Penerapan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) Mengenai Hak Atas Kesehatan di Indonesia Gita Kartika, Adijaya Yusuf, Hadi Rahmat Purnama Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 16412, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia. Hak ini harus dipenuhi berdasarkan prinsip nondiskriminasi dan kesetaraan. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) 1966 merupakan kovenan hukum yang paling signifikan dalam mengatur hak atas kesehatan secara umum. Hak atas kesehatan atau right to health sendiri diartikan sebagai hak setiap orang untuk mendapatkan fasilitas, produk, dan layanan kesehatan, (bukan sebagai hak dalam pengertian “right to be healthy”). Ruang lingkup hak atas kesehatan sangatlah luas karena mencakup faktor-faktor penentu kesehatan (determinants of health) dengan komponenkomponen penting, yaitu ketersediaan, aksesibilitas, akseptabilitas, dan kualitas. Kewajiban Negara untuk memenuhi hak tersebut tidaklah cukup melalui langkah legislatif melainkan langkah-langkah lain yang perlu dengan memanfaatkan sumber daya secara maksimal. Indonesia telah meratifikasi kovenan ini melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 dan dengan demikian terikat pada ketentuan-ketentuan dalam ICESCR, termasuk ketentuan mengenai hak atas kesehatan yang diatur dalam Pasal 12 ICESCR. Dalam hukum nasional, hak atas kesehatan telah diatur diantaranya dalam UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU No. 40 Tahun 2009 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan dalam Strategi Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Namun, walaupun secara legislatif hak atas kesehatan telah cukup baik diatur dalam hukum nasional, tetapi Indonesia belum menerapkan hak tersebut kepada rakyat Indonesia belum maksimal. Hal ini terlihat dari ketersediaan dan persebaran fasilitas dan tenaga kesehatan di setiap wilayah di Indonesia yang belum merata, sistem jaminan kesehatan yang tidak tepat sasaran dan kurang sosialisasi, dan kurang tersedianya obat-obatan esensial di sejumlah fasilitas kesehatan di Indonesia sehingga masyarakat tidak dapat mengakses obat-obatan esensial sebagaimana harusnya. Kata kunci
: hak asasi manusia; Indonesia; International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR); kesehatan,.
Implementation of International Covenant on Economic, Social, Cultural Rights on Right to Health in Indonesia Abstract Health is a human right. It has to be fulfilled based on the principles of non-discrimination and equity. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) 1966 is the most significant law covenant which rules out the right to health universally. Right to health is defined as a right of every person to health facilities, goods, and services (not as a right to be healthy). The scope of right to health is very broad, since it includes the right to determinants of health as well, along with important components, namely availability, accessibility, acceptability, and quality. Obligation arising out for the States to meet the right of health are not quiet through the legislative measures but also other steps necessary utilizing the maximum of its available resources to
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
achieve the full realization of the rights. Indonesia has ratified the Covenant through the Law No. 11/2005 and consequently it is bound to the provisions in ICESCR, which one of them is the right to health under Article 12 of ICESCR. Domestically, the right to health has been regulated in the Constitution of 1945, Law No. 39/1999 on Human Rights, Law No. 36/2009 on Health, Law No. 40/2009 on National Social Security System, and the Acceleration Strategy for the Achievement of Millennium Development Goals (MDGs). However, although the right to health is regulated well enough under its legislations, its implementation is not yet optimal. It is seen from the disparity of health facility and health workers availability and distribution in every region in Indonesia, the mistargeting in health security system and its lack of socialization, also the lack of essential medicines in a number of health facilities that should have been easily accessed by those who need it. Keywords
: health; human rights; Indonesia; International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).
Pendahuluan Kesehatan merupakan permasalahan penting yang disorot secara global dan telah menjadi prioritas negara-negara serta organisasi internasional dalam rencana peningkatan kesejahteraan manusia, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan World Health Organization (WHO). masalah kesehatan telah diakui secara internasional sebagai bagian yang fundamental dalam hak asasi manusia dimana hak ini telah dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bersifat multilateral, regional serta dalam instrumen-instrumen hukum nasional. Pasal 25 dari Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) mengatur hak atas kesehatan yang berbunyi: Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control. Motherhood and childhood are entitled to special care and assistance. All children, whether born in or out of wedlock, shall enjoy the same social protection.
Walau demikian, sifat dari DUHAM bukan merupakan perjanjian internasional yang mengikat. Sehubungan dengan hal itu, pada tahun 1966, Majelis Umum PBB mengesahkan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) untuk menguraikan hak-hak yang tergolong ke dalam hak ekonomi, sosial dan budaya dalam DUHAM. Pengaturan mengenai hak kesehatan kembali ditegaskan dalam Pasal 12 ICESCR dengan bunyi, “The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health.” Secara regional, hak atas kesehatan juga diatur dalam Charter of Fundamental Rights of the European Union (Pasal 35), American Declaration of the Rights and Duties of Men (Pasal 9) yang telah digantikan dengan American Convention on Human Rights dan protokolnya yaitu Protocol to the American Convention on Human Rights in
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
the Area of Economic, Social, and Cultural Rights (Pasal 10), serta ASEAN Human Rights Declaration (Pasal 28 dan 29). Hak atas kesehatan sebagai bagian dari hak asasi menusia menimbulkan konsekuensi dan tanggung jawab bagi negara untuk berupaya memenuhinya. Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia pun tidak lepas dari kewajiban ini. Kewajiban Indonesia untuk melakukan pemenuhan hak atas kesehatan dapat dilihat melalui tujuan Negara Republik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang salah satunya adalah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum”. Dalam Pasal 28H ayat 1 & 3, jo. Pasal 34 UUD 1945 dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, hak atas kesehatan kembali ditegaskan sebagai hak asasi manusia. Pengaturan dalam dua undang-undang tersebut secara lebih spesifik dituangkan dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan serta undang-undang terkait lainnya, seperti Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, dan lain sebagainya. Selain itu, Dengan diratifikasinya ICESCR ke dalam hukum nasional Indonesia melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005, Indonesia terikat kepada aturan ICESCR dalam hal pemenuhan standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental. Termasuk juga terhadap kewajiban negara-negara anggota ICESCR berdasarkan Pasal 2 ICESCR dan General Comment No. 14 untuk menghormati (negara tidak boleh melanggar), melindungi (negara harus memastikan bahwa orang atau badan lain tidak menyalahgunakan atau mengganggu), serta memenuhi (negara harus mewujudnyatakan) hak atas kesehatan. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah : 1.
Bagaimana hukum internasional melalui International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) mengatur mengenai hak atas kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia?
2.
Bagaimanakah Indonesia melakukan kewajiban dalam pemenuhan hak atas kesehatan sebagai negara peserta ICESCR?
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
3.
Bagaimana implementasi hak atas kesehatan dalam keadah hukum yang berlaku Indonesia sebagaimana diatur dalam ICESCR 1966?
Tinjauan Teoritis Hak atas kesehatan merupakan hak yang diatur dalam insrumen-instrumen hukum hak asasi manusia internasional. Namun, apa yang dimaksud dengan hak atas kesehatan itu menimbulkan kebingungan dan tidak jarang kesalahpahaman. Definisi “kesehatan” sendiri menimbulkan banyak perdebatan mengenai apakah “kesehatan” merupakan hak yang memiliki makna, dapat diidentifikasi, bersifat operasional dan dapat dilaksanakan. Hak atas kesehatan yang diartikan terlalu luas tidak memiliki isi yang jelas dan cenderung tidak memiliki efek yang berarti.1 Definisi kesehatan yang diberikan WHO dalam konstitusinya sebagai, “a state of complete physical, mental, and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity” masih dianggap sulit untuk diterapkan dan kecil kemungkinannya bersifat justiciable. Pasal 25 DUHAM memandang hak atas kesehatan secara luas dengan memfokuskan kesehatan dari segi determinan sosial. Sedangkan dalam Pasal 12, ICESCR memformulasikan hak atas kesehatan kurang lebih sama dengan apa yang diatur dalam Konstitusi WHO2, yaitu hak atas “highest attainable standard of physical and mental health”. Lebih jauh diartikan oleh The United Nations Special Rapporteur on the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health 2006 (selanjutnya disebut sebagai Special Rapporteur), bahwa The right to health can be understood as the right to an effective and integrated health system encompassing health care and the underlying determinants of health, which is responsive to national and local priorities, and accessible to all. Underpinned by the right to health, an 1
Lawrence O. Gostin, At Law: The Human Right to Health: A Right to the “Highest Attainable Standard of
Health”, The Hastings Center Report, vol. 31, No. 2 (Maret-April, 2001), hlm. 29. 2
Bunyi pengaturan yang diatur dalam bagian pembukaan dari Konstitusi WHO mengenai hak atas
kesehatan adalah “The enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being without distinction of race, religion, political belief, economic or social condition.”
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
effective health system is a core social institution, no less than a court system or a political system.3
Dari pengaturan-pengaturan ini dapat terlihat bahwa hak kesehatan bukanlah hak terhadap kondisi badan yang sehat secara sempurna (right to be healthy) tetapi terhadap faktorfaktor pendukung terciptanya kondisi sehat tersebut. Terminologi hak atas kesehatan (right to health) dipakai sebagai istilah singkat yang paling sering digunakan untuk merujuk pada bahasa yang lebih detail dalam hukum internasional.4 Melihat pengertian dari hak atas kesehatan, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup hak atas kesehatan sangat luas. Untuk membantu negara-negara peserta ICESCR dalam mengintrepretasi ruang lingkup hak atas kesehatan, CESCR sebagai pemantau implementasi dari ICESCR mengeluarkan General Comments No. 14: The Right to the Highest Attainable Standard of Health. Komentar umum ini merupakan referensi yang paling ideal dalam mengelaborasi hak atas “highest attainable standard of physical and mental health”.5 Dalam komentar umum tersebut, hak atas “highest attainable standard of physical and mental health” dijabarkan sebagai “an inclusive right extending not only to timely and appropriate health care but also to the underlying determinants of health, such as access to safe and potable water and adequate sanitation, an adequate supply of safe food, nutrition and housing, healthy occupational and environmental conditions, and access to health-related education and information, including on sexual and reproductive health.”
Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa yang dimaksud dengan hak atas kesehatan adalah hak yang tidak hanya terbatas pada perawatan kesehatan yang cepat dan tepat, tetapi juga mengenai faktor-faktor penentu kesehatan (“underlying determinants of health”) seperti akses 3
UN Commission on Human Rights, Report of the Special Rapporteur on the Right of Everyone to the
Enjoyment of the Highest Attainable Standard of Physical and Mental Health, Paul Hunt, 3 Maret 2006, E/CN.4/2006/48,
hlm.
2.
Dapat
diakses
di
http://daccess-dds-
ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G06/114/69/PDF/G0611469.pdf?OpenElement. 4
Brigit Toebes, Towards an Improved Understanding of the International Human Right to Health, Human
Rights Quarterly, vol. 21. No. 3, (Agustus 1999), hlm. 663. 5
Lawrence O. Gostin, At Law: The Human Right to Health: A Right to the “Highest Attainable Standard of
Health”, The Hastings Center Report, vol. 31, No. 2 (Maret-April, 2001), hlm. 29.
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
terhadap air yang aman dan dapat diminimum, sanitasi yang memadai, kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, dan akses terhadap pendidikan yang berhubungan dengan kesehatan dan informasi, termasuk tentang kesehatan seksual dan reproduksi. Selanjutnya, CESCR juga menentukan komponen yang saling terkait dan penting bagi pemenuhan hak atas kesehatan, yaitu a. Ketersediaan, artinya pemberdayaan kesehatan masyarakat dan fasilitas, produk, dan layanan perawatan kesehatan, termasuk program-program, harus tersedia dalam jumlah memadai di Negara peserta. b. Aksesibilitas, artinya fasilitas, produk, dan layanan kesehatan, harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi. Komponen ini memiliki empat dimensi, yaitu non diskriminasi, aksesibilitas secara fisik, aksesibilitas secara ekonomi (keterjangkauan harga), dan aksesibilitas informasi. c. Akseptabilitas, artinya bahwa semua fasilitas, produk dan layanan kesehatan harus menghormati etika kedokteran dan sesuai dengan budaya yang ada. d. Kualitas, sama halnya seperti dapat diterima secara budaya, fasilitas, produk, dan
layanan kesehatan juga harus layak secara ilmiah dan medis serta harus berkualitas baik Kewajiban negara dalam memenuhi hak kesehatan tersebut dijabarkan dalam Pasal 2.1 ICESCR yang menyebutkan bahwa Each State Party to the present Covenant undertakes to take steps, individually and through international assistance and co-operation, especially economic and technical, to the maximum of its available resources, with a view to achieving progressively the full realization of the rights recognized in the present Covenant by all appropriate means, including particularly the adoption of legislative measures.
Istilah “...undertakes to take steps” dalam Pasal 2.1 ICESCR memiliki pengertian berbeda dengan istilah serupa dalam Pasal 2.2 ICCPR dan Pasal 2.1 Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatmeent or Punishment. Istilah yang digunakan dalam dua perjanjian internasional yang belakangan itu mengandung arti bahwa implementasi yang dilakukan oleh negara harus secara langsung atau secepatnya sedangkan dalam ICESCR implementasi harus
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
dilakukan secara bertahap.6 CESCR menjelaskan bahwa walaupun realisasi sepenuhnya atas hak kesehatan dimaksudkan untuk dicapai secara progresif, namun langkah-langkah untuk menuju target tersebut harus diambil dalam waktu yang tidak lama setelah ICESCR berlaku bagi Negara peserta yang bersangkutan. Selanjutnya, istilah “…all appropriate means, including particularly the adoption of legislative measure” dijelaskan oleh CESCR sebagai kewajiban negara untuk memutuskan langkah-langkah yang tepat dan itu mungkin bergantung pada hak yang hendak diimplementasikan. Namun demikian, CESCR menyatakan laporan Negara Pihak harus menyebutkan tidak hanya langkah-langkah yang telah ditempuh namun juga alasan mengapa langkah-langkah tersebut dianggap sebagai paling tepat berikut situasi-situasinya.7 Mengenai istilah “adoption of legislative measures”, CESCR menyatakan bahwa hal itu sama sekali tidak menyelesaikan kewajiban Negara peserta, bahwa keberadaan hukum semata tidaklah cukup membuktikan Negara peserta telah menjalankan kewajibannya sesuai ICESCR. Anggapan bahwa sumber daya ekonomi itu penting bagi implementasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya telah berkembang menjadi alasan utama untuk menempatkannya dalam posisi sekunder (second generation of human rights).8 CESCR mengakui pentingnya sumberdaya bagi pemenuhan hak-hak ini tapi tidak mengganggap bahwa faktor ketersediaan sumber daya sebagai klausul pelarian diri. CESCR telah menyatakan bahwa dalam kasus dimana terdapat jumlah yang cukup signifikan rakyat hidup dalam kemiskinan dan kelaparan, maka Negara harus membuktikan bahwa kegagalannya memenuhi hak orang-orang ini memang diluar kendali. CESCR mengembangkan gagasan mengenai kewajiban inti minimum (core minimum obligation) untuk menyangkal argumen bahwa ketiadaan sumberdaya menyebabkan tidak terpenuhinya 6
Matthew Craven, The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights: A Perspective on
its Development, (Oxford: Clarendon Press, 1995), hlm. 125. 7
International Economic, Social, and Cultural Rights, Pasal 12.1. paragraf 4.
8
Pembagian kategori hak asasi manusia ke dalam tiga generasi diprakarsai oleh Karel Vasak, seorang ahli
hukum di International Institute of Human Rights. Pembagian yang diinspirasi oleh Revolusi Perancis yang mengusung “Liberty, Equality, Fraternity” ini direfleksikan dalam Charter of Fundamental Rights of the European Union. Generasi pertama berisikan hak-hak sipil politik, generasi kedua berisikan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, sedangkan generasi ketiga berisikan hak-hak kolektif yang melampaui sekedar kedua jenis hak sebelumnya.
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
kewajiban. Adapun kewajiban inti yang harus dilakukan oleh Negara peserta untuk memenuhi tingkat pemenuhan minimum dari setiap hak yang terdapat dalam ICESCR, setidaknya mencakup:9 a. Menjamin hak untuk mengakses fasilitas, produk, dan jasa kesehatan secara nondiskriminatif, terutama bagi kelompok rentan dan marginal b. Menjamin akses terhadap makanan pokok minimum yang bergizi cukup dan aman, memastikan bahwa semua orang terbebas dari kelaparan c. Menjamin akses terhadap tempat tinggal, perumahan, serta sanitasi, dan pasokan yang cukup atas air minum yang aman d. Menyediakan obat-obatan esensial sebagaimana ditetapkan secara berkala oleh Department of Essential Medicines and Health Products (EMP). e. Menjamin pemerataan distribusi semua fasilitas, produk, dan jasa kesehatan f. Mengadopsi dan menerapkan strategi dan rencana aksi kesehatan masyarakat nasional Selain itu, dikenal juga tiga bentuk kewajiban negara yang mengikat negara-negara peratifikasi perjanjian internasional hak-hak asasi manusia. Ketiga kewajiban tersebut juga biasa disebut sebagai generic obligation, terdiri dari:10 a. Obligation to Respect (Kewajiban Untuk Menghormati): adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk mencampuri baik secara langsung maupun tidak langsung pemenuhan hak atas kesehatan. Hal ini termasuk juga kewajiban untuk menahan diri dari menolak atau membatasi akses yang sama untuk semua orang terhadap pengobatan yang 9
Committee on Economic, Social and Cultural Rights. The right to the highest attainable standard of health.
11/08/2000. E/.12/2000/4, CESCR General Comment 14, 2000, hlm. 13. 10
everyone
Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, Special Rapporteur on the right of to
the
enjoyment
of
the
highest
attainable
standard
of
physical
and
mental
health,
http://www.ohchr.org/EN/Issues/Health/Pages/SRRightHealthIndex.aspx, diunduh pada tanggal 20 September 2014
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
bersifat preventif, kuratif, dan paliatif.11 Atau dengan kata lain, negara tidak boleh mengganggu atau mengurangi penikmatan hak atas kesehatan. b. Obligation to Protect (Kewajiban untuk Melindungi): adalah kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang mencegah pihak ketiga mengganggu jaminan dari Pasal 12. Kewajiban ini termasuk juga memastikan akses yang setara terhadap perawatan kesehatan dari pihak ketiga, dan memastikan privatisasi dari sektor kesehatan tidak mengancam ketersediaan, aksesibilitas, akseptabilitas dan kualitas dari fasilitas-fasilitas kesehatan, produk dan jasa.12 c. Obligation to Fulfill (Kewajiban untuk Memenuhi): adalah kewajiban untuk mengadopsi langkah-langkah legislatif, administratif, penganggaran, hukum, peningkatan dan tindakan tepat lainnya untuk realisasi penuh hak atas kesehatan,13 salah satunya dengan membuat kebijakan dan rencana kesehatan nasional yang mencakup sektor publik dan privat.
Metode Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam penulisan ini adalah penelitin hukum. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.14 Dari sudut ilmu yang digunakan, penelitian ini 11
Hans V. Hogerzeil, et.al., Ruling for Access: Leading Court Cases in Developing Countries on Access to
Essential Medicines as part of the Fulfillment of the Right to Health, ver. 9, (Geneva: World Health Organization, 2004), http://www.who.int/medicines/areas/human_rights/Details_on_20_court_cases.pdf., diunduh tanggal 20 September 2014. 12
Ibid.
13
Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights dan World Health Organization, the
Right to Health, Fact Sheet No. 31. (Jenewa: United Nations, 2008) , hlm.
5. (Dapat diunduh di
http://www.ohchr.org/Documents/Publications/Factsheet31.pdf) 14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2007), hlm. 43.
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
merupakan penelitian mono disipliner, yaitu penelitian dengan pemilihan metode penelitian berdasarkan satu disiplin ilmu.15 Dalam hal ini, penulis mendasarkan penelitiannya pada disiplin ilmu hukum. Dalam skripsi ini penulis ingin menguraikan kerangka hukum dan praktik atas pemenuhan hak atas kesehatan dalam konteks hukum internasional. Disamping itu, uraian juga ditunjang dengan tinjauan atas penerapannya dalam hukum di Indonesia. Berdasarkan metode yang metedologis, sistematis, dan konsisten, penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian dengan memanfatkan data sekunder atau data yang diperoleh dari kepustakaan. Menurut sifatnya, tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif karena untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejalagejala lainnya dengan maksud terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru. 16
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan hak atas kesehatan di Indonesia belum optimal. Hal ini terlihat dari penerapan dalam hal fasilitas dan tenaga kesehatan, penerapan dalam hal sistem jaminan kesehatan nasional, dan dalam hal akses kepada obat-obatan esensial. Dalam hal fasilitas dan tenaga kesehatan, permasalahan yang terjadi adalah aspek ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, dan kualitas. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam laporan Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014, pencapaian prioritas nasional dalam bidang kesehatan untuk meningkatkan umur harapan hidup, menurunkan angka kematian ibu (AKI) melahirkan, menurunkan angka kematian bayi (AKB), menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada anak balita dan menurunkan angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) mengalami kendala antara lain dikarenakan faktor fasilitas dan tenaga kesehatan. Belum optimalnya pelayanan antenatal dan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih merupakan penyebabnya.
17
Selain itu, data Kementerian Kesehatan
15
Ibid., hlm. 11.
16
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ed. 1, cet. 14
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 10. 17
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014, (Jakarta:
Bappenas, 2013), hlm. 74.
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
menunjukkan 938 Puskesmas atau 9,8% dari 9.599 Puskesmas yang ada masih kekurangan atau bahkan tidak memiliki dokter yang diakibatkan oleh distribusi tenaga dokter di Indonesia yang belum merata. Sebab, ternyata ada beberapa daerah yang mempunyai kelebihan tenaga dokter, sedangkan daerah lainnya kekurangan.
18
Sistem jaminan kesehatan di Indonesia juga belum
mencapai target yang diharapkan karena masih banyak masyarakat yang belum ikut dalam program jaminan kesehatan, dan sistem kepesertaan yang seharusnya hanya melibatkan masyarakat miskin dan mendekati miskin malah dapat diikuti oleh masyarakat yang tergolong menengah, menengah atas bahkan teratas. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2013, sebanyak 50,5% penduduk Indonesia belum memiliki jaminan kesehatan.
19
Akses obat-obat esensial juga masih belum dapat dinikmati secara
maksimal oleh masyarakat. Melihat hanya 10% presentase ODHA yang mendapat akses atas obat ARV,20 penggunaan obat esensial di sektor swasta yang masih rendah, dan rendahnya penggunaan obat esensial di Bandung, baik di kota maupun di kabupaten, yang masih rendah, menunjukkan terbatasnya akses masyarakat terhadap obat-obat penting. 21 22
18
19
Ibid. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Riset Kesehatan Dasar
2013, http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf, diunduh tanggal 2 Januari 2015. 20
Tahun
Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan RI, Laporan Situasi Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia
2013,
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/Laporan%20HIV%20AIDS%20TW%204%202013.pdf,
diunduh tanggal 6 Januari 2015. 21
Rini Sasanti Handayani, et.al., Ketersediaan dan Peresapan Obat Generik dan Obat Esensial di Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian di 10 Kabupaten/Kota di Indonesia., (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan, 2010), http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=57650&idc=14, diakses tanggal 5 Januari 2015. 22
Fenny Noviyanti, Profil Penggunaan Obat Generik dan Obat Esensial di Puskesmas Kota dan Kabupaten
Bandung, (Bandung: ITB, 2012), http://digilib.pharmacy.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbsf-gdlfinnanoviy-9, diakses tanggal 6 Januari 2015.
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
Pembahasan A. Terhadap Fasilitas dan Tenaga Kesehatan Pasal 12.1 ICESCR mengatur hak setiap orang atas “highest attainable standar of physical and mental health”. Hak ini diinterpretasikan sebagai hak setiap orang untuk mendapatkan produk, fasilitas, pelayanan dan kondisi-kondisi yang perlu untuk terciptanya kondisi sehat itu. Fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan dengan demikian termasuk didalamnya. Menurut CESCR, pemenuhan atas kedua hal tersebut harus memenuhi aspek availibility, accessibility, acceptability, dan quality. Artinya, fasilitas dan tenaga kesehatan harus tersedia dalam jumlah memadai, dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi (baik secara fisik, harga, maupun informasi), sesuai dengan etika kedokteran dan budaya yang berlaku, serta terbukti berkualitas baik secara ilmiah dan medis. Konsekuensi dari ketentuan ini adalah pemerintah harus menjamin bahwa fasilitas dan tenaga kesehatan harus dapat dijangkau oleh masyarakat dengan mudah di bagian wilayah manapun dalam negara tersebut. Hal ini juga telah diatur dalam ketentuan Pasal 16 UU No. 36 Tahun 2009 yang mengatur bahwa “pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya”. Sumber daya itu termasuk di dalamnya adalah fasilitas dan tenaga kesehatan.23 Berdasarkan data statistik dari Kementerian Kesehatan RI dapat terlihat bahwa dalam skala nasional Indonesia telah melakukan peningkatan dalam hal pembangunan fasilitas kesehatan dan jumlah tenaga kesehatan. Bahkan telah melebihi target ideal yang ditetapkan oleh WHO. Namun jika melihat pada kondisi pada masing-masing provinsi, masih ada kesenjangan pemerataan tenaga dan fasilitas kesehatan. Di kota-kota besar, jumlah fasilitas dan tenaga kesehatan bertumpuk sedangkan di kota-kota lain jumlahnya terbatas atau bahkan sangat kurang. Khususnya untuk rumah sakit swasta yang cenderung bersifat profit-oriented sehingga lebih memilih untuk beroperasi di kota-kota besar dengan kapasitas pasar yang lebih menguntungkan
23
Indonesia, Undang-Undang tentang Kesehatan, UU No. 36 tahun 2009, LN. No. 144 Tahun 2009, TLN
No. 5063, Ps. 1 butir 1
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
dibanding di kota-kota kecil.24 Sekolah kedokteran yang biaya pendidikannya relatif mahal juga biasanya didominasi oleh orang-orang dari kalangan menengah keatas, sehingga para lulusannya pun lebih memilih untuk berpraktik di kota besar, ditambah dengan alasan ekonomi untuk mendapatkan pendapatan yang tinggi.25 Padahal Indonesia sudah memiliki peraturan yang bertujuan untuk menutup kesenjangan tersebut, sebut saja Keputusan Menteri Kesehatan No. 1540/Menkes/SK/2002 Tentang Penempatan Tenaga Medis Melalui Masa Bakti dan Cara Lain serta Peraturan Menteri Kesehatan No. 07 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan Sebagai Pegawai Tidak Tetap. Selanjutnya dalam Pasal 19 undang-undang yang sama, diatur juga bahwa “pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien dan terjangkau”. Kuantitas disini menjadi penting, tetapi tidak kalah penting dengan kualitasnya. Data yang menunjukkan tingkat kematian ibu yang masih tinggi tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia belum secara optimal melakukan upaya dalam meningkatkan kualitas tenaga kesehatan. Padahal tenaga kesehatan memberikan kontribusi hingga 80% dalam keberhasilan pembangunan kesehatan.26 Dalam hal tenaga kesehatan, peningkatan kualitas dapat dicapai melalui pendidikan baik umum maupun spesialis, pelatihan, dan sertifikasi sehingga mereka dapat melakukan upaya kesehatan dengan aman dan bertanggung jawab. Selain melalui pendidikan, pengawasan juga perlu di terapkan terhadap tenaga-tenaga kesehatan di Indonesia. Pengawasan dilakukan terhadap kegiatannya agar tenaga kesehatan tersebut dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan kebijaksanaan peraturan perundang-undangan dan sistem yang telah ditetapkan.27 24
Ahmad Fuady, Moving Toward Universal Health Coverage of Indonesia: Where is the Position?, (Tesis
Erasmus University Rotterdam, Belanda, 2013), hlm. 21. 25
26
Ibid., hlm. 22. Global Health Workforce Alliance, GIZ, dan Kementerian Kesehatan RI, Rencana Pembangungan
Tenaga
Kesehatan
Tahun
2011-2025
(Rancangan
5
September
2011),
http://www.who.int/workforcealliance/countries/inidonesia_hrhplan_2011_2025.pdf, diunduh tanggal
4 Januari
2015, hlm. 1. 27
Titon Slamet Kurnia, Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia, (Bandung: PT
Alumni, 2007), hlm. 105.
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
B. Terhadap Sistem Jaminan Kesehatan Nasional Menurut Pasal 9 ICESCR, yang kembali menegaskan bunyi Pasal 22 DUHAM, setiap orang memiliki hak atas keamanan sosial yang diantaranya termasuk asuransi sosial. Dalam General Comment No. 19 mengenai Rights to Social Security, CESCR menyatakan bahwa jaminan sosial harus dipenuhi oleh negara dengan segera dan tanpa diskriminasi, serta merupakan bagian dari kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah menuju realisasi penuh hak atas kesehatan. Jaminan atas layanan kesehatan dan jaminan saat sakit merupakan dua dari sembilan cabang utama yang harus ditanggung dalam sistem jaminan sosial disamping jaminan hari tua, pengangguran, dan kecelakaan kerja. Dari kondisi pelaksanaan sistem jaminan kesehatan di Indonesia, hal-hal yang masih menjadi permasalahan adalah pertama, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak dilindungi oleh jaminan kesehatan, dan kedua, terjadi salah sasaran dalam kepesertaan Jamkesmas sebagai jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin. Pelaksanaan jaminan kesehatan sebagaimana ditentukan dalam UU No. 40 Tahun 2009 dilakukan melalui asuransi sosial dan bersifat wajib (mandatory).28 Fakta bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia tidak ikut dalam suatu program jaminan kesehatan salah satunya disebabkan karena kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat. Sosialisasi ini terutama harus dilakukan di daerah-daerah yang tidak memiliki akses atas informasi yang baik karena biasanya di tempat tersebut juga fasilitas dan tenaga kesehatan kondisinya kurang memadai. Selain di daerah tersebut, sosialisasi di kota besar juga perlu dilakukan, apalagi jika melihat presentasi wilayah DKI Jakarta sebagai wilayah di Indonesia yang masyarakatnya paling banyak tidak ikut dalam jaminan sosial. Jika sosialisasi dilakukan secara efektif maka masyarakat akan menyadari pentingnya jaminan kesehatan melalui asuransi dan dapat menuntut haknya untuk ditanggung dalam asuransi kesehatan. Selain itu, masalah kepesertaan juga menjadi kendala. Sebagaimana ditunjukkan dalam data Riskesdas 2013, target dan sasaran jamkesmas tidak tepat dimana masyarakat mampu juga masuk menjadi peserta. Di Indonesia, jaminan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu dilaksanakan melalui Program Jaminan Kesehatan Masyarakat yang secara umum diatur dari UU No. 40 Tahun 2004. Jaminan ini merupakan bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi fakir 28
Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, op.cit., Pasal 19 ayat (1).
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayar oleh Pemerintah, diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan sejak tahun 2008 dan merupakan perubahan dari Program JPKMM atau lebih dikenal dengan Program ASKESIN yang diselenggarakan pada tahun 2005-200729. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Menteri Kesehatan No. 40 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas, “pengaturan pedoman pelaksanaan jaminan kesehatan (masyarakat) bertujuan untuk memberikan acuan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota dan pihak terkait dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan masyarakat yang penyenggaraannya mengacu pada prinsip dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata peningkatan derajat kesehatan masyarakat miskin.”30 Hal ini tentunya akan merugikan masyarakat yang memang berhak mendapatkan jamkesmas tersebut. Anggaran negara yang seharusnya dapat digunakan untuk menanggung masyarakat tidak mampu malah teralihkan kepada masyarakat yang mampu. Target Jamkesmas juga tidak tepat sasaran karena masih banyak masyarakat tidak mampu yang tidak menjadi peserta sehingga ketika mereka datang ke rumah sakit atau puskesmas mereka harus menanggung biaya pengobatan sendiri yang sering kali di luar kemampuan mereka.31 Masalah kepersertaan ini juga disebabkan karena proses pengindentifikasian yang belum baik. Identifikasi masyarakat miskin dan mendekati miskin dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang kemudian menghasilkan daftar kuota masyarakat miskin dan mendekati miskin di setiap daerah. Setelah melalui proses validasi dari pemerintah daerah, maka daftar tersebut menjadi acuan bagi pemerintah daerah untuk penganggaran Jamkesmas. Melihat adanya masyarakat di luar kelompok miskin dan mendekati miskin yang menjadi peserta Jamkesmas menunjukkan bahwa sistem pengawasan dan administrasi pendaftaran peserta Jamkesmas masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Bila daftar yang telah ada sudah tepat, maka pada saat masyarakat ingin mendaftar sebagai peserta Jamkesmas, pemerintah dapat langsung mengecek 29
(Nama
penulis
tidak
diketahui),
Regulasi
Jamkesmas,
http://www.jamsosindonesia.com/cetak/print_artikel/34, diunduh tanggal 7 Januari 2015. 30
Menteri Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan
Kesehatan Masyaratk, Permenkes No. 40 Tahun 2012, Pasal 1 huruf a. 31
Menurut sumber dari Susenas 2010, 59.2% masyarakat miskin dan mendekati miskin tidak masuk dalam
jaminan kesehatan apapun, baik Jamkesmas maupun asuransi lain. Pandu Harimurti, et.al., op.cit., hlm. 13.
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
apakah ia telah memenuhi syarat sebagai peserta dengan berpatokan pada daftar tersebut. Sehingga, kesalahan dalam memasukkan masyarakat yang tidak memenuhi syarat sebagai peserta Jamkesmas tidak terjadi. C. Terhadap Obat-Obatan Esensial Akses terhadap obat-obatan merupakan salah satu dari standar perawatan kesehatan mendasar yang dibutuhkan secara cepat dan segera dan dengan demikian merupakan salah satu elemen penting dalam mencapai realisasi penuh32 hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental.33 Berbeda dengan obat lainnya, obat-obat penting didefinisikan WHO sebagai those that specify the priority health care needs of the population. Essential medicines are selected with due to regard to disease prevalence, evidence on efficacy and safety, and comparative cost-effectiveness. Essential medicines are intended to be available within the context of functioning health systems at all times, in adequate amounts, in the appropriate dosage forms with assured quality and at a price the individual and the community can afford.34
Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa suatu obat dianggap sebagai obat yang penting dilihat dari kebutuhan yang tinggi dari masyarakat serta efektivitas dan keamanan dari obat tersebut dan karenanya harus dapat diakses oleh masyarakat baik dalam hal jumlah dan harga. Berdasarkan General Comment No. 14, CESCR menginterpretasikan hak atas kesehatan dalam Pasal 12.1 ICESCR sebagai hak yang tidak hanya terbatas pada perawatan kesehatan yang cepat dan tepat, tetapi juga mengenai faktor-faktor penentu kesehatan (“underlying determinants of health”) seperti akses terhadap air yang aman dan dapat diminum, sanitasi yang memadai, kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, dan akses terhadap pendidikan yang berhubungan dengan kesehatan dan informasi. Hal ini tentunya juga berkaitan dengan obat-obatan esensial. Kemudian dalam CESCR menyatakan bahwa hak atas pencegahan, pengobatan, dan 32
Pandu Harimurti, et.al., op.cit. hlm. 11.
33
Human Rights Council. Access to Medicines in The Context of the Right of Everyone to the Enjoyment of
the Highest Attainable Standar of Physical and Mental Health, Human Rights Council Resolution A/HRC/RES/23.14. hal. 2. 34
World
Health
Organization,
Essential
http://www.who.int/medicines/services/essmedicines_def/en/, diunduh pada 13 November 2014
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
Medicines,
pengendalian penyakit dalam Pasal 12.2 (c) mencakup juga dibangunnya layanan pengobatan darurat dalam hal terjadinya kecelakaan, epidemic dan bencana kesehatan serupa, serta pengaturan atas pemulihan bencana alam dan bantuan kemanusiaan dalam situasi mendesak.35 Hak atas fasilitas, produk, dan layanan kesehatan dalam Pasal 12.2(d) mencakup juga pengobatan penyakit di tingkat masyarakat dan ketentuan mengenai obat-obatan esensial.36 Dikarenakan akses terhadap obat-obatan ini sangat penting dan sifatnya mendesak, maka ICESCR mewajibkan negara-negara peserta untuk memenuhi aspek perawatan kesehatan esensial, yang mana obat-obat esensial termasuk di dalamnya, sebagaimana diatur dalam General Comment No. 3 dan General Comment No. 14. Kewajiban ini ditetapkan CESCR sebagai kewajiban inti minimum negaranegara peserta yang memiliki efek segera. Maksudnya adalah pemerintah harus menjamin ketersediaan akses obat-obatan esensial secara cepat dan langsung. Mengadopsi ketentuan dalam ICESCR, Indonesia juga melakukan upaya legislatif dalam menjamin akses obat-obatan esensial bagi masyarakat. Pengaturan umum mengenai obat-obatan esensial dalam sistem hukum di Indonesia dapat dilihat dalam UU No. 36 Tahun 2009 yang diatur dalam kententuan mengenai perbekalan kesehatan. Dalam Pasal 36, Pemerintah wajib untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial. Secara tegas diatur bahwa pemerintah harus menjamin agar obat esensial tersedia secara merata dan terjangkau oleh masyarakat. Obat esensial kemudian diatur dalam program Kebijakan Obat Nasional yang berisikan tujuan, sasaran dan prioritas nasional di bidang obat sebagai penjabaran dari subsistem bidang Obat dan Perbekalan dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Salah satu tujuan KONAS yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 189/Menkes/SK/III/2006 adalah menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat terutama obat esensial dengan ruang lingkup yang mencakup pembiayaan, ketersediaan serta pemerataan obat bagi masyarakat. Di dalam KONAS dijelaskan bahwa akses masyarakat terhadap obat esensial dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu penggunaan obat rasional, harga yang terjangkau, pembiayaan yang berkelanjutan dan sistem pelayanan kesehatan serta 35
Committee on Economic, Social and Cultural Rights. The right to the highest attainable standard of
health. 11/08/2000. E/.12/2000/4, CESCR General Comment 14, paragraf 16, hlm. 5. 36
Ibid., paragraf 17, hlm. 6.
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
suplai obat yang dapat menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan.37 Dalam Kepmenkes No. 1451/2003 Tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan, indikator yang menyangkut obat antara lain, 100% pengadaan obat esensial dan obat generic, dan 90% penulisan obat generic di pelayanan kesehatan dasar. Dari kondisi yang ada seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, standar pelayanan minimal bidang kesehatan di Indonesia masih belum seratus persen memperhatikan pentingnya obat esensial.
Kesimpulan Hak atas kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia dan telah diakui sebagai hak asasi manusia baik secara internasional, regional, dan nasional. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights adalah instrumen internasional yang paling berpengaruh dalam mengatur hak atas kesehatan. Kovenan tersebut merupakan salah satu perjanjian internasional yang menjabarkan ketentuan hak asasi manusia berdasarkan penggolongan hak asasi manusia yang ada dalam DUHAM. Hak kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ICESCR diartikan sebagai hak untuk mendapatkan produk, fasilitas, pelayanan, dan kondisikondisi yang perlu untuk terciptanya kesehatan. Sedangkan untuk ruang lingkup dari hak atas kesehatan sangatlah luas, yakni tidak hanya terbatas pada perawatan kesehatan yang cepat dan tepat, tetapi juga mengenai faktor-faktor penentu kesehatan, atau determinan sosial terhadap kesehatan. Komponen-komponen yang saling terkait dan penting bagi pemenuhan hak atas kesehatan adalah availability, accessibility, acceptability, dan quality. Keempat komponen tersebut harus diperhatikan dan dipenuhi oleh negara dalam mewujudkan hak atas kesehatan. Kewajiban negara melalui pemerintah dalam memenuhi hak atas kesehatan tertuang dalam Pasal 2 ICESCR yang pada intinya adalah untuk mengambil langkah-langkah baik secara sendiri maupun bersama-sama melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dalam hal teknis dan ekonomi, menggunakan sumber daya yang ada secara maksimal untuk mencapai realisasi penuh hak atas kesehatan. Kewajiban ini dilakukan secara progresif dengan segala cara yang perlu, termasuk khususnya langkah-langkah pengadopsian legislatif. Realisasi secara 37
Menteri Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Tentang Kebijakan Obat Nasional, Kepmenkes No.
189/Menkes/SK/III/2006, Lampiran, hlm. 5.
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
progresif ini dimaksudkan untuk dilakukan secara bertahap mengingat realisasi tersebut membutuhkan sumber daya sehingga tidak dapat dilaksanakan secara langsung dan tercipta dalam semalam. Selain itu, langkah-langkah pengadopsian dalam bidang legislatif tidaklah cukup memenuhi kewajiban negara. Pengadopsian tersebut harus dibarengi dengan langkah konkrit dan terencana. Disamping kewajiban yang diatur dalam Pasal 2 ICESCR, negara juga terikat dalam kewajiban yang diatur dalam hukum hak asasi manusia internasional, yaitu kewajiban untuk menghormati (obligation to respect), kewajiban untuk melindungi (obligation to protect), dan kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill). Penerapan hak atas kesehatan berdasarkan ICESCR di Indonesia belum terlaksana secara maksimal. Hal ini terlihat dari penerapan dalam hal fasilitas dan tenaga kesehatan, penerapan dalam hal sistem jaminan kesehatan nasional, dan dalam hal akses kepada obat-obatan esensial. Dalam hal fasilitas dan tenaga kesehatan, permasalahan yang terjadi adalah aspek ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, dan kualitas. Hal ini tidak sejalan dengan ketentuan pasal 12.1 ICESCR serta komponen-komponen hak atas kesehatan sebagaimana dijabarkan oleh CESCR. Sistem jaminan kesehatan di Indonesia juga belum mencapai target yang diharapkan karena masih banyak masyarakat yang belum ikut dalam program jaminan kesehatan, dan sistem kepesertaan yang seharusnya hanya melibatkan masyarakat miskin dan mendekati miskin malah dapat diikuti oleh masyarakat yang tergolong menengah, menengah atas bahkan teratas. Kesalahan dalam target peserta ini tentu berakibat pada tidak sampainya dana jaminan kesehatan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Yang menikmati malah kelompok masyarakat yang lebih mampu untuk membiayai sendiri perawatan kesehatannya. Masalah ini juga timbul akibat kurangnya sosialisasi pemerintah kepada masyarakat mengenai program jaminan yang ada. Jika sosialisai dilakukan secara efektif maka masyarakat akan menyadari pentingnya jaminan kesehatan melalui asuransi dan dapat menuntut haknya untuk ditanggung dalam asuransi kesehatan. Akses obat-obat esensial juga masih belum dapat dinikmati secara maksimal oleh masyarakat. Pentingnya obat-obatan esensial mengharuskan obat-obatan tersebut selalu tersedia dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Melihat hanya 10% presentase ODHA yang mendapat akses atas obat ARV, penggunaan obat esensial di sektor swasta yang masih rendah,
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
dan rendahnya penggunaan obat esensial di Bandung, baik di kota maupun di kabupaten, yang masih rendah, menunjukkan terbatasnya akses masyarakat terhadap obat-obat penting.
DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013, http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf. Diunduh tanggal 2 Januari 2015. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).. Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014. Jakarta: Bappenas. 2013. Committee on Economic, Social and Cultural Rights. The right to the highest attainable standard of health. 11/08/2000. E/.12/2000/4. CESCR General Comment 14. 2000. _______. Special Rapporteur on the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health. http://www.ohchr.org/EN/Issues/Health/Pages/SRRightHealthIndex.aspx, Diunduh pada tanggal 20 September 2014 Craven, Matthew. The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights: A Perspective on its Development. Oxford: Clarendon Press. 1995. Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan RI. Laporan Situasi Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2013. http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/Laporan%20HIV%20AIDS%20TW%204%202013.pdf, Diunduh tanggal 6 Januari 2015. Fuady, Ahmad. Moving Toward Universal Health Coverage of Indonesia: Where is the Position? Tesis Erasmus University Rotterdam. Belanda, 2013. Global Health Workforce Alliance, GIZ, dan Kementerian Kesehatan RI. Rencana Pembangungan Tenaga Kesehatan Tahun 2011-2025 (Rancangan 5 September 2011). http://www.who.int/workforcealliance/countries/inidonesia_hrhplan_2011_2025.pdf. Diunduh tanggal 4 Januari 2015. Gostin, Lawrence O. At Law: The Human Right to Health: A Right to the “Highest Attainable Standard of Health”. The Hastings Center Report. Vol. 31. No. 2 (Maret-April 2001). Hlm.1. Handayani, Rini Sasanti, et.al. Ketersediaan dan Peresapan Obat Generik dan Obat Esensial di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian di 10 Kabupaten/Kota di Indonesia. (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan, 2010), http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=57650&idc=14, diakses tanggal 5 Januari 2015. Harimurti, Pandu, et.al. The Nuts and Bolts of Jamkesmas, Indonesia’s Government-Financed Health Coverage Program for the Poor and Near-Poor. UNICO Studies Series 8, (Washington DC: World Bank, 2013). Hlm. 1. Hogerzei, Hans V., et.al. Ruling for Access: Leading Court Cases in Developing Countries on Access to Essential Medicines as part of the Fulfillment of the Right to Health. Ver. 9, (Geneva: World Health Organization, 2004), http://www.who.int/medicines/areas/human_rights/Details_on_20_court_cases.pdf. Diunduh tanggal 20 September 2014.
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014
Human Rights Council. Access to Medicines in The Context of the Right of Everyone to the Enjoyment of the Highest Attainable Standar of Physical and Mental Health, Human Rights Council Resolution A/HRC/RES/23.14. Indonesia, Undang-undang Hak Asasi Manusia. UU No. 39 tahun 1999. LN. No. 165 Tahun 1999. TLN. No. 3886. Indonesia. Undang-undang tentang Kesehatan. UU No. 36 tahun 2009. LN. No. 144 Tahun 2009. TLN No. 5063 _______. Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan. Perpres No. 12 Tahun 2013. _______. Undang-Undang tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU No. 11 Tahun 2005. LN No. 118. TLN No. 4557.. Kurnia, Titon Slamet. Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia. Bandung: PT Alumni. 2007. Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Permenkes No. 40 Tahun 2012. _______. Keputusan Menteri 189/Menkes/SK/III/2006.
Kesehatan
Tentang
Kebijakan
Obat
Nasional,
Kepmenkes
No.
Noviyanti, Fenny. Profil Penggunaan Obat Generik dan Obat Esensial di Puskesmas Kota dan Kabupaten Bandung. (Bandung: ITB, 2012). Office of the High Commissioner for Human Rights dan World Health Organization, the Right to Health, Fact Sheet No. 31. Jenewa: United Nations. 2008. (Dapat diunduh di http://www.ohchr.org/Documents/Publications/Factsheet31.pdf) Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press. 2010. _____________ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Ed. 1. Cet. 14. Jakarta: Rajawali Pers. 2012. Toebes, Brigit. Towards an Improved Understanding of the International Human Right to Health. Human Rights Quarterly, Vol. 21. No. 3 (Agustus 1999). Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 United Nations Commission on Human Rights. Report of the Special Rapporteur on the Right of Everyone to the Enjoyment of the Highest Attainable Standard of Physical and Mental Health, Paul Hunt, 3 Maret 2006, E/CN.4/2006/48. Dapat diakses di http://daccess-ddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G06/114/69/PDF/G0611469.pdf?OpenElement. World Health Organization. Essential Medicines, http://www.who.int/medicines/services/essmedicines_def/en/. Diunduh pada 13 November 2014. (Nama penulis tidak diketahui). Regulasi Jamkesmas. http://www.jamsosindonesia.com/cetak/print_artikel/34, diunduh tanggal 7 Januari 2015.
Penerapan international covenant..., Gita Kartika Riama, FH UI, 2014