e-Journal PG-PAUD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (Volume 2 No 1 Tahun 2014)
PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING BERBANTUAN MEDIA ALAM UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MOTORIK HALUS PADA ANAK
Ni Pt Ika Ratna Dewi1, Ni Ketut Suarni 12,, A. A. Gede Agung 23 1
Jurusan Pendidikan Guru PAUD 2 Jurusan Teknologi Pendidikan 3 Jurusan Bimbingan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak Perkembangan motorik halus pada anak kelompok B TK Margarana sebelum penelitian ditemukan masih sangat rendah yaitu dengan rata-rata sebesar 30,34%. Hal ini dikarenakan guru lebih banyak terpaku pada lembar kerja siswa dan memberikan pembelajaran yang monoton kepada anak, sehingga menyebabkan anak cenderung cepat bosan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan motorik halus melalui kegiatan menganyam setelah penerapan model contextual teaching and learning berbantuan media alam pada anak kelompok B TK Margarana, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan semester II tahun pelajaran 2013/2014. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus. Subyek penelitian adalah sebanyak 16 anak. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode observasi. Data hasil penelitian dianalisis dengan metode analisis statistik deskriftif dan metode analisis deskriptif kuantitatif. Hasil analisis data menunjukan bahwa terjadi peningkatan kemampuan motorik halus melalui kegiatan menganyam pada anak kelompok B berbantuan media alam pada siklus I sebesar 57,5% yang berada pada kategori rendah dan pada siklus II meningkat menjadi sebesar 78,75% yang berada pada kategori sedang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan motorik halus melalui kegiatan menganyam berbantuan media alam sebesar 21,25%. Kata,kunci:,Contextual,Teaching,and,Learning,,media,alam,,motorik, halus, Abstract Fine motor development in children kindergarten Margarana group B before the study found was very low, with an average of 30.34%. This is because teachers more fixated on student worksheets and learning monotone give to children, causing children tend to get bored quickly. Therefore, this study aims to determine the increase in fine motor skills by weaving activities after the application of contextual teaching and learning models aided natural media in children kindergarten Margarana group B, District Marga, Tabanan second semester of academic year 2013/2014. This research is an action research conducted in two cycles. Subjects were as many as 16 children. Collecting data in this study carried out by the method of observation. The data were analyzed using descriptive statistical analysis and quantitative descriptive analysis method. The results of the data analysis showed that an increase in fine motor skills in children weave through assisted natural media group B in the first cycle of 57.5% which is at the low category and the second cycle increased to 78.75% which is in the medium category. Thus, it can be concluded that an increase in fine motor skills through activities assisted weaving natural medium of 21.25%.
Words key: Contextual Teaching and Learning, media nature, motor fine.
e-Journal PG-PAUD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (Volume 2 No 1 Tahun 2014)
PENDAHULUAN Pendidikan anak usia dini sangat penting dilaksanakan sebagai dasar bagi pembentukan kepribadian manusia secara utuh, yaitu pembentukan karakter, budi pekerti luhur, cerdas, ceria, terampil, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Taman Kanak-kanak merupakan bentuk Pendidikan Anak Usia Dini yang ada dijalur pendidikan formal yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4-6 tahun sebelum memasuki pendidikan dasar. Pada usia 4-6 tahun merupakan masa peka bagi anak untuk menerima berbagai upaya perkembangan seluruh potensi anak. Pengalaman yang diperoleh dari lingkungan, termasuk stimulasi yang diberikan oleh orang dewasa, akan mempengaruhi kehidupan anak dimasa yang akan datang. Karena itu diperlukan upaya yang mampu memfasilitasi anak dalam masa tumbuh kembangnya berupa kegiatan pendidikan dan pembelajaran sesuai dengan usia, kebutuhan dan minat anak. Dalam Undang-undang Pendidikan No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 14 disebutkan 1 bahwa : pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Menurut Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2009 bahwa : struktur program kegiatan PAUD mencakup bidang pengembangan pembentukan perilaku dan bidang pengembangan kemampuan dasar melalui kegiatan bermain dan pembiasaan. Lingkup pengembangan meliputi: (1) nilai-nilai agama dan moral, (2) fisik, (3) kognitif, (4) bahasa, dan (5) sosial emosional. Kegiatan pengembangan suatu aspek dilakukan secara terpadu dengan aspek yang lain, menggunakan pendekatan tematik.
Berdasarkan penjabaran tentang PAUD di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan anak usia dini sangat penting untuk membangun landasan bagi berkembangnya potensi anak agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, ktitis, kreatif, mandiri, percaya diri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dan memberi kesempatan untuk mengembangkan kepribadian anak dari berbagai aspek. Seperti halnya pada PAUD Margarana Tabanan yang menyelenggarakan pendidikan pada kelompok bermain dan taman kanakkanak. Peneliti disini ingin mengembangkan aspek motorik halus didalam kegiatan menganyam pada anak taman kanak-kanak kelompok B. Sumantri (2005:143), menyatakan bahwa: “motorik halus adalah pengorganisasian penggunaan sekelompok otot-otot kecil seperti jarijemari yang sering membutuhkan kecermatan dan koordinasi dengan mata dan tangan”. Dimana pada kegiatan menganyam, anak dapat menghasilkan suatau karya seni yang indah dengan menggerakan jari jemari secara perlahanlahan mengikuti pola yang diajarkan dan memerlukan kesabaran yang besar. Menurut Pamadhi (2008), menyatakan bahwa: “kegiatan menganyam diartikan sebagai proses menjaringkan dan menyilangkan bahan tumbuh-tumbuhan untuk dijadikan satu rumpun yang kuat dan dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari”. Anak dapat belajar bagaimana mengingat pola yang harus diikuti dengan penuh kesabaran. Kegiatan motorik halus yang dilakukan ketika belajar menganyam dapat membuat kemampuan motorik halus anak menjadi matang. Hal ini merupakan dasar dari kemampuan anak dalam kegiatan belajar menulis. Anak mempunyai kekuatan dalam memegang pensil dengan benar serta menggerakan
e-Journal PG-PAUD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (Volume 2 No 1 Tahun 2014) jari jemarinya dengan lentur. Kegiatan menganyam juga merupakan sarana untuk mengungkapkan kreasi dan kemampuan anak. Koordinasi mata dengan tangan serta daya ingat tentang pola yang harus dilakukan akan merangsang otak anak serta melatih kesabaran anak. Pengembangan motorik halus didalam kegiatan menganyam pada TK Margarana masih kurang, dikarenakan selama ini guru lebih sering mengembangkan kemampuan motorik halus anak didalam kegiatan menulis, menggambar dan mewarnai saja pada saat pembelajaran. Guru lebih banyak terpaku pada lembar kerja siswa dan memberikan pembelajaran yang monoton kepada anak, sehingga menyebabkan anak cenderung cepat bosan. Apabila terdapat kegiatan menganyam guru hanya menggunakan kertas sebagai bahan media untuk menganyam, sehingga anak kurang termotivasi dalam kegiatan menganyam dan masih banyak anak yang malas untuk menyelesaikan pekerjaannya sehingga hasil menganyam anak masih terbengkalai dan tidak selesai. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti pada semester II, hasil belajar keterampilan motorik halus di dalam menganyam cenderung rendah, anak yang mendapat penilaian bintang satu ( ) sebanyak 9 orang dari 16 orang siswa, yang artinya anak belum mampu melakukan kegiatan menganyam dengan baik. Ini dilihat dari hasil persentase anak didalam kegiatan menganyam adalah 37,34 %, sesuai dengan persentase acuan patokan maka termasuk dalam kriteria sangat rendah. Melihat kondisi yang seperti ini penulis mencoba meningkatkan motorik halus anak dalam menganyam melalui pendekatan model pembelajaran contekstual teaching and learning. Menurut Wina Sanjaya (2006:114), berpendapat bahwa : (1) Dalam CTL pembelajaran merupakan proses mengaktifkan pengetahuan yang sudah ada artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah
pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain. (2) Pembelajaran yang CTL adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru. Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajarn dimulai dengan membelajarkan secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya. (3) Pemahaman pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan. (4) Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut. Pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan prilaku siswa. (5) Melakukan refleksi strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik terhadap proses perbaikan dan penyempurnaan strategi. Dimana kita ketahui pendidikan kita masih didominasi oleh kelas yang berfokus pada guru sebagai sumber utama pegetahuan, sehingga ceramah akan mejadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Sehingga sering mengabaikan pengetahuan awal anak. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan belajar yang memberdayakan anak didik. Salah satu pendekatan yang memberdayakan anak didik adalah pendekatan contekstual teaching and learning. Bertitik tolak dari masalah diatas maka penulis ingin mengembangkan motorik halus anak didalam kegiatan menganyam dengan media yang berbeda, dimana anak menganyam dengan media yang ada di alam. Menurut Waldjinah (2007:1), menyatakan bahwa “alam dan seluruh isinya adalah anugerah Tuhan yang harus kita syukuri dengan memanfaatkan segala ciptaanNya dengan tidak membiarkan atau membuangnya secara percuma”. Bahan alam yang terdapat disekitar kita sangatlah banyak.Untuk membuat bendabenda kerajinan anyaman, bahan
e-Journal PG-PAUD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (Volume 2 No 1 Tahun 2014) utamanya adalah bahan-bahan yang digunakan sebagai bahan baku untuk menganyam yaitu berupa bahan alam. Yang di maksud dengan bahan alam adalah bahan yang terdapat di alam yang sama sekali belum mengalami pengolahan seperti: pandan, mendong, lontar, bambu, rotan, janur dan daun pisang. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti mengadakan suatu penelitian tindakan kelas dengan judul “Penerapan Model Contextual Teaching and Learning Berbantuan Media Alam untuk Meningkatkan Kemampuan Motorik Halus melalui Kegiatan Menganyam pada Anak Kelompok B Di TK Margarana Tabanan”. Dalam pembelajaran, berbagai masalah sering dialami oleh guru. Untuk mengatasi berbagai masalah dalam pembelajaran, maka perlu adanya modelmodel pembelajaran yang dipandang dapat membantu guru dalam proses belajar mengajar. Model dirancang untuk mewakili realitas sesungguhnya, walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia sebenarnya. Model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelompokkan maupun tutorial (Agus Suprijono,2011:46). Sejalan dengan pendapat di atas menurut Trianto,(2010:51) mengemukakan bahwa: “model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial”. Berbeda dengan pendapat diatas, dikemukakan bahwa model pembelajaran merupakan suatu kerangka konseptual yang berisi prosedur sistematik dan mengorganisasikan pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan belajar tertentu yang berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam proses belajar mengajar (Syaiful Sagala,2010:176).Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan suatu kerangka yang digunakan dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Model pembelajaran digunakan
oleh guru sebagai pedoman dalam melaksanakan pembelajaran di kelompok agar lebih menarik dan menyenangkan bagi anak di dalam proses belajar. Model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa. Menurut Agung (2012), menyatakan bahwa: Ada sangat banyak model-model pembelajaran yang bersifat mengaktifkan peserta didik (inovatif) baik secara fisik maupun psikis. Adapun model-model pembelajaran yang ada adalah CL (Cooperative Learning), CTL (Contextual Teaching and Learning), DL (Direct Learning), Problem Solving, OE (Open Ended) Problem Terbuka, NHT (Numbered Head Together), Jigsaw, Role Playing, Talking Stick, Make-A-Match, Examples non Examples, Picture and Picture, Cooperative Script, Debate, Artikulasi, Bertukar Pasangan, Snowball Throwing. Dari model-model pembelajaran di atas maka yang akan digunakan dalam penelitian adalah model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning). Model pembelajaran contextual teaching and learning adalah salah satu diantara sekian banyak model pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar. Dimana contextual teaching and learning merupakan satu sistem atau pendekatan pembelajaran yang bersifat holistik. Pembelajaran ini terdiri atas komponen-komponen yang saling terkait. Apabila dilaksanakan, masing-masing memberikan dampak sesuai dengan peranannya. Pembelajaran contextual teaching and learning didasarkan pada pemikiran, bahwa siswa belajar apabila mereka melihat makna dari yang mereka pelajari. Makna dalam pembelajaran di sekolah apabila mereka dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Melalui contextual teaching and learning, belajar dapat menjadi bermakna dengan mengaitkan konten dengan konteks dalam kehidupan sehari-hari siswa. Johnson (2007: 4), berpendapat bahwa : dalam pembelajaran kontekstual minimal ada tiga prinsip utama yaitu: (1) prinsip saling ketergantungan
e-Journal PG-PAUD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (Volume 2 No 1 Tahun 2014) (interdependence). Menurut hasil kajian para maupun bukan manusia, makhluk hidup ataupun benda mati atau ilmuwan modern segala yang ada di alam semesta ini adalah saling berhubungan. Segala yang ada, baik manusia satu sama lain berhubungan dan tergantung membentuk pola dan jaring sistem hubungan yang teratur, (2) prinsip diferensiasi (differentiation). Diferensiasi menunjuk kepada sifat alam yang secara terus menerus menimbulkan perbedaan, keragaman, keunikan. Alam tidak pernah mengulang dirinya tetapi keberadaannya selalu berbeda. Prinsip diferensiasi menunjukkan kreativitas yang luar biasa dari alam semesta. (3) prinsip pengorganisasian diri (selforganization). Setiap individu atau kesatuan (entity) dalam alam semesta mempunyai potensi melekat, yaitu kesadaran sebagai kesatuan yang utuh yang berbeda dari yang lain. Tiap orang memiliki organisasi diri,keteraturan diri, kesadaran diri, pemeliharaan diri sendiri, suatu energi atau kekuatan hidup, yang memungkinkan mempertahankan dirinya secara khas berbeda dengan yang lainnya. Berdasarkan asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus dipahami tentang belajar dalam konteks CTL. Menurut Sanjaya (2006:255) antara lain : belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh. (2) Belajar bukan sekadar mengumpulkan fakta yang lepaslepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia, seperti pola berpikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan persoalan termasuk penampilan atau performance seseorang. Semakin pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka akan semakin efektif dalam berpikir. (3) Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab
dengan memecahkan masalah anak akan berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intektual akan tetapi juga mental dan emosi. Belajar secara kontekstual adalah belajar bagaimana anak menghadapi persoalan. (4) Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari sederhana menuju yang kompleks. Oleh karena itu belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan siswa. (5) Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak (Real World Learning). Pengetahuan itu diperoleh anak bukan dari informasi yang diberikan oleh orang lain temasuk guru, akan tetapi dari proses menemukan dan mengontruksinya sendiri, maka guru harus menghindari mengajar sebagai proses penyampaian informasi. Guru perlu memandang siswa sebagai subjek belajar dengan segala keunikannya. Siswa adalah organisme aktif yang memiliki potensi untuk membangun pengetahuannya sendiri. Kelebihan dari pembelajaran CTL yaitu pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan. Kekurangan dari pembelajaran CTL yaitu guru lebih intensif dalam membimbing artinya guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman
e-Journal PG-PAUD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (Volume 2 No 1 Tahun 2014) yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau penguasa yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. METODE Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada semester II tahun pelajaran 2013/2014 pada kelompok B di TK Margarana, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan dalam kegiatan pembelajaran. Subjek penelitian ini adalah anak kelompok B di TK Margarana pada tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 16 orang dengan 8 orang siswa laki-laki dan 8 orang siswa perempuan. Obyek yang ditangani dalam penelitian ini adalah kemampuan motorik halus anak TK Margarana, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan dalam kegiatan pembelajaran menganyam. Penelitian ini tergolong penelitian tindakan kelas (PTK). Menurut Agung (2010:2) bahwa PTK sebagai salah satu bentuk penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan atau meningkatkan praktek-praktek pembelajaran di kelas secara lebih profesional. Kemudian Suyanto (2007:1) mengemukakan bahwa PTK merupakan salah satu upaya praktis dalam bentuk melakukan kegiatan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan mutu pembelajaran di kelas. PTK merupakan kegiatan yang langsung berhubungan dengan tugas guru sehari-hari di lapangan atau kelas sehingga merupakan hal yang mereka kenal dan hayati dengan baik. Singkatnya PTK merupakan penelitian praktis yang dilakukan sebagai refleksi pengajaran yang bertujuan untuk memperbaiki praktek pembelajaran yang ada saat ini. Jadi PTK merupakan penelitian yang bersifat reflektif yang dilakukan di dalam kelas untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan tindakan-tindakan tertentu untuk memperbaiki dan meningkatkan praktek pembelajaran di kelas secara lebih
profesional. Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan satu metode yaitu metode observasi dengan menggunakan penilaian unjuk kerja. Untuk menjelaskan tentang metode observasi dalam buku pengantar metodelogi penelitian dikemukakan bahwa : “metode observasi adalah suatu cara memperoleh atau mengumpulkan data yang dilakukan dengan jalan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis tentang suatu objek tertentu” (Agung, 2010:68). Metode observasi digunakan untuk menilai kinerja peserta didik dengan instrumen berupa rubrik kinerja peserta didik terhadap kegiatan menganyam berbantuan media alam untuk mengetahui perkembangan motorik halus anak. Kinerja yang diamati terdiri dari menganyam dengan berbagai media, membuat berbagai bentuk anyaman sederhana, membuat anyaman dengan tehnik menggunting dan menempel, menganyam dua pola dengan berbagai media, mampu menirukan bentuk anyaman dengan rapi. Dalam penelitian ini, observasi dilakukan pada saat pelaksanaan tindakan pada masing – masing siklus dengan menggunakan instrumen penelitian berupa lembar observasi. Setiap kegiatan yang diobservasi dikategorikan kedalam kualitas yang sesuai dngan berpedoman pada Permendiknas No.58 Tahun 2009. Untuk mendapatkan data yang diinginkan maka disusunlah kisi-kisi instrumen penelitian untuk memudahkan dalam proses penelitian. Dalam penelitian ini penelitilah yang menjadi instrumen utama yang turun ke lapangan untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Disamping peneliti sebagai instrumen utama, penelitian ini juga akan menggunakan instrument bantu berupa lembar panduan observasi. Penelitian ini menggunakan dua metode analisis data yaitu, metode analisis statistik deskriptif, dan metode deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif kuantitatif ialah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis dalam bentuk angka-angka atau persentase,
e-Journal PG-PAUD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (Volume 2 No 1 Tahun 2014) mengenai suatu objek yang diteliti, sehingga diperoleh kesimpulan umum (Agung, 2010). Metode analisis deskriptif kuantitatif ini digunakan untuk menentukan tingkatan tinggi rendahnya kemampuan anak dalam kegiatan keberhasilan pada penelitian ini adalah adanya peningkatan kemampuan menganyam pada anak kelompok B di TK Margarana. Penelitian ini dinyatakan berhasil jika terjadi perubahan positif skor rata-rata dari siklus berikutnya dan jika dikonvensikan pada pedoman PAP skala lima tentang tingkat kemampuan motorik halus berada pada rentangan 80 – 89 dengan kriteria tinggi. Apabila terjadi peningkatan skor rata – rata dari siklus I ke siklus berikutnya dan mampu mencapai kriteria tinggi maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan media alam melalui kegiatan menganyam berjalan secara efektif dan efisien.
menganyam setelah diterapkan model pembelajaran contextual teaching and learning dengan media alam yang dikonversikan ke dalam penilaian Acuan Patokan (PAP) skala lima. Dalam pengantar metodelogi penelitian dinyatakan bahwa “Metode analisis deskriptif kuantitatif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis dalam bentuk angka-angka dan atau presentase mengenai keadaan suatu objek yang diteliti sehingga diperoleh kesimpulan umum” (Agung, 2011:67). Metode analisis deskriptif ini digunakan untuk menentukan tingkat tinggi rendahnya kemampuan motorik halu anak ditentukan dengan menggunakan pedoman konversi Penilaian Acuan Patokan (PAP) skala lima sebagai berikut:
Tabel 1. Pedoman PAP Skala Lima tentang Kemampuan Motorik Halus anak Persentase Kriteria Kemampuan Motorik Halus 90 – 100 Sangat tinggi 80 – 89 Tinggi 65 – 79 Sedang 55 – 64 Rendah 0 – 54 Sangat Rendah Sumber:Agung (2010 : 12)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Penelitian dilaksanakan di kelompok B TK Margarana Tabanan dengan jumlah siswa 16 orang. Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa siklus dimana siklus I terdiri dari lima kali pertemuan, yaitu lima kali pertemuan untuk pembelajaran dan untuk evaluasi penilaian setelah melakukan pembelajaran, sedangkan pada siklus II terdiri lima kali pertemuan, yaitu lima kali pertemuan untuk pembelajaran dan untuk evaluasi penilaian dilakukan setelah melakukan pembelajaran. Siklus I, pertemuan pertama sampai lima menerapkan RKH (lampiran) dan diadakan evaluasi penilaian setelah pembelajaran pada siklus II (lampiran). Data yang dikumpulkan adalah yang
mengenai hasil belajar anak melalui kegiatan menganyam. Selanjutnya data yang telah di dapat tersebut dianalisis dengan menggunakan model-model yang diterapkan sebelumnya. Hasil analisisnya di paparkan sebagai berikut. Kegiatan peneliti ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu bulan November 2013. Siklus I dilaksanakan selama lima kali pertemuan dari pertemuan satu sampai pertemuan akhir (sesuai dengan langkahlangkah penelitian tindakan) dan pada akhir pembelajaran langsung mengevaluasi hasil belajar dan memberikan penilaian kemampuan menganyam anak kelompok B yang berjumlah 16 orang. Dari tabel distribusi frekuensi hasil belajar motorik halus melalui kegiatan menganyam pada siklus I dapat digambarkan menjadi grafik polygon sebagai berikut :
e-Journal PG-PAUD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (Volume 2 No 1 Tahun 2014)
Gambar 1. Kurve Poligon Siklus I Berdasarkan perhitungan dari grafik polygon diatas terlihat Mo = Me < M (11,00 = 11,00 < 11,5), sehingga dapat disimpulkan bahwa sebaran data-data hasil belajar kemampuan motorik halus melalui kegiatan menganyam pada siklus I merupakan kurva juling positif, yang berarti skor perkembangan motorik halus melalui kegiatan menganyam cendrung rendah. Dari hasil pengamatan dan ttemuan penulis bselama pada siklus I terdapat beberapa masalah yang menyebabkan hasil belajar anak masih berada pada kriteria rendah, maka masih perlu ditingkatkan pada siklus II. Adapun kendala-kendala yang dihadapi peneliti saat penerapan siklus I antara lain : anak masih terlihat bingung dengan tehnik menganyam dan anak belum mampu bekerja secara mandiri, berapa anak kurang aktif dalam mengikuti kegiatan, karena bahan yang digunakan kurang menarik bagi anak, sehingga anak kurang terfokus pada kegiatan yang dilaksanakan. Adapun solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala diatas adalah sebagai berikut : menjelaskan dan memberikan contoh cara tehnik menganyam kepada anak agar anak mampu bekerja secara mandiri dan menghasilkan hasil karya yang baru, sehingga dalam pertemuan berikutnya anak akan lebih terbiasa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, membuat bahan
dan alat yang dipakai semenarik mungkin dan memberikan warna-warni pada media yang digunakan sehingga anak tertarik untuk melakukan kegiatan menganyam, serta mendampingi dan membimbing anak di dalam proses pembelajaran agar anak dapat terfokus di dalam kegiatan. Sesuai dengan refleksi yang dikemukakan pada siklus I, maka penelitian tindakan ini dilakukan pada siklus II, beberapa perubahan akan dilakukan pada siklus II mulai dari perencanaan pembelajaran atau penyusunan RKH. Siklus II dilaksanakan selama lima kali pertemuan dan pada akhir pembelajaran langsung mengobservasi/mengevaluasi hasil belajar dan memberikan penilaian keterampilan motorik halus anak. Dari tabel distribusi frekuensi hasil belajar kemampuan Motoik Halus melalui kegiatan menganyam pada siklus II dapat digambarkan menjadi grafik polygon sebagai berikut:
Gambar 2. Kurve Poligon Siklus II Berdasarkan perhitungan dari grafik polygon diatas terlihat Mo>M>Md (17,00>158,75>15,5). Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebaran data-data hasil belajar kemampuan motorik halus melalui kegiatan menganyam pada siklus II merupakan kurva juling negative, yang berarti skor perkembangan motorik halus melalui kegiatan menganyam cenderung tinggi. Melalui perbaikan proses pembelajaran dan pelaksanaan tindakan siklus I maka pada pelaksanaan siklus II
e-Journal PG-PAUD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (Volume 2 No 1 Tahun 2014) telah tampak adanya peningkatan proses pembelajaran yang diperlihatkan melalui peningkatan hasil belajar anbak. Adapun temuan-temuan yang diperoleh selama tindakan pelaksanaan siklus II adalah sebagai berikut : secara garis besar proses pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang direncanakan sehingga kreativitas menganyam anak meningkat sesuai dengan harapan, peneliti dalam hal ini berperan sebagai guru yang memberikan bimbingan pada siswa apabila ada siswa yang belum memahami kegiatan yang sedang dilaksanakan, siswa yang awalnya kurang kreatif dalam mengikuti proses kegiatan pembelajaran menjadi sangat kreatif karena media yang digunakan menarik. Secara umum proses pembelajaran menganyam untuk meningkatkan kemampuan motorik halus anak sudah berjalan dengan baik, hal ini terlihat dari adanya peningkatan rata-rata persentase (M%) hasil belajar dari siklus I ke siklus II, sehingga peneliti memandang penelitian ini cukup sampai di siklus II dan tidak di lanjutkan ke siklus berikutnya.
Pembahasan Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus tindakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran contextual teaching and learning berbantuan media alam dapat meningkatkan kemampuan motorik halus anak melalui kegiatan menganyam. Hal tersebut dikarenakan dalam pembelajaran anak tidak hanya terbatas di dalam kelas semata dan anak dapat mengalami secara langsung dan akan lebih menarik bagi anak sebab alam menyediakan sumber belajar yang sangat beragam dan banyak pilihan. Pada pelaksanaan kegiatan anak dilatih secara langsung dan terbimbing, jadi pada saat anak melakukan kegiatan anak tidak merasa tertekan, melainkan senang melaksanakan kegiatan tersebut. Dengan media alam yang disediakan anak dapat mengembangkan kreativitasnya didalam menganyam. Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif dan analisis deskripsi kuantitatif memberikan gambaran bahwa dengan
penerapan media alam untuk meningkatkan motorik halus melalui kegiatan menganyam pada siklus I sebesar 57,5% dan rata-rata hasil belajar menganyam pada siklus II sebesar 78,75%. Ini menunjukkan adanya peningkatan rata-rata persentase hasil belajar anak dari siklus I ke siklus II sebesar 21,25%. Keberhasilan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran contextual teaching and learning berbantuan media alam untuk meningkatkan motorik halus melalui kegiatan menganyam ternyata sangat efektif untuk meningkatkan hasil karya anak yang baru melalui pengalamannya sendiri untuk mencapai hasil yang optimal. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data sebagaimana disajikan di depan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Terdapat peningkatan hasil belajar dalam kemampuan menganyam setelah menggunakan media alam pada anak kelompok B semester I di TK Margarana sebesar 37,34%. Ini terlihat dari peningkatan rata-rata persentase hasil belajar anak pada siklus I sebesar 57,5% menjadi sebesar 78,75% pada siklus II yang pada kriteria sedang. DAFTAR RUJUKAN Agung, A. A. Gede. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan. Singaraja: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Ganesha. Agus, Suprijono. 2011. Cooperative Learning (teori dan aplikasi paikem). Jakarta: Pustaka Pelajar. Departemen Pendidikan Nasional RI. 2010. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2009 Tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI. Departemen Pendidikan Nasional RI. 2002. Pedoman Pembelajaran Bidang Pengembangan Seni Di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI.
e-Journal PG-PAUD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (Volume 2 No 1 Tahun 2014) Johnson, Elaine. 2007. Contextual Teaching and Learning Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Jakarta: Kaifa.
Pamadhi, Hajar. 2008. Seni Keterampilan Anak. Jakarta : Universitas Terbuka.. Syaiful, Sagala. 2010. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Jakarta: CV Al Fabeta. Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sumanto. 2005. Pengembangan Kreativitas Seni Rupa Anak. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi. Suyanto, Kasihani. 2007. Penelitian Tindakan Kelas: Pengembangan dan Refleksi Dosen dan Guru. Singaraja: Makalah Disajikan pada Kegiatan Semblok PTK dan Inovasi Pembelajaran yang Mendidik di SD Universitas Pendidikan Ganesha. Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu, Konsep Strategi dan Implementasi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidik. Jakarta: Bumi Aksara. Waldjinah. 2007. Kerajinan Dari Bahan Alam. Klaten : Macana Jaya Cemerlang.