibirnya berucap lirih...” Ya Allah, apakah yang sebenarnya engkau hendaki dari hambamu yang hina ni...???” ***
79
Hafiez Sofyani
Bagian 7 Sebuah Tragedi Semenjak pertemuan terakhirnya dengan Japri di sungai Biru, Fatimah tak lagi diberi izin oleh abahnya untuk keluar rumah. Sudah beberapa hari ini ia “dikurung”. Fatimah merasa benarbenar seperti burung dalam sangkar yang tak bisa pergi kemana-mana. Ditambah lagi, perasaannya kini kian sedih. Ia serasa sudah patah arang. Kemarin sore ia mencoba memberanikan diri untuk mengutarakan perasaannya terhadap Japri kepada abahnya. Ia berkata sejujur-jujurnya kalau ia menyukai Japri dan jatuh cinta kepada Japri. Namun mendengar ucapan Fatimah itu, Haji Jamran membentak Fatimah dan berkata tegas kalau Japri tidak mencintainya. Fatimah balas tidak percaya. Tetapi abahnya itu memang tak pernah bohong kepada dirinya. “Kalau kau tidak percaya, tanyalah kepada Saiful yang kemarin juga mendengar perkataan Japri yang megatakan bahwa ia tidak mencintaimu dan tak ada sedikitpun rasa kepadamu apalagi ingin menikahimu..!!” Tegas Haji Jamran.
80
Kakamban Habang
“Lupakan pemuda miskin itu...!! sebentar lagi kau menjadi istri pengusaha Fatimah…!!” lanjut abahnya. Beberapa hari ini Fatimah hanya duduk melamun di depan jendela berterali kayu. Air matanya terus membasahi pipinya. Ia tak kuasa untuk pergi kemanapun. Ia benar-benar dikurung dan dikunci di dalam kamarnya seorang diri. Beberapa hari terasa berat baginya. Badannya kurus. Matanya lembab karena sering menangis. Ia jarang sekalimakan. Raut wajah muram. Garis matanya menandakan kalau ia dalam ketertekanan yang teramat sangat. Girah hidupnya telah redup. Hari-hari hanya ia lalui dengan murung tanpa semangat. *** Malam itu, seluruh warga berlarian ke sana kemari sambil berteriak-teriak panik. “Kebakaraaaaannn…kebakaraaaannn…keba karaannnn… !!!??!!!” Sebuah kebakaran telah terjadi. Sontak Japri yang juga selaku warga kampung merasa bertanggungjawab atas yang menimpa warga kampungnya itu.
81
Hafiez Sofyani
Sejurus, ia berangkat dari rumah, berlari menuju cahaya terang yang digumuli asap hitam nan nampak di langit utara kampung malam itu. “Rumah siapa yang kebakaran?” tanya Japri kepada lelaki separuh baya dengan wajah panik layaknya kebanyakan warga yang ditemuinya di persimpangan jalan. “Haji Jamran… seluruh orang rumahnya pergi ke Banjarmasin sejak tadi sore dan belum pulang sampai sekarang...” Balas lelaki paruh baya yang tak lama ia kenali si Julak Sulai sambil terus melangkahkan kaki, cepat menuju tempat kebakaran terjadi. Dan,... kaki Japri terhenti seketika. Perasaan bimbangpun sejurus menyelimuti hatinya. Ia bingung apa harus menolong rumah Haji Jamran yang tengah terbakar itu atau tidak. Julak Sulai yang menyadari Japri menghentikan langkah kakinya segera berbalik ke arah Japri. “Ada apa denganmu, Japri?” tanya Julak Sulai. Wajah Japri bingung, ragu. Ia tak tahu harus berkata apa.
82
Kakamban Habang
“Jika kau enggan menolong rumah Haji Jamran yang terbakar karena kau membencinya dan karena kau telah merasa dihinakan olehnya…. Jika karena itu kau enggan menolong, maka kau tidak lebih baik dari Haji Jamran, Japri...” tukas Julak Sulai sambil berteriak melawan keramaian warga yang dari tadi berlarian di sekitar mereka menuju kebakaran terjadi. Japripun tergugah. Ia melanjutkan langkahnya. Ia berlari dan meninggalkan Julak Sulai yang berjalan terpincang-pincang karena kakinya memang sudah rapuh. Para warga terus berteriak minta tolong. Suasana malam di kampung itu menjadi ramai dan gaduh oleh kebakaran. Semuanya berteriak, “Kebakaraaaaan… kebakaraaaannn…. tolong…..,toloooong........, aiiiirrr …. Aiiiirrrr....!!!” Sayang, di kampung kecil seperti Muara Durian perangkat desa tak memiliki mesin air besar yang dapat digunakan sebagai penyemprot api seperti yang dimiliki pemadam kebakaran. Ditambah lagi kala itu musim kering yang cukup parah sehingga air susah didapat.
83
Hafiez Sofyani
Di tengah sibuknya orang-orang menyirami rumah itu dengan ember kecil padahal api sangat besar, sayup-sayup Japri mendengar ada suara minta tolong dari dalam rumah yang beradu dengan suara teriakan warga. Ia sadari, sepertinya tak ada satupun warga yang mendengar suara minta tolong perempuan dari dalam rumah yang terbakar itu. Tanpa pikir panjang, Japri nekat dan memberanikan diri untuk masuk dan mencari suara teriakan minta tolong. “Allaaaaauakbaaarrr...!!!” teriaknya menggugah semangat diri, berlari ke tengah kobaran api yang terus membara. Sesampainya di teras rumah yang sudah nampak tak karuan, ia dapati pintu rumah terkunci. Japri mendobraknya sekuat tenaga. Hawa panas api yang melahap rumah kian terasa membakar kulitnya. Ia masuk. Di dalam rumah ia berusaha mencari asal suara. Ia sudah tak menghiraukan lagi panasnya hawa api yang mengelilingi tempatnya berdiri. Semuanya tertutup oleh semangat membaranya untuk menolong. Seketika, ia mendobrak satu kamar yang terkunci dari luar. Di dalam kamar itu tergeletak seorang gadis dengan badan hitam penuh arang. Gadis itu nampak sudah lemah terkulai, tak berdaya. Gadis 84
Kakamban Habang
itu mengalami hiper dehedrasi. Ia memapah gadis itu untuk berusaha keluar dari dalam rumah yang sudah separuh dilalap api. Tapi, kaki gadis itu tak bisa melangkah. Kaki kirinya patah akibat tertimpa tiang kayu kamarnya yang jatuh dimakan api. Japri segera menggendong sang gadis, yang tak lain Fatimah, kepangkuannya. Dengan mengucap basmallah dan takbir, Japri berlari keluar dari kerumunan api yang mengurungnya. Beberapa kali kakinya tersandung kayu yang telah menjadi arang. Tapi semangatnya untuk hidup membuat kakinya yang begitu payah itu tetap tegar bertahan. Beberapa saat kemudian, Japri berhasil menyelamtkan diri dari kobaran api yang kian membesar. Beberapa warga segera menghampiri Japri dan Fatimah yang sudah tak berdaya itu. Julak Sulai menyarankan agar mereka dibawa ke rumah tabib kampung, Haji Sam’an, untuk segera di rawat. Setelah lebih dari tiga jam, akhirnya apipun dapat dipadamkan. Pemadam kebakaran dari kecamatan terlambat datang ke tempat kebakaran karena jalanan yang terjal dan tak beraspal menghambat perjalanan mereka. Rumah Haji Jamranpun selamat meski sudah sebagian besar rumah dan isinya hangus terbakar. 85
Hafiez Sofyani
Tak lama, keluarga Haji Jamranpun datang. Wajah lelaki separuh baya itu nampak sangat terkejut. Tanpa menghiraukan siapapun, ia segera berlari menuju reruntuhan kamar Fatimah yang sudah habis di lalap api. Hatinya langsung sedih ketika ia tak melihat satu puing pun di kamar Fatimah. Ia langsung menangis menyesali dirinya yang telah meninggalkan Fatimah di rumah dan terkurung di dalam kamar. Istri Haji Jamran yang juga memiliki firasat yang sama segera beranjak untuk mendekati suaminya. Istri Haji Jamran ikut menangis. Haji Jamran tak kuasa menahan gejolak jiwanya. Ia berteriak-teriak menanyakan, “Kemana puteriku!!??!! Kemana puterikuuu...??!!” berulang-ulang. Di tengah kesedihan suami istri itu, seorang warga desa mengabarkan bahwa anak mereka selamat dan sekarang sedang dirawat darurat di rumah tabib kampung, Haji Sam’an. Perasaan Haji Jamran dan istrinya segera lega. Mereka tak memedulikan sedikitpun rumah besar yang mereka tinggali itu hangus terbakar. Bagi Haji Jamran yang memiliki tabungan banyak di bank, rumah itu tak berarti apa-apa. Yang penting, puterinya Fatimah selamat dari kejadian itu. Ya, puteri sekaligus anak yang kini hanya satu86
Kakamban Habang
satunya ia miliki sebab Hadri telah pergi entah kemana. Karena kejadian yang tak terduga itu, Haji Jamran memutuskan agar pernikahan Fatimahpun ditunda sampai batas waktu menunggu Fatimah pulih dari cedera patah tulangnya, dan ketika gadis itu sudah benar-benar siap untuk menikah. *** Sebelum subuh, Japri terbangun dari pingsannya. Badannya terasa remuk. Beberapa luka bakar nampak menghiasi sekujur tubuhnya. Tangan kirinya sudah dalam keadaan diperban dengan kain putih. Kepalanya terasa berat. Pelipis sebelah kanannya terasa perih, robek akibat kejatuhan beling kaca dan benda tumpul. Japri mencoba bangkit. Nafasnya berat karena paru-parunya telah banyak menghirup asap hitam kebakaran. Kepalanya terasa begitu berat. Ia hampir tak ingat beberapa hal yang telah terjadi. Setelah dapat benar-benar bangun, tanpa mau merepotkan banyak hal, Japri segera minta izin kepada Haji Sam’an untuk pulang ke rumah. Haji Sam’an sempat mencegah tapi Japri tetap dengan keinginannya pulang. Haji Sam’an lalu bertanya perihal Fatimah. Seketika Japri teringat bahwa 87
Hafiez Sofyani
keberadaannya di rumah tabib Sam’an akibat dirinya yang pingsan setelah menyelamatkan Fatimah. “Biar nanti keluarganya yang akan menjemputnya ke sini.” Tukas Japri. Sekilas Japri melihat Fatimah yang masih tak sadarkan diri di tempat tidur sebuah kamar tak berpintu yang hanya berlampukan sebuah semprong. Karena takut ia terbawa perasaan, Japri mengalihkan pandangannya. Ia segera pergi dan meninggalkan rumah Haji Sam’an. Tanpa Japri sadari, Haji Jamran dan ibu Fatimah telah lama berada di rumah haji Sam’an menunggu keadaan Fatimah membaik. Dua suami istri itu setengah terlelap. Hati haji Jamran terenyuh ketika mendapati Japri yang melangkah ringkih keluar dari pintu rumah Haji Sam’an. Haji Jamran merasa bersalah pada dirinya sendiri. Dalam perasaan itu, haji Jamran dan ibu Fatimah terdiam dan membiarkan Japri berlalu. Haji Jamran terpana dengan kebaikan hati pemuda yang pernah ia hina itu. ***
88
Kakamban Habang
Subuh telah berlalu. Fatimah mulai dapat membuka mata. Perasaannya langsung menyambut suasana asing tempat dirinya terbaring dengan sebuah kebingungan. Fatimah berusaha bangkit. Kaki kirinya yang patah itu langsung merespon dengan sakit yang teramat sangat. Fatimah merintih. Suara rintihan Fatimah itu langsung terdengar Haji Sam’an dan istrinya yang jua sudah sama-sama tua. Istri Haji Sam’an segera memapah Fatimah untuk membantunya ke posisi setengah duduk. Fatimah mencoba mengenali dua wajah tua dengan uban memutih di kedua orang yang menolongnya itu. Beberapa saat baru ia ingat itu adalah tabib kampungnya, Haji Sam’an da sang istri. “Tadi malam Ucu di bawa kesini oleh Julak Sulai, Amad, dan si Dilah. Alhamdulillah Ucu selamat…” ucap Istri Haji Sam’an sambil mengembulkan senyum penuh kerutan di wajahnya. Sesaat istri Haji Sam’an memberi segelas air putih kepada fatimah. Fatimah diam sambil menyambut air dari tangan istri Haji Sam’an. Ia tak begitu bisa mengingat apaapa. Sejenak ia minum segelas air putih dingin di tangannya. Setelah berusaha untuk menelaah apa 89
Hafiez Sofyani
yang telah terjadi pada dirinya, seketika itu mulutnya langsung menyebut sebuah nama, “Japri”. “Dimana Japri, Nek?” tanya Fatimah resah. “Japri kah????. Dia sudah pulang sebelum kau bangun tadi, Cu.”. jawab Haji Sam’an. Entah mengapa seketika hati Fatimah terasa sedih. Ia langsung teringat ucapan abahnya yang menyatakan bahwa Japri tak mencintai dirinya. Ditambah lagi sikap Japri yang meninggalkan dirinya begitu saja di rumah Haji Sam’an dalam keadaan pingsan, semakin menguatkan keyakinannya bahwa Japri memang tak ada perasaan apapun kepada dirinya. Meskipun pemuda itu telah menyelamatkan nyawanya dari maut sekalipun. Fatimah meringis menahan sakit kakinya. Sejenak, ia menghela nafasnya sambil menahan kekecewaannya. Haji Sam’an dan istrinya nampak beingung melihat raut wajah Fatimah yang seolah mengisyaratkan sebuah kesedihan. Haji Sam’an mencoba menghibur Fatimah dengan mengajaknya bercerita. 90
Kakamban Habang
“Japri itu pemuda yang baik ya Fatimah?” Ucap Haji Sam’an membuka wacana. Seketika Fatimah menatap wajah Haji sam’an yang nampak tengah tersenyum dengan beribu kerutan di wajahnya. “Terlepas dari tuduhan abahmu kepada pemuda itu, aku mengenal Japri sebagai pemuda yang baik. Ia pemuda yang jujur, saleh, dan bertanggungjawab, serta bijak....” ucap Haji Sam’an yang kemudian diiringi hela nafas panjang kebijaksanaan seorang sepuh. “Kenapa aku katakana bijak?. Itu karena jika bukan karena kebijaksanaan dan kebesaran hati yang ia miliki, tak kan mungkin ia mau ikut menolong musibah yang menimpa orang yang telah menghina dan mencaci maki dirinya...” ucap Haji Sam’an lirih dengan raut muka yang penuh kepolosan. “Aku tidak bermaksud merendahkan abahmu... Tapi aku sangat memuji sifat dan sikap yang dimiliki oleh Japri. Bahkan ia telah menyelamatkan dirimu dari maut... Subhanallah....” Tukas Haji Sam’an dengan polosnya tanpa ia mengetahui bagaimana perasaan hati Fatimah. 91
Hafiez Sofyani
Sebenarnya Haji Sam’an hanya bermaksud menghibur Fatimah. Tapi rupanya cerita Haji Sam’an barusan benar-benar semakin membuat Fatimah kecewa. Tanpa sadar Fatimah meneteskan air matanya. Ia tak kuasa untuk berucap apapun. Dihadapan Haji Sam’an, Fatimah mencoba untuk menutupi kesedihannya dengan berusaha tersenyum. Dan tak lama dari pembicaraan itu, keluarga Fatimah masuk ke kamar tempat Fatimah dirawat. Rupanya istri Haji Sam’an mengabari abah dan ibu Fatimah yang sejak tadi malam menunggu keadaan Fatimah membaik di ruang tamu rumah sederhana haji Sam’an. Di dalam kamar itu, Haji Jamran hanya berdua dengan Fatimah. Ia ingin bicara empat mata dengan puterinya tanpa seorangpun yang mengganggu. Ibu Fatimah diminta suaminya, haji Jamran, untuk menunggu dengan sabar di luar. Di dalam kamar tak berpintu itu, Haji Jamran meminta maaf sebesar-besarnya kepada puteri kandungnya itu. Ia mengaku salah telah mengurung Fatimah di kamar sehingga ketika kebakaran terjadi Fatimah tidak bisa keluar dan akhirnya semua jadi begini. Haji Jamran juga 92
Kakamban Habang
menyebutkan kekeliruannya yang telah menutup kebebasan Fatimah untuk memilih. Hari itu Haji Jamran mengakui semua kesalahan dan kebodohannya. Ia menyerahkan sepenuhnya masalah pernikahan puterinya itu. Seandainya Fatimah ingin membatalkan pernikahan dengan Riduan, Haji Jamran jua tak keberatan. Lagipula pernikahan tak mungkin dilaksanakan dalam keadaan Fatimah sedang patah kakinya. Dengan kebesaran hatinya, Fatimah memaafkan semua kekhilafan abahnya. Tak mungkin juga ia murka kepada abah kandungnya sendiri. Haji Jamran memeluk puteri kesayangannya itu dengan penuh cinta. Kejadian itu benar-benar telah membuka mata hatinya yang lama tertutup. Haji Jamran jadi teringat Hadri, abang kandung Fatimah. Dalam lirih hatinya, iapun meminta maaf kepada putera semata wayangnya itu. ***
93
Hafiez Sofyani
Bagian 8 Pernikahan Baginya, siapapun yang kelak menjadi pasangan hidupnya sudah tak begitu penting lagi. Siapapun yang akan menikahi dirinya, asalkan lelaki itu tak pernah meninggalkan salat fardhunya, maka ia tak masalah untuk menerima pinangannya. Itulah yang saat ini menjadi pemikiran Fatimah yang kian hari kian di rundung pilu. Ia sudah payah untuk menghibur hatinya sendiri. Pemuda yang ia pikir mencintainya memang tak pernah sedikitpun memiliki rasa kepadanya. Itu ia yakini dari ucapan abahnya yang tak mungkin bohong dan sikap pemuda itu yang meninggalkan dirinya begitu saja di rumah Haji Sam’an tanpa mau menunggu dirinya sadarkan diri terlebih dahulu. Tiga bulan semenjak kejadian kebakaran yang melanda kediaman Haji Jamran, keluarga Fatimah kini membangun kembali rumah barunya. Untuk sementara iapun tinggal di rumah milik Haji Jamran yang lain di daerah Kecamatan. Fatimah sudah memutus pertunangan dirinya dengan Riduan melalui abahnya sendiri, Haji 94
Kakamban Habang
Jamran. Segala pemberian dari Riduan mulai dari cincin, kalung dan baju-baju mahal sudah pula ia kembalikan, diganti dengan barang sejenis dan seharga sama, karena pemberian asli sudah hilang akibat kejadian kebakaran. Ia tak ingin satupun merasa terutang budi kepada pemuda yang ingin menjadikan dirinya sebagai istri kedua itu. Dalam masa kesendirian, hampir setiap hari Fatimah mendirikan salat tahajud untuk mengirimkan hajatnya, keinginan untuk memiliki seorang imam yang saleh dan bijak. Meski seakan ia menghindari untuk berkata bahwa pemuda impiannya itu adalah “Japri”, tapi semua sifat yang diutarakannya saat berdo’a tak bisa dipungkiri bahwa itu tertuju kepada sosok pemuda kurus itu. Sudah hampir tiga bulan ia memohon, tak juapun datang sebuah kabar gembira tentang kedatangan Japri. Bahkan selama tiga bulan ini ia tak pernah lagi melihat Japri yang biasanya kerap melintas sambil menarik gerobaknya berjalan menuju pasar kecamatan. Tanpa ia utarakan, ada sebesit rasa rindu yang menelisik di dalam relung hatinya. Saat dimana Fatimah termenung di jendela teras rumahnya, sebuah pinangan dari seorang pemuda dari Martapura itupun datang. Tapi sayang, itu bukan pinangan dari Japri, melainkan dari 95
Hafiez Sofyani
seorang pemuda yang meski jauh tetapi masih memiliki hubungan nasab keluarga dengan dirinya. Pemuda itu juga merupakan teman sekolahnya ketika masih duduk di bangku Madrasah Aliyah di Martapura dulu. Ia adalah Haji muda bernama Abdul. Abdul adalah seorang pemuda yang dulu ia kenal baik. Baik dalam hal akhlak maupun prestasi sekolah. Meski dengan jujuran tak semahal yang diberikan oleh Riduan, tapi Haji Jamran menerimanya dengan senang hati. Itu karena Fatimah juga menerima pinangan itu tanpa berpikir panjang dan banyak pertimbangan. Haji Jamran berharap lekasnya Fatimah dalam menimbang adalah bukti Fatimah memliki rasa kepada Abdul. Meskipun, sejatinya bukan karena itu adanya. Melainkan, karena Fatimah sudah setengah putus asa menanti orang yang sesungguhnya ia idamkan. Haji Jamran berfikir Abdul adalah orang yang tepat untuk menjadi pendamping Fatimah sekaligus menjadi penerus bisnis keluarga Haji Jamran. Dan tak perlu waktu lama, pernikahan Fatimahpun segera berlangsung dengan cukup meriah khas adat budaya Banjar. Akad nikah
96
Kakamban Habang
dilaksanakan pagi hari di masjid kampung Muara Durian. Pagi itu, Fatimah tampil dengan pakaian pengantin khas Banjar. Gaun pengantin tradisional kuning berenda benang emas, bermahkota melati dan bergaya bak ratu Banjar jaman dulu. Di dalam kamar, Fatimah ditemani ibunya. Semua penghias pengantin diminta Fatimah untuk menunggu di luar. Dengan senyum bahagia, ibunya mengatakan bahwa puterinya itu sangat cantik hari ini. “Abdul adalah pemuda yang baik. Ibu yakin dia akan mampu menjadi imam yang baik dan membahagiakanmu, saying...” bisik ibunya dengan senyum riang. Fatimah membalas senyum ibunya dengan kemanjaan. Meski sesungguhnya terbesit sedikit harapan bahwa pemuda yang akan menikahi dirinya adalah Japri, ia berusaha untuk menepis harapan itu dan menampakkan kepada kedua orang tuanya bahwa hari ini adalah hari yang membahagiakan bagi dirinya. Ia meyakinkan dirinya bahwa Japri memang tak mencintainya. Jadi untuk apa ia bermurung murai tentang pemuda yang tak mencintai dirinya itu. 97
Hafiez Sofyani
Fatimah berusaha membesarkan hati. Ia berdiri tegap dan bangkit untuk berjalan menuju pelaminan. Setelah beberapa lama menunggu di pelaminan, sang pangeran hari itupun datang dengan diiringi dayang di samping kiri kanannya. Salah seorang menghamburkan beras kuning sambil mengumandangkan salawat nabi agar kedatangan sang pengantin pria mendapat sambutan pula oleh malaikat rahmat yang membawa berkah. Dimatanya, wajah Abdul begitu tampan dan memesona. Tapi entah kenapa, sekali lagi hatinya tak bisa jua berdusta, ia merasa kebahagiannya hari ini semu. Ketika dirinya dan Abdul duduk bersanding, tak sedikitpun ia merasakan sesuatu yang menggelora dihatinya. Denyut nadinya biasa saja. Desir darah yang menjalar di sekujur tubuhpun tak memberikan isyarat sebagaimana biasa orang sedang jatuh cinta. Dalam keadaan itu, Fatimah terus berusaha untuk membuang jauh-jauh wajah pemuda bernama Japri dari benaknya. Ia senantiasa berusaha memperlihatkan wajah ceria di depan para tamu undangan yang silih berganti memberikan ucapan selamat dan meminta foto bersama dengan dirinya dan Abdul selaku pengantin. 98
Kakamban Habang
Meski senyum berkembang, mata tetap tak mendusta. Dari deretan para tamu, tak sengaja ia dapati wajah seorang pemuda berpakaian sederhana dan mengenakan sangkok hitam lusuh dengan rona wajah biasa. Ia tak tahu bagaimana pemuda itu bisa berada di hari pernikahannya. Bukankah beberapa kali ia mendengar bahwa abahnya tak kan mengundang pemuda itu di hari pernikahannya?”. Rupanya, tanpa sepengatahuan Fatimah, beberapa hari silam Haji Jamran datang sendirian bertamu ke rumah Japri untuk meminta maaf dan sekaligus mengundang pemuda itu untuk datang dalam acara pernikahan Fatimah. Haji Jamran ingin membuktikan bahwa Japri memang tak mencintai Fatimah sehingga dalam pernikahan puterinya itu pemuda kurus itu tak keberatan untuk hadir. Memang tempo hari abahnya itu pernah berucap, jika Japri mencintai Fatimah maka ia tidak akan datang pada acara pernikahan Fatimah karena sakit hati melihat pujaan hati diambil orang. Dan ketika Fatimah teringat ucapan abahnya itu, hal itupun semakin menguatkan bahwa Japri memang tak mencintainya.
99
Hafiez Sofyani
Tapi, entah mengapa perasaannya berbalik. Ia merasa kalau Japri tidak sebagaimana yang dikatakan abahnya. Jika Japri memang tak mencintai dirinya, tak mungkin pemuda itu mau menemuinya di sungai biru saat ia melarikan diri dari rumah tempo silam. Tak mungkin pula Japri mau menyelamatkan dirinya ketika kebakaran itu terjadi. Konflik bathin yang dialami Fatimah kian berkecamuk. Diujung puncaknya, ia tak bisa mendustai diri jua bahwa ia benar-benar jatuh hati kepada pemuda biasa bernama Japri itu. Ketika Japri berada tepat dihadapannya untuk bersalaman dan mengucapkan selamat kepada Fatimah dan Abdul yang kini sudah menjadi suaminya, Fatimah tak mampu untuk mengontrol emosi dan akal rasionalnya. Seketika Fatimah nekat memeluk Japri di atas pelaminan pengantin dan di depan mata semua yang hadir di sana. Melihat apa yang tengah terjadi Abdul langsung naik pitam. Namun, karena tak sempat melihat dengan jelas apa yang sebenarnya telah terjadi, Abdul langsung mendorong dada Japri hingga jatuh tersungkur. Para tamu yang hadir sempat kaget. Beberapa orang tamu perempuan bahkan sempat berteriak karena begitu terkejut. Abdul 100
Kakamban Habang
langsung menarik Fatimah kepelukannya. Mulutnya beberapa kali mengumpat Japri dengan cacian karena emosi istri yang baru dinikahinya itu dipeluk oleh orang yang tak dikenalnya. Japri diam. Ia merasa sangat bingung harus berbuat apa dan berkata apa. Japri salah tingkah, malu karena kejadian itu ditonton banyak orang yang hadir. Ia benar-benar tak tahu apa-apa. Yang ia tahun hanyalah “tiba-tiba saja ia dipeluk oleh Fatimah dan lalu di dorong hingga jatuh tersungkur oleh Abdul” pikirnya. Japri benar-benar bingung dengan apa yang menimpanya. “Laki-laki kurang ajar. Berani-beraninya kau memeluk istriku yang baru saja menikah denganku, bahkan di hadapan umum. Benarbenar pemuda tak ber-adat, tidak tahu malu..!!!” Bentak Abdul penuh emosi. Melihat peristiwa yang tak begitu jelas terjadinya karena sangat cepat itu, Haji Jamran ikut emosi. Beberapa hari yang lalu ia telah minta maaf kepada Japri dan bahkan mengundang pemuda itu datang dihari pernikahan puterinya. Tapi ternyata pemuda itu malah membuat ulah. Namun, haji Jamran bingung harus bersikap apa. Ia memutuskan untuk diam melihat situasi yang terjadi. 101
Hafiez Sofyani
Abdul memberi isyarat kepada keluarganya untuk membawa Japri ke kantor polisi dengan tuduhan telah berbuat tindakan asusila kepada istrinya, terlebih di hadapan khalayak ramai. Dan tanpa ada seorangpun yang membela dirinya, Japripun dibawa ke kantor Polisi kecamatan agar ditahan karena melakukan kasus pelecehan di depan umum. Melihat Japri yang diseret oleh beberapa pemuda dari kalangan keluarga Abdul, Fatimah hanya bisa diam. Tiba-tiba ia merasa sangat bersalah telah melakukan hal yang menjadikan Japri kena getahnya. Tapi, untuk mengaku kalau sebenarnya dirinyalah yang berbuat, ia tak berani. Karena hal itu akan menurunkan derajat dirinya dan juga keluarganya dimata orang kampong. Ia takut akan di cap bukan perempuan baik-baik. Fatimah menutup mulutnya dengan tangan menahan sedih bercampur malu. Setelah Japri dibawa masuk ke dalam mobil untuk dibawa menuju kantor kepolisian di kecamatan, Seketika kerumunan undangan yang sempat menonton peristiwa itu bubar. Acara pernikahan itu berjalan seperti semula. Senyum para tamu yang memberikan dirinya selamat seolah mengisyaratkan bahwa peristiwa terkait Japri 102
Kakamban Habang
barusan hanya angin lalu belaka. Tapi di hati Fatimah, sebuah perasaan bersalah yang sangat besar terus berkecamuk. Ia tak mampu mendustai dirinya. Ia telah jatuh cinta kepada pemuda lugu berwatak pendiam itu, Japri. ***
103
Hafiez Sofyani
Bagian 9 Sidang dan Pengakuan Kehidupan di sel tahanan kantor polisi kecamatan menjadi hari-hari yang kelam bagi Japri. Ia ditempatkan bersama beberapa orang tahanan yang juga menunggu vonis pengadilan di sebuah sel gelap dan berbau tak sedap. Japri merasa ini bukan tempat yang pantas untuk dirinya. Ia merasa tak bersalah. Meski ia pemuda miskin, tapi ia merasa tak pantas berada di sel itu seharusnya. Namun kenyataan berkata lain. Ia tak memiliki cukup bukti untuk dapat mengeluarkan dirinya dari tahanan itu. Jika kebanyakan orang mampu membayar sekian rupiah untuk dapat mempercepat proses penahanan, maka baginya yang hidup serba pas-pasan itu tak punya sedikitpun uang untuk dapat membayar petugas berwenang agar kasusnya segera dituntaskan. Ia hanya bisa berpasrah diri dan berdo’a agar ia bisa segera dilepaskan. Ia yakin tuhan maha adil dan akan membebaskan dirinya yang tak bersalah itu. Satu hari sebelum sidang atas dirinya diadakan, diam-diam Abdul yang merasa telah diinjak harga 104
Kakamban Habang
dirinya oleh Japri dengan memeluk Fatimah di atas pelaminan, rupanya masih merasa dendam terhadap Japri. Rupanya Abdul yang kini bukanlah Abdul yang dulu Fatimah kenal. Pemuda yang dulu baik dan santun itu rupanya berubah menjadi pemuda arogan, sombong, dan ringan tangan. Perubahan itu terjadi semenjak Abdul menjadi salah satu pengusaha kaya di Martapura. Kemewahan telah membawanya kepada kekufuran. Dan malam itu, tanpa seorangpun yang tahu, Abdul menitipkan sejumlah uang untuk hakim pengadilan agar ia bisa mendatangkan dua orang saksi palsu supaya Japri bisa dihukum dengan hukuman seberatberatnya. Dan benar. Semua mata iba langsung tertuju kepada Japri ketika vonis dibacakan. Japri dihukum penjara selama lima tahun atas perbuatan yang dilakukannya, yakni melakukan pelecehan kepada seorang wanita yang baru saja dinikahi dan dilakukan di tempat umum. Mendengar vonis yang sangat tak adil dan tak manusiawi itu, jantung Japri terasa kaku dan berhenti berdetak. Pemuda kurus nan pendiam itu jatuh pingsan. Rupanya batinnya masih belum dapat menerima beban mental yang ditimpakan 105
Hafiez Sofyani
kepadanya dengan hukuman lima tahun penjara. Abdul tersenyum puas. Ia merasa menang telah dapat menghukum orang yang telah berani memeluk istrinya mendahului dirinya. Berita Japri dihukum penjara itupun rupanya telah sampai ke telinga Fatimah yang kala itu memang tidak ikut hadir di pengadilan saat vonis atas Japri dijatuhkan. Fatimah terkejut. Ia segera mendatangi pengadilan untuk minta naik banding. Rupanya hatinya terketuk. Ia berencana ingin membeberkan apa yang sebenarnya telah terjadi. Selang dua minggu, vonis banding Fatimah dikabulkan. Dengan kebesaran hatinya dan pengakuan dirinya yang tulus, Fatimah menceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi kala itu di acara pernikahannya. Ia juga menyerahkan sebuah bukti bahwa telah terjadi manipulasi peradilan yang dilakukan oleh hakim yang telah memutuskan perkara vonis Japri dengan lelaki yang tak lain adalah suaminya sendiri. Fatimah menyerahkan HP suaminya yang diamdiam ia curi dari suaminya sendiri. Di pesan masuk HP milik Abdul terdapat beberapa 106
Kakamban Habang
percakapan mengenai vonis dan bayaran uang yang akan diserahkan Abdul kepada sang hakim. Abdul terkejut. Ia tak menduga diam-diam Fatimah membaca semua isi pesan di HP-nya yang lupa ia hapus itu. Akhirnya proses pengadilan semakin rumit. Tidak hanya itu. Hubungan keluarga Fatimah dan Abdul yang tidak lain adalah suaminya sendiri menjadi bersitegang. Keharmonisan keluargapun tak tampak lagi dari kedua belah pihak. Puncaknya, berkat keadilan Allah, hakimpun membebaskan Japri dan memutuskan Haji Abdul dan hakim yang menerima suap itu untuk dipenjarakan. Tak lama setelah itu, Abdul menceraikan Fatimah. Dan jadilah Fatimah sebagai janda kembang di kampung Muara Durian. Janda yang tak pernah barang sekali di sentuh oleh mantan suaminya. ***
107
Hafiez Sofyani
Bagian 10 Kabar Hari itu ia berharap Japri menemuinya di sungai biru tempat mereka dulu sering bertemu. Tetapi bukan Japri yang datang di depan mata, melainkan sebuah gedang pisang yang hanyut bersamaan dengan arus air di sungai biru yang mengalir deras. Bagi adat kampungnya, hanyutnya gedang pisang pertanda ada seseorang yang telah meninggal dunia. Hati kecilnyapun langsung bertanya, siapa gerangan yang telah meninggal duia di kampungnya?. Fatimah bangkit dari duduknya yang sudah hampir dua jam lamanya. Ia berjalan menuju pulang. Hari kian petang. Matahari sudah memancarkan rona kejinggaan, pertanda adzan maghrib akan segera berkumandang. Tak sengaja, di persimpangan jalan ia menemui beberapa warga yang sepertinya baru saja datang dari layatan kematian. Fatimah langsung teringat gedang pisang hanyut yang beberapa menit lalu ia lihat. Firasatnya benar, ada orang yang meninggal hari ini.
108
Kakamban Habang
“Siapa yang meninggal?” tanya Fatimah kepada salah seorang gadis perempuan yang ia kenal, Inah. Pertanyaan dari Fatimah dibalas dengan raut heran oleh wajah Inah. “Kau benar-benar tidak tahu Fatimah kalau Japri meninggal tadi pagi dan baru saja di makamkan di belakang masjid Muhajirin kampung kita?. Balas Inah dengan wajah teramat bingung. Rupanya ketidaktahuan Fatimah akan kabar kematian Japri membuat Inah bertanya-tanya bagaimana bisa Fatimah yang tempo lalu membebaskan Japri tidak tahu kabar kematian Japri?. Mendengar kabar dari Inah barusan, denyut nadi Fatimah serasa terhenti. Dadanya langsung panas. Detak jantungnya beradu cepat. Fatimah terhuyung dan pingsan seketika. Inah dan kawankawannya langsung membawa Fatimah ke rumahnya. Sudah hampir dua jam Fatimah pingsan. Dalam ketidaksadarannya, mulutnya tanpa sadar mengucap nama Japri berulang-ulang kali.
109
Hafiez Sofyani
Beberapa saat, Fatimah mulai tersadar dan membuka mata. Tiba-tiba saja pikirannya langsung teringat tentang kematian Japri. Tanpa menghiraukan ibu dan abahnya yang sedari tadi menunggui dirinya saat pingsan, Fatimah bangkit dan bergegas berlari menuju rumah Japri. Ibu dan abahnya terkejut dan tak sempat mencegah kepergian Fatimah. Dan di rumah itu, acara mendo’akan almarhum Japri telah selesai. Para tamu nampak berjalan meninggalkan rumah Japri satu per satu. Fatimah duduk di bawah pohon nangka di depan rumah Japri sambil meneteskan air mata. Setelah para tamu bubar, Fatimah bergegas menuju rumah Japri dan menemui ibunya Japri. Ia langsung memeluk ibu Japri yang nampak sudah sangat tua itu. Ia merasa bersalah telah menjadikan perempuan tua itu hidup sebatang kara. Sesaat lamanya, Fatimahpun melepas pelukannya. Ibunya Japri nampak tersenyum. Dari mulutnya terucap sebuah pertanyaan, “Ananda ini siapa? Temannya Japri, ya? Kok malam-malam begini baru sempat melayat ke sini? 110
Kakamban Habang
Sendirian pula?” suara ibu Japri terdengar begitu payau. Fatimah masih dengan air matanya. Ia tak bisa berucap satu katapun. Ia hanya bisa tersenyum dan tak kuasa untuk menahan tangisnya. Sesaat kemudian, “Ini semua karena perempuan itu…” lirih Ibunya Japri. Fatimah tersentak mendengar lirih ibunya Japri yang menyebut s “perempuan”. Hatinya langsung penasaran tentang apa yang akan dikisahkan oleh ibunya Japri. “Perempuan siapa? Dan apa yang diperbuat perempuan itu?” tanya Fatimah tak sabar sembari membenarkan kakamban habangnya yang jatuh ke kalungan lehernya. “Ini semua karena perempuan yang bernama Fatimah itu, anak Haji Jamran....” ucap Ibu Japri dengan raut nista. Suaranya semakin parau, binar bening dari matanya bercucuran. “Seandainya saja gadis itu tak memasukkan putraku ke penjara, ia tak akan sakit dan tak akan meninggal. Padahal Japri masih muda. Ia masih aku perlukan. Setelah ini aku tak tahu harus 111
Hafiez Sofyani
dengan cara apa dapat menyambung hidup jika anakku satu-satunya itu telah meninggal dunia.” Ungkap ibunya Japri dengan histeris. Mendengar apa yang dikatakan ibunya Japri, jelas menghantam perasaan Fatimah. Hatinya kian merasa bersalah. Ia tak tahu kalau ternyata Japri meninggal dunia karena sakit. Ia memang tahu kalau Japri jatuh sakit ketika divonis dengan hukuman penjara. Tapi ia tak tahu bahwa akan berujung seperti ini. Selang beberapa saat, suasan menjadi hening. Fatimah masih dengan penyesalannya yang mendalam. “siapa namamu, Nak? Dari mana asalmu? Apa kau temannya Japri?” tanya ibunya Japri. Kini air matanya sudah tiada. Perempuan tua itu nampak berusaha tersenyum tipis. Fatimah mencoba membalas senyum itu meski dengan perasaan sakit di hatinya. Sakit karena ia merasa bertanggungjawab atas kematian Japri dan keberlangsungan kehidupan ibunya Japri yang ditinggal pergi Japri.
112
Kakamban Habang
Sakit hati karena dirinya telah menjadikan pemuda baik yang ia jatuh hati kepadanya itu kini telah meniggalkan semuanya untuk selamanya. “Mmm… saya Siti Bu... Teman Japri dari kampung sebelah.” Balas Fatimah mencoba jujur. Ia berusaha untuk tidak berbohong. Memang benar namanya “Siti”, kependekan dari “Siti Fatimah”. Entah kenapa ia takut untuk mengatakan bahwa perempuan yang telah menyebabkan putra dari perempuan tua yang kini tengah berada bersamanya itu adalah dirinya. Fatimah menyadari bahwa ibunya Japri hanya tahu nama perempuan yang telah memasukkan Japri ke penjara, tapi tak tahu yang mana orangnya. “Oya, jika ananda nanti pulang, tolong berikan surat ini kepada Fatimah yang telah membunuh putra kesayanganku itu... Ini surat dari Japri... Aku tak pandai membaca. Jadi aku tak tahu apa isinya... Aku juga tak ingin sekalipun melihat wajah keluarga Haji Jamran itu di sisa hidupku. Aku takut jika aku bertemu keluarga itu aku akan mengutuk mereka dan jadilah aku berdosa dan menutup usiaku yang tak lama ini 113
Hafiez Sofyani
dengan kejelekan...” Tukas ibunya Japri yang beberapa saat sempat pergi ke dapur untuk membuatkan Fatimah segelas teh hangat. Fatimah mengangguk. Setelah meminum teh buatan ibunya Japri, Fatimah meraih tangan ibunya Japri dan lalu menciumnya dengan perasaan haru. Dan tak berselang lama, Fatimahpun pamit meninggalkan perempuan tua itu seorang diri di gubuk tua kediamannya berteman gelapnya senja yang datang. ***
114
Kakamban Habang
Bagian 11 Sepucuk surat dari Japri
Assalamu’alaikum wr wb. Fatimah, ketika aku menulis surat ini yang penuh dengan susah payah, aku merasa bahwa umurku tak kan kunjung lama lagi...Tapi, aku merasa ingin berucap beberapa hal kepadamu sebelum aku benarbenar meninggalkan semuanya. Aku yakin kau sudah tahu bahwa ibuku adalah seorang yang tua renta dan hidup dengan hanya berpangku kepada tenagaku. Kami tidak mempunyai keluarga dekat di sini. Aku tidak tahu bagaimana nantinya jika aku telah tiada... oleh karenanya, aku hanya ingin kau berbaik budi kepada beliau untuk menjaga beliau hingga beliau menyusulku, meski kau akan mengetahui bahwa beliau membencimu... itu karena beliau tidak tahu pasti duduk permasalahan semua ini....
115
Hafiez Sofyani
Permintaan ini bukan aku tuntutkan karena aku menganggap takdir ini adalah kau yang membuatnya. Melainkan, aku yakin kau adalah wanita baik yang luhur dan mengasihi setiap tetangga. Fatimah, jauh sebelum ini aku sudah mengikhlaskan hidupku kepada kehendak Yang Maha Kuasa. Jika memang ini garis hidup yang harus ku jalani, aku tak berat sedikitpun.... tapi dalam kesedihan selalu ada pertanyaan yang ingin dipastikan... Aku mendengar masyarakat menyebutku pencinta buta hingga melakukan kebodohan padamu di hari pernikahan itu. Tapi aku yakin, Tuhan, malaikat, aku dan kau mengetahui yang sesungguhnya. Hingga di hari-hari selanjutnya, aku kerap menemui pertanyaan dari masyarakat tentang bagaimana perasaanku kepadamu... mereka bilang kau butuh kepastian hati untuk ketenangan... Dan melalui surat ini, aku ingin menyampaikan bahwa kau memang wanita yang begitu memesona bagiku. Wanita yang ramah dan santun. Dari balik matamu yang teduh, aku merasakan ketulusan yang 116
Kakamban Habang
tersimpan. Dari garis wajahmu yang keruh, aku melihat berbagai pengekangan... Hari itu, di sungai biru, saat pertama kau dan aku bertemu untuk benar-benar berbicara... bagiku itu waktu yang sangat membahagiakan, meski sulit bagiku untuk mengungkapkan... aku sadar dan faham siapa aku dan dirimu... tapi cinta itu membuat pemuda ini tak sanggup untuk menolak setiap permintaan yang keluar dari mulutmu... Aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai kaum seagamaku, awalnya.... tapi kekaguman akan sosokmu menjadikan aku lancang untuk benar-benar mencintaimu, meski aku tahu kita bagai bumi dan langit, siang dan malam, panas dan hujan... Aku mengakhiri keinginanku akan dirimu dengan penuh kesadaran.... meski hingga saat ini aku tak dapat mendusta bahwa kau benar-benar gadis yang aku cinta... Aku yakin kau ingin tahu kepastian ini... Dan kini kau sudah mengetahuinya langsung dariku...
117
Hafiez Sofyani
Muhammad Japri *** Fatimah duduk termenung di keheningan malam di dalam kamarnya. Jendela kayu yang langsung berhadapan dengan ladang persawahan sengaja ia buka. Ia membaca surat itu dengan hati yang campur aduk, antara sedih, senang, dan haru. Sedih karena surat itu adalah surat yang ditulis oleh pemuda yang dicintainya, namun kini telah tiada. Dan senang karena ia telah mengetahui bahwa sesungguhnya pemuda itupun mempunyai perasaan cinta kepada dirinya. Takdir berbicara. Ketika garis hidup itu telah ditetapkan oleh Sang Empunya, maka tak ada satupun makhluk yang dapat merubah dari kehendakNya. Begitu juga kisah cinta Fatimah dan Japri. Meski keharuan begitu dalam ada di dalam sana, kesedihan teramat sangat silih berganti, namun itulah sudah kehendak yang Kuasa. Semua manusia akan sadar bahwa mereka tak punya daya dan upaya, kecuali karena kehendakNya. Embun pagi menghiasi setiap rumpun dari padi yang masih hijau di tengah sana..... dunia terus berputar dengan segala kesibukannya. Namun cerita, akan terus mengalir seiring kehendak Sang 118
Kakamban Habang
Pembuat Skenario kehidupan itu sendiri... Satu yang kiranya harus selalu kita ingat sebagai manusia... bahwa hidup yang berawal dariNya harus diserahkan kembali hanya kepadaNya. ***
Setiap kali aku melewati kediaman ibu Japri, setiap kali itu pula aku dapati Fatimah menemani ibu Japri ditemani seorang lelaki yang belakangan aku kenal dengan nama Salam. Ya, itu bukan nama yang asing bagi kehidupan Fatimah. Lelaki itu adalah Salam yang ia kenal di Yogyakarta dan yang sempat mengisi hatinya jua. Aku tak tahu persis bagaimana ceritanya hingga akhirnya Fatimah menikah dengan Salam. Yang jelas, ketika acara pernikahan itu dilakukan, aku hadir dan turut menjadi saksi saat Salam menyatakan ijab qabul akad nikah. Hampir lima tahun Fatimah menyanggupi keperluan hidup ibu Japri (almarhum). Selama itu pula rahasia tetap rahasia. Ibu Japri tidak pernah tahu kalau perempuan yang menjamin kehidupannya adalah Fatimah, perempuan yang mungkin dimurkainya. Yang beliau kenal hanyalah bahwa gadis yang baik hati dan selalu 119
Hafiez Sofyani
membawakan keperluan hidup sehari-harinya itu bernama Siti. Hingga, kini Fatimah tak lagi menanggung nasib ibu itu. Ibu Japri telah meninggal. Seminggu yang lalu ibu Japri dikebumikan tepat di samping kuburan Japri, di belakang masjid Al-Muhajirin kampung Muara Durian. Kinipun Fatimah tak lagi ku dapati di kampung ini. Kabar yang ku dengar dari perbincangan warga di warung subuh, ia kini menetap di Banjarmasin bersama suami dan anaknya, Salim dan Salma. Mungkin ia ingin meninggalkan dan mengubur kenangan itu di kampung ini. Kampung yang membesarkannya dengan sebuah cerita yang cukup haru untuk kembali di kenang. Tentang kasihnya yang tak sampai, dan tentang pergulatan hati yang tak berujung usai. Setiap orang adalah pemeran utama dari kehidupannya dan selalu menghadirkan rasa ingin tahu yang mendalam jika terus diikuti alur kisahnya. Setiap orang punya peran, kesan, dan ceritra panjang yang menunjukkan siapa jati dirinya. Dan Tuhan, senantiasa memberikan dukungan dengan Rahmatnya yang melimpah bagi hambanya yang ingin menjadi terdepan di MataNya. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk 120
Kakamban Habang
menjadi orang biasa yang dinilai tak berarti. Kita bukan pemeran pendukung. Kita adalah pemeran utama kehidupan.
Yogyakarta, 24 Juni 2015 M 9 Ramadhan 1436 H
***ALHAMDULILLAH***
121
Hafiez Sofyani
Tentang Penulis… Hafiez Sofyani Lahir di Desa Muara Durian (sekarang bernama Desa Malintang Baru) Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Masa kecilnya dihabiskan dengan bermain, turun ke sawah, berenang, memancing, dan mencari ikan. Ia merupakan alumni dari Jurusan S1 Akuntansi di salah satu perguruan tinggi di Malang dan juga alumni jurusan S2 Akuntansi salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Selagi kuliah, ia aktif sebagai penulis majalah kampus, peneliti, asisten laboratorium Akuntansi, dan aktivis mahasiswa Kalsel di Malang. Sebelum menulis novel “Kakamban Habang”, ia pernah meluncurkan Novel berjudul “Bulan Sabit di Langit Burniau” pada tahun 2012 dan muncul dengan nama pena Hafiez ‘Aliyatul Anwar. Saat ini ia bekerja sebagai dosen program studi akuntansi di salah satu perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta. Kontak kepada penulis dapat dilakukan via E_mail:
[email protected].
122