PENERAPAN PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PENANGANAN PERKARA ANAK DI TINGKAT PENYIDIKAN (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)
JURNAL ILMIAH Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta Oleh : ISMAWAN ADY ASTOMO NPM 12100083
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2016
1
ABSTRAKSI
Anak sebagai pelaku tindak pidana tetap di proses secara pidana akan tetapi harus memperhatikan hak-hak anak. Selama proses penyidikan diperlakukan asas Restorative Justice. Anak yang melakukan tindak pidana perncurian dihindarkan dari pemidanaan yang berupa perampasan hak. Dalam prakteknya proses penyidikan yang dilakukan tidak semua penyidik melakukannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji penerapan pendekatan Keadilan Restoratif dalam penanganan perkara anak di tingkat penyidikan dan untuk mengkaji kendala yang ditemui dalam penanganan perkara anak di tingkat penyidikan. Lokasi penelitian di Polres Sukoharjo. Jenis penelitian yuridis normatif. Sifat penelitian menggunakan deskriptif. Bahan/materi penelitian menggunakan sumber hukum primer, sumber hukum sekunder. Sumber data menggunakan studi pustaka dengan metode library research. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pendekatan Keadilan Restoratif dalam penanganan perkara anak di tingkat penyidikan dalam kasus penganiayaan anak dihasilkan bahwa musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan karena keluarga tersangka tidak bisa memenuhi tuntutan orang tua korban yaitu mengganti biaya ganti rugi sebesar Rp. 15.000.000,- (Lima belas juta rupiah) sedangkan orang tua tersangka hanya mempunyai uang sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah), dan karena tidak tercapai kesepakatan maka perkara anak tersebut dilanjutkan proses pemeriksaannya. Kendala dalam pelaksanaan keadilan restoratif dalam kasus penganiayaan anak di tingkat penyidikan antara lain adalah penentuan musyawarah untuk mufakat dalam penentuan besarnya ganti rugi, sikap keluarga korban dan masyarakat yang menganggap penyelesaian secara restorative justice kurang mampu memenuhi tanggung-jawab bagi pelaku serta dirasa kurang memberikan efek jera dan terbatasnya fasilitas sebagai alat untuk pelaksanaan restorative justice seperti, ruang mediasi untuk musyawarah, ruang khusus anak dan lembaga penempatan anak sementara,
Keywords : keadilan restoratif , perkara anak, penyidikan
2
A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi penerus bangsa yang nantinya mengemban tugas untuk menjaga keberlangsungan bangsa dan Negara. Konstitusi menjamin hak setiap anak untuk tumbuh dan berkembang serta mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal (2) mengatur mengenai hak-hak anak yaitu: non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak. Anak perlu mendapatkan perlindungan dari dampak negatif arus globalisasi yang berkembang sangat pesat dan meliputi segala bidang. Tidak dapat dipungkiri bahwa dampak negative globalisasi mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap anak dan perilaku anak. Perubahan perilaku yang terjadi seringkali mengarah pada tindak kriminal. Media seringkali memberitakan tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak maupun yang korbannya anak. Negara memberikan perlindungan terhadap anak baik anak yang menjadi korban tindak pidana, anak yang menjadi saksi maupun anak yang menjadi pelaku tindak pidana dengan mengatur secara khusus sistem peradilan pidana bagi anak. Proses peradilan pidana dan berbagai sanksi pidana yang ada dikhawatirkan akan berdampak bagi kelangsungan perkembangan anak pelaku tindak pidana baik secara fisik dan psikis karena pada masa tumbuh kembangnya anak dinilai masih rentan dalam kondisi kejiwaan dimana anak belum dapat mandiri, belum memiliki kesadaran penuh, kepribadian yang belum stabil atau belum terbentuk secara utuh, dengan kata lain keadaan psikisnya masih labil dan gampang terpengaruh.2 Anak yang melakukan tindakan kriminal atau tindak pidana sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor dari luar diri anak seperti pergaulan, kurang perhatian keluarga, ekonomi, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada umumnya adalah suatu proses meniru ataupun terpengaruh tindakan negatif dari orang maupun lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu tindak pidana yang dilakukan oleh anak tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh anak itu sendiri. Anak sebagai pelaku tindak pidana tetap di proses secara pidana akan tetapi harus memperhatikan hak-hak anak. Selama proses penyidikan diperlakukan asas
1
Restorative Justice. Anak yang melakukan tindak pidana perncurian dihindarkan dari pemidanaan yang berupa perampasan hak. Dalam prakteknya proses penyidikan yang dilakukan tidak semua penyidik melakukannya. UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengamanatkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.
Menurut UU ini pada tingkat penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi yaitu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pasal 8 mengatur bahwa proses Diversi dilakukan berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Melalui penelitian ini, peneliti hendak mengkaji bagaimana penerapan pendekatan keadilan restorative dalam proses penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana (dalam UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebut sebagai Anak yang berkonflik dengan hukum).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis merumuskan masalah yang dibahas dalam penelitian antara lain: 1. Bagaimana penerapan pendekatan Keadilan Restoratif dalam penanganan perkara anak di tingkat penyidikan ? 2. Apa kendala yang ditemui dalam penanganan perkara anak
di tingkat
penyidikan ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut : 1. Mengkaji penerapan pendekatan Keadilan Restoratif dalam penanganan perkara anak di tingkat penyidikan 2. Mengkaji kendala yang ditemui dalam penanganan perkara anak di tingkat penyidikan.
2
D. Metode Penelitian Lokasi dalam penelitian ini adalah di Polres Sukoharjo. Hal ini berdasar pertimbangan bahwa lokasi penelitian tersebut tersedia data yang diperlukan sehingga lebih memudahkan dalam pelaksanaan penelitian. Jenis penelitian adalah penelitian yuridis normatif yang berupa berita acara pelaksanaan diversi di Polres Sukoharjo. Sifat penelitian adalah deskriptif yang hendak memberikan gambaran yang mendalam dan sejelas mungkin mengenai penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam penyidikan perkara anak di Polres Sukoharjo. Bahan/materi penelitian menggunakan bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan obyek yang diteliti, meliputi : KUHAP, UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku, laporan penelitian, catatan, majalah, Koran, masalah-masalah dan sumber-sumber lain di bidang hukum yang berhubungan masalah yang di teliti. Sumber data penelitian menggunakan studi pustaka. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif. Analisa Kualitatif adalah cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatkan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata. Selanjutnya data-data yang diperoleh tersebut, kemudian diteliti, dipelajari dan disusun dalam pengaturan yang logis dan sistematis kemudian dipaparkan tanpa menggunakan data-data statistik.
E. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Penanganan Perkara Anak di Tingkat Penyidikan a. Berita Acara Diversi Pada hari ini, Kamis tanggal 28 bulan Agustus tahun dua ribu empat belas, saya : SURYO BUONO. Pangkat BRIPKA NRP 78010246 selaku Penyidik Pembantu dari Kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Tengah Resor Sukoharjo, yang melaksanakan musyawarah diversi perkara anak dengan tersangka : Nama
: Muhammad Syarifudin Aqib Bin Widodo
3
Tempat/Tgl Lahir : Surakarta, 24 April 2001 Umur
: 12 Tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pelajar
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia Tempat Tinggal
: Dk. Suronalan RT 04/08, Ds Pajang, Kec. Laweyan, Kota Surakarta
Musyawarah dibuka dan dinyatakan tertutup untuk umum oleh fasilitator diversi, lalu fasilitator diversi menanyakan kepada Anak/ Orang tua/
Wali/
Pendamping
tentang
kesediaannya
untuk
melakukan
musyawarah. -
Bahwa Anak/ Orang tua/ wali/ Pendamping bersedia untuk melakukan diversi.
Atas pertanyaan Fasilitator diversi, Anak/ Orang tua/ Wali/ Pendamping menyetujui dilakukan musyawarah. -
Bahwa Anak/ Orang tua/ Wali/ Pendamping bersedia melakukan diversi
Selanjutnya
fasilitator
diversi
membacakan
ringkasan
pasal
yang
disangkakan : -
Bahwa Sdr. Muhammad Syarifudin Aqib bin Widodo telah melakukan tindak pidana. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 Ayat (1) UURI No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Adapun kejadiannya yaitu pada hari Rabu tanggal 10 Juli 2013 sekitar pukul 14.00 WIB di halaman Mesjid Darussalam di Dk. Kedunggudel RT 02/03, Ds.Kenep, Kec. Sukoharjo, Kab. Sukoharjo terhadap korban yang bernama Sdr. Muhammad Humam Isbaria Yunani. Selanjutnya
fasilitator
diversi
memberikan
kesempatan
Pembimbing Kemasyarakatan untuk membacakan laporan Penelitian Kemasyarakatan : - Pembimbing Kemasyarakatan ( Sutomo A, Ks, MH ) membacakan membacakan laporan Penelitian Kemasyarakatan dan menyarankan
4
perkara penganiayaan dengan tersangka anak-anak agar diselesaikan secara kekeluargaan Kemudian Fasilitator diversi memberikan kesempatan kepada Anak/ Orang tua/Wali/Pendamping untuk memberikan pendapat sebagai berikut : - Pendapat dari Sdr. Adi dan Sdr. Dunung dari Yayasan Atma, bahwa perkara tindak pidana penganiayaan terhadap anak yang dilakukan oleh Sdr. Aqib terhadap Sdr. Humam yang dilaporkan di Polres Sukoharjo tersebut agar diselesaikan secara kekeluargaan karena tersangka masih anak-anak. Apabila tidak ada kesepakatan mengenai masalah biaya ganti rugi yang diminta dari pihak keluarga korban supaya dibicarakan lagi dengan cara yang baik, jika keluarga korban meminta ganti rugi sebesar Rp. 15.000.000 dan keluarga tersangka hanya punya uang Rp.2.000.000, maka diharapkan dari keluarga korban mau memberikan keringanan tidak harus Rp. 15.000.000,demikian juga dengan keluarga tersangka diharapkan tidak hanya memberikan
Rp.
2.000.000,-
agar
tercapai
kesepakatan
dan
mengharapkan proses pidana terhadap anak adalah upaya terakhir. Selanjutnya fasilitator diversi memerintahkan kepada Anak/ Orang tua/ Wali/ Pendamping untuk menjelaskan tentang perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan : - Penjelasan dari Saudara Heti Fahriyanti dan Sdr. Margono selaku orang tua korban : bahwa anaknya yang bernama Muhammad Humam Isbaria Yusrani telah menjadi korban penganiayaaan yang dilakukan oleh Sdr. Aqib hari Rabu tanggal 10 Juli 2013 sekitar pukul 14.00 WIB di halaman masjid Darussalam di Dk. Kedunggudel RT 02/03, Ds. Kenep, Kec. Sukoharjo, Kab. Sukoharjo, dan akibat dari penganiayaan tersebut, korban mengalami luka robek pipi sebelah kiri tembus ke dalam sampai mengeluarkan darah, dijahit luar dalam, 1 giginya lepas dan 2 giginya patah. Adapun bentuk penyelesaian yang diharapkan adalah awalnya keluarga Sdr. Aqib diminta datang ke rumah korban dengan etika yang baik serta meminta maaf, pada saat
5
itu keluarga Aqib janji mau datang setelah maghrib, tapi setelah ditunggu selama 2 hari dari keuarga sdr. Aqib tidak datang, seandainya pada saat itu datang memenuhi janji, minta maaf dan hanya membawa uang Rp. 500.000,- pun maka dari pihak korban akan memafkan dan sudah selesai secara kekeluargaan. Pada saat itu dari perangkat Desa juga sudah mendatangi keluarga Sdr. Aqib tapi dari keluarga Sdr. Aqib malah menjawab silakan saja kalau mau diajukan perkaranya. Kemudian setelah laporan ditindaklanjuti oleh Polres Sukoharjo, kemudian dilakukan musyawarah dan dari keluarga minta ganti rugi sebesar Rp.15.000.000,- pada keluarga Aqib. Apabila dari keluarga Sdr Aqib bisa memenuhi tuntutan keluarga korban, maka perkara penganiayaan anak dicabut dan uang sebesar Rp.15.000.000,- yang diberikan pada keluarga korban tersebut akan ada yang dikembalikan ke keluarga Sdr Aqib, tapi jika keluarga Sdr. Aqib tidak bisa memenuhi tuntutan keluarga korban, maka perkara penganiayaan ini harus diproses sampai ke persidangan. - Penjelasan dari Sdr. Widodo selaku orang tua Tersangka, bahwa Sdr. Widodo selaku orang tua kandung Sdr. Aqib sudah pernah datang ke rumahnya keluarga korban untuk minta maaf, akan tetapi Sdr. Widodo tidak bisa memenuhi tuntutan ganti rugi sebesar Rp.15.000.000,- dan sdr. Widodo hanya mampu memberikan ganti rugi sebesar Rp. 2. 000.000,Kemudian fasilitator diversi memberikan kesempatan kepada pekerja sosial/ Pendamping untuk memberikan informasi tentang perilaku dan keadaan sosial anak, serta memberikan saran untuk penyelesaian konflik sebagai berikut: - Bahwa Sdr. Sri Suhasto selaku pekerja sosial mengharapkan dan memberikan saran agar perkara tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh Sdr. Aqib terhadap Sdr. Humam agar diselesaikan secara kekeluargaan karena tersangkanya masih anak-anak. Selanjutnya fasilitator diversi memberikan kesempatan kepada perwakilan masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya tentang
6
perilaku dan keadaan sosial anak, serta memberikan saran untuk penyelesaian konflik sebagai berikut : - Pendapat dan saran dari Sdr. Sumedi ( Ketua RT.02/03 ), bahwa Sdr. Sumedi sebenarnya masih ada hubungan keluarga dengan keluarga Tersangka, menurut Sdr. Sumedi keluarga tersangka tidak ada respon terhadap keluarga korban yang meminta datng ke rumah korban dan membicarakan permasalahan tersebut secara kekeluargaan, adapun saran Saudara Sumedi selaku Ketua RT 02/03 mengharapkan perkara penganiayaan anak yang dilakukan oleh saudara Aqib terhadap Saudara Humam tersebut bias diselesaikan secara kekeluargaan dan tidak sampai ke pengadilan. Kemudian fasilitator diversi memberikan kesempatan kepada Anak/ Orang tua/Wali untuk memberikan tanggapan sebagai berikut : - Tanggapan Sdri. Heti Fahriyanti dan Sdr. Margono selaku orang tua korban menilai bahwa sebenarnya dari keluarga Sdr. Aqib kalau mau sungguh-sungguh untuk menyelesaikan perkara ini pasti bisa memenuhi tuntutannya. Saudara Heti Fahriyanti juga menanyakan kenapa ibu dan kakeknya Sdr. Aqib tidak datang untuk musyawarah. Atas tanggapan tersebut, fasilitator diversi memberikan kesempatan kepada anak/Orang tua/Wali untuk memberikan tanggapan sebagai berikut : - Tanggapan dari Saudara Widodo selaku orang tua tersangka, bahwa dari Sdr. Widodo sudah mendatangi rumah keluarga korban dan sudah minta maaf, akan tetapi sampai hari ini belum ada kesepakatan untuk penyelesaian kasusnya karena Sdr. Widodo hanya mempunyai uang Rp. 2.000.000,Berdasarkan proses musyawarah tersebut, ternyata tidak tercapai kesepakatan diversi, karena keluarga tersangka (Muhammad Syarifudin Aqib) tidak bisa memenuhi tuntutan orang tua korban yaitu mengganti biaya ganti rugi sebesar Rp. 15.000.000,-, maka proses perkara dilanjutkan.
7
Analisis Kejahatan yang dilakukan oleh anak merupakan salah satu bentuk tindak pidana. Sebagai tindak pidana tentunya proses penyelesaian perkara dilakukan dengan menggunakan sistem peradilan pidana atau criminal justice system yang perkembangannya terdapat satu konsep penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Konsep ini dikenal dengan istilah diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara tindak pidana dari proses peradilan pidana ke proses di luar pengadilan atau dari jalur hukum ke jalur non hukum, serta adanya kesepakatan dari pihak pelaku, korban, dan keluarganya. Salah satu tindak pidana anak yang menjadi objek penelitian penulis adalah tindak pidana penganiayaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penganiayaan tersebut anak yang menjadi tersangka (Muhammad Syarifudin Aqib) dan korban (Muhammad Humam Isbaria Yusrani). Dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik Polri diketahui bahwa telah terjadi tindakan penganiayaan. Hal ini didasari pada laporan orang tua korban yang sesaat setelah kejadian tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh tersangka. Berdasarkan laporan tersebut polisi kemudian menangkap tersangka Muhammad Syarifudin Aqib. Dalam proses penyidikan, pihak kepolisian telah melakukan upaya mediasi untuk mempertemukan antara korban, pelaku dan keluargannya. Berdasarkan wawancara dengan Suryo Buono bahwa dalam proses penyidikan, pihak kepolisian yang diwakili oleh penyidik selalu melakukan upaya mediasi dalam menangani perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Proses mediasi yang dalam hal ini menjadi konsep diversi dilakukan dengan mempertemukan pihak korban dan keluarganya dengan pihak tersangka dan juga pihak-pihak yang secara tidak langsung berkaitan dengan tindak pidana yang terjadi. Seperti yang dilakukan oleh pihak kepala sekolah jika tindak pidana terjadi, atau pihak RT/RW jika tindak pidana terjadi di lingkungannya. Dalam proses tersebut penyidik menjelaskan terlebih dahulu kepada keluarga korban tentang duduk perkara yang sedang terjadi dengan melibatkan tersangka dan korban. Selanjutnya penyidik mempersilahkan
8
kepada tersangka untuk mengutarakan keinginannya untuk berdamai dengan korban. Setelah itu, korban ataupun yang mewakilinya untuk berbicara tentang apa yang dinginkan oleh pihak korban 1. Pelaksanaan penyidikan pada proses diversi ini dapat menentukan apakah proses mediasi berhasil atau tidak. Jika keluarga korban sepakat untuk berdamai maka mediasi dianggap berhasil dan proses pemeriksaan perkara dihentikan dengan alasan adanya perdamaian antara korban dan tersangka. Namun sebaliknya, jika keluarga korban bersikeras untuk tetap melanjutkan proses hukum yang ada, maka proses diversi tidak berhasil.
Pada kasus
penganiayaan yang disebutkan di atas memang ada proses mediasi yang dilakukan oleh penyidik. Namun proses mediasi itu tidak berhasil. Karena ada beberapa penyebab diversi tidak berhasil yaitu bahwa biaya ganti rugi yang tidak bisa disanggupi oleh tersangka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kepolisian telah berupaya melakukan proses diversi dalam kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak, walaupun pada akhirnya di dalam proses musyawarah tersebut tidak tercapai kesepakatan diversik karena keluarga tersangka tidak bisa memenuhi tuntutan orang tua korban yaitu mengganti biaya ganti rugi sebesar Rp. 15.000.000,-, sehingga proses perkara dilanjutkan ke Pengadilan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam proses penyidikan Kepolisian dalam hal ini adalah Polres Sukoharjo telah melaksanakan Pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana anak yang berbunyi : Pasal 7 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 1.
Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
2.
Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
1
a.
diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b.
bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Hasil wawancara dengan Bripka Suryo Buono, tanggal 22 Februari 2016, jam 10.00 WIB
9
Serta Pasal 8 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang system Peradilan pidana anak yaitu : 1. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan
orang
tua/walinya,
korban
Pembimbing Kemasyarakatan, dan
dan/atau
orang
tua/walinya,
Pekerja Sosial Profesional
berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. 2. Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. 3. Proses Diversi wajib memperhatikan: a. kepentingan korban; b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c. penghindaran stigma negatif; d. penghindaran pembalasan; e. keharmonisan masyarakat; dan f.
kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Dalam kasus penganiayaan terhadap anak tersebut musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan karena keluarga tersangka Muhammad Syarifuddin aqib tidak bisa memenuhi tuntutan orang tua korban yaitu mengganti biaya ganti rugi sebesar Rp. 15.000.000,- ( Lima belas juta rupiah) sedangkan Saudara Widodo selaku orang tua korban hanya mempunyai uang sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) saja. Karena tidak tercapai kesepakatan maka perkara anak tersebut dilanjutkan proses pemeriksaannya. Menurut hemat peneliti, dalam proses diversi dengan pendekatan keadilan restoratif ini kesediaan untuk melakukan musyawarah dan tercapainya kesepakatan merupakan hal yang sangat penting, karena apabila hal itu tidak tercapai maka proses diversi tidak dapat berjalan sesuai tujuannya yaitu untuk menghindarkan anak dari sistem peradilan pidana anak. 2. Kendala yang Dihadapi dalam Penanganan Perkara Anak di Tingkat Penyidikan Penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam proses diversi perkara anak, kesediaan untuk melakukan musyawarah menjadi hal yang sangat penting. Hal ini akan menentukan apakah proses diversi akan dilanjutkan atau tidak hingga ke tingkat Pengadilan.
Kesepakatan kesepakatan para pihak yaitu
10
keluarga pihak pelaku dan juga pihak keluarga korban menjadi fkator penting dalam pelaksanaan restorative justice. Berdasarkan hasil wawancara diketahui beberapa kendala dalam pelaksanaan keadilan restoratif dalam kasus penganiayaan anak di tingkat penyidikan antara lain adalah sebagai berikut 2 : a. Penentuan musyawarah untuk mufakat dalam penentuan besarnya ganti rugi Penyidik dalam pelaksanaan mediasi antara keluarga pelaku dan keluarga korban mengalami hambatan, khususnya dalam penentuan besarnya ganti rugi, hal tersebut dikarenakan bahwa keluraga korban terkadang menuntut ganti rugi yang terlalu tinggi sehingga pihak keluarga pelaku merasa keberatan sehingga tidak bisa memenuhinya, dan hal tersebut menyebabkan
penyidik
tidak
berani
mengambil
keputusan
untuk
menentukan besarnya ganti rugi yang harus dikeluarkan oleh keluarga pelaku agar proses mediasi dapat berhasil. b. Sikap keluarga korban dan masyarakat yang menganggap penyelesaian secara restorative justice kurang mampu memenuhi tanggung-jawab bagi pelaku serta dirasa kurang memberikan efek jera. Hambatan lain yang menjadi masalah penyidik dalam pelaksanaan keadilan restoratif adalah bahwa terkadang keluarga korban tidak mau menerima upaya damai dalam pelaksanaan mediasi atau perdamaian dengan pihak keluarga pelaku. Hal tersebut disebabkan karena keluarga korban sudah mengalami banyak kerugian baik kerugian berupa fisik maupun biaya, sehingga keluarga korban tidak menerima jalan damai dalam kasus tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka. Selain itu apabila dilaksanakan dengan jalan damai maka keluarga korban menganggap hal tersebut kurang memberikan efek jera bagi pelaku pada khususnya. c. Terbatasnya fasilitas sebagai alat untuk pelaksanaan restorative justice seperti keberadaan ruang mediasi khusus untuk musyawarah antara keluarga korban dengan keluarga pelaku, Kepolisian belum mempunyai ruang khusus yang digunakan sebagai ruang untuk menempatkan anak yang berkonflik dengan hukum, sekaligus 2
Ibid
11
ruangan belum memenuhi syarat untuk pelaksanaan mediasi bagi keluarga tersangka maupun
keluarga korban,
hal
tersebut
terkadang dapat
memperngaruhi psikologis anak.
F. Kesimpulan 1. Penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara anak di tingkat penyidikan
dalam kasus penganiayaan anak tidak menghasilkan
kesepakatan karena keluarga tersangka tidak bisa memenuhi tuntutan orang tua korban yaitu mengganti biaya ganti rugi sebesar Rp. 15.000.000,- (Lima belas juta rupiah) sedangkan orang tua tersangka hanya mempunyai uang sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah), dan karena tidak tercapai kesepakatan maka perkara anak tersebut dilanjutkan proses pemeriksaannya. 2. Kendala dalam pelaksanaan keadilan restoratif dalam kasus penganiayaan anak di tingkat penyidikan antara lain adalah penentuan musyawarah untuk mufakat dalam penentuan besarnya ganti rugi, sikap keluarga korban dan masyarakat yang menganggap penyelesaian secara restorative justice kurang mampu memenuhi tanggung-jawab bagi pelaku serta dirasa kurang memberikan efek jera dan terbatasnya fasilitas sebagai alat untuk pelaksanaan restorative justice seperti, ruang mediasi untuk musyawarah, ruang khusus anak dan lembaga penempatan anak sementara,
G. DAFTAR PUSTAKA Abdussalam, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Restu Agung. Andi Hamzah, 1990, Pengantar Hukum Acara Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia Barda Nawawi Arief, 1996, Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah Seminar Nasional Pendekatan Non Penal Dalam Penangulangan Kejahatan, Semarang : Graha Santika Hotel. Kartini Kartono, 2013, Patologi Sosial II: Kenakalan Remaja, Jakarta : Rajawali Pers Maidin Gulton, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung : PT. Refika Aditama
12
Marlina, 2012, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung : PT Refika Aditama. Melani Wagiati Soetedjo, 2013, Hukum Pidana Anak, Bandung : Refika Aditama. Mohammad Taufik Makarao, 2013, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : PT. Rineka Cipta. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2001. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Jakarta : Ghalia Indonesia. M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System dan Implementas, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), Bandung : Refika Aditama. Romli Atmasasmita, 1983, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Bandung : Armico. Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir(Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum). Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hal . 270 Setyo Utomo, 2006, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, Artikel yang disampaikan dalam seminar BPH Soerjono Sokanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Pers. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Rajawali
13