Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Penerapan Metode Elemen Hingga dalam Analisis Pengaruh Persentase Filler terhadap Getaran Balok Komposit Serbuk Kayu Jati dan Bayam M. Ahadyat Z
Hammada Abbas
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Dayanu Iksanuddin Baubau-Indonesia (corresponding author phone: +6281346675080; e-mail:
[email protected]).
Abstrak—Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis frekuensi pribadi (n) dan kekakuan (k) akibat pengaruh variasi persentase filler dan variasi penempatan penggetar pada balok komposit partikel serbuk gergaji bermatriks epoksi dan menentukan modulus elastisitas (E) melalui pengujian tarik. Penelitian getaran ini untuk analisis numerik digunakan Metode Elemen Hingga dan dieksekusi dengan program MATLAB, sedangkan untuk analisis eksperimental digunakan metode spektrum. Untuk metode elemen hingga pada analisis numerik, batang dibagi 5 elemen dengan 6 titik nodal, sedangkan untuk analisis eksperimental dilakukan variasi penempatan eksiter sebanyak 5 posisi. Tumpuan yang digunakan adalah jepit-bebas (kantilever) dengan bahan komposit epoksi dengan bahan pengisi serbuk gergaji berbentuk balok dengan dimensi panjang 50 cm, lebar 3 cm, dan tebal 2 cm. Bahan komposit terdiri dari komposit serbuk kayu jati dan komposit serbuk kayu bayam, tiap komposit terdiri dari empat variasi persentase filler yaitu 5%, 10%, 15%, dan 20%. Hasil penelitian menunjukkan nilai frekuensi pribadi (n), kekakuan (k) dan modulus elastisitas (E) komposit dipengaruhi persentase filler. Nilai frekuensi pribadi (n) dan kekakuan (k) mengalami penurunan dengan bertambah jauhnya posisi eksiter dari tumpuan jepitan. Kata Kunci :
komposit, getaran, modulus elastisitas, frekuensi pribadi, kekakuan.
I.
PENDAHULUAN
ada era sekarang ini perkembangan material komposit di bidang rekayasa sangat pesat. Material komposit telah banyak digunakan sebagai alternatif pengganti logam. Salah satu tugas ahli teknik adalah mengadaptasi material untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kemajuan teknologi mendorong peningkatan dalam hal permintaan terhadap bahan komposit, bidang industri pesawat terbang, otomotif, olahraga, indusri minyak dan gas telah memakai komposit untuk membangun infrastrukturnya. Pada aplikasi di atas struktur komposit menjanjikan keuntungan khusus, selain kekuatan, ringan dan ketahanan terhadap korosi [1]. Pada penelitian ini akan dikembangkan penggunaan material komposit polimer dengan bahan pengisi (filler) serbuk kayu gergaji (sawdust) pada sistem tumpuan jepit-bebas (cantilever). Sebagai solusi analisis numerik digunakan metode elemen hingga dengan bantuan program komputasi
P
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Jl. P. Kemerdekaan Km 10 Makassar 90245
Matlab (Matriks Labolatory), dan analisis spektrum getaran yang digunakan untuk menganalisis getaran balok komposit dengan metode eksperimental. Serbuk kayu adalah polimer yang mengandung selulosa. Material-material yang ditambahkan pada polimer ditujukan untuk meningkatkan kekuatan atau ketangguhan atau untuk menghasilkan fleksibilitas. Kadang-kadang penambahan material tertentu untuk mengurangi biaya produk, dan sekaligus pada saat bersamaan sifat lain dapat pula ditingkatkan [2]. Serbuk kayu (serbuk gergaji yang halus) umumnya ditambahkan pada plastic PF (Phenolformaldehida) untuk meningkatkan kekuatan. Sebagai keuntungan tambahan, serbuk kayu juga merupakan suatu bahan baku yang tergantikan mudah diperoleh sebagai limbah dari industri kayu (industri sawmill dan mebel) dengan harga murah (bahkan masih dianggap sebagai limbah tidak dihargai). Jadi bersamaan dengan meningkatnya daya guna produk, harga juga dapat ditekan. Inilah yang sesungguhnya dinamakan rekayasa! Salah satu upaya untuk mengatasi kerusakan bangunan dari material kayu dari serangan rayap adalah pengembangan teknologi papan komposit yaitu mengkombinasikan serbuk kayu dengan plastik [3]. Penelitian penggunaan serbuk gergaji sebagai filler dengan matriks resin phenol untuk diuji ketangguhan patah [4]. Penggunaan komposit partikel serbuk kayu gergaji (sawdust) dengan resin urea formaldehid sebagai bahan baku utama box speaker [5]. Analisis Numerik dan Eksperimental Getaran Balok Komposit yang diperkuat Serat Ijuk [6]. Penentuan frekuensi pribadi pada getaran balok komposit dengan penguat fiberglass [7]. Getaran merupakan salah satu masalah yang sangat penting dalam perencanaan konstruksi . Penghitungan frekuensi pribadi penting karena dalam perancangan enjineering sering suatu benda terbebani oleh beban harmonik atau beban dengan pola sinusoidal [8]. Ketika frekuensi gaya eksitasi bersamaan dengan salah satu frekuensi pribadi sistem, maka kondisi resonansi terjadi dan menghasilkan simpangan yang besar. Kerusakan pada struktur utama seperti jembatan konstruksi beton atau baja, gedung atau sayap pesawat terbang dapat terjadi pada kondisi resonansi. Olehnya itu penentuan frekuensi pribadi sangat penting pada suatu sistem yang mengalami getaran. Untuk menganalisa getaran yang terjadi
Rekayasa Material I-1
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
pada batang dengan tumpuan tertentu, salah satunya adalah dengan menggunakan metode elemen hingga [9]. Metode Elemen Hingga (Finite Element Method) adalah metode numerik untuk mendapatkan solusi persamaan diferensial yang sering digunakan sebagai model permasalahan enjineering. Mengapa Metode Elemen Hingga?. Karena saat ini Metode Elemen Hingga merupakan metode numerik yang paling versatile untuk memecahkan problem dalam domain continuum. Seperti dalam problem getaran (vibration). Proses inti Metode Elemen Hingga adalah membagi problem yang kompleks menjadi bagian-bagian kecil atau elemen-elemen sehingga solusi yang lebih sederhana dapat diperoleh. Solusi setiap elemen jika digabungkan akan menjadi solusi problem secara keseluruhan [10]. Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan beberapa pemanfaatan pertikel serbuk gergaji untuk papan komposit, box speaker, pengujian ketahanan beban kejut serta pengujian getaran pada komposit menunjukkan bahwa pemanfaatn serbuk gergaji dapat dikembangkan dan memiliki potensi yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh variasi persentase filler serbuk gergaji dan posisi eksiter terhadap frekuensi pribadi (n) dan kekakuan (k) balok komposit serbuk gergaji.
Gambar 1. Diagram Benda Bebas Sistem Pegas Gambar menunjukkan diagram benda bebas dari pegas dengan kekakuan (k) (N/m) dan massa (m) (kg) dengan perpindahan pegas () (m) dan percepatan gravitasi (g) (m/s2). Dengan memberikan perpidahan awal (x) (m) kemudian dilepaskan maka sistem bergetar bebas dengan percepatan (m/s2). Dari diagram benda bebas di atas diperoleh persamaan differensial geraknya (PDG) adalah dengan menggunakan hokum Newton II yaitu massa (m) (kg) dikalikan dengan percepatan (m/s2) dan dijumlahkan dengan kekakuan (k) (N/m) dikalikan dengan perpindahan (x) (m): F m.a
m x mg k ( x) mg k
II. LANDASAN TEORI A. Teori Getaran Getaran adalah gerakan berosilasi (bolak balik) dari sistem mekanis serta kondisi-kondisi dinamisnya. Gerakan dapat berupa benturan yang berulang secara kontinyu dapat juga gerakan tidak beraturan atau acak dalam suatu interval waktu tertentu. Semua benda yang mempunyai massa dan elastisitas mampu bergetar, jadi kebanyakan mesin dan struktur rekayasa (engineering) mengalami getaran sampai derajat tertentu dan rancangannya biasanya memerlukan pertimbangan sifat osilasinya [8]. Secara umum ada dua kategori getaran yaitu : getaran paksa dan bebas. Getaran paksa adalah getaran yang terjadi karena rangsangan gaya luar, jika rangsangan tersebut berosilasi maka sistem dipaksa untuk bergetar pada frekuensi rangsangan. Jika frekuensi rangsangan sama dengan salah satu frekuensi natural sistem, maka akan didapat keadaan resonansi dan osilasi besar yang berbahaya mungkin terjadi. Getaran tersebut mengakibatkan terjadinya kerusakan pada suatu bagian tertentu dari sistem tersebut. Oleh karena itu, kita berusaha untuk mengurangi efek-efek merugikan dari getaran dengan jalan mengisolasi, meredam dan lain sebagainya. Adapun Getaran bebas terjadi jika sistem berosilasi karena bekerjanya gaya yang ada dalam sistem itu sendiri, dan tidak ada gaya luar yang bekerja. Sistem yang bergetar bebas akan bergerak pada satu atau lebih frekuensi naturalnya, yang merupakan sifat sistem dinamika yang dibentuk oleh distribusi massa dan kekakuannya. Semua sistem yang bergetar mengalami redaman sampai derajat tertentu karena gesekan dan tahanan lain. Perhitungan frekuensi natural biasanya dilaksanakan atas dasar tidak ada redaman. Untuk memperoleh frekuensi pribadi, maka terlebih dahulu menentukan persamaan diferensial gerak suatu sistem. Untuk kasus pada gambar, diagram benda bebasnya adalah :
m x kx 0 k x x 0 m
m x kx 0
(1)
Persamaan ini merupakan persamaan diferensial gerak dari getaran bebas tanpa peredam , yang merupakan persamaan diferensial homogen orde dua. Penyelesaian umum secara matematis menghasilkan frekuensi pribadi (n) (rad/s) yaitu akar dua hasil perbandingan kekakuan (k) (N/m) dengan massa (m) (kg) :
n
k m
(2)
B. Teori Metode Elemen Hingga Metode elemen hingga adalah metode numerik yang digunakan sebagai salah satu solusi pendekatan untuk memecahkan berbagi permasalahan fisik. Adapun dasar dari metode elemen hingga adalah membagi benda kerja menjadi elemen-elemen kecil yang jumlahnya berhingga sehingga dapat menghitung reaksi akibat beban (load) pada kondisi batas (boundary condition) yang diberikan. Dari elemen-elemen tersebut dapat disusun persamaan-persamaan matriks yang biasa diselesaikan secara numerik dan hasilnya menjadi jawaban dari kondisi beban yang diberikan pada benda kerja tersebut. Metode elemen hingga (MEH) dapat mengubah suatu masalah yang memiliki jumlah derajat kebebasan tidak berhingga menjadi suatu masalah dengan jumlah derajat kebebasan tertentu sehingga proses pemecahannya lebih sederhana. Metode ini merupakan metode computer oriented yang harus
Rekayasa Material I-2
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
dilengkapi dengan program-program komputer digital yang tepat dalam penelitian ini penulis menggunakan program MATLAB untuk perhitungan numerik. MATLAB merupakan suatu program computer yang bisa membantu memecahkan berbagai masalah matematis yang kerap ditemui dalam bidang teknis. Kemampuan MATLAB dapat dimanfaatkan untuk menemukan solusi dari berbagai masalah numeric secara cepat, mulai hal yang paling dasar hingga yang kompleks, seperti mencari akar-akar polynomial, interpolasi dari sejumlah data, perhitungan dengan matriks, pengolahan sinyal, dan metode numerik [11]. Secara umum prosedur penyelesaian dengan Metode Elemen Hingga dan langkah-langkah yang digunakan sebagai berikut [12]: 1. Diskritisasi dan Memilih Konfigurasi Elemen. Langkah ini menyangkut pembagian benda menjadi sejumlah benda ―kecil‖ yang sesuai yang dinamakan elemen-elemen hingga. Perpotongan antara elemenelemen dinamakan simpul atau titik simpul . 2. Memilih Model atau Fungsi Pendekatan. Menentukan fungsi persamaan yang tepat yang akan digunakan untuk kasus model fisik yang tengah disajikan, berdasar dari karakteristik elemen tersebut. 3. Menentukan hubungan Regangan (gradient) perpindahan (yang tak diketahui) dan TeganganRegangan. 4. Menurunkan persamaan-persamaan elemen. Dengan memakai hukum atau prinsip yang tersedia, kita akan memperoleh persamaan-persamaan yang mengatur perilaku elemen. 5. Perakitan persamaan elemen untuk mendapatkan persamaan global atau persamaan rakitan dan mengenal syarat batas. 6. Memecahkan besaran-besaran primer yang tak diketahui. 7. Memecahkan besaran-besaran penurunan atau sekunder. 8. Interpretasi hasil-hasil. Prosedur perhitungan frekuensi peribadi dan kekakuan dengan metode elemen hingga dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Diskretisasi atau pembagian batang menjadi elemenelemen. Pada penelitiam ini batang dibagi menjadi 5 elemen, sehingga masing-masing elemen memiliki panjang L= / 5. Derajat kekebasan setiap titik nodalnya adalah dua, yaitu perpindahan transversal dan perpindahan sudut. Sehingga total jumlah derajat kebebasan adalah 12, seperti pada gambar 3.
2.
Menyusun matriks massa local dan matriks kekakuan lokal (elemen) dalam koordinat struktur Matriks massa lokal dan matriks kekakuan local. Matriks massa lokal dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (3) yaitu masa persatuan panjang (m) (kg/m) dikalikan dengan panjang balok perelemen (l) (m) dan dikalikan dengan matriks massa : 156 22l m ml 420 54 13l
22l 4l 2
54 13l
13l 3l 2
156 22l
13l 3l 2 22l 4l 2
(3)
Sedangkan matriks kekakuan lokal dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (4) yaitu modulus elasitisitas (E) (Kg/m2) dikalikan dengan momen inersia balok (I) (m4) dan dibagi dengan panjang balok perlemen pangkat tiga (l) (m3) kemudian dikalikan dengan matriks kekakuan : 6l 12 6l 12 6l 2 4l 6l 2l 2 (4) k EI3 6l l 12 6l 12 2l 2 6l 4l 2 6l Untuk mendapatkan momen inersia balok berikut rumus perhitungan yaitu lebar balok (b) (m) dikalikan dengan tebal balok pangkat tiga (h) (m3) kemudian dibagi dua belas : I
3.
bh 3 12
(5)
Transformasi matriks massa dan matriks kekakuan dalam koordinat lokal ke koordinat global. =
(6)
Dan transformasi matriks kekakuan sebagai berikut : (7)
=
4. Memasukan syarat batas kedalam persamaan matriks getaran batas kemudian mereduksi matriks. 5. Menyusun persamaan matriks eigenvalue setelah kondisi batas dimasukkan ke dalam persamaan matriks getaran bebas. -
Gambar 2. Pembagian Elemen Balok Komposit
=0
(8)
6. Menentukan harga frekuensi pribadi dari persamaan karekteristik eigenvalue.
Rekayasa Material I-3
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
(9)
= 7.
Menentukan nilai kekakuan dari frekuensi pribadi, dimana : k = m.
C.
senantiasa terjamin jika kita ingin mengembangkan komposit partakel dalam penelitian ini III.
METODELOGI
A.
(10)
Material Komposit dan Komponen Komposit Secara umum material komposit didefinisikan sebagai campuran makroskopik antara serat atau partikel (serbuk) dan matriks. Serat atau partikel serbuk berfungsi memperkuat matriks karena umumnya serat atau partikel serbuk lebih kuat dari matriks [13]. 1. Matriks . Matriks adalah bahan yang diperkuat oleh serat atau serbuk penguat yang berfungsi mengikat serat/serbuk yang satu dengan yang lainnya. Bahan yang paling umum dipakai sebagai matriks adalah metal atau polimer. Pada saat ini polimer paling sering dipergunakan karena lebih ringan dan tidak korosif. Matriks berfungsi melindungi serat atau serbuk dari efek lingkungan dan kerusakan akibat benturan [2]. 2. Resin Epoksi Thermosetting plastik merupakan bahan plastik yang telah mengalami reaksi kimia oleh reaksi panas atau katalis. Plastik ini tidak dapat dicairkan kembali dan diperoses kembali jika dipanasi pada suhu tinggi akan terurai dan rusak, plastik termoset ini salah satunya adalah epoksi. Keuntungan plastik termoset ini dalam aplikasi perencanaan teknik adalah kekakuan tinggi, kestabilan suhu tinggi, kestabilan dimensi tinggi, resistensi terhadap mulur dan deformasi di bawah pembebanan, ringan dan sifat isolasi termal dan listrik yang tinggi. 3. Partikel Kayu (serbuk gergaji) Sebagai Filler dan Penguat Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi partikel adalah sebagai penguat bahan untuk memperkuat komposit sehingga sifat-sifat mekaniknya lebih baik bila dibandingkan dengan tanpa penguat,selain itu partikel juga menghemat penggunaan resin. Beberapa syarat untuk dapat memperkuat matriks antara lain partikel mempunyai Modulus Elastisitas yang tinggi dan mampu menerima perubahan gaya yang bekerja padanya. Material-material partikulat pada dasarnya sama-sumbu (aquiaxed); artinya tidak ada perbedaan yang mencolok dalam ketiga dimensi ruang mereka. Material partikulat umumnya berbentukl angular, atau bulat parsial atau acak. Material partikulat sering digunakan sebagai penguat dan sebagai pengisi (filler) dalam suatu komposit. Pemakaian serbuk kayu sebanyak 25 % s/d 35% dengan resin fenolformaldehida akan mengoptimalkan kekuatan dan mengurangi biaya, karena serbuk kayu jauh lebih murah dari pada resin [2]. Dalam penelitian ini partikel kayu (serbuk gergaji) dikombinasikan dengan resin sebagai matriksnya untuk mendapatkan komposit alternatif. Kayu merupakan material yang paling banyak digunakan dibandingkan dengan material lain. Kayu telah digunakan jauh sebelum digunakannya material konstruksi lainnya, dan merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, dan tetap akan memegang peran penting. Olehnya itu ketersediaan serbuk kayu gergaji akan
Tempat, Alat, dan Bahan Penelitian Penelitian ini dilakukan secara eksperimental di Laboratorium Metalurgi Fisik Jurusan Teknik Mesin Universitas Hasanuddin untuk pembuatan specimen uji tarik dan getar, pengujian tarik di Laboratorium Teknik Mesin UKI Paulus Makassar, dan untuk pengujian getaran di Biro Perencanaan Pabrik PT. Semen Tonasa Pangkep. Peralatan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari : 1. Alat-alat pembuatan komposit yang terdiri dari : a. Cetakan kaca, sebagai media pembuatan spesimen. b. Gelas ukur, untuk mengukur volume resin dan serbuk. c. Wadah, sebagai tempat pencampuran resin, serbuk dan hardener (katalis). d. Timbangan digunakan untuk menimbang seberapa berat resin dan serbuk yang akan dicampur dalam proses pembuatan komposit sesuai dengan fraksi berat. e. Lem kaca (silicone glass) f. Amplas dan gurinda potong, untuk meratakan dan memotong spesimen sesuai ukuran standar. 2. Alat uji tarik, untuk mengetahui kekuatan tarik dan modulus elastisitas komposit. 3. Alat uji getaran yang terdiri dari : a. Alat pengukuran getaran model Lenovo Analyzer Vibration. b. Motor penggetar (eksiter). c. Tumpuan Jepit-bebas (kantilever). Bahan dalam penelitian ini adalah balok komposit yang dengan variasi filler serbuk jati dan bayam masing-masing dengan persentase 5%, 10%, 15% dan 20%. Bentuk bahan untuk uji getaran dengan dimensinya ditunjukkan pada gambar 3 berikut :
Gambar 3. Bentuk Bahan Uji Getaran B. Prosedur Pembuatan Spesimen a. Mengeringkan serbuk kayu yang ada agar memiliki kering yang seragam b. Proses pengayakan serbuk gergaji dengan ukuran ≤ 1 mm serta memisahkannya dari kotoran benda-benda asing. c. Menghitung berat masing-masing bahan dengan penimbangan pada timbangan digital sesuai perbandingan campuran komposit yang sesuai dengan rancangan awal. d. Membuat cetakan dari kaca untuk bahan uji tarik dan bahan uji getaran sesuai dengan dimensi yang diperlukan.
Rekayasa Material I-4
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
e. Mengaduk mencampur serbuk gergaji dengan resin epoksi serta katalis (hardener) sesuai persentase yang diinginkan. f. Hasil pencampuran dituang kedalam cetakan. Banyaknya tuangan tergantung pada takaran atau total volume matriks. g. Proses pengeringan pada kondisi suhu ruangan, setelah bahan seluruhnya kering, kemudian specimen dilepaskan dari cetakan. h. Membentuk specimen sesuai dengan ukuran yang sesuai pengujian. i. Melakukan pengamplasan untuk meratakan permukaanC. specimen. C. Prosedur Pengujian Tarik Mesin uji tarik yang digunakan adalah Computer Servo Control Materials Testing Machines. Prosedur pengujian tarik adalah : a. Mesin uji dihidupkan dan diset ke titik nol b. Specimen dipasang pada pencenkram selanjutnya pencengkram dikunci. c. Mengatur kecepatan aliran oli. d. Menekan tombol untuk proses penarikan dan nilai beban dan perpanjangan pada specimen hingga terjadi patah telah tercatat secara digital pada unit computer yang merupakan bagian dari sistem mesin. e. Mengeluarkan specimen yang telah patah dan mematikan mesin uji. f. Mengulangi prosedur a – e untuk spesimen yang lain D. Prosedur Pengujian Getaran Balok komposit serbuk gergaji diberikan tumpuan jepit pada salah satu ujung dan bebas pada ujung lain (kantilever), dimana motor penggetar (Eksiter) divariasikan pada posisi 10 cm, 20 cm, 30cm, 40cm, dan 50 cm (Ujung balok). Tahap pelaksanaan pengujian getaran sebagai berikut : a. Memasang balok komposit pada jepitan dengan baik. b. Meletakkan sensor getaran pada ujung atas jepitan. c. Meletakkan eksiter (motor penggetar) pada benda uji sesuai dengan posisi yang diinginkan. d. Menghidupkan motor penggetar (ON). e. Mengambil data getaran dari alat sensor getaran f. Mengulangi langkah a-e untuk posisi eksiter dan specimen yang lain. Skema pengambilan data pengujian getaran seperti gambar 5.
Gambar 5 Pengujian Getaran
E. Teknik Analisis Data Pada penelitian ini analisis hasil uji tarik dilakukan untuk menentukan nilai atau besar modulus elastisitas serta menggambarkan diagram tegangan dan regangan yang terjadi pada material komposit yang diuji. Nilai modulus elastisitas yang diperoleh dari hasil uji tarik digunakan sebagai salah satu input untuk menghitung frekuensi pribadi secara numerik. Selanjutnya analisis getaran secara numerik menggunakan metode elemen hingga, dengan membagi balok menjadi lima (5) elemen dan 6 titik nodal, dengan panjang setiap elemennya sama. Perhitungan untuk memperoleh frekuensi pribadi ( ) dan kekakuan (k) dieksekusi dengan program Matlab. Analisis secara eksperimental menggunakan metode spektrum getaran, dimana hasil yang diperoleh adalah berupa grafik frekuensi pribadi ( ), sedangkan kekakuan (k) bahan dapat diketahui dengan menggunakan persamaan k = m . . Kemudian menganalisis dari hasil perhitungan dan grafik yang diperoleh dapat dianalisis bagaiman pengaruh variasi persentase filler serta variasi penenpatan eksiter terhadap nilai-nilai frekuensi pribadi dan kekakuan pada balok komposit. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara nilai yang diperoleh secara numerik dengan hasil pengujian eksperimental (spektrum getaran) untuk mengetahui faktor kesalahan. IV.
ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Hasil pengujian modulus elastisitas selengkapnya dari masingmasing komposit dapat di lihat pada tabel 1 berikut : Tabel 1 Perhitungan Modulus Elastisitas Komposit Serbuk – Matriks Epoksi
Jenis Komposit
Gambar 4 Skema Pengambilan Data
Serbuk Jati
Serbuk Bayam
Rekayasa Material I-5
% Serbuk
E
5%
(N/mm2) 1183.92966
10%
1202.64714
15%
1101.5649
20%
730.00134
5%
1270.55196
10%
1284.73722
15%
1292.78142
20%
1026.06714
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Tabel 3 Hasil perhitungan frekuensi pribadi dan kekakuan dengan MEH untuk komposit serbuk bayam - matriks epoksi N PERSEN POSISI m (kg) k (n O
FILLER 1
5%
EKSIT ER (cm) 10
(rad/s) (kg/m) 0.060283 6,294
2,387,900
5,210
1,636,500
3,690
821,000
2,160
281,200
708
30,200
6,014
2,414,500
4,978
1,654,800
3,526
830,100
2,064
284,300
677
30,600
6,164
2,429,700
5,103
1,665,100
3,614
835,300
2,115
286,100
694
30,800
5,579
1,928,400
4,619
1,321,600
3,271
663,000
1,915
227,100
628
24,400
20 30 40 50
Gambar 6. Hubungan Modulus Elastisitas Vs Persen Serbuk Dalam Analisis Getaran baik secara eksperimental dan numerik, diketahui data input sebagai berikut - Jumlah elemen (Ne) = 5 - Panjang balok (L) = 0,5 m - Lebar balok (b) = 0,03 m - Tebal balok (t) = 0,02 m Hasil perhitungan frekuensi pribadi (n) dan kekakuan (k) dieksekusi dengan metode elemen hingga (MEH) dapat dilihat pada tabel 2 dan 3 berikut :
2
10%
1
2
PERS EN FILLE R
5%
10%
3
15%
4
20%
POSISI EKSITE R (cm) 10 20 30 40 50 10 20 30 40 50 10 20 30 40 50 10 20 30 40 50
m (kg)
n (rad/s)
30 40 50 3
15%
0.064973
0.062007
0.06427
0.07028
0.063955
30 40 50
k (kg/m) 2,225,100 1,524,900 765,000 262,000 28,200 2,260,300 1,549,000 777,100 266,200 28,600 2,070,300 1,418,800 711,800 243,800 26,200 1,372,000 940,300 471,700 161,600 17,400
10 20
4 5,852 4,845 3,431 2,008 658 6,038 4,998 3,540 2,072 679 5,676 4,699 3,328 1,948 639 4,418 3,658 2,591 1,516 497
0.066767
20
Tabel 2 Hasil perhitungan frekuensi pribadi dan kekakuan dengan MEH untuk komposit serbuk jati - matriks epoksi N O
10
20%
10
0.061953
20 30 40 50
Hasil pengujian frekuensi pribadi (n) dan kekakuan (k) secara eksperimental dengan metode spektrum dapat dilihat pada tabel 4 dan 5 berikut :
Rekayasa Material I-6
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Tabel 4 Hasil pengujian frekuensi pribadi dan kekakuan untuk komposit serbuk jati - matriks epoksi PERSEN NO
FILLER
1
5%
2
10%
3
15%
4
20%
Tabel 5
1
Uji Spektum Getar m (kg)
0.064973
0.062007
0.06427
0.07028
n (rad/s) 6,039.27 4,689.07 3,433.07 2,198.00 732.67 5,882.27 5,453.13 3,496.91 1,904.93 737.90 5,793.30 4,882.70 3,611.00 2,156.13 669.87 4,542.53 3,569.13 2,700.40 1,439.17 533.80
k (kg/m) 2369756 1428591 765772 313899 34878 2,145,496 1,843,871 758,243 225,008 33,762 2,157,051 1,532,246 838,037 298,786 28,839 1,450,200 895,277 512,493 145,564 20,026
Gambar 7 Hubungan Frekuensi Pribadi Serbuk Jati VS Posisi Eksiter
Hasil pengujian frekuensi pribadi dan kekakuan untuk komposit serbuk bayam - matriks epoksi PERSEN
NO
POSISI EKSITER (cm) 10 20 30 40 50 10 20 30 40 50 10 20 30 40 50 10 20 30 40 50
FILLER
5%
2
10%
3
15%
4
20%
POSISI EKSITER (cm) 10 20 30 40 50 10 20 30 40 50 10 20 30 40 50 10 20 30 40 50
Uji Spektum Getar m (kg)
0.060283
0.066767
0.063955
0.061953
n (rad/s) 6,228.71 5,235.43 3.977.33 2,271.27 732.67 5,929.37 4,982.13 3,595.30 2,260.80 628.00 5,871.80 5,348.47 3,522.03 2,208.47 648.93 5,484.53 4,532.07 3,181.87 1,831.67 659.40
k (kg/m) 2,338,805 1,652,348 953,633 310,981 32,360 2,347,342 1,657,259 863,038 341,259 26,332 2,205,043 1,829,503 793,344 311,929 26,932 1,863,563 1,272,498 627,233 207,854 26,938
Gambar 8 Hubungan Frekuensi Pribadi Serbuk Bayam VS Posisi Eksiter Gambar 8 menunjukkan untuk serbuk kayu bayam nilai frekuensi pribadi maksimum pada persentase serbuk 15% dan jarak exciter 10 cm dengan nilai 6164 rad/s dan minimum pada persentase 20% dengan nilai 628 rad/s pada jarak exciter 50 cm. Nilai frekuensi pribadi (ωn) komposit serbuk jati dan bayam dipengaruhi oleh modulus elastisitas bahan yang mana modulus elastisitas ditentukan oleh persentase filler dalam komposit.
Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai frekuensi pribadi (ωn) maksimum pada persentase serbuk 10% untuk kayu jati dengan nilai 6038 rad/s pada posisi exciter 10 cm, dan mengalami penurunan yang cukup signifian pada persentase 20% . Minimum pada persentase serbuk 20% dengan nilai 497 rad/s pada jarak exciter 50 cm .
Gambar 9. Hubungan Kekakuan Serbuk Jati VS Posisi Eksiter
Rekayasa Material I-7
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Gambar 9 menunjukkan bahwa nilai kekakuan (k) maksimum pada persentase serbuk jati 10% kemudian menurun pada persentase 15% dan minimum pada persentase serbuk jati 20% baik untuk analisis secara eksperimental maupun analisis secara numerik. Peningkatan nilai kekakuan komposit (k) komposit serbuk jati ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai frekuensi pribadi (ωn) akan meningkatkan pula nilai kekakuan komposit (k).
dengan jarak eksiter 10 cm. Dan kekakuan maksimum pada 15% serbuk bayam dengan nilai kmax = 2429700 kg/m pada jarak eksiter 10 cm, dan minimum pada komposit serbuk jati 20% dengan posisi eksiter 50 cm dengan nilai nmin = 497 rad/s, kmin = 17400 kg/m. DAFTAR PUSTAKA [1]
Gambar 10. Hubungan Kekakuan Serbuk Bayam VS Posisi Eksiter Gambar 10 menunjukkan bahwa nilai kekakuan komposit serbuk bayam (k) akan menurun seiiring dengan peletakan posisi penggetar mulai 10 cm, 20 cm, 30 cm, 40 cm dan 50 cm dari jepitan untuk masing-masing persentase serbuk 5%, 10%, 15% dan 20%. Pada persentase serbuk 10%, untuk analisis secara numerik nilai kekakuan komposit maksimum adalah 2260300 kg/m (posisi penggetar 10 cm), sedangkan nilai kekakuan komposit minimum adalah 17400 kg/m (posisi penggetar 50 cm).
V.
KESIMPULAN
Dari hasil perhitungan frekuensi pribadi dan kekakuan secara numerik serta pengujian secara eksperimental, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Nilai Modulus Elastisitas komposit serbuk maksimum pada komposit serbuk bayam 15% dengan nilai E max = 1292.78 N/mm2 dan minimum pada komposit serbuk jati 20% dengan nilai Emin = 730 N/mm2. 2. Nilai frekuensi pribadi dan kekakuan komposit dipengaruhi oleh persentase filler serbuk. Untuk komposit serbuk jati nilai maksimum pada persentase serbuk jati 10% dengan nilai nmax = 6038 rad/s, kmax = 2260300 kg/m dan minimum pada pesentase serbuk 20% dengan nilai nmin = 497rad/s, kmin = 17400 kg/m. Untuk komposit serbuk kayu bayam nilai maksimum pada pesentase 5% dengan nilai nmax = 6294 rad/s dan pada 15% untuk kekakuan dengan, kmax = 2429700 kg/m dan minimum pada pesentase serbuk 20% dengan nilai nmin = 628 rad/s, kmin = 24400 kg/m 3. Nilai frekuensi pribadi dan kekakuan komposit mengalami penurunan dengan bertambah jauhnya posisi eksiter dari tumpuan jepitan, maksimum pada komposit serbuk kayu bayam 5% dengan nilai nmax = 6294 rad/s
Vlack, Van.,1990, ―Ilmu Dan Tekhnologi Bahan‖. PT.Erlangga , Jakarta. [2] Vlack, Van.,2004,. ―Elemen-elemen Ilmu Dan Rekayasa Material‖.PT. Erlangga, Jakarta. [3] Saragih, Risdewati.,2009, ― Uji Laboratoris Daya Tahan Komposit Serbuk Kayu Plastik Polietilena Berkerapatan Tinggi Setelah Pelunturan Terhadap Serangan Rayap Tanah‖ Institut Pertanian Bogor. [4] Yavu, Isei Ledua., 2008, ―Fracture toughness of phenolic resins composite by using saw dust as filler of percentage by weight‖. Dissertation, University of Southern Queenland. [5] Slamet., 2013, ― Komposit Partikel Kayu Gergaji (sawdust) dengan Resin Urea Formaldehid sebagai bahan baku utama box speaker ‖ Universitas Muria Kudus [6] Endrianto, Nanang., 2012, ―Analisis Numerik dan Eksperimental Getaran Balok Komposit yang diperkuat Serat Ijuk‖. Tesis tidak dipublikasikan, Makassar. [7] Mustafa. 2010, ‖Analisis Numerik dan Eksperimental Getaran Balok Komposit yang diperkuat Serat Kaca‖. Tesis tidak dipublikasikan, Makassar [8] Tungga., 2011, ―Dasar-dasar Getaran Mekanis‖. Andi Offset , Yogyakarta. [9] Kelly, S Graham.,1996, ― Fundamentals of Mechanical Vibrations‖ edition.McGraw-Hill, Inc, United states of America. [10] Kosasih, Prabuono Buyung.,2012. ―Teori dan Aplikasi Metode Elemen Hingga‖. Andi Offset , Yogyakarta. [11] Widiarsono,Teguh., 2005, ― Tutorial Praktis Belajar Matlab‖. Jakarta. [12] Chandrakant, S Desai.,1988, ―Dasar-dasar Metode Elemen Hingga‖. Erlangga , Jakarta. [13] Edward, H Smith., 2000, ―Mechanical Engeneers Reference Book‖. The Bath Press Beth, Great Britain.
Rekayasa Material I-8
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Analisa Eksperimen Daerah Penyekatan Pada Proses Karburasi Setempat Terhadap Nilai Kekerasan Baja Karbon Andri Yono
Johanes Leonard
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Musamus Merauke, Indonesia
[email protected]
Jurusan Mesin , Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected]
Abstract— This study aims to determine the hardness and the distance that can still be the local carburizing process when most of the material covered with clay (clay). In this process does not fully carburizing material, but only partially and the other material in the pack with fireproof clay. Some of the material in its use should not be hardened completely, but only partially. This solid carburizing process itself uses activated carbon from coconut shells that have been refined at 0.2 mm and the barium carbonate is added energizer (CaCO3) in the ratio between coconut shell powder with barium carbonate by 85%: 15%. To stand in the implementation of carburizing time is 1 hour, 2 hours and 3 hours. Raw material used in this study is the low carbon steel (0.14% C) and medium carbon steel (0.47% C). The research was conducted at the Laboratory Metallurgi Hasanuddin University Faculty of Mechanical Engineering, Laboratory of PT. Sucofindo Indonesia, Jakarta and Universitas Kristen Indonesia Paulus Metallurgi Laboratory Makassar. Testing methods used were experimental testing. Data is collected by taking a direct test data on the test equipment. Data were analyzed theoretically based on experimental test data in the field. The results obtained violence Highest Value for a low carbon steel in a row to hold the 1, 2 and 3 hours is 12.3 HRC, 20.5 HRC and 35.4 HRC. As for the medium carbon steel was HRC 14.3, 19.1 HRC and 28.4 HRC. To the distance that can still happen carburizing of insulation limit is 0.5. mm, 1 mm, and 2.5mm on the low carbon steel. For medium-carbon steel 0 mm, 0.5 mm and 1.0 mm. Key words— solid carburizing, carburizing local, carbon steel, coconut shell charcoal
I. PENDAHULUAN Proses perlakuan panas pada suatu logam dilakuan untuk mendapatkan sifat – sifat baru dari logam itu sendiri. Sifat – sifat baru ini tentunya akan digunakan untuk kepentingan yang baru pula. Terkait dengan sifat dari suatu logam, hal – hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sifat yang baru ini harus lebih baik dari yang sebelumnya. Proses karburasi pada suatu logam adalah salah satu proses untuk meningkatkan nilai kekerasan logam pada permukaannya. Proses ini bertujuan melapisi permukaan suatu logam dengan karbon sehingga diperoleh sifat yang keras. Kita tahu bahwa carbon mempunyai nilai kekerasan yang sangat tinggi, dan dengan masuknya unsur karbon pada permukaan logam tersebut, maka nilai kekerasan pada permukaan dari
logam tersebut akan meningkat. Proses karburasi dilakukan dengan cara memanaskan logam yang sudah dibungkus dengan konsentrat carbon pada temperatur ±9120C didalam ruang yang tertutup rapat tanpa terjadi oksidasi dengan udara luar [1]. Pemanasannya sendiri dilakukan menggunakan beberapa cara antara lain dengan oven listrik, tanur pemanas dan beberapa dapur pemanas konvensional lainnya. Beberapa logam dalam penggunaannya, tidak seluruhnya harus dikeraskan permukaannya. Hanya beberapa bagian saja dari logam itu yang harus ditingkatkan kekerasannya, seperti pada poros baling-baling kapal konvensional. bagian yang perlu dikeraskan yaitu pada dudukan baling-baling, dudukan bantalan dan dudukan flens antara gearbok dengan porosnya. Poros pada dinamo motor listrik, pada dudukan bantalan di kedua ujungnya harus ditingkatkan nilai kekerasannya untuk menghindari keausan. Dan masih banyak lagi aplikasi seperti ini yang biasa diterapkan dalam industri – industri permesinan. Sifat tahan aus dan tahan pembebanan dari suatu logam dapat diperoleh dengan jalan mempertinggi nilai kekerasan pada permukaan yang menjadi kontak langsung terjadinya suatu pembebanan itu [2]. Oleh karena itu perlu dipikirkan bagaimana kita bisa mendapatkan nilai kekerasan pada tempat yang menjadi kontak langsung pembebanan tanpa melakukannya pada daerah yang lainnya. Untuk itulah pengerasan permukaan setempat ini sering diperlakukan pada logam-logam yang dalam penggunaannya seperti yang tersebut diatas. Material yang digunakan untuk penelitian ini menggunakan baja karbon rendah (< 0.3 %C) dan baja karbon menengah (0.3 – 0.6 %C) [3]. Sedangkan bahan penyekat dalam proses karburising setempat ini menggunakan bahan tanah liat tahan api yang mempunyai koefisien perpindahan panas dan konduktifitas termal yang kurang baik dan mempunyai titik lebur yang tinggi sebesar 1700 0C [4]. Namun demikian karena susutnya yang sangat besar, maka perlakuan yang lain harus diberikan seperti pemberian tekanan dan pre-heating sebelum dilakukan proses karburasing[4] II. LANDASAN TEORI A. Baja
Rekayasa Material I-9
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Baja merupakan bahan industri yang paling banyak dipergunakan pemanfaatannya karena beberapa faktor utama diantaranya karena sifat-sifatnya yang bervariasi. Baja diklasifikasikan berdasarkan pemakaian yang luas, mikrostrukturnya yang kompleks, kadar karbon dan komposisi kimia serta dalam bentuknya. [3] B. Struktur Mikro Baja Baja merupakan logam campuran antara besi dan karbon Fe + C dan beberapa unsur-unsur ikutan yang hampir tidak mungkin dapat dihilangkan 100%. Unsur – unsur itu antara lain; Sulfur, Silikon, Mangaan dan Phospor. Hal penting untuk mengetahui struktur mikro baja adalah dengan memperhatikan diagram kesetimbangan Fe – C dibawah ini;
Gambar 1. Diagram Fasa Fe – Fe3C
Pada diagram fasa diatas terdapat titik – titik penting untuk diperhatikan antara lain; A : Titik cair besi B : Titik pada cairan yang berhubungan dengan reaksi peritektik. H : Larutan padat , berhubungan dengan reaksi peritektik. Pelarutan karbon maksimum 0,10%. J : Titik peritektik. Selama pendinginan austenite pada komposisi J, fasa terbentuk dari larutan padat pada komposisi H dan cairan pada komposisi B. N: Titik transformasi dari besi besi , titik transformasi A4 dari besi murni. E : Titik yang menyatakan fasa , ada hubungan dengan reaksi eutektik. Kelarutan maksimum dari karbon 2,14%. Besi karbon pada komposisi ini disebut baja. G: Titik transformasi dari besi besi α. Titik transformasi A3.
P : Titik yang menyatakan ferit, fasa α, ada hubungan dengan reaksi eutectoid. Kelarutan maksimal dari karbon kira – kira 0,02%. S : Titik eutectoid. Selama pendinginan, ferit pada komposisi P dan sementit pada komposisi K (sama dengan F) terbentuk simultan dari austenite pada komposisi S. Reaksi eutectoid ini dinamakan transformasi A1, dan fasa eutectoid ini dinamakan perlit. ES : Garis yang menyatakan antara temperatur dan komposisi, dimana mulai terbentuk sementit dari austenite, dinamakan garis Acm. Ferrite adalah fasa larutan padat yang memiliki struktur BCC (body centered cubic). Secara umum fasa ini bersifat lunak ulet dan magnetic hingga temperatur tertentu. Kelarutan karbon di dalam fasa ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan kelarutan karbon di dalam fasa larutan padat lain di dalam baja, yaitu fasa Austenite. Pada temperatur ruang, kelarutan karbon di dalam -ferrite hanyalah sekitar 0,05%. Fasa Austenite memiliki struktur atom FCC (Face Centered Cubic). Dalam keadaan setimbang fasa Austenite ditemukan pada temperatur tinggi. Fasa ini bersifat non magnetik dan ulet (ductile) pada temperatur tinggi. Secara geometri, dapat pula dihitung perbandingan besarnya ruang intertisi di dalam fasa Austenite (FCC) dan fasa Ferrite (BCC). Cementite atau carbide dalam sistem paduan berbasis besi adalah stoichiometric inter-metallic compund Fe3C yang keras (hard) dan getas (brittle). Cementite dapat berada di dalam sistem besi baja dalam berbagai bentuk seperti: bentuk bola (sphere), bentuk lembaran, atau partikel-partikel carbide kecil. Pearlite memilki struktur kristal BCC. Kelarutan maksimum atom C di dalam Fe adalah 0.09% pada suhu 1495°C. Perlite merupakan campuran : (88% Ferit + 12% karbida besi, sementit). Karbida berada dalam bentuk lamina atau plat dalam matriks ferit. Karbida memberikan sifat kuat dan keras, sedangkan ferit memberikan sifat keuletan [5]. Beberapa unsur yang tidak dapat dihilangkan seluruhnya dalam pembuatan baja adalah: - Silicon (Si), merupakan salah satu pokok deoxidizer yang digunakan dalam pembuatan baja. Kandungan silicon menentukan jenis baja yang dihasilkan. Umumnya kurang dari 0,10%. - Mangaan (Mn), tidak membahayakan dan mengimbangi sifat jelek dari sulfur. Ditambahkan pada baja yang akan memperbaiki hot working dan meningkatkan kekuatan, kekerasan dan ketangguhan. Baja karbon mengandung mangan lebih 1 %. Mangan (Mn) terdapat hampir pada semua baja dalam jumlah dari 0.30% atau lebih. - Phosfor (P), kadar Maksimum 0,05%. Dapat meningkatkan kekuatan dan ketahanan korosi. Fosfor meningkatkan kekuatan baja. Apabila kandungan P meningkat, maka elastisitas dan ketahanan terhadap benturan pada baja menurun, dan menaikkan coldshortness. - Sulfur (S), Sulfur adalah suatu zat yang biasanya terdapat pada baja tetapi keberadaanya tidak begitu diinginkan karena membentuk besi sulfida yang mempunyai titik leleh rendah dan bersifat rapuh. Kandungannya dijaga serendah mungkin yaitu di bawah 0,05%.
Rekayasa Material I-10
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
C. Difusi Atom Difusi adalah peristiwa berpindahnya suatu zat dari bagian yang berkonsentrasi tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah. Dalam hal ini adalah proses penambahan karbon aktif ke dalam permukaan baja karbon rendah [1]. Bila suhu pada suatu material naik, maka atom-atomnya akan bergetar dengan energi yang lebih besar dan sejumlah kecil atom akan berpindah dalam kisi.
12
karbon
Titanium htp
3 x 10-16
(2 x10-11)
Dalam hukum Fick Kedua dinyatakan; (Pers. 2) Dimana laju perubahan konsentrasi berubah dengan waktu. Nilai – nilai dan ditentukan secara eksperimen untuk menentukan nilai D pada tabel diatas. E. Kedalaman Difusi Teknik karburasi pada baja termasuk penerapan proses difusi. Selain Difusifitas perlu pula diperhatikan waktu lamanya proses karburasi dan konsentrasi awal dari spesimen. Persamaan dibawah ini memberikan solusi untuk menghitung kedalaman difusi karbon. (Pers.3)
Gambar 2. Mekanisme terjadinya Difusi
D. Difusifitas Atom Energi yang diperlukan atom untuk berpindah tempat disebut energi aktivasi yang dinyatakan dalam Q (kalor/mol), sebagai E (J/atom) atau sebagai eV/atom.
C adalah Konsentrasi karbon (%) pada jarak x (mm) dari permukaan specimen. Co merupakan Konsentrasi Karbon pada material induk (%). Sedangkan C1 Konsentrasi Karbon pada permukaan spesimen (%). erf ( = erf (y) merupakan fungsi dari variabel y (fungsi Kesalahan Gauss). y = x/2Dt (Pers.4) Nilai untuk erf (y) diberikan pada tabel dibawah ini. Tabel 2.Nilai Fungsi Kesalahan Gauss (erf (y))
Gambar 3. Pergerakan Atom secara Interstisi
Fluks atom, J (atom/m2sec) sebanding dengan gradient konsentrasi (C1 - C2)/(X1 – X2) atau sering dinyatakan; (Pers.1) dimana D disebut difusifitas atau koefisien difusi. Persamaan diatas sering disebut sebagai hukum Fick Pertama. Nilai dari D untuk beberapa material dilihat pada tabel berikut; Tabel 1 Difusifitas Atom (D) Difusifitas, Atom Pelarut (struktur ( m2 /detik ) No yang Induk) Larut 5000 C 10000 C -15 1 karbon Besi kps (5 x10 ) 3 x 10-11 2 Karbon Besi kpr 10-12 (2 x10-9) -23 3 Besi Besi kps (2 x10 ) 2 x10-16 -20 4 Besi Besi kpr 10 (3 x10-14) -23 5 Nikel Besi kps 10 2 x10-16 -24 6 Mangan Besi kps (3 x10 ) 10-16 -18 7 Seng Tembaga 4 x10 5 x10-13 -14 Alumunium 4 x10 8 Tembaga 10-10M∓ -18 9 Tembaga Tembaga 10 2 x10-13 -17 10 Perak Perak (Kristal) 10 10-12M -11 11 Perak Perak (batas butir) 10 -
y 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
erf (y) 0.000 0.112 0.223 0.329 0.428 0.521 0.604 0.678
y 0.8 0.9 1.0 1.2 1.4 1.5 2.0 2.4
erf (y) 0.742 0.797 0.843 0.911 0.952 0.966 0.995 0.999
F. Perlakuan Panas Pada Baja Proses perlakuan panas yaitu proses mengubah sifat logam dengan cara mengubah struktur mikro melalui proses pemanasan dan pengaturan kecepatan pendinginan dengan atau tanpa merubah komposisi logam yang bersangkutan. Adanya sifat polymorphism dari besi menyebabkan timbulnya variasi struktur mikro. Polymorphism itu sendiri adalah merupakan transformasi dari satu bentuk susunan atom (sel satuan) kebentuk susunan atom yang lain. Pada temperatur dibawah 9000 C sel satuan Body Cubic Center (BCC), temperatur antara 9000 C dan 13920 C sel satuan Face Cubic Center ( FCC ) sedangkan temperature diatas 13920 C sel satuan kembali menjadi BCC bentuk sel satuan di tunjukkan pada gambar dibawah ini :
Rekayasa Material I-11
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Gambar 4. Struktur Atom BCC dan FCC
Perubahan bentuk atom (sel satuan) akibat pemanasan di tunjukkan pada gambar dibawah ini;
Gambar 5.
Perubahan bentuk struktur atom akibat pemanasan pada besi
Proses perlakuan panas ada dua kategori yaitu : -Softening (Pelunakan) : Anealing, Tempering, Austempering -Hardening (pengerasan), diantaranya: 1. Pengerasan Permukaan Pengerasan permukaan adalah proses laku panas untuk mendapatkan kekerasan pada bagian permukaannya saja sedang bagian dalam tetap berada pada sifat semula yaitu keuletan maupun ketangguhan yang tetap tinggi. 2. Karburisasi (Carburizing) Karburising adalah proses menambahkan karbon ke permukaan benda, dilakukan dengan memanaskan benda kerja dalam lingkungan yang mengandung karbon aktif, sehingga karbon berdifusi masuk ke permukaan baja. Berdasarkan bentuk fisik media karburasi dikenal dengan tiga cara karburasi. - Karburising Padat (Pack Carburizing),adalah proses karburisasi pada permukaan benda kerja dengan menggunakan karbon yang didapat dari bubuk arang. Bahan karburisasi ini biasanya adalah arang tempurung kelapa, arang kokas, arang kayu, arang kulit atau arang tulang. Benda kerja yang akan dikarburising dimasukkan ke dalam kotak karburisasi yang sebelumnya sudah diisi media karburisasi. Selanjutnya benda kerja ditimbuni dengan bahan karburisasi dan benda kerja lain diletakkan diatasnya demikian seterusnya. Bahan karbonat ditambahkan pada arang untuk mempercepat proses karburisasi. Bahan tersebut adalah barium karbonat (BaCO3) dan soda abu (NaCO3) yang ditambahkan bersama-sama dalam 10 – 40 % dari berat arang. Reaksi yang terjadi adalah ; CO2 + C (arang) -------------> 2CO Dengan temperatur yang semakin tinggi kesetimbangan reaksi makin cenderung ke kanan makin banyak CO. 2CO -------------> CO2 + C (larut ke dalam baja)
Dimana C yang terbentuk ini merupakan atom karbon (carbon nascent) yang aktif berdifusi masuk ke dalam fase austenit dari baja ketika baja dipanaskan. Besarnya kadar karbon yang terlarut pada baja dalam larutan pada gamma fase austenit selama karburisasi maksimal 2.1 % (Diagram Fasa Fe – C). - Karburising Cair (Liquid Carburizing) Karburising proses cair adalah proses pengerasan baja dengan cara mencelupkan baja yang telah ditempatkan pada keranjang kawat ke dalam campuran garam cianida, kalsium cianida (KCN), atau natrium cianida (NaCN). Dengan pemanasan akan terjadi reaksi-reaksi: 2NaCN + O2 -------------> 2 NaCNO 4NaCNO -------------> 2NaCN + Na2CO3 + CO + 2N 3Fe + 2CO -------------> Fe3C + CO2 Pada proses karburisasi ini selain terserapnya karbon, nitrogen juga ikut terserap. Karburisasi cair hampir sama dengan cyaniding, bedanya terletak pada tingkat perbandingan banyaknya karbon dan nitrogen yang terserap. - Karburising Media Gas (Gas Carburizing) Proses pengerasan ini dilakukan dengan cara memanaskan baja dalam dapur dengan atmosfer yang banyak mengandung gas CO dan gas hidro karbon yang mudah berdifusi pada temperatur karburisasi 9000C – 9500C selama 3 jam. 3. Nitriding Proses nitriding adalah proses thermokimia ferritik dimana atom nitrogen berdifusi pada fase ferit dalam dapur dengan Temperatur 500–590 0C dan atmosfirnya mengandung Nat, dan akan bereakai dengan unsur yang ada dalam baja membentuk nitride, dan tidak ada tranformasi lagi yang terjadi. Nitrida yang terbentuk sangat keras dan stabil. 4. Pengerasan Cara Induksi Proses pemanasan induksi, adalah proses perlakuan panas seperti halnya pemanasan dengan nyala api, hanya saja sumber panas diperoleh dari arus induksi yang terjadi karena adanya medan magnet yang berubah-ubah dengan sangat cepat . Bila arusnya bolak balik maka besar dan arah medan magnitnyapun akan selalu berubah dan perubahan medan magnit yang besar ini akan menimbulkan arus listrik. 5. Pengerasan Nyala Api Flame hardening adalah metode pengerasan permukaan yang paling sederhana, yaitu dengan menyemburkan panas dari busur las yang mengandung gas asetelin kemudian dilakukan kuens. Baja yang dapat diflame hardening sama dengan baja untuk proses induksi. G. Pengujian Kekerasan Pengujian Kekerasan adalah satu dari sekian banyak pengujian yang dipakai, karena dapat dilaksanakan pada benda uji yang kecil tanpa kesukaran mengenai spesifikasi. Kekerasan (Hardness) adalah salah satu sifat mekanik (Mechanical properties) dari suatu material. Kekerasan juga didefinisikan sebagai kemampuan suatu material untuk menahan beban identasi atau penetrasi (penekanan). Beberapa cara untuk menentukan kekerasan antara lain: a. Cara goresan. b. Cara Dinamik, yaitu dengan menjatuhkan bolabaja pada permukaan logam, dimana tinggi pantulan dipakai sebagai penentu kekerasan. c. Cara Penekanan, dilakukan dengan cara menekan suatu bahan seperti kerucut intan pada benda uji.
Rekayasa Material I-12
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Bekas penekanan ini yang akan diukur kedalamannya sebagai penentu kekerasannya. Cara ini terbagi menjadi 3 bagian, yaitu; 1) Cara Brinell Penentuan kekerasan dengan cara menekankan bola baja ke permukaan benda uji dengan gaya tertentu. Pengujian kekerasan Brinell merupakan pengujian standard secara industri, tetapi karena penekannya terbuat dari bola baja yang berukuran besar dan beban besar, maka bahan lunak atau keras sekali tidak dapat diukur kekerasannya. 2) Cara Vickers Pada cara ini digunakan sebuah intan berbentuk limas segi empat dengan sudut puncak 360 ditekan pada bahan dngan gaya tertentu. Seperti pada Brinell, kekerasan Vickers dihitung dari perbandingan gaya dan luas dari bekas tekan limas. 3) Cara Rockwell Cara ini berbeda dengan dua cara yang terdahulu, prinsip pengukurannya didasarkan pada kedalaman masuknya indentor. Makin dangkal penekanan indentor, makin keras pula material yang diuji. Kerucut intan dan bola baja sering dipakai sebagai indentornya dengan diameter 1/16, 1/8, dan 1/2 inchi. III. ANALISIS MODEL DAN PEMBAHASAN A. Tempat Penelitian 1. Bengkel Teknologi Mekanik Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar sebagai tempat pembuatan Kotak karburising dan pembentukan specimen pengujian. 2. Laboratorium PT Sucofindo Jakarta sebagai tempat pengujian Uji Komposisi Kimia Spesimen. 3. Laboratorium Metallurgi Jurusan Teknik Mesin UKIP Makassar. B. Bahan dan Peralatan Yang Digunakan - Bahan 1. Baja pelat 3 mm, untuk membuat kotak karburasi. 2. Tanah liat, sebagai penyekat pada sebagian specimen yang tidak dikarburasi. 3. Bubuk arang tempurung kelapa dengan diameter 0.25 mm, sebagai penghasil karbon aktif dan ditambahkan BaCaO (Barium Karbonat). 4. Kalsium karbonat, sebagai penguat tanah liat agar tidak terjadi keretakan pada saat proses karburasi. 5. Ampelas, digunakan untuk menghaluskan dan menghilangkan kotoran-kotoran pada specimen selama proses dilakukan. Ampelas yang digunakan no. 100, 250, 600, 800 sampai no 1000. 6. Asam Nital, sebagai larutan yang digunakan untuk membersihkan hasil pengetsaan agar struktur mikronya dapat dilihat pada mikroskop. - Peralatan yang digunakan 1. Oven Listrik, untuk memanaskan specimen pada proses karburasi. Temperatur Pemanasan yang digunakan adalah 9000 C. 2. Mesin las,untuk membuat kotak karburasi. 3. Jangka sorong, untuk mengukur ketinggian specimen yang terkarburasi dan mengukur besarnya retakan pada penyekat setelah proses karburasi.
4.
Mesin Uji Kekerasan Rockwell, untuk mengukur kekerasan spesimen sebelum dan sesudah proses karburasi. 5. Mesin poles, untuk menghaluskan specimen sebelum pengujian strukturmikro. 6. Mikroskop, untuk melihat dan mendokumentasikan struktur mikro specimen. C. Hasil Pengujian dan Pembahasan 1. Nilai Kekerasan Raw Material - Baja Karbon Rendah 4.4 skala HRC. - Baja Karbon Menengah 13.7 skala HRC. 2. Analisa Komposisi Kimia Raw Material No
Unsur
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Fe C Si Mn P S Ni Cr Mo
Komposisi (% Berat) Baja Karbon Baja Karbon Rendah Menengah 98.559 98.509 0.140 0.470 0.001 0.089 0.633 0.511 0.015 0.028 0.100 0.090 0.11 0.059 0.071 0.112 0.009 0.007
3. Nilai Kekerasan
Gambar 6. Grafik Hubungan Nilai Kekerasan VS Jarak dari (Waktu Tahan 1 Jam)
Rekayasa Material I-13
Penyekat
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
(a) 12 HRC
(b) 4.7 HRC
Gambar 10. Difusi karbon waktu tahan 1 jam (0.14 %C)
- Baja Karbon Menengah
Gambar 7. Grafik Hubungan Nilai Kekerasan VS Jarak dari (Waktu Tahan 2 Jam)
Penyekat
(a) 14.2 HRC
(b) 13.7 HRC
Gambar 11. Difusi karbon pada waktu tahan 1 jam (0.47 % C)
3. Waktu Tahan 2 Jam - Baja Karbon Rendah
Gambar 8.
Grafik Hubungan Nilai Kekerasan VS Jarak dari Penyekat (Waktu Tahan 3 Jam)
D. Pengujian Struktur Mikro
(a) 20.4 HRC
(b) 4.9 HRC
Gambar 12. Difusi karbon pada waktu tahan 2 jam (0.14 %C)
1. Raw Material
- Baja Karbon Menengah
(a) 0.14% C
(b) 0.47% C
Gambar 9. Struktur mikro Raw Material
2. Waktu tahan 1 Jam - Baja Karbon Rendah
(a) 19.1 HRC
KarbonIV. yang berdifusi
(b) 13.8 HRC
Gambar 13. Difusi karbon pada waktu tahan 2 jam (0.47 %C)
4. Waktu Tahan 3 Jam - Baja Karbon rendah
Rekayasa Material I-14
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
(a) 35.3 HRC
(b)5.0 HRC
Gambar 14. Difusi karbon pada waktu tahan 3 jam (0.14 %C)
- Baja karbon menengah
Gambar 17. Grafik Hubungan Kedalaman Difusi Vs Persentase Karbon (Waktu Tahan 2 Jam)
(a) 28.5 HRC
(b) 13.8 HRC
Gambar 15. Difusi karbon pada waktu tahan 3 jam (0.47 %C)
E. Kedalaman Difusi Dari diagram Fe-Fe3C diperoleh persentase karbon tertinggi yang dapat dicapai oleh specimen pada suhu 9000 C sebesar 1.2 %. Persentase karbon pada raw material = 0.14 % untuk baja karbon rendah, dan 0.47 % untuk baja karbon menengah. Dengan menggunakan persamaan 2.3, dan dengan menggunakan tabel 2.2 (Konstanta Difusifitas Atom) pada temperatur 9000 C diperoleh D = 5.9 x 10-12 m2/s atau 5.9 x 10-6 mm2/s, dan dengan Tabel 2.3 (Nilai Fungsi Kesalahan Gauss (erf)),dimana nilai untuk erf (x/2Dt) = erf (y), diperoleh kedalaman difusi dan persentase karbon pada setiap x (mm) dari permukaan baja karbon adalah sebagai berikut;
Gambar 18. Grafik Hubungan Kedalaman Difusi Vs Persentase Karbon (Waktu Tahan 3 Jam)
F. Pembahasan Untuk waktu tahan 1 jam, peningkatan kekerasan terjadi pada baja karbon rendah sebesar 12.5 HRC. Pada batas penyekatan masih terjadi difusi pada spesimen yaitu dengan meningkatnya kekerasan dititik 0 setelah batas penyekatan sebesar 8.5 HRC dan mulai menurun kekerasannya dititik 0.5 mm yaitu 4.7 HRC. Hal ini terjadi dikarenakan persentase carbon setelah batas penyekatan lebih sedikit dibandingkan pada daerah yang terkarburasi sempurna. Untuk baja karbon menengah, peningkatan kekerasan kurang tinggi, dikarenakan kandungan karbon pada baja karbon menengah mengurangi ruang interstisi dari karbon aktif untuk berdifusi pada permukaan spesimen. Nilai kekerasan tertinggi sebesar 14.4 HRC dan 13.9 HRC pada batas penyekatannya.
Gambar 16. Grafik Hubungan Kedalaman Difusi Vs Persentase Karbon (Waktu Tahan 1 Jam)
Untuk waktu tahan 2 jam, pada specimen baja karbon rendah terdapat kenaikan nilai kekerasannya yaitu pada kisaran 20.4 skala HRC dan mulai menurun nilainya didaerah penyekatan. Pada batas penyekat nilai kekerasan masih tinggi sekitar 17.8 HRC. Setelah jarak 1 mm setelah penyekat nilai kekerasannya sama dengan kekerasan sebelum diberikan
Rekayasa Material I-15
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
perlakuan. Untuk baja karbon menengah, juga terjadi peningkatan nilai kekerasan sebesar 19.1 HRC, sampai pada batas penyekatan sejauh 0.5 mm nilai kekerasannya mulai menurun sebesar 13.8 HRC. Beberapa hal yang mempengaruhi kenaikan nilai kekerasannya adalah adanya kecukupan energi untuk atom karbon berdifusi pada permukaan specimen. Setelah waktu tahan 3 jam, diperoleh nilai kekerasan tertinggi pada baja karbon rendah yaitu pada kisaran 35.3 skala HRC. Hal ini dikarenakan dengan bertambahnya waktu tahan, energi yang lebih besar dapat diperoleh sehingga atom karbon dapat berdifusi lebih dalam pada permukaan material. Sedangkan difusi atom masih terjadi setelah jarak 2 mm setelah batas penyekatan. Untuk baja karbon menengah terjadi kenaikan nilai kekerasan sampai 28.5 HRC. Difusi masih terjadi sejauh 1 mm setelah batas penyekatan. E. KESIMPULAN Dari hasil pengujian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: - Untuk Baja Karbon Rendah Nilai kekerasan untuk waktu tahan 1 jam sebesar 12.3 skala HRC pada daerah yang terkarburasi dan nilai kekerasan 4.7 HRC pada titik 0.5 mm setelah batas penyekatan. Untuk waktu tahan 2 jam sebesar 20.5 HRC dan 4.9 HRC pada titik 1 mm setelah batas penyekatan. Sedangkan untuk waktu tahan 3 jam diperoleh nilai
kekerasan tertinggi sebesar 35.4 HRC dan 5.0 HRC pada titik 2.5 mm setelah batas penyekatan, dimana titik ini merupakan titik terjauh pada penelitian ini dimana karbon masih berdifusi. - Untuk Baja Karbon Menengah Nilai kekerasan untuk waktu tahan 1 jam sebesar 14.3 HRC dan 13.9 HRC pada batas penyekatan. Untuk waktu tahan 2 jam diperoleh nilai kekerasannya sebesar 20.5 HRC dan 13.8 pada titik 0.5 mm setelah batas penyekatan. Sedangkan untuk waktu tahan 3 jam nilai kekerasannya mencapai 28.4 HRC dan 14.0 HRC pada titik 1 mm setelah batas penyekatan. DAFTAR PUSTAKA [1] Lawrence H. Van Vlack . 2004. ”Elemen-elemen Ilmu dan Rekayasa Material”.6th Edition PT. Erlangga, Jakarta. [2] R.E Smallman, R.J. Bishop . 1999. ”Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa Material”. PT. Erlangga, Jakarta. [3] Lawrence H. Van Vlack . 1990. ”Ilmu dan Teknologi Bahan”.4th Edition PT. Erlangga, Jakarta. [4] B.J.M. Beumer. 1994. ”Ilmu Bahan Logam Jilid I, II, III”. Bhratara, Jakarta. [5] Saito, Shinroki., Surdia Tata, 1999, ”Pengetahuan Bahan Teknik”.. PT. Pradnya Paramita, Jakarta ipschitz-Hankel type involving products of Bessel functions,” Phil. Trans. Roy. Soc. London, vol. A247, pp. 529–551, April 1955. (references)
Rekayasa Material I-16
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Distribusi Kekerasan Baja Karbon Rendah Setelah Pack Carburizing Pack Carburizing dengan Variasi Media Carburizing dan Media Pendingin Dewa Ngakan Ketut Putra Negara
Dewa Made Krishna Muku
Jurusan Teknik Mesin-Fakultas Teknik Universitas Udayana Badung-Bali, Indonesia
[email protected]
Jurusan Teknik Mesin-Fakultas Teknik Universitas Udayana Badung-Bali, Indonesia
[email protected]
Abstract—Machinery components such as shaft, gear, and crankshaft require the high hardness on the surface but remain ductile in the core. These properties are generally obtained with a surface hardening treatments, one of which is a pack carburizing method. There are several parameters affecting the process. This research investigated the effek of different carburizing and colling mediums upon the distribution and effective case depth of low carbon steel after pack carburizing. Two compositions of carburizing mediums were applied, there were 20% BaCO3+80% goat bone charcoal and 20% BaCO3+80% bamboo charcoal. The process was carried out at a temperature of 9500C, holding time for 4 hours and cooled in the water, oil and air. Hardness was measured by the Vikers method. The results showed that the closer to the core the lower hardness was obtained. Composition of 20% BaCO3+80% of goat bone charcoal and cooled in the water produced the highest hardness (VHN 789.273) at 0.2 mm from the surface and effective case depth of 0.525 mm. The highest of effective case depth (0.772 mm) was gained by use of 20% BaCO3+80% bamboo charcoal and the same cooling medium. Index Term: Pack carburizing, surface hardening, vikers, effective case depth
pemanasan, socked time (holding time), media pendingin dan media karburasi yang digunakan [4]. Pack carburizing menggunakan material carburizing padat sebagai sumber carbon. Pack carburizing komersial menggunakan energizer dalam pengerasan permukaan baja. Berbagai jenis energizer digunakan bersama dengan media karburasi untuk meningkatkan potensi karbon dari media carburasi [5]. Energizer yang umum digunakan adalah dengan Na2CO3, CaCO3 atau BaCO3 dengan komposisi 0-40 % [6]. Beberapa peneliti telah menggunakan sumber carbon dari beberapa jenis material. Campuran 60% Arang kayu - 40% arang tulang sapi merupakan sumber carbon yang memberikan hasil yang baik pada pack carburising [5]. Material cangkang telor, sekam padi, limbah plastik + polyethylene, bunga aracaceae juga merupakan sumber karbon sebagai media karburasi [8]. Pada penelitian ini digunakan dua jenis media karburasi dengan sumber karbon dari tulang kambing dan pohon bambu. Pack Carburizing Pada gambar 1 ditunjukkan ilustrasi proses pack carburizing.
I. INTRODUCTION Pada komponen-komponen mesin yang meluncur atau bergesekan seperti poros, gear, crankshaft sering dijumpai permasalahan berupa laju keausan yang tinggi dan umur pendek. Hal ini disebabkan karena kurang kerasnya permukaan komponen tersebut. Kegagalan yang sering dijumpai karena kekerasan permukaan komponen yang rendah adalah keausan, deformasi, sobek dan pecah [1]. Kegagalan yang terjadi dimulai dari permukaan atau bidang kontak [2]. Namun di sisi lain, kekerasan yang terlalu tinggi berimpilkasi bahan tersebut rapuh dan mudah retak. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan kombinasi sifat keras pada permukaan sedangkan tetap ductile pada bagian inti. Solusinya adalah pemberian pengerasan permukaan yang salah satunya adalah proses pack carburizing. Setelah proses pack carburizing diharapkan baja memiliki kekerasan yang tinggi, ketahanan aus yang cukup dan ketangguhan terhadap beban kejut yang memadai yang pada akhirnya akan memberikan life time yang lebih lama [3] Pack carburizing merupakan proses pengerasan permukaan baja dengan mengubah komposisi kimia permukaan baja untuk memperkaya unsur karbon pada permukaan baja [1]. Proses ini dipengaruhi beberapa parameter yaitu, temperatur
Gambar 1. Pack carburizing
Baja yang akan dikeraskan dimasukkan kedalam suatu kotak baja yang berisi campuran sumber karbon dan energizer. Untuk menghindari adanya udara masuk ke dalam wadah, antara wadah dan penutup diisi seal berupa tanah liat [7]. Wadah kemudian dimasukkan ke dalam dapur pemanas dan dipanaskan sampai temperatur austenite (850 – 9500C), ditahan pada suhu tersebut untuk beberapa lama kemudian didinginkan dengan media tertentu. Penambahan energizer, misalnya BaCO3, pada media arang aktif berfungsi
Rekayasa Material I-17
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
mempercepat proses carburizing. Pada temperatur tinggi barium carbonate terurai menjadi BaO dan CO2. Karbon dioksida hasil penguraian tersebut bereaksi dengan karbon dalam arang membentuk carbon monoxide (CO). Carbon monoxide yang menempel pada permukaan baja akan bereaksi dengan Fe dan selanjutnya terjadi proses difusi atom karbon ke dalam besi (Fe). Gas CO2 sisa hasil reaksi difusi akan segera bereaksi kembali dengan C dari arang dan kembali membentuk CO. Proses reaksi ini berlagsung terus menerus. Reaksi selengkapnya ditunjukkan pada persamaan (1), (2) dan (3). BaCO3BaO+CO2 CO2 + C 2 CO 2CO+Fe-Fe(C)+CO2
melintangnya dengan penambahan jarak titik pengukuran 0,2 mm dari permukaan ke inti. Langkah yang sama dilakukan untuk campuran media karburasi AB.
(1) (2) (3)
Gambar 2. Spesimen uji
III. HASIL DAN PEMBAHASAN II. METODE Material Material yang digunakan adalah baja karbon rendah dengan komposisi: C (0,17-0,19%), P (0,23-0,29%), Ca (0,290,309%), Sc (0,1-0,11%), Cr (0,22-0,23%), Mn (0,62-0,63%), Fe (95,71-96,21%), Ni (1,19-1,21%), Cu (0,28-0,32%), Zn (0,02-0,04%), Br (0,44-0,5%), Rb (0,49-0,5%), La (0,070,09%) dan Re (0,14-0,26%). Spesimen uji ditunjukkan seperti gambar 2. Jumlah sepesimen uji dibuat sebanyak 18 buah, masing-masing tiga spesimen untuk kombinasi dua media karburasi dan tiga media pendingin dan 3 spesimen tanpa perlakuan. Sebagai sumber karbon digunakan arang tulang kambing dan arang bambu lempung dengan kandungan karbon sebesar 18,95% untuk arang tulang kambing dan 66,4 % untuk arang bambu. Dua jenis media karburasi yang digunakan adalah campuran arang tulang kambing, arang bambu dan energizer BaCO3 dengan komposisi seperti ditunjukkan pada tabel 1. Tabel 1. Komposisi media carburizing Kode ATK AB
Media karburizing Komposisi 20% BaCO3 + 80% ATK 20% BaCO3 + 80% AB
Kekerasan spesimen tanpa perlakuan diperoleh sebesar 183,609 VHN. Bahan spesimen ini sama dengan bahan yang digunakan dalam penelitian Nanse H. Pattiasina, dkk [11], dimana kekerasan yang diperoleh sebesar 12,6 HRC (± 184 VHN) mendekati kekerasan bahan pada penelitian ini. Sedangkan untuk distribusi kekerasan dengan variasi campuran media carburizing dan media pendingin disajikan pada gambar 3. Dari gambar 3 terlihat bahwa semakin jauh dari permukaan semakin rendah kekerasan. Ini merupakan tipikal profil dari semua baja yang dicarburizing [8][9]. Pendinginan dengan air untuk kedua jenis media carburizing yang digunakan menghasilkan kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan media karburasi oli dan udara. Kekeraan tertinggi (789,273 VHN) diperoleh pada jarak 0,2 mm dari permukaan dengan menggunakan media karburizing ATK dan pendinginan dengan air. Kekerasan tertinggi yang dicapai ini meningkat sekitar 329 % dibandingkan kekerasan raw material. Setelah jarak 0,4 mm kekerasan dengan menggunakan media ATK pendinginan air lebih rendah dibandingkan kekerasan dengan menggunkan media AB. Bahkan pada jarak 0,6 – 1,2 mm kekeraan yang dicapai lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan media ATK dan AB dengan pendinginan oli sekalipun. Besarnya effective case depth yang dicapai ditunjukkan pada tabel 2.
Ktr: ATK = arang tulang kambing, AB=arang bambu 900,000
Alat
Pelaksanaan penelitian Sembilan spesimen uji dengan panjang 50 mm dan diameter 20 mm dimasukkan kedalam kotak baja dan diisi media carburising ATK dengan jarak antar specimen minimal 3 mm. Kotak baja ditutup rapat kemudian dimasukan kedalam dapur pemanas (furnace) dan dipanaskan pada temperatur 9500C ditahan selama 4 jam. Wadah baja dikeluarkan dari dapur pemanas, spesimen dikeluarkan dan didinginkan dengan air, oli dan udara. Spesimen kemudian dipotong menjadi dua dengan panjang 25 mm, dipolishing, dan dietsa. Selanjutnya dilakukan pengukuran kekerasan pada penampang
800,000 700,000 Kekerasan [HV1]
Pemanasan dilakukan menggunakan electric Furnace Nabertherm (0-13000C) buatan tahun 2006. Alat ukur kekerasan yang digunakan adalah Vikers Testing Hardness, Zwicle (0,1-10kg).
600,000
Raw Material
Air (ATK)
Air (AB)
Oli (ATK)
Oli (AB)
Udara (ATK)
Udara (AB)
500,000
400,000 300,000 200,000 100,000 0,000
Rekayasa Material I-18
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
Jarak dari permukaan [mm]
Gambar 3. Grafik distribusi kekerasan dengan variasi media karburasi
1,8
2
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Tabel 2. Effective case depth yang dicapai Media pendingin Air Oli Udara
Effective case depth [mm] ATK AB 0,525 0,772 0,378 0,373 TT TT Keterangan: TT = Tidak tercapai Tabel 3. Kekerasan permukaan dan inti
Media pendingin Air Oli Udara
Inti ATK 188,394 156,138 131,437
Kekerasan [HV1] Permukaan (0,2 mm) AB ATK AB 339,994 789,273 727,032 178,918 557,131 577,237 135,274 313,090 368,468
Berdasarkan Standard Eropa [10] effective case depth atau CHD (case hardenned depth) didifinisikan sebagai kedalaman dari permukaan ke titik dimana kekerasannya adalah 550 HV1. Effective case tertinggi dicapai pada kedalaman 0,772 mm dmenggunakan media carburizing AB dan pendinginan air. Pendinginan dengan menggunakan udara tidak sampai menghasilkan kekerasan 550 HV1 sehingga effective case depth belum bisa tercapai. Besarnya effective case depth yang dicapai tidak hanya dipengaruhi kedalaman karburasi (kemampuan karbon untuk terdifusi), tetapi juga dipengaruhi oleh temperatur pemanasan, laju pendinginan, hardnability dari baja dan dimensi dari spesimen. Pada penelitian ini semua parameter kecuali media carburizing dan media pendingin dijaga konstan, sehingga parameter yang mempengaruhi proses ini adalah media carburizing dan media pendingin. Media pendingin air memberikan kekerasan tertinggi untuk media carburizing ATK dan effective case depth tertinggi untuk media carburizing AB. Ditinjau dari media carburizing, walaupun media ATK menghasilkan kekerasan permukaan (0,2 mm dari permukaan) yang lebih tinggi namun effectivitas difusi karbon dari media ini hanya sampai pada kedalaman 0,525 mm, lebih rendah dibandingkan media AB yang mencapai 0,772 mm. Jika dilihat dari kandungan karbon dari arang tulang kambing (18,95%) dan arang bambu lempung (66,4%) terlihat bahwa dengan kandungan karbon yang lebih rendah arang tulang kambing menghsilkan kekerasan permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan arang bambu lempung. Hal ini menunjukkan bahwa karbon pada arang tulang kambing lebih banyak terakumulasi di permukaan sedangkan keefektifan difusinya hanya sampai kedalaman 0,525 mm. Sementara itu difusi karbon arang bambu memiliki kemampuan difusi yang lebih merata sampai kedalaman 0,772 mm. Menurut Krauss G, [12] ketebalan case untuk suatu komponen berkisar 0,1 – 1,5 mm, sehingga semua effective case yang dicapai masih berada pada range case yang disyaratkan. Untuk kekerasan pada intinya Holm T, menganjurkan memiliki kekerasan 400 – 450 HV1 [13] karena pada range tersebut komponen seperti poros dan gear yang dikenai beban dinamik banding memiliki kekuatan fatigue yang paling optimal. Berdasarkan hal tersebut, maka dari tabel 3 dapat dilihat bahwa media carburizing AB dengan pendinginan air memiliki kekerasan inti yang paling tinggi sebesar 339,994
HV1, namun kekerasan ini belum mampu mendekati kekerasan inti yang disyaratkan. IV. SIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah: a. Distribusi kekerasan setelah pack carburizing menunjukkan bahwa semakin jauh dari permukaan semakin rendah kekerasan baja. b. Kekerasan tertinggi dicapai pada jarak 0,2 mm dari permukaan yaitu 789,273 VHN dengan menggunakan media carburizing ATK (20%BaCo3+80% arang tulang kambing) dengan pendinginan air, meningkat 329 % dibandingkan kekerasan spesimen tanpa perlakuan. c. Effective case depth tertinggi dicapai dengan media carburizing AB (20%BaCO3+80% arang bambu) dan pendinginan air yaitu sedalam 0,77 mm. d. Berdasarkan effective case depth, kekerasan inti dan kekerasan permukaan yang dicapai maka pada penelitian ini pack carburizing dengan holding time 4 jam, media carburizing ATK (20%BaCO3+80% arang bambu) dan pendinginan dengan air memberikan hasil yang terbaik. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih yang sangat dalam kami sampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Udayana yang telah mendanai penelitian yang dimuat pada peper ini melalui Hibah Penelitian Fundamental dengan Surat Perjanjian Penugasan Dalam Rangka Pelaksanaan Penelitian Hibah Desentralisasi (BOPTN) Tahun Anggaran 2014 No: 103.20 /UN 14.2 /PNL.0103.00 /2014. DAFTAR PUSTAKA [1]
Muhamad Sadat Hamzah dan Muh. Iqbal, Peningkatan Ketahanan Aus Baja Karbon Rendah dengan Metode Carburizing, Jurnal SMARTek, vol 6 no 3, Agustus 2008: p 169-175 [2] Viktor Malau dan Khasani, Karakterisasi Laju Keausan dan Kekerasan dari Pack Carburizing pada Baja Karbon AISI 1020, MEDIA TEKNIK No.3 Tahun XXX Edisi Agustus 2008 ISSN 0216-3012: p 367 – 374 [3] Emmanuel Jose Ohize & Bernard Numgwo Atsumbe, 2013, Experimental Determination of The Effect of Wood Charcoal as Carburizing Material on Hardness, Impact and Tensile Strength of Mild Steel, Journal of Science, Technology, Mathematics & Education (JOSTMED), 9 (2), April, 2013. [4] Hochman R.,Burson J., 1966, The Fundamentals of Metal Dusting, New York: API Division of Refining, pp.331 [5] Paul Aondona lhom, Case Hardening of Mild Steel Using Cowbone as Energizer, 2013, african Journal of Engineering Research, Vol. 1(4), pp. 97-101, October 2013. [6] Budinski, G.K.,1999, Engineering Materials Properties Selection “Fourth Edition”. Prentice Hall. New Jersey. [7] Fatai Olufemi Aramide, Simeon Ademola Ibitoye, Isiaka Oluwole Oledele and Joseph Olatunde Borode, 2010, Pack Carburizing of mild Steel, using Pulverized Bone as Carburizer; Optimizing Process Parameters, Leonardo Electronic Journal of Practices and technologies, Issue 16, January-June 2010 p. 1-12, ISSN 1583-1078 [8] Ihom, A.P., Nyior, G.B, Alabi, O.O., Segun, S., Nor Iv, J., and Ogbodo, J, The Potentials of Waste Organic Materials for Surface Hardness Improvement of Mild Steel, International Journal of Scientific & Engineering Research, Volume 3, Issue 11, November-2012, p. 1 -10, ISSN 2229-5518 [9] Shragger AM, 1961, Elementary Metallurgy and Matallography, 2th ed, Dover Publication New York, pp: 175-176 [10] European standard EN ISO 2639, Determination and Verification of he Depth of Carburized and Hardened Cases.
Rekayasa Material I-19
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
[11] Nanse H. Pattiasina, Nevada J.M. Nanulaitta dan Steanly R.R. Pattiselanno, Analisa Keragaman Nilai Kekerasan Baja St-42 Melalui Proses Karburasi Menggunakan Komposisi Baco3 dan Carbon dengan Variasi Waktu Penahanan, ARIKA, Vol. 05, No. 2, Agustus 2011 , p. 99-108, ISSN: 1978-110 [12] Krauss G., Steels Heat Treatment and Processing Principles, ASM int., Materials Park, 1989. [13] Holm T., Material Properties of Carburized and Carbonitrited Steels, IVF 73825, Stockholm, 1973.
Rekayasa Material I-20
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengaruh Pendinginan Air Mengalir Pada Proses Kuens Terhadap Kekuatan Tarik, Kekerasan dan Struktur Mikro Baja AISI 1045 Enos Tambing
Johannes Leonard
Jurusan Mesin , Fakultas Teknik Universitas Cendrawasih Jayapura, Indonesia
[email protected]
Jurusan Mesin, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected]
Abstract— This research aims to find out the influence of cooling medium water in the quenching process on the mechanical strength and microstructure of AISI 1045 steel. In the early stages of a conventional quenching process (without water flow), vapour sheath occurs around the specimen causing varicosity of cooling so that equally distributed martensite phase is not formed. Therefore, this research is intended to maximize martensite growth by designing a quenching process with water flow cooling system. The research used an experiments testing. The data were obtained by taking a number of test data directly from the test equipment. The test included the tensile test, hardness test, and capture of microstructure pictures. The data were analyzed theoretically based on the testing data in the field experiments. The best improved mechanical strength in the quenching process of AISI 1045 steel occurred in the heating with a temperature 8200C. The pictures of the microstructure between Q1 process (without flow) and Q2 (with flow) reveal that more equally distributed martensite occurs in the microstructure pictures of specimen Q2 , which causes an increase of mechanical strength. The tensile stress increased about 20.16% in quenching with cooling water flow, compared the quenching without water flow. In the Q0 (raw material), the σu = 67.02 kgf/mm2, while in specimen Q1 ang Q2, the σu values were 92.66 kgf/mm2 and 97,83 kgf/mm2 respectively. Similarly, the value of hardness increased on average in the quenching process with water flow, compared with the process without water flow. It was revealed that Q0 = 13.7 HRC, Q1 = 32.0 HRC dan Q2 = 35.8 HRC. Key words— AISI 1045 Steel, Quenching, Cooling with Water Flow, Tensile Stress, Hardness, Micro-Structure
I. PENDAHULUAN Perlakuan panas dapat didefinisikan sebagai kombinasi perlakuan yang melibatkan pemanasan dan pendinginan yang diatur dengan tujuan untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu. Ada berbagai jenis proses perlakuan panas yang dilakukan untuk memenuhi persyaratan sifat-sifat yang dibutuhkan. Salah satunya adalah pemanasan baja sampai pada suhu austenisasi dan ditahan dengan waktu tertentu kemudian didinginkan secara cepat di dalam media pendingin air atau minyak untuk mendapatkan kekuatan dan kekerasan yang meningkat. Perlakuan panas dengan pendinginan cepat ini biasa disebut metode kuens. [1]
Metode kuens yang biasa dilakukan adalah berupa pencelupan baja yang telah dipanaskan ke dalam air yang tenang. Waktu pencelupan terjadi tiga tahap fase pendinginan, yaitu fase uap, fase pendidihan dan fase perpindahan panas konveksi dari spesimen ke media pendingin. Pada fase pertama saat dicelup terjadi pembentukan selubung uap di sekeliling permukaan baja sehingga akan menghambat laju perpindahan panas dari baja ke media pendingin.[2] Akibatnya terjadi laju pendinginan yang maksimum dan seragam tidak akan tercapai dengan metode ini, sehingga tujuan pembentukan baja yang seluruh bagiannya bermikrostruktur martensit (untuk baja karbon ) tidak dapat tercapai. Untuk mengatasi kendala-kendala yang terjadi di atas, maka dicari suatu metode agar selubung uap dapat dihilangkan atau dikurangi. Ada beberapa cara pemberian agitasi, misalnya dengan cara membuat benda kerja bergerak berputar-putar di dalam media pendingin, atau membuat media pendingin tersirkulasi/mengalir[3]. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh proses kuens dengan air mengalir dan tanpa kuens dengan air tak mengalir terhadap: kekuatan tarik dan nilai kekerasan, perubahan struktur mikro, dan estimasi waktu pendinginan, pada baja AISI 1045 . II. LANDASAN TEORI A.
Baja Karbon
Istilah "baja karbon" mungkin juga dapat digunakan dalam referensi untuk baja yang tidak termasuk dalam kelompok stainless steel (baja tahan karat). Baja dengan kandungan karbon rendah memiliki sifat yang mirip dengan besi. Ketika unsur karbon naik, logam menjadi lebih keras dan kuat tetapi kurang ulet dan lebih sulit untuk dilakukan pengelasan. Kandungan karbon dapat mempengaruhi kekuatan luluh baja karena atom karbon. Baja dapat diklasifikasikan menjadi baja karbon dan baja paduan. Untuk baja yang mengandung 0,2% C sampai 1,5% C, dikenal sebagai baja karbon, jenis ini berdasarkan kandungan karbonnya dapat dibedakan atas : Baja karbon rendah, terdiri atas : (Low Carbon Steel) : %C < 0,15
Rekayasa Material I-21
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
(Mild Carbon Steel) : 0,15 < %C < 0,29 Baja karbon medium (Medium Carbon Steel) : 0.30 < %C < 0,59 Baja karbon tinggi (High Carbon Steel) : 0,60 < %C < 1,70 Baja karbon AISI 1045 merupakan salah satu jenis baja karbon sedang (0,43 – 0,50 %C berat) yang memiliki banyak keunggulan dan sering digunakan sebagai poros di dalam industri-industri. Baja ini memiliki karakteristik : sifat mampu mesin yang baik, wear resistance-nya baik, dan sifat mekaniknya menengah.[4] Sedangkan untuk baja paduan (steel alloy), jenisnya antara lain : baja paduan rendah (low alloy steel), baja tahan karat (stainless steel), baja mangan (manganese steel) dan baja perkakas (tool steel), dengan kisaran komposisi dari beberapa unsur paduannya adalah Mn-Steel (10% -18% Mn), Si-Steel (1% - 5% Si) dan Ni-Steel (2% - 4% Ni).[5]
Ditingkatkannya laju pendinginan akan mengurangi ketebalan lamela. Jika ditingkatkan lagi akan membentuk struktur mikro bainit. Laju pendinginan yang sangat cepat akan menghasilkan struktur mikro martensit. Diagram transformasi yang mungkin terjadi melalui dekomposisi austenite seperti pada gambar 2.[1]
B.
Diagram Fasa Fe-Fe3C Dari diagram fase ini dapat diamati perubahan struktur logam akibat pengaruh temperature. Struktur dari baja dapat ditentukan oleh komposisi baja dan karbon, gambar 1 adalah diagram besi- karbida besi.[6] Diagram fase besi – karbida besi ( Fe – Fe3C ) memperlihatkan perubahan fase pada pemanasan dan pendinginan yang cukup lambat.
Gambar 2. Transformasi melalui dekomposisi austenite.[1]
Anak panah solid menunjukkan bahwa pembentukan melibatkan difusi; anak panah putus-putus merupakan transformasi tanpa difusi.[6] Pada saat pendinginan austenit (γ) terurai menjadi ferit(α) dan karbida besi (Fe3C atau biasa diberi simbol C) : γ (0.8% C)→α (0.02% C) + C(6.7% C)
…….(1)
Sesuai dengan persamaan di atas, selama pendinginan austenit berdekomposisi menjadi ferit ditambah karbida (α + C). Ini berarti bahwa tersedia waktu bagi karbon untuk berdifusi dan kemudian berkonsentrasi dalam fasa karbida dan keluar meninggalkan ferit.[7] Apabila austenit dikuens dengan sangat cepat, persamaan 1 dapat dialihkan seperti diindikasikan di bawah ini :
γ (fcc)
Pendinginan lambat
α(bcc) + karbida
..…..(2) dikuens
Gambar 1. Diagram Fasa Fe-Fe3C.[6]
Perlakuan Panas (Heat Treatment) Sifat mekanik tidak hanya tergantung pada komposisi kimia suatu paduan, tetapi juga tergantung pada struktur mikronya. Suatu bahan dengan komposisi kimia yang sama dapat memiliki strukturmikro yang berbeda, dan sifat mekaniknya akan berbeda.[7] Strukturmikro tergantung pada proses pengerjaan yang dialami, terutama proses laku-panas yang diterima selama proses pengerjaan. Dengan pendinginan yang lambat, akan terbentuk struktur mikro coarse pearlite dan lapisan tipis ferit sementit.
ditemper
C.
M (bct)
D.
Kuens Proses kuens melibatkan beberapa factor yang saling berhubungan. Pertama yaitu jenis media pendingin dan kondisi proses yang digunakan, yang kedua adalah komposisi kimia dan hardendility dari logam. Hardenbility merupakan fungsi dari komposisi kimia dan ukuran butir pada temperatur
Rekayasa Material I-22
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
tertentu. Selain itu, dimensi dari logam juga berpengaruh terhadap hasil proses kuens. Kuens yang dilakukan pada logam spesimen panas (setelah proses austenisasi) pada media pendingin akan mengalami mekanisme pendinginan seperti pada Gb. 3, yang memperlihatkan laju pendinginan panas dari logam sebagai fungsi dari temperatur permukaan logam. Juga menghubungkan temperatur permukaan logam dan waktu yang perlukan pada mekanisme pelepasan panas. Awal pencelupan, logam pertama kali akan diselimuti oleh selubung uap, yang akan pecah saat logam mendingin. Perpindahan panas saat terbentuknya selubung uap ini buruk, dan logam akan mendingin dengan lambat pada tahap ini.
Diagram TTT adalah sebuah gambaran dari suhu (temperatur) terhadap waktu logaritma untuk baja karbon dan baja paduan dengan komposisi tertentu. Diagram ini biasanya digunakan untuk menentukan kapan transformasi mulai dan berakhir pada perlakuan panas yang isothermal (temperatur konstan) sebelum menjadi campuran austenite. Ketika austenite didinginkan secara perlahan-lahan sampai pada suhu dibawah temperatur kritis, struktur yang terbentuk ialah Perlit. Semakin meningkat laju pendinginan, suhu transformasi pearlite akan semakin menurun. Struktur mikro dari materialnya berubah dengan pasti bersamaan dengan meningkatnya laju pendinginan. Dengan memanaskan dan mendinginkan sebuah contoh rangkaian, transformasi austenite mungkin dapat dicatat. Diagram TTT menunjukkan kapan transformasi dimulai dan berakhir secara spesifik dan diagram ini juga menunjukkan berapa persen austenit yang bertransformasi pada saat suhu yang dibutuhkan tercapai. Peningkatan kekerasan dapat tercapai melalui kecepatan pendinginan dengan melakukan pendinginan dari suhu yang dinaikkan seperti berikut: pendinginan furnace, pendinginan udara, pendinginan oli, cairan garam, air biasa, dan air asin.[8]
Gambar 3. Mekanisme Pendinginan, dibagi 3 Tahapan.
Tahap kedua dari kurva pendinginan dinamakan tahap didih nukleat dan pada tahap ini terjadi perpindahan panas yang cepat karena logam langsung bersentuhan dengan air. Pada tahap ini, logam masih sangat panas dan air akan mendidih dengan hebatnya. Kecepatan pembentukan uap air menunjukkan sangat tingginya laju perpindahan panas. Pada tahap ketiga, merupakan tahap pendinginan konveksi dan konduksi,dimana permukaan logam telah bertemperatur dibawah titik didih air. Tahap ini hanya mengalami perpindahan panas melalui konveksi dan konduksi. Laju pelepasan panas dari logam yang dikuens dapat ditingkatkan menggunakan agitasi, yang akan mengurangi stabilitas dari selubung uap yang menyelubungi permukaan logam selama tahap awal dari kuens. Mekanisme pendinginan dari sebuah logam yang di-kuens dengan medium pendingin air dengan aliran pada kecepatan Vi diinjeksikan dari bagian bawah bak media pendingin dan diarahkan ke logam. Semakin besar laju aliran (agitasi), semakin besar temperatur yang dapat dilepas dengan mengurangi kemungkinan terjadinya pembentukan selubung uap namun langsung terjadi didih nukleat dengan efektifitas perpindahan panasnya lebih baik bila dibandingkan dengan kuens secara konvensional (tanpa aliran). Pada proses pendinganan air (kuens) dengan sirkulasi akan menyebabkan suhu media pendingin cenderung stabil pada permukaan specimen sehingga perpindahan panas dari specimen lebih optimal dan proses pendingian lebih cepat. E.
Diagram TTT (Time, Temperature, Transformation)
Gambar 4. Diagram transformasi isothermal dari baja karbon hypoeutektoid (Diagram TTT).[9]
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Penelitian Pengujian dan pengambilan data, bertempat pada Laboratorium Material Jurusan Teknik Mesin UKI Paulus Makassar, untuk perlakuan panas dan proses kuens, pengujian kekuatan tarik, pengujian kekerasan dan metallografi material. Sedangkan pengujian komposisi kimia di PT. Sucopindo Jakarta. B. Rancangan Penelitian Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah baja karbon sedang dengan spesifikasi AISI 1045. Material dipotong dengan menggunakan gergaji dan dibubut untuk membentuk specimen uji sesuai dengan standar ASTM E 8M untuk uji tarik dan ASTM E 12 untuk uji kekerasan. Spesimen pengujian tarik terdiri dari 21 buah yang terdiri dari 3 buah pembanding utama (raw material), dan 9 buah sebagai
Rekayasa Material I-23
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
spesimen uji tarik untuk pendinginan air tak mengalir dan 9 buah sebagai spesimen uji tarik untuk pendinginan dengan air mengalir. Kemudian spesimen uji dipanaskan di dalam furnace dengan variasi stemperatur 750oC, 820oC, 900oC dengan waktu penahanan 60 menit yang dimaksudkan supaya menghasilkan struktur mikro austenit yang homogen. Kemudian dilanjutkan dengan pendinginan air yang mengalir (tersirkulasi) dan tidak mengalir (tanpa sirkulasi. 1.
ke dalam bak pendinginan dan over flow untuk mengatur debit air yang berlebihan. Spesimen yang didinginkan dipasang kabel termokopel untuk mengukur estimasi temperatur yang diperlukan selama pendinginan. 2.
Kode spesimen dan jenis perlakuan Tabel 1. Kode Spesimen Kode Spesimen
Jenis Perlakuan
Q0
raw material
Q1
kuens tanpa aliran (konvensional)
Q2
kuens dengan aliran air
Preparasi Instalasi Media Pendingin dengan Air Mengalir
6 5 3.
Alur Penelitian Urutan dalam penelitian ini dimulai dari uji komposisi kimia bahan, untuk mengetahui kandungan unsur di dalamnya. Bahan dibentuk spesimen sesuai standar yang ditentukan dan memenuhi persyaratan spesimen dengan 3 jenis pengujian yaitu uji tarik, uji kekerasan, uji struktur mikro. Selanjutnya dilakukan pemanasan di dalam furnace dengan temperatur 7500C, 8200C, dan 9000C. Pada setiap temperatur pemanasan dimulai dari temperatur ruangan sampai mencapai temperatur yang ditetapkan kemudian ditahan selama 1 jam untuk mendapatkan temperatur yang benar-benar merata pada setiap lapisan spesimen. Setelah pemanasan, dilanjutkan dengan pendinginan kejut dengan pencelupan spesimen laku panas ke dalam air mengalir (tersirkulasi) dan ke dalam air tidak mengalir (tanpa sirkulasi) sebagai pembanding .
4 Ǿ2 ”
2
3
Ǿ1”
1 Keterangan gambar : 1. Pompa Sentrifugal 2. Katup Inlet 3. Katup by Pass 4. Keranjang Spesimen 5. Bak pendinginan air tersirkulasi 6. Bak penampungan air (reservoir)
Temperatur (0C) Holding time 60 (menit)
Pemanasan
Kuens
Waktu (menit) Gambar 6. Diagram proses perlakuan panas yang diberikan pada spesimen
Gambar 5. Sistim instalasi kuens dengan air mengalir
Gambar 5 merupakan diagram instalasi kuens dengan air mengalir yang dibuat pada penelitian ini, dimana terdapat di dalamnya pompa air untuk mengalirkan air dari reservoir ke dalam bak pendinginan. Katup inlet untuk membuka aliran air
Langkah berikutnya adalah menyiapkan spesimen sifat fisis (foto struktur mikro) dengan cara memotong salah satu ujung spesimen untuk sample sepanjang 2 cm lalu meratakan dan menghaluskan permukaanya sampai memenuhi syarat spesimen, di etsa (dibersihkan) dengan larutan alkohol dan asam nitrat 2,5% kemudian dilihat dengan mikroskop logam. Pengujian tarik dan uji kekerasan masing-masing banyaknya pengujian untuk spesimen Raw Material adalah 3x, untuk kuens air mengalir 3x, kuens dengan air tak mengalir sebanyak 3x. Melalui pengujian ini dapat diketahui karakteristik bahan dari masing-masing perlakuan. Secara jelas, urutan pelaksanan penelitian ini terlihat dalam skema berikut ini.
Rekayasa Material I-24
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Tabel 3. Waktu pendinginan baja AISI 1045 dengan kuens air Mulai
No 1 2 3
Uji Komposisi Kimia
Penyiapan Bahan (Baja AISI 1045)
3.
Temperatur HT (0C) 750 820 900
Q1 (detik) 34,78 38,54 42,15
Q2 (detik) 23,79 27,67 30,12
Hasil Pengujian Tarik
Preparasi Spesimen
dan Sarana Penelitian
Hasil selengkapnya dari pengujian tarik dapat dilihat dalam bentuk grafik diagram batang seperti di bawah ini : Raw Material
Spesimen Uji
Heat Treatment (7500C, 8200C, 9000C) Holding Time (60 menit)
Kuens tanpa sirkulasi
Kuens dengan air tersirkulasi
Pengujian Tarik Pengujian Kekerasan Foto Struktur Mikro Gambar 8a. Hasil kekuatan tarik baja karbon AISI 1045 pada suhu 7500C.
Pengolahan Data dan Pembahasan Kesimpulan
Selesai Gambar 7. Diagram Alir Penelitian
IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Uji Komposisi Material Tabel 2. Hasil uji komposisi bahan baja AISI 1045
Gambar 8b. Hasil kekuatan tarik baja karbon AISI 1045 pada suhu 8200C
Nama Unsur
Fe
C
Mn
P
S
Si
%w
98,51
0,47
0,511
0,028
0,009
0,089
2.
Waktu Pendinginan Setelah perlakuan panas dan dilanjutkan dengan pendinginan air diperoleh kecepatan pendinginan yang bervariasi pada setiap specimen yang mengalami perlakuan yang berbeda pula, seperti yang diperoleh ditunjukkan pada table 3. Pencatatan waktu pendinginan diambil pada saat spesimen mempunyai temperature akhir 500C.
Rekayasa Material I-25
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
5.
Struktur Mikro
Gambar 8c.. Hasil kekuatan tarik baja karbon AISI 1045 pada suhu 9000C
4.
Gambar 10. Foto struktur mikro raw material baja AISI 1045, perbesaran 200x
Pengujian Kekerasan
Pengujian kekerasan dalam penelitian ini dilakukan berurutan pada jarak dari tepi menuju ke bagian tengah, yaitu : titik 1 (2mm) , titik 2 (5mm), dan titik 3 (9mm). Prosedur pengambilan data untuk pengujian kekerasan dapat dilihat pada gambar 9 di bawah ini :
3
2 1
a
b
c
Gambar 10. menunjukkan struktur mikro spesimen raw material baja AISI 1045. Struktur mikro pada spesimen raw material merupakan struktur mikro dalam kondisi temperatur kamar. Dari foto struktur mikro, masih sangat jelas terlihat batas butir antar fasa yang terjadi. Ferit (α) ditunjukkan oleh butir yang berwarna terang sedangkan perlit ditunjukkan oleh butir yang berwarna gelap, Perlit sendiri sebenarnya tersusun dari karbida besi (Fe3C) dan α(ferit), dimana jumlah ferit pada raw material lebih banyak bila dibandingkan dengan perlit.
d
Gambar 9. Posisi penekanan pada pengujian kekerasan
Hasil pengujian kekerasan dilihat dalam bentuk diagram batang seperti di bawah ini : Gambar 11. Foto struktur mikro baja AISI 1045 yang dikuens dengan air tak mengalir setelah pemanasan pada suhu 7500C, perbesaran 200x
Gambar 11. dan gambar 12 menunjukkan struktur mikro spesimen baja AISI 1045 yang diberi perlakuan HT 7500C. Pada kedua gambar spesimen ini material memperlihatkan struktur mikro tidak terlalu berbeda dengan struktur mikro raw material dan terlihat butiran strukturnya agak kasar. Hal ini disebabkan oleh perlakuan panas dengan suhu 7500C untuk baja AISI 1045 (kandungan C = ±0.45%) belum mencapai kondisi dimana terbentuknya fasa austenite yang sempurna 100%.
Gambar 9. Grafik hasil pengujian kekerassan baja AISI 1045
Rekayasa Material I-26
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Gambar 12. Foto struktur mikro baja AISI 1045 yang dikuens dengan air mengalir pemanasan pada suhu 7500C, perbesaran 200x
Spesimen uji baja AISI 1045 yang diberikan HT 8200C dan selanjutnya dikuens dengan air mengalir diperlihatkan pada Gb. 14. Disini terlihat void banyak tertinggal karena ketidak sempurnaan polishing. Foto hasil pemotretan juga tampak bagian yang buram karena spesimen uji yang tidak rata. Pada gambar ini terlihat jumlah/fraksi volume martensit semakin banyak yang ditandai dengan bentuk seperti jarum yang tersusun secara acak. Terbentuknya struktur martensit lebih banyak pada kuens dengan air mengalir dibanding dengan proses kuens tanpa aliran (pencelupan biasa) mengakibatkan spesimen yang dikuens dengan air mengalir menjadi lebih keras sehingga menyebabkan peningkatan kekuatan/tegangan tarik.
Gambar 15. Foto struktur mikro baja AISI 1045 dikuens dengan air tak mengalir setelah pemanasan pada suhu 9000C, perbesaran 200x Gambar 13. Foto struktur mikro baja AISI 1045 yang dikuens dengan air tak mengalir setelah pemanasan pada suhu 8200C, perbesaran 200x
Gambar 13 menunjukkan spesimen baja AISI 1045 yang mengalami HT 8200C dikuens dengan air tak mengalir, terlihat adanya bagian yang lebih gelap hal ini diakibatkan oleh spesiman uji yang tidak rata yang disebabkan oleh kesalahan pengampelasan. Gambar ini menunjukkan perubahan struktur mikro dengan terlihat adanya struktur jarum kecil-kecil yang strukturnya tidak beraturan sebagai indikasi terbentuknya struktur martensit. Masih terlihat adanya daerah berwarna putih yang merupakan fasa α eutectoid yang tidak berubah menjadi martensit secara sempurna. Terbentuknya martensit dan α eutectoid mengakibatkan spesimen ini lebih keras.
Foto Struktur mikro spesimen uji baja AISI 1045 yang mengalami HT 9000C dengan proses kuens dengan tanpa aliran diperlihatkan Gb.15. Pada foto nampak adanya struktur mikro martensit yang ditandai dengan bentuk jarum yang lebih banyak.
Gambar 16. Foto struktur mikro baja AISI 1045 yang dikuens dengan air mengalir setelah pemanasan pada suhu 9000C, perbesaran 200x
Gambar 14. Foto struktur mikro baja AISI 1045 yang dikuens dengan air mengalir setelah pemanasan pada suhu 8200C, perbesaran 200x
Gambar 16 memperlihatkan foto struktur mikro spesimen baja AISI 1045 yang dikuens dengan aliran air, terlihat adanya bagian yang gelap agak merata dan tidak terlihat adanya batas butir, dan nampak adanya bulatan putih sudah tidak terlihat jelas seperti pada material yang dikuens tanpa aliran, yang nampak secara jelas adalah struktur mikro martensit yang ditandai dengan bentuk seperti jarum yang tersusun secara acak. Terbentuknya struktur martensit mengakibatkan
Rekayasa Material I-27
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
spesimen yang dikuens dengan aliran menjadi lebih keras bila dibanding dengan material yang dikuens tanpa aliran. B. Pembahasan Berdasarkan data-data hasil pengukuran dan perhitungan yang diperoleh, berikut ini disajikan pembahasan mengenai pengaruh proses pendinginan cepat (kuens) dengan aliran (sirkulasi) setelah mengalami perlakuan panas terhadap kekuatan mekanik dan struktur mikro baja AISI 1045. Dalam penelitian ini dilakukan variasi suhu untuk perlakuan panas sebelum dilakukan kuens. Dari data dan analisa data bahwa dari ketiga variasi suhu nampak kekerasan dan kekuatan mekanik tidak menunjukkan peningkatan dari bertambahnya suhu heat treatment dari raw material. Hal ini sesuai dengan teori bila merujuk ke diagram fasa Fe-C, bahwa perlakuan panas hardening untuk baja karbon (di sini baja AISI 1045) dengan kandungan prosentase berat karbon sekitar 0.47% berada pada suhu antara (790-830)0C. Pada HT dengan suhu 8200C diperoleh peningkatan kekuatan tarik yang paling besar seperti pada table 4.3a, pada Q0 diperoleh σu = 67.02 kgf/mm2 , Q1 diperoleh σu = 92.66 kgf/mm2 , dan Q2 diperoleh σu = 97.83 kgf/mm2. Namun sebaliknya keuletan semakin kecil dengan meningkatnya kekuatan tarik. Peningkatan kekuatan tarik pada suhu ini antara Q1 dan Q2 sebesar 20,16%. Pada spesimen raw material baja AISI 1045, nilai kekerasan rata-ratanya sebesar 13,7 HRC. Dari data diperoleh bahwa pada HT 8200C nilai kekerasan rata-rata untuk proses Q1 = 32.0 HRC dan Q2 = 35.8 HRC Peningkatan kekerasan dari Q0 ke Q1 sebesar 164,4%, sedangkan Q2 meningkat sebesar 23.7% dibanding dengan Q1. Pada HT 9000C nilai kekerasan rata-rata untuk Q1 = 28.0 HRC dan Q2 =32.0 HRC . Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan angka kekerasan pada quench dengan aliran air. Baja AISI 1045 setelah proses hardening terjadi perubahan pada struktur mikronya. Struktur mikro yang awalnya terdiri dari ferrit dan perlit, setelah proses hardening berubah menjadi martensit. Dari foto struktur mikro antara proses Q1(tanpa aliran) dan Q2(dengan aliran) nampak bahwa martensit semakin banyak pada foto struktur mikro dari specimen Q2. Jumlah fasa martensit akibat pendinginan cepat ini berpengaruh terhadap meningkatnya kekuatan mekanik baja karena martensit yang terdapat dalam baja umumnya mempunyai struktur non-kubik dan karena karbon terperangkap dalam kisi, sehingga tidak mudah slip. Dari hasil di atas dapat dijelaskan bahwa adanya peningkatan kekuatan mekanik karena media pendingin yang mengenai permukaan benda kerja senantiasa mempunyai suhu yang konstan pada kuens dengan aliran air/sirkulasi, sehingga pendinginan pada permukaan masuk ke bagian tengah specimen adalah unifom/merata dan tingkat kecepatan pendinginan semakin besar bila dibandingkan dengan kuens tanpa aliran. Untuk membandingkan estimasi waktu pendinginan antara proses Q1 dan Q2 dapat dilihat pada tabel 4.2 dimana diperoleh waktu pendingian yang lebih singkat dari proses Q2 bila dibandingkan dengan proses Q1.
V. KESIMPULAN You must submit the Electronic Copyright Form (ECF) as described in your author-kit message. THIS FORM MUST BE SUBMITTED IN ORDER TO PUBLISH YOUR PAPER. ACKNOWLEDGMENT Dari kegiatan penelitian, analisis data dan pembahasan hasil yang dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal berikut : 1. Peningkatan kekuatan mekanik (hardening) yang paling baik pada baja AISI 1045 yaitu pada pemanasan dengan suhu 8200C. Kekuatan tarik meningkat 20,16% pada pendinginan dengan air mengalir, bila dibandingkan pendinginan dengan air tak mengalir, dimana diperoleh Q0 diperoleh σu = 67.02 kgf/mm2 , Q1 diperoleh σu = 92.66 kgf/mm2, dan Q2 diperoleh σu = 97.83 kgf/mm2. 2. Nilai kekerasan rata-rata baja AISI 1045 meningkat dengan melakukan proses kuens dengan pendinginan air mengalir, bila dibandingkan dengan tanpa sirkulasi/aliran air, dimana diperoleh , kekerasan pada spesimen Q0 = 13,7 HRC, spesimen Q1 = 32.0 HRC dan spesimen Q2 = 35.8 HRC. 3. Dari gambar foto struktur mikro nampak bahwa pertumbuhan martensit semakin merata dan lebih banyak pada spesimen dengan kuens air mengalir (spesimen Q2) bila dibanding spesimen dengan air tak mengalir (spesimen Q1). 4. Tingkat kecepatan pendinginan pada proses kuens dengan air mengalir lebih tinggi bila dibandingkan dengan proses kuens tanpa aliran air. DAFTAR PUSTAKA [1]
Alois Schönmetz dan Karl Gruber, “Pengetahuan Bahan Dalam Pengerjaan Logam”, terjemahan Diplom-Ing. Eddy D. Hardjapamekas, Penerbit Angkasa, Bandung, 1985
[2]
ASM Handbook, Volume 4, “Heat Treating”, ASM International The Materials Information Company , 1991 G. Totten, M. Howes, T. Inoue; “Handbook of Residual Stress and Deformation of Steel”, ASM International, 2002 http://www.efunda.com , “Carbon Steel AISI 1045”
[3] [4] [5]
http://media.wiley.com/product_data/excerpt , “Carbon & Alloys of steels” William D. Callister, Jr, “Fundamentals of Materials Science and Engineering”, Fifth Edition, John Wiley & Sons, Inc., New York, 2001.
[6]
[7]
Van Vlack, Lawrence H. 2004, “Elemen-elemen Ilmu dan Rekayasa Material”, edisi keenam, Erlangga, Jakarta http://bama.ua.edu/~ywei5/spring2009me350/S09, “TTT Diagram” R.E. Smallman dan R.J. Bishop, “Metalurgi Fisik Modern & Rekayasa Material”, edisi keenam, Erlangga, Jakarta.
[8] [9]
[10]
Dieter, G. E., Metalurgi Mekanik, Jilid I dan II,terjemahan Sriati Djaprie, Erlangga, Jakarta, 1992
.
Rekayasa Material I-28
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Efek Tekanan Kompaksi Dan Temperatur Sinter Terhadap Nilai Induksi Magnetik Hasil Metalurgi Serbuk Hairul Arsyad Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik UNHAS Makassar, Indonesia
[email protected]
Abstract— Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh tekanan kompaksi dan temperatur sintering terhadap nilai induksi remanen magnetik hasil metalurgi serbuk baja ST 42. Serbuk baja ST 42 dihasilkan dengan proses cold mechanical grinding kemudian di saring dengan menggunakan ayakan berukuran 595 micron dan kemudian dipisahkan dengan menggunakan magnet. Sampel serbuk baja kemudian di timbang dengan massa 20 gram dan dimasukkan ke dalam cetakan silinder dan kemudian di kompaksi dengan metode die pressing dengan variasi tekanan kompaksi yaitu, 800 kN, 850 kN, dan 900 kN sehingga diperoleh sampel berbentuk silinder sirkular. Setelah itu sampel disinter dengan variasi temperatur sinter yaitu 700 °C, 800 °C, 900 °C. Sampel hasil sintering kemudian dimagnetisasi pada temperatur ruang dengan menggunakan magnetizer. Nilai induksi remanen kemudian diukur dengan menggunakan teslameter. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa tekanan kompaksi dan temperatur sinter berpengaruh terhadap nilai induksi remanen. Kemampuan induksi remanen meningkat dengan kenaikan tekanan kompaksi. Nilai induksi remanen tertinggi diperoleh sebesar 24,6 mT pada tekanan kompaksi 900 kN dengan temperatur sinter 700oC dan nilai terendah sebesar 22.6 mT pada tekanan kompaksi 800 kN dengan suhu sinter 900oC. Kata Kunci: tekanan kompaksi, temperatur sinter, induksi remanen I. PENDAHULUAN Metalurgi serbuk adalah salah satu metode pabrikasi logam untuk menghasilkan produk dengan ketelitian yang tinggi. Keunggulan dari metode ini adalah tingkat efektifitas pemakaian bahan dan rendah dalam harga pabrikasi serta mampu menghasilkan produk dengan bentuk geometri yang rumit [1]. Beberapa aplikasi produk hasil metalurgi serbuk adalah pada bidang kesehatan, sensor, listrik, aplikasi thermal dan aplikasi magnetik. Salah satu pengembangan produk berbasis metalurgi serbuk adalah untuk aplikasi dibidang magnetic [2]. Material-material yang banyak digunakan untuk aplikasi ini adalah material soft magnetic [3]. Salah satu jenis serbuk untuk aplikasi soft magnetic material adalah serbuk besi [3]. Sifat magnetic dari suatu bahan berhubungan dengan
kemampuan bahan tersebut untuk dimagnetisasi oleh sebuah medan magnetik [4]. Salah satu sifat magnetic tersebut adalah induksi remanen/induksi magnetic. Sifat-sifat produk hasil pabrikasi metalurgi serbuk sangat bergantung pada besar tekanan kompaksi dan suhu sinter yang diberikan. Peningkatan tekanan kompaksi mengakibatkan naiknya kekuatan dari green body dan akan mengoptimalkan proses sinter antar partikel serbuk [5]. Selain itu tingkat porositas semakin berkurang dengan naiknya tekanan kompaksi dan suhu sintering. Penelitian ini menggunakan metode metalurgi serbuk terhadap serbuk besi untuk melihat efek variasi tekanan kompaksi dan temperature sinter terhadap nilai induksi remanen.. II. METODOLOGI PENELITIAN Sampel serbuk dari baja karbon dengan grade ST 42 dipreparasi dengan metode cold mechanical grinding. Sampel kemudian diayak dengan ayakan berukuran 592 micron. Serbuk hasil ayakan kemudian dipisahkan dengan menggunakan magnet. Sampel serbuk yang telah dipisahkan kemudian ditimbang dengan berat 20 gram dan dimasukkan kedalam cetakan berbentuk silinder sirkular. Sampel green body disiapkan dengan memberikan tekanan sebesar 800 kN, 850 kN dan 900 kN pada temperature ruang. Setelah ditekan sampel kemudian disinter menggunakan tungku muffle dengan variasi temperatur sinter adalah 700oC, 800oC dan 900oC selama 2 jam. Sampel hasil sintering kemudian dimagnetisasi pada temperatur ruang dengan menggunakan magnetizer. Nilai induksi remanen kemudian diukur dengan menggunakan teslameter. Pengukuran induksi remanen dilakukan pada 4 (empat) titik jarak pengukuran yaitu jarak 0 cm, 2 cm, 4 cm dan 6 cm.
(a)
Rekayasa Material I-29
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara pengaruh tekanan kompaksi dengan pengaruh temperatur sinter memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai induksi remanen. Dengan naiknya tekanan kompaksi yang diberikan pada saat pencetakan memberikan efek positif terhadap nilai induksi remanen dengan naiknya nilai induksi remanen. Sebaliknya efek temperature sinter memberikan pengaruh negatif dengan turunnya nilai induksi remanen.
(b)
(c) Gambar 1. Serbuk hasil cold mechanical grinding (a), setelah proses kompaksi (b), dan setelah sinter (c).
III. HASIL DAN DISKUSI Gambar 2 dan gambar 3 memperlihatkan grafik hubungan antara tekanan kompaksi terhadap nilai hasil induksi remanen dan grafk hubungan antara temperature sintering terhadap nilai induksi remanen. Dari grafik terlihat bahwa dengan naiknya tekanan kompaksi maka nilai induksi remanen juga mengalami peningkatan. Nilai induksi remanen tertinggi diperoleh sebesar 24.6 mT pada kondisi tekanan kompaksi 900 kN dengan tetmperatur sinter 700oC. Sedangkan nilai induksi remanen terendah pada kondisi tekanan kompaksi 800 kN dengan temperature sinter pada 900oC yaitu sebesar 22.6 mT.
Gambar 2. Grafik hubungan antara tekanan kompaksi terhadap nilai induks remanen.
Pengaruh peningkatan tekanan kompaksi terhadap naiknya nilai induksi remanen dapat ditinjau dari aspek terjadinya peningkatan kepadatan atau densitas serta berkurangnya rongga atau porositas setelah proses kompaksi. Seperti diketahui bahwa pemberian tekanan kompaksi pada proses metalurgi serbuk akan membuat kerapatan atau densitas serbuk meningkat serta mereduksi jumlah dan ukuran porositas. Setelah proses kompaksi serbuk, produk yang dihasilkan yang disebut green body memiliki ukuran yang telah mendekati ukuran produk sebenarnya. Peningkatan densitas tersebut menyebabkan interaksi antar serbuk semakin besar. Interaksi antar serbuk terjadi melalui mekanisme rotasi dan slip yang terjadi antar serbuk dalam mengisi rongga-rongga kosong didalam cetakan sebagai tahap awal. Tahap berikutnya terjadi deformasi partikel serbuk [6]. Deformasi terjadi akibat gaya kompaksi yang diberikan telah melampaui batas luluh dari serbuk logam. Selama deformasi serbuk mengalami peningkatan luas permukaan kontak sesama serbuk. Deformasi tersebut juga mengakibatkan terjadinya interlocking dan fenomena cold welding antar sesame partikel serbuk [6]. Akibat pemberian tekanan kompaksi maka terjadi peningkatan sifat-sifat magnetic seperti induksi, permeability, coercive force dan residual magnetism dengan naiknya densitas akibat proses kompaksi [2]. Seperti diketahui bahwa induksi magnetic adalah sifat yang berkaitan dengan jarak sehingga dengan semakin rapatnya partikel serbuk maka juga menyebabkan peningkatan nilai induksi remanen. Penelitian oleh Hanejko et al menemukan bahwa magnetic performance mengalami peningkatan akibat peningkatan densitas akibat proses kompaksi [2]. Gambar 3 memperlihatkan grafik hubungan antara temperature sinter terhadap nilai induksi remanen yang dihasilkan. Dari grafik terlihat bahwa peningkatan temperatur
sinter memberikan efek penurunan nilai induksi remanen.
Gambar 3. Grafik hubungan antara temperature sinter terhadap nilai induksi remanen.
Rekayasa Material I-30
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Dari hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa terjadi penurunan nilai induksi remanen dengan semakin naiknya temperature sinter. Dari grafik terlihat bahwa pada tekanan kompaksi yang sama diperoleh penurunan nilai induksi remanen. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada proses sinter partikel serbuk mengalami pemanasan dibawah temperature lelehnya. Namun demikian dapat terjadi proses rekristalisasi. Pada proses sintering terjadi tahapan adhesi dan rekristalisasi. Pada tahapan-tahapan tersebut terjadi perubahan microstruktur seperti perubahan fasa, partumbuhan butir dan terjadinya cacat shrinkage. Karena temperature sinter pengujian berada pada daerah temperature rekristalisasi maka dapat menyebabkan terjadinya perubahan mikrostruktur. Perbahan mikrostruktur yang paling berpengaruh terhadap penurunan nilai induksi remanen adalah semakin hilangnya orientasi serbuk yang dihasilkan pada proses kompaksi akibat semakin tingginya temperature sinter yang diberikan. Orientasi partikel yang diperoleh pada proses kompaksi berpengaruh pada arah domain magnetic yang dihasilkan. Orientasi tersebut menjadi berkurang dengan pemanasan yang dilakukan. Selain itu alasan lainnya adalah level oksidasi yang dihasilkan. Seperti telah diketahui bahwa rekasi oksidasi semakin tinggi dengan naiknya temparatur. Karena pemanasan yang dilakukan tanpa melibatkan gas inert maka terjadi proses oksidasi antara produk dengan udara didalam tungku selama proses sinter. Semakin tinggi temparature sinter akan meningkatkan produk oksidasi yang dihasilkan. Dengan kehadiran oksida baik pada permukaan maupun pada bagian dalam hasil metalurgi serbuk maka akan berdampak pada pengurangan nilai induksi remanen. Pengurangan nilai induksi remanen tersebut disebabkan karena produk oksida adalah produk nonlogam yang tidak memiliki sifat magnetic atau masuk dalam kategori diamagnetic.
jarak titik pengukuran. Untuk titik pengukuran 4 cm dan 6 cm memperlihatkan perbedaan nilai induksi yang tidak terlalu jauh berbeda. Seperti telah diketahui bahwa nilai induksi remanen/magnetic adalah sifat bahan yang sangat bergantung pada jarak atau titik pengukuran benda pada bidang atau medan magnetic. Hasil yang sama diperoleh untuk temperature sinter 800oC dan 900oC seperti terlihat pada gambar 5 dan gambar 6 dibawah ini.
Gambar 5. Grafik hubungan antara tekanan kompaksi terhadap nilai induksi remanen pada berbagai jarak pengujian untuk temperature sinter 800oC
Gambar 6 Grafik hubungan antara tekanan kompaksi terhadap nilai induksi remanen pada berbagai jarak pengujian untuk temperature sinter 900oC.
Gambar 4. Grafik hubungan antara tekanan kompaksi terhadap nilai induksi remanen pada berbagai jarak pengujian untuk temperature sinter 700oC
Dari gambar 4, 5 dan 6 terlihat bahwa pengaruh tekanan kompaksi terhadap perilaku nilai induksi remanen pada variasi temparatur sinter 700oC, 800oC dan 900oC pada titik-titik pengukuran 0 cm, 2 cm, 4 cm, dan 6 cm memiliki kemiripan dimana perbedaan hanya terdapat pada nilai induksi remanennya. IV. KESIMPULAN
Gambar 4 memperlihatkan hasil pengukuran terhadap induksi remanen pada jarak 0 cm, 2 cm, 4 cm dan 6 cm untuk temperature sinter 700oC. dari grafik terlihat bahwa semakin jauh jarak pengukuran dari specimen maka nilai induksi remanen juga semakib berkurang. Perbedaan signifikan pada nilai induksi remanen terjadi pada jarak pengukuran 0 cm dan 2 cm. Dari gambar 4 juga memperlihatkan adanya penurunan nilai induksi remanen secara bertahap dengan semakin jauhnya
Dari hasil penelitian dipeorleh bahwa pengaruh variasi tekanan kompaksi dan temperature sinter terhadap nilai induksi remanen/magnetic memberikan efek yang berbeda. Peningkatan tekanan kompaksi pada proses metalurgi serbuk memberikan efek peningkatan nilai induksi remanen. Sebaliknya peningkatan temperature sinter pada proses metalurgi serbuk memberikan efek penurunan nilai induksi
Rekayasa Material I-31
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
remanen. Tekanan kompaksi memberikan efek peninhkatan densitas dan orientasi serbuk yang menyebabkan naiknya nilai induksi remanen. Sedangkan temperature sinter yang tinggi cenderung menurunkan nilai induksi remanen akbat dari semakin besarnya produk oksida logam.. DAFTAR PUSTAKA Groover, G.P, ‘ Fundamentals of Modern Manufacturing, John Wiley & Sons, Inc, 2002. [2] Hanejko Francis G, Phan Hung G. and Rutz Howard G. “Powder Metallurgy Materials for AC Magnetic Applications” PM2TEC '96 World Congress, 1996. [1]
[3] Hanejko Francis G, Rutz Howard and G. Christopher
“Effects Of Processing and Materials On Soft Magnetic Performance Of Powder Metallurgy Parts, Powder Metallurgu World Congress, San Francisco, 1992.. [4] Clauster Henry R’ Industrial and Engineering Materials, McGraw-Hill, Inc 1975. [5] Kalpakjian Serope and Schmid Steven R ‘ Manufacturing Process for Engineering Materials’ Fourth Edition, Prentice Hall 2003. [6]
Schlenker B.R. ‘Introduction to Material Science’ John Wiley & Sons, Page 153-154, 1974
Rekayasa Material I-32
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengaruh Parameter Pemotongan (Feeding, Cutting Speed, Depth of Cut) Terhadap Konsumsi Energi Pada Permesinan Bubut Hamka Munir
Johannes Leonard dan Rafiuddin Syam
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected]
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected] [email protected]
Abstract— To reach development of have continuation, industrial have
konsumsi energi total dikemukakan oleh Rajemi et al. (2010) dan Diaz et al. (2012). Sarwar et al. (2009) menyatakan bahwa variasi spesifik pengurangan energi sebagai fungsi dari bahan benda kerja yang berbeda dapat memberikan informasi yang berguna yang memungkinkan untuk memperkirakan karakteristik permesinan untuk benda kerja yang dipilih. Mori et al. (2011) menyatakan model perhitungan dengan mengelompokkan konsumsi energi dari alat mesin menjadi konsumsi daya konstan, dalam keadaan konsumsi daya berjalan untuk menghitung penggunaan spindel dan motor, dan konsumsi daya untuk posisi pekerjaan serta untuk mempercepat/ memperlambat poros dengan kecepatan yang ditentukan. Diaz et al. (2012) mengamati bahwa total konsumsi energi dapat dibagi menjadi dua bagian: konsumsi energi yang konstan dan konsumsi energi variabel yang berkaitan dengan kekuatan pemotongan. Pada penelitian sebelumnya,Mohamad Farizal Rajemi (2010) melakukan penelitian tentang konsumsi energi pada proses permesinan bubut diperoleh energi total dalam proses pemesinan tertentu adalah 103,742 [KWS], yang meliputi jumlah energi yang dikonsumsi dari setup mesin sampai selesai. Demikian halnya Rusdi Nur (2012) pada penelitian tersebut hasilnya didapatkan total konsumsi energi diperoleh pada kisaran 63.311 [KWS] Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa parameter pemotongan yaitu kecepatan potong (cutting speed), laju pemakanan (feeding) dan kedalaman pemakanan (depth of cut) terhadap konsumsi energi pada proses mesin bubut dengan spesimen baja karbon ST-37.
to yield friendly and going concern product of environment that is by lessening consumption of energi in making and usage of product.This study aimed to determine the effect of cutting parameters, namely cutting speed (cutting speed), the rate of feeds (feeding) and depth feeds (depth of cut) on energy consumption on the lathe with carbon steel specimens ST37. The study was conducted in the Department of Mechanical Engineering Workshop Hasanuddin University, Makassar. Data collection was performed with 3 levels of cutting speed, 5 levels with depth Ingestion Ingestion rate constant. Retrieval of data for energy consumption is done by using a digital clamp meter gauge analysed then the results using regression analysis. The results showed that the smallest value of the total energy consumption obtained at cutting speed 550 m / min at a feeds rate of 0.205 mm / rev Ingestion with a value Et of 254.03 kWs.
Keywords— Cutting Parameters, Energy Consumption
I. PENDAHULUAN Produksi berkelanjutan telah menjadi isu penting di sektor manufaktur. Dalam literatur umumnya pembangunan berkelanjutan harus mencakup tiga pilar, yaitu ekonomi, masalah sosial dan lingkungan. Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, industri harus menghasilkan produk yang ramah lingkungan. Salah satu cara untuk mencapai produk ramah lingkungan adalah mengurangi konsumsi energi dalam pembuatan dan penggunaan produk. Produksi berkelanjutan merupakan solusi dalam mengatasi masalah permintaan biaya energi yang lebih tinggi. Ini berlaku di bidang rekayasa, termasuk proses permesinan (Hanafi et al, 2012). Satu pertimbangan penting dalam produksi berkelanjutan adalah pengurangan konsumsi energi (Park et al, 2009; Rajemi et al, 2010). Permesinan merupakan bagian terpadu dalam produksi. Dengan mengurangi konsumsi energi dalam mesin akan memberikan kontribusi dalam pengurangan konsumsi energi untuk memproduksi satu bagian produk. Sebuah prasyarat dalam menargetkan pengurangan energi dalam proses permesinan adalah kemampuan untuk menentukan total energi yang digunakan selama mesin beroperasi. Identifikasi penggunaan energi dalam proses permesinan dapat dilakukan dengan mempelajari proses pemesinan tertentu secara rinci (Chapman, 1974). Karya-karya sebelumnya pada identifikasi proses pemesinan yaitu dengan menurunkan persamaan untuk
II. LANDASAN TEORI Energi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (Rajemi et al. 2008): E = E1 + E2 (1) E1 adalah energi yang digunakan untuk setup mesin dan dapat dihitung dari jumlah daya yang digunakan selama waktu setup, seperti yang ditunjukkan dalam persamaan : E1 = P0 t1 (2) Dimana P0 adalah daya yang digunakan oleh modul mesin [W].Jumlah P0 dapat diasumsikan sebesar 35% dari daya maksimum pada mesin.t1 adalah waktu yang diperlukan untuk setup mesin [s]. P dapat dihitung sebagai berikut:
Rekayasa Material I-33
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
P = V . I. (3) Jika energi E2 yang digunakan selama pengerjaan dengan mesin dan dapat dihitung dengan jumlah daya dalam modul mesin dan energi pada pemindahan bahan, seperti yang dikemukakan oleh Gutowski dalam persamaan (Gutowski et al. 2006). E2 = (P0 + k ) t2 (4) di mana k adalah spesifik energi pemotongan [Ws/mm3], adalah tingkat pemindahan material [mm3 / s] dan t2 adalah waktu yang digunakan dalam proses pemotongan [s]. Energi nilai tertentu k dapat mengacu pada Walsh (2000), nilainya adalah 5 untuk stainless steel. Tingkat pemindahan bahan dapat dihitung sebagai berikut: = (5) Nilai energi pemotongan yang digunakan untuk k, dari berbagai bahan benda kerja dapat diperoleh dari data yang dilaporkan oleh Walsh (2000) seperti yang ditampilkan dalam Tabel 3.1. Waktu pemotongan (t2) dapat dihitung dengan rumus : t2 =
IV. ANALIS DAN PEMBAHASAN Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data pengaruh parameter pemotongan terhadap kekasaran permukaan dan konsumsi energi yang digunakan selama peroses pembubutan benda kerja.Data hasil penelitian ini digunakan tiga tingkat kecepatan potong, yaitu masing-masing 180, 330 dan 550 (m/min). untuk laju pemakanan menggunakan lima tingkat, yang masing–masing 0.105, 0.132, 0.158, 0.184 dan 0.205 (mm/rev). Sementara kedalaman potong yang dirancang adalah konstan sebesar 1 mm untuk masing-masing pengujian. Dimensi benda kerja untuk pegujian ini adalah diameter awal = 36, panjang benda kerja = 100 mm, panjang pembubutan benda kerja = 50 mm, seperti yang diperlihatkan oleh gambar sebagai berikut :
(6)
DimanaDavgadalah diameterrata-rata untukbenda kerja[mm], dimanaDi(diameter awal,mm) danDf(diameter akhir, mm), ladalah panjangpemotongan[mm], fadalahlaju pemakanan[mm /rev]danVcadalahkecepatan potong[m / menit]. III. METODOLOGI PENELITIAN
Gambar 1. Benda kerja setelah dilakukan pembubutan
Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Februari 2013 sampai April 2013, bertempat di Workshop mesin Unhas dan di Laboratorium Mesin Balai Latihan Kerja Industri (BLKI) Makassar. Metode Penelitian Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data pengaruh parameter pemotongan terhadap konsumsi energi yang digunakan selama peroses pembubutan benda kerja.Dalam penelitian ini digunakan tiga tingkat kecepatan potong, yaitu masing-masing 180, 330 dan 550 (m/min). untuk laju pemakanan menggunakan lima tingkat, yang masing–masing 0.105, 0.132, 0.158, 0.184 dan 0.205 (mm/rev). Sementara kedalaman potong yang dirancang adalah konstan sebesar 1 mm untuk masing-masing pengujian. Dari proses pemotongan pada mesin bubut data pengukuran yang diperoleh berupa konsumsi energi diolah secara grafik dan statistik. Data-data yang diperoleh diploting dalam grafik, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh kecepatan potong, laju pemakanan, kedalaman pemotongan terhadap konsumsi energi pada jenis benda kerja (St 37). Analisis selanjutnya ialah analisa statistik dengan menggunakan program SPSS (Statistical Package for Social Sciences), dengan metode regresi, untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel (kecepatan potong, laju pemakanan, kedalaman pemotongan) terhadap konsumsi energi. Untuk perhitungan konsumsi energi digunakan alat bantu digital clamp meter, yaitu dengan megukur tegangan dan arus yang dihasilkan oleh mesin pada kondisi tanpa pembebanan.
Untuk mempermudah analisa data yang diperoleh, maka hasil pengamatan dianalisa dengan analisa teknis. Kemudian, disusun kedalam tabel analisa desain, yang berguna untuk mempermudah dalam membandingkan hasil dari setiap parameter pemotongan terhadap konsumsi energi. Setelah itu dibuatkan grafik untuk mempermudah pembacaan data.Selanjutnya untuk menguji variabel-variabel bebas yang berpengaruh digunakan sebagai variabel dipendent dalam regresi, maka digunakan regresi linier berganda. Respon dari konsumsi energi terhadap laju pemakanan, telah dilakukan pengambilan data-data sebagai berikut : Tabel 1. Respon laju pemakanan terhadap waktu setup mesin (t1) dengan kecepatan potong 180. 330 dan 550 m/min.
Laju Pemakanan (mm/rev)
Waktu setup mesin (s)
Vc = 180 Vc = 330 Vc = 550 m/min m/min m/min 0.105 4.8 4.51 4.55 0.132 4.45 4.34 4.38 0.158 4.6 4.78 4.46 0.184 4.88 4.91 4.21 0.205 4.59 4.6 4.17 Untuk lebih jelas dari pengambilan data dapat dilihat pada gambar 2.berikut :
Rekayasa Material I-34
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Dari gambar 3.memperlihatkan bahwa, konsumsi energi yang didapatkan pada kecepatan potong 550 m/min cenderung lebih kecil, hal ini disebabkan karena pembubutan benda kerja lebih cepat sehingga waktu yang digunakan lebih singkat. Konsumsi energi untuk ketiga kecepatan potong sangat dipengaruhi oleh waktu setup mesin, apabila waktu setup mesin yang digunakan lebih lama maka akan berpengaruh terhadap konsumsi energi.
Gambar 2. Hubungan antara waktu setup mesin terhadap laju pemakanan
Waktu yang diperlukan untuk setup mesin harus ditambah waktu non produktif yaitu, waktu pemasangan benda kerja, waktu pengecekan ukuran benda kerja, waktu yang diperlukan untuk melepas benda kerja, waktu yang diperlukan untuk mengantarkan benda kerja (dari bagian penyiapan benda kerja ke mesin). Dari gambar 2.memperlihatkan bahwa, waktu setup mesin pada masing-masing kecepatan potong cenderung sama, karena waktu setup mesin dilakukan dengan perlakuan yang sama. Tabel 2. Respon laju pemakanan terhadap konsumsi energi (E1) dengan
Tabel 3.Respon laju pemakanan terhadap jumlah geram (mm3/s) dengan kecepatan potong 180, 330 dan 550 m/min. Laju Geram yang dihasilkan (mm3/s) Pemakanan (mm/rev) Vc = 180 Vc = 330 Vc = 550 m/min m/min m/min 0.105 315 577.5 962.5 0.132 396 726 1210 0.158 474 869 1448.3 0.184 552 1012 1686.6 0.205 615 1127.5 1879.1 Untuk lebih jelas dari pengambilan data dapat dilihat pada gambar 4.berikut
kecepatan potong 180. 330 dan 550 m/min.
Laju Pemakanan (mm/rev) 0.105 0.132 0.158 0.184 0.205
Konsumsi energi E1 (kWs) Vc = 180 m/min 6.76 6.27 6.48 6.88 6.47
Vc = 330 m/min 6.35 6.11 6.73 6.91 6.47
Vc = 550 m/min 6.4 6.16 6.28 5.92 5.87
Untuk lebih jelas dari pengambilan data dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 4. Hubungan antara jumlah geram terhadap laju pemakanan
Dari gambar 4.memperlihatkan bahwa, geram yang dihasilkan pada masing-masing kecepatan potong mengalami kenaikan. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi laju pemakanan dimana dapat dilihat bahwa semakin tinggi laju pemakanan maka jumlah geram yang dihasilkan semakanin besar pula.Jumlah geram yang dihasilkan pada kecepatan potong 550 m/min lebih besar dibandingkan dengan kecepatan potong 180 dan 330 m/min. Tabel 4. Respon laju pemakanan terhadap waktu pemotongan (t2) dengan kecepatan potong 180. 330 dan 550 m/min.
Laju Pemakanan (mm/rev)
Gambar 3. Hubungan antara konsumsi energi E1 terhadap laju pemakanan
0.105 0.132 0.158
Rekayasa Material I-35
Waktu pemotongan (s) Vc = 180 m/min 137.06 109.02 91.08
Vc = 330 m/min 74.76 59.46 49.68
Vc = 550 m/min 44.85 35.68 29.81
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
0.184 0.205
78.21 42.66 25.59 70.2 38.29 22.97 V. Untuk lebih jelas dari pengambilan data dapat dilihat pada gambar 5.berikut :
Gambar 6. Hubungan antara konsumsi energi E2 terhadap laju pemakanan
Gambar 5. Hubungan antara waktu pemotongan terhadap laju pemakanan
Dari gambar 5.memperlihatkan bahwa, waktu pemotongan untuk panjang pemotongan benda kerja 50 mm pada masingmasing kecepatan potong cenderung menurun. Hal ini dipengaruhi oleh laju pemakanan, dimana semakin tinggi laju pemakanan yang digunakan, maka waktu pemotongan benda kerja semakain kecil.Waktu pemotongan terkecil didapatakan pada kecepatan potong 550 m/min dengan laju pemakanan 0.205 mm/rev. Tabel 5. Respon laju pemakanan terhadap konsumsi energi E2 (kWs) dengan kecepatan potong 180. 330 dan 550 m/min.
Laju Pemakanan (mm/rev) 0.105 0.132 0.158 0.184 0.205
Konsumsi energi E2 (kWs) Vc = 180 m/min 408.88 369.38 344.12 325.99 314.72
Vc = 330 m/min 321.14 299.57 285.81 275.93 269.78
Vc = 550 m/min 278.99 266.1 257.84 251.83 248.16
Dari gambar 6.memperlihatkan bahwa, konsumsi energi yang didapatkan pada kecepatan potong 550 m/min cenderung lebih kecil, hal ini disebabkan karena pembubutan benda kerja lebih cepat sehingga waktu yang digunakan lebih singkat. Konsumsi energi untuk ketiga kecepatan potong mengalami penurunan seiring dengan kenaikan laju pemakanan, hal ini dipengaruhi oleh waktu pemotongan, apabila waktu pemotongan yang digunakan lebih lama maka akan berpengaruh terhadap konsumsi energi. Tabel 6.Respon laju pemakanan terhadap Konsumsi energi Etot (kWs) dengan kecepatan potong 180. 330 dan 550 m/min.
Laju Pemakanan (mm/rev)
Konsumsi energi Etot (kWs)
Vc = 180 Vc = 330 Vc = 550 m/min m/min m/min 0.105 415.64 327.49 285.4 0.132 375.66 305.68 272.27 0.158 350.60 292.55 264.12 0.184 332.87 282.84 257.76 0.205 321.19 276.25 254.03 Untuk lebih jelas dari pengambilan data dapat dilihat pada gambar 7.berikut :
VI. Untuk lebih jelas dari pengambilan data dapat dilihat pada gambar 6.berikut :
Gambar 7. Hubungan antara konsumsi energi total (Etot) terhadap laju pemakanan
Rekayasa Material I-36
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pada gambar 7. di atas memperlihatkan bahwa nilai konsumsi energi terkecil didapatkan pada kecepatan potong 550 m/min dengan laju pemakanan 0.205 mm/rev dengan nilai konsumsi energi 254.03 kWs. Pada masing-masing kecepatan potong dapat dilihat bahwa nilai konsumsi energi akan turun seiring kenaikan laju pemakanan pada pada proses pembubutan benda kerja, hal ini diakibatkan oleh pengaruh dari jarak yang ditempuh oleh pahat, jika jarak yang ditempuh oleh pahat semakin cepat maka waktu pemotongan benda kerja lebih singkat. Untuk mengetahui signifikansi pengaruh variabel bebas laju pemakanan terhadap total konsumsi energi (Y), dilakukan pengujian dengan F-test hasilnya dapat dilihat pada tabel Anova, berikut : Hasil uji Anova diketahui besarnya nilai F hitung adalah 13.465 dengan degree of freedom/derajat bebas (df) regression sebesar 1 dan nilai df dari residual sebesar 3, maka dapat diketahui besarnya nilai dari F-tabel pada tingkat signifikansi 5% (α = 0,05) yaitu sebesar 10.13 (Lihat Tabel F). Berdasarkan kedua nilai F tersebut, selanjutnya dilakukan pengujian apakah persamaan garis regresi berganda yang digunakan dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mengestimasi atau memprediksi dari setiap perubahan besarnya nilai konsumsi energi (Y), atau menguji apakah persamaan merupakan model regresi yang terbentuk secara linear dengan variabel bebas yang diteliti tersebut. Untuk pengujian yaitu dengan membandingkan besarnya nilai F hitung dan F tabel, memberikan hasil bahwa nilai F hitung lebih besar dari F tabel atau 13.465>10.13.Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan antara variabel bebas dengan konsumsi energi. Atau dengan kata lain nilai persamaan garis regresi linear berganda dalam penelitian ini dapat digunakan dengan baik untuk memprediksi/memperkirakan setiap perubahan (kenaikan/penurunan) dari nilai konsumsi energi (Y). V. DAFTAR PUSTAKA Berdasarkan data dan analisa percobaan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut : Konsumsi energi tidak berpengaruh signifikan terhadap parameter pemotongan. Sedangkan untuk nilai konsumsi
energi pada masing-masing laju pemakanan terjadi penurunan nilai konsumsi energi. Nilai konsumsi energi terkecil didapatkan pada kecepatan potong 550 m/min dengan laju pemakanan 0.205 mm/rev dengan nilai konsumsi energi 254.03 kWs. Nilai konsumsi energi semakin kecil pada tinggi laju pemakanan yang semakin tinggi. REFERENCES [1]
Asmed; Yusri Mura. (2010). Pengaruh Parameter Pemotongan Terhadap Kekasaran Permukaan Proses Bubut Untuk Material ST 37. Jurnal Teknik Mesin. Vol. 7 No.2. ISSN 1829-8958. [2] Chapman PF. (1974). Energy Costs: A Review of Methods. Energy Policy 2(2):91– 103. [3] Diaz, N.; Choi, S.; Helu, M.; Chen, Y.; Jayanathan, S.; Yasui, Y.; Kong, D.; Pavanaskar, S.; Dornfeld, D. (2010). Machine Tool Design and Operation Strategies for Green Manufacturing, in: Proceedings of the 4th CIRP International Conference on High Performance Cutting (HPC2010) 1:271-276. [4] Fnides B., M. A. Yallese, T. Mabrouki, J-F. Rigal, (2009) Surface roughness model in turning hardened hot work steel using mixed ceramic tool, Mechanika Nr.3(77): 68-73. [5] Gutowski T; Dahmus J; Thiriez A. (2006). Electrical Energy Requirements for Manufacturing Processes. 13th CIRP International Conference on Life Cycle Engineering, Leuven, Belgium, 623–627. [6] Hanafi I; Abdellatif Khamlichia; Francisco Mata Cabrerab; Emiliano Almansab; and Abdallah Jabbouri. (2012). Optimization of cutting conditions for sustainablemachining of peek cf30 using tin tools. Journal of Cleaner Production. http://dx.doi.org/10.1016/j.jclepro.2012.05.005 [7] Mori, M., Fujishima, M., Inamasu, Y., Oda, Y. 2011. A study on energy efficiency improvement for machine tools. CIRP Annals e Manufacturing Technology 60 (1): 145-148. [8] Nur Rusdi; Noordin Mohd Yusof; Izman Bin Sudin; Deni Kurniawan. (2012). Department of Manufacturing and Industrial Engineering, Universiti Teknologi Malaysia, Skudai, Malaysia. Journal of Manufacturing and Industrial Engineering. [9] Rajemi MF; Mativenga PT, Aramcharoen A. (2010). Sustainable Machining: Selection of Optimum Turning Conditions based on Minimum Energy Considerations. Journal of Cleaner Production 18(10– 11):1059–1065. [10] Sarwar, M; Persson, M; Hellbergh, H; Haider, J. (2009). Measurement of specific cutting energy for evaluating the efficiency of bandsawing different workpiece materials. International Journal of Machine Tools and Manufacture 49 (12-13): 958-965. [11] Walsh R. A. (2000). Handbook of Machining and Metalworking Calculations, 1st edition. McGraw-Hill Professional.
Rekayasa Material I-37
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengaruh Putaran dan Temperatur Terhadap Kekuatan Sambungan Las Hasil Friction Welding Antara Baja AISI 1045 dengan Baja Tahan Karat AISI 316L Hoppy Istiawan
Abdul Hay Muchsin, Hammada Abbas
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Musamus Merauke-Papua, Indonesia
[email protected]
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar-Sulawesi Selatan, Indonesia
[email protected]
Abstract— Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh putaran dan temperatur terhadap kekuatan sambungan las (kekuatan tarik dan kekerasan) dari hasil pengelasan gesek antara baja AISI 1045 dengan baja tahan karat AISI 316L. Proses pengelasan gesek dilakukan dengan memvariasikan putaran (550 rpm, 1020 rpm dan 1800 rpm) serta temperatur (650ºC, 750ºC, 850ºC). Hasil pengelasan gesek tersebut kemudian dilakukan pengujian untuk mengetahui kekuatan sambungannya. Data awal penelitian diperoleh melalui proses pengujian tarik dan pengujian kekerasan pada mesin tarik dan mesin kekerasan. Data dianalisis dengan menggunakan metode statistik yaitu regresi dan anova. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kekuatan tarik maksimum dan kekerasan maksimum tertinggi terjadi pada putaran 1800 rpm dan temperatur 850ºC dengan nilai masing σ max = 480,23 N/mm2 dan HB max = 219,03 BHN. Analisis statistik menunjukkan bahwa ada hubungan dan pengaruh antara variabel input X (putaran dan temperatur) terhadap variabel output Y (kekuatan tarik dan kekerasan) Kata kunci : friction welding, putaran, temperatur, kekuatan tarik, kekerasan
I. PENDAHULUAN Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan industrialisasi seperti sekarang ini, pengguna dan pemakaian material logam merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindari. Bahkan para ahli berpendapat bahwa pemakaian logam merupakan salah satu indikasi untuk mengukur perkembangan teknologi dan industri suatu negara. Dari perkembangan tersebut, maka teknologi sambungan las banyak digunakan baik pada konstruksi dinamis maupun statis. Pengelasan (WELDING) adalah salah satu teknik penyambungan logam dengan cara mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi dengan atau tanpa tekanan dan dengan atau tanpa logam tambahan dan menghasilkan sambungan yang kontinu[1]. Dalam pengelasan gesek/friction welding merupakan pengelasan tanpa menggunakan kawat las/elektroda sehingga bisa dipastikan bahwa sambungan yang diperoleh antara kedua
material yang dilas adalah sambungan yang homogen. Selain itu untuk penyambungan poros dengan proses ini dapat meminimalisir bergesernya sumbu dari material yang dilas. Durasi gesek, tekanan gesek dan tekanan tempa sangat berpengaruh terhadap kekuatan tarik hasil pengelasan gesek/friction welding pada material baja karbon, dimana didapatkan kekuatan tarik meningkat seiring dengan bertambahnya durasi gesek, tekanan gesek, dan tekanan tempa, hal ini disebabkan tekanan gesek dan durasi gesekan yang dilakukan sudah mencapai temperatur tempa sehingga tekanan tempa sebagai fungsi meningkatkan temperatur dan penyambungan dapat melakukan ikatan yang sangat baik[2]. Proses pengelasan gesek/friction welding, kecepatan putaran merupakan variabel yang sensitif dan dalam hal ini dapat divariasikan jika waktu dan temperatur pemanasan serta tekanan dikontrol dengan baik. Secara umum, kecepatan putaran yang lebih tinggi dapat digunakan untuk mengelas bahan peka panas seperti baja hardenable[3]. Baja karbon merupakan salah satu jenis logam yang paling banyak digunakan diberbagai bidang teknik terutama untuk keperluan industri strategis seperti konstruksi bangunan, pembuatan alat-alat perkakas, alat-alat Otomotif, konstruksi pesawat terbang, dan lain-lain. Banyaknya pemakaian jenis logam ini terlepas dari sifat-sifat yang dimilikinya diantaranya adalah : mudah diperoleh dipasaran, mudah dibentuk/diproses atau mempunyai sifat permesinan yang baik dan harganya relatif murah[5]. Berdasarkan pemikiran dan uraian diatas, maka akan dilakukan Penelitian dengan judul : Pengaruh Putaran dan Temperatur Terhadap Kekuatan Sambungan Las Hasil Friction Welding Antara Baja AISI 1045 dengan Baja Tahan Karat AISI 316L. . II. TINJAUAN PUSTAKA Friction welding adalah proses pengelasan padat dimana panas untuk pengelasan dihasilkan oleh gerakan relatif antara dua permukaan yang saling bergesekan. Metode ini bergantung pada konversi langsung dari energi mekanik ke
Rekayasa Material I-38
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
energi termal untuk membentuk hasil lasan tanpa aplikasi panas dari sumber lain. Friction welding/Pengelasan gesek mempunyai banyak kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan proses pengelasan lainnnya, diantaranya: tidak memerlukan fluks/selaput las, bahan pengisi/elektroda ataupun gas dalam proses pengelasan, tidak ada percikan api las ataupun asap yang dihasilkan, tidak ada pencairan sehingga tidak ada cacat solidifikasi yang terjadi (misalnya gas porositas), dapat menyambung dua buah logam yang berbeda (dissimilar) sehingga dapat mengurangi biaya bahan baku dalam aplikasi pengelasan logam yang berbeda dan sebagainya. Gambar di bawah ini menunjukkan langkah-langkah dasar proses pengelasan dengan gesekan dimana proses penyambungan logam yang terjadi disebabkan oleh gesekan akibat perputaran logam satu terhadap lainnya di bawah pengaruh tekanan aksial.
σ = tegangan (N/mm2) Besarnya regangan adalah jumlah pertambahan panjang karena pembebanan dibandingkan dengan daerah ukur (gage length), yang dapat dihitung dengan persamaan:
l lo
……. (2)
di mana: = Regangan (mm/mm) ΔL= pertambahan panjang (mm) lo = panjang daerah ukur (mm) Sedangkan nilai kekerasan yang terjadi menggunakan metode Brinnell dengan persamaan:
dihitung
……. (3) di mana: P = beban yang digunakan (kg) D = diameter bola baja (mm) d = diameter lekukan (mm)
Gambar 1. langkah-langkah dasar proses pengelasan gesekan. (a) Satu benda kerja diputar dan benda lain dalam keadaan diam (b) Kedua benda kerja saling disentuhkan permukaannya dan gaya aksial diberikan untuk memulai proses pengelasan (c) rotasi benda kerja dihentikan dan proses pengelasan selesai3.
Observasi dengan SEM dilakukan untuk menyelidiki struktur mikro permukaan material (geopolimer) (termasuk porositas dan pembentukan retakan), dan antar muka (Interface) antara agregat matriks. Mikroskop elektron (SEM atau TEM) adalah mikroskop yang menggunakan berkas elektron sebagai sumber energi, dan lensa elektromagnetik sebagai pengganti lensa gelas.
..........(4) Dimana : = resolusi (jarak minimum yang masih dapat dipisahkan)
Gambar 2. Plot parameter waktu yang dipilih terhadap tiga tahapan proses friction welding.
Hubungan diantara variabel-variabel proses pengelasan ditunjukkan pada gambar 2 yang diplot untuk kecepatan putaran dan tekanan sebagai fungsi waktu untuk pengelasan. Waktu yang dibutuhkan untuk menghentikan gelendong juga merupakan variabel penting karena mempengaruhi suhu pengelasan dan waktu gaya penempaan. Hubungan antara tegangan dan regangan pada beban tarik ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
F A
di mana: F = beban (N) A = luas penampang (mm2)
……. (1)
= panjang gelombang n = indeks bias medium yang dilewati sumber energi α = sudut bukaan Metode statistik merupakan suatu metode analisis untuk melihat kecenderungan hubungan maupun pengaruh antara variabel bebas (x) dan variabel terikat (y) Regresi berganda merupakan perluasan dari metode regresi sederhana dan penggunaannya bertujuan untuk mencari hubungan antara variabel dependen Y dengan dua atau lebih variabel independen (X1, X2, …..Xn) dalam bentuk persamaan sebagai berikut: ŷ = a + b1x1 + b2x2 + … + bnxn
…….......(5)
Untuk mencari nilai a, b1 dan b2 dalam linier regresi berganda untuk dua variabel independen X1 dan X2 dapat digunakan kuadrat minimum (by least squares). dimana kondisi minimum turunan pertama dari SSE berturut-turut terhadap a, b1 dan b2 bernilai nol, sehingga diperoleh tiga persamaan berikut : = na
Rekayasa Material I-39
+ b
+ b
...…(6)
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
= a
+ b1
= a
+ b1
+ b2 + b2
.….(7) .….(8)
Analisis varian (analysis of variance, anova) adalah sebuah teknik yang dipakai untuk membandingkan dua atau lebih parameter populasi. Teknik ini sering dipakai untuk penelitian terutama pada rancangan penelitian eksperimental dengan cara membandingkan nilai fTabel dengan nilai fHitung yang diperoleh dari hasil perhitungan. III. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan dan bertempat di Bengkel Mekanik dan Laboratorium Mekanik Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Ujung Pandang, Laboratorium Metalurgi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin dan Laboratorium Fisika Fakultas MIPA Universitas Negeri Makasar. Bahan penelitian yang digunakan adalah baja AISI 1045 dan baja tahan karat AISI 316L dengan diameter 16mm dan panjang 15mm. Peralatan penelitian yang digunakan adalah mesin bubut, Infrared digital thermometer, jangka sorong, stopwatch, kamera digital, pengukur tekanan sedangkan peralatan pengujian yang digunakan seperti mesin uji tarik, mesin uji kekerasan dan mesin uji SEM. Penelitian dilakukan dengan proses pengelasan gesek pada mesin bubut dengan memvariasikan putaran (550 rpm, 1020 rpm, 1800 rpm) dan serta pencatatan temperatur pengelasan dengan menggunakan Infrared digital thermometer dan waktu pengelasan dengan menggunakan stopwatch. Tekanan aksial dapat diketahui dengan mengunakan pengukur tekanan yang dipasang pada kepala lepas pada mesin bubut. Proses pengelasan ini diulang sesuai dengan variasi putaran dan temperatur yang telah ditetapkan.
Gambar 4 Hasil pengelasan gesek
Hasil pengelasan gesek tersebut kemudian dibentuk menjadi specimen-spesimen untuk dilakukan pengujian mekanis yaitu specimen uji tarik, uji kekerasan dan specimen untuk pengujian SEM. Pengujian sifat-sifat mekanis dilakukan dengan menggunakan mesin uji tarik untuk memperoleh data kekuatan tarik maksimumnya dan uji kekerasan untuk memperoleh data kekerasan maksimum serta uji SEM untuk mengetahui perubahan struktur atomnya. Data yang diperoleh dari hasil pengujian tarik adalah gaya maksimum yang kemudian digunakan untuk mengetahui kekuatan tarik maksimum dari bahan yang dilas. Pengujian kekerasan dilakukan untuk mengetahui kekerasan yang terjadi. Data awal yang diperoleh dari pengujian ini adalah nilai kekerasan pada daerah sambungan (joint). Pengujian SEM dilakukan untuk mengetahui perubahan struktur mikro dari bahan setelah mengalami proses pengelasan dengan temperatur yang berbeda. Setelah data sudah di peroleh melalui pengujian maka dilakukan pengolahan data antara lain dengan menggunakan perhitungan, dan analisis. Metode analisis dengan menggunakan metode analisis statistik (Regresi dan ANOVA). Regresi untuk melihat sebarapa besar hubungan variabel X dan Y, sedangkan ANOVA untuk melihat pengaruh variabel X terhadap variabel Y. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian 1.
Hasil Pengujian Tarik
Dari hasil pengujian dan perhitungan, hubungan kekuatan tarik dengan putaran dan temperatur ditunjukkan pada grafik berikut: Gambar 3 Proses pengelasan gesek
Proses pengelasan gesek dilakukan dengan menvariasikan 3 jenis putaran (550rpm, 1020rpm dan 1800 rpm) pada temperatur yang berbeda yaitu: 650oC, 750oC dan 850oC. Hasil sambungan dari proses pengelasan gesek diperlihatkan pada gambar 4 di bawah:
Rekayasa Material I-40
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
2.
Hasil Pengujian Kekerasan
Berdasarkan hasil perhitungan tegangan geser yang dilakukan terhadap data hasil pengujian maka hubungan antara putaran, temperatur dan kekerasan ditunjukkan pada grafik berikut:
Gambar 5. Hubungan antara kekuatan tarik dan putaran pada temperatur berbeda.
Gambar 7. Hubungan antara kekerasan dan putaran pada temperatur berbeda.
Gambar 6. Hubungan antara kekuatan tarik dan temperatur pada putaran berbeda.
Kekuatan tarik logam induk (base metal) untuk baja AISI 1045 adalah 683 N/mm2 sedangkan baja tahan karat AISI 316L adalah 656 N/mm2. Dari gambar 3 dan 4 untuk hasil pengelasan gesek diperoleh kekuatan tarik tertinggi pada putaran 1800 rpm temperatur 8500C sebesar 480.23 N/mm2 turun sebesar 29,7 % dari kekuatan tarik base metal, sedangkan kekuatan tarik terendah pada hasil pengelesan gesek adalah pada putaran 550 rpm temperatur 6500C sebesar 477,34 N/mm2 turun sebesar 30.1 % dari kekuatan tarik base metal. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan regresi linier berganda diperoleh persamaan regresinya sebagai berikut: Y’= 471.2274+ 0.0011X1 + 0.0083X2 Sedangkan berdasarkan analisi varians yang dilakukan (Anova) diperoleh hasil sebagai berikut:
Fhitung 0.02324 0.03657 0.00034
Gambar 8. Hubungan antara kekerasan dan temperatur pada putaran berbeda.
Nilai kekerasan logam induk (base metal) untuk baja AISI 1045 adalah 184.6 BHN, sedangkan baja tahan karat AISI 316L adalah 237.3 BHN. Gambar 5 dan 6 untuk hasil pengelasan gesek nilai kekerasan tertinggi pada putaran 1800 rpm temperatur 8500C sebesar 219.03 BHN turun sebesar 7,7 % dari kekerasan base metal, sedangkan nilai kekerasan terendah hasil pengelesan gesek pada putaran 550 rpm temperatur 6500C adalah 216.57 BHN turun sebesar 8,7 % dari kekerasan base metal. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan regresi linier berganda diperoleh persamaan regresinya sebagai berikut: Y’ = 212.2207 + 0.0010X1 + 0.0057X2 Sedangkan berdasarkan analisi varians yang dilakukan (anova) diperoleh hasil sebagai berikut:
Table 1 Hasil ANOVA Uji Tarik Ftabel α db db (%) numer denumer 3.554557 5 2 18 3.554557 5 2 18 2.927744 5 4 18
Fhitung
Berdasarkan hasil analisis atau pengujian dengan menggunakan anova, pada tabel 1 menunjukkan bahwa nilai fHitung lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai fTabel yang berarti nilai fHitung berada dalam daerah penerimaan H0.
3.48530 2.79881 0.12526
Rekayasa Material I-41
Tabel 2 Hasil ANOVA Uji Tarik Ftabel α db db (%) numer denumer 3.554557 5 2 18 3.554557 5 2 18 2.927744 5 4 18
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Berdasarkan hasil analisis atau pengujian dengan menggunakan anova, pada tabel 2 menunjukkan bahwa nilai fHitung lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai fTabel yang berarti nilai fHitung berada dalam daerah penerimaan H0. 3.
Hasil Pengujian SEM
Hasil pengujian SEM dalam pengelasan gesek adalah daerah HAZ dan daerah Fusion Line antara baja AISI 1045 dengan baja tahan karat AISI 316L, adapun hasil pengujian SEM adalah sebagai berikut:
Gambar 9. Hasil foto SEM pada putaran 550 rpm temperatur 850oC
Dari gambar 7(a) hasil las gesek daerah HAZ memperlihatkan bentuk permukaan pembesaran 20 μm terdapat struktur yang tidak seragam ditunjukkan dengan anak panah sebelah kiri, pada anak panah sebelah kanan menunjukkan struktur ferit. Pada Gambar 7(b), pembesaran 500 μm terlihat fusion line antara baja karbon AISI 1045 dengan AISI 316L.
Pada gambar 9(a) permukaan hasil pengelasan gesek pada daerah HAZ terlihat struktur mikro yang tidak seragam berwarna terang ukurannya makin padat dan kasar pembesaran 20 μm. Sementara Pada gambar 9(b), pembesaran 500 μm terlihat fusion line antara baja karbon AISI 1045 dengan AISI 316L terlihat semakin padat sehingga kekuatannya akan semakin meningkat. B. Pembahasan Pada grafik tersebut diatas terlihat bahwa terjadi peningkatan kekuatan tarik maupun kekerasan seiring dengan terjadinya pertambahan kecepatan putaran dan temperatur. Untuk setiap variasi putaran terlihat bahwa kekuatan tarik terbesarnya terjadi pada temperatur 850oC. Hal ini terjadi karena semakin cepat putaran maka waktu pengelasan akan semakin singkat pula sehingga daerah HAZ akan semakin kecil. Proses pengelasan yang berlangsung lama mengakibatkan daerah permukaan benda kerja yang dilas menjadi lebih rapuh karena terjadinya pemanasan yang berlebihan begitu pula dengan daeah HAZ-nya akan semakin besar sehingga berpengaruh terhadap sifat mekanis bahan yang dilas. Pada temperatur 850oC merupakan temperature yang paling stabil dimana atom-atom saling berikatan dan berinteraksi. Berdasarkan hasil foto SEM yang dilakukan terlihat bahwa semakin tinggi temperatur maka ukuran atom juga semakin padat dan seragam sehingga regangan yang terjadi semakin kecil.. Ini menandakan material menjadi lebih keras dan lebih kuat. Berdasarkan hasil analisis atau pengujian dengan menggunakan anova, menunjukkan bahwa nilai fHitung lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai fTabel yang berarti nilai fHitung berada dalam daerah fTabel. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa variabel input (putaran dan temperatur) serta interaksinya, berpengaruh terhadap kekuatan sambungan las ( tarik dan kekerasan). V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Gambar 10. Hasil foto SEM pada putaran 1020 rpm temperatur 850oC
Sedangkan pada gambar 8(a) memperlihatkan pada daerah HAZ terlihat struktur mikro yang seragam yaitu struktur perlit pembesaran 5 μm ditunjukkan pada anak panah sebelah kiri dan struktur ferit yang ditunjukkan pada anak panah sebelah kanan. Pada gambar 8(b), pembesaran 500 μm terlihat fusion line antara baja karbon AISI 1045 dengan AISI 316L.
Dari kegiatan penelitian, analisis data dan hasil pembahasan yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1)
2)
Gambar 11. Hasil foto SEM pada putaran 1800 rpm temperatur 850oC
Kecepatan putaran pada proses pengelasan gesek dengan tekanan penempaan maksimum sekitar 60 MPa berpengaruh terhadap kekuatan sambungan las (kekuatan tarik dan kekerasan). Hal ini ditandai dengan terjadinya peningkatan kekuatan tarik dan nilai kekerasannya seiring dengan meningkatnya putaran yang diberikan. Kekuatan tarik tertinggi terjadi pada putaran 1800 rpm dengan nilai σmax = 480,23 N/mm2 dan hasil kekerasan tertinggi terjadi pada putaran 1800 rpm dengan nilai HBmax = 219,03 BHN. Temperatur pemanasan yang diberikan (650oC, 750oC dan 850oC) pada proses pengelasan gesek juga berpengaruh terhadap kekuatan sambungan hasil lasan. Hal ini terjadi karena variasi temperatur yang diberikan masih dalam satu fasa (α+γ). Dari hasil uji SEM terlihat
Rekayasa Material I-42
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi bahwa pada temperatur 850oC, ukuran atom semakin padat dan seragam sehingga regangan yang terjadi semakin kecil yang mengindikasikan bahwa sambungan yang terjadi akan lebih kuat. B. Saran Pada penelitian ini proses pengelasan gesek menggunakan material baja AISI 1045 dengan baja tahan karat AISI 316L yang terjadi hanya menggunakan satu putaran spindel dengan putaran tertinggi 1800 rpm pada proses pengelasan, sehingga pencapaian temperatur dan waktu pengelasan menjadi lebih lama. Hal ini mengakibatkan daerah HAZ (Head Affected Zone) menjadi lebih besar. Oleh karena itu, disarankan pada penelitian selanjutnya menggunakan dua putaran spindel yang berputar berlawanan arah atau dengan menggunakan kecepatan putaran diatas 1800 rpm pada proses pengelasan serta bisa menggunakan jenis material yang lain.
DAFTAR PUSTAKA [1] Hery Sonawan, Rochim Suratman, 2006. “Pengelasan Logam”. Alfabeta, Bandung. [2] Wahyu Nugroho. 2010, “Pengaruh Durasi Gesek dan Tekanan Tempa terhadap Kekuatan Sambungan Lasan Gesek pada Baja Karbon AISI 1045”.
[3] ASM Handbook. 1993. “Welding, Brazing, and Soldering”. Volume 6, USA. [4] Muhammad Iswar. 2011. “Pengaruh Variasi Parameter Pengelasan (Putaran dan Temperatur) Terhadap Kekuatan Sambungan Las Hasil Friction Welding Pada Baja Karbon Rendah”. [5] Lawrence H.V.V. 1989 “Ilmu dan Teknologi Bahan”. Erlangga, Jakarta. [6] Surdya Tata , Saito Shinroku, 1985 “ Pengetahuan bahan teknik “ PT Pratnyya Paramita Jakarta. [7] Diktat Kuliah , 1991, “ Mengelas baja tahan karat “ Politeknik Manufaktur Bandung. [8] Saifuddin, M.Noer Ilham, 2000. “Pengaruh Preheat terhadap StrukturMikro dan kekuatan tarik Las logam tak Sejenis Baja Tahan karat Austenitik 304 dan Baja Karbon A 36“. [9] Wiryosumarto Harsono. 2004. “Teknologi Pengelasan Logam”. Cetakan9, Pradnya Paramita, Jakarta [10] 2002 by Verlag Europa Lehrmittel, Nourney, Vollmer GmbH &Co. “Formeln fur Metallberufe”. [11] Rohyana, Solih. 1999. “Pekerjaan Logam Dasar”. Armico, bandung. [12] Subaer. 2012. “Pengantar Fisika Geopolimer”. Dikti, Makasar [13] Walpole, Ronald E., 1995. “Pengantar Statistik”. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. [14] Dr.Ir. Harinaldi, M.Eng, 2005. “Prinsip-prinsip Statistik untuk Teknik dan Sains”, Erlangga, Jakarta. [15] Wibisono, Yusuf., 2005, “Metode Statistik”. Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Rekayasa Material I-43
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Efek Perlakuan Forging danTemperatur Anil terhadap Kekerasan dan Frekuensi Natural pada Bilah Perunggu 80%Cu-20%Sn I Ketut Gede Sugita
Istri Putri Kusuma Kencanawati
Jurusan Teknik Mesin fakultas Teknik Universitas Udayana Bali, Indonesia
[email protected]
Jurusan Teknik Mesin fakultas Teknik Universitas Udayana Bali, Indonesia
[email protected]
Abstract— Perunggu merupakan suatu logam yang memiliki sifat akustik yang baik, sehingga material ini dipilih sebagai instrumen musik. Proses produksi yaitu proses pembentukan dan pemadatan (forging), proses perlakuan panas, memegang peranan terhadap sifat mekanis dan akustik yang dihasilkan. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui perlakuan forging dan temperatur anil terhadap kekerasan dan perubahan frekuensi natural bilah yang terjadi. Paduan perunggu 80%Cu20%Sn di cor pada temperatur tuang 1000⁰C. Hasil coran diberi perlakuan forging dengan variasi forging 10,15 dan,20%.. Semua sampel diberi perlakuan variasi temperatur anil, 400 ⁰C, 500⁰C, 600⁰C, pada holding time 60 menit. Prosedur dan standar pengujian kekerasan mengikuti standar ASTM E 92-82 dan pengujian frekuensi natural mengikuti standar ASTM E 1876-01. Pengukuran menggunakan program Lab View 8.2. Hasil penelitian menunjukkan kekerasan dan frekuensi natural meningkat akibat peningkatan derajat deformasi. Temperatur anil meningkat menyebabkan kekerasan dan frekuensi natural menurun. Perubahan sifat kekerasan dan frekuensi natural diakibatkan oleh perubahan tegangan sisa dan perubahan bentuk struktur mikro yang terbentuk.
(microhardness) dan bentuk struktur mikro (Favstor, dkk.,2003). Proses forging, berdampak terjadinya tegangan sisa kompresi pada material Tegangan sisa (residual stress) merupakan tegangan yang tetap berada pada material walaupun beban luar dilepas dari material tersebut. Efek negatif dari tegangan sisa berpengaruh pada sifat mekanis dan kestabilan suara (frekuensi) yang dihasilkan. (Perin, dkk.,1995), (Wibowo, 2008) Perlakuan temperatur anil berfungsi untuk mengeliminir tegangan sisa yang terjadi. Perubahan tegangan sisa akan berpengaruh pada frekuensi pribadi yang ditimbulkan oleh material tersebut. Naik turunnya frekuensi pribadi tergantung pada jenis tegangan sisa yang terjadi dan variasi perlakuan temperatur (Boutillon Xavier, 2002, Penelitian ini menitik beratkan pada kajian perubahan frekuensi dasara yang terjadi pada kombinasi perlakuan forging dan temperatur anil II. METODOLOGI PENELITIAN
Kata kunci: derajat deformasi, temperatur anil, frekuensi natural
I. PENDAHULUAN Umumnya perunggu yang digunakan sebagai instrumen musik adalah paduan antara tembaga (Cu) dan timah putih (Sn). Perunggu dipilih sebagai bahan musik, karena perunggu mudah dibentuk dalam plat tipis dan memiliki sifat akusti yang baik seperti suara yang nyaring (Hosford, 2005, Schmidt,1995) Komponen utama yang berpengaruh pada proses pembuatan instrument musik sebagai contoh gamelan adalah komposisi paduan perunggu, proses pengecoran, proses pembentukan dan pemadatan (forging). Ketiga komponen proses tersebut berpengaruh terhadap kekuatan (sifat mekanis) dan bunyi yang dihasilkan (akustik), Perlakuan forging pada material (bilah) menyebabkan material mengalami kompresi. Peningkatan ratio kompresi (forging) menyebabkan kekuatan tarik maksimum, tegangan luluh meningkat namun perpanjangan (elongation) perunggu menurun (Han,dkk, 1997). Perlakuan tingkat deformasi dan temperatur anil berpengaruh pada sifat kekerasan material
Pengecoran Bahan Komposisi paduan perunggu yang digunakan pada penelitian ini komposisi 80%Cu-20%Sn. Proses peleburan dilakukan pada dapur peleburan (crucible furnace). Paduan yang telah mencair kemudian di tuang dengan temperatur tuang 1000⁰C, pada cetakan pasir kemudian didinginkan secara perlahan sampai mencapai temperatur kamar. Karateristik cetakan pasir yang digunakan adalah: kekuatan tekan cetakan rata rata:14.67N/cm2, kekuatan geser rata-rata :3.67N/cm2, kekerasan cetakan: 86.89 N/cm2, permeabilitas cetakan: 10.15 cm3/menit Proses forging menggunakan hummer forging yang dilengkapi dengan dies yang sesuai dengan ukuran deformasi yang diinginkan. Die berfungsi untuk menjaga beban yang terdistribusi dibenda kerja merata, mudah dalam kontrol terhadap ketebalan akhir. Tingkat deformasi dapat ditentukan dengan prosentase kompresi (per-cent compression) yaitu berbanding terbalik dengan perpanjangan (per-cent elongation), sehingga:
Rekayasa Material I-44
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
% Cr
100 h o h f
ho
dimana: %C hf ho
= Persentase perubahan kompresi = Tebal akhir (mm) = Tebal awal (mm)
Temperatur material saat diforging adalah 6000C Pengujian kekerasan yang digunakan adalah pengujian vickers. .Indentor yang digunakan berbentuk piramida dengan dasar bujur sangkar (a square base diamond pyramid) dari bahan intan. Sudut puncak piramid adalah 1360. Angka kekerasan vickers adalah besar beban (P) dibagi luasan identasi. Set-up alat pengukuran frekuensi natural seperti ditunjukkan pada Gambar.2 Spesimen uji (gambar 1) dipasang pada ukuran jarak antara dudukan mengunakan standar ASTM E 1876-01, seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Spesimen dipukul (digetarkan), kemudian getaran yang dibangkitkan ditangkap oleh sensor pada tranduser. Charge amplifier menguatkan sinyal getaran yang ditangkap dari tranduser untuk diteruskan ke interface getaran (National Instrument). Output dari interface diteruskan ke computer/laptop, yang selanjutnya diolah pada program Lab-view 8.2.
Gambar 1 Ukuran specimen uji frekuensi natural (dalam mm)
B. Frekwensi Natural Frekuensi nada dasar merupakan besaran utama yang diukur akibat pengaruh forging yang dikenakan pada material. Frekuensi awal material diukur frekuensi yang dibangkitkan, kemudian material tersebut diberikan panas 400,500,6000C (Brook,1991), masing-masing selama 60 menit. Setiap tahap variasi perlakuan diukur perubahan frekuensi yang terjadi. Hubungan frekuensi natural dengan derajar deformasi ditunjukkan pda Gambar 4 dan akibat temperatur anil ditunjukkan pada Gambar 6
Gambar 3 Hubungan derajat deformasi terhadap kekerasan
Gambar 4 Hubungan derajat deformasi terhadap frekuensi natural
Gambar 2 Set-up Pengujian frekuensi natural
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kekerasan Permukaan spesimen uji yang telah dihaluskan, kemudian dilakukan pengujian kekerasan metode Vickers. Hubungan antara nilai kekerasan dengan derajat deformasi ditunjukkan pada grafik 1 Gambar 3 tampak bahwa kenaikan derajat deformasi pada material yaitu mulai dari 10, 15 dan 20%, menaikkan kekerasan material. Material awal yag tidak mengalami pemadatan forging (0%) memiliki kekerasan 132,2 VHN, deformasi 10% dengan kekerasan 140,5 VHN dan tertinggi pada derjat deformasi 20% sebesar 176,1 VHN. Gambar 5 menunjukkan hubungan kekerasan material terhadap temperatur anil dari masing-masing perlakuan. Kekerasan material memiliki kecendrungan yang menurun semakin meningkatnya temperatur anil yang dikenakan pada material
Gambar 5 Hubungan derajat deformsi dan temperatur anil terhadap kekerasan material
Rekayasa Material I-45
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Gambar 6. Hubungan derajat deformsi dan temperatur anil terhadap frekuensi natural
C. Struktur Mikro Gambar 7a-d menunjukkan struktur mikro hasil coran dari masing-masing perlakuan variasi forging. Peningkatan derajat deformasi berdampak pada bentuk struktur mikro yang semakin pipih dan memanjang. Tidak ada perubahan fase pada material yang terjadi selama proses. Perubahan bentuk sruktur semakain membesar seiring dengan kenaikan temperatur anealing yang dikenakan pada material (bilah). Hasil pengamatan struktur mikro proses anil tidak mengubah fase yang terbentuk selama proses (Gambar 8 a-d). Struktur mikro pada spesimen dengan temperature anil 4000C lebih kecil dibandingkan struktur mikro anil 5000C dan pada temperature anil 6000C butiran kristal menjadi lebih besar lagi. Semakin besar temperatur anil maka bentuk phase α yang terbentuk semakin besar dimana phase yang terbentuk merupakan phase yang larut pada kondisi padat tetapi lebih lunak.
Gambar 7 Struktur mikro perunggu akibat variasi derajat deformasi ( pembesaran 200X) a) tanpa perlakuan b) ingkat deformasi 10% c) tingkat deformasi 15% d) tingkat deformasi 20%
Gambar 4 Bentuk struktur mikro perunggu akibat variasi derajat deformasi (pembesaran 200X) a) tanpa perlakuan b) temperatur anil 400oC c) temperature anil 500oC d) temperature anil 600oC D. Pembahasan Proses forging (derajat deformasi) berhubungan erat dengan kemampatan material, yang dapat mereduksi lubanglubang porositas. Semakin besar derajat deformasi semakin besar tingkat pemampatan material/spesimen. Kekerasan material yang paling besar terjadi pada reduksi 20%.(reduksi yang paling besar). Akibat pengaruh derajat deformasi akan menghasilkan tegangan sisa kompresi pada material. Tegangan sisa muncul akibat beberapa proses pembentukan seperti deformasi plastis, perubahan temperatur dan transformasi fase. Tegangan sisa ini akan menghasilkan strain hardening (pengerasan regang), yang akan meningkatkan kekerasan material. Perlakuan temperatur anil yang dikenakan pada material, akan mereduksi tegangan sisa (Wibowo,2008). Penurunan tegangan sisa kompresi akan menurunkan kekerasan material. Semakin meningkat temperatu anil yaitu 400, 500, 6000C yang dikenakan menurunkan sifat kekerasan material Proses forging pemanasan pada suhu 6000 dan menggunakan media pendinginan dengan suhu kamar yang berkisar antara 300C sampai 280C, maka phase yg terbentuk adalah phase α+ε. Phase yang terbentuk merupakan phase yang larut pada kondisi padat tetapi lebih lunak, akan tetapi untuk phase ε mempunyai sifat terlalu keras dan getas (Brick, 1997). Material yang memiliki sifat keras dan getas akan menghasilkan frekuensi natural yang baik. Perubahan frekuensi pribadi yang dihasilkan akibat perubahan sifat kekerasan material. Pada pengamatan struktur mikro dengan pembesaran 400X dapat dilihat bentuk butir yang semakin pipih dari tanpa perlakuan sampai pada perlakuan deformasi 20%. Semakin besar tingkat deformasi maka bentuk phase α+ε akan berbentuk pipih sehingga menjadikan material stiffnes (kaku) yaitu modulus elastisitas (E) material meningkat. Perubahan kekakuan material (E) berpengaruh pada frekuensi pribadi (natural) yang dihasilkan.
Rekayasa Material I-46
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
i menurut, frekuensi pribadi yang dihasilkan oleh suatu material berbanding lurus dengan Modulus elastis material. (Beard,1996, Thomson, 1993). Perubahan frekuensi nada dasar yang terjadi pada bilah perunggu (spesimen uji) sesuai dengan hasil penelitian Perrin dkk, (1999), yang menunjukkan bahwa kenaikan frekuensi natural material bell perunggu diakibatkan karena adanya pelepasan tegangan sisa yang terperangkap pada bell tersebut akibat proses pembentukan IV. KESIMPULAN Pada kesempatan ini penulis mengucapkan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Nyoman Sudibia. Yang menyediakan tempat pengecoran. UCAPAN TERIMA KASIH The preferred spelling of the word “acknowledgment” in America is without an “e” after the “g”. Avoid the stilted expression, “One of us (R. B. G.) thanks . . .” Instead, try “R. B. G. thanks”. Put applicable sponsor acknowledgments here; DO NOT place them on the first page of your paper or as a footnote. DAFTAR PUSTAKA [1] Ari Wibowo, 2008, Pengaruh Tegangan Sisa terhadap Frekwensi Nada Dasar Perunggu, Tesis S2, Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta [2] ASTM, E 1876-01, 2002, Standard Test Method for Dynamic Young, Shear Modulus, and Poisson’s Ratio by Impulse Excitation of vibration, ASTM International
[3] Beard C.F., 1996, Structural Vibration, Analysis and Damping, John Willey & Sons, New York [4] Brick R.M., Perise A.W., Gordon., R.B., 1997, Structure and Properties of Engineering Materials, McGraw-Hill Book Company. [5] Boutillon Xavier, David Bertrand, 2002, Assessing Tuning and Damping of Historical Carillon Bells and their Changes Through Restoration, Laboratoire d’Acoustique Musicale, Paris [6] Brick Robert M, Pense Alan W., Gordon Robert B., 1997, Structure and Properties of Engineering Materials, McGraw-Hill Book Company [7] Brook C.R., 1991, Principles of Heat Treating of Nonferrous Alloys, ASM Handbook, vol. 4, Heat Treating [8] Perrin R., Swallove, G.M., Charnley T and Marshall C. 1994, On the Debossing, Anil and Mounting of Bells, Journal of Sound and Vibration. 227, pp 409-425 [9] Favstov, Y. K., Zhravel, L.V., Kochetkova, L.P., 2003, Structure and Damping Capacity of Br022 Bell Bronze, Journal Metal Science and Heat Treatment, Vol.45, pp. 449-451. [10] Han J.M., Han, Y.S., You, S.Y., Kim, H.S., 1997, Mechanical Behaviour of a New Dispersion –Strengthened Bronze, Journal of Materials Science,32, 6613-6618. [11] Hosford F. William, 2005, Mechanical Behaviour of Materilas, Cambridge University Press [12] Schmidt R.F., Schmidt D.G., 1993, Selection and Application of Copper Alloy Castings, ASM Handbook, Metals Handbook, Vol. 2, American Society of Metals, Cleveland, OH, p. 346. [13] Thomson William., 1993, Theory of Vibration with Applications, Fourth Edition, Prentice Hall, New Jersey. .
Rekayasa Material I-47
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Analisis Kekuatan Impact Dan Mode Patahan Komposit Serat Tapis Kelapa I Made Astika
I Gusti Komang Dwijana
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana Denpasar Bali
[email protected]
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana Denpasar Bali
[email protected]
Abstract—Pohon kelapa adalah tanaman yang sangat produktif, dimana dari daun hingga akarnya dapat diolah menjadi produk teknologi maupun untuk bangunan atau keperluan sehari-hari. Salah satu bagiannya adalah tapis kelapa yang merupakan material serat alami alternatif dalam pembuatan komposit dan secara ilmiah pemanfaatannya terus dikembangkan agar dihasilkan komposit yang lebih sempurna dikemudian hari. Serat tapis kelapa ini mulai dilirik penggunannya karena selain mudah didapat, murah serta dapat mengurangi polusi lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki sifat mekanis yaitu kekuatan tarik dari komposit polyester yang diperkuat dengan serat tapis kelapa. Komposit dibuat dengan menggunakan serat tapis kelapa sebagai penguat dan matriks resin Unsaturated-Polyester (UPRs) jenis Yucalac 157 BQTN, dengan campuran 1% hardener jenis MEKPO (Methyl Ethyl Ketone Peroxide) dan perendaman serat dalam larutan alkali KMnO4 0,5%. Metode produksi adalah poltrusion dengan orientasi serat acak. Desain komposit dengan variasi fraksi volume serat 20, 25 dan 30% dan variasi panjang serat 5, 10 dan 15 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar fraksi volume dan panjang serat dalam komposit, kekuatan impactnya semakin tinggi. Mode patahan yang teramati adalah patah getas, debonding, pullout dan crack deflection. Kata kunci: komposit, tapis kelapa, sifat tarik, mode patahan
I. PENDAHULUAN Serat penguat komposit yang umum beredar dan sering digunakan adalah fibergalss yang harganya cukup mahal dan juga penggunaan serat gelas yang tidak ramah lingkungan menyebabkan munculnya masalah lingkungan serat gelas tidak dapat terdegradasi secara alami serta serat gelas yang menghasilkan gas CO dan debu yang berbahaya bagi kesehatan jika serat gelas didaur ulang (Taurista dkk, 2003). Selain itu Wambua, dkk (2003) mengungkapkan bahwa beberapa dekade terakhir perhatian dunia telah bergeser dari material tunggal menuju konsep material komposit serat dan matrik polimer yang dalam hal ini menggunakan serat alam. Serat alam ini bisa didapat dari tanaman berserat, dengan memanfaatkan serat alam yang bersifat ramah lingkungan. I. Mekanisme penguat komposit yang mengalami pergeseran dari penggunaan serat sintetis menuju serat alami yang disebabkan efek limbah serat sintetis yang tidak dapat terurai secara alami tersebut juga dijadikan alternatif karena sifat mekanik cukup memadai untuk aplikasi pada struktur dengan pembebanan yang tidak terlalu tinggi, mudah didapat dan berlimpah serta dapat diproduksi dengan menanam tanaman yang dapat menghasilkan serat tersebut. Walaupun tidak sepenuhnya bergeser, namun penguat serat alam
menggantikan serat sintetis adalah sebuah langkah bijak dalam menyelamatkan kelestarian lingkungan dari limbah yang dibuat dan keterbatasan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. II. DASAR TEORI A. Komposit Suatu material komposit merupakan suatu material yang kompleks dimana terkomposisikan dari dua material atau lebih yang digabungkan/disatukan secara bersamaan pada skala makroskopik membentuk suatu produk yang berguna, yang didesain untuk menghasilkan kualitas maupun sifat terbaik. Penguat biasanya bersifat elastis, dan mempunyai kekuatan tarik yang baik namun tidak dapat digunakan pada temperatur yang tinggi, sedangkan matrik biasanya bersifat ulet, lunak dan bersifat mengikat jika sudah mencapai titik bekunya. Kedua bahan yang mempunyai sifat berbeda ini digabungkan untuk mendapatkan satu bahan baru (komposit) yang mempunyai sifat yang berbeda dari sifat partikel penyusunnya (Jacobs, 2005) [1] Di dalam komposit dapat tebentuk interphase yaitu fase diantara fase matrik dan penguat yang dapat timbul akibat interaksi kimia antara kimia antara fase matrik dan fase penguat.
Gambar 1. Fase-fase kalam Komposit. Sumber: Jacobs, 2005 [1]
Semakin berkembangnya teknologi memungkinkan komposit dapat didesain sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik material yang diinginkan sehingga dapat dibuat menjadi lebih kuat, ringan dan kaku. Dengan beberapa kelebihan tersebut, menyebabkan komposit banyak
Rekayasa Material I-48
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
diaplikasikan dalam peralatan-peralatan teknologi tinggi di bidang industri, transportasi dan konstruksi bangunan. Karena komposit adalah kombinasi sistem resin dan serat penguat, maka sifat-sifat yang dimiliki komposit adalah kombinasi dari sifat sistem resin dan serat penguatnya, seperti grafik berikut :
juga mampu digunakan dalam aspek yang biasanya menggunakan serat buatan hanya saja dalam penggunaanya terdapat modifikasi untuk menyesuaikan dengan sifat-sifat dasar dari serat alami. C. Serat Tapis Kelapa Tapis kelapa terdapat pada pangkal pelepah pohon kelapa yang berfungsi menutupi pelepahnya. Tapis kelapa awalnya digunakan oleh masyarakat tradisional sebagai saringan. Namun dengan adanya saringan kawat dan plastik yang memiliki kerapatan yang lebih merata, tapis kelapa pun mulai ditinggalkan. Serat ini tersusun dari bahan yang menyerupai bahan pembentuk serabut kelapa. Walaupun jumlah yang dapat dihasilkan dalam satu pohon terbatas namun tapis kelapa mempunyai keunggulan yaitu seratnya sudah tersusun dengan baik secara alami. Susunan serat dari tapis kelapa menyilang antara lapisan serat atas dengan lapisan serat bagian bawah. Karena keunggulan tersebut serat tapis kelapa cocok untuk dijadikan serat alternatif untuk pembuatan komposit.
Gambar 2. Grafik hubungan strain-tensile stress dari komposit Sumber: Gibson,1994 [2]
B. Serat Alami Serat alami (natural fiber) merupakan serat yang bersumber langsung dari alam (bukan merupakan buatan atau rekayasa manusia). Serat alami biasanya didapat dari serat tumbuhan seperti serat bambu, serat pohon pisang, serat nanas dan lain sebagainya. Biasanya sebelum digunakan sebagai penguat dalam komposit, serat alami mendapat perlakuan terlebih dahulu dengan menggunakan cairan kimia seperti NaOH, KMnO4 dan lainnya. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kadar air dan wax (lapisan minyak) dalam serat dan mengakibatkan permukaan lebih kasar sehingga akan meningkatkan ikatan dengan matrik yang digunakan. Perlakuan alkali serat berpengaruh secara signifikan terhadap kekuatan dan modulus tarik komposit serat kenaf acak polyester. Kekuatan dan modulus tarik tertinggi diperoleh untuk komposit dengan perlakuan alkali serat selama 2 jam (Jamasri dkk, 2005) [3]. Penelitian dan penggunaan serat alami berkembang dengan sangat pesat dewasa ini karena serat alami banyak mempunyai keunggulan dibandingkan serat buatan (sintetic) seperti beratnya lebih ringan, dapat diolah secara alami dan ramah lingkungan. Serat alami juga merupakan bahan terbaharukan dan mempunyai kekuatan dan kekakuan yang relatif tinggi dan tidak menyebabkan iritasi kulit (Oksman dkk, 2003) [4]. Keuntungan-keuntungan lainnya adalah kualitas dapat divariasikan dan stabilitas panas yang rendah. Hal yang paling menonjol dari serat alami adalah ramah lingkungan dan mudah didapat. Dua sifat dasar tersebut membuat banyak ilmuan tertarik untuk meneliti dan mengembangkan kegunaan serat alami. Disamping keunggulan tersebut, serat alami juga mempunyai kekurangan antara lain dimensinya tidak teratur, kaku, rentan terhadap panas, mudah menyerap air dan cepat lapuk (Brahmakumar dkk, 2005) [5]. Penggunaan serat alami sudah merambah ke berbagai bidang kehidupan manusia. Layaknya serat buatan, serat alami
Gambar 3. Tapis dan serat tapis kelapa
III. METODE Material yang digunakan pada penelitian ini adalah komposit polymer dengan penguat serat tapis kelapa dan matriks resin Unsaturated-Polyester (UPRs) jenis Yucalac 157 BQTN, campuran 1 % hardener jenis MEKPO (Methyl Ethyl Ketone Peroxide) dan perendaman serat dalam larutan alkali KMnO4 0,5%. Metode produksi adalah poltrusion dengan orientasi serat acak. Desain komposit dengan variasi fraksi volume serat 20, 25 dan 30% dan variasi panjang serat 5, 10 dan 15 mm. Sifat mekanis yang diteliti adalah kekuatan
Rekayasa Material I-49
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
impact (ASTM D 790-03) [6] dan pengamatan patahan dengan foto mikro. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji impact disajikan dalam bentuk grafik seperti berikut
Gambar 6. Foto mikro patahan hasil uji impact fraksi volume serat 25% Gambar 4. Grafik hubungan kekuatan impact, fraksi volume dan panjang serat
Hasil foto mikro
Gambar 5. Foto mikro patahan hasil uji impact fraksi volume serat 20%
Gambar 7. Foto mikro patahan hasil uji impact fraksi volume serat 30%
Hubungan antara panjang serat dan fraksi volume serat dengan kekuatan impact gambar 4. Dari grafik terlihat kekuatan impact semakin meningkat seiring dengan bertambahnya fraksi volume dan panjang serat yang digunakan dalam komposit. Nilai tertinggi didapatkan pada komposit dengan fraksi volume serat 30% panjang serat 15 mm sebesar 0,263 Nm/mm2. Peningkatan kekuatan ini disebabkan karena dengan semakin banyak serat dan semakin panjang serat yang digunakan dalam komposit maka ikatan antara matrik dan serat akan semakin kuat sehingga mampu
Rekayasa Material I-50
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
menyerap energi yang lebih besar yang berarti kemampuan menerima beban kejut semakin tinggi. Lokantara (2012) [7] yang meneliti kekuatan impact komposit polyester serat tapis kelapa dengan variasi panjang dan fraksi volume serat yang diberi perlakuan NaOH mendapatkan hasil bahwa semakin panjang dan semakin besar fraksi volume serat yang digunakan, menghasilkan kekuatan impact yang semakin tinggi pula. Menurut Juniartha, 2006 [8] menyatakan bahwa sifat mekanis terbaik komposit serat tapis kelapa/epoxy dihasilkan dengan perlakuan alkali serat dengan persentase KMnO4 sebesar 0,5%. Hasil foto mikro menunjukkan bahwa spesimen dengan fraksi volume 20 dan 25% untuk semua variasi panjang serat, patahan yang terjadi lebih dikarenakan adanya matrix rich yaitu tidak adanya serat di daerah matrik sehingga menyebabkan komposit menjadi rapuh dan mudah patah pada saat menerim beban. Matrix rich tersebut disebabkan karena kurang banyaknya serat yang digunakan, sehingga pada saat pencetakan serat berkumpul secara terpisah, sehingga ruang kosong tanpa ikatan matrik dan serat masih banyak ditemui. Mode patahan yang teramati adalah crack deflection, disebabkan karena posisi serat pada permukaan patahan miring mengikuti daerah patahan yang mengakibatkan retakan akan mengikuti alur dari posisi serat yang miring, pullout yang diakibatkan karena ikatan antara serat dengan matriks tidak kuat sehingga serat terlepas/tercabut dari matrik, debonding terjadi karena terlepasnya ikatan serat dari matriks yang menyebabkan terbentuknya lubang/rongga antara matriks dan serat dan overload yaitu putusnya serat yang diakibatkan karena batas kekuatan serat dan ikatan yang kuat antara serat dan matrik. Crack deflection, debonding, pullout dan overload secara merata terlihat pada patahan komposit dengan fraksi volume 30% V. SIMPULAN 1. Semakin besar fraksi volume dan panjang serat dalam komposit maka kekuatan impact semakin tinggi 2. Mode patahan yang teramati adalah patah getas (overload), debonding, pullout dan crack deflection.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Universitas Udayana atas bantuan dana yang diberikan melalui hibah penelitian skim Penelitian Fundamental tahun 2014 dengan Surat Perjanjian Penugasan Penelitian No: 103.28/UN14.2/PNL.01.03.00/2014, tanggal 15 Maret 2014 DAFTAR PUSTAKA [1] Jacobs James A Thomas F, “Engineering Materials Technology Structures, Processing, Properties and Selection”. New Jersey Columbus, Ohio, 2005. [2] Gibson, R. F., “Principles Of Composite Material Mechanics”. Mc Graw Hill Book Co, 1994 [3] Jamasri, Diharjo, K, Handiko, G. W., “Studi Perlakuan Alkali Terhadap Sifat Tarik Komposit Limbah Serat Sawit – Polyester”, Prosiding SNTTM IV, Universitas Udayana, Bali, 2005 [4] Oksman, K., Skrifvars, M., Selin, J-F., “Natural Fiber as Reinforcement in Polylactic Acid (PLA) Composites”, Composites Science and Technology 63, Sciencedirect.com, 1317-1324, 2003 [5] Brahmakumar, M., Pavithran, C., and Pillai, R.M., ”Coconut fiber reinforced polyethylene composites such as effect of natural waxy surface layer of the fiber on fiber or matrix interfacial bonding and strength of composites”, Elsevier, Composite Science and Technology, 65 pp. 563-569, 2005. [6] ASTM D 790-03. “Standard Test Method for Impact Properties of Fibre Resin Composite”. ASTM Standard and Literature References for Composites Material, 2ed., American Society for Testing and Materials, Philadelphia, PA. 1990 [7] Lokantara I Putu, “Analisa Kekuatan Impact Komposit Polyester-Serat Tapis Kelapa Dengan Variasi Panjang Dan Fraksi Volume Serat Yang diberi Perlakuan NaOH”, Jurnal Dinamika Teknik Mesin Volume 2, Nomor 1, 2012 [8] Juniartha I Made, “Pengaruh Persentase KMnO4 Sebagai Bahan Perlakuan Serat dan Kompsit Epoxy-Hardener Terhdap Sifat Mekanis Komposit Serat Tapis Kelapa/Epoxy”, Skripsi Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Udayana, Bali, 2006
Rekayasa Material I-51
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengembangan Metode Prediksi Propertis Material Berdasarkan Model Elemen Hingga Indentor Ganda (Dual Indenter) Sebagai Dasar Evaluasi Deformasi Sambungan Las Titik I Nyoman Budiarsa Jurusan Teknik Mesin. Universitas Udayana Bali. Indonesia
[email protected]
Abstrak—Dalam proses karakterisasi sifat material, parameter bahan elastis-plastik dan parameter fraktur (fracture parameters) bahan dapat dengan mudah ditentukan saat spesimen standar tersedia. Namun untuk permasalahan hasil sambungan las titik (spot welding), pengujian standar tidak berlaku untuk mengkarakterisasi HAZ dan nugget karena struktur yang kompleks dan ukuran kecil. Dalam rangka hal tersebut, pada penelitian ini model elemen hingga (Finite Element) indentor tajam (Vickers indentation) dan indentor tumpul (Spherical indentation) dikembangkan. Pengaruh beberapa parameter pemodelan kunci seperti sensitivitas mesh, ukuran sampel dan kondisi batas (boundary conditions) dievaluasi. Tiga metode pemodelan inverse yaitu analisis dimensi, 3D mapping dan dual indenter chart approach telah diusulkan. Validitas dan akurasi dari masing-masing pendekatan dalam memprediksi sifat material secara sistematis dievaluasi dengan menggunakan kurva indentasi numerik yang berpotensi digunakan untuk mengkarakterisasi sifat material berbasis metode indentor ganda (dual indenter). Konsep dan metode yang dikembangkan ini sangat berguna digunakan untuk menguji welding zones yang berbeda dan parameter material, dimana hasil prediksi yang diperoleh akan digunakan untuk mensimulasikan deformasi sambungan las titik (spot welding) pada kondisi beban yang kompleks. Kata Kunci---Model elemen indentation, Dual indenter
hingga,
Vickers,
dilakukan untuk meningkatkan pemahaman di tempat sambungan las sebagai interaksi antara fenomena listrik, termal, metalurgi dan mekanik. Suatu bidang penelitian yang masih aktif adalah pada prediksi dimensi tempat sambungan las dengan mensimulasikan proses pengelasan dengan pemodelan elemen hingga[3]. Bidang penelitian aktif lain yaitu pada studi mikrostruktur. Model mikro harus mempertimbangkan sifat termo-fisik bahan dalam rangka untuk menggambarkan transformasi fasa selama pemanasan dan pendinginan tahap. Penelitian dan pengembangan diperlukan untuk menghasilkan beberapa model yang mampu menggambarkan pembentukan simultan serta memungkinkan untuk memprediksi perkembangan mikro dan transformasi selama proses pengelasan spot, dan juga untuk mengetahui karakteristik dan perilaku bahan, berkaitan dengan kondisi beban yang diterapkan pada las titik II. EKSPERIMENTAL Dua spesimen dengan bahan dan ketebalan yang berbeda (Stainless steel dan Mild steel) digunakan dalam penelitian ini. Komposisi kimia dari dua baja logam induk seperti yang tercantum dalam Tabel.1.
Spherical
I. PENDAHULUAN Proses penyambungan pada alas titik (Spot welding) melibatkan proses termal, metalurgi dan mekanik proses, yang menghasilkan struktur campuran baik sifat maupun fasenya. Ada tiga wilayah utama yang berbeda yang dihasilkan yaitu: bahan dasar, nugget dan daerah keterpengaruhan panas (HAZ). Nugget hasil las terdiri dari fase martensit dan bainitik [1]. Sedangkan daerah di sekitar nugget yang mengalami keterpengaruhan panas (HAZ), memiliki mikrostruktur yang terdiri dari martensit, bainit, ferit dan perlit. Nugget ini jauh lebih sulit daripada bahan dasar karena efek pendinginan, sedangkan HAZ memiliki gradien sifat mekanik struktur campuran dengan kekuatan menurun dari struktur nugget ke logam induk. Dalam banyak kasus, kegagalan las titik cenderung terjadi di sekitar daerah las, khususnya di sekitar zona yang terkena panas (HAZ)[2]. Banyak penelitian telah
TABEL 1. Komposisi kimia material spot welding test C Cr Ni Mn Si P S Concentration Stainless <0.08% 17.5-20% 8-11% <2% <1% <0.045% <0.03% Steel G304 Mild 0.14% 0.01% 0.01% 0.32% 0.03% 0.2% 0.05% steel
Stainless steel yang digunakan adalah stainless steel grade 304 dengan lebar 25mm, dan ketebalan 0.8mm, spesimen lain adalah Mild steel dengan lebar 25mm dan ketebalan 1.44mm. Sambungan las dari dua kombinasi bahan disiapkan dan diuji. Tes tarik (Tensile tests) dilakukan menggunakan Lloyd LR 30K Universal material testing machine yang dapat melakukan test tarik maupun kompresi. Mesin ini memiliki kapasitas maksimum 30kN, dengan pembacaan yang akurat untuk 0.5% dari gaya. Mesin ini dihubungkan dengan microcomputer sehingga keluaran grafis hasil tes serta data uji
Rekayasa Material I-52
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
dapat diperoleh dan disimpan. Spesimen dilakukan uji tarik dengan beban awal sekitar 50 N, dijepit dengan dua gasket untuk menghindari lentur selama pengujian. Uji tarik dilakukan pada loading rate 5 mm / menit. Untuk pengujian kekerasan Sampel Baja batang elips padat dengan diameter 5 mm dan panjang 90 mm dan memiliki dudukan di tepi. Dua bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini mencakup Stainless steel dan spesimen Mild steel. Sampel uji kekerasan disiapkan sebagai disk dengan diameter 5 mm, sampel yang disajikan dalam bentuk arah melintang (transverse direction) dan arah panjang (length direction). Spesimen dipersiapkan dalam resin menggunakan termoseting (Bakelite) dan dibersihkan (polishing) sebelum dilakukan pengujian kekerasan. Uji kekerasan Vickers dilakukan dengan menggunakan Duramin-1 Struers hardness Vickers. Mesin uji Duramin-1 Struers hardness Vickers menggunakan metode pembebanan langsung dengan berbagai beban dari 490.3 mN sampai 19.61 N. indentor memiliki bentuk piramida yang tepat
dengan dasar persegi dan sudut 136o antar sisi muka yang berlawanan. III. MODEL NUMERIK DAN HASIL Model elemen hingga indentasi Vickers dirancang dengan menggunakan piranti komersial ABAQUS komersial. Dalam penelitian ini indentor Vickers disimulasikan berbentuk piramida dengan dasar persegi dan sudut 136o antara sisi muka yang berlawanan seperti Gambar 1(a). Hanya seperempat dari indentor dan bahan kolom disimulasikan sebagai akibat dari bangun indentor memiliki bentuk geometri simetris (symmetric geometry). Ukuran sampel dibuat lebih dari 10 kali dibandingkan kedalaman indentasi maksimal, yang cukup besar untuk menghindari efek ukuran sampel atau efek batas[4] Bagian dasar model dipertahankan tetap untuk semua derajat kebebasan (degree of freedom) dan memiliki bentuk simetris tetap dalam arah y dan x.
1(a) 1(b) 1(c) Gambar 1(a). Model Elemen Hingga indentasi Vickers (b). Tipikal kontak antar muka dan ekspansi plastis selama loading dan unloading pada indentasi Vickers (c). Tipikal perbandingan hasil numerik dengan experimental data publikasi
2(a) 2(b) 2(c) Gambar 2(a). Model Elemen Hingga indentasi Bulat (spherical) (b). Tipikal kontak antar muka dan ekspansi plastis selama loading dan unloading pada indentasi Bulat (c). tipikal perbandingan antara Gaya (force)-hasil kedalaman indentasi (h) hasil simulasi model FE sesuai dengan solusi analisis dengan data properties materials yang dikenal untuk indentasi bahan elastis linear Jenis elemen yang digunakan adalah C3D8R (reduced integration element used in stress/ displacement analysis). Kontak didefinisikan pada antar muka(interface) indentor dan spesimen (Gbr.1(b)) dengan koefisien gesekan 0.2. Model FE (finite element) uji indentasi Vickers diverifikasi dengan membandingkan hasil numerik dari penelitian ini dengan beberapa model dari hasil eksperimen yang telah
dipublikasikan. Hasil ditunjukkan pada Gambar 1(c). Bahan properti dalam model FE diadopsi dari data yang digunakan oleh [5], dan kemudian kurva P-h diprediksi dibandingkan dengan data numerik dan eksperimental yang telah dipublikasikan. Seperti terlihat pada kurva, untuk kedua bahan, hasil prediksi sangat dengan data eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa model tersebut akurat dan valid.
Rekayasa Material I-53
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Gambar 2(a). menunjukkan model FE Indentasi bulat (spherical). Model 2-D simetris aksial digunakan untuk memodelkan keadaan simetri dari indentor bola. Indentor tersebut diasumsikan kaku (rigid) jauh lebih solid dibandingkan dengan bahan indentor indentasi. Elemen penyusunnya adalah simetris: CAX4R dan CAX3 (4-node bilinear asymmetric quadrilateral and 3-node linear asymmetric triangle element). Pergerakan indentor disimulasikan dengan menggusur busur kaku (rigid body) sepanjang sumbu Z. Dalam model ini, ukuran sampel dapat diubah untuk memastikan bahwa sampel jauh lebih besar daripada daerah radius / kontak indentor selama indentasi berlangsung, untuk menghindari potensi ukuran sampel dan efek batas [4]. Ketebalan dan lebar dari model yang digunakan adalah 3mm di kedua sisi. Inti model dipertahankan tetap dalam semua tingkat kebebasan (Degree Of Freedom) dan dibatasi oleh garis sentral simetris. Gambar 2(b). menunjukkan grafik ekspansi wilayah plastic selama indentasi bulat (spherical indentation) berlangsung. Gambar 2(c) menunjukkan tipikal perbandingan antara Gaya (force)-hasil kedalaman indentasi (h) hasil simulasi model FE sesuai dengan solusi analisis dengan data properties materials yang dikenal untuk indentasi bahan elastis linear. Seperti ditunjukkan dalam gambar, hasil FE menunjukkan kesepakatan yang baik dengan solusi analitis (analytical solution). Sampel material dasar (stainless steel dan mild steel ) dilakukan sebagai dog bone spesimen dan dengan
bentuk berlekuk (notched shape) Gambar 3(a). Uji tarik dilakukan dengan memuat spesimen dalam mesin dan mengencangkan pemegangan dengan pra-beban 200 N, dengan menggunakan tampilan digital pre-load di set ke nilai nol. Informasi tentang jenis spesimen bentuk dan materi diberikan kepada mesin melalui unit kontrol komputer dan kecepatan dilakukan pada tingkat 5mm / min. Hasil percobaan uji kekuatan tarik digunakan untuk mendapatkan kurva tegangan-regangan untuk mendapatkan parameter bahan (yield stress, eksponen pengerasan regang, dan koefisien kekuatan). Perbandingan kurva gaya-perpindahan dari hasil eksperimen dan pemodelan FE digunakan untuk memvalidasi hasil pemodelan FE. Sebuah model simetris FE untuk sambungan las dua buah lembaran plat telah ditetapkan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3(b) yang akan digunakan dalam pemodelan deformasi tarik geser Gambar 3(c)dan dampak deformasnya. Sifat material yang digunakan dalam model ini akan diprediksi oleh model terbalik FE. Sebuah tipe unsur C3D8R (a reduced-integration element used in stress/displacement analysis) digunakan. Karena simetri perpindahan y-arah pada bagian tengah (permukaan bawah) telah diset nol. Sisi kiri dari spesimen itu tetap (Ux, y, z) = 0 dan perpindahan (Ux) = L diterapkan pada akhir bergerak. Z perpindahan pada bagian pertengahan ditetapkan ke nol. Dimensi dari zona las didasarkan pada data mikrohardness eksperimen dan observasi langsung. Semua zona ini diasumsikan memiliki properti elasto-plastik.
3(a) 3(b) 3(c) Gambar 3(a). Model Elemen Hingga tensile test material dasar dalam bentuk dogbone dan notched shape sampel test (b). Tipikal model simetris FE untuk sambungan las dua buah lembaran plat dengan spot welding (c). Spesimen hasil pengujian sambungan las titik dengan variasi perbedaan bahan dasar (kombinasi stailess steel dan mild steel) IV. METODE PREDIKSI SIFAT MATERIAL BERDASARKAN VICKERS DAN SPHERICAL INDENTASI
4.1.Kurva Curvature Indentasi Kurva P-h untuk kedua indentasi yaitu Vickers dan Spherical memiliki hubungan berikut: C = P/ h2 ……………………………..… (1) Dimana P dan beban dan kedalaman indentasi pada kurva beban masing-masing. Cv adalah koefisien curvature dengan kelengkungan untuk Vickers Indentasi dan indentor bola ditunjuk sebagai Cs dan Curvature adalah fungsi dari
hubungan antara yield stress dan koefisien pengerasan kerja. Hal ini akan memberikan hubungan yang potensial memungkinkan prediksi parameter material dari indentasi test kontinyu. Pada tahap pertama, model FE secara sistematik dikembangkan untuk membentuk ruang simulasi meliputi berbagai potensi sifat material. Pada tahap berikutnya, kurva beban yang digunakan untuk mengembangkan ruang simulasi. Data kemudian akan diproses melalui tiga pendekatan yang berbeda (pemetaan 3D, analisis dimensi, dan grafik pendekatan dual indentor) untuk memprediksi parameter material. Tiga pendekatan telah dikembangkan komparatif untuk menilai kesesuaian mereka untuk memprediksi sifat bahan yang didasarkan pada pendekatan indentor ganda (dual indenter). Pendekatan kedua
Rekayasa Material I-54
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
adalah analisis dimensi normal di mana hubungan tersebut dinormalisasi dari analisis berdimensi yang diterapkan. Dalam pendekatan ketiga, hubungan antara kelengkungan untuk kedua Vickers dan spherical dikembangkan kemudian digunakan grafik untuk memprediksi semua bahan set dengan kelengkungan yang sama. Hubungan ini digunakan untuk memprediksi set materi memiliki curvature indentasi sebenarnya 4.2.Pendekatan 3D- Mapping Dalam pendekatan pemetaan 3D, data curvature diplotkan terhadap material propertis, yang persamaannya telah dikembangkan berdasarkan linear fitting atau nonlinear fitting, yang akan memberikan persamaan antara curvature (Cv,Cs) pengerasan kerja (n) dan yield stress (σy). Variasi curvature (Cv,Cs) terhadap n untuk Vickers indentor yang digambarkan oleh surface plot seperti Gambar 4. Data diperoleh secara numerik melalui analisis elemen hingga indentasi meliputi domain dari 100 sampai 300 MPa dan n bervariasi antara 0.01-0.5 Ini jelas menunjukkan bahwa koefisien curvature meningkat dengan meningkatnya n tetapi dengan gradien yang berbeda untuk daerah yang berbeda. Evaluasi dilakukan pada surface plot 3D pada proses loading kurva curvature dan sifat material, pendekatan ini dimulai dengan menetapkan nilai curvature dan sifat material sebagai pemetaan 3D linier fitting plane. Untuk setiap nilai curvature, ada sebuah susunan dari set properti material. Data ini diambil dan diplot seperti pada Gambar 4. Properti materi ditetapkan pada titik persimpangan antara data untuk Vickers dan indentasi Spherical akan mewakili sifat material yang benar. Ketepatan pendekatan telah dinilai menggunakan rentang nilai awal. Evaluasi akurasi pada pendekatan menggunakan bagan 3D mapping yang dilaksanakan dengan mengambil input data terpilih dengan mengacak dan mewakili ruang sampel. Input data yang dipilih dengan 2 variasi nilai (n), yaitu n = 0.15 dan n = 0.28 (kisaran n = 0.01- 0.30) dan σy = 100, 140, 190 dan 300 MPa. Ketepatan studi pada pendekatan pemetaan 3DLinier diketahui bahwa nilai rata-rata prediksi pembeda (n) terhadap n-input sebagai n = 0.056 - 0.069 dan rata-rata error akurasi adalah 0.1% baik prediksi (n) dari Vickers Indentasi maupun pada Indentasi bulat (spherical).
Hal ini menunjukkan prediktor yang dipilih secara signifikan dapat diterima dalam batas tingkat kepercayaan kurang dari 0.5%. Sedangkan pada studi Akurasi pada pendekatan menggunakan pemetaan 3D-Non Linier (parabola) diketahui bahwa nilai rata-rata prediksi pembeda (n) terhadap n-input sebagai n = 0.059 - 0.061 dan error akurasi rata-rata adalah 0.22% baik prediksi (n) dari Vickers Indentasi dan Indentasi bulat. Hal ini menunjukkan prediktor yang dipilih secara signifikan dapat diterima dalam batas tingkat kepercayaan kurang dari 0.5%. Dengan Membandingkan dua pendekatan bagan pemetaan 3D, diketahui memiliki rata-rata kesalahan lebih kecil dibandingkan dengan prediksi menggunakan pemetaan 3D linear. Yaitu 0.1% dibandingkan dengan menggunakan non linear (parabola) 0.22%. Evaluasi ini menunjukkan bahwa pendekatan pemetaan 3D dapat berfungsi menilai prediktor koefisien pengerasan regang (n) dari kedua prediksi (n) dari Vickers Indentasi dan Indentasi bulat 4.3 Analisis Dimensional dan hasil Dalam analisis dimensional, hubungan antara curvature vs sifat material dikembangkan berdasarkan analisis dimensional. untuk mempelajari mekanika kontak untuk diinstrumentasi indentasi normal. Pada Indentasi yang terjadi pada elasto plastic umumnya mengikuti hukum power (power law) dimana beban P dapat ditulis sebagai :[5] P = P (h, E, v, Ei, vi, σy, n)
(2)
Dimana E = modulus Young indentor, dan v = Poisson rasio. Dengan menggabungkan efek elastisitas sebuah indentor elastis dan elasto plastik solid dapat ditulis : P = P(h, E*,σy, n)
(3)
E*=
(4)
Dimana
Sebagai alternative persamaan (3) dapat di tulis sebagai P = P (h, E*,σy ,σr) Dengan mengaplikasikan persamaan (3) menjadi P =
(5)
theorem dalam analisa dimensi
(6)
Kemudian menjadi C=
Gambar4.Tipikal surface mapping (non linier) yang memplot data loading curvature dan sifat material (materials properties)
(7)
Dimana 1 adalah fungsi dimensionless. Sehingga loading curvature C dapat ditulis sebagai: C=
(8)
Bila fungsi dimensionless diberikan dalam persamaan (3), maka normalisasi diperlukan sehubungan dengan pendekatam
Rekayasa Material I-55
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
terhadap σy atau σr. Dengan simulasi diketahui hubungan antara normalisasi Cv Vs properties bahan dan hubungan antara normalisasi Cs Vs sifat bahan (pengerasan regangan eksponen (n) dan Yield stress (σy). Hal ini jelas menunjukkan bahwa semua data. curve fitting telah dilakukan dengan iterasi hubungan antara beban curvature indentasi dan bahan properti (σy, n) sebagai persamaan berikut. Cv = σy¾ . 374.14. e
3.197 n
tercantum pada Tabel 2. Kesalahan rata-rata akurasi adalah = 0.065196 dan ʌn /n = -0.06296, yang jauh lebih baik daripada akurasi pendekatan pemetaan 3D mapping
(9)
Demikian pula untuk Spherical indentation Cs = σy¾ . 8011.9 e 1.984
n
(10)
Dengan hubungan tersebut, untuk setiap kombinasi Cv dan Cs, dapat di tentukan berbagai data material seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Titik persimpangan akan mewakili sifat material diprediksi. Dalam hal ini, untuk = 150 MPa, n = 0.2, Cv = 30647.664 dan Cs = 515752. Dan hasil prediksi adalah σy = 149 MPa, n '= 0.209. Studi Akurasi hasil dilakukan untuk beberapa nilai propertis masukan, hasilnya
Gambar 5 Tipikal proses prediksi parameter material berdasarkan interseksi antara kurva properties dual indentor pada Vickers dan indentasi spherical (σy=120 MPa, n = 0.2).
TABEL 2. Akurasi studi hasil dari inverse FE modeling pada indentor ganda (dual indenters) Vickers dan indentasi Spherical Material Properties
Value of Curvature
Prediksi
Beda dengan input
Akurasi ( Error )
σy
N
Cs
Cv
σy
n
∆ σy
∆n
∆σy/ σy
∆n/n
100
0.10
303841.6
15725.8
102
0.09
-2
0.01
-0.020
0.100
100
0.20
387159.4
22631.7
105
0.19
-5
0.01
-0.050
0.050
100
0.30
495483.9
32535.1
111
0.29
-11
0.01
-0.110
0.033
200
0.10
526000.0
27710.0
202
0.10
-2
0.00
-0.010
0.000
200
0.20
629700.0
37670.0
195
0.20
5
0.00
0.025
0.000
200
0.30
754700.0
50610.0
195
0.30
5
0.00
0.025
0.000
290
0.10
689200.0
37340.0
275
0.12
15
-0.02
0.052
-0.200
290
0.20
803900.0
48850.0
265
0.22
25
-0.02
0.086
-0.100
290
0.30
936500.0
63490.0
255
0.31
35
-0.01
0.121
-0.033
V. KESIMPULAN FE model indentor tajam (Vickers) dan indentor tumpul (indentor Bulat) dikembangkan. Pengaruh beberapa parameter pemodelan kunci seperti sensitivitas mesh, ukuran sampel dan kondisi batas dinilai. Tiga metode pemodelan terbalik terbalik yaitu analisis dimensi, pemetaan 3D dan pendekatan grafik dual indentor telah diusulkan dan validitas dan akurasi masing-masing pendekatan dalam memprediksi sifat material secara sistematis dievaluasi dengan menggunakan kurva indentasi numerik. Di bagian eksperimental, tes geser tarik telah melakukan di tempat sambungan las dari bahan yang berbeda. Metode yang dikembangkan telah meletakkan dasar yang baik terhadap tujuan akhir dari penelitian ini dalam membangun efek parameter pengelasan pada sifat statis dan dinamis las titik (spot welding) sistem bahan yang berbeda. Pada tahap berikutnya, pendekatan inverse prediksi properti yang akan diperluas untuk uji kekerasan konvensional untuk mengkarakterisasi sifat dari zona struktur yang berbeda dalam sambungan las dari sistem bahan yang berbeda(dissimilar materials welding). Sifat diprediksi kemudian akan digunakan dalam model numerik dengan properties bahan realistis untuk
mensimulasikan deformasi las titik dalam kondisi pembebanan yang berbeda DAFTAR PUSTAKA [1] Ni K., and Sankaran M.,Strain-based probabilistic fatigue life prediction of spot-welded joints, International Journal of fatigue, vol 26, 7, 2004. 763-772 [2] Mukhopadhyay M., Bhattacharya S., and Ray K.K, Strength assessment of spot-welded sheets of interstitial free steels, Mat. processing technology, vol 209, iss 4, 2009,1995-2007 [3] Emmanuel H., Lamouroux J., Detailed model of spot welded joints to simulate the failure of car assemblies, Interactive Design and manufacturing, vol.1, No.1, 2007, 33-40 [4] Taljat B., Zacharia T. and Kosel F. New analytical procedure to determine stress-strain curve from spherical indentation data, Int. J. of Solids and Structures, Vol. 35(33), 1998,pp. 4411-4426 [5] Dao M., Chollacoop N., Van Vliet K. J., Venkatesh T. A. and Suresh S., Computational modelling of the forward and reverse problems in instrumented sharp indentation, Acta Materialia, Vol. 49, 2001, pp. 3899–3918
Rekayasa Material I-56
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Sifat Tarik Komposit Epoxy Berpenguat Serat Sisal Pada Fraksi Volume Yang Berbeda I Putu Lokantara
I Wayan Surata
Jurusan Teknik Mesin Universitas Udayana Denpasar, Bali
[email protected]
Jurusan Teknik Mesin Universitas Udayana Denpasar, Bali Email: -
Abstract— Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan tarik dan modulus elastisitas komposit epoxy yang berpenguat serat sisal pada fraksi volume serat yang berbeda. Pada penelitian ini matrik yang digunakan adalah epoxy resin dengan fraksi volume serat 15%, 20%, 25%. Serat sisal dipotong dengan panjang 3 cm yang disusun secara acak. Pretreatment serat sisal diberi perlakuan kimia dengan perendaman dalam NaOH 5% selama 2 jam. Komposit dibuat dengan teknik press hand lay-up dengan menggunakan cetakan terbuat dari kaca. Spesimen uji komposit berpenguat serat sisal diuji sesuai standar uji tarik ASTM D 3039. Hasil dari penelitian uji tarik yang dilakukan, nilai tegangan tarik tertinggi didapat pada fraksi volume 25% yang memiliki nilai sebesar 19,774 MPa dengan modulus elastisitas sebesar 2,831 GPa. Tegangan tarik terendah terdapat pada fraksi volume 20% yaitu 14,853 MPa, sedangkan modulus elastisitas terendah terdapat pada fraksi volume 15% yaitu 1,111 GPa. Kata Kunci: Serat Sisal, komposit, modulus elastisitas
epoxy, tegangan tarik,
I. PENDAHULUAN Tanaman sisal banyak ditemukan di daerah kering, seperti didaerah Nusa Penida, Klungkung, Bali. Di Nusa Penida sisal biasa disebut dengan Bagu, dahulu pohon Bagu atau sisal dipakai sebagai tali-temali, terutama sebagai tali perahu oleh para nelayan. Proses ekstraksi serat sisal dapat dilakukan dengan cara perendaman dan penyisiran serat maupun dengan bantuan dekortikator. Proses ekstraksi secara mekanis menggunakan dekortinator akan menghasilkan 2-4% serat ( 15 kg per 8 jam proses) yang berkualitas baik dengan kilau yang tinggi. Sementara proses pemisahan serat sisal dengan motode perendaman akan menghasilkan serat dengan jumlah yang lebih banyak, namun dengan kwalitas yang rendah setelah diekstraksi serat dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan sisa residu seperti klorofil, lendir daun dan padatan yang melekat.Beberapa peneliti mengkaji pengaruh perendaman terhadap sifat serat sisal. Hasil prosesnya menunjukkan bahwa, serat sisal segar mempunyai tenacity,kekuatan dan mulur yang jauh lebih baik dibandingkan dengan hasil proses perendaman. Hal tersebut disebabkan karena proses perendaman akan memicu terjadinya oksidasi selulosa sehingga kekuatan serat jauh lebih rendah. Komposisi kimia serat sisal telah dikaji oleh para peneliti yang menemukan bahwa serat sisal mengandung
78% selulosa, 8% lignin, 10% hemi-celluloses, 2% wax dan 1% ash. Sementara itu ada yang menyatakan bahwa, sisal mengandung 43-56% sellulosa, 7-9% lignin, 21-24% pentosan dan 0,6-1,1% ash. Bervariasinya komposisi kimia serat sisal disebabkan oleh perbedaan asal dan umur serat serta metode pengukuran hal ini menunjukkan bahwa sellulosa dan lignin yang terdapat pada sisal bervariasi dari 49,62-60,95 dan 3,754,40% tergantung dari usia tanaman. Penelitian sebelumnya peneliti juga mengkaji pengaruh pengaruh diameter serat, waktu dan kecepatan pengujian terhadap kekuatan tarik, modulus elastisitas, dan persentase mulur serat sisal saat putus. Hasilnya menunjukkan bahwa diameter serat tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap sifat mekanis serat sisal.( Adhi Kusumastuti, 2009). Keunggulan-keunggulan yang dimiliki pohon sisal memberikan inspirasi untuk melakukan penelitian pada komposit. Penguat komposit yang sudah umum digunakan adalah fiber glass yang tidak ramah lingkungan dan tidak dapat terdegradasi secara alami, maka dari itu dipilih serat alam sisal sebagai penguat komposit. Serat sisal adalah bahan yang ramah lingkungan dan jumlahnya sangat berlimpah namun belum dimanfaatkan secara secara optimal. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan dari komposit berpenguat serat sisal, maka dalam penelitian ini penulis memvariasikan fraksi volume 15%, 20%, 25%, sehingga mendapatkan kekuatan tarik yang tertinggi dari variasi-variasi tersebut. II. METODOLOGI A. Alat dan Bahan Alat: Alat uji tarik. Alat cetak komposit dengan teknik press hand lay-up Alat Bantu : gergaji, ampelas, cetok, dan kapi. Alat ukur : timbangan digital, gelas ukur, timer, jangka sorong. Alat keselamatan : sarung tangan karet dan masker. Alat pemanas : Oven. Bahan: Matrik : Epoxy Resin 7120 Penguat ( hardener ) : versamid 140. Serat sisal dipotong 3 cm
Rekayasa Material I-57
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi Aceton. Gliserin B. Skematik Alat Cetak Komposit
Gambar 1. Skema Alat Cetak Komposit dengan Teknik Press Hand LayUp
Gambar 2 Dimensi Plat Bagian Bawah
C. Prosedur Pengujian 1. Persiapan Pembuatan Komposit Serat sisal di potong 3 cm Serat ditimbang dan catat beratnya (wf) Kemudian serat sisal diberikan perlakuan alkali 5% NaOH selama 2 jam. Serat sisal yang sudah mengalami perlakuan ini kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 60˚C selama 24 jam. Serat sisal yang sudah kering, selanjutnya ditimbang dan catat beratnya. Lapisi cetakan kaca dengan Gliserin agar resin tidak melekat pada cetakan. Campurkan Epoxy dan hardener dengan perbandingan 1:1. 2. Pembentukan Komposit a. Perhitungan Masa Jenis Serat ( f ) b.
dibutuhkan. Tuang sebagian campuran Epoxy ke dalam cetakan. Taburkan serat sisal secara acak di atas campuran Epoxy tersebut. Tuang sisa campuran Epoxy di atas lapisan serat sisal tersebut. Tutup dengan kaca cetak bagian atas dan berikan beban (30 Kg). 3. Pengamat Void Komposit yang berhasil dicetak, diamati apakah ada void atau tidak, dengan cara menerawang lembaran komposit. Void tidak boleh mengumpul pada suatu tempat dan void content tidak boleh lebih dari 1% ASTM D 2737 [2] 4. Proses Post Curing Komposit hasil cetakan tadi kemudian dimasukan ke dalam oven dengan temperatur 65 °C selama 2 jam. Langkah ini bertujuan untuk mempercepat terjadinya cross-linking dan untuk mengetahui apakah komposit tersebut sudah homogen yaitu lembaran komposit tidak melengkung 5. Pengamatan Bentuk Fisik Lembaran Komposit a. Komposit yang berhasil di cetak, diamati apakah ada void atau tidak dengan cara menerawang lembaran komposit. b. Lembaran komposit diamati, apakah ada cacat atau lembaran komposit melengkung. Jika ada cacat atau lembaran komposit melengkung, lembaran komposit tersebut tidak dapat digunakan dan proses pembentukan komposit harus diulang. c. Komposit yang tidak cacat, ditimbang dan di catat beratnya (we). 6. Pembentukan Benda Uji Tarik a. Lembaran komposit dipotong sesuai dengan dimensi benda uji standar untuk uji tarik (ASTM 3039). b. Bagian bekas potong dirapikan dengan amplas. c. Pada setiap ujung benda uji diempel dengan tab yang berfungsi sebagai bagian yang dijepit pada mesin uji tarik. d. Masing-masing jenis komposit dibuat 5 buah benda uji
Timbang serat di udara dan catat. Timbang serat tersebut di dalam minyak tanah dan catat. Hitung massa jenis serat ( )dengan persamaan yang sudah ada. Komposit Dengan % Fraksi Volume Serat Tentukan serat dan matrik dengan perbandingan volume. Dengan nilai ( f ) yang telah diketahui maka dapat ditentukan berat serat yang dibutuhkan Timbang berat serat sesuai dengan berat serat yang
Rekayasa Material I-58
Tabel 1. Standar ASTM D 3039
Gambar 3. Dimensi Spesimen Uji Tarik Sumber : (ASTM D 3039)[1]
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
kekuatan tarik menjadi menurun seiring dengan ditambahkannya serat pada komposit. Pada fraksi volume 25% kekuatan tarik menjadi meningkat hal ini disebabkan adanya ikatan yang sangat baik antara matrik dan serat. Dengan sedikitnya matrik pada komposit ini membuat serat tidak basah dan kekuatan tariknya menjadi meningkat.[3] Nilai modulus elastisitas tertinggi terdapat pada fraksi volume 25% yaitu sebesar 2,831 GPa dan modulus elastisitas terendah terdapat pada fraksi volume 15% yaitu 1,111 GPa, hal ini terjadi karena serat dapat mengimbangi regangan tarik matrik sehingga ikatan antara serat dan matrik semakit kuat dan pada modulus elastisitas terjadi karena tingginya ikatan antar serat dan matrik sehingga mengalami modulus elastisitas yang tinggi.
Gambar 4. Grafik Pengaruh Variasi Fraksi Volume Serat Yang Disusun Acak Terhadap Kekuatan Tarik Komposit Epoxy Serat
IV. KESIMPULAN Dari hasil penelitian komposit epoxy dengan variasi fraksi volume serat 15%, 20%, 25% yang disusun secara acak dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Sisal.
Dari ketiga variasi fraksi volume yang diuji tarik, fraksi volume 25% memiliki kekuatan tarik dan modulus elastisitas yang tertinggi sebesar 19,774 MPa . Sedangkan tegangan tarik terkecil terdapat pada fraksi volume 20% sebesar 14,853 MPa. Nilai kekuatan tarik dan elastisitas lentur meningkat seiring ditambahkannya serat kedalam matrik ini diakibatkan ikatan yang sangat baik antar serat dan matrik, ini juga diperlihatkan pada foto mikro yang dilakukan, dimana tidak adanya pullout terjadi pada setiap specimen uji
Gambar 5. Grafik Pengaruh Variasi Fraksi Volume Serat Yang Disusun Acak Terhadap Modulus Elastisitas Komposit Epoxy Serat Sisal.
Pembahasan Hasil Uji Tarik Perbedaan fraksi volume terhadap serat pada komposit serat sisal berpengaruh terhadap kekuatan tarik dan modulus elastisitas pada komposit. Salah satu faktor penting yang menentukan karakteristik dari komposit adalah perbandingan antara matrik dan penguat/serat. Dari hasil pengujian tarik yang ditunjukkan pada Gambar 4. bahwa kekuatan tarik pada fraksi volume serat 15% kekuatan tariknya sebesar 17,436 MPa dan menurun pada fraksi volume 20% dengan kekuatan tarik sebesar 14,853 MPa. Sebaliknya pada fraksi volume 25% kekuatan tarik mengalami peningkatan dengan kekuatan tarik sebesar 19,774 MPa.Penurunan kekuatan tarik ini diakibatkan karena ikatan antara permukaan matrik dan serat yang tidak baik. Ikatan yang sangat lemah ini akan mengakibatkan kerusakan pada tegangan komposit dan menyebabkan
DAFTAR PUSTAKA [1] ASTM ( 2003 ) D 3039/D 3039M Standard Test Methods for Void Content of Reinforced Plastics. ASTM Internasional, USA [2] ASTM (1992) Annual Book Of ASTM Standarads Plastics [3] Adhi Kusumastuti (2009), Aplikasi Serat Sisal Sebagai Komposit Polimer, Jurnal Kompetensi Teknik, Universitas Negeri Semarang [4] Bakri, Iqbal, Rifki,(2012), Analisa Variasi Panjang Serat Terhadap Terhadap Kuat Tarik Dan Lentur Pada Komposit Yang Diperkuat Serat Agave Angustifolia Haw. Jurnal Mekanikal Vol.3 No,1, Teknik Mesin Universitas Tadulako [5] Diharjo, Kuncoro(2006), Pengaruh Perlakuan Alkali terhadap Sifat Tarik Bahan Komposit Serat Rami-Polyester. Jurnal Teknik Mesin Vol.8 No. 1 Universitas Negeri Sebelas Maret. [6] Jamasri, Diharjo, K, Handiko, G. W. (2005), Studi Perlakuan Alkali Terhadap Sifat Tarik Komposit Limbah Serat Sawit – Polyester, Prosiding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin IV, Universitas Udayana, Bali
Rekayasa Material I-59
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Analisis Kekuatan Struktur Komposit Benang Rami Hand Spinning Dengan Matriks Thermoplastic High Density Polyethylene (HDPE) Lies Banowati
Aulia Lazuardi Muhammad
Teknik Material-Fakultas Teknik Mesin Dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung, Indonesia
[email protected] – optional
Teknik Penerbangan-Fakultas Teknik Mesin Dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung, Indonesis
[email protected]
Bambang K. Hadi
Rochim Suratman
Teknik Penerbangan-Fakultas Teknik Mesin Dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung, Indonesia
[email protected]
Abstrak-Komposit serat alam merupakan salah satu sumber hayati yang memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di Indonesia . Hal ini karena serat tersebut memiliki sifat ramah lingkungan, kemampuan serat terurai oleh bakteri (biodegradability) dan dapat digunakan untuk memperkuat berbagai jenis polimer (biocomposite), serta melimpah dan ekonomis. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis karakteristik kekuatan tarik komposit yang diperkuat dengan serat rami yang telah di hand spinning menjadi benang dengan matriks HDPE (High Density Polyethylene) yang mengacu pada standar American Society for Testing Material (ASTM) D3039/D 3039M . Komposit benang rami/HDPE disusun dengan arah serat 0° dan 90° dengan metode manufaktur hot compression molding pada suhu ± 135° celcius dan tekanan 250 psi. Hasil pengujian yang didapatkan kemudian diolah menggunakan metode weibull distribution untuk mendapatkan diagram keandalan di setiap pengujian yang hasilnya sangat bervariasi. Analisis ini dilengkapi juga dengan hasil SEM (Scanned Electrone Microscope) pada patahan spesimen uji tarik 0° dengan kekuatan yang paling tinggi. Berdasarkan hasil pengujian dan pengolahan data yang telah dilakukan nilai kekuatan tarik yang diperoleh adalah 12 MPa untuk keandalan 90% dan 22.5 MPa untuk keandalan 50% pada benang rami. Untuk komposit arah serat 0° nilai yang diperoleh adalah sebesar 24.5 MPa untuk keandalan 90% dan 31 MPa untuk keandalan 50%. Untuk komposit arah 90° nilai tensile strength yang diperoleh adalah 5.2 MPa untuk keandalan sebesar 90% dan 6.8 MPa untuk keandalan 50%. Kata Kunci : kekuatan tarik,hand spinning,benang rami, HDPE, weibull distribution
Teknik Material- Fakultas Teknik Mesin Dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung, Indonesia rochim @material.itb.ac.id
I. INTRODUCTION Dengan cepatnya perkembangan dunia teknologi material, sumber daya yang dibutuhkan untuk mengikuti perkembangan teknologi tersebut haruslah beriringan agar tidak terjadi kesenjangan antara teknologi dan sumber daya. Sehingga banyak yang memulai untuk mencari sumber daya alternatif menggunakan bahan-bahan alam, tidak seperti bahan-bahan mineral yang harus digali dan lama untuk diperbaharui, bahanbahan alam yang digunakan lebih mudah untuk di olah dan diperbaharui yaitu komposit alami. Material Komposit adalah material yang terdiri dari dua atau lebih bahan yang berbeda yang disatukan dan masih bisa dibedakan secara makroskopis. Dua bahan utama suatu komposit adalah serat dan bahan pengikat, atau sering disebut juga fiber dan matrix. Dimana peran fiber dalam komposit adalah menentukan karakteristik utama bahan komposit yaitu kekuatan,kekakuan dan sifat mekanik-mekanik yang lain sebagai penahan utama gaya-gaya yang terjadi pada suatu komposit. Matriks lah yang mentransfer beban-beban tersebut dan mengikat serat-serat agar serat-serat tersebut terlindungi oleh matriks [1]. Oleh karena untuk fiber menggunakan bahanbahan yang kuat dan getas, sedangkan matriks menggunakan bahan-bahan yang lunak dan liat. Serat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah serat rami yang dapat dijadikan material yang lebih ecofriendly, renewable, dan sustainable sebagai substitusi dari material yang konvensional seperti logam dan serat sintetis. Hal tersebut yang mendorong penggunaan serat alam sebagai alternatif penguat atau fiber dalam aplikasi material komposit. Serat tersebut telah melalui proses hand spinning menjadi benang rami sehingga ketika manufaktur komposit benang rami lebih mudah diatur arahnya. Serat ini diambil dari tanaman rami (Boehmeria nivea ) yang dibudi dayakan di Garut. Dari Penelitian sebelumnya oleh [2] serat ramie memiliki tensile strength 330 MPa dengan massa jenis 1.4 gr/cm3.
Rekayasa Material I-60
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Adapun matriks yang digunakan adalah kategori Polymer Matrix Composites (PMC) untuk menambah kekuatan dan stiffness terbagi menjadi dua, yakni Thermoplastic dan Thermoset. Polimer thermoset merupakan jenis polimer yang tahan terhadap panas. Jika polimer ini dipanaskan, polimer ini tidak akan mudah meleleh. Susunan polimer ini bersifat permanen pada awal pembuatan polimer. Polimer thermoset memiliki ikatan – ikatan silang yang mudah dibentuk pada waktu dipanaskan. Hal ini membuat polimer menjadi kaku dan keras. Sedangkan Thermoplastic merupakan jenis polymer yang memiliki suhu leleh yang berbeda tergantung ikatan polymer dan menjadi padat ketika didinginkan. Sehingga matriks ini dapat didaur ulang dan dipanaskan kembali apabila mengalami kerusakan [3]. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis menggunakan matriks yang berbasis Thermoplastic dikarenakan lebih ramah lingkungan dan dapat didaur ulang. Bahan termoplastik HDPE (High Density Polyethylene) merupakan matrixs yang liat, kuat, kaku dan tahan terhadap suhu yang cukup tinggi (±1350C) , sehingga dengan menggunakan fraksi volume serat dan matrixs yang tepat dengan metode manufaktur hot compression molding dapat menghasilkan komposit benang rami/HDPE yang mudah dibentuk untuk keperluan industri otomotif, kontruksi bahkan peralatan medis
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2. (a) Cetakan dililiti benang rami, (b) Serbuk HDPE (c) Cetakan ditaburi HDPE, (d) Cetakan ditutup bagian atas dan bawah
Gambar 3.cetakan dimasukkan ke mesin hot compression molding. Konsep dari mesin tersebut adalah dengan memberi tekanan dan panas (±1350C) selama 30 menit , diharapkan penyebaran matriks bisa mencair secara merata sesuai dengan bentuk cetakan dan juga meminimalisir kemungkinan terjadinya void. Setelah proses hot compression molding selesai, cetakan berisi spesimen didinginkan agar matriks yang cair mulai memadat kembali.
II. MATERIAL DAN METODE Pembuatan spesimen uji komposit benang rami/HDPE menggunakan metode hot compression molding dan menguji specimen tersebut dengan mengacu pada ASTM D 3039/D 3039M [4] untuk uji tarik. Jumlah sampel uji adalah 18 buah dengan variasi arah serat dan dimensi specimen,10 buah untuk serat kontinyu dengan arah 0°, dan 8 buah untuk serat kontinyu arah 90°. Serat rami yang digunakan berupa serat kontinyu dan serat diskontinyu. Hasil uji specimen komposit dianalisis dengan menggunakan pendekatan statisik two parameter Weibull distribution dan ditampilkan dalam bentuk tabel kekuatan tarik, kurva keandalan, serta kurva probabilitas kegagalan. Pengamatan kegagalan dilakukan dengan SEM (Scanning Electron Microscope) untuk mengamati modus kegagalan dan kriteria kegagalan Pada gambar berikut ini memperlihatkan material dan step manufaktur komposit benang rami hand spinning/HDPE dengan fraksi volume serat 50%. Gambar 1. memperlihatkan proses Hand Spinning serat rami menjadi benang rami menggunakan mesin dengan single drive wheels.
(a)
(b)
Gambar 3. (a) Cetakan dimasukkan kedalam mesin hot compression molding, (b) Spesimen yang sudah dipotong
Cetakan komposit menggunakan material ST37 dan tekanan pada alat cetak sebesar 250 psi dengan kemampuan tekanan maksimum 1000 psi III. HASIL DAN PEMBAHASAN Test dilakukan dengan menggunakan menggunakan mesin TENSILON RTF-1310 dengan kapasitas maksimum 10.000 N. Nilai kekuatan material (fracture strength) terhadap keandalannya dianalisa menggunakan Distribusi Weibull. Keandalan adalah ukuran untuk reliability suatu bahan untuk menerima beban, sehingga didunia maintenance distribusi weibull sangatlah sering dipakai. Metoda regresi linear dipakai untuk mengubah distribusi Weibull dua parameter ke dalam persamaan linear dengan bentuk y= mx+c . Fungsi plot regresi linear terhadap sumbu x dan y adalah sebagai berikut [5]: (1) Dari persamaan garis yang didapatkan melalui metode regresi linear didapatkan parameter b dan c. Nilai c sama dengan gradien garis atau sama dengan m. Sementara nilai b = , dengan memasukkan nilai Y pada saat X = 0. Setelah mendapatkan parameter b dan c, nilai keandalan yaitu R =
(a)
(b)
(c)
Gambar 1.(a) Serat rami, (b) Hand spinning machine, (c) benang rami.
Gambar 2. benang rami dililitkan pada plat cetakan dan ditaburi serbuk HDPE secara merata, kemudian ditutup bagian atas dan bawah cetakan.
dapat dicari dan diplot. Gambar 4 dan 5 memperlihatkan plot regregasi linier grafik distribusi keandalan bahan termoplastik HDPE pada uji kekuatan lentur TU-0°.
Rekayasa Material I-61
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Dari grafik keandalan tersebut ,didapatkan nilai kekuatan tarik Komposit benang rami TU 90°sebesar 5.2 MPa untuk keandalan sebesar 90% dan 6.8 MPa untuk keandalan 50%. Untuk modus kegagalan, analisis dilakukan berdasarkan pengamatan visual. Pada gambar 8. memperlihatkan arah dari kegagalan spesimen TU 0° dan TU 90° didominasi oleh tegangan normal untuk hampir seluruh spesimen uji. Pada spesimen TU 0°, hampir semua spesimen mengalami modus patah sempurna dimana berarti spesimen mengalami kegagalan pada serat. Pada spesimen TU 90°, semua spesimen mengalami modus kegagalan pada matriks HDPE dikarenakan matriksnya lah yang menahan beban tarik ,sehingga patahannya bersudut 90° dan benang rami tidak mengalami kegagalan.
Gambar 4. Grafik plot model Regresi Linear spesimen TU 0°
(a) Spesimen TU 0° (b) Spesimen TU 90° Gambar 8. (a) Modus kegagalan specimen TU 0°, (b) Modus kegagalan specimen TU 90°
Untuk menganalisis struktur internal komposit, peneliti menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope). Gambar 9. memperlihatkan foto SEM specimen TU 0°.
Gambar 5. Distribusi keandalan Weibull specimen TU 0°
Dari grafik keandalan diatas,didapatkan nilai kekuatan tarik komposit benang rami TU-0 ° sebesar 24.5 MPa untuk keandalan 90% dan 31 MPa untuk keandalan 50% Gambar 6 dan 7 memperlihatkan plot regregasi linier grafik distribusi keandalan bahan termoplastik HDPE pada uji kekuatan lentur TU-90°.
(a)
Foto SEM spesimen TU 0° perbesaran 150x
Gambar 6. Grafik Plot Model Regresi Linear spesimen TU 90° (b) Foto SEM spesimen TU 0° perbesaran 2000x Gambar 9. (a) Foto SEM spesimen TU 0° perbesaran 150x, (b) Foto SEM spesimen TU 0° perbesaran 2000x
Gambar 7. Distribusi keandalan Weibull specimen TU 90°
Pada perbesaran 150x terlihat bahwa penyebaran benang rami pada saat manufaktur masih belum sempurna, terdapat daerah yang masih belum terisi benang rami. Terlihat lebih banyak benang rami yang patah dan beberapa yang tercabut dari matriks yang menyebabkan kerusakan yang dominan. Hal ini harus menjadi perhatian pada saat spinning serat menjadi benang rami masih belum sempurna karena menggunakan mesin manual sehingga benang rami diameternya tidak seragam dan masih terlalu besar rata-rata 1.5 mm dengan kekuatan tarik rata-rata 20,480 MPa. Pada perbesaran 2000x terlihat benang rami yang tidak tercabut dari matriks, namun masih ada sedikit void dikarenakan proses pemanasan HDPE
Rekayasa Material I-62
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
yang belum merata sehingga perlu diperhatikan untuk menambah waktu pemanasan yang sesuai. IV. KESIMPULAN Bersadarkan hasil penelitian bahwa komposit benang rami hand spinning /HDPE dengan metode hot compression molding dengan temperature berkisar 135°celcius dan tekanan 250 psi didapatkan nilai kekuatan tarik maksimum untuk Unidirectional 0° (TU 0°) 35,744 MPa dan rata-rata 31,077 MPa dengan keandalan 90% 24,5 MPa dan 50% 31 MPa, untuk Unidirectional 90° (TU 90°) kekuatan tarik maksimum 8.1565 MPa dan rata-rata 6.3922 MPa dengan keandalan 90% 5,2 MPa dan 50% 6,8 MPa. Modus kegagalan yang terjadi disebabkan fiber pull out dan fiber fracture. Karakterisasi komposit benang rami hand spinning /HDPE berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai material alternative untuk peralatan medis dan industry otomotif. DAFTAR PUSTAKA
[1] Hadi Bambang K..,”Mekanika Struktur Komposit,” Diktat KuliahPN-336 ,Bandung: Penerbit ITB, 2000. [2] Nugraha N., “Prediksi Kekuatan Tarik dan Modulus Elastisitas Serat Rami Dengan Metode Distribusi Weibull 2 Parameter,” ITB. Bandung, 2013. [3] ASTM D 3039/3039 M, “Standart Test Method for Tensile Properties of Polymer Matrix Composite Materials. Annual Book of ASTM Standards,” United States:ASTM InternationaI, 2002. [4] Albernathy R.B., ”The New Weibull Hanbook,” SAE Professional Development, 1994. [5] http://mfg.eng.rpi.edu/aml/plastics.html, “Thermoplastic Properties and Selection Criteria.”, 2013.
Rekayasa Material I-63
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Metode Elemen Hingga untuk Analisis Eksperimental dan Numerik Pengaruh Variasi Arah Serat terhadap Getaran Balok Komposit Serat Abaca dan Ijuk Bermatriks Epoksi Nanang Endriatno
Hammada Abbas
Jurusan Mesin, Fakultas Teknik Universitas Haluoleo Kendari, Indonesia
[email protected]
Jurusan Mesin, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia Email: -
Abstract—This study aims to : (1) analyze natural frequency (n) and rigidity (k) as the effect of fiber direction and various positions of exciter on abaca and arenga pinatta fiber epoxy matrix composite beams ; and (2) determine the elastic modulus (E) through tensile testing. The research used the finite element method for numerical analysis and spectrum method for experimental analysis. For the finite element method in numerical analysis, the beam was divided into 5 elements ; wheares for the experimental analysis, there were 5 various positions of exciters. The support was a fixed-free (cantilever) made of epoxy composite reinforced with abaca and arenga pinatta fiber in the form of beams with a length of 50 cm, width of 3 cm, and thickness of 2 cm. The composite material consisted of two composite fiber : abaca fiber and arenga pinatta fiber. Each composite consisted of three types of laminations : 0/0/0 , -45/0/45, and -90/0/90. The results reveal that the values of natural frequency (n) , rigidity (k) , elastic modulus (E) were influenced by fiber direction (maximum in abaca fiber direction 0/0/0 and minimum in arenga pinatta fiber direction -90/0/90). The Value of natural frequency (n) and rigidity (k) decreased with the increase of the distance of exciter position from cantilever . Natural frequency (n) and rigidity (k) values obtained experimentally were greater than the values obtained numerically. Keywords : vibration, natural frequency, rigidity, composite.
I. PENDAHULUAN Dewasa ini perkembangan material komposit serat di bidang rekayasa sangat pesat. Pemanfaatannya sebagai bahan pengganti logam maupun pengganti bahan alternatif komposit sintetis sudah semakin luas dikembangkan. Kemajuan teknologi mendorong peningkatan dalam hal permintaan terhadap bahan komposit, bidang industri pesawat terbang, otomotif, olahraga, industri minyak dan gas telah memakai komposit untuk membangun infrastrukturnya. Pada aplikasi di atas struktur komposit menjanjikan keuntungan khusus, selain kekuatan, ringan dan ketahanan terhadap korosi [1]. Pada penelitian ini, kami mengangkat komposit dengan serat ijuk dan serat abaca sebagai serat penguatnya.
Pertimbangan menggunakan kedua serat ini sebagai alternatif bahan penguat pada material komposit karena ketersediaan bahan ini cukup banyak, harganya murah, kuat, ringan dan tidak mudah rusak. Pembuatan komposit yang diperkuat serat alami dimaksudkan untuk mencari alternatif material komposit yang tidak terlalu tergantung pada serat sintetis. Dalam menentukan sifat-sifat mekanik struktur komposit, ada beberapa faktor yang mempengaruhi, diantaranya adalah orientasi arah serat dalam material komposit sebagai penguatnya dan fraksi volume serat yang digunakan. Penempatan serat dengan sudut arah tertentu dalam matriks komposit, dimaksudkan agar tegangan yang terjadi dapat didistribusikan merata pada bagian-bagian serat sehingga memberikan kekakuan yang baik [2]. Salah satu keuntungan bahan komposit adalah dapat menerima beban dalam arah tertentu, artinya bahan tersebut hanya kuat dan kaku pada arah tertentu dan lemah dalam arah-arah yang tidak dikehendaki [1]. Kemampuan ini jelas tidak dipunyai oleh bahan isotropic yang mempunyai kekuatan dan kekakuan yang sama dalam segala arah. Getaran merupakan salah satu masalah yang sangat penting dalam perencanaan konstruksi mesin. Ketika frekuensi gaya eksitasi bersamaan dengan salah satu frekuensi pribadi sistem, maka kondisi resonansi terjadi dan menghasilkan simpangan yang besar. Kerusakan pada struktur utama seperti jembatan konstruksi beton atau baja, gedung atau sayap pesawat terbang dapat terjadi pada kondisi resonansi. Olehnya itu penentuan frekuensi pribadi sangat penting pada suatu sistem yang mengalami getaran. Untuk menganalisa getaran yang terjadi pada batang dengan tumpuan tertentu, ada beberapa metode yang digunakan untuk menentukan karakteristik getaran, salah satunya adalah metode elemen hingga. Hasil penelitian menurut [3], yang mengkaji karakteristik getaran untuk komposit berbentuk balok menunjukkan bahwa frekuensi pribadi dan kekakuan Mengalami peningkatan dengan adanya peningkatan modulus elastisitas dari komposit. Hasil penelitian menurut [10], yang mengkaji karakteristik getaran untuk sistem balok kantilever bahwa
Rekayasa Material I-64
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
frekuensi pribadi dan kekakuan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya jarak elemen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis frekuensi pribadi (n) dan kekakuan (k) akibat pengaruh arah serat dan variasi penempatan penggetar pada balok komposit serat abaca dan ijuk bermatriks epoksi dan menentukan modulus elastisitas melalui pengujian tarik. II. LANDASAN TEORI A. Teori Getaran Getaran adalah gerakan bolak-balik dalam suatu interval waktu tertentu. Semua benda yang mempunyai massa dan elastisitas mampu bergetar, jadi kebanyakan mesin dan struktur rekayasa (engineering) mengalami getaran sampai derajat tertentu dan rancangannya biasanya memerlukan pertimbangan sifat osilasinya [4]. Ada dua kelompok getaran yang umum yaitu : getaran bebas dan paksa. Getaran bebas terjadi jika sistem berosilasi karena bekerjanya gaya yang ada dalam sistem itu sendiri, dan tidak ada gaya luar yang bekerja. Sistem yang bergetar bebas akan bergerak pada satu atau lebih frekuensi naturalnya, yang merupakan sifat sistem dinamika yang dibentuk oleh distribusi massa dan kekakuannya. Sedangkan Getaran paksa adalah getaran yang terjadi karena rangsangan gaya luar, jika rangsangan tersebut berosilasi maka sistem dipaksa untuk bergetar pada frekuensi rangsangan. Jika frekuensi rangsangan sama dengan salah satu frekuensi natural sistem, maka akan didapat keadaan resonansi dan osilasi besar yang berbahaya mungkin terjadi. Getaran tersebut mengakibatkan terjadinya kerusakan pada suatu bagian tertentu dari sistem tersebut. Oleh karena itu, kita berusaha untuk mengurangi efek-efek merugikan dari getaran dengan jalan mengisolasi, meredam dan lain sebagainya. Semua sistem yang bergetar mengalami redaman sampai derajat tertentu karena gesekan dan tahanan lain. Jika redamannya kecil, maka pengaruhnya sangat kecil pada frekuensi natural sistem. Olehnya itu perhitungan frekuensi natural biasanya dilaksanakan atas dasar tidak ada redaman. Untuk memperoleh frekuensi pribadi, maka terlebih dahulu menentukan persamaan differensial gerak suatu sistem. Untuk kasus pada gambar, diagram benda bebasnya adalah :
Gambar 1
Diagram Benda Bebas Sistem Pegas
Gambar menunjukkan diagram benda bebas dari pegas dengan kekakuan (k) (N/m) dan massa (m) (kg) dengan perpindahan pegas () (m) dan percepatan gravitasi (g) (m/s2). Dengan memberikan perpidahan awal (x) (m) kemudian dilepaskan maka sistem bergetar bebas dengan percepatan (m/s2). Dari diagram benda bebas di atas diperoleh persamaan
differensial geraknya (PDG) adalah dengan menggunakan rumus [4] yaitu massa (m) (kg) dikalikan dengan percepatan (m/s2) dan dijumlahkan dengan kekakuan (k) (N/m) dikalikan dengan perpindahan (x) (m): F m.a
m x mg k ( x) mg k
m x kx 0 k x x 0 m
m x kx 0
(1)
Persamaan ini merupakan persamaan diferensial gerak dari getaran bebas tanpa peredam , yang merupakan persamaan diferensial homogen orde dua. Penyelesaian umum secara matematis menghasilkan frekuensi pribadi (n) (rad/s) dengan rumus [4] yaitu akar dua hasil perbandingan kekakuan (k) (N/m) dengan massa (m) (kg) : k n (2) m B. Material Komposit dan Komponen Komposit Komposit merupakan bahan padatan yang dihasilkan dari dua gabungan atau lebih bahan yang berlainan untuk mendapatkan ciri-ciri yang lebih baik yang tidak dapat diperoleh dari setiap komponennya. Komposit yang dihasilkan bukan saja memiliki sifat mekanik yang lebih baik baik tetapi juga sifat kimia, sifat panas dan berbagai sifat yang lain. 1.
Matriks . Matriks adalah bahan yang diperkuat oleh serat penguat yang berfungsi mengikat serat yang satu dengan yang lainnya. Bahan yang paling umum dipakai sebagai matriks adalah metal atau polimer. Pada penelitian ini menggunakan matriks resin epoksi yang merupakan bahan plastik yang telah mengalami reaksi kimia oleh reaksi panas atau katalis. Plastik ini tidak dapat dicairkan kembali dan diproses kembali jika dipanasi pada suhu tinggi akan terurai dan rusak, plastik termoset ini salah satunya adalah epoksi. Keuntungan plastik termoset ini dalam aplikasi perencanaan teknik adalah kekakuan tinggi, kestabilan suhu tinggi, kestabilan dimensi tinggi, resistensi terhadap mulur dan deformasi di bawah pembebanan, ringan dan sifat isolasi termal dan listrik yang tinggi. 2. Serat Komponen penguat dari komposit adalah serat. Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi serat adalah sebagai penguat bahan untuk memperkuat komposit sehingga sifatsifat mekaniknya lebih baik bila dibandingkan dengan tanpa serat penguat, selain itu serat juga menghemat penggunaan resin. Beberapa syarat untuk dapat memperkuat matriks antara lain serat mempunyai Modulus Elastisitas yang tinggi dan mampu menerima perubahan gaya yang bekerja padanya [1]. Arah serat mempengaruhi jumlah serat yang dapat diisikan kedalam matriks. Makin cermat penataannya, makin banyak penguat yang dapat dimasukkan. Arah serat penguat
Rekayasa Material I-65
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
menentukan kekuatan komposit, sesuai dengan arah kekuatan maksimum. Pada Penelitian ini komposit menggunakan serat abaca dan ijuk sebagai penguat dan dikombinasikan dengan resin sebagai matriksnya. 3.
Serat Abaca (Musa textilis) Abaca sudah dibudidayakan di Indonesia sejak lama mulai dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, sampai Jawa. Sesuai dengan namanya yaitu Musa textilis maka serat abaca memiliki kelebihan dibanding serat lain yaitu kekuatan seratnya jauh lebih tinggi dan daya serapnya lebih bagus [5]. Pemisahan atau pengambilan serat abaca atau proses extraksi serat abaca atau proses pemisahan atau pengambilan serat abaca dari batangnya (fiber extraction) dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan tangan (manual) ataupun dengan peralatan decorticator [6]. Abaca sangat cocok dibudidayakan di Indonesia asal sesuai dengan persyaratan agroklimatologis yang dibutuhkan tanaman. Saat ini belum digunakan untuk tekstil, sehingga serat abaca sementara diproduksi untuk pembuatan tali kapal. Perkebunan abaca yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik ada di kebun PT Bayulor di Banyuwangi [5].
pada berbagai agroklimat dari dataran rendah hingga 1.400 m dpl. Tak heran jika tanaman ini tersebar di seluruh Indonesia yang dikutip dari [7]. Pada tahun 2002, luas areal tanaman aren di Indonesia adalah 47.730 hektar yang tersebar di berbagai provinsi. Tanaman aren banyak terdapat di Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Hampir semua bagian tanaman aren ini berguna, baik untuk pangan, bahan baku industri maupun energi terbarukan yang dikutip dari [7]. C. Teori Metode Elemen Hingga Metode elemen hingga adalah suatu bentuk metode yang digunakan sebagai salah satu solusi pendekatan untuk memecahkan berbagai permasalahan fisik, berupa analisis numerik teknik . Adapun dasar dari metode elemen hingga adalah membagi benda kerja menjadi elemen-elemen kecil yang jumlahnya berhingga sehingga dapat menghitung reaksi akibat beban (load) pada kondisi batas (boundary condition) yang diberikan. Dari elemen-elemen tersebut dapat disusun persamaan-persamaan matriks yang biasa diselesaikan secara numerik dan hasilnya menjadi jawaban dari kondisi beban yang diberikan pada benda kerja tersebut. Metode elemen hingga (MEH) dapat mengubah suatu masalah yang memiliki jumlah derajat kebebasan tidak berhingga menjadi suatu masalah dengan jumlah derajat kebebasan tertentu sehingga proses pemecahannya lebih sederhana. Dalam penelitian ini analisis numerik menggunakan metode elemen hingga dengan menggunakan program MATLAB. Analisis getaran untuk mengetahui frekuensi pribadi dan kekakuan secara numerik dengan menggunakan metode elemen hingga. Prosedur perhitungan analisis secara numerik dengan menggunakan metode elemen hingga adalah sebagai berikut : 1.
Gambar 2 Pohon Abaca (Musa textilis)
4.
Serat Ijuk (Arenga Pinnata) Serat ijuk adalah serat alam yang berasal dari pohon aren (arenga pinnata). Ijuk merupakan bahan alami yang dihasilkan oleh pangkal pelepah enau (arenga pinnata) yaitu tumbuhan bangsa palma. Aren (Arenga Pinnata) termasuk suku Arecaceae (pinang-pinangan), merupakan tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae) yaitu biji buahnya terbungkus daging buah. Tanaman aren banyak terdapat mulai dari pantai timur India sampai ke Asia Tenggara. Di Indonesia tanaman ini banyak terdapat hampir di seluruh wilayah Nusantara. Ijuk merupakan helaian benang-benang atau serat-serat yang berwarna hitam, berdiameter 1 mm, dan bersifat kaku. Ijuk ini tidak mudah rapuh, sangat tahan dalam genangan air yang asam, termasuk genangan air laut yang mengandung garam [9]. Aren (Arenga pinnata) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang serbaguna dan telah lama dimanfaatkan secara tradisional. Tanaman aren memiliki daya adaptasi luas
Menentukan jumlah elemen, titik nodal, dan derajat kebebasan. Pada penelitian ini balok dibagi menjadi 5 elemen, titik nodalnya adalah 6, dan jumlah derajat kebebasan adalah 12, seperti ditunjukkan pada gambar berikut :
Gambar 3. Pembagian Elemen Balok Komposit 2.
Matriks massa lokal dan matriks kekakuan lokal . Matriks massa lokal dapat dihitung dengan menggunakan rumus [8] yaitu masa persatuan panjang (m) (kg/m) dikalikan dengan panjang balok perlemen (l) (m) dan dikalikan dengan matriks massa :
Rekayasa Material I-66
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
156 22l m ml 420 54 13l
22l
54
4l 2
13l
13l
156
3l 2
22l
13l 3l 2 22l 4l 2
(3)
Sedangkan matriks kekakuan lokal dapat dihitung dengan menggunakan rumus [8] yaitu modulus elasitisitas (E) (Kg/m2) dikalikan dengan momen inersia balok (I) (m4) dan dibagi dengan panjang balok perlemen pangkat tiga (l) (m3) kemudian dikalikan dengan matriks kekakuan : 6l 12 6l 12 6l 2 4l 6 l 2 l 2 (4) k EI3 6l l 12 6 l 12 2l 2 6l 4l 2 6l Untuk mendapatkan momen inersia balok berikut rumus perhitungan yaitu lebar balok (b) (m) dikalikan dengan tebal balok pangkat tiga (h) (m3) kemudian dibagi dua belas : I
3. 4.
5.
bh 3 12
(5)
Transformasi matriks massa dan matriks kekakuan dalam koordinat lokal ke koordinat global. Memasukkan kondisi batas ke matriks massa dan matriks kekakuan global (sistem). Kondisi batas pada tumpuan kantilever dengan pembebanan secara transversal adalah sebagai berikut : a. Pada tumpuan jepit (titik nodal 1) nilai v1 adalah nol b. Perpindahan sudut 1 bernilai nol Menyusun persamaan matriks eigenvalue untuk mendapatkan nilai frekuensi pribadi (n). Nilai frekuensi pribadi (n) dapat dihitung dengan menggunakan rumus [6] yaitu akar dua nilai eigen dari hasil invers matriks massa [M] dikalikan dengan matriks kekakuan [K]. 1
n . M K
(6)
III. ANALISIS MODEL DAN PEMBAHASAN A. Tempat, Alat, dan Bahan Penelitian Penelitian ini dilakukan secara eksperimental di Laboratorium Metalurgi Fisik Jurusan Teknik Mesin Universitas Hasanuddin untuk pengujian tarik dan dan di di Biro Perencanaan Pabrik PT. Semen Tonasa Pangkep untuk pengujian getaran. Peralatan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari : 1. Alat-alat pembuatan komposit yang terdiri dari : a. Cetakan kaca, sebagai media pembuatan spesimen. b. Gelas ukur, untuk mengukur volume resin dan serat.
c. Wadah, sebagai tempat pencampuran resin, serat dan hardener (katalis). d. Timbangan digunakan untuk menimbang seberapa berat resin dan serat yang akan dicampur dalam proses pembuatan komposit sesuai dengan fraksi volume yang ditentukan. e. Lem kaca (silicone glass) f. Amplas dan gurinda potong, untuk meratakan dan memotong spesimen sesuai ukuran standar. 2. Alat uji tarik, untuk mengetahui kekuatan tarik dan modulus elastisitas komposit. 3. Alat uji getaran yang terdiri dari : a. Alat pengukuran getaran model 885 Analyzer Vibration. b. Tachometer untuk mengukur kecepatan motor penggetar (eksiter) yang digunakan. c. Motor penggetar (eksiter). Bahan dalam penelitian ini adalah balok komposit yang diperkuat serat abaca (40 % serat abaca: 60 % matriks epoksi) dan komposit yang diperkuat serat ijuk (40 % serat ijuk: 60 % matriks epoksi) dengan susunan arah serat masing-masing komposit (0o/0o/0o), (-45o/0o/45o), dan (-90o/0o/90o). Bentuk bahan untuk uji getaran dengan dimensinya ditunjukkan pada gambar 4 berikut :
Gambar 4 Bentuk Bahan Uji Getaran
B. Prosedur Pembuatan Spesimen 1. Mempersiapkan bahan penyusun komposit, berupa serat ijuk dan abaca, resin epoksi, larutan Naoh 5 % (alkalisasi ) dan hardener (katalis). 2. Proses Alkalisasi Serat, yaitu serat direndam dalam larutan NaOH 5 % selama 4 jam untuk mengalami pembersihan lignin yang tersisa, serat dikeringkan kemudian. 3. Pemilihan dan persiapan serat abaca dan ijuk dengan mengidentifikasi panjang dan diameter serat. 4. Menghitung fraksi volume komposit, 5. Membuat cetakan dari kaca untuk bahan uji tarik dan bahan uji getaran sesuai dengan dimensi yang diperlukan. 6. Menyiapkan resin dalam wadah kemudian katalis dicampurkan sebanyak 1% dari volume resin, kemudian diaduk secara merata dan didiamkan ± 5 menit agar gelembung udara terlepas. 7. Spesimen dicetak menggunakan cetakan kaca yang telah dilapisi dengan wax/lem. 8. Susunan bahan komposit adalah lamina dengan arah serat 0o/0o/0o, -45o/0o/45o,dan -90o/0o/90o , susunannya terdiri dari matriks-serat-matriks-seratmatriks-serat-matriks dengan komposisi perbandingan persentase fraksi volume antara serat dengan matriks epoksi masing-masing sebesar 40 % serat : 60 % matriks. 9. Melakukan pemotongan pada kedua ujung spesimen sesuai dengan ukuran.
Rekayasa Material I-67
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
10. Melakukan pengamplasan permukaan spesimen. 11. Melakukan uji getaran
untuk
meratakan
pribadi (n), sehingga fekuensi pribadi dan kekakuan dapat diketahui. IV. ANALISIS MODEL DAN PEMBAHASAN
C. Prosedur Pengujian Getaran Balok komposit ditumpu pada kantilever, dimana motor penggetar (Eksiter) divariasikan pada posisi 10 cm, 20 cm, 30 cm, 40 cm dan 50 cm. Tahap pelaksanaan pengujian getaran sebagai berikut : a. Memasang balok komposit pada jepitan dengan baik. b. Meletakkan sensor getaran pada ujung atas jepitan. c. Meletakkan eksiter (motor penggetar) pada benda uji sesuai dengan posisi yang diinginkan. d. Menghidupkan motor penggetar (ON). e. Mengambil data getaran dari alat sensor getaran f. Mengulangi langkah a-f untuk posisi penggetar dan komposisi serat yang lain.
A. Hasil Penelitian Hasil pengujian modulus elastisitas selengkapnya dari masing-masing komposit dengan variasi arah serat dapat di lihat pada tabel 1 berikut : Tabel 1
Hasil Pengujian tarik dan Perhitungan Modulus Elastisitas Komposit Serat – Matriks Epoksi
Jenis Komposit
Serat Abaca - Epoksi Skema pengambilan data pengujian getaran dapat dilihat pada gambar 5 dan 6 berikut : Serat Abaca - Epoksi
Arah Serat
E (N/mm2)
0°/0°/0° -45°/0°/45° -90°/0°/90° 0°/0°/0° -45°/0°/45° -90°/0°/90°
760.00 613.85 570.00 686.92 555.38 496.92
Gambar 5 Skema Pengambilan Data
Grafik 1 Hubungan Modulus Elastisitas VS Arah Serat
Gambar 6 Instalasi Pengujian
D. Teknik Analisa Data Pada penelitian ini analisis secara numerik menggunakan metode elemen hingga, dengan membagi balok menjadi lima (5) elemen, dengan panjang setiap elemennya sama. Perhitungan untuk memperoleh frekuensi pribadi (n) dan kekakuan (k) dieksekusi dengan Program Matlab. Analisis secara eksperimental menggunakan metode spektrum getaran, dimana hasil yang diperoleh adalah berupa grafik frekuensi
Analisis getaran untuk mengetahui frekuensi pribadi dan kekakuan secara numerik pada penelitian ini menggunakan metode elemen hingga yang dieksekusi melalui program matlab sedangkan analisis secara eksperimental menggunakan metode spektrum getaran. Dalam Analisis Getaran baik secara eksperimental dan numerik, diketahui data input sebagai berikut - Jumlah elemen (je) = 5 - Panjang balok (L) = 0,5 m - Lebar balok (b) = 0,03 m - Tebal balok (t) = 0,02 m Hasil perhitungan frekuensi pribadi (n) dan kekakuan (k) dieksekusi dengan metode elemen hingga (MEH) dapat dilihat pada tabel 2 dan 3 berikut :
Rekayasa Material I-68
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Tabel 2 Hasil perhitungan frekuensi pribadi dan kekakuan dengan MEH untuk komposit serat abaca - matriks epoksi NO
1
2
3
ARAH SERAT ABACA ()
0°/0°/0°
-45°/0°/45°
-90°/0°/90°
POSISI EKSITER (CM)
M (Kg)
n (rad/s)
K (kg/m)
10
4393.4
1428300
20
3637.1
978900
2576.1
491100
40
1507.7
168200
50
494.3
18100
10
3948.4
1153700
20
3268.7
790600
2315.2
396600
40
1355
135900
50
444.3
14600
10
3804.8
1071300
20
3149.8
734200
30
30
30
0.074
0.074
0.074
2230.9
368300
40
1305.7
126200
50
428.1
13600
-45°/0°/45°
NO
ARAH SERAT IJUK ()
POSISI EKSITER (cm)
M (kg)
10 20 1
0°/0°/0°
30
0.082
40
-45°/0°/45°
19226.77
10
4040.13
1207878.12
3359.80
835330.95
2400.01
426242.37
1399.39
144914.33
30
0.074
50
450.07
14989.44
10
3879.99
1114021.77
3210.13
762563.58
2260.80
378230.03
40
1339.73
132821.52
50
439.60
14300.36
20 3
-90°/0°/90°
Tabel 5
0.074
Hasil pengujian frekuensi pribadi dan kekakuan untuk komposit serat ijuk - matriks epoksi dengan variasi arah serat.
ARAH SERAT IJUK ()
NO
30
0°/0°/0°
n (rad/s)
K (kg/m)
10
4060.02
1351668.52
20
3370.27
931413.19
POSISI EKSITER (cm)
30
M (kg)
0.082
2409.43
476037.62
40
1409.86
162991.83
50
459.49
17312.50
10
3649.73
1092281.39
3039.52
757571.91
2140.43
375679.30 130221.78
20 2
-45°/0°/45°
30
0.082
40
1260.19
152000
50
410.29
13803.93
10
3449.81
975899.39
2869.96
675406.97
2009.60
331156.36
16300
20 3
-90°/0°/90°
30
0.082
2953.6
715300
2092
358900
40
1179.59
114098.12
122900
50
390.41
12498.22
1224.3
50
401.4
13200
10
3374.8
933920
2793.8
640050
1978.8
321090
40
1158.1
109980
50
379.7
11820
0.082
177811.00
509.73
443900
1043800
30
1550.11
50
2326.6 446.4
0.082
40
884800
3567.8
30
519727.75
3284.8
10
20 -90°/0°/90°
1291000
50
40
3
3967.9
1361.6
20 2
K (kg/mm)
1013041.75
2650.16
40
1
n (rad/s)
3699.97
30
20 2
Tabel 3 Hasil perhitungan frekuensi pribadi dan kekakuan dengan MEH untuk komposit serat ijuk - matriks epoksi
20
Hasil pengujian frekuensi pribadi (n) dan kekakuan (k) secara eksperimental dengan metode spektrum dapat dilihat pada tabel 4 dan 5 berikut : Tabel 4 Hasil pengujian frekuensi pribadi dan kekakuan untuk komposit serat abaca - matriks epoksi dengan variasi arah serat. NO
1
ARAH SERAT ABACA ()
POSISI EKSITER (CM)
M (Kg)
n (Rad/s)
K (Kg/m)
0°/0°/0°
10
0.074
4490.20
1491980.31
Grafik 2 Hubungan Frekuensi Pribadi Serat Abaca VS Posisi Eksiter
Rekayasa Material I-69
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Grafik 3
Hubungan Frekuensi Pribadi Serat Ijuk VS Posisi Eksiter
Grafik 4 Hubungan Kekakuan Serat Abaca VS Posisi Eksiter
Grafik 5 Hubungan Kekakuan Serat Ijuk VS Posisi Eksiter
tinggi daripada komposit serat ijuk. Modulus elastisitas komposit serat abaca tertinggi yaitu 760 N/mm2 pada pada arah serat 0/0/0. Sedangan Modulus elastisitas komposit serat ijuk tertinggi yaitu 686.92 N/mm2 pada pada arah serat 0/0/0. Untuk Modulus elastisitas komposit serat abaca terendah yaitu 570.00 N/mm2 pada pada arah serat -90/0/90. Sedangan Modulus elastisitas komposit serat ijuk terendah yaitu 496.92 N/mm2 pada pada arah serat -90/0/90. Penurunan modulus elastisitas pada arah serat -45/0/45 dan -90/0/90 disebabkan karena hanya satu lamina saja yaitu arah 0 yang mendistribusikan gaya tarik secara penuh. Modulus elastisitas komposit serat abaca terendah pada arah serat -90/0/90 disebabkan karena 2/3 lamina pada arah 90 sehingga sebagian besar serat tidak dapat mendistribusikan tegangan kearah longitudinal. Dari Hasil perhitungan dan pengujian pada Tabel 2,3,4 dan 5 serta Grafik 2 dan 3 menunjukkan nilai frekuensi pribadi (ωn) komposit serat abaca lebih tinggi daripada komposit serat ijuk, baik untuk analisis secara eksperimental maupun analisis secara numerik. Untuk analisis secara numerik nilai frekuensi pribadi maksimum komposit serat abaca adalah 4393.4 rad/s pada arah serat abaca 0/0/0, sedangkan nilai frekuensi pribadi minimum adalah 428.1 rad/s pada arah serat -90/0/90. Untuk analisis secara eksperimental nilai frekuensi pribadi maksimum adalah 4490.20 rad/s pada arah serat abaca 0/0/0, sedangkan nilai frekuensi pribadi minimum adalah 439.60 rad/s pada arah serat abaca -90/0/90. Sedangkan pada komposit serat ijuk Untuk analisis secara numerik nilai frekuensi pribadi maksimum komposit serat ijuk adalah 3967.9 rad/s pada arah serat ijuk 0/0/0, sedangkan nilai frekuensi pribadi minimum adalah 379.7 rad/s pada arah serat -90/0/90. Untuk analisis secara eksperimental nilai frekuensi pribadi maksimum adalah 4060.02 rad/s pada arah serat ijuk 0/0/0, sedangkan nilai frekuensi pribadi minimum adalah 390.41 rad/s pada arah serat ijuk -90/0/90. Dari Hasil perhitungan dan pengujian pada Tabel 2,3,4, dan 5 serta Grafik 4 dan 5 menunjukkan nilai kekakuan (k) komposit serat abaca lebih tinggi daripada komposit serat ijuk, baik untuk analisis secara eksperimental maupun analisis secara numerik. Untuk analisis secara numerik nilai kekakuan maksimum komposit serat abaca adalah 1428300 kg/m pada arah serat abaca 0/0/0, sedangkan nilai kekakuan minimum adalah 13600 kg/m pada arah serat -90/0/90. Untuk analisis secara eksperimental nilai kekakuan maksimum adalah 1491980.31 kg/m pada arah serat abaca 0/0/0, sedangkan nilai kekakuan minimum adalah 14300.36 kg/m pada arah serat abaca -90/0/90. Sedangkan pada komposit serat ijuk Untuk analisis secara numerik nilai kekakuan maksimum komposit serat ijuk adalah 1291000 rad/s pada arah serat ijuk 0/0/0, sedangkan nilai kekakuan minimum adalah 11820 kg/m pada arah serat -90/0/90. Untuk analisis secara eksperimental nilai kekakuan adalah 1351668.52 kg/m pada arah serat ijuk 0/0/0, sedangkan kekakuan minimum adalah 12498.22 kg/m pada arah serat ijuk -90/0/90.
B. Pembahasan Dari Hasil perhitungan pada Tabel 1 dan Grafik 1 menunjukkan modulus elastisitas komposit serat abaca lebih
Rekayasa Material I-70
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
V. KESIMPULAN Berdasarkan hasil perhitungan frekuensi pribadi dan kekakuan, baik secara eksperimental maupun secara numerik, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Nilai frekuensi pribadi dan kekakuan komposit yang diperoleh akibat pengaruh variasi arah serat : a. Nilai frekuensi pribadi dan kekakuan komposit dipengaruhi oleh arah serat, tertinggi pada arah serat 0/0/0 dan terendah pada arah serat -90/0/90. b. Komposit serat abaca memiliki nilai frekuensi pribadi dan kekakuan lebih besar dibandingkan komposit serat ijuk. Hal ini dipengaruhi oleh modulus elastisitas dari bahan. 2. Nilai frekuensi pribadi dan kekakuan komposit akibat pengaruh variasi penggetar : a. Mengalami penurunan dengan bertambah jauhnya posisi eksiter dari tumpuan jepitan, untuk posisi penggetar mulai dari 10 cm, 20 cm, 30 cm, 40 cm, dan 50 cm, baik pada komposit serat ijuk, maupun pada komposit serat abaca. b. Nilai frekuensi pribadi dan kekakuan yang diperoleh secara eksperimental lebih besar jika dibandingkan dengan nilai yang diperoleh secara numerik. 3. Nilai Modulus Elastisitas komposit serat maksimum pada arah serat 0/0/0 dan minimum pada arah serat
-90/0/90 . Komposit serat Abaca memiliki nilai modulus elastisitas lebih besar dibandingkan komposit serat ijuk.
DAFTAR PUSTAKA [1]
R.E Smallman, R.J. Bishop . 1999. ”Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa Material”. PT. Erlangga, Jakarta. [2] Van Vlack . 1990. ”Ilmu dan Teknologi Bahan”. PT. Erlangga, Jakarta. [3] Mustafa. 2010. ”Analisis Numerik dan Eksperimental Getaran Balok Komposit yang diperkuat Serat Kaca”. Tesis tidak dipublikasikan, Makassar. [4] J.M. Krodkiewski. 2008. ”Mechanical Vibration”. The University of Melbourne, Department of Mechanical and Manufacturing Engineering. [5] Sujindro, Peluang dan tantangan pemanfaatan tanaman serat alam sebagai bahan baku tekstil di Indonesia. [6] Final Technical Report CFC/FIGHF/09 2004, ABACA Improvement of Fiber Extraction and Identification of Higher Yielding Varieties, Philippines. [7] Jurnal Warta/vol.32.no.1/2009.“Penelitian dan Pengembangan Pertanian” [8] S. Graham Kelly, Ph.D. 1996. ”Theory and Problems of Mechanical Vibrations”. McGraw-Hill, Inc, Unated states of America. [9] Fausiah. 2007, ”Karakteristik Mekanik Komposit Hibrid Yang Diperkuat Serat Ijuk Dan Serat Kaca“ Teknik Mesin Universitas Hasanuddin Makassar. Skripsi Yang Tidak Di Publikasikan. [10] Yuspian Gunawan. 2009. ”Kaji Eksperimental dan Numerik Pengaruh Perletakan Motor Penggetar Terhadap Karakteristik Getaran Balok”. Tesis tidak dipublikasikan, Makassar.
.
Rekayasa Material I-71
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengaruh Pengelasan Logam Berbeda AISI 1045 dengan AISI 316L terhadap Sifat Mekanis dan Struktur Mikro dengan Pengelasan SMAW Simon Parekke Program Strudi Perawatan Mekanik Akademi Teknik Soroako, Luwu Timur,Sulawesi Selatan e-mail:
[email protected]
Abdul Hay Muchsin Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Makassar e-mail:
Abstrak—Pertumbuhan dan Perkembangan teknologi di bidang konstruksi yang semakin maju dan pesat, tidak dapat dipisahkan dari proses penyambungan logam yang sejenis atau penyambungan logam tak sejenis (dissimilar metal welding). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengelasan logam berbeda dengan variasi arus pada sambungan las (dissimilar metal welding) antara baja AISI 1045 dengan baja tahan karat AISI 316L terhadap sifat mekanis dan struktur mikro. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yaitu baja AISI 1045 disambung dengan baja AISI 316L menggunakan mesin las SMAW dengan filer metal E 309M0-17, tegangan 30 Volt, arus 50 A, 60 A dan 70 A. Jenis sambungan yang digunakan adalah sambungan tumpul dengan kampuh V tunggal dengan ukuran spesimen 200 mm x 20 mm x 6 mm sesuai standar ASTM E8. Selanjutnya dilakukan pengujian meliputi pengujian tarik, kekerasan dan struktur mikro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arus las berpengaruh terhadap kekuatan tarik pengelasan SMAW. Kekuatan tarik tertinggi sebesar 64,01 kg/mm2 pada arus 70 A, dan kekuatan tarik terendah 61,97 kg/mm2 pada arus 50 A. Kekerasan tertinggi pada arus 70 A sebesar 22,7 HRC pada daerah weld metal dan kekerasan terendah pada arus 50 A sebesar 16,5 HRC pada base metal AISI 1045. Struktur mikro yang terjadi pada arus 50 A didominasi oleh struktur ferit, sementara pada arus 60 A dan 70 A struktur yang terbentuk adalah perlit yang berwarna gelap . Kata kunci : Pengelasan berbeda, AISI, SMAW, Variasi Arus, kekerasan . struktur mikro
I. PENDAHULUAN
P
erkembangan pengelasan logam berbeda (dissimilar metal welding) pada era sekarang ini semakin maju dan pesat, utamanya pada dunia industri yang memfokuskan pada pencapaian kualitas produk yang tinggi, ekonomis serta keamanan yang terjangkau.
Pengelasan logam berbeda (dissimilar metal welding) merupakan perkembangan dari teknologi las modern akibat dari kebutuhan akan penyambungan material-material yang memiliki jenis logam yang berbeda. Pemilihan elektroda dan penggunaan arus yang tepat serta pemilihan jenis sambungan menurut standar pengelasan sangat dibutuhkan untuk mendapatkan hasil pengelasan yang sempurna. Metalurgi pengelasan baja tahan karat AISI 316L disambung dengan baja karbon AISI 1045 dapat dilihat dengan menggunakan diagram Schaeffler lihat gambar 2.3. Sifat mekanis logam termasuk pengujian tarik untuk mengetahui kekuatan tarik sambungan logam berbeda dengan menggunakan filer metal E 309Mo 17 setelah mengalami proses pengelasan , sehingga diperoleh suatu harga yang menunjukkan seberapa besar penurunan kekuatan tarik karena pengaruh panas pengelasan. Harga kekerasan suatu bahan adalah menyatakan kemampuan bahan tersebut utuk menahan deformasi tekanan persatuan luas . Pada sambungan las tingkat kekerasan yang dicapai pada daerah logam las , daerah HAZ sangat tergantung pada sifat mampu keras bahan dalam pendinginan yang relatif cepat. Sifat fisis suatu bahan termasuk struktur mikro pada logam las, selama pendinginan dari logam cair sampai mencapai suhu kamar, logam las mengalami serangkaian perubahan (transformasi) fasa. Transfomasi tersebut akan mengalami perubahan-perubahan dari fase cair menjadi ferit α ketika pembekuan berlangsung, kemudian berubah menjadi austenite dan akhirnya menjadi ferit dan perlit[2] Baja karbon menengah merupakan logam yang memiliki sifat mampu las (weldability) yang cukup tetapi peka terhadap retak dingin ( Underbead Crack) karena meningkatnya sifat hardenability dan kekuatan material, logam ini juga bersifat mampu diperlaku-panaskan (heat treatble), mampu mesin (machinability) yang memiliki banyak keunggulan dan sering digunakan di dalam industri-industri [3]. Perubahan fasa yang terjadi pada proses perlakuan panas akan terlihat dalam pengamatan struktur mikro, perubahan
Rekayasa Material I-72
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
struktur mikro yang terjadi akan mempengaruhi sifat-sifat mekanik dari baja tersebut. Pada penelitian ini ingin diketahui Pengaruh Pengelasan Logam Berbeda Baja (AISI 1045) dengan Baja Tahan karat (AISI 316L) terhadap Sifat mekanis dan Struktur Mikro pada pengelasan SMAW. Pengelasan dissimilar metal welding antara baja karbon A36 dengan austenitik stainless steel S30815, kekerasan pada baja karbon untuk daerah HAZ dengan arus 70 A adalah relatif lebih rendah dari pada daerah HAZ dengan arus pengelasan 45 A dan 55 A. Kekerasan pada daerah HAZ stainless steel dengan arus pengelasan 70 A adalah relatif lebih tinggi daripada daerah HAZ stainless steel dengan arus pengelasan 45 A dan 55 A [2] Pengelasan dissimilar metal welding antara baja AISI 1045 dengan AISI 304 dengan variasi arus dan menggunakan elektroda Xuper 222XHD, ketika dilakukan pengujian tarik material mengalami perpatahan di daerah logam AISI 1045. Harga kekuatan tarik maksimum (Rm) dengan arus 100 A adalah 147,5 N/mm2 . Harga kekerasan pada daerah logam lasan (titik 0 ) dengan arus100 A = 195,7 VHN.[3] Pengelasan dissimilar metal welding antara baja karbon A36 dengan baja tahan karat austenitik AISI 304, di dapat hasil dengan perlakuan preheat, akan menurunkan nilai kekerasan pada HAZ baja karbon dibandingkan dengan HAZ baja karbon tanpa preheat, sehingga mampu menaikkan ketangguhannya(toughness), Dengan perlakuan preheat, akan menaikkan nilai kekerasan pada HAZ baja tahan karat dibandingkan dengan HAZ baja tahan karat tanpa preheat [4] . Pengelasan dissimilar welding antara baja karbon A106 dan baja tahan karat A 312 TP 304H dengan menggunakan GTAW dan menggunakan filler metal inconel 82 . Dari hasil penelitian bahwa didapatkan pelebaran ukuran dark band efek dari variasi temperatur PWHT pada batas fusi sambungan baja karbon dan weld metal , serta terjadi pengkasaran butir pada daerah HAZ baja karbon yang berstruktur full ferit. Nilai kekerasan pada dark band lebih tinggi dibanding daerah lainnya dan nilai kekerasan HAZ menurun.[5] Pengelasan dissimilar welding dengan menggunakan GTAW dan menggunakan filler metal inconel 82 . didapatkan pelebaran ukuran dark band efek dari variasi temperatur PWHT pada batas fusi sambungan baja karbon dan weld metal , serta terjadi pengkasaran butir pada daerah HAZ baja karbon yang berstruktur full ferit. Nilai kekerasan pada dark band lebih tinggi dibanding daerah lainnya dan nilai kekerasan HAZ menurun[6] II. LANDASAN TEORI Menurut DIN (Deutsche Industrie Normen) pengelasan adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Dengan kata lain, las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas, dengan atau tanpa menggunakan tekanan (pressure), atau hanya tekanan, dengan atau tanpa menggunakan logam pengisi (filler). Salah satu teknik pengelasan yang dikenal dalam penyambungan baja adalah proses pengelasan busur las (Arc Welding) diantaranya adalah GTAW (Gas Tungsten Arc Welding) dan SMAW
(Shielded Metal Arc Welding), yang digunakan dalam penelitian ini.[6] 1. Pengelasan SMAW (Shielded Metal Arc Welding) Las elektroda terbungkus atau Shielded Metal Arc Welding (SMAW) adalah cara pengelasan yang banyak digunakan pada masa kini. Dalam cara pengelasan ini digunakan kawat elektroda logam yang dibungkus dengan fluks
Gambar 1. Las Busur dengan Elektroda terbungkus[6]
Tabel 1. Komposisi kimia baja dan Jenis elektroda [9]
2. Pengelasan Baja karbon dengan Stainless Steel (dissimilar Metal Welding) Pengelasan logam berbeda adalah suatu proses pengelasan yang dilakukan pada dua metal atau paduan logam yang berbeda. Pengelasan logam berbeda (dissimilar metal welding) merupakan perkembangan dari teknologi las modern akibat dari kebutuhan akan penyambungan material-material yang memiliki jenis logam yang berbeda. Proses pengelasan logam berbeda dilakukan dengan cara menyambung dua logam induk yang berbeda, sama halnya dengan proses pengelasan yang biasa dilakukan. Dalam proses pengelasan ini, pemilihan elektroda dan penggunaan arus yang tepat serta pemilihan jenis sambungan menurut standar pengelasan sangat dibutuhkan untuk mendapatkan hasil pengelasan yang sempurna. Biasanya proses pengelasan yang digunakan adalah secara manual dengan las listrik busur terlindung (SMAW) atau jenis lainnya seperti GTAW, GMAW, dan SAW.[7] 3. Metalurgi Pengelasan Logam Berbeda (Dissimilar Metal Welding)
Rekayasa Material I-73
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Metalurgi pengelasan pada proses pengelasan logam berbeda harus disesuaikan dengan metalurgi pengelasan pada kedua logam induk mengingat pada kedua logam induk ini memiliki metalurgi pengelasan yang berbeda, pada penelitian ini yaitu menggunakan metalurgi pengelasan dari logam induk baja karbon dan metalurgi pengelasan dari logam induk baja tahan karat. Metalurgi pengelasan baja karbon dapat dilihat berdasarkan Karbon Equivalen (KE) Tetapi pada kasus pengelasan logam berbeda ini juga menggunakan logam induk baja tahan karat dimana dari metalurgi pengelasan baja tahan karat dapat dijelaskan bahwa tidak dapat dilakukan pendinginan lambat, karena dapat meningkatkan pembentukan Kromium Karbida pada batas butir. Oleh karena itu dari metalurgi pengelasan kedua logam induk dapat diasumsikan bahwa proses pendinginan yang dilakukan adalah proses pendinginan dengan udara bebas. Metalurgi pengelasan baja tahan karat AISI 316L disambung dengan baja karbon AISI 1045 dapat dilihat dengan menggunakan diagram Schaeffler pada gambar 2 Pada mulanya diagram Schaeffler ditujukan untuk menyeleksi elektroda austenitik untuk pengelasan metal berbeda, namun dapat juga digunakan untuk menentukan struktur mikro logam induk dan logam las.
Gambar 2. Diagram Schaeffler[9]
Pengujian Sifat-Sifat Mekanis a. Pengujian tarik Pengujian tarik bertujuan untuk mengetahui tegangan, regangan, modulus elastisitas bahan dengan cara menarik spesimen sampai putus. Dasar yang digunakan untuk mengetahui kekuatan tarik dari suatu material adalah kurva tegangan - regangan. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa komponen-komponen utama dari kekuatan tarik adalah kekuatan maksimum (tensile strength), tegangan luluh dari material, regangan yang terjadi saat penarikan dan pengurangan luas penampang. Sifat–sifat tarikannya dapat dihitung sebagai berikut: Bila Tegangan σ (Kg/mm2), F beban (kg) dan A0 luas penampang batang uji ( mm2 ) maka : =
(
/
)
dan Regangan dapat dihitung dengan ɛ regangan , L panjang mula dari batang uji , L0 panjang batang uji yang dibebani dengan rumus : =
−
100%
(2)
b. Pengujian kekerasan Pengujian kekerasan dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bahan terhadap pembebanan dalam perubahan yang tetap, artinya ketika gaya tertentu diberikan pada suatu benda uji dan karena pengaruh pembebanan benda uji akan mengalami deformasi. Harga kekerasan bahan tersebut dapat dianalisis dari besarnya beban yang diberikan terhadap luasan bidang yang menerima pembebanan.
Gambar 3. Pengujian Kekerasan
Pengujian kekerasan logam ini secara garis besar ada tiga metode yaitu penekanan, goresan, dan dinamik. Proses pengujian yang mudah dan cepat dalam memperoleh angka kekerasan yaitu dengan metode penekanan. Dikenal ada tiga jenis metode penekanan, yaitu : Rockwell, Brinnel, Vickers, yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pengujian kekerasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode Rockwell seperti pada gambar 3. Pengujian ini mengukur kedalaman bekas penekanan pada beban yang konstan sebagai ukuran kekerasan. c. Pengujian Metalografi Struktur bahan dalam orde kecil sering disebut struktur mikro. Struktur ini tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi harus menggunakan alat pengamat struktur mikro diantaranya : mikroskop cahaya, mikroskop electron, mikroskop field on, mikroskop field emission dan mikroskop sinar-X. Penelitian ini menggunakan mikroskop cahaya, adapun manfaat dari pengamatan struktur mikro ini adalah Mempelajari hubungan antara sifat-sifat bahan dengan struktur dan cacat pada bahan dan memperkirakan sifat bahan jika hubungan tersebut sudah diketahui. Sebelum benda uji diamati pada mikroskop optik, benda uji tersebut harus melewati tahaptahap preparasi. Tujuannya adalah agar pada saat diamati benda uji terlihat dengan jelas, karena sangatlah penting hasil gambar pada metalografi. Semakin sempurna preparasi benda uji, semakin jelas gambar struktur yang di peroleh.
(1)
Rekayasa Material I-74
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
III.
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2014 hingga April 2014 dengan cakupan kegiatan antara lain pembuatan benda uji, pengelasan dan pembuatan specimen uji tarik sesuai standar ASTM E 8 dengan menggunakan beberapa jenis mesin seperti mesin gergaji potong, mesin frais, Alat-alat pendukung dalam penelitian berupa termokopel, jangka sorong, stop watch dan alatalat lain untuk keperluan penelitian. Specimen yang telah dibuat di Akademi teknik Soroako ( ATS) diatas akan diuji dibeberapa tempat laboratorium di Makassar . Penelitian ini dilaksanakan di beberapa tempat yang berbeda. Untuk pengambilan data awal dan pengujian Kekerasan di lakukan di laboratorium Akademi Teknik Soroako (ATS). Pengujin sifat mekanis termasuk pengujian tarik dilaksanakan di Laboratorium UKIP PAULUS Makassar. Pengujian struktur mikro dilakukan di laboratorium Metalurgi Fisik Jurusan Teknik Mesin Universitas Hasanuddin.
1. Pengujian Tarik Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui parameter kekuatan tarik (ultimate strength) maupun luluh (yield strength), parameter kaliatan/keuletan yang ditunjukan dengan adanya prosentase perpanjangan (elongation) dan prosentase kontraksi atau reduksi penampang (reduction of area) maupun bentuk penampang patahan. Perpatahan spesimen uji tarik untuk SMAW setelah penarikan semuanya putus di daerah Base Metal baja AISI 1045. Nilai rata-rata hasil pengujian tarik SMAW dapat dilihat pada tabel 2. Kekuatan tarik rata-rata hasil pengelasan SMAW dengan variasi arus yaitu 50 amper kekuatan tariknya 61,97 kg/mm2, 60 amper kekuatan tariknya 62,96 kg/mm2 dan 70 amper kekuatan tariknya 64,01 kg/mm2. Gambar 5 menunjukkan hubungan antara arus las dengan kekuatan tarik. Terlihat bahwa semakin tinggi arus las, maka akan diikuti oleh naiknya kekuatan tarik
B. Disain Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah baja karbon menengah AISI 1045 dan Baja tahan karat jenis austenik AISI 316L (Aggen dkk, 2006) dan filler metal yang digunakan E 309Mo -17 dengan diameter 2,5 mm . Standar pembuatan specimen uji uji tarik menurut ASTM/ AWS E8-04[12].
Tabel 2. Hasil Uji Tarik Rata-Rata SMAW
C. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan oleh petugas/welder yang terlatih dengan menggunakan mesin las SMAW , penyetelan arus las pada mesin las yang telah di tetapkan, memilih elektroda yang digunakan yaitu E 309 Mo-17 dengan diameter 2,5 mm, menggunakan tegangan 30 volt, melakukan preheating 1500 sebelum pengelasan dimulai. Membuat kampuh las dengan alur V tunggal dengan sudut 70o dan panjang 200 mm, lebar 20 mm dan tebal plat 6 mm seperti pada gambar 3.1
Gambar 5. Hubungan antara Kekuatan Tarik dengan Arus pengelasan pada pengelasan SMAW
Gambar 4 (a). Kampuh V tunggal, (b). Spesimen Uji Tarik menurut Standard ASTM E8[12]
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil pengelasan SMAW dengan variasi arus 50 A, 60 A, dan 70 A, dilakukan pengujian mekanis (uji tarik, dan uji kekerasan), pengamatan struktur mikro. Dari pengujian tersebut diperoleh data yang selanjutnya akan dianalisis.
2. Pengujian kekerasan Data hasil pengujian kekerasan dengan menggunakan metode kekerasan Rockwell C dimana indentor yang di gunakan dalam pengujian ini adalah berbentuk kerucut intan , sudut puncak indentor 120°. Pengujian kekerasan dilakukan untuk mengetahui distribusi kekerasana pada masing-masing daerah logam induk, HAZ dan logam lasan[13]. Nilai rata-rata kekerasan las SMAW dapat dilihat pada Tabel 3, hubungan antara nilai kekerasan dengan jarak indentor dapat dilihat pada pada gambar 7
Rekayasa Material I-75
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
50 amper, 60 amper, dan 70 amper, terlihat bahwa secara umum struktur mikro yang terbentuk adalah stuktur Pearlit dan Ferit. Hasil pengujian dan analisis struktur mikro pada pengelasan SMAW dengan variasi arus 50 amper, 60 amper dan 70 amper didapat struktur mikro yaitu struktur ferit dan struktur mikro perlit seperti pada gambar 9.
Gambar 6. Lokasi pengujian kekerasan Rockwell
Tabel 3. Rata-rata Kekerasan Rockwell Las SMAW
Gambar 9. Struktur mikro pengelasan SMAW
Gambar 7. Hubungan antara Kekerasan dan jarak indentor Las SMAW
B. Pembahasan Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh variasi arus las pada pengelasan logam berbeda terhadap sifat mekanis termasuk kekuatan tarik secara signifikan mempengaruhi kekuatan tarik dimana kekuatan tarik tertinggi pada arus 70 amper sebesar 64,01 kg/mm2 turun sebesar 8,6 % dari kekuatan tarik base metal 70 kg/mm2. Kekuatan tarik terendah pada arus 50 amper sebessar 61,97 kg/mm2 turun sebesar 11,5 % dari kekuatan tarik base metal. Jika ditinjau dari kekuatan tarik baja karbon sedang yang terdiri dari baja karbon setengah keras dengan kekuatan tarik 50 – 60 kg/mm2 dan baja karbon keras dengan kekuatan tarik sebesar 58 - 70 kg/mm2, maka hasil pengujian ini masih dikategorikan sebagai baja karbon sedang[6]. Berubahnya harga kekuatan tarik hasil pengelasan baja karbon sedang dengan baja tahan karat dapat dipengaruhi oleh keadaan, cara dan prosedur pengelasan, di samping itu juga tergantung pada tempat pengambilan batang uji[ 9] Pada gambar 7 terlihat grafik hasil pengujian kekerasan dengan metod Rockwell memperlihatkan distribusi kekerasan sepanjang sambungan las hasil pengelasan SMAW, nilai kekerasan berbeda-beda pada masing-masing daerah pengelasan. Kekerasan tertinggi pada arus 70 amper sebesar 24,8 HRC pada daerah weld metal dan kekerasan rata-rata terendah pada arus 50 dan 60 amper sebesar 15,7 HRC pada daerah logam induk Pada gambar 8 terlihat grafik Hubungan antara BM
Gambar 8. Hubungan antara BM AISI 1045, HAZ AISI 1045,WM , HAZ AISI 316L, BM AISI 316L terhadap Kekerasan Las SMAW
AISI 1045, HAZ AISI 1045,WM , HAZ AISI 316L, BM AISI 316L terhadap Kekerasan Las SMAW, harga kekerasan rata-rata
3. Pengujian Struktur Mikro ( Metallografi) Pengamatan visual menunjukkan bahwa manik (rigirigi) hasil las pada tiap spesimen mengalami perubahan dengan meningkatnya suhu pemanasan. Hal ini dimungkinkan oleh pengaruh temperatur pengelasan. Pada proses pengelasan baik pengelasan SMAW maupun GTAW logam induk dan logam pengisi menyatu dengan baik. Pengamatan struktur mikro pada fasa tersebut dimunculkan dengan dietsa oleh larutan HNO3 dan pembesaran yang diambil adalah 50x, dan 400x Pengamatan struktur mikro pada logam las, HAZ dan logam induk dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik. Pengamatan struktur mikro dengan variasi arus las
untuk setiap daerah berbeda-beda. dimana arus pengelasan dan tingkat kekerasan rata-rata pada daerah dengan penggunaan arus 70 Amper dengan harga kekerasan ratarata 22,7 HRC dan kekerasan terendah pada daerah base metal AISI 1045 dengan harga kekerasan rata-rata 16.5 HRC. Hasil pengujian dan analisis struktur mikro pada pengelasan SMAW dengan variasi arus 50 amper didapat struktur mikro pada daerah HAZ terlihat struktur ferit dan struktur perlit, namun masih didominasi oleh struktur ferit yang berwarna terang berbutir kasar .Padai arus 60 amper didapat struktur mikro pada daerah HAZ, terlihat struktur ferit dan struktur perlit yang semakin padat, berbutir halus dan seragam dan i arus 70 amper didapat struktur mikro
Rekayasa Material I-76
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
pada daerah HAZ terlihit struktur ferit dan struktur perlit yang semakin padat, berbutir halus dan seragam .
V. KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang dilakukan tentang Pengaruh pengelasan logam berbeda dengan variasi arus yang digunakan antara Baja AISI 1045 dengan baja Stainless Steel AISI 316L dengan menggunakan mesin las SMAW dan GTAW terhadap sifat mekanis dan sifat fisis , maka dapat disimpulk Dari hasil pengelasan didapatkan bahwa variasi arus lasdapat berpengaruh terhadap kekuatan tarik pada sambungan las. Kekuatan tarik tertinggi sebesar 64,01 kg/mm2 pada arus 70 amper dan kekuatan tarik terendah sebesar 61,97 kg/mm2 pada arus 50 amper. Nilai kekerasan rata-rata relatif homogen yaitu mulai dari 16,5 HRC sampai 22,7 HRC Kekerasan tertinggi ada pada daerah Weld metal sebesar 22,7 HRC dengan arus 70 A dan terendah 16,5 HRC pada daerah BM 1045 dengan arus 60 A Dari gambar foto struktur Mikro, Semakin tinggi arus las maka terjadi pengkasaran butir pada daerah HAZ baja karbon AISI 1045 terlihat pada arus 50 A struktur yang terbentuk didominasi oleh ferit yang lunak, sementara pada arus 60 A dan 70 A struktur yang terbentuk adalah perlit yang keras dan berwarna gelap
[1] [2]
[3]
[4]
[5]
[6] [7] [8] [9] [10]
B. Saran 1. Hasil pengelasan sebaiknya dilakukan pengujian NDT ( Non Destruktif Test) untuk menyakinkan bahwa tidak terjadi cacat las yang menyebabkan terjadinya penurun harga kekuatan las 2. Sebaiknya juga dilakukan PWHT (Post Weld Heat Treatment) untuk memperbaiki struktur mikro khususnya untuk menghindari terjadinya retak las
[11]
Suharno, 2008 ” Prinsip – prinsip Teknologi dan Metalurgi Pengelasan Logam” Rusihan .2010 “ Pengaruh arus pada pengelasan SMAW multi layer antara austenitik Stainless Steel S30815 dengan baja karbon A 36 terhadap Struktur Mikro dan sifat mekanik Prasetyo Bangun,2006 “ Pengaruh Variasi Arus pada Proses Pengelasan Logam Berbeda Antara Logam Induk Baja Karbon Menengah (AISI 1045) Dengan Baja Tahan Karat Austenitik (AISI 304)” Saifuddin, M.Noer Ilham, 2000. “ Jurnal Pengaruh Preheat terhadap Struktur Mikro dan kekuatan tarik Las logam tak Sejenis Baja Tahan karat Austenitik 304 dan Baja Karbon A 36 “ Sri Nugroho, Sudiarso W. 2012, “ Jurnal Pengaruh PWHT dan Preheat pada kualitas Pengelasan Dissimilar Metal antara Baja karbon A-106 dan baja tahan karat A312 TP -304H dengan filler Mtal inconel 82” Wiryosumarto Harsono. 2004. “Teknologi Pengelasan Logam”. Cetakan 9, Pradnya Paramita, Jakarta. Sonawan Hery , Suratman Rochim, 2006 “ Pengantar untuk memahami Proses Pengelasan Logam “ Alpabeta Bandung Kow Sindo, 1987 “Welding metallurgy” Khan Md. Ibrahim ,2007. “ Welding Science and Technology” Messler Robert W.Jr . 2004, “ Joining Of Material and Structur Callister, William D ,Jr “ Material Science and Engineering and Introduction
[12]
www.astm.org/DATABASE.CART/.../E8-04.htm” E8 - 04 Standard Test Methods for Tension Testing of Metallic Materials”
[13]
www.astm.org/DATABASE.CART/.../E140-02.ht” E140 02 Standard Hardness Conversion Tables for Metals Relationship Among Brinell Hardness, Vickers Hardness, Rockwell Hardness
Rekayasa Material I-77
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Kekuatan Geser dan Analisis Patahan pada Komposit yang Diperkuat Serat Batang Melinjo (Gnetum Gnemon)/Epoxy ResinUntuk Aplikasi Komponen Otomotif Sri Chandrabakty, Leo Sumardji dan Sadri Jurusan Teknik Mesin Universitas Tadulako Palu, Indonesia
[email protected] [email protected]
Abstract— Tulisan ini bertujuan mengetahui kekuatan geser dan karakteristik patahan dari komposit yang diperkuat oleh serat batang melinjo dan matrik resin epoxy. Hasil dari penelitian ini akan merekomendasikan material komposit dalam pemanfaatan aplikasi komponen otomotif. Serat batang melinjo sebagai pengikat dalam komposit terlebih dahulu dibersihkan dengan merendam dalam larutan alkali NaOH 5% selama 24 jam untuk menambah bonding interface antara serat dan matrik. Volume fraksi yang digunakan pada komposit yaitu 30% serat dan 70% matrik. Spesimen uji kemudian di bagi dengan variasi pemanasan dalam oven hingga 70ᵒ C selama 6 jam dan spesimen tanpa pemanasan. Pengujian geser yang dilakukan mengacu pada standard ASTM D5379 atau menggunakan metode V-Notched Iosipescu. Hasil patahan diamati dan dianalisis melalui foto makro. Dari hasil penelitian diperoleh, Kekuatan geser pada komposit serat batang melinjo/resin Epoxy tanpa perlakuan sebesar 24,43 MPa dan terjadi penurunan setelah mendapatkan pemanasan temperatur 70ᵒ C selama 6 jam sebesar 18,86 MPa. Dari pengamatan foto makro tidak terlihat adanya perbedaan patahan antara komposit yang tidak mendapatkan pemanasan dengan yang telah mendapatkan pemanasan 70C selama 6 jam. Kata Kunci— Serat batang melinjo, kekuatan geser dan Iosipescu shear.
I. PENDAHULUAN Material komposit yang digunakan untuk aplikasi komponen eksterior dan interior otomotif, hingga saat ini masih di dominasi oleh serat sintetik sebagai penguat. Pembuatan komponen kendaraan seperti bumper, dashboard, panel door serta trim door, pada umummnya masih menggunakan serat sintetik sebagai bahan utamanya. Kekurangan utama dari serat sintetik seperti serat gelas, serat karbon dan sebagainya, adalah tidak ramah lingkungan karena tidak dapat terurai di alam (un-biodegradability), selain itu menghasilkan emisi CO2 di udara dalam proses pembuatannya. Penggunaan material-material yang tidak mudah terurai di alam ini menimbulkan kekhawatiran terhadap dampaknya pada lingkungan. Mengingat hal tersebut penelitian di bidang material mulai tertarik untuk mengeksplorasi bahan komposit
yang berbasis alami. Serat batang melinjo sebagai serat alami yang mempunyai sifat mekanis yang cukup baik dibandingkan dengan serat alam lainnya. Serat batang melinjo mempunyai densitas yang cukup ringan yaitu 1.21 g/cm³ -1.81 g/cm³ serta kekuatan tarik serat tunggal yang memadai yaitu 735.4 MPa 1,043.04 MPa [1]. Beberapa keuntungan yang bisa di dapatkan dari serat alam sebagai penguat komposit antara lain,[2]: Sumbernya yang terbarukan dan berkelanjutan Mampu di daur ulang. Mampu mereduksi berat antara 10% hingga 30% (di mana merupakan hal yang utama dalam perancangan otomotif) Menghemat biaya produksi. Pasokan yang berlimpah dan mudah di akses oleh industri komponen otomotif. Kekurangan dari komposit yang diperkuat serat dan matrik alami antara lain disebabkan adanya ketidaksesuaian antara hydrophobic polymer matriks dengan hydrophilic serat. Hal ini mengakibatkan menurunnya ikatan antar-muka antara serat dan matriks, yang berimbas pada rendahnya sifat mekanis dari komposit. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka di lakukanlah proses perlakuan permukaan pada serat untuk meningkatkan ikatan antar muka antara matrik dan serat. Dalam bidang otomotif, Henry Ford telah mengembangkan prototipe mobil komposit yang pertama yang terbuat dari serat hemp pada tahun 1942. Sejak tahun 1950 hingga 1990 mobil “Trabant” produksi Jerman Timur mengembangkan kendaraan yang dibangun dari material yang mengandung serat alam, dengan menggunakan penguat serat katun (kapas) dan matrik polyester. Daimler-Benz pada tahun 1991, telah mengembangkan ide menggantikan serat gelas dengan serat alami dalam komponen otomotif. Perusahaan yang merupakan anak perusahaan dari Mercedes-Benz, mempelopori konsep ini dengan "proyek Beleem" yang berbasis di São Paolo, Brazil. Mereka menggunakan serat sabuk kelapa dalam komponen kendaraan komersial selama periode 9 tahun. Pada tahun 1996, Mercedes pertama kali menggunakan serat Jute sebagai penguat pintu panel pada kendaraan tipe E-Class. Dan pada September 2000, Daimler Chrysler mulai menggunakan serat
Rekayasa Material I-78
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
alam untuk produksi kendaraan mereka yang berbasis di East London, Afrika Selatan. Pada tahun yang sama, Toyota telah memaanfaatkan serat kenaf yang dipadukan dengan matrik polypropylene (PP) sebagai material untuk door trim pada kendaraan produksi mereka, karena mempunyai kekuatan yang tinggi dan mampu mereduksi berat dari serat sintetik [2]. Pemilihan serat kulit batang melinjo (gnetum gnemon) sebagai penguat pada komposit dikarenakan serat ini memiliki struktur serat yang kontinyu dan anyaman alami yang kuat tetapi pemanfaatannya masih sangat terbatas. Beban yang sering terjadi material di antaranya adalah beban geser/tegangan geser. Tegangan geser merupakan nilai tahanan maksimum yang bisa diberikan oleh suatu material terhadap gaya geser yang terjadi, di mana material tersebut berada dalam kondisi terbebani dengan berat tertentu. Dalam penelitian ini menggunakan pengujian V-notched beam (Iosipescu). Pengujian V-notched beam, pada awalnya dikembangkan oleh Iosipescu untuk mengetahui karakteristik sifat geser logam, kemudian diadaptasi untuk penggunaan dengan komposit plastik yang diperkuat serat yang mengacu pada ASTM D5379.
tegangan geser lebih seragam dan simetris terhadap sumbu akar takikan. Pembebanan lebih lanjut menyebabkan retakan aksial dapat menahan dan mencegah berbagai pembentukan sejumlah retakan antar muka pada gauge section. Pembebanan terakhir ini kemudian menghasilkan kegagalan dengan beban puncak yang kemudian digunakan untuk menghitung kekuatan geser pada material. Kerusakan berupa retak arah memanjang matriks bermula dari takik umumnya terjadi pada spesimen orientasi serat 0°. Beban yang terjadi dapat diamati pada saat perambatan retakan, hingga akhirnya berhenti. Spesimen dapat menahan beban lebih lanjut hingga timbulnya kegagalan terakhir, yang menimbulkan beberapa retakan matriks. Spesimen dengan arah serat 90° akan mengalami perpatahan lebih awal karena retakan matriks dan tidak mewakili nilai tegangan patah. Cross-ply [0/90°] lay-ups akan menunjukkan distribusi microcracking, di mana merupakan perwakilan komposit lamina. Orientasi serat [±45°] and quasi-isotropic lay-ups sangat sulit untuk di uji karena membutuhkan beban yang tinggi dalam perpatahan, [5].
Gambar 1. Skema v-notched beam dan spesimen, [3].
Kekuatan geser spesimen, dapat diperoleh melalui persamaan matematis sebagai berikut :
=
.
Di mana, τ merupakan nilai kekuatan geser (MPa) , Pmax adalah beban maksimum yang didapatkan oleh spesimen (N), w adalah jarak takikan (mm) dan h merupakan tebal spesimen (mm). Berbagai variasi kegagalan yang dapat terjadi pada pengujian v-notched beam dapat dilihat pada gambar 2. Konsentrasi tegangan geser pada akar takikan umumnya menjadi awal inisiasi retakan, dengan pertumbuhan retakan bidang yang mengalami tegangan tarik dapat dicegah oleh serat-serat sejajar, [4]. Pemisahan sumbu menyebabkan hilangnya tegangan pada akar takikan, sehingga distribusi
Gambar 2. Mode kegagalan yang umum terjadi pada pengujian V-notched beam (* menunjukkan mode yang tidak dapat diterima) a) thermoplastic tanpa penguatan-shear yield, (b) thermoset tanpa penguatan- brittle tensile *, (c) arah serat 0° kontinyu searah, (d) arah serat 90° kontinyu searah*, (e) serat tenunan pabrik-intralaminar, (f) serat tenunan pabrik-interlaminar, (g) ‘serat panjang/thermoplastic- shear yield, (h) serat panjang/thermoplastic- brittle tensile*, (i) sheet moulding compound (SMC), (j) chopped strand mat (CSM) [3].
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menganalisis kekuatan geser pada komposit yang diperkuat serat kulit batang melinjo. Dengan memberikan variasi pemanasan dengan suhu 60C selama 6 jam. Spesimen yang telah mengalami pengujian geser kemudian di analisis model patahan yang terjadi untuk mengetahui mode kegagalan akibat perlakuan pemanasan.
Rekayasa Material I-79
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
II. METODE EKSPRIMENTAL A. Material dan perlakuan permukaan pada serat Material komposit yang digunakan terdiri atas serat batang melinjo sebagai penguat dan resin epoxy merek “AVIAN” sebagai pengikat atau matriks. Serat batang melinjo (Gnetum Gnemon) didapatkan dengan mengurai kulit batang (bast fiber), dari pohon yang berusia sekitar 5 tahun dengan diameter berkisar antara 15-20 cm untuk menjaga keseragaman sifat fisik serat alam. Kulit batang dikupas pada ketinggian 1 meter dari permukaan tanah untuk menghindari pengaruh degradasi lingkungan tanah. Serat yang sudah terurai kemudian dilakukan perendaman larutan alkali selama 24 jam. Pada penelitian ini digunakan larutan NaOH 5%, untuk menghilangkan kotoran seperti lignin, wax maupun impuritas lainnya pada permukaan serat. Serat yang telah direndam kemudian dikeringkan di udara luar selama 5 jam dan pengeringan oven dengan temperatur 110C selama 60 menit untuk menghilangkan kandungan air sebelum pencetakan komposit. Komposit kemudian di cetak menggunakan alat cetak tekan berkekuatan tekan 2 ton. Ukuran cetakan 300 x 300 x 5 mm dengan fraksi volume komposit 30%.
B. Pengujian Geser standar ASTM D5379 Kekuatan geser material komposit dievaluasi dengan mengacu pada standard ASTM D5379. Metode pengujian ini menggunakan spesimen dengan dua sisi - berlekuk, yang sering disebut sebagai 'Wyoming' fixture test. Pengujian dilakukan menggunakan Universal Testing Machine (UTM) type TN20MD Controlab kapasitas 200 kN.
Gambar 4. Proses pengujian kekuatan geser dengan metode V-notched beam (Iosipescu).
C. Pengamatan foto makro model patahan spesimen Analisis hasil patahan dan pengamatan foto makro pada model patahan spesimen untuk melihat dan memprediksi kegagalan yang terjadi. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan kamera digital dan kaca pembesar hingga 10 x. III. HASIL DAN DISKUSI
(a)
(b) Gambar 3. (a) proses penguraian serat, (b) Hasil serat yang telah di urai
Komposit yang telah dicetak kemudian dibedakan dalam 2 (dua) variasi yaitu tanpa pemanasan (TP) dan pemanasan pada suhu 70C selama 6 jam (T60). Hal tersebut dilakukan untuk melihat penurunan kekuatan geser material bila digunakan sebagai material interior dalam kendaraan.
kekuatan geser (MPa)
Seperti yang telihat pada grafik pada gambar 5, diperoleh bahwa nilai kekuatan geser pada komposit serat batang melinjo/resin epoksi yang tidak mengalami pemanasan sebesar 24,43 MPa dan setelah mengalami pemanasan pada temperatur 70 C selama 6 jam kekuatan geser menurun hingga 18,86 MPa atau terjadi penurunan sebesar 22,81%. Pemanasan temperatur 70 C selama 6 jam mengakibatkan menurunnya ikatan pada unsur penyusun serat dan matriks. Kenaikan temperatur dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan degradasi polimer dan ikatan antar-muka (bonding interface) serat batang melinjo (Gnetum gnemon) dengan resin epoksi. Namun penurunan tersebut tidak secara siginifikan menurunkan kekuatan geser material. Pada penelitian sebelumnya komposit yang diperkuat serat jute/polyester resin dengan fraksi volume 60%, dengan proses pembuatan teknik press molding diperoleh kekuatan geser interlaminar 24 MPa , [6].
25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 TP
T60
Gambar 5. Perbandingan kekuatan geser komposit serat batang melinjo/resin epoksi tanpa pemanasan (TP) dan pemanasan pada temperatur 70 C selama 6 jam.
Rekayasa Material I-80
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
pada serat mampu menimbulkan keretakan/kegagalan pada matrik. Sehingga bisa disimpulkan bahwa mechanical interlocking dan gesekan sangat berpengaruh terhadap meningkatnya kekuatan komposit. IV. KESIMPULAN
a.
b.
Gambar 6. (a). Komposit tanpa pemanasan (TP), (b). Komposit dengan pemanasan 70C selama 6 jam (T60)
Hasil pengamatan foto makro dapat terlihat pada Gambar 6. Pada masing spesimen terdapat 2 (dua) jenis model patahan yaitu mode patahan shear yielding pada A1 dan B2 dan mode patahan tensile brittle pada A2 dan B1. Namun mode perpatahan yang dominan terjadi pada spesimen pada masing2 variabel pengujian adalah mode A1 dan B2. Faktor utama terjadinya kegagagalan pada mode tersebut diantaranya adalah pemaparan serat yang dilakukan secara acak dan tidak unidirectional.
Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa, kekuatan geser pada komposit serat batang melinjo/ resin epoxy yang tidak mengalami pemanasan sebesar 24,43 MPa sedangkan yang mengalami pemanasan pada temperatur 70C selama 6 jam sebesar 18,86 MPa. Hal ini berarti terjadi penurunan kekuatan sebesar 22.81%. Pemanasan tersebut menyebabkan degradasi pada polimer yang menyebabkan lemahnya ikatan interface antara serat dan matrik. Hasil analisis foto makro pada patahan terlihat 2 (dua) jenis patahan yang dialami oleh material yaitu mode patahan shear yielding dan britlle tensile. Namun mode patahan yang dominan adalah mode shear yielding, di mana mode tersebut merupakan mode patahan ”yang dapat diterima”, sebagai mode patahan hasil pengujian v-notched beam. Dari hasil ini, penulis merekomendasikan bahwa untuk pemanfaatan sebagai material alternatif dalam aplikasi automotive, komposit serat batang melinjo/ resin epoxy tidak di posisikan pada area-area yang berdekatan dengan sumber panas yang tinggi. Material komposit cocok untuk diaplikasikan sebagai material pada door panel depan atau pun belakang , sun shield (sun visor shade) dan aplikasi lainnya yang tidak menanggung beban yang berat dan temperatur tinggi dalam waktu yang cukup lama.
pull out
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapkan terima kasih kami haturkan kepada Lembaga Penelitian Universitas Tadulako, yang telah membiayai penelitian ini melalui Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Dana BOPTN UNTAD Tahun Anggaran 2014. pull out with matrix
(a)
REFERENCES
pull out pull out with matrix
(b) Gambar 7. Foto makro hasil patahan spesimen pada (a) Komposit tanpa pemanasan (TP); (b) komposit dengan pemanasan 70C selama 6 jam (T60)
Dari teori transfer beban Kelly-Tyson, kekuatan geser antar-muka serat ditentukan oleh luasnya permukaan kontak antara serat dan matrik. Orientasi serat yang acak pada komposit dapat mengurangi luas permukaan kontak antar serat dan matrik yang berakibat pada menurunnya kekuatan gesr komposit tersebut. Meskipun pada hasil yang ada, terdapat beberapa serat yang tercabut sempurna (pull out) namun juga ditemukan serat yang tercabut dengan membawa pecahan matriks polimer. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan alkali
[1] S. Chandrabakty,”Pengaruh Perlakuan Permukaan Serat Batang Melinjo (Gnetum Gnemon) Terhadap Wettability dan Kemampuan Rekat dengan Matrik Epoxy-Resin” , Thesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009. [2] B. C. Suddell dan W. J. Evans, Natural Fiber Composites in Automotive Applications, Natural fibers, biopolymers, and biocomposites, CRC Press Taylor & Francis Group, 2005, pp. 244-272. [3] J. M. Hodgkinson, Mechanical testing of advanced fibre composites, Woodhead Publishing Ltd and CRC Press LLC, England, 2000. [4] W R Broughton, M Kumosa dan D Hull, ‘Analysis of the Iosispecu shear test as applied to unidirectional carbon-fibre reinforced composites’, Composites Science and Technology 1990, 38 pp. 299–325 [5] ________, ASM Handbook Volume 8, Mechanical Testing and Evaluation, ASM International, 2000. [6] Roe, P.J. dan Ansell, M.P., “Jute-reinforced polyester composites”, J. Mater. Sci., 20, 4015, 1985.
Rekayasa Material I-81
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Perbandingan Metode Deteksi Tepi untuk Pengukuran Defleksi Struktur
Trihono Sewoyo
Andi Isra M, Indra Nurhadi, Tata Cipta D
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung Bandung, Indonesia
[email protected]
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung Bandung, Indonesia
Abstrak— Kegagalan struktur yang bersifat katastropik akan menimbulkan korban jiwa serta kerugian material yang tidak sedikit. Kegagalan tersebut mungkin dapat dicegah jika dilakukan pemantauan secara kontinyu maupun periodik terhadap kondisi struktur tersebut. Pemantauan kondisi struktur dikenal dengan istilah SHM (structural health monitoring) yang berkembang pesat dewasa ini. Sebagian kondisi struktur dapat dipantau melalui parameter statik maupun dinamik. Kelebihan pemantauan parameter statik dibanding dinamik adalah kemudahan pengukuran dan biaya operasional yang lebih murah sehingga sistem pengukuran defleksi statik struktur menarik untuk diteliti. Salah satu metode pengukuran defleksi statik yang bersifat non-kontak dan menjadi perhatian banyak peneliti adalah metode berbasis visi (vision) dengan kamera sebagai sensor utama. Dalam makalah ini dibahas perbandingan metode deteksi tepi yang merupakan salah satu tahap penting dalam prosedur pengukuran sebidang (in-plane measurement) defleksi struktur menggunakan kamera tunggal. Kegiatan ini merupakan bagian dari pengembangan metode visi komputer berbasis deteksi tepi untuk pengukuran defleksi struktur yang merupakan hal baru dalam bidang pengukuran defleksi struktur. Tahapan pengukuran sebidang adalah: 1. Kalibrasi, 2. Pengambilan citra obyek, 2. Filtering, 3. Deteksi Tepi, 4. Suaian kurva. Tahap deteksi tepi merupakan tahap penting karena akan mempengaruhi ketelitian pengukuran yang dilakukan. Dalam tahap ini ada beberapa metode. Beberapa metode deteksi tepi yang banyak digunakan dalam pemrosesan citra adalah Canny, Sobel, Roberts, dan Prewitt. Selain keempat metode ini, digunakan pula metode turunan dalam arah x dan y yang disertai dengan tresholding manual. Obyek uji berupa batang baja yang ditumpu engsel dan gelinding dengan beban terpusat. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kurva defleksi hasil deteksi tepi dari beberapa metode tersebut mempunyai kurva lengkungan yang berbeda-beda. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk tahap lanjutan, metode-metode ini harus dibandingkan untuk memperoleh hasil pengukuran yang paling teliti.
Kata Kunci: Deteksi Tepi, Defleksi Struktur, Kamera, Struktur,
measurement). Pengukuran ini bersifat menyeluruh (full-field), 2 Dimensi (2D) maupun 3 Dimensi (3D), dan non-kontak. Dibanding pengukuran konvesional seperti LVDT (Linear Variable Differential Transducer), jam ukur, inclinometer, potensiometer, dan DCDT (Direct Current Differential Transformer) [1] metode ini lebih mudah dalam pelaksanaannya, dan lebih murah dari sisi biaya. Metode pengukuran dengan kamera sebagai sensor utama pada awalnya dikembangkan dari bidang fotogrammetri. Seiring dengan perkembangan teknologi komputer dan optik, pengukuran dengan menggunakan kamera sebagai sensor utama menjadi semakin murah [2]. Pada saat ini, metode pengukuran non-kontak yang banyak digunakan adalah fotogrammetri dan visi komputer (computer vision). Walaupun sama-sama menggunakan kamera sebagai sensor utama, tujuan utama fotogrammetri adalah ketelitian, sedangkan visi komputer mengutamakan fleksibilitas [3]. Teknik yang banyak digunakan dalam fotogrammetri untuk pengukuran defleksi struktur ada dua yaitu konvensional dan berbasis deteksi tepi [2]. Sedangkan pada bidang visi komputer, metode yang paling luas digunakan adalah teknik korelasi citra digital (DIC – digital image correlation). Pengukuran defleksi struktur dapat menggunakan satu kamera (in-plane measurement) atau menggunakan dua kamera (stereo vision measurement). Dalam pengukuran sebidang, bidang ukur dengan bidang sensor kamera haruslah sejajar (in-plane). II. PENGUKURAN SEBIDANG Pengukuran sebidang berbasis visi adalah pengukuran yang dilakukan dengan satu kamera pada obyek ukur, dimana perubahan posisi obyek yang diukur ada pada bidang yang sejajar dengan bidang sensor kamera. Sistem pengukuran sebidang dapat dilihat pada Gambar 1 berikut,
Visi Komputer
I. PENGANTAR Dewasa ini, penelitian dalam metode pengukuran struktur dalam kerangka SHM ( structural health monitoring) mengarah pada pengukuran berbasis visi (vision based
Rekayasa Material I-82
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Secara umum, langkah utama dalam deteksi tepi adalah sebagai berikut: 1. Smoothing: menekan derau (noise) semaksimal mungkin tanpa merusak tepi. Pada prakteknya hal ini dilakukan dengan proses pentapisan (filtering). 2. Enhancement/sharpening: menerapkan proses diferensiasi untuk meningkatkan kualitas tepi (penajaman tepi). 3. Tresholding: menentukan piksel tepi mana yang harus dibuang sebagai derau sehingga menyisakan tepi yang ‘benar’. 4. Localization: menentukan secara eksak lokasi tepi. Gambar 1. Sistem pengukuran sebidang berbasis visi [4]
Peralatan pengukuran terdiri dari satu kamera sebagai sensor dan komputer sebagai alat pengolah data. Sumber sinar digunakan jika pengukuran dilakukan pada ruangan atau kondisi yang gelap. Tahapan pengukuran sebidang adalah: 1. Kalibrasi: Sebelum melakukan pengukuran, perlu dilakukan proses kalibrasi yang bertujuan untuk memperoleh hubungan antara piksel citra kamera dengan ukuran metrik dunia nyata. 2. Pengambilan citra obyek: Pengambilan citra dilakukan dua kali yaitu, sebelum dan sesudah pembebanan. 3. Deteksi Tepi: Citra yang diperoleh digunakan sebagai masukan pada perangkat lunak deteksi tepi. 4. Proses suaian kurva: Garis tepi yang diperoleh dicari persamaannya. III. DETEKSI TEPI
1.
Semua citra yang diperoleh melalui kamera akan mengandung sejumlah derau (noise). Banyak sebab timbulnya derau. Untuk mencegah derau mengacaukan tepi, derau haruslah direduksi. Hal ini dilakukan dengan cara menerapkan proses pentapisan Gaussian. Proses pentapisan pada deteksi tepi hakekatnya adalah mengkonvolusikan citra dengan kernel Gauss dengan ukuran tertentu. Persamaan Gauss [8]:
G ( x, y )
Deteksi tepi pada citra merupakan masalah penting dalam pemrosesan citra selama lebih dari 50 tahun [5]. Pada citra level abu-abu (grey level image) sebuah tepi didefinisikan sebagai perubahan intensitas yang signifikan. Deteksi tepi adalah proses yang mendeteksi keberadaan dan lokasi transisi intensitas ini [5]. Proses ini adalah salah satu operasi yang paling sering digunakan pada analisis citra dan ada banyak algoritma untuk mendeteksi tepi dibanding topik lain. Hal ini disebabkan tepi membentuk garis yang mewakili bentuk obyek. Representasi tepi pada sebuah citra secara drastis juga menurunkan jumlah data yang diproses. Ini berarti bahwa jika tepi pada sebuah citra dapat diidentifikasi secara teliti, semua obyek dapat dilokasikan dan berbagai sifat dasar seperti luas, keliling, dan bentuk obyek dapat diukur. Oleh karena bidang visi komputer meliputi identifikasi dan klasifikasi obyek pada citra, maka deteksi tepi merupakan perkakas yang penting[6].
Turunan orde pertama/ metode gradien - Operator Roberts - Operator Sobel - Operator Prewitt Turunan orde kedua - Laplacian - Laplacian of Gaussian (LoG) - Difference of Gaussian (DoG) Deteksi Tepi Optimal - Deteksi Tepi Canny
macam
1 2
2
x2 y2 2 2
exp
(1)
adalah deviasi standard, dan (x, y) adalah koordinat Cartesian piksel citra. Ukuran kernel Gaussian dapat dinyatakan oleh hubungan : 6 +1. Jadi jika = 1, maka ukuran matriks kernel Gauss adalah 13 x 13. Proses pentapisan dinyatakan oleh persamaan [9]: F(x,y) = G(x,y)* f(x,y)
(2)
F(x,y) = citra hasil pentapisan G(x,y) = kernel Gaussian f(x,y) = citra awal * = proses konvolusi 2.
Metode deteksi tepi ada beberapa dikelompokkan menjadi tiga [7], yaitu:
Smoothing
Enhancement/sharpening
dan Proses ini dilakukan dengan cara diferensiasi citra 2D untuk meningkatkan kualitas tepi (penajaman). Opsi diferensiasi citra ada dua, yaitu: - Merekonstruksi citra kontinu (interpolasi), f(x,y), kemudian menghitung derivatifnya. - Melakukan derivatif diskrit (menggunakan metode beda hingga (finite difference). 3.
Tresholding
Tresholding adalah proses paling sederhana digunakan untuk membuat segmentasi citra.
Rekayasa Material I-83
yang
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Dalam bahasa pemrograman, hal ini dinyatakan oleh statement berikut [10]: If f(x,y) > T then f(x,y) = 0 else f(x,y) = 225 Nilai 0 menyatakan warna hitam, dan 255 mewakili warna putih. Sedangkan T adalah nilai treshold. Nilai 0, 255, dan T merupakan nilai variabel yang dapat diubah sesuai kepentingan. IV. SET-UP PENGUJIAN Set-up pengujian terdiri dari batang ditumpu engsel – gelinding seperti terlihat pada Gambar 1. Sebuah jam ukur digunakan untuk mengukur defleksi yang terjadi jika batang diberi beban. Pada kondisi ini, sebuah kamera yang diletakkan sedemikian rupa sehingga bidang sensor kamera dianggap sebidang dengan bidang pergerakan vertikal batang. Untuk mendekati kondisi ini, digunakan waterpass pada tumpuan kamera.
Gambar 4. Tepi obyek hasil deteksi metode Roberts
Gambar 5. Tepi obyek hasil metode Prewitt
Gambar 2. Batang uji tanpa beban
Pada Gambar 2 terlihat batang diberi beban yang dapat diatur beratnya untuk menimbulkan defleksi dengan besar tertentu. Pada kondisi terbebani ini, citra batang diambil.
Gambar 6. Tepi obyek hasil deteksi metode Sobel
Gambar 3. Batang uji dengan beban
V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil-hasil deteksi tepi dengan berbagai metode dapat dilihat pada Gambar 4 – 8 berikut ini.
Gambar 7. Tepi obyek hasil deteksi metode Canny
Rekayasa Material I-84
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Metode Roberts Prewitt Sobel Canny Gradien
Gambar 8. Tepi obyek hasil metode gradien arah x dan y
Untuk membandingkan kurva hasil deteksi tepi berbagai metode ini, digunakan beberapa titik acuan sepanjang batang sehingga akan diperoleh defleksi vertikal di beberapa titik itu. Lokasi titik acuan dapat dilihat pada Gambar 9.
5 1 2 2 1 0
Hasil deteksi tepi metode Roberts, Prewitt, dan Sobel secara visual terlihat mirip dan mempunyai kualitas yang sama seperti ditunjukkan Gambar 4 - 6. Metode Canny lebih sensitif dalam mendeteksi tepi, sehingga terlihat lebih banyak garis pada hasilnya (Gambar 7). Sedangkan metode gradien lebih bersih dan jelas dibanding metode lainnya (Gambar 8). Dari proses pembesaran citra (zooming), dapat terlihat ketebalan dan kepadatan tepi. Keempat metode standard mempunyai ketebalan garis tepi yang sama, yaitu berkisar 1 sampai 2 piksel. Hal ini memudahkan dalam melokasikan koordinat titik acuan. Disisi lain. metode gradien yang menggunakan diferensiasi arah x dan y beserta tresholding manual, mempunyai ketebalan 3 – 4 piksel dan tidak padat seperti metode standard. Dengan demikian, tepi yang dihasilkan dari metode ini, cukup sulit untuk digunakan untuk melokasikan koordinat titik acuan. Hasil defleksi vertikal titik yang mewakili batang (Tabel 3) menunjukkan bahwa lengkungan yang dihasilkan masingmasing metode tidaklah sama. Hal ini mengindikasikan bahwa berbagai metode ini perlu diuji lagi sebagai masukan tahap berikutnya, yaitu lokalisasi/suaian kurva untuk memperoleh hasil yang paling teliti.
Gambar 9. Lokasi titik untuk perbandingan kurva
VI. KESIMPULAN
Titik-titik ini jika diinterpolasi akan membentuk kurva. Hasilnya ditabelkan seperti pada Tabel 1 - 3. Tabel 1. Koordinat vertikal titik batang tanpa beban Koordinat Vertikal (piksel) 1 2 3 4 Roberts 907 912 914 915 Prewitt 908 912 915 916 Sobel 908 912 915 916 Canny 907 912 915 915 Gradient 910 914 917 918 magnitude
Tabel 3. Defleksi vertikal titik pada batang Defleksi Vertikal (piksel) 1 2 3 4 2 2 3 3 3 2 3 2 2 3 3 2 2 2 3 3 1 2 3 1
Metode
5 918 918 918 918 921
Dari kegiatan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa deteksi tepi pada obyek yang sama dengan berbagai metode, menghasilkan lengkungan yang tidak sama. Dengan demikian, pada tahap berikutnya perlu dilakukan perbandingan berbagai metode ini agar hasil pengukuran mempunyai ketelitian yang paling tinggi. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ditjen DIKTI Kemendiknas atas beasiswa BPPS Program Doktoral di FTMD ITB dan juga kepada Universitas Muhammadiyah Malang atas dukungan dananya. REFERENSI
Tabel 2. Koordinat vertikal titik batang dengan beban Metode Koordinat Vertikal (piksel) 1 2 3 4 Roberts 909 914 917 918 Prewitt 911 914 918 918 Sobel 910 915 918 918 Canny 909 914 918 918 Gradient 911 916 920 919 magnitude
5 919 920 920 919 921
[1] Attanayake U., Tang P., Servi A., Aktan H., “Non-contact Bridge Deflection Measurement: Application of Laser Technology”,http://academia.edu/2717212/NonContact_Bridge_Deflection_Measurement_Application_of_Lase r_Technology, diakses tanggal 5 Juli 2013 [2] Ye J., Fu G., Poudel U. P., “Edge-Based Close-Range Digital Photogrammetry for Structural Deformation Measurement”, Journal of Engineering Mechanics, ASCE, pp. 475-483 , 2011 [3] Forstner W., Computer Vision and Photogrammetry – Mutual Questions: Geometry, Statistics, and Cognition, http://www.ipb.uni-
Rekayasa Material I-85
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
bonn.de/fileadmin/publication/pdf/Forstner2002Computer.pdf , diakses tanggal 1 September 2014. [4] Sutton M. A.,McNeill S. R., Helm J. D., Chao Y. J. (2000),” Advances in Two-Dimensional and Three-Dimensional Computer Vision”, Photomechanics, Topics Appl. Phys. 77, 323-372
[5] Basu M. (2002), “Gaussian-Based Edge-Detection Methods – A Survey”, IEEE Transactions on System, Man, and Cybernetics – Part C: Applications and Reviews, Vol. 32, No. 3, 252 – 260.
[6] Nadernejad E., Sharifzadeh S., Hassanpour H., (2008) ”Edge Detection Techniques: Evaluations and Comparisons”, Applied Mathematical Sciences, Vol. 2, no. 31, 1507 – 1520. [7] Tandon S., Edge Detection - Course # EE6358 Computer Vision, 2005. [8] Huttenlocher D., Edge and Corner Detection, Gaussian Filtering – CS 664 Lecture 6, Cornell University, 2003. [9] http://www.swarthmore.edu/NatSci/mzucker1/e27/filterslides.pdf diakses tanggal 1 September 2014. [10] http://www.cse.unr.edu/~bebis/CS791E/Notes/Thresholding.pdf
Rekayasa Material I-86
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengaruh Serat Cacah Terhadap Defleksi pada Komposit Serat Sabut Kelapa/Epoksi Naharuddin, Bakri, Muh. Arafat Nahrun Jurusan Teknik Mesin Universitas Tadulako Palu, Indonesia
[email protected] Abstrak—Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh serat cacah terhadap defleksi pada komposit sabut kelapa/epoksi. Material komposit terbuat dari serat sabut kelapa dengan cacah dan tanpa cacah yang menggunakan resin epoksi sebagai penguat. Penentuan defleksi menggunakan tumpuan jepit-jepit dengan beban terpusat pada jarak L/2 dari tumpuan. Beban terpusat bervariasi 1kg, 2 kg, dan 3 kg. Material komposit berbentuk balok dengan ukuran panjang (L) 250 mm, lebar (b) 30 mm, dan tebal (h)10 mm. Volume fraksi serat yang digunakan 17%. Defleksi secara teoritis dibandingkan ekperimental dengan cara meletakkan Dial indicator pada jarak yang sama sepanjang batang sebanyak 5 buah. Hasil pengujian tarik diperoleh nilai elastisitas komposit serat cacah 101,401 N/mm2 dan tanpa cacah 102,038 N/mm2. Nilai defleksi teoritis komposit serat cacah dan tanpa cacah pembebanan 1 kg adalah 1,99 mm dan 1,84 mm, pembebanan 2 kg adalah 3,99 mm dan 3,68 mm, dan pembebanan 3 kg adalah 5,98 mm dan 5,52 mm. Nilai defleksi eksperimental komposit serat cacah dan tanpa cacah pembebanan 1 kg adalah 2,01 mm dan 1,84 mm, pembebanan 2 kg adalah 4,37 mm dan 4,04 mm, dan pembebanan 3 kg adalah 6,28 mm dan 5,76 mm. Nilai defleksi, baik teoritis maupun eksperimental, komposit serat cacah lebih besar dari pada komposit serat tanpa cacah untuk ketiga pembebanan tersebut Kata Kunci— Serat Cacah, Defleksi, Jepit-Jepit, Komposit
I. PENDAHULUAN Pemilihan bahan material yang tepat dalam penerapannya pada konstruksi tidak lepas dari sifat mekanis dari material itu sendiri. Sifat mekanis yang diperhatikan dalam dunia konstruksi adalah kesesuaian kemampuan fisik material dengan sistem rancang atau pengaplikasiannya. Salah satu fenomena yang sering dijumpai dalam sistem konstruksi ialah terjadinya defleksi pada material batang atau yang sering diistilahkan sebagai proses deflection beam. Fenomena ini merupakan proses melendutnya suatu batang yang diakibatkan oleh adanya gaya atau beban yang bekerja pada batang tersebut. Pada perencanaan konstruksi teknik, kemampuan untuk menentukan beban maksimum yang dapat diterima oleh suatu konstruksi adalah penting. Dalam aplikasi keteknikan, kebutuhan tersebut haruslah disesuaikan dengan pertimbangan ekonomis dan pertimbangan teknis, seperti kekuatan (strength), kekakuan (stiffines), dan kestabilan (stability) [1]. Hasil penelitian menunjukan bahwa perubahan defleksi yang terjadi sebanding dengan gaya yang diberikan padanya,
dimana defleksi maksimum terjadi pada x = L/2 dengan menggunakan tumpuan engsel-roll [2]. Besarnya defleksi maksimum pada balok segiempat dengan variasi material cenderung terjadi pada pertengahan batang untuk tumpuan jepit-jepit [3]. Dalam konsep pemilihan bahan, dengan pertimbangan jumlah material alam yang mulai berkurang, maka material komposit dapat dijadikan alternatif yang paling baik untuk digunakan. Komposit adalah gabungan dua atau lebih material yang disatukan oleh suatu matriks. Salah satu jenis komposit yang dapat digunakan adalah komposit dengan bahan penguat serat sabut kelapa. Serat sabut kelapa telah diteliti penggunaannya sebagai penguat dengan berbagai variasi perlakuan permukaan, variasi fraksi volume dan variasi ukuran, namun masih memerlukan penelitian-penelitian lanjutan untuk mendapatkan komposit serat sabut kelapa yang dapat digunakan sesuai dengan aplikasinya [4]. Penentuan sifat mekanis serat sabut kelapa sudah banyak dipublikasikan. Sifat mekanis telah dievaluasi sebagai fungsi dari perlakuan diameter serat, dimensi panjang dan strain gate [5]. Serat sabut kelapa memiliki kekuatan dan modulus elastisitas yang lebih rendah dibanding dengan serat alam lainnya, namun elongasinya yang paling tinggi [4]. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengujian defleksi pada material komposit serat sabut kelapa, guna mengetahui kemampuan mekanis material tersebut dalam kaitannya menahan beban atau gaya yang bekerja. Sehingga dapat diketahui besaran nilai defleksi yang ditimbulkan. II. METODE PENELITIAN Bahan yang digunakan dalam pembuatan material komposit adalah serat sabuk kelapa, matriks epoksi, dan NaOH. Peralatan yang digunakan adalah cetakan komposit, timbangan digital, gergaji listrik, oven listrik, mesin uji tarik, jangka sorong, dan alat uji defleksi. Proses perlakuan serat dengan cara serat sabut kelapa direndam dalam larutan NaOH 5% selama ±24 jam untuk menghilangkan kandungan kotoran yang ada pada serat. Selanjutnya, serat kemudian dijemur hingga kering untuk mengurangi kandungan air pada serat. Pengeringan serat selanjutnya menggunakan oven. Setelah serat kering, sebagian serat dicacah hingga rata-rata panjang serat menjadi ±3 mm.
Rekayasa Material I-86
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Fraksi volume serat yang digunakan pada pencetakan komposit adalah 17%. Setelah massa serat dan matriks diperoleh, selajutnya serat sabut kelapa dan matriks resin Epoksi ditimbang sesuai perbandingan massanya masingmasing. Sedangkan pada proses pencetakan kedua variasi cacah dan tanpa cacah dilakukan dengan metode penyusunan serat secara acak (random) atau tanpa pola penataan serat khusus. Pembentukan spesimen uji defleksi dibuat dengan profil balok. Dimensi spesimen disesuaikan dengan panjang maksimum cetakan komposit. Hal ini, dengan ketebalan tertentu memungkinkan papan komposit akan melendut jika telah diberikan pembebanan. Adapun dimensi spesimen uji defleksi yakni 300 mm x 30 mm x 10 mm. Bentuk spesimen akan menentukan nilai momen inersia (I) yang dibutuhkan pada penentuan defleksi secara teoritis.
d. Memasang dial indicator e. Memberikan pembebanan f. Mencatat hasil lendutan. Penentuan defleksi secara eksperimental dapat dibandingkan dengan defleksi secara teoritis. Faktor-faktor yang menentukan besarnya defleksi pada batang yang mengalami pembebanan lateral adalah jenis tumpuan yang digunakan. Penelitian ini menggunakan tumpuan jepit-jepit dengan beban terpusat (P) pada jarak (L/2) dari tumpuan. P L/2
L/2 B
A L Gambar 3. Tumpuan jepit-jepit dengan beban P pada L/2
Persamaan defleksi adalah: Untuk : 0 x L/2 Gambar 1. Spesimen Uji Defleksi
Metode eksperimental pada penelitian ini dilakukan dengan pengujian tarik dan pengujian defleksi. Pengujian tarik dilakukan untuk memperoleh modulus elastisitas bahan (E) sebagai salah satu variabel yang digunakan dalam perhitungan defleksi secara teoritis. Sedangkan pada pengujian defleksi dilakukan untuk memperoleh besarnya defleksi yang terjadi sesuai dengan pembebanan yang diberikan.
Untuk : L/2 x L
Metode penyelesaian secara teoritis dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Menggambar sistematika tumpuan jepit-jepit dengan pembebanan pada jarak L/2 b. Menggunakan persamaan defleksi tumpuan jepit-jepit dengan pembebanan pada jarak L/2 c. Menghitung momen inersia material komposit d. Modulus elastisitas diperoleh dari hasil pengujian tarik. e. Menghitung defleksi dengan memasukkan nilai P, x, L, I, E Persentase kesalahan defleksi secara eksperimetal dan teoritis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : PK
Gambar 2. Pengujian Defleksi
Hasil Eksp Hasil Teoritis) x100% (3) Hasil Eksp
III. HASIL DAN DISKUSI
Pengujian defleksi menggunakan tumpuan jepit-jepit. Beban (P) bervariasi 1 kg, 2 kg, dan 3 kg yang diletakkan pada jarak L/2 dari tumpuan. Tahapan pengujian sebagai berikut: a. Memasang tumpuan jepit-jepit b. Memasang benda uji di atas tumpuan c. Mengkalibrasi dial indicator
Nilai defleksi secara teoritis dapat dihitung dengan cara mengetahui nilai modulus elastitisitas material yang diperoleh melalui pengujian tarik. Nilai Modulus elastisitas material komposit serat tanpa cacah 102,038 N/mm2 dan serat cacah 101.401 N/mm2. Pada tahapan teoritis maupun eksperimental, nilai defleksi material komposit ditentukan pada titik pengamatan berikut.
Rekayasa Material I-87
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
P x B
A x2
x1
x4
x3
x5
Persentase kesalahan maksimum antara perhitungan teoritis dengan pengujian eksperimental untuk serat cacah 11,68 % dan tanpa cacah 10,85%. Grafik hubungan variasi pembebanan Vs defleksi material komposit serat cacah
Gambar 4. Titik pengamatan pada beban L/2
x1, x2, x3, x4, dan x5, adalah titik pengamatan yang dipasangkan dial indicator untuk menentukan defleksi secara eksperimental. Hasil perhitungan tabel 1, diperoleh nilai defleksi di masing-masing titik pengamatan yaitu : Tabel 1. Rata-rata defleksi teoritis P=L/2 Spesimen
Beban (kg) 1 2 3 1 2 3
Cacah Tanpa Cacah
Defleksi (y) (mm) x1 0,52 1,03 1,55 0,48 0,95 1,43
x2 1,48 2,95 4,43 1,36 2,73 4,09
x3 1,99 3,99 5,98 1,84 3,68 5,52
x4 1,48 2,95 4,43 1,36 2,72 4,09
x5 0,52 1,03 1,55 0,48 0,95 1,43
Hasil pengukuran defleksi secara eksperimental tabel 2, diperoleh nilai defleksi di masing-masing titik pengamatan yaitu:
Gambar 5. Defleksi serat cacah (teoritis dan eksperimental)
Grafik hubungan variasi pembebanan Vs defleksi material komposit serat tanpa cacah
Tabel 2. Rata-rata defleksi eksperimental P= L/2 Spesimen
Cacah Tanpa Cacah
Defleksi (y) (mm)
Beban (kg)
x1
x2
x3
x4
x5
1 2 3 1 2 3
0,53 1,07 1,44 0,51 1,01 1,39
1,44 3,23 4,84 1,37 2,95 4,48
2,01 4,37 6,68 1,84 4,04 5,76
1,52 3,27 4,50 1,44 2,99 4,53
0,56 1,07 1,57 0,51 1,03 1,40
Pada tabel 3 dan tabel 4, terlihat persentase perbedaan defleksi teoritis dan eksperimental serat cacah dan tanpa cacah. Tabel 3. Persentase kesalahan teoritis Vs eksperimen serat cacah Persentase Kesalahan (%) P(kg) 1 2 3
41,6 mm
83,3 mm
125 mm
166,6 mm
208,3 mm
3,33 3,53 0,92
2,75 9,24 9,35
0,84 9,67 11,68
2,83 10,76 11,23
8,44 3,60 1,34
Tabel 4. Persentase kesalahan teoritis Vs eksperimen serat tanpa cacah Persentase Kesalahan (%) P(kg)
41,6 mm
83,3 mm
125 mm
166,6 mm
208,3 mm
1 2 3
6,53 6,11 3,12
0,40 8,32 9,69
0,04 9,93 4,35
5,71 9,75 10,85
7,02 7,65 1,79
Gambar 6. Defleksi serat tanpa cacah (teoritis dan eksperimental)
Perbandingan nilai teoritis dan eksperimental pada pembebanan di L/2, nampak perbedaan nilai defleksi. Defleksi antara komposit serat sabut kelapa dengan perlakuan serat cacah (chopped) lebih tinggi dibandingkan dengan serat tanpa cacah. Hal ini dikarenakan nilai modulus elastisitas dari kedua perlakuan serat adalah berbeda. Nilai modulus elastisitas perlakuan serat cacah lebih kecil 101,401 N/mm2, sedangkan serat tanpa cacah dengan nilai modulus elastisitas 102,038 N/mm2. Dengan kata lain, nilai modulus elastisitas suatu bahan berbanding terbalik dengan besaran nilai defleksi yang dihasilkan. Hasil kali momen inersia dengan modulus elastisitas akan menentukan nilai kekakuan bahan, yang mana semakin tinggi kekakuan bahan, semakit rendah defleksi yang dapat terjadi pada bahan tersebut. Sebaliknya, semakin rendah
Rekayasa Material I-88
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
kekakuan suatu bahan atau material, maka semakin tinggi nilai defleksi yang dapat terjadi. Menyangkut ikatan serat yang terjadi pada kedua variasi perlakuan serat. Serat dengan perlakuan cacah memiliki ikatan antar serat (interfaces) yang lebih rendah dibandingkan dengan serat tanpa cacah, hal inilah yang memungkinkan terjadinya lendutan yang lebih besar pada serat dengan perlakuan serat cacah tersebut. Pada hasil perhitungan teoritis dan pengujian eksperimental, nampak terjadi perbedaan nilai yang berlaku baik pada serat tanpa cacah maupun serat cacah. Pada kasus ini, tidak secara keseluruhan persentase kesalahan yang dihasilkan adalah tinggi, dimana sebagian perbandingan data juga menunjukan perbedaan yang tidak begitu signifikan. Hal ini diasumsikan sebagai dampak kemungkinan terjadinya pergeseran alat pembaca dial indicator saat penambahan beban dilakukan. Disamping itu, alat pembaca dial indicator yang masih menggunakan sistem analog yang dianggap masih lebih memungkinkan terjadinya kesalahan pembacaan jika dibandingkan dengan sistem digital yang lebih akurat. Tingkat ketelitian 0,01 mm sangatlah kecil jika pembacaan nilainya dilakukan dengan pengamatan jarum analog, ditambah lagi alat ini sangat sensitif terhadap gerakan atau getaran yang terjadi, utamanya saat pengkalibrasian jarum pada posisi nol. III. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa data maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Variasi beban 1 kg, 2 kg, dan 3 kg pada jarak L/2 dari tumpuan, defleksi material komposit serat cacah lebih besar dibanding serat tanpa cacah.
2. Nilai defleksi secara eksperimental lebih besar daripada defleksi secara teoritis, baik pada material komposit serat cacah maupun tanpa cacah. 3. Persentase kesalahan nilai defleksi pada pembebanan L/2 antara perhitungan teoritis dan pegujian eksperimental untuk serat tanpa cacah adalah 0,04 % sampai 10,85%. 4. Persentase kesalahan nilai defleksi pada pembebanan L/2 antara perhitungan teoritis dan pegujian eksperimental untuk serat cacah adalah 0,84 % sampai 11,68%. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan motivasi untuk selalu melakukan penelitian, terutama kepada Sri Chandrabakty, ST., M.Eng selaku Ketua Jurusan Teknik Mesin Universitas Tadulako. REFERENSI [1] Popov, E.P, “Mechanics of Materials”. Erlangga, Jakarta, 1993. [2] Koten, Victus K, “Analisis Eksperimental dan Teoritis Terhadap Defleksi Lateral Balok dengan Tumpuan Engsel-Rol”, Jurnal Pembangunan Wilayah Masyarakat, Volume 4 No 2. 2005 [3] Mustafa, “Perbandingan Analisa Teoritis dan Eksperimental Defleksi pada Balok Segiempat dengan Variasi Material”. Jurnal Ilmiah Matematika dan Terapan ISSN 1829-8133 Vol. 4 No. 2. 2007 [4] Bakri, “Tinjauan Aplikasi Serat Sabut Kelapa Sebagai Penguat Material Komposit”, Jurnal Mekanikal, Vol.2, pp.10-15, 2011 [5] Kulkarni A.G, Satyanarayam K.G, and Sukumaran K, “Mechanical behavior of coir under tensile load”, Journal of Materials Science”, Vol.16, pp.905-914 .
Rekayasa Material I-89
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengaruh Pemanasan Bahan Bakar Terhadap Unjuk Kerja Dan Emisi Gas Buang I Gusti Ngurah Putu Tenaya
I Gusti Ketut Sukadana
Universitas Udayana Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Mesin Kampus Bukit Jimbaran Badung – Bali 80361 Telp/Faks: 0361-703321
[email protected]
Universitas Udayana Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Mesin Kampus Bukit Jimbaran Badung – Bali 80361 Telp/Faks: 0361-703321
[email protected]
Abstrak−Didalam menciptakan kendaraan bermotor, kita selalu berpikir bagaimana kita bisa menciptakan kendaraan yang mempunyai unjuk kerja yang maksimum, irit bahan bakar dan emisi gas buang yang baik. Unjuk kerja, kebutuhan bahan bakar dan emisi gas buang pada mesin kendaraan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain temperatur (pemanasan), kerapatan, komposisi dan turbulensi campuran udara-bahan bakar. Pada pembakaran premixed pemanasan campuran udarabahan bakar akan membuat reaksi penguraian atau pemutus ikatan-katan bahan bakar menjadi sangat intensif, reaksi ini dapat membentuk radikal bebas atau ion dalam jumlah besar di dalam penyalaan dan radikal bebas ini merupakan rantai pembawa untuk memacu reaksi, sehingga pembakaran akan menjadi lebih sempurna (Zel’dovich, 1938). Pemanasan bahan bakar dilakukan dengan media radiator dimana pipa tembaga yang berisi bahan bakar dilewatkan pada lower tank radiator. Pengujian dilakukan pada motor 4 langkah 150 cc. Dengan memvariasikan putaran mesin (rpm), transmisi serta melakukan treatment tanpa pemanasan dan dengan pemanasan pada bahan bakar. Hasil penelitian menunjukkan dengan diberikannya treatment pemanasan pada bahan bakar unjuk kerja mesin yaitu torsi dan daya meningkat, sedangkan laju konsumsi bahan bakar dan konsumsi bahan bakar spesifik menurun. Emisi gas buang seperti gas CO dan HC menurun sedangkan gas CO2 mengalami peningkatan. Kata Kunci: pemanasan bahan bakar, unjuk kerja, emisi
I. PENDAHULUAN Dewasa ini otomotif mengalami perkembangan yang begitu pesat karena didukung tingkat kemajuan teknologi pada bidang otomotif dan kualitas sumber daya manusia yang semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dengan jumlah kendaraan bermotor yang digunakan pada saat ini yang semakin banyak untuk menunjang kegiatan manusia seharihari. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor saat ini mengakibatkan menipisnya persedian bahan bakar di alam serta polusi udara akibat emisi gas buang kendaraan bermotor. Tingginya konsumsi bahan bakar dan tingginya kadar NO2, SO2, CO, Pb, dan HC yang terkandung dalam emisi gas buang disebabkan oleh beberapa factor, salah satunya ialah karena kurang sempurnanya proses pembakaran pada ruang bakar. Sempurna tidaknya proses pembakaran pada ruang bakar
dipengaruhi oleh temperatur (pemanasan), kerapatan, komposisi dan turbulensi campuran udara-bahan bakar (Suyanto 1989 : 257). Pada pembakaran premixed pemanasan campuran udara dengan bahan bakar akan membuat reaksi penguraian atau pemutus ikatan-katan bahan bakar menjadi sangat intensif, reaksi ini dapat membentuk radikal bebas atau ion dalam jumlah besar di dalam penyalaan dan radikal bebas ini merupakan rantai pembawa untuk memacu reaksi (Zel’dovich, 1938). Sehingga dapat diasumsikan bahwa bila bahan bakar dipanaskan dibawah temperature fire point maka bahan bakar lebih cepat menguap. Bahan bakar akan lebih mudah bercampur dengan udara dan pembakaran menjadi lebih baik. Apabila dalam proses pencampuran udara terdapat sebagian bahan bakar yang tidak menguap maka distribusi campuran menjadi sangat tidak homogen. Campuran tersebut menjadi kurus, yang berarti bahwa perbandingan udara lebih banyak dari pada bahan bakar sehingga campuran udara dengan bahan bakar pada ruang bakar akan sulit terbakar. Kondisi seperti ini dapat berakibat pada unjuk kerja mesin menurun dan tingginya kadar NO2, SO2, CO, Pb, dan HC yang terkandung dalam emisi gas buang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hariyono pada tahun 2007 tentang pengaruh pemanasan bahan bakar dengan media radiator terhadap konsumsi bahan bakar pada mesin Toyota Kijang 5K menunjukkan bahwa konsumsi bahan bakar premium mengalami penurunan sebesar 9.09 % dibandingkan dengan yang standar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tenaya (2007) dengan diberikannya perlakuan panas pada campuran udara bahan bakar gas pada ruang bakar model helle-shaw cell akan mempercepat kecepatan rambat apinya dan warna apinya semakin biru. Karena belum ada yang meneliti proses pemanasan bahan bakar pada sepeda motor tipe injeksi terhadap unjuk kerja dan emisi gas buang maka, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh pemanasan bahan bakar dengan media radiator terhadap unjuk kerja dan emisi gas buang pada sepeda motor tipe injeksi. II. METODA A. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Motor Bakar Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana.
Rekayasa Material I-90
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
B. Variabel Penelitian Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah unjuk kerja (torsi, daya, laju konsumsi bahan bakar dan konsumsi bahan bakar spesifik) dan emisi gas buang (CO, HC, dan CO2), sedangkan perlakuan yang diberikan adalah treatmen bahan bakar (dengan pemanasan dan tanpa pemanasan), variasi rpm (1500, 2500 dan 5000 rpm) dan transmisi ( 1, 2, 3, 4 dan 5). C. Alat dan Bahan Radiator sebagai media perpindahan panas. Radiator yang digunakan bagian tankinya telah dipasangi pipa tembaga sebagai saluran bahan bakar dari pompa ke injector, sepeda motor bersistem injeksi, buret kapasitas 50 ml, stopwatch, thermokopel, tachometer, pipa tembaga, selang bahan bakar, tangki, pompa bahan bakar, peralatan perbengkelan, dynotest, gas analyser, katup buka tutup, blower, kotak plastik, radiator coolent. Bahan bakar yang digunakan adalah bensin.
b. Transmisi 2
c. Transmisi 3
D. Instalasi Penelitian Instalasi penelitian yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.
d. Transmisi 4
Gambar 1. Skema Instalasi
III. HASIL DAN PEMBAHASAN e. Transmisi 5
A. Hasil Penelitian Setelah data didapatkan, selanjutnya dilakukan proses perhitungan dari masing-masing data unjuk kerja dan emisi gas buang dan dibuatkan grafik seperti gambar 2 – 8 :
Gambar 2. Grafik perbandingan torsi tanpa pemanasan dan dengan pemanasan ditiap putaran mesin pada transmisi 1, 2, 3,4 dan 5.
Daya Torsi
a. Transmisi 1 a. Transmisi 1
Rekayasa Material I-91
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
b. Transmisi 2
b. Transmisi 2
c. Transmisi 3
c. Transmisi 3
d. Transmisi 4
d. Transmisi 4
e. Transmisi 5
e. Transmisi 5 Gambar 3. Grafik perbandingan daya tanpa pemanasan dan dengan pemanasan ditiap putaran mesin pada transmisi 1, 2, 3,4 dan 5.
Laju Konsumsi Bahan Bakar (Fc)
Gambar 4. Grafik perbandingan laju konsumsi bahan bakar tanpa pemanasan dan dengan pemanasan ditiap putaran mesin pada transmisi 1, 2, 3,4 dan 5.
Konsumsi Bahan Bakar Spesifik (Sfc)
a. Transmisi 1
a. Transmisi 1
Rekayasa Material I-92
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
b. Transmisi 2
b. Transmisi 2
c. Transmisi 3
c. Transmisi 3
d. Transmisi 4
d. Transmisi 4
e. Transmisi 5
e. Transmisi 5 Gambar 5. Grafik perbandingan konsumsi bahan bakar spesifik tanpa pemanasan dan dengan pemanasan ditiap putaran mesin pada transmisi 1, 2, 3,4 dan 5.
Gambar 6. Grafik perbandingan emisi gas CO tanpa pemanasan dan dengan pemanasan ditiap putaran mesin pada transmisi 1, 2, 3,4 dan 5.
Emisi gas HC Emisi gas CO
a. Transmisi 1 a. Transmisi 1
Rekayasa Material I-93
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
b. Transmisi 2
b. Transmisi 2
c. Transmisi 3
c. Transmisi 3
d. Transmisi 4
d. Transmisi 4
e. Transmisi 5
e. Transmisi 5
Gambar 7. Grafik perbandingan emisi gas HC tanpa pemanasan dan dengan pemanasan ditiap putaran mesin pada transmisi 1, 2, 3,4 dan 5.
Gambar 8. Grafik perbandingan emisi gas CO2 tanpa pemanasan dan dengan pemanasan ditiap putaran mesin pada transmisi 1, 2, 3,4 dan 5.
Emisi gas CO2
a. Transmisi 1
B. Pembahasan Pada gambar 2 dapat dikatakan bahwa dengan adanya treatment pemanasan dapat meningkatkan torsi bila dibandingkan dengan tanpa treatment pemanasan, ini disebabkan karena dengan melakukan pemanasan, bahan bakar akan lebih mudah mengikat oksigen. Hasil dari meningkatnya kualitas pembakaran seiring dengan meningkatnya temperatur bahan bakar yang masuk kedalam ruang bakar menghasilkan tekanan dan temperatur yang tinggi pada awal langkah ekspansi sehingga dapat menekan torak ke TMB dan akan menghasilkan torsi yang lebih besar dibandingkan tanpa pemanasan. Torsi juga dipengaruhi oleh putaran mesin dan transmisi, dimana semakin meningkat putaran mesin maka semakin banyak siklus pembakaran yang terjadi sehingga torsi pun akan meningkat dan akan kembali menurun setelah mencapai titik maksimumnya pada putaran mesin tertentu. Pada putaran
Rekayasa Material I-94
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
mesin rendah semakin meningkat transmisinya maka torsi yang dihasilkan akan semakin menurun, hal ini disebabkan putaran piston yang bergerak lambat akibat perbandingan transmisi yang terlalu berat. Semakin meningkatnya putaran dan transmisi maka torsi yang dihasilkan akan semakin meningkat namun peningkatan ini tidak terjadi disetiap putaran mesin, pada putaran tertentu pada transmisi tertentu torsi dapat menurun (namun tidak signifikan) akibat rugi-rugi gesekan yang terjadi pada system dan tidak tercapainya putaran mesin yang ideal pada transmisi tersebut yang mengakibatkan gaya yang dihasilkan menurun dan akan kembali meningkat hingga titik maksimumnya dan akan kembali menurun yang disebabkan mesin sudah mampu mengimbangi beban yang diberikan oleh transmisi Pada gambar 3 dapat dikatakan bahwa dengan adanya treatment pemanasan dapat meningkatkan daya bila dibandingkan dengan tanpa treatment pemanasan, ini disebabkan karena meningkatnya kualitas pembakaran pada ruang bakar yang mengakibatkan ledakan yang terjadi pada ruang bakar menjadi lebih besar dan kecepatan ledakan meningkat, ledakan inilah yang akan menghasilkan daya. Daya juga dipengaruhi oleh putaran mesin dan transmisi, dimana semakin meningkat putaran mesin maka daya yang dihasilkan akan semakin meningkat dan akan mengalami penurunan setelah melewati titik maksimumnya pada putaran tertentu. Hal ini disebabkan pada putaran yang semakin meningkat (tinggi) waktu yang diperlukan untuk membakar campuran bahan bakar semakin singkat.Pada putaran rendah semakin tinggi transmisinya maka daya yang dihasilkan semakin kecil. Namun semakin meningkatnya putaran dan transmisi maka daya yang dihasilkan akan semakin meningkat seiring dengan kemampuan mesin mengatasi pembebanan transmisi pada tiap transmisi. Pada gambar 4 dapat dikatakan bahwa dengan adanya treatment pemanasan dapat menurunkan laju konsumsi bahan bakar bila dibandingkan dengan tanpa treatment pemanasan. Hal ini disebabkan karena dengan pemanasan bahan bakar, kemampuan molekul bahan bakar untuk melepaskan diri dari lingkungannya meningkat yang berakibat luasan bahan bakar didalam pipa bahan bakar bertambah dan dengan meningkatnya temperatur bahan bakar maka tekanan didalam pipa meningkat pula sehingga mengakibatkan bahan bakar yang kembali kedalam tangki melalui preasure regulator meningkat, dan dengan pemanasan mengakibatkan massa jenis bahan bakar semakin rendah yang mengakibatkan kemampuan bahan bakar untuk mengikat oksigen pada udara semakin meningkat sehingga pembakaran pada ruang bakar menjadi semakin sempurna. Laju konsumsi bahan bakar juga dipengaruhi oleh putaran mesin dan transmisi dimana semakin tinggi putaran mesin maka konsumsi bahan bakar meningkat dikarenakan gerakan piston semakin cepat sehingga waktu yang diperlukan dalam langkah kompresi dan pembakaran sangat singkat. Pada putaran rendah, semakin tinggi transmisi maka konsumsi bahan bakar akan semakin meningkat dikarenakan diperlukan kemampuan mesin yang besar untuk melawan pembebanan yang diberikan dan akan kembali menurun pada titik optimumnya seiring mesin dapat mengatasi pembebanannya. Pada gambar 5 dapat dikatakan bahwa dengan adanya treatment pemanasan dapat menurunkan konsumsi bahan
bakar spesifik bila dibandingkan dengan tanpa treatment pemanasan. Hal ini disebabkan karena dengan proses pemanasan aktifitas struktur molekul bahan bakar untuk melepaskan diri dari lingkungannya menjadi molekul-molekul yang lebih kecil meningkat sehingga dalam pengabutannya oleh injektor dapat mengikat oksigen lebih baik. Pada gambar 6 dapat dikatakan bahwa dengan adanya treatment pemanasan dapat menurunkan kadar gas CO bila dibandingkan dengan tanpa treatment pemanasan, ini disebabkan karena bahan bakar yang dipanaskan sebelum memasuki ruang bakar butirannya akan lebih kecil, sehingga lebih banyak dapat mengikat oksigen yang akan berdampak pada campuran yang lebih homogen dan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kesempurnaan pembakaran dan kandungan emisi yang dihasilkan. Dari gambar 6 juga dapat dikatakan bahwa dari semua transmisi, kandungan gas CO berbanding terbalik dengan putaran mesin atau semakin tinggi putaran mesin kandungan gas CO semakin rendah. Ini disebabkan karena pada putaran mesin rendah (idle), mesin membutuhkan campuran bahan bakar-udara yang cukup untuk start awal (membutuhkan AFR yang kaya) sehingga menghasilkan kadar gas CO yang tinggi. Bensin adalah senyawa hidrokarbon (HC), jadi setiap HC yang didapat di emisi gas kendaraan menunjukkan adanya bensin yang tidak terbakar dan terbuang bersama sisa pembakaran. Apabila suatu senyawa hidrokarbon terbakar sempurna (bereaksi dengan oksigen) maka hasil reaksi pembakaran tersebut adalah karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Walaupun rasio antara udara dan bensin (AFR=Air-toFuel-Ratio) sudah tepat dan didukung oleh desain ruang bakar mesin yang sudah mendekati ideal, tetapi tetap saja sebagian dari bensin yang tidak terbakar saat terjadi proses pembakaran akan menyebabkan emisi HC cukup tinggi pada ujung knalpot. Ada beberapa kemungkinan penyebabnya yaitu, AFR yang tidak tepat (terlalu kaya) atau bahan bakar tidak terbakar dengan sempurna di ruang bakar. Ini bisa disebabkan antara lain kebocoran fuel pressure regulator, setelan ECU tidak tepat, filter udara yang tersumbat, sensor temperatur mesin yang tidak normal dan sebagainya yang dapat membuat AFR terlalu kaya. Injector yang kotor atau fuel pressure yang terlalu rendah dapat membuat butiran bensin menjadi terlalu besar untuk terbakar dengan sempurna dan ini juga akan membuat emisi gas HC menjadi tinggi. Pada gambar 7 dapat dikatakan bahwa dengan adanya treatment pemanasan dapat menurunkan kadar gas HC bila dibandingkan dengan tanpa treatment pemanasan, ini disebabkan karena bahan bakar yang dipanaskan sebelum memasuki ruang bakar butirannya akan lebih kecil, sehingga lebih banyak dapat mengikat oksigen yang akan berdampak pada campuran yang lebih homogen dan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kesempurnaan pembakaran dan kandungan emisi yang dihasilkan.Dari gambar 7 diatas dapat juga dikatakan bahwa dari semua transmisi, kandungan gas HC berbanding terbalik dengan putaran mesin atau semakin tinggi putaran mesin kandungan gas HC semakin rendah. Ini disebabkan karena pada putaran mesin rendah (idle), kecepatan aliran juga rendah sehingga campuran udara-bahan bakar kurang sempurna. Disamping itu pada putaran mesin rendah mesin membutuhkan campuran bahan bakar-udara
Rekayasa Material I-95
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
yang cukup untuk start awal (membutuhkan AFR yang kaya) sehingga menghasilkan kadar gas HC yang tinggi. Kandungan gas CO2 merupakan parameter yangi dapat digunakan untuk mengetahui sempurna tidaknya pembakaran yang terjadi pada ruang bakar. Bila kandungan gas CO2 tinggi maka pembakaran yang terjadi diruang bakar sudah mendekati sempurna, begitu juga sebaliknya. Pada gambar 8 dapat dikatakan bahwa dengan adanya treatment pemanasan dapat menaikan kadar gas CO2 bila dibandingkan dengan tanpa treatment pemanasan, ini disebabkan karena bahan bakar yang dipanaskan sebelum memasuki ruang bakar butirannya akan lebih kecil, sehingga lebih banyak dapat mengikat oksigen yang akan berdampak pada campuran yang lebih homogen dan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kesempurnaan pembakaran dan kandungan emisi yang dihasilkan. Dari gambar 8 diatas juga dapat dikatakan bahwa dari semua transmisi, kandungan gas CO2 berbanding lurus dengan putaran mesin atau semakin tinggi putaran mesin kandungan gas CO2 semakin tinggi. Ini disebabkan karena pada putaran mesin tinggi, kecepatan aliran juga tinggi sehingga campuran udara-bahan bakar menjadi sempurna.
IV. SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut, dengan diberikannya treatment pemanasan pada bahan bakar unjuk kerja mesin yaitu torsi dan daya meningkat, sedangkan laju konsumsi bahan bakar dan konsumsi bahan bakar spesifik menurun. Emisi gas buang seperti gas CO dan HC menurun sedangkan gas CO2 mengalami peningkatan.
DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9]
[10] [11] [12] [13]
[14] [15]
[16]
Arends. BPM, H. Berenschot, (1980), Motor Bensin, Erlangga, Jakarta. Anonim, Unit Pelaksana Teknis Pelatihan Kerja Mojokerto 2009 Anonim, 1995.New Step 1.Jakarta : PT. Toyota Astra Motor Fessenden. 1991. Kimia OrganikJilid 1. Jakarta :Erlangga. G. Haryono, (1984), Uraian Praktis Mengenal Motor Bakar, Aneka ilmu, Semarang. http://www.pertamina.com/pertamina.php? Obert, Edward F, (1968), Internal Combustion Engine And Air Pollution. Pudjanarsa Astu, Nursuhud Djati (2006), “Mesin Konversi Energi”, ANDI Yogyakarta. Pusat Peneliti Lingkungan Hidup (PPLH), 2010, Hasil Pengukuran Kualitas Udara Ambien pada Bulan Juli s/d Agustus tahun 2009 – 2010. Suyanto, Wardana. 1989, Teori Motor Bensin, Jakarta: DEPDIKBUD. Soenarta, Nakula & Shoici Purunama.1995. Motor Serba Guna. Jakarta : PT. Pradnya Paramita Standar Nasional Indonesia, 2005, Emisi Gas Buang-Sumber Bergerak. Tenaya, 2007, Pengaruh Pemanasan Campuran Bahan Bakar GasUdara Terhadap Kecepatan Rambat Api Premixed Pada Ruang Bakar Model Helle-Shaw Cell. Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana. V. Ganesan, (2004), Internal Combustion Engine Second Edition. Wijaya Kusuma, 2002, “Alat Penurun Emisi Gas Buang Pada Motor, Mobil, Motor Tempel Dan Mesin Pembakaran Tak Bergerak”. Teknik Mesin Universitas Udayana. Yeliana, 2003, Diktat Bahan Bakar dan Teknik Pembakaran Bahan Bakar, Teknik Mesin Universitas Udayana.
Rekayasa Material I-96
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem Manufaktur dan Energi
Penggunaan Agregat Batu Gamping pada Campuran Aspal Beton AC - WC Elsa Eka Putri Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik - Universitas Andalas Padang, Indonesia
[email protected]
Alfathoni Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Andalas Padang, Indonesia
Abstrak — Agregat merupakan komponen utama dalam perkerasan jalan, yang berkisar antara 90% - 95% dari total berat campuran perkerasan. Pada umumnya agregat berasal dari batuan sungai, yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Mencari alternatif agregat untuk bisa dijadikan sebagai agregat perkerasan jalan adalah sangat penting untuk menjaga ketersediaan bahan perkerasan. Batuan Gamping diteliti sebagai alternatif bahan perkerasan untuk mengetahui kesesuaiannya sebagai bahan perkerasan. Batuan ini berasal dari perbukitan yang berlokasi didaerah Kamang Mudiak, Kabupaten Agam. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan batu gamping dalam campuran Asphalt Concrete – Wearing Course (AC-WC) mempunyai nilai Marshall yang tinggi yaitu 1080 kg dibanding penggunaan batu pecah sebagai agregat, dan apabila batu Gamping ini dicampur dengan batu pecah stabilitasnya akan bertambah naik lagi menjadi 1200 kg pada kadar aspal 5.5%. Kata Kunci : Batu Gamping, Nilai Parameter Marshall, Asphalt Concrete – Wearing Course (AC-WC)
bongkahan. Setelah melalui proses crushing, grinding dan milling, hasilnya berupa kapur pertanian (Kaptan), kapur tohor (CaO), pupuk dolomit atau batu kapur (CaCO3) yang digunakan sebagai pupuk. Perbukitan di daerah Kamang Mudiak ini merupakan bagian dari bukit barisan dimana sebagian besar merupakan batuan Gamping. Untuk itu penelitian tentang kesesuaian batu ini sebagai perkerasan jalan sangat penting untuk mencari agregat alternatif sebagai material dalam campuran perkerasan jalan. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesesuaian batuan dari perbukitan daerah Kamang Bukittinggi sebagai agregat dalam perkerasan jalan. Mengidentifikasi kadar aspal dari variasi campuran yang menghasilkan nilai stabilitas perkerasan yang tinggi, sehingga batuan Gamping ini bisa dipakai sebagai agregat alternatif pada campuran perkerasan jalan.
I.PENDAHULUAN Penggunaan agregat sebagai material perkerasan harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam perencanaan perkerasan. Baik itu syarat kekakuan maupun keawetan. Tetapi karena kebutuhan agregat ini selalu meningkat seiring bertambahnya kebutuhan akan pembangunan jalan, maka usaha untuk mencari agregat alternatif selalu diupayakan. Sumber utama agregat pada saat ini adalah batuan dari sungai yang memiliki persentase keausan tidak lebih dari 30% dari total agregat (SNI 03-24171991). Hal ini membuat agregat sungai lebih banyak digunakan sebagai bahan perkerasan jalan yang mempunyai keausan rendah. Tapi sumber batuan dari sungai ini merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Maka diupayakan mencari agregat alternatif yang diharapkan dapat menambah sumber agregat selain dari sungai yang terbatas jumlahnya. Salah satu lokasi sumber agregat yang diteliti kualitasnya adalah batuan yang berasal dari perbukitan di Kanagarian Kamang Mudik, Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam. Batuan ini berupa batu Gamping yang membentuk bukit. Pada saat ini batuan ini ditambang dalam bentuk
Batasan Masalah Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi: 1) Penelitian ini hanya terbatas skala laboratorium. 2) Pengujian campuran aspal terdiri atas agregat kasar dan agregat halus. Sebagai bahan pengikat digunakan aspal dengan penetrasi 60/70. 3) Agregat yang digunakan adalah batuan Gamping yang berasal dari perbukitan 4) Agregat pembanding adalah batuan standar yang berupa batu pecah yang berasal dari sungai 5) Pengujian campuran perkerasan jalan dengan menggunakan alat Marshall test untuk mengetahui nilai stabilitas perkerasan II. TINJAUAN PUSTAKA Agregat Agregat yang digunakan sebagai campuran aspal berupa butiran atau pecahan-pecahan batu yang menempati bagian pada struktur perkerasan jalan. Agregat ini berupa agregat kasar, sedang, dan halus dan komposisi mineral lainnya, baik dari hasil alam (natural agregat), hasil pengolahan (manufacture agregat), maupun agregat batuan (synthetic
Rekayasa Material I-97
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem Manufaktur dan Energi
agregat) yang digunakan sebagai bahan penyusun utama perkerasan jalan (Sukirman, 1992).
dihaluskan kemudian dikemas oleh beberapa perusahaan pengusaha pupuk dolomit.
Sumber utama agregat adalah dari batuan sungai, yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Dengan pemakaian yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya pembangunan jalan, membuat ketersediaan agregat dari sungai tersebut akan segera menipis. Untuk itu upaya pencarian agregat alternatif untuk memenuhi kebutuhan material perkerasan jalan menjadi sangat penting. Salah satu agregat alternatif yang diteliti kesesuaiannya sebagai bahan perkerasan adalah batuan yang berasal dari perbukitan yang berlokasi didaerah Kamang Mudiak, Kabupaten Agam. Perbukitan di daerah Kamang Mudiak ini merupakan bagian dari bukit barisan. Batuan dari daerah ini banyak digunakan sebagai pupuk dengan menghaluskannya terlebih dahulu yang berguna untuk menetralkan pH tanah (Khalil dan Anwar, 2005). Batuan ini dikenal dengan nama batu Gamping yang sebagian besar dikandung oleh perbukitan ini. Penelitian tentang kesesuaian batuan ini sebagai perkerasan jalan sebagai sumber alternatif agregat dalam campuran perkerasan jalan diharapkan menambah daya guna batuan ini
Penggunaan Batu Gamping sebagai perkerasan jalan raya masih sangat terbatas, yang mungkin disebabkan oleh nilai keausannya yang cukup tinggi. Batu Gamping ini ketersediaannya cukup banyak, dilaksanakanlah pengujian Batu Gamping sebagai material jalan, sehingga diharapkan Batu Gamping ini dapat dijadikan sebagai alternatif bahan perkerasan dikarenakan ketersediaannya yang masih berlimpah, daripada digunakan hanya sebagai pupuk tanaman. Dari pemeriksaan di laboratorium, maka Berat Jenis Batu Gamping dan Batu Pecah yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Spesifikasi Agregat No
Uraian Pemeriksaan
Jenis
1.
Pemeriksaan Berat Jenis,
Batu Gamping Pemanfaatan batu Gamping ini belum digunakan secara luas untuk material agregat perkerasan jalan, padahal Sumatera Barat merupakan salah satu propinsi yang memiliki pegunungan yang merupakan batu Gamping.
2.
Penyerapan
Agg Kasar Agg Halus Agg Kasar Agg Halus
Keberadaan batu Gamping ini sangat banyak di Sumatera Barat yaitu di daerah Kamang Mudik, Kabupaten Agam. Luas sebaran sekitar 2.900 Ha yang terdiri dari marmeran dan dolomitan dengan ketinggian rata-rata 30 m, sehingga sumber
4.
Batu Pecah 2,496 2,467 1,88% 4,471% 1,518 Kg/dm³ 1,474 Kg/dm³ 1,336 Kg/dm³ 95 %
penggoyangan 3.
Berat Volume
penusukan Berat Isi Lepas
5.
Kelekatan Agregat terhadap Aspal Pemeriksaan Keausan dengan Mesin Los Angeles
Batu Putih
22,28 %
2,641 2,244 0,348% 5,197% 1,631 Kg/dm³ 1,587 Kg/dm³ 1,448 Kg/dm³ 98 % 48,86 %
3
dayanya kira-kira 870.000.000 m . Di daerah Palupuh, keadaannya tidak jauh berbeda dengan batu gamping yang terdapat di daerah Kamang Mudik, yaitu sebagian dari endapan batu gampingnya mengandung dolomit, dan batu gamping kristalin (kalsit). Penyebarannya diperkirakan mencapai 1.500 Ha, dengan ketebalan rata-rata 30 m, maka
Aspal Klasifikasi aspal yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai klasifikasi seperti yang terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi Aspal
3
Jenis Pemeriksaan
sumber daya hipotetiknya sehingga 450.000.000 m (Sjahril, 2002).
1. Penetrasi a. Tanpa kehilangan berat b. Kehilangan berat 2. Kehilangan Berat Aspal 3. Titik Nyala dan Titik Bakar 4. Pemeriksaan Daktilitas 5. Berat Jenis 6. Kelekatan Aspal terhadap Agregat
Nilai Pemeriksaan
66,5 (0.1 mm) 63,9 (0.1 mm) 0,179 % 258 °C dan 297 °C > 1100 mm 1,0395 98 %
Gambar 1. Batu Gamping perbukitan Kamang
7. Titik Lembek Aspal
Batu gamping yang berasal dari perbukitan di daerah Kamang, Kabupaten Agam sudah digunakan sebagai pupuk dolomit untuk menaikkan pH tanah masam dan sebagai sumber magnesium (Khalil dan Anwar, 2005). Batuan ini dipecah dan
55 oC
Pada Tabel 2, terlihat nilai penetrasi aspalnya berada dalam rentang 60-70 maka aspal yang digunakan merupakan aspal keras yang mempunyai penetrasi 60/70. Nilai dari kehilangan beratnya hanya 0.179% dan daktilitasnya lebih dari 1100mm,
Rekayasa Material I-98
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem Manufaktur dan Energi
ini menggambarkan jenis aspal yang digunakan pada ini berkualitas bagus. Asphalt Concrete - Wearing Course (AC-WC) Merupakan lapisan aus yaitu lapisan yang berhubungan langsung dengan beban kendaraan dan bukan lapisan struktural yang memikul beban kendaraan. Lapisan ini harus kedap air dan tahan terhadap cuaca. Gradasi butiran agregat yang digunakan untuk pembentuk campuran AC-WC ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Gradasi agregat Asphalt Concrete – Wearing Course No. Lolos Ideal (%) Saringan Saringan (%) 3/4" 100 100 1/2" 90-100 95 3/8" #4 #8 #16 #30 #50 #100
72-90 43-63 28-39.1 19-25.6 13-19.1 9-15,5 6-13
81 53 33.55 22.3 16.05 12.25 9.5
#200 Pan
4-10 0-6
7 0
Sumber: Pedoman Perencanaan Campuran Beraspal Panas Dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak (1999)
Agregat yang berupa batu pecah yang digunakan sebagai pembanding dan batu gamping dipersiapkan sesuai dengan gradasi butiran yang terdapat pada Tabel 3. Agregat yang tertahan saringan #4 adalah Agregat Kasar, agregat yang tertahan saringan #200 adalah Agregat Sedang, sedangkan yang lolos saringan #200 adalah Agregat Halus atau filler.
III.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja batuan Gamping sebagai material pada campuran perkerasan jalan sebagai agregat alternatif. Kinerja Batu Gamping diuji di laboratorium dengan benda uji Marshall sesuai dengan standar SNI 06-2489-1991. Batu Gamping ini diteliti kesesuaiannya pada perkerasan dalam bentuk agregat kasar dan agregat sedang pada keseluruhan variasi campuran. Spesifikasi yang digunakan adalah Asphalt Concrete – Wearing Course (AC-WC) Gradasi Halus, dimana kadar aspalnya ditentukan dengan melakukan analisa saringan. Dalam penelitian ini campuran perkerasan divariasikan menjadi 3 yaitu:
[1] Campuran agregat Kasar, Sedang dan Halus keseluruhannya berupa batu Gamping. Campuran ini menggunakan Agregat batu putih perbukitan yang berasal dari nagari Kamang, Bukittinggi sebagai agregat kasar, sedang, halus, dan aspal Minyak sebagai bahan pengikatnya. [2] Campuran Agregat Kasar, Sedang dan Halus yang keseluruhannya berupa batu Pecah. Campuran ini menggunakan agregat dari batu sungai yang bersumber dari sungai Padang Ganting, Batusangkar. Agregat kasarnya yaitu hasil pecahan stone crusher ukuran 1-2 cm, agregat sedang ukuran 0,5-1 cm, agregat halus ukuran abu batu dan aspal sebagai bahan pengikat. [3] Campuran Agregat Kasar dan Sedang berupa Batu Gamping sedangkan Agregat Halus berupa batu Pecah. Campuran ini menggunakan agregat batu perbukitan sebagai Agregat Kasar dan Sedang, abu batu sungai sebagai Agregat Halus, dan Aspal dengan penetrasi 60/70 sebagai bahan pengikatnya. Pada variasi yang ketiga ini menggunakan kedua macam jenis batuan ini, yaitu batu pecah sebagai agregat halusnya sedangkan Agregat Kasar dan Agregat Sedangnya adalah Batu Gamping. Pemilihan variasi ini dikarenakan ketersediaan material yang diinginkan tidak sukar. Dimana Batu Pecah memang tersedia sebagai agregat halus, sedangkan batu gamping pada umumnya berukuran kasar dan sedang. Sehingga apabila campuran ini menghasilkan komposisi terbaik, maka akan lebih mudah dan ekonomis dalam penyediaannya. Pada masing-masing campuran agregat tersebut dicampur dengan 5 variasi kadar aspal, yang mana masing-masing variasi tersebut memiliki 3 buah sampel. Pada masing-masing variasi akan ditentukan berapa kadar aspal yang optimum yang menghasilkan stabilitas maksimum. Stabilitas adalah kemampuan suatu lapisan menerima beban lalu lintas tanpa disertai perubahan bentuk tetap yang terjadi dari hasil gesekan antar butir agregat, susunan agregat yang saling mengunci (interlocking) dan daya ikat aspal yang baik. Selanjutnya stabilitas maksimum yang dihasilkan pada masing-masing variasi dibandingkan, dan dianalisa. IV.
PEMERIKSAAN MATERIAL DI LABORATORIUM
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa karakteristik agregat dan aspal yang akan dipergunakan sebagai campuran perkerasan jalan. Pemeriksaan agregat seperti analisa saringan, berat jenis dan penyerapan berguna untuk mengetahui kadar aspal teoritis. Kemudian pemeriksanaan kelekatan agregat terhadap aspal diperlukan untuk mengetahui apakah agregat tersebut bisa terselimuti aspal dengan baik dan dilanjutkan dengan pemeriksaan keausan agregat dengan Mesin Los Angeles. Pemeriksaan keausan ini bertujuan untuk memeriksa daya tahan agregat terhadap beban mekanis.Pemeriksaan agregat ini dilakukan terhadap kedua jenis batuan ini. Pemeriksaan Aspal
Rekayasa Material I-99
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem Manufaktur dan Energi
Pemeriksaan penetrasi aspal adalah untuk mengetahui angka penetrasi aspal yang digunakan. Karena nilai penetrasi ini berpengaruh pada pemilihan aspal pada iklim atau temperatur yang bisa dialami oleh permukaan perkerasan tersebut. Pada iklim tropis penetrasi aspal yang biasa digunakan adalah penetrasi 50/60 dan 60/70. Pemeriksaan titik nyala dan titik bakar aspal juga diperlukan untuk mengetahui berapa suhu maksimum aspal yang menyebabkan aspal tersebut mulai terbakar dan berpengaruh pada suhu pencampuran. Beberapa pemeriksaan standar yang dilakukan adalah pemeriksaan titik lembek, pemeriksaan kehilangan berat aspal, pemeriksaan daktilitas, pemeriksaan berat jenis aspal dan pemeriksaan kelekatan aspal terhadap agregat yang diperlukan untuk mengetahui kinerja dari aspal yang digunakan. Kadar Aspal Teoritis Dalam penelitian ini kadar aspal pendahuluan atau teoritis ditentukan dengan menggunakan metode Luas Permukaan yang harga faktor luas permukaannya berdasarkan Asphalt Institute (1971). Pengujian Kelayakan Campuran dengan Marshall Test Berdasarkan ketentuan Marshall, perencanaan suatu campuran aspal harus memenuhi beberapa syarat dibawah ini : 1. Cukup jumlah aspal untuk menjamin keawetan. 2. Cukup stabil sehingga dapat menerima beban lalu lintas tanpa mengalami perubahan bentuk. 3. Cukup rongga dalam campuran untuk memungkinkan pemadatan tambahan dan akibat pembebanan lalu lintas. 4. Cukup lentur sehingga memungkinkan perubahan bentuk tanpa terjadi keretakan. Parameter Marshall Menurut Marshall, kondisi yang sesuai dengan persyaratan campuran perkerasan hanya akan terjadi pada kondisi kadar aspal optimum. Standar yang disyaratkan untuk lapisan ACWC seperti yang terdapat pada Tabel 4. Tabel 4. Spesifikasi Perkerasan AC-WC Parameter Spesifikasi Stabilitas >800 kg Kelelehan ± 3mm Rongga dalam campuran 3.5% - 5% Rongga antar Agregat ± 15% total campuran Marshall Quotient >250 kg/mm Sumber: Sukirman, 2003 Untuk jenis lapis perkerasan AC-WC disyaratkan stabilitas perkerasan harus lebih besar dari 800 kg. Stabilitas lapisan perkerasan jalan adalah kemampuan lapisan perkerasan menerima beban lalu lintas tanpa terjadi perubahan bentuk yang tetap, seperti gelombang, alur ataupun bleeding. Batas kelelehan haruslah berada dikisaran 3 mm sehingga perubahan bentuk yang terjadi pada campuran akibat adanya pembebanan tidak terlalu besar. Rongga dalam campuran adalah ruang udara yang terjadi diantara partikel agregat yang telah terselubungi aspal dalam campuran yang telah dipadatkan.
Rongga ini dinyatakan dalam persen terhadap volume campuran total. Untuk jenis lapis perkerasan AC-WC, rongga dalam campuran yang diharapkan berkisar antara 3,5% sampai 5%. Rongga antar mineral agregat adalah rongga udara yang ada diantara partikel agregat dalam campuran yang sudah dipadatkan, termasuk ruang yang terisi. Dengan kata lain rongga antar mineral agregat merupakan ruang yang tersedia untuk menampung volume efektif aspal dan rongga udara yang diperlukan dalam campuran yang dinyatakan dalam % terhadap volume total benda uji. Untuk campuran AC-WC disyaratkan rongga antar agregat sedikitnya 15% dari volume campuran total. Angka Marshall Quotient adalah hasil bagi stabilitas dan kelelehan. MQ merupakan indikator kelenturan yang potensial terhadap keretakan, yang dinyatakan dalam kg/mm. Untuk jenis lapis perkerasan AC-WC, MQ yang diisyaratkan untuk campuran ini adalah diatas 250 kg/mm. V. ANALISA DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Agregat dilaboratorium meliputi pemeriksaan analisa saringan, pemeriksaan berat jenis dan penyerapan agregat, pemeriksaan berat volume, keausan agregat dengan mesin Los Angeles, pemeriksaan kelekatan agregat terhadap aspal. Adapun hasil pemeriksaan agregat tersebut terdapat pada Tabel 1. Pemeriksaan aspal di laboratorium meliputi pemeriksaan berat jenis aspal, pemeriksaan penetrasi aspal, titik nyala dan titik bakar aspal, kehilangan berat aspal, daktalitas, titik lembek aspal dan kelekatan aspal terhadap batuan. Hasil pemeriksaan aspal tersebut terdapat pada Tabel 2. Analisis Hubungan Parameter Marshall Lapisan perkerasan AC-WC yang diteliti menggunakan variasi campuran agregat sebagai berikut, - Variasi 1 = Agregat Kasar + Agregat Sedang + Agregat Halus merupakan Batu Pecah, -
Variasi 2 = Agregat Kasar + Agregat Sedang + Agregat Halus merupakan Batu Gamping
-
Variasi 3 = Agregat Kasar + Agregat Sedang adalah agregat Batu Gamping, dan Agregat Halus merupakan Batu Pecah.
Dari variasi tersebut dibuat benda uji untuk dilakukan pengujian Marshall. Jumlah total benda uji adalah 45 buah. Masing-masing variasi berjumlah 15 sampel. Kemudian dilakukan pengujian. Keseluruhan variasi dibandingkan dan di analisa. Selanjutnya dilihat kinerja penggunaan Batu Gamping ini sebagai material alternatif untuk perkerasan jalan.
Rekayasa Material I-100
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem Manufaktur dan Energi
Stabilitas Hasil pengujian stabilitas dari masing-masing variasi campuran perkerasan yang dilakukan pengujiannya di laboratorium Jurusan Teknik Sipil Universitas Andalas dapat dilihat pada Gambar 2. 1400
Stabilitas (Kg)
1300
Batu Gamping+Batu Pecah
1200
Rongga Udara pada Campuran (Void in Mix/VIM) Hasil Pengujian rongga udara dalam campuran dapat dilihat pada Gambar 4. Rongga udara ini diperlukan untuk kondisi pemadatan perkerasan yang akan terjadi selanjutnya karena beban yang diterima perkerasan selama masa pelayanan. Standar nilai rongga udara yang harus ada dalam perkeran diantara 3,5% sampai 5%.
1100 1000 900 800 700 600
Batu Pecah
Kelelehan yang paling besar terdapat pada perkerasan dengan Batu Gamping saja, diikuti oleh perkerasan yang menggunakan campuran Batu Gamping dan Batu Pecah, berikutnya perkerasan yang menggunakan Batu Pecah. Perkerasan yang menggunakan batu Pecah saja mengalami kelelehan yang paling sedikit. Dari kesemua variasi tersebut nilai kelelehannya yang mendekati 3 mm terdapat pada perkerasan yang terdiri dari Agregat Batu Gamping dan Agregat Batu Pecah.
Batu Gamping
7
500 400
6
4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 8.50 9.00 9.50
Kadar aspal (%) Gambar 2. Stabilitas vs Kadar Aspal Campuran
Gambar 2, menunjukkan bahwa nilai stabilitas yang paling baik diperoleh oleh perkerasan dengan agregat berupa campuran Batu Gamping dengan Batu Pecah. Perkerasan dengan menggunakan agregat bersumber dari Batu Gamping saja tidak memiliki nilai stabilitas yang cukup tinggi. Setiap penambahan kadar aspal nilai stabilitasnya menjadi semakin menurun. Sedangkan jika perkerasan itu materialnya berupa agregat batu Pecah saja mempunyai nilai stabilitas diantara 800kg sampai 900 kg. Tapi nilai stabilitas batu Pecah saja masih dibawah stabilitas perkerasan yang terdiri dari campuran Batu Gamping dan Batu Pecah. Kelelehan Hasil pengujian kelelehan pada campuran perkerasan untuk semua variasi campuran dapat dilihat pada Gambar 3. 15
Batu Gamping
Kelelehan (mm)
12 9 6
Batu Gamping+Batu Pecah
3
Batu Pecah
0 4.50
5.50
6.50
7.50
8.50
9.50
Kadar aspal (%) Gambar 3. Kelelehan vs Kadar Aspal Campuran
Dari Gambar 3 ini kita dapat melihat bahwa hampir semua variasi campuran masuk ke dalam spesifikasi yang disarankan yaitu lebih kurang 3 mm.
VIM (%)
5 4 3Batu Gamping+Batu Pecah Batu Pecah
2 1 Batu Gamping
0 4.50
5.50
6.50
7.50
8.50
9.50
Kadar aspal (%) Gambar 4 Void In Mix vs Kadar Aspal Campuran
Dari Gambar 4. terlihat bahwa tidak semua nilai VIM untuk semua variasi campuran yang memenuhi spesifikasi. Hanya campuran Batu Pecah + Batu Gamping dan Batu Pecah saja yang memenuhi spesifikasi nilai VIM yaitu pada rentang kadar aspal 5,7%-6,8%. Nilai VIM ini juga merupakan indikator dari durabilitas, dimana jika rongga antar campurannya yang terlalu besar akan mengakibatkan perkerasan aspal berkurang kekedapan airnya, sehingga berakibat meningkatnya proses oksidasi aspal dan mempercepat penuaan aspal dan menurunkan sifat durabilitas aspal. VIM yang terlalu kecil akan mengakibatkan perkerasan mengalami bleeding jika temperatur meningkat karena ketidak tersedianya rongga udara untuk perkerasan menjadi lebih padat lagi akibat beban lalu lintas yang akan dialami perkerasan pada masa pelayanan. Marshall Quotient (MQ) Marshall Quotient dipengaruhi oleh nilai stabillitas dan kelelehan karena merupakan ratio antara nilai stabilitas dengan kelelehan dari campuran perkerasan. Semakin tinggi nilai Marshall Quotient maka semakin tahan campuran perkerasan tahan terhadap terjadinya keretakan akibat beban lalu lintas. Nilai Marshall Quotient untuk semua variasi campuran perkerasan yaitu Batu Gamping, Batu Pecah dan campuran
Rekayasa Material I-101
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem Manufaktur dan Energi
Batu Gamping + Batu Pecah ditampilkan pada Gambar 5 yang memperlihatkan kecenderungan dari hasil MQ untuk semua variasi campuran tersebut.
Kadar Aspal Optimum Kadar Aspal optimum adalah kadar aspal yang menghasilkan stabilitas perkerasan yang maksimum dan parameter Marshall lainnya adalah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
450
Batu Pecah
Marshall Quotient (%)
400 350 300
Nilai kadar aspal optimum yang diperoleh untuk campuran Batu Gamping saja adalah 5.7% dimana stabilitas yang dihasilkan adalah 1080 kg.
250 200 150
Batu Gamping+Batu Pecah
100
Untuk perkerasan yang menggunakan Batu Pecah saja mempunyai kadar aspal optimum adalah 7.5% dimana stabilitas maksimumnya 900 kg.
50
Batu Gamping
0 4.50
5.50
6.50
7.50
8.50
9.50
Kadar aspal (%) Gambar 5. Marshall Quotient vs Kadar Aspal Campuran
Dari Gambar 5 terlihat bahwa nilai Marshall Quotientnya tidak semua variasi campuran masuk dalam spesifikasi dari Bina Marga, yaitu 200-350 kg/mm. Nilai MQ yang paling tinggi terlihat pada campuran Batu Pecah saja. Sedangkan campuran agregat Batu Gamping dan Batu Pecah terdapat 2 komposisi kadar aspal yang masuk batas spesifikasi, yaitu 5% dan 6%. Sedangkan variasi 3 yaitu perkerasan dengan Batu Gamping saja memiliki nilai MQ yang dibawah standar spesifikasi. Void in the Mineral Agregat (VMA) Nilai VMA atau jumlah rongga diantara butir agregat juga ikut menentukan kualitas campuran perkerasan jalan. Nilai minimum rongga antar butir agregat ini adalah 15%. Kecenderungan nilai VMA untuk semua jenis variasi campuran perkerasan dapat dilihat pada Gambar 6.
23 21 VMA (%)
Dimana kadar aspal kurang dari 6,4% memiliki nilai VMA kecil dari 15 %.
17 Batu Pecah
13
Jadi penggunaan Batu Gamping sebagai alternatif material untuk perkerasan AC-WC mempunyai nilai stabilitas maksimum yang tinggi jika dicampur dengan Batu Pecah sebagai agregat Halus. Stabilitas yang dihasilkannya bisa melebihi perkerasan yang menggunakan Batu Pecah saja yang merupakan agregat yang umum digunakan untuk material perkerasan jalan. VI. KESIMPULAN Penggunaan Batu Gamping pada perkerasan lentur dengan spesifikasi campuran Asphalt Concrete – Wearing Course (AC-WC) gradasi halus mempunyai nilai Parameter Marshall yang rendah dari nilai Parameter Marshall campuran pembandingnya yang berupa Batu Pecah. Tetapi jika penggunaan agregat Batu Gamping ini dicampur dengan Batu Pecah, yaitu Agregat Kasar, dan Sedang adalah Batu Gamping sedangkan abu batunya dari Batu Pecah sebagai agregat halusnya mendapatkan nilai stabilitas yang paling tinggi yaitu 1200 kg dengan kadar aspal 5.5%.
Batu Gamping+Batu Pecah
19
15
Tetapi apabila perkerasan AC-WC ini dibentuk oleh dua jenis material yaitu Batu Gamping untuk agregat Kasar dan Agregat Sedang, dan Agregat Halusnya adalah Batu Pecah maka stabilitas yang dihasilkan menjadi lebih tinggi disbandingkan dengan kedua variasi campuran yang lainnya. AC-WC dengan Batu Gamping dan Batu Pecah menghasilkan stabilitas maksimum sebesar 1200 kg pada kadar aspal 5.5%.
DAFTAR PUSTAKA
Batu Gamping
11 4.50
5.50
6.50
7.50
8.50
9.50
Kadar aspal (%)
[1]
[2]
Gambar 6. VMA vs Kadar Aspal Campuran
Pada Gambar 6 terlihat bahwa campuran perkerasan Batu Gamping + Batu Pecah dan Batu Pecah saja memenuhi spesifikasi nilai VMA yang disyaratkan. Sedangkan perkerasan yang menggunakan Batu Gamping saja tidak semua kadar aspalnya memenuhi spesifikasi nilai VMA.
[3]
[4]
Departemen Pekerjaan Umum, Petunjuk Pelaksanaan Lapis Aspal Beton (LASTON) untuk Jalan Raya, Badan Penerbit Pekerjaan Umum, Jakarta, 1987. Khalil dan S. Anwar, “ Studi Komposisi Mineral Tepung Batu Bukit Kamang sebagai Bahan Baku Pakan Sumber Mineral,” Media Peternakan, April 2007, hlm. 18-25 Vol. 30 No. 1, ISSN 0126-0472 Sjahril, A. Zainith, A. F. Yusuf, J. Bakara, D. Kusnadi, 2002,” Inventarisasi Dan Evaluasi Mineral Non Logam di Kabupaten Agam dan Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat, Kolokium Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, (DIM) TA. 2002 SNI 06-2489-1991; Standar Pengujian Marshall
Rekayasa Material I-102
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem Manufaktur dan Energi
[5] [6]
SNI 03-2417-1991: Standar pengujian keausan dengan menggunakan mesin Los Angeles Sukirman, Silvia, Beton Aspal Campuran Panas, Granit, Jakarta, 2003.
[7]
Sukirman,Silvia, Perkerasan Lentur Jalan Raya, NOVA, Bandung, 1992.
Rekayasa Material I-103
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pemilihan Serat Alami Untuk Penguat Tabung Gas Alam (CNG) Dedi Lazuardi, Agus Sentana Program Studi Teknik Mesin Universitas Pasundan (UNPAS) Bandung, Indonesia
[email protected];
[email protected] Abstract—Salah satu issu penghematan bahan bakar adalah konversi penggunaan BBM ke BBG, yang salah satu primadonanya adalah gas alam (Natural Gas). Permasalahan yang timbul adalah pada tabung gasnya terutama untuk gas alami terkompresi (CNG, Compression Natural Gas). Karena tekanan kerja gas alam jauh lebih tinggi daripada tekanan kerja LPG, maka kita membutuhkan tabung yang lebih tebal, artinya tabung ang lebih berat. Dengan massa tabung yang lebih tinggi, maka akan kurang menguntungkan dari sisi transportasi. Salah satu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah bobot tabung, adalah menggunakan tabung COPV (Composite Overwrap Pressure Vessel), yaitu tabung yang dibungkus oleh komposit. Tabung jenis ini terdiri dari dua bagian utama, yang pertama, yaitu tabung logam bagian dalam yang biasa disebut liner yang berfungsi sebagai kedap udara untuk mencegah kebocoran dan menahan sebagian kecil beban dari tekanan gas. Yang kedua, komposit pembungkus, bagian ini mempunyai peran utama sebagai penahan beban akibat tekanan gas. Karena komposit memiliki perbandingan antara kekuatan dengan densitinya tinggi sehingga diharapkan bobot tabung keseluruhan menjadi rendah. Indonesia memiliki sumber serat alami yang berlimpah, di sini dicoba dipilih serat alami yang paling menguntungkan untuk digunakan sebagai serat komposit untuk COPV. Dari hasil karakterisasi beberapa serat alami yang pernah dilakukan serta pengujian kembali beberapa serat, kita memiliki beberapa kandidat serat alami. Beberapa serat alami yang menjadi kandidat antara lain serat ijuk, kelapa, tangkai padi dan nanas. Dengan menggunakan metoda pembobotan, antara kekuatan, densiti dan harga, serta simulasi kebutuhan serat untuk sebuah tabung. Dari hasil simulasi dan pemilihan berdasarkan pembobotan, berhasil dipilih serat alami yang paling menguntungkan, yaitu serat kelapa dan ijuk. Index Terms—Composite, natural fibre, pressure vessel, COPV.
I.
PENDAHULUAN
Krisis energi diperkirakan masih akan berlangsung lama. Salah satu kebijakan pemerintah merespon hal tersebut, adalah dengan melakukan konversi dari bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG). Konversi ini telah sukses dilakukan untuk konversi minyak tanah ke LPG, namun yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah harga LPG yang sekarang dianggap masih kurang ekonomis karena harganya yang cukup tinggi, sehingga sekarangpun masih disubsidi walau tidak sebesar subsidi BBM. Harga keekonomian LPG menurut Pertamina adalah Rp. 7.000,-/kg. Alternatif yang dimiliki Indonesia adalah potensi gas alam yang dapat diperbaharui yaitu biogas, yang banyak di produksi oleh para
petani maupun LSM penggiat lingkungan. Potensi biogas di Indonesia diperkirakan mencapai 700 juta ton setara LPG per tahun (ESDM). Potensi ini belum tergali dari sisi ekonomi, masyarakat yang memproduksi biogas tidak dapat menjualnya karena permasalahan dalam penyimpanan dan distribusi. Salah satu alternatif untuk penyimpanan dan distribusi adalah dengan mengkompresi gas kedalam tabung. Ada kendala jika kita mengkompresi gas alam (CNG = Compression Natural Gas), adalah pada tabungnya. Untuk nilai kalor yang sama dengan LPG, diperlukan volume gas alam yang lebih besar, yang artinya CNG memerlukan tekanan yang lebih besar, sehingga diperlukan tabung yang lebih tebal, yang berarti juga tabung akan lebih berat. Permasalahan bobot tabung dipecahkan dengan dua solusi, solusi pertama membuat tabung dari material komposit, dan solusi kedua membuat tabung baja (liner) dililit komposit sehingga secara keseluruhan akan memiliki bobot lebih ringan daripada tabung baja saja. Pada solusi kedua, dinding tabung baja bisa lebih tipis karena beban mekanik pada dinding tabung didistribusikan sebagian ke material baja dan sebagian lagi ke material komposit. Baja yang berada pada bagian dalam tabung lebih berfungsi sebagai lapisan anti bocor dan komposit yang berada pada bagian luar, lebih berfungsi menahan beban karena tekanan gas. Dalam penelitian ini akan dirancang dan dibuat prototip tabung gas CBG dari material gabungan baja-komposit kapasitas 3 kg, dengan inovasi pada material kompositnya. Pada penelitian ini tidak akan menggunakan serat yang sudah umum digunakan di industri, seperti serat gelas atau serat karbon, tetapi serat alami yang banyak tersedia di Indonesia dengan harga relatif lebih murah seperti serat nenas, pisang abaca, ijuk, rotan dan lain sebagainya. II.
STUDI PUSTAKA
Tabung bertekanan (pressure vessel), merupakan bejana tekan yang banyak digunakan untuk penyimpanan bulk energy seperti gas. Yang menjadi variabel utama disain tabung adalah tekanan. Tekanan yang diinginkan tergantung gas apa yang akan disimpan. Tabung bertekanan ada dua jenis, yaitu tabung baja dan tabung yang menggunakan komposit atau diperkuat dengan
Rekayasa Material I-104
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
komposit. Teknologi material dan pembuatan berkembang seiring dengan kebutuhan penyimpanan gas, terutama gas yang dikompresi pada tekanan tinggi, seperti gas alam dan gas hidrogen. Yang menjadi fokus adalah tabung bertekanan tinggi, diatas 250 bar, yaitu untuk gas alam dan gas hidrogen. Untuk kegunaan ini, tabung terdiri dari dua jenis, pertama tabung yang menggunakan jenis komposit (CPV = Composite Pressure Vessel), dimana materialnya hampir seratus persen dari komposit dan sisanya dari logam, yaitu pada bagian outlet gas. Yang kedua, komposit yang memperkuat tabung logam (COPV = Composite Overwrapped Pressure Vessel). Pada penelitian ini, subjeknya adalah tabung logam dengan penguatan komposit, dengan penekanan pada pemilihan seratnya. Tabung jenis ini memiliki dua jenis material, yaitu: a. Logam, yang berfungsi sebagai komponen anti bocor (liner), b. Serta komposit yang digulungkan/menyelimuti liner
dengan persamaan 2 dan 3 kita dapat memperoleh ketebalan liner dan komposit. III.
DATA SERAT ALAMI
Dari berbagai serat alami yang ada yang memungkinkan dipilih sebagai serat untuk tabung gas hanya diteliti dua jenis serat yaitu serat ijuk dan serat sabut kelapa. Hal ini didasarkan kepada ketersediaan kedua jenis serat tersebut sangat melimpah. Adapun data teknisnya sebagai berikut: Tabel 1. jenis serat Jenis serat kekuatan tarik (MPa) ijuk Sabut Kelapa
198
modulus elastisitas (GPa) 3.5
Massa jenis (g/cm3) 1,136
176
5
1,5
harga (IDR) 25000 5000
LINER IV. KOMPOSIT
Dengan menggunakan persamaan 1 dan 2, dengan menggunakan liner dari bahan SS304, dengan diameter tabung 2”, kita peroleh hasil sebagai berikut:
No 1 2 3
Gambar 1. Skematis COPV
Dengan persamaan kesetimbangan gaya sederhana untuk bejana berdinding tipis, tegangan keliling (hoop) pada tabung dapat dicari dengan persamaan:
di mana
=
.
(1)
Dengan demikian ketebalan tabung dapat diperoleh jika kekuatan material diketahui. Untuk material gabungan, kita dapat menggunakan persamaan: = di mana
Tabel 2. Optimasi ketebalan komposit. Ketebalan Tebal komposit dibutuhkan (mm) liner (mm) Ijuk Sabut kelapa 1 58 41 1,5 31 22 2 3 2
Dari tabel 2 di atas terlihat bahwa tebal komposit dari serat sabut kelapa lebih tipis dari pada tebal komposit serat ijuk untuk penguat tabung. Dengan massa jenis yang hampir sama, maka dapat dipastikan bahwa biaya material komposit dari sabuk kelapa akan lebih murah.
: tegangan pada dinding tabung (MPa) P : Tekanan dalam tabung (MPa) D : Diameter tabung (mm) t : tebal dinding tabung (mm)
=
.
.
V.
KESIMPULAN
Dari simulasi dan memperhatikan biaya material, maka dapat disimpulkan bahwa serat sabut kelapa lebih cocok digunakan untuk bahan komposit penguat tabung dari pada serat ijuk. REFERENCES [1]
(2) [2]
(3)
F : gaya total pada dinding (N) F1 : gaya pada liner (N) F2 : gaya pada komposit (N) A1 : luas penampang liner (mm2) A2 : luas penampang komposit (mm2) E1 : Modulus elastisitas liner (GPa) E2 : Modulus elastisitas komposit (GPa)
SIMULASI PEMILIHAN SERAT
[3]
[4]
Gaute Jensen, Pressure container for fluids, Paten, WO1999013263A, Mar 18, 1999 Mannesmann Ag, Composite pressurised container with a plastic liner for storing gaseous media under pressure , Paten WO1999027293A 2 Nov 12, 1998 Jun 3, 1999 Gusev Anatoliy Sergeevich, High pressure composite cylinder, Paten WO2003029718A 1 Sep 26, 2002 Apr 10, 2003 Makoto Matsumoto High-performance pressure vessel and carbon fiber for pressure vessel , WO2005022026A 1 Aug 26, 2004 Mar 10, 2005
Rekayasa Material I-105
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
[5]
[6]
[7] [8] [9] [10] [11] [12]
[13]
[14]
[15]
[16] [17] [18] [19]
[20]
[21]
[22]
Institut Francais Du Petrole, Method of producing a lightweight structure by expansion of a metallic reservoir inside a reinforced corrugated tube, Paten EP0497687A 1 Jan 29, 1992 Aug 5, 1992 ESSEF Corporation, Filament-wound isotensoid pressure vessels having geodesic domes, Paten EP0714753A 2 Nov 30, 1995 Jun 5, 1996 Budd Co Composite, Missile structure, Paten US3066822 Oct 19, 1959 Dec 4, 1962 Koppers Co Inc, Filament wound reinforced pressure vessel, Paten US3446385 Aug 5, 1966 May 27, 1969 Arde Inc, Filament wound spherical pressure vessel, Paten US3655085 Apr 12, 1968 Apr 11, 1972 US4369894 Dec 29, 1980 Jan 25, 1983 Brunswick Corporation Filament wound vessels Hembert Claude L Fluid tank and method of manufacturing it, Paten US4925044 Jul 21, 1988 May 15, 1990 International Business Machines Corporation, Multiple depth buffers for graphics and solid modelling, Paten US5027292 Apr 19, 1989 Jun 25, 1991 Walter H. Tam and Paul S. Griffin Pressure Systems, Inc. And Arthur C. Jackson, Jackson Consulting, DESIGN AND MANUFACTURE OF A COMPOSITE OVERWRAPPED PRESSURANT TANK ASSEMBLY, Jurnal AIAA, 2002 D. Perreux, D. Lazuardi, The effect of residual stress on the non-linear behavior of composite laminates Part I. Experimental results and residual-stress assessment, Journal Composite Sciences & Engineering, 2001 D. Perreux, D. Lazuardi, The effect of residual stress on the non-linear behavior of composite laminates Part II. Layer, laminate non-linear models and the effect of residual stress on the model parameter, Journal Composite Sciences & Engineering, 2001 D. Lazuardi, Pembuatan pipa komposit GFRP dengan teknik filament winding, Seminar Piping UNIBRAW, 2001 D. Lazuardi, Komposit Serat Tangkai Padi-Epoxy, Seminar Teknoin UII Yogyakarta, 2003 D. Lazuardi, Komposit serat nanas-polyester, Seminar SNTTM Unand Padang, 2003 D. Lazuardi, THE INFLUENCE OF WINDING ANGLE ON THE INTERLAMINATE DAMAGE IN THE NONLINEAR BEHAVIOR OF LAMINATE COMPOSITE TUBE, IMTCE-06 Kualalumpur Malaysia, 2006 D. Lazuardi, Pembuatan Sudu Turbin Mikrohidro dari material Komposit Ijuk-Polimer, Seminar Nasional RITEKRA FT-ATMAJAYA, 2011 D. Lazuardi, Pembuatan Sudu Turbin Mikrohidro dari material Komposit Ijuk-Polimer dengan metoda Vacuum Bag, Seminar Nasional Teknik Mesin Jogjakarta, 2012 D. Lazuardi, Pembuatan Sudu Turbin Mikrohidro 550 watt dengan Teknik VARI, Seminar Nasional Teknik Mesin, Bandar Lampung, 2013
Rekayasa Material I-106
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Karakterisasi Mekanis dan Fisis Pada Permukaan Tool Steel HSS (High Speed Steel) Dengan Teknik Perlakuan Panas Saifudin Program Studi Mesin Otomotif, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Magelang Jl. Bambang Sugeng KM.5 Magelang E-mail :
[email protected]
Abstract—Baja perkakas HSS (High Speed Steel) banyak digunakan pada aplikasi bidang teknik terutama sebagai alat iris / potong. Bahan ini masih mempunyai kelemahan yaitu cepat aus dan mudah terkorosi. Kelemahan tersebut dapat dikurangi dengan memberikan perlakuan panas tertentu pada baja HSS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan panas quenching dan tempering terhadap sifat fisis dan mekanis permukaan baja HSS. Sifat fisis yang akan diteliti adalah struktur mikro, sedang sifat mekanis yang ingin diketahui adalah kekerasan dan laju keausan. Baja HSS memiliki variasi komposisi kimia (% berat): 1,15 C; 1,57 Si; 0,32 Mn; 5,43 Cr; 1,43 W dan 0,68 Mo. Perlakuan panas quenching diikuti tempering dengan variasi suhu temper 200, 250, 300, 350, 400, 450, 500 dan 550 oC. Kekerasan permukaan dapat diketahui dengan menggunakan alat uji kekerasan mikro Vickers dan laju keausan diperoleh dengan uji keausan. Sedangkan struktur mikro dan komposisi kimia diamati dengan mikroskop optik. Hasil penelitian menunjukkan nilai kekerasan bervariasi sesuai suhu tempering. Perlakuan panas quenching diikuti tempering dengan suhu temper 550oC dapat menurunkan kekerasan permukaan tool steel HSS sebesar 67% disertai dengan penurunan keausan. Kata Kunci : HSS, quenching, tempering, sifat fisis dan mekanis.
Viktor Malau Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No.2, Yogyakarta 55281
Physival Vapor Deposition (PVD) atau dengan teknik Chemical Vapor Deposition (CVD) dengan tebal lapisan sekitar 3 m sering dilapiskan pada permukaan baja HSS, tetapi hasilnya tidak begitu memuaskan serta biaya proses pelapisannya masih mahal. Belakangan ini lapisan Diamond Like Carbon (DLC) telah dikembangkan untuk mendapatkan lapisan keras pada permukaan spesimen (termasuk alat iris/potong) dan lapisan ini dapat diaplikasikan pada bidang teknik dan bidang kedokteran (biocompatible) untuk komponen-komponen orthopedics, cardiovascular dan guidewires (Dearnaley and Arps, 2005). Lapisan DLC pada permukaan spesimen dapat diperoleh dengan teknik Chemical dan Physical Vapor Deposition (CVD dan PVD) seperti filament-assited CVD, filtered cathodic vacuum arc, microwave plasma-assisted deposition, massassisted ion beam deposition, pulse laser deposition (Xingbin Yan, dkk, 2004), RF magnetron sputtering (Sanchez, dkk, 2000), plasma source ion implantation and deposition (Dearnaley and Arps, 2005). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lapisan DLC dapat diaplikasikan dalam bidang engineering dengan sifat-sifat yang sesuai kebutuhan (kekerasan dan modulus elastis tinggi, koefisien gesek, laju keausan dan laju korosi rendah) dan bidang kedokteran karena sifat biocompatible dari lapisan DLC. Sifat-sifat yang dihasilkan akan tergantung pada bahan yang dilapisi/ logam dasar, teknik pelapisan dan parameter pelapisan (suhu kerja, tekanan, lama pelapisan, energi pelapisan) dan material sumber untuk menghasilkan lapisan DLC.
I. PENDAHULUAN Baja perkakas (tool steels), termasuk High Speed Steels (HSS) banyak digunakan dalam industri manufaktur sebagai alat iris. Pada umumnya bahan HSS banyak dijumpai di lapangan dengan berbagai merk dan perusahaan serta negara pembuatnya. Baja HSS masih memiliki kelemahan yaitu cepat aus dan terkorosi serta kurang keras sehingga umur (lifetime) bahan ini menjadi pendek. Laju keausan dan korosi akan semakin besar jika mekanisme keausan dan korosi terjadi secara simultan (Mesa, dkk, 2003). Salah satu usaha untuk mengatasi kelemahan ini adalah dengan memberi lapisan yang lebih keras, tahan aus dan korosi pada permukaan HSS dengan berbagai teknik pelapisan. Lapisan TiN atau TiC yang diperoleh dengan teknik
II. METODE PENELITIAN Benda uji diperoleh dengan cara memotong bahan menurut ukuran dan bentuk sesuai standard pengujian, lalu permukaan spesimen dihaluskan dengan kertas amplas dan autosol. Penelitian dilakukan dengan dua tahap pengujian. Pengujian tahap pertama dilakukan terhadap bahan dasar (raw material) berupa baja HSS.
Rekayasa Material I-107
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
tertentu dengan waktu tahan tertentu pula, lalu didinginkan perlahan dengan cara mengeluarkan spesimen dari dapur pemanas dan diletakkan di udara luar. Gambar 3. dibawah ini, menunjukkan hasil uji kekerasan yang paling tinggi terjadi pada spesimen yang telah mengalami perlakuan quenching yaitu sebesar 778,3 VHN dan kekerasan yang paling rendah terjadi pada spesimen yang telah mengalami perlakuan tempering dengan suhu temper 550oC yaitu sebesar 513,8 VHN.
Gambar 1. Skema proses quenching dan tempering
Pengujian kedua dilaksanakan terhadap spesimen yang telah mendapat perlakuan panas quench dan temper serta terhadap spesimen yang dilapisi dengan DLC. Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian keausan, kekerasan, pengujian korosi, pengujian komposisi kimia dan pengamatan struktur mikro dengan mikroskop optik.
Gambar 3. Grafik Hasil Uji Kekerasan
Gambar 2. Skema sistem plasma CVD III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Material Penelitian Hasil uji komposisi kimia material pahat potong HSS seperti Tabel 1. di bawah ini.
C. Struktur Mikro Tujuan dari pengamatan struktur mikro adalah untuk mengetahui bentuk dan batas butir. Baja kecepatan tinggi (high speed steel) yang sudah dipoles dengan ampelas, digosok dengan pasta intan dan dietsa dengan nital 2%. Struktur mikronya dapat dilihat seperti ditunjukan pada Gambar 4. dibawah ini.
Tabel 1. Komposisi Kimia Pahat HSS
Berdasarkan hasil uji komposisi kimia tersebut, maka material pahat potong yang digunakan termasuk High Speed Tool Steels standard ASTM A 600-92a (1999) type T15 yang merupakan hasil paduan baja dengan tungsten dan molybdenum tanpa dilunakkan dengan kararakteristik mampu mempertahankan nilai kekerasan pada suhu 300~700 C. (ASTM-Handbook of comparative world steel standard). B. Uji Kekerasan Proses quenching dilakukan dengan cara memanaskan spesimen sampai mencapai suhu austenisasi yaitu 950oC dan ditahan dalam selang waktu 1 jam agar spesimen memiliki suhu yang sama sampai ke bagian tengah (sumbunya). Selanjutnya spesimen didinginkan cepat dengan cara mencelupkan ke dalam media pendingin Oli. Bahan yang telah mendapat perlakuan quenching akan memiliki kekerasan tinggi. Tetapi bahan yang terlalu keras tidak dikehendaki oleh user karena sifat terlalu keras tersebut membuat bahan menjadi getas (gampang patah). Sifat getas bahan dapat dikurangi dengan melakukan proses tempering yaitu dengan cara memanaskan ulang bahan yang telah mendapat perlakuan quenching sampai suhu temper
Gambar 4. Struktur mikro high speed steel dengan perbesaran 160x.
Gambar 4. menunjukkan struktur mikro HSS terdiri dari jarum-jarum martensit dalam butiran austenit kasar. Struktur ini dikeraskan dengan dipanaskan pada batas atas jangkauan yang diijinkan sehingga bahan HSS ini mampu mempertahankan nilai kekerasan pada suhu 300~700oC tetapi tidak tahan terhadap keuletan.
Gambar 5. Struktur mikro high speed steel hasil quenching dengan perbesaran 160x.
Rekayasa Material I-108
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Gambar 5. menunjukkan spesimen HSS yang telah mendapat perlakuan quenching ini akan memiliki kekerasan tinggi dengan struktur martensit dan mempunyai butir halus. Martensit terjadi akibat pendinginan cepat dari temperatur Austenite. Akibat quenching (pendinginan cepat) dengan oli menyebabkan karbon tidak dapat berdifusi keluar dan terperangkap didalam larutan jenuh sehingga terbentuk fase Martensite (dalam bentuk BTC) dengan tranformasi geser.
Laju keausan dinyatakan dengan jumlah kehilangan/ pengurangan material (massa, volume atau ketebalan) tiap satuan panjang luncuran atau satuan waktu. Keausan spesifik dihitung berdasarkan lebar keausan benda uji yang termakan oleh pengaus yang berputar. Keausan spesifik (Ws dalam mm3/kgmm) diungkapkan dengan rumus (Manual Book, 2000)
Ws
B. b 3 8. r . Po . l o
dengan: B = lebar disk (piringan) pengaus (mm), b = lebar keausan pada benda uji (mm), r = radius piringan pengaus (mm), Po = beban tekan pada saat pengausan (kg) dan lo = jarak tempuh dari proses pengausan (mm).
a. Temper 200oC
d. Temper 250oC
b. Temper 350oC
e. Temper 450oC Gambar 7. Grafik Hasil Laju Keausan
c. Temper 500oC
f. Temper 550oC
Gambar 6. Struktur mikro high speed steel hasil Temper dengan perbesaran 160x.
Gambar 6. menunjukkan struktur mikro HSS yang telah mengalami perlakuan tempering. Struktur mikro HSS terdiri dari jarum-jarum martensit dalam butiran austenit kasar dengan karakteristik mampu mempertahankan nilai kekerasan pada suhu 300~700oC tetapi getas sehingga tidak tahan terhadap keuletan. Sifat getas bahan HSS dapat dikurangi dengan melakukan proses tempering yaitu dengan cara memanaskan ulang bahan yang telah mendapat perlakuan quenching sampai suhu temper tertentu dengan waktu tahan 1 jam, lalu didinginkan perlahan dengan cara mengeluarkan spesimen dari dapur pemanas dan diletakkan di udara luar. Variasi suhu temper mulai 200, 250, 300, 350, 400, 450, 500 dan 550oC. Dari gambar 6. diatas dapat dijelaskan, pada suhu temper 550oC bentuk butiran menjadi besar sehingga bahan menjadi lebih lunak dan ulet. Hal ini juga sesuai dengan hasil pengujian kekerasan spesimen HSS dengan suhu temper 550oC mengalami penurunan kekerasan menjadi sebesar 513,8 VHN. D. Laju Keausan
Hasil pengujian laju keausan seperti pada gambar 7. diatas, menunjukkan laju keausan yang paling tinggi terjadi pada spesimen yang telah mengalami perlakuan tempering dengan suhu temper 200oC yaitu sebesar 0,575 Ws dan laju keausan yang paling rendah terjadi pada spesimen yang telah mengalami perlakuan quenching yaitu sebesar 0,135 Ws. Hal ini juga sesuai dengan hasil pengujian kekerasan, dimana pada perlakuan quenching menunjukkan nilai kekerasan yang paling tinggi sebesar 778,3 VHN. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pengaruh quenching terhadap struktur mikro dan sifat mekanis adalah : a. Spesimen HSS yang telah mendapat perlakuan quenching akan memiliki struktur martensit dan mempunyai butir halus. Martensit terjadi akibat pendinginan cepat dari temperatur Austenite. Akibat quenching (pendinginan cepat) dengan oli menyebabkan karbon tidak dapat berdifusi keluar dan terperangkap didalam larutan jenuh sehingga terbentuk fase Martensite (dalam bentuk BTC) dengan tranformasi geser. b. Dengan quenching akan menaikkan nilai kekerasan spesimen HSS tetapi bersifat getas dan tidak ulet. 2. Nilai kekerasan bervariasi sesuai suhu tempering. Perlakuan panas quenching diikuti tempering dengan
Rekayasa Material I-109
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi suhu temper 550oC dapat menurunkan kekerasan permukaan tool steel HSS sebesar 61%. Pada suhu temper 550oC bentuk butiran menjadi besar sehingga bahan menjadi lebih lunak. 3. Suhu temper optimum untuk untuk memperoleh laju keausan terkecil dari baja HSS adalah suhu temper 350oC - 450oC . B. Saran Untuk memperoleh keuletan yang optimal pada pahat potong HSS maka disarankan menggunakan perlakuan quenching diikuti tempering dengan suhu temper 350 oC 450 oC. V. DAFTAR PUSTAKA [1] Ahmed, M.H., Byrne, J.A., McLaughlin, J.,2012, Evaluation of glycine adsorption on diamond like carbon (DLC) and fluorinated DLC deposited by plasma-enhanced chemical vapour deposition (PECVD), Surface and Coatings Technology, Vol. 209, pp. 8-14. [2] Almeida, C.N., Ramos, B.C., Da-Silva, N.S., Pacheco-Soares, C., Trava-Airoldi, V.J., Lobo, A.O., Marciano, F.R., 2013, Morphological analysis and cell viability on diamond-like carbon films containing nanocrystalline diamond particles, Applied Surface Science xxx, pp. xxx– xxx, journal home page: www.elsevier.com/loc ate/apsusc.
[3] Bao, T., Morrison Jr, P.W., Woyczynski, W.A., 2005, Parametric optimization of microhardness of diamond-like carbon films prepared by plasma enhanced chemical vapor deposition, Thin Solid Films 485, pp. 27 – 41 [4] Chen Xinchun, Zhijian Peng, Zhiqiang Fu, Sudong Wu, Wen Yue, Chengbiao Wang, 2011, Microstructural, mechanical and tribological properties of tungsten-gradually doped diamond-like carbon films with functionally graded interlayers, Surface & Coatings Technology 205, pp. 3631–3638. [5] Cho, H., Kim, S., Ki, H., 2012, Pulsed laser deposition of functionally gradient diamond-like carbon (DLC) films using a 355 nm picosecond laser, Acta Materialia 60, pp. 6237–6246. [6] Dearnaley, G., Arps, J. H., 2005, Biomedical application of diamond-like carbon (DLC) coatings: A review, Surface & Coatings Technology 200, pp. 2518-2524. [7] Fu Zhiqiang, Sun Jian, Wang Chengbiao, Zhang Wei, Yue Wen, Peng Zhijian, Yu Xiang, Lin Songsheng, Dai Mingjiang, 2013, Tribological performance of DLC coatings deposited by ion beam deposition under dry friction and oil lubricated conditions, Vacuum 94, pp. 14-18. [8] Gun-Ho Noh, Adela Bordeanu, Ju-kyung Lee, Jae-Chul Pyun, 2003, Development of a diamond-like carbon (DLC) electrode for brake fluid monitoring, Current Applied Physics 9, pp. 243– 245 [9] Jian Sun, Zhi-qiang Fu, Wei Zhang, Cheng-biao Wang, Wen Yue, Song-sheng Lin, Ming-jiang Dai, 2013, Friction and wear of Cr-doped DLC films under different lubrication Conditions,Vacuum94,pp.1-5.
Rekayasa Material I-110
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Analisis Pengaruh Perlakuan Panas Berdasarkan Diagram TTT dan CCT Terhadap Sifat-Sifat Mekanik Hasil Pengelasan Baja Karbon Menengah Dengan Pengelasan SMAW ( Shielded Metal Arc Welding) Edi Rande Padang
Johannes Leonard dan Rafiuddin Syam
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected]
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected] [email protected]
Abstract—Steel welding process will result in a steel having an uneven temperature distribution so that the resulting residual stresses and shape changes that affect the strength of the welding connection.This study aims to investigate the effect of heat treatment on the mechanical strength and micro- structure of medium carbon steel (EMS 45) welding. The welding result is obtained using SMAW. It involves a camparison between the welding treated with heat of varying temperatures: of 450° C; 650° C and 850 ° C and the one without treatment. The method used was testing experiment.The data were collected through direct testing with testing equipment. The test is on tensile nature of the weld, the hardness and picture taking of its micro-structure. The data were then theoretically analysed based on laboratory experiment. The reveals that the best mechanical strength obtained is through heating process with the temperature of 450C. On the specimens Q0 (raw material) the tensile strength is σu = 74.45 kgf/mm2. On specimen Q1 it is σu = 64.07 kgf/mm2, specimen Q2 (TTT),it is obtaned σu = 71.24 kgf/mm2 and specimens Q2 (CCT) it is obtained σu = 67.50 kgf/mm2. The average hardness value decreases. The micro-structure photos of Q1 and Q2 indicate that perlite and Ferrite are evenly distributed of the specimen. Keywords: Steels EMS 45, Tensile Strength, Hardness, microstructure
I. PENDAHULUAN Pengelasan merupakan salah satu cara untuk menyambung dua logam atau lebih yang menggunakan berbagai macam proses las yaitu OAW, TIG, MIG, SMAW, SAW dan lain-lain. Salah satu proses las yang umum digunakan adalah dengan shielded metal arc welding (SMAW) dimana proses tersebut menggunakan elektroda sebagai kawat pengisi yang tersedia dalam berbagai ukuran [7]. Dalam proses pengelasan, bagian yang dilas menerima panas pengelasan setempat dan selama proses berjalan suhunya berubah terus sehingga distribusi suhu tidak merata. Karena panas tersebut, maka di daerah pengelasan dan daerah pengaruh panas ( HAZ) baja karbon mengalami pengerasan, terjadi pengembangan termal. Sedangkan bagian yang dingin tidak berubah sehingga bisa terjadi perubahan bentuk, yang dengan sendirinya terjadi regangan maka terjadi juga tegangan yang sifatnya tetap yang disebut tegangan sisa. Tegangan sisa dan perubahan bentuk yang terjadi sangat mempengaruhi sifat
dan kekuatan dari sambungan ,karena itu usaha untuk mengatur dan mengurangi tegangan sisa serta perubahan bentuk sangat penting dalam pengelasan [9]. Salah satu cara untuk mengurangi permasalahan diatas yaitu dengan melakukan pemanasan akhir setelah pengelasan atau perlakuan panas pasca pengelasan ( post welding heat treatment). Perlakuan panas dapat didefinisikan sebagai kombinasi perlakuan yang melibatkan pemanasan dan pendinginan yang diatur dengan tujuan untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu antara lain mengurangi kekerasan didaerah pengelasan dan daerah HAZ, meningkatkan ketangguhan ( toughness), meningkatkan keuletan( ductility) dan meningkatkan daya tahan terhadap retak karena faktor lingkungan dan karat [2]. Ada berbagai jenis proses perlakuan panas yang dilakukan untuk memenuhi persyaratan sifat-sifat yang dibutuhkan. Pemanasan baja sampai pada suhu kritis 723° C, dimana struktur baja tidak berubah di bawah temperatur tersebut. Untuk pemanasan diatas diatas suhu kritis 723° logam akan mengalami perubahan struktur, perubahan tersebut tergantung pada waktu dan proses pendinginan yang diberikan . Baja karbon menengah merupakan logam yang memiliki sifat mampu las (weldability) yang cukup tetapi peka terhadap retak dingin ( Underbead Crack) karena meningkatnya sifat hardenability dan kekuatan material, logam ini juga bersifat mampu diperlaku-panaskan ( heat treatble), mampu mesin( machinability) yang memiliki banyak keunggulan dan sering digunakan di dalam industri-industri [6]. Perubahan fasa yang terjadi pada proses perlakuan panas akan terlihat dalam pengamatan struktur mikro, perubahan struktur mikro yang terjadi akan mempengaruhi sifat-sifat mekanik dari baja tersebut. Pada penelitian ini ingin diketahui pengaruh perlakuan panas pasca pengelasan terhadap kekuatan tarik,kekerasan dan perubahan struktur mikro pada baja karbon menengah.
Rekayasa Material I-111
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
II. LANDASAN TEORI Menurut DIN (Deutsche Industrie Normen) pengelasan adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Dengan kata lain, las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas, dengan atau tanpa menggunakan tekanan (pressure), atau hanya tekanan, dengan atau tanpa menggunakan logam pengisi (filler). Salah satu teknik pengelasan yang dikenal dalam penyambungan baja adalah proses pengelasan busur las (Arc Welding) diantaranya adalah GTAW (Gas Tungsten Arc Welding) dan SMAW (Shielded Metal Arc Welding), yang digunakan dalam penelitian ini.SMAW biasa disebut pengelasan stick, atau pengelasan elektroda tertutup,adalah proses pengelasan busur secara manual dimana busur dihasilkan antara elektroda consumable tertutup fluks dan benda kerja. Proses menggunakan dekomposisi dari fluks yang menutupi untuk menghasilkan gas pelindung dan untuk menyediakan elemen-elemen fluks untuk melindungi tetesan logam las cair dan weld pool. Perlakuan panas adalah kombinasi dari operasi pemanasan dan pendinginan dengan kecepatan tertentu yang dilakukan terhadap logam atau paduan dalam keadaan padat, sebagai suatu upaya untuk memperoleh sifat-sifat tertentu. Proses laku-panas pada dasarnya terdiri dari beberapa proses, dimulai dengan pemanasan sampai ke temperatur tertentu (proses austenisasi) ; dalam hal ini bentuk bahan tidak berubah (kecuali perubahan akibat regangan panas), lalu diikuti dengan penahanan selama beberapa saat, baru kemudian dilakukan pendinginan dengan kecepatan tertentu, yang akan menghasilkan fasa akhir yang terbentuk berbeda-beda. Sifat mekanik tidak hanya tergantung pada komposisi kimia suatu paduan, tetapi juga tergantung pada struktur mikronya. Suatu bahan dengan komposisi kimia yang sama dapat memiliki strukturmikro yang berbeda, dan sifat mekaniknya akan berbeda [7]. Strukturmikro tergantung pada proses pengerjaan yang dialami, terutama proses laku-panas yang diterima selama proses pengerjaan. Diagram TTT dan CCT Diagram TTT adalah sebuah gambaran dari suhu (temperatur) terhadap waktu logaritma untuk baja karbon dan baja paduan dengan komposisi tertentu. Diagram ini biasanya digunakan untuk menentukan kapan transformasi mulai dan berakhir pada perlakuan panas yang isothermal (temperatur konstan) sebelum menjadi campuran austenite. Ketika austenite didinginkan secara perlahan-lahan sampai pada suhu dibawah temperatur kritis, struktur yang terbentuk ialah Perlit. Semakin meningkat laju pendinginan, suhu transformasi pearlite akan semakin menurun. Struktur mikro dari materialnya berubah dengan pasti bersamaan dengan meningkatnya laju pendinginan. Dengan memanaskan dan mendinginkan sebuah contoh rangkaian, transformasi austenite mungkin dapat dicatat. Diagram TTT menunjukkan kapan transformasi dimulai dan berakhir secara spesifik dan diagram ini juga menunjukkan berapa persen austenit yang bertransformasi pada saat suhu yang dibutuhkan tercapai. Peningkatan kekerasan dapat tercapai melalui kecepatan pendinginan dengan melakukan pendinginan dari suhu yang dinaikkan
seperti berikut: pendinginan furnace, pendinginan udara, pendinginan oli, cairan garam, air biasa, dan air asin.
Gambar 1.Diagram TTT( Time,Temperature ,Trasformation)
Diagram CCT merupakan diagram Temperatur (T) dan Waktu (t) yang bermanfaat untuk memprediksi struktur mikro dan harga kekerasan di bawah laju pendinginan tertentu. Selain memperlihatkan hubungan tempertur dan waktu ,pada diagram ini juga terdapat fasa-fasa yang mungkin terjadi pada kasus pendinginan tertentu. Garis-garis yang ada pada diagram CCT merupakan batas antara satu fasa dengan fasa yang lain .
Gambar 2.Diagram CCT ( Continuous Cooling Transformation)
Pengujian Sifat-Sifat Mekanis Pengujian tarik bertujuan untuk mengetahui tegangan, regangan, modulus elastisitas bahan dengan cara menarik spesimen sampai putus. Dasar yang digunakan untuk mengetahui kekuatan tarik dari suatu material adalah kurva tegangan - regangan. Donan (1952) menyatakan, The parameters which are used to describe the stress - in curve of metals are the tensile strength, yield strength, percent elongation and reduction of area. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa komponen-komponen utama dari kekuatan tarik adalah kekuatan maksimum (tensile strength), tegangan luluh dari material, regangan yang terjadi saat penarikan dan pengurangan luas penampang. Proses pengujian kekerasan dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bahan terhadap pembebanan dalam
Rekayasa Material I-112
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
perubahan yang tetap, artinya ketika gaya tertentu diberikan pada suatu benda uji dan karena pengaruh pembebanan benda uji akan mengalami deformasi. Harga kekerasan bahan tersebut dapat dianalisis dari besarnya beban yang diberikan terhadap luasan bidang yang menerima pembebanan. Pengujian kekerasan logam ini secara garis besar ada tiga metode yaitu penekanan, goresan, dan dinamik. Proses pengujian yang mudah dan cepat dalam memperoleh angka kekerasan yaitu dengan metode penekanan. Dikenal ada tiga jenis metode penekanan, yaitu : Rockwell, Brinnel, Vickers, yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pengujian kekerasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode rockwell yang paling banyak dipergunakan. Hal ini disebabkan oleh sifat - sifatnya, yaitu cepat, bebas dari kesalahan manusia, mampu membedakan kekerasan pada baja yang diperkeras, ukuran bekas penekanannya relatif kecil, sehingga bagian yang mendapatkan perlakuan panas, dapat diuji kekerasannya tanpa menimbulkan kerusakan. Uji ini mengukur kedalaman bekas penekanan pada beban yang konstan sebagai ukuran kekerasan. Struktur bahan dalam orde kecil sering disebut struktur mikro. Struktur ini tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi harus menggunakan alat pengamat struktur mikro diantaranya : mikroskop cahaya, mikroskop electron, mikroskop field on, mikroskop field emission dan mikroskop sinar-X. Penelitian ini menggunakan mikroskop cahaya, adapun manfaat dari pengamatan struktur mikro ini adalah Mempelajari hubungan antara sifat-sifat bahan dengan struktur dan cacat pada bahan dan memperkirakan sifat bahan jika hubungan tersebut sudah diketahui. Sebelum benda uji diamati pada mikroskop optik, benda uji tersebut harus melewati tahap-tahap preparasi. Tujuannya adalah agar pada saat diamati benda uji terlihat dengan jelas, karena sangatlah penting hasil gambar pada metalografi. Semakin sempurna preparasi benda uji, semakin jelas gambar struktur yang di peroleh.
maka kekuatan tarik material menurun dan kekerasan yang terjadi juga secra umum menurun. Pengujian tarik Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui parameter kekuatan tarik (ultimate strength) maupun luluh (yield strength), parameter kaliatan/keuletan yang ditunjukan dengan adanya prosentase perpanjangan (elongation) dan prosentase kontraksi atau reduksi penampang (reduction of area) maupun bentuk penampang patahan. Perpatahan spesimen tanpa perlakuan panas terjadi di tengah spesimen yaitu di daerah logam las (weld metal), sedangkan spesimen dengan pemanasan 450 0C, 650 0C dan 850 0C perpatahan masingmasing terjadi di daerah HAZ. Untuk pengujian tarik spesimen di bentuk mengacu pada spesimen berpenanpang dengan menggunakan standar ASTM E 8M. Berdasarkaan standar tersebut benda uji dibentuk dengan menggunakan mesin frais sesuai ukuran yang ada pada standar tersebut. Hasil pengujian tarik yang dilakukan dimasukkan dalam tabel kemudian di bandingkan antara yang dilakukan proses perlakuan panas dengan yang tidak dilakukan perlakuan panas berdasarkan diagram TTT dan CCT. Adapun hasil pengujian tarik dilihat padaTabel 1. Tabel 1a.Hasil Pengujian Tarik Perlakuan panas 450° C Kekuatan (kgf/mm2)
Spesimen
Regangan (%)
(Q0)
σu 74,45
σy 62,28
Ε 10,90
(Q1)
64,07
52,80
10,17
TTT (Q2)
71,24
61,00
9,10
CCT (Q2)
67,50
55,40
8,47
Tabel 1a.Hasil Pengujian Tarik Perlakuan panas 650° C Kekuatan (kgf/mm2)
Spesimen
Regangan (%)
III. METODOLOGI PENELITIAN
(Q0)
σu 74,45
σy 62,28
Ε 10,90
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah pengaruh perlakuan panas terhadap sifat-sifat mekanis bahan. Dalam penelitian ini menggunakan material baja karbon menengah( EMS 45). Material yang sudah di las dipotong dengan menggunakan gergaji dan di milling(frais) untuk membentuk spesimen uji sesuai dengan standar ASTM E 8M untuk uji tarik dan ASTM E 12 untuk uji kekerasan. Spesimen pengujian tarik terdiri dari 15 buah yang terdiri dari 3 buah pembanding utama (raw material), 3 buah sebagai spesimen uji tarik tanpa perlakuan panas , 9 buah dengan perlakuan panas TTT dan 9 buah dengan perlakuan panas CCT dengan masing-masing variasi suhu 450° C, 650 ° C dan 850 °C .
(Q1)
64,07
52,80
10,17
TTT (Q2)
64,19
49,33
8,63
CCT (Q2)
62,17
54,07
9,03
Tabel 1a.Hasil Pengujian Tarik Perlakuan panas 850° C Kekuatan (kgf/mm2)
Spesimen (Q0) (Q1) TTT (Q2) CCT (Q2)
σu 74,45 64,07 55,88 51,44
Regangan (%) σy 62,28 52,80 36,00 43,99
Ε 10,90 10,17 9,43 8,6
IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data pengaruh perlakuan panas terhadap hasil pengelasan. Data hasil penelitian ini digunakan tiga variasi suhu , yaitu masingmasing 450° C, 650 ° C dan 850 °C. Pada setiap pemanasan yang terjadi, semakin tinggi suhu pemanasan yang dilakukan
Pengujian Kekerasan Pengujian kekerasan dalam penelitian ini dilakukan berurutan dari tengah lasan kekanan di tandai dengan (+) dan kekiri ditandai (-) pada setiap jarak (5 mm). Pengujian kekerasan dimulai dengan spesimen raw materials dan dilanjutkan pada spesimen yang dilas, tanpa perlakuan panas
Rekayasa Material I-113
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
dan dengan perlakuan panas . Pegujian kekerasan yang di buat dengan standar ASTM E18, dimana indentor yang di gunakan dalam pengujian ini adalah menggunakan metode Rockwell C dengan indentor berbentuk kerucut, material indentor menggunakan intan , sudut puncak indentor 120°. Pengujian kekerasan dilakukan untuk mengetahui distribusi kekerasana pada masing-masing daerah logam induk ,HAZ dan logam lasan. Secara umum, hasil pengujian kekerasan yang didapat. Peningkatan suhu menyebabkan penurunan kekerasan di daerah logam induk pada spesimen dengan pemanasan 450 0 C, 650 0C dan 850 0C bila di bandingkan dengan spesimen tanpa pemanasan . Penurunan kekerasan tersebut karena pengaruh panas yang menghasilkan efek anil ( annealing). Gambar 3 memperlihatkan hasil pengujian kekerasan dengan perlakuan panas berdasarkan diagram TTT dan CCT.
Gambar 3a.Hasil pengujian kekerasan TTT
Pengujian Struktur Mikro ( Metallografi) Pengamatan visual menunjukkan bahwa manik (rigi-rigi) hasil las pada tiap spesimen mengalami perubahan dengan meningkatnya suhu pemanasan. Hal ini dimungkinkan oleh pengaruh temperatur pemanasan
Gambar 3b.Hasil pengujian kekerasan CCT
pada proses perlakuan panas logam induk dan logam pengisi menyatu dengan baik. Pengamatanstruktur mikro pada fasa tersebut dimunculkan dengan dietsa oleh larutan HNO3 dan pembesaran yang diambil adalah 200x, dari pembesaran tersebut 10 garis yang terdapat dalam foto mewakili jarak 50 μm. Pengamatan struktur mikro pada logam las, HAZ dan logam induk dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik. Pengamatan struktur mikro tanpa perlakuan panas dan dengan perlakuan panas 450 0C, 650 0C dan 850 0C terlihat bahwa secara umum struktur mikro yang terbentuk melewati dominan pada area Pearlit dan Ferit. V. KESIMPULAN Dari hasil analisa dan pengujian percobaan diatas , dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:. 1. Pengaruh perlakuan panas hasil pengelasan, kekuatan tarik ( tensile strength) pada sambungan las semakin meningkat pada temperatur 4500 C dan diatas temperatur 4500 C semakin menurun, hal ini karena adanya perubahan ukuran butiran pada logam. Nilai kekerasan logam las baik tanpa pemanasan maupun dengan pemanasan relatif sama , sedangkan pada HAZ dan Logam Induk menurun. 2. Dari gambar foto struktur mikro nampak pada logam las bahwa secara umum hasil pengelasan didaerah logam las pearlit dan ferit sebelum dipanaskan butiran agak besar dan jaraknya berjauhan, setelah dipanaskan dengan variasi suhu mengecil dan menyebar merata. Pada HAZ dan logam induk terjadi perubahan pada perlit dan ferit yang cenderung lebih merata pada permukaan dan lebih besar 3. Suhu di bawah 7230C lebih baik untuk pemanasan kembali hasil lasan pada baja ini, pada penelitian ini yaitu suhu 4500C. Pada suhu tersebut terjadi peningkatan kekuatan tarik.
DAFTAR PUSTAKA [1] ASM Handbook, Volume 4. (1991). Heat Treating. United States of America: ASM International The Materials Information Company. [2] Callister, D. William Jr. (2001). Fundamentals of Materials Science and Engineering, Fifth Edition. New York : John Wiley & Sons, Inc. [3] G. Totten, M. Howes, T. Inoue. (2002). Handbook of Residual Stress and Deformation of Steel. United States of America: ASM International. [4] Schönmetz Alois,Ing. Gruber, Karl. (1994). Pengetahuan Bahan dalam Pengerjaan Logam. Bandung: Angkasa. [5] Smallman, R.E. dan Bishop, R.J. (2006). Metalurgi Fisik Modern & Rekayasa Material, edisi keenam. Jakarta : Erlangga. [6] Suharno. (2008). Prinsip-prinsip Teknologi dan Metalurgi Pengelasan Logam, Cetakan Pertama , LPP UNS dan UNS Press, Surakarta. [7] Sonawan, H., dan Suratman, R. (2006). Pengantar Untuk Memahami Proses Pengelasan Logam, Cetakan Kedua, Penerbit Alfabeta, Bandung, email:
[email protected]
Rekayasa Material I-114
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
[8] Wibisono, Yusuf. (2005). Metode Statistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. [9] Wiryosumarto, H., dan Okumura, T. (1996). Teknologi pengelasan logam, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
[10] Van Vlack, Lawrence. (2004). Elemen-elemen Ilmu dan Rekayasa Material, 6th Edition . Jakarta : PT. Erlangga.
Rekayasa Material I-115
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengaruh Variasi Temperatur Perlakuan Panas Terhadap Sifat Mekanis Baja Karbon Sedang La Atina Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau e-mail:
[email protected]
Johannes Leonard Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Makassar e-mail:
Abstrak : Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh variasi
pendinginannya. Dalam proses variasi temperatur perlakuan panas akan terjadi transformasi fasa dimana selalu diikuti oleh perubahan volume. Akibat terjadinya perubahan volume dari suatu material, maka akan menimbulkan internal stress pada material tersebut sehingga dapat menghasilkan cacat yang tidak diinginkan seperti keretakan atau distorsi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perlakuan pada suhu pemanasan, laju pendinginan dan lingkungan atmosfir [3]. Ketangguhan perpatahan dari suatu material dapat berubah bergantung pada medan elastic-plastis di muka retak, apakah mendekati kondisi regangan bidang atau tegangan bidang, nilai yang lebih tinggi didapatkan untuk kondisi tegangan bidang seperti pada lembaran tipis. Grifith menyatakan bahwa bahan-bahan getas mengandung retakan halus, yang menyebabkan terjadinya pemusatan tegangan yang cukup besar, sehingga kekuatan kohesi pada daerah pemusatan bila diberi tegangan nominal, akan lebih rendah dari harga teoritisnya[4]. Berdasarkan pemikiran dan uraian diatas, maka penelitian ini akan diarahkan untuk mempelajari bagaimana pengaruh variasi temperatur perlakuan panas terhadap kekuatan mekanis pada baja karbon AISI 1045.
temperatur terhadap kekuatan mekanis (kekuatan tarik, impak dan kekerasan) dari hasil perlakuan panas baja karbon AISI 1045 pada waktu pencelupan (kuens).Baja karbon sedang dipanaskan dengan memvariasikan temperatur (750ºC, 800ºC, 850ºC, 900ºC) dan masing-masing waktu tahan yang digunakan 30 menit, kemudian dikuens kedalam media pendingin air. Perolehan data awal penelitian melalui proses pengujian tarik, impak, kekerasan dan mikrostruktur. Data pengujian diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode statistik yaitu regresi dan anova. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengaruh parameter perlakuan panas yaitu temperatur, waktu tahan dan media pendingin terhadap kekuatan mekanis pada baja karbon AISI 1045 memberikan perbedaan pengaruh yang signifikan terhadap ketangguhan dan kekerasan setelah proses kuens. Dengan kenaikan temperatur , mulai dari temperatur 7500C sampai temperatur 9000C dan waktu tahan selama 30 menit kemudian dilakukan proses kuens. Nilai ketangguhan yang tertinggi setelah proses kuens di peroleh pada temperatur 7500 C sebesar 0,57 J/mm2, sedangkan nilai kekerasan tertinggi sebesar 83,0 HRC di peroleh pada temperatur 9000 C setelah proses kuens. Dan terjadi perubahan struktur mikro yaitu matrik martensit.
II. LANDASAN TEORI Kata kunci : baja karbon sedang, perlakuan panas, kekuatan mekanis, kuens.
I. PENDAHULUAN Baja merupakan salah satu jenis logam yang paling banyak digunakan diberbagai bidang teknik terutama untuk keperluan industri seperti konstruksi bangunan, konstruksi pesawat terbang, pembuatan alat-alat perkakas, dan lain-lain. Banyaknya pemakaian pada jenis logam ini tidak terlepas dari sifat-sifat yang dimiliki, diantaranya adalah : mudah dibentuk, mempunyai sifat liat tapi kuat dan mudah diproses dengan permesinan. Baja dalam pemakaiannya dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya: baja karbon rendah, baja karbon sedang, dan baja karbon tinggi[2]. Baja karbon sedang memiliki sifat mekanik yang lebih baik dari pada baja karbon rendah, lebih kuat dan keras dan tidak mudah dibentuk oleh permesinan. Perlakuan panas yang sering diterapkan adalah proses pengerasan (quench hardening) dan penemperan (tempering). Pada proses ini dilakukan dengan cara memanaskan material pada temperatur tertentu untuk mengubah struktur mikro dan mengatur laju
A. Baja Baja karbon adalah paduan antara besi (Fe) dan karbon (C), dimana unsur karbon (C) menjadi dasar. Disamping unsur Fe dan C, baja juga mengandung unsur campuran lain seperti silikon (Si), mangan (Mn), fosfor (P), sulfur (S), dan tembaga (Cu). Sifat baja karbon tergantung pada kadar karbon. Karena itu, baja ini di kelompokkan berdasarkan kadar karbonnya. Baja karbon rendah adalah baja dengan kadar karbon kurang dari 0.30%, baja karbon sedang mengandung 0.30% sampai 0.45% karbon dan baja karbon tinggi mengandung karbon antara 0.45% sampai 1.70%. B. Perlakuan Panas Perlakuan panas adalah proses pemanasan dan pendinginan terhadap logam ataupun paduannya dalam keadaan padat tanpa mengubah komposisi kimia dari material tersebut. Tujuan dari perlakuan panas adalah untuk memberikan sifat-sifat yang lebih baik terhadap bahan. Kuens merupakan proses pencelupan baja yang telah berada pada
Rekayasa Material I-116
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
temeperatur pengerasannya (temperature austenisasi), dengan laju pendinginan yang sangat tinggi (diquench) agar diperoleh kekerasan yang diinginkan, hal ini dilakukan proses quench. Struktur yang bertegangan ini disebut martensit dan bersifat sangat keras dan rapuh. Biasanya baja yang dikeraskan diikuti dengan proses penemperan untuk menurunkan tegangan yang ditimbulkan akibat kuens karena adanya pembentukan martensit (Suratman dalam Anrinal, 1996)
di mana: σ = tegangan (N/mm2) F = beban (N) A0= luas penampang mula-mula (m2) Dengan mengetahui besarnyan energy potensial yang diserap oleh material maka kekuatan impack benda uji dapat dihitung dengan persamaan: (2) dimana : K = Harga impak(J/mm2) Eserap = energy serap (J) = luas penampang (mm2) Indentor yang digunakan pada pangujian metode Vickers ialah berbentuk piramida dengan bidang alas bujur sangkar dengan sudut puncak yang khusus. Dengan memberikan beban pada benda kerja dengan beban F dan diagonal identitas benda kerja (d), maka nilai kekerasannya adalah :
Gambar 1. Pemanasan, kuens dan tempering
(3) Tujuan utama dari proses pengerasan adalah agar diperoleh struktur martensit yang keras, sekurang-kurangnya di permukaan baja. Hal ini dapat jika menggunakan media kuens yang efektif sehingga baja dapat didinginkan pada suatu laju yang dapat mencegah timbulnya struktur yang lebih lunak yaitu perlit atau bainit. Dalam proses kuens, terdapat beberapa medium yang diguanakan sebagai media kuens. Media kuens yang lazim digunakan yaitu : Brine, Air, dan Oli. C. Tempering Tempering merupakan Proses memanaskan kembali baja yang telah dikeraskan disebut proses temper. Dengan proses ini, ductilities dapat ditingkatkan namun kekerasan dan kekuatannya akan menurun. Pada sebagian besar baja struktur, proses temper dimaksudkan untuk memperoleh kombinasi antara kekuatan, ductilities dan ketangguhan yang tinggi. Dengan demikian proses pengerasan akan menjadi baja lebih bermanfaat karena adanya struktur yang lebih stabil. Fenomena stransformasi yang terjadi pada martensit disebabkan oleh adanya difusi atom karbon yang luar dari martensit sehingga terbentuk struktur martesit temper (tempered martensite). Baja dengan butiran yang kasar memiliki sifat yang kurang tangguh dan kecenderungan untuk distorsi atau retak. Baja berbutir halus, disamping lebih halus, juga lebih ulet dan kurang peka terhadap distorsi atau retak sewaktu perlakuan panas. Besar butir dapat dikendalikan melalui komposisi pada waktu proses pembuatan akan tetapi setelah baja jadi, pengendalian dilakukan melalui perlakuan panas. Jika logam dipanaskan sampai temperature sekitar 7230C, tidak akan terjadi perubahan fasa maupun perubahan pada ukuran butiran. Hubungan antara tegangan dan regangan pada beban tarik ditentukan dengan rumus sebagai berikut: (1)
(4) dimana : HV = Nilai Kekerasan Vickers (kgf/ ) F = Beban Penekanan (kgf) d = Diameter Identensi (mm) e = Sudut antara permukaan intan yang berlawanan (1360). D. Analisis Regresi Analisis regresi digunakan untuk mencari kecenderungan saling ketergantungan antara dua variabel (peubah) atau lebih, guna memprediksi kemungkinan perubahan yang mungkin terjadi pada suatu variabel lainnya diubah. Regresi linear sederhana didasarkan pada hubungan fungsional ataupun kausal satu variabel independen dengan satu variabel dependen. Persamaan umum regresi linier sederhana adalah : Ŷ= a + bX (5) Untuk mencari nilai-nilai konstanta a dan b pada persamaan regresi yang hasilnya sebagai berikut :
(6) Salah satu asumsi dari analisis regresi adalah linearitas dimana garis regresi antara X dan Y membentuk garis lurus linear atau tidak. Kalau tidak linar maka analisis regresi tidak dapat dilnjutkan.
Rekayasa Material I-117
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
III. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan dan bertempat di Politeknik Negeri Ujung Pandang, Fakultas MIPA Universitas Negeri Makassar, Fakultas Teknik UKIPaulus Makassar dan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Peralatan penelitian yang digunakan adalah mesin bubut, dapur pemanas, jangka sorong, stopwatch, kamera digital, sedangkan peralatan pengujian yang digunakan seperti mesin uji tarik, uji impak, mesin uji kekerasan dan mikroskop optik. Bahan penelitian yang digunakan adalah baja karbon AISI 1045 yang berbentuk poros pejal dengan dimensi Ǿ16 mm x 200 mm dan 10 mm x 10 mm x 55 mm untuk uji tarik dan impak. Sebelum melakukan penelitian, maka terlebih dahulu melakukan pengujian spesifikasi bahan yang telah disiapkan. Bahan yang telah disiapkan dipotong dengan menggunakan mesin gergaji horizontal untuk keperluan uji tarik dan uji impak. Untuk uji tarik dilakukan pemotongan sepanjang 200 mm sebanyak 3 potong dan uji impak sebanyak 27 potong dengan dimensi 10 mm x 10 mm x 55 mm.
Pengujian impak dilakukan untuk mengetahui nilai ketangguhan setelah proses perlakuan panas dan dikuens dengan media pendingin air. Uji kekerasan untuk mengetahui nilai kekerasannya. Pengujian mikrostruktur dilakukan untuk mengetahui perubahan struktur mikro dari bahan setelah mengalami proses variasi temepratur perlakuan panas. Setelah data sudah di peroleh melalui pengujian maka dilakukan pengolahan data yang kemudian di analisis dengan menggunakan metode analisis statistik (Regresi dan ANOVA). Regresi untuk melihat sebarapa besar hubungan variabel X dan Y, sedangkan ANOVA untuk melihat pengaruh variabel X terhadap variabel Y. IV. ANALISIS MODEL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Pengujian Impak Dari hasil pengujian dan perhitungan, hubungan antara temperatur terhadap nilai kekuatan impak setelah proses kuens ditunjukkan grafik berikut :
Gambar 4. Hubungan antara temperatur terhadap nilai kekuatan impak setelah proses kuens
2. Hasil Pengujian Kekerasan Gambar 2 Proses pembuatan spesimen
Spesimen yang telah dibuat dimasukkan kedalam dapur pemanas, kemudian mengeset temperatur 7500C dan ditahan selama 25 menit. Setelah tertahan selama 25 menit dalam temperatur 7500C, spesimen dikeluarkan dari tungku atau dapur pemanas dan didinginkan dengan mencelup kedalam media pendingin yaitu air sampai mencapai suhu kamar (proses kuens). Proses yang sama dilakukan pada temperatur 8000C, 8500C dan 9000C dengan holding time 25 menit.
Dari hasil pengujian dan perhitungan, hubungan antara temperatur terhadap nilai kekerasan setelah proses kuens ditunjukkan pada tabel dan grafik berikut :
Gambar 5. Hubungan antara temperatur terhadap nilai kekerasan setelah proses kuens
3. Hasil pengujian baja karbon AISI 1045
Gambar 3. Posisi spesimen pada dapur pemanas
Pengujian sifat mekanis dilakukan dengan menggunakan mesin uji tarik, impak, kekerasan serta uji metalografi untuk mengetahui perubahan struktur atomnya.
Rekayasa Material I-118
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Struktur mikro pembesaran 400x pada 0 temperatur 750 C
hubungan yang signifikan atau hubungan variabel X terhadap variabel Y sebesar 95,1 %. Kemudian nilai determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 0,905 atau 90,5 %. Hal ini menunjukkan presentase pengaruh variabel independen (temperatur) terhadap variabel dependen (kekerasan) sebesar 90,5 % dapat dikatakan proporsi keragaman nilai peubah Y (kekerasan) dapat dijelaskan oleh nilai peubah X (temperatur) melalui hubungan linear.
Struktur mikro pembesaran 400x pada 0 temperatur 800 C
V. KESIMPULAN
Struktur mikro pembesaran 400x 0 pada temperatur 850 C
Struktur mikro pembesaran 400x pada 0 temperatur 900 C
Gambar 6.Struktur mikro pembesaran 400x pada temperatur 7500C, 8000C, 8500C, 000C
B. Pembahasan Dari hasil perhitungan dengan menggunakan regresi linier sederhana diperoleh persamaan regresinya sebagai berikut : Ŷ= 1,053-0,001X. Uji F di lakukan untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan atau tidak, antara variabel independen dan variabel dependen. Pengujian dengan memperhatikan perbandingan antara nilai Fhitung dan nilai Ftabel dari hasil analisis statistik yang di lakukan menunjukkan nilai Fhitung = 56,889 dan niali Ftabel = 18,5128. Dari hasil perolehan nilai F menunjukkan bahwa nilai Fhitung lebih besar dari nilai Ftabel, hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel independen X (temperatur) terhadap variabel dependen Y (ketangguhan) setelah proses kuens. Nilai korelasi (R) sebesar 0,983 artinya hubungan antara variabel independen X (temperatur) terhadap variabel dependen Y (ketangguhan) dapat dikatakan mempunyai hubungan yang signifikan atau hubungan variabel X terhadap variabel Y sebesar 98,3 %. Kemudian nilai determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 0,966 atau 96,6 %. Dari penelitian yang telah di lakukan dan berdasarkan hasil analisis regresi dari koefisien hasil perhitungan input SPSS diperoleh nilai persamaan regresi antara temperatur dan kekerasan setelah proses kuens. Nilai konstan (a) = 65.741 dan nilai (b) = 0.01942 sehingga di peroleh persamaan regresi sederhana Ŷ= 65,741+0,01942X Untuk mengetahui apakah variabel independen (X) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen (Y) atau untuk mengetahui apakah model regresi dapat di gunakan untuk memprediksi variabel dependen atau tidak dapat di ukur dengan Uji F. Pengujian dengan memperhatikan perbandingan antara nilai Fhitung dan nilai Ftabel dengan hipotesis sebagai berikut : Dari hasil analisis statistik yang di lakukan menunjukkan nilai Fhitung = 18.968 dan nilai Ftabel = 18,5128. dari hasil perolehan nilai F menunjukkan bahwa nilai Fhitung lebih besar dari nilai Ftabel, hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel independen X (temperatur) terhadap variabel dependen Y (kekerasan) setelah proses kuens temper. Nilai korelasi (R) sebesar 0.951 artinya hubungan antara variabel independen X (temperatur) terhadap variabel dependen Y (kekerasan) dapat dikatakan mempunyai
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian pada baja karbon AISI 1045 dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Dari hasil anlisis regresi diperoleh variasi temperatur dan waktu tahan memberikan perbedaan pengaruh yang signifikan terhadap ketangguhan dan kekerasan setelah proses kuens. Nilai ketangguhan yang tertinggi setelah proses kuens diperoleh pada temperatur 7500C sebesar 0,60 J/mm2, pada temperatur 9000C nilai kekerasan tertinggi sebesar 83,0 HRC setelah proses kuens. 2. Pada spesimen temperatur 7500C pembesaran 400x dimana struktur mikro yang tebentuk adalah fase ferit dan fase perlit, dimana fase perlit yang berwarna gelap dan melebar mempunyai sifat yang keras dan getas serta dibuktikan meningkatnya nilai kekerasannya. Sedangkan pada temperatur 9000C didominasi oleh struktur perlit yang seragam bersifat keras dan getas serta dengan meningkatnya nilai kekerasannya. Semakin tinggi kadar karbon semakin banyak perlitnya, dimana nilai kekerasannya semakin meningkat tetapi ketangguhannya akan menurun dengan bertambahnya temperatur perlakuan panas. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14]
Bradbur, E, J. 1982. Dasar Metalurgi untuk Rekayasawan. Jakarta. Gramedia Pustaka. John A. Schey, 2009, “Proses Manufaktur”. Penerbit Andi Yogyakarta. Bondan T. Sofyan, “Pengantar Material Teknik”. Salemba Teknika, Jakarta. Djaprie. Srianti, 2000. Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa material edisi keenam. Penerbit Erlangga. Jakarta. ASM Handbook. 1993. “Welding, Brazing, and Soldering”. Volume 6, USA. Yanti. 2011. “Analisis Keretakan Baja Karbon Tinggi Akibat Variasi Perlakuan Panas”. Lawrence H.V.V. 1989 “Ilmu dan Teknologi Bahan”. Erlangga, Jakarta. Lawrence H.V.V “Elemen-Elemen Ilmu dan Rekayasa Material”. Erlangga, Jakarta. Baumer, B.M.J. 1994 “Ilmu Bahan Logam”. Bhratara, Jakarta. Rohyana, Solih. 1999. “Pekerjaan Logam Dasar”. Armico, bandung. Supranto J. 2001. “Statistik Teori dan Aplikasi”. Erlangga, Jakarta. Sriati Japrie. 1996. “Metalurgi Mekanik”. Erlangga, Jakarta. Walpole, Ronald E., 1995. “Pengantar Statistik”. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wibisono, Yusuf., 2005, “Metode Statistik”. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Rekayasa Material I-119
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
[15] [16]
Prof. Ir. Tata Surdia M.S Met. E, “Teknik Pengecoran Logam”. Cetakan 5, Pradnya Paramita, Jakarta. Ir. Tata surdia M.S Met. E, Prof. Dr. Shinroku Saito, “Pengetahuan Bahan Teknik”. PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Rekayasa Material I-120
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Prediksi kekuatan Laminat Komposit dengan Pendekatan Analitik dan Analisis Elemen Hingga Syarif Hidayat, Bambang K Hadi, Hendri Syamsudin,Sandro Mihradi Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung Bandung Indonesia
[email protected]
Abstract— Penggunaan material komposit pada struktur modern dari waktu kewaktu mengalami peningkatan. Penggunaan material ini mendapatkan tempat utama pada aplikasi pesawat udara. Agar dapat memprediksi beban kegagalan, diperlukan informasi tentang tegangan dan regangan pada sebuah struktur. Pada penelitian ini, analisis tegangan dilakukan pada laminat komposit CFRP (carbon Fiber Reinforced Polymer) berlubang dan tanpa lubang dengan pendekatan analitik dan elemen hingga.Pada pendekatan analitik, dilakukan dengan peng-coding-an matlab untuk panel pelat komposit menggunakan teori laminat klasik dan beberapa teori kegagalan komposit. Sedangkan pendekatan analisis elemen hingga menggunakan perangkat lunak MSC Nastran. Perbandingan nilai tegangan dan regangan, untuk panel pelat, didapatkan dari analitik dan analisis elemen hingga, memperlihatkan hasil yang sesuai antara keduanya. Beban kegagalan pada pelat laminat komposit tanpa lubang didapatkan dengan menggunakan empat kriteria kegagalan yaitu kriteria tegangan maksimum, regangan maksimum, Tsai- Hill, dan TsaiWu. Hasil analitik dan elemen hingga menunjukkan nilai yang sangat mirip. Kriteria kegagalan Tsai-Wu memperlihatkan nilai terbaik dalam memperkirakan beban kegagalan bagi pelat komposit dengan dan tanpa lubang. Kata kunci : Laminat komposit, beban kegagalan, kriteria kegagalan,analitik, analisis elemen hingga
pelayanan penerbangan . Analisis tegangan merupakan bagian dari proses prediksi kegagalan. Pelat komposit berlubang dan tanpa lubang ukuran 35mmx100mm x 2.4mm dengan pembebanan tarik statis yang digunakan dalam penelitian ini. Pelat terdiri dari 16 lembar serat carbon dan resin epoxy, masing-masing lembar serat tebalnya 0.15 mm dengan susunan [45/-45/0/45/0/-45/0/90]s. Analisis tegangan pada pelat ini akan dapat memprediksi beban kegagalan (failure load) dengan menggunakan beberapa teori kegagalan II. ANALISIS TEGANGAN PADA LAMINAT KOMPOSIT Laminat komposit yang dibentuk oleh 16 lembar CFRP T300/914C, dengan ketebalan lamina 0.15mm dan susunan laminanya [45/-45/0/45/0/-45/0/90]s mempunyai spesifikasi pada table 1, diperoleh dari literature [16]. Untuk menghitung besaran tegangan-regangan digunakan peng-coding-an Matlab dengan menggunakan Teori Laminat Klasik. Table 1. konstanta material untuk Lamina dan Laminat Material
Konstanta untuk lamina dan laminat G12 G21 G31 υ12 υ23 υ21 E3 (GPa) (GPa) (GPa) (GPa) (GPa) (GPa) 130 10 10 5.0 3.27 5.0 0.35 0.5 0.027 E1
I. PENDAHULUAN
Lamina
Material komposit telah menduduki posisi penting dalam penggunaannya, seperti pada dunia penerbangan, departeman pertahanan, kendaraan, bangunan sipil, dan juga pada bidang olah raga dan rekreasi. Pada awalnya material ini dikembangkan untuk kebutuhan dunia penerbangan, namun sekarang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Penggunaan material komposit menjadi tidak terbatas lagi pada bidang tertentu, penggunaan material ini akan mendominasi pada peralatan kehidupan sehari-hari pada masa kini dan akan dating. Komposit serat dengan penguat polimer (Fibre Reinforced Polymer /FRP) semakin berperan penting untuk komponen struktur utama pesawat udara seperti sayap, ekor, dan badan; dan substruktur seperti rib, dan penghubung spar pada pesawat udara generasi baru. Peranan material ini dapat meningkatkan kekakuan dan kekuatan dan juga lebih ringan. Pada penelitian ini, prediksi beban kegagalan pada komposit sangat penting dalam kaitannya dengan jaminan keselamatan selama dalam
E2
III. ANALISA ELEMEN HINGGA Pada penelitian ini digunakan MSC NASTRAN untuk dapat menganalisis tegangan laminat komposit. Pemodelan metoda elemen hingga seperti finite element mesh, kondisi batas, dan spesifikasi material diolah dengan menggunakan pre-processor PATRAN. Demikianpun post-processor diolah dengan PATRAN. Untuk kasus ini finite element mesh 560 elemen menghasilkan data yang konvergen [16].
Rekayasa Material I-121
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
dengan panjang, sumbu-y searah lebar, dan sumbu-z searah tebal pelat laminat. Arah serat lamina berdasarkan sumbu-x, misalnya arah serat lamina 0 derajat sejajar dengan sumbu-x. Beban tarik yang bekerja berupa gaya merata sebesar 800 N/mm terdapat pada salah satu ujung pelat, sedangkan ujung pelat yang satunya berupa jepitan fixed. Model dengan meshing yang menghasilkan data convergent [16] untuk pelat tanpa lubang, dapat terlihat pada table 4. Tabel 4. Detail meshing untuk model pelat tanpa lubang NO elemen Detail 1 Jenis elemen Quad4 2 Jumlah elemen 560 3 Jumlah nodal 615 Gambar 1. Model elemen hingga untuk pelat tanpa lubang
Tabel 5. Tegangan-regangan pelat tanpa lubang metoda elemen hingga Arah serat
IV. HASIL DAN DISKUSI A. Metoda Analitik Tegangan Pelat Tanpa Lubang Regangan pada setiap lamina mempunyai nilai yang sama, karena lapisan tengah laminat berharga nol, dan gaya yang bekerja hanya gaya tarik tanpa adanya momen. Laminat merupakan susunan kombinasi arah serat lamina +45,-45, 0, dan 90 derajat, nilai regangan pada setiap laminanya :
Tegangan global pada setiap lamina dapat dihitung berdasarkan nilai regangan global dengan menggunakan matrik kekakuan, seperti terlihat pada table 2 Tabel 2. Tegangan Global pada pelat tanpa lubang metoda analitik Arah serat
(MPa)
(MPa)
(MPa)
+45
147.4358
72.6528
89.8321
-45
147.4358
72.6528
-89.8321
0
677.3916
-4.3241
0
90
44.7486
-277.6388
0
+45 -45 0 90
(MPa) 205.42 205.42 674.3 -263.45
(MPa) 20.36 20.36 -4.78 45.50
(MPa) -36.68 -36.68 0 0
0.0015 0.0015 0.0051 -0.0021
0.0015 0.0015 -0.0021 0.0051
-0.0036 0.0036 0 0
C. Metoda Numerik Pelat berlubang Pelat komposit berukuran 100mm x 35mm x 2.4mm dengan lubang diameter 3mm dimodelkan dengan menggunakan MSC PATRAN. Pada ujung bawah pelat berupa jepitan fixed dengan kondisi Ux, Uy, Uz, Rx, Ry, dan Rz berharga nol. Sedangkan pada ujung atas pelat berupa beban merata sebesar 550 N/mm. Model dengan detail meshing dapat dilihat pada table 6. Tabel 6. Detail meshing untuk model pelat tanpa lubang [16] NO elemen Detail 1 Jenis elemen CQuad4 2 Jumlah elemen 560 3 Jumlah nodal 615 Pada Gambar 2 terlihat pemodelan pelat dengan konfigurasi lubang dan kondisi batas dikedua ujungnya.
Tegangan global pada laminat komposit selanjutnya ditransfer menjadi tegangan lokal atau tegangan masingmasing lamina sesuai dengan arah seratnya. Dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Tegangan-regangan lokal pada lamina dengan metoda analitik pada pelat tanpa lubang
Arah
serat
(MPa)
(MPa)
(MPa)
+45
199.8
20.2
-37.3
0.001
0.001
-0.003
-45
199.8
20.2
37.3
0.001
0.001
0.003
0
677.3
-4.32
0.00
0.005
-0.002
0
90
-277.6
44.7
0.00
-0.002
0.005
0
B. Metoda Numerik Tegangan Pelat Tanpa Lubang
Gambar 2. Model elemen hingga pelat berlubang
Model elemen hingga dengan kondisi batas seperti terlihat pada Gambar 1. Koordinat lokal berupa sumbu-x searah
Nilai tegangan-regangan pada pelat berlubang pada lamina dengan arah serat masing-masing dapat dilihat pada table 7.
Rekayasa Material I-122
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Tabel 7. Nilai tegangan-regangan lokal pelat berlubang Arah serat +45 -45 0 90
(MPa) 137.62 137.62 474.14 -198.90
(MPa) 13.92 13.92 -3.37 31.21
(MPa) -26.35 26.35 0 0
0.001 0.001 0.004 -0.001
0.001 0.001 -0.001 0.004
-0.003 0.003 0 0
D. Perbandingan Hasil analitik dengan Metoda Elemen Hingga (MEH) Pelat tanpa lubang Tabel-tabel berikut di bawah ini memperlihatkan perbandingan hasil perhitungan metoda analitik dengan metoda elemen hingga (MEH) untuk pelat tanpa lubang. Tabel 8. Tegangan searah serat Arah serat (MPa) Eror (%) Analitik MEH +45 199.88 205.42 2.698 -45 199.88 205.42 2.698 0 677.39 674.29 0.458 90 -277.63 -263.45 5.11 Tabel 9. Tegangan arah tegak lurus serat Arah serat +45 -45 0 90
(MPa) Analitik 20.21 20.21 -4.32 44.75
Tabel 10. Tegangan geser Arah serat +45 -45 0 90
Analitik -37.39 37.39 0 0
Eror MEH 20.36 20.36 -4.79 45.50
(MPa) MEH -36.69 36.69 0 0
Tabel 11. Regangan searah serat Arah serat +45 -45 0 90
Analitik 0.0015 0.0015 0.0052 -0.0023
Analitik 0.0015 0.0015 -0.0023 0.0052
Eror (%) 1.924 1.924 0 0
Eror MEH 0.002 0.002 0.005 -0.002
Tabel 12. Regangan arah tegak lurus serat Arah serat +45 -45 0 90
(%) 0.711 0.711 9.679 1.654
MEH 0.00153 0.00153 -0.00214 0.005199
(%) 1.961 1.961 0.019 7.477
Eror (%) 1.961 1.961 6.957 0.020
serat +45 -45 0 90
Analitik -0.0037 0.0037 0 0
Persentasi error perbandingan antara hasil analitik dan elemen hingga sangat kecil. Nilai tegangan dan regangan antara hasil analitik dan elemen hingga mempunyai harga yang sangat berdekatan. Tegangan dan regangan lokal searah serat baik pelat tanpa lubang maupun berlubang berharga maksimum pada lamina 00 dan minimum pada lamina 90 0. Tegangan dan regangan lokal arah tegak lurus dengan serat bernilai maksimum pada lamina 900 dan minimum pada lamina 00. Tegangan dan regangan geser pada lamina 00 dan 900 berharga nol, dan pada lamina +450 dan -450 berharga maksimum. Hasil analis tegangan digunakan untuk memprediksi kekuatan laminat. E. Prediksi Kekuatan Laminat Komposit Kriteria kegagalan pada material komposit sangat kompleks dibandingkan dengan kriteria kegagalan pada material metal, karena material komposit merupakan jenis anisotrop dan model kegagalannya cenderung berbeda-beda tergantung pada jenis pembebanan. Pada awalnya metoda yang digunakan untuk memprediksi kekuatan pelat adalah metoda analitik dengan menggunakan teori kegagalan Tegangan Maksimum, Regangan Maksimum, Tsai-Hill dan Tsai-Wu dengan koefisien Hoffman kemudian dibandingkan dengan hasil eksperimen. Pada Metoda elemen hingga dapat menggunakan teori kegagalan yang sudah tersedia pada software saat analisis tegangan pada pelat tanpa lubang ataupun berlubang. 1) Prediksi Kekuatan Pelat dengan metoda analitik Berdasarkan nilai tegangan yang didapat pada chapter E, digunakan untuk menentukan Failure Index (FI) dan Strength Ratio (SR) berdasarkan beberapa teori kegagalan. Nilai FI dan SR dapat terlihat pada tabel 14. Tabel 14. FI dan SR untuk pelat tanpa lubang hasil metoda analitik Arah
Teori
Teori Regangan
Teori Tsai
Teori Tsai-
serat
Tegangan Maks. FI SR 0.5753 1.738 0.5753 1.738 0.5644 1.772 1.1187 0.894
Maks.
Hill
Wu
+45 -45 0 90
FI 0.3707 0.3707 0.5657 1.3056
SR FI 2.6971 0.6112 2.6971 0.6112 1.7676 0.3218 0.7659 1.341
SR 1.2791 1.2791 1.7626 0.8635
FI 0.7534 0.7534 0.211 1.308
SR 1.3272 1.3272 4.731 0.7245
Pada tabel 14 terlihat bahwa nilai FI yang lebih besar dari 1, atau SR kurang dari 1 adalah lamina 900, artinya lamina tersebut mengalami kegagalan (failed). Prosedur selanjutnya untuk menghitung tegangan-regangan lokal dengan mengabaikan lamina 900. Hasil perhitungan tegangan-regangan lokal dapat dilihat pada tabel 15. Tabel 15. Tegangan-regangan setelah mengalami First Ply Failure Arah
Tabel 13. Regangan geser Arah
(%) 0.81744 0.81744 0 0
MEH -0.00367 0.00367 0 0
serat
(MPa)
Eror
Rekayasa Material I-123
(MPa)
(MP
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
+45 -45 0 90
116 116 739 -
11.7 11.7 -20.2 -
a) -48.7 8.62E-04 8.62E-04 -4.87E-03 48.7 8.62E-04 8.62E-04 -4.87E-03 0 5.74E-03 -4.01E-03 0 -
Selanjutnya dengan menggunakan nilai tegangan-regangan lokal pada tabel 15, FI dan SR dihitung. Pada Tabel 16 dapat dilihat nilai FI dan SR yang baru (tanpa lamina 900). Dari Tabel 16 tersebut terlihat bahwa lamina +450 dan -450 mempunyai nilai SR terendah disbanding dengan lamina 00. Selanjutnya abaikan lamina +450 dan -450, dengan prosedur yang sama untuk menghitung tegangan-regangan lokal, dengan mengabaikan lamina +450, -450, dan 900 . Tabel 16. FI dan SR setelah mengalami First Ply Failure Arah serat
+45 -45 0 90
Gambar 3.FI lamina +45
Teori Teori Teori Tsai Teori TsaiTegangan Regangan Maks. Hill Wu Maks. FI SR FI SR FI SR FI SR 0.7518 1.33 0.2154 4.6424 0.6570 1.2337 0.8 1.25 1.3 0.7518 3 0.2154 4.6424 0.6570 1.2337 0.8 1.25 0.6155 1.625 0.6214 1.6092 0.4006 1.5799 0.0181 9.5 -
SR, yang didapat dari beberapa teori kegagalan yang berbeda, dikalikan dengan gaya yang bekerja, menghasilkan beban kegagalan (failure load), dapat dilihat pada tabel 17. Tabel 17. Beban kegagalan (failure load) Failure load
(KN) First ply Second ply Last ply
Teori Tegangan Maks.
Teori Regangan Maks.
Teori Tsai-Hill
Teori Tsai-Wu
25 45.5
21.44 45.05
24.179 34.54
21.392 34.6584
37.8
37.8
37.8
54.8716 Gambar 4.FI lamina -45 Gambar 5.FI lamina 0
2) Prediksi Kekuatan Pelat dengan Metoda Elemen Hingga Dari hasil metoda analitik, diperoleh teori kegagalan yang paling sesuai dengan data hasil eksperimen[16] adalah teori kegagalan Tsai-Wu dengan koefisien Hoffman. Sehingga dalam analisa dengan metoda elemen hingga hanya teori kegagalan Tsai-Wu yang dipilih dalam memprediksi kekuatan. Hasil perhitungan FI per lamina, dapat dilihat pada tabel 18-20. Tabel 18. FI dan SR Arah serat Teori Tsai-Wu FI SR +45 0.7691 1.3002 -45 0.7691 1.3002 0 0.188 5.3186 90 1.317 0.7593
Gambar 6.FI lamina 90
Tabel 19. FI dan SR setelah First Ply Failure Arah serat Teori Tsai-Wu FI SR +45 0.7887 1.2679 -45 0.7887 1.2679 0 0.00463 215.9 90 -
Rekayasa Material I-124
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Tabel 20. FI dan SR setelah Second Ply Failure Arah serat Teori Tsai-Wu FI SR +45 -45 0 0.5448 1.84 90 Tabel 21. Failure Load Pelat Failure load (kN) First ply 21.26 Second ply 35.5 Last ply 51.394 3) Prediksi Kekuatan Pelat berlubang dengan metoda elemen hingga Prediksi beban kerusakan dengan teori kegagalan TsaiWu menghasilkan nilai yang mendekati data hasil eksperimen untuk pelat komposit[16]. Untuk selanjutnya teori kegagalan Tsai-Wu ini yang digunakan dalam analysis pelat berlubang. Dapat dilihat pada tabel 22-24 besaran FI dan SR pada pelat berlubang. Tabel 22. FI dan SR Pelat berlubang Arah serat Teori Tsai-Wu FI +45 0.7854 -45 0.7854 0 0.0763 90 0.8549
SR 1.27 1.27 13.1 1.17
Tabel 23. FI dan SR Pelat berlubang setelah First Ply Failure
Arah serat +45 -45 0 90
Teori Tsai-Wu FI 0.7936 0.7936 0.0975322 -
SR 1.25 1.25 10.25 -
Tabel 24. FI dan SR Pelat berlubang setelah Second Ply Failure
Arah serat +45 -45 0 90
Teori Tsai-Wu FI 0.70319 -
SR 1.422 -
Rekayasa Material I-125
Gambar 7.FI Pelat berlubang lamina +45
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dapat terlaksana atas bantuan dana dari Dikti melalui dana desentralisasi penelitian Politeknik Negeri Bandung berupa bantuan biaya Penelitian Disertasi Doktor DAFTAR PUSTAKA
Gambar 10.FI Pelat berlubang lamina 90
Tabel 25. Failure Load Pelat berlubang Pelat Failure load (kN) First ply 20.1 Second ply 24.0625 Last ply 27.37 Nilai SR didapatkan setelah first ply, second ply dan last ply failure, dikalikan dengan gaya yang bekerja, sama dengan failure load, seperti dapat dilihat pada tabel 25. V. KESIMPULAN Tegangan-regangan lokal sejajar dengan arah serat dengan nilai maksimum didapatkan pada lamina 00, sedangkan nilai minimum didapatkan pada lamina 900. Tegangan-regangan lokal yang tegak lurus arah serat nilai maksimum didapatkan pada lamina 900, sedangkan nilai minimum didapatkan pada lamina 00. Tegangan-regangan geser berharga nol pada lamina 00dan 900, sedangkan pada lamina +45 dan -45 bernilai maksimum. Tegangan yang didapat dari hasil analisis, digunakan untuk memprediksi kekuatan pada setiap lamina. Failure load (beban kegagalan) pada pelat komposit didapatkan dengan analisis metoda analitik dan elemen hingga. Hasil yang didapat mempunyai nilai yang nyaris sama. Failure load didapat dengan berdasarkan pada beberapa kriteria kegagalan, seperti kriteria tegangan maksimum, regangan maksimum, Tsai-Hill, dan Tsai-Wu. Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan data hasil eksperimen[16], ternyata failure load yang didapat dengan teori kriteria kegagalan Tsai-Wu adalah yang terbaik. Hasil pengamatan ini menyimpulkan bahwa kriteria kegagalan Tsai-Wu adalah kriteria yang paling tepat untuk digunakan dalam memprediksi kegagalan pelat laminat komposit. Untuk selanjutnya dalam analisis prediksi failure load pelat laminat komposit berlubang digunakan kriteria kegagalan Tsai-Wu. Dapat disimpulkan bahwa kriteria kegagalan Tsai-Wu yang paling tepat digunakan dalam analisis failure load pelat laminat komposit berlubang ataupun tanpa lubang.
[1] M.H.R. Jen and C.H. Lee “Strength and life in thermoplastic composite laminates under static and fatigue loads. Part I: Experimental”, International Journal of Fatigue. 20 (1998) 605– 615. [2] Y.V. Satish Kumar and Anand Srivastava, “First ply failure analysis of Laminated stiffened plates” Composite Structures 60 (2003) 307–315 [3] WWW.Google search.org/ composite material. [4] D. Bruno, G. Spadea and R. Zinno, “First-ply failure of laminated composite plates”. Theoretical and applied fracture mechanics 19 (1993) 29-48 [5] M. Yasar Kaltaker, “Stress concentrations and failure criteria in anisotropic plates with circular holes subjected to tension or compression” Computers and structures 61 (1996) 67-78. [6] Y.X. Zhang, C.H. Yang, “Recent developments in finite element analysis for laminated composite plates” Composite Structures 88 (2009) 147–157. 1269 International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT) Vol. 2 Issue 8, August – 2013 [7] Autar. K. Kaw, “Mechanics of composite Materials” Second Edition Published in 2006 by CRC Press Taylor & Francis [8] T.Y Kam and F.M Lai, “Experimental and theoretical predictions of first ply failure Strength of laminated composite plates” International Journal of Solids and Structures 36 (1999) 2379-2395 [9] S. Tolson and N. Zabaras, “Finite element analysis of progressive failure in laminated composite plates”. Computers and structures 38 (1991) 361-376. [10] J.N. Reddy and A. K. Pandey, “A first-ply failure Analysis of composite laminates”.Computers and structure 25 (1987) 371393 [11] T.Y. Kam & T.B. Jan, “First-ply failure analysis of laminated composite plates based on thelayerwise linear displacement theory”. Composite structures 32 (1995) 583-591 [12] WWW.Aerospaceweb.org/applicationof composite materials in aircraft [13] X W. Xu and H.C. Man, “Strength prediction of composite laminates with multiple elliptical holes”. International journal of solids and structures 37 (2000) 2887-2900. [14] Robert. M. Jones, “Mechanics of Composite Materials”, Second Edition 1998 [15] Y.S.N. Reddy & J. N. Reddy, “Linear and nonlinear failure analysis of composite laminates with transverse shear”. Composites Science and technology 44 (1992) 227-225 [16] Prof. Yogananda. A , Mr. R. Vijayakumar, “Strength Prediction Of Composite Laminate”, International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT), Vol. 2 Issue 8, August – 2013
Rekayasa Material I-126
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Analisis Gaya Pemotongan Baja Karbon Pada Proses Bubut Dengan Variasi Putaran Spindel, Gerak Makan Dan Kedalaman Potong Konstan Munawar Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Veteran Republik Indonesia Makassar , Indonesia Email: -
Abstract— Pemotongan baja karbon pada mesin
71,76%; 72,83%; 68,94%; 68,73%; 70,84%. Dan 36,71%;
bubut adalah merupakan pekerjaan di bidang konstruksi yang
35,94%; 33,44%; 33,53%; 31,46%.(atau rata-rata terakhir
banyak
dijumpai
dalam
masyarakat
perkotaan
maupun
pedesaan, baik dalam skala besar maupun kecil. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara gaya pemotongan yang terjadi dengan variasi putaran spindel dan gerak makan pada kedalaman potong konstan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian langsung di lapangan yakni dengan terlebih dahulu melakukan pengujian tarik terhadap material untuk mengetahui kekuatan bahan yang akan di uji. Hasil yang diperoleh dari pengujian tarik material
FX FZ
= 70,62% dan
FY FZ
= 34,21%). Rasio gaya aksial (FX), dan
gaya radial (FY) serta gaya tangensial (FZ) terhadap gaya resultan R pada variasi putaran spindel dan gerak makan serta kedalaman potong konstan, secara berturut-turut adalah : 55,70%; 56,33%; 54,46%; 54,38%; 55,59% dan
27,75%; 26,39%; 26,48%; 24,48% serta 77,85%; 77,60%; 79,37%; 79,31%; 78,97%. (atau rata-rata terakhir
adalah baja karbon menengah jenis St. 50 dengan kekuatan tertinggi σu = 51,3 (Kg/mm2). Kemudian bahan dengan diameter yang telah ditentukan dipotong menggunakan pahat HSS dengan geometri tertentu
28,52%;
55,29%;
FY R
= 26,72% dan
FZ R
FX R
=
= 78,62%). Dari data hasil
dengan variasi putaran spindel dan gerak
penelitian diperoleh hubungan yaitu semakin besar gerak makan
makan yang diubah-ubah. Gaya pemotongan yang terjadi
dan semakin rendah putaran spindel dalam kedalaman
dideteksi dengan alat sensor dynamometer dan outputnya
pemotongan konstan maka gaya pemotongan akan semakin
dikeluarkan melalui strip chart recorder dalam bentuk grafik.
besar.
Gaya aksial tertinggi didapatkan pada putaran spindel 90
Kata kunci—Gaya pemotongan, putaran spindel, gaya makan, baja karbon
put/min pada gerak makan 0,225 mm/put, sebesar 95 Kg.. Sedangkan gaya radial tertinggi diberikan oleh putaran spindel 90; 155; dan 260 put/min pada gerak makan 0,225 mm/put, sebesar 45 Kg. Selanjutnya gaya tangensial tertinggi diberikan oleh putaran spindel 90 dan 155 put/min pada gerak makan 0,225 mm/put, sebesar 125 Kg. Prosentase rata-rata rasio gaya aksial (FX) dan gaya radial (FY) terhadap gaya tangensial (Fz) pada putaran spindel (n) = 90, 155, 260, 440, 740 put/min, gerak makan (f) = 0,045; 0,090; 0,135; 0,180; 0,225 mm/put dan kedalaman potong (a) konstan = !,0 mm masing-masing yaitu
I. PENDAHULUAN Sejalan dengan perkembangan industri dewasa ini, seperti dalam bidang konstruksi dan rekayasa maka peranan bahanbahan logam sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena baja karbon umum digunakan dalam bidang industri selain mempunyai sifat-sifat baik juga ekonomis. Komponen mesin yang terbuat dari logam mempunyai bentuk yang beraneka ragam. Umumnya mereka dibuat melalui proses pemesinan dengan bantuan mesin perkakas. Salah satu mesin perkakas yang paling luas pemakaiannya dalam proses pemesinan yaitu mesin bubut, hal ini dimungkinkan karena
Rekayasa Material I-127
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
mesin bubut dapat melaksanakan berbagai jenis operasi pemesinan. Pembuatan komponen mesin yang baik memerlukan ketelitian yang tinggi. Ketelitian geometris produk sangat ditentukan oleh gaya potong. Disamping itu keberhasilan proses produksi sangat bergantung pada kehandalan mesin perkakas yang digunakan serta kemampuan operator dalam memilih kondisi pemotongan yang optimum. Mesin perkakas yang handal dibuat dengan perencanaan yang tepat menyangkut kekakuan mesin, kemampuan mesin, bentuk mesin yang dapat melayani perkembangan perkakas potong, kemudahan pemakaian dan lain-lain. Sedang kondisi operasi optimum umumnya dapat dicapai selama perkakas potong, tool carrier dan pemasangan benda kerja direncanakan dengan baik. Kondisi pemotongan yang optimum bagi mesin perkakas perlu untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi (gambar teknis) dan juga untuk menekan ongkos pemesinan serendah mungkin atau menaikkan produktivitas setinggi mungkin. Bertitik tolak dari pemikiran diatas, maka penulis bermaksud melakukan penelitian mengenai analisis gaya pemotongan baja karbon yang terjadi pada mesin bubut Penelitian ini bertujuan untuk h menganalisis hubungan antara gaya pemotongan yang terjadi dengan variasi putaran spindel dan gerak makan pada kedalaman potong konstan II. LANDASAN TEORI A. Baja Karbon Baja Karbon adalah paduan besi (Fe) dengan Karbon (C) di samping unsur-unsur lain seperti Silikon (Si), Mangan (Mn), Fosfor (P), nikel (N), Khrom (Cr), Vanadium (V), molibden (Mo), Wolfram/Tungsten (W/T), Kobalt (Co), unsur-unsur utama dari Baja Karbon yang menentukan kekerasannya. Sedangkan unsur lain dalam jumlah yang relatif di tambah dalam pembuatan dengan maksud untuk memperbaiki sifatsifat baja tersebut 1) Kalsifikasi baja karbon Menurut standar AISI (American Iron and Steel Institute) dan SAE (Society of Automotive Engineers) pengelompokan baja karbon adalah sebagai berikut : Baja karbon rendah sekali (Mild steel) Baja ini mengandung 0.008 % sampai 0,1 %C, sifatnya mudah dibentuk dan tak dapat diperkeras. Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel) Baja ini mengandung 0,16 % sampai 0,3 %C. sifatnya dapat dipanaskan tetapi sulit dibentuk dan tidak dapat diperkeras. Memiliki kekuatan sedang dengan keuletan yang sangat baik, digunakan dalam kondisi normal dan anil untuk keperluan konstruksi jembatan, bangunan, kendaraan dan kapal laut. Baja Karbon Menengah (Middle Carbon Steel) Baja ini mengandung 0,3 % sampai 0,83 %C. sifatnya dapat diperkeras tetapi sulit untuk dibentuk dan bila kadar karbonya diatas 0,35 % maka baja ini dapat disepuh. Temper pada daerah suhu yang agak tinggi, yaitu sekitar 3500C – 5500C akan menghasilkan karbida bulat yang dapat meningkatkan ketangguhan baja sehingga dapat digunakan sebagai bahan poros, roda gigi dan suku cadang yang berkekuatan tinggi. Baja Karbon Tinggi (High Carbon steel) Baja ini mengandung 0,83-2,0 %, sifat-sifatnya sangat keras dan sangat getas. Baja ini biasanya dicelup agar keras disusul
dengan penemperan pada suhu 2500C sehingga dapat dicapai kekuatan yang memadai dengan keuletan yang memenuhi persyaratan untuk pegas, perkakas potong dan bagian-bagian yang harus tahan terhadap gesekan. 2) Sifat-Sifat Logam Pengetahuan tentang sifat-sifat logam dalam perencanaan konstruksi mesin adalah tahap yang utama yang perlu diperhatikan dalam merancang. Oleh karena itu perlu digunakan bahan-bahan teknik dalam hal ini logam secara efisien , tepat, ekonomis dan aman. Seorang rekayasawan harus mengetahui sifat-sifat dan kemampuan dari bahan tersebut. Oleh karena itu beberapa sifat logam seperti sifat mekanik, sifat fisik dan sifat teknologi harus dipahami secara mendalam sebelum melakukan perencanaan. B. Proses Pemotongan Logam Proses pemotongan logam pada mesin bubut adalah akibat dari gerak potong yang dilakukan oleh benda kerja dan gerak makan oleh pahat potong. Proses ini menghasilkan geram (Chips) dari bagian benda kerja yang terlepas saat pemotongan. Perkakas pemotong (Pahat) yang melepaskan geram merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pemotongan. Pilihan perkakas pemotong, kecepatan, gerak makan serta kedalaman potong sangat mempengaruhi effisiensi dari proses pemotongan. Perkakas pemotong ini beraneka ragam bentuk dan kegunaannya, tetapi pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis pahat yaitu pahat mata potong tunggal (Single Point Cuttting Tools) dan pahat mata potong jamak (Multiple Point Cutting Tools). Pahat yang digunakan pada mesin bubut adalah pahat mata potong tunggal. Dalam mengubah bentuk suatu produk logam (komponen mesin) dapat dilakukan dengan cara memotong yang disebut proses pemotongan logam (Metal Cutting Process). Tergantung dari cara pemotongannya maka seluruh proses pemotongan logam dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok dasar, yaitu : 1. Proses pemotongan dengan mesin las, 2. Proses pemotongan dengan mesin press, 3. Proses pemotongan dengan mesin perkakas, 4. Proses pemotongan non konvensional. Proses pemotongan dengan mesin perkakas atau yang disebut juga proses pemesinan (Machining Process) sampai saat ini tetap merupakan proses yang paling banyak digunakan didalam membuat suatu komponen mesin yang lengkap. Berdasarkan jenis kombinasi dari gerak potong dan gerak makan ini maka proses pemesinan dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) macam proses yang berlainan, yaitu : 1. Proses Membubut (Turning), 2. Proses Menggurdi (Drilling), 3. Proses Mengefrais (Milling), 4. Proses Menggerinda Rata (Surface Grinding), 5. Proses Menggerinda Silindris (Cylindrical Grinding), 6. Proses Menyekrap (Shaping) dan Proses Menggergaji atau memarut (Sawing, Broaching). C. Mekanisme Pembentukan Geram Pada saat pembentukan komponen mesin dengan proses pemotongan logam menggunakan mesin perkakas dihasilkan buangan dari benda kerja yang disebut geram (Chips).
Rekayasa Material I-128
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Mekanisme terjadinya geram tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Logam yang pada umumnya bersifat ulet (Ductile) apabila mendapat tekanan akan timbul tegangan (Stress) di daerah sekitar konsentrasi gaya penekanan dari mata potong pahat. Tegangan pada logam (benda kerja) tersebut mempunyai orientasi yang kompleks dan pada salah satu arah akan terjadi tegangan geser (Shearing Stress) yang maksimum. Apabila tegangan geser ini melebihi kekuatan logam yang bersangkutan maka akan terjadi deformasi plastis (perubahan bentuk) yang menggeser dan memutuskan material benda kerja di ujung pahat pada suatu bidang geser (Shear Plane). Skematis pembentukan geram tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 1. Skematis Pembentukan Geram (B.H. Amstead,1986, hal. 78)
Gerak makan dan gerak potong dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan jenis mesin perkakas yang di gunakan sehingga bentuk pahat potong dapat berlainan dan untuk suatu jenis pekerjaan pemesinan yang tertentu diperlukan pahat dari suatu material yang cocok. Proses pembentukan geram dengan cara pemesinan berlangsung dengan cara mempertemukan dua jenis material. Untuk menjamin kelangsungan proses ini maka jelas di perlukan material pahat yang lebih unggul dari material benda kerja. Keunggulan tersebut meliputi : kekerasan, keuletan, ketahanan terhadap beban kejut thermal, sifat adhesi yang rendah dan daya larut elemen/komponen material yang rendah. Secara berurutan material-material pahat dari yang paling lunak tetapi ulet sampai dengan material yang paling keras tetapi getas adalah : 1. Baja Karbon Tinggi (High Carbon steels, Carbon Tool Steel) 2. HSS (High Speed Steels, Tool Steel) 3. Paduan Cor Non Ferro (Cast Non Ferrous Alloys, Cast Carbides) 4. Karbida ( Cemented Carbides, Hardmetals) 5. Keramik (Ceramics) 6. CBN (Cubic Boron Nitrides) 7. Intan (Sintered Diamonds dan Natural Diamonds) Bentuk dari mata pahat bergantung dari jenis kerja yang dilakukan. Beberapa contoh bentuk mata pahat yang umum digunakan dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Jenis geram yang terjadi pada setiap proses pemotongan ada beberapa macam, yaitu geram kontinu (Continuous Chip), geram tidak teratur (Sheared Chip) dan geram terputus- putus (Segmental Chip). Ketiga jenis geram tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 3. Bentuk Mata Pahat Bubut (Daryanto, 1985, hal 51)
Gambar 2. Jenis-Jenis Geram (B.H. Amstead,1986,hal. 87) a. Continuous Chip; b. Sheared Chip;
D. Geometri Pahat Pahat yang digunakan pada mesin bubut adalah pahat mata potong tunggal (Single Point Cuttting Tools). Sebelum di gunakan mata pahat ini di asah dalam bentuk baji (Tool Bit) terbuat dari baja atau paduan, biasanya berbentuk segi empat dengan bermacam ukuran dan panjang.
E. Gaya Pemotongan Dalam proses pemesinan, produktifitas dan effisiensi kerja mesin adalah hal-hal yang sangat diperhatikan. Karena kedua hal ini sangat mempengaruhi biaya pemesinan suatu komponen. Untuk memperoleh effisiensi kerja mesin yang baik perlu diperhatikan kondisi pemotongan yang dipilih. Kondisi pemotongan ini menyangkut kecepatan, kedalaman, gerak makan dan geometri pahat. Gaya potong diperlukan untuk melawan tahanan gesekan yang timbul waktu pahat memotong benda kerja (Work Piece). Sistem gaya yang timbul pada proses pemotongan oleh pahat bermata potong tunggal seperti pada mesin bubut dapat diuraikan atas tiga komponen gaya potong seperti terlihat pada gambar berikut :
Rekayasa Material I-129
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
3. 4. Gambar 5. Tiga Komponen Gaya Potong (Syamsir A.Muin, 1989, hal.60)
Dalam gambar 5 dapat dilihat bahwa komponen-komponen gaya potong (Cutting Force), gaya makan (Feed Force) dan gaya radial (Radial Force) bekerja pada mata potong (Cutting Edge) dengan resultan R (Syamsir A. Muin, 1989, hal. 63) III. METODOLOGI PENELITIAN Langkah-langkah yang dilakukan pada pengujian tarik adalah sebagai berikut : 1. Kedua ujung spesimen dijepit, dimana salah satu ujung spesimen dijepit pada penjepit atas (Clumping Upper) dan ujung lainnya dijepit pada penjepit bawah (Clumping Down) pada jarak 100 mm. Tombol spindel up dan spindel down digunakan untuk mengukur naik dan turunnya kedua penjepit. 2. Pemeriksaan kedudukan pada jarum skala pada indicator lalu distel pada posisi nol dengan memutar remove transport fuse yang dilakukan sebelum mesin dijalankan. Disamping itu beban tarik yang digunakan juga harus diketahui untuk memudahkan dalam pembacaan skala. 3. Mesin dijalankan dengan memutar switch ke posisi “I” kemudian menekan tombol pump yang ditandai dengan menyalakan flash lamp. 4. Pengamatan terhadap jarum skala harus senantiasa diperhatikan sehingga besarnya beban kritis yaitu beban pada saat mulai terjadi penjalaran retak pada spesimen dapat tercatat. 5. Setelah pengujian tarik dilakukan, mesin dimatikan dengan menekan tombol pump off dan flash lamp mati, kemudian spesimen dikeluarkan dari pencekam Langkah-langkah yang dilakukan pada pemotongan baja karbon pada mesin bubut dengan dynamometer ini adalah sebagai berikut : 1. Persiapan mesin bubut a. menghubungkan mesin bubut dengan sumber listrik b. Mains isolator di switch pada posisi ON. c. Mesin siap dioperasikan. 2. Persiapan peralatan pengukuran gaya pemotongan a. Memasang pahat pada dynamometer. b. Memasang dynamometer pada dudukan pahat mesin bubut. c. Memasang instalasi dynamometer, dynamic strain amplifier dan strip chart recorder. d. Menentukan harga-harga kalibrasi pada dynamic strain amplifier untuk ketiga pena
5.
strip chart recorder yaitu pena gaya radial, pena gaya aksial, dan pena gaya tangensial. e. Dynamic strain amplifier dan strip chart recorder dihubungkan kesumber listrik. f. Peralatan pengukuran gaya pemotongan siap dioperasikan. Mempersiapkan spesimen percobaan Pelaksanaan proses pemotongan. a. Menjalankan mesin pada putaran spindel 90 put/menit. b. Menetapkan kedalaman pemotongan 1,0 mm. c. Menetapkan gerak makan 0,045 mm/putaran. d. Menggerakkan pena pencatat sehingga gayagaya yang terdeteksi dapat terlukis pada kertas grafik. e. Mengulang point 1,2,3 dan 4 untuk gerak makan 0,90 ; 0,135 ; 0,180 ; dan 0,225 mm/put. f. Mengulang point 1,2,3 dan 4 untuk putaran spindel 155, 260, 440 dan 740 putaran/menit. Proses pemotongan selesai. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis material yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil perhitungan pengujian tarik yang dilakukan terhadap spesimen. Dari hasil perhitungan pengujian tarik diperoleh bahwa kekuatan tarik maksimum material adalah σu = σMaks = 503,2 N/mm2 = 51,3 Kg/mm 2 (perhitungan diberikan pada lampiran 1). Sesuai dengan tabel sifat mekanik dan komposisi kimia dari beberapa jenis karbon seperti diberikan pada lampiran 4, bahwa material ini dapat digolongkan sebagai baja karbon menengah atau St = 50, dengan kandungan karbon antara 0,32-0,38%. Data-data yang diperoleh dari penelitian dengan dynamometer dihitung dan ditabelkan pada tabel 4.1. Hubungan antara variabel-variabel kondisi pemotongan dan gaya pemotongan yang terjadi dapat dilihat pada gambar grafik. Variabel-variabel tersebut meliputi putaran spindel (n), gerak makan (f) dan kedalaman potong (a).. Berdasarkan tabel hasil perhitungan gaya pemotongan yang diperoleh dari pengujian dengan dynamometer serta dari grafik yang dibuat untuk melihat hubungan antara gaya pemotongan dengan variabel-variabel yang ditentukan, maka diperoleh hasil-hasil sebagai berikut : Putaran Spindel (n) 90 put/min Pada putaran spindel (n) 90 put/min, gerak makan (f) 0,045; 0,090; 0,135; 0,180; 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan (a) 1,0 mm, Hasil perhitungan gaya aksial, gaya radial dan gaya tangensial tertinggi masing-masing adalah 95 Kg, 45 Kg dan 125 Kg pada gerak makan (f) 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan. Prosentase rata-rata rasio gaya aksial dan gaya radial terhadap gaya tangensial pada gerak makan 0,045; 0,090; 0,135; 0,180; 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan adalah 71,76% dan 36,71%. Rasio gaya aksial, gaya radial dan gaya tangensial terhadap
Rekayasa Material I-130
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
resultan R pada variasi gerak makan dan kedalaman potong konstan, berturut-turut adalah 55,70%; 28,52% dan 77,85%. Putaran Spindel (n) 155 put/min. Untuk putaran spindel (n) 155 put/min, gerak makan (f) 0,045; 0,090; 0,135; 0,180; 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan (a) 1,0 mm, hasil perhitungan tertinggi untuk gaya aksial, gaya radial dan gaya tangensial masing-masing sebesar 92,5 Kg; 45 Kg dan 125 Kg pada gerak makan 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan. Prosentase rata-rata rasio gaya aksial dan gaya radial terhadap gaya tangensial pada gerak makan 0,045; 0,090; 0,135; 0,180; 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan adalah sebesar 72, 83% dan 35, 94%. Rasio rata-rata gaya aksial dan gaya radial serta gaya tangensial terhadap gaya resultan R pada variasi gerak makan dan kedalaman potong konstan yakni sebesar 56,33% dan 27,75% serta 77,60%. Putaran Spindel (n) 260 put/min Pada putaran spindel (n) 260 put/min, gerak makan (f) 0,045; 0,090; 0,135; 0,180; 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan (a) 1,0 mm, untuk gaya aksial, gaya radial dan gaya tangensial tertinggi berturut-turut adalah 92,5 Kg ; 45 Kg dan 120 Kg, pada gerak makan 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan. Prosentase rata-rata rasio gaya aksial dan gaya radial terhadap gaya tangensial pada gerak makan 0,045; 0,090; 0,135; 0,180; 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan yakni sebesar 68, 94% dan 33, 44%. Untuk rasio gaya aksial, gaya radial dan gaya tangensial terhadap resultan R pada variasi gerak makan dan kedalaman potong konstan masing-masing yaitu 54,46% ; 26, 39% dan 79, 37%. Putaran Spindel (n) 440 put/min. Pada putaran spindel (n) 440 put/min, gerak makan (f) 0,045; 0,090; 0,135; 0,180; 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan (a) 1,0 mm, Hasil perhitungan gaya aksial, gaya radial dan gaya tangensial tertinggi masing-masing adalah 90 Kg, 42,5 Kg dan 115 Kg pada gerak makan 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan. Prosentase rata-rata rasio gaya aksial dan gaya radial terhadap gaya tangensial pada gerak makan 0,045; 0,090; 0,135; 0,180; 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan yakni 68, 73% dan 33, 53%. Rasio untuk gaya aksial, gaya radial dan gaya tangensial terhadap resultan R pada variasi gerak makan dan kedalaman potong konstan, berturut-turut adalah 54,38% ; 26,48% dan 79,31%. Putaran Spindel (n) 740 put/min. Untuk putaran spindel (n) 740 put/min, gerak makan (f) 0,045; 0,090; 0,135; 0,180; 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan (a) 1,0 mm. Hasil perhitungan tertinggi Untuk gaya aksial, gaya radial dan gaya tangensial masing-masing adalah 85 Kg, 40 Kg dan 100 Kg pada gerak makan 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan. Prosentase rata-rata rasio gaya aksial dan gaya radial terhadap gaya tangensial pada gerak makan 0,045; 0,090; 0,135; 0,180; 0,225 mm/put dan kedalaman potong konstan yakni 70,84% dan 31,46%. Rasio untuk gaya aksial, gaya radial dan gaya tangensial terhadap resultan R pada variasi gerak makan dan kedalaman potong konstan, berturut-turut adalah 55,59% ; 24,48% dan 78,97%.
Menurut Syamsir. A. Muin, Bila sudut (SCEA) = 45o, ( sudut inklinasi) = 0 dan rake angle ( ) = 15o , maka : - gaya makan (Feed Force, FX) = (0,3 sampai dengan 0,4) FZ -.gaya pahat (Tool Force, FY) = (0,4 sampai dengan 0,5) FZ Pada putaran spindel (n) dan kedalaman potong (a) yang konstan, apabila gerak makan (f) dinaikkan maka harga gaya pemotongan yang terjadi akan semakin besar pula. Hal ini terlihat pada hampir semua kondisi pemotongan yang diukur, baik pada gaya aksial, gaya radial maupun pada gaya tangensial. Keadaan tersebut diatas menunjukkan bahwa gerak makan (f) berpengaruh langsung terhadap gaya pemotongan. Dengan semakin besarnya gerak makan (f) maka luas penampang geram yang terjadi akan semakin besar pula. Pada gerak makan (f) dan kedalaman potong (a) yang konstan, terlihat bahwa gaya pemotongan menurun seiring dengan kenaikan putaran spindel (n). Akan tetapi harga penurunan gaya pemotongan ini relatif kecil.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan serta merujuk pada teoriteori sebelumnya dapat ditarik kesimpulan penelitian sebagai berikut : Pada putaran spindel dan kedalaman potong yang konstan, apabila gerak makan dinaikkan maka gaya pemotongan yang terjadi akan semakin besar. Sedangkan pada gerak makan dan kedalaman potong yang konstan, terlihat bahwa gaya pemotongan menurun seiring dengan kenaikkan putaran spindel. B. Saran Beberapa saran yang dapat diberikan sesuai dengan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Karena banyaknya faktor yang mempengaruhi effisiensi dan produktivitas suatu mesin perkakas maka penelitian mengenai faktor-faktor tersebut sangat perlu, misalnya faktor-faktor seperti sudut dan jenis pahat, metode pemotongan, fluida pendingin dan lain-lain. 2. Penelitian dan analisis terhadap mesin perkakas lain selain mesin bubut juga sangat perlu karena penggunaan mesin-mesin tersebut cukup penting DAFTAR PUSTAKA [1] Amstead, BH, 1986, Ostwald, Philip, F, Begeman, Myron, L, Priambodo, Bambang, Teknologi Mekanik Jilid II, Penerbit Erlangga, Jakarta. [2] Anonim, Mesin-Mesin Perkakas, 1989, Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, Penerbit UNHAS, Ujung Pandang [3] Daryanto, 1985, Ikhtisar Praktis Teknik Mesin, Penerbit Tarsito, Bandung
Rekayasa Material I-131
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
[4] Ferry, 1991, Distribusi Gaya Pemotongan Pada Bed Mesin Bubut, Penerbit UNHAS, Ujung Pandang [5] Muin, Syamsir. A, 1989, Dasar-Dasar Perencanaan Perkakas Dan Mesin-Mesin Perkakas, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta [6] M, Yatna, Yuwana, M, Wibowo, Agung, Pengenalan Mesin Perkakas Dan Perkakas Potong, Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Industri, Penerbit ITB, Bandung [7] Rochim , Taufik, 1985, Teori Dan Teknologi Proses Pemesinan, Lab Teknik Produksi Dan Metrologi Industri Jurusan Mesin Fakultas Teknologi Industri, Penerbit ITB, Bandung
[8] Shinroku, Tata Surdia, 1995, Pengetahuan Bahan Teknik, Edisi Ketiga, Penerbit PT. Pradya Paramita, Jakarta. [9] Wahyudddin K, Wahjoe Hidayat, 1979, Pengetahuan Logam II, Penerbit Dep. Pend. Dan Kebudayaan, Direktorat Pend. Menengah Kejuruan, Jakarta [10] Sudjana, 1995, Metoda Statistika, Edisi Ke. 6, Penerbit Tarsito, Bandung
Rekayasa Material I-132
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengaruh Perendaman Air Laut Terhadap Kekuatan Material Komposit Serbuk Kayu Bayam Muhammad Yusuf Ali
Johannes Leonard
Program Studi Teknik Mesin Universitas Hasanuddin Makassar e-mail:
[email protected]
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Makassar e-mail:
Abstrak— Analisa sifat bahan komposit akibat pengaruh
perendaman air laut merupakan studi pemanfaatan serebuk kayu bayam sebagai matriks bahan komposit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perendaman air laut terhadap kekuatan material komposit melaui pengujian tensile, kekerasan dengan pengujian Hardnes, pengujian SEM dan FTIR untuk mengetahu struktur material komposit dan gugus fungsi akibat pengaruh perendaman air laut. Bahan komposit ini terdiri dari tiga variasi persentase serbukn kayu bayam yaitu 20%, 40%, 60% dan proses perendaman air laut dilakukan dengan skala laboratorium dengan lama perendaman 10 hari, 20 hari, 30 hari. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai kekuatan tarik maksimal dan kekerasan material komposit menunjukkan nilai persentase serbuk 40% yang paling tinggi, seiring dengan perendaman yang dilakukan kekuatan dan kekerasan material komposit mengalami penurunan ini diakibatkan kandungan NaCl pada air laut sangat mempengaruhi kondisi material. Kata Kunci - Komposit, Air Laut, kekuatan , Struktur material, Gugus Fungsi
I.
PENDAHULUAN
Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini sangat maju, ini ditandai dengan penggunaan dan pemakaian bahan-bahan yang sanagat besar untuk kebutuhan masyarakat ini menyebabkan kebutuhan akan sumber daya alam yang sangat banyak hal ini mendorong manusia mencari teknologi alternatif untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia secara efisien dan optimal. Salah satu usaha tersebut dengan memanfaatkan limbah dengan cara daur ulang. Saat ini kegiatan pemanenan dan pengolahan kayu di indonesia masih menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar. Limbah pada kegiatan pemanenan dan industri pengolahan kayu, limbah umumnya berbentuk kayu bulat, mencapai 66,16%, Pada industri penggergajian, limbah kayu meliputi serbuk gergaji 10,6%, sebetan 22,9% dan potongan 14,3%, dengan total libah sebesar 50,8% dari jumlah bahan baku yang dihasilkan, Limabah pada industri kayu lapis
meliputi limbah potongan 5,6%, serbuk gergaji 0,7%, sampai vinir basah 24,8%, sampai vinir kering 12,6%, sisa kupasan 11,0% dan potongan tepi kayu lapis 6,3%. Tahun 1999/2000 menunjukkan bahwa produksi kayu lapis indonesia mencapi 4,61 juta sedangkan kayu gergajian mencapi 2,06 juta . Dengan asumsi, limbah yang dihasilkan mencapai 61% maka diperkirakan libah kayu yang dihasilkan mencapi lebih dari 5 juta . Dengan melihat kondisi seperti ini, ternyata limbah serbuk kayu bisa dimanfaatkan dengan teknologi alternatif, limbah serbuk kayu ini dapat dimanfaatkan untuk bahan alternatif membuat komposit serbuk kayu.. Komposit kayu merupakan istilah untuk menggambarkan setiap produk yang terbuat dari lembaran atau potongan-potongan kecil kayu yang direkat bersama-sama. Komposit yang terbuat dari serbuk kayu dimana resin sebagai matriks dan serbuk kayu sebagi filler ke dalam matriks sangat memberikan manfaat begitu besar untuk menghasilkan bahan komposit. Dari segi kayu, dengan adanya matriks polimer di dalamnya maka kekuaatan sifat mekaniknya juga akan meningkat. Pembuatan komposit dengan menggunakan serbuk dari kayu bayam, selain dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu bayam, juga dapat menghasilkan produk inovatif sebagai bahan bangunan pengganti kayu, keunggulan produk ini antara lain : biaya produksi lebih murah, bahan bakunya melimpah, fleksibel dalam proses pembuatannya, kerapatannya rendah dan dapat diaplikasikan dalam berbagai keperluan. Dalam penggunaan produk ini antara lain sebagai komponen interior kapal nelayan, perabot rumah tangga maupun komponen bangunan yang digunakan untuk masyarakat pesisir. Dimana indonesia adalah negara maritim yang wilayahnya 70% adalah lautan dengan memiliki jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara yang sebagian bertempat tinggal daerah pesisir yang ,membutuhkan bahan alternatif yang digunkan dalam kehidupan sehari-hari baik yang digunkan dikapal nelayan maupun kebutuhan prabot rumah tangga. Pada penelitian kali ini, penulis akan menyajikan suatu bahan yang digunakan sebagai serat penguat komposit yaitu serbuk kayu bayam yang direndam di air laut. Di mana perendaman pada air laut ini dilakukan untuk membantu masyarakat peseir dalam mendapatkan bahan alternatif untuk kebutuhan prabot rumah tangga. Untuk itu akan dikemukakan mengenai sifat-sifat mekanis material komposit dengan menggunakan limbah serbuk kayu bayam
Rekayasa Material I-133
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
sebagai penguat dan resin sebagi matriksnya. Penggunaan limbah serbuk kayu sebagi penguat komposit masih minim ditemukan apalagi limbah serbuk kayu bayam yang jumlahnya cenderung meningkat tampa adanya proses daur ulang. Menggunkan serat serbuk kelapa sebagai bahan penguat komposit dengan makris polyester yang direndam dalam berbagai media lingkungan antara lain 10% NaOH, HCI IN dan 10% NaCL larutan garam dan air dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana ketahan (pengaruh) degradasi serat sabuk kelapa terhadap lingkungannya, di mana hasilnya pada media salinitas (air garam) mempengaruih sifat mekanik komposit. Dalam kontak terlalu lama pada konsetrasi natrium korida pada awalnya kekuatan tarik menurun dan kemudian menunjukkan kencerungan meningkat sedangkan modulus perpanjangan dan young menurun secara bertahap dengan fariasi waktu perendaman 1, 2 dan 3 bulan. Kifli (2009) menggunnakan serat kulit batang melinjo sebagi bahan penguat komposit dengan matriks resin epoksi yang direndam ke dalam media air laut dengan tujuan mengetahui sifat fisik dan mekanis komposit serat kulit batang melinjo di mana perendaman spesimen dilakukan pada wadah segi empat yang terbuat dari kaca dengan pariasi waktu 1, 2 dan 3 minggu pada material komposit dengan perlakukan serat NaOH 3 jam. Dari kedua penelitian di atas tidak satupun yang menggunakan serbuk kayu bayam sebagai penguat jadi masih perlu dilakukan penelitian dengan komposit serbuk kayu bayam dengan menggunakan wadah untuk media perendaman air laut.
II.
LANDASAN TEORI
A. Bahan Komposit Istila “Konposit” sering kali juga mencakup materi dimana fasa kedua mempunyai partikel atau lamina. Pada kasus seperti ini struktur komposit menjanjinkan keuntungan khusus, selain kekuatan, juga mempunyai nilai ekonomis dan ketahanan korosi. Sejarah perkembangan teknologi komposit mencatat berbagai temuan yang bersifat inovatif, bahkan ide yang menabjukan. Akhirnya pada skala yang lebih halus kita mempertimbangkan penerapan prinsip komposit terhadap konstituan mikrostrutur (nanokomposit). Disini digunakan model mekanika yang relatif sederhana tetapi cukup memadai untuk memperkenalkan kaida dasar untuk desain dan menjelaskan kompsit Kekasaran Permukaan Dalam bidang rekayasa dimana kekuatan mekanik dan kekuatan merupakan persyaratan utama, istila “komposit” dikaitkan dengan material yang mengkombombinasi fasa matriks dengan campuran filament yang berfunsi sebagai fasa penguat (penguatan). Komposit dikembangkan dari gagasan yang sederhana dan praktis dimana dua atau lebih material homogen dengan sifat yang sangat berbeda digabungkan. B. Kayu Kayu merupakan bahan mentah yang sangat tua. Beriburibu tahun yang lalu, ketika hutan lebat menutupi kawasan yang luas dipermukaan bumi, orang-orang primitif
menggunakan kayu untuk bahan bakar dan perkakas. Karena kayu merupakn bahan alami, berfungsi sebagai penguat batang, cabang dan akar dari pohon atau tanaman lainnya, ia akan kembali pada daur ulang alami setelah menunaikan funsinya, dan terdegradasi menjadi unsurunsur dasarnya. Selama periode prasejarah dan sesudahnya kayu tidak hanya digunakan untuk bahan bangunan tetapi juga semakin penting sebagai bahan mentah kimia untuk pembuatan arang (digunakan dalam pelemburan besi), ter dan getah (digunakan untuk mengawetkan dan melapisi lambung kapal), dan kalium (digunakan dalam pembuatan gelas dan sebagai bahan pemucat kain dan tektil kapas). Jenis kayu yang digunakan yaitu kayu bayam atau nama lainnya MERBAU. Dimana daerah penyebaran kayu ini terdapat diseluruh sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Maluku, Nusa tenggara Timur dan Irian Jaya. C. Air Laut Kandungan fisik dan kimia air laut merupakan akibat dari struktur atom air. Air merupakan gabungan dari hydrogen dan oksigen yang berhubungan dengan covalen bond (covalen bond hubungan antara 2 atom dalam molekul hasil pembagian dari electron). Covalen bond ada ketika elemen membagi elektronnyake dalam bentuk campuran.di dalam air, hydrogen dan oksigen berhubungan langsung dengan sudut 105º. Masing-masing atom hydrogen dan oksigen memiliki electron yang didistribusikan tidak sama, dengan cara itulah masing-masing atom hydrogen bermuatan positif dan atom oksigen bermuatan negative. Air yang bersifat positif dan negative secara bersama-sama memberikan struktur molekul dipolar. Masing-masing sumbu positif (atom II) saling tarik menarik dan membentuk hubungan yang lemah, sumbu negative (atom B) dimolekul lain. Hubungan antara hydrogen ke atom oksigen disebut “hydrogen bond”. Karena merupakan agregasi cairan, jika ada molekul yang lebih banyak yang dapat diindikasikan dari jumlah H2O, jenis kandungan air terlihat tidak normal ketika dibandingkan dengan zat non polar seperti methane (cha) atau hydrogen sulfide (H2S), karena adanya hydrogen bond, air mempunyai titik didih (100º C) lebih tinggi dari yang diperkirakan. D. Resin Epoksi Epoksi resin merupkan rumpun dari bahan polimer thermosetting yang tidak memberikan produk reaksi saat hubungan silang (cross-link) sehingga mempunyai penyusutan rendah. Membentuk bahan termoset plastik yang solid dilakukan dengan mereaksi dengan zat kataliks untuk mendapatkan sifat yang diinginkan. Plastik termoset tanpa penguat dikuatkan dengan adanya kreasi jaringan dengan ikatan kovalen melaui keseluruhan struktur bahan. Jarinan kovalen ini dihasilkan dengan reaksi kimia dalam bahan termoset setelah dicor atau selama penekanan bawah panas dan tekanan. Karena jaringan ikatan kovalennya, bahan ini relative tinggi modulus elastic dan kekakuannya sebagai bahan plastik.
Rekayasa Material I-134
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
E. Pengujian Sifat Mekanis a. Pengujian tarik Pengujian tarik bertujuan untuk mengetahui tegangan, regangan, modulus elastisitas bahan dengan cara menarik spesimen sampai putus. Dasar yang digunakan untuk mengetahui kekuatan tarik dari suatu material adalah kurva tegangan - regangan. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa komponen-komponen utama dari kekuatan tarik adalah kekuatan maksimum (tensile strength), tegangan luluh dari material, regangan yang terjadi saat penarikan dan pengurangan luas penampang. Sifat–sifat tarikannya dapat dihitung sebagai berikut: Bila Tegangan σ (Kg/mm2), F beban (kg) dan A0 luas penampang batang uji ( mm2 ) maka : =
(
/
)
(1)
dan Regangan dapat dihitung dengan ɛ regangan , L panjang mula dari batang uji , L0 panjang batang uji yang dibebani dengan rumus : =
∆
100%
(2)
b. Pengujian kekerasan Pengujian kekerasan dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bahan terhadap pembebanan dalam perubahan yang tetap, artinya ketika gaya tertentu diberikan pada suatu benda uji dan karena pengaruh pembebanan benda uji akan mengalami deformasi. Harga kekerasan bahan tersebut dapat dianalisis dari besarnya beban yang diberikan terhadap luasan bidang yang menerima pembebanan. c.
Pengujian SEM Scanning Electron Microscopy (SEM) adalah mikroskop electron yang dapat digunakan untuk mempelajari detil arsitektur permukaan material dalam daerah makro dan submikron. SEM merupakan teknik analisis menggunakan elektron sebagai sumber pencitraan dan medan elektromagnetik sebagai lensanya. Perbesaran SEM yang dalam rentang perbesaran sekitar 100 kali – 300.000 kali diharapkan dapat mengidentifikasi perubahan pori yang terjadi pada zeolit sebelum dan sesudah modifikasi.. Dan SEM dilengkapi juga detector EDS, sehingga dapat menganalisis kandungan unsure yang terkandung dalam zeolite d.
Pengujian FTIR Spektroskopi fourier transform infrared merupakan alat untuk mengidentifikasi jenis ikatan kimia dalam molekul dengan menghasilkan spektrum absorpsi inframerah seperti sidik jari “molekul”. Hal ini dapat diterapkan pada analisis zat padat, cair dan gas. Fourier transform spektroskopi inframerah (FTIR) mengacu pada perkembangan sekarang, cukup dengan cara data dikumpulkan dan dikomversi dengan pola gangguan
spektrum. Instrumen FTIR adalah komputer yang membuat lebih cepat dan lebih sensitif dibandingkan dengan instrumen dispersif tua Tahap IR instrumen awal adalah jenis dispersi, yang menggunakan prisma atau kisi monokromator. Instrumen dispersi adalah karakteristik dari scanning lambat. Sebuah transform fourier infrare spekrometer memperoleh spektrum inframerah dengan pertama-tama mengumpulkan sebuah interferogram dari sinyal sampel dengan interferometer, yang mengukur semua frekuensi inframerah secara bersamaan. Spektroskopi FTIR digunakan terutama untuk analis kualitatif dan kuantitatif senyawa organik, dan juga untuk menentukan struktur kimia anorganik. e.
Analisis Regresi
Analisis regresi digunakan untuk mempelajari dan mengukur hubungan statistik yang terjadi antara dua variabel atau lebih. Dalam regresi sederhana dikaji dua variabel, sedangkan dalam regresi majemuk dikaji lebih dari dua variabel. Dalam analisis regresi, suatu persamaan regresi hendak ditentukan dan digunakan untuk menggambarka pola atau fungsi hubungan yang terdapat antar variabel. Variabel yang akan diestimasi nilainya disebut variabel terikat ( dependent variabel ) dan biasanya diplot pada sumbu tegak ( sumbu-y). Sedangkan variabel bebas ( independent variabel) adalah variabel yang diasumsikan memberikan pengaruh terhadap variasi variabel terikat dan biasanya diplot pada sumbu datar (sumbu-x). Regressi linier Berganda. Dalam regresi linier berganda terdapat beberapa variabel bebas (X1,X2,X3...Xn) yang dihubungkan dengan satu variabel terikat (Y) yang merupakan bagian dari analisis multivariat dengan tujuan untuk menduga besarnya koefisien regresi yang akan menunjukkan besarnya koefisien regresi yang akan menunjukkan besarnya pengaruh beberapa variabel bebas terhadap variabel terikat. Dalam uji regresi berganda, seluruh variabel prediktor (bebas) dimasukkan ke dalam perhitungan regresi secara serentak.) Jika terdapat dua variabel bebas (X1) dan (X2) serta variabel terikat (Y) maka koefisien-koefisien dan konstanta persamaan regresi ganda ditentukan dengan rumus sebagai berikut : Y = a + b1X1 + b2X2 +... bnXn
III.
(3)
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara mencampurkan serbuk kayu bayam dengan resin ke dalam suatu wadah dan diaduk hingga merata kemudian dituangkan ke dalam cetakan gambar 1.
Rekayasa Material I-135
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Setelah proses pencetakan dilakukan maka proses yang dilakukan selanjutnya adalah prendaman material komposit selama 10 hari, 20 hari, 30 hari seperti pada gambar 2.
Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui parameter kekuatan tarik (ultimate strength) maupun luluh (yield strength), parameter kaliatan/keuletan yang ditunjukan dengan adanya prosentase perpanjangan (elongation) dan prosentase kontraksi atau reduksi penampang (reduction of area) maupun bentuk penampang patahan. Adapun tabel hasil pengolahan data dan grafik seperti di bawah ini :
Kekuatan Tarik (N/mm2)
Grafik Hubungan Persentase Serbuk Vs Kekuatan Tarik
Gambar 2.
2.48 2.40 2.32 2.24 2.16 2.08 2.00
10 hari 0%
50%
20 hari
100%
30 hari
Persentase Serbuk (%) setelah dilakukan perendaman maka dibuat spesimen uji sesuai standar ASTM D 638-02 type 1. Pada gamabar 3.
Gambar 4. 2.
Pengujian Kekerasan
Hasil kekerasan yang diperoleh dengan menggunakan metode Hard Brinell, penentuan kekerasan dengan cara menekan bola baja kepermukaan material benda uji dengan dengan diameter 2,2 mm dan beban yang diberikan pada proses pengujian adalah 100 kg.
dengan ukuran dimensi spesimen pengujian Width of narrow section (W = 13 ± 0.5) mm, Length of narrow section (L = 57 ± 0,5) mm, Width overall, min (Wo = 19 ± 6.4) mm, Length overall, min (Lo = 165) mm, Gage Length (G = 50 ± 0.25) mm, Distance Between Grips (D = 115 ± 5) mm, Radius of fillet (R = 76 ± 10 mm, Thickness (T) B. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilaksanakan oleh tenaga operator yang terlatih dan berpengalaman dalam menggunakan instrumen pengujian tarik, kekerasan, SEM dan FTIR. Pengambilan data disusun secara berurutan sehingga hubungan antara variabel independent dapat diamati secara lebih efektif. Variabel independent dalam penelitian ini yakni, persentase serbuk dan lama perendaman. Sedangkan variabel dependent yang merupakan hasil pengujian adalah pengujian tarik dan kekerasan.
Grafik hubungan persentase serbuk Vs Kekerasan 54,00 52,00
Kekerasan
Gamabar 3.
50,00 48,00
30 hari
42,00 40,00 10
20
30
40
50
60
70
Persentase Serbuk (%)
Gambar 5. 3.
SEM (Scanning Electron Microscopy) Pengujian ini memperlihatkan adanya perbedaan struktur akibat proses perendaman yang dilakukan mulai dari perendaman 10 hari, 20 hari, 30 hari
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Hasil pengujian tarik, kekerasan, SEM dan FTIR diperoleh data untuk dilakukan analisis. 1.
20 hari
44,00
C. Metode Analisis Data Dari proses pengujian yang dilakukan diperoleh data hasil pengujian tarik dan kekerasan yang diolah secara grafik dan statistik. Data-data yang diperoleh diploting dalam bentuk grafik. Analisis selanjutnya melakukan analisa statistik dengan menggunakan perhitungan manual dan program SPSS (Statistical Package for Social Sciences) dengan metode regresi. IV.
10 hari
46,00
Pengujian Tarik
Rekayasa Material I-136
(a) Bentuk permukaan material koposit pada perendaman 10 hari dengan persentase 20 %. (b) Persentase 40 %. (c). Persentase 60 %
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
(a) Bentuk permukaan material koposit pada perendaman 20 hari dengan persentase 20 %. (b) Persentase 40 %. (c). Persentase 60 %
(a) Bentuk permukaan material koposit pada perendaman 30 hari dengan persentase 20 %. (b) Persentase 40 %. (c). Persentase 60 %
4.
FTIR Pada pengujian ini memperlihatkan hasil adanya pengaruh yang relatif rendah akibat proses perendaman yang dilakukan terhadap kadar garam yang terdapat pada air laut
adalah hasil pengujian FTIR yang dilakukan pada material komposit dengan persentase 20% pada perendaman 10 hari
B. Pembahasan Dari grafik 4 dapat dibahas bahwa persentase serbuk sangat mempengaruhi besar kecilnya kekuatan dari material komposit. Hal ini dapat dilihat pada grafik di atas bahwa ada persentase serbuk yang memiliki nilai tegangan tarik yang paling tinggi ini terjadi pada variasi campuran 40% serbuk. Hal ini disebabkan karena pemcampuran serbuk dan resin saling mengikat satu sama lain sehingga terjadi pencampuran yang homogen di mana keterikan serbuk kayu dengan resin menyatu sangat kuat sehingga kekuatan tarik yang dihasilkan menjadi besar di mana pada persentase serbuk 40% serbuk ini mampu menahan sebagian besar gaya-gaya yang bekerja pada material komposit jadi ketika penggabungan komposit serbuk dan resin, di mana resin ini
mampu bertugas dengan baik melindungi dan mengikat serbuk agar dapat bekerja dengan baik. sedangkan pada persentase 60 % serbuk menunjukkan nilai kekuatan tarik menurun ini diakibatkan karena proses pencampuran antara serbuk dengan resin kurang mengikat antara resin dengan serbuk sehingga hasil kekuatan tarik yang diperoleh kecil. Pada saat pencampuran ini ternyata matriks tidak berfungsi dengan baik untuk melindungi dan mengikat serbuk agar dapat bekerja dengan baik. Jika ditinjau dari proses perendaman yang dilakukan dengan perendaman 10 hari, 20 hari dan 30 hari memiliki pengaruh pada kekuatan tarik yang terjadi ini terlihat pada grafik di atas bahwa pada perendaman 10 hari sampai 30 hari memperlihatkan penurunan kekuatan tarik. Hal ini terjadi dikarenakan pengaruh kandungan garam pada air laut mengakibatkan material komposit terdegradasi akibat proses perendaman air laut yang dilakukan jadi proses perendaman yang dilakukan dari tingkatan hari menunjukkan penurunan kekuatan tarik yang terjadi. Setelah dilakukan perhitungan diperoleh nilai rata-rata tegangan maksimum sebagai berikut : untuk perendaman 10 hari dengan persentase serbuk 20 % = 2,38 / , 40 % = 2,70 / , 60 % = 2,19 / , untuk perendaman 20 hari dengan persentase serbuk 20 % = 2,34 / , 40 % = 2,40 / , 60 % = 2,17 / dan untuk peredaman 30 hari dengan persentase serbuk 20 % = 2,31 / , 40 % = 2,38 / , 60 % = 2,16 / . Dari gambar 5 dapat dilihat bahwa nilai kekerasan yang paling besar adalah material komposit yang persentase serbuk kayunya yang 40% sebab pada pencampuran serbuk kayu 40% dengan resin epoksi memiliki nilai kekerasan yang paling besar dibandingkan dengan persentase serbuk 20% dan 60% hal ini disebabkan karena pada pencampuran 40% memiliki gaya ikat antar resin dengan serbuk berada dalam keadaan yang baik dalam artian pada persentase ini campuran yang diperoleh lebih homogen. Sehingga mengakibatkan material semakin keras maka kemampuan untuk menahan beban statis seperti penekanan akan semakin kuat. Pada persentase 60% serbuk terlihat bahwa hasil kekerasan yang diperoleh lebih kecil dibandingkan persentase yang lain ini diakibatkan pencampuran serbuk kayu dengan resin kurang begitu homogen sehingga pencampuran ini memiliki nilai kekerasan yang kecil. Jika ditinjau dari proses perendaman air laut yang dilakukan maka hasil pengujian kekerasan memperlihatkan bahwa seiring lama perendaman yang dilakukan hasil pengujian kekerasan semakin kecil ini diakibatkan pengaruh perendaman air garam yang dilakukan yang mana semakin lama perendaman dilakukan maka material komposit akan mengalami proses degradasi sehingga material komposit akan mengalami penurunan kekuatan mekanik dalam hal ini pengujian kekerasan. Terlihat pada grafik di atas bahwa pada persentase serbuk 20% pada proses perendaman 10 hari memiliki nilai kekerasan yang besar dibandingkan dengan persentase serbuk 20% pada proses perendaman 20 hari begitupun persentase serbuk 20% pada proses perendaman 30 hari nilai kekerasannya semakin menurun. Dari hasil pengujian dan perhitungan dilakukan maka diperoleh nilai sebagai berikut : untuk perendaman 10 hari dengan persentase serbuk 20 % = 49,20, 40 % = 53,09, 60
Rekayasa Material I-137
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
% = 52,44, untuk perendaman 20 hari dengan persentase serbuk 20 % = 48,42 , 40 % = 51,07, 60 % = 50,34 dan untuk peredaman 30 hari dengan persentase serbuk 20 % = 46,67 , 40 % = 49,89, 60 % = 48,54. Dari gambar 6 memperlihatkan bahwa pada waktu perendaman 10 hari dengan persentase masing-masing 20%, 40%, 60% memperlihatkan adanya benda-benda asing yang melekat pada material, setelah diidentifikasi ternyata ini akibat dari pengaruh kandungan NaCl yang terdapat pada media perendaman. Di mana perendaman yang dilakukan selam 10 hari ini pengaruh kadar NaCl belum begitu menyebar ke daerah-daerah material yang lain dalam artian penyebarannya belum terlihat secara menyeluruh. Begitupun dengan perendaman 20 hari terlihat ada perubahan bentuk fisik dari material yang diakibatkan pengaruh kandungan garam pada air laut. Dari gambar 7 memperlihatkan bahwa terlihat pada persentase 20% dengan perendaman 10 hari menunjukkan gugus fungsi yang memiliki banyak gelombang di mana tiap gelombang ini merupakan hasil kandungan yang terdapat pada material komposit akibat proses perendaman dilakukan, dari hasil pengujian mekanik yang dilakukan bahwa pada perendaman 10 hari dengan persentase 20% memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan perendaman 20 hari dan 30 hari ini di karenakan pengaruh perendaman yang dilakukan pada perendaman 10 hari belum mendapat pengaruh yang siknifikan dari kandungan air laut yaitu NaCl.
[6] [7]
[8] [9] [10] [11]
[12] [13]
[14]
Djaprie. Srianti, 2000. Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa material edisi keenam. Penerbit Erlangga. Jakarta. Ifannosa, A.A.E. hadi,B.K dan Kunsin, M, 2010, analisis kekuatan tarik komposit serat bambu lamina helai dan wooven yang dibuat dengan metode manufaktur hand lay-up, seminar nasional tahunan Teknik mesin ke 9, Palembang Lawrence H.V.V. 1989 “Ilmu dan Teknologi Bahan”. Erlangga, Jakarta. Sriati Japrie. 1996. “Metalurgi Mekanik”. Erlangga, Jakarta John A. Schey, 2009, “Proses Manufaktur”. Penerbit Andi Yogyakarta. Ir. Tata surdia M.S Met. E, Prof. Dr. Shinroku Saito, “Pengetahuan Bahan Teknik”. PT. Pradnya Paramita, Jakarta Palupi.L.S., 2004, Sifat Mekanis Kayu Rasmala Pada Beberapa bagian Lambung Kapal Gillnet (Kasus pada KM A.S di pelabuhan ratu, Jawa Barat), Skripsi pada program studi pemanfaatan sumberdaya perikanan dan ilmu kelautan IPB, Indonesia. Sunaryo Rahardjono Teknik Bangunan kapa non baja, departemen pendidikan nasional Jakarta. Tarkono, 2005, Study aplikasi bahan alternatif laminasi kayu dan bambu sebagai bahan pembangunan kapal kayu. Makalah disampaikan pada seminar Pascasarjana ITS. Yusuf , E,2009, pengaruh orientasi serat dan fraksi volume terhadap sifat tarik dan impak bahan komposit serat rami anyaman bermatrik polyester. Tesis program pasca sarjana Universitas Gajah Mada, yogyakarta.
.
C. Kesimpulan Perbandingan rasio (20%, 40%, 60%) pada proses pencampuran material komposit berpengaruh terhadap kekuatan material komposit (kekuatan tarik dan kekerasan). Hal ini ditandai dengan terjadinya peningkatan kekuatan tarik pada pencampuran rasio 40%. Di mana kekuatan tarik dan kekerasan tertinggi terjadi pada perendaman 10 hari dengan nilai 2,45 N/mm2 dan 53,09 HB. Perendaman yang dilakukan selama (10 hari, 20 hari, 30 hari) juga berpengaruh terhadap kekuatan material komposit. Hal ini terjadi karena pengaruh kandungan NaCl yang berada di dalam air laut. Dari hasil uji SEM terlihat pada perendaman 10 hari terdapat benda-benda asing yang melekat pada material begitupun perendaman 20 hari dan 30 hari. Begitupun dengan hasil uji FTIR pada perendaman 10 hari sampai 30 hari terlihat bahwa pengaruh kandungan NaCl sangat berpengaruh dari material komposit.
DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4]
[5]
Abdulrahim Martawijaya, dkk. 1989. Atlas kayu indonesiajilid II . Departemen Kehutanan BPPK, Bogor. Baumer, B.M.J. 1994 “Ilmu Bahan Logam”. Bhratara, Jakarta. Bradbur, E, J. 1982. Dasar Metalurgi untuk Rekayasawan. Jakarta. Gramedia Pustaka. Boesono. H, 2008, pengaruh lama perendaman terhadap organisme penempel dan modulud elastisitas pada kayu ilmun kelautan. September 2008 Vol. 13 (3) : 177-180 ISSN 0853 – 7291. Bondan T. Sofyan, “Pengantar Material Teknik”. Salemba Teknika, Jakarta.
Rekayasa Material I-138
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Kekuatan Impact Komposit Polimer Berpenguat Serat Sisal dengan Perlakuan Vulcan AF21 NPG. Suardana
Ni made Suaniti
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana Denpasar, Bali
[email protected]
Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Udayana Denpasar, Bali
[email protected]
I Putu Lokantara
K. Sumadiasa Putra Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana Denpasar, Bali
[email protected]
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana Denpasar, Bali
[email protected]
Abstract – Penggunaan material alami pada akhir decade ini ditujukan untuk mengamankan lingkungan. Salah satu cara pengamanan lingkungan adalah dengan cara memanfaatkan bahan-bahan disekitar kita yang mudah terdegradasi di alam secara alami. Pengamanan lingkungan lainnya adalah dengan cara mendaur ulang limbah menjadi bahan atau produk lain, contohnya adalah daur ulang plastik digunakan menjadi material lain seperti komposit. Komposit yang penulis teliti adalah biokomposit dengan bahan dasar PP (Polypropylene) daur ulang sebagai pengikat dan serat sisal sebagai penguatnya. Penggunaan bio-komposit saat ini cenderung mengalami peningkatan, sehingga perlu dilakukan studi tentang bio-composite untuk mendapatkan komposit yang sesuai dengan kebutuhan perencanaan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kekuatan Impact komposit berpenguat serat sisal dengan variasi fraksi berat serat (25%, 35% dan 45%) dan variasi perlakuan Vulcan AF21 pada serat (5%, 10% dan 20%). Metode Pencetakan spesimen melalui Proses Blending dan Hot Press. Hasil penelitian diplot ke dalam bentuk grafik dan morfologi patahan difoto dengan SEM. Dari hasil Penelitian didapat semakin tinggi persentase fraksi berat serat maka semakin rendah energi Impact yang diperlukan, demikian pula semakin tinggi persentase perlakuan Vulcan semakin turun kekuatan impact komposit tersebut. Kata Kunci : Kekuatan Impact, Fraksi berat serat, Perlakuan Vulcan AF21, Serat Alam
I. PENDAHULUAN Sampah merupakan salah satu permasalahan di kota-kota tidak saja di Indonesia namun di seluruh dunia. Menurut Indonesia Solid Waste Association (InSWA), produksi sampah plastik di Indonesia mencapai 5,4 juta ton/tahun atau 14% dari total sampah domestik yang dihasilkan [1]. Namun baru sebagian kecil sampah plastik dapat tertangani sedangkan sisanya masih membanjiri lingkungan. Ditambah dengan kesadaran masyarakat Indonesia untuk membuang sampah pada tempatnya serta kesadaran memilah-milah sampah sejak dari rumah tangga sebelum dibuang ke tempat sampah sangat kurang, sehingga sampah organik dan anorganik bercampur sedemikian rupa. Masalahnya adalah bila sampah tersebut berserakan dan tidak terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) maka akan berdampak pada penurunan kesehatan lingkungan, banjir, dan pemandangan yang kurang sedap. Salah satu jenis sampah anorganik adalah sampah plastik sintetik. Di Indonesia regulasi penggunaan plastik sintetik belum diatur secara spesifik walaupun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP No. 81 tahun 2012 tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga secara umum mengamanatkan setiap orang wajib melakukan pengurangan sampah, produsen wajib membuat kemasan produk yang mudah diurai di alam dan atau bisa didaur ulang. Demikian pula himbauan kepada masyarakat untuk mengurangi penggunaan barang-barang yang terbuat dari plastik sintetik terus dikampanyekan. Akan tetapi produsen terus memproduksi barang-barang yang terbuat dari plastik sintetik seperti tas plastik, kantong plastik, botol plastik, dan sebagainya. Beberapa jenis bahan plastik yang banyak diproduksi yaitu: HDPE (high-density polyethylene), PET (polyethylene terephthalate), PVC (polyvinyl chloride), LDPE (low-density polyethylene), PP (polypropylene), PS (polystyrene). Bahan plastik sintetik ini dibuat dari minyak bumi, yang mana persediaannya juga semakin menipis. Disamping itu sampah plastik yang ditimbulkan memerlukan waktu berabad–abad untuk terdegradasi di alam dan bahkan ada yang tidak bisa terdegradasi. Sehingga diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi hal tersebut seperti penerapan prinsip 4R yaitu Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), Recycle (mendaur-ulang), Replace (mengganti). Salah satu prinsip yang penulis lakukan adalah mendaur ulang sampah plastik menjadi material komposit yang berpenguat serat alam. Penggunaan plastik daur ulang akan mengurangi jumlah sampah plastik yang artinya ikut mengamankan lingkungan, demikian pula penggunaan serat alam akan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Disamping itu, aplikasi material komposit meningkat sangat tajam yaitu pada otomotif, perkapalan, pesawat terbang, interior bangunan, panel isolasi dan sebagainya [2,3], sehingga perlu dilakukan penelitian-penelitian lebih mendalam tentang komposit berbahan polimer daur ulang dengan
Rekayasa Material I-139
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
berbagai macam serat alam. Serat alam yang digunakan pada penelitian ini adalah serat sisal. Adapun salah satu kekurangan dari serat alam ini yaitu mudah terbakar. Untuk mengatasi hal tersebut maka salah satu cara dilakukan dengan memberi perlakuan kimia serat alam tersebut dengan Fire reterdants (FRs). Umumnya dengan perlakuan kimia tersebut menyebabkan kekuatan tarik polimer/serat alam menurun, seperti yang telah dilakukan [4] bahwa dengan peningkatan perlakuan kimia (FRs) terjadi peningkatan ketahanan api namun terjadi penurunan kekuatan tarik komposit serat alam. Yang menjadi permasalahan pada penelitian ini bagaimana pengaruh perlakuan kimia (Vulcan AF21) dan fraksi berat serat setelah diberi perlakuan kimia tersebut terhadap kekuatan impactnya. II. DASAR TEORI Komposit adalah kombinasi dalam skala makroskopis dari dua bahan atau lebih yang mempunyai sifat berbeda untuk membentuk material baru. Dua komponen utama komposit polimer berpenguat serat adalah polimer sebagai matrik (matrix) atau pengikat dan serat sebagai penguat (reinforcement). Komponen lainnya adalah coupling agent, coating, dan filler. Coupling agent dan coating biasanya digunakan untuk memperbaiki keterbasahan serat sehingga meningkatkan ikatan antar serat dengan matriknya. [3]. Polypropylene daur ulang (PP) digunakan karena jumlahnya berlimpah berupa limbah plastik yang bila tidak digunakan lagi atau didaur ulang maka akan mencemari lingkungan. Untuk mengurangi masalah ini, PP didaur ulang untuk membuat material komposit untuk menghasilkan nilai tambah produk baru dengan biaya produksi lebih rendah.
Vc p l t
: Volume Cetakan (cm3) : Panjang Cetakan (cm) : Lebar Cetakan (cm) : Tinggi Cetakan (cm)
Fraksi Berat Serat ( FW ) FW = x 100%)
(2)
Dimana : FW : Fraksi Berat Serat (%) Wf : Berat Serat (gram) Wp : Berat Polimer (gram) Uji Impact Uji Impact merupakan pengujian yang cenderung terjadinya patahan getas, salah satu yang sangat sering digunakan adalah Charpy impact test. Rumus – rumus Impact Dengan mengabaikan kehilangan energi akibat gesekan bantalan pada titik putar batang pendulum dan energi akibat hambatan udara maka dilakukan perhitungan sebagai berikut : Energi yang diserap ∆E = E1- E0
(3)
dimana: E0 = Energi awal yang terbaca pada skala saat pengujian tanpa beban (kJ) E1 = Energi akhir yang terbaca pada skala saat pengujian dengan beban (kJ) ∆E = Energi yang diserap (kJ) Kekuatan Impact dapat diukur dengan : Impact Strength Is =
Tabel 1. Polypropylene Properties. [5]
(4)
Is = Kekuatan Impact (kJ/m2) A = Luas penampang spesimen (m2)
III. METODE PENELITIAN Serat alam merupakan alternatif penguat (reinforcement) yang sangat mudah didapat, ramah lingkungan dan harga yang sangat murah dibandingan serat sintetis. Dengan densitasnya rendah dan dapat diuraikan secara biologi, maka pemanfaatan serat alam sebagai pengisi (filler) komposit telah diaplikasikan secara komersial di berbagai bidang seperti bidang otomotif, interior, konstruksi dan sebagainya. Serat alam memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan serat sintetis, seperti beratnya lebih ringan, dapat diolah secara alami dan ramah lingkungan. Dan juga serat alami juga merupakan bahan terbarukan (renewable material) dan mempunyai kekuatan dan kekakuan yang relatif tinggi dan tidak menyebabkan iritasi kulit [6,7]. Fraksi berat serat adalah perbandingan antara berat serat dengan berat komposit. Volume Cetakan (Vc) Vc = p x l x t dimana :
(1)
Plastik PP (polypropylene recycle) dari kemasan air mineral 250 ml dengan merk Aqua dipotong-potong. Serat sisal diperoleh dari pasar lokal di Bali yang berasal dari Kabupaten Karangasem. Serat Sisal dipotong-potong berukuran panjang ± 10 mm yang disusun secara acak dengan variasi fraksi berat serat 25%, 35%, dan 45%. Bahan Kimia yang diperlukan adalah NaOH (natrium hidroksida) dan Vulcan AF 21 untuk perlakuan serat. Gliserin digunakan untuk melapisi cetakan agar sepesimen tidak menempel pada cetakan. Adapun langkah-langkah proses perlakuan serat sisal adalah serat sisal dipotong kecil-kecil dengan ukuran 10mm kemudian direbus dengan suhu 100˚C selama 1 jam untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada serat sisal. Setelah perebusan serat sisal dibilas dengan air mengalir sampai bersih, selanjutnya dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 70˚C selama 24 jam untuk pengeringan. Untuk tahap treatment, serat sisal yang telah dikeringkan tadi direndam kembali ke dalam campuran zat kimia 5%
Rekayasa Material I-140
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
NaOH selama 2 jam kemudian dibilas dengan air mengalir sampai bersih. Serat sisal dikeringkan kembali di dalam oven dengan suhu 70oC selama 24 jam. Selanjutnya serat diberi perlakuan masing-masing 5%, 10% dan 20% Vulcan AF21 selama 2 jam, tanpa melalui proses pembilasan langsung dikeringkan di dalam oven selama 24 jam pada suhu 70oC. Plastik PP (polypropylene) dipotong kecil - kecil dan dimasukkan ke dalam mesin blending panas hingga plastik mencair. Serat sisal yang telah ditentukan fraksi beratnya (25%, 35% dan 45%) masing-masing dimasukkan ke dalam plastik yang telah mencair pada mesin blending panas sampai serat tercampur dengan cairan plastik hingga merata. Cetakan diberikan pelapis (gliserin) agar material spesimen yang dihasilkan tidak melekat dengan cetakan. Cairan plastik dan serat yang telah tercampur dimasukkan ke dalam cetakan. Cetakan dimasukkan ke dalam mesin press panas, diberi tekanan sebesar 3 ton hingga temperatur 1700C dan ditahan selama 5 menit. Cetakan dikeluarkan dari mesin, kemudian diberi tekanan 50 kg dan didinginkan menggunakan kipas angin hingga mencapai suhu ruang. Komposit dikeluarkan dari cetakan dan diamati bentuk fisik komposit tersebut apakah ada void dan apakah serat sudah terdistribusi merata pada seluruh bidang specimen dengan cara menerawang lembaran komposit tersebut. Komposit yang telah berhasil dicetak dipotong menjadi spesimen uji sesuai dengan standar ISO 179 untuk uji impact dengan sampel tanpa takikan dan posisi saat pemukulan adalah flatwise. IV. PEMBAHASAN Keuntungan utama dari termoplastik memiliki keuletan yang lebih tinggi dibandingkan dengan polimer termoset. Ini berarti bahwa polimer termoplastik memiliki deformasi plastik lebih besar dibandingkan polimer termoset. Hal ini sangat penting untuk struktur yang membutuhkan ketahanan impact dan beban patah [8]. Berdasarkan hasil perhitungan uji Impact terhadap spesimen komposit yang telah dilakukan dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 2.
dengan perlakuan 5%, 10% dan 20% Vulcan AF21 untuk fraksi berat 35% diperoleh kekuatan impact tertinggi terdapat pada komposit dengan perlakuan NaOH dan fraksi berat 35% yaitu 18.6 kJ/m2 (Gambar 2). Hal ini terjadi karena dengan perlakuan NaOH permukaan serat menjadi bersih dari lignin dan kasar (Gambar 5b) dibandingkan dengan serat aslinya yang masih banyak mengandung lignin pada permukaannya (Gambar 5a) sehingga memperkuat ikatannya dengan matrik, akibatnya material menjadi lebih kuat. Pernyataan ini didukung dengan foto SEM Gambar 6a. Perlakuan serat dengan Vulcan AF21 terjadi penurunan kekuatan impact dari perlakuan 5%, 10% dan 20% dengan fraksi berat konstan 35% yaitu masing-masing sebesar 18%, 32% dan 45% dibandingkan dengan hanya perlakuan NaOH. Hal ini disebabkan karena Vulcan melapisi permukaan serat semakin besar persentase Vulcan semakin banyak pelapisan yang terjadi pada permukaan serat dan permukaan serat menjadi lebih halus (Gambar 5c), akibatnya akan mengurangi ikatan antara serat dengan polimernya karena Vulcan kurang kompatibel dengan polimer sehingga terjadi penurunan kekuatan impact komposit tersebut. Tampak pula dari patahan specimen setelh diuji impact dimana terjadi lepasnya serat dari matrik pengikatnya (pullout) seperti ditunjukkan pada Gambar 6b. Demikian pula peningkatan peningkatan fraksi berat serat dari 25%, 35% dan 45% dengan perlakuan Vulcan 5% terjadi penurunan kekuatan impact sebesar masing-masing 8%, 18% dan 29%. Penurunan ini terjadi karena semakin banyak serat yang terlapisi Vulcan maka akan semakin lemah ikatan antara serat dan matriknya. Hal ini juga disebabkan karena pada fraksi berat serat 25% spesimen komposit tersebut memiliki persentase matrik yang lebih banyak dibandingkan dengan yang lainnya sehingga memiliki keuletan lebih tinggi dampaknya kekuatan impactnyapun lebih tinggi. Namun penurunan impact strength pada perlakuan 5% Vulcan dengan variasi fraksi beratnya masih lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan serat dengan 10% dan 20% Vulcan seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Kekuatan impact dari komposit yang diteliti yang paling rendah adalah adalah dengan persentase fraksi berat 35% dan perlakuan 20% Vulcan yaitu sebesar 10.21kJ/m2.
a
b
Gambar 2 Grafik pengaruh variasi fraksi berat serat dan Vulcan AF21 terhadap kekuatan impact komposit PP daur ulang
c Spesimen uji Impact komposit PP (polypropylene) daur ulang serat sisal dengan fraksi berat serat 25%, 35%, dan 45%
Rekayasa Material I-141
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Gambar 5. Foto SEM Serat dengan beberapa perlakuan: a. Serat sisal asli, b. Serat setelah perlakuan NaOH 5%, c. Serat setelah perlakuan NaOH 5%+ Vulcan 20%
[7]
[8]
a
Lincoln, NE 68583–0730, USA, Biodegradable polymer blends and composites from renewable resources, Edited by Long Yu, Copyright # 2009 by John Wiley & Sons, Inc Hoboken, New Jersey. Oksman, K., Skrifvars, M., Selin, J-F., (2003) Natural fibers as reinforcement in Polylactic acid (PLA) composites, Composites science and technology 63,Scincedirect.com, 1317-1324 Suong V. Hoa, Principles of the manufacturing of composite materials. DEStech Publications, Inc. Lancaster, Pennsylvania 17602 U.S.A. 2009.
b Gambar 6. Penampang patahan setelah uji impact komposit: a. dengan perlakuan NaOH, b. dengan perlakuan 5% Vulcan.
V. KESIMPULAN Dari pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa uji Impact Komposit PP ( Polypropylene ) daur ulang serat sisal dengan variasi fraksi berat serat 25%, 35%, dan 45% dengan perlakuan 5%, 10% dan 20% Vulcan AF21 untuk fraksi berat 35%, diperoleh semakin tinggi persentase fraksi berat serat dengan perlakuan 5% vulcan pada komposit maka semakin rendah kekuatan impactnya, demikian pula semakin besar persentase perlakuan serat dengan vulcan pada fraksi berat konstan kekuatan impactnya juga menurun.
ACKNOWLEDGMENT Terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana yang telah membiayai penelitian ini dari Dana BOPTN dengan surat perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian No. 23915/UN14.2/PNL.01.03.00/2014 tanggal 14 Mei 2014.
DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
http://www.antaranews.com/berita/417287/produksi-sampahplastik-indonesia-54-juta-ton-per-tahun di akses 12 juli 2014 pk 6.31 wita. Mortaigne B, Bourbigot S, Le Bras M, Cordellier G, Baudry A, Dufay J. Fire behaviour related to the thermal degradation of unsaturated polyesters. Poly Degrad Stab 1999;64: 443448. Mouritz AP and Gibson AG. Fire Properties of Polymer Composite Materials. Published by Springer, P.O. Box 17, 3300 AA Dordrecht, The Netherlands 2006. Suardana, NPG., Ku, MS., Lim, JK., 2011, “Effects of diammonium phosphate on the flammability and mechanical properties of bio-compoistes”, Material adn Design 32, hal : 1990-1999 Khalil H. P. S. A., Sharifah Shahnaz S. B., Ratnam M. M., Faiz Ahmad and Nik Fuaad N. A. (2006) Journal of Reinforced Plastics and Composites School of Industrial Technology, Universiti Sains Malaysia. Hanna MA and Xu Y. Starch–Fiber Composites, Industrial Agricultural Products Center, University of Nebraska,
Rekayasa Material I-142