PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA Bambang Antariksa Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Email:
[email protected] Abstract: Based on the theory of the hierarchical structure of the legal system, states that the legal system is a tiered and layered in a structure (hierarchy). This paper discusses application of hierarchy of Laws and Regulations in Indonesia. The results confirm that the implementation of hierarchy of laws and regulations has been employed in the legal system following the Indonesian state administration system. UUD 1945 (amendment) explicitly mentions the existence of hierarchy of laws and regulations through institutions examining the hierarchy of laws and regulations, namely the Constitutional Court and Supreme Court, as well as the Laws concerning the hierarchy of laws and regulations. Keyword: hierarchy, laws and regulations Abstrak: Berdasarkan teori hierarki norma hukum, disebutkan bahwa norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam suatu tata susunan (hierarki). Tulisan ini membahas mengenai penerapan hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Hasil Penelitian menunjukkan penerapan hierarki Peraturan Perundang-Undangan telah diterapkan didalam sistem hukum yang mengikuti sistem ketatanegaraan di Indonesia. UUD 1945 (amandemen) secara eksplisit menyebutkan adanya hierarki Peraturan Perundang-Undangan melalui lembaga yang menguji hierarki Peraturan PerundangUndangan yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, serta adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Kata Kunci: hierarki, peraturan, perundang-undangan
Pendahuluan Hans Kelsen dikenal dengan teorinya tentang Hierarki Norma Hukum (Stufenbau Theory-Stufenbau des Recht). Menurutnya, norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
24
dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm).1 Berdasarkan teori di atas, maka hierarki dapat diartikan sebagai penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya, Hans Nawiasky, menyempurnakan Stufenbau Theory yang dikembangkan oleh Hans Kelsen. Menurut Nawiasky, bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokkan norma hukum dalam suatu negara tersusun dalam Tata Susunan Norma Hukum Negara (die Stufenordnung der Rechtsnormen) dalam empat tingkatan, yaitu: 1).
Staats Fundamentalnorm/Grundnorm (norma fundamental negara).
2).
Staatsgrund Gezets (aturan dasar negara/pokok negara).
3).
Formell Gezets (undang-undang).
4).
Verordnung & Autonome Satzung (peraturan pelaksana dan aturan otonomi).2
Bagi Indonesia, terhitung sejak lahirnya Negara Republik Indonesia dengan Proklamasi kemerdekaannya, serta ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi, maka terbentuklah pula sistem norma hukum Negara Republik Indonesia. Apabila dibandingkan dengan teori jenjang norma hukum (Stufenbau Theorie) dari Hans Kelsen dan teori jenjang norma hukum (die Theorie vom Stufentordnung der Rechtsnormen) dari Hans Nawiasky, maka dapat dilihat adanya cerminan dari kedua sistem norma tersebut dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia. Dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia maka norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, 1
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan 1; Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 41. 2 Ibid, 44, Lihat juga Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 39.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
25
sekaligus berkelompok-kelompok, dimana suatu norma itu selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma dasar negara (Staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia yaitu Pancasila.3 Penerapan hierarki Peraturan Perundang-Undangan tidak lepas dari pengaruh politik yang kemudian membentuk sistem ketatanegaraan di Indonesia. Seperti disampaikan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa hukum bukanlah suatu lembaga yang sama sekali otonom, melainkan berada pada kedudukan yang kait-mengkait dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam masyarakat. Salah satu segi dari keadaan yang demikian itu adalah, bahwa hukum harus senantiasa melakukan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakatnya. Dengan demikian, hukum mempunyai dinamika. Politik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika yang demikian itu, karena ia diarahkan kepada iure constituendi, hukum yang seharusnya berlaku. 4 John Austin, salah seorang pelopor positivisme hukum, menyebutkan bahwa hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataankenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.5 Sejalan dengan pendapat John Austin di atas, Mahfud MD mengatakan bahwa pernyataan “hukum sebagai produk politik” adalah benar jika didasarkan pada das Sein dengan mengkonsepkan hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif 3
I b i d, 57. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, Cet. VI), 358. 5 Hamdan Zoelva, Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia, diakses 29 April 2017, http://hamdanzoelva.wordpress.com. 4
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
26
maka tak seorangpun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar. Dalam konsep dan konteks inilah terletak kebenaran pernyataan bahwa “hukum merupakan produk politik”.6 Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah, bagaimanana penerapan hierarki Peraturan Perundang-Undangan dalam Ketatanegaran Indonesia? Metode Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian normatif atau penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan/studi dokumen baik bahan hukum primeir, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, sesuai masalah dalam penelitian. Bahan hukum primeir yang dimaksud terdiri dari: 1) Pancasila; 2) UUD 1945; 3) Ketetapan MPR; 4) Peraturan Perundang-Undangan; 5) Yurisprudensi; 6) Traktat. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan hukum primeir dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primeir, antara lain: 1) Rancangan peraturan-Peraturan Perundang-Undangan; 2) Hasil karya ilmiah para sarjana; 3) Hasil-hasil penelitian. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder, misalnya: 1) Bibliografi; dan 2) Indek kumulatif.7
6
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), 4-5. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), 112. 7
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
27
Pembahahasan Penerapan Hierakhi Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan teori Nawiasky seperti tersebut di atas, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Hamid menunjukkan struktur tata hukum berdasarkan teori tersebut adalah: 1).
Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) adalah Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945;
2).
Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz) adalah Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR dan Konvensi Ketatanegaraan;
3).
Undang-Undang “Formal” (Formell Gesetz) adalah Undang-Undang;
4).
Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung)
adalah secara hierarki mulai dari Peraturan Pemerintah hingga
Keputusan Bupati atau Walikota.8 Munir Fuady menyatakan bahwa teori hierarki Peraturan PerundangUndangan telah banyak dipraktekkan diberbagai negara di dunia ini. Indikasi yang membuktikan berlakunya teori tersebut dalam suatu negara, dilihat antara lain jika dalam negara tersebut terdapat: 1).
Adanya suatu lembaga yang khusus menganalisis apakah suatu undang-undang atau praktik kenegaraan bertentangan dengan konstitusi atau tidak.
2).
Peran dari parlemen (yang membuat undang-undang sangat tinggi dengan kewenangan yang luas.
3).
Peran dari pengadilan tidak begitu penting.
4).
Sistem pemberantasan pidana yang lebih bersifat menjerakan dan represif, dengan mengabaikan usaha-usaha yang bersifat kuratif dan preventif.
5).
Sistem hukum dan penerapan hukumnya sangat bersifat legalistik. 8
Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012),
155.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
28
6).
Sistem hukum dan penegakan hukum yang sangat berorientasi pada sanksi dan hukuman.9 UUD 1945 (Amandemen), yakni dalam Pasal 24 C ayat (1) menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Pasal 24 C ayat (1) memberikan pemahaman kepada kita bahwa secara substansi hukum, adanya hierarki yang lebih tinggi dari Undang-Undang Dasar sebagai
Staatsgrundgesetz
atau
aturan
pokok
negara/aturan
dasar
negara
dibandingkan dengan formeel Gesetz atau undang-undang. Selain itu tersirat juga makna norma hukum yang lebih rendah (undang-undang) tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi (Undang-Undang Dasar). Pasal tersebut juga menegaskan adanya sruktur hukum berupa lembaga Mahkamah Konstitusi yang khusus menganalisis apakah suatu undang-undang atau praktik kenegaraan bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Pasal lain dalam UUD 1945 yang mendeskripsikan secara tidak langsung adanya hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah Pasal 24 A ayat (1) yang menyebutkan: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”. Pasal ini dapat dipahami bahwa secara hierarki, kedudukan Formeel Gesetz atau Undang-Undang adalah lebih tinggi dari Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung). Peraturan Pelaksanaan dan peraturan Otonom tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. Selain itu, Pasal 24 A ayat (1) mengatur adanya kewenangan secara
struktur hukum yakni lembaga
9
Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), 148-149.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
29
Mahkamah Agung untuk menguji sengketa antara Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang dengan Undang-Undang. Pendapat yang disampaikan oleh Munir Fuady tentang indikasi penerapan teori hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, menunjukkan bahwa penerapan teori hierarki Peraturan Perundang-Undangan telah diterapkan didalam sistem hukum di Indonesia. Secara subtansi hukum, sejak masa pemerintahan Hindia Belanda hingga Indonesia merdeka, telah diterbitkan beragam Peraturan PerundangUndangan yang menerapkan sistem hierarki serta adanya lembaga (struktur hukum) yang menguji hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan dan Ketatanegaraan Indonesia Sebagaimana disampaikan di atas, bahwa penerapan hierarki Peraturan Perundang-Undangan tidak lepas dari sistem ketatanegaraan di Indonesia. Bahkan hal tersebut sudah dimulai sejak masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia yakni sejak tahun 1800 sampai dengan 1942. Demikian juga pada masa pendudukan Jepang dari tahun 1942 hingga tahun 1945. 10 Setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa berlakunya UUD 1945 dari tahun 1945 hingga tahun 1949, tidak terdapat ketentuan hukum positif yang mengatur tentang hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan yang digunakan dalam praktek penyelengaraan pemerintahan tidak disusun berdasarkan hierarki, tetapi semata-mata hanya berdasarkan fakta dari jenis produk hukum yang berlaku pada saat itu. Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat produk hukum yang diberlakukan, yakni: 1). Penetapan Presiden; 2). Peraturan Presiden; 3). Penetapan Pemerintah; 10
Bambang Antariksa, Qanun Bendera dan Lambang Aceh di Persimpangan Jalan, Validitas Produk Hukum daerah Dalam Perspektif Penerapan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, (Medan: Sofmedia, 2016), 34-38.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
30
4). Maklumat Pemerintah; 5). Maklumat Presiden; 6). Pengumuman Pemerintah.11 Berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 hingga tahun 1950, pengaturan mengenai hierarki hierPeraturan PerundangUndangan, baru diatur secara implisit didalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 (UU No. 1/1950) tentang Peraturan Tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.
12
Pasal 1 UU No. 1/1950 disebutkan: “Jenis
peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah: a.
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
b.
Peraturan Pemerintah;
c.
Peraturan Menteri”. Mengenai hierarki Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 2 UU No. 1/1950
yang menyebutkan: “Tingkat kekuatan Peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada Pasal 1”. Sehingga, pada masa Konstitusi RIS, jenis dan bentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku sesuai hierarkinya adalah: 1).
Konstitusi RIS;
2).
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3).
Peraturan Pemerintah;
4).
Peraturan Menteri. Pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950,
tidak ada Peraturan Perundang-Undangan yang diterbitkan secara khusus mengatur tentang hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Jenis Peraturan PerundangUndangan yang ada pada masa itu adalah: 1).
UUDS 1950;
2).
Undang-undang yang dibentuk oleh Pemerintah bersama dengan DPR; 11 12
Maria Farida Idrati, Op.Cit, 69-24. Bambang Antariksa, Loc.Cit, 39.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
31
3).
Undang-Undang Darurat;
4).
Peraturan Pemerintah. Selain itu, dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan Negara masih terdapat
beberapa produk hukum yang berlaku yakni: 1).
Peraturan Menteri;
2).
Keputusan Menteri; dan
3).
Peraturan Tingkat Daerah. 13 Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang dikenal
sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini ditetapkan melalui Penetapan Presiden yang isinya menyatakan: 1).
Pembubaran Konstituante;
2).
Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950; dan
3).
Pembentukan MPRS dan DPAS. Pernyataan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950,
maka seharusnya jenis dan bentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku adalah seperti pada awal berlakunya UUD 1945. Akan tetapi, berdasarkan Surat Presiden kepada Ketua DPR-GR Nomor 2262/HK/59 tentang Bentuk Peraturan Negara, tanggal 20 Agustus 1959, mengenai jenis Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, sehingga bentuk Peraturan Perundang-Undangan menjadi sebagai berikut: 1).
UUD 1945;
2).
Ketetapan MPR;
3).
UU/Perpu/Penetapan Presiden;
4).
Peraturan Presiden/Peraturan Pemerintah;
5).
Keputusan Presiden;
6).
Peraturan Menteri; 13
Rachmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2013), 57.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
32
7).
Keputusan Menteri.14 Surat Presiden tersebut kemudian dijawab oleh DPR dengan Surat No.
12324/DPR-RI/1959 tanggal 28 September 1959, yang kemudian dijawab lagi oleh Presiden dengan Surat No. 3639/HK/59, tanggal 26 November 1959, yang pokok isinya adalah: UUD 1945, KRIS 1949 dan UUDS 1950 memberi wewenang kepada lembaga negara untuk membuat produk hukum, tetapi tidak memberikan nama terhadap produk hukum yang dibuat tersebut. UUD 1945 hanya mengenal UndangUndang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Sehingga masing-masing lembaga negara memberikan nama secara sendiri-sendiri terhadap produk hukum yang dibuatnya. Untuk mencapai keseragaman, maka disarankan tindakan MPR diberi nama Keputusan MPR, Undang-Undang dibuat bersama antara DPR dan Presiden, persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) atau Undang-Undang Darurat oleh DPR
dapat
menggunakan Undang-Undang atau Keputusan DPR, adanya PERPU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Penetapan Presiden dan Keputusan Presiden.15 Selain jenis Peraturan sebagaimana disebutkan di atas, dalam praktek masih terdapat pula Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri, yang dibuat di KementerianKementerian Negara/Departemen-Departemen Pemerintahan, masing-masing untuk mengatur sesuatu hal dan untuk melakukan/meresmikan pengangkatan-pengangkatan. Ketetapan (TAP) MPRS dan Peraturan Daerah Tingkat I dan Tingkat II. 16 Setelah berakhirnya rezim Orde Lama, dan dalam rangka memberikan ketertiban mengenai sumber tertib hukum, pada Tahun 1966 MPRS menetapkan TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, yang terdiri atas: 14
I b i d, 58. I b i d, 59-64. 16 Noor M Aziz, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Eksistensi Peraturan PerundangUndangan Diluar Hierarki Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010), 30. 15
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
33
1).
UUD RI 1945;
2).
Tap MPR;
3).
Undang-Undang/Perpu;
4).
Peraturan Pemerintah;
5).
Keputusan Presiden;
6).
Peraturan Pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya.17 Paska runtuhnya rezim Orde Baru dan memasuki masa reformasi, pada tahun
2000, dikeluarkanlah Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan mengenai Jenis dan hierarki/tata urutan Peraturan Perundang-Undangan yang semula diatur dalam TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 menjadi tidak berlaku setelah ditetapkannya Ketetapan (TAP) MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 2 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 menentukan bahwa Tata urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia adalah: 1).
Undang-Undang Dasar 1945;
2).
Ketetapan MPR;
3).
Undang-Undang;
4).
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU);
5).
Peraturan Pemerintah;
6).
Keputusan Presiden;
7).
Peraturan Daerah. Pasal 4 ayat (2) TAP MPR Nomor III/MPR/2000 menyebutkan: “Peraturan
atau Keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh
17
Bambang Antariksa, Op.Cit, 43.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
34
Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan Peraturan Perundang-Undangan ini”. Maka, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) di atas, jenis Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku pada saat berlakunya TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tidak hanya sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 2 tetapi juga mencakup jenis peraturan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) TAP MPR tersebut, hanya saja yang tidak jelas adalah dimana letaknya dalam tata urutan. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan TAP MPR Nomor III/MPR/2003, telah menempatkan PERPU di bawah Undang-Undang. Bila kita merujuk kepada Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, dinyatakan bahwa: “Dalam hal ikhwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Oleh karenanya, penempatan PERPU dibawah undangundang tidak tepat dan tidak sesuai dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, karena pada dasarnya kedudukan PERPU setingkat undang-undang.18 Pada tahun 2004, dikeluarkanlah UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana telah menetapkan mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004, menyebutkan hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia adalah: 1).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2).
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
3).
Peraturan Pemerintah;
4).
Peraturan Presiden;
5).
Peraturan Daerah. Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 juga mengakui jenis Peraturan
Perundang-Undangan selain yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi. Penjelasan Pasal 7 ayat (4),
18
Maria Farida Indrati, Op. Cit, 91-93.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
35
Peraturan
Perundang-Undangan
yang
dimaksud
mencakup
peraturan
yang
dikeluarkan oleh: MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau oleh Pemerintah atas perintah Undang-Undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Berdasarkan
ketentuan Pasal 7 ayat (4) ini jelas bahwa peraturan yang
ditetapkan oleh lembaga atau pejabat yang dijelaskan tersebut merupakan jenis Peraturan Perundang-Undangan, yang belum jelas adalah dimana letaknya dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Permasalahan lain dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004, adalah tidak dimasukkannya Ketetapan MPR didalam tata urutan perundang-undangan. Karena berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Sementara
dan
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, yakni dalam Pasal 2 dan Pasal 4, masih terdapat 14 Ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku. Oleh karenanya, tidak dicantumkan Ketetapan MPR dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah suatu hal yang tidak tepat karena masih ada ketetapan MPR yang menjadi sumber hukum di Indonesia. Dilihat dari sifat norma hukum didalamnya, seharusnya Ketetapan MPR diletakkan dibawah Undang-Undang Dasar karena sifatnya termasuk kedalam kelompok Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz) dan lebih tinggi dari undang-undang.19 Ketetapan MPR yang masih berlaku hingga saat ini20 diantaranya adalah: 1.
TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap
19 20
I b i d, 100-101. Bambang Antariksa, Op.Cit, 46-47.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
36
Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme. 2.
TAP MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera.
3.
TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi, dan Nepotisme.
4.
TAP Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5.
TAP MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
6.
TAP MPR Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.
7.
TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
8.
TAP MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
9.
TAP MPR Nomor VI/MPRI2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
10. TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. 11. TAP MPR Nomor VI/MPR/200I tentang Etika Kehidupan Berbangsa. 12. TAP MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan. 13. TAP MPR Nomor VIII/MPR/200I tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 14. TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. UU No. 10 Tahun 2004 ini kemudian digantikan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pada UU No. 12 Tahun Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
37
211, Ketetapan MPR sudah dimasukkan kembali kedalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan, yang posisinya berada di bawah UUD 1945. Menurut UU No. 12 Tahun 2011, yakni pada Pasal 7 ayat (1), disebutkan hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah: 1). Undang-Undang Dasar tahun 1945; 2). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3). Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4). Peraturan Pemerintah; 5). Peraturan Presiden; 6). Peraturan Daerah Provinsi; dan 7). Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain yang belum disebut dalam Pasal 7 ayat (1), diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yaitu: “Jenis Peraturan Perundang- Undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan
Perundang-Undangan
tersebut
diakui
keberadaannya
dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Akan tetapi, seperti terjadi pada UU No. 10/2004, Peraturan Perundang-Udangan diluar ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 11/2012 meski diakui keberadaannya dan kekuatan
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
38
hukumnya, tetapi belum jelas letak masing-masing Peraturan Perundang-Undangan tersebut secara hierarki.21
Penutup Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: penerapan hierarki Peraturan Perundang-Undangan telah diterapkan didalam sistem hukum yang mengikuti sistem ketatanegaraan di Indonesia, yakni sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia merdeka, hingga masa reformasi, melalui diterbitkannya beragam Peraturan Perundang-Undangan yang menerapkan sistem hierarki. UUD 1945 (amandemen) secara eksplisit menyebutkan adanya hierarki Peraturan PerundangUndangan melalui adanya lembaga yang menguji hierarki Peraturan PerundangUndangan yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta adanya UndangUndang yang mengatur mengenai hierarki Peraturan Perundang-Undangan, seperti UU No. 10 Tahun 2004 yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Bibliography Books Antariksa, Bambang, Qanun Bendera dan Lambang Aceh di Persimpangan Jalan, Validitas Produk Hukum daerah Dalam Perspektif Penerapan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Medan: Sofmedia, 2016. Asshiddiqie, Jimly Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Press, 2012. Aziz, Noor M, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Eksistensi Peraturan Perundang-Undangan Diluar Hierarki Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010. Fuady, Munir, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012. 21
I b i d, 48.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
39
Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan 1; Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 2007. ----------, Ilmu Perundang-Undangan Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998. Mahfud MD, Moch, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2012. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, Cet. VI. Trijono, Rachmat, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2013. Websites Zoelva, Hamdan, Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia, diakses 29 April 2017, http://hamdanzoelva.wordpress.com. Laws Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
40
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPRI2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/200I tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII/MPR/200I tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan Tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang Nomor RI 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
41