LANGKAH-LANGKAH PENGUATAN PELAKSANAAN PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA oleh: Dr. H. Soedarmadji, S.H., M.Hum. (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Medan)
A. PENDAHULUAN Keadilan menjadi dambaan setiap manusia Indonesia. Hukum sebagai kaidah yang mengatur kehidupan manusia harus juga dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai keadilan. Pengadilan sebagai lembaga “yang menciptakan keadilan” dalam bentuk konkret mestinya selalu dapat menjadikan hukum dan keadilan sebagai suatu rangkaian yang terkait. Namun sering kali, hukum sengaja dibuat oleh legislator, sehingga hakim dapat saja terjebak dalam suatu pola berpikir yang dirancang oleh hukum dan akhirnya hanya mampu menciptakan keadilan hukum bukan keadilan substantif. Perkembangan
masyarakat
seringkali
dan
mestinya
selalu
menjadi pertimbangan legislator dalam mengkonstruksi hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan.1 Sebaliknya, hukum dapat juga menjadi motor penggerak masyarakat.
Antara hukum, masyarakat,
keadilan, dan penegak hukum merupakan unsur penting dalam mengatur kehidupan bersama. Namun, seringkali norma hukum hanya 1H. Soedarmadji, Kebijakan Hukum Pidana terhadapTindak Pidana Pencemaran Air yang Disebabkan oleh Limbah Cair dari Industri. Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Brawijaya, 2009, hlm. 5.
1
mengutamakan kepastian, belum banyak memasukkan norma yang merupakan penjabaran dari asas keadilan dan asas manfaat. Seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia dan kesadaran hukumnya, maka konsep keadilanpun mengalami
pergeseran
menuju
ke
arah
keadilan
yang
lebih
mengutamakan manfaat bagi para pihak, bukan sekedar keadilan hukum.
Salah satu hukum yang mengatur kehidupan masyarakat
adalah hukum pidana yang diberlakukan pada anak yang melakukan tindak pidana (berusia lebih dari 12 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun). Hal ini sering pula dengan masyarakat Indonesia saat ini yang makin kritis dalam mengembangkan jiwa hukum (volkgeist)dan jiwa keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang sering dipikirkan dan perlu diwujudkan adalah keadilan materiel (keadilan substanif) melalui pendekatan keadilan restroratif (restrorative justice approach). Dengan demikian,
keadilan restroratif sangat diperlukan dalam rangka
menopang pelaksanaan hukum pidana anak, agar tidak selalu mengutamakan kepastian dan peradilan pidana,melainkan perlu adanya alternatif penyelesaian perkara di luar pengadilan. Keadilan restoratif merupakan suatu ide dan gerakan yang mengedepankan keadilan dalam perspektif pelaku dan keluarganya, korban dan keluarganya, masyarakat, dan pemangku kepentingan dalam rangka pemulihan keadaan masing-masing. Karena itu, konsepsi
2
pemikiran keadilan restoratif (restorative justice) menjadi salah satu upaya menjauhkan anak dari sistem peradilan pidana yang tidak perlu. Pendekatan ini mengutamakan penyelesaian tindak pidana di luar peradilan pidana.
Pendekatan tersebut bukan hanya pada anak,
melainkan juga pada orang dewasa (misalnya pencurian ringan, penggelapan ringan, perbuatan curang (penipuan) ringan) maupun anak-anak.
Bahkan di beberapa negara maju, korporasi yang
melakukan tindak pidana dapat juga diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.2 Sistem peradilan pidana anak Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan salah satu konkretisasi ide keadilan restroratif, karena dalam beberapa perkara dan untuk kategori pelaku tertentu penegak hukum diwajibkan melakukan kebijakan diversi. Undang-Undang tersebut sudah berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2014. Dalam UU tersebut diatur tentang penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum, baik melalui peradilan pidana maupun diversi. Penanganan
anak
yang
berkonflik
dengan
hukum
harus
didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak. Pengertian frasa “terbaik bagi anak” terkait dengan sifat anak, baik fisik, psikis, maupun
Widodo, Diversi dan Keadilan Restoratif dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak: Menakar Kesiapan Anak, Korban, Penegak Hukum, Masyarakat dan Pemangku Kepentingan. Makalah dalam Acara Diskusi Publik yang dilaksankan oleh Yayasan Hotline 2
Surabaya di Kantor Harian Surya Surabaya, tanggal 2 April 2014, hlm. 2
3
sosial sehingga kepentingan anak satu dengan lainnya tidak harus sama.3 Hal ini sesuai dengan fakta bahwa dalam praktik di banyak negara, peradilan pidana anak seringkali menggunakan diversi untuk mendahului sistem peradilan pidana anak. The major goal of the first
juvenile court's, established at the turn of the century, was to provide an alternative to, and thereby divert youth from, the criminal court.4 Pendekatan keadilan restoratif penting dilaksanakan karena data di masyarakat menunjukkan adanya beberapa kelemahan konsep penyelesaian perkara pidana berdasarkan UU Pengadilan Anak dan UU Pemasyarakatan,
salah
satunya
stigmatisasi
anak
dan
bahkan
prisonisasi.5 Namun, apakah faktor-faktor yang mendorong lahirnya pendekatan keadilan restroratif di Indonesia khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, dan apakah instrumen-instrumen pelaksana UUSPPA sudah mampu menjadi sarana implementasinya. Berdasarkan pemikiran tersebut, perlu ada pembahasan secara ilmiah tentang kedua permasalahan tersebut dalam rangka memberikan gambaran secara utuh atas kebijakan diversi dalam rangka melaksanakan pendekatan keadilan restrotratif dalam perkara anak di Indonesia.
Ibid, hlm. 1
3
Albert L. Robert (Edit), Juvenile Justice Source Book: Past, Present, and Future, Oxford University Press, Oxford, 2004, p. 184. 5Ibid, hlm. 19 4
4
B. PEMBAHASAN 1. Faktor-Faktor
Pendorong
Penggunaan
Pendekatan
Keadilan
Restroratif di Indonesia dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Keadilan restroratif merupakan keadilan yang tidak sematamata dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, tetapi juga mengakomodasi asas keadilan dan asas manfaat.
Sebagaimana
dikemukakan widodo, pendekatan keadilan restorative (restorative
justice approach) diawali dari praktik di beberapa negara misalnya Kanada, Australia, New Zealand, dan Inggris. Sejarah perkembangan hukum modern dalam penerapan restorative justice diawali dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian di luar pengadilan konvensional yang dilakukan oleh masyarakat yang disebut dengan
victim-offender mediation tahun 1970-an di Kanada.6 Keadilan restorative merupakan reaksi masyarakat global yang dapat digunakan sebagai pelengkap dari sistem peradilan pidana yang selama ini banyak yang menggunakan pendekatan keadilan tradisional. Hal ini dikemukakan oleh Mark S. Umbreit and Marilyn Peterson Armour bahwa,
restorative justice is viewed as complementary to the criminal justice system because it attends to issues that the traditional system neglects. Regardless of the position taken, the vision of restorative justice is grounded in values that are resonating with an increasingly broad range of individuals and 6Allison Morris and Gabrielle Maxwelle. Restorative Justice for Juvenile; Coferencing, Mediation&Circle, Oxford-Portland Oregon USA, Hart Publishing. p. 4.
5
communities throughout the world, presenting opportunities for new and widened impact. 7
many
Diversi adalah salah satu bentuk penyelesaian perkara pidana dalam rangka pencapaian keadilan restoratif.
Bentuk lainnya, misalnya
rekonsiliasi antara pelaku dengan korban, konferensi keluarga dan masyarakat, upaya perdamaian dalam masyarakat. Hal ini selaras dengan pemikiran Strickland, bahwa
More specific technique associated with restorative justice, include diversion, victim-offender reconciliation, victim impact panel, victim-offender statements, family or communiuty conferencing, community peace-making or centencing cyrcles, reintegrative shamming, and prisoneers assistence program.8 Sejak diterbitkan UU No. 11 Tahun 2012, pada semua tingkatan proses peradilan pidana (penyidikan, penuntutan, dan sebelum pemeriksanaan di sidang pengadilan), sehingga terbuka peluang penegak hukum untuk melakukan Diversi. Namun perlu dipahami bahwa diversi hanya dapat dilakukan pada anak yang usianya 12 tahun sampai 18 tahun, ia kali pertama melakukan tindak pidana
(first offender), dan tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara yang lamanya kurang dari 7 (tujuh) tahun. Made Sadhi Astutimenegaskan bahwa tujuan utama sistem peradilan
Mark S. Umbreit, and Marilyn Peterson Armour, Restorative Justice and Dialogue: Impact, Opportunities, and Challenges in the Global Community, Washington University Journal of Law & Policy, Volume 36 Restorative Justice, hlm. 82 7
Ruth Ann Stickland, Restrorative Justice. Peter Lang Publishing, Nemw York, 2004. p. 9
8
6
pidana anak adalah melindungi anak dan melaksanakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.9 Berkaitan dengan prinsip pokok sistem peradilan pidana anak, maka proses penyelenggaraan
keadilan restroratif pada dasarnya
dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan Diversi, yaitu pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Diskresi tersebut adalah hal yang lumrah untuk menyelesaikan permasalahan karena di dalam diskresi masih diperlukan kebijaksanaan, dan sesunguhnya dalam diskresi juga mengandung kepastian hukum.10 Kebijakan Diversi dapat dilaksanakan di Indonesia, karena banyak aturan internasional yang dapat dijadikan sarana pembenaran mediasi penal sebagai instrumen keadilan restoratif di Indonesia.11 Urgensi pelaksaan diversi pada perkara anak didasari pada pemikiran berikut. Saat ini ada pergeseran filsafat pemidanaan dari awalnya yang bersifat restitutif (pembalasan) kemudian ditandingi menjadi teori prevensi (tujuan), kemudian muncul teori gabungan,12 dan akhirnya berkembang pemikiran keadilan restoratif yang mengutamakan
pemulihan.
Pendekatan
restoratif
merupakan
9Made Sadhi Astuti. Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP Malang, Malang, 1997. 10Marlina, Perngantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana , USU Perss, Medan, 2010, hlm. 5 11Hj. Ds Dewi, danFatahillah A. Syukur. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di
PengadilanAnak Indonesia 12Widodo,Sistem Pemidanaan dalam Cybercrime . Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2009, p. 24.
7
paradigma
baru
dalam
pemidanaan
yang
berbeda
dengan
pendekatan keadilan retributif, baik konsep, orientasi, tujuan maupun mekanisme pencapaiannya. Keadilan retributif lahir sebagai reaksi terhadap beberapa kelemahan pendekatan keadilan retributif dan distributif.13 Inti dari kebijakan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh anak melalui jalur di luar pengadilan.
Diversi tersebut lahir karena adanya kewenangan
diskresi (discression) yang dimiliki oleh pejabat-pejabat tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undnagan.
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa kebijakan diversi berasal dari adanya asas diskresi.
Diversi dilakukan dengan cara mengadakan
musyawarah (tatap muka secara langsung) antar-para pihak yang diatur dalam UU-SPPA yang difasilitasi oleh penegak hukum berdasarkan kewenangannya, untuk menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan. Berkaitan dengan sistem peradilan pidana anak di Indonesia, diversi dalam UU-SPA dapat dilaksanakan pada tiga tingkatan, yaitu sebagai berikut. (a) sebelum dimulainya penyidikan oleh penyidik dan para pihak terkait. Jika langkah diversi yang dilakukan oleh penyidik pada tingkat
tersebut
gagal,
maka
penyidik
akan
melakukan
penyidikan dan akhirnya dan perkaranya dilimpahkan ke Widodo, op cit.
13
8
kejaksaan.
Jika diversi berhasil, maka atasan penyidik akan
melaporkan keberhasilan tersebut kepada ketua Pengadilan negeri untuk dibuatkan Penetapan Pengadilan.
Penetapan
Pengadilan ini digunakan sebagai bukti bahwa anak yang bersangkutan adalah pelaku tindak pidana, sehingga jika suatu saat melakukan tindak pidana kembali, maka anak tersebut tidak dapat di-diversi, meskipun tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara yang ancamannya kurang dari 7 tahun. Anak yang bersangkutan dianggap sebagai pelaku yang mengulangi tindak pidana (residivis). (b) Sebelum dilakukan penuntutan oleh kejaksaan. Jika diversi yang dilakukan oleh jaksa pada tingkat ini gagal maka kejaksaan akan mengirimkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri untuk diperiksa berdasarkan hukum acara peradilan pidana anak. Jika diversi berhasil, maka atasan penuntut umum akan melaporkan keberhasilan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuatkan Penetapan Pengadilan. (c) Sebelum dilakukan pemeriksaan perkara dalam persidangan. Jika langkah diversi oleh hakim ini gagal, maka perkara akan disidangkan yang dimulai dengan pemeriksanaan.
Jika sudah
diputus, maka bentuk putusan terhadap anak tersebut bukan Penetapan Pengadilan, tetapi Putusan Pengadilan.
9
Sependapat dengan pendapat widodo, bahwa pendorong lahirnya diversi pada perkara anak sebagai bentuk perwujudan pendekatan keadilan restroratif di Indonesia antara lain sebagai berikut: a. Ada keinginan serius oleh sejumlah pihak di Indonesia untuk mengupayakan menghilangkan dampak negatif dari proses peradilan pidana bagi anak. Hal ini didasarkan pada data bahwa dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, hak-hak anak (pelaku) ada yang terlanggar dalam proses peradilan pidana, misalnya anak tidak dapat sekolah karena di Rutan dan LAPAS sekolahnya digunakan oleh terpidana, bukan tersangka atau terdakwa. b. LAPAS Anak, LAPAS dan RUTAN dan CARUTAN Dewasa yang di dalamnya ada blok khusus Anak, belum semuanya mempunyai kemampuan yang memadai untuk pembinaan dan pembimbingan
anak.
Selain
itu,
anak
berisiko
terkena
“prisonisasi” di dalam lembaga tersebut. Prisonisasi adalah proses pembiasaan anak dalam LAPAS sesuai dengan subkultur dalam LAPAS.
Beberapa tingkah laku atau kebiasaan
menyimpang/jelek yang ada di dalam LAPAS akhirnya dibawa keluar oleh anak (setelah anak bebas), sehingga seringkali anak tersebut menjadi lebih nakal setelah keluar dari LAPAS,
10
dibandingkan dengan sebelumnya.14Karena itu, perlu ada langkah meminimalisasi prisonisasi dengan cara menghindarkan anak dari institusionalisasi di RUTAN, CARUTAN atau LAPAS. c.
Selama proses peradilan, korban dan masyarakat belum mendapatkan
restetusi (pemulihan) yang layak sehingga
putusan pengadilan sering dianggap belum mencerminkan keadilan.
Hal ini terjadi karena keadilan sering ditafsirkan
sebagai keadilan terhadap pelaku saja, bukan pada korban dan masyarakat. d. Beberapa “hasil keadilan” yang tertuang dalam putusan pengadilan kadang belum menunjukkan keberpihakan negara pada anak, korban, dan masyarakat e.
Beberapa anggota masyarakat sering mengangap diversi yang dilakukan oleh Kepolisian merupakan upaya membela pihak tertentu (terutama membela pelaku), sehingga perlu ada klarifikasi yuridis.
f.
Masyarakat dan para pemegang kebijakan belum terbiasa melakukan diversi pada anak yang berkonflik dengan hukum yang melembaga.
g. Dasar hukum diversi di kepolisian disandarkan pada kebijakan diskresi (discretion) yang kemudian dituangkan dalam dasar 14Widodo, Prisonisasi Anak: Fenomena dan Penanggulangannya, Aswaja Presindo, Yogyakarta, 2012, hlm. 16.
11
hukum dari Kapolri untuk lingkungan Polri atau kesepakatankesepakatan tertulis lain antar-penegak hukum atau antara Polri dengan Kementerian lain. Agar lebih kuat, maka diperlukan dasar hukum setingkat Undang-Undang. h. Perlunya dasar hukum diversi pada perkara anak oleh jaksa dan hakim yang tegas dalam peraturan perundang-undangan.15 Selain beberapa faktor tersebut, pendekatan keadilan restroratif diperlukan dalam rangka memulihkan kepercayaan masyarakat (baik masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional) pada hukum dan penegak hukum agar ada supremasi hukum dalam negara RI. Pendorong yang tidak kalah pentingnya adalah kesadasaran masyarakat di Indoensia maupun di luar Indonesia untuk mempromosikan kesadaran penghormatan hak asasi manusia, terutama hak pelaku, hak korban dan hak masyarakat umum.
2. Langkah-Langkah Penguatan Pelaksanaan Pendekatan Keadilan Restroratif dalam Sistem peradilan Pidana Anak Kesiapan para pihak (yang didalamnya ada institusi dan personil) perlu terus ditingkatkan, termasuk pemantapan instumen hukum yang mendukung pelaksanaan diversi. Para pihak tersebut antara lain adalah sebagai berikut: Ibid.
15
12
a.
Penyidik dan Institusi Polri, termasuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(jika
dilibatkan
dalam
penanganan
perkara-perkara
tertentu). b.
Jaksa Penunut Umum dan Kejaksaan Republik Indonesia.
c.
Hakim dan Mahkamah Agung.
d.
Advokat dan Organisasi profesinya.
e.
Keluarga Korban dan Keluarga pelaku.
f.
Balai Pemasyarakatan (BAPAS).
g.
Pemangku-PemangkuKepentingan(stake
holders),
misalnya
organisasi kemasyarakatan. h.
Masyarakat umum. Dalam
rangka
meningkatkan
keberhasilan
pendekatan
keadilan restroratif, maka para personil yang terlibat dalam proses diversi (misalnya penyidik, korban dan keluarganya, pelaku dan keluarganya, BAPAS, tokoh masyarakat) perlu
dilatih dan didik
secara khusus (bisa melalui kegiatan pendidikan (formal maupun nonformal), pelatihan, atau pertemuan ilmiah lain) untuk menjadi mediator yang andal. Selain itu, perlu disediakan tempat dan sarana yang memadai untuk melakukan musyawarah dalam rangka melakukan diversi.
Adanya penghargaan (reward) bagi anggota
(personil) yang dapat melakukan diversi secara baik, dan penjatuhan sanksi (punishment) kepada personil yang melakukan pelanggaran-
13
pelanggaran baik dalam proses maupun substansi diversi. Selain itu, perlu adanya ketentuan hukum (baik dalam bentuk peraturanperaturan internal maupun standar prosedur operasional (Standar
Operating Procedure/SOP)) pada masing-masing instiusi untuk menjabarkan lebih lanjut tentang ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan UU-SPPA maupun UU yang mengatur kekuasaan kelembagaan dan personilnya (misalnya UU Kepolisian, UU Kejaksaaan, UU Mahkamah Agung, UU Advokat, UU Pemasyarakatan, UU Organisasi Kemasyarakatan). Penyiapan pendidikan
dan
yang tidak dapat diabaikan adalah proses penyadaran
hukum
pada
masyarakat.
Bagaimanapun juga, faktor persepsi masyarakat terhadap hukum dan penegak hukum perlu di-“luruskan” agar tidak terjadi dugaan, kecurigaan, cemoohan, bahan hujatan kepada penegak hukum dan para pihak yang terkait dalam rangka melaksanakan diversi sebagai salah satu bentuk pelaksanaan pendekatan keadilan restroratif. Penciptaan dan peningkatan kualitas hukum masyarakat dapat dilakukan dengan sosialisasi secara tuntas tentang UU-SPPA dan instrumen
hukum
pelaksanaannya,
peningkatan
kemampuan
masyarakat dalam menelaah gejala-gejala sosial dan gejala-gejala pelanggaran dan kepatuhan hukum di masyarakat. Pihak-pihak yang bisa dilibatkan adalah tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh
14
agama, tokoh-tokoh dalam organisasi kemasyarakatan, tokoh-tokoh partai politik, tokoh kelompok-kelompok kepentingan (misalnya Persatuan
Guru
Republik
Indonesis
(PGRI),
Ikatan
Advokad
Indonesia (IKADIN)), dan kelompok-kelompok penekan (organisasi kemahasiswaan (misalnya Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Non-Pemerintah (Ornop)). Namun demikian, apa yang akan dilakukan oleh para pihak harus sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya melalui kegiatan yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
C. PENUTUP Berdasarkan
pembahasan
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa
pendekatan keadilan restrotratif sangat dibutuhkan di Indonesia, terutama dalam penanganan anak nakal. Pendekatan tersebut lebih mengutamakan pada upaya pemulihan keadaan dan pemenuhan-hak-hak anak tanpa mengesampingkan keadilan dan kepastian hukum.
UU-SPPA merupakan
UU yang progresif karena di dalamnya mengatur teknis-teknis prosedural yang memungkinkan para penegak hukum meng-ejawantah-kan nilai-nilai keadilan restroratif. Namun demikian, banyak faktor yang harus disiapkan dalam rangka menguatkan pelaksanaan pendekatan keadilan restroratif,
15
baik dari sisi penegak hukum dan para pihak yang terlibat dalam diversi, instrumen hukum, mapun budaya hukum masyarakat. pembahasan
tersebut,
para
pihak
wajib
Berdasarkan hasil
melaksanakan
penyiapan-
penyiapan teknis untuk melaksanakan kebijakan diversi demi terwujudnya asas
restroratif
justice.
Terima
Wassalamualaikum wr wb....!!!
16
kasih
Semoga
Bermanfaat
Dan
DAFTAR RUJUKAN Buku Astuti, Made Sadhi, 1997. Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP Malang, Malang. Marlina, 2010. Perngantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, USU Perss, Medan, Morris, Allison and Gabrielle Maxwelle, 2001. Restorative Justice for Juvenile; Coferencing, Mediation&Circle, Hart Publishing, OxfordPortland Oregon USA. Morisson, B.E., 2001. “The school system: Developing its capacity in the regulation of a civil society”, in J. Braithwaite & H. Strang (Eds.), Restorative Justice and Civil Society, Cambridge University Press, Cambridge. Robert, Albert L. (Edit), 2004. Juvenile Justice Source Book: Past, Present, and Future, Oxford University Press, Oxford. Stickland, Ruth Ann, 2004. Restrorative Justice. Peter Lang Publishing, New York. Widodo, 2012. Prisonisasi Anak: Fenomena dan Penanggulangannya, Aswaja Presindo, Yogyakarta.
______,
2009. Sistem Pemidanaan Mediatama, Yogyakarta.
dalam
Cybercrime.
Laksbang
PeraturanPerundang-undangan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Jurnal Ilmiah Umbreit, Mark S., and Marilyn Peterson Armour, 2004. Restorative Justice
and Dialogue: Impact, Opportunities, and Challenges in the Global
17
Community, Washington University Journal of Law & Policy, Volume 36 Restorative Justice.
Hasil Penelitian H. Soedarmadji, 2009. Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Pencemaran Air yang Disebabkan oleh Limbah Cair dari Industri. Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya.
Makalah Hj.
Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di PengadilanAnak Indonesia
Ds.Dewi,
danFatahillah
A.
Syukur.
Widodo, Diversi dan Keadilan Restoratif dalam UU No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak: Menakar Kesiapan Anak, Korban, Penegak Hukum, Masyarakat dan Pemangku Kepentingan. Makalah dalam Acara Diskusi Publik yang dilaksankan oleh Yayasan Hotline Surabaya di Kantor Harian Surya Surabaya, tanggal 2 April 2014.
18