Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN NUMBERED HEAD TOGETHER (NHT) MATERI PELUANG PADA SISWA KELAS IX SMP 2 KEMBAYAN Ruslah SMP Negeri 2 Kembayan Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat
[email protected] Abstrak : Tujuan dari penerapan model pembelajaran Numbered Head Together (NHT) adalah untuk membantu siswa agar mampu beradaptasi dengan perkembangan IPTEK yang dititikberatkan pada aktivitas belajar siswa. Pada pembelajaran ini siswa mendapat tugas masing-masing yang ada pada setiap kelompoknya. Dengan bantuan LKS dan media lansung berupa uang logam dan kubus bernoktah. Setiap kelompok melakukan percobaan untuk menentukan nilai peluang melalui pendekatan frekuensi relatif. Dengan demikian kemampuan belajar siswa dapat membuahkan hasil yang lebih baik, untuk sekarang maupun yang akan datang. Kata Kunci: Kooperatif tipe NHT, hasil belajar, peluang.
Untuk membantu siswa agar dapat belajar lebih efektif, seorang guru harus dapat memilih model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan diterapkan dikelas. Sebagai guru penulis mencoba memilih model pembelajaran Numbered Head Together (NHT) pada materi peluang. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis (teratur) dalam mengorganisasikan pengalaman belajar tertentu (Hendy Hermawan, 2006 : 3). Model pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi guru untuk melaksanakan pembelajaran. Didalam pembelajaran sangat erat sekali hubungannya antara model, strategi, metode dan keterampilan. Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas (Subanji, 2013 : 7). Pada pembelajaan ini dipilih sebagai model pembelajaran adalah model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) yang bertujuan untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran. Adapun fungsi dari model pembelajaran ini adalah sebagai pedoman perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Model pembelajaran ini termasuk model interaksi sosial yang dibangun berdasarkan pandangan konstruktivisme sosial dari Vygosky. Proses konstruksi pengetahuan siswa dalam pembelajaran mengutamakan kerjasama dalam kelompok agar terbentuk suatu sinergi dalam kelompok yang nantinya dituntut agar siswa berkemampuan berinteraksi dengan orang lain secara demokratis. Strategi pembelajaran merupakan serangkaian aktivitas yang dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran (Subanji, 2013 : 12). Dalam pembelajaran ini strategi (langkah-langkah) yang dirancang adalah : 1. Menyampaikan tujuan, materi dan isi pembelajaran. 2. Menyampaikan metode pembelajaran yang akan digunakan yaitu metode diskusi melalui percobaan. 3. Menyampaikan media pembelajaran yang akan digunakan yaitu berupa media lansung berupa uang logam dan dadu. 4. Waktu yang digunakan dalam pembelajaran adalah 2 x 40 menit. Pada tahap pendahuluan 10 menit, kegiatan inti 65 menit, penutup 5 menit. NHT adalah suatu model pembelajaran yang lebih mengedepankan kepada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah dan melaporkan informasi dari berbagai sumber yang akhirnya dipresentasikan didepan kelas (Rahayu, 2006). NHT pertama kali diperkenalkan oleh Spencer Kagan dkk (1993). NHT adalah bagian dari model pembelajaran kooperatif struktural, yang menekankan struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Dalam pembelajaran ini siswa dalam setiap kelompok dituntut untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Siswa dibagi dalam 6 kelompok masing-masing kelompok 5 siswa karena kebetulan jumlah siswa dalam kelas tersebut 30 siswa. 828
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tugas seorang guru adalah memahami, membina, mengembangkan, serta menerapkan kemampuan berkomunikasi secara cermat, tepat, dan efektif dalam proses belajar mengajar (Wardhana, 2010 : 49). Untuk itu harus di susun program pengajaran yang tepat sesuai dengan materi pembelajaran. Guru menyiapkan 6 amplop masing-masing amplop diberi nama yang nantinya akan menjadi nama kelompok siswa dalam melaksanakan pembelajaran. Nama kelompok diambil dari nama salah satu alat perjudian yang dikenal didaerah dimana tempat penulis melakukan penelitian ini yaitu kolok-kolok. Kolok-kolok merupakan alat perjudian yang berupa dadu dengan setiap permukaannya bergambar bunga, tempayan, kepiting, udang, ikan dan bulan. Mengapa nama-nama ini penulis pilih sebagai nama kelompok tujuannya agar siswa lebih tertarik dalam pembelajaran ini, karena sudah tidak asing lagi bagi mereka. Namun dalam pembelajaran ini yang sangat ditekankan adalah hasil dari suatu permainan yang berkaitan dengan materi peluang adalah sangat kecil. Dengan kata lain dalam perjudian, peluang untuk menang sangatlah kecil. MODEL PEMBELAJARAN NUMBERED HEAD TOGETHER (NHT) Langkah-langkah dalam pembelajaran ini adalah : Langkah pertama. Persiapan Dalam langkah persiapan guru menyiapkan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), membuat LKS dan menyiapkan media. Langkah kedua. Pembentukan Kelompok Siswa dibagi menjadi 6 kelompok masing-masing kelompok terdiri dari 5 orang siswa. Guru membagikan amplop kepada masing-masing kelompok yang diluar amplop bertuliskan nama kelompok dan di dalam amplop berisikan lima nomor yang harus dibagikan kemasing-masing siswa setiap kelompoknya. (guru mengarahkan) setiap siswa harus mengambil satu nomor dari dalam amplop tersebut dan tugas siswa sesuai dengan nomor yang dimiliki masing-masing siswa ada pada LKS. Langkah ketiga. Tiap kelompok harus mempunyai buku paket atau buku panduan. Setiap kelompok harus mempunyai buku paket atau buku panduan dengan tujuan agar dapat menyelesaikan LKS yang diberikan guru dengan hasil yang maksimal. Langkah keempat. Diskusi masalah Guru membagikan LKS kepada masing-masing kelompok agar bisa dipelajari bersama. Adapun tugas-tugas siswa dalam LKS tersebut adalah : Yang mendapat nomor : 1. Sebagai ketua kelompok dan mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. 2. Sebagai sekretaris yaitu mencatat hasil diskusi ke dalam LKS yang diberikan. 3. Sebagai pelaku percobaan yaitu melakukan percobaan dengan melambungkan uang logam atau uang logam dengan dadu sekaligus. 4. Sebagai pembilang yaitu menghitung banyaknya percobaan yang dilakukan. 5. Sebagai pencacah yaitu menghitung banyaknya percobaan yang diharapkan. Setiap percobaan dengan ketentuan banyaknya lambungan yang ditentukan dalam LKS sudah selesai, maka ketua dan sekretaris bertugas untuk mencari hasil dari perbandingan banyaknya percobaan yang diharapkan dengan banyaknya percobaan yang dicatat dalam LKS. Jika semua pecobaan telah selesai maka setiap anggota kelompok masing-masing mndiskusikan hasil dari kegiatan percobaan tersebut untuk ditarik kesimpulan. Langkah kelima. Memanggil kelompok yang akan memberikan jawaban Kegiatan harus selesai dalam waktu yang telah ditentukan yaitu 50 menit dan sisanya 15 menit untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok masing-masing. Secara acak guru memanggil salah satu kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya ke depan kelas, kelompok yang lain menanggapi. Guru memberikan reward kepada kelompok yang sudah tampil dan kepada kelompok yang menanggapi. Langkah keenam. Memberi kesimpulan Guru dan siswa menguatkan kembali hasil/kesimpulan yang didapat dari percobaan atau pembelajaran dari materi yang disajikan, dalam hal ini nilai peluang dengan pendekatan nilai frekuensi relatif. Proses pembelajaran sebelum menggunakan model pembelajaran NHT. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada pembelajaran sebelumnya siswa sudah dikondisikan berkelompok. Untuk memulai kegiatan pembelajaran guru mengarahkan siswa untuk berdoa 829
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
yang dipimpin oleh ketua kelas, memberi salam dan mengabsen. Guru menanyakan kesiapan siswa untuk melanjutkan pembelajaran selanjutnya. Setelah menanyakan kesiapan siswa kegiatan selanjutnya adalah : 1. Menyiapkan materi dan tujuan pembelajaran. 2. Guru memberikan apersepsi dengan mengingat kembali materi sebelumnya dan mengaitkan dengan materi yang akan dibahas, dan memotivasi siswa apa manfaat dari pembelajaran ini dalam kehidupan sehari-hari. 3. Guru membagikan media dan LKS dengan masalah yang berbeda kepada setiap kelompok kemudian mengarahkan siswa pada masing-masing kelompok untuk melakukan percobaan dan diskusi. 4. Setelah selesai melakukan percobaan, semua kelompok harus siap-siap untuk mempresentasikan hasil diskusinya ke depan kelas. 5. Menarik kesimpulan Guru bersama siswa menyimpulkan inti dari pembelajaran yang baru berlansung. 6. Evaluasi Dari kegiatan diatas yang telah diamati pada saat melakukan percobaan (diskusi), bahwa siswa dalam kelompok yang tampak aktif menyelesaikan LKS yang diberikan, hanya dua atau tiga siswa saja. Walaupun guru sudah memberikan penjelasan bahwa dalam diskusi kerjasama harus terjalin satu sama lain, namun siswa hanya tergantung pada siswa yang aktif dikelompoknya. Kemudian giliran untuk presentasi ke depan, hanya siswa yang presentasinya agak bagus di kelas itu saja yang mau tampil. Pada saat diberikanevaluasi, hanya 6-10 siswa saja yang bisa menyelesaikan soal dengan baik. Jadi apabila dipersentase maka keaktifan siswa dan berdiskusi baru mencapai 60% dan hasil tes baru mencapai ketuntasan 33%. Sedangkan yang diharapkan keaktifan siswa dan ketuntasan hasil belajar di atas 60%. Hal ini menjadi dorongan bagi guru untuk memikirkan pembelajaran selanjutnya agar pembelajaran lebih terarah dan bermakna, baik bagi siswa maupun bagi guru sendiri sehingga hasil belajar maksimal. Agar pembelajaran tidak tertuju pada siswa tertentu saja maka harus dicari solusinya yaitu salah satunya mengubah model pembelajaran. Dengan memilih model pembelajaran NHT ini kegiatan siswa akan lebih terarah. Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik. Tipe ini dikembangkan oleh Kagen dalam Ibrahim (2000 : 28). Sama seperti halnya dalam pembelajaran sebelumnya guru mengajak siswa untuk berdoa, memberi salam serta mengecek kehadiran dan kesiapan siswa. Setelah menyampaikan materi dan tujuan yang akan dicapai sesuai dengan apa yang dituliskan dalam RPP (langkah 1 yaitu tahap persiapan) kegiatan dilanjutkan pada langkah kedua yaitu pembentukan kelompok. Kelompok yang terdiri dari 5 siswa yang masing-masing nama kelompoknya bunga, tempayan, kepiting, udang, ikan dan bulan. Setiap kelompok mempunyai tugas masing-masing sesuai dengan nomor yang didapat siswa dalam kelompoknya. Pada langkah ketiga siswa diwajibkan mempunyai buku paket atau buku panduan lain agar siswa dengan mudah menyelesaikan LKS yang diberikan. Selanjutnya pada langkah keempat yaitu berdiskusi. Siswa berdiskusi melalui percobaan, dimana tugas masing-masing siswa sesuai dengan nomor yang ada pada LKS dan yang dipegang siswa. Selama dalam diskusi siswa diarahkan diberikan bimbingan pada kelompok yang mengalami kesulitan. Kemudian pada langkah ke lima yaitu memanggil kelompok/anggota yang akan memberikan jawaban hasil diskusinya, dan yang terakhir adalah langkah keenam yaitu memberi kesimpulan dimana guru dan siswa bersama-sama untuk menyimpulkan jawaban akhir dari pembelajaran yang sesuai dengan materi yang berikan, yaitu bahwa nilai perbandingan antara banyaknya percobaan yang diharapkan dengan banyaknya percobaan mendekati nilai tertentu, nilai tertentu tersebut dikenal dengan nilai peluang. Kalau dilihat dari pembelajaran sebelum dan sesudah pembelajaran model NHT perbedaan yang mencolok ada pada pembentukan kelompok. Dimana siswa masing-masing sudah mendapat tugas sehingga dalam pelaksanaannya siswa tidak ada lagi yang sibuk sendiri, semuanya aktif melaksanakan tugasnya masing-masing untuk dipertanggungjawabkan dalam kelompoknya. Dalam kegiatan ini aktivitas siswa dalam berdiskusi meningkat walaupun masih ada satu atau dua siswa yang kurang aktif. Dapat dikatakan aktivitas siswa meningkat menjadi 830
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
93%. Setelah diadakan evaluasi hasil belajar siswa pun mulai meningkat yang tadinya hanya 33%, sekarang setelah menggunakan pembelajaran NHT hasilnya menjadi 80%. Dengan demikian penerapan model pembelajaran NHT sangat membantu dalam proses dalam pembelajaran sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Dengan demikian dalam proses pembelajaran guru selalu dituntut untuk merancang pembelajaran yang inovatif agar dapat membantu siswa dalam belajar. Sebagaimana ditegaskan oleh Joyce dan Weil (1986) dalam Hendy Hermawan (2006 : 3) bahwa hakikat mengajar atau teaching adalah membantu siswa memperoleh ide, keterampilan, nilai, cara berpikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya dan cara-cara belajar bagaimana belajar. PENUTUP Dalam pembelajaran Numbered Head Together (NHT) dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Menambah pengalaman baru dari guru dalam menyampaikan pembelajaran. 2. Merupakan pengalaman baru bagi siswa dalam proses belajar mengajar. 3. Pada pembelajaran setiap siswa mendapat tugas masing-masing sehingga aktifitas siswa dan hasil belajar siswa meningkat. 4. Dapat menumbuhkan minat belajar siswa untuk mengikuti pembelajaran sampai akhir pelajaran secara aktif. DAFTAR PUSTAKA Hermawan, Hendy. 2006. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Bandung : CV Citra Praya. J-TEQIP. 2013. Jurnal Peningkatan Kualitas Guru. Malang : PT Pertamina dan Universitas Negeri Malang. Subanji. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang : PT Pertamina dan Universitas Negeri Malang. Wardhana, Yana. 2010. Teori Belajar dan Mengajar. Bandung : PT Pribumi Mekar. http://modelpembelajarankooperatif.blogspot.com/2012/08/numbered-head-together-nht.html
PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN SNOWBALL THROWING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VI SDK BUKIT MORIA TULE Elvis Buntaa SDK Bukit Moria Tule Abstrak : Berdasarkan pengalaman peneliti pada SD Kristen Bukit Moria Tule selama mengajar di sekolah tersebut bahwa nilai matematika Siswa Kelas VI masih sangat rendah yaitu dari 23 orang siswa hanya 5 orang yang mampu memenuhi standar yang ditetapkan dalam Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Hal ini diduga disebabkan karena pembelajaran yang masih konvensional yakni ceramah dan pemberian tugas. Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar matematika melalui, model pembelajaran snowball throwing siswa kelas VI SD Kristen Bukit Moria Tule. Penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dengan dua siklus. Pada pelaksanaan siklus I diperoleh siswa yang tuntas belajar sebanyak 18 siswa sedangkan yang belum tuntas sebanyak 5 siswa dari 23 siswa, nilai rata-rata kelas 69,75 dengan persentase ketuntasan belajar klasikal 78,26%, Selanjutnya pada siklus II siswa yang tuntas belajar sebanyak 23 siswa dengan persentase 100% dengan nilai rata-rata kelas 80,86. Penggunaan model pembelajaran snowball throwing dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas VI SDK Bukit Moria Tule. Oleh karena guru hendaknya menggunakan model pembelajaran snowball throwing sebagai alternatif dalam proses pembelajaran matematika di kelas VI. Kata Kunci : Snowball Throwing, Hasil Belajar, Matematika
831
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Rendahnya kualitas pendidikan dapat diartikan sebagai kurang berhasilnya proses pembelajaran. Jika dianalisa secara makro penyebabnya biasa dari siswa , guru, sarana dan prasarana maupun model pembelajaran yang digunakan. Juga minat dan motivasi siswa yang rendah, kinerja guru yang kurang baik serta sarana dan prasaran yang kurang memadai, akan menyebabkan kurang berhasilnya tujuan intruksional. Proses pembelajaran yang kurang berhasil dapat mnyebabkan siswa kurang berminat untuk belajar. Minat siswa yang kurang ditunjukkan dari kurangnya aktivitas belajar, interaksi dalam proses pembelajaran dan persiapan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mangajar. Guru merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Guru selalu menginginkan bahwa tujuan pengajarannya berhasil. Maksudnya bahwa materi pelajaran yang disampaikan dapat diterimah bahkan dipahami oleh siswanya. Oleh karena itu seorang guru harus mempunyai kemampuan mengajar yaitu kemampuan yang tidak hanya menyampaikan materi kepada siswanya saja, tetapi bagaimana agar siswa dapat tertarik, aktif dan semangat dalam memahami materi yang diajarkan dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan konteks itulah guru perlu menentukan model pembelajaran yang tepat agar mencapai hasil yang diharapkan. Model pembelajaran yang tepat adalah model yang sesuai dan dapat diterapkan pada siswa, sehingga siswa mampu menerima pelajaran dengan baik, khususnya dalam bidang studi matematika. Karena semua tahu bahwa matematika sering dikeluhkan sebagai bidang studi yang sulit dan mebosankan, sehingga tak heran apabila nilai matematika siswa rendah dibanding nilai pelajaran lain dan penguasaan terhadap matematika juga kurang. Pada SD Kristen Bukit Moria Tule. Sesuai dengan pengalaman peneliti selama mengajar di sekolah tersebut bahwa nilai matematika Siswa Kelas VI masih sangat meprihatinkan dari 23 orang siswa hanya 5 orang yang mampu memenuhi standar yang ditetapkan dalam Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sedangkan 18 orang masih kurang memperhatikan penjelasan dari guru atau belum tuntas dalam belajar. Akibatnya, pemahaman dari suatu materi yang telah disampaikan guru kurang dipahami oleh sebagian besar siswa dan pembelajaran belum berhasil. Ini disebabkan karena pembelajaran yang masih konvensional yakni ceramah dan pemberian tugas. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti akan mengadakan kajian dengan menggunakan suatu cara agar proses pembelajaran yang berlangsung didalam kelas bisa lebih efektif dan aktif. Maksudnya peneliti memilih kelas VI SD Bukit Moria Tule sebagai kelas yang akan diteliti dengan pemberian model pembelajaran yang tepat, dengan harapan siswa bisa memahami tentang materi yang telah diajarkan. Salah satu model pembelajaran yang tepat adalah model pembelajaran snowball throwing. Snowball throwing adalah suatu model pembelajaran yang diawali dengan pembentukan kelompok yang diwakili ketua kelompok untuk mendapat tugas dari guru kemudian masingmasing siswa membuat pertanyaan yang dibentuk seperti bola (kertas pertanyaan) lalu dilempar ke siswa lain yang masing-masing siswa menjawab pertanyaan dari bola yang diperoleh (Kisworo, 2008:11). Penggunaan model pembelajaran snowball throwing adalah suatu model pembelajaran yang terdiri dari beberapa kelompok yang masing-masing siswa membuat pertanyaan yang dibentuk seperti bola lalu dilempar ke siswa lain untuk dijawabnya, kemudian diakhiri dengan menuliskan laporan dari pembelajaran atau pertanyaan tersebut. Berdasarkan masalah diatas maka peneliti tertarik untuk mengambil judul “Penggunaan Model Pembelajaran Snowball Throwing Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VI SD Kristen Bukit Moria Tule. Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti “Bagaimana Penggunaan Model Pembelajaran Snowball Throwing untuk meningkatkan hasil belajar Siswa Kelas VI SD Kristen Bukit Moria Tule. Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar matematika melalui, model pembelajaran snowball throwing siswa kelas VI SD Kristen Bukit Moria Tule. KAJIAN TEORITIK Snowball secara etimologi berarti bola salju, sedangkan throwing artinya melempar. Snowball Throwing secara keseluruhan dapat diartikan melempar bola salju. Dalam pembelajaran Snowball Throwing, bola salju merupakan kertas yang berisi pertanyaan yang dibuat oleh siswa kemudiandilempar kepada temannya sendiri untuk dijawab. Menurut Bayor 832
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(2010), Snowball Throwing merupakan salah satu model pembelajaran aktif (activelearning) yang dalam pelaksanaannya banyak melibatkan siswa. Peran guru di sini hanya sebagaipemberi arahan awal mengenai topik pembelajaran dan selanjutnya penertiban terhadap jalannyapembelajaran. Menurut Saminanto (2010:37) “Metode Pembelajaran Snowball Throwing disebut juga metode pembelajaran gelundungan bola salju”. Metode pembelajaran ini melatih siswa untuk lebih tanggap menerima pesan dari siswa lain dalam bentuk bola salju yang terbuat dari kertas, dan menyampaikan pesan tersebut kepada temannya dalam satu kelompok. Snowball throwing adalah suatu metode pembelajaran yang diawali dengan pembentukan kelompok yang diwakili ketua kelompok untuk mendapat tugas dari guru kemudian masingmasing siswa membuat pertanyaan yang dibentuk seperti bola (kertas pertanyaan) lalu dilempar ke siswa lain yang masing-masing siswa menjawab pertanyaan dari bola yang diperoleh. (Arahman, 2010: 3). Metode pembelajaran snowball throwing adalah suatu metode pembelajaran yang diawali dengan pembentukan kelompok yang diwakili ketua kelompok untuk mendapat tugas dari guru kemudian masing-masing siswa membuat pertanyaan yang dibentuk seperti bola (kertas pertanyaan) lalu dilempar ke siswa lain yang masing-masing siswa menjawab pertanyaan dari bola yang diperoleh (Kisworo, dalam Mukhtari Kunandar, 2010: 6). Model Pembelajaran Snowball Throwing adalah suatu tipe Model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran ini menggali potensi kepemimpinan murid dalam kelompok dan keterampilan membuat-menjawab pertanyaan yang di padukan melalui permainan imajinatif membentuk dan melempar bola salju (Komalasari: 2010) Menurut Kisworo (dalam Mukhtari Kunandar, 2010: 6) langkah-langkah model pembelajaran snowball throwing adalah sebagai berikut: (1) Guru menyampaikan materi yang akan disampaikan. (2) Guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi. (3) Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada temannya. (4) Kemudian masing-masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja, untuk menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok. (5) Kemudian kertas tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain selama ± 15 menit. (6) Setelah siswa dapat satu bola/satu pertanyaan diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara bergantian. (7) Evaluasi. (7) Penutup. Menurut Dimyati dan Mudjiono (dalam Dalyana. S. 2011), hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, efektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat Menurut peneliti pembelajaran yang memungkinkan adanya perolehan hasil belajar yang baik yaitu dengan pembelajaran yang dirancang agar siswa dengan sendirinya atau secara mandiri menemukan konsep dan hubungan antar konsep, membangun konsep-konsep yang berhubungan dengan materi sehingga setelah pembelajaran selesai siswa dengan mudah menyelesaikan masalah yang sesuai dengan materi yang telah diajarkan. Fungsi dan tujuan matematika, matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur, menurunkan dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari melalui pengukuran dan geometri, aljabar, peluang dan statistik, kalkulus dan trigonometri. Matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan melalui model matematika yang dapat berupa kalimat matematika dan persamaan matematika, diagram, grafik atau tabel. METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (Clssroom Action Researc) yang memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk meningkatkan mutu pembelajaran apabila diimplementasikan dengan baik dan benar. Menurut (Arikunto, 2010: 58) PTK adalah penelitian tindakan yang dilakukan di kelas dengan tujuan memperbaiki/meningkatkan mutu praktik pembelajaran.
833
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kunandar Muktari (2010: 51) menjelaskan Ada beberapa alasan PTK menjadi salah satu pendekatan dalam meningkatkan atau memperbaiki mutu pembelajaran adalah: (1) merupakan pendekatan pemecahan masalah yang bukan sekedar trial and error; (2) menggarap masalah-masalah faktual yang dihadapi guru dalam pembelajaran; (3) tidak perlu meninggalkan tugas utamanya, yakni mengajar; (4) guru sebagai peneliti; (5) mengembangkan iklim akademik dan profesionalisme guru; (6) dapat segera dilaksanakan pada saat muncul kebutuhan; (7) dilaksanakan dengan tujuan perbaikan; (8) murah biayanya; (9) disain lentur atau fleksibel; (10) analisis data seketika dan tidak rumit; dan (11) mamfaat jelas dan lansung. Penelitian tindakan kelas digambarkan sebagai suatu rangkaian langkah-langkah (a spiral of steps). Secara umum pelaksanaan tindakan kelas terdiri dari empat tahap yaitu: 1). perencanaan, 2) tindakan, 3) observasi, 4) refleksi dengan dua siklus. Dalam penelitian ini, menggunakan model penelitian tindakan yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart (Arikunto, 2010 :67) yang menggambarkan adanya empat langkah yang tersaji dalam bagan berikut ini. Keempat tahap dalam penelitian tindakan tesebut adalah unsur untuk membentuk sebuah siklus. Jadi satu siklus adalah tahap penyusunan rancangan sampai dengan refleksi, yang tidak lain adalah evaluasi. (Arikunto, 2009: 17-21);
Gambar 1: Alur PTK menurut Kemmis dan Taggart (dalam Arikunto, 2010: 16)
Purwadi (dalam Sodikin, dkk. 2002: 10) menyatakan bahwa : “penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah suatu penelitian yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan tugas pokoknya yaitu mengelolah pelaksanaan kegiatan belajar mengajar”. PTK merupakan suatu bentuk kajian reflektif oleh pelaku tindakan dan PTK dilakukan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan dan memperbaiki kondisi-kondisi praktik-praktik pembelajaran yang telah dilakukan. Instrumen adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data, adapun instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Observasi Aktivitas Guru dan Siswa Observasi ini digunakan untuk melihat keterlaksanaan tahap-tahap penggunaan model pembelajaran snowball throwing oleh guru dan siswa. Guru kelas mengamati peneliti dalam proses pembelajaran. Peneliti mengamati siswa selama proses pembelajaran berlangsung dengan menggunakan pedoman observasi. b. Tes Tes merupakan metode pengumpulan data penelitian yang berfungsi untuk mengukur kemampuan seseorang (Mulyatyningsih, 2011 : 55). Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes awal dan tes akhir. Tes ini digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif (hasil belajar) siswa. Tes awal duberikan pada awal pembelajaran, dan tes akhir diberikan pada akhir pembelajaran untuk mengukur kemampuan siswa sebelum dan sesudah pembelajaran.
834
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
c. Angket Angket atau kuesioner merupakan alat pengumpulan data yang memuat sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang harus dijawab oleh subjek penelitian (Mulyatyningsi, 2011: 60). Kuesioner atau angket dapat mengungkap banyak hal sehingga dengan waktu singkat diperoleh banyak data/keterangan. Analisis data dilakukan melalui teknik pengolahan data berdasarkan perolehan dari hasil penelitian sesuai dengan penggunaan instrumennya. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan kuantitatif, yaitu: 1. Hasil Tes Analisis data yang dilakukan pada hasil tes yaitu dengan analisis kuantitatif, adapun pengolahan data tes tersebut dilakukan dengan beberapa teknik, diantaranya: a. Penskoran Untuk menghindari unsur subjektivitas, penskoran dilakukan dengan berdasarkan pada ketentuan standar nilai untuk setiap soal. Soal yang digunakan berupa uraian dengan masing-masing soal memiliki bobot sama atau berbeda, tergantung pada tingkat kesulitan soal. Masing-masing soal memiliki kriteria penskoran yang berbeda. b. Menghitung Rata-Rata Data hasil belajar siswa berupa kemampuan memecahkan masalah dianalisis dengan cara menghitung rata – rata nilai. Adapun rumus yang digunakan adalah: ∑𝑥 𝑥= 𝑁 Keterangan : 𝑥 : rata-rata nilai ∑𝑥 : jumlah nilai N : jumlah siswa (Ngalim Purwanto. 2002) c. Menghitung ketuntasan belajar 1) Ketuntasan belajar individu Untuk menghitung ketuntasan belajar individu menggunakan analisis deskriptif persentase dengan perhitungan : 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ𝑎𝑛 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 Ketuntasan belajar individu = × 100% 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒 ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎
Kriteria : Apabila tingkat ketercapaian <70 % maka siswa tidak tuntas belajar. Apabila tingkat ketercapaian ≥70% maka siswa tuntas belajar. 2) Ketuntasan belajar klasikal Untuk menghitung ketuntasan belajar secara klasikal menggunakan analisis deskriptif prosentase perhitungan. 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 Ketuntasan belajar klasikal = × 100% 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑢𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑎𝑗𝑎𝑟
Kriteria : Apabila tingkat ketercapaian <70 % maka penerapan pembelajaran snowball throwing pada materi menentukan akar pangkat tiga suatu bilangan dikatakan tidak efektif. Apabila tingakat ketercapaian >70% maka penerapan pembelajaran snowball throwing pada materi menentukan akar pangkat tiga suatu bilangan 2. Hasil Observasi Melalui observasi, peneliti mengumpulkan datamengenai aktivitas siswa dan guru untuk melihat keterlaksanaan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran snowball throwing dan kemampuan siswa dalam rana afektif dan psikomotor. Analisis data yang dilakukan pada hasil observasi ini adalah analisis data kualitatif yang disertai dengan perhitungan persentase pencapaiannya. a. Aktivitas belajar antar siswa Untuk mengetahui seberapa besar aktivitas siswa dengan mengikuti proses belajar mengajar dengan model snowball throwing maka dibuat lima aspek pengmatan meliputi: A : Kemampuan bekerja sama dalam diskusi kelompok B : Keaktifan mendengarkan teman saat diskus C : Keaktifan dan kemampuan menjawab pertanyaan atau membantu D : Kemampuan membuat pertanyaan 835
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Lembar pengamatan aktivitas belajar antar siswa kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif persentase interaksi belajar antar siswa adalah: 𝑅
NP = 𝑆𝑀 × 100% Keterangan : NP = Nilai persen yang dicari R = Rata-rata aktivitas siswa SM = Skor maksimum Kriteria penilaian >75 % = Baik sekali (A) 55-75 % = Baik (B) 35-55% = Cukup (C) < 35 % = Rendah (D) Skala (skor) dalam setiap aspek Skor Kriteria 1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi (Ngalim Purwanto. 2002 : 102) b. Aktivitas belajar siswa dengan guru Untuk mengetahui seberapa besar aktivitas belajar dengan guru dalam mengikuti proses beljar mengajr dalam model pembelajaran snowball throwing maka dibuat empat pengamatan meliputi: A : keaktifan bertanya pada guru B : Keaktifan menyampaikan pendapat C: Keaktifan dalam menyimak keterangan guru D : Kemampuan menjawab pertanyaan guru Lembar hasil pengamatan aktivits belajar siswa dengan guru kemudian dianalisis deskriptif persentase. Adapun perhitungan persentase aktivitas belajar siswa dengan guru adalah: 𝑅 NP = 𝑆𝑀 × 100% Keterangan : NP = Nilai persen yang dicari R = Rata-rata aktivitas siswa SM = Skor maksimum Kriteria penilaian >75 % = Baik sekali (A) 55-75 % = Baik (B) 35-55% = Cukup (C) < 35 % = Rendah (D) Skala (skor) dalam setiap aspek Skor Kriteria 1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi (Ngalim Purwanto. 2002 : 102) 3. Angket Angket dilakukan untuk memperoleh data atau informasi berupa tanggapan dari siswa dan guru mengenai model pembelajaran snowball throwing yang diterapkan selama proses pembelajaran dikelas. Dalam hal ini siswa dapat mengungkapkan pendapat mereka mengenai pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran snowball trowing menurut mereka
836
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
sendiri. Pengisian angket dilakukan setelah mereka mengerjakan pos test Hasil angket dijadikan sebagai bahan refleksi pada pembelalajaran yang dijabarkan secara deskriptif. PEMBAHASAN Berdasarkan data diatas pada pelaksanaan sebelum perbaikan siswa yang tuntas belajar sebanyak 4 siswa sedangkan yang belum tuntas sebanyak 19 anak, nilai rata-rata kelas yang diperoleh 52,17 dengan persentase ketuntasan belajar klasikal hanya 21,73%. Dari hasil belajar yang diperoleh siswa pada sebelum perbaikan masih ada 19 siswa dari 23 siswa yang nilainya masih dibawah KKM yakni ≥65 hal ini disebabkan karena pada pelaksanaan sebelum perbaikan belum dilaksanakannya tindakan dengan menggunakan model pembelajaran snowball throwing, guru masih menggunakan metode konvensional yakni ceramah. Pada pelaksanaan siklus I diperoleh siswa yang tuntas belajar sebanyak 18 siswa sedangkan yang belum tuntas sebanyak 5 siswa dari 23 siswa, nilai rata-rata kelas 69,75 dengan persentase ketuntasan belajar klasikal 78,26%, rata-rata aktivitas belajar antar siswa 8,30 dengan persentase 69,16%. Sedangkan aktivitas belajar siswa dengan guru nilai rata-rata 8,78 dan persentasinya 73,16%. Hasil belajar yang diperoleh pada siklus I sudah mengalami peningkatan dibandingkan dengan hasil belajar sebelum perbaikan. Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa pada proses belajar siklus I dengan diterapkannya model pembelajaran snowball throwing belum bisa dikategorikan baik yakni ketuntasan belajar belum mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditentukan oleh sekolah. Masih perlu penyempurnaan pada siklus II yakni, kerja sama antar siswa masih kurang sehingga masih ada sebagian kelompok yang terlihat pasif, dalam kerja kelompok siswa yang pandai cenderung mendominasi kelompoknya, keaktifan dalam menjawab pertanyaan masih kurang, sehingga hasilnya belum maksimal. Selanjutnya pada siklus II siswa yang tuntas belajar sebanyak 23 siswa dengan persentase 100% dengan nilai rata-rata kelas 80,86. Persentase aktifitas belajar antar siswa 73,83% dan rata-rata aktifitas 8,86, sedangkan persentase aktifitas belajar siswa dengan guru 74,53% dengan rata-rata aktifitas 8,95. Pada siklus II prosess pembelajaran sudah mencapai target yang telah ditentukan yakni >70% atau mencapai KKM. Hasil belajar siklus II mengalami peningkatan dibanding dengan siklus I. Penerapan model pembelajaran snowball throwing sudah bisa berjalan dengan baik dan optimal, siswa terlihat lebih aktif, terlebih dalam kerja sama kelompok yang merata tidak didominasi siswa yang pandai saja, persiapan dalam menjawab soal juga lebih siap. Tabel 1. Peningkatan hasil belajar siswa sebelum perbaikan, siklus I, dan siklus II
Hasil Belajar Nilai Rata Rata Kelas Persentase ketuntasan belajar klasikal Persentase aktivitas belajar antar siswa Persentase aktivitas belajar siswa dan guru
Sebelum Perbaikan 52,17 21,73% -
Siklus I 68,70 78,26% 69,16% 73,16%
Siklus II 80,86 100% 73,83% 74,53%
100 Ketuntasan
50 0 Pra Siklus I Siklus Siklus II
Gambar 1. Perbandingan nilai rata-rata kelas sebelum perbaikan, siklus I, dan siklus II
837
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
100 80 60 40 20 0
Ketuntasan
Pra Siklus I Siklus II Siklus
Gambar 2. Perbandingan ketuntasan belajar klasikal kelas sebelum perbaikan, siklus I, dan siklus II
75 Ketuntasan
70 65 Siklus ISiklus II
Gambar 3. Perbandingan aktivitas antar siswa sebelum perbaikan, siklus I, dan siklus II
76 74
Ketuntasan
72 Siklus Siklus I II
Gambar 4. Perbandingan aktivitas siswa dengan guru kelas sebelum perbaikan, siklus I, siklus II
PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembehahasan dapat disimpulkan bahwa: (1) Penggunaan model pembelajaran snowball throwing dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas VI SDK Bukit Moria Tule. (2) Siswa menjadi aktif dalam menyampaikan ataupun menanggapi pendapat teman dan berani bertanya apabila dia belum paham. (3) Pembelajaran model snowball throwing memupuk kerja sama dalam kelompok belajar di kelas. Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh maka dapat diberikan saran sebagai berikut : (1) Guru hendaknya menggunakan model pembelajaran snowball throwing sebagai alternatif dalam proses pembelajaran matematika di kelas VI. (2) Siswa diharapkan lebih aktif dalam mengutarakan pendapat dalam kelompok belajar. (3) Diharapkan siswa-siswa dalam kelompok belajar dapat memupuk kerja sama. DAFTAR RUJUKAN Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta: Jakarta A, Rahman. 2010. Pengaruh Model Pembelajaran Snowball Trowing Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Standart Kompetensi Menafsirkan Gambar Teknik Listrik SMKN 2 Pamekasan. Jurnal Pendidikan Elektro. Vol 1 Nomor 2. (Tesedia http://ejournal. unesa. ac. id. Diakses 19 September 2014). Bayor. 2010. Snowball Throwing. (Tesedia di http://akmaldebayor. blogspot. com/2010/05/snowball-throwing_08. html. Diakses pada tanggal 17 September 2014). Dalyana S .2004. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Realistik pada Pokok Bahasan Perbandingan di Kelas II SLTP. Tesis. Surabaya: Unesa. Tersedia di (.blogspot.com/2014/02/pengembangan-model-pembelajaran_14.html. di unduh tanggal 22 September 2014). 838
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kunandar Muktari. 2010. Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP). Jakarta: Bumi Aksara Saminanto. 2010. Ayo Praktik Penelitian Tindakan Kelas. Semarang : Rasamail Media Group. Sodikin, dkk, 2002. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Surabaya: Insan Cendekia.
PEMBELAJARAN MATERI FPB DAN KPK DENGAN MENGGUNAKAN METODE PEMBAGIAN BERSUSUN Hipolitus Darmin SDI Pela Kecamatan Lembor Kabupaten Manggarai Barat Abstrak: Pembelajaran matematika materi FPB dan KPK pada kelas tinggi kerap mengalami kesulitan ketika menyelesaikan soal. Data yang diperoleh penulis menunjukkan bahwa, dari 28 sekolah dasar di kecamatan lembor kabupaten Manggarai Barat, terdapat 75 % sekolah yang membelajarkan materi KPK dan FPB dengan pendekatan faktorisasi prima saja. Sedangkan lainnya menggunakan pendekatan pembagian bersusun. Data yang diperoleh penulis ketika diadakan lomba mata pelajaran menunjukkan bahwa sekolah yang menggunakan pendekatan pembagian bersusun tidak mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal FPB dan KPK, sedangkan sekolah yang menggunakan faktorisasi prima mengalami kendala pada saat menentukan FPB dan KPK terutama kekeliruan menentukan pangkat terbesar dan terkecil. Tulisan ini menunjukkan pembelajaran dengan menggunakan pembagian bersusun. Kata Kunci: KPK, FPB, Pembagian bersusun
Pada umumnya kualitas pendidikan matematika di kecamatan Lembor masih jauh dari menggembirakan. Banyak siswa beranggapan bahwa belajar matematika itu sulit dan cepat membosankan. Hal ini dapat diamati dari respon siswa saat menerima pelajaran matematika serta hasil evaluasi pembelajaran yang sangat rendah. Ketika dikaji ternyata ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas hasil belajar siswa dalam bidang matematika di kecamatan Lembor Kabupaten Manggarai Barat. Faktor-faktor tersebut antara lain persediaan sarana dan prasarana pembelajaran yang masih kurang serta kualifikasi akademik para pendidik yang belum memenuhi standar nasional. Sebagian besar guru sekolah dasar di kecamatan Lembor saat ini masih berijazah diploma bahkan SMA meskipun banyak yang sedang mengikuti program kualifikasi guru SD. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap kualitas pembelajaraan khususnya pembelajaran matematika. Selain itu para guru SD di kecamatan Lembor yang membidangi matematika secara khusus masih sangat kurang. Fenomena di atas tentu berdampak pada rendahnya kualitas pembelajaran karena minimnya pengetahuan yang dimiliki guru terhadap inovasi-inovasi baru dalam bidang pendidikan. Salah satu diantaranya adalah inovasi pendekatan pembelajaran yang kian mempermudah peserta didik belajar materi matematika. Namun inovasi pembelajaran tersebut akan menjadi mubasir apabila guru tidak mempunyai kemampuan untuk mengakses hal-hal baru di bidang pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibrahim (dalam Edy dan Sugiyarni 2011) yang menyatakan bahwa guru harus memiliki kemampuan dalam menyampaikan materi dan menguasai materi dalam proses belajar mengajar. Kemampuan yang dimaksud tidak cukup hanya mengikuti prosedur yang dicantumkan dalam buku guru atau buku siswa, tetapi penting untuk dikembangkan sendiri oleh guru dengan mencari alternatif lain yang memudahkan siswa memahami materi yang\ sama. Fakta yang terjadi pada sekolah di kecamatan Lembor adalah 75% sekolah membelajarkan materi matematika dengan mengcopy paste pendekatan pembelajaran yang tertera pada buku. Copy paste artinya guru tidak memiliki kreatifitas untuk mengembangkan pembelajaran. Tingkat ketergantungan pada buku pelajaran sangat tinggi. Referensi lain diluar buku pelajaran seolah menjadi tabu untuk digunakan karena merasa sudah berpengalaman banyak. Apabila tidak ada pendekatan lain dalam buku tersebut maka pendekatan itu tidak
839
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
diajarkan. Hal ini biasa terjadi pada guru senior yang sudah lama mengajar dan tidak peka dengan perubahan atau inovasi baru. Argumen mereka adalah kami sudah bertahun tahun mengajar materi FPB dan KPK dan yang kami gunakan adalah pendekatan Pohon faktor prima. Sudah banyak siswa-siswi kami yang sudah jadi “orang”. Argumen ini tentu bisa diterima manakala siswa benar-benar mengerti penyelesaian soal FPB dan KPK, tetapi jika belum maka argumen tersebut tidak bisa dibenarkan karena pendekatan pembagian bersusun merupakan pendekatan yang lebih mudah untuk digunakan. Menurut data yang diperoleh penulis ketika pelaksanaan lomba mata pelajaran tingkat gugus dan tingkat kecamatan pada bulan Oktober 2014. Terdapat 75% SD di kecamatan lembor membelajarkan materi FPB dan KPK oleh gurunya menggunakan pendekatan faktorisasi prima. Menggunakan pendekatan ini bukan tanpa alasan, karena demikian metode yang tercantum dalam buku pegangan guru dan siswa. Setelah penulis memeriksa hasil pekerjaan peserta lomba mata pelajaran tersebut, hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: 25 20 15 10 5 0 menggunakan Faktorisasi Prima
menggunakan Pembagian Bersusun
Data di atas menunjukkan bahwa dari 28 peserta lomba dari masing-masing sekolah, terdapat 21 peserta lomba yang memilih menyelesaikan soal FPB dan KPK dengan pendekatan Faktorisasi prima, sedangkan 7 peserta lainnya menggunakan pembagian bersusun. Rincian data hasil pekerjaan peserta lomba dapat dilihat pada tabel berikut: Metode yang digunakan No Nama Peserta Keterangan Hasil Pekerjaan P. F. Bersusun Prima 1 Adrianus Nandu Proses dan Hasil benar V 2 Fransisko V Retno Proses dan hasil benar V 3 Yulianus A. Ndau Proses benar hasil salah V 4 Prisilia V Jelita Proses benar hasil salah V 5 Skolastika A. Warung Proses benar hasil salah V 6 Aldegonda Mamu Proses benar hasil salah V 7 Trisna Cahaya Proses dan hasil benar V 8 Natalia Hadia Proses benar hasil salah V 9 Mario V Maga Proses benar hasil salah V 10 Polikarpus Wiparlo Proses benar hasil benar V 11 Lusia Soveana Proses benar hasil salah V 12 Wihelmus Pandango Proses salah hasil salah V 13 Didimus Supardis Proses benar hasil salah V 14 Rofinus J Oda Proses benar hasil salah V 15 Febrianus Fandri Proses benar hasil benar V 16 Petrus Agung Proses benar hasil benar V 17 Wili arsminto Proses dan hasil benar V 18 Rupertus Rubin Proses dan hasil benar V
840
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Volenta Aliva Ardiono Darvin Venansius Syukur Yuliana Rosida Yuliana Murni Evaristus Mabana Vandrianus Sento Tarsi N Taurus Petronela Sarida Robertus D Jenali
Proses benar hasil benar Proses benar hasil benar Proses salah hasil salah Proses salah hasil salah Proses benar hasil salah Proses benar hasil benar Proses benar hasil salah Proses benar hasil benar Proses dan hasil benar Proses benar hasil salah
V V V V V V V V V V
Grafik Hasil pekerjaan siswa tersebut di atas dapat dilihat pada grafik berikut. 14 12 10 8 P.Bersusun
6
F.Prima 4 2 0 proses dan hasil benar
proses benar hasil salah
proses dan hasil salah
Dari grafik di atas dari 7 peserta yang mengerjakan soal dengan pembagian bersusun semuanya mengerjakan soal dengan proses dan hasil benar, sedangkan 21 peserta yang mengerjakan dengan faktorisasi prima hanya ada 6 peserta yang mengerjakan dengan benar, 12 peserta salah menulis hasil, sedangkan 3 lainnya salah total. Dengan melihat data hasil pekerjaan siswa pada materi FPB dan KPK tersebut di atas penulis selanjutnya mewawancarai 6 orang peserta yang menggunakan metode faktorisasi prima, kesulitan yang dialami peserta adalah kekeliruan pada saat menentukan FPB dan KPK. Hasil faktorisasi prima yang dikerjakan siswa benar tetapi mengalami kesulitan pada saat menentukan pangkat bilangan yang merupakan FPB dan KPK. Selain itu peserta tersebut mengakui bahwa guru di sekolah mereka hanya mengajarkan materi FPB dan KPK dengan satu pendekatan saja yakni menggunakan pohon faktor prima. Ketika dijelaskan cara pembagian bersusun, peserta lomba tersebut merasa terbantu dan memilih untuk mengerjakan soal FPB dan KPK dengan cara pembagian bersusun. Sementara peserta lain yang menggunakan metode pembagian bersusun mengaku tidak mengalami kesulitan pada saat menentukan FPB dan KPK sebab setelah melakukan pembagian sudah jelas hasil yang menunjukkan FPB dan KPK. Hal ini tentu meminimalisir kekeliruan yang terjadi ketika menggunakan faktorisasi prima. Mereka mengakui bahwa di sekolah kami diajarkan dua model pendekatan tersebut tetapi kami lebih memilih pendekatan pembagian bersusun dengan alasan lebih praktis dan mudah dikerjakan. Selanjutnya penulis melakukan penelitian lanjutan pada salah satu sekolah yang peserta lombanya hanya mengenal pendekatan faktorisasi prima. Melalui kerja sama dengan guru mata pelajaran matematika dirancang rencana pembelajaran yang berkaitan dengan materi KPK dan FPB menggunakan pendekatan pembagian bersusun. Namun sebelum memperkenalkan metode 841
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
baru, peneliti melakukan pre test yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa terhadap KPK dan FPB dengan menggunakan faktorisasi prima. Hasil pre test adalah sebagai berikut:
Data hasil pre tes metode faktorisasi prima 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 proses dan hasil benar proses benar hasil salah proses dan hasil salah
Dari data di atas terdapat 6 siswa yang mengerjakan dengan sempurna, 8 siswa mengerjakan faktorisasi dengan benar tetapi penentuan KPK dan FPBnya ada yang tertukar dan ada yang salah. Sementara 4 siswa lainnya sama sekali kesulitan dalam proses pembagian. Setelah peneliti mendapatkan data pre test, dilanjutkan dengan proses pembelajaran materi KPK dan FPB dengan mengajarkan metode pembagian bersusun. Selama proses pembelajaran berlangsung, siswa-siswi sangat antusias. Beberapa siswa meyakini bahwa metode ini lebih mudah dan tidak rumit seperti faktorisasi prima. PEMBELAJARAN FPB DAN KPK MENGGUNAKAN PEMBAGIAN BERSUSUN Untuk membelajarkan materi FPB dan KPK menggunakan pendekatan pembagian bersusun, pertama-tama peserta didik harus lancar pembagian dan memperhatikan cara mengerjakannya seperti berikut: 1) Bagilah dua atau tiga bilangan yang dicari FPB dan KPKnya dengan bilangan prima terkecil yaitu 2. 2) Jika tidak ada bilangan yang bisa dibagi dua , maka dibagi dengan 3 dan seterusnya. 3) Bilangan pembagi yang bisa membagi 3 bilangan tersebut dibuat dalam lingkaran kecil, 4) Sedangkan pembagi yang tidak bisa membagi salah satu bilangan , tidak dibuat dalam lingkaran. 5) Bagilah bilangan tersebut sampai hasilnya 1. 6) Jika ketiganya sudah selesai dikerjakan, selanjutnya menentukan FPB dan KPK 7) FPB diperoleh dari perkalian bilangan pembagi yang berada dalam lingkaran. 8) KPK diperoleh dari perkalian bilangan yang ada di dalam dan diluar lingkatan. Contoh penerapan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut: Tentukan FPB dan KPK dari 90 dan 40! Dengan menggunakan pendekatan pembagian bersusun prosesnya adalah sebagai berikut.
842
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
90 dan 40 bisa dibagi 2 . 2 dibuat
90
40
2
45
20
2
45
10
2
45
5
3
15
5
5
5
1
1
dalam lingkaran. 45 tidak bisa dibagi 2 sehingga 2 tidak didalam lingkaran 45 tidak bisa dibagi 2 sehingga 2 tidak didalam lingkaran
3 5
5 tidak bisa dibagi 3 sehingga 3 tidak dibuat lingkaran 5 dan 5 bisa dibagi 5 ,sehingga 5 di dalam lingkaran. Selesai
Dari hasil pengerjaan di atas : FPB dari 90 dan 40 adalah semua pembagi yang berada dalam lingkaran yaitu 2 dan 5. Jadi FPB dari 90 dan 40 adalah 2 x 5 = 10. Sedangkan KPK dari 90 dan 40 adalah semua pembagi baik yang berada dalam lingkaran maupun yang berada di luar lingkaran. Jadi KPK dari 90 dan 40 adalah 2 x 2 x 2 x 3 x 3 x 5= 23 x 32 x 5= 8 x 9 x 5= 72 x 5 = 360 Berdasarkan hasil post test pada akhir proses pembelajaran diperoleh data sebagai berikut:
Data hasil post test metode pembagian bersusun 16 14 12 10 8 6 4 2 0 proses dan hasil benar proses benar dan hasil proses dan hasil salah salah
Berdasarkan grafik di atas terdapat 14 siswa yang mengerjakan soal dengan sempurna, sedangkan 2 siswa salah menentukan hasil dan 2 siswa lainnya salah dalam pembagian. Hal ini menunjukkan peningkatan hasil belajar yang sangat signifikan. Hanya 4 siswa yang gagal dan ketika ditelusuri ternyata 4 siswa tersebut memang mengalami kesulitan dalam pembagian bilangan. Keunggulan pendekatan di atas adalah: 1)Siswa cukup memiliki kemampuan membagi saja. 2)Siswa tidak kesulitan menentukan FPB dan KPK 3)Pengerjaannya lebih singkat dari pada menggunakan pohon faktor prima.
843
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
4)Tidak ada menentukan pangkat terkecil dan terbesar yang menjadi kesulitan atau yang banyak menjadi kekeliruan peserta didik ketika menggunakann faktorisasi prima. KESIMPULAN Dalam membelajarkan materi tentang FPB dan KPK di Sekolah Dasar, para guru di kecamatan Lembor cenderung hanya menggunakan satu pendekatan saja. Pendekatan itu adalah faktorisasi prima. Semua soal yang berkaitan dengan FPB dan KPK pada kelas tinggi pasti diselesaikan menggunakan pendekatan Faktorisasi prima. Akibatnya siswa siswi sering mengalami kesulitan dalam menentukan FPB dan KPK meskipun hasil faktorisasinya benar. Untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi FPB dan KPK tersebut diperlukan pendekatan lain yang bisa membantu siswa-siswi lebih mudah memahami materi FPB dan KPK terutama pada saat menyelesaikan soal-soal. Pendekatan itu adalah pendekatan pembagian bersusun. Pendekatan ini sangat memudahkan siswa dalam menyelsaikan soal-soal. Kemudahannya adalah siswa cukup mengetahui hasil pembagiannya sedangkan untuk menentukan hasil bagi yang merupakan FPB dan KPK sangat mudah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk membelajarkan materi FPB dan KPK lebih mudah diselesaikan menggunakan cara pembagian bersusun dari pada menggunakan pendekatan faktorisasi prima. DAFTAR RUJUKAN Nusantara,Toto dkk.,2011.Petunjuk dan Penggunaan Media Pembelajaran Matematika. Malang. UM Pertamina Pitadjeng., 2006. Pembelajaran Matematika Yang Menyenangkan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan. Syarifudin., Edy dan Sugiyarni., 2011. Pembelajaran Bermakna Faktorisasi Prima Melalui Model Kooperatif STAD Pada Siswa Kelas IV SDN 08 Curup. Jurnal Peningkatan Kualitas Guru. Malang. Pertamina UM.
PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA PADA MATERI SISTEM KOORDINAT DIKELAS VI SDN 07 CURUP TENGAH , MELALUI METODE PENEMUAN TERBIMBING DENGAN PENDEKATAN KERJASAMA KELOMPOK Khairul1 dan Kastani2 SDN 07 Curup Tengah dan SMP IT Rabby Radhiyya2 Abstrak: Penelitian tindakan kelas telah dilakukan di Kelas VI SD negeri 07 Curup tengah melalui penerapan metode penemuan terbimbing dengan pendekatan kerja kelompok. Metode penemuan terbimbing merupakan pendekatan dimana siswa diarahkan untuk mendapatkan suatu kesimpulan dari serangkaian aktivitas yang dilakukan, sehingga siswa seolah-olah menemukan sendiri pengetahuan tersebut. Subyek penelitian adalah siswa Kelas VI SDN 07 Curup tengah semester II tahun pembelajaran 2014/2015 yang berjumlah 24 orang. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan dalam dua siklus, setiap siklus dilaksanakan sebanyak tiga kali pertemuan. Data diperoleh melalui observasi, pemberian tugas dan tes hasil belajar setiap akhir siklus. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa Kelas VI SD Negeri 07 Curup tengah pada pokok bahasan Sistem Koordinat. Aktivitas siswa meningkat dari 65% pada siklus I menjadi 83,9% pada siklus II, sedangkan nilai rata-rata hasil belajar Matematika pokok bahasan Sistem Koordinat yang diperoleh pada siklus I sebesar 67,4 dengan ketuntasan belajar 65% meningkat pada siklus II menjadi 82,4 dengan ketuntasan belajar 87,1%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode penemuan terbimbing dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Kata-kata kunci: Metode Penemuan Terbimbing, Aktivitas, Hasil Belajar
844
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Upaya peningkatan mutu pendidikan secara menyeluruh sudah menjadi tekad bangsa Indonesia yang ingin maju di segala bidang seperti bangsa-bangsa lain. Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah telah berupaya untuk meningkatkan pendidikan matematika yang bermakna, Namun kenyataannya hasil belajar matematika siswa masih jauh dari harapan. Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa tingkat pemahaman matematika siswa masih rendah. Peningkatan daya serap atau kemampuan pemahaman matematika seorang siswa sangat dipengaruhi oleh pengalaman siswa dalam proses belajar. Sedangkan pembelajaran matematika merupakan usaha membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan melalui proses. Sebab mengetahui adalah suatu proses, bukan suatu produk (Bruner:1977). Proses tersebut dimulai dari pengalaman, sehingga siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang harus dimiliki. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran terbatas pada mendengarkan penjelasan guru, mencatat, kemudian dilanjutkan dengan latihan soal. Aktivitas lain seperti melakukan penyelidikan melalui praktikum, diskusi, mengajukan pertanyaan, mengerjakan LKS, dan mempresentasikan hasil penyelidikan masih kurang. Hal ini tentunya berkontribusi negatif yaitu rendahnya minat siswa dalam pembelajaran yang akhirnya berdampak pada rendahnya penguasan konsep matematika. Proses pembelajaran dapat diikuti dengan baik dan menarik perhatian siswa apabila menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa dan sesuai dengan materi pembelajaran. Belajar matematika berkaitan dengan belajar konsep-konsep abstrak, dan siswa merupakan makluk psikologis (Marpaung:1999), maka pembelajaraan matematika harus didasarkan atas karakteristik matematika dan siswa itu sendiri. Menurut Fruedenthal, mathematics as a human activity. Education should given students the “guided” opportunity to “reinvent” mathematics by doing it. Ini sesuai dengan pilar-pilar belajar yang ada dalam kurikulum pendidikan kita, salah satu pilar belajar adalah belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan disingkat PAKEM (lampiran Permendiknas no 22 th 2006). Untuk itu, dalam pembelajaran Matematika harus mampu mengaktifkan siswa selama proses pembelajaran dan mengurangi kecenderungan guru untuk mendominasi proses pembelajaran tersebut. Melalui pembelajaran seperti ini diharapkan ada perubahan dalam hal pembelajaran matematika yaitu pembelajaran yang berpusat pada guru diubah menjadi berpusat pada siswa. Metode Pakem mengharuskan guru memilih strategi belajar yang memungkinkan siswa memperoleh pengalaman belajar sehingga indikator kompetensi dalam pembelajarannya pun dapat tercapai. Salah satu pengalaman belajar yang melibatkan siswa secara langsung sehingga dapat membangkitkan aktivitas dalam pembelajaran yaitu dengan pembelajaran penemuan terbimbing. Pembelajaran penemuan terbimbing adalah pembelajaran yang siswanya diikut sertakan langsung dalam proses penemuan (discovery) suatu konsep di bawah bimbingan dan arahan guru. Paparan di atas membuat penulis selaku guru matematika di SD N 07 Curup Tengah sangat tertarik untuk menerapkan metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran matematika. Ketertarikan ini didorong pula oleh kerisauan penulis selaku guru atas rendahnya daya serap siswa Kelas VI akhir-akhir ini sementara ujian nasional menanti di depan mata. Rendahnya daya serap ini kemungkinan besar disebabkan oleh rendahnya keaktifan atau partisipasi siswa dalam KBM yang selama ini menggunakan metode ceramah, latihan soal dan PR. Untuk itulah permasalahan ini akan dicoba diatasi dengan penerapan metode penemuan terbimbing dimana siswa dilibatkan secara aktif dalam KBM sebagai upaya meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa khususnya pada materi sistem koordinat. Sehubungan dengan latarbelakang di atas, penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa pada materi sistem koordinat Kelas VI SD N 07 Curup Tengah melalui penerapan metode penemuan terbimbing?”. Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian tindakan kelas ini adalah untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa kelas VI SD N 07 Curup materi sistem koordinat melalui penerapan metode penemuan terbimbing. Pendekatan Discovery atau Penemuan Terbimbing merupakan pendekatan dimana siswa diarahkan untuk mendapatkan suatu kesimpulan dari serangkaian aktivitas yang dilakukan sehingga siswa seolah-olah menemukan sendiri pengetahuan tersebut. Pada pendekatan 845
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
penemuan terbimbing permasalahan dilontarkan oleh guru, cara pemecahan masalah juga ditentukan oleh guru, sedangkan penentuan kesimpulan dilakukan oleh siswa. Pembelajaran dengan model ini dapat diselenggarakan secara individu atau kelompok. Model ini sangat bermanfaat untuk mata pelajaran matematika sesuai dengan karakteristik matematika tersebut. Guru membimbing siswa jika diperlukan dan siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari. Dalam model pembelajaran dengan penemuan terbimbing, peran siswa cukup besar karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya. Pemecahan masalah merupakan suatu tahap yang penting dan menentukan. Ini dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Dengan membiasakan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa dalam mengerjakan soal matematika, karena siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan menyelesaikan masalah. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan memakai rancangan penelitian tindakan kelas (PTK) model McTaggart, yaitu tindakan dilaksanakan secara bersiklus (berdaur ulang) dimana setiap siklus terdiri atas empat langkah. Empat langkah penelitian tindakan kelas adalah perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Penelitian tindakan ini dilaksanakan dalam 2 (dua) siklus. Setiap siklus terdiri dari tiga kali pertemuan. Secara rinci prosedur penelitian tindakan dapat dijabarkan sebagai berikut : a) Perencanaan Adapun kegiatan yang dilakukan dalam tahap perencanaan ini adalah : Analisis permasalahan pembelajaran matematika di kelas VI, kemudian merencanakan tindakan pemecahan masalah. Membuat skenario pembelajaran berdasarkan metode penemuan terbimbing. Membuat lembar observasi atau pemgamatan yang akan digunakan oleh observer untuk mengamati aktivitas guru dan siswa pada saat pelaksanaan kegiatan belajar mengajar Membuat LKS (Lembar Kegiatan Siswa). Membuat alat evaluasi b) Pelaksanaan Tindakan Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahap ini adalah melaksanakan skenario pembelajaran yang telah direncanakan. Setiap siklus terdiri dari tiga kali pertemuan. Adapun tahap-tahap yang akan dilaksanakan dalam pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing yaitu : Guru menjelaskan tujuan belajar dan pokok-pokok materi yang akan dipelajari Guru melakukan apersepsi tentang sistem koordinat. Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok dan menjelaskan cara belajar berdasarkan metode penemuan terbimbing. Guru memberikan permasalahan dalam bentuk LKS berkaitan dengan materi yang harus diselesaikan siswa secara berkelompok, kemudian guru mengajak siswa untuk menyelesaikan tugas. Sementara siswa menyelesaikan tugas, guru berkeliling untuk mengamati, memotivasi dan memfasilitasi kerja siswa. Seorang siswa yang mewakili kelompok atau yang ditunjuk guru mempresentasikan hasil kerja yang diperolehnya dan siswa yang lain memperhatikan dan menanggapi hasil kerja yang mendapat tugas dibandingkan dengan hasil kerjanya. Dengan bimbingan guru, siswa diarahkan menemukan suatu kesimpulan jawaban dari tugas yang diberikan. Dengan tanya jawab, guru dan siswa menyimpulkan tentang jawaban yang benar.
846
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dengan tanya jawab guru dan siswa menyimpulkan tentang materi yang telah dipelajari Guru memberikan soal-soal untuk dikerjakan siswa. Siswa mengerjakan soal-soal Kegiatan refleksi, yaitu dengan tanya jawab guru menggali tentang apa-apa yang belum dikuasai dengan baik oleh siswa, rasa senang dan tidak senang yang dirasakan siswa atau tentang catatan-catatan yang harus dibuat siswa serta tentang tugas-tugas yang belum diselesaikan siswa. c) Tahap Observasi Pada tahap observasi, peneliti sebagai guru pengajar melakukan tindakan dengan menggunakan metode penemuan terbimbing sedangkan untuk mengobservasi tindakan guru dan aktifitas siswa di kelas dilakukan oleh rekan seprofesi (observer) dengan menggunakan lembar observasi. d) Refleksi Pada tahap refleksi ini peneliti (guru pengajar) bersama-sama observer mendiskusikan hasil tindakan yang telah dilakukan pada saat kegiatan pembelajaran. Dari hasil tindakan tersebut peneliti dan observer dapat merefleksikan diri dengan melihat data observasi, apakah dengan penerapan metode belajar penemuan terbimbing sudah meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa. Hasil analisis data yang dilakukan dalam tahap ini akan digunakan sebagai acuan untuk merencanakan siklus berikutnya. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VI SD N 07 Curup Tengah yang berjumlah 24 orang. Sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa melalui penerapan metode penemuan terbimbing. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, data yang diperlukan adalah keaktifan dan hasil belajar siswa, maka pengumpulan data dilakukan dengan : a. Observasi menggunakan tabel pedoman observasi yang dilakukan melalui pengamatan langsung untuk mengetahui tingkat aktivitas siswa saat pembelajaran berlangsung b. Pemberian tugas kelompok berupa soal-soal essay yang akan diselesaikan secara berkelompok. Hal ini dilakukan untuk mengetahui hasil belajar siswa pada setiap akhir pelajaran. c. Tes hasil belajar siswa, diberikan setiap akhir siklus untuk mengetahui peningkatan hasil belajar tiap siklus. Bentuk soal adalah soal essay sesuai dengan materi yang telah diajarkan. Teknik analisis data pada penelitian tindakan kelas ini bersifat deskriptif yang berarti hanya memaparkan data yang diperoleh kemudian disusun, dijelaskan dan akhirnya dianalisis dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan dengan menyajikan untuk setiap siklus. Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif yang berupa rangkaian katakata bukan angka. Analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu : Reduksi data, paparan data atau penyajian data dan penyimpulan data. a. Siklus I Pertemuan 1 Pada pertemuan 1, guru terlebih dahulu menjelaskan kepada siswa cara belajar berdasarkan penemuan terbimbing. Permasalahan yang diberikan oleh guru (penulis) adalah Mengenal Koordinat Sebuah Benda. Dengan menggunakan media gambar melalui karton dan ditempelkan di depan kelas, penulis menunjukkan posisi atau koordinat beberapa benda. Selanjutnya siswa secara kelompok diminta menentukan koordinat benda-benda lainnya. Media gambar yang digunakan adalah sebagai berikut:
Letak dadu ada di (B, 2) Letak garpu ada di (B, 8) Letak celana panjang ada di (C,5) 847
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Selanjutnya siswa diminta menuliskan posisi atau koordinat benda-benda berikut: Letak pakaian wanita ada di (...., ....) Letak pensil ada di (.....,......) Letak jam ada di (.......,......) Letak tas ada di (......,.......) Letak mug ada di (......, ......) Letak bola ada di (......, ......) Letak sendok ada di (.......,......) Setelah siswa menjawab soal-soal di atas, guru membimbing siswa membuat kesimpulan tentang cara menyatakan posisi/letak suatu benda. Guru kembali memberikan beberapa media gambar yang berbeda kemudian siswa diminta untuk mengerjakannya. Pertemuan 2 Menentukan Koordinat Posisi suatu Tempat Pada pertemuan kedua, guru (penulis) menampilkan Peta Propinsi Bengkulu di atas kertas milimeter blok. Guru (penulis) meminta kepada siswa untuk menentukan posisi kota-kota di Bengkulu secara kelompok. Tak lupa guru mengingatkan agar semua siswa merasa bertanggungjawab atas kelompoknya dan selalu ikut berpartisipasi.
Dengan memperhatikan peta Propinsi Jawa Timur di atas, tentukanlah koordinat posisi kotakota di Jawa Timur, kerjakan dengan kelompok kalian. Pertemuan 3 Menentukan Posisi Titik pada Sistem Koordinat Cartesius dan Ujian siklus I Menggambar Bidang Cartesius
Perhatikan gambar bidang koordinat Cartesius di atas! 1) Bidang koordinat Cartesius terbentuk oleh sebuah sumbu tegak (vertikal) dan sebuah sumbu mendatar (horisontal) yang saling berpotongan di titik 0. 2) Sumbu tegak disebut sumbu Y. 3) Sumbu mendatar disebut sumbu X. 4) 0 adalah pusat koordinat atau titik pangkal koordinat yaitu (0, 0). 5) Semua titik pada sumbu X yang terletak di sebelah kanan titik 0 bertanda positif, sedangkan di sebelah kiri titik 0 bertanda negatif. 6) Semua titik pada sumbu Y yang terletak di atas titik 0 bertanda positif, sedangkan di bawah titik 0 bertanda negatif. Menentukan Posisi Titik pada Sistem Koordinat Untuk lebih memahami letak titik pada sistem koordinat, perhatikan contoh berikut dan isilah titik-titik yang ada dengan tepat! Perhatikan letak titik A, B, C, dan D pada koordinat Cartesius berikut ini :
848
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kesimpulan : 1) Arah ke kanan atau ke kiri sepanjang sumbu X disebut absis. Arah ke atas atau ke bawah sepanjang sumbu Y disebut ordinat. Jadi, koordinat suatu titik adaiah (absis, ordinat) atau (X, Y). 2) Absis suatu titik dapat diperoleh dengan menghitung jarak titik tersebut terhadap sumbu Y. 3) Ordinat suatu titik dapat diperoleh dengan menghitung jarak titik tersebut terhadap sumbu X. Siklus II Pertemuan 4: Menggambar Bangun Datar pada Koordinat Cartesius Gambarkan titik-titik K(l,1), L(5,1), dan M(3,5) pada koordinat Cartesius. Hubungkan titik-titik tersebut satu dengan yang lain, gambar apakah yang terbentuk? Jawab: - Letak titik K(1,1) adalah 1 satuan ke kanan dan 1 satuan ke atas - Letak titik L(5,1) adalah 5 satuan ke kanan dan 1 satuan ke atas. - Letak titik M(3,5) adalah 3 satuan ke kanan dan 5 satuan ke atas.
Kedudukan titik-titik tersebut pada bidang koordinat adalah seperti pada gambar di atas. Gambar yang terbentuk adaah segitiga sama kaki, karena KM = LM. Pertemuan 5: Latihan menggambar berbagai bidang datar pada koordinat cartesius HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan secara kolaboratif oleh 2 orang yaitu peneliti (guru pengajar) dan observer. Tugas observer adalah membantu peneliti dalam mengamati baik aktivitas guru maupun siswa di dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Berdasarkan hasil observasi teman sejawat baik terhadap guru maupun terhadap siswa dapat dilaporkan hal-hal sebagai berikut. 849
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Siklus I Aktivitas guru pada saat pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan terbimbing dinilai observer sudah sangat baik, guru sudah sangat maksimal dalam memberikan bimbingan kepada siswa baik secara individu maupun kelompok. Hal yang sedikit masih kurang menurut observer adalah kemampuan guru untuk memancing pikiran siswa untuk membuat kesimpulan. Pada siklus pertama, hasil pengamatan observer terlihat bahwa aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran belum mencapai target yang diharapkan. Sebagian besar siswa masih menunggu penjelasan yang rinci dari guru sebelum mengerjakan soal-soal yang disiapkan untuk menuju kepada kesimpulan. Hal ini mungkin disebabkan oleh kebiasaan kelas selama ini yang menerapkan model pembelajaran langsung. Masih banyak siswa yang pasif, tidak ikut berpartisipasi dengan teman kelompoknya untuk menjawab soal-soal LKS. Oleh karena keadaan ini, observer memberi nilai keaktifan rata-rata 68 dengan nilai keaktifan tertinggi sebesar 74 dicapai oleh kelompok III. Pada pertemuan pertama, karena siswa belum terbiasa dengan kegiatan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing sehingga masih banyak siswa yang pasif selama pembelajaran, tidak berani dalam mengemukakan jawaban dari pertanyaan guru, masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menemukan kesimpulan dari jawaban atas soal-soal yang diberikan guru. Namun, pada pertemuan selanjutnya siswa mulai terbiasa dengan kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Siswa mulai aktif dan mulai berani dalam mempresentasikan jawaban. Pemahaman mengenai materi yang diajarkan juga cukup baik. Beberapa siswa sudah mulai bisa menemukan jawaban sendiri atas bimbingan yang intensif dari guru. Nilai tugas siswa yang diberikan sebanyak dua kali mencapai nilai rata-rata sebesar 72,5. Sedangkan nilai tes siklus I mencapai rata-rata 62,5. Oleh karena itu nilai hasil belajar siswa pada siklus I sebesar (2x72,5 + 62,5)/3 = 69,17. Ketuntasan belajar pada siklus I mencapai 65%. Kendala-kendala yang dihadapi pada siklus I antara lain: (i) Sebagian siswa masih pasif dan cenderung untuk bermain-main dalam kegiatan belajar mengajar, (ii) Ada beberapa siswa yang belum dapat memahami mengenai materi yang telah dijelaskan oleh guru, (iii) Bentuk kerjasama kelompok masih kurang, masih terdapat beberapa siswa yang bersifat individualistis, (iv) siswa masih ragu-ragu untuk mengemukakan kesimpulan dari jawaban-jawaban mereka. Refleksi I Berdasarkan beberapa kendala yang terjadi pada siklus ini, maka peneliti (guru pengajar) dan observer menentukan beberapa tindakan perbaikan yang akan dilaksanakan pada siklus kedua, diantaranya yaitu : (i) memusatkan perhatian siswa pada materi yang disampaikan oleh guru, (ii) memotivasi siswa untuk lebih aktif lagi dalam pembelajaran, (iii) memberikan bimbingan yang menyeluruh kepada siswa baik secara individual maupun berkelompok, (iv) menekankan kepada siswa pentingnya bekerjasama dengan kelompoknya masing-masing, (v) memotivasi siswa untuk bertanya mengenai materi yang belum dimengerti, (vi) membuat siswa agar lebih nyaman dengan kegiatan pembelajaran yang dilakukan, (vii) meminta siswa untuk lebih berani lagi dalam mengemukakan pendapatnya. Siklus II Peningkatan keaktifan dan hasil belajar siswa mulai tampak pada siklus kedua, hal ini disebabkan penerapan metode penemuan terbimbing yang sudah menarik perhatian siswa, baik terhadap pelajaran yang diberikan maupun tugas kelompok. Hasilnya, siswa lebih mudah untuk mengerti dan memahami materi yang diajarkan. Setelah dilakukan tindakan perbaikan, maka pada siklus kedua ini siswa tampak memperhatikan, mencatat, dan mendengarkan penjelasan guru dengan baik. Guru terus mendorong siswa untuk lebih aktif baik pada saat pembelajaran berlangsung. Untuk meningkatkan hasil belajar siswa, maka guru memberikan banyak contoh dengan penjelasan yang gamblang. Guru memberikan tuntunan agar interaksi siswa dengan siswa ataupun siswa dengan guru terpelihara dengan baik. Hasil observasi selama proses pembelajaran berlangsung pada siklus kedua ini, adalah aktivitas siswa semakin meningkat. Dimana pada siklus ini perhatian siswa dalam kegiatan pembelajaran termasuk kategori baik. Sebagian besar siswa sudah mulai berani bertanya tanpa 850
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
ragu-ragu saat pelajaran berlangsung, maupun dalam mengemukakan jawaban secara lisan. Solidaritas siswa dalam tiap-tiap kelompok meningkat, hal ini tampak pada bentuk kerjasama mereka yang aktif selama diskusi berlangsung. Siswa dapat mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dengan tepat dan benar. Hasil yang dicapai pada siklus ini sangat baik, yakni dengan nilai keaktifan sebesar 85,00. Nilai tugas siswa yang diberikan sebanyak dua kali mencapai nilai rata-rata sebesar 83,5. Sedangkan nilai tes siklus II mencapai rata-rata 78,5. Oleh karena itu nilai hasil belajar siswa pada siklus II sebesar (2x83,5 + 78,5)/3 = 81,8. Ketuntasan belajar pada siklus II mencapai 85%. Pada siklus ini pencapaian hasil belajar telah diperoleh dengan sangat baik. Berdasarkan catatan lapangan dari observer pada siklus ini, khususnya pada pertemuan pertama masih ada yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu berdasarkan hasil refleksi maka perlu adanya perbaikan yang akan dilaksanakan pada siklus kedua untuk pertemuan selanjutnya yaitu : (i) meminta siswa untuk lebih aktif lagi baik itu dalam belajar secara kelompok maupun secara individu karena masih ada saja siswa yang tidak mau ambil bagian dalam tugas kelompok, (ii) memusatkan perhatian siswa pada materi yang diajarkan karena masih saja ada beberapa siswa beralih pandangan di luar materi yang diajarkan, (iii) meminta siswa untuk lebih berani lagi dalam mengemukakan pendapatnya maupun dalam bertanya mengenai materi yang belum dipahami. Setelah dilakukan tindakan perbaikan pada pertemuan kedua maka hasil yang diperoleh setelah perbaikan sangat baik, tampak beberapa perubahan yang dialami siswa, yaitu semangat, pemahaman siswa terhadap pelajaran, keberanian siswa mengemukakan pendapat dan keaktifan siswa mengalami peningkatan. Dari hasil yang telah diperoleh sangat maksimal maka guru pengajar dan observer sepakat untuk menghentikan pemberian tindakan pada siklus kedua. Hal ini menunjukkan bahwa metode penemuan terbimbing sangat efektif dilaksanakan di sekolah karena terbukti dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. PENUTUP Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa Kelas VI SD Negeri 07 Curup tengah pada pokok bahasan Sistem Koordinat. Aktivitas siswa meningkat dari 65% pada siklus I menjadi 83,9% pada siklus II, sedangkan nilai rata-rata hasil belajar matematika pokok bahasan Sistem Koordinat yang diperoleh pada siklus I sebesar 67,4 dengan ketuntasan belajar 65% meningkat pada siklus II menjadi 82,4 dengan ketuntasan belajar 87,1%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode penemuan terbimbing dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2005. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Dimiyanti, S. dan Mujiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Martinis Yamin; 2004; Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi; Jakarta; Gaung Persada Press Muhibbinsyah. 1995. Penilaian Hasil Belajar Mengajar. Jakarta : Kanisius Paul Suparno; 1997; Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan; Yogyakarta: Kanisius Sardiman; 2003; Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Slameto, (1987), Teori-Teori Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta Suryosubroto, B., (1997), Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta. Tim Bina Karya Guru. 2006. Terampil berhitung Matematika Kelas VI. Jakarta: Erlangga.
851
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKAOPERASI HITUNGPERKALIAN MELALUI PARTISIPASI ORANG TUA PADA SISWA KELAS VI DI SDNEGERI 1 KERTOSARI Pri Hariyati Abstrak: Perkalian masih menjadi operasi hitung dasar matematika yang masih menjadi momok bagi siswa sekolah dasar. Untuk itulah perlu dilakukan sebuah tindakan oleh guru dalam upaya peningkatan prestasi belajar anak. Adapun upaya tersebut adalah dengan menfaatkan partisipasi orang tua dalam kegiatan belajar anak di rumah. Upaya dengan partisipasi orang tua dalam peningkatan prestasi belajar anak pada penelitian ini, dapat terlihat hasilnya yang terepresentasikan pada tes yang dilakukan oleh guru setiap hari, serta hasil ujian akhir semester 1 dan ujian akhir sekolah yang mengalammi banyak peningkatan. Kata kunci: prestasi belajar, perkalian, partisipasi orang tua,
Perkalian masih merupakan salah satu operasi hitung dasar matematika yang masih dianggap sulit oleh siswa di tingkat Sekolah Dasar. Hal tersebut merupakan konsepesensial yang cukup lama proses penanamannya. Bahkan, kalau sudah disajikan dalam soal cerita seringkali siswa mengalami kesulitan. Oleh karena itu berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pelajaran khususnya mata pelajaran matematika terus dilakukan. Upaya itu antara lain penggunaan pendekatan yang tepat. Berdasarkan hasilstudi pendahuluan yang telah dilakukan di kelas VI SD Negeri 1 Kertosari pada tanggal 12 Juli 2013 dan data hasil ulangan matematika operasi hitung perkalian, terlihat hasil belajar siswa masih rendah. Persentasi prestasi belajar matematika siswa yang tuntas sebesar31,57 % persen dari 38 siswa. Hal tersebut dikarenakan masih banyak siswa yang belum menguasai perkalian dengan baik. Sebagian dari mereka menggunakan cara penjumlahan berulang dalam menyelesaikan operasi hitung perkalian. Tidak ada yang salah jika siswa menggunakan cara tersebut, akan tetapi hal tersebut akan memakan waktu yang lebih lama dan memerlukan ketelitian yang lebih dalam menjumlahkan. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut agar dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam operasi hitung perkalian. Salah satunya dengan mengikutsertakan orang tua dalam meningkatkan prestasi belajar perkalian siswa. Partisipasi orang tua dalam prestasi belajar matematika siswa dapat memberikan efek yang berbeda dalam proses pembelajaran siswa tersebut. National Research Council (2002) menyatakan jika orang tua selalu memberikan perhatian secara aktif. Selalu berusaha melibatkan diri dalam proses belajar anak, misalnya menanyakan kepada anak tentang apa saja yang telah mereka kerjakan di kelas matematika hari ini. Hal tersebut akan menimbulkan sikap atau rasa percaya diri dalam anak. Dengan adanya perhatian dari orang tua maka akan mempengaruhi tingkah laku anak yang akan berpengaruh pula terhadap hasil belajar yang diharapkan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian berupa penelitian tindakan kelas. Adapun judul penelitian ini adalah “Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Operasi Hitung Perkalian Melalui Partisipasi Orang Tua Pada Siswa Kelas VI Di SDNegeri 1 Kertosari.” Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Apakah partisipasi orang tua mampu meningkatkan prestasi belajar matematika operasi hitung perkalian pada siswa kelas VI di SD Negeri 1 Kertosari, dan (2) Bagaimanakah cara penerapan partisipasi orang tua dalam untuk meningkatkan prestasi belajar matematika operasi hitung perkalian pada siswa kelas VI di SD Negeri 1 Kertosari. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan prestasi belajar matematika operasi hitung perkalian melalui partisipasi orang tua pada siswa kelas VI di SD Negeri 1 Kertosari. Manfaat dari penelitian ini ada dua macam, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah (1) memberikan masukan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran matematika khususnya perkalian, (2) memberikan tambahan pengetahuan mengenai strategi atau model pembelajaran yang bisa digunakan dalam peningkatan hasil belajar siswa. 852
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihakpihak berikut (1) Bagi guru, penilitian ini dapat memberikan sumbangan untuk mengatasi kesulitan pembelajaran dalam bidang matematika khususnya dalam menghitung perkalian dengan menggunakan partisipasi orang tua, sehingga tercipta suatu proses pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan untuk membantu perkembangan siswa yang optimal, (2) Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami perkalian dan dapat menemukan hal baru yang positif. (3) bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat meningkatkan kualitas dan mampu menjadi pendorong untuk selalu mengadakan pembaharuan proses pembelajaran ke arah yang lebih baik. TINJAUAN PUSTAKA 1. Prestasi Belajar Matematika Operasi Hitung Perkalian Matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat belajar khas jika dibandingkan dengan ilmu yang lain. Kegiatanpembelajaranmatematika sebaiknya tidak disamakan begitu saja denganilmu yang lain, karena setiap siswa yang belajar matematika itu berbeda-beda kemampuannya. Maka kegiatan pembelajaran matematika haruslahdiatur sekaligus memperhatikan kemampuan siswa. Salah satu aspekdalam matematika adalah operasi hitung. Ada empat operasi hitung matematika yang harus dikuasai oleh siswa. Operasi hitung tersebut adalah penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Fokus dalam penelitian ini adalah operasi hitung perkalian. Opera hitung perkalian menurut Slavin (2005) perkalian adalah penjumlahan yang sangat cepat. Sedangkan menurut Boyer (1991) menyatakan bahwa perkalian adalah operasi matematika penskalaan satu bilangan dengan bilangan lain. Operasi ini adalah salah satu dari empat operasi dasar di dalam aritmetika dasar (yang lainnya adalah perjumlahan, perkurangan, dan perbagian).Dari pendapat tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa perkalian adalah penjumlahan dari suatu bilangan yang sama secara berulang, yaitu bilangan terkali dijumlah berulang-ulang sebanyak pengalinya. Sugihartono, dkk. (2007) berpendapat bahwa prestasi belajar adalah hasil pengukuran yang berwujud angka maupun pernyataan yang mencerminkan tingkat penguasaan materi pelajaran bagi para siswa. Hal ini berarti prestasi belajar hanya bisa diketahui jika telah dilakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa.Prestasi belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) adalah hasil yang telah dicapai dari penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan guru. Hal senada juga diungkapkan oleh Winkel (2005) yang menyatakan prestasi belajar adalah suatu hasil usaha yang telah dicapai oleh siswa yang mengadakan suatu kegiatan belajar di sekolah dan usaha yang dapat menghasilkan perubahan pengetahuan, sikap dan tingkah laku. Hasil perubahan tersebut diwujudkan dengan nilai atau skor Dari pendapat di atas dapat disimpulkan prestasi belajar matematika operasi hitung perkalian adalah tingkat penguasaan materi yang dicapai siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. 2. Partisipasi Orang Tua dalam Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Dalam upaya meningkatkan prestasi belajar matematika siswa perlu adanya partisipasi orang tua. Partisipasi orang tua ini intinya adalah upaya dari guru untuk mengikutsertakan orang tua dalam kegiatan pembelajaran siswa, dalam hal ini tidak dilakukan di dalam kelas, namun bentuk upaya dari orang tua dalam memotivasi, membimbing, dan menyertai siswa dalam proses belajarnya di rumah. Perlu dilakukan sebuah upaya dari guru juga dalam membantu orang tua untuk menunjukkan hal-hal apa sajakah yang harus mereka lakukan untuk mendampingi anaknya supaya dapay belajar secara optimal. Upaya ini penting dilakukan karena orang tua merupakan salah satu faktor instrumental dan faktor lingkungan (Suryabrata, 2006; Parkay, 1992). Bentuk partisipasi orang tua dalam proses peningkatan kemampuan matematika siswa dalam penelitian ini. Menciptakan suasana yang mendorong anak untuk siap belajar, membantu anak untuk menemukan kebutuhan belajarnya, membantu anak untuk melakukan kegiatan belajar terkait dengan penyusunan jadwal belajar dan lingkungan belajar, membantu anak dalam menangani stress belajar. Hal ini perlu juga melakukan proses dialog yang dilakukan oleh pihak sekolah dengan orang tua terkait bagaiaman meningkatkan prestasi belajar 853
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
matematika siswa. Hal ini senada dengan hasil penelitian Prawoto (2000) yang menyatakan bahwa partisipasi orang tua dalam kegiatan belajar siswa dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas partisipasi orang tua dalam kegiatan belajar siswa. Dalam meningkatkan partisipasi orang tua tersebut perlu dilakukan sebuah kegiatan, adapun kegiatan tersebut meliputi pelatihan keterampilan pemberian bantuan belajar dapat meningkatkan kualitas partisipasi orang tua dalam kegiatan belajar siswa. METODE Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 1 Kertosari, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi. Pemilihan ini didasarkan pertimbangan sebagai berikut (1) Merupakan tempat peneliti mengajar, sehingga mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian, (2) Tidak mengganggu tugas mengajar peneliti, (3) Tidak mengganggu proses belajar mengajar pada awal tahun pelajaran. Penelitian ini berlangsung selama 3 bulan, yaitu 12 Juli 2013 s.d. 01 September 2013. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VI SD Negeri 1 Kertosari, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi dengan jumlah siswa sebanyak 38 orang, yang terdiri dari 17 siswa putra dan 21 siswa putri. Bentuk penelitian ini adalah penelitian tindakan. Rancangan penelitian tindakan ini menggunakan model spiral dari Kemis dan Taggart (dalam Hopkins, 1993). Ada tujuh langkah utama dalam penelitian ini yaitu, identifikasi masalah, perumusan masalah, perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan pelaksanaan tindakan, refleksi, serta pelaporan dan rekomendasi. Data dari penelitian ini adalah hasil belajar matematika siswa yang diperoleh dari ujian akhir semester. Hasil tersebut berupa angka. Sumber data diperoleh dari siswa. Alat yang digunakan untuk pengumpul data adalah (1) Panduan wawancara, (2) Dokumen, dan (3) Tes. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan Observasi, Dialog, Wawancara, Dokumentasi, dan Kegiatan Pembelajaran. HASIL DAN PEMBAHASAN Studi pendahuluan menunjukkan bahwa hasi prestasi belajar matematika operasi hitung perkalian siswa kelas VI SD Negeri 1 Kertosari masih rendah. Berdasarkan keadaan tersebut, serta setelah didiskusikan dengan teman sejawat guru SD Negeri 1 Kertosari, maka diadakan refleksi awal tentang perlunya partisipasi orang tua dalam kegiatan belajar siswa dalam upaya peningkatan kemampuan perkalian siswa. Pada tahap awal, peneliti yang dalam hal ini juga sebagai guru merencanakan dialog tentangpentingnya partisipasi orang tua dalam kegiatan belajar siswa. Kegiatan ini dilaksanakan dengan maksud meningkatkan kesadaran orangtua siswa tentang pentingnya partisipasi mereka bagi keberhasilan belajar siswa yang dalam hal ini berkaitan dengan operasi hitung perkalian. Untukmelaksanakan kegiatan ini peneliti meminta kepala sekolah mengundang paraorang tua siswa kelas VI. Dialog tentang pentingnya partisipasi orang tua dalam kegiatan belajar siswa dibuka dan ditutup oleh kepala sekolah, dipandu dan dibahas oleh guru kelas VI yang dalam hal ini juga sebagai peneliti.Dalam proses dialog tersebut terjadi tanya-jawab, diskusi, curah pendapat, dan berbagi pengalaman tentang partisipasi orang tua dalam kegiatan belajar siswa. Hasil observasi menunjukkan bahwa pada umumnya tanggapan orang tua siswa sangat positif terhadap dialog tersebut yang ditunjukkan oleh antusiasmenya dalammengikuti kegiatan dialog dan secara umum orang tua menyadari perlunya meningkatkan perhatian terhadap kegiatan belajar anak. Satu minggu setelah kegiatan tersebut, guru kelas VI mengemukakan bahwa peran serta orang tua dalam kegiatan belajar siswa semakin meningkat dengan ditandai oleh meningkatnya kemampuan siswa dalam mengerjakan soal matematika terutama operasi hitung perkalian. Hal itu pula dapat dilihat dari hasil tes yang dilakukan guru di kelas, serta wawancara dengan siswa terkait partisipasi orang tuanya dalam proses pembelajaran siswa. Kegiatan ini dilakukan terus secara signifikan selama 2 bulan untuk melihat peningkatan prestasi belajar matematika siswa terkait operasi hitung cenderung meningkat atau menurun. Hal ini dapat dilihat dari Hasil Ujian Akhir Semester 1 nilai matematika dari 38 siswa yang memperoleh nilai 6 keatas sebesar 81,57 %. Sedangkan, pada ujian akhir sekolah
854
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pencapaian nilai 6 keatas sebesar 92,10 %. Sesuai dengan hasil ini dapat disimpulkan ada peningkatan hasil belajar yang cukup baik dari 38 siswa kelas 6 SDN 1 Kertosari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah diadakan kegiatan dialog dan wawancara dapat terlihatpartisipasi orang tua dalam kegiatan belajar siswa dan pendampingan belajar siswa, menunjukkan prestasi belajar matematika operasi hitung siswa meningkat baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Perubahan positif tersebut karena partisipasi orang tua dalam kegiatan belajar siswa dan kesungguhan orang tua siswa dalam peningkatan dirinya bagi pendampingan terhadap kegiatan belajar anak. Selain itu juga dapat dilihat pada hasil tes harian yang dilakukan oleh guru terkait prestasi belajar matematika operasi hitung perkalian. Menjelang ujian akhir semester 1 guru memberikan ulangan terakhir. Dari hasil ulangan yang dilihat dari operasi hitung perkalian diperoleh nilai siswa yang di bawah 6 adalah sebesar 6,67%, sedangkan siswa yang memperoleh nilai di atas 6 adalah sebesar 93,33%. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut. Terdapat pengaruh partisipasi orang tua dalam mendidik siswa di lingkungan keluarga terhadap prestasi belajar matematika operasi hitung perkalian siswa kelas VISD Negeri 1 Kertosari. Partisipasi orang tua dalam mendidik siswa kelas VISD Negeri 1 Kertosari di lingkungan keluarga yang termasuk cukup antusias, hal tersebut dapat dilihat dari hasil tes yang dilakukan guru dalam setiap pembelajaran yang menunjukkan grafik kemampuan operasi hitung perkalian siswa meningkat. Berdasarkan simpulan tersebut, saran yang dapat diberikan, yaitu orang tua dan siswa harus meningkatkan hubungan komunikasi dan kerjasama dengan orang tua agar orang tua mengetahui perkembangan pendidikan anak di bidang akademik terutama pembelajaran matematika operasi hitung perkalian. Orang tua harus meluangkan waktu untuk mendampingi putra-putrinya sehingga lebih memahami perkembangan pendidikan anak, serta orang tua dan sekolah harus meningkatkan komunikasi, kerjasama, meningkatkan keterlibatan pihak orang tua dalam kegiatan-kegiatan dan dalam pengambilan keputusan yang memerlukan masukan dari orang tua siswa. Hal ini sebagai sebagai salah satu upaya untuk lebih memahami karakteristik dari masing-masing siswa sehingga dapat memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan prestasi belajar siswa di mata pelajaran yang lainnya juga. DAFTAR RUJUKAN Boyer, Carl B.1991. History of Mathematics. John Wiley and Sons, Inc. Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Hopkins, D. 1993. A Teachers Guide to Classroom Research. Philadelpia: University Press. National Research Council. 2002. Helping Children Learn Mathematics. Mathematics Learning Study Committee, J. Kilpatrick and J. Swafford, Editors. Center for Education, Division of Behavioral and Social Sciences and Education. Washington, DC: National Academy Press. Parkay, F.W. & Stanford, B.H. 1992. Becoming A Teacher. Boston: Alyn and Bacon. Prawoto. 2000. Peningkatan Partisipasi Orang Tua dalam Kegiatan Belajar Siswa Seklah Dasar. Artikel. Diunduh dari http://www/um.ac.id/jurnal Purwanto, Ngalim. M. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya Slavin, Steve. 2005. Matematika Untuk Sekolah Dasar (terjemahan). Bandung:Pakar Raya. Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press Suryabrata, S. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: CV Rajawali. Winkel, 2005. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta : Media Abadi.
855
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN GARIS BILANGAN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA KELAS IV SD KRISTEN TABANG Suryo Widu1 dan Zusan Arni Landang2 SDK Tabang1 dan Kasie Dikdas Kab Kepl Talaud2 Abstrak: Kenyataan yang dialami peneliti selama menjaddi guru di SDK Tabang dari 16 siswa yang tuntas belajar hanya 4 siswa. Ini disebabkan guru lebih mendominasi pada pemberian tugas, sehingga pelajaran dikelas tidak menarik. Tujuan penelitian untuk meningkatkan hasil belajar melalui pengunaan media pembelajaran garis bilangan pada mata pelajaran metematika melalui penjumlahan bilangan bulat siswa kelas IV SDK Tabang. Penelitian ini menggunakan desain penelitian tindakan kelas menurut Kemmis dan Mc Taggart dalam Depdikbud (1999)> Kegiatan penelitian belangsung dalam dua siklus, masing – masing terdiri dari empat tahap, yaitu :(1) Perencanaan, (2) Pelaksanaan, (3) Observasi, dan (4) Refleksi. Rata – rata pencapaian pada tes akhir tindakan I adalah 64 %. Jadi kriteria kebarhasilan tindakan I belum berhasil. Rata – rata pencapaian pada tes akhir tindakan II adalah 83 %. Menurut kriteria kebarhasilan tindakan II sudah berhasil. Media pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini ternyata efektif dalam peningkatan konsep penjumlahan bilangan bulat. Kata Kunci : Garis Bilangan, Hasil Belajar, Matematika
Pendidikan adalah salah satu hal yang mutlak yang harus dipenuhi serta dilaksanakan seseorang dalam upaya meningkatkan taraf hidup bangsa, agar tidak tertinggal dengan bangsa lain. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan yang sangat esensial bagi manusia dan tidak biasa pungkiri bahwa pendidikan baik formal maupun non formal, tentunya memerlukan proses cukup lama lazimnya disebut dengan proses belajar mengajar, karena pendidikan hendaknya melihat jauh kedepan dan juga memikirkan apa yang akan dihadapi peserta didik dimasa yang akan datang. Selanjutnya pengembangan kurikulum hendaknya sejalan dengan peningkatan prestasi belajar siswa, karena dimana prestasi belajar meningkatkan menandakan tercapainya tujuan pendidikan yang didalamnya terdapat tujuan pengembangan pemahaman atau pengetahuan ( kognitif ), sikap ( afektif ), dan keterampilan ( psikomotor ). Keberhasilan guru dalam meleksanaka tugas profesionalnya dapat dilihat dari kreativitas siswa – siswanya dalam proses pembelajaran di kelas, Guru selalu berusaha meningkatkan kreativitas dan kualitas proses pembelajaran dengan cara memberikan penghargaan dan penguatan sebagai pendorong bagi siswa di sekolah dasar. Setiap kegiatan belajar mengajar selalu melibatkan dua unsur yang penting yaitu : guru dan siswa, guru sebagai pengajar menetapkan dan merancang kondisi belajar siwa, sedangkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran memiliki kondisi belajar yang diciptakan oleh guru sehingga dalam perpaduan antara dua unsur tersebut melehirkan interaksi edukatif dengan memanfaatkan bahan ajar sebagai medianya pada kegiatan belajar mengajar. Memang pada kenyataannya yang dilakukan oleh guru adalah metode pembelajaran seperti pemberian tugas, tanya jawab dan metode – metode tersebut ternyata belum mampu membuat siswa aktif, karena metode pemberian tugas juga masih belum terlihat efektif bagi anak – anak kerena hanya ada beberapa siswa yang terlalu mendominasi kegiatan bertanya, sedangkan siwa yang lain masih terlihat pasif, atau hanya mengikuti temannya yang aktif. Dalam keadaan ini maka guru merasa tidak berhasil dalam proses pembelajaran hal ini terlihat pada kemampuan siswa yang rendah serta cara belajar siswa yang kurang mengerti. Karena itu proses pembelajaran mesti berlangsung secara aktif sehingga tujuan pembelajaran akan tercapai sesuai harapan. Selain itu juga guru lebih mendominasi pada pemberian tugas, sehingga pelajaran dikelas tidak menarik. Selanjutnya penggunaan media pembelajaran bermanfaat untuk mengatasi permasalahan. Tujuan utama media pembelajaran adalah untuk memecahkan suatu masalah, menjawab dan memahami pengetahuan siswa.
856
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Penggunaan Media Pembelajaran Garis Bilangan untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kelas IV SDK Tabang. Tujuan penelitian untuk meningkatkan hasil belajar melalui pengunaan media pembelajaran garis bilangan pada mata pelajaran metematika melalui penjumlahan bilangan bulat siswa kelas IV SDK Tabang. KAJIAN TEORI Ruseffendi (1989 : 23) menyatakan bahwa matematika itu terorganisasikan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, defenisi-defenisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil, dimana dalil-dalil setelah dibuktikan kebenarannya berlaku secara umum, karena itulah matematika sering disebut ilmu dedukatif. Selanjutnya dalam Ruseffendi (1988 : 2) diungkapkan beberapa pendapat tentang matematika seperti menurut Jonson dan Rising (1972) menyatakan bahwa metematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logik; matematika itu adalah bahasa, bahasa yang mengunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat representasi dengan simbul dan padat, lebih berupa bahasa simbul mengenai artipada bunyi, matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasi, sifat-sifat atau teori-teori dibuat secara dedukatif berdasarkan kepada unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan kebenarannya; matematika adalah ilmu tentang pola keteraturan pola atau ide, dan metematika itu adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada keterurutan dan keharmonisannya. Kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Medium dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima (Heinich et.al., 2002; Ibrahim, 1997, 2001). Media merupakan salah satu komponen komunikasi, yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan (Criticos, 1996). Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran merupakan proses komunikasi. Proses pembelajaran mengandung lima komponen komunikasi, guru (komunikator), bahan pembelajaran, media pembelajaran, siswa (komunikan), dan tujuan pembelajaran. Jadi, Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar. Menurut Nana Sudjana (1990:20) bahwa: Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Selanjutnya N.M. Purwanto (1988:45) bahwa: Hasil belajar adalah sebagai hasil pencapaian siswa yang dicapai dalam waktu tertentu. Dapat dikatakan bahwa hasil belajar merupakan tambahan peri-laku yang positif pada seseorang setelah ia menerima pengalaman belajar tertentu. Perilaku dimaksud meliputi: pengetahuan (kognitif), nilai dan sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotorik). METODE Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengacu pada desain penelitian tindakan kelas menurut Kemmis dan Mc Taggart dalam Depdikbud (1999) kegiatan penelitian belangsung dalam dua siklus, yaitu masing – masing terdiri dari empet tahap, yaitu : 1. Perencanaan, 2. Pelaksanaan, 3. Observasi, dan 4. Refleksi. Tempat penelitian dilaksanakan di kelas IV SD Kristen Tabang, dengan jumlah siswa 16 siswa. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini berupa teknik tes atau teknik observasi untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan kasil belajar siswa dengan mengunakan media pembelajaran garis bilangan untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika tentang penjumlahan bilangan bulat di SD Kristen Tabang. Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis yaitu : a. Data hasil evaluasi dianalisis dengan mendeskripsikan kegiatan siswa dan kemampuan pengelola pembelajaran selama kegiatan pembelajaran berlangsung. 90% ≤ RS ≤ 100% : Sangat Baik 80% ≤ RS ≤ 100% : Baik 70% ≤ RS ≤ 80% : Cukup 60% ≤ RS ≤ 70% : Kurang 0% ≤ RS ≤ 60% : Sangat Kurang 857
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
b. Data hasil tes akhir tindakan. Tingkat pemahaman siswa ditentukan dengan menggunakan kriteria penilaian sebagai berikut. Standar Ketuntasan Minimal ( KKM ) adalah 65. HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus I Berdasarkan hasil pengamatan selama proses pembalajaran berlangsung pada tindakan I dapat dipaparkan sebagai berikut. (1) Rata – rata pencapaian pada tes akhir tindakan I adalah 64 %. Jadi kriteria kebarhasilan tindakan I belum berhasil. (2) Pembelajaran yang dilaksanakan telah mencerminkan pembelajaran dengan mengunakan media pembelajaran garis bilangan tentang konsep penjumlahan bilangan bulat karena secara umum proses pembelajaran yang berlangsung sesuai rencana yang disusun sebelumnya. (3) Hasil pengamatan terhadap aktivitas peneliti melaksanakan proses pembelajaran dengan mengunakan lembar observasi yang dilakukan teman sejawat selaku pengamat adalah skor persentasi untuk pengamatan 87%. Hal ini berarti kriteria keberhasilan aktivitas peneliti pada tindakan I telah berhasil. (4) Hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa mengikuti proses pembelajaran dengan mengunakan lembar observasi yang dilakukan oeh pengamat adalah 90%. Jadi aktivitas siswa pada siklus I telah tercapai. Berdasarkan hasil analisis data diatas, dapat disampaikan bahwa pembelajaran pada tindakan I telah mencapai kriteria keberhasilan dari segi proses tetapi hasil test akhir tindakan belum memenuhi kriteria ketuntasan. Dengan demikian dilanjutkan pada siklus II dengan melakukan perbaikan berdasarkan siklus I. Siklus II Berdasarkan hasil pengamatan selama proses pembalajaran berlangsung pada tindakan II dapat dipaparkan sebagai berikut. (1) Rata – rata pencapaian pada tes akhir tindakan II adalah 83 %. Jadi kriteria kebarhasilan tindakan II sudah berhasil. (2) Pembelajaran yang dilaksanakan telah mencerminkan pembelajaran dengan mengunakan media pembelajaran garis bilangan tentang konsep penjumlahan bilangan bulat karena secara umum proses pembelajaran yang berlangsung sesuai rencana yang disusun sebelumnya. (3) Hasil pengamatan terhadap aktivitas peneliti melaksanakan proses pembelajaran dengan mengunakan lembar observasi yang dilakukan teman sejawat selaku pengamat adalah skor persen untuk pengamatan 96%. Hal ini berarti kriteria keberhasilan aktivitas peneliti pada tindakan II telah berhasil. (4) Hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa mengikuti proses pembelajaran dengan mengunakan lembar observasi yang dilakukan oeh pengamat adalah 98%. Jadi aktivitas siswa pada siklus II telah tercapai kriteria keberhasilan dari segi proses maupun hasil. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang diuraikan pada bab IV, maka dapat di simpulkan sebagai berikut : 1. Media pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini ternyata efektif dalam peningkatan konsep penjumlahan bilangan bulat 2. Respons siswa terhadap pembelajaran bilangan bulat denga n mengunakan media pembelajaran sangat positif 3. Pengunaan media garis bilangan sangat membantu siswa dalam memahami penjumlahan bilangan bulat Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka peneliti menyarankan: 1. Guru perlu membiasakan diri untuk menerapkan media pembelajaran dengan mengunakan garis bilangan dalam membantu siswa meningkatkan penguasaan pemahaman konsep penjumlahan bilangan bulat 2. Guru perlu menciptakan situasi pembelajaran yang rileks dengan memberikan kesempatan kepada siswa memasang media pembelajaran berbentuk bilangan secara berurutan pada gambar garis bilangan sesuai materi bilangan bulat 3. Guru perlu mengupayakan untuk menyiapkan alat peraga yang cukup memadai dan dan tepat sesuai kebutuhan dari materi pembelajaran .
858
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
DAFTAR RUJUKAN Depdikbud 1999.Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta, Depdikbud. Criticos, C. 1996. Media selection. Plomp, T., & Ely, D. P. (Eds.): International Encyclopedia of Educational Technology, 2nd edition. New York: Elsevier Science, Inc. Heinich, R., Molenda, M., Russell, J. D., & Smaldino, S.E. 2002. Instructional media and technology for learning, 7th edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Ibrahim, H. 1999. Pemanfaatan dan pengembangan media slide pembelajaran. Bahan ajar. Disajikan dalam pelatihan produksi dan penggunaan media pembelajaran bagi dosen MDU Universitas Negeri Malang, 8 Februari s.d 6 Maret 1999. Ruseffendi E. T, 1988. Pengantar Kepada Membantu Guru Untuk Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito Sudjana Nana. 1990. Dasar-Dasar Proses Belajar-Mengajar. Jakarta: Sinar Baru. Sukardi Dewa Ketut. 1987. Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Bina Aksara.
PENGGUNAAN MEDIA KONKRIT GELAS ES CREAM DAN KARTU BERWARNA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA MATERI PERKALIAN DUA BILANGAN BULAT DI KELAS VII SMP NEGERI 2 MELIAU Puryanti Abstrak :Berdasarkan pengalaman yang sudah dilakukan, seorang guru dituntut untuk melakukan suatu inovasi dalam proses penyampaian pembelajaran yang dilakukan didalam kelas. Dengan adanya inovasi yang dilakukan oleh seorang guru terutama dalam penggunaan media konkrit (alat peraga) diharapkan dapat menumbuhkan semangat anak untuk belajar. Hal ini tentunya akan memberikan hasil pembelajaran yang lebih bermakna dan menyenangkan. Dengan demikian diharapkan pembelajaran yang disampaikan akan lebih mudah dipahami oleh siswa. Oleh karena itu penulis berinisiatif untuk membelajarkan materi perkalian dua bilangan bulat dengan menggunakan media konkrit yaitu gelas es krim dan kartu berwarna. Dengan menggunakan media konkrit diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran matematika terutama pada materi perkalian dua bilangan bulat. Kata Kunci : meningkatkan , media konkrit, perkalian.
Dalam proses pembelajaran ada dua hal yang penting yang perlu diperhatikan oleh seorang guru terutama dalam proses belajar mengajar,pertama adalah media (alat peraga) untuk mengajar dan yang kedua metode pengajaran. Kedua aspek ini sangat berkaitan untuk menunjang proses belajar mengajar. Media berfungsi untuk membangkitkan motivasi belajar siswa,dan bisa menumbuhkan rasa senang untuk siswa dalam proses belajar mengajar,mengubah titik berat formal artinya media pembelajaran yang sebelimnya kabstrak menjadi konkrit. Penerapan suatu pembelajaran akan berpengaruh besar terhadap kemampuan siswa dalam mendidik diri mereka sendiri . Guru yang sukses bukan sekedar penyaji atau pengajar yang karismatik dan persusive (Joice,dkk,2009), tetapi guru yang sukses adalah siswa bisa menjadi pembelajaran efektif jika mampu menggambarkan informasi,gagasan dari guru dengan menggunakan sumber dan media(alat peraga) pembelajaran yang lebih efektif. Media diartikan sebagai alat yang dapat dilihat dan didengar.Alat ini dipakai dalam proses belajar mengajar dimaksudkan agar terciptanya komunikasi antara guru dan siswa yang lebih mantap. Media yang akan di gunakan dalam proses pembelajaran juga memerlukan perencanaan yang baik,hal ini dimaksudkan agar media yang digunakan itu dapat menarik minat
859
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dan perhatian dan motivasi dalam proses pembelajaran yang mereka hadapi dikelas. Adapun fumgsi media yang penulis sajikan ini adalah : 1. Mengurangi atau menghindari terjadinya salah komunikasi. 2. Meningkatkan kemampuan siswa untuk memahami operasi perkalian dua bilangan bulat. 3. Meningkatkan hasil pembelajaran siswa. 4. Membangkitkan minat belajar siswa. Hal ini juga bertujuan agar media ini dapat digunakan senbagai alat sederhana untuk mempermudah operasi perkalian dua bilangan bulat. Meskipun kita ketahui banyak sekali media – media konkrit yang digunakan untuk operasi perkalian bilangan bulat,namun harapan penulis mudah-mudahan media ini ( gelas es cream dan kartu berwarna ) dapat dengan mudah diterima siswa karena lebih praktis sangat sederhana dan efisien. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Meliau Kabupaten SMP N 2 Meliau yang berjumlah 30 siswa terdiri dari 16 laki-laki dan 14 perempuan. Karakter siswa yang menjadi subyek penelitian ini memiliki kemampuan rata-rata (sedang). Syah (2000) mengatakan bahwa metode pembelajaran adalah metode yang digunakan untuk memperlihatkan suatu proses atau cara kerja suatu benda yang berkenaan dengan bahan pelajaran. Metode dalam penelitian ini dilakukan dengan metode demonstrasi. Metode demonstrasi adalah metode yang menunjukkan secara langsung cara melakukan sesuatu .Demonstrasi digunakan untuk mengkonkritkan suatu konsep dan mengajarkan prosedur secara tepat dan menunjukkan kegunaan dari media konkrit(alat peraga) dan prosedur penggunaannya. Langkah-langkah Pembelajaran Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajran(RPP) yang terdiri dari kegiatan awal,kegiatan inti dan kegiatan akhir. Adapun media (alat peraga) yang digunakan adalah gelas es cream dan kartu berwarna,LKS. Kegiatan awal dari pembelajaran tersebut : Apersepsi dilakukan dengan cara guru memberikan salamdan menanyakan kabar siswa. Kem udian mengecek kehadiran siswa dan mengajak siswa berdoa sebelum mulai belajar. Guru menggali dan mengingatkan kembali pengetahuan prasyarat untuk masuk ke materi yang akan dipelajari sekarang yaitu bilangan bulat dan operasi penjumlahan dan pengurangn bilanagan bulat. Guru menyampaikan model pembelajaran,dan guru mengkomunikasikan tujuan dan hasil yang akan di capai. Kegiatan Inti : 1. Guru membagi siswa menjadai beberapa kelompok,setiap kelompok terdiri dari 3 – 4 siswa 2. Guru mengarahkan siswa untuk mengamati LKS yang diberika pada tiap kelompok 3. Siswa diminta untuk mengamati alat peraga yang diberikan oleh guru 4. Guru membagikan LKS pada setiap kelompok 5. Dengan metode demonstrasi,guru menjelaskan cara penggunaan media konkrit (alat peraga) kepada siswa tentang perkalian bilangan bulat 6. Guru meminta 3 orang siswa yang mewakili untuk mempraktekkan penggunaan alat peraga ( media ) untuk menentukan hasli perkalian dua bilangan bulat 7. Siswa berkelompok melakukan pengamatan peragaan perkalian dua bilangan bulat melalui alat peraga gelas es cream dan kartu berwarna : a. Perkalian bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif b. Perkalian bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat positif c. Perkalain bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif d. Perkalian bilangan bulat positif dengan bilangan bulat positif Dengan menggunakan alat peraga gelas es cream dan kartu berwarna didapat hasil perkalian sebagai berikut : No Perkalian Bilangan Bulat Hasil 1. -4 x (-12) = .... ............... 2. -3 x 13 =...... ................. 3. 2 x ( - 21 ) =...... ................ 4. 4 x 19 =....... 860
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
8. Siswa diminta untuk mengamati 2 bilangan yang dikalikan serta hasilnya 9. Guru mengajukan pertanyaan ke siswa dari hasil peragaan yang dilakukan,setelah melakukan pengamatan,peragaan,dan bagaimana tanda hasil bilangannya. 1. Apabila bilangan bertanda negatif dikalikan dengan bilangan bertanada negatif ? 2. Apabila bilanagn bertanda negatif dikalikan dengan bilangan bertanda positif ? 3. Apabila bilangan bertanda positif dikalikan dengan bilangan bertanda negatif ? 4. Apabila bilangan bertanda positif dikalikan dengan bilangan bertanda positif ? 10. Dengan menggunakan panduan LKS dan media yang digunakan,setiap kelompok di minta untuk mempersentasikan hasil pekerjaannya untuk menentukan operasi perkalian dua bilangan bulat. 11. Guru memberikan umpan balik dan penguatan terhadap terhadap hasil diskusi kelompok siswa 12. Siswa menyimpulkan dari hasil diskusi dalam kelompoknya
Kegiatan Akhir 1. Siswa dengan dibimbing guru untuk membuat kesimpulan dari hasil pengamatan peragaan dengan media (alat peraga) yang dilakukan tentang perkalian dua bilangan bulat a. Bilangan bulat negatif dikalikan dengan bilangan bulat negatif menghasilkan bilangan bulat positif b. Bilangan bulat negatif dikalikan dengan bilangan bulat positif menghasilkan bilangan bulat negatif c. Bilanagn bulat positif dikalikan dengan bilangan bulat negatif menghasilkan bilangan bulat negatif d. Bilanagn bulat positif dikalikan dengan bilangan bilangan bulat positif menghasilkan bilangan bulat positif 2. Guru memberikan evaluasi secara individu 3. Guru menginformasikan sekilas materi yang akan dipelajari pada pertemuan berikutnya 4. Guru mengajak siswa berdoa dan mengakhiri pelajaran
HASIL DAN PEMBAHASAN Media (alat peraga) ini membantu siswa untuk mengetahui operasi perkalian dua bilangan bulat. Adapun cara penggunaan media ( alat peraga ) gelas es cream dan kartu berwarna adalah sebagai berikut : 1. Disediakan dua jenis gelas es cream yang berbeda warna ( biru dan pink ),dan koin kertas berwarna yang terbuat kertas karton yang terdiri dari dua warna biru dan pink. Keterangan : a. Gelas dan koin kertas yang berwarna biru menunjukkan bilangan bulat negatif b. Gelas dan koin kertas yang berwarna pink menunjukkan bilangan bulat positif c. Gelas dan koin kertas yang berbeda warna ( kartu berwarna dimasukkan dalam gelas) menghasilkan bilangan bulat negatif d. Gelas dan kartu yang berwarna sama ( kartu berwarna dimasukkan dalam gelas ) menghasilkan bilangan bulat positif Langkah – langkah penggunaan alat peraga : 1. Bilangan pertama menunjukkan banyaknya gelas 2. Bilangan kedua menunjukkan banyaknya kartu berwarna yang dimasukkan kedalam setiap gelas 3. Jumlahkan semua kartu berwarna yang ada didalam setiap gelas Contoh soal : 1. Hitunglah hasil dari - 5 x ( -4 ) =....
861
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Jumlah kartu berwarna dalam gelas seluruhnya ada 20, sedangkan warna gelas dan kartu berwarna sama artinya menunjukkan hasilnya positif, maka hasil dari ( -5) x ( -4) hasilnya 20 2. Hitunglah hasil dari ( -3) x ( 8) !
=
V V Jumlah koin dalam gelas seluruhnya ada 24, sedangkanwarna gelas dan kartu berwarna yang berbeda warna artinya menunjukkan hasilnya negatif, maka hasil dari (-3) x ( 8) adalah -24 Hasil : Setelah melaksanakan pembelajaran materi perkalian bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga diperoleh peningkatan hasil belajar siswa. Dari 30 siswa, 28 siswa berhasil menelesaikan soal perkalian bilangan bulan dengan benar, dengan nilai bebeda diatas nilai KKM 62. Hal ini dapat dilihat dari table evaluasi siswa Tabel Nilai Hasil Evaluasi Kelas VII KKM : 62 NO NAMA NILAI KETERANGAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
ADAM BRAHMA ERLANGGA ALES PANTOLA APRIANI INDRI ANTIKA ARBU HANIFAH BAWA PRASETIA CHIANG MENG ELSI KARINDA IQBAL SULIANTO IRA SAFITRI IRFAN IRNAWATI JULKIPLI PERMANA LISA PURWANTI MARINI MILENIA YONITA NURHUDA RANTI PEBRIANTI TIARA H. RENDI AMIRAL ISNAENI RIWA ADISTY FEBRIANSYAH RIZKY WAHYUDI SITI HANDARI SUPIANDI TARI VANESSA WAHYIRUL AKBAR WIWIS YALENIA ERI SUSAN YARENIAS YOBI YUDIS HARIANTO SRI AKTAVIA NINGSIH
70 80 80 65 70 70 80 90 90 100 70 70 90 70 80 80 100 100 90 90 80 70 65 60 80 70 90 90 80 50
TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TIDAK TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TUNTAS TIDAK TUNTAS
Berdasarkan hasil evaluasi, dapat dikatakan bahwa memotivasi siswa dalam belajar matematika dapat ditingkatkan dengan menggunakan media (alat peraga) yang menarik dan memudahkan siswa untuk memahami konsep dari materi yang dipelajari. 862
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pada dasarnya semua metode yang digunakan dalam proses pembelajaran memiliki keunggulan dan kelemahan. Menurut Heinich (1993 : 2013)keunggulan dari metode demonstrasi adalah siswa dapat memahami bahan pelajaran sesuai objek yng sebenarnya dan dapat memahami cara penggunaan secra prosedur.Sedangkan kelemahan metode demonstrasi adalah tergantung dengan alat bantu yang sebenarnya dan jika jumlah siswa banyak maka demonstrasi tidak efektif. PENUTUP Guru dituntut untuk dapat membelajarkan konsep matematika yang mudah dipahami oleh siswa.Oleh karena itu diharapkan guru dapat menciptakan pembelajaran kreatif dan didukung dengan penggunaan media konkrit(alat peraga),yang sesuai untuk membangkitkan ide-ide matematika siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran bermakna, tidak membosankan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran dan memperoleh hasil yang maksimal. Dengan demikian penggunaan alat peraga gelas es cream dan kartu berwarna dilengkapi dengan Lembar Kerja Siswa ( LKS ) yang dapat memfasilitas siswa berfikir lebih tinggi dan aktif dalam proses pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Darhim, 1986. Media dan Sumber Belajar Matematika. Jakarta : Kaunika Universitas Terbuka. Nurhakiki, Rini, dkk. 2013. Media Pembelajaran Matematika SMP : Malang : PT. Pertamina dan Universitas Negeri Malang. Subanji. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang : Universitas Negeri Malang ( UM PREES ).
PEMBELAJARAN PERKALIAN BILANGAN BULAT MENGGUNAKAN ALAT PERAGA GELKO KELAS VII SMPN 3 SANGGAU KALIMANTAN BARAT TAHUN PELAJARAN 2014/2015 Utin Linda Mersianti SMPN 3 Sanggau Kalimantan Barat
[email protected] Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan hasil belajar siswa SD tentang operasi perkalian bilangan bulat. Jenis penelitian adalah PTK (Penelitian Tindakan Kelas) dengan dua siklus.. Subyek penelitian adalah 30 siswa Kelas VII SMPN 3 Sanggau. Latar belakang penelitian adalah rendahnya pemahaman siswa tentang perkalian bilangan bulat. Media yang digunakan dalam pembelajaran adalah media gelas-koin (gelko) berwarna yang dimainkan untuk memahami perkalian bilangan yang positif dan yang negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan gelko berwarna dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi perkalian bilangan bulat, ditunjukkan pada siklus I nilai rata-rata 52,33 dan KKM 33 %, dan pada siklus II nilai rata-rata 52,33 dan KKM 88.67. Kata kunci: Peningkatan hasil belajar, media Gelko.
Matematika merupakan mata pelajaran yang memiliki peranan penting dalam kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, sehingga dengan belajar matematika dapat meningkatkan produktivitas baik secara kualitas maupun kuantitas dari peserta didik itu sendiri. Kualitas dalam pembelajaran matematika tidak terlepas dari proses pembelajaran di kelas sehari-hari. Tapi kenyataan di lapangan, khususnya di kelas VIIE SMP Negeri 3 Sanggau provinsi Kalimantan Barat dari pengamatan, sebagian besar peserta didik mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan operasi bilangan bulat. Mengingat kelas VIIE merupakan kelas dengan nilai terendah di antara empat kelas yang lain. Ini dapat dilihat dari tabel nilai kompetensi pengetahuan sebelumnya. 863
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tabel Nilai Siswa Sebelum Siklus
Rata-rata Nilai yang diperoleh Ketuntasan
35,83 10%
Banyak faktor yang mempengaruhi belajar peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung, antara lain: kesiapan peserta didik belajar, cara penyampaian guru, sarana dan prasarana yang tersedia yang dapat menunjang proses belajar mengajar, seperti alat peraga atau media pembelajaran. Pentingnya media selain dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar, juga dapat mengubah materi yang abstrak menjadi kongkrit. Subanji menyatakan bahwa matematika sebagai pengetahuan tentang penalaran logis. Berbagai teori belajar yang membahas tentang anak pada masa sekolah dasar, terutama pada kemampuan kognitif yang menunjang dalam pembelajaran matematika harus mampu menjembatani kemampuan berfikir anak yang masih operasional kongkrit dengan matematika yang secara konseptual abstrak. (teori peaget). Atau menurut Bruner anak akan lebih mudah memahami sesuatu yang abstrak apabila anak mampu memanipulasi objek, mengkonstruksi, menyusun objek kongkrit. Hamalik (1986) mengemukakan bahwa pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap peserta didik. Selain membangkitkan motivasi dan minat siswa, media pembelajaran juga dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman terhadap materi pelajaran. Biasanya guru mengajarkan perhitungan operasi hitung perkalian bilangan bulat dengan memberikan langsung kunci atau rumus dari perkalian lambang, yang tentu saja secara psikologis tidak baik untuk perkembangan kejiwaan peserta didik karena peserta tidak menemukan sendiri pengetahuan tersebut. Selain itu teknik tersebut tidak dapat mengubah pola pikir yang abstrak menjadi kongkrit, sehingga pembelajaran masih terbilang sulit untuk anak berusia kurang lebih 12 tahun. Maka peneliti mencoba menggunakan alat peraga gelko atau gelas dan koin yang memang sudah diperkenalkan dalam MGMP mata pelajaran Matematika kabupaten Sanggau. Alat peraga gelko atau Gelas dan Koin digunakan untuk menciptakan pemikiran logis siswa terhadap konsep materi perkalian bilangan bulat. Sehingga siswa dapat merekam konsep perkalian dengan mudah dan lebih membekas karena siswa mengalami pembelajaran bermakna, serta mempermudah peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan abstrak dari pengalaman kongkritnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian tindakan kelas dengan materi operasi bilangan bulat, khususnya pada perkalian bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga gelko sebagai media pembelajaran. Alat peraga ini diharapkan dapat membimbing peserta didik dalam menemukan pola perkalian bilangan bulat dengan model pembelajaran discovery atau discovery learning. Dimana selama ini guru selalu memberikan konsep perkalian bilangan bulat positif atau bilangan bulat negatif, dan peserta didik tidak menemukan dari mana hasilnya bisa positif atau negatif. METODE PENELITIAN Penelitian tindakan kelas (PTK) dilakukan melalui tahapan-tahapan siklus. Menurut Arikunto (2006:16) PTK ini dilakukan dalam siklus spiral, yaitu terdiri dari 4 tahap: 1. Perencanaan, 2. Pelaksanaan tindakan, 3. Observasi dan 4. Refleksi. PTK ini dilakukan dalam 2 864
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
siklus dan dibantu oleh seorang mahasiswa dari IKIP PGRI Pontianak yang sedang PPL di sekolah tersebut sebagai observer. Pada tahap awal dilakukan pengamatan terhadap proses pembelajaran pada materi perkalian bilangan bulat tanpa menggunakan alat peraga gelko untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada di kelas. Berdasarkan hasil observasi tersebut disusun rencana tindakan siklus I yang diwujudkan dalam bentuk satuan pembelajaran dan persiapan alat peraga. Selanjutnya rencana tindakan pada siklus I tersebut diaplikasikan dalam tindakan pembelajaran yang nyata di kelas dengan dibantu oleh guru PPL yang mencatat kekurangan-kekurangan yang saat proses pembelajaran berlangsung. Hasil pengamatan tersebut selanjutnya direfleksi dan dijadikan dasar untuk rencanak tindakan pada siklus II. Rencana tindakan pada siklus II pada dasarnya sama dengan tindakan yang dilakukan pada siklus I hanya saja tindakan di siklus II lebih memperhatikan hal-hal penting atau tindakan yang pada siklus I belum dilaksanakan atau belum terlaksana dengan baik. Secara rinci prosedur penelitian tindakan untuk setiap siklus dapat dijabarkan sebagai berikut: a) Perencanaan Adapun kegiatan yang dilakukan dalam tahap perencanaan ini adalah: Membuat scenario pembelajaran Membuat rangkuman Membuat alat evaluasi b) Pelaksanaan Tindakan Pada kegiatan pelaksanaan tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut: Guru menyampaikan pembelajaran seperti biasa terutama penggunaan alat peraga gelko kepada peserta didik secara klasikal Memberi kesempatan pada setiap kelompok untuk bertanya Memberi tugas pada setiap kelompok untuk diselesaikan Memberi kesempatan masing-masing kelompok untuk menampilkan hasil kerjanya Pembahasan jawaban tugas Diberi tes akhir siklus Selanjutnya langkah-llangkah pembelajaran pada siklus II akan disesuaikan dengan tindakan perbaikan yang akan dilakukan Untuk menggunakan alat peraga gelko, terlebih dahulu peserta didik diberitahukan cara penggunaannya, sebagai berikut: 1. Tersedia gelas-gelas es krim dengan 2 warna, yaitu pink dan biru, dan koin-koin yang terbuat dari kertas dengan warna-warna yang sama. 2. Kemudian disepakati bahwa: - Warna biru untuk bilangan bulat positif - Warna pink untuk bilangan bulat negatif 3. Untuk perkalian dua bilangan bulat, bilangan pertama untuk gelas dan bilangan kedua untuk koin yang akan dimasukkan ke dalam setiap gelas dengan jumlah yang sama serta warna sesuai dengan jenis bilangan bulatnya. 4. Jika warna gelas dan koin sama maka hasil perkalian positif dengan menghitung jumlah seluruh koin, sedangkan jika warna gelas dan koin berbeda maka hasil perkalian negatif dengan menghitung jumlah koin. Contoh : perkalian bilangan bulat a. 4 x (-2) = …. Caranya: Gelas biru ada 4 Masukan koin pink sebanyak dua keping pada setiap gelas Karena terdapat gelas dan koin yang berbeda maka hasilnya bilangan negatif sebanyak jumlah seluruh koin. Jadi 4 x (-2) = -8
865
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
b. -6 x 2 = Caranya: Gelas pink ada 6 Masukan koin biru sebanyak dua keping pada setiap gelas Karena terdapat gelas dan koin yang berbeda maka hasilnya bilangan negatif sebanyak 12 jumlah seluruh koin. Jadi -6 x 2 = -12
c) Observasi Pelaksanaan observasi bersamaan dengan pelaksanaan tindakan yang diberikan. Pada tahap ini, observer mengamati tindakan yang dilakukan dan membuat catatan lapangan dan analisis dokumen. Catatan lapangan digunakan untuk mengamati peserta didik dan guru di kelas, sedangkan analisis dokumen digunakan untuk mengamati hasil belajar peserta didik agar dapat diketahui tingkat keaktifan dan ketuntasan siswa. d) Refleksi Pada tahap ini guru mata pelajaran bersama observer mendiskusikan hasil tindakan, dari hasil tersebut guru dapat merefleksikan diri dengan melihat data pengamatan. Hasil analisis data yang dilakukan dalam tahap ini dipergunakan sebagai acuan untuk merencanakan kegiatan pada tahapan berikutnya. PEMBAHASAN Siklus I Tahap perencanaan meliputi beberapa kegiatan yaitu menyusun jadwal pelaksanaan kegiatan, menentukan teknik pelaksanaan tindakan, menyusun rencana pelaksanaan proses
866
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pembelajaran, menyiapkan alat peraga gelko, menyiapkan instrument observasi, dan menyiapkan soal-soal tes tertulis. Pada tahap pelaksanaan tindakan siklus I, guru memperkenalkan alat peraga yang akan digunakan untuk menjelaskan perkalian bilangan bulat. Selanjutnya menyampaikan ketentuanketentuan dalam menggunakan alat peraga yang telah disiapkan. Pada kegiatan selanjutnya peserta didik secara berkelompok menyelesaikan tugas pada LK dan mempresentasikan hasilnya dengan menggunakan alat peraga gelko di depan kelas. Kelompok belajar tersebut merupakan kelompok yang heterogen baik dari segi kemampuan berpikir maupun jenis kelamin. Pada kegiatan terakhir siswa diminta untuk menyelesaikan tes akhir guna mengukur tingkat keberhasilan selama proses pembelajaran berlangsung. Kegiatan tes akhir dilakukan secara individu. Berdasarkan data hasil tes terhadap 30 orang peserta didik, 33 % peserta didik tuntas atau 10 orang tuntas. Sedangankan 20 peserta didik atau 67 % tidak tuntas. Dari data tersebut peneliti dan observer melakukan refleksi pada pembelajaran siklus I, sebagai berikut: a. Ketidaktuntasan 20 peserta didik atau 67% dari jumlah peserta didik dikarenakan kesiapan guru dalam menyiapkan dokumen pembelajaran. b. Jumlah alat peraga yang diberikan kepada setiap kelompok kurang banyak terutama pada jumlah koin. Hasil pembelajaran pada siklus I belum mencapai 80 %, maka penelitian tindakan kelas ini akan melanjutkan pada siklus II. Sedangkan pedoman untuk keberhasilan pada siklus II, peneliti sangat memperhatikan hasil refleksi pada siklus I. Siklus II Pada perencanaan kegiatan di siklus II ini pada dasarnya sama dengan pelaksanaan yang telah dilakukan di siklus I, namun pelaksanaan di siklus II guru mempersiapkan dokumen pembelajaran dari instrumen evaluasi, lembar observasi, dan lembar kerja siswa dengan sebaikbaiknya. Kemudian kekurangan alat peraga berupa koin yang menjadi kendala, diperbanyak lagi sehingga setiap kelompok memperoleh jumlah koin yang lebih banyak. Pada pelaksanaan kegiatan di siklus II, guru terlebih dahulu memperkenalkan alat peraga gelko dan menyampaikan ketentuan-ketentuan yang berlaku, serta cara mempergunakan alat peraga tersebut dengan memberikan contohnya. Kemudian guru memberi kesempatan kepada peserta didik yang belum paham untuk bertanya terhadap materi dan penggunaan alat peraga gelko tersebut. Setelah dianggap semua peserta didik sudah jelas dan mengerti, guru membagikan LKS kepada setiap kelompok. Setelah kerja dalam kelompok, peserta didik mempresentasikan hasil kerjanya yang kemudian sebagai umpan balik pertanyaan dari peserta didik lain. Di akhir proses pembelajaran peserta didik diminta untuk menyimpulkan dan membuat rumusan untuk perkalian bilangan bulat dibantu oleh guru, kemudian peserta didik menyelesaikan soal evaluasi secara individu. Dari hasil evaluasi pada siklus II untuk kompetensi pengetahuan terjadi peningkatan dari 33% menjadi 93%, yakni dari 10 peserta didik yang tuntas menjadi 27 peserta didik yang tuntas. Ini berarti hanya terdapat 3 peserta didik yang belum mencapai KKM. Sebagai lanjutannya agar peserta didik yang tidak tuntas bisa lebih memahami materi yang telah diajarkan, maka guru member remedy dan tugas rumah. Hasil refleksi yang dilakukan pada siklus II antara lain: Terjadi peningkatan hasil belajar peserta didik yang semula tingkat ketuntasan 33% menjadi 93%. a. Keaktifan peserta didik mengalami peningkatan terlihat peserta didik antusias untuk melakukan/mencoba alat peraga gelko karena setiap kelompok memperoleh alat peraga yang memadai. b. Tercipta pembelajaran yang menyenangkan karena peserta didik aktif membahas cara kerja alat peraga gelko dalam menentukan hasil dari soal-soal pada LKS. c. Semua kelompok bersemangat untuk mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas.
867
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tabel Penilaian Kompetensi Pengetahuan pada Siklus I dan Siklus II
KKM: 65
No Nama Peserta Didik
Nilai Siklus I
Siklus II
1 Abang Afrizal 2 Adi 3 Agung Setiawan 4 Ahmad Ferriyansyah 5 Andrian Piki 6 Anfu Neta Yane Fallo 7 Azis Saifudin 8 Cucu 9 Dia Restu Aulia Putri 10 Eprian 11 Eti Hastuti 12 Galuh Tetty Oktavianty 13 Hilyatul Aulia 14 Irpan Juliansyah 15 Linda Cyntya Dewi 16 Mardiansyah 17 Mordianti Apriliani 18 M. Adittia Meidiansach 19 M. Redo Setady Tabrani Putra 20 M. Shahib Al akrim 21 Mutiara 22 Nova Pansuri 23 Paisal Ardha'u 24 Ratri 25 Reni Agusta 26 Ridho Syaputra 27 Sonya 28 Supardiansyah 29 Tariana 30 Yoga Pratama Jumlah Rata-rata Ketuntasan (%)
40 0 40 20 40 60 100 100 60 100 0 20 80 0 40 60 80 40 20 40 80 60 60 70 80 60 80 60 80 0 1570 52.33 33.33
80 60 80 60 80 100 100 100 80 100 80 80 100 100 80 100 80 70 100 100 100 70 80 100 100 100 80 100 100 100 2660 88.67 93.33
Dari tabel penilaian kompetensi pengetahuan di atas, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan yang signifikan dari tabel pra-siklus pada pendahuluan meningkat pada siklus I dan tambah meningkat pada siklus II. PENUTUP Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Alat peraga gelko (gelas koin) dapat meningkatkan hasil belajar pada kompetensi pengetahuan untuk materi perkalian bilangan bulat dan peserta didik dapat menemukan sendiri konsep perkalian bilangan bulat.
868
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2. Dengan menggunakan alat peraga gelko (gelas koin) dapat meningkatkan aktivitas belajar dan menumbuhkan minat peserta didik dalam mempelajari mata pelajaran matematika. Saran Adapun dari hasil penelitian tindakan kelas ini dapat disarankan sebagai berikut: 1. Guru dapat menggunakan alat peraga gelko (gelas koin) dalam menyampaikan materi perkalian bilangan bulat untuk memperoleh hasil perkalian sampai merumuskan hasil perkalian bilangan bulat. 2. Dengan menemukan sendiri rumus perkalian bilangan bulat, proses pembelajaran akan lebih bermakna sehingga diharap dapat bertahan lama dalam ingatan anak didik kita. 3. Pembelajaran yang kreatif, inovatif dan menyenangkan akan menjadikan peserta didik lebih bersemangat dan tidak mudah bosan sehingga diharapkan hasil pembelajaran baik dari pengetahuan, sikap, sampai keterampilan peserta didik akan meningkat atau dengan hasil yang memuaskan.
DAFTAR RUJUKAN Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Kurikulum 2013. Jakarta: Depdikbud Miyanto, dkk. 2014. Buku PR Matematika Kelas VII. Klaten: PT Intan Pariwara Muksar, M. dkk. 2012. Matematika SMP Pendekatan Konseptual. Malang: Malang Press Subanji, dkk. 2012. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: Malang Press
MEMBANGUN PEMAHAMAN SISWA TENTANG KONSEP OPERASI HITUNG PENJUMLAHAN PECAHAN DENGAN BERORIENTASI PADA PENDEKATAN PAIKEM DIKELAS III SDN 2 GUNTUR MACAN TAHUN PELAJARAN 2013 / 2014 H.Burhanudin SDN 2 Guntur Macan Kec.Gunungsari Kab.Lobar,NTB
[email protected] Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk membangun pemahaman siswa tentang konsep operasi hitung penjumlahan pecahan berorientasi pada PAIKEM di kelas III SDN 2 Guntur Macan tahun pelajaran 2013 / 2014. Subyek penelitian adalah siswa kelas III SDN 2 Guntur Macan Kecamatan Gunungsari tahun Pelajaran 2013/2014 dengan jumlah siswa 17 orang. Masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah “Apakah Pendekatan PAIKEM dapat membangun pemahaman siswa Kelas III SDN 2 Guntur Macan tahun pelajaran 2013/2014?” Penelitin ini dilaksanakan dalam dua siklus .Data proses kegiatan pembelajaran dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi dan data hasil belajar dikumpulkan dengan menggunakan metode tes. Hasil penilaian menunjukkan bahwa pada siklus I terdapat lima siswa yang belum tuntas sehingga secara persentase dapat digambarkan 70,5 % tuntas,sedangkan 29,5 % siswa belum tuntas.Kenyataan ini menuntut adanya perbaikan karena secara umum proses pembelajaran dikatakan berhasil setelah mencapai ketuntasan 85%. Untuk mencapai ketuntasan dimaksud maka proses pembelajaran dilanjutkan ke siklus II.Dengan mengadakan berbagai perbaikan seperlunya maka pada siklus II didapatkan satu orang siswa belum tuntas tetapi nilai prestasi siswa lebih besar dari KKM Dengan ketuntasan 88,5 % maka proses pembelajaran dikatakan telah berhasil dengan nilai rata-rata 88,3. Hasil ini menunjukkan bahwa pendekatan PAIKEM dalam membangun pemahaman siswa pada pelajaran matematika Kelas III di SDN 2 Guntur Macan dapat meningkatkan prestasi dan memberi dampak pada proses pembelajaran yang aktif, Inovatif,kreatif,efektif dan menyenangkan (PAIKEM). Kata Kunci: konsep,operasi, pecahan, pembelajaran, aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan
869
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pecahan adalah merupakan salah satu materi matematika yang dipelajari siswa mulai dari Sekolah Dasar yang dilanjutkan di Sekolah Menengah Pertama ( SMP ). Pembahasan materinya menitikberatkan pada operasi hitung dasar yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, baik untuk pecahan biasa desimal maupun persen. Inventarisasi masalah yang dilakukan penulis pada saat melakukan pengamatan dikelas tentang pembelajaran materi perkalian pecahan, menunjukkan adanya kelemahan dalam penguasaan materi maupun metodologinya. Kelemahan tersebut antara lain meliputi (1) penjumlahan dan pengurangan pecahan yang berbeda penyebut, dan (2) perkalian dan pembagian pecahan baik untuk pecahan biasa maupun pecaham desimal. Penyebab kelemahan diduga karena penguasaan konsep yang kurang di Sekolah Dasar ( SD ). Hal ini ditunjukkan oleh perolehan nilai siswa kelas III dalam ulangan harian (formatif ) khususnya penjumlahan pecahan masih kurang memuaskan atau nyaris tidak tuntas secara klasikal. Sebagai gambaran prestasi belajar siswa dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 1. Nilai Rata rata Ulangan Harian dan Persentase Ketuntasan Belajar Siswa kelas III SDN 2 Guntur Macan
Pokok Bahasan Penjumlahan pecahan Pengurangan pecahan Luas bangun ruang
Nilai rata-rata 5,60 5,76 5,80
Persentase ketuntasan belajar 56,7 % 56,5 % 59,4 %
Kesulitan juga dialami oleh guru didalam memilih strategi pembelajaran yang efektif agar siswa dapat belajar secara aktif. Pada umumnya guru menyampaikan materi pelajaran pada kelas yang jumlahnya 17 orang atau lebih. Metode ceramah menjadi pilihan utama sebagai strategi pembelajaran. Hal ini mengakibatkan siswa menjadi pasif karena siswa tidak diberdayakan dan pemahaman siswa terhadap suatu konsep serta kemampuan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan terhadap berbagai konsep tersebut masih kurang dan pada akhirnya menjadi salah satu penyebab rendahnya prestasi belajar siswa. Untuk itu diperlukan sebuah strategi mengajar sebagai upaya guru dalam peningkatan pemahaman suatu konsep dan aktifitas siswa serta hasil belajar atau prestasi belajar siswa. Model pembelajaran yang memiliki karakteristik demikian adalah pembelajaran dengan pendekatan PAIKEM. Untuk itu dicoba menggunakan pendekatan PAIKEM dalam mengajar perkalian pecahan biasa. Model ini dapat membangun Pemahaman siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa mendapatkan pengalaman belajar dan hasil belajar yang siap untuk menghadapi era globalisasi. METODE PENELITIAN a. Rencana Penelitian 1. Subyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas III SDN 2 Guntur Macan yang berjumlah 17 orang 2. Tempat Penelitian Tempat penelitian adalah di Sekolah Dasar Negeri 2 Guntur Macan,Jalan Poan Selatan Desa Guntur Macan Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat,NTB 3. Waktu Penelitian Waktu penelitian mulai dari perencanaan sampai dengan penulisan hasilnya adalah dari tanggal 20 Pebruari sampai dengan 31 Maret 2014 ( sewaktu –waktu bisa saja terjadi perubahan ) 4. Lama Tindakan Waktu untuk melaksanakan tindakan dari siklus pertama ( I ) dan siklus kedua ( II ) selama kurang lebih satu bulan. b. Prosedur Penelitian Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas ( Classroom Action Research) yang dilaksanakan dengan mengikuti prosedur penelitian berdasarkan prinsip Kemmis dan Taggart ( 1998) ,yang mencakup kegiatan perencanaan (planning), tindakan (action), 870
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
obsevasi (observation), refleksi ( reflection) atau evaluasi. Keempat kegiatan ini berlangsung secara berkolaborasi dengan guru-guru di SDN 2 Guntur Macan Siklus pertama ( I ) Tahap Perencanaan ( Planning ), mencakup: 1. Mengidentifikasi masalah 2. Menganalisa dan merumuskan masalah 3. Merancang Model pembelajaran klasikal 4. Mendiskusikan penerapan model pembelajaran yang berorientasi pada PAIKEM 5. Menyiapkan instrumen ( angket,pedoman observasi dan tes akhir ) 6. Menyusun dan membagi kelompok belajar peserta didik 7. Merencanakan tugas kelompok Tahap melakukan tindakan ( action ), mencakup : 1. Melakukan langkah-langkah sesuai perencanaan 2. Menerapkan model-model pembelajaran klasikal 3. Melaksanakan pengamatan terhadap setiap langkah-langkah sesuai rencana Pembelajaran dilakukan dengan melalui tiga tahap, yaitu tahap awal, tahap inti, dan tahap akhir. Tahap Awal a Tahap awaal awal diarahkan untuk mengenal kembali konsep pecahan. Pecahan artinya a b
1
2
bagian dari b bagian yang sama. Pecahan artinya 1 bagiam dari 2 bagian yang sama, pecahan 2 3 artinya 2 bagian dari 5 bagian yang sama. Kemudian mereka ditunjukkan dengan banyak gambar yang sesuai untuk menyatakan pecahan.
Menyatakan
Menyatakan
𝟑 𝟓
𝟏 𝟐
dengan berbagai cara
dengan berbagai cara
Kemudian mereka doajak mengamati pecahan senilai melalui banyak gambar
Menyatakan
871
𝟏 𝟐
=
𝟐 𝟒
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Menyatakan
Menyatakan
𝟏 𝟑
=
𝟐 𝟔
𝟐
=
𝟑
=
𝟒 𝟔
𝟒 𝟏𝟐
=
𝟖 𝟏𝟐
Tahap Inti Setelah siswa melakukan kegiatan latihan soal-soal serupa tentang konsep pecahan dan konsep pecahan senilai, mereka diajak untuk mengoperasikan pecahan, terutama penjumlahan dan perkalian pecahan. Penjumlahan pecahan dikembangkan dengan cara menggabungkan, dan perkalian pecahan dikembangkan sebagai penjumlahan berulang pecahan.
1 2 3 + = 5 5 5
1 1 5 + = 2 3 6 Kegiatan siswa diarahkan untuk melakukan paraktek sendiri untik menjumlahkan pecahan sehingga mereka mempunyai pengalaman tentang mengumpulkan data dari berbagai fakta. Fakta-fakta yang terkumpul dilihat polanya, sehingga siswa terlatih untuk terampil melihat kecenderungan pola. Kegiatan Akhir Dalam kegiatan akhir siswa diajak membuat kesimpulan dari banyak fakta dari suatu kejadian, sehingga mereka mempunyai sifat-sifat khusus tentan pecahan dan operasinya. Beberapa diantaranya adalah: 1 1 1 1 𝑛 a. 𝑎 + 𝑎 + 𝑎 + … + 𝑎 = 𝑎
b.
𝑎 𝑏
+
𝑐 𝑑
n kali diselesaikan dengan cara:
b.1. menyamakan penyebut 𝑎 b.2. menggunakan aturan: 𝑏 +
𝑐 𝑑
=
872
𝑎𝑑 +𝑏𝑐 𝑏𝑑
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tahap mengamati ( observasi ), mencakup : 1. Melakukan diskusi dengan guru-guru matematika SD Negeri 2 Guntur Macan dan guru lain dalam kelompok KKG untuk merencanakan observasi 2. Melakukan pengamatan terhadap penerapan pembelajaran PAIKEM yang dilakukan oleh guru-guru SDN 2 Guntur Macan 3. Mencatat semua kegiatan dan perubahan yang terjadi saat penerapan pendekatan dan metode pembelajaran Tahap refleksi ( reflection ), mencakup : 1. Merefleksikan proses pembelajaran yang berorientasi pada PAIKEM 2. Menganalisis hasil temuan hasil akhir penelitian 3. Menyusun rekomendasi Siklus Kedua ( II ) Tahap Perencanaan ( planning ), mencakup : 1. Mengevaluasi hasil refleksi,mendiskusikan serta mencari upaya perbaikan untuk diterapkan pada pembelajaran berikutnya. 2. Mendata masalah dan kendala yang dihadapi saat pembelajaran 3. Merancang perbaikan berdasarkan siklus pertama ( I ) Tahap melakukan tindakan ( action ), mencakup : 1. Melakukan analisis pemecahan masalah 2. Melaksanakan tindakan perbaikan dengan menggunakan penerapan pendekatan PAIKEM yang lebih menggiring anak untuk melakukan demonstrasi sendiri Tahap mengamati ( observasi ), mencakup : 1. Melakukan pengamatan terhadap model pendekatan PAIKEM 2. Mencatat perubahan yang terjadi 3. Melakukan diskusi untuk membahas masalah yang dihadapi saat pembelajaran, dan memberi umpan balik ( feedback ) Tahap refleksi ( reflection ), mencakup : 1. Merefleksikan proses pembelajaran yang berorientasi pada PAIKEM 2. Merefleksikan hasil belajar peserta didik dengan penerapan pendekatan PAIKEM 3. Menganalisis hasil temuan dan hasil akhir penelitian 4. Menyusun rekomendasi Dari tahap kegiatan pada siklus pertama ( I ) dan siklus kedua ( II ) hasil yang diharapkan adalah : 1. Siswa memiliki kemampuan dan kreatifitas serta aktif dalam proses pembelajaran 2. Guru memiliki kemampuan dalam menerapkan ,model,metode, serta pendekatan dalam hal ini pendekatan PAIKEM Analisa Data Untuk lebih menjamin keakuratan data penelitian,dilakukan perekaman data. Data yang diperoleh dianalisa dan di diskripsikan sesuai dengan permasalahan yang ada dalam bentuk laporan hasil penelitian. Data-data tersebut meliputi : 1. Data hasil belajar siswa Untuk mengetahui prestasi belajar siswa,hasil tes belajar dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan menentukan skor rata-rata hasil tes 2. Data aktifitas siswa 3. Data aktifitas guru Tabel Rencana Jadwal Kegiatan
NO 1.
Hari/ Tanggal pertemuan Senin,10 Maret 2014
2.
Senin, 17 Maret 2014
3.
Senin, 24 Maret 2014
Tahap Kegiatan Perencanaan Tindakan
Keterangan Menyiapkan RPP dan media dan sumber lain. Pelaksanaan Tindakan Menggunakan RPP,media siklus pertama langsung dan instrumen lainnya refleksi Pelaksanaan Tindakan Menggunakan RPP,dan siklus kedua langsung media,sumber belajar dan refleksi instrumen yang sudah disempurnakan 873
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan untuk Meminimalkan kesalahan siswa tentang konsep operasi hitung perkalian pecahan dengan berorientasi pada pendekatan PAIKEM dikelas III SD Negeri 2 Guntur Macan Tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus dari tanggal 10 Maret 2014 sampai dengan 24 Maret 2014. Data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil evaluasi pada masing masing siklus dan hasil obsevasi terhadap pelaksanaan pembelajaran oleh guru dan aktifitas siswa dalam proses belajar mengajar. Evaluasi siklus I dan II dapat dilihat pada lampiran lampiran termasuk hasil observasinya yang diolah sedemikian rupa sehingga diperoleh data seperti tertera pada tabel berikut ini : Data hasil Evaluasi aktifitas siswa dan guru pada tiap siklus Siklus I Jumlah siswa Jumlah siswa yang mengikuti tes Nilai rata-rata Jumlah siswa yang tuntas Persentase ketuntasan Aktifitas belajar siswa Kategori Aktifitas kegiatan guru Kategori
17 orang 17 orang 60,00 12 orang 70,5 % 3,86 Aktif 3,44 Baik
Siklus II Jumlah siswa Jumlah siswa yang mengikuti tes Nilai rata-rata Jumlah siswa yang tuntas Persentase ketuntasan Aktifitas belajar siswa Kategori Aktifitas kegiatan guru Kategori
17 orang 17 orang 88,3 16 orang 88,5 % 4,57 Sangat aktif 3,67 Baik sekali
B. Pembahasan Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus dengan prosedur penelitian yang telah ditetapkan, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, evaluasi dn refleksi. Pada pembelajaran siklus I dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang telah disusun sebelumnya berupa menyusun RPP, LKS, Lembar observasi aktifitas belajar siswa dan aktifitas guru. Berdasarkan hasil refleksi siklus I ini sudah tercapai ketuntasan secara klasikal namun perlu diadakan perbaikan pada siklus berikutnya untuk menekan angka ketuntasan atau membangun pemahaman siswa tentang suatu konsep terutama kepada anak yang belum berhasil tuntas antara lain dengan memberikan perbaikan,mengulang materi yang telah diberikan.Kelemahan atau kekurangan pada siklus ini antara lain : 1. Kurangnya antusias siswa dalam merespon pertanyaan guru 2. Siswa belum berani mengemukakan pendapatnya pada guru 3. Masih adanya siswa yang kurang memperhatikan temannya mengerjakan soal 4. Belum adanya pembagian tugas dalam kelompok 5. Siswa kurang merespon demonstrasi dan simulasi yang diberikan guru dan siswa 6. Siswa tidak memperbaiki kesalahan sebelumnya Dan kekurangan kekurangan pada siklus I akan diperbaiki pada siklus berikutnya. ( siklus II ) Pada pelaksanaan siklus II nilai rata rata siswa 88,3 dengan persentase ketuntasan 88,5 % . sedangkan hasil observasi terhadap aktifitas belajar siswa 4,57 874
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dengan kategori sangat aktif dan aktifitas guru 3,67 dengan kategori baik sekali. Berkenaan dengan ini penelitian dihentikan,karena sudah berhasil menekan atau membangun pemahaman siswa bahkan tercapai ketuntasan secara klasikal Memperhatikan hasil siklus I dan II terlihat bahwa telah terjadi peningkatan pemahaman siswa dalam menyerap konsep penjumlahan pecahan sehingga kesalahan kesalahan siswa dapat diminimalisir Disini juga terlihat bahwa siswa sudah menemukan suasana Pembelajaran Aktif, Inovatif,Kreatif,Efektif dan Menyenangkan ( PAIKEM ) yang menurut Winarno (2002 : 23 ) bahwa siswa terlibat secara langsung dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dalam proses belajar,ditambah lagi dengan kemampuan guru menggunakan alat bantu/media pembelajaran dan cara membangkitkan motivasi,termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik,menyenangkan dan cocok bagi siswa. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Pendekatan PAIKEM dalam pembelajaran Matematika pada materi penjumlahan pecahan yang dilaksanakan mampu dan dapat membangun pemahaman siswa khususnya kelas III Sekolah Dasar Negeri 2 Guntur Macan,Kec Gunung sari Tahun pelajaran 2011 / 2012. Hal ini terlihat peningkatan skor rata-rata dari siklus I ke siklus II yakni dari 60,00 menjadi 88,3 dengan ketuntasan belajar siswa dari 70,5 % menjadi 88,5 %. 2. Pendekatan PAIKEM pada pembelajaran matematika pada materi konsep penjumlahan pecahan dapat meningkatkan aktifitas siswa kelas III SD Negeri 2 Guntur Macan. Hal ini dapat terlihat dari peningkatan skor rata-rata aktifitas belajar siswa dengan kategori aktif menjadi kategori sangat aktif Saran Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini,maka saran saran yang ingin disampaikan sebagai berikut : 1. Diharapkan kepada guru- guru Sekolah Dasar Negeri 2 Guntur Macan dan guru di kabupaten Lombok Barat agar menggunakan pendekatan PAIKEM dalam pembelajaran dikelas sebagai alternatif pendekatan dan strategi pembelajaran 2. Membentuk kelompok belajar yang heterogen untuk menghilangkan kesenjangan antara siswa yang berprestasi tinggi dengan siswa berprestasi rendah 3. Siswa perlu dibiasakan untuk mengkonstruksi,menemukan,bertanya, dan bekerja sama didalam mengerjakan tugas kelompok,sehingga siswa belajar lebih aktif.inovatif,kreatif,efektif dan menyenangkan 4. Bagi guru guru yang ingin meneliti lebih lanjut diharapkan mencoba menerapkan pendekatan PAIKEM pada pokok bahasan/materi yang lain. DAFTAR RUJUKAN Depdikbud. 1993. GBPP Kurikulum 1994. Jakarta: Depdikbud Raharjo, M..2001.Pecahan. Bahan penataran Guru. Tanpa penerbit Sukayati.2002.Pembelajaran Perkalian Pecahan Berorientasi pada PAIKEM dan pembekalan kecakapan hidup. Yogyakarta : PPPPTK Matematika Trianto.2009. Mendesain model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Syaiful, S..2009. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung: penerbit tidak diketahui Wardani.2003. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Ditjen Dikdasmen Winarno,2003. Perencanaan Pembelajaran.Jakarta: Depdikbud
875
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA MENGGUNAKAN PECAHAN DALAM MASALAH PERBANDINGAN DAN SKALA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN MATHEMATICAL INVESTIGATION PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI SULAMADAHA KOTA TERNATE Lilik Linawati Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan cara peningkatan kemampuan siswa menggunakan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala di kelas dengan model pembelajaran mathematical investigation di kelas VI SD Negeri sulamadaha. Penelitian ini dilaksanakan dua siklus yaitu siklus I dilaksanakan hari Rabu tanggal 17 septembar 2014 dan siklus II dilaksanakan hari Senin tanggal 22 September 2014. Subjek penelitian adalah siswa kelas VI yang jumlahnya 30 orang yang terdiri dari 18 perempuan dan 16 orang lakilaki. Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan ,pengumpulan data / observasi dan refleksi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) proses pembelajaran matematika dengan model pembelajaran matematical investigation di kelas VI SD Negeri Sulamadaha di laksanakan dengan membagi siswa menjadi kelompok-kelompok intuk melakukan penyelidikan dan mengidentifikasi hal- hal yang diketahui dan masalah yang ditanyakan, (a) mengubah soal cerita menjadi kalimat matematika, (b) menentukan cara kerja, (c) menentukan hasil, (d) menuliskan hasil diskusi pada lembaran tugas, (e) mempresentasikan hasil diskusi, (f) membuat kesimpulan, dan (g) ebagai kegiatan akhir siswa mengerjakan soal tes sebagai evaluasi tingkat keberhasilan pembelajaran. 2) pelaksanaan model pembelajaran mathematical investigation di kelas VI SD Negeri Sulamadaha dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala. Hal ini terbukti berdasarkan hasil evaluasi yang dilaksanakan pada setiap siklus tingkat keberhasilan siswa mengalami peningkatan yaitu dari refleksi awal nilai rata-rata 56,66 dengan tingkat keberhasilan 40 %. Hasil evaluasi siklus I rata-rata 65,33 dengan tingkat keberhasilan 66,66 % sedangkan hasil evaluasi pada siklus II rata-rata 82,00 dengan tingkat keberhasilan 93,33 %. Kata kunci: kemampuan, perbandingan, skala, mathematical investigation.
Kualitas pendidikan, sebagai salah satu pilar pengembangan sumberdaya manusia yang bermakna, sangat penting bagi pembangunan nasional . Bahkan dapat dikatakan masa depan bangsa bergantung pada keberadaan pendidikan yang berkwalitas yang berlangsung dimasa kini. Pendidikan berkwalitas hanya akan muncul dari sekolah yang berkwalitas. Oleh sebab itu upaya meningkatkan kwalitas sekolah merupakan titik sentral upaya menciptakan pendidikan yang berkwalitas pula. Dengan kata lain upaya meningkatkan kwalitas sekolah adalah merupakan tindakan yang tidak pernah terhenti, dalam kondisi apapun. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah lemahnya proses pembelajaran. Ketika proses pembelajaran berlangsung siswa kurang didorong mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran dikelas cenderung diarahkan kepada kemampuan siswa untuk menghafal informasi tanpa dituntut untuk memehami dan mengkomonikasikan dengan kehidupan sehari-hari . Kenyataan ini juga dialami oleh peneliti ketika dilaksanakan pembelajaran matematika di kelas VI semester 1 di SD Negeri Sulamadaha pada hari rabu 10 September 2014 tentang penggunaan pecahan dalam perbandingan dan skala. Hasil yang dicapai oleh siswa kurang memuaskan. Hal ini disebabkan penggunaan strategi pembelajaran kurang tepat. Keadaan inilah yang menyebabkan kemampuan siswa dalam menggunakan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala sangat rendah. Ini terbukti dari hasil evaluasi yang dilaksanakan pada senin 8 September 2014 dengan 5 soal hasilnya tidak memuaskan karena dari 30 siswa kelas VI SD Negeri Sulamadaha yang mendapat nilai 100 tidak ada, nilai 90 diperoleh 2 orang, nilai 80 diperoleh 4 orang siswa atau (13,3%) , nilai 70 diperoleh 2 siswa atau 6,7 % , nilai 60 diperoleh 4 siswa orang dan 18 siswa mendapat nilai dibawah 60. Nilai rata-rata yang dicapai pada siswa adalah 56,66. Uraian berikut menjelasakan mengenai rincian penelitian. Berdasarkan data diatas dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika tentang penggunaan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala tidak berhasil karena jumlah siswa yang menguasai materi pembelajaran hanya 40 %. Proses pembelajaran dikatakan berhasil 876
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
apabila jumlah siswa yang menguasai materi pelajaran > 75 %. Proses pembelajaran cenderung terpusat pada guru, sementara siswa cenderung pasif, akhirnya siswa tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematikanya. Metode yang digunakan bersifat mekanistik sehingga tidak mengajak siswa untuk berpikir memecahkan masalah yang dihadapi. Metode yang digunakan adalah metode ceramah dengan sistim penyampaian informasi atau transfer of knowledge. Guru sibuk dengan materi yang disampaikan, tanpa menghiraukan aktivitas siswa dalam pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran sebagai alat bantu dalam memahami materi tidak pernah dilakukan sehingga ketika guru sedang menerangkan, siswa melakukan kegiatan sendiri, bahkan ada yang mengantuk.Setelah penyampaian informasi dilaksanakan guru langsung memberikan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab siswa. Siswa merasa ketakutan dan berusaha menghindar dari pertanyaan yang diberikan oleh guru. Melihat kenyataan tersebut, untuk meningkatkan kemampuan menggunakan pecahan dalam perbandingan dan skala, dipandang perlu untuk melakukan perbaikan pembelajaran dengan mengubah strategi atau model pembelajaran yang sesuai dengan karasteristrik materi pelajaran dan kebutuhan siswa. Adapun model pembelajaran yang akan dilaksanakan adalah model pembelajaran Mathematical Investigation. Identifikasi masalah sebagaimana uraian tersebut di atas adalah siswa tidak tertarik terhadap materi pelajaran, aktivitas siswa dalam proses pembelajaran kurang, siswa merasa takut terhadap pelajaran matematika. Depdiknas (2006: 73) Menjelaskan “perbandingan adalah perbedaan (selisih) kesamaan.”sedangkan menurut Muliana (2003 : 194) menyatakan, “ perbandingan juga disebut dengan rasio. Rasio adalah perbandingan dua nilai atau lebih yang berbeda”. Darhim ( 1996 : 294) menyatakan, “ perbandingan dapat ditulis dalam bentuk pecahan. Berdasarkan pendapat beberapa tokoh diatas maka dapat disimpulkan bahwa perbandingan adalah perbedaan antara dua atau lebih dari satu nilai yang dapat dinyatakan dalam bentuk pecahan. Misalnya a/b dapat dinyatakan dengan bentuk perbandingan a : b . Rasio atau perbandingan dapat terjadi pada dua bilangan, tiga bilangan, dan bilangan pecahan. Perbandingan dua bilangan yaitu perbandingan yang terjadi pada dua nilai atau bilangan, misalnya Uang A : Uang B= 3 : 4. Perbandingan tiga bilangan yaitu perbedaan yang terjadi pada tiga nilai atau bilangan .Misalnya Uang A : Uang B : Uang C = 3 : 4 : 5. Perbandingan bilangan pecahan adalah perbandingan yang dinyatakan dalam bentuk pecahan, misalnya 2/3 sama artinya dengan 2 : 3. Debdikbud ( 2003 : 850 ) memberikan pengertian, Skala adalah perbandingan ukuran besarnya gambar dengan keadaan yang sebenarnya”. Menurut Mulyana ( 2004:131), “Skala artinya perbandingan ukuran pada gambar atau peta dengan ukuran sebenarnya”. Suroto ( 1987:116) menyatakan bahwa “Skala adalah perbandingan ukuran pada gambar atau peta dengan ukuran sebenarnya, pada umumnya ukuran pada gambar atau peta dengan cm, dan diberi nilai 1”. Berdasarkan pendapat tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa skala adalah perbandingan atau perbedaan ukuran pada gambar atau peta yang dinyatakan dengan 1 cm dengan ukuran sebenarnya. Misalnya pada peta 1 : 1.000.000 artinya setiap 1 cm pada gambar atau peta sama artinya 1.000.000 cm atau 10 km pada jarak yang sesungguhnya. Penggunaan perbandingan salah satunya untuk menentukan skala. Salah satu cara menentukan skala yaitu dengan menyederhanakan pecahan. Untuk mencari skala diberikan rumus: 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑃𝑒𝑡𝑎 Skala = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟𝑛𝑦𝑎
Muhsetyo, dkk ( 2007 : 31) menyatakan bahwa mathematical investigation atau penyelidikan matematika adalah penyelidikan tentang masalah yang dapat dikembangkan menjadi model matematika, berpusat pada tema tertentu, berorentasi pada kajian atau eksplorasi mendalam, dan bersifat open- ended, dan kegiatan pembelajaran dapat berupa cooperatif learning. Syaban (2009 : 2 ) menjelaskan bahwa model pembelajaran investigasi adalah salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru untuk meningkatkan kemampuan siswa tentang matematika. Dengan jalan memberikan kesempatan menyelidiki situasi-situasi yang menarik hati mereka, sehingga mereka dapat menyusun pola atau keteraturan , menyusun dugaan ( conjectures ), mencari data yang dapat mendukung dugan tadi dan membuat kesimpulan.
877
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Evan dalam Syaban, ( 2009 : 2 ) menyatakan bahwa pembelajaran matematika harus melibatkan aktivitas –aktivitas sebagai berikut : (1) eksposisi (pemaparan) guru; (2) diskusi di antara siswa itu sendiri, ataupun antara siswa dengan guru; (3) kerja praktek ; (4) pemantapan dan latihan pengerjaan soal; (5) pemecahan masalah ; dan (6) investigasi. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan model pembelajaran mathematical investigation dalam model pembelajaran yang digunakan guru pada mata pelajaran matematika tentang peningkatan kemampuan siswa menggunakan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala dengan cara melakukan penyelidikan secara kelompok untuk mengidentifikasi data-data yang diketahui dan masalah yang dinyatakan, mengubah soal cerita menjadi kalimat matematika, membuat pola penyelesaian, dan membuat kesimpulan. Dengan demikian maka dua permasalahan pokok yang harus dijawab dalam penelitian ini, yaitu : (1) bagaimanakah cara meningkatkan kemampuan siswa menggunakan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala dengan model pembelajaran mathematical investigation; (2) bagaimana prosedur pelaksanaan model pembelajaran dimaksud untuk peningkatan kemampuan siswa menggunakan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala. METODE Penelitian ini dilaksanakan mulai minggu ke -3 September hingga ke- 3 oktober 2014 bertempat di SD Negeri Sulamadaha Kecamatan Pulau Ternate Kota Ternate , Maluku Utara dengan subjek penelitian adalah siswa kelas VI, SD Negeri Sulamadaha yang berjumlah 30 orang siswa yang terdiri dari 18 siswa perempuan dan laki-laki 12 siswa. Selain itu juga melibatkan 2 orang teman sejawat untuk membantu sebagai pengamat selama proses pembelajaran berlangsung. Peneliti menggunakan perbaikan pembelajaran untuk mengatasi masalah yang telah dirumuskan pada mata pelajaran matematika dengan kompetensi dasar menggunakan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala kelas VI Semester 1(satu). Kegiatan perbaikan pembelajaran ini dilaksanakan 2 siklus. Masing-masing siklus terdiri dari satu kali pertemuan . Setiap siklus terdiri dari 2 jam pelajaran ( 70 menit). Sesuai dengan prinsip dasar penelitian tindakan kelas, setiap tahap dan siklus penelitian selalu dilakukan secara partisipatif kolaboratif. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan sebagai berikut: (1) Menjelaskan tentang rasio melalui kegiatan nyata di kelas, yaitu menghitung jumlah siswa pria dan siswa wanita di dalam kelas. Jika jumlah siswa pria adalah x dan jumlah siswa wanita adalah y, maka rasio siswa pria dan siswa wanita di dalam kelas adalah x : y (2) Memperluas kegiatan nyata di dalam kelas dengan kesukaan dan ketidaksukaan terhadap makanan tertentu, minuman tertentu, olah raga tertentu, pakaian tertentu, dan acara televise tertentu (3) Menyatakan rasio sebagai pasangan berurutan bilangan, dan menynjukkan adanya perbadingan x : y dengan y ≠ 0 (untuk kasus tertentu y boleh nol, misalnya gol pertandingan sepakbola, atau dua situasi yang mana tidak ada satupun yang berpihak atau yang termasuk dalam salah satu situasi). (4) Rasio dapat dimaknai sebagai (a) bagian dengan bagian, (b) bagian dengan keseluruhan, (c) keseluruhan dengan bagian, (d) kasus pertama dengan kasus kedua yang tidak terkait. (5) Penerapan rasio sebagai perbandingan dari dua bangun datar yang sebangun C
F
R
R F
A
C
B D
E P
Q
AB : AC = DE : DF = PQ : PR
A
B
E
Q
AB : AC = AE : AF = AQ : AR 878
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(6) Penerapan rasio dalam membandingkan hasil pengukuran (skala) 1 cm 1000 km 1 kg 1000000 rupiah 2 cm 2000 km 3 kg 3000000 rupiah 5 cm 5000 km 7 kg 7000000 rupiah Dari data di atas disebutkan dalam peta sebagai skala 1 : 1000 , dan dalam tabel harga sebagai perbandingan 1 : 1000000 Secara umum rasio dapat dipandang sebagai : 1. Bagian terhadap keseluruhan Dalam hubungan bagian terhadap keseluruhan, rasio menjelaskan suatu himpunan bagian terhadap himpunan keseluruhan. Misalnya banyaknya siswa laki-laki 15 dibandingkan dengan banyaknya keseluruhan siswa 25 di dalam kelas, yaitu 15 : 25 atau 15/25 2. Bagian terhadap bagian Dalam hubungan bagian terhadap bagian, rasio menjelaskan suatu himpunan bagian terhadap himpunan bagian yang lain. Misalnya banyaknya siswa laki-laki 15 dibandingkan dengan banyaknya siswa perempuan 10 di dalam kelas, yaitu 15 : 10 atau 15/10 3. Keseluruhan terhadap bagian Dalam hubungan keseluruhan terhadap bagian, rasio menjelaskan suatu himpunan keseluruhan terhadap himpunan bagian. Misalnya banyaknya seluruh siswa 25 dibandingkan dengan banyaknya siswa laki-laki 15 di dalam kelas, yaitu 25 : 15 atau 25/15 4. Keterkaitan dua keadaan yang tidak terikat Data penelitian dikumpulkan dan disusun melalui tehnik pengumpulan data dan meliputi sumber data, jenis data, tehnik pengumpulan data, dan instrument yang digunakan. Tehnik pengumpulan data penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Tehnik Pengumpulan Data
1
SUMBER DATA SISWA
2
Guru
3
Guru Siswa
NO
TEHNIK PENGUMPULAN Jumlah siswa yang dapat Melaksanakan tes menjawab benar pre tes dan tertulis pos tes Langkah-langkah Melakukan observasi pembelajaran dan Aktivitas guru dan siswa Observasi selama pembelajaran berlangsung JENIS DATA
INSTRUMEN Soal tes
Pedoman observasi guru Pedoman observasi gurusiswa
PEMBAHASAN Data yang dikumpulkan dalam kegiatan ini antara lain motivasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, aktivitas masing-masing siswa dalam mengikuti kerja kelompok , dan data-data hasil evaluasi yang dilaksanakan akhir pembelajaran. Berdasarkan hal tes evaluasi dan dikoreksi oleh peneliti dari 30 siswa kelas VI SDNegeri Sulamadaha , diperoleh data sebagai berikut : 6 siswa mendapat nilai 100 atau ( 20 %), 8 siswa mendapat nilai 90 atau ( 26,6%), 8 siswa mendapat nilai 80 atau 26,6%, 4 siswa mendapat nilai 70 atau ( 13,3 %), 2 siswa mendapat nilai 60 atau ( 6,66 %) dan 2 siswa mendapat nilai 50 atau ( 6,66 % ), dengan nilai rata-rata 82.00 dan tingkat keberhasilan 93,33%. Hal ini berdasarkan siswa yang mendapat nilai 60 ke atas sebanyak 2 8 siswa. Sedangkan Kriteri Ketuntasan Minimal(KKM) Pada KTSP SD Negeri Sulamadaha untuk mata pelajaran matematika kelas VI adalah 60. Adapun data selengkapnya seperti pada tabel 2, sebagai berikut Tabel :2 . Rangkuman hasil refleksi Awal Siklus I dan Siklus II
Kegiatan Refleksi Awal Siklus I Siklus II
KKM
Jumlah siswa
Siswa tuntas
Tidak Tuntas
Nilai Rata- Tingkat rata keberhasilan
60
30
12
18
56,66
40,00 %
60 60
30 30
20 28
10 2
65,33 82,00
66,66% 93,33%
879
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan pembelajaran matematika pada kompetensi dasar kemampuan menggunakan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala belum berhasi. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan pembelajaran dengan model pembelajaran mathematical investigation. Perbaikan tersebut dinamakan perbaikan pembelajaran. Siklus I Hasil tes evaluasi pada akhir perbaikan pembelajaran siklus I tentang kemampuan menggunakan pemecahan dalam masalah perbandingan dan skala dengan menggunakan model pembelajaran mathematical investigation diperoleh data sebagai berikut : Peningkatan dari 40 % menjadi 66,66% dan nilai rata-rata mengalami kenaikan dari 56,66 menjadi 65,66, peningkatan tersebut belum optimal karena pembelajaran dikatakan apabila mencapai 75 % . Hal ini berdasarkan hasil pengamatan obsever, adanya keterbatasan waktu dalam melaksanakan kegiatan perbaikan pembelajaran tentang kemampuan menggunakan pecahan dalam masaalah perbandingan dan skala dengan model pembelajaran mathematical investigation. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan pembelajaran pada siklus II. Siklus II tetap menggunakan model pembelajaran mathematical investigation pecahan dalam masalah skala. Karena hasil evaluasi kegiatan perbaikan siklus I masih banyak siswa yang belum mampu menggunakan pecahan dalam masalah skala. Sementara penggunaan pecahan dalam masalah perbandingan diulangi lagi sehingga lebih menguasai. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa perbaikan pembelajaran kompetensi dasar penggunaan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala dengan model pembelajaran mathematical investigation dapat nerhasil dengan baik. Dengan demikian secara keseluruhan nilai ketuntasan siswa sudah diatas nilai Kriteria Ketuntasan Minimal ( KKM) 6,0. Namun demikian masih ada satu siswa yang masih dibawah KKM dan diadakan perbaikan atau pengayaan. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Sebelum
= KKM
Siklus 1
Siklus 2
= NILAI Rata rata
= Tingkat Keberhasilan %
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan perbaikan pemeblajaran matematika penggunaan pecahan dalam masalah perbandingan dan skala dengan model pembelajaran mathematical investigation dapat disimpulkan bahwa peningkatan proses pembelajaran matematika dengan model pembelajaran mathematical investigation di kelas VI SD Negeri Sulamadaha dilakukan dengan membagi siswa dengan kelompok-kelompok, melakukan penyediaan dengan mengidentifikasi hal-hal yang diketahui dan masalah yang ditanyakan. Mengubah soal cerita menjadi kalimat matematika , menentukan cara
880
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pengerjaannya,menentukan hasilnya, menuliskan hasil didkusi pada lembaran tugas, mempresantasikan, dan membuat simpulan. Hasil evaluasi yang dilaksanakan pada setiap siklus tingkat keberhasilan siswa mengalami peningkatan dari refleksi awal nilai rata-rata 56,66 dengan tingkat keberhasilan 40 %, hasil evaluasi siklus I rata-rata 65,33 dengan tingkat keberhasilan 66,66 %, dan hasil evaluasi siklus II rata-rata 82,00 dengan tingkat keberhasilan 93,33%. Saran Sebagai tindak lanjut, beberapa hal yang perlu dilaksanakan guru untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa terutama pembelajaran matematika antara lain : 1. Guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi/metode pembelajaran yang sesuai karasteristrik materi pembelajaran matematika di Sekolah Dasar. 2. Dalam melaksanakan pembelajaran hendaknya diskenario dengan baik agar siswa termotivasi dan terlibat langsung untuk melakukan kegiatan. 3. Guru hendaknya menyesuaikan penggunaan alat peraga dengan strategi/metode dan materi pelajaran sehingga kesesuaian antara model pembelajaran, materi, dan media pembelajaran saling mendukung. DAFTAR RUJUKAN Depdiknas. 2004.Kurikulum 2004 mata pelajaran matematika . Jakarta : Depdiknas. Muliana.2003. Matematika untuk Sekolah Dasar. Jakarta : 2003 Suroto. 1987. Matematika dan Segala Permasalahannya. Semarang: Semarang Press. Syaban. 2009. Strategi belajar Mengajar. Semarang: Semarang Press Subanji.2011. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: Pertamina & UM
881
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PERMAINAN MEMBANGUN DINDING PECAHAN PADA MATERI PEMAHAMAN KONSEP PENJUMLAHAN PECAHAN SISWA KELAS IV SD NEGERI I KEMA Sitti Aisah Da’u SD Negeri I Kema Kabupaten Minahasa Utara Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan hasil belajar siswa SD tentang operasi penjumlahan pecahan. Jenis penelitian adalah PTK (Penelitian Tindakan Kelas) dengan dua siklus, yang dilaksanakan pada bulan September 2014. Subyek penelitian adalah 25 siswa Kelas IV SD Negeri Kema Minahasa Utara. Latar belakang penelitian adalah rendahnya pemahaman siswa tentang penjumlahan pecahan. Media yang digunakan dalam pembelajaran adalah media karton berwarna yang dimainkan untuk membangun dinding pecahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media karton warna dalam Permainan Membangun Dinding Pecahan dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi Penjumlahan Pecahan, dibuktikan dengan hasil belajar siswa pada Prasiklus rata-rata 58 pada Siklus I 77,2 dan Siklus II 90,4 . Kata Kunci : peningkatan, hasil nelajar, permainan, dinding pecahan, penjumlahan pecahan.
Pembelajaran pada dasarnya membahas pertanyaan apa, siapa, mengapa, bagaimana dan seberapa baik tentang pembelajaran. Pertanyaan “Siapa” berkaitan dengan guru dan siswa sebagai subjek dari kegiatan pembelajaran.Bagaimana kualifikasi, kompetensi dan perilaku seorang guru yang lebih baik. Bagaimana cara memotivasi siswa untuk belajar. Bagaimana guru membangkitkan partisipasi siswa sehingga dapat mengembangkan potensi individunya secara optimal. Pertanyaan “Mengapa” berkaitan dengan penyebab atau alasan dilakuannya proses pembelajaran.Bagaimana proses pembelajaran untuk semua mata pelajaran dilakukan. Pertanyaan “Bagaimana” beraitan dengan proses pembelajaran yang lebih baik. Bagaimana guru menciptakan proses pembelajaran yang relevan dengan ehidupan siswa masa kini dan masa mendatang. Bagaimana strategi,metode,tehnik dan model pembelajaran yang dapat membantu siswa untu belajar lebih baik. Pertanyaan “Seberapa baik” berkaitan dengan penilaian proses pembelajaran, yaitu sejauh mana siswa belajar dan guru mengajar.Kegiatan ini meliputi teknik penilaian untuk menilai kompetensi siswa. Seberapa mampu guru merencanakan dan mengimplementasikan proses pembelajaran di kelasdan mendapatkan umpan baliknya berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran. Upaya meningkatkan keberhasilan pembelajaran, merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap orang yang berkecimpung dalam profesi keguruan dan kependidikan. Banyak upaya telah dilakukan, banyak pula keberhasilan telah dicapai, meskipun disadari bahwa apa yang telah dicapai belum sepenuhnya memberikan kepuasan sehingga menuntut renungan, pemikiran dan kerja keras untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Menganalisis upaya meningkatan keberhasilan proses pembelajaran, pada intinya tertumpu pada suatu persoalan, yaitu bagaimana guru memberian pembelajaran yang memungkinan bagi siswa terjadi proses belajar efektif atau dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan. Persoalan ini membawa implikasi sebagai berikut : Guru harus mempunyai pegangan asasi tentang mengajar dan dasar-dasar teori belajar. Guru harus dapat mengembangkan system pembelajaran. Guru harus mampu melakukan proses pembelajaran yang efektif. Guru harus melakukan penilaian hasil belajar sebagai dasar umpan balik bagi seluruh proses yang ditempuh. Upaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan belajar siswa diantaranya dapat dilakukan melalui upaya memperbaiki proses pembelajaran.Untuk itu peranan guru sangatlah penting yaitu menetapkan metode ataupun model pembelajaran yang tepat, 882
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
bergantung pada karakteristik pendekatan atau straregi yang dipilih. Guru dapat menggunakan berbagai metode pembelajaran untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal. Metode yang dipilih harus pembelajran dalam bentuk tugas pemecahan masalah dan demonstrasi yang melibatkan partisipasi aktif siswa. Siswa melakukan percobaan sendiri ataupun kelompok agar lebih memperjelas hasil belajar. Pengalaman yang sering terjadi untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran selalu mengalami berbagai kesulitan, yaitu dapat dilihat dari hasil belajar siswa yang belum bisa mencapai Kriteria Ketuntasan minimal, terlebih untuk pembelajaran Matematika selalu disertai dengan rasa bosan dsb. Permasalahn tersebut dapat dilihat pada materi penjumlahan pecahan untuk siswa Kelas IV SD Negeri I Kema ditemukan kurangnya pemahaman dan rendahnya hasil belajar yang dicapai untuk sebagian besar siswa. Dari hasil tes menunjukkan nilai siswa masih sangat rendah, dengan rata-rata 58 Dari 25 siswa 7 siswa yang mendapat nilai diatas KKM dan 18 siswa memperoleh nilai dibawah KKM. Artinya yang tuntas belajar hanya mencapai 28 % sedangkan KKM yang sudah ditetapkan adalah 67 Sebagian besar guru mengajarkan materi Penjumlahan Pecahan hanyalah langsung menjelaskan dengan menuliskan nilai pecahannya kemudian siswa langsung disuruh mengerjakan penjumlahan pecahan tersebut, sehingga masih banyak siswa yang belum bisa mengerjakan materi tersebut dikarenakan pemahaman dan penanaman konsep yang tidak dipahami oleh sebagian besar siswa. Pada saat proses pembelajaran juga siswa kurang memperhatikan penjelasan guru bosan dengan penjelasan terus menerus serta langsung dengan penugasan akhirnya nilai yang diperoleh tidaklah maksimal. Dari penjelasan diatas ditemukan masalah pada proses pembelajaran yaitu : o Proses pembelajaran tidak aktif , tidak efektif, dan tidak menyenangkan, o Tidak menggunakan Metode, model, strategi, tehnik, dan media yang cocok, menarik serta menyenangkan, o Siswa cepatlah bosan dengan penjelasan guru yang hanyalah ceramah dan penugasan terus-menerus sehingga pada saat Kegiatan Belajar mengajar kebanyakan siswa hanya bermain, o Hasil belajar tidaklah seperti apa yang diharapkan. Mengatasi permasalahan di atas, membutuhkan kerja keras guru untuk mengaktifkan serta mengefektikan pembelajaran dengan cara menggunakan Metode serta media yang cocok agar dapat membangkitkan motivasi belajar siswa, menciptakan suasana menyenangkan yang nantinya akan diciptaan oleh guru dan siswa. Menurut beberapa pakar mengartikan bahwa media merupakan : Alat untuk memberikan perangsang bagi siswa supaya terjadi proses belajar (Briggs), Sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa untuk belajar (Miarso, 1989); Sebagai teknologi pembawa pesan yang dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran yaitu perluasan bagi guru (Schram, 1982), Pembelajaran dapat lebih menarik serta kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan (Kemp and Dayton, 1985), Dalam pembelajaran Matematika harus dengan permainan/bermain bebas menggunakan media /benda konkrit (Dienes), Situasi pembelajaran bermakna menurut (Brownell dan Van Engen) yaitu : Adanya suatu kejadian, benda atau tindakan ; Adanya symbol yang mewakili unsur-unsur ; dan Adanya individu yang menafsirkan symbol tersebut. Pembelajaran yang efektif harus dilakukan dengan melakukan kegiatan yaitu: mendengar, melihat, mengerjakan ataupun bentuk-bentuk perbuatan lain seperti permainan,artinya melakukan perbuatan dengan menggunakan model-model pembelajaran ataupun media konkrit dapat memungkinkan pengalaman belajar yang diperoleh bersifat lebih baik dan tersimpan dalam daya ingatan (memori) dalam jangka waktu lebih lama. Berbuat berarti juga mengalami,siswa melakukan proses belajar yang sebenarnya jika dia mengalami sendiri melakukan apa yang dipelajari tidak hanya sekedar melihat dan mendengar, apalagi ketika guru melakukan model pembelajaran disertai dengan permainan menggunakan media yang langsung bisa dipraktekkan oleh siswa itu sendiri, jadi ilmu yang diterima lebih menarik dan meresap pada jiwa, pikiran, atau otak siswa daripada hanya dengan kata-kata/ceramah. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi penjumlahan pecahan dengan model permainan menggunakan media dinding 883
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pecahan, meningkatkan minat belajar siswa, lebih memahami konsep penjumlahan pecahan,meningkatkan kompetensi guru terhadap pengelolaan pembelajaran sehingga tercipta suasana pembelajaran yang lebih aktif, efektif serta menyenangkan bagi guru dan siswa itu sendiri, sehingga fungsi dari kompetensi professional guru terlihat jelas dengan bukti dari hasil belajar yang nantinya akan sangat memuaskan bagi siswa dan guru pada khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya. METODE PENELITIAN Penelitian Tindakan Kelas yang dilakukan ini akan memperbaiki serta dapat meningkatkan kegiatan proses pembelajaran di kelas dengan rencana pembelajaran yang sudah disiapkan oleh guru menggunakan metode yang tepat. Penelitaian tindakan kelas ini dilakukan di SD Negeri I Kema Kecamatan Kema kabupaten Minahasa Utara untuk mata pelajaran Matematika Kelas IV semester I Tahun Pelajaran 2014/2015 pada materi Penjumlahan Pecahan. Siswa berjumlah 25 orang terdiri dari laki-laki 16 orang dan perempuan 9 orang. Penelitian ini dilaksanaan dalam 2 siklus yang terdiri dari tahapan : perencanaan,pelaksanaan, observasi dan refleksi. Instrumen yang digunakan adalah RPP, Media pembelajaran lembar Kerja Siswa dan Lembar Observasi. Tahapan-tahapan pelaksanaan Penelitian ini adalah : Planning (Perencanaan) : Sebelum menentukan materi dimulai dengan identifikasi masalah yang ada kemudian merumuskan permasalahan tersebut, setelah masalah dirumuskan, menentukan pemecahan masalah kemudian merencanakan scenario pembelajaran yang sesuai dengan masalah tersebut, menyusun lembar Kerja Siswa, menentukan dan membuat media yang se kreatif mungkin sehingga efektif digunakan oleh siswa, sumber-sumber belajar yang harus digunakan, serta mengembangkan format evaluasi dan observasi pada proses pembelajaran nanti. Action (Pelaksanaan/Tindakan) : Langkah pembelajaran pada tahapan ini yaitu : Membangun motivasi belajar agar siswa tidak terlalu tegang dalam pembelajaran yang akan dilaksanakan dengan mengajak siswa bernyanyi bersama lagu : “Pecahan” Bertanya jawab tentang isi lagu yang telah dinyanyikan dikaitkan dengan materi yang akan disajikan; Membagi kelas dalam beberapa kelompok; Guru Menyampaikan tujuan pembelajaran, dan membagi alat peraga karton warna yang sudah terdapat nilai pecahannya untuk tiap kelompok Bertanya jawab tentang penggunaan alat peraga yang ada kaitannya dengan materi penjumlahan pecahan dengan cara belajar sambil bermain dengan menggunakan alat peraga karton berwarna Sesuai dengan arahan dan petunjuk guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan permainan membuat dinding pecahan sesuai dengan soal yang diberikan guru untuk tiap kelompok; Tiap kelompok membahas tugas yang diberikan secara kolaboratif yang bersifat penemuan dengan cara melakukan permainan dinding pecahan menggunakan karton warna yang sudah terdapat nilai pecahannya; Contoh soal : Dengan melakukan permainan membangun dinding pecahan, berapakah hasil penjumlahan dari ½ + 1/3 ? Dengan menggunakan media karton berwarna yang sudah ditentukan panjang tiap warna sama,mis: warna biru muda utuh (tidak di bagi)nilainya 1,warna orange di bagi 2 tiap bagian nilainya ½,warna merah dibagi 3 tiap bagian nilainya 1/3,warna hijau dibagi 4 tiap bagian nilainya ¼,warna biru tua dibagi 5 nilainya 1/5,warna putih dibagi 6 tiap bagian nilainya 1/6,seterusnya dengan warna karton yang lain dibagi 7,8,9,10 dst dan menulis nilai pecahan sesuai warna yang ditentukan dari tiap lambang pecahan,kemudian siswa mendemonstrasikan cara menghitung penjumlahan pecahan. Caranya siswa mengambil karton biru tua (utuh) diletakkan paling bawah,kemudian siswa mengambil 1 bagian karton warna orange yang nilainya ½ dan meletakkannya dibagian atas karton utuh,1 bagian karton warna merah yang nilainya 1/3 diletakkan disamping/berdekatan dengan ½.Siswa yang lain mencocokkan dengan karton warna 884
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
lain yang nilai pecahannya berbeda dan meletakkan di atas pecahan ½ dan 1/3 tadi sampai dinding pecahannya sama persis,nah dari hasil permainan siswa mengutak-atik karton warna yang sudah ada nilai pecahannya,siswa menemukan bahwa 5 bagian karton warna putih yang nilai pecahannya 1/6 diletakkan di atas pecahan ½ dan 1/3 maka panjang kartonnya menjadi sama persis artinya ½ dijumlahkan dengan 1/3 hasilnya = 5/6 (5 bagian karton bernilai 1/6) Contoh yang lain yaitu : mulai dari karton utuh bagian bawah artinya nilainya 1,dengan menggunakan campuran karton warna yang tertera nilai pecahannya siswa membangun dinding pecahan,kemudian 1 bagian karton bernilai ½ diletakkan di atas karton utuh disampingnya 3 bagian karton putih bernilai 1/6 sehingga sama dengan karton utuh bagian bawah artinya :1/2 + 1/6+ 1/6+1/6 = 1 = 6/6, guru memberikan arahan jika diding pecahannya sama panjang dengan karton utuh bagian paling bawah berarti jumlahnya 1 atau melihat penyebut terbesar dari campuran pecahan pada 1 tingkatan karton berwarna selanjutnya artinya jika 1 tingkatan itu penyebut terbesarnya 4 maka jumlahnya 4/4, jika penyebut terbesarnya 6 maka jumlahnya 6/6,jika penyebut terbesarnya 8 maka jumlahnya 8/8.begitu seterusnya dengan campuran pecahan yang lain sehingga membentuk dinding pecahan yang lebih tinggi dengan warna warni karton dan nilai pecahan yang berbeda. Permainan membangun dinding pecahan dengan karton warna untuk lebih memahami konsep penjumlahan pecahan dilanjutkan dengan bentuk soal yang berbeda untuk tiap kelompok,setelah selesai diskusi kelompok,secara bergantian tiap kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompokya di depan kelas dengan kesepakatan bersama menunjuk salah seorang anggota kelompok sebagai juru bicara dalam kelompoknya,yang lain membantu mengerjakan didepan kelas dalam bentuk permainan dinding pecahan,sedangkan kelompok yang lain mendengar dan menyimak hasil yang dipaparkan kemudian memberikan tanggapan serta saran untuk perbaikan bersama dengan penguatan yang disampaikan guru seterusnya demikian untuk kelompok yang lain. Bersama dengan siswa menyimpulkan materi dengan melakukan tanya jawab apa yang sudah dilaksanakan dalam pembelajaran,, guru melurusan kesalahpahaman serta memberikan penilaian ahir dan menutup pembelajaran.
Observasi (Mengamati) : Dalam tahapan observasi dilakukan dengan menggunakan lembar observasi serta menilai hasil tindakan dengan menggunakan format lembar kegiatan yang sudah disediakan guru. Reflecting (Refleksi) : Pada tahapan akhir ini yang dilakukan adalah mengevaluasi kegiatan yang telah dilaksanakan yaitu evaluasi materi pembelajaran serta hasil yang dicapai, waktu dari jenis tindakan lanjutan yang akan dilaksanakan dengan membuat pertemuan untuk membahas evaluasi pembelajaran dengan lembar kegiatan serta mengevaluasi tindakan pertama. Setelah melakukan kegiatan permainan dinding pecahan untuk pengurangan dan penjumlahan pecahan, siswa dapat lebih memahami konsepnya secara terstruktur sehingga kegiatan tersebut dapat membawa siswa menuju hasil pembelajaran yang sangat memuaskan sesuai dengan apa yang diharapkan. Saat siswa melakukan kegiatan kerja kelompok pada siklus I dan II peneliti melakukan pengamatan untuk mengetahui tingkat kemampuan bahkan keberhasilan siswa itu sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil belajar dari pra siklus sampai siklus ke II yang diperoleh adalah : prasiklus 28 %, hasil siklus I 66 % dan hasil siklus ke II meningkat menjadi 100 % artinya memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal yaitu 67,sehingga pembelajaran meningkat dengan hasil yang sangat memuaskan. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses pembelajaran pada pra siklus dilaksanakan seperti biasanya yaitu dengan menggunakan metode ceramah,tanya jawab dan langsung pada penugasan serta tidak menggunakan model dan media pembelajaran,akhirnya membuat siswa kurang termotivasi dalam mengikuti pembelajaran,merasa bosan,siswa hanya terlibat dengan kegiatannya sendiri yaitu bermain dan bercakap-cakap dengan temannya,tidak memperhatikan penjelasan guru,tidak
885
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
memahami konsep menghitung penjumlahan dan pengurangan pecahan, akibatnya tujuan pembelajaran tidak tercapai. Nilai hasil pembelajaran pra siklus atau sebelum menggunakan media permainan membangun dinding pecahan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1. Hasil Nilai Pembelajaran Pra Siklus (Sebelum Menerapkan Permainan Dinding Pecahan)
No
Nama Siswa
Nilai
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Aril Linggi Deisy M. Isak Dwi J. Daliman Ficka T. Paulus Filipo Nelwan Fadhal Christofel Jinny C. Fransisco Jesicca Pinangkaan Josua F. Lang Julfikar R. Utina Kevin R. Bebbe Liontin M. Wewengkang Melky Tomayahu Misery C. Wondiwoy Monika Tambayong Pingkan C. Samah Rafael Warbung Sifrit C. Mentang Vheren Wongkar Yefta E. Wungouw Yesaya E. Muntu Yeheskiel Kahiking Novry Panomban Junita Karim Zulfikar Abdillah Jumlah
60 70 50 50 50 50 50 60 70 50 70 50 50 60 60 70 50 70 50 70 70 60 50 60 50 1450
Nilai Rata-rata
58
Hasil yang dicapai pada pelaksanaan pra siklus dapat dilihat bahwa sebelum menggunakan Permainan dinding pecahan tidak mencapai hasil yang diinginkan.Nilai rata-rata siswa hanya 58. Untuk itu peneliti melakukan suatu tindakan perbaikan melalui siklus tindakan kelas. Siklus I Pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan skenario pembelajaran yang sudah disusun, hasil belajar siswa mulai meningkat dibandingkan sebelumnya karena pembelajaran tahap ini sudah menggunakan media permainan dinding pecahan. Alat Peraga Dinding Pecahan
886
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tabel 2. Hasil Pembelajaran Siklus I
No
Nama Siswa
Nilai
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Aril Linggi Deisy M. Isak Dwi J. Daliman Ficka T. Paulus Filipo Nelwan Fadhal Christofel Jinny C. Fransisco Jesicca Pinangkaan Josua F. Lang Julfikar R. Utina Kevin R. Bebbe Liontin M. Wewengkang Melky Tomayahu Misery C. Wondiwoy Monika Tambayong Pingkan C. Samah Rafael Warbung Sifrit C. Mentang Vheren Wongkar Yefta E. Wungouw Yesaya E. Muntu Yeheskiel Kahiking Novry Panomban Junita Karim Zulfikar Abdillah Jumlah
85 85 70 65 70 65 70 80 90 70 90 70 65 80 80 90 70 90 70 90 90 75 70 80 70 1930
Nilai Rata-rata
77,2
Antusias siswa terlihat pada kegiatan-kegiatan kelompok berikut Kelompok Dinding Putih
887
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kelompok Dinding Merah
Kelompok Dinding Biru
Dari hasil penelitian siklus I dapat dilihat meningkatnya hasil belajar.Hasil Observasi menunjukkan bahwa pembelajaran berjalan dengan baik,aktivitas keseluruhan dalam pembelajaran dinilai baik,dan sebagian besar siswa aktif.Dari 25 siswa dibandingkan saat pra siklus sebelumnyadengan nilai rata-rata 58 siklus I menjadi 77,2. Pada hasil siklus I dapat dilihat antusias siswa dalam mengikuti pembelajaran,karena dapat diberikan kesempatan oleh guru untuk menemukan konsep Penjumlahan dan pengurangan Pecahan dengan Permainan Membangun Dinding Pecahan, sehingga siswa dapat menemukan sendiri konsepnya,dan diberikan kesempatan oleh guru untuk dapat mengajukan beberapa pertanyaan dari hal-hal yang belum dimengerti. Setelah mengadakan refleksi,masih terdapat hambatan selama proses pembelajaran seperti : Kelas terkesan gaduh saat kegiatan kerja kelompok karena siswa tidak terbiasa menggunakan media sehingga siswa saling berebutan untuk menggunakan media yang ada dan akhirnya ada beberapa siswa yang mungkin tidak diberikan kesempatan oleh teman sekelompok akhirnya siswa tersebut hanya diam saja dan merasa tidak diindahkan oleh temannya,jarang melaksanakan diskusi kelompok,kurang memanfaatkan waktu seefisien mungkin.Dari hambatan yang terjadi pada pelaksanaan pembelajaran,maka peneliti melakukan perbaikan-perbaikan pada tindakan siklus selanjutnya untuk lebih meningkatkan hasil belajar. Siklus II Dari hasil pengamatan siklus I ,hal-hal yang harus diperbaiki adalah : Guru harus lebih memperhatikan keaktifan dari tiap siswa dalam masing-masing kelompok,pada saat kerja kelompok guru arus selalu mengingatkan bahwa yang dinilai adalah hasil kerja kelompok agar seluruh siswa dapat aktif sehingga tidak ada siswa yang merasa dirinya paling hebat jadi harus memberikan kesemptan juga pada seluruh teman dalam kelompoknya untuk dapat menggunakan media yang ada sehingga seluruh siswa bisa aktif,guru harus memperhatikan kegiatan seluruh kelompok jangan hanya terfokus pada satu kelompok saja,guru dapat memberikan penguatan serta motivasi pada siswa agar lebih termotivasi dalam kegiatan kelompok dan memaparkan hasil kelompoknya didepan kelas dengan penuh tanggung jawab. Langkah pembelajaran yang dilakukan mengacu pada siklus I hanya ada beberapa perbaikan yang harus diperhatikan untuk lebih meningkatnya hasil belajar siswa.Dalam kegiatan 888
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
ini guru lebih banyak memberikan contoh dan banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat melakukan permainan membangun dinding pecahan dengan hasil kerja kelompoknya dapat dipajang dan dapat didemonstrasikan didepan kelas kemudian bersama guru kelompok yang lain dapat menilai hasil kerja. Diakhir pembelajaran bersama dengan siswa menyimpulkan materi,mengerjakan evaluasi akhir sesuai arahan guru.Dengan demikian sesuai hasil observasi seluruh aktivitas pada siklus II lebih meningkat dari siklus I.pengelolaan kelas dinilai sudah lebih baik dan akhirnya pembelajaran berjalan baik dan lancar sesuai dengan apa yang diharapakan atau tercapainya tujuan pembelajaran.Hasil belajar pada siklus II mengalami peningkatan dari nilai rata-rata 77,2 yang Kriterianya baik meningkat menjadi nilai rata-rata 90,4 dengan kriteria sangat baik,dari jumlah siswa 25 orang yang tuntas belajar yaitu 100 %.Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel hasil Pembelajaran Siklus II
No
Nama Siswa
Nilai
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Aril Linggi Deisy M. Isak Dwi J. Daliman Ficka T. Paulus Filipo Nelwan Fadhal Christofel Jinny C. Fransisco Jesicca Pinangkaan Josua F. Lang Julfikar R. Utina Kevin R. Bebbe Liontin M. Wewengkang Melky Tomayahu Misery C. Wondiwoy Monika Tambayong Pingkan C. Samah Rafael Warbung Sifrit C. Mentang Vheren Wongkar Yefta E. Wungouw Yesaya E. Muntu Yeheskiel Kahiking Novry Panomban Junita Karim Zulfikar Abdillah Jumlah
90 90 85 85 85 85 85 90 100 85 100 85 85 90 90 100 90 95 90 100 95 95 85 95 85 2260
Nilai Rata-rata 90,4
PENUTUP Simpulan Melalui media karton warna dengan permainan membangun dinding pecahan untuk menghitung Penjumlahan pecahan, siswa dapat lebih memahami konsep penjumlahan pecahan sehingga dapat meningkatkan hasil belajar Matematika pada siswa kls IV SD Negeri 1 Kema Kabupaten Minahasa Utara dengan ditunjukkan oleh Analisis data dalam proses pembelajaran mulai dari Pra Siklus dengan nilai rata-rata 58 , meningkat menjadi 77,2 pada Siklus I serta meningkat lagi pada Siklus II nilai rata-ratanya menjadi 90,4 Jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan media yang menarik pada pembelajaran dalam bentuk permainan dapat 889
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep materi yang diajarkan sehingga dapat meningkatkan keaktifan siswa pada pembelajaran Matematika. Dalam hal ini guru harus kreatif dan inovatif dalam memilih,merancang pembelajaran agar bisa lebih aktif dan menyenangkan serta bisa mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Saran Berdasarkan hasil penelitian,maka ada beberapa saran yang dapat dikemukakan sebagai berikut : - Bagi sekolah hendaknya memberikan bantuan/perlakuan khusus bagi peserta didik yang kurang siap yaitu dengan pemberian bimbingan belajar seperti penerapan penggunan media yang konkrit misal: bentuk permainan menggunakan media karton warna membangun dinding pecahan. Sekolah hendaknya juga mengupayakan pengadaan media pembelajaran/alat peraga pada mata pelajaran lainnya,agar dapat menunjang keberhasilan dalam proses pemelajaran disekolah,khususnya mata pelajaran Matematika terutama untuk penanaman konsep pada siswa. - Bagi guru sebagai program pembimbing diharapkan dapat merancang program sesuai karakteristik individu siswa,sehingga setiap siswa memperoleh layanan yang tepat,serta mengoptimalkan penggunaan multi metode,media,penggunaan strategi pembelajaran yang bervariatif sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar dan hasil belajar siswa baik dalam segi pengetahuan,keterampilan dan sikap dari siswa tersebut. DAFTAR PUSTAKA Djunaedi, D. dan Indrijaningsih, T.T. (2010). Mengenal Bangun dan Belajar Pecaha. Jakarta: Penerbit Tidak Diketahui Marcia, M. 2001. 40 Fabulous Math Mysteries Kid Can’t Resist. London: Teaching Resources. Sardiman, A.M. 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Rajawali Press Sumiati, A. 2009. Metode Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima Susilana dan Riyana, C. 2009. Hakikat pengembangan dan pemanfaatan Media Pembelajaran.. Bandung: CV Wacana Prima Tim Bina Karya. 2007 . Terampil Berhitung Matematika untuk SD Kelas IV. Jakarta: Erlangga Tombokan, Najoan,R.A.O., dan Goni. 2008 . Pembelajaran Matematika. Manado: Universitas Negeri Manado.
PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN ALAT PELAJARAN MISTAR HITUNG GESER PADA PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT DI KELAS VII-C SMP NEGERI 1 PENAJAM PASER UTARA TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Marfu’ah Listyaningsih SMP Negeri 1 Penajam Paser Utara Kalimantan Timur
[email protected] Abstrak: Tujuan pembelajaran ini adalah meningkatkan hasil belajar matematika siswa SMP. Materi pembelajaran adalah operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Subyek pembelajaran adalah semua siswa kelas 7 sebanyak 29 orang. Pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan mistar hitung geser melalui kegiatan diskusi kelompok. Terdapat 7 kelompok, 6 kelompok beranggotakan 4 orang dan 1 kelompok beranggotakan 5 orang. Sebelum pembelajaran diberikan pre-test dan setelah pembelajaran diberikan post-test. Rata-rata hasil pre-test adalah 12,6 dan rata-rata hasil post-test adalah 83,2 sehingga ada peningkatan 70,6. Dengan demikian penbelajaran ini dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kals VII SMP. Kata kunci: mistar hitung geser, penjumlahan, pengurangan, bilangan bulat.
890
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Keberhasilan siswa dalam belajar dipengaruhi oleh beberapa factor, salah satunya adalah alat pelajaran yang dipergunakan dalam pembelajaran. Guru dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menyampaikan materi di kelas, sehingga bisa menarik perhatian siswa agar lebih berkonsentrasi dalam belajar. Sebelum menggunakan alat pelajaran Mistar Hitung Geser, dalam menjelaskan penjumlahan bilangan bulat kami menggunakan garis bilangan yang digambarkan pada papan tulis. Cara ini bagi siswa masih dirasakan membingungkan dan siswa juga kurang aktif sehingga mengakibatkan hasil belajar kurang memuaskan. Berangkat dari pengalaman belajar mengajar tersebut, untuk menumbuhkan motivasi dan meningkatkan hasil belajar siswa, penulis mencoba menggunakan alat pelajaran Mistar Hitung Geser dalam pembelajaran penjumlahan bilangan bulat. MODEL PEMBELAJARAN DAN PEMBAHASAN Model Pembelajaran Penelitian ini digunakan untuk mengetahui bagaimana hasil belajar matematika siswa SMP Negeri 1 PPU pada pokok bahasan penjumlahan bilangan bulat selama mengikuti pembelajaran matematika dipengaruhi dengan penggunaan alat pelajaran Mistar Hitung Geser. Dalam pembelajaran ini kami menggunakan model pembelajaran discovery learning, dengan harapan agar siswa dapat menemukan sendiri konsep tentang penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dengan menggunakan alar pelajaran mistar hitung geser. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas VII-C SMP Negeri 1 PPU Tahun Pelajaran 2013/2014. Objek dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa kelas VII-C SMP Negeri 1 PPU menggunakan alat pelajaran Mistar Hitung Geser dalam sub pokok bahasan penjumlahan bilangan bulat. Data hasil belajar siswa yang berupa bilangan akan dianalisis secara kuantitatif Tujuan dibuatnya alat pelajaran Mistar Hitung Geser ini adalah agar proses pembelajaran materi penjumlaan dan pengurangan bilangan bulat menjadi lancar, siswa aktif, bersemangat dan senang belajar. Sehingga hasil belajar siswa, khususnya tentang materi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat meningkat Sebelum melaksanakan penelitian di kelas VII-C SMP Negeri 1 PPU, penulis mempersiapkan materi penjumlahan bilangan bulat, membuat instrument kegiatan pembelajaran antara lain silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran(RPP), lembar kerja siswa(LKS), alat pelajaran “Mistar Hitung Geser”, soal pre-test dan post test. A. Rancangan/Desain Alat Peraga Mistar Hitung Geser 1. Alat dan Bahan Yang Digunakan Alat dan bahan yang digunakan antara lain adalah: a. Computer/laptop beserta printer b. Gunting c. Penggaris besi d. Carter e. Isolasi bening ukuran besar f. Double tape g. Kertas cover(manila) dua macam warna h. Plastic transparan (biasa digunakan untuk lapisan cover) i. Laminating 2. Gambar/Foto Alat dan Bahan yang Digunakan
B. Prosedur Pembuatan Alat Pelajaran 1. Prosedur/langkah-langkah pembuatan Alat Pelajaran Mistar Hitung Geser adalah sebagai berikut: a. Ketik rancangan alat Mistar Hitung Geser dan petunjuk penggunaannya
891
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
b. Cetak/print alat Mistar Hitung Geser pada selembar kertas cover/manila(salah satu warna) c. Kemudian dilaminating(pres) d. Pada bagian di atas garis bilangan dipasang plastic transparan untuk menempatkan pasangan garis bilangan yang kedua dengan menggunakan double tape e. Ketik pasangan garis bilangan pada Mistar Hitung Geser f. Cetak/print pasangan garis bilangan pada Mistar Hitung Geser pada selembar kertas cover/manila(warna yang lain) g. Kemudian dipotong menggunakan carter memanjang sesuai garis bilangan pada alat Mistar Hitung Gesernya h. Hasilnya dilapis dengan isolasi besar (menutupi seluruh permukaan kertas) agar lebih tebal dan awet i. Masukkan pasangan garis bilangan pada lubang plastic pada garis bilangan Mistar Hitung Geser j. Alat Mistar Hitung Geser siap digunakan 2. Gambar/Foto Yang Menggambarkan Langkah-Langkah Pembuatan Alat Pelajaran Mistar Hitung Geser adalah sebagai berikut:
C. Penggunaan Alat Pelajaran 1. Spesifikasi Penggunaan Alat Pelajaran Alat pelajaran ini dapat digunakan: a. Untuk : Pelajaran Matematika b. Di kelas/semester : VII/1 c. Pada KD/Materi : 3.1. Membandingkan dan mengurutkan beberapa bilangan bulat dan pecahan serta menerapkan operasi hitung bilangan bulat dan bilangan pecahan dengan memanfaatkan berbagai sifat operasi d. Indikator : e. Tujuan Pembelajaran : f. Sarana Lain yang diperlukan : LKS g. Pengetahuan Prasyarat : mengetahui letak bilangan bulat pada garis bilangan 2. Langkah-Langkah Penggunaan Dalam Pembelajaran Langkah-langkah penggunaan alat pembelajaran ini dalam pembelajaran adalah sebagai berikut: Contoh operasi penjumlahan bilangan bulat: 9 + −12 = ⋯ …. a. Langkah ke-1 : angka nol pada mistar geser digeser sehingga letaknya tepat berada di atas angka 9 pada mistar tetap b. Langkah ke-2 : pada mistar geser cari bilangan −12 c. Langkah ke-3 : pada mistar tetap bilangan di bawah (−12) merupakan jawabannya, yaitu −3
892
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
3. Gambar/Foto Penggunaan Alat Pelajaran
Pembahasan Pada awal pembelajaran, peneliti meminta siswa untuk mengerjakan soal pre-test dengan tujuan untuk mengetahui pengetahuan awal siswa, pre-test dilaksanakan selama 10 menit. Setelah pre-test selesai, siswa dibagi menjadi 7 kelompok dengan banyak anggota kelompok masing-masing 4 orang, ada satu kelompok yang beranggotakan 5 orang. Masingmasing kelompok dibagikan LKS dan sebuah alat pelajaran Mistar Hitung Geser. Sebelum mendiskusikan LKS dalam kelompok, peneliti menjelaskan kepada siswa bahwa untuk mengerjakan latikan yang ada di LKS digunakan alat pelajaran Mistar Hitung Geser yang didalamnya sudah ada petunjuk penggunaannya. Kegiatan diskusi ini dilaksanakan selama 30 menit. Setelah selesai diskusi, setiap kelompok yang diwakili oleh satu orang mempresentasikan satu nomor hasil diskusinya di depan kelas dengan menggunakan alat pelajaran Mistar Hitung Geser. Selesai presentasi, guru dan siswa bersama-sama menyimpulkan kegiatan pada pertemuan ini. Kemudian peneliti mengadakan post-test untuk melihat pemahaman siswa pada pembelajaran tentang penjumlahan bilangan bulat. Hasil belajar siswa dianalisis berdasarkan nilai pre-test dan post-test. Hasil belajar siswa dapat dilihat pada table berikut: Data Skor pre-test Skor post-test Selisih skor(d) Jumlah 1825 2412.5 587.5 Rata-rata 12.6 83.2 70.6 Dari hasil analisis skor test hasil belajar siswa diperoleh bahwa nilai rata-rata pre-test adalah 12,6 sedangkan nilai rata-rata post-test adalah 83,2. Sedangkan dari hasil analisis pre-test dan post-test beberapa siswa telah berhasil memperoleh nilai yang cukup baik dan meningkat. Dengan demikian, dalam hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan hasil belajar siswa setelah mendapatkan pembelajaran matematika dengan menggunakan alat pelajaran Mistar Hitung Geser pada pokok bahasan penjumlahan bilangan bulat.
893
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENUTUP Kesimpulan Hasil dari penelitian yang dilaksanakan di kelas VII-C SMP Negeri 1 PPU dapat disimpulkan bahwa: Penggunaan alat pelajaran Mistar Hitung Geser berpengaruh dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis skor pre-test dan post-test, ada peningkatan rata-rata nilai pre-test yaitu 12,6 ke post-test yaitu sebesar 83,2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka diberikan beberapa saran diantaranya: 1. Perlunya membuat inovasi kreatif dalam pembelajaran untuk menumbuhkan motivasi dan semangat belajar siswa pada pelajaran matematika, karena akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. 2. Jika ingin melakukan penelitian dapat menggunakan model-model pembelajaran kooperatif yang digabungkan dengan penggunaan alat pelajaran yang kreatif. DAFTAR RUJUKAN Faiq D. dan Muhammad. 2009. Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing (Guided Discovery Learning), http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2009/03/model-pembelajaranpenemuan-terbimbing.html Kemendikbud. 2013. Matematika Untuk SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Subanji, dkk. 2013. Jurnal Peningkatan Kualitas Guru. Malang : Universitas Negeri Malang: Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sukardi. 2004. Metodologi Penelitian Kependidikan, Yogyakarta: Bumi Aksara.
PENERAPAN METODE DISCOVERY LEARNING DALAM PEMBELAJARAN BERMAKNA MATERI STATISTIKA DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA CINMENMO UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS IX SMPN 10 SANGGAU Nining Wijiyanti SMP N 10 Sanggau – Kalbar
[email protected] [email protected] Abstrak :Tujuan pembelajaran ini adalah meningkatkan hasil belajar statistia di SMP. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara bermakna melalui metode discovery learning dengan bantuan alat Cinmenmo (Cincin mean-median.mode) Subyek pembelajaran adalah 34 siswa kelas IX SMPN 10 Sanggau yang terdiri dari 18 pria dan 16 wanita. Pembelajaran ini dilaksanakan karena hasil belajar matematika siswa kelas IX SMP N 10 pada semester 1 tahun 2014/2015 untuk kurang memuaskan. Tujuan Penggunaan Discovery learning adalah mengubah kondisi belajar siswa yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Dalam pembelajaran matematika materi statistika ukuran pemusatan data ini, alat peraga cinmenmo diciptakan dengan tujuan ingin menciptakan pembelajaran bermakna, kreatif, inovatif dan berkarakter dengan harapan siswa lebih mudah memahami materi.Hasil evaluasi menunjukkan bahwa lebih dari 90% siswa memenuhi KKM yaitu memperoleh skor lebih dari 65. Kata Kunci: discovery learning, statistika, alat peraga Cinmenmo
894
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
LATAR BELAKANG 1. Model pembelajaran dan media pembelajaran monoton
4.Perlu adanya model pembelajaran dan alat peraga kreatif
3.Hasil belajar rendah
2.Siswa Pasif
PENERAPAN METODE DISCOVERY LEARNING DALAM PEMBELAJARAN BERMAKNA MATERI STATISTIKA DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA CINMENMO UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS IX SMP N 10 SANGGAU
Pembelajaran matematika harus senantiasa diperbarui seiring dengan tuntutan perkembangan dunia global. Guru perlu memfasilitasi dan menjadi pembangkit belajar bagi siswanya. Banyak faktor yang mempengaruhi belajar siswa. Faktor - faktor itu antara lain proses pembelajaran yang disampaikan oleh guru yaitu berupa metode pembelajaran, media pembelajaran atau alat peraga yang membantu mempermudah proses pembelajaran. Peningkatan kualitas pembelajaran dapat dimulai dengan memecahkan masalah pembelajaran yang dirasakan guru dan siswa di kelas dan memperbaikinya dengan memilih suatu pembelajaran yang diterapkan dalam suatu tindakan. Dalam Pembelajaran matematika sangat penting untuk menekankan media (peraga) untuk mengembangkan pemahaman fisik. Prestasi belajar siswa kelas IX SMP N 10 Sanggau untuk mata pelajaran matematika selama ini kurang memuaskan, dimana hasil belajar siswa untuk materi ukuran pemusatan data masih rendah. Hal ini bisa dilihat dari nilai yang diperoleh siswa masih banyak di bawah KKM yaitu 65. Hal ini dikarenakan pembelajaran yang diterapkan sering menggunakan pembelajaran teacher oriented. Lebih rinci masalah rendahnya prestasi belajar siswa kelas IX SMP N 10 Sanggau pada kompetensi dasar " Menentukan Mean, Median dan Modus Data Tunggal serta Penafsirannya" disebabkan oleh: 1. Siswa tidak begitu paham dengan materi statistika 2. Siswa tidak aktif dalam kegiatan pembelajaran 3. Siswa tidak termotivasi dalam belajar Masalah di atas setelah dianalisis penyebabnya adalah: 1. Guru tidak menggunakan proses pembelajaran yang tepat / cenderung teacher oriented 2. Guru tidak menggunakan alat peraga atau media dalam proses pembelajaran 3. Siswa pasif Dalam hal ini, tindakan yang dilakukan guru dalam proses belajar mengajar adalah menerapkan Pembelajaran Bermakna dengan metode discovery learning. Dimana Pembelajaran Bermakna merupakan upaya menciptakan terjadinya belajar bermakna dan melanjutkan proses internalisasi pengetahuan perilaku dan karakter diri. Belajar Bermakna (meaningful learning) pada awalnya dikembangkan oleh Ausubel. Dalam hal ini Ausubel menjelaskan bahwa seorang siswa dikatakan belajar secara bermakna apabila siswa tersebut dapat mengaitkan antara apa yang dipelajari (pengetahuan baru) Dalam hal ini, tindakan yang dilakukan guru dalam proses belajar mengajar adalah menerapkan metode Discovery learning. Pembelajaran yang dilakukan memanfaatkan alat peraga cinmenmo ( cincin untuk menentukan mean, median dan modus) dengan harapan memotivasi siswa untuk belajar sehingga prestasi belajar siswa meningkat.
895
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Walaupun penerapan kurikulum 2013 baru tertuju di kelas VII dan VIII, tapi disini guru mencoba menerapkan di kelas IX karena guru ingin menerapkan pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Discovery Learning adalah proses pembelajaran yang atter in the final form, but rather is requid to organize it him self (Lefancois dalam Emetembun, 1986: 103). Yang menjadikan dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas. Discovery learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiri) dan problem solving. Pada discovery learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang dihadapkan pada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru. Prinsip belajar pada discovery learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai siswa didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorganisasi atau membentuk (konstrukstif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir. Penggunaan Discovery learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented menjadi student oriented. Merubah modus ekspository siswa hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa menemukan informasi sendiri. Secara umum, hasil pembelajaran ini diharapkan dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas. Secara khusus, hasil pembelajaran ini dapat mempunyai kontribusi terhadap siswa, guru dan sekolah. METODE Syah (2000) menyatakan bahwa metode pembelajaran adalah metode yang digunakan untuk memperlihatkan suatu proses atau cara kerja suatu benda yang berkenaan dengan bahan pelajaran.. Karena penelitian ini bermaksud untuk mengetahui Hasil belajar siswa kelas IX materi Statistika, maka didalam proses pembelajaran diterapkan model Discovery learning. Pembelajaran ini akan dilakukan pada siswa kelas IX SMP N 10 Sanggau yang berjumlah 34 anak, terdiri dari 18 putra dan 16 putri. Adapun latar belakang kelas ini dipilih sebagai subjek pembelajaran adalah: 1. Peneliti adalah guru matematika kelas IX SMP N 10 Sanggau, sehingga mudah untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran 2. Berdasarkan teori, bahwa melalui penerapan Discovery learning dan penggunaan alat peraga cinmenmo dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dengan materi pokok "ukuran pemusatan data". Pembelajaran Bermakna Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses sistematis dan terencana yang dirancang oleh pembelajar ( guru )untuk membelajarkan siswa sehingga siswa mampu : 1. Mengontruksi pengetahuan (materi) baru melalui pengaitan dengan pengetahuan lama 2. Memahami materi lebih dari sekedar tahu 3. Mampu menjawab, apa, mengapa dan bagaimana 4. Menginternalisasi pengetahuan kedalam diri sedemikian hingga membentuk perilaku, dan 5. Mengolah perilaku menjadi karakter diri. Dalam hal ini peranan guru adalah : 1. Mengaitkan materi yang diajarkan dengan pengetahuan lama yang dimiliki oleh siswa 2. Menjadi pembangkit belajar 3. Memberikan scaffolding ketika dibutuhkan oleh siswa 4. Menjadi pemicu berfikir bagi siswa Pembelajaran Bermakna yang dikembangkan di TEQIP sebagai perluasan dari meaningfull learning yang dicetuskan oleh AUSEBEL. Selain bisa mengaitkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru, juga sangat penting bahwa dalam belajar siswa harus paham lebih dari sekedar tahu sehingga bias menjawab apa – mengapa –bagaimana. Sebagai akhir dari tahapan proses belajar adalah pengetahuan yang sedang dipelajari oleh siswa harus bias terinternalisasi menjadi perilaku dan akhirnya terbentuk karakter diri yang baik. 896
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Discovery learning Discovery learning adalah pembelajaran yang lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya belum diketahui. Merubah pembelajaran teacher oriented ke student oriented. Merubah modus Ekspository siswa hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa menemukan informasi sendiri. Bruner mengatakan bahwa proses belajar siswa akan berjalan dengan baik dan kreatif, jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melaui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya ( Budiningsih, 2005:41). Langkah – langkah pembelajaran Discovery learning 1. Perencanaan a. Menentukan tujuan pembelajaran b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa ( kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya) c. Memilih materi pelajaran disini adalah Statistika d. Menentukan topic-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh – contoh generalisasi) e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa f. Mengatur topic-topik pelajaran dari sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa 2. Pelaksanaan a. Stimulation ( Stimulasi / pemberian rangsangan ) Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. b. Problem Statement ( pernyataan / Identifikasi masalah) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan (Syah 2004:244) c. Data collection (Pengumpulan Data) Ketika eksplorasi berlangsung guru memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis ( Syah, 2004 : 244) d. Data Processing(Pengolahan Data) Menurut Syah (2004 :244 ) Data processingmerupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melaui wawancara, observasi dan sebagainya, semuanya diolah, diklasifikasikan , ditabulasi e. Verification ( Pembuktian) Siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternative, dihubungkan dengan data processing (Syah, 2004 :244) f. Generalization (Menarik Kesimpulan) Proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004 :2) PEMBAHASAN Materi statistika adalah materi yang mempelajari tentang data. Materi Statistika dipelajari di kelas IX semester I. Disini penulis akan mengambil materi statistika yang berhubungan dengan ukuran pemusatan data. Ukuran Pemusatan Data Mean (Rataan) Mean adalah nilai rata-rata dari data yang dihitung dengan cara menjumlahkan semua data dibagi banyaknya data.
897
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Rumus Mean =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑆𝑒𝑚𝑢𝑎 𝐷𝑎𝑡𝑎 𝐵𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝐷𝑎𝑡𝑎
Median Adalah nilai tengah suatu data setelah data tersebut diurutkan Median terletak tepat ditengah – tengah jika banyak data ganjil Median adalah nilai rata – rata dari dua data tengah jika banyak data genap 𝑋 𝑛+1 𝑋𝑛 𝑋 𝑛+2 Rumus Median : Data Ganjil : 2 , dan Data Genap : 2 + 2 Modus adalah nilai yang sering muncul Dalam pembelajaran matematika materi statistika ukuran pemusatan data ini, alat peraga cinmenmo diciptakan dengan tujuan ingin menciptakan pembelajaran bermakna, kreatif, inovatif dan berkarakter dengan tujuan siswa lebih mudah memahami materi. Cinmenmo dibuat dari pita yang dipotong kecil dan dibuat seperti cincin, dan dipasangkan dengan alat mistar cinmenmo yang dibuat dari pipa. Dimana hanya dengan menggunakan cinmenmo siswa dapat menentukan mean, median dan modus data tunggal secara langsung. Dimana penggunaan cinmenmo adalah sebagai berikut : Kesepakatan : cincin mewakili jumlah data tiap baris Menentukan mean atau rata-rata Langkah – langkah pembelajaran: a. Masukkan cincin pada mistar cinmenmo, sesuaikan dengan jumlah tiap barisnya b. Tulislah banyak baris yang diketahui c. Ambilah semua cincin dan hitunglah kemudian masukkan cincin sama rata sesuai banyak baris semula d. Hasil Pembagian jumlah cincin dengan banyak baris itulah rata-ratanya Menentukan Median atau nilai tengah Syarat : Data harus urut a. Masukkan cincin pada mistar cinmenmo, sesuaikan dengan jumlah tiap barisnya b. Tentukan jumlah barisnya kemudian carilah baris tengahnya dengan melihat keseimbangan baris kanan dan kirinya lalu ambillah cincinnya c. Banyak cincin pada baris tengah itulah mediannya Median terletak tepat di tengah-tengah jika banyak data ganjil Median adalah nilai rata-rata dari dua data tengah jika banyak data ganjil Menentukan Modus atau nilai yang sering muncul a. Masukkan cincin pada mistar cinmenmo, sesuaikan dengan jumlah tiap barisnya b. Banyak cincin yang sering keluar adalah modus Langkah – langkah Pembelajaran Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ( RPP ) terdiri dari kegiatan awal, kegiatan inti , dan kegiatan akhir. Media yang digunakan adalah Cinmenmo, dan LKS Kegiatan awal Dalam kegiatan awal apersepsi dilakukan dengan cara mengecek kehadiran siswa , penyampaian tujuan pembelajaran, mengingatkan siswa tentang materi prasyarat untuk menentukan mean, median,modus data tunggal dan memberi motivasi siswa. Contoh motivasi , guru : Jika siswa menguasai materi tentang mean atau rata – rata maka dapat menghitung nilai rata – rata dalam kehidupan sehari- hari misalnya rata-rata nilai rapot. Kegiatan Inti 1. Guru membentuk kelompok yang terdiri dari 5 – 6 siswa yang heterogen. Kemudian membagikan Lembar Kerja yang telah dibuat oleh guru.Siswa membaca pedoman lembar kerja untuk persiapan pemecahan 2. Sesuai dengan materi dan indikator guru menerapkan Discovery learning dan penggunaan alat peraga cinmenmo dalam menentukan mean, median dan modus data tunggal. Disini guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi dan menganalis yang kemudian dirumuskan dalam bentuk statement.
898
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
3. Siswa mengumpulkan berbagai informasi yang relevan, mengamati objek dan melakukan uji coba sendiri. Disini setiap kelompok melakukan perhitungan mean, median, modus dengan menggunakan cinmenmo. 4. Menggunakan panduan LKS terlampir dan media cinmenmo, setiap kelompok presentasi untuk menentukan mean, median dan modus 5. Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan terhadap keberhasilan siswa Kegiatan akhir 1. Guru dan siswa bersama-sama membuat rangkuman 2. Siswa diberikan soal evaluasi yang dikerjakan secara individu yang bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa Dalam discovery learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan. Pada akhirnya yang menjadi tujuan dalam discovery learning menurut Bruner adalah hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi problem solver, seorang scientist, historin, atau ahli matematika. . LEMBAR KERJA SISWA Menentukan Mean, Median dan Modus Data Tunggal Media : CINMENMO Kesepakatan : Cincin mewakili jumlah data tiap baris Menentukan mean atau rata-rata Langkah – langkah pembelajaran: 1 Masukkan cincin pada mistar cinmenmo, sesuaikan dengan jumlah tiap barisnya 2 Tulislah banyak baris yang diketahui 3 Ambilah semua cincin dan hitunglah kemudian masukkan cincin sama rata sesuai banyak baris semula 4 Hasil Pembagian jumlah cincin dengan banyak baris itulah rata-ratanya Dengan menggunakan cinmenmo tentukan mean dari: 1) 2, 2, 3, 3, 5 2) 1, 1, 2, 4 Menentukan Median atau nilai tengah Syarat : Data harus urut 1. Masukkan cincin pada mistar cinmenmo, sesuaikan dengan jumlah tiap barisnya 2. Tentukan jumlah barisnya kemudian carilah baris tengahnya dengan melihat keseimbangan baris kanan dan kirinya lalu ambillah cincinnya 3. Banyak cincin pada baris tengah itulah mediannya Median terletak tepat di tengah-tengah jika banyak data ganjil Median adalah nilai rata-rata dari dua data tengah jika banyak data ganjil Dengan menggunakan cinmenmo tentukan median dari data: 1) 3, 3, 4 2) 2, 2, 2, 2, 4, 6 Menentukan Modus atau nilai yang sering muncul 1. Masukkan cincin pada mistar cinmenmo, sesuaikan dengan jumlah tiap barisnya 2. Banyak cincin yang sering keluar adalah modus Dengan menggunakan cinmenmo tentukan Modus dari: 1) 2, 2, 2, 4 2) 1, 2, 3, 3, 4 HASIL Dalam Pembelajaran bermakna menggunakan metode Discovery learning, penilaian dilakukan dengan menggunakan tes maupun non tes. Sedangkan penilaian yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap atau penilaian hasil kerja siswa. Disini penilaian yang dilakukan adalah penilaian hasil kerja siswa. Dimana setelah melaksanakan pembelajaran mata pelajaran materi pokok pemusatan data diperoleh peningkatan belajar siswa. Hal ini dapat terlihat dari hasil evaluasi siswa yang nilainya 90% berada di atas nilai KKM 65. 899
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Setelah melaksanakan pembelajaran mata pelajaran matematika materi pokok STATISTIKA diperoleh peningkatan prestasi belajar siswa. Hal ini dapat terlihat dari hasil evaluasi siswa yang nilainya berada diatas KKM 65. Tabel
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
NAMA Anastasius Antonius Reki Atrinomoliadi Alosius Andri Agnes Ulan R.S Andreas Dandi U Deli Desi Ratnasari Deka Vega P Deomedes Reki N Dominika Kiti Domikus Loren Elisabet Emilia Eni Feronika Pepiani Florensius Moses Fondeska K.R。M Katarina Ririn Laurensius Lian Lusia Natalia Lorensius Along Marsianus Yonat Markus Bobi Markus Yogi Margarita Rita Susiana Yetni Teresia Eka Undo Nardo Victoria Yogio Yohanes Bello Yohanes Rodes Albertinus Rendi
: Nilai Hasil Evaluasi Kelas IX
NILAI 85 70 100 70 50 90 75 70 100 70 75 75 70 70 95 80 80 70 70 70 80 70 75 75 70 70 75 80 100 90 85
KETERANGAN Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tidak Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas
Berdasarkan hasil nilai evaluasi maka dapat diartikan pembelajaran yang baik adalah : 1. Merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif 2. Merubah pembelajaran yang teacher oriented menjadi student oriented 3. Dapat memotivasi siswa untuk belajar matematika dengan menggunakan media dan menerapkan pembelajaran bermakna dengan metode discovery learning 4. Penguasaan materi dapat lebih ditingkatkan melalui media yang mudah dipahamisiswa 5. Perhatian siswa terhadap pembelajaran yang sedang berlangsung dapat diciptakan dengan meningkatkan komunikasi yang baik antara guru dengan bsiswa ataupun antara siswa dengan siswa melaui diskusi kelompok. Menarik pula untuk mencermati yang disampaikan Suyatno (2008b) berikut, guru kreatif dan inovatif tidaklah akan cepat puas dengan salah satu tindakan yang dilakukannya. Mereka akan selalu tidak puas dengan apa yang telah dijalani sebelum mendapatkan hasil yang memuaskan bagi dirinya, siswa dan kepentingan akademis
900
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENUTUP Kesimpulan Setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran bermakna dengan metode Discovery learning dapat membuat siswa menjadi aktif dan kreatif. Sehingga pembelajaran ini dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Saran Untuk meningkatkan hasil prestasi belajar siswa materi ukuran pemusatan data diharapkan guru dapat menerapkan kurikulum 2013 dengan menggunakan Pembelajaran Discovery learning. DAFTAR PUSTAKA Dasna, I Wayan. 2013. Penelitian Tindakan Kelas ( PTK ). Malang: Universitas Negeri Malang: Mulyani Sumantri dkk. Tanpa Tahun. Media Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Rini, Nurhakiki dkk. 2013. Media Pembelajaran Matematika SMP. Malang : Universitas Negeri Malang . Subanji. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: Universitas Negeri Malang Subanji, dkk. 2013. Jurnal Peningkatan Kualitas Guru. Malang : Universitas Negeri Malang: Subanji, dkk.2013. Prosiding Seminar Nasional Exchange of Experiences Teqip 2013. Malang: Universitas Negeri Malang Syamsudini. 2012. Aplikasi Metode Discovery Learning dalam meningkatkan Kemampuan Memecahkan masalah, Motivasi Belajar dan Daya Ingat siswa. Jakarta: http://darussholahjember.blogspot.com/2011/05/aplikasi-metode-discovery-learning.html (23 Mei 2013)
PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM MEMPELAJARI MATERI POKOK HIMPUNAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS VII SMPN 04 SATAP MUKOK Riska Tabahyana Agustini SMPN 04 SATAP Mukok Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah menungkatkan hasil belajar siswa SMP tentang materi himpunan. Jenis penelitian adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan dua siklus. Subyek penelitian adalah seluruh siswa dalam satu kelas tujuh di SMPN 04 Mukok. Pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kontekstual, memanfaatkan fakta dalam lingkungan sehari-hari. Hasil tes menunjukkan adanya peningkatan 2,39 karena rata-rata hasil tes pada siklus I adalah 5,37 dan rata-rata tes pada siklus II adalah 7,76 Kata kunci: hasil belajar, himpunan, kontekstual, PTK
Pendidikan merupakan salah satu tolak ukur teramat penting untuk membentuk manusia yang berkarakter dengan semangat kebangsaan, cinta tanah air dan ikut serta di dalam pembangunan daerahnya. Untuk mewujudkan pembangunan daerah dimana kita tinggal perlu adanya usaha dan upaya untuk mencapainya walaupun tidak mudah. Oleh karena itu muncul berbagai masalah, terutama dalam hal pendidikan. Rendahnya prestasi belajar matematika tidak hanya karena kesalahan siswa tetapi juga disebabkan oleh proses belajar yang tidak sesuai pada saat belajar mengajar itu berlangsung. Persoalan mendasar yang hingga kini masih sangat dilematis dan kerap diahadapi guru dalam proses belajar mengajar adalah membangun suasana pembelajaran yang aktif-partisipatif yang mampu melibatkan siswa dalam berinteraksi di dalam kelas dan berkualitas antara guru,
901
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dan atau antar siswa. Akibat dari itu, iklim atau suasana kelas pada saat pembelajaranpun kurang menyenangkan dan membuat siswa tidak betah selama belajar. METODE PEMBELAJARAN Dalam The Standards sifat matematika, yaitu: “mengetahui” matematika adalah “melakukan (doing)” matematika, setelah “melakukan” matematika maka belajar akan lebih bermakna jika anak „mengalami‟ apa yang dipelajarinya, bukan „mengetahui‟nya.(Wahyudin,2008:70) Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang mampu membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. (Depdiknas, 2002:1) Dengan konsep itu, maka hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa dan guru semakin bervariatif menggunakan pendekatan atau metode yang ada. Hasil Belajar berasal dari “hasil” dan “belajar”. Menurut Kamus Bahasa Indonesia bahwa hasil adalah sesuatu yang diadakan oleh usaha, pendapatan atau perolehan; akibat, kesudahan; mendapat hasil/berhasil. Sedangkan belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu; berlatih; merubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. (Depdiknas.2007) Menurut Aliran Tingkah Laku (Hermawan.2010:1) belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons atau lebih tepat: perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons. Belajar melibatkan semua aspek kepribadian manusia, pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh, disamping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya serta persepsi masa mendatang.(DePorter dkk.2001:6) C.T Morgan dalam bukunya yang berjudul Introction to Psychologi (Wardhana.2010:15) mengatakan belajar adalah suatu perubahan yang relatif dalam menetapkan tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman masa lalu. Menurut Slameto (Hamdani, 2011:20) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut pengertian secara psikologis yang diungkapkan Slameto, belajar merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. (Hamdani, 2011:20) Dari berbagai definisi diatas, dapat dismpulkan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan. Maka hasil belajar adalah nilai adalah sejumlah ukuran dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk menentukan atau menilai keberhargaan segala sesuatu perubahan tingkah laku atau penampilan dalam serangkaian kegiatan sehingga hal-hal tersebut bisa dikatakan baik, berharga, dan layak; dan atau tidak baik, tidak berguna dan hina atau tidak layak. Pendekatan Kontekstual menurut Rosalin (2008:34) adalah belajar bukan hanya sekedar menghapal pelajaran yang didapatnya, melainkan peserta didik harus dapat mengonstruksikan pengetahuan yang dimilikinya sehingga dapat memberikan makna terhadap pengetahuan tersebut. Dan pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka, dimana guru harus mampu mengatur strategi belajar serta membantu peserta didik menghubungkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru serta memfasilitasi mereka pada saat belajar agar dapat informasi baru yang mereka dapatkan bisa memberikan makna baru serta memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) (Nurhadi,2002:5) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, 902
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni : konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling) dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut: 1. Proses belajar Belajar tidak hanya sekedar menghapal Anak belajar mengalami Pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide Proses belajardapat mengubah struktur otak 2. Transfer belajar Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari „pemberian orang lain‟ Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit Penting bagi siswa untuk tahu „untuk apa‟ ia belajar, dan „bagaimana‟ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu 3. Siswa sebagai pembelajar Seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru Strategi belajar itu penting untuk anak cepat memahami Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara „yang baru‟ dan yang sudah diketahui Tugas guru memfasilitasi 4. Pentingnya lingkungan belajar Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa Pengajaran harus berpusat pada „bagaimana cara‟ siswa menggunakan pengetahuan baru mereka Umpan balik amat penting bagi siswa Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting Perbedaan pendekatan kontekstual dengan pendekatan tradisional (Behaviorisme/Stukturalisme) Pendekatan CTL Pendekatan Tradisional 1. Siswa secara aktif terlibat dalam proses 1. Siswa adalah penerimaan informasi pembelajaran secara pasif 2. Pembelajaran dikaitkan dengan 2. Pembelajaran sangat abstrak dan kehidupan nyata dan atau masalah yang teoritis disimulasikan 3. Keterampilan dikembangkan atas 3. Keterampilan dikembangkan atas dasar dasar latihan pemahaman 4. Bahasa diajarkan dengan pendekatan 4. Bahasa diajarkan dengan pendekatan struktural; rumus diterangkan, komunikatif, yakni siswa diajak diterima, dihafalkan, dan dilatihkan menggunakan bahasa dalam konteks 5. Rumus itu ada di luar diri siswa , yang nyata harus diterangkan, diterima, 5. Pemahaman rumus dikembangkan atas dihafalkan dan dilatihkan dasar skemata yang sudah aada dalam diri siswa Pendekatan kontekstual merupakan suatu pendekatan yang membuat anak mengetahui dan mengerti dengan sendiri melalui apa yang dia temui dengan dibantu oleh guru. Menurut Ramlan,Drs himpunan dapat diartikan sebagai kumpulan benda-benda real atau abstrak yang didefinisikan dengan jelas. Dengan demikian kumpulan benda yang keanggotaannya diragukan tidaklah merupakan himpunan. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis CTL Matematika kelas VII sesuai dengan tahap-tahap Konteksual 1. Tahap Kontrukstivisme, Inkuiri, dan Pemodelan 903
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2.
3.
4.
5.
- Guru menugaskan siswa untuk berdiskusi kelompok untuk mengumpulkan data tentang himpunan a. Pisang, jeruk, jambu, durian, mangga, apel b. Bayam, kangkung, kobis, brokoli, wortel c. Buku, penggaris, pensil, pulpen d. Senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu, minggu - Siswa berdiskusi kelompok dengan mencari benda-benda abstrak atau real yang sesuai dengan petunjuk LKS Tahap Bertanya - Guru menjawab pertanyaan siswa tentang ciri-ciri benda-benda yang abstrak atau real pada himpunan. a. Himpunan nama buah-buahan b. Himpunan nama sayur-sayuran c. Himpunan alat tulis d. Himpunan nama-nama hari dalam satu minggu - Siswa bertanya jawab dengan guru mengenai ciri-ciri benda-benda yang abstrak atau real pada himpunan. Tahap Masyarakat Belajar - Guru menugaskan perwakilan dari kelompok untuk melaporkan hasil diskusi kelompoknya tentang ciri-ciri benda-benda yang abstrak atau real pada himpunan dan guru menugaskan untuk kelompok yang lainnya menanggapi dengan bertanya dan memberikan komentar a. Pengertian anggota dan bukan anggota b. Pengertian himpunan bagian dan himpunan semesta c. Himpunan kosong d. Himpunan terhingga dan himpunan tak terhingga - Siswa yang menjadi perwakilan kelompoknya melaporkan hasil diskusi kelompok tentang ciri-ciri benda-benda yang abstrak atau real pada himpunan dan kelompok siswa yang tidak melaporkan hasil diskusi menanggapi dengan bertanya dan memberikan komentar. Tahap Pemodelan - Guru memberikan contoh-contoh yang benar tentang ciri-ciri benda-benda yang abstrak atau real pada himpunan a. Menyatakan himpunan dengan cara daftar A = {…,…,….,…,} b. Menyatakan himpunan dengan notasi pembentuk himpunan A = { x | x adalah . . . } A adalah himpunan semua x sehingga … c. Menyatakan himpunan dengan kalimat A adalah himpunan bilangan asli kurang dari 10 B adalah himpunan bilangan bulat genap C adalah himpunan bilangan prima genap - Siswa menyimak guru yang memberikan contoh-contoh ciri-ciri benda-∁∁benda yang abstrak atau real pada himpunan Tahap Refleksi - Guru merefleksikan dengan menugaskan siswa untuk mengaitkan pembelajaran kedalam kehidupan sehari-hari dengan cara menyebutkan benda-benda yang ada disekitar kita sesuai dengan ciri-ciri benda-benda yang termasuk himpunan baik di dalam kelas ataupun diluar kelas. a. Mengajak siswa untuk: menggabungkan dua himpunan, mencari unsure yang sama atau unsure persekutuan, mencari unsure di luar himpunan dalam satu semesta pembicaraan b. Mengenalkan lambang-lambang operasi himpunan ∩ , ∪ , ∈ , ∁ - Siswa mengaitkan pemeblajaran kedalam kehidupan sehari-hari dengan cara menyebutkan benda- benda yang ada disekitar kita sesuai dengan ciri-ciri benda-benda yang termasuk himpunan baik di dalam kelas ataupun diluar kelas.
904
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PEMBAHASAN A. Hasil pengamatan aktivitas siklus I Dari hasil yang diamati pada saat guru mengajar pada lembar observasi materi pokok Himpunan dengan menggunakan metode ceramah, tanya jawab dan penugasan terlihat jelas bahwa guru kurang menjelaskan materi pelajaran, guru tidak mengadakan tanya-jawab dan guru tidak memberikan tugas. Refleksi siklus I Untuk mengatasi masalah yang ditemui pada siklus I berdasarkan pada nilai ulangan dan hasil observasi siswa dalam proses pembelajaran perlu adanya perbaikan pada siklus berikutnya, yaitu guru menunjukkan benda-benda yang sesuai dengan ciri-ciri benda-benda yang dapat dijadikan suatu himpunan, guru membagi beberapa kelompok belajar, melakukan tanya-jawab dan guru memberikan tugas dari LKS. B. Hasil pengamatan siklus II Terlihat pada pembelajaran siklus I dan akan diperbaiki pada siklus II pengalaman beraktivitas guru dalam menyajikan pembelajaran sudah mengalami perbaikan yang lebih baik. Dari hasil-hasil tes siklus I dan siklus II terlihat mengalami peningkatan guru dalam memberikan materi pembelajaran dengan menggunakan Pendekatan Kontekstual ( CTL ), hal ini terlihat adanya peningkatan hasil belajar siswa. Refleksi siklus II Selama pembelajaran berlangsung dapat dilihat dari hasil nilai pada siklus II ini mengalami peningkatan pada proses pembelajaran dengan perbaikan yang dilakukan guru dalam penggunaan pendekatan kontekstual ( CTL ) sehingga dapat meningkatkan gairah dan semangat siswa dalam belajar. C. Hasil penelitian dari siklus I Setelah dilakukan refleksi dan diskusi dengan teman sejawat pada siklus I pada pembelajaran matematika memperoleh nilai yang rendah dengan nilai rata-rata 5,37 nilai yang tidak dapat dijadikan standar kenaikan, karena masih dibawah nilai KKM. Dengan nilai yang rendah tersebut maka diketahuilah penyebabnya yaitu: a. Guru yang mengajarkan matematika pada waktu itu tidak mempergunakan waktu dengan baik. b. Guru tidak memberikan pertanyaan yang menyangkut materi pembelajaran sebelumnya c. Guru belum mempergunakan pendekatan kontekstual d. Guru tidak mempergunakan alat peraga yang tepat e. Guru tidak menguasai kelas pada saat mengajar D. Hasil penelitian pada siklus II Pada siklus ke II ini guru dan siswa sudah terlihat sangat baik pada saat pembelajaran itu berlangsung. Dengan guru melakukan tahapan-tahapan yang berbeda pada saat mengajar dari mulai: a. mendata siswa, b. menguasai kelas, c. mengajak siswa untuk mengamati alat peraga yg telah disiapkan, d. guru mencoba untuk anak-anak melakukan suatu dengan kelompoknya untuk mencari benda-benda yang abstrak dan real yg dapat disebut sebagai himpunan. e. Memberikan tugas kelompok dan memberikan kesempatan untuk melaporkan hasil diskusi kepada teman-temannya dan teman yang lainnya dapat memberikan tanggapan tentang apa yang disajikan oleh temannya f. Guru memberikan tugas pada LKS dan dikumpulkan sambil memberikan pertanyaan secara lisan dan siswa menjawabnya. Dengan pelaksanaan yang terencana maka suasana kelas VII menjadi lebih baik, sehingga guru dan siswa semangat dalam proses belajar mengajar. Dan nilai rata-rata yang diperoleh mengalami peningkatan pada siklus II yaitu mencapai 7,76. Peningkatan hasil belajar yang baik dengan mempergunakan pendekatan kontekstual.
905
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan dari peningkatan hasil belajar yang terlaksana dengan baik dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada materi pokok Himpunan pada kelas VII, maka penulis menarik kesimpulan bahwa mengajar yang baik adalah sebagai berikut: a. Memberikan motivasi kepada siswa dengan mempergunakan pendekatan kontekstual dan dengan menggunakan alat peraga yang tepat membuat siswa tertarik pada pelajaran matematika b. Melalui diskusi dalam kelompok dapat menimbulkan keberanian siswa dalam mengungkapkan hasil diskusi dan menjawab setiap pertanyaan dari kelompok lainnya. c. Kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk bertanya menjadikan siswa semakin mengerti dengan menanyakan hal-hal yang belum diketahui dan dipahami d. Penguasaan materi dan penggunaan alat peraga yang tepat membuat siswa mudah untuk memahami materi pokok tersebut e. Dengan menggunakan pendekatan konteksual yang mengkaitkan dengan kehidupan seharihari semakin mempermudah siswa dalam memahami materi yang diberikan. Saran Pada saat penulis belum melakukan penelitian tindakan kelas hasil belajar siswa memiliki nilai rata-rata dibawah dari nilai KKM. Tetapi setelah melihat hasil belajar siswa yang mengalami peningkatan nilai dengan menggunakan pendekatan kontekstual adalah suatu acuan untuk para guru mempergunakan berbagai pendekatan dalam proses belajar mengajar sehingga siswa mengalami semangat dan niat yang baik dalam belajar. Bagi para guru hendaknya mampu merefleksikan apa yang telah diajarkan dengan melakukan perbaikan-perbaikan pada pembelajaran berikutnya. Dengan demikian mutu pendidikan dimasa yang akan datang dapat mengalami peningkatan hasil belajar sehingga nilai para siswa akan mendapat nilai standar kelulusan yang sangat baik. Penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan di SMPN 04 SATAP Mukok sangat membantu keberhasilan siswa untuk memupuk kreatifitas, daya nalar, dan kemampuan berpikir siswa. DAFTAR RUJUKAN Adinawan dkk. 2007. Seribu Pena Matematika untuk SMP/MTs Kelas VII.Jakarta: Erlangga DePorter, B dkk.2001. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa Hermawan, H.2010. Teori Belajar dan Motivasi. Bandung: CV Citra Praya Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia Kurniawan. 2002. Fokus Matematika. Jakarta: Erlangga Nurhadi. 2002. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Depdiknas Ramlan, Drs. 1999. Pengantar Dasar Matematika. Bandung: FKIP UNPAS Wardhana, Y.2010. Teori Belajar dan Mengajar. Bandung: PT Pribumi Mekar Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: IPA Abong
906
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BANTU BATANG BILANGAN PADA SISWA KELAS V SEMESTER I SEKOLAH DASAR NEGERI 3 BUKIT TINGGI LOMBOK BARAT Mohamad Jauhari & Zainuddin Abstrak: Penelitian ini mertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran operasi bilangan bulat dengan media batang bilangan. Penelitian ini dilakukan dengan setting Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dalam 2 siklus. Penelitian ini dilaksanakan dikelas V SDN 3 Bukit Tinggi dengan jumlah siswa 23 orang. Hasil peneilitian menunjukkan terjadinya peningkatan hasil belajar siswa materi operasi bilangan bulat, dari rata-rata 6,3 menjadi 8,3. Ketutuntasan meningkat dari 52,2% menjadi 87%. Aktifitas belajar siswa meningkat dari 3,17 menjadi 3,50. Penggunaan alat Bantu batang bilangan dapat meningkatkan prestasi belajar dan aktivitas siswa dalam pembelajaran penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Kata Kunci : Pemahaman Konsep, Bilangan Bulat, Batang Bilangan
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting dalam tujuan pendidikan. Matematika merupakan dasar dari pengembangan ilmu – ilmu lain, seperti penemuan – penemuan di bidang sains dan teknologi. Menurut Bell dan Eric dalam Ruseffendi (1993) menyatakan bahwa matematika sebagai bahasa, ratunya ilmu dan sebagai alat serta pelayan ilmu. Matematika besar manfaatnya bagi umat manusia, hal ini disebabkan karena matematika merupakan alat berpikir yang logis, analisis dan sistimatis, sehingga ilmu pengetahuan terbentuk atas landasan dan kerangka berpikir matematika (Hamsah, 2003) . Hal ini juga sejalan dengan pendapat Djadir bahwa” matematika merupakan sarana berpikir ilmiah yang paling sistimatis dan konsisten, sertamatematika dapat diterapkan seawal mungkin kepada anak didik sebelum ia memasuki bangku sekolah.” Karena matematika merupakan aktivitas daripada manusia. Pernyataan – pernyataan ini pada dasarnya merupakan alasan mengapa matematika memegang peranan penting. Matematika merupakan sarana latihan berindak atas dasar pemikiran secara logis, kritis, cermat, obyektif, serta inovatif karena menitikberatkan pada pembentukan keterampilan yang dapat membrikan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari – hari . Dalam bidang pendidikan, peranan penguasaan matematika bagi anak didik, baik sekolah dasar maupun menengah adalah sangat penting, karena penguasaan itu akan menjadi sarana yang ampuh untuk mempelajari mata pelajaran yang lain. Mengingat pentignya peranan matematika baik dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan serta dalam kehidupan sehari – hari secara individu maupun kelompok, prestasi belajar matematika mulai dari Sekolah Dasar (SD), perlu memperoleh perhatian yang serius. Sehubungan dengan hal ini, pemerintah selalu berusaha meningkatkan mutu pendidikan nasional dengan segala komponen yang terkait di dalamnya, namun walau demikian masih menunjukkan kurangnya daya serap siswa terhadap pelajaran yang diberikan pada setiap jenjang pendidikan. Oleh sebab itu perlu diupayakan sistim belajar yang efektif, efisien dan selektif dengan menggunakan berbagai media atau alat bantu yang tepat dan sesuai dengan bidang studi dan pokok bahasan yang diajarkan sehingga tujuan pembelajaran yang telah direncanakan dapat tercapai. Selain itu pula seorang guru harus berusaha menggunakan berbagai metode agar siswa tidak bosan, ibarat makanan, jika disajikan dalam bentuk yang berbeda maka akan memberikan rasa yang berbeda ( Zaini Hysam, dkk 2008). Dari kenyataan yang dialami di lapangan, diketahui bahwa penguasaan matematika umumnya masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari prestasi belajar yang merupakan hasil perolehan nilai rata – rata ulangan harian siswa masih di bawah 6,5.
907
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor dalam pembelajaran matematika. Tidak bisa disangkal bahwa dalam belajar seseorang oleh banyak faktor (Slameto, 2003). Diantaranya adalah faktor internal siswa, seperti kesiapan siswa, minat, motivasi, intelegensi siswa dan faktor ekternal seperti model pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Berdasarkan pengalaman penulis selama ini guru dalam proses pembelajaran menggunakan metode konvensional yaitu metode ceramah dan metode ekspositori dimana guru menerangkan suatu konsep kemudian siswa diberi contoh soal dan latihan aplikasi konsep yang telah dijelaskan. Jadi dalam hal ini terjadi model pembelajaran yang sangat sentralistik dan guru bertindak hanya sebagai informan isi buku. Penggunaan metode seperti ini yang aktif dalam peroses pembelajaran hanyalah siswa yang pintar dan memiliki daya serap yang tinggi, sedangkan siswa yang daya serapnya rendah akan pasif. Keadaan seperti ini, guru dituntut untuk lebih meningkatkan kemampuannya di dalam menggunakan berbagai model pembelajaran dan media yang tersedia sehingga didalam peroses pembelajaran siswa menjadi aktif dan menyenangkan. Hal ini mengingat guru tidak lagi dianggap sebagai penerima pembaharuan tetapi ikut juga bertanggung jawab dalam pengembangan pengetahuan dan keterampilan pembelajaran yang dilakukan terhadap peroses pembelajarannya sendiri ( Herianto, 2001 ), keterkaitannya dengan itu timbul gagasan atau ide untuk membuat suatu model kongkrit “ Model Batang Bilangan “ yang diyakini dapat membangkitkan semangat belajar dan mempermudah pemahaman konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat pada siswa karena siswa dapat belajar dengan lebih nyata, mengalami langsung, mengadakan komunikasi, berintraksi dengan lingkungannya, sehingga siswa dituntut untuk belajar secara aktif, berpikir kritis dan menemukan sendiri konsep yang dipelajarinya. Dengan demikian materi yang dipelajari siswa akan melekat untuk jangka waktu yang lama, mengingat konsep yang diperoleh didapat melalui pengangalaman yang dilakukan sendiri. Penguasaan matematika yang relatip rendah menyebabkan prestasi belajar matematika rendah, dimana siswa merasa sulit menyelesaikan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat, padahal itu merupakan hal yang mendasar yang harus dikuasai dan akan mempengaruhi hasil belajar matematika pada umumnya. Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti terdorong untuk melakukan penelitian berjudul “Meningkatkan Pemahaman Konsep Penjumlahan Dan Pengurangan Bilangan Bulat Dengan Menggunakan Alat Bantu Batang Bilangan Pada siswa Kelas V Semester I SDN 3 Bukit Tinggi Lombok Barat. METODE PENELITIAN Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa dalam belajar matematika operasi bilangan bulat. Pembelajaran dilakukan menggunakan media batang bilangan. Penelitian menggunakan seting penelitian tindakan kelas. Penelitian dilakukan dalam dua siklus yang masing-masing memuat aktivitas perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Kegiatan perencanaan dilakukan oleh guru dalam bentuk menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa dan media yang akan digunakan dalam pembelajaran. Setelah semua persiapan selesai peneliti melaksanakan pembelajaran dan sekaligus melakukan observasi keterlaksanaan pembelajaran. Hasil observasi digunakan untuk melakukan refleksi dan perbaikan pembelajaran untuk siklus berikutnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan media batang bilangan. Prinsip kerja atau aturan penggunaan alat peraga batang bilangan dalam operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Mengajarkan operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat degan menggunakan alat peraga batang bilangan, yang pertama kali yang harus lakukan adalah memperkenalkan bentuk alat bantu “Batang Bilangan” dan selanjutnya menyampaikan prinsip kerja atau aturan penggunaannya agar langkah – langkah berikutnya konsisten . Adapun perinsip kerja “Batang Bilangan” ini adalah sebagai berikut : Posisi benda yang menjadi model harus berada pada skala 0.
908
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Jika bilangan pertama bertanda positif maka bagian muka model menghadap ke bilangan positif dan kemudian langkahkan ke skala yang sesuai dengan besarnya bilangan pertama. Jika bilangan pertama bertanda negatif, maka bagian muka model menhadap ke bilangan negatif dan kemudian langkahkan ke skala yang sesuai dengan besarnya bilangan pertama. Jika model dilangkahkan maju, dalam perinsip operasi hitung, istilah “maju” diartikan sebagai” Tambah ( + )” Jika model dilangkahkan mundur , dalam prinsip operasi hitung, istilah mundur diartikan sebagai “ Kurang ( - )” Gerakan maju dan mundurnya model tergantung dari bilangan penambah dan pengurangnya. a. Gerakan Maju : Jika bilangan penambahnya merupakan bilangan positip, maka model bergerak maju ke arah bilangan positif, dan sebaliknya jika penambahnya merupakan bilangan negatif, maka model bergerak maju ke arah bilangan negatip. b. Gerakan Mundur : Jika bilangan pengurangnya merupakan bilangan positif, maka model bergerak mundur dengan sisi muka model menghadap bilangan positif, dan sebaliknya jika pengurangnya merupakan bilangan negatif, maka model bergerak mundur dengan sisi muka menghadap bilangan negatif. Dalam meningkatkan pemahaman konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dengan menggunakan alat bantu batang bilangan dapat di perlihatkan beberapa contoh tehnis penggunaannya pada operasi penjumlahan dan pengurangan sebagai berikut : Operasi Penjumlahan. Contoh : 1. 3 + 5 = n , n =... Peragaannya sebagai berikut : Tempatkan model pada sekala nol dan menghadap ke bilangan positif. │ -4
│ -3
│ -2
│ -1
│ 0
│ 1
│ 2
│ 3
│ 4
│ 5
│ 6
│ 7
│ 8
Langkahkan model tersebut satu langkah demi satu langkah maju dari angka 0 sebanyak 3 skala. Hal ini menunjukkan bilangan pertama dari operasi tersebut, yaitu positif 3. │
│
│
-4
-3
-2
│ -1
│
│
│
│
│
│
│
│
│
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Karena operasi hitungnya berkenaan dengan penjumlahan ( menambah ), maka model tersebut harus dilangkahkan maju dari angka 3 satu langkah demi satu langkah sebanyak 5 sekala dengan posisi mukanya tetap menghadap ke bilangan positif ( karena bilangan penjumlahnya merupakan bilangan positif 5 ). │ -4
│ -3
│ -2
│ -1
│ 0
│ 1
│ 2
│ 3
909
│ 4
│ 5
│ 6
│ 7
│ 8
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Posisi terahir dari model pada langkah ke tiga di atas terletak pada sekala 8 dan ini menunjukkan hasil dari 3 + 5 = 8 2. ( - 3 ) + ( - 5 ) = Tempatkanlah model │ │ │ │ -8 -7 -6 -5
n, n = . . . pada sekala 0 dan menghadap ke bilangan negatif. │ │ │ │ │ │ │ │ │ -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4
Langkahkan model tersebut satu langkah demi satu langkah maju dari angka nol sebanyak 3 skala. Hal ini menunjukkan bilangan pertama dari operasi tersebut, yaitu negatif 3. │ -8
│ -7
│ -6
│ -5
│ -4
│ -3
│ -2
│ -1
│ 0
│ 1
│ 2
│ 3
│ 4
Karena operasi hitungnya berkenaan dengan penjumlahan ( menambah ), maka model tersebut harus dilangkahkan maju dari angka - 3 satu langkah demi satu langkah sebanyak 5 skala dengan posisi mukanya tetap menghadap bilangan negatif ( karena bilangan penjumlahnya merupakan bilangan negatif ) │ -8
│ -7
│ -6
│ -5
│ -4
│ -3
│ -2
│ -1
│ 0
│ 1
│ 2
│ 3
│ 4
Posisi terahir dari model pada langkah ketiga diatas terletak pada sekala - 8, dan ini merupakan hasil dari ( -3 ) + ( -5 ) = - 8. Operasi Pengurangan Contoh : 1. 3 - ( - 5 ) = n, n = . . . Peragaannya sebagai berikut : Tempatkan model pada skala nol dan menghadap bilangan positif. │ -6
│ -5
│ -4
│ -3
│ -2
│ -1
│
│ 0
│ 1
│ 2
│ 3
│ 4
│ 5
6
Langkahkan model tersebut satu langkah demi satu langkah maju dari angka 0 sebanyak 3 sekala. Hal ini untuk menunjukkan bilangan pertama dari operasi tersebut, yaitu positif 3. │ -6
│ -5
│ -4
│ -3
│ -2
│ -1
│ 0
│ 1
910
│ 2
│ 3
│ 4
│ 5
│ 6
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Karena operasi hitungnya berkenaan dengan dengan pengurangan, yaitu oleh bilangan - 5 ( negatif 5 ), berarti langkahkan model tersebut mundur satu langkah demi satu langkah sebanyak 5 kali. │ │ │ -3 -2 -1
│ 0
│ 1
│ 2
│ 3
│ 4
│ 5
│ 6
│ 7
│ │ 8 9
Kedudukan terahir dari model pada langkah keempat di atas terletak Pada sekala 8, dan ini merupakann hasil dari 3 - ( - 5 ) = 8. 2.
(-3) - (-5) =n,n =.. Tempatkanlah model pada skala nol dan menghadap bilangan negatif. │ -9
│ -8
│ -7
│ -6
│ -5
│ -4
│ -3
│ -2
│ -1
│ 0
│ 1
│ 2
│ 3
Langkahkan model tersebut satu langkah demi satu langkah maju dari angka 0 sebanyak 3 skala. Hal ini untuk menunjukkan bilangan pertama dari operasi tersebut, yaitu negatif 3. │ │ -9 -8
│ -7
│ -6
│ -5
│ │ -4 -3
│ -2
│ -1
│ 0
│ 1
│
│ 2
3
Karena operasi hitungnya berkenaan dengan pengurangan, berarti langkahkan model tersebut mundur dari angka - 3 satu langkah demi satu langkah sebanyak 5 skala dengan posisi mukanya tetap menghadap bilangan negatif ( karena bilangan pengurangnya (- 5 ) │ │ │ -9 -8 -7
│ -6
│ -5
│ -4
│ -3
│ │ -2 -1
│ 0
│ 1
│ 2
│ 3
Posisi terahir dari model pada langkah ketiga di atas terletak pada sekala 2, dan ini merupakan hasil dari ( - 3 ) – ( - 5 ) = 2. ( Gatot Muhsetyo,2005.) Untuk mengetahui adanya peningkatan prestasi belajar siswa melalui pengajaran dengan menggunakan Alat Bantu Batang Bilangan pada pokok bahasan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat pada siswa kelas V SDN 3 Bukit Tinggi dapat dilakukan dengan membandingkan secara deskriptif hasil tes siswa pada setiap akhir siklus pembelajaran. Berdasarkan hasil observasi kegiatan guru didapat bahwa kegiatan guru sudah cukup baik namun masih ada kekurangan seperti Penjelasan tentang cara penggunaan Alat Bantu Batang Bilangan masih kurang sehingga membuat siswa bingung dan kurang termotivasi untuk belajar, kemudian guru kurang mengkaitkan alat bantu batang bilangan dengan garis bilangan, guru kurang membimbing siswa dalam bekerja kelompok, serta pengaturan waktu diskusi yang masih kurang jelas. 911
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dari praktik pembelajaran siklus I yang dilakukan diperoleh hasil: (1) keterlaksanaan pembelajaran mencapai 68,8%; (2) aktivitas belajar siswa mencapai skor 3,17 (cukup aktif); (3) Hasil evaluasi pada siklus I adalah 19 dan 22 menunjukkan bahwa ketuntasan secara klasikal belum tercapai. Siswa yang tuntas belajar ada 12 orang dan yang tidak tuntas ada 11 orang yang ikut dalam proses belajar mengajar berlangsung. Sehingga dapat diprosentasekan ada 52,2 % siswa yang tuntas belajar. Dari hasil observasi pada siklus I diatas maka peneliti bersama pengamat merefleksikan kedalam rencana dan persiapan pelaksanaan pada siklus II dan hasilnya sebagai berikut: (1) guru seharusnya menjelaskan lebih rinci tentang cara penggunaan Alat Bantu Batang Bilangan; (2) guru seharusnya lebih memotivasi siswa agar lebih berani bertanya mengenai materi pelajaran yang belum dimengerti; (3) guru meningkatakan pemberian bimbingan pada anggota kelompok yang mengalami kesulitan; (4) waktu untuk diskusi kelompok harus sesuai dengan waktu yang telah dialokasikan; dan (5) guru menunjuk tutor sebaya pada tiaptiap kelompok untuk menciptakan situasi belajar yang lebih kondusif Hasil observasi siklus II diperoleh: (1) keterlaksanaan pembelajaran mencapai 81,3%; (2) aktivitas siswa mencapai skor 3,5 (aktif); dan (3) Ketuntasan secara klasikal telah tercapai pada sub pokok bahasan penjumlahan bilangan bulat. Siswa yang tuntas belajar ada 20 orang dan yang tidak tuntas ada 3 orang dari 23 siswa yang ikut dalam peroses belajar mengajar yang berlangsung. Sehingga dapat diprosentasekan ada 87 % siswa yang tuntas belajar,sehingga dapat disimpulkan bahwa pada siklus ke-II sub pokok bahasan penjumlahan bilangan bulat telah tercapai. Pada setiap siklus terlihat jelas adanya peningkatan prosentase ketuntasan belajar siswa yang signifikan yaitu : ketuntasan belajar pada siklus ke I sub pokok bahasan penjumlahan bilangan bulat 52,2%, siklus ke II 87%, dan siklus ke I sub pokok bahasan pengurangan bilangan bulat 91,3% .Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dapat dikatakan meningkat pada pemahaman konsep bagi siswa dengan menggunakan Alat Bantu Batang Bilangan sehingga akan berimplikasi pada peningkatan prestasi belajar siswa. Dari temuan di atas menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan Alat Bantu Batang Bilangan sebagai media dapat meningkatkan perestasi dan aktivitas belajar siswa secara efektif dan efisien. Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa pemakaian media pengajaran dalam peroses belajar mengajar akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar,bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga lebih dipahami oleh siswa,metode pengajaran lebih bervariasi dan siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab hanya mendengarkan uraian guru. ( Sudjana dan Rifai,1992 ) KESIMPULAN Bersasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan: (1) pembelajaran dengan Alat Bantu Batang Bilangan dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa pada pokok bahasan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat yakni pada pokok bahasan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat yang berimplikasi pada peningkatan prestasi belajar siswa kelas V semester I SDN 3 Bukit Tinggi Lombok Barat; (2) penggunaan alat bantu batang bilangan secara optimal oleh guru akan meningkatkan aktivitas belajar siswa sehingga menghasilkan kwalitas hasil belajar siswa yang makin baik pula; dan (3) penggunaan Alat Bantu Batang Bilangan dalam pembelajaran matematika dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pengembangan kualitas pendidikan ditingkat sekolah dasar. DAPTAR RUJUKAN Akbar Sutawijaya,1992. Pendidikan III. Dirjen DIKTI Proyek Pembinaan Kependidikan Jakarta. Aqib Zainal. 2003. Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran. Surabaya: Ihsan Cendikia. BSNP, 2006 . Kurikululum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Balai Pustaka, Jakarta. Djamrah, 2003. Prestasi Belajar. Rineka Cipta Jakarta. Gatot Muhsetyo, 2005. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka. 912
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
IGAK Wardhani, 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Universitas Terbuka Jakarta. Karti Suharto,2003.Teknologi Pembelajaran .Surabaya : SIC Mulyana AZ, 2004. Rahasia Matematika SD. Surabaya : Agung Media Mulya. Slamento, 2003. Belajar dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi. Rineka Cipta Jakarta Surasmi Arikunto, Suhardjono Supardi,2007. Penelitian Tindakan Kelas. Bumi Aksara. Jakarta. Wahyudin,2002. Ensiklopedi Matematika dan Peradaban Manusia.CV.Tarity Samudra Berlian,Jakarta. Yuniarto Rahayu, 2002. Pandai Belajar Matematika untuk SD Kelas V. Jakarta : CV. Regina. Zaini Hisyam, Munthe Bermawi, Aryani Ayu Sekar, 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Pustaka Insan Madani, Yogyakarta.
PENGGUNAAN PAPAN NAPIER DALAM PEMBELAJARAN PERKALIAN SISWA KELAS IV SD NEGERI 200311 PUDUNJAE PADANGSIDIMPUAN Sofyan SD Negeri 200311 Pudunjae Kec. Padangsidimpuan Batunadua
[email protected] Hasil belajar matematika materi perkalian pada siswa kelas IV SD Negeri 200311 Pudunjae Padangsidimpuan selama ini masih terasa jauh dari yang diharapkan. Masih banyak siswa yang kurang aktif dalam melakukan perkalian. Salah satu penyebab terjadinya kelesuan ini, dimana siswa harus dihadapkan dengan prosedur perkalian yang panjang. Untuk mengatasi permasalahan ini perlu upaya untuk membantu mempermudah menghitung perkalian, diantaranya dengan menggunakan Papan Napier. Penelitian ini mendeskripsikan pembelajaran perkalian dengan menggunakan papan Napier. Hasil penelitian adalah langkah-langkah pembelajaran perkalian dengan papan Napier dilakukan sebagai berikut: 1) kegiatan pendahuluan, dengan memperkenalkan bentuk perkalian dengan papan napier, 2) kegiatan inti, melakukan demontrasi perkalian dengan menggunakan papan napier, 3) kegiatan akhir, meninjau kembali materi yang telah dipelajari. Kata kunci : Papan Napier, perkalian, metode demonstrasi
Pelaksanaan kurikulum 2013 di kota Padangsidimpuan, khususnya di SD Negeri 200311 Pudunjae sudah dilaksanakan sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah pusat. Sasaran penerapan K13 ini sudah terealisasi pada kelas 1, kelas 2, kelas 4, dan kelas 5 SD Negeri 200311 Pudunjae Padangsidimpuan. Kurikulum 2013 menuntut beberapa kompetensi masa depan yang diharapkan dimiliki oleh siswa yaitu kemapuan berkomunikasi, berfikir jernih dan kritis, mempertimbangkan moral, dan memahami perbedaan pandangan/pendapat. Oleh karenanya, semua mata pelajaran berkontribusi dalam pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Selanjutnya, karakteristik proses pembelajarannya adalah menggunakan pendekatan saintifik melalui mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan; menuntun siswa untuk mencari tahu dan bukan diberitahu; menekankan kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi pengetahuan dan berfikir logis, sistematis, dan kreatif (Kemendiknas, 2013:84) Berdasarkan pengalaman mengajar penulis, selama ini penulis membelajarkan perkalian biasanya menggunakan pembelajaran langsung tanpa menggunakan media alat peraga matematika sehingga pembelajaran belum maksimal. Dimana perolehan hasil belajar siswa seringkali belum mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM). Menurut Piaget (Suherman, Erman, 2003) anak usia SD masih berada pada operasi konkrit. Sehingga dalam memahamkan konsep-konsep matematika yang abstrak memerlukan media. Pembelajaran penyelesaian
913
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
operasi hitung perkalian pada bilangan bulat pada siswa kelas IV di SD Negeri 200311 Pudunjae Padangsidimpuan selama ini dilakukan dengan cara bersusun kebawah saja belum ada variasi pembelajaran yang dapat memudahkan siswa dalam belajar matematika utamanya pada materi perkalian, hal ini dapat menyebabkan kebosanan siswa dalam belajar matematika, pelajaran matematika tidak menarik minat karena disampaikan secara monoton hanya mengedepankan pengerjaan prosedural, yang apabila satu langkah saja terputus atau tidak dipahami siswa maka siswa akan melakukan kesalahan pada hasil pengerjaan hitung perkalian tersebut, bahkan siswa akan kehilangan semangat untuk terus menggeluti persoalan yang disampaikan guru atau soal pada latihan. Perkalian termasuk topik yang sulit untuk dipahami sebagian siswa. Ini dapat dilihat dari banyaknya siswa yang duduk ditingkatan tinggi Sekolah Dasar belum menguasai topik perkalian ini, sehingga mereka banyak mengalami kesulitan dalam mempelajari topik matematika yang lebih tinggi. Oleh karenanya dipandang perlu melakukan upaya untuk membantu mempermudah menghitung perkalian. Penulis terinspirasi untuk melakukan pengembangan dalam variasi mengajar yang setelah mengikuti kegiatan TEQIP. Subanji mengatakan “Upaya untuk membantu mempermudah menghitung perkalian sudah banyak dilakukan, antara lain dengan menggunakan jari tangan, menggunakan garis sejajar, dan menggunakan papan Napier” (Subanji, 2009:1). Selanjutnya Papan Napier digunakan untuk mempermudah menyelesaikan operasi perkalian antara bilangan tertentu dengan satuan (Subanji, 2009:12). Harapannya adalah siswa terlepas dari kesulitan dalam belajar matematika diharapkan senantiasa termotivasi dalam mengikuti pembelajaran matematika secara baik, tidak membosankan, juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa, penulis berupaya melakukan pembelajaran dengan menggunakan metode demonstrasi. Metode demonstrasi merupakan salah satu alternatif dalam pembelajaran matematika, karena dengan metode ini siswa dapat mengamati sendiri peragaan penggunaan media, media yang dimaksud adalah papan napier, penggunaannya sebagai satu cara lain menyelesaiakan perkalian. Menurut Djamarah “Metode demonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan memperagakan atau mempertunjukkan kepada siswa suatu proses, situasi atau benda tertentu yang sedang dipelajari, baik dalam bentuk sebenarnya maupun dalam bentuk tiruan, yang disertai penjelasan lisan “ (Djamarah, Syaiful Bahri, 2006:9). Jadi metode demontrasi merupakan format interaksi belajar mengajar yang sengaja mempertunjukkan atau memperagakan tindakan, proses, atau prosedur yang dilakukan guru kepada seluruh siswa. METODE PENELITIAN Penelitian ini mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran materi perkalian dengan menggunakan media papan Napier. Penelitian dilakukan di SD Negeri 200311 Pudunjae Padangsidimpuan dengan subjek penelitian kelas IV. Dalam pembelajaran materi perkalian, guru sekaligus peneliti merancang pembelajaran dengan memanfaatkan media Papan Napier. Dalam praktiknya peneliti merekam semua aktivitas guru dan siswa. Hasil rekaman dianalisis dan digunakan untuk menilai aktivitas pembelajaran dan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Karena itu jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian ini berupa deskripsi pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti yang meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Masing-masing kegiatan dideskripsikan secara kualitatif. Kegiatan pendahuluan Guru melakukan kegiatan prapembelajaran dengan aktivitas: (1) membuka pelajaran diawali dengan sapaan, “assalamu‟alaikum anak-anak, selamat pagi, hari ini senang belajar bersama kalian” dilanjutkan meminta seorang siswa untuk maju memimpin doa sebelum belajar. (2) Guru mengabsen siswa dengan menanyakan “adakah teman kalian yang tidak hadir?, siapa namanya, mengapa dia tidak masuk” ternyata ada seorang siswa yang bernama Ira tidak masuk karena demam. Guru melanjutkan kegiatan pembelajaran (pendahuluan) dengan memberikan pertanyaan pemanasan berfikir dengan menyampaikan pembelajaran perkalian dengan mengajukan pertanyaan” coba siapa yang bisa menghitung “ siswa kelas IV yang hadir berjumlah 25 orang setiap siswa memiliki 12 buku, berapakah banyak buku yang dimiliki 914
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
seluruh siswa di kelas IV?”. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut siswa secara spontan mengerjakannya dengan cara bersusun kebawah. Siswa pun mengerjakannya secara sendirisendiri. Namun ada siswa tampak kebingungan dengan pertanyaan yang disampaikan guru, siswa tersebut hanya bisa bertanya pada temannya, bahkan ada siswa yang tidak perduli dengan pertanyaan yang diajukan guru. Berikut beberapa jawaban dari hasil kerja siswa yang belum tepat ditemukan penulis:
Jwb 1
Jwb 3
Jwb 2
Dengan memperhatikan ketiga hasil kerja siswa diatas, pada Jwb 1 penulis menemukan adanya kesalahan siswa pada penempatan tanda operasi hitung yang tidak sesuai peletakkannya, walaupun perhitungan yang dilakukan siswa sudah benar. Pada Jwb 2 penulis menemukan, penalaran konsep perkaliannya sudah benar, prosedur selalanjutnya menempatkan hasil perkaliannya salah, sehingga hasil perhitungannya juga salah. Pada Jwb 3, penulis melihat adanya kesalahan pada pengerjaan; penalaran konsep perkalian, kesalahan prosedur pengerjaannya, dan hasil perhitungan perkalian dengan cara bersusun kebawah ini juga belum memperoleh hasil yang benar. Selanjutnya guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang harus dicapai pada pertemuan ini. adapun tujuan pembelajaran yang dicapai : 1) siswa diharapkan dapat melakukan perkalian dua bilangan sampai tiga angka dengan menggunakan kartu Napier, 2) siswa dapat melakukan perkalian dengan cara susun kebawah, 3) siswa dapat menemukan rahasia perkalian dengan menggunakan kartu Napier dan hubungannya dengan perkalian dengan cara susun ke bawah. Kegiatan inti Melihat keadaan siswa yang demikian, baik ketidak pahaman prosedur pengerjaan perkalian, siswa tampak bekerja sendiri-sendiri, selanjutnya guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 5 orang secara heterogen, setelah semua siswa duduk dalam kelompoknya masing-masing guru membagikan media papan Napier yang sudah dipersiapkan guru kepada masing-masing kelompok. Pada tahapan ini guru memperkenalkan media yang telah diberikan kepada setiap kelompok, dengan mengajukan pertanyaan “coba perhatikan benda yang telah bapak berikan kepada kalian !” siswa dengan seksama memperhatikan setiap keping papan napier, ada kelompok yang menyusunnya dimeja secara urutan angka pada papan 1, papan 2, sampai papan sembilan, serta meletakkan papan 0 dan papan indeks terpisah. Pada kelompok lain menyampaikan bahwa ini merupakan kartu perkalian satu sampai sembilan, namun tidak memberikan tanggapan pada dua kartu yang lain, yaitu kartu nol dan kartu indeks. Selanjutnya guru memberi penguatan terhadap pemahaman kartu peraga Papan Napier yang terdiri dari dua bagian; Kartu Indeks dan kartu Napier (induk). Kartu Indeks berisi bilangan 0–9. Sedangkan kartu Napier (Induk) terdiri dari 10 kartu. Masing-masing kartu Napier terdiri dari 10 kotak. Kotak teratas sebagai induk memuat bilangan 0-9. Kotak dibawah disebut sebagai kotak pertama, kotak kedua, dan seterusnya (Subanji, 2009:12)
915
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kemudian guru menjelaskan prosedur penggunaan kartu napier dengan cara demontrasi, memberikan contoh soal, dan latihan untuk dikerjakan bersama pada masing-masing kelompok.
Perkalian dengan menggunakan kartu Napier Contoh: 1. Tentukan hasil perkalian 23 x 4 ! Perhatikan angka 4 pada kartu indeks dan angka-angka pada kartu Napier yang sejajar dengan angka 4 2 3 Angka angka pada papan Napier terdiri dari 0 pada sekat paling kiri, 8 dan 1 pada sekat tengah, dan 2 pada 0 0 sekat paling kanan. 1 2 3 Kartu Napier yang berinduk 2 Kartu Napier yang berinduk 3 0 0 4
6
2
Kartu Indeks 0
0
6
8
0
1
9
3
2
3
4
0
1
5
5
8
2
8
6
1
7
4
8
7
9
2
X 4
1
1
1
1
1
0
4
6
8
8
1
1
2
2
2
916
Jumlahnya 2 (diagonal satuan) Jumlahnya : 8 + 1 = 9 ( puluhan ) Jumlahnya 0 ( ratusan )
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Hasil perkalian 23 x 4 adalah 92 Dalam penyampaian langkah-langkah yang harus dilakukan siswa untuk memperoleh jawaban dari persoalan yang diberikan secara benar, guru memberikan uraian secara rinci, memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya bagi siswa yang masih mendapati kesulitan atau langkah yang belum diketahui siswa atau langkah yang mungkin keliru. Disinilah guru memberikan bimbingan kepada siswa secara kelompok maupun perseorangan.
Setiap siswa yang telah menyelesaikan tugasnya secara berkelompok, masing-masing diminta mempresentasekannya secara bergantian dan kelompok lain diberikan kesempatan memberikan komentar. Setelah masing-masing kelompok melaporkan hasil kerjanya dan mempresentasekan di depan kelas, hampir tidak ditemukan kesalahan yang fatal, baik langkahlangkah pengerjaan, penalaran, dan hasil operasi perkalian. hanya ada satu soal yang masih belum benar hasilnya terjadi pada kelompok Usman, yang kemudian teman dari kelompok lain memberikan penjelasan kepada kelompok Usman. Selanjutnya guru memberikan soal latihan untuk dikerjakan secara perseorangan.
Dari keadaan inilah guru melihat bahwa siswa antusias mengikuti demontrasi dan penjelasan guru, merasa tertarik terhadap media yang diberikan guru. Hal ini menimbulkan perhatian, rasa ingin tahu siswa, dan siswa tertantang untuk mengerjakan soal dengan menggunakan kartu Napier. Berikut lembar kerja kelompok, dan tugas yang diberikan kepada setiap siswa.
Kegiatan Akhir Pada akhir kegiatan pembelajaran guru bersama siswa melakukan refleksi terhadap materi yang telah dipelajari. Guru menanyakan kepada siswa tentang pelaksanaan kegiatan 917
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pembelajaran tersebut. “anak-anak, bagaimanakah pelajaran kita hari ini menyenangkan?” siswa menjawab dengan serentak “ya pak”. Guru bertanya kembali “apa alasannya nak ?” Mutia mengacungkan tangan, ia menjawab “ baru ini kita belajar perkalian dengan kartu perkalian, pak”, Nirmala memberikan komentar ”perkalian pakai kartu tidak perlu hapal semua perkalian, karena sudah ada tertulis pada kartu, pak.”, ada juga yang menjawab” ya pak, hanya tinggal menjumlahkan pak, kan bisa jadi cepat siap pak” Pada akhir pelajaran guru bersama siswa melakukan refleksi terhadap materi yang telah dipelajari. Guru menanyakan kepada siswa „anak-anak, bagaimanakah pelajaran kita hari ini menyenangkan?” siswa menjawab dengan serentak “ya pak”. Guru bertanya kembali “apa alasannya nak ?” ada siswa menjawab “ baru ini kita belajar perkalian dengan kartu perkalian”, ada juga siswa yang menjawab ” perkalian pakai kartu tidak perlu hapal semua perkalian, karena sudah ada tertulis pada kartu, pak.”, ada juga yang menjawab” ya pak, hanya tinggal menjumlahkan pak, kan bisa jadi cepat siap pak” guru meminta siswa untuk menyimpulkan materi pelajaran, dan membimbing siswa sesuai tujuan pembelajaran yang disampaikan diawal. Sebagai kesimpulan, 1) perkalian bilangan dapat dikerjakan dengan cara bersusun ke bawah atau cara susun panjang, 2) perkalian juga dapat dikerjakan dengan menggunakan kartu Napier dimana perkalian merupakan penjumlahan bilangan pada kartu induk yang dijumlahkan secara diagonal. Setelah melalui kegiatan pemberian tugas mandiri hasil belajar siswa mengalami peningkatan yang baik, ditunjukkan dari 5 soal perkalian yang diajukan ternyata perolehan nilai diatas 70 ada 21 siswa dari 25 siswa. Sebanyak 13 siswa memperoleh nilai 100 dan 8 orang memperoleh nilai 80. Maka perolehan nilai tuntas mencapai 84 persen. SIMPULAN Pembelajaran matematika dengan penggunaan papan Napier telah dilaksanakan melalui metode demonstrasi, hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membantu mempermudah menghitung perkalian bilangan bagi siswa. Mengenai konsep perkalian menjadi prioritas guru untuk menanamkan pemaknaan perkalian itu sendiri terhadap siswa dalam meningkatkan berfikir kritis dan bernalar yang membutuhkan prosedur-prosedur tertentu, sehingga guru dituntut dapat membelajarkan konsep matematika yang abstrak menjadi hal yang dapat dinyatakan secara konkrit melalui media. DAFTAR RUJUKAN Badan Pengembangan Sumber Daya manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 SD : Jakarta; Kementerian Pendidikan Nasional Djamarah, Syaiful Bahri. 2006 Strategi Belajar Mengajar.Jakarta: Rineka Cipta Subanji,dkk.2009 Matematika Kreatif. Malang: UM Press Suherman, Erman, 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung. UPI
UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATERI BANGUN RUANG SISI LENGKUNG MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI SETTING KOOPERATIF JIGSAW SISWA KELAS IXA SMPN 9 TANJAB TIMUR SUPRIONO SANTOSO SMP Negeri 9 Tanjung Jabung Timur
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran inkuiri setting kooperatif Jigsaw yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah materi bangun ruang sisi lengkung siswa kelas IX A SMP N 9 Tanjabtim. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilakukan dalam dua siklus. Data penelitian ini
918
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
diperoleh dengan observasi terhadap aktivitas guru dan siswa pada pelaksanaan pembelajaran. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pembelajaran inkuiri setting kooperatif jigsaw yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dilakukan dengan langkah: siswa diberikan masalah menemukan rumus luas bangun ruang sisi lengkung, diberikan masalah non rutin untuk diselesaikan dalam kelompok, presentasi hasil diskusi, dan kuis. Ada peningkatan nilai dari 76,5 (siklus I) menjadi 77,9 (siklus II). Ketuntasan belajar dari 66% menjadi 93,3%. Kata kunci: inkuiri, pemecahan masalah, jigsaw
Matematika merupakan ilmu yang berkenaan dengan ide-ide atau konsep abstrak yang tersusun seara hirarkis dan penalaran deduktif yang membutuhkan pemahaman secara bertahap dan beruntun. Dalam pembelajaran matematika di SMP, aspek-aspek pemahaman rumus dan aplikasinya merupakan hal yang sangat penting yang harus dimiliki siswa. Namun dalam kenyataanya masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah matematika karena pemahaman konsepnya kurang. Hal ini terjadi pada siswa SMP Negeri 9 Kabupaten Tanjung Tabung Timur kelas IX A semester ganjil tahun 2013 yang pencapaian nilainya pada kompetensi dasar kesebangunan rendah dan cendrung banyak yang tidak tuntas. Terdapat perbedaan yang sangat jauh antara nilai tugas baik tugas mandiri ataupun tugas kelompok yang diperoleh siswa pada setiap indikator pencapaian kompetensi dengan nilai ulangan harian yang dilakukan pada saat berapa kompetensi dasar sudah diajarkan. Rata-rata nilai tugas siswa sangat baik, 95% siswa tuntas KKM indikator dengan nilai rata-rata 75. Sementara pada ulangan harian meskipun terdapat beberapa siswa mendapat nilai memuaskan tetapi masih banyak siswa yang mendapat nilai tidak baik, bahkan terkadang terdapat 45% siswa tidak tuntas KKM, sehingga rata-rata ulangan harian siswa cukup rendah. Setelah dilakukan indentifikasi lewat angket terbuka kepada siswa, rata-rata siswa mengalami masalah pada penyelesaian soal dengan alasan bahwa soal yang diberikan pada ulangan harian tidak sama dengan contoh-contoh soal yang diberikan pada saat berlangsungnya proses pembelajaran. Sebagian siswa menjawab lupa dan mengalami keraguan dalam menyelesaikan soal padahal pada saat proses pembelajaran mereka cukup mengerti dan dapat menyelesaikan soal-soal dengan versi yang berbeda pada indikator yang sama dengan tingkat kesulitan yang sedikit berbeda. Santoso (2012) menemukan bahwa keaktifan siswa dalam menemukan konsep dan melakukan presentasi sangat kurang. Kebanyakan siswa hanya sebagai penerima pasif tentang fakta dan konsep sebuah materi. Hal ini memungkinkan siswa pada kecenderungan lupa dan kurang tepat dalam mengaplikasikan konsep yang dipelajarinya untuk pemecahan soal-soal non rutin. Dengan kata lain siswa mengalami kesulitan untuk menyelesaikan soal non rutin pada saat ulangan harian. Gambaran tersebut menunjukan bahwa proses pembelajaran dikelas IX A SMP Negeri 9 Tanjung Jabung Timur perlu diperbaiki guna meningkatkan pemahaman konsep untuk dapat memecahkan masalah non rutin yang akan ditemui siswa dalam ulangan harian. Upaya perbaikan proses pembelajaran dapat dilakukan dengan memilih pendekatan pembelajaran, media, dan model pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan aktivitas siswa dalam menemukan dan memahami konsep sehingga dalam kurun maktu yang lama siswa masih mampu menerapkan konsep tersebut dalam pemecahan berbagai masalah matematika baik untuk soal rutin dan non rutin. Lusiana (2004) menemukan bahwa kurangnya pemahaman siswa dalam memahami konsep bangun ruang sisi lengkung adalah karena : motivasi siswa rendah, perhatian siswa terhadap pembelajaran matematika rendah, gangguan kelas besar, partisipasi siswa rendah sekali. Masalah dalam matematika sering disebut juga soal-soal yang harus di jawab dan dipecahkan oleh siswa, dalam permasalahan matematika beberapa bentuk diantaranya soal rutin dan soal non rutin. Permasalahan rutin yaitu permasalahan yang sering muncul dalam pembelajaran matematika, permasalahan tersebut mudah dipelajari dan di pecahkan oleh siswa karena permasalahan sering muncul dan mudah sehingga hanya dengan hafalan saja sudah bisa menjawab. Sementara menurut Daane (dalam Suandito, 2004) soal non rutin fokus pada level tinggi dari interpretasi dan mengorganisasikan masalah. Soal ini cendrung mendorong berfikir logis, menambahkan pemahaman konsep siswa, mengembangkan kekuatan nalar secara
919
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
matematika, mengembangkan kemampuan berfikir abstrak dan mentransfer kemampuan matematika ke situasi yang tidak familiar. Geometri adalah bagian dari matematika yang membahas mengenai titik, bidang dan ruang. Geometri ruang mempelajari tentang bentuk, letak dan sifat-sifat berbagai bangun yang tidak terletak pada satu bidang datar. Bangun ruang sisi lengkung adalah materi ajar yang diajarkan dikelas IX dengan standar kompetensi memahami sifat tabung, kerucut dan bola serta menentukan ukuranya. Dengan kompetensi dasar mengidentifikasi unsur-unsur tabung kerucut dan bola, menghitung luas selimut dan volum tabung kerucut dan bola dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan tabung kerucut dan bola. Terdapat hubungan konsep yang mendasar antara keliling lingkaran, luas lingkaran, keliling dan luas persegi panjang dengan penemuan rumus luas tabung. Demikian juga hubungan antara penguasaan konsep tabung dengan kerucut dan konsep kerucut dan bola. Jika diturunkan konsep luas dan volume dari prisma ke bangun ruang tabung juga terdapat hubungan yang mendasar dari konsep prisma segi-n dengan n takhingga. Artinya diperlukan runutan yang jelas pada setiap kompetensi dasar pada bangun datar dan bangun ruang untuk dapat memahami konsep pada bangun ruang sisi lengkung yang dianggap merupakan materi yang lebih kompleks. Pemahaman konsep merupakan kemampuan siswa yang berupa penguasaan sejumlah materi pelajaran dan mampu mengungkapkan kembali dalam bentuk lain yang mudah dimengerti, memberikan interprestasi data dan mampu mengaplikasikan konsep yang sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Adapun indikator pemahaman konsep menurut Sanjaya (2009) adalah mampu menerangkan secara verbal mengenai apa yang dicapainya, mampu menyajikan situasi matematika ke dalam berbagai cara, mampu mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan persyaratan yang membentuk konsep tersebut, mampu menerapkan hubungan antar konsep yang dipelajari, mampu memberikan contoh dan kontra dari konsep yang dipelajari, mampu menerapkan konsep secara agoritma, dan mampu mengembangkan konsep yang telah dipelajari. Menurut Sutawidjaja (dalam Yulianto. A, 2010) memahami konsep saja tidak cukup karena di dalam praktik kehidupan siswa memerlukan ketrampilan matematika, sedang dengan memahami keterampilanya saja siswa tidak mungkin memahami konsepnya. Oleh karena itu siswa harus menguasai konsep dengan benar dan kemudian melatih ketrampilannya. Untuk memahami konsep, guru perlu memberikan latihan yang bervariasi. Jika pengetahuan matematika tidak disajikan dengan cara yang sesuai maka siswa akan mengalami kesulitan dalam memahaminya. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang menitik beratkan pada pengelompokan siswa dengan tingkat kemampuan akademik yang berbeda ke dalam kelompokkelompok kecil. Kepada siswa diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik dalam kelompoknya, seperti menjelaskan kepada teman sekelompoknya, menghargai pendapat teman, berdiskusi dengan teratur, siswa yang pandai membantu yang lebih lemah. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model pembelajaran yang diatur dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil terdiri dari 4-6 orang dengan memperhatikan keheterogenan, bekerja sama positif dan setiap anggota bertanggungjawab untuk mempelajari masalah tertentu dari materi yang diberikan dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends dalam Emildadiany, 2008). Pada model kooperatif jigsaw terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal dan latar belakang yang heterogen. Kelompok asal merupakan gabuangan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan pada kelompok asal. Para anggota tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk berdiskusi (tim ahli) saling membentu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompoknya yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari pada tim ahli. Dalam pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerjasama di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, memberikan 920
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
penjelasan kepada teman sekelompok dengan baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan. Perlu ditekankan kepada siswa bahwa mereka belum boleh mengakhiri diskusinya sebelum mereka yakin bahwa seluruh anggota timnya menyelesaikan seluruh tugas. Jigsaw didesain untuk meningkatkan tanggungjawab siswa terhadap pembelajaranya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi juga harus memberikan dan mengajarkan kepada orang lain dikelompoknya. Dengan demikian siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan (Lie, A, dalam Emildadiany, 2008). Pendekatan inkuiri adalah cara penyajian pelajaran yang banyak melibatkan siswa dalam proses-proses mental dalam rangka penemuannya. Atas dasar uraian tersebut maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang efektifitas penerapan pendekatan inkuiri dan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa dalam menyelesaikan masalah non rutin pada standar kompetensi bangun ruang sisi lengkung. Melalui pembelajaran ini diharapkan pemahaman konsep bangun ruang sisi lengkung yang berkaitan dengan mendefinisikan konsep, kemampuan mengeksplorasi konsep serta kemampuan mengaplikasikanya dalam upaya pemecahan masalah dapat semakin baik sehingga mampu meningkatkan prestasi belajar siswa. Adapun dasar pemikiran penulis adalah bahwa proses pembelajaran matematika pada standar kompetensi bangun ruang sisi lengkung dengan metode inkuiri memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan informasi dengan atau tanpa bantuan guru, pendekatan ini memungkinkan peserta didik menemukan sendiri informasi-informasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaranya karena metode inkuiri melibatkan peserta didik dalam proses mental untuk menemukan suatu konsep berdasarkan informasi-informasi yang diberikan guru. Dengan demikian siswa benar-benar memahami suatu konsep dan rumus yang menjadi kepuasan mental sehingga nilai instrinsik siswa terpenuhi dan ilmu yang diperolehnya dapat bertahan lama. Demikian juga keheterogenan siswa dalam model kooperatif jigsaw memungkinkan adanya kerjasama yang positif, setiap anggota bertanggungjawab untuk mempelajari masalah tertentu dari materi yang diberikan dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain. Keunggulan kooperatif jigsaw meningkatkan rasa tanggungjawab siswa terhadap pembelajaranya sendiri dan pembelajaran orang lain, siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan tetapi juga harus memberikan dan mengajarkan materi tersebut kepada orang lain yaitu anggota kelompoknya yang lain (Ibrahim Nur dalam Emildadiany, 2008), hal ini memungkinkan setiap siswa berkerja keras memahami setiap konsep pada materi pembelajaran untuk disampaikan kembali kepada siswa yang lain. Dengan melibatkan siswa seara langsung pada proses penemuan suatu konsep (inkuiri) dan tanggungjawabnya tentang pemahaman materai yang harus diinformasikan kembali kepada orang lain dalam kelompoknya (kooperatif tipe jigsaw), model pembelajran kooperatif tipe jigsaw dengan pendekatan inkuiri diasumsikan tepat dalam meningkatkan pemahaman konsep siswa untuk pemecahan masalah non rutin pada standar kompetensi bangun ruang sisi lengkung siswa kelas IX A SMP Negeri 9 Tanjung Jabung Timur. METODE Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2013 di SMP Negeri 9 Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi, di kelas IX A yang terdiri dari 22 siswa perempuan dan 8 siswa laki-laki. Desain penelitian ini menggunakan model Kemmis dan Taggart, dengan beberapa siklus yang meliputi tahapan perencanaan (plan), pelaksanaan (act), observasi (observe), dan refleksi (reflec) (Ernawati, 2011). Pada tahap perencanaan, peneliti membuat rancangan tindakan yang akan dilakukan dalam penelitian, yakni menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sesuai materi yang diajarkan menggunakan metode inkuiri dan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, bahan ajar multimedia, soal, kuis dan tes pada setiap siklus dan lembar observasi kegiatan pembelajaran. Instrument tersebut disusun dan dikonsultasikan dengan teman sejawat guru matematika di SMP Negeri 9 Tanjung Jabung Timur.
921
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tahap pelaksanaan tindakan, guru melaksanakan pembelajaran dengan metode inkuiri, menggunakan multimedia berbasis PMR melalui model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw seperti yang termuat dalam Renana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pelaksanaan pembelajaran bersifat fleksibel dan terbuka terhadap perubahan-perubahan, sesuai dengan keadaan yang ada selama proses pelaksanaan. Observasi dilakukan oleh pengamat yang sudah paham mengenai metode inkuiri dan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Pedoman observasi disusun berdasarkan karakteristik Metode Inkuiri dan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Observer mengamati dan mencatat segala sesuatu yang terjadi pada saat pembelajaran di kelas. Adapun aspek pengamatan penelitian ini menyangkut proses dalam kegiatan belajar terhadap guru dan siswa. Aspek pengamatan terhadap siswa menyangkut perhatian siswa terhadap penjelasan guru, kerjasama dalam kelompok, keaktifan siswa dalam melakukan percobaan, keaktifan siswa dalam penemuan dan eksplorasi konsep, keaktifan siswa dalam mengidentifikasi dan mengaplikasikan konsep dalam pemecahan masalah, keaktifan siswa dalam bertanya dan menjawab pertanyaan, keaktifan siswa dalam melakukan presentasi dan ketepatan dalam mengerjakan tugas serta nilai hasil belajar pada setiap akhir siklus. Aktivitas guru yang diamati melalui lembar observasi menyangkut persiapan dan pelaksanaan pembelajaran secara utuh. Pada kegiatan pendahuluan antara lain menyampaikan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa, dan mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan awal siswa terkait dengan kegiatan apersepsi. Pada kegiatan inti aktivitas yang dilakukan guru diantaranya adalah : menyampaikan tugas kelompok, mengatur siswa dalam kelompok, membimbing siswa dalam mengerjakan tugas individu, mendorong siswa melakukan keterampilan kooperatif, menjadi fasilitator, memberikan reward sebagai penguatan, dan memberikan tes untuk mengukur ketercapaian pembelajaran oleh siswa. Sedangkan pada akhir kegiatan akan diamati bagaimana guru membimbing siswa dalam membuat rangkuman dan pemberian tugas rumah, dimana suasana kelas yang diharapkan terjadi pada saat pembelajaran berlangsung adalah : pembelajaran berpusat pada siswa dengan penuh antusias. Pada akhir setiap siklus dilakukan evaluasi dari tindakan yang telah dilakukan. Data yang diperoleh pada setiap observasi dianalisis berdasarkan masalah-masalah yang muncul, kekurangan, dan segala hal yang berkaitan dengan tindakan guru dan aktivitas siswa kemudian dilakukan refleksi. Hasil evaluasi ini merupakan acuan yang mendasar untuk menyusun tindakan pada siklus berikutnya. HASIL PENELITIAN Proses Pembelajaran Siklus I Pada pertemuan pertama terlihat beberapa siswa kurang memperhatikan pada saat guru memberikan instruksi bagaimana cara kerja mereka dalam kelompok asal dan tim ahli, sehingga terjadi sedikit kendala saat mereka akan membentuk tim ahli demikian juga pada saat mereka kembali kepada kelompok asal. Awalnya siswa terlihat tidak begitu nyaman dengan model pembelajaran ini, tetapi setelah siswa mengikuti proses pembelajaran dari awal sampai akhir siswa terlihat sangat puas dengan proses pembelajaran yang telah dilaluinya. Guru membimbing pada setiap kelompok saat melakukan diskusi baik pada proses penemuan rumus luas permukaan bangun ruang sisi lengkung ataupun pada penyelesaian soalsoal yang diberikan. Terdapat beberapa siswa dalam kelompok ahli bertanya dan guru berusaha membimbing siswa menemukan jawabanya dalam kelompok. Proses diskusi berjalan cukup baik, hampir seluruh siswa terlibat aktif dan hanya ada 2 orang siswa pada kelompok tim ahli luas permukaan tabung yang terkesan kurang terlibat dalam diskusi tersebut. Guru mengingatkan agar semua siswa benar-benar aktif dan dapat menguasai kompetensi yang didiskusikan karena mereka memiliki tanggung jawab untuk kembali menyampaikan pemahamanya kepada anggota kelompok lainya di dalam kelompok asal. Terdapat satu kelompok siswa (Tim ahli luas permukaan kerucut ) yang sedikit mengalami kesulitan dalam menemukan rumus luas permukaan selimut kerucut. Guru kemudian menyarankan siswa untuk kembali mempelajari rumus luas juring sebuah lingkararan dan luas permukaan sebuah lingkaran sebagai alas dari kerucut, kemudian siswa secara berkelompok dapat menemukan rumus luas permukaan kerucut. Pada saat siswa kelompok lain mempresentasikan hasil diskusinya, banyak siswa yang kurang memperhatikan. Pada saat tugas mandiri masih terdapat beberapa siswa yang kesulitan 922
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dan tidak dapat menyelesaikan pekerjaanya, bahkan masih terdapat beberapa siswa yang mencotek pekerjaan siswa lain. Untuk mengatasi agar hambatanhambatan ini tidak terulang lagi, pada pertemuan II nanti, siswa diminta untuk lebih mandiri dalam mengerjakan latihan, dan lebih serius dalam mengikuti pembelajaran. Pertemuan kedua adalah akhir dari siklus pertama, pada pertemuan ini dilakukan ulangan harian yang berlangsung dengan tertib. Tidak terlihat siswa yang berusaha untuk melihat catatan atau melihat pekerjaan teman yang lain. Hanya ada beberapa orang siswa yang bergerak dari tempat duduknya semula untuk meminjam peralatan tulis dan penghapus kepada teman yang Iain. Ulangan harian berjalan sesuai dengan waktu yang ditentukan yaitu 1 jam pembelajaran atau sekitar 40 menit. Dari hasil ulangan harian diperoleh rata-rata 76,65. Pada soal luas permukaan tabung tercapai ketuntasan 81,94%, soal luas permukaan kerucut 69,29% dan untuk soal luas permukaan bola mencapai 79,44%. Persentase ketuntasan menunjukan bahwa 66,00% siswa tuntas dalam ulangan harian dan terdapat 10 orang siswa yang tidak tuntas. Untuk siswa yang belum tuntas diberikan remedial dan bagi siswa yang telah tuntas diberikan pengayaan. Hasil observasi terhadap pelaksanaan kegiatan pembelajaran guru menunjukan bahwa dari 11 indikator yang menjadi pengamatan observer pada pertemuan pertama guru dapat melaksanakan 67,73% dari skenario pembelajaranya. Artinya masih perlu ditingkatkan pada siklus II sehingga pembelajaran lebih terarah untuk mencapai hasil yang maksimal. Sementara observasi di dalam kelas pada pertemuan pertama dapat dilihat bahwa, 80% siswa memperhatikan penjelasan guru, 70% siswa melakukan kerjasama dalam kelompok, 63% siswa aktif dalam melakukan percobaan, 63% siswa aktif dalam penemuan konsep, 63% siswa aktif dalam mengeksplorasi konsep, 60% siswa aktif dalam mengidentifikasi konsep, 70% siswa aktif mengaplikasikan konsep dalam pemecahan masalah, 63% mau mengajukan pertanyaan, 60% mampu menjawab pertanyaan, 60% siswa mau melakukan presentasi dan 63% siswa tepat dalam mengerjakan tugas individu. Karena masih banyak indikator aktivitas siswa kurang dari 65% maka perlu diberikan arahan kepada siswa agar dapat melakukan proses pembelajaran dengan lebih aktif. Guru perlu melakukan pengelolaan kelas yang lebih baik, dan proses diskusi dibuat lebih menarik agar pembelajaran di dalam kelas lebih memotivasi siswa untuk aktif. Proses Pembelajaran Siklus II Perhatian siswa pada sikulus II ini sudah terpusat pada guru disaat guru memberikan instruksi bagaimana cara kerja mereka dalam kelompok asal dan tim ahli, dikarenakan mereka sudah pernah melakukan proses pembelajaran dengan model jigsaw ini tidak lagi terlihat kegaduhan pada saat siswa membentuk tim ahli demikian juga pada saat mereka kembali kepada kelompok asal. Siswa terlihat antusias mengikuti pembelajaran dengan model jigsaw ini. Setelah proses pembelajaran dari awal sampai akhir siswa terlihat sangat puas dengan proses pembelajaran yang telah dilaluinya. Guru membimbing siswa dalam kelompok saat melakukan diskusi baik pada proses penemuan rumus volume bangun ruang sisi lengkung ataupun pada penyelesaian soal-soal yang diberikan. Terdapat beberapa siswa dalam kelompok ahli bertanya dan guru berusaha membimbing siswa menemukan jawabanya dalam kelompok. Proses diskusi berjalan cukup baik, seluruh siswa terlibat aktif dalam diskusi pada tim ahli. Guru mengingatkan agar semua siswa benar-benar aktiv dan dapat menguasai kompetensi yang didiskusikan karena mereka memiliki tanggung jawab untuk kembali menyampaikan pemahamanya kepada anggota kelompok lainya di dalam kelompok asal. Semua kelompok tim ahli dapat menemukan rumus volume tabung, kerucut dan bola dengan mudah, kemudian pekerjaan dilanjutkan dengan mengerjakan soa-soal yang terdapat dalam LKS. Setelah selesai tim ahli melakukan diskusi baik untuk indikator menemukan rumus volume tabung, kerucut dan bola maupun pengerjaan latihan-latihan yang diberikan mereka kembali kekelompok asal untuk menjelaskan kepada temanya dalam kelompok tentang kompetensi yang dikuasainya dalam tim ahli. Suasana diskusi di dalam kelompok asal terlihat serius, siswa secara bergantian menerangkan kepada temanya tentang kompetensi yang dikuasainya ( bagai mana menemukan rumus volume bangun ruang sisi lengkung ) dan memberikan petunjuk kepada temannya bagaimana penyelesaian soal-soal pada setiap indikator
923
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dalam kompetensi tersebut. Terlihat beberapa siswa bertanya kepada tim ahli dan tim ahli dapat menjawab pertanyaan teman dalam kelompok asalnya. Setelah selesai secara bergantian siswa saling menerangkan kompetensi yang dikuasainya, guru meminta satu orang siswa pada setiap kelompok untuk mempresentasekan hasil pekerjaanya pada indikator proses penemuan rumus dan penyelesaian masalah dengan menggunakan rumus tersebut. Hampir semua siswa bersedia maju kedepan untuk melakukan presentase tersebut. Dari hasil presentase siswa terlihat bahwa sebenarnya mereka memahami apa yang mereka kerjakan termasuk pemecahan masalah dengan menggunakan rumus yang mereka peroleh, dan untuk menyampaikan didepan kelas, mereka terlihat lebih baik dari pertemuan sebelumnya meskipun mengalami kesulitan dalam hal pemilihan bahasa dan kata yang mereka gunakan. Semua siswa terlibat aktif dalam diskusi pada tim ahli dan tidak lagi terlihat ada siswa yang bergurau atau bercakap-cakap dengan teman disebelahnya, hingga peroses diskusi berakhir. Demikian juga pada saat siswa kelompok lain mempresentasikan hasil diskusinya, tidak lagi terlihat siswa yang kurang memperhatikan. Namun pada saat tugas mandiri masih terdapat beberapa siswa yang kesulitan dan tidak dapat menyelesaikan pekerjaanya, meskipun sudah tidak terlihat siswa yang mencotek pekerjaan siswa lainnya. Ulangan harian dilakukan pada siklus kedua berjalan sesuai dengan waktu yang ditentukan yaitu 1 jam pembelajaran atau sekitar 40 menit, berlangsung dengan tertib. Tidak terlihat siswa yang berusaha untuk melihat catatan atau melihat pekerjaan teman yang lain. Hanya ada beberapa orang siswa yang bergerak dari tempat duduknya semula untuk meminjam peralatan tulis dan penghapus pena kepada teman yang lain. Dari hasil ulangan harian diperoleh rata-rata 76,74. Pada soal volume tabung terapai ketuntasan 82,23%, soal volume kerucut 81,19% dan untuk soal volume bola mencapai 80,95%. Persentase ketuntasan menunjukan bahwa 90,0% siswa tuntas dalam ulangan harian dan terdapat 3 orang siswa yang tidak tuntas. Hasil observasi terhadap pelaksanaan kegiatan pembelajaran oleh guru, menunjukan bahwa dari 11 indikator yang menjadi pengamatan observer pada ketiga pertemuan didapat ratarata guru melaksanakan 72,96% dari skenario pembelajaranya. Sementara hasil observasi di dalam kelas pada siklus II terlihat, 83% siswa antusias terhadap penjelasan guru, 73% siswa melakukan kerjasama dalam kelompok, 70% siswa aktif dalam melakukan percobaan, 70% siswa aktif dalam penemuan konsep, 70% siswa aktif dalam mengeksplorasi konsep, 67% siswa aktif dalam mengidentifikasi konsep, 67% siswa aktif mengaplikasikan konsep dalam pemecahan masalah, 67% mau mengajukan pertanyaan, 67% mampu menjawab pertanyaan, 67% siswa mau melakukan presentasi dan 67% siswa tepat dalam mengerjakan tugas. Karena aktivitas siswa sudah mencapai lebih dari 65% dan rata-rata nilai ulangan harian sudah mencapai 76,74 dengan presentase ketuntasan 90,0% maka siklus kedua ini dianggap berhasil dan tindakan dihentikan. PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan Pembelajaran dengan Pendekatan Inkuiri Pada Model Kooperatif Tipe Jigsaw Dari tabel berikut dapat dilihat pelaksanaan pembelajaran oleh guru pada siklus I lan siklus II menunjukan persentase ketercapaian skenario pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Presentase keterlaksanaan pembelajaran oleh guru menunjukan kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru berdasarkan sekenario pembelajaran yang telah dirancang. Table. 1 Persentase Pelaksanaan RPP oleh Guru SIKLUS TOTAL SKOR INDIKATOR RATA-RATA PENGAMATAN I 59 64,4% II 62 72,9% Berdasarkan tebel diatas terdapat peningkatan aktivitas guru baik untuk setiap pertemuan. Untuk rata-rata aktivitas guru pada siklus I dan siklus II juga terjadi peningkatan dari 64,4% menjadi 72,9%, yang artinya guru telah dapat melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan baik.
924
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2. Perkembangan Aktivitas Belajar Siswa Rekapitulasi persentase observasi terhadap siswa untuk setiap pertemuan dan setiap siklus terlihat bahwa: 1. Perhatian siswa terhadap aktivitas guru meningkat dari 80% siswa sampai 83%. 2. Kerjasama dalam kelompok meningkat dari 70% sampai 73%. 3. Keaktifan dalam melakukan percobaan meningkat 63% sampai 70%. 4. Keaktifan dalam menemukan konsep meningkat 63% sampai 70%. 5. Keaktifan dalam mengeksplorasi konsep meningkat 63% sampai 70%. 6. Keaktifan dalam mengidentifikasi konsep meningkat 60% sampai 67%. 7. Keaktifan siswa mengaplikasikan konsep dalam pemecahan masalah meningkat 57% sampai 67%. 8. Mengajukan pertanyaan meningkat 63% sampai 67%. 9. Menjawab pertanyaan meningkat dari 60% sampai 67%. 10. Melakukan presentasi meningkat dari 60% sampai 67%. 11. Ketepatan dalam mengerjakan tugas meningkat dari 63% menjadi 67% Berdasarkan pengamatan atas semua indikator keaktifan siswa dapat dilihat pada siklus II semua indikator telah menapai diatas 65%. Sesuai dengan kriteria keberhasilan yang ditetapkan dalam penelitian tindakan kelas ini jika aktivitas siswa menapai 65% penelitian yang dilakukan berhasil, artinya metode inkuiri pada model kooperatif tipe jigsaw mampu meningkatkan aktivitas belajar siswa dengan baik. Untuk indikator keaktivan siswa dalam mengidentifikasi konsep, mengaplikasikan konsep dalam pemecahan masalah, mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, melakukan presentasi, dan ketepatan dalam mengerjakan tugas terlihat nilai persentasenya hanya menapai 67% meskipun telah melampaui indikator keberhasilan tetapi angka tersebut masih menunjukan nilai yang kurang memuaskan artinya masih ada 33% siswa yang belum aktif pada indikator tersebut. 3. Nilai Hasil Belajar Siswa Ulangan harian dilakukan pada akhir siklus I dan akhir siklus II. Hasil ulangan harian sikius I terdapat 10 orang siswa tidak tuntas dan pada siklus Il terdapat 3 orang siswa tidak tuntas. Sementara rata-rata nilai pada siklus I 76,5 dengan 66% siswa tuntas, pada siklus II nilai rata-rata 77,9 dengan 93,3% siswa tuntas. Sesuai kriteria keberhasilan yang dipersaratkan bahwa jika lebih dari 70% siswa diatas KKM (67,5) maka pembelajaran dianggap berhasil. Jadi metode inkuiri pada model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw mampu meningkatkan pemahaman konsep siswa untuk menyelesaikan masalah non rutin pada standar kompetensi bangun ruang sisi lengkung. SIMPULAN Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembelajaran dengan mengggunakan metode inkuiri pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada standar kompetensi bangun ruang sisi lengkung adalah : 1. Guru mampu melaksanakan skenario pembelajaran (RPP) secara lengkap dan menyeluruh. 2. Metode Inkuiri dan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw mampu meningkatkan aktivitas pemaham konsep siswa pada standar kompetensi bangun ruang sisi lengkung. 3. Metode inkuiri dan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw mampu meningkatkan pemahaman konsep siswa untuk menyelesaikan masalah non rutin pada standar kompetensi bangun ruang sisi lengkung. SARAN Dari hasil penelitian dan pengamatan selama pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode inkuiri dan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw disarankan: 1. Guru lebih mengoptimalkan persiapan dan pelaksanaan skenario pembelajaran agar tujuan pembelajaran tercapai. 2. Perlu dicari faktor-faktor yang menyebabkan presentase keaktifan siswa dalam indikator mengidentifikasi konsep, mengaplikasikan konsep dalam pemecahan masalah, mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, melakukan presentasi, dan ketepatan dalam mengerjakan tugas yang belum memuaskan.
925
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
DAFTAR RUJUKAN Bily Suandito, Purwoko,et. al, 2011. Pengembangan Soal Matematika Non Rutin di SMA Xaverius 4 Palembang. http://krizi.wordpres.com //2011/09/12/makalahmatematika-masalah-rutin-dan-non-rutin/ (diakses pada 2013/08/2013). Lusiana, 2008. Upaya meningkatkan pemahaman Konsep Matematika Melalui Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Jiqsaw. http://www. lombalomba.com 2008/05/11/upaya-pemahaman-konsep-matematika. (diakses pada 2011/11/25) Muhadi, 2010. Penerapan Model Pembelajaran Van Hilee dalam Membantu Siswa Memahami Konsep Geometri, http://www.lppm.ut.ac.id 2010/01/15/pemahaman-konsepgeometri. (diakses pada 2010/11/27). Mazrawu, 2011. Pengertian Metode Inkuiri dan Metode Demonstrasi dalam Pembelajaran. http://mazrawul48.wordpress.om 2010/04/19/ pengertian – metode – inkuiri – dan – metode - demonstrasi-dalam - pembelajaran-sekolah. (diakses pada 2011/11/15) Novi Emildadiany, 2008. Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Learning Teknik Jigsaw dalam Pembelajaran, http://ahmadsudrajat.wordprees. com 2008/07/31/cooperative-learning-teknik jigsaw. (diakses pada 2011/11/25). Ridwan Mustofa, 2013. Pendekatan Inkuiri dalam Pembelajaran. http://ridwanmustofa2403. blogspot.com/2013/04 pendekatan-inkuiri-dalampembelajaran.html (diakses pada 2013/01/15). Sanjaya, 2013. Indikator Pemahaman Konsep Matematika. http://dedi26.blog spot.com HomeMatematika-Pembelajaran (diakses pada 12/7/2013 ). Yulianto. A, 2010. Meningkatkan Hasil belajar Matematika Geometri Bangun Ruang,http://pendidikan.blogspot.com 2010/01/10 meningkatkan-hasil-belajarmatematika.html (diakses pada 2011/11/09).
PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATERI KESEBANGUNAN DAN KONGRUENSI MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL JIGSAW PADA SISWA KELAS IXA SMP NEGERI 4 TAHUNA Victorino Teddy Loong Guru SMPN 4 Tahuna, Kabupaten Sangihe Abstrak: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penerapan pembelajaran JIGSAW yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa materi kesebangunan dan kongruensi. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan dalam tiga siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX SMP Negeri 4 Tahuna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif model JIGSAW yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa materi kesebangunan dan kongruensi adalah dibentuk kelompok asal, diberikan masalah, membentuk kelompok ahli, bekerja dikelompok ahli, kembali ke kelompok asal, saling menjelaskan di kelompok asal. Peningkatan hasil belajar terlihat dari meningkatnya ketuntasan belajar siklus 1 sebesar 66,67%; siklus 2 sebesar 76,19%; dan siklus 3 sebesar 85,71%. Kata kunci: hasil belajar matematika, kooperatif model jigsaw.
926
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Proses pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan siswa sebagai pemegang peran utama bukan lagi terarah kepada guru. Tetapi sebagai seorang guru yang baik dan professional sudah saatnya merubah paradigma belajar-mengajar menjadi pembelajaran yang bermakna, Peristiwa pembelajaran banyak berakar pada berbagai pandangan dan konsep. Oleh karena itu, perwujudan proses pembelajaran yang memadai dapat terjadi dalam berbagai model. Pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa, siswa dengan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa, dan lebih lagi interaksi antara siswa dengan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses pembelajaran. Interaksi dalam peristiwa pembelajaran mempunyai arti yang lebih luas, tidak sekedar hubungan antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hal ini bukan hanya penyampaian pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang belajar. Sebagai salah satu pelaku dalam pembelajaran, guru merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan setiap upaya pendidikan.Itulah sebabnya setiap adanya inovasi pendidikan, khususnya dalam kurikulum dan peningkatan sumber daya manusia yang berhasil dari upaya pendidikan selalu bermuara pada faktor guru.Hal ini menunjukkan betapa eksisnya peran guru dalam dunia pendidikan. Demikian pula dalam upaya membelajarkan siswa gurudituntut memiliki multi peran sehingga mampu menciptakan kondisi belajar mengajar yang efektif. Agar dapat melakukan pembelajaran yang efektif, guru harus meningkatkan kesempatan belajar bagi siswa (kuantitas) dan meningkatkan mutu (kualitas) mengajarnya. Kesempatan belajar siswa dapat ditingkatkan dengan cara melibatkan siswa secara aktif dalam belajar. Hal ini berarti kesempatan belajar makin banyak dan optimal serta guru menunjukkan keseriusan saat melaksanakan pembelajaran. Makin banyak siswa yang terlibat aktif dalam belajar, makin tinggi kemungkinan prestasi belajar yang dicapainya. Sedangkan dalam meningkatkan kualitas dalam pembelajaran hendaknya guru mampu merencanakan program pembelajaran dan sekaligus mampu pula melakukan dalam bentuk interaksi pada proses pembelajaran. Bagi guru sendiri keberhasilan tersebut akan menimbulkan kepuasan, rasa percaya diri serta semangat yang tinggi. Hal ini berarti telah menunjukkan sebagian sikap guru professional yang dibutuhkan pada era globalisasi dengan berbagai kemajuannya, khususnya kemajuan ilmu dan teknologi yang berpengaruh terhadap dunia pendidikan. Dalam pembelajaran matemati-ka tidak lagi mengutamakan pada penyerapan melalui pencapaian informasi, tetapi lebih mengutamakan pada pengembangan kemampuan dan pemrosesan informasi. Untuk itu aktivitas peserta didik perlu ditingkatkan melalui latihanlatihan atau tugas matematika dengan bekerja kelompok kecil dan menjelaskan ide-ide kepada orang lain. Langkah-langkah tersebut memerlukan partisipasi aktif dari siswa.Untuk itu perlu ada metode pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung dalam pembelajar-an. Adapun metode yang dimaksud adalah metode pembelajaan kooperatif. Pembelajaran kooperatif lebih menekankan pada interaksi antar siswa. Dari sini siswa akan melakukan komunikasi aktif dengan sesama temannya. Dengan komunikasi tersebut diharapkan siswa dapat menguasai materi pelajaran dengan mudah karena “siswa lebih mudah memahami penjelasan dari kawannya dibanding penjelasan dari guru karena taraf pengetahuan serta pemikiran mereka lebih sejalan dan sepadan”. (Sulaiman dalam Wahyuni 2001: 2). Penelitian juga menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang amat positif terhadap siswa yang rendah hasil belajarnya (Nur, 1996: 2). Berdasarkan paparan tersebut di atas maka peneliti melakukan penelitian dengan judul “Meningkatkan Hasil Belajar Kesebangunan dan Kongruensi Melalui Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw Pada Siswa Kelas IXA SMP Negeri 4 Tahuna”. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan (action research), karena penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah pembelajaran di kelas. Penelitian ini juga termasuk penelitian deskriptif, sebab menggambarkan bagaimana suatu pembelajaran diterapkan dan bagaimana hasil yang diinginkan dapat dicapai. 927
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Menurut Mukhlis (2000: 5) PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat sistematis reflektif oleh pelaku tindakan untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan. Adapun tujuan utama dari PTK adalah untuk memperbaiki/meningkat-kan pratek pembelajaran secara berkesinambungan, sedangkan tujuan penyertaannya adalah menumbuhkan budaya meneliti di kalangan guru (Mukhlis, 2000: 5). Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan, maka penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam Sugiarti, 1997: 6), yaitu berbentuk spiral dari siklus yang satu ke siklus yang berikutnya. Setiap siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus 1 dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan seperti yang berikut ini: Rancangan/rencana awal, sebelum mengadakan penelitian peneliti menyusun rumusan masalah, tujuan dan membuat rencana tindakan, termasuk di dalamnya instrumen penelitian dan perangkat pembelajaran. Kegiatan dan pengamatan, meliputi tindakan yang dilakukan oleh peneliti sebagai upaya membangun pemahaman konsep siswa serta mengamati hasil atau dampak dari diterapkannya metode pembelajaran model jigsaw. Refleksi, peneliti mengkaji, melihat dan mempertimbangkan hasil atau dampak dari tindakan yang dilakukan berdasarkan lembar pengamatan yang diisi oleh pengamat. Rancangan/rencana yang direvisi, berdasarkan hasil refleksi dari pengamat membuat rancangan yang direvisi untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya. Observasi dibagi dalam tiga putaran, yaitu putaran 1, 2 dan 3, dimana masing putaran dikenai perlakuan yang sama (alur kegiatan yang sama) dan membahas materi pembelajaran yang samadan diakhiri dengan tes di akhir masing-masing putaran. Dibuat dalam tiga putaran dimaksudkan untuk memperbaiki sistem pengajaran yang telah dilaksanakan. HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus 1 Tahap Persiapan. Guru sebagai peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 1, LKS 1, soal tes dan alat-alat pengajaran yang mendukung. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran untuk siklus I dilaksanakan dengan alokasi 2 x 40 menit sebanyak 2 kali pertemuan dengan jumlah siswa 21 orang.Siswa dibagi menjadi 5 kelompok yang kemampuannya sudah dipetakan sehingga tiaptiap kelompok mempunyai tingkat kecerdasan yang berimbang. Adapun proses pembelajaran mengacu pada rencana pelajaran yang telah dipersiapkan. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksaaan pembelajaran. Selama proses pembelajaran berlangsung guru melakukan pengamatan Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa pada siklus I berada pada kriteria cukup (nilai 22,5). Dari hasil tes yang diberikan bahwa dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 66,19 dan ketuntasan belajar mencapai 66,67% atau ada 14 siswa dari 21 siswa sudah tuntas belajar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus 1 secara klasikal siswa belum tuntas belajar, karena siswa yang memperoleh nilai ≥ 65 hanya sebesar 66,67% lebih kecil dari persentase ketuntasan yang dikehendaki yaitu sebesar 85%. Hal ini disebabkan karena siswa masih merasa baru dan belum mengerti apa yang dimaksudkan dan digunakan guru dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw. Tahap refleksi dan perbaikan. Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar diperoleh informasi dari hasil pengamatan sebagai berikut: guru kurang baik dalam memotivasi siswa dan dalam menyampaikan tujuan pembelajaran, guru kurang baik dalam pengelolaan waktu, dan siswa kurang begitu antusias selama pembelajaran berlangsung. Tahap perbaikan. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada siklus 1 ini masih terdapat kekurangan, sehingga perlu adanya revisi untuk dilakukan pada siklus berikutnya, meliputi: (1) guru perlu lebih terampil dalam memotivasi siswa dan lebih jelas dalam menyampaikan tujuan pembelajaran, dimana siswa diajak untuk terlibat langsung dalam setiap 928
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kegiatan yang akan dilakukan, (2) guru perlu mendistribusikan waktu secara baik dengan menambahkan informasi-informasi yang dirasa perlu dan memberi catatan dan (3) guru harus lebih trampil dan bersemangat dalam memotivasi siswa sehingga siswa lebih antusias.
Siklus 2 Pembelajaran pada siklus ini dilaksanakan berdasarkan refleksi pada siklus 1. Pembelajaran masih tetap menggunakan metode kooperatif model jigsaw. Adapun proses pembelajaran mengacu pada rencana pelajaran dengan memperhatikan revisi pada siklus 1, sehingga kesalahan atau kekurangan pada siklus 1 tidak terulang lagi pada siklus 2. Pengamatan (observasi) tetap dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan proses. Dari pengamatan, tanpak aspek-aspek yang diamati pada kegiatan pembelajaran (siklus 2) yang dilaksanakan dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw mendapatkan penilaian yang cukup baik. Hasil pengamatan menunjukkan nilai 36,5 (baik) dan diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 73,33 dan ketuntasan belajar mencapai 76,19% atau ada 16 siswa dari 21 siswa sudah tuntas belajar. Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus 2 ini ketuntasan belajar secara klasikal telah mengalami peningkatan sedikit lebih baik dari siklus I. Adanya peningkatan hasil belajar siswa ini karena guru menginformasikan bahwa setiap akhir pelajaran akan selalu diadakan tes sehingga pada pertemuan berikutnya siswa lebih termotivasi untuk belajar. Selain itu siswa juga sudah mulai mengerti apa yang dimaksudkan dan diinginkan guru dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw. Nilai di atas belum merupakan hasil yang optimal, karena masih ada beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian untuk penyempurnaan penerapan pembelajaran selanjutnya.Aspek-aspek tersebut adalah memotivasi siswa, membimbing siswa merumuskan kesimpulan/ menemukan konsep, dan pengelolaan waktu seefisien mungkin. Dengan penyempurnaan aspek-aspek di atas dalam penerapan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw diharapkan siswa dapat menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari dan mengemukakan pendapatnya sehingga mereka akan lebih memahami tentang apa yang telah mereka lakukan. Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran diperoleh informasi melalui pengamatan sebagai berikut: (1) memotivasi siswa, (2) membimbing siswa merumuskan kesimpulan/ menemukan konsep, (3) membimbing siswa merumuskan kesimpulan/ menemukan konsep, dan (4) pengelolaan waktu. Pelaksanaan kegiatan belajar pada siklus II ini masih terdapat kekurangan-kekurangan. Maka perlu adanya revisi untuk dilaksanakan pada siklus 2 antara lain: (1) guru dalam memotivasi siswa hendaknya dapat membuat siswa lebih termotivasi selama proses belajar mengajar berlangsung, (2) guru harus lebih dekat dengan siswa sehingga tidak ada perasaan takut dalam diri siswa baik untuk mengemukakan pendapat atau bertanya, (3) guru harus lebih sabar dalam membimbing siswa merumuskan kesimpulan/menemukan konsep, (4) guru harus mendistribusikan waktu secara baik sehingga kegiatan pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, dan (5) guru sebaiknya menambah lebih banyak contoh soal dan memberi soal-soal latihan pada siswa untuk dikerjakan pada setiap kegiatan belajar mengajar. Siklus 3 Tahap Perencanaan. Peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pembelajaran , LKS , soal tes formatif dan alat-alat pengajaran yang mendukung. Tahap kegiatan dan pengamatan. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus 3.Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pembelajaran dengan memperhatikan refisi pada siklus 2, sehingga kesalahan atau kekurangan pada siklus 2 tidak terulang lagi pada siklus 3. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan pembelajaran. Pada akhir proses pembelajaran siswa diberi tes dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah tes objektif pilihan ganda.
929
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dari hasil observasi, dapat terlihat aspek-aspek yang pada kegiatan pembelajaran siklus 3 dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw mendapatkan nilai cukup baik dengan cara memotivasi siswa, membimbing siswa merumuskan kesimpulan/menemukan konsep, dan pengelolaan waktu. Penyempurnaan aspek-aspek di atas dalam menerapkan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw diharapkan dapat berhasil semaksimal mungkin. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa pada siklus 3 berada pada kriteria baik (nilai 44,5). Sedangkan dari tes diperoleh nilai rata-rata sebesar 81,43 dan dari 21 siswa yang telah tuntas sebanyak 18 siswa dan 3 siswa belum mencapai ketuntasan belajar. Maka secara klasikal ketuntasan belajar yang telah tercapai sebesar 85,71% (termasuk kategori tuntas). Hasil pada siklus 3 ini mengalami peningkatan lebih baik dari siklus 2. Adanya peningkatan hasil belajar pada siklus 3 ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan kemampuan guru dalam menerapkan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw menjadikan siswa menjadi lebih terbiasa dengan pembelajaran seperti ini sehingga siswa lebih mudah dalam memahami materi yang telah diberikan. SIMPULAN Ketuntasan hasil belajar siswa melalui hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari semakin mantapnya pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan guru (ketuntasan belajar meningkat dari sklus 1, 2, dan 3) yaitu masingmasing 66,67%, 76,19%, dan 85,71%. Pada siklus 3 ketuntasan belajar siswa secara klasikal telah tercapai. Aktivitas siswa dalam penerapan pembelajaran kooperatif model Jigsaw dalam setiap siklus mengalami peningkatan. Hal ini berdampak positif terhadap prestasi belajar siswa yaitu dapat ditunjukkan dengan meningkatnya nilai rata-rata siswa pada setiap siklus yang terus mengalami peningkatan. Aktivitas guru selama pembelajaran telah melaksanakan langkah-langkah metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw dengan baik. Hal ini terlihat dari aktivitas yang muncul pada proses pembelajaran di antaranya aktivitas membimbing dan mengamati siswa dalam mengerjakan kegiatan LKS/menemukan konsep, menjelaskan, memberi umpan balik/evaluasi/tanya jawab dimana prosentase untuk aktivitas di atas cukup besar. DAFTAR RUJUKAN Ali, Muhammad. 1996. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindon Dahar, R.W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994. Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar, Jakarta. Balai Pustaka. Djamarah, Syaiful Bahri. 2100. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineksa Cipta Margono, S. 1996. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineksa Cipta. Ngalim, Purwanto M. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nur, Muhammad. 1996. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya. Universitas Negeri Surabaya. Sardiman, A.M. 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara. Soekamto, Toeti. 1997. Teori Belajar dan Model Pembelajaran. Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka. Soetomo. 1993. Dasar-dasar Interaksi Belajar Mengajar. Surabaya Usaha Nasional. Sudjana, N dan Ibrahim. 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Sukino Wilson Simangunsong. 2006. Matematika untuk SMP Kelas IX
930
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATERI TEOREMA PHYTAGORAS SISWA KELAS VIII-B SMPN 9 PENAJAM PASER UTARA DENGAN METODE TEAMS GAMES TOURNAMENT ( TGT ) Rindi Wulandari SMP Negeri 9 Penajam Paser Utara Abstrak: Penelitian ini mendeskripsikan penerapan pembelajaran kooperatif tipe Team Game Tournament yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 9 Panajam Paser Utara materi teorema Phytagoras. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian dilakukan dalam 2 siklus dengan masing-masing siklus memuat kegiatan perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi belajar yang diperoleh siswa melalui pembelajaran menggunakan metode teams games tournament menunjukkan peningkatan, pada siklus I nilai rata – rata siswa 5,80, dan siklus II rata-rata nilai siswa 7,20. Kata Kunci: Hasil Belajar, Teorema Phytagoras, Metode Teams Games Tournament
Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Belajar juga dapat diartikan sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman dalam interaksi dengan lingkungan. Perubahan tingkah laku tersebut adalah perubahan pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor) maupun efektif (Dwiyana, 2003). Pada Proses Belajar mengajar (PBM) akan terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik. Pendidik berperan sebagai pengelola kegiatan belajar mengajar yang efektif. Dalam kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen seperti siswa, guru, tujuan pembelajaran, materi, metode, media, dan evaluasi. Keberhasilan proses belajar mengajar itu dipengaruhi oleh berbagai aspek, antara lain metode mengajar,sarana prasarana, dan materi pembelajaran. Peran guru sangat penting dalam mengelola pembelajaran matematika. Guru tidak hanya menguasai teori – teori dan materi matematika saja. Tetapi juga harus memiliki kompetensi merancang kegiatan pembelajaran agar pelaksanaan kegiatan belajar mengajar berjalan berjalan dengan baik, menarik, mudah dipahami dan sesuai dengan urutan yang logis dengan memilih model dan metode pembelajaran yang tepat. Dalam melaksanakan tugas sehari – hari, penulis sebagai guru matematika di SMP Negeri 9 Penajam Paser Utara sering menghadapi masalah diantaranya siswa yang tidak aktif dalam belajar dan kurangnya motivasi dalam belajar. Dampak dari gejala ini adalah hasil belajar siswa yang kurang memuaskan. Dalam belajar banyak siswa yang tidak aktif dan hanya pasif sebagai penerima pelajaran. Ketika diskusi seringkali didominasi oleh siswa yang aktif dan cepat menerima pelajaran sedangkan yang lain hanya diam mendengarkan. Ketika pembahasan hasil diskusi siswa yang maju hanyalah siswa yang aktif saja. Sedangkan yang lain tidak mau berpartisipasi. Selain itu banyak siswa yang beranggapan belajar matematika itu sulit dan menjenuhkan. Belajar matematika adalah belajar dengan rumus dan soal – soal. Dalam satu minggu pelajaran matematika biasanya diisi 6 – 8 jam. Siswa merasa belajar matematika banyak berpikir dan tentunya kurang mengasyikkan dan menarik bagi siswa. Ketidakberhasilan dalam pembelajaran tidak hanya disebabkan karena karena kurangnya motivasi dan peran aktif siswa saja, tetapi mungkin juga oleh pihak pengajar yaitu guru. Hal ini disebabkan oleh model pembelajaran yang dilakukan oleh monoton misalnya hanya dengan metode ceramah. Model pembelajaran seperti itu kurang menarik bagi siswa dan tidak melibatkan siswa secara aktif. Akibatnya siswa menjadi cepat jenuh dan malas untuk belajar. Apabila hal ini terus dibiarkan, akan berakibat adanya anggapan pelajaran matematika merupakan monster yang menakutkan, kurang disenangi siswa dan dianggap paling sulit Dan hasil belajar matematika masih tetap kurang memuaskan. Untuk itu, guru harus mampu menciptakan model dan metode pembelajaran yang bervariasi, suatu metode yang efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Disamping itu penguasaan materi sangat diperlukan dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran guru harus mampu menciptakan 931
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
situasi atau interaksi belajar mengajar. Interaksi dalam proses belajar menarik dan menyenangkan akan menumbuhkan minat yang tinggi bagi siswa (Asmara,H. 2007). Model Pembelajaran Teams Games Tournament merupakan sebuah model pembelajaran yang meliputi Teams (belajar kelompok), Games (permainan kartu soal untuk memahami materi), Tournament (pertandingan untuk menemukan jawab). Dalam teams , siswa bekerja pada kelompok – kelompok kecil. Kemudian siswa ditempatkan dalam kelompok – kelompok belajar yang beranggotakan 5 sampai 6 orang yang memiliki kemampuan, jenis kelamin, dan suku atau ras yang berbeda. Dengan adanya heterogenitas anggota kelompok, diharapkan dapat memotifasi siswa untuk saling membantu antar siswa yang berkemampuan lebih dengan siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai materi pelajaran. Hal ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri siswa bahwa belajar secara kooperatif sangat menyenangkan. Games dilakukan dengan aktivitas menentukan dan mengatur bermacam-macam kegiatan yang perlu dipikirkan untuk mencapai sasaran dengan memberi kegiatan kepada orangorang lain, menyiapkan lingkungan kerja yangs sesuai dengan faktor-faktor fisik, dan menetapkan wewenang relatif bagi tiap individu yang ditempatakan dengan tugas tiap komponen kerja, atau lebih singkatnya organizing itu mengatur dan mengalokasikan pekerjaan, wewenang dan sumber daya yang ada dalam mencapai sasaran pengorganisasian sangat erat hubungannya dengan struktur usaha anda. Tournament dilakukan dengan aktivitas pertandingan dalam permainan. Adapun langkah – langkah pembelajaran teams games tournament adalah: (1) guru membentuk kelompok denga maksimal 5 orang yang memiliki kemampuan yang berbeda, (2) guru menyiapkan meja turnamen caranya: a) masing – masing kelompok I terdiri dari 5 siswa dengan urutan Ia > Ib > Ic > Id > Ie, urutan untuk kelompok II : IIa > IIb > IIc > IId > IIe begitu juga untuk kelompok III, IV, V. dari urutan ranking tersebut kita susun meja turnamen. Meja A terdiri dari kelompok pandai (Ia, IIa, IIIa, IVa, Va), Meja B terdiri dari siswa sedang ( Ib, IIb, IIIb, IVb, Vb) demikian seterusnya untuk meja - meja turnamen lainnya. Bentuk gambar nya adalah sebagai berikut: Kelompok I Ia Ib Ic Id Pandai Sedang Sedang Rendah
Meja Turnamen A
Meja Turnamen B
Meja Turnamen C
Meja Turnamen D
IIIa IIIb IIIc IIId Pandai Sedang Sedang Rendah
IIa IIb IIc IId Pandai Sedang Sedang Rendah Kelompok II
Kelompok III
Gambar 2.1. Skenario Turnamen Sumber:Slavin, 1995: 86 b) bahan turnamen disusun dalam bentuk kartu soal yang biberi angka dan berisi pertanyaan – pertanyaan yang relevan dengan pokok bahasan Teorema Phytagoras yang dirancang untuk mengetes pengetahuan yang diperoleh siswa dari penyampaian dikelas dan kegiatan masing – masing kelompok.
932
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Contoh bentuk kartu soal beserta kartu jawabannya: 1. a b2 = … Jawaban : b
b2 = c 2 – a2
c
2.
C BC2 = … A
Jawaban : AB2 = BC2 + AC2 BC2 = AB2 – AC2
B
(3) guru membacakan aturan main dalam games yang akan dilakukan sebagai berikut: a) Untuk memulai permainan tugaskan siswa mana yang bertindak sebagai pembaca, penantang 1 dan penantang 2. b) Seorang siswa yang bertindak sebagai pembaca sekaligus penjawab pertama mengambil semua kartu soal, kemudian kartu dikocok secara acak beberapa saat, setelah itu sebuah kartu soal diambil dan kartu-kartu lainnya diletakkan diatas meja dengan posisi terbalik. c) Kartu soal yang diambil dibacakan, sementara siswa yang lain dalam satu meja mendengarkan dan memperhatikan pertanyaan yang dibacakan, selanjutnya siswa dalam satu meja turmanen berusaha mengerjakan pertanyaan dengan benar, pembaca mendapatkan kesempatan pertama untuk menjawab pertanyaan, penantang 1 mendapat kesempatan berikutnya untuk menyangga dan mengajukan jawabannya bila punya jawaban yang berbeda dengan pembaca. d) Kesempatan berikutnya lagi diberikan kepada penantang 2 bila semua jawaban dari pembaca dan penantang 1 berbeda dengan jawabannya. Bila penantang 1 atau penantang 2 punya jawaban yang sama dengan pembaca mereka tidak diperkenankan untuk menjawab. e) Setelah pembaca, penantang 1 dan penantang 2 selesai menjawab, untuk menentukan jawaban mana yang benar seorang siswa dapat mengambil kartu kunci jawaban yang sesuai dengan nomor kartu soal yang telah disediakan diatas meja untuk dicocokkan dengan jawaban peserta. Peserta yang menjawab benar diberi skor satu poin. Begitu seterusnya dan siswa dalam satu meja turnamen berganti peran. (4) setelah semua kartu selesai terjawab, setiap pemain dalam satu meja menghitung jumlah kartu yang diperoleh dan menentukan berapa poin yang diperoleh berdasarkan tabel yang telah disediakan. PERHITUNGAN NILAI PERKEMBANGAN Skor tes akhir Nilai perkembangan Lebih dari 10 poin di bawah skor awal 5 10 hingga 1 poin di bawah skor awal 10 Skor awal hingga 10 poin di atas skor awal 20 Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30 933
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Nilai sempurna (tidak berdasarkan skor awal)
30
(5) setiap pemain kembali kepada kelompok asalnya dan melaporkan poin yang diperoleh berdasarkan tabel yang telah disediakan. (6) setiap pemain kembali kepada kelompok asalnya dan melaporkan poin yang diperoleh kepada ketua kelompok. (7) ketua kelompok memasukkan poin yang diperoleh anggota kelompoknya pada tabel yang telah disediakan, kemudian menentukan kriteria penghargaan yang diterima oleh kelompoknya (8) guru menghitung rerata skor kelompok dengan menjumlahkan skor yang diperoleh oleh masing – masing anggota kelompok dibagi dengan dibagi dengan banyaknya anggota kelompok (9) Pemberian penghargaan didasarkan atas rata – rata poin yang didapat oleh kelompok tersebut berdasarkan table penghargaan yaitu sebgai berikut: PENGHARGAAN KELOMPOK Nilai rata-rata kelompok Penghargaan Kelompok 15 Baik 20 Hebat 25 Super (21) guru menutup pelajaran. Oleh karena itu kami ingin berbagai pengalaman dengan guru matematika SMP berdasarkan pengalaman kami mengikuti pelatihan TEQIP 2013 yang diadakan oleh Universitas Negeri Malang dan PT Pertamina. Pelatihan ini telah banyak memberikan pengetahuan baru bagi kami guru matematika, yaitu memilih model dan metode maupun strategi yang tepat. Untuk kali ini kami menerapkan medel pembelajaran kooperatif Teams Games Tournament dalam pembelajaran Teorema Phytagoras. Pembelajaran ini kami lakukan melalui kegiatan real teaching disekolah berbasis Lesson Study. METODE PENELITIAN Rencana Pelaksanaan Kegiatan Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (plan) kami lakukan bersama dengan mengadakan diskusi dengan tim guru matematika. Dengan memilih mata pelajaran matematika kelas VIII ( delapan ) semester I ( satu ) dengan alokasi waktu 2 x 40 menit. Dalam diskusi tersebut disepakati memilih standar kompetensi: Menggunakan Teorema Pytagoras untuk menentukan panjang sisi – sisi segitiga siku-siku. Selanjutnya dikembangkan indikator: Menjelaskan Teorema Pythagoras pada segitiga siku – siku. Dengan tujuan pembelajaran: 1. Siswa dapat menemukan Teorema Pythagoras dengan media alat peraga Pythagoras dan kertas berpetak ( kerja keras, tanggung jawab, kreatif, Rasa Ingin Tahu, mandiri). 2. Siswa dapat menjelaskan Teorema Pythagoras dan syarat berlakunya (kerja keras, tanggung jawab, kreatif, rasa ingin tahu).Materi : Teorema Phytagoras. Metode: Tanya jawab, diskusi, penugasan. Model pembelajaran : teams games tournament dan media : kartu soal. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pembahasan pada siklus menunjukkan bahwa pembelajaran Matematika dengan TGT dapat diikuti sebagaian kecil (24%) siswa sedangkan sebagaian besar lainnya belum aktif belajar. Kurangnya aktivitas belajar siswa tersebut dapat disebabkan belum terbiasanya siswa dengan alur TGT. Sebelum penelitian, pembelajaran Matematika sering dilaksanakan dengan metode ceramah sehingga siswa hanya terbiasa mendengarkan penjelasan guru saja. Sementara itu, pada alur belajar TGT mengajak siswa berpikir secara langsung secara berkelompok untuk mendapatkan skor yang terbaik. Siswa yang belum terbiasa dengan alur belajar TGT menyebabkan pembelajaran mengalami hambatan. Hanya separuh siswa di kelas yang dapat mengerjakan tugasnya dengan baik. Sementara itu, interaksi antar siswa belum kondusif dengan pencapaian 30% siswa yang mampu menjawab pertanyaan yang ada pada kartu yang telah disediakan. Hasil tes pada akhir siklus 1 menunjukkan bahwa hasil belajar Matematika mencapai rerata 5,80 dengan ketuntasan 934
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
klasikal 63%. Pencapaian hasil belajar ini belum memenuhi indikator yang ditetapkan sehingga dilanjutkan ke siklus 2. Pada siklus 2, pembelajaran dilaksanakan dengan memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan yang terjadi pada siklus 1. Kekurangan tersebut dituangkan dalam RPP sebagai panduan guru dan media kartu soal yang digunakan siswa. Hasil pengamatan pembelajaran pada siklus 2 menunujukkan bahwa terjadi perubahan yang cukup baik pada aktivitas belajar siswa. Siswa yang awalnya pasif, secara perlahan ikut terlibat dalam proses pembelajaran tournament kelompok dalam kelas. Pada siklus 2, interaksi antar siswa meningkat menjadi 63%. Aktivitas siswa ini lebih baik dibanding pembelajaran sebelumnya. Siswa juga dapat menyesuaikan diri dengan alur belajar TGT sehingga hasil skor yang diperoleh mencapai 73%. Hasil tes di akhir siklus 2 menunjukkan skor rata – rata 7,20 dengan ketuntasan belajar 85%. Hal lain yang muncul pada siswa adalah keberanian siswa untuk mengemukakan keberanian siswa untuk menjawab pertanyaan pada kartu soal dengan tepat dan bahasanya sendiri pada saat tournament. Siswa yang sebelumnya jarang bahkan tidak pernah bertanya, menjawab atau mengemukakan pendapat, pada siklus 2 ini mulai berani berbicara dan guru pun memberikan penghargaan pada keberanian siswa. Perolehan ini menunjukkan bahwa pembelajaran Matematika dengan TGT dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas belajar siswa. SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran Matematika dengan pembelajaran metode TGT ( Teams Games Tournament ) dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari ketuntasan belajar pada siklus I menunjukkan nilai rata – rata 5,80 sedangkan pada siklus II mengalami kenaikan dengan nilai rata – rata 7,20 sehingga kenaikannya mencapai 14% atau naik 1,40. Sementara itu, ketuntasan klasikal yang diperoleh menunjukkan peningkatan dari 63% pada siklus I menjadi 85% pada siklus 2. DAFTAR RUJUKAN Wijaya Adi, 2011. Simulasi Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: PPPPTK. www: file:///D:/dokumen/rindi/skripsi-ptk-model-kooperatif-tipe-teams.html Download tanggal 29 September 2014. Ismail. 2003. Media Pembelajaran(Tipe-Tipe Pembelajaran). Jakarta. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama
PENGGUNAAN MEDIA PAPAN PETAK SATUAN DENGAN PERMAINAN PUZZLE DALAM MENEMUKAN RUMUS PERSEGI PANJANG PADA SIWA KELAS III SDN 2 TIJUE PERCONTOHAN Yulia Ekawati SDN 2 Tijue Percontohan Pidie-Aceh
[email protected] Abstrak: Media papan petak satuan digunakan dalam pembelajaran matematika materi persegi panjang dalam pelaksanaan real teaching pada program KKG mini yang diadakan di kelas III SDN 2 Tijue percontohan. Tujuan pelaksanaan real teaching untuk memperbaiki proses pembelajaran serta mengenalkan proses pembelajaran lesson study kepada para guru di SDN 2 Tijue Percontohan. Subjeknya adalah para siswa kelas III SDN 2 Tijue percontohan yang di bantu oleh partisipan para guru kelas dan kepala sekolah di SDN 2 tijue percontohan. Dari hasil proses real teaching terbukti bahwa penggunaan papan petak satuan dengan permainan puzzle sangat membantu siswa dalam menemukan rumus luas persegi panjang. Kata kunci: Media, Persegi panjang
935
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Selama hampir 11 tahun penulis mengajar di sekolah dasar, Matematika merupakan salah satu pelajaran yang kurang diminati oleh siswa, sering siswa tidak mengerjakan latihan di sekolah, Pekerjaan Rumah, ataupun tugas lain yang berkaitan dengan matematika. Dalam proses pembelajaranpun siswa tidak mau untuk berperan aktif, terlihat pasif dan hanya duduk tenang menerima materi yang di berikan guru. Berdasarkan pengamatan penulis sebagai guru, hal ini disebabkan oleh kurangnya media yang digunakan guru untuk meningkatkan keaktifan dan minat belajar siswa. Begitu juga halnya dengan materi mencari luas persegi panjang, guru sering melakukan pembelajaran dengan menyampaikan rumus, lalu mengerjakan latihan. Jarang menggunakan media untuk memudahkan siswa dalam proses pembelajaran. Untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar, perlu di temukan metode-metode dan media-media pembelajaran yang kreatif dan inovatif, yang dapat meningkatkan minat belajar siswa. Oleh karenanya penulis mencoba membuat suatu media pembelajaran yang diberi nama Papan petak satuan untuk memudahkan siswa menemukan rumus persegi panjang sambil bermain puzzle. karena dengan bermain berarti siswa berbuat dan belajar dengan senang. Media ini di rancang penulis untuk digunakan dalam proses pembelajaran di kelas III semester dua SDN 2 Tijue percontohan dalam pembelajaran matematika, khususnya materi menemukan rumus luas persegi panjang. Peneitian ini bertujuan memperbaiki pelaksanaan pembelajaran di kelas III SDN 2 Tijue percontohan dan melaksanakan proses pembelajaran dalam rangka real teaching untuk program KKG mini yang dilaksanakan sekolah berkaitan dengan pelatihan TEQIP yang di jalani penulis di malang. Penulis sebagai salah satu Peserta TOT TEQIP berkewajiban untuk saling berbagi pengalaman dengan sesama guru di SDN 2 Tijue Percontohan tempat dimana penulis mengajar. Dalam pelaksanaannya penulis mengikuti langkah-langkah lesson study yang telah penulis pelajari selama mengikuti program TEQIP. Subanji (2013:43) menyatakan bahwa belajar merupakan kegiatan mengontruksi atau menginterprestasikan sesuatu, sehingga tambah jaringan pengetahuan di dalam diri pembelajar yang bisa menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku. Media pembelajaran, atau alat peraga pembelajaran sangat dibutuhkan dalam mengontruksi atau menanamkan konsep matematika di Sekolah Dasar. Hal ini dikarenakan siswa di sekolah dasar belum dapat mengenal hal yang absrak. Jadi guru harus dapat menentukan media yang tepat untuk suatu materi pembelajaran. Haryanto (2012), mengemukakan bahwa media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar mengajar. Segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau ketrampilan pebelajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar. Andi prastowo (2011:228) Menyatakan bahwa model (maket) atau alat peraga pembelajaran adalah bahan ajar tiga dimensi atau tiruan benda nyata untuk menjembatani berbagai kesulitan yang bisa di temui, agar pembelajaran lebih bermakna. Jadi media atau alat peraga adalah perantara yang akan mengkongkritkan materi-materi yang absrak dalam pembelajaran, guana merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan belajar dalam menjembatani berbagai kesulitan yang ditemui dalam pembelajaran agar lebih bermakna. Papan petak satuan adalah media yang di buat guru untuk materi menemukan rumus persegi panjang dalam matematika. Media ini terdiri dari sebuah papan bergaris petak-petak persegi yang sama ukurannya dan disertai dengan sejumlah petak-petak persegi berukuran sama seperti pada papan petak satuan yang telah di potong-potong, seperti terlihat dibawah ini:
936
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PAPAN PETAK SATUAN
Papan petak satuan di lengkapi dengan lempingan lempingan persegi
METODE PENELITIAN Penelitian ini mendeskripsikan pembelajaran dengan menggunakan media papan persegi. Penelitian dilakukan mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi pembelajaran. Dalam perencanaan peneliti dan para guru duduk bersama dalam rangka menyusun perangkat pembelajaran dan media yang akan di gunakan pada saat real teaching. Selain RPP dan media, para guru juga menentukan kelas dan waktu yang tepat untuk melaksanakan real teacing. Guru yang ikut serta dalam kegiatan KKG mini ini adalah semua guru kelas yang berjumlah 12 orang, yaitu guru kelas I sampai kelas VI yang merupakan kelas paralel A dan B di SDN 2 Tijue Percontohan. Kegiatan ini di dampingi oleh Kepala sekolah.
Para guru sedang menyusun perencanaan proses pembelajaran Kegiatan akan dilanjutkan dengan pelaksanaan pembelajaran, atau proses pembelajaran di kelas. Yang menjadi guru model adalah penulis sendiri, dan akan di observasi oleh para observer yang terdiri dari kepala sekolah, dan para guru kelas, direncanakan juga akan di ikutkan pengawas sebagai salah seorang observer. Kemudian kegiatan akhir akan ditutup dengan refleksi yang akan di lakukan oleh seluruh peserta KKG mini, serta kepala sekolah dan pengawas sebagai pembimbing.
937
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menyajikan deskripsi pembelajaran yang meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Pada kegiatan prapembelajaran guru membuka pembelajaran dengan mengucapkan salam, dan mengkondisikan siswa untuk siap belajar dengan meminta siswa menutup buku pada pembelajaran sebelumnya sambil merapikan meja siswa yang tidak teratur. Setelah itu guru mengajak siswa untuk berdo‟a sebelum memulai pembelajaran. Kegiatan Pendahuluan Pada kegiatan pendahuluan, guru memotivasi siswa, guru mengajak siswa untuk menyanyikan lagu matematika asyik, sambil mengangkat tangannya pada saat lirik kata-kata asyik dinyanyikan. Siswa tampak senang dan bersemangat, hanya beberapa siswa yang tampak kurang semangat. Untuk memotivasi siswa yang kurang semangat, sambil terus bernyanyi, guru mendekati siswa tersebut, sehingga siswa tersebut ikut serta bernyanyi. Kegiatan Inti Kegiatan inti, guru menyampaikan materi yang akan dipelajari siswa pada saat itu, yaitu, menemukan rumus luas persegi panjang. Guru menanyakan benda-benda yang ada di sekelilingnya yang berbentuk persegi panjang, siswa menjawab dengan antusias, bahwa papan tulis, papan pajangan, dan pintu merupakan benda berbentuk persegi panjang yang ada di kelas. Ada salah seorang siswa yang bernama Qatrun, menjawab jam dinding (berbentuk lingkaran) sebagai persegi panjang. Guru mengambil jam tersebut, dan bertanya pada teman-teman yang lain, “bentuk jam ini bagai mana anak-anak?” ada beberapa yang menjawab “lingkaran bu!” guru memberi penguatan jawaban bahwa jam tersebut berbentuk lingkaran. Selanjutnya guru memperlihatkan media papan petak satuan yang dibawakannya, siswa tampak sangat antusias memperhatikan, beberapa siswa sampai maju kedepan untuk melihat dan di ikuti oleh teman-teman yang lain. Papan petak satuan yang dirancang penulis, adalah sebuah bidang datar dari gabus yang di buat pola petak-petak dengan warna-warna yang menarik, seperti terlihat di bawah ini. PAPAN PETAK SATUAN
Papan petak satuan di lengkapi dengan lempingan lempingan persegi satuan yang berwarna berbeda yang sama ukurannya dengan petak satuan yang ada pada papan. Cara kerjanya, siswa harus menyusun petak satuan yang terpisah-pisah itu menjadi sebuah persegi panjang, seperti terlihat di bawah ini. Cara kerjanya persis seperti menyusun puzzle.
938
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PAPAN PETAK SATUAN
Saat guru menjelaskan cara kerjanya siswa sangat antusias untuk mencoba, guru meminta raiyan untuk ke depan dan menyusun Sembilan lempengan persegi pada papan petak persegi hingga membentuk sebuah persegi panjang, raiyan kesulitan dalam memegang lempengan-lempengan tersebut, dan guru meminta teman sebangku dengannya untuk membantunya di depan. Siti terlihat sangat bersemangat dan meminta maju berulang-ulang pada guru. Setelah raiyan duduk, guru meminta Siti untuk maju menyusun sebuah persegi panjang, hal unik terjadi, Siti tidak mengambil warna yang sama, tapi dia menyusun sebuah persegi panjang dengan pola warna-warni dari lempengan-lempengan persegi, hingga membentuk persegi panjang bewarna-warni. Di sudut Nampak seorang siswa bernama Faqrah hanya duduk dan diam, tidak begitu antusias dengan kegiatan teman-temannya di depan kelas. Guru meminta Faqrah ke depan dan menghitung jumlah petak satuan yang ada pada persegi panjang yang di susun Siti. Selanjutnya guru meminta dua siswi untuk kedepan lagi, mengerjakan sebuah persegi panjang lagi. Guru mengajak semua siswa untuk menghitung satuan petak yang ada pada persegi panjang. Kemudian mengajak lagi siswa untuk menghitung satuan petak yang ada di sisi bawah serta di sisi samping. Setelah mendapatkan hasilnya, maka ditanyakan, kira-kira operasi matematika apa yang harus digunakan untuk mencari luas persegi panjang. Persegi panjang yang di bentuk adalah seperti berikut: Siswa diajak menghitung keseluruhan petak, yaitu 15 petak satua, kemudian guru meminta siswa menghitung satuan petak di sisi bawah dan di sisi samping, dengan cara memindahkan petak satuan yang lainnya, seperti pada gambarberikut ini. Siswa menemukan bahwa petak di kolom paling kiri adalah 3 satuan, dan petak di baris paling bawah adalah 5 satuan, hingga akhirnya siswa menemukan, satuan kolom di kiri dan satuan di baris di bawah dapat di kalikan untuk menemukan luas seluruh persegi panjang tersebut. Jadi operasi menghitung luas persegi panjang yang di temukan siswa adalah sebagai berikut 3 satuan pada kolom di kiri X 5 satuan pada baris di bawah = 15 petak satuan.
Suasana ruang kelas pada saat proses pembelajaran berlangsung 939
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Setelah itu guru membagi LKS kepada siswa untuk dikerjakan secara berpasangan dengan teman satu bangku, siswa mengerjakan LKS sambil berdiskusi dengan teman di sampingnya. Faqrah yang duduk bersama Pocut Nampak kebingungan dalam mengerjakan LKS, sementara teman yang lain sudah hampir selesai, mereka masih kebingungan, guru mencoba membimbing, dan menjelaskan langkah demi langkah pengerjaan, walau agak lamban, namun akhirnya mereka berdua selesai mengerjakan. Kegiatan Penutup Kegiatan penutup, guru dan siswa menyimpulkan materi pembelajaran yaitu sisi pada kolom di sebelah kiri dapat kita sebut dengan lebar, dan sisi pada kolom di bawah dapat kita sebut panjang, hingga di temukan : Panjang X lebar = Luas Persegi Panjang atau L = p x l Kemudian guru mengadakan penguatan, serta menuliskan di papan tulis soal PR yang harus di kerjakan di rumah. Sebelum keluar, guru tak lupa memberikan beberapa pesan moral kepada siswa. Pelaksanaan Refleksi Refleksi dilakasanakan setelah proses pembelajaran selesai, yang hadir adalah para observer dan di damping oleh kepala sekolah dan pengawas. Pada awal kegiatan refleksi, seperti pengalaman penulis saat melaksanakan refleksi pada kegiatan ongoing, penulis sebagai guru model memiliki kesempatan istimewa untuk merefleksikan proses pembelajaran terlebih dahulu. Penulis sebagai guru model mengungkapkan rasa syukur karena proses pembelajaran telah selesai terlaksana, walau terasa gugup karena melaksanakan pembelajaran dengan di perhatikan para observer, kepala sekolah dan pengawas, dan masih banyak kekurangan yang guru model lakukan. Guru model mohon kritikan dari para observer. Hasil observasi, beberapa guru yang hadir sebagai observer menganggap proses pembelajaran sudah berjalan sangat baik, namun ada observer yang jeli melihat kekurangankekurangan dalam pembelajaran, salah satu observer itu mengemukakan bahwa guru masih terlalu dominan di kelas, dan terlalu berpusat pada siswa yang tidak mengerjakan tugas yang di berikan. Dan observer lain mengemukakan bahwa siswa senang belajar, namun proses pembelajaran sangat cepat, hingga waktu masih tersisa 10 menit. Terakhir bapak pengawas mengungkapkan bahwa pelaksanaan pembelajaran sebaiknyalah menggunakan media, agar siswa lebih mudah memahami materi-materi yang di ajarkan guru. Dan kegiatan lesson study ini sangat baik di laksanakan, agar guru dapat menemukan kelemahan atau kekurangan dalam proses pembelajaran, untuk dapat di perbaiki pada waktu-waktu mendatang. SIMPULAN DAN SARAN Proses pembelajaran dengan menggunakan media sangat membantu siswa dalam memahami materi yang akan guru sampaikan, terutama dalam penanaman konsep. Disarankan agar guru dapat menggunakan berbagai media dalam proses pembelajaran, dan khususnya untuk pelajaran matematika menemukan rumus luas persegi panjang di kelas III SD, guru dapat menggunakan media papan petak satuan untuk membantu siswa memahami materi pembelajarannya. DAFTAR RUJUKAN Iskandar, Agung. 2010. Meningkatkan Kreativitas Pembelajaran Bagi Guru . Jakarta, Bestari Buana Murni Prastowo, Andi. (2011). Panduan Kreatif Membuat Bahan ajar Inovatif. Yogyakarta: Diva Press Subanji. (2013). Pembelajaran Matematika kreatif dan Inovatif. Malang: Universitas Negri Malang. Trianto, (2011) Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, Jakarta: Prenada Media Group.
940
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENGEMBANGAN BUKU AJAR BERBASIS INKUIRI PADA MATERI BENTUK ALJABAR Muhamad Ilham Rosyadi, Purwanto, dan Sri Mulyati Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak: Penelitian pengembangan ini bertujuan mendiskripsikan proses dan hasil pengembangan buku ajar berbasis inkuiri pada materi bentuk aljabar yang valid, praktis, dan efektif yaitu yang mudah dipahami dan diimplementasikan oleh guru dan siswa dalam pembelajaran di kelas. Bahan ajar yang berupa buku paket yang dijadikan sebagai rujukan oleh guru dan siswa masih kurang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa di SMP Negeri 1 Sekaran, Lamongan. Hal ini menyebabkan kurangnya minat dan motivasi siswa untuk belajar menggunakan buku paket. Kondisi seperti ini yang membuat penulis merasa perlu untuk mengembangkan buku ajar yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa di SMP Negeri 1 Sekaran, Lamongan. Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian pengembangan ini adalah model pengembangan Plomp. Produk yang dihasilkan dari proses pengembangan ini harus valid, praktis, dan efektif, sehingga produk pengembangan harus diuji validitas, kepraktisan, dan keefektifannya. Kata Kunci: pengembangan buku ajar, inkuiri, bentuk aljabar.
Berdasarkan pengalaman penulis sebagai guru di SMPN 1 Sekaran Lamongan serta hasil investigasi awal (preliminary investigation), selama ini siswa yang sedang mengikuti pelajaran Matematika masih banyak yang kurang berminat dan termotivasi untuk belajar menggunakan buku paket yang dijadikan rujukan, khususnya kelas VIII terutama materi bentuk aljabar. Kurangnya minat siswa terhadap pelajaran matematika terutama bentuk aljabar karena dalam proses belajar mengajar interaksi hanya berlangsung satu arah dari guru ke siswa. Siswa tidak terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini bisa mengakibatkan siswa jadi tidak bisa memahami konsep yang sedang mereka pelajari dan akan berdampak juga terhadap hasil belajar mereka. Sebenarnya banyak bahan ajar yang beredar di pasaran/dijual di toko buku bahkan setiap sekolah sudah mendapat bahan ajar berupa buku dari pemerintah yang dikenal dengan buku sekolah elektronik (BSE). Buku-buku yang beredar di pasaran/dijual di toko buku maupun buku sekolah elektronik (BSE) masih cenderung menggunakan pola pembelajaran tradisional dalam penyajiannya. Sehinga buku-buku tersebut tidak memadai untuk dijadikan bahan ajar untuk pelaksanaan model pembelajaran inkuiri karena memang buku-buku tersebut tidak berbasis inkuiri. Berdasarkan uraian di atas penulis menganggap perlu mengembangkan bahan ajar berupa buku ajar berbasis inkuiri. Hal ini didasari pertimbangan untuk memperhatikan karakteristik sasaran dan model pembelajaran yang digunakan yaitu model pembelajaran inkuiri. Buku ajar yang dikembangkan sendiri dapat disesuaikan dengan kebutuhan baik karakteristik sasaran yang meliputi tahapan perkembangan siswa, kemampuan awal yang telah dikuasai, aspek semantik, dan struktur bahan yang disajikan maupun model pembelajaran yang akan digunakan. Pengembangan buku ajar harus dapat menjawab atau memecahkan masalah atau kesulitan dalam belajar. Untuk mengatasi kesulitan ini maka perlu dikembangkan buku ajar yang tepat. Apabila materi pembelajaran yang akan disampaikan bersifat abstrak, maka buku ajar harus mampu membantu siswa menggambarkan sesuatu yang abstrak tersebut, misalnya dengan penggunaan gambar, foto, bagan, atau skema. Demikian pula materi yang rumit, harus dapat dijelaskan dengan cara yang sederhana, sesuai dengan tingkat berfikir siswa, sehingga menjadi lebih mudah dipahami. Pendekatan Pembelajaran Inkuiri Artigue & Baptist (2012:3) berpendapat “inquiry is a term used both within education and in daily life to refer to seeking knowledge or information by asking questions” (inkuiri adalah istilah yang digunakan baik di dalam pendidikan dan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyebut mencari pengetahuan atau informasi dengan mengajukan pertanyaan). 941
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Inkuiri merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada siswa (student centered approach). Dikatakan demikian, sebab dalam strategi ini siswa memegang peran yang sangat dominan dalam proses pembelajaran (Sanjaya, 2011:197). Kahn and O‟Rourke(2005, dikutip dalam Rooney C., 2012:103) menjelaskan bahwa; inquiry based learning(IBL) is a student centered approach that encourages participants to draw on prior knowledge and experience in exploring their inquiries (IBL adalah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa yang mendorong peserta didik untuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman dalam mengeksplorasi pertanyaan mereka). Diggs(2009 dikutip dalam Ferguson K. L., 2010:7) berpendapat; Inquiry is a process of learning that is driven by questioning, thoughtful investigating, making sense of information and developing new understandings (Inkuiri adalah proses pembelajaran yang didorong oleh bertanya, investigasi yang bijaksana, melakukan informasi yang berarti, dan mengembangkan pemahaman baru). Chapko & Buchko (2004 dikutip dalam Ferguson K. L., 2010:7) berpendapat: Inquiry Based Mathematics-Instruction method where the teacher sets up a problem making sure that everyone understands it. The students are the paired or grouped according to their ability level. They work together to come up with a solution by thinking out the problem, 'questioning and correcting one another. (Metode Matematika-Instruksi Berbasis inkuiri dimana guru menyiapkan masalah memastikan bahwa semua siswa mengerti itu. Kemudian para siswa dikelompokkan sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Mereka bekerja sama untuk memperoleh solusi dengan memikirkan masalah itu, bertanya dan mengoreksi satu sama lain).
Sedang pendapat dari Artigue & Baptist (2012:4) adalah: Mathematical inquiry starts from a question or a problem, and answers are sought through observation and exploration; mental, material or virtual experiments are conducted; connections are made to questions offering interesting similarities with the one in hand and already answered; known mathematical techniques are brought into play and adapted when necessary. This inquiry process is led by, or leads to, hypothetical answers – often called conjectures – that are subject to validation. (Inkuiri matematika dimulai dari pertanyaan atau masalah, dan jawaban yang dicari melalui observasi dan eksplorasi; mental, materi atau eksperimen virtual dilakukan; koneksi dibuat untuk pertanyaan yang menawarkan kesamaan menarik dengan jawaban yang sudah tersedia; teknik matematika yang dikenal dan disesuaikan bila diperlukan. Proses penyelidikan mengarah ke hipotetis/dugaan yang harus divalidasi).
Menurut Suryosubroto(2009:179) Inquiry adalah perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. Artinya proses inquiry mengandung proses-proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan problema, merancang eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis data, menarik kesimpulan dan sebagainya. Gulo(2002) dalam Trianto (2011a:137) menyatakan, bahwa inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional dan keterampilan. Inkuiri merupakan suatu proses yang bermula dari orientasi, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan. Lebih lanjut Trianto (2011b:114) menyatakan inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dari hasil menemukan sendiri. Kanselaar (2005, dikutip dalam Rooney C., 2012:103) menjelaskan bahwa; IBL draws on constructivist ideas of learning. Constructivism's central idea is that learning is an active process in which learners construct new ideas or concepts based upon their experiences and prior knowledge (IBL mengacu pada belajar ide-ide konstruktivis. Ide sentral konstruktivisme adalah bahwa belajar merupakan proses aktif di mana peserta didik membangun ide-ide baru atau konsep berdasarkan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya). Pathway (2000, dikutip dalam Rooney C., 2012: 103) menjelaskan bahwa; inquirybased learning can range from highly teacher directed to highly student directed. The levels of inquiry in these models are structured inquiry, guided inquiry, open inquiry and coupled inquiry respectively(pembelajaran berbasis inkuiri dapat berkisar dari sangat diarahkan guru sampai siswa yang sangat berperan. Tingkat inkuiri dalam model ini adalah; inkuiri terstruktur, inkuiri terbimbing, inkuiri terbuka dan inkuiri gabungan). Dalam buku ajar yang penulis kembangkan guru berperan memberikan bantuan, bimbingan kepada siswa dalam melaksanakan inkuiri maka buku ajar dalam pengembangan ini tergolong dalam kategori buku ajar berbasis inkuiri terbimbing(Guided Inquiry). Matthew B.M. 942
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
and Kenneth I.O.(2013:139) menyatakan “. . . guided inquiry teaching method was significantly better than the conventional teaching method in enhancing student’s cognitive achievement in logic” (metode pengajaran inkuiri terbimbing secara signifikan lebih baik daripada metode pembelajaran konvensional dalam meningkatkan prestasi kognitif siswa dalam logika). Sedangkan menurut Ferguson K. L.(2010:44); Inquiry-based mathematics instruction was more effective than traditional instruction (Pembelajaran matematika berbasis Inquiry lebih efektif daripada instruksi tradisional). Lebih lanjut Spronken-Smith, Rachel (2012:13) berpendapat bahwa IBL is a pedagogy which best enables students to experience the processes of knowledge creation (IBL adalah pedagogi yang paling memungkinkan siswa untuk mengalami proses penciptaan pengetahuan). Pendekatan Pembelajaran Inkuiri tergolong proses belajar konstruktivistik karena memenuhi kunci pembelajaran konstruktivistik seperti yang diungkapkan oleh Budiningsih (2012:59), yaitu: (1) Menumbuhkan kemandirian siswa dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak. (2) Meningkatkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa. (3) Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih. 1. Prinsip-prinsip Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Inkuiri Menurut Sanjaya (2011:199) dalam penggunaan Pendekatan Pembelajaran Inkuiri, ada lima prinsip yang harus diperhatikan oleh guru. Lima prinsip itu dapat dijelaskan sebagai berikut ; (1) Berorientasi pada pengembangan intelektual Tujuan utama dari pendekatan inkuiri adalah pengembangan kemampuan berpikir. Dengan demikian pendekatan pembelajaran ini selain berorientasi pada hasil belajar juga berorientasi pada proses belajar. (2) Prinsip Interaksi Guru dalam pembelajaran dengan pendekatan inkuiri berfungsi sebagai pengatur interaksi multi arah, yaitu interaksi antar siswa, interaksi siswa dengan guru, dan interaksi antara siswa dengan lingkungan. (3) Prinsip Bertanya Guru perlu untuk selalu meningkatkan kemampuan bertanya kepada siswanya, apakah itu pertanyaan yang sifatnya hanya sekedar agar siswa memperhatikan, bertanya untuk melacak, bertanya untuk mengembangkan kemampuan, atau bertanya untuk menguji. (4) Prinsip Belajar untuk berpikir Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, akan tetapi belajar adalah proses berpikir (learning how to think). Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan otak secara maksimal. (5) Prinsip Keterbukaan Tugas guru dalam prinsip ini adalah menyediakan ruang untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan hipotesis dan secara terbuka membuktikan kebenaran hipotesis yang diajukan. Ada lima kriteria yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh guru agar berhasil dalam melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri , yairu : (1) Merumuskan topik inkuiri dengan jelas dan bermanfaat bagi siswa. (2) Membentuk kelompok (beranggotakan 4–6 siswa) yang seimbang, baik akademis maupun sosial. (3) Menjelaskan tugas dan menyediakan balikan kepada kelompok-kelompok dengan cara yang responsif dan tepat waktunya. (4) Sekali-sekali perlu intervensi oleh guru agar terjadi interaksi antar pribadi yang sehat dan demi kemajuan tugas. (5) Melaksanakan penilaian terhadap kelompok, baik terhadap kemajuan kelompok maupun terhadap hasil-hasil yang dicapai.(Hamalik, 2009:65).
943
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2. Sintaks/Langkah-langkah Pelaksanaan Pendekatan Pembelajaran Inkuiri Menurut Prince, Michael J. & Felder, Richard M.(2006:127) dalam pembelajaran berbasis inkuiri .... the students should learn to "formulate good questions, identify and collect appropriate evidence, present results systematically, analyze and interpret results, formulate conclusions, and evaluate the worth and importance of those conclusions (…. siswa harus belajar untuk "merumuskan pertanyaan yang baik, mengidentifikasi dan mengumpulkan bukti yang tepat, mempresentasikan hasil secara sistematis, menganalisis dan menginterpretasikan hasil, merumuskan kesimpulan, dan mengevaluasi nilai dan pentingnya kesimpulan tersebut). Menurut Sudjana (2011:155) ada lima tahapan yang ditempuh dalam melaksanakan pendekatan pembelajaran inkuiri, yaitu ; (a) perumusan masalah untuk dipecahkan siswa, (b) menetapkan jawaban sementara (hipotesis), (c) siswa mencari informasi, data, fakta yang diperlukan untuk menjawab permasalahan (menguji hipotesis), (d) menarik kesimpulan jawaban atau generalisasi, dan (e) mengaplikasikan kesimpulan dalam situasi baru. Sedang Sanjaya (2011:201) mengungkapkan secara umum proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran inkuiri dapat mengikuti langkah-langkah : (a) orientasi, (b) merumuskan masalah, (c) mengajukan hipotesis, (d) mengumpulkan data, (e) menguji hipotesis, dan (f) merumuskan kesimpulan. Buku Ajar Menurut Widodo & Jasmadi (2008:40) pengertian bahan ajar adalah seperangkat sarana atau alat pembelajaran yang berisikan materi pembelajaran , metode, batasan-batasan dan cara mengevaluasi yang didesain secara sistematis dan menarik dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mencapai subkompetensi atau kompetensi dasar tertentu . Lebih lanjut Widodo & Jasmadi (2008:40) menjelaskan dampak positif dari bahan ajar adalah guru mempunyai lebih banyak waktu untuk membimbing siswa dalam proses pembelajaran, membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan baru dari berbagai macam sumber atau referensi yang digunakan dalam bahan ajar, dan peranan guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan menjadi berkurang. Dalam Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar, Direktorat Sekolah Menengah Pertama (2006:4) dijelaskan bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai. Menurut National Centre for Competency Based Training (Depdiknas, 2008: 9), bahan ajar adalah segala bentuk bahan baik tertulis maupun tidak tertulis yang digunakan untuk membantu guru atau instruktur dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Salah satu bahan ajar yang dapat digunakan sebagai sumber belajar sekaligus sebagai media pembelajaran adalah buku. Menurut Majid (2007:175) buku sebagai bahan ajar merupakan buku yang berisi suatu ilmu pengetahuan hasil analisis terhadap kurikulum dalam bentuk tertulis. Menurut Lestari (2013:7) fungsi bahan ajar ; (a) bagi guru adalah untuk mengerahkan semua aktifitasnya dalam proses pembelajaran sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa, (b) bagi siswa menjadi pedoman dalam proses pembelajaran dan merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari, (c) alat evaluasi pencapaian hasil pembelajaran. Sedangkan menurut Prastowo (2011:15) fungsi bahan ajar dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu ; 1. Fungsi bahan ajar dalam pembelajaran klasikal antara lain : (a) Sebagai satu-satunya sumber informasi serta pengawas dan pengendali proses pembelajaran. (b) Sebagai bahan pendukung proses pembelajaran yang diselenggarakan. 2. Fungsi bahan ajar dalam pembelajaran individual, antara lain : (a) Sebagai media utama dalam proses pembelajaran. (b) Sebagai alat yang digunakan untuk menyusun dan mengawasi proses peserta didik dalam memperoleh informasi. (c) Sebagai penunjang media pembelajaran individual lainnya. 3. Fungsi bahan ajar dalam pembelajaran kelompok, antara lain:
944
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
a) Sebagai bahan yang terintegrasi dengan proses belajar kelompok, dengan cara memberikan informasi tentang latar belakang materi, informasi tentang peran orangorang yang terlibat dalam belajar kelompok, serta petunjuk tentang proses pembelajaran kelompoknya sendiri. b) Sebagai bahan pendukung bahan belajar utama, dan apabila dirancang sedemikian rupa maka dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. METODE Penelitian pengembangan ini menggunakan model pengembangan Plomp. Menurut Plomp model dalam mendesain pengembangan terbagi dalam lima fase, yaitu: (1) fase investigasi awal, (2) fase desain, (3) fase realisasi/konstruksi, (4) fase tes, evaluasi, dan revisi, (5) fase implementasi (Hobri, 2010:17). Tidak keseluruhan fase pada pengembangan model Plomp harus dilaksanakan, yaitu diseminasi model boleh tidak dilaksanakan, karena berbagai pertimbangan (Hobri, 2010:25). Sehingga karena terbatasnya waktu, biaya dan tenaga maka pada pengembangan ini dilaksanakan fase kesatu sampai keempat, sedang fase kelima atau fase implementasi tidak dilaksanakan. Pengembangan yang dilakukan terdiri atas empat fase sebagai berikut; a. Fase investigasi awal (Preliminary investigation). Investigasi awal dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan guna mengembangkan buku ajar. Kegiatan tersebut meliputi; (1) pengkajian teori pembelajaran berbasis inkuiri, (2) menganalisis standar kompetensi dan kompetensi dasar materi bentuk aljabar sesuai kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), (3) mengamati karakteristik siswa, (4) melakukan diskusi dengan teman guru matematika tentang karakteristik siswa, dan (5) menganalisis perangkat dan buku yang biasa digunakan dalam pembelajaran. b. Fase Desain(Dsign) Berdasarkan investigasi awal selanjutnya disusun rancangan buku ajar dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Aktifitas yang tercakup dalam perancangan ini antara lain : 1) Merancang pengorganisasian materi menjadi unit-unit yang utuh, berdasarkan karakteristik materi dan alokasi waktu. 2) Membuat pemetaan materi dan aktifitas pembelajaran yang relevan. 3) Membuat rancangan buku ajar. 4) Membuat rancangan instrumen penelitian pengembangan yang meliputi (a) rencana pelaksanaan pembelajaran, (b) instrumen evaluasi pengembangan buku ajar bentuk aljabar berbasis inkuiri, dan (c) instrumen evaluasi proses pelaksanaan pembelajaran berbasis inkuiri. c. Fase Realisasi/Kontruksi(Realization/Construction) Pada fase ini dihasilkan produk pengembangan berdasarkan desain yang telah dirancang. Produknya adalah (1) buku ajar, (2) rencana pelaksanaan pembelajaran, dan (3) instrumen evaluasi. Instrumen ini meliputi (a) instrumen evaluasi pengembangan buku ajar bentuk aljabar berbasis inkuiri (b) instrumen evaluasi proses pelaksanaan pembelajaran berbasis inkuiri. d. Fase Tes, Evaluasi, dan Revisi(Test, Evaluation, and Revision) Pada fase ini kegiatan yang dilakukan adalah mengevaluasi produk yang telah dihasilkan. Evaluasi merupakan proses mengumpulkan , memproses, dan menganalisis secara sistematis untuk menentukan apakah spesifikasi produk telah terpenuhi atau belum dengan ; a. uji validasi oleh ahli dan praktisi Validasi dimaksudkan untuk mendapatkan data-data yang dapat digunakan untuk merevisi rancangan produk berupa buku ajar, rencana pelaksanaan pembelajaran dan instrumen penelitian yang meliputi lembar pengamatan aktifitas siswa, lembar pengamatan aktifitas guru, lembar pengamatan keterlaksanaan produk, uji keterbacaan, soal tes penguasaan materi buku ajar, kuesioner/angket respon siswa terhadap pembelajaran, dan pedoman wawancara. Instrumen tersebut berupa skala Likert, saran dan komentar terhadap rancangan produk dan instrumen penelitian. Disini ada kemungkinan terjadi siklus (kegiatan validasi berulang) sampai diperoleh produk yang valid. b. Uji coba lapangan, ada dua tahap yaitu : 945
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
a) uji coba kelas kecil yaitu uji coba pada 6 siswa yang terdiri atas 1 siswa putra dan 1 siswa putri mewakili siswa kelompok atas, 1 siswa putra dan 1 siswa putri mewakili siswa kelompok sedang, dan 1 siswa putra dan 1 siswa putri mewakili siswa kelompok bawah. b) uji coba klasikal, yaitu uji coba pada kelas sesungguhnya. Subyek uji coba klasikal ini adalah siswa kelas VIII A SMP Negeri 1 Sekaran Kabupaten Lamongan yang terdiri atas 32 siswa. Produk yang dihasilkan dari proses penelitian pengembangan ini harus valid, praktis, dan efektif, maka rancangan produk yang dihasilkan harus diuji kevalidannya, kepraktisannya, dan keefektifannya. Kevalidan produk pengembangan diuji melalui validasi yang dilakukan oleh 2 orang ahli dan 1 orang praktisi dengan kriteria hasil validasi dari ketiga validator; (1) valid yang ditunjukkan dengan 4 ≤ 𝑉𝑎 < 5, atau (2) sangat valid jika 𝑉𝑎 = 5, dengan 𝑉𝑎 adalah nilai rata-rata total untuk semua aspek(Hobri, 2010:53). Kepraktisan produk pengembangan diuji melalui dua tahap, yaitu: (1) uji ahli dan praktisi untuk menentukan intended perceived (𝐼𝑃), dan (2) uji secara nyata di lapangan untuk menentukan intended operational (𝐼𝑂) yang dilakukan pada uji coba klasikal. Keefektifan produk pengembangan diuji melalui dua tahap, yaitu : (1) uji ahli dan praktisi untuk menentukan intended eksperiential (𝐼𝐸), dan (2) uji secara nyata di lapangan untuk menentukan intended attained (𝐼𝐴) dari data empirik yang dikaitkan dengan 4(empat) hal, yaitu : (a) tes penguasaan materi buku ajar, (b) aktifitas siswa dan guru, (c) kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan (d) respon siswa terhadap pembelajaran. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis kevalidan Produk Validasi dilakukan oleh dua validator dan seorang praktisi. Untuk mendapatkan validasi ahli peneliti menemui validator dan praktisi. Sebelum divalidasi, validator memberi saran agar rancangan I buku ajar direvisi dulu yaitu pada bagian orientasi sebelum siswa dikenalkan bentuk aljabar menurut validator siswa harus betul-betul paham tentang apa yang dimaksud variabel dan konstanta. Setelah rancangan I buku ajar direvisi baru diadakan validasi oleh ahli dan prakti yang hasilnya Va = 4,03 artinya valid. Sedangkan untuk rancangan rencana pelaksanaan pembelajaran menghasilkan Va = 4,02, artinya valid. Walaupun rancangan rencana pelaksanaan pembelajaran ini sudah valid, tetapi untuk menindak lanjuti saran, dan komentar ahli tetap diadakan revisi terhadap rancangan rencana pelaksanaan pembelajaran. Revisi dilakukan dengan menambah satu kolom yang berisi fokus/keterangan (tahap orientasi, merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, pengujian hipotesis, merumuskan kesimpulan) yang merupakan fokus penelitian pengembangan ini. 2. Analisis Kepraktisan(Keterlaksanaan) Produk Analisis kepraktisan(keterlaksanaan) produk dilakukan dengan melihat kekonsistenan hasil dua ukuran, yaitu : a. uji ahli dan praktisi untuk menentukan intended perceived (IP) b. uji lapangan untuk menentukan intended operational (IO). a) Uji Ahli dan Praktisi Penilaian yang diberikan oleh ahli dan praktisi terhadap rancangan I buku ajar diperoleh 𝐼𝑃 = 4,00, artinya 𝐼𝑃 yang dicapai adalah tinggi. Sedangkan untuk rancangan RPP hasilnya didapat 𝐼𝑃 = 4,02, artinya 𝐼𝑃 yang dicapai adalah tinggi. b) Uji Lapangan Berdasarkan hasil pengamatan keterlaksanaan (kepraktisan) produk dihitung dan diperoleh nilai IO = 4,19, artinya IO yang dicapai adalah tinggi. Hal ini menunjukkan adanya kekonsistenan hasil penilaian ahli dan praktisi dengan hasil pengamatan penerapan produk pengembangan sehingga dapat disimpulkan bahwa produk pengembangan adalah praktis. 3. Analisis Keefektifan Produk Analisis keefektifan produk dilakukan dengan melihat kekonsistenan hasil dua ukuran, yaitu : a. intended eksperiential (IE) dari ahli dan praktisi, 946
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
b. intended attained (IA) dari data empirik. a) Uji Ahli dan Praktisi Penilaian yang diberikan oleh ahli dan praktisi terhadap rancangan I buku ajar diperoleh 𝐼𝐸 = 4,00, artinya 𝐼𝐸 yang dicapai adalah tinggi. Sedangkan untuk RPP diperoleh 𝐼𝐸 = 4,02, artinya 𝐼𝐸 yang dicapai adalah tinggi. b) Uji Lapangan Uji lapangan untuk menguji keefektifan produk meliputi empat hal, yaitu ; (1) Tes Penguasaan Materi Buku Ajar (a) skor tingkat penguasaan siswa(𝑇𝑃𝑆) = 79,78, artinya siswa dapat mencapai skor tingkat penguasaan materi buku ajar bernilai tinggi. (b) siswa yang mampu mencapai tingkat penguasaan sedang (minimal skor 60 28 dari skor maksimal 100) adalah 28 siswa atau x 100% = 87,5% melebihi 32 80%. (2) Aktifitas Siswa dan Guru Berdasarkan hasil pengamatan aktifitas siswa dan guru selama 12 kali pertemuan diperoleh; (I.a) aktifitas guru berupa menjelaskan materi/memberi informasi mencapai 19,6 % berarti kategori (I.a) tidak terpenuhi, (I.b) aktifitas guru berupa mengamati kegiatan siswa, memotivasi, memberi petunjuk, membimbing kegiatan siswa mencapai 79,4%, sehingg memenuhi aspek kategori (I.b), (I.c) aktifitas guru berupa perlakuan yang tidak relevan mencapai 1,0 %, sehingga aspek kategori (I.c) terpenuhi, (II.a) aktifitas siswa berupa mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru/teman mencapai 14,4 %, sehingga aspek kategori (II.a) tidak terpenuhi, (II.b) aktifitas siswa berupa membaca buku ajar mencapai 22,5 %, sehingga aspek kategori (II.b) tidak terpenuhi, (II.c) aktifitas siswa berupa mencatat penjelasan guru, mencatat dari buku atau dari teman, menyelesaikan masalah pada buku ajar, merangkum pekerjaan kelompok mencapai 28,1 % , sehingga aspek kategori (II.c) terpenuhi, (II.d) aktifitas siswa berupa berdiskusi/bertanya antara siswa dan guru, antara siswa dan temannya mencapai 32,9 %, sehingga aspek kategori (II.d) terpenuhi, dan (II.e) siswa melakukan sesuatu yang tidak relevan dengan pembelajaran mencapai 2,1 %, sehingga aspek kategori (II.e) terpenuhi. Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas siswa dan guru memenuhi pencapaian persentase waktu ideal(PWI). (3) Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran Berdasarkan hasil pengamatan aktifitas guru dihitung Nilai Kemampuan Guru (𝑁𝐾𝐺) = 4,404, artinya 𝑁𝐾𝐺 yang dicapai adalah baik. (4) Respon Siswa terhadap Pembelajaran Berdasarkan kuesioner/angket respon siswa terhadap pembelajaran diketahui bahwa 84,375% siswa yang memberi jawaban respon bernilai positif . Secara keseluruhan berdasarkan hasil uji ahli dan praktisi serta uji lapangan tentang keefektifan produk pengembangan dapat diperoleh kesimpulan bahwa hasil produk penelitian pengembangan ini adalah efektif. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa produk pengembangan yang berupa buku ajar adalah valid, praktis, dan efektif. Disamping itu hasil diskusi antara peneliti, dan praktisi serta hasil angket dan wawancara kepada siswa dapat disimpulkan bahwa penerapan buku ajar berbasis inkuiri ini mempunyai beberapa kelebihan, antara lain: a. mengarahkan pembelajaran menjadi berpusat pada siswa b. siswa dapat mengeksplorasi secara terbuka hasil pemikiran mereka c. siswa dapat mengomunikasikan hasil pemikirannya dalam bentuk tulisan 947
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
d. siswa dapat menemukan dan menuliskan informasi kunci dari masalah yang disajikan e. siswa lebih berani membuat dugaan solusi dari masalah yang disajikan f. pembelajaran menjadi lebih meyenangkan dan disukai siswa. Berdasarkan hasil dan pembahasan, dan diskusi antara peneliti, dan praktisi serta hasil angket dan wawancara kepada siswa dapat disimpulkan bahwa buku ajar dan rencana pelaksanaan pembelajaran hasil pengembangan ini sudah valid, praktis, dan efektif serta memiliki beberapa kelebihan. Sehingga disarankan hasil pengembangan buku ajar berbasis inkuiri dan rencana pelaksanaan pembelajaran ini dimanfaatkan untuk pembelajaran bentuk aljabar kelas VIII agar siswa dapat lebih terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga tujuan penyelenggaraan pembelajaran dapat tercapai lebih optimal. DAFTAR PUSTAKA Artigue, Michèle & Baptis, Peter. 2012. Inquiry in Mathematics Education. European Union. Fibonacci Project. (Online). http://www.fondation-lamap.org/sites/default/files/upload/media/inquiry_in_mathematics_education.pdf. Diakses 30 Mei 2014. Budiningsih, C. Asri. 2012. Belajar & Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Depdiknas. 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas. Direktorat Sekolah Menengah Pertama. 2006. Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Ferguson Kyle L.. 2010. Inquiry Based Mathematics Instruction Versus Traditional Mathematics Instruction: The Effect on Student Understanding and Comprehension in an Eighth Grade Pre-Algebra Class room. Thesis. (Online). http://digitalcommons.cedarville.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1025&context=educat ion_theses. Diakses 30 Mei 2014. Hobri. 2010. Metode Penelitian Pengembangan [Aplikasi pada Penelitian Pendidikan Matematika]. Jember: Pena Salsabila. Lestari, Ika. 2013. Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Kompetensi. Padang: Akademia Permata. Hamalik, Oemar. 2009. Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA Menuju Profesionalitas Guru&Tenaga Pendidik. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Majid, Abdul. 2007. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Matthew B. M. & Kenneth I. O.. 2013. A Study On The Effects Of Guided Inquiry Teaching Method On Students Achievement In Logic. International Researcher. (online). 2(1):133-140. (http://iresearcher.org/133-140 ). Diakses 28 Mei 2014. Prastowo, Andi. 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif Menciptakan Metode Pembelajaranyang menarik dan menyenangkan.Jogjakarta: DIVA press. Prince, Michael J. & Felder, Richard M. 2006. Inductive Teaching and Learning Methods: Definitions, Comparisons, and Research Bases. Journal of Engineering Education. (Online). http://www.it.uu.se/edu/course/homepage/cosulearning/st11/reading/ITLM.pdf. Diakses 25 Juni 2014 Rooney, Caitriona. 2012. How am I using inquiry-based learning to improve my practice and to encourage higher order thinking among my students of mathematics? Educational Journal of Living Theories. (Online). 5(2): 99-127, (http://ejolts.net/drupal/node/200). Diakses 27 Mei 2014. Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Spronken-Smith, Rachel(2012). “Experiencing the Process of Knowledge Creation: The Nature and Use of Inquiry-Based Learning in Higher Education.” Paper prepared for International Colloquium on Practices for Academic Inquiry (Online) http://akoaotearoa.ac.nz/sites/default/files/u14/IBL%20-%20Report%20%20Appendix%20A%20-%20Review.pdf. Diakses 25 Juni 2014. Sudjana, Nana. 2011. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Suryosubroto, B. 2009. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta Trianto. 2011a. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif; Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
948
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Trianto. 2011b. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Widodo, Chomsin S. & Jasmadi. 2008. Panduan Menyusun Bahan Ajar Berbasis Kompetensi. Jakarta: PT Elex Media Computindo.
DIAGNOSIS KESULITAN SISWA BERKECERDASAN KINESTETIK DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA DAN PEMBERIAN SCAFFOLDING Ida Safrida Sri Nurdiana, Subanji, dan Hery Susanto Universitas Negeri Malang Abstrak Siswa dalam belajar matematika masih banyak yang mengalami kesulitan. Siswa yang kesulitan dalam menyelesaikan masalah perlu diberi bantuan pembelajaran dalam bentuk strategi pemecahan masalah. Untuk itu diagnosis kesulitan siswa dimulai pertama ketika siswa understanding the problem atau memahami masalah. Kedua devising a plan atau menyusun rencana penyelesaian. Pada langkah ini siswa di harapkan dapat menyusun rencana penyelesaian sesuai dengan yang di ketahui dan ditanyakan sebelumnya. Ketiga adalah carriying out the plan atau melaksanakan perencanaan. Keempat Looking back atau melihat kembal (Polya, 2004). Scaffolding yang sesuai dengan bagian pertama (1) menanyakan kembali kebenaran apa yang ditulis,meminta siswa membaca kembali soal dengan cermat sehingga mampu menggali semua informasi dan memahami masalah, (2) menanyakan kembali kebenaran apa yang ditulis, mengingatkan kembali rumus-rumus yang pernah dipelajari sebelumnya dengan meminta menyatakan fakta yang diketahui dan ditanyakan dalam soal dengan benar, (3) mengingatkan dengan pertanyaan arahan tentang rumus yang sesuai dengan soal. (4) menanyakan kembali kebenaran hasil yang telah diperolehnya, mengingatkan kembali kegunaan dari mencari cara lain dalam soal. Bentuk scaffolding yang digunakan peneliti dalam hal ini sesuai dengan bentuk scaffolding menurut Anghileri (2006). Kata Kunci: Diagnosis , Kesulitan, Kinestetik, Memecahkan masalah matematika, Scaffolding
Tujuan pembelajaran matematika menurut Tall et al (1993) untuk kesuksesan siswa, namun pada kenyataannya banyak siswa yang kesulitan dalam belajar matematika. Siswa yang kesulitan dalam menyelesaikan masalah perlu diberi bantuan pembelajaran dalam bentuk strategi pemecahan masalah. Kesulitan siswa terletak saat menentukan fakta yang di ketahui, menentukan fakta yang ditanyakan, membuat model matematika pada saat melakukan perhitungan atau pada saat mengembalikan ke masalah asli. Dengan mengetahui letak kesulitannya maka akan mempermudah proses pembelajarannya. Kesulitan belajar dalam mempelajari matematika dapat ditandai dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal-soal atau matematika. Menurut Bosse et al (2011) dengan sering memberikan tugas dan sering melakukan latihan sehingga dimengerti oleh siswa dan siswa berpengalaman sehingga dapat mengurangi tingkat kesulitan dalam menerjemahkan dibandingkan dengan siswa yang jarang diberi tugas dan jarang latihan. Menurut Tsamir & Bazzini (2004) hasil pekerjaan siswa yang kurang baik dalam memecahkan masalah menunjukkan kesulitan yang langsung mempengaruhi keberhasilan siswa. Kesulitan yang dihadapi oleh siswa tidak hanya berasal dari siswa, tetapi juga bisa berasal dari guru,sehingga menurut Akkoc et al (2012) dalam penelitiannya pandangan pre service dan in service guru berkenaan dengan kesulitan siswa yang mana tidak hanya di lihat dari siswanya tetapi juga dari gurunya. Menurut Oreyen et al, (2005) menganalisis kinerja siswa dan menjelajahi kesulitan serta kesalahan yang dilakukan oleh siswa ketika menemukan solusi, adalah salah satu tugas guru dalam membantu siswa mengatasi kesulitannya. Guru juga memeriksa cara-cara untuk menggabungkan teori persepsi visual, serta penggunaannya dalam menganalisis kesulitan untuk profesionalisme guru. (Gal, 2005; Gal & Linchevski, 2009). Selain itu kesulitan-kesulitan siswa dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun sajian materi pelajaran, serta 949
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
memilih metode yang terdapat dalam pembelajaran. Sebenarnya asal- usul kesulitan dapat dianalisis. (Lin, 2005) Pemecahan masalah secara eksplisit menjadi tujuan pembelajaran matematika dan tertuang dalam kurikulum. Alasan mengapa mengajarkan pemecahan masalah matematika, adalah: (1) pemecahan masalah mengembangkan keterampilan kognitif secara umum, (2) pemecahan masalah menumbuhkan kreatifitas, (3) pemecahan masalah merupakan bagian dari proses aplikasi matematika, dan (4) pemecahan masalah memotivasi siswa untuk belajar matematika (Pekhonen, 1997). Sehingga dapat dikatakan bahwa pembelajaran pemecahan masalah merupakan salah satu cara untuk mendorong kreatifitas sebagai produk berpikir siswa. Pentingnya pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika tercantum dalam kurikulum 2013 bahwa kemampuan memecahkan masalah merupakan kompetensi yang harus dimiliki siswa. Kemampuan memecahkan masalah sangat diperlukan siswa dalam memahami konsep matematika, hubungan antar konsep dan hubungan antar konsep dengan bidang yang lain (Reys, 2009). Menurut Daniel & Stumbrys, (2010) dengan pemecahan masalah siswa-siswa dapat berlatih dan mengintegrasikan konsep-konsep, teorema-teorema, dan keterampilan yang telah dipelajari, pemecahan masalah secara kreatif meningkatkan perbaikan hasil. Menurut Zhu (2007) dengan pemecahan masalah memungkinkan siswa menjadi lebih analitis di dalam mengambil keputusan dalam kehidupan, karena pemecahan masalah matematika ditemukan berhubungan dengan kognitif. Menurut William (2008) guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan kemandirian dan kepercayaan diri dalam memecahkan masalah. Wu (2006) mengidentifikasi adanya empat dimensi pemecahan masalah, yaitu: 1. Reading/Extracting all information from the question (Membaca/mendapatkan semua informasi dari pertanyaan) 2. Real-life and Common Sense Approach to Solving Problems (Pendekatan kehidupan nyata dan akal sehat untuk menyelesaikan masalah) 3. Mathematics concepts, mathematisation and reasoning (Konsep matematika, matematisasi dan pemberian alasan) 4. Standard computational skills and carefulness in carrying out computations (Keterampilan dan ketelitian berhitung standar) Pada saat memecahkan masalah matematika, setiap siswa mempunyai proses berpikir yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut karena setiap siswa memiliki jenis kecerdasan yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Chatib (2009:12) bahwa setiap insan di dunia memiliki karakter dasar yaitu potensi, minat dan bakat yang berbeda-beda. Perbedaan ini mempengaruhi seseorang dalam memandang dan memecahkan suatu masalah. Artinya kemampuan memecahkan masalah tergantung dari kemampuan individu yang berhubungan dengan kecerdasan seseorang. Gardner (2003), menyatakan bahwa ada delapan jenis kecerdasan yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika matematika kecerdasan visual spasial, kecerdasan musik, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan naturalis walaupun hanya beberapa kecerdasan yang dominan dalam diri seseorang. Salah satu contoh anak dengan kecerdasan kinestetik yaitu Anak yang mempunyai kecerdasan kinestetik belajar melalui bergerak, menyentuh, dan melakukan. Anak seperti ini sulit untuk duduk diam berjam-jam karena keinginan mereka untuk beraktifitas dan eksplorasi sangatlah kuat. Siswa yang mempunyai kecerdasan kinestetik belajarnya melalui gerak dan sentuhan. Ciri-ciri anak kinestetik : berbicara perlahan, penampilan rapi, tidak terlalu mudah terganggu dengan situasi keributan, belajar melalui memanipulasi dan praktek, menghafal dengan cara berjalan dan melihat, menggunakan jari sebagai petunjuk ketika membaca, merasa kesulitan untuk menulis tetapi hebat dalam bercerita, menyukai buku-buku dan mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca, menyukai permainan yang menyibukkan, tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang pernah berada di tempat itu, menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka menggunakan kata-kata yang mengandung aksi. Anak kinestetik menikmati permainan out door dan olah raga, lebih suka komunikasi non verbal. (Wheeler, 1999) Kesulitan yang dialami siswa yang mempunyai kecerdasan kinestetik perlu di diagnosis karena untuk mengetahui kesulitannya. Diagnosis yang dilakukan tersebut menggunakan langkah-langkah pemecahan masalah Polya. Untuk itu diagnosis kesulitan siswa dimulai pertama ketika siswa understanding the problem atau memahami masalah. Pada 950
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
langkah ini siswa di minta dapat menentukan apa yang di ketahui dan apa yang ditanyakan. Kedua devising a plan atau menyusun rencana penyelesaian. Pada langkah ini siswa di harapkan dapat menyusun rencana penyelesaian sesuai dengan yang di ketahui dan ditanyakan sebelumnya. Ketiga adalah carriying out the plan atau melaksanakan perencanaan. Pada langkah ini diharapkan siswa melaksanakan penyelesaian masalah sesuai dengan perencanaan yang telah di lakukan pada langkah sebelumnya. Keempat Looking back atau melihat kembali. Pada langkah ini siswa melihat kembali atau dapat juga dikatakan dengan tahap pemeriksaan kembali terhadap hasil pemecahan masalah yang telah dilakukan. ( Polya, 2004) Menurut Arends (2008:46) siswa memiliki 2 tingkat perkembangan yang berbeda yaitu (1) tingkat perkembangan aktual dan (2) tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual merupakan fungsi intelektual individu saat ini dan kemampuannya untuk mempelajari sendiri hal-hal tertentu. Sedangkan tingkat perkembangan potensial didefinisikan sebagai tingkat yang dapat dicapai oleh individu dengan bantuan orang lain. Misalnya guru, orang tua, teman sebaya yang lebih mampu. Daerah yang terletak antara tingkat perkembangan aktual dan potensial siswa disebut Zone of Proximal Development. Konsep Zone of Proximal Development Vygotsky berdasar pada ide bahwa perkembangan pengetahuan siswa di tentukan oleh keduanya yaitu pada apa yang dapat dilakukan siswa itu sendiri dan apa yang dilakukan oleh siswa ketika mendapat bantuan dari guru atau teman sebayanya yang lebih mampu (Woolfolk, 2008:69), guru berperan sebagai scaffolder berkali-kali dalam pembelajaran matematika dan interaksi ini berdampak positif terhadap pemahaman siswa dilihat dari tugas (McCosker & Diezmann , 2009). Menurut Machmud (2011) peran guru menunjukkan untuk menjadi fasilitator dan membimbing terhadap perkembangan berpikir siswa. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan scaffolding adalah dukungan untuk belajar dan mengatasi masalah yang dapat berupa petunjuk,pengingat,dorongan,membagi masalah menjadi kecil-kecil, memeberikan contoh atau apapun yang memungkinkan anak tumbuh mandiri dalam memecahkan masalah matematika. Anghileri (2006:39) mengusulkan tiga tingkat hirakri dari penggunaan scaffolding yang merupakan dukungan secara khusus dalam pembelajaran matematika yaitu: Level 1. Envirommental provesions ( classrom organization. Artifacts such as a blokcs) Level 2. Explaining, reviewing and restructuring Level 3. Developing conseptual thinking Berkaitan dengan ide Zone of Proximal Development tersebut, Slavin (2000:46) menyatakan bahwa teori belajar Vygotsky menekankan pada Scaffolding. Scaffolding dalam penelitian ini merupakan bantuan secukupnya untuk siswa yang memiliki kemampuan lebih rendah di dalam Zone of Proximal Development nya yang dilakukan oleh guru. Bagi seorang guru, sangatlah perlu untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa dalam proses belajarnya. Permasalahan yang tidak segera diatasi akan berakibat pada kurangnya pemahaman siswa terhadap topic-topik matematika selanjutnya yang lebih tinggi. Jacobs & Ambrose (2009) menyarankan 3 pendekatan untuk mengembangkan pemahaman siswa tentang masalah: 1) meminta siswa untuk menjelaskan apa yang siswa tahu tentang masalah, 2) ulangi atau menguraikan masalah, 3) kontekstualisasi ulang masalah sehingga tidak asing bagi siswa. Dari paparan di atas maka peneliti mencoba untuk meneliti diagnosis kesulitan siswa yang mempunyai kecerdasan kinestetik dalam memecahkan masalah matematika dan pemberian scaffolding dikarenakan siswa yang mempunyai kecerdasan kinestetik menurut peneliti sangat unik, siswa dalam kelas cenderung tidak bisa diam, berjalan-jalan dan sebagainya. Siswa dengan kecerdasan kinestetik juga perlu mendapatkan pemecahan masalah. Peneliti akan meneliti siswa yang mempunyai kecerdasan kinestetik dalam memecahkan masalah matematis untuk menentukan subjek penelitian peneliti menggunakan tes MIR (Multi Intelegensi Reseach). Diagnosis yang dilakukan tersebut menggunakan langkah-langkah pemecahan masalah Polya. Untuk itu diagnosis kesulitan siswa dimulai pertama ketika siswa understanding the problem atau memahami masalah. Pada langkah ini siswa di minta dapat menentukan apa yang di ketahui dan apa yang ditanyakan. Kedua devising a plan atau menyusun rencana penyelesaian. Pada langkah ini siswa di harapkan dapat menyusun rencana penyelesaian sesuai dengan yang di ketahui dan ditanyakan sebelumnya. Ketiga adalah carriying out the plan atau melaksanakan perencanaan. Pada langkah ini diharapkan siswa melaksanakan penyelesaian masalah sesuai dengan perencanaan yang telah di lakukan pada langkah sebelumnya. Keempat Looking back atau melihat kembali. Pada langkah ini siswa 951
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
melihat kembali atau dapat juga dikatakan dengan tahap pemeriksaan kembali terhadap hasil pemecahan masalah yang telah dilakukan. (Polya, 2004) METODE Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena dalam penelitian ini lebih mementingkan proses siswa dalam menyelesaikan suatu masalah yang dihadapinya dari pada hasil yang diperoleh sebagaimana karakteristik dari pendekatan kualitatif. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian tindakan karena ada upaya tindakan diagnosis dan tindakan pemberian bantuan (scaffolding) bagi siswa dalam upaya mengetahui letak kesulitan dan perbaikan yang sesuai terhadap kesulitan yang dialami siswa. Data yang ingin dihasilkan dalam penelitian ini berupa kata-kata, kalimat dalam bentuk narasi yang mendeskripsikan kesulitan-kesulitan siswa dalam mnyelesaikan soal cerita aplikasi turunan fungsi.. Data yang berupa tulisan diperoleh dari hasil tes dan pengamatan. Sedangkan data dalam bentuk ucapan diperoleh melalui wawancara, rekaman video dan kamera digital Dalam penelitian ini tes dilakukan tes awal yaitu tes MIR untuk mendapatkan siswa yang berkecerdasan kinestetik, setelah diperoleh siswa yang berkecerdasan kinestetik maka diberi soal tes diagnosis Tes MIR diberikan kepada dua puluh lima siswa dan diperoleh 8 siswa yang berkecerdasan kinestetik. Dari 8 siswa diberi soal tes diagnosis, berdasarkan analisis hasil tes diagnosis maka ditetapkan 4 siswa sebagai subjek penelitian. Disamping itu dilakukan wawancara untuk mengetahui bagian kesulitan dan scaffolding atas kesulitan penyelesaian soal tes diagnosis pada subjek penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian ditemukan kesulitan siswa pada (1) Langkah 1 yaitu memahami masalah, dalam hal ini ditunjukkan dengan adanya kesalahan siswa dalam membuat barisan, siswa belum memahami fakta yang diketahui dalam soal dan fakta yang ditanyakan dalam soal. Kesulitan ini disebabkan ketidakcermatan siswa dalam menggali informasi (fakta) dalam soal. Scaffolding yang sesuai dengan kesulitan ini adalah (1) menanyakan kembali kebenaran apa yang ditulis (2) meminta siswa membaca kembali soal dengan cermat sehingga mampu menggali semua informasi dan memahami masalah, (2) Langkah 2 yaitu menyatakan fakta pada kalimat matematika, dalam hal ini ditunjukkan dengan adanya kesalahan yang disebabkan oleh kesalahan memahami masalah dan kesalahan dalam memahami rumus-rumus yang berkaitan dengan barisan dan deret . Scaffolding yang sesuai dengan kesulitan ini adalah (1) menanyakan kembali kebenaran apa yang ditulis, (2) mengingatkan kembali rumus-rumus yang pernah dipelajari sebelumnya dengan meminta menyatakan fakta yang diketahui dan ditanyakan dalam soal dengan benar, (3) Langkah 3 yaitu menggunakan dan mengaitkan konsep-konsep matematika yang telah dipelajari sebelumnya, dalam hal ini ditunjukkan dengan adanya kesalahan penerapan rumus barisan dan deret. Scaffolding yang sesuai dengan kesulitan ini adalah (1) mengingatkan dengan pertanyaan arahan tentang rumus yang sesuai dengan soal. (4) Langkah 4 yaitu memeriksa kembali hasil perhitungan yang telah diperoleh dan mengkomunikasikan jawaban, dalam hal ini ditunjukkan dengan siswa tidak menggunakan cara lain untuk memeriksa kebenaran jawaban soal. Kesalahan ini terjadi karena siswa tidak memahami kegunaan dari mencari cara lain dalam mengerjakan soal. Scaffolding yang sesuai dengan kesulitan ini adalah (1) menanyakan kembali kebenaran hasil yang telah diperolehnya, (2) mengingatkan kembali kegunaan dari mencari cara lain dalam soal . Bentuk scaffolding yang digunakan peneliti dalam hal ini sesuai dengan bentuk scaffolding menurut Anghileri (2006). Siswa yang berkecerdasan kinestetik selama wawancara dan scaffolding mereka selalu menggerak-gerakkan tangannya, memainkan bolpoint. Ini sesuai dengan pendapat Gardner (2003) bahwa anak yang berkecerdasan kinestetik menggunakan jari sebagai petunjuk ketika membaca, merasa kesulitan untuk menulis tetapi hebat dalam bercerita, menyukai buku-buku dan mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
952
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Siswa masih mengalami kesulitan pada semua bagian langkah-langkah penyelesaian masalah menurut polya. Kesulitan siswa yang paling banyak terjadi pada bagian 3 dan 4, karena pada bagian ini membutuhkan pemahaman siswa terhadap rumus barisan dan deret dan mengaitkannya dengan konsep yang telah didapat sebelumnya. Setiap siswa, bagian dan tingkat kesulitan yang dialami cenderung berbeda, sehingga scaffolding yang diberikan juga berbeda. Begitu juga untuk anak yang berkecerdasan kinestetik, yang cenderung selalu menggerakkan tangan ketika wawancara sekaligus scaffolding. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan beberapa hal sebagai berikut: a. Dalam mengatasi kesulitan siswa, hendaknya seorang guru melakukan diagnosis terlebih dahulu terhadap kesulitan yang dialami siswa agar dapat memberikan bantuan yang sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapinya menggunakan scaffolding individu. b. Diharapkan seorang guru dalam mengajarkan barisan dan deret mengacu pada hasil penelitian ini agar siswa tidak mengalami kesulitan pada bagian-bagian yang telah ditemukan. c. Seorang guru dalam membuat instrumen soal barisan dan deret hendaknya menggunakan bahasa yang jelas agar tidak menimbulkan multitafsir dari anak terhadap fakta soal. d. Penelitian ini masih terbatas pada scaffolding individu, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan scaffolding pada kelompok atau kelas untuk melengkapi tindakan pemberian bantuan mengatasi kesulitan siswa sehingga diperoleh bentuk scaffolding yang lebih variatif dan sesuai. DAFTAR RUJUKAN Anghileri, J. 2006. Scaffolding Practices that Enhance Mathematics Learning. Journal of Mathematics Teacher Education. 9:33-52. Arends, R. I. 2008. Belajar untuk mengajar. Terjemahan oleh Helly. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bingolbali, E,. B.,Akkoc, H., Ozmantar, M.F, & Servet, D. 2012. Pre-Service and In-Service Teacher Views Of The Sources Of Students‟ Mathematical Difficulty. International Electronic Journal Of Mathematics Education- Vol.6 No.1. IJM. University of Gaziantep and University of Marmara Bosse, M.J. Gyamfi, K.A. & Cheetan, M.R. 2011. Translations Among Mathematical Representation: Teacher Beliefs and Practices. International Journal Of MathematicsTeaching and Learning. Volume 3 No 1 Chatib, M. 2009. Sekolahnya Manusia Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia. Bandung: Kaifa Daniel,M., & Stumbrys, T. 2010. An Exploratory Study of Creative Problem Solving In Lucid Dreams:Preliminary Findings and Methodological Consideration. International Journal of Dream Research. Volume 3 No.2. Liverpool John Moores University,UK. Gal, H. 2005. Identifying problematic learning situations in geometry instruction, and handling them within the framework of teacher training. Thesis for a Doctor of Philosophy degree. Jerusalem: Hebrew University of Jerusalem (Hebrew). Gal, H., & Linchevski, L. 2009. Changes in teachers' ways of coping with problematic learning situations in geometry instruction. The 15th ICMI Study. New ICMI Study Series, 11 (pp. 192–193). New York: Springer. Gardner, H. 2003. Multiple Intelligences. Batam Centre:Interaksara. Jacobs, V.R., & Ambrose, R.C. 2009. Making the most of story problems. Teaching Children Mathematics 15(5), 260–266. Lin,F.L. 2005. Modeling Student Learning On Mathematical Proof And Refutation. Proceeding Of The 29th International Conference for The Psycology of Mathematics Education . (pp 3-18) Melbourne, Australia. Machmud,T,. 2011. Scaffolding Strategy In Mathematics Learning. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional dan konferensi Nasional ke 4 di Pendidikan Matematika Universitas Yogyakarta, Yogyakar, 21-23 Juli. McCosker,N & Diezmann,C.M. 2009. Scaffolding Students’ Thinking in Mathematics Investigation. Queensland University of Technology.
953
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Oreyen, M. Mahir, N. & Cetin, N. 2005. The Mistakes Made By The Student Taking a Calculus Course In Solving Inequalities. Department of Mathematcs, Anadoln University, Eskisehir, Turkey. Pekhonen, E. 1997.The State-of-Art in Mathematical Creativity. htpp://fiz.kharlsruhe.de/fiz/publication/zdm. Polya, G. 2004. How To Solve It. Princeton University Press. Reys, R., Linquist, M.M., Lambdin, D.V., & Smith, N.L. 2009. Helping Children Learn Mathematics (9𝑡ℎ 𝑒𝑑𝑖𝑡𝑖𝑜𝑛). Nebraska: John Wiley & Sons, Inc. Slavin, R. E. 2006. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik. Terjemahan oleh Marianto Samosir. 2008. Jakarta: Indeks. Tall, D., & Razali, M.R. 1993. Diagnosing Students‟ Difficulties In Learning Mathematics .24 2 209 202 .International Journal of Mathematics Education in Science & Technology. Tsamir, P. & Bazzini,L.,2004, Consistencies and Inconsistencies in students‟ Solutions to Algebraic „single-value‟ Inequalities, International Journal of Mathematical Education in Science and Technology. Wheeler,J.P. 1999. Multiple Intelegences In The Classroom. Utah State University. (online), (http://surfaquarium.com/MI/inventory.htm), diakses 08 September 2013 Williams, L. 2008. Tiering and Scaffolding: Two Strategies for Providing Access to Important Mathematics. Teaching Children Mathematics 14(6), 324330. Woolfolk, A. 2008. Educational Psychology: Active Learning Edition. Terjemahan oleh Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wu, M. 2006, Modelling Mathematics Problem Solving Item Responses Using a Multidimensional IRT Model. University of Melbourne. Mathematics Education Research Journal, 18 (2): 93 - 113. Zhu,Z. 2007. Gender Differences In Mathematical Problem Solving Patterns: A review of Literatur.8(2)187-203. ISSN 1443-147 Shannon Research Press.Journal International. School Education The University of Adelaide. ..
THE USE OF STRAWS AND PLASTIC BALLS TO UNDERSTAND LOGIC THROUGH LEARNING BY DISCOVERY ON GRADE X STUDENTS OF TEKNIK GAMBAR BANGUNAN (TGB) SMK SORE TULUNGAGUNG Yulia Putri Pawesthy, Gatot Muhsetyo, dan Santi Irawati. Universitas Negeri Malang.
[email protected] Abstrak: Penelitian merupakan PenelitianTindakan Kelas (PTK) yang dilakukan pada siswa kelas X Teknik Gambar Bangunan (TGB) dengan jumlah siswa sebanyak 36 siswa dengan banyak siswa perempuan hanya 2 siswa. Dipilih kelas X TGB karena berdasarkan pengamatan peneliti tingkat kelulusan siswa kelas X TGB rendah, yaitu kurang dari 50% siswa mendapat nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), yaitu 75, metode pembelajaran cenderung ceramah, dan tidak pernah menggunakan media selama pembelajaran. Sehingga pelaksanaan penelitian bertujuan mendiskripsikan langkah-langkah memahamkan materi logika menggunakan sedotan dan bola plastik melalui learning by discovery pada siswa kelas X TGB SMK Sore Tulungagung. Penelitian berbasis penemuan terdiri dari 5 tahap, yaitu tahap simulation, tahap problem statement, tahap data collection, tahap data processing, dan tahap generalization sedangkan alur penelitian dilakukan dengan empat tahapan, yaitu: plan, action, observation, reflection. Hasil akhir penelitian menunjukkan bahwa 100% siswa mendapatkan nilai di atas KKM, hanya 10 siswa (27,8%) mengalami kesalahan dalam menentukan negasi dan melengkapi tabel kebenaran, skor pengamatan aktivitas guru memenuhi kriteria “baik” dan skor pengamatan aktivitas siswa memenuhi kriteria “cukup”. Kata Kunci: bahan manipulatif, learning by discovery, memahamkan, logika.
954
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Penelitian dilakukan pada siswa kelas X Teknik Gambar Bangunan (TGB) karena berdasarkan pengamatan peneliti tingkat kelulusan siswa kelas X TGB rendah, yaitu kurang dari 50% siswa mendapat nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). KKM telah ditetapkan pihak sekolah yaitu sebesar 75. Pengamatan peneliti didukung fakta dari data nilai ulangan materi bilangan real diperoleh hasil bahwa dari 45 siswa hanya 5 siswa (11%) yang lulus, materi aproksimasi persentase kelulusan siswa sekitar 22% atau 10 siswa yang lulus dari 45 siswa, kemudian materi persamaan dan pertidaksamaan diperoleh persentase kelulusan hanya 15,9% atau 7 siswa yang lulus dari 45 siswa. Berdasarkan dialog dengan 4 guru pengajar matematika di SMK Sore Tulungagung diperoleh penjelasan bahwa metode yang digunakan saat pembelajaran adalah matode ceramah. Pembelajaran yang dilakukan tidak pernah menggunakan media dan jarang mengajak siswa menemukan sendiri tentang pembelajaran yang dipelajari. Hasil tes awal yang diberikan peneliti tentang materi awal logika juga menunjukkan bahwa siswa masih kesulitan mempelajari materi logika. Oleh karena itu, diperlukan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk aktif dalam pembelajaran dan mampu menemukan sendiri kesimpulan pembelajaran yang mereka pelajari. Salah satu strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk menemukan sendiri konsep pembelajaran adalah learning by discovery. Menurut Balim (2009:2) discovery learning adalah suatu metode yang mendorong siswa untuk menemukan kesimpulan berdasarkan aktivitas dan observasi yang mereka lakukan. Prasad (2011:31) juga mengemukakan hal yang sama, yaitu pada discovery learning siswa membuat konjektur, merumuskan hipotesis atau menemukan kebenaran secara matematika menggunakan proses induktif atau deduktif, observasi dan eksplorasi. Learning by discovery digunakan dengan bantuan media yang murah dan sederhana, yaitu sedotan dan bola plastik dengan materi yang dipilih adalah logika. Menurut Latuheru (1988:9) media mengarah pada sesuatu yang mengantar/ meneruskan informasi (pesan) antara sumber (pemberi pesan) dan penerima pesan. Menurut Gerlach dan Ely (1980:244) media pembelajaran mempunyai tiga sifat yang dapat membantu memberi alasan mengapa menggunakan media dan apakah media yang digunakan mampu membantu guru menyampaikan suatu pembelajaran. Tiga sifat media yang dimaksud adalah (1) sifat fiksatif merupakan sifat yang menawan, mengawetkan, dan membentuk kembali suatu objek atau peristiwa. (2) Sifat manipulatif merupakan sifat yang merubah suatu objek atau peristiwa dalam beberapa cara. (3) Sifat distributif merupakan sifat yang dapat memindahkan suatu peristiwa melewati ruang, secara simultan, menghadapkan setiap penonton dengan pengalaman yang menyerupai suatu peristiwa. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan mendiskripsikan langkah-langkah yang memahamkan materi logika menggunakan sedotan dan bola plastik melalui learning by discovery pada siswa kelas X Teknik Gambar Bangunan (TGB) SMK Sore Tulungagung dengan jumlah siswa 36 orang siswa. METODE Penelitian dilakukan untuk menyelesaikan masalah pembelajaran yang terjadi dalam kelas, khususnya materi logika. Desain yang digunakan mengacu pada model Kemmis dan Taggart dengan alur kegiatan setiap siklus terdiri dari 4 tahapan, yaitu: plan, action, observation/ evaluation, dan reflection. Alur kegiatan model Kemmis dan Taggart dapat dilihat pada gambar 5 berikut.
Gambar 1. Model Penelitian Tindakan Kelas Kemmis dan Taggart
Penelitian berbasis penemuan yang terdiri dari 5 tahap, yaitu tahap simulation (siswa mengumpulkan informasi tentang pemahaman terhadap materi awal), tahap problem statement 955
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(siswa memahami penggunaan media sedotan dan bola plastik untuk mengidentifikasi materi yang dipelajari), tahap data collection (siswa mengumpulkan berbagai informasi yang relevan dengan mengamati media dan melakukan uji coba sendiri pada media), tahap data processing (siswa melakukan pengolahan data untuk menyelesaikan LKS), dan tahap generalization (siswa belajar menarik kesimpulan). Penelitian dilakukan pada siswa SMK Sore Tulungagung kelas X kompetensi keahlian Teknik Gambar Bangunan (TGB) SMK Sore Tulungagung tahun ajaran 2013-2014 yang pada awalnya terdiri atas 46 siswa. Kemudian karena ada siswa yang mengundurkan diri, siswa sakit dan siswa mengikuti kegiatan dari sekolah maka akhir penelitian hanya diikuti oleh 36 siswa. Waktu pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada semester II. Data setelah pengamatan berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari Lembar Kerja Siswa (LKS), worksheet, kuis, dan hasil tes akhir siklus, hasil observasi guru dan siswa, catatan lapangan, dan hasil wawancara siswa dan guru. Data dari Lembar Kerja Siswa (LKS), worksheet, kuis, dan hasil tes akhir siklus diamati untuk melihat letak kesalahan yang dilakukan oleh siswa sehingga saat refleksi dapat dicari metode penyelesaian yang tepat. Data kuantitatif diperoleh dari lembar kerja siswa, worksheet, kuis, dan hasil tes akhir siklus. Kesimpulan analisis data kuantitatif diperoleh dari aturan sebagai berikut: 𝑊+𝑃+𝑇 𝑁𝐴 = × 100 3 Keterangan : 𝑁𝐴 : Nilai akhir siswa 𝑊 : Skor rata-rata hasil worksheet setiap siswa 𝑃 : Skor total hasil kuis setiap siswa 𝑇 : Skor total hasil tes akhir siklus setiap siswa Apabila diperoleh hasil bahwa 70% siswa mencapai nilai di atas 75 maka dinyatakan bahwa telah memenuhi target. HASIL Penelitian dilaksanakan dengan dua siklus. Siklus I dilaksanakan dalam tiga kali pertemuan, yaitu dua pertemuan penyampaian materi dan pertemuan ketiga pelaksanaan tes akhir. Materi yang dibelajarkan pada pertemuan pertama adalah konjungsi dan disjungsi dan pertemuan kedua adalah materi implikasi dan biimplikasi. Hasil analisis siklus I menunjukkan bahwa pekerjaan worksheet I (materi disjungsi) menunjukkan bahwa hanya 18 siswa (41,9%) yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Hasil analisis pekerjaan worksheet II (materi implikasi) menunjukkan bahwa hanya 24 siswa (55,8%) yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Hasil analisa tes akhir siklus I menunjukkan bahwa lebih dari 12 siswa masih mengalami kesalahan dalam menentukan negasi. Berdasarkan kriteria ketuntasan dan kesulitan belajar yang dialami siswa, peneliti memutuskan untuk melaksanakan siklus II dengan materi negasi, disjungsi, dan implikasi. Hasil tes akhir siklus II menunjukkan bahwa 100% siswa telah tuntas karena mendapatkan nilai di atas KKM. Dengan demikian, hasil tes telah sesuai dengan kriteria bahwa 70% siswa telah mendapat nilai di atas 75. Berdasarkan pengamatan pada tes akhir siklus II diketahui bahwa kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa mengalami penurunan, yaitu 10 siswa (27,8%) mengalami kesalahan dalam menentukan negasi dan melengkapi tabel kebenaran. Skor pengamatan aktivitas guru memenuhi “baik” dan skor pengamatan aktivitas siswa memenuhi “cukup”. Berarti pelaksanaan tindakan berakhir dengan dua siklus. Persentase ketuntasan siswa mengalami peningkatan karena materi yang dilaksanakan pada siklus II merupakan materi yang telah siswa pelajari pada pertemuan sebelumnya. Sehingga tanpa bantuan media siswa telah dapat membayangkan dari pelaksanaan pembelajaran sebelumnya. PEMBAHASAN Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan langkah-langkah kegiatan penggunaan media manipulatif sedotan dan bola plastik untuk memahamkan materi logika. Langkahlangkah yang dilakukan sebagai berikut: 1. meminta siswa memeriksa kelengkapan benda yang diperlukan dalam penelitian, 2. merangkai sedotan sesuai dengan gambar yang terdapat pada LKS 956
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
3. mengamati perubahan yang terjadi pada bola dengan cara meniup salah satu ujung sedotan yang tidak tertutup bola. Temuan penelitian selama pelaksanaan siklus I dan siklus II adalah sebagai berikut: 1. Siswa merasa bosan dengan anggota kelompok yang sama antara pertemuan pertama dan pertemuan kedua sehingga pada pertemuan kedua siswa kurang antusias dengan anggota kelompoknya. 2. Pertemuan pertama memerlukan waktu lebih lama sehingga mempengaruhi pelaksanaan pada langkah berikutnya. Pada pertemuan pertama siswa perlu adaptasi dengan metode learning by discovery dan media manipulatif sedotan dan bola plastik. Dalam pertemuan pertama pelaksanaan diskusi kelompok siswa sering bermain-main dengan alat peraga sehingga tidak fokus mengerjakan LKS. 3. Siswa sering bertanya ketika melengkapi LKS I dan LKS II karena siswa tidak menyelesaikan LKS I dan LKS II secara berurutan. Siswa hanya membaca bagian yang harus dilengkapi. 4. Keberanian siswa ketika melaksanakan presentasi kurang dan peserta presentasi kurang fokus pada jalannya presentasi. 5. Dalam pelaksanaan tes akhir siklus, masih ada siswa yang bertanya tentang maksud soal. 6. Respon siswa berdasarkan hasil pengamatan peneliti dan hasil wawancara dengan siswa diketahui bahwa siswa merasa senang saat pembelajaran. Siswa merasa senang karena cara pembelajaran merupakan kegiatan baru dan siswa dapat langsung memanipulasi benda. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya penelitian yang dilakukan pada siswa X Teknik Gambar Bangunan (TGB) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Sore Tulungagung dengan materi logika diperoleh kesimpulan tentang langkah-langkah penerapan media manipulatif sedotan dan bola plastik untuk memahamkan materi logika menggunakan metode learning by discovery dengan lima tahapan, yaitu tahap simulation, tahap problem statement, tahap data collection, tahap data processing, dan tahap generalization Hasil penelitian dilakukan sebanyak dua siklus menunjukkan bahwa penggunaan media manipulatif sedotan dan bola plastik dengan metode learning by discovery dapat memahamkan siswa terhadap materi logika khususnya kalimat majemuk konjungsi, disjungsi, implikasi, dan biimplikasi. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan media manipulatif sedotan dan bola plastik dengan metode learning by discovery diberikan saran-saran yaitu, (1) sebaiknya waktu percobaan untuk pertemuan pertama dirancang lebih lama dari pada pertemuan berikutnya. (2) Pembagian kelompok sebaiknya dilakukan perubahan setiap pertemuan. (3) Pelaksanaan diskusi kelompok yang menggunakan alat peraga, guru perlu bersikap tegas dalam mengatur jalannya diskusi. (4) Sebelum pelaksanaan presentasi, guru perlu menyampaikan kepada siswa bagianbagian yang harus dipresentasikan dan bagian-bagian yang perlu ditulis pada papan tulis. (5) Sebelum pelaksanaan tes akhir siklus sebaiknya guru memberikan penjelasan tentang petunjuk penyelesaian soal dan maksud dari setiap soal dan mengupayakan semua siswa memperhatikan penjelasan yang diberikan. (6) Siswa merasa senang ketika pembelajaran sehingga sebaiknya pembelajaran menggunakan media lebih sering dilaksanakan. (7) Guru yang berminat menggunakan alat peraga sedotan perlu menyediakan beberapa jenis sedotan dengan diameter berbeda. DAFTAR RUJUKAN Arsyad, A. 2010. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers. Balım, A. G. 2009. The Effects of Discovery Learning on Students’ Success and Inquiry Learning Skills. Eurasian Journal of Educational Research, Issue 35, 1-20. Bell, F. H. 1981.Teaching and Learning Mathematics (in Secondary School). University of Pittsburgh. Black, J. W. 2008. Content Knowledge and Pedagogical Content Knowledge of Algebra Teachers and Changes in Both Types of Knowledge as a Result of Professional Development. University of West Georgia. Proceedings of the 5th Annual TEAM-Math Partnership Conference Pre-Session pp. 30 – 40. Budiningsih, C. A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Ardi Mahasatya.
957
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Cipta, D. A. S. 2012. Penggunaan Gelas, Sedotan, dan Permainan Simonan Untuk Memahamkan Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat Pada Siswa Kelas IV SDN Sokaan I Kabupaten Probolinggo. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Dewi, P. A. 2013. Penggunaan Pita Melalui Pembelajaran Missouri Mathematics Project Untuk Memahamkan Siswa Tentang Luas Permukaan Bola. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Djamarah & Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Gerlach & Ely. 1980. Teaching and Media A Systematic Approach. New Jersey. Prentice Hall Inc. Hariyono, S. 2010. Metode Pembelajaran Penemuan (Learning by Discovery) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas XI IPA – 1 MAN Gondanglegi Tahun Pelajaran 2009/2010 Materi Limit Fungsi Trigonometri. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Hudojo, H. 1988. Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional. Heinich, Molenda, & Russell. 1985. Introductional Media and The New Technologies of Instructional. New York. John Willey & Sons Inc Latief, M. A. 2010. Tanya Jawab Metode Penelitian Pembelajaran Bahasa. Malang: Penerbit Universias Negeri Malang (UM Press). Latuheru, J. D. 1988. Media Pembelajaran Dalam Proses Belajar-Mengajar Masa Kini. Jakarta: PPLPTK Dirjen Dikti. Maciejewski, Mgombelo, dan Savard. 2011. Meaningful Procedural Knowledge In Mathematics Learning (Working Group Report). Queen‟s University, Brock University, McGill University. Moleong, L. J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Prayitno, A. 2011. Pembelajaran Discovery Untuk Mengetahui Kemampuan Memecahkan Masalah Geometri Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Batu. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Prasad, K. S. 2011. Learning Mathematics by Discovery. Department of Mathematics. Academic Voices A Multidisciplinary Journal. Volume 1, No. 1, pp 31-33. Purwanto. 2012. Argumen Valid. Yogyakarta. Aditya Media Publishing. Sadiman, S. A., Rahardjo, R., Haryono, A., & Rahardjito. 2003. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional. Sudjana, N. 2009. Penilaian Hasil Proses Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sudjana & Rivai. 2010. Media Pengajaran (Penggunaan dan Pembuatannya). Bandung: Sinar Baru. Suherman, dkk. 2003. Stategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Sund & Trowbridge. 1973. Teaching Science by Inquiry in The Secondary School. Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company, A Bell & Howell Company. Swaak, J., Jong, T. de, & Van Joolingenz, W. R. 2004. The effects of discovery learning and expository instruction on the acquisition of definitional and intuitive knowledge. Blackwell Publishing Ltd. Journal of Computer Assisted Learning 20, pp225–234. Syarifah, M. 2013. Pembelajaran Berbantuan Media Saku Gantung dan Sedotan Untuk Memahamkan Teknik Menyimpan dan Meminjam Dalam Operasi Bilangan Cacah Pada Siswa Kelas II SD. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Tim Pustaka Widyatama. 2009. EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) Lengkap. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Veermans, K. H., Van Joolingen, W. R., & Jong, T. de. 2006. Use of Heuristics to Facilitate Scientific Discovery Learning in a Simulation Learning Environment in a Physics Domain. International Journal of Science Education, 28, 341-361.
958
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENGGUNAAN BUNGKUS MINUMAN DALAM PEMBELAJARAN INVESTIGASI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR ALJABAR SISWA KELAS X MA ALHAYATUL ISLAMIYAH KEDUNGKANDANG MALANG Luluk Mufidah Abstrak: Masalah utama yang mendasari penelitian ini adalah bagaimana cara meningkatkan hasil belajar Aljabar dengan menggunakan bungkus minuman sebagai media pembelajaran dan penerapan pembelajaran investigasi sebagai metode pembelajaran. Pembelajaran investigasi yang diterapkan dalam penelitian ini menggunakan teknik 7 M yaitu mengamati (M1), menanyakan (M2), mengeksplorasi (M3), mengasosiasi (M4), menduga (M5), menyimpulkan (M6) dan mengkonfirmasi (M7). Masalah yang ditemui dilapangan yaitu pelaksanaan pembelajaran matematika yang diterapkan dikelas bersifat teacher centre (berpusat pada guru) sehingga kemampuan bernalar siswa kurang berkembang dan hasil belajar aljabar siswa tidak maksimal. Penelitian ini dilakukan terhadap 30 siswa kelas X MA Alhayatul Islamiyah Kedungkandang Malang. Penelitian tindakan kelas (PTK) dengan menggunakan bungkus minuman dalam pembelajaran investigasi merupakan solusi untuk meningkatkan hasil belajar Aljabar siswa kelas X MA Alhayatul Islamiyah Kedungkandang Malang. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penggunaan bungkus minuman dalam pembelajaran investigasi dapat meningkatkan hasil belajar Aljabar yaitu dari nilai rata-rata kelas pada tes awal 56,4 meningkat menjadi 83,1. Hal ini berarti terjadi peningkatan hasil belajar Aljabar sebanyak 26,7%. Ditinjau dari segi ketuntasan belajar, penggunaan bungkus minuman dalam pembelajaran investigasi dapat meningkatkan ketuntasan belajar Aljabar yaitu dari 2 siswa yang memenuhi kategori tuntas pada tes awal menjadi 30 siswa yang memenuhi kategori tuntas pada tes ahir. Hal ini berarti terjadi peningkatan ketuntasan belajar sebanyak 93,3 %. Kata kunci: bungkus minuman, pembelajaran investigasi, hasil belajar
Matematika adalah ilmu yang mempelajari tentang perhitungan. Matematika merupakan ilmu yang mempelajari tentang konsep dan hubungan-hubungan yang banyak menggunakan simbol-simbol. Hamzah (2011:130) mengatakan bahwa simbol-simbol matematika sangat bermanfaat untuk mempermudah cara kerja berpikir, karena simbol-simbol ini dapat digunakan untuk mengkomunikasikan ide-ide dengan jalan memahami karakteristik matematika. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib disekolah dasar dan menengah, baik menengah pertama maupun menengah atas. Pada sekolah dasar, pelajaran metematika memuat materi bilangan, geometri dan pengukuran, serta pengolahan data. Pada sekolah menengah pertama, matematika memuat materi bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran, serta statistika dan peluang. Pada sekolah menengah atas, matematika memuat materi logika, aljabar, geometri, trigonometri, kalkulus, statistika dan peluang. (BSNP. 2006). Terkait dengan pentingnya matematika dalam dunia pendidikan maka pendidikan matematika setiap jenjang perlu mendapatkan perhatian utama dari pemerintah. Jenjang pendidikan matematika meliputi jenjang pendidikan dasar (SD/MI sederajat), jenjang pendidikan menengah pertama (SMP/MTs sederajat), jenjang pendidikan menengah atas (SMA/MA sederajat), jenjang pendidikan tinggi (PT, Akademi, Institut, universitas). Dalam Permendiknas (2006: 3) dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kapada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan matematika terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan matematika. Hasbullah (2009: 1) menyatakan bahwa Pendidikan adalah usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan
959
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain faktor tujuan, faktor pendidik, faktor anak didik, faktor alat pendidikan dan faktor lingkungan. Pendidikan matematika adalah pendidikan yang membiasakan siswa untuk bersikap matematis sehingga mempunyai keterampilan dalam bidang matematika. Pendidikan matematika mencakup pendidikan yang terkait dengan pembelajaran matematika disekolah pada semua jenjang pendidikan, baik pada jenjang sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Pendidikan matematika merupakan usaha yang dengan sengaja diadakan untuk membantu siswa dalam meraih kemampuan dan keterampilan yang terkait dengan matematika. Dalam pendidikan matematika perlu disiapkan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan matematika antara lain media pembelajaran dan metode pembelajaran. Salah satu metode pembelajaran yang dapat diterapkan adalah metode pembelajaran investigasi. Bungkus Minuman Pelaksanaan kegiatan pembelajaran perlu dibantu dengan adanya alat bantu pembelajaran. Alat bantu pembelajaran ini biasanya disebut dengan media pembelajaran. Dalam referensi lain ada pula yang menyebutkannya sebagai media pengajaran. Pupuh (2011: 65) mendefinisikan media sebagai sesuatu yang dapat membawa informasi dan pengetahuan dalam interaksi yang berlangsung antara pendidik dengan peserta didik serta berfungsi untuk mewakili kekurangan guru dalam mengkomunikasikan materi pelajaran. Fungsi penggunaan media dalam proses pembelajaran antara lain: 1. Menarik perhatian siswa 2. Membantu untuk mempercepat pemahaman siswa 3. Memperjelas penyajian pesan 4. Mengatasi keterbatasan ruang 5. Pembelajaran lebih komunikatif dan produktif 6. Waktu pembelajaran dapat dikondisikan 7. Menghilangkan kebosanan siswa dalam belajar 8. Meningkatkan motivasi dan gairah belajar siswa 9. Melayani gaya belajar siswa yang beraneka ragam 10. Meningkatkan keaktifan/keterlibatan siswa dalam belajar Media pembelajaran berasal dari kata media dan pembelajaran. Media berasal dari kata medius (bahasa latin) yang berarti tengah, perantara atau pengantar. Dalam bahasa Arab, media berasal dari kata wasail yang artinya pengantar pesan dari pengirim kepada penerima. Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses yang dilakukan dalam kegiatan belajar dan media pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu perantara baik berupa manusia, benda atau suatu kejadian tertentu yang dapat digunakan sebagai perantara dalam kegiatan pembelajaran untuk menyampaikan pesan pembelajaran dari pembelajar kepada pebelajar. Nana (2010: 1) mengatakan bahwa dalam metodologi pengajaran ada dua aspek yang paling menonjol yakni metode pengajaran dan media pengajaran sebagai alat bantu mengajar. Media pembelajaran perlu dirancang dan dikembangkan sebagai lingkungan pembelajaran yang interaktif yang dapat menjawab dan memenuhi kebutuhan belajar yang efektif dan tepat guna. Azhar (2009: 81) mengatakan bahwa media pembelajaran harus disiapkan untuk memenuhi kebutuhan belajar dan kemampuan siswa, serta siswa dapat aktif berpartisipasi dalam proses belajar mengajar. Penggunaan media pembelajaran dapat menarik perhatian siswa sehingga siswa akan lebih bersemangat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan tercapainya tujuan pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan siswa untuk menerima pesan pembelajaran. Selain bermanfaat untuk menarik perhatian siswa, media pembelajaran bermanfaat pula untuk memudahkan siswa dalam memahami bahan pengajaran sehingga dapat meningkatkan penguasaan siswa terhadap tujuan pembelajaran. Manfaat lainnya adalah penggunaan media pembelajaran dapat menjadikan metode pembelajaran lebih bervariasi sehingga siswa tidak merasa bosan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Selain itu, media pembelajaran dapat menjadikan siswa lebih banyak beraktivitas dalam kegiatan pembelajaran misalnya aktivitas mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain sebagainya sehingga siswa tidak hanya mendengarkan uraian guru. 960
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Semakin banyak panca indra yang dilibatkan dalam mengasosiasi (menalar) media yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran maka kesan pembelajaran yang dirasakan oleh siswa semakin utuh dan bermakna. Media pembelajaran yang melibatkan lima panca indra (penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan peraba) akan memberikan kesan pembelajaran yang lebih mendalam dan tahan lama dibandingkan dengan media pembelajaran yang hanya melibatkan satu panca indra (misalnya pendengaran) saja. Ibrahim (2010: 120) menguraikan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media, antara lain: 1. Jenis kemampuan yang akan dicapai 2. Kegunaan dari berbagai jenis media itu sendiri 3. Kemampuan guru menggunakan suatu jenis media. 4. Fleksibilitas (keluwesan) dalam penggunaannya 5. Kesesuaian dengan alokasi waktu dan sarana pendukung yang ada 6. Ketersediaannya (mudah atau sulitnya pengadaan media) 7. Biaya yang diperlukan dalam pengadaan media Mengingat betapa pentingnya media pembelajaran digunakan dalam kegiatan belajar, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan bungkus minuman sebagai media pembelajaran terkait dengan materi Aljabar. Bungkus minuman dipilih karena bungkus minuman merupakan salah satu yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini bungkus minuman yang digunakan antara lain adalah bungkus minuman yang berkapasitas 100 ml (misalnya bungkus minuman Clevo Fruity), 125 ml (misalnya bungkus minuman Indomilk Kids Vanila) , 250 ml (misalnya bungkus minuman teh botol Less Sugar), 330 ml (misalnya bungkus minuman teh botol Sosro), 500 ml (misalnya bungkus minuman teh Kotak), seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut: No 1
Gambar Bungkus Minuman
Kapasitas
30 sashet
2 25 sashet
3 25 sashet
4 25 sashet
5 20 sashet
6 5 + 1 = 6 sashet
961
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
7 5 sashet
8 5 sashet
Gambar 1. Bungkus minuman dengan satuan sashet No 1
Gambar Bungkus Minuman
Kapasitas
No 7
60 gram
2
Gambar Bungkus Minuman
Kapasitas
28 gram
8
31 gram
3
28 gram
9
31 gram
4
28 gram
10
30 gram
5
28 gram
11
28 gram
21 gram
6
28 gram
962
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 2. Bungkus minuman dengan satuan gram No 1
Gambar Bungkus Minuman
Kapasitas 100 ml
No 6
Gambar Bungkus Minuman
Kapasitas 300 ml
2
110 ml
7
330 ml
3
125 ml
8
500 ml
4
200 ml
9
1000 ml
5
250 ml
Kumpulan beberapa bungkus minuman
Gambar 3. Bungkus minuman berbentuk alumunium pack dengan satuan mililiter dan liter
No 1
Gambar Bungkus Minuman Frisian Flag Coklat
Kapasitas
No 11
800 ml
963
Gambar Bungkus Minuman Purence
Kapasitas 389 ml
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2
Aqua
500 ml, 1 1 L
12
Kopiko 78 0 C
250 ml
500 ml, 1 1 L
13
Good Day
250 ml
14
Cimory
2
3
Club
2
4
Pocari Sweat
1 2
5
Sprite
1 2
250 ml
L, 1L
15
Fit Active
330 ml
16
Mogu-Mogu
320 ml
L, 1L
6 535 ml
7
My Tea Suntory
450 ml
17
Naraya
320 ml
8
Powerade
500 ml
18
Nu Milk Tea
330 ml
9
Aquarius
500 ml
19
Gresh Strobery
200 ml
10
Teh Pucuk Harum
350 ml
20
Kumpulan beberapa bungkus minuman
Gambar 4. Bungkus minuman berbentuk botol dengan satuan mililiter dan liter
Pembelajaran Investigasi Pembelajaran investigasi adalah suatu kegiatan pembelajaran yang didalamnya mengakomodasikan kegiatan siswa untuk melakukan kegiatan mengamati, menanyakan, mengeksplorasi, mengasosiasi, menduga, menyimpulkan dan mengkonfirmasi. Pembelajaran investigasi merupakan pembelajaran yang menitik beratkan pada kegiatan siswa baik yang dilakukan secara individual maupun secara kelompok. Secara individual siswa dapat mengasah kemampuan diri dalam memahami suatu materi, sedangkan secara kelompok siswa dapat mengasah kemampuan diri dalam hal toleransi, saling memberi dan menerima. Soetjipto (2009: 68) mengatakan bahwa dalam proses belajar dikelas, siswa juga harus mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan kelompok. Kehidupan kelompok perlu adanya toleransi/tenggang rasa, saling memberi dan menerima (take and give) serta tidak mau menang sendiri dalam mengambil keputusan. Peran guru dalam pembelajaran investigasi adalah sebagai fasilitator pembelajaran. Guru tidak menjadi satu-satunya sumber belajar melainkan hanya sebagai salah satu sumber belajar. Pembelajaran investigasi menggunakan multi sumber sehingga sumber belajar apapun yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran bisa digunakan dalam kegiatan pembelajaran. 964
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Peran guru selain sebagai fasilitator adalah sebagai pendidik, model, pengajar dan pembimbing, pelajar, komunikator terhadap masyarakat, administrator dan setiawan lembaga. Sebagai pendidik, guru harus memberikan bantuan dan dorongan agar siswa menjadi anak yang disiplin dan patuh pada aturan sekolah, keluarga dan masyarakat. Sebagai model, guru harus menunjukkan tingkah laku yang baik dan sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat. Sebagai pengajar dan pembimbing, guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang berharga bagi masa depan siswa. Sebagai pelajar, guru harus selalu menambah pengetahuan dan keterampilannya agar tidak ketinggalan zaman. Sebagai komunikator terhadap masyarakat, guru harus berperan aktif dalam segala bidang pembangunan. Sebagai administrator, guru harus bekerja secara administrasi dengan teratur. Sebagai setiawan lembaga, guru harus aktif dalam pertemuan resmi dan insidental. (Ahmadi. 2012: 142) Pembelajaran investigasi menjadikan siswa belajar aktif karena pembelajaran investigasi ini mengaktifkan kegiatan dengar, lihat dan kerjakan. Pembelajaran yang mengaktifkan kegiatan dengar, lihat dan kerjakan ini dapat menjadikan siswa menguasai materi yang dipelajari. Sebagaimana yang disebut oleh Melvin (2010: 23) sebagai “Paham Belajar Aktif” berikut: “Yang saya dengar, saya lupa Yang saya dengar dan lihat, saya sedikit ingat Yang saya dengar, lihat dan pertanyakan atau diskusikan dengan orang lain, saya mulai pahami Dari yang saya dengar, lihat, bahas, dan terapkan, saya dapatkan pengetahuan dan keterampilan Yang saya ajarkan pada orang lain saya kuasai.”
Pembelajaran investigasi mendorong siswa belajar lebih aktif dan lebih bermakna. Siswa dituntut untuk selalu berfikir tentang suatu persoalan dan mencari sendiri cara penyelesaiannya sehingga mereka terlatih untuk terampil menggunakan pengetahuannya sehingga pengalaman belajarnya akan tertanam untuk jangka waktu yang lama. Keaktifan dan keterampilan siswa dalam berfikir tentang suatu persoalan sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya tujuan pembelajaran yang ingin dicapai adalah kemampuan siswa untuk menentukan besar laba atau rugi, maka sumber belajar yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran tersebut antara lain pedagang, penjual, pembeli, SPG dan lain sebagainya. Pembelajaran investigasinya antara lain berupa kegiatan siswa langsung kepasar atau swalayan, mendatangkan pedagang atau pelayan swalayan ke kelas dan diwawancarai oleh siswa , dengan membuat pasar mini dikelas sehingga siswa dapat melakukan aktivitas jual beli secara langsung di kelas kemudian menentukan besarnya laba yang diperoleh atau besarnya kerugian yang dialami. Pembelajaran investigasi merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memusatkan perhatiannya terhadap materi yang sedang dipelajari. Sanjaya (2011:47), mengatakan bahwa teknik yang dapat digunakan untuk mempertahankan perhatian siswa adalah dengan memusatkan perhatian siswa secara terusmenerus. Pemusatan perhatian dapat dilakukan dengan cara: 1. Memberikan ilustrasi-ilustrasi secara visual, misalnya dengan mengalihkan pandangan dari satu kegiatan pada kegiatan lain tanpa memutuskan kontak pandang baik terhadap kelompok maupun terhadap individu siswa. 2. Memberikan komentar secara verbal melalui kalimat-kalimat yang segar tanpa keluar dari konteks materi pelajaran yang sedang dibahas. Pembelajaran investigasi senada dengan kurikulum yang sedang gencar disosialisasikan saat ini yaitu kurikulum 2013, yang mana dalam kurikulum 2013 pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran adalah kegiatan pendekatan saintifik, yaitu kegiatan pembelajaran yang menerapkan 5 M yang meliputi mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan. (Suti‟ah, 2013). Materi Ajabar Materi aljabar yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas ini oleh peneliti disesuaikan dengan materi aljabar pada jenjang pendidikan sekolah menengah atas (SMA/MA)
965
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kelas X. Berdasarkan kurikulum yang digunakan, materi aljabar kelas X memuat standar kompetensi (SK) “Memecahkan masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linier dan pertidaksamaan satu variabel”. Kompetensi dasar yang terdapat dalam kurikulum tersebut adalah: 1. Menyelesaikan sistem persamaan linier dan sistem persamaan campuran linier dan kuadrat dalam dua variabel 2. Merancang model matematika dari masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linier 3. Menyelasaikan model matematika dari masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linier dan penafsirannya 4. Menyelesaikan pertidaksamaan satu variabel yang melibatkan bentuk pecahan aljabar 5. Merancang model matematika dari masalah yang berkaitan dengan pertidaksamaan satu variabel 6. Menyelesaikan model matematika dari masalah yang berkaitan dengan pertidaksamaan satu variabel Kompetensi dasar yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada kompetensi satu sampai dengan kompetensi tiga dengan materi Aljabar, sub materi persamaan linier dua variabel (PLDV) dan sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV) dengan menekankan pada tiga tujuan pembelajaran yaitu, konsep PLDV dan SPLDV, menentukan selesaian SPLDV dengan menggunakan metode grafik, eliminasi, subtitusi dan distribusi, serta membuat model matematika dari kehidupan sehari-hari dalam bentuk PLDV dan SPLDV. Hal ini sesuai dengan silabus yang digunakan oleh guru matematika kelas X MA Alhayatul Islamiyah Kedungkandang Malang berikut: Tabel 1. Silabus matematika kelas X MA Alhayatul Islamiyah Kedungkandang Malang STANDAR KOMPETENSI: 1. Memecahkan masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dan pertidaksamaan satu variabel Kompeten si Dasar
Materi Pokok
3.1 Menyelesai *Sistem kan sistem Persamaan persamaan dan linear dan Pertidaksa sistem maan persamaan *Sistem campuran Persamaan linear dan Linier Dua kuadrat variabel dalam dua *Sistem variabel. Persamaan Linier Tiga variabel
Kegiatan Pembelajaran *Mengidentifikasi langkah-langkah penyelesaian sistem persamaan linier dua variabel. *Menggunakan sistem persamaan linear dua variabel untuk menyelesaikan soal. *Mengidentifikasi langkah-langkah penyelesaian sistem persamaan linier tiga variabel *Menggunakan sistem persamaan linear tiga variabel untuk menyelesaikan soal. *Mengidentifikasi langkah-langkah penyelesaian sistem persamaan campuran linear dan kuadrat dalam dua variabel *Menggunakan sistem persamaan Menggunakan sistem persamaan linear tiga variabel untuk menyelesaikan soal
Indikator Menentukan penyelesaian sistem persamaan linear dua variabel
Menentukan penyelesaian sistem persamaan linear tiga variabel
Menentukan penyelesaian sistem persamaan campuran linear dan kuadrat dalam dua variabel
966
Penilaian Jenis: Kuiz Tugas Individu Tugas Kelompok Ulangan
Bentuk Instrumen: Tes Tertulis PG Tes Tertulis Uraian
Waktu 2 x 45‟
Sumber Belajar Sumber: Buku Paket Buku referensi lain Alat *): Laptop LCD OHP
4 x 45‟
4 x 45‟
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
STANDAR KOMPETENSI: 1. Memecahkan masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dan pertidaksamaan satu variabel Kompeten si Dasar 3.2
3.3
3.4
Materi Pokok
Kegiatan Pembelajaran
Indikator
Merancang *Penerapan *Mengidentifikasi Mengidentifi model Sistem masalah sehari-hari ka matematika dari Persamaan yang berhubungan si masalah masalah yang Linier Dua dengan sistem yang berkaitan dan Tiga persamaan linier berhubungan dengan sistem variabel *Merumuskan model dengan persamaan matematika dari suatu sistem linear masalah dalam persamaan matematika, mata linear pelajaran lain atau kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan sistem persamaan linier Menyelesaikan *Menyelesaikan model *Membuat model matematika dari suatu model matematika dari masalah dalam matematika masalah yang matematika, mata yang berkaitan pelajaran lain atau berhubungan dengan sistem kehidupan sehari-hari dengan persamaan yang berhubungan sistem linear dan dengan sistem persamaan penafsiran persamaan linier linear Nya *Menafsirkan *Menentukan penyelesaian masalah penyelesaian dalam matematika, model mata pelajaran lain matematika atau kehidupan sehari- dari masalah hari yang yang yang berhubungan dengan berhubungan sistem persamaan dengan linier sistem persamaan linear *Menafsirkan hasil penyelesaian masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linear
Penilaian
Waktu
Sumber Belajar
2 x 45‟
Persamaan linier dua variabel biasanya disingkat PLDV dan sistem persamaan linier dua variabel biasanya disingkat SPLDV. Persamaan linier dua variabel (PLDV) adalah suatu persamaan yang memuat dua peubah atau variabel yang mana peubah tersebut dapat diganti dengan bilangan-bilangan tertentu. Sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV) adalah beberapa persamaan linier (lebih dari satu persamaan) yang mana dari persamaan-persamaan tersebut setelah dioperasikan dapat ditentukan nilai-nilai variabelnya. Pada umumnya persamaan linier dua variabel ditulis dalam bentuk: ax + by + c = 0 dengan a sebagai koefisien dari x, b sebagai koefisien dari y, dan c sebagai konstanta, dengan syarat a dan b tidak boleh nol. Sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV) biasanya ditulis dalam bentuk: ax1 + by1 + c1 = 0 atau ax1 + by1 + c1 = 0 ax2 + by2 + c2 = 0 ax2 + by2 + c2 = 0 ax3 + by3 + c3 = 0 dengan a1, b1, c1, a2, b 2, c 2, a 3, b 3, c 3 𝜖 R dan a1, b1, b 2, c 2, a 3, b 3 ≠ 0 Variabel adalah lambang yang mewakili sebarang unsur dalam semesta pembicaraan. Variabel biasanya dituliskan dengan huruf kecil, misalnya : x, y, a, b, ….
967
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Konstanta adalah banyaknya lambang yang mewakili unsur tertentu dalam semesta pembicaraan. Konstanta biasanya dituliskan dengan angka: 1, 2, 3, … (dan seterusnya) Persamaan linier dua variabel adalah suatu keadaan yang memiliki dua lambang berbeda dan masing-masing lambangnya berpangkat satu. Suatu persamaan dilambangkan dengan nilai sama dengan (=). Menentukan selesaian dari sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV) dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode antara lain metode grafik, metode eliminasi, metode subtitusi dan metode distribusi. Metode grafik adalam metode penentuan selesaian sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV) dengan cara mencari perpotongan dari dua garis atau lebih yang mana masing-masing garis mewakili suatu persamaan. Metode eliminasi adalah metode penentuan selesaian sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV) dengan cara menghilangkan salah satu variabel untuk mencari nilai dari variabel yang lain. Mengeliminasi atau menghilangkan variabel dapat dilakukan jika koefisien dari variabel tersebut mempunyai nilai yang sama pada masing-masing persamaan. Metode subtitusi adalah metode penentuan selesaian sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV) dengan cara mensubtitusikan atau memasukkan nilai dari salah satu variabel kedalam variabel yang lain. Metode distribusi adalah metode penentuan selesaian sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV) dengan cara mengkombinasikan antara metode eliminasi dengan metode subtitusi. METODE Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan secara jelas pembelajaran pada materi Aljabar, terutama sub materi persamaan linier dua variabel (PLDV) dan sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV) dengan tujuan pembelajaran konsep persamaan linier dua variabel (PLDV) dan sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV), menentukan selesaian sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV) dengan menggunakan metode grafik, eliminasi, subtitusi dan distribusi, serta membuat model matematika dari keidupan sehari-hari dalam bentuk persamaan linier dua variabel (PLDV) dan sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV) melalui peran siswa kelas X MA Alhayatul Islamiyah Kedungkandang Malang. Penelitian dilakukan dalam setting kelas reguler. Pendekatan penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang menjelaskan prosedur pembelajaran materi Aljabar dengan sub materi persamaan linier dua variabel (PLDV) dan sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV). Analisis data dilakukan secara induktif. Peneliti bertindak sebagai instrumen kunci karena peneliti yang akan melaksanakan, merancang, mengumpulkan data, menganalisis data, menarik kesimpulan, dan membuat laporan. Dalam penelitian ini, peneliti lebih mengutamakan bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan daripada hasil belajarnya. Desain penelitian dapat disempurnakan selama penelitian berlangsung sesuai dengan kenyataan dilapangan. Dengan melihat karakteristik penelitian ini, maka pendekatan yang sesuai dengan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Moleong dalam Suharsimi (2010: 21) mengatakan bahwa pendekatan kualitatif mempunyai ciri-ciri (1) latar alamiah, (2) manusia sebagai alat atau instrumen, (3) metode kualitatif, (4) analisis data secara induktif, (5) deskriptif, (6) lebih mementingkan proses daripada hasil, (7) desain yang bersifat sementara, dan (8) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. Selain menggunakan analisis kualitatif, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kuantitatif yang sifatnya melengkapi. Data kuantitatif ini diperlukan untuk mengetahui apakah peran siswa dalam wacana yang telah digunakan dalam pembelajaran dapat membantu membangun pemahaman siswa terhadap konsep persamaan linier dua variabel (PLDV) dan sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV). Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini merupakan penelitian tindakan. Penelitian tindakan adalah penelitian yang dilakukan dengan melakukan tindakan tertentu untuk mencapai tujuan penelitian. Penelitian tindakan dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada secara praktis . Beberapa pendapat tentang penelitian tindakan antara lain didefinisikan oleh French dan Bell dalam Masykuri (2009: 96) sebagai berikut: “Pengumpulan data penelitian yang dilakukan secara sistematis tentang suatu sistem yang sedang berjalan yang berhubungan dengan beberapa sasaran, tujuan atau kebutuhan sistem
968
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
serta melakukan tindakan dengan mengubah variabel yang dipilih dalam sistem tersebut berdasarkan data dan menilai hasil tindakan dengan mengumpulkan banyak data.”
Berdasarkan definisi di atas diketahui bahwa dalam melakukan penelitian tindakan harus dilakukan dengan sistematis. Tindakan yang dilakukan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Oleh karena itu tindakan yang dilakukan dalan penelitian tindakan bersifat situasional dan kondisional. Hamid (2011: 248) menjelaskan bahwa penelitian tindakan berkembang sesuai dengan sasaran dan keadaan tempat yang menjadi obyek penelitian. Beberapa model penelitian tindakan antara lain model Kemmis, model Ebbut, model Elliot dan model Mc Kernan. Model Kemmis dikembangkan oleh Stephen Kemmis dan Robin Me Taggart tahun 1988 yang meliputi empat komponen penelitian tindakan yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Model Ebbut dikembangkan oleh Ebbut. Model ini terdiri dari tiga tingkatan yaitu ide awal (identifikasi pasalah, tujuan dan manfaat), langkah tindakan dan monitoring efek tindakan. Model Elliot dikembangkan oleh Elliot dan Edelman. Model ini terdiri dari lima komponen penelitian tindakan yaitu ide utama, peninjauan, perencanaan, tindakan dan monitor. Model Mc Kernan dikembangkan oleh Mc Kernan. Model ini meliputi tujuh komponen penelitian tindakan yaitu identifikasi masalah, penilaian kebutuhan, hipotesis ide, tindakan, implikasi tindakan, evaluasi tindakan dan hasil. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian tindakan kelas (PTK). Tindakan yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini berupa tindakan memperbaiki kualitas proses pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran tertentu dan menggunakan soal-soal yang berkaitan dengan masalah sehari-hari. Hal ini sesuai pendapat yang dikemukakan oleh Arikunto (2002:2) bahwa bila penelitian tindakan yang berkaitan dengan bidang pendidikan dan dilaksanakan dalam kawasan suatu kelas, maka penelitian ini dinamakan penelitian tindakan kelas. Jenis penelitin tindakan kelas (PTK) dipilih karena permasalahan yang diteliti berawal dari permasalahan yang terjadi di kelas. Selain itu peneliti terlibat secara langsung dalam kegiatan pembelajaran dan sudah merupakan tugas peneliti sebagai pendidik yang harus selalu berusaha meningkatkan mutu pendidikan. Elliott dalam Wiriaatmadja (2006:12) menjelaskan bahwa penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan kajian tentang situasi sosial dan pandangan untuk meningkatkan mutu tindakan yang ada di dalamnya. Trisno (1998) mendefinisikan bahwa penelitian tindakan kelas (PTK) adalah suatu kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan rasional dari tindakan-tindakan yang dilakukannya itu, serta untuk memperbaiki kondisi-kondisi dimana tindakan itu dilakukan. Pengertian penelitian tindakan kelas (PTK) yang dinyatakan oleh Soedarsono (2001:2) adalah suatu proses dimana melalui proses ini dosen dan mahasiswa menginginkan terjadinya perbaikan, peningkatan dan perubahan pembelajaran yang lebih baik agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Definisi lain tentang penelitian tindakan kelas (PTK) dijabarkan oleh Suyanto (2002:2) sebagai penelitian praktis yang dimaksudkan untuk memperbaiki pembelajaran dikelas. Upaya perbaikan ini dilakukan dengan cara melakukan tindakan untuk mencari jawaban atas permasalahan yang diangkat dari kegiatan tugas guru sehari-hari di kelasnya. Permasalahan itu merupakan permasalahan faktual yang benar-benar dihadapi dilapangan, bukan permasalahan yang dicari-cari atau rekayasa. Penelitian tindakan kelas (PTK) selain dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh guru terkait dengan tugasnya sehari-hari di kelas, dapat juga dilakukan untuk meningkatkan kualitas profesional guru sebagai tenaga pendidik. Ruang lingkup dari penelitian tindakan kelas (PTK) adalah masalah yang dihadapi oleh guru atau siswa secara umum, bukan masalah individu per individu siswa misalnya permasalahan yang terkait dengan problem belajar siswa di sekolah, strategi pembelajaran di kelas, media pembelajaran, sistem penilaian, pengembangan pribadi atau sikap siswa, masalah kurikulum dan lain sebagainya. Penelitian tindakan kelas dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan guru dan siswa secara umum, bukan masalah yang dihadapi oleh guru dan siswa secara
969
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pribadi. Penelitian tindakan kelas antara lain digunakan untuk memperbaiki masalah belajar siswa di sekolah, desain dan strategi pembelajarran di kelas, efektifitas penggunaan media pembelajaran, dan lain sebagainya. Hasil dari penelitian tindakan kelas antara lain berupa: 1. Peningkatan atau perbaikan terhadap belajar siswa di sekolah 2. Peningkatan atau perbaikan terhadap kualitas proses pembelajaran 3. Peningkatan atau perbaikan terhadap kualitas penggunaan media pembelajaran 4. Peningkatan atau perbaikan terhadap kualitas prosedur dan alat evaluasi untuk mengukur proses dan hasil pembelajaran 5. Peningkatan atau perbaikan terhadap masalah-masalah pendidikan anak di sekolah 6. Peningkatan atau perbaikan terhadap kualitas penerapan kurikulum dan pengembangan potensi siswa di sekolah. Tim Dosen PLPG (2011: 271) membedakan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan penelitian formal lainnya ditinjau dari segi karakteristiknyasebagai berikut: Tabel 2. Perbedaan PTK dengan penelitian formal lain Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Penelitian Formal Lainnya Dilakukan guru/dosen yang terkait dengan Dilakukan orang luar, guru, dosen pembelajaran 2 Analisis statistik lebih sederhana Analisis statistik lebih rumit 3 Memperbaiki pembelajaran secara Mengembangkan/menguji langsung teori/memperbaiki pembelajaran secara tidak langsung No 1
Berdasarkan tabel diatas terlihat jelas bahwa dalam penelitian tindakan kelas (PTK), penelitian dilakukan oleh guru terkait dengan pembelajaran dan memperbaiki pembelajaran secara langsung. Sedangkan pada penelitian formal lainnya penelitian bisa dilakukan oleh orang luar dan memperbaiki pembelajaran dilakukan secara tidak langsung. Ada empat tahapan penting dalam penelitian tindakan yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Perencanaan dilakukan dengan cara peneliti menjelaskan tentang apa, mengapa, kapan, dimana, oleh siapa dan bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Pelaksanaan dilakukan dengan cara menaati apa yang sudah dirumuskan dalam rancangan. Pengamatan dilakukan dengan cara mencatat apa yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran agar memperoleh data yang akurat untuk perbaikan siklus berikutnya. Refleksi dilakukan dengan cara mengemukakan kembali apa yang telah dilakukan, apa yang telah terlaksana dengan baik dan apa yang belum terlaksana dengan baik. (Suharsimi.2010: 20) Secara garis besar, berikut ini tahapan-tahapan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti:
970
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 5. Diagram Tahap-tahap Penelitian diadopsi dari Kemmis Tanggart
HASIL PENELITIAN Pelaksanaan kegiatan pembelajaran dilaksanakan sebagai berikut: Tabel 3. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran No 1
Pertemuan Awal (2 x 45‟)
2
Pertemuan pertama (2 x 45‟)
3
Pertemuan kedua (2 x 45‟)
Materi PLDV, bukan PLDV, SPLDV, bukan SPLDV Konsep persamaan linier, PLDV dan SPLDV
Metode subitusi, eliminasi dan distributif
Tujuan Pembelajaran Menggali informasi tentang pengetahuan siswa terhadap materi PLDV dan SPLDV
Siswa dapat: 1. Menentukan persamaan linier dan bukan persamaan linier 2. Menyebutkan pengertian persamaan linier 3. Menentukan PLDV dan bukan PLDV 4. Menyebutkan pengertian PLDV 5. Menentukan SPLDV dan bukan SPLDV 6. Menyebutkan pengertian SPLDV 7. Membuat pemodelan PLDV dan SPLDV dengan menggunakan media bungkus minuman yang sudah disediakan guru Siswa dapat menggunakan metode subtitusi, eliminasi dan ditributif untuk menentukan selesaian dari SPLDV
971
Kegiatan Belajar Siswa mengerjakan soal yang telah disediakan guru untuk tes awal
Kegiatan pembelajaran: I. Kegiatan awal: 1. Apersepsi 2. Pretes II. Kegiatan inti: 1.Mengamati (M1) 2.Menanyakan (M2) 3.Mengeksplorasi (M3) 4.Mengasosiasi (M4) 5.Menduga (M5) 6.Menyimpulkan (M6) 7.Mengkonfirmasi (M7) III. Kegiatan ahir: 1. Kuis 2. Postes
Kegiatan pembelajaran: I. Kegiatan awal: 1. Apersepsi 2. Pretes II. Kegiatan inti: 1.Mengamati (M1) 2.Menanyakan (M2) 3.Mengeksplorasi (M3)
Waktu 2 jp = 90 mnt
7 mnt 10 mnt 3 mnt 3 mnt 8 mnt 8 mnt 40 mnt 7 mnt 10 mnt
4 mnt 10 mnt
7 mnt 10 mnt 3 mnt 3 mnt 8 mnt
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
4
5
Pertemuan ketiga (2 x 45‟)
Pertemuan ahir (2 x 45‟)
Pemodelan matematika
Siswa dapat membuat pemodelan matematika dari media bungkus minuman yang telah disediakan oleh guru
PLDV, bukan 1. Menggali inforrmasi tentang PLDV, pengetahuan siswa terhadap SPLDV, materi PLDV dan SPLDV bukan setelah dilakukan SPLDV pembelajaran. 2. Hasil tes dievaluasi oleh peneliti. Jika nilai rata-rata kelas masih kurang maka dilakukan penelitian pada siklus selanjutnya
4.Mengasosiasi (M4) 5.Menduga (M5) 6.Menyimpulkan (M6) 7.Mengkonfirmasi (M7) III. Kegiatan ahir: 1. Kuis 2. Postes Kegiatan pembelajaran: I. Kegiatan awal: 1. Apersepsi 2. Pretes II. Kegiatan inti: 1.Mengamati (M1) 2.Menanyakan (M2) 3.Mengeksplorasi (M3) 4.Mengasosiasi (M4) 5.Menduga (M5) 6.Menyimpulkan (M6) 7.Mengkonfirmasi (M7) III. Kegiatan ahir: 1. Kuis 2. Postes Siswa mengerjakan soal yang telah disediakan guru untuk tes ahir
8 mnt 40 mnt 7 mnt 10 mnt 4 mnt 10 mnt
7 mnt 10 mnt 3 mnt 3 mnt 8 mnt 8 mnt 40 mnt 7 mnt 10 mnt 4 mnt 10 mnt 2 jp = 90 mnt
Siklus I a. Nilai tes awal Tabel 4. Kegiatan pembelajaran pada tes awal Kegiatan Guru Guru memberi lembar soal tes awal untuk mengetahui kemampuan awal siswa tentang materi Aljabar dengan sub materi PLDV dan SPLDV Guru menyampaikan pada siswa bahwa waktu untuk mengerjakan soal selama 60 menit Setelah siswa melakukan tes awal, guru memberikan informasi pada siswa bahwa materi yang akan dipelajari pada pertemuan berikutnya adalah materi Aljabar dengaan sub materi PLDV dan SPLDV dengan tujuan pembelajaran peningkatan pemahaman siswa terhadap PLDV dan SPLDV, menentukan selesaian SPLDV dengan metode grafik, eliminasi, subtitusi dan distribusi serta membuat pemodelan matematika dari masalah sehari-hari dalam bentuk PLDV dan SPLDV Tabel 5. Nilai yang diperoleh siswa pada tes awal No Nama Siswa Nilai No Nama Siswa Nilai No 1 AABH 46 11 FN 65 21 2 ADA 74 12 HAI 64 22 3 AF 55 13 HA 61 23 4 AM1 61 14 IF 58 24 5 AM2 77 15 INO 46 25 6 AY 80 16 LS 64 26 7 CP 65 17 MSR 46 27 8 EW 54 18 NQ 65 28 9 FNK 51 19 SAML 57 29 10 FA 61 20 SC 55 30 Nilai tertinggi = 80
972
Kegiatan Siswa Siswa menerima lembar soal tes awal Siswa mengerjakan soal tes awal Siswa mendengarkan penjelasan guru
Nama Siswa SNH SH SI TR UH VF ZM ZS MA HLSSA
waktu 10 menit 60 menit 20 menit
Nilai 68 47 65 26 51 64 52 60 32 23
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Nilai terendah = 23 Nilai rata-rata kelas = 56,4 Banyaknyasiswa dengan nilai dibawah rata-rata kelas = 13 Nilai KKM (kriteria ketuntasan minimal) = 75 Banyaknya siswa berkategori tuntas = 2 (nilai ≥ 75)
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa persentase ketuntasan belajar 2 siswa adalah x 100 % = 6,7 % 30
b. Hasil pembelajaran pada pembahasan konsep PLDV dan SPLDV: Tabel 6. Kegiatan pembelajaran konsep PLDV dan SPLDV KEGIATAN AWAL Kegiatan Guru Apersepsi: 1.Guru menggali pengetahuan siswa tentang PLDV dan SPLDV melalui pertanyaan-pertanyaan 2.Guru menyampaikan manfaat belajar PLDV dan SPLDV 3.Guru menyampaikan pada siswa bahwa pada petemuan ini siswa akan belajar tentang PLDV dan SPLDV dengan tujuan pembelajaran meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep PLDV dan SPLDV 4.Guru membagi kelas menjadi 5 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari 6 siswa 5.Guru membagi LKS pada masing-masing kelompok Pretes: Guru membagi soal pretes
Kegiatan Siswa
Waktu 7‟
1. Siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan guru sesuai dengan pengetahuannya 2. Siswa mendengarkan informasi guru tentang materi yang akan dipelajari dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai 3. Siswa membentuk kelompok 4. Siswa menerima LKS
KEGIATAN INTI M1 = Mengamati Kegiatan Guru Guru memberikan bunngkus minuman pada siswa dan siswa diminta untuk mengamatinya M2 = Menanyakan Kegiatan Guru Guru memberi kesempatan pada siswa untuk membuat pertanyaan-pertanyaan tentang PLDV dan SPLDV M3 = Mengeksplorasi Kegiatan Guru 1. Guru memberi kesempatan pada siswa untuk berdiskusi bersama kelompoknya 2. Guru berkeliling kelas ddan memberi pangarahan pada kelompok yang merasa kesulitan
Siswa mengerjakan soal pretes
10‟
Kegiatan Siswa Siswa menerima bungkus minuman dari guru lalu megamatinya
3‟
Kegiatan Siswa Siswa membuat pertanyaan-pertanyaan tentang PLDV dan SPLDV berdasarkan data yang ada pada bungkus minuman yang telah diterimanya Kegiatan Siswa Siswa berdiskusi bersama kelompok untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya tentang pengertian PLDV dan SPLDV, membedakan antara PLDV dengan bukan PLDV, membedakan antara SPLDV dan bukan SPLDV serta perbedaan antara PLDV dan SPLDV sesuai dengan pengetahuan dari masing-masing siswa
M4 = Mengasosiasi (menalar/menghubungkan) Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Guru memberi kesempatan pada siswa untuk Siswa menggunakan hasil diskusi pada berdiskusi bersama kelompoknya kegiatan mengeksplorasi (M3) untuk 2. Guru berkeliling kelas ddan memberi pangarahan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah pada kelompok yang merasa kesulitan dibuat pada kegiatan menanyakan (M2) M5 = Menduga Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Guru memberi kesempatan pada siswa untuk 1. Siswa bersama kelompok membuat berdiskusi bersama kelompoknya dugaan-dugaan sementara tentang 2. Guru berkeliling kelas ddan memberi pangarahan pengertian PLDV dan SPLDV, perbedaan pada kelompok yang merasa kesulitan antara PLDV dengan bukan PLDV, perbedaan antara SPLDV dengan bukan SPLDV, perbedaan antara PLDV dengan SPLDV
973
3‟
8‟
8‟
20‟
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2. Siswa bersama kelompok mengerjakan LKS M6 = Menyimpulkan Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Guru memberi kesempatan pada siswa untuk Siswa bersama kelompok membuat berdiskusi bersama kelompoknya kesimpulan tentang pengertian PLDV dan 2. Guru berkeliling kelas dan memberi pangarahan SPLDV pada kelompok yang merasa kesulitan M7 = Mengkonfirmasi Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1.Guru memberi kesempatan pada perwakilan 1. Perwakilan kelompok mempresentasikan kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi hasil diskusinya dan kelompok lain 2.Guru mempersilahkan kelompok lain untuk menanggapi menanggapi 2. Siswa mempehatukan penjelasan guru 3.Guru memberi informasi matematis tentang tentang pengertian PLDV dan SPLDV pengertian PLDV dan SPLDV KEGIATAN AHIR 1. Guru memberi kuis untuk rebutan (5 orang) 1. Siswa mengerjakan kuis rebutan ( 5 2. Guru memberi soal postes orang) 2. Siswa mengerjakan soal postes
7‟
10‟
4‟ 10‟
Dibawah ini adalah nilai yang diperoleh siswa pada pertemuan kedua dalam kegiatan pembelajaran I dengan materi konsep PLDV dan SPLDV: Tabel 7. Nilai kegiatan pembelajaran konsep PLDV dan SPLDV No Nama Siswa Nilai No Nama Siswa Nilai No Nama Siswa 1 AABH 70 11 FN 90 21 SNH 2 ADA 100 12 HAI 90 22 SH 3 AF 80 13 HA 90 23 SI 4 AM1 90 14 IF 80 24 TR 5 AM2 100 15 INO 70 25 UH 6 AY 100 16 LS 90 26 VF 7 CP 90 17 MSR 70 27 ZM 8 EW 80 18 NQ 90 28 ZS 9 FNK 80 19 SAML 80 29 MA 10 FA 90 20 SC 80 30 HLSSA Nilai tertinggi = 100 Nilai terendah = 50 Nilai rata-rata kelas = 82 Banyaknya siswa dengan nilai dibawah rata-rata kelas = 10 Nilai KKM (kriteria ketuntasan minimal) = 75 Banyaknya siswa berkategori tuntas = 23 (nilai ≥ 75)
Nilai 90 70 90 50 80 90 80 90 60 50
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa: Terdapat 23 siswa yang memenuhi kategori tuntas. Hal ini berarti ada 7 siswa yang perlu diremidi 23 Persentase ketuntasan belajar siswa adalah 30 x 100 % = 76,7 % c. Hasil pembelajaran pada pembahasan cara menentukan selesaian SPLDV dengan menggunakan metode grafik, eliminasi, subtitusi dan distribusi: Tabel 8. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran menentukan selesaian SPLDV KEGIATAN AWAL Kegiatan Guru Apersepsi: 1.Guru menggali pengetahuan siswa tentang PLDV dan SPLDV melalui pertanyaan-pertanyaan 2.Guru menyampaikan manfaat belajar PLDV dan SPLDV 3.Guru menyampaikan pada siswa bahwa pada petemuan ini siswa akan belajar tentang PLDV dan SPLDV dengan tujuan pembelajaran menentukan selesaian SPLDV dengan metode grafik, eliminasi, subtitusi dan distribusi 4.Guru membagi kelas menjadi 5 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari 6 siswa
Kegiatan Siswa
Waktu 7‟
1. Siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan guru sesuai dengan pengetahuannya 2. Siswa mendengarkan informasi guru tentang materi yang akan dipelajari dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai 3. Siswa membentuk kelompok 4. Siswa menerima LKS
974
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
5.Guru membagi LKS pada masing-masing kelompok Pretes: Guru membagi soal pretes KEGIATAN INTI M1 = Mengamati Kegiatan Guru Guru memberikan bunngkus minuman pada siswa dan siswa diminta untuk mengamatinya M2 = Menanyakan Kegiatan Guru Guru memberi kesempatan pada siswa untuk membuat pertanyaan-pertanyaan tentang cara menentukan selesaian SPLDVnya M3 = Mengeksplorasi Kegiatan Guru 1. Guru memberi kesempatan pada siswa untuk berdiskusi bersama kelompoknya 2. Guru berkeliling kelas ddan memberi pangarahan pada kelompok yang merasa kesulitan
Siswa mengerjakan soal pretes
10‟
Kegiatan Siswa Siswa menerima bungkus minuman dari guru lalu megamatinya
3‟
Kegiatan Siswa Siswa membuat pertanyaan-pertanyaan tentang cara menentukan selesaian SPLDV
3‟
Kegiatan Siswa Siswa berdiskusi bersama kelompok untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya tentang cara menentukan selesaian SPLDV sesuai dengan pengetahuan dari masingmasing siswa
M4 = Mengasosiasi (menalar/menghubungkan) Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Guru memberi kesempatan pada siswa untuk Siswa menggunakan hasil diskusi pada berdiskusi bersama kelompoknya kegiatan mengeksplorasi (M3) untuk 2. Guru berkeliling kelas dan memberi pangarahan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah pada kelompok yang merasa kesulitan dibuat pada kegiatan menanyakan (M2) M5 = Menduga Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Guru memberi kesempatan pada siswa untuk 1. Siswa bersama kelompok membuat berdiskusi bersama kelompoknya dugaan-dugaan sementara tentang cara 2. Guru berkeliling kelas dan memberi pangarahan menentukan selesaian SPLDV pada kelompok yang merasa kesulitan 2. Siswa bersama kelompok mengerjakan LKS M6 = Menyimpulkan Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Guru memberi kesempatan pada siswa untuk Siswa bersama kelompok membuat berdiskusi bersama kelompoknya kesimpulan tentang cara menentukan 2. Guru berkeliling kelas dan memberi pangarahan selesaian SPLDV pada kelompok yang merasa kesulitan M7 = Mengkonfirmasi Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1.Guru memberi kesempatan pada perwakilan 1. Perwakilan kelompok mempresentasikan kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi hasil diskusinya dan kelompok lain 2.Guru mempersilahkan kelompok lain untuk menanggapi menanggapi 2. Siswa memperhatikan penjelasan guru 3.Guru memberi informasi matematis tentang cara tentang cara menentukan selesaian menentukan selesaian SPLDV dengan SPLDV dengan menggunakan metode menggunakan metode grafik, eliminasi, subtitusi grafik, eliminasi, subtitusi dan distribusi dan distribusi KEGIATAN AHIR 1. Guru memberi kuis untuk rebutan (5 orang) 1. Siswa mengerjakan kuis rebutan ( 5 2. Guru memberi soal postes orang) 2. Siswa mengerjakan soal postes
8‟
8‟
20‟
7‟
10‟
4‟ 10‟
Dibawah ini adalah nilai yang diperoleh siswa pada pertemuan ketiga dalam kegiatan pembelajaran II dengan materi menentukan selesaian SPLDV: Nilai siklus I Tabel 9. Nilai kegiatan pembelajaran menentukan selesaian SPLDV No Nama Siswa Nilai No Nama Siswa Nilai No Nama Siswa 1 AABH 65 11 FN 60 21 SNH 2 ADA 71 12 HAI 65 22 SH 3 AF 41 13 HA 82 23 SI 4 AM1 80 14 IF 73 24 TR 5 AM2 63 15 INO 65 25 UH 6 AY 50 16 LS 68 26 VF 7 CP 52 17 MSR 71 27 ZM
975
Nilai 67 58 66 51 59 73 62
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
8 EW 49 18 NQ 72 9 FNK 59 19 SAML 48 10 FA 55 20 SC 67 Nilai tertinggi Nilai terendah Nilai rata-rata kelas Banyaknya siswa dengan nilai dibawah rata-rata kelas Nilai KKM (kriteria ketuntasan minimal) Banyaknya siswa berkategori tuntas
28 ZS 29 MA 30 HLSSA = 82 = 41 = 61,9 = 13 = 75 = 1 (nilai ≥ 75)
49 57 58
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa: Terdapat 1 siswa yang memenuhi kategori tuntas. Hal ini berarti ada 29 siswa yang perlu diremidi 1 Persentase ketuntasan belajar siswa adalah x 100 % = 3,3 % 30
Nilai siklus II Tabel 10. Nilai menentukan selesaian SPLDV pada siklus II No Nama Siswa Nilai No Nama Siswa Nilai No 1 AABH 85 11 FN 85 21 2 ADA 85 12 HAI 85 22 3 AF 85 13 HA 85 23 4 AM1 85 14 IF 85 24 5 AM2 85 15 INO 70 25 6 AY 85 16 LS 85 26 7 CP 70 17 MSR 85 27 8 EW 85 18 NQ 70 28 9 FNK 85 19 SAML 85 29 10 FA 85 20 SC 85 30 Nilai tertinggi = 85 Nilai terendah = 70 Nilai rata-rata kelas = 83,5 Banyaknya siswa dengan nilai dibawah rata-rata kelas = 3 Nilai KKM (kriteria ketuntasan minimal) = 75 Banyaknya siswa berkategori tuntas = 27
Nama Siswa SNH SH SI TR UH VF ZM ZS MA HLSSA
Nilai 85 85 85 85 85 85 85 85 85 85
(nilai ≥ 75)
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa: Terdapat 27 siswa yang memenuhi kategori tuntas. Hal ini berarti ada 3 siswa yang perlu diremidi 27 Persentase ketuntasan belajar siswa adalah 30 x 100 % = 90 % d. Hasil pembelajaran pada pembahasan membuat pemodelan matematika dari masalah seharihari dalam bentuk PLDV dan SPLDV Tabel 11. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran membuat pemodelan PLDV dan SPLDV KEGIATAN AWAL Kegiatan Guru Apersepsi: 1. Guru menggali pengetahuan siswa tentang PLDV dan SPLDV melalui pertanyaan-pertanyaan 2. Guru menyampaikan manfaat belajar PLDV dan SPLDV 3. Guru menyampaikan pada siswa bahwa pada petemuan ini siswa akan belajar tentang PLDV dan SPLDV dengan tujuan pembelajaran membuat pemodelan matematika dari masalah sehari-hari dalam bentuk PLDV dan SPLDV 4. Guru membagi kelas menjadi 5 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari 6 siswa 5. Guru membagi LKS pada masing-masing kelompok Pretes: Guru membagi soal pretes KEGIATAN INTI M1 = Mengamati
Kegiatan Siswa
waktu 7‟
1. Siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan guru sesuai dengan pengetahuannya 2. Siswa mendengarkan informasi guru tentang materi yang akan dipelajari dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai 3. Siswa membentuk kelompok 4. Siswa menerima LKS
976
Siswa mengerjakan soal pretes
10‟
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kegiatan Guru Guru memberikan bunngkus minuman pada siswa dan siswa diminta untuk mengamatinya M2 = Menanyakan Kegiatan Guru Guru memberi kesempatan pada siswa untuk membuat pertanyaan-pertanyaan tentang PLDV dan SPLDV M3 = Mengeksplorasi Kegiatan Guru 1. Guru memberi kesempatan pada siswa untuk berdiskusi bersama kelompoknya 2. Guru berkeliling kelas dan memberi pangarahan pada kelompok yang merasa kesulitan
Kegiatan Siswa Siswa menerima bungkus minuman dari guru lalu megamatinya Kegiatan Siswa Siswa membuat pertanyaan-pertanyaan tentang PLDV dan SPLDV berdasarkan data yang ada pada bungkus minuman yang telah diterimanya Kegiatan Siswa Siswa berdiskusi bersama kelompok untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya tentang membuat pemodelan matematika dari masalah sehari-hari dalam bentuk PLDV dan SPLDV sesuai dengan pengetahuan dari masing-masing siswa
M4 = Mengasosiasi (menalar/menghubungkan) Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Guru memberi kesempatan pada siswa untuk Siswa menggunakan hasil diskusi pada berdiskusi bersama kelompoknya kegiatan mengeksplorasi (M3) untuk 2. Guru berkeliling kelas ddan memberi pangarahan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah pada kelompok yang merasa kesulitan dibuat pada kegiatan menanyakan (M2) M5 = Menduga Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Guru memberi kesempatan pada siswa untuk 1. Siswa bersama kelompok membuat dugaanberdiskusi bersama kelompoknya dugaan sementara tentang membuat 2. Guru berkeliling kelas dan memberi pangarahan pemodelan matematika dari masalah seharipada kelompok yang merasa kesulitan hari dalam bentuk PLDV dan SPLDV 2. Siswa bersama kelompok mengerjakan LKS M6 = Menyimpulkan Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Guru memberi kesempatan pada siswa untuk Siswa bersama kelompok membuat berdiskusi bersama kelompoknya kesimpulan tentang membuat pemodelan 2. Guru berkeliling kelas dan memberi pangarahan matematika dari masalah sehari-hari dalam pada kelompok yang merasa kesulitan bentuk PLDV dan SPLDV M7 = Mengkonfirmasi Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Guru memberi kesempatan pada perwakilan 1. Perwakilan kelompok mempresentasikan kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi hasil diskusinya dan kelompok lain 2. Guru mempersilahkan kelompok lain untuk menanggapi menanggapi 2. Siswa memperhatikan penlelasan guru 3. Guru memberi informasi matematis tentang cara tentang cara membuat pemodelan membuat pemodelan matematika dari masalah matematika dari masalah sehari-hari dalam sehari-hari dalam bentuk PLDV dan SPLDV bentuk PLDV dan SPLDV KEGIATAN AHIR 1. Guru memberi kuis untuk rebutan (5 orang) 2. Guru memberi soal postes
1. Siswa mengerjakan kuis rebutan ( 5 orang) 2. Siswa mengerjakan soal postes
3‟
3‟
8‟
8‟
20‟
7‟
10‟
4‟ 10‟
Dibawah ini adalah nilai yang diperoleh siswa pada pertemuan ketiga dalam kegiatan pembelajaran II dengan pemodelan matematika dari kehidupan sehari-hari dalam bentuk PLDV dan SPLDV: Siklus I Tabel 12. Nilai kegiatan pembelajaran membuat pemodelan PLDV dan SPLDV No Nama Siswa Nilai No Nama Siswa Nilai No Nama Siswa Nilai 1 AABH 65 11 FN 73 21 SNH 65 2 ADA 67 12 HAI 64 22 SH 93 3 AF 74 13 HA 73 23 SI 83 4 AM1 81 14 IF 73 24 TR 73 5 AM2 79 15 INO 77 25 UH 83 6 AY 68 16 LS 73 26 VF 61 7 CP 75 17 MSR 60 27 ZM 73 8 EW 73 18 NQ 79 28 ZS 72 9 FNK 83 19 SAML 67 29 MA 66 10 FA 72 20 SC 81 30 HLSSA 79
977
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Nilai tertinggi Nilai terendah Nilai rata-rata kelas Banyaknya siswa dengan nilai dibawah rata-rata kelas Nilai KKM (kriteria ketuntasan minimal) Banyaknya siswa berkategori tuntas
= 93 = 61 = 73,5 = 18 = 75 = 11 (nilai ≥ 75)
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa: Terdapat 11 siswa yang memenuhi kategori tuntas. Hal ini berarti ada 19 siswa yang perlu diremidi 11 Persentase ketuntasan belajar siswa adalah x 100 % = 36,7 % 30
Siklus II Tabel 13. Nilai pemodelan PLDV dan SPLDV pada siklus II No Nama Siswa Nilai No Nama Siswa Nilai No 1 AABH 90 11 FN 64 21 2 ADA 90 12 HAI 97 22 3 AF 84 13 HA 90 23 4 AM1 90 14 IF 97 24 5 AM2 87 15 INO 84 25 6 AY 87 16 LS 90 26 7 CP 84 17 MSR 87 27 8 EW 87 18 NQ 84 28 9 FNK 87 19 SAML 87 29 10 FA 84 20 SC 90 30 Nilai tertinggi = 97 Nilai terendah = 64 Nilai rata-rata kelas = 91,4 Banyaknya siswa dengan nilai dibawah rata-rata kelas = 24 Nilai KKM (kriteria ketuntasan minimal) = 75 Banyaknya siswa berkategori tuntas = 29
Nama Siswa SNH SH SI TR UH VF ZM ZS MA HLSSA
Nilai 97 87 97 87 97 90 97 87 87 86
(nilai ≥ 75)
Berdasarkan tabel diatas dikatehui bahwa: Terdapat 29 siswa yang memenuhi kategori tuntas. Hal ini berarti ada 1 siswa yang perlu diremidi 29 Persentase ketuntasan belajar siswa adalah x 100 % = 96,7 % 30
e. Nilai tes ahir Kegiatan pembelajaran pada pertemuan I diisi dengan tes ahir. Tabel 14. Pelaksanaan tes akhir Kegiatan Guru Guru memberi lembar soal tes ahir untuk mengetahui kemampuan awal siswa tentang materi Aljabar dengan sub materi PLDV dan SPLDV Guru menyampaikan pada siswa bahwa waktu untuk mengerjakan soal selama 40 menit
Kegiatan Siswa Siswa menerima lembar soal tes ahir Siswa mengerjakan soal tes ahir
Dibawah ini adalah nilai yang diperoleh siswa pada tes ahir: Siklus I: Tabel 15. Nilai tes akhir No Nama Siswa Nilai 1 AABH 67 2 ADA 80 3 AF 65 4 AM1 84 5 AM2 81 6 AY 73 7 CP 73 8 EW 68 9 FNK 74
No 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Nama Siswa FN HAI HA IF INO LS MSR NQ SAML
978
Nilai 75 73 82 76 71 77 67 81 65
No 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Nama Siswa SNH SH SI TR UH VF ZM ZS MA
Nilai 74 74 80 58 74 75 72 71 61
waktu 10 menit 80 menit
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
10 FA 73 20 SC 76 Nilai tertinggi Nilai terendah Nilai rata-rata kelas Banyaknya siswa dengan nilai dibawah rata-rata kelas Nilai KKM (kriteria ketuntasan minimal) Banyaknya siswa berkategori tuntas
30 HLSSA = 84 = 58 = 72,8 = 11 = 75 = 11 (nilai ≥ 75)
63
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa: Terdapat 11siswa yang memenuhi kategori tuntas. Hal ini berarti ada 19 siswa yang perlu diremidi 11 Persentase ketuntasan belajar siswa adalah x 100 % = 36,7 % 30
Siklus II Tabel 16. Nilai akhir pada siklus II No Nama Siswa Nilai No Nama Siswa Nilai No Nama Siswa 1 AABH 77 11 FN 81 21 SNH 2 ADA 92 12 HAI 85 22 SH 3 AF 77 13 HA 90 23 SI 4 AM1 92 14 IF 88 24 TR 5 AM2 83 15 INO 84 25 UH 6 AY 87 16 LS 87 26 VF 7 CP 81 17 MSR 81 27 ZM 8 EW 81 18 NQ 80 28 ZS 9 FNK 86 19 SAML 79 29 MA 10 FA 76 20 SC 92 30 HLSSA Nilai tertinggi = 94 Nilai terendah = 77 Nilai rata-rata kelas = 83,1 Banyaknya siswa dengan nilai dibawah rata-rata kelas = 15 Nilai KKM (kriteria ketuntasan minimal) = 75 Banyaknya siswa berkategori tuntas = 30 (nilai ≥ 75)
Nilai 81 86 94 77 80 85 82 82 75 83
Berdasarkan pada tabel diatas diketahui bahwa pada tes ahir siklus II, semua siswa termasuk dalam kategori tuntas (nilai ≥ 75). Persentase ketuntasan belajar siswa sebanyak 100 %. Dengan demikian menurut peneliti tidak perlu dilakukan siklus lanjutan. KESIMPULAN 1. Pembelajaran investigasi dengan menggunakan media pembelajaran bungkus minuman digunakan pada materi aljabar dengan teknik 7 M yang meliputi mengamati, menanyakan, mengeksplorasi, mengasosiasi, menduga, menyimpulkan dan mengkonfirmasi. 2. Hasil belajar aljabar siswa kelas X MA Alhayatul Islamiyah Kedungkandang malang meningkat setelah mengikuti kegiatan pembelajaran investigasi dengan menggunakan media pembelajaran berupa bungkus minuman. Hal ini terbukti dari hasil tes ahir pada siklus II yang meningkat dari hasil tes awal. 3. Kegiatan pembelajaran investigasi dengan menggunakan bungkus minuman yang dilaksanakan oleh peneliti dalam penelitian ini mempunyai kelebihan dan kelemahan sebagai berikut: a. Kelebihan pembelajaran investigasi Kegiatan pembelajaran investigasi dilaksanakan dengan teknik 7 M yang meliputi mengamati, menanyakan, mengeksplorasi, mengasosiasi, menduga, menyimpulkan dan mengkonfirmasi. Hal ini menjadikan siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuannya sehingga tidak mudah lupa terhadap materi yang telah dipelajari ketika ada materi baru. Kegiatan pembelajaran investigasi melibatkan aktivitas siswa dalam trayel and error (coba-coba) sehingga setelah siswa berhasil menemukan sendiri konsep aljabar dalam hal ini PLDV dan SPLDV, siswa mempunyai pemahaman yang mendalam dan tahan lama terhadap materi tersebut. 979
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kegiatan pembelajaran investigasi dengan menggunakan bungkus minuman yang telah dilaksanakan oleh peneliti menjadikan konsentrasi belajar siswa selalu terfokus pada kegiatan pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran dapat terlaksana dengan maksimal. b. Kelemahan pembelajaran investigasi Pembelajaran investigasi dengan menggunakan bungkus minuman merupakan kegiatan pembelajaran yang trayel and error sehingga membutuhkan waktu yang banyak, sedangkan waktu yang tersedia dalam setiap pertemmuan hanya dua jam pelajaran (2 jp = 2 x 45‟= 90 „). Pembelajaran investigasi dengan menggunakan bungkus minuman membutuhkan timbangan gram agar tingkat akurasinya lebih tepat pada saat melakukan pembuktian kapasitas produk. Harga timbangan gram mahal sehingga dibutuhkan biaya yang besar. DAFTAR PUSTAKA Amri, Ahmadi. 2012. Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam Kelas. Jakarta. Prestasi Pustaka Publisher Arikunto, Suharsimi. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta. PT Bumi Aksara Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi V). Jakarta: PT Rineka Cipta. Arikunto, Suhardjono, Supardi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta. Bumi Aksara Arikunto, Suharsimi. 2012. Dasar – Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara Arsyad, Azhar. 2009. Media Pembelajaran. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada Azerrad, Jacob. 2005. Membangun Masa Depan Anak. Bandung. Nusa Media Bakri, Masykuri. 2009. Formulasi dan Implementasi Kebijakan Pendidikan Islam (Analisis Kritis Terhadap Proses Pembelajaran).Surabaya. Visipress Media Bell,F.H. 1978. Teaching and learning mathematics. (in secondary school) Duboque,lowa:Win.C.Brown Publising Company. BSNP. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar 2006 Mata pelajaran Matematika Sekolah Menengah Perrtama / Madrasah Aliyah. Jakarta. Depdikbud. Darmadi, Hamid. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung. Alfabeta Daryanto. 2007. Evaluasi Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta Depdikbud. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 54 tahun 2013 tentang standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan Menengah. Jakarta. Depdikbud Dimyati. Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta. Rineka Cipta Djamarah, Syaiful Bahri. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. Rineka Cipta Dryden, Gordon. 2002. The Learning Revolution. Bandung. Kaifa Fathurrohman, Pupuh. 2011. Strategi Belajar Mengajar melalui konsep umum dan konsep islami. Bandung. Refika Aditama Hamalik, Oemar. 2011. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara Hamzah. 2011. Model Pembelajaran (Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif). Jakarta. Bumi Aksara Hasbullah. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan.Jakarta. Raja Grafindo Persada Hitipeuw, Imanuel. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Malang. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang Hudojo,Herman.1988.Mengajar Belajar Matematika.Jakarta. Depdikbud. Hudojo,Herman.2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang : PPS UM Hudojo, Herman.1979. Pengembagan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaanya di Depan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional. Ibrahim, Nana. 2010. Perencanaan Pengajaran. Jakarta. Rineka Cipta Ibrahim, dkk.2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : Unesa. Leonard, Kennedy M.,Tipps Steve.1994. Guiding Children Learning of Mathematics.California: Wadsworth Publishing Company. Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning`: Mempraktekkan Cooperative learning di ruangruang kelas, Jakarta : penerbit Reneka Cipta. Lipton, Laura. 2010. Menumbuhkembangkan Kemandirian Belajar. Bandung. Nuansa
980
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Majid, Abdul. 2011. Perencanaan Pembelajaran (Mengembangkan Standar Kompetensi Guru). Bandung. Remaja Rosdakarya Miles, MB. & Huberman, A.M.1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta : Universitas Indonesia Press Moleong, Lexy. J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya Offset Mulyasa, 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : Rosdakarya. Nurhadi, Burhan, Y., & Agus G.S. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: UM Press Orton,Anthony.1992.Learning Mathematics.Issues,theori and classroom Practice .New York:Cassel Purwanto, Ngalim. 1996. Psikologi Pendidikan. Bandung. Remaja Rosdakarya Resnick, Lauren. (1981). The Psychology of Mathematics for Instruction. New Jersey. Lawrence Erlbaum Associates Publisher. Sagala, Syaiful. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta. Kencana Prenada Media Group Sanjaya, Wina. 2012. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta. Kencana Prenada Media Group Silberman, Melvin L. 2010. Active Learning. Bandung. Nusamedia dan Nuansa Skemp,R.R.1992. The psychology of learning mathematics. Great Britain: Hazel Waston Vincy. Slavin, Robert E. 1986. Education Psychology. Massachusetts: Paramount Publishing. Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Learning. Bandung. Nusamedia dan Nuansa. Soedarsono, FX. 1996. Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Bagian Kedua Rencana, Desain dan Implementasi. Yogyakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Soedjadi, R. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta : Depdiknas. Soetjipto, Raflis. 2009. Profesi Keguruan. Jakarta. Rineka Cipta Sudjana.1996. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Sudjana, Nana.2010. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo Suherman, Erman. 2003. Evaluasi Pembelajaran Matematika Malang. JICA. Suherman, Turmudi, dan Suryadi. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer (revisi). Bandung: JICA. Suprijono, Agus. 2012. Cooperative Learning. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Suryabrata, Sumadi. 1984. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Pendidikan dan Dasar Pendidikan Pancasila. Surabaya. Usaha Nasional Parta, I Nengah. 2009. Pengembagan Model Pembelajaran Inquiri untuk Menghaluskan Pengetahuan Matematika Mahasiswa calon Guru melalui pengajuan pertanyaan.Surabaya. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Doktoral Universitas Negeri Surabaya. Tim Dosen fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim. 2011. Materi Pendidikan dan latihan Profesi Guru (PLPG). UIN-Maliki Press Trianto. 2011. Model-model Pembelajaran Inovatif berorientasi konstruktivistik (Konsep Landasan Teoritis Praktis dn Implementasinya).Jakarta. Prestasi PustakaPublisher Universitas Negeri Malang. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: UM Press. Winkel, W. S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT Gramedia.
981
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TWO STAY –TWO STRAY BERBANTUAN GRAPHMATICA UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Andik Safani SMA Negeri 4 Blitar
[email protected] Abstrak: Pemilihan strategi pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik melalui pendekatan kooperatif dapat menciptakan pembelajaran bermakna dan efektif. Pembelajaran kooperatif two stay two stray, memberikan kesempatan peserta didik mengembangkan kemampuan berkomunikasi, berpikir kritis, sistematis, analogis dan kreatif. Sikap bertanggungjawab, menghargai pendapat orang lain, jujur, cermat, dan dikembangkan melalui pembelajaran ini. Keterampilan komunikasi, menyampaikan pendapat, menanggapai perbedaan dilatih dalam pembelajaran ini. Keberhasilan peningkatan keaktifan peserta didik melalui pembelajaran kooperatif two stay two stray berbantuan Graphmatica dihasilkan dari perencanaan pembelajaran yang secara spesifik merinci tahapan-tahapan aktivitas peserta didik, pengalokasian waktu yang tepat di setiap aktivitas peserta didik dan jenis aktivitas peserta didik dalam menemukan konsep secara mandiri sehingga pembelajaran dapat bermakna bukan prosedural semata. Kata kunci: Pembelajaran Kooperatif, Two Stay Two Stray, Graphmatica, Keaktifan Peserta didik.
Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik sudah banyak diterapkan di kelas. Salah satu model pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif. Pembelajaran dengan pendekatan kooperatif mampu meningkatkan motivasi peserta didik, prestasi dan kemampuan berpikir kritis, (Doymus & Simsek , 2010; Hwang , Shadiev, Wang & Huang, 2012; Tan, dkk, 2012; Turan, 2012, Luo, 2013). Menurut Doymus & Simsek (2010), pembelajaran kooperatif melibatkan interaksi sosial peserta didik dalam belajar. Sedangkan Hwang, Shadiev, Wang & Huang (2012), interaksi sosial yang terjadi dalam pembelajaran kooperatif meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hasil prestasi belajar peserta didik dengan pembelajaran kooperatif lebih baik jika dibandingkan dengan pembelajaran mekanistik. Menurut Tan,dkk (2012), pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan rasa percaya diri dan keterampilan komunikasi individu, memperkuat kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kritis dan peserta didik berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Pemilihan strategi dan pendekatan yang tepat dapat memberikan dampak signifikan dalam upaya mengoptimalkan prestasi belajar peserta didik, (Simsek, 2013; Doymus, 2007; Gillis, 2006). Proses pembelajaran pada satuan pendidikan di Indonesia diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik, (Permendikbud RI No. 65 tahun 2013). Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran harus berorientasi pada aktifitas peserta didik dan keterlibatan mereka dalam proses pembelajaran. Menurut Sulisworo & Suryani (2014), orientasi pendidikan di Indonesia pada umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) cenderung memperlakukan peserta didik sebagai obyek; (2) guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator; (3) materi bersifat subject-oriented; dan (4) manajemen bersifat 1 sentralistis. Ciri-ciri tersebut, mengidentifikasikan bahwa dalam pembelajaran di sekolah guru lebih berperan sebagai subyek pembelajaran. Perubahan paradigma dari peserta didik pasif menjadi peserta didik aktif (student centered) telah banyak dipelajari oleh guru dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran (Sahih, 2010). Namun hasilnya kurang optimal
982
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
karena kurang terampilnya guru mengolah pembelajaran, ketersediaan sarana dan lingkungan belajar yang kurang mendukung. Model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar dalam rangka untuk menyediakan lingkungan belajar yang lebih baik diperlukan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik (Gatch, 2010). Perbaikan proses pembelajaran dengan berorientasi pada keaktifan peserta didik di kelas sangat penting dalam rangka meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar ilmu pengetahuan yang lebih baik. Guru harus meningkatkan kemampuan mereka untuk mengembangkan materi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik, dan memberikan kesempatan peserta didik melakukan pembelajaran secara bermakna (Roksa & Potter, 2011). Fakta menunjukkan bahwa peserta didik memiliki literasi IT yang tinggi sebagai generasi komputer dan internet. Fakta ini menjadi salah satu bahan pertimbangan untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dan bermakna. Pembelajaran yang melibatkan keterampilan antara guru dan peserta didik dalam IT, merupakan cara mendekatkan peserta didik dalam lingkungan kesehariannya. Situasi ini akan mempengaruhi kemampuan guru untuk mengatur lingkungan belajar yang lebih baik bagi peserta didik untuk belajar ilmu pengetahuan. Masalah pada motivasi peserta didik dalam fenomena ini akan memberikan kontribusi kepada prestasi belajar peserta didik. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah untuk membangkitkan interaksi yang efektif diantara anggota kelompok melalui diskusi. Dengan demikian sebagian besar aktivitas pembelajaran kooperatif berpusat pada peserta didik, yaitu mempelajari materi pelajaran dan berdiskusi untuk memecahkan masalah. Interaksi yang efektif ini memungkinkan semua anggota kelompok dapat menguasai materi pada tingkat yang relatif sejajar (Slavin, 2006). Peran guru dalam proses pembelajaran adalah sebagai fasilitator yang memfasilitasi peserta didik mengembangkan kemampuan dan membangun pengetahuannya sendiri. Dalam pembelajaran matematika, peserta didik diharapkan memiliki kemampuan bernalar yang tinggi, memiliki keterampilan menyelesaikan masalah dan terbentuk akhlak yang baik. Karakteristik matematika yang selalu berkaitan dengan konsep-konsep abstrak, memerlukan pemahaman bukan hanya menghafal rumus. Dengan demikian guru diharapkan mampu menyajikan materi matematika secara menarik, dekat dengan dunia peserta didik dan sesuai dengan kondisi peserta didik. Hal ini dimaksudkan agar dalam proses pembelajaran peserta didik lebih aktif dan termotivasi untuk belajar. Untuk itu pemilihan pendekatan pembelajaran yang tepat, perencanaan yang matang, fasilitas belajar yang baik, dan perangkat pembelajaran yang efektif mutlak diperlukan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran matematika melalui pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray dengan berbantuan software Graphmatica. Selain itu peneliti ingin mengetahui framework pembelajaran kooperatif two stay two stray yang dapat meningkatkan keaktifan peserta didik. Melalui penelitian ini penulis ingin menggali kelebihan dan kekurangan serta mendeskripsikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray dengan perangkat pembelajaran yang terintegrasi IT dengan berbantuan software Graphmatica yang peneliti rancang. Menurut Jacobs (2006:3), model pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri, (1) peserta didik belajar kelompok secara kooperatif dalam menuntaskan materi belajarnya, ( 2) kelompok dibentuk dari peserta didik-peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah, (3) pemilihan anggota tiap kelompok memperhatikan ras, suku, budaya, gender. (4) penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok dari pada perorangan. Dalam pembelajaran kooperatif, dua atau lebih individu saling tergantung satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan bersama. Peserta didik yakin bahwa tujuan mereka akan tercapai jika dan hanya jika peserta didik lainnya juga mencapai tujuan tersebut. Untuk itu setiap anggota berkelompok bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya. Peserta didik yang bekerja dalam situasi pembelajaran kooperatif didorong untuk bekerja sama pada suatu tugas bersama dan mereka harus mengoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya. Menurut Parveen (2012), model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting, yaitu : (1) meningkatkan hasil akademik, (2) menumbuhkan solidaritas, memberi peluang agar peserta didik dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai perbedaan latar belajar, (3) mengembangkan 983
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
keterampilan sosial peserta didik, Keterampilan sosial yang dimaksud antara lain : berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok, dan sebagainya. Unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif (Jacobs, 2006:5) adalah sebagai berikut : (a) peserta didik dalam kelompok haruslah merasa senasib sepenangungan, (b) peserta didik bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, (c) peserta didik merasakan anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama, (d) peserta didik haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya, (e) peserta didik akan dikenakan evaluasi atau diberikan penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok, (f) peserta didik berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya, (g) peserta didik akan diminta mempertanggung-jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Fase-fase pembelajaran model kooperatif, menurut Felder & Brend (2007) adalah sebagai berikut: Fase ke- Indikator Peranan Guru 1 Menyampaikan tujuan dan Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran memotivasi peserta didik yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi peserta didik belajar 2 Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada peserta didik dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan 3 Mengorganisasikan peserta Guru menyampaikan kepada peserta didik didik ke dalam kelompok- bagaimana membentuk kelompok belajar dan kelompok belajar membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien 4 Membimbing kelompok Guru membimbing kelompok- kelompok belajar bekerja dan belajar pada saat mereka mengerjakan tugas 5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya 6 Memberikan Guru mencari cara untuk menghargai upaya atau penghargaan hasil belajar individu maupun kelompok
Pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang positif terhadap motivasi peserta didik yang hasil belajarnya rendah, peningkatan motivasi peserta didik mampu memberikan peningkatan hasil belajar yang signifikan. Model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay-Two Stray ini dikembang-kan oleh Spencer Kagan. Menurut Susilo, Sudjoko (2012), bahwa teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik. Langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Two Stay-Two Stray adalah sebagai berikut : (a) peserta didik bekerja sama dalam kelompok dengan anggota kelompok empat orang, (b) setelah selesai diskusi, dua orang dari masing-masing kelompok akan meninggalkan kelompoknya dan masing-masing bertamu ke dua kelompok lain, (c) dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil diskusi/kerja dan informasi mereka ke tamu mereka dari kelompok lain, (d) tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain, (e) kelompok mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka. Dengan melihat langkah-langkah dalam melaksanakan model pembelajar-an kooperatif tipe Two Stay – Two Stray, peserta didik mendapat banyak manfaat antara lain peserta didik dalam kelompoknya mendapat informasi sekaligus dari kelompok yang berbeda, peserta didik belajar untuk mengungkapkan pendapat kepada peserta didik lain, peserta didik dapat meningkatkan prestasinya dan daya ingat, peserta didik dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis, peserta didik dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, dan meningkatkan hubungan sosialnya. Menurut Alamsyah, Kartono, Rohmad, (2012) bahwa penyusunan anggota kelompok dalam pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray ini harus memperhatikan aspek keheterogenan. Jika dibuat kelompok homogen, pembelajaran tidak banyak berbeda dan tidak bisa mengasah proses berfikir, bernegosiasi, berargumentasi, dan berkembang. Oleh karena itu,
984
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pengelompokan heterogenias merupakan ciri–ciri menonjol dalam model pembelajaran kooperatif. Kelompok heterogenitas bisa dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang sosio-ekonomi, dan etnik serta kemampuan akademis. Dalam hal kemampuan akademis, model pembelajaran kooperatif terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang berkemampuan akademis sedang dan satu orang berkemampuan akademis kurang. Selain itu, harus diperhatikan juga penataan ruang kelas. Penataan ruang kelas sangat dipengaruhi oleh model pembelajaran yang dipakai di kelas. Dalam model pembelajaran kooperatif, peserta didik dapat belajar dari sesama teman. Guru lebih berperan sebagai fasilitator. Tentu saja ruang kelas juga perlu diperhatikan sedemikian rupa, sehingga menunjang pembelajaran koopeatif. Keputusan guru dalam penataan ruang kelas harus sesuai dengan dengan kondisi dan situasi di ruang kelas dan sekolah. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan menurut Lie (2002:51) adalah ukuran ruang kelas, jumlah peserta didik, tingkat kedewasaan peserta didik, toleransi guru dan kelas sebelah terhadap kegaduhan dan lalu lalangnya peserta didik lain, pengalaman guru dalam melaksanakan model pembelajaran kooperatif, pengalaman peserta didik dalam melaksanakan model pembelajaran kooperatif. Menurut Arato (2013), dalam model pembelajaran kooperatif, penataan ruang kelas perlu memperhatikan prinsip-prinsip tertentu. Bangku perlu ditata sedemikian rupa sehingga semua peserta didik dapat melihat guru/papan tulis dengan jelas, bisa melihat rekan-rekan kelompoknya dengan baik dan dalam jangkauan kelompoknya dengan rata. Kelompok bisa dekat satu sama lain., tidak mengganggu kelompok lain dan guru bisa menyediakan sedikit ruang kosong di salah satu bagian kelas untuk kegiatan lain. Bila guru sudah menata ruang kelas dengan baik maka dapat mengefektifkan jalannya kerja kelompok. Hasil penelitian yang dilakukan Naomi & Githua (2013) menyebutkan bahwa dalam kerja kelompok biasanya akan menimbulkan sedikit kegaduhan karena melibatkan interaksi setiap peserta didik. Dalam pembelajaran Two Stay-Two Stray setiap kelompok hanya dua orang saja yang mencari informasi dan dua orang lagi diam di tempat sehingga dapat mengurangi kegaduhan. Untuk itu control guru dalam mengelola kelas perlu mendapatkan perhatian. Selain itu, guru sebagai fasilitator harus memperhatikan timing dalam fase-fase pembelajaran koopertif two stay two stray, agar pembelajaran berjalan efektif. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas atau yang lebih dikenal dengan classroom action research. Prosedur penelitian tindakan berlangsung secara siklis. Secara garis besar terdapat empat tahapan dalam penelitian tindakan, yaitu: (1) Perencanaan, (2) Pelaksanaan, (3) Pengamatan, (4) Refleksi. (Suharsimi Arikunto, 2006: 16). Penelitian ini dilaksanakan dua siklus dan setiap siklus berlangsung 1 kali pertemuan sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran. Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas XI IPS 1 SMA Negeri 4 Blitar berjumlah 39 orang peserta didik yang terdiri atas 19 orang peserta didik lakilaki dan 20 orang peserta didik perempuan. Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun pelajaran 2013/2014. Pengumpulan data pada penelitian ini diperoleh dari proses pembelajaran kooperatif two stay two stray berbantuan graphmatica menggunakan; (1) lembar pengamatan observasi pada setiap siklus, (2) tes yaitu untuk memperoleh data hasil belajar matematika peserta didik, dan (3) kuesioner tanggapan peserta didik terhadap pelaksanaan pembelajaran kooperatif two stay two stray pada siklus II. Analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul. Proses analisis data dimulai dengan menelaah data yang tersedia dari berbagai sumber. Selanjutnya dari hasil analisis tersebut dideskripsikan ada tidaknya peningkatan keaktifan peserta didik dengan pembelajaran kooperatif two stay two stray, dengan melihat skor hasil observasi terhadap aktifitas peserta didik pada tiap siklus. Penelitian ini berhasil apabila hasil belajar matematika peserta didik mengalami peningkatan rata-rata nilai dari tes yang diberikan pada setiap siklus dan langkah-langkah proses pembelajaran koopertif two stay two stray dilakukan dengan baik. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Pra Penelitian
985
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pada hari senin tanggal 20 Maret 2014 peneliti mengadakan pertemuan dengan guru matematika kelas XI IPS 1, peneliti menyampaikan rencana penelitiannya. Dari pertemuan dengan guru matematika kelas XI IPS 1, peneliti memperoleh informasi tentang karakteristik peserta didik kelas XI IPS 1, mengetahui kondisi kelas, kelengkapan sarana dan prasarana serta bersama-sama melakukan analisis materi limit yang akan diajarkan. b. Tahap Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian pertemuan ke 1 ini dilaksanakan pada hari kamis, 27 Maret 2014 dengan alokasi waktu 2 x 45 menit peneliti melaksanakan tindakan siklus pertama dengan pengamatnya adalah tiga observer. a. Tahap Perencanaan (planning) Pada tahap ini peneliti menyiapkan beberapa perencanaan yaitu: (1) mempersiapkan silabus untuk materi limit, (2) menyusun perangkat pembelajaran yang berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 1 (RPP 1) yang akan digunakan untuk penelitian, (3) Menyusun lembar observasi guru dan lembar observasi peserta didik. b. Pelaksanaan (action) Langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan peneliti dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif two stay two stray pada materi limit. Selama pelaksanaan pembelajaran, observer mencatat temuan hal-hal berikut antara lain: (1) Pengamatan dilakukan peneliti berfokus pada pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru dan aktivitas peserta didik dalam mengikuti pembelajaran. (2) Hasil kajian RPP yang disiapkan guru menunjukan bahwa guru belum mengacu pada model yang menuntut peran aktif peserta didik di dalam pelaksanaan pembelajaran.
Gambar 1. Aktivitas guru dan aktivitas peserta didik dalam kegiatan inti
Hasil pengamatan pelaksanaan pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru dan observer lain adalah sebagai berikut. (a) Pada tahap pendahuluan sudah dilakukan apersepsi, namun belum semua menyampaikan tujuan pembelajaran. (b) Pada kegiatan inti guru sudah mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompokkelompok, namun demikian dalam kegiatan kelompok peserta didik hanya melakukan kegiatan sesuai perintah guru. Jarang sekali peserta didik mau bertanya kepada guru atau peserta didik lain, tidak banyak peserta didik yang menjawab pertanyaan guru atas inisiatifnya sendiri. Dalam mengerjakan tugas kelompok, sebagian besar belum tampak adanya diskusi untuk menyelesaikan atau memecahkan masalah secara bersama. Pada saat perpindahan fase peserta didik harus bertamu, suasana kelas gaduh. Hal ini terjadi karena peserta didik belum ditentukan kelompok berapa yang harus didatangi. Demikian halnya pada saat peserta didik harus kembali ke kelompok asal, peserta didik kurang efektif melakukan perpindahan dan pembelajaran menjadi kurang efektif. Pada pelaksanaan kegiatan inti, ada beberapa peserta didik yang Nampak kurang konsentrasi dan kurang rasa tanggungjawabnya. Hal ini terlihat peserta didik tersebut tidak secara aktif berdiskusi ketika fase bertamu ataupun fase berdiskusi dengan kelompok asal. Hal ini dimungkinkan peserta didik belum memahami perannya dalam pembelajaran, sehingga tidak mengerti apa yang harus dia lakukan. Berikut table hasil observasi pada pertemuan 1, difokuskan pada aktivitas peserta didik.
986
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tabel 1. Hasil Observasi Pertemuan ke 1 Observasi Hasil Terhadap Observer 1 91,5% Aktivitas Guru 81% Aktivitas Peserta didik
c.
Observer 2
Observer 3
Rata-rata
92,5% 82.5%
94% 83%
92.67% 82%
Refleksi Berdasarkan hasil catatan temuan observer ditemukan beberapa permasalahan dalam pelaksanaan penelitian pertemuan ke 1. Di antara lain: a) Guru belum menerapkan alokasi waktu yang sudah tertulis dalam RPP secara konsisten. b) Guru kurang bisa mengondisikan kelas pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. c) Peserta didik kurang aktif dalam kegiatan berdiskusi. d) Guru kurang memotivasi peserta didik agar peserta didik dapat aktif dalam kegiatan pembelajaran. e) Kurangnya rasa percaya diri peserta didik
Dari beberapa temuan tersebut diharapkan dapat menjadi refleksi untuk perbaikan pada pelaksanaan penelitian pertemuan ke-2. Jadi, untuk pertemuan berikutnya guru harus lebih tegas dalam kegiatan pembelajaran. Pelaksanaan penelitian pertemuan ke-2 ini dilaksanakan pada hari jum‟at, 28 Maret 2014 dengan alokasi waktu 2 x 45 menit peneliti melaksanakan tindakan siklus pertama dengan pengamatnya adalah tiga observer. a. Tahap Perencanaan (planning) Pada tahap ini peneliti menyiapkan beberapa perencanaan yaitu: (1) mempersiapkan silabus untuk materi limit, (2) menyusun perangkat pembelajaran yang berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 2 (RPP 2) yang akan digunakan untuk penelitian, (3) Menyusun lembar observasi guru dan lembar observasi peserta didik. RPP yang disusun berdasarkan hasil refleksi I. guru lebih detail mendeskripsikan langkahlangkah pembelajaran dan aktivitas yang harus dilakukan peserta didik. b. Pelaksanaan (action) Langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan peneliti dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif two stay two stray pada materi limit di tak hingga. Selama pelaksanaan pembelajaran, observer mencatat temuan hal-hal berikut antara lain: (1) Pengamatan dilakukan peneliti berfokus pada pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru dan aktivitas peserta didik dalam mengikuti pembelajaran. (2) Hasil kajian RPP yang disiapkan guru menunjukan bahwa guru mengacu pada model yang menuntut peran aktif peserta didik di dalam pelaksanaan pembelajaran. c. Observasi Pembelajaran pada siklus yang kedua sudah lebih baik dari pelaksanaan pembelajaran sebelumnya. Pada pembelajaran kali ini, guru sudah lebih memahami perannya sebagai fasilitator, dan peserta didik dapat melaksanakan aktivitas yang dirancang dalam pembelajaran dengan baik. Suasa pembelajaran sudah kondusif. Kekurangankekurangan pada siklus sebelumnya dapat diminimalisir pada pelaksanaan pembelajaran siklus yang kedua. Peserta didik berperan aktif dalam kegiatan diskusi kelompok asal maupun diskusi ketika bertamu di kelompok lain. Sikap menghormati pendapat orang lain, jujur, kritis, dan sistematis dalam berargumentasi sudah nampak dengan baik dilakukan peserta didik. Masing-masing peserta didik memahami peran dan tanggung jawab dalam kelompok asal, maupun ketika berperan sebagai tamu di kelompok lain. Peserta didik lebih berani bertanya kepada peserta didik lain, maupun kepada guru mengenai hal yang kurang dipahaminya. Hasil observasi terhadap aktivitas peserta didik dan aktifitas guru oleh observer pada kegiatan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada table berikut.
987
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tabel 2. Hasil Observasi Pertemuan ke 2 Observasi Hasil Terhadap Observer 1 81% Aktivitas Guru 93,2% Aktivitas Peserta didik
Observer 2 83,5% 94%
Observer 3 84% 93,2%
Rata-rata 82,8% 93,5%
Gambar 2. Aktivitas guru dan aktivitas peserta didik pada kegiatan inti siklus ke-2 Rata-rata hasil observasi pada aktivitas peserta didik 93,5%. Hasil observasi ini dikatakan tuntas karena lebih dari batas minimal yang ditentukan yaitu 80%. Pada aktivitas guru indikator yang memperoleh skor terendah menurut observer adalah menjelaskan tujuan pembelajaran, memberikan kesimpulan dan memberikan pujian. Pada aktivitas peserta didik indikator yang memperoleh skor terendah menurut observer adalah memperhatikan tujuan yang akan dicapai, menerima dan memahami kesimpulan yang disimpulkan guru dari pendapat peserta didik, serta menumbuhkan semangat dalam belajar. Berikut disajikan gambar pelaksanaan pembelajaran siklus 2 d. Refleksi Berdasarkan hasil catatan temuan observer ditemukan beberapa kesim-pulan dalam pelaksanaan penelitian pertemuan ke-2. Di antara lain: Guru sudah bisa mengondisikan kelas pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung jika dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya. Peserta didik sudah lebih giat dan aktif untuk bertanya. Masih terdapat beberapa peserta didik yang kurang berkonsentrasi saat peserta didik lain melakukan presentasi. Dari beberapa temuan tersebut diharapkan dapat menjadi refleksi untuk perbaikan pada pelaksanaan penelitian pertemuan ke 3. Jadi, untuk pertemuan berikutnya guru harus dapat memberikan motivasi maksimal kepada peserta didik untuk lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran khususnya pada saat diskusi. KESIMPULAN DAN SARAN a. Simpulan Berdasarkan data yang diperoleh, hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian, dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut. (1) Secara guru dapat melaksanakan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray dengan
988
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
berbantuan Graphmatica dengan baik. Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe twoy stay two stray dengan berbantuan Graphmatica dapat digunakan guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika. (2) Pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray dapat meningkatkan aktivitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan aktivitas peserta didik dalam proses pembelajaran matematika, guru dapat menggunakan pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray. (3) melalui pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray, nampak perkembangan kemampuan komunikasi peserta didik melalui diskusi, kemampuan menghargai pendapat orang lain, teliti, kritis dan sistematis dalam penyampaian pendapat. b. Saran Perlu adanya dukungan penuh kepada guru yang menyelenggarakan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray berbantuan graphmatica dengan memperhatikan kondisi ruang, dan pengalokasian waktu dalam perencanaan pembelajarannya.
DAFTAR RUJUKAN Kemendikbud. 2013. Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses. Jakarta: BSNP Alamsyah, N., Kartono, dan Rochmad.(2012). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Model Cooperative Learning Metode Two Stay Two Stray Berbasis Konstruktivisme Pada Materi Trigonometri Kelas X. Unnes Journal of Mathematics Education.Vol 1(1) Arato, F. (2013). Towards a Complex Model of Cooperative Learning. Da Investigacao as Praticas, 3(1), 57-79. Ari Samadhi T.M.A. Pembelajaran Aktif (Active Learning) http://eng.unri.ac.id/download/teachingimprovement/BK2_Teach&Learn_2/Active%20 learning_5.doc. Diakses tanggal 20 April 2014. Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum 2006: Standar Isi Mata Pelajaran Matematika untuk SMA/MA. Jakarta: Depdiknas. Doymuş, K. (2007). Effects of a Cooperative learning strategy on teaching and learning phases of matter and one-component phase diagrams, Journal of Mathematics Education, 84 (11), 1857-1860. Doymuş, K., Karacop, A. & Simsek, U. (2010). Effects of jigsaw and animation techniques on students understanding of concepts and subjects in electrochemistry. Educational Technology Research and Development, 5, 671-691. Eileen Veronica Hilke. (1990). Cooperative Learning (Indiana: Phi Delta Kappa Educational Fondation) Felder, Richard & Brent, Rebecca. (2007).Cooperatif Learning.Active Learning: Models from the Analytical Sciences, ACS Symposium Series 970, Vol 4, pp. 34–53 Gatch, D. B. (July 2010). Restructuring Introductory Physics by Adapting an Active Learning Studio Model. International Journal for the Scholarship of Teaching and Learning, Vol 4 No. 2 . Gillies, R. M. (2006). Teachers' and students' verbal behaviors during cooperative and small group learning. British Journal of Educational Psychology, 76 (2), 271-287. Hadi, Sutarto. (2002). Effective Teacher Professional Development for The Implementation of Realistic Mathematics Education in indonesia. University of Tweente. Hwang, W.Y., Shadiev, R., Wang,C.Y., & Huang, Z. H.(2012). A pilot study of cooperative programming learning behavior and its relationship with students learning performance. Computers & Education,58 (4), 1267-1281. Jacob, George.(2006). Cooperative Learning: Theory, Principles, and Techniques. JF New Paradigm Education. Johnson, Sue-Wilder, dan David Pimm. (2005). Some Technological Tools of the Mathematics Teacher’s Trade, in Sue Johnson-Wilder and David Pimm (eds): Teaching Secondary Mathematics with ICT. England: Open University Press. Lie, Anita. (2002). Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang – Ruang Kelas.Jakarta : 989
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Grasindo. Luo, Y., Sun, Y., & Strobel, J. (2013). The effects of collectivismindividualism on the cooperative learning of motor skill. Journal of International Students, 3(1), 41-51 Naomi, Mbacho W.; Githua , Nyingi.(2013). Effects Of Jigsaw Cooperative Learning Strategy On Students‟ Achievement In Secondary School Mathematics In Laikipia East District, Kenya.Asian Journal Of Management Sciences And Education,Vol. 2 No. 3, Ogawa, A. (2011). Facilitating Self-Regulated Learning: An Exploratory Case of Teaching a University Course on Japanese Society. International Journal of Teaching and Learning in Higher Education, Vol 23 No 2 , pp. 166-174. Parveen , Qaisara.(2012). Effect of Cooperative Learning on Achievement of Students in General Science at Secondary Level. International Education Studies Vol. 5, No. 2;. Robert J. Stahl. (1994). Cooperative Learning Social Studies. New york: Addison Wesley. Roksa, J., & Potter, D. (2011). Parenting and Academic Achievement: Intergenerational Transmission of Educational Advantage. Sociology of Education, Vol 84 No.4 , pp. 299–321 Sahin, A. (2010). Effects of jigsaw II technique on academic achievement and attitudes to written expression course. Educational Research and Reviews, Vol 5 No 12 , pp. 777-787 Simsek, U. (2013) Effects of cooperative learning methods on social studies undergraduate students achievement in political science. Energy Education Science and Technology Part B: Social and Educational Studies. Volume (issue) 5 (1), 619-632. Slavin, Robert (2006). Educational Phsycology. USA. Johns Hopskin. Sulisworo,Dwi; Suryani, Fadiyah.(2014). The Effect of Cooperative Learning, Motivation and Information Technology Literacy to Achievement. International Journal of Learning & Developmen, Vol. 4, No. 2, pp 58-64. Susilo, Sudjoko. (2012). Penerap An Pembelajaran Two Stay-Two Stray Terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Dan Minat.Unnes Journal of Mathematics Education.Vol 1(1) Tan, W., Wen, X., Jiang, C., Du, Y.,& Hu, X. (2012). An evaluation model integrating user trust and capability for selection of cooperative learning partners. Chinese Journal of Electronics, 21 (1), 42-46. Turan S., Konan A., Kilic Y. A., Ozvarış S. B., & Sayek I. (2012). The effect of problem-based learning with cooperative-learning strategies in surgery clerkships. Journal of Surgical Education, 69 (2), 226-230.
990
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMAN 1 PAMUKAN BARAT Achmad Fauzi, Abdur Rahman As’ari, dan Makbul Muksar Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak: Faktor yang mempengaruhi proses belajar mengajar ada banyak faktor, salah satunya adalah motivasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yang dapat meningkatkan motivasi belajar matematika siswa SMA Negeri 1 Pamukan Barat. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan pendekatan deskriptif kualitatif dengan subjek penelitian yaitu siswa kelas X-2 di SMA Negeri 1 Pamukan Barat sebanyak 32 siswa, seorang guru model, dan 1 orang observer. Hasil observasi penelitian menunjukan peningkatan motivasi belajar siswa. Pada hasil observasi pada siklus I rata-rata motivasi belajar siswa adalah 72,5 % dan pada siklus II adalah 78.25 %. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan motivasi belajar matematika siswa SMAN 1 Pamukan Barat. Kata kunci: pembelajaran jigsaw, motivasi belajar siswa.
Proses belajar mengajar di dalam kelas di pengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah motivasi. Motivasi siswa untuk belajar sangat di harapkan oleh guru agar proses belajar mengajar di kelas dapat berjalan dengan tertib dan lancar. Namun tidak jarang guru pada saat proses belajar mengajar menemui siswa yang kurang semangat. Mereka lebih senang ngobrol dengan temannya dari pada memperhatikan penjelasan dari guru. Penyebab siswa mengobrol dengan temannya ada berbagai macam. Bisa karena siswa bosan dengan cara mengajar guru, bisa juga karena siswa tidak paham atau faktor lainnya. Faktor daerah tempat tinggal siswa juga bisa berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Berdasarkan pengalaman mengajar peneliti di daerah perbatasan yaitu di SMA Negeri 1 Pamukan Barat, Kabupaten Kotabaru yang merupakan daerah perbatasan antara Propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur selama 2 tahun yaitu mulai tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 dan hasil wawancara terhadap guru bidang studi matematika disekolah tersebut, didapatkan motivasi siswa untuk belajar sangat rendah. Ketika guru mengajar, sekitar 65% siswa tidak memperhatikan pelajaran, mereka asyik ngobrol, mencoret-coret buku, pandangan kosong, mengantuk dan memainkan alat tulis. Selain itu, siswa kurang aktif ketika proses belajar mengajar berlangsung. Siswa akan menjawab “tidak” ketika guru bertanya “ada yang ditanyakan”. Siswa akan menjawab “paham” ketika ditanya ”apakah sudah paham”. Hal tersebut terjadi antara lain disebabkan karena cara mengajar guru yang masih menggunakan metode konvensional yaitu metode ceramah. Jadi kreatifitas dan keaktifan siswa kurang diperhatikan selama proses belajar mengajar, sehingga siswa kurang bersemangat untuk mengikuti pelajaran. Siswa hanya diberi materi tanpa diperhatikan kreatifitasnya, sehingga siswa dituntut untuk belajar menghafal yang menyebabkan informasi yang diterima siswa tidak mampu bertahan lama. Selama ini guru kecenderungan menggunakan metode ceramah, dan Tanya jawab sedangkan metode-metode lain yang lebih memotivasi siswa jarang diterapkan. Pengertian motivasi belajar menurut Fathurrohman dan Sutikno (2012:19); Santrock (2009:199); Mc. Donald, yang dikutip A.M. Sardiman (2011:73); Schunk, Pintrich, dan Meece (2012:4); Haryanto (2010), dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi belajar adalah suatu dorongan baik dari diri kita maupun dari orang lain guna mencapai suatu tujuan tertentu dengan menciptakan serangkaian usaha. Siswa yang memiliki motivasi belajar akan menggunakan proses pengetahuan dalam memahami dan mempelajari suatu materi dengan baik, sehingga hasil proses itu akan terserap dan tersimpan dalam diri siswa dalam waktu lama. Mengingat metode pembelajaran merupakan salah satu faktor yang menentukan motivasi belajar siswa (Slameto (2010:54-71); Dimyati dan Mudjiono (2009:97-101); Sardiman (2006) dalam Azyraf (2013)), ada berbagai macam model pembelajaran yang pantas
991
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dipertimbangkan untuk diterapkan pada pembelajaran matematika sehingga motivasi belajar siswa meningkat. Salah satunya adalah model cooperative learning. Salah satu model pembelajaran kooperatif adalah Jigsaw. Model ini sudah diteliti oleh Mbacho & Changeiywo (2013), Mbacho & Githua (2013), Zakaria, dkk. (2013), Şengül & Katrancı, (2012), Siwi (2012), Fini, Zainalipour dan Jamri (2012), Lukiani (2011), Purwanto (2011), Said (2011), Adhinata (2011), Wibowo (2011), Hanan (2009), Taufiq (2009), Yuwono (2008). Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini dapat meningkatkan motivasi, pemahaman dan hasil belajar siswa. Pembelajaran JIGSAW Metode jigsaw pertama kali dikembangkan oleh Aronson (1975). Metode ini memiliki dua versi tambahan jigsaw I (slavin, 1989) dan jigsaw III (Kagan, 1990). Metode ini dapat diterapkan untuk materi-materi yang berhubungan dengan ketrampilan membaca, menulis, mendengarkan ataupun berbicara. Ia menggabungkan aktivitas membaca, menulis, mendengar dan berbicara. Dalam jigsaw guru memahami kemampuan dan pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skema ini agar materi pelajaran menjadi bermakna. Guru juga memberi banyak kesempatan pada siswa untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi (Huda, 2013:204). Isjoni (2011:54) mengatakan pembelajaran kooperatif jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam model belajar ini terdapat tahap-tahap dalam penyelenggaraannya. Sintak atau langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Guru membagi topik pelajaran menjadi empat bagian/ subtopik. 2. Sebelum subtopik-subtopik itu diberikan, guru memberikan apersepsi mengenai topik yang akan dibahas. 3. Siswa dibagi dalam kelompok berempat yang disebut kelompok asal, dengan bagian/subtopik pertama diberikan pada siswa/ anggota 1, sedangkan siswa/ anggota 2 menerima bagian/ subtopik yang kedua, demikian seterusnya. 4. Kemudian siswa diminta membaca, dan mengerjakan bagian/subtopik mereka secara individu. 5. Siswa berkumpul dengan anggota kelompok lain yang memiliki subtopik sama yang disebut kelompok ahli dan berdiskusi mengenai bagian/subtopik yang sudah dibaca dan dikejakan masing-masing. 6. Siswa kembali ke kelompok asal untuk menyampaikan hasil dari diskusi dengan kelompok ahli secara bergantian 7. Kegiatan diakhiri dengan membuat kesimpulan bersama. METODE Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian tindakan kelas. Peneliti menelaah proses dan hasil tindakan pembelajaran yang dilakukan secara sistematis dan terencana. Peneliti juga terlibat langsung dalam penelitian ini. Peneliti bertindak sebagai instrumen utama, karena peneliti sendiri yang merencanakan, merancang, melaksanakan, mengumpulkan data, dan menganalisis data , menyimpulkan serta melaporkan hasilnya. Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik (1) observasi, (2) angket, dan (3) wawancara. Observasi untuk mengamati kegiatan pembelajaran dan mengamati motivasi belajar siswa. Angket dan wawancara untuk mengetahui respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Subjek pada penelitian ini adalah siswa kelas X-2 SMAN 1 Pamukan Barat tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 32 siswa, yang terdiri dari 19 siswa putrid an 13 siswa putra. Kriteria keberhasilan tindakan adalah 75%. Selain itu motivasi belajar dianggap meningkat jika kriteria minimal 75%.
992
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
HASIL Siklus I Peneliti memulai pembelajaran dengan memberikan penjelasan kepada semua siswa. Penyajian dilakukan dengan menuliskan materi yang akan dibahas di papan tulis. Siswa berkumpul di kelompok asal yang sudah di bentuk sebelumnya Kemudian peneliti membagikan LKS kesemua siswa untuk dikerjakan secara mandiri. Selanjutnya, siswa yang memiliki LKS dengan materi yang sama berkumpul dalam satu kelompok dan membentuk kelompok ahli. Siswa kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah mereka diskusikan di kelompok ahli kepada teman-teman di kelompok asal. Selama melakukan diskusi di kelompok, peneliti mendampingi mereka dalam mengerjakan LKS. Peneliti mengajak seluruh siswa untuk menyimpulkan hasil belajar yang didapat pada kegiatan belajar ini. Berdasarkan tindakan yang sudah dilakukan diperoleh indormasi hasil observasi terhadap kegiatan pembelajaran pada siklus I dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Hasil Observasi Aktivitas Guru dan Motivasi Belajar Siswa Siklus I No Jenis data Pertemuan I (%) Pertemuan II (%) Persentase rata-rata 1 Aktivitas Guru 90,74 94,44 92,59 2 Motivasi Belajar 70 75 72,50
Kategori Sangat baik cukup
Dari tabel tampak bahwa hasil observasi aktivitas guru pada siklus I sudah tercapai yaitu 92,59% sudah memenuhi kriteria minimal yaitu 75%. Sedangkan hasil observasi motivasi belajar siswa belum tercapai. Hasil observasi motivasi belajar pada siklus I ini adalah 72,5% yang belum memenuhi kriteria minimal yaitu 75%. Karena ada salah satu kriteria yang belum tercapai maka pembelajaran dilanjutkan ke siklus II. Berdasarkan hasil refleksi terhadap hasil pengamatan tentang tindakan pembelajaran yang dilakukan guru dan reaksi siswa, peneliti memutuskan untuk memperbaiki tindakan I menjadi: 1) Peneliti membiasakan siswa dengan pembelajaran tipe jigsaw dan memberi bimbingan untuk mengatasi siswa yang mengalami kebingungan. 2) Peneliti akan memperbaiki pengelolaan kelas agar suasana kelas menjadi lebih kondusif. 3) Peneliti memberi teguran kepada siswa siswa yang berbicara diluar materi. 4) Peneliti akan memberikan perhatian yang lebih kepada siswa yang kurang aktif. 5) Peneliti akan mengurangi jumlah soal yang harus di kerjakan siswa agar siswa dapat mengerjakan LKS tepat waktu. Siklus II Peneliti memulai pembelajaran dengan memberikan penjelasan kepada semua siswa. Penyajian dilakukan dengan menuliskan materi yang akan dibahas di papan tulis. Siswa berkumpul di kelompok asal yang sudah di bentuk sebelumnya Kemudian peneliti membagikan LKS kesemua siswa untuk dikerjakan secara mandiri. Selanjutnya, siswa yang memiliki LKS dengan materi yang sama berkumpul dalam satu kelompok dan membentuk kelompok ahli. Siswa kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah mereka diskusikan di kelompok ahli kepada teman-teman di kelompok asal. Selama melakukan diskusi di kelompok, peneliti mendampingi mereka dalam mengerjakan LKS. Peneliti mengajak seluruh siswa untuk menyimpulkan hasil belajar yang didapat pada kegiatan belajar ini. Berdasarkan tindakan yang sudah dilakukan diperoleh indormasi hasil observasi terhadap kegiatan pembelajaran pada siklus I dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut: Tabel 2. Hasil Observasi Aktivitas Guru dan Motivasi Belajar Siswa Siklus I No Jenis data Pertemuan I (%) Pertemuan II (%) Persentase rata-rata 1 Aktivitas Guru 98,15 98,15 98,15 2 Motivasi Belajar 77,75 78,75 78,25
Kategori Sangat baik Baik
Dari tabel tampak bahwa hasil observasi aktivitas guru pada siklus I sudah tercapai yaitu 98,15% sudah memenuhi kriteria minimal yaitu 75%. Sedangkan hasil observasi motivasi belajar siswa belum tercapai. Hasil observasi motivasi belajar pada siklus I ini adalah 78,25% yang juga sudah memenuhi kriteria minimal yaitu 75%. Kedua kriteria sudah terpenuhi maka penelitian tindakan kelas ini dinyakan berhasil. PEMBAHASAN
993
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Ketika diajar dengan metode konvensional banyak siswa kurang memperhatikan pelajaran ketika guru mengajar. Siswa cenderung bosan karena mereka hanya mendengarkan guru menjelaskan, memberi contoh dan memberikan latihan soal. Jika siswa tidak paham salah satu sub bab, maka kedepannya dia tidak akan paham. Hal tersebut terjadi karena antar sub bab satu dengan yang lain berkaitan. Jika siswa sudah tidak mengerti, maka dia akan malas untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Untuk mengatasi masalah tersebut guru harus bisa menggunakan variasi metode pembelajaran. Ini sesuai dengan pendapat Slameto (2010:65) yang mengatakan “ agar siswa dapat belajar dengan baik, maka metode mengajar harus diusahakan yang setepat, seefisien dan seefektif mungkin”. Salah satu metode pembelajaran adalah pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Pada pembelajaran ini siswa dituntut untuk aktif berdiskusi karena mereka harus menjelaskan hasil diskusi kepada teman dikelompok asal. Jika siswa tidak memperhatikan siswa tersebut tidak akan bisa menjelaskan kepada teman mereka. Metode pembelajaran ini menuntut siswa untuk lebih memperhatikan karena kegiatan diskusi harus berpindah-pindah kelompok. Siswa disibukkan dengan kegiatan diskusi, sehingga siswa lebih perhatian pada pelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Sanjaya (2011:257) bahwa “ kelas yang dikelola dengan baik membuat siswa-siswa tetap sibuk dengan tugas yang aktif dan menantang”. Jika ada siswa yang masih tidak memperhatikan pelajaran selama diskusi, guru bisa memberi bimbingan maupun mengarahkan siswa tersebut. Guru juga harus memberikan bimbingan dan juga pengarahan ketika siswa mengalami kebingungan, kesulitan maupun masalah dalam belajar. Dengan bimbingan siswa akan dapat mengatasi kebingungan dan kesulitan yang dihadapinya serta masalah dalam belajar dapat diselesaikan. Jika kebingungan, kesulitan, dan masalah dapat diselesaikan oleh siswa maka kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan lancar. Dalam memberikan bimbingan dan pengarahan antar siswa satu dengan yang lain tidak bisa disamakan. Guru harus memberikan bimbingan dan pengarahan sesuai kemampuan siswa. Darmadi (2012:51) mengatakan bahwa “ Guru wajib memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada anak didik pada waktu mereka menghadapi kesulitan dengan cara yang sesuai dengan kemampuan anak didik dan kemampuan yang ingin dicapai”. Siswa pada saat diskusi masih ada yang berbicara diluar materi yang mereka dapatkan atau ngobrol dengan temannya. Guru tidak melakukan tindakan pencegahan agar tindakan siswa tersebut tidak lebih meluas ke teman-temannya yang lain karena itu mengganggu kegiatan belajar mengajar. Guru melakukan teguran kepada siswa yang mengganggu siswa lain. Namun demikian teguran akan diberikan kepada siswa yang benar-benar mengganggu kegiatan belajar mengajar dan teguran dilakukan dengan menghindari peringatan-peringatan kasar, mengejek atau menghina. Sesuai pendapat Nurhalisah (2010:202) mengatakan bahwa “teguran perlu dilakukan oleh guru untuk mengembalikan keadaan kelas yang kondusif”. Siswa juga kurang aktif dalam berdiskusi sehingga kegiatan belajar mengajar menjadi kurang lancar. Salah satu faktornya adalah siswa masih malu dan takut untuk mengemukakan pendapat dan bertanya. Guru memberi perhatian kepada siswa yang kurang aktif tersebut agar mau bertanya, maupun menjawab pertanyaan yang di ajukan oleh guru. Dengan perhatian yang diberikan guru siswa menjadi aktif untuk mengemukakan pendapat maupun bertanya jika ada yang kurang paham. Ini sesuai dengan pendapat Nurhalisah (2010:206) mengatakan bahwa ”untuk mengaktifkan siswa yang diam guru hendaknya memberikan perhatian dengan memberi kesempatan bertanya, mengamati, dan menganalisa materi”. Dengan belajar kelompok siswa bisa saling membantu dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Siswa bisa mengaitkan pelajaran yang sedang dipelajarinya dengan materi yang pernah didapatkan sebelumnya dengan cara berdiskusi dengan temannya maupun bertanya dengan guru. Dengan belajar secara kelompok tersebut siswa dapat saling mengingatkan materi prasyarat apa yang harus mereka gunakan untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Dengan belajar secara berkelompok siswa dapat bertukar pendapat dan saling tanya jawab jika ada yang belum dipahami. Ini sesuai dengan pendapat Sayondari, Antari, Dantes (2014:5) yang mengatakan bahwa “dengan diskusi kelompok siswa dapat berbagi informasi dalam menjalani gagasan baru atau memecahkan masalah”. Percaya diri merupakan indikator lainnya dalam motivasi belajar siswa. Menurut Abdul Mu’in Amien, Endang (dalam Rohayati, 2014:6) bahwa “kepercaya diri merupakan suatu keadaan dalam diri seseorang yang berisi kekuatan, kemampuan dan keterampilan yang dimiliki 994
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
seseorang”. Siswa yang memiliki kepercayaan diri tinggi maka semangat untuk belajar tinggi. Tetapi ketika siswa tersebut tidak percaya diri maka siswa tersebut kurang percaya pada kemampuannya, sehingga siswa tersebut sering diam atau menutup diri. Belajar kelompok adalah salah satu cara untuk menumbuhkan sikap percaya diri siswa. Belajar kelompok sangat diperlukan siswa untuk dapat menyampaikan pendapat mereka, maupun bertanya. Dengan belajar kelompok siswa dibagi ke dalam kelompok yang lebih kecil, sehingga siswa akan lebih berani untuk mengemukakan pendapat. Jika dikelas yang besar siswa cenderung takut dan malu untuk menyampaikan pendapat dan juga untuk bertanya jika ada yang tidak dipahami. Dengan belajar kelompok percaya diri siswa lebih muncul karena pendapat maupun pertanyaan mereka hanya di dengar oleh teman dalam kelompoknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sayondari, Antari, Dantes (2014:9) bahwa “penerapan bimbingan kelompok dengan teknik diskusi kelompok dapat meningkatkan percaya diri siswa”. Guru meminta teman dalam satu kelompok yang lebih paham untuk mengajari teman mereka yang belum paham. Dengan diskusi kelompok siswa dapat bertanya dengan teman sejawat tentang materi yang belum dikuasainya. Siswa akan lebih berani bertanya kepada teman sejawat dari pada kepada guru. Siswa juga berani mengemukakan pendapatnya kepada teman karena mereka tidak takut salah. Tetapi jika kepada guru mereka takut jika pendapat mereka nanti salah. Sehingga dengan bantuan teman sebaya siswa dapat meningkatkan percaya diri. Ini sesuai dengan pendapat Rohayati (2011:375) yang mengatakan bahwa “program bimbingan teman sebaya efektif meningkatkan percaya diri siswa”. Siswa akan merasa puas ketika mereka bisa menyelesaikan soal yang diberikan oleh guru. Ketika mereka menyelesaikan sendiri soal-soal yang diberikan guru tanpa melihat pekerjaan temannya merekasangat senang. Siswa akan lebih puas ketika hasil pekerjaan mereka mendapatkan pengakuan baik dari teman maupun dari guru. Siswa akan lebih bersemangat untuk mengerjakan soal-soal yang lain karena mereka merasa sudah bisa mengerjakan soal yang diberikan oleh guru dengan benar. Di samping itu siswa akan merasa termotivasi jika hasil pekerjaan mereka di hargai. Cara menghargai terhadap hasil pekerjaan siswa ada beberapa macam. Menghargai pekerjaan siswa dapat dilakukan guru dengan memberikan pujian kepada siswa tersebut. Siswa akan merasa senang ketika guru memuji hasil pekerjaan mereka. Penghargaan atas hasil kerja siswa dapat dilakukan dengan memberikan nilai pada hasil pekerjaan. Dengan nilai bagus siswa akan lebih semangat atau termotivasi lagi untuk belajar. Penghargaan dapat juga dilakukan dengan cara memberikan mereka hadiah jika kelompok mereka meraih skor nilai tertinggi. Penghargaan tersebut diberikan atas kerjasama kelompok tersebut, bukan persaingan antara anggota kelompok. Ini sejalan dengan pendapat Sardiman (2011:92-95) bahwa “ untuk meningkatkan motivasi belajar siswa ada beberapa cara diantaranya memberikan nilai, hadiah, pujian maupun hukuman”. KESIMPULAN Pada dasarnya jigsaw yang digunakan peneliti sama dengan jigsaw yang ada, hanya saja untuk meningkatkan motivasi belajar siswa SMAN 1 Pamukan Barat ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu Untuk meningkatkan perhatian siswa terhadap pembelajaran adalah dengan membiasakan siswa untuk belajar secara berdiskusi. Dengan belajar secara berdiskusi siswa sibuk dengan tugas yang diberikan oleh guru, dan berusaha untuk mengerti karena mereka harus menjelaskan di kelompok asal. Untuk membantu siswa yang kurang paham dan mengalami kebingungan guru memberikan bimbingan. Bimbingan tidak diberikan secara klasikal atau di depan kelas, akan tetapi bimbingan diberikan kepada kelompok dan individu yang mengalami kesulitan dalam belajar. Untuk menjaga kelas tetap kondusif agar siswa dapat belajar dengan tenang dan nyaman guru harus bisa mengelola kelas dengan baik. Cara mengaktifkan siswa agar mau mengemukakan pendapat maupun bertanya jika mengalami kesulitan guru memberi mereka perhatian lebih. Dengan tutor teman sebaya kepercayaan diri siswa dapat meningkat. Mereka lebih berani untuk bertanya jika merasa kurang paham dan mengemukakan pendapat bagi yang paham dengan materinya. Kepuasan siswa dapat meningkat ketika mereka mendapatkan nilai sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka puas ketika hasil mereka mendapat penghargaan dari teman maupun guru. Selain itu pemberian penghargaan membuat mereka lebih termotivasi untuk belajar. 995
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini dapat meningkatkan motivasi belajar siswa tentang materi trigonometri siswa kelas X-2 SMA Negeri 1 Pamukan Barat tahun pelajaran 2013/2014 ditunjukkan dengan hasil pada siklus I hasil lembar observasi aktivitas guru adalah 90,74 % atau pada kategori sangat baik pada pertemuan pertama dan 94,44 % atau pada kategori sangat baik pada pertemuan kedua. Sedangkan hasil lembar observasi motivasi belajar adalah 70 % atau pada kategori cukup pada pertemuan pertama dan 75 % atau pada kategori baik pada pertemuan kedua. Pada siklus II lembar observasi aktivitas guru adalah 98,15 % atau pada kategori sangat baik pada pertemuan pertama dan 98,15 % atau pada kategori sangat baik pada pertemuan kedua. lembar observasi motivasi belajar siswa adalah 77,75 % atau pada kategori baik pada pertemuan pertama dan 78,75 % atau pada kategori baik pada pertemuan kedua. Respon siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini positif yang berarti siswa merasa bahwa belajar dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw itu menyenangkan, siswa lebih aktif, dan siswa lebih berani mengemukakan pendapatnya. Serta siswa berani menyampaikan apa yang didapat kepada temannya, terutama pada teman satu kelompok asal. Untuk meningkatkan semangat belajar siswa kita harus berani mencoba model-model pembelajaran yang cocok untuk siswa kita. Disarankan untuk dapat membagi topik dengan baik, agar pembelajaran tepat waktu dan berjalan dengan lancar. Perlunya waktu lebih untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Manajemen kelas harus benar-benar di perhatikan karena kita harus melakukan perpindahan tempat duduk lebih dari sekali. Sehingga siswa harus melakukan perpindahan tempat duduk dengan cepat dan tenang agar waktu bisa sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Adhinata, R. 2011. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw untuk memahamkan materi persamaan kuadrat pada siswa kelas X SMKN 1 Blitar. Tesis tidak diterbitkan. Malang : PPs UM. Azyraf, A. F. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi. http://www.wawasanpendidikan.com/2013/07/artikel-pendidikan-tentang-faktor-faktor-yang-mempengaruhimotivasi.html. Diakses 08 Oktober 2013. Darmadi, H. 2012. Kemampuan dasar mengajar. Bandung : Alfabeta. Dimyati & Mudjiono. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Fathurrohman, P & Sutikno, M. S. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Refika Aditama. Fini, A. A. S., Zainalipour, H., dan Jamri, M. (2012). “An Investigation into the Effect of Cooperative Learning with Focus on Jigsaw Technique on the Academic achievement of 2nd-Grade Middle School Students. http://jlsb.science-line.com/attachments/article/10/JLSB-2012-B4.pdf. Diakses 11 November 2013. Haryanto. 2010. Pengertian Motivasi Belajar. http://belajarpsikologi.com/pengertian-motivasibelajar/. Diakses 09 September 2013. Huda, M. 2013. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta : Pustaka Belajar. Isjoni. 2011. Cooperative learning. Edisi 5. Bandung : Alfabeta. Lukiani, E. R. M. 2011. Penerapan Pembelajaran kooperatif perpaduan teknik jigsaw dan investigasi kelompok untuk meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan hasil belajar ekonomi pada mahasiswa program studi pendidikan ekonomi dan akuntansi Universitas Nusantara PGRI K. Tesis tidak diterbitkan. Malang : PPs UM. Mbacho, N. W. & Changeiywo, J. M. 2013. Effects of Jigsaw Cooperative Learning Strategy on Students‟ Achievement by Gender Differences in Secondary School Mathematics in Laikipia East District, Kenya. http://www.iiste.org/Journals/index.php/JEP/article/download/7360/7495. Diakses 10 November 2014 Mbacho, N. W. & Githua, B. N. 2013. Effects Of Jigsaw Cooperative Learning Strategy On Students‟ Achievement In Secondary School Mathematics In Laikipia East District, Kenya. http://www.ajmse.leena-luna.co.jp/AJMSEPDFs/Vol.2(3)/ AJMSE 2013(2.318).pdf. Diakses 10 November 2014. Mulyasa, E. 2011. Menjadi guru professional menciptakan pembelajaran kreatif dan menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nurhalisah. 2010. Peranan guru dalam mengelola kelas. Lentera pendidikan, vol. 13 no. 2 Desember 2010: 192-210.
996
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Purwanto, E. 2011. Pembelajaran kooperatif model jigsaw untuk memahamkan siswa kelas X SMAK Negeri 2 Bondowoso tentang bilangan berpangkat. Tesis tidak diterbitkan. Malang : PPs UM. Rohayati. 2011. Program teman sebaya untuk meningkatkan percaya diri siswa. Edisi khusus No. 1, Agustus 2011. ISSN 1412-565X Said, B. A. 2011. Meningkatkan prestasi belajar kompetensi mengoperasikan peralatan pengalih daya tegangan rendah melalui pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. untuk memahamkan siswa kelas X SMAK Negeri 2 Bondowoso tentang bilangan berpangkat. Tesis tidak diterbitkan. Malang : PPs UM. Sanjaya, W. 2011. Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media. Sardiman, A.M. 2011. Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Cetakan ke-19. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. Sayondari, P. N., Antari, N. N. M. & Dates N. 2014. Penerapan bimbingan kelompok dengan teknik diskusi kelompok untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa kelas VIII E SMP Negeri 3 Singaraja tahun pelajaran 2013/2014. E-jurnal Undika Jurusan Bimbingan Konseling volume:2 No. 1, tahun 2014. Schunk, D. H., Pintrich, P. R., & Meece, J. L. Motivasi dalam Pendidikan Teori, Penelitian, dan Aplikasi. Terjemahan Tjo, E. 2012. Jakarta : PT. Indeks. Şengül, S & Katrancı, Y. 2012. Teaching the Subject ‚Sets‛ with the „Dissociation and ReAssociation‟(Jigsaw). http://akademikpersonel.kocaeli.edu.tr/ yasemin.katranci/diger/yasemin.katranci15.11.2012_00.18.09diger.pdf. Diakses 10 November 2014. Siwi, M. K. 2012. Efektifitas penerapan model pembelajaran inkuiri dan kooperatif tipe jigsaw untuk meningkatkan higher order thinking siswa yang diintermediasi oleh gaya belajar (visual Auditorial Kenertetik) siswa pada mata pelajaran ekonomi SMAN 10 Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang : PPs UM. Slameto. 2010. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Cetakan ke-5. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Slavin, R. E. 2009. Psikologi Pendidikan teori dan praktik edisi delapan. Jakarta: PT Indeks. Taufiq, I. 2009. Pembelajaran jigsaw berbasis problem posing untuk meningkatkan ketrampilan menyelesaikan soal cerita operasi hitung bilangan bulat siswa V SD Islam Sabilillah Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Yuwono, T. 2008. Belajar kooperatif model jigsaw untuk memahami sistem persamaan linier di STMK Pradmya Paramita Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang : PPs UM. Zakaria, E. dkk. 2013. Effect of Cooperative Learning on Secondary School Students‟ Mathematics Achievement. http://www.scirp.org/journal/ PaperDownload.aspx?paperID=27759. Diakses 10 November 2014.
PENALARAN ANALOGI: TINJAUAN TIPE DAN KOMPONENNYA Siti Lailiyah Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Abstrak: Banyak alasan mengapa penalaran analogi sering dipakai dalam pembelajaran di sekolah diantaranya: dapat meningkatkan kreativitas siswa, dapat mengaitkan konsep abstrak dengan kehidupan nyata serta mengembangkan kemampuan penalaran dan motivasi siswa dalam belajar. Penalaran analogi merupakan kemampuan penting dari kognisi manusia, karena analogi dapat digunakan untuk menjelaskan banyak aspek kreativitas kognitif, produktivitas dan adaptivitas. Dalam makalah ini akan menjelaskan tipe dan komponen penalaran analogi berdasarkan teorinya. Kata kunci: penalaran analogi.
997
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Fennema dan Frankle (1992) menjelaskan bahwa jika pengetahuan tentang penalaran siswa diintegrasikan pada kurikulum maka akan memberikan pengaruh positif terhadap mengajar dan belajar matematika. Kemampuan penalaran dapat membantu siswa untuk memahami dan mengevaluasi komunitas ilmiah dan teknologi, karena penalaran sangat efektif untuk mengembangkan kemampuan siswa ketika menganalisis situasi baru yang dihadapi dalam semua aspek termasuk membuat asumsi logis, menjelaskan pemikiran, mencapai kesimpulan dan mempertahankan kesimpulan. Somayeh Amir-Mofidi and Parvaneh Amiripour (2012), menjelaskan bahwa jenis-jenis penalaran dibagi menjadi tiga yaitu: penalaran induktif, penalaran analogi dan penalaran deduktif. Sedangkan menurut Woo, J. H., Lew, H. C., Park, K. S. & Seo, D.Y. (2007) menjelaskan bahwa penalaran dibagi menjadi tiga yaitu: penalaran induksi, penalaran analogi dan pencitraan. Dari ketiga jenis penalaran yang sangat penting dalam bidang matematika adalah penalaran induksi atau induktif dan penalaran analogi seperti yang dikemukakan Polya (1954, 1962), akan tetapi tidak menutup kemungkinan penalaran yang lain juga berperan penting dalam bidang yang lain. Oleh karena itu dalam makalah ini akan mengungkap lebih jauh tentang penalaran matematika siswa khususnya keterampilan penalaran analogi. Analogi dalam pengertian umum adalah kemampuan untuk berpikir dengan pola relasional, mampu mendeteksi pola, untuk mengidentifikasi pengulangan pola dalam variasi polanya, untuk abstraksi pola dan untuk mengkomunikasikan abstraksi tersebut sebagai dasar hasil yang diperoleh. Pada intinya, analogi terletak pada inti dari kognisi manusia dan tampaknya terkait erat dengan pengembangan kemampuan representasional umum. Bahkan anak-anak yang berusia 1 dan 2 tahun dapat menunjukkan kemampuan untuk berpikir analogi (Goswami, 2001), di mana mereka menggunakan pemahaman mereka tentang situasi biasanya untuk membantu mereka membangun pengetahuan baru. Penalaran analogi dalam arti lebih luas, dapat diartikan sebagai penalaran yang berdasarkan kesamaan, sedangkan penalaran analogi dalam arti sempit diartikan sebagai penalaran tentang hubungan antara unsur-unsur kesamaan (Erzsébet Antal, 2004). Helmar Gust dan Kai-Uwe Kunhnberger (2006) menjelaskan bahwa dengan keterampilan penalaran analogi dapat menjadikan pembelajaran di kelas menjadi efektif. Kelebihan penalaran analogi yang lain jika dilakukan dalam pembelajaran yaitu: (1) penalaran analogi dapat meningkatkan kreativitas siswa, (2) konsep-konsep matematika abstrak dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa, (3) menggunakan contoh analogi mengembangkan kemampuan penalaran dan motivasi pada saat pemecahan masalah, (4) siswa dapat memperkenalkan dan memberikan contoh penalaran analogi lain melalui contoh analogi matematika, dan (5) penalaran analogi dibuat untuk belajar mendalam dan mengingat konsep-konsep matematika untuk jangka panjang. Beberapa peneliti telah mengkaji penalaran analogi dalam pembelajaran (Markus Ruppert, 2013; Soohyun Cho, dkk, 2007; Maria Salih, 2008). Dari kajian tersebut diperoleh beberapa temuan antara lain: proses penalaran analogi dimulai dengan memberikan urutan tugas berdasarkan lingkungan belajar; kesamaan analogi dan kesamaan literal di kinerja memori; model penalaran analogi yang digunakan sebagai strategi dalam pengajaran dan pembelajaran sains seperti General Model of Analogy Teaching (GMAT) yang merupakan model pertama, model Teaching with Analogy yaitu model yang paling umum digunakan dalam pengajaran, model Student-Generated Analogies yaitu model yang dihasilkan siswa, model LISA (Learning and Inference With Schema and Analogies) yang bertujuan untuk mewakili peran analogi dalam pemikiran jaringan syaraf relasional, dan model kausal sumber dan target dapat meningkatkan kreativitisas siswa dan efektivitas pembelajaran. PENALARAN ANALOGI Penalaran (reasoning) diartikan sebagai proses berpikir khususnya berpikir logis atau berpikir memecahkan masalah. Kamus Besar Indonesia menjelaskan penalaran sebagai proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui, proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan
998
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi. Penalaran juga berkaitan erat dengan proses berpikir dalam mengambil suatu kesimpulan dan merupakan ciri dari kegiatan matematika. Krulick, Rudnick dan Milou (2003) mengungkapkan bahwa penalaran merupakan bagian dari proses berpikir, namun seringkali berpikir dan bernalar digunakan secara sinonim. Keterkaitan antara berpikir dan bernalar disajikan pada gambar 1 berikut:
Berpikir tingkat tinggi
Kreatif
Penalaran
Kritis Dasar Ingatan (Recall) Gambar 1. Hirarki Berpikir (Krulick, Rudnick, dan Milou, 2003)
Tahapan berpikir paling rendah adalah mengingat (recall). Pada tahapan mengingat ini proses berpikir seseorang tidak sampai menggunakan proses logis atau analitis, tetapi proses berpikir berlangsung secara otomatis. Tahapan berikutnya yaitu tahapan berpikir kedua adalah berpikir dasar (basic thinking) merupakan bentuk yang lebih umum dari berpikir. Kebanyakan keputusan dibuat dalam berpikir dasar. Tahapan berpikir ketiga yaitu berpikir kritis (critical thinking) dimana sudah ditandai dengan kemampuan menganalisa masalah, menentukan kecukupan data untuk menyelesaikan masalah, memutuskan perlunya informasi tambahan dalam suatu masalah dan menganalisis situasi. Dalam tahapan berpikir ini juga termasuk mengenali konsistensi data dan dapat menentukan kevalidan suatu kesimpulan. Tahapan berpikir tertinggi adalah berpikir kreatif (creative thinking) yang ditandai dengan kemampuan menyelesaikan suatu masalah dengan cara-cara yang tidak biasa, unik dan berbeda. Proses berpikir yang mencakup berpikir kreatif dan berpikir kritis disebut dengan berpikir tingkat tinggi (high order thinking). Sedangkan proses berpikir yang mencakup berpikir kreatif, berpikir kritis dan berpikir dasar disebut penalaran (reasoning). Penalaran analogi merupakan kegiatan dan proses penyimpulan berdasarkan kesamaan data atau fakta. Pada penalaran analogi terdapat dua hal yang berlainan dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan. Dalam hal ini yang dicari adalah keserupaan atau keidentikkan dari dua hal yang berbeda. Analogi tidak hanya menunjukkan keserupaan kedua hal yang berbeda, akan tetapi juga menarik kesimpulan atas dasar keserupaan tersebut. Penalaran analogi menurut Helmar Gust and Kai-Uwe Kunhnberger (2006) adalah kemampuan penting dari kognisi manusia, karena analogi dapat digunakan untuk menjelaskan banyak aspek kreativitas kognitif, produktivitas, dan adaptivitas. Belajar dengan analogi merupakan faktor penting untuk adaptivitas manusia tanpa input data yang besar. Sedangkan menurut Erzsébet Antal (2004) menjelaskan bahwa penalaran analogi dalam arti lebih luas, dapat diartikan sebagai penalaran yang berdasarkan kesamaan, sedangkan penalaran analogi dalam arti sempit diartikan sebagai penalaran tentang hubungan antara unsur-unsur kesamaan. Penalaran analogi menurut Joseph (1989) adalah proses mendapatkan dan mengadaptasi penyelesaian lama untuk menyelesaikan masalah baru. Kerja dalam penalaran analogi lebih menekankan pemetaan masalah sumber ke masalah target. Penalaran analogi memiliki empat tahapan utama, yaitu: (1) representasi masalah, (2) pencarian, (3) pemetaan dan (4) adaptasi prosedural. Representasi masalah adalah bagian penting dalam penalaran analogi. Representasi masalah yang berbeda tergantung pada seberapa baik mereka memahami domain masalah. Kemampuan dalam menafsirkan masalah dapat meningkatkan efektivitas pemecahan masalah. Setelah representasi masalah, tahapan berikutnya yaitu pencarian. Pencarian adalah mungkin diperlukan untuk menemukan keidentikkan dalam menyelesaikan masalah target. Tahapan yang ketiga yaitu pemetaan, pemetaan adalah proses memilih dan menyalin informasi yang identik 999
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dari masalah sumber ke masalah target. Pemetaan menetapkan korespondensi antara domain pengetahuan yang mengandung beberapa kesamaan. Tahapan terakhir yaitu adapatasi prosedural, adaptasi prosedural adalah modifikasi elemen informasi yang telah dipetakan jika terdapat analogi inkonsisten. TIPE PENALARAN ANALOGI Penalaran analogi menurut Lyn D English (2004) dibedakan menjadi tiga macam, yaitu penalaran dengan analogi klasik, penalaran dengan analogi masalah dan penalaran dengan analogi pedagogik: 1) Penalaran dengan Analogi Klasik Analogi klasik atau konvensional memiliki bentuk perbandingan A : B :: C : D, di mana bentuk C dan D harus terkait dalam cara yang identik seperti bentuk A dan B yang berelasi atau A berelasi ke C dalam cara yang identik dengan B yang berelasi ke D. Analogi ini pada dasarnya adalah masalah proporsional atau relasional yang telah populer dalam tes IQ (Intelligent Quotient) selama bertahun-tahun. Teori struktural dalam Piaget yang paling sering diterapkan untuk analisis penalaran analogi klasik. Teori-teori tersebut fokus pada sifat hubungan antara masalah analogi yang diberikan. Beberapa psikolog menyarankan bahwa bentuk analogi klasik merupakan cara yang efisien dan efektif untuk contoh proses penalaran dan untuk mengukur penalaran verbal, kemampuan inferensial, dan kecerdasan analitik (Kuncel, Hezlett, dan Ones, 2004; Lohman, 2004; Sternberg, 1977, 1985, 1988). David Lohman (2004) menjelaskan bahwa analogi merepresentasikan efisiensi suatu bentuk tipe yang memungkinkan contoh proses penalaran verbal. Bentuk analogi klasik dalam tes IQ biasanya terdapat satu bentuk dalam analoginya yang hilang dan harus dicari jawabannya dengan tepat dari empat pilihan jawaban yang memiliki hubungan logikal yang valid. Contoh bentuk tes analogi klasik dalam matematika meliputi konsep dari teori bilangan aritmatika, aljabar dan geometri. Analogi klasik pada matematika biasanya menggunakan bilangan, kata-kata, simbol matematika atau kombinasi semuanya, misalnya 23 : 22 ∷ 𝑎. 2, 𝑏. 4, 𝑐. 6, 𝑑. 8 : 4. Hubungan dalam contoh analogi tersebut yaitu 23 = 8 sama halnya dengan 22 = 4, penyelesaian dari contoh bentuk analogi klasik tersebut melibatkan bentuk nilai dari perpangkatan suatu bilangan sehingga diperlukan keterampilan matematika dalam pengkuadratan dan bilangan pangkat tiga. 2) Penalaran Analogi Masalah Penalaran analogi masalah adalah penalaran analogi dalam bentuk soal cerita. Penalaran analogi masalah biasa digunakan dalam berpikir analogi untuk mengatasi tugastugas pemecahan masalah. Pada jenis ini, penalar harus mengenali kesamaan dalam struktur relasional antara masalah yang diketahui (disebut basis atau sumber) dan masalah baru (target), yaitu suatu "keselarasan struktural" atau "pemetaan" antara dua masalah yang harus ditemukan. Soal cerita ini terdiri dari hubungan kausal dalam domain umum. Dengan kata lain soal cerita yang baik menandakan bahwa penalaran analogi masalah adalah implisit, sedangkan pada analogi klasik adalah eksplisit dalam struktur tugasnya. Masalah kata (Word Problem) yang melibatkan konten pendidikan tertentu seperti konsep-konsep matematika, telah kurang populer dalam studi penalaran analogi siswa daripada masalah cerita umum (General Story Problem). Hal ini terlepas dari fakta bahwa pemecahan masalah tersebut dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan konseptual siswa selama pemecahan masalah matematika dan juga dapat memberi wawasan ke dalam pemahaman siswa terhadap inti konten. Masalah sumber yang dirancang sedemikian rupa sehingga masalah dengan struktur matematika yang sama memiliki penutup cerita yang berbeda dan dengan struktur yang berbeda memiliki penutup cerita yang sama (hal ini mirip dengan kondisi pemetaan silang yang digunakan dalam penelitian lain, seperti Pierce & Gholson, 1994; Quilici & Mayer, 1996). Sebagai contoh: Sarah memiliki 52 buku di rak bukunya. Sue memiliki 4 kali lebih banyak dari Sarah. Berapa banyak buku yang dimiliki Sue? Perbandingan masalah pembagian tersebut memiliki cerita penutup yang sama dengan soal ini. Mary memiliki 72 buku
1000
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
di rak bukunya. Buku Mary 3 kali lebih banyak dari buku yang dimiliki Peter. Berapa banyak buku Peter?
Desain Masalah ini memberikan informasi tentang kemampuan siswa untuk melihat lebih jauh fitur masalah untuk mendeteksi fitur struktural yang mendasarinya. Setelah pemilahan, klasifikasi dan memecahkan masalah sumber, siswa diperkenalkan dengan beberapa masalah target. Masalah-masalah ini memiliki struktur yang mirip dengan masalah sumber tetapi lebih terbuka, yaitu berisi semua informasi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah sumber, ditambah beberapa informasi tambahan (Reed, Ackinclose, & Voss, 1990). Hal ini berarti siswa harus menyesuaikan atau memperpanjang prosedur solusi sumber untuk menggunakannya dalam memecahkan masalah target. 3) Penalaran Analogi Pedagogik Penalaran analogi ini dirancang untuk memberikan representasi konkret dari ideide abstrak. Artinya, analogi ini berfungsi sebagai sumber nyata dari siswa yang dapat membangun representasi mental dari gagasan abstrak atau proses yang sedang disampaikan. Hal yang paling mendasar dari analogi pedagogik yaitu ketika alat penghitung dan benda nyata digunakan untuk mewakili bilangan 1 sampai 10, dimana siswa harus membuat pemetaan relasional dari kumpulan benda ke nama bilangan yang sesuai seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2. Hal ini bukan seperti tugas yang mudah karena benda-benda nyata tidak memiliki struktur yang melekat, yaitu tidak menampilkan hubungan numerik.
Gambar 2. Menggunakan alat penghitung untuk merepresentasikan bilangan satu digit
Kesamaan jenis penalaran analogi antara analogi klasik, analogi masalah kata dan analogi pedagogik, semuanya memiliki kesamaan dasar. Artinya, semua analogi membutuhkan penalaran untuk mengenali dan memahami relasional atau kesamaan struktural dan untuk membuat pemetaan relasional tepat antara situasi analogi. Namun demikian, pada umumnya siswa melakukan penalaran analogi klasik lebih buruk daripada penalaran analogi masalah cerita, hal ini dikarenakan analogi klasik terdiri dari hubungan yang lebih sulit daripada analogi masalah dan juga kurangnya kerangka kontekstual analogi masalah (Goswami & Brown, 1989). Perbedaan dan persamaan dari masing-masing jenis penalaran analogi tersebut disajikan dalam tabel 1 berikut. Tabel 1. Perbedaan dan persamaan jenis penalaran analogi Jenis Perbedaan Persamaan Penalaran Analogi Penalaran Berbentuk A : B :: C : D, Ketiga jenis penalaran ini Analogi dimana di mana bentuk terdiri dari masalah sumber Klasik C dan D harus terkait dan masalah target dimana dalam cara yang identik dalam menyelesaikannya seperti bentuk A dan B dibutuhkan kesamaan yang berelasi atau A relasional dan pemetaan berelasi ke C dalam cara relasional yang tepat. yang identik dengan B yang berelasi ke D. Penalaran Berbentuk soal cerita, Analogi dimana terdapat dua soal Masalah cerita yang memiliki keidentikkan dalam masalahnya.
1001
Contoh
23 : 22 ∷ 𝑎. 2, 𝑏. 4, 𝑐. 6, 𝑑. 8 : 4.
Sarah memiliki 52 buku di rak bukunya. Sue memiliki 4 kali lebih banyak dari Sarah. Berapa banyak buku yang dimiliki Sue?
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Penalaran Analogi Pedagogik
Perbandingan masalah pembagian tersebut memiliki cerita penutup yang sama dengan soal ini. Mary memiliki 72 buku di rak bukunya. Buku Mary 3 kali lebih banyak dari buku yang dimiliki Peter. Berapa banyak buku Peter? alat penghitung dan benda nyata digunakan untuk mewakili bilangan 1 sampai 10.
Berbentuk representasi konkret dari ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak.
Penalaran analogi menurut Bipin Indurkhya (1991) dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu penalaran analogi sederhana, penalaran analogi prediksi dan penalaran analogi penafsiran. 1) Penalaran Analogi Sederhana Untuk memahami perbedaan ketiga jenis analogi, pertama perlu untuk membuat perbedaan objek dan representasinya. Anggap gambar bintang david ditunjukkan dalam gambar 3 (a). Gambar dapat direpresentasikan dalam banyak cara : sebagai dua segitiga sama sisi yang salah satunya terbalik, dan ditetapkan diatas yang lain (gambar 3 (b)), sebagai segienam biasa dengan segitiga sama sisi di masing-masing sisi tepinya (gambar 3 (c)), sebagai tiga jajargenjang yang bertumpang tindih satu sama lain dengan sumbu seratus dua puluh derajat terpisah (gambar 3 (d)), Dan lain-lain. Masing-masing dari representasi gambar ini, merupakan objek representasi, dilihat dari perspektif tertentu, tetapi representasi berbeda dari obyek itu sendiri, objek ada secara independen dari, di sebelum, representasi nya.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. Contoh objek yang memiliki beberapa representasi, (a) gambar bintang David, (b) dapat direpresentasikan menjadi dua segitiga samasisi, (c) direpresentasikan segienam dan enam segitiga, (d) direpresentasikan tiga jajargenjang.
Analogi sederhana diartikan sebagai kesamaan yang ada antara dua benda yang diberikan, didasarkan pada beberapa representasi dari mereka. bagian terakhir ditekankan karena kesamaan dan non kesamaan merupakan karakteristik pasangan representasi, dan bukan dari pasangan objek. 2) Penalaran Analogi Prediksi Analogi Prediksi mengacu pada penalaran analogi, yaitu proses yang diperlukan masalah sumber dan masalah target, yang pada dasarnya dari beberapa representasi masing-masing masalah sumber dan masalah target. Proses kerjanya memperhatikan beberapa kesamaan yang ada antara masalah sumber dan masalah target. Kemudian salah 1002
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
satu mengambil beberapa fitur dari masalah sumber dimana belum mengetahui fitur dari masalah target, tetapi konsisten dengan struktur yang dikenal dari masalah target, dan hipotesis bahwa fitur ini juga berlaku untuk objek target. Tentu saja semua hipotesis memerlukan verifikasi, dan pokok inti masalah ini adalah bahwa analogi prediktif, melihat kesamaan yang ada antara masalah sumber dan target sebagai pembenaran kesimpulan bahwa fitur masalah sumber tambahan dapat ditemukan dalam objek target juga. Sebagai contoh, seseorang tidak pernah menyetir kapal meskipun dia pernah menyetir mobil. Berdasarkan dari apa yang dia ketahui tentang kapal dan mobil, dimana terdapat beberapa kesamaan antara keduanya. Dari kesamaan tersebut, analogi prediksi yang dapat dia gunakan yaitu menunjukkan bahwa memutar kemudi ke kiri sebuah kapal – identik dengan memutar roda kemudi pada mobil - akan menyebabkan kapal untuk berbelok ke kiri. 3) Penalaran Analogi Penafsiran Analogi penafsiran, bekerja dengan menggunakan representasi objek sumber – yaitu masalah sumber – untuk menyelesaikan objek target. Proses tersebut mungkin diperantarai oleh representasi yang ada dari objek target. Dalam kenyataannya, dalam contoh kreatif analogi penafsiran, masalah target, meskipun jika diberikan, tidak berperan apapun dalam proses. Kunci fitur dari analogi penafsiran adalah boleh tidak ada kesamaan awal antara masalah sumber dan masalah target, dan kesamaan tersebut dibuat dalam proses. Dengan kata lain, terdapat kesamaan antara masalah sumber dan masalah target baru sesudah proses analogi penafsiran. Sebagai contoh, tentang gambar bintang David, Tunjukkan bahwa subjek secara konvensional menunjukkan gambar dua segitiga samasisi (gambar 4(a)). Sekarang kita bandingkan dengan gambar 4 (b), yang secara konvensional menunjukkan segienam dengan lingkaran di setiap sisi, pada awalnya tidak ada kesamaan antara dua gambar. Kemudian setelah sejenak intropeksi sekilas dari pemahaman yang dimiliki, ternyata representasi konvensional dari gambar bintang david diganti dengan yang baru dan melihat didalamnya segi enam dengan sebuah segitiga sama sisi pada setiap sisinya (gambar 4 (c)). Sekarang terdapat kesamaan dari dua gambar. Koestler menunjukkan secara tepat proses ini ketika dia katakan: “kesamaan bukanlah hal yang ditawarkan di atas piring (atau tersembunyi di lemari); hal ini adalah hubungan yang didirikan pada pikiran dengan proses penekanan selektif pada fitur mereka yang tumpang tindih dalam hal tertentu - sepanjang satu dimensi gradient - dan mengabaikan fitur yang lain” [(Koestler, A., 1964, The Act of Creation, Hutchinsons of London, 2nd Danube ed, 1976), pp. 200-201].
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Contoh untuk Ilustrasi Analogi Penafsiran Merubah Representasi Objek Target untuk Membuat Kesamaan.
Analogi penafsiran selalu melibatkan perubahan dalam representasi dari objek target, yaitu representasi baru ini adalah kesamaan dari masalah sumber. Alasan mengapa di sebut analogi penafsiran karena hal tersebut dapat disamakan dengan proses penafsiran. KOMPONEN PENALARAN ANALOGI Teori pemprosesan informasi Sternberg (1977) sering digunakan untuk menganalisis penalaran analogi klasik. Pendekatan teori ini memberikan perspektif yang lebih luas pada kemampuan penalaran analogi daripada teori struktural. Komponen-komponen tersebut meliputi: 1) Encoding (Pengkodean), yaitu mengidentifikasi setiap bentuk analogi dengan pengkodean atribut atau karakteristik masing-masing bentuk. 2) Proses menyimpulkan (Inferring), adalah mencari hubungan-hubungan identik yang terdapat pada masalah sumber. 1003
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
3) Proses pemetaan (mapping), adalah mencari hubungan yang identik antara masalah sumber dan masalah target atau membangun kesimpulan dari kesamaan hubungan antara masalah sumber dan target. 4) Applying yaitu proses penerapan yang menghasilkan atau memilih bentuk yang cocok untuk menyelesaikan analogi, yaitu untuk memberikan "keseimbangan konseptual" yang diperlukan (yaitu membangun kesetaraan antara pasangan pertama dan kedua. (Alexander et al, 1997, p. 121). Pandangan teori proses informasi di penalaran analogi (Sternberg, 1977) meliputi isu teori dan posisi teori. Isu dalam teori penalaran analogi yaitu “apakah proses informasi dasar dalam penalaran analogi?” Para teoritis tampaknya setuju bahwa (a) penalar harus memulai solusi analogi dengan istilah pengkodean (encoding), yaitu menerjemahkan ke dalam representasi internal dimana operasi mental lebih lanjut dapat dilakukan, dan (b) penalar harus melengkapi solusi analogi dengan menunjukkan respon. Adapun posisi teori Sternberg dibedakan menjadi tiga posisi, yaitu: 1) Teori dengan Inferring, Mapping dan Application Menurut teori Sternberg, komponen inferring, mapping dan application sama halnya dengan encoding dan respon yang digunakan dalam penyelesaian analogi. Penalar harus melakukan tahapan berikut dalam menyelesaikan analogi yaitu: (a) mengkodekan bentuk analogi, (b) menyimpulkan hubungan antara masalah sumber, (c) memetakan hubungan, (d) menerapkan hubungan yang identik ke penyimpulan pertama, kemudian menyimpulkan pilihan jawaban yang mendekati kebenaran, dan (e) merespon. 2) Teori dengan Inferring dan Application tanpa Mapping Menurut teori kedua yang ditunjukkan dalam bentuk berbeda oleh Johnson (1962), Shalom dan Schlesinger dan Spearman (1923) dalam komponen proses penalaran analogi terjadi hanya inferring dan application dalam tambahan encoding dan respon yang digunakan dalam penyelesaian analogi, dimana mapping tidak digunakan. Penalar dalam menyelesaikan masalah analogi melakukan tahapan berikut: (a) mengkodekan bentuk analogi, (b) menyimpulkan hubungan antara masalah sumber, (c) mengaplikasikan hubungan yang identik ke kesimpulan dari masalah target dan memilih pilihan jawaban yang mendekati kebenaran, (d) merespon. Johnson menunjukkan operasi induktif dan operasi deduktif, Shalom dan Schlesinger menunjukkan operasi tersebut menuju ke formasi hubungan rumus dan aplikasi dari hubungan rumus dan Spearman lebih menunjukkan pada keputusan dari relasi dan hubungan. 3) Teori dengan Inferring dan Mapping tanpa Application Menurut teori ketiga hanya inferring dan mapping dalam tambahan encoding dan respon dalam penyelesaian masalah analogi tanpa menggunakan aplikasi. Teori ini adalah distilasi dan penyederhanaan teori yang kompleks yang disajikan oleh Evans (1968). Penalar harus melakukan tahapan: (a) mengkodekan bentuk analoginya, (b) menyimpulkan hubungan masalah sumber, (c) menyimpulkan hubungan antara masalah sumber dari pilihan jawaban, (d) memetakan hubungan antara hubungan masalah sumber dan hubungan masalah target, kemudian memilih jawaban yang mendekati kebenaran, (e) merespon. Dalam teori ini, pemetaan lebih digunakan daripada aplikasi karena pemetaan digunakan sebagai operasi perbandingan akhir yang menentukan jawaban benar dalam memecahkan permasalahan analogi. Lingkup pembelajaran matematika tidak hanya pada keterampilan untuk menyelesaikan tugas-tugas, akan tetapi siswa harus diaktifkan untuk menganalisis dan membandingkan situasi tertentu untuk sesuatu yang sudah dikenal sehingga mereka menilai kemungkinan tindakan matematika yang berkaitan dengan struktur umum. Markus Ruppert (2013) menjelaskan penalaran analogi pada pemecahan masalah yang berbasis contoh lingkungan dikembangkan dengan tujuan memulai proses penalaran analogi. Tujuan prinsip penalaran analogi adalah membuat struktur dari sebuah isu yang belum dimanfaatkan (target) yang tersedia untuk siswa dengan perbandingan struktur dalam pengalaman bidang pembelajar (sumber). Menurut Markus Ruppert (2013), komponen penalaran analogi terdiri dari empat komponen yaitu structuring (penataan), mapping (pemetaan), applying (menerapkan), verifying (memverifikasi) yang disajikan dalam tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Deskriptor Komponen Penalaran Analogi Markus Ruppert (2013)
1004
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
No. 1.
Komponen Structuring (Penstrukturan)
2.
mapping (Pemetaan)
3.
Applying (Penerapan) Verifying (Verifikasi)
4.
Deskriptor mengidentifikasi setiap bentuk-bentuk yang ada pada masalah sumber dengan pengkodean atribut atau karakteristiknya dan membuat kesimpulan dari hubungan-hubungan yang identik pada kode semua masalah sumber. mencari hubungan-hubungan yang identik antara masalah sumber dan masalah target kemudian membangun kesimpulan dari kesamaan/keidentikkan hubungan antara masalah sumber dan masalah target. proses penerapan hasil kesimpulan dari masalah sumber ke masalah target untuk menyelesaikan masalah target. Memeriksa kembali kebenaran terhadap penyelesaian masalah target dengan mengecek kesesuaian masalah target dengan masalah sumber.
KESIMPULAN DAN SARAN Tipe penalaran analogi yang dibahas dalam makalah ini terdiri dari 3 tipe, yaitu: penalaran analogi klasik, penalaran analogi masalah dan penalaran analogi pedagogik (Lyn D. English, 2004), sedangkan tipe penalaran analogi yang lain yaitu: analogi sederhana, analogi prediksi dan analogi penafsiran (Bipin Indurkhya, 1991). Adapun komponen penalaran analogi yang dibahas dalam makalah ini meliputi: encoding, inferring, mapping dan applying (Sternberg, 1977), sedangkan komponen penalaran analogi yang lain yaitu: structuring, mapping, applying dan verifying (Markus, Ruppert, 2013). Komponen penalaran analogi structuring merupakan pengembangan dari komponen penalaran analogi encoding dan inferring, karena dalam structuring secara eksplisit mengandung tahapan encoding dan inferring. Kajian teoritis dalam makalah ini hanya membahas tipe dan komponen penalaran analogi, oleh karena itu diperlukan kajian teoritis yang membahas penalaran analogi dari sudut pandang yag lain. DAFTAR RUJUKAN Antal, Erzsébet. 2004. Improving Analogical Reasoning In Biology Teaching. Thesis of Ph. D. dissertation. Szeged: University of Szeged. Bloomberg, L.D., Marie Volpe. 2008. Completing Your Qualitative Dissertation A roadmap From Beginning to End. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc. English, L.D. 1994. Reasoning By Analogy In Constructing Mathematical Ideas. Challenges in mathematics education: constraints on construction: proceedings of the Seventeenth Annual Conference of the Mathematics Education Research Group of Australasia held at Southern Cross University. Lismore Australia. English, L.D. 2004. Mathematical and Analogical Reasoning of Young Learners. New Jersey: Lawrence Erlbaum. Goswani, Usha. 1991. Analogical Reasoning: What Develop? A Review of Research and Theory. Child Development. Vol 62, Issue 1, pp. 1–22, February 1991. Gust, Helmar and Kai-Uwe Kunhnberger. 2006. Explaining Effective Learning By Analogical Reasoning. Paper Presented at th 28th Annual Conference of the Cognitive Science Society in cooperation with the 5th International Conference of Cognitive Science in the Asian-Pacific region (CogSci/ICCS). Lawrence Erlbaum, 1417–1422. Jones et al. 2012. Promoting Productive Reasoning In The Teaching Geometry In Lower Secondary School: Towards A Future Research Agenda. Paper Presented at the 12th International Congress on Mathematical Education. ICME-12, July 8th to 15th, 2012. Seoul, Korea. Lailiyah, Siti. 2013. Profil Kemampuan Penalaran Analogi Siswa SMA dalam Menyelesaikan Masalah Aljabar. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional di UM Malang. Lailiyah, Siti, 2014. Proses Penalaran Analogi Siswa dalam Aljabar. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional di ITS Surabaya. Meagher, Don. 2006. Understanding Analogies The Analogy Item Format and The Miller Analogies Test. Texas: Pearson Education, Inc. or its affiliate. Mofidi, Somayeh Amir and Parvaneh Amiripour. 2012. Instruction Of Mathematical Concepts Through Analogical Reasoning Skills. Indian Journal of Science and Technology. Vol 5, Number 6. 1005
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Mundiri. 2000. Logika. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Peled, irit. 2007. The Role Of Analogical Thinking In Designing Tasks For Mathematics Teacher Education: An Example Of A Pedagogical Ad Hoc Task. Journal of Mathematics Teacher Education. Vol 10, Issue 4-6, pp.369-379. Priatna, Nanang. 2003. Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa. Kelas 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di Kota Bandung. Disertasi tidak dipublikasikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Rebekah et al. 2005. Memory and Analogical Thinking in High-Arousal Rituals. Minds and Religion. pp. 127-145. Ruppert, Markus. 2013. Ways of Analogical Reasoning-Thought Processes in An Example Based Learning Environment. Eighth Congress of European Research in Mathematics Education (CERME 8). 6-10 February 2013, Turkey: Manavgat-Side, Antalya. Salih, Maria. 2008. A Proposed Model of Self-Generated Analogical Reasoning for the Concept of Translation in Protein Synthesis. Journal of Science and Mathematics Education in Southeast Asia. Vol 3, Number 2, pp. 164-177. Schwarzer, Susanne. 2004. Analogical Thinking as a Cognitive Strategy to Develop Models in Informations Systems. http://www.informatik.fhnuernberg.de/professors/Holl/Personal/Analogy.pdf. Diakses tanggal 17 September 2013. Schwering, Angela., et al. 2008. Analogy as Integrating Framework for Human-Level Reasoning. Conference on Spatial Information Theory (COSIT’09), Springer. pp. 1835. Shadiq, Fadjar. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Disampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar Tanggal 6 s.d. 19 Agustus 2004 di PPPG Matematika. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Matematika Yogyakarta. Shadiq, Fadjar. 2007. Penalaran atau Reasoning. Perlu Dipelajari Para Siswa di Sekolah?”. http://prabu.telkom.us/2007/08/29/penalaran-atau-reasoning/. Diakses pada tanggal 11 Maret 2013. Sibley, Duncan F. 2009. A Cognitive Framework For Reasoning With Scientific Models. Journal of Geoscience Education. Vol 57, Number 4, September, 2009, pp. 255-263 Soekadijo, R.G. 1985. Logika Dasar. Tradisional, Simbolik, dan Induktif. Jakarta: PT. Gramedia. Soohyun Cho et al. 2007. Analogical reasoning in working memory: Resources shared among relational integration, interference resolution, and maintenance. Memory & Cognition. 35 (6), pp. 1445-1455. Stenberg R.J. 1977. Component Processes In Analogical Reasoning. Psychological Review. Vol 84(4), pp. 353-378. Subanji. 2005. Proses Berpikir Penalaran Kovariasional Pseudo dan Mengkonstruksi Grafik Fungsi Kejadian Dinamik Berkebalikan. disertasi tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Subanji. 2011. Teori Berpikir Pseudo Penalaran Kovariasional. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Sulaiman, et al. 2010. A Review of Different Types Of Thinking In Fostering Students Intelligence, Eksplanasi. Volume 5, Number 2, Edisi Oktober 2010. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: CV. Alfabeta. Woo, J. H., Lew, H. C., Park, K. S. & Seo, D. Y. 2007. Induction, Analogy, And Imagery In Geometric Reasoning. Paper Presented at the Proceedings of the 31st Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics. Zahler, Kathy A. 2010. McGraw-Hill‟s MAT Miller Analogies Test Second Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
1006
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENERAPAN METODE PENEMUAN TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERTANYA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Ahmad Mansur Darmawan Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Penerapan Metode Penemuan Terbimbing Untuk Meningkatkan Ketrampilan Bertanya Dalam Pembelajaran Matematika. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan peningkatan ketrampilan bertanya menggunakan metode penemuan terbimbing. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Berdasarkan hasil pengamatan siswa yang bertanya dengan mengacungkan tangan, siswa yang bertanya dengan tertulis, siswa yang bertanya dengan sesamanya, siswa yang bertanya antar kelompok, dan siswa yang berani menjawab pertanyaan berturut-turut dari siklus pertama ke siklus kedua mengalami peningkatan. Hal ini berarti dengan menggunakan metode penemuan terbimbing keterampilan siswa dalam bertanya dapat meningkat. Kata kunci: metode penemuan terbimbing, keterampilan bertanya
Tall, dkk (2002) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah untuk kesuksesan siswa. Kesuksesan tersebut diartikan sebagai keberhasilan siswa dalam memahami pelajaran. Menurut (1994). pembelajaran matematika adalah salah satu mata pelajaran yang penting dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Tujuan pembelajaran matematika adalah untuk (1) menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung, (2) Menumbuhkan kemampuan siswa yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan matematika, (3) mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal mekanjutkan ke jenjang berikutnya, dan (4) membuat sikap logis, kritis, cermat dan disiplin (Depdikbud, 1994). Baxter, dkk (2010) menyatakan bahwa guru yang mendominasi percakapan dan iteraksi di dalam kelas, penjelasan materi yang hanya mengacu pada ketuntasan kurikulum menjadikan siswa mengalami kesulitan pada saat menyelesaikan masalah matematika. Dilihat dari hasil belajarnya, masih banyak siswa yang masih belum menguasai materi yang telah diajarkan. Salah satu materi yang cukup sulit bagi siswa dalam pemahamannya adalah materi matematika yang berkaitan dengan geometri di antaranya adalah mengenai jarak. Rata-rata hasil belajar siswa mengenai materi ini sangat tidak memuaskan. Rata-rata hasil belajar siswa masih sangat jauh dari yang diharapkan. Kesulitan yang dialami siswa pada umumnya adalah tidak dapat mengingat rumus yang berkaitan dengan soal yang diberikan. Siswa yang dapat mengerjakan soal yang diberikan berkaitan dengan jarak adalah siswa yang hafal rumusnya. Jelas bahwa siswa sangat sulit dalam mengingat rumus, mereka akan kesulitan dalam menyelesaikan soal. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk meningkatkan aktivitas siswa di kelas X MIA-3 SMA Negeri 1 Grati Kabupaten Pasuruan dalam pembelajaran matematika, guru diharapkan dapat merancang dan mengelola proses pembelajaran dengan sebaik mungkin. Melaksanakan proses pembelajaran matematika mengandung makna sebagai aktifitas guru mengatur kelas dengan sebaik-baiknya dan menciptakan kondisi lingkungan belajar yang kondusif sehingga siswa dapat belajar matematika dengan baik. Selain itu guru dituntut untuk menggunakan strategi pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara aktif dalam belajar matematika. Artinya belajar matematika bukan sekedar memindahkan pengetahuan matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan dan mengkonstruksi kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Karena itu siswa perlu diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan guru. Menurut Khan (2012) pengajaran berbasis penyelidikan (inquiry) di kelas matematika memberikan kesempatan siswa untuk belajar lebih aktif dalam ruang kelas, meningkatkan interaksi sosial dan pengembangan intelektual dalam proses pembelajaran. Ju-Ling Shih, dkk. (2010) mengatakan bahwa pembelajaran penemuan adalah suatu konsep yang mendorong guru untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk
1007
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
memperoleh ketrampilan dengan menyajikan situasi nyata, dan untuk menyelidiki dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata. Menurut Sobel dan Maletsky (1975) metode penemuan terdiri dari dua jenis, yaitu metode penemuan murni (creative discovery) dan metode penemuan terbimbing (guided discovery). Hudojo (1988) menyatakan pada metode penemuan murni, ketrampilan kognitif siswa dilatih untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain. Sedangkan menurut Perdata (2002) penemuan terbimbing adalah metode dalam kegiatan belajar mengajar yang melibatkan siswa secara aktif untuk menemukan pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya dengan bimbingan guru. Sobel dan Maletsky (1975) menyatakan bahwa metode penemuan murni hanya cocok untuk siswa-siswa yang pandai. Sobel dan Maletsky (1975) lebih lanjut menambahkan metode yang cocok untuk siswa berkemampuan sedang dan rendah adalah metode penemuan terbimbing. Lebih lanjut dikatakan Kubicek (2005), pembelajaran berbasis inkuiri dapat meningkatkan pemahaman siswa dengan melibatkan siswa dalam proses kegiatan pembelajaran secara aktif, sehingga konsep yang dicapai lebih baik. Bilgin (2009) menyatakan bahwa siswa dengan kelompok inkuiri terbimbing yang belajar secara kooperatif mempunyai pemahaman yang lebih baik terhadap penguasaan konsep materi pelajaran dan menunjukkan sikap yang positif. Kegiatan pembelajaran tidak lepas dari kegiatan Tanya jawab baik itu antar guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa itu sendiri. Ketrampilan bertanya adalah cara penyampaian suatu pelajaran melalui interaksi dua arah yaitu dari guru kepada siswa dan dari siswa kepada guru agar diperoleh jawaban kepastian materi melalui jawaban lisan guru atau siswa. Berdasarkan pengalaman guru yang mengajar matematika di kelas X MIA-3 SMA Negeri 1 Grati Kabupaten Pasuruan mendapatkan bahwa para siswa jarang sekali mengajukan pertanyaan kepada guru selama proses pembelajaran berlangsung, walaupun ada bagian yang mereka belum pahami. Bila diajukan pertanyaan kepada mereka, hampir seluruh siswa tidak berani mengacungkan tangan untuk menjawab. Sebaliknya, bila diberi kesempatan untuk bertanya, jarang sekali ada siswa yang memanfaatkannya. Mereka tampaknya takut (tidak berani) mengajukan pertanyaan/pendapat mengenai materi yang disampaikan. Namun demikian, mereka tampak sering berbicara (berkomunikasi) sesama temannya di kelas, terutama dengan teman yang dekat dengan tempat duduknya. Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Apakah dengan menggunakan metode penemuan terbimbing dapat meningkatkan keterampilan bertanya pada siswa kelas X MIA-3 SMA Negeri 1 Grati Kabupaten Pasuruan. Tujuan dari penelitian ini (1) Untuk mendiskripsikan peningkatan keterampilan bertanya dengan mengacungkan tangan pada pembelajaran matematika menggunakan metode penemuan terbimbing. (2) Untuk mendapatkan informasi apakah metode penemuan terbimbing dapat meningkatkan keterampilan bertanya dengan tulisan pada pembelajaran Matematika di kelas X MIA-3 SMA Negeri 1 Grati Kabupaten Pasuruan. (3) Dengan menggunakan metode terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X MIA-3 SMA Negeri 1 Grati Kabupaten Pasuruan. Secara etimologis keterampilan bertanya dapat diurai menjadi dua suku yaitu ” terampil dan Tanya”. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia “Bertanya” berasal dari kata “Tanya” yang berarti antara lain permintaan keterangan. Sedangkan kata “terampil” yang berarti memilki arti “cakap dalam menyelesaikan tugas atau mampu dan cekatan”. Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam menggunakan keterampilan bertanya antara lain (1) Kehangatan dan keantusiasan, (2) Memberikan waktu berfikir. Disamping kedua prinsip tersebut, untuk mengefektifkan keterampilan bertanya, hendaknya menghindari hal-hal seperti (1) Mengulangi pertanyan sendiri, (2) Mengulangi jawaban siswa, (3) Menjawab pertanyaan sendiri, (4) Mengajukan pertanyaan yang memancing jawaban serentak, (5) Mengajukan pertanyan ganda, (6) Menentukan siswa yang akan menjawab pertanyaan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memberi pertanyaan yaitu (1) Sebelum memberi pertanyaan hendaknya guru sudah mengetahui jawaban yang dimaksud, sehingga jawaban yang menyimpang dari siswa akan segera dapat diketahui dan diatasi, (2) Guru harus mengetahui pokok masalah yang ditanyakan dan memberi pertanyaan sesuai dengan 1008
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pokok yang dibahas, (3) Hendaknya guru memberi pertanyaan dengansikap hangat dan antusias agar murid berpartisipasi dalam proses belajar mengajar, maka guru harus menunjukkan sikap yang baik diwaktu bertanya dan menerima jawaban dari siswa, (4) Hendaknya guru menghindari beberapa kebiasaan yang tidak perlu, yang bisa merugikan siswa dalam proses belajarnya. Langkah yang perlu ditempuh oleh guru dalam menggunakan metode penemuan terbimbing yaitu (1) Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya, perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah, (2) Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaanpertanyaan, atau LKS, (3) Siswa menyusun konjektur (dugaan) dari hasil analisis yang dilakukannya, (4) Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut diatas diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai, (5) Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunya, (6) Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar. Kelebihan dari Penemuan Terbimbing yaitu (1) Siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan, (2) Menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inquiry (mencari-temukan), (3) Mendukung kemampuan problem solving siswa, (4) Memberikan wahana interaksi antar siswa, maupun siswa dengan guru, dengan demikian siswa juga terlatih untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, (5) Materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukanya. Sementara itu kekurangannya adalah (1) Untuk materi tertentu, waktu yang tersita lebih lama, (2) Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini. Di lapangan, beberapa siswa masih terbiasa dan mudah mengerti dengan model ceramah, (3) Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini. Umumnya topik-topik yang berhubungan dengan prinsip dapat dikembangkan dengan Model Penemuan Terbimbing. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.Penelitian deskriptif adalah salah satu jenis metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan mengiterpretasikan objek sesuai dengan apa adanya. Alasan digunakan metode deskriptif karena pemecahan masalah dengan mengemukakan fakta-fakta sebagaimana adanya, fakta-fakta tersebut dianalisa, kemudian ditafsirkan guna mendapatkan kesimpulan dan kesimpulan tersebut untuk memecahkan permasalahan yang ada pada saat dilakukan penelitian. Penelitian ini terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Penelitian ini dilakukan secara kolaborasi, yaitu kolaborasi antara peneliti observer. Penelitian ini bersifat kolaborasi adalah dalam pengertian usulan harus secara jelas menggambarkan peranan dan intensitas masing-masing anggota pada setiap kegiatan penelitian yang dilakukan. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X MIA-3 SMA Negeri 1 Grati Kabupaten Pauruan sebanyak 39 siswa. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah observasi langsung adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan melalui pengamatan dan gejalagejala yang tampak pada obyek penelitian yang pelaksanaannya langsung pada tempat dimana suatu peristiwa, keadaan atau situasi yang sedang terjadi. Untuk mendapatkan informasi atau gambaran tentang jawaban penelitian diperlukan data. Dalam penelitian ini observasi yang dilakukan adalah mengamati secara langsung kegiatan pembelajaran dalam hal kegiatan bertanya. Sedang teknik pengukuran yang digunakan adalah dengan cara mengumpulkan data yang bersifat kuantitatif untuk mengetahui tingkat atau derajat aspek tertentu dibandingkan dengan norma tertentu pula sebagai satuan ukur yang relevan. Penelitian tindakan ini direncanakan dilakukan dalam 2 siklus atau lebih. Tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai, seperti apa yang telah didesain 1009
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dalam faktor yang diselidiki. Siklus pelaksanaan penelitian tindakan ini pada perencanaan tindakan ada beberapa macam kegiatan yang perlu disiapkan antara lain menetapkan pokok bahasan, membuat rencana pelaksanaan pengajaran, menyiapkan materi pelajaran, menyiapkan topik-topik diskusi, menyiapkan media pelaksanaan, menyiapkan model pembelajaran yang akan ditetapkan;membuat alat observasi dan alat evaluasi. Pelaksanaan penelitian ini akan dilaksanakan pada semester genap tahun pelajaran 2013/2014. Pertemuan dan sharing bersama observer dilaksanakan sebanyak satu kali pertemuan untuk menjelaskan sistematika pelaksanaan penelitian. Observasi dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung dengan penunjang data kualitatif yang diperoleh selama proses pembelajaran berlangsung. Untuk memperoleh data yang akurat maka diperlukan teman sejawat dalam mengumpulkan data-data. Dari hasil observasi maka dapat dilihat tingkat keberhasilan atau tidaknya penerapan Metode Penemuan Terbimbing dalam pembelajaran. Adapun kegiatan yang diobservasikan dalam penelitian ini adalah kegiatan siswa dalam kegiatan pembelajaraan dengan bertanya baik itu kepada guru maupun dengan temannya. Hasil yang didapat dalam tahap observasi dikumpulkan serta dianalisa dalam tahap ini. Dari hasil observasi, guru dapat merefleksi diri dengan melihat data observasi apakah kegiatan yang dilakukan telah dapat meningkatkan kemampuan siswa bertanya dalam materi yang diajarkan. Hasil analisa data dalam tahap ini akan dipergunakan sebagai acuan untuk merencanakan tindakan pada siklus selanjutnya HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kegiatan Siklus I Berdasarkan data yang diperoleh mengenai keterampilan bertanya siswa dalam pembelajaran matematika pada siklus I masih terasa sangat kurang hal tersebut dapat dilihat dari 39 orang siswa, siswa yang bertanya dengan mengacungkan tangan hanya 15 orang ( 38,46 %), siswa yang bertanya dengan tulisan 12 orang ( 30,77 %), siswa yang bertanya dengan sesama teman 16 orang ( 41,03 %), siswa yang bertanya antar kelompok 7 orang (17,05 %), siswa yang berani menjawab pertanyaan 16 orang ( 41,03 %). Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1. Jumlah Siswa yang Bertanya Indikator Jumlah Siswa yang Bertanya Bertanya dengan mengacungkan tangan 15 Bertanya dengan tulisan 12 Bertanya dengan sesame teman 16 Bertanya antar kelompok 7 Berani menjawab pertanyaan 16
Keaktifan (%) 38,46 30,77 41,03 17,95 41,03
Berdasarkan dari hasil pengamatan yang telah dilakukan pada siklus I kemudian observer bersama peneliti melakukan diskusi mengenai hasil tindakan. Dari hasil refleksi dan diskusi, diperoleh kesepakatan mengenai kelebihan dan kekurangan terhadap pembelajaran yang telah dilakukan sebagai bahan untuk merencanakan tindakan selanjutnya. Dari hasil pengamatan pelaksanaan siklus 1 terhadap kemampuan guru dalam mengajar, keterampilan proses bertanya siswa, dan hasil belajar siswa dilakukan refleksi kemudian dilaksanakan diskusi antara peneliti dan guru kolaborator. Dari hasil refleksi dan diskusi, diperoleh kesepakatan bahwa pelaksanaan pembelajaran pada siklus 1 belum optimal seperti apa yang telah direncanakan. Hasil pengamatan terhadap kemampuan guru melakukan pembelajaran masih belum optimal, hal ini dapat dilihat pada pra pembelajaran yaitu guru tidak memeriksa kesiapan siswa dan rencana kegiatan yang akan dilakukan, guru melaksanakan kegiatan inti tidak runtut, tidak memberikan kesempatan bertanya kepada siswa dan melaksanakan pembelajaran tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan yaitu lebih dari 10 menit. Berdasarkan dari lembar observasi untuk siswa masih terdapat beberapa kelemahan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran yang terdapat pada siklus I yaitu (1) Pengelolaan kelas belum optimal, (2) Waktu pembelajaran tidak efektif, (3) keterampilan bertanya siswa yang masih belum maksimal seperti bertanya dengan teman, bertanya dengan tulisan,
1010
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
bertanya dengan sesama, bertanya antar kelompok, dan berani menjawab pertanyaan yang disebabkan ada beberapa siswa yang berbicara dengan temannya, (4) Guru hanya fokus menjelaskan pada kelompok tertentu saja dan kurang memberikan penguatan kepada siswa, (5) Guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, (6) Sebagian siswa masih banyak yang sibuk sendiri dan bingung pada proses pelajaran, (7) Sebagian siswa masih banyak yang takut dan malu-malu dalam menyampaikan pertanyaan kepada teman dan guru mengenai materi yang kurang dimengarti, (8) Sebagian siswa masih banyak yang takut menjawab pertanyaan dari guru maupun temannya, dalam menjawab pertanyaan masih sering dilakukan oleh guru. Untuk lembar observasi guru hampir semuanya sudah muncul hanya saja guru masih belum maksimal dalam menjelaskan secara rinci tahapan proses pembelajaran, mengontrol proses pembelajaran dan belum optimal dalam menguasai materi serta membimbing siswa menyimpulkan materi pembelajaran. Untuk memperbaiki langkah-langkah pembelajaran pada siklus 1 serta untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa, maka peneliti bersama guru kolaborator membuat kesepakatan untuk melaksanakan kegiatan tindakan siklus Hasil Kegiatan Siklus II Dari hasil kegiatan yang dilakukan pada siklus II, tingkat keterampilan bertanya siswa sudah baik. Hal tersebut dikarenakan siswa terbiasa dalam bertanya ketika proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan data yang diperoleh mengenai keterampilan bertanya siswa dalam pembelajaran matematika pada siklus II dirasakan sudah baik dan seperti yang diharapkan hal tersebut dapat dilihat dari 35 orang siswa, siswa yang bertanya dengan mengacungkan tangan hanya 30 orang (85,71 %), siswa yang bertanya dengan tulisan 33 orang (94,28 %), siswa yang bertanya dengan sesama teman 34 orang (97,14 %), siswa yang bertanya antar kelompok 32 orang (91,42%), siswa yang berani menjawab pertanyaan 32 orang (91,42 %). Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2. Jumlah Siswa yang Bertanya pada Siklus Kedua (II) Indikator Jumlah Siswa yang Bertanya Bertanya dengan mengacungkan tangan 30 Bertanya dengan tulisan 32 Bertanya dengan sesame teman 35 Bertanya antar kelompok 32 Berani menjawab pertanyaan 30
Keaktifan (%) 76,92 82,05 89,74 82,05 76,92
Berdasarkan dari hasil pengamatan yang telah dilakukan pada siklus II kemudian guru kolabolator bersama peneliti melakukan diskusi mengenai hasil tindakan. Aktivitas tindakan yang dilakukan pada siklus kedua serta keterampilan siswa dalam bertanya sudah baik dan kelemahan-kelemahan yang ditemukan oleh peneliti dan guru kolabolator yang ada pada siklus pertama dapat teratasi dan terlaksana secara maksimal, berdasarkan hasil refleski tersebut peneliti dan guru kolabolator sepakat untuk menghentikan penelitianpada silkus kedua, hal ini dikarenakan hasil yang didapat dirasakan sudah baik peninkatan guru dan hasil belajar siswa juga dirasakan sudah baik, siswa yang bertanya juga sudah sesuai dengan yang diharapkan, untuk itu peneliti bersama guru kolablator sepakat untuk menghentikan siklus penelitian PEMBAHASAN Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan terbimbing, data keterampilan bertanya dan data hasil belajar siswa yang terdiri dari hasil belajar siswa. Berdasarkan pengamatan kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran pada setiap siklus terlihat bahwa ada peningkatan dari semua aspek kemampuan guru dalam mengajar. Adapun kelemahan dan keunggulan pelaksanaan siklus I dari refleksi yang dilakukan sebagai berikut. Berdasarkan dari lembar observasi untuk siswa masih terdapat beberapa kelemahan yang terdapat pada siklus I yaitu (1) Pengelolaan kelas belum optimal, (2) Waktu pembelajaran tidak efektif, (3) Keterampilan bertanya siswa yang masih belum maksimal
1011
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
seperti bertanya dengan teman, bertanya dengan tulisan, bertanya dengan sesama, bertanya antar kelompok, dan berani menjawab pertanyaan yang disebabkan ada beberapa siswa yang berbicara dengan temannya, (4) Guru hanya fokus menjelaskan pada kelompok tertentu saja dan kurang memberikan penguatan kepada siswa, (5) Guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, (6) Sebagian siswa masih banyak yang sibuk sendiri dan bingung pada proses pelajaran, (7) Sebagian siswa masih banyak yang takut dan malu-malu dalam menyampaikan pertanyaan kepada teman dan guru mengenai materi yang kurang dimengarti, (8) Sebagian siswa masih banyak yang takut menjawab pertanyaan dari guru maupun temannya, dalam menjawab pertanyaan masih sering dilakukan oleh guru. Untuk lembar observasi guru hampir semuanya sudah muncul, hanya saja guru masih belum maksimal dalam menjelaskan secara rinci tahapan proses pembelajaran, mengontrol proses pembelajaran dan belum optimal dalam menguasai materi serta membimbing siswa menyimpulkan materi pembelajaran. Hasil pengamatan terhadap keterampilan bertanya siswa secara umum sudah baik hanya saja belum maksimal. Guru sudah melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan apa yang sudah direncanakan, pemberian pertanyaan sudah dilakukan dengan benar namun belum maksimal. Untuk memperbaiki segala kelemahan yang terdapat pada siklus I, maka peneliti bersama guru kolabolator mengambil kesimpulan dan kesepakatan untuk melaksanakan tindakan pada siklus. Berdasarkan dari lembar observasi untuk siswa masih terdapat beberapa kelemahan yang terdapat pada siklus II yaitu (1) Guru kurang dalam memberikan apersepsi, (2) Guru kurang dalam memberikan reward kepada siswa, (3) Masih ada siswa yang malu-malu dalam bertanya, (4) Masih terdapat beberapa siswa yang takut menjawab pertanyaan dari guru maupun temannya, dalam menjawab pertanyaan masih sering dilakukan oleh guru. Untuk lembar observasi guru hampir semuanya sudah muncul hanya saja guru masih belum maksimal dalam menjelaskan secara rinci tahapan proses pembelajaran, mengontrol proses pembelajaran, secara umum kegiatan dalam siklus kedua sudah dapat terlaksana dengan baik. Hasil pengamatan terhadap keterampilan bertanya siswa secara umum sudah baik hanya saja belum maksimal. Guru sudah melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan apa yang sudah direncanakan, pemberian pertanyaan sudah dilakukan dengan benar namun belum maksimal waktu pelaksanaan juga sudah sesuai dengan yang direncanakan, siswa juga sudah berani dan mau bertanya mengenai hal yang belum jelas. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Keterampilan bertanya siswa dalam pembelajaran matematika dirasakan sudah baik dan seperti yang diharapkan hal tersebut dapat dilihat dari : 1) siswa yang bertanya dengan mengacungkan tangan sebanyak 15 orang (38,46%) pada siklus pertama, menjadi sebanyak 30 orang (76,92%) pada siklus kedua, mengalami peningkatan sebanyak 15 orang (38,46%); 2) siswa yang bertanya dengan tertulis sebanyak 12 orang (30,77%) pada siklus pertama, menjadi sebanyak 32 orang (82,05%) pada siklus kedua, mengalami peningkatan sebanyak 20 orang (51,28%); 3) siswa yang bertanya dengan sesamanya sebanyak 16 orang (41,03%) pada siklus pertama, menjadi 35 orang (89,74%) pada siklus kedua, mengalami peningkatan sebanyak 19 orang (48,71%; 4) siswa yang bertanya antar kelompok sebanyak 7 orang (17,95% ) pada siklus pertama, menjadi sebanyak 32 orang (82,05%) pada siklus kedua, mengalami peningkatan sebanyak 25 orang (64,1%); 5) siswa yang berani menjawab pertanyaan sebanyak 16 orang (41,03%) pada siklus pertama, menjadi sebanyak 30 orang (76,92%) pada siklus kedua, mengalami peningkatan sebanyak 14 orang (35,89%) Saran Ada beberapa saran yang dapat peneliti sampaikan berdasarkan hasil penelitian yaitu (1) Dalam melakukan pembelajaran, disarankan agar guru memiliki strategi dan kesabaran dalam membimbing siswa, (2) Disarankan dalam melakukan pembelajaran guru mempersiapkan atau mengecek semua alat dan bahan yang akan di cobakan untuk menghindari kendala-kendala yang muncul pada saat melakukan pembelajaran, (3) Dalam melaksanakan pembelajaran guru lebih memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, (4) Dalam melaksanakan pembelajaran guru diharapkan memberikan bimbingan kepada siswa, 1012
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(5) Dalam pembelajaran guru harus lebih profesional dalam mengatur waktu, agar pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif dan efisien, (6) Dalam pembelajaran guru harus lebih profesional dalam mengelola kelas, agar pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif dan efisien. DAFTAR RUJUKAN Baxter, Juliet and William. Steven. 2010. Social And Analytic Scaffolding In Middle School Mathematics. Managing The Dilemma Of Telling Volume. 13:7–26. Bilgin, Ibrahim. 2009. The Effects of Guided Inquiry Instruction Incorporating a Cooperative Learning Approach on University Students’ Achievement of Acid and Bases Concepts and Attitude Toward Guided Inquiry Instruction. Scientific Research and Essay Vol.4 (10), p: 1038-1046. Depdikbud. (1994). Kurikulum dan GBPP Matematika SD. Jakarta : Depdikbud Hudojo, H..1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud Ju-ling Shih, dkk. 2010. An Inquiry-based Mobile Learning Approach to Enhancing Social Science Learning Effectiveness. Jurnal of Educational Technology & Society. 13 (4), 50–62 Khan, Wali. 2012. Inquiry-Based Teaching in Mathematics Classroom in a Lower Secondary School Of Karachi, International Journal of Academic Research in Progressive Education and Development, Vol. 1, No. 2 Kubicek, P. John. 2005. Inquiry-based learning, the nature of science, andcomputer technology: New possibilities in science education. Canadian Journal of Learning and Technology. Vol 31(1). Page: 1-5. Perdata, IBK..2002. Studi Komparasi Tentang Efektivitas Metode Penemuan dan Metode Ekspositori dalam Pembelajaran Matematika di Kelas 1 Caturwulan 1 SMU Negeri 7 Denpasar Tahun Pelajaran 2001/2002. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS UM Sobel, M.A. & Maletsky, E.M.. 1975. Teaching Mathematics: A. Sourcebook of Aids, Activities, and Strategies. New Jersey: Prentice-Hall. Tall, David. 2002. Diagnosing Students’ Difficulties in Learning Mathematics. International Journal of Mathematics Education in Science & Technology. Volume. 12, No. 1, 7-15
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS XI IPA SMAN 1 TANTA PADA MATERI FUNGSI KOMPOSISI Amalia Jaina, Cholis Sa’dijah, dan Swasono Rahardjo Universitas Negeri Malang
[email protected];
[email protected];
[email protected] Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pembelajaran kooperatif tipe NHT yang dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa kelas XI IPA SMAN 1 Tanta. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT yang dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa meliputi tujuh (7) langkah pembelajaran, yaitu: (a) persiapan; (b) pembentukan kelompok; (c) pengajuan pertanyaan; (d) diskusi masalah; (e) memanggil nomor anggota dan pemberian jawaban; (f) memberikan penghargaan; (g) membuat kesimpulan. (2) Keaktifan belajar siswa dan hasil belajar siswa mengalami peningkatan setelah pembelajaran ini. Kata kunci: pembelajaran kooperatif tipe NHT, keaktifan, hasil belajar
Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan 1013
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Berdasarkan hasil observasi oleh peneliti yang dilakukan dengan bantuan guru matematika SMAN 1 Tanta di kelas XI IPA SMAN 1 Tanta pada tanggal 09 November 2013 yang menunjukkan bahwa siswa yang memperhatikan penjelasan guru dengan seksama hanya 3 orang, hanya memperhatikan di awal-awal pembelajaran saja sebanyak 10 orang dan yang tidak memperhatikan sama sekali dari awal pembelajaran sebanyak 3 orang, berarti dalam proses belajar mengajar di kelas siswa tampak/terlihat pasif. Hal ini terjadi akibat dari aktivitas belajar mengajar yang masih didominasi guru dalam menyampaikan informasi yang secara garis besar bahan-bahannya telah tertulis dalam buku. Selama pembelajaran siswa jarang bertanya kepada guru. Pada saat guru bertanya hanya sedikit siswa yang mau menjawab, mereka cenderung diam dan menundukkan kepala. Siswa juga belum dapat langsung menerapkan materi yang disampaikan guru dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan dan sebagian siswa sering tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Kondisi proses pembelajaran seperti uraian hasil observasi di SMA Negeri 1 Tanta dapat menyebabkan pencapaian hasil belajar siswa kurang maksimal. Hasil wawancara peneliti terhadap guru matematika di SMA Negeri 1 Tanta menyatakan bahwa hasil belajar matematika siswa selama ini masih rendah, khususnya pada materi fungsi komposisi. Melihat kondisi seperti ini, maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa mengenai pemahaman materi fungsi komposisi. Pemilihan model pembelajaran yang tepat perlu dilakukan untuk membantu meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa, salah satunya adalah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif. Pelaksanaan prosedur pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas lebih efektif, sehingga keaktifan dan hasil belajar siswa akan meningkat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zakaria dkk (2013) yang menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Salah satu model pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT). Hal ini dikarenakan pembelajaran kooperatif tipe NHT dinilai lebih memudahkan siswa berinteraksi dengan temanteman dalam kelas dibandingkan dengan model pembelajaran langsung yang selama ini diterapkan oleh guru. Pada model pembelajaran kooperatif tipe NHT siswa perlu berkomunikasi satu sama lain, sedangkan pada model pembelajaran langsung siswa duduk menghadap ke arah guru dan hanya memperhatikan gurunya. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dalam bentuk penelitian tindakan kelas dengan judul “Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Untuk Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa Kelas XI IPA SMAN 1 Tanta Pada Materi Fungsi Komposisi”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pembelajaran kooperatif tipe NHT yang dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. METODE Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Dalam hal ini, peneliti sebagai instrumen kunci dan pemberi tindakan. Subjek penelitian yaitu siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Tanta Tahun Pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 16 orang terdiri dari 6 orang laki-laki dan 10 orang perempuan. Penelitian dilaksanakan di SMAN 1 Tanta yang beralamat di Jl. Pembangunan IV Kecamatan Tanta pada semester genap tahun pelajaran 2013/2014. PTK dilaksanakan dalam bentuk siklus berulang yang didalamnya terdapat empat tahapan utama yaitu: perencanaan, tindakan, pengamatan/observasi dan refleksi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar validasi, lembar observasi kegiatan guru, lembar observasi kegiatan siswa, lembar observasi keaktifan belajar siswa, pedoman wawancara lembar tes hasil belajar dan lembar catatan lapangan. Kesimpulan analisis data disesuaikan dengan kriteria rata-rata persentase skor pada tabel berikut:
1014
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tabel 1. Rata-Rata Persentase Skor (Adaptasi dari Pedoman Pendidikan UM Tahun Akademik 2013/2014, Sa’dijah, 2013) Persentase Taraf keberhasilan 85% ≤ 𝐾𝐺 ≤ 100% Sangat Baik 80% ≤ 𝐾𝐺 < 85% 75% ≤ 𝐾𝐺 < 80% Baik 70% ≤ 𝐾𝐺 < 75% 65% ≤ 𝐾𝐺 < 70% 60% ≤ 𝐾𝐺 < 65% Cukup Baik 55% ≤ 𝐾𝐺 < 60% 40% ≤ 𝐾𝐺 < 55% Kurang Baik 0% ≤ 𝐾𝐺 < 40%
HASIL DAN PEMBAHASAN Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT dilaksanakan sebanyak dua siklus dalam tujuh kali pertemuan. Pertemuan pertama membahas tentang menentukan fungsi komposisi, pertemuan kedua membahas tentang syarat dua fungsi dapat dikomposisikan, pertemuan ketiga membahas tentang sifat-sifat fungsi komposisi dan pertemuan keempat membahas tentang menentukan fungsi pembentuk fungsi komposisi jika fungsi komposisi dan fungsi lain diketahui. Pertemuan kelima membahas tentang menggunakan sifat asosiatif untuk menentukan komponen pembentuk fungsi komposisi dengan pemisalan apabila fungsi komposisi dan komponen lainnya diketahui, pertemuan keenam membahas tentang menentukan nilai variabel yang memenuhi jika diketahui nilai fungsi komposisinya dan fungsifungsi pembentuk fungsi komposisi tersebut dan pertemuan ketujuh membahas tentang penyelesaian masalah kehidupan sehari-hari dengan komposisi fungsi. Dua kali pertemuan digunakan sebagai tes akhir siklus I dan tes akhir siklus II. Pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe NHT terdiri dari beberapa kegiatan yaitu: kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir. Kegiatan ini meliputi tujuh langkah pembelajaran yaitu (1) persiapan, (2) pembentukan kelompok, (3) pengajuan pertanyaan, (4) diskusi masalah, (5) memanggil nomor anggota dan pemberian jawaban, (6) memberikan penghargaan, dan (7) membuat kesimpulan. Langkah persiapan pembelajaran dimulai dengan kegiatan pra pembelajaran yaitu peneliti mengucapkan salam dan mengecek kehadiran siswa, peneliti memberitahukan bahwa akan ada pemberian bintang kepada kelompok jika mereka dapat menjawab pertanyaan dengan benar dan jika tidak memiliki jawaban atau jawaban salah maka satu bintang dcoret. Hal ini dilakukan agar siswa dapat lebih aktif dalam pembelajaran, sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Delismar (2012) yang menyatakan bahwa dengan adanya reward dalam kegiatan pembelajaran menjadikan siswa lebih aktif dan hasil belajarnya meningkat. Pada kegiatan awal peneliti melakukan apersepsi dan memotivasi siswa dengan melakukan tanya jawab mengenai fungsi komposisi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dilakukan agar siswa siap untuk mengikuti pembelajaran. Seperti yang ditegaskan oleh Johnson (dalam Syahbana, 2012) ketika murid dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran akademik, salah satunya matematika, dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberikan mereka alasan untuk belajar. Peneliti juga menginformasikan tujuan pembelajaran, model pembelajaran dan aturan main dalam pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Penyampaian tujuan pembelajaran dalam pelaksanaan pembelajaran ini bertujuan agar siswa dapat terfokus pada satu tujuan yang perlu mereka capai. Yamin (2007) menegaskan bahwa belajar berhasil lebih mudah diperoleh jika kompetensi dasar jelas rumusannya. Pembentukan kelompok dilakukan pada kegiatan awal. Peneliti membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Dalam satu kelas XI IPA SMAN 1 Tanta terdapat 16 orang siswa sehingga peneliti membagi siswa menjadi 4 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 orang siswa. Masing-masing siswa diberikan nomor 1, 2, 3 dan 4. Kegiatan ini termasuk tahap penomoran (numbering). Siswa dituntut lebih memiliki tanggung jawab terhadap soal yang diberikan sesuai dengan nomornya masing-masing.
1015
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 1. Nama Kelompok dan Nomor Siswa
Kegiatan inti dalam penelitian ini meliputi langkah pengajuan pertanyaan, diskusi masalah, memanggil nomor anggota dan pemberian jawaban serta pemberian penghargaan. Pada langkah pengajuan pertanyaan, peneliti mengajukan pertanyaan melalui LKS yang dibagikan kepada masing-masing kelompok untuk dikerjakan bersama dalam kelompoknya, sehingga semua siswa harus mengetahui dan memahami jawaban dari setiap pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. LKS juga digunakan bertujuan untuk membantu membelajarkan siswa mengkomunikasikan berpikir matematis tahap demi tahap dan secara jelas. Penggunaan LKS terbukti sangat membantu arah kerja siswa. Petunjuk yang ditentukan dalam LKS merupakan suatu bentuk bantuan bagi siswa. Pada LKS terdapat dua kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa. Kegiatan pertama dilakukan secara berkelompok dan kegiatan kedua siswa dituntut untuk mengerjakan secara individu terlebih dahulu kemudian hasilnya didiskusikan bersama anggota kelompok lainnya untuk mengecek kebenaran jawaban teman sekelompok.
Gambar 2. Siswa Sedang Berdiskusi Menyelesaikan LKS Langkah diskusi masalah dilakukan siswa berkelompok, sembari peneliti berkeliling untuk memberikan bimbingan kepada siswa atau kelompok yang mempunyai kesulitan dalam mengerjakan LKS. Pada langkah menjawab, peneliti meminta semua kelompok menuliskan jawabannya pada karton. Hasil diskusi kelompok tersebut akan dibahas secara bersama-sama dengan kelompok lainnya. Peneliti meminta perwakilan semua kelompok untuk menempelkan jawaban di papan tulis. Peneliti juga memilih nomor siswa yang akan mempresentasikan jawabannya secara undian. Belajar secara berkelompok dalam proses belajar mengajar memberikan banyak keuntungan bagi siswa. Terbukti siswa dalam pembelajaran ini saling berdiskusi untuk menyelesaikan tugas yang ada. Masing-masing anggota kelompok saling memberikan bantuan dan masukan dalam meningkatkan pemahamannya tentang suatu konsep. Para siswa secara aktif berinteraksi bertukar ide dengan siswa lain dan saling membantu memahami LKS yang diberikan. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Eisenhauer & Creek (2007) yang menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif melibatkan lebih dari sekedar menugaskan siswa untuk berkelompok tetapi juga agar mereka bekerja bersama-sama dan hasil penelitian dari Mesa, dkk (2012) menyatakan bahwa semakin baik kemampuan berinteraksi sosial pada siswa maka cenderung semakin baik pula hasil belajarnya. Selain itu, hasil penelitian Zakaria (2010) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan sikap
1016
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
terhadap matematika. Ketika anggota kelompok saat berdiskusi mengalami kesulitan untuk menyelesaikan soal, bantuan dari peneliti dalam merangsang pemikiran siswa untuk memulai memahami pertanyaan sangat dibutuhkan. Langkah-langkah inilah yang mendorong keberhasilan pembelajaran kooperatif karena dengan melalui dua langkah ini akan tumbuh rasa tanggung jawab baik secara individu maupun secara kelompok. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Akhtar (2012) yang menyatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif siswa memiliki rasa tanggung jawab dalam bekerja, berkomitmen untuk keberhasilan dari setiap anggota dan kelompok mereka. Selain itu, pemberian penghargaan terhadap jawaban kelompok yang benar berupa bintang dapat membuat siswa lebih bersemangat untuk mengikuti pembelajaran dan mendorong siswa untuk bersemangat melakukan diskusi. Pada kegiatan akhir, peneliti perlu memastikan bahwa siswa dapat menangkap dan memahami tentang materi yang baru saja selesai diberikan. Sebagai penutup, atas arahan dan bimbingan peneliti, siswa menarik kesimpulan pada akhir pembelajaran. Hasil wawancara terhadap siswa yang dijadikan sebagai subyek wawancara secara umum menyatakan senang dan tertarik terhadap pembelajaran kooperatif tipe NHT. Rasa senang siswa juga disebabkan oleh adanya kerja sama kelompok dalam menyelesaikan tugas. Dalam kelompok peran siswa dihargai oleh siswa lain. Penghargaan yang diberikan siswa lain ini menimbulkan perasaan senang pada diri siswa. Berdasarkan hasil wawancara juga diperoleh gambaran bahwa siswa sangat senang belajar secara berkelompok dikarenakan belajar secara berkelompok mereka dapat saling bertanya dan saling menanggapi sehingga materi yang dipelajari mudah dipahami karena langsung dijelaskan oleh temannya tanpa harus takut. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa semua siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan siswa berkemampuan rendah memperoleh keuntungan dari belajar kooperatif tipe NHT. Keuntungan yang sangat diharapkan adalah dapat menguasai materi yang dipelajari sehingga meningkatkan hasil belajarnya. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Daniel (2006) yang menyatakan bahwa siswa yang melaporkan bahwa mereka yang senang belajar matematika dan berpikir bahwa pelajaran matematika itu mudah cenderung mendapatkan hasil tes matematika tinggi. Keaktifan Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Pada siklus I, keaktifan belajar siswa belum memenuhi taraf keberhasilan penelitian. Hal ini diduga karena; pertama, siswa belum memahami dan terbiasa dengan langkah-langkah model NHT. Akibatnya siswa masih bingung mengenai apa yang harus dilakukan saat belajar kelompok, tidak bisa bekerja sama dan berdiskusi saat mengerjakan tugas. Kedua, siswa belum mampu mengemukakan ide-ide/gagasan yang positif karena kurangnya memahami materi. Ketika ditanya tentang saran dan ide-idenya dalam mengerjakan LKS lebih banyak melemparkan jawaban ke teman lain dalam kelompoknya. Hal ini kemungkinan siswa tertentu membonceng jawaban dari siswa lain. Kesimpulannya pada saat kerja kelompok tidak melakukan aktivitas yang ditugaskan. Ketiga, siswa belum mampu berdiskusi dan bekerja sama dengan baik sehingga hasil kerja kelompok belum sempurna. Hal ini disebabkan belum baiknya pembagian tugas pada masing-masing anggota kelompok. Siswa belum menyadari pentingnya komunikasi dan diskusi antar anggota kelompok dalam penyelesaian tugas kelompok yang akan berpengaruh terhadap perolehan penghargaan berupa bintang. Faktor lain penyebab kurangnya keaktifan belajar adalah kurangnya kemandirian dan tanggung jawab pribadi pada kelompoknya. Selama ini siswa kelas XI IPA terbiasa belajar dan menyelesaikan tugas sendiri sehingga belum terbiasa bersosialisasi dengan siswa dalam satu kelompok maupun siswa dari kelompok lain. Keaktifan belajar pada siklus II meningkat sesuai dengan taraf keberhasilan penelitian. Hal ini terjadi karena; pertama, siswa sudah paham dan terbiasa dengan model NHT. Siswa lebih sigap dan antusias dalam kerja sama dan diskusi kelompok untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan tugas yang terdapat pada LKS. Pemahaman tentang langkah-langkah NHT membuat siswa lebih tertarik dan berminat dalam belajar. Kedua, siswa aktif bertanya kepada teman sekelompok atau guru untuk menyelesaikan soal/ pertanyaan yang merupakan tanggung jawabnya. Selain itu, siswa juga dapat menjelaskan 1017
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
hasil diskusi kelompoknya karena mereka memiliki tanggung jawab masing-masing untuk menjawab. Ketiga, adanya penghargaan bagi kelompok berupa bintang yang jelas aturannya sehingga mampu memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Attle & Baker (2007) yang menyatakan bahwa memiliki siswa yang berpartisipasi dalam menilai partisipasi mereka sendiri dan / atau orang lain dapat lebih mendorong mereka terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan menurut Kilic (2010) partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran dapat membuat proses pembelajaran lebih menarik dan bermanfaat bagi siswa. Terjalinnya komunikasi yang baik antar siswa, antar kelompok, dan guru menciptakan suasana yang santai, nyaman dan serius. Guru lebih mudah mengontrol dan mengarahkan siswa aktif dalam pembelajaran. Keaktifan belajar berperan penting terhadap hasil tes individual siswa. Hamalik (2004) berpendapat rasionalnya tidak ada belajar kalau tidak ada keaktifan. Tes individual dalam NHT sekaligus dipakai untuk menentukan hasil belajar siswa. Peningkatan hasil belajar terlihat dari siklus I ke siklus II, hal ini disebabkan semakin tinggi keaktifan belajar siswa semakin tinggi pula hasil belajar siswa. Peningkatan Hasil Belajar Siswa Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Pada penelitian ini, siswa aktif menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti melalui LKS setelah melakukan diskusi dalam kelompoknya, selanjutnya siswa menyampaikan hasil diskusinya kepada kelompok lain melalui nomor yang ditunjuk secara undian. Hal ini mengakibatkan semua anggota kelompok harus menguasai materi yang ditanyakan peneliti, sekaligus ini menjadi bekal untuk tes hasil belajar dilaksanakan peneliti. Pembelajaran kooperatif tipe NHT ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Untuk mengetahui hasil belajar siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe NHT, maka dalam penelitian ini difokuskan dari hasil tes akhir tindakan dari dua siklus yang dilaksanakan oleh peneliti. Hasil belajar dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk nilai yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran kooperatif tipe NHT berlangsung. Peningkatan hasil belajar siswa bisa dilihat melalui peningkatan persentase ketuntasan klasikal yang diperoleh siswa kelas XI IPA pada tes akhir siklus I dan tes akhir siklus II pada tabel berikut. Tabel 2. Peningkatan Hasil Belajar Siswa Hasil Tes Akhir Siklus 1 Persentase Ketuntasan Klasikal Siswa 75%
Hasil Tes Akhir Siklus 2 93,75%
Berdasarkan analisis data tes akhir tindakan pada siklus I dan siklus II pada tabel di atas, diketahui bahwa hasil belajar siswa terjadi peningkatan. Persentase ketuntasan klasikal meningkat sebesar 18,75%. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa pembelajaran matematika dengan pembelajaran koopertaif tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI IPA SMAN 1 Tanta. Peningkatan hasil belajar pada penelitian ini juga disebabkan oleh meningkatnya rasa tanggung jawab siswa baik secara individu maupun secara kelompok. Rasa tanggung jawab pada diri siswa ini dapat ditingkatkan melalui penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT, khususnya pada langkah menjawab. Langkah menjawab menuntut masing-masing siswa untuk menyampaikan jawaban dengan benar, jawaban yang disampaikan akan membawa nama baik siswa yang menjawab secara individu maupun kelompok. Hal inilah yang mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam langkah diskusi masalah dan juga pada langkah menjawab. Selain itu, pemberian penghargaan berupa bintang juga memotivasi siswa untuk aktif dalam menjawab pertanyaan yang ada pada LKS sehingga siswa dapat memahami materi pembelajaran yang dipelajari. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe NHT yang sudah diuraikan di atas memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan hasil belajar siswa. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT yang dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa pada materi fungsi komposisi pada penelitian ini terdiri dari tujuh langkah pembelajaran yaitu:
1018
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Persiapan. Peneliti mengucapkan salam dan mengabsen siswa. Peneliti juga menginformasikan bahwa dalam pembelajaran ini jika kelompok menjawab pertanyaan dengan benar maka akan mendapatkan penghargaan berupa bintang dan jika kelompok tidak dapat menjawab soal atau jawaban salah maka satu bintang akan dicoret. Pada kegiatan awal peneliti memulai dengan melakukan apersepsi mengenai pembelajaran sebelumnya. Peneliti menginformasikan model pembelajaran yang digunakan selama kegiatan pembelajaran berlangsung yaitu model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Peneliti menginformasikan bahwa kegiatan yang dilakukan siswa terdiri dari dua kegiatan. Kegiatan pertama dilakukan secara berkelompok dan kegiatan kedua dilakukan secara individu. Pembentukan Kelompok. Pembagian anggota kelompok berdasarkan pada kemampuan siswa. Siswa dibagi menjadi empat (4) kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari empat (4) orang. Peneliti memberikan penomoran kepada masing-masing siswa (numbering). Pengajuan Pertanyaan. Pada kegiatan inti peneliti menginformasikan tujuan pembelajaran, menginformasikan alokasi waktu mengerjakan tugas, mengajukan pertanyaan melalui LKS (questioning). LKS yang digunakan meliputi dua kegiatan yaitu kegiatan berkelompok dan kegiatan individu. Diskusi Masalah. Kegiatan kelompok pada LKS dikerjakan siswa secara berkelompok, sedangkan kegiatan individu dikerjakan secara individu oleh siswa namun masih merupakan tanggung jawab kelompok. Hasil pengerjaan kegiatan individu siswa harus dikoreksi oleh kelompok secara bersama-sama karena jawaban tersebut akan mempengaruhi perolehan penghargaan untuk kelompok dengan cara siswa saling bertukar jawaban untuk saling mengecek kebenaran jawaban (heads together). Peneliti berkeliling untuk membimbing siswa menyelesaikan tugas pada LKS yang diberikan. Memanggil Nomor Anggota & Pemberian Jawaban. Siswa menjawab pertanyaan yang ada pada LKS secara berkelompok dan individu (answering). Hasil pengerjaan LKS dituliskan di kertas karton yang disediakan oleh peneliti untuk mempermudah siswa mempresentasikan jawaban kelompoknya di depan kelas dan dengan cara seperti ini semua kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk mempresentasikan jawaban. Jika semua kelompok telah selesai maka siswa bersama peneliti membahas hasil pengerjaan siswa. Untuk menjelaskan jawaban maka peneliti menentukan perwakilan dari salah satu kelompok secara acak (undian), dengan tujuan agar semua anggota kelompok memiliki rasa tanggung jawab untuk menguasai materi yang disajikan pada LKS. Demikian pula dengan kegiatan individu, siswa menuliskan jawaban mereka di kertas karton dan menempelkannya di papan tulis. Semua siswa memperhatikan siswa yang menjelaskan jawabannya di depan kelas sembari mengoreksi jawaban dari semua kelompok yang telah ditempelkan di papan tulis. Jika terdapat perbedaan jawaban, maka peneliti memanggil perwakilan dari kelompok yang memiliki perbedaan jawaban untuk menjelaskan. Siswa yang lain juga diberikan kesempatan jika ingin mengemukakan pendapat terhadap perbedaan jawaban. Memberikan Penghargaan. Penghargaan yang diberikan kepada siswa pada penelitian ini selain pujian juga berupa bintang yang akan dituliskan di karton “Bintangku”. Jika siswa benar dalam menjawab pertanyaan maka akan mendapatkan bintang sedangkan yang tidak memiliki jawaban atau jawaban salah maka bintangnya dicoret. Siswa bersama peneliti menghitung perolehan bintang masing-masing kelompok. Satu orang siswa diminta oleh peneliti untuk menuliskan perolehan bintang pada karton “Bintangku”. Demikian seterusnya hingga semua soal yang terdapat pada LKS terjawab. Membuat Kesimpulan. Pada kegiatan ini peneliti bersama siswa menyimpulkan pelajaran yang telah dipelajari. Peneliti juga menyampaikan materi pembelajaran yang akan dipelajari pada pertemuan berikutnya dan mengakhiri pembelajaran dengan mengucapkan salam. Saran Beberapa saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar pada materi fungsi komposisi siswa kelas XI IPA SMAN 1 Tanta oleh karena itu dapat digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran; (2) penyusunan LKS hendaknya memperhatikan alokasi waktu yang tersedia karena pada penelitian ini banyak waktu yang diperlukan untuk menjawab LKS sehingga memerlukan waktu tambahan; (3) penulisan jawaban 1019
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
siswa yang akan dibahas sebaiknya menggunakan alternatif bahan yang dapat mempermudah dan menghemat waktu pada saat pemaparan, seperti halnya pada penelitian ini, peneliti memberikan karton untuk sarana siswa menuliskan jawaban yang akan ditempelkan papan tulis; (4) penghargaan kepada siswa atau kelompok berupa pemberian bintang tampak memberikan pengaruh pada keaktifan siswa sehingga dapat dijadikan alternatif dalam pemberian penghargaan kepada siswa dalam kegiatan pembelajaran; (5) waktu yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran hendaknya digunakan seefektif mungkin; dan (6) pembagian kelompok siswa hendaknya heterogen dalam hal kemampuan, jenis kelamin, agama, dan latar belakang sosial. DAFTAR RUJUKAN Akhtar, K et al. 2012. A Study of Student’s Attitudes toward Cooperative Learning. International Journal of Humanities and Social Science, 2(11): 1-7.(Online), (http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_2_No_11_June_2012/15.pdf), diakses 20 April 2014. Attle, S & Baker, B. 2007. Cooperative Learning in a Competitive Environment: Classroom Applications. International Journal of Teaching and Learning in Higher Education, 19(1): 77-83. (Online), (http://www.isctl.org/ijtlhe/), diakses 20 Juni 2014. Daniel, J. H. 2006. Mathematics Beliefs and Achievement of Elementary School Students in Japan and the United States: Result From the Third International Mathematics and Science Study. The Journal of Genetic Psychology, 167(1): 31-45. (Online), (http://centroedumatematica.com/ciaem/articulos/pre/aprendizaje/Mathematics%20Beli efs%20and%20Achievement*House,%20J%20Daniel.*house.pdf), diakses 11 Oktober 2014. Delismar. 2012. Peningkatan Hasil Belajar Fisika Melalui Pendekatan Numbered Heads Together (NHT) dengan Pemberian Reward di SMP Negeri 5 Kota Jambi. Edu Sains. 1 (1): 8-20. (Online), (http://online-journal.unja.ac.id/index.php/edusains/article/view/789), diakses 22 Juli 2014. Eisenhauer & Creek. 2007. Cooperative Learning an Effective Way to Interect, (Online), (http://scimath.unl.edu/MIM/files/research/EisenhauerG.pdf), diakses 20 Juni 2014. Hamalik, O. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Kilic, A. 2010. Learner-Centered Micro Teaching In Teacher Education. Internatinal Journal of Instruction. 3(1): 77-100, (Online), (www.e-iji.net), diakses 17 September 2014. Mesa, M, F, dkk. 2012. Hubungan Antara Kemampuan Berinteraksi Sosial Dengan Hasil Belajar. Jurnal Ilmiah Konseling. 1(1): 1-7. (Online), (http://ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor), diakses 20 September 2014. Sa’dijah, C. 2013. Kepekaan Bilangan Siswa SMP Melalui Pembelajaran Matematika Kontekstual Yang Mengintegrasikan Keterampilan Berpikir Kreatif. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 20(2): 222-227. Syahbana, A. 2012. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP Melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning. Edumatica. 2(1). (Online) (http://jiip.fapet.unja.ac.id), diakses 5 Oktober 2014. Universitas Negeri Malang (UM). 2013. Pedoman Pendidikan UM Tahun Akademik 2013/2014. Malang: Biro Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan, Informasi dan Kerjasama UM. Yamin, M. 2007. Profesionalisasi Guru & Implementasi KTSP. Jakarta: Gaung Persada Press. Zakaria et al. 2010. The Effects of Cooperative Learning on Students’ Mathematics Achievement and Attitude towards Mathematics. Journal of Social Sciences, 6(2): 272275. (Online), (http://thescipub.com/PDF/jssp.2010.272.275.pdf), diakses 10 September 2014. Zakaria et al. 2013. Effect of Cooperative Learning on Secondary School Students’ Mathematics Achievement. Creative Education, 4(2): 98-100. (Online, (http://www.scirp.org/journal/ce), diakses 22 September 2014.
1020
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 PANYIPATAN MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN REACT Aminudin, Cholis Sa’dijah, dan Sisworo Universitas Negeri Malang Abstrak: Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran matematika melalui strategi REACT yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis pada siswa SMA Negeri 1 Panyipatan. Penelitian dilaksanakan sebanyak dua siklus. Hasil penelitian yang dilakukan di kelas XA dengan 34 siswa didapat hasil sebanyak sebanyak 18 siswa (54,54%) memperoleh skor lebih dari atau sama dengan 75 pada siklus I dan meningkat menjadi 28 siswa (82,35%) pada siklus II. Dengan hasil ini, peneliti berkesimpulan strategi pembelajaran REACT yang telah digunakan mampu meningkatkan kemampuan matematis siswa kelas X SMA Negeri 1 Panyipatan. Kata kunci: Strategi REACT, pemecahan masalah matematis
Pengalaman mengajar dan hasil diskusi peneliti dengan beberapa rekan guru matematika yang juga mengajar di SMA Negeri 1 Panyipatan menuunjukkan bahwa pembelajaran matematika di sekolah tersebut selama ini cenderung masih bersifat tradisional. Hal ini ditandai dengan pembelajaran matematika yang lebih bersifat teacher centered (berpusat pada guru). Dalam pembelajaran siswa cenderung pasif karena hanya sekedar menerima penjelasan dan rumus-rumus matematika yang sifatnya langsung. Siswa jarang sekali diberikan aktivitas untuk menemukan konsep matematika yang diajarkan. Penekanan pembelajaran adalah bagaimana materi bisa selesai sesuai dengan ketentuan waktu yang ditetapkan kurikulum dan kemampuan siswa hanya dilihat dari nilai-nilai tes yang rutin diberikan. Padahal, guru seringkali mengetahui bahwa nilai-nilai tersebut tidak sepenuhnya murni mencerminkan kemampuan siswa, disebabkan siswa sering melakukan kecurangan saat tes (mencontek). Fakta-fakta pembelajaran matematika di SMA Negeri 1 Panyipatan yang dipaparkan di atas juga diikuti oleh fakta-fakta pada siswa, seperti: (1) siswa kurang memiliki motivasi dalam belajar matematika; (2) siswa seringkali hanya mampu mengerjakan soal-soal yang bentuknya sama atau mirip dengan soal-soal yang pernah dicontohkan oleh guru, tetapi untuk soal-soal yang belum pernah diberikan contoh, siswa seringkali mengalami kesulitan; (3) hasil tes di setiap ulangan harian rata-rata menunjukkan 40% siswa tidak mencapai ketuntasan minimal yang disyaratkan; dan (4) rata-rata nilai Ujian Nasional setiap tahun selama ini untuk mata pelajaran matematika hanya pada kisaran 6,00. Fakta yang menyebutkan bahwa siswa hanya mampu menyelesaikan soal- soal yang pernah dijadikan contoh oleh guru atau soal yang mirip dengan bentuk itu, merupakan kendala pembelajaran yang sering dijumpai oleh guru dalam pembelajaran matematika selama ini di SMA Negeri 1 Panyipatan. Soal-soal yang 'baru' atau sifatnya non-rutin bagi siswa seringkali membuat siswa kesulitan dalam menyelesaikannya. Beberapa kesulitan yang biasanya ditunjukkan oleh siswa adalah: (1) siswa kesulitan memahami maksud soal; informasi apa yang diketahui dari soal, apa yang ditanyakan, bagaimana menggunakan informasi yang diketahui dari soal, dan cukupkah informasi yang ada digunakan untuk memecahkan soal; (2) siswa kebingungan harus meyelesaikan dengan cara apa dan bagaimana memulainya; (3) siswa tidak bisa menjelaskan mengapa mereka memilih strategi atau cara yang mereka pakai dan apakah strategi mereka sudah tepat; serta (4) siswa ragu dengan jawaban mereka dan tidak mengetahui cara membuktikan kebenaran jawaban mereka. Berdasarkan fakta-fakta di atas mengindikasikan bahwa siswa-siswa di SMA Negeri 1 Panyipatan memiliki kemampuan pemecahan masalah matematika yang masih rendah. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Kennedy, Tipps, dan Johnson (2007), bahwa dengan kemampuan pemecahan masalah seharusnya siswa dapat memahami masalah, membangun rencana, dan menjalankan rencana. Disamping itu, mereka dapat mempertimbangkan apakah jawaban mereka masuk akal dan apakah ada alternatif jawaban atau pendekatan yang lain, 1021
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
sampai mereka akhirnya dapat mengkomunikasikan jawaban dan penalaran mereka. Kemampuan untuk memperhitungkan secara akurat adalah esensi dalam pemecahan masalah, dan berpikir adalah inti pembelajaran dan pengajaran matematika. Sedangkan Polya (1985) mensyaratkan dalam pemecahan suatu masalah terdapat empat langkah yang harus dilakukan yaitu: (1) memahami masalah (understanding the problem); (2) merencanakan strategi pemecahannya (devising a plan); (3) menyelesaikan masalah sesuai rencana (carring out the plan);dan (4) memeriksa kembali hasil yang diperoleh (looking back) Perubahan paradigma pembelajaran matematika yang berkembang dewasa ini menurut Sudiarta (2006) menekankan pada 7 (tujuh) karakteristik yaitu: (1) menggunakan permasalahan kontekstual, yaitu permasalahan yang nyata atau dekat dengan lingkungan dan kehidupan siswa atau dapat dibayangkan oleh siswa; (2) mengembangkan kemampuan memecahkan masalah (problem solving) serta kemampuan berargumentasi dan berkomunikasi matematis (mathematical reasoning and communication); (3) memberikan kesempatan yang luas untuk penemuan (invention)dan penemuan kembali (reinvention),untuk mengkonstruksi (construction)dan rekonstruksi (reconstruction) konsep, definisi, prosedur dan rumus-rumus matematika secara mandiri; (4) melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, dan lain-lain; (5) mengembangkan kreativitas yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan melalui pemikiran divergen, kritis, orisinal, membuat prediksi dan mencoba-coba (trial and error); (6) menggunakan model (modelling); dan (7) memperhatikan dan mengakomodasikan perbedaanperbedaan karakteristik individual siswa. Menurut peneliti, strategi pembelajaran REACT memenuhi ketujuh karakteristik pembelajaran tersebut dimana strategi REACT memuat lima komponen yaitu mengaitkan (Relating), mengalami (Experiencing), menerapkan (Applying), bekerjasama (Cooperating), dan mentransfer (Transferring). Mengaitkan (Relating), mempunyai arti bahwa dalam belajar materi harus dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa atau dikaitkan dengan pengetahuan awal siswa (Crawford, 2001). Mengalami (Experiencing), mempunyai arti bahwa siswa belajar dengan mengalami secara langsung (doing mathematics) melalui kegiatan eksplorasi, penemuan, dan pencip- taan (CORD, 1999). Menerapkan (Applying), yaitu belajar dengan menempatkan konsep-konsep untuk diaplikasikan pada masalah yang bersifat realistik dan relevan (Crawford, 2001). Bekerjasama (Cooperating), yaitu belajar dalam konteks saling berbagi, saling menanggapi, dan berkomunikasi dengan siswa lainnya (CORD, 1999). Mentransfer (Transferring), yaitu menggunakan pengetahuan dalam konteks baru atau situasi baru yang biasanya bersifat lebih kompleks (Crawford, 2001). Berdasarkan penelitian Marthen (2010) di tiga sekolah menegah pertama di kota Bandung yang masing-masing tergolong dalam tingkatan rendah, menegah dan atas, menunjukan strategi pembelajaran REACT mampu meningkatkan kemampuan matematis siswa. Penelitian Ghoni (2011) di kelas VIII SMP Negeri 1 Lumajang dan Santilia (2009) kelas VIII SMP Negeri 1 Lumajang memperoleh hasil bahwa strategi REACT terbukti mampu meningkatkan aktivitas belajar matematika. Rohati (2011) dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa strategi REACT mampu meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa kelas VIII SMP Negeri 18 Palembang, sedangkan penelitian Yuniawatika (2011) menyebutkan bahwa pembelajaran dengan srategi REACT dapat meningkatkan kemampuan koneksi dan representasi matematika kelas V SD Kota Cimahi. Sementara itu, hasil dari penelitian Abdussakir dan Achadiyah (2009) menyebutkan bahwa pembelajaran matematika dengan strategi REACT mampu meningkatkan pemahaman terhadap keliling dan luas lingkaran di kelas VIII SMP Negeri 6 Kota Mojokerto. Hasil penelitian lainnya dari Siahaan, Saragih, dan Siagian (2012) menyimpulkan bahwa pembelajaran melalui startegi REACT mampu meningkatan kemampuan koneksi matematika di kelas XI IPA sekolah negeri dan swasta subrayon 7 Medan yang masing berakreditasi A dan B. Terakhir, Fauziah (2010). dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pembelajaran melalui strategi REACT dapat meningkatkatkan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematika kelas VIII SMP di Bandung. Masalah dalam penelitian ini difokuskan pada bagaimana implementasi pembelajaran matematika melalui strategi REACT yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis pada siswa SMA Negeri 1 Panyipatan. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pembelajaran matematika melalui strategi REACT yang dapat 1022
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis pada siswa SMA Negeri 1 Panyipatan. METODE Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Data-data yang dikumpulkan berupa hasil pengamatan aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran melalui strategi REACT serta hasil tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada subpokok bahasan pernyataan majemuk dan ingkaran/negasinya. Kriteria keberhasilan yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah: 1) hasil observasi aktivitas guru dan siswa minimal berada pada kategori baik (70%) dan 2) hasil tes akhir siklus secara klasikal minimal 75% siswa mendapatkan skor lebih dari atau sama dengan 75. Penelitian Tindakan ini memiliki tahapan-tahapan yang mengacu Kemmis dan McTaggart, yaitu : planning (perencanaan), acting and observing (tindakan dan observasi), serta reflecting (refleksi). Jika pembelajaran masih belum mencapai kriteria keberhasilan yang ditetapkan oleh peneliti, maka tahapan-tahapan ini diperbaiki untuk diteruskan ke siklus berikutnya (Koshy, 2005: 4). Penelitian di lakukan di kelas XA SMA Negeri 1 Panyipatan dengan banyaknya siswa 34 orang. HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus I Pembelajaran siklus I dilaksanakan sebanyak 4 kali pertemuan dengan alokasi waktu setiap pertemuan 2 × 45 menit. Materi yang disampaikan adalah materi logika matematika pada indikator pencapaian kompetensi: mendefinisikan dan menentukan nilai kebenaran pernyataan majemuk serta menentukan ingkaran/negasinya. Di awal pembelajaran guru melakukan kegiatan pendahuluan seperti memberi salam, mengabsen siswa, membagi kelompok, menyampaikan tujuan pembelajaran, dan melakukan apersepsi. Setiap kelompok terdiri dari 4-5 siswa yang terdiri atas 1 siswa berkemampuan tinggi, 2 siswa berkemampuan sedang, dan 1 atau 2 siswa berkemampuan rendah. Pembentukan kelompok ini berdasarkan perolehan skor Ujian Tengah Semester (UTS) mata pelajaran matematika. Ada sebanyak tujuh kelompok yang terbentuk dari 34 siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Slavin (2005:150) yang menyatakan bahwa dalam pembagian kelompok hendaknya melakukan penyeimbangan dengan cara membentuk kelompok yang terdiri atas level yang kinerjanya berkisar dari yang rendah, sedang, dan tinggi. Pada kegiatan apersepsi guru mengajak siswa mengingat kembali pengertian dari pernyataan, nilai kebenaran dari pernyataan, dan ingkaran dari pernyataan tunggal dengan tanya jawab. Guru juga mengajak siswa mengingat tentang pelajaran Bahasa Indonesia tentang kalimat majemuk dan menunjukkan persamaan dan perbedaan dengan pernyataan majemuk. Siswa terlihat aktif menyampaikan respon atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru pada saat apersepsi walaupun seringkali jawaban-jawaban yang disampaikan siswa masih banyak yang salah. Guru kemudian menanyakan ke siswa bagaimanakah nilai kebenaran dari suatu pernyatan majemuk dengan memberikan contoh suatu pernyataan majemuk. Siswa dibiarkan berpikir dan mempersilakan memberikan pendapatnya. Guru mengapreasi pendapat yang disampaikan oleh siswa, tetapi guru tidak menilai apakah pendapat tersebut benar atau salah supaya timbul rasa penasaran pada siswa. Selanjutnya, guru membawa siswa masuk ke dalam materi yang akan dipelajari. Tahap ini merupakan bagian dari strategi relating (mengaitkan), dimana menurut Crawford (2001) pengetahuan prasyarat siswa dapat berfungsi sebagai landasan yang dapat dijadikan dasar untuk membangun pengetahuan baru. Guru membagikan LKS kepada semua kelompok setelah kegiatan apersepsi dirasa cukup. Selanjutnya siswa diminta untuk memahami bagian “Relating Problem” dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan setelahnya. Pada bagian ini siswa aktif berdiskusi dalam menyelesaikan LKS. Guru berkeliling memberikan scaffolding jika ada kelompok yang kesulitan. Pada tahap berikutnya siswa melakukan kegiatan experiencing yaitu memanipulasi alat peraga pipa logika untuk menkonstruksi definisi dari pernyataan majemuk. Guru menjelaskan cara penggunaan alat peraga pipa logika dan meminta perwakilan beberapa kelompok untuk melakukan percobaan sesuai dengan petunjuk yang ada di LKS. Setiap kelompok mencatat hasil percobaan. Siswa tampak antusias dan senang pada kegiatan experiencing ini. Selanjutnya siswa 1023
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
diajak untuk bersama-sama memahami definisi dari pernyataan majemuk yang diberikan di LKS. Dengan analogi hasil percobaan menggunakan pipa logika, siswa diminta mengkonstruksi tabel kebenaran pernyataan majemuk serta membandingkan hasilnyanya dengan definisi yang ada. Guru kemudian meminta 2 kelompok untuk membacakan masing-masing tabel kebenaran pernyataan majemuk yang telah mereka konstruksi. Setelah itu guru bertanya kepada kelompok lain apakah ada hasil yang berbeda. Semua kelompok menyatakan hasil mereka sama dengan 2 kelompok yang tadi membacakan tabel kebanaran konjungsi dan disjungsi. Menurut Janvier (Hamdani, 2009) aktivitas matematika (doing mathematics) perlu ditekankan dalam pembelajaran, sehingga pembelajaran tidak hanya terfokus pada solusi akhir tetapi juga pada prosesnya yang mencakup proses translasi seperti interpretasi, pengukuran, pensketsaan, permodelan dan lain-lain. Sedangkan menurut Crawford (2001) bahwa strategi experiencing bisa dilakukan dengan tiga cara, salah satunya yaitu manipulasi, dimana siswa bisa menggunakan benda-benda konkrit sederhana untuk membangun pemahaman suatu konsep.
Gambar 1. Siswa Melakukan Percobaan Menggunaka Pipa Logika Tahap selanjutnya siswa secara berkelompok menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan pada LKS yang terdiri atas 2 soal applying dan 1 soal transferring dengan langkahlangkah pemecahan masalah yang lengkap. Guru berkeliling memperhatikan pekerjaan siswa secara berkelompok menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan. Terlihat beberapa kelompok kebingungan dan bertanya kepada guru, sehingga guru harus memberikan scaffolding berupa pertanyaan balik yang dapat menjembatani terbangunnya pemahaman siswa sampai kelompok tersebut tidak bingung lagi. Beberapa kelompok ada yang terlihat lebih cepat dalam menyelesaikan masalah dibandingkan kelompok lain. Dalam menuliskan jawaban dari penyelesaian masalah antara kelompok satu dengan yang lainnya seringkali berbeda, namun tidak menyebabkan jawaban mereka salah. Setelah siswa menyelesaikan masalah-masalah yang ada di LKS guru meminta beberapa kelompok mempresentasikan jawaban mereka di depan kelas. Guru memberikan kesempatan kelompok lain melakukan koreksi jika jawaban mereka berbeda dengan jawaban yang dipresentasikan teman mereka tersebut. Di akhir pembelajaran siswa diminta untuk menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari. Hasil observasi pembelajaran pada siklus I didapatkan bahwa aktivitas guru mencapai 93,33 % yang berarti berada pada kategori sangat baik, sedangkan aktivitas siswa mencapai 88,31% yang berarti berada pada kategori baik. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh peneliti maka hasil observasi aktivitas guru dan siswa di siklus I telah memenuhi kriteria yaitu minimal berada pada kategori baik. Akan tetapi, hasil tes akhir di siklus I disimpulkan sebanyak 18 siswa (54,54%) memperoleh skor lebih dari atau sama dengan 75. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran di siklus I belum mencapai ketuntasan belajar secara klasikal berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan yaitu minimal 75% siswa yang mengikuti tes memperoleh skor lebih dari atau sama dengan 75. Berdasarkan kriteria keberhasilan dalam penelitian ini maka disimpulkan bahwa pembelajaran di siklus I belum memenuhi kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan dalam penelitian tindakan kelas ini. Penelitian akan dilanjutkan ke siklus II untuk memperbaiki beberapa kelemahan pada siklus I yaitu: 1) diskusi menyelesaikan soal-soal di LKS memakan waktu yang lama sehingga seringkali presentasi hasil diskusi hanya dilakukan secara singkat; 2) Pada saat menyelesaikan soal transferring beberapa kelompok masih kesulitan dalam menuliskan penyelesaian secara lengkap berdasarkan langkah-langkah penyelesaian; serta 3) 1024
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
masih terdapat kelompok yang tidak kompak saat berdiskusi dan beberapa anggota kelompok terutama dari siswa yang berkemampuan rendah masih terlihat kurang percaya diri sehingga pasif. Siklus II Subpokok bahasan pada tindakan siklus II ini adalah konvers, invers, dan kontraposisi dari pernyataan berbentuk implikasi beserta nilai kebenarannya. Berdasarkan RPP yang telah disusun maka penelitian ini hanya dilaksanakan 1 kali pertemuan dengan alokasi waktu 3 × 45 menit. Langkah-langkah pembelajaran pada siklus II tidak jauh berbeda dengan pembelajaran di Siklus I. Peneliti melaksanakan beberapa tindakan perbaikan untuk mengatasi kelemahankelemahan pada siklus I. Untuk mengatasi kelompok yang tidak kompak saat berdiskusi dan beberapa anggota kelompok terutama dari siswa yang berkemampuan rendah masih terlihat kurang percaya diri sehingga pasif, peneliti mengingatkan bahwa kelompok adalah wadah untuk saling berbagi, saling menanggapi serta saling bertukar ide dan pendapat, sehingga sangat membantu dalam mempelajari suatu konsep yang akan dipelajari. Peneliti juga mengingatkan bahwa jangan sampai ada anggota kelompok yang tidak memahami hasil pekerjaan LKS mereka dikarenakan ada anggota kelompok yang tidak ikut terlibat dalam diskusi. Peneliti membimbing siswa menuliskan langkah-langkah penyelesaian masalah secara lengkap berdasarkan langkah-langkah pemecahan masalah Polya pada bagian soal transferring. Pada langkah memahami masalah siswa dituntut untuk menuliskan/meyebutkan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal dengan tepat, sedangkan pada langkah menyusun rencana pemecahan masalah siswa dituntut mampu menyajikan urutan langkah penyelesaian yang benar serta mengarah pada jawaban yang benar. Selanjutnya, siswa dituntut menggunakan prosedur tertentu sehingga jawaban yang diperoleh benar pada langkah menjalankan rencana pemecahan masalah dan melakukan pengecekan terhadap proses dan jawaban dengan tepat serta membuat kesimpulan yang benar pada langkah memeriksa kembali penyelesaian. Hasil observasi pembelajaran pada siklus II didapatkan bahwa aktivitas guru mencapai 94,45 % yang berarti berada pada kategori sangat baik, sedangkan aktivitas siswa mencapai 88,46 % yang berarti berada pada kategori baik. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh peneliti maka hasil observasi aktivitas guru dan siswa di siklus II telah memenuhi kriteria yaitu minimal berada pada kategori baik. Adapun hasil tes akhir di siklus II disimpulkan sebanyak 28 siswa (82,35%) memperoleh skor lebih dari atau sama dengan 75. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran di siklus II telah mencapai ketuntasan belajar secara klasikal berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan yaitu minimal 75% siswa yang mengikuti tes memperoleh skor lebih dari atau sama dengan 75. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran di siklus II sudah memenuhi kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan dalam penelitian tindakan kelas ini. Oleh karenanya, peneliti berkesimpulan bahwa strategi pembelajaran REACT telah mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di kelas XA SMA Negeri 1 Panyipatan, dan karenanya penelitian tindakan kelas ini akan dihentikan. Perbaikan yang dilakukan oleh peneliti untuk memperbaiki beberapa kelemahan di siklus I diduga memberikan pengaruh terhadap keberhasilan di siklus II. Jawaban siswa yang terlihat pada tes akhir siklus II menunjukkan siswa tidak lagi mengalami kesulitan dalam menuliskan langkah-langkah pemecahan masalah secara lengkap. Hal ini membantu siswa berpikir secara sistematis dalam menemukan solusi penyelesaian dari masalah yang diberikan. Kekompakan dalam kelompok pada siklus II juga terlihat lebih baik sehingga terlihat hampir semua anggota kelompok terlibat aktif dalam diskusi, termasuk siswa-siswa berkemampuan rendah. Mereka sudah tidak malu-malu lagi meminta penjelasan kepada temannya dalam satu kelompok jika mereka masih merasa belum paham terhadap hasil pekerjaan kelompok yang sudah mereka diskusikan. PENUTUP Penerapan pembelajaran melalui strategi REACT yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa meliputi: membentuk kelompok heterogen (cooperating); (b) membangkitkan pengetahuan prasyarat siswa dan mengangkat masalah kontekstual di awal pembelajaran (relating); (c) membagikan LKS ;(d) memanipulasi alat peraga pipa logika (experiencing);(e) mendiskusikan masalah pada LKS yang terdiri atas soalsoal applying dan transferring (applying dan transferring); (f) mempresentasikan hasil diskusi; 1025
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
serta (g) meyimpulkan pembelajaran. Peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut: (1) kepada praktisi, terutama guru-guru matematika untuk mencoba berbagai strategi pembelajaran matematika yang berorientasi pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah, salah satunya strategi REACT; (2) kemungkinan adanya kendala-kendala pelaksanaan pembelajaran melalui strategi REACT pada awal pembelajaran perlu diantisipasi oleh guru, diantaranya siswa tidak terbiasa dengan belajar mandiri, mengkonstruksi pengetahuan sendiri dan memecahkan masalah. Guru disarankan agar membantu siswa mengatasi masalah, misalnya dengan teknik scaffolding. Sedangkan untuk kendala siswa tidak terbiasa berdiskusi dalam kelas, disarankan agar guru bisa terus memotivasi siswa dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk itu; (3) dalam hal ini penelitian dilakukan hanya terbatas untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Ada baiknya peneliti selanjutnya dapat menerapkan strategi REACT untuk meningkatkan kemampuan matematika lainnya seperti penalaran, komunikasi, representasi dan koneksi matematik; (4) karena proses pembelajaran melalui strategi REACT memerlukan waktu yang lama maka disarankan untuk menggunakan strategi REACT pada topik-topik bahasan yang esensial saja. DAFTAR RUJUKAN CORD. 1999. Teaching Mathematics Contextually. Texas: CORD Communications, Inc. Crawford. 2001. Teaching Contextually. Texas: CCI Publishing, Inc. Ghoni, A. 2011. Pembelajaran dengan Strategi REACT bagi Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Lumajang untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Matematika. Abstrak Tesis. Jurusan Pendidikan Matematika, Program Pasca Sarjana, Universitas Negeri Malang. Hamdani. 2009. Pengembangan Pembelajaran dengan Mathematical Discourse dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik pada Siswa Sekolah Menengah Pertama. Prosiding diseminarkan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY pada 5 Desember 2009. Kennedy, L.M., Tipps,S., and Johnshon, A. 2007. Guiding Children's Learning of Mathematics. 11th edition. USA: Thomson Wardsworth. Koshy, V. 2005. Action Research for Improving Practice. London: Paul Chapman Publishing. Lewis, Catherine. 2002. Does Lesson Study Have a Future in the United States?. Online: sowionline.de/journal/2002-1/lesson_lewis.html. Marthen, T. 2010. Pembelajaran melalui Pendekatan REACT Meningkatkan Kemampuan Matematis Siswa SMP . Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. V, No. 2, Oktober 2010. Polya, G. 1985. H o w t o S o l v e I t : A N e w A s p e c t o f M a t h e m a t i c s M e t h o d . New Jersey: Princeton University Press. Rohati. 2011. Pengembangan Bahan Ajar Materi Bangun Ruang dengan Menggunakan Strategi Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring (REACT) di Sekolah Menengah Pertama. J u r n a l E d u m a t i c a V o l u m e 0 1 Nomor 02, Oktober 2011. Santilia, N.2009. Penerapan Model Authentic Assesment pada Pembelajaran Matematika dengan Strategi REACT pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Suboh. Abstrak Tesis. Jurusan Pendidikan Matematika, Program Pasca Sarjana, Universitas Muhammadiyah Malang. Slavin, R.E. 2005. Cooperatif Learning: Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Penerbit Nusa Media. Sudiarta, I.G.P. 2006. Pengembangan dan Implementasi Pembelajaran Matematika Berorientasi Pemecahan Masalah Kontekstual Open-Ended untuk Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXIX Desember 2006. Yuniawatika. 2011. Penerapan Pembelajaran Matematika dengan Strategi REACT untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Representasi Matematik Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia. Volume 13 Nomor 1(hlm. 105-119).
1026