Karya Ilmiah
PENERAPAN PASAL 285 KUHP TENTANG PELAKU TINDAK PIDANA PERKOSAAN
Oleh :
DOORTJE D. TURANGAN, SH, MH
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS SAM RATULANGI FAKULTAS HUKUM MANADO 2011
PENGESAHAN
Panitia Penilai Karya Ilmiah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi telah memeriksa dan menilai Karya Ilmiah dari :
Nama
:
DOORTJE D. TURANGAN, SH, MH
NIP
:
19630223 199112 2 001
Pangkat/Gol.
:
Pembina Tingkat I/IVb
Jabatan
:
Lektor Kepala
Judul Karya Ilmiah
:
Penerapan Pasal 285 KUHP tentang Pelaku Tindak Pidana Perkosaan
Dengan Hasil
:
Memenuhi Syarat
Manado, Oktober 2011 Dekan/Ketua Tim Penilai Karya Ilmiah
DR. MERRY E. KALALO, SH, MH NIP. 19630304 198803 2 001
DAFTAR ISI
JUDUL
.....................................................................................................
i
PENGESAHAN ................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
BAB II
BAB III
................................................................................................
PENDAHULUAN A. Latar Belakang .........................................................................
1
B. Perumusan Masalah .................................................................
3
C. Tujuan Penulisan .......................................................................
3
D. Manfaat Penelitian ....................................................................
3
E. Metode Penelitian......................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana ...........................................................................
5
B. Pertanggungjawaban Pidana .....................................................
9
PEMBAHASAN A. Tanggungjawab Pidana Pelaku ................................................
13
B. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan di Masa Yang Akan Datang ....................................................................................... BAB IV
17
PENUTUP A. Kesimpulan ..............................................................................
23
B. Saran .........................................................................................
23
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
24
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kasih sayang-Nya, maka penulisan karya tulis ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya. Penulisan karya tulis yang berjudul “Penerapan Pasal 285 KUHP tentang Pelaku Tindak Pidana Perkosaan”. Di dalam penulisan karya tulis ini penulis sadar bahwa sebagai manusia yang penuh dengan keterbatasan di dalam segala hal, maka tentunya penyusunan karya tulis ini dapat terselesaikan berkat doa, bantuan, petunjuk, motivasi, dorongan dan bimbingan dari semua pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada Tim Penilai Karya Ilmiah Fakultas Hukum Unsrat, teman-teman dosen, terlebih khusus Ibu Dr. Merry E. Kalalo, SH, MH, Dekan/Ketua Tim Penilai Karya Ilmiah yang sudah memberikan masukan kepada penulis sehingga karya tulis ini boleh selesai sebagaimana mestinya. Akhirnya, seperti pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih terdapat kekurangan baik dari segi isi maupun bahasanya, sehingga penulis masih memerlukan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun untuk penyempurnaan karya tulis ini. Harapan penulis semoga karya tulis ini bisa bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan pembaca dan kiranya Tuhan Yang Maha Esa, menyertai segala usaha dan tugas kita sekarang dan yang akan datang.
Manado, Juni 2011
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Norma hukum telah membingkai berbagai aspek kehidupan manusia, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat norma hukum digunakan sebagai acuan bagi masyarakat dalam berbuat atau bertingkah laku. Bahkan norma hukum berfungsi sebagai sarana kontrol bagi masyarakat itu sendiri, sehingga apabila ada perbuatan yang tidak sesuai dengan norma hukum yang telah tersedia, maka negara melalui aparat penegak hukum akan memberikan akibat hukum yang akan ditegakkan secara sah. Khusus untuk hukum pidana pembentuk undang-undang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah merumuskan sejumlah perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan atau perintah dan sejumlah perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau larangan, termasuk didalamnya delik-delik susila. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana delik-delik susila telah diatur dalam Bab XIV dari buku II yang dimulai dari Pasal 281 sampai dengan pasal 303 bis dan pada kesempatan ini penulis tertarik untuk membahas salah satu pasal dari delik-delik susila tersebut yaitu Pasal 285 yang mengatur tentang delik perkosaan atau verkracting. Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.1 Dalam penjelasannya R. Soesilo menjelaskan bahwa: “yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia”.2 Pengertian perkosaan sudah cukup jelas tergambar dalam rumusan Pasal 285 ini, yaitu dengan adanya penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan 1
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia Bogor, 1988, hal. 210. 2 Ibid.
1
untuk memaksa seorang perempuan untuk bersetubuh dengan dia. Dengan demikian delik perkosaan hanya mungkin dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang bukan istrinya, dan perempuan yang dipaksa itu tidak mempunyai ikatan perkawinan dengan laki-laki yang memaksanya. Dengan demikian maka apabila seorang suami memaksa seorang perempuan yang adalah istrinya sendiri dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh dengan dia, tidaklah termasuk delik perkosaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Delik perkosaan oleh pembentuk undang-undang dikategorikan sebagai delik susila, dan delik susila ini diancam dengan pidana, terutama untuk mencegah perbuatan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan. Dewasa ini perkosaan yang merupakan delik susila meskipun diancam dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun, namun masih sering terjadi di Indonesia, bukan hanya di kota-kota besar tetapi juga terjadi di pedesaan. Dan yang menjadi korban bukan hanya perempuan-perempuan yang masih muda belia, tetapi juga perempuan-perempuan yang sudah lanjut usia (lansia), bukan hanya perempuan-perempuan yang memakai pakaian seksi, sampai kelihatan pinggang dan pusarnya, tetapi juga perempuan-perempuan yang berkerudung, bukan hanya gadis remaja atau anak-anak baru gede (ABG) tetapi juga anak di bawah lima tahun (balita) yang belum mengenal seks menjadi korban perkosaan. Dan yang menjadi pelaku bukan hanya laki-laki muda tetapi juga laki-laki yang sudah lanjut usia (lansia) bahkan tidak jarang seorang kakek, seorang paman, ayah tiri bahkan ayah kandung yang dipercayai dan dikenal oleh korban yang seharusnya melindungi korban. Perkosaan oleh pembentuk undang-undang dikategorikan sebagai delik susila yang berhubungan dengan seksual, mempunyai nilai sosiologis karena diterima dikalangan luas, dan merupakan delik yang dilarang secara universal. Perkosaan dilarang dan diancam dengan pidana di negara manapun dan banyak terjadi di negara manapun termasuk di Indonesia. Khususnya untuk perkosaan
2
yang terjadi di Indonesia, maka para pelaku seharusnya dihukum sesuai dengan tuntutan dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yakni dua belas tahun. Dari uraian diatas telah mendorong penulis untuk menulis karya tulis ini dengan judul: Tanggung Jawab Pidana Pelaku Tindak Pidana Perkosaan Menurut Pasal 285 KUHP.
B. PERUMUSAN MASALAH Dengan bertitik tolak dari latar belakang sebagaimana diuraikan diatas, maka dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tanggung jawab pidana pelaku tindak pidana perkosaan? 2. Apakah tindak pidana perkosaan dimasa yang akan datang dalam pembentukan KUHP Nasional masih perlu dipertahankan?
C. TUJUAN PENULISAN Adapun tujuan penulisan karya tulis ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan memahami tanggung jawab pidana pelaku tindak pidana perkosaan. 2. Untuk mengetahui dan memahami apakah tindak pidana perkosaan dimasa yang akan datang dalam pembentukan KUHP Nasional masih perlu dipertahankan.
D. MANFAAT PENULISAN 1. Sebagai masukan bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana agar pelaku perkosaan sebagai delik susila yang berhubungan dengan seksual dapat dijatuhi pidana sesuai ketentuan yang berlaku. 2. Untuk lebih mengetahui tentang penegakan hukum nasional dalam memberikan sanksi pidana terhadap pelaku perkosaan.
3
E. METODE PENELITIAN Kartini Kartono mengemukakan bahwa metodologi penelitian ialah: “ajaran mengenai metode-metode yang dipergunakan dalam proses penelitian”.3 Maka dalam penelitian ini, untuk mengumpulkan data penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut: 1. Metode Kepustakaan (Library Research), yakni suatu metode yang digunakan dengan jalan mempelajari buku-buku literatur, perundang-undangan, putusan pengadilan dan yurisprudensi, bahan-bahan lainnya dalam majalah dan surat kabar, yang berkaitan dengan materi pokok yang kemudian digunakan untuk mendukung pembahasan karya tulis. 2. Metode Perbandingan (Comparative Research), yakni suatu metode yang digunakan dengan jalan mengadakan perbandingan terhadap sesuatu masalah yang dibahas, kemudian diambil untuk mendukung pembahasan ini, misalnya: perbandingan antara pendapat para pakar-pakar hukum pidana. Kedua metode tersebut di atas, dilakukan secara berganti-gantian bilamana perlu untuk mendukung pembahasan karya tulis ini.
3
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Alumni, Bandung, 1986, hal. 16.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. TINDAK PIDANA Istilah seperti juga perkataan adalah referensi dari suatu referent. Tetapi juga sering dikatakan orang bahwa istilah itu dianggap merupakan suatu perjanjian antara orang-orang yang menggunakannya tentang apa yang dimaksud dan diartikan tentang suatu istilah. Suatu kenyataan bahwa suatu istilah sudah ada dan mempunyai pengertian tertentu dalam masyarakat. Kapan telah terjadi istilah itu, tidak ada seorangpun yang mengetahuinya dengan pasti. Ada istilah yang berasal dari istilah asing, tetapi setelah diambil alih, mempunyai pengertian yang khas, seperti misalnya istilah strafbaarfeit atau delict. Delict diterjemahkan dengan delik saja sedangkan istilah strafbaarfeit, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan bermacam-macam. S.R. Sianturi telah menterjemahkan istilah strafbaarfeit dalam bahasa Indonesia sebagai: 1) Perbuatan yang dapat/boleh dihukum 2) Peristiwa pidana 3) Perbuatan pidana, dan 4) Tindak pidana.4 Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah tindak pidana dan mengatakan bahwa tindak pidana adalah: “Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana”.5 K. Wantjik Saleh, didalam bukunya Tindak Pidana Korupsi dan Suap menganjurkan digunakan dua istilah sebagai terjemahan dari strafbaarfeit atau delict dalam bahasa Belanda yakni tindak pidana dan perbuatan pidana, alasannya:
4
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia Dan Penerapannya, ALUMNI AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1989, hal. 204. 5 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 59.
5
“karena kedua istilah itu disamping mendukung pengertian yang tepat dan jelas sebagai suatu istilah hukum juga mudah untuk diucapkan dan enak didengar”.6 Jadi untuk terjemahan strafbaarfeit dan delict kedalam bahasa Indonesia, Wantjik Saleh menggunakan istilah tindak pidana dan perbuatan pidana. P.A.F. Lamintang telah merumuskan strafbaarfeit, sebagai: “Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atau pun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.7 Alasan dari P.A.F. Lamintang dalam bukunya “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”, apa sebabnya strafbaarfeit itu dirumuskan seperti diatas adalah karena: a. Untuk adanya suatu strafbaarfeit itu disyaratkan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang, dan c. Setiap strafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling.8 Bahwa sifatnya yang melawan hukum sebagaimana yang dimaksud diatas itu, timbul dengan sendirinya dari kenyataan, bahwa tindakan tersebut adalah bertentangan dengan suatu peraturan dari undang-undang, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan merupakan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti yang tersendiri seperti halnya dengan unsur-unsur yang lain. Di dalam beberapa rumusan delik, undang-undang telah mensyaratkan dengan tegas bahwa tindakan dari pelakunya itu harus bersifat melawan hukum. 6
K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983,
hal. 15. 7
P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hal. 176. 8 Ibid
6
Apabila suatu tindakan itu telah dilakukan dalam keadaan-keadaan, dimana undang-undang sendiri telah menentukan akibat hukumnya yakni bahwa pelakunya tidak dapat dihukum, maka jelaslah bahwa sifat melawan hukum dari tindakannya itu telah ditiadakan oleh undang-undang dan dengan sendirinya orang juga tidak dapat berbicara mengenai adanya suatu unsur tindak pidana. Simons merumuskan, bahwa: “strafbaarfeit sebagai kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”.9 Jonkers dan Utrecht sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah memandang rumusan Simons merupakan rumusan yang lengkap, yang meliputi: a. b. c. d.
Diancam dengan pidana oleh hukum; Bertentangan dengan hukum; Dilakukan oleh orang yang bersalah; Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.10
Van Hamel sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah merumuskan sebagai berikut: “Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan”.11 Tindak pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar. Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dalam perbuatannya itu, yaitu dengan kesalahannya. Para Sarjana Indonesia juga telah menggunakan istilah yang berbeda-beda dengan pengertiannya yang berbeda pula, seperti antara lain sebagai berikut: Moeljatno lebih cenderung memakai istilah tindak pidana, lebih lanjut beliau mengatakan: Bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau 9
Andi Hamzah, Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 88. Ibid 11 Ibid, hal. 88. 10
7
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang) sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu; maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.12 Oleh karena itu, maka kurang tepat jika untuk pengertian yang abstrak itu digunakan istilah peristiwa. Sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya: matinya orang. Ada lain istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu tindak pidana. Istilah ini, karena tumbuhnya dari pihak Kementerian Kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata tindak lebih pendek daripada perbuatan tapi tindak tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah-laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai ditindak. Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam Pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.13 Djoko Prakoso mengatakan: Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Oleh karena itu memahami pengertian tindak pidana adalah penting sekali, tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain hanya dengan istilah kejahatan (crime) yang bisa diartikan secara yuridis ataupun secara
12 13
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT. BinaAksara, Jakarta, 1983, hal. 54. Ibid, hal. 55.
8
kriminologis. Mengenai pengertian tindak pidana (definisi tindak pidana) tidak ada kesatuan pendapat diantara para sarjana.14 Mengenai peristilahan ini, sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, kalau yang menjadi soal hanya tentang nama belaka. Tapi bukan demikian halnya bagi mereka yang memakai istilah: peristiwa pidana, tindak pidana dan sebagainya, karena tidak ada keterangan apa-apa, menyamakan maknanya dengan istilah Belanda strafbaarfeit. Kata-kata di atas adalah salinan belaka dari strafbaarfeit (perbuatan yang dapat dipidana), sedangkan tindak pidana bukan demikian halnya. Dewasa ini pada umumnya diterima pandangan-pandangan yang lebih subyektif, yaitu pandangan-pandangan yang meletakkan titik berat pada pembuat atau pelaku (dader).
B. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA Istilah
pertanggungjawaban
pidana
terdiri
dari
dua
kata
yakni
pertanggungjawaban dan pidana. Pertanggungjawaban berasal dari kata dasar tanggung jawab. Tanggung jawab diartikan sebagai: “keadaan wajib menanggung segala sesuatunya kalau ada sesuatu hal boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya”.15 S.R.
Sianturi
pertanggungjawaban
mengatakan
pidana
bahwa:
disebut
sebagai
“Dalam
bahasa
toerekenbaarheid,
asing criminal
responsibility, criminal liability. Diutarakan bahwa pertanggungjawaban pidana dimaksudkan
untuk
menentukan
apakah
seseorang
tersangka/terdakwa
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak”.16 Dengan perkataan lain apakah pelaku akan dipidana atau dibebaskan. Jika pelaku dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat 14
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Penerbangan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 38. 15 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. l014. 16 S.R. Sianturi, Op-Cit, hal. 250.
9
melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Atau dengan kata lain tindakan tersebut tercela dan pelaku menyadari tindakan yang dilakukan tersebut. Dalam hukum pidana seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan atau dijatuhi pidana, meskipun dia melakukan tindak pidana, kalau orang itu tidak mempunyai kesalahan. Pertanyaan yang timbul ialah kapan orang mempunyai kesalahan? Kesalahan
merupakan
masalah
pertanggungjawaban
pidana.
Seseorang
melakukan kesalahan, jika pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, menyatakan: kesalahan dalam arti luas, meliputi: 1) Sengaja, atau 2) Kelalaian (culpa), 3) Dapat dipertanggungjawabkan.17 Ketiga hal tersebut diatas merupakan unsur subjektif syarat pemidanaan. Dan ditambahkan pula bahwa tiadanya alasan pemaaf merupakan pula bagian keempat dari kesalahan. D. Soedjono mengatakan pada umumnya terdapat dua teori mengenai kesalahan, yaitu sebagai berikut: 1. Teori psikologis yang menganggap kesalahan sebagai sesuatu yang terdapat dalam pikiran orang yang bersalah (si pelaku) tadi, yang seakan-akan dapat ditangkap (dimengerti) oleh hakim, mungkin dengan bantuan seorang psikiater (dokter penyakit jiwa) atau psikoanalis. 2. Teori normatif yang menganggap kesalahan tidak sebagai sesuatu yang terdapat dalam alam pikiran, tetapi sebagai sifat yang sedemikian rupa yang ditentukan oleh pertimbangan hukum (misalnya: penilaian tentang apa yang salah, sehubungan dengan niat orang yang bersalah/si pelaku tadi).18
17 18
Andi Hamzah, Op-Cit, hal. 103. D. Soedjono, Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981,
hal. 54.
10
Roeslan Saleh mengatakan bahwa: “Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana terlihat dari segi masyarakat dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian”.19 Dilihat dari segi masyarakat ini menunjukan pandangan yang normatif mengenai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psychologisch. Demikian misalnya pandangan dari pembentuk WvS. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senjatanya bathin daripada terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batinnya itu, apakah dipernilai ada ataukah tidak ada kesalahan. Jadi yang harus diperhatikan adalah: keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu; dan hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, menurut rumusannya Simons sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi. Dua hal yang harus diperhatikan itulah terjalin erat satu dengan lainnya merupakan hal yang dinamakan kesalahan. Sebagai ikhtisar menurut Roeslan Saleh dapatlah dikatakan bahwa: hal yang pertama, yaitu mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan soal yang lazim disebut masalah kemampuan bertanggungjawab; hal yang kedua, yaitu mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf; sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsurunsur dari kesalahan. Tiga unsur inilah yang merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan, yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti: demikianlah uruturutannya dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih 19
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 75.
11
dahulu. Konkritnya: tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan ataupun kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bertanggungjawab, dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan. Menurut Martiman Prodjohamidjojo seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal: 1. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain: harus ada unsur melawan hukum. Jadi, ada unsur obyektif 2. Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melanggar hukum dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Jadi unsur subjektif.20 Jika ada alasan penghapus atau meniadakan sifat melawan hukum perbuatan, maka perbuatan yang bersangkutan tidak dianggap perbuatan melawan hukum walaupun perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana dengan undang-undang atau dengan kata lain perbuatan itu dapat dibenarkan. Alasan penghapus sifat melawan hukum perbuatan disebut alasan pembenar. Suatu perbuatan melawan hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan pidana. disamping perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat yang bertanggungjawab atas perbuatannya, dan unsur kesalahan dalam arti kata bertanggungjawab. Jika ada alasan penghapus kesalahan, maka pembuat tidak dipidana karena hanya orang yang bersalah dipidana. Berdasarkan azas Geen straf zander schuld tidak ada pidana tanpa ada kesalahan. Van Hamel sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, menyatakan pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tiga macam kemampuan untuk: 1. Memahami arti dan akibat dari perbuatannya sendiri. 2. Menyatakan bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat. 3. Menentukan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu. jadi dapat disimpulkan, bahwa kemampuan bertanggung jawab mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.21 20
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia II, Pradnya paramita, Jakarta, 1996, hal. 36.
12
BAB III PEMBAHASAN
A. TANGGUNGJAWAB PIDANA PELAKU Untuk mengetahui tanggung jawab pidana pelaku tindak pidana perkosaan menurut Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka terlebih dahulu kita harus mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam pasal tersebut yakni sebagai berikut: 1. Barangsiapa 2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan 3. Memaksa 4. Perempuan yang bukan istrinya 5. Bersetubuh 6. Dengan dia Berikut ini penulis akan menguraikan unsur-unsur tersebut diatas sebagai berikut: ad.1. Barangsiapa Unsur yang pertama dari tindak pidana perkosaan ialah barangsiapa. Istilah barangsiapa menunjuk kepada siapa saja yang dapat dikenakan ketentuan ini, yang jika dihubungkan dengan kalimat lanjutan dari Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka yang dimaksud dengan barangsiapa dalam pasal ini adalah lelaki atau pria, yang apabila terbukti melakukan delik yang memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini, maka ia dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana tersebut dan dapat dijatuhi pidana. Dengan demikian, bahwa yang dapat menjadi pelaku tindak pidana perkosaan hanyalah lelaki atau pria, padahal bukan tidak mungkin seorang perempuan memaksa seorang laki-laki, baik laki-laki itu suaminya atau tidak untuk bersetubuh dengan dia. 21
Andi Hamzah, Op-cit, hal. 33.
13
Pembentuk undang-undang tidak menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa orang laki-laki untuk bersetubuh, karena paksaan seorang perempuan terhadap orang laki-laki untuk bersetubuh tidak menimbulkan sesuatu yang buruk atau merugikan hanya karena laki-laki tidak ada bahaya untuk hamil dan melahirkan anak karena paksaan tersebut. Dan jika benar-benar paksaan dari perempuan tersebut untuk bersetubuh telah merusak moral dari laki-laki yang korban itu, maka dapat saja perbuatan yang pernah dia alami dia lakukan terhadap seorang perempuan sehingga terjadilah delik perkosaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Oleh karena itu dalam pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional yang akan datang menurut hemat penulis, maka laki-laki juga harus dilindungi dari tindak pidana perkosaan, sehingga yang dapat dipidana karena melakukan delik perkosaan bukan hanya laki-laki tetapi juga seorang perempuan yang memaksa laki-laki untuk bersetubuh dengan dia.
ad.2. Dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan Unsur kedua dari tindak pidana perkosaan yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dalam Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur bahwa, yang dimaksud dengan melakukan kekerasan, yaitu: “membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi”.22 Dengan demikian maka seorang perempuan dapat dikatakan diperkosa kalau terhadap tubuh perempuan itu ada bekas-bekas kekerasan misalnya memar, ataupun pakaian dari perempuan tersebut robek atau kancingnya terlepas dan lain sebagainya. Namun, yang sangat disesalkan adalah apabila perbuatan tersebut tidak langsung dilaporkan kepada pihak yang berwajib karena korban takut akan ancaman dari pelaku sehingga tanda-tanda atau bekas-bekas kekerasan ini sudah hilang pada pemeriksaan sedangkan korban juga tidak pernah meminta bantuan pengobatan dari seorang dokter, padahal kalau saja perbuatan perkosaan itu segera 22
Ibid, hal. 210.
14
dilaporkan kepada pihak yang berwajib maka tanda-tanda kekerasan ini dapat dimintakan Visum et Repertum atau kalau saja perempuan yang menjadi korban tersebut menyadari bahwa bekas-bekas kekerasan itu penting dalam pembuktian, maka korban dan keluarganya mungkin tidak akan melalaikan hal ini. Tidak jarang delik perkosaan tidak dilaporkan kepada yang berwajib atau nanti dilaporkan kepada yang berwajib setelah bukti-bukti bahwa telah terjadi suatu tindak pidana perkosaan sudah hilang sama sekali atau nanti dilaporkan kepada yang berwajib setelah korban menjadi hamil, padahal delik perkosaan tersebut telah dilakukan oleh pelaku berulang-ulang kali tetapi karena ancaman dari pelaku sehingga korban tidak melaporkan apa yang telah dialami terhadap keluarganya apalagi terhadap pihak yang berwajib.
ad.3. Memaksa Unsur ketiga dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah memaksa. Perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat pula dilakukan dengan ucapan. Dalam delik perkosaan ini seorang perempuan dipaksa sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak dapat melawan lagi dan terpaksa mau melakukan persetubuhan itu. Perbuatan
membuat
seorang
wanita
menjadi
terpaksa
bersedia
mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukan kedalam pengertian memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita itu adalah wanita itu sendiri.
ad.4. Perempuan yang bukan istrinya Unsur keempat dari tindak pidana perkosaan ialah perempuan yang bukan istrinya. Dengan demikian jika terhadap istrinya sendiri tidak dikenakan pasal ini. Perlu diketahui bahwa tindak pidana susila dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah menyebutkan adanya berbagai perempuan, masing-masing perempuan yang belum mencapai 12 tahun dalam Pasal 287 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Pasal 290 ayat (2) dan ayat (3) Kitab Undang-
15
Undang Hukum Pidana, perempuan yang belum dapat dinikahi dalam Pasal 288 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan perempuan pada umumnya. Sedangkan perempuan yang dimaksudkan dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah perempuan pada umumnya yang bukan istrinya.
ad.5. Bersetubuh Unsur kelima dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah persetubuhan. Menurut hukum: “Baru dapat dikatakan persetubuhan, apabila anggota kelamin pria telah masuk kedalam lubang anggota kelamin wanita demikian rupa, sehingga akhirnya mengeluarkan air mani”.23 Dengan demikian dalam delik perkosaan anggota kelamin pria harus telah masuk kedalam lubang anggota kemaluan wanita sedemikian rupa, sehingga akhirnya mengeluarkan mani. Tetapi bagaimana kalau laki-laki itu belum sampai mengeluarkan air mani? Karena sebelum laki-laki tersebut mengeluarkan mani, akhirnya perempuan (korban) dapat melakukan perlawanan? Dalam hal ini apakah laki-laki tersebut belum dapat dikatakan telah melakukan perkosaan? Kiranya dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, untuk membuktikan unsur bersetubuh, hakim tidak menitikberatkan pada keluarnya mani, tetapi pada apakah benar, alat kelamin pria itu benar-benar telah masuk pada anggota kelamin perempuan (korban), yang dibuktikan visum et repertum.
ad.6. Dengan dia Unsur keenam dari tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah dengan dia. Yang dimaksudkan dengan dia kata dengan dirinya itu ialah diri orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan telah memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia. 23
Sugandhi R., KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, hal. 300-
301.
16
Dalam penerapan Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka semua unsur Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut haruslah dapat dibuktikan di sidang pengadilan. Walaupun memang harus diakui bahwa pembuktian ini bukanlah suatu hal yang mudah, bahkan sering menjadi kendala untuk menghukum pelaku. Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dan untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana sekurangkurangnya terdapat dua alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP). Khusus terhadap kasus perkosaan, dengan adanya ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka semakin sulit saja seorang korban untuk menuntut pelakunya. Karena sangat jarang ada saksi yang mengetahui adanya perkosaan kecuali perkosaan tersebut tertangkap basah atau pelaku mengakui perbuatannya.
B. PENGATURAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI MASA YANG AKAN DATANG Kita mengetahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia adalah warisan pemerintah Kolonial Belanda dahulu yang dalam banyak hal sudah tidak sesuai lagi dengan eksistensi dan perkembangan bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masih berlaku sebagai hukum positif, ini adalah untuk mengisi kekosongan hukum setelah kita merdeka dan dari tahun ke tahun, kita bangsa Indonesia berusaha menciptakan suatu sistem hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional. Usaha bangsa Indonesia ini diwujudkan dengan antara lain mengadakan kodifikasi dan unifikasi dalam bidang-bidang hukum tertentu, termasuk pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (hukum pidana materil dan hukum pidana formal). Memang ada suatu kejanggalan bilamana dewasa ini kita telah berhasil membuat sebuah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Nasional yaitu
17
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tanpa diikuti atau bahkan didahului dengan penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sehingga hukum acara pidana yang dahulu diatur dalam Herziene Inlands Reglement, Stb. 1941 No. 44 sudah diganti dengan undang-undang No 8 tahun 1981 tetapi Kitab Undang-Undang Hukum Pidananya masih tetap yang itu saja. Oleh sebab itu kepada badan pembuat undang-undang di negara kita ini digantungkan harapan dari seluruh masyarakat untuk kelak disuatu saat kita dapat memiliki suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional yang merupakan produk bangsa kita sendiri serta dapat merupakan kebanggaan kita, yang telah mengatur tingkah laku masyarakat Indonesia sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa kehidupan masyarakat senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan teknologi, sehingga terjadi perubahan tata nilai kehidupan hukum dalam masyarakat yang harus mengalami perkembangan-perkembangan baru yaitu hukum yang hidup, dinamis yang timbul dalam masyarakat bangsa itu sendiri. Roeslan Saleh mengatakan: Suatu kenyataan bahwa kenyataan-kenyataan hidup masyarakat telah berubah dan perubahan-perubahan itu kadang-kadang telah begitu jauh dan mendukung nilai-nilai yang berbeda dari nilai-nilai yang sebelumnya diemban oleh nilai-nilai hukum. Kenyataan-kenyataan ini menunjukkan segi-segi negatif dari norma-norma yang masih diperlakukan. Kelalaian-kelalaian dalam merombak dan memperbaharuinya inilah yang lama-kelamaan menimbulkan suara-suara yang meragukan dasar-dasar yang telah digariskan dalam hukum pidana positif maupun meragukan pengaruh baik dari penerapan hukum pidana itu sendiri yang hidup diatas dasar-dasar tersebut. Dikatakan bahwa salah satu sumber dari keresahan yang ada dalam masyarakat dikaitkan dengan peradilan pidana adalah oleh karena penegak hukum masih menggunakan pendekatan yang bersifat normatif sistimatis semata-mata. Dengan pendekatan yang demikian itu ahli hukum telah melepaskan diri dari kenyataan-kenyataan dalam masyarakat yang masih saja selalu dalam bergerak dan berobah.24
24
Roeslan Saleh, Suatu Orientasi Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1978, hal.
8-9.
18
Dari kenyataan-kenyataan bahwa masyarakat itu berkembang sehingga terjadi perubahan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka hukum dengan tujuan utama untuk mencapai kedamaian, ketertiban, kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan kepastian hukum, haruslah sejalan dengan perkembangan masyarakat agar hukum dapat mencapai tujuannya. Banyak Pasal-Pasal yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ‘masih berlaku’ tapi ‘tidak laku’, artinya dari segi yuridis masih berlaku sebagai hukum positif, tapi diperhadapkan dengan kenyataan dalam masyarakat (social Werkelijkheid), aturan-aturan ini tinggal merupakan aturan-aturan yang sudah mati yang tidak mempunyai daya berlaku di tinjau dari segi sosiologis serta merupakan ‘black letter law’ (aturan hukum yang mati). Dalam rangka mengejar ketinggalan dibidang hukum pidana dari perkembangan masyarakat dan teknologi, maka perobahan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terutama sistem sanksinya sangatlah dibutuhkan dalam rangka penegakan hukum pidana. Untuk mengikuti perkembangan masyarakat dan memenuhi kebutuhan masyarakat maka Pembentuk Undang-Undang memandang perlu kiranya dalam pembentukan KUHP Nasional perkosaan tetap diatur sebagai suatu tindak pidana, sehingga dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tindak pidana perkosaan telah diatur oleh pembentuk undang-undang dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1999-2000, di mana telah diuraikan mengenai pengertian perkosaan juga pengertian persetubuhan yang terkait amat erat dengan pengertian perkosaan. Untuk memahami pengertian perkosaan dalam RUU KUHP 1999-2000, perlu diketahui rumusan selengkapnya dari Pasal 423 tersebut, yaitu : 1) Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun: a. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut; b. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;
19
c. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai; d. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suami yang sah; e. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya ; atau f. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. 2) Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) : a. Laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan; atau b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.25 Oleh draft Pasal 423 RUU KUHP 1999-2000 ini, tindak pidana yang dirumuskan di dalamnya dinamakan tindak pidana perkosaan. Cakupan tindak pidana perkosaan dalam draft Pasal 423 ayat (1), yaitu laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan: a. Bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut. b. Tanpa persetujuan perempuan tersebut. c. Dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai. d. Dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah. e. Dengan perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya. f. Padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Dalam bagian penjelasan pasal diberikan keterangan bahwa ketentuan dalam huruf ini mengatur mengenai tindak pidana perkosaan yang dikenal sebagai 25
RUU Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 1999-2000, hal. 160-161.
20
“statutory rape”, yaitu bahwa meskipun pihak perempuan memberikan persetujuan, namun karena perempuan tersebut belum mencapai umur 14 (empat belas) tahun, maka persetubuhan itu dikategorikan sebagai perkosaan menurut peraturan perundang-undangan. Pengertian dan cakupan perkosaan dalam draft Pasal 423 ini jelas berbeda dengan pengertian dan cakupan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP. Dapat dilihat bahwa perkosaan dalam draft Pasal 423 memiliki cakupan yang jauh lebih luas. Dalam Pasal 285 KUHP, penekanan perkosaan adalah pada unsur “Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa”. Di sini, perkosaan dilihat dari sudut pelaku, yaitu pelaku melakukan perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa. Dalam draft Pasal 423, perkosaan dilihat dari sudut wanita/perempuan. Dalam draft Pasal 423 ayat (1) huruf a misalnya, persetubuhan itu “Bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut” dan dalam draft Pasal 423 ayat (1) huruf b, persetubuhan itu “Tanpa persetujuan perempuan tersebut”. Demikian juga huruf c sampai huruf f, semuanya dilihat dari sudut si perempuan. Dalam draft Pasal 423 ayat (1) huruf d, e dan f, terlihat bahwa sama sekali tidak ada unsur memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Jelas bahwa konsep perkosaan dalam RUU KUHP 1999 tersebut, sudah jauh berbeda dengan konsep perkosaan dalam Pasal 285 KUHP. Sedangkan mengenai pengertian persetubuhan, menurut S. R. Sianturi, adalah: “perbuatan memasukkan kemaluan si pria ke kemaluan si wanita sedemikian rupa yang normaliter atau yang dapat mengakibatkan kehamilan”.26 Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa persetubuhan dalam rangka perkosaan adalah masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita (vagina). Tetapi, kedalaman penetrasi (penembusan) dapat hanya sedikit, atau dangkal saja, juga tidak perlu sampai laki-laki memancarkan benih. Yang penting, yaitu adanya suatu penetrasi (penembusan) dari alat kelamin laki-laki kedalam alat kelamin perempuan (vagina). 26
Sianturi, Op-Cit, hal. 231.
21
Amat berbeda dengan cakupan perkosaan dalam RUU KUHP 1999-2000, di mana dalam draft Pasal 423 ayat (2) dikatakan bahwa: Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1): a. Laki-laki memasukkan alat kelaminnya kedalam anus atau mulut perempuan; atau b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya kedalam vagina atau anus perempuan.27 Dalam huruf a, juga di pandang sebagai perkosaan jika alat kelamin lakilaki dimasukkan kedalam anus (dubur) atau mulut perempuan. Selanjutnya, menurut huruf b, juga dipandang sebagai perkosaan jika suatu benda yang bukan bagian tubuh laki-laki dimasukkan kedalam vagina atau anus (dubur) perempuan. Tindak pidana menyerang kehormatan kesusilaan ini lebih tepat untuk mencakup perbuatan yang disebutkan dalam Pasal 423 ayat (2) RUU KUHP 1999-2000. Oleh karenanya lebih tepat jika rumusan Pasal 423 ayat (2) dipindahkan menjadi bagian dari Pasal 424 RUU KUHP 1999-2000.
27
RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Op-Cit, hal. 161.
22
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN 1. Tanggungjawab pelaku tindak pidana perkosaan menurut Pasal 285 KUHP adalah selama-lamanya atau paling lama dua belas tahun penjara, apabila perbuatan pelaku memenuhi semua unsur-unsur pasal, atau dengan kata lain semua
unsur-unsur Pasal 285 KUHP yakni: Barangsiapa, memaksa,
perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia, terbukti di sidang pengadilan. 2. Dalam pembentukan KUHP Nasional tindak pidana perkosaan masih sangat perlu
untuk
diatur
sebagai
perbuatan
yang
pelakunya
dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana bahkan dalam rancangan KUHP Nasional Tahun 2006 pelaku tindak pidana perkosaan diperluas sehingga lakilaki yang adalah suami sah dari perempuan yang disetubuhinya dapat dijatuhi pidana maksimal selama-lamanya dua belas tahun penjara dan pidana minimal 3 tahun penjara.
B. SARAN 1. Dalam menangani tindak pidana perkosaan di sidang pengadilan, apakah perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur yang terkandung dalam Pasal 285 KUHP, maka diharapkan agar hakim dapat menjatuhkan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun penjara agar terdakwa menjadi jera dan orang lain juga menjadi takut untuk melakukan tindak pidana perkosaan. 2. Dalam pembentukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional yang akan datang, maka tindak pidana perkosaan sebaiknya diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
23
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah Andi, Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Lamintang P. A. F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT. BinaAksara, Jakarta, 1983. Poerwadarminta W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976. Prakoso Djoko, Tindak Pidana Penerbangan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. Prodjohamidjojo Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia II, Pradnya paramita, Jakarta, 1996. RUU Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 1999-2000, hal. 160-161.
Saleh Roeslan, Suatu Orientasi Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1978. ___________, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983. Sianturi S.R., Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia Dan Penerapannya, ALUMNI AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1989. Soedjono D., Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981. Sugandhi R., KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980. Wantjik K. Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003.
24