Penggunaan Media Boneka
PENGGUNAAN MEDIA BONEKA DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA KELAS II DI SEKOLAH DASAR Ummul Khoir PGSD FIP Universitas Negeri Surabaya (
[email protected])
Sri Hariani PGSD FIP Universitas Negeri Surabaya
Abstrak: Latar belakang penelitian ini yaitu siswa kelas II SDN lolawang Mojokerto kurang aktif dalam mengikuti pelajaran yang diberikan guru Hal ini membuat siswa merasa bosan belajar di kelas tersebut dan menyebabkan rendahnya keterampilan berbicara siswa. untuk itu, perlu adanya pemecahan masalah yaitu dengan penggunaan media boneka. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan keterlaksanaan pembelajaran selama kegiatan berlangsung, Mendeskripsikan hasil belajar siswa kelas II tentang peningkatan keterampilan berbicara dan mendeskripsikan kendala dan cara mengatasi kendala yang muncul pada saat pembelajaran berlangsung. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan secara bersiklus dengan empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksaaan, pengamatan, dan refleksi. Penelitian ini terdiri dari dua siklus dan setiap siklusnya terdiri dari satu kali pertemuan. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas II SDN Lolawang Mojokerto berjumlah 20 siswa. Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi, tes, dan catatan lapangan. Pada siklus I keterlaksanaan pembelajarann mencapai 82,35% dengan nilai ketercapaian 73,53%, dan pada siklus II keterlaksanan pembelajaran mencapai 100% dengan nilai ketercapaian 91,91%. Sedangkan keterampilan berbicara siswa juga mengalami peningkatan, pada siklus I hasil belajar ketuntasan 75%, dan pada siklus II meningkat menjadi 100%. Kendala yang muncul pada siklus I yaitu aktivitas siswa dalam pembelajaran masih rendah dan dalam memanfaatkan media kurang maksimal, dan semua kendala pada siklus I dapat diatasai pada siklus II. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan media boneka dalam pembelajaran tematik dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas II di SDN lolawang Mojokerto. Kata Kunci: Media Boneka, Keterampilan Berbicara
Abstract: The background of this research is the fact II Lolawang elementary school Mojokerto are less active in taking the lesson given by the . Therefore the student are getting bored to study in the class which makes their speaking skill is low. So that, need presence for solving the problem with using of doll media. The purpose of the research is to recognize the application of study during the learning process, Describe the student learning outcomes of II grade about increasing of speaking skill, and also to know how to solve the problem which occurs during the studying process. This research applies class action research plan which is carried out in four steps: planning, actuating, observing, and reflecting. This research consists of two cycles with once meetings. The subjects (objects) of this research are 20 students at II grade in lolawang Elementary School Mojokerto. The techniques collecting data are observation test and field note. During the learning activating, the applied learning increases with the average score of 82,35% with the reaching score 0f 73,53% on cycle I. While on cycle II the applied learning is 100% with the reaching score of 91,91%. Whereas The speaking skill of students also increases on cycle I in the applied learning reaches classical complete of 75% and increases to 100%on cycle II. The problems who encountered in the first cycle of students learning activities still low and less than the maximum using the media, and all problems in the first cycle can be resolved on the second cycle. From these results it can be concluded that the using of doll media in thematic learning can increase the speaking skill in II grade in the Lolawang elementary school Mojokerto. Keywords: Doll media, Speaking Skill.
1
JPGSD.Volume 02 Nomor 03 Tahun 2014,
PENDAHULUAN Bahasa Indonesia diajarkan sejak anak usia dini. Hal ini disebabkan pengajaran tersebut dapat memberikan kemampuan dasar berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari kegiatan berbahasa. Bahasa merupakan sarana untuk berkomunikasi antar manusia. Bahasa sebagai alat komunikasi ini, dalam rangka memenuhi sifat manusia sebagai makhluk sosial yang perlu berinteraksi dengan sesama manusia. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia dituntut untuk mempunyai kemampuan berbahasa yang baik. Seseorang yang mempunyai kemampuan berbahasa yang memadai akan lebih mudah menyerap dan menyampaikan informasi baik secara lisan maupun tulisan. Keterampilan berbahasa terdiri dari empat aspek, yaitu menyimak atau mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Siswa harus menguasai keempat aspek tersebut agar terampil berbahasa. Dengan demikian, pembelajaran keterampilan berbahasa di sekolah tidak hanya menekankan pada teori saja, tetapi siswa dituntut untuk mampu menggunakan bahasa sebagaimana fungsinya, yaitu sebagai alat untuk berkomunikasi. Pembelajaran bahasa merupakan upaya untuk membelajarkan siswa belajar bahasa pada hakikatnya adalah komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis. Pembelajaran Bahasa Indonesia ditekankan pada empat keterampilan bahasa yaitu menyimak (Listening Skill), berbicara (Speaking Skill), membaca (Reading Skill) dan menulis (Writing Skill). Keterampilan berbahasa merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tetapi hanya bisa dibedakan pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar bertujuan untuk mendidik para siswa agar memiliki keterampilan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam setiap proses pendidikan selalu melibatkan pendidik dan siswa. Maka diperlukan hubungan timbal balik yang baik antara guru dan siswa, sehingga siswa dapat aktif dalam proses pembelajaran. Suatu aktivitas pembelajaran melibatkan kemampuan fisik, kemampuan mental, dan kemampuan sosial. Cara guru mengajar melibatkan peranan, inisiatif, dan keikutsertaan siswa yang tinggi dalam menetapkan masalah, mencari informasi, dan menentukan cara pemecahan masalah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) pada salah satu Standar Kompetensi (SK) untuk siswa kelas II Semester satu khususnya aspek berbicara adalah sebagai berikut: mengungkapkan pikiran, pendapat, perasaan, dan
pengalaman secara lisan melalui kegiatan bertanya, bercerita, dan deklamasi. Dalam hal ini dijabarkan ke dalam Kompetensi Dasar (KD) yaitu ”Menceritakan kegiatan sehari hari dengan bahasa yang mudah dipahami orang lain” (Depdiknas, 2006: 36). Berdasarkan aspek-aspek keterampilan berbahasa, berbicara merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting dimiliki dan dikuasasi oleh seseorang. Bahkan keberhasilan seseorang dalam meniti karir misalnya, dapat juga ditentukan oleh terampil tidaknya ia berbicara. Untuk itulah, sudah seharusnya di sekolah-sekolah, terutama Sekolah Dasar, membekali peserta didiknya dengan memperbanyak latihan-latihan keterampilan berbicara. Namun, pencapaian kompetensi keterampilan berbicara pada umumnya belum maksimal, karena beberapa faktor yang menjadi penyebab, salah satunya adalah metode pembelajaran dan media pembelajaran. Penerapan metode yang tepat dalam kegiatan belajar mengajar, diharapkan akan mampu meningkatkan daya keaktifan siswa dalam pembelajaran. Melihat faktor tersebut, maka dengan pemanfaatan metode dan media yang tepat siswa akan dapat mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sehingga dapat berkembang secara mandiri. Namun, pada umumnya pembelajaran keterampilan berbicara di Sekolah Dasar (SD) Negeri Lolawang Mojokerto kurang maksimal, guru cenderung lebih dominan pada pembelajaran teori kebahasaan. Maka keterampilan berbicara belum tercapai secara optimal, terbukti siswa masih takut untuk mengemukakan pendapat, malu bertanya, kurang percaya diri dalam berkomunikasi, sulit untuk mengungkapkan kembali isi cerita dan sebagainya. Kekurangmampuan siswa dalam mengungkapkan kembali isi cerita umumnya disebabkan karena daya imajinasi siswa untuk menangkap penjelasan guru secara menyeluruh masih rendah. Sehingga cerita yang disampaikan guru tidak dapat diceritakan kembali sepenuhnya oleh siswa. Oleh karena itu, guru mengembangkan media pembelajaran melalui penggunaan media Boneka dengan maksud agar siswa dapat menginterpretasikan isi cerita sesuai dengan imajinasinya yang akhirnya siswa dapat mengungkapkan kembali isi cerita, mengungkapkan hasil pengamatan dengan bahasa yang runtut, sehingga bermakna. Dari hasil observasi yang diperoleh peneliti pada tahun pelajaran 2013/2014 di SDN Lolawang Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto tentang kondisi kemampuan berbicara di kelas II masih rendah. Hal ini terbukti bahwa 55% dari 20 siswa yang memperoleh nilai di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang telah ditetapkan yaitu 70. Sementara itu, 45% lainnya telah berhasil mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).
Penggunaan Media Boneka
Mengetahui adanya kondisi tersebut peneliti mencoba mendeteksi apa penyebab ketidaktercapaian tujuan pembelajaran berbicara pada materi bercerita/ berbicara di SDN Lolawang Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto. Dari data awal diketahui bahwa ketidaktercapaian tujuan tersebut antara lain disebabkan : (1) kurang menariknya pembelajaran berbicara materi bercerita di kelas II, khususnya keterampilan berbicara dan minimnya kreativitas guru menciptakan pembelajaran yang menyenangkan. (2) Guru menggunakan media yang kurang menarik minat siswa untuk belajar berbicara. (3) Guru langsung mengajak siswa untuk bercerita berdasarkan buku teks tanpa melibatkan media yang tepat untuk siswa kelas II. Menurut pengamatan peneliti, pembelajaran semacam ini dianggap kurang efektif dan mengakibatkan hasil belajar siswa kurang maksimal. Alasan penulis memilih media boneka karena media boneka dapat membantu siswa agar terampil berbicara terutama dalam bercerita, serta mampu memahami suatu informasi yang telah diperoleh dan dapat melatih daya konsentrasi saat bercerita kepada teman. Penggunaan boneka merupakan alat bantu (media) agar pembelajaran tidak terkesan monoton dan terjadi bina suasana kelas. Dengan media ini diharapkan anak terangsang untuk menggunakan daya indera pendengarannya secara maksimal untuk menyimak cerita guru. Setelah anak menyimak cerita guru, daya imajinasi anak akan muncul selaras dengan alur dan tokoh cerita guru, dan akhirnya anak diharap mempunyai kemampuan menceritakan kembali apa yang telah diceritakan oleh gurunya dan juga dapat mengadopsi perilaku positif dari tokoh cerita. Kemampuan anak untuk menceritakan kembali isi cerita merupakan modal dasar anak dalam melatih aspek keterampilan berbicara. Siswa kurang berminat terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia, khususnya keterampilan berbicara, karena tidak dipergunakannya alat peraga atau media yang membuat siswa tertarik untuk mempelajarinya. Siswa juga kurang menguasai keterampilan berbicara dalarn Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh karena itu, penelitian tentang penggunaan media boneka dalam meningkatkan keterampilan berbicara perlu dilaksanakan untuk mengetahui seberapa jauh siswa dapat meningkatkan keterampilan berbicara. Dengan memanfaatkan media boneka pada pembelajaran tematik diharapkan siswa dapat memperoleh pembelajaran yang utuh dan bermakna sehingga dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas II SDN Lolawang mojokerto Dari hasil temuan-temuan yang didapat peneliti, maka dalam penerapan pembelajaran berikutnya, peneliti
akan meningkatkan keterampilan berbicara siswa dengan menggunaan media boneka yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan bagi siswa. Berdasarkan data awal dan temuan tersebut, peneliti merasa perlu melakukan penelitian mengenai pembelajaran keterampilan berbicara di kelas II SDN Lolawang Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto. Dengan judul “Penggunaan Media Boneka dalam Pembelajaran Tematik untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas II SDN Lolawang Mojokerto”. Diharapkan dengan menggunakan atau memanfaatkan media boneka mainan yang berada disekitar, siswa dapat bercerita dengan bahasanya sendiri dan keterampilan berbicara siswa dapat meningkat Berdasarkan latar belakang diatas, maka tujuan penelitian tindakan kelas ini adalah : 1)Mendeskripsikan pelaksanaan penggunaan media boneka dalam pembelajaran tematik untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas II SDN Lolawang Mojokerto. 2) Mendeskripsikan hasil belajar keterampilan berbicara melalui media boneka pada siswa kelas II SDN Lolawang Mojokerto. 3)Mendeskripsikan kendala-kendala apa yang muncul dan bagaimana cara mengatasinya dalam peningkatan keterampilan berbicara pada siswa kelas II SDN Lolawang Mojokerto. Manfaat yang dapat diambil dari penulisan Penelitian Tindakan Kelas ini adalah: (1) Bagi Guru: menambah pengetahuan dan wawasan guru untuk meningkatkan profesionalnya, mendapat masukan dan pengembangan inovasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia, sebagai sarana menemukan hambatan dan kelemahan penyelenggaraan pembelajaran dan pemecahannya. (2) Bagi Sekolah: Memberikan bahan masukan dalam rangka mengembangkan kurikulum sekolah, membantu sekolah untuk berkembang karena adanya peningkatan atau kemajuan pada diri guru dan pendidikan di sekolah, sebagai sarana menemukan hambatan dan kelemahan penyelenggaraan pembelajaran dan pemecahannya. Untuk membatasi penelitian ini agar tidak melebar, maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah : (1) Penelitian ini dilaksanakan pada semester I tahun ajaran 2013/2014 dengan jumlah siswa 20 pada kelas II SDN Lolawang Mojokerto. (2) Penelitian ini membahas materi cerita peristiwa dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga lingkungannya dengan lafal dan intonasi yang tepat. Dengan upaya peneliti dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas II SDN Lolawang Mojokerto. Agar sama persepsi antara peneliti dan pihak terkait, istilah –istilah yang perlu didefinisikan yaitu : (1) Media Boneka yang dipakai dalam penelitian ini adalah boneka
3
JPGSD.Volume 02 Nomor 03 Tahun 2014,
tangan yaitu boneka yang hanya terdiri dari kepala dan dua tangan saja, sedangkan bagian badan dan kakinya hanya merupakan baju yang akan menutup lengan orang yang memainkannya. (2) Pembelajaran Tematik adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman yang utuh dan bermakna pada siswa. mata pelajaran yang ditematikkan disini adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan mata pelajaran IPS. (3) Keterampilan berbicara yaitu keterampilan berbicara siswa dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. (4) Hasil Belajar adalah kemampuan, baik kemampuan kognitif, afektif maupun kemampuan psikomotorik yang didapat siswa dari proses pembelajaran. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medius yang secara harfiah berarti “tangah”, ‘perantara dari pengantar’. Dalam bahasa arab, media adalah perantara (wasa’i) atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan ( Arsyad; 2003;3). Seperti yang diungkapkan oleh Arsyad media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks dan lingkungan sekolah merupakan media secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau elektronis untuk menangkap, proses dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Kegunaan media menurut Dyton (dalam Arsyad 2003 : 28 ) ada tiga fungsi utama media bila digunakan untuk perorangan, kelompok, atau pendengar yang besar jumlahnya, yaitu: (1) Memotivasi minat atau tindakan, (2)Menyajikan informasi, (3) Memberi intruksi. Untuk memenuhi fungsi motivasi media pembelajaran dapat direalisasikan dengan tehnik drama atau hiburan. Hasil yang diharapkan adalah melahirkan minat dan merangsang para siswa atau pendengar bertindak ( turut memikul tanggung jawab, melayani secara sukarela, atau memberikan sumbangan material ). Pencapaian tujuan ini akan mempengaruhi sikap, nilai dan emosi. Untuk tujuan informasi, media pembelajaran dapat digunakan dalam rangka penyajian informasi, para siswa bersifat pasif. Partisipasi setuju atau tidak setuju mereka secara mental, atau terbatas pada perasaan tidak atau kurang senang , netral atau senang. Media berfungsi untuk tujuan instruksi dimana informasi yang terdapat dalam media itu harus melibatkan siswa baik dalam benak atau mental maupun dalam bentuk aktifitas yang nyata sehingga pembelajaran dapat terjadi. Materi harus di rancang secara sistematis
dan psikologis dilihat dari segi prinsip-prinsip belajar agar dapat menyiapkan instruksi yang efektif. Disamping menyenangkan, media pembelajaran harus dapat memberikan pengalaman yang menyenangkan dan memenuhi kebutuhan perorangan siswa. (Arsyad 2003 : 1) Setiap jenis media mempunyai karakteristik (kekhasan) tertentu yang berbeda-beda satu sama lain. Masing–masing media tentu memiliki kelebihan dan kelemahan. Jenis media yang tidak diproyeksikan antara lain : realita, model dan grafis. Model diartikan sebagai benda tiruan dalam wujud tiga dimensi yang merupakan reseprentasi atau pengganti dari benda sesungguhnya. Model juga bisa digunakan dalam wujud lengkap seperti aslinya, bisa juga disederhanakan hanya menampilkan bagian dan ciri yang penting. Media model peneliti gunakan adalah boneka yaitu tiruan dari obyek yang sesungguhnya. Media model termasuk bagian dari media tiga dimensi, yang menyalurkan pesan lewat benda nyata. Model juga berfungsi “untuk menarik perhatian, memperjelas sajian pelajaran, dan mengilustra-sikan sesuatu fakta atau konsep yang mudah terlupakan jika hanya dijelaskan melalui penjelasan verbal saja” (Rahardi, 2003:26). 1. Jenis - Jenis Boneka a. Boneka Jari Boneka jari adalah boneka yang dibuat dari semacam sarung tangan, dimana pada ujung jari sarung tangan tersebut sudah berbentuk kepala boneka, dan setiap ujung jari kita dapat memainkan satu tokoh. b. Boneka Tangan Boneka tangan adalah boneka yang hanya terdiri dari kepala dan dua tangan saja, sedangkan bagian badan dan kakinya hanya merupakan baju yang akan menutup lengan orang yang memainkannya. c. Boneka Tongkat Boneka tongkat adalah boneka yang cara memainkannya menggunakan tongkat, yaitu tongkat dihubungkan dengan tangan dan tubuh boneka. d. Boneka Bayang – bayang Boneka bayang-bayang adalah jenis boneka yang cara memainkannya dengan mempertontonkan gerak bayang dari boneka tersebut, di Indonesia dikenal dengan “wayang kulit”. 2. Syarat – syarat Penggunaan Media Boneka Agar dapat bermanfaat dalam pembelajaran, maka media boneka hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Penggunaan Media Boneka
a.
Otentik, artinya dapat menggambarkan objek atau peristiwa seperti siswa melihat langsung. b. Sederhana, harus menunjukan dengan jelas bagian-bagian pokok dari model tersebut. c. Ukurannya proporsional, sehingga siswa mudah membayangkan ukuran sesungguhnya benda atau obyek yang dibuat model. d. Memadukan antara keindahan dengan kesesuaiannya untuk mencapai tujuan pembelajaran.(Rahardi 2003:28). Penggunaan media boneka sebagai model dari objek yang sebenarnya di atas yang lebih penting adalah fungsi dan peranannya dalam membantu mempertinggi proses pengajaran berbicara dengan materi cerita. Dalam menggunakan media boneka sebagai alat komunikasi pembelajaran khususnya keterampilan berbicara dengan materi bercerita, kiranya harus didasarkan pada kriteria pemilihan yang obyektif, karena harus dikaitkan dengan tujuan kompetensi yang akan dicapai, strategi kegiatan belajar mengajar dan materi bahan pembelajaran yang disampaikan, oleh karena itu perlu diperhatikan dalam penggunaan boneka sebagai media pembelajaran Berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya dilalui oleh keterampilan menyimak dari yang dilihat dan didengarkan. Berbicara berhubungan dengan perkembangan kosa kata yang diperoleh anak melalui kegiatan berbahasa sebelumnya. Juga perlu disadari bahwa keterampilan yang diperlukan bagi kegiatan berbicara yang efektif dibutuhkan dalam keterampilanketerampilan bahasa yang lainnya, Green & Petty, 1971 : 39-40 (dalam Tarigan, 1983 :3-4) Tarigan (1983 : 15) mengemukakan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekpresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Menurut Nurhadi (1995 : 342-343) berbicara berarti mengemukakan ide atau pesan lisan secara aktif. Kemampuan berkomunikasi secara lisan ini menjadi fokus kemampuan berbahsa terutama siswa asing. Sedangkan menurut Rofi,uddin (1999 : 11) kegiatan proses belajar dilakukan untuk mengadakan hubungan sosial. Dari berbagai pendapat para pakar bahasa di atas dapat penulis simpulkan bahwa berbicara merupakan keterampilan dalam menyampaikan pesan melalui lisan kepada orang lain. Keterampilan berbicara menunjang dalam menyampaikan pesan melalui bahasa lisan kepada orang lain. Pembicara yang baik mampu memberikan penjelasan suatu ide dari pembicaraannya dapat dipahami orang lain dengan mudah. 1. Tujuan Berbicara
Dalam berbicara mempunyai tujuan tertentu yang dapat berkomunikasi dengan baik dengan orang lain. Salah satu pakar Tarigan (1991 : 135 ) menyebutkan tujuan utama berbicara ialah meyakinkan pendengarnya akan sesuatu. Melalui pembicaraan yang meyakinkan, sikap pendengar dapat diubah misalnya sikap menolak menjadi sikap menerima. Misalnya bila seseorang atau sekelompok orang tidak menyetujui suatu rencana, pendapat atau putusan orang lain, maka orang atau kelompok tersebut perlu diyakinkan bahwa mereka tidak benar. Melalui pembicaraan yang terampil dan disertai dengan bukti, fakta, contoh dan ilustrasi yang mengenai sikap itu dapat diubah dari tidak setuju menjadi setuju. Dari Pakar tersebut peneliti menyimpulkan bahwa kesulitan dalam kegiatan berbicara adalah menafsirkan makna pembicaraan orang lain dengan memahami bukti dan alasan serta contoh ilustrasi dari pembicara, sehingga akan terpengaruh dan meyakini ide pembicara. Apabila teman atau lawan bicara tidak memahami makna pembicaraan, maka komunikasi terputus sehingga tujuan dalam komunikasi yaitu menyampaikan ide tidak tercapai. 2. Jenis–Jenis Berbicara Secara garis besar Tarigan, (1991 : 229) menyatakan bahwa jenis-jenis berbicara dibagi atas : a. Berbicara di muka umum (publik speaking) Berbicara di muka umum yaitu berbicara dalam situasi yang bersifat kekeluargaan yang isinya merundingkan di tengah masyarakat. b. Berbicara pada konferensi ( conference speaking ) Berbicara pada konferensi yaitu diskusi kelompok studi atau kelompok pembuat kebijakan dan komite yang membicarakan keinginan dan hasil dari kelompok tersebut. c. Debat Debat merupakan suatu argumen untuk menentukan baik tidaknya suatu usul tertentu yang didukung oleh satu pihak yang disebut pendukung. 3. Aspek –aspek Bercerita di Sekolah Dasar Aspek bercerita tidak terlepas dari aspek kebahasaan yaitu dari komponen keterampilan berbahasa dan bersastra. Pembelajaran cerita di SD termasuk dalam sastra anak yaitu cerita yang untuk dikonsumsi anak. Cerita anak yang digunakan sebagai bahan apresiasi sastra di SD merupakan satra yang memiliki karakteristik tertentu sehingga layak dikonsumsi oleh oleh siswa SD antara lain (1) Sesuai dengan perkembangan bahasa siswa SD (2) Dapat
5
JPGSD.Volume 02 Nomor 03 Tahun 2014,
mengembangkan daya imajinatif siswa SD (3) Dapat menjadi media pendidikan bagi anak (4) Bernilai estetis, sehingga dapat membangkitkan daya imajinatif siswa dalam berbahasa (5) Tokoh ceritanya tidak harus tokoh manusia, namun bisa berupa tokoh hewan atau tumbuhan. Sarumpeat (dalam Santoso,dkk 2007:8.4) Anak yang berada di kelas awal Sekolah Dasar adalah anak yang berada pada rentangan usia dini. Masa usia dini ini merupakan masa yang pendek tetapi merupakan masa yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi yang dimiliki anak perlu didorong termasuk berbicara, sehingga akan berkembang secara optimal. Karakteristik perkembangan anak pada siswa kelas II Sekolah Dasar biasanya pertumbuhan fisiknya telah mencapai kematangan, mereka telah mampu mengontrol tubuh dan keseimbangannya. Mereka telah dapat melompat dengan kaki secara bergantian, dapat mengendarai sepeda roda dua, dapat menangkap bola dan telah berkembang koordinasi tangan yang semua itu melalui media komunikasi yaitu berbicara. Selain itu, perkembangan sosial anak yang berada pada usia kelas awal SD antara lain mereka telah dapat menunjukkan keakuannya tentang jenis kelaminnya, telah mulai berkompetisi dengan teman sebaya, mempunyai sahabat, telah mampu berbagi, dan mandiri. Perkembangan emosi anak usia 6-8 tahun antara lain anak telah dapat mengekspresikan reaksi terhadap orang lain, telah dapat mengontrol emosi, sudah mampu berpisah dengan orang tua dan telah mulai belajar tentang benar dan salah. Untuk perkembangan kecerdasannya anak usia kelas II ditunjukkan dengan kemampuannya dalam melakukan seriasi, mengelompokkan obyek, berminat terhadap angka dan tulisan. Peserta didik yang berada pada sekolah dasar kelas II, berada pada rentangan usia dini. Pada usia tersebut seluruh aspek perkembangan kecerdasan seperti IQ, EQ, dan SQ tumbuh dan berkembang sangat luar biasa. Pada umumnya tingkat perkembangan masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik) serta mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana. Proses pembelajaran masih tergantung kepada objek-objek konkret dan pengalaman yang dialami secara langsung (Depdiknas KTSP,2006). Cerita untuk anak sangat berbeda dengan cerita untuk dewasa, yaitu unsur pantangan, penyajian dengan gaya secara langsung, dan fungsi terapan. Sarumpeat (dalam Santoso,dkk 2007:8.5) a. Unsur Pantangan
Unsur pantangan merupakan unsur secara khusus berkenaan dengan tema dan amanat. Secara umum dapat dikatakan cerita anak berpantangan atau menghindari dengan persoalan-persoalan menyangkut masalah seks, cinta yang erotis, dendam yang menimbulkan kebencian, kekejaman, prasangka buruk, dan kecurangan jahat. Apabila terdapat cerita buruk, maka diamanatkan lebih diperhalus dan disederhanakan dengan cerita berupa kebahahagiaan atau keindahan. b. Penyajian dengan gaya langsung Ciri penyajian dengan gaya langsung merupakan ciri dalam penceritaan sastra anak yang dilakukan dalam bentuk deskripsi secara singkat dan langsung menuju sasaran. c. Fungsi terapan Penyajian cerita harus bersifat informatif dan mengandung unsur-unsur yang bermanfaat, baik pengetahuan umum keterampilan khusus, maupun untuk pertumbuhan anak.
METODE Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau sering disebut Classroom Action Research. Di mana merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama (Suharsimi, Arikunto). Rancangan Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang melalui empat tahap secara berdaur ulang, yaitu(1) perencanaan tindakan (planning), (2) Pelaksanaan tindakan dalam pembelajaran di kelas (acting) (3) Pengamtan (observacing), (4) Refleksi (reflecting). Selanjutnya berdasarkan hasil refleksi siklus pertama, apabila ditemukan hal-hal yang belum baik akan dilakukan perbaikan tindakan pembelajaran pada siklus berikutnya (Arikunto, 2010 : 16). Prosedur dan langkah-langkah penelitian ini mengikuti prinsip yang berlaku dalam PTK dengan skema alur sebagai berikut
Penggunaan Media Boneka
Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih yaitu penelitian tindakan kelas, maka penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari (Arikunto, 2006) yaitu berbentuk spiral dari siklus yang satu ke siklus yang berikut. Setiap siklus memiliki planning (rencana), action (pelaksanaan), observasi (pengamatan) dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan sudah direvisi, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus 1 dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan (observasi). Data yang diperlukan dalam penelitian adalah data tentang aktivitas guru,, dan data hasil belajar siswa kelas II SDN Lolawang Mojokerto untuk mengetahui peningkatan keterampilan bercerita siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi aktivitas guru, dan tes hasil belajar. Analisis ini dihitung dengan menggunakan deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Untuk mengetahui keefektifan suatu kegiatan pembelajaran perlu diadakan analisa data. Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh dengan tujuan untuk mengetahui prestasi belajar yang dicapai siswa juga untuk memperoleh respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran serta aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Untuk menganalisis tingkat keberhasilan atau persentase keberhasilan siswa setelah proses belajar mengajar setiap putarannya dilakukan dengan cara memberikan evaluasi berupa soal tes tertulis pada setiap akhir putaran. (1) Observasi. Data hasil observasi aktivitas guru dan penilaian siswa dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Data hasil observasi diperoleh dari hasil pengamatan pada lembar observasi yang diisi oleh pengamat mengenai aktivitas selama proses pembelajaran berlangsung. Instrumen penilaian pelaksanaan pembelajaran ini disertai dengan kriteria skor 1-5 yang dilengkapi rubrik sebagai deskripsi keberhasilan tiap skor. Prosentase keterlaksanaan untuk mengetahui prosentase keterlaksanaan kegiatan yang dilakukan guru. Instrumen pengamatan keterlaksanaan pembelajaran bisa diketahui bahwa jumlah maksimal diperoleh prosentase keterlaksanaan adalah 8 karena total aktivitas dalam pelaksanaan pembelajaran adalah 8. Maka rumus prosentase keterlaksanaan sebagai berikut:
Adaptasi model Kemmis dan Taggart (1998) Berdasarkan gambar alur di atas, penelitian ini dilaksanakan secara bersiklus dan berkelanjutan sampai tujuan dari penelitian ini tercapai. Arikunto dan Shuhardjono (2010:2-3) Penelitian tindakan kelas dalam istilah Bahasa Inggris adalah Classroom Action Research (CAR). Dari namanya sudah menunjukkan isi yang terkandung di dalamnya, yaitu sebuah kegiatan penelitian yang dilakukan dikelas. Terdapat tiga kata yang membentuk pengertian terseut. untuk itu, tiga pengertian tersebut dterangkan sebagai berikut: (1) Penelitian, menunjukkan pada suatu kegiatan mencermati suatu objek dengan menggunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat dalam meningkatkan mutu suatu hal yang menarik minat dan penting bagi peneliti. (2) Tindakan menunjukkan pada suatu gerak yang dsengaja dilakukan dengan tujuan tertentu. Dalam penelitian berbentuk rangkaian siklus kegiatan untuk siswa. (3) Kelas, dalam hal ini tidak terkait dengan pengertian ruang kelas, tetapi dalam pengertian yang lebih spesifik. Kelas adalah sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama, menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula. Dengan menggabungkan batasan pengertian tersebut dapat disilpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama Lokasi penelitian adalah di SDN Lolawang Mojokerto. Subjek yang dikenai tindakan pada penelitian ini adalah siswa kelas II SDN Lolawang Mojokerto. dengan jumlah siswa 20. Tingkat kemampuan intelektual siswa beragam, namun masih banyak siswa yang kemampuan intelektulnya masih kurang. Pada saat proses pembelajaran, siswa cenderung pasif atau hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru. Bila siswa diberi pertanyaan oleh guru yang berkaitan dengan materi yang diajarkan, mereka lebih sering diam. Lokasi penelitian merupakan tempat peneliti mengajar dan sekolah sangat terbuka untuk menerima inovasi dalam pembelajaran.
Keterangan: p = persentase keterlaksanaan n = aktivitas terlaksana N = keseluruan aktivitas
7
JPGSD.Volume 02 Nomor 03 Tahun 2014,
Dengan criteria sebagai berikut: 100 % : istimewah 76 – 99 % : baik sekali 60 – 75 % : baik < 60 % : kurang Sedangkan skor maksimal yang diperoleh dari skor ketercapaian adalah 40 karena jumlah keterlaksanaan pembelajaran ada 8 dengan skor tertinggi 5, maka dapat diperoleh rumus skor ketercapaiansebagai berikut:
Keterangan: p = persentase ketercapaian n = skor tercapai N = keseluruan aktivitas Dengan kriteria sebaga berikut: 80 – 100 : sangat baik 70 – 79 : baik 60 – 69 : cukup 50 – 59 : kurang < : kurang sekali (Arikunto, 2010:107) Untuk menilai hasil belajar atau tes formatif peneliti melakukan penjumlahan nilai yang diperoleh siswa, yang selanjutnya dibagi dengan jumlah siswa yang ada di kelas tersebut. Data keterampilan berbicara atau prestasi belajar dapat diperoleh dari nilai evaluasi siswa. Perhitungan ini bertujuan untuk mengukur tingkat keberhaslan dari pembelajaran dengan menggunakan media boneka disetiap siklus untuk menentukan perlu tidaknya diadakan siklus selanjutnya. Adapun penghitungannya menggunakan rumus sebagai berikut: Untuk menghitung nilai tes individu siswa
Untuk menghitung nilai rata-rata menggunakan rumus
Keterangan: M = nilai rata-rata ∑x = jumlah semua nilai siswa ∑N = jumlah siswa (Aqib dkk, 2011:204) Untuk menghitung presentase ketuntasan belajar, menggunakan rumus:
Dengan menggunakan rumus di atas, dapat diketahui nilai rata-rata kelas dan nilai tes siswa setelah diterapkan media boneka. Untuk menentukan kriteria peringkat presentase keterampilan berbicara atau prestasi belajar
siswa, maka peneliti penilaian sebagai berikut: > 80% 60-79% 40-59% 20-39% <20%
harus menggunakan kriteria = = = = =
sangat tinggi tinggi sedang rendah sangat rendah (Aqib dkk, 2011:204) (2) Untuk ketuntasan belajar, ada dua kategori ketuntasan belajar yaitu secara perorangan dan secara klasikal. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan belajar mengajar kurikulum 1994 (Depdikbud, 1994), yaitu seorang siswa telah tuntas belajar bila telah mencapai skor 65% atau nilai 65, dan kelas disebut tuntas belajar bila di kelas tersebut terdapat 85% yang telah mencapai daya serap lebih dari atau sama dengan 65%. Untuk menghitung persentase ketuntasan belajar digunakan rumus sebagai berikut:
Kriteria Penilaian: ≥ 80 % = sangat tinggi 60 – 79 % = tinggi 40 – 59 % = sedang 20 – 39 % = rendah < 20 % = sangat rendah (Aqib dkk,2011:41) Penelitian ini dikatakan berhasil apabila indikatornya sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan peneliti. Indikator tersebut adalah sebagai berikut : (1) Aktivitas guru dalam kegiatan pembelajaran dikatakan tuntas jika mencapai keberhasilan lebih dari atau sama denagan 80%. (2) Aktivitas siswa dalm kegiatan pembelajaran dikatakan tuntas jika mencapai keberhasilan lebih dari atau sama dengan 80%. (3) Jika nilai rata-rata kelas mencapai ≥65. (4) Ketuntasan belajar yaitu 85% dari seluruh siswa mencapai nilai minimal 65. Seorang siswa dianggap tuntas belajar apabila mendapat nilai diatas kreteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu siswa yang mendapat nilai ≥65.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh peneliti selama 2 siklus, maka diperoleh hasil penelitian yang meliputi hasil belajar siswa dan, aktivitas guru. 1. Hasil Belajar Ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal pada setiap siklus dapat diamati pada Diagram 1 berikut.
Penggunaan Media Boneka
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
proses pembelajaran diterapkan agar siswa mampu menguasai dan memahami materi dengan baik sehingga siswa yang tidak tuntas belajar dapat menjadi tuntas belajar, dan yang telah tuntas belajar dapat lebih ditingkatkan kembali. Upaya peningkatan kualitas pembelajaran dapat dilakukan dalam berbagai cara, diantaranya meningkatkan aktivitas guru dalam membimbing siswa. Guru lebih intensif untuk membimbing siswa dalam menggunakan media boneka. Tercapainya ketuntasan belajar siswa secara klasikal ini tidak lepas dari beberapa aspek yang menunjang dalam proses pembelajaran. Aspek-aspek tersebut antara lain : aktivitas guru dalam menyajikan pembelajaran tematik dengan penggunaan media boneka, aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, hasil belajar siswa pada aspek afektif. 2. Aktivitas Guru Dalam keberhasilan suatu pembelajaran, peranan guru dalam menyajikan suatu pembelajaran sangatlah penting. Guru sebagai perencana sekaligus pelaksana harus mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa, memotivasi dan mengarahkan siswa kedalam kegiatan belajar mengajar sesuai apa yang telah disusun dalam sebuah rencana pelaksanaan pembelajaran. Kemampuan guru dalam membimbing siswa dimana guru dituntut untuk dapat mengidentifikasi kesulitan yang dialami siswa ketika proses pembelajaran sedang berlangsung. Kemampuan guru dalam menyajikan pembelajaran memberikan pengaruh dalam keberhasilan proses pembelajaran. Kemampuan guru menyajikan pembelajaran yang terlihat dalam aktivitas guru selama proses pembelajaran berlangsung mengalami peningkatan pada siklus I dan siklus II. Peningkatan aktivitas guru pada siklus I dan siklus II tersaji dalam Diagram 3 berikut.
90,25 72
Siklus I
Siklus II
Diagram 1. Nilai Rata-rata Hasil Belajar Siswa Berdasarkan diagram 1 terlihat bahwa nilai ratarata siswa secara klasikal mengalami peningkatan. Pada siklus I nilai rata-rata kelas 72 dan meningkat pada siklus II menjadi 90,25. 120%
100%
100% 80%
75%
60% 40% 20% 0% Siklus I
Siklus II
Diagram 2. Ketuntasan Klasikal Hasil Belajar Siswa Berdasarkan Diagram 2 terlihat bahwa ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal pada siklus I memperoleh presentase sebesar 75% atau sebanyak 15 siswa yang telah tuntas belajar, sedangkan 5 siswa lainnya tidak tuntas belajar dengan persentase 25%. Ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal mengalami peningkatan sebesar 25% pada siklus II menjadi 100%. Siswa yang telah tuntas belajar pada siklus II berjumlah 20. Hal ini menunjukkan bahwa ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal pada siklus II telah mencapai persentase yang ditetapkan pada indikator keberhasilan. Peningkatan persentase ketuntasan hasil belajar secara klasikal menunjukkan bahwa penggunaan media boneka dalam pembelajaran tematik untuk meningkatkan keterampilan berbicara dapat membantu siswa untuk lebih mudah mengingat dan memahami materi pembelajaran. Pada siklus I, persentase siswa yang tidak tuntas belajar masih tinggi. Tingginya siswa yang tidak tuntas belajar disebabkan karena siswa masih belum mampu menguasai materi yang dipelajari. Pada saat mengerjakan evaluasi diakhir pembelajaran, beberapa siswa tidak dapat menjawab soal yang diberikan guru dengan benar. Pada siklus II, upaya perbaikan pada
100,00% 90,00% 80,00% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00%
91,91% 73,53%
Siklus I
Siklus II
Diagram 3. Aktivitas Guru pada Berdasarkan Diagram 3 terlihat bahwa aktivitas guru dalam pembelajaran tematik dengan penggunaan media boneka pada siklus I memperoleh persentase sebesar 73,53%. Hal ini berarti aktivitas guru dalam
9
JPGSD.Volume 02 Nomor 03 Tahun 2014,
siklus I belum mencapai persentase yang ditetapkan pada indikator keberhasilan yaitu ≥ 75%. Secara umum, aktivitas guru pada siklus I memperoleh kategori cukup meskipun ada beberapa aspek yang masih kurang. Guru kurang membimbing siswa selama pembelajaran berlangsung sehingga siswa masih belum mengerti benar tugas mereka. Guru juga kurang memberikan kesempatan bertanya pada siswa sehingga siswa tidak dapat menyampaikan hal yang belum mereka mengerti. Pada akhir pembelajaran, guru melakukan refleksi dengan melakukan tanya jawab dengan siswa, namun karena terlalu banyak pertanyaan yang diberikan sehingga siswa menjadi bingung dengan maksud pertanyaan-pertanyaan tersebut. Berdasarkan kekurangan tersebut, maka diadakan upaya perbaikan pada siklus berikutnya. Upaya perbaikan dilakukan dengan meningkatkan aktivitas membimbing siswa dalam kelompok belajar agar siswa dapat mengatasi kesulitan yang mereka alami. Selain itu, guru perlu memotivasi dan memberikan kesempatan bertanya lebih banyak bagi siswa agar dapat menyampaikan hal yang menjadi kesulitan mereka. Sebagai fasilitator selama proses pembelajaran guru perlu meningkatkan rasa ingin tahu siswa agar mendorong terjadinya interaksi antar siswa. Setelah ada upaya perbaikan, kualitas aktivitas guru pada siklus II mengalami kenaikan sebesar 18,38% dari siklus sebelumnya. Aktivitas guru selama proses pembelajaran dalam siklus II mencapai persentase 91,91%. Aktivitas guru dalam semua aspek dikategorikan baik. Dalam memotivasi dan melakukan apersepsi, guru menyajikan media boneka dan memotivasi siswa dengan kegiatan tanya jawab yang menyenangkan sehingga merangsang siswa untuk bersemangat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Guru mengaitkan materi pembelajaran dengan kegiatan sehari-hari siswa sehingga siswa mudah memahami tentang materi yang akan diajarkan. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru melaksanakan pembelajaran sesuai langkah-langkah pembelajaran yang telah disusun dalam RPP dan sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan. Guru juga meningkatkan kegiatan membimbing siswa. Pada setiap sesi pelajaran, guru memberikan kesempatan bertanya pada siswa. Guru memberikan kesempatan untuk siswa yang lain menjawab pertanyaan dari temannya sehingga mendorong terjadinya interaksi antar siswa. Guru mengevaluasi hasil kinerja siswa dengan memberikan penilaian dari hasil kerja siswa yang telah dipresentasikan. Pada akhir pelajaran guru membimbing siswa menarik
kesimpulan dari pembelajaran yang telah dilakukan dan melakukan refleksi pembelajaran dan untuk memantapkan pemahaman siswa terhadap materi yang telah dipelajari. Peningkatan kualitas pada aktivitas guru memyebabkan tercipatnya suasana belajar yang kondusif. Siswa juga lebih aktif dan bersemangat dalam mengikuti pembelajaran. Hasil belajar keteramplan berbicara siswa juga mangalami peningkatan .Dengan demikian maka aktivitas guru pada siklus II telah berhasil.
PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1). aktivitas guru dan siswa dalam meningkatkan keterampilan bercerita dalam pembelajaran tematik dengan menggunakan media boneka mengalami peningkatan dan mencapai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Kualitas aktivitas guru mengalami peningkatan sebesar 18,38% yaitu dari siklus I sebesar 73,53% menjadi 91,91% pada siklus II. Sedangkan hasil belajar siswa dengan ketuntasan belajar klasikal siswa mengalami peningkatan sebesar 25% yaitu dari siklus I sebesar 75% menjadi 100% pada siklus II. Rata-rata nilai hasil belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 18,25 yaitu pada siklus I sebesar 72 menjadi 90,5 pada siklus II. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti menyampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1). guru hendaknya terus mengembangkan media boneka dalam pembelajaran untuk materi berbicara dan 2). guru perlu meningkatkan kemampuannya dalam menyajikan pembelajaran dengan menghadirkan media-media yang inovatif agar siswa memiliki pengalaman baru dan termotivasi untuk mengikuti pembelajara.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Renika Cipta. Aristo Rahardi. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta : Depdiknas Arsyad,Azhar.2003.Media Pembelajaran. Rajagrafindo Persada.
Jakarta:PT
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Penggunaan Media Boneka
Nurhadi.1995.Tata Bahasa Pendidikan Landasan Penyusunan Buku Pelajaran Bahasa.Semarang.IKIP Semarang Press Rofi’udin.1999.Pendidikan Bahasa Indonesia.Jakarta.Depdikbud
dan
sastra
Santoso, Puji,dkk.2007. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia.Jakarta: Universitas Terbuka Sudjana, Nana DR. 1989.Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.Bandung:PT.Remaja Rosdya Karya Supriyadi, 2005. Keterampilan berbicara untuk TK, SD, dan SLB.Bandung. CV.Rama Widya Tarigan Henry Guntur,1983.membaca berbicara.Yogyakarta. Emas
keterampilan
11