44
BAB II UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK)/HERZIENING DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
C. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dalam Perspektif Hukum Acara Pidana di Indonesia Hukum Acara Pidana merupakan hukum formil atas adanya hukum pidana yang bersifat materil. Menurut Wirjono Projodikoro (Mantan Ketua Mahkamah Agung RI), “Hukum Acara Pidana berhubungan erat dengan adanya Hukum Pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.” 37. Hukum acara merupakan urat nadi kehidupan hukum materil yang memberikan tuntunan atau pedoman dalam pelaksanaan hukum materil sehingga dapat memeberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terkait dalam rangka menegakan hukum dan keadilan, kalau tidak akan terjadi eigenrichting, maka dari pada itu hukum acara tidaklah boleh disimpangi dalam penegakannya karena hukum acara berfungsi mengontrol/mengawasi aparat penegak hukum dalam mnegakkan hukum materil. 38 Di Indonesia, rangkaian peraturan-peraturan yang mengatur tentang hukum formil dari hukum pidana telah dikodifikasi dan diunifikasikan pada tahun 1981 yang kemudian diberi nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP tersusun atas 22 BAB
37
Mr. Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hlm. 13. H.A.S. Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 9-10. 38
44 Universitas Sumatera Utara
45
dan berisi 285 Pasal. Upaya hukum dalam penegakan hukum pidana merupakan salah satu hal yang diatur dalam KUHAP. Mengenai Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening diatur dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Sebelum KUHAP diberlakukan di Indonesia pada tahun 1981, belum ada Undang-Undang yang mengatur pelaksanaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun Mahkamah Agung telah mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 1980 yang mengatur
kemungkinan mengajukan
permohonan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap baik untuk perkara perdata maupun untuk perkara pidana. Setelah KUHAP berlaku di Indonesia pada tahun 1981, upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 263-269 KUHAP. Setelah KUHAP berlaku, PERMA No. 1 Tahun 1980 tidak juga direvisi hingga saat ini, padahal didalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11 PERMA No. 1 Tahun 1980 terdapat hal mengenai pihak-pihak yang diperbolehkan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening, dimana isi Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11 PERMA No. 1 Tahun 1980 bertentangan dengan isi Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Dalam Pasal 10 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 1980 dinyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali harus diajukan oleh Jaksa Agung, terpidana atau pihak yang berkepentingan. Sedangkan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP jelas dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening adalah terpidana ataupun ahli warisnya.
1.
Pihak-Pihak yang Dapat Mengajukan Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening
45 Universitas Sumatera Utara
46
Pasal 263 ayat 1 KUHAP mengatur “ terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Berdasarkan Pasal 263 ayat 1 KUHAP, pihak-pihak yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening adalah terpidana ataupun keluarga maupun ahli waris dari si terpidana. Namun, selain terpidana dan ahli warisnya, kuasa hukum terpidana diperbolehkan juga untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening. Hal tersebut didasarkan secara konsisten pada angka 24 Lampiran keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW. 07. 03 tahun 1983, tanggal 10 Desember 1983. Lampiran tersebut merupakan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP dimana dapat disimpulkan bahwa dengan adanya surat kuasa yang memerintahkan hak-hak dan kewajiban kuasa hukum atas terpidana maka kuasa hukum dapat melakukan hal-hal sebagaimana yang telah disepakati dalam suart kuasa antara kuasa hukum dengan terpidana. Pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh terpidana atau ahli warisnya merupakan bentuk hak hukum yang dimiliki oleh terpidana untuk mengajukan pembelaan atas diri terpidana. Hal ini tentu wajar bila mengingat bahwa upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening merupakan upaya hukum terakhir maka selayaknya hak atas pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya sebagai upaya yang dilakukan terpidana untuk membela dirinya. Pemberian hak pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh terpidana atau ahli warisnya ini merupakan bagian dari penerapan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) terhadap diri terpidana. Sebagaimana yang disebutkan dalam butir 3c penjelasan umum KUHAP, yaitu : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
46 Universitas Sumatera Utara
47
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” 39 Peninjauan kembali merupakan upaya hukum yang diajukan terhadap putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap namun bukan berarti pengajuan Peninjauan kembali oleh terpidana menyimpangi asas praduga tak bersalah. Karena walaupun telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap namun selama masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan untuk membela dirinya maka selama itu pula seorang terpidana berhak atas asas praduga tak bersalah. Selain karena alasan menjunjung asas praduga tak bersalah, menurut Martiman Prodjokamidjojo dalam bukunya “komentar atas KUHAP”, adanya upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh terpidana merupakan jalan yang ditempuh guna menghindari terjadinya kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum, karena hakim hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. 40 Senada dengan pengajuan peninjauan kembali yang selayaknya diajukan oleh terpidana, Anton Sujata yang merupakan Ketua Komisi Ombudsman menyatakan bahwa sesuai Pasal 263 ayat (1), peninjauan kembali dapat diajukan oleh terpidanan atau ahli warisnya terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Sementara KUHAP tidak mengatur jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali seperti terpidana. Oleh karena itu, pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa sama saja mengacaukan sistem peradilan yang digariskan dalam KUHAP 41. Selain itu Anton Sujata menambahkan bahwa penafsiran upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening harus dikembalikan sesuai dengan ketentuan perundang-
39
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar (Bogor: Politeia, 1997), hlm. 222. 41 MDN, 2009, Tata Hukum Pengajuan PK Oleh Jaksa Dipertanyakan, Kompas, 24 Juni 2009 40
47 Universitas Sumatera Utara
48
undangan. Ia pun menyatakan bahwa “ PK itu diajukan oleh terpidana dan ahli warisnya saja, sedangkan jaksa diberikan haknya untuk pengajuan kasasi.” 42 Ada hal yang cukup menarik perhatian yaitu ketimpangan antara Pasal 263 ayat (1) dengan Pasal 263 ayat (3). Dalam Pasal 263 ayat (1) dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Dan dalam Pasal 263 ayat (3) dinyatakan bahwa terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Hal ini jelas menunjukkan bahwa jaksa dimungkinkan untuk mengajukan peninjauan kembali apabila suatu putusan dijatuhkan dengan menyatakan bahwa dakwaan telah terbukti namun tidak diikuti dengan pemidanaan. Manalah mungkin seorang terpidana akan mengajukan peninjauan kembali bila ia telah dijatuhi putusan bebas, meskipun dalam amar putusan dinyatakan bahwa dakwaan telah terbukti. Tentunya terhadap putusan tersebut, jaksalah yang akan mengajukan peninjauan kembali. Terdapat ketimpangan dalam Pasal 263 ayat (3) KUHAP bukan hanya mengenai siapa yang berhak mengajukan peninjauan kembali, Pasal 263 ayat (3) tersebut juga bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) nya dalam hal putusan yang dijatuhkan. Dalam ayat (1) dinyatakan bahwa upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap kecuali atas putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Sedangkan dalam Pasal 263 ayat (3), peninjauan kembali dapat diajukan atas putusan dinyatakan telah terbuktinya suatu dakwaan namun tidak diikuti dengan pemidanaan. Artinya, terhadap putusan bebas dapat diajukan peninjauan kembali apabila dalam amar putusannya dinyatakan bahwa dakwaan telah terbukti.
42
Jimmy Radjah, Kasus Bank Bali, Tafsir PK Sebaiknya Kembali ke UU, Suara Karya, 24 Juni 2009
48 Universitas Sumatera Utara
49
2. Syarat Materil atau Dasar-Dasar Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)/Herziening Berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dapat diajukan karena adanya alasan-alasan sebagai berikut : 1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkaraitu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; 2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. 3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Menurut Leden Marpaung, hal tersebut diatas merupakan syarat materil pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening. Hanya karena alasan tersebutlah upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dapat dilakukan 43. Penanganan tata cara
upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening adalah
sebagai berikut :
43
Leden Marpaung, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 75.
49 Universitas Sumatera Utara
50
1) Permintaan peninjauan kembali diajukan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama. 2) Permintaan peninjauan kembali disertai dengan alasan-alasannya. Alasan tersebut dapat diutarakan secara lisan, yang dicatat oleh Panitera yang menerima permintaan peninjauan kembali tersebut. 3) Permintaan peninjauan kembali oleh Panitera tersebut ditulis dalam surat keterangan yang ditandatangani Panitera serta pemohon, dicatat dalam daftar dan dilampirkan pada berkas perkara. 4) Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali, untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali itu memenuhi alasan sebagai dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2). 5) Dalam pemeriksaan itu pemohon dan jaksa ikut hadir
dan dapat menyampaikan
pendapatnya. 6) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim dan panitera. 7) Ketua Pengadilan melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan, dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan kata pengantarnya sampai kepada pemohon dan jaksa. Selain daripada itu, mengenai peninjauan kembali ini diatur bahwa : 1) Pengajuan peninjauan kembali tidak dibatasi suatu tenggang waktu; 2) Permintaan peninjauan kembali tidak meneguhkan atau menghentikan pelaksanaan dari putusan (eksekusi)
50 Universitas Sumatera Utara
51
3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
D. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dalam Undang-Undang Pokok Kehakiman Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening sebagai upaya hukum terakhir yang dapat dilakukan terhadap suatu perkara, merupakan tombak atau senjata terakhir yang dapat digunakan dalam pencarian pemenuhan rasa keadilan. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening yang menurut Pasal 263 ayat (1) merupakan tombak terakhir bagi para terpidana kini mulai direbut oleh jaksa. Pasal 21 Undang-Undang Pokok Kehakiman yang lama yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 memuat ketentuan yang ditafsirkan bahwa didalam perkara pidana selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan jaksa sebagai wakil dari korban dalam berhukum acara pidana, maupun jaksa sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum (Negara). Berdasarkan ketentuan tersebut jaksa tentu memiliki kewenangan untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening. Pasal 23 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman, telah membuka peluang bagi Jaksa untuk dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening. Dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang menerima/mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening yang diajukan oleh jaksa, terdapat Pasal 23 Undangundang No. 4 Tahun 2004 sebagai salah satu dasar pertimbangan Hakim Agung dala menjatuhkan putusan. Menurut Hakim Agung, frase “ pihak-pihak yang bersangkutan” dalam Pasal 23 tersebut menunjukkan bahwa jaksa diperkenankan untuk melakukan peninjauan kembali karena jaksa adalah salah satu dari pihak yang bersangkutan dalam suatu perkara
51 Universitas Sumatera Utara
52
pidana selain dari pada terpidana. Jaksa dipandang berhak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening karena jaksa mewakili kepentingan Negara dan korban. Maka sudah sepantasnya jaksa diperkenankan untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening. Pasal 23 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 disebutkan sebagai berikut : Ayat (1) :
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
Ayat (2) :
Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Pasal 23 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 bukan hanya mengatur mengenai diperbolehkan jaksa mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening, tetapi dalam Pasal tersebut juga diatur bahwa tidak dapat diajukan peninjauan kembali atas putusan peninjauan kembali. Oleh karena itu, apabila jaksa telah mengajukam upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening maka terpidana tidak diperkenankan lagi untuk mengajukan peninjauan kembali. Diskusi tentang PK yang diadakan oleh Lembaga Advokasi Hukum dan Demokrasi untuk Pembaruan (LANDEP) pada tanggal 23 Juni 2009 menghadirkan Anton Suyata, Soekotjo Soeparto dan Benyamin mangkudilaga. Anton Suyata memaparkan PK hanya dapat diajukan satu kali dan tidak ada PK diatas PK. Soekotjo menyampaikan bahwa PK diatas PK akan merusak bangunan system hukum di Indonesia.
44
44
Elza Faiz, Diskusi Tentang PK, Peninjauan Kembali (PK) Dalam Tata Hukum Indonesia, artikel dimuat dalam Bulletin Komisi Yudisial vol. IV No. 1 Agustus 2009, Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2009, hlm.9.
52 Universitas Sumatera Utara
53
Hal ini tentu sangat merugikan pihak terpidana, padahal dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP jelas dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening adalah terpidana atau ahli warisnya. Muhammad Assegaf yang merupakan pengacara terpidana Pollycarpus dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir menyatakan bahwa ia dan kliennya tidak bisa mengajukan PK karena tidak ada diatur dalam KUHAP mengenai PK diatas PK, artinya tidak ada PK diatas putusan PK. 45
E. Pengaturan Mengenai Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dari Tinjauan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 16/PUU/VI/2008 dan Kaitannya dengan PERMA No. 1 Tahun 1980
Mahkamah konstitusi sebagai salah satu lembaga yang keberadaannya diakui di negeri ini mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut : 1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara 3. Memutus pembubaran partai politik dan 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menguji UndangUndangterhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pada tahun 2008 MK telah mengeluarkan putusan Nomor 16/PUU-VI/2008. Putusan tersebut pada amarnya menolak gugatan dari Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus dalam gugatannya, mengajukan pengujian terhadap Pasal 23 UndangUndang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman terhadap Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengenai hak atas jaminan 45
MDN, loc.cit.
53 Universitas Sumatera Utara
54
dan perlindungan kepastian hukum. Menurut Pollycarpus, peninjauan kembali seharusnya didasarkan pada Pasal 263 KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981) dan bukan didasarkan pada Pasal 23 Undang-Undang Pokok Kehakiman. Diterimanya pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa, dianggap telah menyimpangi hak asasi manusia dalam hal jaminan perlindungan kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. 46 Alasan-alasan tersebutlah yang menyebabkan Pollycarpus yang merupakan terpidana atas kasus pembunuhan aktifis HAM Munir mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun, permohonan dalam gugatan Pollycarpus tersebut ditolak oleh hakim-hakim Mahkamah Konstitusi. Alasan penolakan permohonan tersebut adalah karena menurut hakimhakim Mahkamah Konstitusi Pasal 23 ayat (1) Undang-UndangNo. 4 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945. Lagi pula, adanya putusan-putusan Mahkamah agung yang menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan jaksa dengan menafsirkan secara luas frasa “pihak-pihak yang bersangkutan” sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dengan mengesampingkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP merupakan implementasi undang-undang, yang tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004. Penolakan permohonan tersebut karena tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi hanya menguji Undang-Undangterhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan pengujian terhadap Undang-undang dengan Undang-undang lainnya merupakan hak Mahkamah Agung. Berdasrkan hal tersebut, semestinya yang diuji adalah Pasal 23 ayat (1) UndangUndang No. 4 Tahun 2004 terhadap Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Dan pengujian tersebut 46
Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 867.
54 Universitas Sumatera Utara
55
diajukan ke Mahkamah Agung bukan ke Mahkamah Konstitusi. Terhadap perkara Pollycarpus ini, salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi memberikan Concuring Opinion (alasan berbeda), yaitu “Dalil permohonan yang bersangkutan merupakan masalah penerapan norma oleh Mahkamah Agung yang dinilai terdakwa melanggar kepastian hukum. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 merupakan salah satu Pasal yang penerapannya lebih lanjut diatur dalam hukum acara dalam Undang-undang, sehingga seharusnya Undang-undangyang mengatur hukum acaralah yang dimohonkan untuk diuji, bukan Pasal 23 aayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2001.” 47 Penolakan permohonan Pollycarpus oleh Mahkamah Konstitusi tidak berarti membenarkan diajukannya peninjauan kembali oleh jaksa diperbolehkan. Penolakan tersebut dilakukan karena masalah kewenangan yang tidak dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Meskipun pada akhirnya permohonan Pollycarpus ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, namun ada dua orang hakim Mahkamah Konstitusi yang memberikan pendapat berbeda (Dissenting Opinion) “Ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 menimbulkan ketidakpastian hukum karena pengertian pihak-pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali tidak diterapkan secara konsisten dalam proses peradilan pidana. Karena Pasal itu merupakan sebab ketidakkonsistenan dalam penerapan ketentuan mengenai siapa yang berhak mengajukan peninjauan kembali dalam perkara pidana, maka permohonan Pemohon beralasan untuk dikabulkan.” 48 Ada tiga alternative penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Pollycarpus ini yang merupakan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusannya, yaitu : 49 1. Pasal 23 ayat (1) Undang-undnag No. 4 Tahun 2004 merupakan asas atau aturan umum yang harus dirinci dalam Undang-Undangtentang hukum acara, baik pidana maupun perdata yang berlaku bagi masing-masing lingkungan peradilan dan peradilan khusus dibawah Mahkamah Agung. Menyangkut
47
Ibid, hlm. 870. Ibid. 49 Ibid, hlm 869. 48
55 Universitas Sumatera Utara
56
perkara pidana, pihak yang berhak mengajukan peninjauan kembali harus merujuk pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menentukan keadaaan atau syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 2. Pasal 23 ayat (1) Undang-UndangNo. 4 tahun 2004 merupakan paradigm baru yang berorientasi kepada kepentingan korban kejahatan, disamping terdakwa, yang menyebabkan Jaksa atas nama korban diberi hak untuk mengajukan peninjauan kembali; 3. Frasa “pihak-pihak yang bersangkutan” dalam Pasal 23 Undang-UndangNo. 4 Tahun 2004
merupakan istilah yang kabur dan tidak jelas, yang
mengakibatkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan UndangundangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Frasa tersebut digunakan sebagai dasar untuk menyampingkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menentukan secara limitatif siapa yang berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketiga hal tersebut diatas, Mahkamah memilih alternatif pertama karena sifat norma Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 merupakan asas yang berlaku secara umum untuk setiap badan peradilan yang puncaknya berada pada Mahkamah Agung. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memandang bahwa hal-hal mengenai pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali merupakan kewenangan Mahkamah Agung untuk mengaturnya. Mengenai pengaturan peninjauan kembali pernah dituangkan Mahkamah Agung dalam peraturannya yaitu PERMA No. 1 tahun 1980 Tentang Peninjauan Kembali Putusan
56 Universitas Sumatera Utara
57
yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap. Dalam Pasal 9 PERMA No. 1 Tahun 1980 disebutkan sebagai berikut :50 Ayat (1) : Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas dasar alasan : a) Apabila dalam
putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang
dinyatakan terbukti, akan tetapi satu sama lain bertentangan ; b) Apabila terdapat suatu keadan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan. Ayat (2) : Atas dasar alasan yang sama Mahkamah agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai terbukti akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan. Pasal 10 PERMA No. 1 Tahun 1980 diatur tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali dan prosedur pengajuan peninjauan kembali tersebut, sebagaimana yang tertuang dalam ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut : Ayat (1) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan.
50
PERMA No. 1 Tahun 1980 Tentang PK Putusan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap.
57 Universitas Sumatera Utara
58
Ayat (2) Permohonan diajukan secara tertul;is, dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang diajukan sebagai dasar permohonan itu dan dimasukkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau diajukan lengsung ke Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya mengenai peninjauan kembali telah diatur oleh Mahkamah Agung dalam PERMA No. 1 Tahun 1980. Namun pada kenyataannya, hingga kini PERMA tersebut tidak direvisi atau diperbaharui oleh Mahkamah Agung sehingga daya berlaku PERMA tersebut sudah tidak ada lagi karena mengenai peninjauan kembali kemudian telah diatur dalam Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan hirarki PERMA tersebut berada dibawah Undang-Undang sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal tujuh UndangUndang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan. Kedudukan PERMA dalam hirarki peraturan perundang-undangan tidak diatur dalam ayat (1) Pasal tujuh Undang-undangNo. 10 tahun 2004, namun dalam ayat (4) Pasal 7 nya diatur bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundnag-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut, maka seharusnya PERMA dibentuk sebagai peraturan lebih lanjut demi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berada lebih tinggi darinya. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa penolakan permohonan Pollycarpus oleh Mahkamah Konstitusi yang dituangkan dalam Putusan Nomor 16/PUUVI/2008 bukan berarti menunjukkan bahwa peninjauan kembali oleh jaksa merupakan hal yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Penolakan tersebut dilakukan Mahkamah Konstitusi karena sesungguhnya mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali merupakan hal yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-
58 Universitas Sumatera Utara
59
undangan yang saling bertentangan. Dan kewenangan atas pengujian undang-undang terhadap undang-undang merupakan hak uji Mahkamah Agung bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sehingga Mahkamah Konstitusi memandang permohonan tersebut ditolak agar sekiranya permohonan tersebut diajukan ke Mahkamah agung dan dibahas oleh Mahkamah Agung. Meskipun mengenai peninjauan kembali telah diatur oleh mahkamah Agung dalam PERMA No. 1 Tahun 1980, dan dalam Pasal 10 PERMA tersebut dengan terang telah menunjukkan bahwa peninjauan kembali dapat diajukan oleh jaksa namun oleh karena pada tahun 1981 telah lahir Undang-Undang No. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang juga mengatur secara jelas mengenai Peninjauan Kembali maka seharusnya PERMA No.1 Tahun 1980 sudah tidak mempunyai kekuatan hukum untuk berlaku lagi.
BAB III
59 Universitas Sumatera Utara