PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA)
EKO SUPRIYADI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN EKO SUPRIYADI. Penerapan Model Finite Length Line Source untuk Menduga Konsentrasi Polutan dari Sumber Garis (Studi Kasus: Jl. M.H. Thamrin, DKI Jakarta). Dibimbing oleh IMAM SANTOSA dan ANA TURYANTI. Tingginya mobilitas barang dan manusia di Jakarta menjadikan sektor transportasi memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga potensi pencemaran udara turut mengalami peningkatan akibat emisi kendaraan bermotor, terutama polutan karbonmonoksida (CO) dan nitrogen oksida (NOx). Pelaksanaan pemantauan kualitas udara seringkali memerlukan biaya besar dalam pengadaan sarana dan prasarana, sehingga perlu altenatif lain untuk menganalisa konsentrasi polutan, yaitu dengan menggunakan model. Salah satu model matematika untuk menganalisa hal tersebut adalah finite line length source (FLLS), yaitu model penyebaran pencemar udara yang didasarkan pada prinsip konservasi massa, distribusi Gaussian dan geometri jalan. Pemodelan jenis ini menggunakan pendekatan teori berdasarkan pengamatan di lapang, sehingga hasil dari pemodelan selanjutnya dapat dibandingkan dengan hasil pemantauan yang telah diperoleh. Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi kualitas udara ambien menggunakan model FLLS. Selanjutnya membandingkan hasil prediksi tersebut dengan pemantauan kualitas udara disekitarnya. Serta mengidentifikasi konsentrasi polutan sumber garis pada berbagai kondisi stabilitas dan kecepatan angin menggunakan model FLLS. Pada penelitian ini diambil studi kasus Jl. M.H. Thamrin, DKI Jakarta dengan polutan yang diamati adalah CO dan NOx, bersamaan dengan pemantauan kualitas udara yang dilakukan oleh pihak BPLHD pada lokasi yang serupa bulan Desember 2007 – April 2008. Berdasarkan simulasi model FLLS, nilai emisi maksimum CO dan NOx terjadi pada hari kerja. Beban emisi maksimum CO terjadi pada pukul 08:00-09:00 sebesar 53.65 mg/m3 dan nilai emisi maksimum NOx pukul 14:00-15:00 sebesar 3.87 mg/m.s. Sedangkan konsentrasi makimum CO dan NOx terjadi tanggal 24 Maret 2008 pada pukul 06:00-07:00 masing-masing dengan konsentrasi sebesar 3.19 mg/m3 dan 235.32 µg/m3. Nilai konsentrasi CO tersebut secara umum masih dibawah baku mutu udara ambien CO untuk pengukuran 24 jam, yaitu 9 mg/m3. Hal ini mengindikasikan konsentrasi CO dalam waktu paparan 24 jam masih dalam kondisi yang aman bagi kesehatan manusia. Sebaliknya, nilai konsentrasi NOx secara umum sudah berada diatas baku mutu udara ambien NOx untuk pengukuran 24 jam, yaitu sebesar 26 µg/m3. Hal ini mengindikasikan konsentrasi NOx dalam waktu paparan 24 jam sudah dalam kondisi yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Perbandingan dengan data pemantauan roadside menunjukkan, sebanyak 55 % hasil pemodelan ≤ kali dari hasil pemantauan roadside dengan nilai rata-rata konsentrasi CO hasil pemodelan sebesar 0.81 mg/m3 dan pemantauan sebesar 1.83 mg/m3. Sedangkan perbandingan yang lebih rendah diperoleh dari polutan NOx, yaitu sebanyak 45 % hasil pemodelan ≤ 2 kali dari hasil pemantauan dengan nilai rata-rata konsentrasi NOx hasil pemodelan sebesar 57.16 µg/m3 dan pemantauan sebesar 29.09 µg/m3. Sehingga penggunaan validasi lebih cocok diterapkan pada polutan inert seperti CO. Hasil simulasi menunjukkan pada kondisi stabilitas atmosfer yang sama, semakin tinggi kecepatan angin berhembus maka konsentrasi polutan yang dihasilkan semakin rendah. Pada kecepatan angin 0.81 m/s; 2.11 m/s; dan 3.41 m/s untuk stabilitas atmosfer sangat tidak stabil, konsentrasi maksimum yang terukur pada masing-masing kecepatan angin sebesar 0.0989 mg/m3; 0.0380 mg/m3; dan 0.0235 mg/m3. Sedangkan pada nilai kecepatan angin yang sama, semakin stabil kondisi stabilitas atmosfer maka jarak konsentrasi maksimum yang dicapai semakin jauh. Didapat untuk kondisi atmosfer sangat tidak stabil, jarak konsentrasi maksimum terjadi pada jarak 443 m disusul kondisi tidak stabil sedang dan sedikit tidak stabil masing-masing sebesar 919 m dan 1720 m.
PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA)
EKO SUPRIYADI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Karya kecil ini kudedikasikan untuk kemajuan Ilmu pengetahuan di Indonesia
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian
: Penerapan Model Finite Length Line Source untuk
Menduga Konsentrasi Polutan Sumber Garis (Studi Kasus: Jl. M.H. Thamrin, DKI Jakarta) Nama
: Eko Supriyadi
NIM
: G24104005
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Imam Santosa, MS NIP. 130804894
Ana Turyanti, S.Si, MT NIP. 132215102
Mengetahui: Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr. Drh. Hasim, DEA NIP. 131578806
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Pacitan, Jawa Timur pada tanggal 15 Juli 1986, merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Suparno dan Ibu Sarti. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 08 pagi Cijantung-Pasar Rebo pada tahun 1998. Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 103 Cijantung-Pasar Rebo tahun 1998-2001. Tahun 2001-2004 penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMUN 39 Cijantung-Pasar Rebo. Tahun 2004 penulis diterima pada program studi Meteorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama perkuliahan, penulis aktif pada himpunan profesi mahasiswa Geofisika dan meteorologi (Himagreto) antara tahun 2004-2005. Pada tahun 2006 penulis ditunjuk sebagai ketua tim Meteorologi Interaktif (Metrik). Sebelum menyelesaikan pendidikan S1, penulis melaksanakan praktik lapang di Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Pekayon-Pasar Rebo tahun 2007.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat ALLAH Yang Maha Kuasa, sehingga atas Karunia dan Kuasa-NYA usulan penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Judul yang dipilih dalam penelitian tugas akhir ini adalah Penerapan Model Finite Length Line Source untuk Menduga Konsentrasi Polutan Sumber Garis (Studi Kasus: Jl. M.H. Thamrin, DKI Jakarta). Tidak mudah untuk menyelesaikan tugas akhir ini yang kemudian dituangkan dalam bentuk karya ilmiah. Namun, orang-orang di sekitar penulis telah memberi semangat dengan ide-ide cemerlangnya untuk tetap menyelesaikan tepat pada waktunya. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada mama, papa, dan adik atas seluruh dukungannya. Serta kepada berbagai pihak yang telah memberikan banyak ilmu dan dukungan dalam menyelesaikan tugas akhir ini: 1. Bapak Dr. Ir. Imam Santosa MS. sebagai dosen pembimbing I sekaligus Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor; 2. Ibu Ana Turyanti, S.Si, MT. sebagai dosen pembimbing II yang telah bersedia memberikan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing, memberi pengajaran, arahan, dan saran-saran yang berguna mulai dari awal hingga akhir penyelesaian tugas akhir ini; 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, selaku Kepala Laboratorium Meterologi dan Polusi Atmosfer, serta kesediaannya menjadi dosen penguji; 4. Seluruh Dosen dan staf administrasi Departemen Geofisika dan Meteorologi atas ilmu-ilmu yang telah diberikan dan bantuan administrasinya; 5. Biro Lalu Lintas dan Biro Pengembangan Analisis dari Dinas Teknis Perhubungan DKI Jakarta atas bantuan datanya yang sangat berarti; 6. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta atas izin administrasi, data, informasi dan masukan kepada penulis; 7. Saudara Stevanus Budi Santoso atas pinjaman handycam hdd-nya; 8. Teman-teman seperjuangan geomet 41 atas kebersamaannya selama ini; 9. Sahabat-sahabat di Wisma Galih dan orenz atas keceriaannya selama 3 tahun. 10. Semua pihak yang telah berkontribusi sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga kerja keras dan kebaikan yang telah mereka limpahkan kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Akhir kata, penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam tugas akhir ini dan mudah-mudahan tugas akhir ini bermanfaat bagi para pembaca dalam mempelajari fenomena di alam ini. Terima kasih.
Bogor, Desember 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................... iii DAFTAR TABEL........................................................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................. iv I. PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................................................... 1 1.2 Tujuan ................................................................................................................................. 1 1.3 Ruang Lingkup .................................................................................................................... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................. 1 2.1 Definisi Pencemaran Udara.................................................................................................. 1 2.2 Jenis dan Karakteristik Sumber Polusi Udara ...................................................................... 2 2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Udara ....................................................... 2 2.3.1 Emisi yang Dikeluarkan .......................................................................................... 3 2.3.2 Kondisi Atmosfer .................................................................................................... 3 2.3.3 Topografi ................................................................................................................. 6 2.4 Pencemaran Akibat Sektor Transportasi .............................................................................. 7 2.4.1 Karakteristik Pencemar Udara dari Kendaraan Bermotor ....................................... 7 2.4.2 Faktor Emisi Kendaraan Bermotor ........................................................................ 10 2.5 Pemodelan Matematis Dispersi Polutan ............................................................................. 11 2.6 Model Dispersi Bentuk Gaussian ....................................................................................... 12 2.6.1 Sumber Dispersi Polutan Sumber Titik ................................................................. 13 2.6.2 Sumber Dispersi Polutan Sumber Garis ................................................................ 14 2.7 Tinjauan Umum Wilayah DKI Jakarta............................................................................... 15 2.7.1 Kondisi Demografis DKI Jakarta .......................................................................... 15 2.7.2 Kondisi Penggunaan Lahan DKI Jakarta............................................................... 16 2.7.3 Kondisi Jaringan Jalan dan Karakteristik Lalu Lintas DKI Jakarta ....................... 16 2.7.4 Kualitas Udara Roadside DKI Jakarta ................................................................... 17 III. METODOLOGI ..................................................................................................................... 17 3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................................................. 17 3.2 Bahan dan Alat ................................................................................................................... 18 3.3 Metode ............................................................................................................................... 19 3.3.1 Pengamatan ........................................................................................................... 19 3.3.2 Perhitungan............................................................................................................ 19 3.4 Akurasi ............................................................................................................................... 22 3.4 Asumsi. .............................................................................................................................. 23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................... 25 4.1 Kondisi Kepadatan Lalu Lintas Jl. M.H. Thamrin ............................................................ 25 4.2 Total Beban Emisi Sumber Garis ..................................................................................... 26 4.2 Emisi CO ................................................................................................................. 26 4.2 Emisi NOx ............................................................................................................... 27 4.3 Kondisi Meteorologi Jl. M.H. Thamrin ............................................................................ 28 4.3.1 Stabilitas Atmosfer ............................................................................................... 29 4.3.2 Distribusi Angin ................................................................................................... 30 4.4 Kualitas Udara Roadside Jl. M.H. Thamrin...................................................................... 21 4.4 Analisa Hasil Pemodelan FLLS ........................................................................................ 32 4.2 Konsentrasi CO ....................................................................................................... 33
i
4.2 Konsentrasi NOx ...................................................................................................... 35 4.5 Perbandingan Hasil Pemodelan dengan Pemantauan Roadside ........................................ 37 4.6 Konsentrasi Polutan Sumber Garis pada Berbagai Kondisi Stabilitas dan Kecepatan Angin .............................................................................................................. 40 V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................................................. 44 5.1 Kesimpulan ....................................................................................................................... 44 5.2 Saran ................................................................................................................................. 44 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 45 LAMPIRAN ................................................................................................................................... 47
ii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12 Gambar 13 Gambar 14 Gambar 15 Gambar 16 Gambar 17 Gambar 18 Gambar 19 Gambar 20
Efek laju penurunan suhu aktual terhadap stabilitas vertikal ................................ 4 Kestabilan atmosfer terhadap bentuk kepulan polutan ......................................... 5 Pengaruh AFR pada komposisi gas buangan kendaraan bermotor .................... 11 Persebaran polutan pada sumber titik dengan model Gauss .............................. 13 Deskripsi metode model FLLS .......................................................................... 15 Peta lokasi Jl. M.H. Thamrin dan letak stasiun kualitas udara roadside dan JAF 5............................................................................................ 18 Grafik koefisien dispersi vertikal dan horizontal Pasquill dan Gifford ............. 21 Ilustrasi finite length line source di Jl. M.H. Thamrin ....................................... 21 Ilustrasi metode Quantile-Quantile ................................................................... 23 Diagram alir penelitian ...................................................................................... 24 Grafik volume kendaraan harian di Jl. M.H. Thamrin pada hari kerja dan hari libur ...................................................................................... 25 Persentase kendaraan yang melewati Jl. M.H. Thamrin pada hari kerja dan hari libur ...................................................................................... 26 Perbandingan jumlah kendaraan terhadap emisi CO di ruas Jl. M.H. Thamrin pada hari kerja dan hari libur ................................................ 27 Perbandingan jumlah kendaraan terhadap emisi NOx di ruas Jl. M.H. Thamrin pada hari kerja dan hari libur ............................................... 28 Persentase stabilitas atmofer Jl. M.H. Thamrin waktu pengamatan, pukul 06:00-14:00............................................................................................... 30 Konsentrasi CO dan NOx roadside rata-rata 30 menitan waktu pengamatan .... 32 Konsentrasi CO hasil pemodelan FLLS dan perbandingannya terhadap baku mutu udara ambien .................................................................................... 34 Konsentrasi NOx hasil pemodelan FLLS dan perbandingannya terhadap baku mutu udara ambien .................................................................................... 36 Plot Quantile-Quantile konsentrasi polutan CO dan NOx hasil pemodelan FLLS dengan hasil observasi (Stasiun JAF 5 dan roadside) ............................. 37 Konsentrasi CO sebagai fungsi jarak dan kecepatan angin pada kondisi stabilitas atmosfer .................................................................................. 41
iii
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10
Pembagian karakteristik sumber polusi udara dalam pemodelan dispersi polutan .......................................................................................................... 2 Panjang jalan DKI Jakarta berdasarkan fungsi dan status, 2006 ............................. 16 Komposisi perjalanan orang di Jabotabek menurut moda angkutan tahun 2000 ..... 17 Panjang perjalanan rata-rata menurut maksud perjalanan dan kelompok perjalanan ............................................................................................... 17 Faktor emisi setiap jenis kendaraan berdasarkan bahan bakar ................................ 19 Kelas stabilitas atmosfer Pasquill ............................................................................ 20 Nilai konstanta untuk menghitung koefisien dispersi sebagai fungsi dari jarak arah angin dan stabilitas ......................................................................... 21 Kelas kestabilan atmosfer Pasquill pada hari kerja di Jl. M.H.Thamrin ................. 29 Arah angin dominan hasil simulasi windrose ......................................................... 31 Kecepatan angin dominan hasil simulasi windrose ................................................. 31 DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11 Lampiran 12 Lampiran 13
Aplikasi dan batasan model pada model sumber garis terpilih berdasarkan tahun perkembangannya ........................................................... 47 Volume lalu lintas Jl. M.H. Thamrin ............................................................ 48 Data kualitas roadside dan fixed station ....................................................... 49 Data meteorologi pada hari kerja di ruas Jl. M.H. Thamrin .......................... 50 Beban emisi CO dan NOx pada skenario hari kerja dan hari libur di ruas Jl. M.H. Thamrin ................................................................................. 51 Windrose Jl. M.H. Thamrin periode Desember 2007-April 2008 ................. 52 Baku mutu udara ambien .............................................................................. 53 Pendugaan konsentrasi CO dan NOx Jl. M.H. Thamrin ................................ 54 Perbandingan faktor emisi CO dan NOx pada berbagai kecepatan ............... 56 Fluktuasi perbandingan nilai konsentrasi CO pemodelan FLLS dan pemantauan (roadside) bulan Desember 2007-April 2008 ........................... 57 Fluktuasi perbandingan nilai konsentrasi NOx pemodelan FLLS dan pemantauan (roadside) bulan Desember 2007-April 2008 ............................ 58 Fluktuasi perbandingan nilai konsentrasi CO pada stasiun JAF 5 dan roadside ............................................................................. 59 Fluktuasi perbandingan nilai konsentrasi NOx pada stasiun JAF 5 dan roadside ............................................................................. 60
iv
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan Kota DKI Jakarta yang semakin pesat, ditambah dengan perkembangan kota-kota penyangga di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi telah membuat sistem transportasi jalan raya mengalami tingkat kompleksitas yang tinggi. Jumlah kendaraan yang semakin hari terus bertambah, sementara pembangunan infrastruktur berupa jalan dan fasilitasnya seperti terminal, persimpangan, petunjukpengatur lalu lintas, dan pengembangan jaringan jalan tidak bisa mengimbanginya, ditambah mobilitas warga yang semakin tinggi, menjadikan banyak persoalan dalam sistem transportasi. Persoalan transportasi ini selanjutnya menimbulkan masalah berupa tidak terpeliharanya ketertiban, keamanan, dan kesehatan. Di Jakarta, lalu lintas di jalan-jalan utama pada jam sibuk pagi dan sore hari hanya bergerak 12 km/jam. Dampak yang ditimbulkan fantastis, kerugian sosial yang diderita masyarakat lebih dari 17,2 triliun rupiah per tahun akibat pemborosan nilai waktu dan biaya operasi kendaraan (terutama bahan bakar). Belum lagi emisi gas buang diperkirakan sekitar 25.000 ton per tahun (PDAT, 2004). Dampak pada tahap selanjutnya adalah menurunnya produktivitas ekonomi kota dan merosotnya kualitas hidup warga kota akibat emisi transportasi kendaraan bermotor. Pemantauan kualitas udara yang telah dilakukan oleh KLH di Jakarta menunjukkan 70% dari total emisi yang dibuang ke udara berasal dari gas buang kendaraan bermotor (KLH, 2002). Hal tersebut menjadi wajar jika melihat jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta sampai akhir tahun 2007 mencapai 5,798,002 unit yang terdiri dari 1,547,336 unit mobil penumpang; 256,766 unit bus; 414,278 unit truk beban; dan 3,579,622 unit sepeda motor (Polda Metro Jaya, 2008). Kenaikan jumlah kendaraan tersebut tidak hanya menimbulkan permasalahan lalu lintas yang serius, tetapi menambah intensitas emisi bahan pencemar ke udara. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah berupaya untuk mengurangi laju pencemaran udara yang ditimbulkan akibat transportasi kendaraan bermotor di Jakarta. Upaya-upaya tersebut antara lain penerapan hari bebas kendaraan bermotor sekali dalam
setiap bulan dan pelaksanaan proyek koridor Trans-Jakarta yang tertuang sebagai usulan pola transportasi makro 2010. Sebagai upaya untuk mengetahui penyebaran konsentrasi polutan dari sektor transportasi, maka diperlukan analisa lebih lanjut mengenai tingkat emisi pencemar dari kendaraan bermotor. Salah satu metode yang digunakan dalam penentuan penyebaran konsentrasi polutan adalah melalui model matematika. Pemodelan jenis ini menggunakan pendekatan teori berdasarkan pengamatan di lapang. Sehingga model matematis dinilai lebih baik dalam menjelaskan dan memisahkan proses dinamika atmosfer berdasarkan skala spasial dan temporal (Seinfeld dan Pandis, 2006). Salah satu pemodelan matematis penyebaran polutan sumber garis (transportasi) adalah model Finite Length Line Source (FLLS). 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memprediksi kualitas udara ambien menggunakan model FLLS. 2. Membandingkan konsentrasi pencemar hasil permodelan terhadap pemantauan kualitas udara roadside. 3. Mengidentifikasi konsentrasi polutan sumber garis pada berbagai kondisi stabilitas dan kecepatan angin menggunakan solusi analitik persamaan dispersi bentuk Gaussian. 1.4 Ruang lingkup Penelitian ini membatasi persoalan dengan ruang lingkup: 1. Studi kasus pemodelan dispersi polutan dilakukan sepanjang Jl. M.H. Thamrin 2. Parameter pencemar yang digunakan dalam pemodelan dan pemantauan adalah CO dan NOx.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pencemaran Udara Seinfeld (1986) mendefinisikan pencemaran udara sebagai kondisi atmosfer ketika suatu substansi konsentrasi pencemar melebihi batas konsentrasi udara ambien normal yang menyebabkan dampak terukur pada manusia, hewan, tumbuhan dan material. Lebih lanjut, substansi tersebut dapat berasal dari sifat alami atau aktivitas manusia maupun campuran diantara keduanya. Arya (1999) menambahkan bahwa pencemaran udara selain berdampak
1
pada manusia, tanaman, hewan, dan material juga berdampak pada atmosfer. Mengacu pada Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 ayat 12, polusi udara diartikan sebagai masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Jenis dan Karakteristik Sumber Polusi Udara Secara garis besar sumber polusi udara dibagi menjadi dua bagian, yaitu yang bersifat alami dan bersifat antropogenik. Sumber polusi udara yang bersifat alami merupakan bagian yang ditimbulkan dari proses atau gejala alam yang menyebabkan perubahan kualitas udara sekitarnya. Contoh dari sumber alami adalah proses kimia bakteri dalam tanah maupun perairan, kebakaran hutan, erosi angin, letusan gunung berapi, emisi biogenic dan lainnya. Sumber polusi udara yang bersifat antropogenik dihasilkan dari aktivitas manusia yang menyertainya. Contoh dari sumber antropogenik adalah aktivitas transportasi kendaraan bermotor, pertanianperkebunan, industri (termasuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil) dan rumah tangga. Arya (1999) membagi sumber polusi yang bersifat antropogenik menjadi dua yaitu sumber yang dihasilkan dari perkotaan dan industri serta yang dihasilkan dari pedesaan dan pertanian. Sumber polusi udara yang bersifat alami dan antropogenik dapat dibedakan lagi menjadi dua bagian berdasarkan perilakunya di atmosfer yaitu primer dan sekunder untuk masing-masing sumber. Polutan primer diemisikan secara langsung dari sumber pencemarnya ke atmosfer. Polutan primer memiliki waktu paruh yang tinggi karena sifatnya yang stabil secara kimia-fisik, misalnya CO, CO2, NO2, SO2, CFC, Cl2, debu dan sebagainya. Polutan sekunder merupakan pencemar udara dari proses fisikkimia di atmosfer dalam bentuk fotokimia yang bersifat reaktif dan mengalami transformasi menjadi molekul. Bentuknya pun berbeda dari saat diemisikan hingga setelah ada di atmosfer, misalnya ozon (O3), hujan asam, aldehida, dan sebagainya.
Seinfeld dan Pandis (2006) secara terperinci membagi sumber polutan alami dan antropogenik ke dalam kelas primer dan sekunder lengkap dengan polutan pernyusunnya. Pemahaman tentang karakteristik sumber polusi udara seperti jenis pelepasan, lokasi dan geometri sumber serta kekuatan emisi yang dikeluarkan juga dibutuhkan sebagai langkah awal untuk memperkirakan penyebaran polutan tersebut. Tabel 1 menyajikan karakteristik sumber polusi udara yang digunakan sebagai landasan dalam membangun pemodelan dispersi polutan.
2.2
Tabel 1. Pembagian karakteristik sumber polusi udara dalam pemodelan dispersi polutan Geometri sumber Titik atau volume Garis
Jenis pelepasan
Area
Kadangkadang
Seketika Berkelanjutan
Lokasi sumber Permukaan Bumi Batasan PBL Atmosfer bebas
Sumber: Arya (1999)
Dasar dari pemakaian atau pemilihan karakteristik sumber dapat dibagi menjadi dua garis besar, yaitu pemilihan kerangka acuan dalam menganalisa permasalahan dan perspektif pengguna dalam mengasumsikan bentuk geometri sumber polutan. Sebagai contoh kota industri dapat dipandang sebagai sumber titik dalam mengemisikan polutannya terhadap dampak pada kualitas udara regional dan pembukaan lahan persawahan dapat dipandang sebagai sumber area dalam skala yang lebih kecil. 2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Udara Stull (2000) menjelaskan bahwa dispersi polutan di atmosfer melibatkan tiga mekanisme utama, yaitu gerakan udara global; fluktuasi turbulensi dan difusi polutan terhadap lingkungan sekitar akibat perbedaan konsentrasi. Sedangkan menurut Oke (1987) dispersi polutan dari sumber emisi selain dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi juga oleh karakteristik meteorologi dan topografi setempat.
2
2.3.1 Emisi yang Dikeluarkan Emisi menurut Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dalam suatu kegiatan yang masuk dan dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. Tingginya nilai emisi, bila melebihi ambang batas akan berbahaya bagi kesehatan manusia. Hal ini dapat dilihat pada kota-kota besar yang mempunyai tingkat mobilitas tinggi dan kawasan industri. Evaluasi tentang tingkatan kualitas udara di suatu wilayah perlu dipahami secara benar, baik dari segi kuantitas maupun karakteristik emisi sejumlah sumber pencemar yang berkontribusi langsung ke udara ambien. Emisi yang keluar dari proses kegiatan dihubungkan dengan jenis dan banyaknya polutan yang dikeluarkan untuk menjadi suatu indikator dari kapasitas produksi, banyak dan jenis bahan bakar yang terpakai, dan jarak tempuh kendaraan bermotor (Liu dan Lipták, 2000). 2.3.2 Kondisi Atmosfer Sesaat setelah polutan diemisikan ke dalam udara, selanjutnya atmosfer berperan dalam perpindahan, difusi, reaksi kimia dan pengangkutan polutan tersebut. Empat proses di atmosfer tersebut selanjutnya disebut dispersi. Proses dispersi polutan di atmosfer dipengaruhi oleh kondisi fisik meteorologi setempat seperti stabilitas atmosfer, distribusi angin, suhu udara, radiasi surya, dan kelembaban udara serta dipengaruhi oleh gejala cuaca seperti presipitasi, stabilitas atmosfer. Sedangkan bila proses pendispersian polutan tersebut telah mengalami interaksi dengan objek di bumi atau permukaan bumi maka topografi memainkan peranan hal yang penting dalam proses pendispersian polutan. Topografi wilayah setempat akan mempengaruhi keadaan kondisi meteorologi tersebut, yang selanjutnya mempengaruhi pola pendispersian polutan yang terjadi. a) Radiasi Matahari Radiasi matahari yang sampai di atmosfer maupun yang tiba di permukaan bumi merupakan energi utama dalam siklus cuaca termasuk persebaran polutan di atmosfer. Salah satunya reaksi kimia atmosfer yang melibatkan bagian molekul dengan jumlah elektron ganjil atau radikal (Visconti, 2001). Radikal ini terbentuk
melalui sederatan reaksi yang disebut sebagai proses fotodissosiasi, yaitu ketika molekul pecah karena absorbsi ultraviolet radiasi matahari. Proses fotodissosiasi yang terjadi membutuhkan panjang gelombang radiasi matahari yang berbeda satu dengan lainnya dalam setiap reaksinya. Keseluruhan proses tersebut menghasilkan bentuk hidroksil radikal (OH•), yang secara kimia merupakan keluarga hidrogen ganjil (odd hydrogen family). Hidroksil radikal selanjutnya memegang peranan utama dalam oksidasi metana dan hidrokarbon lainnya (Visconti, 2001). Pengaruh lainnya dari radiasi surya secara fisik dan dinamik dalam penyebaran polusi udara adalah sebagai sumber energi perpindahan massa udara. Hal ini disebabkan perbedaan pemanasan di permukaan bumi maupun di perairan yang menimbulkan angin dan turbulensi, sehingga mempengaruhi kondisi stabilitas atmosfer dan percampuran polutan dengan lingkungan sekitar. b) Suhu Udara dan Stabilitas Atmosfer Suhu mencerminkan energi kinetik rata-rata dari gerakan molekul-molekul sedangkan panas adalah salah satu bentuk energi yang dikandung oleh suatu benda (Handoko, 1993). Pada lapisan troposfer, laju suhu udara turun terhadap ketinggian (lapse rate). Namun pada waktu tertentu di lapisan permukaan (surface layer) laju suhu udara naik terhadap ketinggian (inversi). Hal ini dapat mempengaruhi efek stabilitas atmosfer yang berperan dalam pendispersian polutan secara vertikal. Pada suhu parsel udara yang lebih rendah dari lingkungan (kondisi stabil), massa udara polutan tidak dapat naik tapi tetap berada di atmosfer dan terakumulasi, sehingga menaikkan konsentrasi polutan. Sebaliknya bila suhu parsel udara lebih tinggi dari pada suhu lingkungan (kondisi tidak stabil), maka massa udara polutan naik dan menyebar, sehingga tidak membahayakan makhluk hidup dalam jangka pendek. Selain memiliki pengaruh yang nyata terhadap stabilitas atmosfer dalam pendispersian polutan, suhu udara bersama dengan radiasi matahari dapat mengubah NOx, HC, dan VOCs menjadi zat polutan sekunder lainnya, seperti ozon dan pembentukan kabut fotokimia di permukaan. Selain itu Connel (2005) menambahkan bahwa campuran dari ozon, PAN dan
3
substansi kimia lainnya menghasilkan kabut fotokimia. Kabut fotokimia merupakan masalah penting di wilayah perkotaan yang memiliki jumlah kendaraan bermotor tinggi dengan paparan radiasi matahari yang kuat. Dampak selanjutnya dari efek kabut fotokimia ini adalah penambahan jumlah partikel udara di perkotaan, sehingga membuat suhu udara diperkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah sekitarnya (Botkin dan Keller, 2005). Laju penurunan suhu dalam lapisan atmosfer dekat permukaan mempunyai pengaruh besar pada gerak vertikal polutan (Seinfeld dan Pandis, 2006). Faktor buoyancy turut menghambat atau mempercepat gerak vertikal suatu polutan. Laju penurunan suhu dan faktor buoyancy selanjutnya menciptakan berbagai macam stabilitas atmosfer. Kriteria kestabilan atmosfer dapat ditentukan oleh perbandingan laju penurunan temperatur laju penurunan suhu lingkungan (γ) terhadap laju penurunan suhu adiabatik (Γ). Pada kondisi laju penurunan superadiabatik (kondisi tidak stabil), suatu parsel udara akan bergerak ke atas dan mengalami pendinginan namun dengan suhu yang masih 49 50
rin ke g
Temperatur, F
tik
500
0
Pemanasan
53
Parsel udara ke atas
54
54,0
Parsel udara ke bawah
55 56
55,4
57
Pendinginan
56
Temperatur, F
b ia Ad ik at r in ke
500
52,4
52
Volume berlanjut ke asal
58
Temperature, F
1000
g
Ketinggian, m
Volume berlanjut ke atas
Kondisi tidak stabil
51
ba ia Ad
Ketinggian, m
1000
lebih hangat daripada udara di lingkungannya. Karena memiliki pengaruh gaya apung (buoyant), parsel udara tersebut akan tetap bergerak ke atas. Ketika parsel udara itu bergerak turun, maka parsel udara akan mengalami peningkatan temperatur dengan suhu yang masih lebih dingin dibandingkan dengan udara di lingkungannya. Selama kondisi netral, parsel udara akan bergerak baik ke atas maupun ke bawah dengan perubahan temperatur pada tingkat yang sama dengan udara di lingkungannya, dan pergerakannya baik ke atas atau kebawah tidak terpengaruh oleh gaya buoyant. Selama kondisi stabil, pergerakan parsel udara ke atas akan menghasilkan parsel udara yang lebih dingin dibandingkan dengan udara lingkungannya sehingga parsel tersebut akan kembali naik ke ketinggian sebelumnya. Demikian pula halnya dengan parsel udara yang bergerak ke bawah mengalami peningkatan temperatur yang kondisinya lebih hangat dibandingkan udara di sekitarnya, maka parsel udara akan bergerak kembali ke ketinggian awalnya. Penggambaran ketiga kondisi atmosfer tersebut divisualisasikan pada Gambar 1.
Kondisi stabil Pendinginan 55,3 Volume berpindah ke ketinggian dan temperatur awal
Parsel udara ke atas 57,0 Parsel udara ke bawah
57
56,7 Pemanasan 58
0
Temperatur, F 49 50
1000
Kondisi netral Volume tetap
ba ia tik rin ke
500
g
Temperatur, F
Ad
Ketinggian, m
51
53 54 55 56 57
0
53,3
52
Serupa dengan temperatur sekitar
Parsel udara ke atas 55,0 Parsel udara ke bawah 56,7
Volume tetap Serupa dengan temperatur sekitar
58
Temperatur, F
(Modifikasi dari Cooper dan Alley, 1994)
Gambar 1. Efek laju penurunan suhu aktual terhadap stabilitas vertikal
4
Pengaruh kestabilan atmosfer juga mempengaruhi bentuk kepulan dari cerobong (Gambar 2). Pada kondisi atmosfer stabil, kepulan cenderung menyempit dan tidak terdispersi ke sekelilingnya. kepulan seolah membentuk garis lurus searah angin, sehingga polutan berkumpul dan membentuk konsentrasi yang tinggi. Kondisi atmosfer yang tidak stabil ini menguntungkan dalam pendispersian polutan, karena polutan dengan segera terdispersi dengan lingkungan sekitar sehingga reseptor tidak mengalami paparan konsentrasi pencemar yang tinggi. Sebaliknya pada kondisi atmosfer tidak stabil, pencemar bergerak bebas pada daerah yang vertikal luas dan menghasilkan percampuran dengan udara ambien lebih baik, sehingga konsentrasi polutan yang terukur rendah. Kondisi atmosfer yang stabil bersifat tidak menguntungkan bagi reseptor, karena reseptor menerima paparan konsentrasi pencemar yang tinggi.
Sumber: Arya, 1999
Gambar 2. Kestabilan atmosfer terhadap bentuk kepulan polutan
Selain membandingkan laju penurunan suhu lingkungan terhadap laju penurunan suhu adiabatik, dalam batas PBL (Planetary Boundary Layer), stabilitas atmosfer dapat ditentukan melalui bilangan Richardson ( ) dan panjang Monin-Obukhov (L) (Shir dan Shieh, 1974). Menurut Waco (1970) parameter bilangan Richardson memiliki pengaruh yang paling nyata diantara parameter-parameter udara atas lainnya. Umumnya, penentuan stabilitas atmosfer melalui ketiga metode di atas memerlukan pengamatan kondisi meteorologi yang rutin. Seringkali ketiadaan data pengamatan yang lengkap memungkinkan hal tersebut sulit dilakukan. Sehingga Turner pada tahun 1964 membagi kestabilan atmosfer menjadi enam kategori yang sering disebut oleh Pasquill dengan tanda A hingga F (Pasquill, 1974). Kelas kestabilan A adalah kelas atmosfer paling tidak stabil dan F kelas atmosfer paling stabil. Pembagian kelas kestabilan tersebut didasarkan pada insolasi matahari, kecepatan angin dan penutupan awan. c) Distribusi Angin Angin memiliki peran utama dalam penyebaran polutan. Partikel polutan ini selanjutnya akan bergerak sesuai arah angin bergerak. Kekuatan angin turut pula mempengaruhi kecepatan penyebaran polutan dari sumbernya. Angin yang kuat mempercepat proses penyebaran polutan sedangkan angin yang bergerak relatif pelan, proses penyebarannya lebih banyak dilakukan melalui proses difusi dengan atmosfer sekitar. Akibat pengaruh dari arah gerak dan kecepatan angin ini konsentrasi polutan pada setiap titik aliran polutan (plume) bernilai lebih kecil dibandingkan sewaktu polutan tersebut keluar dari sumbernya, di luar aliran polutan tersebut konsentrasi polutan dapat diabaikan (Forsdyke, 1970). Arah dan kecepatan angin turut mempengaruhi dan menciptakan turbulen. Angin yang bergerak di suatu wilayah tidak selamanya bergerak secara teratur. Sehingga dapat dikatakan bahwa semua gerakan udara adalah turbulen (Forsdyke, 1970). Besarnya nilai turbulen ini berbeda setiap keadaan. Turbulen skala kecil ditunjukkan dengan contoh pergolakan asap rokok dalam ruangan, turbulen skala menengah ditunjukkan aliran udara lemah dalam cuaca yang tenang, dan turbulen skala
5
besar ditunjukkan dengan adanya angin dan badai yang muncul secara tiba-tiba. Lemah kuatnya gerakan udara mempengaruhi konsentrasi polutan suatu wilayah. Pada gerakan angin yang kuat, turbulensi udara yang kuat tercipta dan membantu mencampurkan polutan dengan udara disekitarnya sehingga konsentrasi polutan akan lebih kecil. Sedangkan bila gerakan angin yang tercipta lemah, turbulensi yang tercipta juga lemah sehingga pencampuran polutan dengan udara sekitarnya juga lebih kecil sehingga membuat konsentrasi polutan yang terjadi tetap tinggi. Hal tersebut didukung oleh penelitian Sharan et al (1995) yang menyatakan angin dengan kecepatan kurang dari 2 m/s harus diwaspadai bila terjadi di wilayah aktivitas manusia yang cenderung menghasilkan polutan. Ditambah lagi dengan kenyataan penelitian tersebut di lakukan pada wilayah tropis. Sedangkan angin dengan kecepatan sedang hingga tinggi, proses difusi polutan dapat diabaikan dalam perbandingannya terhadap proses adveksi polutan itu sendiri. e) Kelembaban Relatif (RH) Kelembaban udara (RH) kaitannya terhadap polutan di atmosfer adalah pengaruh jarak pandang (visibility). Pola RH harian yang secara umum berlawanan dengan pola suhu harian memiliki pengaruh terhadap konsentrasi polutan di atmosfer. Pada siang hari, suhu udara relatif tinggi dibandingkan malam hari sehingga memiliki kandungan uap air jauh lebih rendah dibandingkan pada saat malam harinya. Perbedaan kandungan uap air ini selanjutnya yang dapat menjadi bahan tersuspensi bagi partikel-partikel polutan disekitarnya sehingga berpengaruh terhadap jarak pandang (Oke, 1987). Lebih lanjut Hill (2006) menerangkan, penambahan atau pengurangan kandungan uap air suatu parsel udara dapat membentuk susunan kimia pencemar baru. Sebagai contoh, NOx pada saat kandungan uap air tinggi dapat membentuk HNO3 sedangkan pada kandungan uap air rendah membentuk NO3. Pencemar lainnya seperti SO2, pada saat kandungan uap air tinggi membentuk H2SO4 sedangkan pada keadaan kering SO4. Baik HNO3 dan NO3 serta H2SO4 dan SO4 merupakan aerosol. Sehingga secara tidak langsung perbedaan kandungan uap air dalam parsel udara mempengaruhi jumlah
partikel di udara dan berpengaruh pada visibilitas. f) Presipitasi Presipitasi dapat membantu membersihkan polutan di atmosfer melalui proses pencucian, akumulasi, dan absorbsi (Liu dan Lipták, 2000). Proses pencucian melibatkan partikel-partikel berukuran besar untuk bergabung melalui butiran air hujan yang jatuh sebagai presipitasi. Sedangkan proses akumulasi melibatkan partikelpartikel ukuran kecil bergabung membentuk awan dan jatuh sebagai butiran air hujan. Terakhir, bila polutan tersebut berupa gas maka proses pemindahannya dilakukan secara absorbsi melalui molekul-molekul gas di sekitarnya. Efisiensi ketiga proses di atas tergantung dari sifat polutan itu sendiri dan karakteristik presipitasi (Liu dan Lipták, 2000). Selain proses pencucian dan perpindahan polutan di atmosfer, presipitasi juga memiliki peran penting dalam proses kimia atmosfer, radiasi atmosfer, dan dinamika atmosfer (Seinfeld dan Pandis, 2006). Kaitannya dalam kimia atmosfer adalah pembentukan hujan asam, yang banyak dipicu oleh gas SO2 dan NOx. Hujan asam seringkali disebut sebagai deposisi asam (Arya, 1999; Hill, 2006). Walaupun dalam kondisi alaminya uap air memiliki ion hidrogen (H+) dan ion hidroksida (OH-), namun sering kali sulit untuk mencapai keadaan demikian di lingkungan atmosfer, hal ini disebabkan pengaruh dari kandungan gas-gas, liquid, maupun partikel yang berada di atmosfer. Dampak selanjutnya adalah turunnya pH air yang mengakibatkan kerugian fisik dan material dalam skala luas. 2.3.3 Topografi Topografi setempat turut mempengaruhi kondisi meteorologi yang selanjutnya mempengaruhi pola dispersi polutan. Sebagai contoh perbedaan temperatur antara daratan dengan lautan menimbulkan sirkulasi angin lokal (daratlaut) dan lapisan batas internal termal. Bila polutan dilepaskan dekat daerah pantai, akumulasi konsentrasi pencemar cenderung tinggi pada daerah tersebut dan menurun ketika menuju daratan (Jin dan Raman, 1995). Sementara itu bila topografinya berupa daerah cekungan maka konsentrasi polutan akan terakumulasi akibat pola angin yang terbentuk di daerah tersebut. Seperti penelitian Sumaryati (2007) di cekungan
6
Bandung yang mendapatkan bahwa pencemar yang berasal dari daerah cekungan Bandung cenderung terdispersi dalam daerah cekungan saja dan sulit untuk bisa terdispersi keluar dari cekungan Bandung, akibat pengaruh pola angin dan mixing height setempat. Selanjutnya di daerah-daerah di bawah pengaruh angin lokal, penyebaran pencemar akan terjadi dengan beberapa kemungkinan diantaranya (PPPPL DKI Jakarta, 1990): 1. Pada kondisi lokal yang dipengaruhi angin darat dan laut dapat terjadi penyebaran yang semakin luas, dengan tingkat pencemaran yang semakin tinggi bila tidak terjadi proses deposisi kering atau basah. 2. Pada kondisi lokal yang dipengaruhi oleh angin lembah dan angin gunung di daerah lembah selalu terjadi peningkatan pencemar dan terjadi penyebaran pencemar seluas daerah lembahnya. Peningkatan dan penyebaran pencemar akan berlangsung terus hingga terjadinya pencucian udara. 3. Pada daerah yang dipengaruhi oleh angin jatuhan dan tidak ada inversi dipermukaan akan mampu mengendapkan polutan dengan baik. 2.4 Pencemaran Udara Akibat Sektor Transportasi Wilayah perkotaan dengan tingkat mobilitas penduduknya yang tinggi dan sektor transportasi sebagai peranan utamanya telah membuat kualitas udara ambien benar-benar tercemar. Menurut laporan KLH (2001), kualitas udara di Jakarta sudah dalam kategori bahaya dalam waktu-waktu tertentu dan akan semakin buruk jika mengacu pada proyeksi peningkatan jumlah kendaraan hingga tahun 2015. 2.4.1 Karakteristik Pencemar Udara dari Kendaraan Bermotor Menurut Wardhana (2004) beberapa parameter pencemar udara, yang paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara adalah CO, NOx, SOx, VOCs, dan PM. Lebih lanjut, zat-zat pencemar tersebut merupakan polutan yang mencetus (prekursor) terbentuknya zat pencemar lainnya yang berbahaya bagi kesehatan.
a) Karbonmonoksida (CO) Karbonmonoksida di lingkungan dapat terbentuk secara alamiah maupun dari kegiatan manusia (antropogenik). Karbonmonoksida yang berasal dari alam termasuk dari lautan, pegunungan, dan kebakaran hutan. Sedangkan yang berasal dari sumber antropogenik dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil atau material organik akibat kebutuhan oksigen yang tidak mencukupi untuk proses pembakaran. Bila jumlah udara (oksigen) yang tersedia sudah mencukupi, CO masih saja dapat terbentuk, hal ini disebabkan oleh kurangnya turbulensi sehingga udara dengan karbon tidak dapat bercampur dengan baik selama proses pembakaran serta proses dissosiasi CO2 menjadi CO pada pembakaran bertemperatur tinggi. Sehingga semua aktivitas yang melibatkan pembakaran bahan-bahan organik merupakan sumber karbonmonoksida. Seinfeld dan Pandis (2006) mengklasifikasikan oksida-oksida karbon menjadi beberapa bagian, yaitu Hidrokarbon (HC), metana (CH4), Volatile Organic Compound (VOC), Hidrokarbon Biogenik, karbonmonoksida (CO) dan karbondioksida (CO2). Bervariasinya bentuk ikatan kimia yang dimiliki oleh oksida-oksida karbon, disebabkan karbon memiliki empat elektron valensi yang dengan bebasnya membentuk satu hingga empat ikatan valensi. Seringkali konsentrasi tinggi CO didapatkan dari gas buangan kendaraan bermotor dan polusi dalam ruangan dengan ventilasi buruk. Pada pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor, seluruh penggunaan bahan bakar tidak diubah seluruhnya menjadi CO2 dan H2O tetapi sebagian juga dilepaskan menjadi CO dan sebagian material partikulat karbon organik (Brimblecombe, 1986). Bersamaan dengan hadirnya hidroksil radikal (OH•), CO yang dihasilkan dari emisi kendaraan bermotor diubah menjadi CO2 di atmosfer (Arya,1999; Seinfeld dan Pandis, 2006). Karbonmonoksida merupakan polutan yang tidak berbau, tidak berwarna dan memiliki ikatan yang sangat kuat dengan haemoglobin bila masuk ke aliran darah (HbCO). Dampak yang dirasakan tentunya berbeda tergantung dari konsentrasi gas yang terhirup dan lamanya paparan. Pada level rendah CO akan memberikan dampak pada manusia, yaitu: 30 ppm dengan paparan 10 jam menimbulkan efek melemaskan tubuh, 50 ppm dengan paparan
7
90 menit menimbulkan efek sakit bagi tubuh, 250 ppm menimbulkan rasa pusing dan tak sadarkan diri (Brimblecombe, 1986).
membentuk ozon bersamaan dengan oksigen dan prekusor sejumlah reaksi berantai fotokimia kedua.
b) Nitrogen Oksida (NOx) Nitrogen dalam bentuk aslinya selalu membentuk dua ikatan atom nitrogen (N2), dimana dari ikatan tersebut elektron-elektron valensi terluar mempunyai tiga ikatan yang membuat molekul tersebut bersifat inert. Sifat inert inilah yang membuatnya stabil secara kimia dan tidak dipengaruhi oleh reaksi kimia di troposfer maupun di stratosfer (Seinfeld dan Pandis, 2006). Oksida-oksida nitrogen lainnya yang memegang peranan penting dalam kimia atmosfer adalah nitrous oksida (N2O), nitrat oksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), amonia (NH3), dan kelompok nitrogen reaktif lainnya (NOy). Dari kelima jenis oksida-oksida nitrogen tersebut, yang hadir di atmosfer dalam jumlah signifikan adalah N2O, NO, dan NO2. Kehadiran NO dan NO2 di bagian troposfer menjadi kontributor potensial bagi pencemaran udara. Nitrat oksida (NO) diemisikan baik dari sumber alami maupun antropogenik, sedangkan nitrogen dioksida (NO2) diemisikan dalam jumlah yang kecil (0.510%) dari proses selama pembakaran bersamaan dengan NO dan juga terbentuk di atmosfer melalui oksidasi NO. Tetapi di wilayah perkotaan, NOx (NO dan NO2) dihasilkan dari pembakaran hidrokarbon dan bahan organik. Konsentrasi gas NOx tertinggi di lingkungan perkotaan terutama berasal dari sektor transportasi dan penyebarannya dipengaruhi oleh topografi lokal berupa gedung-gedung tinggi (Qin dan Chan, 1993). Nitrogen oksida (NOx) merupakan polutan udara yang mengambil bagian penting dari proses pembentukan ozon dan kabut fotokimia (Arya, 1999). Nitrat oksida (NO) merupakan gas yang tidak berbau dan berwarna. Di udara gas ini beroksidasi kuat dengan ozon dan bereaksi lemah dengan oksigen membentuk NO2. Sedangkan NO2 merupakan gas yang berwarna merah kecoklatan yang menimbulkan iritasi dan pedas. Nitrogen dioksida (NO2) cepat menyerap radiasi matahari terutama pada gelombang tampak sinar kuning hingga biru dan ultraviolet dekat matahari. Melalui panjang gelombang tersebut NO2 diubah menjadi bentuk NO dan atom oksigen (O(1D)). Atom oksigen (O(1D)) merupakan gas yang sangat reaktif yang dapat
c) Sulfur Oksida (SOx) Sulfur oksida (SOx) terdiri dari gas sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3) yang keduanya mempunyai sifat berbeda. Gas SO2 berbau tajam, tidak berwarna dan menimbulkan iritasi (Arya, 1999), sedangkan gas SO3 bersifat sangat reaktif (Wardhana, 2004). Gas SO3 mudah beraksi dengan uap air di udara membentuk asam sulfat (H2SO4) (Arya, 1999; Seinfeld dan Pandis, 2006). Asam sulfat ini sangat reaktif sehingga menimbulkan korosi pada struktur-struktur bangunan, pencemaran perairan dan proses kimiawi di troposfer. Selain sulfur oksida terdapat beberapa komponen sulfur utama di atmosfer lainnya yang memegang peranan penting dalam kimia troposfer, seperti H2S, CH3SH, CH3SCH3, CS2, dan OCS (Arya, 1999). Kelima komponen sulfur tersebut memiliki bilangan oksidasi sebesar S(-2). Menurut Seinfeld dan Pandis (2006) komponen sulfur dengan bilangan oksidasi S(-2) merupakan komponen sulfur yang cepat beroksidasi terhadap hidroksil radikal (OH•) dan lambat terhadap NO3. Pencemaran SOx di udara terutama berasal dari pemakaian batubara yang digunakan pada kegiatan industri, transportasi, dan kebakaran hutan. Hill (2006) menambahkan bahwa produksi SO2 dari sumber antropogenik lima kali lebih besar dari sumber alami. Selain itu persentase SO2 yang dihasilkan dari kegiatan transportasi memiliki persentase yang kecil, yaitu hanya 7% dengan sumber SO2 terbesar berasal dari instalasi pembangkit tenaga listrik berbahan batu bara sebesar 67%. Sulfur dioksida (SO2) yang berada dalam kondisi kelembaban yang rendah di dalam atmosfer dapat berubah menjadi partikulat sulfat yang merupakan bagian dari aerosol (Hill, 2006). Baik SO2 maupun partikulat sulfat yang terbentuk dapat berpindah dari dan ke atmosfer melalui deposisi basah dan kering (Botkin dan Keller, 2005). Seinfeld dan Pandis (2006) menambahkan bahwa SO2 merupakan sulfur oksida dominan yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Nilai mixing ratio untuk SO2 di daratan mencapai kisaran nilai 20 ppt – 1 ppb, sedangkan di atas perairan (lautan) yang tidak tercemar mencapai kisaran nilai 20-50 ppt). Paparan langsung gas SO2
8
terhadap membran mukosa tubuh manusia seperti mata, rongga hidung, dan paru-paru dapat menimbulkan iritasi, reaksi tersebut mampu memindahkan hampir 90% gas SO2 yang terhirup ke dalam saluran pernapasan atas sehingga timbul rasa alergi, nafas terengah-engah, dan asma pada sebagian manusia (Botkin dan Keller, 2005; Hill, 2006). d) Particulate Matter (PM) Particulate Matter (PM) merupakan pencemar udara yang dapat berada bersamasama dengan bahan atau bentuk pencemar lainnya (Wardhana, 2004). Walaupun secara kasat mata partikel merupakan bentuk padatan, sulit untuk mendapatkan definisi yang tepat untuk pencemar PM. Hal ini disebabkan komposisi PM yang selalu berubah-ubah secara spasial dan temporal. US EPA membagi PM menjadi dua jenis berdasarkan ukurannya, yaitu partikel dengan diameter ≤ 10µm ( PM10) dan partikel dengan diameter ≤ 2.5 µm (PM2.5.). Hill (2006) menerangkan bahwa PM10 bersumber dari debu pertanian, pertambangan, serta dari jalan beraspal dan tidak beraspal. Sedikitnya sekitar 6% PM10 berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Sedangkan PM2.5 berasal dari pembakaran, khususnya kendaraan bermotor diesel, pembangkit tenaga listrik, dan aktivitas industri baja yang juga mengemisikan pencemar SO2. Seinfeld dan Pandis (2006) menerangkan bahwa partikel dapat berpindah dari dan ke atmosfer melalui dua mekanisme, yaitu mengendap ke permukaan bumi (deposisi kering) dan menyatu sebagai inti awan pada pembentukan peristiwa presipitasi (deposisi basah). Karena proses deposisi kering dan basah memiliki rentang waktu yang relatif sebentar di atmosfer dan topografi permukaan bumi yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya mengakibatkan konsentrasi dan komposisi partikel di troposfer bervariasi pula dari wilayah ke wilayah lainnya. Pada umumnya, udara yang telah tercemar oleh partikel dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernafasan atau pneumokoniosis. Pneumokoniosis merupakan penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paruparu. Pneumokoniosis dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu silikosis, asbestosis,
bisinosis, antrakosis, (Wardhana, 2004).
dan
Beriliosis
e) Volatile Organic Compounds (VOCs) Volatile Organic Compounds (VOCs) merupakan bagian dari satu atau lebih kimia organik yang mudah menguap (Hill, 2006) dan memiliki fase uap organik di atmosfer kecuali CO dan CO2 (Seinfeld dan Pandis, 2006). Berbeda halnya dengan CO dan CO2 yang merupakan bagian dari karbon anorganik, VOCs merupakan bagian dari karbon organik yang berisi dengan hidrokarbon (HC) dan oxygenated hidrokarbon (Arya, 1999). Beberapa VOCs yang bersumber dari kegiatan antropogenik antara lain toluena, benzena, formaldehida, etilbenzena, kloroform, fenol, dan aseton (Arya, 1999; Seinfeld dan Pandis, 2006). Beberapa diantara dari VOCs sumber antropogenik merupakan organik beracun yang disebut sebagai Hazardous Organic Compounds (HOCs) (Arya, 1999). Selain itu, VOCs diproduksi juga dari beberapa tumbuhan tertentu, seperti terpena yang dihasilkan dari tanaman konifer (pinus). Terpena merupakan zat yang digunakan secara komersil sebagai bahan baku wewangian. Sumber alami VOCs lainnya yang dihasilkan dari tumbuhan adalah isoprena, αpinena, β-pinena, d-limonena, teripinena (Seinfeld dan Pandis , 2006). Di daerah perkotaan dan wilayah industri, VOCs diemisikan dari sektor transportasi, pembakaran bahan bakar fosil pada instalasi pembangkit listrik, stasiun pengisian bahan bakar, dan pembakaran (Arya, 1999). Selain itu dihasilkan pula dari penguapan dari tangki bahan bakar, pada saat kendaraan bermotor beroperasi, pembakaran mesin dari pesawat (Hill, 2006). Volatile Organic Compounds (VOCs) bersamaan dengan NOx dapat menghasilkan polutan sekunder salah satunya adalah ozon di permukaan dengan bantuan sinar matahari yang kuat, suhu udara yang panas, dan aliran udara yang tenang (Arya, 1999; Hill, 2006). Bagian dari VOCs, yaitu HC dapat berupa gas apabila HC tersebut termasuk suku rendah, berupa cairan apabila HC termasuk suku sedang, dan berupa padatan apabila HC termasuk suku tinggi (Wardhana, 2004). Ketiga sifat HC ini bila bereaksi terhadap NOx akan membentuk peroxyacetyl nitrate (PAN). Selanjutnya PAN ini bersamaan
9
dengan CO dan ozon akan membentuk kabut fotokimia yang dapat mengurangi jarak pandang dan merusak tanaman (Wardhana, 2004). Toksisitas VOCs yang mengandung HC tergantung dari susunan HC tersebut. HC aromatik lebih beracun dibandingkan HC alifatik maupun HC alisiklik. VOCs yang mengandung HC suku rendah dapat menyebabkan iritasi pada membran mukosa, bila sampai masuk ke dalam paru-paru dapat menimbulkan luka dan infeksi (Wardhana, 2004).
Vol. 1:Air Pollution Control tahun 1980 mengemukakan penyebab tidak sempurnanya pembakaran ini disebabkan kadar oksigen yang rendah selama proses pembakaran, temperatur ruang bakar, lama waktu tinggal gas dan gejolak percampuran gas dalam ruang pembakaran. Bila diasumsikan bahwa bahan bakar (gasoline) yang digunakan adalah oktena, maka stoikiometri pembakaran oktena adalah sebagai berikut (Cooper dan Alley, 1994):
2.4.2 Faktor Emisi Kendaraan Bermotor Faktor emisi didefinisikan sebagai laju rata-rata emisi polutan yang dikeluarkan terhadap tingkat aktivitas dari kegiatan tersebut (Cooper dan Alley, 1994). Faktor emisi merupakan suatu faktor untuk memperkirakan besarnya emisi dari satu sumber polusi udara. Pada kebanyakan kasus, faktor ini merupakan rata-rata dari semua data tersedia yang menggambarkan kualitas udara dan umumnya diasumsikan sebagai data rata-rata representatif dalam jangka waktu lama untuk berbagai sumber kategori. Faktor emisi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor merupakan laju ratarata emisi polutan ketika kendaraan dikemudikan dalam kondisi tertentu. Secara matematis faktor emisi kendaraan bermotor diberikan sebagai satuan massa polutan per waktu tempuh, satuan massa polutan per jarak atau satuan massa polutan per jarak-waktu tempuh (Cooper dan Alley, 1994). Cooper dan Alley (1994) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besar-kecilnya emisi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor, diantaranya: desain mesin dan perangkat pengoperasian; pengoperasian mesin selama berkendara; kandungan bahan bakar; penerapan teknologi pengatur emisi; dan kondisi lingkungan dimana mesin dioperasikan. Kadar CO hasil emisi kendaraan bermotor meningkat bila pembakaran bahan bakar tidak berlangsung secara sempurna. Para Peneliti Research and Education Association dari Madison Avenue melalui buku Modern Pollution Control Technology:
C8H16 + 12 O2 + 45.1 N2 Æ 8 CO2 + H2O + 45.1 N2 Skema stoikiometri pembakaran oktena lainnya dikemukakan juga oleh Heisketh (1979) sebagai bentuk: C8H17.5 + 12.375 O2 + 46.55 N2 Æ 8 CO2 + 8.75 H2O + 46.55 N2 Reaksi kimia di atas dapat menghasilkan produk yang berbeda-beda tergantung perbandingan antara bahan bakar yang digunakan terhadap udara secara keseluruhan. Konsep tersebut dikenal dengan konsep Air Fuel Ratio (AFR). Nilai AFR yang optimum pada pembakaran bahan bakar adalah 14.7 (Cooper dan Alley, 1994) dan 14.97 (Hesketh, 1979). Sehingga secara keseluruhan melalui dua stokiometri di atas, stoikiometri AFR optimum pembakaran ditunjukkan dengan garis putus-putus vertikal pada Gambar 3 dengan nilai sekitar 15. Pada nilai AFR sekitar 15, produksi NO hampir mencapai puncaknya, sedangkan kadar CO sudah menurun. Pada kandungan bahan bakar yang lebih kaya (AFR<15), oksigen yang dibutuhkan selama pembakaran tidaklah cukup, sehingga terjadi peningkatan kadar CO dan penurunan kadar NOx akibat sedikitnya energi yang dilepaskan. Ketika kandungan bahan bakar lebih sedikit (AFR>15) dan terjadi pada pembakaran yang lebih normal, oksigen yang diperlukan akan berlebih sehingga kadar CO dan NOx yang dihasilkan tetap rendah.
10
Stoikiometri CO Miskin bahan
Kaya bahan
NO
CO HC
AFR
15
(Modifikasi dari Hesketh, 1979)
Gambar 3. Pengaruh AFR pada komposisi gas buangan kendaraan bermotor Kendaraan yang dioperasikan pada kondisi standar (idle), berkecepatan rendah, dan mengalami perlambatan, nilai AFR yang dihasilkan rendah sehingga emisi CO yang dihasilkan tinggi. Sedangkan bila kendaraan dioperasikan pada kecepatan tinggi dan selalu mengalami percepatan, nilai AFR yang dihasilkan tinggi sehingga emisi CO yang dihasilkan rendah. Perilaku selama berkendara turut mempengaruhi pula kadar CO yang terbentuk. Berkemudi pada saat awal dimulai dari kecepatan rendah kemudian beranjak meningkat kecepatannya akan menghasilkan kadar CO yang lebih rendah dibandingkan dengan mengemudi pada saat awal sudah dimulai dengan kecepatan tinggi. Selain perilaku selama berkendara, kadar CO juga dipengaruhi secara langsung melalui kondisi jalan dan manajemen lalu lintas yang dilaluinya. Lalu lintas dengan kepadatan kendaraan yang tinggi akan memaksa katup-katup pada ruang pembakaran bekerja dengan ekstra untuk menyeimbangkan dengan percepatan kendaraan yang sering berubah-ubah.
2.5 Pemodelan Matematis Dispersi Polutan Seinfeld dan Pandis (2006) menyatakan pemodelan atmosfer dibagi menjadi dua pendekatan utama, yaitu pendekatan secara fisik dan matematis. Pendekatan secara fisik nantinya menghasilkan model fisik yang dapat digunakan untuk mensimulasi dinamika atmosfer, contoh dari pemodelan jenis ini adalah penggambaran dinamika atmosfer skala kecil dalam kajian wilayah tertentu yang dimodelkan dalam saluran angin. Pendekatan kedua adalah pendekatan matematis yang selanjutnya menghasilkan model matematis dinamika atmosfer. Menurut Seinfeld dan Pandis (2006) ada dua pendekatan matematis yang dapat dipakai untuk menjelaskan difusi atmosfer. Pertama adalah pendekatan Eulerian, dalam pendekatan ini konsentrasi pencemar adalah relatif terhadap sistem koordinat tetap. Pendekatan kedua adalah Lagrangian, dalam pendekatan ini konsentrasi pencemar adalah relatif terhadap perpindahan fluida. Masingmasing pendekatan tersebut nantinya dapat diaplikasikan dalam semua pemodelan pendispersian polutan. Model-model yang kerap digunakan dalam pendugaan dispersi polutan antara lain, fixed-box model, metode grid tiga dimensi, dan Gaussian model. Model sederhana yang sering digunakan untuk menduga kualitas udara adalah fixed-box model. Model ini memasukkan sumber emisi dekat lapisan permukaan, laju adveksi masuk dan keluar dari dan ke sisi kotak, pemasukkan polutan dari atas karena ketinggian campuran yang meningkat dan proses transformasi kimia. Bila campuran polutan sempurna seragam dalam batasan wilayah kajian, model ini dapat memprediksi konsentrasi volume ratarata sebagai fungsi waktu. Prinsip matematis dari model ini dinyatakan sebagai laju perubahan massa dalam kotak khayal sebanding dengan jumlah laju massa ditambahkan semua sumber emisi dalam kotak, perubahan adveksi horizontal dan perubahan pemasukan dari lapisan atas dalam ketinggian campuran (Arya, 1999):
Lh
dc dh = LQa + uh(cb − c ) + L (cb − c ) dt dt __(1)
11
Jika kondisi laju emisi konstan dan atmosfer tenang persamaan di atas menjadi
ce =
L Qa h u __(2)
dengan: L
= Konsentrasi polutan (µg/m3) = Panjang wilayah kajian (m) = Laju emisi polutan wilayah kajian (gr/m2s) = Kecepatan angin rata-rata pada ketinggian H (m/s) = Ketinggian mixing height (m)
Difusi dari sumber-sumber individu tidak disarankan dalam pemakaian model ini, sehingga cocok untuk mengestimasi dari semua sumber polutan. Dengan perlakuan kondisi meteorologi sederhana dalam bentuk transpor efektif angin dan ketinggian campuran dapat digunakan dalam memperkirakan proses fotokimia dan kimia (Arya, 1999). Bentuk kedua dari model kualitas udara adalah model dispersi grid tiga dimensi. Model ini membagi kolom udara yang berada di atas kota atau daerah pengamatan ke dalam lapisan-lapisan sel. Tiap sel dipisahkan sel satu dengan yang lain. Arah horizontal mempunyai ukuran grid yang seragam sedang dalam arah vertikal dibagi menjadi (4-5 lapisan), yaitu setengah di atas ketinggian campuran dan setengahnya lagi di bawah ketinggian campuran (de Nevers, 1995). Data yang diperlukan berupa kecepatan angin dan arahnya pada pusat masing-masing sel (digunakan untuk menghitung laju masuk dan keluar melewati lapisan antar sel), estimasi emisi tip sel lapisan bawah (ground level), transformasi kimia, deposisi polutan dari sel lapisan bawah. Persamaan yang digunakan pada model ini secara umum di tuliskan sebagai:
__(3) dengan: _ _
= Akumulasi polutan = Aliran masuk polutan tiap sel = Aliran keluar polutan tiap sel = Reaksi kimia polutan = Peluruhan kimia polutan
Dua bentuk persamaan terakhir ditambahkan untuk mengestimasi konsentrasi dalam lapisan tiap sel pada tiap akhir waktu. Model ini memberikan manfaat dalam menghitung proses oksida fotokimia suatu polutan. Bentuk ketiga dari model kualitas udara adalah model dispersi bentuk Gauss. Model dispersi Gauss secara umum dinyatakan dalam persamaan: , ,
2
σ σ
2σ
2σ
__(4) dengan: , , = Konsentrasi polutan pada suatu titik (µg/m3) Q = Laju emisi (g/s) = Kecepatan angin rata-rata pada ketinggian 10 meter (m) = Posisi arah y dalam koordinat kartesius (m) = Posisi arah z dalam koordinat kartesius (m) Persamaan (4) menunjukkan persamaan Gaussian pada sumber titik berkelanjutan yang digunakan dalam menunjukkan konsentrasi polutan yang dilepaskan dekat permukaan bumi dan kemudian terdispersi dalam arah vertikal dan horizontal (Arya, 1999). Persamaan (4) digunakan dengan asumsi: kecepatan dan arah angin konstan, turbulensi atmosfer konstan, seluruh kepulan tidak mengalami dry dan wash deposition, dispersi terjadi pada arah vertikal dan tegak lurus (horizontal) arah angin, serta polutan tidak mengalami transformasi kimia. 2.6 Model Dispersi Bentuk Gaussian Salah satu faktor utama yang mempengaruhi dispersi polutan adalah kecenderungan polutan-polutan tersebut untuk berdifusi. Proses difusi pada arah tertentu merupakan suatu fenomena statistika. Hal ini ditandai dengan perilaku molekul-molekul material sepanjang arah yang dipilih memiliki distribusi Gaussian. Selain itu, kurva konsentrasi material terhadap lokasi dari sumber material yang berdifusi berbentuk lonceng yang serupa dengan kurva distribusi Gaussian. Konsentrasi polutan maksimum berada dekat sumber dan konsentrasi semakin berkurang untuk lokasi yang jauh dari sumber. Hasil tersebut dapat digunakan
12
memodelkann proses dispersi poolutan, khususnya pada p sumber garis g (line sourrce). Lebih lanjut, diinamika atm mosfer dibangun olleh tiga landdasan hukum dasar, yaitu hukum m konservasi massa, energgi dan momentum (Arya, 19999). Pada kasus p polutan dallam permuudahan dispersi perhitungann dan input datta biasanya diidekati dengan huukum konserrvasi massa saja. Ketiga jenis model yanng telah disebbutkan makai hukum m ini. sebelumnyaa juga mem Dasar dari penerapan hukum konsservasi mosfer massa adaalah mengasumsikan atm bersifat incompreesible (tidak termampatkkan). Dasar teori dari persaman p difuusi ini d pernyaataan hukum Fick diberikan dalan (Arya, 19999). Hukum m ini menyaatakan bahwa fluxx difusi masssa (F) sebaanding dengan graddien konsentrasi dengan arrahnya berlawanan dengan fluux difusi terrsebut. Penjumlahann dari advekksi dan difussi dari tiap parsel udara selannjutnya meruupakan penerapan dari d konservassi massa. Disperrsi polutan dalam atm mosfer dikembangkkan dari hukum h kontiinuitas massa daan persamaaan difusi-addveksi atmosfer. Di D bawah konndisi non-isottropik, persamaan difusi yang memenuhi hukum h m dapat dituliskan d sebaagai: konservasi massa ∂c ∂c ∂ ∂c ∂c + u K + v + w = ∂y ∂z ∂t ∂x ∂t ∂ K ∂t
y
⎡ ∂c ⎤ ∂ ⎢ ∂y ⎥ + ∂t K ⎦ ⎣
z
x
2.6.1 Modeel Dispersi Polutan Su umber Titik (Point Sourcees) Bentuuk pertama dari solusi model dispersi Gaaussian adalaah untuk meenduga pendispersiaan polutann sumber titik. Persamaan ini mulanyya diturunkan n dari khirnya konsep konnservasi masssa, hingga ak diperoleh persamaan p diiferensial ord de dua dengan batas penyellesaian perssamaan D Gauussian berhub bungan terkait. Dispersi dengan tipe umum perrsamaan mattematis unntuk menjeelaskan yang diggunakan distribusi vertikal v dan horizontal polutan p pada arah angin yang bberasal dari sumber s emisi. Kepullan asap menyebar secara horizontal dan vertikall kemudian diikuti p dengan pengurangan kkonsentrasi polutan pada saat pergerakan aarah angin. Daerah D pencampuraan vertikal dan an horizontal dengan d jarak arah angin dari ssumber emisii pada umumnya teerjadi pada tinngkat yang beerbedabeda, diseebabkan perrgerakan-pergerakan turbulensi di atmosfer yang terjadii pada variasi. skala wakttu dan ruangg yang berv Ilustrasi unntuk sumber titik ini dissajikan pada Gambaar 4.
⎡ ∂c ⎤ ⎢ ∂x ⎥ + ⎣ ⎦
⎡ ∂c ⎤ ⎢ ∂z ⎥ + S + R ⎣ ⎦
__(5) Persam maan (5) meruupakan bentukk dasar dari pemoddelan disperssi polutan bentuk b Gaussian. Bentuk persamaan (5) seebelah p kiri merupakkan keadaan konsentrasi polutan yang dipenggaruhi oleh arah a dan keceepatan angin. Sedanngkan bentukk sebelah persaamaan (5) kanan menggambaarkan difusi eddy x z. dalam arah x,y,dan Penggunaan persam maan (5) mem menuhi asumsi sebaagai berikut: Pada kondisi k angiin yang teenang, komponeen kecepatan vertikal lebihh kecil dibandinngkan denngan kom mponen kecepataan horizontal sehingga addveksi dalam arah a vertikal diabaikan dalam perbandiingan arah horrizontal; Difusitass eddy bernilaai konstan; Tidak ada a konstituuen polutan yang dipindahhkan atau keluar k dari aliran sehinggaa R=0; Sumber m mengikuti b bentuk emisi .
(Sumber : Moddern Pollution Coontrol Technology y, 1980)
P poolutan pada sumber s Gambar 4. Persebaran t titik dengan m model Gauss Persamaan umum yangg digunakan dalam Cooper dan Alley, sumber titiik adalah (C 1994): ⎡ y2 ⎤ Q exp ⎢ − c ( x, y, z ) = 2 ⎥ 2π u σ y σ z ⎢⎣ 2σ y ⎥⎦ ⎧⎪ ⎡ ( z − H )2 ⎤ ⎡ ( z + H ) 2 ⎤ ⎫⎪ ⎨ exp ⎢ − ⎥ + e xp ⎢ − ⎥⎬ 2 2σ z2 ⎦ ⎭⎪ 2σ z ⎦ ⎣ ⎣ ⎩⎪ __(6)
13
2.6.2 Model Dispersi Polutan Sumber Garis (Line Source) Solusi dispersi polutan sumber bergaris diperoleh dengan menjumlahkan tiap segmen-segmen penyusun sumber titik polutan. Sumber titik disini dapat dianggap sebagai satu atau lebih moda transportasi yang mengeluarkan emisi polutan dengan laju konstan pada sembarang waktu. US EPA dan lembaga penelitian lainnya telah mengembangkan sejumlah model sumber garis, diantaranya model Caline dan model terakhir yang dikembangkan adalah ISCST2. Keseluruhan model sumber garis beserta tahun perkembangannya disajikan dalam Lampiran 1. Secara umum model yang dihasilkan meliputi pendekatan determistik dan/atau stokastik, yang hingga kini lebih sering digunakan (Nagendra dan Khare, 2002). Namun berdasarkan karakteristik sumber emisi, dispersi polutan sumber garis dibedakan menjadi dua yaitu sumber garis tidak terbatas (infinite) dan terbatas (finite). a)
Sumber Garis Tidak Terbatas (infinite line source) Pendispersian polutan yang dikeluarkan dari kegiatan transportasi pada jalan raya sibuk dapat dimodelkan dengan sumber garis tidak terbatas. Pada perhitungannya arah angin dihitung tegak lurus terhadap sumber bergaris sehingga polutan hanya terdispersi pada sumbu z (vertikal) saja. Sedangkan pada sumbu y (memotong lintasan angin) konsentrasi polutan akan seragam untuk sumber garis tidak terbatas. Dilley and Yen (1971) menurunkan solusi analitik perpindahan dua dimensi dan persamaan difusi untuk menggambarkan konsentrasi polutan searah downwind dari sumber garis tegak lurus arah angin tidak terbatas. Baik angin dalam skala luas maupun menengah disertakan dalam perhitungan model. Lebih lanjut didapatkan analisis bahwa angin skala menengah tidak secara signifikan dalam mengurangi kosentrasi polutan. Persamaan umum yang digunakan dalam sumber garis tidak terbatas adalah (Arya, 1999): ,
2
b)
Sumber Garis Terhingga (Finite Line Source) Tidak semua sumber garis memiliki jarak yang panjang, ada kalanya polutan yang dikeluarkan moda transportasi berasal dari sumber garis yang pendek. Jika sudah demikian maka dibutuhkan modifikasi dari persamaan sumber bergaris tidak terbatas. Sehingga dikenal pendekatan finite length line source (FLLS) (Benson, 1979; Cooper dan Alley, 1994). Istilah FLLS sebenarnya berasal dari model kualitas udara sumber bergaris yang dikembangkan oleh Departemen Transportasi California yaitu CALINE. Hingga kini model CALINE yang telah dikembangkan telah mencapai versi 4. Metode FLLS ini merupakan metode yang ampuh dalam menentukan konsentrasi polutan dibandingkan dengan metode sumber bergaris tidak terbatas (Cooper dan Alley, 1994). Metode ini menentukan konsentrasi polutan termasuk penyebarannya dengan membagi ruas – ruas tiap sumber garis menjadi segmen-segmen terkecilnya. Setelah didapatkan segmen-segmen terkecil maka dilakukan perhitungan jarak dari reseptor (penerima polutan) sampai sumber bergaris (penghasil polutan) tersebut dengan tujuan menentukan besaran parameter dispersi tiap reseptor. Metode finite dalam pemodelan konsentrasi polutan sumber garis tidak selalu digunakan oleh model CALINE, sebagai contoh model HIWAY masih menggunakan metode finite dalam konsep pemakaiannya, yang membedakan hanyalah asumsi dalam perhitungannya yang menghitung secara keseluruhan sumber garis dalam semua ruas jalan, sedangkan CALINE menghitung konsentrasi setiap segmen jalan secara terpisah. Deskripsi tentang metode FLLS disajikan pada Gambar 5. Persamaan yang digunakan pada kasus tersebut adalah (Cooper dan Alley, 1994): c ( x, z ) =
K (G 2 − G1 ) ( 2π )1 / 2
__(8) dengan: K=
Q uσ z
⎧⎪ ⎡ ( z − H )2 ⎤ ⎡ ( z + H ) 2 ⎤ ⎫⎪ ⎨exp ⎢ − ⎥ + exp ⎢ − ⎥⎬ 2 2σ z ⎦ 2σ z2 ⎦ ⎭⎪ ⎣ ⎣ ⎩⎪
⎛ B2 ⎞ 1 exp ⎜ − ⎟ dB B1 (2π )1/ 2 ⎝ 2 ⎠ y2 y2 B2 = ; B2 =
G2 − G = ∫
/
2
__(7)
σy
B2
σy
14
Suumber: Modifikassi dari Cooper dann Alley, 1994
Gambarr 5. Deskripsii metode modeel FLLS dan N Neiburger ( (1971) Lamb menggunakaan persamaaan difusi untuk menghitungg konsentrassi polutan yang dihasilkan baik b dari sum mber titik maupun m garis. Model ini kemuudian diaplikasikan d model untuk terhadap kaarakteristik difusi menghitungg konsentrasi CO tiap jam m pada 760 lokasi lembah Los Angles. A Hasil model menunjukkaan nilai yanng sesuai terrhadap hasil observvasi. Calderr (1973) meengkaji pengaruh arah angin sembarang pada dispersi polusi sumber garis dekat jalan. Didapatkan bahwa konsentrasi pada reeseptor meningkat perlahan padda saat arah angin sejajar denggan jalan rayya. Penelitiaan lain tentang poluusi sumber garis dilakukann oleh Benson (11992) telah mengkaji model CALINE veersi terdahuluu, yaitu CAL LINE-3 dan CALIN NE-4. Dievvaluasi kemam mpuan prediksi daari CALINE--4 dan ditem mukan bahwa keteppatan yang lebih baik ditem mukan pada model ini dibaandingkan dengan d CALINE-3. uan Umum m Wilayah DKI 2.7 Tinjau Jakarta Permaasalahan penccemaran udaara di DKI Jakarta dari sektorr transportasi tidak terlepas daari aktivitass dan mobbililitas penduduk seehari-hari. Juumlah penduduuk dan pemakaian lahan yang bertambah setiap tahunnya tuurut mempenggaruhi kondissi lalu
lintas di DKI Jakartta yang ak khirnya mempengarruhi kualitas udara ambiien di DKI Jakartaa disi Demograffis DKI Jakarrta 2.7.1 Kond Pendudduk DKI JJakarta meng galami perubahan setiap tahunnnya. Berdaasarkan J data BPS, jumlah pendduduk DKI Jakarta d tahun 2006 mencapai 8,9961,680 jiwa dengan pat di jumlah peenduduk terbbesar terdap Kotamadya Jakarta Tiimur. Sedaangkan 6 luasnya tetaap sepanjang tahun, yaitu 661.52 km2 denggan kepadattan pendudu uk di beberapa baagian sangat tinggi, terutaama di Jakarta Pussat (18,618 jiiwa/km2). Analisis A BPS menuunjukkan tinngginya kep padatan penduduk tersebut t disebbabkan oleh migrasi m masuk, teruutama pada haari raya seperrti idul fitri. Selaama kurun waktu lima tahun terakhir, peendatang baruu yang tercataat pada masa hari raaya rata-rata 2230,000 jiwa/ttahun. Selamaa kurun wakttu tahun 2000 0-2006 angka pertuumbuhan pennduduk DKI Jakarta J mencapai 1.11%. Angka teersebut mbuhan menunjukkaan nilai llaju pertum penduduk yang sangaat signifikan n bila mbuhan dibandingkaan dengan laju pertum penduduk tahun 1990-2000, yang hanya bernilai 0.16 %. Berdassarkan analisiis BPS wa jumlah pennduduk DKI Jakarta J terlihat bahw selama enam m belas tahun terakhir meng galami peningkatann sebesar 0.955 % setiap tahu unnya.
15
2.7.2
Kondisi Penggunaan Lahan DKI Jakarta Penggunaan lahan kota Jakarta terdiri dari terbangun dan tidak terbangun. Berdasarkan data penduduk Jakarta Dalam Angka tahun 2006 (BPS), penggunaan lahan terdiri dari perumahan, industri, perkantoran, dan pergudangan, taman, dan lain-lain. Penggunaan lahan di DKI Jakarta tahun 2006 didominasi oleh perumahan, yaitu mencapai 64.16 % (42,440.61 ha) dari seluruh penggunaan lahan di DKI Jakarta. Kotamadya Jakarta Timur memiliki penggunaan lahan perumahan terbesar (13,351 ha). Sedangkan penggunaan lahan industri terbesar terdapat di Kotamadya Jakarta Utara yaitu mencapai 48.74 % (1,744.80 ha) dari total penggunaan lahan untuk industri. Penggunaan lahan perkantoran dan pergudangan terbesar terdapat di Kotamadya Jakarta Timur (1,997.55 ha) sedangkan untuk taman, penggunaan lahan terbesarnya terdapat di Kotamadya Jakarta Timur (262.14 ha). Berdasarkan perkembangannya, penggunaan lahan DKI Jakarta mengalami fluktuasi dari tahun 2000-2006 dengan luas lahan 661.52 ha. Penggunaan lahan perumahan selalu mendominasi sedangkan taman yang termasuk dalam lahan tidak terbangun dan ruang terbuka hijau selalu memiliki luas lahan paling kecil. Sebaliknya, penggunaan lahan terbangun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup pesat terutama semenjak tahun 2000 sampai 2003 dimana rata-rata laju pertumbuhan luas lahan terbangun mencapai 29.12 % per tahun. 2.7.3
Kondisi Jaringan Jalan dan Karakteristik Lalu Lintas DKI Jakarta Jaringan jalan di wilayah DKI Jakarta berkembang sesuai dengan otoritas wilayah yang menyangkut administratif jalan. Keutuhan wilayah Jabotabek dalam konteks sistem transportasi darat terhubungi baik melalui sistem jalan raya, sistem kereta api, dan sistem angkutan umum yang menghubungkannya. Total panjang jalan di DKI Jakarta kurang lebih 10 % dari total panjang jalan di Jawa. Perbandingan antara panjang jalan dan total area di Jakarta hanya sekitar 4 %, dimana idealnya untuk kota sebesar Jakarta adalah 10-15% (Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2007).
Tabel 2.
Panjang jalan DKI Jakarta berdasarkan fungsi dan status, 2006
Fungsi Panjang (m) Luas (m2) Jalan Tol 112,960.00 2,472,680.00 Arteri 112,149.00 2,140,090.00 Primer Kolektor 51,631.75 671,384.50 Primer Arteri 502,64.00 8,299,089.00 Sekunder Kolektor 823,913.91 6,970,938.77 Sekunder Lokal 4,936,928.77 20,988,103.81 Jumlah 6,540,222.43 41,542,286.08 Sumber: BPS Pusat DKI Jakarta, 2007
Status Jalan Nasional Nasional Propinsi Propinsi Kotamadya -
Berdasarkan data yang diperoleh, kondisi existing (berlaku) panjang jalan di propinsi DKI Jakarta menurut fungsi dan kewenangannya disajikan pada Tabel 2. Pengembangan jaringan jalan saat ini di DKI Jakarta diarahkan untuk meningkatkan jalan arteri mengingat kondisi aksesibilitas dari hampir seluruh wilayah DKI Jakarta menuju pusat kota dirasakan masih sangat kurang. Hal ini ditandai dengan terjadinya antrian kendaraan pada daerah-daerah tertentu terutama pada jam-jam sibuk pagi dan sore hari. Selain itu program pengembangan jalan bebas hambatan yang juga merupakan jalan arteri terus dilakukan, sehingga beban arus lalu lintas pada jaringan jalan kota akibat lalu lintas regional dapat diminimumkan. Tingkat perjalanan penduduk DKI Jakarta dan wilayah BOTABEK mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi sejalan dengan pengembangan jaringan jalan. Tingkat perjalanan ini pada akhirnya akan mempengaruhi mobilitas penduduk dalam arti tingkat perjalanan yang dilakukan penduduk baik di wilayah DKI Jakarta, maupun BOTABEK juga mengalami peningkatan. Tingkat perjalanan yang tinggi juga mengidentifikasikan diperlukan pasokan sistem transportasi untuk menampung pertumbuhan lalu-lintas sejalan dengan peningkatan mobilitas penduduk. Tabel 3 menyajikan tingkat perjalanan wilayah DKI Jakarta dan BOTABEK menurut moda angkutan yang digunakan. Dari seluruh moda yang digunakan, perjalanan menggunakan transportasi kendaraan bermotor mempunyai komposisi tertinggi dibandingkan perjalan tanpa menggunakan transportasi kendaraan bermotor.
16
Tabel 3.
Komposisi perjalanan orang di Jabotabek menurut moda angkutan tahun 2000
Moda Seluruh Moda Non-Motorized of Transport Motorized of Transport Sepeda Motor Mobil Pribadi Bus KA
Perjalanan Orang Harian 29,168,330 8,402,771 20,765,559 2,954,512 6,404,503 10,938,646 416,426
Sumber: Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2007
Kondisi perjalanan baik di wilayah DKI Jakarta dan BOTABEK terlihat pada Tabel 4, yang menunjukkan panjang perjalanan rata-rata menurut maksud perjalanan dan kelompok pendapatan. Pada kondisi tersebut terlihat bahwa pertumbuhan tingkat perjalanan tersebut pada periode tahun 19851990 adalah 1.5 % pertahun. Tabel 4. Panjang perjalanan rata-rata menurut maksud perjalanan dan kelompok pendapatan Kelompok Bekerja Sekolah Pendapatan Tahun 1985 2000 1985 2000 Tinggi 8.98 10.22 4.36 7.43 Menengah 8.05 10.04 3.47 4.59 Atas Menengah 7.02 9.96 2.65 3.89 Bawah Rendah 5.58 5.95 2.14 1.96 Sumber: Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2007
2.8.4 Kualitas Udara Roadside DKI Jakarta Tingginya volume kendaraan bermotor terutama kendaraan pribadi yang beroperasi di jalan-jalan DKI Jakarta telah menimbulkan kemacetan lalu lintas, pencemaran udara dan kebisingan, serta tingginya konsumsi bahan bakar. Jika mengacu pada proyeksi peningkatan jumlah kendaraan hingga 2015 kualitas udara Jakarta akan semakin buruk jika tidak dikelola dengan baik (KLH, 2002). Bahkan dari analisa yang dilakukan oleh Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT, 2004) menunjukkan pada tahun 2014 sektor transportasi di Jakarta akan mati total bila tidak ada pembenahan sistem tranportasi untuk umum. Perkiraan tersebut didasarkan pada pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta yang mencapai 11% pertahun, sedangkan pertumbuhan panjang jalan-jalan di Jakarta tidak mencapai 1% (Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2007).
Pengukuran kualitas udara roadside akibat pengaruh sumber kendaraan bermotor di sepanjang ruas jalan dan di kawasan industri di Provinsi DKI Jakarta juga sudah dilakukan oleh pihak Badan PengelolaanLingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta pada Tahun 2006. Pemantauan kualitas udara roadside dilakukan pada ruas jalan di wilayah DKI Jakarta, meliputi: Jl. Casablanca, Jl. Perintis Kemerdekaan, Jl. M.H. Thamrin, dan Jl. Pulo Kambing (Kawasan industri Pulo Gadung). Mencakup parameter pencemar PM10, SO2, CO, O3, NO2, dan NO. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut didapat bahwa kualitas udara roadside untuk nilai rata-rata harian seluruh lokasi pengukuran masih memenuhi baku mutu udara ambien. Konsentrasi parameter PM10 tertinggi terjadi di ruas Jl. Pulo Kambing, hal ini disebabkan karena wilayah ini sesuai untuk peruntukkannya yaitu kegiatan industri yang salah satu emisi terbesarnya adalah partikel debu. Parameter lainnya yang dipantau seperti SO2, konsentrasi tertinggi terdapat di ruas Jl. Perintis Kemerdekaan. Sedangkan parameter CO, konsentrasi tertinggi terjadi di ruas Jl. M.H. Thamrin hal ini disebabkan karena kepadatan volume lalu lintas yang tinggi dibandingkan ruas jalan lainnya. Kemudian untuk parameter O3, konsentrasi tertinggi terjadi pada ruas Jl. Pulo Kambing. Selanjutnya untuk parameter NO2 tertinggi terjadi di ruas Jl. Casablanca. Tingginya parameter NO2 dipicu oleh pembakaran kendaraan bermotor dalam keadaan macet. III.
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Mei 2008. Lokasi yang menjadi tempat pengamatan adalah Jalan M.H. Thamrin. Jalan M.H Thamrin dipilih sebagai wilayah pengamatan karena bersinggungan dengan jalur Trans-Jakarta Koridor 1 yang dipandang sebagai rute tersibuk, yaitu Jakarta Pusat yang meliputi wilayah perkantoran pemerintah pusat dan swasta. Rute yang dilewati yaitu: Stasiun Kota, Glodok, Olimo, Mangga Besar, Sawah Besar, Harmoni, Monas, Bank Indonesia, Sarinah, Bundaran HI, Tosari, Dukuh Atas, Setiabudi, Karet, Bendungan Hilir, Polda Metro Jaya, Gelora Bung Karno, Bundaran Senayan, Al-Azhar, dan Terminal Blok M. Lokasi studi disajikan pada Gambar 6.
17
Gambar 6.
Peta lokasi Jl. M.H. Thamrin dan letak stasiun kualitas udara Roadside dan JAF 5
Selanjutnya, pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Meteorologi dan Polusi Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Data Primer Data pemantauan frekuensi dan jumlah kendaraan bermotor yang melewati Jl. M.H. Thamrin, disesuaikan dengan hari kerja dan hari libur. Diperoleh melalui perhitungan selama dua hari yaitu 1 hari mewakili hari kerja dan 1 hari mewakili hari libur (Lampiran 2). 3.2.2 Data Sekunder a. Data pemantauan kualitas udara roadside Jl. M.H. Thamrin dan fixed monitoring Senayan sport (JAF 5) milik BPLHD Jakarta pada tanggal 24 Desember 2007; 21 Januari 2008; 18 Februari 2008; 24 Maret 2008; 21 April 2008. Data ini digunakan sebagai akurasi model yang digunakan meliputi konsentrasi CO dan NOx (Lampiran 3). b. Data meteorologi Jl. M.H. Thamrin yang diperoleh dari BPLHD Jakarta pada waktu yang sama dengan pemantauan kualitas udara roadside dan fixed monitoring. Data ini berupa
c.
suhu udara, arah dan kecepatan angin, radiasi global matahari, dan kelembaban udara. Data meteorologi ini diperoleh dari stasiun pengukuran kualitas udara roadside di depan kantor ESDM (Lampiran 4). Data faktor emisi diperoleh dari kajian yang dilakukan oleh Kantor Lingkungan Hidup RI (2007). Pada kajian tersebut, faktor emisi dari sejumlah kendaraan diukur dibawah kondisi pengemudian yang berbeda dan telah diuji pada kondisi jalan di Jawa. Tabel 5 menyajikan faktor emisi untuk setiap jenis kendaraan berdasarkan bahan bakar yang digunakan.
3.2.3 Alat-alat a. GPS (Global Positionong System) (Map CS 6O). Digunakan untuk menentukan koordinat segmen jalan dan reseptor wilayah studi. b. Alat pengukur pemantauan udara roadside milik Laboratorium udara BPLHD Jakarta. c. Handycam sebagai alat perekam volume lalu lintas. d. Peta Jalan M.H. Thamrin yang diperoleh dari Dinas Perhubungan Jakarta.
18
Tabel 5. Faktor emisi setiap jenis kendaraan berdasarkan bahan bakar Jenis Kendaraan
Bahan Bakar
Mobil penumpang
Bensin
Faktor emisi (gr/km) CO NOx 40 2
Truk Bus Motor
Solar Solar Solar Bensin
2.8 11 8.4 14
3.5 11.9 17.7 0.29
Sumber: KLH RI, 2007
3.3 Metode Metode yang diterapkan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu metode yang didasarkan pada pengamatan langsung dan metode yang didasarkan pada perhitungan. Khusus pada metode kedua, merupakan metode lanjutan setelah dilakukan prosedur metode pertama. 3.3.1 Pengamatan a) Data volume lalu lintas • Pengamatan volume lalu lintas dilakukan selama dua hari, yaitu hari kerja (Senin– Jumat) diwakili hari Senin (26 Mei 2008) sedangkan hari libur (Sabtu-Minggu) diwakili hari minggu (15 Juni 2008). • Pengamatan dimulai pada pukul 06.00 hingga pukul 14.00 baik untuk skenario Hari kerja maupun hari libur. • Prosedur pengambilan sampling volume lalu lintas dilakukan menggunakan handycam yang secara otomatis merekam volume lalu lintas wilayah pengamatan. Gambar hasil perekaman tersebut kemudian diputar kembali di PC (komputer) dan dihitung menggunakan counter. Prosedur demikian dilakukan dalam rangka mendapatkan hasil sampling yang lebih baik dan mengurangi tingkat kesalahan yang lebih tinggi. • Perhitungan volume lalu-lintas (traffic volume) dilakukan dengan cara menghitung jumlah dan jenis kendaraan yang terekam dalam sampling gambar. Kendaraan yang dihitung volumenya dibagi dalam beberapa jenis, antara lain : a. Kendaraan roda dua, b. Kendaraan roda empat, dimana mobil ini bukanlah jenis kendaran roda empat yang digunakan secara umum (angkutan umum). c. Truk, yang dikelompokkan menjadi bahan bakar solar digunakannya. d. Bus, yang dikelompokkan menjadi bahan bakar solar digunakannya.
3.3.2 Perhitungan a) Panjang jalan • Penentuan koordinat geografik segmen jalan dilakukan sepanjang Jl.M.H. Thamrin. Pada Jl. M.H Thamrin titik awal dimulai dari Jl. Galunggung berakhir hingga Jl. Budi Kemuliaan. • Nilai koordinat geografik yang telah diperoleh dari segmen jalan selanjutnya diubah menjadi koordinat UTM untuk memperoleh panjang segmen jalan dan panjang total Jl. M.H. Thamrin dalam satuan meter beserta posisi arah mata anginnya. Panjang segmen ini selanjutnya digunakan sebagai input dalam pemodelan finite length line source. b) Perhitungan Beban Emisi Transportasi • Beban emisi adalah banyaknya polutan yang dikeluarkan oleh suatu sumber polusi yang dihitung dalam satuan berat per waktu. Sehingga perhitungan beban emisi mencakup jarak yang ditempuh kendaraan, maka satuan beban emisi yang digunakan adalah satuan berat per jarak tempuh per waktu. Beban emisi polutan dihitung berdasarkan jenis bahan bakar yang digunakan oleh kendaraan bermotor. Persamaan yang digunakan adalah:
__(9) dengan: EL = Beban emisi rata-rata (gram/m.s) = Faktor emisi kendaraan setiap jenis kendaraan (gram/m) V = Volume kendaraan (kendaraan/jam) t = Lama waktu pengamatan (s) i = Jenis kendaraan
19
Tabel 6. Kelas stabilitas atmosfer Pasquill Radiasi Mataharib (Siang hari)c
Kecepatan Angin Permukaan (m/s)a
<2 2-3 3-5 5-6 >6
Keawanan (Malam Hari)b
Kuat
Sedang
Lemah
Berawan (≥4/8)
Cerah (≤3/8)
A A-B B C C
A-B B B-C C-D D
B C C D D
E E D D D
F F E D D
Sumber: Turner (1969) dalam Seinfeld dan Pandis (2006)
• Jenis polutan yang diprediksi adalah gas CO dan NOx dari emisi kendaraan bermotor. c) Lokasi Reseptor • Koordinat geografik reseptor yang berada di Jalan M.H. Thamrin ditentukan menggunakan GPS. Ditentukan pula orientasi letak reseptor tersebut terhadap jalan (orientasi jalan: Galunggung-Budi Kemuliaan). Koordinat geografik selanjutnya diubah menjadi koordinat UTM untuk mendapatkan satuan panjang dalam meter. • Melalui koordinat UTM segmen jalan dan reseptor, ditentukan jarak reseptor terhadap segmen Jl. M.H. Thamrin. • Jarak reseptor terhadap segmen jalan terdekat digunakan sebagai input dalam penentuan nilai σ (sigma y) dan σ (sigma z) dalam kaitannya terhadap kondisi stabilitas atmosfer. d) Perhitungan Konsentrasi Polutan • Penentuan Kelas Stabilitas Atmosfer Nilai stabilitas atmosfer ditentukan melalui pendekatan kelas stabilitas atmosfer Pasquill (1974), yaitu pengamatan meteorologi permukaan, seperti kecepatan angin, radiasi matahari dan keawanan. Klasifikasi stabilitas disajikan pada Tabel 6. Selanjutnya informasi mengenai kondisi stabilitas atmosfer dapat digunakan sebagai pembagian parameter model dispersi polutan Gaussian yaitu distribusi angin dan parameter dispersi. Beberapa
keterangan dari Tabel 6 dijelaskan sebagai berikut (Pasquill, 1974): a. Kecepatan angin permukaan diukur pada ketinggian 10 m di atas permukaan tanah; b. Kelas stabilitas D diasumsikan untuk kondisi berawan, baik siang maupun malam serta berperiode 1 jam sebelum tenggelam hingga 1 jam sesdah terbit; c. Pada siang hari, radiasi kuat (> 700W/m2, yaitu penyesusaian terhadap penyinaran pada tengah hari di musim panas di Inggris), sedang (350700W/m2), dan lemah (< 350 W/m2). Sedangkan kondisi stabilitas atmosfer A, B, C, D, E, dan F direpresentasikan sebagai: A = Sangat Tidak Stabil; B = Tidak Stabil menengah; C = Sedikit Tidak Stabil; D= Netral; E = Sedikit Stabil; F = Stabil. • Penentuan Parameter Dispersi Polutan Koefisien dispersi horizontal (σy) dan vertikal (σz) merupakan parameter dispersi polutan berupa koefisien fungsi jarak dari sumber pada arah angin dominan terhadap berbagai kelas stabilitas atmosfer. Penelitian ini menggunakan parameter dispersi untuk perkotaan yang telah dikembangkan oleh Martin (1976) dalam Cooper dan Alley (1994). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
__(10)
20
Sumber: Cooper dan Alley, 1994
Gambar 7. Grafik koefisien dispersi vertikal dan horizontal Pasquill dan Gifford Tabel 7. Nilai konstanta untuk menghitung koefisien dispersi sebagai fungsi dari jarak arah angin dan stabilitas atmosfer Stabilitas A B C D E F
a 213 156 104 58 50.5 34
b*
c 440.8 106.6 61.0 33.2 22.8 14.35
x < 1 km d 1.941 1.149 0.911 0.725 0.678 0.740
f 9.27 3.3 0 -1.7 -1.3 -0.35
x > 1 km d 2.094 1.098 0.911 0.516 0.305 0.180
c 459.7 108.2 61 44.5 55.4 62.6
f -9.6 2.0 0 -13.0 -34.0 -48.6
(Sumber : Martin, 1976 dalam Cooper dan Alley, 1994).
b* = 0.894 untuk semua kelas stabilitas dan nilai x Nilai a, b, c, d dan f berdasarkan dari Tabel 7, merupakan konstanta yang tergantung pada kelas stabilitas atmosfer dan jarak x (dalam km). Sedangkan didasarkan pada penentuan dan kurva Pasquill-Gifford (Gambar 7) •
Persamaan Finite Length Line Source Perhitungan konsentrasi polutan (CO dan NOx) dengan menggunakan finite length line source memerlukan beberapa tahapan pengerjaan. Ilustrasi untuk menggambarkan model ini pada segmen Jl. M.H. Thamrin dan sebuah reseptor dicontohkan pada Gambar 8. Satu segmen jalan diartikan sebagai satu ruas jalan lurus hingga bertemu dengan ruas jalan lainnya yang membentuk sudut antar ruas jalan dan mengeluarkan laju emisi yang konstan sepanjang segmen jalan tersebut. Pada Gambar 8 hanya terdapat
Wind
North
C
S
B
R
RR
α
A
Gambar 8.
P
Ilustrasi Finite length Line Source di Jl. M.H. Thamrin
21
satu segmen yaitu ruas AC. Sehingga perhitungan konsentrasi polutan dimulai dari titik A hingga titik C. Jarak reseptor terhadap ruas jalan AC dihitung tegak lurus terhadap ruas jalan AC, dalam hal ini adalah x1. Nilai x1 ini selanjutnya digunakan untuk menentukan masingparameter dispersi (σ dan σ masing FLLS berdasarkan kondisi stabilitas atmosfer setempat. Panjang ruas jalan turut diperhitungkan dalam model ini. Patokan dalam perhitungan panjang jalan adalah letak reseptor. Pada Gambar 8 reseptor terletak pada titik RR. Sehingga dari sini dapat dibandingkan rasio panjang jalan terhadap parameter dispersi segmen jalan untuk menyesuaikan dengan persamaan yang telah diperoleh. Maka panjang ruas jalan AC terhadap parameter dispersi (σ -nya adalah
σ
σ
__(11) Variabel PR, dan RS merupakan panjang jalan sejajar dengan Jl. M.H. Thamrin. Nilai sigma y (σ dan σ ditentukan melalui Tabel 7 berdasarkan jarak jalan ( ) terhadap posisi reseptor dan masingberada. Selanjutnya nilai masing ruas jalan dapat dicari melalui tabel bilangan normal. Arah dan kecepatan angin turut diperhitungkan dalam aplikasi model ini. Arah angin selanjutnya dihitung agar tegak lurus terhadap masing-masing ruas jalan. Kecepatan dan arah angin pada masingmasing ruas jalan ditentukan dengan persamaan: sin|
| __(12)
Kecepatan angin yang telah diperoleh ini merupakan kecepatan angin yang telah tegak lurus terhadap ruas jalan. Selanjutnya dilakukan aplikasi persamaan dari parameter-parameter yang telah ditentukan menggunakan persamaan 13. Jika segmen jalan dimodelkan seperti pada Gambar 8, maka kontribusi seluruh FLLS terhadap reseptor adalah sepanjang Jl. M.H. Thamrin untuk mendapatkan konsentrasi total.
, 2
/
σ
2σ 1
2σ
2
/
exp
2
__(13) Dimana: Q Laju emisi sumber polutan. Pada sumber titik berkelanjutan digunakan (g/s), pada sumber garis berkelanjutan digunakan (g/s/m). Kecepatan angin pada posisi x (m/s). Parameter dispersi atau standar deviasi distribusi konsentrasi pada posisi z (m) z Posisi arah z dalam koordinat kartesius (m). H Ketinggian efektif sumber emisi (pada penelitian ini bernilai 0) P Rasio panjang ruas jalan terhadap parameter dispersi (σ 3.3 Akurasi Mengacu pada penjelasan yang diberikan oleh Paumier et al (1992), metode empiris Quantile-Quantile (Q-Q) merupakan metode yang efektif untuk membandingkan distribusi dua jenis data, lebih lanjut dijelaskan bahwa metode ini tidak memikirkan setiap informasi atas hubungan temporal dan spasial dari konsentrasi yang dihasilkan dari pengukuran maupun bangkitan hasil model. Metode Q-Q merupakan perbandingan sederhana dalam mengurutkan konsentrasi model mulai yang terbesar hingga yang terkecil terhadap konsentrasi hasil pemantauan, sehingga masing-masing data tersebut nantinya ditetapkan sebagai ordinate dan abscissa. Bila data yang telah diurutkan memiliki distribusi yang seragam, maka seluruh data tersebut menuju garis y = x. Namun bila perbandingan data tersebut tidak seragam menuju garis 1:1 atau garis y = x, maka dibandingkan terhadap faktor pembatas yang lebih tinggi, seperti 1:2 dan 2:1 atau 1:3 dan 3:1. Perbandingan 1:2 memiliki arti bahwa hasil model lebih rendah (setengah kali) dibandingkan dengan hasil pemantauan. Sedangkan perbandingan 2:1, menunjukkan hasil model lebih besar (dua kali) dibandingkan hasil pemantauan. Keberadaan data dari titik ini menyajikan informasi mengenai kesamaan dan
22
40
2:1
1:1
30
20 1:2 10
0
10
20
30
40
Observasi
Gambar 9. Ilustrasi metode Quantile-Quantile perbedaan antara dua data yang dibandingkan. Ilustrasi metode QuantileQuantile (Q-Q) disajikan pada Gambar 9. Metode Q-Q juga digunakan untuk menguji akurasi model dispersi polutan yang dihasilkan terhadap hasil pemantauan yang diperoleh. Seperti penelitian Paumier et al (1992), yang menggunakan metode Q-Q untuk menguji akurasi model CTDMPLUS dan RTDM pada semua kondisi stabilitas atmosfer. Karppinen et al (2000a) menggunakan metode grafis Q-Q untuk menguji model UDM-FMI dengan cara menerapkan parameter dispersi baru yang lebih realistik dengan parameter dispersi terdahulu. 3.4 Asumsi Penelitian ini didasarkan pada dua jenis asumsi, yaitu asumsi pada model FLLS dan asumsi dalam penerapan model FLLS. Asumsi pada model FLLS terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu: a) Penggunaan prinsip konservasi massa dalam aliran polutan. Prinsip ini adalah ekspresi matematika yang menyatakan laju aliran massa melalui setiap penampang aliran polutan sebanding dengan laju emisi sumber. Ini menunjukkan tidak ada material dari polutan yang dipindahkan melalui reaksi kimia, gaya gravitasi atau pengendapan pada permukaan. Semua material menyebar ke permukaan melalui difusi
turbulen dipantulkan kembali dan tidak di serap. b) Kondisi meteorologi yang relatif konstan dengan kondisi angin yang tenang. Asumsi ini menjadi tidak sesuai selama perubahan kondisi meteorologi yang cepat. c) Transport aliran angin dalam bidang horizontal yang konstan. Kondisi ini menunjukkan aliran angin horizontal yang homogen dan menjadi tidak valid pada permukaan kompleks. d) Diabaikannya kemungkinan terjadinya absorpsi polutan oleh permukaan tanah saat mencapai permukaan, misal: diabaikannya reaksi kimia yang mungkin terjadi selama proses penyebaran polutan dan pengabaian interaksi polutan dengan tumbuh–tumbuhan. e) Nilai konsentrasi polutan total diperoleh dari penjumlahan konsentrasi polutan dari masing-masing segmen jalan. Selain didasarkan pada asumsi model FLLS sendiri, penelitian ini juga didasari asumsi dari konsekuensi penerapan model FLLS tersebut di lapangan. Asumsi dari penerapan model FLLS ini adalah: a) Emisi yang dihasilkan dari bus TransJakarta berbahan bakar gas diabaikan. b) Pengaruh emisi kendaraan bermotor dari persimpangan jalan, fly over, dan jalan tol layang diabaikan. Secara keseluruhan, tahapan penelitian ini dijelaskan melalui diagram alir Gambar 10.
23
Gambar 10. Diagram alir penelitian
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Kepadatan Lalu Lintas Jl. M.H. Thamrin Jalan M.H. Thamrin merupakan jalan arteri primer, dengan kondisi di sekitarnya didominasi wilayah perkantoran. Kepadatan lalu lintas di jalan ini relatif tinggi terutama pada pagi dan sore hari dengan jenis kendaraan yang melintas didominasi oleh kendaraan pribadi (motor dan mobil penumpang). Selain itu di sepanjang ruas jalan Thamrin – Sudirman terdapat kegiatan optimalisasi pemanfaatan jalan dengan penambahan jalur. Pada ruas jalan ini pula dilakukan manajemen transportasi, yaitu 3 in 1 yang berlaku pada pagi hari (06:30-10:00) dan sore hari (16:00-19:00). Kajian terhadap fluktuasi lalu lintas harian pada jaringan jalan memberikan gambaran terhadap besar volume kendaraan maksimum serta waktu sibuk pagi dan sore hari untuk masing-masing arah. Gambar 11 menunjukkan volume kendaraan pada hari kerja dan hari libur. Hasil pengamatan menunjukkan jumlah kendaraan pada hari libur jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan hari kerja. Pada hari kerja dapat dilihat puncak-puncak kepadatan kendaraan yang melewati Jl. M.H Thamrin terjadi pada pukul 08:00-09:00 dengan jumlah kendaraan
mencapai 10,140 kendaraan. Hal ini sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan pada ruas jalan protokol di Jakarta yang menyebutkan waktu sibuk pagi hari di ruas jalan Jakarta adalah pukul 07:0011:00. Hal ini disebabkan puncak volume lalu lintas pagi hari terjadi setelah pemberlakuan kebijakan 3 in 1 yaitu pukul 10:00-11:00 dan pagi hari pada waktu jam masuk kerja. Sedangkan pada hari libur, volume kendaraan yang melintas cenderung meningkat secara perlahan hingga 13:0014:00 dengan jumlah kendaraan mencapai 5,712 kendaraan. Merujuk pada pengamatan kondisi volume lalu lintas pada ruas jalan yang sama oleh Satria (2006) didapatkan hasil yang sedikit berbeda, yaitu pada hari kerja puncak volume lalu lintas terjadi pukul 10:00-11:00 sebesar 12,336 kendaraan. Sedangkan pada hari libur, pola volume kendaraan yang melintas meningkat secara perlahan hingga pukul 12:00-13:00 dengan jumlah kendaraan yang melintas pada waktu tersebut sebesar 7,788 kendaraan. Terlihat bila dibandingkan dengan pengamatan lalu lintas kali ini, baik pada hari kerja maupun hari libur terjadi perbedaan volume puncak lalu lintas sebesar 1 jam.
12000 Jumlah Kendaraan
10000 8000 6000 4000 2000 0
Hari Kerja Gambar 11.
Hari Libur
Pukul
Grafik volume kendaraan harian di Jl. M.H. Thamrin pada hari kerja dan hari libur.
25
Gambar 12.
Persentase kendaraan yang melewati Jl. M.H. Thamrin pada hari kerja dan hari libur
Persentase kendaraan yang melewati ruas Jl M.H. Thamrin disajikan dalam Gambar 12. Hasil pengamatan dan perhitungan menunjukkan bahwa pada hari kerja jumlah kendaraan mencapai 69,150 kendaraan dengan jumlah kendaraan terbesar, yaitu sepeda motor sebanyak 40,818 kendaraan (59 %). Sedangkan pada hari libur jumlah kendaraan mencapai 34,872 kendaraan dengan jumlah kendaraan yang mendominasi, yaitu mobil penumpang berbahan bakar bensin sebanyak 14,644 kendaraan (41 %). Jalan ini merupakan salah satu jalan utama di pusat Jakarta dan merupakan salah satu kawasan perkantoran yang cukup tinggi aktivitasnya. Persentase berbeda ditemukan dari pengamatan yang dilakukan Satria (2006). Didapatkan baik pada hari kerja maupun hari libur persentase kendaraan yang melintas di ruas Jl. M.H. Thamrin terbesar adalah moda transportasi mobil, yaitu sebesar 55 % pada hari kerja dan 48 % pada hari libur. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jakarta pada saat ini lebih memilih moda transportasi sepeda motor dalam melakukan aktivitas sehari-hari, karena bentuk moda transportasi tersebut yang sesuai untuk memecah kemacetan yang sering terjadi di ruas jalan Ibukota serta konsumsi bahan bakar yang relatif sedikit. Penelitian serupa untuk volume lalu lintas juga dilakukan oleh Broderick et al (2006) dan Karasitsion (2006) yang mengemukakan bahwa pola volume lalu lintas yang tinggi pada pagi hari dan berangsur-angsur rendah pada siang hari pada hari kerja merupakan ciri untuk wilayah perkotaan (urban) dengan tingkat mobilitas yang tinggi. Selain itu wilayah
penyangga perkotaan (suburban) hampir memiliki pola volume lalu lintas dengan wilayah urban. 4.2 Total Beban Emisi Sumber Garis Data volume lalu lintas diperlukan untuk menghitung beban emisi polutan dari sumber transportasi. Pada penelitian ini data volume lalu lintas didasarkan pada volume lalu lintas setiap jam pengamatan, komposisi jenis kendaraan, dan faktor emisi untuk tiap tipe kendaraan. Hasil perhitungan beban emisi CO dan NOx disajikan pada Lampiran 5. 4.2.1 Emisi CO Sumber CO dominan dari emisi kendaraan bermotor berasal dari mobil penumpang berbahan bakar bensin, truk, bus, dan motor. Hal ini didasarkan pada tingginya faktor emisi yang dimiliki oleh kendaraan bermotor tersebut. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KLH RI (2007), mobil penumpang berbahan bakar bensin memiliki faktor emisi CO sebesar 20 gr/km; truk sebesar 11 gr/km; bus sebesar 8.4 gr/km; dan motor sebesar 14 gr/km. Hasil perhitungan menunjukkan, nilai total beban emisi CO pada pengamatan pukul 06:00-14:00 di ruas Jl. M.H. Thamrin sebesar 376.86 mg/m.s untuk hari kerja dan sebesar 216.11 mg/m.s untuk hari libur. Hal ini terkait dengan lokasi pengamatan yang merupakan wilayah perkantoran dengan aktivitas tinggi pada saat hari kerja dan di dominasi oleh volume kendaraan berbahan bakar bensin sebagai penyumbang utama emisi CO, yaitu mencapai 59,592 kendaraan pada hari kerja dan 26,058 kendaraan pada hari libur.
26
60
10000
50
8000
40
6000
30
4000
20
2000
10
0
Emisi CO (mg/m.s)
Jumlah Kendaraan
12000
0
Pukul Kendaraan Hari Kerja Emisi Hari kerja
Kendaraan Hari Libur Emisi Hari Libur
Gambar 13. Perbandingan jumlah kendaraan terhadap emisi CO di ruas Jl. M.H. Thamrin pada hari kerja dan hari libur Grafik pada Gambar 13 menunjukkan beban emisi CO dan volume kendaraan di ruas Jl. M.H. Thamrin. Hasil perhitungan beban emisi CO baik pada hari kerja maupun hari libur di lokasi ini secara umum memiliki pola yang serupa dengan volume total kendaraan yang melintas pada waktu dan lokasi yang sama. Pada hari kerja, beban emisi maksimum CO terjadi pada pukul 08:00-09:00 sebesar 53.65 mg/m.s dengan volume lalu lintas puncak yang melintas pada pukul tersebut mencapai 10,140 kendaraan. Keadaan yang berbeda dihasilkan dari skenario hari libur, dimana volume lalu lintas puncak yang terjadi pada pukul 13:00-14:00 sebesar 5,712 kendaraan memiliki beban emisi maksimum CO yang baru terbentuk pada pukul 14:00-15:00 sebesar 36.97 mg/m.s. Hal ini disebabkan volume kendaraan jenis mobil penumpang berbahan bakar bensin dan truk yang mengemisikan CO lebih tinggi banyak melintas pada pukul 14:00-15:00 dibandingkan pada pukul 13:00-14:00 (Lampiran 2). Perhitungan beban emisi pada wilayah kajian serupa juga dilakukan oleh Satria (2006) yang menemukan beban emisi CO maksimum hari kerja sebesar 59.24 mg/m.s pada pukul 10:00-11:00. Sedangkan beban emisi CO maksimum hari libur sebesar 38.70 mg/m.s terjadi pada pukul 12:00-
13:00. Secara keseluruhan bila nilai beban emisi tersebut dibandingkan dengan hasil beban emisi kali ini, nilai beban emisi di ruas Jl. M.H. Thamrin mengalami sedikit penurunan dalam kurun waktu 2 tahun. 4.2.2 Emisi NOx Sumber NOx dominan dari emisi kendaraan bermotor berasal dari truk dan bus. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KLH RI (2007), bus memiliki faktor emisi NOx paling besar yaitu 17.7 g/km disusul oleh truk sebesar 11.9 g/km, mobil penumpang berbahan bakar solar sebesar 3.5 g/km dan bensin sebesar 2 g/km. Nilai beban emisi NOx hasil perhitungan di ruas Jl. M.H. Thamrin pada pukul 06:00-14:00 berkisar antara 1.44 – 3.87 mg/m.s dengan total beban emisi NOx yang berbeda pada hari kerja dan hari libur. Pada hari kerja total beban emisi NOx sebesar 26.45 mg/m.s dan pada hari libur sebesar 21.77 mg/m.s. Total beban emisi NOx pada hari kerja lebih tinggi dibandingkan hari libur, terkait jumlah jenis kendaraan mobil penumpang berbahan bakar bensin dan solar yang memiliki faktor emisi NOx tinggi lebih dominan melintas di ruas Jl. M.H Thamrin. Total jenis kendaraan mobil penumpang berbahan bakar bensin dan solar sebagai penyumbang utama beban emisi NOx pada hari kerja mencapai 27,246
27
4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Jumlah Kendaraan
10000 8000 6000 4000 2000 0
Emisi NOx (mg/m.s)
12000
Pukul Kendaraan Hari Kerja Emisi Hari kerja Gambar 14.
Kendaraan Hari Libur Emisi Hari Libur
Perbandingan jumlah kendaraan terhadap emisi NOx di ruas Jl. M.H. Thamrin pada hari kerja dan hari libur
kendaraan dan pada hari libur mencapai 22,314 kendaraan. Seperti diketahui bahwa beban emisi pencemar memiliki pola yang serupa dengan pola volume lalu lintas, namun waktu terjadinya beban emisi maksimum tidak selalu terkait dengan volume puncak kendaraan yang melintas, seperti yang disajikan dari grafik pada Gambar 14, baik hari kerja maupun hari libur. Terlihat dari Gambar 14, volume kendaraan yang melintas di ruas Jl. M.H. Thamrin mencapai puncak pada pukul 08:00-09:00 saat hari kerja. Namun kejadian beban emisi maksimum NOx justru terjadi pada waktu yang berlainan, yaitu pukul 14:00-15:00 sebesar 3.87 mg/m.s. Hal ini disebabkan volume kendaraan mobil penumpang berbahan bakar bensin dan solar lebih banyak melintas di Jl. M.H. Thamrin pada pukul 14:00-15:00 dibandingkan pukul 08:00-09:00 dengan nilai faktor emisi masing-masing kendaraan sebesar 40 gr/km dan 2.8 gr/km. Walaupun pada kenyataannya diketahui bahwa jumlah kendaraan motor yang melintas pukul 08:0009:00 lebih besar dari pukul 14:00-15:00, namun memiliki faktor emisi NOx lebih rendah (0.29 gr/km). Selain itu faktor emisi NOx yang besar untuk truk (11.9 gr/km) dan
bus (17.7 gr/km) tidak banyak membantu untuk mencapai kondisi beban emisi NOx maksimum pukul 08:00-09:00, karena selisih volume kendaraan truk/bus yang hanya memiliki selisih 3-4 kendaraan (Lampiran 2). Hal inilah yang menyebabkan waktu terjadinya beban emisi maksimum pencemar tidak selalu terkait terhadap volume puncak lalu lintas pada kurun waktu tertentu. Kejadian serupa juga terjadi pada hari libur, dimana volume puncak kendaraan yang seharusnya terjadi pukul 13:00-14:00 mempunyai kejadian beban emisi maksimum NOx pada pukul 14:00-15:00. Hal ini terkait volume kendaraan jenis mobil penumpang berbahan bakar bensin dan truk yang memiliki emisi NOx tinggi banyak melintas pada pukul 14:00-15:00 dibandingkan pada pukul 13:00-14:00 (Lampiran 2) 4.3 Kondisi Meteorologi Wilayah Kajian Parameter meteorologi menentukan konsentrasi polutan yang akan diterima oleh suatu wilayah pada jarak tertentu dari titik emisi pembuangan berasal. Sebaliknya dari suatu wilayah tertentu (tercemar) dapat diperkirakan juga asal pencemar yang datang ke wilayah tersebut.
28
4.3.1 Stabilitas Atmosfer Radiasi matahari dan kecepatan angin menjadi acuan dalam menentukan kelas kestabilan atmosfer yang didasarkan pada kelas kestabilan atmosfer Pasquill. Berdasarkan Tabel 8, stabilitas atmosfer pagi hari pukul 06:00-09:00 di Jl. M.H. Thamrin secara umum di dominasi oleh kelas stabilitas B. Hal ini disebabkan oleh pemanasan radiasi surya pada pagi hari ratarata sebesar 108.98 W/m2 dengan kecepatan angin rata-rata sebesar 0.92 m/s. Hal ini didukung oleh pernyataan Pasquill (1974) yang menyatakan stabilitas B direpresentasikan sebagai kecepatan angin dibawah 2 m/s dengan nilai radiasi surya dibawah 350 W/m2. Pada kondisi ini, massa udara cenderung bergerak turun karena suhu massa udara yang lebih rendah dibandingkan suhu atmosfer. Akibatnya kadar polutan per satuan volume udara akan menjadi besar yang berakibat penambahan kadar polutan. Tabel 8. HK 24 Des. 2007
21 Jan 2008
18 Feb. 2008
24 Mar. 2008
21 Apr 2008
Kelas kestabilan atmosfer Pasquill pada hari kerja di Jl. M.H. Thamrin
Periode 06:00-06:30 06:30-07:00 07:00-07:30 07:30-08:00 08:00-08:30 08:30-09:00 09:00-09:30 09:30-10:00 06:00-06:30 06:30-07:00 07:00-07:30 07:30-08:00 08:00-08:30 08:30-09:00 09:00-09:30 09:30-10:00 06:00-06:30 06:30-07:00 07:00-07:30 07:30-08:00 08:00-08:30 08:30-09:00 09:00-09:30 09:30-10:00 06:00-06:30 06:30-07:00 07:00-07:30 07:30-08:00 08:00-08:30 08:30-09:00 09:00-09:30 09:30-10:00 06:00-06:30 06:30-07:00 07:00-07:30 07:30-08:00 08:00-08:30 08:30-09:00 09:00-09:30 09:30-10:00
Kelas B B C C C C B B B B B B B B A A B B B B B B A B B B B B B A A A B B B B B B B B
Sumber: Hasil Perhitungan
Periode 10:00-10:30 10:30-11:00 11:00:11:30 11:30-12:00 12:00-12:30 12:30-13:00 13:00-13:30 13:30-14:00 10:00-10:30 10:30-11:00 11:00:11:30 11:30-12:00 12:00-12:30 12:30-13:00 13:00-13:30 13:30-14:00 10:00-10:30 10:30-11:00 11:00:11:30 11:30-12:00 12:00-12:30 12:30-13:00 13:00-13:30 13:30-14:00 10:00-10:30 10:30-11:00 11:00:11:30 11:30-12:00 12:00-12:30 12:30-13:00 13:00-13:30 13:30-14:00 10:00-10:30 10:30-11:00 11:00:11:30 11:30-12:00 12:00-12:30 12:30-13:00 13:00-13:30 13:30-14:00
Kelas C C B B C B B C A A B A A B B B A A A B A C C C A A A A B B B B B A A B B B C B
Selanjutnya pada pukul 09:00-12:00, stabilitas di Jl. M.H. Thamrin tidak didominasi oleh satu kelas kestabilan atmosfer saja, melainkan bervariasi mulai dari kondisi stabilitas A hingga stabilitas C. Pada periode ini, intensitas radiasi surya berkisar 128.28 – 662 W/m2 dan kecepatan angin yang berkisar 0.26 – 2.55 m/s. Hal ini berhubungan dengan profil temperatur atmosfer yang mulai meningkat akibat permukaan tanah dan udara diatasnya mulai memanas seiring dengan meningkatnya radiasi surya (Lampiran 4). Perubahan tersebut terjadi beberapa jam dalam pagi hari dan menghilangkan lapisan inversi yang telah terbentuk sebelumnya. Perubahan stabilitas atmosfer dari stabil pada pagi hari menjadi stabil lemah atau tidak stabil pada siang hari mempengaruhi konsentrasi polutan secara signifikan. Begitu pula pada pukul 12:00-14:00, tingkatan stabilitas atmosfer mulai bervariasi pada kondisi tidak stabil. Pada periode ini, intensitas radiasi matahari berkisar pada nilai 169.77 – 733.66 W/m2 dan kecepatan angin yang berkisar sebesar 1.27 – 3.61 m/s. Terlihat kisaran nilai tersebut lebih tingi dibandingkan waktu sebelumnya. Hal ini mengindikasikan pada pukul 12:00-14:00 massa udara dekat permukaan cenderung bergerak naik akibat pemanasan permukaan di siang hari. Sehingga kadar polutan per satuan volume udara yang terakumulasi dekat permukaan menjadi lebih kecil karena telah terbawa terdispersi ke atmosfer bersama massa udara yang bergerak naik tersebut. Akibatnya terjadi penurunan konsentrasi polutan. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa keseluruhan stabilitas atmosfer masih masuk dalam kategori tidak stabil, yang membedakan hanyalah tingkatan kestabilan tersebut, yaitu sangat tidak stabil, tidak stabil sedang, dan sedikit tidak stabil. Tidak adanya kategori stabil dan netral pada kajian ini dapat dipahami dengan merujuk kembali kepada waktu pengamatan yang hanya dilaksanakan selama 8 jam (06:00-14:00) dan penggunaan kriteria kelas kestabilan atmosfer Pasquill. Secara keseluruhan, stabilitas atmosfer pada skenario Hari kerja bulan Desember sampai April tahun pengamatan didominasi oleh kelas kestabilan B dengan persentase sebesar 60 % disusul dengan kelas kestabilan A yang mencapai persentase sebesar 25 % dan sisanya oleh kestabilan
29
Stabilitas C 15%
Stabilitas B 60%
Staabilitas A 25%
Gambbar 15. Perseentase stabilitaas atmofer Jl. M.H. Thamrinn waktu pengamatan, pukul 06:00-14:00 Gambaar 15 s 15 %. kelas C sebesar menunjukkaan persentase stabilitas atm mosfer wilayah kajiian. Mengaacu pada pengertian yang diberikan oleh Seinfeld dan Pandis (2006) ( mosfer tidakk stabil diccirikan kondisi atm sebagai aruus vertikal kuat baik untuk gerakan massa m udara naik dan turun sehingga percam mpuran menghasilkaan polutan yanng cepat. Sedangkan atm mosfer stabil dicirikkan sebagai arus a vertikal massa udara yangg naik atauu turun sehhingga menghasilkaan percampuuran polutan lebih lemah dibanndingkan konndisi atmosferr tidak stabil. Lebih lanjut ditambahkan bahwa b mosfer stabil juga terjadi pada kondisi atm malam hari dengan konddisi langit ceraah dan kecepatan anngin rendah. busi Angin 4.3.2 Distrib Anginn merupakan besaran b vektorr yang dinyatakan dalam distribbusi frekuenssi arah W diguunakan dan kecepaatannya. Windrose sebagai alatt bantu dalam m menentukann arah dan keceppatan anginn dominan serta persentasenyya dalam saatu periode waktu. w Data masukkan berupa arah a dan keceepatan angin pada hari kerja per p satu jam mulai pukul 06:000 hingga pukull 14:00. Melaluui profil Windrose selama s pelaksanaann skenario harrian wilayah kajian, k didapatkan arah angin doominan memppunyai pola yang cukup c baik yaaitu mengarahh pada satu nilai dominan seehingga mem mbantu mprediksi peenyebaran polutan p dalam mem akibat emisii kendaraan bermotor b (Lam mpiran 6). T 9 Persenntase yang disaajikan pada Tabel menunjukkaan bahwa arah angin doominan sebagian besar berasal daari arah barat (2700)
hingga Tim mur Laut ((450), yaitu angin berhembus dari arah pantai utara Jakarta J n laut). menuju wilayah selatan JJakarta (angin a dominaan yang berh hembus Bila arah angin melewati Jl. J M.H. Thaamrin, maka tidak seluruh araah angin terrsebut tegak lurus terhadap Jll. M.H. Tham mrin. Hanyaa arah angin dari barat b (2700) saaja yang tegak k lurus terhadap jallan. Sisanya m memiliki nilaii sudut antara 450–900 terhadaap ruas Jl. M.H. Thamrin. Perbedaan P varriasi nilai sud dut ini menjadi peenting dalam pemodelan FLLS dan memerrlukan perhituungan lebih lanjut, mengingat pengukuran aarah angin do ominan harus tegak lurus segmenn jalan. Melihaat dominasi arah angin yang berhembus antara sudutt 2700 hingg ga 450, mengindikaasikan bahwaa pada pengaamatan pukul 06:000-14:00, gejaala angin lautt lebih dominan berhembus b ddi ruas Jl. M.H. Thamrin. Pergerakan P anngin laut ini terjadi akibat perbbedaan kapaasitas panas antara lautan deengan darattan. Seh hingga menimbulkaan perbedaan tekanan udara yang mengakibattkan angin berrhembus dari lautan ke daratan. m Tabel Persenntase yang dissajikan dalam 10 menunjuukkan kecepaatan angin do ominan yang bertiupp di Jl. M.H. Thamrin umu umnya berada dibaawah 2 m/s. Sedangkan kisaran k kecepatan angin a di Jl. M M.H. Thamrin berada pada nilai 0 – 3.61 m/ss. Nilai keccepatan angin yang diperoleh berrvariasi antar waktu pengamatann mengingaat waktu kajian meliputi 5 bulan pengaamatan (Deseemberh barat April), yaittu bertiup angin dari arah (dari Samudera Hindia) yang lebih banyak b u air. Uap air yang terccampur membawa uap massa udaara ini sellanjutnya menjadi m perbedaan energi e pada wilayah yang dilalui.
30
Tabel 9. Tanggal
Arah angin dominan simulasi windrose
Wilayah kajian MH. 24 Des. 2007 Thamrin MH. 21 Jan. 2008 Thamrin MH. 18 Feb.2008 Thamrin MH. 24 Mar.2008 Thamrin MH. 21 Apr.2008 Thamrin Sumber: Hasil Perhitungan
hasil
Arah angin Dominan 270
Persent ase (%) 58.82
22.5
52.94
270
29.41
270
29.41
45
35.29
Berdasarkan pemantauan, kecepatan angin yang berhembus pada tanggal pengamatan berfluktuasi antar waktu harian. Fluktuasi kecepatan angin di ruas Jl. M.H. Thamrin rendah pada pukul 06:00-10:00 dengan kisaran 0.08-2.27 m/s dan selanjutnya meningkat pada siang hari pukul 13:00-14:00 dengan kisaran 1.97-3.34 m/s (Lampiran 4). Kecepatan angin yang rendah pada pagi hari tersebut cenderung mengawetkan dan memperlambat pendispersian konsentrasi polutan dari kendaraan bermotor yang melintas untuk kemudian didispersikan mencapai konsentrasi rendah menjelang siang hari. Hal ini didasarkan pada penelitian Sharan et al (1995) yang menyebutkan angin dengan kecepatan rendah memiliki proses difusi antar molekul polutan lebih besar dibandingkan proses adveksi yang lebih cenderung dibangkitkan oleh angin dengan kecepatan tinggi. Selain angin laut, angin yang berhembus juga dipengaruhi oleh adanya bangunan – bangunan tinggi di sekitar wilayah kajian. Sehingga perubahan arah dan kecepatan angin mungkin saja terjadi, mengingat ruas Jl. M.H. Thamrin sebagai wilayah kajian memiliki banyak bangunan bertingkat tinggi yang dapat mengakibatkan kondisi street canyon. 4.4 Kualitas Udara Roadside Jl. M.H. Thamrin Berdasarkan hasil pengukuran kualitas udara rodside milik BPLHD yang berlokasi
Tabel 10. Tanggal
Kecepatan angin dominan hasil simulasi windrose
Wilayah Studi MH. 24 Des. 2007 Thamrin MH. 21 Jan. 2008 Thamrin MH. 18 Feb.2008 Thamrin MH. 24 Mar.2008 Thamrin MH. 21 Apr.2008 Thamrin Sumber: Hasil Perhitungan
Kec. Angin Dominan (m/s) 1–2
Persent ase (%) 52.94
0–1
47.06
1–2
52.94
0–1
64.70
0–1
52.94
di depan gedung ESDM, terlihat nilai ratarata harian kualitas udara ambien ruas Jl. M.H. Thamrin masih memenuhi baku mutu udara ambien. Berdasarkan SK. Gubernur DKI Jakarta Nomor 551 Tahun 2001, baku mutu udara ambien untuk polutan CO dan NOx pada paparan selama 1 jam masingmasing sebesar 26 mg/m3 dan 400 µg/m3 (Lampiran 7). Pola kualitas udara ambien untuk pencemar CO dan NOx di ruas Jl. M.H. Thamrin tersaji pada Gambar 16. Analisa pola harian untuk parameter CO dan NOx memiliki pola yang sama, yaitu rendah pada pagi hari kemudian berangsurangsur meningkat dan menurun menjelang siang hari. Hal ini mirip dengan pola lalu lintas pada hari kerja. Selain itu karena konsentrasi polutan yang diemisikan pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor yang melintas langsung diemisikan ke atmosfer, maka proses penyebaran polutan lebih banyak dilakukan oleh faktor meteorologi. Secara keseluruhan, kecepatan angin rata-rata pada tanggal pengamatan bernilai rendah dan hampir konstan sepanjang waktu pengamatan, yaitu 1.40 m/s. Namun karena kondisi stabilitas atmosfer di Jl. M.H. Thamrin memiliki nilai stabilitas atmosfer yang bervariasi sepanjang waktu maka massa udara yang tercampur dengan polutan CO tertahan sementara waktu pada pagi hari dan didispersikan sehingga mencapai nilai konsentrasi rendah menjelang siang hari.
31
a
Gambar 16.
b
Konsentrasi CO (a) dan NOx (b) roadside rata-rata 30 menitan waktu pengamatan (garis vertikal menunjukkan 1 kali standar deviasi)
Berdasarkan Gambar 16a, konsentrasi CO tanggal pengamatan memiliki nilai konsentrasi CO tinggi pada pagi hari dan menurun pada siang hari. Konsentrasi CO maksimum pada skenario hari kerja tersebut terjadi pada pagi hari pukul 08:00-09:00 sebesar 2.57 mg/m3 dan minimum pada pukul 12:00-13:00 sebesar 0.15 mg/m3. Pada skenario hari kerja (Gambar 16b), konsentrasi polutan NOx rata-rata waktu pengamatan memiliki dua nilai maksimum, yaitu mulai meningkat pada pukul 06:00 untuk mencapai konsentrasi maksimum pada pukul 07:00-08:00 sebesar 40.53 µg/m3, kemudian menurun hingga pukul 10:00 untuk selanjutnya meningkat hingga mencapai puncak kedua pada pukul 10:0011:00 sebesar 29.29 µg/m3. Pola konsentrasi NOx pada Gambar 16b sedikit berbeda dengan CO untuk setiap waktu pengamatan yang sama. Terlihat pola yang terbentuk memiliki dua titik puncak konsentrasi, yang jatuh pada pagi dan siang hari. Secara umum, terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap pola nilai NOx secara diurnal harian dan bulanan pada kajian ini. Madani dan Danish (1993) menjelaskan fakor – faktor tersebut adalah volume lalu lintas, kemacetan lalu lintas, kondisi meteorologi seperti temperatur, RH, lamanya penyinaran radiasi matahari, dan kemungkinan campuran sumber emisi lainnya. Bila diamati secara seksama (Gambar 16b), puncak konsentrasi pertama pada pagi hari terbentuk lebih disebabkan faktor – faktor meteorologi yang sama dalam menjelaskan pola konsentrasi CO pada pagi
hari. Sedangkan puncak konsentrasi kedua terjadi akibat kepadatan transportasi Jl. M.H. Thamrin. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa aktivitas mobilisasi masyarakat yang melalui ruas jalan tersebut pada siang hari cukup tinggi karena seperti pada analisis sebelumnya dengan hanya menyerahkan pada faktor – faktor meteorologi bekerja untuk memperkecil nilai konsentrasi polutan NOx pada siang hari justru didapatkan nilai konsentrasi polutan NOx yang tinggi pada waktu tersebut. 4.5 Analisa Hasil Pemodelan FLLS Hasil pemodelan FLLS yang dilakukan antara pukul 06:00-14:00 menunjukkan konsentrasi tinggi cenderung tinggi pada pagi hari dan berangsur-angsur rendah menjelang siang harinya. Pada pagi hari, konsentrasi tingi rata-rata terjadi pada pukul 08:00-09:00. Tingginya konsentrasi pada pagi hari disebabkan keadaan udara yang lebih stabil dibandingkan siang hari yang didominasi oleh kondisi tidak stabil dan cenderung berubah-ubah. Pada kondisi atmosfer stabil yang terjadi pada pagi hari, udara cenderung akan bergerak ke bawah sehingga kadar polutan per satuan volume menjadi besar atau memperlambat proses dispersi polutan yang berakibat penambahan kadar polutan. Selain itu kepadatan lalu lintas juga mempengaruhi konsentrasi polutan. Dari pengamatan volume lalu lintas seperti hari kerja, tingginya jumlah kendaraan yang melintas di pagi hari menyebabkan konsentrasi polutan yang dihasilkan dalam pemodelan bernilai tinggi.
32
4.5.1
Konsentrasi Karbonmonoksida (CO) Sumber emisi CO di ruas Jl. MH. Thamrin dominan dihasilkan dari jenis kendaraan mobil penumpang berbahan bakar bensin dan truk. Emisi CO yang tinggi dari kendaraan jenis ini akan mempengaruhi tingkat konsentrasi CO yang terbentuk di atmosfer. Nilai konsentrasi CO dari waktu pengamatan berkisar antara 0.12 – 2.95 mg/m3 dengan konsentrasi rata-rata tertinggi pada tanggal 24 Maret 2008 sebesar 1.32 mg/m3 (Lampiran 8). Secara keseluruhan, pola konsentrasi CO hasil pemodelan FLLS tanggal 24 Desember 2007 mengalami konsentrasi yang relatif konstan sepanjang waktu pengamatan (Gambar 17a). Hal ini disebabkan parameter meteorologi, yaitu kecepatan angin sebagai salah satu input pemodelan FLLS berpola konstan sepanjang waktu pengamatan (1.57-2.27 m/s) dengan nilai rata – rata 1.94 m/s serta dominasi stabilitas atmosfer kelas C pada pagi hari dan B untuk siang harinya. Akan tetapi volume lalu lintas yang melintas di ruas Jl. M.H. Thamrin turut mengalami peningkatan hingga siang hari. Sehingga konsentrasi CO yang dihasilkan relatif konstan sepanjang pengamatan. Pola harian yang dihasilkan dari pemodelan untuk pencemar CO memiliki rata-rata konsentrasi sebesar 0.26 mg/m3 dengan nilai konsentrasi maksimum terjadi pukul 08:00-09:00 sebesar 0.34 mg/m3. Hasil pemodelan FLLS tanggal 21 Januari 2008 menunjukkan nilai rata-rata konsentrasi CO sebesar 0.76 mg/m3. Pada pemodelan konsentrasi CO bulan tersebut didapatkan konsentrasi maksimum terjadi pada pukul 08:00-09:00 dengan nilai sebesar Hal ini 1.11 mg/m3 (Gambar 17b). disebabkan, kecepatan angin yang mengalami peningkatan sepanjang waktu pengamatan, yaitu sebesar 0.58 m/s pada pukul 06:00-07:00 hingga 0.90 m/s pada pukul 13:00-14:00 serta kelas kestabilan pada pagi hari seluruhnya berada pada kelas B. Akibatnya konsentrasi polutan CO akan berada dalam waktu yang lebih lama di atmosfer pada pagi hari untuk selanjutnya didispersikan mencapai konsentrasi rendah pada siang hari. Konsentrasi CO hasil pemodelan FLLS tanggal 18 Februari 2008 menunjukkan pola yang relatif seragam sepanjang waktu pengamatan (Gambar 17c). Dari pola tersebut didapatkan nilai rata-rata
konsentrasi CO hasil pemodelan sebesar 0.43 mg/m3 dengan konsentrasi maksimum terjadi pukul 08:00-09:00 sebesar 0.60 mg/m3. Hal ini disebabkan kecepatan angin berhembus relatif tinggi pada pagi hari dan kelas kestabilan pada pagi hari seluruhnya berada pada kelas B serta didominasi kelas A pada siang harinya. Sehingga konsentrasi polutan CO bernilai tinggi pada pagi hari kemudian berangsur – angsur rendah menjelang siang hari. Namun seperti diketahui, beban emisi yang terbentuk akibat peningkatan volume kendaraan hingga menjelang siang hari menjadi tinggi mengakibatkan pola konsentrasi CO yang terbentuk relatif konstan sepanjang pengamatan. Selanjutnya, konsentrasi CO hasil pemodelan FLLS tanggal 24 Maret 2008 bernilai tinggi pada pagi hari dan menurun menjelang siang hari (Gambar 17d). Tidak seperti bulan-bulan sebelumnya, konsentrasi maksimum CO hasil pemodelan terjadi pukul 06:00-07:00 sebesar 3.19 mg/m3 dengan nilai rata-rata sebesar 1.32 mg/m3. Hal ini disebabkan kecepatan angin yang berhembus relatif rendah antara pukul 06:00-07:00 sebesar 0.08 m/s dan berangsurangsur meningkat secara cepat hingga pukul 13:00-14:00 sebesar 2.38 m/s dengan kelas kestabilan pada pagi hari seluruhnya berada pada kelas B serta didominasi kelas A menjelang siang hari. Sehingga konsentrasi polutan CO bernilai tinggi pada pagi hari kemudian berangsur – angsur rendah menjelang siang hari. Konsentrasi CO hasil pemodelan FLLS tanggal 21 April 2008 menunjukkan pola tinggi pada pagi hari kemudian menurun untuk siang hari (Gambar 17e). Tercatat konsentrasi maksimum CO hasil pemodelan terjadi pukul 06:00-07:00 sebesar 2.57 mg/m3 dengan nilai rata-rata sebesar 1.31 mg/m3. Hal ini dikarenakan kecepatan angin yang rendah pada pukul 06:00-07:00 sebesar 0.11 m/s dan meningkat secara cepat hingga pukul 13:00-14:00 sebesar 2.71 m/s. Kecepatan angin rata-rata yang terjadi pada bulan ini sepanjang waktu pengamatan sebesar 1.28 m/s dengan kondisi kelas kestabilan sepanjang pagi hari didominasi tidak stabil sedang dan sangat tidak kuat pada siang hari. Akibatnya pola nilai konsentrasi polutan CO yang terbentuk tinggi pada pagi hari hingga pukul 10:00 dan selanjutnya perlahan-lahan mulai menurun menjelang siang hari.
33
Konsentrasi CO yang diperoleh dari hasil pemantauan maupun pemodelan FLLS Selanjutnya dibandingkan dengan baku mutu CO untuk pengukuran 1 jam dan 24 jam dengan nilai masing-masing 26 mg/m3 dan 9 mg/m3 (Lampiran 7). Didapatkan nilai konsentrasi CO seluruhnya masih berada dibawah nilai baku mutu tersebut. Hal ini mengindikasikan kendaraan bermotor yang
melintas di ruas Jl. M.H. Thamrin masih dapat ditolerir dalam mengemisikan polutan CO ke udara ambien, khusus untuk waktu pengamatan pukul 06:00-14:00. Namun rendahnya konsentrasi polutan CO yang terukur tidak menjamin rendahnya konsentrasi polutan lainnya, karena emisi polutan gas buang kendaraan bermotor yang berbeda untuk polutan lainnya.
a
b
c
d
e
Gambar 17.
Konsentrasi CO hasil pemodelan FLLS dan perbandingannya terhadap baku mutu udara ambien
34
4.5.2
Konsentrasi Nitrogen Oksida (NOx) Sumber emisi NOx di ruas Jl. MH. Thamrin dominan dihasilkan dari jenis kendaraan mobil penumpang berbahan bakar bensin dan solar. Dominasi emisi NOx dari kendaraan jenis ini akan mempengaruhi tingkat konsentrasi NOx yang terbentuk di atmosfer. Nilai konsentrasi NOx pada waktu pengamatan berkisar antara 16.37 – 389.14 µg/m3 dengan konsentrasi rata-rata tertinggi pada tanggal 24 Maret 2008 sebesar 93 µg/m3 (Lampiran 8). Hasil pemodelan FLLS tanggal 24 Desember 2007 menunjukkan konsentrasi NOx maksimum terbentuk pada pukul 10:0011:00 sebesar 23.90 µg/m3 dengan nilai ratarata sebesar 17.99 µg/m3. Hasil pemodelan konsentrasi NOx bulan Desember 2007 disajikan pada Gambar (18a). Berdasarkan Gambar (18a) terlihat pada nilai baku mutu ambien NOx untuk 24 jam (92.5 µg/m3), konsentrasi NOx hasil pemodelan masih berada di bawah baku mutu. Hal ini mengindikasikan konsentrasi NOx bulan Desember 2007 masih berada dalam kategori aman di ruas Jl. M.H. Thamrin. Kondisi yang berlainan ditunjukkan dari hasil pemodelan tanggal 21 Januari 2008 (Gambar 18b). Dimana konsentrasi NOx tinggi terukur sebanyak dua kali, yaitu pada pukul 08:00-09:00 sebesar 75.56 µg/m3 dan pukul 10:00-11:00 sebesar 69.92 µg/m3 dengan nilai rata-rata konsentrasi NOx hasil pemodelan sebesar 52.99 µg/m3. Selanjutnya konsentrasi CO tanggal 21 Januari 2008 yang telah diperoleh dibandingkan dengan baku mutu ambien Melalui Gambar (18b), terlihat NOx. beberapa waktu hasil pemodelan, konsentrasi NOx telah melewati baku mutu NOx 1 tahun (60 µg/m3). Waktu simulasi yang melewati ambang batas tersebut berkisar antara pukul 07:00-11:00 dengan nilai konsentrasi yang berkisar antara 60.12 Hal ini µg/m3 hingga 69.92 µg/m3. mengindikasikan bahwa hasil pemodelan konsentrasi NOx bulan Januari 2008 telah termasuk dalam keadaan berbahaya untuk waktu paparan yang lama. Kondisi yang serupa dari hasil pemodelan tanggal 21 Januari 2008 juga ditunjukkan pada tanggal 18 Februari 2008 (Gambar 18c). Dimana terdapat dua nilai konsentrasi tinggi, yaitu pada pukul 08:0009:00 sebesar 40.76 µg/m3 dan pada pukul
10:00-11:00 sebesar 46.52 µg/m3. Didapatkan rata-rata konsentrasi NOx hasil pemodelan 29.55 µg/m3. Perbandingan konsentrasi NOx tanggal 18 Februari 2008 dari Gambar (18c) menunjukkan hasil pemodelan masih di bawah baku mutu ambien NOx untuk pengukuran 1 tahun (60 µg/m3). Hal ini menunjukkan konsentrasi NOx bulan Januari 2008 di ruas Jl. MH. Thamrin masih dalam kondisi aman untuk jangka waktu lama. Selanjutnya pada hasil pemodelan FLLS tanggal 24 Maret 2008, konsentrasi NOx bernilai tinggi pada pagi hari dan turun menjelang siang hari (Gambar 18d). Dimana konsentrasi maksimum terjadi pukul 06:00-07:00 sebesar 235.31 µg/m3 dengan nilai rata-rata sebesar 93 µg/m3. Bila dibandingkan dengan baku mutu ambien NOx untuk pengukuran 24 jam (92.5 µg/m3) dan 1 tahun (60 µg/m3), konsentrasi NOx hasil pemodelan tanggal 24 Maret 2008 telah menunjukkan konsentrasi yang melebihi ambang batas baku mutu udara ambien. Konsentrasi tinggi terjadi antara pukul 06:00-12:00 dengan nilai rata-rata mencapai 131.76 µg/m3 (Gambar 18d). Hal ini mengindikasikan konsentrasi NOx untuk pengukuran 24 jam dan 1 tahun berada dalam kategori berbahaya, sedangkan pengukuran 1 jam masih dibawah ambang batas baku mutu udara ambien (400 µg/m3), walaupun bernilai tinggi pada pagi hari (06:00-07:00), yaitu sebesar 235.31 µg/m3. Konsentrasi NOx yang didapatkan melalui hasil pemodelan 21 April 2008 (Gambar 18e) menunjukkan nilai konsentrasi tinggi pada pukul 06:00-07:00 sebesar 188.90 µg/m3 dan pukul 08:00-09:00 sebesar 159.72 µg/m3. Tercatat rata-rata konsentrasi NOx hasil pemodelan sebesar 92.28 µg/m3. Sedangkan konsentrasi NOx hasil pemodelan hampir pada awal waktu simulasi (06:00-10:00) menunjukkan di atas ambang baku mutu pengukuran 1 tahun dan 24 jam dengan nilai rata-rata konsentrasi sebesar 153.46 µg/m3. Hal ini mengindikasikan konsentrasi NOx sudah berada dalam kategori berbahaya untuk waktu paparan lebih dari satu hari. Selanjutnya dari hasil observasi maupun pemodelan pada waktu pengamatan, bila dibandingkan dengan baku mutu NOx untuk pengukuran 24 jam dan 1 tahun dengan nilai baku mutu masing-masing sebesar 92.5 µg/m3 dan 60 µg/m3, nilai
35
konsentrasi NOx pada beberapa waktu pengukuran dan simulasi telah melewati batas nilai baku mutu tersebut. Sedangkan untuk pengukuran selama 1 jam (400 µg/m3) secara keseluruhan masih
dibawah batas baku mutu tersebut, kecuali pemodelan tanggal 24 Maret 2008. Dimana konsentrasi NOx tanggal tersebut hampir mendekati batas baku mutu dengan nilai 235.31 µg/m3 yang terjadi pukul 6:00-7:00.
a
b
c
d
e
Gambar 18.
Konsentrasi NOx hasil pemodelan FLLS dan perbandingannya terhadap baku mutu udara ambien
36
4.6 Perbandingan Hasil Pemodelan FLLS dengan Pemantauan Roadside Analisa Gambar 19a menunjukkan, sebanyak 55 % hasil pemodelan CO ≤ kali dari hasil pemantauan roadside. Sedangkan melalui faktor pembatas yang lebih tinggi, sebanyak 81.25 % hasil pemodelan CO ≤ kali dari hasil pemantauan roadside dan 85 % hasil pemodelan CO ≤ kali dari hasil pemantauan roadside. Berdasarkan analisa konsentrasi CO tersebut, diperoleh kecenderungan perbandingan berada dibawah perkiraan faktor pembatas (underestimates), yaitu konsentrasi CO yang dihasilkan dari pemodelan FLLS memiliki nilai lebih rendah dari hasil pemantauan roadside (antara faktor 2-4). Melalui penjelasan di atas, faktor pembatas 4 memiliki nilai akurasi tinggi dibanding faktor pembatas 3 dan faktor pembatas 3 memiliki nilai akurasi yang tinggi dibanding faktor pembatas 2. Namun nilai yang tinggi ini belum disertai dengan tingkat keakuratan yang tinggi pada faktor pembatas yang digunakan. Makin kecil faktor pembatas yang digunakan maka tingkat keakuratan pada perbandingan pemodelan dengan pemantauan semakin tinggi. Sehingga bila dibandingkan lebih lanjut, faktor pembatas 2 lebih baik dalam menentukan tingkat keakuratan model FLLS dibanding faktor pembatas 4. Rendahnya konsentrasi CO yang dihasilkan dalam pemodelan disebabkan karena pada perhitungan beban emisi tidak mempertimbangkan kecepatan kendaraan
(a)
yang melintas. Padahal konsentrasi polutan yang diemisikan dari kendaraan bermotor salah satu faktor utamanya juga dipengaruhi dari kecepatan kendaraan yang dicapai (Lampiran 9). Dinas Perhubungan DKI Jakarta telah mengukur kecepatan kendaraan dibeberapa ruas jalan Ibukota. Di ruas Jl. M.H. Thamrin pada pagi hari didapatkan kecepatan rata-rata kendaraan yang bergerak sebesar 45.50 km/jam dan mengalami penurunan hingga siang hari sebesar 29.31 km/jam. Kendaraan yang mengalami penurunan kecepatan mengemisikan CO lebih tinggi dibanding yang mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan pada kecepatan kendaraan yang rendah berhubungan dengan kandungan bahan bakar yang tersedia pada ruang pembakaran bernilai tinggi dibandingkan dengan kandungan oksigen yang diperlukan sebagai oksidator. Akibatnya pembakaran bahan bakar berlangsung dibawah normal. Pada kondisi pembakaran yang demikian, emisi CO yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan tinggi. Hal ini dapat dilihat pada grafik AFR komposisi emisi kendaraan bermotor Gambar 3. Selanjutnya, kecepatan kendaraan yang rendah tersebut mengakibatkan konsentrasi CO yang dikeluarkan akan lebih tinggi sebab diduga kecepatan kendaraan yang melewati jalur tersebut dibawah kecepatan optimum. Sehingga menyebabkan hasil pengukuran pemantauan lebih tinggi dibandingkan pemodelan FLLS.
(b)
Gambar 19. Plot Quantile-Quantile konsentrasi polutan CO (a) dan NOx (b) hasil pemodelan FLLS dengan hasil pemantauan roadside
37
Melalui hasil perbandingan diperoleh, nilai rata-rata konsentrasi CO hasil pemodelan sebesar 0.81 mg/m3 dan pemantauan roadside sebesar 1.83 mg/m3. Fluktuasi perbandingan nilai konsentrasi CO bulan Desember 2007 – April 2008 disajikan pada Lampiran (10). Hasil yang serupa untuk pemodelan sumber garis juga diperoleh Septiyanzar (2008), yang mendapatkan rata-rata konsentrasi CO dari hasil pemodelan TAPM untuk 10 ruas jalan di Jakarta lebih rendah dari hasil pemantauan, yaitu sebesar 0.68 mg/m3 untuk pemodelan dan 1.04 mg/m3 untuk pemantauan. Penelitian lainnya oleh Asmawi (1996) mendapatkan adanya perbedaan nyata emisi gas buang CO dengan kecepatan kendaraan, yaitu semakin rendah kecepatan kendaraan yang diperoleh maka emisi CO yang dikeluarkan semakin tinggi. Pada penelitian tersebut diperoleh, kecepatan kendaraan 20 km/jam menghasilkan emisi CO sebesar 9.7 kali lipat dari kecepatan 100 km/jam. Sedang pada kecepatan 80 km/jam menghasilkan emisi CO sebesar 1.5 kali lipat dari kecepatan 100 km/jam. Perbandingan konsentrasi NOx disajikan pada Gambar 19 (b). Didapatkan sebanyak 45 % hasil pemodelan NOx ≤ 2 kali dari hasil pemantauan roadside. Sedangkan melalui faktor pembatas yang lebih tinggi, sebanyak 57.5 % hasil pemodelan NOx ≤ 3 kali dari hasil pemantauan roadside dan 75 % hasil pemodelan NOx ≤ 4 kali dari hasil pemantauan roadside. Berdasarkan analisa tersebut, kecenderungan perbandingan konsentrasi NOx berada diatas perkiraan faktor pembatas (over-estimates), yaitu konsentrasi NOx yang dihasilkan dari pemodelan FLLS memiliki nilai lebih tinggi dari hasil pemantauan roadside (antara faktor 2-4). Hal ini disebabkan pada kecepatan rendah, kadar emisi NOx yang dihasilkan berbanding terbalik dengan CO, yaitu rendah dan berangsur-angsur meningkat secara bertahap sewaktu kendaraan dikemudikan pada kecepatan 40120 km/jam. Hal ini disebabkan kondisi tekanan tinggi dan temperatur tinggi akibat oksidasi udara-nitrogen di ruang pembakaran. Perbandingan konsentrasi NOx pemodelan dengan pemantauan juga dilakukan oleh Karppinen et al (2000b) yang membandingkan variasi rata-rata bulanan konsentrasi NOx hasil pengukuran dengan pemodelan UDM/CAR FMI pada empat
stasiun pemantauan tahun 1993 di wilayah metropolitan Helsinki. Pada perbandingan tersebut diperoleh hasil yang berbeda dengan penelitian kali ini. Didapatkan hasil pemodelan menunjukkan nilai lebih rendah (under prediction) dibandingkan pengukuran di empat stasiun kualitas udara, terutama stasiun Töölö (wilayah perkotaan) yang mencapai faktor 2-3. Beberapa alasan lainnya yang menyebabkan over prediction konsentasi NOx tersebut, yaitu letak stasiun pengamatan kualitas udara yang terletak dekat dengan persimpangan ruas lalu lintas sibuk, evaluasi untuk emisi lalu lintas dan dispersi atmosfer yang sulit dilakukan, lokasi pengamatan yang dikelilingi bangunan gedung tinggi, ketidakpastian dalam keakuratan dan pendahuluan dari data meteorologi yang digunakan dalam kondisi perkotaan, dan evaluasi mengenai konsentrasi background perkotaan dan wilayah. Selain itu variasi konsentrasi NOx juga dipengaruhi oleh parameter meterologi, kondisi dan tipe jalan, jenis aktivitas di sekitar jalan dan jumlah populasi penduduk suatu wilayah (Madany dan Danish, 1993; Qin dan Chan, 1993; Gotoh, 1993). Konsentrasi polutan NOx yang terukur di suatu wilayah dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kepadatan kendaraan pada suatu ruas jalan (Madany dan Danish, 1993). Bila dibandingkan dengan penelitian kali ini, kondisi hasil pemodelan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pemantauan juga diakibatkan karena letak stasiun pemantau kualitas udara roadside yang berdekatan dengan simpangan ruas jalan sibuk dekat bundaran air mancur Monas, yaitu Jl. Budi Kemuliaan dan Jl. Medan Merdeka Barat. Pengaruh lainnya juga diakibatkan oleh lokasi pengamatan dan perhitungan konsentrasi yang berada di wilayah perkotaan dengan bangunan gedung tinggi disekitar ruas Jl. M.H. Thamrin. Dimana efek ketinggian bangunan dapat mempengaruhi dispersi polutan yang pada akhirnya menimbulkan perbedaan konsentrasi polutan di titik downwind akibat terjadi pembentukan pola sirkulasi aliran udara yang kompleks. Selain itu melalui hasil perbandingan didapatkan, nilai rata-rata konsentrasi NOx hasil pemodelan sebesar 57.16 µg/m3 dan pemantauan roadside sebesar 29.09 µg/m3. Fluktuasi perbandingan nilai konsentrasi
38
NOx bulan Desember 2007 – April 2008 disajikan pada Lampiran (11). Konsentrasi NOx di permukaan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu gabungan polutan dari sumber dan/atau wilayah lain dan konsentrasi O3. Pendugaan konsentrasi NOx tergantung dari perhitungan konsentrasi O3. Pendugaan konsentrasi NOx dapat lebih nyata, bila konsentrasi background dari NOx dan O3 diketahui dengan benar. Hal ini berkaitan dengan reaksi kimia NOx di troposfer yang meliputi beberapa reaksi dasar dari oksigen dan campuran molekul background N2 serta O2 (M) melalui reaksi fotolisis. Ketika NO dan NO2 berada dalam paparan sinar matahari, pembentukan ozon terjadi sebagai hasil fotolisis NO2 pada panjang gelombang < 424 nm (Seinfeld dan Pandis, 2006): NO2 + hv Æ1 NO + O
(reaksi 1)
O + O2 + M Æ2 O3 + M
(reaksi 2)
Tidak ada sumber utama ozon di atmosfer selain berasal dari reaksi 2. Sekali terbentuk, O3 langsung bereaksi dengan NO menghasilkan NO2: O3 + NO Æ3 NO2 + O2
(reaksi 3)
Berdasarkan perhitungan melalui plot Quantile-Quantile, diperoleh validasi akurasi yang berbeda antara polutan CO dan NOx. Walaupun demikian, nilai validasi akurasi kedua polutan secara umum sudah diatas 50% dari total data berpasangan yang digunakan (ndata=40). Akurasi polutan hasil pemodelan dengan pemantauan roadside dapat lebih baik bila menambahkan beberapa titik reseptor dari segmen jalan dalam pemantauan di lapangan. Hal ini didasarkan pada kondisi meteorologi yang digunakan dalam pemodelan seringkali berubah-ubah baik spasial maupun temporal. Sehingga dengan menambahkan beberapa titik reseptor dihasilkan konsentrasi polutan yang benar-benar didasarkan pada kondisi meteorologi di titik tersebut (representatif) dan bila nantinya hasil pemodelan dibandingkan dengan pemantauan yang demikian, diharapkan diperoleh validasi akurasi yang lebih baik. Selain itu ruas Jl. M.H. Thamrin merupakan kawasan perkantoran dengan aktivitas lalu-lintas tinggi yang akhirnya berpengaruh besar terhadap konsentrasi polutan di udara. Hal ini dapat dipahami karena pada pemantauan roadside,
konsentrasi polutan terukur merupakan pengukuran emisi lalu-lintas kendaraan yang melintas di ruas Jl. M.H. Thamrin dan sekitarnya sehingga konsentrasi polutan yang terukur lebih tinggi. Akibatnya reseptor yang terkena paparan polutan di ruas Jl. M.H. Thamrin secara umum langsung berasal dari emisi kendaraan yang melintas. Sedangkan validasi akurasi yang lebih tinggi ditemukan ketika memprediksi pencemar CO dibandingkan dengan NOx. Hal ini sejalan dengan prinsip konservasi massa model FLLS, yang menyatakan laju aliran massa melalui setiap penampang aliran polutan sebanding dengan laju emisi sumber. Ini menunjukkan bahwa tidak adanya material polutan yang dipindahkan melalui reaksi kimia atau dengan kata lain ideal untuk polutan yang relatif stabil secara kimia. Kenyataannya diketahui bahwa CO merupakan polutan gas inert (stabil) Sedangkan dibandingkan dengan NOx. untuk polutan NOx mengalami perlakuan sebagai gas inert dalam pemodelan FLLS yang mengakibatkan akurasi pemodelan terhadap hasil pemantauan lebih tinggi dibandingkan polutan CO. Pencemar NOx merupakan salah satu polutan oksida nitrogen yang tidak stabil. Pada ruang pembakaran nitrogen (N2) tidak berasal dari bensin atau solar, tapi dari udara yang masuk ke dalam ruang pembakaran. Dalam kondisi normal, nitrogen tergolong senyawa inert yang stabil. Senyawa ini tidak mudah bereaksi dengan oksigen. Tapi jika mesin memanas, sifat inert ini tak lagi bisa dipertahankan. Dalam kondisi tekanan mampat dan temperatur tinggi, senyawa nitrogen akan terurai dan berikatan dengan oksigen menjadi NOx. Selanjutnya ketika berada di atmosfer NOx melalui proses fotokimia dengan segera diubah menjadi oksida NO maupun NO2 dan melepaskan gugusan atom oksigen O(1D) yang selanjutnya membentuk ozon bersamaan dengan oksigen dan prekusor sejumlah reaksi berantai fotokimia kedua (Seinfeld dan Pandis, 2006; Visconti, 2001). Kenyataannya diketahui bahwa bagian terbesar komposisi NOx dari hasil emisi kendaraan adalah NO dan sebagian kecil NO2. Padahal ketika memasuki atmosfer, komponen NO dan NO2 dapat berubah-ubah konsentrasi tergantung dari katalisator yang tersedia. Nitrat oksida (NO) yang diemisikan dari kendaraan bermotor diubah menjadi NO2 ketika terdifusi ke udara akibat
39
ketersediaan ozon yang besar. Sedangkan nitrogen dioksida (NO2) melalui poses fotodissosiasi diubah menjadi bentuk NO dan atom oksigen. Akibatnya NOx memiliki kesetimbangan semu ketika berada di atmofer yang berimplikasi berubah-ubahnya konsentrasi NO dan NO2 sepanjang waktu. Hal lain yang mendukung nilai akurasi CO lebih tinggi dibandingkan akurasi NOx adalah dengan melihat hubungan antara hasil pemodelan FLLS terhadap observasi, yang dinyatakan sebagai nilai koefisien korelasi (r). Semakin besar nilai r (maksimum 1) maka semakin kuat hubungan hasil pemodelan FLLS dengan hasil observasi. Didapat nilai r untuk polutan CO sebesar 0.63, sedangkan untuk polutan NOx, nilai r yang dihasilkan lebih rendah, yaitu 0.06. Hal ini menegaskan bahwa pemodelan FLLS lebih cocok untuk diterapkan pada polutan yang stabil secara kimia (inert) dibandingkan polutan yang cenderung berubah-ubah konsentrasinya karena reaksi kimia di atmosfer, sebagaimana prinsip penggunaan konservasi massa dalam pemodelan FLLS yang menyatakan diabaikannya reaksi kimia dalam pemodelan. Kualitas udara ambien (fixed station) wilayah terdekat dengan Jl. M.H. Thamrin diukur di stasiun JAF 5 ynag terletak di wilayah Senayan. Berdasarkan hasil pemantauan, kualitas udara ambien JAF 5 untuk nilai rata-rata harian masih memenuhi baku mutu udara ambien pengukuran 24 jam, yaitu 9 mg/m3 untuk CO dan 92.5 µg/m3 untuk NOx. Konsentrasi CO bernilai maksimum tanggal 24 Maret 2008 pada pukul 11:00-12:00 dengan nilai sebesar 1.93 mg/m3. Sedangkan untuk parameter NOx, konsentrasinya bernilai maksimum tanggal 18 Februari 2008 pada pukul 06:00-07:00 dengan nilai sebesar 43.87 µg/m3. Sedangkan bila melihat fluktuasi konsentrasi CO dan NOx antar bulan pengamatan, diperoleh pola serupa dengan pemantauan roadside, yaitu meningkat pada pagi hari dan mencapai puncak pada jamjam sibuk dan kemudian turun menjelang siang harinya (Lampiran 12 dan 13). Ratarata puncak konsentrasi CO dan NOx di stasiun JAF 5 selama waktu pengamatan terjadi pukul 06:00-08:00. Walaupun fluktuasi harian polutan CO dan NOx pada pemantauan JAF 5 serupa dengan pemantauan roadside di ruas Jl. M.H. Thamrin pada masing-masing bulan, tidak berarti konsentrasi polutan ambien di JAF 5 dapat menggambarkan seluruh kadar
konsentrasi polutan roadside. Hal ini disebabkan letak stasiun JAF 5 yang jauh dari lokasi pengamatan sumber garis kajian yang mencapai ± 5.95 km. Serta indikasi gabungan polutan dari berbagai sumber wilayah lain yang telah terdispersi menjadi bernilai lebih tinggi akibat proses fisik dan kimia di atmosfer. Hal tersebut menjadi wajar mengingat penempatan stasiun JAF 5 diperuntukkan sebagai lokasi pengukuran kualitas udara ambien wilayah komersil (Pusparini, 2005). Begitu pula sebaliknya, pemantauan kualitas udara ambien roadside tidak bisa menggambarkan kualitas udara ambien di stasiun JAF 5 karena konsentrasi polutan yang terukur merupakan konsentrasi yang berasal langsung dari lalu-lintas kendaraan melintas di ruas Jl. M.H. Thamrin. Secara umum konsentrasi CO dan NOx hasil pemantauan ambien stasiun JAF 5 lebih besar dari hasil pemantauan yang diperoleh dari roadside. Didapatkan nilai rata-rata CO hasil pemantauan ambien stasiun JAF 5 sebesar 1.83 mg/m3 dan 0.82 untuk pemantauan roadside. mg/m3 Sedangkan rata-rata untuk konsentrasi NOx, hasil pemantauan ambien stasiun JAF 5 sebesar 29.09 µg/m3 dan 16.87 µg/m3 hasil pemantauan roadside. 4.7 Konsentrasi Polutan Sumber Garis pada Berbagai Kondisi Stabilitas dan Kecepatan Angin Pendugaan konsentrasi polutan dalam pemodelan FLLS membutuhkan beberapa masukan parameter utama, diantaranya kecepatan angin dan stabilitas atmosfer. Kecepatan angin diperlukan sebagai parameter input dalam menentukan kondisi stabilitas atmosfer wilayah kajian. Sedangkan kondisi stabilitas atmosfer diperlukan untuk mengestimasi standar deviasi kepulan polutan dari pusat kepulan sesaat setelah dikeluarkan dari sumber emisi. Standar deviasi kepulan atau parameter dispersi selain ditentukan melalui kondisi stabilitas atmosfer juga merupakan fungsi dari jarak arah mata angin dan standar deviasi komponen vertikal-horizontal angin (Irwin, 1982). Sedangkan bila antar fluktuasi arah angin membentuk sudut yang kecil dapat menggunakan bentuk intensitas turbulensi seperti pada model dispersi UDMFMI (Karppinen et al, 2000a). Secara empiris melalui pemodelan FLLS, arah angin diposisikan tegak lurus
40
terhadap sumber emisi dan bergerak dalam arah sumbu x serta terdispersi hanya pada sumbu z. Pada pemodelan ini, tidak terdapat standar deviasi horizontal tegak lurus terhadap arah angin (σy) seperti halnya pemodelan sumber titik. Hal ini disebabkan sepanjang sumbu y yang berfungsi sebagai segmen dan link jalan dalam pemodelan mengemisikan polutan secara kontinu dan konstan. Sehingga konsentrasi polutan akan seragam pada arah y seperti yang digambarkan pada Gambar 5. Selanjutnya untuk memudahkan analisis data dalam membedakan besarnya konsentrasi polutan berdasarkan besarnya jarak downwind, maka dilakukan pembagian kecepatan angin menjadi 3 jenis dalam setiap stabilitas atmosfer, yaitu 0.81 m/s; 2.11 m/s; dan 3.41 m/s. Pembagian kecepatan angin demikian disesuaikan dengan kecepatan angin yang diperoleh dari hasil pengukuran yang berkisar 0 m/s hingga 3.61 m/s. Pembagian kriteria kecepatan angin dibutuhkan untuk mengetahui secara rinci besarnya perbedaan konsentrasi polutan pada setiap kondisi stabilitas dan jarak downwind. Ditentukan pula jarak downwind sebesar 0 – 3,600 m dari sumber emisi. Pendugaan konsentrasi dalam pemodelan FLLS dilakukan menggunakan program visual basic untuk mengetahui sampai nilai terkecil. Visualisasi hasil secara keseluruhan disajikan pada Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20, pada kondisi stabilitas atmosfer yang sama terlihat semakin tinggi kecepatan angin berhembus maka konsentrasi polutan CO yang dihasilkan semakin rendah. Didapat untuk kecepatan angin 0.81 m/s; 2.11 m/s; dan 3.41 m/s pada stabilitas sangat tidak kuat konsentrasi maksimum yang terukur masingmasing sebesar 0.0989 mg/m3; 0.0380 mg/m3; dan 0.0235 mg/m3. Sedangkan pada stabilitas tidak stabil sedang dan sedikit tidak stabil, nilai konsentrasi maksimum yang diperoleh juga sama besar dengan kondisi stabilitas sangat tidak kuat. Bila konsentrasi maksimum yang dihasilkan kemudian dihubungkan dengan jarak pada saat polutan mencapai konsentrasi maksimum, terlihat bahwa jarak konsentrasi maksimum meningkat bersamaan dengan bertambahnya kondisi stabil atmosfer. Besarnya jarak konsentrasi maksimum untuk stabilitas sangat tidak kuat, sedang, dan lemah masing-masing sebesar 443 m, 919 m, dan 1720 m.
a
b
c
Gambar 20. Konsentrasi CO sebagai fungsi jarak dan kecepatan angin pada kondisi stabilitas atmosfer, (a) sangat tidak kuat; (b) tidak stabil sedang; dan (c) sedikit tidak stabil Pada kondisi stabilitas atmosfer yang sama, konsentrasi polutan maksimum mengalami penurunan bersamaan denganbertambahnya kecepatan angin. Pada kecepatan angin yang rendah proses difusi polutan memegang peranan dominan dalam penyebarannya. Difusi merupakan sifat alamiah dari molekul yang terjadi karena tiap molekul tersebut memiliki energi kinetik untuk terus bergerak dengan bebas, cepat dan acak akibatnya molekul-molekul tersebut saling bertabrakan dan terdistribusi merata pada setiap bagian dimana polutan tersebut dilepaskan. Ekspresi matematika untuk kasus tersebut diberikan sebagai laju massa difusi
41
yang berlawanan terhadap konsentrasi polutan pada masing-masing luasan elemen penampang. Melalui hukum fick pertama yang menyatakan bahwa flux difusi sebanding dengan gradien konsentrasi dan konsentrasi difusi dengan arah pergerakan yang berlawanan dengan gradien konsentrasi. Maka dapat dituliskan sebagai bentuk (dalam arah sumbu x):
__(14) Terlihat melalui ekspresi matematika di atas, pergerakan molekul polutan yang dinyatakan sebagai laju konsentrasi polutan selain dinyatakan sebagai koefisien difusi juga dinyatakan sebagai perbedaan konsentrasi yang berubah menurut arah pergerakannya. Sehingga pergerakan molekul polutan lebih banyak dilakukan oleh proses difusi antar molekul polutan itu sendiri. Hal yang menarik dari persamaan 14 di atas dan hukum ficks pertama adalah nilai fluks (konsentrasi polutan) selalu bernilai positif, walaupun dari hasil perhitungan selalu didapatkan hasil negatif. Hal ini disebabkan pergerakan difusi molekul polutan merupakan pergerakan berlawanan terhadap gradien konsentrasi. Karena proses difusi merupakan pergerakan antar molekul polutan itu sendiri, maka waktu yang dibutuhkan untuk mengencerkan suatu polutan semakin lama. Akibatnya konsentrasi polutan yang terukur relatif tinggi. Berbeda halnya dengan kecepatan angin rendah, pada kecepatan angin yang tinggi proses penyebaran polutan lebih didominasi oleh pergerakan udara sekitar atau adveksi. Ekspresi matematika untuk kasus ini dinyatakan sebagai bentuk:
__(15) Melalui persamaan (15) terlihat laju perubahan konsentrasi polutan selain dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi polutan persatuan jarak tempuh polutan juga akibat pergerakan massa udara yang bercampur bersama polutan untuk bergerak lebih aktif dengan massa udara sekitar. Akibatnya proses difusi polutan dapat diabaikan dalam perbandingannya terhadap proses adveksi polutan itu sendiri. Sebagai
hasil konsentrasi polutan yang dihasilkan bernilai jauh lebih rendah akibat proses adveksi pada kecepatan angin yang tinggi. Sehingga secara umum dapat dijelaskan bahwa angin merupakan media yang efektif dalam perpindahan dan pengenceran polutan di atmofer, karena pergerakan polutan selain disebabkan perbedaan konsentrasi antar molekul polutan sendiri juga pengaruh dari pergerakan parsel udara. Penelitian terkait tentang pengaruh kecepatan angin terhadap konsentrasi polutan dilakukan oleh Hakiki (2008) yang meneliti konsentrasi SOx dari sumber cerobong industri. Didapatkan konsentrasi SO2 bernilai tinggi pada kondisi atmosfer sangat stabil terutama untuk kecepatan 0 – 0.5 m/s. Sedangkan pada saat kecepatan angin tinggi, konsentrasi SO2 yang terhitung lebih rendah, seperti pada kecepatan angin dan antara 1 – 1.5 m/s. Sedangkan pada kecepatan angin yang sama dengan kondisi stabilitas atmosfer yang berbeda (kondisi sangat tidak kuat hingga sedikit tidak stabil), konsentrasi yang terukur menurun secara perlahan dan terjadi peningkatan jarak konsentrasi maksimum. Pada kondisi atmosfer sangat tidak kuat, terjadinya konsentrasi maksimum lebih rendah dibandingkan dengan kondisi stabilitas lainnya. Hal ini disebabkan karena pada kondisi atmosfer tidak stabil umumnya terjadi pada saat pergantian siklus diurnal, yaitu pada awal pagi atau menjelang malam (Seinfeld dan Pandis, 2006). Pada kondisi demikian, terjadi perbedaan energi antara lapisan massa udara di atas dengan massa udara dekat permukaan. Polutan yang diemisikan pada kondisi stabilitas atmosfer demikian mengalami pergerakan ke atas sebagai akibat pengaruh perbedaan energi dan gaya apung (buoyant) yang dimilikinya. Bila polutan tersebut bergerak turun, maka polutan mengalami peningkatan temperatur dengan temperatur yang masih lebih dingin dibandingkan udara sekitarnya. Akibatnya terjadi pergerakan massa udara bercampur polutan yang tidak teratur mengakibatkan polutan didispersikan secara cepat akibat pencampuran konvektif massa udara sekitar dengan polutan. Sehingga dihasilkan konsentrasi polutan yang lebih rendah pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil dibanding kondisi stabil. Kaitannya terhadap jarak konsentrasi maksimum yang jatuh lebih dekat pada kondisi atmosfer sangat tidak kuat dibandingkan kondisi atmosfer lainnya dapat merujuk kembali kepada persamaan
42
matematis FLLS dan Gambar 20, yang memperlihatkan konsentrasi polutan sepanjang downwind akan mencapai nilai maksimum pada jarak downwind tertentu sebelum akhirnya berkurang menuju nol pada jarak downwind yang jauh. Pada pemodelan FLLS, jarak konsentrasi maksimum dari sumber emisi terjadi pada saat dimana, __(16) yaitu parameter dispersi vertikal sebanding dengan ketinggian efektif kepulan polutan. Seperti yang telah diketahui nilai parameter dispersi tergantung pada jarak reseptorsumber emisi dan stabilitas atmosfer. Semakin stabil kondisi stabilitas atmosfer, maka nilai parameter dispersi semakin rendah. Hal ini dapat dibuktikan dengan merujuk kembali kurva koefisien dispersi vertikal dan horizontal Pasquill – Gifford (Gambar 7), yang bernilai rendah pada jarak downwind yang sama dengan kondisi stabilitas atmosfer berbeda. Selain dipengaruhi secara langsung oleh parameter dispersi, perbedaan kejadian jarak konsentrasi maksimum antar stabilitas atmosfer ini juga disebabkan oleh topografi wilayah kajian merupakan daerah urban yang memiliki banyak bangunan sehingga akan semakin bergolak karena menabrak bangunan-bangunan tersebut dan membuat suhu udara sekitar akan semakin meningkat. Sehingga mengakibatkan kondisi udara semakin tidak stabil dibandingkan tipe daerah lainnya mengakibatkan secara tidak langsung nilai parameter dispersi akan semakin besar. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Karppinen et al (2000a), yang menyebutkan parameter dispersi wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan wilayah pedesaan. Lebih lanjut dijelaskan, hal ini disebabkan kekasapan permukaan wilayah perkotaan yang mempertinggi aliran turbulensi pada bagian puncak gedung dibandingkan lapisan udara dekat permukaan yang cenderung membentuk aliran laminar. Penelitian serupa konsentrasi maksimum searah angin (downwind) juga dilakukan oleh Hakiki (2008) untuk polutan SOx dari sumber titik (cerobong industri).
Didapatkan pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil, konsentrasi maksimum SO2 yang dihasilkan terjadi pada jarak yang lebih dekat dibandingkan kondisi stabil. Kondisi atmosfer tidak stabil menguntungkan dalam pendispersian polutan, karena kemampuan stabilitas atmosfer dan kecepatan angin yang lebih cepat (gaya buoyant memperkuat gaya ke atas) dalam mendispersikan polutan ke lingkungan sekitar, sehingga konsentrasi polutan yang terukur setelah titik kritis (konsentrasi maksimum) lebih rendah dan cepat dideposisikan, mengakibatkan reseptor tidak mengalami paparan konsentrasi pencemar polutan dalam jumlah besar. Sedangkan pada kondisi atmosfer stabil, gaya buoyancy berlawanan arah dengan gaya ke atas, mengakibatkan massa udara yang mengalami pengangkatan sampai ketinggian tertentu akan turun kembali (Gambar 1b). Hal ini jelas membahayakan reseptor karena polutan yang tadinya terangkat bersamaan dengan massa udara sekitar kembali turun dengan konsentrasi yang masih tinggi. Kondisi atmosfer stabil tidak menguntungkan dalam pendispersian polutan, karena reseptor akan menerima paparan konsentrasi pencemar polutan yang relatif tinggi Penelitian serupa tentang penentuan jarak dan konsentrasi maksimum juga telah dilakukan dilakukan oleh Stull dan Ainslie (2006) yang mendapatkan konsentrasi maksimum selama kondisi konveksi bebas (kondisi stabil) dibawah nilai X = 2 pada model AERMOD. Parameter X merupakan jarak downwind tanpa satuan, yang diperoleh dengan membandingkan kecepatan konvektif dan jarak arah angin terhadap kecepatan angin dan ketinggian lapisan batas atmosfer rata-rata. Sharan et al (1995) menggunakan persamaan Gaussian untuk menghitung pada semua konsentrasi relatif stabilitas atmosfer berdasarkan kecepatan angin, sumber emisi dan koordinat spasial. Didapatkan konsentrasi relatif menurun terhadap ketinggian pada semua kondisi stabilitas. Lebih lanjut, konsentrasi dekat permukaan meningkat dari kondisi stabilitas atmosfer tidak stabil hingga kondisi stabil.
43
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Analisa simulasi model FLLS di ruas Jl. M.H. Thamrin menunjukkan, nilai emisi maksimum CO terjadi pada hari kerja, yaitu pada pukul 08:00-09:00 sebesar 53.65 mg/m.s dengan nilai konsentrasi CO maksimum terjadi pada tanggal 24 Maret 2008 pukul 06:00-07:00 sebesar 3.19 mg/m3. Nilai konsentrasi CO tersebut secara umum masih dibawah nilai baku mutu udara ambien untuk pengukuran 24 jam (9 mg/m3). Hal ini mengindikasikan bahwa konsentrasi CO dalam waktu paparan 24 jam masih dalam kondisi yang aman bagi kesehatan manusia. Sedangkan untuk nilai emisi maksimum NOx, terjadi pada hari kerja sebesar 3.87 mg/m.s dengan nilai konsentrasi NOx maksimum terjadi pada tanggal 24 Maret 2008 pukul 06:00-07:00, sebesar 235.31 µg/m3. Nilai konsentrasi NOx tersebut secara umum sudah berada di atas nilai baku mutu udara ambien untuk pengukuran 24 jam (92.5 µg/m3). Hal ini mengindikasikan bahwa konsentrasi NOx dalam waktu paparan 24 jam sudah dalam kondisi yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Pengujian dan analisa validasi akurasi melalui perbandingan hasil pemodelan dengan data pemantauan menjabarkan sebanyak 55 % hasil pemodelan ≤ kali dari hasil pemantauan roadside dengan nilai ratarata konsentrasi CO hasil pemodelan sebesar 0.81 mg/m3 dan pemantauan sebesar 1.83 mg/m3. Sedangkan perbandingan yang lebih rendah diperoleh dari polutan NOx, yaitu sebanyak 45 % hasil pemodelan ≤ 2 kali dari hasil pemantauan dengan nilai rata-rata
konsentrasi NOx hasil pemodelan sebesar 57.16 µg/m3 dan pemantauan sebesar 29.09 Sehingga penggunaan validasi µg/m3. perbandingan lebih cocok diterapkan pada polutan inert seperti CO. Pada kondisi stabilitas atmosfer yang sama, semakin tinggi kecepatan angin berhembus maka konsentrasi polutan CO yang dihasilkan semakin rendah. Didapat untuk kecepatan angin 0.81 m/s; 2.11 m/s; dan 3.41 m/s pada stabilitas sangat tidak kuat, konsentrasi maksimum yang terukur pada masing-masing kecepatan angin sebesar 0.0989 mg/m3; 0.0380 mg/m3; dan Sedangkan pada nilai 0.0235 mg/m3. kecepatan angin yang sama, semakin stabil kondisi stabilitas atmosfer maka downwind konsentrasi maksimum yang dicapai semakin jauh. Didapat pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil, downwind konsentrasi maksimum terjadi pada jarak 443 m disusul kondisi tidak stabil sedang dan sedikit tidak stabil masing-masing sebesar 919 m dan 1720 m. 5.2 Saran 1. Pada pengembangan model sumber garis selanjutnya perlu dipertimbangkan reaksi kimia untuk polutan yang bersifat tidak stabil secara kimia (non-inert). 2. Validasi konsentrasi polutan dapat lebih representatif bila menambahkan beberapa titik reseptor dari segmen jalan dalam pemantauan dan pengukuran langsung di lapangan. 3. Penerapan Mass Rapid Transport (MRT) mutlak diperlukan untuk mengurangi laju pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta dan pencemaran udara yang ditimbulkannya.
44
DAFTAR PUSTAKA Arya, S.P. 1999. Air Pollution Meteorology and Dispersion. Oxford University. New York. Asmawi, A.D. 1996. Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor: Suatu Eksperimen Penggunaan Bahan Bakar Minyak Solar dan Substitusi Bahan Bakar Minyak Solar-Gas. [Tesis]. Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia, Jakarta. Benson, P.E. 1979. CALINE3 - A Versatile Dispersion Model for Predicting Air Pollutant Levels Near Highways and Arterial Streets. California Department of Transportation. Report No. FHWA/CA/TL-79/23. Benson, P.E., 1992. A Review of the Development and Application of the CALINE-3 and CALINE-4 Models. Atmospheric Environment 26B (3), 379-390. Botkin, D.B. dan Keller E.A. 2005. Environmental Science: Earth as a Living Planet. John Wiley & Sons. USA. [BPLHD] Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup DKI Jakarta. 2006. Pemantauan Kualitas Udara Ambien Tahun 2006. Brimblecombe, P. 1986. Air Compotition and Chemistry. Cambridge University Press. Great Britain. Broderick, B., Budd, U., Misstear, B., Jennings, G., dan Ceburnis, D. 2006. Air Pollution – analysis of Air Dispersion Models for Irish Road Conditions. Synthesis Report. Ireland. Calder, K.L., 1973. On Estimating Air Pollution Concentrations From a Highway in an Oblique Wind. Atmospheric Environment 7, 863-868. Connel, D.W. 2005. Basic Concepts of Environmental Chemistry, 2nd ed. Taylor and Francis. USA. 253-275 pp Cooper, D.C. dan Alley F.C. 1994. Air Pollution Control. Waveland Press, Inc. Illinois. de Nevers, N. 1995. Air Pollution Control Engineering. McGraw-Hill, Inc. New York. 507 pp. Dilley, J.F. dan Yen, K.T. 1971. Effect of Mesoscale Type Wind on the Pollutant Distribution From a Line Source. Atmospheric Environment 5. 843851.
Forsdyke. 1970. Meteorological Factors in Air Pollution. Technical note No. 114. WMO. Geneva. Switzerland. 3-5 pp. Hakiki, M. 2008. Pendugaan Konsentrasi SO2 Permukaaan menggunakan model Gaussian (Studi Kasus PT. YIMM, Jakarta). [Skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, Institut pertanian Bogor. Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Bab IV Suhu Udara. Dalam Handoko, editor. Balai Pustaka. Jakarta. 37-50 pp. Hesketh, H.E. 1979. Air Pollution Control. Ann Arbor Science Publishers Inc. Michgian. USA. 24-75 pp Hill, M.K. 2006. Understanding Environmental Pollution, 2nd ed. Cambridge University Press. United Kingdom. Irwin, J.S. Estimating Plume Dispersion- A Comparison of Several Sigma Schemes. Journal of Climate and Apllied Meteorology. 22. 92 – 114. Jin, H. dan Raman, S. 1995. Dipersion of an Elevated Release in a Coastal Region. J. Appl. Meteor. 35. 1611-1624 pp. Karakitsios, S.P., Dellis V.K., Kassomenos P.A, dan Pilidis G.A. 2006. Contribution to ambient Benzene Concentrations in the Vicinity of Petrol Stations: Estimation of the Associated Health Risk. Elsevier. Karppinen, A., Joffre, S. M., dan Kukkonen, J. 2000a. The Refinement of a Meteorological Preprocessor fot the urban Environment. Atmospheric Environmental. 14. 1 – 6. Karppinen, A., Kukkonen, J., Elolähde, T., Konttinen, M., Koskentalo, T., dan Rantakrans, E. 2000b. A modelling System for Predicting Urban Air [Pollution: Comparison of Model Predictions with the Data of an Urban Measurement Network Helsinki. Atmospheric Environmental. 34. 3735-3743. [KLH Indonesia] Kantor Lingkungan Hidup Indonesia. Status Lingkungan Hidup Indonesia. 2002. Bab III Udara dan Atmosfer. 32-55 pp. [KLH Indonesia] Kantor Lingkungan Hidup Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Jakarta.
45
[KLH Indonesia] Kantor Lingkungan Hidup Indonesia. Pedoman Faktor Emisi Kendaraan. 2007. Jakarta. Liu dan Lipták. 2000. Air Pollution. Lewis Publisher. New York. 41-47 pp. Madany, I.M. dan Danish, S. 1993. Spatial and Temporal Patterns in Nitrogen Dioxide Concentrations in a Hot Desert Region. Atmospheric Environment. 27A. 2385-2391. Modern Pollution Control Technology, Vol. 1. 1980. Research and Education Association. Madison Avenue. New York. 1.1 – 8.2 pp. Nagendra, S.M.S dan Khare, M. 2002. Line Source Emission Modelling. Department of Civil Engineering. India Institute of Technology. Hauz Khas. New Delhi. India Nasstrom, J.S, Sugiyama, G., Leone, J.M., dan Ermak, D.L. 1999. A Real-Time Atmospheric Dispersion Modelling System. U.S Department of Energy. USA. Oke, T.R. 1987. Boundary Layer Climates. Routhledge. London. Pasquill, F. 1974. Atmospheric Diffusion, 2nd ed. Ellis Horwood Ltd. Chichester. England. 365 – 380 pp. Paumier, J.O, Steven G. Perry, dan Dona J. Burns. 1992. CTDMPLUS: A Dispersion Model for Sources Near Complex Topography. Part II: Performance Characteristics. J. Apll. Meteor. 31. 646-660. [PDAT] Pusat Data dan Analisis Tempo. 2004. Transportasi Kota. http://www.pdat.co.id/hg/political_pda t/2006/03/17/pol,20060317-01,id.html [12 Maret 2008]. Purwanto, E. 2001. The Cost Benefit Analysis Air Pollution Control Program for Vehicle in Indonesia Case Study. [Thesis]. University Environmental Engineering and Management. Technische Universität Graz. Pusparini, M. 2002. Evaluasi Tingkat Pencemaran Udara Berdasarkan Konsentrasi Udara Ambien di DKI Jakarta. [Skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, Institut pertanian Bogor. [PPPPL] Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkotaan dan Lingkungan, DKI Jakarta. 1990. Studi Pola Penyebaran Udara di DKI Jakarta. 30-32 pp. Qin, Y. dan Chan L.Y . 1993. Traffic Source Emission and Street Level Air
Pollution in Urban Areas of Guangzhou, South China (P.R.C). Atmospheric Environment. 27B. 275282. Satria, N. 2006. Pendugaan Konsentrasi Karbonmonoksida (CO) dari Sumber Garis (Transportasi) Menggunakan Box-Model “Street Canyon”. [Skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, Institut pertanian Bogor. Seinfeld, J.H. 1986. Atmospheric Chemistry and Physics, 1st ed. John Wiley & Sons. USA. Seinfeld, J.H. dan Pandis, S.N. 2006. Atmospheric Chemistry and Physics: From Air Pollution to Climate Change, 2nd ed. John Wiley & Sons. USA. Septiyanzar, R.A. 2008. Analisia Trayektori Polutan Udara dari Sumber Garis di Kota Jakarta Menggunakan The Air Polution Model (TAPM). [Skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, Institut pertanian Bogor. Sharan, M., Yadav, A. K., Singh, M. P., Agarwal, P., dan Nigam, S. 1995. A Mathematical Model for The Dispertion of Air Pollutants in Low Wind Conditions. Center for Atmospheric Sciences. Indian Institute Technology. New Delhi. India. Shir, C.C. dan Shieh L.J. 1974. A generalized Urban Air Pollution Model and Its Application to the Study of SO2 Distributions in the St. Louis Metropolitan Area. J. Appl. Meteor. 13. 185-204. Stull, R. dan Ainslie, B. 2006. A Simple Model for Pollution Dispersion in a Convective Boundary Layer. J. Appl. Climate and Meteor. 45. 1727-1743. Sumaryati. 2007. Penetapan Beban Emisi Maksimum CO di Kawasan Industri Dayeuh Kolot. [Tesis]. Program Studi Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. Visconti, G. 2001. Fundamentals of Physics and Chemistry of the Atmosphere. Springer-Verlag. Germany. Waco, D. 1970. A Statistical Analysis of Wind and Temperature Variables Associated with High Altitude Clear Air Turbulance. J. Appl. Meteor. 9. 300-320. Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi. Yogyakarta.
46
Lampiran 1. Aplikasi dan batasan model pada model sumber garis terpilih berdasarkan tahun perkembangannya No. Model Aplikasi Batasan Model Tipe Polutan Lokasi Reseptor; Tipe Lalu Lintas 1. California Kecenderungan memprediksi CO, NOx, Roadside; Line Source SPM Homogen konsentrasi polutan tinggi searah Model angin; Tidak diukur efek kepulan (1972) polutan akibat suhu tinggi pada gas buangan kendaraan. 2. HIWAY-1 CO Roadside; Prediksi lemah pada kecepatan angin (1975) Homogen lemah; Over-estimates konsentrasi polutan pada kondisi atmosfer stabil dan searah angin; Tidak diukur efek kepulan polutan akibat suhu tinggi pada gas buangan kendaraan. 3. CALINE-2 CO, NOx, SPM Roadside; Prediksi lemah pada stabilitas netral (1977) Homogen dan tidak stabil; Over-predicts konsentrasi polutan pada kasus searah angin dan dibawah prediksi untuk kondisi angin sembarang. 4. GM Model CO Roadside; Kecenderungan over-predicts (1978) Homogen konsentrasi pada kondisi searah angin; Prediksi lemah pada kecepatan angin lemah. 5. CALINE-3 CO, NOx, Roadside; Kecenderungan memprediksi (1979) SPM Homogen konsentrasi tinggi pada kondisi searah angin; Tidak diperhitungkannya turbulensi termal dan mekanik akibat gas buangan kendaraan. 6. HIWAY-2 CO Roadside; Parameter dispersi yang tidak (1980) Homogen mencukupi; Tidak diukur efek kepulan polutan akibat suhu tinggi pada gas buangan kendaraan. 7. HIWAY-3 CO Roadside; Prediksi lemah pada kecepatan angin (1980) Homogen lemah; Kecenderungan memprediksi konsentrasi tinggi pada kondisi searah angin; Tidak diukur efek kepulan polutan akibat suhu tinggi pada gas buangan kendaraan. 8. HIWAY-4 CO Roadside; Kecenderungan memprediksi (1980) Homogen konsentrasi tinggi pada kondisi searah angin; Tidak diukur efek kepulan polutan akibat suhu tinggi pada gas buangan kendaraan. 9. CALINE-4 CO, NOx, Roadside; Kecenderungan memprediksi (1989) Aerosol Homogen konsentrasi tinggi pada kondisi searah angin. 10. ISCST-2 CO, NOx, Roadside; Tidak diperhitungan turbulensi (1992) SPM Homogen akibat panas dari gas buangan Sumber: Nagendra dan Khare (2002)
47
Lampiran 2. Volume lalu lintas Jl. M.H. Thamrin Lokasi pengamatan: Depan Gedung ESDM (Jl. M.H. Thamrin) Volume lalu lintas hari kerja
Pukul 06:00‐07:00 07:00‐08:00 08:00‐09:00 09:00‐10:00 10:00‐11:00 11:00‐12:00 12:00‐13:00 13:00‐14:00 14:00‐15:00
Motor 2 tak 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Motor 4 tak 336 1020 1099 853 792 693 530 802 678
Jenis Kendaraan Mobil Mobil Bus/Truk Bus/Truk Total (Bensin) (Solar) Besar Sedang 10 menit 199 90 3 8 636 218 85 17 22 1362 401 156 19 15 1690 363 169 14 13 1412 455 211 9 14 1481 416 198 2 2 1311 366 183 4 5 1088 227 107 4 3 1143 484 213 16 11 1402
Total 1 Jam 3816 8172 10140 8472 8886 7866 6528 6858 8412
Jenis Kendaraan Mobil Mobil Bus/Truk Bus/Truk Total (Bensin) (Solar) Besar Sedang 10 menit 119 63 21 1 312 108 61 22 0 346 191 84 24 7 541 291 161 35 11 738 218 98 25 8 618 273 145 4 4 619 343 183 4 4 763 440 241 7 4 952 461 239 5 8 923
Total 1 Jam 1872 2076 3246 4428 3708 3714 4578 5712 5538
Volume lalu lintas hari libur
Pukul 06:00‐07:00 07:00‐08:00 08:00‐09:00 09:00‐10:00 10:00‐11:00 11:00‐12:00 12:00‐13:00 13:00‐14:00 14:00‐15:00
Motor 2 tak 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Motor 4 tak 108 155 235 240 269 193 229 260 210
48
Lampiran 3. Data kualitas roadside dan fixed station Tanggal
Pukul
Fixed monitoring (JAF 5) CO (mg/m3) NOx (µg/m3) 0.52 25.58 0.65 33.85 0.55 25.92 0.48 32.22 0.48 11.26 0.42 14.16 0.36 18.41 0.37 17.3
Roadside CO (mg/m3) NOx (µg/m3) 0.85 30.97 1.74 62.66 2.33 71.73 1.97 46.37 1.26 31.17 1.29 44.93 1.29 50.05 1.18 44.96
06:00-07:00 07:00-08:00 08:00-09:00 09:00-10:00 10:00-11:00 11:00-12:00 12:00-13:00 13:00-14:00
21 Jan. 2008
06:00-07:00 07:00-08:00 08:00-09:00 09:00-10:00 10:00-11:00 11:00-12:00 12:00-13:00 13:00-14:00
1.76 0.53 0.41 0.59 0.57 0.46 0.34 0.34
39.45 40.72 26.38 12.86 6.89 4.49 7.59 10.58
1.92 2.27 2.31 1.49 1.13 1.17 0.83 0.19
53.6 49.04 20.82 15.73 30.16 30.52 22.3 5.28
18 Feb. 2008
06:00-07:00 07:00-08:00 08:00-09:00 09:00-10:00 10:00-11:00 11:00-12:00 12:00-13:00 13:00-14:00
0.68 0.78 0.62 0.43 0.32 0.27 0.31 0.59
43.87 36.45 19.17 11.25 7.79 3.27 3.74 5.56
0.84 2.4 3.01 2.39 2.01 1.64 1.16 1.13
19.51 39.7 42.14 29.12 30.64 29.2 15.02 15.02
24 Mar. 2008
06:00-07:00 07:00-08:00 08:00-09:00 09:00-10:00 10:00-11:00 11:00-12:00 12:00-13:00 13:00-14:00
1.13 1.14 1.62 1.75 1.68 1.93 1.37 1.04
20.63 22.31 12.42 9.72 5.65 3.68 5.29 12.5
3.66 4.39 4.16 3.5 2.49 2.15 0.95 1.21
2.86 4.59 11.88 17.33 14.04 11.04 5.93 4.52
21 Apr. 2008
06:00-07:00 07:00-08:00 08:00-09:00 09:00-10:00 10:00-11:00 11:00-12:00 12:00-13:00 13:00-14:00
1.07 1.43 1.51 1.21 1.03 0.89 0.7 0.62
28.51 31.57 27.45 11.92 6.07 5.14 5.3 7.86
2.89 2.12 1.57 2.36 1.94 0.97 0.59 0.48
68.29 46.63 26.19 33.3 37.73 30.8 9.99 7.9
24 Des. 2007
49
Lampiran 4. Data meteorologi pada hari kerja di ruas Jl. M.H. Thamrin
Tanggal
Pukul
Parameter Meteorologi Suhu RH Kec. Angin Udara (0C) (%) (m/s) 25.28 86.39 1.85 25.21 85.91 2.24 25 90.19 2.27 24.81 92.92 1.57 24.98 90.62 1.77 25.68 83.12 1.86 26.02 79.67 1.89 26.24 77.67 1.97
Arah Angin (0) 260.57 263.80 254.62 261.12 266.72 258.20 256.39 259.79
24 Des. 2007
06:00-07:00 07:00-08:00 08:00-09:00 09:00-10:00 10:00-11:00 11:00-12:00 12:00-13:00 13:00-14:00
Radiasi (W/m2) 8.9 34.37 87.56 135.61 178.75 216.16 217.77 203.82
21 Jan. 2008
06:00-07:00 07:00-08:00 08:00-09:00 09:00-10:00 10:00-11:00 11:00-12:00 12:00-13:00 13:00-14:00
30.23 169.81 310.8 414.63 433.46 502.91 472.07 480.82
26.18 27.28 28.91 30.03 30.40 30.64 31.19 30.70
87.11 80.15 66.64 58.42 56.56 59.18 56.71 61.09
0.80 0.90 0.67 0.58 1.67 1.92 2.29 3.34
148.39 146.45 125.69 84.85 20.84 18.04 20.70 24.19
18 Feb. 2008
06:00-07:00 07:00-08:00 08:00-09:00 09:00-10:00 10:00-11:00 11:00-12:00 12:00-13:00 13:00-14:00
8.31 45.7 132.47 312.77 360.84 375.35 436.73 369.46
24.07 24.45 25.55 27.23 28.45 28.81 29.19 29.76
93.93 91.97 84.47 72.54 65.98 64.84 61.78 59.98
1.47 1.26 1.07 1.17 0.9 0.93 1.59 2.14
230.6 227.77 250.52 258.36 262.78 311.73 354.40 238.00
24 Mar. 2008
06:00-07:00 07:00-08:00 08:00-09:00 09:00-10:00 10:00-11:00 11:00-12:00 12:00-13:00 13:00-14:00
18.46 140.46 345.07 476.68 554.86 498.78 642.12 677.79
24.86 26.44 28.63 30.31 31.64 32.09 31.68 31.79
86.50 73.09 58.75 51.41 45.59 43.87 45.17 45.92
0.08 0.26 0.45 0.42 0.61 1.3 2.29 2.38
253.71 244.74 278.11 302.13 223.26 127.90 29.08 22.28
21 Apr. 2008
06:00-07:00 07:00-08:00 08:00-09:00 09:00-10:00 10:00-11:00 11:00-12:00 12:00-13:00 13:00-14:00
22.65 85.92 164.16 162.49 252.97 541.74 569.27 387.53
26.76 27.87 29.34 30.30 30.61 31.23 31.20 30.78
89.80 81.53 69.33 61.07 61.03 57.56 56.68 58.08
0.11 0.46 0.42 0.44 1.26 2.1 2.74 2.71
119.59 150.12 142.2 218.86 134.2 24.24 29.22 30.51
50
Lampiran 5. Beban wmisi CO dan NOx pada skenario hari kerja dan hari libur di ruas Jl. M.H. Thamrin Skenario Hari Kerja MOTOR 2TAK PUKUL (mg/ms) 06:00‐07:00 0 07:00‐08:00 0 08:00‐09:00 0 09:00‐10:00 0 10:00‐11:00 0 11:00‐12:00 0 12:00‐13:00 0 13:00‐14:00 0 14:00‐15:00 0 Skenario Hari Kerja MOTOR 2TAK PUKUL (µg/m s) 06:00‐07:00 0 07:00‐08:00 0 08:00‐09:00 0 09:00‐10:00 0 10:00‐11:00 0 11:00‐12:00 0 12:00‐13:00 0 13:00‐14:00 0 14:00‐15:00 0 Skenario Hari Libur MOTOR 2TAK PUKUL (mg/ms) 06:00‐07:00 0 07:00‐08:00 0 08:00‐09:00 0 09:00‐10:00 0 10:00‐11:00 0 11:00‐12:00 0 12:00‐13:00 0 13:00‐14:00 0 14:00‐15:00 0 Skenario Hari Libur MOTOR 2TAK PUKUL (µg/m s) 06:00‐07:00 0 07:00‐08:00 0 08:00‐09:00 0 09:00‐10:00 0 10:00‐11:00 0 11:00‐12:00 0 12:00‐13:00 0 13:00‐14:00 0 14:00‐15:00 0
MOTOR 4TAK (mg/m s) 11.2000 34.0000 36.6333 28.4333 26.4000 23.1000 17.6667 26.7333 22.6000
MOBIL BENSIN (mg/m s) 7.9600 8.7200 16.040 14.520 18.200 16.640 14.640 9.0800 19.360
MOBIL SOLAR (mg/m s) 0.7800 0.7367 1.3520 1.4647 1.8287 1.7160 1.5860 0.9273 1.8460
BUS/TRUK BESAR (mg/m s) 0.0125 0.0708 0.0792 0.0583 0.0375 0.0083 0.0167 0.0167 0.0667
BUS/TRUK SEDANG (mg/m s) 0.0707 0.1943 0.1325 0.1148 0.1237 0.0177 0.0442 0.0265 0.0972
EMISI CO (mg/m s) 20.0232 43.7218 54.2370 44.5912 46.5898 41.4820 33.9535 36.7838 43.9699
MOTOR 4TAK (µg/m s) 84.0000 255.000 274.750 213.250 198.000 173.250 132.500 200.500 169.500
MOBIL BENSIN (µg/m s) 2288.50 2507.00 4611.50 4174.50 5232.50 4784.00 4209.00 2610.50 5566.00
MOBIL SOLAR (µg/m s) 195.000 184.167 338.000 366.167 457.167 429.000 396.500 231.833 461.500
BUS/TRUK BESAR (µg/m s) 55.0000 311.670 348.330 256.670 165.000 36.6700 73.3300 73.3300 293.330
BUS/TRUK SEDANG (µg/m s) 20.0000 55.0000 37.5000 32.5000 35.0000 5.00000 12.5000 7.50000 27.5000
EMISI NOx (µg/m s) 2645.50 3312.83 5610.08 5043.08 6087.66 5427.91 4823.83 3123.67 6517.83
MOTOR 4TAK (mg/m s) 3,60000 5,16667 7,83333 8,00000 8,96700 6,43300 7,63300 8,66670 7,00000
MOBIL BENSIN (mg/m s) 4,76000 4,32000 7,64000 11,6400 8,72000 10,9200 13,7200 17,6000 18,4400
MOBIL SOLAR (mg/m s) 0,54600 0,52867 0,72800 1,39533 0,84933 1,25667 1,58600 2,05867 2,07133
BUS/TRUK BESAR (mg/m s) 0,08750 0,09167 0,10000 0,14583 0,10417 0,01667 0,01667 0,02917 0,02083
BUS/TRUK SEDANG (mg/m s) 0,00883 0 0,06183 0,09717 0,07067 0,03533 0,03533 0,03533 0,07067
EMISI CO (mg/m s) 9,00233 10,1070 16,3633 21,2783 18,7108 18,6620 22,9913 28,4198 27,6028
MOTOR 4TAK (µg/m s) 27.000 38.750 58.750 60.000 67.250 48.250 57.250 65.000 52.500
MOBIL BENSIN (µg/m s) 1368.5 1242.0 2196.5 3346.5 2507.0 3139.5 3944.5 5060.0 5301.5
MOBIL SOLAR (µg/m s) 136.50 132.16 182.00 348.83 212.33 314.17 396.50 522.17 517.83
BUS/TRUK BESAR (µg/m s) 385.00 403.33 440.00 641.67 458.33 73.333 73.333 128.33 91.667
BUS/TRUK SEDANG (µg/m s) 2.500 0 17.50 27.50 20.00 10.00 10.00 10.00 20.00
EMISI NOx (µg/m s) 1919.50 1816.25 2894.75 4424.50 3264.92 3585.25 4481.58 5785.50 5983.50
51
Lampiran 6. Windrose Jl. M.H. Thamrin Kecepatan (m/s)
Kecepatan (m/s)
24 Desember 2007
21 Januari 2008
Kecepatan (m/s)
Kecepatan (m/s)
18 Februari 2008
24 Maret 2008
Kecepatan (m/s)
21 April 2008
52
Lampiran 7. Baku mutu udara ambien Parameter Karbon Moksida Nitrogen Dioksida Sulfur Dioksida Oksidan Hidrokarbon Partikel < 10 µm Partikel < 2.5 µm Debu Timah Hitam
SK. GUBERNUR DKI JAKARTA NOMOR 551 TAHUN 2001 Waktu Pengukuran 1 Jam 3 Jam 24 Jam 1 Tahun Satuan 26000 9000 µg/m3 400
-
92.5
60
µg/m3
900
-
260
60
µg/m3
200 -
160 -
30 150
-
µg/m3 µg/m3 µg/m3
-
-
65
15
µg/m3
-
-
230 2
90 1
µg/m3 µg/m3
53
Lampiran 8. Pendugaan konsentrasi CO dan NOx Jl. M.H. Thamrin Hari Kerja 24 Desember 2007 Kec.Angin Aktual (m/s) Pukul 06:00-07:00 1.83 07:00-08:00 2.23 08:00-09:00 2.19 09:00-10:00 1.55 10:00-11:00 1.77 11:00-12:00 1.82 12:00-13:00 1.84 13:00-14:00 1.94 Hari Kerja 21 Januari 2007 Kec.Angin Aktual (m/s) Pukul 06:00-07:00 07:00-08:00 08:00-09:00 09:00-10:00 10:00-11:00 11:00-12:00 12:00-13:00 13:00-14:00
0.42 0.50 0.54 0.58 0.59 0.59 0.81 1.37
Hari Kerja 18 Februari 2007 Kec.Angin Aktual (m/s) Pukul 06:00-07:00 07:00-08:00 08:00-09:00 09:00-10:00 10:00-11:00 11:00-12:00 12:00-13:00 13:00-14:00
Jarak ReseptorSumber (m) 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19
Sigma Z (m)
Jarak ReseptorSumber (m)
Sigma Z (m)
59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19
Jarak ReseptorSumber (m)
1.14 0.93 1.01 1.14 0.89 0.93 1.53 1.82
59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19
Hari Kerja 24 Maret 2007 Kec.Angin Aktual (m/s) Pukul 06:00-07:00 0.08 07:00-08:00 0.24 08:00-09:00 0.45 09:00-10:00 0.36 10:00-11:00 0.42 11:00-12:00 1.03 12:00-13:00 1.11 13:00-14:00 0.90
Jarak ReseptorSumber (m) 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19
14.62 11.84 11.84 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62
14.62 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62
Sigma Z (m) 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62
Sigma Z (m) 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62
Konsentrasi CO (mg/m3) 0.12 0.27 0.35 0.33 0.30 0.26 0.21 0.21
NOx (µg/m3) 16.37 20.78 35.79 36.76 38.96 33.71 29.70 18.22
Konsentrasi CO (mg/m3)
NOx (µg/m3)
0.54 1.00 1.13 0.87 0.89 0.79 0.47 0.30
70.94 75.07 116.58 98.72 115.87 103.23 67.42 25.81
Konsentrasi CO (mg/m3)
NOx (µg/m3)
0.20 0.53 0.61 0.44 0.59 0.50 0.25 0.23
26.31 40.15 62.89 49.76 77.10 66.03 35.62 19.46
Konsentrasi CO (mg/m3) 2.95 2.10 1.38 1.42 1.26 0.46 0.34 0.46
NOx (µg/m3) 389.14 159.32 142.40 160.34 164.67 59.83 49.01 39.15
54
Lampiran 8. (Lanjutan) Hari Kerja 21 April 2007 Kec.Angin Aktual (m/s) Pukul 06:00-07:00 07:00-08:00 08:00-09:00 09:00-10:00 10:00-11:00 11:00-12:00 12:00-13:00 13:00-14:00
0.10 0.23 0.26 0.28 0.90 0.86 1.34 1.38
Jarak ReseptorSumber (m) 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19 59.19
Sigma Z (m) 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62 14.62
Konsentrasi CO (mg/m3) 2.37 2.16 2.38 1.83 0.58 0.54 0.29 0.30
NOx (µg/m3) 312.39 163.47 246.44 206.57 76.21 71.19 40.78 25.67
55
Lampiran 9. Perbandingan faktor emisi CO dan NOx pada berbagai kecepatan
Jenis Kendaraan
5-10
Faktor Emisi CO (gr/km) Kecepatan (km/jam) 10-15 15-25 25-40 40-60
60-80
Rata5-10 rata 0 14.86 0.09
Sepeda Motor Mobil penumpang Taxi
19.59
15.15
13.18
11.06
0
41.68
26.98
18.71
13.42
10.45
8.87
20.02
29.11
18.85
30.07
9.38
7.31
6.20
Bus Kecil
55.75
40.52
30.31
21.52
14.54
Bus
33.22
24.46
18.65
13.70
Van
34.91
25.36
19.98
Truk-Pick up Truck 2 Axle
31.41
22.82
5.04
Truck Axle
10.80
3
Faktor Emisi NOx (gr/km) Kecepatan (km/jam) 10-15 15-25 25-40 40-60 60-80
Ratarata 0 0.09
0.08
0.09
0.10
0
2.78
2.77
2.24
2.25
2.22
3.39
2.61
16.82
2.67
2.37
2.00
1.98
1.94
2.72
2.28
14.36
29.50
4.78
6.69
6.21
5.97
8.06
7.45
6.53
9.79
9.26
18.18
16.79
14.25
11.73
10
10.77
10.30
12.31
16.53
14.61
13.58
20.83
3.45
3.10
2.95
3.10
3.38
4.40
3.40
17.98
14.87
13.15
12.23
18.74
3.40
3.01
2.83
2.93
3.17
4.09
3.24
3.92
3.22
2.66
2.24
1.89
3.16
11.97
9.10
7.21
5.88
5.67
5.53
7.56
8.40
6.90
5.77
4.80
4.05
6.79
25.65
19.50
15.45
12.60
12.15
11.85
16.20
56
Lampiran 10.
Fluktuasi perbandingan nilai konsentrasi CO pemodelan FLLS dan pemantauan (roadside)
a
b
c
d
e
57
Lampiran 11.
Fluktuasi perbandingan nilai konsentrasi NOx pemodelan FLLS dan pemantauan (roadside)
b
a
c
d
e
58
Lampiran 12.
Fluktuasi perbandingan nilai konsentrasi CO stasiun JAF 5 dan roadside
a
b
c
d
e
59
Lampiran 13.
Fluktuasi perbandingan nilai konsentrasi NOx stasiun JAF 5 dan roadside
a
b
c
d
e
60