Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
PENERAPAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA DAN PERBAIKAN RUANG PRODUKSI PADA KELOMPOK PENGRAJIN KERIPIK BELUT Astuti Setyowati1, Siti Tamaroh Cahyo Murti2 1. Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta Email:
[email protected] 2. Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta Email:
[email protected]
ABSTRAK Masyarakat Desa Sidokarto, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman Yogyakarta sebagian besar antara lain berwirausaha sebagai pengrajin keripik belut. Di desa tersebut khususnya di Pedukuhan Nogosari ada dua kelompok pengrajin keripik belut dengan nama Sari Mulya 1 beranggotakan 7 orang dan Sari Mulya 2 dengan anggota 9 orang. Kedua kelompok pengrajin tersebut setiap hari rutin memproduksi keripik belut, selain itu juga memproduksi rempeyek belut dan bayam. Pemasaran produk yang dihasilkan di pasar tradisional di wilayah Godean. Permasalahan yang ditemui adalah cara pengolahan yang kurang higienis, cara pengemasan yang tidak memenuhi syarat dan belum menerapkan standar mutu pangan dengan sertifikat PP-IRT. Permasalahan khususnya adalah ruang produksi belum permanen dan pengrajin melakukan penirisan keripik belut dengan cara dihamparkan selama 12-13 jam beralaskan kertas seadanya. Cara tersebut menyebabkan keripik belut dapat mengalami penurunan mutu yaitu tekstur menjadi kurang renyah, mudah berbau tengik dan higienitasnya kurang. Usaha meningkatkan higienitas dan mutu keripik belut adalah dengan diperbaikinya ruang produksi dan penggunaan mesin spinner untuk mempercepat pemisahan keripik belut dari minyak penggoreng. Tujuan pengabdian masyarakat ini adalah meningkatkan higienitas dan meningkatkan mutu keripik belut, sehingga pemasaran keripik belut dapat lebih luas dan aman bagi konsumen. Metode yang digunakan adalah penyuluhan, pendampingan pengolahan dan pengemasan setelah dilakukan perbaikan ruang produksi, peralatan dan kemasan keripik belut. Hasil pengabdian masyarakat ini adalah ruang produksi dan peralatan sudah memadai untuk mendapatkan sertifikat PP-IRT dan kemasan keripik belut sudah dilengkapi dengan label. Keripik belut yang ditiriskan menggunakan spinner mutunya meningkat yaitu kenampakan tidak berminyak, teksturnya renyah dan dikemas plastik berlabel yang lebih menarik. Kata kunci: teknologi tepat guna, ruang produksi, pengrajin keripik belut
Application of Appropriate Technology and The Improvement of Production Room on Chips Eel Producer Groups ABSTRACT
Village Community of Sidokarto, Godean district, Sleman regency of Yogyakarta mostly work as entrepreneur so feelchips. In that village, especially in the hamlet of Nogosari there are two groups of eel chips producers named Sari Mulya 1 which consists of 7 people and Sari Mulya 2 with 9 people as members. Both of the groups produce eel chips daily, they also produce eel crispy as well as spinach crispy. Marketing of products produced is done in the traditional market of Godean. The problems encountered were less hygienic processing methods, method of packaging which was not eligible and had yet to implement food quality standards with a certificate of PP-IRT. The problem in particular was a non-permanent production room and the 226
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
producers do the draining process of eel by spreading the eel on paper for 12-13 hours.Those problems could lead the texture became less crisp, easily became rancid and was less hygiene. Efforts to improve the hygiene and quality of eel chips was by renovation the production room and using spinner machine to accelerate the separation of eel chips of fryer oil. The purpose of this community service was to improve the hygiene and the quality of eel chips, so that its marketing could be wider and safer for consumers. The methods used were counseling, mentoring of processing and packaging after the repairment of production room, equipment and packaging of eel chips. The results of this community service were good production room and equipment which were eligible to obtain a certificate of PP-IRT and the packaging of eel chips was being well labeled. The eel chips drained with spinner had better-quality i.e less oily appearance, crispy texture and packaged with plastics with more attractive label on it. Keywords: appropriate technology, production room, eel chips producers
LATAR BELAKANG Desa Sidokarto berada di wilayah Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Masyarakat Desa Sidokarto sebagian besar bermata pencaharian di bidang pertanian juga perikanan air tawar baik sebagai petani pemilik yang sekaligus penggarap dan sebagian besar sebagai petani penggarap saja dengan tingkat ekonomi yang masih rendah. Kondisi ekonomi keluarga berkaitan erat dengan manajemen ekonomi keluarga, pendapatan keluarga, jenis peluang dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga serta jenis mata pencaharian yang dimiliki. Secara umum kondisi ekonomi di pedesaan masih memerlukan perbaikan taraf ekonomi. Hal ini karena terbatasnya mata pencaharian di desa serta kurang berkembangnya usaha yang ditekuni masyarakat pedesaan. Jarak Desa Sidokarto dengan kota Kecamatan Godean 3,5 km. Desa Sidokarto memiliki luas wilayah 364 ha, yang 207,54 ha adalah tanah sawah dan 122,04 ha tanah kering. Secara kelembagaan Desa Sidokarto terdiri atas 14 dusun (pedukuhan). Jumlah penduduk pada tahun 2014 adalah 10.536 orang yang terdiri atas laki-laki 5.257orang dan wanita sebanyak 5.279 orang dengan total jumlah rumah tangga sebanyak 3.107 KK. Batas Desa Sidokarto, Kecamatan Godean : sebelah Utara Desa Margoluwih Kecamatan Seyegan, sebelah Selatan Desa Balecatur Kecamatan Gamping dan Desa Sidomulyo Kecamatan Godean, sebelah Barat Desa Sidomulyo dan sebelah Timur Desa Sidomoyo dan Sidoarum Kecamatan Godean. Adapun jarak antara Desa Sidokarto dengan kampus Universitas Mercu Buana Yogyakarta 8 km. Potensi desa terhadap hasil pertanian dan perikanan air tawar cukup baik, tetapi secara ekonomi belum optimal. Di Desa Sidokarto terdapat dua kelompok pengrajin keripik belut yaitu Sari Mulya 1 dengan 7 orang anggota dan Sari Mulya 2 yang mempunyai anggota 9 orang. Jumlah pengrajin yang tergabung dalam kedua kelompok tersebut sebanyak 16 orang pengrajin. Pengrajin keripik belut memperoleh bahan baku belut dari para petani di daerah Sidokarto, Godean. Para pengrajin keripik belut tiap harinya rata-rata mengolah belut 4 kg karena keterbatasan jumlah pasokan belut hasil penangkapan alam. Tiap satu kilogram belut segar akan dihasilkan keripik belut sebanyak 6 ons. Harga belut segar tiap kilonya Rp 50.000,00 harga belut terus naik karena keterbatasan jumlah belut dan tingginya permintaan keripik belut oleh konsumen. Harga jual keripik belut di pasaran Rp 125.000,00/kg. Usaha keripik belut ini memberikan keuntungan yang cukup besar, sehingga menjadi usaha skala rumah tangga bagi ibu rumah tangga petani. Penghasilan kelompok pengrajin keripik belut Sari Mulya 1 dan Sari Mulya 2 dapat ditingkatkan selain membuat keripik belut juga mengolah rempeyek belut dan rempeyek bayam. Produk gorengan yang telah dihasilkan pengrajin biasanya dihamparkan selama 12-13 jam beralaskan kertas seadanya bahkan kertas koran untuk menyerap minyak penggoreng. Produk gorengan tersebut 227
mempunyai kadar air rendah misalnya keripik belut sekitar 3,67% (Rizki et al., 2016) dan berminyak. Produk yang berkadar air rendah mudah menyerap uap air sehingga teksturnya menjadi melempem, sedang sebagai produk berminyak mudah teroksidasi oleh oksigen dari lingkungan sehingga mudah berbau tengik. Oleh sebab itu selama dihamparkan dimungkinkan terjadi penyerapan uap air dan oksidasi. Selain itu kertas koran terdapat tinta cetak yang mengandung logam berat (timbal) sehingga tidak aman jika kontak dengan pangan yang akan dikonsumsi (Adjidarmo, 2015). Berdasarkan data diketahui bahwa, para pengrajin melakukan penghamparan produk gorengan beralaskan kertas koran karena beberapa alasan antara lain : murah, praktis dan mudah. Para pengrajin belum mengetahui bahwa kertas koran dari aspek kesehatan tidak layak dipakai. Selain itu keripik belut yang dihasilkan dikemas menggunakan kantung plastik ukuran besar untuk dipasarkan, sehingga setiap ada konsumen membeli kemasan tersebut dibuka dan produknya diambil seperlunya kemudian ditutup kembali. Hal tersebut menyebabkan kontak keripik belut dengan uap air dan oksigen di lingkungan semakin sering terjadi sehingga penurunan mutu lebih cepat. Apalagi biasanya saat mengambil sebagian keripik belut menggunakan tangan tanpa sarung tangan sehingga kontaminasi bisa terjadi atau higienitas produk kurang baik. Berdasarkan beberapa hal tersebut perlu dilakukan penyuluhan dan pelatihan tentang cara produksi keripik belut yang baik, sanitasi, keamanan pangan, bahan tambahan pangan dan teknologi pengemasan serta pentingnya penerapan standar mutu pangan dengan sertifikat PP-IRT. Dengan demikian, akan terjadi peningkatan mutu keripik belut dan konsumen aman dari masalah kesehatan.
MASALAH Berdasarkan analisis situasi dan pernyataan yang disampaikan oleh kedua kelompok pengrajin keripik belut Sari Mulya 1 dan Sari Mulya 2 bahwa, ada permasalahan lain yaitu ketersediaan bahan baku yang semakin lama semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena hasil tangkapan dari para pencari belut akhir-akhir ini semakin sedikit. Pasokan belut tergantung alam, populasi belut di sawah semakin sedikit. Dengan demikian ketersediaan belut sebagai bahan baku keripik belut semakin terbatas. Menurut Hadiwiyoto (1993) belut akan berkembang biak dengan baik bila hidup liar di ekosistem sawah. Belut berbeda dengan ikan yang dapat dibudidayakan dan dikembangkan di dalam kolam-kolam buatan. Harga belut segar semakin lama harganya semakin mahal. Untuk saat sekarang harga belut segar mencapai Rp 50.000,00/kg. Permasalahan lain yang ada di kelompok pengrajin keripik belut adalah masalah pengolahan yang belum memenuhi syarat cara pengolahan yang baik dan benar, sanitasi produksi yang masih buruk, pengemasan yang belum memenuhi syarat dan belum ada standar mutu pangan Sertifikat PP-IRT. Adanya permasalahan tersebut disebabkan karena belum ada kesadaran dari kelompok pengrajin keripik belut tentang pentingnya keamanan pangan bagi kesehatan konsumen. Ruang produksi kelompok pengrajin keripik belut belum permanen sehingga belum memenuhi syarat untuk mendapatkan Sertifikat PP-IRT. Kelompok pengrajin keripik belut yang dilakukan oleh kedua kelompok selama ini belum menerapkan pengelolaan usaha yang baik dan benar khususnya dalam bidang manajemen usaha, pembukuan secara lengkap dan pemasaran hasilnya. Mengingat bahwa usaha keripik belut merupakan sebagai salah satu mata pencaharian maka diperlukan pengelolaan usaha secara optimal, sehingga dapat menjamin keberlanjutan dan peningkatan usahanya. Secara rinci hasil perumusan permasalahan pokok pada mitra adalah sebagai berikut :
1.
2.
Pengolahan keripik belut yang belum memenuhi syarat cara pengolahan yang baik dan benar. Pengrajin keripik belut meniriskan keripik belut setelah digoreng beralaskan kertas koran selama 12-13 jam dan masih sering mengunakan minyak goreng yang berkali-kali melebihi batas maksimal penggunaan dalam penggorengan. Sanitasi proses pengolahan dan ruang produksi yang masih belum memenuhi syarat-syarat sanitasi yang baik.
228
3.
Kelompok pengrajin keripik belut belum menggunakan cara pengemasan yang baik dan higienis serta belum menerapkan standar mutu pangan dengan Sertifikat PP-IRT.
METODE PELAKSANAAN Khalayak sasaran kegiatan ini adalah para pengrajin keripik belut yang tergabung dalam kelompok usaha bersama Sari Mulya 1 dan Sari Mulya 2 yang berada di Dukuh Nogosari, Desa Sidokarto, Kecamatan Godean. Jumlah pengrajin keripik belut kedua kelompok sebanyak 16 orang. Pertimbangan pemilihan kelompok ini berdasarkan data yang diperoleh bahwa, penjual keripik belut Sari Mulya 1 dan 2 dalam meniriskan keripik belut yang telah digoreng beralaskan kertas koran dan ruang produksinya belum permanen sehingga sanitasi dan keamanan pangannya kurang. Selain itu keripik belut yang dihasilkan belum dikemas dengan kemasan yang baik dan berlabel. Perlu penyuluhan penyadaran para pengrajin bahwa kertas koran tidak layak untuk proses pangan, karena dapat mencemari makanan dan tidak baik untuk kesehatan. Metode penerapan Iptek yang dilaksanakan ada beberapa cara dan tahap yaitu : Penyuluhan tentang : a. Cara pengolahan pangan yang baik b. Penerapan teknologi pengemasan c. Standar mutu pangan dengan sertifikat PP-IRT. Perbaikan ruang produksi : Ruang produksi yang dimiliki pengrajin keripik belut belum permanen yaitu beralaskan tanah, sehingga belum memenuhi syarat sanitasi yang baik. Sertifikat PP-IRT dapat lolos diberikan kepada pengrajin kalau ruang produksi sudah permanen. Oleh karena itu pengabdian masyarakat ini salah satu programnya memperbaiki ruang produksi agar layak untuk mendapatkan standar mutu sertifikat PP-IRT yang nantinya dapat memperlancar pemasaran produk, menjamin mutu produk dan keamanan pangan bagi konsumen. Perbaikan peralatan produksi : Pengrajin masih menggunakan kertas koran untuk meniriskan keripik belut yang dihasilkan selama 12-13 jam, yang akibatnya dapat menurunkan mutu misalnya tekstur mudah melempem, mudah berbau tengik dan kontaminasi logam berat yang dalam jangka waktu lama membahayakan kesehatan konsumen. Oleh karena itu diperbaiki dengan penggunaan mesin spinner untuk mempercepat proses penirisan dan aman bagi kesehatan. Selain itu ada perbaikan peralatan proses yang terbuat dari stainless steel, sehingga aman bagi kesehatan konsumen. Penerapan teknologi pengemasan : Pengrajin keripik belut belum menerapkan cara pengemasan yang baik, sehingga kesulitan jika akan memperluas pemasaran. Oleh karena itu ada pelatihan dan praktek cara pengemasan yang baik yaitu menggunakan plastik polipropilen ketebalan 0,05 mm, berlabel dan direkat dengan panas (di seal) menggunakan sealer. Praktek mandiri Praktek mandiri dilakukan oleh para pengrajin keripik belut tanpa pembimbingan, agar tidak terjadi ketergantungan dengan tim penyuluh. Dengan demikian para pengrajin dapat mengatasi masalahmasalah dalam pengolahan keripik belut di masa yang akan datang. Evaluasi hasil praktek Setelah dilaksanakan penyuluhan dan praktek pengolahan keripik belut serta cara pengemasannya, para pengrajin diminta untuk berkreasi dalam pengolahan dan pengemasan keripik belut 229
yang berkualitas. Dengan demikian apabila akan diproduksi secara mandiri hasilnya sesuai dengan target yang direncanakan. Pendampingan Agar kegiatan Iptek bagi Masyarakat dapat berhasil dan dapat diterapkan, maka tim penyuluh bekerja sama dengan mitra dalam hal ini Pemerintah Desa Sidokarto diwakili kepala Dukuh Nogosari, Desa Sidokarto, Kecamatan Godean agar memotivasi para pengrajin untuk selalu menerapkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengolahan keripik belut yang baik, sanitasi dan pengemasan sesuai dengan pengetahuan dan ketrampilan yang telah diberikan oleh tim penyuluh. Dengan demikian diharapkan kegiatan tersebut dapat berkesinambungan, bermanfaat, dapat meningkatkan pendapatan para pengrajin keripik belut dan konsumennya terlindungi dari aspek kesehatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam kegiatan ini, secara keseluruhan indikator keberhasilan kegiatan ditinjau dari beberapa parameter, yaitu : 1. Kualitas ruang produksi keripik belut Sari Mulya lebih baik ditinjau dari luas bangunan, perlindungan terhadap hujan, dan permanennya lantai serta dinding. 2. Efisiensi proses penirisan lebih baik ditinjau dari waktu dan mutu keripik belut. 3. Kualitas kemasan keripik belut Sari Mulya lebih baik ditinjau dari jenis dan ketebalan plastik, cara penutupan plastik dan labeling. 4. Ukuran berat keripik belut lebih baik ditinjau dari ketepatannya. Kegiatan penyuluhan dan pelatihan disajikan pada Gambar 1a, b dan 2 a, b.
Gambar 1a. Pengabdi dan penyuluh menyampaikan materi
Gambar 2a. Memberi contoh cara pengemasan
Gambar 1b. Penyuluhan bagi pengrajin keripik belut
Gambar 2b. cara pengemasan yang baik 230
Ruang produksi sebelum dan sesudah perbaikan disajikan pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Ruang produksi sebelum perbaikan
Gambar 4. Ruang produksi setelah perbaikan
Proses penirisan sebelum dan setelah penerapan teknologi tepat guna disajikan pada Gambar 5 dan 6a, b.
Gambar 5. Proses penirisan sebelum penerapan teknologi Gambar 6a. Penirisan dengan spinner Penggunaan kemasan setelah penerapan IbM disajikan pada Gambar 7.
Gambar 6. Pengrajin praktek menggunakan spinner polipropilen 0,05 mm lengkap dengan label
231
Gambar 7. Keripik belut dikemas plastik
Penggunaan timbangan sebelum dan sesudah penerapan IbM disajikan pada Gambar 8 dan 9.
Gambar 8. Timbangan sebelum penerapan IbM
Gambar 9. Timbangan setelah penerapan IbM
Beberapa indikator keberhasilan kegiatan IbM pada kelompok pengrajin keripik belut Sari Mulya disajikan pada Tabel 1. No. 1.
2. 3.
Kriteria Sebelum Ruang produksi Saat hujan basah, atap tidak tertutup seluruhnya, lantai dan dinding belum permanen Proses Waktu penirisan 12-13 jam penirisan beralaskan kertas koran Kemasan Secara curah menggunakan keripik belut plastik seadanya
4. 5.
Pelabelan Kebersihan
6.
Peneraan berat
7.
Teknologi pengolahan
8.
Perhitungan ekonomi
Sesudah Saat hujan tidak basah, atap tertutup sempurna, lantai dan dinding permanen
Waktu penirisan 5-10 menit dengan spinnner stainless steel Plastik polipropilen ketebalan 0,05 mm, direkat dengan panas (diseal), menggunakan label Tanpa label Kemasan plastik diberi label Ruang produksi basah atau Ruang produksi bersih dari percikan air berdebu, keripik belut kontak hujan atau debu dan keripik belut tidak dengan kertas koran tercemar kertas koran Ketepatan penimbangan berat Ketepatan penimbangan berat keripik belut keripik belut kurang lebih baik Menguasai cara pengolahan Peningkatan pengetahuan tentang cara pengolahan yang baik dan kesadaran tentang arti penting keamanan pangan dan sanitasi Tanpa pembukuan Dengan pembukuan sederhana
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa, kegiatan IbM kelompok pengrajin Sari Mulya dapat meningkatkan kualitas dalam hal kebersihan ruang produksi, penerapan teknologi tepat guna dan pengemasan yang dapat meningkatkan kualitas produk, peningkatan kesadaran arti pentingnya keamanan pangan dan sanitasi. Perbaikan pengemasan baik dari bahan kemasan, labelling maupun penutupan dapat meningkatkan umur simpan dan daya tarik terhadap konsumen (Suyitno, 1990), sehingga produk tersebut semakin meningkat penjualannya. Dengan demikian akan meningkatkan pemasaran, bertambahnya jumlah produksi dan akhirnya dapat meningkatkan penghasilan masyarakat pengrajin keripik belut Sari Mulya.
232
Di bidang proses produksi, para pengrajin keripik belut Sari Mulya merasa nyaman bekerja saat memproduksi baik saat musim penghujan ataupun kemarau. Hal tersebut didukung oleh bantuan perbaikan ruang produksi dari tim IbM yang dapat meningkatkan semangat pengrajin untuk memproduksi keripik belut. Di bidang teknologi pengolahan keripik belut khususnya proses penirisan, para pengrajin keripik belut Sari Mulya cepat menguasai teknologi penggunaan spinner tersebut. Hal tersebut didukung oleh bantuan peralatan spinner dan peralatan pelengkap yang terbuat dari stainless steel dari tim IbM yang dapat memperlancar proses produksi dan meningkatkan sanitasinya. Di bidang teknologi pengemasan, para pengrajin keripik belut Sari Mulya juga cepat menguasai teknologi pengemasan tersebut. Hal ini didukung juga oleh bantuan peralatan sealer dan contoh kemasan plastik berlabel dari tim IbM yang juga meningkatkan kepercayaan diri pengrajin untuk memproduksi keripik belut. Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa penerapan Iptek dapat meningkatkan kualitas produk keripik belut dan kemasannya. Para pengrajin keripik belut meningkat pengetahuan dan ketrampilannya dalam proses pengolahan, pengemasan, kesadaran tentang arti penting keamanan pangan dan sanitasi.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa penerapan Iptek dapat meningkatkan kualitas produk dan menambah pengetahuan ketrampilan para pengrajin keripik belut Sari Mulya di Dusun Nogosari, Desa Sidokarto, Kecamatan Godean, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saran yang bisa disampaikan perlu pembinaan lebih lanjut tentang pengembangan produk keripik belut dan perluasan pemasarannya.
DAFTAR PUSTAKA Adjidarmo, M. (2015). Bahaya kertas koran sebagai pembungkus makanan. Newswire. Diakses 22 September 2016. Hadiwiyoto, S. (1993). Teknologi pengolahan hasil perikanan. Liberty. Yogyakarta. Rizki, F.H., Nurhartadi, E. dan Widowati, E. (2016). Konsep pengendalian mutu dan hazard analysis critical control point (HACCP) dalam proses pembuatan keripik belut di UKM “Pak Bambang” kecamatan Baki, kabupaten Sukoharjo. Thesis. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Suyitno, T. (1990). Bahan-bahan pengemas. PAU Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
SESI TANYA JAWAB Nama Pemakalah
Nama Penanya
Asal Institusi
Isi Pertanyaan
Astuti
Dhanang. P
Universitas Kristen Satya Wacana
Apakah sudah distandarisasi produknya? Cara pengemasan + cara pengolahan?
sudah diajukan SP IRT agar dikeluarkan sertifikatnya. Ruang produksi harus permanen.
Apakah sudah didaftarkan di Depkes hasil produksinya?
kemasan sudah di desain sesuai dengan peraturan pengemasan. 1kripik belut pakai spiner bisa
Wibowo G
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
233
Jawaban
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X sampai 1 liter minyak Igu. Supriah Sudrajat
UST Yogyakarta
Apakah dampak pengabdian signifikan terhadap pendapatan pengerajin kripik belut?
belum menghitung pendapatan sebelum dan sesudah (ada peningkatan/ tdk). Pengemasan rapi lebih dipilih ketika dibeli
F Budi Setiawan
Universitas Katolik Soegijapran ata
Apakah ada standart minimal bagi proses produksi/pabrik kripik belur?
Sudah mengikuti standart minimal
Apakah ada perbaikan yang signifikan terhadap mutu produk setelah mengubah susunan ruang produksi?
Ada, dengan menggunakan spiner 10 menit lalu dikemas, ehingga tidak mudah melempem dan tengik
234