BAB II EKSISTENSI PERPPU DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA
A.
Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Dalam teori mengenai jenjang norma hukum, “Stufentheorie”, yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan).29 Teori tersebut juga tercermin dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Fungsi peraturan perundang-undangan jika dikaitkan dengan hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya kesewenangwenangan oleh penguasa terhadap warga negara.30 UU 12/2011 merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam UU 12/2011, antara lain: penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis
29 30
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.cit, hal. 57. Titon Slamet Kurnia, Op.cit, hal 50.
22
peraturan perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan pada posisi kedua setelah UUD 1945.31 Secara umum Undang-Undang tersebut memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis, yaitu: asas pembentukan peraturan perundang-undangan, jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan, perencanaan peraturan perundangundangan, penyusunan
penyusunan peraturan
peraturan
perundang-undangan,
perundang-undangan,
pembahasan
teknik dan
pengesahan Rancangan Undang-Undang, pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota, dan pengundangan peraturan perundangundangan,
penyebarluasan,
partisipasi
masyarakat
dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya.32 Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan
31
Achmad Edi Subiyanto, Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Lex Jurnalica, Volume 11 Nomor 1, April 2014, hal 13. 32 Ibid.
23
sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak diatur
dengan
Undang-Undang
tersebut,
seperti
pembahasan
Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau
pembahasan
pancangan
peraturan
perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011.33 Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan beserta contohnya yang ditempatkan dalam Lampiran II. Penyempurnaan terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan perundangundangan di daerah.34 Berikut ini adalah hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut UU 12/2011, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
33 34
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi, dan
Ibid. Ibid.
24
7.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.35 Dalam hierarki peraturan perundang-undangan tersebut
kedudukan Perppu disejajarkan dengan Undang-Undang dan posisinya di bawah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR). Kembalinya TAP MPR dalam Undang-Undang tersebut menjadi tanda tanya besar, bahwa TAP MPR harus difungsikan tetapi hanya sebatas peraturan yang sudah ada dan tidak bisa melakukan keputusan sendiri agar ada fungsi kinerjanya. Semua perubahan tersebut menandakan adanya peningkatan
kinerja
peraturan
perundang-undangan
secara
demokratis dan signifikan yang semula lebih bersifat konservatif berubah dengan pelan tapi pasti menjadi hierarki yang lebih demokratis dan sesuai dengan kewenangan yang ada. Dalam sejarah sistem ketatanegaraan, sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 2011, Indonesia telah mengalami perubahan mengenai
dasar
pembentukan
dan
hierarki
peraturan
perundangan-undangan dari masa ke masa. Perubahan hierarki tersebut termasuk posisi Perppu dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
35
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
25
Untuk mempermudah mengetahui dasar perubahan tata urutan peraturan perundang-undangan, di bawah ini diberikan tabel hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tabel 2.1 Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Masa Hierarki Masa di bawah 1. UUD 1945; UUD 1945 2. Undang-Undang/ PERPPU; (Sebelum 3. Peraturan Pemerintah; dan Perubahan) Periode 4. Peraturan yang berasal dari Zaman Hindia Belanda 17 Agustus 1945- berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. 27 Desember 1949 Di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat juga banyak produk hukum yang diberlakukan yakni : 1. Penetapan Presiden; 2. Peraturan Presiden; 3. Penetapan Pemerintah; 4. Maklumat Pemerintah; 5. Maklumat Presiden; 6. Pengumuman Pemerintah. Masa di bawah Pada masa berlakunya Konstitusi RIS tidak terdapat Konstitusi ketentuan yang mengatur mengenai hierarki Peraturan Republik Indonesia Perundang-undangan. Mengenai penentuan jenis Serikat (RIS) Peraturan yang mana yang lebih tinggi tingkatannya Tahun 1950 lebih didasarkan pada praktek ketatanegaraan yang berlaku sebelumnya (pada waktu berlakunya UUD 1945). Jenis Peraturan Perundang-undangan yang berlaku pada masa di bawah Konstitusi RIS adalah sebagai berikut : 1. Konstitusi RIS; 2. Undang-Undang (berdasarkan Pasal 127)/UU Darurat (berdasarkan Pasal 139); 3. Peraturan Pemerintah (berdasarkan Pasal 141). Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, pada waktu itu RI Yogja yang merupakan Pemerintah Pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 Peraturan tentang Jenis Dan Bentuk Peraturan Yang 26
Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1950 menentukan Jenis Peraturan-peratuan Pemerintah Pusat ialah : a. Undang-Undang dan PERPPU; b. Peraturan Pemerintah; c. Peraturan Menteri. Masa di bawah 1. UUDS 1950; Undang-Undang 2. Undang-Undang/UU Darurat; dan Dasar Sementara 3. Peraturan Pemerintah. Tahun 1950 Selain ketiga jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan Negara masih terdapat beberapa produk hukum yang berlaku yakni: 1. Peraturan Menteri; 2. Keputusan Menteri; dan 3. Peraturan Tingkat Daerah. Masa di bawah Dengan dinyatakan berlakunya kembali UUD 1945 Undang-Undang maka jenis Peraturan Perundang-undangan yang Dasar Tahun 1945 berlaku seperti pada awal berlakunya UUD 1945 yakni Setelah Dekrit : Presiden Tanggal 5 1. UUD 1945; Juli 1959 2. Undang-Undang/ PERPPU; 3. Peraturan Pemerintah; dan 4. Peraturan yang berasal dari Zaman Hindia Belanda yang berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Namun kemudian berdasarkan Surat Presiden kepada Ketua DPR-GR tanggal 20 Agustus 1959 Nomor 2262/HK/59 tentang Bentuk Peraturan Negara, mengenai jenis Peraturan Perundang-undangan yang berlaku ditentukan sebagai berikut: 1. Undang-Undang; 2. Peraturan Pemerintah; 3. PERPPU. Masa TAP MPRS 1. UUD 1945; No. XX/1966 2. Ketetapan MPR; 3.Undang-Undang/PERPPU; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden; 6. Peraturan-peraturan pelaksananya, seperti: 27
- Peraturan Menteri; - Instruksi Menteri; - Dan lain-lainnya. TAP MPR No. 1. UUD 1945; III/2000 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang; 4. PERPPU; 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; 7. Peraturan Daerah. UU No. 10/2004 1. UUD 1945; 2. Undang-Undang/PERPPU; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah, yang meliputi: - Perda Provinsi; - Perda Kabupaten/Kota; - Peraturan Desa. UU No. 12/2011 1. UUD 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang/PERPPU 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi, dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Sumber: diolah penulis
B.
PERPPU Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia Bentuk peraturan yang dikenal dalam Undang-Undang Dasar 1945 selain Undang-undang, ialah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau PERPPU. Dasar hukum bentuk peraturan perundang-undangan ini ialah ketentuan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan: (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. 28
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.36
Di dalam konstitusi sebelum Amandemen antara 17 Agustus 1945 sampai 1950 terdapat beberapa jenis peraturan perundangan meliputi Undang-undang (Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 ayat (1)), Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2), dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Pasal 22).37 Hal ini memperlihatkan jika Presiden selaku pemerintah dapat membuat Perppu dalam keadaan kegentingan yang memaksa dan Perppu sudah diakaui sejak konstitusi masa Republik Indonesia pertama. Lain halnya dalam konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950 dikenal bentuk peraturan perundangan semacam Perppu ialah Undang-undang Darurat. Ketentuan mengenai Undang-undang Darurat terdapat dalam Pasal 139 Konstitusi RIS dan Pasal 96 UUDS 1950: Pasal 139 Konstitusi RIS (1) Pemerintah atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-undang Darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan 36
Pasal 22 UUD 1945. C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia: Pengertian Hukum Tata Negara Dan Perkembangan Pemerintahan Indonesia Sejak Perkembangan Kemerdekaan 1945, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal 37. 37
29
pemerintah federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera. (2) Undang-undang Darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa Undang-undang Federal; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal berikut.38 Pasal 96 UUDS 1950 (1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-undang Darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan mendesak perlu diatur dengan segera. (2) Undang-undang Darurat mempunyai kekuasaan dan derajat Undang-undang; Ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal berikut.39 Jika dikomparasikan antara Perppu yang diatur dalam UUD Tahun 1945 dengan Undang-undang Darurat dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 ada perbedaan.40 Pertama, kewenangan atau otoritas dalam pembuatan Perppu dalam UUD Tahun 1945 merupakan wewenang Presiden. Sedangkan untuk membuat Undang-Undang Darurat menurut konstitusi RIS dan UUDS 1950 merupakan wewenang pemerintah. Kedua, terlihat dari dasar legitimasi diterbitkan Perppu menurut UUD Tahun 1945 adalah “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Sedangkan dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 dasar legitimasi dikeluarkan Undang-undang Darurat adalah “karena alasan keadaan yang mendesak”. 38
Lihat Pasal 139 Konstitusi RIS. Lihat Pasal 96 UUDS 1950. 40 Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undangundang (PERPU), UMM Press, Malang, 2002, hal 86. 39
30
Mengenai persamaan antara Perppu dengan Undang-undang Darurat antara lain: keduanya mempunyai fungsi sama sebagai peraturan perundangan yang diterbitkan eksekutif dalam keadaan tidak normal (crisis) untuk mengatasi keadaan darurat (emergency). Persamaan selanjutnya Perppu maupun Undang-undang Darurat mempunyai kekuataan hukum atau derajat yang setara dengan Undang-undang.41 Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka memang terdapat perbedaan dan persamaan Perppu di masa Republik Indonesia pertama UUD Tahun 1945 dengan Konstitusi RIS atau UUDS 1950. Keduanya merupakan peraturan perundangan dikeluarkan oleh eksekutif dalam keadaan tidak normal, dan mempunyai kekuatan hukum
atau
derajat
sama
dengan
Undang-undang.
Namun
perbedaannya terletak pada kewenangan atau otoritas pembuatan peraturan perundangan dan dasar legitimasi diterbitkannya peraturan perundangan. Secara normatif Perppu merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan di Indonesia. Perubahan posisi Perppu dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia disebabkan oleh karena dinamika politik pada masa tersebut. Dalam UU 12/2011,
41
Ibid, hal 87.
31
posisi Perppu sejajar dengan Undang-Undang dan berada di bawah TAP MPR. Jika dilihat keberadaan Perppu dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000, Perppu menempati posisinya di bawah UndangUndang. Akan tetapi bila dilihat posisi Perppu dalam TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966, UU 10/2004 dan UU 12/2011, kedudukan atau posisi Perppu sejajar dengan Undang-Undang. Adapun salah satu pertimbangan disejajarkannya antara Undang-Undang dengan Perppu adalah karena materi muatan Perppu sama dengan materi muatan Undang-Undang.42 Perppu
adalah
peraturan
perundang-undangan
yang
diterapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 4 UU 12/2011. Untuk mewujudkan mekanisme checks and balance antara Presiden dan DPR, terdapat kriteria normatif yang harus dipenuhi dalam penetapan Perppu sebagaimana pasal 22 ayat (2) UUD Tahun 1945. Perppu harus mendapat persetujuan DPR di persidangan berikutnya, jika DPR tidak menyetujui maka Perppu haruslah dicabut.43
42
Lihat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 43 Lihat Pasal 52 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
32
Keberadaan Perppu sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Karena mengingat dalam keadaan tidak normal, Presiden haruslah bertindak cepat dan sigap untuk mengatasi keadaan tersebut—kemudian dalam keadaan kembali normal Presiden harus membicarakan bersama dengan DPR dengan kemungkinan disetujui menjadi Undang-undang ataupun sebaliknya dilakukan pencabutan.
C.
Kekuasaan Legislasi Presiden Perubahan pembaharuan
(amandemen)
dalam
UUD
ketatanegaraan
1945
telah
Indonesia.
membawa Bergesernya
kekuasaan pembentukan undang-undang dari Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu konsekuensi dari perubahan Konstitusi, sehingga fungsi legislatif dari DPR menjadi lebih kuat dari pada yang biasanya (sebelum amandemen UUD 1945). Pergeseran kekuasaan pembentukan undang-undang itu dapat dibaca dengan adanya perubahan radikal Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 dari Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Perubahan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, memiliki dasar pemikiran yang kuat, secara logis 33
memang harus demikian adanya guna menghindari implikasi yuridis berupa duplikasi kekuasaan kelembagaan negara. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 memang harus dirumuskan bahwa Presiden bukan sebagai pemegang kekuasaan, sebab Presiden sebagai lembaga yang menjalankan undang- undang, karena itu Presiden dari perspektif kekuasaan tepat diberikan “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”. Kemudian, perubahan Pasal 5 ayat (1) diikuti dengan mengamandemen Pasal 20 UUD 1945. Hal ini dapat dilihat dengan adanya suatu keharusan bahwa undang-undang itu dibentuk harus dengan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR (vide Pasal 20 ayat (2) UUD 1945). Artinya, Presiden mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam pembentukan undang-undang. Begitu juga dalam pengesahan undang-undang, Presiden mempunyai kewenangan untuk mengesahkan undang-undang dengan batas waktu tertentu untuk mengesahkan suatu undang-undang (vide Pasal 20 ayat (4) UUD 1945). Menurut Jimly Asshiddiqie, tindakan pengesahan Presiden sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 tersebut hanyalah bersifat administratif belaka, karena secara materiil rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama
34
antara DPR dan Presiden yang diputuskan dalam rapat Paripurna DPR-RI adalah tindakan pengesahan yang bersifat materiil, sedangkan pengesahan oleh Presiden sebagaimana dimaksud oleh pasal 20 ayat (4) UUD 1945 tersebut adalah pengesahan yang bersifat formil.44 Apalagi dengan adanya ketentuan Pasal 20 Ayat (5) yang menentukan jika dalam waktu 30 hari sejak mendapat persetujuan dari Presiden, maka rancangan undang-undang itu sah menjadi undang-undang. Sehingga bisa dipastikan rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama pasti akan menjadi undangundang.45 Walaupun kekuasaan membentuk undang-undang telah berada di DPR, dalam hal-hal tertentu Presiden juga diberikan kekuasaan dalam menetapkan Perppu yang derajatnya sama dengan undang-undang. Dalam UUD 1945, kekuasaan Presiden dalam menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, terdapat pada Pasal 22 UUD 1945. Selain itu Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, Presiden berhak mengajukan rancangan undangundang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
44
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006,
hal.297. 45
Ibid.
35
Menurut pendapat Monstesquieu yang dikutip oleh Sumali46, prinsipnya kekuasaan legislatif yang diharapkan sebagai satu-satunya badan
yang
membuat
peraturan
perundang-undangan
(wet
materielezin). Namun dalam praktiknya terbatas pada Undangundang (wet formele zin) saja, untuk peraturan perundang-undangan di luar Undang-undang dan UUD cenderung melekat pada kekuasaan eksekutif. Kewenangan eksekutif untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan di luar Undang-Undang dan UUD masih dalam koridor yang ditentukan dalam Undang-Undang dan UUD. Presiden merupakan produsen hukum terbesar, karena Presiden paling mengetahui banyak dan memiliki akses terluas, terbesar memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam proses pembuatan hukum. Presiden paling mengerti mengapa, untuk siapa, berapa, kapan, dimana, dan bagaimana peraturan tersebut dibuat. Presiden mempunyai keahlian serta tenaga ahli paling banyak memungkinkan proses pembuatan peraturan.47 Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Pasal tersebut memberikan
46
Sumali, Op.cit, hal 71. Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2010, hal 88. 47
36
penjelasan
bahwa,
selain
selaku
kepala
eksekutif
Presiden
mempunyai kewenangan sebagai penyelenggara pemerintahan, Presiden mempunyai hak dalam peraturan perundang-undangan membentuk peraturan pelaksana undang-undang yang diperlukan untuk memperlancar kelangsungan pemerintahan negara. Presiden
mempunyai
kekuasaan
di
bidang
peraturan
perundang-undangan yang bervariasi, yaitu kekuasaan legislatif artinya Presiden mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, kekuasaan reglementer artinya membentuk peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang atau menjalankan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dan terakhir kekuasaan eksekutif yang didalamnya mengandung kekuasaan pengaturan dengan keputusan Presiden.48 Praktiknya kekuasaan pemerintahan negara yang dipegang oleh kepala negara atau kepala pemerintahan ditambahkan adanya kekuasaan untuk mengatur—karena delegasi kewenangan
mengalir
dari
kewenangan
lembaga
legislatif
berdasarkan Undang-Undang maupun secara langsung oleh UndangUndang Dasar. Fungsi pengaturan terlihat dalam pembentukan undang-undang dengan persetujuan DPR sesuai dengan Pasal 5 ayat (1)
48
UUD
Tahun
1945,
pembentukan
Peraturan
Pemerintah
Sumali, Op.cit, hal 73.
37
berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945, Pembentukan Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang
(Perppu)
berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang merupakan peraturan perundang-undangan yang disebut secara langsung oleh UUD Tahun 1945.49 Tabel 2.2 Kekuasaan Legislasi Presiden Berdasarkan UUD Tahun 1945 jo UU No 12 Tahun 2011 Kekuasaan UUD Tahun 1945 UU No 12 Tahun 2011 Legislasi Presiden Berhak mengajukan Pasal 5 ayat (1): Pasal 43 ayat (1): Rancangan Undang- Presiden berhak Rancangan Undang-Undang Undang (RUU) mengajukan dapat berasal dari DPR atau kepada DPR Rancangan Undang- Presiden. Undang (RUU) kepada DPR. Pasal 47 ayat (1): Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Pasal 50 ayat (1): Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. Pasal 50 ayat (3): DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud 49
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.cit, hal. 117.
38
pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima. Ikut serta membahas rancangan undangundang dengan DPR untuk mendapat persetujuan bersama.
Mengesahkan Undang-Undang
Pasal 20 ayat (2): Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Pasal 20 ayat (3): Jika rancangan undangundang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Pasal 20 ayat (4): Presiden mengesahkan rancangan undangundang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undangundang. Pasal 20 ayat (5): Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
Pasal 65 ayat (1): Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pasal 69 ayat (3): Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Pasal 72 ayat (1): Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Pasal 73 ayat (1): Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan 39
semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undangundang tersebut sah menjadi undangundang dan wajib diundangkan.
Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu)
Pasal 22 ayat (1): Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Pasal 22 ayat (2): Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Pasal 73 ayat (2): Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. Pasal 1 angka 4: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Pasal 11: Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Pasal 52 ayat (1): Peraturan Pemerintah Pengganti Pasal 22 ayat (3): Jika Undang-Undang harus tidak mendapat diajukan ke DPR dalam persetujuan, maka persidangan yang berikut. peraturan pemerintah 40
itu harus dicabut.
Pasal 52 ayat (3): DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Pasal 52 ayat (4): Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.
Menetapkan Peraturan Pemerintah
Pasal 52 ayat (5): Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. Pasal 5 ayat (2): Pasal 1 angka 5: Peraturan Presiden menetapkan Pemerintah adalah peraturan pemerintah Peraturan Perundanguntuk menjalankan undangan yang ditetapkan undang-undang oleh Presiden untuk sebagaimana mestinya. menjalankan UndangUndang sebagaimana mestinya. Pasal 12: Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 41
Pasal 24: Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Pemerintah. Pasal 27: Rancangan Peraturan Pemerintah berasal dari kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang tugasnya. Menetapkan Peraturan Presiden
Pasal 4 ayat (1): Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Pasal 1 angka 6: Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Pasal 13: Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Pasal 30: Perencanaan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden.
Sumber: UUD 1945 dan UU No 12 Tahun 2012, diolah penulis
42
Berdasarkan tabel sebelumnya, maka Presiden Republik Indonesia berdasarkan UUD Tahun 1945 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, memiliki kewenangan untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU), mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU), ikut serta membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan DPR untuk mendapat persetujuan bersama, menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden. Kewenangan
Presiden
untuk
menetapkan
peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) didasarkan atas ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang menentukan: “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang”. Menurut pendapat Bagir Manan, kewenangan Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) adalah kewenangan luar biasa di bidang perundangundangan—sedangkan kewenangan ikut membentuk Undang-
43
undang, menetapkan Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden merupakan kewenangan biasa.50
Hakikat PERPPU Di Indonesia
D. 1.
Mekanisme Pembentukan PERPPU Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) adalah peraturan yang dibentuk Presiden dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, proses pembentukannya berbeda dengan pembentukan Undang-Undang—meskipun memiliki materi muatan yang sama. Pasal 22 UUD Tahun 1945 menyatakan Perppu sebagai suatu “noodverordeningsrecht” Presiden—artinya terdapat hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa.51 Pasal 22 UUD Tahun 1945 memberikan penjelasan bahwa, peraturan pemerintah pengganti undang-undang mempunyai hierarki, fungsi dan materi muatan sama dengan Undang-Undang, hanya saja dalam pembentukannya berbeda dengan Undang-undang. Dalam Pasal 53 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan: “Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
50
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Kencana, Jakarta, 2009, hal 101. 51 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Op.cit, hal 91.
44
Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tata cara penyusunan perundangan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 menyatakan bahwa: Pasal 57 Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(1)
(2)
Pasal 58 Presiden menugaskan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan materi yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut sebagai Pemrakarsa. Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Menteri dan menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau pimpinan lembaga terkait.
Pasal 59 Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang telah selesai disusun disampaikan oleh menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) kepada Presiden untuk ditetapkan. Pasal 60 Pemrakarsa menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang setelah Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ditetapkan oleh Presiden.
45
Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 menjelaskan bahwa apabila dalam hal ikhwal kegentingan memaksa, Presiden menugaskan penyusunan Rancangan Perppu kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan materi yang akan diatur dalam Perppu tersebut sebagai Pemrakarsa—berkoordinasi dengan Menteri dan menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau pimpinan lembaga terkait. Kemudian, rancangan Perppu yang telah selesai disusun disampaikan oleh menteri kepada Presiden untuk ditetapkan. Setelah mendapatkan penetapan dan diundangkan oleh Presiden, Perppu dapat langsung berlaku mengikat umum, akan tetapi harus diajukan ke DPR untuk dimintakan persetujuan. Gambaran mekanisme pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang
dalam
perundang-undangan,
dapat
ditemukan dalam Pasal 52 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 52 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. (2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang menjadi Undang-undang.
46
(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undangudang. (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-undang. (5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. (6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-undang tentang pecabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. (7) Rancangan Undang-undang tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. (8) Rancangan Undang-undang tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-undang tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Berdasarkan
paparan
sebelumnya,
maka
mekanisme
pembentukan Perppu berjalan lebih singkat dibandingkan dengan pembentukan UU, mengingat pembentukanya dalam keadaan tidak normal dan ditetapkan oleh Presiden tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat karena adanya “hal ikhwal kegentingan memaksa”.
47
2.
Materi Muatan PERPPU Secara umum materi yang dapat diatur dengan instrumen Perppu pada prinsipnya adalah sama dengan materi dalam UndangUndang (vide Pasal 11 UU No 12 tahun 2011). Keduanya merupakan jenis peraturan perundangan memiliki kekuatan dan derajat setara (vide Pasal 7 ayat (1) UU No 12 tahun 2011). Jika dilihat dari prosedur atau mekanisme pembuatannya berbeda satu sama lainnya. Undang-undang pembuatannya dilakukan secara bersama-sama antara Presiden dengan DPR. Sedangkan Perppu pada akhirnya melibatkan peran DPR, namun merupakan hak prerogatif Presiden. Sebagai
peraturan
darurat,
materi
muatan
Peraturan
pemerintah pengganti undang-undang mengandung pembatasanpembatasan. Tanpa pembatasan tersebut berpotensi menjadi sumber ketidakteraturan dan penyimpangan dalam penyelenggaraan negara. Menurut pendapat Bagir Manan, materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan (administrasi negara).52 Menurutnya tidak boleh Perppu dikeluarkan bersifat ketatanegaraan dan hal yang berkaitan dengan lembaga negara, kewarganegaraan, territorial, negara, dan hak dasar rakyat.
52
Sumali, Op.cit, hal 93.
48
Sedangkan menurut pendapat Yuzril Ihza Mahendra53 pembatasan materi muatan Perppu oleh UUD Tahun 1945 dapat disimpulkan secara jelas pada penetapan APBN—meskipun dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, UUD Tahun 1945 tidak memberi peluang bagi Presiden untuk menetapkan APBN secara sepihak melalui Perppu. Walaupun UUD Tahun 1945 menganut prinsip kesetaraan antara DPR dan Presiden, namun penetapan APBN dalam penjelasan UUD Tahun 1945 mengatakan bahwa kedudukan DPR lebih kuat dari kedudukan pemerintahan. Sehubungan dengan penetapan berbagai produk hukum yang bersifat penetapan, menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan, yakni :54 a) memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis (rechtmatige); b) tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaat-asasan hierarki peraturan perundang-undangan; c) tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga masyarakat; d) diterapkan dalam rangka mendukung (memperlancar) upaya mewujudkan atau merealisasi kesejahteraan umum. Selain itu, hal yang berkaitan dengan asas peraturan perundang-undangan tentang materi muatan pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) jo Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011: 53 54
Ibid. Sjachran Basah, Op.cit, hal 4.
49
a. Asas pengayoman ialah setiap materi muatan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. b. Asas kemanusian ialah setiap materi muatan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara secara proporsional. c. Asas kebangsaan ialah setiap materi muatan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic dengan menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Asas
kekeluargaan
ialah
setiap
materi
muatan
harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. c. Asas kenusantaraan ialah setiap peraturan perundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan yang dibuat didaerah merupakan bagian dari sistem hukum. d. Asas bhineka tunggal ika ialah setiap materi muatan peraturan perundang harus memperhatikan keragaman penduduk. e. Asas keadilan ialah setiap materi muatan peraturan perundangan harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga negara.
50
f. Asas kesamaan ialah kedudukan dalam hukum dan pemerintahan ialah materi muatan peraturan perundangan tidak boleh berisi hal yang bersifat membedakan latar belakang seperti agama, ras, suku, golongan, gender, atau status sosial. g. Asas ketertiban ialah setiap materi muatan peraturan perundangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. h. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan ialah setiap materi muatan peraturan perundangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Selain
mencerminkan
asas
sebagaimana
dimaksud
sebelumnya, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan (vide Pasal 6 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011). Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain (vide Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011) : a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
51
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik. 3.
Sifat PERPPU Perppu ini memiliki sifat provisional (sementara) karena jangka waktunya terbatas, maka secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya (vide Pasal 52 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011). Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan (vide Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011). Apabila Perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang (vide Pasal 52 ayat (4) UU No 12 Tahun 2011). Sedangkan, apabila Perppu itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku (vide Pasal 52 ayat (5) UU No 12 Tahun 2011). Jadi waktu antara diundangkannya suatu Perppu dengan pengajuan untuk persetujuan ke DPR tidak terlalu lama—atau dengan kata lain sifat provisional (sementara) Perppu itu karena waktunya begitu singkat. Oleh sebab itu, Marida Farida Indrati Soeprapto berpendapat bahwa Perppu kadang-kadang dikatakan tidak sama dengan UndangUndang karena belum disetujui oleh DPR.55 Meskipun sebenarnya
55
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.cit, hal. 96.
52
Undang-Undang dan Perppu dalam hierarki peraturan perundangundangan memang memiliki kedudukan yang sama, hanya saja keduanya dibentuk dalam keadaan yang berbeda. Undang-Undang dibentuk oleh Presiden dalam keadaan normal dengan persetujuan DPR, sedangkan Perppu dibentuk oleh Presiden dalam keadaan genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah yang kemudian membuat kedudukan Perppu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di bawah Undang-Undang. Saat suatu Perppu telah disetujui oleh DPR dan dijadikan Undang-Undang, saat itulah biasanya Perppu dipandang memiliki kedudukan sejajar/setingkat dengan Undang-Undang. Hal ini disebabkan karena Perppu itu telah disetujui oleh DPR, walaupun sebenarnya secara hierarki perundang-undangan, fungsi, maupun materi, keduanya memiliki kedudukan yang sama meski Perppu belum disetujui oleh DPR. Sifat provisional (sementara) Perppu karena pembatasan jangka waktu dan perlu persetujuan DPR mengandung makna:56 a.
56
kewenangan membuat Perppu memberikan kekuasaan luar biasa kepada Presiden. Kekuasaan luar biasa ini harus dikendalikan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dengan mempergunakan Perppu sebagai sarana; Malik, Op.cit, hal 583.
53
b.
c.
4.
Materi muatan Perppu merupakan materi muatan UU, karena itu harus diajukan kepada DPR agar mendapatkan persetujuan untuk menjadi UU; Perppu mencerminkan suatu keadaan darurat. Keadaan darurat merupakan pembenaran untuk misalnya menyimpangi prinsipprinsip negara berdasarkan atas hukum atau prinsip negara berkonstitusi. Pengajuan Perppu secepat mungkin kepada DPR berarti secepat mungkin pula pengembalian pada keadaan normal yang menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum atau negara berkonstitusi.
Syarat “Kegentingan Yang Memaksa” Dalam Penerbitan PERPPU Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu disebut dengan “martial law” atau “emergency legislation”.57 Jika dipandang dari segi isinya peraturan tersebut merupakan “legislative act” atau Undang-Undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama-sama dengan parlemen. Oleh karena itu, kepala pemerintahan eksekutif menetapkannya secara sepihak tanpa didahului oleh persetujuan parlemen yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut “martial law”, “emergency law”, atau “emergency legislation”. Mengenai “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, Bagir Manan menyatakan bahwa unsur kegentingan yang memaksa harus menunjukkan 2 (dua) ciri umum, yaitu: (i) ada krisis (crisis), dan (ii) 57
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal 281.
54
ada kemendesakan (emergency).58 Menurutnya suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kemendesakan (emergency),
apabila
terjadi
berbagai
keadaan
yang
tidak
diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan. Sedangkan
Jimly
Asshiddiqie
mengenai
“hal
ikhwal
kegentingan yang memaksa”, berpendapat: “Bagaimanapun, perpu itu sendiri memang merupakan undangundang yang dibentuk dalam keadaan yang darurat yang menurut istilah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 disebutkan ”Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Istilah halihwal kegentingan yang memaksa dan darurat di sini tentu tidak boleh dikacaukan atau diidentikkan dengan pengertian ”keadaan bahaya” menurut ketentuan Pasal 12 UUD 1945. Keadaan darurat atau dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa di sini adalah keadaan yang ditafsirkan secara subjektif dari sudut pandang Presiden/Pemerintah, di satu pihak karena (i) Pemerintah sangat membutuhkan suatu undangundang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan yang sangat penting dan mendesak bagi negara, tetapi di lain pihak (ii) waktu atau kesempatan yang tersedia untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencukupi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dari segi substansinya sebenarnya juga merupakan undang-undang dalam arti materiel (wet in materiele zin). Sebab, substansi norma yang terkandung 58
Bagir Manan, Op.cit, hal 158-159.
55
di dalamnya adalah materi undang-undang bukan materi peraturan pemerintah.”59 Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, syarat materiil yaitu keadaan memaksa untuk menetapkan Perppu dibagi menjadi tiga meliputi:60 a.
Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau “reasonable necessity”;
b.
Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan waktu; dan
c.
Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut. Pasal 22 UUD Tahun 1945 menyatakan Perppu sebagai suatu
“noodverordeningsrecht” Presiden—artinya terdapat hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa. Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan Presiden secara subjektif menilai keadaan dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, sehingga pasal tersebut memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu. Kriteria tentang apa yang dimaksudkan dengan
59 60
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Op.cit, hal 210. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal 282.
56
istilah hal ikhwal kegentingan yang memaksa adalah suatu keadaan yang sukar, penting, dan terkadang krusial sifatnya, yang tidak dapat diduga, diperkirakan atau diprediksi sebelumnya, serta harus ditanggulangi segera dengan pembentukan peraturan perundangundangan yang setingkat dengan undang-undang.61 Oleh sebab itu Perppu juga mengandung pembatasan. Pertama, Perppu hanya dikeluarkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Dalam praktik hal ikhwal kegentingan yang memaksa sering diartikan secara luas. Tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi termasuk juga kebutuhan yang dipandang mendesak. Kewenangan menetapkan
Perppu
ada pada
Presiden, maka
Presidenlah yang secara subjektif menentukan kegentingan yang memaksa.62 Kedua, Perppu hanya berlaku untuk jangka waktu yang
61
I Gde Pantja Astawa, dalam Malik, Perppu Pengawasan Hakim MK Versus Putusan Final MK. Jurnal Konstitusi, Volume 10 Nomor 4, Desember 2013, hal 582. 62 Jika ditelaah, penggunaan istilah “keadaan bahaya” pada Pasal 12 UUD 1945 dan istilah “hal ihwal kegentingan yang memaksa” pada Pasal 22 UUD 1945 memiliki perbedaan. Pasal 12 UUD 1945 mempersyaratkan ditentukan syarat-syarat objektif untuk pemberlakuan, pengawasan, dan pengakhiran suatu keadaan bahaya. Pelaksanaan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 mempersyaratkan dilakukannya deklarasi atau proklamasi resmi dalam rangka pemberlakuan keadaan bahaya itu. Namun Pasal 22 UUD 1945 tidak menentukan adanya syarat-syarat objektif semacam itu, kecuali menyerahkan pelaksanaan sepenuhnya kepada Presiden untuk menilai apakah kondisi negara berada dalam keadaan genting dan memaksa atau terdapat hal ikhwal kegentingan yang bersifat memaksa untuk ditetapkan suatu Perppu. Dengan perkataan lain, Pasal 12 mengatur mengenai keadaan yang bersifat objektif, sedangkan Pasal 22 mengatur mengenai tindakan pengaturan yang harus dilakukan oleh Presiden atas dasar penilaian subjektifnya mengenai keadaan negara. Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op.cit, hal 208-209.
57
terbatas. Presiden paling lambat dalam masa sidang DPR berikutnya harus mengajukan Perppu ke DPR untuk memperolah persetujuan. Apabila disetujui DPR, Perppu berubah menjadi undang-undang. Kalau tidak disetujui, Perppu tersebut harus segera dicabut.63
63
Malik, Op.cit, hal 583.
58