69
STAIN Palangka Raya
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK TIPE SPIDER WEBBED UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP IPA SISWA KELAS II SEKOLAH DASAR
Sri Hendrawati, M.Pd*) Abstrak Penelitian kuasi eksperimen ini dilakukan di SDN Jamika 1 kota Bandung dengan tujuan untuk mengetahui peranan model pembelajaran tematik untuk meningkatkan penguasaan konsep IPA siswa SD kelas II. Desain penelitian ini adalah non equivalent control grup design dengan satu kelas eksperimen yang menerapkan model pembelajaran tematik dan satu kelas control yang menerapkan model pembelajaran non tematik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan/N-Gain penguasaan konsep IPA siswa kelas tematik (0,50) lebih tinggi dibandingkan N-Gain penguasaan konsep IPA siswa kelas non tematik (0,24). Peningkatan penguasaan konsep IPA selain dipengaruhi oleh model pembelajaran tematik yang diterapkan, juga dipengaruhi oleh tingkat klasifikasi kemampuan siswa (tinggi, sedang, rendah).
A. Latar Belakang Mata pelajaran IPA dalam kurikulum Sekolah Dasar (SD) tahun1994 mulai diajarkan sejak kelas III hingga kelas VI, namun sejak diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006 maka pembelajaran IPA diberikan sejak kelas I, namun teknik pelaksanaannya menggunakan model pembelajaran tematik. Pembelajaran tematik adalah suatu model terapan dari pembelajaran terpadu yang mengintegrasikan beberapa mata pelajaran dalam satu kesatuan yang terikat oleh tema. Penetapan pendekatan tematik dalam pembelajaran di SD dikarenakan perkembangan peserta didik pada kelas rendah sekolah dasar, pada umumnya berada pada tingkat perkembangan yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik) serta baru mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana (Diknas, 2006). Pembelajaran yang dilakukan dengan mata pelajaran terpisah akan menyebabkan kurang mengembangkan anak untuk berpikir holistik dan membuat kesulitan bagi peserta didik mengaitkan konsep dengan kehidupan nyata mereka sehari-hari. Namun dalam pelaksanaannya, pembelajaran terpadu atau tematik ini masih mengalami masalah dan hambatan. Pelaksanaan pembelajaran tematik di kelas I-III tidak berjalan sesuai dengan ketentuan Standar Isi, karena guru-guru mengalami kesulitan dalam menyusun silabus sesuai dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang ditetapkan dalam Standar Isi. Selain itu guru-guru Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
70
STAIN Palangka Raya
mengalami kesulitan dalam mengalokasikan waktu yang harus dipergunakan dalam seminggu, karena tidak ada ketentuan alokasi waktu untuk setiap tema yang ditetapkan. Hal ini disebabkan guru-guru belum memahami esensi dan praktek pembelajaran tematik. Mereka umumnya belum mendapat pelatihan yang cukup memadai dalam pelaksanaan pembelajaran tematik (Puskur, 2007). Keberhasilan pembelajaran tematik ditentukan pula oleh kemampuan dan pemahaman guru mengenai pembelajaran tematik, disamping latar belakang pendidikan guru juga memberikan pengaruh yang cukup berarti. Hal ini menyebabkan pelaksanaan pembelajaran tematik belum bisa dilaksanakan secara utuh (Hesty, 2008). Beberapa permasalahan lain dalam implementasi pembelajaran tematik misalnya, guru mengalami kesulitan mengintegrasikan beberapa pelajaran, guru masih memisahkan mata pelajaran dengan alokasi jam pelajaran yang jelas (McBride and Silverman, 1992), serta dalam hal pelaksanaan tesnya dilakukan secara terpisah berdasarkan tes terstandar (Berlin, 1994). Tantangan yang lain adalah bahwa pembelajaran tematik membutuhkan lebih dari satu buku teks, dan guru masih menggunakan buku teks yang terpisah (Berlin,1994; Kyle 1985). Guru-guru sebaiknya menambah materi tentang kurikulum yang mendukung pembelajaran tematik (McBride and Silverman, 1992). Hal tersebut menyebabkan aplikasi pembelajaran IPA tidak dihubungkan dengan pelajaran lain, misalnya Matematika. Sehingga pengalokasian waktu dalam penyusunan rencana pembelajaran dan pembelajaran itu sendiri dibutuhkan untuk mengajarkan konsep Matematika demikian pula aktivitas IPA (McBride and Silverman, 1992). Dilain pihak, siswa menyenangi pembelajaran tematik. Sementara guru, administrator dan orangtua khawatir apakah siswa benar-benar belajar atau hanya sekedar bermain. Hal ini menuntut diterapkannya suatu program hubungan masyarakat yang baik (Berlin,1994). Pembelajaran tematik jika dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang benar akan memberikan peluang bagi pengembangan proses pembelajaran IPA. Hal ini diungkapkan oleh Collin dan Dixon (1991) bahwa pembelajaran terpadu berdasarkan pada pendekatan inkuiri dengan melibatkan siswa ke dalam perencanaan, eksplorasi dan sharing/berbagi pengetahuan bersama. Hal ini sejalan dengan landasan filosofis pembelajaran terpadu yang berlandaskan paham konstruktivisme yang menyatakan bahwa pembelajaran bermakna dikonstruksi oleh siswa sebagai hasil dari pengalamannya dalam menghadapi lingkungannya, melalui skema atau struktur kognitif yang akan menyatukan pemahaman dunianya (Saunders, 1992). Dengan demikian, bahwa mata pelajaran IPA dapat dikembangkan bersama-sama dengan mata pelajaran lain dalam model pembelajaran tematik atau terpadu, sehingga pembelajaran IPA dapat dilaksanakan sesuai dengan hakikatnya. Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan fenomena yang terjadi dilapangan, maka diperlukan sebuah penelitian untuk mengetahui penerapan model pembelajaran tematik dalam menunjang proses pembelajaran IPA khususnya untuk meningkatkan penguasaan konsep dan penguasaan keterampilan proses IPA.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
71
STAIN Palangka Raya
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut “Bagaimanakah perbandingan peningkatan penguasaan konsep IPA antar siswa SD Kelas II yang menerapkan pembelajaran tematik dengan siswa yang belajar secara non tematik ?” C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan peningkatan penguasaan konsep IPA antar siswa SD Kelas II yang menerapkan pembelajaran tematik dibandingkan dengan siswa yang belajar secara non tematik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada dunia pendidikan terutama berkenaan dengan implementasi pembelajaran tematik di SD kelas rendah. D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka terdapat hipotesis penelitian sebagai berikut: “Peningkatan penguasaan konsep IPA siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran tematik lebih tinggi dibandingkan siswa yang belajar menggunakan pembelajaran non tematik.” E. Landasan Teoritis Pembelajaran tematik adalah bagian dari pembelajaran terpadu (integrated learning) yang merupakan suatu konsep pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Bermakna artinya bahwa dalam pembelajaran terpadu, siswa akan memahami konsepkonsep yang mereka pelajari itu melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep yang lain yang sudah mereka pahami (Tim pengembang D-II dan S-2, 1997). Jika dibandingkan dengan pendekatan konvensional, pembelajaran terpadu lebih melibatkan siswa secara aktif secara mental dan fisik di dalam kegiatan belajar mengajar di kelas serta pembuatan keputusan. Tidak ada definisi tentang pembelajaran terpadu yang sama satu dengan yang lain. Jacobs (Sa’ud, 2006) memandang pembelajaran terpadu sebagai pendekatan kurikulum interdisipliner (interdisciplinary curriculum approach). Pembelajaran terpadu adalah sebuah pendekatan dalam pembelajaran sebagai suatu proses untuk mengaitkan dan mempadukan materi ajar dalam suatu mata pelajaran atau antar mata pelajaran dengan semua aspek perkembangan anak, kebutuhan dan minat anak, serta kebutuhan dan tuntutan lingkungan sosial keluarga. Pada perspektif bahasa, pembelajaran terpadu sering diartikan sebagai pendekatan tematik (thematic approach). Pembelajaran terpadu didefinisikan sebagai proses dan strategi yang mengintegrasikan isi bahasa (membaca, menulis, berbicara, dan mendengar) dan mengkaitkannya dengan mata pelajaran yang lain. Konsep ini mengintegrasikan bahasa (language arts contents) sebagai pusat pembelajaran yang dihubungkan dengan berbagai tema atau topik pembelajaran (Sa’ud, 2006). Pembelajaran terpadu juga sering disebut pembelajaran koheren (a coherent curriculum approach), yang Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
72
STAIN Palangka Raya
memandang bahwa pembelajaran terpadu merupakan pendekatan untuk mengembangkan program pembelajaran yang menyatukan dan menghubungkan berbagai program pendidikan. Definisi lain tentang pendekatan terpadu adalah pendekatan holistik (a holistic approach) yang mengkombinasikan aspek epistemologi, sosial, psikologi, dan pendekatan pedagogi untuk pendidikan anak, yaitu menghubungkan antara otak dan raga, antara pribadi dan pribadi, antara individu dan komunitas, dan antara domain-domain pengetahuan. Pada dasarnya model pembelajaran terpadu merupakan sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa baik individual maupun kelompok aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna dan otentik. Pembelajaran terpadu akan terjadi apabila peristiwa-peristiwa otentik atau eksplorasi tema menjdai pengendali di dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan berpartisipasi di dalam eksplorasi tema tersebut, para siswa belajar sekaligus melakukan proses dan siswa belajar berbagai mata pelajaran secara serempak. Sedangkan, UNESCO memberikan definisi tentang pembelajaran terpadu seperti yang dikemukakan oleh Anna Poedjadi (Karli, 2003) bahwa pengajaran terpadu terdiri dari pendekatanpendekatan di mana konsep dan prinsip pembelajaran disajikan dalam satu paket pembelajaran sehingga tampak adanya satu kesatuan pemikiran ilmiah dan fundamental. Menurut Fogarty (1991) dalam bukunya How To Integrate The Curricula , ada 10 macam model pembelajaran terpadu, seperti : fragmented (penggalan), connected (keterhubungan), nested (sarang), sequenced (pengurutan), shared (irisan), webbed (jaring laba-laba), threaded (bergalur), integrated (terpadu), immersed (terbenam), dan networked (jaringan kerja). Pembelajaran tematik model Jaring Laba-laba (Spider Webbed) adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan tematik (Fogarty, 1991). Pendekatan ini pengembangannya dimulai dengan menentukan tema tertentu. Setelah tema disepakati, maka dikembangkan menjadi subtema dengan memperlihatkan keterkaitan dengan bidang studi lain. setelah itu dikembangkan berbagai aktivitas pembelajaran yang mendukung. Tema merupakan pengikat setiap kegiatan pembelajaran baik dalam mata pelajaran tertentu maupun lintas mata pelajaran. Dengan demikian model ini merupakan model yang mempergunakan pendekatan tematik lintas bidang studi. Dalam pembahasannya tema itu ditinjau dari berbagai mata pelajaran. Sebagai contoh, tema “Matahariku” dapat ditinjau dari berbagai mata pelajaran seperti IPA, Matematika, Bahasa Indonesia dan Seni Budaya dan Keterampilan. Model ini sangat tepat diterapkan di sekolah dasar karena pada umumnya siswa pada tahap ini masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik), perkembangan fisiknya tidak pernah bisa dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial, dan emosional, terutama di kelas-kelas awal sekolah dasar (kelas I dan II). Penetapan tema dilakukan dengan dua cara (Sa’ud, 2006). Pertama, tema ditentukan terlebih dahulu yaitu dari lingkungan yang terdekat dengan siswa, dimulai dari hal yang termudah menuju yang sulit, dari hal yang sederhana menuju yang kompleks, dan dari hal yang konkrit menuju ke hal yang abstrak. Cara ini dilakukan Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
73
STAIN Palangka Raya
untuk kelas-kelas awal SD/MI (kelas I dan II). Tema-tema yang dikembangkan seperti: diri sendiri, keluarga, masyarakat, pekerjaan, serta tumbuhan dan hewan. Setelah tema ditentukan kemudian dilakukan pemetaan kompetensi dasar dan indikator yang diperkirakan relevan dengan tema-tema tersebut. Kedua, tema ditentukan setelah mempelajari kompetensi dasar dan indikator yang terdapat dalam masing-masing matapelajaran. Penetapan tema dapat dilakukan dengan melihat kemungkinan materi pelajaran yang dianggap dapat memeprsatukan beberapa kompetensi dasar pada beberapa matapelajaran yang akan dipadukan. Cara ini dilakukan untuk jenjang SD/MI kelas tinggi (kelas III-VI) serta SMP/MTs pada matapelajaran Pengetahuan Sosial dan Pengetahuan Alam. Keunggulan model ini antara lain, faktor motivasi berkembang karena adanya pemilihan tema yang didasarkan pada minat siswa. Mereka dapat dengan mudah melihat bagaimana kegiatan yang berbeda dan ide yang berbeda dapat saling berhubungan, kemudahan untuk lintas semester dalam KTSP sangat mendukung untuk dapat dilaksanakannya model pembelajaran ini (Sa’ud, 2006). Sedangkan kelemahan model ini antara lain, kecenderungan untuk mengambil tema sangat dangkal sehingga kurang bermanfaat bagi siswa. Selain itu seringkali guru terfokus pada kegiatan sehingga materi atau konsep menjadi terabaikan. Perlu ada keseimbangan antara kegiatan dan pengembangan materi pelajaran. Pembelajaran tematik menyediakan keluasan dan kedalaman implementasi kurikulum, menawarkan kesempatan yang sangat banyak pada siswa untuk memunculkan dinamika dalam pendidikan. Unit yang tematik adalah epitome dari seluruh bahasan pembelajaran yang memfasilitasi siswa untuk secara produktif menjawab pertanyaan yang dimunculkan sendiri dan memuaskan rasa ingin tahu dengan penghayatan secara alamiah tentang dunia di sekitar mereka. Samuel J.Hausfather (1993) melakukan penelitian dengan metode action research untuk memperoleh gambaran kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di dalam kelas selama pembelajaran tematik berlangsung. Ia mengemukakan bahwa keberhasilan pembelajaran ditunjang oleh peran guru sebagai aktor utama dalam mengimplementasikan kurikulum dengan berbekal dengan teori-teori yang sudah dipelajarinya. Dalam kegiatan pembelajaran terdapat kompleksitas yang tidak bisa diabaikan baik oleh guru maupun siswa, baik yang terjadi di dalam dan di luar kelas, pengetahuan siswa dan guru serta hal-hal apa yang mungkin dilakukan oleh guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran tematik ternyata dapat menjadi solusi dalam upaya pemerintah Indonesia meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya di kelas rendah. Beberapa penelitian tindakan kelas seperti yang telah dilakukan oleh Lely Halimah (2000), menyatakan bahwa pelaksanaan model pembelajaran terpadu unit tematik ini, telah dapat menumbuh kembangkan keberanian dan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia secara produktif (berbicara). Nirva Diana (1999) mengungkapkan pula bahwa pembelajaran terpadu jaring labalaba dapat mencapai tujuan pengajaran yang berkenaan dengan penguasaan konsep juga banyak menghasilkan efek nuturan, sejalan dengan penelitian Dwi Yuli Susanti (2008) bahwa melalui pembelajaran tematik hasil belajar Matematika siswa Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
74
STAIN Palangka Raya
mengalami peningkatan. Penelitian yang dilakukan oleh Suryanti dan Wahono (2007) mengungkapkan bahwa siswa yang belajar melalui pembelajaran tematik secara utuh dengan ditunjang oleh bahan ajar yang disusun secara tematik dapat meningkatkan hasil rerata IPA yang relatif tinggi pada siswa kelas 1 di semester 1, tidak kalah dengan rerata mata pelajaran lain yang diintegrasikan. Penerapan pembelajaran tematik yang menghasilkan hasil belajar yang relatif tinggi ini ternyata konsisten dengan temuan program Connecting Learning Assures Succesfull Students (CLASS) yang melaporkan hasil skor Indiana Statewide Tesing for Educational Progress (ISTEP) pada siswa SD yang menerapkan pembelajaran tematik lebih tinggi daripada siswa SD yang lain di negara tersebut, dan bahwa skor pada SD CLASS terus meningkat dari waktu ke waktu (Buechler,M.1993). Hasil penelitian ini juga selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruth (1998), bahwa selama periode dua tahun, skor siswa yang menggunakan pembelajaran tematik menunjukkan peningkatan sebesar 16%, sedangkan sekolah kontrol hanya mencapai peningkatan sebesar 3%. Selarasnya hasil penelitian ini memperkuat pendapat Rohde, et.al (1991) yang menyatakan bahwa: (1) tema memberikan pengalaman langsung dengan objek-objek nyata bagi anak untuk memanipulasinya, (2) tema menciptakan kegiatan yang memungkinkan anak untuk menggunakan pemikirannya, (3) membangun kegiatan sekitar minat-minat umum anak, (4) menyediakan kegiatan dan kebiasaan yang menghubungkan semua aspek perkembangan kognitif, social, emosi dan fisik, (5) mengakomodasi kebutuhan anak-anak untuk bergerak dan melakukan kegiatan fisik, interaksi sosial, kemandirian, dan harga diri yang positif, (6) menghargai individu, latar belakang kebudayaan, dan pengalaman di keluarga yang dibawa anak-anak ke kelasnya, dan (7) menemukan cara-cara untuk melibatkan anggota keluarga anak. Penelitian tentang pembelajaran tematik ini dilakukan pula oleh Turpin dan Cage (1998) pada siswa kelas VII yang menggunakan kurikulum IPA terpadu. Hasilnya menunjukkan bahwa pembelajaran tematik memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi pencapaian siswa dalam mempelajari sains, kemampuan keterampilan proses sains siswa serta kepemilikan sikap ilmiah. Siswa yang belajar menggunakan kurikulum IPA terpadu menunjukkan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan siswa yang tidak menggunakan pembelajaran tersebut. F. Metode Penelitian 1. Disain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan disain yang disebut nonequivalent kontrol group design dengan menggunakan dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Menurut Sugiyono (2007) disain ini memiliki kelompok kontrol namun tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen. Pertimbangan penggunaan disain ini adalah sulit sekali menemukan kelas yang memiliki karakteristik yang sama persis, baik dari segi kemampuan intelektual (IQ), motivasi/minat belajar IPA, latar belakang siswa, serta faktor-faktor lainnya yang mungkin dapat mempengaruhi proses pembelajaran selama penelitian berlangsung. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
75
STAIN Palangka Raya
Namun demikian, kedua kelas diasumsikan sama untuk beberapa hal yaitu jumlah siswa, prestasi belajar dan klasifikasi tingkat kemampuan siswa. Sugiyono (2007) mengatakan bahwa pada jenis desain eksperimen ini terjadi pengelompokan subjek tidak secara acak. Desain eksperimennya adalah sebagai berikut: Tabel 1 Disain Penelitian Kelas Eksperimen O1 X1 O2 Kelas Kontrol O1 X2 O2 Keterangan : O1 = Tes awal ; O2 = Tes akhir X1 = Perlakuan berupa penerapan pembelajaran tematik X2 = Pembelajaran non tematik Untuk memperoleh data pada kelas tersebut diberikan tes awal (pretest) dan tes akhir (posttes). Perbedaan antara kedua kelas tersebut adalah perlakuan dalam proses pembelajaran, dimana kelas eksperimen pembelajarannya menggunakan model pembelajaran tematik tipe spider webbed, sedangkan kelas kontrol pembelajarannya secara non tematik. 2. Variabel Penelitian Variabel adalah objek penelitian atau sesuatu yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Suharsimi, 1998). Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Variabel bebas yaitu pembelajaran dengan pendekatan tematik tipe Spider Webbed. 2) Variabel terikat yaitu kemampuan penguasaan konsep IPA 3. Lokasi dan Subjek Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di SDN Jamika 1 yang berada di Jalan Pagarsih Gang Pak Oyon Kota Bandung. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa di sekolah tersebut belum melaksanakan pembelajaran tematik secara utuh bahkan cenderung masih bersifat non tematik dengan pemisahan mata pelajaran yang jelas, namun terdapat upaya-upaya untuk melaksanakan hal tersebut. Beberapa upaya yang dilakukan sekolah dalam upaya meningkatkan pembelajaran tematik ini adalah dengan melibatkan guru kelas beserta siswanya dalam beberapa penelitian berkenaan dengan pembelajaran tematik, baik penelitian tindakan kelas, eksperimen maupun penelitian research and development. Subjek dalam penelitian ini yaitu guru kelas II dan siswa kelas II pada SDN Jamika 1. Dasar pertimbangan pemilihan tingkat kelas adalah bahwa siswa kelas II diasumsikan sudah dapat membaca lancar kalimat sederhana, dengan demikian diharapkan pada saat penelitian tidak terdapat kendala yang cukup berarti pada saat siswa membaca soal-soal tes.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
76
STAIN Palangka Raya
Pemilihan kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa guru yang mengajar pada kedua kelas memiliki kemiripan karakter dan memiliki latar belakang tingkat pendidikan S-1 kependidikan serta pengalaman mengajar lebih dari 15 tahun di SD. Selain dari itu pertimbangan utamanya adalah kemiripan karakter siswa, baik dari segi prestasi maupun kesamaan jumlah siswa pada kelas tersebut yang terdiri dari 49 siswa pada masing-masing kelas. Siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol kemudian diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya yang terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Untuk menentukan tingkat klasifikasi siswa, sebelumnya peneliti mendapatkan data rata-rata hasil ulangan IPA pada semester 2 dari guru masing-masing kelas, kemudian diklasifikasikan menurut Arikunto (2008) bahwa: (1) Batas kelompok bawah sedang dihitung dengan rumus: Mean - Standar Deviasi dan (2) Batas kelompok sedang atas dihitung dengan rumus: Mean + Standar Deviasi. Berikut adalah deskripsi siswa pada kedua kelas berdasarkan klasifikasi tingkat kemampuan siswa. Tabel 2 Klasifikasi Siswa Berdasarkan Tingkat Kemampuan Tingkat Klasifikasi Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Kemampuan Rendah 8 siswa 6 siswa Kemampuan Sedang 32 siswa 31 siswa Kemampuan Tinggi 9 siswa 12 siswa Jumlah siswa 49 siswa 49 siswa
4. Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari : 1) Perangkat Model Pembelajaran Tematik tipe spider webbed terdiri dari jaring tema, RPP, serta bahan ajar tematik yang mengintegrasikan mata pelajaran IPA, Matematika, Bahasa Indonesia dan Seni Budaya dan Keterampilan (SBK). RPP ini dilengkapi pula dengan bahan ajar tematik termasuk di dalamnya LKS sebagai sarana penunjang proses pembelajaran. Tema yang diangkat dalam pembelajaran ini adalah “Matahariku”. Mata pelajaran IPA terdiri atas dua Kompetensi Dasar (KD), Matematika dua KD, Bahasa Indonesia 3 KD dan SBK sebanyak 2 KD. 2) Tes ini dikonstruksi dalam bentuk tes pilihan ganda sebanyak 30 butir, dengan jumlah option sebanyak tiga buah. Setiap soal dibuat untuk menguji penguasaan konsep IPA yang terkandung dalam ruang lingkup bumi dan alam semesta. Dengan demikian tes ini bersifat konseptual.Tes ini dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada saat tes awal dan tes akhir dengan soal yang sama. Tes ini diperuntukkan untuk siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini bertujuan untuk mengukur penguasaan konsep siswa pada kelas eksperimen sebagai hasil penerapan model pembelajaran tematik. 3) Lembar Observasi ditujukan sebagai pedoman untuk melakukan observasi terhadap aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran dengan Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
77
STAIN Palangka Raya
menggunakan model pembelajaran tematik, dan dikhususkan untuk mengetahui proses pembelajaran IPA dalam pelaksanaan model tersebut. Data observasi diperoleh melalui pengisian lembar pedoman observasi dengan memberi tanda (√). Lembar observasi yang digunakan meliputi dua hal, yaitu lembar observasi yang digunakan untuk melihat keterlaksanaan model pembelajaran tematik secara umum yang berpedoman pada Standar Proses Pembelajaran yang tercantum dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007, serta lembar observasi yang digunakan untuk mengetahui proses pembelajaran IPA yang diadaptasi dari format observasi pembelajaran Science Education Quality Improvement Project (SEQIP). 4) Lembar Panduan Wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang tanggapan guru berkenaan dengan pembelajaran menggunakan model pembelajaran tematik. Data hasil wawancara digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh melalui observasi. 5. Proses Pengembangan Instrumen Setiap instrumen yang digunakan dalam penelitian ini telah melalui tahapan pengujian atau validasi, baik oleh ahli maupun secara uji empirik di lapangan. Khusus untuk pengujian instrumen berbentuk tes, validasi empirik memegang peranan yang sangat penting untuk mengetahui tingkat keterandalannya. Tes yang baik biasanya memenuhi kriteria validitas tinggi, reliabilitas tinggi, daya pembeda yang baik, dan tingkat kesukaran yang layak. Pengolahan data hasil uji coba instrument ini dilakukan dengan menggunakan sebuah software Anates versi 4. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh gambaran bahwa secara keseluruhan reliabilitas instrumen soal penguasaan konsep IPA yang mencapai 0,80 (tinggi). Hal ini menunjukkan bahwa soal tersebut layak digunakan, adapun butir soal mana yang digunakan dapat dilihat secara detail pada tabel 3.6 dan tabel 3.7 di atas. E. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu data utama dan data penunjang. Data utama yang dikumpulkan merupakan data kuantitatif berupa skor tes penguasaan konsep IPA dan skor tes keterampilan proses sains siswa pada kedua kelas. Data tersebut dapat memberikan gambaran mengenai pencapaian siswa sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan pembelajaran di kelasnya masingmasing. Data selanjutnya yang dikumpulkan adalah data hasil observasi kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan pada kedua kelas, yang kemudian dideskripsikan untuk memperoleh gambaran mengenai proses pembelajaran yang berlangsung sehingga dapat memberikan penjelasan mengenai penyebab terjadinya perbedaan perolehan skor siswa sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan pembelajaran. Data pendukung lainnya adalah hasil wawancara dengan guru mengenai proses pembelajaran yang dilaksanakan.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
78
STAIN Palangka Raya
F. Teknik Pengolahan Data Data yang terkumpul dalam penelitian ini berupa data kuantitatif yang diolah dengan teknik perhitungan secara statistik menggunakan program SPSS for windows 12. Data tersebut kemudian menjadi bahan rujukan pengambilan keputusan dari dua buah hipotesis penelitian yang diajukan. Untuk mendeskripsikan hasil penelitian, maka dibutuhkan data pendukung berupa hasil observasi pembelajaran serta hasil wawancara yang dilakukan terhadap guru. Untuk mengetahui perbandingan tingkat penguasaan konsep IPA dan keterampilan proses sains siswa yang belajar melalui model pembelajaran tematik tipe spider webbed dibandingkan dengan siswa yang belajar melalui pembelajaran non tematik sekaligus menjawab hipotesis pertama dan kedua, maka data yang diolah berupa skor tes awal dan tes akhir pada kedua kelas. Perbedaan yang terjadi pada kedua kelas dihitung dengan membandingkan rerata perolehan skor tes (uji beda), baik tes awal maupun tes akhir, serta peningkatan skornya (N-Gain). Sedangkan untuk mengetahui efektivitas pembelajaran tematik tipe spider webbed dibandingkan dengan pembelajaran non tematik terhadap peningkatan penguasaan konsep IPA dan keterampilan proses sains berdasarkan klasifikasi kemampuan siswa, digunakan uji anova dua jalur (Two Way Anova). Persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengolahan data kuantitatif dengan menggunakan statistik parametik adalah data berdistribusi normal dan homogen (Akdon, 2007). Untuk menguji normalitas data, digunakan uji satu sampel Kolmogorov-Smirnov (One Sample Kolmogorov-Smirnov), dan untuk menguji tingkat homogenitas data digunakan uji Levine. Prosedur uji statistik selanjutnya adalah uji beda menggunakan Uji T Sampel Berpasangan (Paired Sample T Tes) jika data berdistribusi normal dan homogen. Namun jika data tidak berdistribusi normal atau tidak homogen maka digunakan uji statistik non parametrik yaitu uji Dua Sampel Berhubungan (Two Sample Related/ Wilcoxon Tes). Peningkatan yang terjadi sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan rumus gain faktor (N-Gain). Rumusnya adalah sebagai berikut: S post S pre g S maks S pre (Meltzer, 2002) Keterangan: Spost : Skor posttes Spre : Skor pretest Smaks : Skor maks ideal Adapun kriteria tingkatan gain adalah sebagai berikut: Tabel 3 Kategori Tingkat Gain Batasan Kategori g > 0.7 Tinggi 0.3 ≤ g ≤ 0.7 Sedang g < 0.3 Rendah
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
79
STAIN Palangka Raya
G. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan Pada tahap persiapan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : - Melakukan kajian terhadap Standar Isi IPA SD Kelas II, mengidentifikasi Kompetensi Dasar, menentukan sebuah tema yang akan dikembangkan dan membuat matrik pembelajaran tematik. - Menyusun instrumen berupa tes, lembar observasi, pedoman wawancara, serta disain pembelajaran tematik. - Melakukan validasi dan judgement terhadap instrumen dengan dua cara yaitu validasi ahli dan validasi empirik. Validasi empirik hanya dilakukan untuk menguji keterandalan instrumen tes penguasaan konsep IPA dan tes keterampilan proses sains untuk mengetahui validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda soal. Hasil ujicoba dianalisis menggunakan Anates V4. Kemudian melakukan revisi dan penyempurnaan instrumen tes. - Melakukan persiapan pelaksanaan pembelajaran bersama guru dengan cara diskusi dan sharing untuk menambah bekal wawasan kepada guru dalam mengimplementasikan pembelajaran tematik serta melibatkan guru dalam pelatihan tematik yang diselenggarakan di SDN Kayu Ambon Lembang pada tanggal 18 Maret 2009 dengan instruktur Dra. Novi Resmini,M.Pd. 2. Tahapan Pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan ini, langkah-langkah yang ditempuh adalah: - Melakukan tes awal dan tes akhir baik di kelas eksperimen maupun kelas kontrol dilanjutkan dengan melaksanakan penelitian dan penerapan model pembelajaran tematik dengan tetap mengusahakan agar kondisi kedua kelompok tetap sama kecuali pada saat perlakuan. - Melakukan observasi selama pelaksanaan pembelajaran tematik dan mengumpulkan data yang relevan. 3. Tahapan Pengolahan Data dan Pembahasan Pada tahap ini peneliti melakukan pengolahan dan analisis skor data tes dengan uji statistik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dan menginterpretasi skor data dari data yang diperoleh dan kemudian mengambil kesimpulan. 4. Alur penelitian Secara ringkas, tahapan penelitian tersebut di atas dapat digambarkan melalui sebuah bagan alur penelitian dibawah ini.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
80
STAIN Palangka Raya
Analisis Standar Isi dan Mengkaji Literatur
Penyusunan Disain Pembelajaran Tematik
Tahap Persiapan
Penyusunan Instrumen Penelitian
Uji Coba Instrumen Penelitian
Pembelajaran Tematik
Pembelajaran non tematik
Observasi
Observasi
Analisis Data
Hasil dan Kesimpulan
Tahap Pengolahan data
Tes Akhir
Tahap Pelaksanaan
Tes Awal Kelas Eksperimen
Tes Awal Kelas Kontrol
Gambar 1 Alur penelitian
H. Hasil dan Pembahasan Tes penguasaan konsep IPA siswa diberikan kepada siswa kelas eksperimen maupun kelas kontrol, berupa soal tes awal dan tes akhir penguasaan konsep IPA. Nilai siswa diperoleh dengan cara menghitung jumlah skor jawaban benar siswa dari Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
81
STAIN Palangka Raya
30 item soal yang diberikan. Dengan demikian, skor minimum siswa adalah 0 dan skor maksimum siswa adalah 30 dengan perolehan nilai minimum siswa adalah 0 dan nilai maksimum siswa adalah 100. Berikut ini disajikan diagram perbandingan nilai penguasaan konsep IPA siswa pada kedua kelas. 100
57 43 44
40 20 0
1 Rata-rata N-Gain
Nilai siswa
60
N-Gain Penguasaan Konsep IPA
71
80
0,8 0,6
0,5 0,24
0,4 0,2
Tes Awal
Tes Akhir
Penguasaan Konsep IPA Eksperimen
Kontrol
Gambar 2 Nilai Rerata Siswa
0
Kelas Gambar 3 N-gain penguasaan konsep IPA
Gambar 2 di atas memberikan gambaran secara umum bahwa sebelum pembelajaran dilaksanakan, kemampuan siswa menjawab tes awal penguasaan konsep IPA pada kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak memiliki perbedaan yang yang berarti. Pada gambar 3 nampak bahwa setelah proses pembelajaran hasil rerata tes akhir penguasaan konsep IPA siswa pada kelas eksperimen yang menerapkan pembelajaran tematik menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol dengan indeks N-Gain penguasaan konsep IPA kelas eksperimen (0,50) termasuk dalam kategori sedang (Meltzer, 2002) dan N-Gain penguasaan konsep IPA kelas kontrol (0,24) termasuk kategori rendah. Untuk mengetahui dan membandingkan tingkat signifikan peningkatan nilai rerata penguasaan konsep IPA yang terjadi pada kedua kelas diperlukan uji statistik. Prosedur pengujian uji beda rerata untuk data parametrik, menggunakan uji Paired Sample T Tes dengan persyaratan bahwa kedua data yang diuji berdistribusi normal dan homogen. Berikut adalah rekapitulasi hasil pengujian statistik yang dilakukan menggunakan SPSS for Windows 12, meliputi uji normalitas, homogenitas, serta uji beda rerata.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
82
STAIN Palangka Raya
Tabel 4 Hasil Pengolahan Statistik Nilai Penguasaan Konsep IPA Pada Kedua Kelas Uji Normalitas Uji Homogenitas Uji Beda Rerata Kolmogorov-Smirnov(a) Uji Levene’s Paired samples T Tes Sumber Levene Sig. (2No Data Statistic df Sig. df1 df2 Sig. Mean t df Statistic
1
2
3
4
Tes Awal Eksperimen Tes Awal Kontrol Tes Awal Eksperimen Tes Akhir Eksperimen Tes Awal Kontrol Tes Akhir Kontrol Tes Akhir Eksperimen Tes Akhir Kontrol
,115
49
tailed)
,108
,114
49
,142
,115
49
,108
,107
49
,200(*)
,114
49
,142
,103
49
,200(*)
,107
49
,200(*)
,103
49
,200(*)
1,402
1
96
,239
,333
1
96
,565
,271
1
96
,604
1,328
1
96
,252
-,367
-27,469
-13,796
13,306
-,160
48
,873
-24,25
48
,000
-11,20
48
,000
5,10
48
,000
Hasil uji normalitas (Kolmogorov-Smirnov) menunjukkan bahwa seluruh data pada kedua kelas yang diujikan berdistribusi normal dengan nilai sig., baik tes awal maupun tes akhir. Demikian pula hasil uji homogenitas (uji Levene’s) menunjukkan bahwa data tes awal kelas eksperimen-kontrol, data tes awal-tes akhir kelas eksperimen, data tes awal-tes akhir kelas kontrol, data tes akhir kelas eksperimenkontrol, adalah homogen dengan nilai sig. . (Lebih detail lihat lampiran E.1) Pada tabel 4.1 terdapat hasil uji beda rerata menggunakan Uji t berpasangan (Paired samples t-tes) dua sisi (two-tailed). Adapun prosedur pengujian uji beda rerata tersebut adalah : Ha: tematik nontematik Ho: tematik nontematik Ho ditolak jika Sig. ; = 0,05 Berdasarkan prosedur pengujian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa data nilai tes awal kelas eksperimen dan kontrol tidak memiliki perbedaan yang signifikan karena nilai sig.. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai penguasaan konsep IPA siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol sebelum pembelajaran. Tabel 4.1 juga menunjukkan bahwa kemampuan siswa sesudah pembelajaran mengalami perbedaan yang signifikan, baik di kelas eksperimen (nomor 2) maupun kelas kontrol (nomor 3) dengan nilai sig. . Hal ini berarti bahwa terjadi peningkatan nilai penguasaan konsep IPA siswa di kelas eksperimen maupun kelas kontrol yang signifikan. Untuk mengetahui perbedaan nilai akhir penguasaan konsep IPA siswa pada kedua kelas dilakukan uji yang keempat (Tabel 4.1). Hasilnya menunjukkan bahwa nilai tes akhir siswa pada kedua kelas memiliki perbedaan yang signifikan dengan perbedaan nilai rerata sebesar 13,306 dan sig. . Perbedaan perolehan nilai penguasaan konsep IPA siswa pada kedua kelas menunjukkan bahwa nilai akhir siswa kelas eksperimen yang menggunakan Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
83
STAIN Palangka Raya
pembelajaran tematik lebih tinggi dibandingkan dengan nilai akhir siswa di kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran non tematik. Untuk mengetahui peningkatan nilai penguasaan konsep IPA siswa pada kedua kelas, maka pengujian statistik selanjutnya adalah uji beda rerata N-Gain penguasaan konsep IPA siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Prosedur pengujian yang ditempuh adalah uji berpasangan satu sisi (Paired samples t-tes) untuk sisi atas -upper tailed. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bahwa penerapan pembelajaran tematik dapat lebih meningkatkan penguasaan konsep IPA siswa dibandingkan pembelajaran non tematik. Berikut adalah rekapitulasi hasil pengujian statistik yang dilakukan menggunakan SPSS for Windows 12, meliputi uji normalitas, homogenitas, serta uji beda rerata paired samples t-tes . Tabel 5 Uji Beda Rerata N-Gain Penguasaan Konsep IPA
l Sumber Data N-Gain Eksperimen N-Gain Kontrol
Uji Normalitas
Uji Homogenitas
Uji Beda Rerata
Kolmogorov-Smirnov(a)
Uji Levene’s
Paired samples T Tes
Statistic
df
Sig.
,059
49
,200(*)
,055
49
,200(*)
Levene Statistic
df1
df2
Sig.
Mean
t
df
Sig. (2-tailed)
,505
1
96
,479
,25816
7,88
48
,000
Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut : Ho: tematik nontematik dan Ha: tematik nontematik Ha diterima jika Sig. ; = 0,05 Hasil pengujian uji beda rerata pada tabel 4.2 memberikan gambaran bahwa selisih rerata N-Gain adalah 0,25816 dengan nilai t = 7,88 dan nilai sig.2 tailed=0,000, karena uji yang digunakan adalah uji hipotesis satu sisi (one tail) Ha: tematik , nontematik maka nilai sig. harus dibagi dua yaitu = 0,000. Nilai sig untuk uji satu sisi ini lebih kecil dari =0,05, sehingga merupakan bukti kuat untuk menerima Ha: tematik nontematik dan menolak Ho: tematik nontematik. Hasil perhitungan tersebut membuktikan hipotesis kesatu bahwa “peningkatan penguasaan konsep IPA siswa yang belajar melalui model pembelajaran tematik tipe spider webbed lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang belajar melalui pembelajaran non tematik.” Berdasarkan pengujian tersebut maka dapat diperoleh gambaran bahwa penerapan pembelajaran tematik dapat lebih meningkatkan penguasaan konsep IPA siswa dibandingkan pembelajaran non tematik. Untuk mengetahui tingkat efektivitasnya perlu dilakukan pengujian statistik selanjutnya yaitu uji Anova untuk mengetahui apakah peningkatan (N-Gain) tersebut terjadi pada seluruh siswa yang memiliki perbedaan tingkat klasifikasi kemampuan. Prosedur uji Anova dapat dilakukan bila data berdistribusi normal dan homogen. Berdasarkan uji Levene (lihat lampiran E.7.b) diperoleh hasil N-Gain peguasaan Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
84
STAIN Palangka Raya
konsep IPA kelas eksperimen dan kelas kontrol homogen. Sedangkan hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov (lihat lampiran E.7.a) menunjukkan bahwa keduanya berdistribusi normal. Langkah selanjutnya adalah uji pengaruh antara subjek (lihat lampiran E.7.d), dalam hal ini untuk mengetahui apakah peningkatan penguasaan konsep IPA siswa tersebut dipengaruhi oleh pembelajaran, tingkat klasifikasi siswa atau bahkan interaksi antara pembelajaran dengan tingkat klasifikasi siswa. Tabel 6 Tess of Between-Subjects Effects Dependent Variable: N-Gain Penguasaan Konsep IPA
Source
Type III Sum of Squares 2,659(a) 8,756 1,142 ,988
df
Corrected Model 5 Intercept 1 Model Pembelajaran 1 Klasifikasi_siswa 2 Pembelajaran * ,013 2 Klasifikasi_siswa Error 1,307 92 Total 17,673 98 Corrected Total 3,966 97 a R Squared = ,670 (Adjusted R Squared = ,653)
Mean F Square ,532 37,438 8,756 616,350 1,142 80,387 ,494 34,756 ,007
,462
Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,631
,014
Hasil pengujian Anova menunjukkan bahwa N-Gain penguasaan konsep IPA pada kedua kelas dipengaruhi oleh: (1) model pembelajaran yang diterapkan dan (2) tingkat klasifikasi kemampuan siswa. Hal ini dapat dilihat dari taraf signifikan hasil perhitungan faktor pembelajaran yang mencapai nilai sebesar 0,000 dan faktor klasifikasi siswa yang mencapai nilai sebesar 0,000 . Adapun efektivitas interaksi antara model pembelajaran dengan tingkat kemampuan siswa tidak mempengaruhi N-Gain penguasaan konsep IPA pada kedua kelas. Hal ini dapat ditunjukkan berdasarkan hasil perhitungan taraf signifikan yang mencapai nilai sebesar 0,631 (nilai = 0,05). Hasil perhitungan tersebut memberikan gambaran bahwa model pembelajaran yang diterapkan pada kedua kelas sebenarnya dapat digunakan dalam proses pembelajaran untuk semua tingkat klasifikasi kemampuan siswa, baik siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, maupun rendah. Namun untuk mengetahui model pembelajaran mana yang lebih efektif dapat dilakukan dengan cara uji pos hoc pada Anova. Pengujian tersebut bertujuan untuk mengetahui perbedaan rerata N-Gain penguasaan konsep IPA pada kedua kelas berdasarkan tingkat klasifikasi kemampuan siswa pada kedua kelas. Berdasarkan uji Befferoni menggunakan SPSS for windows 12 diperoleh hasil bahwa perbedaan tingkat N-Gain terjadi pada setiap tingkat klasifikasi kemampuan siswa pada kedua kelas (lihat lampiran E.7.f). Pada kelas eksperimen yang menerapkan pembelajaran tematik, perbedaan N-Gain penguasaan konsep IPA antara Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
85
STAIN Palangka Raya
siswa berkemampuan tinggi-sedang mencapai 0,18; siswa berkemampuan sedangrendah mencapai 0,19 dan antara siswa berkemampuan tinggi-rendah mencapai 0,37. Sedangkan pada kelas kontrol yang menerapkan pembelajaran non tematik, perbedaan N-Gain penguasaan konsep IPA antara siswa berkemampuan tinggi-sedang mencapai 0,18; siswa berkemampuan sedang-rendah mencapai 0,13, dan antara siswa berkemampuan tinggi-rendah mencapai 0,30. Perbedaan tingkat N-Gain penguasaan konsep IPA terjadi juga antar kemampuan siswa pada kedua kelas. Siswa berkemampuan tinggi pada kelas eksperimen memiliki tingkat N-Gain yang lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol dengan perbedaan mencapai 0,29. Siswa berkemampuan sedang pada kelas eksperimen memiliki tingkat N-Gain yang lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol dengan perbedaan mencapai 0,28. Demikian pula siswa yang berkemampuan rendah pada kelas eksperimen memiliki tingkat N-Gain yang lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol dengan perbedaan mencapai 0,22. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran tematik tipe spider webbed lebih efektif digunakan untuk meningkatkan penguasaan konsep IPA siswa SD kelas II pada setiap tingkatan klasifikasi kemampuan siswa. Untuk memperjelas gambaran perbedaan rerata N-Gain penguasaan konsep IPA pada kedua kelas, dapat dilihat padaEstimated diagram berikut ini. Marginal Means of N Gain Penguasaan Konsep IPA 0.70
Klasifikasi kemampuan siswa
0.60
Sedang
Rendah
Estimated Marginal Means
Tinggi 0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00 Nontematik
Tematik
Pembelajaran
Gambar 4 Diagram estimated marginal means of N-Gain penguasaan konsep IPA
Hasil pengujian statistik di atas menunjukkan bahwa model pembelajaran tematik lebih efektif meningkatkan nilai penguasaan konsep IPA siswa berkemampuan tinggi dan siswa berkemampuan sedang dibandingkan siswa pada kelas kontrol yang memiliki kemampuan tinggi. Pembelajaran tematik juga lebih efektif dapat meningkatkan nilai penguasaan konsep IPA siswa berkemampuan sedang dan siswa berkemampuan rendah pada kelas eksperimen dibandingkan siswa pada kelas kontrol yang memiliki kemampuan sedang dan kemampuan rendah. Untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan terjadinya peningkatan tersebut, maka peneliti melakukan observasi pembelajaran dan melakukan analisis terhadap hasil perolehan tes penguasaan konsep IPA siswa pada kedua kelas tersebut. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
86
STAIN Palangka Raya
Kompetensi Dasar IPA pada ruang lingkup Bumi dan Alam Semesta yang dikembangkan dalam pembelajaran IPA pada kedua kelas adalah KD IPA nomor 4.1 Mengidentifikasi kenampakan matahari pada pagi, siang dan sore hari, dan KD IPA nomor 4.2 Mendeskripsikan kegunaan panas dan cahaya matahari dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah diagram pencapaian penguasaan konsep IPA pada kedua kelas untuk tiap KD yang diujikan yang menunjang perolehan nilai penguasaan konsep IPA siswa secara keseluruhan. 100
Jumlah siswa (Persen)
90
Keterangan :
72,34 68,71
80 70
60,63 48,55 52,83
60 50
43 43,03
39,51
40 30 20 10 0
TES AWAL
TES AKHIR
TES AWAL
TES AKHIR
KD 4.1 Mengidentifikasi kenampakan matahari pada pagi, siang dan sore hari KD 4.2 Mendeskripsikan kegunaan panas dan cahaya matahari dalam kehidupan sehari-hari.
KELAS EKSPERIMEN KELAS KONTROL Penguasaan Konsep IPA
Gambar 5. Diagram persentase jumlah siswa yang menguasai konsep IPA
Pada Gambar 5 di atas, nampak bahwa kemampuan siswa pada kelas eksperimen terhadap penguasaan konsep IPA untuk KD 4.1 dan KD 4.2 lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa upaya meningkatkan penguasaan konsep IPA pada KD 4.1 dan KD 4.2 melalui model pembelajaran tematik tipe spider webb pada tema ”Matahariku” cukup efektif dibandingkan pembelajaran yang dilakukan secara non tematik. Peningkatan kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep IPA khususnya pada kelas eksperimen, tidak terjadi begitu saja, melainkan diupayakan sedemikian rupa melalui proses pembelajaran. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan KTSP, alokasi waktu pembelajaran di kelas rendah didominasi oleh pelajaran membaca, menulis dan berhitung dengan persentase sebanyak 50%, pendidikan agama 15% dan sisanya adalah pembelajaran lainnya 35%. (Mulyasa, 2006). Dengan demikian porsi pembelajaran IPA di kelas rendah sangatlah sedikit berkisar 35 menit saja selama satu minggu jika dilaksanakan Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
87
STAIN Palangka Raya
secara non tematik, karena berbagi waktu dengan pelajaran lainnya termasuk muatan lokal. Konsep-konsep IPA yang terdapat dalam ruang lingkup bumi dan alam semesta yang terdiri atas dua KD, dapat dikembangkan dalam model pembelajaran tematik tipe spider webb sebanyak 8 kali pertemuan berturut-turut (seminggu 4 kali pertemuan) pada kelas eksperimen, lebih banyak jika dibandingkan dengan kelas kontrol yang hanya 4 pertemuan saja (satu minggu satu kali dalam waktu satu bulan). Dengan demikian, model pembelajaran tematik tipe spider webb memiliki keunggulan dibandingkan pembelajaran non tematik dari sisi pengalokasian waktu belajar IPA. Hal ini memberikan peluang bagi guru dan siswa untuk melakukan eksplorasi terhadap konsep-konsep IPA lebih banyak dibandingkan dengan pembelajaran non tematik. Melalui model pembelajaran tematik tipe spider webb pada tema ”Matahariku”, belajar materi IPA dapat dilakukan secara bersamaan saat siswa belajar membaca (pelajaran Bahasa Indonesia). Hal ini nampak dalam proses pembelajaran bahwa materi-materi IPA dijadikan juga sebagai media untuk belajar Bahasa Indonesia. Hal ini menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi siswa bahwa ia mendapatkan dua keuntungan sekaligus, mendapatkan materi IPA dan Bahasa Indonesia dalam waktu yang bersamaan. Bahkan pada pertemuan ke-7, dalam RPP tidak mencantumkan KD IPA, namun konten IPA tetap dipelajari melalui pembelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar pembelajaran terpadu yaitu prinsip the hidden curriculum, dimana pembelajaran yang dikembangkan memuat pesan yang tersembunyi namun penuh makna bagi siswa (Sa’ud, 2006). Model pembelajaran tematik spider webb pada tema ”Matahariku” mengemas pengalaman belajar yang dirancang untuk memberikan kebermaknaan pengalaman bagi para siswa. Pengalaman belajar yang demikian dapat lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual dan menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang studi yang relevan akan membentuk skema, sehingga anak akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Hal ini senada dengan yang diungkapkan William (Sa’ud, 2006), bahwa perolehan keutuhan belajar, pengetahuan, serta kebulatan pandangan tentang kehidupan dan dunia nyata hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran terpadu. Jika dihubungkan dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) IPA di SDN Jamika 1 sebesar 65, maka untuk penguasaan konsep IPA siswa pada kelas eksperimen dapat dikategorikan telah tuntas dengan rerata nilai 71. Sebagai catatan guru, perlu diketahui juga bahwa sebanyak 15 orang siswa pada kelas eksperimen memiliki nilai di bawah KKM untuk penguasaan konsep IPA (lihat lampiran D). Kondisi pada kelas kontrol justru sebaliknya, dengan nilai akhir yang hanya mencapai rerata 57, maka siswa yang memiliki penguasaan konsep IPA di atas nilai KKM hanyalah 13 orang saja, berarti sebanyak 36 siswa harus mengikuti kegiatan remedial. Sebagai gambaran pencapaian kompetensi dasar IPA yang dikuasai siswa pada kedua kelas, berikut ini disajikan diagram persentase jumlah siswa pada kedua kelas yang menguasaai konsep IPA pada tiap indikator pembelajaran yang diujikan.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
88
STAIN Palangka Raya
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Jumlah siswa (Persen)
Keterangan : 4.1.1 Mendeskripsikan ciri-ciri 85,03 matahari 73,47 4.1.2 Menjelaskan kedudukan 74,49 71,43 matahari pada pagi, siang 67,86 67,35 67,86 dan sore hari 57,14 4.1.3 Mengidentifikasi 52,04 52,04 bayangan yang terbentuk 47,62 pada percobaan sederhana KELAS EKSPERIMEN 34,69 4.1.4 Mengidentifikasi bayangan yang terbentuk KELAS KONTROL pada pagi, siang dan sore hari berdasarkan pengamatan 4.1.5 Mencatat waktu dan hasil pengamatan pembentukan bayangan 4.1.1 4.1.2 4.1.3 4.1.4 4.1.5 4.1.6 pada jam matahari 4.1.6 Membandingkan Indikator Pembelajaran Penguasaan Konsep IPA panjang bayangan benda
Gambar 4.5 Diagram persentase jumlah siswa yang menguasai konsep IPA KD 4.1
100
Keterangan :
Jumlah siswa (Persen)
90 80 70
69,4 68,4
76,19
70,75
65,31
60 50
40,14
40 30 20 10 0
69,39
4.2.1 Membuktikan bahwa matahari adalah sumber energi 4.2.2 Mengelompokkan 57,82 benda yang dapat melindungi tubuh dari panas dan cahaya matahari 4.2.3 Menjelaskan bahaya cahaya dan panas matahari 4.2.4 Menjelaskan manfaat matahari bagi kehidupan
4.2.1 4.2.2 4.2.3 4.2.4 Indikator Pembelajaran Penguasaan Konsep IPA
Gambar 4.6 Diagram persentase jumlah siswa yang menguasai konsep IPA KD 4.2
Berdasarkan Gambar 4.5 dan Gambar 4.6 di atas, secara umum hampir seluruh indikator pembelajaran IPA pada KD 4.1 Mengidentifikasi kenampakan matahari pada pagi, siang dan sore hari, dan KD IPA nomor 4.2 Mendeskripsikan kegunaan panas dan cahaya matahari dalam kehidupan sehari-hari dikuasai dengan lebih baik oleh siswa pada kelas eksperimen dibandingkan kelas kontrol, kecuali pada indikator 4.1.4 dan 4.2.3 yang dikuasai lebih baik oleh siswa kelas kontrol. Hal ini disebabkan karena dalam proses pembelajaran di kelas tematik, kegiatan hands on dan upaya Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
89
STAIN Palangka Raya
untuk membangun konsep yang terdapat pada indikator 4.1.4 Mengidentifikasi bayangan yang terbentuk pada pagi, siang dan sore hari berdasarkan pengamatan, tidak dapat terlaksana sesuai dengan rencana. Dalam RPP, kegiatan hands on untuk mengidentifikasi bayangan ini memang diperuntukkan bagi semua siswa melalui berapa kegiatan berkelompok, seperti membuat jam matahari, mengukur dan membandingkan panjang bayangan benda serta penugasan pengamatan di rumah. Namun dalam pelaksanaannya kegiatan ini sulit dilakukan mengingat jumlah siswa yang cukup besar dan keterbatasan guru dalam pengelolaan kelas. Pada tahap awal ketika membuat jam matahari, siswa dilibatkan sampai pada kegiatan mengukur bayangan yang pertama. Namun kegiatan pengamatan selanjutnya diserahkan kepada ketua kelompok untuk mengukur panjang bayangan yang terbentuk pada jam matahari sedangkan siswa lain tetap belajar di kelas menyelesaikan tugas lain yang diberikan, karena jika semua siswa bolak-balik ke luar kelas selama beberapa kali dalam satu kali pembelajaran dikhawatirkan akan menyita banyak waktu dan tidak efektif. Ternyata pertimbangan dan kekhawatiran mengenai waktu yang akan tersita ini justru mengakibatkan banyak siswa yang tidak terlibat dalam proses pengamatan, dan hanya mendapatkan informasi pada saat diskusi kelas pada akhir pembelajaran. Sealain dari itu, meskipun penguatan konsep pada indikator 4.1.4 ini dilakukan juga dengan menyampaikan konsep dalam bahan ajar, namun tetap saja tidak mampu meningkatkan penguasaan konsep lebih baik dari siswa kelas kontrol. Dalam proses pembelajaran tematik, konsep yang terdapat dalam indikator pembelajaran 4.2.3 Menjelaskan bahaya cahaya dan panas matahari, juga kurang mendapatkan penekanan dari guru berupa penjelasan dan penguatan konsep sehingga jumlah siswa yang menguasai indikator tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan siswa yang menguasai indikator tersebut di kelas kontrol. Sebagaimana yang tertuang dalam pedoman pelaksanaan pembelajaran tematik di kelas rendah, tujuan utama pembelajaran tetap harus menekankan pada aspek pencapaian kemampuan membaca-menulis-berhitung, yang disingkat calistung (Puskur, 2006). Berdasarkan hal ini pula guru mempertimbangkan aktivitas pembelajaran bagi siswa, oleh sebab itu dalam pengamatan pada pertemuan ke-satu dan ke-dua, siswa yang lebih banyak terlibat dalam proses pengamatan adalah ketua kelompok. Hal ini menunjukkan adanya interest guru terhadap mata pelajaran tertentu, dalam hal ini Matematika dan Bahasa Indonesia dalam pelaksanaan pembelajaran tematik, yang menyebabkan proses pembelajaran tidak sesuai dengan RPP. Kelemahan yang terjadi ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sa’ud (2006) bahwa ketika seorang guru mengajarkan sebuah tema/pokok bahasan, maka guru tersebut berkecenderungan lebih mengutamakan, menekankan atau mengintensifkan substansi gabungan tersebut sesuai pemahaman, selera dan subyektifitas guru itu sendiri, sehingga secara kurikuler, akan terjadi pendominasian terhadap materi tertentu, serta sebaliknya sekaligus terjadi proses pengabaian terhadap materi/mata pelajaran lain yang dipadukan. Pembelajaran pada kelas eksperimen memang banyak berbeda dengan kegiatan pembelajaran pada kelas kontrol. Dominansi guru pada kelas kontrol terjadi lebih banyak dalam pembelajaran dibandingkan aktivitas siswa. Siswa kelas kontrol lebih Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
90
STAIN Palangka Raya
banyak mendengarkan ceramah dan penjelasan guru, serta latihan soal baik secara lisan maupun tulisan, terutama materi yang terdapat pada indikator pembelajaran 4.1.2 Menjelaskan kedudukan matahari pada pagi, siang dan sore hari, indikator pembelajaran 4.1.4 Menjelaskan kedudukan matahari pada pagi, siang dan sore hari, dan indikator 4.2.3 Menjelaskan bahaya cahaya dan panas matahari. Intensitas penjelasan guru dan latihan soal (drill) terhadap materi tersebut yang lebih besar porsinya dibandingkan materi pada indikator pembelajaran lainnya, mampu meningkatkan jumlah siswa yang menguasai indikator 4.1.2, 4.1.4 dan 4.2.3. Bahkan untuk indikator 4.1.4 dan 4.2.3, jumlah siswa yang menguasai indikator tersebut lebih banyak dibandingkan kelas eksperimen, yang menekankan pada kegiatan eksperimen. Hal ini memberikan gambaran bahwa penjelasan guru dan drill untuk melatih penguasaan konsep IPA diperlukan dalam proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang dirumuskan. Sekaligus memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembelajaran tematik memiliki kelemahan dalam upaya membangun konsep siswa melalui kegiatan hands on yang dilakukan dengan intensitas penguatan konsep yang cukup rendah dalam bentuk latihan soal penguasaan konsep IPA, khususnya materi pada KD 4.1.4 dan 4.2.3. Hasil temuan ini memberikan masukan yang sangat berarti, bahwa penguasaan konsep siswa dalam pembelajaran tematik harus ditempuh dalam dua cara, yaitu melalui kegiatan hands on dan kegiatan minds on dalam bentuk latihan soal terstruktur. Hal ini sangat penting mengingat penguasaan konsep siswa pada jenjang pendidikan dasar menjadi pondasi bagi penguasaan konsep pada jenjang berikutnya. Dengan demikian penerapan pembelajaran tematik yang menitik beratkan pada aktivitas siswa sebagai pelaku pembelajaran tetap harus diiringi dengan drill dengan intensitas yang relatif cukup banyak. Berdasarkan observasi pembelajaran pada kedua kelas, ditemukan beberapa hal yang mendukung peningkatan penguasaan konsep IPA siswa pada kelas eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol. Prinsip-prinsip pembelajaran terpadu, seperti prinsip the learning environment (Sa’ud, 2006) dalam pembelajaran tematik dilaksanakan untuk menyediakan lingkungan belajar di kelas yang memberikan kebebasan bagi siswa untuk berpikir dan berkreativitas. Hal ini nampak sangat jelas ketika siswa melakukan aktivitas berpikir dan berkreativitas dalam waktu yang bersamaan, pada saat membuat jam matahari, membuat wayang-wayangan, melakukan percobaan sederhana untuk mengidentifikasi bayangan serta mencatat dan melakukan pengukuran terhadap panjang bayangan benda. Kegiatan hands-on (percobaan/praktikum) yang dilakukan secara berkelompok membuat siswa leluasa untuk berinteraksi dengan sesama siswa, dengan guru, bahkan dengan lingkungan. Pembelajaran juga tidak dilakukan secara monoton di dalam kelas, melainkan penuh aktivitas berkelanjutan, dimana siswa bisa keluar masuk kelas untuk mencatat hasil pengamatan bersamaan dengan aktivitas lain yang dilakukan di kelas, meskipun tidak semua kegiatan dapat dilakukan sesuai RPP. Pembelajaran tematik yang diterapkan ini dikemas dengan memperhatikan aturan pembelajaran IPA dan juga mata pelajaran lain yang terkait. Pengemasan pembelajaran IPA melalui model tematik ini beranjak pula dari paham Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
91
STAIN Palangka Raya
konstruktivisme yang mengarahkan pemahaman yang lebih hakiki dari pengertian IPA dan makna dari pembelajaran IPA itu sendiri. Berbicara tentang IPA berarti berbicara pula tentang proses IPA dengan kata lain IPA adalah proses IPA. Belajar tentang IPA adalah belajar bagaimana menemukan IPA melalui serangkaian proses ilmiah untuk menemukan fakta dan membangun konsep dan prinsip IPA. Pengemasan pembelajaran IPA melalui model pembelajaran tematik ini ditekankan pada keaktifan siswa, sesuai apa yang diungkapkan Yager (Susanto, 2002) bahwa belajar sains dilakukan melalui keaktifan siswa dalam membangun sendiri pengetahuannya, membandingkan informasi baru dengan pemahaman yang telah dimiliki dan menggunakan semua pengetahuan atau pengalaman itu untuk untuk bekerja melalui perbedaan-perbedaan yang ada pada pengetahuan baru dan lama untuk mencapai pemahaman baru. Melalui penerapan model pembelajaran tematik ini, upaya mengkonstruksi pengetahuan dan konsep IPA siswa dilakukan dengan cara menggali pemahaman awal siswa mengenai materi IPA, dalam hal ini tentang matahari. Pertanyaan-pertanyaan yang variatif diajukan guru sebagai apersepsi untuk mengungkap pengetahuan awal siswa. Hal ini sejalan dengan paham konstruktivisme yang berdasarkan pada pada prinsip pengetahuan muncul dan hanya ada dalam pikiran manusia. Dengan demikian perlu disadari bahwa di dalam kelas, pengetahuan hanya ada dalam diri peserta didik dan guru, bukan pada papan tulis dan buku-buku, bukan pada pembicaraan guru-murid atau bukan pula pada aktivitas yang dilakukan mereka. Proses pembelajaran IPA melalui model pembelajaran tematik ini dilaksanakan untuk membangun konsep siswa dengan tetap memperhatikan karakteristik dan perkembangan siswa yang berada pada rentang usia 7-8 tahun. Menurut Piaget, usia siswa tersebut berada pada fase operasional konkrit. Oleh sebab itu pembelajaran konsep-konsep IPA dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan tahap perkembangan siswa tersebut. Hal ini tentunya memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan memberikan stimulus melalui beragam aktivitas pembelajaran yang disajikan, baik pada KD 4.1 maupun pada KD 4.2. Siswa dapat menguasai konsep IPA bila siswa terlatih dan terampil berpikir. Berpikir dianggap sebagai suatu proses kognitif, suatu aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Proses berpikir dihubungkan dengan pola perilaku yang lain yang memerlukan keterlibatan aktif pemikir. Piaget (Karli, 2004) berpendapat bahwa pada kognisinya, setiap orang memiliki pengaturan dari dalam (self-regulation) yang berkembang sepanjang hidupnya seperti kematangan pengalaman, transmisi sosial dan ekuilibrasi. Piaget mengungkapkan bahwa proses perolehan pengetahuan diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui self regulation sehingga pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Pengkonstruksian pengetahuan baru adalah suatu proses aktif yang membutuhkan energi (karena ada usaha mental/mental effort), dan waktu (Hendry, 1996). Lebih lanjut Hendry (1996) mengatakan bahwa usaha individu untuk mengkonstruksi pengetahuannya, sebagian tergantung pada gangguan yang dirasakannya. Jika tingkat gangguan yang dirasakan Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
92
STAIN Palangka Raya
pada struktur kognitif atau tingkat ketidakpuasan terhadap pengetahuan yang dimilikinya rendah, maka usaha untuk mengkonstruksi pengetahuan juga rendah. Sebaliknya, usaha konstruksi akan maksimal jika tingkat gangguan atau tingkat ketidakpuasan yang dirasakan terhadap pengetahuan yang dimilikinya tinggi. Melalui model pembelajaran tematik, siswa mengkonstruk pengetahuan baru dengan cara melihat, mendengar, meraba, merasa, dan berbuat melalui proses pembentukan persepsi dan aksi (perception-action) dalam komunikasi dengan guru dan teman-temannya. Ragam aktivitas dalam pembelajaran yang dikemas memberikan stimulus yang baik bagi pengkonstruksian pengetahuan siswa. Hal ini sesuai dengan prinsip konstruktivisme bahwa “pengetahuan dikonstruksi dari dalam diri individu dan dalam hubungannya dengan dunia nyata.” Berdasarkan prinsip ini, pengetahuan dapat dikonstruksi oleh siswa, baik di dalam maupun di luar kelas, dan proses pengkonstruksiannya adalah sama, terjadi dalam diri siswa melalui interaksi dengan lingkungan. Peningkatan penguasaan konsep IPA siswa pada kelas eksperimen baik pada KD 4.1 dan KD 4.2 yang lebih baik dibandingkan kelas kontrol disebabkan karena siswa dilibatkan sebagai pelaku utama dalam proses pembelajaran. Siswa dapat menguasai konsep-konsep IPA melalui proses belajar konsep yang disisipkan dalam model pembelajaran tematik. Konsep-konsep adalah batu-batu pembangun (building blocks) berpikir siswa. Konsep-konsep merupakan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan generalisai-generalisi. Menurut Ausubel (dalam Dahar,1989) konsep-konsep dapat diperoleh melalui dua cara yaitu formasi konsep (concept formation) dan asimilasi konsep (concept assimilation). Formasi konsep terutama merupakan bentuk perolehan konsep-konsep sebelum anak-anak masuk sekolah. Gagne bahkan menyamakan formasi konsep ini dengan belajar konsepkonsep konkrit. Sedangkan asimilasi konsep merupakan cara utama untuk memperoleh konsep-konsep selama dan sesudah sekolah. Pada awalnya, pembentukan konsep merupakan proses induktif. Bila siswa dihadapkan pada stimulus-stimulus lingkungan maka ia akan mengabstraksi sifat-sifat tertentu atau atribut-atribut tertentu yang sama dari berbagai stimulus-stimulus. Pembentukan konsep yang diterapkan dalam pembelajaran IPA melalui model tematik ini mengikuti pola contoh/aturan atau pola eg-rule (eg=examples=contoh) (Dahar,1989). Siswa dihadapkan pada contoh-contoh dari konsep tertentu, misalnya benda langit. Melalui proses diskriminasi dan abstraksi, siswa diarahkan untuk menetapkan suatu aturan yang menentukan kriteria untuk konsep itu. Siswa dapat membedakan mana benda langit dan bukan benda langit meskipun ia menemukan banyak hal di langit. Siswa dapat mengatakan bahwa awan bukanlah benda langit, namun matahari, bulan dan bintang termasuk benda langit. Pembentukan konsep IPA selanjutnya diarahkan melalui proses asimilasi konsep. Untuk memperoleh konsep-konsep melalui proses asimilasi, siswa harus sudah mendapatkan definisi formal dari konsep-konsep tersebut. Suatu definisi formal dari suatu kata menunjukkan kesamaan-kesamaan (commonalities) dengan konsep itu, dan membedakan kata itu dari konsep-konsep yang lain. Definisi matahari, sebuah Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
93
STAIN Palangka Raya
benda langit yang nampak di waktu siang dan memancarkan cahayanya sendiri, memberi kata itu atribut-atribut yang dimiliki oleh benda langit yang membedakannya dengan benda langit lainnya yang memancarkan cahayanya sendiri,misalnya bintang. Sesudah definisi dari konsep itu disajikan maka konsep itu diilustrasikan dengan memberikan contoh-contoh atau deskripsi-deskripsi verbal dari contoh-contoh seperti pola contoh atau eg-role. Dengan demikian pembelajaran IPA melalui model tematik ini menerapkan dua bentuk belajar konsep, yaitu melalui pembentukan konsep dan asimilasi konsep secara bersamaan. Misalnya setelah siswa mengetahui tentang matahari, mendefinisikan arti kata matahari, kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan ciri-ciri matahari yang nampak. Kemudian dalam asimilasi konsep, guru juga membantu menghadirkan matahari dalam proses pembelajaran dalam bentuk sebuah model matahari sebagai pusat tata surya. Upaya menghadirkan model matahari sebagai bentuk nyata/konkrit bagi siswa dapat memberikan gambaran bagi siswa bahwa matahari itu hanya berjumlah satu buah, ukurannya lebih besar dari ukuran bumi, dan menjadi pusat tata surya dimana bumi beredar mengelilinginya. Berdasarkan pengalaman menyaksikan model tersebut, siswa memperoleh pemahaman bahwa matahari tidak bergerak mengelilingi bumi seperti yang nampak dalam kesehariannya, siswa memahami bahwa telah terjadi gerak semu matahari. Setelah sampai pada pemahaman tersebut, maka siswa dapat memahami pula mengapa terjadi siang dan malam, dan perolehan pemahaman siswa terhadap konsep terjadinya siang dan malam dibantu pula oleh serangkaian aktivitas hands-on yang dilakukan di dalam kelas. Demikian pula konsep-konsep IPA lainnya yang disajikan melalui model pembelajaran tematik ini, diarahkan dalam dua bentuk belajar konsep, yaitu secara pembentukan konsep, maupun secara asimilasi konsep. Konsep-konsep IPA diajarkan dengan memperhatikan prinsip penyampaian materi bagi siswa yang berada pada fase operasional konkrit. Pembelajaran IPA pada model tematik ini dilakukan berdasarkan prinsip belajar IPA (Susanto, 2002), bahwa (1) pembelajaran dimulai dari sesuatu yang dikenal siswa menuju sesuatu yang tidak dikenal, (2) dari yang dekat dengan diri siswa menuju pada hal-hal yang jauh dari dirinya, (3) dari yang sederhana menuju yang kompleks, (4) dari yang konkrit menuju yang abstrak, (5) dari benda nyata ke representasi, (6) dari pengalaman pribadi menuju ke prinsip IPA, (7) dari konsep awal yang dimilikinya menuju konsep yang baru, serta (8) dari pertanyaan menuju pencarian jawaban. Prinsip-prinsip pembelajaran IPA tersebut nampak jelas tertuang dalam RPP, bahan ajar dan proses pembelajaran di kelas. Upaya penerapan prinsip tersebut juga tidak terbatas pada pembelajaran IPA saja, melainkan secara keseluruhan dalam disain model tematik tipe spider webb pada tema “Matahariku” terutama Matematika dan Bahasa Indonesia meskipun sifatnya masih sangat terbatas. Berbagai material yang mendukung penguasaan pengetahuan dan konsep-konsep IPA dalam pembelajaran difasilitasi selama penelitian berlangsung, dalam bentuk bahan ajar serta lembar aktivitas, hal ini mendorong siswa untuk mau/berani mengekspresikan atau menyampaikan ide-idenya untuk mengkonstruk pengetahuannya. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
94
STAIN Palangka Raya
Bahan ajar tematik “Matahariku” yang digunakan dalam proses pembelajaran ini selain untuk mempermudah siswa dalam kegiatan pembelajaran, juga dapat memberikan pengalaman yang baru dan bermakna bagi siswa. Selain itu bahan ajar tematik “Matahariku” dapat mempertegas konsep-konsep IPA yang diajarkan, yang berupaya untuk meminimalkan miskonsepsi siswa terhadap materi. Penelitian yang dilakukan Markle (Dahar, 1989) menggambarkan bahwa terdapat ketidak tepatan buku-buku teks untuk mengajarkan konsep-konsep, kerap kali buku-buku menyajikan konsep-konsep secara tidak lengkap atau menggunakan konsep lain yang tidak dikenal oleh siswa untuk menjelaskan atau mendefinisikan suatu konsep baru. Tak jarang, buku-buku teks menyampaikan konsep yang terlalu tinggi untuk dicerna siswa sehingga siswa mengalami kesulitan untuk memahaminya. Oleh sebab itu bahan ajar tematik “Matahariku” dikemas untuk digunakan dalam pembelajaran, yang diramu dari beberapa sumber yang layak digunakan dan telah mendapatkan apresiasi dari pemerintah seperti Buku Sekolah Elektronik (BSE), yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik sekolah, termasuk di dalamnya karakteristik siswa. Proses pembelajaran IPA melalui model pembelajaran tematik ini dilakukan baik di dalam maupun di luar kelas, pada dasarnya adalah proses pencarian makna atau arti dari apa yang dipelajari, dan arti itu ada di dalam diri siswa. Siswa adalah orang yang paling bertanggungjawab terhadap proses belajarnya. Guru bukan pentransfer ilmu pengetahuan ke dalam diri siswa melalui komunikasi, karena pengetahuan dan interpretasinya memang tidak bisa dipindahkan dari guru kepada siswa. Pengkonstruksian pengetahuan membutuhkan usaha dan waktu, dalam suasana yang menyenangkan. Usaha untuk mendapatkan pengetahuan akan semakin meningkat jika gangguan/ketidak-seimbangan yang dirasakan oleh individu pada struktur kognitifnya tinggi. Jadi, dalam proses belajar mengajar, guru harus menciptakan keadaan yang penuh tantangan tetapi bebas dari suasana yang mungkin dapat menimbulkan rasa takut dan tidak aman dari siswa, atau dengan kata lain guru harus menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan (Sumantri, 2001). Pembelajaran tematik ini menyediakan wahana aktivitas belajar yang menyenangkan. Aktivitas yang dikembangkan tersebut dekat dengan kehidupan siswa, seperti bermain wayang-wayangan, menjemur saputangan dan membuat jam, baik jam analog maupun jam matahari. Dalam pembelajaran, guru juga menunjukkan sikap menghargai dan menyayangi peserta didiknya. Hal ini nampak dari banyaknya pertanyaan yang muncul pada saat aktivitas belajar berkelompok yang diajukan siswa kepada guru. Pembelajaran tematik mempermudah dan memotivasi siswa untuk mengenal, menerima, menyerap dan memahami keterkaitan atau hubungan antara konsep, pengetahuan, nilai atau tindakan yang terdapat dalam tema yang dipelajari. Dengan mempergunakan model pembelajaran tematik ini, secara psikologik, siswa digiring berpikir luas dan mendalam untuk menangkap dan memahami hubungan-hubungan konseptual yang disajikan guru. Diharapkan dengan hal ini, siswa akan terbiasa berpikir terarah, teratur, utuh dan menyeluruh, sistematik, dan analitik.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
95
STAIN Palangka Raya
Guru dan siswa bisa memiliki pemahaman yang sama tentang konsep-konsep IPA dalam beberapa hal karena mereka mempunyai persepsi yang sama tentang halhal tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Roschelle & Clancey (1992) ditemukan bahwa anak-anak dari negara yang berbeda, dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda, dapat memiliki persepsi yang sama tentang beberapa fenomena alam, seperti gempa bumi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa anak-anak yang berbeda usia, tingkat pertumbuhan otak, dan kematangannya akan mengorganisasikan ilmu pengetahuannya dengan cara yang mungkin berbeda. Dalam proses pembelajaran sering ditemukan anak yang mempunyai konsepsi/pemahaman yang berbeda dengan pendapat para ahli atau para saintis tentang suatu fenomena alam, kemudian dikatakan bahwa konsepsi anak itu salah atau keliru. Menurut Osborne (1982) konsepsi anak itu tidak salah atau keliru, melainkan itu adalah konsepsinya menurut dia benar dan berguna dilihat dari sudut pandang anak, karena memang diinterpretasikan dari pengalamannya sehari-hari pada dunianya. Berdasarkan hal tersebut, maka melalui pembelajaran tematik ini, guru berupaya memiliki kesadaran bahwa di samping ada kesamaan persepsi tentang sesuatu, di sana juga ada perbedaan. Perbedaan ini disebabkan karena tingkat usia, kematangan, kemampuan berpikir, dan lingkungan mereka yang berbeda. Selain dari itu, dunia anak dan dunia guru berbeda, oleh sebab itu guru harus mampu melihat sesuatu dari sudut atau berdasarkan kacamata anak. Dalam setiap aktivitas hands-on yang dilakukan secara berkelompok, guru berupaya melihat persamaan dan perbedaan persepsi siswa tentang konsep-konsep IPA yang dipelajari dengan cara berkeliling dari satu kelompok ke kelompok lainnya untuk mau mendengar pertanyaan mereka, menjawab dan memberikan arahan agar siswa mampu menemukan sendiri konsep IPA berdasarkan aktivitas hands on yang dikerjakannya. Selain dari itu, fungsi guru dalam model pembelajaran tematik pada tema “Matahariku” sebagai fasilitator. Guru berperan juga sebagai partner belajar siswa sehingga siswa tidak takut salah dan berani mengemukakan pendapat. Guru juga mampu menciptakan suasana kelas yang mendukung siswa untuk bebas berpendapat, yaitu dengan menciptakan suasana kelas yang nyaman, aman, dan menyenangkan. Aktivitas menyanyi dengan lagu-lagu bertema “Matahari” menjadi salah satu upaya guru dalam menciptakan kondisi tersebut. Hal yang terjadi pada kelas eksperimen sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada kelas kontrol. Dominansi proses pembelajaran terpusat pada guru, dengan banyaknya aktivitas ceramah dan latihan soal-soal. Proses pembelajaran juga menjadi sangat monoton, meskipun pada pertemuan ke-3 terdapat kegiatan pengamatan ke luar kelas untuk mengetahui bayangan yang terbentuk pada sore hari. Namun siswa tidak melakukan IPA, mereka hanya mendengar, membaca dan menuliskan konsep-konsep IPA saja. Siswa kurang mendapatkan kesempatan untuk melakukan pengamatan yang lebih dalam mengenai fenomena alam, terutama matahari yang merupakan materi utama dalam pembelajaran. Hal ini menyebabkan siswa mendapatkan peningkatan penguasaan konsep yang sangat sedikit dibandingkan kelas eksperimen. Beberapa hal mungkin menjadi penyebab terjadinya hal tersebut, menurut National Academy of Science (1997) hal yang dapat menyebabkan hal tersebut antara lain adalah buku-buku Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
96
STAIN Palangka Raya
yang siswa baca atau soal-soal IPA yang dikerjakannya hanya menggambarkan sedikit saja pengetahuan dan konsep IPA, mungkin saja hal itu bahkan sudah diketahui oleh siswa sebelumnya, atau bahkan karena kemampuan membacanya kurang baik, maka pemahaman terhadap apa yang mereka baca juga menjadi sedikit sehingga mereka tidak menguasai konsep sains dengan baik. Lebih lanjut disebutkan pula bahwa kekurangan pengalaman pembelajaran secara langsung melalui kegiatan hands-on bagi siswa berimplikasi pada pemilikan pengetahuan mereka yang minim akan skemaskema baru yang dapat mengkonstruk pemahaman siswa terhadap konsep IPA yang dipelajari. Penguasaan konsep IPA tidak dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran yang ”vacum”, dimana siswa hanya menjadi pebelajar pasif yang miskin aktivitas hands-on. Kemampuan berpikir siswa akan berkembang sejalan dengan aktivitas pembelajaran yang disajikan, dalam bentuk inkuiri atau pemecahan masalah. Penelitian yang dilakukan oleh Lawrence Lowery (National Academy of Science, 1997) memberikan gambaran bahwa kedudukan buku sangatlah penting dalam pembelajaran IPA. Buku dapat dijadikan sebagai sumber belajar. Namun fungsi buku sebagai sumber belajar dapat terjadi apabila siswa memiliki pondasi pengalaman yang dipersiapkan pula bersamaan dengan hal itu. Untuk mempelajari geometri, maka siswa harus diberi kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan bentuk-bentuk bangun geometri sehingga siswa dapat menemukan persamaan dan perbedaannya, demikian pula halnya dengan belajar IPA, misalnya belajar mengenai listrik, maka siswa harus diberi kesempatan untuk bereksplorasi untuk mengetahui hubungan antara baterai, kabel dan lampu. Pengalaman tersebut tidak bisa diberikan hanya dengan membaca buku saja. Setiap siswa memiliki caranya sendiri untuk memahami suatu konsep hingga ia sampai pada tahapan penguasaan konsep, hal ini tergantung pada banyak faktor, termasuk di dalamnya pengalaman individu siswa, temperamen dan personality siswa, serta kebudayaan dan lingkungan siswa. Faktor ini mempengaruhi secara bersamaan dan siswa mengembangkan pemahamannya terhadap konsep-konsep IPA secara unik sehingga mereka mempunyai pemahaman terhadap dunia yang lebih luas di luar dirinya. Penerapan model pembelajaran tematik ini dapat membantu mengembangkan kemampuan berpikir siswa, dimana siswa dihadapkan pada konsep-konsep yang dapat ditinjau dari berbagai bidang studi, dari berbagai sudut pandang. Disini siswa belajar untuk menganalisis konsep tersebut dan kemudian menemukan pola hubungan diantara konsep tersebut. Pembelajaran tematik ini sangat berbeda dengan pembelajaran non tematik yang menjejali siswa dengan ingatan dan hapalan semata dan miskin dengan aktivitas dalam perolehan pengetahuan tersebut. Menurut Wadsworth (Suparno, 2003) mengingat dan menghafal tidak dianggap sebagai belajar yang sesungguhnya karena kegiatan tersebut tidak memasukkan proses asimilasi dan pemahaman. Pembelajaran tematik membuka peluang yang sangat besar untuk penciptaan situasi belajar yang berpusat pada siswa (student centre), dimana guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator sementara siswa aktif membangun pengetahuannya Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
97
STAIN Palangka Raya
berdasarkan serangkaian kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Menurut Gega (1977), setiap orang tahu bahwa siswa belajar sambil berbuat, namun Piaget mengutarakan pandangan yang berbeda, bahwa siswa melakukan aktivitas berpikir melalui kegiatan yang mereka lakukan. Siswa yang berada pada fase operasional konkrit harus belajar dengan material konkrit sebelum mereka mencapai pemahaman yang sifatnya abstrak. Pembelajaran tematik ini memberi kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dengan material konkrit, kemudian diberi kesempatan untuk berpikir mengenai apa yang mereka lakukan dan berbagi pengetahuan bersama temannya dalam kegiatan berkelompok. Hal ini tentu saja dapat memberikan stimulus dan motivasi belajar bagi siswa. Piaget mengemukakan bahwa ada dua hal yang dapat menjadi motivasi intrinsik dalam diri seseorang, yaitu : adanya proses asimilasi dan adanya situasi konflik yang merangsang seseorang melakukan akomodasi (Dahar, 1989). Tindakan asimilasi ini akan menghubungkan pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang dengan hal baru yang sedang dipelajari atau ditemukannya. Agar proses adaptasi dan asimilasi ini berjalan baik, diperlukan kegiatan pengulangan dalam suatu latihan atau praktik. Pengetahuan baru yang telah dikonstruksikan perlu dilatih dengan pengulangan agar semakin bermakna bagi dirinya. Hal inilah yang dimunculkan dalam pembelajaran tematik ini, proses pembelajaran yang berkelanjutan selama 8 pertemuan berturut-turut dalam satu tema “Matahariku”, memberikan kesempatan pengulangan materi IPA yang lebih banyak dibandingkan dengan pembelajaran non tematik yang dilaksanakan pada kelas kontrol. Lowery melakukan penelitian berdasarkan atas penelitian yang dilakukan oleh Piaget, hasilnya memberikan gambaran bahwa pembelajaran IPA dapat dilakukan secara maksimal dengan menyajikan konsep-konsep IPA kepada siswa yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Untuk siswa yang berada pada fase operasional konkrit, pembelajaran dilakukan dengan cara yang sangat sederhana dimulai dengan kegiatan membandingkan, mencari persamaan dan perbedaan dari sebuah objek misalnya dari ukuran, warna, dan bentuknya. Kemampuan ini harus tuntas dimiliki oleh siswa sebelum siswa belajar membaca. Kemampuan siswa kelas rendah pada umumnya dapat membandingkan objek dengan satu atribut, misalnya bentuk atau warna. Ketika mendiskusikan tanaman, maka mereka dapat menentukan perbedaannya berdasarkan warna atau bentuknya, namun kemungkinan mereka tidak dapat menentukan perbedaan keduanya berdasarkan bentuk dan warna secara bersamaan. Seiring dengan perjalanan usia dan perkembangannya maka siswa dapat melakukan hal tersebut bahkan dapat menentukan karakteristik lainnya yang membedakan tanaman yang satu dengan yang lainnya. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah bahwa dalam pembelajaran IPA bagi siswa kelas rendah, guru harus memiliki pemahaman bahwa pola pikir siswa masih bersifat linear dan belum bisa dipaksakan untuk memahami lebih dari satu variabel dalam kegiatan penyelidikan ilmiah sederhana dalam satu waktu yang bersamaan. Selain daripada itu proses pelatihan dan pembiasaan bagi siswa untuk terampil melakukan hal tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam pendidikan IPA. (National Academy of Science, 1997)
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
98
STAIN Palangka Raya
I. Kesimpulan dan Rekomendasi Peningkatan penguasaan konsep IPA siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran tematik lebih tinggi dibandingkan siswa yang belajar menggunakan pembelajaran non tematik. Peningkatan penguasaan konsep IPA siswa selain dipengaruhi oleh model pembelajaran tematik yang diterapkan, juga dipengaruhi oleh tingkat klasifikasi kemampuan siswa (tinggi, sedang, rendah). Peningkatan penguasaan konsep IPA siswa terjadi pada setiap tingkatan klasifikasi siswa yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kelas kontrol yang berada pada tingkatan klasifikasi yang sama. Namun peningkatan penguasaan konsep IPA siswa berkemampuan tinggi dan kemampuan sedang lebih tinggi dibandingkan siswa berkemampuan tinggi kelas kontrol. Demikian pula dengan peningkatan penguasaan konsep IPA siswa berkemampuan rendah yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa berkemampuan sedang di kelas kontrol. Berdasarkan temuan dan hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini, maka peneliti menyampaikan saran-saran berkaitan dengan penerapan pembelajaran tematik. Saran pertama adalah bahwa pembelajaran tematik yang sangat kental dengan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, hendaknya tetap memperhatikan penguasaan konsep siswa terhadap materi yang diajarkan. Sebagaimana diketahui bahwa untuk saat ini teknik penilaian yang dilakukan masih bersifat pengujian terstandar dengan menekankan aspek penguasaan konsep seperti halnya Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN). Oleh sebab itu perlu disiasati upaya pemantapan penguasaan konsep ini dengan upaya drill (latihan) dengan intensitas yang cukup untuk menunjang penguasaan konsep tersebut. Hal ini dapat dilakukan guru setelah melakukan pembelajaran tematik, dengan cara menginventarisir materi dan mata pelajaran yang masih kurang dikuasai oleh siswa untuk kemudiaan dilakukan kegiatan pemantapan konsep baik berupa remedial maupun pengayaan. Adapun pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan kebutuhan pembelajaran di kelas. Pada setiap akhir semester upaya ini dapat dilakukan untuk menyeimbangkan proses pembelajaran tematik dengan tuntutan penguasaan kompetensi dasar pada setiap mata pelajaran yang diajarkan. Saran kedua adalah bahwa sebuah keharusan dan tuntutan kompetensi guru yang saat ini masih menjadi tantangan besar dalam proses pembelajaran tematik adalah kepiawaian guru dalam menyusun dan menentukan bahan ajar. Dengan keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah, maka harus ada upaya untuk memberdayakan guru sehingga memiliki kemampuan untuk menyusun dan menulis sendiri bahan ajar tematik yang digunakan. Saran ketiga adalah bahwa sudah saatnya guru tidak lagi ragu untuk melakukan ”action” dan menerapkan pembelajaran tematik di lapangan meskipun dalam kondisi kelas yang cukup besar dengan jumlah siswa lebih dari 40 orang. Meskipun penuh tantangan, namun bukan sebuah hal yang mustahil untuk dilakukan. Kerja keras, kemauan dan tekad dibutuhkan untuk melaksanakan hal tersebut. Sebaiknya untuk kelas besar, guru kelas dapat meminta bantuan guru lain, misalnya guru bidang studi untuk ikut serta terlibat dalam pelaksanaan pembelajaran. Saat ini Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
99
STAIN Palangka Raya
adalah era keterbukaan, maka keterlibatan guru bidang studi bersama dengan guru kelas dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Dengan demikian kualitas pendidikan dapat dibenahi dan ditingkatkan ke arah yang lebih baik lagi. Sebagai saran terakhir, diharapkan agar pada penelitian selanjutnya dikembangkan bahan ajar tematik serta pengembangan materi pembelajaran tematik karena peranannya sangat besar bagi pelaksanaan pembelajaran tematik, baik ditinjau dari sisi siswa dan guru, dan kepentingan peningkatan mutu pendidikan selanjutnya. Dari segi pengembangan mutu pembelajaran IPA, diharapkan pada penelitian selanjutnya dilakukan studi terhadap pengembangan sikap ilmiah siswa melalui model pembelajaran tematik.
DAFTAR PUSTAKA Almy, M. 1966. Young children's thinking: Studies of some aspects of Piaget's theory. New York: Teacher's College Press: Columbia University. Akdon, (2008). Aplikasi Statistika dan Metode Penelitian Untuk Administrasi dan Manajemen. Bandung: Dewa Ruchi Anderson,Lorin W & Krathwohl. (2001). Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. A revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York: Addison Wesley Longman,Inc. Arikunto, Suharsimi. (1997). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Barufaldi, J.P. and Swift, J. 1977. Children learning to read should experience science. The Reading Teacher 80: 388-393. Bredderman, T. Effects of activity-based elementary science on student outcomes: A quantitative synthesis. Review of Educational Research, 53(4), 499-518. Charbonneau, Manon P. (1995). The Integrated Elementary Classroom, a developmental Model of education for the 21st century. United States: A Simon & Schuster Company Collins, Gillian & Dixon, Hazel. (1991). Integrated Learning; Planned Curriculum Units Australia: Bookshelf Publishing Australia ISBN 0 86896 844 7 (Stage 3) Cobb, P., Wood, T., Yackel, E., Nicholls, J., Wheatley, G., Trigatti, B., & Perlwitz, M. (1999). Assessment of a problem-centred second grade mathematics project. Journal for research in matematics education, 30, (1), 3-29. Dahar, Ratna Wilis. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga Diana,Nirva,(1999). Pengembangan Model Pembelajaran Terpadu Jaring Laba-laba di Sekolah Dasar, Lampung: Penelitian Tindakan Pada Sekolah Dasar Di Kotamadya Bandar Lampung Djamarah, Syaiful B. (2005). Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Suatu Pendekatan Teoritis Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
100
STAIN Palangka Raya
Fogarty, Robin. (1991). The Mindful School. How to Integrate the Curricula. Palatine,Illinois: IRI/Skylight Publishing,Inc. Gega, Peter C. (1977). Science in Elementary Education, Third Edition. New York: John Willey & Sons, Inc Halimah, Lely. (2000). Pengembangan Model Kurikulum Terpadu dan Implementasinya di Sekolah Dasar Dengan Menggunakan Bidang Studi Bahasa Indonesia sebagai Unsur Pemandu Hausfather, Samuel J. (1993). “Integrating Instruction around Themes: Knowledge Construction in an Elementary Classroom”. Paper presented at the Annual meeting of The American Educational research Association (Atlanta, GA, April 12-16, 1993) Hesty.S, (2008). Implementasi Model Pembelajaran Tematik Untuk Meningkatkan Kemampuan Dasar Siswa Sekolah Dasar. Pangkal Pinang: LPMP Prop.Bangka Belitung Jacobson, Willard J. & Bergman, Abby Barry. (1980). Science for Children, A Book for Teacher. London: Prentice Hall International, Inc Key Stage 3 National strategi, Literacy in science, for School Based Use or Self Study. Khisfe, Rola. & Lederman, Norman. (2006). Teaching Nature Science within a Controversial Topic: Integrated versus Nonintegrated. Dalam Journal of Research in science Teaching Vol.43 No.4 PP 395-418. Tersedia: Willey Inter Science (www.interscience.willey.com) McBride,J.W & Silverman,F.L (1992). Integrating elementary/middle school science and mathematics. School Science and Mathematics, 91(7), 285-292. Mechling, K.R. and Oliver, D.L. 1983. Handbook I: Science teaches basic skills. Washington, D.C.: National Science Teachers Association. Meltzer, David E. (2002). “The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: ‘hidden variable’ in Diagnostic Pretestt Scores’. American Journal of Physics, 70, (12), 1259-1267. Murray, F.B. and Pikulski, J.J., eds. 1978. The acquisition of reading, cognitive, linguistic, and perceptual prerequisites. Baltimore, MD: University Park Press. National Academy of Science. ( ). Science for all Children: A Guide to Improving Elementary Science Education in Your School District. Tersedia : www.nap.edu/catalog/4964.html Osborne, R., and Freyberg, P. (1985). Learning in science: The implication of children's science. Auckland: Heinemann Publishers. Sa’ud, Udin Syaefudin. (2006). Bahan Belajar Mandiri I: Konsep Dasar Pembelajaran Terpadu. UPI: Program Peningkatan Kualifikasi Guru SD/MI Multi sistem . Sa’ud, Udin Syaefudin. (2006) Bahan Belajar Mandiri III: Jenis Pengembangan Model Pembelajaran Terpadu di Indonesia. UPI: Program Peningkatan Kualifikasi Guru SD/MI Multi sistem . Silitonga, Haratua TM. dan Octavianty, Erwina. (2007). The Improvement of the Quality Students Achievment and Students Interest Toward Science Through The Implementation of The Integrated Teaching-Learning Approach in Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
101
STAIN Palangka Raya
Primary School. Proceeding The Second International Seminar on science Education “Current Issues on Research and Teaching in science Education” ISBN: 978-979-98546-4-2 Simon, M.S. and Zimmerman, J.M. 1980. Science and writing. Science and Children 18 (No. 3): 7-9. Stafford, D.G. 1969. The influence of the first grade program of the Science Curriculum Improvement Study on the rate of attainment of conservation. Doctoral Dissertation, University of Oklahoma. Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta Suryanti. dan Widodo,Wahono. (2007). Developing of Science Learning Material on Lower Class of elementary Students: Integrating with Another Subject. Proceeding The Second International Seminar on science Education “Current Issues on Research and Teaching in science Education” ISBN: 978-97998546-4-2 Susanti, Dwi Yuli. (2008), Penelitian Tindakan Kelas untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 3 SD Negeri 034 Samarinda Ulu Melalui Pembelajaran Tematik Pada Pokok Bahasan Operasi Hitung Bilangan dan Pengukuran. Tim Pengembang PGSD. (1997). Pembelajaran Terpadu D-II PGSD dan S2 Pendidikan Dasar. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi Bagian Proyek Pengembangan PGSD
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010
102
STAIN Palangka Raya
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Sri Hendrawati, M.Pd yang lahir dari kedua orangtua sederhana bernama Bapak Margono dan Ibu Siti Rokayah, di Bandung pada tanggal 10 Februari 1977. Penulis merupakan anak kedua dari empat orang bersaudara. Kini penulis menetap di kota kelahiran tercinta, tepatnya Jalan Muararajeun Lama No.31/144E bersama sang suami, ”Abah” Widodo, beserta ketiga orang little angel buah pernikahan kami, yaitu Alfatiana Fadia Haya, Luthfi Abrar Fathin, dan Dimas Muhammad Fadhil. Masa pendidikan dimulai sejak bangku persekolahan di SDN Cihaurgeulis II Bandung sejak tahun 1982-1989, lalu melanjutkan ke SMPN 5 Bandung pada tahun 1989-1992 dan SMAN 2 Bandung pada tahun 1992-1995. Setelah merampungkan masa persekolahan, penulis memasuki gerbang perkuliahan pada tahun 1995-1998 di FIP IKIP Bandung, adapun jurusan yang ditempuh adalah Program D-2 PGSD kemudian dilanjutkan ke Program Sarjana FKIP UNPAS Bandung dengan jurusan Pendidikan Biologi pada tahun 2002-2005. Hasrat yang menggebu untuk terus belajar, disalurkan dengan mengikuti Program Magister Pendidikan Dasar Konsentrasi Sains SD pada Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2007. Setelah menyelesaikan perkuliahan pada tahun 1999, penulis diangkat menjadi pegawai negeri sipil dengan jabatan fungsional sebagai guru kelas pada SDN Gempolsari Bandung, kemudian berpindah tugas sejak tahun 2006 di SDN Sukaluyu 1 Bandung hingga sekarang.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 4, Nomor 2, Desember 2010