Penerapan Asurans Syariah untuk Mewujudkan Ethical Banking di Perbankan Syariah: Gagasan dan Tantangan* oleh Dewi Fatmawati, M.Ec. Rijadh Djatu Winardi, M.Sc., CFE. Mahfud Sholihin, Ph.D. Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
Abstrak Ethical banking adalah praktik perbankan yang memperhatikan dampak investasi dan pinjaman terhadap masyarakat dan lingkungan. Praktik perbankan ini beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, tanggung jawab, akuntabilitas dan pembangunan berkesinambungan. Bagi bank syariah konsep ethical banking adalah label yang melekat pada mereka. Karena identitas syariah secara langsung juga mencakup konsep etika. Taat syariah berarti harus menjunjung etika. Label etis bagi perbankan syariah ini tentunya semestinya dikaitkan dengan praktik bisnis yang dilaksanakan. Label ini mengharuskan perbankan syariah untuk meyakinkan nasabah mereka mengenai keetisan bisnis mereka. Sudut pandang masyarakat telah beralih dari ‘trust everything and audit nothing ke trust nothing and audit everything’ (Kasim et.al, 2013). Oleh karena itu konsep audit mengenai keetisan perbankan syariah sangatlah penting. Dengan kata lain, syar’i atau tidaknya dan etis tidaknya sebuah perbankan syariah harus dipastikan karena masyarakat semakin skeptis pada label syariah dan etis. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan konsep asurans/jaminan syariah yang seharusnya ada dalam praktik perbankan syariah. Dimulai dari pembahasan konsep etika dalam bisnis syariah, konsep asurans syariah, dan terakhir akan dibahas mengenai tantangan penerapan asurans syariah di Indonesia. Kata kunci: ethical banking, perbankan syariah, asurans syariah, audit syariah, reviu syariah
*Artikel ini merupakan salah satu artikel dalam Buku Pemikiran Etika dalam Ekonomika dan Bisnis: Pengajaran dan Implikasi, yang diterbitkan oleh Beta Offset Yogyakarta kerjasama dengan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM 1
A. Pendahuluan Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat Muslim untuk mengamalkan ajaran agama di dalam seluruh aspek kehidupan, bisnis dengan label syariah atau Islam pun makin berkembang. Dimulai dengan maraknya berdiri bank-bank umumsyariah sebagai alternatif dari bank konvensional pasca krisis moneter 19971, kini berkembang jenis bisnis Islam yang lain seperti asuransi syariah, hotel syariah, travel syariah dan masih banyak lainnya termasuk bisnis makanan dan minuman halal. Namun demikian, tidak sedikit yang meragukan kesyariahan bisnis-bisnis tersebut. Bahkan sebagian menuding bahwa label Islam atau syariah yang disematkan pada produk atau jasa tersebut tidak lain hanyalah sebagai bagian dari strategi pemasaran untuk menjaring konsumen Muslim yang merupakan populasi terbesar di Indonesia. Terlebih lagi, persaingan bisnis yang semakin sengit dapat menjerumuskan para pelaku bisnis syariah untuk lebih fokus terhadap pencapaian laba maksimal dan mengesampingkan asas ketaatan terhadap prinsip-prinsip dan etika Islami. Sebagai sebuah bisnis yang menghimpun dan mengelola dana dari masyarakat, menjadi bisnis yang benar-benar syar’i dan etis adalah sebuah keharusan dan bukan pilihan bagi lembaga keuangan syariah (LKS) seperti perbankan syariah (Ahmad, 2011). Islam sangat menjunjung tinggi etika sehingga label syariah yang melekat pada LKS sudah seharusnya membuat bisnis yang etis merupakan identitas bagi mereka. Dalam Islam, padanan istilah yang dekat dengan etika adalah akhlak. Akhak yang baik merupakan implementasi dari nilai-nilai Islam. Bisnis dengan identitas syariah juga harus menunjukan nilai-nilai etika Islami dalam operasional mereka. Dengan demikian praktik bisnis perbankan syariah seharusnya menjadi sebuah praktik ethical banking (Wilson, 2005). Untuk memastikan penerapan nilai-nilai Islam termasuk etika Islami dalam bisnis perbankan syariah mutlak diperlukan sebuah sistem penjaminan (asurans) yang dilakukan oleh pihak independen baik dari internal maupun eksternal bank syariah. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan konsep asurans syariah yang seharusnya ada dalam praktik perbankan syariah. Dimulai dari pembahasan konsep etika dalam bisnis syariah, konsep asurans syariah, dan terakhir akan dibahas mengenai tantangan penerapan asurans syariah di Indonesia.
B. Identitas Etis Perbankan Syariah Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat kebiasaan, kebiasaan ini bisa baik maupun buruk. Sedangkan dalam Islam, etika sering dikaitkan dengan kata akhlak -bentuk jamak dari khuluk- yang berarti perangai, tabiat, sikap, perilaku, watak, budi pekerti. Ali (2004) dan Alma (2003) menyatakan bahwa letak perbedaan antara etika dan akhlak adalah etika merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik atau buruk, dan ukuran yang dipergunakannya adalah akal pikiran. Sedangkan akhlak ialah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran dari Allah dan Rasul sehingga etis tidaknya suatu perbuatan ditentukan oleh aturan yang sudah ada dalam sumber hukum Islam yaitu Alquran dan Hadits. Oleh karena itu, dipandang dari sumbernya, 1
Tercatat terdapat 10 Bank Umum Syariah yang berdiri paska krisis moneter tahun 1997. Sebelum itu telah berdiri Bank Muamalat pada tahun 1991 yang merupakan Bank Umum Syariah pertama di Indonesia.
2
akhlak Islami bersifat tetap dan berlaku selama-lamanya, sedangkan etika belaku selama masa tertentu di suatu tempat tertentu. Konsekuensinya, akhlak Islami bersifat mutlak, sedang etika besifat relatif (nisbi). Dalam Islam diajarkan prinsip-prinsip dalam menjalankan bisnis agar sesuai dengan tujuan penetapan hukum Islam (maqashid syariah). Tujuan hukum Islam ini adalah dalam rangka mencapai kemaslahatan atau kebaikan dan kesejahteraan bagi umat manusia baik di dunia maupun akhirat. Hal ini dilakukan dengan memelihara kebutuhan dharuriat (primer) mereka dan menyempurnakan kebutuhan hajiyat (sekunder) dan tahsiniat (tersier). Oleh karena itu, ajaran dalam hukum Islam tidak hanya terbatas pada petunjuk dalam melaksanakan ibadah mahdoh (hubungan antara makhluk dan penciptanya) tetapi juga mencakup pedoman dalam berinteraksi (mu’amalah) dengan sesama manusia dan alam sekitar. Rice (1999) menyatakan bahwa Islam seringkali dipahami secara sempit dan keliru dalam penafsiran konsep-konsepnya. Padahal ajaran Islam sangat luas meliputi juga aspek-aspek sistem sosial-ekonomi secara menyeluruh tidak terbatas pada aspek ibadah. Banyak sekali pembahasan Islam tentang etika dalam melakukan kegiatan ekonomi termasuk jual-beli dan utang-piutang. Untuk menerapkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam konteks bisnis perbankan syariah, Haniffa dan Hudaib (2007) telah mengemukakan sedikitnya lima hal yang menjadi identitas etis (ethical identity) perbankan syariah. Identitas inilah yang membedakan bank syariah dengan praktik bank umum (konvensional). Kelima identitas tersebut adalah: 1. Berlandaskan filosofi dan nilai-nilai Islam Prinsip-prinsip utama dalam Islam meliputi tauhid, keadilan dan khilafah (Rice, 1999; Uddin, 2003). Nilai-nilai ini harus dipahami dan dijadikan pedoman agar bisnis yang dijalankan dapat sesuai aturan yang digariskan sesuai ketentuan Allah dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga kehadiran bisnis tersebut dapat menjadi perantara dalam mewujudkan kemaslahatan umat manusia di dunia maupun di akhirat kelak. Tauhid Tauhid merupakan landasan utama dalam Islam dan dapat terbagi menjadi tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah. Tauhid uluhiyah adalah keyakinan bahwa Allah merupakan pencipta tunggal alam semesta ini dan Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu di muka bumi. Dia jugalah pemilik semua yang ada di langit dan di bumi termasuk harta benda. Manusia hanya menerima titipan pengelolaan harta agar harta tersebut dipergunakan sebaik mungkin untuk kemaslahatan masyarakat banyak. Sedangkan tauhid rububiyah merupakan keyakinan bahwa Allah yang menentukan dan membagi rejeki kepada setiap manusia di muka bumi ini. Allah dapat memberi rejeki yang banyak dan berlebih kepada seseorang, sedangkan orang lain bisa jadi hanya mendapat rejeki yang cukup atau bahkan kurang. Hal ini Diaa lakukan sesuai kemauan dan kehendakNya dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat menghalanginya. Tugas manusia adalah berdoa dan berusaha dalam rangka mencari dan menjemput rejeki Allah tersebut. Prinsip tauhid juga mengandung pengertian bahwa semua manusia adalah sama, diciptakan oleh tuhan yang Maha Esa dari tanah liat. Mereka saling bersaudara sehingga harus saling menghormati dan menjaga antara yang satu dengan yang lain. 3
Keadilan Prinsip keadilan ini berkaitan dengan pengakuan atas hak dan kewajiban yang sama bagi setiap orang. Islam sangat melarang praktek perbudakan dan segala bentuk eksploitasi dan diskriminasi terhadap kaum lemah oleh orang yang lebih kuat atau berkuasa. Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, pemerolehan kekayaan dengan cara yang produktif melalui aktivitas bisnis maupun aktivitas lainnya menjadi mutlak diperlukan. Dan untuk menjaga hak masing-masing individu dalam melakukan bisnis atau transaksi, setiap orang tidak diperbolehkan untuk berbohong, berbuat curang atau melakukan hal buruk lainnya yang dapat merugikan orang lain. Mereka harus menepati janji, menjunjung tinggi segala komitmen yang telah dibuat, dan memberikan hak orang lain tanpa mengurangi sedikit pun. Khilafah Khilafah mengandung pengertian bahwa manusia diciptakan dan ditempatkan di bumi untuk menjadi khalifatullah atau wakil Allah yang mempunyai tugas untuk memakmurkan dan mengambil manfaat segala apa yang ada di dalamnya. Tidak dibenarkan bagi manusia untuk membuat kerusakan di muka bumi, yang pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai bencana bagi manusia itu sendiri. Oleh karena itu, manusia diharuskan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memanfaatkan segala sumber daya tanpa merusak apa yang ada di dalamnya. Hal ini dilakukan dalam rangka mencapai kemakmuran dan kebaikan untuk seluruh umat manusia. Konsep ini sangat relevan dengan bisnis termasuk perbankan syariah, dimana bisnis harus dilakukan bukan hanya sekedar mencari keuntungan semata namun harus memperhatikan aspek lingkungan dan juga pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development). 2. Penyediaan produk dan jasa yang bebas bunga (riba) Pelarangan bunga (riba) merupakan hal pembeda utama antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Pembebanan bunga kepada debitor dan pembayarannya kepada kreditor sebagaimana praktik lazim yang terjadi di perbankan konvensional sangat dilarang dalam ajaran Islam. Pengharaman riba secara jelas disebutkan dalam empat ayat dari surat yang berbeda dalam Alquran 2 . Salah satu ayat mengutuk praktik riba, dan menempatkannya sama saja dengan memberikan harta orang lain secara tidak sah. Ayat lainnya menegaskan bahwa riba menghilangkan berkah Tuhan dalam harta. Untuk menghindari riba, perbankan syariah menggunakan sistem bagi hasil (profit-loss sharing) dan juga mark-up dalam produk dan jasa yang ditawarkannya. Sistem bagi hasil berlaku pada transaksi musyarakah dan mudharabah, sedangkan mark-up dapat diterapkan dalam transaksi seperti murabahah, ijarah, salam dan lain sebagainya. 3. Pembatasan hanya pada transaksi atau perjanjian yang diperbolehkan Islam Bisnis perbankan syariah tidak hanya harus terbebas dari praktik riba, tetapi bank syariah juga tidak boleh mendanai aktivitas atau hal-hal yang dilarang (haram) dalam Islam seperti perdagangan minuman berakohol dan daging babi. Sudah sepatutnya bank syariah mendorong dan memprioritaskan produksi barang pokok yang memenuhi hajat kebutuhan masarakat Muslim.
2
QS Al-Baqarah (2:275-81), Ali Imran (3:130), An-Nisa (4:161), dan Ar-Rum (30:39).
4
Selain itu, bank syariah juga tidak diperbolehkan terlibat dalam transaksi yang mengandung unsur maysir (judi) dan gharar (spekulasi). 4. Fokus pada tujuan pembangunan dan sosial Sebagai institusi Islam, perbankan syariah diharapkan dapat membantu terciptanya masyarakat yang adil dan makmur melalui peranannya dalam membayar serta menyalurkan zakat, infaq, shodaqoh dan dana pinjaman kebaikan (qardul hasan) kepada masyarakat yang membutuhkan. Pemberian ini dilakukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan minimal setiap warga serta menjembatani perbedaan sosial dalam masyarakat sehingga kaum miskin pun dapat menjalani kehidupan spiritual dan material yang normal secara bermartabat dan memuaskan. 5. Adanya Dewan Pengawas Syariah Untuk memastikan bahwa praktik dan aktivitas perbankan syariah tidak bertentang dengan etika dan ajaran Islam, perbankan syariah diharapkan mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS dapat beranggotakan para ahli hukum Islam, yang bertindak sebagai penjamin dan penasihat syariah yang independen. DPS merupakan salah satu elemen dalam sistem tata kelola (governance system) perbankan syariah sehingga unsur ini tidak akan dijumpai dalam perbankan konvensional.
C. Perbankan Syariah dan Ethical Banking Sebelum muncul praktek perbankan syariah, telah ada konsep tentang ethical banking yang merupakan salah satu alternatif lain dari sistem perbankan konvensional. Walaupun ethical banking sering didefinisikan secara berbeda-beda oleh para ahli terdahulu, hampir semua definisi mencakup pengertian bahwa ethical banking adalah sistem perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, tanggung jawab, akuntabilitas dan pembangunan berkesinambungan (sustainable development). Berdasarkan kemiripan prinsip-prinsip yang menjadi landasan operasi perbankan syariah dan ethical banking, dan juga persamaan karakteristik antara keduanya maka tidaklah mengherankan jika muncul argumen bahwa perbankan syariah merupakan bentuk dari ethical banking yang paling mudah dipraktikan, paling maju dan paling dapat diterima di kalangan masyarakat. Perbankan syariah adalah sebuah manifestasi dari standarstandar atau prinsip yang ada dalam ethical banking. Sehingga tidak mengejutkan bahwa perkembangan perbankan syariah selama dua dasawarsa terakhir ini sangatlah pesat, salah satu penyebabnya adalah karena kerinduan masyakarat akan sistem perbankan yang mengedepankan nilai-nilai etika dalam operasionalnya dan tidak semata-mata mengejar keuntungan. Tabel berikut ini menjelaskan perbedaan karakteristik antara perbankan konvensional dan ethical banking yang dalam hal ini dikaitan dengan perbankan syariah. Tabel 1: Karakteristik Perbankan Konvensional dan Ethical Banking Sistem Perbankan Konvensional Mencari keuntungan finansial
Sistem Ethical Banking/Perbankan Syariah Mencari kesinambungan finansial dan sosial (melalui pembayaran dan penyaluran zakat dan shodaqoh) 5
Mendukung industri senjata, dan industri yang mencemari lingkungan, dan mengeksploitasi anak-anak Memberikan pinjaman kepada siapa pun yang memiliki penjamin atau jaminan
Keputusan dibuat untuk kepentingan pemegang saham Ditujukan kepada mereka yang mempunyai uang dan tidak peduli uang tersebut digunakan untuk apa Tidak mempunyai peluang untuk memilih sarana investasi uang mereka
Tidak memberikan informasi tentang apa yang dilakukan bank terhadap uang dari deposan Tetap memberikan imbalan dalam bentuk bunga ke perusahaan walaupun perusahaan tersebut tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial Sumber: Saidi, 2009
Berinvestasi pada aktivitas yang mendorong kesejahteraan masyarakat dan lingkungan (hanya membiayai produk atau aktivitas yang halal) Memberikan pinjaman kepada mereka yang membutuhkan, dan untuk proyek-proyek yang meringankan penderitaan masyarakat (dapat melalui qardul hasan- zero interest) Keputusan dibuat untuk kepentingan para pemangku kepentingan (stakeholders utama adalah Allah SWT) Ditujukan kepada mereka yang membutuhkan kesempatan dan berkeinginan bahwa uang mereka digunakan untuk hal yang bermanfaat Mempunyai pilihan kemana uang mereka akan diinvestasikan (nasabah perbankan syariah belum bisa memilih jenis investasi preferensi mereka) Memberikan informasi tentang semua proyek dan investasi yang dilakukan bank dengan dana dari deposan (perbankan syariah belum optimal dalam melaksanakan hal ini) Memberikan imbalan (rewards) dan mendukung organisasi yang terlibat dalam kegiatan sosial (misal penyaluran zakat)
D. Asurans Syariah dan Urgensinya Mengawal Bisnis yang Etis Ethical banking menjadi label yang melekat pada perbankan syariah. Label ini tentunya diharapkan dikaitkan dengan praktik bisnis yang benar-benar dilakukan. Perbankan syariah harus meyakinkan nasabah mengenai keetisan bisnis mereka. Banyak usaha yang dilakukan, salah satunya melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS merupakan salah satu komponen pokok dalam usaha memastikan keetisan bisnis sebuah bank syariah. Peran DPS sangat dominan dalam memastikan bahwa perbankan syariah menunjukan derajat etika tertinggi. Ini penting mengingat kepercayaan publik terhadap identitas syariah cenderung lebih sensitif dibandingkan dengan identitas konvensional. Jika sebuah bank syariah melakukan tindakan yang tidak etis maka kepercayaan publik terhadap bank tersebut akan rusak bahkan hilang. Terlebih lagi, penelitian menunjukan bahwa bertindak etis memiliki manfaat salah satunya bisa mendatangkan tenaga kerja yang lebih berkomitmen, pengakuan yang lebih dari nasabah serta mendatangkan nilai bagi pemegang saham dalam jangka panjang (Central Bank of Bahrain, 2013). Untuk menjaga kepercayaan publik maka fokus utama perbankan syariah adalah memastikan bahwa bisnis mereka sesuai dengan aturan syariah. Namun demikian, diperlukan usaha keras untuk melakukannya. Usaha kepatuhan syariah adalah usaha bersama seluruh organ di dalam institusi 6
syariah. Untuk itu diperlukan sebuah tata kelola syariah (shariah governance) yang akan menjamin terwujudnya proses check and balance terhadap ketaatan syariah pada institusi keuangan syariah. Tata kelola syariah sendiri menurut Islamic Financial Service Board (2009) adalah: A set of institutional and organisational arrangements through which IFIs ensure that there is an effective independent oversight of Shariah compliance over the issuance of relevant Shariah pronouncements, dissemination of information and an internal Shariah compliance review Kepatuhan syariah merupakan salah satu tujuan diterapkannya tata kelola syariah. Tata kelola syariah mengatur bagaimana organ-organ dalam perbankan syariah berperan untuk mencapai kepatuhan syariah. Sebuah kepatuhan tidak akan tercapai dengan sendiri, diperlukan sebuah mekanisme untuk menjamin ketaatan. Munculah konsep asurans syariah yang berarti sistem penjaminan ketaatan syariah dan merupakan bagian dari tata kelola syariah. Sampai saat ini belum ada panduan dan rerangka tata kelola tersendiri untuk perbankan syariah. Aturan tata kelola syariah seperti tertuang dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.12/13/ DPbS tanggal 30 April 2010 masih memiliki kekurangan yakni belum menekankan pada pelaksanaan operasi sesuai dengan aturan syariah (Pratiwi, 2015). Hal ini berbeda dengan tiga rerangka yang telah disusun oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), Islamic Financial Services Board (IFSB), dan Bank Negara Malaysia (BNM), dimana ketiga aturan tersebut telah mengarah pada konsep ekonomi syariah (makro) bukan lagi korporasi (mikro). Dikhawatirkan bahwa absennya aturan tentang tata kelola syariah yang jelas membuat lembaga keuangan syariah tidak beritikad untuk melaksanakan prinsip syariah secara serius. Dampaknya masyarakat akan menilainya bahwa antara lembaga keuangan syariah dengan lembaga keuangan konvensional tidak berbeda. Corak tata kelola syariah di Indonesia masih mirip dengan tata kelola korporat pada umumnya. Konsep asurans syariah belum terlalu terlihat dan belum ditekankan. Jika dibandingkan antara organ-organ sesui tata kelola yang umum di Indonesia dengan dengan tata kelola versi AAOFI, IFSB, dan BNM maka versi terakhir dinilai lebih lengkap karena di dalamnya terdapat pengaturan organ-organ dalam perbankan syariah yang mencerminkan corak ekonomi syariah (Nazri, 2013). Tabel berikut ini berisi perbandingan wujud organ yang umum dan yang spesifik dalam tata kelola syariah. Tabel 2: Organ Umum dan Organ Spesifik dalam Tata Kelola Syariah Fungsi Organ Umum Organ Spesifik Tata Kelola Dewan Direksi Komite Syariah Pengendalian Divisi Audit Internal, Auditor Reviu Syariah oleh Komite Eksternal Syariah, Audit Syariah oleh internal atau auditor eksternal Ketaatan Divisi Kepatuhan Hukum dan Divisi Ketaatan Syariah Keuangan
7
Manajemen Risiko
Divisi Manajemen Risiko (Risiko Pasar, Kredit, dan Operasional)
Manajemen Risiko Kepatuhan Syariah
Sumber: Nazri (2013) Asurans syariah penting untuk menghadapi risiko ketidakpatuhan pada syariah. Ketidakpatuhan pada syariah adalah salah satu risiko yang dihadapi oleh perbankan syariah yang merupakan bagian dari risiko operasional perbankan syariah. Risiko ketidakpatuhan syariah adalah risiko yang timbul dari kegagalan bank untuk memenuhi aturan syariah dan prinsip-prinsip yang ditentukan oleh dewan yang relevan dengan syariah (Islamic Financial Service Board, 2009). Mengingat dampak kerugian reputasi maka perbankan syariah seharusnya menempatkan risiko ketidakpatuhan syariah sebagai risiko yang layak diperhatikan. Namun demikian, dalam tata kelola perbankan syariah di Indonesia, belum ada organ yang secara khusus menangani risiko ini. Berbeda dengan tata kelola versi AAOFI, IFSC, dan Bank Negara Malaysia yang telah mengatur adanya organ tata kelola berupa manajemen risiko ketidakpatuhan syariah. Selain itu, di Indonesia sendiri juga belum ada panduan baku dalam pengelolaan risiko ketidakpatuhan syariah. Tambahan pengaturan berupa organ-organ spesifik seperti di tabel 2 di atas dinilai lebih lengkap dan lebih bisa menjamin ketaatan pada aturan-aturan syariah. Organ-organ tersebut merupakan bagian dari asurans syariah yang sayangnya sekali lagi belum nampak pada tata kelola syariah di Indonesia. Idealnya sebuah bank syariah memiliki empat lapis pertahanan dalam menghadapi risiko ketidakpatuhan pada syariah. Empat lapis pertahanan tersebut adalah bagian dari asurans syariah. Jika diilustrasikan, maka empat lapis pertahanan dalam asurans syariah terhadap risiko ketidakpatuhan syariah seperti yang ditunjukan dalam tabel di bawah ini.
Lapis Pertama
Lapis Kedua
Lapis Ketiga
Tabel 3: Empat Lapis Pertahanan Asurans Syariah Manajemen Lini (Termasuk Bertanggung jawab untuk Kepala Divisi Bisnis, pengawasan terus menerus Manajer Cabang, dan semua dan pengendalian pada karyawan) tingkat harian Departemen Manajemen Menetapkan dan menjaga Risiko Operasi rerangka risiko operasional dan risiko ketidakpatuhan syariah, melaporkan, dan mengendalikan risiko pada tingkat bank secara keseluruhan Unit Ketaatan dan Kepatuhan Menyediakan jaminan Syariah bersama DPS/ independen kepada dewan Komite Syariah direksi dan manajemen bahwa proses manajemen risiko telah diimplementasikan secara efektif 8
Lapis Keempat
Auditor Internal dan atau Auditor Eksternal
Menyediakan jaminan independen melalui reviu syariah dan audit syariah
Sumber: Shafii (2015) Dari keempat lapis di atas, umumnya perbankan syariah di Indonesia telah memiliki lapis pertama dan kedua, tetapi belum seluruhnya menerapkan lapis ketiga. Untuk lapis keempat, sampai saat ini belum dilaksanakan dalam praktik perbankan syariah di Indonesia. Padahal reviu syariah dan audit syariah pada lapis keempat memiliki tingkat jaminan dan tingkat independensi yang lebih tinggi jika dibandingkan tiga lapis lainnya. Selanjutnya artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai asurans syariah. Bahasan difokuskan pada reviu syariah dan audit syariah karena konsep inilah yang paling minim pembahasan di Indonesia baik secara konsep maupun praktik.
E. Reviu Syariah dan Audit Syariah Telah dibahas sebelumnya bahwa menjadi etis adalah sebuah keharusan dan bukan pilihan bagi lembaga syariah. Oleh karena itu, pelaksanaan audit yang menjamin bahwa perbankan syariah telah bertindak etis menurut aturan syariah menjadi penting untuk dilaksanakan. Hal ini dikuatkan dengan perubahan sudut pandang masyarakat yang telah beralih dari ‘trust everything and audit nothing ke trust nothing and audit everything’ (Kasim et.al, 2013). Syariah atau tidaknya sebuah perbankan syariah harus dipastikan karena masyarakat semakin skeptis pada label syariah yang melekat. Konsep asurans konvensional dinilai tidak cukup mengakomodasi kebutuhan bisnis dari perbankan syariah. LKS seperti perbankan syariah mengarahkan tujuan bisnis lebih dari sekedar keuntungan namun juga pada pencapaian maqashid syariah. Untuk mengakomodasi keperluan di atas maka dimensi dan lingkup dari asurans konvensional harus diperluas. Diperlukan lebih dari asurans atas kewajaran laporan keuangan. Asurans yang dilaksanakan seharusnya bisa mengevaluasi proses pencapaian maqashid syariah dari perbankan syariah. Konsep asurans syariah berupa reviu syariah dan audit syariah adalah jawaban dari perluasan tersebut. Audit syariah menempati posisi yang penting begitu juga reviu syariah karena merupakan proses yang obyektif dan independen dalam menilai ketataan pada syariah. Hal ini ditunjukan dengan adanya proses peninjauan pada proses tata kelola syariah berupa pengauditan pada ketaatan akan prinsip syariah. Dalam audit syariah dilakukan beberapa hal seperti memastikan bahwa kontrak sesuai dengan syariah, penggunaan konsep mu’amalah yang sesuai, pada pada akhirnya bisa mengarah ke maqashid syariah. Definisi audit syariah menurut Haniffa (2010) adalah proses sistematis obyektif untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti mengenai pernyataan tentang agama dan tindakan sosial ekonomi dalam rangka untuk memastikan tingkat korespondensi antara pernyataan dari kerangka pelaporan keuangan yang berlaku, termasuk kriteria yang ditentukan berdasarkan prinsip syariah yang direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah dan mengkomunikasikan hasilnya kepada semua pihak yang bekepentingan. Sedangkan definisi menurut AAOFI (Kasim et.al, 2013) adalah 9
pemeriksaan tingkat kepatuhan suatu institusi keuangan syariah dalam semua kegiatannya dengan syariah. Pemeriksaan ini meliputi kontrak, perjanjian, kebijakan, produk, transaksi, memorandum, dan laporan keuangan. Tujuan dari audit syariah adalah untuk memastikan ketaatan lembaga syariah terhadap aturan syariah. Dengan adanya audit syariah maka lembaga keuangan syariah selain juga harus taat pada standar akuntansi, aturan regulator, juga harus taat terhadap fatwa, aturan dan panduan dari dewan pengawas syariah. Sedangkan reviu syariah adalah penilaian reguler pada kepatuhan syariah dan operasi perbankan syariah oleh petugas syariah yang memenuhi syarat untuk memastikan bahwa kegiatan dan operasi dari perbankan syariah tidak bertentangan dengan syariah (Bank Negara Malaysia, 2010). Secara konsep reviu syariah lebih intensif dibandingkan dengan audit syariah. Lalu siapakah yang sebaiknya melaksanakan kedua bentuk asurans syariah di perbankan syariah? Pada awalnya Dewan Pengawas Syariah merupakan salah satu mekanime tata kelola yang paling penting untuk menjamin ketaatan syariah. Namun peran DPS mulai diragukan dari segi independensi dan keahlian dalam asurans. Oleh karena itu DPS perlu bekerja bersama dengan unit ketaatan syariah untuk melaksanakan reviu syariah. Internal Shariah Compliance Unit (ISCU) atau unit ketaatan syariah adalah unit yang terpisah dan independen dari unit bisnis utama. Sedangkan pelaksanaan audit syariah idealnya dilaksanakan oleh auditor eksternal. Akan tetapi karena masih belum memungkinkan maka auditor internal bisa melaksanakan fungsi ini. Praktik ini dilaksanakan oleh negara Malaysia sebagai solusi minimnya sumber daya auditor eksternal yang mampu melaksanakan audit syariah. Tabel di bawah ini membandingkan pelaksanaan reviu syariah dengan audit syariah secara lebih rinci.
Pembeda Pelaksana
Tabel 4: Perbandingan Reviu Syariah dan Audit Syariah Reviu Syariah Audit Syariah Internal Shariah Compliance Unit Auditor Internal/Audit Eksternal (ISCU) bekerja bersama DPS/Komite Syariah Reguler Periodik
Waktu Pelaksanaan Fokus Ketaatan syariah Lingkup
Operasi harian dan mencakup seluruh operasi bisnis Sumber: Rahman (2015)
Adanya pengendalian terhadap ketaatan syariah Audit LK, pengendalian kepatuhan syariah, dan kecukupan tata kelola
F. Isu Implementasi Asurans Syariah di Indonesia Beberapa isu implementasi asurans syariah akan dibahas berikut ini. Ada yang berpendapat bahwa fungsi asurans syariah sebaiknya dilekatkan pada dewan pengawas syariah. Namun ada permasalahan seperti independensi dari dewan pengawas syariah. Dewan pengawas syariah merupakan sebuah organ internal yang bekerja dan dibayar oleh bank syariah. Dikhawatirkan akan timbul isu independensi dan juga memunculkan kemungkinan konflik kepentingan karena DPS 10
memeriksa hasil kebijakannya sendiri. Masalah kompetensi juga penting untuk diperhatikan karena DPS tidak memiliki keterampilan untuk melakukan asurans meskipun mereka memiliki pengetahuan dan kualifikasi di bidang syariah. Perbankan syariah diatur secara ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Demikian juga tata kelola di dalam bank syariah akan memperhatikan dan mengikuti rerangka tata kelola perbankan syariah yang disusun regulator. Dorongan penerapaan asurans syariah akan semakin kuat jika regulator mewajibkan atau menghimbau adanya praktik tersebut. Namun, saat ini di dalam tata kelola perbankan syariah di Indonesia belum terdapat perhatian pada isu asurans syariah. Mencontoh negara Malaysia yang telah menerbitkan Shariah Governance Framework pada tahun 2010, maka Indonesia juga sebenarnya perlu melakukan hal serupa. Rerangka ini penting salah satunya untuk menjamin ketaatan syariah di perbankan syariah. Penerapan asurans syariah terutama audit syariah adalah proses yang panjang. Perlu diingat bahwa tahapan audit syariah di Indonesia barulah tahapan konsep belum berwujud praktik. Sebelum masuk ke praktik audit syariah, penting untuk menentukan mengenai definisi, lingkup, dan konsep audit syariah. Selanjutnya ketiga hal tersebut dituangkan dalam dokumen seperti tata kelola perbankan syariah. Dokumen lain yang perlu ada adalah standar audit syariah. Peran serta profesi akuntan publik sangatlah penting disini. Masalah lain adalah pada sumber daya manusia seperti belum adanya sertifikasi bagi auditor syariah. Sertifikasi penting untuk menilai kompetensi seseorang. Dampaknya, belum banyak sumber daya manusia yang kompeten dalam melaksanakan audit syariah. Akademisi juga memiliki peran yang penting untuk mengkaji isu audit syariah dalam konteks negara Indonesia. Sampai saat ini audit syariah dan reviu syariah masih menjadi area yang belum banyak tersentuh untuk penelitian (Lahsasna et.al, 2013). G. Penutup Perbankan syariah memiliki identitas tersendiri yang membedakan dengan institusi lainnya. Identitas itulah yang menjadi subyek dari asurans syariah. Identitas syariah perlu dijaga agar nasabah tidak kehilangan kepercayaan kepada perbankan syariah. Namun, usaha penjaminan di Indonesia masih belum diperhatikan. Penjaminan baik secara internal dari bank syariah maupun oleh pihak eksternal yang independen seperti oleh kantor akuntan publik belum diatur dalam tata kelola syariah di Indonesia. Diharapkan ke depan ada inisiasi untuk menyusun tata kelola syariah di Indonesia yang mengakomodasi praktik asurans syariah. Untuk itu dukungan dari banyak pihak diperlukan untuk menyukseskan praktik asurans syariah untuk mewujudkan ethical banking di perbankan syariah di Indonesia.
Daftar Pustaka Ahmad, Habib. (2011) Defining Ethics in Islamic Finance: Looking Beyond Legality. [Daring]. Dalam: 8th International Conference on Islamic Economics and Finance, Doha, 19-21 11
December 2011. Tersedia di: http://conference.qfis.edu.qa/app/media/290. [Diakses 6 Juli 2015] Ali, M. D. (2004). Pendidikan Agama Islam. Raja Grafindo Persada. Alma, B. (2003). Dasar-dasar Etika Bisnis Islami. Alfabeta Bank Negara Malaysia (2010). Shariah Governance Framework. [Daring]. Tersedia di: http://www.bnm.gov.my/guidelines/05_shariah/02_Shariah_Governance_Framework_201 01026.pdf. [Diakses 6 Juli 2015] Central Bank of Bahrain (2013). Islamic Banks Must Exhibit The Highest Ethical Standards Concludes Waqf Fund Roundtable. [Daring]. Tersedia di: https://www.cbb.gov.bh/page-pislamic_banks_must_exhibit_the_highest_ethical_standards__concludes_waqf_fund_roundtable.html [Diakses 6 Juli 2015] Haniffa, R., & Hudaib, M. (2007). Exploring the ethical identity of Islamic banks via communication in annual reports. Journal of Business Ethics, 76(1), 97-116. Islamic Financial Service Board (2009). Guiding Principles on Sharī`Ah Governance Systems For Institutions Offering Islamic Financial Services. [Daring]. Tersedia di: http://www.ifsb.org/standard/IFSB-10%20Shariah%20Governance.pdf [Diakses 6 Juli 2015] Kasim, Nawal., Htya, Sheila Nu., and Salman, Syed Ahmad. (2013) Comparative Analysis on AAOIFI, IFSB and BNM Shari’ah Governance Guidelines. [Daring]. International Journal of Business and Social Science, 4 (15). Tersedia di: http://ijbssnet.com/journals/Vol_4_No_15_Special_Issue_November_2013/28.pdf [Diakses 6 Juli 2015] Lahsasna, Achene., Ibrahim, Shahul Hameed Haji Mohamed., and Alhabshi, Datuk Syed Othman. (2013). Shariah Audit: Evidence & Methodology in Islamic Finance. [Daring]. Tersedia di: http://www.inceif.org/wpcontent/uploads/2013/12/Shari%E2%80%99ah_Audit_Evidence_and_Methodology_A_S hari%E2%80%99ah_Perspective.pdf. [Diakses 6 Juli 2015] Nazri, Mohammad. (2013) Shariah Governance Framework- Shariah Compliance Risk Management. [Daring]. Dalam: 4th Asia Islamic Banking Conference, Kuala Lumpur, 10 Juni 2013. Tersedia di: http://www.bankislam.com.my/en/Documents/cinfo/20134thAsiaIslamicBankingConference-CRM.pdf. [Diakses 6 Juli 2015] Pratiwi, Fuji. (2015) Syariah Butuh Tata Kelola Tersendiri. Republika Online, 8 January 2015. [Daring]. Tersedia di: http://www.republika.co.id/berita/koran/syariahkoran/15/01/08/nhugof1-syariah-butuh-tata-kelola-tersendiri [Diakses 6 Juli 2015] Rahman, Abdul Rahim Abdul (2015) Shariah Audit in Practice. [Catatan Penyaji]. Pelatihan Audit Syariah, dilaksanakan 4-5 Juni, STIE Tazkia. Rice, G. (1999). Islamic ethics and the implications for business. Journal of business ethics, 18(4), 345-358. Saidi, T. A. (2009). Relationship between ethical and Islamic banking systems and its business management implications. South African Journal of Business Management, 40(1), 43-49. Shafii, Zurina (2015) The Concept of Shariah Assurance. [Catatan Penyaji]. Pelatihan Audit Syariah, dilaksanakan 4-5 Juni, STIE Tazkia. 12
Uddin, S. J. (2003). Understanding the framework of business in Islam in an era of globalization: a review. Business Ethics: A European Review, 12(1), 23-32. Wilson, Rodney (2005). Parallels Between Islamic and Ethical Banking. [Daring]. Journal of Islamic Banking and Finance. Tersedia di: http://lib.iium.edu.my/mom2/cm/content/view/view.jsp?key=T4LILgsTWwFWwhgI9ZPE RXILBwvWivuO20091221111416390. [Diakses 6 Juli 2015]
13