Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE DALAM MENINGKATKANKEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS Andri Suryana Universitas Indraprasta PGRI Jakarta Jl. Nangka No.58C Tanjung Barat (TB Simatupang), Jagakarsa, Jakarta Selatan 12530email:
[email protected] Abstrak Dalam pembelajaran matematika, khususnya di perguruan tinggi, mahasiswa dituntut untuk peka terhadap situasi yang sedang dihadapi. Kondisi seperti ini akan memunculkan kemampuan berpikir kreatif matematis. Berpikir kreatif nampak dalam bentuk kemampuan untuk menemukan hubungan-hubungan yang baru serta memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dari yang biasanya. Akan tetapi kenyataannya, mahasiswa hanya mencontoh dan mencatat bagaimana cara menyelesaikan soal yang telah dikerjakan oleh dosen. Jika mereka diberikan soal-soal yang berbeda dengan soal latihan, maka mereka akan mengalami kebingungan karena tidak tahu harus mulai dari mana mereka bekerja. Salah satu model untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematisadalah Model PACE. Model PACEmerupakan salah satu model pembelajaran berlandaskan konstruktivisme yang memiliki tahap/fase: Proyek (Project), Aktivitas (Activity), Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise). Model tersebut penting untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika, karena dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis. Keywords: Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis, Model Pembelajaran PACE
PENDAHULUAN Materi matematika untuk level perguruan tinggi sulit untuk dipelajari karena materi yang disajikan lebih bersifat abstrak. Dalam mempelajari matematika, mahasiswa membutuhkan kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis. Dalam pembelajaran matematika, mahasiswa dituntut untuk peka terhadap situasi yang sedang dihadapi. Kondisi seperti ini akan memunculkan kemampuan berpikir kreatif matematis. Berpikir kreatif nampak dalam bentuk kemampuan untuk menemukan hubungan-hubungan yang baru serta memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dari yang biasa (Evans dalam Sabandar, 2008). Akan tetapi menurut hasil penelitian Mettes (1979), mahasiswa hanya mencontoh dan mencatat bagaimana cara menyelesaikan soal yang telah dikerjakan oleh dosen. Jika mereka diberikan soal-soal yang berbeda dengan soal latihan, maka mereka akan mengalami kebingungan karena tidak tahu harus mulai dari mana mereka bekerja. Salah satu mata kuliah di Program Studi Pendidikan Matematika yang membutuhkan kemampuan berpikir kreatif matematis adalah Statistika Matematika. Statistik Matematika merupakan mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa. Dalam pembelajaran di kelas, mahasiswa cenderung hanya mencatat dan mencontoh bagaimana cara mencari solusi yang telah dikerjakan dosen. Mereka jarang mengajukan pertanyaan ketika proses pembelajaran dan takut
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
25
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
mencoba cara lain dalam menyelesaikan soal karena masih terbiasa dengan berpikir konvergen sehingga kurang kreatif. Selain itu, berdasarkan hasil temuan di salah satu perguruan tinggi di Jakarta terungkap bahwa dosen selama ini menggunakan ekspositori selama mengajar dan kurang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir kreatif karena dosen cenderung memberikan soal yang bersifat tertutup. Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis dalam Mata Kuliah Statistika Matematika, maka diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh dosen untuk mengelola pembelajaran dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk secara aktif terlibat dalam pengkajian materi dan dapat mengkonstruksi konsep-konsep dengan kemampuan sendiri. Salah satu model yang menganut teori belajar konstruktivisme yang menekankan keterlibatan aktif mahasiswa adalah pembelajaran Model PACE. Model PACE dikembangkan oleh Lee (1999) yang merupakan singkatan dari Proyek (Project), Aktivitas (Activity), Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise). Mahasiswa yang diajarkan oleh Model PACE jauh lebih terlibat dalam pembelajaran aktif melalui kerja kelompok dan diskusi kelas (Lee, 1999). Dikarenakan pentingnya hal tersebut dalam pembelajaran matematika, maka akan dikaji lebih jauh secara teoritis mengenai penerapan Model PACE dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis. Melalui kajian ini diharapkan dapat menjadi suatu referensi serta wacana bagi para praktisi pendidikan matematika dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran yang lebih efektif dan efisien. PEMBAHASAN Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Munandar (1999) mengatakan bahwa berpikir kreatif (juga disebut berpikir divergen) ialah aktivitas berpikir dalam memberikan macam-macam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada keragaman jumlah dan kesesuaian. Menurut Torrance (dalam Munandar, 1999), kemampuan berpikir kreatif terbagi menjadi tiga hal, yaitu: (a) Fluency (kelancaran), yaitu menghasilkan banyak ide dalam berbagai kategori/ bidang; (b) Originality (keaslian), yaitu memiliki ide-ide baru untuk memecahkan persoalan; serta (c) Elaboration (penguraian), yaitu kemampuan memecahkan masalah secara detail. Menurut Guilford (dalam Munandar, 1999), terdapat lima indikator berpikir kreatif, yaitu: (a) Kepekaan (problem sensitivity), adalah kemampuan mendeteksi, mengenali, dan memahami serta menanggapi suatu pernyataan, situasi, atau masalah; (b) Kelancaran (fluency), adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan; (c) Keluwesan (flexibility), adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan atau pendekatan terhadap masalah; (d) Keaslian (originality), adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli, tidak klise, dan jarang diberikan kebanyakan orang; serta (e) Elaborasi (elaboration), adalah kemampuan menambah suatu situasi atau masalah sehingga menjadi 26
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
lengkap, dan merincinya secara detail, yang didalamnya terdapat berupa tabel, grafik, gambar, model dan kata-kata. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif, dosen harus menciptakan kondisi kelas yang merangsang kepekaan mahasiswa melalui pemberian tugas baru dengan cara: (1) menyelesaikan soal dengan cara yang lain; (2) mengajukan pertanyaan ―bagaimana jika‖; (3) mengajukan pertanyaan ―apa yang salah‖; serta mengajukan pertanyaan ―apa yang akan kamu lakukan‖ (Krulik & Rudnick, 1999). Berdasarkan uraian di atas, maka kemampuan berpikir kreatif dalam kajian ini adalah kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), serta elaborasi (elaboration). Model Pembelajaran PACE Model PACE dikembangkan oleh Lee (1999) untuk pembelajaran statistika yang merupakan singkatan dari Proyek (Project), Aktivitas (Activity), Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise). Mahasiswa yang diajarkan oleh Model PACE jauh lebih terlibat dalam pembelajaran aktif melalui kerja kelompok dan diskusi kelas (Lee, 1999). Model PACE didasarkan pada prinsip-prinsip: (1) mengutamakan pengkonstruksian pengetahuan sendiri melalui bimbingan, (2) praktik dan umpan balik merupakan unsur penting dalam mempertahankan konsep-konsep baru, serta (3) mengutamakan pembelajaran aktif dalam memecahkan suatu masalah. Teknologi komputer merupakan alat yang diperlukan dalam Model PACE (Lee, 1999). Dalam kajian ini, Model PACE akan disesuaikan dengan karakteristik Mata Kuliah Statistika Matematika. Hal ini dikarenakan dalam mata kuliah tersebut jarang menggunakan teknologi komputer, justru lebih banyak membutuhkan analisis teori yang bersifat abstrak dan lebih menekankan pada aspek penalaran deduktif, maka Model PACE akan dilakukan based paper. Dengan kata lain, pembelajaran menggunakan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM). Proyek merupakan komponen penting dari Model PACE. Laviatan (2008) mengatakan bahwa proyek merupakan bentuk pembelajaran yang inovatif yang menekankan pada kegiatan kompleks dengan tujuan pemecahan masalah yang berdasarkan pada kegiatan inkuiri. Proyek dilakukan dalam bentuk kelompok. Mereka dapat memilih sendiri topik yang dianggap menarik. Mereka diminta untuk mencari solusi/penyelesaian dari permasalahan yang dipilihnya. Mereka diharuskan membuat laporan dari proyek yang dikerjakan. Dalam proyek ini, mahasiswa dituntut untuk terlibat secara aktif, kritis dan kreatif.Melalui proyek, mahasiswa lebih memahami konsep dan dapat meningkatkan retensinya serta dapat menggali kemampuan matematisnya, baik kemampuan kognitif maupun afektif. Aktivitas dalam Model PACE bertujuan untuk mengenalkan mahasiswa terhadap informasi atau konsep-konsep yang baru. Hal ini dilakukan dengan memberikan tugas dalam bentuk Lembar Kerja Aktivitas (LKA) yang merupakan salah satu bentuk dari Lembar Kerja Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
27
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Mahasiswa (LKM) untuk mempelajari materi. Melalui LKA, mahasiswa diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep yang akan dipelajari. Pembelajaran kooperatif dalam Model PACE dilaksanakan di kelas. Pada pembelajaran tersebut, mahasiswa bekerja di dalam kelompok dan harus mendiskusikan solusi dari permasalahan dalam Lembar Kerja Diskusi (LKD). LKD merupakan bentuk dari Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) untuk mempelajari materi selain LKA. Melalui LKD, mahasiswa berkesempatan untuk mengemukakan temuan-temuan yang diperoleh pada saat diskusi. Selama diskusi, terjadi pertukaran informasi yang saling melengkapi sehingga mahasiswa mempunyai pemahaman yang benar terhadap suatu konsep. Latihan dalam Model PACE bertujuan untuk memperkuat konsep-konsep yang telah dikonstruksi pada tahap aktivitas dan pembelajaran kooperatif dalam bentuk penyelesaian soalsoal. Latihan ini diberikan kepada mahasiswa berupa tugas tambahan yang termuat dalam Lembar Kerja Latihan (LKL) agar penguasaan terhadap materi lebih baik lagi. Tahap latihan berkaitan dengan refleksi seperti dalam Polya pada langkah ke-4 nya, yaitu memeriksa kembali hasil dan proses (Polya, 1981:16). Berdasarkan penjelasan di atas, Model PACE dalam kajian ini merupakan salah satu model pembelajaran berlandaskan konstruktivisme yang memiliki tahap/fase: Proyek (Project), Aktivitas (Activity), Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise) dengan menggunakan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) dalam proses pembelajarannya. Penerapan Model Pembelajaran PACE dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Penerapan Model PACE dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis terlihat dari langkah-langkah pembelajarannya, yaitu: 1) Dalam tahap aktivitas, dosen memberikan LKA (Lembar Kerja Aktivitas) kepada mahasiswa untuk dikerjakan di rumah sebelum perkuliahan. Pada saat perkuliahan, dosen membahas LKA secara klasikal yang dikerjakan oleh mahasiswa dengan memperhatikan peran aktif mahasiswa agar tidak terjadi miskonsepsi. Adapun contohnya adalah sebagai berikut:
Berdasarkan soal bagian a) sampai c), terlihat bahwa mahasiswa dituntut untuk menguraikan materi sebagai sarana untuk memperkenalkan informasi atau konsep-konsep yang baru. Untuk menyelesaikan soal bagian d), mahasiswa membutuhkan informasi yang ada dari uraian sebelumnya. Soal yang diberikan berkategori sedang. 28
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
2) Dalam tahap pembelajaran kooperatif, dosen memberikan LKD (Lembar Kerja Diskusi) ke setiap kelompok terkait dengan materi yang dibahas. Ini merupakan kelanjutan dari LKA dan memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Adapun contohnya adalah sebagai berikut:
Berdasarkan contoh di atas, terlihat bahwa dibutuhkan kemampuan berpikir kreatif matematis untuk menyelesaikannya. Pada tahap ini, mahasiswa berkesempatan untuk mengemukakan temuan-temuan yang diperoleh pada saat diskusi agar terjadi pertukaran informasi sehingga terbentuk pemahaman yang benar terhadap suatu konsep. 3) Dalam tahap latihan, dosen memberikan tugas tambahan untuk memperkuat konsepkonsep yang telah dikonstruksi pada tahap aktivitas dan pembelajaran kooperatif dalam bentuk penyelesaian soal-soal. Melalui tahap ini, mahasiswa diminta mencoba berbagai tipe soal agar memperkuat konsep. Adapun contohnya adalah sebagai berikut:
4) Pada tahap proyek, dosen memberikan tugas proyek kepada mahasiswa yang dikerjakan dalam bentuk kelompok. Mahasiswa dapat memilih sendiri topik yang dianggap menarik sesuai dengan materi. Mereka diminta untuk mencari solusi/penyelesaian dari permasalahan yang dipilihnya. Mereka diharuskan membuat laporan dari proyek yang dikerjakan dan dikumpulkan pada waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan antara dosen dan mahasiswa. Adapun contohnya adalah sebagai berikut:
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
29
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Tugas Proyek Topik Masalah : Teori Antrian Petunjuk: 1. Setiap kelompok diharuskan memilih salah satu jenis antrian dengan desain single channel, single server sebagai aplikasi dari materi Statistika Matematika 1. Misalkan antrian di ATM, di Bank, restoran, dan lain-lain. 2. Setiap kelompok diharuskan terjun ke lapangan berdasarkan jenis antrian yang dipilihnya untuk mengetahui lebih lanjut mengenai teori antrian. 3. Pahamilah pertanyaan-pertanyaan dalam tugas proyek ini. Apabila mengalami kesulitan, silakan konsultasikan dengan dosen. 4. Susunlah sebuah laporan kelompok mengenai solusi dari pertanyaan yang diberikan dengan baik, dan dikumpulkan di akhir pertemuan. 5. Setiap laporan dari tiap kelompok wajib dipresentasikan di dalam kelas.
Pertanyaan-pertanyaan: 1. Uraikanlah mengenai teori antriandengan memanfaatkan informasi dari berbagai sumber. 2. Berikut ini akan diuraikan mengenai aplikasi dari teori antrian. Berdasarkan jenis antrian yang dipilih, jawablah pertanyaan berikut ini sesuai dengan data lapangan yang ada. Tentukanlah: a) Banyaknya customer dalam sistem. b) Jumlah rata-rata customer yang datang persatuan waktu. c) Jumlah rata-rata customer yang dilayani persatuan waktu. d) Tingkat intensitas pelayanan customer. e) Peluang tidak ada customer dalam sistem. f) Peluang kepastian ncustomer dalam sistem. g) Jumlah rata-rata customer yang diharapkan dalam sistem. h) Waktu yang diharapkan oleh customer dalam sistem. i) Waktu yang diharapkan oleh customer selama menunggu dalam sistem. j) Jumlah customer yang diharapkan menunggu dalam sistem.
SELAMAT MENGERJAKAN Berdasarkan tahap-tahapan di atas, terlihat secara teoritis bahwa Model PACE dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis dalam Mata Kuliah Statistika Matematika.
SIMPULAN DAN SARAN Karakter Mata Kuliah Statistika Matematika yang bersifat abstrak, menekankan pada aspek penalaran deduktif, dan memerlukan pemahaman secara analitik menuntut mahasiswa memiliki mental yang kuat dalam mempelajarinya. Mahasiswa dituntut untuk menggali kemampuan berpikir kreatif matematisnya. Salah satu model untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis adalah Model PACE. Model PACEmerupakan salah satu model pembelajaran berlandaskan konstruktivisme yang memiliki tahap/fase: Proyek (Project), 30
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Aktivitas (Activity), Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise). Melalui kajian ini, diharapkan dapat dikembangkan ke arah penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA Herrhyanto, Nar & Tuti G. (2009). Pengantar Statistika Matematis. Bandung: Yrama Widya. Krulik, S. & Rudnick. (1999). Innovative Tasks to Improve Critical dan Creative Thinking Skills. Dalam Developing Mathematical Reasoning in Grade K-12. Virginia: NCTM. Laviatan, T. (2008). Innovative Teaching and Assessment Method: QBI and Project Based Learning. Mathematics EducationResearch Journal,Vol 10, 2, 105-116. Lee, Carl. (1999). An Assesment of the PACE Strategy for an introduction statistics Course. USA: Central Michigan University. Mettes, C.T.W. (1979). Teaching and Learning Problem Solving in Science A General Strategy. International Journal of Science Education, 57(3), 882-885. Munandar, U. (1999). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineca Cipta. Polya, G. (1981). Mathematical Discovery : On Understanding, Learning, and Teaching Problem Solving. New York : John Wiley Inc. Ross, S. M. (2000). Introduction to Probability Models. Ed. ke-7. San Diego: Academic Press. Sabandar, J. (2008). Berpikir Reflektif. Makalah. Prodi Pendidikan Matematika SPS.UPI : Tidak diterbitkan.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
31
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
ANALISIS KUALITAS RESPON SISWA IDEALIST DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA BERBASIS TAKSONOMI SOLO (STRUCTURE OF OBSERVED LEARNING OUTCOME) PADA SISWA KELAS XI SMK SMTI YOGYAKARTA TAHUNPELAJARAN 2013/2014 Maryani1), B. Kusmanto2) 1) Program Studi Pendidikan Matematika, PMIPA FKIP UST Jl. Batikan, Tuntungan, UH III Yogyakarya, e-mail:
[email protected] 2) Program Studi Pendidikan Matematika, PMIPA FKIP UST Jl. Batikan, Tuntungan, UH III Yogyakarya, e-mail: Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas respon siswa idealist dalam pemecahan masalah matematika. Penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif. Terdapat 3 subjek terpilih dengan purposive sampling terdiri dari siswa tipe kepribadian idealist. Instrumen yang digunakan Kiersey Temperament Sorter dan tes penyelesaian masalah matematika. Respon siswa didasarkan taksonomi SOLO.Teknik pengumpulan data menggunakan test, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data mengacu pada Lexy J. Moelong. Triangulasi data dan dependabilitas digunakan sebagai teknik keabsahan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 2 subjek berada pada level unistruktural dan 1 subjek pada level multistruktural. Keyword : proses berfikir, idealist, taksonomi
PENDAHULUAN Nativis berpendapat bahwa pembawaan atau factor-faktor endogen menentukan perkembangan anak. Faktor-faktor eksogen tak akan kuasa mengubah factor-faktor endogen. Schopenhauer sebagai tokoh aliran nativis menyatakan bahwa tidak mungkin kita dengan pendidikan mengubah pembawaan anak. Tak ubahnya menempa loyang menjadi emas dan sebaliknya. Pasti berdampak pada adanya macam kepribadian terdapat pada satu kelas dalam individu yang berbeda-beda. (Fudyartanta : 2012, 56) Para pakar telah mendefinisikan macam-macam kepribadian berdasarkan pemikiran dan pendapat mereka. Salah satunya David Kiersey (1984) mengkategorikan kepribadian siswa ada 4 macam yaitu guardians, artisans, idealist dan rationals. Kepribadian idealist dipilih sebagai subjek dikarenakan memiliki salah satu ciri-ciri yaitu lebih banyak berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata abstrak dan perumpamaan dan lebih senang berbicara mengenai hal-hal yang tidak secara nyata dapat diamati, tetapi hanya dapat dibayangkan. Hal ini sejalan dengan karakteristik matematika yang didominasi hal abstrak. Sejalan dengan kepribadian siswa, Biggs dan Collis (1982) dalam Subyantoro menyatakan dalam pengamatannya dalam mengamati siswa saat pembelajaran, respon anak bervariasi terhadap tugas-tugasyang sejenis. Suatu saat seorang anak menunjukkan tingkat yang lebih rendah,tetapi disaat lain menunjukkan tingkat yang lebih tinggi. Mereka
32
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
beranggapanbahwa hal ini bukanlah sekedar pengecualian tetapi memang begitusifat alami perkembangan intelektual anak. Sedangkan Gieles dalam Ali Syahbana (2010:51) mengartikan berpikir adalah berbicara dengan dirinyasendiri dalam batin, yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis,membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, menelitisesuatu jalan pikiran, dan mencari bagaimana berbagai hal itu berhubungan satu samalain. Jadi peserta didik akan dipacu untuk mencari, mempelajari dan menemukan pemahaman. Oleh karenanya digunakan taksonomi SOLO yang merupakan suatu sarana sehingga menungkinkan para guru mengidentifikasi kompleksitas serta kualitas pikiran peserta didik. Taksonomi ini dapat digunakan untuk memperbaiki hasil-hasil pembelajaran dengan penambahan kualitas umpan balik. Juga berguna untuk memfasilitasi proses mental terutama untuk memperoleh dan mencapai tujuan atau denga kata lain sebagai alat belajar berfikir. Taksonomi memecahkan bagian menjadi unit-unit yang berhubungan dengan unit lainnya secara komprehensif, akan tetapi ringkas dan jelas sebagai kata kunci.serta bertujuan untuk meningkatkan komunikasi dan sebagai alat praktik pengidentifikasian oleh para pendidik. (Wowo Sunaryo ,2012:98) Pengelompokkan tingkat kemampuan siswa pada lima level berbeda dan bersifat hirarkis, yaitu level 0: prastruktural yaitu belum bisa mengerjakan tugas yang diberikan secara tepat, level 1: unistruktural yaitu siswa dapat menunjukkan hubungan yang jelas dan sederhana antara satu konsep dengan konsep lainnya tetapi inti konsep belum dipahami, level 2: multistruktural yaitu siswa memahami beberapa komponen namun masih bersifat terpisah tapi belum membentuk pemahaman secara komprehensif, level 3: relasional yaitu siswa memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa.dan level 4: extended abstract yaitu siswa dapat menghubungkan tidak hanya sebatas pada konsep-konsep yang sudah diberikan saja melainkan dengan konsep-konsep diluar itu. Mengacu pada kondisi diatas maka penelitian akan difokuskan tingkat kompleksitas pemahaman dalam pemecahan masalah matematika diantaranya adalah bagaimana respon siswa idealist pada tingkat prestruktural, unistruktural , multistrultural, relational dan extended abstract.
METODOLOGI PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan meneliti fenomena yang terdapat pada realita.Penelitian ini bersifat derkriptif kualitatif artinya data diperoleh dari hasil pengamatan, analisis dokumen dan catatan lapangan yang nantinya akan menjadi
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
33
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
suatu deskripsi dari subyek. Dalam penelitian ini kedudukan peneliti sebagai instrument utama. Bertindak sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pelapor hasil. Waktu dan Tempat Penelitian Dilaksanakan di SMK SMTI Yogyakarta. Penelitian dilakukan mulai bulan Juni 2013 sampai November 2013. Target/Subjek Penelitian Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XI SMK SMTI Yogyakarta, terdiri dari 5 kelas masing-masing dengan jumlah 32 siswa. Setelah pengisian KTS didapatkan 12 siswa idealist, sedangkan melalui teknik purposive sampling maka didapatkanlah 3 siswa idealist. ketiga siswa tersebut yaitu Ti, H1, dan C1. Prosedur Penelitian Pada awalnya siswa diberikan tes menggunakan KTS menyeleksi siswa sesuai kriteria idealist. Siswa terpilih selanjutnya diberikan lembar kerja siswa sebagai instrument tahap kedua. Hasil pengerjaan soal uraian oleh siswa dianalisis untuk mengetahui sejauh mana respon siswa dalam menghadapi masalah matematika diantara 5 level yaitu prestruktural, unistruktural, multisrtuktural, relasional dan extended abstrak. Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan yaitu test, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan insrumen yang digunakan yaitu Kiersey Temperament Test (KTS) dan soal matematika uji terpakai dengan validasi konstruk. Teknik Analisis Data Teknik analisis data menggunakan metode alur yang berpedoman pada Moeleong yaitu metode perbandingan tetap terdiri reduksi data, kategorisasi, sintesasi dan menyusun hipotesis kerja. Sedangkan untuk keabsahan data yang digunakan yaitu kredibilitas berupa teknik triangulasi data dan depentabilitas atau audit trail.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis terhadap pemecahan masalah matematika dilakukan tersendiri menggunakan instrumen soal selanjutnya dilakukan wawancara. Tipe kepribadian idealist dengan dimensi teacher, champion, healer. Sedangkan untuk kepribadian idealist dimensi counselor tidak ditemukan dalam hasil test. Namun peneliti tidak menekankan pada masing-masing dimensi namun hanya pada respon siswa kepribadian idealist terhadap pemecahan masalah matematika. Validasi dari guru matematika menunjukkan pemecahan soal matematika layak digunakan sebagai instrument penyelesaian masalah matematika. Selanjutnya melakukan
34
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
wawancara dengan sampel terpilih (siswa kepribadian idealist) mengenai cara pengerjaan soal ditinjau dari pemahaman terhadap soal. Hal- hal yang dianalisis dari wawancara tersebut meliputi (1) Proses pengerjaan dan aturan yang dipakai dalam mengejakan soal matematika, (2) Syarat yang harus diketahui agar bisa mengerjakan soal, (3) Aplikasi terhadap soal serupa Pada hasil pekerjaan subjek dalam L1 dan L2 sangat terlihat bahwa T1 kurang teliti dan berhati-hati pada saat mengoperasikan bilangan dan menerapkan sifat-sifat aljabar sehingga mengalami kesalahan dalam melakukan manipulasi dan menyebabkan kesalahan dalam hasil subtitusi limit secara langsung pada akhir penyelesaian. Subjek telah mampu: (1) mengekspresikan membaca soal melalui tulisan serta berusaha
mendemonstrasikannya
dalam bahasa matematika,
(2) Mengingat
dan
menggunakan konsep-konsep matematika untuk menyelesaikan soal matematika agar mampu menyajikan jawaban yang sesuai, (3) Prosedur sederhana meliputi operasi hitung dan aplikasi matematika telah terbentuk. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa T1
memahami
hubungan konteks satu dengan konteks yang lain namun belum sepenuhnya dipahami. Pada intinya siswa mampu mengidentifikasi soal, mengingat, melakukan prosedur sederhana dan berfokus pada satu aspek yang relevan sehingga T1 tergolong unistruktural. H1 juga mengalami kesalahan seperti T1 dalam memahami operasi hitung bilangan akar pada baris pertama. Meskipun begitu H1 mampu: (1) mengekspresikan ide-ide matematika melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual, (2) Mengidentifikasi unsure-unsur yang diketahui melalui kecukupan unsure yang diperlukan, (3) Metode yang digunakan menunjukkan pemahaman dan interpretasi baik secara lisan maupun tulisan, (4) Proses berpikirnya mampu menyelesaikan soal yang mempunyai keterkaitan dengan kemampuan mengingat, berusaha mengenali hubungan diantara konsep-konsep dan adanya hubungan sebab akibat sehingga memunculkan gagasan-gagasan original, (5) Operasi aljabar dan operasi hitung tercipta dalam prosedur penyelesaian soal. Dapat disimpulkan telah mampu mengidentifikasi, mengingat dan melakukan prosedur sederhana. Bahkan telah menempuh dua cara penyelesaian soal, memahami komponen-komponen secara umum namun tidak mampu menemukan koneksi keduanya sehingga tidak membentuk pemahaman. Sehingga H1 termasuk golongan multistruktural. Sedangkan proses berpikir C1 menyelesaikan mempunyai
keterkaitan dengan
kemampuan, membuat hubungan diantara konsep-konsep matematika, membuat analogi. Operasi hitung dan aljabar tercipta secara runtut dan sistematis sesuai konsep sehingga ditemukan suatu penyelesaian soal matematika hingga tuntas.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
35
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Secara keseluruhan C1 mampu: (1) memahami beberapa komponen dalam kesatuan konsep, (2) Mengaplikasikan konsep dalam keadaan yang serupa, (3) Mengidentifikasi, mengingat dan melakukan prosedur sederhana, membilang, menjelaskan dan menjelaskan, (4) Pada hasil akhirnya. tidak terdapat kesalahan dalam memanipulasi data pada operasi aljabar juga dalam operasi hitung bilangan. Namun begitu subjek C1 hanya berfokus pada satu penyelesaian masalah. Artinya dalam hal ini meskipun soal yang ada mempunyai kemungkinan satu penyelesaian tapi tidak menutup kemungkinan untuk mencoba teknik lain. Oleh karena itu C1 termasuk kategori unistruktural.
SIMPULAN DAN SARAN Respon siswa idealist pada tugas matematika teridentifikasi pada level unistruktural dan multistruktural. Pada unistruktural telah mampu subjek secara utuh mampu mengidentifikasi soal secara menyeluruh, mengingat proses hingga melakukan prosedurprosedur sederhana namun dalam proses penyelesaian soal sehingga kompleksitas pemahaman terpisah-pisah seiring pengetahuan kognitif yang belum terbentuk.Pada multistruktural telahmampu membilang dan mencacah angka, mampu menjelaskan struktur, mengerjakan minimal dua alternatif jawaban namun tidak mampu untuk membuat hubungan antar keduanya. Secara keseluruhan subjek telah mampu mengklasifikasi soal kedalam suatu kategori tertentu serta melakukan prosedur sederhana dalam pengerjaan soalnya.
DAFTAR PUSTAKA David Kiersey. 1998. Please Understandme II. United States of America. Prometheus Namesis Books. Ki Fudyartanta. 2012. Psikologi perkembangan. Yogyakarta. Pustaka PelajaR Moleong, Lexy J. 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Sri Adi Widodo. 2012. Proses Berfikir Mahasiswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Tipe Kepribadian Idealist. Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta Subyantoro.___. Pengembangan Perangkat Evaluasi Berdasarkan Taksonomi The Structure Of The ObservedLearning Outcome (SOLO) Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Universitas Negeri Semarang Wowo Sunaryo Kusnawa. 2012. Taksonomi Kognitif Pengembangan Ragam Berfikir. Bandung. PT Remaja Rosdaka.
36
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEAD TOGETHER ( NHT ) TERHADAP MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMA Hastuti Lastiurma Pakpahan Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana UPI Jl. Dr. Setiabudhi N0.229, Bandung 40154, email:
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh dan berapa besar pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)terhadap motivasi belajar matematika siswa pada materi pokok kaidah pencacahan di kelas XI SMA Budi Murni. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA yang terdiri dari 3 kelas dengan sampel terdiri dari 2 kelas siswa yaitu; 40 orang kelas XI IPA-1 sebagai kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran kooperatif Tipe NHT dan 39 orang kelas XI IPA-2 sebagai kelas kontrol dengan model pembelajaran konvensional. Hasil penelitian diperoleh rata-rata skor motivasi awal kelas eksperimen 51,95 (64,8%) dan kelas kontrol 52,41 (65,5%) yang masih dalam kategori rendah. Rata-rata skor motivasi akhir eksperimen 59,47 (74,34%) dan kelas kontrol 56,35 (70,43%). Uji hipotesis yang digunakan adalah uji regresi dan diperoleh untuk kelas kontrol 𝑟 = 0,5569 dan 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 4,9102 > 2,027. Sedangkan kelas eksperimen 𝑟 = 0,6203 dengan dk = 38, 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 6,2153 > 2,025 maka pembelajaran di kedua kelas memiliki pengaruh. Besar pengaruh pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih tinggi dibanding pembelajaran konvensional dengan masing-masing 38,5% dan 31,0%.Dengan demikian berarti ada pengaruh yang signifikan antara model pembelajaran kooperatif tipe NHTterhadap motivasi belajar matematika siswa. Kata Kunci— Model pembelajaran Kooperatif tipe NHT, Motivasi belajar siswa, Kaidah pencacahan.
PENDAHULUAN Matematika sebagai ilmu dasar yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari merupakan ilmu yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Erlangga (dalam Juliana, 2006:1) menyatakan : ―Matematika sebagai ilmu dasar, memegang peranan yang cukup penting dalam banyak bidang ilmu terapan. Setelah sukses diterapkan dalam bidang astronomi dan mekanika, matematika telah berkembang menjadi alat analisis yang penting dalam bidang fisika dan juga engineering. Dengan demikian matematika telah menjadi komponen esensial dalam kegiatan hidup‖. Disamping itu matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi dan meningkatkan daya pikir manusia. Dengan belajar matematika dapat meningkatkan kemampuan berfikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan. Oleh karena itu, matematika telah dipelajari mulai dari sekolah rendah (taman kanak-kanak) sampai pada perguruan tinggi.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
37
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Peranan penting matematika dalam kehidupan seharusnya membuat matematika menjadi mata pelajaran yang diminati dan menarik. Namun faktanya banyak siswa yang kurang menyukai matematika karena dianggap sulit dan tidak menarik. Hal yang sama Kristini ( 2007: 1) menyatakan bahwa: ―Kebanyakan siswa menganggap pelajaran matematika adalah pelajaran yang paling sulit dimengerti, ketidakberhasilan siswa dalam mempelajari matematika antara lain adalah siswa belum mampu menangkap konsep/lambang-lambang dengan benar yang sifatnya abstrak.. Misalkan pada Materi Peluang tentang permutasi dan kombinasi di kelas XI, mudah menghapal dan mengingat materi tersebut, namun sulit memahami serta menerapkan dalam soal yang berupa pemecahan masalah. Siswa sering menyelesaikan soal dengan menerapkan rumus secara bergantian antara rumus permutasi dan rumus kombinasi.‖
Selanjutnya Syaban ( 2011 : 1 ) menyatakan bahwa: ―Masalah klasik dalam pembelajaran matematika di Indonesia adalah rendahnya prestasi siswa dan kurangnya motivasi siswa untuk belajar matematika. Hal ini terlihat bahwa siswa kita kalah bersaing dengan Singapura dan Malaysia, posisi peringkat siswa kita jauh tertinggal. Singapura di peringkat pertama dan Malaysia di peringkat ke sepuluh, sementara kita masih di peringkat 411.‖
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa masalah pembelajaran matematika di Indonesia adalah rendahnya prestasi siswa dan kurangnya motivasi belajar matematika siswa. Khususnya dalam materi pokok kaidah pencacahan yang membutuhkan analisis dari siswa sehingga materi ini dianggap materi yang sulit dan siswa kurang termotivasi untuk mempelajarinya. Hal ini dapat disebabkan karena pembelajaran yang diterapkan tidak memotivasi siswa dalam belajar matematika ataupun tidak adanya motivasi dari guru dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan observasi proses belajar mengajar yang dilakukan peneliti pada tanggal 9 Maret 2011 di SMA Budi Murni 2 Medan, peneliti menemukan bahwa guru tidak memberikan motivasi saat belajar matematika. Metode ceramah yang digunakan guru dalam pembelajaran membuat siswa tidak temotivasi belajar. Hal ini dapat dilihat dari kondisi siswa yang tidak fokus saat belajar yaitu ada 18 orang yang tidak fokus dengan mengerjakan aktifitas lain diluar pembelajaran matematika (mengantuk, membicarakan hal yang tidak berhubungan dengan pembelajaran, mengganggu teman, bermain), suasana kelas yang tidak kondusif, saat guru memberikan soal tidak ada siswa yang termotivasi dan percaya diri untuk menjawab soal tersebut, dan hanya 1 orang siswa yang bertanya kepada guru walaupun pada dasarnya mereka
38
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
belum mengerti pelajaran tersebut. Data dan kondisi tersebut menunjukkan bahwa motivasi belajar matematika siswa di kelas XI IPA SMA Budi Murni 2 Medan masih rendah. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan guru didapat bahwa model pembelajaran yang diterapkan adalah model pembelajaran konvensional yaitu dengan metode ceramah, tanya jawab. Dan guru menyatakan bahwa siswa kurang memiliki motivasi terhadap mata pelajaran matematika dan kurang aktif bertanya di dalam kelas. Sesuai dengan uraian di atas, masalah utama dalam peningkatan kualitas belajar adalah rendahnya motivasi belajar matematika siswa. Padahal mata pelajaran matematika khususnya dalam materi pokok kaidah pencacahan
membutuhkan suatu penalaran dalam pemecahan
masalahnya. Namun karena kurangnya motivasi siswa dalam belajar matematika materi pokok ini dianggap siswa menjadi topik yang membosankan dan sulit. Kurangnya motivasi belajar siswa tersebut perlu ditumbuhkan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran. Karena dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), terdapat berbagai upaya yang dapat dilakukan sebagai tindak lanjut pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal tersebut antara lain mencakup peningkatan aktivitas dan kreatifitas peserta didik serta motivasi belajar. Seperti dikemukakan oleh Mulyasa (2007:264) yang menyatakan bahwa: ―Peserta didik akan belajar dengan sungguh-sungguh apabila memiliki motivasi belajar yang tinggi. Dengan kata lain seorang peserta didik akan belajar dengan baik apabila ada faktor pendorongnya (motivasi). Dalam kaitan ini guru dituntut memiliki kemampuan membangkitkan motivasi belajar peserta didik sehingga dapat membentuk kompetensi dan mencapai tujuan belajar.‖
Hal serupa Mohamad Nur (dalam Pujiati, 2008 : 3) mengemukakan bahwa: ―Banyak faktor yang mempengaruhi kemauan untuk melakukan upaya dalam pembelajaran, terentang dari kepribadian, kemampuan siswa sampai tugas-tugas pembelajaran, perangsang untuk belajar, tatanan pelajaran, dan perilaku guru. Tugas pendidik menemukan, menggugah, dan mempertahankan motivasi siswa untuk belajar, dan terlibat dalam aktivitas yang menuju pada pembelajaran, sehingga motivasi siswa dalam pembelajaran akan meningkat. Meningkatnya motivasi belajar siswa, dan meningkatnya perbuatan untuk tuntas belajar, dapat meningkatkan hasil belajar siswa.‖
Sesuai dengan pendapat di atas maka guru dituntut untuk menggunakan pembelajaran yang dapat membangkitkan motivasi belajar siswa. Namun pembelajaran yang saat ini seringkali dilakukan adalah pembelajaran konvensional yang merupakan pembelajaran berpusat pada guru. Siswa hanya menjadi penerima informasi saja dengan mendengar kemudian mencatat informasi yang disampaikan guru. Sehingga interaksi guru dengan siswa dan siswa dengan siswa kurang mengakibatkan peningkatan mutu belajar siswa tidak tercapai. Untuk itu perlu dicari suatu
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
39
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
model pembelajaran yang berpusat pada aktifitas siswa sehingga menciptakan adanya interaksi yang baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa serta mampu meningkatkan motivasi siswa. Slavin (dalam Fifi, 2010:1) mengatakan bahwa : ―Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang telah dikenal sejak lama, dimana pada saat itu guru mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya. Dalam melakukan proses belajar mengajar guru tidak lagi mendominasi seperti lazimnya pada saat ini, sehingga siswa dituntut untuk berbagi informasi dengan siswa yang lainnya dan saling belajar mengajar sesama mereka‖.
Selanjutnya Slavin (2008 : 4) menyatakan bahwa: ―Pembelajaran kooperatif dapat digunakan secara efektif pada setiap tingkatan kelas dan untuk mengajarkan berbagai macam mata pelajaran. Mulai dari matematika, membaca, menulis samapai pada ilmu pengetahuan ilmiah, mulai dari kemampuan dasar sampai pemecahan masalah-masalah yang kompleks. Lebih daripada itu, pemebelajaran kooperatif juga dapat digunakan sebagai cara utama dalam mengatur kelas untuk pengajaran‖.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan aktifitas dan interaksi siswa sehingga kualitas pembelajaran lebih baik. Selanjutnya pembelajaran kooperatif juga cocok diterapkan pada mata pelajaran matematika terkhusus pada materi pokok kaidah pencacahan yang membutuhkan penalaran yang baik dalam pemecahan masalahnya. Salah satu model pembelajaran kooperatif yaitu tipe Numbered Head Together (NHT). Model ini dapat dijadikan alternatif variasi model pembelajaran sebelumnya. Dibentuk kelompok heterogen, setiap kelompok beranggotakan 3-5 siswa, setiap anggota memiliki satu nomor, guru mengajukan pertanyaan untuk didiskusikan bersama dalam kelompok, guru menunjuk salah satu nomor untuk mewakili kelompoknya. Dengan guru hanya menunjuk seorang siswa yang mewakili kelompoknya tanpa memberitahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili kelompoknya tersebut. Sehingga cara ini menjamin keterlibatan total semua siswa. Cara ini upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggung jawab individual dalam dalam diskusi kelompok dan meningkatkan motivasi dalam belajar matematika. Model pembelajaran kooperatif tipe NHT, bila dibandingkan dengan model pembelajaran kooperatif lain misalnya STAD, dimana anggota yang mempresentasikan hasil kelompok adalah anggota yang ditunjuk kelompok sendiri jadi tidak menjamin seluruh anggota terlibat. Sehingga dapat dikatakan
tipe NHT lebih menjamin keterlibatan total dan keaktifan seluruh anggota
kelompok dibandingkan STAD.
40
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Model pembelajaran kooperatif tipe NHT memiliki manfaat yang baik dalam meningkatkan motivasi siswa. Hal ini serupa dengan pendapat Lungdren (dalam Sahara, 2007) yang menyatakan bahwa: ―Manfaat dari pembelajaran kooperatif tipe NHT bagi siswa adalah: 1. Penerimaan terhadap perbedaan individu lebih besar 2. Perselisihan antar pribadi berkurang 3. Sikap apatis berkurang 4. Pemahaman lebih mendalam 5. Motivasi lebih besar 6. Hasil belajar lebih baik 7. Meningkatkan budi pekerti, kepekaan dan toleransi Berdasarkan hal di atas melatar belakangi peneliti tertarik mengadakan penelitian dengan judul Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) terhadap Motivasi Belajar Matematika Siswa SMA. Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar siswa dan berapa besar pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar siswa dan besar pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar siswa. Selanjutnya Manfaat penelitian ini diharapkan sebagai salah satu alternatif
model
pembelajaran bagi guru dalam mengajarkan materi pokok kaidah pencacahan dan dapat meningkatkan motivasi siswa, masukan bagi peneliti dalam menambah wawasan pengetahuan dalam memilih model pembelajaran yang tepat, bahan perbandingan bagi peneliti berikutnya dalam meneliti atau mengembangkan penelitian yang koheren dan hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu masukan untuk kepentingan pengembangan pembelajaran di sekolah tersebut pada khususnya dan sekolah lain pada umumnya.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimen dengan bentuk nonequivalent control group design yaitu 1 kelas dijadikan kelas eksperimen untuk perlakuan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan 1 kelas menjadi kelas kontrol dan tidak diberi perlakuan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian ini dilaksanakan di SMA Budi Murni 2 Medan pada bulan Juli Tahun Ajaran 2011/2012. Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
41
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMA Budi Murni 2 Medan yang terdiri dari 3 kelas dengan jumlah siswa 129 orang . Sampel diambil secara cluster random sampling artinya setiap kelas berada pada kelompok yang sama dan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Kelas yang terpilih adalah kelas XI1 IPA sebagai kelas eksperimen dan kelas XI2 IPA sebagai kelas kontrol. Prosedur Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Tahap Persiapan Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap persiapan adalah: a. Menetapkan tempat dan jadwal penelitian. b. Menentukan sampel penelitian. c. Menyusun rancangan pembelajaran pada materi pokok kaidah pencacahan dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. d. Menyiapkan alat pengumpul data berupa angket awal dan angket akhir dan lembar observasi e. Memvalidkan angket oleh validator. 2. Tahap Pelaksanaan Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap pelaksanaan adalah:
a. Menentukan kelas sampel yang diambil secara random dimana kelas sampel ada dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol.
b. Memberikan angket awal dan melakukan pre-test. c. Mengadakan pembelajaran pada dua kelas dengan bahan dan waktu yang sama, hanya model pembelajaran yang berbeda. Untuk kelas eksperimen diberikan perlakuan yaitu pembelajaran kooperatif tipe NHT sedangkan kelas kontrol diberikan perlakuan pembelajaran konvensional.
d. Memberikan angket akhir untuk mengukur motivasi akhir dan melakukan post-test. 3. Tahap Akhir Langkah-langkah pada tahapan pengumpulan data adalah: a. Mencari nilai rata-rata dan simpangan baku b. Pemeriksaan uji normalitas data c. Pemeriksaan uji homogenitas varians d. Melakukan uji hipotesis dengan uji-regresi e. Membuat kesimpulan dari data yang telah dianalisis
42
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini digunakan 2 alat pengumpul data: 1.
Angket Angket
yang diberikan kepada siswa berfungsi untuk pengukuran motivasi belajar
matematika siswa yang terdiri dari 17 butir. Peneliti melakukan validitas angket berdasarkan validitas isi dengan meminta penilaian dari beberapa validator yang merupakan ahli bidang studi (dosen, guru) yang disesuaikan dengan indikator dikandung pertanyaan, dan menentukan valid atau tidaknya tiap butir pertanyaan angket. Angket diberikan pada dua tahap yaitu di awal dan akhir. Pemberian angket di awal penelitian berfungsi untuk mengetahui tingkat motivasi siswa di awal kemudian angket yang diberikan di akhir penelitian berfungsi untuk mengetahui tingkat motivasi siswa setelah diberi perlakuan. Tabel 1. Indikator penyusunan angket motivasi No.Item No
Indikator Sikap Positif
1
2
3
Sikap negatif
Tekun menghadapi tugas. Ulet menghadapi kesulitan belajar matematika. Menunjukkan minat terhadap masalah matematika
4
Percaya diri
5
Senang berkompetisi sehat
Dari hasil angket dapat dihitung persentase tingkat motivasi siswa dengan rumus: P %M= ×100% T Keterangan:
%M
= Persentase tingkat motivasi
P
= Skor perolehan siswa
T
= Skor total angket motivasi
Dengan kriteria persentase: 90% ≤ M ≤ 100%
: Sangat tinggi
80% ≤ M < 90%
: Tinggi
65%≤ M < 80%
: Sedang
55%≤ M < 65%
: Rendah
0% ≤ M < 55%
: Sangat rendah
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
43
Volume 1
2.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Observasi Observasi yang dilakukan adalah terhadap proses pembelajaran yang dilakukan peneliti
apakah sesuai dengan rancangan yang telah dibuat. Teknik Analisis Data Uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi. Uji ini dilakukan untuk mengukur besarnya pengaruh variabel bebas (model pembelajaran Kooperatif tipe NHT untuk kelas eksperimen dan model pembelajaran konvensional untuk kelas kontrol) terhadap variabel terikat (motivasi belajar matematika siswa) dan memprediksi variabel terikat dengan menggunakan variabel bebas. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari hasil pemberian angket motivasi awal kepada siswa diperoleh rata-rata skor motivasi awal siswa di kelas eksperimen adalah 51,95 dan di kelas kontrol 52,41 dengan persentase motivasi 64,8% dan 65,5% dengan kategori ―rendah‖. Dan dari angket motivasi akhir diperoleh rata-rata skor motivasi kelas eksperimen adalah 59,475 dan kelas kontrol 56,35 dengan persentase motivasi 74,34% dan 70,43% sehingga kategori motivasi kedua kelas tersebut adalah ―sedang‖.
Tabel 2. Ringkasan Data Motivasi Belajar Matematika Kedua Kelas Kelas Kontrol No
Statistik
Kelas Eksperimen
Angket
Angket
Awal
Akhir
39
39
40
40
Angket Awal
Angket Akhir
1
N
2
Jumlah Nilai
2044
2198
2078
2379
3
Rata-Rata
52,41
56,35
51,95
59,47
4
Simpangan Baku
6,18
8,22
5,027
7,168
5
Varians
38,248
67,604
25,279
51,383
6
Maksimum
64
73
64
77
7
Minimum
41
42
41
44
Uji Normalitas Untuk menguji normalitas data digunakan uji liliefors yang bertujuan untuk mengetahui apakah penyebaran data motivasi belajar memiliki sebaran data yang berdistribusi normal atau tidak. Sampel berdistribusi normal jika dipenuhi L0 < Ltabel pada taraf signifikan = 0,05.
44
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data Motivasi Belajar Motivasi awal
Kelas
Motivasi akhir
L0
Ltabel
Keterangan
L0
Ltabel
Keterangan
Eksperimen
0,123
0,1400
Normal
0,1382
0,1400
Normal
Kontrol
0,0999
0,1418
Normal
0,0873
0,1418
Normal
Uji normalitas data motivasi awal kelas eksperimen diperoleh L0 (0,123) < Ltabel (0,1400) dan data motivasi awal kelas kontrol diperoleh L0 (0,0999) < Ltabel (0,1418). Data motivasi akhir kelas eksperimen diperoleh L0 (0,1382) < Ltabel (0,1400) dan data motivasi akhir kelas kontrol diperoleh L0 (0,0873) < Ltabel (0,1418). Dengan demikian dapat disimpulkan distribusi data motivasi awal dan akhir baik di kelas eksperimen maupun kelas kontrol terdistribusi normal. Uji Homogenitas Pengujian homogenitas data untuk mengetahui apakah sampel yang digunakan dalam penelitian berasal dari populasi yang homogen atau tidak. Untuk pengujian homogenitas digunakan uji kesamaan kedua varians yaitu uji F. Jika Fhitung ≥ Ftabel maka H0 ditolak dan jika Fhitung< Ftabel maka H0 diterima. Dengan derajat kebebasan pembilang = (n1 – 1 ) dan derajat kebebasan penyebut = (n2 – 1 ) dengan taraf nyata α = 0,05. Tabel 4.Hasil Uji Homogenitas Motivasi Belajar Data Angket Awal Angket Akhir
Varians Terbesar 38,248
67,604
Varians Terkecil
Fhitung
Ftabel
Keterangan
25,279
1,513
1,71
Homogen
1,31
1,71
Homogen
51,383
Dari hasil pengujian homogenitas diperoleh data kedua kelas sampel adalah homogen. Uji Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji regresi untuk mengukur besarnya pengaruh motivasi awal terhadap motivasi akhir setelah diberi perlakuan pembelajaran di kedua kelas dengan taraf signifikan yang digunakan adalah α = 0,05. Sebelum dilakukan pengujian terlebih dahulu ditentukan model regresinya sehingga diperoleh model regresi kelas kontrol adalah Y =17,5496 + 0,7404 X dan kelas eksperimen adalah 𝑌 = 13,5294 + 0,8844𝑋. a. Uji keberartian regresi Untuk melihat apakah variabel Y independen dengan X secara linier digunakan uji F dengan ANAVA. Diperoleh Fhitung = 16,6376 untuk kelas kontrol dan Fhitung = 23,7697 untuk kelas eksperimen. Karena di kelas eksperimen Fhitung ≥ F(0,95)(1,38) yaitu 23,7697 ≥ 4,10 dan di kelas kontrol Fhitung ≥ F(0,95)(1,37) yaitu 16,6376 ≥ 4,105 ini menunjukkan bahwa regresi memiliki keberartian atau variabel Y dependen dengan X secara linier. b. Uji kelinieran Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
45
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Uji linieritas model regresi bertujuan untuk menguji apakah model linier yang telah diambil itu benar-benar cocok dengan keadaanya atau tidak dengan menggunakan uji F. Diperoleh Fhitung
Gambar 1. Regresi Motivasi Siswa Kelas Eksperimen Dari gambar 4.1 dapat dilihat bahwa: 1. Dengan motivasi awal di sumbu mendatar sedangkan motivasi akhir di sumbu tegak dapat dilihat hubungan yang cukup dekat dari sebaran data di sekitar garis. 2.
Motivasi awal dan akhir memiliki hubungan yang linier terlihat dari titik-titik data yang membentuk pola garis lurus.
3. Motivasi akhir mengalami pertambahan positif hal ini dapat dilihat dari titik-titik data yang menunjukkan gejala dari kiri ke kanan semakin tinggi nilainya pada sumbu tegak.
Gambar 2. Regresi Motivasi Siswa Kelas Kontrol Dari gambar 4.2 dapat dilihat bahwa: 46
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
1. Dengan motivasi awal di sumbu mendatar sedangkan motivasi akhir di sumbu tegak dapat dilihat hubungan yang ccukup dekat namun pada titik-titik data di bagian tengah tampak titik di bawah garis yang merupakan titik-titik data yang memiliki nilai motivasi akhir di bawah model regresi. 2.
Motivasi awal dan akhir memiliki hubungan yang linier terlihat dari titik-titik data yang membentuk pola garis lurus.
3. Motivasi akhir mengalami pertambahan positif hal ini dapat dilihat dari titik-titik data yang menunjukkan gejala dari kiri ke kanan semakin tinggi nilainya pada sumbu tegak.
c. Uji hipotesis data penelitian Pengujian ini bertujuan untuk melihat apakah ada pengaruh model pembelajaran terhadap motivasi belajar siswa. Dari uji hipotesis diperoleh untuk kelas kontrol 𝑟 = 0,5569 dan 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 4,9102 , dengan
𝑡(0,975) = 2,027 karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 4,9102 > 2,027
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran konvensionalterhadap motivasi belajar dengan besar pengaruh 31,0%. Sedangkan untuk kelas eksperimen dengan 𝑟 = 0,6203 dan 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 6,2153, dari tabel diperoleh𝑡(0,975) = 2,025 dengan dk = 38 karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 6,2153 > 2,025 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)terhadap motivasi belajar dengan besar pengaruh 38,5%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besar pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih tinggi dibanding besar pengaruh model pembelajaran konvensional terhadap motivasi belajar matematika siswa. Observasi Observasi proses pembelajaran dilakukan oleh seorang pengamat baik di kelas kontrol maupun di kelas eksperimen. Pengamat mengobservasi proses pembelajaran yang dilakukan peneliti dari awal hingga akhir dan mengamati respon siswa. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut. Tabel 5. Pengamatan Proses Pembelajaran Kelas
Eksperimen
Kontrol
Pertemuan
Skor 1 2
Skor
Nilai
Kategori
110
85,93
Baik
23
119
92,96
Sangat baik
3
4
Diperoleh
I
18
14
II
9
I
2
8
22
112
87,5
Baik
II
2
10
20
114
89,06
Baik
Berdasarkan tabel 5. dapat diketahui bahwa peneliti melaksanakan proses pembelajaran dengan baik. Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
47
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di SMA Budi Murni 2 Medan siswa kelas XI IPA dengan menggunakan model pembelajaran yang berbeda untuk 2 kelas sampel yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Model pembelajaran yang diterapkan di kelas eksperimen adalah kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dan di kelas kontrol model pembelajaran konvensional. Jumlah siswa di kedua kelas masing-masing adalah 40 orang dan 39 orang. Perbedaan model pembelajaran kooperatif
tipe NHT dan konvensional yang paling
mendasar yaitu pada pembelajaran kooperatif tipe NHT dalam menyampaikan materi pembelajaran guru hanya sebagai pembimbing, dan bersama-sama dengan siswa melalui diskusi untuk menemukan konsep dari materi tersebut dan diakhir pembelajaran guru memberikan konsep yang benar, sedangkan pada pembelajaran konvensional dalam menyampaikan materi pelajaran guru yang menjelaskan materi kepada siswa dan agar siswa lebih paham, guru memberikan soal-soal untuk diselesaikan secara individu. Pada penelitian ini peneliti memberikan angket awal kepada siswa sebelum melakukan perlakuan untuk mengetahui motivasi awal siswa dan sebagai dasar dalam pengelompokan untuk kelas eksperimen. Dari pemberian angket motivasi tersebut diperoleh 51,95 dan kelas kontrol 52,41 dengan persentase tingkat motivasi 64,8% dan 65,5% yang masih dalam kategori ‗rendah‘. Dapat dilihat bahwa motivasi belajar siswa di kedua kelas hampir sama dan dari pengujian normalitas diperoleh data kedua kelas terdistribusi normal dan homogen. Setelah pemberian angket awal diberikan perlakuan yang berbeda terhadap kedua kelas kontrol dan kelas eksperimen. Di kelas eksperimen siswa dibagi terhadap kelompok-kelompok yang berjumlah 4 orang tiap kelompok sehingga dapat dibentuk 10 kelompok. Dalam pembelajaran dibantu oleh observer baik di kelas eksperimen maupun di kelas kontrol untuk mengamati proses pembelajaran penilaian 1-4 untuk tiap point. Dan dari pengamatan yang dilakukan oleh observer pembelajaran berjalan dengan baik. Pada saat pembelajaran selesai dilakukan untuk mengetahui motivasi belajar matematika siswa setelah diberikan perlakuan kedua model pembelajaran maka peneliti memberikan angket motivasi akhir kepada siswa. Dari hasil angket akhir diperoleh rata-rata skor motivasi 59,47 di kelas eksperimen dan 56,35 di kelas control dengan persentase tingkat motivasi 74,34% dan 70,43% yang merupakan dalam kategori ‗sedang‘. Dapat dilihat bahwa kelas eksperimen memiliki rata-rata skor kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kelas kontrol yang sebelumnya pada motivasi awal memiliki rata-rata lebih rendah dibanding kelas kontrol. Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis dengan uji regresi untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar siswa. Dari pengujian diperoleh bahwa regresi di kelas eksperimen memiliki keberartian dan merupakan model regresi yang linier serta berdasarkan uji hipotesis 𝑟 = 0,6203 dan karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 6,2153 > 2,025 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh model
48
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)terhadap motivasi belajar dengan besar pengaruh 38,47%. Dengan pengujian yang sama dilakukan kepada kelas kontrol diperoleh 𝑟 = 0,5569 dan karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 4,9102 > 2,027 hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran konvensionalterhadap motivasi belajar dengan besar pengaruh 31,01%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besar pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)terhadap motivasi belajar lebih tinggi dibanding model pembelajaran konvensional. Lebih tingginya pengaruh di kelas eksperimen berkaitan dengan perlakuan yang diberikan. Di kelas eksperimen peneliti terlebih dahulu membimbing siswa dalam diskusi dan siswa membaca LAS serta berusaha menemukan konsep-konsep terlebih dahulu di dalam kelompok diskusi dan ketika tidak memahami dapat berinteraksi langsung pada teman dan guru yang membuat siswa semakin aktif. Dalam pembelajaran ini juga peneliti yang tidak memberitahukan siapa yang akan menjawab soal yang diberikan guru mendorong totalitas kelompok untuk terlibat sehingga meningkatkan motivasi dalam belajar matematika. Disamping itu peneliti juga memberikan penghargaan bagi nomor dari anggota kelompok yang telah dipanggil guru untuk menjelaskan kepada teman-temannya hasil diskusi mereka, orang yang menanggapi dan hadiah bagi kelompok terbaik sebagai wujud dalam memotivasi siswa belajar. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional guru menjelaskan kepada siswa seluruhnya secara satu arah sehingga siswa kurang aktif dan tidak terdapat interaksi yang baik antara guru dan siswa yang berakibat siswa kurang termotivasi belajar matematika dan siswa tidak berani bertanya saat peneliti memberikan kesempatan bertanya, saat peneliti memberikan soal-soal siswa juga hanya mengerjakan secara individu sehingga tidak terjadi pertukaranpikiran dengan teman sehingga hasilnya kurang optimum. Dari hal di atas dipandang perlu untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) sebagai salah satu alternatif pembelajaran untuk dapat meningkatkan motivasi belajar matematika siswa.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Motivasi belajar matematika siswa pada materi pokok kaidah pencacahan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT memiliki nilai rata-rata 59,475. Sedangkan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional memiliki nilai ratarata 56,35
2.
Secara statistik dengan menggunakan regresi disimpulkan bahwa motivasi belajar matematika siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih tinggi dibandingkan dengan motivasi belajar matematika siswa yang diajar
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
49
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
dengan menggunakan model pembelajaran konvensional pada materi
pokok kaidah
pencacahan di kelas XI IPA SMA Budi Murni 2 Medan T.A. 2011/ 2012, hal ini dibuktikan dari model regresi dan hasil pengujian hipotesis untuk kelas eksperimen kelas eksperimen adalah 𝑌 = 13,5294 + 0,8844𝑋 dan besar pengaruh 38,47%
sedangkan kelas kontrol Y
=17,5496 + 0,7404 X dan besar pengaruh 31,01% Berdasarkan hasil penelitian ini maka saran yang dapat peneliti berikan adalah: 1.
Kepada guru matematika dapat menjadikan model pembelajaran kooperatif tipe NHT sebagai salah satu alternatif pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar matematika siswa.
2.
Kepada calon peneliti berikutnya agar mengadakan penelitian yang lebih sempurna sehingga memperoleh hasil yang lebih maksimal dengan materi ataupun tingkatan kelas yang berbeda sehingga hasil penelitian dapat berguna bagi kemajuan pendidikan khususnya pendidikan matematika.
DAFTAR PUSTAKA
A.M, Sardiman.2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada Fifi. 2011. Perbedaan Hasil dan Aktivitas Belajar Siswa yang Diajar dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT dan Tipe TGT pada Pokok Bahasan Logaritma di Kelas X MAN 3 Medan T.A. 2010/2011. Medan:UNIMED Hamalik, Oemar.2009. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara Junaidi.
Wawan.
2010.
Pembelajaran
Kooperatif
Tipe
NHT.
http://wawan-
junaidi.blogspot.com/2010/05/pembelajaran-kooperatif-tipe- nht.html (Diakses Februari 2011) Kristini, Handriani. 2007. Meningkatkan Kemampuan Siswa SMA Memahami Konsep Permutasi dan Kombinasi dengan Menggunakan Model pembelajaran Siklus Belajar (Learning Cycle). JurnalIlmiah Guru kanderang Tingang1: No.1 Lie, Anita. 2010. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo Majid, Abdul. 2008. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya Mulyasa. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya Pujiati, Irma. 2008. Peningkatan Motivasi dan Ketuntasan Belajar Matematika Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD. Jurnal Ilmiah Kependidikan 1:No. 1 Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Surabaya: Kencana. Rohani, Ahmad. 2004. Pengelolaan pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta: Jakarta. Salvin, Robert. 2008. Cooperatif Learning Teori. Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media Sudjana.2005. Metoda Statistika. Tarsito: Bandung.
50
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Sugiyono.2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Suprijono, Agus. 2010. Cooperative Learning. Surabaya: Pustaka Pelajar Syaban, Mumun. 2011. Penerapan Pembelajaran Investigasi dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal pendidikan dan Budaya Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Surabaya: Prestasi Pustaka. Wirodikromo, Sartono. 2007. Matematika untuk SMA Kelas XI. Erlangga: Jakarta
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
51
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
INTERAKSI SISWA DALAM KELOMPOK UNTUK MEMECAHKAN MASALAH KONTEKSTUAL TOPIK PECAHAN KELAS VII Aan Dwi Saputra1), M. Andy Rudhito2) 1) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta, e-mail:
[email protected] 2) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta, email:
[email protected] Abstract Interaksi antar siswa dalam pembelajaran matematika, khususnya dalam pemecahan masalah sangat diperlukan. Hal ini sesuai dengan yang direkomendasikan dalam Kurikulum 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiinteraksi siswa dalam kelompok pada saat menyelesaikan masalah, khususnya masalah kontektual. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif dengan subyek penelitian 3 siswa SMP kelas VII. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah matematika yang semula secara individu tidak dapat diselesaikan, melalui diskusi dalam kelompok dengan difasilitasi guru, akhirnya dapat diselesaikan. Interaksi yang nampak adalah guru memberikan rangsangan, siswa mengemukakan ide penyelesaian, mengingatkan yang lupa, dan saling mengoreksi kesalahan. Keywords: interaksi siswa, kelompok, pemecahan masalah, masalah kontekstual, pecahan.
PENDAHULUAN Matematika adalah ilmu dasar yang berupa fakta, konsep, yang wajib dikuasai oleh siswa sejak awal. Tujuan pembelajaran matematika adalah terbentuknya kemampuan bernalar pada diri siswa yang tercermin melalui kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis dan memiliki sifat obyektif. Pembelajaran matematika bagi sekolah menengah harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif anak. Materi pecahan merupakan salah satu materi matematika di sekolah menengah yang harus dikuasai dan dipahami oleh siswa. Konsep dasar pecahan tersebut memiliki kesinambungan terhadap materi pada jenjang berikutnya. Berdasarkan wawancara dengan siswa SMP, selama ini materi pecahan diajarkan dengan metode konvensional. Hal ini mengakibatkan siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep dari pecahan. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan siswa menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan mengenai konsep pecahan pada umumnya dan dalam memecahkan permasalahan pecahan pada khususnya. Hal tersebut semakin menambah keyakinan bahwa metode pembelajaran yang diterapkan belum mampu membuat siswa paham akan konsep dari pecahan. Oleh karena itu, guru atau pendidik seharusnya menggunakan cara sedemikian rupa sehingga siswa dapat memahami konsep pecahan secara menyeluruh. Berdasarkan kurikulum 2013, dalam kompetensi dasar kelas VII 2.3; mengatakan bahwa memiliki sikap terbuka, santun, objektif, menghargai pendapat dan karya teman dalam interaksi kelompok maupun aktivitas sehari-hari. Kompetensi dasar tersebut sangat jelas bahwa interaksi 52
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
kelompok sangat penting dalam upaya pemhaman konsep secara menyeluruh. Untuk itu disinilah peran guru sangat penting, guru seharusnya memperhatikan interaksi antar siswa yang mendukung dalam proses pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam interaksi tersebut adalah dengan model pembelajaran kooperatif. Strategi pembelajaran ini merupakan strategi pembelajaran kelompok yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan untuk digunakan, maka pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini mengalami kelemahan (Wina Sanjaya). Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan mengunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara tiga sampai dengan enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda. (Wina Sanjaya). Penelitian ini menggunakan pembelajaran kooperatif dengan tujuan menunjukkan bahwa apakah pembelajaran kooperatif berbasis masalah dapat menyelesaikan permasalahan kontekstual yang berhubungan dengan pecahan. Selain itu juga, dapat mengetahui interaksiinteraksi apa saja yang mendukung dalam menyelesaikan permasalahan kontekstual yang berhubungan dengan pecahan. Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan guru dapat mengetahui apakah metode kooperatif lebih efektif membantu siswa dalam memahami konsep dan memecahkan permasalahan pecahan serta interaksi-interaksi apa saja yang mendukung dalam proses pembelajaran.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini mendeskripsikan hasil penelitian berupa pemanfaatan interaksi siswa dalam kelompok untuk memecahkan masalah kontekstual
dengan pendekatan pembelajaran kooperatif berbasis
masalah.
Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian pada tanggal 26 oktober 2013. Tempat penelitian di rumah peneliti di dusun Sragan VII, Sendangagung, Minggir, Sleman.
Target/Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah 3 siswa kelas VII SMP Pangudi Luhur Moyudan pada semester ganjil tahun ajaran 2013/2014. Teknik memperoleh subjek penelitian dengan pendekatan secara personal. Subjek diperoleh melalui hubungan kekerabatan. Kegiatan pembelajaran dilakukan sebanyak satu kali pertemuan. Pembelajaran menggunakan metode kooperatif berbasis masalah.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
53
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Prosedur Data penelitian diperoleh dengan cara observasi langsung, apersepsi, dan wawancara. Observasi langsung dilaksanakan dengan mengamati kegiatan pembelajaran. Pertemuan awal digunakan untuk apersepsi. Apersepsi bertujuan untuk mengingatkan materi sebelumnya dan mengarahkan materi yang akan peneliti uji cobakan. Materi pembelajaran yang diamati yaitu masalah sehari-hari yang berhubungan dengan pecahan.
Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian deskriptif kualitatif dilakukan dengan berbagai tahap-tahap sebagai berikut : 1. Tahap awal Sebelum melakukan penelitian, penulis menyiapkan soal yang secara individu tidak bisa dikerjakan dengan kelompok dapat diselesaikan. Soal berhubungan kehidupan seharihari atau kontekstual. Soal tersebut dipilih karena sesuai dengan kompetensi inti kelas VII poin 2, dikatakan bahwa menghargai dan menghayati perilaku jujur, displin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaanya. Dengan demikian siswa nantinya dapat berinteraksi secara efektif dengan lingkungan. Lembar Soal Nama
:
Sekolah : Soal : Pak Aan seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta di Yogyakarta. Setiap 1 bulan ia menerima gaji Rp. 840.000. Dari gaji tersebut bagian digunakan untuk 3
1
1
kebutuhan rumah tangga, bagian untuk membayar pajak, bagian untuk biaya 5 4 pendidikan, dan sisanya ditabung. a. Berapa bagiankah uang Pak Aan yang ditabung? b. Berapa rupiahkah bagian masing-masig kebutuhan ? c. Kebutuhan mana yang paling banyak di keluarkan oleh Pak Aan ?
Gambar 1. Lembar Soal 2. Tahap pengumpulan data Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan data dengan melakukan pengamatan langsung/observasi dan melakukan tanya jawab dalam kelompok kecil dalam hal ini situasi dalam pembelajaran. Dalam hal ini pengumpulan data dilaksanakan di rumah peneliti.
54
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Sebelum melakukan pengamatan peneliti juga menyiapkan rencana pembelajaran, skenario penelitian, lembar soal, catatan dalam proses pengamatan di lapangan, dan bahan yang diperlukan selama proses pengamatan berlangsung. Pengamatan ini dilakukan selama proses pembelajaran pada topik pecahan dengan menggunakan pembelajaran kooperatif berbasis masalah. Peneliti bertindak sebagai guru. Semua hasil pengamatan dan informasi dikumpulkan. Selain itu proses pembelajaran juga direkam dalam camera guna melengkapi data yang diperlukan oleh peneliti. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis yaitu : 1. Instrumen Pembelajaran Instrumen pembelajaran pada penelitian ini adalah berupa skenario penelitian. Skenario penelitian ini disusun oleh peneliti didasarkan pada pembelajaran yang menggunakan kooperatif berbasis masalah. 2. Instrumen Penelitian Pada penelitian ini, peneliti menggunakan istrumen penelitian berupa tes prestasi belajar siswa. Tes belajar siswa ini merupakan alat ukur atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana dengan cara dan aturan tertentu. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif dengan tahaptahap sebagai berikut : 1. Reduksi Data Reduksi data merupakan suatu proses membandingkan data yang satu dengan data yang lain untuk menemukan dan menghasilkan topik-topik data. Tahap reduksi data dibagi menjadi dua kegiatan, yaitu : a. Transkripsi Rekaman Video Segala hasil rekaman video ditranskripsikan, yaitu menyajikan data kembali berupa segala sesuatu yang terjadi dalam proses pembelajaran di kelas, yang nampak hasil rekaman video selama pembelajaran ke dalam bentuk narasi tertulis dengan dilengkapi data hasil dari pengamatan langsung. b. Penentuan Topik-Topik Data Penentukan topik-topik data yang terdapat dalam transkripsi, merupakan kandungan makna dan arti yang terdapat dalam bagian setiap data yang berkaitan serta mengandung makna tertentu. Makna tertentu tersebut mengenai ide siswa dalam upaya pemecahan masalah pecahan. Selanjutnya dalam menentukan topik-topik data, perlu melakukan interprestasi data transkrip rekaman video. Pengelompokan didasarkan pada data yang mempunyai kesamaan data dijadikan satu topik data, Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
55
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
sedangkan data yang tidak mempunyai kesamaan dapat dijadikan topik data baru. Selain itu, tahap data dalam penelitian ini meliputi mengoreksi pekerjaan siswa. 2. Penyajian Data Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang disusun untuk memberikan kemungkinan-kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam tahap ini data yang berupa interaksi siswa disusun menurut dari urutan obyek penelitian yang dipilih. Tahap penyajian data dalam penelitian ini meliputi menyajikan rekaman dalam proses pembelajaran yang telah direkam pada camera. Dari hasil penyajian data dilakukan analisis, selanjunya disimpulkan yang berupa data temuan, sehingga bisa menjawab permasalahan dalam penelitian ini. 3. Menarik kesimpulan dan verifikasi Verifikasi adalah sebagian dari satu tujuan dari konfigurasi yang utuh sehingga mampu menjawab pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian. Itu semua dilakukan dengan membandingkan hasil pekerjaan siswa dan hasil rekaman dalam proses pembelajaran. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bagian ini akan disajikan proses pembelajaran kooperatif berbasis masalah mengenai masalah kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan pecahan. Peneliti menggunakan sampel 3 siswa kelas VII SMP Pangudi Luhur Moyudan dengan kemampuan akademis yang relatif berbeda. Pada awal pertemuan peneliti melakukan apersepsi materi pecahan secara umum dengan cara guru menanyakan suatu kasus (wawancara) dan siswa menjawab secara lisan. Pembelajaran dilanjutkan dengan pemberian soal yang berkaitan dalam kehidupan sehari-hari dalam kaitannya pecahan. Guru memberikan waktu 30 menit untuk mengerjakan lembar soal. Sampai batas waktu yang sudah ditentukan ketiga siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan lembar soal secara individu tidak dapat diselesaikan. Lembar soal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat dan ketercapaian siswa dalam pembelajaran kooperatif berbasis masalah. Selanjutnya guru menyuruh setiap siswa untuk mempresentasikan jawabannya didepan kelas, melalui diskusi dalam kelompok dengan difasilitasi guru, ketiga siswa dapat menyelesaikan lembar soal. Contoh interaksi yang nampak adalah guru memberikan rangsangan, siswa mengemukakan ide penyelesaian, saling mengingatkan yang lupa, dan saling mengoreksi kesalahan. Tabel 1. Interaksi yang nampak dalam pembelajaran G = Guru (Peneliti), S1 = Siswa 1 , S2 = Siswa 2, S3 = Siswa 3 Kegiatan Pembelajaran Kooperatif Interpretasi Interaksi 1. [G mengucapkan selamat sore temanteman semua] 2. G : Sebelum kita memulai pembelajaran pada sore hari ini alangkahnya kita berdoa terlebih dahulu, silahkan salah satu dari kalian memimpin doa, tidak usah saya 56
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
tunjuk. G : Ayo S1 memimpin doa G : Terima kasih nima G : Ini ada presensi nanti diisi ya G : Oke, pada sore hari ini kita akan belajar mengenai pecahan. Dari temanteman semua, apakah yang kalian ketahui tentang pecahan? Pernahkah belajaar pecahan? 7. S1, S2, S3 : Pernah, saat SD dan SMP 8. G : Pada sore hari ini, kita akan belajar mengenai sub bab dari pecahan yakni memecahan masalah sehari-hari yang berkaitan dengan pecahan 9. G : Dalam kehidupan sehari-hari, pernahkah kalian berhubungan dengan pecahan? Ayo sebutkan ? 10. S1 : Kalau mau membeli bumbu-bumbu 1 dapur, beli cabai 4 11. G : Terima kasih S1, bagus 12. G : Ada yang lain, bagaimana kalau S2? 13. S2 : Apa ya ? 14. G : R berapa bersaudara ? 15. S2 : 5 16. G : Kalau ibu beli 1 roti, dek R mendapat berapa bagian agar sama-sama rata ? 1 17. S2 : 1 : 5 jadinya 5 18. G : Bagus S2, bagaimana kalau S3 ? 1 1 19. S3 : Kalau membeli buah, beli atau kg 4 2 20. G : Oke, nah dengan demikian kalian ternyata sangat berhubungan dan dekat dengan pecahan dalam sehari-hari. Banyak manfaat pecahan dalam kehidupan sehari. 21. G : Biar lebih jelas, saya mempunyai soal. Tolong dikerjakan sendiri-sendiri ya? [Guru membagikan soal, dan mengingatkan siswa jangan dilupakan materi pecahan sebelumnya serta meminta siswa mengerjakan di kertas manila yang saya bagikan] 22. G : Salah satu dari kalian membaca terlebih dahulu soalnya? 23. S2 : [Membaca Soal] 24. S2 : Pak Aan seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta di Yogyakarta. Setiap bulan ia menerima gaji Rp. 840.000. Dari 1 gaji tersebut bagian digunakan untuk
Volume 1
3. 4. 5. 6.
3
Guru memberikan rangsangan
Siswa saling mengemukakan ide
Guru memberikan rangsangan
Siswa mengemukakan ide penyelesaian
1 5
kebutuhan rumah tangga, bagian untuk 1
membayar pajak, 4 bagian untuk biaya pendidikan, dan sisanya ditabung. 25. G : Pertanyaannya ? 26. S2 : Berapa bagiankah uang Pak Aan yang ditabung? Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
57
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Berapa rupiahkah bagian masing-masing kebutuhan ? Kebutuhan mana yang paling banyak di keluarkan oleh Pak Aan ? 27. G : Sudah jelas maksud dari soal? Kalau ada yang belum jelas silahkan bertanya [Guru memberikan kesempatan mengerjakan soal dengan waktu 30 menit] [Guru juga melihat hasil pekerjaan siswa, ternyata dari ketiga siswa, semuanya tidak dapat menyelesaikan soal] 28. G : Guru meminta hasil dari pekerjaannya dipresentasikan di depan ? 29. G : Ayo dek S3 maju? 30. S3 : [C maju di depan] 31. S3 : [Membacakan hasil pekerjaanya] 32. S3 : Kebutuhan rumah tangga 1 = x Rp. 840.000 = Rp. 280.000 3 Kebutuhan pajak 1 = x Rp. 840.000 = Rp. 168.000 5 Kebutuhan pendidikan anak 1 = 4 x Rp. 840.000 = Rp. 210.000 Jadi jawabannya : Rp. 350.000 33. G : Bagaimana pekerjaan S3 ? 34. S2 : Tempatku jawabannya yang A beda ? 35. S2 : Yang bawah sendiri per 60 ? 36. G : KPK dari 3, 4, dan 5 berapa ? yang benar 60 atau 80 ? 37. S1, S2, S3 : 60 38. Terima kasih dek S3. Sekarang gantian S2 yang maju. 39. [S2 mulai maju dan mengerjakan di depan kelas] 1 1 1 =1- − − 20
3
41. S1, S2, S3 : Salah, seharusnya disamakan 60 penyebutnya dulu, menjadi 60 42. S2 : [Mulai membetulkan jawabannya] 1 1 1 =1-3−5−3 60 60 13 = ; 60
–
(20+12+15) 60
Saling mengkoreksi kesalahan Guru memberikan rangsangan
Siswa mengemukakan ide penyelesaian
Guru memberikan pancingan
Mengingatkan yang lupa Siswa mengemukakan ide penyelesaian, Saling mengkoreksi kesalahan
13
jadi bagian yang ditabung 60 43. G : Bagus S2, sudah jelas? 44. S1, S2, S3 : Sudah 45. G : Guru meminta N maju ke depan kelas 46.S1 : [Mulai mengerjakan di depan kelas] Kebutuhan rumah tangga 1 = 3 x Rp. 840.000 = Rp. 280.000 58
Siswa mengemukakan ide penyelesaian,
5 3 20−12−15
= 20 – 60 =.. 40. G : Guru menanyakan, benar atau salah 20 nilai 1 menjadi 20 ?
=
Siswa mengemukakan ide penyelesaian
Siswa mengemukakan ide penyelesaian
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Kebutuhan membayar pajak 1 = 5 x Rp. 840.000 = Rp. 168.000 Kebutuhan pendidikan anak 1 = 4 x Rp. 840.000 = Rp. 210.000 Di tabung 1 = 4 x Rp. 840.000 = Rp. 182.000 47. G : Guru meminta untuk mengulangi hasilnya, apakah semua kebutuhan apakah sama dengan gaji Pak Aan? 48. S1 : [Mulai menjumlahkan semua kebutuhan] Hasilnya sama seperti dengan gaji pak Aan, Rp. 840.000. 49. S1, S2, S3 : yee [Ketawa] [Semua siswa sudah bisa menyelesaikan lembar soal dalam kelompok dengan didampingi guru] 50. G : Guru menanyakan apakah sudah jelas? 51. S1, S2, S3 : Sudah 52. G : Selanjutnya sekarang yang S3? Siapa yang belum maju ? 53. S1 dan S2 : Menyebut S3 belum maju, tadi hanya berdiri, belum menjelaskan. 54. G : Guru meminta S3 untuk maju didepan menjelaskan soal C? 55. S3 : [Membaca soal C] Kebutuhan mana yang paling banyak dikeluarkan oleh Pak Aan ? Kebutuhan rumah tangga : Rp 280.000 56. G : Benar? 57. S1 dan S2 : Ya, karena yang paling banyak 58. G : Menanyakan apakah sudah jelas? 59. S1, S2, S3 : Sudah 60. G : Kenapa tadi tidak bisa mengerjakan? 61. S1, S2, S3 : Lupa materi mas, tadi belum kepikiran 62. G: Dengan pembelajaran sore ini tolong diingat dan disimpan ya ? 63. G : Ada yang ditanyakan? 64. S1, S2, S3 : Tidak mas 65. G : Pembelajaran hari ini kita belajar apa? 66. S1, S2, S3 : Lebih mengerti, lebih mendalami pecahan dalam kehidupan sehari-hari 67. G : Guru memberikan peneguhan materi pecahan. Selanjutnya guru mengucapkan terima kasih atas pembelajaran hari ini. Guru meminta salah satu siswa untuk memimpin doa penutup. 68. S1 : [Memimpin doa penutup] 69. G : Selamat sore teman-teman. Terima kasih.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Volume 1
Guru memberikan rangsangan
Siswa mengemukakan ide penyelesaian
Mengingatkan yang lupa
Siswa mengemukakan ide penyelesaian
Siswa mengemukakan ide penyelesaian
59
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Hasil pengamatan interaksi dalam proses pembelajaran kooperatif berbasis masalah dengan pendampingan guru. Terlihat berbagai macam interaksi-interaksi yang nampak antara lain : guru memberikan rangsangan, siswa mengemukakan ide penyelesaian, mengingatkan yang lupa, dan saling mengoreksi kesalahan. Dalam pembelajaran tersebut, siswa terlihat lebih antusias dalam pembelajaran, siswa juga menjadi aktif dalam pembelajaran berlangsung. Selain itu terlihat bahwa masalah matematika yang semula secara individu tidak dapat diselesaikan, melalui diskusi dalam kelompok dapat diselesaikan. Proses demikian sangat baik bagi siswa dalam proses membangun pengetahuan dan pemecahan masalah kontekstual.
SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa: 1. Pembelajaran kooperatif berbasis masalah dengan pendampingan guru dapat menyelesaikan permasalahan kontekstual yang berhubungan dengan pecahan. 2. Interaksi yang nampak dan mendukung dalam menyelesaikan permasalahan kontekstual yang berhubungan dengan pecahan antara lain: guru memberikan rangsangan, siswa mengemukakan ide penyelesaian, mengingatkan yang lupa, dan saling mengoreksi kesalahan. SARAN Penelitian ini bisa diujicobakan dalam lingkup kelas yang sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasionsal. 2013. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah. Kartika, Budi. 2001. Berbagai Strategi Untuk Melibatkan Siswa Secara Aktif Dalam Proses Pembelajaran Fisika Di SMU, Efektivitasnya, Dan Sikap Mereka Pada Strategi Tersebut. Yogyakarta: Widya Dharma (Universitas Sanata Dharma) Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Surjadi. (2012). Membuat Siswa Aktif Belajar. Bandung: CV. Mandar Maju. Wina Sanjaya.(2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media.
60
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Self Efficacy dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation Ahmad Dzulfikar Program Studi Pendidikan Matematika SPs UPI Jl. Dr. Setiabudi 229, Bandung 40154, email:
[email protected] Abstrak Matematika perlu dikuasai sejak dini untuk membekali siswa agar memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk menghadapi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan mata pelajaran matematika diberikan pada siswa yaitu agar mereka memiliki kemampuan pemecahan masalah. Namun, ironisnya penelitian yang ada menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa belum memuaskan. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah matematis siswa harus ditingkatkan. Studi literatur ini mengkaji secara teoritis efektivitas dari pembelajaran kooperatif tipe group investigation dalam meningkatkan kemampuan ini. Selain itu, akan dikaji pula keefektifan pembelajaran ini dalam mengembangkan self efficacy matematis siswa. Hal ini dikarenakan, self efficacy memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Kata kunci: self efficacy, kemampuan pemecahan masalah matematis, pembelajaran kooperatif tipe group investigation
PENDAHULUAN Matematika perlu dikuasai sejak dini untuk membekali siswa agar memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk menghadapi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan mata pelajaran matematika diberikan pada siswa, sebagaimana disebutkan pada lampiran permendiknas nomor 22 tahun 2006, yaitu agar mereka memiliki kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Hal ini diperlukan agar sebelum siswa dihadapkan dengan permasalahan dalam kehidupan nyata yang sedemikian kompleks dan rumit, mereka telah memiliki kemampuan pemecahan masalah. Sehingga siswa terbiasa dalam menghadapi masalah di kemudian hari. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah siswa harus selalu diasah dan ditingkatkan. Cooneyet al. (Hudojo, 2003: 167) menyatakan bahwa mengajar siswa untuk memecahkan masalah-masalah memungkinkan mereka menjadi lebih analitis dalam mengambil keputusan dalam hidup. Hal ini dikarenakan mereka menjadi terampil mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi tersebut, dan menyadari pentingnya meneliti kembali hasil yang telah diperoleh. NCTM menekankan bahwa pemecahan masalah sebagai fokus sentral dari kurikulum matematika dan kemampuan untuk memecahkan masalah menjadi alasan untuk mempelajari
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
61
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
matematika (Wahyudin, 2008: 356). Lebih lanjut, NCTM menyatakan bahwa pemecahan masalah juga menjadi fokus dalam pendidikan matematika (McIntosh & Jarrett, 2000: 4). Berdasarkan uraian tersebut bahwa memiliki kemampuan pemecahan adalah sangat bermanfaat bagi siswa. Namun, kenyataan yang ada adalah kemampuan pemecahan masalah siswa belum memuaskan. Laporan The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) bahwa siswa SLTP Indonesia sangat lemah dalam problem solving namun cukup baik dalam keterampilan prosedural (Mullis et al., dalam Herman, 2006). Bukti ini diperkuat lagi dengan gambaran kelemahan siswa Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal Matematika dari PISA dan TIMSS yang disadur dari laporan hasil survey PISA tahun 2000 dan TIMSS tahun 2003 terbitan tahun 2006 oleh Puspendik (Pusat Penilaian Pendidikan) Balitbang Depdiknas (Wardani dan Rumiati, 2011: 55) yang memperlihatkan bahwa siswa di Indonesia lemah dalam mengerjakan soal-soal yang menuntut kemampuan pemecahan masalah. Hasil tidak jauh berbeda juga ditunjukkan dari hasil studi PISA pada 2009, Indonesia memperoleh skor 371 dari rata-rata internasional 500 atau menduduki peringkat 61 dari 65 negara peserta (PISA, 2010). Sementara itu, pada hasil TIMSS terbaru yang dirilis pada 2011 skor dan peringkat Indonesia menunjukkan penurunan. Pada 2011 skor Indonesia turun dari 397 menjadi 386 dengan menduduki peringkat 38 dari 42 negara. Penurunan tersebut mungkin disebabkan oleh kurangnya kemampuan berfikir matematis pada diri siswa yang termasuk di dalamnya adalah kemampuan berfikir matematis tingkat tinggi. Dimana, salah satu bentuk kemampuan berfikir matematis tingkat tinggi adalah kemampuan pemecahan masalah matematis. Hasil penelitian Supriatna (2011) memberikan gambaran bahwa soal-soal yang menuntut kemampuan pemecahan masalah matematis belum dikuasai oleh siswa. Hal ini terlihat dari jumlah siswa SMP Negeri di Sumedang yang menjawab benar adalah 25,70%. Sedangkan, pada siswa SMA Negeri di Sumedang yang menjawab dengan benar adalah 36,6%. Dari hasil tersebut, diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa rendah. Hasil tidak jauh berbeda ditunjukkan oleh Rahayuningrum (2013), ia juga menemukan bahwa kemampuan dalam menyelesaikan masalah matematis siswa masih rendah. Ketika dihadapkan soal penyelesaian masalah, siswa masih terlihat kebingungan dan memerlukan waktu lama untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Robiah (2013) menemukan bahwa siswa kesulitan dalam melaksanakan proses pemecahan masalah matematis. Dilihat dari langkah pemecahan masalah yang diajukan Polya yang di dalamnya adalah meliputi memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melakukan penyelesaian sesuai rencana dan melakukan pengecekan kembali jumlah siswa yang kesulitan melaksanakan proses tersebut pada kelas kontrol dan eksperimen berturut-turut adalah 6,84%, 31,61%, 47,89%, dan 68,64%. Oleh karena itu, perlu diupayakan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa guna mengoptimalkan prestasi belajar mereka.
62
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Setiawan (2006: 2) menyebutkan bahwa rendahnya hasil pembelajaran matematika di Indonesia salah satunya disebabkan karena siswa cenderung pasif dalam pembelajaran yang berakibat mereka tidak dapat berfikir matematis secara optimal yang mendorong terkonstruksinya pengetahuan mereka sendiri. Hal ini bermuara pada kurang efektifnya pembelajaran yang dikembangkan di kelas. Rahayuningrum (2013) menemukan bahwa faktor yang menyebabkan rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa selain mereka kesulitan dalam menyusun model matematika dan menyelesaikan masalah yang diberikan adalah kurangnya partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran. Selain mengamanatkan pentingnya kemampuan pemecahan masalah dimiliki siswa, dalam lampiran permendiknas no. 22 tahun 2006 juga mengamanatkan pentingnya percaya diri dimiliki oleh para siswa. Lampiran permendiknas no. 22 tahun 2006 juga menyebutkan tujuan mata pelajaran matematika diberikan pada siswa yaitu agar mereka memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Salah satu bagian dari kepercayaan/keyakinan diri siswa adalah keyakinan diri mereka pada matematika atau self efficacy matematis. Hacket & Betz (Nicolaidou & Philippou, 2004: 4) menyatakan bahwa pengaruh self efficacy terhadap performa dalam matematika sama kuatnya dengan pengaruh kemampuan mental secara umum. Oleh karena itu, dibutuhkan self efficacy yang kuat pada diri siswa agar mereka dapat berhasil dalam proses pembelajaran matematika. Hasil penelitian tentang self efficacy menunjukkan bahwa self efficacy secara signifikan mempengaruhi prestasi akademik dan menjadi dasar indikator yang paling kuat atas prediksi performa dalam tugas-tugas matematika (Gaskill & Murphy, dalam Mukhid, 2009: 118) dan memiliki korelasi positif yang signifikan, serta menjadi powerful predictor terhadap pemecahan masalah (Nicolaidou & Philippou, 2004: 1). Sejalan dengan hasil-hasil penelitian tersebut, hasil penelitian Collins (Mukhid, 2009: 116) menunjukkan bahwa siswa yang berkemampuan matematika dan memiliki self efficacy yang lebih kuat, mereka lebih cepat dalam membuat strategi dan memecahkan masalah, dan memilih mengerjakan kembali masalah yang belum mereka pecahkan, serta melakukannya dengan lebih akurat daripada siswa dengan kemampuan sama yang diragukan self efficacy-nya. Mayer (Sophocleous & Gagatsis, 2009) menekankan bahwa siswa yang meningkat self efficacynya akan meningkat pula kesuksesan dalam memecahkan masalah. Namun, kenyataannya self efficacy matematissiswa dapat dikatakan masih rendah. Hasil penelitian Risnanosanti (2010) menemukan bahwa secara umum self efficacy matematis siswa masuk dalam kategori cukup. Sementara itu, dalam penelitiannya Widyastuti (2010) menemukan bahwa self efficacy matematis siswa tergolong rendah. Bahkan, 40,69% diantaranya termasuk dalam kategori sangat rendah.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
63
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Berdasarkan urgensi tersebut, kemampuan pemecahan masalah dan self efficacy matematis siswa harus dikembangkan sejak dini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan siswa dalam pembelajaran melalui implementasi pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan self efficacy matematis siswa.
PEMBAHASAN Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Kemampuan pemecahan masalah adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh siswa dalam proses pemecahan masalah. Krulik & Rudnick (Carson, 2007: 7) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai sarana bagi siswa untuk menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang telah mereka miliki untuk diterapkan dalam situasi yang baru dan berbeda. Sedangkan, menurut Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 (Shadiq, 2009: 14) bahwa pemecahan masalah matematis merupakan kompetensi strategik yang ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih pendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan menyelesaikan model untuk menyelesaikan masalah. Indikator yang menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematis adalah sebagai berikut. a. Menunjukkan pemahaman masalah. b. Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah. c. Menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk. d. Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat. e. Mengembangkan strategi pemecahan masalah. f.
Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah.
g. Menyelesaikan masalah yang tidak rutin. Pemecahan masalah adalah proses dan bukan hasil(NCTM, dalam Latterell, 2003: 5). Dewey (Carson, 2007: 8) menyatakan langkah untuk menemukan solusi pemecahan masalah adalah: (1) menghadapi masalah, (2) mendiagnosis dan mendefinisikan masalah, (3) merencanakan solusi, (4) mencari solusi sesuai rencana, dan (5) mengecek kembali solusi. Sedangkan menurut Krulik
&
Rudnick (Carson, 2007: 8),adalah (1) membaca, (2)
mengeksplorasi, (3) memilih strategi, (4) memecahkan, dan (5) meninjau kembali. Pendapat lain dikemukakan oleh Polya (Hudojo, 2003: 84), ia menyatakan bahwa terdapat empat langkah untuk menemukan solusi pemecahan masalah, yaitu sebagai berikut. a. Memahami masalah Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak akan mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar. Setelah siswa dapat memahami
64
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
masalah dengan benar, selanjutnya mereka harus dapat menyusun rencana penyelesaian masalah. b. Merencanakan penyelesaian Kemampuan melakukan langkah kedua ini sangat tergantung pada pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah. Pada umumnya semakin bervariasi pengalaman mereka, ada kecenderungan siswa lebih kreatif dalam menyusun rencana penyelesaian suatu masalah. c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana Setelah rencana penyelesaian suatu masalah telah dibuat, baik secara tertulis ataupun tidak, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang dianggap paling tepat. d. Melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan Langkah terakhir dari proses penyelesaian masalah adalah melakukan pengecekan atas apa yang telah dilakukan mulai dari langkah pertama sampai langkah yang ketiga. Dengan cara seperti ini maka berbagai kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi kembali sehingga siswa dapat sampai pada jawaban yang benar sesuai dengan masalah yang diberikan. Gagne (Saad & Ghani, 2008: 51-54) menyatakan bahwa terdapat delapan tingkatan belajar, yaitu belajar isyarat, belajar stimulus respon, belajar rangkaian gerak, belajar rangkaian verbal, belajar diskriminasi, belajar konsep, belajar teorema/ aturan, dan pemecahan masalah. Lebih lanjut, Gagne (Suyitno, 2004: 37) menyebutkan bahwa pemecahan masalah merupakan proses belajar yang paling tinggi karena harus mampu memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah. Sehubungan dengan pemecahan masalah, NCTM (Mustakim, 2009: 5) menyebutkan bahwa pembelajaran matematika harus mengupayakan siswa agar dapat mengkonstruksi pengetahuan melalui pemecahan masalah dan memecahkan masalah yang muncul dalam konteks matematika ataupun lainnya. Hal ini diperlukan agar siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah dan menjadi pemecah masalah yang baik. Kilpatrick et al. (Problem Solving Research Base, n.d.: 1)menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa meningkat, jika mereka diberi kesempatan untuk berperan aktif dalam menemukan sendiri solusi dari permasalahan yang disajikan dengan mengintegrasikan konsep, teorema, dan pengetahuan yang siswa miliki. Dalam lampiran permendiknas No. 22 tahun 2006 dinyatakan bahwa dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, siswa secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Di samping itu, juga dapat
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
65
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
memotivasi siswa untuk menyenangi matematika karena mengetahui keterkaitan dan kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Self Efficacy Matematis Bandura (1997: 3) menggunakan istilah self efficacy mengacu pada beliefs seseorang tentang kemampuannya untuk mengorganisasi dan melaksanakan tindakan guna mencapai tujuan tertentu. Self efficacy didefinisikan sebagai judgement seseorang atas kemampuannya untuk merencanakan dan melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian suatu tujuan tertentu (Bandura, dalam Nicolaidou & Philippou, 2004: 3). Dalam hal ini, self efficacy matematis diartikan sebagai judgement seseorang atas kemampuannya untuk merencanakan dan melaksanakan tindakan untuk berhasil dalam tugas-tugas matematika. Bandura (1997: 3) menyatakan bahwa self efficacy berpengaruh terhadap pilihan cara seseorang, banyaknya upaya yang dilakukan, ketekunan dalam menghadapi hambatan dan kegagalan, dan tingkat ketercapaian yang diwujudkan. Schunk (1981: 93) menyebutkan bahwa seseorang dengan self efficacy tinggi, jika diberikan penugasan ia akan antusias dan berusaha keras menunjukkan kemampuannya agar berhasil. Sebaliknya, jika ia tidak memiliki self efficacy yang tinggi mereka cenderung menghidari penugasan atau melaksanakannya dengan setengah hati sehingga cepat menyerah jika menemui hambatan. Bandura (1997: 80-115) menyatakan bahwa ada empat sumber utama yang mempengaruhi self efficacy. Empat sumber tersebut diuraikan sebagai berikut. Pertama, pengalaman keberhasilan, yang merupakan sumber yang paling berpengaruh. Hal
ini
dikarenakan
kegagalan/keberhasilan
pengalaman
masa
lalu
akan
menurunkan/meningkatkan self efficacy seseorang untuk pengalaman serupa kelak. Semakin sering seseorang berhasil dalam hidupnya, semakin tinggi pula self efficacy-nya. Sebaliknya, semakin sering seseorang mengalami kegagalan, maka semakin rendah pula self efficacy-nya. Kedua, pengalaman orang lain. Teori belajar observasional menyatakan bahwa seseorang dapat belajar secara terus menerus dengan mengamati tingkah laku orang lain. Ia menggunakan informasi hasil observasi tersebut untuk membentuk harapan dari suatu perilaku dan konsekuensinya, terutama tergantung pada tingkat keyakinan mana dia mempunyai kesamaan dengan orang yang diobservasi tersebut. Pengalaman orang lain ini biasanya diperoleh melalui interaksi sosial. Dalam penelitian tentang pengaruh pengalaman orang lain terhadap self efficacy, Schunk & Hanson (1985) menyelidiki bagaimana self efficacy dan prestasi siswa dipengaruhi oleh observasi mereka terhadap teman sebaya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa baik kelompok yang mengobservasi teman sebaya maupun guru menghasilkan self efficacy dan prestasi yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol yang tidak mengobservasi model sama sekali. Model teman sebaya berdampak pada self efficacy dan prestasi yang lebih tinggi daripada model guru.
66
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Ketiga, persuasi sosial. Persuasi sosial ini berkaitan dengan dorongan/pengaruh orang lain. Persuasi positif meningkatkan self efficacy, sedangkan persuasi negatif menurunkan self efficacy. Secara umum, lebih mudah untuk menurunkan self efficacy seseorang daripada meningkatkannya. Self efficacy seseorang dapat meningkat melalui pengaruh orang lain yang kompeten sehingga ia mendapat umpan balik positif dalam mengerjakan suatu tugas. Komentar atau persuasi negatif dapat berdampak besar terhadap emosi dan self efficacy seseorang. Keempat, keadaan fisiologis dan emosi. Terkadang, seseorang sering mengandalkan perasaan, secara fisik dan emosi untuk menilai kapabilitas mereka. Jika ada hal negatif, seperti lelah, kurang sehat, cemas, atau tertekan, akan mengurangi tingkat self efficacy seseorang. Sebaliknya, jika seseorang dalam kondisi prima, hal ini akan berkontribusi positif bagi perkembangan self efficacy. Lebih lanjut, emosi yang tinggi akan mengubah self efficacy seseorang. Seseorang yang dalam keadaan stres, cemas, atau tegang dapat menjadi indikator kecenderungan terjadinya kegagalan. Namun, peningkatan emosi yang tidak berlebihan dapat meningkatkan self efficacy. Bandura (1997: 42-43, 2006: 313-314) menyatakan bahwa pengukuran self efficacy seseorang mengacu pada tiga dimensi, yaitu level, strength, dan generality. Berikut akan diuraikan mengenai ketiga dimensi tersebut. Dimensi level berkaitan dengan tingkat kesulitan yang diyakini oleh seseorang untuk dapat ia selesaikan. Sebagai contoh, jika seseorang dihadapkan pada masalah atau tugas yang disusun menurut tingkat kesulitan tertentu maka self efficacy-nya akan jatuh pada tugas-tugas yang mudah, sedang, dan sulit sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan. Dimensi strength berkaitan
dengan tingkat kekuatan atau kelemahan keyakinan
seseorang terhadap kompetensinya. Dengan kata lain, dimensi ini menunjukkan derajat kemantapan seseorang terhadap keyakinannya dalam menghadapi kesulitan yang bisa dikerjakan. Dimensi ini terkait dengan dimensi level, yaitu makin tinggi taraf kesulitan tugas maka makin lemah keyakinan untuk menyelesaikannya. Seseorang dengan self efficacy lemah mudah dikalahkan oleh pengalaman sulit. Sedangkan, orang yang memiliki self efficacy kuat dalam kompetensi akan mempertahankan usahanya walaupun mengalami kesulitan. Dimensi Generality menunjukkan apakah self efficacy seseorang akan berlaku pada domain tertentu atau bertahan dalam berbagai macam aktivitas dan situasi. Dimensi ini berkaitan dengan tingkat pencapaian keberhasilan seseorang dalam mengatasi atau menyelesaikan masalah atau tugas dalam kondisi tertentu. Pajares (1997: 25) menyatakan bahwa ketiga dimensi tersebut terbukti paling akurat dalam menjelaskan self efficacy seseorang. Hal ini dikarenakan self efficacy bersifat spesifik dalam tugas dan situasi yang dihadapi. Seseorang dapat memiliki keyakinan yang tinggi terhadap suatu tugas atau situasi tertentu, tetapi tidak untuk tugas atau situasi lainnya.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
67
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation Group Investigation adalah salah satu bentuk pembelajaran kooperatif. Menurut Sharan & Sharan (Slavin, 2009: 24), pembelajaran Group Investigation merupakan suatu perencanaan pengorganisasian kelas secara umum dimana siswa bekerja dalam kelompok kecil menggunakan inkuiri kooperatif, diskusi kelompok, serta perencanaan dan proyek kooperatif. Dalam pembelajaran ini, para siswa dibebaskan membentuk kelompoknya yang terdiri dari dua sampai enam orang anggota. Kelompok ini kemudian memilih topik-topik dari unit yang telah dipelajari oleh seluruh kelas, membagi topik-topik ini menjadi tugas-tugas pribadi dan melakukan kegiatan yang diperlukan untuk mempersiapkan laporan kelompok. Selanjutnya, tiap kelompok mempresentasikan atau menampilkan penemuan mereka di depan kelas. Interaksi sosial dalam pembelajaran Group Investigation menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan skema mental baru. Guru memberi kebebasan kepada siswa untuk berfikir secara analitis, kritis, kreatif, reflektif, dan produktif. Pola pengajaran ini akan menciptakan pembelajaraan yang diinginkan, karena siswa sebagai objek pembelajaran ikut terlibat dalam penentuan pembelajaran. Sharan & Sharan (Slavin, 2009: 218) menjabarkan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation sebagai berikut. a. Mengidentifikasi topik dan mengatur siswa ke dalam kelompok Siswa memilih subtopik tertentu dalam bidang permasalahan umum tertentu, yang biasanya diterangkan oleh guru. Selanjutnya siswa diorganisasikan ke dalam kelompokkelompok kecil berorientasi tugas yang beranggotakan dua sampai dengan enam orang. b. Merencanakan tugas yang akan dipelajari Siswa dan guru merencanakan prosedur, tugas, dan tujuan belajar tertentu dengan sub-sub topik yang dipilih dalam langkah a. Tugas-tugas pembelajaran dibagi-bagi setiap anggota sesuai dengan topik yang ditetapkan. c. Melaksanakan investigasi Siswa melaksanakan rencana yang diformulasikan dalam langkah b. Pembelajaran mestinya melibatkan beragam kegiatan dan keterampilan dan seharusnya mengarahkan siswa ke berbagai macam sumber di dalam maupun di luar sekolah. Guru mengikuti dari dekat perkembangan masing-masing kelompok dan menawarkan bantuan bila dibutuhkan. d. Menyiapkan laporan akhir Siswa menganalisis dan mengevaluasi informasi yang diperoleh dalam langkah c dan merencanakan bagaimana informasi itu dapat dirangkum dengan menarik untuk ditampilkan atau dipresentasikan kepada teman-teman sekelas. e. Mempresentasikan laporan akhir Beberapa atau semua kelompok di kelas memberikan presentasi menarik tentang topik-topik yang dipelajari untuk membuat satu sama lain saling terlibat dalam pekerjaan
68
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
temannya dan mencapai perspektif yang lebih luas tentang sebuah topik. Presentasi kelompok dikoordinasikan oleh guru. f. Evaluasi Untuk kelompok yang menindaklanjuti aspek-aspek yang berbeda dari topik yang sama, siswa dan guru mengevaluasi kontribusi masing-masing kelompok ke hasil pekerjaan secara keseluruhan. Evaluasi dapat memasukkan asesmen individual atau kelompok ataupun kedua-duanya. Walaupun dalam pembelajaran ini terpusat pada siswa. Namun peran guru, masih sangatlah esensial. Peran guru dalam pembelajaran ini, sebagaimana diungkapkan oleh Setiawan (2006: 12) antara lain sebagai berikut. a. Memberikan instruksi dan informasi yang jelas. b. Memberikan bimbingan seperlunya dengan menggali pengetahuan siswa yang menunjang pada pemecahan masalah (bukan menunjukkan hasilnya). c. Memberikan dorongan sehingga siswa lebih termotivasi. d. Menyiapkan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh siswa. e. Memimpin diskusi dalam pengambilan kesimpulan. Saad & Ghani (2008: 172) menjelaskan peran guru dalam pembelajaran kooperatif, yaitu sebagai berikut. a. Sebelum pembelajaran Guru menentukan secara spesifik kemampuan yang diharapkan dapat dicapai siswa, menentukan ukuran kelompok dan bagaimana mengatur siswa ke dalam kelompokkelompok kecil, bagaimana membangun peran siswa dalam kelompok, dan merancang bahan ajar yang akan digunakan, serta menentukan pengaturan kelas selama pembelajaran. b. Setting pembelajaran Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan penugasan yang diberikan, menjelaskan elemen-elemen utama dalam belajar kooperatif, dan menjelaskan bagaimana supaya siswa dapat berhasil baik secara individual maupun kelompok. c. Selama kerja kelompok Guru harus memonitor aktivitas siswa dan memberikan bantuan seperlunya jika dibutuhkan. Selain itu, guru juga harus mengumpulkan data kemampuan belajar dan bersosialiasi siswa. d. Di akhir pembelajaran Guru harus mensurvei kualitas dan kuantitas belajar siswa secara individual maupun kelompok. Selain itu, guru harus memberikan umpan balik positif atas proses dan hasil belajar siswa. Pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dapat melatih siswa untuk menumbuhkan kemampuan berfikir mandiri. Keterlibatan secara aktif dapat terlihat mulai tahap
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
69
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
pertama sampai tahap terakhir pembelajaran sehingga memberi peluang bagi siswa untuk lebih mempertajam gagasan dan guru akan mengetahui kemungkinan gagasan siswa yang salah sehingga guru dapat memperbaikinya. Secara umum dapat diuraikan beberapa keuntungan yang diperoleh siswa sebagaimana yang dungkapkan oleh Setiawan (2006: 9) berikut ini. a. Keuntungan pribadi
Dalam proses belajarnya dapat bekerja secara bebas.
Memberi semangat untuk berinisiatif, kreatif, dan aktif.
Rasa percaya diri dapat lebih meningkat.
Dapat belajar untuk memecahkan dan menangani suatu masalah.
Mengembangkan antusiasme dan rasa tertarik pada matematika.
b. Keuntungan sosial
Meningkatkan belajar bekerja sama.
Belajar berkomunikasi baik dengan teman sendiri maupun dengan guru.
Belajar berkomunikasi yang baik secara sistematis.
Belajar menghargai pendapat orang lain.
Meningkatkan partisipasi dalam membuat suatu keputusan.
c. Keuntungan Akademis
Siswa terlatih untuk mempertanggungjawabkan jawaban yang diberikannya.
Bekerja secara sistematis.
Mengembangkan dan melatih keterampilan matematika dalam berbagai bidang.
Merencanakan dan mengorganisasikan pekerjaannya.
Mengecek kebenaran jawaban yang mereka buat.
Selalu berfikir tentang cara/strategi yang digunakan sehingga didapat suatu kesimpulan yang berlaku umum. Sumarmo (2005) menyebutkan bahwa kelebihan pembelajaran kooperatif adalah: (1)
semua kelompok siswa (tinggi, sedang, rendah) mencapai hasil belajar yang lebih baik, (2) berlangsung hubungan personal dan akademik yang lebih baik di antara anggota, dan (3) menumbuhkan suasana psikologis yang sehat pada anggotanya, seperti toleransi, sensitivitas, keramahan, self efficacy, pengembangan sosial kemampuan sosial, self esteem, identitas diri, dan kemampuan mengatur keberagaman dan tekanan. Karena Group Investigation merupakan salah satu tipe dari pembelajaran kooperatif maka kelebihan yang ada pada pembelajaran kooperatif juga termuat dalam Group Investigation ini. Sharan & Sharan (1989: 20) menyebutkan bahwa, ―Group Investigation lebih efektif diterapkan karena memberikan siswa kesempatan lebih untuk menguasai pembelajaran daripada dengan metode pembelajaran yang lain‖. Selanjutnya menurut Zingaro (2008: 6), ―Skor hasil belajar siswa lebih tinggi ketika Group Investigation digunakan‖. Hasil penelitian Lazarowitz &
70
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Karsenty (Istikomah et al., 2010: 40) menunjukkan bahwa, ―Model pembelajaran Group Investigation mampu meningkatkan hasil belajar dan prestasi akademik‖.
Kaitan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Self Efficacy Matematis dengan Pembelajaran KooperatifTipe Group Investigation Hasil penelitian menunjukkan bahwa self efficacy matematis memberikan dampak positif pada prestasi siswa. Terlebih self efficacy matematis dapat menjadi strong predictor terhadap kemampuan pemecahan matematis pada diri siswa. Pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation juga berkaitan erat dengan empat sumber yang dapat mempengaruhi perkembangan self efficacy. Pengalaman keberhasilan, baik individu maupun kelompok yang diperoleh siswa dapat mengembangkan self efficacy-nya. Selama pembelajaran berlangsung siswa dapat mengobservasi teman dalam kelompoknya, teman kelas ataupun gurunya. Sesuai dengan hasil penelitian Schunk & Hanson (1985) bahwa siswa yang mengobservasi teman sebaya menghasilkan self efficacy yang lebih tinggi daripada sekedar mengobservasi gurunya. Lebih lanjut, siswa yang mengobservasi guru atau teman sebaya memiilki self efficacy yang lebih tinggi daripada siswa yang tidak mengobservasi model sama sekali. Selain itu, sesuai dengan teori Vygotsky yang mendukung pembelajaran ini, dalam pembelajaran kooperatif ini terdapat proses scaffolding, yaitu siswa diberikan permasalahan, jika ia menemui kesulitan, maka diberikan bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah tersebut. Scaffolding ini terkait erat dengan persuasi sosial pada sumber self efficacy atau dapat dikatakan scaffolding ini sebagai persuasi positif yang diberikan guru, dimana persuasi positif ini dapat meningkatkan self efficacy pada diri siswa. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa dalam pembelajaran kooperatif akan menciptakan suasana menyenangkan, dan membangun rasa percaya diri dan antusiasme siswa dalam belajar. Kondisi ini akan berdampak pada keadaan fisiologis dan emosi siswa yang akan mempengaruhi perkembangan self efficacy-nya. Dalam pembelajaran kooperatiftipe Group Investigation siswa terlibat aktif dalam pembelajaran, termasuk di dalamnya proses investigasi dan proses pemecahan masalah. Mereka dapat secara aktif belajar dalam melakukan pemecahan. Bila siswa menemui kesulitan, guru dapat memberikan scaffolding atau bantuan seperlunya kepada siswa. Hal ini sangat bermanfaat dalam upaya mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Oleh karena itu, berdasarkan paparan tersebut, ada dugaan bahwa pembelajaran kooperatiftipe Group Investigation merupakan salah satu pembelajaran yang dapat membantu dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan self efficacy matematis siswa.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
71
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
SIMPULAN Penulis berhipotesis bahwa dengan implementasi pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis. Selain itu, self efficacy matematis siswa juga dapat di tingkatkan melalui penerapan pembelajaran ini.
DAFTAR PUSTAKA Bandura, A. (1997). Self Efficacy: The Exercise of Control. New York: W. H. Freeman and Company. _________. (2006). Guide for Constructing Self-efficacy Scales. Dalam Self-Efficacy Beliefs of Adolescents,
307-337.
Diakses
tanggal
2
November
2012
dari
http://www.ravansanji.ir/files/ravansanji-ir/21655425banduraguide2006.pdf. Carson, J. (2007). A Problem With Problem Solving: Teaching Thinking Without Teaching knowledge. The Mathematics Educator, 17, (2), 7-14. Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Disertasi, tidak diterbitkan. PPS Universitas Pendidikan Indonesia. Hudojo, H. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: JICA Universitas Negeri Malang. Istikomah, S. et al. (2010). Penggunaan Model Pembelajaran Group Investigation untuk Menumbuhkan Sikap Ilmiah Siswa. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 6, 40-43. Kementerian Pendidikan Nasional. (2006). PeraturanMenteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. Latterell, C.M. (2003). Testing the Problem-Solving Skills of Students in an NCTM-oriented Curriculum. The Mathematics Educator, 1,(13), 5-13. McIntosh, R. & Jarrett, D. (2000). Teaching Mathematical Problem Solving: Implementing The Vision
(A
Literature
Review).
Diakses
tanggal
27
Oktober
2012
dari
http://cimm.ucr.ac.cr/ciaemFrances/articulos/universitario/conocimiento/Teaching%20 Mathematical%20Problem%20Solving%3A%20Implementing%20the%20Vision*McIn tosh,%20Robert%20.*McIntosh.pdf. Mukhid, A. (2009). Self Efficacy (Perspektif Teori Kognitif Sosial dan Implikasinya terhadap Pendidikan). Tadris, 4,(1), 108-122. Mustakim. (2009). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika dengan Model Pembelajaran Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kreatif
72
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Matematik Peserta didik Kelas VIII. Tesis, tidak diterbitkan. PPS Universitas Negeri Semarang. Nicolaidou, M. dan Philippou, G. (2004). Attitudes Towards Mathematics, Self Efficacy and Achievement in Problem Solving. Dalam European Research in Mathematics Education III Thematic Group 2. Diakses tanggal 2 Oktober 2012 dari http://www.dm.unipi.it/~didattica/CERME3/proceedings/Groups/TG2/TG2_nicolaidou _cerme3.pdf. Pajares, F. (1997). Current Direction in Self-efficacy Research. In M. maher & P. R. Pintrich (Eds.). Advances in Motivation and Achievement, 10, 1-49. Greenwich, CT: JAI Press. PISA. (2010). PISA 2009 Results: What Students Know and Can Do – Student Performance in Reading, Mathematics and Science (Volume I). Problem Solving Research Base. (n.d.). Math Handbooks Problem Solving: developing Thinking Skills Through Reading and Writing. Diakses tanggal 12 Januari 2012 dari http://www.greatsource.com/GreatSource/pdf/Problem_Solving_Research.pdf. Rahayuningrum, R.H. (2013). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Pada Materi Bangun Ruang Sisi Lengkung dengan Metode Penemuan Terbimbing Siswa Kelas IX F SMP Negeri 2 Imogiri Bantul Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 2013. 509-516. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Risnanosanti. (2010). Kemampuan Berfikir Kreatif Matematis dan Self Efficacy terhadap Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam Pembelajarn Inkuiri. Disertasi, tidak diterbitkan. SPs Universitas Pendidikan Indonesia. Robiah, T. (2013). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Peserta Didik Menggunakan Pembelajaran Discovery Strategy. Journal Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Diakses
tanggal
11
November
2013
dari
http://journal.unsil.ac.id/jurnalunsil-1659-.html. Saad, N.S. & Ghani, S.A. (2008). Teaching Mathematics In Secondary Schools: Theories And Practices. Perak: Universiti Pendidikan Sultan Idris. Schunk, D.H. (1981). Modelling and Attributional Effect on Children Achievement: A Self Efficacy Analysis. Journal of Educational Psychology, 73, 93-105. Schunk, D. H. & Hanson, A. R. (1985). Peer Model: Influence on Children‘s Self Efficacy and Achievement. Journal of Educational Psychology, 77, 313-322. Setiawan. (2006). Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Investigasi. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Matematika.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
73
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Shadiq, F. (2009). Kemahiran Matematika. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan P4TK Matematika. Sharan, Y. & Sharan, S. (1989). Group Investigation Expands Cooperative Learning. Educational Leadership, 47 (4), 17-21. Slavin, R.E. (2009). Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Translated by Narulita Yusron. Bandung: Nusa Media. Sophocleous, P. & Gagatsis, A. (2009). Efficacy Beliefs and Ability to Solve Volume Measurement Tasks in Different Representations. Proceedings of CERME 6. Diakses tanggal 2 Oktober 2012 dari ife.ens-lyon.fr/publications/edition.../wg1-05-sophocleousgagatsis.pdf. Sumarmo, U. (2005). Belajar Kooperatif: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Melaksanakan dan Mengevaluasinya. Makalah padaPelatihanDosen Muda Indonesia Bagian Timur, Ujung Pandang. Supriatna. (2011). Pengembangan Disain Didaktis Bahan Ajar Pemecahan Masalah Matematis Luas Daerah Segitiga Pada Sekolah Menengah Pertama. Tesis, tidak diterbitkan. SPs Universitas Pendidikan Indonesia. Suyitno, A. (2004). Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika 1 (Handout Perkuliahan). Tidak diterbitkan. Trends in International Mathematics and Science Study. (2011). Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) Result. Diakses tanggal 12 November 2013 dari http://nces.ed.gov/timss/table11_3.asp. Wahyudin. (2008).
Pembelajaran
& Model-model
Pembelajaran
(Pelengkap
untuk
Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon Guru Profesional. Tidak diterbitkan. Wardhani, S. dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta: Kemdiknas Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan P4TK Matematika. Widyastuti. (2010). Pengaruh Pembelajaran Model Eliciting Activities terhadap Kemampuan Representasi Matematis dan Self Efficacy Siswa. Tesis, tidak diterbitkan. SPs Universitas Pendidikan Indonesia. Zingaro, D. (2008). Group Investigation: Theory and Practice. Diakses tanggal 25 November 2012 dari http://www.danielzingaro.com/gi.pdf.
74
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
VISUAL THINKING MATEMATIS DALAM DISCOVERY LEARNING SCRISTIA Program Studi Pendidikan Matematika SPs UPI Bandung Jl. Geger Kalong Girang, Bandung 40154, email:
[email protected] Abstract Globalisasi, masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, serta materi TIMSS dan PISA merupakan beberapa tantangan masa depan yang perlu diperhatikan oleh seluruh pemerhati pendidikan. Mencari cara, solusi, dan modal untuk siap menghadapinya merupakan kewajiban untuk semua lapisan. Pemerintah telah berupaya untuk menyediakan cara dan solusi untuk siap menghadapi tantangan tersebut, yaitu pengembangan terhadap kurikulum pendidikan. Khusus untuk materi TIMSS dan PISA, Guru memiliki peran yang paling besar untuk menghadapi tantangan ini, membiasakan siswa untuk terus berlatih dengan soal-soal jenis TIMSS dan PISA. Untuk mengukur kemampuan Matematika siswa, Geometri merupakan salah satu dari empat materi yang di ukur oleh TIMSS. Kemampuan siswa terhadap Geometri sangat mengandalkan kemampuan Visual Thinking, yaitu kemampuan berpikir siswa secara visual, tidak hanya melihat gambaran umum tetapi melalui sudut pandang yang jelas dan kreatif, dengan kemampuan berpikir secara visual ini juga siswa dapat mengidentifikasi masalah, melihat hubungan dari informasi yang ada, dan mengubah informasi ke dalam gambar, grafik atau bentukbentuk lain yang dapat membantu mengkomunikasikan informasi untuk menemukan solusi dari masalah. Kemampuan berpikir yang baik merupakan hal yang mendasar dalam menyelesaikan permasalahan matematika dan membantu mengelola informasi serta membantu dalam kegiatan penyelidikan dan penemuan. Belajar penemuan (Discovery Learning) dapat di utamakan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan Visual Thinking siswa. Tuntutan kurikulum 2013 untuk menerapkan Discovery learning dengan segala macam kelebihan dan keuntungannya merupakan tindakan yang tepat untuk menjadikan siswa Indonesia siap menghadapi tantangan masa depan, materi TIMSS dan PISA, kemajuan teknologi informasi serta Globalisasi. Kata kunci : Visual Thinking matematis, Discovery Learning
PENDAHULUAN Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir, beragumentasi dan memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Untuk itu matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar, membekali peserta didik dengan kemampuan memecahkan masalah, mengaitkan dan merepresentasikan ide-ide, serta mampu mengelola dan memanfaatkan informasi yang diterimanya, yang selanjutnya diharapkan dapat mendorong dan membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan. Kemampuan berpikir yang baik merupakan hal yang mendasar dalam menyelesaikan permasalahan matematika, membantu dalam mengelola informasi yang diterima, serta membantu dalam kegiatan penyelidikan dan penemuan yang diharuskan dalam kegiatan matematika. Pendapat ini didukung oleh Plato (Sugilar, 2012) bahwa seseorang yang baik dalam
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
75
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
matematika akan cenderung baik pula dalam proses berpikirnya, dan seseorang yang dilatih dalam matematika memiliki kecenderungan menjadi pemikir yang baik. Tahap berpikir dalam matematika salah satunya adalah tahap berpikir secara visual yang merupakan tahapan dasar yang harus dimiliki siswa dalam belajar matematika. Beberapa peneliti menyatakan bahwa berpikir visual sebagai sumber alternatif bagi siswa untuk bekerja dengan matematika (Barwise dan Etchemendy, 1991; Dorffler, 1991; Goldenberg, 1991; Tall, 1991 dalam Nemirovsky, 1997). Berpikir visual (visual thinking) dapat menjadi salah satu alternatif untuk mempermudah siswa dalam mempelajari matematika. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Surya (2011) yang menyatakan bahwa siswa biasanya mengalami kesulitan menjembatani pengetahuan informal ke matematika sekolah. Siswa perlu bimbingan dan bantuan khusus pada bentuk representasi pemikiran visual (visual thinking) dari apa yang mereka maksud atau mereka pikirkan sehingga dapat divisualisasikan dalam bentuk struktur ide, ide tersebut bisa sebagai angka, simbol, gambar, diagram, penjelasan model, lukisan yang dapat membantu siswa dalam proses belajar dan menyelesaikan permasalahan matematika mereka. Kemampuan siswa dalam berpikir secara visual (visual thinking) sangat diperlukan untuk sampai pada penarikan kesimpulan dari proses penemuan tersebut. Pendapat ini didukung oleh Giaquinto (2007) yang menyatakan bahwavisualisasimenjadidiandalkansetiap kalidigunakan untukmenemukan (discovery). Selama proses penemuan (discovery learning) siswa dihadapkan untuk berpikir sendiri, menganalisa sendiri, sehingga dapat menemukan prinsip atau prosedur matematika yang telah dipersiapkan oleh guru, dengan discovery learning siswa dihadapkan kepada situasi dimana ia bebas menyelidiki, menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan-bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan, dalam proses menyelidiki hingga menarik kesimpulan. Kemampuan siswa dalam berpikir secara visual (visual thinking) sangat diperlukan untuk sampai pada penarikan kesimpulan dari proses penemuan tersebut. Pendapat ini didukung oleh Giaquinto (2007) yang menyatakan bahwavisualisasimenjadidiandalkansetiap kalidigunakan untukmenemukan (discovery). Penemuan sebagai kreativitas merupakan karakteristik dari Matematika (Marsigit, 2011). Geometri salah satu materi pokok dalam Matematika, Giaquinto (2007) menyatakan bahwa berpikir secara visual (visual thinking)dapat menjadi saranapenemuan (discovery)dalam geometri. NCTM, (2000: 43)menyatakan bahwa siswa harus mengembangkan kemampuan visualisasi melalui hands-on experience dengan variasi terhadap objek-objek Geometri yang selanjutnya dapat menjadikan mereka senang menganalisis dan menggambarkan perspektif, serta dapat mendeskripsikan sifat-sifat yang tidak tampak tetapi dapat disimpulkan. Balim (2009) juga berpendapat bahwa dalam Discovery Learning siswa mengkontruksi pengetahuan berdasarkan informasi baru dan kumpulan-kumpulan data melalui lingkungan mereka sendiri.
76
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Dalam pembelajaran matematika kemampuan visual thinking dapat menjadi alat yang ampuh mengekplorasi masalah matematis dan untuk memberi arti bagi konsep-konsep matematis dan hubungannya (Rosken & Rolka, 2007). Cunninghamm, S & Zimmermann, W (1991) dari kajian teorinya menyimpulkan bahwa visual thinking digunakan untuk menerangkan bermacam-macam fakta dan permasalahan matematika. Namun fakta dari hasil survey Trends International Mathematics Science Study (TIMSS) tahun 2007 (dalam Wardhani & Rumiati, 2011) dalam domain konten geometri kemampuan visual thinking atau berpikir secara visual serta visualisasi terhadap informasi yang diberikan belum dikatakan tinggi, terlihat dari jawaban siswa pada soal TIMSS berikut ini, hanya 19% siswa Indonesia menjawab dengan benar.
Soal ini berada dalam domain konten geometri dan domain kognitif penerapan. Kemampuan yang dibutuhkan untuk menjawab soal tersebut telah dipelajari siswa di kelas VII SMP yaitu ―menentukan hubungan antara dua garis, serta besar dan jenissudut‖ (KD 5.1). Hasil TIMSS menunjukkan bahwa secara internasional, 32% siswa menjawab benar dan hanya 19% siswa Indonesia menjawab benar. Soal ini masih cukup sulit bagi siswa Indonesia. Ada banyak kemungkinan penyebabnya sehingga siswa belum berhasil menjawab dengan benar, antara lain siswa kurang memahami pengetahuan terkait sudut, besarnya jumlah sudut dalam segitiga, hubungan antar sudut. Kemungkinan penyebab lain adalah siswa kurang memahami bagian unsur-unsur dalam masalah yang berhubungan satu sama lain, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa siswa tidak menggunakan kemampuan berpikir secara visualnya. Terkhusus untuk siswa SMP Lubuklinggau yang berlokasi di salah satu daerah diprovinsi Sumatera Selatan, Lubuklinggau merupakan daerah di perbatasan Provinsi BengkuluSumSel, dari wawancara dengan beberapa guru matematika SMP Lubuklinggau, tidak sedikit dari guru tersebut mengetahui jenis dari soal TIMSS maupun PISA, bayangkan jika salah satu SMP di Lubuklinggau yang menjadi sampel dalam penilaian TIMSS maupun PISA, entah apalagi yang akan terjadi dengan skor matematika siswa Indonesia kita.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
77
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
VISUAL THINKING MATEMATIS Visual thinking didefinisikan oleh Hershkowitz, 1998 (dalam Kania, 2013) sebagai kemampuan merepresentasikan, mentransformasikan, menggeneralisasikan, mengkomunikasi, mendokumentasikan dan merefleksikan objek atau benda menjadi informasi visual. Lebih lanjut, Wileman (Stokes, 2001) mendeskripsikan visual thinking sebagai kemampuan untuk mengubah informasi dari semua jenis ke dalam gambar, grafik atau bentuk-bentuk lain yang dapat membantu mengkomunikasikan informasi. Visual thinking menurut Wileman (Stoke, 2001)merupakan kemampuan dalam mengubah informasi dari semua jenis gambar, grafik atau bentuk-bentuk lain yang dapat membantu mengkomunikasikan informasi. Giaquinto (2007) menegaskan bahwa visualisasi dapat menggambarkan kasus definisi, sehingga memberikan kita pemahaman yang lebih jelas tentang aplikasi, dan dapat membantu kita memahami deskripsi dari situasi matematika atau langkah-langkah dalam beberapa penalaran yang diberikan kalimat demi kalimat, serta memungkinkan untuk menyarankan proposisi pada penyelidikan atau ide sebagai bukti. Sementara itu, Arcavi (2003) mendefinisikan visual thinking sebagai kemampuan, proses dan hasil kreasi, interpretasi, penggunaan serta gagasan mengenai gambar, image dan diagram di dalam pikiran, di atas kertas atau menggunakan alat-alat teknologi, dengan tujuan menggambarkan dan mengkomunikasikan informasi, gagasan dan mengembangkan ide-ide sebelumnya serta meningkatkan pemahaman. Seperti yang dikatakan oleh Surya (2011) visual thinking adalah suatu pemikiran yang aktif dan proses analitis untuk memahami, menafsirkan dan memproduksi pesan visual, interaksi antara melihat, membayangkan, menggambarkan sebagai tujuan yang dapat digunakan seperti berpikir verbal. Begitu banyak para ahli telah meneliti tentang visual thinking dan mendefinisikan kemampuan visual thinking, yang pada intinya dengan kemampuan visual thinking yang tinggi membantu seseorang untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan definisi visual thinking sebagai kemampuan yang harus ditingkatkan. Visual thinking merupakan kemampuan berpikir dan proses berpikir yang menggunakan imajinasi dan gambaran pada keadaan nyata dalam memandang suatu permasalahan sehingga dapat menghubungkan, menggambarkan dan mengkomunikasikan informasi yang ada menjadi informasi yang lebih spesifik dalam membuat keputusan atau pemecahan masalah. Presmeg (2011) mengungkapkan tujuh peranan visual thinking dalam pembelajaran matematika, yaitu: 1. Untuk memahami masalah, dengan merepresentasikan masalah visual siswa dapat memahami bagian unsur-unsur dalam masalah yang berhubungan satu sama lain; 2. Untuk menyederhanakan masalah, visualisasi memungkinkan siswa mengidentifikasi masalah dengan versi yang lebih sederhana, pemecahan
78
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
masalah dan kemudian memformalkan pemahaman soal yang diberikan dan mengidentifikasi metode yang digunakan untuk masalah yang serupa; 3. Untuk melihat keterkaitan masalah; 4. Untuk memahami gaya belajar individual, karena setiap siswa memiliki gaya tersendiri untuk merepresentasikan visualisasi saat memecahkan masalah; 5. Sebagai pengganti untuk komputasi/perhitungan. Jawaban masalah dapat diperoleh secara langsung dari representasi visual itu sendiri, tanpa memerlukan komputasi; 6. Sebagai alat untuk memeriksa solusi. Representasi visual dapat digunakan untuk memeriksa kebenaran dari jawaban yang diperoleh; 7. Untuk
mengubah
masalah
kedalam
bentuk
matematis
melalui
representasi visual. Langkah-langkah Visual Thinking menurut Bolton (Nurdin, 2012: 29) adalah: (1) Looking, pada tahap ini, siswa megidentifikasi masalah dan hubungan timbal baliknya, merupakan aktivitas melihat dan mengumpulkan; (2) Seeing, mengerti masalah dan kesempatan, dengan aktivitas menyeleksi dan mengelompokkan; (3) Imagining, mengeneralisasikan langkah untuk menemukan solusi, kegiatan pengenalan pola; (4) Showing and Telling, menjelaskan apa yang dilihat dan diperoleh kemudian mengkomunikasikannya. Di Indonesia, siswa di sekolah kesulitan dalam belajar matematika khususnya dalam memahami permasalahan mempresentasikan apa yang ada dalam pikirannya (visual thinking) dan memecahkan masalah matematika padahal pemecahan masalah matematika merupakan jantung dari matematika dan visualisasi merupakan inti dari matematika. Pada hakekatnya belajar matematika adalah berpikir dan berbuat atau mengerjakan matematika. Disinilah makna dan strategi pembelajaran matematika adalah strategi pembelajaran yang aktif, yang ditandai oleh dua faktor : a. Interaksi optimal antara seluruh komponen dalam proses belajar mengajar di antaranya antara komponen utama yaitu guru dan siswa, b. Berfungsinya secara optimal seluruh ‗‘sense‘‘ yang meliputi indera, emosi, karsa, karya, dan nalar. Hal itu dapat berlangsung antara lain jika proses itu melibatkan aspek visual, audio, maupun teks (Anderson, 2002).
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
79
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
DISCOVERY LEARNING Sund, R.B. (Lutfan, 2008) menyatakan discovery (penemuan) adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Proses mental tersebut antara lain: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya. Dalam pembelajaran dengan metode penemuan siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi. Menurut Ruseffendi (2006) metode discovery adalah metode mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Pada metode discovery, bentuk akhir dari yang akan ditemukan itu tidak diketahui. Dengan metode discovery menurut Ruseffendi (2006) pada dasarnya konsep, dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya yang dipelajari siswa merupakan hal yang belum diketahui oleh siswa, namun telah diketahui oleh guru. Untuk memperoleh pengetahuan tanpa proses pemberitahuan ini, siswa melakukan kegiatan-kegiatan terkaan, mengira-ngira, dan cobacoba untuk sampai pada yang harus ditemukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Balim (2009) bahwa Discovery Learning adalah sebuah metode yang mendorong siswa untuk mencapai kesimpulan yang didasarkan atas hasil aktivitas dan observasi siswa. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Joolingen (1999) dimana siswa mekonstruksi pengetahuan mereka sendiri melalui percobaan dan mengambil kesimpulan dari hasil percobaan tersebut, karena aktivitas konstruktivis akan mengambil domain pemahaman pada tingkat yang tinggi daripada ketika informasi hanya diperkenalkan oleh guru atau hanya dijelaskan. Alliance for Childhood (2000) menyatakan bahwa siswa yang memperoleh pengetahuan dari mereka sendiri lebih besar kemungkinan untuk menggunakan dan memperluas pengetahuan daripada yang menerima pengajaran secara langsung. Dengan demikian, untuk keberhasilan discovery learning, pelajar harus memiliki banyak kemampuan dalam penemuan, seperti Hypothesis umum, desain experiment, perkiraan, dan analisis data ( De Jong & Van Joolingen, in press ). Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning menurut Sardiman, 2005 (Kemdikbud, 2013) guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan. Hal ini disesuaikan dengan karakteristik siswa SMP yang masih belum bisa dilepas begitu saja bekerja untuk menemukan sesuatu. Tetapi memerlukan bimbingan dari guru berupa mengajukan beberapa pertanyaan, memberikan informasi secara singkat, dan sebagainya. Pada pembelajaran penemuan, siswa dihadapkan pada situasi ia bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intusi, dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya
80
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
dianjurkan. Guru bertindak sebagai penunjuk jalan, membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari sebelumnya untuk mendapatkan pengetahuan yang baru. Pengajuan pertanyaan yang tepat oleh guru akan merangsang kreativitas siswa dan membantu mereka dalam ‗menemukan‘ pengetahuan yang baru tersebut. Perlu diingat bahwa, memang metode ini memerlukan waktu yang relatif banyak dalam pelaksanaannya, akan tetapi hasil belajar yang akan dicapai tentunya sebanding dengan waktu yang digunakan. Pengetahuan yang baru akan melekat lebih lama apabila siswa diajarkan secara langsung dalam proses pemahaman dan mengkonstruksi sendiri konsep atau pengetahuan tersebut. Metode pembelajaran ini bisa dilakukan baik secara perseorangan maupun kelompok. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan. Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam belajar yang lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).
KESIMPULAN Untuk memahami masalah dengan merepresentasikan masalah visual siswa dapat memahami bagian unsur-unsur dalam masalah yang berhubungan satu sama lain. Karena dengan visual thinking siswa dapat menyederhanakan masalah, dengan melihat keterkaitan masalah kemudian memformalkan pemahaman soal yang diberikan dan mengidentifikasi metode yang digunakan untuk masalah yang serupa. Rendahnya kualitas pembelajaran menurut Ruseffendi (2006) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (1) metode pembelajaran; (2) kreativitas guru; (3) penggunaan media pembelajaran; (4) motivasi siswa. Penerapan metode pembelajaran patut diduga memiliki kontribusi yang besar dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Metode pembelajaran yang diduga mampu mendongkrak kemampuan visual thinking hasil belajar siswa adalah metode discovery learning. Penggunaan soal-soal yang berjenis TIMSS dan PISA juga bisa di aplikasikan Guru dalam proses pembelajaran. Selama proses penemuan (discovery learning) siswa dihadapkan untuk berpikir sendiri, menganalisa sendiri, sehingga dapat menemukan prinsip atau prosedur matematika yang telah
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
81
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
dipersiapkan oleh guru, dengan discovery learning juga siswa dihadapkan kepada situasi dimana ia
bebas
menyelidiki,
menghimpun
informasi,
membandingkan,
mengkategorikan,
menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan-bahan serta membuat kesimpulankesimpulan, dalam proses menyelidiki hingga menarik kesimpulan. Kemampuan siswa dalam berpikir secara visual (visual thinking) sangat diperlukan untuk sampai pada penarikan kesimpulan dari proses penemuan tersebut. Pendapat ini didukung oleh Giaquinto (2007) yang menyatakan
bahwavisualisasimenjadidiandalkansetiap
kalidigunakan
untukmenemukan
(discovery). Langkah-langkah Visual Thinking menurut Bolton berupa Looking, Seeing, Imagining, dan Showing and Telling dapat dimodifikasi dalam proses pembelajaran pada kegiatan discovery learning sehingga konsep, teorema, rumus, aturan dan sejenisnya ditemukan kembali oleh siswa dan siswa didorong untuk berpikir sendiri berdasarkan intuisi dan pengalamannya, melakukan visualisasi sendiri untuk memecahkan permasalahan yang sedang mereka hadapi sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru, dalam hal ini guru bertindak sebagai pengarah dan pendamping jika diperlukan. Selanjutnya, intuisi, terkaan dan mencoba-coba serta kemampuan visualisasi hendaknya dianjurkan dalam proses ini dan guru sebagai pengarah untuk membantu siswa agar menggunakan ide, konsep dan keterampilan yang sudah mereka pelajari. Dengan membiasakan siswa berpikir secara intuisi mereka masing-masing dan membiasakan siswa dalam kegiatan berpikir secara visual terhadap suatu permasalahan khusunya dalam mengerjakan tugas dan soal matematika dalam suatu rangkaian penemuan dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa dalam mengerjakan soal matematika, karena siswa dilibatkan secara langsung serta dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan menyelesaikan masalah.
DAFTAR PUSTAKA Alliance for Childhood. (2000). Fool‘s gold: A critical look at computers in childhood. [Online] http://www.allianceforchildhood.net/projects/computers/computers_reports_htm
(22
september 2013) Anderson, R.D. (2002). Reforming science teaching: What research says about inquiry. Journal of Science Teacher Education, 13(1),1-12 Arcavi, A. (2003). The Role of Visual Representation in the Learning of Mathematics. Educational Studies in Mathematics, 52, pp. 215-241 Balim, A. G. (2009). The Effects of Discovery Learning on Students‘ Success and Inquiry Learning Skill. Egitim Arastirmalari-Eurasian Journal of Educational Research. 35, 120. Bruner, J. (1985). Actual Minds, Possible Worlds. Harvard University Press
82
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Cunningham, S & Zimmermann, W. (1999). Visualization in Teaching and Learning Mathematics. Editor‘s Introduction: What Is Mathematical Visualization?. Eds. MAA Notes No.19 De Jong, T & Joolingen, W.R. (1998). Discovery Learning with computer simulations of conceptual domain. Review of Educational Research, 68, 179-201 Giaquinto, M. (2007). Visual Thinking in Mathematics. An Epistemological Study. New York: Oxpord University Press Joolingen, W.V. (1999). Cognitive Tools for Discovery Learning. International Journal of Artificial Inteligence in Education, 10, 385-397 Kania, N. (2013). Perbandingan Efektivitas Penggunaan Alat Peraga Konkret dengan Alat Peraga Maya (Virtual Manipulative) terhadap Peningkatan Visual Thinking Siswa. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan Lutfan. (2008). Teknik Penyajian Discovery. Tersedia di www.indoskripsi.com. (hal.20, 26) Marsigit, MA. (2003). Pendalaman dan Pengembangan Konsep Kurikulum 2004 dan Silabus Berbasis Kompetensi Matematika SMP Disampaikan pada Pelatihan TOT II Ilmu-Ilmu Dasar Se Indonesia Di PPPG Matematika Yogyakarta Nemirovsky, Ricardo., & Tacy Noble. 1997. On Mathematical Visualization and The Place Wher We Live. (In) Educational studies in Mathematics: An International Journal, Volume
33,
Issue
2,
pp
99-131.
[Online]
http://link.springer.com/article/10.1023%2FA%3A1002983213048 (13 Maret 2013) Nurdin, E. (2012). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis Siswa Melalui Pendekatan Pembelajaran Visual Thinking: Kuasi-Eksperimen pada Siswa Salah Satu MTs Negeri di Tembilahan. Bandung: Tesis Jurusan Pendidikan Matematika SPs UPI Bandung. Tidak diterbitkan Presmeg, N. (2011). Visualisation in High School Mathematics. Educational Resources Information Center (ERIC). Online [http‖//www.eric.ed.gov/, 14 Maret 2013] Rosken, B & Rolka, K. (2006). A picture is worth a 1000 words-the role of visualization in mathematics learning. Proceedings 30th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 4, pp. 457-464. _____________________. (2007). Integrating Intuition: The Role of Concept Image and Concept Definition for Students‘ Learning of Integral Calculus. The Montana Mathematics Enthusiast (TMME), ISSN 1551-3440, Monograph 3, pp. 181-204. Ruseffendi. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Stoke, S. (2001). Visual Literacy in Teaching and Learning: A Literature Perspective. Electronic Jounal for the Integration of Technology in Education, vol1, no.1. [Online] http://ejite.isu.edu/Volume1No1?Stokes.html, (18 Maret 2013)
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
83
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Sugilar, Hamdan. (2012). Miningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Disposisi Matematika Siswa Madrasah Tsanawiyah Melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi Doktor pada SPs Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak Diterbitkan. Surya, E. (2011). Visual Thinking dalam memaksimalkan Pembelajaran Matematika Siswa dapat Membangun Karakter Bangsa. Jurnal Abmas thn.10, no.10. [Online] http://jurnal.upi.edu/abmas (7 JUli 2013) Trends
International
Mathematics
Science
Study
(TIMSS).
(2011).
Online
[http://doelfproduct.blogspot.com/2013/01/hasil-timss-terbaru. html. 31 Maret 2013] Wardhani & Rumiati. (2011). Modul Matematika SMP Program Bermutu. Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar Dari PISA Dan TIMSS. Kementerian Pendidikan Nasional Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Pusat Pengembangan dan PPPPTK Matematika. [Online] http://p4tkmatematika.org/file/Bermutu%202011/SMP/4.INSTRUMEN%20PENILAIA N%20HASIL%20BELAJAR%20MATEMATIKA%20.pdf, (25 Juni 2013) Zimmerman, B. J., (2000). Self-Efficacy: An Essential Motive to Learn. Contemporary Educational
Psychology,
25,
82-91.
[Online].
http://www.unco.edu/cebs/psychology/kevinpugh/motivation_project/resources/zimmer man00.pdf, (1 Oktober 2013)
84
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DALAM MEMECAHKAN DAN MENGAJUKAN MASALAH MATEMATIKA DI SDN LEMAH PUTRO 1 SIDOARJO Sabrina Apriliawati Sa’ad1), Tatag Yuli Eko Siswono2) (Program Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya Kampus Ketintang Surabaya; 1) Jl. R.A Kartini 16/15 Gresik Jawa Timur;
[email protected]) 2) Perum. Gebang Raya AF 18 Sidoarjo;
[email protected]) Abstrak Salah satu kemampuan yang dibutuhkan siswa dalam proses pembelajaran adalah kemampuan berpikir kreatif. Namun, pelaksanaan pembelajaran matematika yang masih belum optimal mengakibatkan rendahnya kemampuan berpikir kreatif siswa terutama bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) di kelas inklusi. Tulisan ini akan memberikan gambaran tentang kemampuan berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika dan tingkat berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika. Penelitian kualitatif ini merupakan bagian Penelitian Strategi Nasional (Stranas) yang telah dilakukan di SDN Lemah Putro 1 Sidoarjo dengan cara pretes-postes pembelajaran dan wawancara. Subjek dalam penelitian ini adalah 13 anak kelas IV, VA, dan VB yang termasuk ABK. Analisis data hasil tes evaluasi pembelajaran dilakukan dengan mengidentifikasi soal yang dapat diselesaikan ABK. Kemudian dianalisis berdasarkan kriteria tingkat berpikir kreatif. Berdasarkan hasil analisis data, disimpulkan bahwa terdapat 8 subjek (62%) ABK yang termasuk TBK 0, terdapat 2 subjek (15%) ABK yang termasuk TBK 1, dan terdapat 2 subjek (15%) ABK yang termasuk TBK 2, dan terdapat 1 subjek (8%) yang termasuk TBK 3. Kata kunci : anak berkebutuhan khusus (ABK), kemampuan berpikir kreatif
PENDAHULUAN Salah satu kemampuan yang dibutuhkan siswa dalam proses pembelajaran adalah kemampuan berpikir kreatif. Hal ini sesuai dengan Permendiknas Nomer 67 tahun 2013 (Depdiknas, 2013), tujuan pendidikan nasional untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga Negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional tersebut, setiap kegiatan pendidikan termasuk pembelajaran matematika diharapkan meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Alexander (2009) menyebutkan bahwa kemampuan berpikir kreatif merupakan hasil dari interaksi antara individu dengan lingkungan. Jadi kemampuan berpikir kreatif dapat dikembangkan dengan baik apabila situasi lingkungan mendukung. Kemampuan berpikir kreatif siswa dapat dinilai dengan beberapa kriteria. Siswono (2007) memberikan penjenjangan kemampuan berpikir kreatif yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan siswa sebagai berikut.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
85
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Tabel 1. Penjenjangan kemampuan berpikir kreatif siswa Tingkat
Karakteristik
Tingkat 4
Siswa mampu menunjukkan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan atau
(Sangat Kreatif)
kebaruan dan fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.
Tingkat 3
Siswa mampu menunjukkan kefasihan dan kebaruan atau kefasihan dan
(Kreatif)
fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.
Tingkat 2
Siswa
(Cukup Kreatif)
memecahkan maupun mengajukan masalah.
Tingkat 1
Siswa mampu menunjukkan kefasihan dalam memecahkan maupun
(Kurang Kreatif)
mengajukan masalah.
Tingkat 0
Siswa tidak mampu menunjukkan ketiga aspek indikator berpikir kreatif.
mampu
menunjukkan
kebaruan
atau
fleksibilitas
dalam
(Tidak Kreatif)
Lebih lanjut Siswono (2008) menjelaskan bahwa kefasihan adalah kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah dengan berbagai macam jawaban dan benar. Fleksibilitas adalah kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah dengan berbagai cara yang berbeda. Sedangkan kebaruan adalah kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah dengan beberapa jawaban yang berbeda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang ―tidak biasa‖ dilakukan oleh siswa. Salah satu cara atau metode yang dapat diberikan kepada siswa dan mendorong kemampuan berpikir kreatif siswa adalah memecahkan dan mengajukan masalah matematika. Menurut Wheeler et all (dalam Alexander, 2007) tanpa kemampuan berpikir kreatif, individu akan kesulitan untuk mengembangkan kemampuan imajinasinya sehingga siswa tersebut kurang mampu untuk mencari berbagai penyelesaian dari suatu masalah. Sehingga bisa disimpulkan bahwa dalam aktifitas pemecahan masalah, kemampuan berpikir kreatif digunakan untuk mengidentifikasi masalah dan mencari berbagai kemungkinan penyelesaian dari masalah tersebut. Pengajuan masalah pada intinya adalah meminta siswa untuk mengajukan atau membuat masalah baru sebelum, selama, atau sesudah menyelesaikan masalah soal yang diberikan. Siswono (2009) menjelaskan manfaat pengajuan masalah antara lain membantu siswa dalam mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap matematika dan sebagai kegiatan untuk mengarah kepada sikap kritis dan kreatif. Hal ini dikarenakan siswa diminta untuk membuat soal dari informasi yang diberikan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa dalam aktifitas pengajuan masalah, kemampuan berpikir kreatif digunakan untuk memahami informasi yang diberikan dan membuat soal dari informasi tersebut.
86
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Pendidikan adalah kebutuhan bagi semua anak termasuk anak yang memiliki kebutuhan khusus (ABK). Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 (1) yakni negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan. Oleh karena itu, proses pembelajaran di sekolah diharapkan dapat membantu dan mewujudkan prestasi belajar siswa, baik siswa normal maupun siswa berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi merupakan salah satu layanan pendidikan yang memfasilitasi pembelajaran dengan menggabungkan siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi ini mulai mendapat perhatian masyarakat setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 77/P Tahun 2007 Pasal 1 tentang inklusi. Dalam keputusan tersebut dijelaskan bahwa inklusi sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan untuk semua. Sejalan dengan keputusan presiden tersebut, sekarang ini sudah banyak terbentuk sekolahsekolah inklusi yaitu sekolah yang dapat menerima siswa berkebutuhan khusus belajar bersama dengan siswa-siswa normal lainnya. Salah satunya di SDN Lemah Putro 1 Sidoarjo. Kustawan (2012) membedakan anak berkebutuhan khusus menjadi anak berkebutuhan khusus permanen dan anak berkebutuhan khusus temporer. Anak berkebutuhan khusus permanen dibedakan dalam tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, anak berkesulitan belajar, anak lamban belajar, anak autis, anak yang memiliki gangguan motorik, tunaganda, dan anak berbakat. Beragam kelainan ABK tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Terkadang ABK mengalami keterbatasan kemampuan dalam menyerap informasi. Selain itu, ABK juga memiliki hambatan dalam pengelolaan emosi dan perilaku. Hal ini berdampak pada kemampuan akademik terutama kemampuan belajar mereka dalam matematika. Oleh karena itu, ABK memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik mereka. Proses pembelajaran matematika di kelas inklusi diharapkan dapat menumbuhkan kreatifitas ABK. Namun, pelaksanaan pembelajaran matematika masih belum optimal dalam melatih kemampuan berpikir kreatif siswa apalagi ABK. Hal ini disebabkan guru terkadang hanya mentransfer ilmunya dan memberikan soal latihan yang tidak melatih kreatifitas siswa. Dalam pemecahan masalah, guru terkadang mengharuskan siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan langkah penyelesaian guru. Akibatnya kemampuan berpikir kreatif siswa termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK) menjadi rendah dan tidak berkembang. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kemampuan berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika dan tingkat berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
87
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
METODE PENELITIAN Penelitian yang merupakan bagian dari Penelitian Strategi Nasional (Stranas) dilaksanakan di SDN Lemah Putro 1 Sidoarjo tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif karena data kualitatif yang diperoleh digunakan untuk memberikan gambaran tentang kemampuan berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika dan tingkat berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika. Subjek dalam penelitian ini adalah 13 anak kelas IV, VA, dan VB yang termasuk siswa ABK. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pretes-postes pembelajaran untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika dan pedoman wawancara. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode tes dan metode wawancara. Teknis analisis data yang digunakan adalah analisis data hasil tes dalam memecahkan dan mengajukan masalah dan analisis data hasil wawancara. Analisis data dari tes tersebut dilakukan dengan memperhatikan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan yang dilihat dari metode penyelesaian yang digunakan siswa. Dari hasil analisis tersebut, kemampuan berpikir kreatif siswa akan dinilai berdasarkan rubrik penjenjangan kemampuan berpikir kreatif (TBK) Siswono (2007). Kemudian peneliti membandingkan tingkat kemampuan berpikir kreatif ABK dan baru dilakukan wawancara terhadap subjek penelitian. Subjek penelitian yang diwawancarai dipilih berdasarkan hasil tes pemecahan dan pengajuan masalah. Subjek dipilih dari masing-masing TBK (jika ada). Prosedur penelitian yang dilakukan adalah: 1. Memberikan tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan mengajukan masalah kepada subjek tiap kelas untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan dan mengajukan masalah. 2. Menganalisis hasil tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan mengajukan masalah dengan memperhatikan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan dari masalah yang dapat diselesaikan subjek. Hasil analisis tersebut akan menunjukkan TBK subjek. 3. Memilih subjek yang akan diwawancarai untuk mengetahui gambaran kemampuan berpikir kreatif subjek dalam memecahkan dan mengajukan masalah. 4. Melaksanakan wawancara dan menganalisis hasil wawancara. 5. Menganalisis hasil data tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan mengajukan masalah dan hasil wawancara untuk mengelompokkan siswa ke dalam TBK. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas IV, VA, dan VB SDN Lemah Putro 1 Sidoarjo dengan jumlah 13 siswa berkebutuhan khusus yang terdiri dari 10 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Subjek tersebut memiliki berbagai kelainan antara lain lamban belajar,
88
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
tunarungu, tunanetra, kesulitan membaca, dan autis. Peneliti bersama kolaborator melakukan penilaian terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa. Kemampuan berpikir kreatif ABK diketahui dari tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan mengajukan masalah yang diberikan sebelum pembelajaran (pretes) dan sesudah pembelajaran (postes). Hasil tes tersebut digambarkan dengan tingkat berpikir kreatif (TBK) yang dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Hasil Tes Berpikir Kreatif dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Nama Samaran
TBK I
(ABK)
Skor
TBK II
Pretes
Skor Postes
Ahmad (4)
1
28,57
0
0
Erik (4)
1
28,57
3
42,86
Noval (4)
1
28,57
2
42,86
Raja (4)
0
0
0
0
Iwan (4)
0
0
0
0
Udin (5A)
0
12,5
0
16,67
Narko (5A)
1
25
1
50
Billa (5A)
3
62,5
0
16,67
Anta (5A)
0
12,5
0
16,67
Dina (5A)
1
50
2
50
Ana (5B)
0
50
0
16,67
Amar (5B)
0
0
0
33,33
Budi (5B)
0
0
1
50
Rata-rata
22,94
25,83
Berdasarkan tabel 2 di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika sangat bervariasi. Pada saat sebelum pembelajaran tingkat berpikir kreatif ABK masih rendah yaitu sekitar TBK 0 atau 1. Hanya ada 1 siswi yang memperoleh TBK 3. Hal ini menunjukkan bahwa ABK masih belum bisa memecahkan dan mengajukan masalah secara kreatif. Namun, setelah diadakan pembelajaran di dalam kelas inklusi, pada akhir pembelajaran ABK menunjukkan kemajuan. Rata-rata kemampuan untuk memecahkan dan mengajukan masalah matematika meningkat menjadi 25,83 dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya sekitar 22,94. Tingkat berpikir kreatif ABK juga mengalami peningkatan sesuai dengan tabel 2. Tingkat berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan masalah setelah pembelajaran ada yang mencapai tingkat 2 dan 3. Artinya ABK dapat menunjukkan kefasihan dan fleksibel atau kefasihan dan kebaruan dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika. Sehingga
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
89
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
guru dalam proses pembelajaran bisa lebih memperhatikan ABKuntuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif ABK.
Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat dibahas tingkat kemampuan berpikir kreatif siswa dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika sebagai berikut. 1. ABK yang termasuk dalam TBK 0 atau tidak kreatif adalah ABK yang tidak memenuhi ketiga indikator berpikir kreatif yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Pada hasil pretes terdapat 7 subjek (54%) yang tidak kreatif. Sedangkan pada hasil postes terdapat 8 subjek (62%) yang tidak kreatif. Bila dibandingkan, persentase subjek yang tidak kreatif meningkat karena ada ABK yang berubah tingkat berpikir kreatifnya. Ada siswa yang berubah dari TBK 1 ke TBK 0, bahkan ada yang berubah dari TBK 3 ke TBK 0. Dari 8 ABK pada tingkat ini dipilih 1 ABK untuk diwawancara. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah ABK tidak dapat menemukan berbagai cara untuk memecahkan masalah yang diberikan dan tidak dapat memberikan jawaban soal yang beragam dan benar. Contoh jawaban yang diberikan ABK tidak kreatif.
Selain itu, ABK tidak dapat menjawab soal dengan cara yang tidak biasa. Dalam pengajuan masalah, ada ABK yang menulis kembali soal yang diberikan dan ada yang memecahkan soal dengan solusi yang salah. Selain itu, ada 6 ABK tidak dapat mengajukan masalah matematika.
90
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa ABK mempunyai kemampuan mengingat materi yang telah dipelajarinya. Namun, ABK tersebut kesulitan untuk memahami masalah matematika yang dihadapinya. Kesulitan tersebut mungkin dipengaruhi oleh faktor emosional ABK pada saat mengerjakan tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan mengajukan masalah. Kemungkinan ABK mengalami kesulitan dalam memahami informasi dan mengkaitkan dengan materi yang telah dipelajari. Setelah peneliti berdiskusi dengan guru kelas IV, VA, dan VB diperoleh kerakteristik dari masing-masing subjek pada TBK 0 yaitu 5 anak termasuk lamban belajar, 1 anak lamban belajar sekaligus tunanetra ringan, 1 anak lamban belajar sekaligus berkesulitan membaca, dan 1 anak lamban belajar sekaligus tunarungu ringan. Seorang anak dikatakan lamban belajar apabila IQ anak di bawah 90. Menurut Kustawan (2012), anak lamban belajar membutuhkan waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugasnya. Sehingga untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kreatifnya memerlukan pelayanan pendidikan yang khusus. Selain itu, ada 2 ABK yang mengalami kesulitan membaca. Hal ini menyebabkan ABK tersebut tidak menjawab soal yang diberikan pada saat tes berpikir kreatif. Sehingga kemampuan berpikir kreatif mereka menjadi rendah. Lebih lanjut, pada saat tes, ABK yang tidak bisa fokus dengan pekerjaan mereka, ABK tersebut ada yang diam saja atau mengganggu teman-temannya. 2. ABK yang termasuk dalam TBK 1 atau kurang kreatif adalah ABK yang hanya memenuhi satu indikator berpikir kreatif yaitu kefasihan. Pada hasil pretes terdapat 5 subjek (38%) yang kurang kreatif. Sedangkan pada hasil postes terdapat 2 subjek (15%) yang kurang kreatif. Bila dibandingkan, persentase subjek yang kurang kreatif menurun karena ada ABK yang berubah tingkat berpikir kreatifnya. Dari 2 ABK pada tingkat ini dipilih 1 ABK untuk diwawancara. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah siswa dapat memberikan jawaban soal yang beragam dan benar. Namun, ABK tersebut tidak dapat menyelesaikan soal dengan cara lain yang berbeda. ABK malah menuliskan kembali cara tersebut pada soal berikutnya. Contoh Jawaban ABK kurang kreatif.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
91
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Dalam pengajuan masalah, ABK mulai terlihat kreatif dalam membuat soal meskipun soal yang dibuat hanya mengubah beberapa dari informasi yang diberikan. Mereka cenderung menyisipkan keterangan lain dan beralih ke soal yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa ABK mencoba mengingat kembali materi yang dipelajari tapi tidak dapat menemukan cara yang tepat untuk menyelesaikan soal. Setelah peneliti berdiskusi dengan guru kelas IV, VA, dan VB diperoleh kerakteristik dari masing-masing subjek pada TBK 1 yaitu 2 ABK lamban belajar. Tapi ABK pada TBK ini setingkat lebih tinggi kemampuan berpikir kreatifnya dari pada ABK pada TBK 0. Menurut Kustawan (2012), setiap anak lamban belajar itu unik. Hal itu berarti setiap anak memiliki karakteristik masing-masing. Kemungkinan ABK yang memiliki TBK 1 lebih mudah untuk memahami masalah matematika yang diberikan. Sehingga kemampuan berpikir kreatifnya pada TBK 1. 3. ABK yang termasuk dalam TBK 2 atau cukup kreatif adalah ABK yang hanya memenuhi satu indikator berpikir kreatif yaitu fleksibilitas atau kebaruan. Pada hasil pretes tidak ada subjek (0%) yang cukup kreatif. Sedangkan pada hasil postes terdapat 2 subjek (15%) yang cukup kreatif. Bila dibandingkan, persentase subjek yang cukup kreatif meningkat karena ada ABK yang berubah tingkat berpikir kreatifnya. Dari 2 ABK pada tingkat ini dipilih 1 ABK untuk diwawancara. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah ABK dapat memecahkan masalah yang diberikan dengan cara lain yang berbeda. Namun, ABK kurang teliti dalam menyelesaikan soal tersebut sehingga jawaban yang diperoleh belum tepat. Contoh jawaban ABK cukup kreatif.
Dalam pengajuan masalah, ABK membuat soal yang sesuai dengan informasi yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa ABK telah mampu mengkaitkan informasi yang diberikan dengan materi yang telah dipelajari. Setelah peneliti berdiskusi dengan guru kelas IV, VA, dan VB diperoleh kerakteristik dari masing-masing subjek pada TBK 2 yaitu 1 ABK lamban belajar dan 1 ABK hidrocefalus. Menurut Prasetyono (2008), melatih ABK hal yang tidak mudah karena kemampuan mengingat mereka dalam mencerna suatu objek kurang. Hal ini terlihat dalam jawaban yang diberikan ABK pada tingkat 2. ABK ini bisa
92
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
mengingat cara-cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Namun, dia kurang teliti dalam menjawab masalah tersebut sehingga jawabannya kurang tepat. 4. ABK yang termasuk dalam TBK 3 atau kreatif adalah ABK yang hanya memenuhi dua indikator yaitu kefasihan dan fleksibilitas. Pada hasil pretes terdapat 1 subjek (8%) yang kreatif. Sedangkan pada hasil postes terdapat 1 subjek (8%) yang kreatif. Bila dibandingkan, persentase subjek yang kreatif tetap. ABK tersebut langsung menjadi subjek wawancara. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah ABK dapat memberikan jawaban soal yang beragam dan benar. ABK juga dapat menyelesaikan dengan cara lain yang berbeda. Akan tetapi, ABK tidak tepat dalam memasukkan panjang sisi dari persegi sehingga hasil akhir yang diperoleh ABK salah. Contoh jawaban ABK kreatif.
Dalam pengajuan masalah, ABK membuat soal yang sesuai dengan informasi yang diberikan. ABK mampu mengkaitkan informasi tersebut dengan materi yang telah dipelajari dan menyelesaikannya dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa ABK mampu berimajinasi dan mencurahkan idenya. Setelah peneliti berdiskusi dengan guru kelas IV, VA, dan VB diperoleh kerakteristik dari subjek pada TBK 3 yaitu lamban belajar. Menurut Kustawan (2012), anak lamban belajar memiliki rata-rata prestasi belajar yang cukup rendah. Hal itu terlihat dari rata-rata pretes dan postes yang masih rendah. Walaupun ABK yang lamban belajar memiliki IQ di bawah 90, mereka tetap berusaha seperti anak normal dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika. Sehingga apabila guru memberikan pelatihan yang khusus pada ABK, ABK kemungkinan bisa meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dalam matematika.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa:
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
93
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
1. Terdapat 8 subjek yang termasuk TBK 0 atau tidak kreatif. ABK yang termasuk dalam TBK 0 adalah ABK yang tidak memenuhi ketiga indikator berpikir kreatif yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah ABK tidak dapat menemukan berbagai cara untuk memecahkan masalah yang diberikan dan tidak dapat memberikan jawaban soal yang beragam dan benar. Selain itu, ABK tidak dapat menjawab soal dengan cara yang tidak biasa. 2. Terdapat 2 subjek yang termasuk dalam TBK 1 atau kurang kreatif. ABK yang termasuk dalam TBK 1 adalah ABK yang hanya memenuhi satu indikator berpikir kreatif yaitu kefasihan. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah siswa dapat memberikan jawaban soal yang beragam dan benar. Namun, ABK tersebut tidak dapat menyelesaikan soal dengan cara lain yang berbeda. ABK malah menuliskan kembali cara tersebut pada soal berikutnya. 3. Terdapat 1 subjek yang termasuk dalam TBK 2 atau cukup kreatif. ABK yang termasuk dalam TBK 2 adalah ABK yang memenuhi satu indikator yaitu fleksibilitas atau kebaruan. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah ABK dapat memecahkan masalah yang diberikan dengan cara lain yang berbeda. Namun, ABK kurang teliti dalam menyelesaikan soal tersebut sehingga jawaban yang diperoleh belum tepat. 4. Terdapat 1 subjek yang termasuk dalam TBK 3 atau kreatif. ABK yang termasuk dalam TBK 3 adalah ABK yang memenuhi dua indikator yaitu kefasihan dan fleksibilitas. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah ABK dapat memberikan jawaban soal yang beragam dan benar. ABK juga dapat menyelesaikan dengan cara lain yang berbeda. Akan tetapi, ABK tidak tepat dalam memasukkan panjang sisi dari persegi sehingga hasil akhir yang diperoleh ABK salah. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan yang diperoleh, maka peneliti dapat mengemukakan saran sebagai berikut. 1. Karakteristik dan keterbatasan yang dimiliki ABK harap lebih diperhatikan guru dalam proses pembelajaran matematika sehingga kemampuan berpikir kreatif ABK akan lebih berkembang. 2. Soal pemecahan dan pengajuan masalah perlu diberikan kepada siswa agar terbiasa untuk mengerjakan soal-soal yang memiliki banyak cara atau penyelesaian sehingga kemampuan berpikir kreatif siswa bisa berkembang.
DAFTAR PUSTAKA Alexander, K. L. (2007). Effects Instruction in Creative Problem Solving on Cognition, Creativity, and Satisfaction among Ninth Grade Students in an Introduction to World Agricultural Science and Technology Course. Disertasi pada Texas Tech University.
94
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
[Online].
Tersedia:http://etd.
Volume 1
lib.ttu.edu/theses/available/etd-01292007-
144648/unrestricted/Alexander_ Kim_Dissertation.pdf. [3 November 2013] Depdiknas. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 67 Tahun 2013. Jakarta: Depdiknas Kustawan, Dedy. 2012. Pendidikan Inklusif dan upaya implementasinya. Jakarta: Luxima Prasetyono. 2008. Serba-serbi Anak Autis. Jogjakarta: Diva Press Siswono, Tatag YE. 2007. Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif Dan Identifikasi Tahap Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan mengajukan Masalah Matematika. Disertasi yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Pascasarjana UNESA Siswono, Tatag YE. 2008. Model pembelajaran Berbasis Pengajuan Dan pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Surabaya: UNESA University Press Siswono, Tatag YE. 2009. Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pengajuan
Masalah.
Jurnal
Online.
Tersedia:
http://tatagyes.files.wordpress.com/2009/11/paper05_problemposing.pdf [3 November 2013]
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
95
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
KEMAMPUAN DAN KARAKTERISTIK INTUISI SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA Budi Usodo, Dyah Ratri Aryuna, Ponco Sudjatmiko Program Studi Pendidikan Matematika UNS ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendiskripsikan kemampuan pemecahan masalah dalam memecahkan masalah matematika, (2) Mendiskripsikan intuisi siswa dalam memecahkan masalah matematika. Sejalan dengan tujuan penelitian tersebut maka dalam penelitan ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA 1 SMAN 3 Sragen. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan teknik tes, dan wawancara berbasis tugas. Validasi data hasil wawancara berbasis tugas menggunakan triangulasi waktu. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalahteknik analisis data kualitatif dan kuantitatif. Teknik analisis data kualitatif digunakan untuk menganalisis hasil wawancara dalam menelusuri intuisi siswa dalam memecahkan masalah matematika. Teknik analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis hasil tes kemampuan pemecahan masalah. Hasil penelitian adalah: (1) Kemampuan problem solving siswa SMA pada umumnya masih relatif rendah khususnya pada permasalahan non algoritmik. Sedangkan pada permasalahan algoritmik, kemampuan siswa SMA dapat dikatakan cukup baik. (2) Subjek penelitian dalam menyelesaikan masalah, baik pada tahap memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian dan memeverikasi jawaban cenderung tidak menggunakan intuisi. Kata kunci: Kemampuan, intuisi, pemecahan masalah.
PENDAHULUAN Beberapa penelitian yang pernah dilakukan pada beberapa SMA di wilayah eks Karesidenan Surakarta pada tahun 2005 dan 2006, menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam memecahkan masalah non rutin sangat rendah. Dari hasil pengamatan pada saat guru matematika mengajar di sekolah tersebut, kegiatan pembelajaran matematika yang dilakukan cenderung mekanistik dan lebih banyak memberikan masalah yang bersifat algoritmik (masalah rutin). Selain itu guru tidak mengajarakan kepada siswa
bagaimana menyelesaikan
permasalahan matematika, tetapi lebih pada guru menunjukkan kemampuannya kepada para siswanya bahwa dia mampu menyelesaikan soal matematika. Bahkan terkesan guru merasa bangga bila dapat mendemontrasikan kemampuannya walaupun para siswa masih kebingungan kenapa cara pengerjaannya demikian, dari mana trik yang diperoleh dan lain sebagainya. (Marjuki, Budi Usodo, 2005, Budi Usodo, Ponco Sujatmiko, 2006). Bila diperhatikan pada kegiatan pembelajaran tradisional, beberapa guru matematika terkadang tidak melakukan upaya bagaimana agar para siswa menjadi problem solver yang handal. Seharusnya jangan sampai terjadi siswa hanya mampu menyelesaikan permasalahan matematika bila telah diberikan caranya dari guru. Dengan kondisi demikian, maka yang sering terjadi adalah pada saat siswa menyelesaikan permasalahan matematika seringkali dihadapkan pada beberapa kesulitan. Misalnya bila diberikan soal matematika terkadang tidak tahu apa
96
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
yang harus diperbuat dengan soal tersebut atau bila telah dapat memberikan jawaban, namun mengalami kemacetan di tengah penyelesaian soal tersebut. Dari uraian di atas mestinya yang perlu dilakukan guru atau pendidik matematika untuk mengajarkan pemecahan masalah kepada para siswa tidak cukup hanya mengajarkan bagaimana menyelesaikan permasalahan matematika. Namun yang lebih penting adalah bagaimana siswa mampu menghasilkan ide-ide atau gagasan yang efektif dan efisien untuk menyelesaikan permasalahan matematika. Untuk menghasilkan kemampuan memunculkan ide atau gagasan tersebut perlu dikembangkan ―intuisi‖ pada diri siswa. Fischbein (1994) mendefinisikan intuisi sebagai immediate knowledge (kognisi segera) yang disetujui secara langsung
tanpa
pembenaran. Sejalan dengan itu Piaget (Tall, 1991) memandang intuisi sebagai kognisi yang diterima langsung tanpa kebutuhan untuk menjastifikasi atau menginterpretasi secara eksplisit. Selain itu kognisi yang dikembangkan individu yang tidak bergantung kepada pembelajaran tetapi sebagai efek dari pengalaman pribadi, disebut kognisi intuitif primer (primary intuitive cognition) (Henden, G, 2004). Sebagai contoh anak sekolah dasar kelas I dan II mempunyai intuisi bahwa pembagian akan mengasilkan sesuatu yang lebih kecil, karena anak tersebut melihat dari kejadian sehari-hari sesuatu yang dibagi-bagi akan menjadi lebih sedikit. Pada sisi lain, intuisi baru dapat dikembangkan melalui pembelajaran atau pelatihan sistematik kita sebut kognisi intuitif sekunder (secondary intuitive cognition), misalnya siswa yang telah dikenalkan bilangan rasional dan diajarkan pembagian dengan bilangan rasional akan memiliki intuisi bahwa pembagian dengan pembagi kecil sekali akan menghasilkan sesuatu yang lebih besar. Menurut Fischbein (1999), intuisi dikategorikan menjadi dua, yaitu intuisi afirmatori (affirmatory intuition) dan intuisi antisipatori (anticipatory intuition). Semua pembahasan karakteristik umum dalam matematika seperti yang di sampaikan di atas merupakan intuisi afirmatori. Intuisi afirmatori berupa pernyataan, representasi, interpretasi, solusi yang secara individual dapat diterima secara langsung, self evident, global dan cukup secara instrinsik. Disamping kategori intuisi afirmatori, terdapat kategori intuisi lain yang berbeda, disebut intuisi antisipatori. Karakteristik intuisi antisipatori adalah sebagai berikut. a) intuisi tersebut akan muncul selama berusaha keras untuk memecahkan masalah. b) intuisi tersebut menyajikan ciri-ciri yang bersifatr global. c) intuisi tersebut bertentangan dengan dugaan pada umumnya, dan intuisi ini berasosiasi dengan feeling, meskipun pembenaran secara rinci atau bukti belum ditemukan. Selain jenis-jenis intuisi yang disampaikan Fischbein di atas, Poincare (http://wwwhistory.mcs.st-andrews.ac.uk/Extras/Poincare_Intuition.html) mem-bagi intuisi menjadi 3 jenis, yaitu: (1) intuisi yang didasarkan pada indera dan imajinasi, (2) intuisi yang didasarkan pada generalisasi dengan induksi, seperti prosedur pada ilmu pengetahuan ekxperimental, (3) intuisi
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
97
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara nyata, seperti intuisi dari bilangan murni yang menghasilkan aksioma yang dikenal dengan prinsip induksi matematika. Dari uraian di atas, Intuisi yang dimaksudkan adalah kognisi segera (immediate cognition) yang
keberadaannya tidak melalui proses penalaran secara deduktif serta
mempunyai ciri-ciri yaitu diterima secara langsung (direct), self evident, pasti secara intrinsik (intrinsic certainty), penggiringan (coerciveness), ekstrapolatif atau holistik. Intuisi dapat berupa ide atau gagasan yang digunakan untuk memecahkan masalah. Di lain pihak, penelitian yang berkaitan dengan intuisi menunjukkan bahwa karakteristik intuisi siswa dalam memecahkan masalah matematika adalah; siswa SMA cenderung tidak menggunakan intuisi dalam memecahkan masalah matematika, kalaupun ada yang menggunakan intuisi biasanya berupa intusi yang bertentangan pada umumnya dan cenderung tidak dapat menyelesaikan masalah (Budi Usodo, 2012a). Oleh sebab itu perlu diteliti kembali kemampuan dan intuisi siswa dalam memechkan masalah matematika. Dengan demikian tujuan penelitian ini untuk: (1) mendiskripsikan kemampuan pemecahan masalah siswa SMA dan (2) mendiskripsikan intuisi siswa SMA dalam memecahkan masalah matematika.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 3. Penelitian direncanakan selama 10 bulan, dimulai bulan Januari 2013 sampai dengan bulan Oktober 2013. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA 1 dan guru matematika SMA Negeri 3 Sragen. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Tes, digunakan untuk memperoleh data tentang kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, (2) wawancara berbasis tugas, digunakan untuk memperoleh data tentang karakteristik intuisi siswa SMA dalam memecahkan masalah matematika. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalahteknik analisis data kualitatif dan kuantitatif. Teknik analisis data kualitatif digunakan untuk menganalisis hasil wawancara yang digunakan untuk mendiskripsikan intuisi siswa dalam memecahkan masalah. Analisis data kualitatif menggunakan langkah-langkah (i) reduksi data, (ii) penyajian data, dan (iii) penarikan kesimpulan. Analisis data kuantitatif digunakan untuk menganalisis data tentang hasil tes kemampuan pemecahan masalah.
98
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kemampuan Siswa SMA Dalam Memecahkan Masalah Matematika Dari data hasil tes kemampuan pemecahan masalah,
dapat diinterpretasi bahwa
kemampuan problem solving siswa SMA termasuk rendah. Siswa yang mempunyai kemampuan problem solving dalam kategori tinggi sangat kecil tidak sampai 15 % (14,81 %). Sebagian besar siswa hanya pada kategori sedang. Bila dilihat dari kategori subyek berdasarkan kemampuan problem solving, yaitu tinggi, sedang dan rendah, pada siswa pada kategori rendah tidak ada yang mampu dengan baik menyelesaikan permasalahan algoritmik. Pada siswa kategori sedang dan tinggi yang telah mampu menyelesaikan permasalahan algoritmik telah mencapai lebih dari 50 %. Sedangkan pada permasalahan non algoritmik yang mampu dengan baik menyelesaikan permasalahan tersebut sangat sedikit baik dari kategori rendah, sedang dan tinggi. Bahkan pada siswa kategori rendah dapat dikatakan tidak mempunyai kemampuan dalam menyelesaikan permasalahan non algoritmik. Pada siswa kategori sedang yang mampu menyelesaikan permasalahan non algoritmik dengan baik sangat kecil sekali, yaitu tidak sampai 5 %. Sebagian besar pada siswa kategori sedang mempunyai kemampuan rendah dalam menyelesaikan permasalahan non algoritmik, yaitu hamper 75%. Sedangkan pada siswa kategori tinggi juga sangat sedikit yang mempunyai kemampuan dengan baik dalam menyelesaikan maasalah non algoritmik, yaitu tidak sampai 15%. Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat simpulan bahwa siswa SMA sudah cukup baik dalam menyelesaikan permasalahan algoritmik, tetapi sangat rendah kemampuan dalam menyelesaikan permasalahan non algoritmik. Hal ini dapat dipahami karena kebiasaan pembelajaran yang cenderung mekanistik dan lebih banyak memberikan permasalahpermasalahan algoritmik (prosedur).
Intuisi Siswa dalam memecahkan Masalah Matematika Untuk menggali informasi yang berkaitan dengan intuisi siswa dalam memecahkan masalah dilakukan dengan wawancara yang berbasis tugas, yang dilakukan terhadap satu orang yang termasuk kategori sedang, yaitu Oni Noveta. Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 3 Sragen. Pembahasan Hasil Analis Data Wawancara terbagi dalam empat tahap pemecahan masalah menurut Polya, yaitu memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana dan memeriksa jawaban. Pada subjek penelitian dalam memahami masalah adalah tidak langsung dari teks soal. Subjek penelitian dalam memahami masalah melakukan serangkaian proses, yaitu dengan membuat ilustrasi gambar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa subjek penelitian dalam memahami masalah tidak menerima begitu saja apa yang ada pada teks soal, sehingga dari hal tersebut dikatakan tidak ada kognisi segera yang digunakan subjek dalam memahami masalah.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
99
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Jadi dapat dikatakan bahwa subjek penelitian dalam memahami masalah tidak menggunakan intuisi. Menurut Fischbein (1999), intuisi adalah kognisi segera sehingga berkaitan dengan pemahaman yang bersifat holistik, tidak langkah demi langkah. Dengan demikian sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa ada kecenderungan ubjek perempuan tidak menggunakan intuisi dalam memahami masalah. Dalam membuat rencana penyelesaian subjek penelitian menggunakan pembagian dengan bilangan 9. Pemikiran tersebut tidak muncul begitu saja, namun berdasarkan pemikiran bahwa banyaknya potongan yang dibawa siswa yang utuh ada 9 potongan. Dengan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan tidak ada kognisi segera tentang pemikiran penggunaan pembagian dengan 9. Karena tidak ada kognisi segera yang digunakan subjek penelitian dalam membuat rencana penyelesian, maka dikatakan tidak ada intuisi yang digunakan subjek penelitian dalam membuat rencana penyelesaian. Dalam melaksanakan rencana penyelesaian, subjek penelitian langsung menggunakan pembagian dengan bilangan 9 sesuai dengan apa yang direncanakan. Pada proses penyelesaian tidak didapati suatu pemikiran dari semua subjek yang berupa loncatan berpikir atau kognisi segera. Jadi yang dilakukan subjek tersebut adalah menggunakan pemikiran langsung yang berupa kognisi formal. Walaupun cara yang digunakan tidak tepat, subjek penelitian merasa tidak menemui permasalahan dalam melaksanakan rencana penyelesaian, sehingga tidak timbul pemikiran lain yang mungkin dapat berupa kognisi segera. Oleh karena tidak ada kognisi segera yang digunakan dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah, maka dapat dikatakan bahwa tidak ada intuisi yang digunakan. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam melaksanakan rencana penyelesaian, tidak ada intuisi yang digunakan. Di samping itu berdasarkan jawaban tertulis pada saat wawancara memberikan penjelasan bahwa jawaban yang diberikan oleh subjek penelitian adalah salah.
Dengan demikian dikatakan bahwa jawaban yang tidak
didasarkan intuisi tidak menghasilkan jawaban yang benar. Dalam memeriksa kembali jawaban, subjek penelitian melakukan dengan mengulangi dalam menjawab dan memeriksa jawaban langkah demi langkah. Karena dalam memeriksa dilakukan langkah demi langkah, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek penelitian dalam memeriksa jawaban dengan menggunakan pemikiran yang berupa kognisi formal. Subjek penelitian sudah merasa yakin akan jawabannya, sehingga tidak menggunakan cara lain dalam memeriksa jawaban. Jadi yang dilakukan subjek penelitian tersebut bukan merupakan kognisi segera. Oleh karena tidak ada pemikiran subjek yang menggunakan kognisi segera, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek penelitian dalam memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. Dari hasil di atas, bahwa subjek penelitian dalam memecahkan masalah, bail dari tahap memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa kembali jawaban tidak menggunakan intuisi. Jawaban yang diperoleh oleh subjek penelitian tersebut juga salah.
100
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Kemampuan problem solving siswa SMA pada umumnya masih relatif rendah khususnya pada permasalahan non algoritmik. Sedangkan pada permasalahan algoritmik, kemampuan siswa SMA dapat dikatakan cukup baik. 2. Subjek
penelitian
dalam
memahami
masalah,
membuat
rencana
melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban
penyelesaian,
cenderung tidak
menggunakan intuisi. Saran Saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada permasalahan non algoritmik dapat dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran yang khusus berkaitan dengan pengembangan kemampuan pemecahan masalah, yaitu pembelajaran berbasis masalah atau pembelajaran yang dapat mengembangan intuisi siswa dalam memecahkan masalah matematika. 2. Perlu adanya pengembangan model pengembangan model pembelajaran yang berbasis pada pengembangan intuisi siswa dalam pembelajaran matematika untuk melihat pengaruh penggunaan model pembelajaran tersebut terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika.
DAFTAR PUSTAKA Budi Usodo. 2012a. Karakteristik Intuisi Siswa SMA Daalam Memecahkan Masalah Matematika ditinjau dari Kemampuan Matematika dan Perbedaan Gender. Disertasi. UNESA. Budi Usodo. 2012b. Penerapan Pembelajaran yang Berbasis Pada Pengembangan Intuisi untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa SMAN 1 Sragen (RSBI). Laporan Penelitian Hibah PGMIPABI, Penelitian tidak dipublikasikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Budi Usodo, Ponco Sujatmiko 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Pada Pembelajaran Matematika Di SMA (Upaya untuk Meningkatkan Kemampuan Problem Solving Siswa SMA). Penelitian tidak dipublikasikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Fischbein, E. 1999. Intuitions and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies in Mathematics. 38,11–50.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
101
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Fischbein,
E.,
Grossman,
A.
1997,
―Schemata
and
Intuitions
in
Combinatorial
Reasoning‘,Educational Studies in Mathematics 34, 27–47 Fischbein, E. 1994. ―The Interaction between the Formal, the Algorithmic, and the Intuitive Components in a Mathematical Activity‖. In R. Biehler, R. W. Scholz, R. Sträßer, & B. Winkelmann (Eds.), Didactics of Mathematics as a Scientific Discipline (pp.231245). Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Henden, G. 2004.“Intuition and Its Role in Strategic Thinking”. Unpublished Dissertation. BI Norwegian School of Management. Kneeland, Steve.2001. Pemecahan Masalah. Terjemahan Kusnandar. Jakarta: Elex Media Komputindo Mardjuki, Budi Usodo. 2005. Pengembangan Intuisi Siswa Sekolah Menengah Atas Dalam Memecahkan Masalah Matematika, Penelitian tidak dipublikasikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Nieveen, N. 1999. Prototyping to Reach Product Quality. Dalam Plomp, T; Nieveen, N; Gustafson, K; Branch, R.M; dan van den Akker, J (eds). Design Approaches and Tools in Education and Training. London: Kluwer Academic Publisher.
102
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1