BAB II EKSISTENSI ASAS CABOTAGE DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENGANGKUTAN LAUT DI INDONESIA
A. Kedaulatan Negara di Wilayah Laut Teritorial Perkembangan kedaulatan suatu negara dilaut dapat ditelusuri melalui sejarah hukum laut internasional itu sendiri, dimana terdapat pertarungan antara dua asas hukum laut, yaitu Res Nullius dan Res Communis. Menurut penganut asas Ress Nullius, laut itu tidak ada yang memilikinya, oleh karena itu dapat dimiliki setiap negara yang menginginkannya. Sedangkan penganut asas Ress Communis berpendapat bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, oleh karena itu tidak dapat dimiliki oleh setiap negara. Dalam praktik negara-negara tepi laut tengah sejak zaman kuno asas Ress Communis inilah yang dijalankan oleh kerajaan-kerajaan Rhodia, Persia, Yunani dan Romawi. 51 Penguasaan negara terhadap laut berdasarkan kepada suatu konsepsi hukum, diawali dengan keluarnya peraturan-peraturan Hukum Laut Rodhia abad ke-2 sebelum Masehi, yang diterima dengan baik oleh semua negara di tepi laut tengah. 52 Kerajaan Romawi sebagai kerajaan yang menguasai seluruh wilayah laut tengah pada abad ke-7 masih merujuk pada aturan-aturan Rodhia itu, sehingga laut tengah menjadi laut yang aman dan bebas dari gangguan para bajak laut serta semua orang dapat melintasiya dengan aman. Pemikiran hukum yang melandasi sikap bangsa 51
Hasyim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, (Bandung : BPHN dan Binacipta,1979) hlm. 11-19 52 Syamsumar Dam, Politik kelautan, (Jakarta:Bumi Aksara,2010), hlm. 12
Universitas Sumatera Utara
Romawi terhadap laut itu adalah diakuinya asas hak bersama seluruh umat manusia (Res Communis Omnium) dalam bentuk kebebasan berlayar dan menangkap ikan, dimana negara bertindak sebagai pelindung dari penggunaan asas tersebut. Selain itu, muncul pula pemikiran bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, oleh karena itu laut dapat dimiliki dengan mendudukinya yang didasarkan atas konsepsi occupatio yang terdapat didalam hukum perdata Romawi. Walaupun asas ini dapat memberi kepastian, tetapi pada akhirnya menjadi sumber persengketaan karena tidak memberikan suatu penyelesaian yang baik. Setelah runtuhnya kerajaan Romawi, pada abad pertengahan muncul negaranegara tepi laut tengah yang baru yang masing-masing menuntut sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya dengan alasan masing-masing. Hal ini telah menimbulkan bahwa laut tidak lagi menjadi milik bersama (res communis). Para ahli hukum Romawi pada abad pertengahan seperti Bartolus dan Baldus mengemukakan teori yang membagi wilayah laut menjadi dua bagian yaitu laut yang berada dibawah kekuasaan negara pantai, dan laut lepas yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapa pun. 53 Mengenai laut lepas, Grotius seorang berkebangsaan Belanda dalam bukunya Mare Liberum atau Kebebasan di Laut berpendapat bahwa laut susah diukur, sehingga laut tidak dapat digabungkan dengan milik suatu bangsa atau laut tidak boleh ada yang memilikinya karena akan mengganggu kebebasan bangsa lain untuk memanfaatkannya. Bahkan menurutnya laut merupakan sumber kekayaan yang tidak 53
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung :Binacipta,1978) hlm. 2
Universitas Sumatera Utara
terhabiskan
(inexhaustable),
oleh
karenanya
semua
memanfaatkannya. 54 Ajaran Grotius ini ditentang oleh
bangsa
bebas
untuk
John Salden seorang
berkebangsaan Inggris dan Pontanus dari Denmark, menurutnya tidak ada alasan untuk mengatakan laut tidak dapat dimiliki suatu bangsa, karena waktu itu Inggris dikenal sedang menguasai lautan yang cukup luas bersama Portugal dan Spanyol. Salden melanjutkan bahwa sangat tidak beralasan menyebutkan kekayaan lautan sumber yang tidak terhabiskan. Sedangkan Pontanus menganggap bahwa kedaulatan atas laut mencakup besarnya wewenang untuk melarang pihak ketiga mengangkap ikan, sedangkan hak untuk berlayar tidak harus dikaitkan dengan kepemilikan atas laut. Menurut Pontanus laut dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu laut yang berdekatan dengan pantai (adacjent sea) yang dapat menjadi milik atau kedaulatan negara pantai dan laut luarnya yang harus dianggap sebagai laut lepas atau laut bebas bagi setiap negara yang ingin memanfaatkannya. 55 Pada perkembangannya, kedua ajaran ini masing-masing tidak dapat dipertahankan secara konsekuen. Konsepsi Laut teritorial yang dikemukakan Pontanus disempurnakan oleh sarjana Belanda lainnya yaitu Cornelis Van Bynkershoek pada tahun 1703 melalui asas tembakan meriam (cannon shot rule principles) yang menggunakan tembakan meriam untuk mengukur lebar laut teritorial. Karena jarak tembak meriam pantai pada masa itu hanya 3 mil, maka lebar laut teritorial 3 mil yang sejajar dengan bibir pantai yang diukur pada saat pasang surut (law water marks) yamg juga disebut
54 55
Ibid, hlm. 12 Syamsumar Dam, Op.Cit hlm. 5
Universitas Sumatera Utara
sebagai garis dasar biasa (normal baslines) dianggap sebagai lebar maksimum laut teritorial. 56 Pada abad ke-19, batas 3 mil memperoleh pengakuan luas dari para ahli hukum juga oleh pengadilan-pengadilan, serta mendapat pengesahan dalam praktek negara-negara maritim utama. Pengakuan ini juga berlanjut dalam abad ke-20 dengan dua negara maritim besar Amerika Serikat dan Inggris secara tegas menjadi pendukung utama batas 3 mil itu. Memang aturan itu memperoleh penerimaan sebagai suatu ketentuan universal hukum internasional. 57 Hal ini
menyebabkan
negara-negara non maritim beranggapan bahwa dengan lebar laut teritorial 3 mil tidak mencukupi kebutuhan mereka dan kondisi itu hanya menguntungkan bagi negaranegara maritim saja, apalagi perkembangan teknologi tembakan meriam akan semakin jauh saja kelaut dalam praktik. 58 Menurut Mochtar Kusumaatmadja ternyata tidak semua negara memberi isi yang sama pada wewenang atau kekuasaan negara dalam laut teritorial ini. Ada negara yang menekankan segi pertahanan, keamanan serta netralitas dan banyak pula negara yang menekankan laut teritorial dari segi kekuasaan negara pantai untuk mengatur dan mengambil
tindakan dibidang perikanan, sehingga laut teritorial
56
Ibid, hlm. 14 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009) hlm. 325 58 Syamsudar Dam, Op.Cit, hlm. 14 57
Universitas Sumatera Utara
dianggap sebagai jalur pelindung perikanan seperti yang dilakukan oleh negaranegara Skandinavia. 59 Perkembangan konsepsi laut teritorial dimulai dalam Konferensi Kodifikasi Internasional yang diadakan oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) di Den Haag sejak tanggal 13 Maret s.d 13 April 1930 yang dihadiri oleh 47 negara. Tujuan utama dari konferensi ini adalah untuk membukukan dari berbagai aturan-aturan hukum laut yang ada, dan antara lain menghasilkan Final Act tentang Laut Teritorial yang terdiri dari 13 Pasal dan bukan untuk membuat suatu Konvensi Hukum Laut, Final Act memuat ketentuan-ketentuan tentang batas wilayah dan lintas damai kapal asing di wilayah laut teritorial suatu negara. Pengaturan tentang kedaulatan dan yuridiksi negara di laut secara komperhensif mulai dilakukan oleh empat konvensi-konvensi Jenewa tahun 1958 yang mengatur tentang laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas. Sampai dengan sekitar tahun 1970-an keempat konvensi tersebut masih dianggap cukup memadai untuk mengatur segala kegiatan manusia di laut. Tuntuan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap konvensikonvnesi tersebut muncul seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi penambangan didasar laut serta menurunnya persediaan-persediaan sumber daya hayati laut. Disamping itu pesatnya teknologi perkapalan juga merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan konvensi-konvensi itu dianggap sudah tidak
59
Mochtar Kusumaatmadja, Hasyim Djalal dan J.G Starke membahas perkembangan Hukum Laut Internasional secara lebih rinci dalam ketiga buku mereka diatas.
Universitas Sumatera Utara
memadai lagi. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah bertambahnya jumlah negara yang baru merdeka, sehngga menimbulkan tuntutan-tuntutan baru terhadap laut. 60 Setelah melalui perundingan yang cukup panjang, negara-negara peserta Konferensi Hukum Laut Perserikan Bangsa Bangsa (PBB) ke-3 pada akhirnya telah menyepakati Konvensi PBB tentang Hukum Laut yaitu United Nation Convention on The law of The sea yang lebih dikenal dengan UNCLOS Tahun 1982 yang terdiri dari 320 pasal dan 9 Annex. Konvensi ini mengatur tentang segala aspek kegiatan di laut, seperti misalnya delimitasi, hak lintas, pencemaran terhadap lingkungan laut, riset ilmiah kelautan, kegiatan ekonomi dan perdagangan, alih teknologi dan penyelesaian sengketa tentang masalah-masalah kelautan. Sesuai dengan ketentuan pasal 308, Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994, yaitu 12 bulan setelah diterimanya ratifikasi ke-60. 61
1. Hak Berdaulat Negara Atas Wilayah Laut Berdasarkan Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) Tidak kurang dari 12 kali sidang, Konferensi PBB III tentang Hukum Laut sejak tahun 1973 sampai 1982 dalam upaya mencapai hasil yang diharapkan. Dimulai dari sidang yang pertama “keorganisasian” pada tahun 1973 dan berakhir dengan pengesahan naskah akhir Konvensi dan penandatangannya di Montego Bay tanggal 60
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoe, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung:Alumni, 2003) hlm. 170 61 Ibid, hlm. 171
Universitas Sumatera Utara
10 Desember 1982 oleh 118 Negara. 62 Selain itu Konferensi ini bukan saja yang terbesar, terpanjang, tetapi juga yang terpenting
dalam sejarah konferensi
internasional sepanjang yang diketahui. Konferensi PBB III tentang Hukum Laut itu pada hakikatnya merupakan kulminasi dari perundingan-perundingan antara negaranegara, yang dimulai jauh sebelum 1973. 63 Terbesar, karena dihadiri lebih dari 160 negara, dengan sekitar 5000 anggota delegasi dengan bermacam latar belakang, yaitu diplomat, ahli hukum, pertambangan perikanan, perindustrian, kelautan, perkapalan, lingkungan alam dan lain-lain. Terpanjang, karena Konferensi itu berlangsung selama sembilan tahun dari Desember 1973 sampai September 1982, yang keseluruhannya berjumlah 12 sidang sekitar 90 minggu. Terpenting, karena bukan saja dari hasil yang dicapai, tetapi berkat adanya kemauan bersama untuk berhasil betapapun banyak dan rumitnya permasalahan yang harus diatasi. 64 Konvensi Hukum Laut 1982 mengakui hak negara-negara untuk melakukan klaim atas berbagai macam zona maritim dengan status yang berbedabeda, yang dibagi sebagai berikut: 65 1. Berada dibawah kedaulatan penuh negara meliputi laut pedalaman, laut teritorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional; 2. Negara mempunyai yuridiksi khusus dan terbatas yaitu zona tambahan;
62
J.G Starke Op.Cit, hlm. 342 Boer Mauna, Hukum Internasional, (Bandung:Alumni, 2008), hlm. 309 64 Ibid 65 Mochtar Kusumaatmadja, Loc.Cit 63
Universitas Sumatera Utara
3. Negara mempunyai yuridiksi eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya alamnya, yaitu Zona Ekonomi Eksklusif dan landasan kontinen; 4. Berada dibawah suatu pengaturan internasional khusus, yaitu daerah dasar laut samudera dalam atau dikenal sebagai kawasan internasional sea-bed area 5. Tidak berada dibawah kedaulatan maupun yuridiksi negara manapun, yaitu laut lepas. Dalam perkembangan hukum internasional, batas kekuasaan yang merupakan batas wilayah suatu negara sangat dipegang erat. Pelanggaran terhadap suatu wilayah negara dapat berakibat fatal, bahkan dapat menimbulkan kerenggangan hubungan, dan apabila berlarut-larut akan berakibat perang. Dengan batas wilayah dituntut hubungan yang lebih baik bagi setiap negara dengan dan perjanjian-perjanjian yang diciptakan perlu ditaati agar tidak merugikan kepentingan negara lain. Penentuan batas wilayah laut teritorial yang meliputi kelautan di dalam perbuatannya perlu memperhatikan bentuk konsekuensi dan pertimbangan lain sehingga kepentingan-kepentingan publik internasional sama-sama berjalan. 66 Laut teritorial adalah sebuah kawasan yang dimiliki oleh suatu negara pantai, yang mana dalam kawasan kelautan berlaku yuridiksi negara pantai tersebut. 67 Dalam bahasa yang lebih sederhana dalam laut teritorial, negara pantai memiliki kedaulatan absolut atas apa yang terjadi didalamnya.
66
Mirza Satria Buana, Hukum Internasional, Teori dan Praktek, (Bandung:Nusa Media, 2007) hlm. 71 67 Louis B. Shon dan Kristen Gustaf son. The Law of The Sea, in a Nut Shell.West Publishing Company, Minnesota, hlm. 89
Universitas Sumatera Utara
a. Perairan Pedalaman Perairan pedalaman dalam Konvensi Hukum Laut 1982 dibatasi sebagai perairan yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal yang dipakai untuk menetapkan laut teritorial suatu negara.
68
Dalam ketentuan ini termasuk didalamnya
sungai, teluk, pelabuhan serta bagian-bagian perairan lain sepanjang berada pada sisi darat dari garis pangkal. Sehingga batas terluar dari perairan pedalaman bagi suatu negara pantai biasa adalah garis pangkal, yang dapat berupa garis pangkal biasa ataupun garis pangkal lurus, juga dapat dikombinasikan antar kedua garis pangkal tersebut. Bagi suatu negara kepulauan berlaku ketentuan khusus yaitu perairan pedalaman dapat ditetapkan dengan menarik suatu garis penutup pada mulut sungai, teluk dan pelabuhan yang berada pada perairan kepulauannya. 69 Dengan demikian, perairan pedalaman dari suatu negara kepulauan akan merupakan perairan yang terletak disebelah dalam dari garis penutup demikian. Sehingga pada perairan pedalaman suatu negara pantai ataupun negara kepulauan mempunyai kedaulatan penuh yang meliputi perairan pedalaman tersebut, ruang udara yang ada diatasnya beserta dasar laut dan tanah dibawahnya. Perbedaan prinsipil antara perairan pedalaman dengan laut teritorial adalah bahwa di perairan pedalamanan kedaulatan negara berlaku mutlak tanpa adanya
68 69
Lihat Pasal 8 ayat 1 Persetujuan UNCLOS 1982 Lihat Pasal 50 Persetujuan UNCLOS 1982
Universitas Sumatera Utara
pembatasan oleh hukum internasional dalam bentuk kewajiban-kewajiban untuk memberikan jaminan pelaksanaan hak lintas damai bagi kapal-kapal asing. 70
b. Laut Teritorial Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan bahwa kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya, juga dalam hal suatu negara kepulauan dengan perairan kepulauannya, meliputi juga suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang disebut dengan laut teritorial. Batas luar laut tertorial adalah garis yang jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat pada garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial. 71 Lebar laut teritorial telah menjadi objek pertentangan antar negara selama kurang lebih setengah abad, dengan berbagai macam variasi keinginan antara 3 sampai dengan 200 mil laut. Konvensi Hukum Laut 1982 menetukan bagi setiap negara diberi kebebasan untuk menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkalnya. Jadi batas terluar laut teritorial akan disesuaikan dengan lebar laut teritorial yang dipilih oleh masingmasing negara. 72 Sebagaimana halnya di perairan kepulauan, kedaulatan negara di laut teritorial dibatasi dengan kewajiban terlaksananya jaminan untuk hak lintas damai oleh kapal-kapal asing yang melintasinya.
70
Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit, hlm.172 Lihat Pasal 2 Persetujuan UNCLOS 1982 72 Lihat Pasal 3 Persetujuan UNCLOS 1982 71
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya perubahan lebar laut teritorial dari 3 mil menjadi 12 mil laut, sebagian besar dari selat yang biasanya digunakan untuk pelayaran internasional berubah statusnya menjadi bagian dari laut teritorial. Tidak hanya itu, tidak menutup kemungkinan ada sebagian yang menjadi bagian dari perairan pedalaman. Pada selat yang demikian negara-negara mempunyai kewajiban untuk memberikan jaminan pelaksanaan hak lintas kapal asing dalam bentuk baru yang disebut dengan hal lintas transit, yang sifatnya lebih longgar dari hak lintas damai. Hal yang demikian lebih disukai oleh kapal-kapal asing.
c. Selat yang digunakan untuk pelayaran Internasional. Ketentuan mengenai selat ini merupakan suatu aturan hukum internasional yang sama sekali baru dan digunakan dalam pelayaran internasional, hal ini diatur dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 45 Konvensi Hukum Laut 1982. Ketentuan ini merupakan refleksi dari adanya perluasan lebar laut teritorial, yang awalnya dirujuk oleh negara-negara maju adalah 3 mil laut menjadi maksimum 12 mil laut, dan ini merupakan bagian dari perjuangan negara-negara berkembang. Sebagai akibatnya, terdapat banyak selat yang lebarnya kurang atau sama luasnya dengan dua kali lebar maksimum laut teritorial statusnya berubah menjadi laut teritorial. Menurut Pasal 37 Konvensi Hukum Laut 1982, yang dapat dianggap selat yang digunakan untuk pelayaran internasional adalah perairan yang menghubungkan satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. Sedangkan pada Pasal 38 menentukan bahwa untuk
Universitas Sumatera Utara
selat-selat yang memenuhi ketentuan itu akan berlaku rejim pelayaran yang disebut lintas transit. Namun demikian, apabila ada bagian dari selat yang letaknya lebih dekat ke daratan utama dan ada alur laut yang memisahkan daratan tersebut dengan sesuatu dan dapat memberikan kenyamanan yang sama untuk pelayaran, pada jalur pelayaran demikian berlaku hak lintas damai. Baik lintas transit maupun hak lintas damai, konvensi tidak memperkenankan adanya penangguhan atau gangguan dalam bentuk apapun dari negara-negara tepi selat tersebut. 73
d. Zona Tambahan Negara pantai dalam zona tambahan dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan
guna
mencegah
pelanggaran
peraturan
perundang-undangannya.
Ketentuan ini menyangkut yang berkaitan dengan bea cukai, fiskal, imigrasi dan saniter didalam wilayahnya atau laut teritorialnya. Negara pantai juga mempunyai wewenang untuk menghukum setiap pelanggaran yang demikian. Namun batas luar zona tambahan ini tidak boleh melebihi 24 mil laut yang diukur dari garis pangkal yang dipakai untuk menetapkan batas laut teritorialnya, sehingga bisa dipastikan luas zona tambahan suatu negara sangat bergantung dengan seberapa jauh negara tersebut menetapkan lebar laut teritorialnya. 74
73 74
Lihat Pasal 44 dan 45 Persetujuan UNCLOS 1982 Lihat Pasal 33 Persetujuan UNCLOS 1982
Universitas Sumatera Utara
e. Laut Lepas Laut lepas sepenuhnya terbuka bagi semua negara, baik yang berpantai maupun tidak. Kebebasan diberikan bagi pelayaran, penerbangan diatasnya, pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut, pembangunan pulau-pulau buatan dan instalasi lainnya, penangkapan ikan serta riset ilmiah. Namun demikian semua kebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan negara lainnya dalam melaksanakan kebebasan-kebebasan yang sama. 75 Selanjutnya laut lepas akan diperuntukkan bagi tujuan-tujuan damai dan tidak ada bagian dari laut lepas dapat tunduk pada klaim kedaulatan negara manapun. Dengan demikian setiap negara memiliki hak untuk melayarkan kapal dibawah benderanya dilaut lepas. 76
2. Wewenang Negara Pantai di Atas Laut Teritorial Konsep mengenai batas suatu negara pada umumnya difokuskan pada batasbatas darat. Kini terjadi pergeseran keadaan, perkembangan mengenai wilayah laut teritorial yang fluktuatif diseluruh belahan negara di dunia telah menempatkan pentingnya posisi laut daripada darat. Hal ini seiring dengan hasil dari klaim-klaim yang berkembang atas perluasan perairan teritorial, landasan kontinen dan zona ekonomi eksklusif.
75 76
Lihat Pasal 87 Persetujuan UNCLOS 1982 Lihat Pasal 88,89 dan 90 Persetujuan UNCLOS 1982
Universitas Sumatera Utara
Batas-batas laut menjadi sangat essensial bagi suatu negara. Batas-batas ini membagi beberapa zona wilayah laut dimana suatu negara mempunyai suatu kedaulatan untuk melakukan pengaturan. Karena yang dimaksud dengan kedaulatan atas wilayah laut adalah kewenangan yang dimiliki oleh negara di laut guna melaksanakan kewenangannya sebatas di dalam wilayah yang menjadi kekuasaanya. Hal inilah yang menjadi salah satu perbedaan dengan batas-batas darat. Batas-batas darat hanya mempengaruhi dua negara, sebagaimana batas tersebut hanya dapat memisahkan dua entitas politik yang berbatasan. Sedangkan batas laut dapat mempengaruhi beberapa negara karena batas-batas ini tidak hanya batas mengenai laut suatu negara tetapi juga merupakan suatu garis batas yang memisahkan antara laut bebas dengan wilayah laut dimana tiap negara punya kepentingan. Jadi, batas laut ini adalah suatu batas antara negara pantai dengan kepentingan-kepentingan lainnya di dunia. 77
Sebagai suatu kesatuan wilayah, laut memang memiliki dua aspek utama yaitu keamanan (security) dan kesejahteraan (prosperity). Penetapan batas-batas laut yang jelas merupakan hal sangat penting. Dalam rangka penegakan kedaulatan hukum di atas laut, penentuan batas terluar dari masing-masing rejim perairan merupakan unsur yang penting untuk menentukan adanya pelanggaran hukum dan peraturan perundang-undangan mana yang seharusnya diterapkan. Sebagaimana diketahui pada masing-masing rejim perairan laut berlaku hukum yang berbeda. 77
, Popi Tuhulele, dalam “Pengaruh Keputusan Mahkamah Internasional Dalam Sengketa Pulau Sipadan Dan Ligitan Terhadap Penetapan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia” ,Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2 Bulan April - Juni 2011, hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
Kepastian hukum atas batas laut suatu negara akan menjamin kejelasan dan kepastian yurisdiksi (jurisdictional clarity and certainty), memberikan manfaat multidimensi seperti fasilitasi pengelolaan lingkungan laut. Contohnya adalah bidang perikanan, pelayaran, eksplorasi, eksploitasi dasar laut dan tanah dibawahnya, pariwisata bahari, secara efektif dan berkesinambungan serta peningkatan keamanan maritim (maritim cecurity) serta mengurangi klaim maritim yang berpotensi menimbukan konflik antara negara tetangga. Selama belum ada pengaturan dan penyelesaian yang jelas mengenai garis batas laut (laut territorial, Zona Ekonomi Eksklusif, dan batas Landas Kontinen) maka pelaksanaan penegakan kedaulatan hukum dan hukum di laut masih akan menemui hambatan khususnya di daerahdaerah yang mengandung banyak sumber daya alam baik hayati maupun non-hayati. Pada wilayah laut teritorialnya, negara pantai mempunyai kedaulatan penuh. Selain membuat peraturan-peraturan, kedaulatan negara mempunyai akibat lain dalam hukum, yakni wewenang untuk melakukan penuntutan atas pelanggaran-pelanggaran ketentuan perundang-undangan umum negara pantai baik dibidang pidana maupun perdata. Wewenang untuk memaksakan pentaatan terhadap hukum demikian dinamakan yurisdiksi yang bisa berupa yurisdiksi kriminal dan perdata. 78 Sehubungan dengan kedaulatan, negara pantai mempunyai wewenang atas laut teritorialnya, wewenang tersebut antara lain: 79 a. Wewenang terhadap kapal-kapal asing;
78 79
Ibid, hlm. 7 Boer Mauna, Op.cit., hlm. 376-377
Universitas Sumatera Utara
b. Wewenang untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengawasan; c. Pengawasan di bidang duane, bea dan cukai; d. Hak untuk menangkap ikan, hak-hak untuk mendirikan zona pertahanan; e. Hak pengejaran seketika (hot pursuit). Terhadap laut wilayah ini, negara dapat melaksanakan yurisdiksinya, yang meliputi airnya, tanah di bawahnya, segala kekayaan alamnya maupun terhadap udara di atasnya. 80 Negara pantai (coastal state) mempunyai jurisdiksi penuh (full jurisdiction) atas setiap kapal asing yang melakukan lintasan di laut teritorialnya. Tetapi meskipun demikian hak lintas damai (innocent passage) bagi kapal-kapal asing tetap dijamin di laut teritorial ini. Pasal 17 Persetujuan UNCLOS 1982 menyatakan “Subject to this convention, ships of all States, whether coastal or landlocked, enjoy the right of innocent passage through the territorial sea”. Yurisdiksi penuh ini, sebagaimana disebutkan di atas tidak dapat diberlakukan terhadap kapal perang dan kapal-kapal pemerintahan asing yang menikmati kekebalan terhadap kedaulatan negara lain. Lintas
damai (innocent
passage) di laut teritorial terbuka bagi kapal semua negara
sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum
tentang perdamaian, ketertiban
atau
keamanan negara pantai. Negara-negara asing yang menggunakan hak ini harus mematuhi ketentuan antara lain 81 :
80 81
Lihat Pasal 2 ayat (2) Persetujuan UNCLOS 1982 Lihat Pasal 18 dan 19 Persetujuan UNCLOS 1982
Universitas Sumatera Utara
1. Melintasi
laut
tanpa memasuki perairan pedalaman
atau
singgah
di
pelabuhan-pelabuhannya; 2. Lintasan tersebut harus tidak terputus dan cepat, kecuali dalam keadaan terpaksa atau kesulitan; dan 3. Lintasan tersebut harus damai, artinya tidak membahayakan
ketertiban,
perdamaian negara pantai.
B. Asas Cabotage Sebagai Implementasi Hak Berdaulat Negara Pantai Asas Cabotage memberikan kekuatan bahwa penyelenggaraan pelayaran dalam negeri sepenuhnya hak negara pantai. Artinya, negara pantai berhak melarang kapal-kapal asing berlayar dan berdagang di sepanjang perairan negara tersebut. Penerapan Asas Cabotage didukung ketentuan Hukum Laut Intenasional, berkaitan dengan kedaulatan dan yurisdiksi negara pantai atas wilayah lautnya. Karena itu, kapal asing tidak boleh berada atau memasuki wilayah perairan tanpa izin dan alasan yang jelas. Kecuali untuk jalur kapal bantuan dan memiliki izin atau alasan yang sah tanpa mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban negara. Asas Cabotage berakar pada konsepsi bahwa kegiatan angkutan laut dalam negeri adalah bagian dan kekuatan strategis dalam mempertahankan kedaulatan negara, dengan demikian pelaksanaan asas Cabotage bukan semata-mata menyangkut masalah ekonomi atau proteksi ekonomi tetapi adalah menyangkut masalah kedaulatan negara. Dengan ketentuan yang sudah digariskan dalam Konvensi Hukum
Universitas Sumatera Utara
Laut 1982, maka negara pantai memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi wilayah lautnya untuk kepentingan negaranya.
1. Pengertian dan dasar filososfi asas Cabotage Asas cobotage merupakan salah satu dari asas yang terdapat dalam hukum laut (Maritim Law), terutama hukum pengangkutan laut. 82 Asas ini mengandung arti bahwa penyelenggaraan pelayaran dalam negeri adalah sepenuhnya hak negara pantai. Negara pantai berhak melarang kapal-kapal laut asing berlayar dan berdagang sepanjang pantai dalam wilayah perairan negara pantai yang bersangkutan. Asas ini sering diartikan juga sebagai pelayaran niaga nasional dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain dalam wilayah suatu negara. 83 Menurut Mochtar Kusumaatmadja, asas Cabotage ini diartikan sebagai asas atau prinsip yang menyatakan bahwa kegiatan pelayaran dalam wilayah perairan suatu negara hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal dari negara yang bersangkutan. Asas Cabotage ini juga merupakan asas yang diakui didalam hukum dan praktek pelayaran seluruh dunia serta merupakan penjelmaan kedaulatan suatu negara untuk mengurus dirinya sendiri, dalam hal ini pengangkutan dalam negeri (darat, laut dan udara), sehingga tidak dapat begitu saja dianggap sebagai proteksi, yaitu
82
Asas lain yang juga dikenal adalah asas Fair Share (asas pembagian muatan secara wajar) yairu bahwa kapal-kapal dalarn negeri alau kapal-kapal yang diaperasionalkan oleh perusahaanperusahaan dalarn negeri mempunyai hak untuk mengangkut bagian yang wajar dari muatan-muatan yang diangkut ke atau dari luar negeri. 83 M. Hussen Umar., Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di Indonesia. Buku 2, (Jakarta: Pusataka Sinar Harapan, 2001). hlm.13.
Universitas Sumatera Utara
perlindungan atau perlakuan istimewa yang kurang wajar bagi perusahaan domestik sehingga menimbulkan persaingan yang tidak sehat. 84 Banyak kalangan yang menilai pemberlakuan asas ini sebagai suatu tindakan proteksi yang memperlakukan istimewa bagi perusahaan domestik (nasional) sehingga dianggap menimbulkan persaingan yang tidak sehat (unfair competition), padahal ini merupakan upaya kebijakan yang dilakukan pemerintah suatu negara yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan industri dalam negeri. Disamping itu kekeliruan yang dilakukan pemerintah dalam menyerap arus globalisasi dan perdagangan bebas yang penerapannya kedalam kebijakan pembangunan
industri
nasional
seringkali
malahan
merugikan
keberadaan
perusahaan/industri dalam negeri. Padahal sebenarnya pemerintah harus senantiasa mengadakan penyesuaian dengan kondisi dalam negeri. Sama halnya dengan dunia angkutan laut, pembinaan dan dukungan pemerintah juga mutlak diperlukan untuk menjadikan angkutan laut nasional menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. 85 Hak Cabotage dalam kegiatan angkutan laut (pelayaran) sebenarnya oleh negara-negara maju pun pada era globalisasi dan perdagangan bebas ini masih tetap mempraktekkannya, misalnya oleh Amerika Serikat dimana berdasarkan Pasal 14 Shipping Act, pelayaran antra benua Amerika (Minland Unted States) dan kepulauan Hawaii hanya boleh dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pelayaran Amerika 84
Mochtar Kusumaatmadja dalam makalah “Pembinaan Pelayaran Nasional dalam Rangka Penegakan Wawasan Nusantara”, disampaikan pada Seminar tentang Pelayaran Naional, tanggal 19-20 Oktober 1994 di Kanindo Plaza, Jakarta, hlm.7 85 Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut, Perspektif Teori dan Praktek, (Medan:Pustaka Bangsa Pers,2005) hlm 22-23
Universitas Sumatera Utara
Serikat saja. 86 Apabila hak Cabotage itu masih berlaku di Amerika Serikat dan benarbenar dipraktekkan dan ditegakkan (enforced), sedangkan Amerika Serikat merupakan negara maju, hal itu lebih-lebih berlaku bagi Indonesia yang merupakan suatu negara kepuluan dimana perhubungan laut merupakan faktor integrasi wilayah dan bangsa yang penting dan dapat dikatakan bukan saja urat nadi bahkan jantung dari pada kehidupan bangsa. 87
2. Eksistensi asas Cabotage dalam Hukum Laut Internasional Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa Hukum Laut Internasional melalui Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan wewenang dan kedaulatan penuh kepada negara pantai dalam wilayah laut teritorialnya. Asas Cabotage merupakan bagian dari pengimplementasian kedaulatan tersebut kedalam suatu bentuk kebijakan negara pantai untuk membatasi kapal-kapal asing yang masuk ke wilayahnya, khususnya wilayah perairan pedalaman. Karena untuk wilayah teritorial lainnya seperti lintas damai dan zona tambahan negara wajib memberikan lintas damai bagi kapal asing, namun demikian dalam baas-batas yang sudah diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Banyak negara yang menggunakan azas Cabotage dan wawasan kebangsaan sangat kuat tercermin dalam kebijakan maritim mereka, 88 sebagai bentuk dari kedaulatan yang dimiliki olehnya dalam membangun perekonomian negara melalui 86
Mochtar Kusumaatmadja, Loc.Cit Ibid 88 http:// www.mappel.org/kajian-ilmiah-untuk-inpres-ii diakses pada tanggal 11 Mei 2012 87
Universitas Sumatera Utara
industri pelayaran sebagai kawasan yang memiliki teritorial di wilayah laut. Bagi negara-negara yang telah lebih dulu mapan di bidang maritim, tentu ini menjadi sesuatu hal yang sangat dipertahankan untuk lebih mengembangkan wawasan kebangsaan mereka disamping menjaga kedaulatan negara mereka sebagaimana yang telah di gariskan secara tegas didalam hukum internasional. Hukum laut internasional memberikan keleluasaan sepenuhnya kepada suatu negara pantai untuk mempertahankan serta mengelola sumber daya yang ada di wilayah laut teritorialnya secara mandiri. Jika kita tinjau dari sisi pertahanan dan keamanan suatu negara, maka armada angkutan dalam negeri suatu negara pantai dapat dimobilisasikan sebagai pendukung pertahanan negara di laut. Ini dapat dilakukan apabila negara dalam keadaan bahaya. Karena itu, sistem pelayaran yang kuat harus menjadi tujuan suatu negara pantai dengan memiliki kapal-kapal sendiri sebagai implementasi asas Cabotage secara utuh. Hal tersebut sesuai dengan dasar dan kepentingan utama penerapan asas Cabotage. Pertama, menjamin dan melindungi infrastruktur pembangunan kelautan negara pantai, terutama pada saat negara dalam keadaan darurat, dibandingkan jika infrastruktur itu dimiliki negara asing yang sewaktu-waktu semua itu dapat ditarik. Kedua, membangun armada niaga yang kuat dan memadai, mengisi kebutuhan angkutan laut dalam negeri, dan mendukung kegiatan ekonomi kelautan lainnya. Ketiga, mendukung kepentingan keamanan, pertahanan, dan ekonomi nasional. Keempat, armada pelayaran niaga menjadi bagian dari sistem pertahanan negara yang
Universitas Sumatera Utara
siap dimobilisasi saat negara membutuhkan. 89 Disamping itu penerapan Asas Cabotage pada pengangkutan laut adalah untuk mencegah atau mengurangi ketergantungan negara pantai terhadap pelayaran kapal-kapal asing. Memperlancar arus barang atau jasa dan manusia ke seluruh wilayah negara pantai secara luas dengan pelayanan maksimal, namun tetap dengan harga yang wajar, termasuk ke daerah-daerah terpencil. Hal positif lain yang dapat dirasakan bagi negara pantai adalah sebagai upaya penyedia kesempatan kerja bagi warga negaranya Kedaulatan negara atas laut dapat diartikan sebagai hak bagi negara untuk melakukan penguasaan dan pengelolaan atas laut guna dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Efektivitas kedaulatan negara di laut sangat tergantung kepada kemampuan dan kapasitas pemerintah dalam pemeliharaan dan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya di laut untuk selanjutnya mendukung aplikasi peran seluruh komponen bangsa dalam pengelolaan laut. . C. Sistem Pelayaran di Indonesia Penyelenggaraan suatu pelayaran nasional merupakan bagian dari sebuah sistem, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat Indonesia, bangsa dan negara, serta
memupuk dan
mengembangkan jiwa kebaharian dengan mengutamakan kepentingan umum dan
89
http://indomaritimeinstitute.org, diakses tanggal 7 Mei 2012
Universitas Sumatera Utara
kelestarian lingkungan hidup dengan memperhatikan koordinasi antara pusat dan daerah, dan yang tidak kalah penting untuk mempertahanan keamanan negara. Sistem pelayaran yang efisien dan terkelola dengan baik merupakan faktor yang sangat penting dalam persaingan ekonomi serta integritas nasional. Sebagai suatu negara
kesatuan yang terdiri atas ribuan kepulauan, perlu dimiliki visi dan misi kedepan untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan karakteristik yang unik dan spesifik tersebut. Dalam pelaksanaan terhadap sistem pelayaran nasional Indonesia yang baik akan menunjukkan pada negara-negara di dunia, bahwa bangsa indonesia adalah negara bahari yang kuat dan sejahtera. Adapun tujuan dari penyelenggaraan sistem pelayaran Indonesia adalah dengan tujuan 90: 1. memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan
dan
melindungi
angkutan
di
perairan
dalam
rangka
memperlancar kegiatan perekonomian nasional; 2. membina jiwa kebaharian; 3. menjunjung kedaulatan negara; 4. menciptakan daya saing dengan mengembangkan industri angkutan perairan nasional; 5. menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional; 6. memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara; dan 90
Lihat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
Universitas Sumatera Utara
7. meningkatkan ketahanan nasional. Dalam sistem pelayaran nasional Indonesia memuat empat unsur utama yakni angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim. 1. Angkutan perairan Pengaturan untuk bidang angkutan di perairan memuat prinsip pelaksanaan asas Cabotage dengan cara pemberdayaan angkutan laut nasional yang memberikan iklim kondusif guna memajukan industri angkutan di perairan, antara lain adanya kemudahan di bidang perpajakan, dan permodalan dalam pengadaan kapal serta adanya kontrak jangka panjang untuk angkutan. Dalam rangka pemberdayaan industri angkutan laut nasional, dalam sistem pelayaran Indonesia diatur pula mengenai hipotek kapal. Pengaturan ini merupakan salah satu upaya untuk meyakinkan kreditor bahwa kapal Indonesia dapat dijadikan agunan berdasarkan peraturan perundang-undangan, sehingga diharapkan perusahaan angkutan laut nasional akan mudah memperoleh dana untuk pengembangan armadanya. Angkutan di perairan, sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, memiliki peranan yang sangat penting dalam memperlancar roda perekonomian, memantapkan perwujudan wawasan nusantara, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antarbangsa. Angkutan di perairan memiliki fungsi yang strategis, yaitu menunjang kegiatan
Universitas Sumatera Utara
perdagangan dan perekonomian (ship follows the trade) serta merangsang pertumbuhan perekonomian dan wilayah (ship promotes the trade), sehingga angkutan di perairan berfungsi sebagai infrastruktur yang srategis bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Penyelenggaraan fungsi strategis tersebut dapat mendukung perwujudan wawasan nusantara, meningkatkan ekspor dan impor sehingga dapat meningkatkan penerimaan devisa negara, dan membuka kesempatan kerja, sehingga angkutan di perairan dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian,
dan
pengawasan.
Untuk
mencapai
tujuan
tersebut,
maka
penyelenggaraan angkutan di perairan dilaksanakan dengan cara: 1. memberlakukan azas Cabotage secara konsekuen dan konsisten agar perusahaan angkutan perairan nasional dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri; 2. mengembangkan angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil dengan pelayaran-perintis dan penugasan; 3. menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pemberdayaan dan kemandirian industri angkutan perairan nasional; 4. mengembangkan industri jasa terkait untuk menunjang kelancaran kegiatan angkutan di perairan; dan
Universitas Sumatera Utara
5. mengembangkan sistem informasi angkutan di perairan secara terpadu yang mengikutsertakan semua pihak terkait dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. 91 2. Kepelabuhanan Pelabuhan merupakan tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan. 92 Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang sangat penting dan strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan nasional, dan memperkukuh ketahanan nasional. Pembinaan pelabuhan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Aspek pengaturan mencakup perumusan dan penentuan kebijakan umum maupun teknis operasional. Aspek pengendalian mencakup pemberian pengarahan bimbingan dalam pembangunan dan pengoperasian
91
Lihat penjelasan Perturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan dalam Paragraf Umum 92 Lihat Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan
Universitas Sumatera Utara
pelabuhan. Sedangkan aspek pengawasan dilakukan terhadap penyelenggaraan kepelabuhanan. Pembinaan
kepelabuhanan
dilakukan
dalam
satu
kesatuan
Tatanan
Kepelabuhanan Nasional yang ditujukan untuk mewujudkan kelancaran, ketertiban, keamanan dan keselamatan pelayaran dalam pelayanan jasa kepelabuhanan, menjamin kepastian hukum dan kepastian usaha, mendorong profesionalisme pelaku ekonomi di pelabuhan, mengakomodasi teknologi angkutan, serta meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing dengan tetap mengutamakan pelayanan kepentingan umum. 93 3. Keselamatan dan keamanan pelayaran Keamanan dan Keselamatan Pelayaran merupakan faktor yang sangat penting untuk menunjang kelancaran transportasi laut dan mencegah terjadinya kecelakaan dimana penetapan alur pelayaran dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran melalui pemberian koridor bagi kapal-kapal berlayar melintasi perairan yang diikuti dengan penandaan bagi bahaya kenavigasian. Penyelenggaraan alur
pelayaran
yang
meliputi
kegiatan
program,
penataan,
pembangunan,
pengoperasian dan pemeliharaannya ditujukan untuk mampu memberikan pelayanan dan arahan kepada para pihak pengguna jasa transportasi laut untuk memperhatikan kapasitas dan kemampuan alur dikaitkan dengan bobot kapal yang akan melalui alur tersebut agar dapat berlayar dengan aman, lancar dan nyaman.
93
Lihat penjelasan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan
Universitas Sumatera Utara
Pengaturan pemanfaatan perairan bagi transportasi dimaksudkan untuk menetapkan alur pelayaran yang ada di laut, sungai, danau serta melakukan survey hidrografi guna pemutakhiran data kondisi perairan untuk kepentingan keselamatan berlayar. Tujun penjelasan tentang keselamatan pelayaran disamping menegaskan konsekuensi untuk menindaklanjuti hasil konvensi IMO terhadap Pemerintah tentang keselamatan pelayaran sekaligus mensosialisaikan tentang tugas dan peran Direktorat Kenavigasian Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dimaksudkan juga untuk memberikan masukan bagi upaya mencari solusi kedepan yang diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan yang timbul. Keselamatan maritim merupakan suatu keadaan yang menjamin keselamatan berbagai kegiatan dilaut termasuk kegiatan pelayaran, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dan hayati serta pelestarian lingkungan hidup. Untuk itu diperlukan tata kelautan dan penegakkan hukum dilaut dalam menjamin keselamatan, keamanan, ketertiban dan perlindungan lingkungan laut agar tetap bersih dan lestari guna menunjang kelancaran lalu lintas pelayaran. Konsep kriteria dan pengaturan di bidang kelautan mempunyai implikasi yang luas dan harus dipertimbangkan dalam pemanfaatan ruang laut Nasional. 94 Bidang keselamatan dan keamanan pelayaran diharapkan mengantisipasi kemajuan teknologi dengan mengacu pada konvensi internasional yang cenderung menggunakan peralatan mutakhir pada sarana dan prasarana keselamatan pelayaran, di samping mengakomodasi ketentuan mengenai
94
http://gedeparwata.blogspot.com/, diakses tanggal 14 Mei 2012
Universitas Sumatera Utara
sistem keamanan pelayaran yang termuat dalam “International Ship and Port Facility Security Code” (ISPS Code) 95 4. Perlindungan lingkungan maritim Perlindungan Lingkungan Maritim merupakan setiap upaya untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan perairan yang bersumber dari kegiatan yang terkait dengan pelayaran. 96 Angkutan laut sebagai salah satu moda transportasi, selain memiliki peran sebagai sarana pengangkutan yang secara nasional dapat menjangkau seluruh wilayah melalui perairan sehingga dapat menunjang, mendorong, dan menggerakan pertumbuhan daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar dalam upaya meningkatkan dan memeratakan pembangunan dan hasilnya, namun juga memiliki potensi terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup di laut, baik yang diakibatkana oleh pengoperasian kapal maupun dari kegiatan kepelabuhanan. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan angkutan laut, baik nasional maupun internasional, maka pemanfaatan laut untuk lalu lintas pelayaran semakin meningkat, khususnya dalam kegiatan pengangkutan barang-barang yang berpotensi mencemari dan/atau merusak lingkungan hidup di laut, yang disebabkan oleh minyak, bahan cair berbahaya dan beracun dalam bentuk curah, maupun bentuk kemasan
95
ISPS Code adalah Internatonal Ship and Port Facility Security Code (Koda Internasional tentang Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan) yang tertuang dalam Standar-standar keamanan maritim Internasional terbaru sebagaimana dimaksud ISPS Code 2002. 96 Lihat pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim
Universitas Sumatera Utara
dengan jumlah yang besar, dan potensi pencemaran dari pengoperasian kapal-kapal motor yang tidak dapat dihindari, seperti minyak kotor dan gas buang dari permesinan kapal serta limbah kotoran dan sampah serta kecelakaan kapal, seperti tubrukan, kandas, dan kebocoran. Untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup akibat pengoperasian kapal maupun kegiatan kepelabuhanan dan sebagai wujud dari penyelenggaraan transportasi yang berwawasan lingkungan, maka pemerintah Indonesia menganggap perlu untuk memasukkan perlindungan lingkungan maritim sebagai bagian dari kegiatan pelayaran yang merupakan satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, serta keselamatan dan keamanan di perairan. Perlindungan lingkungan maritim meliputi kegiatan 97: 1. pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari pengoperasian kapal; 2. pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari kegiatan kepelabuhanan serta industri pembangunan dan/atau pengerjaan kapal; 3. pembuangan limbah di perairan; dan 4. sanksi administratif.
97
Lihat penjelasan Lingkungan Maritim
Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2010 tentang Perlindungan
Universitas Sumatera Utara
D. Asas Cabotage Dalam Perundang-Undangan Nasional Untuk mengetahui kewenangan Indonesia sebagai negara pantai dalam menegakkan hukum di wilayah laut di bawah kedaulatannya, maka penting untuk diketahui mengenai yurisdiksi yang merepresentasikan hak dan kewenangan negara tersebut atas penerapan hukum nasionalnya. Penegakan hukum di wilayah laut Indonesia menggunakan yurisdiski yang berasaskan teritorial. Asas teritorial menetapkan bahwa yurisdiksi negara berlaku bagi orang, perbuatan, dan benda yang ada di wilayahnya. Berlakunya yurisdiksi teritorial berdasarkan kedaulatan negara yang bersangkutan atas wilayahnya. Yuridiksi teritorial juga diartikan sebagai kekuasaan negara secara geografis yang menggambarkan bagian permukaan bumi dan ruang angkasa di atasnya serta tanah di bawahnya yang merupakan kedaulatan atas wilayahnya baik meliputi orang maupun benda di dalamnya. 98 Dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia, asas Cabotage diatur dalam ketentuan mengenai Pelayaran. Indonesia sendiri mempunyai peraturan nasional di bidang pelayaran sejak tahun 1992, yaitu Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang ini, dalam bidang pelayaran Indonesia masih mengacu pada aturan-aturan yang dibuat pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Dengan mulai diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 1992 tentang Pelayaran ini, dalam ketentuannya mencabut dan tidak memberlakukan lagi beberapa peraturan produk pemerintahan kolonial Belanda
98
Farida Puspasari, “Penegakan Hukum di Wilayah Laut Indonesia”, http://www. Scribd.com diakses tanggal 7 Mei 2012
Universitas Sumatera Utara
tersebut yang mengatur tentang pelayaran. 99 Dalam ketentuan Undang-Undang ini asas Cabotage sudah mulai diatur walaupun masih belum tegas dan ketat, sebab dalam ketentuannya masih dibuka peluang adanya ketentuan pengecualian bahwa dalam keadaan tertentu dan persyaratan tertentu, pemerintah dapat menetapkan penggunaan kapal berbendera asing untuk dioperasikan didalam negeri. 100 Yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah apabila belum terpenuhinya kebutuhan ruang kapal bagi angkutan laut dalam negeri, sedangkan persyaratan tertentu adalah bahwa kapal berbendera asing tersebut harus dioperasikan oleh badan hukum Indonesia atau perusahaan pelayaran nasional Indonesia. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 belum memberikan suatu kepastian berlakunya asas Cabotage secara konsekuaen, kondisi seperti ini sebagai salah satu penyebab kapal-kapal berbendera asing menguasai pangsa muatan angkutan dalam negeri. Keadaan ini terus berlanjut sampai dengan tahun 2005, dimana dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Dalam amanatnya Presiden menginstruksi untuk menerapkan asas Cabotage
secara konsekuen dan merumuskan kebijakan serta
mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai , fungsi dan kewenangan 99
Produk hukum kolonial tersebut adalah : Indische scheepvaartswet, stb. 1936 No.700. Loodsdienst ordonnantie, stb. 1927 No.210. Scheep meetings ordonnantie,stb 1927 No.210. Binnen scheepen ordonnantie,stb 1927 No.289. Zeebrievem en scheepspassen ordonnantie, stb 1935 No.492. Schecpeen ordonnantie, stb.1935 No.66 Bakengeld ordonnantie, stb 1935 No.468 100 Lihat Pasal 73 Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran penjelasannya 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
serta
Universitas Sumatera Utara
masing-masing guna memberdayakan industri pelayaran nasional. Instruksi Presiden ini ditujukan kepada 13 Kementrian 101 dan para Gubernur/ Bupati/ Walikota di Seluruh Indonesia. Instruksi Presiden ini berlaku sejak ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 28 Maret 2005. Dalam perjalanannya Menteri Perhubungan mengeluarkan peraturan untuk menindaklanjuti Instruksi Presiden No.5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Indonesia dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 71 Tahun 2005 tentang Pengangkutan Barang/Muatan Antar Pelabuhan Laut Dalam Negeri. Ketentuan ini menegaskan pelaksanaan pengangkutan seluruh barang/muatan dilaksanakan pada saat peraturan Menteri ini ditetapkan, kecuali pengangkutan barang/muatan terhadap pengangkutan minyak kelapa sawit, bahan galian tambang (mine and quarry), biji-bijian lainnya (other grains), sayur, buah-buahan dan ikan segar (fresh product), pengangkutan muatan cair dan bahan kimia lainnya dan bijian hasil pertanian,
pengangkutan minyak dan gas bumi, pengangkutan batu bara,
pengangkutan penunjang kegiatan usaha hulu dan hilir minyak dan gas bumi. Bagi pengangkutan barang / muatan antarpelabuhan laut di dalam negeri yang melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan oleh peraturan menteri tersebut, akan dikenakan
101
Dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan pemberdayaan industri pelayaran naional, presiden memberikan instruksinya kepada : 1. Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian; 2. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasioanal /Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; 3. Menteri Perhubungan; 4. Menteri Keuangan; 5. Menteri Dalam Negeri; 6. Menteri Perindusrian; 7. Menteri Perdagangan; 8. Menteri Kehutanan; 9. Menteri Pendidikan Nasional; 10. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; 11. Menteri Kelautan dan Perikanan; 12. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara; 13. Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
Universitas Sumatera Utara
sanksi berupa pencabutan izin usaha angkutan laut/izin operasi angkutan laut khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 102 Saat ini aturan tentang pemberlakuan asas Cabotage semakin dipertegas dengan di undangkannya Undang-Undang No. 17 tentang Pelayaran beserta aturan turunan lainnya baik itu peraturan pemerintah maupun peraturan menteri terkait.
1. Dalam UU No. 17 Tahun 2008
Atas pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan penyelenggaraan pelayaran saat ini, 103 maka pada tanggal 7 Mei 2008 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No.17 Tahun 2008 menggantikan Undang-Undang No.21 Tahun 1992. UndangUndang baru dimaksudkan antara lain untuk mendorong terciptanya persaingan usaha yang lebih sehat, karena undang-undang ini membawa perubahan baru dengan materi terpenting antara lain adalah pengetatan asas Cabotage, pemisahan yang tegas antara fungsi operator dan regulator di pelabuhan, serta pembentukan penjagaan laut dan pantai. Disebutkan sebagai pengetatan asas Cabotage karena peraturan yang ada 102
Dalam Pasal 3 KM 71 tahun 2005 disebutkan untuk pengangkutan barang/muatan sebagai berikut diberi jangka waktu untuk pemberlakuannya sbb: 1. pengangkutan minyak kelapa sawit, bahan galian tambang (mine and quarry), biji-bijian lainnya (other grains), sayur, buah-buahan dan ikan segar (fresh product) dilaksanakan selambat-lambatnya1 Januari 2008; 2. pengangkutan muatan cair dan bahan kimia lainnya dan bijian hasil pertanian, dilaksanakan selambat-lambatnya 1 Januari 2009; 3. pengangkutan minyak dan gas bumi, dilaksanakan selambatlambatnya 1 Januari 2010; 4.pengangkutan batu bara, dilaksanakan pada saat berakhirnya masa kontrak dan selambat-lambatnya 1 Januari 2010; 5. pengangkutan penunjang kegiatan usaha hulu dan hilir minyak dan gas bumi, dilaksanakan selambat-lambatnya 1 Januari 2011. 103 Lihat konsideran Menimbang point e Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya belum secara tegas mengatur ketentuan tentang pemberlakuan asas Cabotage. Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 ketentuan mengenai asas Cabotage diatur dalam bab mengenai angkutan di perairan, pada bagian angkutan laut disebutkan bahwa jenis pengangkutan terdiri dari angkutan laut dalam negeri, angkutan laut luar negeri, angkutan laut khusus dan angkutan laut pelayaranrakyat. 104 Pemberlakuan asas Cabotage di pertegas dengan ketentuan bahwa kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia. Ketentuan ini menutup kemungkinan bagi kapal asing untuk melakukan kegiatan angkutan laut dalam negeri, dengan demikian kapal asing
dilarang
mengangkut
penumpang
dan/atau
barang
antarpulau
atau
antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia. 105 Ketentuan tentang penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan angkutan laut nasional dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan asas Cabotage guna melindungi kedaulatan negara (sovereignity) dan mendukung perwujudan Wawasan Nusantara serta memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional dalam memperoleh pangsa muatan. 106 Dalam pengetatan pemberlakuan asas Cabotage ini, selain sanksi administratif yang diatur dalam Pasal
104
Lihat Pasal 7 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Lihat Pasal 8 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran 106 Lihat penjelesan Pasal 8 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran 105
Universitas Sumatera Utara
59, 107 juga terlihat dalam bab tentang ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 284 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, disebutkan bahwa ‘Setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”. Ketentuan yang mengatur tentang angkutan laut luar negeri menyebutkan bahwa kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing, kegiatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal asing. Ketentuan ini dimaksud agar perusahaan angkutan laut nasional memperoleh pangsa muatan yang wajar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 108 Dalam memperoleh pangsa muatan yang wajar bagi angkutan laut nasional maksudnya adalah bahwa wajar tidak selalu dalam arti memperoleh bagian yang sama (equal share), tetapi memperoleh pangsa sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, misalnya dalam perjanjian bilateral, konvensi
107
Ketentuan Pasal 59 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyebutkan bahwa : 1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (8), Pasal 28 ayat (4) atau ayat (6), atau Pasal 33 dapat dikenakan sanksi administratif berupa:a. peringatan;b. denda administratif;c. pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; atau d. pencabutan izin atau pencabutan sertifikat. 2. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 11 ayat (4)atau Pasal 13 ayat (6) dapat dikenakan sanksi administratif berupa tidak diberikan pelayanan jasa kepelabuhanan. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 108 Lihat Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
Universitas Sumatera Utara
internasional yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dan peraturan lainnya. Khusus untuk barang milik Pemerintah perlu diupayakan agar pengangkutannya dilaksanakan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Dalam hal ini perusahaan angkutan laut nasional dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan laut asing untuk menetapkan perjanjian perolehan pangsa muatan (fair share agreement). 109 Pemberlakuan asas Cabotage sebagaimana yang di tentukan dalam UndangUndang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran tidak langsung diberlakukan pada saat diundangkan oleh pemerintah. Berdasarkan ketentuan bab peralihan pada Pasal 341 di sebutkan bahwa “Kapal asing yang saat ini masih melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri tetap dapat melakukan kegiatannya paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku”, dengan demikian, asas Cabotage berlaku secara keseluruhan sejak tanggal 7 Mei 2011. Adanya ketentuan ini diharapkan perusahaan pengangkutan laut nasional dapat berbenah untuk mempersiapkan segala sesuatunya dalam melayani pangsa pasar yang ada di dalam negeri, disamping itu juga bagi perusahaan angkutan laut luar negeri dapat menghabisi masa kontraknya dengan perusahaan-perusahaan yang pangsa pasarnya ada didalam negeri.
109
Lihat penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
Universitas Sumatera Utara
2. Dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan dan perubahannya Sebagaimana di persyaratkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dalam bab tentang angkutan di perairan akan dibuat aturan khusus dalam peraturan pemerintah. Maka pada tanggal 1 Februari 2010 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 diundangkan oleh pemerintah. Ketentuan mengenai asas Cabotage lebih tekhnis, detail dan dipertegas lagi dalam peraturan pemerintah ini, dimana kegiatan angkutan laut dalam negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dilaksanakan untuk mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang antarpelabuhan laut serta kegiatan lainnya yang menggunakan kapal di wilayah perairan Indonesia, dalam kegiatan ini dilarang menggunakan kapal asing, bagi yang melanggar akan diberikan sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus. 110 Yang dimaksud dengan kegiatan lainnya adalah antara lain kegiatan penundaan kapal, pengerukan, untuk kegiatan salvage dan/atau pekerjaan bawah air, dan pengangkutan penunjang kegiatan usaha hulu dan hilir minyak dan gas bumi. 111 Dalam pengaturan bab tentang angkutan luar negeri, peraturan pemerintah ini menggariskan bahwa kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal asing. Kegiatan ini 110 111
Lihat Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan Lihat penjelasan Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2010 tentang Angkutan di
Perairan
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dari pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ke pelabuhan luar negeri ataupun pelabuhan luar negeri ke pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. Dengan demikian perusahaan angkutan laut asing hanya dapat melakukan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan dilarang melakukan kegiatan angkutan laut antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia. Dalam melaksanakan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri, perusahaan angkutan laut asing wajib menunjuk perusahaan nasional sebagai agen umum 112, disamping itu juga angkutan laut asing diwajibkan untuk mempunyai perwakilan angkutan laut asing di Indonesia. 113 Angkutan di perairan memiliki fungsi yang sangat strategis, yaitu menunjang kegiatan perdagangan dan perekonomian (ship follows the trade) serta merangsang pertumbuhan perekonomian dan wilayah (ship promotes the trade), sehingga angkutan di perairan berfungsi sebagai infrastruktur yang srategis bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Terselenggaranya fungsi strategis tersebut dapat mendukung perwujudan wawasan nusantara, meningkatkan ekspor dan impor sehingga dapat meningkatkan penerimaan devisa negara, dan membuka kesempatan kerja, sehingga angkutan di perairan dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya
112 113
Lihat Pasal 23 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan Lihat Pasal 35 dan 36 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2010 tentang Angkutan di
Perairan
Universitas Sumatera Utara
meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Dalam mencapai tujuan itu, maka penyelenggaraan angkutan di perairan dilaksanakan dengan cara 114: 1. memberlakukan asas Cabotage secara konsekuen dan konsisten agar perusahaan angkutan perairan nasional dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri; 2. mengembangkan angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil dengan pelayaran-perintis dan penugasan; 3. menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pemberdayaan dan kemandirian industri angkutan perairan nasional; 4. mengembangkan industri jasa terkait untuk menunjang kelancaran kegiatan angkutan di perairan; dan 5. mengembangkan sistem informasi angkutan di perairan secara terpadu yang mengikutsertakan semua pihak terkait dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pada saat asas Cabotage akan diberlakukan sepenuhnya pada tanggal 7 Mei 2011, banyak terjadi pro dan kontra dari berbagai pihak tentang peraturan pemerintah ini terutama mengenai ketersediaan kapal nasional diluar kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang. Dengan pertimbangan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan belum mengatur mengenai penggunaan kapal asing untuk kegiatan lain selain kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri serta pertimbangan untuk
114
Lihat penjelasan bab umum Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2010 tentang Angkutan
di Perairan
Universitas Sumatera Utara
melakukan kegiatan lain selain kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri diperlukan kapal tertentu yang berbendera asing dalam rangka menunjang kelangsungan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, kegiatan pengerukan, kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air 115, maka sebulan sebelum pemberlakuan asas Cabotage tepatnya pada tanggal 4 April 2011 dilakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2011 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan. Perubahan terhadap aturan ini selain menghapus ketentuan yang ada di Pasal 5 ayat (3) dan (4) serta menghapus penjelasan Pasal 5 116, juga menambahkan satu pasal dalam bab tentang ketentuan lain-lain, yaitu pasal 206a yang berbunyi : (1) Kapal asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri di wilayah perairan Indonesia sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia atau belum cukup tersedia. (2) Kapal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin dari Menteri. (3) Kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: a. survey minyak dan gas bumi; b. pengeboran; c. konstruksi lepas pantai; 115
Lihat konsideran menimbang Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2011 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan. 116
Pasal 5 ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan yang dihapus berbunyi : (3) Kegiatan lainnya yang menggunakan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang dilakukan oleh kapal asing. (4) Kapal asing yang melakukan kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus.
Universitas Sumatera Utara
d. penunjang operasi lepas pantai; e. pengerukan; dan f. salvage dan pekerjaan bawah air. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pemerintah memandang perlu untuk mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan karena ketersediaan kapal sebagaimana diatur dalam Pasal 206a belum dapat dipenuhi dari kapal yang berbendera Indonesia, karena pengadaan kapal tersebut membutuhkan investasi yang cukup banyak, berteknologi tinggi, dan jumlah kapal serta tenaga ahli yang mampu mengoperasikan kapal tersebut sangat terbatas, sedangkan penggunaan kapal tersebut bersifat global (global market) dan mobile serta waktu penggunaan yang singkat dan tidak berkelanjutan. Penggunaan kapal berbendera asing tersebut sangat diperlukan antara lain untuk menunjang kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi lepas pantai yang belum dapat dipenuhi oleh kapal yang berbendera Indonesia sehingga apabila tidak diatur penggunaannya akan mengganggu ketahanan energi nasional yang berdampak bagi perekonomian Indonesia 117.
117
Lihat penjelasan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2011 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan
Universitas Sumatera Utara
3. Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Untuk mendukung pelaksanaan asas Cabotage yang sudah di atur dalam Undang-Undang dan peraturan pemerintah diatas, dengan pertimbangan pelaksanaan Pasal 206a Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2011 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan, maka pada tanggal 18 April 2011 menteri perhubungan mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 48 Tahun 2011 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Izin Penggunaan Kapal Asing
Untuk Kegiatan Lain yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut
Penumpang dan/atau Barang dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri. Peraturan ini memuat 15 pasal dan 2 lampiran. Dalam aturan mengenai pengetatan pemberlakuan asas Cabotage dalam hal operasional kapal asing ditentukan bahwa kapal asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri di wilayah perairan Indonesia sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia atau belum cukup tersedia. 118 Kapal asing tersebut dalam melaksanakan kegiatannya harus mendapatkan izin dari menteri. Secara umum peraturan ini mengatur tentang tata cara perizinan bagi kapal asing yang melakukan kegiatan diluar kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan dalam negeri, secara teknis hal ini menjadi bagian untuk menertibkan administrasi bagi kapal asing yang melakukan kegiatan tersebut. 118
Lihat Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan No. 48 Tahun 2011 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Izin Penggunaan Kapal Asing Untuk Kegiatan Lain yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut Penumpang dan/atau Barang dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri
Universitas Sumatera Utara
Disamping itu juga bagi kementrian perhubungan dapat memantau pergerakan kapal asing yang beroperasi di perairan Indonesia serta evaluasi dapat dilakukan untuk mengetahui kapal berbendera Indonesia yang belum tersedia atau belum cukup tersedia bagi kegiatan tersebut dengan mengikut serta dengan instansi terkait atau asosiasi penyedia jasa dan pengguna jasa. 119 Hal penting lain yang diatur dalam peraturan menteri ini adalah mengenai pembatasan jangka waktu beroperasinya
kapal asing dalam melakukan kegiatan
diluar kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan dalam negeri, dalam ketentuan Pasal 12 Peraturan Menteri Perhubungan No. 48 Tahun 2011 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Izin Penggunaan Kapal Asing
Untuk Kegiatan Lain yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut
Penumpang dan/atau Barang dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri menyebutkan bahwa
“kapal asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak
termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri di wilayah perairan Indonesia, dalam jangka waktu sebagaimana dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini” 120. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan pada waktu yang sudah dibatasi bagi kapal asing tersebut, angkutan laut nasional sudah siap untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang diatur dalam peraturan menteri ini. 119
Lihat Pasal 13 Peraturan Menteri Perhubungan No. 48 Tahun 2011 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Izin Penggunaan Kapal Asing Untuk Kegiatan Lain yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut Penumpang dan/atau Barang dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri 120 Lihat lampiran II Peraturan Menteri Perhubungan No. 48 Tahun 2011 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Izin Penggunaan Kapal Asing Untuk Kegiatan Lain yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut Penumpang dan/atau Barang dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri
Universitas Sumatera Utara