PENERAPAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS POTENSI PESISIR SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA SMP Kadir1), Wahyudin2), Yaya S. Kusumah2), dan Jarnawi A. Dahlan2) 1)
Kampus Bumi TridharmaUniversitas Haluoleo Kendari, 2) FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia Bandung Email:
[email protected]
Abstract: The Implementation of Coast Contextual Teaching and Learning to Enhance Junior High School Students’ Mathematical Communication Skills. This study aims at enhancing junior high schools students’ ability in mathematical communication based on coast-contextual teaching and learning (CCTL). The sample which was selected randomly was the 8th grade students of SMPN 1 Kapontori and SMPN 1 Batauga in Buton Island South-East Sulawesi Province, Indonesia. CCTL approach was applied in the experimental class and conventional approach (CA) was applied in the control class. The data were obtained from the pretest and posttest of mathematical communication, observation sheet of both student and teacher activities, and student and teacher interview. Data were analyzed by means of descriptive analysis, independent sample t-test, and two-way ANOVA. The result showed that CCTL approach is more effective than CA approach. Abstrak: Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir Sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa SMP. Penelitian ini bertujuan meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa SMP dengan menerapkan pembelajaran kontekstual berbasis potensi pesisir (CCTL). Penelitian dilaksanakan pada siswa kelas VIII SMPN 1 Kapontori dan SMPN 1 Batauga Sulawesi Tenggara, Indonesia. Pada setiap sekolah diambil dua kelas (eksperimen dan kontrol) secara acak. Siswa kelas eksperimen mendapat pembelajaran CCTL dan siswa kelas kontrol mendapat pembelajaran konvensional. Data diperoleh melalui pretes dan postes kemampuan komunikasi matematika, lembar observasi, dan hasil wawancara dengan siswa dan guru. Data dianalisis secara deskriptif dan inferensial dengan menggunakan uji-t dan ANAVA dua jalur. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pembelajaran CCTL secara signifikan lebih efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa daripada pembelajaran konvensional. Kata-kata kunci: kemampuan komunikasi matematika, pembelajaran kontekstual pesisir (CCTL)
Dalam the National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000: 60) dijelaskan bahwa komunikasi merupakan bagian esensial dari matematika dan pendidikan matematika. Pendapat ini mengisyaratkan pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika. Melalui komunikasi, siswa dapat menyampaikan ide-idenya kepada guru dan kepada siswa lainnya. Komunikasi ini merupakan salah satu dari lima standar proses yang ditekankan dalam NCTM. Kelima standar proses tersebut adalah pemecahan masalah, penalaran dan bukti, komunikasi, koneksi, dan representasi (NCTM, 2000: 29). Dalam kurikulum KTSP, kemampuan komunikasi matematika siswa juga sangat ditekankan. Hal ini tertuang dalam salah satu
tujuan pemberian matematika pada setiap jenjang pendidikan formal di Indonesia. Hal ini berarti kemampuan komunikasi matematika siswa juga perlu mendapat perhatian dari setiap guru dan peneliti untuk meningkatkannya. Brenner (1998: 104) menyatakan bahwa peningkatan kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan matematika adalah satu dari tujuan utama pergerakan reformasi matematika. Brenner (1998: 107) melanjutkan, penekanan terhadap komunikasi dalam pergerakan reformasi matematika berasal dari suatu konsensus bahwa hasil pembelajaran sangat efektif di dalam suatu konteks sosial. Melalui konteks sosial yang dirancang dalam pembelajaran matematika, siswa dapat mengkomunikasikan berbagai ide 30
31
Kadir, Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir
yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah matematika. Menurut Lubienski (2000), kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan masalah matematika pada umumnya ditunjang oleh pemahaman mereka terhadap bahasa (Hulukati, 2005: 18). Bahkan menurut Baroody (1993: 299), ada dua alasan penting mengapa pembelajaran matematika berfokus pada komunikasi, yaitu: (1) mathematics is essentially a language; matematika lebih hanya sekedar alat bantu berpikir, alat menemukan pola, menyelesaikan masalah, atau membuat kesimpulan, matematika juga adalah alat yang tak terhingga nilainya untuk mengkomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat, dan ringkas, dan (2) mathematics and mathematics learning are, at heart, social activities; sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, interaksi antar siswa, seperti komunikasi antara guru dan siswa, adalah penting untuk mengembangkan potensi matematika siswa. Oleh karena adanya hubungan antara bahasa dan matematikaa ini, maka Cooke dan Buchholz (2005: 265) menyarankan agar guru mampu membuat suatu hubungan antara matematika dan bahasa. Hubungan ini dapat membantu siswa mampu mengekspresikan suatu masalah ke dalam masalah matematika, bahasa simbol atau model matematikaa. Uraian tersebut memperjelas hubungan kemampuan komunikasi matematika dengan kemampuan berbahasa. Indonesia memiliki beraneka ragam bahasa dan sumberdaya alam khususnya sumberdaya pesisir yang melimpah. Melalui kurikulum KTSP, banyak daerah menjadikan mata pelajaran bahasa daerah sebagai mata pelajaran muatan lokal untuk melestarikan bahasa daerah yang digunakan masyarakat setempat. Inisiatif ini bukan sesuatu yang salah, tetapi sayangnya masih banyak potensi daerah khususnya wilayah pesisir yang belum mendapatkan perhatian dari setiap lembaga pendidikan. Wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan lautan dan sebagai tempat hidup beragam ekosistem yang saling berinteraksi sehingga memungkinkan dapat diakses dengan mudah oleh aktivitas manusia. Masyarakat yang tinggal pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil disebut masyarakat pesisir seperti nelayan, pembudidaya, pemasar ikan, pengolah hasil laut, dan masyarakat pesisir lainnya yang menggantungkan kehidupannya dari sumber daya kelautan dan perikanan.
Pada masyarakat pesisir, penggunaan bahasa daerah sudah menjadi kebiasaan utama sebagai bahasa sehari-hari. Artinya, pelestarian bahasa daerah bukan merupakan sesuatu yang utama. Bagi masyarakat pesisir, pemanfaatan sumberdaya pesisir bagi kehidupan adalah kegiatan utama untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Hal ini berarti perlu pembinaan masyarakat pesisir untuk memahami pemanfaatan berbagai potensi pesisir yang ada agar optimal secara ekonomi dan lestari untuk keberlanjutan kehidupan. Kegiatan ini dapat dimulai pada siswa SMP pesisir sebagai tulang punggung pembangunan wilayah pesisir ke depan. Upaya ini dapat diwujudkan melalui pembiasaan siswa memecahkan masalah pesisir dalam pembelajaran matematika. Hasil penelitian pendahuluan penulis menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematika siswa pesisir masih rendah kususnya dalam menterjemahkan masalah ke dalam model matematika. Kondisi ini memerlukan penanganan agar kemampuan komunikasi matematika siswa dapat ditingkatkan. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap tentang kemampuan komunikasi matematika siswa SMP pesisir setelah mendapat pembelajaran dengan pendekatan kontekstual pesisir. Informasi ini dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan lebih jauh tentang pendekatan pembelajaran CCTL, bahan ajar, dan aspek komunikasi matematika siswa yang masih memerlukan perbaikan.
METODE PENELITIAN
Penelitian eksperimen ini dilaksanakan dengan dua desain, yaitu pretes-postes control group design dan factorial design 2 x 2, yaitu dua level sekolah (sedang dan rendah) dan dua pendekatan pembelajaran (CCTL dan PKV). Subyek sampel penelitian ditentukan berdasarkan gabungan teknik stratified random sampling dan purposive sampling. Melalui teknik strata peneliti mengambil sampel kelas VIII siswa SMP pada sekolah level sedang (SMPN 1 Kapontori) dan rendah (SMPN 1 Batauga) di Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Teknik ini digunakan karena kurangnya jumlah kelas dan jumlah siswa pada setiap kelas di SMP pesisir. Dari tiga kelas VIII SMPN 1 Kapontori diambil secara acak dua kelas, yaitu kelas VIIIA (kelas kontrol) dan kelas VIIIC (kelas eksperimen)
Kadir, Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir
dengan jumla siswa 51 orang. Dari lima kelas VIII siswa pada SMPN 1 Batauga terambil secara acak dua kelas, yaitu kelas VIIIA (kelas eksperimen) dan kelas VIIIB (kelas kontrol) dengan jumlah siswa 68 orang. Sementara itu, siswa yang mendapat pembelajaran CCTL sebanyak 64 orang dan yang mendapat pembelajaran konvensional sebanyak 55 orang. Keterkaitan antara kemampuan komunikasi matematika (KKM), pembelajaran, dan level sekolah disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Keterkaitan Kemampuan Komunikasi Matematika, Pembelajaran, dan Level Sekolah Pembelajaran CCTL PKV Total (T) Lev Sedang (S) KMSS-CCTL KMSS-PKV KMSS-T el KMSRSek Rendah (R) KMSR-CCTL KMSR-PKV T olah Total (T) KMT-CCTL KMT-PKV
Hasil analisis deskriptif data kemampuan komunikasi matematika siswa berdasarkan pendekatan pembelajaran disajikan pada Tabel 2. Tabel 2.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah pretes dan postes kemampuan komunikasi matematika, lembar observasi aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran, dan pedoman wawancara dengan siswa dan guru untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang kesulitan siswa dalam menjawab tes yang tidak dapat diperoleh dari lembar jawabannya serta pendapat guru terhadap proses pembelajaran dengan pendekatan CCTL. Penskoran hasil kerja siswa teradap tes KKM digunakan pedoman penskoran yang digunakan adalah modifikasi pedoman penskoran Maryland Math Communication Rubric yang dikeluarkan oleh Maryland State Department of Education (1991) berupa holistic scale untuk kelas 8 matematika. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif, uji-t, dan ANAVA dua jalur. Analisis data menggunakan program SPSS 17 for windows pada taraf signifikansi α = 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN Peningkatan KKM Siswa Pendekatan Pembelajaran
Berdasarkan
Deskripsi Data KKM Siswa Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran
Pendeka tan Pembela jaran
CCTL
Bg
Keterangan (contoh): KMT-CCTL : Kemampuan komunikasi matematika siswa yang mendapat pembelajaran CCTL KMSS-CCTL : Kemampuan komunikasi matematika siswa sekolah sedang yang mendapat pembelajaran CCTL KMSR-PKV : Kemampuan komunikasi matematika siswa sekolah rendah yang mendapat pembelajaran konvensional (PKV) KMSS-T : Kemampuan komunikasi matematika siswa sekolah sedang
32
PKV
Nilai Data
N
Prete s Poste s NGain Prete s Poste s NGain
6 4 6 4 6 4 5 5 5 5 5 5
Min. 0,00 20,0 0,13 0,00 5,00 -0,08
Mak s. 70,0 0 90,0 0 0,71 70,0 0 70,0 0 0,60
Rata -rata 18,0 47 47,2 66 0,35 6 15,9 09 28,4 55 0,14 4
Simpa ngan Baku 14,464 13,361 0,131 12,623 13,840 0,138
Keterangan: data dalam skala 0 – 100
Tabel 2 menunjukkan bahwa KKM siswa meningkat setelah mendapat pembelajaran CCTL atau PKV. Peningkatan KKM siswa yang mendapat pembelajaran CCTL lebih besar daripada siswa yang mendapat pembelajaran PKV. Jika sebelum mendapat pembelajaran CCTL kemampuan komunikasi matematika siswa sebesar 18,047, maka setelah pembelajaran, kemampuan komunikasi matematika siswa meningkat sebesar 35,6 % menjadi 47,266. Sedangkan kemampuan komunikasi matematika siswa yang mendapat pembelajaran konvensional hanya meningkat sebesar 14,4 %. Berdasarkan kategori Hake (1999), peningkatan KKM siswa yang mendapat pembelajaran CCTL berada pada kategori sedang, sedangkan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional berada pada kategori rendah. Hasil uji signifikansi perbedaan kedua peningkatan KKM siswa tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan KKM Siswa Berdasarkan Perbedaan Pendekatan Pembelajaran CCTL dan PKV Uji Homogenitas Varians dari Levene
Uji-t untuk Kesamaan Rata-rata
F
Sig.
t
dk
0,001
0,973
8,533
117
Beda Ratarata 0,211
Sig. (2tailed) 0,000
Ketera ngan Sig
33
Kadir, Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir
Pada Tabel 3 terlihat bahwa nilai probabiltas (sig.) untuk uji homogenitas varians dari Levene lebih besar dari 0,05 sehingga kedua varians homogen. Jadi, uji perbedaan kedua nilai rata-rata digunakan uji t yang menunjukkan bahwa nilai probabilitas (sig.) lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa siswa yang mendapat pembelajaran CCTL secara signifikan memperoleh peningkatan KKM yang lebih besar dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran PKV.
Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematika Berdasarkan Level Sekolah Hasil analisis deskriptif data kemampuan komunikasi matematika siswa berdasarkan level sekolah ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Deskripsi Data KKM Siswa Berdasarkan Level Sekolah Level Sekolah
Sedang
Rendah
Data Pretes Postes NGain Pretes Postes NGain
Nilai Rata- Simpangan Baku Min. Maks. rata 13,923 51 5,00 70,00 23,726 18,644 51 5,00 90,00 41,177 0,71 0,234 0,192 51 0,08 11,105 68 0,00 70,00 12,059 14,492 68 5,00 75,00 36,618 0,69 0,276 0,152 68 0,07 N
Tabel 4 menunjukkan bahwa siswa pada kedua level sekolah memperoleh peningkatan KKM setelah mendapat pembelajaran CCTL atau konvensional. Di samping itu, peningkatan KKM siswa sekolah level rendah (27,6 %) lebih besar daripada siswa sekolah level sedang (23,4 %). Berdasarkan kategori Hake (1999), peningkatan KKM siswa pada kedua level sekolah termasuk dalam kategori rendah. Meskipun demikian, hasil uji signifikansi dengan uji-t tunggal menunjukkan bahwa kedua peningkatan KKM siswa kedua level sekolah tersebut signifikan. Sementara itu, hasil pengujian signifikansi perbedaan peningkatan KKM siswa antara yang mendapat pembelajaran CCTL dan yang mendapat pembelajaran PKV antara setiap level sekolah disajikan pada Tabel 5
Tabel 5. Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan KKM Siswa yang Mendapat Pembelajaran CCTL dan PKV pada Setiap Level Sekolah
Level Sekolah
Uji Homogenitas Varians Levene
Uji-t Kesamaan Rata-rata Beda Sig. Rata(2rata tailed)
F
Sig.
t
dk
Sedang
0,26
0,61
5,49
49
0,24
0,00
Rendah
0,05
0,83
6,88
66
0,20
0,00
H0 Di tol ak Di tol ak
Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai probabiltas (sig.) pada kedua level sekolah lebih kecil dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa siswa kedua level sekolah yang mendapat pembelajaran CCTL secara signifikan memperoleh peningkatan KKM yang lebih besar daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Namun demikian, hasil pengujian perbedaan peningkatan KKM siswa kedua level sekolah setelah siswa mendapat pembelajaran CCTL menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kedua nilai rata-rata. Hal ini berarti pembelajaran CCTL telah dapat mempersempit perbedaan KKM siswa kedua level sekolah. Dari data nilai rata-rata dapat dilihat bahwa rata-rata peningkatan KKM siswa level sekolah sedang (rata-rata 0,340) lebih kecil daripada rata-rata peningkatan KKM siswa level sekolah rendah (rata-rata 0,368). Oleh karena tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua nilai rata-rata tersebut, maka pembelajaran CCTL dapat diterapkan untuk meningkatkan KKM siswa kedua level sekolah.
Perbedaan Peningkatan KKM Siswa Ditinjau dari Interaksi Pendekatan Pembelajaran dengan Level Sekolah Hasil uji perbedaan peningkatan KKM siswa ditinjau dari interaksi pendekatan pembelajaran (CCTL dan PKV) dengan level sekolah (sedang dan rendah) dengan menggunakan uji ANAVA dua jalur disajikan pada Tabel 6.
Kadir, Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir
Tabel 6. Uji Perbedaan Peningkatan KKM Siswa ditinjau dari Interaksi Pendekatan pembelajaran dengan Level Sekolah
3
2.703
3
2.5
Sumber Level Sekolah Pembel ajaran Interaks i Total
Jum lah Kua drat 0,06 76 1,32 9 0,01 1 11,3 27
dk
Ratarata Kuad rat
2.109
2
F
Sig.
H0
0,0 5 0,0 0 0,4 3
Diteri ma
1.5
1
34
1.309
1.345
1.382 0.9530.927 0.6880.727
CC TL
0.5
1
0,066
3,75
1
1,329
75,18
1
0,011
0,64
0 Modmat Modmat Modmat Cerita Grafik Tabel Cerita Gambar Model Cerita
Ditolak Diteri ma
119
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai probabilitas (sig.) untuk pendekatan pembelajaran lebih kecil dari 0,025 yang berarti ada perbedaan yang signifikan peningkatan KKM siswa berdasarkan pendekatan pembelajaran. Tabel 5 juga menunjukkan bahwa nilai probabilitas (sig.) level sekolah dan interaksi pendekatan pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan KKM siswa lebih besar dari 0,025. Artinya, tidak ada perbedaan yang signifikan peningkatan KKM siswa ditinjau dari level sekolah dan interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan level sekolah. Gambar 1 berikut dapat lebih memperjelas ketiadaan interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan KKM siswa. Dari selisih peningkatan KKM juga nampak bahwa selisih peningkatan KKM siswa pada sekolah sedang antara yang mendapat pembelajaran CCTL dan yang mendapat pembelajaran konvensional lebih besar dibandingkan dengan siswa sekolah level rendah. Tetapi, rata-rata peningkatan KKM siswa sekolah rendah lebih besar daripada rata-rata peningkatan KKM siswa sekolah sedang. Kedua kenyataan tersebut menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran CCTL dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa kedua level sekolah. Analisis Hasil Kerja Siswa pada Tes Kemampuan Komunikasi Matematika
Hasil kerja siswa dalam menyelesaikan tes KKM ditinjau dari kedua pendekatan pembelajaran disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Rata-rata Setiap Aspek Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa ditinjau dari Pendekatan Pembelajaran (Skor Ideal Aspek adalah 4)
Pada Gambar 1 tampak bahwa pada setiap aspek, KKM siswa yang mendapat pembelajaran CCTL lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. KKM siswa yang mendapat pembelajaran CCTL tertinggi adalah pada aspek membuat model matematika dari soal berbentuk cerita dan yang mendapat pembelajaran konvensional tertinggi adalah aspek membuat model matematika dari masalah yang disajikan dalam tabel. Aspek membuat soal cerita sehari-hari dari model matematika merupakan aspek terendah dari KKM kedua kelompok siswa. Jika dilihat dari soal KKM yang diberikan pada akhir pembelajaran, kemampuan siswa terendah adalah membuat grafik persamaan linear pada diagram Cartesius dari soal cerita yang hanya sebesar 17 % dan kemampuan tertinggi adalah membuat model matematika dari soal cerita terstruktur, yaitu sebesar 75 %. Kemampuan membuat model matematikaa dari soal berbentuk tabel sebesar 68 %, kemampuan membuat cerita sehari-hari dan pertanyaan dari model matematika yang diberikan sebesar 24 %, kemampuan membuat model matematika dan menyusun cerita sehari-hari dari gambar yang diberikan sebesar 53 %. Oleh karena itu, aspek membuat grafik persamaan linear pada diagram Cartesius perlu ditingkatkan dengan menggunakan pembelajaran CCTL. Siswa yang mendapat pembelajaran CCTL belajar melalui LKS secara kelompok. Pemberian masalah pesisir dalam LKS ketika belajar matematika secara kelompok memberi andil besar terhadap peningkatan aktifitas siswa dalam proses belajar matematika tersebut. Antusiasme siswa tampak ketika siswa tidak merasa asing dengan masalah pesisir yang disajikan pada LKS. Hal ini
35
Kadir, Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir
terkait dengan kondisi pesisir dan pemanfaatan lahan di pesisir yang tidak terkendali sehingga kekhawatiran yang dikemukakan dalam LKS cukup membuat siswa serius memperhatikan masalah yang disajikan. Terlebih lagi ketika siswa menyadari bahwa matematika dapat diterapkan untuk menyelesaikan beberapa masalah sehari-hari siswa khususnya terkait dengan kehidupan masyarakat pesisir. Namun demikian, hasil kerja siswa dalam memecahkan soal komunikasi matematika masih ditemukan banyak masalah. Hasil wawancara dengan siswa dan guru ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut, yaitu: (1) siswa tidak mengulang materi matematika di rumah; (2) sebagian besar waktu siswa dihabiskan untuk bermain atau membantu orang tua mencari nafkah; (3) jarak rumah dengan sekolah cukup jauh; (4) kemampuan dasar matematika siswa rendah; (5) motif siswa untuk bersekolah rendah; (6) siswa tidak memiliki buku atau LKS sebagai sumber belajar di rumah, di sekolah juga tidak cukup; (7) siswa tidak memiliki catatan matematika, kalaupun ada tidak lengkap; dan (8) siswa jarang mengerjakan pekerjaan rumah. Namun demikian, para guru melihat ada peningkatan motif belajar siswa selama pelaksanaan penelitian. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya frekuensi kehadiran siswa, kemampuan bertanya, mengemukakan jawaban, kecepatan menganalisis masalah soal dan mengemukakan cara apa yang dapat digunakan untuk memecahkannya, dan memberikan tanggapan terhadap suatu masalah baik sendiri-sendiri maupun kelompok. Guru dan tokoh masyarakat setempat melihat pemanfaatan potensi pesisir dalam pembelajaran matematika merupakan suatu upaya yang baik. Menurutnya, pemanfaatan potensi pesisir dalam pembelajaran di samping dapat meningkatkan semangat siswa untuk belajar, siswa juga dapat memahami arti pentingnya bersekolah khususnya mempelajari matematika dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematika siswa SMP pesisir yang mendapat
pembelajaran CCTL meningkat secara signifikan dan lebih besar dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Di samping itu, penerapan pembelajaran CCTL pada sekolah level sedang dan rendah telah dapat mengurangi perbedaan kemampuan komunikasi matematika siswa kedua level sekolah tersebut menjadi tidak signifikan. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat disarankan agar kemampuan komunikasi matematika siswa SMP pesisir dapat ditingkatkan melalui penerapan pembelajaran kontekstual pesisir (CCTL). Di samping itu, guru perlu lebih sering mengawali pembelajaran matematika dengan memberikan masalahmasalah pesisir sehingga dapat menarik perhatian siswa untuk belajar dan menantang kemampuan berpikir mereka untuk menyelesaikannya baik secara individu maupun kelompok. Untuk lebih berhasilnya kegiatan tersebut dan karena kemampuan matematika siswa pesisir yang rendah, maka pembelajaran kontekstual pesisir perlu dikolaborasi dengan pendekatan lainnya yang dapat memberikan bimbingan secara tepat ketika siswa menyelesaikan masalah yang diberikan dalam LKS.
DAFTAR RUJUKAN
Baroody, A. J. 1993. Problem Solving, Reasoning & Communicating, K-8: Helping Children Think Mathematically. New York: McMillan Publishing Company. Brenner, M. E. 1998. Development of Mathematical Communication in Problem Solving Groups by Language Minority Students. Bilingual Research Journal, 22: 2, 3, & 4 Spring, Summer, & Fall. Cooke, B. D. dan Buchholz, D. 2005. Mathematical Communication in the Classroom: A Teacher Makes a Difference. Early Childhood Education Journal, Springer Netherland, Vol. 32, Number 6/ June, 2005. p.365-369. [Online]. Tersedia: http://www.springerlink.com/content/ g4285724 5765 6_536/ [11 Juni 2008] Hake, R. R. 1999. Analyzing Change/Gain Scores. Woodland Hills: Dept. of Physics, Indiana University. [Online]. Tersedia:
Kadir, Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir
http://www.physics. ndiana.du/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf [19 Maret 2009]. Maryland State Department of Education. 1991. Sample Activities, Student Responses and Maryland Teachers' Comments on a Sample Task: Mathematics Grade 8, February 1991. [Online]. Tersedia: http://www. intranet.cps.k12.il.us/Assessments/Ideas_a nd_Rubrics/Rubric_Bank/MathRubrics.pd f [5 Juni 2008] NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Drive, Reston, VA: The NCTM. Ratnaningsih, N. 2007. Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematika serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi Tidak Diterbitkan: SPs UPI Bandung. Searsh, S. J. dan Hersh, S.B. 2001. Contextual Teaching and Learning: An Overview of
36
the Project. Dalam K.R. Howey et al. (Eds). Contextual Teaching and Learning: Preparing Teacher to Enhance Student Success I The Workplace and Beyond. USA: ERIC Clearinghouse on Teaching and Teacher Education. Shadiq, F. 2007. Laporan Hasil Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Matematika dengan tema “Inovasi Pembelajaran Matematika dalam Rangka Menyongsong Sertifikasi Guru dan Persaingan Global”, yang dilaksanakan pada tanggal 15 – 16 Maret 2007 di P4TK (PPPG) Matematikaa Yogyakarta., Soedjadi, R. 2007. Masalah Kontekstual sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Pusat Sains dan Matematika Sekolah, UNESA, Surabaya.Tim Pustaka Yustisia. (2007). Panduan Lengkap KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) SD, SMP, dan SMA. Seri Perundangan. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.